ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN
TESIS
Oleh AGUSTINA DARMAWATI
K O LA
E
A
S
A S A R JA
N
PA
C
H
S
077011003/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh AGUSTINA DARMAWATI 077011003/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Judul Penelitian
: ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO.691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN Nama Mahasiswa : Agustina Darmawati Nomor Pokok : 077011003 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum) Anggota
(Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn) Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal lulus: 10 Agustus 2009
Telah diuji pada Tanggal: 10 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.
Anggota
:
1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum. 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn. 3. Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, Ph.D. 4. Notaris Hj. Chairani Bustami, SH, Sp.N, M.Kn.
ABSTRAK Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan penghibahan harta bersama (gono gini) oleh orang tua kepada anak sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bersama, dimana hibah itu diperhitungkan sebagai warisan. Harta hibah itu menjadi milik si anak, namun hibah oleh orang tua ini masih dapat ditarik kembali. Sehingga sering terjadi gugatan penarikan atau pembatalan hibah kepada anak di Pengadilan Agama. Selain itu hibah dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis di hadapan dua orang saksi tetapi dalam pelaksanaan hibah itu harus melalui penetapan pengadilan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak, penarikan kembali orang tua yang menghibahkan harta gono-gini, dan kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris. Penelitian ini bersifat analisis deskriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penarikan harta bersama yang dihibahkan kepada anak pada putusan Pengadilan Agama. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada responden dari Pengadilan Agama Medan dan Notaris di Kota Medan. Hasil penelitian menunjukkan akibat hukum harta bersama (gono-gini) yang dihibahkan orang tua kepada anak menurut KHI adalah menjadi milik si anak selama pemberian hibah itu tidak lebih dari sepertiga dan diperhitungkan sebagai warisan, yang mana harta hibah ini masih dapat ditarik kembali. Penarikan/pembatalan hibah itu dari kasus putusan Pengadilan Agama Medan dapat dilaksanakan apabila harta yang dihibahkan kepada anak terbukti tanpa persetujuan dari pihak isteri/suami, atau melebihi sepertiga dari jumlah harta bersama (Pasal 210 KHI). Penarikan ini hanya dapat dilakukan apabila harta hibah tersebut masih ada dalam penguasaan si penerima hibah, karena apabila sudah beralih kepada pihak ketiga maka akan timbul derden verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan. Kekuatan hukum harta hibah yang dibuat dihadapan 2 (dua) orang saksi yang tidak diaktakan di hadapan Notaris menurut KHI adalah sah. Namun dari kasus putusan Pengadilan Agama Medan akta hibah yang tidak diaktakan di hadapan Notaris itu untuk dijadikan alat bukti di depan pengadilan harus terlebih dahulu mendapat penetapan pengadilan. Diharapkan kepada orang tua yang menghibahkan harta bersama kepada anak tetap memperhatikan hak anak yang lain yang juga sebagai ahli waris, sehingga di kemudian hari tidak terjadi gugatan, dan sebaiknya dibuat secara akta Notaris karena akta notaris (akta otentik) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di depan pengadilan. Kepada pemerintah agar meninjau ketentuan KHI yang memberikan opsi hibah dapat secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi secara di bawah tangan, dimana dari kasus-kasus di Pengadilan Agama akta di bawah tangan itu untuk dijadikan alat bukti yang kuat harus dilakukan penetapan pengadilan (legalisasi) terlebih dahulu. Disamping itu, KHI dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden yang secara hirarki di bawah undang-undang, maka mengingat tujuan KHI diterbitkan untuk dapat mengakomodir hukum Islam dalam bentuk kompilasi di Indonesia sebaiknya dibuat dalam bentuk Undang-Undang. Kata kunci: Harta bersama (gono-gini); Penarikan hibah; Akta hibah.
ABSTRACT Compilation of Islamic Law determines the bequest of common property bequeathed by the parents to their child as much as one-third of the total number of the common property and the bequest is regarded as legacy. This legacy becomes the property of the child, but the property bequeathed by the parents can be withdrawn that the claim resulted from the withdrawal or cancellation of the bequest which has been given to the child often occurs in the religious (Islamic) court. In addition, the bequest can be made in an oral or written form before two witnesses but in its implementation the bequest must be through court decision. The purpose of this descriptive analytical study with normative juridical approach is to analyze the legal consequence of the bequest of common property which has been bequeathed by the parents to their child, the withdrawal or cancellation of the bequest by the parents who have bequeathed their common property based on the decision of the religious (Islamic) court, and the legal power of the bequest if it is not certified before a notary. The data for this study were obtained through library study supported by the result of interviewing the respondents from Medan Religious (Islamic) Court and the notary in Medan. The result of this study shows that, according to the Compilation of Islamic Law, the legal consequence of the bequest of common property bequeathed by the parents to their child is that the property bequeathed is owned by the child as long as the property is not more than one-third of the total number of the common property and regarded as legacy, yet the common property bequeathed can still be withdrawn. The withdrawal/ cancellation of the bequest, based on the case of the decision of Medan Religious (Islamic) Court, can be done if there is an evidence that the common property bequeathed to their child is without the agreement of husband/wife, or the property is more than one-third of the total number of the common property (Article 210 of the Compilation of Islamic Law). This withdrawal can only be done f the common property bequeathed is still in the hands of the child who receives the bequest, if the property bequeathed has moved to the third party, there will be a derdenverzet (disagreement/opposition), and if there is an application for confiscation, there will be niet bevinding or the object of the case is found in the field. The legal power of the bequest made before 2 (two) withesses which is not certified before a notary, according to the Compilation of Islamic Law, is legal. But, based on the case of the decision of Medan Religious (Islamic) Court, the bequest certificate which is not certified before a notary must be first decided or legalized by the court before it can be used as an evidence in the court of law. It is expected that the parents bequeathing their common property to their child/children should pay attention to the right of the other child/children because they are also the heirs. To be free from being claimed in the future, the bequest must be made before a notary because the notarial document (authentic act/certificate) has a perfect legal power as an evidence before the court of law. The government is sugested to review the stipulation in the Compilation of Islamic Law which provides an option that a bequest can he made underhanded in oral or written form before two witnesses, and based on the cases found in the Religious (Islamic) Court, to be used as a strong evidence, the underhanded certificate must be first legalized by the court. In addition, the Compilation of Islamic Law was issued in the form of Presidential instruction whose hierarchy is under the law, therefore, since the purpose of the issuance of the Compilation of Islamic Law is to accommodate Islamic Law in the form of compilation in Indonesia, it would be better if it is made in the form of Law. Key words: Common Property, Bequest Withdrawal, Bequest Certificate
KATA PENGANTAR Pertama dan terutama dengan segala puji syukur terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya yang diberikan kepada penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG DIHIBAHKAN
AYAH
KEPADA
ANAK:
STUDI
KASUS
PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn selaku dosen pembimbing, juga kepada dosen penguji Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA. Ph.D, dan Notaris Hj. Chairani Bustami, SH, Sp.N, M.Kn, atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Wakil Direktur serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan, fasilitas dan ijin penelitian yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang memberikan kesempatan, fasilitas dan ijin penelitian sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan. 6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, kakanda Analis Wida Delima. P, Agustining, Gusfaner M Limbong, Vina Verawaty.P, Sondang Anna, Fransiska.S, Asido.S Herli.S, Sabrina, Wira.M, Susianna.S, Sofyan.P, Serli, Natalria.S dan Masda.N, yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan doa dan gairah semangat bagi penulis, baik pada saat penulis mengadakan riset, bimbingan ketempat dosen hujan-hujanan, berpanas-panasan, suka dan duka. Wish you all the best. 7. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Abdul Muthalib,Ahmad Amin, Aldi Subhan L, Bangun P.Nababan, Debora D.C. Gultom, Dina Khairunnisa, Eva Sartika Siregar, Fadilla Agustina, Fadli Aryus, Frans Cory M.Ginting, Heriani, Imelda, Ira Novianti.H, Mahadi, Mahruzar, Mutia Ulfa, Natal Ria Argentina.S, Rita Dyah Widawati, Syukri, Serli Dwi Warmi, Sofyan Perananta Pencawan,
Suarni Zebua, Susianna.S, Vina Verawaty.P, dan Zulfikar, terima kasih atas kekompakannya selama ini dan yang selalu memotivasi. All the best my friend. 8. Kepada seluruh adik-adik di kost, Kitty Irenne.N, Lenny. H, Friska.H, Ardha.H, Siska. S dan Novel. H, terima kasih atas kebaikan kalian selama di kost-an baik suka maupun duka. I miss you . Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda tercinta almarhum Ludin Panjaitan yang telah mendahului kami yang dikasihinya pada tanggal 22 Oktober 2007 dan Ibunda tercinta Sonty. S, yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, dengan doamu, aku melangkah, dengan restumu, aku berjuang, dengan kasih sayang dan airmatamu, aku tegar. Demikian juga kepada Kakanda Ir. Marulitua. P, Sahat Saut. P dan adik-adik penulis tercinta Artinis Nurhazizah.ST, Nurhayati.S.Pd, Yenny Sarliza.Amd.Keb, Fitri Lina.Amd dan Ridarto. P, atas motivasi, doa dan bantuan moril, materil kalian telah dapat diselesaikan tesis ini. Wish you all the best. I love you forever, with love in Christ. Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen. Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Agustina Darmawati
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama
:
Agustina Darmawati, SH
Tempat/ Tgl. Lahir
:
Pekanbaru, 02 Agustus 1973
Alamat
:
Pekanbaru
Agama
:
Kristen Protestan
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Pekerjaan
:
Swasta
Ayah
:
Ludin Panjaitan (Alm)
Ibu
:
Sonty S.
Orang Tua Nama
III. Pendidikan Tahun 1979 – 1986
1. SD Negeri 027 Pekanbaru
Tahun 1986 – 1989
2. SMP Negeri 02 Pekanbaru
Tahun 1989 – 1992
3. SMU Negeri 05 Pekanbaru
Tahun 2003 – 2007
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Batam 5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Tahun 2007 – 2009. Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Agustina Darmawati
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK .....................................................................................................
i
ABSTRACT.....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
DAFTAR ISI..................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xi
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................
xii
BAB I.
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................
13
C. Tujuan Penelitian ...................................................................
13
D. Manfaat Penelitian .................................................................
14
E. Keaslian Penelitian ................................................................
14
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ..............................................
16
1. Kerangka Teori ...............................................................
16
2. Konsepsi ..........................................................................
27
G. Metode Penelitian ..................................................................
29
BAB II.
AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA GONO-GINI YANG TELAH DIHIBAHKAN KEPADA ANAK....................
32
A. Harta Bersama Dalam Hukum Islam .....................................
32
B. Harta Bersama (Gono-Gini) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ............................................................................
37
C. Hibah Menurut Hukum Islam ................................................
38
D. Akibat Hukum Terhadap Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Kepada Anak ......................................................
52
BAB III. PENARIKAN KEMBALI HARTA GONO-GINI YANG TELAH DIHIBAHKAN ORANG TUA KEPADA ANAK........
59
A. Fungsi Hibah Dalam Melindungi Kepentingan Anak Menurut Hukum Islam ...........................................................
59
B. Membedakan Jumlah Hibah Antara Anak ............................
68
C. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam ...............................
73
D. Penarikan Kembali Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Orang Tua Kepada Anak di Pengadilan Agama Medan ...................................................................................
74
E. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan tentang Penarikan Hibah (Pembatalan Hibah) Atas Harta Bersama Yang Dihibahkan Kepada Anak..........................................................................
82
BAB IV. KEKUATAN HUKUM HARTA HIBAH YANG TIDAK DIAKTAKAN DI HADAPAN NOTARIS ................................
86
A. Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan ...........................
86
1. Akta Otentik ...................................................................
86
2. Akta Di Bawah Tangan .................................................
91
B. Kekuatan Hukum Harta Hibah Yang Tidak Diaktakan Di Hadapan Notaris ..............................................................
97
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
109
A. Kesimpulan ...........................................................................
109
B. Saran .....................................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
112
DAFTAR TABEL
Nomor 1. 2.
Judul
Halaman
Data Penerimaan Perkara Hibah Pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008..........................................................................
75
Jenis Penyelesaian Perkara Hibah Pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008..........................................................................
76
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Putusan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Mdn ...................................
117
2.
Putusan Nomor 27/Pdt.G/2008/PTA-Mdn...................................
135
3.
Surat Penyerahan/Hibbah Sebidang Tanah..................................
141
4.
Surat Izin Penelitian dari Pengadilan Tinggi Agama Medan.......
142
5.
Surat Izin Mohon Penelitian ........................................................
144
DAFTAR ISTILAH
‘Ariyah
:
Pinjaman
‘Umra
:
Pernyataan hibah yang dilarang (misal: kuberikan benda ini kepadamu selama kau masih hidup; kalau kau mati sebelum saya, benda kembali kepada saya); jadi hibah untuk selama hidup pihak yang diberi.
’Urf
:
adat istiadat
A command of the lawgiver
:
Perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa.
Al Mauhub Lahu
:
Penerima Hibah
al Wahib
:
Pemberi hibah
Al’Adatu Muhakkamah
:
Adat dapat dikukuhkan menjadi hukum.
Alghele gemeenschap goederen
van :
Percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri
Closed logical system
:
Bersifat tertutup
Derden verzet
:
Perlawanan dalam gugatan
Dubius
:
Perbedaan pengertian atau penafsiran mendua
Ijab
:
Pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang memberikan
Ijab-qabul
:
Serah terima
Ijma’
:
Pendapat para pakar hukum Islam (fuqaha)
Illat
:
Sebab yang berpengaruh pada hukum
Minhah
:
Pemberian
Mu‘ajjalah
:
Hibah bertempo
Niet bevinding
:
Tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan.
Qabdlah
:
Penerimaan diserahkan
Qabul
:
Pernyataan dari pihak pemberian hibah itu.
Qiyas
:
Kemiripan (syabbah)
Risalat A1-Qadha
:
Pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan
Ru’bu Jinayah
:
Di sini dibicarakan khusus mengenai hukum Pidana.
Rubu’ lbadah
:
Di dalamnya dibicarakan khusus mengenai ibadah, seperti sholat, puasa, zakat dan haji.
Rubu’ Mu’amalah
:
Di dalamnya dibicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hukum kebendaan, hukum perikatan dan hukum dagang.
Rubu’ Munakahat
:
Di sini khusus dibicarakan mengenai masalah perkawinan, perceraian dan yang berhubungan dengan itu.
Ruqba
:
Pernyataan hibah yang dilarang (misal: kuberikan benda ini kepadamu dengan syarat kalau kau mati sebelum saya, benda ini tetap milikku; kalau mati lebih dulu menjadilah milikku).
Syirkah atau syarikah
:
Pengkongsian
Syarikah Abdaan
:
Pengkongsian tenaga
Umri (hibah)
:
Hibah seumur hibah
atau
penguasaan yang
harta
yang
menerima
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah/keluarga, tetapi juga perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum baik bagi suami isteri maupun terhadap anak. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), berbagai konsekuensi hukum tersebut sebenarnya sudah diatur, antara lain: menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung baik tanggung jawab mereka terhadap anak-anak, serta konsekuensinya terhadap harta kekayaan bersama (gono-gini) Di antara hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai hukum positif adalah hukum tentang harta bersama. Harta bersama dalam masyarakat Indonesia diatur dalam KUH Perdata, UU No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan hukum adat. Muhammad Isna Wahyudi, mengemukakan: Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat disebut somah atau serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah.1
1
Muhammad Isna Wahyudi, Harta Bersama: Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan, Makalah Calon Hakim Mahkamah Agung R.I. tahun anggaran 2006, hal. 2.
Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:2 a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan. b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan. c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama. d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan. Di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap harta bersama tersebut, sebagaimana dikemukakan Muhammad Isna Wahyudi berikut ini: Misal di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materiil, yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman, bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri. Di Kudus-Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan para pedagang, maka suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan.3 Dengan demikian menurut hukum adat, sumber harta bersama ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai bersama dan harta masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan isteri. 2
Ter Haar dalam Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 2.Penyebutan harta bersama suamiisteri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan ”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung” 3 Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal.4. Lihat juga, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85 ayat (1) menyatakan pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.
