Volume 1, Tahun 2013
PROSIDIN
G
2013
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA
PBSI Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Malang
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
“MEMBEDAH PROSES KREATIF MENULIS” MALANG, 28 DESEMBER 2013
Editor: Dr. Hasan Busri, M.Pd Moh. Badrih, M.Pd Dr. Mukaromah, M.Pd Ari Ambarwati, SS, M.Pd
PENYELENGGARA: PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PBSI) FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA “MEMBEDAH PROSES KREATIF MENULIS” Terbit sekali dalam setahun dalam kegiatan Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA)
Tim Editor Ketua Hasan Busri Anggota Moh. Badrih Mokaromah Ari Ambarwati Desain Sampul dan Naskah Sri Wahyuni Tim Pelaksana Program Studi & Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menerima tulisan setiap tahun dalam pelaksanaan Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra dengan tema yang akan ditentukan kemudian. Tulisan yang diterima belum pernah diterbitkan dalam prosiding atau dalam karya tulis ilmiah yang lain.
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Univesitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang. Telp 0341 – 571950-551932, fax: 0341 - 552249. Website: fkipunisma.ac.id. E-mail:
[email protected]
ISSN: 2354-9459 Busri, Hasan (Eds) Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra “Membedah Proses Kreatif Menulis” Vol. 1, Tahun 2013. Malang: PBSI FKIP Universitas Islam Malang
ii
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi penyayang. Segala puji bagi Allah SWT. Rahmat dan keselamatan semoga tetap atas utusan Allah SWT beserta para keluarga dan sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya, dan tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah SWT. Dengan segala limpahan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya dan dengan segala ikhtiar dan kerja keras, Alhamdulillah Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra dengan tema “Membedah Proses Kreatif Menulis” dapat terlaksana dan sekaligus Prosiding dalam kegiatan ini dapat diterbitkan. Menulis merupakan salah satu kegiatan penting dalam kehidupan umat manusia. Bagi sebagian orang, menulis adalah pekerjaan rutin yang mudah sekali dilakukan, tetapi untuk sebagian lagi menganggap menulis merupakan kegiatan yang sangat sulit. Kemahiran menulis memang tidak datang dengan sendirinya. Supaya menjadi seorang penulis handal, perlu suatu pembiasaan, latihan, serta kondisi yang memungkinkan seseorang untuk menulis. Proses kreatif seseorang hingga menghasilkan suatu tulisan yang menarik sangat beragam. Apa dan bagaimana sebenarnya proses kreatif menulis berdasarkan pengalaman para penulis? Berikut ini jawabannya, yang tersaji dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra yang bertema “Membedah Proses Kreativitas Menulis”. Terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah ikut menyukseskan acara ini. Harapan kami, semoga seminar dan materi prosiding ini bermanfaat dalam rangka mengembangkan keterampilan dosen, mahasiswa, guru, dan masyarakat umum dalam menulis, sehingga masyarakat literat yang merupakan salah satu cita-cita bangsa kita dapat tercapai.
Malang, 28 Desember 2013 TTD PANITIA SEMNAS 2013
iii
DAFTAR ISI Katalog ...................................................................................................................... ii Kata Pengantar ......................................................................................................... iii Daftar Isi..................................................................................................................... iv KEYNOTE SPEAKER TEKNIK MENULIS FEATURE Eko Widianto (Harian Nasional Tempo) .................................................................... 1 Proses Menemukan, Mengelola, dan Mengembangkan Ide Menulis Secara Kreatif Sri Wahyuni (Unisma) ................................................................................................ 9 PEMAKALAH Pengarang, Penulis, Dahulu dan Sekarang Akhmad Tabrani (Unisma) ........................................................................................ 28 Kreativitas dalam Menulis Hasan Busri (Unisma) ................................................................................................ 37 Proses Kreatif dan Apresiasi Kreatif sebagai Upaya Refleksi dan Transformasi Sastra Indonesia Gatot Sarmidi (Universitas Kanjuruhan) ................................................................... 47 Eksistensialisme Religi sebagai Model Penulisan Kreatif Sastra Moh. Badrih (Unisma) ............................................................................................... 54 Homur dalam Karya Sastra Ari Ambarwati (Unisma) ........................................................................................... 67 Pengembangan Bahan Ajar Teks Cerpen untuk Siswa SMP Kelas VII Dina Merdeka Citraningrum (Unmuh Jember) ......................................................... 77 Memberdayakan Guru Sastra di Tengah Polemik Keringnya Pembelajaran Sastra Eni Wahyuni (MAN 3 Malang) .................................................................................. 86 Syair Spiritualis sebagai Dasar Penulisan Sastra Islami Ahmad Ghozali (Universitas Yudarta Pasuruan) ..................................................... 101
Representasi Poskolonialisme dalam Karya Sastra Arief Rijadi (Universitas Negeri Jember) ................................................................. 109 iv
Realisme Magis Alternatif Genre Tulisan Fiksi Akhmad Sauqi Ahya (IKIP PGRI Jombang) ............................................................. 125 Pengembangan Materi Bahasa Indonesia Berkarakter Nilai Islam untuk Siswa Sekolah Dasar Mukaromah (Unisma) ............................................................................................. 138 Pengembangan Pembelajaran Kemahiran Berbahasa Tulis Iwan Setiawan (Universitas Wisnuwardhana Malang) ........................................... 148 Teknik Menyunting Naskah Abdul Rani (Unisma) ................................................................................................ 161 Pembelajaran Proses Menulis di SD dan MI Moh. Ilyas (Universitas Mulawarman Samarinda) .................................................. 169 Kontroversi Transaksional dan Interaksional Serta Analisis Penerapannya Dalam Komunikasi Bisnis Pemasaran Jaringan Thontjie Makmara (Universitas Cendana Kupang NTT) ......................................... 177 Mengembalikan Bahasa Indonesia pada Standar Ejaan Yang Disempurnakan Purwantiningsih (SMPN 2 Kepanjen) ...................................................................... 188 Tindak tutur guru dalam pembelajaran Menulis bahasa Indonesia Nur Fajar Arief (Unisma) ......................................................................................... 201 The Use Of Portfolio Assessement Through Problem Based Learning Approach To Improve The Writing Ability Syawal dan Amaluddin (UMPAR Sulawesi Selatan)................................................. 209 Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia Tulis untuk Anak Jepang Jauharoti Alfin (IAIN Surabaya)................................................................................ 220
v
TEKNIK MENULIS FEATURE Eko Widianto Harian Nasional Tempo E-mail:
[email protected] ABSTRACT Feature is one of journalistic style of writing that is informative, entertaining, and arouse the reader’s empathy. Feature is formulated in imagination of the fact, then combine it with the words to present the the interesting story. The writer can use his imagination to arite the feature, but the writer’s imagination cannot color the facts of the story. Feature is long lasting writing work and it tells about the fact, not fiction. The key of writing feature is lead, The lead of the feature try to catch the reader’s interest. Lead also used to attract reader’s attention to read more about the story. Feature usually used to write the profile, history, travelling, journey,event, and human interest. The idea of writing profile could be found anywhere. It can find from the incident, professional discussion, or the surrounding facts and activities. Keywords: writing, feature
PENDAHULUAN Feature adalah artikel kreatif, kadang subyektif yang bertujuan menyajikan informasi melalui sebuah cerita tentang kejadian, keadaan dan aspek kehidupan. Tak seperti berita biasa, feature memungkinkan jurnalis membuat sebuah cerita memikat berdasarkan fakta dan data yang terkumpul. Feature kadang subyektif menulis pengalaman dan petualangan yang dilalui berbentuk “aku”. Penulis feature hakikatnya adalah seseorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata; ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama. Feature membutuhkan imajinasi yang baik untuk menjahit kata-kata dan rangkaian kata menjadi cerita yang menarik. Tapi, imajinasi penulis tidak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya. Pendeknya, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature. Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi tidak boleh ada. Feature tidak boleh berupa fiksi, dan setiap "pewarnaan" fakta-fakta tidak boleh menipu pembaca. Bila penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan orang pada kita akan hancur. Perkembangan media memungkinkan informasi tersaji secara cepat. Berita mudah sekali “punah” dalam hitungan jam atau saat berganti hari. Namun berita berbentuk feature bisa disimpan berhari-hari hingga berbulan-bulan dan tak cepat basi. Feature 1
ditulis dengan bentuk lead (kepala berita), tubuh dan penutup. Penutup sebuah feature hampir sama pentingnya dengan lead. Penutup bisa berupa kesimpulan, celetukan yang menggoda, atau sindiran dan sebagainya. Sehingga tulisan feature, tak bisa dipotong langsung di bagian akhir tulisan. Semua bagaian dalam fetaure itu penting. Namun yang terpenting memang lead, karena di sanalah pembuka jalan. LEAD Kunci penulisan feature terletak pada lead. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan. Lead bertujuan menarik pembaca untuk mengikuti cerita dan membuat jalan supaya alur cerita lancar. Gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa tidak meneruskan membaca. Gagal berarti kehilangan daya pikat. Sehingga penulis feature harus cakap menggunakan kalimat. Bahasa harus rapi, dan terjaga. Tak ada teori baku bagaimana menulis lead sebuah feature. Semua berdasarkan pengalaman dan perkembangan. Namun, secara garis besar ada beberapa contoh lead. Lead ringkasan Lead ini sama dengan yang dipakai dalam penulisan "berita keras". Yang ditulis hanya inti ceritanya, dan kemudian terserah pembaca apakah masih cukup berminat untuk mengikuti kelanjutannya. Lead ringkasan ini sering dipakai bila reporter mempunyai persoalan yang kuat dan menarik, yang akan laku dengan sendirinya. Karena lead ini sangat gampang ditulis, banyak reporter yang langsung memilihnya bila diuber deadline, atau bila ia bingung untuk mencari lead yang lebih baik. Lead yang bercerita Lead ini, yang digemari penulis fiksi (novel atau cerita pendek), menarik pembaca dan membenamkannya. Tekniknya adalah menciptakan satu suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama, entah dengan cara membuat kekosongan yang kemudian secara mental akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca mengidentifikasikan diri di tengah-tengah kejadian yang berlangsung. Hasilnya, berupa teknik seperti yang dibuat dalam film yang baik. Apakah Anda pernah merasa haus ketika menyaksikan seorang pahlawan (film) kehausan di tengah padang pasir? Apakah Anda gemetar di tempat duduk Anda menyaksikan film horor? Lead deskriptif Lead deskriptif bisa menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang suatu tokoh atau tempat kejadian. Lead ini cocok untuk berbagai feature dan digemari reporter yang menulis profil pribadi. Lead yang bercerita meletakkan pembaca di tengah adegan 2
atau kejadian dalam cerita, sedangkan lead deskriptif menempatkan pembaca beberapa meter di luarnya, dalam posisi menonton, mendengar, dan mencium baunya. Pemakaian ajektif (kata sifat) yang tepat adalah kunci untuk lead deskriptif. Seorang reporter yang baik bisa membuat tokohnya "hidup", seolah-olah muncul di tengah-tengah barang cetakan yang dipegang pembaca. Lead kutipan Kutipan yang dalam dan ringkas bisa membuat lead menarik, terutama bila yang dikutip orang yang terkenal. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke dalam watak si pembicara. Ingat, lead harus menyiapkan pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga
kutipannya
pun
harus
memusatkan
diri
pada
sifat
cerita
itu.
Lead pertanyaan Lead ini efektif bila berhasil menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca. Sering, lead ini dipakai oleh wartawan yang tidak berhasil menemukan lead yang imajinatif. Lead ini gampang ditulis, tapi jarang membuahkan hasil terbaik. Dalam banyak hal, lead ini cuma taktik. Wartawan yang menggunakan lead ini tahu bahwa ada pembaca yang sudah tahu jawabannya, ada yang belum. Yang ingin ditimbulkan oleh lead ini rasa ingin tahu pembaca: yang belum tahu, mestinya terus ingin membacanya; sedangkan yang sudah tahu dibuat ragu-ragu apakah pengetahuannya cocok dengan informasi bung wartawan. Lead menuding langsung Bila reporter berkomunikasi langsung dengan pembaca, ini disebut lead menunjuk langsung. Ciri-ciri lead ini adalah ditemukannya kata "Anda" yang disisipkan pada paragraf pertama atau di tempat lain. Keuntungannya jelas. Pembaca -- kadang-kadang tidak secara sukarela -- menjadi bagian cerita. Penyusunan kata-katanya melibatkan Anda secara pribadi dalam cerita itu. Misalnya seorang reporter yang mangkal di kantor imigrasi dan menemukan adanya kesalahan cekal terhadap seseorang yang tidak bersalah, mungkin membuat lead demikian. * Bila Anda punya nama "kodian", harap hati-hati. Salah-salah Anda kena cekal, tak boleh ke luar negeri (TEMPO, 30 Januari 1993, "Gara-gara Nama Sama".) Lead penggoda Lead penggoda ini adalah cara untuk "mengelabui" pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca seluruh cerita. Lead jenis ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya dipakai teka-teki, dan biasanya hanya memberikan sedikit, atau sama sekali tidak, tanda-tanda bagaimana cerita selanjutnya. Lead gabungan 3
Di surat kabar sering ditemukan lead yang merupakan gabungan dari dua atau tiga lead, dengan mengambil unsur terbaik dari masing-masing lead.Lead kutipan sering digabungkan dengan lead deskriptif. TUBUH DAN EKOR Jika Anda punya lead yang hidup dan menarik. Problem berikutnya adalah menyusun materinya sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti dari awal sampai akhir. Ending atau penutup bukan muncul tiba-tiba, tapi merupakan hasil proses penuturan di atasnya yang mengalir. Ia dengan hati-hati mengatur kata secara efektif untuk mengkomunikasikan cerita. Umumnya, sebuah cerita mendorong untuk terciptanya suatu "penyelesaian" atau klimaks. Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan tersebut terasa belum selesai. Beberapa jenis penutup Penutup ringkasan Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepaslepas dan menunjuk kembali ke lead. Penyengat Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga. Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan orang "yang baik-baik" oleh "orang jahat". Klimaks Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti sastra tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional. Tak ada penyelesaian Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas apakah tokoh cerita menang atau kalah. Ia menyelesaikan cerita sebelum tercapai klimaks, karena penyelesaiannya memang belum diketahui, atau karena penulisnya sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung. TEKNIK PENULISAN Lead adalah kepala, struktur adalah kerangkanya, ending berarti ekornya, dan transisi adalah tali sendi yang mengikat unsur-unsur menjadi satu. Penulis harus memakai 4
teknik untuk menjaga agar semuanya berada pada tempatnya. Meskipun banyak teknik untuk itu, ada tiga yang pokok. 1. Spiral. Setiap alinea (paragraf) menguraikan lebih terinci persoalan yang disebut alinea (paragraf) sebelumnya. 2. Blok. Bahan cerita disajikan dalam alinea-alinea yang terpisah, secara lengkap. Catatan: bila paragraf terlalu panjang, potong saja menjadi beberapa bagian lebih kecil. 3. Mengikuti Tema. Setiap alinea (paragraf) menggarisbawahi atau menegaskan lead-nya.
Kebanyakan penulis memilih beberapa teknik, tergantung panjang dan jalannya cerita. Ini dilakukan supaya orang tidak bosan karena membaca teknik yang itu-itu juga. Dalam menulis, beberapa petunjuk dasar dipergunakan untuk menyajikan tulisan dengan cara yang paling menarik supaya menawan pembaca. Alinea pendek Paragraf atau alinea yang panjang hanya membuat pembaca segan membaca karena mengira tulisan itu susah dibaca. Potonglah paragraf yang kelihatan terlalu panjang. Ingat bahwa Anda menulis dengan bahasa jurnlistik, bukan bahasa ilmiah atau bahasa ekonomi. Guru-guru bahasa memang menekankan perlunya pengelompokan materi yang berkaitan dalam satu paragraf. Tapi wartawan yang praktis dengan segera mengorbankan bentuk itu supaya mudah berkomunikasi. Tulislah singkat dan sederhana Kalimat majemuk yang panjang kadang kala memang benar menurut tata bahasa. Tapi bila ternyata pembaca tersesat dan bingung, penulis itu gagal berkomunikasi. Tapi jangan lantas menjadi fanatik pada kalimat pendek. Kalau kalimat Anda hanya terdiri atas pokok kalimat, kata kerja, dan obyek terus-terusan, pembaca akan mengantuk setelah membaca dua paragraf. Fokus Menulis feature harus fokus terhadap angle paling kuat yang dipilih. Pegang teguh angle cerita, jangan sampai tergoda dengan angle yang lain. Periksa setiap informasi apakah masih relevan dengan angle yang dipilih. Jika tak relevan buang. Penulis harus setia dengan angle, jika tak fokus penulis dan pembaca akan tersesat di hutan kata-kata tanpa arah, tujuan dan arti. Deskripsi Penulis sesungguhnya mata, telinga dan hidung pembaca sehingga harus menggambarkan obyek secara detail. Sehingga pembaca seolah diajak langsung mengikuti perjalanan atau mengamati peristiwa yang terjadi saat itu. Penulis harus mampu
menggambarkan
suasana
dengan
baik
dan
lengkap.
Penulis
harus 5
menggabungkan kemampuan melaukan reportase lapangan, observasi dan meramunya menjadi rainkaian kata yang tetap ringkas dan efektif. Untuk membuat tulisan yang mendalam, penulis harus ikut terlibat dan merasakan kondisi yang dialami tokoh yang ditulis. Misal, untuk menulis penderitaan korban lumpur Lapindo penulis harus tinggal beberapa hari bersama dengan para korban. Merasakan bau menyengat lumpur, merasakan suhu panas dan turut merasakan penderitaan yang kadang mengaduk emosi. JENIS FEATURE 1. Feature profil/tokoh : Kisah seorang tokoh, mengenai rekam jejak, motivasi, pandangan, wawasan serta kerangka berfikirnya. Biasanya terkait dengan suatu peristiwa yang dilakukan/melibatkan sang tokoh. 2.Feature sejarah : Mengungkap apa yang pernah terjadi di masa silam. Ditulis dengan cantolan berita masa kini (kebaruan). 3.Feature perjalanan/petualangan : Kejadian unik dan menarik yang dalam seseorang , sekelompok orang atau lembaga, baik dalam perjalanan, ekpedisi, dan wisata. 4. Feature terkait peristiwa musiman : Mengisahkan aspek dari suatu peristiwa rutin, musiman (lebaran, natal, atau tahun baru) 5. Feature penjelasan/latar belakang : Menjelaskan latar belakang suatu peristiwa yang baru terjadi dan sudah diberitakan. Misal: cerita Gus Dur keluar dari istana Merdeka. 6. Feature Kemanusiaan : Mengisahkan kejadian yang menyentuh perasan tentang orang, kejadian,
dll.
Yang
membuat
pembaca
merenung
dan
mendapat
hikmah/pembelajaran atau inspirasi. Misalnya : relawan yang membantu bencana tsunami Aceh. 7. Feature tentang mode/tren : Mengungkapkan kisah gaya hidup atau kebiasaan manusia yang berubah . Misal: tren bersepeda ke sekolah, demam K POP, dll.
MENCARI IDE Bukalah mata Anda, sapu pandangan terhadap sesuatu yang menarik di sekitar kita. Mungkin Anda akan mendapat bahan tulisan yang tak ada habisnya. Rasa ingin tahu penulis terhadap suatu obyek mampu mengungkap sesuatu di balik berita. Tak sekedar menyajikan berita keras sebuah peristiwa tapi juga mencari sebuah drama. Seperti kecelakaan kereta di Bintaro, tak sekedar menyajikan fakta kecelakaan. Tapi mencerita cerita menarik dan unik dalam kejadian itu. Seperti cerita heroik asisten masinis yang
6
menyelamatkan penumpang dengan mengorbankan diri. Feature akan menarik jika berkaitan dengan cerita manusia, ada ungkapan bahwa orang selalu tertarik pada orang. Beberapa cara mencari ide liputan antara lain: 1.
Mengembangkan liputan yang sudah ada dalam berbagai media massa. Manakala kita membaca, mendengar atau melihat media massa maka setiap orang memiliki sudut pandang sendiri. Sudut pandang yang sifatnya personal inilah yang bisa dibeberkan lebih luas dan mendalam dengan sebuah liputan cara baru. Harga kedelai yang melonjak menyebabkan tahu dan tempe mahal. Mungkinkah menyusuri kacang kedelai sampai ke industri perkebunan di luar negeri?
2.
Diskusi dengan rekan kerja atau kalangan profesional dan praktisi. Menanyakan sesuatu kepada kaum profesional dan praktisi bisa melahirkan banyak gagasan. Dengan cara bertanya apa yang sedang berlangsung dan mengapa terjadi seperti. Pencarian ide dari diskusi merupakan sebuah cara yang mudah dilakukan.
3.
Membaca berita kecil yang tidak menarik tetapi mengandung potensi besar. Sebuah berita di surat kabar daerah atau lokal atau sebuah berita kecil di televisi juga berpotensi untuk mengundang gagasan baru. Penangkapan pembobol makam mungkin bisa dikembangkan seberapa luas terjadi pembobolan dan apa saja barang yang dicuri lalu siapa penadahnya. Cara ini bisa dilakukan setiap hari. Jika terlalu sukar bisa saja gagasan itu diendapkan dulu.
4.
Mengantisipasi peristiwa. Sebuah peristiwa yang terjadi tahunan misalnya mudik Lebaran bisa dijadikan inspirasi dalam penulisan atau liputan. Bisa dikembangkan angle yang luar biasa banyaknya. Berbagai peringatan dan upacara rutin bisa dijadikan bahan liputan baru jika dikaitkan dengan berbagai peristiwa yang berlangsung. Hari Pendidikan Nasional atau Hari Ibu merupakan sumber berita yang tidak ada habisnya.
MENULIS OUTLINE Tidak ada bentuk outline yang kaku, terpenting outline menyajikan apa yang ingin disampaikan dalam tulisan feature. Sebagai panduan, outline harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: TOPIK Masalah apa yang ingin diangkat? LATAR BELAKANG MASALAH Apa saja persoalan yang terjadi? Kenapa penting bagi kita (dan pendengar lain) untuk tahu lebih jauh soal korupsi ini? ANGLE 7
Satu masalah, pasti punya sejuta angle. Tidaklah mungkin satu tulisan feature memuat sejuta angle itu. Kita harus tega memilih satu angle saja dan patuh pada angle itu sepanjang tulisan. Dengan begitu, angle yang dipilih harus yang paling kuat, paling menarik, paling oke, paling nendang, paling mencengangkan dan paling paling yang lain. NARASUMBER Siapa saja yang kompeten bicara soal ini? Jangan lupa uraikan singkat mengapa si narasumber ini dianggap kompeten. Kalau dilihat dari tingkat kepentingan si narasumber, tentu saja pelaku punya nilai penting yang paling tinggi. Kalau dibuat urutannya, maka kurang lebih begini urutan kompetensi narasumber: pelaku-saksi-orang yang dianggap tahu-yang berwenang-pengamat. RISET Tulisan yang bernas adalah tulisan yang menyertakan riset. Riset membuat tulisan lebih kokoh dan bernyawa. Riset bisa diperoleh dari wawancara tambahan dengan nara sumber atau lewat internet, keduanya sama benarnya. Kehadiran riset juga menambah jelas persoalan yang diangkat menjadi tulisan, selain juga bisa menambah konteks.
DAFTAR PUSTAKA Bujono, Bambang. 1996. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta: Penerbit ISAI dan Yayasan Alumni TEMPO. Fleeson, Lucida. 2007. Mengungkap Cerita di Balik Berita.Penerjemah Gita Widya Laksmi. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara. Andi Baso Mappatoto, M.A. Drs. 1992. Teknik Penulisan Feature. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
8
PROSES MENEMUKAN, MENGELOLA, DAN MENGEMBANGKAN IDE MENULIS SECARA KREATIF Sri Wahyuni Universitas Islam Malang E-mail:
[email protected] ABSTRACT Writing is a process. Writing is thinking process, the process of doing, the process that used to deliver the idea to other and writing is a process of encoding. Making a good writing strated with the idea finding. The idea can be found inj the surrounding, experience, interest, reading activity, from the electronic media or joing the forum group discussion. Having an idea for writing is not enough, since the arrangement of idea should be done creatively by respecting and documenting the idea. Next, the idea should be supported by the study that deals with the idea. There are three steps in developing the idea for the writing, (1) defining the topic, limiting the topic, defining the goal of the topic, formulating the thesis, the arranging the scope, collecting material, (2) writing, and (3) revising. Key words: finding process, arranging idea, developing idea
PENDAHULUAN Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis, seorang penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis tidak datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur. Hal ini sejalan dengan pendapat White dan Arndt (dalam Nunan, 1994), yang menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah proses kognitif yang kompleks dan menuntut usaha intelektual yang terus menerus dalam waktu lama. Menulis merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses, menulis tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi secara bertahap. Dalam proses itu, penulis terlibat secara aktif. Melalui kegiatan menulis, seorang akan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman, untuk menuangkan ide, gagasan dan perasaan serta menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki guna menuangkan hasil menulis dalam bentuk karangan. Kekeliruan strategi menulis adalah karena terlalu memfokuskan diri pada wujud karangan (produk) sebagai hasil dari kegiatan mengarang. Untuk memperbaiki 9
kekeliruan itu, pembelajaran menulis sebaiknya lebih bertumpu dan memusatkan diri pada proses. Beragam tulisan tercipta melalui proses kreatif menulis yang beragam pula. Setiap penulis atau pengarang memiliki pengalaman khas dalam menghasilkan tulisan, yang mungkin berbeda dengan penulis atau pengarang yang lain. Untuk belajar menulis, ada bagusnya membandingkan proses kreatif dari banyak penulis, sehingga dapat mengikuti proses kreatif yang memang bagus untuk ditiru. Dalam kajian ini, dibahas tentang proses kreatif menulis, yang difokuskan pada ide penulisan. Kebanyakan orang biasanya kesulitan mencari ide untuk tulisannya. Kebanyakan ide baru dicari-cari ketika orang akan menulis. Itulah mengapa orang menganggap menulis itu sulit. Mereka sering heran, mengapa orang bisa menulis seperti itu? Dari mana datangnya ide seperti itu? Berkatian dengan keterampilan menulis, berikut ini dikaji tentang (1) menulis sebagai suatu proses, (2) pentingnya menulis, (3) cara menemukan ide untuk menulis, (4) cara mengelola ide, dan (5) langkah mengembangkan ide. MENULIS SEBAGAI SUATU PROSES Menulis merupakan suatu proses. Pertama, menulis merupakan proses berpikir. Kegiatan menulis merupakan suatu tindakan berpikir. Menulis dan berpikir saling melengkapi. Menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama dan berulang-ulang. Tulisan adalah wadah yang sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis dapat mengkomunikasikan pikirannya. Dan, melalui kegiatan berpikir, penulis dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis. Ellis, dkk. (1989:145) mengungkapkan bahwa pebelajar yang menganggap menulis sebagai sebuah proses berpikir sering kali menunjukkan percaya diri ketika dia sedang menulis, karena dengan kesadaran itu, pebelajar akan dapat menemukan berbagai strategi agar tujuan yang diinginkannya dapat tercapai. Dengan kesadaran itu pula pebelajar akan menulis dengan penuh motivasi dan senang hati. Kedua, menulis merupakan proses yang dialami. Tanpa mengalami (melalui pembelajaran) tidaklah mungkin seseorang dapat menulis, sebab menulis merupakan kemampuan yang berupa keterampilan, dan keterampilan itu harus dialami. Siswa membutuhkan pengalaman yang konsisten. Pada bagian lain, Murray juga mengatakan bahwa menulis harus dipelajari bukan diajarkan. Oleh karena itu siswa harus mengalaminya langsung. Melalui kegiatan pembelajaran menulis deskripsi siswa akan belajar secara langsung dalam kegiatan menulis dengan harapan mereka akan memiliki keterampilan menulis secara nyata sesuai dengan perkembangan dan harapannya. 10
Ketiga, menulis juga merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh penulis untuk menyampaikan gagasan, pesan, informasi melalui media katakata/bahasa tulis kepada pihak lain. Sebagai bentuk komunikasi verbal, menulis melibatkan penulis sebagai penyampai pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa, sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986:21). Kedua pendapat tersebut sama-sama mengacu kepada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambanglambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan penulis. Keempat, dari segi linguistik, menulis adalah suatu proses penyandian (encoding). Menulis adalah suatu keterampilan kognitif (memahami, mengetahui, mempersepsi) yang kompleks, yang menghendaki suatu strategi kognitif yang tepat, keterampilan intelektual, informasi verbal, maupun motivasi yang tepat. Menulis adalah suatu proses menyusun, mencatat dan mengomunikasikan makna dalam tataran ganda, bersifat interaktif dan diarhkan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan suatu sistem tanda konvensional yang dapat dilihat/dibaca. Tulisan/karangan adalah suatu medium yang penting bagi ekspresi diri, untuk ekspresi bahasa, dan menemukan makna. PENTINGNYA MENULIS Pentingnya bahasa tulis sama banyaknya dengan pentingnya bahasa lisan; bahasa tulis digunakan untuk membuat berbagai hal untuk dikerjakan, menyediakan informasi, dan untuk menghibur. Namun, konteks penggunaan bahasa tulis sangat berbeda dengan konteks penggunaan bahasa lisan. Dalam haI informasi misalnya, bahasa tulis digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang tidak terikat dalam ruang dan waktu, atau untuk kesempatan-kesempatan yang memerlukan catatan pemanen atau setengah permanen. Pada prinsipnya, fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung. Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar berpikir, juga dapat menolong kita berpikir secara kritis. Dengan menulis akan memudahkan kita memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalahmasalah yang kita hadapi, menyusun urutan bagi pengalaman, dan sebagainya. Tulisan dapat membantu kita menjelaskan pikiran-pikiran kita. 11
Menulis ternyata dapat menyumbangkan kecerdasan. Menurut para ahli psikolinguistik, menulis adalah suatu aktivitas yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak pada kemampuan mengharmo-nikan berbagai aspek. Aspek-aspek itu meliputi pengetahuan tentang topik yang akan ditulis; penuangan pengetahuan itu ke dalam racikan bahasa yang jernih, yang disesuaikan dengan corak wacana dan kemampuan pembacanya; serta penyajiannya selaras dengan konvensi atau aturan penulisan. Untuk sampai pada kesanggupan seperti itu, seseorang perlu memiliki kekayaan dan keluwesan pengungkapan, kemampuan pengendalian emosi, serta menata dan mengembangkan daya nalarnya dalam berbagai level berpikir, dari tingkat mengingat sampai evaluasi. Agar tulisannya enak dibaca, apa yang dituliskan harus ditata dengan runtut, jelas, dan menarik. Banyak manfaat menulis. Diantaranya adalah sebagai berikut (1) sarana untuk mengungkapkan diri, (2) sarana untuk pemahaman, (3) membantu mengembangkan kepuasan pribadi, kebanggaan, perasaan harga diri, (4) meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan, (5) keterlibatan secara bersemangat dan bukannya penerimaan yang pasrah, (6) mengengembangkan suatu pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Menulis dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengungkapkan diri yaitu untuk mengungkapkan perasaan hati seperti kegelisahan, keinginan, amarah, dan sebagainya. Menulis sebagai sarana pemahaman artinya dengan menulis seseorang bisa mengikat kuat suatu ilmu pengetahuan (menancapkan pemahaman) ke dalam otaknya. Menulis juga dapat membantu mengembangkan kepuasan diri, kebanggaan, dan perasaan diri, artinya dengan menulis bisa melejitkan perasaan harga diri yang semula rendah. Dengan menulis dapat meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan, artinya orang yang menulis selalu dituntut untuk terus menerus belajar sehingga pengetahuannya menjadi luas. Menulis juga dapat meningkatkan keterlibatan secara bersemangat bukannya penerimaan yang pasrah, artinya dengan menulis seseorang akan menjadi peka terhadap apa yang tidak benar di sekitarnya sehingga ia menjadi seorang yang kreatif. Menulis juga mampu mengembangkan suatu pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa, artinya dengan menulis seseorang akan selalu berusaha memilih bentuk bahasa yang tepat dan menggunakannya dengan tepat pula. CARA MENEMUKAN IDE UNTUK MENULIS Setiap orang mempunyai cara berbeda dalam usahanya menemukan ide. Dengan demikian, setiap orang melakukan proses kreatif yang beragam untuk mendapatkan ide dalam menulis. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Karena setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat suatu fenomena, dan berbeda dalam 12
memberikan solusi suatu masalah, yang ini biasanya terbangun sesuai dengan budaya kerja seseorang. Ide tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Memang ada orang yang baru menulis jika tiba-tiba muncul ide. Sebenarnya, ide tidak sekadar sesuatu yang ditunggu kemunculannya, tetapi kita sendirilah sebenarnya yang mencipakan ide itu sendiri. Dengan kata lain, kita harus jeli dan kreatif dalam melihat suatu fenomena sehingga bisa dijadikan sumber dalam menulis. Kreatif dapat diartikan bahwa kita mempunyai pemikiran di luar kebanyakan orang. Kreatif juga berarti mempunyai solusi yang berbeda dari kebanyakan solusi yang ditempuh oleh kebanyakan orang. Banyak hal di sekitar kita yang dapat dijadikan ide sebuah tulisan. Hal ini bergantung pada kecermatan dan kejelian kita dalam menangkap fenomena yang dapat dijadikan ide menulis. Oleh karena itu, diperlukan kepekaan diri dalam menangkap fenomena tersebut. Berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan sumber ide dalam menulis. Lingkungan Sekitar Ide yang paling mudah ditemukan adalah dari apa yang kita ketahui yang berada di lingkungan sekitar kita. Luangkan waktu sejenak untuk mengamati dan rasakan apa yang terjadi di sekitar. Di situlah sebenarnya kita dapat memulai mencari ide untuk menulis. Banyak kejadian dalam satu hari yang sangat beragam dan unik, yang dapat dijadikan sebagai sumber ide tulisan. Untuk itu, diperlukan kepekaan dalam melihat segala sesuatu peristiwa dari sudut pandang yanng berbeda. Misalnya ada lima orang melihat peristiwa yang sama. Mungkin hanya ada satu orang yang mempunyai ide hebat yang tidak pernah terpikirkan oleh empat orang lainnya. Contoh lingkungan sekitar mahasiswa: kampus, kelas, laboratorium, lingkungan pergaulan kampus, rumah/tempat kos, lingkungan tempat tinggal, warung, dalam perjalanan, dan sebagainya. Contoh lingkungan sekitar guru: sekolah, perpustakaan, mushola, di kelas waktu pembelajaran, perkumpulan guru mata pelajaran, lingkungan tempat tinggal guru. Contoh lingkungan sekitar seorang pegawai di kantor: ruang kerja, hubungan antarpegawai, padatnya pekerjaan, dan sebagainya. Lingkungan seperti ini, sangat memungkinkan munculnya ideide dasyat yang kelak menghasilkan tulisan-tulisan yang merupakan karya besar. Pengalaman Jika lingkungan sekitar banyak menghasilkan tulisan di luar diri penulis, kalau pengalaman lebih banyak mengarah pada perjalanan hidup diri sendiri. Pengalaman hidup adalah sesuatu yang unik. Jarang sekali ada orang mengalami perjalanan hidup
13
yang sama. Pengalaman merupakan sumber yang bagus untuk memulai pencarian ide untuk suatu tulisan. Perjalanan hidup seseorang sebagai suatu pengalaman pribadi adalah salah satu sumber ide tulisan yang paling mudah dibuat dan juga mungkin menjadi tulisan paling orisinal yang pernah dibuat. Dengan menyampaikan pengalaman pribadi, orang lain bisa belajar dari apa yang sudah kita alami. Mulai dari sinilah sebenarnya seseorang dapat membangun citra dirinya sehingga dikenal secara luas dan dikagumi karena pengalaman pribadinya. Sebagai contoh sukses pengarang menulis pengalaman pribadinya adalah Andrea Herata yang terkenal dengan karyanya yang monumental Laskar Pelangi, kemudian diikuti dengan Sang Pemimpi, dan sebagainya. Kegemaran Di zaman sekarang ini, banyak orang terbelenggu oleh pekerjaan rutin yang begitu membosankan. Untuk keluar dari rutinitas ini, sering kali orang menekuni kegemaran atau hobi. Hobi adalah kegiatan positif yang dilakukan di sela kegiatan sehari-hari atau kegiatan rutin. Ternyata, hobi hobi dapat juga memberikan berbagai macam manfaat yang lain selain untuk keluar dari rutinitas seperti menghasilkan tulisan. Dengan demikian, orang memiliki ide dan kemudian menuliskannya dalam suatu karya tidak selalu berhubungan dengan pekerjaannya. Bisa saja ide itu muncul dari suatu kegemaran atau hobi. Sebagai contoh seorang dosen pendidikan menulis buku “Budidaya Jambu Biji”. Seorang arsitek menulis “Cara Berkomunikasi dengan Anak”. Seorang guru menulis buku “Resep Aneka Kue Lebaran”. Kegiatan Membaca Untuk dapat menulis dengan baik, kita membutuhkan pengetahuan. Oleh karena itu, memiliki pengetahuan yang luas merupakan tuntutan dari seorang penulis. Untuk mendapatkan pengetahuan, kuncinya adalah harus banyak belajar. Orang yang banyak belajar akan memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru. Sebaliknya jika orang tidak belajar, pengetahuannya akan dangkal karena tidak pernah tahu hal baru. Salah satu cara belajar adalah dengan banyak membaca. Ada ungkapan bahwa dengan membaca dunia berada di tangan kita, hal ini berarti bahwa banyak hal yang kita butuhkan dapat kita peroleh dari kegiatan membaca. Melalui membaca, seseorang dapat menggali
informasi,
mempelajari
pengetahuan,
memperkaya
pengalaman,
mengembangkan wawasan, dan mempelajari segala sesuatu. Bahan bacaan bisa apa saja mulai yang ringan hingga berat. Bacaan bisa berkaitan dengan fiksi, kisah seseorang, pengetahuan umum, keilmuan, artikel, hasil penelitian, dan sebagainya. Selain memperoleh pengetahuan dan sebagainya, dengan membaca karya seseorang kita juga bisa belajar bagaimana cara menulis yang baik, harus dengan bahasa 14
seperti apa, dan sebagainya. Untuk mendapatkan hal baru, perbanyak membaca artikel populer atau ilmiah, baca dan pelajari artikelnya. Untuk penulis pemula, kita dapat menulis artikel dengan topik yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda. Jika dalam diri kita sudah terisi dengan informasi, pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dari hasil kegiatan membaca; maka menulis menjadi kegaitan yang tidak terlalu sulit karena ide dapat diperoleh dari hasil membaca tersebut. Jadi kegiatan membaca merupakan modal utama seseorang dapat menulis. Coba kita baca sebuah novel, pengetahuan seorang pengarang akan tampak betul dalam novel tersebut. Dia bisa saja menjadi ahli kimia, ahli komunikasi, ahli perdagangan, dan sebagainya. Media Elektronik Di zaman sekarang ini, mendapatkan informasi atau pengetahuan baru sudah menjadi suatu kebutuhan. Informasi atau pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cepat melalui media elektronik yang berkembang pesat. Orang yang tidak atau kurang mengikuti perkembangan melalui media elektronik
akan tertinggal dan buta akan
keadaan dunia sekarang. Dengan demikian, kita harus mengikuti kemajuan media elektronik melalui perkembangan teknologinya yang demikian pesat. Teknologi telekomunikasi seperti telepon, telepon seluler, fax, dan sebagainya sudah demikian canggih. Teknologi jaringan komputer, baik perangkat keras (LAN, Internet, WiFI, dan lainlain), maupun perangkat lunak pendukungnya (aplikasi jaringan) seperti Web, e-mail, HTML, Java, PHP, aplikasi basis data, dan sebagainya juga berkembang pesat. Dengan perkembangan itu, kita dapat memanfaatkan media elektronik seperti radio, televisi, jaringan internet, E-book, e-magazine, e-news, e-journal dan sebagainya untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita yang ini dapat dijadikan sumber ide tulisan kita. Khusus melalui internet biasanya kita menggunakan Search Engine (seperti altavista, yahoo, google) yaitu aplikasi di internet yang mempunyai kemampuan mencari informasi untuk topik tertentu. Aplikasi ini sangat bermanfaat untuk mencari topik dengan bermacam-macam bentuk: artikel ilmiah, text book, gambar, software animasi, simulasi. Bergabung dalam Forum Diskusi Memperoleh informasi dan pengetahuan baru tidak hanya kita peroleh melalui petualangan mandiri dengan berbagai cara dan media. Informasi dan pengetahuan bisa juga kita peroleh dari suatu forum diskusi yang melibatkan beberapa atau banyak orang. Mungkin tidak hanya informasi dan pengetahuan baru kita peroleh, tapi juga solusi penyelesaian masalah akan kita dapatkan dari sana.
15
Forum diskusi bisa dilakukan secara tatap muka maupun online. Untuk forum tatap muka kita bisa bergabung dengan komunitas, organisasi, ataupun group. Selain memperbanyak teman dan jaringan, inspirasi yang diperoleh dengan diskusi bersama pasti akan menimbulkan sebuah ide baru untuk sesuatu yang akan ditulis. Untuk forum online kita besa memanfaatkan e-mail (web based email), mailing list, ftp, www, chat room (web based chatting), teleconference, maupun discussion forum (web based discussion. E-mail merupakan fasilitas yang paling sederhana, paling mudah penggunaannya dan dipergunakan secara luas oleh pengguna komputer. E-mail merupakan fasilitas yang memungkinkan dua orang atau lebih melakukan komunikasi yang bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau tidak bersifat real time. Tetapi justru karakteristik seperti itulah yang menjadikan e-mail menjadi sarana komunikasi paling murah. Mailing list merupakan perluasan penggunaan e-mail, dengan fasilitas ini pengguna yang telah memiliki alamat e-mail bisa bergabung dalam suatu kelompok diskusi, dan melalui milis ini bisa dilakukan diskusi untuk memecahkan suatu permasalahan secara bersama-sama, dengan saling memberikan saran pemecahan (brain storming). Komunikasi melalui milis ini memiliki sifat yang sama dengan e-mail, yaitu bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau bersifat un-real time. File Transfer Protocol (FTP) adalah fasilitas Internet yang memberikan kemudahan kepada pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (down load) di suatu server yang terhubung ke Internet pada alamat tertentu yang menyediakan berbagai arsip (file), yang memang diizinkan untuk diambil oleh pengguna lain yang membutuhkannya. File ini bisa berupa hasil penelitian, artikel-artikel jurnal dan lain-lain. Di samping itu FTP juga dipergunakan untuk meng-upload file materi situs (homepage) sehingga bisa diakses oleh pengguna dari seluruh pelosok dunia. WWW (World Wide Web) merupakan kumpulan koleksi besar tentang berbagai jenis dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server di seluruh dunia, dan dokumentasi tersebut dikembangkan dalam format hypertext dan hypermedia, dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML) yang memungkinkan terjadinya koneksi (link) dokumen yang satu dengan yang lain atau bagian dari dokumen yang satu dengan bagian yang lainnya, baik dalam bentuk teks, visual dan lain-lainnya. WWW bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi dan video. Chat Room (Teleconference) merupakan fasilitas untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serempak dalam pengertian waktu yang sama (real time), dan dengan demikian berarti komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi yang sinkron (synchronous communication mode). Bentuk pertemuan ini lazim disebut sebagai konferensi, dan fasilitas yang digunakan bisa sepenuhnya multimedia (audio-visual) dengan mengggunakan fasilitas video conferencing, ataupun 16
text saja atau text dan audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC). Discussion Forum dapat digunakan untuk melakukan diskusi secara tertulis mengenai topik tertentu yang telah dikelompokkan. Komunikasi melalui discussion forum memiliki sifat yang sama dengan e-mail, yaitu bersifat tidak sinkron (asynchronous communication mode) atau bersifat un-real time. Ada banyak istilah untuk discussion forum seperti: bulletin board, discussion centre, forum, dan sebagainya. MENGELOLA IDE Setelah ide diperoleh dari berbagai sumber seperti yang telah dijelaskan di atas (lingkungan sekitar, pengalaman, kegemaran, kegiatan membaca, media elektronik, bergabung dalam forum diskusi), selanjutnya kita harus dapat mengelola ide yang telah ditemukan tersebut agar tidak hilang begitu saja. Berikut ini beberapa cara mengelola ide sehingga dapat dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang menarik. Menangkap ide secara kreatif Kreatif artinya memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Setiap orang bisa menjadi kreatif asalkan di dalam dirinya tertanam rasa ingin tahu yang besar, sebab kreativitas adalah keterampilan. Kreatif merupakan hal yang sering ditekankan oleh setiap orang dalam berpikir. Kenapa harus dengan cara kreatif? Karena, dengan pola pikir yang sama seperti kebanyakan orang, mungkin kita tidak akan menemukan sesuatu yang baru, yang membuat kita berbeda dari orang lain. Kreativitas yang tinggi merupakan nilai berharga yang wajib dimiliki oleh setiap penulis. Dengan berpikir kreatif, kita pun dituntut untuk terus mengasah kinerja otak serta membiasakan diri untuk tidak menunggu insipirasi datang. Sebaliknya, kita harus mampu memunculkan inspirasi setiap saat. Begitu pula ketika kita sudah menangkap suatu ide. Tentu kita tidak begitu saja menyimpan ide itu dengan biasa saja. Kita harus dapat meninjaunya secara kreatif dari sudut pandang yang mungkin belum banyak orang memikirkan itu. Dengan menangkap ide secara kreatif, tulisan yang dihasilkan pun tidak akan biasa saja. Menghargai semua ide Dengan melakukan banyak pencarian, tentunya akan ditemui beragam ide. Bisa saja ide itu berhubungan dengan sesuatu yang besar atau agung sehingga bisa digunakan untuk memecahkan masalalah-masalah besar, atau mungkin saja itu ide kecil yang mungkin kurang bermanfaat saat ini. Mungkin saja kita merasa yakin bahwa suatu ide itu pasti bagus, sementara ide yang lain yang sebenarnya baik tetapi kita kurang yakin bisa 17
menyelesaikan masalah. Sebenarnya, apapu ide itu seharusnya kita menghargainya. Kita perlu berpikiran positif, bawa tidak ada ide yang salah atau jelek. Dalam menulis, diperlukan keberanian untuk mengungkapkan ide yang kita miliki. Kendala pada penulis pemula adalah ketidakberanian menyampaikan ide karena merasa belum percaya diri atau tidak yakin bahwa idenya dapat diterima orang lain. Hal inilah yang sebenarnya salah satu faktor yang menghambat seseorang dalam menulis. Intinya adalah jangan pernah takut mengungkapakan sebuah ide apa pun itu, karena setiap ide adalah hal yang berharga. Mendokumentasikan Ide (Bank Ide) Seringkali orang ingin menulis tapi tidak punya ide. Kebanyakan ide baru dicaricari ketika orang akan menulis. Itulah mengapa orang menganggap menulis itu sulit. Mereka sering heran, kok bisa ya orang menulis seperti itu? Dari mana ya datangnya ide seperti itu? Oleh karena itu, kita perlu pembiasaan menyimpan ide yang seringkali datang tiba-tiba. Tulis di media apa pun (secarik kertas, HP, dsb), tapi segera masukkan dalam bank ide (dalam laptop atau PC begitu sampai di rumah). Kalau perlu buat folder-folder jenis ide yang ditemukan. Dengan membiasakan diri menyimpan gagasan-gagasan dalam bank ide, otomatis ide yang muncul pasti relatif baru karena munculnya bersamaan dengan gerak kehidupan kita. Dengan demikian, mengumpulkan ide-ide tersebut adalah salah satu cara yang efektif dalam menulis, karena seringkali orang terhambat kemampuan menulisnya hanya karena tidak punya ide. Jadi melalui bank ide inilah, tulisan-tulisan kita akan tercipta. Mendokumentasikan ide yang Sudah Terumuskan Menjadi Masalah (Bank masalah) Masalah adalah inti persoalan yang akan dicari. Dengan demikian, masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Masalah terjadi jika keadaan yang dihadapi tidak sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Merton, masalah adalah ”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak diinginkan” antara standar kebersamaan dan kondisi nya. Masalah muncul jika kondisi sekarang dan kondisi yang diharapkan berbeda. Kondisi yang sekarang terjadi belumlah sempurna dan keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih baik. Keyakinan bahwa harapan bisa tercapai akan membuat seseorang memiliki sasaran untuk masa depan yang lebih baik. Harapan membuat diri sendiri merasa tertantang dan tantangan semacam ini juga layak juga disebut sebagai masalah. Untuk dapat menemukan masalah memang membutuhkan kepekaan. Banyak orang tidak menyadari bahwa di sekitar kita banyak masalah. Kalau masalah itu dibiarkan bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 18
Cara mudah untuk menemukan masalah adalah dengan banyak belajar hal baru melalui beragam media. Sebuah masalah bisa muncul (kita menganggap itu masalah) jika kita memiliki pengetahuan atau pemikiran baru yang berbeda atau berlawanan dengan kenyataan yang kita jumpai. Ketika seseorang tahu di mana posisi sekarang dan ke mana hendak menuju maka orang tersebut sudah punya sebuah masalah terkait bagaimana agar bisa sampai pada tujuan yg diharapkan. Agar masalah yang dijumpai terekam dengan baik, ada baiknya mendokumentasikan setiap ada permasalahan yang dijumpai. Dari dokumentasi masalah ini (kita sebut bank masalah), selanjutnya kita tinggal menyelesaikan secara bertahap menurut skala prioritas. Mendokumentasikan Informasi, Pengetahuan, Teori yang Terkumpul dari Sebuah Ide Sebenarnya banyak orang hobi membaca dari beragam sumber baik cetak maupun elektronik. Meskipun demikian, ternyata banyak dari mereka yang membiarkan saja hasil membacanya, tanpa mendokumentasikan. Berikut ini langkah mulai proses membaca hingga mendokumentasikan hasil bacaan. Pertama, bacalah buku atau sumber lain secara cepat untuk menemukan bagian yang dicari. Begitu diperoleh, bacalah dengan cermat dan kalau perlu diulang hingga diperoleh kesan umum tentang buku atau sumber yang dibaca. Kedua, catatlah gagasan utamanya. Untuk menemukan gagasan utama, bacalah tulisan itu bagian demi bagian, alinea demi alinea sambil mencatat semua gagasan yang penting dalam bagian atau alinea itu. Ketiga, buatlah ringkasan. Berdasarkan pokok-pokok yang telah dicatat sellanjutnya disusun ringkasan. Besarnya ringkasan bergantung pada jumlah alinea dan topik utama yang akan dimasukkan dalam ringkasan. Ilustrasi, contoh, deskripsi, dan sebagainya dapat dihilangkan, kecuali yang dianggap penting. Jangan lupa mencantumkan sumber dan halaman pada setiap pokok tulisan yang diringkas. Untuk bahan yan berupa elektronik, bisa saja kita menyimpan bahan itu secara utuh di laptop kita. Ringkasan yang kita buat setiap kali membaca atau bahan utuh yang kita temukan dapat dikelompokkan dalam berbagai folder berdasarkan jenis kajian. Dengan demikian, apabila kita membutuhkan sewaktu-waktu kita akan dengan mudah menemukan. LANGKAH MENGEMBANGKAN IDE MENJADI TULISAN Untuk membuat suatu tulisan, ada sejumlah langkah yang perlu dilakukan. Menurut Becky (2006), langkah proses menulis meliputi prapenulisan (prewriting), draft kasar, editing sejawat, merevisi, dan editing akhir. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Tompkins (1994:10), yang menjelaskan ada lima tahap menulis, yaitu pramenulis (prewriting), (2) pengedrafan (drafting), (3) merevisi (revising), (4) mengedit (editing), dan 19
(5) mempublikasikan (publishing). Sementara itu, ada yang membagai tiga saja, yaitu prapenulisan, penulisan, dan revisi. Berikut ini jabaran langkah menulis, khususnya untuk menulis ragam ilmiah. Prapenulisan Prapenulisan meliputi kegiatan: pemilihan dan penentuan masalah, pembatasan masalah, penentuan tujuan, perumusan tesis, penyusunan kerangka tulisan, penentuan judul, dan pengumpulan bahan. Pemilihan dan Penentuan Masalah Penulis pemula, pada tahap awalnya berhadapan dengan “Apa yang hendak saya tulis?”. Ini berarti orang menulis berangkat dari sesuatu ‘masalah’. Masalah dapat bersumber dari pengalaman, penalaran, atau rekaan. Pengalaman yang dimaksud adalah baik pengalaman langsung (dialami sendiri) maupun pengalaman tidak langsung (dialami oleh orang lain), seperti hasil dari observasi, penelitian, atau hasil dari membaca. Penalaran artinya, masalah tersebut dihasilkan dari proses pemikiran secara deduktif. Sedangkan rekaan, masalah didapatkan dari proses imajinasi. Dalam memilih atau menentukan masalah, harus dipikirkan syarat-syarat tertentu, yaitu: (1) masalah itu harus menarik, (2) masalah itu harus ada manfaatnya, (3) masalah itu harus mempunyai sumber-sumber informasi, (4) penulis memiliki kemampuan untuk membicarakan masalah yang ditulis, dan (5) masalah yang dipilih tidak menimbulkan pertentangan. Dalam menemukan masalah, ada banyak strategi yang bisa ditempuh, antara lain branstorming, perengungan, formula jurnalistik, pertanyaan klasik, dan pemecahan masalah. Brainstorming adalah suatu proses berpikir untuk mengungkapkan semua ide yang terlintas atau yang ada dalam benak penulis. Selanjutnya, dipilih salah satu maslah yang paling disenangi dan dikuasai. Perenungan merupkan cara berpikir analitis-logis dengan berkonsentrasi pada masalh tertentu. Setiap masalah baik yang berupa gagsan, konsep atau ide dipikirkan dengan sungguh-sungguh berdasarkan penalaran yang masuk akal. Formula jurnalistik dikenal dengan 5W + 1H: who, what, when, where, why, dan how. Penggunaan formula jurnalistik dalam menemukan masalah dapat dilakukan terutama untuk tulisan ilmiah yang bersifat laporan. Strategi penemuan masalah dapat juga dilakukan dengan pertanyaan klasik. Masalah-masalah yang cocok ditemukan dengan cara ini biasalh masalah-masalah yang baru. Terdapat empat pertanyaan klasik yang diajukan, yaitu: apakah ini, apa permasalahan dan perbedaannya dengan yang lain, apa yang menyebabkan ini, dan apa yang dikatakan orang tentang ini? Strategi penemuan masalah dapat melalui proses pemecahan masalah. Suatu masalah muncul jika terdapat 20
kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang dihadapi. Pemecahan masalah merupkan suatu usaha untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi atau akan dihadapi. Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah: identifikasi dan spesifikasi masalah, menganalisis masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan bukti, dan menguji hipotesis. Pembatasan Masalah Masalah perlu dibatasi agar pembahasandapat dilakukan secara menyeluruh (komprehensif. Cara membatasi masalah adalah sebagai berikut: (1) menggunakan jembatan pertanyaan 5W + 1H, daftarkan perincian-perincian masalh-masalah tersebut, misalnya mengikuti diagram tertentu misalnya diagram pohon, (3) memilih salah satu dari perincian maslaah, dan (4) ajukan pertanyaan apakah rincian topik yang telah dipilih dapat dirinci lagi. Penentuan Tujuan Penentuan tujuan pentind dalam setiap usaha menulis. Hal ini disebabkan: (1) tujuan merupakan alat kontrol terhadap proses menulis, (2) dengan tujuan dapat digunakan dalam usah penyusunan kerangka karangan, (3) dengan tujuan dapat digunakan dalam rangka pengumpulan bahan tulisan. Tujuan dirumuskan secara terperinci dalam beberapa kalimat mulai dari awal sampai akhir apa yang ingin dicapai penulis lewat tulisannya. Perumusan Tesis Tesis adalah ide/gagsan yang menjadi dasar tulisan secara keseluruhan. Tesis merupkan pangkal tolak tulisan itu dibangun. Tesis dapat diartikan juga sebagai pernyataan yang didasarkan pada pembukyian secara ilmiah. Permusan tesi merupkan perpaduan antara maslah yang dibicarakan dengan tujuan yang akan dikemukakan. Tesis juga merupkan pernyataan yang secara umum menggambarkan isi tulisan yang akan kita susun. Jika kita membicarakan masalh dari awal hingga akhir, kita akan tetap membahas rumusn tesis tesebut (pada akhirnya akan dikembalikan pada perumusan tesis tersebut). Ada beberapa kriteria yang merupakan karakteristik tesis yang baik. Karakteristik tesis yang baik adalah: (1) tesis diungkapkan dalam kalimat lengkap, (2) tesis mengungkapkan opini, sikap, atau gagasan, bukan sekedar pernyataan sederhana tentang masalh yang akan dikembangkan, (3) tesis bukan sekedar menggambarkan fakta tetapi membutuhkan penjelasan dan pembuktian, (4) tesis hanya terdiri atas satu gagasan untuk
21
satu masalah, (5) tesis dipilih berdasarkan otoritas penulis, (6) tesis dipilih yang tidak terlalu luas, (7) tesis dipilih yang padu atau bulat, dan (8) tesis dipilih yang khusus. Penyusunan Kerangka Tulisan Kerangka tulisan adalah pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dari rumusan tesis secara operasional. Dari sebuah kerangka tulisan itu kita melakukan identifkasi pokok pikiran sampai pokok pikiran yang terkecil yang nantinya akan terwujud sebuah aragraf. Kerangka tulisan memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi kerangka tulisan adalah: (1) memberikan gambaran yang menyeluruh tentang isi karangan yang akan ditulis, (2) membantu penulis menyusun sajian pikiran secara teratur, yang jelas kitan anarpikirannya, (3) memudahkan penulis menciptakan klimaks yang berbeda-beda, (4) memudahkan penulis mengecek masih ada tiidaknya pikiran bawahan yang belum tercaku dalam karanga yang akan ditulis, (5) menghindari terjadinya pengulangan pikiran, dan (6) memudahkan pencarian dan pengumpulan bahan yang diperlukan serta sumbersumber bahan yang dapat dimanfaatkan. Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh dalam penyusunan kerangka tulisan. Langkah-langkah itu adalah: (1) merumuskan pokok-pokok pikiran, (2) mengidentifikasi pokok-poko pikiran, (3) menyeleksi pokok-pokok pikiran yang relevan dengan masalah, (4) mengadakan identifikasi ulang pokok-pokok pikiran yang belum lengkap, (5) menyeleksi ulang, (6) menata/mengorganisasikan
pokok-pokok pikiran
dengan
pendekatan/pola tertentu, dan (7) merumuskan kerangka tulisan. Dalam menyusun kerangka tulisan, terdapat beberapa jenis kerangka yang bisa digunakan. Berdasarkan pola pengurutan pokok-pokok pikiran, kerangka tulisan dapat disusun dengan pola urutan waktu, pola urutan proses, pola urutan ruang/tempat, pola urutan objek/topik yang tersedia, dan pola urutan logis: deduktif-induktif, klimaksantiklimaks, sebab-akibat, urutan pemecahan masalah, urutan kedekatan/familiaritas, urutan
keberterimaan/akseptabilitaas.
