PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI ( Analisis Putusan Nomor 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Yayah Lutfiyah NIM : 107044100480
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H / 2011 M
Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Dalam Kasus Poligami (Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) oleh:
Yayah Lutfiyah NIM: 107044100480 Dibawah bimbingan
Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD. NIP: 150077526
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama mahasiswa
: Yayah Lutfiyah
NIM
: 107044100480
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Jurusan/ Konsentrasi : Ahwal Syakhsiyyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan plagiat maupun saduran dari hasil kaya atau penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 1 Juni 2011
(Yayah Lutfiyah)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umatnya menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan. Skripsi dengan judul Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Dalam Kasus Poligami (Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi) disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi dan juga telah membimbing penulis yaitu kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj. Rosdiana, MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
v
3. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD, selaku dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis untuk menjadi lebih baik. 4. Pansek Pengadilan Agama Bekasi beserta jajaran pegawai Pengadilan Agama yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian. 5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini. 6. Ayahanda H. Abdul Hamid (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Rodemah atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat Penulis sembahkan. 7. Kakak dan adik-adikku tersayang, Robiatul Adawiyah, Humaidah, Ahmad Syatirudin, Sulasatul Milati dan Ahmad Thantowi yang memberikan semangat dan kehangatan di dalam keluarga serta Muhammad Syambuzi, terimakasih atas pengorbanan baik moril maupun materil dan selalu setia menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian semua di berikan kesehatan dan kesuksesan. 8. Teman-teman seperjuangan kelas Pengadilan Agama 2007 Laila Wahdah, Ratna Khuzaemah, Jainul Amidin, Tajul Muttaqin, Syawaludin, Ahmad
vi
Syadhali, Riki Dian Saputra, dan lain-lain yang tidak penulis sebutkan satupersatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik moril maupun materil, dan semangat, semoga kesuksesan dan keberhasilan selalu menaungi dan menyertai kita. Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan Penulis, semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membacanya, Amin.
Ciputat, 13 Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah.......................................
6
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ................................................
8
D. Studi Review Terdahulu ...........................................................
9
E. Metodologi Penelitian .............................................................. 10 F. Sistematika Penulisan .............................................................. 13
BAB II
: PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ......................................... 15 B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan ................................. 21 C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan .................................. 34 D. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas.............. 37
vii
viii
BAB III
: DESKRIPSI
PENGADILAN
AGAMA
BEKASI
DAN
DESKRIPSI KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI A. Sejarah dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi ........ 41 B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi ............................... 43 C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi ...................... 44 D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi ................... 44 E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi ........................ 45 F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi ...................................................................................... 46 G. Deskripsi Kasus Perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi 48
BAB IV
: ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ........ 60 B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Hukum Perdata Indonesia ........................................ 68 C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Kompilasi Hukum Islam .......................................... 70
ix
BAB V
: ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM FIQH A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Madzhab Syafi’iyah ................................................. 76 B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Madzhab Hanafiyah ................................................. 78 C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi
Menurut Madzhab Malikiyah .................................................. 80 D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab Hanibalah .................................................. 81
BAB VI
: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 84 B. Saran-Saran ............................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 90 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum Islam dikenal istilah nikah. Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksankan ajaran agama, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Madjah yang berbunyi:
“ barang siapa yang melaksanakan nikah berarti ia melaksanakan separuh ajaran agamanya, yang separuh lagi hendaklah ia takwa kepada Allah“.1 Demikian sunnah Qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan, menikah dan hidup berumah tangga karena perkawinan atau memeliharanya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.2 Perkawinan memang merupakan salah satu subsistem dari kehidupan beragama dan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
1
Ali bin Ahmad bin Muhammad Al-Azizi, Al-Siraj Al-Munir Syarah Al-Jami’u Al-Shagir, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1405), Juz. 3, h. 347. 2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1997), Cet. 1, h. 12.
1
2
manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma dalam tata kehidupan masyarakat. Melalui media perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, esensi dan tujuan hidup berkeluarga ( rumah tangga ) barulah akan tercapai yaitu membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang penuh barokah, tentram, damai, rukun bahagia dan kekal.3 Masalah perkawinan merupakan permasalahan yang sangat penting dalam sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu, meskipun masalah perkawinan telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam namun pada tataran pelaksanaan kehidupan bernegara perlu adanya Undang-undang yang mengcover kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan perkawinan dan perangkat-perangkat lainnya. Apabila dilihat dari sudut pandang agama, perkawinan mengandung unsur perbuatan ibadah yang pada dasarnya merupakan sunnah Allah dan Rasul Nya. Jika melihat pada tujuan perkawinan yang membentuk keluarga bahagia yang kekal, tujuan ini dapat dielaborasikan menjadi tiga hal : 1. Suami isteri saling membantu dan saling melengkapi 2. Masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
dan
untuk
pengembangan tersebut suami isteri harus saling membantu
3
Chandra Sabtian Irawan, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami ?, ( Yogyakarta : An-Naba Islamic Media, 2007 ), cet Ke-1, h. 12.
3
3. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.4 Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar hubungan antar individu melainkan dapat merupakan perbuatan yang melibatkan orang lain yang pada gilirannya akan menimbulkan hak dan kewajiban, maka pemerintah mencoba mengakomodir dan mengatur pernikahan itu dengan lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “ perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Pada prinsipnya, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berasaskan monogami yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria hanya boleh mempunyai satu orang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dan meskipun hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan atas putusan izin Pengadilan.6
4
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006 ), Cet Ke-3, h. 57. 5
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan PerundangUndangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta : 2001 ), h. 131. 6
www.Legalitas.co.id, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri ( YPAN ), h. 2
4
Meskipun pada prinsipnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berasaskan monogami, akan tetapi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) sebenarnya menganut kebolehan Poligami walaupun terbatas hanya sampai empat orang isteri saja. Kebolehan berpoligami tersebut memang tidaklah terlepas dari berbagai persyaratan. Persyaratan-persyaratan seseorang dapat berpoligami yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam memanglah sangat berat, sehingga menyebabkan orang seringkali mengambil jalan pintas dengan melanggar Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Banyak cara yang dilakukan seseorang agar dapat berpoligami, salah satunya yaitu dengan cara memalsukan identitas dirinya. Apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan pembatalannya ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat suami atau isteri. Hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Pasal 24) yaitu bahwa diantara sebab-sebab
dilakukannya pembatalan perkawinan jika terdapat suami atau isteri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin dan sepengetahuan pihak lainnya. Pemikiran tersebut juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) “ bahwsannya perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang
5
suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama ( Pasal 71 ). 7 Alasan tersebut dapat menjadi sebuah landasan hukum untuk melakukan tindakan hukum yang berupa permohonan pembatalan perkawinan oleh isteri yang mengetahui suaminya telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuan dan izin darinya pada Pengadilan Agama yang berwenang. Poligami memang merupakan salah satu polemik dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Akan tetapi, pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Perjalanan kehidupan berumah tangga memang tidaklah selalu berjalan mulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berbagai alasan seseorang untuk beristri lebih dari seorang diantaranya yaitu kurangnya perhatian dari pasangan hidupnya, adanya indikasi perselingkuhan dan adakalanya hanya untuk melampiaskan hawa nafsu semata. Kebanyakan dari orang yang melakukan poligami tanpa izin dari pihak lain (pihak isteri) dikarenakan isteri mengetahui bahwa tidak terdapat
indikasi persyaratan seorang suami dapat melakukan
poligami yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan demikian, tidak ada peluang bagi seorang suami untuk 7
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres Ri No.1 Th 1991 kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Depag RI 1998.hal
6
melakukan poligami. Di Pengadilan Agama Bekasi terdapat kasus pembatalan perkawinan poligami karena suami memalsukan identitas. Kajian pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi
dalam bentuk skripsi
dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI ( Analisis Putusan Nomor 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. BEKASI )”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
maka
dapat
diidentifikasikan sejumlah masalah sebagai berikut: a. Pada dasarnya beberapa persyaratan bagi seseorang dapat melakukan poligami sudah di jelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), akan tetapi pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan poligami tidak memenuhi persyaratan dalam Undang-undang tersebut. b. Banyaknya cara yang dilakukan seseorang dalam melakukan poligami agar dapat diakui keabsahan hukumnya, salah satunya yaitu dengan memalsukan identitasnya.
7
2. Perumusan Masalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa untuk beristeri lebih dari seorang, maka seseorang harus mendapatkan izin dari isteri pada umumnya dan izin dari pengadilan pada khususnya, sehingga bagi seorang suami yang melakukan poligami tanpa mengikuti aturan hukum yang ada maka perkawinan yang baru dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan. Sehubungan dengan permasalahan diatas dan untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI yang mengatur hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami, di terapkan oleh hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi? b. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut dan bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu? c. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim dalam putusan itu di tinjau dari hukum positif dan hukum fikih?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : a. Untuk memberikan penerangan kepada masyarakat banyak bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI sudah memberikan kejelasan hukum tentang seseorang yang beristeri lebih dari satu orang yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan. b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut dan akibat hukumnya c. Untuk lebih memahami kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim dalam masalah pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di tinjau dari hukum positif dan hukum fikih 2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain : a. Manfaat Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, baik materiil maupun formil. b. Manfaat Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta memberikan kejelasan pada masyarakat umunya tentang ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang pembatalan perkawinan.
