P01 PERTUMBUHAN AWAL TANAMAN KONSERVASI EKSITU EBONI (Diospyros pilosanthera Blanco.) UMUR 1 TAHUN DI HUTAN PENELITIAN BATUANGUS Julianus Kinho1,2* 1) Balai Penelitian Kehutanan Manado 2) Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta *E-mail:
[email protected] ABSTRAK Salah satu jenis kayu mewah yang diperdagangkan adalah kayu eboni karena memiliki ornamen kayu yang dekoratif dan artistik karena bergaris. Terdapat 7 jenis kayu di Indonesia yang dikategorikan sebagai kayu eboni yaitu Diospyros celebica, D. rumphii, D. pilosanthera, D. lolin, D. ebenum, D. ferrea, dan D. macrophylla. Sulawesi Utara merupakan salah satu habitat alam kayu eboni khususnya jenis D. pilosanthera. Potensi kayu eboni jenis ini (D. pilosanthera) di alam sampai saat ini belum diketahui secara pasti, sedangkan populasinya diduga terus menyusut yang ditandai dengan semakin sulitnya ditemukan pada hutan alam. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk melestarikan jenis tumbuhan tersebut yaitu dengan membangun tegakan konservasi eksitu untuk melestarikan sumberdaya genetiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh naungan dan aplikasi mulsa organik terhadap pertumbuhan tanaman konservasi eksitu eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara. Lokasi penanaman merupakan lahan kritis dengan tekstur tanah, pasir berbatu sehingga diberikan input tambahan sebagai media dasar yang sama berupa: tanah top soil, sekam padi, pupuk kandang ayam dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 1:1:1:1. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berkelompok (Randomized Complete Block Design) dengan pola faktorial. Faktor 1 adalah aplikasi mulsa dengan 2 level yaitu radius 50 cm dan radius 100 cm dengan ketebalan mulsa masing-masing 30 cm. Faktor 2 adalah intensitas naungan dengan 3 level yaitu naungan 25%, 50% dan 75%. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50 anakan dengan 4 ulangan sehingga jumlah tanaman yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 1.200. Jarak tanam yang digunakan 3 m x 3 m. Analisis data menggunakan program SAS 9.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) terhadap kombinasi perlakuan antara naungan dan aplikasi mulsa organik. Kombinasi perlakuan mulsa dengan radius 100 cm dan naungan 75% (A2B3) memberikan respon pertumbuhan yang terbaik dengan rata-rata tinggi 91,53 cm dan rata-rata diameter 65,75 mm. Respon pertumbuhanyang paling rendah ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan mulsa radius 50 cm dan naungan 25% (A1B1) dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 83,26 cm dan diameter 61,75 mm. Semakin besar radius penggunaan mulsa organik (Ф 100 cm) dan semakin tinggi intensitas naungan yang diberikan (75%), semakin baik untuk pertumbuhan tanaman eboni muda pada fase awal pertumbuhan dilapangan, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan menghasilkan kondisi lingkungan mikro yang mendukung pertumbuhannya. Kata kunci: eboni, konservasi, eksitu, pertumbuhan, mulsa, naungan
PENDAHULUAN Salah satu jenis tumbuhan dari kelompok kayu mewah yang diperdagangkan adalah kayu eboni. Jenis kayu ini paling diminati dalam perdagangan kayu karena memiliki ornamen kayu yang dekoratif dan artistik karena bergaris. Menurut Achmad (2002) garis-garis yang membentuk ornamen pada kayu eboni bervariasi berdasarkan asal daerah tebangan, dan hal ini yang membedakan kualitas ekspor jenis kayu eboni. Warna garis kayu eboni dibedakan menjadi dua yaitu garis berwarna coklat dan garis telur (coklat kekuningan). Jarak antar garis-garis yang terbentuk pada kayu eboni menentukan perbedaan target pemasarannya (negara tujuan ekspor). Kayu eboni dengan garis-garis yang sempit dan kecil (< 3 mm) lebih disukai di Jepang, sedangkan kayu eboni dengan garis yang lebih lebar (> 3 mm) lebih disukai oleh negara-negara Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, Jerman) dan Amerika (Rombe dan Raharjo, 1982).