Berdasarkan
kerinciannya,
ada
kerangka
sederhana dan kerangka terperinci. Kerangka sederhana biasanya disusun oleh penulis jika masalah yang akan dikembangkan bersifat sederhana (sempit cakupannya), atau karangan yang akan dikembangkan relatif lebih pendek sehingga tidak memerlukan kerangka formal. Kerangka hanya digunakan sebagai pengarah. Dengan kerangka ini, penulis daapat melakukan lebih banyak improvisasi ketika mengembangkan tulisan. Kerangka terperinci disusun cukup rinci sampai tiga atau empat tingkatan. Kerangka ini biasanya dipakai oleh penulis jika masalah yang dibahas cukup luas cakupannya/cukup kompleks. Berdasarkan perumusan teksnya, terdapat kerangka kalimat dan kerangka topik. Kerangka kalimat menggunakan kalimat berita yang lengkap. Kerangka ini memiliki 22
manfaat: (1) menuntut pendeskripsian secara tepat, (2) karena kerangkanya jelas, maka penulis tetap dapat mengembangkannya dengan baik dan tepat dalam rentang waktu yang lama. Kerangka topik menggunakan kata atau frase dalam menyatakan topik-topik bawahan/sub-sub masalah, bukan kalimat-kalimat. Oleh sebab itu, biasanya kerangka topik kurang jelas. Kerangka seperti ini menuntut untuk segera ditulis dalam tempo penggarapan yang relatif pendek. Penentuan Judul Judul tulisan lebih baik ditulis setelah pembuatan kerangka tulisan atau minimal setelah penentuan masalah dirumuskan, sehingga bisa terjamin bahwa judul itu cocok atau sesuai dengan tema atau masalahnya. Bila penulis sudah memilih judul sebelum perumusan masalah, maka penulis hendaknya selalu bersedia untuk mempertimbangkan kembali judul itu sesudah tema atau masalah dan kerangka tuulisan selesai digarap. Syarat-syarat judul yang baik adalah: (1) judul harus provokatif atau menarik sehingga dapat merangsang perhatian pembaca sehingga berkeinginan membaca karya itu, (2) judul harus relevan dengan masalah yang akan dibahas, (3) judul harus asli (original), dan (4) judul harus singkat, maksudnya judul tidak boleh mengambil bentuk kalimat atau frase yang panjang, tetapi harus berbentuk kata atau rangkaian kata yang singkat; jika penulis tidak dapat menghindari judul yang panjang maka penulis dapat menuliskan judul utama yanag singkat, diikuti dengan judul tambahan yang panjang. Pengumpulan Bahan Jika tulisan kita bersifat faktual, maka dibutuhkan informasi fakta-fakta. Jika tulisan kita bersifat teoritis, maka dibutuhkan informasi teori-teori. Dan jika tulisan kita bersifat faktual dan teoritis, maka dibutuhkan informasi fakta-fakta dan teori-teori. Setelah jelas informasi yang dibutuhkan, selanjutnya dikumpulkan bahan yang sesuai, baik bahan dari sumber pustaka seperti buku teks, jurnal, majalah, makalah, laporan penelitian, dan lain-lain; ataupun sumber nonpustaka seperti hasil observasi, wawancara, angket, dan lain-lain. Untuk sumber pustaka, ditentukan bahannya, kemudian memanfaaatkan katalog, dan menelaah pustaka. Untuk sumber nonpustaka, dilakaukan langkah obeservasi langsung/tidak langsung, wawancara bebas/terstruktur, dan menyebar seperangkat pertanyaan. Penulisan Langkah-langkah prapenulisan merupakan langkah invensi. Dalam proses menulis, kita ingin menyajikan gagasan-gagasan invensi kita seefektif mungkin. Menulis bermula 23
dari
perkembangan
berpikir
(invensi)
dan
mengembangklannya
ke
arah
mengkomunikasikan pikiran-pikiran itu kepada orang lain. Hal yang paling penting yang harus diingat pada saat kita mulai menulis adalah pertalian antara penulis dan pembaca. Untuk setiap kata yang ditulis, penulis berimajinasi/membayangkan reaksi pembaca mengenai apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatatakannya. Penulis harus tetap menyadari bahwa ia mempunyai gagasan tentang sesuatu yang berguna/berharga untuk disampaikan kepada pembaca. Penulis sangat ingin menyampaikan gagsan tersebut kepada pembaca tertentu sedemikian rupa sehingga pembaca akan mengapresiasinya dan memperoleh manfaatnya atau sekurang-kurangya memahminya. Kegiatan penulisan berupa penguraian kerangka tulisan menjadi paragraf-paragraf yang berisi kalimat-kalimat sebagai unitnya, dengan memperhatikan petunjuk kebahasaan maupun petunjuk teknik penulisan. Untuk petunjuk kebahasaan, yang perlu diperhatikan
adalah
pemilihan
kata,
penyusunan
kalimat,
penyusunan
dan
pengorganisasian paragraf, penggunaan ejaan, dan penalaran. Untuk petunjuk teknik penulisan, yang perlu diperhatikan adalah pengetikan, kutipan (rujukan0, catatan kaki, penyajian tabel dan gambar, daftar rujukan, dan perwajahan. Sedangkan isi dan sistematika penulisan secara garis besar meliputi (1) penulisan bagian awal, (2) penulisan bagian inti, dan (3) penulisan bagian akhir. Pada bagian awal, ditulis halaman sampul, daftar isi, dan daftar tabel dan gambar jika ada. Pada bagian inti, dirinci bagian pendahuluan, teks utama, dan penutup. Pada bagian akhir ditulis daftar rujukan dan lampiran jika ada. Penyempurnaan Penyempurnaan dilakukan baik pada isi, bahasa, maupun teknik penulisan. Penyempurnaan isi pada dasarnya adalah revisi atau perbaikan dan penajaman pada tahap diperolehnya konsep awal sebuah tulisan. Penyempurnaan isi tulisan dilakukan baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan penulisan. Penyempurnaan bahasa merupakan revisi tulisan terhadap paragraf, kalimat, kata, bahkan ejaan dan tanda baca. Tahap ini sangat penting dilakukan agar dalam sebuah karya ilmiah yang dihasilkan penulis tidak terdapat pada aspek kebahasaan. Ketidaktepatan penggunaan berbagai aspek kebahasaan akan mengganggu keefektifan komunikasi antara apa yang diungkapkan penulis kepada pembaca. Penyempurnaan teknik penulisan perlu dilakukan penulis agar diperoleh hasil yang sistematis. Yang perlu diperhatikan dalam penyempurnaan teknik penulisan antara lain pada bagian halaman sampul, daftar tabel,
24
gambar, dan lampiran, bagian pendahuluan, teks utama, bagian penutup, pengetikan, kutipan, dan daftar rujukan. PENUTUP Menulis merupakan suatu proses. Pertama, menulis merupakan proses berpikir. Kegiatan menulis merupakan suatu tindakan berpikir. Kedua, menulis merupakan proses yang dialami. Tanpa mengalami (melalui pembelajaran) tidaklah mungkin seseorang dapat menulis, sebab menulis merupakan kemampuan yang berupa keterampilan, dan keterampilan itu harus dialami. Siswa membutuhkan pengalaman yang konsisten. Ketiga, menulis juga merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh penulis untuk menyampaikan gagasan, pesan, informasi melalui media kata-kata/bahasa tulis kepada pihak lain. Keempat, dari segi linguistik, menulis adalah suatu proses penyandian (encoding). Pentingnya bahasa tulis sama banyaknya dengan pentingnya bahasa lisan; bahasa tulis digunakan untuk membuat berbagai hal untuk dikerjakan, menyediakan informasi, dan untuk menghibur. Namun, konteks penggunaan bahasa tulis sangat berbeda dengan konteks penggunaan bahasa lisan. Dalam haI informasi misalnya, bahasa tulis digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang tidak terikat dalam ruang dan waktu, atau untuk kesempatan-kesempatan yang memerlukan catatan pemanen atau setengah permanen. Ide menulis diperoleh dari beragam sumber. Pertama dari lingkungan sekitar. Ide yang paling mudah ditemukan adalah dari apa yang kita ketahui yang berada di lingkungan sekitar kita. Kedua dari pengalaman. Pengalaman hidup adalah sesuatu yang unik. Jarang sekali ada orang mengalami perjalanan hidup yang sama. Pengalaman merupakan sumber yang bagus untuk memulai pencarian ide untuk suatu tulisan. Ketiga dari kegemarana atau hobi. Ternyata, hobi dapat juga memberikan berbagai macam manfaat yang lain selain untuk keluar dari rutinitas seperti menghasilkan tulisan. Keempat kegiatan membaca. Untuk dapat menulis dengan baik, kita membutuhkan pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan, kuncinya adalah harus banyak belajar, yang antara lain diperoleh dari membaca. Kelima dari media elektronik. Di zaman sekarang ini, mendapatkan informasi atau pengetahuan baru sudah menjadi suatu kebutuhan, dan itu dapat diperoleh antara lain dari media elektronik. Dari media inilah penulis juga mendapatkan ide. Selainitu, ide bisa juga diperoleh dengan bergabung dalam Forum Diskusi yang melibatkan beberapa atau banyak orang. Ide yang telah ditemukan dari berbagai sumber harus dikelola dengan tepat. Pertama, ide yang telah ditemukan harus ditangkap secara kreatif agar berbeda dengan 25
yang lain. Kedua, kita harus menghargai semua ide. Apapu ide itu seharusnya kita menghargainya. Kita perlu berpikiran positif, bawa tidak ada ide yang salah atau jelek. Ketiga, kita perlu mendokumentasikan ide. Ide yang datangnya bisa tiba-tiba ini jika tidak didokumentasikian dengan baik bisa saja hilang padahal itu mungkin ide yang bagus. Berikutnya kita perlu mendokumentasikan ide yang sudah terumuskan menjadi masalah, dan juga mendokumentasikan informasi, pengetahuan, teori yang terkumpul dari sebuah ide. Dengan pendekatan proses, menulis secara garis besar terdiri atas dua langkah utama, yaitu (1) penemuan atau invensi dan (2) penyajian atau presentasi. Dari dua langkah ini, proses menulis lebih lanjut dibagi dalam langkah-langkah: (1) prapenulisan, (2) penulisan, dan (3) penyempurnaan. Prapenulisan meliputi kegiatan: pemilihan dan penentuan masalah, pembatasan masalah, penentuan tujuan, perumusan tesis, penyusunan kerangka tulisan, penentuan judul, dan pengumpulan bahan. Kegiatan penulisan berupa penguraian kerangka tulisan menjadi paragraf-paragraf yang berisi kalimat-kalimat sebagai unitnya, dengan memperhatikan petunjuk kebahasaan maupun petunjuk teknik penulisan. Penyempurnaan dilakukan baik pada isi, bahasa, maupun teknik penulisan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: YA3. Akhadiah, S., Arsjad, M.G., Ridwan. 1989. Pembinaan Keterampilan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Becky L, Spevey. 2006. What Is the Writing Process? http://www.superduperinc.com. D’Angelo, Frank J. 1980. Process and Thought in Composition. Massachusetts: Winthrop Publisher, Inc. Ellis, A., Panunu, J., Standal, T., & Rummel, M.K. 1989.Elementariy Language Arts Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Keraf, Gorys. 1984. Komposisi, Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Jakarta: Nusa Indah. Lado, Robert. 1964. Language Teaching. New York, London: McGraw-Hill Inc. Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning, Massachusetts. Heinle & Heinle Publishers.Suparno dkk. 1986. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: FPBS IKIP Malang.
26
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan.
27
PENGARANG, PENULIS, DAHULU DAN SEKARANG Akhmad Tabrani Universitas Islam Malang E-mail:
[email protected] ABSTRACT The terminology of the author and the writer are overlapping. Both of them have the same problem from specific point of view. The problem in the world of the authority and the writing still focuse on the old problem; The author, the publisher, and the reader. The old authors were the noble ciizens since they had a good access to the palace. They were the writer, the story teller of the kingdom and the kingdom’s family, and the king’s advisor. Now, the authors (writer) should fight to make a living as the person who has a profession as a writer. They must compete with the other writers. They also face the reality that the society has not respect the writer as the noble profession. The profession of the author or the writer could not rely on the honorarium to make a living. They must have the side job to fulfill their daily life needs. Kata kunci: author, writer, profession, side job Sebelum dibahas masalah yang serius, ada baiknya dicermati istilah remeh temeh yang terdapat dalam kosa-istilah di lingkungan akademis maupun di lingkungan nonakademis. Selama ini masyarakat tidak terlalu memusingkan istilah mengarang dan menulis. Orang yang bisa menulis cerpen, novel, roman, essai, kritik sering disebut penulis. Istilah penulis dalam konteks ini adalah orang yang tidak sekedar bisa menulis, tetapi mereka yang sudah menekuni dunia tulis-menulis. Penulis cerpen bisa disebut cerpenis, penulis novel bisa disebut novelis, penulis essai disebut essais, penulis kritik disebut kriktikus. Tetapi bandingkan dengan orang yang menulis puisi, penulis puisi tidak serta-merta mendapat julukan penyair. Tetapi, sejauh pemahaman penulis, penulis roman belum ditemukan istilahnya seperti cerpenis, novelis dst. Belum ada ahli pemerhati istilah yang menjuluki penulis roman dengan romanis apalagi “romantis”. Istilah penulis dan pengarang dapat digunakan bergantian bila mengacu pada pembahasan di atas. Penulis atau pengarang cerpen, novel dan roman, untuk istilah essai dan kritik masih digunakan istilah penulis, jarang atau belum ditemukan orang menggunakan istilah pengarang untuk essai dan kritik, begitu juga untuk puisi. Apa sebenarnya yang terjadi ketika seseorang membedakan istlah “penulis” dan “pengarang” seperti halnya “menulis” dan “mengarang”? 28
Sampai saat ini masih digunakan istilah secara bergantian antara “tulisan ilmiah” dan “karangan ilmiah”.
Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat sudah terbiasa
menggunakan “karangan” dan “tulisan” secara bergantian untuk maksud yang sama(?) Penulis baru berpikir untuk membedakan antara “menulis” dan “mengarang” setelah membaca brosur seminar nasional tentang membedah dunia menulis kreatif yang diselenggarakan panitia bulan bahasa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP Universitas Islam Malang. Pematerinya ada tiga: penulis roman, wartawan, dan penulis buku. Dalam dunia menulis terdapat pembagian yang cukup tegas antara tulisan fiksi dan non-fiksi. Tulisan fiksi berdasarkan karya imajinatif, walaupun faktanya sering bersentuhan dengan kehidupan nyata, tetapi kebenarannya sering disebut dengan kebenaran fiksional yang imajinatif. Hasil dari tulisan fiksi-imajinatif ini disebut karya sastra atau dalam istilah lain dikenal dengan Creative Writing.. Sedangkan tulisan nonfiksi adalah tulisan yang mendasarkan pada kenyataan faktual-empiris atau dalam istilah lain disebut Academic Writing. Kita bisa berargumen bahwa menulis dan mengarang adalah sama, seperti istilah dalam bahasa Inggris “writing”. Tetapi bila dalam kegiatan menulis ada proses kreatif, barulah kita merasakan signifikansi pembedaan istilah “menulis’ dan “mengarang”. Menulis sebenarnya lebih tepat untuk tulisan yang tidak melibatkan imajinasi-fiksional penulisnya dan mengarang lebih tepat untuk karangan yang melibatkan imajinasi-fiksional pengarangnya. Nurgiyantoro mengatakan bahwa karangan fiksi juga disebut karya rekaan (“rekaan” berdekatan maknanya dengan “karangan”), Arswendo menggunakan istilah “mengarang” dalam bukunya “Mengarang itu Gampang”, untuk karangan fiksi, Pamusuk Eneste (1983) dan Naning Pranoto (2007) memasukkan tulisan fiksi (sastra) ke dalam Proses kreatif dan “Creative Writing”. Menulis dan Mengarang itu Mudah(?) Tidak kurang dua penulis terkemuka di Indonesia dan sampai saat ini masih aktif dalam dunia kepenulisannya, bahkan salah satunya sudah menjadi “artis” di berbagai Talk Show di televisi tanah air, Eka Budianta dan Arswendo Atmowiloto mengatakan bawa semua orang dapat mengarang, mengarang itu mudah! Kalimat kedua penulis itu banyak mengandung kebenaran, di samping juga berpretensi motivasi, bahkan terkesan provokasi. Eka Budianta dalam bukunya “Menggebrak Dunia Pengarang” mengatakan bahwa mengarang atau menulis itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Semua orang dapat mengarang. Buta huruf atau tidak, tak ada masalah. Bahkan John Milton, dalam keadaan buta bisa menjadi penyair kelas dunia. Orang lumpuh bisa, 29
bisu, tua, muda, laki-laki, perempuan banci, petani, pedagang. Semuanya. Yang penting dapat mengekspresikan diri. Orang gila juga boleh mengarang. Kabarnya baik sebagai bentuk terapi (Budianta, 1994). Perhatikan betapa terkesan mudahnya mengarang bagi seorang Budianta. Kesan mudah dan memudahkan, bahkan cenderung berlebihan (Orang gila juga boleh mengarang. Kabarnya baik sebagai bentuk terapi).
“ Kalau Anda buta huruf, tapi ingin
jadi sastrawan, cari dulu sekretaris yang dapat dipercaya.lalu diktelah dia keras-keras dan jelas-jelas. Memang tak adulis, dan mempunyai minat terus-menerus a jaminan apakah dia betul-betul menuliskan sesuai dengan keinginan Anda. Tapi Anda bisa rekam itu pidato, dan suruh orang lain membaca ulang yang ditulis sekretaris pertama. Jadi minimal Anda perlu dua sekretaris. Tukang catat dan tukang baca. Yang ketiga: Tukang cubit. Siapa tahu Anda mengantuk.” Ini kalimat Budianta yang lebih seru lagi. Sedangkan Arswendo mengatakan, mengarang itu gampang, karena bisa dipelajari. Semua bisa mempelajari asal bisa baca tulis, dan mempunyai minat terusmenerus yang tak mudah patah. Yang terakhir inilah yang dimaksudkan dengan bakat (Atmowiloto, 2011:31). Bila merunut pendapat Budianta dan Arswendo, bukankah mengarang itu sejatinya tidak sulit? Memang tidak berlebihan kedua tokoh tersebut mengatakan bahwa mengarang bisa dilakukan siapa saja. Tapi benarkah, bagaimana implementasinya di jagat kepenulisan di tanah air, bagaimana tradisi kepengarangan di Indonesia, bagaimana tradisi (pembaca) membaca di Indonesia, dan bagaimana pula iklim industri penerbitan di negeri tercinta ini. Lantas, siapa sebenarnya pengarang (penulis kreatif) itu? Apakah di Indonesia profesi penulis (pengarang) mempunyai marwah seperti profesi-profesi lainnya di tanah air? Sejumlah pertanyaan tersebut sungguh telah muncul sekian waktu lamanya sejak kemerdekaan dan era Orde Baru. Sebelum kemerdekaan, sebenarnya pekerjaan mengarang sempat mempunyai martabat yang baik di tengah-tengah masyarakat. Mereka dahulu disebut pujangga. Seorang yang mendapat tugas dari keluarga istana untuk menuliskan (merekam) cerita-cerita lisan yang berkembang di masyarakat, dan hasil rekaman (tulisan) pujangga tersebut menjadi konsumsi keluarga istana, para priyayi. Pujangga juga mempunyai peran penting dalam kehidupan istana yaitu sebagai penasihat kerajaan, hidup mereka berkecukupan karena pujangga dibayar layaknya Ambtenaar yaitu kalangan priyayi atau pegawai pemerintah Hindia Belanda. Mengarang Sebagai Sebuah Proses Kreatif
30
Proses kreatif pada dasarnya yaitu, prosa penciptaan karya sastra. Proses itu mulai dari: (1) munculnya ide dalam benak penulis, (2) menangkap dan merenungkan ide tersebut (biasanya dengan cara dicatat), (3) mematangkan ide agar menjadi jelas dan utuh, (4) membahasakan ide tersebut dan menatanya (ini masih dalam benak penulis), dan diakhiri dengan (5) menuliskan ide tersebut dalam bentuk karya sastra. Bagi sebagian besar penulis, proses kreatif memang terasa panjang. Tetapi bagi yang sudah berpengalaman, proses itu menjadi cepat, sehingga tidak tarasa panjang. Seorang penulis yang sudah berpengalaman,
begitu merenung sebentar, kemudian
memegang mesin tulis atau komputer, maka lahirlah karya sastra. Itu semua hanya karena kebiasaan saja. Karena begitu seringnya proses tersebut dilakukannya, maka setiap kali melakukan proses kreatif, seolah-olah proses tersebut berlangsung begitu cepat di lakukannnya, hanya saja tahap yang satu dengan tahap yang berikutnya begitu berimpitan. Cepat-lambatnya proses kreatif tersebut berlangsung sangat bergantung pada tingkat keterampilan seorang penulis. Semakin rendah tingkat keterampilan penulis, semakin lama proses tersebut berlangsung; dan semakin tinggi tingkat keterampilan seorang penulis, semakin cepat proses tersebut berlangsung. Tiga unsur penting dalam menulis kreatif yaitu: (1) kreativitas, (2) bekal kemampuan bahasa, dan (3) bekal kemampuan sastra. Kreativitas sangat penting untuk memacu munculnya ide-ide baru, menangkap dan mematangkan ide, men-dayagunakan bahasa secara optimal, dan mendayagunakan bekal sastra untuk dapat menghasilkan karya-karya yang berwarna baru. Bekal bahasa sangat penting artinya, karena bahasa merupakan sarana menulis. Tanpa bahasa tidak akan lahir karya sastra. Tanpa memiliki bekal bahasa yang memadahi, baik pengetahuan tentang kaidah bahasa maupun keterampilan berbahasanya sulit bagi seorang penulis dalam memanfaatkan bahasa tersebut dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan proses kreatifnya. Bekal sastra juga amat penting bagi penulis untuk memahami apa faktor-faktor penting dalam sastra, pada aspek apa kebaruan karya sastra itu dapat dikenali, dan untuk memahami letak kekuatan karya sastra. Bekal sastra ini mencakup pengetahuan tentang sastra, dan pengalaman bersastra, baik pengalaman apresiasi sastra maupun pengalaman menulis sastra. Dengan daya kreativitasnya, seorang penulis selalu berusaha mendayagunakan pemakaian bahasa secara optimal, agar berbeda dengan pemakaian bahasa dalam karyakarya sastra yang ada sebelumnya. Armyn Pane, Sanusi Pane memanfaatkan bahasa Indonesia dengan mendayagunakan persamaan bunyi pada akhir dan ternyata ini dapat menimbulkan kekuatan ekspresinya. Sutarji C.B. memanfaatkan permainan bunyi dan hampir-hampir mengabaikan sama sekali aspek makna. Hasilnya, ia mampu menghasil31
kan karya-karya puisi yang memiliki daya magis tinggi. Yudistira A.N.M. memanfaatkan kelugasan pengungkapan seperti itu bahasa yang digunakannya memiliki daya asosiasi makna yang sangat tinggi. Dengan daya kreativitasnya, seorang penulis dapat memanfaatkan pengetahuan sastranya untuk menghasilkan karya sastra yang berciri lain. Iwan S, misalnya karena menyadari bahwa plot dan karakter memiliki peranan yang sangat penting dalam prosa, maka kedua unsur itu dimanfaatkan secara optimal dan digarap secara lain dalam novelnovelnya. Lahirlah novel-novel Iwan yang dikatakan orang anti plot, anti karakter, yang belum ada sebelumnya. Sapardi yang menyadari bahwa larik dan bait dalam puisi begitu pentingnya sebagai pencipta makna puisi, dimanfaatkannya sedemikian rupa. Lahirlah puisi-puisi seperti prosa, lariknya mirip dengan kalimat-kalimat dalam prosa, dan baitbaitnya tidak jauh berbeda dengan paragraf-paragraf dalam prosa. Arifin C.N., Putu Wijaya yang menyadari bahwa keterangan yang diberikan penulis naskah drama sering membelenggu kebebasan sutradara dalam menafsirkannya, mereka pun lantas menulis naskah-naskah drama tanpa keterangan lagi atau dengan keterangan seminimal mungkin. Dengan kreativitaslah seorang penulis akan terus berusaha menciptakan kebaruan-kebaruan dalam karya ciptaannya. Kebaruan itu bisa berupa kebaruan pemakaian bahasanya, kebaruan pengarapan unsur sastra, atau kebaruan ide yang diangkatnya. Tradisi Kepengarangan di Indonesia Dahulu pengarang (pujangga) merupakan profesi yang dimulai dari kerajaan dengan tradisi sastra keraton. Mereka adalah para bangsawan istana yang ditugasi kerajaan untuk menulis sastra keraton, sebuah kehidupan estetik yang dilahirkan dan dinikmati keluarga bangsawan yang hidup di lingkungan istana. Sastra keraton mengangkat kehidupan istana dan raja-raja (istana sentris) serta dunia supra natural. Penciptaan karya sastra dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk melegitimasi kekuasaan raja. Sastra keraton tumbuh dan berkembang di lingkungan istana. Sedangkan sastra yang berkembang di luar istana (keraton) harus dilihat dari tradisi sastra lisan (oral tradition) yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Ia mungkin saja dihadirkan untuk keperluan memuja para leluhur, sekadar ungkapan suka-cita dan dimaksudkan untuk menghibur atau sebagai peringatan atas suatu peristiwa atau asal-usul kejadian. Para tukang cerita, pawang, atau orang-orang yang dituakan, seperti kepala suku atau ketua adat, menyampaikan sastra lisan lantaran ia punya peranan penting dalam masyarakat, dan bukan semata-mat karena penguasaannya pada cerita-cerita yang sering dianggap sakral itu. Jadi, mereka tidak menempatkan kegiatan bercerita sebagai profesi, melainkan 32
sebagai bentuk kepercayaan masyarakat atas status sosial yang disandangnya (Mahayana, 2005). Dalam hal ini yang dimaksud profesi kepengarangan (kepujanggaan) adalah pekerjaan atau aktivitas yang menghasilkan atau mendatangkan keuntungan tertentu. Pihak kerajaan biasanya memberi balas jasa atas profesi itu dalam bentuk pengayoman. Dalam sistem pengayoman, raja bertindak sebagai pelindung dan kerajaan memberikan berbagai fasilitas, tidak hanya kepada pujangga yang bersangkutan, tetapi juga kepada segenap anggota keluarganya. Mengingat pujangga keraton telah menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan itu, ia melakukan pekerjaannya berdasarkan perintah raja atau pesanan pihak keluarga kerajaan. Dalam perkembangannya, peranan profesi kepengarangan mulai bergeser setelah muncul para pujangga atau penyalin naskah di luar keraton. Mereka hidup sebagai bagian dari sistem sosial dengan bentuk tulisan sebagai manifestasi profesinya. Hubungan dengan audiensnya juga bergeser dari hubungan yang bersemuka dan langsung antara pembawa cerita dan pendengar dalam tradisi lisan ke hubungan yang tidak langsung antara pengarang atau penyalin dan pembaca dalam tradisi tulis. Pengarang Dahulu dan Pengarang Sekarang Bagaimanakah peranan pengarang dahulu dan pengarang sekarang dalam kehidupan masyarakat? Apakah profesi dan perannya sama hingga sekarang? Dalam kehidupan mayarakat zaman dulu, raja atau sultan dipandang sebagai pusat atau orientasi dan aktivitas masyarakat. Bisa dikatakan bahwa segala kegiatan dan tindakan anggota masyarakat dijalankan dan sekaligus ditujukan sesuai dengan perintah raja. Oleh karena itukesejahteraan dan kesengsaraan rakyat, sangat ditentukan oleh peranan raja: apakah ia lebih memikirkan kehidupan rakyatnya atau kehidupannya sendiri. Mengingat raja menjadi pusat segala aktivitas masyarakat, maka ia harus memiliki kharisma besar, agar setiap ucapan dan tindakannya selalu menjadi anutan masyarakat. Kharisma raja itu juga penting agar setiap perintahnya ditati oleh rakyat dengan sepenuh hati. Dalam hal inilah, seorng raja dituntut mempunyai kesaktian yang luar biasa dan mempunyai pengetahuan yang luasmengenai cara mempertahankan roda pemerintahan. Selain itu ia harus menguasai berbagai strategi perang, baik sebagai usaha melanggengkan kekuasaannya, mempertahankan kerajaannya dari segala macam serangan, maupun untuk meluaskan wilayah kerajaannya. Guna memperkokoh kharisma raja di hadapan rakyat, berbagai cerita tentang kesucian, kehebatan dan kesaktian raja, menjadi salah satu sarana penting untuk menciptakan citra karismatik rajanya. Lewat cerita seperti itu, diharapkan rakyat tidak 33
hanya bangga dan mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat semakin mempercayai kesaktian rajanya. Bahkan, tidak jarang masyarakat mempercayai raja sebagai keturunan dewa. Dalam hal itulah, para pujangga kerajaanmemainkan peranannya. Lalu, dibuatlah kisah-kisah tentang raja yang digambarkan sebagai titisan dewa yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan berbagai kisah kepahlawanan dan penaklukan yang dilakukan rajanya. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika dalam kesusastraan lama, sebagaimana yang dapat kiat cermati pada naskah-naskah kesusastraan lama, selalu saja ada kisah yang berkaitan dengan dunia supranatural. Lihat saja Hikayat Seri Rama, Hikayat Pandawa Lima atau cerita-cerita Panji, semua menggambarkan hal demikian. Dalam tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan perhatiannya pada kehidupan istana atau dunia supranatural. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada karya sastra lama adalah gambaran kehidupan yang berpusat pada kehidupan istana (istana sentris) yang diwarnai dengan kisah-kisah supranatural. Di sini, fungsi para pengarang (pujangga) selain menyuguhkan kisah-kisah yang dapat menghibur pendengarnya, juga untuk melegitimasi kekuasaan raja. Dalam hal itu, pujangga menempati kedudukan penting. Ia menduduki peranan yang khas, baik dalam kehidupan di lingkungan istana, maupun dalam di tengah masyarakatnya. Dalam kehidupan di lingkungan istana, pujangga adalah salah seorang aparat yang bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan raja, sehingga pengayoman kehidupan pujangga dan keluarganya sepenuhnya menjadi tanggungan raja. Dalam kehidupan di tengah masyarakat, pujangga dianggap sebagai empu atau tokoh yang mumpuni; berpengetahuan luas; arif bijaksana dan mengetahui tanda-tanda zaman. Mengingat kedudukannya yang demikian, pujangga seringkali bertindak sebagai penasihat raja. Tak jarang berperan penyambung lidah raja jika raja menyampaikan amanat. Dengan begitu, pujangga (pengarang) dalam kesusastraan lama acapkali memainkan peranannya sebagai jembatan yang menghubungkan raja dan rakyatnya atau sebaliknya. Dalam kehidupan masyarakat modern, kedudukan dan peranan sastrawan relatif lebih bebas dan mandiri. Meskipun demikian, di negara komunis, di bawah pemerintahan yang menjalankan kekuasaan secara fasis atau di negara yang pemerintahannya dijalankan dengan kekuasaan represif, peranan sastrawan seringkali dimanfaatkan, bahkan dipaksakan untuk menyebarkan ideologi pemerintah yang berkuasa. Karya-karya sastra yang seperti itulah yang disebut sastra propaganda. Dalam sejarah sastra Indonesia, karya-karya sastra, dalam beberapa hal, yang diterbitkan Balai Pustaka 34
sebelum perang, sebagian besar karya sastra pada zaman Jepang atau yang dihasilkan para seniman Lekra/PKI tahun 1960-an, merupakan contoh enis karya sastra yang seperti itu. Sastrawan diawasi, dipaksa, bahkan juga diperalat untuk kepentingan ideologi. Dewasa ini, kemandirian sastrawan disadari sebagai hak yang azasi dan fundamental berkaitan dengan kebebasan berkreasi (licentia poetica). Dengan cara itu, sastrawan dapat berkarya sesuai dengan hati nuraninya. Ia secara tegas menafikan pesanpesan yang mungkin ditawarkan pihak lain. Dalm hal ini, sastrawan hanya berpihak pada satu kebenaran, keadilan, dan kejujuran hati nuraninya. Oleh karena itu, jika muncul sejumlah karya sastra yang berisi kritik sosial, sesungguhnya hal itu sebagai pengejawantahan kejujuran dan kemandirian. Kedudukan dan peranan sastrawan di zaman modern ini sangat berbeda dengan pujangga masa lalu. Yang dibela sastrawan sekarang adalah kebenaran, kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan sejagat atau apa yang disebut sebagai humanisme universal. Citra Pengarang di Indonesia Mengapa citra pengarang di Indonesia tidak mendapat tempat yang baik dalam pandangan masyarakat? Pemerintahpun hampir tidak pernah memberikan penghargaan yang sepantasnya kepada para pengarang Indonesia yang telah mendapat pengakuan dunia internasional. Inilah yang terjadi dalam dunia kepengarangan dan keasstrawanan pada umumnya di Indonesia, baik dalam kehidupan kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan selaku warga negara sebuah bangsa. Pengarang sering dipandang secara tidak proporsional, jika tidak dapat dikatakan dilecehkan. Profesi kepengarangan atau pekerjaan sebagai sastrawan dianggap tidak lebih baik dari profesi atlet, pengusaha, atau bahkan pegawai negeri. Citra pengarang sebagai warga masyarakat yang dianggap tidak jelas pekerjaannya dan dengan sendirinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang memandang rendah profesi itu. Padahal sesungguhnya profesi pengarang atau sastrawan tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia punya tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga dapat memainkan peranannya sendiri yang juga tidak kalah pentingnya dari profesi yang lain. Bahkan, jika pengamati proses kreatif seorang pengarang atau sastrawan, mereka sebenarnya termasuk golongan intelektual. Dengan inteleknya itu, sastrawan berkarya dan menghasilkan karya kreatif. Penutup Selain perlu di ketahui perbedaan penggunaan istilah penulis dan pengarang, seyogyanya perlu juga dipahamkan bahwa kebergairahan dunia pengarang perlu 35
dimunculkan kembali di Indonesia. Kesan bahwa pengarang dan sastrawan yang nyentrik dan tidak berpenghasilan tetap nampaknya segera ditinggalkan. Stereotip pengarang yang masih digolongkan sebagaii warga negara kelas kesekian, dan tidak pernah berani dicantumkan di kartu identitas, sebaiknya mulai ditinggalkan, diganti dengan pemahaman dan kesadaran bahwa profesi pengarang adalah profesi yang sama dengan profesi terhormay yang lain, bahkan lebih serius dari itu, pengarang dan sastrawan adalah seorang intelektual. Masyarakat dan negara sudah selayaknya memberikan penghargan yang baik bagi dunia dan profesi kepengarangan. Merekalah sesungguhkan yang akan mencerdaskan bangsa, memberikan inspirasi, gagasan, dan sejumlah pengetahuan yang penting bagi hidup dan kemanusian secara universal. Penerbit harus lebih menggalakkan penerbitan buku-buku fiksi sehingga masyarakat lebih mengenal dunia pengarang dan sastrawan. Melalui penerbitan yang gencar, masyarakat akan lebih melek huruf, melek informasi, melek kemanusian, dan melek estetika. DAFTAR PUSTAKA Atmowiloto, Arswendo. 2011. Mengarang itu Gampang. Jakarta: Gramedia. Badudu, J.S. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Budianta, Eka. 1994. Menggebrak Dunia Mengarang. Jakarta: Penebar Swadaya Eneste, Pamusuk (Edt.). 1983. Proses Kreatif. Jakarta: Gramedia Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening. Pranoto, Naning. 2007. Creative Writing. Jurus Menulis Cerita Pendek. Bogor: Raya Kultura. Roekhan. 1991. Menulis Kreatif. Dasar-dasar dan Ptunjuk Penerapannya. Malang: YA3.
36
KREATIVITAS DALAM MENULIS Hasan Busri Universitas Islam Malang hasanbusri_Unisma@yahoo,com ABSTRACT Every single human being is basicly creative and their chreativity may appear in all aspects of their life. Human kreativity in writing is difficult to describe and not easy to define because it is a wide and complex concept and multi dimentions and can be observed from different point of views. Creativity in writing can only be revealed based on its characteristics, those are personality, press, process, and product. The emergence of creatives ideas (inspiration) generally starts from a single point of a new creation, that is away from consiousness or it may appear from fully unconsiuosness. However, all can be observed by looking at the their preparation and serious effort. The stages of writing creativity of each person differs, however; basically it refers to the same aspects, such as (1) preparation stage, (2) incubation stage, (3) ilumination stage, and (4) verivication stage. Those stages appear in relaxed and comfortable situation Key words: creativity, creative process, and writing PENDAHULUAN Kreativitas merupakan proses mental atau psikologis yang dapat dimiliki oleh setiap manusia normal. Artinya, setiap manusia pada dasarnya kreatif dan kreativitas manusia dapat timbul dalam semua aspek kehidupannya. Namun demikian kreativitas, sulit digambarkan dan didefinisikan. Kiranya hal itu memang tidak mungkin dan juga tidak perlu, karena kreativitas merupakan satu konsep yang luas dan majemuk, yang dimensional yaitu yang meliputi berbagai dimensi dan dapat ditinjau dari aspek yang berbede-beda.. Kreativitas pada setiap manusia memiliki tingkatan dan kadar yang berbeda-beda. Hal itu bergantung pada tingkat kepekaan mentalnya masing-masing. Namun, yang perlu disadari dan diisyafi bahwa setiap manusia normal memiliki potensi atau bakat kreatif tersebut. Potensi dan bakat kretif pada setiap manusia harus ditumbuhkan atau digali. Artinya, walaupun setiap manusia memiliki potendi kreatif atau bakat kreatif, jika tidak digali mustahil akan menjadi manusia kreatif. Hal ini pernah disampaikan oleh Edision seorang ahli penemu (dalam Busri, 2003), bahwa ”genius 1% inspiration and 99% prespiration”. Terciptanya karya yang unggul hanya 1% ditentukan oleh inspirasi, tetapi 99% oleh usaha dan keringat. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Maybury (dalam 37
Busri, 2003) bahwa potensi kreatif seseorang digambarkan sebagai gunung es, yang hanya 1/10nya yang nampak di permukaan air laut, tetapi 9/10 jadi sebagian besar tidak pernah tampil, artinya sebagian besar potensinya tidak pernah terwujud dalam karya kreatif. Dengan memahami potensi kreatif pada setiap manusia sebagaimana diungkap di atas, pertanyaan yang timbul ialah: sejauh mana dan bagaimana usaha-usaha yang sadar, berpengaruh pada kreativitas dalam menulis? Tulisan ini akan menungkap persoalan-persoaalan kreativitas dalam menulis. HAKIKAT KREATIVITAS Salah satu persoalan kreativitas ialah bahwa sampai saat ini belum ditemukan definisi tentang kreativitas yang diterima secara umum. Karena sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa kreativitas sulit digambarkan apalagi didfinisian. Kreativitas merupakan satu konsep yang luas dan majemuk, yang dimensional yaitu yang meliputi berbagai dimensi dan dapat ditinjau dari aspek yang berbede-beda. Namun demikian ada perumusan konsep kreativitas yang menunjukkan bahwa pada umumnya kreativitas dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu pribadi, dorongan, proses, dan produk(Rhodes dalam Mudandar 1988). Pertama, pribadi (person) kreatif pernah disampaikan Hulbeck (dalam Munandar, 1988), yaitu
”creative action is an
imposing of on’s own whole personality on the environment in a unique and characterstic way. Dalam hal ini Rodhes mengatakan bahwa keativitas muncul dari keunikan individu dalam hubungannya dengan lingkungannya. Kreativitas sebagai interaksi keunikan pribadi di satu pihak dengan materi, kejadian-kejadian, orang-orang atau situasi dan kondisi hidupnya di lain pihak. Implikasinya adalah bahwa jika kita ingin menumbuhkan kreativitas, maka pertama-tama kita harus dapat menghargai keunikan pribadi seseorang dan tidak mengharapkannya untuk selalu ‘conform” atau mengikuti arus.Sebagaimana dinyatakan oleh penyair Robert Frost (dalam Munandar, 1988): Two roads diverged in a wood-and I I took the one less treveled by, and that has made all the difference. Pandangan psikolog mengenai pribadi kreatif
dapat dilihat dari ciri-ciri (1)
mempunyai imajinatif, (2) mempunyaiprakarsa, (3) mempunyai minat luas, (4) mandiri (bebas) dalam berpikir, (5) mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, (6) kepetualangan, (7) penuh semangat, (8) percaya diri, dan (9) bersedia megambil resiko, dan berani dalam keyakinan Kedua,
pendorong (press) berrarti menciptakan/lingkungan yang dapat
memupuk motivasi intrinsik atau internal untuk berkreasi. Untuk memunculkan motivasi 38
intrinsik tersebut, seseorang memerlukan suasana kebebasan agar kreativitasnya terwujud. Seorang penulis memerlukan suasana “relaxed” untuk dapat menulis, dibutuhkan ketekunan, keuletan, dan pengikatan diri. Simpson (dalam Busri, 2003) menekankan tentang ”creative ability” sebagai ”the initiative that one manifests by his power to break away from the visual sequence of thought.” Ketiga, proses (process) berarti adanya unsur kebaruan, memberi kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif, terutama pada prosesnya bukan pada produknya. Kreativitas mendorong seseorang untuk melepaskan diri dari pola-pola pemikiran tradisional-konvensional, untuk tidak terikat pada apa yang sudah biasa dan menjadi kebiasaan, tetapi untuk melihat dari dan alternatif yang baru. Tentu pertama-tama yang penting ialah bahwa dorongan ini datang dari dalam diri individu sendiri (hasrat dari motivasi internal/intrinsik), namun perlu didukung ditunjang oleh lingkungannya (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dalam mencipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan kreativitas. Kreativitas sebagai proses ini pernah dikemukakan oleh Hilgar (dalam Munandar, 1988) yang merumuskan ”berpikir kreatif” sebagai ”a form of directed thinking, in which subject seeks to discover new relasionships, to achieve new solution to problems, to invent new methods or divices, or the produce new artistic objects or forms.” Dalam definisi ini ditekankan aspek “kebaruan“ sebagai hasil dari kreatif, sebagai suatu proses yang mencerminkan kelancaran, kelenturan (fleksibelitas) dan originalitas dalam berpikir. Di samping sikap dan ciri-ciri pribadi kreatif seperti dikemukakan sebelumnya, diperlukan berpikir tertentu yang menuju pada penemuan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah (berpikir divergen), berbeda dalam berpikir konvergen yang setuju pada penyimpulan suatu jawaban yang benar terhadap suatu masalah. Keempat, produk adalah produk-produk kreatif yang bermakna. Produk-produk kreatif akan bermakna apabila aspek pribadi, press, proses tersebut muncul. Produk kreativitas menurut Murray (dalam Munandar 1988) adalah “the occurance of a composition which is both new and valuable ”, jadi tidak hanya unsur barunya yang penting, tetapi juga produk yang bermakna. Demikian pula Stein (dalam Munandar 1988) malihat kreativitas dalam konteks sosial: “a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group at some paoint in time”. Namun sering pengakuan antara pernghargaan sosial terhadap suatu karya belum diberikan pada saat dihasilkannya kreasi tersebut, tetapi baru kemudian, bahkan setelah penciptanya tidak mengalaminya lagi. Carl Rogers sebaliknya tidak memasukkan konsep ”pengakuan atau akseptasi oleh kelompok” dalam definisi mengenai ”proses kreatif sebagai munculnya dalam 39
definisinya mengenai” proses kreatif sebagai munculnya dalam tindakan suatu produk kratif sabagai hasil interaksi pribadi di satu pihak dengan materi, kejadian-kejadian, keunikan-keunikan, orang-orang atau keadaan-keadaan hidupnya di lain pihak”. Ia pun melihat bahwa mungkin saja dua tindakan dalam makna sosialnya tetapi keduanya termsuk kreatif, dan ia juga tidak membedakan antara ”derajat atau kreativitas”. KREATIVITAS DALAM MENULIS Menulis atau mengarang merupakan suatu kegiatan kreatif. Kreativitas sudah ada sepanjang sejarah umat manusia. Kretivitas atau kemampuan untuk mencipta hal-hal baru inilah yang menungkinkan manusia untuk mengubah dan memperkaya dunianya dengan karya-karya dalam berbagai bidang kehidupan. Setiap orang memiliki tujuan atau alasan utama mereka untuk bersibuk diri dengan menulis atau berkreasi
di antara tujuan dan alasan tersebut, antara lain
kabutuhan akan kelangsungan hidup, kebutuhan akan penghasilan, kesadaran akan pentingnya adanya penemuan-penemuan baru, adanya karya-karya kreatif, keinginan akan kemajuan dan lain-lainnya. Di antara tujuan dan alasan mengapa seseorang bersibuk diri dengan menulis atau berkreasi, pada umumnya adalah kesenangan dan kepuasan untuk mendipta atau menulis. Kehidupan tanpa adanya kesempatan untuk mencipta dirasakan akan tidak berarti. Kiranya ini pulalah yang dimaksud ole S. Takdir Alishahbana dengan ungkapan bahwa ”menulis ... memberikan kepada saya perasaan kebahagiaan” (Munandar, 1988). Dengan mencipta manusia mengalami kepuasan yang tidak ada taranya karena itu merubah perwujudhan dirinya, aktualisasi dari potensi-potensi kreatifnya, yang pada hakikatnya ada pada manusia, walaupun tidak semua memahaminya (Munandar, 1988). Di samping seseorang pengarang merasakan kepuasan dengan hasil-hasil tulisannya kebutuhannya akan perwujudan diri terpenuhi, kepuasan juga akan timbul apabila karya-karya tulisannya diakui sebagai bermanfaat bagai dan dapat dinikmati oleh masyarakat, dengan perkataan lain mempunyai makna sosial. Demikianlah halnya dengan karya tulis yang bermutu tinggi, maknanya abadi dan manfaatnya dapat dirasakan sepanjang masa. Menulis kreatif membutuhkan keberanian untuk menampilkan bentuk dan pola baru yang merupakan ekspresi dari imajinasi. Menulis kreatif manpu menggambarkan pengalaman-pengalaman manusiawi dalam gubahan kata-kata yang memberikan tanda atau peringatan akan apa yang akan terjadi dalam kebudayaan kita. Dengan keberanian kreatif mereka membantu membentuk struktur dunia yang baru.
40
Berangkat dari berbagai catatan harian, biografi para penulis atau pengarang di Indonesia, nyata pada umunya semuanya melaporkan bahwa ide-idenya (inspirasi) yang bermula dari satu titik penemuan (kreasi) baru, berasal dari luar kesadaran atau timbul di luar ketidaksadaran penuh (bawah sadar). Mekipun banyak perbedaan dalam cara kerja
antara bermacam-macam
manusia kreatif, juga terdapat persamaan, baik antarapenulis dari berbagai bidang, maupun antara penulis dan ilmuwan. Inspirasi kreatifnya timbul dalam suasana yang santai, tenang, dan menyenangkan, seakan-akandalam impian. Stepen Spender dalam Munandar (1988) seorang pujangga terkenal mengungkapkan mengenai timbulnya konspirasi ini: Sometimes when I lie in state of half-walking half-sleeping I am concious of a steam of words which seem to pass tthrough my mind, without their having a meaning, but they have a, sound of passion, or a sound recalling poetry that I know. Munculnya inspirasi (iluminasi) ini secara tiba-tiba sebagai menifestasi dari kerja lama sebelumnya di bawah sadar. Hal ini hanya mungkin jika di satu pihak didahului dan di lain pihak di ikuti oleh masa kerja secara sadar. Inspirasi tidak pernah timbul kecuali setelah beberapa hari berusia secara sengaja tetapi belum membawa hasil. Namun usaha-usaha ini telah mengakakkan komputer di bawah sadar yang tanpa adanya usaha sebelumnya tidak akan banyak bergerak.Spender (dalam Munandar, 1988) mencatat: The problem of creative writing is essentially one of concentration…it is a focusing of attention in a special way, so that the poet is aware of all the ianthmplications and possible development of his idea. Selanjutnya Spender (dalam Munandar, 1988)menjelaskan: . … everithing in poetry is work exept inspiration, wheter this work is achieved at one swift atoke … .or whenther it is a slow process of evaluation from stage to stage. . … ispiration is the beginning of a poem and it is also its final goal. In between … there is the hard race, the sweet and toil.
41
TAHAP-TAHAP KREATIVITAS DALAM MENULIS Setiap orang memiliki cara dan tahapan yang berbeda-beda dalam menulis atau mengarang, ada yang mengikuti tahapan tradisional, teratur, dan rapi dan ada yang absurd yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, misalnya, Budi Darma dan Emha Ainun Nadjib. Budi Darma (dalam Eneste, ed. 1982) mengatakan bahwa dalam menulis ia seakan-akan didekte oleh suatu keadaan atau kekuatan yang tidak dapat dikuasai dan berada dalam keterbiusan yang hasilnya tidak seperti yang direncanakan. Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa dalam menulis itu diibaratkan seperti anak panah yang lepas dari bususrnya, mengenai siapa anak panah itu, seorang penulis tidak pernah menyadari. Berbeda dengan Emha Ainun Nadjib (dalam Busri, 2003), ia dalam menulis hanya mengikuti jalan pikirannya, tidak pernah disadari apa yang akan ditulis. Dan juga tidak memiliki tahapan-tahapan tertentu, tidak pernah berpikir tentang kata; kalimat atau urutan paragraf yang disusun, akhirnya menjadi karya yang baik juga. Emha juga tidak pernah menggunakan secara pasti tentang format tulisannya tau membaca ulang ketika ia menulis. Emha membaca kembali karya-karyanya setelah dipublikasikan atau diterbitkan. Di samping itu, banyak ahli yang telah melibatkan diri dengan analisis dari proses pemikiran kreatif, menyimpulkan adanya tahap-tahap tertentu, yang pada dasarnya menunjuk pada unsur-unsur dari urutan yang sama, misalnya Kennedy (dalam Busri, 2003) meenjelaskan tahapan kreatif, antara lain (1) finding a topic, (2) organizing your thinking, (3) writting a draft, (4) revising, dan (5) finishing your paper. Sedangkan Wallas membagi tahapan kreatif , yaitu (1) tahap persiapan dan usaha, (2) tahap inkubasi (pengendapan) , (3) tahap iluminasi (menemukan inspirasi), dan (4) tahap verivikasi (Munandar, 1988). Tahapan-tahapan ini dapat diperikasa dalam pengalaman kreatif pengarang dalam buku “Proses Kreatif” (penyunting Eneste, 1982). Setelah membca buku ”poses kreatif” yang mengemukakan beberapa pegalaman dan pandangan beberapa pengarang terkenal di Indonesia, para penelaah sangat terkesan bahwa proses yang alami diungkapkan oleh mereka. Tahap pertama, persiapan dan usaha ialah tahap pengumpulan informasi dan bahan yang dibutuhkan, pengalaman-pengalaman yang mempersuapkan seseorang untuk melakukan tugas atau memecahkan asalah tertentu. Mekin banyak pengalaman dan informasi dari seseorang mengenai masalah atau tema yang digarapnya, makin memudahkan dan melancarkan (makin ”siap”) pelibatan dirinya dalam proses tersebut. Dibekali bahan pengatahuan yang kaya, seorang pengatang menjajaki berbagai kemugkinan (gagasan) untuk menggarap suatu naskah. Pada tahap ini pemikiran kreatif dan daya imajinasi penulis sangat dibutuhkan.