Selanjutnya dalam KUH Perdata masalah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 119 KUH Perdata, bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. Menurut KUH Perdata tidak ada pemisahan harta setelah terjadinya perkawinan, harta suami maupun isteri adalah menjadi harta bersama, kecuali sebelum perkawinan dilakukan perjanjian pemisahan harta. Dalam Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan: (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sipenerima sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta selama masa perkawinan akan menjadi harta benda bersama, namun demikian harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan pernikahan,4
4
Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 47 KHI, yang menyatakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Di samping ketentuan di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami isteri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. “Suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dalam hal harta bersama, sedangkan harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.5 Selanjutnya pengaturan harta gono-gini (harta bersama) menurut hukum Islam sebagai nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Al-Hadist tidak dibicarakan tentang harta bersama, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqih ada pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan tentang harta bersama, yaitu yang disebut syirkah atau syarikah.6 Perkataan syarikat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, karena dalam bahasa Arab juga perkataan itu dalam bentuk jamak diucapkan syarikat. Jadi, oleh karena masalah harta bersama suami isteri ini adalah termasuk perkongsian atau 5
Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 39. 6
syarikah.7 Menurut bahasa, syarikah itu berarti pencampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain. Menurut hukum Islam ialah adanya dua hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.8 Perkembangan Hukum Islam di Indonesia terjadi beberapa perkembangan ditandai dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum material di lingkungan Peradilan Agama, mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang diformulasikan ke dalam bentuk hukum materil bagi Pengadilan Agama,9 demikian juga halnya pengaturan tentang kewarisan dari harta bersama, sebagaimana dikemukakan Imran AM berikut ini: 10 Keberadaan KHI membawa perubahan yang cukup penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut masyarakat Islam Indonesia yang bersumber dari Mazhab Sunni yang pada umumnya bersifat patrinial, sedangkan sistem kewarisan yang bersifat bilateral merupakan himpunan yang digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela. Dalam Pasal 85 KHI dijelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
7
Ibid., hal. 39. Ibid., hal. 39-40. 9 Peraturan yang mengatur tentang keberadaan Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) yang hanya mengatur tentang hukum formil, sedangkan hukum material diatur di dalam KHI yang diberlakukan dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanggal 10 Juni 1991 Jo Keputusan Menteri Agama RI No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, 10 Imran AM, “Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, No.24 Tahun VIII, Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1996, Jakarta, hal.45. 8
Pasal 86 KHI menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.11 Pasal 87 ayat (1) KHI mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan Pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya. Hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut. Namun demikian, tidak begitu saja adat kebiasaan diterima sebagai aturan hukum, akan tetapi diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:12 a. Adat kebiasaan tersebut dapat diterima oleh akal dan dapat diakui oleh pendapat umum. b. Adat tersebut harus terjadi berulang kali dan tersebar luas serta sudah menjadi umum c. Adat kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan dan tidak boleh adat itu adat yang akan berlaku. 11
Menurut Pasal 119 KUH Perdata, sejak saat dilangsukan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta-bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri 12 Satria Effendi M. Zein, Yurisprudensi Peradilan Agama, Dibinbapera dan Yayasan AlHikmah, 1995, hal. 346.
d. Adat kebiasaan itu tidak dapat diterima jika antara kedua belah pihak terdapat syarat yang berlainan. e. Tidak bertentangan dengan nash, sebab ketentuan nash lebih kuat dari hukum adat. Jadi, konstruksi hukum (KHI) mempergunakan adat perlu diperhatikan beberapa kriteria seperti di atas, untuk menentukan apakah suatu adat dapat diterima sebagai hukum adat atau tidak dari aturan dalam hukum Islam, demikian juga halnya ketentuan mengenai harta bersama (gono-gini). Demikian juga halnya dalam melakukan penghibahan harta bersama tersebut kepada anak. Di dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Menurut Pasal 1666 KUH Perdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Demikian juga dalam Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang disebut ”intervivos”.13 Pemberian semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan “hibah”. Di dalam Hukum Islam jumlah harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.14
13
Asaf A.A. Fayzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, Tintamas, Jakarta, 1961, hal. 1. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Rafika Aditama, Bandung, 2005, hal. 90. 14
Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut, Asaf A.A. Fayzee memberikan rumusan “hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan”.15 Syariat Islam mengajarkan manusia untuk berbuat baik dan saling tolong menolong kepada sesama umat manusia seperti memberi makan orang miskin, berinfaq, bersedekah, hibah dan lain sebagainya. Seperti disebutkan dalam Surat AlBaqarah ayat 177, yang artinya: “Dan memberikan harta orang yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta”.16 Ayat ini memberikan pengertian bahwa kebaikan itu antara lain memberikan harta kepada orang yang memerlukan, apakah kepada kaum kerabat ataupun yang lainnya, seperti anak yatim, orang miskin, orang musafir, peminta-minta dan sebagainya. Jadi dengan jalan hibah juga termasuk salah satu perbuatan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah menurut Hukum Islam, yaitu:17 a. Ijab, yaitu pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang memberikan. b. Qabul, yaitu pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu; c. Qabdlah, yaitu penerimaan atau penguasaan harta yang diserahkan. Ijab-qabul (serah terima) di kalangan ulama mazhab Syafi’i merupakan syarat sahnya suatu hibah. Selain itu, mereka menetapkan beberapa syarat yang berkaitan
15
Asaf A.A. Fayzee, op. cit., hal. 2. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, hal. 43. 17 Eman Suparman, op. cit., hal. 90. 16
dengan ijab-qabul, yaitu: sesuai antara qabul dengan ijab-nya, qabul mengikat ijab, dan aqad hibah tidak dikaitkan dengan sesuatu (aqad tidak tergantung) seperti perkataan: “aku hibahkan barang ini padamu, bila si anu datang dari Mekah". Selain itu, hibah pada dasarnya adalah pemberian yang tidak ada kaitan dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.18 Kemudian juga dalam pemberian hibah itu juga ada batasan jumlahnya atau harus adil, apalagi dalam melakukan penghibahan kepada anak. Karena tidak adil bagi seorangpun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dari anak-anaknya yang lain dalam pemberian hibah, karena hal yang demikian itu akan menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahmi di antara anak-anak tersebut. Sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq, berikut ini:19 Mazhab Iman Ahmad mengharamkan pelebihan di antara anak-anak, bila tidak ada yang mendorong ke arah itu. Apabila ada yang mendorong atau menghendaki pelebihan di antara anak-anak, maka tidak ada halangan untuk itu. Dikatakan di dalam Al-Mughni: “Apabila sebagian dari anak-anak dikhususkan karena pengkhususan itu dikehendaki, misalnya karena anak itu amat membutuhkan kerana cacat, buta, banyak keluarga, sibuk dengan ilmu, atau kelebihan-kelebihan yang lain yang berupa itu bukan karena menjauhkan anak dari pemberian, karena kefasikan, bid’ah, menggunakan pemberian untuk maksiat, maka telah diriwayatkan dari Ahmad apa yang menunjukkan diperbolehkannya pelebihan itu. Pendapatnya dalam pengkhususan sebagian anak dengan wakaf, tidak ada halangan bila hal itu dilakukan karena kebutuhan dan terpaksa untuk melebihkan dan memberikan dalam pengertian yang seperti ini.
18
H. Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 76-77. 19 Sayyid Sabiq dalam Lila Triana, Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Di Kota Medan), Tesis, PPs-USU, Medan, 2004, hal. 36.
Sedangkan Ibnu Hazam berpendapat bahwa jika orang tua memberikan hibah kepada salah satu anaknya, maka orang tua tersebut wajib melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya yang lain dan tidak boleh melebihkan salah satu dari yang lain. Pendapat ini dinyatakan Ibnu Hazam dalam Al-Mushalla, yang artinya: “tidak boleh seseorang untuk berhibah atau bersedekah kepada masing-masing anaknya seperti yang diberikannya itu.”20 Namun demikian, menurut Sulaiman Rasyid, apabila hajat antara beberapa anak itu sama, maka dapat diberikan hibah yang besarnya sama di antara mereka akan tetapi apabila hajat mereka berbeda, maka tidak ada halangan mengadakan pembagian yang berlebih berkurang.21 Dengan demikian orang tua dalam penghibahan kepada anak itu harus adil menurut porsinya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur jumlah harta yang dapat dihibahkan orang tua kepada anak-anaknya, sebagaimana ketentuan Pasal 210 KHI, yakni: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. KHI menentukan bahwa hibah hanya dapat diberikan oleh orang yang telah dewasa dan harta yang dihibahkan merupakan hak dari penghibah yaitu dibatasi sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta benda si penghibah. Kemudian dalam Pasal 211 KHI dinyatakan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
20 21
Ibid., hal. 36-37. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Jakarta, Attahiriyah, 1986, hal. 313.
sebagai warisan. Kemudian, dalam Pasal 212 KHI ditentukan hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya masih dapat ditarik kembali orang tua sebagai pemberi hibah tersebut. Dalam melakukan penarikan hibah ini harus dilakukan si pemberi hibah, tidak dapat digantikan oleh orang lain, karena hibah merupakan hak proregatif seseorang terhadap hak miliknya. Hal ini terlihat pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Nomor 90/Pdt.G/2007/PTA.JK. Dalam
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Agama
Jakarta,
Nomor
90/Pdt.G/2007/PTA.JK tersebut, terjadi gugatan orang tua (pemberi hibah) kepada anak perempuannya (sebagai penerima hibah). Yang mana pada gugatan penggugat di Pengadilan Agama, sesuai dengan putusan Nomor 405/Pdt.G/2006/PA.JS tanggal 08 Maret 2007 M yang bertepatan dengan taggal 18 Shafar 1428 H, Pengadilan Agama memutuskan gugatan pembatalan/penarikan hibah tersebut dikabulkan, sehingga terjadi sita jaminan atas harta yang dihibahkan tersebut. Namun, dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama, menggugurkan gugatan pemberi hibah atas pembatalan/penarikan harta hibah tersebut, karena pada saat terjadi proses gugatan atau sebelum terjadinya putusan Pengadilan Tinggi Agama, si penggugat (terbanding) meninggal dunia, sehingga penggugat (terbanding) digantikan orang lain sebagai penggugat pengganti untuk melanjutkan perkara yang sedang berjalan. Pertimbangan hakim menolak gugatan pembatalan hibah tersebut adalah Pasal 210 dan 212 KHI, di mana hibah merupakan hak proregatif seseorang terhadap hak miliknya, demikian pula sebaliknya, maka penarikan hibah pun juga merupakan hak proregatif penghibah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.
Jadi walaupun dalam KHI secara tegas dinyatakan bahwa hibah orang tua terhadap anak dapat dicabut kembali. Akan tetapi penarikan itu juga harus dilakukan oleh si pemberi hibah itu. Kemudian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 211 KHI, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Oleh karena itu hibah yang dilakukan orang tua kepada salah seorang anaknya, masih dapat dibatalkan oleh anak-anaknya yang lain sebagai ahli waris dari harta yang dihibahkan itu, jika terhadap harta yang dihibahkan tersebut termasuk bagian waris dari anak yang lain. Hal ini terlihat dari Putusan Pengadilan Agama Medan, Nomor 691/Pdt.G/2007/PA-Mdn. Dalam Putusan Pengadilan Agama Medan, Nomor 691/Pdt.G/2007/PA-Mdn, tersebut terjadi gugatan pembatalan hibah oleh anak kandung yang lain (Penggugat I dan Penggugat II) atas harta bersama yang dihibahkan orang tua (Tergugat) kepada salah satu anak kandung setelah isterinya meninggal dunia. Maka pertimbangan hukum untuk membatalkan hibah tersebut karena: 1. Isteri Tergugat telah meninggal dunia, maka ½ (setengah) bagian dari harta tersebut yang merupakan hak almarhumah adalah menjadi boudel warisan almarhumah yang harus dibagikan kepada ahli warisnya (Penggugat I dan Penggugat II). 2. Tetapi tanpa sepengetahuan dan seizin dari anak-anak kandung lainnya (Penggugat I dan Penggugat II), Tergugat telah menghibahkan harta (tanah) berikut bangunan rumah permanen yang ada di atasnya, yang di dalamnya termasuk bagian waris dari ahli waris lain kepada salah seorang anak kandungnya.
Oleh karena itu Pengadilan Agama Medan mengabulkan gugatan Penggugat sebagai ahli waris atas harta yang dihibahkan Tergugat, dan membatalkan hibah yang dilaksanakan tersebut. Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka akan dilakukan penelitian tesis atas putusan Pengadilan Agama dengan judul ”Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan.”
B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak? 2. Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut? 3. Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak.
2. Untuk mengetahui ketentuan hukum bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut. 3. Untuk mengatahui kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum perkawinan khususnya ketentuan hukum atas harta gono-gini atau harta bersama yang dihibahkan. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam melakukan penghibahan harta gono-gini kepada anak dan akibat hukum penghibahan tersebut. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan” belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang harta bersama dan hibah yang dilakukan:
1. Lila Triana, Nomor Induk: 027011035, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2004 dengan judul “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota Medan)”, dengan permasalahan yang dibahas: a. Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang dapat diakui oleh Islam? b. Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan Agama Medan? c. Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut hukum Islam dan hukum adat? 2. Yusriana, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2006 dengan judul “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (Penelitian Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam)” dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimana pelaksanaan dalam penyelesaian sengketa terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Lubuk Pakam? b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama? c. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan para pihak terhadap Putusan Pengadilan Agama mengenai harta bersama? Jika diperhadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,22 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.23 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis24 Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan: Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.25
22
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 23 Ibid, hal. 16. 24 M. Solly Lubis, op. cit, hal. 80. 25 Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.
Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem yang dikemukakan Mariam Darus Badrulzaman, bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.26 Hal yang sama juga dikemukakan Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.27 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Dengan demikian, pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.28 Oleh sebab itu, pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam harta gonogini yang dihibahkan kepada anak dalam suatu perkawinan. Dengan teori sistem hukum tersebut maka analisa masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni hukum perkawinan, dalam hal ini ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) atas harta gonogoni yang dihibahkan kepada anak tersebut. 26
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15. Bandingkan, Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. 27 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hal. 56. 28 Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Hakikat hukum perkawinan menurut KUH Perdata tidak ditemukan pengertian perkawinan, namun menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.29 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dinyatakan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.30 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.31 Selain rumusan pada peraturan tersebut, beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang perkawinan, di antaranya Subekti menyatakan, “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.32 Sedangkan menurut Paul Scholten, “perkawinan adalah habungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang 29
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandingkan dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 30 Pasal 2 KHI. 31 Pasal 3 dan Pasal 4 KHI. 32 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cet. XI, 1987, hal. 23.
diakui oleh Negara”.33 Pendapat lain dikemukakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa “perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan”.34 Dalam bahasa yang lain K. Wantjik Saleh mengatakan, “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”.35 Jadi, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Perkawinan diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan, syarat-syarat sahnya perkawinan, cara/prosedur melangsungkan perkawinan, dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan tersebut. Penyebutan harta bersama suami-isteri dalam perkawinan, berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan ”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung”.36
33
Paul Scholten dalam R. Soetono Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1985, hal. 35. 34 Wirjono Prodjodikoro, dalam Libertus Jehani, op. cit., hal. 2. 35 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, CEtakan ke-6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 20. 36 Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 4.
Secara bahasa, harta bersama perkawinan adalah dua kata yang terdiri dan kata harta dan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.”37 Sayuti Thalib mengatakan “Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan”.38 Pengertian di atas, sejalan dengan Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Abdul Kadir Muhammad, menyatakan “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”39
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, Cet.ke VII, hal. 342. 38 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Pres, Jakarta, Cet.V, 1986, hal. 89. 39 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 9. 37
Abdul Manan menyatakan, bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.”40 Harta gono-gini adalah harta bersama yang diperoleh suami isteri selama masa perkawinan mereka. Bagaimana batasan harta yang dimiliki isteri? Harta yang telah dimiliki isteri sebelum masa perkawinan tetap menjadi miliknya. Harta-harta berupa warisan, hadiah, hibah, pemberian orang tua atau mahar yang diberikan suami, tetapi menjadi milik isteri. Harta-harta yang merupakan harta bawaan dan harta perolehan itu tidak dianggap sebagai harta gono-gini.41 Batasan harta yang didapat dalam perkawinan antara suami istri selama berumah tangga yang merupakan harta bersama, dapat diperhatikan dari asal usul harta yang didapat suami istri dalam empat sumber yaitu:42 1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri. 2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah. 3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan. 4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan. Menurut Ismail Muhammad Syah, “keempat macam sumber harta ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai Abdul Manan, “Beberapa Masalah tentang Harta Bersama”, Mimbar Hukum, No. 33, Tahun VIII, 1997, hal. 59. 41 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 56. 42 Damanhuri, op. cit., hal. 29. 40
bersama dan harta masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan istri”.43 Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.44 Harta istri tetap menjadi milik istri dan sebaliknya. Namun, sejak terjadi perkawinan antara perempuan dan laki-laki, maka sejak saat itu tidak menutup kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen). Percampuran ini terjadi jika tidak diadakan perjanjian pemisahan harta bawaan masing-masing. Keadaan ini berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kecuali ada kesepakatan baru antara suami istri. Percampuran kekayaan ini lebih dikenal dengan harta bersama atau harta gono gini. Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan dijumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni: harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.
43
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Istri Di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 Dan Hukum Islam, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1984, hal. 148. 44 Pasal 86 ayat (1) KHI.
Menurut Pasal 35 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 KHI yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Maksudnya yakni, seluruh harta yang diperoleh sesudah suami istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.45 Jadi, sekalipun harta bersama ini diperoleh dari kerja suami saja, bukan berarti istri tidak memiliki hak atas harta bersama. Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama,46 termasuk dalam hal ini adalah penghibahan harta bersama tersebut kepada anak-anaknya. Kondisi di atas dapat berbeda jika sebelumnya di antara calon suami dan isteri telah melakukan perjanjian pra nikah mengenai pemisahan harta sebelum dilangsungkannya perkawinan. Dalam KUH Perdata diatur pada buku I Bab ke VII tentang Perjanjian Perkawinan pada Pasal 139 dan Pasal 140 yang berbunyi:47 Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang 45
Pasal 36 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat, Lembar Info Seri 45, ‘’Pemisahan Harta dalam Perkawinan’’, LBH APIK Jakarta. 46 Pasal 92 KHI. 47 Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Pasal 45 sampai Pasal 52 tentang Perjanjian Perkawinan. Pasal 45 KHI menyatakan bahwa”Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1) Ta’lik talak, dan 2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
baik atau tata tertib hukum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini. Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan Undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami istri. Dalam Pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami isteri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139-154 KUH Perdata. Selanjutnya, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana diatur dalam Pasal 45, bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, termasuk di dalamnya perjanjian dalam hal harta bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 KHI, bahwa: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Perjanjian pra nikah, isinya antara lain tentang pemisahan harta kekayaan, jadi tidak ada harta gono-gini. Syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan, kalau setelah
pernikahan baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan. Perjanjian perkawinan dapat menjadi sebuah solusi jika terjadi sengketa terhadap harta bersama. Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta otentik. Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya yaitu PP No. 9 Tahun 1975 khususnya Pasal 29 jo Pasal 66 UU No.1 1974 tentang Perkawinan; Pasal 12 huruf (h) dan Pasal 47 PP No. 9 Tahun 1975, maka ketentuan yang telah diatur dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi sepanjang materi ketentuan-ketentuan itu telah diatur dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Dengan lain perkataan tidak semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi, akan tetapi ketentuan-ketentuan itu hanya sebagai pelengkap bagi mereka yang dahulu tunduk pada hukum perkawinan KUH Perdata. Demikian juga halnya ketentuan penghibahan atas harta gono-gini kepada anak. Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Undang-undang mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 harus dibuat di muka Notaris
Pasal 1667 KUH Perdata, menyebutkan penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.
Selanjutnya Pasal 1668, menyatakan
penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu; penghibahan demikian, sekedar mengenai barang itu, dipandang sebagai tidak sah. Namun demikian menurut Pasal 1669, penghibah boleh memperjanjikan, bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain; dalam hal demikian, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua kitab undang-undang ini. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah diatur dalam Bab VI Pasal 210 sampai dengan Pasal 214. Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan: (1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.48 Selain itu bagi warga negara Indonesia yang berada di negara asing juga dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam KHI 48
Pasal 213 KHI
tersebut.49 Dalam hal hibah yang akan dibuat di luar negeri ternyata negara tersebut tidak ada hubungan diplomatik dengan negara Indonesia, maka si penghibah harus ke negara tetangga tempat domisili yang ada konsulat jenderal atau kedutaan Indonesia.50 KHI menentukan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan,51 dan juga hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya.52 Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya saja, barang tersebut sedang dijadikan jaminan hutang, maka harus segera dilunasi oleh penerima hibah sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.53 Kemudian juga dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan ahliwaris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli waris.54
2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.55 Pentingnya definisi operasional adalah untuk 49
Pasal 214 KHI. Hasil wawancara dengan Ibu Jasmi Riva’i, S.H., Notaris di Kota Medan, tanggal 3 Juni 2009 di Medan. 51 Pasal 211 KHI. 52 Pasal 212 KHI. 53 Eman Suparman, op. cit., hal. 95. 54 Ibid., hal. 98. 55 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10. 50
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.56 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut: a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.57 b. Harta gono-gini atau harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dari harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian pra nikah.58 c. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, dan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya.59 d. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.60
56
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35 57 Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 58 Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 59 Pasal 171 huruf g dan Pasal 212 KHI. 60 Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,61 dalam hal ini harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut UndangUndang Perkawinan dan Pewarisan atas kasus putusan Pengadilan Agama tentang kedudukan hibah orang tua kepada anak-anaknya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.62
2. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan
bahan
kepustakaan
atau
data
sekunder
yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.63 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 61
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13 63 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39. 62
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak. 3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak. b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan masalah harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak, dengan melakukan wawancara kepada: 1) Hakim Pengadilan Agama Medan 2) Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan 3) Notaris di Kota Medan.
3. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan dalam kaitan dengan
harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada nara sumber yang telah ditetapkan tentang harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak.
4. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA GONO-GINI YANG TELAH DIHIBAHKAN KEPADA ANAK A. Harta Bersama Dalam Hukum Islam Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ”Harta dapat berarti barang-barang (uang) dan sebagai yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai”. Harta bersama berarti harta yang diperoleh bersamasama.64 Selanjutnya dalam hukum Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam AlHadist tidak dibicarakan tentang harta bersama, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqih ada pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan tentang harta bersama, yaitu yang disebut Syirkah atau Syarikah. Dalam Al-Qur’an Surat Annisa Ayat 32 yang dapat diartikan berhubungan dengan harta bersama pada saat Allah SWT berfirman, yang artinya: ”Janganlah kamu iri hati karena Allah melebihkan setengah kamu dari pada yang lain. Untuk laki-laki ada bagian daripada usaha yang dikerjakannya, dan untuk perempuan ada bagian dari pada usaha yang dikerjakannya.”65 Para pakar Hukum Islam di Indonesia berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama itu. Sebagian berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengaturnya dan
64
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 342 65 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jamunu, Jakarta, 1967.
untuk itu diserahkan sepenuhnya kepada para ahli. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Haryono dan Andoelrooef. Sebagian lain pakar hukum Islam mengatakan bahwa suatu hal yang aneh jika agama Islam tidak mengatur harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu pasti ada dalam Al-Hadist, dan Al-Hadist ini merupakan sumber hukum Islam juga.66 Untuk lebih lengkapnya akan dikemukakan tulisan Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya, yang dalam salah satu sub pembahasannya beliau menganalisa tentang pendapat-pendapat para ulama mengenai perkongsian.67 Para ulama sudah sejak lama menyusun kitab-kitab dalam bidang hukum Islam yang diberi nama Kitab Fiqih. Mereka membagi pembahasan dalam kitab fiqih itu dalam empat bagian, yaitu:68 1. Rubu’ lbadah. Di dalamnya dibicarakan khusus mengenai ibadah, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. 2. Rubu’ Mu’amalah. Di dalamnya dibicarakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hukum kebendaan, hukum perikatan dan hukum dagang. 3. Rubu’ Munakahat. Di sini khusus dibicarakan mengenai masalah perkawinan, perceraian dan yang berhubungan dengan itu. 4. Ru’bu Jinayah. Di sini dibicarakan khusus mengenai hukum Pidana.
66
T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, CV. Percetakan Mustika, Medan, 1 977, hal. 11 9. 67 Ismail Muhammad Syah, op. cit., hal. 281. 68 H.A. Damanhuri, H.R., op. cit., hal. 39.
Harta bersama suami istri, mestinya masuk dalam rubu’ Mu’amalah, tetapi ternyata secara khusus tidak ada dibicarakan. Mungkin hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya pengarang kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedang adat Arab tidak mengenal adanya adat mengenai harta bersama suami istri itu. Tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut Syarikah atau Syirkah.69 Perkataan ”Syarikat” dalam bahasa Indonesia sekarang ini berasal dari bahasa Arab, karena dalam bahasa Arab juga perkataan itu dalam bentuk jamak diucapkan Syarikat. Jadi oleh karena masalah harta bersama suami istri ini adalah termasuk perkongsian atau syarikah, maka untuk mengetahui hukumnya, perlu dibahas lebih dahulu macam-macam perkongsian yang sudah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih dan bagaimana hukumnya masing-masing syarikat itu. Oleh karena kitab fiqih itu terdiri dari berbagai mazhab, maka dalam pembahasan ini akan dibicarakan menurut empat mazhab yang terkenal, yaitu Mazhab Hanafy, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambaly. Menurut bahasa Syarikah itu berarti percampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dan yang lain. Menurut Hukum Islam ialah adanya dua hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.70 Menurut Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, semua perkongsian itu sah hukumnya dengan berbagai syarat masing-masing pendapat 69 70
Ibid., hal. 39. Ismail Muhammad Syah, op. cit., hal. 282.
ulama tersebut, oleh karenanya harta bersama yang didapat suami istri sejak mereka melaksanakan perkawinan juga digolongkan sebagai syarikah/syirkah sah hukumnya dan dibenarkan dalam Islam.71 Al-Qur’an, Al-Hadist dan hukum Fiqih tidak membahas secara rinci masalah harta bersama suami isteri dalam perkawinan, melainkan hanya secara garis besarnya saja. Yang dihahas dalam hukum fiqih dihubungkan dengan pembahasan tentang Syarikah sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda. Para pakar Hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) setuju untuk mengambil Syarikah Abdaan (pengkongsian tenaga) sebagai landasan menumuskan kaedah-kaedah harta bersama suami isteri. Para perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur Syarikat Abdan Mufawadhah dengan hukum adat. Cara pendekatan tersebut tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan ‘urf (adat istiadat) sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaedah al ‘adatu muhakkamah72 (adat dapat dikukuhkan menjadi hukum).73 Dengan demikian maka dapatlah dirumuskan pengertian harta bersama seperti yang dikenal sekarang ini. Meskipun hukum Islam tidak mengenal pencampuran harta milik pribadi masing-masing ke dalam harta bersama, kecuali yang dibahas dalam hukum fiqih
71
Ibid., hal. 44. M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hal. 297. 73 Lihat, Iman Jauhari, Hukum Islam, Buku Ajar, Fakultas Hukum Unsyiah Darussalam Banda Aceh, 2007, hal. 77, menyatakan: sepanjang adat-istiadat itu tidak bertentangan dengan ketentuan AlQur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits, dan transaksi di bidang muamalah itu didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata Islam di bidang muamalah (kehidupan sosial), menurut kaidah hukum Islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-‘adatu muhakkamah), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi ummat Islam. 72
tentang Syarikah, tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami isteri dalam mengelola harta milik pribadi tersebut, jangan sampai merusak hubungan suami isteri yang menjurus kepada penceraian. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanakan.74 Perjanjian perkawinan yang berkaitan masalah harta bersama yang didapat selama perkawinan diterangkan dalam Pasal 47 KHI yaitu: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ”Perjanjian Perkawinan” menurut Kompilasi Hukum Islam bukan hanya terbatas tentang harta yang didapati selama perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yaitu perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami isteri untuk mempersatukan dan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Isi perjanjian tesebut berlaku pula bagi pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut. Kemudian juga perjanjian perkawinan yang dibuat antara calon suami isteri tentang pemisahan harta 74
H.A. Damanhuri, H.R., Op. Cit., hal. 45.
bersama atau harta syarikat tidak boleh menghilangkan kewajiban-kewajiban suami untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga.75
B. Harta Bersama (Gono-Gini) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada dasarnya di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.76 Harta isteri tetap menjadi milik isteri dan sebaliknya. Namun, sejak terjadi perkawinan antara perempuan dan laki-laki, maka sejak saat itu tidak menutup kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Percampuran ini terjadi jika tidak diadakan perjanjian pemisahan harta bawaan masing-masing. Keadaan ini berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kecuali ada kesepakatan baru antara suami istri. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan menjumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni: harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Menurut Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 85 KHI yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Maksudnya yakni, seluruh harta yang diperoleh sesudah suami isteri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Sehingga suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.77
75
H.A. Damanhuri, Op. Cit., hal. 12. Pasal 86 ayat (1) KHI. 77 Lembar Info Seri 45, “Pemisahan Harta dalam Perkawinan’’, LBH APIK, Jakarta, hal. 10. 76
Sedangkan yang tidak termasuk harta bersama yakni harta bawaan dan harta perolehan. Yang dimaksud harta bawaan adalah harta masing-masing suami dan isteri78 yang dimiliki oleh masing-masing sebelum terjadinya perkawinan, termasuk yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Harta ini di bawah penguasaan masingmasing atau menjadi hak milik yang tidak dapat dipindahtangankan. Kemudian, yang terakhir, harta perolehan, yakni harta masing-masing suami isteri yang dimilikinya yang diperoleh bukan dari usaha mereka, melainkan dari hibah, wasiat, sedekah atau warisan masing-masing sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan. Penguasaan atas harta ini sama seperti harta bawaan, dikecualikan jika ada kesepakatan dalam perjanjian perkawinan, misalnya: suami istri menjadikan harta perolehan ini sebagai harta bersama.79 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 48 KHI bahwa perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
C. Hibah Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Hibah Menurut Hukum Islam Menurut Syamsudin al Muqdasiy bahwa hibah itu adalah pemberian seseorang yang hidup dengan tiada perjanjian untuk mendapatkan balasan yang baik.80
78
Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 87 ayat (2) KHI. 80 Syamsudin Al Muqdasiy, dalam Anwar Sadat, Fungsi Hibah Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Kepentingan Anak Pada Pembagian Harta Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Kasus di Kecamatan Padang Bolak), Tesis, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 7. 79
Dalam kitab Mukhtasarul Ahkamil Fiqhiyyah dijelaskan bahwa pengertian hibah itu adalah suatu sedekah atau derma dari seseorang (yang balig/dewasa) dari suatu harta yang dimilikinya.81 Dalam ensiklopedi Islam diterangkan bahwa hibah artinya berembusnya atau berlalunya angin. Menurut bahasa berarti suatu pemberian terhadap orang lain, yang sebelumnya orang lain itu tidak punya hak terhadap benda tersebut. Hibah dalam pengertian tersebut bersifat umum, baik untuk yang bersifat materi maupun untuk yang bersifat non materi. Para Fukaha (ahli Fiqih) mendefinisikannya sebagai akad yang mengandung penyerahan hak milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa ganti rugi.82 Pengertian hibah secara istilah adalah suatu akad yang berisi pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup dengan tiada mengharap suatu
imbalan.83
Sedangkan
apabila
seseorang
membolehkan
orang
lain
memanfaatkan hartanya dengan tiada memberikan hak milik, maka yang demikian disebut peminjaman. Begitu pula apabila ada seseorang menghadiahkan khamar (minuman yang beralkohol) atau menghadiahkan bangkai, maka sesungguhnya demikian itu tidak bisa dikatakan sebagai hadiah atau pemberian, karena bendanya haram dipergunakan. Dan apabila pemberian harta tersebut dilakukan semasa hidup dan berlaku setelah penghibah meninggal dunia, maka yang demikian itu dinamakan
81
Ibid., hal. 7. Ensiklopedi Islam, Depdiknas, Faskal II, PT. Ichtiar Baru Van Hoece, Jakarta, hal. 106. 83 Sayyid Sabiq, dalam Anwar Sadat, op. cit., hal. 8. 82
hibah wasiat. Dan apabila pemberian itu diiringi oleh suatu penggantian, itu adalah bentuk jual beli dan berlaku hukum jual beli.84 Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah itu berkonotasi memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah.85 Sedangkan makna hibah secara khusus meliputi hal-hal di bawah ini:86 1. Ibraa, artinya menghibahkan kepada orang lain yang berhutang (pembebasan hutang). 2. Sadaqah, artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di hari akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Para ulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat. 3. Hadiah, artinya imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah mendapatkan hibah. Pada dasarnya hadiah itu dari hibah. Hanya saja kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang. Hibah dengan syarat dan hibah yang digantungkan pada suatu kejadian yang tertentu, adalah tidak sah. Yang dimaksud dengan hibah bersyarat adalah suatu pemberian yang diserahkan dengan ketentuan bahwa yang diberi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Misalnya: A akan memberikan rumahnya kepada B, jika B membantu pekerjaan A. Pemberian atau hibah semacam ini menurut Hukum Islam adalah batal. Demikian juga, dengan hibah yang tergantung pada suatu kejadian, yaitu pemberian yang hanya akan terjadi apabila hal-hal yang telah ditetapkan terlebih dahulu betul-betul terjadi. Misalnya:Jika A meninggal dunia,
84
Ibid., hal. 9. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 74. 86 Ibid., hal. 80. 85
rumah A menjadi milik B. Dalam hal ini jadi atau tidaknya rumah A itu dimiliki oleh B sangat tergantung pada suatu kejadian di masa datang yang tidak pasti, sebab di sini belumlah dapat dipastikan bahwa pihak yang diberi akan berusia lebih panjang dari pihak yang memberi, sehingga hibah semacam ini batal.87
2. Sasaran Hibah dan Batasannya Menurut Hukum Islam Dalam Al-Baqarah ayat 177, yang artinya: dan dia memberikan harta yang dikasihinya kepada kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta. Menurut Mahmud Yunus, yang dimaksud kebaikan adalah membelanjakan harta untuk:88 a. Karib kerabat b. Anak yatim c. Fakir miskin d. Orang yang musafir e. Orang-orang yang meminta karena tiada kuasa berusaha sebab lemah, potong tangan dan lain sebagainya. Hibah juga dapat diberikan kepada sorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya, sebuah bangunan masjid, sekolah atau pranata kebajikan yang lainnya Hibah dapat pula diperuntukkan kepada non muslim.89 Hibah juga dapat
87
Eman Suparman, op. cit., hal. 91. Mahmud Yunus, dalam Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 372. 89 Abdur Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 202. 88
diberikan kepada seorang yang sekiranya berhak menjadi ahli waris, si penghibah dapat menghibahkannya.90 Pelaksanaan hibah itu hukumnya sunnah, dan lebih utama diberikan kepada kaum kerabat. Disamakan bagi orang yang menghibahkan suatu kepada anakanaknya, hendaklah ia menyamakan pemberiannya itu diantara mereka. Hibah merupakan pemberian yang murni, bukan karena mengharapkan pahala Allah, tidak pula terbatas berapa jumlahnya.91 Dalam hibah tidak ada batasan, sebab dalam kasus ini yang empunya melepaskan sendiri segala hak secara langsung hartanya.92 Fuqaha telah sepakat bahwa seseorang itu boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain (bukan ahli waris). Selanjutnya mereka berselisih pendapat tentang orang tua yang mengutamakan (pilih kasih) terhadap sebagian anaknya atas sebagian yang lain dalam soal hibah atau dalam soal penghibahan seluruh hartanya kepada sebagiannya tanpa sebagian yang lain. Jumhur fuqaha amzar (negeri-negeri besar) berpendapat bahwa hibah seperti itu makruh hukumnya. Tetapi apabila terjadi, maka menurut pendapat mereka sah pula. Jumhur fuqaha93 berpegangan bahwa ijma’ telah terjadi tentang bolehnya seorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada orang asing di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat tejadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. 94
90
Masjfuk Zuhdi, dalam Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1996, hal. 48. Helmi Karim, op. cit., hal. 75. 92 Abdur Rahman I Doi, op. cit., hal. 199. 93 Jumhur fuqaha, artinya mayoritas ulama fiqh. 94 Ibnu Rush, Bidayatul Mujtahid, Keluarga Semarang, Semarang, tt, hal. 346. 91
Imam Malik berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi orang tua untuk tidak menghibahkan seluruh hartanya kepada salah seorang dari anaknya, maka dilarang bagi seseorang untuk mengutamakan sebagian anaknya dengan pemberian seluruh hartanya. Kalaupun terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini disebabkan adanya perlawanan antara qiyas95 dengan kata-kata larangan yang terdapat dalam hadist. Sebab, kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa larangan dengan kata-katanya itu menghendaki keharamannya, sebagian perintah itu menghendaki wajibnya.96
3. Rukun dan Syarat Hibah Menurut Hukum Islam Hibah baru dikatakan sah apabila disertai oleh ijab dan kabul,97 atau dengan bentuk lain yang mengandung isi pemberian harta kepada seseorang tanpa disertai imbalan. Sedangkan menurut pengikut Hanafi bermanfaat bahwa cukup dengan ijab saja sudah sah. Kalau menurut pengikut Hambali berpendapat bahwa cukup dengan perbuatan yang menunjukkan kepada pemberian saja sudah dianggap sah, sebab Nabi SAW diberi hadiah dan memberi hadiah, begitu juga pada sahabat melakukan hal yang demikian itu.98 Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid diterangkan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: pemberi hibah (al Wahib), penerima hibah (Al Mauhub Lahu), dan perbuatan
95
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dengan suatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya lantaran adanya persamaan illat di antara keduanya (atau mempersamakan hukum cabang dengan hukum pokok). 96 Imam Malik, dalam Ibnu Rush, op. cit., hal. 211. 97 Dalam hal ini ijab pernyataan orang yang menyerahkan harta, sedangkan kabul adalah pernyataan pihak si penerima harta. 98 Sayyid Sabiq, dalam Anwar Sadat, op. cit., hal. 20.
hibah itu sendiri. Di dalam hukum Islam hibah menjadi sah apabila telah memenuhi syarat, yakni: ijab, qabul dan qabda.99 Di dalam kitab Fiqh ’ala Mazhabil Arba’ah diterangkan bahwa rukun hibah itu ada 3, yaitu: orang yang melakukan akad (orang yang menghibahkan dan yang menerima hibah), harta yang dihibahkan dan shigat hibah. Hal yang senada juga disebutkan dalam buku Muamalah. Dalam Ilmu Fiqh diterangkan bahwa rukun hibah itu ada 4, yaitu, shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah.100 Berdasarkan pengertian dari para fuqaha itu, akad hibah itu semata-mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Penyerahan itu dilakukan oleh pemilik selama dia masih hidup. Dengan demikian, akad hibah itu tidak terkait dengan syarat apapun. Jika hibah itu dikenakan ganti rugi dari pihak yang akan menerima hibah, maka hal itu tidak lagi dikenakan ganti rugi dari pihak yang akan menerima hibah, maka hal itu tidak lagi dinamakan hibah, tetapi sudah berubah menjadi akad jual beli. Demikian juga halnya kalau seseorang menghibahkan hartanya yang ia syaratkan baru berlaku setalah ia meninggal dunia, maka hal itu juga tidak dinamakan hibah, tetapi dihukumkan wasiat. Walaupun hibah merupakan suatu akad yang sifatnya untuk mempererat silaturahmi antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang menyerahkan hibah maupun bagi orang yang menerima hibah tersebut. Akibatnya 99
Sudarsono, op. cit., hal. 372. Abdur Rahman Al Jajiry, dalam Anwar Sadat, op. cit., hal. 21.
