ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).
SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar SARJANA SYARI’AH
Oleh: ACHMAD KURNIAWAN NIM. 21209002
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014 i
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Achmad Kurniawan
NIM
: 21209002
Jurusan
: Syari‟ah
Progran Studi
: Al-ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah.
Salatiga,
Januari 2014
Yang menyatakan
Achmad Kurniawan NIM. 21209002
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
َم ْن َم َّد َم َم َّد Barang siapa bersungguh-sungguh pasti akan menuai hasil yang diharapkan
PERSEMBAHAN penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat:
Bapak dan Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis untuk engkau. Isteri dan anak-anak penulis yang selalu memberikan semangat dan dorongan. Para Dosen, terimakasih atas ilmu yang yang bapak dan ibu berikan, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Aamiin Sahabat-sahabati AS angkatan 2009, semoga sukses selalu.
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya berkurang atau hilang. Allahumma shalli „alaa Sayidina Muhammad wa‟ala ali Sayidina Muhammad. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Baginda Rosululah shallallahu „alaihi wa sallam beserta keluarganya. Kalau hari ini, kita bisa mengingat Allah Azza wa jalla, maka itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah shallallahu „alaihi wa sallam yang selalu sabar menyampaikan kebenaran. Dalam skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada: 1.
Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
2.
Ketua Pengadilan Agama Ambarawa
3.
Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhsiyyah
4.
Ibu Dra.Siti Zumrotun M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar dan ikhlas
5.
Segenap hakim Pengadilan Agama Ambarawa
vii
6.
Ibu Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini
7.
Segenap dosen jurusan syari‟ah
8.
Segenap staf STAIN salatiga
9.
Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa
10. Bapak, Ibu, isteri dan anak-anakku yang selalu mendoakan penulis, mendukung serta memberi banyak bantuan baik moril maupun materiil 11. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doanya 12. Teman-teman seperjuangan AS NR angkatan 2009 yang penuh warna 13. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya oleh karena itu penulis berharap masukan, saran dan Kritik yang membangun yang menambah ilmu kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Salatiga,
Januari 2014
Achmad Kurniawan NIM. 21209002
viii
ABSTRAK Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). Skripsi. jurusan Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag Kata Kunci: Isbat Nikah dan Poligami Penelitian ini untuk menganalisis pertimbangan Hakim dan dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam mengisbat nikahkan sebuah perkawinan dalam rangka poligami yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Hakim dan apa dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka poligami. Penelitan ini adalah penelitian lapangan atau kualitatif, adapun sumber data yang yang digunakan adalah sumber data primer dan skunder. Data primer diperoleh dari berkas Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa serta melalui wawancara dengan para hakim yang menangani masalah isbat nikah, kemudian dikaji secara mendalam selanjutnya dianalisis dengan tehnik deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prosedur pengajuan permohonan isbat nikah dilakukan dengan pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Ambarawa, menetapkan Isbat nikah adalah karena para Pemohon tidak ada larangan melakukan perkawinan baik menurut Hukum Islam maupun Undangundang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. I HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA........................................................... II HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... III HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ................................................... IV HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................... V HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................... VI KATA PENGANTAR ........................................................................................VII ABSTRAK ........................................................................................................ VIII DAFTAR ISI ........................................................................................................ IX
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................1 B. Fokus Penelitian .........................................................................6 C. Tujuan Penelitian .......................................................................8 D. Manfaat Penelitian .....................................................................8 E. Penegasan Istilah ........................................................................8 F. Kerangka Teori...........................................................................9 G. Telaah Pustaka .........................................................................10 H. Metode Penelitian.....................................................................11 I. Sistematika Penulisan...............................................................12
x
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Nikah ..........................................................14 1. Pengertian, Dasar Hukum Dan Tujuan Pernikahan ...........14 2. Rukun Dan Syarat Sah Perkawinan ...................................19 3. Pengertian Nikah Sirri ........................................................20 4. Status Hukum Pernikahan Sirri ..........................................23 B. Pencatatan Perkawinan.............................................................25 C. Isbat Nikah ...............................................................................31 D. Poligami ...................................................................................48 E. Kode Etik Hakim......................................................................52
BAB III
PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa ...................75 1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa ..............................75 2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa ...........80 B. Gambaran Perkara Nomor. 0030/Pdt.G/2012/Pa Ambarawa ..81 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara No. 0030/Pgt.G/2012/Pa Ambarawa ...............................................86
BAB IV
ANALISI DATA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Isbat Nikah Dalamrangka Poligami Oleh Hakim .............................95
xi
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami Oleh Hakim ...............................................101 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................105 B. Saran-Saran ............................................................................106 C. Penutup ...................................................................................106
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat penting baik di tinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan adalah mencapai kabahagiaan hidup dunia dan akhirat. Di tinjau dari segi yuridis, perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan keagaman yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan sendiri tentang perkawinan. Sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan ajaran agama yang dianut
oleh
mereka
yang
akan
melangsungkan
perkawinan.
(Abdurrahman, 2001:17) Selain itu perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status keduanya dalam masyarakat. Setelah perkawinan kedua
1
belah pihak akan menerima beban dan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan,
sehingga
mereka
harus
mampu
memikul
dan
melaksanakannya. Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Menurut Kansil pergaulan hidup dibedakan empat macam norma yaitu: 1.
Norma Agama
2.
Norma Kesusilaan
3.
Norma Kesopanan
4.
Norma Hukum.
Norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber kepada hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadist. Sedangkan norma hukum bersumber kepada: Undang-undang, Kebiasaan (custom), Keputusan-keputusan (yurisprudensi), dan Traktat (Treaty). (Kansil, 1989:84) Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan. Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah merupakan pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan alam
2
semesta dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan cipataan-Nya ialah adanya ketentuan-ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami istri yang bahagia. (Khalaf, 2002:100) Disamping wajib mengikuti hukum syara‟ muslim warga negara indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada undang-undang negara, sebagai negara hukum, Indonesia pun mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. LN Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor 3019/1974, (sudarsono, 2005:6) PP Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sabagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 2 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatat
3
oleh pegawai pencatat nikah. Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat” Jadi setiap perkawinan harus dicatatkan dihadapan pegawai pencatat Nikah (PPN) atau Kantor urusan Agama bagi yang beragama islam. Pasangan suami isteri yang menikah namun belum memiliki buku akta nikah sebenarnya pernikahan mereka sah menurut hukum islam apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi karena pernikahan mereka tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maka pernikahan mereka tidak di akui negara atau sering disebut dengan istilah nikah sirri. Dengan adanya pengakuan dari negara atas suatu perkawinan akan mempermudah pasangan suami isteri untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan administrasi negara. Misalnya untuk pembuatan akta kelahiran anak, untuk pembuktian pembagian warisan, dan untuk pembuktian dalam perceraian. Selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis, selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak suami isteri. Dalam kenyataanya praktik nikah sirri masih banyak dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya untuk melakukan poligami tanpa prosedur, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-
4
undang nomor 1 tahun 1974
yang menjelaskan persyaratan untuk
poligami yaitu : 1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dalam hal seseorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Adanya persetujuan dari isteri;
b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka. Apabila menyimak maksud dari ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut,
rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami, sehingga jalan satusatunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah sirri. Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan anak yang sah pula atau justru sebaliknya. Dalam hal seorang melakukan poligami dengan cara nikah sirri di Pengadilan Agama Ambarawa telah menyelesaikan perkara serupa yang kemudian
dikeluarkan
putusan
Nomor:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb,
tentang ijin poligami yang diajukan oleh seorang suami terhadap isteri pertama. Suami tersebut mengajukan ijin poligami untuk menikah dengan isteri kedua yang sebelumnya telah dinikahi secara sirri pada tanggal 3 juni 5
2000 dan telah dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut. Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan. Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) Dan menjelaskan bahwa. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan. Dan pasal 4 (1) yang berbunyi. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dengan demikian poligami hanya
bisa
dilakukan setelah
memperoleh ijin dari pengadilan, sehingga pernikahan Pemohon pada tanggal 3 Juni 2000 dengan isteri kedua Pemohon bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1). Sebagaimana yang terjadi bahwa suami tersebut melakukan poligami tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama, melainkan langsung melakukan nikah bawah tangan atau nikah sirri. Selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
6
Berdasarkan uraian di atas dan ijin poligami pengadilan agama ambarawa (penetapan Nomor: 0030/Pdt.G / 2012 / PA.Amb) penulis ingin lebih mengetahui bagaimanakah ijin poligami dan penetapan isbat nikah yang mana pemohon sudah melakukan pernikahan tanpa dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Atau melakukan nikah di bawah tangan / nikah sirri dengan isteri kedua bila hal tersebut diajukan apakah telah sesuai dengan hukum positif yang ada. Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis membuat satu judul yaitu : Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami ( Study Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). B. Fokus penelitian Agar
pembahasannya
teratur
dan
sistematis
maka
perlu
dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya isbat nikah dalam rangka poligami di pengadilan agama itu terjadi. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji adalah : 1.
Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami.
2.
Apakah dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami.
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1.
Mengetahui apa pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka Poligami
2.
Mengetahui apa dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami
D. Manfaat penelitian 1.
Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganilis ketentuan aturan hukum perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam khususnya tentang hukum perkawinan
2.
Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum isbat nikah dan poligami, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.
E. Penegasan Istilah Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah: 1.
Isbat adalah penyuguhan, penetapan, ketetapan (Poerwadarminta, 2006:453).
2.
Isbat nikah adalah penetapan atau pengesahan nikah oleh Pengadilan Agama (KHI pasal 7).
8
3.
Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa
lawan
jenisnya
diwaktu
yang
bersamaan(Depdiknas,2002:885). F. Kerangka Teori Al-qur‟an dan Al-hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal pencatatan perkawinan, atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut Akta, dengan demikian dimuatnya pencatatan perkawinan adalah sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian rinci kecuali dimuat di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan: (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinanakan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
9
(3) pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Lebih lanjut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai pentingnya pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut: Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertibaban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undangundang yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undangundang Negara kita. G. Telaah Pustaka Sejauh pengetahuan penyusun dengan melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan kepustakaan baru ada 1 (satu) penulis yang meneliti tentang isbat nikah, yaitu:
10
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-2011)”. Yang ditulis oleh Asa Maulida Sulhah, Nim : 21108011, Program studi Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi peradilan Agama Tahun 2009-2011. Lebih fokus kepada Isbat Nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga. H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah Studi Pustaka yaitu berupa studi putusan yang penulis peroleh dari putusan pengadilan agama ambarawa serta mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas yaitu bagaimana Pengadilan Agama Ambarawa dalam memeriksa dan memutus perkara tentang isbat Nikah dalam rangka Poligami Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer yaitu berkas putusan pengadilan Agama Ambarawa b. Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan(Soekamto,1984:12) 2. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis mengunakan metode antara lain: a. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden(Arikunto,1995:115).
11
Responden penelitian ini adalah para hakim dan panitera di Pengadilan Agama Ambarawa. b. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari bahanbahan tertulis (M.Arifin,1990:135). c. Dokumentasi yaitu dengan mengambil data berupa putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. 3. Metode analisis data a. Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan PerundangUndangan yang ada. b. Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sejenis. 4. Teknik Penulisan Adapun teknik
penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. I. Sistematika penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
12
BAB I
: merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kerangka teori, telaah
pustaka,
metode
penelitian,
dan
sistematika
penulisan. BAB II
: Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang Gambaran Umum Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan,
pencatatan
perkawinan,
Isbat
Nikah,
Poligami, dan Kode Etik Hakim. BAB III
: Dalam bab ini berisi paparan data Gambaran umum pengadilan Agama Ambarawa, Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa,
Struktur
Ambarawa,
organisasi
Gambaran
Pengadilan Perkara
Agama Nomor
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb dan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. BAB IV
: Dalam
bab
ini
berisi
Analisis
Terhadap
Dasar
Pertimbangan Hakim Terhadap penetapan isbat nikah dalam rangka poligami, Analisis Terhadap dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka Poligami oleh Hakim. BAB V
: Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Pernikahan 1.
Pengertian, dasar hukum dan tujuan pernikahan Pernikahan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhtumbuhan. Firman Allah:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Adz-Dzariyat : 49) Firman-Nya pula:
“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Yasiin:36) Pernikahan sebagai suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya,
setelah
masing
14
masing
pasangan siap
melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan, Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.(Sabiq, 1980:7) Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah (Ali, 2002:3). Pernikahan merupakan sunatullah yang artinya perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja. Menurut
Kompilasi
Hukum
Islam
Perkawinan
atau
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Sedangkan nikah menurut bahasa: al jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Selain dari Definisi diatas dikemukakan juga bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha”
sinonimnya
“tazawwaja”
kemudian
diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia sebagai perkawinan. Beberapa penulis juga kadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari
15
kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut Agama. Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bab I pasal 1 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat
16
dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43). Menurut Tihami, perkawinan yang merupakan sunatullah adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahatannya, oleh karena itu, imam izzudin abdussalam, membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu: a.
maslahat yang di wajibkan oleh Allah SWT bagi hambanya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat
mendatangkan
kemaslahatan
yang
paling
besar,
kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan. b.
Maslahat yang disunahkan oleh syar‟i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah.
c.
Maslahat mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah.
17
Meskipun asal perkawinan itu adalah mubah, namun dapat berubah
menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) menurut
perubahan keadaan: a.
Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksanana kecuali dengan nikah.
b.
Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
c.
Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang telah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
d.
Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia wajib nikah tapi tidak haram bila tidak nikah. Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan,
menurut islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.
18
Nampak bahwa pernikahan itu bukan sekedar untuk memenuhi keperluan nafsu antara laki-laki dan perempuan, namun ada banyak tujuan-tujuan
dalam
pernikahan,
diantaranya
tertuang
dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yang berbunyi “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Dalam bukunya Fikih Munakahat fikin nikah lengkap tihami mengungkapkan bahwa tujuan dari pernikahan adalah: a.
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
b.
Memenuhi
hajat
manusia
menyalurkan
syahwatnya
dan
menumpahkan kasing sayangnya; c.
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
d.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal;
e.
Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
2.
Rukun Dan Syarat Sah Pernikahan a.
Menurut Hukum Islam Menurut syariat agama islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Dalam
19
ensiklopedi hukum islam, syarat dirumuskan dengan, “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri”. Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun pernikah adalah: 1) Mempelai laki-laki; 2) Mempelai perempuan; 3) Wali; 4) Dua orang saksi; 5) Sighat ijab kabul. Syarat-syarat sahnya pernikahan menurut Hukum Islam adalah: 1) Syarat-syarat Suami a)
Bukan mahram dari calon istri;
b) Tidak terpaksa atau atas keauan diri sendiri; c)
Orangnya tertentu, jelas orangnya;
d) Tidak sedang ihram. 2) Syarat-syarat Istri a)
Tidak ada halangan syara‟ yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah;
b) Merdeka, atas kemauan sendiri; c)
Jelas orangnya;
20
d) Tidak sedang berihram. 3) Syarat-syarat Wali a)
Laki-laki;
b) Baligh; c)
Waras akalnya;
d) Tidak dipaksa; e)
Adil;
f)
Tidak sedang ihram.
4) Syarat-syarat Saksi a)
Laki-laki;
b) Baligh; c)
Waras akalnya;
d) Adil; e)
Dapat mendengar dan melihat;
f)
Bebas, tidak dipaksa;
g) Tidak sedang mengerjakan ihram; h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul. 5) Syarat shigat (bentuk akad). Shigat hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. (Tihami, 2009:12) 6) Mahar. Selain dari syarat diatas menurut para ulama, mahar hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya
21
dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
atau
akibat
dari
berlangsungnya
akad
nikah
(Syarifudin, 2007:85). Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada surat an-Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. b.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Rukun dan Syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) di tuangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai dengan pasal 38 yang secara keseluruhan sama dengan Hukum Islam. Kemudian dituangkan juga dalam pasal 4 KHI disebutkan tentang syarat sahnya perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.
22
c.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Rukun dan Syarat perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas tidak dituangkan di dalamnya. Akan tetapi undang-undang tersebut sepenuhnnya menyerahkan kepada ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan tentang persyaratan sahnya suatu perkawinan. Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 2 yang berbunyi: (1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan
dicatat
menurut
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 3.
Pengertian Nikah Sirri/Nikah di bawah tangan Menurut bahasa Nikah Sirri/Nikah di bawah tangan berarti perkawinan
yang
dilakukan
secara
sembunyi-sembunyi
atau
perkawinan yang dirahasiakan. Sedangkan menurut hukum, nikah Sirri atau Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) (http://irmadevita.com)
23
Dalam pernikahan Sirri atau Nikah di bawah tangan, Petugas Pencatat Nikah (KUA) tidak akan mencatat perkawinannya tersebut karena dianggap menyimpang dari Undang-Undang yang berlaku. Sedangkan sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan sirri atau nikah di bawah tangan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Khusunya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2) yang menegaskan bahwa perkawinan harus dicatat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Subekti, 2009:538) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan Sirri atau Nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang sudah memenuhi syarat dan rukun dalam hukum Islam. Tetapi tidak mengikuti hukum negara yang mengharuskan untuk dicatat. 4.
Status Hukum pernikahan sirri. Menurut hukum syariat bahwa sebuah perkawinan dipandang sah jika telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang meliputi calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali mempelai wanita, dua orang saksi dan ijab qabul. Sedang menurut Undang-Undang Perkawinan selain memenuhi aturan syari‟at pernikahan harus dicatat oleh petugas pencatat perkawinan. Jika perkawinan sudah memenuhi
24
kedua aturan tersebut maka perkawinan itu disebut legal wedding jika tidak tercatat maka disebut illegal wedding. Secara dogmatis, tidak ada nas dalam Al-Qur‟an ataupun sunnah yang mengatur pencatatan untuk perkawinan, tetapi Al-Qur‟an memberikan perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Semestinya jika dalam urusan muamalah saja pencatatan diperintahkan, apalagi dalam perkawinan yang akan melahirkan hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris dan hak-hak lainnya. Oleh karena itu, memenuhi aturan Agama dan aturan negara amat penting karena kita selain sebagai agamawan juga sebagai warga negara, sehingga perjalanan rumah tangga tidak hanya bersentuhan dengan aturan agama tetapi juga aturan negara. Dengan demikian jika kelangsungan hidup rumah tangga tidak lepas dari aturan negara dan mematuhinya maka dari itu mematuhi aturan tersebut wajib hukumnya. (http://bimasIslam.kemenag.go.id) B. Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang berdasarkan hokum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam(Ali, 2007:26). Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh Undangundang. Juga dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan
25
memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang di sepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan (Nasution, 2002:139). Mengapa pencatatn perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-Qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala transaksi muamalah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 282 :
... Artinya: “Hai oaring-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar….” (QS. Al-Baqarah (282): 2) Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al-qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang disbanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar‟I tentang sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada awal masa Islam belum terjadi antar wilayah Negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu
26
berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum di butuhkan. Dengan alasan-alasan yang disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan jaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (Oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bias diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut Akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab fiqh ataupun fatwa-fatwa ulama (Nuruddin, 2006:122). Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Undang –undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksitensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat
27
(Ali, 2007 : 27). Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan
mekanisme
bagaimana
pencatatan
perkawinan
itu
dilaksanakan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bukanlah UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi masyarakat Muslim di Indonesia, sebelumnya sudah ada UU No 22 Tahun1946, yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Semula UU ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU No. 32 tahun 1954, yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, UU No. 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan ungkapan lain, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 1954 berarti UU No.22 Tahun 1946 berlaku diseluruh Indonesia. Bahkan konon sebelum UU No. 22 Tahun 1946 sudah ada peraturan yang mengatur hal yang sama. Tentang Pencatatan Perkawinan dalam UU No. 22 Tahun 1946 disebutkan: (i) Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah; (ii) Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran. Ketika menjelaskan hukuman bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan disebutkan, maksud hukuman bagi pasangan yang melanggar adalah agar urutan administrasi ini diperhatikan,
28
tetapi tidak mengakibatkan batalnya perkawinan. Dari penjelasan ini sangat tegas terlihat bahwa fungsi pencatatan tersebut hanyalah bersifat administrasi, bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan. (Nasution, 2002: 146) Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang pelaksanaannya berlaku secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, tentang pencatatan perkawinan disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1)
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat undangan yang berlaku.
menurut
peraturan
perundang-
Kemudian dalam PP No. 9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam bab II pasal 2 yang terdiri dari 3 pasal berbunyi sebagai berikut: (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawi Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang pencatatan perkawinan; (2) pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana di maksudkan dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan; (3) dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 samapai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.