9
D. Studi Review Terdahulu No
Nama Penulis/ Judul/
Substansi
Pembeda
Tahun 01
Nur
Ulfah
Mariana/ skripsi ini menjelaskan Skripsi yang penulis
pembatalan Perkawinan tentang Implikasi UU bahsa tidak hanya akibat Poligami Tanpa No. 1 Tahun 1974 dan menjelaskan Izin Dari Istri Menurut KHI dalam menerapkan implikasi UU No. 1 Undang-Undang No. 1 hukum poligami yang Tahun 1974 dan KHI Tahun
1974
Perkawinan
Tentang tidak
Dan
memenuhi saja,
KHI persyaratan.
akan
penulis
juga
(Studi Kasus Pengadilan
membahas
Agama Jakarta Selatan)/
pembatalan
Fakultas
perkawinan
Syariah
dan
Hukum/ 2007
tetapi
perkara
dari
beberapa
sudut
pandang, yaitu dari hukum positif dan hukum fiqih 02
Arud
Badrudin/ Skripsi ini menjelaskan Dalam
Pembatalan Perkawinan tentang Karena (Analisa
Poligami
Liar hakim
Yurisprudensi menetapkan
skripsi
ini
argumentasi yang penulis bahas dalam lebih hukum kepada
mengarah pembatalan
10
Perkara No. 416/ Pdt. G/ pembatalan perkawinan perkawinan 1995/ PA. Sumedang)/ akibat Fakultas
Syariah
poligami
liar pemalsuan identitas,
dan serta mengetahui pihak dan
Hukum/ 2010
di
mana yang akan di beberapa untungkan rugikan
akibat
atau
lihat
dari sudut
di pandang
dalam
pembatalan perkawinan
E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan dan Metode Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, sedangkan yang dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan hakim di Pengadilan Agama.
11
a. Data Penelitian 1) Data Primer Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. 2) Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam perkara No. 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. Bekasi b. Teknik Pengumpulan Data 1) Studi Dokumentasi Studi dokumentasi terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah data hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan Agama Bekasi yang telah berkekuatan hukum tetap serta buku-buku hukum lain yang mendukung dan memperjelas.
12
2) Interview atau Wawancara Wawancara
dilakukan
untuk
mendapatkan
data
yang
dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data yang diperoleh dari studi dokumentasi. c. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan. 2) Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di klasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan. d. Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari sumber data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi dokumenter.
13
F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar dan menyeluruh skripsi ini disusun atas enam bab dan tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab meliputi: Bab pertama tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi penelitian, Studi Review Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Bab kedua berisi tinjauan umum tentang Pembatalan Perkawinan karena pemalsuan identitas, yang didalamnya membahas pengertian pembatalan perkawinan, sebab-sebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan menurut perspektif fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta akibat hukum pembatalan perkawinan. Bab ketiga berisi tentang deskripsi Pengadilan Agama Bekasidan deskripsi putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Bab ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas sejarah dan letak geografis Pengadilan Agama Bekasi, Visi dan Misi, struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi, Jumlah perkara yang di putus Pengadilan Agama dri tahun 2009-2011 serta wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi. Bagian kedua berisi deskripsi kasus yang hendak di bahas dalam skripsi ini. Bab keempat merupakan Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi menurut Perspektif Hukum Positif. Didalam bab ini penulis mengawalinya dengan menganalisa putusan tersebut menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
14
Tentang Perkawinan, yang kedua penulis menganalisa putusan menurut Hukum Perdata Indonesia (BW), kemudian yang terakhir penulis menganalisa putusan menurut Kompilasi Hukum Islam. Bab kelima berisi Analisis Pututsan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Perspektif Hukum Fiqih. Di dalam bab lima ini penulis mengalisis menurut
pendapat
imam-imam
Madzhab,
diantaranya
yaitu:
Madzhab
Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah dan Madzhab Hanabalah. Bab keenam merupakan bab terahir dalam skripsi ini yang berisi kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan semua yang telah di bahas dalam skripsi ini.
BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan Pengertian fasakh secara umum dapat dipahami sebagai memutuskan atau membubarkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah di tentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak oleh Pengadilan Agama. Di dalam fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:
"Fasakh adalah merusak pekerjaan atau akad”1 Sedangkan secara terminology atau istilah syar‟i, fasakh adalah pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami dan istri.2 Menurut Ali Hasabillah, secara terminology fasakh adalah suatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3
1
Firdaweri, hukum Islam Tentang Fasakh, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet Ke-
1, hal. 52 2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet ke-37, hal. 268.
15
16
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri, fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena halhal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan.4 Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan adalah: 1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan, 2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, hal ini disebut dengan fasakh akad. Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari pasangan suami istri mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum aqad nikah dan ia menerima secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak untuk meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang. Terdapat 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar, yaitu: Tiga berada dalam keduanya (suami atau istri) yaitu gila, penyakit kusta dan supak, dua terdapat dalam laki-laki yaitu: unah ( lemah sahwat), dan impoten, tiga lagi dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang
3
4
Ali Hasabillah, al-furqan Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 211.
17
menghalangi persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah karena penyakit (keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan bersetubuh.5 Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang mengetahui dan melihat akan adanya seseorang yang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan, padahal diketahui bahwa penikahan tersebut cacat hukum karena kurang syarat dan rukun yang ditentukan, maka perkawinan tersebut wajib dicegah. Jika pasangan suami istri mengetahuinya setelah akad nikah, maka pihak yang di rugikan wajib mengajukan pembatalan perkawinan kepada instansi yang berwenang. Dalam literatur fikih tidak di kenal lembaga pencegah perkawinan akan tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Al-Jaziry6, nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan fasakh atau nikah batil ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah di tetapkan oleh syara‟. Hukum nikah dari kedua bentuk pernikahan itu adalah sama-sama tidak sah dan harus di batalkan. Meskipun kedua hal tersebut menjadi ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya tidak bisa di pisahkan dan sangat sulit di bedakan di antara keduanya.
5
6
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, ( Lentera Basretama, 1999 ), h. 351.
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar alFikr ), h. 118.
18
Ash Shan‟ani7 mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam AlQur‟an dan Al-Hadis, akan tetapi Ash Shan‟ani mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam Syari‟at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil saja, tidak ada nikah yang terletak di antara nikah sah dan nikah yang bathil itu. Di kalangan mazhab Syafi‟iyyah nikah fasid itu adalah akad nikah yang di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu syarat yang di tentukan oleh syara‟, sedangkan nikah batil adalah pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi kurang salah satu rukun syara‟. Menurut ahli hukum Islam mazhab Syafi‟iyyah, nikah fasid dapat terjadi dalam bentuk: (1) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki lain (2) pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro‟ karena wathi syubhat (3) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita tetapi perempuan tersebut di ragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya mengatur menyangkut pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang
7
Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan‟ani, Subulus Salam, terjemahan Abu Bakar Muhammad, Jilid III, ( Surabaya : Al-Ikhlas ), 1995, h. 118.
19
menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil Apabila nikah fasid dan nikah batil di kaitkan dengan dengan fasakh, maka fasakh adalah sesuatu yang dapat menyebabkan hubungan suami istri berhenti, baik di hentikan oleh hakim maupun di hentikan dengan sendirinya di karenakan di ketahui tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu.8 Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad: a. Di ketahui kemudian bahwa suami istri itu ternyata mempunyai hubungan nasab atau sepersusuan b. ketika di kawinkan umurnya masih kecil (belum dewasa) dan tidak punya hak pilih, tetapi setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan perkawinan c. ketika akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsungnya akad perkawinan: a. Salah seorang murtad dan tidak mau di ajak kembali kepada Islam b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan hubungan suami istri 8
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet Ke-2, h. 133.
20
c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya kehidupan ekonomi si suami.9 Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang melakukan perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai
wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan. Jika
perkawinan yang di lakukan oleh seseorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib di batalkan. 10 Jadi, ada dua jenis pembatalan dari segi kapan berlakunya yaitu: a. Berlaku surut Apabila pada waktu di langsungkannya akad telah di ketahui sebab yang dapat menyebabkan aqad tidak sah atau perkawinan yang di langsungkan tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan yang telah di tentukan oleh syara. b. Tidak berlaku surut Pembatalan yang tidak berlaku surut yaitu apabila sebab yang dapat membatalkan aqad di ketahui setelah berlangsungnya perkawinan, dengan 9
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet Ke-2, h. 134.
10
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, jilid IV, hal.119.
21
begitu aqadnya tetap di anggap sah. Seperti contoh setelah perkawinan telah berlangsung, salah satu dari pasangan suami istri keluar dari Islam atau murtad, dengan begitu akadnya tetap di anggap sah.
B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan 1. Perspektif fiqh Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil, apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun perkawinan dan atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua, karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung. Pembatalan dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.11 Menurut pendapat kalangan madzhab Syafi’iyyah diantara perceraian di sebabkan fasakh yaitu di sebabkan seorang suami berat memberikan maskawin ( sebelum di pergauli ), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, seorang istri terdapat cacat ( dari kemaluannya), di sebabkan akad nikah yang fasid, dan tidak sekufu. Kalangan madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa di antara sebab
11
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet Ke-3, h. 243.
22
yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri, menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba‟in dalam perceraian ( baik di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri). Menurut kalangan madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami tidak sanggup memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir.12 Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang berbunyi:13
Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap
12
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-Fikr ), h. 372. 13
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, (Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah), h. 218
23
penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul dengannya (artinya setelah keduanya dipisahkan)”. Penjelasan dari hadis tersebut bahwa laki-laki yang telah memfasakh perkawinannya karena terdapat cacat pada istrinya tetap wajib membayar mahar karena suami tersebut harus bertanggung jawab terhadap walinya, meskipun sudah tertipu di dalam pernikahannya dan pernikahannya dapat di fasakh sesuai dengan apa yang di tetapkan dalam aturan fasakh.14 Akan tetapi apabila seorang suami tertipu dengan sifat wanita yang dinikahinya tersebut, seperti tertipu karena keperawanannya, ternyata wanita tersebut tidak perawan, wanita tersebut mengaku muslim, ternyata wanita tersebut bukan muslim, mengaku merdeka, dan mengaku bukan senasab tetapi ternyata berbeda dengan kenyataannya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat dalam hal tersebut kecuali madzhab Hanafiyyah. Menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah yaitu jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, di syaratkan sebelum atau di saat akad meneliti sifat wanita tersebut, seperti jelas keislamannya, atau jelas nasabnya, dan jelas status kemerdekaannya. Apabila setelah akad ternyata diketahui berbeda dengan kenyataannya, menurut qaul yang lebih sahih pernikahannya tetap di anggap sah. Begitu pula menurut Madzhab Hanabilah yaitu apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita dengan sesuatu yang merusak akad, seperti perkara sekufu, kemerdekaannya,
14
Ibid, hal. 522.