100
jika salah satu rukun atau syarat itu tidak terpenuhi, maka hibah menjadi tidak sah. Adapun rukun hibah itu ada tiga, yaitu: Pertama, adanya ijab dan kabul yang menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang yang menghibahkan kepada orang lain yang menerima hibah. Bentuk hibah bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah. Atau juga dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Terhadap kabul (penerimaan dari pemberian hibah), para ulama berbeda pendapat. Iman Malik dan Imam Syafi’i menyatakan harus ada pernyataan menerima (kabul) dari orang yang menerima hadiah, karena kabul ini termasuk rukun. Bagi segolongan ulama mazhab Hanafi, kabul bukan termasuk rukun hibah. Dengan demikian, bentuk hibah itu cukup dengan ijab (pernyataan pemberian) saja.101 Kedua, ada orang yang menghibahkan dan yang akan menerima hibah. Untuk ini disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-henar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Oleh karenanya, harta orang lain tidak boleh dihibahkan. Demikian pula hibah orang gila atau anak kecil. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar. Ketiga, ada harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harus itu milik penghibah secara sempurna tidak bercampur dengan harta orang lain, dan rnerupakan harta yang bermanfaat serta diakui agama. Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna, misalnya harta pinjaman dari orang lain, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang 101
Ensiklopedi Islam, op. cit., hal. 106-107.
dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah. Segala macam bentuk hibah tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul. Dan tidak memiliki harta di dalamnya melainkan dengan serah terima. Dan tidak sah serah terima itu kecuali dengan ijin si penghibah. Dengan demikian, ijab-qabul (serah terima) di kalangan ulama mazhab Syafi’i merupakan syarat sahnya suatu hibah. Selain itu, mereka menetapkan beberapa syarat yang berkaitan dengan ijab-qabul, yaitu (1) sesuai antara qabul dengan ijab-nya, (2) qabul mengikat ijab, dan (3) aqad hibah tidak dikaitkan dengan sesuatu (aqad tidak tergantung) seperti perkataan: “aku hibahkan barang ini padamu, bila si anu datang dari Mekah". Selain itu, hibah pada dasarnya adalah pemberian yang tidak ada kaitan dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.102 Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis atau lisan, bahkan pemberian berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam bentuk tulisan. Pemberian hibah secara tertulis tidak ditentukan harus dilakukan di hadapan Notaris (atau PPAT dalam kaitan dengan hibah tanah), namun demikian Islam membolehkan untuk menggunakan jasa hukum, sebagaimana perbuatan nabi dan pengikutnya berikut ini: 102
H. Zainuddin, op. cit., hal. 76-77.
Perkembangan pemberian jasa hukum pra-Islam yang terjadi di Arab khususnya di Mekah memberikan inspirasi kepada jalan di1anjutkannya pemberian jasa bantuan hukum sesudah agama Islam menjadi agama resmi di daratan negara Arab. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini bahwa: 103 Pada waktu Islam datang dan berkembang di bawah Nabi Muhammad, praktik pemberian jasa hukum terus berjalan dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada pra-Islam. Hal-hal bersifat takhayul dan syirik mulai dieliminasi secara bertahap disesuaikan dengan Alquran dan As-Sunnah. Pada perkembangan Islam, tradisi pemberian bantuan jasa hukum berkembang pada masyarakat Mekah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis di antara mereka. Demikian juga lembaga jasa hukum berkembang di Madinah sebagai daerah agraris untuk menyelesaikan masalah sengketa di bidang pertanian. Pada praktiknya, Nabi Muhammad dalam memberikan bantuan hukum kepada umatnya terkadang berperan sebagai advokat, konsultan hukum, penasihat hukum, dan arbiter. Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah pernah bertindak sebagai arbiter dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekah. Perselisihan itu berkaitan dengan peletakan kembali Hajar Aswad (batu suci) ke tempat semula. Di kalangan Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak meletakkan kembali ke tempat semula karena masingmasing pihak saling menuntut hingga nyaris terjadi bentrokan fisik pada waktu itu. Akhirnya mereka menemukan jalan keluar, yaitu menunjuk orang yang pertama kali datang ke tempat itu melalui pintu Syaibah. Kebetulan Nabi Muhammad SAW datang lebih dahulu melalui pintu tersebut, dan kaum Quraisy berseru, inilah Al-Amin. Kami menyetujui, dialah yang menyelesaikan perselisihan ini Akhirnya Nabi Muhammad
103
Rahrnat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, haI. 36-37.
berusaha untuk menyelesaikan sengketa itu dengan pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan keputusan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad itu.104 Bertitik tolak dan uraian di atas, maka Nabi Muhammad sebelum dinobatkan sebagai Rasulullah telah memberikan sebuah keputusan yang sangat spektakuler di bidang hukum kepada kaum Quraisy yang berselisih mengenai penempatan kembali Hajar Aswad tersebut. Keputusan yang dilakukan tersebut sangat adil di mata mereka, sehingga kaum Quraisy memberinya gelar orang yang jujur atau Al-Amin.105 Warkum Sumitro mengemukakan: Pada awalnya Nabi Muhammad bertindak sebagai arbiter tunggal. Selain menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad, nabi juga sering menjadi wasit dalam sengketa umat. Misalnya, sengketa warisan antara Ka’ab ibnu Malik dan Ibnu Abi Hadrad sebagai arbiter tunggal. Kemudian juga kepada Sa’id Ibnu Muaz dalam perselisihan di antara Abi Quraidh, Zaid Ibnu Sabit dalam perselisihan antara Umar dengan Ubay ibnu Ka’ab tentang kasus nabi dan sebagainya.106 Episode selanjutnya, perkembangan pemberian jasa hukum ini lebih berkembang pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang mulai melimpahkan wewenang peradilan kepada pihak lain yang memiliki otoritas untuk itu. Lebih daripada itu, Umar bin Khattab mulai membenahi lembaga peradilan untuk memulihkan kepercayaan umat terhadap lembaga peradilan. Selain menata lembaga arbitrase dengan sebaik-baiknya agar mampu menjadi lembaga alternatif tempat penyelesaian sengketa bagi umat, Umar berhasil menyusun pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan (Risalat A1-Qadha) yang ditujukan kepada seorang qodhi,
104
Ibid., hal. 37. Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 153 106 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1986, hal. 142. 105
Abu Musa Al-Asy’ari. Salah satu prinsip yang tercantum dalam risalah itu adalah pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase.107 Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam Islam boleh digunakan jasa hukum dalam bertransaksi, seperti halnya dalam perbuatan hibah yang dilakukan di Indonesia di hadapan Notaris (PPAT dalam kaitan dengan hibah tanah) yang menurut undang-undang (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah) sebagai pejabat yang berwenang untuk itu, maka perbuatan ini tidak bertentangan dalam Hukum Islam, bahkan dari sejarah nabi di atas terlihat bahwa dalam Islam dianjurkan untuk digunakan jasa hukum (pejabat yang mengetahui atau berwenang).
4. Macam-macam Hibah Menurut Islam Adapun macam-macam hibah itu adalah hibah barang dan hibah manfaat, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Hibah barang Hibah barang ada yang dimaksudkan untuk mencari pahala dan ada pula yang tidak dimaksudkan untuk mencari pahala. Yang dimaksudkan untuk mencari pahala ada yang ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah, dan ada pula yang ditujukan untuk memperoleh kerelaan makhluk. Hibah bukan untuk mencari pahala tidak diperselisihkan lagi kebolehannya, tetapi masih diperselisihkan hukum-hukumnya. Mengenai hibah untuk mencari pahala, maka fuqaha memperselisihkannya. lman Malik dan Abu Hanifah membolehkannya, tetapi Imam Syafi’i melarangnya. Pendapat yang melarang ini juga dipegangi oleh Daud dan Abu Tsaur. Silang 107
Rahrnat Rosyadi dan Sri Hartini, op.cit., hal. 39.
pendapat tersebut berpangkal pada apakah hibah itu merupakan suatu jual beli yang tidak diketahui harganya, ataukah bukan suatu jual beli yang tidak diketahui harganya.
b. Hibah manfaat Di antara hibah manfaat adalah hibah mu‘ajjalah (hibah bertempo), dan disebut pula ‘ariyah (pinjaman) atau minhah (pemberian). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup, dan disebut hibah umri (hibah seumur hidup). Seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperseIisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat, sebagai berikut: Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Iman Syafi’i, Abu Hanifah As Tsauri, Ahmad dan segolongan fuqaha. Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan para pengikutnya. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan, sedang keturunan ini sudah habis, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Ketiga, apabila pemberi hibah berkata, “Barang ini, demi umurku, adalah untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi
hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakn oleh Daud dan Abu Tsaur.108 Dalam literatur lain dapat dilihat macam-macam hibah itu sebagai hal tersebut di bawah ini: 1) Hibah ‘Umra (kuberikan benda ini kepadamu selama kau masih hidup; kalau kau mati sebelum saya, benda kembali kepada saya); jadi hibah untuk selama hidup pihak yang diberi. 2) Hibah Ruqba (kuberikan benda ini kepadamu dengan syarat kalau kau mati sebelum saya, benda ini tetap milikku; kalau mati lebih dulu menjadilah milikku). Kedua macam hibah ini tidak diperkenankan, karena hak milik atas benda yang dihibahkan seharusnya sudah berpindah bila sudah diucapkan kabul dan benda telah berada di tangan pihak yang diberi. Jadi hibah yang disertai syarat, syaratnya itu tidak sah; dianggap hibah tanpa syarat.109 Selain dua macam tersebut di atas masih ada bentuk lain lagi yaitu hibah bersyarat Dikatakan hibah bersyarat apabila hibah dikaitkan dengan sesuatu syarat, seperti syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada penerima hibah, maka syarat tersebut tidak sah, sekalipun hibahnya itu sendiri sah. Ditemukan dalam Ilmu Fiqh bahwa macam hibah selain yang disebutkan itu, masih ada bentuk lain, yaitu: maradhul maut. Hibah ini boleh dilakukan bila orang yang maradhul maut dalam keadaan sempurna mukallaf-nya.110
108
Ibnu Rush, op. cit., hal. 248. Bandingkan dengan Pasal 1672 KUH Perdata, yang berbunyi: Penghibah boleh memberi syarat, bahwa barang yang dihibahkannya itu akan kembali kepadanya bila orang yang diberi hibah atau ahli warisnya meninggal dunia lebih dahulu dari penghibah, tetapi syarat demikian hanya boleh untuk kepentingan penghibah sendiri. 110 Asymuni A. Rahman, dkk., Ilmu Fiqh, tanpa penerbit, 1986, hal. 206. 109
D. Akibat Hukum Terhadap Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Kepada Anak Dalam hukum Islam yang diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Dalam Pasal 86 KHI disebutkan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Dalam Pasal 87 KHI disebutkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Sehingga, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing, misalnya melakukan hibah. Suami maupun isteri bertanggung jawab menjaga harta bersama, demikian juga terhadap harta bawaan dari masing-masing pihak, suami maupun pihak isteri sama-sama bertanggung jawab atas harta bawaan. Jadi tidak berarti bahwa harta bawaan adalah di bawah tanggung jawab masing-masing, karena menurut ketentuan Pasal 89 KHI, suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. Sebaliknya dalam Pasal 90 KHI dinyatakan isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. Oleh karena itu, dalam Pasal 92 KHI ditentukan, suami atau isteri tanpa persetujuan dari salah satu pihak tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama itu, demikian juga dalam melakukan hibah.
Hibah dalam KHI diatur dalam Bab VI Pasal 210 sampai dengan Pasal 214. Dalam Pasal 210 ditentukan, orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.111 Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Jadi kalau harta yang dihibahkan tersebut adalah harta bersama, maka harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak suami atau isteri. Selanjutnya dalam Pasal 211
111
Dalam Pasal 330 KUH Perdata, dinyatakan yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila Perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Selanjutnya dalam Pasal 355 dinyatakan: Masing-masing orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang atau beberapa orang anaknya, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anaknya itu, jika sesudah ia meninggal dunia, demi hukum atau karena penetapan hakim yang dimaksud dalam alinea terakhir pasal 353, perwalian tidak dilakukan pihak lain dari orang tua. Badan hukum tidak boleh diangkat menjadi wali. Pengangkatan dilakukan dengan wasiat atau dengan akta notaris yang dibuat semata-mata untuk keperluan itu. Dalam hal ini boleh diangkat beberapa orang dengan urutan pengangkatan, sehingga yang diangkat belakangan bertindak sebagai wali, bila yang lebih dulu tidak ada. Bandingkan dengan ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 47 dinyatakan: Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya; Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.. Selanjutnya dalam Pasal 48 dinyatakan, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Akan tetapi, dalam prakteknya, walaupun dalam UU No.1 Tahun 1974 ditentukan secara otomatis orang tua menjadi kuasa atas harta anak di bawah umurr, namun, misalnya dalam hal peralihan (jual beli atau hibah) atas tanah milik bersama anak di bawah umur itu, adanya ketentuan harus dilakukan penetapan Pengadilan terlebih dahulu untuk pendaftarannya di Kantor Pertanahan.. Penetapan Pengadilan ini mengacu pada ketentuan Pasal 393 KUH Perdata, bahwa wali tidak boleh meminjam uang untuk kepentingan si anak belum dewasa, juga tidak boleh mengasingkan atau menggadaikan barang-barang tak bergerak, pula tidak boleh menjual atau memindah tangankan suratsurat utang negara, piutang-piutang dan andil-andil, tanpa memperoleh kuasa untuk itu dari Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri tidak akan memberikan kuasa ini, kecuali atas dasar keperluan yang mutlak atau bila jelas bermanfaat dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga atau semenda anak belum dewasa dan wali pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 37 dan Pasal 38 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftran Tanah, ditentukan: Peralihan hak atas tanah hak milik atas satuan rumah susun melalui hibah harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
KHI, dinyatakan hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.112 Kalau anak sebagai ahli waris sudah mendapat bagian tertentu melalui hibah, maka pemberian itu sudah diperhitungkan sebagai pembagian harta warisan sehingga bila ayah atau ibu meninggal dunia, maka pembagian harta warisan tidak dilakukan lagi karena pengaturan harta benda tersebut sudah sesuai dengan kehendak si pewaris ketika ia masih hidup. Selain itu, kalau pada saat meninggalnya orang tua masih ada sisa harta yang telah dihibahkan dan masih ada ahli waris yang masih kurang bagiannya atau belum mendapatkan hibah, maka dalam pembagian harta warisan akan diseimbangkan bagian di antara para ahli waris. 113 Sebagaimana hadist yang dikemukakan para jumhur ulama, maka dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya. Akan tetapi penarikan ini hanya dapat dilakukan jika harta hibah itu masih dalam penguasaan si penerima hibah. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya. Tetapi Muhammad Ibnul Hasan
112
Pasal 924 KUH Perdata, menyatakan: Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitime portie. Bila hibah-hibah semasa hidup pewaris harus dikurangi, maka pengurangan harus dimulai dari hibah yang diberikan paling akhir, ke hibah-hibah yang dulu-dulu. Selanjutnya dalam Pasal 925 dinyatakan: Barang-barang yang tetap, yang harus dilakukan berkenaan dengan pasal yang lalu, harus terjadi dalam wujudnya, sekalipun ada ketentuan yang bertentangan. Namun bila larangan itu harus diterapkan pada sebidang pekarangan yang tidak dapat dibagi-bagi sebagaimana dikehendaki, maka si penerima hibah, pun seandainya dia itu bukan ahli waris, berhak memberikan penggantian berupa uang tunai untuk barang yang sedianya harus diserahkan kepada legitimaris itu. 113 Ali Bungasaw dalam H. Zainuddin Ali, op. cit., hal. 25.
dan sebagian pentahqiq mazhab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.114 Dalam hal di atas, dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh. Sehubungan dengan tindakan Rasul terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadits lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.115 Hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak itu. Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di antara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara
114
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawarni K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 118 115 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 185.
menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembahagian waris.116 Menurut sebahagian ahli hukum Islam, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunat saja. Mereka menyatakan bahwa hadits yang menyatakan perlunya penyamaan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadits yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang berkelakukan tidak baik atau nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal 117 Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan dilaksanakan menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi pemecahan di antara keluarga. Prinsip yang dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan sesuai pula dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnul Hasan bahwa orang yang menghilangkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu dan tidak layak bertindak hukum. Oleh karena orang yang menghibahkan harta dianggap tidak cakap bertindak hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal, sebab ia tidak memenuhi syarat untuk melakukan 116 117
Ibid., hal. 185-186. Ash Shan’ani, dalam Ibid., hal. 186.