29
Lebih lanjut di jelaskan dalam bab 3 pasal 10 dan pasal 11 tentang tatacara perkawinan yang berbunyi: Pasal 10: (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam pasal 8 peraturan pemerintah ini; (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Pasal 11 (1) sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku; (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya; (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 4 sampai dengan pasal 6 yang berbunyi: Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
30
Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah; (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Aturan-aturan didalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam”. Ketertiban disini menyangkut Ghayat al-Tasyri‟ (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “tidak mempunyai kekuatan hukum”. Dan dapat diterjemahkan dengan makna tidak sah. Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah (Nuruddin, 2006 : 124). C. Isbat Nikah 1.
Pengertian Istbat Nikah Isbat nikah berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu isbat dan nikah. Kata isbat adalah isim masdar yang berasal dari bahasa
arab
asbata-yasbitu-Isbatan
31
yang
mempunyai
makna
penetapan atau penentuan (Rosyadi, 1995: 827). Kemudian istilah ini diserap menjadi istilah kata dalam bahasa Indonesia. Achmad warson munawir mengartikan istilah isbat dengan penetapan, penutupan dan pengiyaan (munawir, 2007: 343). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata isbat diartikan dengan menetapkan yaitu berupa penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah atau menetapkan kebenaran sesuatu (Depdiknas 2002 : 564) Kata kedua yaitu nikah, menurut bahasa nikah adalah: al jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Selain dari Definisi diatas dikemukakan juga bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha” sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sebagai perkawinan (Tihami, 2009:8). Pengertian nikah lebih jelas sudah dijabarkan di dalam bab 2 skripsi yang penulis susun. Jadi pengertian isbat nikah dapat dipahami dari penjabaran pengertian kata-kata yang ada didalamnya. Sehingga dapat diperoleh suatu pengertian bahwa isbat nikah adalah suatu penetapan terhadap keabsahan akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah, dimana akad tersebut diucapkan pada saat ijab-kabul antara mempelai laki-laki dan
32
perempuan. Isbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan) 2. Proses dalam mengajukan permohonan/pengesahan isbat nikah Eksistensi dan independensi lembaga pengadilan agama sejak terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukannya sejajar dengan lembaga peradilan lain dilingkungan Peradilan Umum, tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Kewenanangan Peradilan Agama (PA) pasca terbitnya UU baru tersebut makin luas. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama. Jenis perkara yang menjadi kuasa pengadilan Agama: pertama tentang perkawinan, kedua tentang warisan,wasiat dan hibah, ketiga tentang perkara wakaf dan sedekah, keempat tentang ekonomi syari‟ah. Pengadilan Agama dituntut untuk mampu
melaksanakan
UU
tersebut
sebaik-baiknya
dengan
mempersiapkan diri dari segi SDM maupun layanan public bagi masyarakat pencari keadilan. Dan masyarakat pencari keadilan tidak
33
perlu
dikhawatirkan
dan
jangan
selalu
disudutkan
dengan
menganggap mereka sebagai “masyarakat yang buta hukum. Oleh
karenanya
perlu
memberikan
kesempatan
dan
pembelajaran tentang hokum kepada mereka khususnya dalam hal bagaimana
beracara
dimuka
pengadilan
yang
benar
(http://eprints.undip.ac.id/18678/PATLY_PARAKASI.pdf).
Adapun
proses pengajuan permohonan pengajuan/pengesahan isbat nikah adalah sebagai berikut : Langkah 1. Datang dan mendaftar ke kantor Pengadilan setempat. a. Mendatangi kantor pengadilan agama diwilayah tempat tinggal anda. b. Membuat surat permohonan isbat nikah. Surat permohonan dapat dibuat sendiri. Apabila tidak bisa membuat surat permohonan, anda dapat meminta bantuan kepada pos bakum (pos bantuan hokum) yang ada pada pengadilan setempat secara cuma-Cuma. c. Surat permohonan isbat nikah ada dua jenis sesuai dengan tujuan yaitu: 1) Surat permohonan isbat nikah digabung dengan gugat cerai. 2) Surat permohonan isbat nikah. d. Memfoto copy formulir permohonan isbat nikah sebanyak 5 (lima) rangkap, kemudian mengisinya dan menandatangani formulir yang telah lengkap. Empat rangkap formulir permohonan diserahkan kepada petugas pengadilan, satu foto copy disimpan.
34
e. Melampirkan surat-surat yang diperlukan antara lain surat keterangan dari KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat. Langkah 2. Membayar panjar perkara. a. Membayar biaya perkara. Apabila anda tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda dapat mengajukan permohonan untuk berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo). b. Apabila mendapat fasilitas prodeo, semua biaya yang berkaitan dengan perkara dipengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan kecuali biaya transportasi dari rumah kepengadilan. Apabila biaya tersebut masih belum terjangkau, maka dapat mengajukan sidang keliling. Rincian informasi sidang keliling dapat dilihat di panduan sidang keliling. c. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai untuk meminta sisa panjar perkara. Langkah 3. Menunggu panggilan sidang dari pengadilan a. Pengadilan akan mengirim surat panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat siding kepada pemohon dan termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan Langkah 4. Menghadiri persidangan. a. Datang ke pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.
35
b. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti surat panggilan persidangan, foto copy formulir permohonan yang telah diisi. Dalam sidang pertama ini hakim akan menanyakan identitas para pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi permohonan. c. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan memberitahukan kepada pemohon/termohon yang hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu sidang berikutnya. Bagi pemohon/termohon yang tidak hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang bersangkutan melalui surat. d. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan bukti sesuai dengan permintaan hakim.
Dalam
menghadirkan
kondisi
tertentu,
saksi-saksi
yaitu
hakim orang
akan
yang
meminta mengetahui
pernikahan tersebut, diantaranya wali nikah dan saksi nikah, atau orang-orang dekat yang mengetahui pernikahan itu. Langkah 5. Putusan/penetapan pengadilan. a. Jika permohonan anda dikabulkan pengadilan akan mengeluarkan putusan/penetapan isbat nikah. b. Salinan putusan/penetapan isbat nikah akan siap diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari sidang akhir.
36
c. Salinan putusan/penetapan isbat nikah dapat diambil sendiri kekantor pengadilan agama atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa. b. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan, anda dapat meminta KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan anda dengan
menunjukan salinan putusan/penetapan pengadilan
tersebut(www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANISBATNIKAH.doc ) di akses pada 27 september 2013. 3.
Dasar Hukum Isbat Nikah. a) Kompilasi hukum Islam Pasal 2 : perkawinan menurut hukum Islam adalah prnikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Pasal 4 : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 5 : Ayat (1) agar terjalin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Ayat (2) pencatatan tersebut pada ayat (1) dilakukan Oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954.
37
Pasal 7: Ayat (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengn Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah; Ayat (2) Dalam hal pekawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; Ayat (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan: a)
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b)
Hilangnya Akta Nikah;
c)
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d)
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
(e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Ayat (4) yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah sumi atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2:
38
(1)
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. c) Peratuaran pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2: Ayat
(1)
Pencatatan
perkawinan
dari
mereka
yang
melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh pegawi Pencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, talak, dan rujuk; Ayat
(2)
pencatatan
dari
mereka
yang
melangsungkan
perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana di maksudkan dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan; Ayat (3) dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus
berlaku
bagi
tata
cara
pencatatan
perkawinan
berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 samapai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini. Pasal 3:
39
Ayat (1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawianan memberitahukan kehendaknya itu pada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pasal 4: pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya. Pasal 6: Ayat (1) pegawai pencatat menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang. Pasal 11: Ayat (1) sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku; Ayat (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan
perkawinan
menurut
agama
Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya; Ayat (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
40
Pasal 12: Akta perkawinan memuat: 1) Nama, tempat tanggal lahir, agama pekerjaan dan tempat kediaman suami/istri; apabila salah satu atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. 2) Nama, agama, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka. 3) Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 4) Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
.
5) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 6) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 7) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam Pangab bagi anggota Angkatan Bersenjata. 8) Perjanjian perkawinan apabila ada. 9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
41
Pasal 13: Ayat (1) akta perkawinan dalam rangkap 2 dua, helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan oleh panitera
pengadilan
dalam
wilayah
kantor
pencatatan
perkawinan itu berada. Ayat (2) kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. d) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1975 Pasal 7: pegawai pencatat nikah atau P.3 NTR yang menerima pemberitahuan kehendak nikah memeriksa calon suami, calon istri dan wali nukah, tentang ada atau tidak adanya halangan pernikahan itu dilangsungkan baik halangan karena melanggar hukum
munakahatatau
melanggar
peraturan
perundang-
undangan tentang perkawinan. Pasal 39: Ayat (1) apabila kutipan akta nikah, kutipan buku pendaftaran, kutipan buku pendaftaran cerai, kutipan buku pendaftaran rujuk hilang atau rusak padahal diperlukan untuk pengesahan perkawinan maka orang yang bersngkutan dapat duplikat surat dari kepala kantor yang dahulu mengeluarkan. Perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah memenuhi kesulitan ketika terjadi perceraian.