42
Pada tahap ini seorang penulis dapat melakukan berbagai persiapan dan usaha untuk mendapatkan berbagai informasi atau setidaknya memancing gagasan kreatifnya. Di antara yang pernah dilakukan oleh sebagian besar pengarang di Indonesia ialah menonton pertunjukan, membaca karya orang lain, menonton film, mengamati tingkah laku orang, dan lain-lain. Bahan pengalaman ini semua dihimpun (persiapan) untuk kemudian memungkinkan pengarang penulis naskahnya (usaha). Tahap berikutnya adalah tahap inkubasi atau pengendapan. Setelah mengumpulkan informasi dan pengalaman yang dibutuhkan serta berusaha dengan melibatkan diri sepenuhnya untuk menimbulkan gagasan tersebut, di ”inkubasi” dalam alam prasandar. Di sini semua ”bahan mentah” itu diolah dan diperkaya dengan memasukan diri dalam alam prasadar, yaitu semua pengatahuan dan pengalaman releven yang pernah diperoleh akan tetapi tidak pernah diingat lagi secaa sadar. Apa yang sering disebut sebagai ”instuisi” atau ”firasat” sebenarnya tidak lain daripada dari alam prasadar. Proses pentahapan ini ditunjukkan oleh Trisnoyuwono (1982:85) dalam ungkapannya, ”cerpen, cerpenku lahir dari pengalaman, khayal, pengalaman-pengalaman orang lain” (tahap persiapan). Selanjutnya, ”pengalaman-pengalaman orang lain” (tahap persiapan). Selanjutnya, pengalaman, khayal, pengalaman-pengalaman, khayal dan pengertian itu diendapkan, disarikan, dan kemudian dituangkan dalam suatu bentuk dalam pemikiran dan perasaanku’ (tahap inkubasi). Keadaan seperti ini diungkapkan oleh Nh. Dini (1982:118), ”saya anggap pekerjaan mengarang adalh tugas yang santai, yang harus dikerjakan dengan senang hati” dan untuk itu diperlukan ”keadaan yang setenang-tenangnya.” Tahap ketiga, tahap iluminasi ini semua menjadi jelas (”terang”) tujuan tercapai, penulisan naskah dapat diselesaikan . pada tahap ini pengarang seakan-akan ”mengambil jarak” melihat produknya seperti dengan mata orang lain, sehingga dapat memberikan tinjauan dengan cara kritis.Hal ini
diungkapkan oleh A.A. Navis (1982)
sebagai berikut, ”dalam menghayati dan memahami sendiri apakah cerita itu sudah baik atau belum baik, akan dapat diketahui ketika cerita-cerita itu dibaca kembali setelah beberapa waktu selesai menulis.” Demikian juga N.H. Dini, setelah satu karangan selesai biasanya tidak langsung saya serahkan kepada penrbit atau majalah. Beberapa waktu keudian tulisan itu saya lihat kembali” (1982:119). Sudah barang tentu, di samping kesamaan dalam proses mencipta, setiap pengarang mempunyai keunikan masing-masing tercermin dalam kecendrungan dalam pilihan tema atau dari segi bahasa. Kalau A.A. Navis lebih cenderung ke cerita-cerita dari kehidupan sehari-hari sebagaimana nyata dari ucapannya, saya bukanlah orang yang 43
senang pada avontur, maka Budi Darma justru menulis cerpen-cerpen absurd. Kekuatan imajinasinya memungkinkannya untuk ”menembus apa yang tidak terlihat , tidak terasa, dan tidak terpikirkan,........tidak terjangkau oleh orang lain’ Munandar (1988). Menemukan keunikannya justru menjadi kekuatan seorang pengarang. Setiap pengarang mempunyai kekuatan dan kelemahannya sebagaimana halnya setiap orang. Menyadari dan memehami baik kekuatan dan kelemahannya akan membantunya memahami orang lain, dan ini semua akan membantu proses penulisannya. Menyadari kekuatan seabagai pengarang akan membuat tulisannya sesuatu yang orisinil dan bukan suatu klise. Tetapi itu perlu meahami kelemahankelemannya pula, sehingga dapt dihindari atau tidak bersifit menghambat dalam proses penulisannya. Seorang pengarang memerlukan suasana kebebasan agar kreativitasnya terwujud, akan tetapi tahap verifikasi dan pungujian kembali tidak kurang pentingnya. Jika tadi dikatakan bahwa seorang pengarang memerlukan suasana ”relexed” untuk dapat menulis, ini tidak berarti bahwa pekerjaan mengarang adalah pekerjaan yang santai. Sebaliknya untuk itu diperlukan ketekunan, keuletan dan pengikatan diri terhadap tugas (task commitment).Hal ini dikemukakan dengan tepat sekali oleh N.H. Dini (1982:117), ”kegigihan dan keuletan merupakan elemen atau faktor penting dalam kehidupan. Lebih-lebih bagi orang yang tugasnya mencipta”. Sebetulnya tahap persiapan meliputi keseluruhan proses pendidikan formal maupun tidak formal. Apa yang dialami dan dipeljari oleh individu merupakan informasi yang membantunya mengatasi masalahmasalah yang dihadapinya. Dan setiap orang tahu bahwa usaha yang sadar dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul dapat digunakan untuk meningkatkan proses-proses pemikiran. Seseorang yang memperoleh P dapat mengarahkan proses-proses pemikirannya dengan cara-cara yang tidak memungkinkan untuk orang yang tidak memperoleh P. Ia memperoleh, melalui cara observasi dan ingatan sejumlah fakta dan pengalaman yang kemungkinan timbulnya asosiasi-asosiasi yang lebih banyak dan luas, yang membentuk sistim-sistim pemikirannya. Ia dapat ”mengatur” proses-proses pemikirannya mengarahkan pemikirannya pada unsur-unsur yang berurutan dalam suatu masalah. Erat hubungannya dengan metode-metode pemikiran logis ialah adanya ”problemattitude”. Pemikiran kita tidak akan memberikan jawaban yang tepat dan terang terhadap suatu masalah, jika kita tidak permasalahkan, jika kita tidak mempunyai konsepsi yang jelas mengenai masalahnya. Pada permulaan masalahnya memang masih samar-samar, yang diperlukan adalah: (1) merumuskan kembali masalah dengan lebih jelas, (2) menentukan bahan dan material yang mana yang
44
perlu dikembangkan, dan (3) meningkatkan dari hasil-hasil dari analisis mental ini terhadap pencapaian pemecahan masalah dengan manipulasi dari bahan/material. Di tinjau dari segi waktu tentunya cara pertama lebih efisien. Kita bisa mendapatkan lebih banyak hasil pada saat yang sama dengan memulai mava-macam persolan secara berurtan dan dengan sengaja membiarkan masalah-masalah tertentu tidak diselesaikan untuk mengkonsentrasikan diri pada persoalan-persoalan lain daripada menyelesaikan masalah secara terus menerus sampai selesai. Memang ada sementara orang yang lebih suka untuk menunda penggarapan suatu masalah mulai dari tahap persiapan sampai pada tahap verifikasi sampai saat-saat terakhir untuk dikerjakan sekaligus. Dalam hal ini pemikiran sevara sadar kurang diperluas da diperkaya oleh pemikiran-pemikiran yang bawah sadar. Sehubungan dengan bentuk-bentuk pemikiran kreatif yang kompleks seperti halnya penemuan ilmiah, pengubahan simponi atau persiapan pidato yang sangat penting dampaknya, lebih bermanfaat jika ada interval waktu yang bebas dari pemikiran secara sadar mengenai masalah yang bersangkutan (inkubasi) dan diusahakan pada interval yang bersangkutan tidak ada yang ”mengganggu” (interfere) proses-proses bawah sadar atau proses-proses pemikiran yang hanya sebagian disadari. Tahap inkubas hendaknya memungkinkan ”mental relaxation” yang sesungguhnya. Kebenaran dari kenyataan ini dapat disimpulkan dari analisis biografi sejumlah ahi pemikir dan penulis. Sejauh mana kita dapat mempengaruhi tahap iluminasi atau timbulnya ”insight”kebanyakan tokoh-tokoh, antara lain Helmholtz (dalam Munandar, 1988), tokoh pertama yang menganalisis tahap-tahap dalam timbulnya suatu gagasan atau pemikiran baru, dan poincare, ide yang bar muncul secara spontan dan seketika dan tak terduga, dengan perkataan lain diluar jangkauan kemauan secara langsung. Dilain pihak perlu dipertimbangkan bahwa pada saat iluminasi atau inspirasi merupakan kulminasi dari serangkaian asosiasi yang berhasil, yang mungkin didahului oleh serangkaian asosiasi tentatif, termasuk asosiasi-asosiasi yang mungkin yang kurang berhasil. Insight merupakan saat yang pliang menentukan dalam penciptaan karya kreatif dan dapat timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu secara kebetulan (chance), setelah persiapan langsung atau sebagai perlengkapan dari suatu pola yang sudah lama terbentuk dimana hasnya suatu unsur yang belum ada. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi-kondisi yang dapat membantu atau memudahkan timbulnya insight adalah (1) Minat terhadap masalahnya dan hasrat untuk mengatasinya, (2) tidak ada masalah lain yang bersifat menghambat, (3) menguasai informasi yang relevan terhadap masalah, (4) informasi dicerna dan diolah secara sistematis, (5) berada dalam keadaan tenang dan sabnang (relaxed), (6) merasa bebas 45
dari interubsi atau gangguan, (7) tidak ada rintangan terhadap fungsi pemikiran, seperti kecemasan, merasa tidak dihargai atau mempunyai atasan yang tidak menunjukkan pengertian, dan
(8) mengusahakan kesempatan yang tenang untuk memungkinkan
timbulnya insight (Haefele dalam Munandar, 1988) Dikatakan bahwa ”discovery is the art, verification the science”. Setelah gagasan baru muncul (insight), diperlukan elaborasi (pengembangan) dari gagasan itu dan bila perlu revisi (verifikasi). Apa yang dihasilkan perlu ditinjau secara kritis. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tahap ini berlangsung dalam tahap kesadaran penuh. Tugas dari verifikasi ialah untuk menghasilkan suatu karya yang siap untuk dikomunikasikan. Di samping itu usaha verifikasi juga memberikan tentang adanya masalah-masalah baru, dan dengan demikian dimulai siklus pemecahan masalah yang baru lagi, hal mana memang senafas (inherent) dengan kehidupan individu yang berfungsi sepenuhnya dan dapat mengaktualisasikan dirinya secara kreatif.
DAFTAR RUJUKAN Atmowiloto, Arswendo. 1983. Mengarang itu Gampang. Jakarta: P.T. Gramedia. Busri, Hasan. 1994. Konsep Psikologi Kepribadian dan Penerapannya dalam Sastra. Malang: Unisma Busri, Hasan. 2003. Pengantar Psikologi Sastra. Malang: Unisma Eneste, Panusuk (Ed). 1982. Proses Kreatif. Jakarta: P.T. Gramedia. Munandar, S.C. Utami. 1988. Seni Menulis Kreatif. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Roekhan. 1991. Menulis Kreatif: Dasar-Dasar dan Petunjuk Penerapannya. Malang: YA3 Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayumas dan Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba.
46
PROSES KREATIF DAN APRESIASI KREATIF SEBAGAI UPAYA REFLEKSI DAN TRANSFORMASI SASTRA INDONESIA Gatot Sarmidi Universitas Kanjuruhan Malang
[email protected] ABSTRACT The creative process deals with the creation of the art works, such as the literary works, while the creative appreciaton is the the inclusion of art and the respect in smart way so it inspires the next creative process. The problem is complicated, so the article offers the concept and the example,which is reflective and the simple research. The article use the reflective method to give the explanation of the creative process of the writer and the creative appreciation is transformative. In this case, the final result of the article is the reflective explanation of the poetry of the writer and the picture of the creative process that could be implemented in the literature learning.S Key words: creative process, creative appreciation, literature reflective, literature transformation, Indonesian literature Kata kreatif atau kreasi sering dikait-kaitkan dengan penciptaan, pemikiran tentang proses dan hasil karya yang diciptakan mendasarkan proses berpikir tingkat tinggi dan proses pengkhayalan serta pertimbangan-pertimbangan pencitraan. Dalam dunia seni, kata kreatif hal yang disampaikan mengarah pada ekspresi dan secara psikologis berkenaan dengan intensionalitas atau niatan menghasilkan karya seni dengan tuntutan kebaruan orisinalitas dan nilai keindahan sebagai penciri utama hasil karya kreatif. Dalam dunia teknis teknologis, kata kreatif dikaitkan dengan sifat-sifat inovatif karya berbasis teknologi. Dengan mengacu pada pemahaman ini, proses kreatif sebagai proses rumit dalam kondisi yang cerdas juga bisa disederhanakan. Oleh karena itu, memang tidak semudah itu orang bisa mewujudkannya. Berikut contoh puisi yang dimaksud. Kemboja Pagi Kemboja kuning melepas diam perlahan sampai wangi menghampar di pasir putih hingga pagi pantai Sanur melepas rindu kepada tiga anak laki-laki muda. Ketika, mereka memanjakan diri tanpa angin wangi kemboja kuning pada kecantikan daun-daun dan ditatapnya bertiga bunga-bunga dengan puisi tatapan mata yang haru merayu. 47
Desember menguning menyapa akhir tahun menyapa perahu-perahu yang bersandar Tiga anak laki-laki muda menampakkan cerita setiap senyum yang basah bagai batu diguyur ombak dan setiap kata yang dituas dalam buih memainkan pasir yang ditawarkan di setiap helai butir sinar matahari bahwa pagi menjadi cerita kecil sekecil butiran-butiran pasir Kemboja kuning diambil dinyatnya bulan purnama persembahyang pagi doa mantra terdengar sayup Air pantai dan cerita kecil mengayuh hingga ke tengah samudra bayangan Hingga habis cakrawala jauh di sana titik tanpa penantian. Kemboja kuning diwangikan salah satu anak laki-laki di telinga kanan agar cerita menjadi teduh. Kemboja pagi dibawa pergi hingga keliling pulau Dibawa pulang hingga penyeberangan Dibawa ke tiap tahun hingga habis tersimpan Menjadi butiran pasir yang tidak lagi wangi Dan tidak bernama kemboja. Denpasar, 17 Desember 2013 Seperti kata penyair pada umumnya, puisi itu karya sastra yang bersifat reflektif, ekspresif, dan sublimatif. Demi efek keindahan atau memenuhi keindahan yang dimaksud estetis atau artistik, puisi diolah dengan memainkan unsur-unsur linguistik atau stilistik, misalnya penggunaan metafora, personifikasi, simile sebagai bentuk penggunaan perbandingan, bisa juga mendayakan ciri lain, misalnya penggunaan pertentangan unsur formal dan makna yang dibiaskan secara kuat sehingga efek konotasi puisi muncul, demikian halnya simbol dan pemaknaanya. Puisi sebagai karya kreatif pada dasarnya adalah karya simbolis. Makanya penulis sastra dalam hal ini harus pandai-pandai memainkan kekuatan-kekuatan kata hingga karya yang diciptakan menjadi pantas disebut-sebut dalam salah satu genre sastra. Arjuna Arjuna itu laki-laki tampan Arjuna itu gunung menjulang tampak dari jalan Arjuna itu pagi dengan cahaya matahari bersinar ia putih berdedaunan Arjuna itu tampak molek dari tegal jagung ia seru dalam pertapaan dan syahdu ketika perang kembang Arjuna itu laki-laki tampan dalam khayal bidadari hingga denawa bermuram hati Dalam perang kembang Arjuna berlaga hingga Niwatakawaca berkalang sampai langit merah jingga 48
Arjuna itu tampak gagah dari ladang jagung pinggir jalan ketika langit cerah Tanpa cinta tanpa rayuan mesra hanya kabut menutup sebagian hutan bebatuan dan pedesaan Di sini aku menatapnya sekilas tentang Arjuna dari sebagian jalan menuju Barat Pasuruan,15 November 2013 Pembandingan-pembandingan logika, cerita, mitologi, latar geografis, alam, budaya, perasaan tetap menjadi cara teknis mendapatkan nilai estetis. Kesimetrisan juga menjadi cara estetis yang dikomposisi atau diaransemen hingga ibarat bangunan menjadi pertimbangan arsitektur dalam penyusunan kata-kata hingga terkesan elegan dalam konteks penciptaan karya kreatif. Demikian juga dalam penulisan puisi, pemaduan dan penataan serta kesan adanya pencitraan, pembayangan pengetahuan, bahkan penjabaran sains pun dapat dilihat untuk menyusun karya kreatif. Jadi unsur teknis dapat diperhitungkan dari aspek kekuatan linguistik, lebih dari itu esensi ekspresif dapat dipertanggungjawabkan dari sisi psikologis. Yang juga banyak dibahas bahwa proses kreatif itu memang menjadi proses psikologis penciptaan karya seni. Perhatikan repetisi dalam teks! Sengaja saya tulis karena saya senang menggunakan repetisi dalam penulisan puisi ini, walaupun tidak selamanya saya gunakan repetisi untuk setiap karya puisi saya. Pembandingan latar budaya dan latar geografis menjadi kesan tersendiri, barangkali hal ini dapat diapresiasi dan dikomentasi secara kreatif. Produk kreatif pada dasarnya bisa dinilai dan diberi nilai, produk itu akan bernilai karena memiliki kandungan nilai. Nilai itu dapat diberikan secara relatif bukan absolut, seperti halnya sering disampaikan sastrawan atau ahli sastra bahwa penilaian karya seni dipertimbangkan berdasarkan karya seni, bahan seni, kreasi seni, intensionalitas seni, dan pertanggungjawaban serta visi seni. Bulan di Atas Ladang Bulan di atas ladang aku ingin melihatnya dengan berbaring Tetapi aku rasa berbaring menjadikan pakaianku menjadi kotor Aku tak jadi berbaring lalu aku hanya cukup mengada dari pandanganku Ketika malam Jakarta cukup senyap Bulan tidak terlihat penuh aku tahu gunung itu tampak dari geliat malam Hanya beberapa putih memudar tersinari dari sini kusaksikan dalam penyeberangan selat Bali Ketika itu musim hujan hanya tengah malam sepertiga bulan yang cantik memperlihatkan Aurora yang dibatas hitam pagar besi namun itu malam sediam malam 49
Dalam perjalananku, bulan kutatap dari kereta Bulan di atas rel terus berjalan melewati sejuta ladang dan persawahan Bulan tak lagi kubayangkan di atas laut ketika melewati sungai tanpa jembatan Sepertiga malam berlalu, bulan Jakarta menjadi gelap dihalang dedaunan Seperti cerita masa lalu ketika anak-anak tetap bermain dengan lagu dolanan Jawa Bulan Jakarta tersenyum tengah ladang, dalam penyeberangan selat Bali Juga tersenyum Jakarta, 10 Oktober 2013 Berkreasi bisa di mana saja. Demikian prosesnya bisa cepat, bisa lambat. Maksudnya bisa waktunya tidak banyak bisa waktunya lama. Apalagi dalam konteks penciptaan teks puisi. Sublimasi puisi bisa jadi terbentuk karena penggunaan waktu untuk momen opname tidak seketika. Sebagaimana hadir dalam puisi yang saya tulis Bulan di Atas Ladang yang saya tulis di Jakarta. Puisi ini sengaja saya tulis dan saya bermain paradoks di dalamnya. Apa yang dibayangkan oleh kebanyakan orang menceritakan kota Jakarta adalah hiruk pikuknya, kepadatan penduduknya, banjir, kemacetan, keramaian, persoalan sosial yang terus menerus harus dipecahkan, dan pesonanya karena kota besar. Dalam puisi Bulan di Atas Ladang tidak begitu saya mengambil sudut cerita. Saya mengambil sisi lain, yang sebenarnya saya hanya ingin membangun kemampuan pembaca ketika saya sengaja bermain paradoks. Saya menggunakan bulan sebagai pokok pembicaraan, mungkin pembaca yang terjebak pada permainan seting geografis dalam hal ini ruang, waktu, cuaca, bumi, bulan, kota, desa bisa bingung. Seharus tidak begitu, ini yang saya maksud dengan apresiasi kreatif, bahwa secara kreatif pembaca dalam kegiatan mengapresiasi tidak mensandarkan pengetahuannya untuk memahami puisi hingga membuat penilaian terhadap puisi dan selanjutnya memberikan penghargaan kepada penyair yang menulis walaupun secara tidak langsung dengan membaca atau membicarakannya. Saya tambahakan ia pun harus mampu berpikir kreatif lebih dari apresiatif dan berpikir kritis. Dalam hal ini, bahan peristiwa untuk menulis puisi tidak seketika dituangkan oleh penulis. Bisa jadi, ia menumpuknya dari beberapa peristiwa dipadatkan dalam satu puisi. Ia baru bisa menuangkan karena apa yang ada dalam dirinya itu sudah benar-benar mengalami pengendapan. Jadi, tidak susah-susah melakukan pilihan kata atau menentukan diksi sebagaimana dituntut dalam teori penciptaan puisi tentang penentuan diksi, aransemen persajakan, tipografi, dan pemenuhan aspek formal yang lain, dengan demikian kebanyakan penyair biasanya mengatakan bahwa menulis itu 50
mengalir saja mengikuti gerakan tangan, luapan perasaan, dan apa yang dipikirkan. Tetapi, kata-kata itu tidak juga mudah dipelajari. Rata-rata penulis pemula gagal menuangkannya. Sehingga keindahan yang dirasa rumit tidak dapat tersampaikan dalam puisi. Akibatnya keutuhan, visi, koherensi puisi tidak tampak. Sebenarnya tidak harus begitu, kreativitas memang perlu proses, perkembangan psikologis, perkembangan kognitif, skemata penulis, kemahiran penulis, kedewasaan menyikapi persoalan, kematangan dalam berkesenian, dan tetap konsisten pada pendirian seninya, serta secara asli kemampuan mempertanggungjawabkan seni yang ditulis mempengaruhi tulisan hasil karya penyair itu. Begitu pula guru dalam membelajarkan proses kreatif, apresiasi, dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada subjek didiknya jangan sampai salah. Bisa jadi, kalau salah tidak ada karya yang dihasilkan oleh murid-muridnya. Saran saya, seyogyanya guru bahasa Indonesia harus bisa menulis puisi atau genre sastra yang lain, misalnya menghasilkan cerpen, humor, anekdot, novel, esai, kritik, roman, dan biografi. Debu Debu hitam abu-abu Menempel di baju Aku ragu, tapi aku biarkan Kelabu Malang, 10 Januari 1991 Puisi Debu saya tulis ketika itu saya masih mahasiswa S1 semester terakhir di IKIP Negeri Malang. Saya menganggap keindahan itu kesederhanaan. Tidak selamanya keindahan itu perlu ornamen. Banyak liku-likunya. Kesederhanaan, kepolosan, keluguan, alamiah, kebersahajaan juga menjadi bagian dari salah satu pandangan estetis. Penyair tinggal memehuhi jatuhnya pilihan itu ketika menulis puisi. Jadi tidak masalah. Yang penting, puisi. Perhatikan puisi Debu, bahwa puisi itu tidak banyak menghasilkan katakata yang dipilih secara konotatif. Kata hitam abu-abu memang salah satu warna debu, warna lain bisa kecoklat-coklatan, bisa keputih-putihan bergantung tanah atau partikel yang dianggap sebagai debu. Biasa debu menempel di baju, atau menempel di mana saja, di tempat lain maksudnya, misalnya di jendela, di pintu, di meja, di mobil, di pohon atau di tembok. Kata kelabu itu saja yang bersifat konotatif dengan mengharmonikan rima akhir pola syair kata kelabu yang menyatakan suasana hati atau keadaan perasaan penulis dengan kata debu yang menempel di baju. 51
Kedatangan Tanah coklat diam menggeliat aku lihat di waktu senja Kepada sang adik Kulihat langit di atas rumput juga coklat merapat panas memadat Hingga petang sebentar aku meninggalkan rumah kecil Sekedar melepas rindu bertahun takbertemu Tanah coklat kujilat permen coklat Langit coklat takpercaya aku bertemu Hingga rumput tersenyum menyeringai Tatapan matanya yang kecil Dengan anak laki-laki yang kecil Membiarkan senja menjadi terkejut Karena tanpa berita aku datang tiba-tiba. Batam, 5 Mei 2011 Puisi ini juga puisi yang sederhana. Segi mimetik diperkuat oleh penulis. Orang akan mengatakan bahwa puisi ini sekadar potret dengan menyalin suasanya pada peristiwa yang sebenarnya ke dalam karya seni. Menulis puisi semacam ini tidak sulit. Saya tetap ingin mengatakan bahwa menulis puisi itu kegemaran. Menurut penyair menulis puisi itu bermain-main kesenian. Bahan permainan yang harus digunakan adalah bahasa. Berbeda dengan penulis masa lalu yang menganggap bahwa proses kreatif itu proses sakral. Bagi penulis sekarang kesakaralan itu tetap ada, yaitu terletak pada kejujuran penulis bahwa yang ditulisnya itu sepenuhnya tanggung jawab penulis yang dituangkan untuk tujuan baik dan secara jujur dapat dipertanggungjawabkan apa yang ditulisnya itu dan yang disampaikan itu serta diciptakan itu, semata-mata karena rahmat dari Tuhan yang Maha Esa. Penutup Saya menulis judul Proses Kreatif dan Apresiasi Kreatif sebagai Upaya Refleksi dan Transformasi Sastra Indonesia dengan menghadirkan 5 karya puisi saya yang saya masukkan dalam pembahasan langsung artikel tentang proses kreatif, saya maksudkan ada unsur teknis yang harus diperhatikan penulis dalam menghasilkan karya sastra, yaitu sesuaikan genrenya. Kebetulan, saya mengambil salah satu genre, yaitu puisi. Proses 52
kreatif penulis itu perlu kemahiran, ya syarat agar dari trampil menjadi mahir terus dilakukan sambil berproses terus dalam berkesenian. Banyak pilihan dalam menulis sastra, anjuran saya sesuaikan saja dengan keinginan. Insyaallah hasilnya bagus. Setelah itu, ajaklah orang lain menikmatinya biar ada proses apresiasi. Ajaklah mereka berpikir kreatif, dalam hal ini memberikan karakter mental produktif kepada orang lain dan bisa menghargai karya orang lain. Kata refleksi dan transformasi sastra Indonesia menjadi kata kunci dalam tulisan ini. Kata refleksi itu mengacu pada metode penulisan artikel yang saya gunakan, dan kata transformasi itu mengacu pada penulisan kreatif walaupun tidak banyak saya jelaskan tentang bagaimana transformasi puisi atau teks lain ke dalam puisi. Tentang sastra Indonesia, lima puisi saya termasuk bagian kecil dari sastra Indonesia, walaupun belum terdokumenkan dalam dokumen buku-buku sastra Indonesia. Semoga ada manfaatnya, terutama bagi penulis pemula, bisa juga bagi guru-guru bahasa Indonesia dalam membantu membelajarkan menulis sastra bagi subjek didiknya. DAFTAR RUJUKAN Aminuddin. 2013.Pengantar Apressiasi Sastra.Bandung: Sinar Baru Algensindo Elbow, Peter.2010.Writing Without Teacher.(Terjemahan Yani F. dan Ajeng A.P. ). Jakarta:Indonesia Publishing Endraswara, Suwardi.2002.Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Caps Jauhari, Heri.2013.Terampil Mengarang.Bandung:Nuansa Cendekia Roekhan, 1990.Kajian Tekstual dalam Psikologi Sastra. Dalam Aminuddin (ed)1990.Sekitar Masalah Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya.Malang: YA3 Wahyuningtyas, Sri dan Santosa, Wijaya Heru.2011.Sastra Teori dan Implementasi.Surakarta: Yuma Pusaka Waluyo,Herman J.2003.Apresiasi Puisi.Jakarta: Gramedia
53
EKSISTENSIALISME RELIGI SEBAGAI MODEL PENULISAN KREATIF SASTRA (Telaah Unsur Eksistensialis dalam Novel “Tuhan Izinkan Aku Mejadi Pelacur”) Moh. Badrih Universitas Islam Malang
[email protected] ABSTRACT Existentialism in literatureis a form of understanding, or paradigm that emphasizes literary speculative way of thinking about the essence of all things (knowledge and experience). For literature describing existentialism and find the essence of some thing can be done in two ways, namely, (a) rely on human experience, (b) how the human being. A person can read and understand the 'something else' because of the experience that hadits be ginning, the lack of experience that people will have an impact on the knowledge and discovering the nature of athing. Keywords: Existentialism, Religion, CreativeWriting, Literature
PENDAHULUAN Kreativitas penulisan karya sastra Indonesia semakin beragam dengan berbagai pendekatan. Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menyampaikan kesan pengalaman dan pengetahuan berdasarkan ideologi yang dicita-citakan. Salah satu pendekatan yang digunakan ialah eksistensialis. Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah, dan Muhidin Dahlan dalam novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Adan dan Hawa, dan Kabar Buruk dari Langit merupakan sedikit contoh dari novel eksistensialis yang berkembang dalam penulisan novel di Indonesia. Eksistensialisme dalam sastra merupakan salah satu bentuk paham, atau paradigma berpikir sastrawi yang mengedepankan cara berpikir spekulatif mengenai kebertahanan diri melalui pengalaman dan pengetahuan. Bagi eksistensialisme sastra memaparkan dan menemukan hakikat sesuatu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, (1) bersandar pada pengalaman manusia, (2) cara manusia berada (Zaskuri, 2009:10). Seseorang dapat membaca dan memahami ‘sesuatu yang lain’ karena pengalaman awal yang telah dimilikinya, minimnya pengalaman yang dimiliki manusia akan berdampak pada pengetahuan dan ketidaktepatannya dalam menemukan hakikat suatu hal. Pada bentuk yang kedua tersebut lebih ditekankan pada cara (metode) seseorang berada. Seseorang dapat diakui keberadaannya oleh orang lain karena orang tersebut dapat ‘menunjukkan diri’ pada orang lain dengan sebuah metode. Metode yang 54
diperkenalkan seseorang pada orang lain akan menjadi bagian eksistensinya, selain juga pengalaman yang ada dalam dirinya. Pengalaman dapat digunakan sebagai sebuah dasar untuk memunculkan berbagai metode, sedangkan metode dapat digunakan untuk memperoleh pengalaman yang baru. Kaum eksistensialis memberikan gambaran bahwa eksistensi sebagai sebuah bentuk keluarnya manusia dari dirinya dan menempatkan diri di dalam dunia (Lorens, 2002:183)1. Secara ekspilit dijelaskan oleh Lorens bahwa manusia memiliki kesadaran yang berbeda daripada objek-objek tersebut. Melalui kesadaran yang dimilikinya, manusia dapat menimba pengalaman sekaligus dapat mewarnai objek yang lain dengan pengalaman yang dimilikinya. Menurut Zaskuri (2009) Kaum Eksistensialisme cenderung mengarahkan manusia untuk mengaktualisasikan kesadaran dalam dirinya sebagai sebuah subjek untuk melihat objek-objek yang lain. Esksistensialisme
mengajak
kita
keluar
dari
pandangan
usang
yang
mengobjektifikasi manusia sama dengan benda-benda yang lainnya. Setiap manusia adalah unik, satu dengan yang lain tidak sama khususnya dalam kesadaran. Eksistensialisme adalah jalan bagi manusia untuk memahami hidup dan kehidupan masing-masing. Jalan memberi makna untuk pengalaman kongretnya di dunia. Serta, menempatkan manusia, dalam tema berkehendak bebas. Dengan demikian eksistensialime mengiring manusia untuk berefleksi secara mendalam tentang makna keberadaan dirinya, pergaulan dirinya dengan sesama, dan semesta alam (Zaskuri, 2009:23). Di pihak lain, eksistensialime sebenarnya merupakan aliaran pemahaman yang melakukan pemberontakan terhadap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Pemikiran ini merupakan gerakan filsafat yang menghimpun sejumlah pemikir yang beraliran asumsi, konsep-konsep dan lingkup masalahnya. Tetapi meskipun terdapat berbedaan besar pemikiran filsafat yang bergabung dengan pemikiran ini, arus dasarnya sama berontak pada filsafat tradisional dan stuasi kehidupan modern (Jansens, 1992:4). Sebagai
gerakan
pemikir
yang
reaktif
kaum
eksistesialis
berusaha
mengaktualisasikan karakteristik pemikirannya terhadap pandangan para filsuf terdahulu yang menurut mereka telah menghancurkan ilusi tentang kebebasan manusia 2. Untuk itu 1
Manusia ada secara aktual dan keberadaannya ada di tengah-tengah objek lain yang juga ada di dalam dunia (Zaskuri. 2009. Eksistensialime Relegius. [Tesis] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Hal 10). 2 Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealime. Menurut kaum idealisme dan materialisme, manusia adalah benda dunia, manusia adalah benda materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek.
55
misi gerakan ini melawan pandangan yang menempatkan manusia pada tingkat impersonal3. Lebih lanjut pemberontakan kaum eksistensialis yang dedeskripsikan dalam berbagai karya sastra memandang manusia individual dengan problem eksistensialnya yang unik. Untuk itu eksistensialisme mengadakan reaksi pada kekurangan filsafat tradisional dengan memusatkan perhatian pada manusia sebagaimana dia meng-ada dalam dunia, serta relasi manusia dengan manusia dan dunia (Jansens, 1992:4). Suatu hal yang sangat sulit ketika dipertanyakan arti hakiki aliran ini. Akan tetapi secara garis besar aliran ini merupakan aliran filsafat yang memandang segala-galanya berpangkal pada keberadaan dengan titik pusatnya manusia. Karena itu para eksistensialis memahami keberadaan manusia tidaklah statis, melainkan, berkembang dan berkesinambungan. Hal ini merupakan aksioma dasar yang dipakai para eksistensialis dalam menerangkan berbagai macam problem eksistensial yang dialami manusia. Pandangan eksistensialisme ini merentang dari ateisme sampai aristotelenisme. Sampai batas-batas yang luas dapatlah dikatakan sebagai hasil pemikiran yang bebas dari prasangka-prasangka kultural, socialhistoris maupun religius. SEJARAH PERKEMBANGAN EKSISTENSIALISME Pada abad ke-19, pemikiran di Eropa tengah diramaikan oleh pemikiran idealisme. Sebuah pemikiran yang pertama kali dicetukan oleh Leibniz di awal abad ke-18. Leibniz menerapkan pemikiran ini dengan melandaskan dasar pemikirannya pada Plato, dan memperlawakannya dengan materialisme epikuros. Aliran ini memandang bahwa mental dan ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Idealisme menempatkan dunia sebagai gagasan yang dibangun oleh manusia. Pemikirannya tersebut mencapai puncak kejayaanya pada konsep pemikiran Hegel (1770 – 1831). Bagi Hegel pengetahuan tidak bersifat dialektis, tidak diperoleh hanya melalui proses interaksi satu arah dari subjek pada objek, melainkan proses timbal balik di antara keduanya. Pengetahuan akan terus memperbaharui dirinya secara simultan dan terusmenerus. Oleh karena itu, menurut Hegel, pengetahuan tidak dapat ditemukan hanya dalam satu masa tertentu dalam kehidupan manusia, melainkan dilacak melalui perjalanan sejarah. Tiap evolusi sejarah dipahami sebagai kepastian yang tak dapat dilewatkan bagitu saja (absolut). Hal tersebut merupakan bentuk keharusan dan harus terjadi dalam upaya mendapatkan pengetahuan sejati tentang kebenaran. Dalam perjalannya tersebut roh absolut menyadari dirinya sendiri dan realitasnya. Pendek kata, 3
Dalam filsafat tradisional pusat perhatian hampir semuanya diarahkan pada metafisika tentang ada, rasionalisme dan dunia objektif serta melupakan emosi manusia berupa pertanyaan mengenai makna hidup, penderitaan, kematian maupun problem eksistensial lainnya.
56
sistem pengetahuan Hegel merupakan perjalanan roh menuju pengetahuan absolut tentang realitas dan dirinya sendiri. pengetahuan sejati menurut Hegel adalah pengetahuan yang dapat melampaui semua. Kierkegaard memberi kritik atas beberapa aspek dalam konsep filsafat yang dikembangkan Hegel. Baginya, filsafat tersebut irrasional dan bersifat embigu (Tjaya, 2004:48). Bukan saja karena semua pertentangan dapat didamaikan oleh dialektika Hegel, tetapi filsafat semacam itu dianggap tidak berhubungan dengan pergulatan hidup konkret manusia yang menuntut penerangan dan pemahaman (Tjaya, 2004:49). Selanjutnya Kierkegaard dengan tegas menyatakan bahwa situtuasi eksistensial manusia tidak dapat didamaikan dengan oleh media rasional, sebab pada suatu waktu manusia akan menyadari bahwa dirinya sebagai ‘bagian yang terbatas’ dan di saat yang bersamaan manusia dituntut untuk memaknai hidupnya ‘sebagai yang abadi’ (Tjaya, 2004:53). Ambiguitas perasaan manusia sebagai yang terbatas sekaligus yang tak terbatas, akhirnya tidak dapat dijembatani oleh apapun. Oleh karena itu, Kierkegaard memaknai konsep pemikiran Hegel sebagai hal yang ambisius dan penuh dengan gelaktawa (Tjaya, 2009:59). Dalam kritiknya terhadap Hegel, Kierkegaard menegaskan bahwa filsafat harus berangkat dari eksistensial manusia yang konkret. Dalam situasi eksistensial terdapat dua paradoks yang tidak dapat didamaikan oleh proses dialektis. Hal tersebut melahirkan filsafat yang bertolak bukan pada pertanyaan seputar kodrat manusia, tetapi pertanyaan eksistensial tentang segala sesuatu yang harus dilakukan pada situasi eksistensial yang dialami manusia dalam momen-momen kehidupannya. EKSISTENSIALISME DAN SASTRA Sebagaimana yang telah disinggung di depan, filsafat eksistensi
banyak
dilatarbelakangi suasana kehidupan modern. Suasana kehidupan modern tersebut juga banyak dicerminkan karya sastra. Jadi seringkali jawaban yang diberikan sastra pararel dengan jawaban filsafat eksistensi terhadap situasi kehidupan modern. Eksistensialisme adalah jawaban yang diberikan filsafat, sedangkan sastra adalah jawaban sebagai situasi kehidupan modern. Hal itu bukan berarti seorang sastrawan sebelum memulai proses kreatifnya harus mempelajari filsafat lebih dulu. Bisa saja jawaban tersebut dihasilkan melalui penghayatan intens pengarang dalam mengamati kehidupan. Setiap manusia yang sungguh-sungguh menghayati kehidupan akan selalu merasakan momen-momen atau segi-segi eksistensialnya. Sastra merupakan alat untuk mengucapkan pemikiran
57
pengarang dalam memahami eksistensi manusia secara konkret, estetik dan imajinatif, bukan manusia dalam pemikiran yang ‘asal jadi’(Jansens, 1992:4). Mengingat sastra (sastra eksistensial) merupakan ungkapan pengarang dalam mengamati kehidupan secara intens, maka antara sastra eksistensial dan eksistensialisme saling mempengaruhi sebagai sesuatu yang bersifat existensial par excellence. Sastra eksistensial terkadang tidak hanya dipengaruhi eksistensialisme, tetapi juga alat bagi pemikir eksistensialisme dalam menyampaikan gagasannya yang pada gilirannya nanti menjadi referensi bagi pemikiran ekstensialisme itu sendiri. Keduanya, baik sastra eksistensial maupun eksistensialisme mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan kesadaran pada manusia akan kondisi kemanusiaannya. Jadi sastra eksistensial (seperti halnya juga eksistensialisme) merupakan reaksi terhadap pandangan yang menempatkan manusia bersama orang lain sehingga melupakan manusia sebagai individu dengan berbagai persoalan eksistensial yang dialaminya. Sastra eksistensial dan eksistensialisme adalah dunia bagi penghayatan manusia pada segi-segi eksistensial yang menjadi problem dirinya. Suatu hal yang disampaikan oleh sastra eksistensial dan eksistensialisme bukanlah gagasan abstrak tentang manusia melainkan kedudukan manusia pada situasi tertentu yang konkret, yang selalu didesak antara kefanaan dengan keabadian, yang selalu ditarik antara kehidupan dengan kematian, ataupun yang selalu dihadapkan pada keberhasilan dengan kegagalan (Jansens, 1992:4). Tarik menarik antara sastra eksistensial dengan eksistensialisme dapat dijelaskan melalui tiga tahapan yang berjalan berbeda. Tahap pertama eksternalisasi, yaitu proses sastrawan menuangkan hasil renungannya mengenai segi-segi eksistensial kedalam karyanya sehingga karya sastra tersebut menjadi dan nampak seperti pemikiran eksistensialisme. Apabila pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi tersebut kemudian mengukuhkan diri dan sastrawan kembali menghadapi karya sastra sebagai suatu faktisitas, maka pada saat itu proses tersebut memasuki tahapan objektivikasi(Jansens, 1992:5). Agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi pengarang yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian dari subjektivitas pengarang. Inilah tahapan internalisasi (Jansens, 1992:5). Tiga
tahapan
tersebut
mempunyai
perbedaan-perbedaan
dalam
rangka
penyampaian segi-segi eksistensial dalam karya sastra. Oleh eksternalisasi segi-segi eksistensial dalam karya sastra menjadi pemikiran eksistensialisme dan merupakan produk kegiatan subjektivitas pengarang. Objektivikasi segi-segi eksistensial dalam karya sastra menjadi realitas suigeneris, terlepas dari subjektivitas pengarang yang
58
mengemukakannya (Jansens, 1992:6). Internalisasi pemikiran eksistensialisme mendapat giliran mempengaruhi subjektivitas pengarang dalam memahami segi-segi eksistensial. Pengarang bagi Sartre - tidak berperan menjadi Tuhan bagi tokoh-tokoh dalam novelnya. Sedangkan pada tahap internalisasi, eksistensialisme terang – terangan dipakai pengarang dalam memahami segi – segi eksistensial manusia. Hal ini dapat dilihat dalam proses kreatif Iwan Simatupang yang menggunakan sastra sebagai alat pemikiran eksistensialisme seperti yang dikatakannya sendiri, “sastra bukan melahirkan konsepsi tertentu, melainkan dilahirkan dari konsepsi tertentu“ (dalam Jansens, 1992:4). BENTUK EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL Neitzche (1844-1900) membuat pernyataan bahwa tujuan dari filsafat tidak lain untuk menjawab sebuh pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia yang unggul”. Jawaban untuk pertanyaan Neitzche tersebut manarik banyak simpatisan dari barbagai disiplin ilmu yang bebeda untuk sekedar memberikan rumus dan memberi jawaban yang sederhana.
Salah
satu
yang mencoba
memberikan
jawaban
sederhana
dari
4
pertanyaannya Neitzche adalah Satre (1938) dalam karangan naratifnya (Nausea, 1938). Sartre memberikan jawaban bahwa untuk menjadi manusia unggul adalah “jika manusia manusia mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani tentang dirinya”. Lebih lanjut Satre (1957:31) menyatakan bahwa manusia tidak lain adalah rencananya sendiri. Ia tidak lain adalah kumpulan tindakannya sendiri yang bertanggung jawab. Dalam membentuk dirinya manusia memiliki kebebasan untuk memilih suatu pilihan yang terbaik di antara alternatif-alternatif yang dihadapinya. Ia dapat memilih segala sesuatu yang diangapnya baik dan apa yang tidak baik baginya, dan ia tidak menyalahkan orang lain atas pilihannya. Jelas bagi Sartre, bahwa kebebasan sangat penting bagi manusia. Tanpa kebebasan manusia hanyalah esensi belaka. Kebebasan dimiliki oleh setiap manusia. Segala sesutu yang dilakukannya merupakan ungkapan dari kebebasan yang dimilikinya, kerena sebenarnya ia dapat memilih untuk berkehendak lain. Pilihan yang telah ditetapkan merupkan alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang dipertimbangkan dan menyangkut dirinya dan orang lain. Bagi Sartre eksistensi tidak ada pada individu, akan tetapi pada keseluruhan konteks sosial. Sartre menandaskan 4
Sartre seorang eksistensialis atheis. Mengenai sebutanini Sartre (1957:51) menjelaskan bahwa Eksistensialisme itu tidaklah sedemikian atbeisnya, sehingga mengerahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada. Namun Eksistensialisme menyatakan bahwa meskipun Tuhan ada, tidak ada yang berubah karenanya. Rupanya Tuhan tidak bisa dimintai tanggungjawab atas segala perbuatan manusia. Tuhan tidak berperanan dalam putusan yang diambil manusia. Manusia betulbetul bebas menentukan pilihannya.
59
bahwa ia bertanggung jawab baik bagi dirinya dan orang lain (Sartre, 1957:32) Ia mengambarkan gambaran tertentu tentang manusia atas dasar pilihannya sendiri. Dalam memilih bagi dirinya, ia juga memilih bagi manusia (1957:18). Tanggung jawab yang kita pikul lebih besar dari sekedar tanggung jawab terhadap diri sendiri. Tanggung jawab itu berarti pula meliputi tanggung jawab kepada seluruh manusia. Jadi kebebasan bukan suatu pertolongan
bagi manusia, justru kebebasan merupakan sumber
kecemasan, ketakutan, dan perasaan diteror. Dalam Eksistensialisme Sartre, masing-masing individu merasa akan dunia yang asing. Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari kesepian dan keputusasaan adalah partisipasi yang aktif dalam masalah-masalah kemanusiaan. Mengenai mengapa menulis, menurut Sartre menu!is merupakan suatu tindakan dan
menulis dapat mengarahkan dan merebut hati orang lain. Pada saat menulis,
seorang penulis
tidak
menduga-duga, ia merencanakan sesuatu, karena itu ia
mengetahui apa yang akan terjadi. Apabila seorang membaca karya sastra, dan seorang tersebut benci kepada seseorang atan pembaca menaruh simpati kepada seseorang, sebenarnya kebencian dan simpati dirasakan itu dihidupkan oleh pengarangnya. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pembaca pada saat membaca sebuah novel sudah direncanakan oleh pengarang. Sartre memerikan batasan eksistensi yang ada di dalam novel yaitu, (1) eksistensi rasa takut, (2) eksistensi kebebasan dan tanggung jawab, (3) eksistensi proses, dan (4) eksistensi peran tuhan. Adapun deskripsi keempat hal tersebut sebagai berikut. Pertama, eksistensi rasa takut. Bagi kaum eksistensialis, manusia pada dasarnya memang angguish (Sartre, 1957:18). Begitu manusia terdampar pada eksistensinya, manusia berhubungan dengan bermacam-macam perbuatan hukum. Semua itu menimbulkan perasaan takut. Kedua, eksistensi kebebasan dan tanggung jawab.Manusia tidak lain adalah bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri (Sartre, 1957:15). Dalam membentuk dirinya manusia bebas menentukan pilihan dan melakukan tindakan. Dengan kebebasan ini manusia harus memberikan tanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya, dan tindakan yang telah dilakukannya sendiri. Ketiga, eksistensi proses.Manusia tiada lain adalah rencananya sendiri, karena itu manusia adalah kumpulan dari tindakannya (Sartre, 1957:32). Manusia dalam menciptakan dirinya tidak pernah selesai dengan ikhtiarnya itu. Manusia selalu dalam proses. Hanya mautlah yang mengakhiri eksistensi manusia dan menjadi esensi. Keempat,eksistensi peran tuhan. Sartre mengakui bahwa eksistensialismenya adalah eksistensi atheis. Namun manurut Sartre eksistensialisme itu tidak sedemikian 60
atheisnya, sehingga mengerahkan segala-galanya untuk menunjukan bahwa tuhan itu tidak ada. namun meskipun tuhan ada, tidak ada yang berubah karenanya. Tuhan tidak dapat dimintai tangung jawab atas segala perbuatan manusia. Tuhan tidak dapat berperan dalam putusan yang diambil manusia. Manusia bebas menentukan segala keputusannya (Sartre, 1957:33). EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL “TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR; MEMOAR LUKA SEORANG MUSLIMAH” KARYA MUHIDIN DAHLAN Nidah Kirani namanya seorang gadis desa yang mencoba mencari eksistensinya melalui sebuah penddikan salaf di pondok pesantren “Ki Ageng”. Batinya terasa tentram ketika mendengar pengajian-pengajian yang menyejukkan jiwanya terutama yang berkaitan dengan akhlak (tasawuf). Satupersatu ilmu agama didengarnya dengan penuh khusuk dan tawakkal terutama pada saat bertemu dengan teman barunya (Rahmi Rahimmah). Teman yang tidak sebatas teman biasa, tetapi dialah tempat curhat dan tambatan hatinya ketika rasa rindu pada Sang Khaliq mulai bersemi dalam dirinya. ‘Cinta’ itupun mulai memudar ketika Rahmi meninggalkanya untuk pindah ke pondok lain, dan rasa kebingungan dan takut mulai tumbuh dalam dirinya. Perasaan itu pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk bertemu dengan seorang pemuda bernama Dahiri. Dia seorang rasionalis dan juga oreintalis Islam Garis Keras. Perasaan yang semakin membingungkannya adalah pada saat dia harus membenturkan antara keyakinan dan logikanya dalam memperlakukan Islam secara kaffah. Diapun diperkenalkan dengan gerakan tersebut dan diabaiat dalam situasi bathinya yang masih labil. Berapa hari berikutnya penampilanya sudah mulai berubah. Hanya matanya yang tidak tertutup kain, dan baginya inilah Islam yang kaffah? Ternyata tidak, setelah dia berhasil masuk ke dalam kamar yang hanya diperbolehkan untuk seorang ikhwati tertentu, dia menemukan dokumen yang tidak lain adalah rencana dan jaringan untuk membentuk Negara Indonesia Baru. Tampa berpikir panjang dia melarikan diri dari organisasi tersebut, dan memilih bersembunyi untuk beberapa bulan. Pengasingan dirinya bukan membuatnya tenang dan bebas dari masalah, tatapi malah membuatnya semakin gelisan dan pesimis dalam menjalani hidup. Hudanlah yang menjadi orang baru baginya, dan memperkenalkannya dengan obat-obatan terlarang. Kedekatannya dengan Hudan adalah keniscayaan untuk mengikuti nalurinya, termasuk perkenalannya dengan Daarul yang akan menjadi orang pertama yang
61
menikmanti keperawanannya. Kalau Hudan adalah gerbang utama menganal dunia baru, maka Daarul adalah pintu pertama untuk menikmati dunia baru. Dari Darullah dia mulai berani untuk menyatakan pemberontakan diirnya pada tuhan. Satupersatu laki-laki diberi kesempatan untuk menikmati tubuhnya, temanteman
dekatnya
(Awaluddin,
Wandi
[aktivis
KMI],
Kusywo
[penyair],
Rahmanidas[Aktifis BEM] ), Ustadznya, dan dosennya yang sekaligus menjadi germo untuk memperkenalkan dirinya pada anggota-anggota DPR yang haus pasangan baru. Eksistensi Rasa Takut Dalam Novel “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (TIAMP)” rasa takut muncul ketika Kiran ditinggal pergi oleh Rahma (hlm. 31). Eksistensi rasa takut dalam hal ini tidak hanya pada situasi, dan suasana saja. Melainkan rasa takut ditinggal oleh kebiasaan dan rutinitas yang sudah terjalin dengan Rahma. Pertama, rasa takut dengan situasi dan suasana merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap eksistensi manusia. Mestinya manusia yang dapat membuat suasana menjadi nyaman, tentram, dan kondusif, bukan sebaliknya manusia ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya. Keberadaan manusia mestinya mewarnai segala sesuatu yang dilihat dan didengar, dirasakan, bahkan dirabanya. Bukan sebaliknya, manusia menjadi penderita dari bagian yang lain. Dalam diri manusia tersimpan kekuatan untuk melawan rasa takut terhadap segala hal, termasuk yang ‘tidak pernah disangkanya’. Jalan satu-satunya adalah manusia harus keluar dari perasaan takut dengan memunculkan sikap ‘keberanian’. Sikap berani inilah yang akan menjadi sandaran untuk eksistensi manusia untuk membebaskan dirinya dari perasaan takut. Ketika manisia sudah bebas dari perasan takut, sebenarnya manusia tersebut telah menunjukkan eksistensi dirinya. Nidah Kirani (Kiran) telah menunjukkan semua itu dengan mencoba membuat komunitas belajar. Meskipun tujuan utama komunitas itu untuk mendalami ilmu keagamaan, tetapi lebih substantif komunitas belajar itu membuat perasaan Kiran lebih tenang. Kedua, rasa takut yang lebih dikhawatirkan oleh Kiran adalah berkurangnya rutinitas yang salama ini diakukannya bersama-sama Rahma. Bagi sebagian orang kadangkalanya meninggalkan sesautu hal yang telah menjadi rutinitasnya seharihari merupakan hal yang sangat merugikan. Kerugian itu tidak hanya semata-mata pada bentuk fisik, dan penghasilan, melainkan sudah termasuk dalam ranah psikologi, bahkan keyakinan. Kepergian seorang Rahmah menjadi beban berat psikologi Kiran untuk menjalankan ibadah-ibadah dalam menjalankan kegiatan62
kegitan yang telah dilakukan bersama Rahma. Kiran sempat berpikir jika tidak ada orang yang selevel dengan Rahma dalam meluruskan pikiran-pikiran nakalnya, seakan-akan dia tidak mampu memelihara keyakinannya kepada tuhan seperti yang telah dilakukannya selama ini. Ketiga, saat Kiran menjadi Komandemen Desa untuk merekrut anggota baru dan meminta mereka membayar infak untuk perjuangan sebuah Negara Islam (Negara Islam), masyarakat mulai curiga kalau yang dilakukan Kiran seperti layaknya Gerakan PKI (hlm. 78-79). Kiran menjadi sasaran masyarakat masyarakat kampung dengan berbagai tuduhan (hlm. 80). Sebagai bentuk antisipasi dari berbagai hal yang tidak diinginkan Kiranpun dipindah ke Pos Gamping, sebuah pos yang terletak sangat jauh dari pos asalnya. Ketakutan Kiran pada bentuk-bentuk yang dapat membahayakan dirinya dan mengancam keselamantannya, adalah bentuk eksistensi perasaan takut secara psikologi. Dalam pandangan Sartre (1957:18) manusia berhubungan dengan bermacam-macam perbuatan hukum, dan hal ini yang membuatnya takut. Ketakutan Kiran tidak hanya sebatas individualistiknya sebagai seorang komandemen desa, melainkan juga takut kalau rahasia gerakannya terbongkar. Eksistensi Kebebasan dan Tanggung Jawab Pepatah barat mengatakan “kepak sayap kupu-kupu yang lembut mampu menyebabkan badai di belahan bumi yang lain”. Artinya, sekecil apapun tindakan yang kita lakukan bisa saja memiliki dampak yang tak kecil di kemudian hari, (dikutip dari film Musim Panas Kate (Lynn Collins) dan Bobby (Joseph GordonLevitt). Dalam novel TIAMP seorang Kiran selalu dihadapkan pada kondisi tertentu, ‘dimana’ dia harus memutuskan sebuah pilihan. Pertama, kebebasan dalam memilih pendidikan. Pondok pesantren dan kuliah di Universitas Matahari Terbit adalah tempat yang dipilih Kiran sebagai tempat untuk menambah dan mengembangkan pengetahuannya, sekaligus untuk menempa dirinya sebagai manusia yang baik dan unggul (hlm. 26-27). Keputusan tersebut membuatnya bertanggung jawab terhadap segala segala aktifitas yang ada di pondok persantren atau di kampus, mulai dari yang paling ringan sampai hal yang ‘sangat berat’. Rutinitas sehari-hari (sholat, mengaji Al-Qur’an, Kitab Kuning, dll) mulai dari Jam 02.00 dini hari sampai 21.00 harus dilakukan sebagai bentuk konsekuensi seorang santri dan mahasiswa. Kedua, kebebasan berorganisasi. Seorang Kiran yang ‘haus’ dengan pengetahuan ilmu pengetahua, tidak hanya sebatas dari pondok ke sebuah 63
universitas (hlm 27-29). Pada hari-hari berikutnya Kiran memutuskan untuk bergabung menjadi anggota sebuah Gerakan Islam Radikal (GIR) (hlm. 49). Sebagai anggota baru dari GIR dan Komandemen Desa, dia dituntut untuk berdakwah dan merekrut anggota baru sekaligus mencari para donatur untuk perjuangan gerakannya (hlm. 69-77). Ketiga, kebebasan berekspresi dan menuangkan ide. Dakwahnya yang bertolak belakang dari pengetahuan dan keyakinan masyarakat membuat Kiran dalam situasi ‘terjepit’. Dia harus bersembunyi dan melindungi dirinya dari berbagai hal yang tidak diinginkan dirinya dan gerakannya. Sebagai seorang “rasionalis radikal” Kiran selalu mengkaitkan ajaran-ajaran agama dengan rasio dan perjuangan gerakannya (hlm. 71-74). Meskipun dia harus berdakwah secara sembunyi-sembunyi, hal itu harus dia lakukan untuk mewujudkan cita-cita besar yaitu membuat Islam yang kaffah dan Negara Islam Indonesia. Keempat, kebebasan berprilaku menyimpang sampai hubungan seksual (sexsual intercourse). Kekecewaan Kiran sebagai seorang Ikhwati muncul ketika melihat sesuatu yang dirahasiakan oleh ikhwati seniornya (hlm. 89). Diapun kabur dan bersembunyi. Pertemuannya dengan teman lamanya dan Daarul membuat Kiran mengenal sesuatu yang awalnya asing baginya (rokok dan sabu), sampai mempersembahkan keperawanannya kepada Daarul (hlm. 129). Kiran adalah Kiran saat ini bukan Kiran ketika masih di pondok atau ketika dia mengumbar dakwah untuk terbentuknya sebuah Negara Islam. Eksistensi Proses Pertama, proses mendewesakan pikirannya. Kiran adalah seorang perempuan yang tidak pernah puas untuk mencari dan menggali pengetahun dan segala sesuatu yang dianggapnya masih tabu (ilmu, GIR, dan tuhannya). Perannya untuk memperkaya khasanah keilmuannya tersebut tidak hanya sebatas pada satu tempat saja, melainkan berbagai tempat dan kesempatan. Kiran memerankan seorang tokoh yang terus terproses secara ‘alami’. Permulaan sebagai seorang santri dan mahasiswa, aktivis sebuah Gerakan Islam Radikal (GIR), seorang buron, sebagai pengguna obat-obatan terlarang, sampai pada seorang perempuan tunasusila. Gambaran tersebut merupakan gambaran utuh yang tidak dapat terbantahkan bahwa manusia adalah makhluk yang terus terproses sampai ‘meninggal’.