penghibahan. Apabila perbuatan orang tersebut dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sungguh tidak dibenarkan sebab di dalam syari’at Islam diperintahkan agar setiap pribadi untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks ini ada kewajiban pada diri masing-masing untuk mensejahterakan keluarga.118 Dalam beberapa hadits dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bahagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut KHI didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bahagian waris yang dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian,119 karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.120
118
Ibid., hal. 186-187. Lihat, M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 236., mengemukakan: penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini, berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) mediasi (mediation) melalui sistem kompromi (compromise) di antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai: penolong (helper), dan fasilitator. 2) konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator (conciliator): pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap di tangan para pihak 120 Ibid., hal. 187. 119
Dengan demikian harta bersama yang telah dihibahkan oleh orang tua kepada anaknya akan menjadi harta dari anak yang menerima hibah tersebut, namun demikian dalam memberikan menghibahkan harta bersama tersebut juga harus diperhitungkan hak dari anak-anaknya yang lain jika ada. Oleh karena itu di dalam hukum Islam maupun dalam Kompilsi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum positif dalam pelaksanaan hibah di Indonesia telah memberikan batasan tentang harta bersama yang dapat dihibahkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Islam menganjurkan agar orang tua dalam memberikan harta bersama sebagai hibah kepada anak-anaknya untuk berlaku adil karena harta bersama tersebut merupakan warisan dari semua anak-anaknya ketika mereka sudah meninggal dunia. Menurut responden dari Pengadilan Agama Medan, bahwa harta bersama (yang sah/merupakan hak milik, bernilai, bermanfaat dan halal) yang telah dibagi dua antara suami isteri, jika suami atau isteri (dalam hal ini ayah atau ibu) menghibahkan harta miliknya tersebut kepada anak kandungnya yang telah dewasa menurut hukum (berusia 21 tahun/tidak dalam pengampuan atau telah menikah) dengan jumlah tidak melebihi dari 1/3 (sepertiga) (diukur saat warisan terbuka), maka hibah tersebut menjadi harta milik pribadi anak kandungnya tersebut, dan dapat diperhitungkan sebagai warisan apabila ayah/ibu kandungnya meninggal dunia.121
121
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
BAB III PENARIKAN KEMBALI HARTA GONO-GINI YANG TELAH DIHIBAHKAN ORANG TUA KEPADA ANAK A. Fungsi Hibah Dalam Melindungi Kepentingan Anak Menurut Hukum Islam Allah SWT mensyariatkan hibah itu kepada hambanya adalah pasti membawa kemaslahatan (manfaat yang baik) bagi manusia, khususnya memiliki fungsi dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan antara anak kandung. Beberapa fungsi tersebut antara lain: 1. Hibah Berfungsi Memberikan Pertolongan Menolong orang-orang yang lemah adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang tidak boleh diabaikan. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam firmannya, yang artinya: “Dan saling tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu saling tolong menolong atas dosa dan permusuhan”.122 Dalam ayat ini Allah menyuruh ummat manusia supaya saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan dan taqwa kepadaNya. Dalam hal ini memberikan sebagian harta kepada orang yang memerlukan, apakah dengan jalan shadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, termasuk dalam rangkaian pengertian tolong menolong dalam usaha kebaikan seperti yang terkandung dalam ayat tersebut di atas.123 Pengertian menolong di sini bukan hanya menolong orang lain tetapi juga temasuk menolong anak kandung sendiri, sebab di antara anak itu sendiri ada yang memiliki kondisi kehidupannya membutuhkan pertolongan. Al-Qur’an, Surat Al Maidah ayat 2. M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, hal. 89. 122 123
Orang yang dalam keadaan lemah, berhak mendapat pertolongan, baik yang datangnya dari orang lain, saudara kandung, terlebih dari orang tuanya sendiri. Jadi, setiap pemberian dalam bentuk dan jenis apapun yang diberikan kepada seseorang yang lemah adalah merupakan haknya sendiri, karena di dalam harta orang yang mampu terdapat sebagian milik orang yang lemah yang dititipkan Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan dalam FirmanNya, yang artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian”.124 Oleh karena itu, kalau seandainya orang tua menghibahkan sebagian hartanya dalam rangka memberikan pertolongan kepada anaknya yang lemah adalah sangat dibenarkan dalam Islam. Sebab harta pemberian orang tuanya itu adalah merupakan haknya, karena ia adalah tergolong orang yang lemah yang wajib mendapat pertolongan bukan saja dari orang tuanya, namun juga dari saudara kandungnya sendiri. Setiap anak memang pantas diberi pertolongan melalui hibah, karena sasaran hibah itu sendiri diperuntukkan kepada:125 a. Karib kerabat b. Anak yatim c. Fakir miskin d. Orang yang musyafir e. Orang-orang yang meminta karena tiada kuasa berusaha sebab lemah, potong tangan dan lain sebagainya.
124 125
Adz Dzaariyat ayat 19. Sudarsono, op. cit., hal. 372.
Jelasnya bahwa hibah yang diberikan orang tua kepada seorang anak yang lemah bukan berarti mengurangi bagian saudaranya yang mampu. Sebab hibah tersebut merupakan hak anak yang lemah yang dititipkan Allah kepada orang tuanya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anak yang mampu untuk memprotes pemberian hibah tersebut, karena hibah tersebut milik anak yang lemah bukan milik anak yang mampu. Lagipula seorang saudara yang mampu juga berkewajiban membantu setiap muslim yang lemah, terlebih terhadap saudara kandungnya sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat Al Maidah ayat 2 di atas. Allah SWT mensyariatkan hibah ini kepada hambanya semata-mata untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, karena di dalam hibah itu berperan dan berfungsi dalam memberikan pertolongan dan perlindungan bagi kaum lemah. Anjuran melaksanakan hibah ini dapat dilihat dalam surat Ali Imran ayat 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali belum sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” Ayat di atas memberikan pengertian bahwa di antara kebaktian kepada agama ataupun untuk mencapai kebaikan yang sempurna dalam agama, hendaknya rela memberikan sebahagian harta benda yang dimiliki kepada jalan yang diridhoi Allah SWT. Memberikan harta yang dicintai, apakah dengan jalan shadaqah ataupun dengan hibah dan sebagainya termasuk suatu kebaktian yang sempurna menurut pandangan agama Islam.126
126
M. Hasballah Thaib, op. cit., hal. 90.
2. Hibah Berfungsi Menumbuhkan Rasa Cinta Memberikan sesuatu kepada orang lain secara tulus tanpa mengharapkan imbalan sesuatu apapun, akan berfungsi menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara si penghibah dengan penerima hibah. Rasa cinta ini muncul dari kedua belah pihak. Penghibah merasa senang dapat memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan, sementara penerima hibah merasa bahagia juga mendapat pemberian dari orang lain, terlebih pada saat-saat sedang membutuhkan. Akhirnya muncullah rasa hormat-menghormati, cinta-mencintai, hingga terjalin hubungan persaudaraan yang harmonis. Hibah menurut ajaran Islam dimaksudkan untuk menjalin kerja sama sosial yang lebih baik dan untuk lebih mengakrabkan hubungan antara sesama manusia. Islam, sesuai dengan namanya, bertujuan agar penganutnya hidup berdampingan secara damai, penuh kecintaan serta kasih sayang dan saling bantu dalam mengatasi kesulitan bersama atau pribadi. Untuk terciptanya hal tersebut, salah satu jalan yang dianjurkan Islam adalah hibah. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Saling memberi hadiah dan saling berkasih sayanglah kamu”.127 Dalam riwayat lain dari khalid bin Adiy, Nabi SAW mengatakan: ”Jika salah seorang saudaramu (seiman) datang memberikan sesuatu secara baik tanpa berlebih lebihan dan tanpa mengharapkan sesuatu sebagai imbalan, maka terimalah pemberian tersebut; jangan kamu menolaknya, karena hal itu merupakan rejeki yang dialirkan Allah kepada kamu”.128 Dan dari Abu Hurairah berkata bahwa pernah Rasulullah
127 128
Hadist Riwayat Bukhari. Hadist Riwayat Imam Hambali.
bersabda: “Saling memberi hadiahlah kamu, sesungguhnya yang demikian itu menghilangkan rasa dengki di antara kamu”. Berdasarkan konteks hadist di atas menunjukkan bahwa dengan memberikan hadiah kepada seseorang, maka sifat dengki terhadap sesama secara perlahan-lahan akan hilang. Kalau sudah sifat dengki hilang dari seseorang, tentu akan tumbuh sifat kasih sayang antara sesama manusia. Setiap orang memiliki rejeki atau harta yang berbeda-beda antara manusia. Ada yang memiliki harta yang banyak, ada yang mendapat rejeki yang sedikit atau pada kasus lain bahwa masing-masing orang memiliki harta yang banyak, tetapi antara satu dengan yang lain memiliki harta yang berbeda jenisnya. Dalam posisi semacam ini, maka timbul rasa ketergantungan di antara sesama manusia. Artinya, seorang yang memiliki uang banyak akan membutuhkan beras yang dimiliki seorang petani. Sebaliknya seorang petani juga membutuhkan uang yang dimiliki oleh orang kaya. Kalau seandainya terjadi perbuatan saling memberi antara keduanya, tentu akan muncul rasa saling menghargai dan rasa saling mencintai sebagaimana yang disebutkan dalam hadis di atas. Hibah tidak mesti terjadi antara orang kaya dengan orang miskin atau orang lemah saja, melainkan hibah dapat dilakukan oleh orang miskin kepada orang kaya atau antara orang miskin dengan orang miskin serta antara orang kaya dengan orang kaya. Bahkan hibah dibolehkan antara orang yang berlainan agama. Hasballah Thaib dalam ini mencatatkan bahwa ada 3 tingkatan dalam hal membalas hibah seseorang:129
129
M. Hasballah Thaib, op. cit., hal. 91.
a. Pemberian seseorang kepada orang lebih rendah dari dirinya, seperti pemberian seseorang majikan kepada pembantunya dengan maksud ingin menghormati dan mengasihinya. Pemberian yang demikian tidak menghendaki balasan. b. Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan kebutuhan dan manfaat. Pemberian yang demikian wajib dibalas. c. Pemberian dari seseorang kepada orang lain yang setingkat dengannya. Pemberian ini mengandung makna kecintaan dan pendekatan. Dikatakan pula bahwa pemberian yang demikian wajib dibalas. Adapun apabila seseorang diberi hadiah dan disyaratkan untuk membalasnya, maka dia wajib membalasnya. Syariat Islam membolehkan semua orang rnemberikan hibah kepada siapa saja yang ia kehendaki. Karena makna hibah itu sendiri meliputi: a. Ibraa artinya menghibahkan hartanya kepada orang lain yang berhutang (pembebasan hutang). b. Sadaqah artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di hari akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Para ulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat. c. Hadiah artinya imbalan yang diberikan seseorang kanena dia telah mendapatkan hibah.130 Pada dasarnya hadiah dan hibah. Hanya saja kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang.131 Lagi pula pemberian itu sendiri merupakan salah satu tolok ukur penilaian terhadap integritas keimanan seseorang sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadist,
130 131
Sayyid Sabiq, dalam Helmi Karim, op. cit., hal. 80. Ibid., hal. 80.
bahwa: “Tidak dikatakan seseorang beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”132 Allah SWT telah mensyariatkan hibah ini kepada manusia, agar supaya tumbuh rasa saling cinta-mencintai dan kasih-mengasihi sesama mereka. Di antara hikmah disyari’atkannya hibah ini adalah akan menghilangkan rasa marah, kebencian, menyatukan hati dalam kecintaan dan kasih sayang. Perbuatan hibah itu juga menunjukkan kemuliaan akhlak, kebersihan jiwa.133 Begitu juga dalam pemberian hadiah, akan lahir darinya rasa kasih sayang dalam hati dan akan menghilangkan rasa kebencian. Sebaliknya, menarik kembali hadiah akan melahirkan permusuhan dan kebencian, hingga bisa terputus rasa persaudaraan. Hibah merupakan sifat yang terpuji, sampai-sampai Allah SWT menjadikan hibah ini dalam salah satu nama-Nya, yang disebut dengan “Al Wahhab”, yang artinya maha pemberi.134
3. Hibah Berfungsi Memberikan Penghargaan Hibah dapat berperan memberikan penghargaan kepada orang lain, termasuk kepada anak kandung sendiri, disebabkan oleh berbagai faktor yang melatar belakangi, di antaranya adalah akibat adanya prestasi yang dibuat oleh seorang anak dalam hal pendidikan atau perlombaan, atau akibat kejujuran dan kebaikan akhlaknya terhadap orang tuanya dan lain sebagainya. Dalam hal ini Allah SWT telah menyampaikan kepada hambanya melalui firmanNya, yang artinya: “Dan 132
Hadist Riwayat Bukhari Muslim. Ali Ahmad Al Jurzawiy, dalam Helmi Karim, op. cit., hal. 81. 134 Ibid., hal. 82. 133
bahwasanya
seorang
manusia
tiada
memperoleh
selain
apa
yang
telah
diusahakannya”.135 Menghargai usaha dan karya seseorang merupakan suatu prinsip yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Setiap perbuatan yang dilakukan sekecil apapun, akan mendapat balasan dari Allah SWT. Perbuatan baik akan diberi penghargaan berupa balasan pahala berlipat ganda di sisiNya dan perbuatan jahat akan dibalas dengan kejahatan yang setimpal dengannya sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, yang artinya: ”Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya”.136 Dalam pandangan syariat Islam, hanya melalui hibah (hadiah) lah satusatunya yang paling bisa dilakukan dalam rangka memberikan penghargaan kepada seseorang. Karena penghargaan tidak mungkin diberikan lewat cara zakat, shadaqah, wasiat dan lain-lain. Hibah ini merupakan pemberian sukarela yang tidak ada unsur kewajiban dan paksaan di dalamnya. Oleh karena itu, penghargaan dapat diberikan kepada orang lain dalam bentuk hibah. Sungguh sangat tepat sekali memberikan penghargaan kepada anak kandung atau orang lain melalui hibah. Sebab sebagaimana dikemukakan di atas, hibah itu sendiri terdiri dari 3 bentuk, yakni Ibraa yang berarti menghibahkan hartanya kepada orang lain yang berhutang. Sadaqah yang berarti menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di hari akhirat. Pada motivasi ingin mencari pahala dan keridhaan Allah itulah letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah. Para 135 136
Qur’an Surat An Najm, ayat 39. Qur’an Surat Al An’am, ayat 160.
ulama membagi sedekah itu kepada sedekah wajib dan sedekah sunat. Dan ketiga adalah hadiah yang berarti imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah mendapatkan hibah. Pada dasarnya hadiah dan hibah. Hanya saja kebiasaannya, hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang. Memberikan penghargaan kepada orang lain dapat dilakukan dengan jalan shadaqah sunat, karana shadaqah sunat itu masih termasuk dalam pengertian hibah. Pengertian shadaqah di sini adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan tidak mengharapkan sesuatu imbalan jasa atau penggantian.137 Menghargai orang lain dalam syariat Islam sangat dijunjung tinggi. Pemberian penghargaan ini sesuai dengan proporsinya. Masing-masing orang tidak mesti harus sama bentuk pemberian penghargaannya, tergantung pada besar kecilnya nilai dan upaya yang dilakukannya Sebagai contoh yang berkenaan dengan penghargaa ini adalah dapat ditemukan dalam Al Qur’an dimana Allah SWT memberikan penghargaan kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan berupa derajat yang tinggi.138 Maksud pengangkatan derajat di sini bisa dalam bentuk pengangkatan dalam tingkat perekonomian, harga diri, kebahagian dan lain sebagainya Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas, orang tua diharuskan memberikan penghargaan kepada sebagian anak yang dianggap telah memberikan sesuatu prestasi baik dalam bidang pekerjaan, akhlak maupun dalam bidang-bidang
137 138
Helmi Karim, op. cit., hal. 80. Surat Al Mujadalah, ayat 11.
lainnya. Penghargaan itu tidak mesti sama bentuk dan jumlahnya antara anak yang satu dengan lainnya Namun dapat diberikan sesuai dengan nilai usaha masingmasing. Sebagai contah, bagi anak yang rajin membantu orang tuanya dalam bekerja, diberikan penghargaan berupa hibah atau hadiah.
B. Membedakan Jumlah Hibah Antara Anak Melindungi anak yang dalam keadaan lemah baik dalam bidang kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya adalah merupakan kewajiban orang tua. Anak yang lemah berhak mendapatkan perlindungan bukan saja dari orang tuanya, tetapi juga dari saudara kandungnya serta kaum muslimin pada umumnya. Kedudukan orang lemah sangat dilindungi dalam Islam. Ia tidak boleh dihina ataupun disengsarakan. Orang lemah dalam Islam berhak mendapatkan bagian dari zakat, shadaqah, hibah, wasiat dan lain sebagainya. Berkenaan dengan ini Allah berfirman, yang artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian”.139 Ayat tersebut menjelaskan bahwa harta yang dikeluarkan oleh orang kaya itu adalah milik orang miskin. Jadi harta yang ia keluarkan itu, sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik orang miskin yang dititipkan Allah kepadanya. Allah SWT hendak menguji hambanya, apakah ia berkenan mengeluarkannya dalam bentuk zakat, hibah atau tidak. Jika ia mau mengeluarkan zakatnya, Allah akan memberikan ganjaran pahala baginya, jika ia enggan mengeluarkannya, maka ia mengingkari nikmat yang Allah berikan padanya.
139
Qur’an Surat Az Zariyat ayat 19.
Kewajiban membantu orang lemah harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, selama kondisi kelemahan itu masih melekat padanya Jika kelemahan tersebut tidak lagi terdapat padanya, maka kewajiban membantunya juga tidak ada. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah: “Hukum itu berputar bersama illatnya140 dalam mewujudkan dan meniadakan hukum” Sifat lemah di sini bertindak sebagai illat, sedangkan kewajiban membatu orang lemah adalah bertindak sebagai hukum yang lahir. Jika illat-nya hilang, maka hukumnyapun hilang, begitu sebaliknya. Fuqaha telah Sepakat bahwa seseorang itu boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain (bukan ahli waris). Selanjutnya mereka berselisih pendapat tentang orang tua yang mengutamakan (pilih kasih) terhadap sebagian anaknya atas sebagian yang lain dalam soal penghibahan sebagian atau seluruh hartanya kepada sebagian anak. Menurut Malik, boleh membedakan pemberian hibah di antara anak-anak. Jumhur fuqaha amsar (negeri-negeri besar) berpendapat bahwa hibah seperti itu makruh hukumnya. Tetapi apabila terjadi, maka sah pula.141 Ahmad Rofiq berpendapat bahwa orang tua boleh melebihkan hibah kepada satu anak, asal dalam pemberian hibah tersebut, dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini penting, agar tidak terjadi perpecahan antara keluarga.142 Sedangkan ulama Jumhur berpendapat, tidak wajib mempersamakan hibah antara anak kandung, melainkan hukumnya sunat saja.
140 141
Pengertian illat adalah alasan-alasan atau yang menjadi penyebab. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Pertama, 1995,
hal. 472. 142
Ibid., hal. 473.
Dalam masalah hibah barang, kalau ada orang tua yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi maksimal 1/3 saja dari keseluruhan harta yang dimiliki. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Imran ibnu Husain yang menjelaskan tindakan Nabi SAW ketika (lmran ibnu Husain) memerdekakan enam orang hamba dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW memerintahkan (agar dimerdekakan 1/3nya saja). Maka ia memerdekakan sepertiganya.143 Dalam KHI Pasal 210 ayat (1) juga dinyatakan seseorang dapat menghibahkan sebanyakbanyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Dalam masalah hibah barang, sebaiknya orang tua tidak membedakan pemberiannya di antara sesama anak. Tidak dihalalkan bagi seorangpun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dalam hal pemberian di atas anak-anaknya yang lain, karena hal demikian akan menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturrahmi yang diperintahkan Allah untuk menyambungnya. Imam Ishak As Tsauri dan sebagian orang-orang Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya melebihkan sebagian anak-anak di atas sebagian yang lain itu perbuatan yang batil dan curang. Maka orang yang melakukan perbuatan itu hendaklah membatalkannya, karena Al Bukhari pun telah menjelaskan hal ini.144 Dalam hal ini ada sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Persamakanlah di antara anak-anakmu di dalam pemberian. Seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan”. 143 144
Wahbah, dalam Ibid., hal. 473. Ibid. hal. 474.