42
Ayat (2) untuk mendapatkan duplikat tidk dipungut biaya kecuali ada ketentuan lain. Ayat (3) Duplikat surat-surat harus dibubuhi materai menurut peraturan yang berlaku. Ayat (4) Jika kantor yang dahulu mengeluarkan surat itu tidak bisa membuat duplikatnya disebabkan catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan adanya pernikahan, talak dan rujuk harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama. e) Pedoman Teknis dan Teknis Administrasi Peradilan Agama Buku II Tahun 2009. 1) Aturan pengesahan Nikah/Isbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. 2) pengesahan nikah diatur dalam pasal 2 ayat (5) UndangUndang Nomor 22 tahun 1946 jis. Pasal 49 angka 22 penjelasan
Undang-undang
nomor
7
Tahun
1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan pasal 7 ayat (2), (3), (4) Kompilasi Hukum Islam 3) Dalam pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-undang Nomor 7 tahun1989 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 tahun 2006 dan pasal 7 ayat (3) huruf (d)
43
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan
yang
dilangsungkan
sebelum
berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Akan tetapi pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI memberikan peluang untuk pengesahan perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian . pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI banyak dippraktekan di Pengadilan Agama. 4) untuk menghindari penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur, pengadilan Agama harus selektif dan hatihati dalam menangani permohonn isbat nikah. Kriteria selektif antara lain: pemberlakuan DOM di Aceh dimana KUA tidak berfungsi dan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak mengetahui prosedur perkawinan. 5) Untuk kepentingan itu, maka proses pengajuan pemeriksaan dan penyelesaian permohonan pengesahan nikah/isbat nikah harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai berikut: (a) permohonan isbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami istri atau salah satu dari suami, istri, anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada pengadilan agama dalam daerah
hukum
44
pemohon
bertempat
tinggal,
dan
permohonan isbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan kepentingan yang jelas dan konkret. (b) proses permohonan Isbat Nikah yang diajukan suami istri bersifat voluntair, produk hukumnya berupa penetapan. Jika isi penetapan tersebut menolak permohonan isbat nikah, maka pihak suami dan istri bersama-sama atau suami, istri masing-masing dapat mengupayakan kasasi. (c) Proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. (d) Apabila dalam proses permohonan isbat nikah dalam angka 2 dan 3 tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, jika permohonan tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima. (e) permohonan isbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat
45
kontensius, dengan mendudukan suami dan istri dan/atau ahli waris sebagai termohon. (f) Suami istri yang telah ditinggal mati oleh istrinya atau suaminya dapat mengajukan permohonan isbat nikah secara kontensius dengan mendudukan ahli waris lainnya sebagai pihak termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi. (g) dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya maka permohonan isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut
harus
ditolak,
maka
permohonan
dapat
mengajukan kasasi. (h) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka 2 dan 6 dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan isbat nikah. (i) orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan isbat nikah tersebut dalam angka 3,4 dan 5 sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama, ia dapat
46
mengajukan gugatan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan Agama tersebut. (j) Ketua Majekis Hakim tiga hari setelah menerima penetapan Majelis Hakim, membuat penetapan Hari Sidang
sekaligus
memerintahkan
JPS
untuk
mengumumkan permohonan pengesahan nikah tersebut 14 hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada media massa, cetak atau elektronik atau sekurang-kurangnya diumumkan pada
papan pengumuman Pengadilan
Agama. (k) Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat tiga hari setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir, Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang. (l) Pengesahan nikah dapat digabungkan dengan gugatan perceraian. Cara perceraiannya di putus bersama-sama dalam satu putusan. (m) Pengesahan nikah dapat pula digabungkan dengan gugatan warisan. (n) Pengadilan
Agama
hanya
dapat
mengabulkan
permohonan isbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syari‟at Islam dan perkawinan tersebut tidak
47
melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam pasal 8 – pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39-pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. (o) Untuk keseragaman amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut: “menetapkan sahnya perkawinan antara ............................
dengan
..............................
yang
dilksanakan pada tanggal ............................. di .............”. D. Poligami
Artinya; “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Ayat ini dapat menjadi dasar bolehnya poligami, akan tetapi ayat ini sering disalah pahami. Ayat ini turun sebagaimana diuraikan oleh Aisyah r.a menyangkut sikap sementara orang yang
48
ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaanya, tetapi tidak ingin memberikan mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukanya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu kalimat susunan yang sangat tegas. Penyebutan dua, tiga atau empat pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakanya, “ Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain menekankan larangan memakan makanan tertentu itu. Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan telah dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkanya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan (Shihab, 1999:200). Dalam ayat 129 surat an-Nisa Allah berfirman:
49
Artinya: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta yang sulit dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik(Rofiq,1998:170). Dalam undang-undang perkawinan pada prinsipnya juga menganut asas monogami, dimana pada saat yang bersamaan atau dalam satu perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang wanita sebagai isterinya. Sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya. Begitu pula dengan yang 50
ada dalam KUHPerdata hanya saja ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan yang mutlak. Tidak seperti yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan, yang mana poligami diperbolehkan dengan alasan dan syarat tertentu, pasal 3 undang-undang perkawinan menentukan: 1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang
isteri.
Seorang
wanita
hanya
boleh
mempunyai seorang suami. 2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 4 Undang-undang perkawinan menentukan: 1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan; 51
Pasal 5 Undang-undang perkawinan memuat aturan bahwa: 1) Untuk
dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persejutuan dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Membaca
ketentuan
tersebut,
maka
kesimpulan bahwa jika dalam keadaan tertentu
dapat
diambil
seperti isteri
mandul, cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak mampu melaksanakan kewajibanya sebagai isteri, maka suami dapat meminta ijin kepada isteri untuk menikah lagi (Poligami). E. Kode Etik Hakim Kode etik dan dasar perilaku hakim diatur dalam keputusan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Republik Indonesia 52
NOMOR
:
047/KMA/SKB/IV/2009
dan
NOMOR
:
02/SKB/P.KY/IV/2009 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut : 1.
Berperilaku Adil Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Penerapan : a.
Umum 1) Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan. 2) Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan
dan
tetap
menjaga
serta
kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
53
menumbuhkan
3) Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan
haknya
untuk
mengadili
perkara
yang
bersangkutan. 4) Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi
berada
dalam
posisi
yang
istimewa
untuk
mempengaruhi hakim yang bersangkutan. 5) Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan. 6) Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan untuk menerapkan standar perilaku sebagaimana dimaksud dalam butir (5). 7) Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saki-saksi, dan harus pula
54
menerapkan standar perilaku yang sama bagi advocat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan. 8)
Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.
9) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara. b. Mendengar Kedua Belah Pihak. 1.
Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
2.
Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihakpihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
55
2. Berperilaku Jujur Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Penerapan : a.
Umum 1) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela. 2) Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga
dan
meningkatkan
kepercayaan
masyarakat,
penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality). b. Pemberian Hadiah dan Sejenisnya 1) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji,
56
hadiah,
hibah, warisan, pemberian,
penghargaan dan
pinjaman atau fasilitas dari: a) Advokat; b) Penuntut; c) Orang yang sedang diadili; d) Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; e) Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
57
2) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang dibawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari: a)
Advokat;
b) Penuntut; c)
Orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
d) Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili oleh hakim tersebut; e)
Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut diduga bertujuan
untuk
mempengaruhi
hakim
dalam
menjalankan tugas peradilannya. 3) Terima Imbalan dan Pengeluaran/Ganti Rugi Hakim dapat menerima imbalan dan atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra yudisial dari pihak yang tidak mempunyai konflik kepentingan, sepanjang imbalan atau
58
kompensasi tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugastugas yudisial dari hakim yang bersangkutan. 4) Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan a)
Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Ketua Muda Pengawasan mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
b) Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. 3. Berperilaku Arif Dan Bijaksana Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
59
Penerapan : a.
Umum 1) Hakim wajib menghindari tindakan tercela. 2) Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan. 3) Hakim dilarang mengadili perkara dimana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara
atau sebagai
pihak
yang
memiliki
kepentingan dengan perkara tersebut. 4) Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut. 5) Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya. 6) Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya. 7) Hakim
dilarang
mempergunakan
keterangan
yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tdk terkait dengan wewenang dan tugas yudisialnya.
60
8) Hakim dapat membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim atau turut serta dalam lembaga yang mewakili kepentingan para hakim. 9) Hakim berhak melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan yudisial, antara lain: menulis, memberi kuliah, mengajar dan turut serta dalam kegiatankegiatan yang berkenaan dengan hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan,
keadilan
atau
hal-hal
yang
terkait
dengannya. b. Pemberian Pendapat atau Keterangan kepada Publik 1) Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil, independen, dan tidak memihak. 2) Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain. 3) Hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.
61
4) Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi
lainya
yang
dimaksudkan
untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu. 5) Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempuyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun. 6) Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan
untuk
dipublikasikan
yang
dapat
mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain. c. Kegiatan Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan dan Kepartaian 1) Hakim dapat menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi hakim dalam membahas suatu perkara.
62
2) Hakim boleh menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan, lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian hakim. 3) Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik. 4) Hakim dapat berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan
amal
yang
tidak
mengurangi
sikap
netral
(ketidakberpihakan) hakim. 4. Bersikap Mandiri Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Penerapan : a. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.
63
b. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim dan badan peradilan. c. Hakim wajib berprilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan.
5. Berintegritas Tinggi Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. Penerapan : a.
Umum 1) Hakim harus berperilaku tidak tercela. 2) Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan
64
kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan. 3) Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan. 4) Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat. 5) Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan. 6) Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara. 7) Hakim
dilarang
melakukan
tawar
menawar
putusan,
memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
65
b. Konflik Kepentingan 1) Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan a)
Hakim dilarang
mengadili suatu perkara
apabila
memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim Anggota lainnya, Penuntut, Advokat dan Panitera yang menangani perkara tersebut. b) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak
yang
berperkara,
Penuntut,
Advokat
yang
menangani perkara tersebut. 2) Hubungan Pekerjaan a)
Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.
b) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim. c)
Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi
66
Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugastugas peradilan. d) Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
c. Hubungan Finansial 1) Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya. 2) Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial. 3) Hakim dilarang
mengizinkan pihak
lain
yang akan
menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial. d. Prasangka Dan Pengetahuan Atas Fakta Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak
67
atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan. e.