64
Kedua, proses menemukan kebenaran tuhannya. Awalnya, tuhan adalah segala-galanya bagi Kiran. Aktivitasnya yang sangat mendukung GIR untuk membentuk sebuah Negara Islam, dan perilaku sufi yang dilakukan semata-mata Sang Pencipta kecintannya pada tuhan. Semua itu merupakan bentuk eksistensinya dalam mencari hakikat tuhan. Namun pada perkembangan berikutnya, Kiran merasa kecewa dengan berbagai peristiwa yang menimpanya, sehingga dia ‘memberontak’ dan tidak percaya pada keberadaan tuhannya. Ketiga, proses menemukan jatidirinya. Kiran tidak pernah menemukan jatidirinya, profesi terakhirpun sebagai seorang tunasusila dianggapnya hanya sebagai sebuah proses pendewasaan. Baginya pendewaaan itu bukan karena kebaikan yang dilakukan secara terus-menerus, melainkan proses pendewasaan itu dapat dilakukan dengan cara melakukan berbagai kesalahan yang bertentangan dengan perintah tuhan. Eksistensi Peran Tuhan Pertama, peran tuhan sebagai bentuk antara ada dan ketiadaannya. Bagi Kiran tuhan itu antara ada dan tidak ada. Adanya karena semua orang meyakini bahwa tuhan ada, meskipun tidak dapat dibuktikan secara empiris. Proses asusila yang dilakukan dengan semua orang merupakan bagian yang sangat kecil diantara kebesarannya sebagai tuhan. Kedua, tuhan tidak dapat dimintai tanggung jawab atas segala bentuk perbuatan manusia. Bagi Kiran seseorang akan bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Tuhan tidak akan mencampuri dan bertanggung jawab terhadap segala bentuk yang dilakukan manusia. Manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas segala berbuatannya. Terkait dengan hal ini eksistensialime berpendapat bahwa “Jangan mencari tuhan karena anda membutuhkan jawaban, tetapi carilah tuhan karena anda tahu bahwa dialah jawaban yang ada butuhkan”.
DAFTAR PUSTAKA Dahlan, Muhidin M. 2008 .Tuhan Izinkanlah Aku Menjadi Pelacur (Memoar Luka Seorang Muslimah). Yogyakarta. SkipTa Mament. Janssens & Gerris. 1992. Child Meaning Empathy and Prosocial Development. Amsterdam: Swets & Zeitlinger. Sartre, Jean-Paul. 2007.Existentialism Is a Humanism (L’Existentialisme est un humanisme). London: Yale University Press. 65
Tjaya, Thomas Hidya. 2004. Kierkegaard dan Pergaulan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: Gramedia. Zaskuri, Hafizh. 2009. Eksistensialisme Religius. Makalah Tidak Diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
66
HUMOR DALAM KARYA SASTRA Ari Ambarwati Universitas Islam Malang
[email protected]
ABSTRACT The article discuss about how humor works in the literary works. Humor is the language phenomena that is challenging to study., while the research of humor in Indonesian literary works are rarely to do. Humor in the literary works could be the bridge to love reading activity. The description of the character, the description of the context situation of humor, and the language exploration which has the humor touch in the literary works are the strong appeal to the reader, especially to get more engagement to appreciate the literature. Key words: Humor, literary work PENDAHULUAN
Perhatikan gambar tersebut di atas. Binatang apakah yang tergambar di sana? Ada yang mengatakan gambar seekor bebek yang menoleh ke kiri, tetapi ada juga yang menyatakan gambar tersebut adalah seekor kelinci menghadap ke kanan. Ada pula yang menyatakan gambar tersebut menunjukkan seekor bebek sekaligus seeekor kelinci. Gambar tersebut mengandung ilusi optikal yang menarik perhatian dan menjadi sumber kesenangan bagi yang melihatnya (Coles, 2009:8). Gambar tersebut memunculkan ambiguitas, tetapi itulah yang menjadi daya tarik gambar tersebut. Jika sang penggambar menegaskan gambar tersebut adalah bebek dan bukan kelinci, atau sebaliknya, maka gambar tersebut kehilangan daya tariknya. Ambiguitas menciptakan kesenangan atas gambar tersebut, sekaligus ‘merusak’ identitas serta keefektifan gambar bebek dan kelinci.
67
Paparan di atas menunjukkan bagaimana sebuah gambar bisa memunculkan ambiguitas dan menimbulkan kesan menarik bagi yang melihat. Ambiguitas juga terjadi saat humor diproduksi, seperti pada teka-teki berikut. 1. + Bagaimana gajah bisa keluar dari kulkas? Sama seperti saat ia masuk ke kulkas. 2. + Bagaimana empat gajah bisa masuk kedalam VW? -
Dua gajah duduk di kursi belakang, dua yang lain duduk di kursi depan.
Ambiguitas dalam dua teka-teki tersebut memunculkan tawa dari pendengarnya. Bagaimana mungkin gajah dengan ukuran tubuh yang luar biasa besar bisa masuk kedalam kulkas maupun kedalam mobil?. Ambiguitas tersebut jika dijelaskan dengan logika tentu membuat teka-teki tersebut menjadi tidak lucu lagi.Teka-teki tersebut jelas membelokkan logika berpikir. Humor, baik verbal maupun nonverbal pada hakikatnya merupakan rangsangan yang secara spontan memancing tawa dan senyum penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum merupakan indikator yang paling jelas bagi penikmatan humor. Humor adalah bentuk permainan bahasa yang disukai manusia. Humor dapat ditemukan dalam sastra lisan dengan beragam bentuk seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, dan nyanyian rakyat. Humor dalam sastra tulis bisa berbentuk teka-teki, kartun, karikatur, pelesetan, hiperbol, ironi, satire, dan metafora. Contoh teka-teki dalam karya sastra tulis adalah sebagai berikut. “Ikan bernafas dengan apanya, Pus?ujar Uwi. Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab,”Dengan insang.” “Ya betul, kalau ular Pus?” “Ular?Ng…Dengan kulitnya!” “Seratus! Kalo gajah bernafas dengan…?” “Hidungnya!” “Salah!” Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa? Tanyanya sambil memandang ke arah Uwi. “Gajah bernafas dengan…teman-temannya!” Ujar Uwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi…Iya kan? Mereka selalu bergerombol.” (Hariwijaya, 1990:64) 68
Teka-teki yang menjadi subjek percakapan Uwi dan Lupus memunculkan humor karena Uwi tiba-tiba membelokkan logika berpikir teka-teki sebelumnya. Pembelokkan logika itulah yang kerap disebut sebagai ketidaksejajaran dalam teori humor. TEORI HUMOR Humor adalah fenomena bahasa yang menarik untuk dikaji. Danandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor, baik yang bersifat erotis dan protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam konteks tersebut, humor dapat menyalurkan ketegangan batin penikmatnya,bahkan menjadi sarana untuk melakukan protes terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Apte (1985:14) menyebutkan bahwa ada tiga atribut yang dilekatkan pada humor. Pertama, humor merupakan sumber yang merangsang tindakan potensial. Kedua, humor merupakan aktifitas intelektual dan kognitif yang bertanggung jawab pada persepsi dan evaluasi yang menuntun pada pengalaman penikmatan humor. Ketiga, humor merupakan respon sikap yang diekspresikan melalui senyum, tertawa, atau kedua-duanya. Kemenarikan humor bukan saja terletak pada aspek ketidaksejajaran logika, tetapi juga pada aspek perlawanan dan aspek psikologis yang muncul dalam humor. Hal tersebut sejalan dengan tiga teori klasik tentang humor yaitu, teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori superioritas (superiority theory), dan teori pembebasan (relief theory) (Krikmann, 2002:4). Teori Ketidaksejajaran Ketidaksejajaran pada dasarnya bertumpu pada kemampuan kognitif seseorang. Teori ini mengasumsikan bahwa tiap aksi melibatkan dua isi rencana yang berbeda. Rencana yang berbeda tersebut bisa berwujud lini pemikiran, kerangka referensi, skema ataupun naskah. Rencana tersebut saling bertentangan, tetapi juga melibatkan bagian umum tertentu yang membuat pergeseran dari satu rencana ke rencana berikutnya menjadi mungkin. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Humor secara tidak kongruen (tidak sejajar) menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda kedalam satu objek yang kompleks Dalam humor, terma ketidaksejajaran merujuk pada kemungkinan dua makna yang dipahami dalam sebuah ujaran (Ross, 2005:40). Hal ini disebut juga sebagai permainan kata-kata (pun). Dalam konteks tersebut, humor memiliki elemen konflik yang diharapkan dengan apa yang kemudian terjadi dalam lelucon. Konflik disebabkan oleh 69
ambiguitas pada tingkatan bahasa. Lini hentak (punchline) humor muncul setelah pun dan kemudian interpretasinya tidak seperti yang diharapkan pendengar ataupun pembaca. Interpretasi tersebut bisa jadi mengejutkan dan tidak terduga hingga membuat pendengar atau pembaca tertawa karena tidak sesuai dengan logika yang mereka pikirkan sebelumnya. Contoh berikut ini akan memperjelas konsep ketidaksejajaran. +Siapa yang mengajarimu bermain anggar? -Zorro ( Wijana, 1994:28) Pertanyaan di atas diajukan dalam kaitannya dengan anggar sebagai bidang olahraga yang memerlukan keahlian profesional. Sang penanya berharap mendapatkan jawaban yang sejajar (jawaban yang diharapkan adalah tokoh nyata yang handal bermain anggar), tetapi jawaban yang diperoleh mengejutkan karena Zorro adalah tokoh fiktif dalam film yang kebetulan handal bermain anggar. Zorro adalah lini hentak (punchline) dalam humor tersebut. Teori Superioritas Teori superioritas disebut juga sebagai teori peremehan, pengkritikan, atau permusuhan yang menonjolkan perilaku negatif pencetus atau pengguna humor terhadap targetnya. Umumnya humor seperti ini diungkapkan untuk melawan seseorang secara politis, etnis, maupun untuk mengolok-olok gender tertentu. Morreall dalam Billig (2005:127) menyatakan bahwa teori superioritas dianggap sebagai teori humor yang muncul pertama kali jika dilihat dari sejarahnya. Pada awalnya, superioritas bukanlah benar-benar sebuah teori. Baik Plato maupun Aristoteles tidak menggambarkan pandangannya terhadap humor sebagai sebuah teori. Mereka menghasilkan observasi-observasi terpisah saat mendiskusikan pendidikan, retorika serta moralitas sosial secara lebih luas. Lebih jauh lagi, observasi mereka tidak dapat dikatakan mendominasi bidang atau wilayah yang telah ada seperti gelak tawa. Gelak tawa (laughter) bukanlah topik khusus yang diajarkan di kelas dengan kurikulum tertentu pada abad pertengahan. Gelak tawa bukanlah masalah yang sangat menarik perhatian para ahli filsafat sebelum abad ke tujuhbelas dan delapanbelas. Dalam The Republic, Socrates jelas mendiskusikan bagaimana gelak tawa dapat digunakan untuk mengatur tingkatan sosial. Keadaan ideal haruslah berupa komunitas yang secara hirarkis dipimpin oleh para pangeran ahli filsafat, yang dedikasinya adalah mengejar kebenaran dan tidak menolerir oposisi. Seperti juga makan, minum dan aktifitas 70
seksual, gelak tawa adalah kesenangan yang harus dikendalikan. Para bangsawan saat itu tidak terlalu nyaman jika para pengawalnya tertawa terlalu banyak. Keadaan itu dianggap merendahkan martabat mereka sebagai bangsawan. Berikut ini adalah contoh humor yang digunakan untuk mengritik keadaan tertentu. Tak disangsikan, jika di zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat disbanding segantang padi. Triliunan rupiah asset tertanam di sana, miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di zoom in, kekayaan ituterperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. Hanya beberapa jengkal dari luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industry. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga saat malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu. (Hirata, 2005:49-50). Ada gambaran yang kontradiktif dalam kutipan tersebut di atas. Dua hal disandingkan untuk menunjukkan bagaimana kontrasnya kehidupan di dalam dan di luar Gedong. Pernyataan itu digunakan penulis untuk mengkritisi, bahkan menggugat kemiskinan yang dialami sebagian warga Belitong. Dua kalimat terakhir mengandung kata-kata yang menyindir kondisi kemiskinan warga Melayu, karena kebiasaan mereka yang memiliki banyak anak karena tidak memiliki kegiatan produktif lain di malam hari. Ini adalah satire yang menjadi elemen humor dalam fiksi. Satire memunculkan humor yang menertawakan keadaan dan situasi tertentu karena bersifat reflektif. Orang bisa berkaca bahwa kebiasaan memiliki banyak anak di keluarga miskin adalah realitas yang tak terbantahkan dan orang bisa terseyum bahkan tertawa karenanya. Bisa jadi mereka menertawai diri sendiri. Teori Pembebasan Teori pembebasan seringkali juga disebut sebagai teori psikoanalitik milik Sigmund Freud. Teori pembebasan berfokus pada penerima humor. Lebih spesifik lagi, teori ini 71
berfokus pada efek psikologis humor terhadap penerimaan seseorang. Freud menyatakan bahwa humor sebagai sebuah mekanisme substitusi yang memungkinkan mengubah dorongan impulsif agresif seseorang, yang ditabukan secara sosial, dapat diterima ((Krikmann, 2002:10). Teori pembebasan memungkinkan seseorang memperoleh pelepasan terhadap tekanan yang dihadapinya melalui humor. Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana, 1994:22). Dalam keadaan tertekan, orang bisa tertawa jika ancaman yang menghantuinya dapat dihilangkan. Tertawa dalam hal ini muncul bila sesuatu yang diharapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang menjadi kenyataan adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial). Contoh berikut ini akan memperjelas konsep pembebasan. + Ada lima orang sedang berlayar tiba-tiba perahunya terbalik.Kelimanya tercebur. - Lalu? + Setelah berenang mencapai pantai keempat orang itu basah kuyup, dari ujung kaki sampai ujung rambut. - Orang yang satunya bagaimana? + Orang yang satunya rambutnya tidak basah sama sekali, hebat kan? - Kok bisa begitu? + Kan dia botak… (Wijana, 1994:22-23) Dalam percakapan tersebut, pendengar begitu asyik mendengarkan cerita lawan bicaranya. Ia merasa heran karena orang kelima tidak basah rambutnya seperti keempat kawannya yang lain. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi berpikir bahwa orang kelima tersebut tidak memiliki rambut alias botak. Pikirannya tersandera pada bayangan bahwa pastilah orang kelima tersebut memiliki keistimewaan. Keistimewaan tersebut adalah sesuatu yang diharap-harapkannya, tetapi justru hal remeh (kepala botak) yang tidak diharapkannya hadir. KAJIAN HUMOR DALAM KARYA SASTRA Kajian humor dalam karya sastra di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian humor dalam karya sastra Jawa modern pernah dilakukan Pradopo (Wijana, 1994:12). Penelitian tersebut mengkaji humor dengan pendekatan semantik yang membagi humor dalam sastra Jawa modern menjadi tiga jenis, yakni humor sebagai kode bahasa, humor 72
sebagai kode sastra, dan humor sebagai kode budaya. Sebagai kode budaya dan kode bahasa, humor merupakan hasil budaya masyarakat pendukungnya sehingga identitasnya sebagai humor hanya dapat diberi makna sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri. Humor terikat dengan konteks budaya masyarakat yang menghasilkannya.Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa humor di dalam sastra berperan sebagai pengikat tema dan fakta cerita. Penelitian tentang humor masih banyak dilihat dari sisi linguistik, seperti yang dilakukan Wijana dalam Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kartun (1983), Bahasa Indonesia dalam Cerita Humor (1985),dan Bahasa Humor Anak-anak (1986) (Wijana, 1994:16). Ketiga penelitian tersebut lebih banyak melihat humor sebagai permainan bahasa, sehingga cenderung menguraikan penyimpangan aspek-aspek semantik kebahasaan, seperti polisemi, homonimi, idiom, dan peribahasa. Penelitian sejenis juga pernah dilakukan Soedjatmiko dalam Aspek Linguistik dan Sosiokultural dalam Humor. Ia menyatakan bahwa secara linguistik humor dapat didekati dengan pendekatan
semantik dan pragmatik (Soedjatmiko 1994:19). Menurut
pendekatan semantik, masalah humor berpusat pada ambiguitas yang dilaksanakan dengan mempertentangkan makna pertama (M1) yang memiliki makna berbeda dengan makna kedua (M2). Pembaca atau pendengar menikmati kelucuan apabila ia mengambil salah satu makna, dan kemudian menertawakan dirinya sendiri karena ia salah. Nielsen (1993:262) menyatakan bahwa humor merupakan aspek yang sangat penting bagi sastra anak maupun sastra orang dewasa. Karya sastra anak yang bermuatan humor mampu menjangkau lebih banyak pembaca anak-anak. Humor juga dianggap mampu memicu anak-anak yang mulanya segan menjadi suka membaca. Zbaracki (2003:122) menyimpulkan bahwa humor memotivasi pembaca anak-anak untuk menggunakan strategi membaca yang bervariasi serta mendorong mereka untuk membagikan apa yang sudah mereka baca kepada orang lain sebagai interaksi sosial di dalam kelas. Humor dalam karya sastra yang ditulis untuk anak-anak membuat mereka lebih antusias membaca. Keterlibatan aktif anak-anak dalam kelas membaca akan membangun pengetahuan, kompetensi sosial, kemahiran membaca, dan motivasi jangka panjang mereka untuk terus membaca (Zbaracki, 2003:123). Kondisi tersebut adalah prasyarat yang dibutuhkan untuk menjadikan anak-anak sebagai pembaca sepanjang hayat. Penelitian Smith (1967:215) menunjukkan bahwa keasyikan menemukan ketidaksejajaran dalam sebuah karakter atau mendapati karakter yang aneh dalam karya sastra merupakan hal yang menimbulkan humor bagi anak-anak maupun orang dewasa.
73
Humor memainkan peran penting dalam karya sastra. Humor menjadi daya pikat untuk menikmati karya sastra. Sebagai homo ludens (mahluk yang bermain), manusia suka bermain dengan bahasa yang diproduksinya. Humor diproduksi manusia untuk menghibur diri sendiri dan orang lain sebagai salah satu bentuk permainan yang menggunakan bahasa. Humor adalah bentuk kreatifitas manusia dalam menggunakan bahasa. Humor dalam drama muncul dalam
bentuk
komedi.
Komedi adalah
adegan
dalam
drama
yang
menggambarkan kegembiraan dan kelucuan. Dalam drama tradisional, seperti ludruk misalnya, komedi dihadirkan melalui kidungan. Menurut Peacock dalam Maryaeni (2011:17), Kidung merupakan nyanyian yang dibawakan oleh penyanyi laki-laki, wanita, dan pelawak, baik secara solo, duet, maupun koor yang berbentuk puisi lirik dengan diiringi gamelan khas Jawa. Kidung kerap memunculkan humor karena menggunakan permainan bahasa pelesetan yang berbentuk pantun, seperti Yu Ginten Kleleken timba, namung semanten kidungan kula (Mbakyu Ginten tidak sengaja menelan timba, cukup sekian nyanyian saya) (Maryaeni, 2011:18). Kidung yang mengandung humor dalam ludruk juga digunakan untuk melakukan perlawanan seperti dalam ludruk garingan almarhum Markeso. Salah satu kidungan miliknya yang terkenal adalah pagupon omahe dara, melok Nippon uripe sara (Pagupon rumahnya burung dara, ikut Jepang hidupnya sengsara). Itu adalah salah satu bentuk satire yang ditujukan untuk menyindir pilihan sikap orang-orang Indonesia yang pada zaman penjajahan Jepang lebih memilih menjadi kaki tangan Jepang daripada membela tanah airnya sendiri. Dalam novel Indonesia, humor muncul sebagai sarana untuk menghibur pembaca sekaligus alat untuk melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Humor muncul dalam kisahkisah keseharian dalam tetralogi “Drunken” (Drunken Mama, Drunken Monster, Drunken Molen, Drunken Marmut) karya Pidi Baiq. Berikut cuplikan humor dalam Drunken Mama. Tapi kan anak titipan Tuhan / … / berarti terserah Tuhan dong mau nitip kapan? / … / Kalau Tuhan nitipnya pas kami belum nikah? / Berarti kamu dosa! / Kok, Tuhan yang nitip malah kami yang dosa? (Baiq, 2011:110) Mengapa Tuhan tidak menampakkan dirinya?… / … karena, ya itu, kalau Tuhan menampakkan dirinya, berarti Tuhan tidak adil. / Kenapa? / Iya, berarti kasihan orang buta… (Baiq, 2011:l 88) Humor tersebut bukan sekadar kumpulan humor seperti yang akhir-akhir ini muncul memenuhi rak-rak di toko buku, tetapi dibuat dengan sengaja memasukkan 74
humor sebagai elemen pembangun cerita. Novel-novel Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi juga kental dengan humor. Dalam Laskar Pelangi, ia menggunakan satire (sindiran) yang membuat pembacanya menangis sekaligus tersenyum, seperti dalam cuplikan berikut ini. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru, ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokatis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”(Hirata, 2005:71). SIMPULAN Humor adalah pembengkokan logika berbahasa yang digunakan oleh penulis atau penutur untuk tujuan-tujuan tertentu. Humor bisa digunakan sebagai sarana menghibur pembaca dan pendengar, tetapi juga dapat dipakai sebagai sarana otokritik dan kritik kepada orang lain. Di Indonesia, humor belum menjadi bidang kajian yang banyak ditekuni, padahal humor berkaitan dengan permainan dan kreatifitas penggunaan bahasa. Kajian humor dalam karya sastra juga masih minim jika dibandingkan dengan kajian humor dalam bidang linguistik. Fenomena permainan dan kreatifitas penggunaan bahasa dalam humor berkaitan dengan praktik berbahasa yang melibatkan banyak bidang ilmu, mulai dari pengkajian struktur humor yang bisa didekati secara linguistik, pragmatik, sosiologi, juga melibatkan latar budaya tempat dihasilkannya humor. Indonesia yang multietnis dan multikultur tentu menjadi alasan kuat mengapa kajian humor perlu dilakukan secara serius, khususnya humor dalam karya sastra.. Beberapa penulis khususnya penulis cerita anak dengan sengaja memasukkan humor sebagai elemen pembangun cerita untuk menarik anak-anak agar suka membaca. Misalnya seperti Hilman Hariwijaya yang menulis serial Lupus Kecil. Humor dalam serial Lupus Kecil muncul dalam berbagai ragam, mulai dari permainan teka-teki kata, mengritik orang dewasa, dan pantun jenaka. Meski ditulis oleh penulis yang nota bene orang dewasa, humor dalam Lupus Kecil dapat dinikmati anak-anak dengan rentang usia di atas tujuh hingga 12 tahun. Selanjutnya, humor dalam karya sastra dapat mendekatkan pembaca dengan apresiasi dan kritik sastra.
DAFTARA PUSTAKA 75
Apte, Mahadev, L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca: Cornell University Press. Baiq, Pidi. 2011. Drunken Mama. Jakarta. Gagas Media. Billig, Michael. 2005. Laughter and Ridicule. London. Sage Publication Ltd. Coles, William, H. 2009. How Humor Works in Fiction.www.storyinliteraryfiction.com. Diunduh 21 Februari 2013. Hariwijaya, Hilman. 1990. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia. Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta. Bentang Pustaka. Krikmann, Avo. 2002. Contemporary Linguistics of Humor. www.folklore.ee/folklore/vol33/kriku.pdf. Diunduh 5 Januari 2013. Maryaeni. 2011. Kesenian Ludruk: Dampak Akulturasi Budaya Terhadap pendidikan Budi Pekerti Anak Bangsa. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UM Nielsen, Don. 1993. Humor Scholarship: A Reasearch Bibliography. Westport. CT: Greenwood Press Ross, Alison. 2005. Language of Humor. London. Routledge. Smith, John. 1967. A Critical Approach to Children Literature. Mc Graw Hill. Wijana, I Dewa Putu. 1994. Wacana Kartun Dalam Bahasa Indonesia. UGM. Disertasi tidak diterbitkan. Zbaracki, Matthew.D. 2003. A Descriptive Study of How Humor in Literature Serves to Engage Children in Their Reading. Ohio State University. Disertasi.
76
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR TEKS CERPEN UNTUK SISWA SMP KELAS VII Dina Merdeka Citraningrum Unmuh Jember Email:
[email protected] ABSTRACT The activity of short story lerning for the seventh grader (junior high school of seventh grader) face some problems. The problems are the lack of the relevant learning source, the lack of the student interest to the uninteresting method and the strategy learning of the teacher. The implication of the problems are the limited learning material. The article offers the solution of the problems. The research article expand the manifestation of the applicative learning material using the new study. Key words: development learning material , short story text, The seventh grader
PENDAHULUAN Pelaksanaan pembelajaran teks cerpen berdasarkan observasi selama ini, mengalami beberapa hambatan. Hambatan tersebut disebabkan karena alokasi jam pelajaran diberikan secara tidak seimbang, sehingga berakibat pada pembatasan materi pelajaran yang akan dikembangkan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: kurangnya media dan alat-alat yang dibutuhkan dalam pembelajaran; kurangnya sumber bahan ajar atau buku ajar yang relevan; serta kurangnya minat belajar siswa karena metode atau strategi yang dipilih guru dalam pembelajaran kurang menarik atau menantang. Hambatan-hambatan tersebut bisa terjadi, karena meskipun sudah ada perencanaan mengajar yang disusun oleh guru, namun perencanaan mengajar tersebut masih dianggap kurang memadai bila digunakan di sekolah seperti kondisi sekarang ini. Oleh karena itu, guru harus dapat menyusun perencanaan mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar. Perencanaan mengajar tersebut bisa berupa, pemilihan metode atau strategi, media, serta langkah-langkah pembelajaran yang diaplikasikan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran. Sehingga materi yang diajarkan guru akan mudah dipahami oleh siswa. Sehubungan dengan hal tersebut maka, diperlukan sebuah bahan ajar dan strategi yang menarik dan aplikatif sebagai sumber belajar. Berdasarkan permasalahan tersebut, guru dapat membuat alternatif dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan bahan ajar teks cerpen yang relevan dengan kebutuhan siswa SMP kelas VII. Melalui materi teks cerpen tersebut siswa dilatih 77
untuk menemukan sendiri pesan yang tertuang dalam materi bahan ajar, sehingga dengan mengalami sendiri siswa akan lebih aktif. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa penerapan materi teks cerpen dan pendekatan pembelajaran yang dipilih juga mempunyai posisi yang strategis di dalam pembelajaran. Pendirian itulah yang mendorong peneliti melakukan penelitian pengembangan bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Masalah umum dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah wujud bahan ajar teks cerpen untuk siswa kelas VII SMP? Masalah khusus penelitian ini adalah bagaimanakah: (a) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian pendahuluan untuk siswa kelas VII SMP? (b) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian isi untuk siswa kelas VII SMP? (c) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian penutup untuk siswa kelas VII SMP? METODE Penelitian ini menggunakan metode pengembangan. Dipilihnya metode pengembangan tersebut adalah untuk menghasilkan suatu rancangan atau produk yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah aktual dalam kegiatan pembelajaran. Model pengembangan ini adalah menghasilkan suatu produk berupa bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari desain pembelajaran Dick dan Carey (1985). Model desain pembelajaran Dick dan Carey dirumuskan dengan tahapan mengenali (1) tujuan pembelajaran, (2) melakukan analisis pengajaran, (3) mengenali tingkah laku masukan dan ciri siswa, (4) merumuskan tujuan performansi, (5) mengembangkan butir tes acuan patokan, (6) mengembangkan strategi pengajaran, (7) mengembangkan dan memilih materi pengajaran, (8) merancang dan melakukan penilaian formatif, (9) merevisi pengajaran, dan (10) merancang dan melakukan penilaian sumatif. Desain model pembelajaran Dick dan Carey tersebut dilakukan secara prosedural. Adit (2009) mengungkapkan bahwa desain model pembelajaran Dick dan Carey menyarankan agar penerapan prinsip desain pembelajaran disesuaikan dengan langkahlangkah yang harus ditempuh secara berurutan. Dalam pengembangan bahan ajar ini, desain model pembelajaran Dick dan Carey (1985) disesuaikan dengan kondisi lapangan. Tahapan yang diambil dalam desain pembelajaran Dick and Carey (1985) yaitu: (1) tujuan pembelajaran, (2) melakukan analisis pengajaran, (3) mengembangkan dan memilih materi pengajaran, (4) merancang dan melakukan penilaian formatif, (5) merevisi pengajaran. Selanjutnya pengembang menyusun dan mengembangkan langkah-langkah dalam pengembangan bahan ajar sebagai berikut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam 78
pengembangan bahan ajar ini melalui empat tahap yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap pengembangan, (3) tahap evaluasi, dan (4) tahap revisi. Produk yang dihasilkan pada penelitian ini adalah bahan ajar. Bahan ajar tidak dapat dibuat tanpa dilakukan penyusunan dan uji RPP. Oleh sebab itu, produk berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) digunakan sebagai bahan yang harus dibuat terlebih dahulu untuk menyusun bahan ajar. Berdasarkan model pengembangan, prosedur pengembangan dari masing-masing produk dibagi menjadi empat bagian yaitu tahap persiapan, tahap pengembangan, tahap uji produk, dan tahap revisi. Rencana pelaksanaan pembelajaran dan bahan ajar yang dihasilkan diujicobakan pada praktisi dan ahli. Sedangkan siswa sebagai subjek uji lapangan hanya menguji bahan ajar teks cerpen. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa data verbal dan numerik. Data verbal adalah data yang dikumpulkan dengan instrumen penelitian di lapangan secara sistematis, melalui informasi lisan dari ahli, guru, dan siswa berupa komentar, saran, kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Sedangkan data numerik adalah skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi. Data rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dibagi menjadi dua. Data pertama berupa data verbal yang merupakan informasi lisan dari ahli, dan guru berupa komentar, saran, dan kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Data verbal yang merupakan informasi lisan dari ahli, dan guru dicatat secara sistematis melalui tabel komentar, saran, dan kritik. Data lainnya yaitu skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Seperti halnya data RPP, data bahan ajar juga dibagi menjadi dua. Data pertama berupa data verbal yang merupakan informasi lisan dari ahli, guru, dan siswa berupa komentar, saran, dan kritik yang dihimpun selama waktu uji coba. Data lainnya yaitu skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi bahan ajar. Untuk mengumpulkan data dari masing-masing subjek uji coba digunakan instrumen berupa panduan observasi dan penilaian. Panduan ini berisi poin-poin pengamatan dan penilaian atas RPP dan bahan ajar yang diujicobakan. Panduan observasi dan penilaian ini dibagi menjadi dua yaitu panduan observasi rencana pembelajaran dan panduan observasi bahan ajar. Analisis data bahan ajar dilakukan dengan cara (1) mengumpulkan data yang diperoleh dari lembar observasi dan data verbal yang dicatat secara sistematis dalam tabel komentar, saran, dan kritik; (2) menghimpun, menyeleksi dan mengklasifikasi data berdasarkan kriteria penilaian; dan (3) menganalisis data dan merumuskan simpulan hasil analisis sebagai dasar untuk melakukan tindakan terhadap produk bahan ajar. 79
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pengembangan ini menghasilkan produk berupa bahan ajar. Produk berupa bahan ajar tidak dapat dihasilkan tanpa serangkaian uji produk yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) teks cerpen diujicobakan dalam dua tahap uji coba yaitu pada ahli, dan praktisi. Bahan ajar teks cerpen diujicobakan dalam tiga tahap uji coba yaitu uji ahli, uji praktisi, dan uji lapangan. Uji ahli dilakukan oleh ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Uji praktisi oleh guru bahasa dan sastra Indonesia SMP Kosgoro Sragi, dan uji lapangan dilakukan oleh siswa kelas VII B SMP Kosgoro Sragi. Data yang diperoleh dari hasil uji RPP dan bahan ajar berupa data verbal dan numerik. Data verbal dikumpulkan dengan instrumen penelitian di lapangan, melalui informasi lisan dari subjek uji yang dicatat secara sistematis oleh peneliti dalam tabel komentar, saran, dan kritik. Sedangkan data numerik diperoleh dari skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data pada lembar observasi. Baik uji RPP dan uji bahan ajar dijelaskan masing-masing berikut. Pada uji RPP, tahap pertama dilakukan uji coba pada ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Data yang diperoleh dari hasil uji ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berupa data numerik dan verbal. Data numerik diperoleh dari skor penilaian yang dituliskan oleh sumber data yaitu ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada lembar observasi. Data yang diperoleh dari hasil uji ahli sastra dan ahli pembelajaran tersebut kemudian disempurnakan. Setelah dilakukan penyempurnaan, maka pada tahap kedua RPP diujicobakan pada praktisi. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah diujicobakan pada praktisi tersebut, selanjutnya disempurnakan. RPP yang telah dilakukan penyempurnaan inilah yang akan dilakukan dalam rujukan pengembangan bahan ajar. Setelah dilakukan serangkaian uji coba dan penyempurnaan RPP, maka dilakukan pengembangan bahan ajar. Pada tahap pengembangan bahan ajar ini, dilakukan serangkaian uji coba yang dilakukan oleh ahli sastra, ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan siswa. Serangkaian uji coba yang dilakukan baik oleh ahli sastra, ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan siswa adalah untuk mengembangkan wujud bahan ajar teks cerpen untuk siswa kelas VII SMP. Hasil pengembangan yang dimaksud adalah (1) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian pendahuluan untuk siswa kelas VII SMP, (2) wujud bahan ajar teks cerpen pada 80
bagian isi untuk siswa kelas VII SMP, dan (3) wujud bahan ajar teks cerpen pada bagian penutup untuk siswa kelas VII SMP. Dari uji coba produk, ada empat data yang dapat diungkap yaitu (1) data uji ahli sastra, (2) data uji ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, (3) data uji praktisi atau guru, dan (4) data uji siswa atau kelompok kecil siswa. Data uji coba produk berupa data kuantitatif, dan data kualitatif. Data kuantitatif hasil uji ahli sastra memiliki perbedaan aspek penilaian dengan hasil uji coba ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan hasil uji kelompok kecil siswa. Data hasil uji yang diperoleh pada ahli sastra ini adalah berdasarkan penilaian yang mencakup kriteria: (1) keakuratan bahan ajar, (2) keluasan bahan ajar, dan (3) kedalaman bahan ajar. Data hasil uji coba ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, praktisi, dan hasil uji kelompok kecil siswa adalah berdasarkan penilaian yang mencakup kriteria: (1) sistematika penyajian bahan ajar, (2) isi bahan ajar, (3) bahasa yang digunakan dalam bahan ajar, dan (4) tata letak dan tampilan bahan ajar. Data kualitatif mencakup (1) komentar, saran, dan kritik ahli sastra, (2) komentar, saran, dan kritik ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, (3) komentar, saran, dan kritik praktisi atau guru. Berdasarkan hasil analisis data uji coba di atas perlu dilakukan revisi produk. Revisi produk dilakukan agar produk yang dihasilkan lebih lengkap dan sempurna sehingga sesuai dengan kebutuhan. Revisi produk sebenarnya telah dilakukan sejak awal, ketika produk mulai digunakan dalam uji coba ahli sastra, dan ahli pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan demikian, revisi produk merupakan proses panjang dan tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi setiap kali selesai uji coba langsung dilakukan revisi. Hasil, data, analisis data, dan revisi yang telah dikemukakan pada bagian hasil di atas telah memberi indikasi kuat bahwa penyusunan bahan ajar tepat adanya. Agar hasil, data, analisis data, dan revisi pengembangan bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII dipahami lebih jelas dan mendalam serta tampak kaitannya dengan teori dan hasil penelitian, berikut disajikan pembahasannya. Bahan ajar merupakan isi pembelajaran yang termuat di dalam buku yang ditulis oleh pengajar atau penulis lain untuk kepentingan pembelajaran atau perkuliahan (Mbulu, 2001:87). Bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi perkuliahan yang disusun secara sistematis yang digunakan dosen dan mahasiswa dalam proses perkuliahan (Pannen, 2001:69). Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah bahan-bahan atau materi pembelajaran yang disusun secara sistematis oleh pengajar untuk kepentingan pembelajaran. 81
Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa bentuk bahan ajar dapat dibagi menjadi lima kelompok antara lain:1) bahan cetak (hand out, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, dan wallchart);2) audio (radio, kaset, CD audio, dan PH);3) visual (foto, gambar, dan model/maket);4) audio visual (video/film, dan VCD);dan 5) multimedia (CD interaktif, computer based, dan internet). 2
Bentuk bahan ajar yang dihasilkan ini disusun dalam bentuk buku. Sapta (2009)
menjelaskan bahwa, buku adalah bahan tertulis yang menyajikan ilmu pengetahuan buah pikiran dari pengarangnya. Oleh pengarangnya isi buku didapat dari berbagai cara misalnya: hasil penelitian, hasil pengamatan, aktualisasi pengalaman, otobiografi, atau hasil imajinasi seseorang yang disebut sebagai fiksi. Buku adalah sejumlah lembaran kertas baik cetakan maupun kosong yang dijilid dan diberi kulit. Buku sebagai bahan ajar merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan hasil
analisis
terhadap
kurikulum
dalam
bentuk
tertulis.
Lebih lanjut Sapta (2009) memaparkan bahwa, buku yang baik adalah buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik dilengkapi dengan gambar dan keterangan-keterangannya, isi buku juga menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan ide penulisannya. Buku pelajaran berisi tentang ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk belajar, buku fiksi berisi tentang pikiran-pikiran fiksi seorang penulis, dan seterusnya. Dalam membuat buku teks (bahan ajar sastra) yang baik, perlu dipertimbangkan aspek estetika sastra, sastra, dan moral. Ketiga aspek tersebut masing-masing dijabarkan sebagai berikut. Aspek estetika yang perlu dihadirkan dalam sebuah buku teks (bahan ajar sastra) antara lain: (1) bahan ajar sastra mampu menghidupkan atau memberi pengetahuan baru bagi pembaca, menuntun pembaca melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap apa yang dimiliki, (2) bahan ajar sastra mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir, berbuat lebih banyak, dan lebih baik bagi penyempurnaan kehidupan, dan (3) bahan ajar sastra mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik masa lalu dalam kaitannya dengan peristiwa masa kini dan masa datang. Aspek sastra yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun buku teks (bahan ajar sastra) antara lain: (1) buku teks (bahan ajar sastra) merefleksi kebenaran kehidupan manusia. Artinya, bahan ajar sastra membekali pembaca dengan pengetahuan dan apresiasi yang mendalam tentang hakikat manusia dan kemanusiaan serta memperkaya wawasannya mengenai arti hidup dan kehidupan; (2) buku teks (bahan ajar sastra) mempunyai daya hidup yang tinggi, yang senantiasa menarik bila dibaca kapan saja; dan 82
(3) buku teks (bahan ajar sastra) menyuguhkan kenikmatan, kesenangan, dan keindahan karena strukturnya yang tersusun apik dan selaras. Aspek/norma moral apabila menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku. Nilai keagamaan yang disajikan, misalnya, harus mampu memperkukuh kepercayaan pembaca terhadap agama yang dianutnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII ditulis dengan memperhatikan aspek estetika sastra, sastra, dan moral, menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik karena dilengkapi dengan gambar atau ilustrasi. Bahan ajar teks cerpen ini disusun dalam rangka memberikan alternatif pembelajaran yang bermanfaat bagi siswa. Bahan ajar teks cerpen dirancang secara sistematis sesuai urutan kemampuan yang harus dikuasai siswa SMP kelas VII. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Teknologi pendidikan (2009) menjelaskan bahwa kriteria bahan ajar yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain: (a) substansi yang dibahas harus mencakup sosok tubuh dari kompetensi atau sub kompetensi yang relevan dengan kemampuan siswa, (b) substansi yang dibahas harus benar, lengkap dan aktual, meliputi konsep fakta, prosedur, istilah dan notasi, serta disusun berdasarkan hirarki/langkah penguasaan kompetensi, (c) tingkat keterbacaan, baik dari segi kesulitan bahasa maupun substansi harus sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar/siswa, dan (d) sistematika penyusunan bahan ajar harus jelas, runtut, lengkap, dan mudah dipahami. Secara umum wujudbahan ajar teks cerpen yang dihasilkan terdiri atas tiga bagian. Bagian tersebut adalah bagian pendahuluan, bagian isi, dan penutup. Bagian pendahuluan berisi sampul; kata pengantar; daftar isi bahan ajar; petunjuk penggunaan bahan ajar, dan kompetensi yang harus dicapai. Bagian isi berisi pengantar teori; teori tentang unsur-unsur intrinsik teks cerpen; contoh beserta latihan. Bagian penutup berisi refleksi kesalahan terhadap pembelajaran dan daftar rujukan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Produk yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu bahan ajar teks cerpen untuk siswa SMP kelas VII. Produk ini diperoleh melalui proses penyempurnaan dan uji coba sehingga menghasilkan produk yang memenuhi kriteria. Berdasarkan hasil uji coba, maka dapat ditarik simpulan dari produk yang dihasilkan berikut.
83
Bahan ajar merupakan perwujudan dari skenario pembelajaran. Bahan ajar yang dikembangkan dikemas dalam bentuk buku disajikan secara menarik, dan sistematis dengan menggunakan bahasa, serta ilustrasi yang mendukung siswa dalam memelajari teks cerpen. Wujud dari bahan ajar yang dikembangkan yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian pendahuluan bahan ajar berisi sampul, kata pengantar, daftar isi buku ajar, petunjuk penggunaan buku ajar, dan kompetensi yang harus dicapai. Halaman pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan siswa dalam memahami materi yang akan disampaikan atau memberikan apersepsi. Bagian isi berisi pengantar teori; teori tentang unsur-unsur teks cerpen; contoh beserta latihan; Bagian isi bertujuan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator yang dikembangkan. Bagian penutup berisi refleksi pembelajaran, dan daftar rujukan. Kegiatan refleksi mendukung siswa untuk dapat memetik hikmah atau manfaat pembelajaran. Daftar rujukan memuat sejumlah daftar buku yang dapat dijadikan rujukan pembaca untuk lebih memperdalam kegiatan pembelajaran. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian pengembangan ini antara lain: (1) produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan dapat digunakan guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai rambu-rambu yang dapat diterapkan di lapangan, (2) prosedur yang telah ditempuh dalam penyusunan bahan ajar dapat digunakan oleh penyusun bahan ajar untuk membuat buku teks pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang sesuai dengan kondisi lapangan, (3) bahan ajar yang dihasilkan dapat digunakan penyusun kurikulum sebagai bahan pertimbangan pemilih teks cerpen untuk menyusun kurikulum yang relevan dengan kebutuhan siswa.
DAFTAR RUJUKAN Adit. 2009. Instructional Design Dick and Carey, (Online), (http://adit279.com/http:/adit279.com/instructional-design-dick-and-careymodel-robert-gagne%E2%80%99s-model-kemp-model/ diakses Mei 2008). Dick and Carey. 1985. The Systematic Design of Instruction (Third Edition). Illinois: Harper Collins Publishers.
84
Endraswari, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang. Mbulu, Joseph dan Suhartono. 2004. Pengembangan Bahan Ajar. Malang: Elang Mas. Sapta, Andy. 2009. Pengembangan Bahan Ajar, (Online), ( http://andysapta.blogspot.com/2009/01/pengembangan-bahan-ajar-6.html, diakses 6 Januari 2010). Sudrajat, Ahmad. 2008. Pengembangan Bahan Ajar, (Online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/pengembangan-bahanajar/, diakses 31 Desember 2009). Teknologi Pendidikan. 2009. Bahan Ajar, (Online), (http://www.teknologipendidikan.co.cc/2009/03/bahan-ajar 07/, diakses 6 Januari 2010).
85
MEMBERDAYAKAN GURU SASTRA DI TENGAH POLEMIK KERINGNYA PEMBELAJARAN SASTRA Eni Wahyuni MAN 3 Malang
[email protected]
ABSTRACT The language has the centre point on the development of emotional, intellectual, and social of the students. The language is the supporter of the students’ success on learning all the learning subjects. For the sake of it, the language learning should be given in theinteristing and pleasant to all the students. Unfortunately, the Indonesian language and literature learning in the class tend to boring and stagnant. The teacher tends to use the old fashioned technique to deliver the learning. The implication is the students do not like the Indonesian language and literature learning. The teacher of the Indonesian and literature learning has not the interest especially in literature. The next implication to the students are they failed in expanding their competency and have no any positive attiude on Indonesian language and literature. Kata Kunci: Teacher improvement, Indonesian language and literature learning. PENDAHULUAN Jika mengamati berbagai praktik pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru, akan dapat dijumpai gejala beraneka ragam. Keanekaragaman itu terjadi, baik pada tingkah laku guru, peserta didik, maupun situasi kelas. Secara umum gejala yang dapat diamati dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu: 1. Ada guru yang mengajar dengan cara menyampaikan
meteri pelajaran
semata-mata. 2. Ada guru yang sengaja menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga
peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang beraneka ragam dalam mempelajari berbagai materi pembelajaran. 3. Ada guru yang mengajar dengan memberi kebebasan kepada peserta didik
untuk memilih materi pembelajaran apa yang akan dipelajari sesuai dengan minat dan pilihannya, juga memberi kebebasan kepada setiap peserta didik untuk melakukan proses mempelajari materi pembelajaran tersebut.
86
Pada kelompok pertama, guru berperan sebagai penyampai materi pelajaran. Guru biasanya berdiri di depan kelas, menghadapi sejumlah peserta didik dan menjelaskan isi pelajara.. Sesekali mungkin ada peserta didik bertanya atau meminta penjelasan , dan guru mengulangi penjelasan sebagai jawabannya. Pada kelompok kedua, ada sementara guru yang mengajar dengan menciptakan situasi dan kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan tujuan. Oleh karena tujuan yang hendak dicapai itu beraneka ragam, maka situasi pembelajarannya pun beraneka ragam pula. Pada kelompok yang ketiga, guru berperan sebagai pembimbing belajar, namun proses pemberian bimbingan bersifat lebih bebas, tanpa ada yang mengarahkan. Peserta didik berupaya sendiri untuk memenuhi kebutuhan tentang apa yag ingin dipelajari. Setiap peserta didik dapat secara bebas
memilih materi pembelajaran yang akan
dipelajari, serta bagaimana cara mempelajarinya. Guru hanya mengikuti saja apa kemauan peserta didik dalam belajar atau “tut wuri handayani”. PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN Jika ditelusuri secara mendalam, proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah, di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pembelajaran. Komponen-komponen ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu guru, isi atau materi pembelajaran, dan peserta didik Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan demikian , guru memegang peranan sentral dalam proses pembelajaran. Peran guru dalam proses pembelajaran yang dapat membangkitkan aktivitas peserta didik setidak-tidaknya menjalankan tugas utama, berikut ini: MERENCANAKAN PEMBELAJARAN Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pembelajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantar peserta didik
mencapai tujuan
yangdiharapkan. Perencanaan ini meliputi: a.
Tujuan apa yang hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku apa yang diinginkan dapat dicapai atau dapat dimiliki oleh peserta didik setelah terjadinya prose pembelajaran. 87
b.
Materi pembelajaran yang dapat mengantarkan peserta didik mencapai tujuan. Materi pembelajaran merupakan pengalaman yang akan diberikan kepada peserta didik selama mengikuti proses pendidikan atau proses pembelajaran.
c.
Bagaimana proses pembelajaran yang akan diciptakan oleh guru agar peserta didik mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kegiatan, strategi, atau metode dalam
proses
pembelajaran
harus
disesuaikan
dengan
perencanaan
pembelajaran yang telah disusun dengan mengacu kepada tujuan yang hendak dicapai. d.
Bagaiman menciptakan dan menggunakan alat evaluasi untuk mengetahui atau mengukur apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum. Hal ini penting sebagai umpan balik untuk mengadakan perbaikan.