302
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
Kayu eboni yang diperdagangkan dipasaran kayu berasal dari marga Diospyros. Anggota dari marga Diospyros yang terdapat di Indonesia ±100 jenis berdasarkan koleksi herbarium yang tersimpan di Herbarium Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Menurut Alrasyid (2002) terdapat 7 jenis kayu di Indonesia yang tergolong sebagai kayu eboni yaitu Diospyros celebica, D. rumphii, D. pilosanthera, D. lolin, D. ebenum, D. ferrea, dan D. macrophylla. Sulawesi Utara merupakan salah satu habitat alami dari kayu eboni khususnya jenis D. pilosanthera. Daerah sebaran alami jenis kayu eboni ini (D. pilosanthera) lebih luas dibandingkan kayu eboni jenis D. celebica dan D. rumphii. Penyebaran eboni (D. pilosanthera) di Indonesia meliputi Pulau Kalimantan (Kutai, Bulungan, Berau, Tarakan, Tidung), Pulau Sulawesi (Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Poso, Banggai, Muna), Kepulauan Maluku (Morotai, Buru, Tanimbar, Halmahera) dan Irian Jaya (Alrasyid, 2002). Potensi kayu eboni dari jenis D. pilosanthera di alam sampai saat ini belum diketahui secara pasti, meskipun memiliki daerah sebaran alami yang lebih luas di kawasan Indonesia Timur. Di daerah sebaran alaminya, secara khusus di Sulawesi Utara, populasi kayu eboni (D. pilosanthera) diduga terus menyusut yang ditandai dengan semakin sulitnya ditemukan pada hutan-hutan alam. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan terjadi kelangkaan bahkan kehilangan sumber keragaman genetiknya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan penyelamatan sumber keragamangenetik eboni (D. pilosanthera) baik secara insitu maupun eksitu. Data mengenai pertumbuhan eboni (D. pilosanthera)pada berbagai jenis tapak belum banyak tersedia sehingga untuk menentukan kondisi lingkungan pertumbuhan eboni (D. pilosanthera)yang optimal di luar habitat aslinya masih sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipertumbuhan awal tanaman konservasi eksitu eboni (D. pilosanthera)umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara dengan perlakuan pemberian naungan secara buatan dan aplikasi mulsa organik. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit anakan eboni (D. pilosanthera) yang berasal dari cabutan anakan alam di CA. Tangkoko dan TN. Bogani Nani Wartabone (Kab. Bone Bolango, Gorontalo). Bahan lainnya berupa: tanah top soil, sekam padi, dan pupuk kandang (kotoran ayam dan kotoran sapi).Alat yang digunakan yaitu pita meter, kaliper mini, gunting stek, thermohygrometer, lux meter, flaging tape, cangkul, sekop, parang dan alat tulis. Metode Penelitian dilakukan di Hutan Penelitian Batuangus, Bitung, Sulawesi Utara. Penanaman dilakukan pada blok tanam 201-202, tanggal 13 November 2012. Pengamatan pertumbuhan dilakukan selama 1 tahun (November 2012 – November 2013). Areal penanaman merupakan bekas aliran lava hasil erupsi Gunung Batuangus yang dilaporkan terakhir erupsi pada tahun 1839 (Whitten dkk., 1987), yang sampai saat ini masih menjadi padang alang-alang yang gersang. Tekstur tanah di lokasi penanaman yaitu pasir berbatu,sehingga diberikan input tambahan sebagai media dasar yang sama berupa:tanah top soil+sekam padi+pupuk kandang (kotoran ayam)+pupuk kandang (kotoran sapi) dengan perbandingan 1:1:1:1. Penanaman menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berkelompok (Randomized Complete Block Design) dengan pola faktorial. Faktor 1 adalah aplikasi mulsa dengan 2 level yaitu radius 50 cm dan radius 100 cm dengan ketebalan mulsa masingmasing 30 cm. Faktor 2 adalah intensitas naungan dengan 3 level yaitu naungan 25%, 50% dan 75%. Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 50 anakan dengan 4 ulangan sehingga jumlah tanaman yang diteliti sebanyak 1.200 anakan. Rancangan penelitian ditampilkan pada Tabel 1.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 303 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