24
keturunannya, maka bagi istri berhak untuk memilih antara fasakh atau tetap berlangsung. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah yaitu tidak di bolehkan adanya perceraian karena salah satu dari kedua suami istri tertipu oleh sifat dari salah satu kedua suami istri tersebut kecuali terdapat cacat yang dapat menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama.15 Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan berlangsungnya akad.16 Sedangkan Sayyid Sabiq17 menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan. Sayid Sabiq menambahkan bahwa fasakh itu terbagi kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab fasakh-nya jelas. 15
16
Ibid, hal. 526. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1984, hlm.
3150. 17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet ke-37.
25
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut: a. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari: 1) Sebab yang telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat perkawinan. 2) Sebab yang terjadi setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad. b. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari: 1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samarsamar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam, sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam. 2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim, berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan, berhubung perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam.
26
Dasar hukum Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini, antara lain adalah: a. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa Ayat 23 yang berbunyi : Artinya : “ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” b. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, yang berbunyi:
27
Artinya: “Dan dari Abdurraman bin Hurmuz Al-A‟raj sesungguhnya Abbas bin Abdullah bin Abbas tela mengawinkan Abdurahmnan bin Hakam dengan anak putrinya dan sebaliknya Abdurahman mengawinkan Abbas dengan anak putrinya dan mereka berdua menjadikan tukar menukar itu sebagai maharnya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim surat kepada Marwan bin Hakam yang isinya menyuruh Marwan agar menceraikan antara mereka berdua, seraya berkata dalam suratnya itu inilah nikah syigar yang di larang oleh Rasulullah SAW.” (HR ahmad dan abu daud).18 c. Dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Hakim, yang berbunyi:
سّلَ ْم ا ْلعَا َ ًَ عّلَيْ ِو َ صّلَي الّلَ ُو َ َتسًََجَ َرسُ ٌْلُ الّلَ ِو: ل َ جرَ َة عَنْ اَبِيْ ِو قَا ْ ُن ع ِ ْب ب ِ َن َكع ِ ًَْعَنْ زَيْدِ ب ي ْ ِ ِالْ َبس:َحيَا بَيَا ضًا فَقَا ل ِ ْت ثِيَا َبيَا َرأَي ِب َكش ْ َضع َ ًًََ عّلَيْ ِو َ ت ْ َخّل َ َي غَّفَا ٍر َفَّلّمَا د ْ ِن بَن ْ ِلِيَ َت م )ق (رًاه الحاكم ِ ك ًََا َمرَ َليَا بِا لّصِدَا َ ي بِأَ ْى ّْل ْ ِك ًََالْحِق َ ثِيَا َب Artinya: “ Hadits dari Zaid bin Ka‟ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata: Rasulullah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghafar. Ketika Rasul hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih di rusuknya. Lantas Rasul berkata: Pakailah pakaianmu dan pergilah kerumah orang tuamu, dan Rasul memberinya mahar.” (HR. Hakim).19 2. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Akan tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 18 19
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz. 34, h. 216, Hadis Ke-16253 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, (Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah), h. 218
28
Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya kata “ dapat “ dalam pasal ini adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain.20 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang dapat menjadi batal demi hukum dan dapat dibatalkan oleh hakim apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang ini berarti dapat difasidkan, sehingga bersifat relative neitig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.21 Menurut M. Yahya Harahap,22 secara teoritis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum
( van
rechtswegwnietif ) sampai ikut campur tangan Pengadilan. Hal ini dapat 20
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2004), Cet Ke-1,
h. 106. 21
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2002 ), h. 25. 22
Yahya Harahap, SH. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ( Medan : CV. Zahir Trading Co ), 1975, Cet Ke-I, h. 74.
29
diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh Pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan isteri.23 Pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu: 1. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari masing-masing pihak (Pasal 23 huruf a) 2. Suami istri itu sendiri (Pasal 23 huruf b) 3. Jaksa (Pasal 23 huruf c ayat (1) jo. Pasal 16) 4. Pejabat tertentu (Pasal 23 huruf d jo Pasal 16) 5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut (Pasal 23 huruf c)
3. Perspektif Hukum Perdata Indonesia Didalam hal seseorang tidak mengindahkan akan ketentuan-ketentuan undang-undang tentang perkawinan dan pelangsungan perkawinan, dengan
23
107.
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
30
begitu adanya dua macam akibat hukum yaitu kebatalan karena hukum atau kemungkinan pernyataannya batal oleh hakim atas permohonan pihak-pihak yang bersangkutan.24 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan jelas disebutkan pada pasal 85 yaitu: Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim. Mengenai pembatalan dalam perkawinan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di jelaskan dalam pasal 85-99.25 Adapun bunyi dari pasal 85-99 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Suatu perkawinan dapat di batalkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:26 1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami) 2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak 3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum 4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin 5. karena adanya larangan perkawinan 6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina (overspell)
24
H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.
25
Lihat, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 22.
60. 26
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),Cet Ke-1, h. 13.
31
7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang tua dan wali. Dalam hal perkawinan rangkap (poligami), pihak yang berwenang melakukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: 1. Suami atau istri dari perkawinan yang pertama 2. Suami atau istri dari perkawinan yang kedua 3. Jaksa Dalam hal perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum, permohonan pembatalan perkawinan dapat di lakukan oleh: 1. Orang tua 2. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke samping 3. Curator Untuk melakukan pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negri yang daerah hukumnya meliputi
tempat
dilangsungkannya
perkawinan
tersebut.
Pembatalan
perkawinan tersebut baru terjadi setelah dinyatakan dalam putusan Pengadilan yang telah in Kracht van gewijsde.27
27
Ibid, h. 14.
32
4. Perspektif kompilasi Hukum Islam Mengenai sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan sebagai berikut : Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj‟i b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili‟annya c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudaranya neneknya.
33
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tirinya. 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.28 Sedangkan pasal 71 KHI menjelaskan tentang aturan dimana suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di dalam pasal 72 KHI dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum 2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka salah sangka mengenai calon suami atau istri. Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam pasal 73, yaitu :
28
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1994 ), h. 97.
34
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau isteri, b. Suami atau isteri, c. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Pembicaraan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan itu sebelumnya telah berlangsung dan akibat dari perkawinan tersebut menghasilkan anak dan harta bersama.29 Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 28 ayat (2) dinyatakan : Keputusan tidak berlaku surut terhadap : 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. 2. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
29
113.
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
35
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap. Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75, dijelaskan keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :30 1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad; 2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; 3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan : “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.” Dalam fiqih dijelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan di antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni: 1.
Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan oleh karena itu tidak dikenakan hukum dera seratus kali bagi yang masih belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah menikah
30
Ibid, h. 113.
36
2.
Wajib membayar mahar wanita seperti yang di sepakati, dan kalau belum ada kesepakatan tentang jumlahnya maka harus membayar jumlah yang layak baginya
3.
Ibu wanita haram bagi laki-laki menikahinya karena sudah di anggap sebagai mertuanya,
4.
Jika senggama itu menghasilkan anak, maka anak itu di akui sebagai anak ayahnya, baik hal yang menyebabkan batalnya itu di sepakati maupun di perselisihkan.31 Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang
akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan merupakan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaannya, kecuali pembatalan perkawinan atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan yang tidak sah karena unsur kesengajaan anak hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. 2. Penyelesaian terhadap harta bersama yang didapat dalam perkawinan yang dibatalkan atas dasar adanya ikatan perkawinan yang lebih dahulu atau poligami aturan hukumnya belum jelas. Sedangkan terhadap harta bersama yang didapat dalam perkawinan diselesaikan menurut hukumnya masingmasing, baik menurut hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
31
Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Jakarta: Kencana, 2004), Cet Ke-2, h. 26.
37
D. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “ penyalahgunaan atau penyelewengan “.32 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “ upaya kelompok atau perseorangn untuk mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya. “33 Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ciri-ciri, keadaan khusus seseoroang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri.34 Jadi, dapat disimpulkan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan perkawinan.
32
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta: PT. Gramedia, 2000), h. 372. 33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 712. 34
Santoso, Ananda dan A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya, Penerbit Alumni, t.th), h. 157.
38
Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status. Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi identitas dalam perkawinan, yaitu: 1. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya hanya unuk kepentingan diri sendiri 2. Masih
kurangnya
pengetahuan
sebagian
anggota
masyarakat
tentang
perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat. 3. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan wakilnya. 4. Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang berwenang menanganinya. 5. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum merata dikalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan kurangnya hukum.35
35
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 2003 ), cet. Ke-6, h. 111.
39
6. Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan untuk memudahkannya tanpa harus meminta izin dari Pengadilan Agama.36 Salah satu faktor perkawinan itu dapat dibatalkan apabila terjadi adanya pemalsuan identitas terhadap diri suami atau istri yang melangsungkan perkawinan. Pemalsuan identitas tersebut dapat berupa pemalsuan status, usia maupun agama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada pasal 27 yang berbunyi: 1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum 2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Sedangkan dalam Hukum Perdata Indonesia (BW) mengingat perkawinan merupakan suatu perikatan, maka suatu perikatan dapat di batalkan apabila salah satu dari para pihak yang melakukan perikatan tersebut melakukan penipuan maka perikatan tersebut dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.” 36
Ibid.