MELAKSANAKAN PEMBELAJARAN Pelaksanaan pembelajaran selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Namun, situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembeljaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Situasi pembelajaran itu sendiri banyak dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut a. Faktor Guru Setiap guru memiliki pola mengajar sendiri-sendiri. Pola mengajar ini tercermin dalam tingkah laku pada waktu pelaksanaan pembelajaran. Tingkah laku guru dalam mengajar bisa juga disebut dengan istilah” Gaya Mengajar atau Teaching Style”. Gaya mengajar inimencerminkanbagaiman pelaksanaan pembelajaran guru yang bersangkutan, yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang mengajar, konsep-konsep psikologi yang digunakan, serta kurikulum yang dilaksanakan. b. Faktor Peserta didik Setiap peserta didik mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian. Kecakapan yang dimilki oleh masing-masing peserta didik itu meliputi kecakapan potensial yang memungkinkan untuk dikembangkan. c. Faktor Kurikulum Secara sederhana kurikulum dalam kajian ini menggambarkan pada isi atau pelajaran dan pola interaksi belajar mengajar antara guru dan peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu.Materi pembelajaran sebagai isi kurikulum mengacu kepada tujuan yang hendak dicapai. d. Faktor Lingkungan Lingkungan fisik tempat belajar yang berarti konteks terjadinya pengalaman belajar. Lingkungan ini meliputi keadaan ruangan, tat ruang, dan berbagai situasi 88
fisikyang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Lingkungan ini pun dapat menjadi salah satu factor yang mempengaruhisituasi belajar MENGEVALUASI PEMBELAJARAN Evaluasi merupakan salah satu komponen pengukur derajat keberhasilan pencapaian tujuan, dan keefektifan prose pembelajaran yang dilaksanakan. Fungsi evaluasi antara lain untuk: a. Mengetahui apakah peserta didik dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b. Mengetahui kondisi belajar yang disiapkan, apakah dapat menyebabkan peserta didik belajar. c. Mengetahui apakah prosedur pembelajaran berlangsung dengan baik. d. Mengetahui di mana letak hambatan pencapaian tujuan tertentu. MEMBERIKAN UMPAN BALIK Menurut Stone dan Nielson dalam Purwanto (1982:11), umpan balik mempunyai fungsi untuk membantu peserta didik memelihara minat dan antusias peserta didik dalam melaksanakan tugas belajar. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah, belajar itu ditandai oleh adanya keberhasilan dan kegagalan. JIka hal ini diketahui oleh peserta didik, akan membawa dampak berupa hadiah dan hukuman. Keberhasilan berdapampak hadiah (reward) dan kegagalan berdampak hukuman (punishment). Dengan memperoleh hadiah tersebutindividu akan merasakan suatu insentifyang dapat memberikan rangsangan dan mayivasi baru dalambelajar. Sedangkan dengan hukuman individu tidak mengulangi kegagalan yang dibuatnya. Itulah sebabnya maka dalam oroses pembelajaran, umpan balik sangat penting artinya bagi peserta didik dalam belajar. PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Tampaknya pembelajaran sastra di sekolah dewasa ini hanya sekadar memenuhi target kurikulum, tidak menukik pada permasalahn apresiasi sastra lebih mendalam. Kondisi ini diperparah dengan munculnya karya-karya yang mengusung ideologi dan genre tertentu. Awal tahun 2000-an, kita tersentak dengan lahirnya novel-novel teenlit dan chicklit. Contohnya, novel cintapucino. Novel ini begitu membahana dan menjadi bacaan di kalangna remaja saat itu. Kemunculannya sempat menjadi perbincangan kalangan sastrawan di negeri ini. Sebut saja Naning Pranoto, seorang novelis. Menurutnya,kelahiran genre novel teenlit dan sejenisnya dapat mengaburkan karya sastra yang sebenarnya dan dapat merusak bahasa Indonesia. Seperti kita maklumi, 89
teenlit dan sejenisnya dalam mengususng ide-ide kreatifnya menggunakan bahasa gaul, bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar. KEDUDUKAN DAN FUNGSI PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:232), pendidikan diaratikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pembelajaran atau pengajaran. ‘Dunia guru’ adalah ‘dunia kelas’ yang secara sepihak menekan, mendesak, bahkan memaksa guru untuk melaksanakan proses pembelajaran sebagai proses pendidikan yang diharapkan dapat memanusiakan anak didik. Lebih lanjut , guru juga diharapkan mampu menyajikan proses pembelajaran yang bukan semata-mata transfer pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki efek pendamping (nuturring effect) yakni berkewajiban untuk membentuk, mewarnai kepribadian, dan moral peserta didik. GURU SASTRA SEBAGAI PENGAJAR SENTRAL Dalam pengajaran sastra, seorang guru dituntut untuk menciptakan suasana pembelajaran yang PAIKEM, yaitu pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Disamping sebagai seorang fasilitator, guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada pengajaran sastra yang diberikan serta dapat menerapkan metode dan sumber belajar yang bervariasi. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didiknya untuk aktif dan produktif sebagai hasil dari respon yang dapat menghasilkan input dan outcome sesuai dengan tujuan awal. Guru harus bisa mengembangkan potensinya, supaya bisa berinteraksi dan menciptakan pembelajaran yang berkualitas serta melahirkan peserta didik yang berkompetensi dan berkualitas. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu Kompetensi Pedagogik (guru harus mampu menguasai materi dan berwawasan luas), Kompetensi Profesional (guru harus bisa bekerja dan bertanggung jawab dengan profesinya sebagai seorang pendidik), Kompetensi Kepribadian (guru harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya), Kompetensi Sosial (guru harus bisa bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, teman sejawat, peserta didik, maupun dengan atasannya). Guru ‘sastra’ menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diberikan oleh guru yang tepat, imajinasi peserta didik akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran ajan terjebak dalam atmosfer 90
yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra peserta didik tidak akan pernah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk. Pertanyaan yang muncul, sudah siapkah guru”sastra” melaksanakan KTSP? Untuk menjawab pertanyaan ini, seyogyanya pemerintah segera melakukan pemetaan sehingga dapat diketahui oleh guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra yang mampu membawa dunia peserta didik untuk mencintai sastra. Jika dulu asumsi sosok guru dianggap harus lebih ‘multidimensi’, kini eranya guru harus “spesialis”. Dengan guru spesialis, materi yang disampaikan lebih bernuansa. Semakin spesialis sang guru, di mata peserta didik punakan semakin tinggi nilainya karena dengan demikian keduanya akan berjalan harmonis. Ada “etos komunikator" yang tinggi jika guru spesialis di bidangnya. POLEMIK PEMBELAJARAN SASTRA Sastra sebagai sebuah karya memiliki sifat universal, demikian juga dengan pemaknaan karya tersebut. Seorang apresiator memiliki hak untuk mengulas karya dari berbagai sudut pandang masing-masing. Tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana pendidik khususnya bidang studi sastra menghadapi polemik. Benarbenar dibutuhkan kesungguhan dalam pengajaran sastra, kekreatifan guru dan luncuran jurus-jurus inovatiflah yang akan mengubah paradigma keterpasungan talenta guru. PEMBELAJARAN SASTRA BELUM MENYENANGKAN Aspek-aspek kesastraan berjalan dengan dinamis dan seimbang. Namun faktanya, tidak demikian adanya. Pengajaran sastra menjadi sebuah permasalahan dan keluhan di tingkat pendidikan sekolah saat ini karena belum berjalan secara optimal dan mencapai tujuan yang produktif. Pembelajaran sastra justru hanya membahas dari segi strukturnya saja yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya. Guru sebagai seorang pendidik dianggap kurang memiliki kompetensi (pengetahuan) sastra yang luas. Seorang guru kurang inovatif dan kreatif memberikan pemahaman tentang sastra. Ruang lingkup dan gerak pengajaran sastra hanya terbatas pada Silabus dan SKL. Model dan sistem pembelajaran sudah di atur secara rinci di dalam Silabus. Pada hakikatnya, seorang guru tidak bisa menjadi seorang intelek yang produktif dan bisa menjadi stimulus kepada peserta didiknya mengenai pengajaran sastra yang produktif. Seorang guru tidak bisa bereksplorasi secara luas dan hanya fokus pada silabus yang menjadi pedoman dalam sistem pembelajaran yang mempersempit kreativitas seorang guru. Disamping itu, bermuara pada apresiasi dan minat baca peserta didik yang masih rendah terkait dengan karya-karya sastra. Karya sastra semakin tergeser dan 91
dikesampingkan, bahkan dianggap kurang penting. Minat baca dan menulis peserta didik dengan sastra mulai luntur. Sastra hanya dianggap sebagai hiburan dan pelengkap mata pelajaran di sekolah. Peserta didik lebih mencintai mempelajari bahasa negara lain (Inggris) dibandingkan dengan bahasanya sendiri (Indonesia) yang diaplikasikan melalui sastra yang justru sebagai budaya dan identitas Indonesia. Pengetahuan dan pemahaman sastra bahkan masih secuil dan sangat sempit dibandingkan dengan dunia teknologi, dunia yang menyulap panggung teater manusia. Beralih dari aspek guru, sudut pandang lain berdalih pada sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan saat ini yang tidak pernah memberikan ruang gerak yang cukup pada pembelajaran sastra. Padahal, pengajaran sastra sebagai wadah untuk generasi yang akan datang untuk melahirkan sastrawan, kritikus, penulis maupun dosen (pendidik) sastra untuk terus mengembangkan dan merealisasisan sastra agar tetap produktif dan tidak tergeser oleh derasnya arus zaman. MUNCULNYA GENRE SASTRA BARU Tampaknya pembelajaran sastra di sekolah dewasa ini hanya sekadar memenuhi target kurikulum, tidak menukik pada permasalahan apresiasi sastra lebih mendalam. Kondisi ini lebih diperparah dengan munculnya karya-karya yang mengusung genre tertentu. Awal tahun 2000-an, kita tersentak dengan lahirnya novel-novel teenlit, contohnya Cintapucino. Teenlit dan sejenisnya mengusung tema-tema baru, ide-ide kreatifnya menggunakan bahasa gaul, bukan bahasa Indonesia yangbaik dan benar. Hal ini juga disebabkan kurangnya pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian, ketika muncul alternatif bacaan di kalangan mereka, langsung ditanggapi secara positif.. PEMBELAJARAN SASTRA JANGAN RESEPTIF Secara jujur harus diakui, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sebagian sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu melekat pada diri peserta didik sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif. Akibatnya, Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh peserta didik. Imbas lebih jauh, kegagalan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia. Pandangan tentang pembelajaran sastra pernah disampaikan Prof Suwarsih Madya (http://ganeca.blogspirit.com) . Menurutnya, pengajaran sastra dapat memberikan andil 92
yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan asal dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga. Pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti dalam Kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA/MA maupun SMK). Pembelajaran sastra sebenarnya punya dua tujuan. Pertama, pengetahuan sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra dengan cara membaca melihat pertunjukan karya sastra dan menulis karya sastra. PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA YANG MENYENANGKAN Kehadiran sejarah sastra dapat mengembangkan wawasan dan imajinasi peserta didik. Pengetahuan sejarah sastra dapat memudahkan peserta didik mengapresiasi sastra. Terutama pengetahuan tentang penciptaan dan latar belakang penyair. Pengetahuan bertaut erat dengan kecerdasan. Selain itu, latar belakang pergolakan yang terjadi pada saat karya sastra diciptakan akan mampu mengembangkan imajinasi walaupun bertahuntahun peristiwa itu terjadi. Hal ini terlihat melalui karya-karya sastra yang diangkat menjadi film. Imajinasi akan berkembang ketika peserta didik menanggapi karya sastra yang lahir pada Angkatan Balai Pustaka. Demikian pula dengan para penyair dan karyanya. Namun, bagi sebagian peserta didik pembelajaran sejarah sastra merupakan pembelajaran yang dianggap membosankan karena dalam pembelajarannya berkisar pada nama pengarang dan hasil karya serta periodisasi sastra. Untuk mengatasi hal di atas, para pendidik sastra perlu bekerja keras menciptakan pembelajaran sejarah sastra yang menyenangkan dengan cara mengaitkan kecerdasan peserta didik dengan pengalaman apresiasi sastra. Tentu saja hal ini memerlukan kreativitas yang tinggi. Kreativitas merupakan motor penggerak para pendidik sastra untuk mengembangkan pembelajaran sejarah sastra yang kreatif. PENUMBUHAN SIKAP POSITIF PESERTA DIDIK SEBAGAI PIJAKAN AWAL Mengapa
kita
mesti
membuat
pembelajaran
(apresiasi)
sastra
menjadi
menyenangkan? Hal ini karena dalam pembelajaran apresiasi, faktor “penghargaan” menjadi hal yang diutamakan.Apresiasi sastra berarti kegiatan menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dalam diri peserta didik tumbuh kepekaaan perasaan 93
dan penghargaan terhadap karya sastra. Dengan demikian seorang guru sastra dapat membuat pembelajaran sastra menjadi menyenangkan berarti telah dapat mengikat peserta didik pada sebuah kegiatan yang intens dan mengasyikkan. Pembelajaran sastra yang menarik akan dapat menggelitik bahkan mengikat peserta didik terus-menerus bergaiarah untuk melakukan kegiatan apresiasi. Ujung-ujungnya peserta didik akan senang, aktif, dan bersemangat mengikuti pembelajaran apresiasi sastra. Dalam pembelajaran sastra, sikap, dan perilaku peserta didik sebagai subjek pengapresiasi sastra memegang peranan yang sangat vital. Sikap peserta didik terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi akan menentukan bagaimana proses apresiasi itu terwujud. Adapun guru berkewajiban menciptakan suasana yang kondusif bagi munculnya sikap positif peserta didik. Adapun sikap positif peserta didik dicirikan sebagai: (a) adanya kegembiraan, keantusiasan dan semangat untuk membaca sastra, menyimak pembacaan karya sastra atau melihat pementasan sastra; (b) rasa simpatik dan peduli terhadap terhadap karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra; (c) keoptimisan, keyakinan dan mempercayakan akan manfaat membaca sastra dan kegiatan apresiasi sastra yang lain: (d) adanya kesungguhan, keseriusan, keintesifan, dan ketotalan untuk terlibat dengan karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra: dan (e) munculnya kemauan, kesiapan, kesediaan dan kespontanan untuk masuk dalam kegiatan apresiasi sastra. Tentu saja, sikap positif ini tidak terjadi begitu saja, guru harus mampu menumbuhkan sikap positif pada peserta didik. Lalu bagaimana cara guru untukmenumbuhkan dan memupuk sikap positif peserta didik sebagai calon apresiator? Guru dalam menumbuhkan sikap dan perilaku positif dapat melakukan cara-cara berikut. 1. Menghilangkan kesan dan suasan yang terlampau kaku, formal, angker dan “keseriusaan” yang berlebihan. Hal ini merupakan prasyarat diman peserta didik dikondisikan sedemikian rupa dalam suasana senang, rileks, terhibur tanpa ada kesan asal-asalan. 2. Memberikan pengalaman-pengalaman berkesan, menyenangkan, memikat, dan menyegarkan. Hal ini dapat dilakukan guru dengan memberikan pemodelan langsung seperti membaca puisi, cerpen ataupun menonton drama, mengajak peserta didik untuk menyayikan puisi, mengajak peserta didik untuk berdialog dengan pengarang. 3. Memberikan iklim, suasana, situasi,dan lingkungan apresiasi sastra yang baik dalam arti menyenangkan. 4. Menunjukkan dan memberikan contoh manfaat dan nilai guna karya sastra dan kegiatan apresiasi sastra. Hal ini dapat dilakukan dengancara menginformasikan sisi hiburan dan renungan (nilai-nilai kemanusiaan) sebuah 94
karya sastra, mempertemukan peserta didik dengan orang yang telah memperoleh manfaat dari membaca karya sastra, atau menjelaskan segi-segi positif jika membaca karya sastra. 5. Mengondisikan dan memberikan perlakuan tertentu yang dapat mengarahkan peserta didik untuk mendekati, membaca, dan menikmati karya sastra. Hal ini dapat dilakukan guru dengan cara memberikan tugas membuat ulasan sastra dengan ajeg dan berkelanjutan. BAHAN KARYA SASTRA YANG MENARIK SESUAI KONDISI PESERTA DIDIK Sesudah guru berhasil menumbuhkan sikap positif pada diri peserta didik, tentu guru harus ‘menjaga’ suasana dan sikap positif it uterus berlangsung. Untuk itu, pada setiap kegiatan belajar mengajar harus pandai-pandai, bijaksana dan ‘lihai’ memilih bahan pembelajaran, dalam hal ini teks sastra. Dalam hal ini, guru dituntut senantiasa menggumuli karya sastra berbagai bentuk, cirri, variasi dan berbagai zaman. Guru harus selalu memperbaharui bacaan-bacaan sastranya sehingga guru memiliki stok yang berlimpah untuk diberikan pada peserta didik. Dengan berlakunya KTSP, guru akan memiliki banyak kesempatan mengeluarkan kreativitasnya mencari bahan atau teks sastra baik melalui buku, internet, media massa maupun cerita-cerita rakyat yang ada di lingkungan sekolah atau peserta didik. Memiliki buku bahan ajar sastra memerlukan semacam rambu-rambu untuk menentukan bahan agar tidak terjadi pengulangan, penyesuaian dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta didik, serta mempertimbangkan perkembangan kesusastraan Indonesia. Pemilihan bahan ajar harus mencakup pula berbagai genre sastra mulai dongeng (sastra lama), cerpen, novel, puisi, drama, ataupun esai. Juga perlu dikenalkan hasil sastra terjemahan dari sastra daerah dan sastra asing. Harus diperhitungkan pula jumlah buku yang harus dibaca (dalam setiap bentuk) dalam tingkat kelas tertentu dengan melihat usia dan dikedepankan yang memiliki nilainilai moral tertentu. Secara umum, memiliki buku bahan ajar sastra dapat diuraikan sebagai berikut. a. Mutu sastra dan daya tarik keterbacaan b. Selara dengan tuntutan kurikulum c. Mempresentasikan perkembangan sejarah sastra Indonesia d. Kandungan budaya dan nilai moral e. Perkembangan psikologi dan kemampuan anak (kompetensi membaca peserta didik)
95
Pemilihan buku bahan ajar sastra harus melihat mutu sastra dan daya tarik keterbacaan mengandung pengertianbahwa buku bahan ajar sastra tersebut (apapun bentuknya; novel, cerpen, puisi dll.) harus memiliki criteria sastrawi atau punya estetika sastra yang tinggi sehingga mampu mengundang minat peserta didik. Untuk itu, perlu diutamakan karya sastra Indonesia seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Atheis, puisi-puisi Chairi Anwar, dan sebagainya. Usaha ini sebaiknya juga memasukkan buku bahan ajar sastra yang tergolong great books semacam Mahabrata, Ramayana, karya-karya besar William Shakespeare, Charles Dicken, dan sebagainya. Bisa juga menyertakan sastra-sastra pop yanh dianggap punya estetika tinggi yabg telah dikenal peserta didik seperti Lupus, Ali Topan, Si Doel Anak Betawi, Cintaku di Kampus Biru, karya-karya Mira W, Marga T, dan sebagainya. KOMPETENSI GURU SASTRA Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan peserta didik harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajarmengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran. Kesan pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi pelajaran harus dapat diubah menjadi kompetensi peserta didik. Cara mengajar guru yang sekadar duduk di depan kelas atau bertumpu pada ceramah menjadi bukti kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit bagi para guru. Dengan demikian, guru memang pantas menjadi sosok yang dapat membentuk kepribadian peserta didik yang kokoh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual. Pentingnya kompetensi guru ini juga ditegaskan dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan “guru harus memiliki kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian.”. Sekali lagi, guru layak ‘digugu” apabila memiliki kompetensi yang dapat dipercaya. SIKAP GURU Seperti yang sudah dijelaskan di dalam kajian kompetensi guru di atas sikap guru adalah indikator guru pantas ditiru. Sekalipun sibuk mengurus sertifikasi atau kesejahteraan, guru harus memiliki sikap bangga dan patriotrik terhadap profesi yang dipilihnya. Sikap guru yang terlalu biasa, kurang positif terhadap mata pelajaran tidak 96
pantas terlihat pada diri peserta didik. Bangga mengajar mata pelajaran yang menjadi spesialisasinya adalah sikap guru yang utama. Sikap bangga inilah yang akan menjadikan guru lebih bergairah dalam mengajar sehingga dapat memberi nilai tambah, di samping proses pembelajarn menjadi menarik. Ketahuilah, sikap guru adalah keteladanan peserta didik terhadap mata pelajaran yang diikutinya. Proses pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Peserta didik yang malas mengikuti pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh terhadap mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan peserta didik tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas. Konsekuensinya, peserta didik tidak memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mata pelajaran yang diajar guru tersebut. Upaya membenahi sikap guru dalam mengajar menjadi sangat penting. Sikap guru merupakan cerminan kualitas dan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, beberapa indikator penting bagi guru untuk membenahi sikap dalam mengajar antara lain adalah: 1) memiliki orientasi pembelajaran yang bersifat praktis, bukan teoretik, 2) kegiatan belajar yang harus bertumpu pada peserta didik dalam memperoleh pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi peserta didik yang sesuai dengan kompetensi guru, 4) kemampuan menyederhanakan materi pelajaran, 5) melibatkan aspek kreativitas dalam kegiatan belajar, 6) menerapkan sistem evaluasi belajar yang dapat diukur peserta didik, dan 7) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Jika demikian, guru pantas ‘ditiru” apabila memiliki sikap dalam pembelajaran yang dapat diditeladani. Sebagi guru yang layak digugu dan ditiru pada dasarnya pasti dapat direalisasikan. Sejauh dilandasi kompetensi dan sikap guru yang positif dalam mengajar maka guru memang pantas digugu dan ditiru peserta didiknya. Oleh karena itu, guru harus melibatkan hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran. Kompetensi dan sikap guru adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di masa mendatang. Caranya, guru harus lebih membuka diri untuk terus belajar, kreatif dalam mengajar, dan menyetarakan pengetahun dan cara mengajar. MEMBENTUK GURU SASTRA YANG KREATIF Meningkatkan mutu pendidikan Indonesia pada era globalisasi haruslah secara komprehensif atau menyeluruh, dengan menitik beratkan pelaksanaan pada otonomi pengelolaan pendidikan, dengan memikirkan serta melakukan berbagai cara agar tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh dan untuk secepatnya mengejar 97
ketertinggalan dari negara lain. Untuk melihat keberhasilan pembelajaran, komponen pembelajaran yang diperlukan adalah alat penilaian. Alat penilaian yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik meraih standar kompetensi yang sangat beragam. Guru yang inovatif dapat memilih alat penilaian yang cocok dengan pokok pembelajarannya. Dua aspek yang penting dalam pembelajaran sastra Indonesia yaitu aspek hiburan dan kebermanfaatan. Metodologi mengajar
sastra Indonesia harus terus-menerus
diperbarui melalui kegiatan kreasi dan inovasi guru. Pembelajaran sastra Indonesia yang ada di sekolah diharapkan agar peserta didik kelak dapat: 1. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia Guru sastra Indonesia juga harus menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut karena pada era globalisasi guru menjadi penentu keberhasilan peserta didik didik dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki. Pembelajaran sastra Indonesia diperlukan sentuhan hati seorang guru yang selalu dapat melakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik yang muara akhir hasil pembelajaran meningkat, kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam berbahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan. BEKAL MENJADI GURU SASTRA YANG KREATIF Untuk menjadi guru sastra yang kreatif maka diperlukan seorang guru bidang studi yang professional, diantaranya harus memiliki: a) Kompetensi pedagogik: kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. b) Kompetensi sosial: kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
98
c) Kompetensi kepribadian: kemampuan kepribadian yang mantap stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. d) Kompetensi profesional: kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi stándar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. SIMPULAN Masih rendahnya mutu pembelajaran apresiasi sastra di sekolah juga tak lepas dari minimnya guru sastra yang memiliki ‘talenta’ dan minat serius terhadap sastra. Sastra erat kaitannya dengan bahasa, tetapi proses penyajiannya perlu kreativitas dan model penyajian tersendiri. Menyajikan puisi misalnya, selain dituntut menguasai bahan ajar, guru harus mampu member contoh yang memikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulitdilakukan guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra. Pemberdayaan guru sastra harus benar-benar diutamakan. Mereka yang didaulat untuk menjadi guru sastra harus benar-benar memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menyajikan pembelajaran apresiasi sastra dengan baik. Di tunjang dengan pemilihan bahan ajar yang relevan agar dapat terciptanya proses pembelajaran yang menyenangkan. Meningkatkan mutu pendidikan Indonesia pada era globalisasi haruslah secara komprehensif atau menyeluruh, dengan menitik beratkan pelaksanaan pada otonomi pengelolaan pendidikan, dengan memikirkan serta melakukan berbagai cara agar tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh dan untuk secepatnya mengejar ketertinggalan dari negara lain. Untuk melihat keberhasilan pembelajaran, komponen pembelajaran yang diperlukan adalah alat penilaian. Alat penilaian yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik meraih standar kompetensi yang sangat beragam. Guru yang inovatif, kreatif dapat memilih alat penilaian yang cocok dengan pokok pembelajarannya. Disini akan diuraikan beberapa kiat yang bisa membantu kita menjadi guru yang kreatif diantaranya: 1. Jadilah penjelajah pikiran Salah satu ciri guru kreatif adalah selalu terbuka dengan gagasan atau kemungkinan baru. Dia aktif mencari dan mengembangkan gagasan atau cara yang berbeda untuk peningkatan kualitas pembelajaran peserta didik. Seorang guru kreatif meyakini ada banyak metode dan gagasan yang menunggu untuk diaplikasikan dalam pembelajaran. 2. Kembangkan pertanyaan 99
Guru kreatif akan selalu bertanya dan mencari terus menerus tentang apa yang dia lihat dan lakukan dalam pembelajaran. Dengan demikian dia akan terus berkembang dan tidak menganggap segala sesuatu sudah semestinya dilakukan melainkan akan menghasilkan cara yang lebih baik untuk peningkatan kualitas belajar peserta didik. 3. Kembangkan gagasan sebanyak-banyaknya Guru kreatif akan selalu mencari banyak solusi dan alternatif. Dia akan mengembangkan kreativitas dan imajinasi yang dia punya untuk meningkatnya kualitas pembelajaran. 4. Ciptakan
model
pembelajaran
yang
menarik
dan
menyenangkan
Seorang guru yang kreatif akan selalu berpatokan pada Learning is fun. Dia akan selalu menciptakan model dan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga anak didiknya merasa tertarik tentang apa yang dia sampaikan dan tidak merasa jenuh dalam kegiatan belajar. Sebagai penutup, guru yang layak ditiru pada dasarnya pasti dapat direalisasikan. Sejauh dilandasi kompetensi dan sikap guru yang positif dalam mengajar maka guru memang pantas digugu dan ditiru peserta didiknya. Oleh karena itu, guru harus melibatkan hati dalam mengajar, tidak cukup hanya pikiran. Kompetensi dan sikap guru adalah agenda penting profesi guru saat ini dan di masa mendatang. Caranya, guru harus lebih membuka diri untuk terus belajar, kreatif dalam mengajar, dan menyetarakan pengetahun dan cara mengajar. DAFTAR RUJUKAN Baksin, Askurifai. 2008. Aplikasi Praktis Pengajaran Sastra. Bandung: Pribumi Mekar. Hamalik, Oemar. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakata:Bumi aksara. Purwanto, M.Ngalim. 2003. Ilmu Pendekatan Teoritis dan praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pusat Bahasa:Departemem Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sumiati dan Asra.2007. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Vicratina:Jurnal Kependidikan dan Keislaman. 2012. Malang: Universitas Malang Pers. Widijanto, Tjahjono.1995. Ekstasi Jemari. Malang: Tegalan Pendidikan. Widijanto, Tjahjono.2007. Pengajaran Sastra yang Menyenangkan. Bandung:Pribumi Mekar.
100
SYAIR SPIRITUALIS SEBAGAI DASAR PENULISAN SASTRA ISLAMI Ahmad Ghozali Universitas Yudarta Pasuruan
[email protected]
ABSTRACT In the religious literature, the religious situation come more clear than mystical and spiritual literature. Mystical literature give priority to the divine taste so, it can be said that the writer creates the writing as an effort to looking for and getting close to God. When the literature write about the religion, it could be misunderstood, just like Ki Panji Kusmin’s short story “Langit Makin Mendung”. The Kusmin’s hort story is an example how the religious messages and symbols presented explicitly and artificially in the literary works. When the religious messages and symbols appear implicitly and authentically in the literary works, they become the canon literature. Jalaludin Rumi, Rabiah Al Adawiyah, Fariduddin Attar, and Mohammad Iqbal are the writers who are brilliant in writing the literary works with the touch of the religious messages and symbols beautifully. Kata kunci: Lyrics, Spiritualism, dan Islamic literature PENDAHULUAN Karya sastra keagamaan berbeda dengan karya sastra mistikisme atau spiritualisme. Dalam sastra keagamaan sangat jelas suasana relegius yang muncul dalam suatu agama atau kepercaan tertentu, sedangkan dalam sastra mistikisme tidak dengan tegas menyatakan suatu agama atau kepercayaan, tetapi amat jelas jiwa dan semangat releguisnya. Mistikisme mengutamakan rasa ketuhanan sehingga bagi pengarang, mencipta
merupakan
upaya
mencari
dan
mendekatkan
diri
dengan
Tuhan
(Rampan,1999:101). Ketika sastra menyinggung soal agama, ia dapat menimbulkan masalah seperti kasus cerpen “Langit Makin Mendung”
karya Kipanjis-kusmin atau justru sengaja
dijadikan sebagai alat berdakwah. Sesungguhnya persoalannya sangat bergantung pada cara penyajian dan kemasan yang digunakannya. Bagaimana pesan-pesan agama dikemas dan disajikan dalam karya sastra. Kasus cerpen di atas adalah contoh bagaimana simbolsimbol agama disajikan dan dikemas secara eksplisit dan artifisial. Sebaliknya jika ia dikemas rapi dan disajikan secara mendalam, akhirnya sangat mungkin menjadi karya agung. Sastrawan yang berhasil mengemas pesan agama ke dalam estetika sastra 101
misalnya Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, dan Mohammad Iqbal (Mahayana,2005:170). Yang menarik dalam menyimak pesan agama yang dilakukan sastrawan Indonesia, justru di bidang puisi. Amir hamzah banyak mengungkapkan kerinduannya untuk jumpa kepada Tuhan sebagaimana dalam Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak Amir Hamzah ini mengesankan adanya pengaruh kuat para penyair sufi, seperti Hamzah Fansuri atau Jalaluddin Rumi (Mahayana,2005:174). ESTETIKA SASTRA SUFI SEBAGAI SASTRA SPIRITUAL Braginsky (1993, 1998) membagi karya-karya Melayu klasik ke dalam tiga kategori. Yang pertama, karya-karya yang memaparkan sfera kamal atau penyempurnaan batin. Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Yang kedua, karya-karya yang memaparkan sfera faedah. Karya-karya adab dan kemasyarakatan termasuk ke dalam kategori ini. Yang ketiga, karya-karya yang memaparkan sfera keindahan atau kenikmatan lahir. Kisah-kisah pelipur lara termasuk ke dalam kategori ini.Menurut Comaraswamy, pokok paparan seni murni berkenaan dengan pengalaman transendental dan masalah-masalah ketuhanan. Jadi wilayah garapannya adalah tatanan realitas atau kehidupan yang tidak dapat dicerap secara inderawi atau pemahaman logika rasional. Karena tidak tercerna oleh logika dan persepsi inderawi, maka pengalaman semacam itu harus disampaikan melalui ungkapanungkapan tertentu yang memberi peluang bagi sarana keruhanian lain untuk dapat menangkapnya. Sarana keruhanian itu ialah akal intuitif dan imaginasi kreatif, yang dapat membimbing pikiran rasional dan persepsi indera memahami bahwa ada kebenaran di seberang kebenaran yang tidak dapat dicerap secara inderawi dan rasional. Ungkapan-ungkapan tertentu yang dimaksud bersifat simbolik. Hanya melalui simbol-simbol tertentu dan bahasa figuratif puisi, akal intuitif dan imaginasi kreatif dapat bekerja
dan
menyampaikan
pengalaman
trasendental
yang
dialami
seorang
pengarang.Sastra sufi termasuk dalam klasifikasi seni yang demikian, sebab ia dicipta dalam rangka mengekspresikan pengalaman unio-mystika dan perasaan-perasan yang dialami seorang pesuluk (salik) di jalan tasawuf. Sebagaimana tasawuf yang menjadi sumbernya, sastra sufi menggambarkan upaya seorang pesuluk mencapai Yang Haqq, yang dengan demikian ia dapat merealisasikan dirinya dalam persatuan batin denganNya. Dalam upayanya itu seorang pesuluk harus melalui tahapan-tahapan sebelum akhirnya mencapai tujuannya. Pada tahapan terakhir ia akan tahu bahwa Wujud Hakiki atau Kebenaran Tertinggi hanya dapat disaksikan secara kalbiah, yang hasilnya berupa keyakinan mendalam akan keberadaan-Nya.
102
Nasr (1980:22) menyatakan bahwa yang dibicarakan dalam tasawuf adalah tiga perkara pokok. Yaitu hakikat Tuhan, kodrat manusia dan kebajikan-kebajikan spiritual yang melaluinya seseorang dapat merealisasikan hubungannya dengan Tuhan, alam dan sesamanya. Serangkaian kebajikan spiritual yang ditempuh disebut maqamat (peringkat atau tahapan ruhani), sedangkan keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari tercapainya masing-masing tahapan ruhani itu disebut ahwal (kata tunggalnya hal, artinya keadaan jiwa). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sastra sufi merupakan karangan bercorak simbolik dan puitik mengenai peringkat-peringkat ruhani dan keadaankeadaan jiwa yang dicapai atau dialami penulisnya di jalan tasawuf. Salah satu contoh terbaik karya penyair sufi yang dapat menjelaskan apa hakikat sastra sufi itu, serta bagaimana pengarangnya mengolah bahan verbal karyanya menjadi penuturan simbolik sastra, ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar. Dalam sejarah kesusastraan Melayu, benih sastra sufi telah muncul pada awal abad ke-15 M. Ini tampak misalnya pada hadirnya sajak penyair sufi Persia Sa’di di batu nisan seorang bangsawan Pasai bertarikh 1416 M, Husamuddin al-Naini. Sebuah naskah berasal dari awal abad ke-16 M berisi terjemahan sajak-sajak penyair sufi Persia seperti Umar al-Khayyami, Jalaluddin Rumi, Sa`di, dan lain-lain juga sudah ditemukan (Iskandar 1995). Ini membuktikan bahwa kegiatan penulisan sastra sufi telah bermula sejak zaman kesultanan Samudra Pasai (1270-1500 M) dan Malaka (1400-1511 M). Namun puncak perkembangannya tampak dengan munculnya sufi besar Melayu Hamzah Fansuri pada zaman kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Kemunculan Hamzah Fansuri dan syair-syair tasawufnya sekaligus menandai puncak perkembangan sastra Melayu atau datangnya fase baru yang oleh Braginsky disebut ’periode kesadaran diri’. SEMANGAT KETUHANAN SYAIR INDONESIA Dalam sastra Jawa, khususnya yang ditulis bentuk puisi atau tembang macapat, disebut suluk. Penulis suluk terkenal pada abad ke-16 di antaranya ialah Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Panggung, Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Sela, dan lain-lain. Penulis suluk terkenal abad ke-18 dan 19 di antaranya ialah Yasadipura I, Yasadipura II,Ranggawarsita,dan lain-lain. Di antara yang terkenal ialah Suluk Walisanga, Mustika Rancang, Suluk Wujil, Suluk Bentuir, Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk Aceh, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabriz, Suluk Jati Rasa, dan lain-lain. Suluk juga ditemui dalam kesusastraan Madura, yang terkenal misalnya ialah Suluk Ontal Enom, Pancadriya, Morbing Rama, Suluk Johar Mongkin, dan lain sebagainya. Dalam kesusastraan Sunda yang paling terkenal ialah Wiwitan Hasan Mustafa. Di antara wali sufi yang paling produktif melahirkan suluk ialah Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Mereka hidup 103
antara pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M, masing-masing di Tuban dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749 M) dan Pakubuwana
III (1749-1788 M). Pada masa pemerintahan kedua raja inilah renaissance kesusastraan Jawa berlangsung. Penggerak utama renaissance itu ialah seorang pujangga istana bernama Raden Mas Ngabehi Yasadipura I, penasehat utama Pakubuwana II dan Pakubuwana III. Inti utama dari renaissance kesusastraan Jawa ada dua: pertama, penyaduran karya-karya penulis Jawa Kuna secara besar-besaran ke dalam bahasa Jawa Baru; kedua, penyaduran karya-karya Melayu Islam ke dalam bahasa Jawa baru dengan memberinya ciri kejawaan. Kegiatan penyaduran karya Jawa Kuna dan Melayu Islam kemudian berlanjut pula pada abad ke-19 M di pusat-pusat kekuasaan lain di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Barat karya-karya Jawa Kuna dan Melayu disadur ke dalam bahasa Sunda, di Jawa Timur khususnya di Sumenep dan Bangkalan, karya-karya Jawa Kuna dan Melayu itu disadur ke dalam bahasa Madura. Penulis suluk Jawa lain yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya Yasadipura II dan Ranggawarsita. Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik. Sampai awal abad ke-20 M karya-karya suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak sedikit alegori-alegori mistikal yang tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan bahan-bahan verbal yang diambil dari hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula suluk-suluk klasik digubah kembali menggunakan bahasa Jawa Baru (Abdul Hadi WM, 2007). Berikut syair sufistik karya Ronggowarsito yang dilantunkan oleh Gus Dur dalam rekaman-rekamannya untuk mengenangnya dan menjadi tren pujian di musola-musola dan masjid-masjid pada tahun 2012 khususnya di Jawa Timur. Syair Ronggo Warsito Ngawiti ingsun nglaras syi'iran Kelawan muji maring pengeran Kang paring rohmat lan kenikmatan Rino wengine tanpo petungan 2x Duh bolo konco prio wanito Ojo mung ngaji syare'at bloko Gur pinter ndongeng nulis lan moco 104
Tembe mburine bakal sengsoro 2x Akeh kang apal Qur'an Hadistse Seneng ngafirake marang liyane Kafire dewe gak digatekake Yen isih kotor ati akale 2x Gampang kabujuk nafsu angkoro Ing pepaese gebyare ndunyo Iri lan meri sugihe tonggo Mulo atine peteng lan nisto 2x Ayo sedulur jo nglalekake Wajibe ngaji sak pranatane Nggo ngandelake Iman Taukhidte Baguse sangu mulyo matine 2x
Alquran qodim wahyu minulyo Tanpo tinulis biso diwoco iku wejangan guru waskito den tancepake ing njero dodo 2x Kumanthil ati lan pikiran Mrasuk ing badan kabeh jeroan Mu'jizat Rosul dadi pedoman Minongko dalan manjinge iman 2x Kelawan Allah kang Moho Suci Kudu rangkulan rino lan wengi Ditirakati diriyadhoi Dzikir lan suluk jo nganti lali 2x
Uripe ayem rumongso aman Dununge roso tondo yen iman 105
Sabar narimo najan pas-pasan Kabeh tinakdir saking pengeran 2x Kalawan konco dulur lan tonggo Kang podo rukun ojo dak siyo Iki sunahe Rosul kang mulyo Nabi Muhamad panutan kito 2x Kang anglakoni sakabehane Allah kang bakal ngangkat drajate Senajan ashor toto dhohire Ananging mulyo maqom drajate 2x Lamun palastro ing pungkasane Ora kesasar roh lan sukmane Den jadang Allah swargo manggone Utuh mayite ugo ulese 2x Dalam syair tersebut yang perlu sedikit mendapat penekanan kajian misalnya bait ketiga dan keenam yang sangat tampak pesan spiritnya. Akeh kang apal Qur'an Hadistse Seneng ngafirake marang liyane Kafire dewe gak digatekake Yen isih kotor ati akale 2x (Banyak yang hafal Al-Qur’an dan Haditsnya tetapi suka mengafirkan yang lainnya, kafirnya sendiri tidak dipedulikan jika masih kotor hati dan akalnya), bait ini memberikan semangat ketuhanan bahwa tidak sedikit orang yang pandai , intelekual tinggi namun, beprilaku oportunis, selalu menyalahkan orang lain namun ia melupakan kesalahan dan kekurangan sendiri. Inilah sebagaimana dikatakan oleh Ronggowarsito sebagai orang yang hati dan pikirannya masih kotor dipenuhi sifat-sifat kecurigaan. Selanjutnya hakikat kebenaran universal dan keadiluhungan budi sebagai reperentasi kebaikan manusia adalah tergambar dalam syair: .
106
Kang aran sholeh bagus atine Kerono mapan seri ngelmune Laku Thoreqot lan ma'rifatte Ugo hakekot manjing rasane 2x (Disebut soleh karena bagus hatinya karena selaras dengan ilmunya, menempuh thariqah dan ma’rifatnya juga hakikat merasuk jiwanya). Eksistensi kemanusiaan yang sempurna ketika sesorang menebarkan kedamaian, kesalehan pribadi dan sosial. Inilah cermin hati bersih, pikiran pengendali nafsu, dan keselarasan komitmen antara prilaku dengan ilmu, yang mungkin dapat dikatakan dari sisi lain sebagai manunggaling kaulo (wihdatul wujud) sebagai manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan. Tingkatan ini bisa dicapai melalui jalan tarikat, suatu metode-metode yang digunakan para sufi dalam membersihkan jiwa, dan makrifat, suatu tingkatan di mana seseorang mengetahui kehidupan dunia akhirat yang sebenarnya sebagai manusia, serta hakikat yang mendarah daging dalam jiwanya, dalam arti segala tindakan dan pikiran mencerminkan hakikat sifat-sifat Tuhan. Semangat ketuhanan yang oleh Ronggowarsito dalam syair ini merupakan kesadaran diri manusia sebagai makhluk yang memiliki sela kelemahan, memiliki potensi munculnya sifat-sifat tercela karena itu suatu keniscayaan untuk terus berusaha mencapai pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu tingkatan di mana manusia sebagai motif diciptakannya seluruh alam. SIMPULAN Karya sastra Indonesia kaya sangat kaya dengan tema-tema spiritual keagamaan yang terus meyemarakkan khazanah kesusastraan Indonesia. Hal itu terbukti seperti penulis suluk Jawa yang terkenal selepas Yasadipra II adalah putranya dan Ranggawarsita. Keduanya merupakan penulis suluk yang prolifik. Sampai awal abad ke-20 M karya-karya suluk masih banyak ditulis dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti halnya dalam kesusastraan Melayu di masa lalu, tidak sedikit alegori-alegori mistikal yang tergolong ke dalam sastra suluk ditulis berdasarkan bahan-bahan verbal yang diambil dari hikayat petualangan dan pecintaan seperti Hikayat Johar Manik, Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Angling Darma, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pula suluk-suluk klasik digubah kembali menggunakan bahasa Jawa Baru. Misalnya, syair sufistik karya Ronggowarsito yang dilantunkan oleh Gus Dur dalam rekaman-rekamannya untuk mengenangnya dan menjadi tren pujian di musola-musola dan masjid-masjid pada tahun 2012 khususnya di Jawa Timur. Penggalian terhadap nilai-nilai spiritualitas yang terdapat di dalam syait diharapkan menjadi inspirasi dalam mencipta karya sastra islami yang lain. 107
DAFTAR PUSTAKA Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing. Rampan, Korrie Layun. 1999. Aliran Jenis Cerita Pendek. Jakarta: balai Pustaka. Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan SastraMelayu. Jakarta: RUL.
108
REPRESENTASI POSKOLONIALISME DALAM KARYA SASTRA: Telaah Konsepsi Poskolonialisme dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata Arief Rijadi Universitas Jember
[email protected] ABSTRACT Postcolonialism study, as one of the school of thought, offers any theory in philosophy, film, literature and othe fields that study the interconnection between culture legality with colonialism role. The study of postcolonialism is interdiscipline which need the support from the othe disciplines, not only language and literature, but also politics, ideology, religion, education, art, ethnicity, and culture. The nature of interdiscipline of poscolonialism consists of some conceptions, such as theme, language, subaltern, fighting, power, colonialism legacy, body politic and territorial. The postcolonialism conception could be represented on the literary works. The article discuss about the postcolonialism conception on the Hirata’s Laskar Pelangi. Kata Kunci: representation, postcolonialism, literary works Perbedaan mendasar manusia dengan makhluk hidup lain adalah dianugerahinya pikiran atau akal. Dengan pikiran atau akal tersebut manusia senantiasa akan mempertimbangkan segala pemikiran, tindakan, dan perilakunya dalam kehidupannya. Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak hanya didasarkan atas insting saja, melainkan lebih mempertimbangkan akibat atas pemikiran, tindakan, dan perbuatannya. Dengan anugerah pikiran atau akal tersebut manusia terus mengalami perkembangan dalam menjalani dan memaknai kehidupannya. Pengembangan dan pengolahan pemikiran manusia dalam menjalani dan memaknai kehidupan dengan segala aspeknya terus menunjukkan perkembangan yang pesat. Hasil pemikiran manusia ini ada yang berorientasi pada satu bidang kajian maupun lintas bidang kajian yang saling berseberangan dan saling berkaitan. Pada pemikiran lintas bidang kajian ini, memunculkan teori-teori yang memerlukan kajian mendalam. Ada teoriteori yang melibatkan sejumlah unsur kajian, misalnya unsur kesejarahan dan konteks sosialnya. Sebutlah sebagai contoh, misalnya teori cultural studi, new historisism, dan postcolonialism. Artikel ini difokuskan pada catatan-catatan kecil konsepsi teori postcolonialism (poskolonialisme), khususnya poskolonialisme sastra. Poskolonialisme sebagai salah satu mazab pemikiran merupakan seperangkat teori dalam bidang filsafat, film, sastra dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya 109
yang terkait dengan peran kolonial (Nurhadi, 2007). Artinya, kajian poskolonial bukanlah monopoli bidang sastra. Kajian poskolonial bersifat interdisiplin atau berbagai bidang disiplin ilmu. Kajian poskolonial memerlukan dukungan berbagai bidang ilmu yang tidak hanya bidang bahasa dan sastra, melainkan juga meliputi bidang politik, ideologi, agama, pendidikan, kesenian, etnisitas, kebudayaan, dan lainnya. Meskipun demikian, kajian poskolonial dalam berbagai bidang dan keragaman temanya tersebut dilatarbelakangi oleh satu peristiwa yang sama yaitu kolonialisme. Nurhadi (2005) menyatakan bahwa kolonialisme dengan beragam praktik dan bentuknya, seperti penindasan, pendudukan, perbudakan, pemindahan penduduk, dan pemaksaan bahasa, telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang menjadi jajahannya. Masyarakat jajahan yang menyadari hal itu akhirnya bersikap dan berusaha untuk mengembalikan dan atau memulihkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini muncullah gerakan pemulihan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh prakti-praktik kolonialisasi yang disebut poskolonial.bersikap dan berusaha untuk mengembalikan dan atau memulihkan sendisendi kehidupan dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini muncullah gerakan pemulihan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh prakti-praktik kolonialisasi yang disebut poskolonial.bersikap dan berusaha untuk mengembalikan dan atau memulihkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini muncullah gerakan pemulihan keutuhan dan kekuasaan masyarakat yang telah dimarjinalkan atau termarjinalkan oleh praktipraktik kolonialisasi yang disebut poskolonialisme. KAJIAN AWAL POSKOLONIALISME Mempelajari konsep-konsep poskolonialisme sebagai sebuah pemikiran tidak bisa dikesampingkan dari munculnya buku berjudul Orientalisme karya Edward Said tahun 1978. Di dalam bukunya ini, Said (dalam Suropati dan Subachman, 2012:130-131) telah mengungkap dan membongkar cara kerja imperalisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap dunia Islam, Timur Tengah, dan “Timur”. Said telah menunjukkan bahwa di dunia ini telah terjadi dekonstruksi perilaku kultural dan epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Timur dipandang sebagai cermin untuk membesarkan citra Barat (Eropa) sebagai
pelopor peradaban. Dengan kata lain, Barat (kaum Orient) ingin
membangun mitos dan stereotipe Timur sebagai area yang dimanfaatkan sebagai saran pembenaran Eropa untuk melakukan kolonisasi atau istilah lain “mengontrol peradaban”. Karya lain dari Edward Said berikutnya yang merupakan lanjutan buku Orienatlisme antara lain Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the 110
Rest of the Word (1981) dan Culture and Imperialism (1993). Buku-buku Said tersebut medeskripsi kan konsepsi terhadap perspektif Barat dalam memandang Timur. Buku ini telah menginspirasi para penulis yang lain seperti buku hasil suntingan Bill Ashroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin berjudul The Empire Writes Back (1989). Buku-buku tersebut sering menjadi rujukan bagi penulis dan peneliti kajian poskolonialisme (Nurhadi, 2007). Pandangan Edward Said (1994; Taufiq, 2010) terhadap kolonialisasi dan dampaknya dapat diilustrasikan secara teoretik sebagai gambaran suatu masyarakat yang tersubordinasi oleh kekuatan atau kekuasaan (baca: penjajah atau imperial) baik dalam dimensi sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Said memandang bahwa masyarakat, dalam hal ini masyarakat Timur, sebagai masyarakat yang selama ini mengalami proses subordinasi oleh Barat sebagai pihak yang melakukan subordinasi. Proses subordinasi Barat terhadap Timur tersebut dilakukan melalui proses kolonisasi. Lebih lanjut Said menyatakan bahwa Barat sebagai pihak yang melakukan subordinasi atau imperial ingin menempatkan Timur sebagai teritori koloninya. Proses kolonisasi menurut Said yang dilakukan Barat terhadap Timur dan ditermakan lain oleh Richard King (2001) dengan istilah EropaHiperreal (Kristen/sekuler) yang berlawanan dengan India Hiperreal (Hindu/religius) telah berdampak pada situasi dan kondisi dunia, termasuk di dalamnya perkembangan sejarah. Semua dampak itu dianalogkan oleh kaum imperialis/orientalis sebagai lalat bagi anak nakal yang harus dibunuh atau diabaikan saja bagi kepuasan dirinya. Oleh sebab itu, munculnya kesewenang-wenangan
dalam
konteks
demikian
ini
sering
dilakukan.
Pihak
imperialis/orientalis seolah memiliki kewenangan untuk melakukan eksploitasi besarbesaran dalam bentuk apapun demi kepuasan dirinya. Dapat dipahami dalam konteks ini Barat sebagai pihak yang antihumanitas, sekaligus menunjukkan hegemoninya terhadap Timur. Dalam bidang sastra, menurut Said (2003; dalam Nurhadi, 2007) terdapat beberapa karya sastra yang memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur. Bagi Barat, penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk memberadabkan bangsa Timur. Pemikiran Said ini dilandasi oleh teori hegemoni Gramscian dan teori “discourse” Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan pada “colonial” sebanarnya kurang tepat kalau dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pasca”. Oleh sebab itu, seringkali kata “pascakolonial” disamakan dengan “poskolonial” yang merujuk pada konsep “waktu setelah” kolonial. Konsep poskolonial sebenarnya tidak hanya merujuk pada kajian setelah masa penjajahan atau masa kemerdekaan, tetapi lebih luas juga merujuk pada segala hal yang terkait dengan kolonialisme, sehingga juga merujuk pada kasus-kasus globlisasi dan perdagangan bebas. Dengan kata lain, 111
poskolonialisme merupakan masa yang melampaui masa kolonialisme, baik masa pasca atau permasalahan lain yang masih terkait dengan kolonialisme. Spivak (dalam Ridha, 2010) dalam studi poskolonialnya, menggunakan istilah subaltern
yang
secara
konseptual
sama
dengan
orientalism
Said.
Konsep
subalterndikemukakan Spivak melalui tulisannya berjudul Can the Subaltern Speak? dan A Critique of Postcolonial Reason. Konsepsi terpenting Spivak adalah konsep-konsep yang berkisar pada kajian subaltern. Spivak mengkaji terpinggirkannya para perempuan selatan dan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara/bersuara. Selain perempuan, kaum petani desa dan kaum yang terpinggirkan lainnya juga disebut sebagai subaltern. Salah satu kasus yang diungkap Spivak adalah kasus bunuh diri perempuan bernama Bhubaneswari Bhaduri di Calcutta yang disebabkan oleh hamil di luar nikah yang bagi warga India dianggap tabu. Kasus ini menjadi menarik karena saat diteliti, Bhubaneswari ternyata tidak hamil karena saat itu sedang menstruasi. Setelah sepuluh tahun Bhubaneswari ternyata diduga dibunuh secara politis karena dia seorang anggota Samitis, yaitu organisasi yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan India. Tokoh-tokoh dan pandangannya yang telah diuraikan singkat di muka adalah sebagian dari tokoh-tokoh poskolonialisme. Masih ada beberapa tokoh yang tertarik mengkaji poskolonialisme sebagaimana dapat ditelusuri di situs www.english.emory.edu sebagaimana dikutip Nurhadi (2007) berikut ini. Some of the best known names in Postcolonial literature and theory are those ofChinua Achebe, Homi Bhabha, Buchi Emecheta, Frantz Fanon, Jamaica Kincaid,Salman Rushdie, Wole Soyinka, and Gayatri Chakravorty Spivak. A morecomprehensive although by no means exhaustive list follows. LITERATURE: Chinua Achebe, Ama Ata Aidoo, Peter Abrahams, Ayi Kwei Armah, Aime Cesaire, John Pepper Clark, Michelle Cliff, Jill Ker Conway, Tsitsi Dangarembga, Anita Desai, Assia Djebar, Marguerite Duras, Buchi Emecheta, Nuruddin Farah, Amitav Ghosh, Nadine Gordimer, Bessie Head, Merle Hodge, C.L.R. James, Ben Jelloun, Farida Karodia, Jamaica Kincaid, Hanif Kureishi, George Lamming, Dambudzo Marechera, Rohinton Mistry, Ezekiel Mphahlele, V. S. Naipaul, Taslima Nasrin, Ngugi Wa Thiong'o, Flora Nwapa, Grace Ogot, Molara Ogundipe-Leslie, Gabriel Okara, Ben Okri, Michael Ondaatje, Arundhati Roy, Salman Rushdie, Simone Schwarz-Bart, Allan Sealy, Shyam Selvadurai, Leopold Senghor, Vikram Seth, Bapsi Sidhwa, Wole Soyinka, Sara Suleri, M.G.Vassanji, Derek Walcott.