Orang-orang Hanafi, Syafi’i, Malik dan Jumhurul Ulama berpendapat bahwa mempersamakan di antara anak-anak itu sunat dan pelebihan di antara mereka itu makruh walaupun dapat dijalankan. Mereka menjawab hadis An Nu’man Walaupun demikian, orang tua tetap diperbolehkan menghibahkan hartanya kepada seluruh anak-anaknya dengan jumlah yang berbeda satu sama lain. Karena di dalam hibah itu sendiri, tidak ada ketentuan ukuran minimal dan maksimalnya. Syariat Islam memberikan kebebasan penuh kepada pemilik harta untuk menentukan berapa jumlah hibah yang akan diberikannya dan kepada siapa hibah tersebut diserahkan, asalkan didasarkan pada prinsip keadilan. Hanya saja dalam hibah barang ini, kalau orang tua membedakan jumlah hibah yang akan diberikan kepada anak-anaknya, perlu diadakan musyawarah dengan seluruh anak kandung, agar tidak terjadi permasalahan yang tidak diinginkan dikemudian hari. Pelaksanaan musyawarah tersebut bukan merupakan perintah nash, tetapi hanya merupakan pertimbangan kemaslahatan semata di antara keluarga. Selanjutnya, dalam masalah hibah manfaat, orang tua dibolehkan secara mutlak memberikannya kepada anak tertentu saja dan tanpa memberikannya sama sekali kepada anak yang lain atas dasar pertimbangan keadilan. Dalam pemberian hibah manfaat ini, tidak mesti jumlahnya sama antara sesama anak. Siapa yang dianggap paling membutuhkan, maka kepadanya diberikan seluruh manfaat yang terdapat dalam harta milik orang tua tersebut. Dalam hibah manfaat, bendanya tetap milik orang tua, yang dihibahkannya hanya manfaatnya saja. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anak yang lain yang sudah mapan merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil, karena zat benda
tersebut masih ada, yang dihibahkan adalah manfaatnya saja. Sebagai contoh, seseorang menghibahkan hasil dari seluruh perkebunannya kepada anak yang paling kecil untuk kepentingan sekolahnya. Jika, kelak dia sudah berhasil menamatkan sekolahnya, maka manfaat harta tersebut kembali kepada orang tua. Dan jika orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu, maka manfaat harta tersebut, kembali kepada keluarganya. Dalam masalah hibah manfaat ini, orang tua seharusnya menyediakan sebagian hartanya, baik berupa pertanian, perkebunan dan lain sebagainya sebagai harta produktif bagi kepentingan anak-anaknya. Artinya, segala hasil yang didapat dari harta produktif tadi dapat dipergunakan oleh anak yang membutuhkan. Dana tersebut memang khusus disediakan bagi anak-anak yang dalam posisi lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang kesehatan. Harta produktif tadi sangat penting keberadaannya bagi kehidupan keluarga. Sebab dengan adanya harta produktif tadi, kepentingan anak yang dalam keadaan membutuhkan dapat terlindungi dengan tidak mengurangi harta benda milik orang tuanya. Yang dipakainya hanya hasil yang didapat dari harta produktif tadi, bukan dengan menjual sebagian harta orang tuanya. Cara seperti ini sangat baik dikembangkan demi kemaslahatan kehidupan suatu rumah tangga.145 Dengan demikian, sebagaimana telah dikemukakan di atas, pada umumnya hibah itu ada dua macam, yakni hibah barang dan hibah manfaat. Dalam hibah barang, orang tua dapat memberikannya kepada sebagian anaknya dengan
145
M. Hasballah Thaib, op. cit., hal. 92
pertimbangan keadilan. Adil bukan berarti harus sama, namun disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Inilah di antara ajaran kebijakan syariat Islam, dimana orang mendapatkan bagian dan perlindungan sesuai dengan kebutuhannya.
C. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam Pada umumnya Jumbur ulama mengatakan bahwa penghibah diharamkan menarik kembali hibahnya jika penyerahan harta telah dilakukan secara sempurna, sekalipun hibah itu berlangsung antara sesama saudara atau suami istri. Tetapi mereka membolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang telah diserahkan kepada anaknya Pendapat jumhur ini didasarkan pada hadist, artinya: 146 Jika seseorang telah memberikan suatu pemberian atau menghibahkan suatu barang kepada seseorang, maka tidak boleh ia tarik kembali pemberian atau hibah tersebut, kecuali seorang ayah menarik kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya. Orang yang menarik kembali pemberian atau hibahnya tak ubahnya seperti seekor anjing yang muntah dan menjilat kembali muntahnya tersebut. Benda yang dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orangtua kepada turunannya (anaknya). Benda yang telah dihibahkan tetap dalam kekuasaan pihak yang diberi. Hak untuk menarik kembali hibah oleh orangtua kepada anaknya, terbatas selama benda itu masih dalam kekuasaan pihak yang diberi. Berbeda dengan wasiat, benda yang dihibahkan telah beralih sejak Kabul, tidak usah menunggu meninggalnya penghibah. Jika ayah atau ibu atau kakek menghibahkan sesuatu kepada anaknya atau cucunya, dan sudah diserahterimakan kepadanya, maka dalam hal ini si penghibah 146
Hadist Riwayat Abu Dawud, An Nasa’I Ibnu Hiban dan Tarmizi.
boleh menarik kembali hibahnya. Jika ia sedekahkan maka menurut nash ia boleh menarik kembali hibahnya itu, sedang menurut pendapat lain tidak boleh.147 Diterangkan oleh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqhul Islami wa adillatuhu” bahwa boleh mengambil kembali sesuatu hibah yang diberikan kepada seseorang sebagaimana dalam hadist dinyatakan, ”Orang yang menghibahkan itu lebih berhak baginya atas suatu barang yang dihibahkan itu sebelum sampai padanya ganti yang ditetapkan sebelumnya”. Seorang itu dapat menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya selama bapak si anak tadi masih hidup. Akan tetapi, bila bapak meninggal dunia, hibah tersebut tidak bisa ditarik karena hibah yang telah diberikan kepada si yatim itu tidak dapat ditarik kembali.148
D. Penarikan Kembali Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Orang Tua Kepada Anak di Pengadilan Agama Medan Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 (sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama) yang mengatur kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara. Kelahiran undang-undang ini merupakan tonggak pundamental sejarah Peradilan Agama dari keberadaannya di Indonesia lebih dari satu abad lamanya. Dengan itu pula kedudukan konstitusional Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Negeri telah memiliki kepastian sebagaimana sumbernya telah ditegaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang ketentuan Pokok 147 148
Ibnu Rush, op. cit., hal. 247. Abdur Rahman I Doi, op. cit., hal. 210.
Kekuasaan Kehakiman), yaitu salah satu lingkungan Peradilan yang berfungsi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam bidang perkara tertentu berdasarkan azas personalitas ke-Islaman. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49, bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Jadi, salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan perkara hibah. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Agama Medan, diperoleh data penerimaan perkara yang terkait dengan hibah, dari 2007 sampai dengan tahun 2008 sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Data Penerimaan Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008
2007
Sisa Tahun Lalu 2
2008
0
Tahun
Diterima
Jumlah
Diputus
Sisa
2
4
4
0
7
7
5
2
Sumber data: Data diolah dari Pengadilan Agama Medan Tahun 2009.
Dari data pada tabel di atas, terlihat bahwa pada tahun 2007 terdapat sebanyak 4 (empat) jumlah kasus hibah, yang terdiri dari: 2 (dua) kasus yang merupakan sisa dari tahun 2006 dan 2 (dua) kasus lagi diterima di tahun 2007. Dari jumlah perkara hibah di tahun 2007 yaitu sebanyak 4 (empat) kasus yang semuanya telah selesai diputuskan. Kemudian di tahun 2008 penerimaan kasus hibah ada sebanyak 7 (tujuh)
kasus, dan telah diputus sebanyak 5 (lima) kasus, sedangkan 2 (dua) kasus lagi belum diputus. Adapun jenis penyelesaian perkara hibah yang diputus/diselesaikan pada Pengadilan Agama Medan tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Jenis Penyelesaian Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008
Tahun
Dicabut
Kabul
Ditolak
Batal
Gugur
2007
-
-
2
2
-
NO (tidak diterima) -
2008
-
2
3
0
-
-
Jumlah 4 5
Sumber data: Data diolah dari Pengadilan Agama Medan Tahun 2009.
Dari data pada tabel di atas, terlihat bahwa jenis penyelesaian yang dilakukan terhadap jumlah kasus hibah yang diterima pada tahun 2007 adalah 2 (dua) kasus ditolak dan 2 (dua) kasus lagi dibatalkan. Sedangkan pada tahun 2008 jenis penyelesaian yang dilakukan terhadap 5 (lima) kasus yang diputus adalah sebanyak 2 (dua) kasus dikabulkan, sedangkan 3 (tiga) kasus lagi ditolak. Dari seluruh jumlah kasus hibah yang terjadi pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 pada Pengadilan Agama Medan, diketahui bahwa Pengadilan Agama Medan berhasil memutuskan seluruh jumlah perkara hibah (100%) di tahun 2007, sedangkan di tahun 2008 dari jumlah perkara hibah yang diterima belum seluruhnya diselesaikan atau 71% dari jumlah kasus. Jadi masih menyisakan 29% jumlah kasus hibah yang akan diselesaikan pada tahun 2009.
Dokumen persyaratan bagi ahli waris lain (anak) dalam melakukan gugatan terhadap pembatalan hibah yang diberikan oleh orang tua kepada salah seorang ahli waris saja, menurut responden adalah terserah kepada pihak Penggugat, karena siapa yang menggugat, dan ternyata dalil-dalil gugatannya dibantah (tidak diakui) oleh pihak lawan, maka dia (penggugat) dibebani wajib bukti untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya (positanya). Apabila penggugat dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya, maka petitumnya dapat dikabulkan; apabila tidak, maka ditolak, apabila ternyata gugatannya tidak jelas (obscuur), maka gugatannya dinyatakan N.O (tidak dapat diterima). Sesuai dengan ratio decidendi, hakim sebagai penegak hukum, keadilan dan kebenaran, hakim dapat bebas memilah dan menilai semua alat-alat bukti.149 Seorang hakim perdata dalam memutuskan suatu perkara gugatan pembatalan hibah atau pengesahan hibah, berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 284 R.Bg/Pasal 164 HIR jo 1866 KUH Perdata, yaitu: 150 1. Bukti tulisan/bukti surat; 2. Bukti saksi; 3. Bukti persangkaan; 4. Bukti pengakuan; 5. Bukti sumpah; dan 6. Pemeriksaan ditempat (Pasal 153 HIR/Pasal 180 R.Bg, Pasal 211 Rv) 7. Saksi ahli (Pasal 154 HIR)
149
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan. 150 Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
8. Pembukuan (Pasal 167 HIR) 9. Pengetahuan hakim (Pasal 178 ayat (1) HIR). Dalam hal terjadinya pembatalan dan penarikan kembali hibah, maka akibat hukumnya akan membatalkan hibah yang telah dilakukan tersebut, dan juga menyatakan akta wasiat ataupun akta Notaris tidak berkekuatan hukum. Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam melihat dan memutuskan sengketa hibah adalah berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka sumber hukum acara dan hukum terapan peradilan agama antara lain:151 1. Het
Herziene
Indonesich
Reglement
(HIR)/Reglemen
Indonesia
yang
diperbaharui (RIB); 2. Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg) Stbl. 1927 – 127 3. Reglement of de Burgerlijke Rechtsvorderring (RV); 4. Burgerlijke Wet Book (BW) KUH Perdata; 5. Peraturan perundang-undangan yang terkait, di antaranya: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 6. Yurisprudensi; 7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI; 8. Doktrin para pakar hukum dan ilmu pengetahuan.
151
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
Selain itu, juga berbagai aspek hukum Islam yang telah menjadi peraturan perundangundangan nasional, seperti halnya dengan wakaf dan perbankan syariat, dan lain sebagainya. Kemudian dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, juga di dalam pasal-pasalnya diatur mengenai hibah, yaitu terdapat dalam Pasal 692 sampai dengan Pasal 734 peraturan Mahkamah Agung tersebut, yang juga dapat digunakan Pengadilan Agama dalam sengketa hibah, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 702 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, bahwa hibah dapat terjadi dengan pembebasan utang dari orang yang memiliki piutang terhadap orang yang berpiutang dengan syarat orang yang berutang tidak menolak pembebasan utang tersebut. Lebih lanjut dari keterangan responden, bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan atau penarikan kembali hibah tersebut adalah banyak faktor, antara lain: 1) penyerahan hibah tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan 2) tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun hibah, yaitu:152 a. Penghibah bukan pemilik harta yang dihibahkan b. Penghibah belum dewasa secara hukum atau idiot, gila (di bawah pengampuan); c. Ada ahli waris lain yang keberatan terhadap hibah tersebut karena melebihi batas maksimal 1/3; d. Pembatalan hibah wasiat yang dianggap tidak sah; dan sebagainya. 152
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
Kemudian juga dalam melakukan hibah itu harus diperhatikan sebagaimana yang dianjurkan dalam Shahih al-Bukhariy Kitab Al-Hibah:, yang artinya: ”Bersabda Nabi SAW, ”…Persamakanlah (berbuatlah adil terhadap) di antara anak-anakmu dalam pemberian…”.153 Perkara hibah yang diterima maupun yang telah diputus pada Pengadilan Agama Medan tersebut adalah pembatalan hibah atau penarikan kembali atas harta bersama yang dihibahkan orang tua kepada anak maupun kepada pihak ketiga, yang dilakukan tanpa persetujuan dari ahli waris lain ataupun hibah atas harta bersama tersebut melebihi dari ketentuan yang ditentukan dalam KHI bahwa besarnya harta yang dapat dihibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta bendanya. Sehingga terjadinya gugatan-gugatan dari ahli waris. Dalam Pasal 212 KHI ditentukan hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Demikian juga dalam kasus pembatalan atau penarikan hibah yang terjadi pada Pengadilan Agama Medan, penarikan hibah itu memang terjadi terhadap harta bersama yang dihibahkan salah seorang orang tua kepada anaknya atau salah seorang anak (ahli waris). Pada umumnya, dari kasus-kasus perkara hibah atau pembatalan hibah atas harta bersama yang dihibahkan itu bentuk gugatan pembatalan hibah oleh anak terhadap orang tua yang telah menghibahkan harta bersama kepada salah seorang anak tanpa persetujuan anak-anak yang lain (ahli waris lain), ataupun gugatan pembatalan hibah oleh anak terhadap orang tua (ibu) yang telah menghibahkan harta
153
Fiqh Al-Sunnah, Jilid 3, hal. 393.