40
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas, yaitu sesuai dengan pasal 72 yang berbunyi: 1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum 2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
BAB III DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
A. Sejarah Dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi1 Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undangundang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam.
1
http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa di akses pada tanggal 14 April 2011.
41
42
Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”. Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13'' dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan batas-batas : 1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta. 2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan. 3. Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu.
43
4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.
B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi2 Visi : “ Adalah berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan Agama Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan Peradilan lainnya serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum ditengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya Syari’at Islam yang efektif.” Misi : “ adalah optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai lembaga Peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai Institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaran Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga resmi dalam penyelesaian sengketa antara ummat Islam terutama dalam hal kasus rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian perceraian secara dibawah tangan.”
2
http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa, di akses pada tanggal 14 april 2011.
44
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi Gambar 3.1 Struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi
HAKIM-HAKIM
KETUA WAKIL KETUA
KEPANITERAAN/KESEKRETARIATAN
WAKIL PANITERA
PANMUD PERMOHONAN
PANMUD GUGATAN
WAKIL SEKRETARIAT
PANMUD HUKUM
KAJUR KEPEGAWAI AN
KAJUR KEUANGAN
KAJUR UMUM
Sumber: Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi
D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi3 1. Daftar Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus semua perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu sebanyak 15 (lima belas) hakim yang terdiri dari ketua, wakil, hakim pratama utama serta hakim madya pratama.
3
Subbag Kepegawaian Pengadilan Agama Bekasi
45
2. Daftar Jumlah Pegawai Pengadilan Agama Bekasi Jumlah pegawai Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu sebanyak 27 pegawai yang terdiri dari Panitera / Sekretaris, Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Hukum, Kepala Sub Bagian Kepegawaian, Kepala Sub Bagian Keuangan, Panitera Pengganti.
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi4 Beberapa wilayah yang masuk ke dalam wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi adalah sebagai berikut: 1.
Kecamatan Pondok Gede,
2.
Kecamatan Jati Sampurna,
3.
Kecamatan Pondok Melati,
4.
Kecamatan Jati Asih,
5.
Kecamatan Bantar Gebang,
6.
Kecamatan Mustika Jaya,
7.
Kecamatan Bekasi Timur,
8.
Kecamatan Rawa Lumbu,
9.
Kecamatan Bekasi Selatan,
10. Kecamatan Bekasi Barat, 11. Kecamatan Medan Satria, dan
4
http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa, di akses pada tanggal 14 April 2011.
46
12. Kecamatan Bekasi Utara.
F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Dari Tahun 2009-2011 Jumlah perkara yang telah di putus Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu sebanyak 4.887. Perkara yang telah di putus terdiri atas: Tabel 3.1 Jenis dan Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi 2009-2011 No. Jenis Perkara 01
Jumlah
Perkawinan Izin Poligami
10
Pencegahan perkawinan
-
Penolakan Perkawinan
-
Pembatalan Perkawinan
3
Kelalaian atas Kewajiban Suami
-
Perceraian
3.322
Harta Bersama
27
Penguasaan Anak
4
Nafkah Anak Oleh Ibu
-
Hak-Hak Bekas Istri
-
Pengesahan Anak
3
Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
-
47
Perwalian Penolakan Kawin Campur
13 -
Isbat Nikah
136
Izin Kawin
-
Dispensasi Kawin
1
Wali Adhol
9
02
Kewarisan
30
03
Wasiat
1
04
Hibah
-
05
Wakaf
-
06
Shodaqoh
-
07
Lain-Lain
120
Jumlah
4.887
Dari semua perkara yang telah di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011, di antaranya terdapat perkara banding yaitu berjumlah 27 perkara. Adapun perkara banding tersebut terdiri atas: Penguasaan Anak, harta bersama, dan kewarisan. Di lihat dari perkara yang telah di putus Pengadilan Agama Bekasi bahwa perkara perceraian adalah yang paling banyak di terima dan di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi.
48
G. Deskripsi Kasus Perkara No.1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi 1. Pihak-Pihak Yang Berperkara Pengadilan Agama Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara pembatalan nikah antara: Zakaria ( nama samaran ), umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan Kepala Kantor Urusan Agama ( KUA ) kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, bertempat tinggal di Bekasi, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”, melawan Renita ( nama samaran ), umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan swasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai Termohon I, Andika ( nama samaran ), umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai “Termohon II”. Pengadilan Agama tersebut, setelah membaca dan mempelajari suratsurat perkara, setelah mendengar pihak yang berperkara dan para saksi di muka sidang. 2. Duduk Perkara Menimbang, bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 25 November 2008 yang di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi, telah mengajukan permohonan pembatalan nikah dengan uraian/ alasan sebagai berikut:
49
a. Bahwa Termohon I dengan Termohon II telah Menikah pada tanggal 23 September 2005 dihadapan Pejabat KUA Kecamatan Bekasi Timur sebagai mana teryata dalam kutipan Akta Nikah No 1379 / 186 / IX / 2005, b. Bahwa selama berumah tangga Termohon I dan Termohon II belum dikaruniai keturunan, c. Bahwa Termohon I dan TermohonII dalam melakukan pernikahan tidak terdapat hal – hal yang menghalangi sahnya pernikahan baik syarat dan rukun pernikahan serta persyaratan administrasi telah terpenuhi sehingga pernikahan di langsungkan, d. Bahwa teryata pada Agustus 2008 diketahui adanya pemalsuan status Termohon II dimana sebelumnya mengaku berstatus Jejaka teryata diketahui Termohon II telah mempunyai seorang istri dengan 2 orang anak, dengan demikian Termohon II telah melakukan tindakan melawan Hukum, e. Bahwa pada tanggal 24 November 2008 orang tua Termohon I telah datang di Kantor KUA Kecamatan Bekasi Timur dan mohon kepada Kepala KUA Bekasi dengan alasan Termohon II telah memalsukan identitasnya, f. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Pemohon mengajukan permohonan pembatalan pernikahan Termohon I dan Termohon II karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, maka dengan uraian tersebut di atas Pemohon mohon Pengadilan Agama Bekasi berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
50
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon 2. Menetapkan batal perkawinan antara Termohon I dengan Ternohon II yang di laksanakan di Kantor urusan Agama Kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi dengan Buku Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005, 3. Menetapkan biaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku Bilamana Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya. Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah di tetapkan, Pemohon dan Termohon I telah hadir sendiri di persidangan sedangkan Termohon II tidak hadir meskipun telah di panggil secara rsemi dan patut dan ketidak hadirannya tanpa alasan yang sah dan tidak pula mengutus orang lain sebagai kuasa atau wakilnya, Menimbang, dan oleh Ketua Majelis telah di usahakan perdamaian namun tidak berhasil, lalu pemeriksaan di lanjutkan dengan membacakan surat permohonan tersebut yang isinya tetap di pertahankan oleh Pemohon, Menimbang, bahwa atas permohonan tersebut, Termohon I telah mengajukan jawaban yang secara rinci sebagaimana tertuang dalam berita acara perkara ini yang untuk mempersingkat putusan pada pokoknya adalah sebagai berikut:
51
g. Bahwa benar Termohon I dengan Termohon II telah menikah pada tanggal 23 September 2005 di hadapan Pejabat KUA Kecamatan Bekasi Timur sebagaimana ternyata dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 1379/ 186/ IX/ 2005, h. Bahwa benar selama berumah tangga Termohon I dan Termohon II belum di Karuniai keturunan, i. Bahwa benar Termohon I dan Termohon II dalam melakukan pernikahan tidak terdapat hal-hal yang menghalangi sahnya pernikahan baik syarat dan rukun pernikahan, namun Agustus 2008 diketahui adanya pemalsuan status Termohon II dimana sebelumnya mengaku sebagai jejaka ternyata diketahui Termohon II telah mempunyai seorang istri dengan dua orang anak, dengan demikian Termohon II telah melakukan tindakan melawan hokum, sedangkan Termohon I tidak mengetahui status Termohon II sebenarnya, j.
Bahwa benar tanggal 24 November 2008 orang tua Termohon I telah dating di kantor KUA Kecamatan Bekasi Timur dan Mohon kepada Kepala KUA Bekasi dengan alasan Termohon II telah memalsukan identitasnya, dan
k.
Bahwa Termohon I tidak keberatan dan menerima pembatalan pernikahan tersebut. Menimbang, bahwa atas keterangan Termohon I pihak Pemohon menanggapi bahwa Pemohon menerima dan percaya setelah kelengkapan administrasi sudah ada yang di ajukan anak buah Pemohon bernama Wasih Abbas, S. Ag dan yang bersangkutan bertindak sebagai penghulu dalam pernikahan tersebut sehingga di terbitkan buku nikah:
52
1. Photocopy
Kartu
Tanda
Penduduk
a.n
Pemohon
Nomor
.10.5501.240754.1002 tanggal berlaku 24-07-2010 (bukti P.1), 2. Photocopy SK Kepala Kantor Wilayah Depag Prov. Jawa Barat No. KW. 101/2/KP.07.6/6017/2006 tentang penyesuaian dalam jabatan fungsional penghulu dan angka kreditnya atas nama H. Abdullah (nama samaran) tanggal 29 September 2006 (Bukti P.2), 3. Photocopy Akta Pencacatan Nikah Nomor 1379 tertanggal 23 September 2005 atas nama Renita dengan Andika (Bukti P.3), 4. Photocopy Akta Nikah Nomor. 1379/186/IX/2005 tanggal 23 September 2005 yang di keluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Timur (Bukti T.4), 5. Photocopy Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor. 1379/186/IX/2005 tanggal 20 Agustus 2005 a.n Renita dengan Andika (Bukti T.5), 6. Photocopy
Kartu
Tanda
Penduduk
a.n
Termohon
Nomor.