112
FILM: Shyam Benegal, Gurinder Chadha, Claire Denis, Shekhar Kapoor, Srinivas Krishna, Farida Ben Lyazid, Ken Loach, Deepa Mehta, Ketan Mehta, Mira Nair, Peter Ormrod, Horace Ove, Pratibha Parmar, Satyajit Ray, Mrinal Sen, Ousmane Sembene. THEORY: Aijaz Ahmad, Kwame Anthony Appiah, Bill Ashcroft, Homi Bhabha, Amilcar Cabral, Partha Chatterjee, Rey Chow, Frantz Fanon, Gareth Griffiths, Ranajit Guha, Bob Hodge, Abdul JanMohamed, Ania Loomba, Trinh T. Minh-ha, Vijay Mishra, Chandra Talpade Mohanty, Arun Mukherjee, Ngugi Wa Thiong'o, Benita Parry, Edward Said, Kumkum Sangari, Jenny Sharpe, Stephen Slemon, Gayatri Chakravorty Spivak, Aruna Srivastava, Sara Suleri, Gauri Viswanathan, Helen Tiffin. Mencermati tokoh-tokoh poskolonialisme yang diinventarisasi dalam situs www.english.emory.edu
tersebut ternyata tokoh dari Indonesia tidak terdaftar di
dalamnya. Sebenarnya apabia diinventarisasi terdapat beberapa tokoh sastra dan sosial budaya Indonesia yang dapat diakategorikan sebagai poskolonialis Indonesia. Tokohtokoh tersebut antara lain adalah Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Pramudya Anantatoer, Andrea Hirata, WS Rendra, Nano Riantiarno, dan Ratna Sarumpaet. Sementara itu, tokoh poskolonial yang dapat dipandang perhatian dalam pengembangan teori poskolonialisme adalah Nyoman Kutha Ratna. SASTRA POSKOLONIALISME Dalam bidang sastra, poskolonial telah menjadi kajian menarik bagi para sastrawan terkemuka. Misalnya V.S Naipaul dalam dengan karyanya Sebuah Rumah Untuk Tuan Biswas, Naguib Mahfus dengan karyanya Harafisy, Kantapura dengan karyanyaRaja Rao dari India, dan mungkin karya-karya Jumpha Lahiri yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Ridha, 2010). Hal ini merupakan sebuah kemajuan dalam proses kreatif dan apresiasi atau kritik sastra. Karya-karya sastra yang secara tekstual memiliki kekuatan berbicara dan bersuara tentang posisi poskolonialitas yang demikian komplekspada hakikatnya ingin menyampaikan perlawanan kepada politik sastra kolonial. Sastra poskolonial Indonesia hingga saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Beberapa karya yang telah dihasilkan sastrawan Indonesia juga sudah banyak. Sebagaimana dikemukakan Ratna (2008) bahwa sastrawan Indonesia yang telah menulis karya-karay sastra berorientasi poskolonial cukup banyak. Ratna membagi ke dalam empat periode, yaitu Sastra Melayu Rendah (Tionghoa), Sastra Hindia Belanda, Sastra 113
Balai Pustaka, dan Sastra Pujangga Baru.Periode keempat sastra poskolonial diklasifikasikan Ratna sebagai sastra sebelum perang. Selanjutnya periode terakhir oleh Ratna disebut periode sesudah Pujangga Baru, yang diklasifikasikan sebagai sastra poskolonial sesudah perang. Menurut Ratna (2008), periodisasi, angkatan, dan generasi tersebut memiliki cirinya masing-masing. Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri karya-karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Rendah yang sangat kaya dan beragam. Sastra Melayu Tionghoa justru banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang cukup kental, seperti dilukisakan dalam cerita Nyai Dasima (karya G. Francis, 1896) dan cerita Nyai Paina (H Kommer, 1900). Selanjutnya, menurut Ratna bahwa Sastra Balai Pustaka yang dipandang sebagai sastra pemerintah merupakan karya sastra yang lahir pada periode ketiga.Sastra Balai Pustaka seolah-olah merupakan hasil pemerintah kolonial yang sesuai dengan tujuan pemerintah.Hal itu wajar jika tampak tidak banyak menampilkan perlawanan terhadap penjajah. Oleh sebab itulah mungkin, sastra Balai Pustaka sering ditolak sebagai awal sastra Indonesia modern. Karya sastraMarah Rusli (1922) berjudul Siti Nurbaya dan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (1928), merupakan karya sastra Balai Pustaka.Pada umumnya karya sastra Balai Pustaka menunjukkan sejumlah ciri dalam kaitan dengan kekuasaan kolonial terhadap kreativitas sastra. Periode selanjutnya adalah sastra Pujangga Baru yang tampak lahir dengan menampilkan ciri-ciri yang sangat berbeda. Sesuai dengan namanya, Pujangga Baru bermaksud untuk menampilkan kebaruan, baik dalam kaitan dengan sastra maupun kebudayaan. Karena itu sastra Indonesia modern dipandang mulai pada periode Pujangga Baru, bukan pada periode Balai Pustaka. Karya sastra Pujangga Baru, termasuk juga di dalamnya karya-karya sesudah perang, dinilai sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia poskolonialisme yang menampilkan berbagai masalah.Karya sastra yang ditunjukkan melalui novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Belenggu (Armijn Pane, 1940), ataupun novel-novel sesudah perang, seperti Ateis (Achdiat Karta Mihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1959), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992) merupakan karya sastra yang menyuarakan konsep-konsep sastra poskolonial. Dalam perkembangan sastra, khususnya sastra Indonesia, setelah periode Pujangga Baru, hingga saat ini telah bermunculan karya yang mengungkap sisi-sisi poskolonialisme. Karya-karya WS Rendra (Mastodon dan Burung Kondor, Sekda), Nano Riantiarno (Suksesi, Raja Bhukbakalan, Konglomerat Burisrawa, Opera Kecoa), dan Ratna Sarumpaet (Marsinah Nyanyian Dari Bawah Tanah, Monolog Marsinah Menggugat) 114
adalah sebagian karya yang mengungkap sisi-sisi poskolonialisme berwujud warisan kolonial. Tindakan-tindakan yang dialami ketiga sastrawan Indonesia ini menunjukkan wujud warisan kolonial dengan pembredelan atau pemasungan kreativitas sebagai istilah lain yang mewakili konsepsi oposisi biner antara penjajah (penguasa Orde Baru) dan terjajah (sastrawan). KONSEPSI DALAM SASTRA POSKOLONIAL Beberapa konsepsi dalam sastra poskolonial antara lain konsep tema, bahasa, subaltern, perlawanan, kekuasaan, warisan/dampak kolonial, politik tubuh, dan teritorial (Taufiq, 2010). Konsep tema dalam perspektif sastra poskolonial merujuk pada pengertian pokok-pokok masalah yang diangkat ke dalam teks sastra poskolonial. Menurut Aschrof,dkk (2003) tema-tema sastra poskolonial berkisar pada tema pembangunan atau pembongkaran rumah atau bangunan, termasuk tema permasalahan pertanahan. Tema lain dalam sastra poskolonial memiliki ciri antara lain penggunaan alegori, ironi, realisme magis, dan narasi terputus. Konsep bahasa dalam sastra poskolonial merujuk pada peran bahasa yang strategis tekstual. Fungsi bahasa menjadi sangat penting dalam melakukan upaya perampasan terhadap hal-hal yang berbau imperial. Bahasa juga ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah jajahan. Menurut Aschrof,dkk (2003) terdapat dua proses yang dapat dipakai, yaitu pertama, konsep abrogasi atau penolakan terhadap hakhak istimewa yang dimiliki kelompok atau kekuatan tertentu. Kedua, aproriasi atau proses pembentukan kembali bahasa tersebut dalam bentuknya yang baru. Apropriasi ini dapat menandai perpisahannya dengan bahasa yang berstatus previlage kolonial atau pihak yang diidentifikasi sebagai pihak kolonial. Konsep subaltern dikemukakan oleh Spivak bahwa dalam kajian poskolonial seorang peneliti tidak dapat lepas dari konstruk subaltern. Konsepsi penting dalam subaltern adalah adanya subjek yang tertinda atau tertekan, para anggota kelas-kelas yang tertinda, atau secara lebih umum mereka yang termarjinalkan. Konsep perlawanan dalam konteks poskolonial dapat dipahami sebagai bentuk respon terhadap realitas yang dianggap menindas. Bisa juga segala hal atau bentuk ketidakadilan yang menimpa subjek. Perlawanan merupakan bentuk kesadaran perjuangan subjek untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan dan ketidakadilan. Konsep kekuasaan merujuk pada bentuk-bentuk kewenangan yang dimiliki oleh kekuatan tertentu. Kewenangan-kewenangan itu dikelola oleh sebuah lembaga pemerintahan atau non-pemerintahan. Menurut Pontoh (dalam Taufiq, 2010) kekuasaan 115
adalah seperangkat kewenangan yang dimiliki oleh struktur politik tertentu. Struktur politik menurut Pontoh tidak jarang terjebak ke dalam praktik kolonisasi terhadap dimensi kemanusiaan manusia yang lain. Dalam praktiknya, seringkali menampakkan pola hubungan yang eksploitatif dan bahkan represif. Konsep warisan/dampak kolonial merujuk pada pandangan yang dikemukakan Gandhi (dalam Taufiq, 2010) bahwa negara bangsa poskolonial yang baru muncul seringkali tertipu dan tidak berhasil dalam upayanya melepaskan beban-beban warisan kolonial. Oleh sebab itu, kolonialitas memberikan dampak buruk terhadap perjalanan kemerdekaan suatu bangsa. Konsep politik tubuh merujuk pada konstruksi kolonial tubuh yang merupakan objek yang perlu dikontrol. Selanjutnya ia dapat menimbulkan efek keuntungan yang luar biasa bagi kepentingan nasional. Konsep teritorial merujuk pada praktik kolonisasi yang selalu mengandaikan terjadinya suatu peristiwa pada ruang atau tempat tertentu. Pembahasan poskolonial selalu berkait erat dengan masalah ruang atau tempat. Menurut Gandhi (dalam Taufiq, 2010) praktik kolonisasi itu terdapat proses deteritorialisasi yang berhubungan dengan proses akuisisi teritorial dan reteritorialisasi yang berhubungan dengan proses untuk mendapatkan kembali teritorial yang telah diakuisisi oleh orang atau pihak lain. REPRESENTASI KONSEPSI-KONSEPSI POSKOLONIALISME DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata hadir dalam dunia kesastraan Indonesia dengan menyandang National Best Seller. Novel (catatan: Andrea Hirata membebaskan pembaca untuk menyebut novel atau genre sastra) Laskar Pelangi merupakan karya yang fenomenal yang menyuguhkan alternatif bentuk karya sastra yang memadukan antara realitas dan imajinasi dalam perjalanan kehidupan persekolahan manusia. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Bentang Yogyakarta pada tahun 2005 dan telah dicetak ulang sampai dengan cetakan ketiga belas pada November 2007. Novel ini begitu larisnya dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Novel Laskar Pelangi menjadi salah satu karya sastra inspiratif yang mampu membangkitkan semangat pendidikan, terutama bagi kaum yang termarjinalisasi oleh sistem sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Garin Nugroho dalam catatan kecil di novel ini berkomentar sebagai berikut: “Di tengah berbagai derita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini
116
ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam humanisme yang menyentuh.” Keberhasilan Andrea Hirata dengan karyanya Laskar Pelangi, dalam situsnya www.andrea-hirata.comdinyatakan dalam rilis terbarunya bahwa novel ini telah menembus 21 negara. Novel yang fenomenal dan inspiratif ini juga sudah dikontrak penerbit The Rainbow Troops (edisi international) dengan Kathleen Anderson Literary Management, New York dan Penerbit Farrar, Straus and Giroux (FSG), New York. FSG adalah penerbit terbaik di Amerika yang telah berdiri sejak tahun 1946 dan melahirkan karya-karya 23 pemenang nobel sastra antara lain adalah TS. Eliot, Pablo Neruda, Nadine Gordimer, Seamus Heaney, dan Mario Vargas Llosa yang mendapat nobel sastra tahun 2010. Bahkan kabar terakhir, melalui FSG ini pula Andrea Hirata diwacanakan untuk menjadi nominator penerima nobel sastra. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dalam perpspektif poskolonialisme telah mengungkap sebuah bentuk-bentuk kolonialisasi dan dampaknya serta bentuk-bentuk perlawanan terhadap penindasan atau penterbelakangan dalam kehidupan manusia. Beberapa konsepsi poskolonialisme dihadirkan Andrea Hirata dalam novelnya ini. Berikut ini beberapa konsepsi poskolonialisme yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi. KONSEPSI TEMA Konsepsi tema yang tergambarkan dalam novel Laskar Pelangi dapat diketahui dari data-data berikut. “Agaknya selama turun-menurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak akan mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal, yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yaknisandal yang dibuat dari ban mobil yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.” (LP:11) “..... Salah satu atribut diskriminatif itu adalah sekolah-sekolah PN. 117
Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.” (LP:42) Kedua data ini menunjukkan suatu keadaan ketidakadilan dan kesenjangan yang akan berimplikasi pada sikap-sikap diskriminatif dalam kehidupan. Ketidakadilan dan kesenjangan yang digambarkan dalam novel Laskar Pelangi merupakan tema yang diusung dalam novel ini. Bahkan, ketidakadilan dan kesenjangan kehidupan antar kelompok masyarakat ini diperkuat dengan data berikut. “Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi itu akan menyergap, menginterogerasi, lalu interogerasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.” (LP:42-43) Ketidakadilan dan kesenjangan itu juga digambarkan bahwa kekuasaan atau kekuatan ekonomi di Belitong (seting tempat) dipegang oleh orang-orang yang dalam strata sosial menduduki posisi tertinggi. Data yang menunjukkan tema ketidakadilan dan kesenjangan dalam strata sosial terdapat pada cuplikan novel berikut. Kekuatan ekonomi Belitong dipimppin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengan tidak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil-kecilan dan apat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertak cukong-cukong itu.
118
Sisanya beradad di lapisan terendah, jumlahna banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.” (LP:55) KONSEPSI REALITAS SUBALTERN Konsepsi subaltern sebagaimana dikemukakan oleh Gayatri Spivak adalah subjek yang tertekan dan yang terbungkam suaranya. Konsepsi subaltern menekankan pada ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok orang untuk menyuarakan kehendaknya. Dalam arti, mereka dalam posisi tertindas oleh superioritas, dominasi dan wacana pusat kekuasaan yang seringkali menindas kaum inferior yang lemah dan termarjinalisasi. Konsepsi subaltern dalam novel Laskar Pelangi tergambarkan dalam cuplikan novel sebagai berikut. “Sembilan orang ... baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu...., “ katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.” (LP:2) Realitas subaltern yang terdapat pada teks di atas menunjukkan kegelisahan Ibu Guru Mus dan Pak Harfan sang kepala sekolah yang sepertinya terbersit di wajahnya yang berharap munculnya satu orang lagi untuk menjadi murid kesepuluh. Dalam realitas sistem pendidikan yang diterapkan di Belitong, ditentukan bahwa jumlah siswa baru di suatu sekolah minimal adalah 10 orang. Apabila tidak terpenuhi, maka dinas pendidikan setempat sebagai representasi kekuasaan, akan menutup sekolah tersebut. Mengapa orang-orang ingin menikmati pendidikan harus ada pembatasan? Dan mengapa suatu sekolah harus ditutup hanya karena tidak memenuhi kuota? Bu Mus dan Pak Harfan dipandang sebagai pendidik yang dengan tulus ingin mencerdaskan anak bangsa anak negeri yang ingin memiliki pengetahuan juga tentang hidup dan kehidupan ini. Demikian juga bagaimana dengan sikap persyarikatan Muhammadiyah yang menaungi sekolah tersebut? Berbagai pertanyaan yang menunjukkan ketidakberdayaan atas otoritas yang menindas dan mendominassi kekuasaan dan kekuatan. Realitas subaltern juga tergambarkan dalam cuplikan berikut. 119
“Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong......... Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. (LP:57) “Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. ... Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti porang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan
tentang
fasilitas-fasilitas
sekolah
PN,
anggaran
ekstraakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menjadi dokter, minsinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di ibukota bahkan di mluar negeri.” (LP:61) Sebagai sekolah certer of excellence, kekuasaan di sekolah PN cenderung memiliki sifat superior. Sementara, sekolah kampung, seperti sekolah negeri dan SD Muhammadiyah di luar Gedong diposisikan sebagai pihak inferior yang tidak berdaya berbicara dengan kaum superior. Hal ini dikarenakan mereka sadar diri sebagai pihak yang tidak berdaya. KONSEPSI RELASI KEKUASAAN Konsepsi ini merujuk pada bentuk-bentuk kekuasaan yang berwenang karena memang dalam strata sosial politik menduduki posisi tertinggi. Kewenangan-kewenangan itu biasanya dikelola oleh pemerintah atau non-pemerintah atas nama kekuasaan. Dalam praktiknya, kekuasaan kolonial seringkali menampakkan pola hubungan yang eksploitatif dan represif. Kekuasaan yang demikian seyogyanya mendapatkan kontrol yang memadai. Gambaran konsepsi relasi kekuasaan ini terdapat pada cuplikan novel sebagai berikut. “Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi itu akan menyergap, menginterogerasi, lalu interogerasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.” (LP:42-43)
120
“Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” (LP:58) Gambaran relasi kekuasaan terlihat jelas pada data di atas. Tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan ekspresi praktik kekuasaan. Tulisan itu merefleksikan bentuk arogansi kekuasaan yang bertindak secara sewenang-wenang bagi pihak atau masyarakat lain. Hal ini sebenarnya tidak diharapkan dalam suatu negara yang merdeka, seperti Indonesia ini. KONSEPSI WARISAN DAN DAMPAK KOLONIAL Resepsi tentang kenangan kolonial ternyata tidak bisa dilupakan begitu saja bagi negara yang telah merdeka. Begitu juga, kenangan kolonial yang tidak menyenangkan ini ternyata justru bisa menjadi warisan yang sering menjadi inspirasi sosial dan politik terhadap munculnya sikap-sikap represif dan ingin dihormati. Manakala, warisan kolonial ini diindahkan, maka akan berdampak buruk bagi perjalanan kemerdekaan suatu bangsa. Data berikut dapat menjadi gambaran konsepsi ini. “Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastilp-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, tenteram, dan sejuk.” (LP:43) “Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh, tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkempanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.” 121
(LP:49-50) Data di atas menunjukkan suatu ironi kehidupan antara kaum kaya dan berkuasa dan kaum miskin dan termarjinalkan. Semestinya dalam negara yang sudah merdeka dan telah menapaki tahap pembangunan ternyata masih ditemukan suatu watak yang kontradiktif dengan program negara yang visional. Visi bangsa yang ingin menjadikan kemakmuran
dan
keadilan
bagi
seluruh
rakyatnya,
ternyata
belum
mampu
mewujudkannya. Hal ini disebaban oleh manusia-manusia yang memiliki sikap-sikap dan perilaku-perilaku sebagai warisan kolonial. Karakter kolonial tampaknya diterima begitu saja sebagai warisan yang mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan. Orang-orang di luar tembok Gedong itulah pihak yang mengalami pengesampingan aspek-aspek kemanusiaan sebagai refleksi warisan kolonial. Representasi warisan kolonial yang dilakukan pemerintah pusat dan pihak dalam Gedong, berdampak pada pihak yang selama ini mengalami proses kolonisasi baru. Dampak kolonisasi ini bisa menimpa langsung pada masa kolonisasi, maupun pasca terjadinya kolonisasi pihak asing. Dampak kolonisasi ini dapat memberikan efek penderitaan yang sulit untuk dilupakan. Dampak warisan kolonisasi ini dapat digambarkan pada cuplikan novel sebagai berikut. “... pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar
bugar. Semua itu gara-gara
pembakaran minyak solar berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itup— karbondioksida—dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. .... tanpa firasat apapun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. .... Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusiap-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga Belitong menjadi negara
122
yang merdeka. Dapat dipastikan Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. .... Efek rumah kaca itu juga mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu panas. (LP:301-303P) Perwujudan dampak kolonial yang terjadi di Belitong ini tampak sebagai dampak terburuk. Hal ini karena sudah menyentuh sisi batiniah yang melahirkan penderitaan yang berlipat ganda. Belitong sebagai are geografis yang kaya tambah (Timah), dieksploitiasi secara luar biasa tanpa mengindahkan kemakmuran masyarakat lokal. Dampak fisikbiologis-psikologis telah dialami masyarakat Belitong. Dampak kolonisasi juga tampak pada rusaknya ekologi yang tidak seimbang. Dampak ekologi yang terjadi antara lain permukaan air laut yang naik dan suhu udara menjadu terlalu panas. Kondisi ini semakin menimbulkan ketidaknyamanan kehidupan yang dijalani masyarakat Belitong. PENUTUP Pada bagian penutup ini, perlu disadari bersama bahwa kolonialisasi sepertinya sulit untuk dihapus dari muka bumi ini. Poskolonialisme sebagai analisis ideologis telah berusaha mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah superstruktur sebagai fenomena kesadaran budaya, politik, sosial, hukum, pendidikan, dan seni budaya, sehingga kita memahami ideologi kolonialisme ditanamkan dan dapat bertahan hingga sekarang. Edward Said telah memberikan gambaran bagaimana kaum orientalis menanamkan ideologi dan visinya dalam berbagai aspek ingin menguasai “Timur”. Pemikiran Said ini telah menjadi bahan bakar kecurigaan negatif kaum orientalis yang meneliti dunia Timur sebagai agenda yang terselubung yang akan merugikan dunia Timur. Perlawanan terhadap konsepsi kolonialisme tersebut saat ini terus dilakukan, bahkan di dunia sastra. Perlawanan ini sebagai bentuk kesadaran untuk terwujudnya kedamaian, keadilan, kesejajaran, dan kesejahteraan dalam kehidupan di dunia. Gambaran representasi konsepsi poskolonial dalam novel Laskar Pelangi atas dasar kajian data diketahui terdapat beberapa konsepsi. Konsepsi tersebut meliputi konsepsi tema, konsepsi realitas subaltern, konsepsi relasi kekuasaan, dan konsepsi warisan dan dampak kolonial. Konsepsi tema yang muncul adalah ketidakadilan dan kesenjangan kehidupan. Konsepsi realitas subaltern yang muncul adalah pembedaan atas keberdayaan antara pihak superior terhadap pihak inferior. Konsepsi relasi kekuasaan yang muncul adalah refleksi bentuk arogansi kekuasaan yang bertindak secara sewenang-wenang bagi pihak atau masyarakat lain. Kemudian konsepsi warisan dan dampak kolonial yang muncul 123
adalah rusaknya ekologi yang tidak seimbang dan menimbulkan ketidaknyamanan kehidupan yang dijalani masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN Ashcroft, dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: Qolam Hirata, A. 2007. Laskar Pelangi. Cetakan Ketiga Belas. Yogyakarta: Bentang. King, Richard. 2001. Agama, Orientalis, dan Poskolonial. Yogyakarta: Qolam. Nurhadi. 2005. “Bahasa dan Sastra dalam Konteks Kajian Poskolonial.” Artikel No. 37 pada Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Depdiknas Jakarta Edisi November 2005. Nurhadi. 2007. “Poskolonial: Sebuah Pembahasan.” Artikel No. 47 dipresentasikan dalam Seminar Rumpun Sastra di FBS UNY, Yogyakarta. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori Postkolonialisme dan Karya Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ridha,
Muhammad. 2010. Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan. http://ginonjing.wordpress.com/2010/06/03/sastra-poskolonial-sastrapembebasan/ diunduh 2/10/2012.
[Online].
Said, E. 1994. Orientalisme. Bandung: Mizan. Said, E. 2003. Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Pustaka Promethea. Syuropati, M.A. & Soebachman, A. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya, Sebuah Perkenalan. Yogyakarta: IN AzNa Books. Taufiq, A. 2010. Sastra Poskolonial: Teori, Analisis Teks, dan Pembelajaran. Jember: Kerjasama LP3 dengan UPT Penerbitan.
124
REALISME MAGIS ALTERNATIVE GENRE TULISAN FIKSI (Telaah Konsep dalam Novel “Cantik Itu Luka”) Akhmad Sauqi Ahya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jombang
[email protected]
ABSTRACT Realism magic is actually a combination of two opposite patterns of thought literature. Combining the two things that have been considered `opposite', the rational perspective of the world, with acceptance of things that are' irrational 'as part of everyday reality, by western literary scholars regarded as a blend of reality (rational) withthemagical Each mode of thinking that is present literature certainly has a distinctive character. The character is able to distinguish the patterns of thought that other literature. Magical realism in general have 4 shades to be possessed by a literary work that uses the feature as the underlying genre. In general, the characterization of magical realism by wendi B.faris (2004) includes four features: (a) hybridity, (b) Irony Regarding Author Perspective, (c) The attitude of the Mute Writer and (d) Natural and the Supernatural. (E) realism magical disrupt received ideas of time, space and identity. Keywords: realism magic, Pendahuluan Magis atau lebih biasa dikenal horor dikalangan orang perkotaan atau orang desa lebih akrab menyebutnya dengan nama wingit merupakan sesuatu yang akrab ditelinga orang Indonesia.KBBI mendefinisikan kata magis dengan sebuah perbuatan atau sikap yang bersifat magik. Hal
itu tercermin dari beberapa film yang ada dibeberapa televisi swasta
indonesia, mulai dari film yang menceritakan babat nusantara yang dikemas dengan memasukkan cerita-cerita mistik seperti mak lampir, nini towok, grandong dan banyak dikemas dalam drama-drama seri sperti simanis jembatan ancol, dan masih banyak lagi film indonesia yang bergenre realism magis. Dalam film simanis jembatan ancol seakan-akan ada komunitas hantu yang kadang-kadang menjilma sebagai manusia dan selalu hidup bersama dengan dunia manusia. Dalam film kuntilanak misalnya ada seorang jejaka yang beristrikan seorang kuntilanak yang sudah berubah menjadi manusia. Kuntilanak tersebut berubah menjadi
125
manusia karena kepalanya di kepalanya ditancapkan paku. Film-film tersebut seakan-akan menjadi cerminan budaya nusantara. Magis sering dikatakan erat hubungannya dengan sihir. Namun magis justru berarti ilmu sihir. Sebenarnya menurut kepercayaan masyarakat primitif pengertian magis lebih luas daripada sihir, karena yang dikatakan magis menurut kepercayaan mereka adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir. Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting. Boleh dikatakan semua upacara keagamaan, sikap hidup orang-orang primitif, terutama sikap rohani mereka, adalah bersifat magis karena magis merupakan segala perbuatan atau abstensi dari segala perbuatan mereka untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam gaib. Realisme Magis dan Historisits Sastra Kata realisme magis untuk pertama kali dipakai oleh seorang kritikus seni bangsa Jerman bernama Franz Roh (1890-1965) dalam karyanya Nach Expressionisismus: Magischer Realismus: Probleme der neusten europiischen Malerei (1925). Ia diikuti oleh seorang penyair, novelis dan dramawan Itali Massimo Bontempelli (1878-1960). Walaupun istilah realism pertama kali muncul di jerman, tetapi perkembangannya banyak di Amerika. Lalu muncul dan berkembanglah nama-nama yang menyemarakkan aliran ini seperti Arturo Uslar Petri, Alejo Carpentier, Maria Luisa Bombal, dan tentu saja Gabriel Garcya Marquez Di Amerika Latin pada tahun 1940-an realisme magis merupakan suatu cara untuk mengekspresikan mentalitas Amerika dan gaya sastra yang otonom. Dan pada kisaran tahun 1940-an s/d 1970-an realisme magis digunakan untuk mendeskripsikan serta mendefinisikan suatu tendensi naratif di Amerika Latin. Realism magis lahir di Amerika Latin merupakan
bentuk satu gerakan yang
serempak, menjadi dasar keadaran yang mewarnai pemikiran dan perjuangan kultural mereka. Realisme magis merupakan satu pada bersisi dua. Satu sisi merupakan alat perjuangan menolak dan melawan dominasi kultur Eropa (Barat), satu sisi lagi sebagai kekuatan yang mengangkat dan mengandalkan akar-akar budaya sendiri (indigenous) untuk menjadi dri sendiri, menjadi yang lain (Other), tidak menjadi duplikat atau cangkokan Barat. Di sini dapat dikatakan, bahwa Magic Realism adalah juga nasionalisme Amerika Latin. Mereka menegakkan nasionalisme, melawan penjajahan yang selama ini dilancarkan orang-orang Eropa, terutama Prancis dan Portugis. Nilai-nilai atau warna 126
realisme magis di amerika latin terasa pada misalnya karya-karya Gabriel Garcia Marques, Isabel Allende, dalam kadar yang berbeda. Pada Marquez, realisme merupakan bumbu, meskipun cukup kuat terasa, tetapi pada Isabel Allende realisme magis merupakan andalan utama dalam karyanya. Realism magis pertama kali dipublikasikan secara internasonal pada tahun 1995 oleh lois parkisnson dan wendi B.S Zamora dalam bukunya ontologi realism magis dalam buku ini berbicara tentang teori, sejarah dan kominitas Di indonesia yang dikenal sebagai sebagai sastrawan yang beraliran realism magis adalah Danarto, dalamKumpulan cerpen berjudul Kacapiring terdiri dari 18 cerpen, diantaranya berjudul “Jantung Hati”, “Lailatul Qadar”, “Kacapiring”, “Nistagmus”, “Lauk dari Langit”, “Ikan-Ikan dari Laut Merah”, “Pohon Rammbutan”, “O, Yerusalem”, “Pohon Zaqqum”, “Pantura”, dan “Bengawan Solo”. Kepiawaiannya mengolah cerita menjadi sesuatu yang menakjubkan sekaligus menyeramkan sangatlah jitu. Selalu ada kejutan yang tak bisa kita pahami secara mudah dalam beberapa cerpennya.Eka ayu dengan novelnya yang sangat laris bahkan sudah diterjemahkan kedalam bahasa jepang. Realisme dan Sastra Tulis Realismse magis sebenarnya adalah sebuah gabungan dua corak pemikiran sastra yang berlawanan. Menggabungkan antara dua hal yang selama ini dianggap `berlawanan’, antara perspektif rasional atas dunia, dengan penerimaan hal-hal yang `irasional’ sebagai bagian realitas keseharian, oleh para sarjana sastra barat dianggap sebagai perbaduan antara realitas (rasional) dengan yang magis Istilah realisme, secara etimologis berasal dari kata realism. Istilah ini lazimnya berkaitan erat dengan bidang seni, namun kemudian merambah pada bidang-bidang yang lain. Dalam kaitannya dengan sastra, realisme merupakan salah satu aliran kesusastraan yang melukiskan keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya, meskipun fakta-fakta yang ditampilkannya merupakan sesuatu yang kurang menyenangkan. Para tokoh dalam aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif. Oleh karena itu, realisme menuntut penggambaran yang teliti, seperti cermin yang memantulkan realitas objektif di depan audiens, penikmat, dan berupaya memperlihatkan segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisme, spekulasi, dan idolisasi. Realisme merupakan aliran kesusastraan yang melukiskan keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif. Oleh karena itu, realisme menuntut penggambaran yang teliti, seperti cermin yang 127
memantulkan realitas objektif di depan audiens, penikmat,danpembaca. HB Jassin pernah menjelaskan bahwa dalam realisme digambarkan keadaan seperti yang sebenarnya. seperti yang dilihat oleh mata(Rampan,1999:5).Pengarang melukiskan dengan teliti, tanpa prasangka, tanpa tercampur tafsiran, tidak memaksakan kehendaknya sendiri terhadap pelaku dan pembacanya. Istilah realisme ini merujuk pada makna fakta-fakta nyata yang ada di sekitar kita. Fakta itu, tak lain dari ketimpangan, ketidakadilan, dan penindasan yang terstruktur rapi. Realisme tidak menampilkan narasi perwujudan keindahan Tuhan. Realisme tidak berbicara tentang erotika alam. Realisme lebih berbicara kepada fakta yang sebenarnya terjadi dibalik keindahan Tuhan dan erotika alam tersebut. Karya karya realisme banyak berkisah tentang masyarakat-masyarakat atau golongan bawah, seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur, gangter dan golongangolongan pinggiran lainnya. Golongan-golongan tersebut banyak bersentuhan dengan dunia magis dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, Magis dibedakan dari mistik. Sebab misteri dalam mistik tidak diturunkan dari dunia yang mau direpresentasikan, tapi justru menyembunyikannya.. Kalau penulis fantasi menolak logika dan hukum alam dengan mencantumkan hal-hal absurd dan supernatural. Levy bruhl menyatakan bahwa yang dimaksud mistik adalah sesuatu yang menyiratkan sebuah keyakinan,kekuatan,pengaruh, dan tindakan meskipun tidak terlihat tetapi bisa dirasakan. Levy bruhl secara sederhana menyatakan bahwa yang di maksud mistik adalah
budaya yang bersifat primitive sedangkan yang dimaksud
realisme dikaitkan dengan budaya barat yang eksklusive ilmiah, Teori inilah yang disebut sebagai ‘teori partisipasi’ Maka jika dua istilah tersebut menjadi satu istilah yang utuh yang disebut dengan realisme magis. Realisme magis berusaha menggambarkan nuansa pertentangan dua pandangan dunia, antara yang rasional dan saintifik barat, dengan yang mistis asli dari timur. Kalau penulis fantasi menolak logika dan hukum alam dengan mencantumkan halhal absurd dan supernatural, maka dalam realisme magis, seluruh konvensi realistik dalam fiksi diterima, tapi ditambahi dengan sesuatu yang tidak realistik ke dalam teks. Dalam realisme magis, tidak ada dikotomi antara realita dan kehidupan magis. Seakanakan dua keaadan tersebut menyatu dalam kehidupan sehari;hari. Dia berada di antara wilayah fantasi dan realitas empiris. Realisme magis berarti mencoba merealisasikan halhal magis—yang berada di luar jangkauan kelogisan pemikiran manusia ke dalam kehidupan nyata dalam cerita Beberapa perpektif definisi yang dicetuskan para ahli sastra di amerika membuat bingung pemahaman kita mengenai realisme magis. Akan tetapi, ada definisi kunci. Dalam 128
akun camyd-freixas yang menjawab kebingungan tersebut. Realisme magis dipahami sebagai ekpresi estitika yang canggih yang bersifat primitif, dia berpendapat bahwa realisme magis adlah gaya penulisan sejarah yang bersumber dari etnologis,berdasarka pada adanya mitos, legenda,sinkritisme indian dan dari petani yang paling terisolasi di wilayah amerika. Ralisme magis lahir sebagai usaha untuk mengkritik klaim kebenaran dan koherensi pandangan modern dunia barat dengan menunjukkan mereka sebagai budaya dan historis yang kontingen. Karakteristik Realisme Magis dalam Sastra Setiap corak pemikiran sastra yang hadir pasti memiliki karakter yang khas. Karakter tersebut yang mampu membedakan dengan corak pemikiran sastra yang lain. Realisme magis secara umum memiliki 4 corak yang harus dimiliki oleh karya sastra yang menggunakan corak tersebut sebagai genre yang mendasarinya. Secara umum, karakterisasi realisme magis menurut wendi B.faris(2004) meliputi 4 fitur: (a) Hibriditas, (b) Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis, (c) Sikap Bungkam Penulis dan (d) Supranatural dan Natural.(e) realism magis mengganggu ide-ide yang diterima waktu, ruang dan identitas. Hibriditas:
realisme
magis
menggabungkan
banyak
tehnik
yang
menghubungkannya pada post kolonialisme, dengan hibriditas menjadi ciri khas utama. Sehingga secara spesifik realisme magis adalah diilustrasikan dalam arena yang tidak harmonis sebagaimana pertentangan urban dengan orang-orang desa, dan Barat dengan hal-hal yang asli. Alur dari realisme magis bekerja menggabungkan isu dari daerah-daerah pinggiran, pencampuran dan perubahan. Sebab dalam realisme magis seorang penulis membentuk ini untuk menyingkap tujuam utama realisme magis, yaitu: suatu realitas yang lebih nyata dan dalam dari yang diilustrasikan oleh tehnik realis konvensional. Ironi Berkenaan dengan Perspektif Penulis: penulis harus memiliki arah ironi dari pandangan dunia magis pada realisme untuk tidak menjadi kompromi. Dalam artian, bahwa secara simultan seorang penulis haruslah secara kuat merespon hal-hal magis, atau hal-hal magis tersebut larut ke dalam cerita rakyat yang sederhana atau fantasi yang lengkap, terpisah dari yang riil dan bukannya menyinkronkan dirinya dengannya. Istilah “magis” terhubung pada kenyataan bahwa cara pandang yang dilukiskan teks secara eksplisit tidak mengadopsi sesuai dengan kandungan pandangan dunia realis. Sejalan dengan pikiran tersebut Gonzales Echeverria berpendapat, bahwa tindakan dari memberikan jarak atas dirinya sendiri dari sebuah kepercayaan dipegang oleh suatu keyakinan kelompok sosial menjadikan hal tersebut menjadi tidak mungkin dipikirkan sebagaimana sebuah representasi masyarakat tersebut. 129
Sikap Bungkam Penulis: sikap bungkam penulis menunjukkan pada keperluan akan opini yang jernih tentang keakurasian suatu persitiwa dan kredibilitas pandangan dunia yang diekspresikan oleh karakter dalam teks. Tehnik ini mempromosikan penerimaan dalam realisme magis. Sebab dalam realisme magis, tindakan sederhana dari menjelaskan hal-hal supranatural akan memusnahkan posisi persamaannya memandang sebuah pandangan konvensional yang bersifat personal dari realitas. Karena hal tersebut akan tidak kurang valid, dunia supranatural akan terbuang dan dibuang saebagai sebuah tertimoni yang salah. Supranatural dan Natural: dalam realisme magis hal-hal supranatural tidak dipamerkan sebagai suatu keraguan. Semantara pembaca menyadari bahwa hal-hal rasional dan irasional adalah bertentangan dan dua kutub yang saling berkonflik satu sama lainnya, mereka tidak dikacaukan karena hal-hal supranatural menyatu dengan norma-norma dari persepsi narator dan karakter dalam dunia fiksi. selain itu, waktu juga merupakan tema lain yang menonjol dalam realisme magis. Yang kerap kali dipertontonkan sebagai orbit peredaran yang tetap dari sebuah garis lurus. Dalam pemahaman, bahwa apa yang telah terjadi ditakdirkan untuk terjadi lagi. Hal ini terjadi karena karakter-karakter dalam relaisme magis jarang sekali, apabila pernah ada, menyadari akan janji hidup yang lebih baik. Ini merupakan akibat dari ironi dan paradoks yang senantiasa berakar pada pengulangan-pengulangan sapirasi-aspirasi sosial dan politik. Menurut Angel Flores, dalam realisme magis “waktu” mengalir tanpa pembatasan atas waktu. Hal ini, menurutnya, membuat dalam realisme magis apa yang hadir sebagai sesuatu yang tidak nyata dapat hadir sebagai sesuatu yang nyata. Dan apa yang hadir sebagai sesuatu yang nyata dapat hadir lebih daripada sekedar nyata. Karnavalistik adalah tema yang lain lagi dari realisme magis. Karnavalistik adalah suatu refleksi yang bersifat karnaval dalam sastra. Konsep karnavalistik ini adalah perayaan akan tubuh, jiwa dan relasi antar manusia. “Karnaval” memperlihatkan manifestasi kultural yang mengambil tempat dalam relasi yang berbeda. Amerika Utara dan Amerika Selatan, Eropa dan Karibia. Dan juga, kerap kali, termasuk unsur-unsur bahasa dan pakaian, sebagaimana keadaan seorang gila, orangorang bodoh atau badut. Juga pengaturan penduduk dan partisipasi pada tarian-tarian, musik ataupun teater. Hal ini terjadi karena realisme magis Amerika Latin mengekplorasi sisi terang kekukuhan hidup dan karnaval. Juga realitas revolusi dan pergolakan politik yang tidak ada habisnya pada bagian-bagaian tertentu dunia. secara spesifik hal ini disebabkan karena Amerika Selatan dikarakterisasi oleh pergolakan politik yang tak ada habis-habisnya dari suatu idealitas politik.
130
Contoh terbaik bagi realisme magis adalah novel masterpiece Gabriel Garcia Marquez yang berjudul “Seratus Tahun Kesunyian”. Dalam novelnya tersebut, Gabriel Garcia Marquez menangani realistas di mana batas dari sesuatu yang riil dan fantastik menjadi kabur secara alami. Ini merupakan tehnik penulisan yang unik dari realisme magis. Dan Gabriel Garcia Marquez, melalui novelnya tersebut, secara sukses mendemonstrasikannya dengan integrasi yang begitu terampil dari fantasi dan realitas dengan deksripsi atas hal-hal aneh dari peristiwa dan karakter-karakter tokoh yang diciptakannya Dalam novelnya “Seratus Tahun Kesunyian” tersebut, Gabriel Garcia Marquez bercerita dalam sebuah nada narasi yang serius dan natural, dan hal ini sanggup untuk menciptakan sebuah karya realisme magis, di mana segalanya mungkin dan begitu terpercayai. Dan agar penyatuan hal-hal fantastik atau sesuatu yang mustahil sempurna ke dalam peristiwa realistik, dalam novelnya “Seratus Tahun Kesunyian”, cara paling efektif yang digunakan oleh Gabriel Garcia Marquez adalah mengantarkannya sebagaimana apabila hal tersebut merupakan sebuah kebenaran yang tak dapat disangkal. Gabriel Garcia Marquez dalam karya-karya yang diciptakannya menggunakan realisme magis secara tajam dalam mempresentasikan peristiwa-peristiwa keseharian dan mendeskripsikannya secara detail bersamaan dengan hal-hal fantastik dan elemenelemen yang menyerupai mimpi, sebagaimana bahan-bahan dasar yang digunakan oleh mitos ataupun dongeng-dongeng. Pengapungan di udara dan karpet terbang .adalah sebagian kecil dari motif-motif supranatural yang berusaha ditampilkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya “Seratus Tahun Kesunyian” yang terkenal itu. Selain itu, motif supranatural juga ditampilkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya tersebut lewat tokoh Malquiades, seorang gypsi yang memiliki kekuatan supranatural, yang diciptakannya dalam tradisi karnaval grotesk dan realisme supranatural. Karakter tokoh Malquiades juga dapat dikatakan merupakan contoh hibriditas yang terdapat dalam novel “Seratus Tahun Kesunyian” karya Gabriel Garcia Marquez tersebut. Dan peristiwa-peristiwa kedatangan Malquiades di Macondo dengan membawa benda-benda asing yang berasal dari luar daerah tersebut, seperti balok es atau kaca pembesar, juga dapat dikatakan sebuah peristiwa yang berakar pada gagasan hibriditas. Selain itu, hibriditas juga dapat dilihat pada obsesi-obesesi dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh karakter-karakter tokoh lainnya seperti Ursula, Kolonel Aureliano Buendeia, atau pun Jose Arcadio Buendeia
131
Di iran ada salman rusdi, dia berusaha membangun sebuah dongeng ajaib untuk anak-anak yang gemar bermain video game —termasuk permainan kata misalnya untuk penamaan hewan. Pada permulaan cerita ini juga, dikisahkan terdapat seorang anak lelaki bernama Luka yang memiliki dua hewan peliharaan yaitu anjing dan beruang yang dapat berbicara. Uniknya, anjing tersebut diberi nama Beruang dan beruang diberi nama Anjing. Awalnya, Luka tidak terbiasa dengan perilaku kedua hewannya yang mirip manusia. Namun
demikian,
Lukapunmafhum.
pada novel Luka dan Api Kehidupan Salman Rushdie berusaha meracik peristiwa beserta unsur-unsur fantasi, mitologi, permainan kata dan simbolisme ke dalam rajutan kisah yangmenarik,cerdas,serudanjenaka. Realisme magis dalam Novel Cantik Itu Luka Novel Cantik Itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan bercerita mengenai keluarga besar Ted Stamler, seorang Belanda yang malang-melintang bekerja sebagai pejabat di akhir masa kolonial Belanda di Halimunda. Tempat itu adalah sebuah kota yang dilukiskan pengarang sebagai tempat menarik, penuh mitos dan begitu penting di ujung masa kolonial. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Dewi Ayu, anak Aneu Stamler atau cucu Ted Stamler. Dewi Ayu adalah anak perkawinan luar nikah dari dua bersaudara lain ibu. Namun kedua orang tua Dewi Ayu, Henri Stamler dan Anue Stamler meninggalkan Dewi Ayu begitu saja di depan pintu rumahnya dan mereka pergi angkat kaki ke negeri Belanda. Inilah
awal
kisahnya.
Di zaman Jepang sebagian besar penduduk ditangkapi oleh Jepang, terutama yang dianggap pro Belanda, termasuk Dewi Ayu. Ia diasingkan ke sebuah pulau kecil yang seram dan terpencil. Pulau ini, Bloedenkamp, adalah sebuah tempat yang mengerikan dan menjijikkan. Selain dkenal angker, di sana juga tak ada makanan disediakan . Karena itu para tawanan umumnya memakan apa yang ada di sekitar mereka termasuk cacing, ular ataupun tikus. Kekejaman dan kehausan seksual Jepang di Bloedenkamp telah memanggil nurani Dewi Ayu untuk memberikan dirinya kepada seorang tentara Jepang untuk disetubuhi. Dewi Ayu sendiri, sebagaimana kenyataan di ujung Pemerintahan Kolonial Belanda, berada dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Setelah mengalami kegetiran bersama penduduk di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama gadis-gadis lainnya dibawa diam-diam oleh Jepang ke tempat pelacuran Mama Kalong di 132
Halimunda. Mereka dipaksa menjadi pelacur. Mama Kalong adalah germo yang paling terkenal dan profesional di sana. Namun pada masa berikutnya rumah pelacuran Mama Kalong menjadi terkenal dan identik dengan Dewi Ayu, ia menjadi selebriti di kota tersebut. Ketenarannya menyamai nama-nama penguasa di kota tersebut. Bahkan Halimunda sendiri menjadi identik dengan kecantikan pelacur Dewi Ayu. Dewi Ayu melahirkan empat anak yang tidak dikehendakinya, tiga di antaranya sangat cantik dan diminati banyak lelaki di kota Halimunda. Ketiga putrinya yang cantik itu adalah Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Kecantikan tiga putri itu juga menjadi malapetaka bagi keluarganya sendiri. Karena itu, saat ia hamil pada keempat kalinya, ia berdoa agar anaknya dialahirkan buruk rupa. Sebab kecantikan akan membawa mereka ke dalam petaka. Anaknya yang keempat ini benar lahir dengan menjijikkan namun punya keajaiban, ia diberi nama Cantik. Namun si buruk rupa akhirnya juga terjebak dalam perselingkuhan dengan sepupunya, Krisan. Alamanda dikawini paksa oleh seorang komandan tentara, Shodanco, setelah diperkosa. Perkwinan itu sungguh tidak dengan rasa cinta, melainkan kebencian yang begitu bergelora. Karena itu 5 tahun perkawinan mereka tak melahirkan anak sebab Alamanda selalu memakai celana besi dan azimat. Dari perkawinan mereka melahirkan anak Nuraini. Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon, seorang pemuda genteng, tokoh politik dan terkenal di kota itu. Kamerad Kliwon adalah mantan pacar sejati Alamanda. Perkawinan mereka melahirkan anak Krisan. Maya Dewi menikah dengan seorang tokoh preman dan penguasa terminal, namanya Maman Gendeng. Mereka menikah saat Maya Dewi berumur dua belas tahun tetapi baru disetubuhi saat umur 17 tahun. Kemudian mereka dikaruniai anak, Rengganis Si Cantik. Si Cantik, anak Dewi Ayu keempat, si bungsu buruk rupa, hidup bersama pembantu yang bisu, Rosina. Ia bercinta-buta dengan Krisan setelah kematian Rengganis Si Cantik. Cantik dan Krisan melahirkan seorang anak yang meninggal sebelum diberi nama. Sebelumnya Krisan juga bercinta buta dengan anak tantenya, Rengganis Si Cantik. Rengganis Si Cantik melahirkan juga seorang anak tak bernama, kemudian diserahkan pada ajak-ajak liar. Krisan membunuh Rengganis Si Cantik di tengah laut untuk menutupi perbuatan zinanya itu. Kinkin adalah anak penggali kuburan yang bisa berhubungan dengan roh orang mati 133
dengan permainan jelangkung. Ia satu kelas dengan Rengganis Si Cantik. Walaupun penampilannya kumal dan pendiam namun diam-diam ia mencintai Rengganis Si Cantik. Ketika Rengganis Si Cantik diketahui hamil dengan isu bahwa seekor anjing telah memperkosanya, ia sangat kecewa. Kinkin tetap tak percaya bahwa Anjing telah memperkosa Rengganis Si Cantik. Namun ia mau menjadi bapak anak yang dikandung Rengganis tetapi tidak kesampaian. Setelah kematian Rengganis Si Cantik, Kinkin selalu mencari siapa pembunuh orang yang dicintainya itu. Roh Rengganis pun tidak mau mengatakan pembunuh dirinya, sebab ia sangat mencintai orang yang membunuhnya. Akhirnya, lewat susah-payah ia menemukan juga pembunuh Rengganis dari roh yang tidak dikenal. Pembunuhnya adalah Krisan, sepupunya, sekaligus kekasih yang sangat dicintai Rengganis. Setelah itu Kinkin mencari Krisan, dan membunuhnya di rumah Cantik si buruk rupa. Di indonesia novel yang sangat kental dengan corak pemikiran realisme adalah novel eka kurniawan yang berjudul’ cantik itu luka’. Ketika pembaca membaca novel tersebut dihalaman paling depan maka sudah terasa bahwa novel tersebut kental dengan magis. Coba perhatika kutipan novel dibawah ini. Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian….kuburan tua itu bergoyang, retak dan tanahnya berhamburan bagaikan ditiup angin dari bawah, menimbulkan badai dna gempa kecil, dengan rumput dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan tirai itu sosok perempuan tua berdiri dengan sikap jengkel yang kikuk, masih terbungkus kain kafan seolah mereka dikubur semalam saja. (hal 1-2) Kalau melihat pilar-pilar penyangga utama bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang, sudah pasti kita akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika Selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas, yang selama ini dilewatkan karena dianggap `tidak rasional’, tidak logis, supranatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam. Perhatikan tiga kutipan di bawah ini: Sore hari di akhir pekan bulam Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematian….kuburan tua itu bergoyang, retak dan tanahnya berhamburan bagaikan ditiup angin dari bawah, menimbulkan badai dna gempa 134
kecil, dengan rumput dan nisan melayang dan di balik hujan tanah yang bagaikan tirai itu sosok perempuan tua berdiri dengan sikap jengkel yang kikuk, masih terbungkus kain kafan seolah mereka dikubur semalam saja. (hal 1-2) Dan langsung pada kutipan berikut: …..Tiga tahun Republik berdiri, tapi Belanda masih dimana-mana. Lebih menyedihkan, republik ini harus kalah di semua perang dan semua meja perundingan…..Ia bertemu dengan Presiden Republik, sahabat lamanya, yang segera berkata kepadanya, “Bantulah kami memperkuat negara melancarkan revolusi.” `Itu memang kewajibanku. Ik Kom hier om orde te scheppen…. (hal 183) Ditambah satu kutipan lagi: …”Jika aku boleh berpendapat, dunia ini adalah neraka, dan menjadi tugas kita menciptakan surga” (hal 185) Kutipan pertama bukanlah sebuah ilustrasi penggambaran sebuah detil untuk menciptakan suasana atau ketegangan tertentu. Namun kutipan itu adalah bagian dari cerita, bagan utama yang menjejak di setiap bagian dari 18 bab dan 517 halaman CIL. Deskripsi yang melawan keniscayaan biologis itu bukanlah sekedar metafor, tapi sebuah pembuka bagi pembaca, untuk selanjutnya mengikuti narasi dari periode tertentu sejarah Indonesia lewat Dewi Ayu, yang bangkit dari kubur itu, dan tokoh lain di sekitarnya. Dalam kerangka inilah, detil sejarah bermunculan. Bagi yang cukup akrab dengan sejarah gerakan dan pemikiran kiri di Indonesia, tentu tidak akan asing dengan kutipan kedua dan ketiga di atas. Yang kedua adalah dialog terkenal dari Sukarno dan Muso, menjelang `Peristiwa Madiun’ ketika Muso baru kembali dari pelariannya di Moskow setelah kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926-27. Kutipan ketiga adalah dialog antara Kliwon dan Kamerad Salim. Menggambarkan (salah satu) gagasan yang pernah diperjuangkan untuk jadi landasan Republik yang baru berumur 3 tahun itu. Bahwa surga di bumi adalah sebuah masyarakat tanpa penindasan, tanpa kelas. Pun bagi mereka yang belum membaca CIL, melihat penggabungan di atas (antara yang kebangkitan dari kubur, Sukarno, Muso dan sosialisme), pastilah perlu penjelasan yang memadai. Apalagi kalau kita lihat banyak sekali detil sejarah bermunculan dalam karya ini (seperti tukang foto di sudut jalan yang ternyata adalah mata-mata jepang (hal 59), tentang penjara dan perkosaan), rasanya sulit membayangkan bahwa penulis 135
memasukkan unsur-unsur semacam bangkit dari kubur itu, hanya dalam rangka kegenitan dan sensasi eksotis semata. Ragam Mitos dalam Novel “Cantik Itu Luka” Kisah pada novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Dalam Cantik Itu Luka terdapat pohon keluarga dengan segala kisahnya pada masing-masing tokoh. Tokoh sentralnya ialah Dewi Ayu. Eka Kurniawan menceritakan Dewi Ayu mendengar kisah cinta kakek neneknya yang putus di tengah jalan karena sang nenek menjadi gundik seorang Belanda. Selanjutnya ia menceritakan dilahirkan dari ayah dan ibu yang sebenarnya saudara kandung. Dan kemudian menceritakan perjalanan panjang Dewi Ayu menjadi tahanan perang yang kemudian berakhir sebagai seorang pelacur. Dalam Cantik Itu Luka, kutukan yang muncul justru apa yang dipuja kebanyakan orang, kecantikan. Kecantikan yang banyak diinginkan sebagian besar wanita justru dianggap sebagai sebuah kutukan. Pasalnya, kecantikannya tersebut memaksanya untuk menjadi pelacur. Dewi Ayu menjadi pelacur professional yang pernah tidur hampir seluruh lelaki di kota Halimunda. Hal ini mungkin akan berbeda apabila Dewi Ayu memiliki paras yang jelek. Mungkin pelacur tidak akan menjadi jalan hidupnya. Mungkin ia akan memilih pekerjaan lain yang sesuai dengan kemampuannya di luar sebagai pelacur. Seringkali kecantikan tersebut juga membawa ancaman bahaya yang lebih besar. Bagaimana kecantikan tersebut selalu menggoda setiap mata yang melihatnya dan yang terjadi adalah timbul keinginan untuk terus melihat kecantikan itu, yang lebih ekstrm untuk memilikinya dengan cara apapun. Dengan begitu terkadang kecantikan tersebut dapat menjadi boomerang bagi pemiliknya. Demikianlah sehingga kemungkinan Eka Kurniawan mengambil judul Cantik Itu Luka. Dalam bagian akhir novelnya terdapat semacam penjelasan mengenai hal ini. 'Sebab “kenapa” selalu sulit untuk dijawab, maka ia tak menjawab. Ia hanya bisa menjawab “bagaimana” dan itu mudah. Untuk menunjukkan cintanya, maka ia terus mencumbunya, tak peduli betapa buruk rupa dirinya, betapa menjijikan, betapa menakutkan. Semua terasa baik-baik saja, dan ia memperoleh kebahagiaan yang nyaris tak pernah diperolehnya selama hidupnya. Si Cantik selalu mengejarnya, setiap kali mereka bertemu dan bercinta, dengan pertanyaan “kenapa?” Krisan tetap membungkam, bahkan meskipun ia tahu jawabannya, ia tak mau menjawab. Tapi di malam sebelum ia terbunuh, ia akhirnya menjawab. Pengakuan keempat: “Sebab cantik itu luka.” Sebab cantik itu luka.' (Cantik Itu Luka – Eka Kurniawan)
136
Cantik Itu Luka, mitos tersebut muncul dari keadaan tokoh itu sendiri. Mitos itu diciptakan sendiri. Bahwa kecantikan adalah kutukan karena dapat membawa ancaman atau luka-luka pada penyandang kecantikan tersebut. Mitos dalam novel ini tidak muncul secara konvensional dari mulut ke mulut, namun ada usaha dari sang tokoh untuk memunculkan mitos baru tersebut dengan bertolak pada realitas kecantikan yang ada pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional, Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan di Masa Depan Indonesian Geography http://countrystudies.us/indonesia/28.htm Kurniawan, eka. Cantik itu luka.2002.kompas gramedia
137
PENGEMBANGAN MATERI BAHASA INDONESIA BERKARAKTER NILAI ISLAM UNTUK SISWA SEKOLAH DASAR Mukaromah Univeristas Islam Malang
[email protected] ABSTRACT The human resource quality and the arrangement of education in Indonesia could be seen from the achievement of the students which assumed as the output of the quality of national education. All the time, the assessment of the excellency of the students only seen from the academic point of view, while the attention to the personality and the social sensitiveness ignored. It is better to develop the personality values in school, based on the personality and social environment. In order to concrete the human being with a good personalitu nand having the sensitiveness to the social environment, the school should applicate the values of religion, culture, and art. One of the way to realize any learning subject.The research focuse on the development of Bahasa Indonesia material with the Islamic character for the elementary school students. The model of learning could not separate the skill of reading, writing, listening, and speaking anymore. In the higher grade of elementary school, the skills of language should be given integrated embedded with Islamic values character. Kata Kunci: material of Bahasa Indonesia, Islamic values character, elementary school PENDAHULUAN Kemajuan bangsa dapat diukur dari keberhasilan pengelolaan sumberdaya manusia dan pengelolaan pendidikannya. Kualitas sumber daya manusia dan pengelolaan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari prestasi siswa-siswa belum sesuai dengan harapan. Salah satu indikator rendahnya sumber daya manusia dapat dilihat dari prestasi siswa yang merupakan hasil mutu pendidikan nasional. Hasil Studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achievement) menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kita berada pada tingkat terendah. Anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Mutu akademik antarbangsa melalui Programme for Internal Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang membaca dan pemecahan masalah, Indonesia menempati peringkat ke-39. Data UNESCO (2005) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Pada tahun 2007 Human 138
Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia berada pada posisi 108 dari 177 negara. Dengan demikian, kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) kita jauh tertinggal dibandingkan standar negara-negara Asia (Lubis, 2007). Selain sisi akademik,yang masih kurang mendapat perhatian dalam dunia pendidikan kita adalah faktor moral sosial. Selama ini, penilaian keunggulan siswa sering hanya dilihat dari sudut pandang akademis. Sementara itu, perhatian terhadap kepribadian dan kepekaan sosial masih kurang. Seharusnya, sekolah juga dikembangkan dengan berbasis kepribadian dan lingkungan sosial. Hal itu sesuai dengan pernyataan filsuf Alfred N. Whitehead bahwa pendidikan bukan hanya kemampuan menganalisis secara logis, tetapi juga kemampuan menjadi pribadi dalam mengatasi permasalahan hidup yang kongkret. Hal tersebut juga sejalan denganvisi pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Atas dasar itu Depdiknas memiliki keinginan agar pada tahun 2005 pendidikan Indonesia menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna), yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinetetis (Depdiknas, 2005). Untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian dan peka terhadap lingkungan sosial, sekolah wajib menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan seni. Penanaman nilai tersebut
bukan hanya dilakukan melalui bidang agama dan akhlak yang jam
pelajarannnya sangat terbatasi. Salah satu cara untuk mewujudkan itu adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama termasuk Islam, budaya, maupun seni ke dalam setiap mata pelajaran. Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah tentunya relevan untuk dimuati nilai-nilai agama khususnya nilai Islam. Hal ini memungkinkan karena bahasa Indonesia memuat aspek komunikasi sehingga nilai-nilai Islam dapat ditanamkan kepada siswa dalam pembelajaran. Penanaman nilai-nilai keagamaan di sekolah saat ini masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya, bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks. Padahal upaya penanaman nilai-nilai keagamaan tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor pendukung yang belum terkendali dengan baik, misalnya strategi yang 139
digunakan guru belum sesuai, tidak lengkapnya media pendukung pembelajaran, dan bahan ajar yang menjadi rujukan belum bervariasi. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang perlu dicobakan untuk dikembangkan yaitu penanaman nilai Islam melalui bahan ajar. Pembelajaran bahasa Indonesia di kelas tinggi di sekolah dasar saat ini terfokus pada empat aspek keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Hal tersebut
perlu dikembangkan lebih lanjut agar
anak memiliki
kemampuan berpikir holistik dalam pembelajaran. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu mengembangkan bahan ajar bahasa Indonesia dengan menerapkan pendekatan integratif dalam pembelajaran.Materi atau bahan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar kelas 4, mencakup empat aspek keterampilan
yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis. Dalam pelaksanaannya magteri tersebut
dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan mengintegrasikan secara internal aspek kebahasaan maupun eksternal seperti nilai-nilai keislaman, agar pembelajaran lebih bermakna dan mendekati
kenyataan.