bersama kepada pihak ketiga. Kemudian, pembatalan hibah orang tua atas harta bersama itu dapat terjadi karena pihak suami menghibahkan harta bersama tanpa persetujuan dari pihak isteri. Pembatalan-pembatalan seperti ini tentu dapat dibatalkan karena menurut ketentuan Pasal 210 ayat (2) secara tegas dinyatakan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Di samping itu perlu ditegaskan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan pada Pengadilan Agama Medan yaitu dari kasus pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 tidak ada kasus penarikan hibah atas harta bersama yang dihibahkan orang tua kepada anak, yang gugatan pembatalan hibah itu dilakukan si penghibah sendiri (orang tua yang memberi hibah kepada anak). Akan tetapi gugatan yang terjadi adalah dilakukan oleh pihak isteri atau suami atau anak si penghibah sebagai ahli waris. Jadi, sengketa hibah itu terjadinya karena adanya ahli waris lain atas harta bersama yang dihibahkan tersebut. Penarikan kembali hibah yang telah diberikan orang tua kepada anaknya, menurut responden adalah sah-sah saja kalau ternyata harta tersebut masih ada di tangan/dalam kekuasaan anaknya, tetapi apabila sudah beralih kepada pihak ketiga atau musnah (sudah dijual/dihibahkan/rusak/hilang batas-batasnya misalnya karena terjadi gempa), maka apabila orang tua tetap juga menuntut pengembaliannya, akan timbul derden verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkara di lapangan.154
154
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
E. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan tentang Penarikan Hibah (Pembatalan Hibah) Atas Harta Bersama Yang Dihibahkan Kepada Anak Tentang duduk perkara dalam kasus ini adalah para Penggugat dengan suratnya tertanggal 19 September 2007, mengajukan gugatan pembatalan hibah terhadap para Tergugat, gugatan mana didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan dengan register Nomor: 691/Pdt.G/2007/PA.Mdn pada tanggal 20 September 2007 yang isinya, antara lain: 1) Bahwa Penggugat I dan Penggugat II adalah anak kandung Tergugat I dari hasil perkawinannya dengan Sinah (ibu Penggugat I dan Penggugat II) yang telah meninggal dunia pada tanggal 18 Maret 2002; 2) Bahwa Tergugat I selama masa pernikahan dengan Sinah telah dikarunia 5 (lima) orang anak, yaitu: Karju, anak laki-laki (Penggugat I); Siman, anak laki-laki telah meninggal dunia pada tanggal 13 Maret 2006; Ngadikun, anak laki-laki; Wagini anak perempuan (Penggugat II); dan e. Suman, anak laki-laki. 3) Bahwa Siman telah menikah dengan Tergugat II dan telah dikarunia seorang anak perempuan bernama Puja saat ini berusia 9 tahun. 4) Bahwa selama masa perkawinan Tergugat I dengan Sinah telah mempunyai harta berupa sebidang tanah berikut bangunannya. 5) Bahwa menurut ketentuan hukum yang berlaku, oleh karena isteri Tergugat I telah meninggal dunia, maka ½ (setengah) bagian dari harta tersebut yang merupakan hak almarhumah Sinah adalah menjadi boudel warisan almarhumah Sinah yang harus dibagikan kepada ahli warisnya; 6) Bahwa kemudian tanpa sepengetahuan dan seizin anak-anak kandung Tergugat I terutama Penggugat I dan Penggugat II, Tergugat I telah menghibahkan sebagian
tanah tersebut berikut bangunan rumah permanen yang ada di atasnya kepada anak kandungnya yang bernama Siman; Oleh karena itu hakim Pengadilan Agama Medan, membatalkan hibah tersebut dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: 1) Bahwa berdasarkan kesaksian saksi-saksi para Penggugat, di mana setelah Tergugat I mengetahui isi surat yang diberi tanda cap jempolnya tersebut (bukti P.1) dan almarhum Siman mendapatkan suratnya, Tergugat I pernah mendatangani Kepala Lingkungan dan Lurah, bahkan sampai kepada Camat tentang sikap Kepala Lingkungan yang telah membagi harta Tergugat I bersama isterinya almarhumah Sinah kepada anaknya bernama Siman setelah Sinah meninggal dunia, dimana ketika Tergugat I mendatangi Lurah, tiba-tiba Siman datang mengamuk-amuk dan ingin membunuh Tergugat I; 2) Bahwa selain itu Kepala Lingkungan ternyata juga membuat pembagian terhadap anak-anak Tergugat I yang lain, dengan ukuran yang berbeda lengkap dengan surat pemberian, sehingga Tergugat I hanya memperoleh sekitar 7 meter, bahkan Tergugat tidak lagi tinggal di rumahnya karena telah diusir almarhum Siman; 3) Bahwa atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa surat tertanggal 2 Mei 2002 yang diberi tanda cap jempol oleh Tergugat I (vide P.1), dibuat bahkan atas dasar sepengetahuan dan kerelaan Tergugat I, akan tetapi diperbuat dengan cara pemaksaan, sedangkan hibah menurut ketentuan hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan dengan sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan, oleh sebab itu Majelis berpendapat bahwa peristiwa perbuatan pemberian yang sampai adanya
surat tertanggal 2 Mei 2002 a quo bukanlah merupakan pelaksanaan hibah yang benar serta tidak dengan prosedur, sehingga sudah sepatutnya harus dinyatakan tidak sah, hal mana sejalan dengan ketentuan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam; 4) Bahwa sementara Tergugat II terhadap dalil bantahannya ternyata tidak ada mengajukan bukti-bukti di persidangan, karena Majelis berpendapat Tergugat II tidak dapat membuktikan dalil bantahannya; 5) Bahwa selain itu seandainya Tergugat I menghibahkan harta tersebut dengan tanpa paksaan, hal ini juga bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab objek harta a quo masih terkait dengan harta milik almarhumah Sinah yang belum pernah dibagikan kepada ahli warisnya, hal mana sesuai dengan Yurisprudensi No. 322 K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005, menyatakan bahwa apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum, karena salah satu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri, bukan merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih terikat dengan sengketa; 6) Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis berkesimpulan bahwa gugatan para Penggugat pada petitum angka 2 dipandang cukup beralasan, dan patut dikabulkan dengan menyatakan batal hibah yang dilaksanakan Tergugat I kepada almarhum Siman pada tanggal 02 Mei 2002 terhadap harta berupa seluas 384 M2 terletak di jalan....dst. 7) Kemudian juga, oleh karena objek harta tersebut saat ini terbukti dikuasai oleh Tergugat II, maka petitum angka 3 juga dipandang cukup beralasan dan sudah
sepatuhnya dikabulkan dengan menghukum Tergugat II untuk mengosongkan dan menyerahkan harta tersebut di atas kepada ahli waris almarhumah Sinah. Dari Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan di atas, terlihat bahwa harta bersama yang telah dihibahkan oleh orang tua kepada salah seorang anak tanpa persetujuan dari anak kandung yang lain sebagai ahli waris, yang di dalam harta yang dihibahkan itu juga termasuk harta warisan anak-anak yang tidak mendapat hibah tersebut, ketika ibu mereka telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam putusan Pengadilan Agama dikabulkan gugatan penarikan hibah/pembatalan hibah para penggugat (anak-anak yang lain yang tidak mendapat hibah), sehingga hibah tersebut batal demi hukum. Dan juga harta hibah itu masih dalam penguasaan si penerima hibah (tergugat) sehingga dapat ditarik kembali. Pihak Tergugat (dalam hal ini Ponijem isteri dari almarhum Siman penerima harta hibah) sebagai Tergugat II dalam kasus penarikan hibah/pembatalan hibah dalam Putusan Nomor 691/Pdt.G./2007/PA.Medan di atas, mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Medan. Akan tetapi gugatan banding tersebut juga tetap membatalkan
hibah
itu,
sebagaimana
terlihat
dalam
Putusan
Nomor
27/Pdt.G/2008/PTA.Medan, dengan dasar pertimbangan setelah Pengadilan Tinggi Agama Medan mempelajari berkas perkara, salinan resmi putusan Pengadilan Agama Medan tanggal 17 Desember 2007 Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan dengan seksama, berpendapat segala alasan dan pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama adalah sudah tepat dan benar (dalam membatalkan hibah), oleh karena itu diambil alih dan dijadikan sebagai alasan dan pertimbangan hukum sendiri dalam memutuskan dan mengadili perkara ini.
BAB IV KEKUATAN HUKUM HARTA HIBAH YANG TIDAK DIAKTAKAN DI HADAPAN NOTARIS
A. Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan 1. Akta Otentik Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti tentang kejadian yang telah ditandatangani, seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang, pinjam-meminjam, mendirikan badan usaha dan lain sebagainya”.155 Dalam praktek perjanjian biasa dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis ini lazim dituangkan dalam bentuk akta Notaris/akta otentik, dan akta di bawah tangan. Menurut Kohar, “akta yang dibuat di hadapan notaris itu akta otentik, sedangkan akta yang dibuat hanya pada pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya akta di bawah tangan”.156 Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.157
155
Kohar A., Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 33. Ibid., hal. 6. 157 Lihat, Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 156
Dalam ilmu hukum khususnya untuk jabatan notaris dikenal adanya 2 macam akta notaris, yakni: akta jabatan (yang dibuat oleh Notaris), dan akta partai (yang dibuat di hadapan Notaris). Pada akta jabatan, Notaris menuangkan apa yang diketahui, dilihat, disaksikan dan dialami olehnya tentang suatu peristiwa yang dihadiri dan diikuti olehnya, dalam bentuk yang otentik dalam akta yang demikian, apa yang diuraikan dalam akta merupakan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga. Bahkan sesuai Pasal 15 UUJN Notaris juga berkewenangan memberikan grosse akta, misalnya untuk akta pembebanan hak tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial yaitu seperti halnya suatu keputusan hakim yang berkekuatan hukum pasti. Sedangkan pada akta partai, notaris hanya menuangkan kehendak yang diutarakan oleh (para) pihak dalam suatu akta, yang kebenaran akan isi materiilnya sendiri ada di antara (para) pihak itu sendiri. Di sini jelas Notaris tidak mungkin memberikan suatu kekuatan pada akta yang dibuat di hadapannya, jika kebenaran materiil dari akta itu sendiri tidak jelas. Kebenaran materiil dari akta yang demikian jelas harus diuji di muka Pengadilan, yang akan menentukan secara adil kebenaran yang ada di antara (para) pihak. Namun demikian terhadap akta-akta partai tertentu, seperti yang disebutkan dalam Pasal 224 HIR tersebut, Undang-Undang memberikan kemungkinan untuk diperlukan seperti halnya suatu putusan hakim yang berkekuatan pasti.158
158
Lihat, Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, op. cit., hal. 83.
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 38 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang dimaksud dengan akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang jabatan notaris, yaitu setiap akta Notaris terdiri atas: a. Awal kata atau kepala akta; b. Badan akta; dan c. Akhir atau penutupan akta. Pasal 38 ayat (2) UUJN menyatakan, awal kata atau kepala akta memuat: a. Judul akta; b. Nomor akta; c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Selanjutnya dalam Pasal 38 ayat (3) UUJN dinyatakan bahwa badan akta harus memuat: a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. Pasal 38 ayat (4) UUJN menyatakan, akhir atau penutup akta memuat: a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud pasal 16 ayat (1) huruf 1 atau pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau penerjemahan akta apabila ada; c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan dan kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. Selanjutnya, dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 UUJN dinyatakan dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Pasal 16 angka (7) UUJN menyatakan: Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, Saksi dan Notaris. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pembacaan akta di hadapan penghadap, para saksi sebelum ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris adalah wajib, namun menjadi tidak wajib jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Selanjutnya dalam Pasal 41 UUJN dinyatakan, bahwa apabila ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Adapun Pasal 39 UUJN menyatakan sebagai berikut: (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berumur 18 tahun (delapan belas) atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum; (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenankan oleh 2 (dua) penghadap lainnya; (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dinyatakan secara tegas dalam akta. Pasal 40 UUJN menyatakan: (1) Setiap kata yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain; (2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah: b. Cakap melakukan perbuatan hukum; c. Mengerti bahasa yang digunakan dan paraf; dan d. Dapat membubuhkan tandatangan dan paraf; dan e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah, dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dalam Notaris atau para pihak; (3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap; (4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta. Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa identitas penghadap dan identitas saksi benar-benar telah dikenal oleh Notaris dan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hal tersebut terkait dengan sahnya tidaknya seseorang untuk melakukan atau membuat suatu perjanjian. Selanjutnya, dalam Pasal 43 ayat (1) UUJN dinyatakan, segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris,
kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. Menurut Kohar, bahwa akta yang dibuat oleh Notaris berbeda dengan akta yang dibuat di hadapan Notaris. Akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh notaris dan akta yang dibuat di hadapan notaris yakni bahwa yang membuat akta itu adalah yang bersangkutan yaitu pihak-pihak Jadi kalimat dalam akta itu adalah kalimat para pihak sendiri. Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan, yaitu: 159 a) Kekuatan pembuktian formal, yaitu membuktikan bahwa para pihak betulbetul sudah menerangkan dan menyatakan apa yang ditulis dalam akta tadi. b) Kekuatan pembuktikan material, yaitu membuktikan bahwa para pihak betul-betul bahwa peristiwa/kejadian yang disebutkan dalam akta itu telah terjadi. c) Kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga, yaitu para pihak pada tanggal tersebut dalam akta telah menghadap notaris dan melakukan tindakan sebagai disebut dalam akta. 2. Akta Di Bawah Tangan Pengertian akta di bawah tangan adalah surat yang sengaja dibuat oleh orangorang oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat di hadapan yang berwenang, untuk dijadikan alat bukti.160 Selain itu, juga dalam Pasal 1869 BW ditentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena:161 159
Kohar A., op. cit., hal. 34-35. Ibid., hal. 34. 161 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris, Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, cetakan pertama, 2008, hal. 94-95. 160
a. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau b. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan; atau c. Cacat dalam bentuknya. Meskipun demikian, akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu:162 1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu jika Notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta. 3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan: 1) Pasal 39 bahwa: a. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. b. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. 2) Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat 162
Ibid., hal. 95-96
membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 3. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Dengan ukuran atau batasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1869 BW, maka pasal-pasal tersebut dalam UUJN yang menegaskan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Selanjutnya surat yang sengaja dibuat oleh orang-orang oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat di hadapan yang berwenang atau di hadapan Notaris yang disebut sebagai akta dibawah tangan dapat dimintakan cap di Notaris, dengan cara legalisasi dan waarmerking. Dalam KUH Perdata, pengesahan surat-surat di bahwa tangan dengan secara legalisasi ini, diatur dalam Pasal 1874 dan 1874a KUH Perdata, sebagai berikut: Pasal 1874: Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu,
dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Pasal 1784a KUH Perdata: Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lain, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penandatangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut. Dalam melakukan legalisasi, maka di bawah surat itu oleh notaris dicantumkan suatu keterangan legalisasi. Apabila hanya tanggal dari surat di bawah tangan yang akan disahkan, maka cukup oleh notaris dibubuhkan di bawah surat itu perkataan “gewaarmerkt”. Di dalam praktek para notaris, dalam hal pengesahan tanggal dari surat di bawah tangan, dapat dilihat bahwa sebagai pengganti dari perkataan gewaarmerkt ini dicantumkan di bawah surat itu kata-kata: “Dibubuhi cap dan didaftarkan dalam buku pendaftaran yang diadakan khusus untuk itu oleh saya…………..notaris di…………….. pada tanggal………….”.163 Pengesahan tanggal dari surat di bawah tangan menurut cara seperti yang diuraikan di atas, lazim disebut “waarmerking”. Apabila surat itu terdiri lebih dari halaman, maka baik dalam hal legalisasi maupun dalam hal waarmerking, tiap-tiap halaman diberi nomor surat dan diparaf oleh notaris. Untuk meminta legalisasi ini para penandatangan akta itu harus datang menghadap notaris, tidak boleh ditandatangani sebelumnya di rumah. Kemudian
163
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ketiga, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 288.
notaris memeriksa tanda kenal (KTP, SIM) atau tanda kenal lainnya. Selanjutnya Notaris membacakan akta di bawah tangan itu dan menjelaskan isi dan maksud surat di bawah tangan itu. Jika akta dibawah tangan yang dibuat para pihak yang dihadapkan kepada notaris untuk dilakukan legalisasi tersebut diketahui bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka akta dibawah tangan itu harus diubah. Akan tetapi apabila yang bersangkutan tidak mau mengubahnya, maka akta dibawah tangan yang dihadapkan para pihak itu tidak boleh dilegalisasi. Jadi, akta dibawah tangan yang dihadapkan para pihak kepada notaris untuk dilegalisasi itu sah, apabila: 1) Isinya tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku; 2) Yang menanda tangani betul orang yang bersangkutan; 3) Tanggalnya memang dibuat pada waktu ditandatangani itu, bukan tanggal lainnya. Untuk waarmerking akta di bawah tangan maka para penandatangan tidak perlu menghadap kepada notaris, cukup surat yang sudah ditandatangani itu dibawa ke notaris. Dalam waarmerking ini notaris hanya mendaftar, jadi tidak menjamin: 1) bahwa isinya diperkenankan oleh hakim; 2) apakah yang menandatangani memang betul orang yang bersangkutan; 3) apa tanggal yang ada pada akta di bawah tangan itu memang ditandatangani pada waktu itu.
Dengan demikian, dalam legalisasi notaris bertanggung jawab atas isi akta di bawah tangan yang itu, karena notaris wajib mengetahui dan membacakan notaris kepada penghadap, dan juga notaris berhak untuk mengubah isi akta dibawah tangan itu. Sedangkan dalam waarmerking, notaris tidak bertanggung atas isi dari akta di bawah tangan, karena notaris hanya mendaftarkan bahwa akta di bawah tangan memang benar ada atau diperjanjikan para pihak. Wewenang untuk legalisasi dan waarmerking surat-surat di bawah tangan tidak hanya diberikan kepada para notaris, akan tetapi juga kepada beberapa pejabat lainnya, misalnya Ketua Pengadilan Negeri dan Walikota yang disebut dalam Pasal 1 dari Ord. Stbl. 1916 Nomor 46 jo. 43. Di dalam praktek sering ditemukan surat-surat di bawah tangan yang dilegalisir oleh pejabat yang tidak berwenang untuk itu, seperti misalnya oleh Lurah. Lagi pula legalisasi yang diperbuatnya itu tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang. Bahkan sering juga oleh pejabat tertentu dilegalisir surat di bawah tangan yang tanggal penanda tanganannya oleh yang bersangkutan jauh sebelum tanggal dilakukan legalisasi, namun di dalam keterangan yang dicantumkan di bawah surat itu dikatakan, bahwa yang menanda tangani surat itu membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat yang bersangkutan, setelah olehnya surat itu dibacakan kepada yang bersangkutan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan bertentangan dengan maksud dan tujuan dan legalisasi.164 Selain itu, baik di kalangan masyarat umum maupun di kalangan para pejabat, terdapat pengertian yang salah mengenai arti dari legalisasi ini. Ada orang yang
164
Ibid., hal. 289.
berpendapat, bahwa dengan dilegalisasinya surat di bawah tangan itu, surat itu memperoleh kedudukan sebagai akta otentik, dengan lain perkataan surat itu dianggap seolah-olah itu dibuat oleh atau di hadapan notaris. Pendapat sedemikian adalah salah, oleh karena surat sedemikian, sekalipun itu telah dilegalisir, tetap merupakan surat yang dibuat di bawah tangan. Perbedaan surat yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang untuk itu dengan surat di bawah tangan yang tidak dilegalisir ialah, bahwa surat di bawah tangan yang dilegalisir mempunyai tanggal yang pasti, tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan, bahwa ia tidak mengetahui apa isi surat itu, oleh karena isinya telah terlebih dahulu dibacakan kepadanya, sebelum ia membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat itu.165
B. Kekuatan Hukum Harta Hibah Yang Tidak Diaktakan Di Hadapan Notaris Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang dikenal dengan sebutan hibah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa di dalam kitab Bidayatul Mujtahid diterangkan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: pemberi hibah (al Wahib), penerima hibah (Al Mauhub Lahu), dan perbuatan hibah itu sendiri. Di dalam hukum
165
Ibid., hal. 289.