09.5104.910780.0274 tanggal berlaku 21 Juli 2013 (Bukti P.6), 7. Photocopy Kutipan Akta Nikah Termohon II Andika dengan Selvita (nama samaran) Nomor. 043/ II/ V/ 1999 yang di keluarkan oleh KUA Kecamatan Argomulyo Kabupaten Salatiga Jawa Tengah (Bukti P.7), Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadirkan saksi-saksi di muka sidang yang telah di ambil keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:
53
Saksi I: Ahmad Syatirudin (nama samaran), umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS, bertempat tinggal di Kel. Jati Bening Kec. Pondok Gede, Kota Bekasi, 1. Bahwa saksi adalah sebagai Pegawai KUA Kec. Bekasi Timur dan baru kenal saat di langsungkan pernikahan dengan petugas yang dilaksanakan di kantor KUA yang menjadi wali paman Termohon I bernama Tono (nama samara) karena pengakuan Termohon I bapak kandungnya beragama Kristen di saksikan oleh saksi bernama Riko (nama samara) dan Tari (nama samara) dengan mahar seperangkat alat solat, 2. Bahwa ternyata setelah terjadi pernikahan dating orang tua istri Termohon I bahwa Termohon II bukanlah berstatus jejaka tetapi sudah punya istri, 3. Bahwa adanya permohonan Pemohon untuk membatalkan pernikahan tersebut karena Termohon II memalsukan identitas, Saksi II: Budi Haryanto, umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan sopir, bertempat tinggal di Bogor, 1. Bahwa saksi kenal Termohon II karena tahu dari Termohon I karena bekerja sebagai sopir pribadi Termohon I dan lebih dekat dengan orang tuanyadari Termohon I, 2. Bahwa benar nikah ulang agar sah harus sesuai dengan KMA karena sebagai Termohon I dan Termohon II telah menikah dan setelah menikah mereka tinggal di Kwitang,
54
3. Bahwa saya sekarang dengan Termohon I datang ke Pengadilan Agama membatalkan pernikahan karena Termohon II di ketahui mempunyai istri, Saksi III: Muhammad Syambuzi, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS, bertempat tinggal di Kota Bekasi, 1. Bahwa saksi kenal Termohon I dan Termohon II di saat melangsungkan pernikahan karena selain PNS juga amil yang menikahkan Termohon I dengan Termohon II yang pernikahan di laksanakan di KUA Kec. Bekasi Timur karena sesuai bukti yang ada Ternohon I tinggal di Bekasi dan Termohon II jejaka tinggal di Bekasi Jaya sebagaimana pengantar dari kelurahan Bekasi Jaya, 2. Bahwa pernikahan di lakukan ada tenggang waktu dari pendaftaran ke tangga pelaksanaan pernikahan setelah terlebih dulu mengecek kebenaran pernyataan tersebut, 3. Bahwa pernikahan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan dengan wali paman Termohon I Teguh dan saksi bernama Rudi dan Ria maskawin seperangkat alat shalat, 4. Bahwa setelah berlangsungnya pernikahan tersebut datang orang tua Termohon I yang menerangkan bahwa Termohon II bukanlah jejaka tetapi sudah beristri dengan punya dua orang anak kepada Kepala KUA Kec. Bekasi Timur untuk membatalkan pernikahan tersebut, Menimbang, atas keterangan saksi-saksi tersebut Pemohon tidak keberatan dan menambahkan terbitnya buku nikah adalah pemalsuan identitas
55
Termohon II yang mengaku jejaka sebenarnya telah beristri dan Termohon I juga membenarkannya, Menimbang, bahwa selanjutnya untuk mempersingkat uraian putusan ini di tunjuk kepada hal-hal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan perkara ini. 3. Pertimbangan Hukum Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah seperti di uraikan tersebut di atas, Menimbang, bahwa dari posita permohonan Pemohon telah jelas menunjukkan sengketa perkawinan dan dengan didasarkan kepada dalil Pemohon sendiri tentang domisili Pemohon yang berada di wilayah Hukum Pengadilan Agama Bekasi yang tidak ada bantahan, maka dengan didasarkan pada ketentuan pasal 49 ayat ( 2 ) butir 6 penjelasan umum atas Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 jo Pasal 25 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974, maka Pengadilan Agama Bekasi berwenang, menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan permohonan Pemohon. Menimbang bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 82 Ayat ( 1 ) dan Ayat ( 4 ) Undang – Undang No 7 tahun 1989 jo Pasal 31 Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) PP No. 9 Tahun 1975, majlis Hakim telah berupaya menasehati kedua belah pihak berpekara terutama kepada Pemohon agar berpikir ulang, namun usaha tersebut tidak berhasil.
56
Menimbang, bahwa dari posita permohonan Pemohon, majlis menilai bahwa yang di jadikan alasan permohonan Pemohon pembatalan nikah Termohon I dengan Termohon II adalah sebagaimana tersebut di atas, Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon sendiri dan juga sebagaimana ternyata dari bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah atas nama Termohon I dengan Termohon II ( Bukti P.3, 4 dan 5 ), harus dinyatakan terbukti bahwa antara Termohon I dengan Termohon II telah terikat dalam perkawinan yang sah. Menimbang bahwa Termohon II tidak dapat didengar keterangannya karena tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut dan resmi sedangkan ketidak hadirannya bukan disebabkan halangan yang sah yang dibenarkan menurut hokum, maka majlis hakim menganggap ketidak hadirannya maka Termohon II telah telah menerima dan mengakui kebenaran dalil-dalil tersebut. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Termohon I yang diperkuat dengan keterangan para saksi dan bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh Pemohon, maka majlis dapat menarik suatu kesimpulan yang merupakan fakta adalah sebagai berikut: a. Antara Termohon I dengan Termohon II telah terikat dalam perkawinan yang sah; b. Termohon I dengan Termohon II telah melakukan pernikahan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah KUA Kecamatan Bekasi Timur;
57
c. Temohon I telah melakukan pernikahan dengan Termohon II sesuai dengan syarat-syarat rukun nikah namun tanpa prosedur hukum berlaku karena Termohon II telah beristeri. Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon I dan juga keterangan saksi, majlis menemukan fakta bahwa perkawinan Termohon I dengan Termohon II tanpa dilengkapi dengan surat Ijin Pengadilan Agama untuk berpoligami dan karenanya pencacatan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II telah melanggar ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975. Menimbang, bahwa dengan telah ditemukannya fakta bahwa perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tanpa dilengkapi dengan ijin poligami dari Pengadilan, sedangkan bukti P 7 menunjukkan bahwa Termohon II sebelumnya telah menikah dengan seorang perempuan dengan kutipan akta nikah Nomor. 043/ II/ V/ 1999 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Argomulyo Kabupaten Salatiga Jawatengah (Bukti P 7); Maka sejalan dengan bunyi pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, permohonan Pemohon agar perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II dibatalkan, patut diterima dan dikabulkan. Menimbang, bahwa untuk menjaga kepastian hukum dan untuk menghindari penyalahgunaan hokum, maka majlis berpendapat bahwa permohonan Pemohon agar Termohon I dan Termohon II diperintahkan untuk menyerahkan Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 tanggal 23
58
September 2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Timur kepada Pengadilan Agama Bekasi dan Kepala KUA Kecamatan Bekasi Timur diperintahkan untuk mencoret buku Kutipan Akta Nikah tersebut dari Register Akta Nikah, patut diterima dan dikabulkan. Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan perubahannya biaya perkara di bebankan kepada Pemohon, Mengingat, pasal 49 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 serta segala ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku,
dan
dalil
syar’I
yang
bersangkutan dengan perkara ini. 4. Putusan a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menetapkan batal demi hukum perkawinan Termohon I dan Termohon II yang dilaksanakan di KUA Bekasi Timur, Kota Bekasi dengan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005; c. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 tanggal 23 September 2005 bukti perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, tidak berharga atau tidak mempunyai kekuatan hukum; d. Memerintahkan kepada Termohon II untuk menyerahkan Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 Tanggal 23 September 2005 yang
59
dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Bekasi Timur kepada Pengadilan Agama Bekasi; e. Memberikan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara; Demikianlah diputuskan pada hari selasa tanggal 03 Maret 2009 bertepatan dengan tanggal 06 Rabiul Awwal 1430 H, oleh kami Majlis Hakim Pengadilan Agama Bekasi yang terdiri dari Dra. Lelita Dewi, SH. M. Hum sebagai Ketua Majlis dan Drs. Humaidi Yusuf serta Dra. Hj. Nurwathon, SH masing-masing sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan tersebut oleh Ketua Majlis pada hari itu juga diucapkan dalam siding terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Endoy Rohana, SH sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama tersebut dan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon I tanpa hadirnya Termohon II.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI MENURUT HUKUM POSITIF
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam putusan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi putusnya pembatalan perkawinan tersebut didasarkan atas beberapa sebab yaitu : 1. Bahwa Termohon II diketahui telah memalsukan identitas dirinya dalam perkawinannya dengan Termohon I yaitu berupa Pemalsuan status 2. Bahwa Termohon II diketahui telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan, karena secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan . Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan, contohnya yaitu tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi, poligami tanpa izin dari pengadilan agama dan alasan prosedural lainnya. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan, contohnya yaitu perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.1 1
Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), hal.
107.