Pembelajaran
integratif
merupakan
pembelajaran
yang
menghubungkan berbagai aspek bidang yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling anak sesuai rentang perkembangannya. Model pengintegrasian pembelajaran bahasa Indonesia ini membawa implikasi, baik bagi guru, peserta didik, saran ,media dan pengembangan materi yang digunakan. Kondisi riil saat ini menunjukkan bahwa materi yang dipergunakan guru dalam pembelajaran kebanyakan berupa buku teks . Guru banyak berpedoman pada buku teks yang direkomendasi sekolah dan menjadi bahan satu-satunya dalam pembelajaran. Materi yang baik hendaknya
berpedoman pada kurikulum dengan memperhatikan
perkembangan kebutuhan dan lingkungan siswa belajar sehingga lebih bervariasi. Maraknya sekolah yang berlabel Islam
saat ini memungkinkan adanya
pengembangan materi yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman.Materti bahasa Indonesia integratif yang memuat nilai-nilai keislaman diharapkan menjadi salah satu sarana penanaman nilai keislaman melalui pembelajaran berbahasa. Hal ini didasari pemukiran bahwa nilai keislaman bukan monopoli mata pelajaran agama tetapi dapat diintegrasikan pada mata pelajaran lain seperti bahasa Indonesia. Berkaitan dengan apa yang diungkapkan di atas, penelitian ini difokuskan pada pengembangan materi bahasa Indonesia berkarakter nilai Islam untuk siswa Sekolah Dasar . Dengan tersusunnya model ini, materi bahasa Indonesia khususnya di kelas tinggi SD, tidak lagi terpisah menjadi pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis semata, tetapi dapat diberikan secara terintegrasi sebagai satu kesatuan utuh antar keterampilan berbahasa dan bermuatan
karakter nilai Islam. Materi bahasa
Indonesia berkarakter nilai Islam seabagai produk penelitian memberikan muatan 140
kepribadian yang dapat digunakan sebagai pembiasana perilaku untuk siswa Sekolah Dasar. Tujuan penelitian ini adalah tersusunnya materi bahasa Indonesia berkarakter nilai Islamuntuk siswa tersusunnya materi
SD.. Secara khusus tujuan penelitian
yang adalah:
bahasa Indonesia Integratif yang berkarakter nilai Islam untuk
Sekolah Dasar kelas 4. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai (Depdiknas, 2006) Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Menurut University of Wollongong NSW 2522, AUSTRALIA pada website-nya, WebPage last updated: August 1998, Teaching is defined as the process of creating and sustaining an effective environment for learning.Melaksanakan pembelajaran diartikan sebagai proses menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang efektif. Dalam website Depdiknas (2006) dikemukakan pengertian bahwa, bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran.Bahan ajar disusun dengan tujuan sebagai berikut : 1) menyediakan
bahan
ajar
yang
sesuai
dengan
tuntutan
kurikulum
dengan
mempertimbangkan kebutuhan siswa, yakni bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik dan setting atau lingkungan sosial siswa. 2) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh. 3) Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Menurut Prawiradilaga (2007) bahan ajar adalah format materi yang diberikan kepada pembelajar yang dikaitkan dengan media tertentu yang berupa handouts atau buku teks. Uraian materi merupakan strategi pembelajaran isi matapelajaran dan berpedoman kepada cara yang sistematis berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.. Materi disusun sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, disusun langkah demi langkah sehingga mempermudah siswa belajar. . Pembelajaran integratif/terpadu merupakan suatu jenis pembelajaran yang didasari oleh pendekatan terpadu. Sebagai suatu proses, pembelajaran terpadu memiliki ciri-ciri: (1) berpusat pada anak (child centered); (2) memberikan pengalaman lang-sung pada anak; (3) pemisahan antarbidang studi tidak jelas; (4) menyajikan konsep dari
141
berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran bersifat luwes; (5) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak Nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia ditekankan dalam pembiasaan akhlakul karimah. Akhlak didefinisikan sebagai semua tingkah laku dan gerak-gerik makhluk dan yang dimaksud makhluk di sini (telah dipersempit) ialah manusia (hanya menyangkut tingkah laku manusia saja). Islam menerapkan pendidikan, anak didik tidak hanya dituntut untuk memahami pengetahuan tentang akhlak semata, melainkan diharapkan mereka dapat menerapkan dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. hari akan melahirkan budi pekerti yang luhur (Akhlakul Karimah), Al-Hasan (2008). METODE PENGEMBANGAN Penelitian penembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model R2D2 (Recursive, Reflective Design and Development ) yang dikembangkan oleh Willis (1995, 2000). R2D2 memiliki 4 prinsip, yaitu: (1) recursion, (2) reflection, (3) nonlinear, dan (4) desain partisipatori. Prinsip recursion, mengizinkan pengembang untuk menetapkan keputusan sementara dan meninjau kembali keputusannya tentang produk atau proses, setiap saat dalam perencanaan dan pengembangan produk, dan membuat perbaikan dan revisi jika diperlukan. Prinsip reflection, menuntut pengembang untuk merefleksi, memikirkan ulang secara sungguh-sungguh, mencari dan menemukan umpan balik dan ide-ide dari banyak sumber selama proses perancangan dan pengembangan. Prinsip nonlinear, mengizinkan pengembang untuk memulai pengembangan tidak secara urut dengan menggunakan format baku yang harus diikuti secara ketat mulai dari awal sampai dengan akhir. Sebagai contoh, pengembang dapat menetapkan tujuan sementara, dan tujuan, dikembangkan sepanjang proses dan mungkin bisa terjadi belum lengkap dan jelas sampai akhir proyek. Prinsip terakhir, desainpartisipatori, pengembang melibatkan tim partisipan yang dilibatkan secara ekstensif dalam semua fase dari proses perencanaan dan pengembangan. Berdasarkan model tersebut, desain pengembangan produk ini
mengikuti
tahapan sebagai berikut: (1) pendefinisian, (2) perancangan dan pengembangan, (3) penyebarluasan.Aktivitas pendefinisian ditekankan pada persiapan yaitu pembentukan tim yang meliputi siswa, guru, dan tim ahli. Perancangan danpengembangan difokuskan pada kegiatan yang meliputi; 1) analisis karakteristik siswa dan kebutuhan belajar, analisis materi Integratif bahasa Indonesia, penetapan nilai-nilai Islami, dan 2) penulisan draf materi/bahan, latihan baha Indonesia berkarakter nilai Islam dan uji coba hasil
142
produk. (3) Aktivitas Penyebarluasan difokuskan pada penyebarluasan produk bahan ajar bahasa Indonesia Integratif berkarakter nilai Islami untuk Sekolah Dasar kelas4. Setelah prototipe dikembangkan, maka diujicobakan pada a) kelompok kecil, b) kelompok ahli. a) Uji kelompok kecildilaksanakan di SD Islam Sabililliah Malang. Ditatapkannya sekolah ini karena sekolah telah menerapkan pembiasaan nilai keislaman dalam kesehariannya.b) Uji ahli dilakukan oleh 3 orang, yaitu ahli pembelajaran bahasa Indonesia ke-SDan, ahli
pembelajaran bahasa Indonesia dan
ahi perancang media
pembelajaran. Jenis data penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif terutama diperoleh dari observasi partisipan pada saat uji coba lapangan berupa deskripsi aktivitas guru-siswa kelas 4 SD Islam Sabilillah. Data ini diperoleh melalui respon dan jawaban instrumen dari observasi analisis kebutuhan dan analisis karakteristik siswa. Hasil data yang berupa deskripsi jawaban sisiwa dan guru ini dipergunakan peneliti untuk
mengidentifikasi, merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran.
Data kualitatif juga diperoleh dari hasil jawaban angket dari uji ahli. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari tes sebelum dan sesudah uji coba produk. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: angket, tes, observasi dan catatan pengamatan. Angket digunakan untuk uji coba ahli dan guru. Tes digunakan untuk prates dan postes, format observasi, dan catatan pengamatan digunakan untuk uji coba lapangan. Teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data uji lapangan dianalisis dengan analaisis data kualitatif model alir (Miller & Huberman, (1992:18). Aktivitas analisis, meliputi: reduksi data, penyajian data dan penatikan simpulan atau verifikasi. Kegiatan reduksi data meliputi pemilihan, pemilahan, pengklasifikasian dan pengodean data. Penyajian data dalam bentuk uraian deskripsi, tabel, diagram, gambar atau bentuk visual lainnya. Data yang telah disajikan diverivikasi, dimaknai, dan disimpulkan.
Sedangkan untuk analisis
kuantitatif digunakan statistik deskriptif dan statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dihasilkan produk pengembangan, yaitu materibahasa Indonesia berkarakter nilai Islam untuk siswa SD kelas 4. Hasil pengembangan pada tahap ini ini masih terbatas pada pengembangan produk dan uji coba produk pada kelompok kecil, kelompok ahli, dan kelompok praktisi. Uji efektivitas produk sedang dilaksanakan, tetapi belum dilaporkan karena terkait dengan saran Pengembangan prototipe produk, prototipe ini dikembangkan secara kolaboratif antara pengembang, tim ahli, guru, dan praktisi. Prototipe yang dikembangkan mencakup 143
hal-hal berikut. Produk yang berisi deskripsi
materi pembelajaran bahasa Indonesia
Integratif berkarakter nilai Islam dan latihan Materi pembelajaran memuat deskripsi isi materi yang diperlukan untuk menguasai standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) kemampuan berbahasa SD kelas IV yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). SK dan KD dalam satu tahun. Dari SK dan KD kelas 4 semester 1 dan 2 tersebut, dikembangkanlah materi menjdi 8 unit pelajaran. Unit tersebut yaitu 1) Tempat Umum, 2) Lingkungan, 3) Persahabatan, 4) Alam dan Makhuk Hidup, 5) Menuntut Ilmu, 6) Komunikasi, 7) Teknologi dan 8) Cita-cita.Setiap unit pelajaran memuat hal-hal berikut: 1) judul unit, 2) kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa yang dijabarkan dalam peta konsep, 3) uraian deskripsi materi bahasa Indonesia integratif berkarakter islam berbasis media interakti, 4) latihan yang dikemas dalam Pikirkan yang berisi pengayaan latihan pengetahuan dan pemahanam dan dan Ayo lakukan. Yang berisi pengembangan dari keterampilan yang dikuasai siswa. Materi pembelajaran pada setiap unit dikembangkan dengan mengintegrasikan aspek kemampuan berbahasa yang meliputi menyimak,berbicara, membaca dan menulis serata mengapresiasi karya sastra dengan pengintegrasian nilai keislaman ditanaamkan melalui pembiasaan membaca basmalah dalam memulai sesuatu, salam,sapaan, tema. Hasil penelaahan ahli dan praktisi terkait dengan kebenaran isi ada satu aspek yang perlu direvisi karena aspek tersebut mempunyai catatan dan mendapatkan skor 3, yaitu sumber atau bacaan dari sumber alquran yang belum dipaparkan dan perlu uraian agar siawa lebih jelas. Aspek keterbacaan adalah aspek esensial materi pembelajaran. Materi yang tingkat keterbacaannya terlalu tinggi akan menyebabkan siswa frustasi karena sulit memahaminya. Sebaliknya, materi yang tingkat keterbacaannya rendah akan menyebabkan siswa bosan karena siswa merasa tidak ada tantangan untuk memelajarinya. Aspek keterbacaan mencakup: (1) kemudahan struktur bahasa untuk dipahami dan (2) kemudahan kata/kalimat/istilah untuk dipahami. Dari penelaahan ahli dan praktisi terhadap aspek keterbacaan yang perlu direvisi, yaitu aspek kemudahan kata/kalimat/istilah untuk dipahami karena mendapatkan skor 3. Dari catatan ahli dinyatakan bahwa ada beerapa kalimat panjang yang pilihan kata yang sulit, sehingga perlu direvisi. Kemenarikan penyajian memiliki peran sangat penting dalam menarik minat siswa untuk memelajari materi pembelajaran. Aspek kemenarikan penyajian mencakup: (1) kejelasan teks, gambar, dan suara dan (2) kesesuaian dan kemenarikan tata letak, pemilihan font, dan perpaduan warna. Hasil penelaahan ahli dan praktisi terkait dengan 144
aspek kefungsionalan sistem ada satu aspek yang harus diperbaiki, yaitu masih adanya perintah yang belum dapat berfungsi dengan baik yaitu pada latihan ayo lakukan untuk membuat gambar. Produk ini telah diujicobakan pada kelompok kecil, yaitu kelompok siswa dan guru, juga telah divalidasi oleh tim ahli/validasi pakar dan validasi praktisi.
Materi
pembelajaran bahasa Indonesia berkarakter nilai Islami ini telah berhasil melibatkan sejumlah keterlibatan siswa dalam aktivitas dan perilaku dalam pengelolaan pembelajaran dengan penuh gairah Kegitan belajar untuk satu keterampilan dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan utama, dan kegiatan pengembangan. Kegiatan awal berisi materi atau latihan-latihan yang membekali siswa sebelum masuk ke kegiatan utama. Kegiatan utama berisi materi dan latihan pokok yang harus dikuasai siswa. Sedangkan kegiatan pengembangan berisi latihan-latihan tambahan yang sifatnya mengembangkan keterampilan siswa. Sementara itu, untuk latihan dibuat dua model, yaitu ‘Pikirkan’ dan ‘Ayo Lakukan’. ‘Pikirkan’ merupakan jenis latihan yang sifatnya mengembangkan wawasan, daya ingat, dan nalar siswa, sedangkan ‘Ayo Lakukan’ merupakan jenis latihan yang sifatnya mempraktikkan atau mengaplikasikan suatu keterampilan untuk memperdalam pemahaman siswa.
Gambar 1: Contoh Produk 145
Pada setiap unit, dideskripsikan pula “Islam Mengajarkan”,yang memuat nasehat, arahan, atau pelajaran hidup Islami yang dapat diteladani siswa. Hal-hal yang disampaikan di dalamnya berkaitan dengan tema unit atau keterampilan yang sedang dipelajari. Pada bagian akhir unit ini dimuat juga “Kata-kata Mutiara” sebagai penyemangat siswa. Kata-kata mutiara diambil dari hadis nabi atau perkataan-perkataan orang bijak yang dapat memotivasi (medorong) siswa untuk berbuat lebih baik. Selanjutnya ada Moto. Moto dimuat di halaman sebelah kiri bagian bawah. Di dalamnya terdapat semboyan yang berbunyi “Indonesia bahasaku, Islam agamaku”. Dengan moto ini, diharapkan siswa akan lebih mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita dan agama Islam sebagai panduan hidup manusia, sehingga siswa mau menerapkannya dengan baik dalam kehidupan sehari hari. SIMPULAN Berdasarkan hasil pengembangan dapat disimpulkan hal-hal berikiut: tersusunnya paket materi pembelajaran bahasa Indonesia integratif berkarakter nilai Islam untuk siswa SD Berdasarkan hasil uji coba dan validasi ahli dan pakar, kedua produk tersebut dinyatakan layak digunakan. Uji coba dilakukan pada kelompok kecil, yaitu siswa kelas IV SD Islam Sabililah Malang dan guru kelas IV mata pelajaran bahasa Indonesia. Validasi pakar dan praktisi untuk paket materi pembelajaran difokuskan pada aspek: 1) kebenaran isi, 2) keterbacaan, 3) kemudahan penggunaan, 4) kemenarikan penyajian, dan kefungsionalan sistem. Hasil ahli menunjukkan bahwa produk ini dilihat dari kebenaran materi layak digunakan karena memiliki kesesuaian dengan SK dan KD, akurat dilihat jabaran kurikulum kelas 4 SD/M yang mengintegrasikan aspek kebahasaan dan penanaman nilai keislaman. Dilihat dari aspek keterbacaan, para ahli dan praktisi menyatakan bahwa bahasa mudah dipahami dan tidak ada kata/kalimat/istilah yang sulit dipahami. Hal ini karena produk ini sudah diujicobakan kepada siswa kelas IV, sebagai calon pengguna produk Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada kelompok kecil, yaitu siswa kelas IV SD, 97% menyatakan senang belajar dengan menggunakan paket materi bahasa Indonesia berkarakter nilai Islam ini.
146
Saran Guru bahsa Indonesia hendaknya mempersiapkan diri membaca petunjuk penggunaan, materi dan buku-buku referensi sehingga dapat menguasai isi materi, langkah-langkah pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Produk materi ini sebagai salah satu model dan terbuka untuk dikembangkan dengan kreatifitas guru yang disesuaikandengan kreasi yang tidak menyimpang pada esensi materi dan kebutuhan siswa.
DAFTAR RUJUKAN Al-Hasan S.Y.M. 2008. Pendidikan Anak dalam Islam. Disebarkan dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pedoman pembelajaran Awal Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional.. 2006. Kurikulum 2006 Sekolah Dasar. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional.. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta. Lubis, F. R. 2007. Mendongkrak Human Development Indonesia (Hdi) Atau Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Melalui Program Pendidikan Keaksaraan. Suara Merdeka, Jumat 27 Juli 2007 Prawiradilga, Dewi Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana.disajikan dalam Pelatihan Model Pembelajaran PBK, tanggal 26 – 28 November 2005, di P3AI Universitas Negeri Yogyakarta. Willis,J. 1995. A Recursive, Reflective Instructional Design Model Based on Constructivist Interpretivist Theory. Educational technology/Nov-Des, 9. Willis,J.2000. A. General Set of Prosedures for Constructivist Instructional Design: the New R2D2 Model. Jurnal Educational Technology/ Marh april No.2.
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN KEMAHIRAN BERBAHASA TULIS 147
Iwan Setiawan Universitas Wisnuwardhana Malang
[email protected]
ABSTRACT Starting to write do not need to wait to be the skilled writer. The understanding of three components of writing of writing act really helpful, (1) mastery of written language,includes vocabulary, sentence structure, paragraph, pragmatics (2) mastery of content of writing based on the topic, and (3) mastery of variations of writing, such as article, feature, short story, journal, etc. Writing is more creative process including way of thinking divergent than thinking convergent. The creative process consists of three activities, there are: (1) planning (to consider the goal of writing), (2) to realize ( writing based on the planning), and (3) Revision (evaluating and revising the writing). Key words: development, learning, skill, written language
PENDAHULUAN Belajar berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis, berarti harus belajar
mendengarkan,
berbicara,
membaca,
dan
menulis
dalam
bahasa
Indonesia.Menulis merupakansuatu keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Setidaknya terdapat tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya. Agar dapat terampil menulis dengan baik, seorang pembelajar tidak hanya menguasai satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak pembelajar yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis dan mengetahui banyak hal untuk ditulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan bagaimana menuliskannya, serta tidak dapat menulis karena tidak tahu caranya. 148
Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah.Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulismenulis. Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimana pun seorang penutur asing yang belajar di Indonesia dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran. Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut pandang inilah dapat diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi. Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa tadi, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari. Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan. Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
149
Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula, awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses menulis itu sendiri. Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara proses dan produk menulis. Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122). PEMBAHASAN 1. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih menekankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Pembelajar berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins, 1990: 69). Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut. Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses 150
No. 1
Komponen Pilihan Topik
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
Tugas menulis kreatif yang
Pembelajar memilih topik
spesifik diberikan oleh
sendiri, atau topik-topik
pengajar
yang diambil dari bidang studi lain
2
3
Pembelajaran
Fokus
Pengajar hanya sedikit
Pengajar mengajar
atau tidak memberikan
pembelajar mengenai
pelajaran.
proses menulis dan
Pembelajar diharapkan
mengenai bentuk-bentuk
menulis sebaik-baiknya
tulisan
Berfokus pada tulisan yang
Berfokus pada proses yang
sudah jadi
digunakan pembelajar ketika menulis
4
Rasa Memiliki
Pembelajar menulis untuk
Pembelajar merasa memiliki
pengajar dan kurang
tulisan sendiri.
merasa memiliki tulisan sendiri 5
Pembaca
Pengajar merupakan
Pembelajar menulis untuk
pembaca utama
pembaca yang sesungguhnya
6
Kerja Sama
Hanya sedikit atau tidak
Pembelajar menulis dengan
ada kerja sama
bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan teman-teman satu kelompok/kelas
7
Draft
Pembelajar menulis draft
Pembelajar menulis draft
tunggal dan harus
kasar (outline) untuk
memusatkan pada isi
menuangkan gagasan dan
sekaligus segi mekanik
kemudian merevisi dan
(ejaan, tanda baca, tata
menyunting draft ini
tulis)
sebelum membuat hasil akhir
8
Kesalahan
Pembelajar dituntut untuk
Pembelajar mengoreksi
Mekanik
menghasilkan tulisan yang
kesalahan sebanyak151
No.
Komponen
Pendekatan Tradisional bebas dari kesalahan
Pendekatan Proses banyaknya selama menyunting, tetapi tekanannya lebih besar pada isi daripada segi mekanik
9
Peran Pengajar
Pengajar memberikan
Pengajar mengajarkan cara
tugas menulis dan
menulis dan memberikan
menilainya jika tulisan
balikan selama pembelajar
sudah jadi
merevisi dan mengedit/menyunting
10
Waktu
Pembelajar menyelesaikan
Pembelajar mungkin
tulisan dalam satu jam
menghabiskan waktu tidak
pelajaran
hanya satu jam pelajaran untuk mengerjakan setiap tugas menulis
11
Evaluasi
Pengajar mengevaluasi
Pengajar memberikan
kualitas tulisan setelah
balikan selama pembelajar
tulisan selesai disusun
menulis, sehingga pembelajar dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.
Berdasarkan kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya.Pada pendekatan tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), pengajar mengumpulkan pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit saja pembelajar yang dapat menghasilkan tulisan yang baik.Sebagian besar pembelajar biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di lapangan dalam memberikan proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan bahwa kadang-kadang mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam kondisi semacam ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka
152
dihadapkan pada tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan mengenai cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut seperti digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui proses kreatif dalam menulis. 2. Proses Kreatif dalam Menulis Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering. Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak selalu disadari oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat tahap ini. Harap diingat, bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar. Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya. Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang 153
mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun. Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya. Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita berekreasi dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk termenung. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami proses pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”. Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan lain-lain. Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai melakukan pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian keluar hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja, seorang pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi. Seringkali orang menganggap iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang. Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
154
3. Proses Pembelajaran Menulis Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan terhadap tulisan mahasiswa, Flower dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model proses dalam menulis. Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan). Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis terus-menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif. Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga. Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatankegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti berikut. 1.Tahap Pramenulis Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri b. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis c. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis d. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis e. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan 2. Tahap Membuat Draft 155
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut: a. Membuat draft kasar b. Lebih menekankan isi daripada tata tulis 3. Tahap Merevisi Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut: a. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok) b. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas c. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman d. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir 4. Tahap Menyunting Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut: a. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri b. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok c. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan.
Pertama,
penyuntingan
tulisan
untuk
kejelasan
penyajian.
Kedua,
penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105— 106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat. Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan 156
secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan. Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa. Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya. Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah. Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, membuktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis 157
dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/wacana/gagasan/pendapat. Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagianbagian atau pokok-pokoknya tidak jelas. Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi. Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar. 5. Tahap Berbagi Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar: a. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau 158
b. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan. Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis.Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis. Pembelajaran menulis bagi penutur asing dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai keterampilan menulis pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena diterapkannya proses kreatif dalam menulis yang diimplementasikan melalui tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan berbagi (sharing). Proses menulis itu tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier, dan perlu disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun. SIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas bahwa proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan). Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, terdapat lima tahap yang harus dilalui seorang penulis, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. DAFTRA PUSTAKA Keraf, Gorys. (1989). Komposisi.Flores: Nusa Indah. 159
McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company. Nunan, David. (1991). Language Teaching Methodology. New York: Prentice Hall. Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Supriadi, Dedi. (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT Rosda Jayaputra. Tompkins, Gail E. (1990). Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company.
160
TEKNIK MENYUNTING NASKAH Abdul Rani Universitas Islam Malang
[email protected] ABSTRACT On writing process, editing is a part of writing activity. The activity of editing is to revise the writing. Proses perbaikan yang dilakukan penulis naskah sering disebThe procut revisi. The revising process which done by someone else called editing. The editing activity started with the evaluation to all aspect of article, including content aspect, language, organization, and fraphics. The evaluation of the article is good forto define parts of the article that should be revised.Next, the revision is on going. The revision done in the following steps. First, the revision done for omitting the useless parts of the article Perbaikan itu dilakukan dengan tahap sebagai berikut. Second, the revision done by adding the lacking parts of the article.Third, replacing the unsuitable parts of the article. Fourth, rearranging parts of the article that should be rearranged. On doing the activity, the editor should be discipline to the editing ethic code, in order to have qualified article. The editor should increase the competency, for the sake of require fulfillment as the editor. Key words: editing technique, writing process
PENDAHULUAN Penulis tentu pernah melakukan kegiatan penyuntingan (editing). Penulis yang terkenal pun pernah melakukan penyuntingan pada naskahnya. Menyunting biasanya dilakukan lebih dari sekali. Konon, Hemingway, penulis terkenal dari Amerika, pernah melakukan penyuntingan pada naskahnya sebanyak 38 kali. Penyuntingan itu dilakukan karena dirasakan bahwa naskah mempunyai kekurangan. Perbaikan kekurangan itu merupakan kewajiban penulis itu sendiri. Perbaikan ini sering disebut dengan revisi. Kegiatan perbaikan ini dilakukan setelah kegiatan penulisan selesai. Perabaikan itu disarankan untuk dilakukan setelah penulis merasa dirinya sudah segar pikirannya kembali, setelah menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan naskahnya. Untuk ini penulis diperkenankan untuk beristirahat agar mereka dapat bersikap lebih objektif terhadap naskahnya sendiri Penyuntingan pada dasarnya mirip dengan revisi. Bedanya, penyuntingan merupakan perbaikan naskah yang dilakukan orang lain yang mempunyai keahlian agar naskah yang disusun itu dapat menjadi lebih baik dan layak untuk terbit. Kegiatan 161
penyuntingan itu penting sekali dalam kegiatan penerbitan, khususnya dalam rangka meningkatkan mutu naskah sehingga mempunyai kelayakan untuk dibaca. Kelayakan itu dapat dilihat dari segi isi, bahasa, organisasi (sajian), dan grafika (BNSP, 2008). Menyunting dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap naskah yang hendak disunting. Bagian-bagian naskah yang dievaluasi mencakup aspek isi, bahasa, organisasi, dan grafika naskah. Bagian-bagian itu merupakan bagian yang perlu dilihat ulang dan diperbaiki. Oleh sebab itu, untuk memulai pembahasan tentang teknik menyunting didahului dengan pembahasan evaluasi naskah. EVALUASI NASKAH Sebelum menyunting naskah, seorang yang melakukan penyuntingan harus melakukan evaluasi terhadap naskah. Evaluasi dilakukan untuk menetapkan atau memutuskan bagian naskah yang perlu (1) dihilangkan, (2) ditambah, (3) diganti, (4) diubah, dan (5) diatur kembali (Martutik & Rani, 2013). Untuk menetapkan hal-hal yang disebutkan di atas dilakukan pemeriksaan yang objektif terhadap naskah. Pemeriksaan itu dilakukan dengan membaca naskah dengan kritis. Penilaian atau evaluasi naskah itu sangat menentukan kegiatan penyuntingan. Hasil evaluasi naskah digunakan sepenuhnya untuk menyunting. Secara umum, hasil menyunting itu sangat ditentukan oleh ketajaman dalam mengadakan penilaian terhadap naskah. Ketajaman penilaian itu banyak dikendalikan oleh intusisi. Oleh sebab itu, penyunting perlu memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian, baik pada naskahnya. Dengan demikian, dapat dilakukan penyuntingan naskah dengan baik. Ada beberapa aspek naskah yang perlu dievaluasi. Pertama, aspek bahasa yang digunakan dalam naskah. Aspek bahasa yang perlu dinilai yaitu (1) diksi (pemilihan kata), (2) tata bentukan kata, (3) tata istilah, (4) ejaan (penggunaan huruf, penulisan kata, penggunaan tanda baca, penggunaan singkatan serta lambang, dan (5) kalimat yang digunakan, dan paragraf. Kedua, aspek organisasi naskah yang meliputi (1) penataan ide, (2) keutuhan, (3) kelengkapan ide, (4) koherensi dan kohesi, dan (5) gaya penulisan, (6) sistematika penyajian. Ketiga, aspek isi yang dikemukakan dalam naskah. Aspek isi yang perlu dievaluasi adalah (1) bobot ide, (2) kesesuaian ide dengan tujuan, pembaca sasaran, dan media yang digunakan, (3) ketepatan atau kesahihan ide, (4) kesesuaian bentukbentuk visual (misalnya grafik, gambar, dan bagan) yang digunakan, (5) ketepatan, kecukupan, ketelitian, kepentingan ide, dan (6) keluasan, kedalaman dan kebermanfaatan ide yang dikemukakan. Keempat, aspek grafika yang antara lain meliputi tata letak isi, pemilihan huruf (ukuran dan jenis huruf), heirarki bagian naskah (berkaitan dengan keindahan teks). 162
Penilaian terhadap aspek-aspek tersebut tidaklah mudah, sebab tidak ada kriteria yang mutlak atau pasti. Karena tidak ada kriteria yang mutlak itulah, penulis harus berhati-hati melakukan penilaian naskah. Kegiatan menilai naskah itu diikuti dengan kegiatan menetapkan atau menentukan bagian-bagian naskah yang perlu disunting. Setelah ditetapkan aspek yang perlu disunting, langkah selanjutnya penulis segera menyunting naskah. MENYUNTING Menyunting naskah dapat diartikan sebagai usaha untuk mengubah pikiran yang telah tertuang dalam kertas (draf). Pengubahan
pikiran itu dilakukan berdasarkan
pertimbangan atau pandangan penyunting saat itu. Perubahan yang dilakukan dapat bersifat
menyeluruh (global) dan dapat bersifat sebagian (parsial). Perubahan itu
dilakukan dengan memikirkan kembali dan menata kembali bagian-bagian naskah. Biasanya kegiatan yang dilakukan adalah menambah, menghilangkan, menata kembali, dan mengganti kata, frasa, klausa dan juga kalimat. Kegiatan penyunting itu pada umumnya diawali dengan mengevaluasi naskah, kemudian diikuti dengan pengubahanpengubahan bagian naskah. Kegiatan evaluasi dan penyuntingan dapat dilakukan pada saar yang sama. Kegiatan menyunting itu sangat penting. Bagi penulis, naskah itu merupakan hasil kreasinya dan juga sebagai cermin penulisnya. Orang yang mengetahui seluk-beluk naskah itu adalah penulisnya sendiri. Oleh penyunting perlu mengetahui rambu-rambu etika dalam menyunting. Menurut Eneste (2005), rambu-rambu etika itu sebagai berikut. 1. Editor wajib mencari informasi mengenai penulis naskah. 2. Editor bukanlah penulis naskah. 3. Wajib menghormati gaya penulis naskah. 4. Wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah yang disuntingnya. 5. Wajib mengonsultasikan hal-hal yang mungkin akan diubahnya dalam naskah. 6. Tidak boleh menghilangkan naskah yang akan, sedang, atau telah ditulisnya. Selanjutnya, Eneste (2005) menjelaskan bebarapa syarat untuk menjadi seorang editor sebagai berikut. 1. Menguasai ejaan Penyunting harus paham dan dapat menerapkan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku saat ini. Penggunaan huruf kecil dan huruf kapital, pemenggalan kata, penulisan kata, penggunaan singkatan dan akronim, penyerapan unsur asing, dan penggunaan tandatanda baca harus dipahami dengan baik. 163
2. Menguasai tatabahasa Seorang penyunting harus menguasai kaidah pembentukan kata, tata makna, kaidah penyusunan kalimat bahasa Indonesia. 3. Bersahabat dengan kamus Seseorang penyunting harus senang membuka kamus untuk mengecek makna kata dan pemilihan kata yang tepat. Tidak ada orang yang menguasai semua kata yang ada dalam satu bahasa tertentu, walaupun seorang ahli bahasa. 4. Memiliki kepekaan bahasa Peyunting naskah harus mengetahui kalimat yang tepat sesuai dengan maksudnya. Kalimat yang mempunyai makna implikasi yang tidak layak perlu dihindari, termasuk kalimat yang mengandung makna yang kasar. 5. Memiliki pengetahuan luas Penyunting perlu membaca banyak buku, majalah, koran, dan menyerap informasi agar tidak ketinggalan informasi. 6. Memiliki ketelitian dan kesabaran Dalam keadaan apapun, ketika menjalankan tugasnya seorang penyunting harus tetap teliti menyunting setiap kalimat, setiap kata, dan setiap istilah yang digunakan penulis naskah. Penyunting juga harus sabar dalam membuat keputusan tentang naskah. Penyuntingan itu perlu dilakukan secara berulang-ulang. 7. Memiliki kepekaan terhadap SARA dan pornografi Penyunting harus tahu kalimat yang layak cetak, kalimat yang perlu diubah konstruksinya, dan kata yang perlu diganti dengan kata lain. Dalam hal ini seorang penyunting harus peka terhadap hal-hal yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan. 8. Memiliki keluwesan Penyunting perlu memiliki sikap luwes dan pribadi yang baik karena akan sering berhubungan dengan orang lain. Penyunting harus bersedia mendengarkan saran, dan keluhan. Dengan kata lain, seorang yang temperamental dan mudah tersingung tidaklah cocok menjadi penyunting naskah. 9. Memiliki kemampuan menulis Penyunting yang baik didukung oleh kemampuannya dalam menulis. Kemampuan menulis dapat menjadikan penyunting lebih peka terhadap naskah yang disuntingnya. 10. Menguasai bidang tertentu Ada baiknya jika seorang penyunting naskah menguasai salah satu bidang keilmuan tertentu karena akan sangat membantu dalam tugasnya sehari-hari. 11. Menguasai bahasa asing 164
Dalam tugasnya, seorang penyunting naskah akan berhadapan dengan istilah-istilah yang berasal dari bahasa asing, terutama Inggris. Seorang penyunting perlu menguasai bahasa Inggris secara pasif. 12. Memahami kode etik penyuntingan naskah Seorang penyunting perlu memahami kode etik penyuntingan agar dapat melaksanakan tugas dengna baik, tidak melebihi tugasnya. Strategi Menyunting Ada empat cara dalam menyunting naskah. Pertama, perbaikan yang dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian naskah yang tidak penting atau perlu. Kedua, perbaikan yang dilakukan dengan menambah bagian-bagian naskah yang dirasakan kurang memadai. Ketiga, perbaikan dilakukan dengan mengganti bagian naskah yang dinilai kurang baik. Keempat, perbaikan dilakukan dengan mengatur kembali bagianbagian naskah yang perlu diatur lagi. Empat cara itulah yang sering dilakukan oleh para penulis dalam menyunting naskahnya. Cara-cara itu dapat menyempurnakan kekurangankekurangan yang terdapat pada naskah kasar. Dalam kenyataannya, kegiatan menyunting dilakukan dengan teknik yang berbedabeda. Beberapa penulis pada waktu melakukan penyuntingan didahului dengan membaca selintas naskahnya, kemudian memberi tanda-tanda pada bagian yang terasa tidak memuaskan. Penulis lain melakukan kegiatan penyuntingan dengan mengganti seluruh naskah dengan menulis ulang. Beberapa penulis yang lain melakukan penyuntingan dengan sedikit mengubah dan mengabaikan struktur kalimat dsb. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menyunting merupakan bagian dari kiat menulis dan setiap penulis mempunyai kiat yang berbedabeda. Para penyunting profesional biasanya melakukan penyuntingan dengan terencana. Mereka menyunting dengan secara bertahap dan berulang-ulang. Biasanya, mereka menyunting dengan menggunakan empat tahap. Tiap-tiap tahap itu dibicarakan di bagian setelah pembahasan ini berakhir. Selanjutnya, banyaknya pengulangan tergantung pada pertimbangan yang digunakan penulis. Selanjutnya, cara yang digunakan dalam menyunting sangat bergantung pada penilaian terhadap naskah. Seorang penulis hendaknya memilih strategi penyuntingan sesuai dengan hasil penetapan dalam penilaian naskah. Penilaian itu menentukan strategi yang dipilih untuk melakukan kegiatan penyuntingan. Namun, banyak sekali dijumpai perbedaan cara dalam melakukan penyuntingan. Secara umum, penghilangan dilakukan apabila dalam naskah ada bagian yang tidak penting dan tidak mempunyai manfaat dalam membangun naskah. Ada atau tidak ada bagian itu tidak mempunyai pengaruh pada keseluruhan naskah. Selanjutnya, penambahan dilakukan apabila paragraf tersebut masih 165
terasa kurang sempurna, sehingga perlu mendapat penambahan. Bila tidak diadakan penambahan itu, naskah itu terasa kurang lengkap. Penambahan hendaknya tetap berdasarkan ide yang telah dinyatakan. Sedangkan penggantian dilakukan apabila paragraf yang disunting mengandung unsur-unsur yang kurang sesuai dengan yang diharapkan dan ada pengganti yang lebih sesuai. Akhirnya, penataan kembali dilakukan apabila ide-ide yang telah tertuang kurang tertata secara rapi. Ada kegiatan penyuntingan yang dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi pengolah kata dengan fasilitas find and replace pada soft file. Aspek yang bersifat mekanik dapat dilakukan dengan dengan cara ini, seperti menghilangkan atau mengganti spasi, paragraph mark, tab character, manual line break, manual page break dan sebaginya. LANGKAH-LANGKAH MENYUNTING Seorang penyunting memerlukan beberapa peralatan kerja seperti kamus, buku ejaan, dan pena. Peralatan itu harus tetap di samping penyunting, sehingga sewaktuwaktu diperlukan dapat digunakan. Penyuntingan hendaknya dilakukan pada naskah yang sudah dicetak. Penyuntingan pada soft copy henyanya untuk menyunting unsur mekanis. Penyuntingan pada soft copy pada umumnya kurang teliti. Penyunting hendaknya tidak mengerjakan penyuntingan semua aspek dalam waktu yang bersamaan. Jika seorang penulis memperhatikan organisasi, isi, panjang kalimat, tanda baca, pemilihan kata, dan lain-lain dalam waktu yang bersamaan, maka akan terjadi kelebihan tugas (overload) yang dapat mengganggu kelancaran dan ketelitian dalam menyunting. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan banyaknya masalah yang terdapat dalam naskah yang hendak disunting. Hendaknya seorang penyunting dapat menetapkan prioritas terhadap aspek yang disunting. Dengan kata lain, menyunting itu hendaknya dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap dalam menyunting itu setidak-tidaknya ada empat langkah (Martutik & Rani, 2013). Langkah-langkah ini diuraikan seperti berikut. (1) Langkah I: Menyunting Isi (Subtantif) Langkah pertama diarahkan pada penyuntingan isi naskah. Hal ini dilakukan karena isi itu menentukan bahasa yang digunakan dalam naskah. Oleh karena itu, menyunting isi dilakukan pada tahap pertama. Menyunting isi dilakukan sesuai dengan hasil penilaian tehadap isi atau ide dalam naskah. Secara umum, menyunting isi ditujukan pada ide pokok dan penjelas. Rambu-rambu menyunting seperti pada penilaian isi. 2) Langkah II: Menyunting Orgaisasi Langkah kedua dalam kegiatan menyunting adalah menyunting organisasi paragraf. Kegiatan penyuntingan ini betujuan untuk mengatur kembali ide agar dapat membentuk 166
paragraf yang baik. Kegiatan ini dilakukan bukan pada naskah asli, melainkan naskah yang telah disunting isinya. (3) Langkah III: Menyunting Unsur Bahasa Langkah ketiga ini merupakan menyunting unsur kebahasaan. Rambu-rambu menyunting kebahasaan itu telah dibicarakan pada bagian penilaian naskah. Kegiatan penyuntingan ini dilakukan pada naskah yang telah disunting pada tahap pertama dan kedua. Menyunting unsur bahasa dapat dilakukan dengan keempat cara menyunting yang telah dibicarakan pada bagian strategi menyunting di atas. Selain itu, naskah juga perlu disunting unsur kelengkapan naskah dan konvensi penulisan naskah. (4) Menyunting Unsur Grafika Unsur grafika pada umumnya dirancang oleh setter atau layouter. Unsur grafika itu mencakup tata letak isi dan penggunaan huruf (jenis dan ukurannya), dan ruang kosong dalam naskah. Menyunting aspek grafika dapat dilakukan dengan memberikan intruksi pada setter tentang unsur-unsur grafika. (5) Langkah IV: Pengecekan Akhir Setelah aspek isi, organisasi, dan kebahasaan disunting, penyunting hendaknya memeriksa kembali seluruh aspek itu untuk menemukan kemungkinan kekurangan atau kesalahan. Langkah ini merupakan langkah prapenilaian ulang. Pemeriksaan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang telah disunting sebelumnya. Jika naskah yang telah disunting mendekati sempurna, pengecekan akhir ini dilakukan dengan memberikan tanda-tanda tertentu dengan pensil atau alat yang lain dalam rangka persiapan penulisan akhir. Jika dalam pengecekan akhir masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka penyunting perlu melakukan penilaian ulang agar mendapatkan aspek-aspek naskah yang lebih rinci. Penyuntingan akhir dilaksanakan setelah dilakukan penilaian ulang. Ada dua kemungkinan hasil penilaian ulang. Pertama, naskah dinyatakan baik. Kedua, naskah dinyatakan perlu disunting kembali. Bila naskah telah dinyatakan baik, selanjutan dilakukan mempersiapkan cetak. Sebaliknya, apabila naskah tersebut dinyatakan masih perlu disunting kembali, maka naskah tersebut harus disunting ulang. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa menilai dan menyunting naskah merupakan suatu kegiatan dalam tulis-menulis yang cukup penting. Meskipun evaluasi dan menyunting naskah tidak dapat menjamin mutu naskah, dengan cara itu penulis dapat meningkatkan mutu naskahnya. Evaluasi dan menyunting naskah mempunyai beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh seorang penyunting atau yang hendak 167
menyunting naskah. Tahapan-tahapan itu tidak bersifat linear, tetapi urutannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Menyunting pada prinsipnya adalah proses memperbaiki naskah yang telah ditulis. Proses ini didahului dengan kegiatan penilaian terhadap komponen naskah yang meliputi isi, organisasi, dan bahasa. Dalam menyunting ada empat strategi yang dilakukan. Pertama, revisi yamg dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian naskah yang tidak penting atau perlu. Kedua, revisi yang dilakukan dengan menambah bagian-bagian naskah yang dirasakan kurang memadai. Ketiga, mengganti bagian naskah yang dinilai kurang baik. Keempat, mengatur kembali bagian-bagian naskah yang perlu diatur lagi.
DAFTAR PUSTAKA Eneste, Pamusuk. 2005. Buku Pintar Penyuntingan Naskah. Jakarta : Gramedia pustaka utama Martutik & Rani, Abdul. 2013. Menulis Berbasis Tugas. Malang: Surya Pena Gemilang. BNSP. 2008. Instrumen Penilaian Buku Ajar. Jakarta: Depdiknas
168
PEMBELAJARAN PROSES MENULIS DI SD/MI Moh. Ilyas Universitas Mulawarman Samarinda
[email protected]
ABSTRACT Tompkins states five steps in writing, (1) Prewriting, choosing the topic; collecting and adjusting the ideas; identificating the reader; identificating the goal of writing; choosing the form of writing based on the reader and the goal of writing. (2). Drafting, writing the first draft; writing the main ideas; focusing on content and not mechanic; (3) revising, dividing the writing to the groups; discussing the writing with the group discussion; revising the writing cased on the comment of group discussion and the teacher; making substantive changing, (4) editing, rereading the helping to reread the friend’s writing; identificating mechanic mistake and revise it., (5) publishing, publishing the writing in the appropriate form; delivering the writing to the friend. Key words : learning process, writing process
PENDAHULUAN Pembelajaran menulis dalam kurikulum SD/MI secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, pembelajaranan menulis permulaan. Kedua, pembelajaran menulis lanjut. Pembelajaranan menulis permulaan yang diberikan di kelas-kelas awal (kelas I-III) bertujuan memberikan komptensi “melek huruf” kepada siswa dan penekanannya pada masalah-masalah mekanik bahasa. Kedua, pembelajaran menulis lanjut untuk kelas IV-VI yang bertujuan memberikan kompetensi menulis secara komunikatif atau menulis ekspresif untuk mengungkapkan pikiran dan perasaanya melalui tulisan. Pembelajaran menulis yang dibagi menjadi dua tahap tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa untuk belajar menulis secara komunikatif, siswa harus menguasai lambang-lambang bunyi bahasa yaitu ejaan, tanda baca, dan bilangan terlebih dahulu. Hal itu berbeda dengan pendapat Bissex, 1980; Chomsky, 1971; dan Graves, 1983 yang menyangkal dugaan para guru bahwa untuk belajar menulis pada tingkatan awal, anak- anak belum memiliki kemampuan untuk menulis, mereka harus belajar membaca sebelum belajar menulis, atau mereka harus belajar menulis huruf, kata dan kalimat sebelum menulis kalimat lebih panjang. Hal itu dipandang oleh para pakar tersebut 169
sebagai sesuatu yang kuno. Lebih jauh para pakar itu berpendapat, para guru kelas seperti peneliti telah menemukan bahwa anak- anak dapat berkomunikasi melalui tulisan, dan mereka mulai menulis seperti mereka belajar membaca atau sebelum mereka membaca. Mungkinkah anak yang belum tahu tentang huruf akan bisa menulis kata atau kalimat? Pendapat itu mungkin bermula dari pemikiran yang berbeda. Namun yang menjadi masalah di sini adalah “Bagaimana membelajarkan menulis ekspresif anak di kalas-kelas tinggi SD/MI yang telah dianggap menguasai system tulisan sesuai dengan tingkat perkembangannya?” Para peneliti proses menulis membuat tahapan menulis disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran. Ellis dkk.(1989:144) mengemukakan proses menulis ada empat tahap sebagai berikut. Pramenulis (Prewriting) 1. Menemukan pokok/topik (discovering a subject) 2. menentukan pembaca (sensing an audience) 3. Membuat kerangka (creating a design) 4. menemukan rincian (finding detail) Pengedrafan (Drafting) Penulisan (writing), Mengamati ulang (reseeing), Menulis ulang (rewriting) Perbaikan(Revising) Membuat
kerangka
/bagan
umum
(Public
draft)
Publikasi
(publication)
Membuat/kerangka bagan khusus (private draft) Penyuntingan(Editing) Britton dan Tompkins (1994:8) membagi proses menulis menjadi tiga tahap kegiatan. Pertama, tahap konsep, kegiatan yang dilakukan memilih dan menetukan topik. Kedua, tahap inkubasi kegiatan yang dilakukan mengembangkan topik dan menggabungkan informasi yang tersedia. Ketiga, tahap hasil kegiatan yang dilakukan mengembangkan tulisan/menulis kemudian memperbaiki tulisan, dan pada akhir kegiatan menulis siswa memeriksa karangan/tulisan. Burns, dkk. (1996:386) juga mengemukakan lima tahapan: pertama, pramenulis (prewriting) dengan aktivitas pengarang persiapan menulis cerita, menggambar, membaca, memikirkan tulisan , menyusun gagasan, dan mengembangkan rencana; kedua, pembuatan draf (drafting), dengan aktivitas pengarang merangkaikan gagasan dalam sebuah tulisan tanpa memperhatikan kerapian atau mekanik; ketiga, perevisian (revising), pada tahap ini, setelah mendapat saran-saran dari orang lain, pengarang dapat membuat beberapa perubahan, dan perubah0an itu dapat melibatkan orang lain; keempat, pengeditan (editing), pada tahap ini, pengarang secara hati-hati mengoreksi dan membetulkan ejaan dan mekanisme tulisan; kelima, sharing dan publikasi (sharing and publishing), pada tahap ini, hasil tulisan bisa dipajangkan di kelas atau dijadikan bahan pustaka di sekolah.
Graves dan Cox (1999: 308) mengemukakan menulis sebagai suatu proses dengan lima tahap, yaitu: pramenulis (prewrite), pengedrafan (draft), revisi/ perbaikan (revise), pengeditan (edit), publikasi (publish). Aktivitas pramenulis adalah membangkitkan ide-ide; mengatur pemikiran; mendiskusikan ide-ide dengan orang lain; memilih jenis/bentuk tulisan;
memikirkan
pembacanya;
memetakan,
mengalurkan,
membentuk.
Pengedrafan,dengan aktivitas menuliskan ide-ide dengan memfokuskan isi daripada bentuk. Perevisian dengan aktivitasnya menemukan kekurangan atau kekeliruan gagasannya; mengubah, menambah, menghilangkan atau memodifikasi draf mereka, 170
memperluas
ide-idenya.
Pengeditan
dengan
aktivitasnya
menemukan
kekeliruan/kesalahan penggunaan ejaannya, memperbaiki ejaan, tanda baca, penulisan huruf kapital, dan bentuk agar mudah dibaca. Pempublikasian dapat dilakukan dengan penempelan karya tulis di dalam kelas, media elektronik, surat, majalah, poster, iklan, dan berbagai publikasi karya mereka dengan cara yang lain. PROSES MENULIS Secara umum proses menulis dibagi menjadi tiga kegiatan/proses/tahapan. Britton (1970) membagi menjadi tahap konsep, inkubasi, dan hasil. Pada tahapan konsep, penulis memilih dan menentukan topik; pada tahap inkubasi, penulis mengembangkan topik dengan mengabungkan informasi yang tersedia; dan pada tahap hasil, penulis menulis, memperbaiki, dan memeriksa karangan. Donald Graves (1975) mengemukakan proses yang sama pada saat sebelum menulis, menulis, dan setelah menulis. Pada saat sebelum menulsi, penulis memilih topik dan mengabungkannya dengan ide untuk ditulis; pada tahapan menulis, penulis menulis atau menuangkan gagasan-gagasannya dalam tulisan; dan pada tahapan setelah menulis penulis memberikan karanganya untuk dibaca orang lain dan diberi masukan. Model tulisan, proses menulis terdiri dari tiga kegiatan: perencanaan, penulis menyusun tujuan untuk memendu tulisannya; penerjemahan, penulis menuangkan gagasannya ke dalam tulisan; dan peninjauan kembali, penulis menilai dan memprbaiki tulisannya. Tiga kegiatan ini tidak berjalan secara bersamaan. Hal ini disebabkan para penulis secara beruntun dan berkelanjutan memonitor tulisan mereka dan kembali di antara kegiatan keempat. Pengunaan mekanisme monitoring ini, penulis kembali dari proses satu ke keempat yang lain pada saat mereka menulis (Frank Smith,1988). Menulis sebagai proses perbaikan pada pengembangan ide penulis. Proses yang penting dalam pembelajaran menulis adalah mencari pengalaman untuk menemukan kesalahan. Aktivitas ini ditekankan pada mekanisme daripada isi (Nancy Sommers (1980, 1982). Setelah penulis mampu menemukan kesalahan-kesalahan dalam tulisannya, mereka harus tahu cara memperbaikinya. Berikut ini ada empat aturan panduan pembelajaran proses menulis. (1) Siswa SD dapat
menulis.
dengan
menggunkan
proses
menulis.
(2)
Siswa
SD
dapat
mengemengembangkan strategi proses menulis. Di antaranya adalah mengabungkan dan menyatukan idea dengan topik, mengembangkan pengantar yang dapat diambil dari perhatian pembaca, membaca kerangka kasar secara kritis, membuat perbaikan, dan mengoreksi untuk menuemukan kesalahan mekanisme. (3) Siswa SD dapat memilah perbaikan dan pengeditan. Siswa SD dapat mengabungkan antara perbaikan dan kegiatan 171
pengeditan. (4) Siswa SD dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah dalam menulis. Tahap 1. Sebelum Menulis Sebelum menulis merupakan tahapan persiapan menulis. Sebelum menulis dimungkinkan tahapan yang lebih banyak diabaikan dalam proses menulis; meskipun demikian, hal ini sebagai hal yang sangat penting bagi menulis. Donald Murray mengemukakan bahawa 70% atau lebih wakatu untuk menulis dapat dihabiskan untuk kegiatan sebelum menulis. Dalam tahap sebelum menulis, kegaiatn- kegiatannya adalah pemilihan topik, menentukan tujuan, bentuk dan pembaca, memnunculkan dan mengatur ide tulisan. Sub-sub keterampilan yang harus dilatihkan pada siswa adalah (1) memilihan topik, menentukan tujuan, menentukan pembaca, menentukan bentuk tulisan. pengumpulan dan pengaturan ide- ide, Pemilihan topik untuk tulisan merupakan suatu subketerampilan menulis yang harus dilatihkan pada siswa. Meraka harus dibiasakan memilih dan menentukan topicnya sendiri. Dengan topic pilihannya sendiri, siswa akan menjadi kreatif menuangkan pengalaman-pengalamannya sendiri. Jika mereka terbiasan mengembangkan topic pilihan guru, maka toipk itu hanya sedikit yang diketahuinya sehingga kreatifitas mereka tidaj berkembang. Menentukan tujuan merupakan subketerampilan menulis yang penting dalam pembelajaran. Dengan menentukan tujuan menulisnya para siswa dapat mengarahkan gagasan-gagasan tulisannya untuk member informasi, untuk menghibur, atau untuk menyanggah pendapat, atau mempengaruhi pembaca. Menentukan pembaca merupakan strategi penulis untuk menentukan posisinya dihadapan pembaca agar memperoleh respon yang positif. Siswa dapar menulis untuk dirinya sediri atau untuk orang lain. teman sekelas, anak yang lebih kecil, orang tua, sahabat pena, orang laian yang tidak menganalnya sebab penulis yang tidak memperhatikan pembaca karyanya, tulisannya akan terasa kurang memperhatikan perasaan pembacanya. Saat siswa menulis untuk orang lain, para guru merupakan pembaca yang paling umum. Para guru dapat mengingkatkan siswanya agar penbacanya dapat memberikan respon yang simpatik melalui tulisan/karyanya. Menentukan bentuk tulisan merupakan hal yang penting dalam menulis. Bentuk tulisan dapat berupa cerita, surat, puisi, pengumuman, dialog dan lain-lain. Siswa perlu berlatih menulis dengan bentuk yang beragam. Melalui membaca dan menulis siswa mengembangkan sebuah perasaan yang kuat pada bentuk- bentuk tulisan dan bagaimana menyusunnya.