Tabel 1. Rancangan penelitian Intensitas Naungan (%) 25%(B1) 50%(B2) 75%(B3)
Aplikasi Radius Mulsa 50 cm (A1) 100 cm (A2) A1B1 A2B1 A1B2 A2B2 A1B3 A2B3
Pengambilan data tinggi dan diameter dilakukan empat kali yaitu pengukuran pertama pada saat dilakukan penanaman, pengukuran kedua pada saat usia tanaman berumur 3 bulan, pengukuran ketiga pada umur 6 bulan dan pengukuran keempat pada umur 12 bulan. Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan program SAS 9.1 for windows. Data hasil pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) dianalisis dengan sidik ragam dan apabila terdapat perlakuan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tinggi Tanaman eboni (D. pilosanthera) Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus umur 1 tahun menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi mulsa organik (A) dan intensitas naungan (B), masing-masing berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi anakan eboni dan interaksi keduanya juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi anakan eboni di lapangan. Hasil ANOVA (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan tinggi eboni umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus, hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F tabel. Tabel 2. ANOVA pertumbuhan tinggi tanaman konservasi eksitu eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus Source Model Error Corrected Total
DF 5 18 23
Sum of Squares 322.70 13.28 335.98
Mean Square 64.54 0.73
F Value 87.46
Pr > F <.0001
Tabel 3. ANOVA pengaruh perlakuan dan interaksi kombinasi perlakuan mulsa dan naungan terhadap pertumbuhan tinggi eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus. Source Mulsa Naungan Mulsa*Naungan
DF 1 2 2
ANOVA SS 9.00 277.42 36.28
Mean Square 9.00 138.71 18.14
F Value 12.20 187.98 24.58
Pr > F 0.0026 <.0001 <.0001
Hasil ANOVA (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon pertumbuhan tinggi tanaman eboni umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus terhadap perlakuan radius mulsa, perlakuan intensitas naungan dan interaksi antara perlakuan radius mulsa dan intensitas naungan. Hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 4) menunjukkan bahwa pengaruh dari perlakuan aplikasi mulsa terhadap pertumbuhan tinggi tanaman eboni yang memberikan respon terbaik adalah aplikasi mulsa dengan radius 100 cm (88,28 cm) dibandingkan aplikasi mulsa dengan radius 50 cm (87,05 cm).
304
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
Tabel 4. Hasil uji lanjut respon pertumbuhan tinggi tanaman eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus dengan perlakuan mulsa. Duncan Grouping
Mean (cm) 88.28 87.05
A B
N
Radius Perlakuan Mulsa (cm) 100 50
12 12
Pengaruh perlakuan naungan yang memberikan respon pertumbuhan tinggi yang terbaik adalah naungan 75% (91,53 cm), naungan 50% (88,21 cm) dan naungan 25% (83,26 cm). Hasil uji lanjut pengaruh naungan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman konservasi eksitu eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji lanjut respon pertumbuhan tinggi tanaman eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus dengan perlakuan naungan (%). Duncan Grouping A B C
Mean (cm) 91.53 88.21 83.26
N 8 8 8
Perlakuan Naungan (%) 75 50 25
Interaksi antara perlakuan mulsa (A) dan perlakuan naungan (B) seperti ditunjukkan pada Tabel 6, yang memberikan respon terbaik untuk pertumbuhan tinggi tanaman eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus yaitu perlakuan mulsa radius 100 cm dengan naungan 75% (A2B3) dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 93,80 cm; sedangkan paling rendah adalah perlakuan mulsa radius 50 cm dengan naungan 25% (A1B1) rata-rata pertumbuhan tinggi 83,00 cm dengan standar deviasi 0,9831. Tabel 6. Respon pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) umur 1 tahun di Hutan Penelitian Batuangus dengan perlakuan radius mulsa dan intensitas naungan Radius Mulsa (cm) 100 100 100 50 50 50