Islam hibah menjadi sah apabila telah memenuhi syarat, yakni: ijab, qabul dan qabdha. Demikian juga dalam kitab Fiqh ’ala Mazhabil Arba’ah diterangkan bahwa rukun hibah itu ada 3, yaitu: orang yang melakukan akad (orang yang menghibahkan dan yang menerima hibah), harta yang dihibahkan dan shigat hibah. Hal yang senada juga disebutkan dalam buku Muamalah. Dalam Ilmu Fiqh diterangkan bahwa rukun hibah itu ada 4, yaitu, shigat hibah, penghibah, penerima hibah dan barang hibah. Berdasarkan pengertian dari para fuqaha itu, akad hibah itu semata-mata bersifat penyerahan harta kepada orang lain secara sukarela, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Penyerahan itu dilakukan oleh pemilik selama dia masih hidup. Dengan demikian, akad hibah itu tidak terkait dengan syarat apapun. Jika hibah itu dikenakan ganti rugi dari pihak yang akan menerima hibah, maka hal itu tidak lagi dikenakan ganti rugi dari pihak yang akan menerima hibah, maka hal itu tidak lagi dinamakan hibah, tetapi sudah berubah menjadi akad jual beli. Demikian juga halnya kalau seseorang menghibahkan hartanya yang ia syaratkan baru berlaku setalah ia meninggal dunia, maka hal itu juga tidak dinamakan hibah, tetapi dihukumkan wasiat. Walaupun hibah merupakan suatu akad yang sifatnya untuk mempererat silaturahmi antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah tersebut mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang menyerahkan hibah maupun bagi orang yang menerima hibah tersebut. Akibatnya jika salah satu rukun atau syarat itu tidak terpenuhi, maka hibah menjadi tidak sah. Adapun rukun hibah itu ada tiga, yaitu:
1. Adanya ijab dan kabul yang menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang yang menghibahkan kepada orang lain yang menerima hibah. Bentuk hibah bisa dengan kata-kata hibah itu sendiri, dengan kata-kata hadiah. Atau juga dengan kata-kata lain yang mengandung arti pemberian. Terhadap kabul (penerimaan dari pemberian hibah), para ulama berbeda pendapat. Iman Malik dan Imam Syafi’i menyatakan harus ada pernyataan menerima (kabul) dari orang yang menerima hadiah, karena kabul ini termasuk rukun. Bagi segolongan ulama mazhab Hanafi, kabul bukan termasuk rukun hibah. Dengan demikian, bentuk hibah itu cukup dengan ijab (pernyataan pemberian) saja. 2. Ada orang yang rnenghibahkan dan yang akan menerima hibah. Untuk ini disyaratkan bahwa yang diserahkan itu benar-henar milik penghibah secara sempurna dan penghibah harus orang yang cakap untuk bertindak menurut hukum. Oleh karenanya, harta orang lain tidak boleh dihibahkan. Demikian pula hibah orang gila atan anak kecil. Syarat lain yang penting bagi penghibah adalah bahwa tindakan hukum itu dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena ada paksaan dari pihak luar. 3. Ada harta yang akan dihibahkan, dengan syarat harus itu milik penghibah secara sempurna tidak bercampur dengan harta orang lain, dan rnerupakan harta yang bermanfaat serta diakui agama. Dengan demikian, jika harta yang akan dihibahkan tidak ada, bukan milik penghibah secara sempurna, misalnya harta pinjaman dari orang lain, harta tersebut masih dalam khayalan atau harta yang dihibahkan itu adalah benda-benda yang materinya diharamkan agama, maka hibah tersebut tidak sah.
Segala macam bentuk hibah tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul. Dan tidak memiliki harta di dalamnya melainkan dengan serah terima. Dan tidak sah serah terima itu kecuali dengan ijin si penghibah. Dengan demikian, ijab-qabul (serah terima) di kalangan ulama mazhab Syafi’i merupakan syarat sahnya suatu hibah. Selain itu, mereka menetapkan beberapa syarat yang berkaitan dengan ijab-qabul, yaitu (1) sesuai antara qabul dengan ijab-nya, (2) qabul mengikat ijab, dan (3) aqad hibah tidak dikaitkan dengan sesuatu (aqad tidak tergantung) seperti perkataan: “aku hibahkan barang ini padamu, bila si anu datang dari Mekah". Selain itu, hibah pada dasarnya adalah pemberian yang tidak ada kaitan dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan. Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas, bahwa dalam Hukum Islam pemberian berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis. Akan tetapi jika selanjutnya dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam bentuk tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis bentuk tersebut terdapat dua macam, yaitu:166
166
Eman Suparman, op. cit., hal. 90-91.
a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian; b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila pernyataan dan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan. Dari pembahasan di atas terlihat bahwa dalam melakukan hibah haruslah dipenuhi syarat dan rukun hibah, dan selama salah satu syarat hibah itu tidak dipenuhi, maka batallah hibah tersebut. Dan juga dalam pemberian hibah tersebut dapat dilakukan lisan ataupun secara tertulis. Akan tetapi bagi para pihak jika dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak itu, maka sebaiknya pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam bentuk tulisan. Berbeda halnya dalam KUH Perdata adanya ketentuan bahwa dalam melakukan hibah harus dilakukan dalam akta otentik atau akta notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 1682, bahwa tiada suatu penghibahan pun, kecuali penghibahan termaksud dalam pasal 1687, dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris, dan bila tidak dilakukan demikian, maka penghibahan itu tidak sah. Jadi secara tegas di dalam KUH Perdata akta hibah itu harus dilakukan di hadapan Notaris. Jabatan Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang menyatakan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
Penjelasan umum undang-undang tersebut lebih lanjut menyatakan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan misalnya dalam pembuatan akta hibah, untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Pada dasarnya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkandung maksud tertentu yaitu mengharapkan terjadinya suatu akibat hukum yang dikehendaki. Dahulu orang dalam melakukan perbuatan hukum cukup dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak secara lisan, dengan dilandasi atas saling percaya mempercayai berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana orang (pihak-pihak) biasanya
lebih
cenderung
melakukan
perbuatan
hukum
tersebut
dengan
merealisasikannya dalam bentuk perjanjian secara tertulis atau lebih dikenal dengan sebutan akta otentik.167 Jadi, Notaris merupakan pejabat publik yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, yang di dalamnya terkandung adanya perikatan di antara para pihak yang melakukan perikatan tersebut, demikian juga halnya bagi para pihak dalam melakukan penghibahan.
167
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 42.
Menurut keterangan responden adapun dokumen persyaratan untuk melakukan hibah tersebut adalah:168 1. Surat Pernyataan Hibah dari suami/isteri. 2. Surat Pernyataan Persetujuan/Kerelaan dari suami/isteri. 3. Surat Pernyataan Persetujuan/Kerelaan dari anak-anak lain. 4. Fotocopy KTP Suami Isteri Pemberi Hibah. 5. Fotocopy KTP dari anak-anak lain Pemberi Hibah. 6. Fotocopy Surat Nikah/Akta Perkawinan Pemberi Hibah. 7. Fotocopy Kartu Keluarga. 8. Fotocopy Surat Kematian Suami/Isteri Pemberi Hibah (jika Suami/Isteri sudah meninggal dunia). 9. Fotocopy KTP penerima Hibah. 10. Fotocopy Akta Kelahiran penerima Hibah. Jika harta yang akan dihibahkan tersebut adalah tanah, maka harus disertakan: 1. Sertipikat Asli dan Fotocopy. 2. Akta Hibah dari PPAT. 3. Bukti Pembayaran Pajak penerimaan Hibah (BPHTB). 4. Formulir Permohonan Pendaftaran Hibah. 5. Formulir Permohonan Pengukuran. 6. Surat Pernyataan Menerima Hasil Ukur.
168
Hasil wawancara dengan Ibu Nurlelia Tutupoly, S.H., Notaris di Kota Medan, tanggal 2 Juni 2009 di Medan
7. Surat Kuasa untuk pengurusan Hibah dan pengambilan Sertipikat. 8. Fotocopy KTP penerima kuasa yang telah dilegalisir. Kalau di dalam KUH Perdata secara tegas adanya ketentuan akta hibah harus dibuat di hadapan Notaris. Sedangkan di dalam KHI, sebagaimana ditentukan Pasal 210 bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Jadi dalam KHI hanya dinyatakan bahwa hibah tersebut harus dilakukan di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki, tidak secara tegas harus dilakukan tertulis. Dari ketentuan KHI hibah dibuat dihadapan dua orang saksi, maka hal ini sebenarnya menunjukkan hibah tersebut harus dilakukan secara tertulis, namun tidak diharuskan hibah itu dilakukan di hadapan notaris. Jadi dapat saja hibah itu dilakukan dengan akta di bawah tangan. Menurut keterangan responden dari Kantor Notaris di Kota Medan, sebaiknya akta hibah itu dibuat secara akta otentik (akta Notaris), walaupun akta hibah secara di bawah tangan itu adalah sah, namun akta hibah secara di bawah tangan itu bukan sebagai alat bukti yang sempurna di depan pengadilan. Sedangkan akta hibah yang dibuat secara akta notaris adalah sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna di depan pengadilan.169 Hal senada juga dikemukakan responden dari Pengadilan Agama Medan, yang menyatakan, hibah yang tidak dibuat dengan akta notaris, dalam sidang
169
Hasil wawancara dengan Ibu Nurlelia Tutupoly, S.H., Notaris di Kota Medan, tanggal 2 Juni 2009 di Medan.
pembuktian di Pengadilan Agama, apabila ternyata perolehan harta hibah tersebut hanya berdasarkan lisan dengan didukung keterangan saksi-saksi atau secara tertulis di bawah tangan, maka majelis hakim akan menilainya sebagai bukti akta di bawah tangan, karena tidak dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, dimana kekuatan pembuktiannya tidak sama dengan bukti akta otentik.170 Oleh karena itu, hibah yang dibuat secara di bawah tangan untuk dapat dijadikan bukti yang kuat (otentik) di pengadilan, maka akta hibah secara di bawah tangan tersebut harus mendapatkan penetapan dari pengadilan. Penetapan pengadilan adalah sebagai akta otentik. Setiap produk yang diterbitkan hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik,171 yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Bertolak dari doktrin yang dikemukakan di atas, setiap penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan bernilai sebagai akta otentik.172 Doktrin ini pun sesuai dengan ketentuan digariskan Pasal 1868 KUH Perdata. Dengan demikian penetapan pengadilan berbentuk akta otentik, namun demikian, nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat partai (contentiosa). Dalam putusan yang bersifat partai (contentiosa), nilai kekuatan pembuktiannya, adalah:173 170
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan. 171 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal. 199. 172 Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, hal. 126. 173 Ibid., hal. 126.
1. Benar-benar sempurna dan mengikat; 2. Kekuatan mengikatnya meliputi: a. Para pihak yang terlibat dalam perkara dan ahli waris mereka; b. Kepada orang atau pihak ketiga yang mendapat hak dari mereka. Tidak demikian halnya dengan penetapan, karena sesuai dengan sifat proses pemeriksaannya yang bercorak ex-parte atau sepihak, nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti:174 1. Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri pemohon saja. 2. Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga. Pada Penetapan tidak melekat asas ne bis in idem, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis en idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.175 Tidak demikian halnya dengan penetapan. Pada dirinya hanya melekat kekuatan mengikat secara sepihak, yaitu pada diri pemohon, jadi tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian pada pihak mana pun. Oleh karena itu, pada penetapan tidak melekat ne bis in idem. Setiap orang yang merasa dirugikan oleh penetapan itu, dapat mengajukan gugatan atau perlawanan terhadapnya.176
174 175
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata…op. cit., hal. 39-40. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998,
hal. 173. 176
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 42.
Dalam mengajukan permohonan penetapan Pengadilan Agama Medan, maka pemohon harus melengkapi dokumen identitas diri dan dokumen yang terkait dengan hibah tersebut, serta saksi-saksi yang mengetahui atau kenal dengan pemohon atau mengetahui tentang pemberian hibah tersebut, serta fotocopy Surat Hibah yang dibuat secara di bawah tangan tersebut. Mengenai penetapan pengadilan atas akta hibah yang dibuat secara di bawah ini, sebagaimana terlihat pada kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor: 34/Pdt.P/2008/PA.Medan. Di mana dalam kasus ini pemohon adalah si penerima hibah sementara yang memberikan telah meninggal dunia. Semasa hidupnya si pemberi hibah telah menghibahkan tanah sawahnya kepada pemohon yang dibuat secara di bawah tangan. Adapun pertimbangan hukum hakim bahwa hibah itu tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku, karena tanah (objek hibah) adalah milik si pemberi hibah (telah meninggal dunia) dan dilaksanakan di hadapan 2 (dua) orang saksi serta diketahui oleh Kepala Kelurahan setempat. Kemudian juga setelah pemohon menerima hibah dari almarhumah tanah tersebut sampai dengan saat ini tetap dikuasai dan atau diusahai oleh pemohon dan selama itu pula tidak ada yang keberatan dengan pelaksanaan hibah tersebut. Kemudian juga diperkuat dengan keterangan para saksi yang mengenal pemohon.177 Dari pertimbangan hakim di Pengadilan Agama Medan di atas terlihat bahwa tidak dipersoalkan akta hibah itu dibuat secara di bawah tangan, tetapi yang paling
177
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 15 Mei 2009 di Medan.
penting sejauh mana hibah itu dilakukan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, seperti objek hibah itu adalah milik si penghibah dan tidak adanya pihak atau ahli waris lain yang keberatan. Dengan demikian, akta hibah yang dilakukan secara di bawah tangan adalah sah, hanya saja tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna di depan Pengadilan. Pada dasarnya dengan adanya anjuran dibuat secara tertulis pada KHI tersebut dapat dikembangkan pengertiannya, bahwa sebaiknya dibuat di hadapan pihak yang mengerti tentang penghibahan dibuat secara tertulis, tentunya dalam hal ini adalah Notaris sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, adalah pejabat pembuat pembuat akta, selama tidak menjadi kewenangan pejabat lain yang ditentukan undang-undang. Kemudian juga menurut penulis, bahwa KHI telah mengakui eksistensi notaris sebagai pejabat umum pembuat akta, sebagaimana ditentukan pasal-pasal tentang wasiat, di antaranya dalam Pasal 195 KHI adanya anjuran agar dalam melakukan wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Akibat hukum harta bersama (gono-gini) yang dihibahkan kepada anak menurut KHI adalah menjadi milik si anak selama pemberian hibah atas harta bersama itu tidak lebih dari sepertiga. Pemberian hibah itu diperhitungkan sebagai warisan dan juga masih dapat ditarik kembali jika harta hibah tersebut masih dalam penguasaan si anak (si penerima hibah). 2. Penarikan kembali harta bersama yang dihibahkan kepada anak, dari kasus penarikan/pembatalan hibah pada Pengadilan Agama Medan, dapat dilaksanakan apabila harta yang dihibahkan kepada anak itu terbukti tanpa persetujuan dari pihak isteri/suami, atau pemberian hibah itu melebihi sepertiga dari jumlah harta bersama. Hal ini mengingat di dalam harta bersama yang dihibahkan itu juga terdapat harta anak-anak yang lain sebagai ahli waris. Di mana sesuai Pasal 210 ayat (2) KHI harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Selain itu, walaupun hibah orang tua kepada anak dapat ditarik kembali, namun penarikan ini hanya dapat dilakukan apabila harta hibah tersebut masih ada dalam penguasaan si penerima hibah, karena apabila sudah beralih kepada pihak ketiga maka akan timbul derden verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan.
3. Kekuatan hukum harta hibah yang dibuat dihadapan 2 (dua) saksi yang tidak diaktakan di hadapan Notaris menurut KHI adalah sah. Namun dari kasus putusan Pengadilan Agama Medan akta hibah yang tidak diaktakan di hadapan Notaris itu untuk dijadikan alat bukti di depan pengadilan harus terlebih dahulu mendapat penetapan pengadilan.
B. Saran 1. Orang tua dalam memberikan hibah atas harta bersama kepada anak harus tetap berlaku adil yang memperhatikan hak anak yang lain (jika ada) yang juga sebagai ahli waris atas harta bersama tersebut, sehingga di kemudian hari tidak terjadi gugatan atas hibah tersebut. 2. Para pihak yang akan melakukan hibah, walaupun di dalam KHI tidak diharuskan dengan akta Notaris, tetapi sebaiknya dibuat secara akta Notaris, karena akta notaris adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di depan pengadilan. 3. Pemerintah agar meninjau kembali ketentuan KHI, yang memberikan opsi pembuatan akta hibah boleh secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi secara di bawah tangan, yang dalam kasus-kasus di Pengadilan Agama, akta hibah di bawah tangan itu untuk dijadikan alat bukti yang kuat harus dilakukan penetapan pengadilan (legalisasi) terlebih dahulu, maka sebaiknya dalam KHI diatur secara tegas bahwa akta hibah harus dibuat tertulis dan di hadapan pejabat yang berwenang (Notaris). Karena dengan dilakukannya akta hibah di hadapan
pejabat yang berwenang (Notaris), maka para pihak akan memperoleh nasihatnasihat hukum guna memberikan kepastian hukum atas hibah, baik bagi pemberi hibah, penerima hibah maupun ahli waris lainnya. Disamping itu, KHI dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden yang secara hirarki di bawah undang-undang,
maka
mengingat
tujuan
KHI diterbitkan
untuk
dapat
mengakomodir hukum Islam dalam bentuk kompilasi di Indonesia sebaiknya dibuat dalam bentuk Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku: A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983. Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris, Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, cetakan pertama, 2008. Badrulzaman, Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983. Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju, Bandung, 2007. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jamunu, Jakarta, 1967. Fayzee, Asaf A.A., Pokok-Pokok Hukum Islam II, Tintamas, Jakarta, 1961. Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1984. Hamid, Andi Tahir, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. _______, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990. Harnid, Andi Tahir, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1996. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996. I Doi, Abdur Rahman, Hudud dan Kewarisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. Jafizham, T., Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, CV. Percetakan Mustika, Medan, 1 977.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. Lumban Tobing, G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ketiga, Erlangga, Jakarta, 1983. Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Harta Kekayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawarni K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. Prawirohamidjojo, R. Soetono dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1985. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Rahman, Asymuni A., dkk., Ilmu Fiqh, tanpa penerbit, 1986. Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002. Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Jakarta, Attahiriyah, 1986. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Pertama, 1995. Rosyadi, Rahrnat dan Sri Hartini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003. Rush, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Keluarga Semarang, Semarang, tt.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, CEtakan ke-6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992. Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977. _______,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Cet. XI, 1987.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992. Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1986. Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Rafika Aditama, Bandung, 2005. Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Visimedia, Jakarta, 2008. Syah, Ismail Muhammad, Pencaharian Bersama Istri Di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 Dan Hukum Islam, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1984. Thaib, M. Hasballah, Hukum Benda Menurut Islam, Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992. _______,
Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan SPs-USU, Medan 2006.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Pres, Jakarta, Cet.V, 1986.
Wahyudi, Muhammad Isna, Harta Bersama: Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan, Makalah Calon Hakim Mahkamah Agung R.I. tahun anggaran 2006. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Zainuddin, H., Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Zein, Satria Effendi M., Yurisprudensi Peradilan Agama, Dibinbapera dan Yayasan Al-Hikmah, 1995. B. Makalah, Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah AM, Imran, “Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, No.24 Tahun VIII, Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1996, Jakarta. Ensiklopedi Islam, Depdiknas, Faskal II, PT. Ichtiar Baru Van Hoece, Jakarta. Jauhari, Iman, Hukum Islam, Buku Ajar, Fakultas Hukum Unsyiah Darussalam Banda Aceh, 2007. Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002. Lembar Info Seri 45, “Pemisahan Harta dalam Perkawinan’’, LBH APIK, Jakarta. Manan, Abdul, “Beberapa Masalah tentang Harta Bersama”, Mimbar Hukum, No. 33, Tahun VIII, 1997. Sadat, Anwar, Fungsi Hibah Dalam Memberikan Perlindungan Bagi Kepentingan Anak Pada PEmbagian Harta Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat (Studi Kasus di Kecamatan Padang Bolak), Tesis, PPs-USU, Medan, 2002. Triana, Lila, Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Di Kota Medan), Tesis, PPs-USU, Medan, 2004. C. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.