Hubungan dengan Pemerintah daerah Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, pinjaman atau manfaat lainnya, khuswusnya yang bersifat rutin atau terus menerus dari Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
f. Tata Cara Pengunduran Diri 1) Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2 wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak. 2) Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan Ketua. 6. Bertanggungjawab Bertanggung bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang
68
dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut. Penerapan : a.
Penggunaan Predikat Jabatan Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.
b.
Penggunaan Informasi Peradilan Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujua yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
7.
Menjunjung Tinggi Harga Diri Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan. Penerapan : a.
Umum Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik didalam maupun di luar pengadilan.
69
b.
Aktivitas Bisnis 1) Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim. 2) Seorang
hakim
keluarganya
wajib
tidak
ikut
menganjurkan dalam
kegiatan
agar yang
anggota dapat
mengekploitasi jabatan hakim tersebut. c.
Aktivitas Lain Hakim dilarang menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. 1) Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika: a)
Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan.
b) Memberikan nasihat hokum cuma-cuma untuk anggota keluarga atau teman sesama hakim yang tengah menghadapi masalah hukum. 2) Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas dipertintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain. 3) Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan
70
jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim. 4) Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. d.
Aktivitas Masa Pensiun Mantan
Hakim
dianjurkan
dan
sedapat
mungkin
tidak
menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktek di Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim. 8.
Berdisiplin Tinggi Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk
menjadi
teladan
dalam
lingkungannya,
serta
tidak
mendalami
serta
menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Penerapan : a.
Hakim
berkewajiban
mengetahui
dan
melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat
71
menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan. b.
Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
c.
Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.
Ketua
Pengadilan
atau
Hakim
yang
ditunjuk,
harus
mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan. 9.
Berperilaku Rendah Hati Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
72
Penerapan : a.
Pengabdian Hakim
harus
melaksananakan
pekerjaan
sebagai
sebuah
pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. b.
Popularitas Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.
10. Bersikap Profesional Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
73
Penerapan : a.
Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
b.
Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.
c.
Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya diatas kegiatan yang lain secara profesional.
d.
Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya, diakses pada tanggal 26 september 2013(http://www.badilag.net/data/Keputusan_MA/Kode%20Etik %20&%20Pedoman%20Perilaku%20Hakim.pdf.)
74
BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa 1. sejarah berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa Pengadilan Agama Ambarawa adalah Pengadilan Agama yang berada di wilayah kabupaten Semarang. Sejak hampir 5 abad yang lalu dimasa Pajang Mataram, Kabupaten Semarang telah ada, dan waktu itu yang menjadi ibukota adalah Semarang. Pada jaman itu “GEMENTE (Kotapraja) Semarang belum terbentuk. Sebagai Bupati Semarang yang pertama adalah KI PANDAN ARANG II atau dikenal sebagai RADEN KAJI KASEPUHAN yang dinobatkan pada tanggal 2 Mei 1547 dan berkuasa hingga tahun 1574 serta mendapat pengesahan Sultan Hadiwijaya. Pada masa itu beliau berhasil membuat bangunan yang dipergunakan sebagai pusat kegiatan Pemerintah Kabupaten. Ringkasnya sampailah pada tahun 1906 yaitu pada jaman Pemerintahan
Bupati
R.M.
SOEBIJONO,
lahirlah
“GEMENTE
(Kotapraja)” Semarang, sesuai Staatblaad tahun 1906 S.O 120. Pemerintah Kabupaten Semarang dipimpin oleh seorang Bupati dan Pemerintah Kotapraja untuk wilayah Semarang dipimpin oleh seorang Burgenmester. Sejak itulah terjadi pemisahan antara Kabupaten Semarang dengan Kotapraja Semarang hingga saat ini. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 1950 Tentang Pembentukan Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa
75
Tengah, Kota Semarang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Semarang, namun kota Semarang adalah Kotamadya yang memiliki Pemerintahan sendiri. Pada saat berdirinya Kabupaten Semarang Pengadilan Agama untuk wilayah hukum Kabupaten Semarang belum terbentuk, oleh karenanya para pencari keadilan di wilayah Kabupaten Semarang yang akan mengajukan perkara harus ke Pengadilan Agama Salatiga, karena wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Ditinjau dari segi Pemerintahan, Kota Semarang sebagai ibukota Kabupaten sangatlah kurang menguntungkan, maka timbullah gagasan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Semarang ke Kota Ungaran yang pada saat itu masih dalam status Kawedanan. Sementara dilakukan pembenahan, pada tanggal 30 juli 1979 oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Semarang diusulkanlah ke Pemerintah Pusat melalui Gubernur, agar Kota Ungaran secara definitif ditetapkan sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang. Sementara itu telah terbentuk Pengadilan Negeri yang terletak di Ambarawa sehingga disebut Pengadilan
Negeri
Ambarawa.
Dalam
perjalanannya
kemudian
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : 96 tahun 1982 maka dibentuklah Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan sebutan Pengadilan Agama Ambarawa karena menyesuaikan dengan penyebutan Pengadilan Negeri, namun Pengadilan Agama berkedudukan
76
di Kota Ungaran. Selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1983 Tentang Penetapan Status Kota Ungaran sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang, yang berlaku peresmiannya tanggal 20 Desember 1983 pada saat Pemerintahan Bupati Ir.Soesmono Martosiswojo ( 1979-1985 ), maka Kota Ungaran secara definitif sebagai Ibukota Kabupaten Semarang. Oleh karena Ibukota Semarang telah dipusatkan di Ungaran, maka berangsur-angsur semua instansi pindah ke Kota Ungaran, termasuk Pengadilan Negeri Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : 14.03.AT.01.01 Tentang Pemindahan Pengadilan Negeri Ambarawa ke Kota Ungaran dengan sebutan Pengadilan Negeri Ungaran dengan wilayah hukum sebagaimana wilayah Kabupaten Semarang. Namun tidak demikian halnya dengan Pengadilan Agama Ambarawa. Pengadilan Agama tetap bernama Pengadilan Agama Ambarawa meskipun berada di Kota Ungaran, dan wilayah hukumnya tidak sebagaimana Pengadilan Negeri, yaitu sesuai dengan SK Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1983 Tentang Penetapan dan Perubahan wilayah hukum Pengadilan, bahwa Pengadilan Agama Ambarawa adalah meliputi sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dan sampai sekarang telah mengalami pengembangan menjadi 10 Kecamatan, yaitu : 1) Kecamatan Ungaran Barat; 2) Kecamatan Ungaran Timur;
77
3) Kecamatan Bergas; 4) Kecamatan Pringapus; 5) Kecamatan Bawen; 6) Kecamatan Ambarawa; 7) Kecamatan Sumowono; 8) Kecamatan Banyubiru; 9) Kecamatan Jambu; 10) Kecamatan Bandungan; Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati sebuah gedung yang terletak di Jln. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2 Ungaran, dengan luas tanah 1.009 m2 dan luas bangunan 250 m2 dengan status Hak Milik Negara (Departemen Agama) yang diperoleh dari Bagian Proyek Pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Ambarawa, dengan Berita Acara tertanggal 7 Nopember 1985 Nomor: Bagpro/PA/105/ XI/1985. Dalam perkembangannya Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran kemudian dipindah ke Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 46/BUA-PL/S-KEP/XII/2006, tanggal 13 Desember 2006 Tentang Pengalihan Fungsi Penggunaan Bangunan Kantor Lama Pengadilan Negeri Ungaran di Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan Agama Ambarawa, yang ditindak lanjuti dengan penyerahan sertifikat tanah sesuai berita acara serah terima tanggal 14 April tahun 2008, maka diserahkanlah sertifikat tanah Hak Pakai Nomor 11 Tahun 1996 Luas
78
tanah 3.948 M2 dengan nama Pemegang Hak Departemen Kehakiman RI Cq Pengadilan Negeri Ambarawa yang terletak di Jl. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa yang telah dialihfungsikan berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 186/PMK.06/2009, No. 24 Tahun 2009 tgl 18/II/2009 (DI. 208 3209 tgl 28 Februari 2013, DI 307 6310 tgl 28 Februari 2013) atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Mahakamah Agung RI, dengan batas-batas sebagai berikut : -
Sebelah Utara : Lapangan;
-
Sebelah Timur : Jalan ke Lapangan;
-
Sebelah Selatan : Jalan raya Semarang-Magelang;
-
Sebelah Barat : Kebun milik perorangan; Sejak berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa sudah melalui
beberapa periode kepimpinan, sebagai berikut : 1) Drs. H. AHMAD AHRORY, SH ( Tahun 1983 - 1987 ); 2) Drs. H. ALI MUCHSON, SH ( Tahun 1987 - 1988 ); 3) Drs. H. MAFRUCHIN ISMAIL, SH ( Tahun 1988 - 1997 ); 4) Drs. H. ZUBAIDI, SH ( Tahun 1997 - 2000 ); 5) Drs. H. SUTJIPTO, SH ( Tahun 2000 - 2003 ); 6) Drs. H. SLAMET DJUFI, SH ( Tahun 2003 - 2004 ); 7) Drs. H. NOORSALIM, SH, MH ( Tahun 2004 - 2007 ); 8) Dra. Hj. ROKHANAH, SH, MH ( Tahun 2007 - 2011 );
79
9) Drs. MASTHUR HUDA, SH. MH. ( Tahun 2011 - sekarang ). 2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa Penulis paparkan struktur organisasi Pengadilan Agama Ambarawa beserta nama-nama yang menduduki dalam jabatan tersebut. Ketua
: Drs. Mastur Huda, SH, MH
Wakil ketua
: Drs. H. Abdul Syukur, SH, MH
Hakim-hakim
: Drs. H. Fuad : Drs. Salim, SH, MH : H. Abdul Khaliq, SH, MH : Drs. Syamsuri
Panitera
: Subandrio, SHI
Wakil Panitera
: Dra. Farkhah
Panitera Muda Hukum
: Mu‟asyarotul Azizah, SH
Panitera Muda Gugatan
: Saefudin, SH
Panitera Muda Pemohonan
: Muhammad Adib Fajrudin, S.Ag
Panitera Penganti
: Dra. Hj. Siti Zulaikhah : Masykuri, SH : Siti Novida Subiyanti, SH : Hj. Dahlia, SH
Juru Sita
: Rahmanto
Juru Sita Penganti
: Muhammad Yusuf Perdana, SH : Gogod Widiyantoro, SH : Ana Jatmikowati, SPd
80
: Nailatussa‟adah, Amd : Saiful Rijal, Amd : Adnani Kaur Kepegawaian
: Siti Khalimah, SH
Kaur Umum
: Muflih Bahaudin
Kaur Keuangan
: Aulia Ardiansyah Suhaeli, SH.