60
61
Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan secara rinci dijelaskan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu alasan-alasan pembatalan perkawinan antara lain:2 1. Perkawinan yang di langsungkan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan) 2. Salah satu pihak masih terikat dalam satu hubungan perkawinan (Pasal 24 UU Perkawinan) 3. Perkawinan yang di langsungkan tidak di hadapan pejabat yang berwenang (Pasal 26 Ayat (1) UU Perkawinan) 4. Perkawinan yang di langsungkan dengan tidak ada wali nikah yang sah dan karena tidak ada dua orang saksi (Pasal 26 Ayat (2) UU Perkawinan) 5. Perkawinan yang di langsungkan karena adanya suatu ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 Ayat (1) UU Perkawinan) 6. Perkawinan yang di langsungkan karena adanya penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri (Pasal 27 Ayat (2) UU Perkawinan) Dilihat dari sebab terjadinya pembatalan perkawinan pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, bahwa Termohon II telah memalsukan identitasnya dan ternyata Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak, dengan begitu perkawinannya dapat dibatalkan sesuai dengan bunyi UndangUndang Perkawinan pasal 24 dan pasal 27 ayat (2). 2
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),Cet Ke-1, h. 14.
62
Dalam pasal 24 di jelaskan bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru. Sedangkan di dalam pasal 27 di jelaskan sebagai berikut: 1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa alasan pembatalan perkawinan tersebut dalam pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah alasan yang agak limitatif tetapi tidak secara mutlak. Alasan tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya alasan-alasan lain yang dapat di gunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang di dasarkan kepada ketentuan dalam batas-batas perikemanusiaan dan kesusilaan, seperti penipuan, penyakit gila dan impoten. Hal ini penting untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
63
Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut tidak akan tercapai kalau dalam pelaksanaan perkawinan terjadi cacat sehingga merugikan salah satu pihak.3 Dalam uji lapangan yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan, perkara yang di ajukan ke Pengadilan Agama se-Jawa Tengah yang menjadi sampel penelitian, dapat di informasikan melalui tabel berikut:4 Tabel 4.1 Daftar Perkara Pembatalan Perkawinan Se-Jawa Tengah No. Pengadilan Agama
Jumlah Perkara
Status Perkara Diputus
Ditolak
Dicabut
1.
PA Semarang
3
3
-
-
2.
PA Temanggung
4
3
1
-
3.
PA Klaten
4
4
-
-
4.
PA Mungkid
13
13
-
-
5.
PA. Karanganyar
9
8
1
-
6.
PA Magelang
1
1
-
-
Jumlah
34
22
2
-
Dari data-data tersebut di atas yang berkaitan dengan alasan pembatalan perkawinan yang paling dominan adalah karena poligami tanpa izin isteri. Dalam
3
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet Ke-1, h. 66. 4
Mu’allim Amir Bin, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam Di Lingkungan Peradilan Agama Se-Jawa Tengah Dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 19911997).
64
hal persetujuan seorang isteri di sebutkan dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan di ulang kembali dalam pasal 41 b, c, dan d dengan tambahan penjelasan bahwa : a. Persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang Pengadilan b. Kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anakanak, dengan memperlihatkan: 1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau 2) Surat keterangan pajak penghasilan; 3) Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh Pengadilan; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang di buat dalam bentuk yang di tetapkan untuk itu (maksudnya rumusan dan cara pengucapan pernyataan atau janji itu). Para Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan untuk membatalkan suatu perkawinan sudah barang tentu di dasarkan pada pertimbanganpertimbangan hukum tertentu. Pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut adakalanya secara eksplisit tertuang dalam naskah putusan, adakalanya di sebutkan secara implisit dalam naskah putusan, serta yang menjadi pertimbangan hukum
65
para hakim dalam memutus perkara adakalanya berupa nash Al-Quran dan AlHadis. Sebagai bukti pengggunaan mekanisme dan landasan hakim dalam memutus perkara sebagaimana yang di ungkapkan di atas, dapat di cermati dari perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut, menyatakan bahwa Ketua Majlis menetapkan hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami sesuai Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan pasal 24 yang telah dijelaskan diatas. Alasan yang di berikan oleh hakim bahwa seorang suami apabila ingin berpoligami maka harus izin dari istri pertama pada khususnya dan izin dari Pengadilan Agama pada umumnya.5 Berdasarkan pertimbangan hakim dalam menggunakan landasan hukum perkara pembatalan perkawinan dapat di lihat dari putusan di Pengadilan Agama Se-Jawa Tengah dalam tabel berikut ini:6
5
Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi (Drs. Humaidi Yusuf, MH ) pada tanggal 15 April 2011 di Pengadilan Agama Bekasi. 6
Amir Bin Mu’allim, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam Di Lingkungan Peradilan Agama Se-Jawa Tengah Dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 19911997).
66
Tabel 4.2 Landasan Hukum Atau Rujukan Jumlah sampel perkara
Al-Qur’an
Al-Hadis
Kitab Fiqih
UU No.U14/1970
UU No.1/1974
UU No.7/1989
KHI
PP No.9/1075
Dalil Syar’i
1.
Temanggung
2
1
-
1
-
1
1
2
-
-
-
2.
Magelang
1
-
-
1
-
1
1
1
-
-
-
3.
Karanganyar
3
-
-
1
-
2
2
2
-
-
-
4.
Klaten
2
-
-
1
-
1
1
1
-
-
-
5.
Mungkid
4
-
-
-
-
2
3
3
-
-
-
6.
Semarang
1
-
-
-
-
1
1
1
1
-
-
Jumlah
15
4
-
-
2
15 12 11 5
1
-
No. Pengadilan Agama
Peraturan Perundangundangan
HIR Kepmen
Kasus gugatan pembatalan perkawinan seperti yang tergambar dalam datadata tersebut di atas menunjukkan bahwa: a.
Secara umum penekanan skala prioritas dalam hal penggunaan rujukan sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara lebih menekankan peraturan perundang-undangan dibandingkan dengan dalil syar’i.
b.
Perujukan terhadap kitab-kitab fiqh sebagai dasar memutuskan perkara lebih banyak dilakukan dari pada merujuk pada nash Al-Quran dan Al-Sunnah.
67
Sedangkan dalam hal perujukan terhadap peraturan perundang-undangan, penggunaan UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lebih mendapat prioritas di banding yang lain. c.
Pengadilan Agama yang satu dengan Pengadilan Agama yang lain beragam dalam hal penerapan rujukan sebagai dasar hukum memutus perkara. Adanya keberagaman tersebut memberi kesan bahwa meskipun statusnya
sebagai Pengadilan Agama yang mestinya banyak berkaitan dengan nuansa keagamaan namun dalam prakteknya ternyata cenderung lebih banyak menerapkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam memutus perkara. Menurut analisis penulis terhadap pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut kurang tepat apabila hakim menjatuhkan putusan dengan pasal 24 saja, karena apabila dilihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, Pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan sebab Termohon II telah memalsukan identitasnya yang mengaku berstatus jejaka, dengan begitu hakim lebih tepat apabila memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut dengan menggunakan pasal 24 dan pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seperti yang telah di kemukakan oleh M. Yahya Harahap bahwa perkawinan dapat di batalkan apabila salah satu pihak melakukan penipuan dalam bentuk pemalsuan identitas, seperti contoh pria tersebut sudah pernah kawin tetapi di katakannya masih jejaka atau bentuk perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung.
68
Adapun pasal 27 itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Hukum Perdata Indonesia Di dalam Hukum Perdata Indonesia di jelaskan bahwa apabila seseorang tidak mengikuti akan ketentuan-ketentuan undang-undang tentang perkawinan, maka ada dua macam akibat hukumnya, yaitu batal demi hukum atau dapat di batalkan oleh hakim.7 Kemudian mengenai sebab-sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu di jelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 86-91.8 Selengkapnya bunyi pasal 86-91, suatu perkawinan dapat di batalkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:9 1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)
7
H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.
60. 8
Lihat, pasal 86-91 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),Cet Ke-1, h. 13. 9
69
2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak 3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum 4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin 5. karena adanya larangan perkawinan 6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina (overspell) 7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang tua dan wali. Dalam perkara putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa permohonan pembatalan perkawinan karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, yang mengaku berstatus jejaka. Akan tetapi Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di jelaskan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Dari pasal tersebut dapat di simpulkan bahwa perkawinan merupakan hubungan antara dua orang. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, dengan begitu perkawinan merupakan suatu perikatan. Mengingat perkawinan merupakan suatu perikatan, maka apabila suatu perikatan tersebut dapat batal karena sebab-sebab yang dapat membatalkanya, demikian pula dalam hal perkawinan juga dapat di batalkan.
70
Sesuai dengan pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dengan demikian permohonan pembatalan perkawinan pada perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, perkawinannya dapat di batalkan, karena Termohon II telah melakukan penipuan di dalam perkawinannya, sesuai pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Kompilasi Hukum Islam Pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Hakim memutuskan batalnya perkawinan disebabkan oleh poligami tanpa izin dari pengadilan agama, yang didasarkan pada pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama Menurut penjelasan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang di dapat penulis melalui wawancara, dalam kasus perkara putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa kasus yang ada adalah masalah poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama, karena di ketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Dengan begitu, dapat diputuskan sesuai dengan pasal 71 huruf (a).10
10
Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi (Drs. Humaidi Yusuf) pada tanggal 15 April 2011 di Pengadilan Agama Bekasi.