Intensitas Naungan (%) 50 25 75 50 25 75
N 4 4 4 4 4 4
-----------Tinggi (cm) ----------
-----------Diameter (mm)---------
Mean
Std Dev
Mean
Std Dev
87.52 83.52 93.80 88.90 83.00 89.27
0.77 0.91 1.27 0.42 0.98 0.49
61.50 64.00 68.00 66.00 59.50 63.50
1.29 0.82 0.82 0.82 1.29 1.29
Pertumbuhan Diameter Tanaman Eboni (D. pilosanthera) Hasil ANOVA pertumbuhan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung lebih besar dari F tabel. Hasil ANOVA ditampilkan pada Tabel 7.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 305 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
Tabel 7. Hasil ANOVA pertumbuhan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus Source Model Error Corrected Total
DF 5 18 23
Sum of Squares 185.50 21.00 206.50
Mean Square 37.10 1.16
F Value 31.80
Pr > F <.0001
Tabel 8. Pengaruh perlakuan dan interaksi kombinasi perlakuan mulsa dan naungan terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus Source Mulsa Naungan Mulsa*Naungan
DF 1 2 2
ANOVA SS 13.50 64.00 108.00
Mean Square 13.50 32.00 54.00
F Value 11.57 27.43 46.29
Pr > F 0.0032 <.0001 <.0001
Tabel 8 menunjukkan bahwa pengelompokan perlakuan yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera).Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penanaman dianggap seragam atau homogen, sehingga pengulangan terhadap perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman eboni. Pengaruh perlakuan aplikasi mulsa terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni yang memberikan respon terbaik adalah dengan radius 100 cm (64,50 cm) dibandingkan aplikasi mulsa dengan radius 50 cm (63,00 cm). Pengaruh perlakuan naungan yang memberikan respon pertumbuhan diameter yang terbaik adalah naungan 75% (65,75 cm), naungan 50% (63,75 cm) dan naungan 25% (61,75 cm).Interaksi antara perlakuan mulsa (A) dan perlakuan naungan (B) seperti ditunjukkan pada Tabel 6 yang memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan diameter tanaman ebonidi Hutan Penelitian Batuangus yaitu perlakuan mulsa radius 100 cm dan naungan 75% (A2B3) dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 68,00 cm sedangkan paling rendah adalah perlakuan mulsa radius 50 cm dan naungan 25% (A1B1) dengan rata-rata pertumbuhan tinggi 59,50 cm. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman konservasi eksitu eboni (D. pilosanthera) dapat tumbuh dengan baik di Hutan Penelitian Batuangus yang memiliki tekstur tanah pasir berbatu, dengan memberikan input tambahan pada media tanamdan pengaturan naungan secara buatan mengingat tanaman eboni merupakan jenis semitoleran yang membutuhkan naungan pada fase awal pertumbuhan (semai). Penggunaan mulsa organik dan perlakuan naungan buatan dapat memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan tanaman konservasi eksitu eboni di Hutan Penelitian Batuangus. Semakin besar radius penggunaan mulsa organik (100 cm) dan semakin tinggi intensitas naungan yang diberikan (75%), semakin baik pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman eboni di Hutan Penelitian Batuangus. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang dilaporkan oleh Seran dan Yusri (1996) bahwa anakan eboni (D. celebica) cenderung tumbuh baik pada intensitas naungan 100% dan 75%. Hal ini diduga bahwa pada intensitas naungan tersebut kelembaban dan temperatur udara maupun kelembaban dan temperatur tanah lebih cocok bagi pertumbuhan anakan eboni (D. celebica) karena jenis inibersifat semitoleran. Naungan yang lebih rapat atau intensitas cahaya yang rendah menyebabkan temperatur relatif cukup rendah dan kelembaban relatif cukup tinggi sehingga tersedia air yang cukup untuk perkembangan tanaman muda (Doubenmire, 1967). Pengaruh naungan pada penelitian ini, secara nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus terutama pada naungan 75% dan 50% dibandingkan naungan 25%. Pertumbuhan