(www.PAambarawa.go.id) B. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 20 april 2012 telah menyelesaikan dan menjatuhkan penetapan perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/ PA.Amb yang mana perkara ini dijadikan dasar obyek penelitian penulis. 1.
Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Surat permohonan Ijin poligami perkara No. 0030/Pdt.G/2012/ PA.Amb yang diajukan oleh Tri Basuki Bin Solaeman adalah sebagai berikut: Tri Basuki Bin Solaeman, berumur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan pengelola bengkel elektronik, bertempat tinggal di Jalan Diponegoro Gg Kenanga V/3 RT.004 RW.002 Kelurahan Genuk, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Pemohon, Melawan Emilia Binti Abdullah Thorieq, berumur 43 tahun, agama, Islam, pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja), tempat kediaman di Jalan Diponegoro GG Kenangan V / 3 RT.004 RW. 002 Kelurahan Genuk, 81
Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Termohon. Posita: a.
Pemohon telah melangsungkan akad nikah dengan Termohon pada tanggal 27 Desember 1992 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, yang terdaftar sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 642/64/XII/1992.
b.
Setelah menikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal kadang di rumah orang tua Pemohon di ungaran dan kadang di rumah orang tua Termohon di Ungaran selama 3 tahun kemudian tinggal di rumah kontrakan di Kendal selama 4 tahun kemudian tinggal di rumah kontrakan di Ungaran selama 3 tahun dan terakhir tinggal di rumah kediaman bersama dengan alamat sebagaimana tersebut di atas selama 9 tahun, selama pernikahan Pemohon dan Termohon telah hidup rukun dan dikaruniai 2 orang anak yang masing-masing bernama Mochammad Irfan bin Tri Basuki, berumur 18 tahun dan Lukman Hakim bin Tri Basuki berumur 16 tahun.
c.
Pemohon hendak menikah lagi (Poligami) dengan seorang perempuan bernama: Nuryanti binti sujono, umur 33 tahun, Agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja) bertempat tinggal di Lingkungan Rejosari RT.008 RW.002 Kelurahan Genuk, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
82
d.
Maksud Pemohon beristri lagi tersebut karena isteri Pemohon sudah tidak dapat melahirkan keturunan sebab isteri pemohon sudah melahirkan 2 orang anak dengan cara caesar, sedang Pemohon masih menginginkan anak karena menurut Syari‟at Islam, nabi senang kalau umatnya banyak, oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila pemohon tidak melakukan poligami.
e.
Untuk menjamin kehidupan rumah tangga, Pemohon bersedia berlaku adil terhadap istri istri pemohon, dan pemohon mampu memenuhi kebutuhan istri istri pemohon karena pemohon bekerja sebagai pengelola bengkel elekktrik di Ungaran dan mempunyai penghasilan setiap bulan rata-rata sebesar Rp.3.500.000,- (Tiga juta lima ratus ribu rupiah).
f.
Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua tidak ada halangan untuk menikah dan Termohon tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut.
g.
Bahwa Calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama pemohon dan Termohon.
h.
Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon isteri kedua tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon.
83
Berdasar hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Bapak ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar membuka sidang dan kemudian menetapkan sebagai berikut: Primer: a.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
b.
Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti binti Sujono;
c. 2.
Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada Pemohon;
Proses Penyelasaian Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Majlis Hakim yang menangani perkara No. 0030/Pdt.G/2012/ PA.Amb telah memanggil kedua belah pihak untuk menghadap ke persidangan dan kedua belah pihak hadir dipersidangan, kemudian Majlis Hakim berusaha mendamaikan dan mengupayakan mediasi dan Drs. H Fuad, Hakim Pengadilan Agama Ambarawa sebagai mediatornya, dan sesuai laporan tanggal 06 februari 2012 dinyatakan bahwa mediasi terhadap Pemohon dan Termohon tidak berhasil, sehingga pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan Pemohon dan selanjutnya Pemohon dipersidangan menyatakan ada perubahan atau penambahan dalam permohonan tersebut yang pada pokoknya sebagai berikut: a.
Bahwa pada posita nomor 3 pemohon hendak menikah diperbaiki menjadi telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono
84
di Semarang pada tanggal 3 Juni 2000 dengan wali nikah ayah kandung dengan disaksikan oleh 2 orang saksi Haryanto bin Abdul Kodir dan Budiono bin Nur Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan lain yang hadir saat itu; b.
Bahwa saat itu Pemohon berstatus beristeri dan Nuryanti berstatus perawan;
c.
Bahwa antara Pemohon dengan Nuryanti tidak ada hubungan keluarga sedarah atau sepersusuan, demikan juga dengan Termohon;
d.
Bahwa dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 4 orang anak;
e.
Bahwa berdasar hal tersebut Pemohon memohon kepada Majlis Hakim agar mengesahkan perkawinan pemohon dengan Nuryanti binti Sujono; Dalam persidangan Termohon telah memberikan jawaban,
bahwa Termohon tidak keberatan dengan perubahan atau tambahan tersebut. Termohon mengakui dan membenarkan semua dalil permohonan Pemohon, atas keinginan Pemohon berpoligami Termohon sudah dari dulu tidak keberatan dan mengijinkan Pemohon beristeri lagi dengan Nuryanti binti Sujono, dan Termohon membenarkan bahwa Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 bahkan Termohon ikut menghadirinya kemudian membenarkan pula bahwa atas pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono telah dikaruniai 4 orang anak. Dan
85
termohon menyatakan tidak pernah ada masalah dan akur-akur saja dengan Nuryanti isteri kedua pemohon. Dalam persidangan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti binti Sujono memberikan keterangan bahwa betul ia telah nikah sirri dengan Pemohon pada tanggal 3 juni 2000, bertindak sebagai wali nikah sekaligus yang menikahkan adalah ayah kandung dari Nuryanti sendiri dengan disaksikan oleh Haryanto bin Abdul kodir dan Budiono bin Nur Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan yang hadir pada saat itu, dan pernikahanya dengan Pemohon tersebut telah dikaruniai 4 orang anak. Calon isteri kedua tersebut juga menyatakan bahwa Pemohon memiliki bengkel service electronic dengan penghasilan sekitar Rp.200.000,- perhari dan itu sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup Pemohon dengan keluarganya. C. Dasar
Pertimbangan
Hukum
Hakim
dalam
Putusan
No.
0030/Pdt.G/2012/ PA.Amb Majlis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengungkapkan bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana yang telah diuraikan dalam surat permohonan. Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hukum hakim terhadap putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb antara lain sebagai berikut:
86
a.
Menimbang, bahwa pengakuan calon isteri kedua yang diucapkan di hadapan Hakim dalam persidangan adalah mempunyai nilai pembuktian sempurna, sebagaimana dimaksud bunyi pasal 174 HIR;
b.
Menimbang, bahwa berdasar pengakuan calon isteri kedua yang dibenarkan oleh
Pemohon dan
Termohon di
hadapan
Hakim
dipersidangan, menunjukan adanya kesepakatan dan kesanggupan dari para
pihak
serta
isteri
kedua
Pemohon
untuk
tidak
akan
mempermasalahkan, oleh karenanya pemeriksaan perkara a quo dapat dilanjutkan; c.
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perkara ialah Pemohon mohon diijinkan berpoligami dengan Nuryanti binti Sujono dengan alasan-alasan seperti telah diuraikan pada bagian duduk perkaranya yang secara formal telah memenuhi sebuah surat permohonan;
d.
Menimbang, bahwa Termohon mengakui membenarkan dan tidak membantah terhadap dalil permohonan Pemohon, sehingga dari dalildalil yang telah diakui dan tidak dibantah tersebut diperoleh fakta sebagai berikut: 1)
Bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan suami isteri yang menikah pada tanggal 27 Desember 1992 di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang dengan kutipan Akta Nikah Nomor :642/64/XII/1992, tanggal 28 Desember 1992;
87
2)
Bahwa selama perkawinan antara Pemohon dengan Termohon telah rukun baik, dan telah dikaruniai 2 orang anak;
3)
Bahwa pemohon dengan dukungan dan ijin Termohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 di Semarang yang sekarang sudah dikaruniai 4 orang anak;
4)
Bahwa Pemohon bekerja dan memiliki penghasilan Rp.3.500.000,perbulan dengan penghasilan tersebut ternyata dapat mencukupi kebutuhan hidupnya;
e.
Menimbang, bahwa meskipun dalil permohonan Pemohon telah diakui dan dibenarkan oleh Termohon serta pengakuan tersebut dapat dinyatakan telah terbukti kebenaranya, sebagaimana dimaksud bunyi pasal 174 HIR, Majlis Hakim berpendapat untuk lebih menyakinkan Hakim perlu adanya beban bukti terhadap Pemohon;
f.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonanya Pemohon telah mengajukan bukti surat P.1 sampai dengan P.10 dan 4 orang saksi;
g.