71
Sedangkan apabila dilihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan alasan bahwa termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, yang dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 72 ayat 2 yang berbunyi: 1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum 2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka salah sangka mengenai calon suami atau istri. Sedangkan sebab kedua setelah diketahuinya Termohon II melakukan pemalsuan identitas, diketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Dengan begitu perkawinannya dapat di batalkan sesuai dengan pasal 71 huruf (a) yang berbunyi: Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Islam tampaknya telah mengantisipasi kekurangan hal yang tersebut dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan melalui pasal 72 ayat (2). Di kemukakan bahwa perkawinan dapat di batalkan tidak hanya salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan yang tersebut di sini tidak hanya di lakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga
72
dilakukan oleh pihak wanita. Dari pihak pria biasanya penipuan di lakukan dalam bentuk pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi di katakannya masih jejaka atau perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung. Penipuan yang di lakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan yang ada pada dirinya, misalnya di katakan tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak demikian.11
Menurut analisis penulis melihat duduk perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi seharusnya putusan tersebut lebih sesuai apabila diputuskan berdasarkan pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang telah di sebut di atas, karena pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut menjelaskan dengan tegas bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas dengan memalsukan statusnya sebagai jejaka, yang kemudian diketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Selain itu pengajuan permohonan tersebut di ajukan oleh wali dari Termohon I yang telah mengetahui Termohon II melakukan pemalsuan identitas. Apabila kasus tersebut di ajukan oleh istri pertama, maka baru bisa di anggap sebagai poligami liar karena perkawinannya yang kedua tidak mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang telah di jelaskan oleh Abdul Manan dalam bukunya Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia yang telah di sebutkan di atas yang dengan jelas menyatakan bahwa pembatalan perkawinan
11
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet Ke-1, h. 67.
73
karena pemalsuan identitas yaitu sesuai dengan pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Seperti pada putusan Mahkamah Agung Nomor 05 K/AG/2005 seorang lelaki bernama Ton mengaku jejaka melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita bernama Masti pada tanggal 21 September 1983 dicatat oleh PPN yang berwenang. Dari perkawinan tersebut belum di peroleh anak. Pada tanggal 25 April 1991 seorang wanita bernama Karti mengajukan pembatalan perkawinan Ton dengan Masti karena tidak di lengkapi izin poligami dari Pengadilan, sedangkan pada waktu mereka melangsungkan perkawinan Ton masih terikat perkawinan sah dengan Karti. Gugatan tersebut di kabulkan oleh Pengadilan Agama karena melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Dalam tingkat banding putusan Pengadilan Agama tersebut di batalkan oleh Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan: “bahwa gugatan pembatalan perkawinan seperti yang telah di ajukan oleh penggugat adalah merupakan hak yang di berikan oleh undang-undang kepada isteri untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang kedua dari suami. Namun menurut kepatutan serta rasa keadilan penggunaan hak tersebut bukanlah tidak di batasi waktu berlakunya. Sebab apabila hak tersebut merupakan hak yang tidak di batasi oleh waktu maka berarti walaupun isteri menyadari telah terjadi perkawinan suami tanpa izin Pengadilan akan bisa di gunakan kapan saja walaupun perkawinan itu telah di ketahui puluhan
12
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 05 K/AG/2005 tanggal 28 Juli 2006.
74
tahun yang lalu dan sudah mempunyai anak cucu dan ini berarti pula bukan akan menimbulkan manfaat bagi keluarga, akan tetapi akan menimbulkan mafsadat bagi keluarga. Oleh karena itu menurut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta rasa keadila akan terpenuhi baik terhadap hak Penggugat maupun Tergugat I dan Tergugat II apabila terhadap gugatan pembatalan perkawinan a quo di lakukan kias (analog) dengan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan, demikian pula dengan Pasal 72 KHI di mana harus di ajukan paling lambat 6 bulan sejak yang bersangkutan menyadari dan atau mengetahui perkawinan di maksud. Putusan Pengadilan Tinggi Agama tersebut di batalkan oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan : “bahwa Pasal 27 Udang-Undang No.1 Tahun 1974 hanya berlaku bagi suami atau istri yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dirinya sendiri dan bukan permohonan untuk pembatalan perkawinan orang lain.13 Melihat Putusan Mahkamah Agung tersebut apabila di kaitkan dengan Putusan Pengadilan Agama Bekasi maka seharusnya hakim lebih tepat memutuskan perkara pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas dengan menggunakan pasal 27 Undang-Undang Perkawinan atau dengan Pasal 72 KHI. Karena dalam Putusan No. 15/ PDT/G/2009/PA. Bekasi di ketahui bahwa yang mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan adalah wali dari Termohon I dan persetujuan Termohon I, dengan begitu pembatalan perkawinan 13
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Hukum Perdata Islam (Studi Tentang Pergeseran Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Tahun 1991-2007)
75
tersebut untuk perkawinan Termohon I dengan Termohon II bukan pembatalan perkawinan untuk Termohon II dengan isteri pertamanya atau untuk orang lain.
BAB V ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI PERSPEKTIF HUKUM FIQH
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab Syafi’iyyah Dalam putusan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi di ketahui sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu: 1. Bahwa
Termohon
II
telah
melakukan
Pemalsuan
identitas
dalam
melangsungkan perkawinannya dengan Termohon I 2. Bahwa ternyata diketahui Termohon II telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak Menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah di antara perceraian yang di sebabkan fasakh yaitu: 1. Disebabkan seorang suami berat memberikan maskawin, nafkah, tempat tinggal dan pakaian, 2. Seorang istri terdapat cacat pada kemaluannya, 3. Di sebabkan akad nikah yang fasid,1
1
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar alFikr ), h. 372.
76
77
4. Karena seorang suami telah tertipu dengan sifat kewanitaannya, seperti seorang wanita mengaku perawan tetapi pada kenyataannya tidak perawan, mengaku merdeka ternyata budak.2 Melihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa perkawinannya batal karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, dengan begitu apabila di analisis menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah maka perkawinan tersebut dapat di batalkan karena telah tertipu dari pada sifat salah satu dari kedua suami istri tersebut. Apabila di qiyaskan sifat tersebut kepada pendapat Madzhab Syafi’iyyah bahwa pernikahan dapat di batalkan apabila salah satu keduanya tertipu oleh sifat suami atau istri, seperti contoh wanita mengaku perawan akan tetapi kenyataannya tidak perawan. Begitu pula pada kasus tersebut bahwa Termohon II yang telah mengaku sebagai jejaka tetapi ternyata telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Akan tetapi Madzhab Syafi’iyyah memberi keterangan lebih lanjut bahwa di syaratkan bagi seseorang yang ingin menikah terlebih dahulu meneliti sifat dari keduanya sebelum atau di saat dilakukannya akad. Dengan begitu apabila sesudah akad diketahui adanya penipuan terhadap sifatnya maupun tertipu karena terdapat cacat, maka pernikahannya tetap di anggap sah.
2
Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII, Cet Ke-I, hal. 525.
78
Menurut analisis penulis, melihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa perkawinannya batal disebabkan bahwa Termohon II telah memalsukan identitasnya yang mengaku sebagai jejaka ternyata di ketahui bawa Termohon II telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Dengan begitu, perkawinan tersebut sebenarnya memang dapat dibatalkan karena telah melanggar aturan hukum perkawinan yang berlaku. Apabila dikaitkan
dengan
pendapat
Madzhab Syafi’iyyah
maka
sebenarnya perkawinan tersebut tetap di anggap sah, akan tetapi di berikan pilihan perkawinannya bisa di batalkan atau perkawinannya tetap berlangsung. Karena menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah perkawinan dapat dibatalkan apabila salah satu dari keduanya telah tertipu dengan sifat dari kedua suami istri.
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab Hanafiyah Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi diketahui sebab terjadinya pembatalan perkawinan yaitu: 1. Di ketahui bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu mengaku sebagai jejaka 2. Bahwa Termohon II ternyata di ketahui telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah di antara sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu:
79
1. Salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara Islam yang aman, 2. Di sebabkan akad nikah yang fasid, 3. Salah satu dari suami atau istri kafir3 Dalam hal perkawinan dapat di batalkan apabila salah satu dari kedua suami istri telah tertipu oleh sifat dari salah satu kedua suami istri tersebut seperti apa yang telah di kemukakan oleh pendapat Madzhab Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyah berbeda pendapat. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah bahwa tidak membolehkan adanya perceraian kecuali di sebabkan cacat yang menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama. Dalam hal perceraian di sebabkan adanya cacat maka jika perceraian qabla dukhul, bagi istri mendapat setengah maharnya, akan tetapi jika perceraian ba’da dukhul maka bagi istri wajib ber’iddah.4 Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa permohonan pembatalan perkawinan di sebabkan karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, dengan begitu Termohon II telah melakukan penipuan terhadap Termohon I, maka apabila di analisis menurut pendapat Madzhab Hanafiyyah perkawinannya tidak dapat di batalkan, karena bukan dengan sebab adanya cacat melainkan karena di
3
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar alFikr ), h. 372. 4
Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII, Cet Ke-I, hal. 523.
80
sebabkan salah satu dari suami istri tersebut tertipu oleh sifat dari salah satu keduanya.
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab Malikiyyah Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi di ketahui sebab terjadinya pembatalan perkawinan yaitu: 1. Di ketahui bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu mengaku sebagai jejaka 2. Bahwa Termohon II ternyata di ketahui telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak Menurut pendapat Madzhab Malikiyyah di antara perceraian yang di sebabkan fasakh yaitu: 1. Di sebabkan akad nikah yang fasid, 2. Nikah sirri 3. Menikah tanpa wali 4. Putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian ( baik di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri)5 Mengenai hal pembatalan perkawinan karena salah satu suami istri telah tertipu oleh sifat salah satu dari keduanya, Madzhab Malikiyyah berpendapat
5
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar alFikr ), h. 372.
81
bahwa keduanya boleh memilih antara fasakh atau tetap berlangsung, sama halnya dengan pendapat Madzhab Syafi’iyyah. Mengenai mahar menurut pendapat Madzhab Malikiyyah jika perceraian dilakukan qabla dukhul maka perempuan yang di kawini tidak mendapat apa-apa. Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa pernikahannya batal karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, apabila di kaitkan dengan pendapat Madzhab Malikiyyah maka perkawinannya dapat di batalkan karena salah satu dari kedua suami istri telah melakukan penipuan terhadap sifat salah satu kedua suami istri tersebut.