merupakan salah satu indikator penyerapan hara mineral dan fotosintesis. Menurut Kramer dan Koozlowski (1979), intensitas cahaya yang terlalu tinggi melemahkan kegiatan proses fotosintesis, sementara laju respirasi meningkat. Semakin meningkat pertumbuhan anakan karena pengaruh naungan, menunjukkan semakin aktifnya proses fotosintesis. Rendahnya pertumbuhan tinggi dan diameter pada perlakuan naungan 25% diduga karena adanya kenaikan intensitas cahaya sehingga kurang mendukung proses fotosintesis, karena menerima cahaya yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya proses foto-oksidasi klorofil dan menyebabkan kerusakan pada klorofil, sementara itu klorofil yang tersisa tidak
306
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
mampu menyerap semua energi yang tersedia sehingga kegiatan fotosintesis menjadi semakin lemah. Sebaliknya, naungan akan mempengaruhi kondisi lingkungan fisik mikro anakan eboni (D. pilosanthera) sehingga mendukung pertumbuhan tinggi dan diameter batang. Nurkin dkk. (2002) menyebutkan bahwa permudaan alam eboni pada tahap awal harus dibawah bayangan (naungan), sehingga pohon-pohon tua disamping berfungsi sebagai sumber biji juga dapat memberikan naungan. Setelah anakan eboni (D. celebica) melampaui fase semai, pohon penaung harus segera dikurangi agar anakan pohon yang baru tumbuh mendapat sinar matahari yang cukup. Selanjutnya dikatakan bahwa anakan alam eboni (D. celebica) di Hutan Amaro, Sulawesi Selatan yang banyak tertutup oleh semak atau belukar serta tajuk pohon lain, rata-rata tingginya lebih rendah bila dibandingkan dengan anakan yang tumbuh di sepanjang jalan setapak dan bagian pinggiran sungai yang bebas dari pohon-pohon penaung (Nurkin dkk., 2002). Pemberian pupuk kandang (kotoran ayam dan kotoran sapi) serta pemberian mulsa yang berasal dari sisa pembersihan jalur tanam merupakan pupuk organik yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, kemantapan agregat, daya pegang air, permeabilitas tanah, meningkatkan nilai tukar kation, menyediakan hara baik mikro maupun makro dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah (Yufdi, 1996). Menurut Suriatna (1988), pupuk kandang tersusun atas unsur nitrogen, fosfor dan kalium. Pupuk kandang ayam baik dalam bentuk padat maupun cair tersusun atas nitrogen (1,00%), fosfor (0,80%) dan kalium (0,40%). Pemupukan dengan pupuk kandang (unsur fosfor) dapat mempercepat pertambahan tinggi dan jumlah daun anakan. Hal ini diduga karena unsur ‘P’ dalam tanaman berfungsi sebagai zat pembangun, sehingga pemberian pupuk kandang yang sesuai akan menghasilkan karbohidrat yang lebih banyak dan merangsang pembelahan sel-sel yang lebih cepat serta meningkatkan pembentukan daun, juga dapat terkonsentrasi pada titik tumbuh anakan sehingga lebih merangsang pertumbuhan sel secara vertikal (Rukmini, 1985). Produksi daun oleh tanaman dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk nitrogen (N). Pengaruh yang nyata dari unsur kalium (K) terhadap pertumbuhan adalah menguatkan batang tanaman sehingga tidak mudah rebah dan juga dapat berpengaruh terhadap pertambahan tinggi tanaman (Susilo, 1991).Fungsi yang penting dari penggunaan pupuk kandang adalah menggemburkan lapisan olah tanah, mengaktifkan aktivitas populasi jasad renik dan meningkatkan daya serap akar terhadap unsur hara (Rismunandar, 1984). Penambahan setiap jenis bahan organik yang dapat dirombak ke dalam tanah terutama pupuk kandang, menyebabkan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan miselia. Pupuk kandang yang diberikan kedalam tanah disamping dapat menyuburkan tanah secara langsung, juga merupakan bahan makanan mikroorganisme tanah, sehingga dapat bekerja secara lebih aktif (Buckman dan Brady, 1982). Pohon eboni apabila ditanam pada tempat yang berbeda dapat menghasilkan respon pertumbuhan yang berbeda, karena sebaran alaminyaberada berbagai jenis tapak yang cukup luas dan berbeda (Soerianegara, 1970). Hasil pengamatan pertumbuhan pohon eboni (D. celebica) yang ditanam dibawah tegakan jati pada enam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Jawa selama delapan tahun, menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan tinggi antar satu lokasi dengan lokasi lainnya, hal ini diduga karena pengaruh kesuburan tanah pada masing-masing tapak yang berbeda (Alrasyid, 1985). Apabila dibandingkan antara tanaman eboni (D. celebica) dibawah tegakan jati dengan tanaman eboni di kebun percobaan Cikampek yang keduanya mempunyai kondisi iklim yang sama, ternyata pertumbuhan tinggi tanaman eboni dibawah tegakan jati lebih lambat. Terhambatnya pertumbuhan tersebut, menurut Alrasyid (1985) karena adanya stress (cekaman) sinar matahari langsung yang diterima tanaman eboni (D. celebica) pada saat pohon jati menggugurkan daunnya. KESIMPULAN Perlakuan penggunaan mulsa organik dan perlakuan naungan memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan eboni (D. pilosanthera) di Hutan Penelitian Batuangus. Semakin besar radius penggunaan mulsa organik (Ф 100 cm) dan semakin tinggi intensitas naungan yang diberikan (75%), semakin baik untuk pertumbuhan tanaman eboni muda pada fase awal pertumbuhan dilapangan karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan menghasilkan kondisi lingkungan mikro yang mendukung pertumbuhannya.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 307 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”
DAFTAR PUSTAKA Achmad, A. 2002. Strategi Konservasi In-situ Eboni Bergaris/Kayu Hitam Makassar (Diospyros celebica Bakh.) Di Sulawesi. Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. Alrasyid, H. 1985. Percobaan Penanaman Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Bawah Tegakan Jati di Jawa. Buletin Penelitian Hutan No 464, 23-37, Bogor. Alrasyid, H.2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. Buckman, H.O., dan N.C. Brady. 1982.Ilmu Tanah.Penerbit. PT Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Doubenmire, R.T. 1967. Plants and Enviromental. Jhon Wiley and Sons. Inc. London. Kramer, P.J and T.T. Koozlowski. 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press. New York, London. Nurkin, B., A.Achmad., N.P. Oka., W.Rachman., dan S.A.Paembonan. 2002. Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. Rismunandar, 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Penerbit. Sinar Baru. Bandung. Rombe, Y.L., dan R. Raharjo. 1982. Potensi dan Penyebaran Jenis Kayu Kurang Dikenal (Lesser Known Species) Eboni. Buku II. Direktorat Bina Program Kehutanan, Bogor. Rukmini. 1985. Pengaruh Naungan, Pupuk TSP dan Pupuk Urea Terhadap Pertumbuhan Bibit Tanjung (Mimusop elengi) di Pembibitan. Thesis. Jurusan Kehutanan. Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Santoso, B. dan C.Anwar. 2002. Pertumbuhan Tanaman Konservasi Eksitu Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Buletin Penelitian Kehutanan Vol. 8, No 1 Tahun 2002. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Seran, D. dan M.Yusri. 1996. Stimulasi Pertumbuhan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Melalui Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan NPK di Persemaian. Buletin Penelitian Kehutanan No.2, 32-34. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Badan Litbang Kehutanan. Soerianegara, I. 1970. Pemuliaan Pohon Hutan. Laporan No.104. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Suriatna, S. 1988. Pupuk dan Pemupukan. Melton Putra. Jakarta. Susilo. 1991. Fisiologi Tanaman. Universitas Indonesia. Jakarta. Whitten, A.J., M.Mustafa and G.S.Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Yufdi, P. 1996. Pengaruh Berbagai Jenis Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik. APINMAP. P 366-372.
308
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR KE-2 ”Pembaruan Silvikultur untuk Mendukung Pemulihan Fungsi Hutan menuju Ekonomi Hijau”