Menimbang, bahwa bukti-bukti tersebut adalah berupa surat atau akta otentik, karena dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang, yang isinya menerangkan dan berhubungan langsung dengan apa yang didalilkan oleh Pemohon dalam surat permohonanya dan bukti-bukti surat tersebut telah dinazegelen dan telah dicocokan dengan aslinya, Majlis Hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan
88
pembuktian yang sempurna dan mengikat (vide Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo. Pasal 165 HIR) h.
Menimbang, bahwa dari bukti P.1 dan P.3 berupa foto copy KTP atas nama Pemohon dan Termohon terbukti bahwa Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, dengan demikian Pengadilan Agama Ambarawa berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan ijin poligami yang Pemohon ajukan (Vide Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989)
i.
Menimbang, bahwa bukti P.2 berupa foto copy Kutipan Akta Nikah atas nama pemohon dan Termohon, memperkuat fakta bahwa Pemohon dan Termohon terikat dalam perkawinan yang sah dan oleh karenanya pula Pemohon dan Termohon memiliki kualitas hukum untuk menjadi pihak dalam perkara a quo;
j.
Menimbang, bahwa untuk melakukan poligami hendaknya dipenuhi alasan alternative dan syarat komulatif sebagaimana yang dikehendaki peraturan perundang-undangan.
k.
Menimbang, bahwa yang menjadi alasan pemohon untuk beristeri lagi adalah karena termohon sudah tidak dapat mendapatkan keturunan lagi, dan alasan tersebut dibenarkan oleh Termohon dan dengan dukungan dan ijin Termohon, Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 8 Juni 2000 di Semarang dan sekarang sudah dikaruniai 4 orang anak;
89
l.
Menimbang, bahwa berkaitan syarat komulatif, dengan bersandar pada bukti P.4 berupa surat pernyataan bersedia berlaku adil terhadap isteriisterinya dan ditanda tangani oleh Pemohon, mempunyai makna dan tangung jawab yang besar dan mengikat bagi seorang suami yang hendak berpoligami, sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) huruf (c) Undangundang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, jo Pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam;
m. Menimbang, bahwa bukti P.5 berupa surat pernyataan Termohon tidak keberatan untuk dimadu yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon dan Termohon, adalah merupakan kesanggupan atau kesediaan bagi seorang isteri untuk dimadu dan sekaligus menunjukan kerelaanya, dan ini telah terjadi pada diri termohon sehingga telah memenuhi bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam; n.
Menimbang, bahwa bukti P.6 Surat Keterangan Penghasilan Tetap perbulan sebesar Rp.3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon, menunjukan bahwa Pemohon dinilai mampu bertanggung jawab secara ekonomi dan akan menjamin kelangsungan kehidupan terhadap isteri-isterinya, sehingga telah memenuhi bunyi pasal 5 ayat 1 huruf (b) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam;
90
o.
Menimbang, bahwa disamping alat-alat bukti diatas, dipersidangan Majlis hakim juga telah mendengarkan isteri kedua Pemohon serta 4 orang saksi bernama BURHANUDIN bin SUDARTONO, UDSAINI bin TASLIM, HARYANTO bin ABDUL KODIR dan BUDIONO bin H. NUR ROHMAT yang keteranganya sesuai duduk perkaranya;
p.
Menimbang, bahwa keterangan saksi tersebut sesuai apa yang dilihat dan didengar serta yang dialami dan saling bersesuaian, oleh karena itu patut diyakini bahwa para saksi tersebut adalah mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon, dan kesaksian para saksi tersebut telah sesuai dengan maksud Pasal 172 HIR, Sehingga dapat diterima untuk dipertimbangkan;
q.
Menimbang, bahwa disamping mohon diijinkan poligami, Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono yang dilaksanakan di Semarang tanggal 3 juni 2000 juga disahkan, lebih lanjut Majlis hakim akan mempertimbangkan;
r.
Menimbang, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, Pemohon disini beragama Islam sehingga perkawinanya harus sesuai dengan hukum Islam, dan untuk itu Majlis akan mempertimbangkan;
s.
Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi, antara pemohon, termohon, dan isteri kedua Pemohon tidak ada hubungan keluarga baik itu hubungan sedarah, semenda, ataupun sepersusuan, dan saat nikah Pemohon dan isteri kedua Pemohon berumur lebih dari ketentuan
91
sebagaimana Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974, dan terhadap pernikahan dengan isteri kedua ini telah dipertimbangkan diatas, sehingga syarat pernikahan tersebut telah dipenuhi; t.
Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh pemohon dan termohon, pemohon dan Nuryanti binti Sujono dinikahkan oleh ayahnya (wali mujbir) dengan ijab qobul yang disaksikan oleh 2 orang saksi yang sekarang menjadi (saksi ke 3 dan saksi ke 4 perkara ini) beserta tamu yang undangan lainya dengan mahar yang telah dibayar tunai, sehingga rukun nikah sebagaimana Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi;
u.
Menimbang, bahwa Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono yang dilaksanakan di Semarang tanggal 3 Juni 2000 yang hingga sekarang telah melahirkan 4 orang anak yang berdasar bukti P.7 sampai dengan P.10 anak tersebut masing-masing bernama: 1) Salman alauddin fawwaz, lahir di semarang tanggal 3 Februari 2002; 2) Syadza Zahidda, lahir di Semarang tanggal 17 januari 2004; 3) Nudiya Millatina, lahir di Semarang tanggal 26 Juli 2006 4) Syarif Umar Abdurrahman, lahir di Semarang tanggal 14 januari 2012;
v.
Menimbang, bahwa Nuryanti binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon dan anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dari Negara sebagaimana pasal 28-D Undang-Undang Dasar 1945.
92
Disamping kepastian hukum dan keadilan seperti tersebut, pembentukan hukum juga dimaksudkan untuk kemanfaatan, dan isbat nikah dirasa sangat bermanfaat bagi Pemohon dan terlebih bagi anak-anak Pemohon dengan isteri keduanya; w. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor: W.II-A/863/HK.00.8/III/2012 tanggal 19 Maret 2012 angka 5 “b” pernikahan tersebut telah terpenuhi syarat dan rukunya, sehingga pernikahanya adalah sah, dan oleh karena belum dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka pernikahan tersebut dapat diisbatkan. Dan diperintahkan kepada Pemohon untuk mencatatkan pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang; x.
Menimbang, bahwa terhadap keempat orang anak Pemohon oleh karenanya telah diisbatkan, maka anak tersebut lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, maka berdasarkan pasal 42 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, anak tersebut adalah anak sah dari Pemohon (Tri Basuki Bin Solaeman) dengan isteri keduanya yang bernama Nuryanti bintiu Sujono;
y.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majlis Hakim berpendapat permohonan pemohon dapat dikabulkan;
z.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam lingkup perkawinan, maka berdasarkan Pasl 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
93
Tentang Peradilan agama yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009, semua biaya yang ditimbulkan oleh perkara ini dibebankan kepada Pemohon. Dan dengan mengingat segala peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum Islam yang bersangkutan dengan perkara ini, Majlis Hakim menjatuhkan putusan yang berbunyi: MENGADILI a.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
b.
Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon Tri Basuki bin Solaeman, untuk berpolgami dengan seorang perempuan bernama Nuryanti binti Sujono;
c.
Menetapkan pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 adalah sah;
d.
Memerintahkan Pemohon untuk mencatatkan pernikahanya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang;
e.
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang sebesar Rp.391.000,-(tiga ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah)
94
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami oleh Hakim Perkara yang diputuskan di Pengadilan harus mempunyai alasan atau dasar-dasar yang jelas, majelis hakim butuh pembuktian tersebut untuk bisa memutuskan perkaranya. Di dalam pasal 62 ayat (1) Undangundang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam memutus perkara permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama, Majelis Hakim memerlukan berbagai pertimbangan. Agar nantinya putusan yang diberikan itu adil dan bijaksana. Seperti pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa mengenai beberapa perkara permohonan Isbat Nikah sebagai berikut: 1. Permohonan dikabulkan Suatu permohonan di kabulkan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Berdasarkan Fakta-fakta hasil persidangan, hakim akan melihat apakah tata cara pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan
95
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 b. Permohonan telah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 4 dan 7 ayat (3) KHI. c. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dari keterangan pemohon, surat bukti, dan keterangan saksi-saksi yang salaing berkaitan. 2. Permohonan tidak diterima a. Surat bukti tidak terbukti b. Alasan isbat nikah seperti dalam pasal 7 ayat 3 KHI tidak terpenuhi. 3. Permohonan di cabut oleh Pemohon a. Pemohon memohon kepada majelis hakim untuk dapat mencabut permohonannya. b. Permohonan pencabutan tersebut dilakukan oleh pemohon sebelum pemerikasaan pokok perkara. Adapun pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan Isbat Nikah dalam rangka Poligami Pemohon dengan isteri kedua pemohon Nuryanti Binti Sujono adalah: 1. Berdasar bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
96
2. Bahwa Tri Basuki Bin Solaeman dalam pernikahannya dengan Nuryanti Binti Sujono selaku istri kedua telah mendapat ijin dari Emilia Binti Abdullah Thorieq selaku isteri pertama yang dibuktikan dengan surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu yang dibuat dan ditanda tangani oleh Tri Basuki Bin Solaeman dan Emilia Binti Abdullah Thorieq adalah merupakan kesangupan atau kesediaan bagi seorang isteri untuk dimadu dan sekaligus menunjukan kerelaanya 3. bahwa Nuryanti Binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan Anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dari Negara sebagaimana pasal 28-D Undang-undang Dasar 1945, oleh karena telah diisbatkan maka anak tersebut merupakan anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Selain itu menurut Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Bapak Drs. Syamsuri putusan ini berdasar maslahah mursallah yaitu sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia. Dari beberapa dasar pertimbangan Majlis Hakim tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa perkawinan Pemohon dengan isteri kedua Pemohon yang dilakukan secara sirri pada tanggal 03 Juni tahun 2000 oleh Majlis Hakim dianggap sah padahal pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Perkawinan mengandung sirri karena sesorang
menyembunyikanya.