D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab Hanabilah Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi diketahui sebab terjadinya permohonan pembatalan perkawinan disebabkan karena: 1. Bahwa Termohon II diketahui telah memalsukan identitasnya dalam perkawinannya yang mengaku berstatus jejaka 2. Bahwa Termohon II telah diketahui mempunyai seorang istri dan dua orang anak Menurut pendapat Madzhab Hanabilah di antara sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu:
82
1. Seorang suami berat memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, 2. Salah satu dari suami atau istri bukan beragama Islam6 Madzhab Hanabilah juga berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita dengan sesuatu yang dapat merusak akad seperti perkara sekufu, perihal kemerdekaannya, keturunannya, maka bagi istri berhak memilih antara fasakh dan tetap berlangsung.7 Melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi perkawinannya batal karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas dalam perkawinannya dengan Termohon I, dengan begitu apabila di kaitkan dengan pendapat Madzhab Hanabilah, maka perkawinan tersebut dapat di batalkan karena salah satu dari kedua suami istri tersebut telah melakukan sesuatu yang dapat merusak akad, yaitu Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yang mengaku sebagai jejaka tetapi ternyata diketahui bahwa Termohon II telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi apabila dikaitkan dengan pendapat Madzhab Hanabilah, perkawinannya dapat di batalkan karena dari kedua suami istri tersebut telah melakukan sesuatu yang dapat merusak akad, kemudian bila di qiyaskan dengan 6
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-Fikr
), h. 372. 7
Wahbah Zuhaily, Al Fiqhu Al Islam Wa Adillatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII, Cet Ke-I, hal. 526.
83
contoh sesuatu yang dapat merusak akad seperti mengaku merdeka tetapi kenyataannya budak, dengan begitu bila melihat sebab putusnya perkawinan pada putusan tersebut
Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu
mengaku sebagai jejaka tetapi pada kenyataannya telah mempunyai seorang istri dan dua orang anak.
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai langkah akhir setelah menganalisis dari beberapa sudut pandang dan kepustakaan untuk melengkapi dan menyempurnakan sekaligus merupakan jawaban dari pernyataan perumusan masalah yang telah di sebutkan terlebih dahulu. Maka dapat di tarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut: 1. Bahwa Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Telah mengatur hukum pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan yaitu pada pasal 27 ayat 2. Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur hukum pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan dalam pasal 72 ayat 2. 2. Bahwa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi dalam perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami yaitu dengan menggunakan pasal 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam pasal 71 huruf (a). Mengenai Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yaitu terhadap anak yang dilahirkan adalah tetap dianggap anak sah, mengenai harta bersama dapat di selesaikan menurut hukumnya masingmasing, baik menurut hukum agama, hukum adat maupun hukum lainnya,
84
85
kemudian di dalam fiqih di jelaskan bahwa apabila telah sempat bersenggama maka bersenggamanya tidak di anggap zina selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya. 3. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi dengan menggunakan pasal 24 UU Perkawinan dan KHI pasal 27 apabila di tinjau dari hukum positif maka di anggap telah berkekuatan hukum, akan tetapi apabila di tinjau dari hukum fiqih hukumnya lemah karena dalam hukum Islam masalah poligami telah di atur, tetapi apabila perkara tersebut di putus dengan menggunakan pasal 27 UU Perkawinan atau dengan pasal 72 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan, di tinjau dari hukum positif dan hukum fiqih putusan tersebut telah berkekuatan hukum, karena dari hukum positif maupun hukum fiqih telah mengatur pembatalan perkawinan karena adanya penipuan.
B. Saran-Saran Mengingat betapa pentingnya masalah pernikahan bagi masyarakat dengan adanya peraturan perundang-undangan yang telah mengatur semua hal tentang perkawinan dan untuk mencegah terjadinya dampak negatif dalam perkawinan, maka penulis akan mengajukan saran-saran kepada semua pihak yang terkait antara lain: 1. Kepada hakim Pengadilan Agama Bekasi agar lebih memperhatikan semua sebab permohonan, agar semua perkara yang telah di putus memberikan rasa
86
keadilan bagi para pencari keadilan serta lebih tepat dalam menetapkan pertimbangan hukumnya 2. Meningkatkan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat agar selalu memperhatikan aturan yang telah di tetapkan oleh undang-undang maupun peraturan lainnya, agar tidak terjadi dampak negatif terhadap perkawinannya 3. Meningkatkan peran aktif dan fungsi KUA atau Kelurahan sebagai salah satu wadah untuk kegiatan-kegiatan yang dapat membangkitkan semangat untuk menggali ilmu lebih tinggi, juga bimbingan keagamaan yang lebih konstruktif dan inovatif. 4. Kepada para pegawai Kantor Urusan Agama agar memperhatikan segala hal yang berkaitan dengan kedua mempelai dan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak terjadi kekeliruan terhadap kedua mempelai tersebut dan tidak ada penyelundupan terhadap sesuatu yang dapat merusak perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Dan Terjemahan. Departemen agama RI Bandung. Gema Risalah, Press, 1993 Abdurrahman. Himpunan Peraturan UU Tentang Perkawinan. Jakarta : Akademika presindo, 1986, Cet. 1 Abdurrahman SH. Ma. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akademika Presindo, 1996 Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994 AH, Daud Muhammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 1997, Cet. 1 Al Jaziri, Abdurrahman. Al Fiqhu Ala Madzahib Al Arba 'ah. Beirut: Daarul Fikr, Juz IV Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : 2001 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2004, Cet. 2 Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2000 Harahap, Yahya SH. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan : CV. Zahir Trading Co, 1975, Cet. I http ://www.pa-bekasi. go. id/profil-pa Irawan, Sabtian Chandra. Perkawinan dalam Islam : monogami atau Poligami ?. Yogyakarta: An-Naba Islamic Media, 2007, cet Ke-1, h. 12
90
91
Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab, Lentera Basretama, 1999 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet Ke-1 Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, Cet Ke-3 Prodjohamidjodjo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2002 Pedoman Penyusunan Skripsi, Fakultas Syar'iah dan Hukum, Jakarta 2007 Qudmah, Ibn. Al-Mugni (Al-Hijro At- Tauba'ah wa Nasr wa Taujia' wa I'lan). Kairo, 1986 Ridho, Muhammad Rasyid. TafsirAl- Manor. Mesir : Al- Manar, 1325 H Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Cet 6 Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007,Cet Ke-1 Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Riyadh: Daar Al-Fath li Al- Alam Al- Arab, 1996 Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera, 2007 Sohn'ani, Imam. Subulus salam : Syarah Bulughul Al-Maram. Beirut Lebanon: Daru al-Fikr, 1991M/1411H. Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Cet. 3 Syarirudin, Amir, Garis-Garis Besarfiqh, Jakarta: Kencana, 2003. Cet. 2 Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008. Cet. 39 Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, 2000. Cet Ke-4
Bandung:
92
Salinan Putusan Pengadilan Agama Bekasi (No: 1513/Pdt. G/2009/PA.Bks) Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi Subbag Kepegawaian Pengadilan Agama Bekasi Volmar, H.F.A. Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1992, Cet. 3 Zuhaily, Wahbah. Al Fiqhu Al Islam Wa Adilatuhu, Beirut: Daarul Fikr, 1996, Juz VII, Cet, 1
Nama
: Drs. Humaidi Yusuf, SH. MH
Jabatan
: Hakim Anggota
Tempat
: Pengadilan Agama Bekasi
Tanggal
: 15 April 2011
INSTRUMEN WAWANCARA
1. Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, selain berpegang pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, apakah ada pertimbangan hukum lain yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut? Jawab: Menurut Bapak Humaidi Yusuf selaku Hakim di Pengadilan Agama Bekasi, ia mengatakan bahwa selama di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang perkara yang mau diputuskan maka tidak mengambil dari sumber hukum lain yang paling penting putusan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat. Jadi setiap perkara di putus menggunakan dasar hukum yang legal dan rasional, yaitu menggunakan dasar hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dan juga unsur-unsur kemaslahatan dan kemanfaatan. 2. Faktor apa sajakah yang menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan? Jawab:
Faktor yang dapat menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan yaitu yang diatur dalam Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu yang terdapat dalam pasal 22, 24, 26, 27 ayat (1) dan (2), dan seperti yang ada dalam KHI yaitu pada pasal 70, 71 dan pasal 72. 3. Apa yang menjadi pertimbangan bapak dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas? Jawab: Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur dan menjelaskan tentang sebab-sebab perkawinan dapat dibatalkan, pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas terdapat dalam Pasal 72 ayat 2 UndangUndang Perkawinan yang bunyinya “ Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terdapat salah sangka mengenai diri suami atau istri. 4. Bagaimana status perkawinan poligami yang dilakukan dengan memanipulasi data akan tetapi perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) apakah termasuk melanggar hukum? Jawab: Sesuai dengan pasal 22 Undang-Undang Perkawinan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dengan begitu perkawinan yang dilakukan dengan memanipulasi data termasuk melanggar hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu apabila seorang suami ingin melakukan
poligami harus izin Pengadilan Agama, hal ini sesuai dengan pasal 71 Undangundang Perkawinan. 5. Menurut bapak apakah putusan pembatalan menguntungkan penggugat atau tergugat? Jawab: Permasalahan tidak terletak pada untung dan rugi, tetapai pada apakah perkara itu sah atau tidak, Akan tetapi menurut saya selama perkawinan tersebut masih bisa di pertahankan karena kesalahan prosedur yang bersifat formil, lebih baik dipertahankan. Kecuali apabila perkawinan tersebut memang harus dibatalkan, seperti halnya perkawinan tersebut dilakukan olah dua orang yang sedarah atau sepersusuan.
Nara Sumber
Bekasi, 15 April 2011
Drs. Humaidi Yusuf, SH. MH
Yayah Lutfiyah Hamid