97
Sesuatu
yang
dengan
sengaja
disembunyikan, tidak dilaporkan atau dengan sengaja tidak dicatatkan di kantor Urusan Agama (KUA) berkecenderungan mengandung arti menyimpan masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini seharusnya diperhatikan oleh Majlis Hakim. Selain itu mengingat salah satu prinsip yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan pada pejabat pencatat perkawinan, maka hal ini akan berhubungan erat
dengan sahnya
perkawinan.
mengenai sahnya
perkawinan, maka penting untuk melihat ketentuan dalam pasal 2 pada undang-undang tersebut. Dalam perumusan pasal 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut, jelas dirumuskan bahwa: a. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu; b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut, maka pemerintah akan
segera
mengetahui,
apakah
ada
pelanggaran
syarat-syarat
perkawinan, dan apabila ada, maka yang berkepentingan dapat mengambil tindakan-tindakan hukum demi untuk meniadakan ikatan perkawinan tersebut atau untuk memperbaiki lagi. Maka seharusnya perkawinan memperhatikan dua aspek, yaitu harus memperhatikan hukum Negara dan hukum agama, Hukum Negara
98
dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang harus diterapkan secara bersama dan sejalan. Artinya tidak dipertentangkan dan tidak dipergunakan untuk saling menyelundupi satu terhadap yang lainnya. Dapat dibayangkan apabila hanya dilakukan dengan melihat pada aspek agama saja, maka dapat dipastikan suami dalam hal ini dapat dengan mudah akan melakukan kesewenang-wenangan dalam perkawinan, tanpa memperhatikan kewajibanya yang harus dipenuhi terhadap isteri maupun anak dari perkawinan terdahulu. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan ini pula, maka bagi mereka yang tunduk pada ketentuan hukum islam, terdapat pengaturan yang perlu juga dicermati yakni dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang merumuskan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini ada ketentuan yang perlu diperhatikan juga, yaitu jika ternyata dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Istbat nikah yang dimaksudkan tidak serta merta dapat dilakukan, karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Bahwa Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
99
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974. Hakim Pengadilan Agama ambarawa Drs. Syamsuri yang penulis wawancarai pada tanggal 12 september 2013 mengatakan bahwa pernikahan sirri tersebut sah karena dilakukan sesuai agama Islam, oleh karena belum dicatatkan maka bisa diisbatkan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa alasan bisa diisbatkan karena perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Padahal jelas perkawinan sirri tersebut melangar ketentuan Undang-undang, sehingga Putusan Majlis Hakim yang mengesahkan perkawinan sirri Pemohon Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono pada tanggal 3 Juni tahun 2000 menurut penulis ditinjau dari hukum Negara tidak tepat, sebab melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa: seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal (4) Undang-undang ini. Sementara
Pemohon saat itu sudah
beristerikan Termohon Emilia Binti Abdullah Thorieq. Hal ini juga dapat menimbulkan persepsi-persepsi negative dalam masyarakat, sisi negative ini juga akan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
100
untuk mempermudah urusan pernikahan. Mereka akan berpikir akan menikah terlebih dahulu tanpa dicatatkan, nantipun bisa diisbatkan. Putusan Majlis Hakim ini tidak menjawab bagaimana hukum sebagai alat penggerak sosial kemasyarakatan dapat
mendorong
masyarakat untuk menempatkan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan dihormati. B. Analisis Terhadap Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah dalam Rangka Poligami oleh Hakim Dalam menyelesaikan suatu perkara, Hakim akan memutuskan dengan memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi apa yang dituntut (ultra petita) dengan pertimbangan yang memperhatikan 3 (tiga) unsur : 1.
Rasa keadilan (justice)
2.
Kepastian Hukum (legal certainity)
3.
Manfaat (utility) Dalam memenuhi ketiga unsur tersebut majelis hakim harus
memenuhi kaidah-kaidah yang sudah digariskan dalam undang-undang dan peraturan yang ada dan hukum syar‟i yang berkaitan dengan perkara yang diajukan, maka fungsi peradilan dalam menggali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan. Karena salah satu tugas yustisial hakim adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat pencari keadilan. Perkara pemohonan ijin poligami pemohon Tri Basuki bin Sulaiman perkara No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. telah diselesaikan oleh
101
majlis
hakim
dengan
dikeluarkanya
putusan
No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. yang menerima ijin poligami Pemohon Tri Basuki bin Solaiman, menetapkan pernikahan sirri Pemohon dengan isteri kedua Pemohon sebagai pernikahan yang sah sekaligus mengesahkan status anak hasil pernikahan sirri tersebut sebagai anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Putusan hakim yang mengesahkan Pernikahan sirri Pemohon dengan Nuryanti Binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 bertentangan dengan Undang-undang, karena Pemohon dalam melakukan pernikahan dengan Nuryanti Binti Sujono telah bersetatus sebagai suami dari Termohon yang bernama Emilia Binti Abdullah Thorieq. Sehingga disini terjadi perkawinan poligami sedemikian perlu dilihat ketentuan di dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) yang berbunyi” Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan”. selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuh, maka perkawinan tersebut tidak sah. Selain itu juga dalam pasal 7 ayat (3) huruf (d)
102
menyatakan adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dimana perkawinan Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono dilakukan pada tanggal 3 Juni tahun 2000. Sementara perkawinan yang sah sesuai bunyi pasal 2 Undangundang No 1 tahun 1974 adalah: 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut tidak dapat dipisahkan, apabila yang satu lepas maka yang lain berkurang kekuatanya atau bahkan hilang sama sekali, seperti juga halnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak penafsiran Al Quran Surat Al Nisa ayat (3) yang menentukan prinsip perkawinan menurut islam itu adalah monogami, bilamana Qur‟an Surat Al Nisa ayat (3) itu dipisahkan secara mutlak maka dapat kita simpulkan bahwa prinsip (asas) perkawinan menurut Islam adalah poligami yaitu dua, tiga atau empat isteri untuk seorang laki-laki, tanpa melihat syarat-syarat yang mengikutinya atau penafsiranya.
103
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan isbat nikah dikarenakan seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap perkawinan tersebut. Isbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan pencatatan dan masa depan anak dan hakim melihat pada aspek “Dar‟ul mafaasidi muqaddamun a‟la jalbil mashalihi”
2.
Dasar hukum Majlis Hakim dalam mengesahkan pernikahan dalam perkara ijin poligami No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb adalah karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga setiap perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut meskipun tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat pernikahan tetap bisa dianggap sebagai perkawinan yang sah yang kemudian hari dapat diisbatkan.
104
B. Saran-saran 1.
Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah ataupun pejabat yang berwenang mengenai Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama
mengenai keharusan mencatatkan setiap
pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) pada semua Masyarakat 2.
Untuk Hakim Pengadilan Ambarawa dalam memutus perkara yang serupa dengan perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb hendaknya para hakim cermat dalam mempertimbangkan dasar hukumnya sehingga sesuai dengan rasa keadilan bagi semua pihak.
3.
Dan perlu adanya aturan kedepan, bagi yang menikah di bawah tangan harus dikenakan sanksi untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku agar tidak menimbulkan dampak-dampak negatif dikemudian hari.
C. Penutup Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat taufik, hidayah dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan betapapun penulis berharap tulisantulisan yang ada dalam skripsi ini terbebas dari kekurangan dan kesalahan, tetapi kekurangan dan kesalahan itu pasti ada, karena itu penulis berharap saran dan kritik yang membangun sehingga dapat menambah keilmuan penulis. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa memberi manfaat. .
105
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan terjemahannya Abdurrahman dan syahrini. 2001. Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) Ali, Mohammad Daud. 2002 Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunnah Jilid VI. Bandung : PT Alma‟arif. Undang-Undang Perkawinan. Tt. Sursbaya: Arkola Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. 2001. Himpunan peraturan perundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama. Jakarta: Departemen Agama RI Khalaf, Abdul Wahab. 2002. Ilmu ushul al-Fiqh, Jakarta: majlis al-A‟la alIndonesiya li al-da‟wah al-Islamiyah Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Rosyadi. Hanafi. 1995. Kamus Indonesia-Arab. Jakarta: Rineka Cipta. Munawir, Achmad Warson. Muhammad Fairus. Al-munawir Kamus ArabIndonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Syarifudin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di ndonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Subekti. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jakarta : PT Pradnya Paramita. Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers Soejono, Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers Suharsimi, Arikunto. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Tatang, M. Arifin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pres Shihab, Quraish. 1999. Wawasan Alquran. Cet IX. Jakarta. Tp Nasution, Khairudin. 2002. Status wanita di Asia Tenggara: studi terhadap perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakrata-leiden : INIS. Nurudin, Amiur, Azhari Akmal Tarigan. 2006 Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana. Ali, Zainudin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan/Nikah Sirri, http://dispendukcapil.banyuwangikab.go.id/ index.php?option=com Akibat hukum dari nikah sirri, http://irmadevita.com/2013/akibat-hukum-darinikah-siri Panduan Isbat Nikah, www.pekka.or.id/.../docs/PANDUANISBATNIKAH.doc www.bimasIslam.kemenag.go.id www.PAambarawa.go.id
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Acmad Kurniawan…… anak ke-3 dari tujuh bersaudara yang lahir 30 tahun yang lalu di Lemahmendak RT 02 RW 03 Desa Karangkepoh, Kecamatan Karanggede, Kabupaten Boyolali, tepatnya…….. pada hari jum‟at, tanggal 25 November 1983 dari pasangan suami istri, Paimin dan Nur Hidayah, Achmad Kurniawan…. menyelesaikan pendidikan Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Al-Ma‟arif Karangkepoh Pada Tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat pertama di Madrasah Tsanawiyah Al-Ma‟arif Karanggede pada tahun 1999, dan menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat atas di Madrasah Aliyah Negeri Boyolali Filial di Karanggede pada Tahun 2002, Dan baru pada tahun 2014 menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.