172
Pengumpulan dan pengaturan ide- ide merupakan kegiatan yang sangat penting dalam menulis. Dalam pembelajaran menulis deskripsi, hal ini sangat penting sebab dengan kegiatan ini, siswa dilatih membat/menyusun perencanaan untuk memperoleh fakta melalui kalimat-kalimat pertanyaan yang disusunnya. Dengan panduan pertanyaanpertanyaan itu, siswa melakukan pengamatan objek yang akan dideskripsikan. Melalui kegiatan pengamatan, siswa memperoleh fakta sebagai bahan yang akan dideskripsikan. Fakta atau kalimat-kalimat jawaban hasil pengamatan ini merupakan ide-ide yang selajutnya diatur/disusun menurut cara-cara yang logis sesuai dengan kondisi di lapangan. Tahap 2- Pengosepan/ pembuatan kerangka karangan Tahapan pengosepan merupakan saat untuk menuangkan ide- ide. Kegiatan dalam tahap ini meliputi (1) menulis kerangka kasar, (2) menuliskan point- point penting dengan menekankan pada isi bukan mekanismenya. Menuliskan kerangka kasar merupakan melibatkan pemikiran logis, kronologis, urutan dari arah atas ke bawah, dari arah kiri ke kanan, dari arah depan ke belakang, dari bagian yang paling penting ke bagian yang kurang penting atau sebaliknya. Dalam proses penyusunan kerangkan piker ini siswa banyak melakukan perbaikan dengan mengganti, membuang, menghilangkan, memotong, menyusun kembali kata/kalimat tertentu. Pada tahap ini, siswa selain menyusun kerangka tulisannya juga melakukan kegiatan merevisi/perbaikan yqng penekanannya pada isi bukan mekanismenya. Tahap pengonsepan tidak ditekankan pada perbaikan ejaan dan kerapian. Pada tahap pengeditan nanti, siswa dapat memperbaiki kesalahan mekanisme karangannya lebih rapi. Menuliskan poin- poin penting sebagai pembuka kalimat dalam menulis. paragrap pertama atau kedua yang menarik perhatian. Siswa menetapkan pembacanya untuk menarik perhatian pembacanya. Siswa dapat mengunakan beragam teknik untuk memikat pembacanya, seperti pertanyaan- pertanyaan, kenyataan- kenyataan, dialog, cerita singkat, atau permasalahan untuk membuat rutan tulisan mereka. Tahap 3. Perbaikan Selama tahap perbaikan, penulis memperbaiki isi/ide-idenya dalam tulisannya.. Perbaikan merupakan kegiatan menambah, mengubah, menghapus, dan meyusun kembali bagian-bagian kata atau kalimat yang kurang tepat. Memperbaiki tulisan berarti melihat kembali tulisan mereka untuk. Kegiatan-kegitan pada tahap perbaikan antara lain (1) membaca ulang sebuah kerangka kasar, (2) menemukan kekurangtepatan susunan dan kelengkapan ide/gagasan-gagasannya yang telah ditulis, dan
memperbaiki
173
kekurangtepatan susunan dan kelengkapan ide/gagasan-gagasannya yang telah ditulis tersebut. Membaca ulang sebuah kerangka kasar merupakan kegiatan permulaan untuk mmperbaiki karanganya. Perbaikan terjadi ketika tahap pengonsepan dengan memilih dan memutuskan topic yang akan ditulis. Setelah membuat kerangka kasar, penulis perlu jarak waktu dari menyusun kerangka atau konsep sehari atau dua hari kemudian membacanya kembali dari prespektif yang baru, seprti yang diinginkan pembaca. Siswa mebuat perubahan menambahkan, menghapus, mengubah,
memindahkan, dan
meletakan tanda baca pada bagian yang perlu untuk dikerjakan. Dalam memperbaiki tulisan dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berikut: (1) Penulis membaca. Siswa secara bergantian membaca tulisannya dengan keras yang lainnya mendengarkan dengan cermat, berpikir tentang saran untuk perbaikan yang akan mereka ambil setelah penulis selesai mebacakan karangnya. (2) Pendengar mengajukan pujian terhadap yang mereka sukai tentang tulisan. Kemudian megomentari pengaturan, pentunjuk, pemilihan kata, urutan waktu, dialog, tema, atau elemant tulisan yang lain. (3) Penulis menanyakan pertanyaan- pertanyaan setelah pemberian pujian. Penulis bertanya kepeda temanya untk membantu pada titik- titik permasalahan yang mereka temukan. (4) Pendengar mengajukan saran tentang hal- hal yang tidak jelas bagi mereka dan membuat saran tentang cara memperbaiki tulisannya. (5) Setelah setiap orang memberikan umpan balik yang dapat diterima, peulis melakukan perbaikan tulisannya berdasarkan komentar dan saran dari teman/gurunya. Siswa melakukan perbaikan-perbaikan dengan menambahkan kata- kata, menganti kalimat-
kalimat,
menghilangkan
paragarf,
dan
memindahkan
frase.
Mereka
menyilangkan, mengambar anak panah, dan menuliskan jarak antara baris pada tulisanya ketika mereka membatasi spasi ganda pada kerangka karangannya. Siswa berpindah kembali dan melanjutkan pada kegiatan sebelum menulis untuk mengabungkan tambahan informasi, didalam kerangka atau konsep untuk menuliskan sebauh paragrap baru, dan didalam memperbaiki untuk menganti sebuah penggulangan kata. Perubahan tulisan dari aktivitas perbaikan ini dapat diklasifikasikan sebagai jenis perubahan ( penambahan, pengantian, penghapusan dan perubahan dan tingkatan perubahan ( kata, frase atau klausa, kalimat, paragrap, atau keseluruhan teks) ( Faigley & Witte, 1981). Sekurang- kurangnya perubahan ini terjadi pada sebauh tingkatan menulis. Siswa SD melakukan perubahan
pada kata, frase atau klausa dan membuat
penambahan, pengantian daripada penghapusan dan perubahan.
174
Tahap 4: Pemeriksaan ( editing) Pemeriksaan merupakan peletakan bagian teretntu dari tulisan kedalam bentuk akhirnya. Tahap ini, difokuskan pada memperbaiki ejaan dan kesalahan mekanisme yang lain. Tujuannya disini adalah membuat tulisan mereka dapat dibaca secara optimal ( Smith, 1982).
Cara yang efektif untuk mengajarkan kemampuan memperbaiki mekanisme adalah pada tahapan editing. Kegitan pemeriksaan atau editing dapat menemukan dan memperbaiki tanda- tanda baca. Siswa melakukan pemeriksaan melalui tiga kegiatan (1) Pemberian jarak kegiatan pada tahap sebelumnya, (2) memeriksa letak kesalahan ejaan, (3) meperbaiki kesalahan. Proses pemeriksaan atau editing dapat diakhiri setelah siswa dan editornya membetulkan kesalahan mekanisme yang mungkin ada, atau siswa dapat bertemu dengan gurunya dalam sebuah diskusi pada akhir kegiatan editing. Tahap 5: Penerbitan/ Publishing Pada tahap akhir dari prose menulis, adalah siswa menerbitkan tulisannya dengan menempelkannya di majalah dinding atau membagikannya kepada pembaca yang sesuai (teman sekelas, siswa lain, orang tua, atau orang di lingkunganya. Hal itu dimaksudkan agar siswa berpikir bahwa mereka seperti pengarang.
Keenam pentahapan proses pembelajaran menulis yang dikemukakan oleh Ellis, dkk.(1989), Britton, Graves, dan Tompkins (1994), Burns, dkk. (1996), Graves dan Cox (1999), di atas, secara umum sama. Pertama, tahap persiapan, kedua, tahap pengembangan tulisan, dan ketiga, perbaikan. Pada tahap persiapan, Britton menyebutkan dengan tahap konsep, sedangkan Burn, dkk. dan Graves menyebut dengan pramenulis. Pada tahap pengembangan tulisan, Britton, menggunakan istilah tahap inkubasi, sedangkan Burn, dkk. dan Grave dengan istilah tahap menulis. Pada tahap perbaikan, mereka agak berbeda-beda. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa untuk membuat karangan dengan baik, banyak cara dan langklah yang dapat digunakan oleh penulis. Selain itu, pentahapan dengan berbagai kegiatan tersebut juga tidak bersifat kaku atau dapat dilakukan berbagai penyesuaian dengan situasi dan kondisi pembelajaran yang dilakukan. Perbedaan pentahapan dan kegiatan dalam pembelajaran menulis tersebut disebabkan oleh pertimbangan perlu atau tidaknya suatu kegiatan pembelajaran menulis itu dilakukan pada tahap tersendiri atau dapat digabungkan dengan kegiatan menulis lainnya pada tahap yang sama. Hal itu terkait banyak faktor. Misalnya, luas atau tidaknya topik yang ditulis; situasi kelas saat pembelajaran menulis berlangsung pada panas, dingin atau sejuk suhu udara dalam kelas siang hari; dan jumlah siswa dalam kelas yang penuh, sedang, atau kurang; kondisi mental (fisik/psikhis) siswa dalam menulis, seberapa banyak masalah yang sedang dihadapi siswa dalam menulis, seberapa lama siswa dapat 175
melakukan kegiatan menulis; di kelas mana pembelajaran menulis tersebut dilakukan, dengan tujuan apa kegiatan menulis tersebut dilakukan, dan sebagainya. SIMPULAN Dari berbagai model proses menulis tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis terdiri dari berbagai subketerampilan dan sub-subketerampilan. Sub-subketerampilan tersebut terdapat pada tiap-tiap tahapan dalam proses menulis. Oleh karena itu, jika seorang guru akan membelajarkan keterampilan menulis kepada siswanya maka para guru SD/MI harus merumuskannya ke dalam indikator-indikator hasil belajar keterampilan menulis yang berupa sub-subketerampilan menulis tersebut.
DAFTAR RUJUKAN Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student and Response-Centered Classroom. Boston: Allyn and Bacon. Ellis, A., Panunu, J., Standal, T., & Rummel, M.K. 1989.Elementariy Language Arts Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Farris, P.J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison: Brown & Benchmark. Keene, H. 1990. Helping Clildren Who Find Writing Difficult. Dalam Pinsent. P. (Ed.). Children with Literacy Difficulties. London. David Fulton. Hal. 66-72. Temple, C., Nathan, R., Burris, N., & Temple, F. 1988. The Beginning of Writing. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing: Balancing Process and Product. New York: Macmillan. Tompkins, G.E., & Hoskisson, K. 1991. Language Arts: Content and Teaching Strategies. New York: Macmillan.
176
KONTROVERSI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL SERTA ANALISIS PENERAPANNYA DALAM KOMUNIKASI BISNIS PEMASARAN JARINGAN Thontjie Makmara Universitas Nusa Cendana Kupang-NTT
[email protected] ABASTRACT Discourse analysis deals with the analysis of language use focusing on linguistic features while, critical discourse analysis on interdisciplinary perspective. The social inequality in the world of one-nation life, onecountry life and one-society life is one out of a number of objects of critical discourse analysis (CDA). Such social inequality is a power representation of high-power people, institution, or certain groups that results in social inequality. In such a case, the critical discourse analysis contributes much for the emancipation movement on the side of wedged in people in the society. Here, the critical realization is very much needed to defend from or free from the social inequality behave; however not all people automatically obtain critical realization. The critical realization can grow by such kind of role play activity in language learning by the use of topics about social inequality. The first stage in critical language realization covers the so called”member resources” (MR) in producing and interpreting speech, while the second stage is the determinant realization of social MR. Kata Kunci: Kontroversi, transaksional, interaksional, komunikasi bisnis. Sejak tahun 1970-an, para ahli bahasa menaruh perhatian pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi verbal (komunikasi dengan menggunakan kata-kata) yang mengandung pesan. Dengan kata lain, komunikasi itu terdiri dari bentuk dan makna. Perihal bentuk dan makna itu lebih rinci dijelaskan oleh Ferdinan de Saussure dalam salah satu dikotominya yaitu signifie dan signifiant. Khusus tentang komunikasi dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan, aktivitas tindak tutur merupakan media utama guna penyampaian pesan dalam bentuk one on one presentation maupun home meeting presentation. Apa pesan itu dan bagaimana pesan itu disampaikan serta siapa penerima pesan itu, semuanya bersinerji dalam menentukan berhasil-tidaknya ekspansi bisnis pemasaran jaringan. Pesan yang tidak tepat atau pesan yang tepat tetapi cara penyampainnya tidak tepat atau bahkan membingungkan penerima pesan dalam ekspansi bisnispemasaran jaringan, sangat merugikan karena terkait langsung dengan mata pencaharian. Oleh 177
sebab itu, pesan yang disampaikan hendaknya memenuhi fungsi-fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi-fungsi itu ialah transaksional dan interaksional. Dengan demikian, hal-hal yang dikaji dalam tulisan ini mencakup (1) Kontroversi transaksional dan interaksional, (2) pencerminan komunikasi yang bersifat transaksional dan interaksional dalam bisnis pemasaran jaringan yang meliputi (a) tindak tutur ilokusi sebagai manivestasi komunikasi yang bersifat transaksional dan interaksional dalam bisnis pemasaran jaringan dan (b) analisis kesantunan tindak tutur pelaku bisnis pemasaran jaringan. KONTROVERSI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL Kontroversi dalam bidang linguistik yang sekarang ini sedang kita amati di Indonesia ialah kontroversi antara kelompok yang percaya bahwa bahasa mempunyai fungsi transaksional dengan kelompok yang percaya bahwa bahasa mempunyai fungsi interaksional (Wahab. 1998). Selanjutnya disebutkan bahwa penganut transaksional menekankan
pada
formulasi
pesan
yang
terkandung
dalam
kalimat
tanpa
memperhitungkan siapa penerima pesan. Hal itu berarti kalimat dimaksud dapat berupa lisan maupun tulisan tetapi dengan tidak memperhitungkan siapa penerima pesan, merupakan hal yang perlu dikaji lebih dalam oleh kelompok ini. Singkatnya, kelompok ini mengabaikan aspek kesantunan (Wibowo. 2001). Sebaliknya, penganut interaksional memandang bahasa hanya sebagai alat komunikasi antar anggota sosial sehingga mereka menekankan pada terpeliharanya hubungan sosial antar individu yang terlibat dalam interaksi. Memelihara hubungan sosial sebagai manifestasi kesantunan berbahasa merupakan salah satu pemarkah keberhasilan dalam berkomunikasi tetapi formulasi pesan dalam kalimat tak dapat diabaikan juga. Pandangan kedua kelompok tersebut mengarah pada aktivitas berpragmatik. Secara eksplisit, para analis bahasa percaya bahwa penganut transaksional lebih tertarik pada bahasa tulis sedangkan para penganut interaksional lebih tertarik pada bahasa lisan (Wahab. 1998). Akan tetapi kedua fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan secara tegas dalam aktivitas berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Artinya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan Kedua fungsi tersebut saling melengkapi untuk mencapai tujuan berkomunikasi. Fungsi-fungsi tersebut tercermin dalam fungsi ilokusi yang dikemukakan oleh Leech (1983). Oleh sebab itu penulis sependapat dengan Wahab (2005) yang mengatakan bahwa sifat utama bahasa yang dibedakan menjadi transaksional dan interaksional itu hanyalah untuk kemudahan analisis yaitu fungsi bahassa yang bersifat menyatakan isi kalimat disebut transaksional dan fungsi bahasa yang melibatkan hubungan sosial dan sikap individu disebut interaksional.
Sejalan 178
dengan itu, prinsip kerja sama (Grice. 1975) dalam berkomunikassi, ternyata bahwa prinsip pertama sampai dengan prinsip ketiga (maksim kuantitatif, maksim kualitatif, maksim relevansi) berkaitan dengan apa yang disampaikan dan prinsip keempat (maksim pelaksanaan) berkaitan dengan bagaimana menyampaikan pesan. Dikaitkan dengan
ekspansi bisnis pemasaran jaringan, aktivitas berbahasa
didomonasi oleh tindak tutur. Manifestasi fungsi bahasa secara transaksional maupun interaksional akan tercermin di dalam aktivitas tindak tutur antara pelaku bisnis pemasaran jaringan dengan mitra usaha atau calon mitra usaha. Dari kaca mata pragmatik, tindak tutur dalam komunikasi bisnis pemasaran jaringan tidaklah mudah. Robert T. Kiyosaki, penulis buku best seller dunia Rich Dad Poor Dad dalam bukunya The Casflow Quadrant (2004) mengakui bahwa kata-kata adalah alat yang ampuh. Selanjutnya dikatakan bahwa keterampilan yang diperlukan untuk menjadi pengusaha hebat ialah penguasaan kata dan mengetahui kata-kata mana yang efektif untuk jenis orang yang mana. Suatu kata dapat membangkitkan semangat kerja satu jenis orang, sementara kata yang sama bisa sepenuhnya mematikan semangat kerja jenis orang yang lain. Sebagai contoh, kata resiko dapat membangkitkan semangat kerja seseorang yang bermental investor tetapi kata tersebut dapat mematikan semangat kerja orang yang bermental pegawai (employee). Dalam hal ini bahasa tidak hanya dipergunakan untuk mengungkapkan informasi faktual semata. Tindak tutur dalam komunikasi bisnis, khususnya antara pebisnis pemasaran jaringan dengan calon mitra usaha hendaknya menunjukkan pemakaian bahasa yang membentuk dan memelihara hubungan sosial. Kendatipun bisnis pemasaran jaringan dengan dukungan marketing plan yang telah teruji serta kekuatan perusahaan dengan legalitas terdaftar sebagai anggota Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia
bahkan terdaftar sebagai anggota Wold
Federation of Direct selling associoation tetapi terkesan adanya sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat tentang jenis bisnis yang satu ini. Hal itu bukan tidak beralasan. Secara obyektif terlihat bahwa ada pebisnis pemasaran jaringan yang berhasil dan ada yang gagal. Di kala perekonomian Indonesia mengalami krisis multidimensional misalnya, hasil penelitian Warta Bisnis edisi 18/I/15 Oktober 2003 menunjukkan bahwa pemasar yang berpenghasilan tertinggi di Indonesia dengan kualifikasi penghasilan (1) di atas Rp 5 milyar per tahun berasal dari Tianshi Indonesia; (2) Rp 3 milyar – Rp 5 milyar berasal dari Tianshi Indonesia, CNI, Amway Indonesia, Asuransi Prudential; (3) Rp 1,5 milyar – Rp 2,5 milyar berasal dari Amway Indonesia, Tuperware Indonesia, CNI, Broker Ray White; (4) Rp 1 milyar – Rp 1,5 milyar berasal dari Tianshi Indonesia, CNI, Asuransi AJB Bumi Putra; (5) Rp 500 juta – Rp 1 milyar berasal dari
CNI, AIG, Allianz dan Asuransi Prudential. 179
Sebaliknya, mereka yang gagal dapat kita temukan di mana-mana. Kendati demikian, perihal berhasil atau gagal, sesungguhnya relatif karena ukuran yang digunakan adalah tujuan setiap pebisnis itu sendiri. Oleh sebab itu yang dijadikan ukuran dalam tulisan ini adalah luas tidaknya jaringan pemasaran. Dalam konteks yang demikian, pebisnis merupakan pemegang kendali aktivitas tindak tutur ketika mengadakan one on one presentation maupun home meeting presentation guna ekspansi pemasaran jaringan menuju pembentukan aset. Membangun aset dalam bisnis pemasaran jaringan merupakan hal yang mendasar. Tiyosaki (2004) mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki asset adalah orang yang tidak memiliki masa depan. Akan tetapi aset dalam bisnis pemasaran jaringan adalah manusia maka kerja sama merupakan jiwa usaha itu. Kerja sama itulah yang justru menempatkan tindak tutur sebagai pemarkah luas-tidaknya jaringan usaha. CERMINAN KOMUNIKASI TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL DALAM BISNIS PEMASARAN JARINGAN Keith Allan (1986 dalam Rahardi. 2003:24) mengatakan bahwa sesungguhnya aktivitas bertutur sapa itu merupakan kegiatan yang berdimensi sosial dan bercorak kultural. Oleh karena kegiatan yang berdimensi sosial dan bercorak kultural itulah maka aktivitas tindak tutur dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan sangat menentukan adatidaknya transaksi bisnis. Tanpa adanya transaksi bisnis merupakan indikator adanya kemunduran bisnis bahkan bermuara pada kegagalan membangun jaringan usaha apalagi pembentukan aset. Tindak tutur yang sesuai untuk ekspansi bisnis pemasaran jaringan ialah tindak tutur ilokusi. Berikut ini diuraikan tindak tutur ilokusi dimaksud yang mencakup (1) tindak tutur ilokusi sebagai manivestasi komunikasi yang bersifat transaksional dan interaksional dalam bisnis pemasaran jaringan, (2) analisis kesantunan tindak tutur pelaku bisnis pemasaran jaringan TINDAK TUTUR ILOKUSI SEBAGAI MANIFESTASI KOMUNIKASI YANG BERSIFAT TRANSAKSIONAL DAN INTERAKSIONAL DALAM BISNIS PEMASARAN JARINGAN Kajian ini bertitik tolak dari salah satu doktrin Frans Bacon, penganut aliran filsafat empirisme. Doktrin tersebut
berbunyi The idols of the tribe yaitu bahwa manusia
cenderung melihat segala sesuatu dari perspektif atau sudut padang manusia itu sendiri. Implikasinya pada tindak tutur pebisnis dalam upaya mengadakan ekspansi bisnis pemasaran jaringan ialah bahwa terdapat kemungkinan adanya kecenderungan pebisnis 180
tidak menempatkan diri pada mitra tutur sebagai mitra usaha maupun calon mitra usaha. Tindak tutur pebisnis akan berbeda jika ia tidak menempatkan diri pada lawan tutur dalam mengadakan ekspansi bisnis pemasaran jaringan, demikian pula sebaliknya tindak tutur pebisnis akan berbeda pula jika ia menempatkan diri pada diri lawan tutur sebagai mitra usaha maupun calon mitra usaha. Perihal tindak tutur, Searle (1983) membedakan praktik penggunaan bahasa dalam tiga kategori yaitu (1) tindak lokusi (illocutionary acts), (2) tindak ilokusi (ilocitonary acts), (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Tindak tutur yang diadopsi untuk digunakan dalam kajian ini ialah tindak tutur ilokusi yang mencakup (1) tindak tutur asertif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif dan (5) tindak tutur deklaratif. Tindak tutur ilokusi yang diadopsi untuk digunakan dalam tulisan ini karena bagi Searle (Leech. 1983) ilokusi dapat dianggap sebagai janji/perintah/permohonan. Hal itu setara dengan penawaran jasa dan barang serta kesepakatan-kesepakatan dalam transaksi bisnis pada umumnya, khususnya bisnis pemasaran jaringan. Hal itu juga memenuhi dua fungsi bahasa yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional. Kelima tindak ilokusi tersebut menunjukkan fungsi-fungsi komunikatif yang dirangkum oleh Rahardi (2003) yaitu (1) asertif adalah bentuk tindak tutur yang mengikat penutur
pada
kebenaran
proposisi
yang
diungkapkan,
misalnya
meyatakan,
menyarankan, membual, mengeluh dan mengklaim; (2) direktif adalah bentuk tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya, untuk mempengaruhi mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya memesan, memerintah, memohon, menasihati dan merekomendasi; (3) ekspresif yaitu bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji dan berbelasungkawa; (4) komisif ialah bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji, bersumpah, dan menawarkan sesuatu; (5) deklarasi yaitu bentuk tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan dan menghukum. Bentuk-bentuk tindak ujar itu menuntut adanya kerja sama antara pebisnis pemasaran jaringan dengan mitra usaha atau calon mitra usaha dalam membangun aset . Untuk kerja sama itu, kajian ini ini mengacu klasifikasi yang didasarkan pada fungsi ilokusi oleh Geoferry Leech (1983). Leech membedakan ilokusi menjadi empat jenis sebagai berikut. (1) Kompetitif (competitive) yaitu tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial misalnya memerintah, meminta, menuntut, mengemis dsb. Adapun yang dimaksud dengan tujuan ilokusi ialah hal yang diharapkan dilakukan oleh lawan tutur sedangkan 181
tujuan sosial ialah upaya penutur untuk tetap menjaga terpeliharanya hubungan sosial dalam proses pertuturan (2) Menyenangkan (convivial) yaitu tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat. (3) Bekerja sama (collaborative) yaitu tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan dan mengajarkan. (4) Bertentangan atau conflictive yaitu tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi. Di antara keempat jenis fungsi ilokusi di atas ternyata jenis ilokusi yang berfungsi kompetitif dan jenis ilokusi yang berfungsi menyenangkan melibatkan aspek sopan santun. Leech menjelaskan bahwa pada ilokusi yang bersifat kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negative dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi antara apa yang ingin dicapai penutur dangan dengan apa yang dituntut oleh sopan santun. Singkatnya, ilokusi yang bersifat kompetitif melahirkan kesantunan semu. Sebaliknya fungsi menyenangkan, sopan santun mempunyai sifat positif yaitu selalu berusaha untuk menemukan hal yang benar-benar merupakan kelebihan dari lawan tutur dan langsung memberikan pujian atau mungkin ucapan selamat karena sesuatu hal. Untuk ilokusi yang bersifat bekerja sama, tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun tidak relevan. Menurut Leech, sebagian besar wacana tulis masuk dalam kategori ini. Ilokusi yang bersifat bertentangan tidak ada sopan santun karena bertujuan menimbulkan kemarahan, mengancam atau menyumpahi orang. Dikaitkan dengan ilokusi versi Searle, asertif masuk kategori bekerja sama, direktif masuk kategori kompetitif, komisif masuk kategori menyenangkan, ekspresif cenderung masuk kategori menyenangkan kecuali yang bersifat mengancam, menuduh dan sebagainya sedangkan deklarasi merupakan hal yang sudah terinstitusi dan mutlak dilakukan. Dengan perkataan lain, penutur yang mengucapkan deklarasi, menggunakan bahasa sekedar sebagai tanda lahiriah bahwa suatu tindakan kelembagaan telah dilaksanakan misalnya dalam keagamaan atau hukum seperti membaptis atau memfonis. Dengan demkian agak terkendala jika teori Searle tentang fungsi ilokusi digunakan dalam menganalisis rekaman tindak tutur dalam ekspansi bisnis pemasaran. Oleh sebab itu penulis mengadopsi fungsi ilokusi yang dikemukakan oleh Leech untuk menjelaskan kesantuan tindak tutur dalam komunikasi bisnis pemasaran jaringan . ANALISIS KESANTUNAN TINDAK TUTUR PELAKU BISNIS PEMASARAN JARINGAN Analisis tindak tutur sesungguhnya dapat ditinjau dari penutur maupun petutur. Dalam bisnis pemasaran jaringan, pebisnis sebagai penutur merupakan pemegang kendali 182
dalam proses pertuturan. Artinya tindak tutur ilokusi pelaku bisnis pemasaran jaringan berpotensi menentukan apakah petutur sebagai calon mitra usaha tertarik untuk bersama-sama menjalankan bisnis yang ditawarkan atau tidak. Oleh sebab itu tindak tutur ilokusi yang dianalisis dalam tulisan ini ialah tindak tutur pelaku bisnis pemasaran jaringan dan bukan petutur yaitu calon mitra usaha. Untuk mengkongkretkan bahasan ini, rekaman percakapan berikut ini dapat dianaliss untuk dilihat kadar kesantunan tindak tutur di dalammya. Rekaman percakapan telpon ini merupakan salah satu rekaman standar membuat janji pertemuan bisnis antara Adisebagai pebisnis pemasaran jaringan dan prospeknya yang bernama Budi sebagai berikut. Adi (1)
: Halo, Pak Budi. Apa Kabar? Ini dari Adi.
Budi (1)
: Oh, halo Pak Adi. Kabar baik ….
Adi (2)
: Wah, udah lama kita tidak ketemu ya Pak Budi? Bagaimana dengan keluarga? Sehat-sehat khan?
Budi (2)
: Baik .. baik. Sehat-sehat. Ada apa nih, Pak Adi, tumben menelpon?
Adi (3)
: Iya ni Pak Budi. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Pak Budi. Tapi sayangnya saat ini saya sedang akan meeting jadi tidak bisa lewat telpon. Pak Budi, hari jumat malam, sibuk ngak? Jam-jam 7 malam gitu?
Budi (3)
: Jumat malam, ya … Sebentar …. Wah, sayang Pak Adi, saya ada acara pernikahan saudara.
Adi (4)
: Oh begitu ya. Bagaimana kalo Minggu malam?
Budi (4)
: Boleh, Minggu malam saya tidak ada acara. Ada apa nih?
Adi (5)
: Begini, Pak Budi, saya dan beberapa rekan sedang merintis sebuah usaha, Dan kebetulan kami perlu rekan usaha dengan latar belakang banker seperti Pak Budi. Saya sudah ceritakan sedikit mengenai Pak Budi dan rekan saya tertarik untuk bertemu dengan Pak Budi. Saya belum bisa menjanjikan apa-apa, Pak Budi, tapi bisa ngak Pak Budi datang ke rumah saya hari Minggu jam 7 malam untuk saya temukan pada rekan saya?
Budi (5)
: Usahanya di bidang apa ya?
Adi (6)
: Justru itu yang akan saya bicarakan di hari Minggu nanti Pak Budi, karena tak mungkin membicarakan usaha melalui telpon. Pak Budi bisa datang ke rumah saya?
Budi (6)
: Bisa sih bisa. Tapi tolong jelasin sedikit mengenai usahanya dong …
Adi (7)
: Pak Budi, ingin sekali saya menjelaskan usaha ini sekarang, Pak. Tetapi ini meeting udah akan dimulai, lagi pula ada beberapa diagram yang ingin 183
kami tunjukkan kepada Pak Budi dan beberapa angka mengenai profit sharing-nya. Oya, Pak Budi, akan lebih baik jika Pak Budi ajak istri Bapak. Istri Bapak tidak ada acara khan hari Minggu malam? Budi (7)
: Kayaknya sih dia tidak ada acara. Baik, nanti saya coba bicara dengan dia.
Adi (8)
: OK, Pak Budi, nanti kita ketemu hari Minggu jam 7 malam di rumah saya. O, ya, Pak Budi, jika ternyata nanti tiba-tiba Pak Budi ada acara lain yang sangat penting, tolong telpon saya ya Pak, sehingga saya bisa beritahu rekan saya dan mereka masih sempat mencari partner yang lain.
Budi (8)
: OK
Adi (9)
: Baik, Pak Budi, sampai jumpa hari Minggu (United Core Vision. Tanpa tahun) Ditinjau dari aspek kesantunan berbahasa, kalimat Adi (1) tergolong tindak tutur
ilokusi yang bersifat kompetitif sedangkan dilihat dari fungsi bahasa, kalimat Adi (1) memenuhi fungsi transaksional maupun fungsi interaksional. Artinya, pada kalimat Adi (1), pesan tersampaikan secara santun kepada penerima dalam formulasi kalimat yang gramatikal akan tetapi kesantunan dimaksud bersifat negatif. Berdasarkan kalimat Budi (1), kita memperoleh implikatur bahwa Budi teringat akan seorang temannya yang bernama Adi. Kalimat Adi (2) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif, dan juga memenuhi fungsi transaksional mapun fungsi interaksional. Jadi, walaupun secara morfologis terdapat kata-kata yang tidak gramatikal tetapi pada kalimat Adi (2) pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan meskipun kesantunan dimaksud bersifat negatif. Berdasarkan kalimat Budi (2) kita memperoleh implikatur bahwa Budi merasa ada sesuatu di balik sikap Adi. Kaliamt Adi (3) tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis ada kata-kata yang tidak gramatikal, pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan. Akan tetapi kesantunan di sini pun masih bersifat negatif. Pada kalimat Budi (3), kita memperoleh implikatur bahwa Budi belum begitu tertarik terbukti dengan adanya alasan menghadidiri pernikahan saudaranya tanpa meminta diberi kesempatan lainnya. Kalimat Adi (4) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis maupun sintaksis tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan. Lagi-lagi hal itu mencerminkan kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (4)
184
kita memperoleh implikatur bahwa Budi seemakin yakin bahwa ada sesuatu di balik sikap Adi. Kalimat-kalimat pada Adi (5)
tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi
kompetitif, tetapi juga mengandung ilokusi yang bersifat menyenagkan karena ada pujian terhadap Pak Budi sebagai seorang banker dan juga memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis maupun sintaksis tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan. Kesantunan di sini juga bersifat negatif. Pada kalimat Budi (5) kita memperoleh implikatur bahwa Budi semakin yakin bahwa ada sesuatu di balik sikap Adi. Laqgi pula Budi tidak merespon pujian Adi ketika Adi menyebut Budi sebagai seorang banker. Kalimat Adi (6) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional gramatikal pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan tetapi masih tetap bersifat kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (6) kita memperoleh implikatur bahwa Adi terpojok karena merasa bahwa Budi tidak mempercayai Adi.. Kalimat-kalimat Adi (7) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis ada kata yang tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan tetapi masih bersifat kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (7) kita memperoleh implikatur bahwa Budi terkesan terpaksa menerima undangan Adi. Kalimat-kalimat Adi (8) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional walaupun secara morfologis maupun sintaksis ada yang tidak gramatikal tetapi pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan meskipun masih diwarnai kesantunan negatif. Pada kalimat Budi (8) kita memperoleh implikatur bahwa Budi meyakini, ada sesuatu di balik sikap Adi. Hal itu terlihat pada jawaban pendek yang disampaikan Budi.. Kalimat Adi (9) juga tergolong tindak tutur ilokusi yang berfungsi kompetitif dan memenuhi fungsi transaksional maupun interaksional karena secara morfologis maupun sintaksis, kalimat Adi sudah gramatikal pesan tersampaikan secara santun kepada penerima pesan tetapi masih bersifat kesantunan negatif. Dari hasil analisis tersebut, terlihat bahwa bahasa yang digunakan dalam rekaman standar membuat janji pertemuan bisnis antara pelaku bisnis pemasaran jaringan dengan calon mitra usaha sudah santun walaupun cenderung pada kesantunan negatif dan memenuhi fungsi bahasa baik secara transaksional maupun secara interaksional. Persoalannya ialah data yang dianalisis itu adalah rekaman standar membuat janji pertemuan bisnis antara pelaku bisnis pemasaran jaringan dengan calon mitra usaha 185
yang tertuang dalam markrting plan perusahaan yang telah teruji. Apakah tindak tutur pelaku bisnis yang luas usahanya santun dan bersifat transaksional maupun interaksional sedangkan yang gagal adalah mereka yang tindak tuturnya tidak santun juga tidak bersifat transaksional dan interaksional? Pertanyaan ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut guna mendapatkan pemecahan masalah secara runtut dengan resiko waktu, biaya dan tenaga lebih banyak. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa fungsi transaksional dan interaksional dalam aktivitas berbahasa secara santun sangat menentukan luas-tidaknya bisnis pemasaran jaringan.Bidang linguistik di Indonesia sekarang ini diwarnai kontroversi transaksional dan interaksional tetapi keduanya sebagai fungsi utama bahasa tidak dapat dipisahkan secara tegas dalam praktik penggunaan bahasa melainkan kedua fungsi itu saling melengkapi yang tercermin dalam fungsi tindak tutur ilokusi. Implikasinya dalam bisnis pemasaran jaringan, aktivitas berbahasa didominasi oleh tindak tutur sehingga fungsi bahasa secara transaksional maupun interaksional akan tercermin dalam aktivitas tindak tutur antara pebisnis pemasaran jaringan dengan mitra usaha atau calon mitra usaha. Dalam ekspansi bisnis pemasaran jaringan, dituntut adanya transaksi bisnis sebagai indikator luas tidaknya jaringan usaha menuju pembentukan aset usaha. Jadi semakin baik tindak tutur yang mencerminkan fungsi transaksional maupun interaksional akan memberikan kontribusi positif terhadap luas-tidaknya jaringan usaha. Di dalam tindak tutur ilokusi terkandung aspek kesantunan berbahasa sesuai dengan sifat usaha dalam praktik penggunaan bahasa yang berdimensi sosial dan bercorak kultural yang cenderung pada fungsi ilokusi yang kompetitif dan menyenangkan. Oleh sebab itu, pelaku bisnis pemasaran jaringan hendaknya memahami dan senantiasa mempertimbangkan fungsi bahasa secara transaksional maupun interaksional dalam melakukan ekspansi bisnis baik dalam bentuk one on one presentation maupun home meeting presentation. Pada saat membuat pelaksanaan one on one presentation maupun home meeting presentation mutlak didominasi oleh ilokusi kerja sama (collaborative) tetapi untuk membuat janji pertemuan bisnis atau tanya jawab setelah presentasi bisnis sebaiknya didominasi oleh ilokusi menyenangkan (convivial).
186
Daftar Rujukan Grice, H.P. 1975 Logic and Conversation, Syntax and Semantics, Speech Act, 3. New York: Academic Press. Kiyosaky, Robert T. The Cashflow Quadrant. PT Gramedia Pustaka: Jakarta Leech, Geofery. 1983. Prinsip-pprinsip Pragmatik. Oka, M.D.D. Jakarta: UI-Press. Rahardi, Kunjana R. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Dioma: Malang. Searle, John R. 1969. Speech Acts, An Eassay in the philosophy of Language. Combridge: Combridge University Press. United Core Vision. Tanpa tahun. Staterpack: Buku Manual Cara Memulai dengan Benar. Jakarta: Unicore Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik. Airlangga Universty Press. Surabaya Wahab, Abdul. 2005. Butir-Butir Linguistik. Airlangga University Press: Surabaya Wibowo. 2001. Otonomi Bahasa: 7 Strategi Tulis Pragmatik Bagi Praktisi Bisnis dan Mahasiswa. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
187
MENGEMBALIKAN BAHASA INDONESIA PADA STANDAR EJAAN YANG DISEMPURNAKAN Purwantiningsih SMPN 2 Kepanjen Malang
[email protected] ABSTRACT On the history, Bahasa Indonesia proves that it can unite any sigle groups and ethnics to the one of Indonesia. The word “Indonesia” is the identity of territory, nation,and the language as well as personality of the society. The identity of Indonesia reflects on the Indonesia of its society. Bahasa Indonesia has many borrowing words that not really needed The corresponding vocabulary from the other language done in translation and borrowing word, but using the terminology that has the corresponding word in Bahasa Indonesia claimed that it the activity of ruin the Bahasa Indonesia. Kata kunci : identity, personality,borrowing words
PENDAHULUAN Setiap warga negara Indonesia perlu memiliki kesadaran akan arti pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap suatu identitas bangsa. Tujuannya adalah untuk menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam perbedaan, yakni suatu solidaritas yang didasarkan pada kesantunan. Kesantunan meliputi pembawaan yang ramah, sikap hormat dan sopan. Membangun suatu identitas bersama berkaitan erat dengan pemahaman terhadap nilai-nilai dan simbol-simbol yang mendasari suatu sistem. Kelompok masyarakat semuanya memiliki nilai-nilai, norma dan simbol tersendiri seperti lagu, slogan, bendera dan bahasa terutama dalam masyarakat yang luas dan heterogen. Prayitno dan Trubus (dalam Susanto, 2010: 5) mengatakan bahwa mempertahankan identitas merupakan hal yang sangat sensitif bagi negara seperti Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan multikultural. Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas bangsa Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencatat bahwa pada bulan Oktober 1928
pemuda-
pemuda Indonesia mengadakan konggres kedua. Konggres tersebut menghasilkan keputusan yang dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” . Keputusannya adalah bahwa” Kami poetra dan poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia (Timnas Penulis Sejarah, 2012: 309) 188
Sumpah Pemuda secara tegas mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia yang sangat strategis ini membawa dampak perubahan yang sangat besar pada saat itu, dimana nama-nama organisasi kepemudaan yang semula berbahasa Belanda berubah menjadi bahasa Indonesia. Sebut saja Indonesische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Pidato-pidato yang semula disampaikan dalam bahasa Belanda berganti menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan persuratkabaran saat itu. Bintang Soerabaja, Medan Prijaji, Sri Poestaka, Indonesia Merdeka, Bintang Timoer yang semula menggunakan bahasa Belanda, China dan Melayu berganti menggunakan bahasa Indonesia.
Bangga sekali para pendiri bangsa
menggunakan bahasa Indonesia. Ini
membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah terbukti menyatukan berbagai golongan dan etnis ke dalam satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Namun seiring dengan berjalannya waktu, telah terjadi pergeseran. Bahasa Indonesia tidak lagi berada dalam “singgasananya”. Mengapa demikian? Bahasa Indonesia terdiri atas ratusan kata serapan yang diambil langsung dari bahasa asing dalam bentuk penyesuaian lafal dan ejaan atau tanpa penyesuaian lafal tapi ejaannya yang disesuaikan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketersalinan bahasa Indonesia secara timbal balik mengingat keperluan masa depan (Depdiknas, 2009: 6). Pengayaan kosa kata melalui proses penyerapan sebagaimana yang dimaksud di atas sah-sah saja bila ketersediaan padanan kata asing untuk kosa kata bahasa Indonesia sudah tidak ada lagi. Namun, alangkah naifnya orang Indonesia jika tergesa-gesa memadankan kata success dengan sukses, imagination dengan imajinasi, relevantion dengan relevansi, creativity dengan kreativitas. Berpijak pada keadaan ini apakah sikap nasionalisme bahasa sudah terkikis atau apakah si pemakai bahasa memang sudah tidak tahu apa padanan kosa kata asing tersebut dalam bahasa Indonesia. Pedoman pembentukan istilah melalui penyerapan dengan penyesuaian ejaan atau lafal memang telah memberikan kemudahan yang luar biasa, bahkan cenderung meninabobokan orang Indonesia terhadap bahasa mereka sendiri. Mengapa demikian? Orang dengan mudah memadankan imbuhan –ation dalam bahasa Inggris dengan imbuhan –asi dalam bahasa Indonesia; lalu –ity dengan –itas serta masih bayak lagi imbuhan lain yang disamaratakan pola penyesuaian ejaan atau lafalnya. Saat ini, contoh padan kata dan kata serapan dari bahasa asing terutama Inggris, lebih akrab di telinga anak sekolah, masyarakat awam, pendidik, bahkan kaum elit politik dibanding kata Indonesianya. Saat ini anak sekolah belajar kosa kata (dengan konsep pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah) adalah bahasa Indonesia yang sudah tercampur-campur (baca: gado-gado). Padanan kata berhasil, daya khayal, kesesuaian 189
dan daya cipta untuk keempat kosa kata bahasa Inggris yag dicetak miring di atas, boleh dibilang asing bagi mereka. Jadi, sekarang siapa yang salah, pelaku pendidikan kah, peserta didik kah atau penguasa. Sejatinya tak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena memang sudah serba salah. Jika dibuat pemeringkatan pemakaian kosa kata, maka frekuensi kosa kata serapan yang sudah mempuyai padanannya dalam bahasa Indonesia jauh lebih tinggi dibanding dengan kosa kata yang memang harus diserap karena memang belum memiliki padanan sama sekali. Soedarsono (2010: 12)) mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak kalah cerdas dengan bangsa lain. Masalahnya justru berkaitan dengan hati nurani yang mencerminkan karakter dan jati diri. Remaja lebih sering berkomunikasi dengan memakai kosa kata asing. Bahasa Indonesia yang merupakan cerminan jati diri bangsa mulai terpinggirkan. Kosa kata bahasa Indonesia sekarang sudah dianggap “ kuno, nggak gue banget gitu loh!” Fenomena inilah yang mendasari tulisan ini. BAHASA INDONESIA DARI MASA KE MASA Pemakaian bahasa memang sedikit banyak dipengaruhi oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Negara kita, paling tidak telah mengalami tiga rezim yang samasama punya andil besar dalam perkembangan kosa kata bahasa Indonesia. Pada masa perjuangan sampai orde lama, bahasa Indonesia dipandang sebagai penanda jati diri untuk bangsa yang baru terbentuk sebagai sikap politis kebangsaan masyarakat Indonesia. Dalam konteks itu, jati diri keindonesiaan, termasuk bahasa Indonesia, banyak digunakan. Selain menjadi tandingan untuk istilah yang berbau kebelandaan, bahasa Indonesia juga dipakai sebagai istilah untuk membakar semangat pemuda Indonesia yang sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Berikut beberapa contoh istilah/kalimat yang kutip dari Sejarah Nasional Indonesia. Merdeka atau mati, Sekali merdeka tetap merdeka, Biar nyawa melayang, kau tetap Indonesiaku, Berjuang sampai titik darah penghabisan, KNIL anjing Belanda. Bahkan ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia terdapat slogan yang sangat membakar hati rakyat Indonesia, yaitu “Ganjang Malaysia”. Bandingkan dengan protes-protes mahasiswa atau pengunjuk rasa sekarang yang membentang spanduk dengan tulisan PEACE for FREEDOM; GO TO HELL ISRAEL; SAVE OUR PLANET; STOP ILLEGAL LOGGING, BEWARE OF GLOBAL WARMING, SAY NO TO DRUGS, dan masih banyak lagi tebaran istilah asing yang dipakai oleh para pengunjuk rasa. Para pengunjuk rasa kebanyakan adalah kaum terpelajar, sebagai bentuk protes ketidakpuasan pada pemerintah atau himbauan pada masyarakat umum yang kebanyakan tidak mengerti makna dari istilah asing yang mereka gunakan. 190
Jadi, bahasa Indonesia pada masa perjuangan sampai orde lama memang secara politis dikondisikan untuk membangkitkan rasa keindonesiaan rakyat Indonesia, menggugah semangat kebangsaan bangsa Indonesia. Beruntunglah generasi di era ini yang pemimpinnya tetap kuat dengan pendirian identitas bangsa yaitu orang Indonesia harus berbahasa Indonesia. Bukan orang Indonesia yang berbahasa Indonesia dengan cita rasa asing. Setelah era 60-an perkembangan bahasa Indonesia mengalami perubahan seiring dengan pergantian rezim yang berkuasa. Ketika rezim orde baru berkuasa bahasa pun dijadikan kendaraan politik untuk mengendalikan kepentingan ideologi dan kekuasaan sang penguasa. Ada satu pergeseran stlistika dalam berbahasa dibanding dengan rezim sebelumnya. Kalau pada masa perjuangan sampai dengan orde lama bahasa digunkan untuk mengobarkan semangat dan membangun jiwa kebangsaan, namun pada masa orde baru bahasa Indonesia lebih santun dan halus demi kepentingan stabilitas. Sebagai contoh penggunaan kata-kata atau istilah klise dosa diperhalus menjadi “tidak etis”; bredel disamarkan dengan istilah “pembatalan SIUPP”; memerintahkan diganti dengan “memberi petunjuk”; tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana seorang menteri penerangan dalam acara jumpa pers selalu menggunakan kalimat “Menurut petunjuk Bapak Presiden……” yang diulang-ulang. Zinah lebih populer dengan istilah “selingkuh”; penggusuran diperhalus dengan istilah “penertiban” serta masih banyak lagi penamaanpenamaan lain yang seolah-olah tidak mampu memunculkan dampak atas perlakuan yang terjadi. Gejala bahasa seperti inilah yang menjadi payung politik penguasa untuk meredam gejolak di bawah supaya kursi kekuasaan tetap “aman”. Selama dalam kurun waktu tiga dekade itulah masyarakat Indonesia diajarkan “selingkuh” dengan bahasanya. Perilaku mendua dalam berbahasa pada itu sudah masuk pada tataran leksikal. Artinya, rakyat sudah mafhum dengan meta-bahasa yang dipopulerkan pemerintah, yang oleh para pakar bahasa gejala itu dinamakan dengan istilah eufemisme. Menurut Wijana (2007: 97) kekuatan-kekuatan kata dalam eufemisme ada yang berkonotasi positif dan negatif yang bertujuan untuk mendukung keperluan yang berbeda-beda sehingga kata yang dimaksud membawa pada konsekuensi perubahan makna kosa kata itu sendiri. Ada kata-kata yang semula bermakna netral kemudian berubah menjadi bermakna negatif atau sebaliknya. Demikianlah aroma eufemisme pada era orde baru yang kadang manis di bibir tapi menusuk dari belakang. Sembilu bermata dua! Selanjutnya angin kekuasaan pun berubah seiring dengan bergulirnya era reformasi. Pada era ini kebebasan berekspresi seolah-olah mendapat angin baru yang sulit dibendung pengaruhnya pada semua tatanan, tak terkecuali bahasa yang menjadi 191
alat pengantarnya. Dalam berbahasa, pejabat publik melaju dengan bebas menciptakan istilah-istilah sendiri dengan dalih kebebasan berpendapat untuk berujar dan berwacana. Soedarsono (2010: 27) mengatakan ketika semua orang mencari pembenaran yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat, pada titik inilah bangsa Indonesia mulai tergerus jati dirinya. Masyarakat Indonesia yang semula dikenal sebagai orang yang sopan dan santun, berubah menjadi orang yang brutal dan akrab dengan kekerasan. Namun, the show must go on (hidup harus terus berlanjut). Mewujudkan pemerintahan yang clean and good government. Para calon ketua KPK sedang mengikuti fit and proper test. Kalimat itu yang sering didengungkan oleh kaum pejabat yang mengaku reformis yang juga mereformasi total bahasanya, kepada telinga kaum grass root (masyarakat lapisan bawah) demikian mereka menyebutnya. Kudeta hati, konspirasi kemakmuran,labil ekonomi, twenty nine my age, harmonisisasi, mempertakut, statusisasi kemakmuran adalah beberapa istilah ala Viki yang sempat menjadi buah pembicaraan banyak kalangan. Kebebasan berpendapat (baca: berbahasa) menjadi barang berharga sekaligus menjadi barang tidak berharga karena semua tatanan nilai leksikal dan morfologis sebuah bahasa dibongkar pasang, diacak-acak sedemikian rupa dengan dalih kebebasan berpendapat. PASANG SURUT KOSA KATA DAN ISTILAH BAHASA INDONESIA Selama perkembangannya, bahasa Indonesia dari segi struktur tidak banyak mengalami perubahan karena struktur fonologis dan struktur gramatikalnya cenderung stabil. Perubahan bahasa yang tampak mencolok terdapat pada bidang kosa kata. Pasang surut perkembangan kosa kata bahasa Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, menurut Kridalaksana (2007: 13) hanya berkisar pada perubahan makna kata dan kelompok kata, hilangnya kata atau kelompok kata, munculnya kata dan kelompok kata baru, hilangnya idiom lama dan munculnya idiom baru, munculnya kembali kata atau kelompok kata lama, meluasnya pemakaian singkatan dan akronim, serta leksikalisasi singkatan dan akronim. Para ahli bahasa sesungguhnya telah berusaha untuk menciptakan atau memperkenalkan kata, istilah juga ungkapan-ungkapan baru dengan nuansa makna yang tepat. Sebut saja istilah yang sedang populer saat ini, misalnya istilah down load menjadi unduh, up load menjadi unggah, dubbing menjadi sulih suara dan masih banyak lagi lainnya. Namun kalangan ahli bahasa kalah cepat dengan media massa karena untuk menciptakan atau memperkenalkan istilah baru bagi para ahli bahasa membutuhkan waktu yang lama selain memang juga harus teliti dan cermat. Di sinilah kepiawaian pihak media massa, selain alat yang mereka pakai untuk mempopulerkan istilah baru itu cepat 192
sampai kepada masyarakat. Kata bentukan hasil ramuan mereka sendiri pun laris manis dipakai oleh masyarakat. Mulai dari anak sekolah, mahasiswa, pejabat, menteri bahkan para petinggi negeri ini. Keadaan ini memunculkan sebuah pemeo yang cukup mengelitik sebagaimana yang dikatakan oleh Nenden yaitu bahasanya dibuat oleh wartawan lalu dipopulerkan oleh pejabat publik dan direkam tulis oleh pengusaha sablon untuk dipasang di setiap sudut jalan (dalam Ali, 2009: 77). Begitu hebatnya kepiawaian media massa dalam membentuk opini publik melalui kata-kata, hingga seorang pemimpin besar dunia seperti Napoleon Bonaparte (dalam Rakhmat, 2009: 21) mengatakan “ Saya tidak takut atau gentar terhadap seribu pasukan bersenjata lengkap, tetapi saya hanya takut kepada empat atau lima surat kabar, karena walau tanpa senjata mereka bisa membunuh saya dan rakyat saya”. Kata “membunuh” yang diucapkan oleh Napoleon bisa jadi tidak bermakna membunuh secara fisik saja, tetapi bisa juga diartikan membunuh dalam bentuk yang lain. Membunuh karakter, membunuh identitas, membunuh semangat dan membunuh satu negara (Perancis) dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. PENYIMPANGAN PENGGUNAAN KOSA KATA DAN ISTILAH BAHASA INDONESIA Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan zaman yang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat, tidak terkecuali siswa di sekolah. Dampak yang paling terasa adalah dalam penggunaan bahasa, baik dalam tataran ragam bahasa lisan maupun tulis. Ragam bahasa lisan maupun tulis anak sekolah banyak dipengaruhi oleh penggunaan bahasa ibu (baca: Jawa). Sehingga sering kita dengar mereka mengatakan “ Bu, Pak Solehnya ada?, Meja Pak Imam ndik mana?, Oh, ndik situ tah”. –nya yang melekat pada kata Sholeh mendapat pengaruh yang kuat dari kebiasaan bahasa Jawa; bukune, lemarine, ibu’e, bapake, dll. Demikian juga pada preposisi di serta partikel – tah yang biasanya melekat pada kalimat imperatif terpengaruh pemakaian bahasa Jawa sehari-hari. Anak-anak pun sudah tidak mengenal kata kami. Mereka lebih akrab dengan kata kita. Padahal secara semantis kami dan kita memiliki makna yang berbeda. Kami dan kita adalah kata ganti orang pertama jamak. Kami mengacu pada si pembicara dan orang yang menjadi anggotanya, sementara kita mengacu pada si pembicara dan orang yang diajak berbicara. Contoh: “Bu, izin keluar. Kita mau beli kertas”. Yang mau membeli kertas adalah anak dan temannya yang meminta izin, sedangkan ibu guru yang dimintai izin tidak.
193
Tak kalah serunya dengan bahasa lisan, bahasa tulis pun tidak terlepas dari pengaruh penggunaan bahasa percakapan sehari-hari serta kosa kata atau istilah yang diambil dari negeri antah berantah. Sebagai contoh dalam karangan siswa yang berbentuk deskripsi, terdapat kalimat “ …….. Gambar pasar kebakaran tersebut diambil dengan cara menggoogle dari internet”. Pasar kebakaran terpengaruh bahasa jawa pasar kobongan. Sementara kata bentukan menggoogle? Apakah dari bentukan me-N + google yang terilhami dari menggambar, me-N + gambar? Padahal makna dari kata menggoogle pada kalimat yang dimaksud adalah mengambil dari internet. Jika menggunakan kata mendownloud, mungkin masih bisa dimaklumi karena mereka belum kenal dengan istilah mengunduh. Tapi tidak demikian halnya dengan kata menggoogle. Betapa luar biasanya daya cipta mereka. Koran Pendidikan memiliki kolom “Teenagers Journalism” yang khusus diperuntukan bagi remaja, memuat opini dengan judul “Daur Ulang? Why Not?”.Nama kolom menggunakan istilah asing, padahal koran tersebut berbahasa Indonesia dan pembacanya adalah orang Indonesia. Judul tulisan pun campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Isinya pun akan membuat pembaca berdecak “kagum”. Berikut kutipannya. Anyeonghaseyo chingu …... Di edisi kali ini crew TJ akan ngebahas tentang daur ulang limbah. Limbah lho prend, bukan Limbad the master, jadi jangan sampe salah! Hhehe…….. Sblomnya crew TJ mo nanya nih, prend – prend TJ ada yang tau artinya limbah blom? Kalo blom, kita kasih tau dech! Rp5rb perkata ya prend. Hhehe…….. ‘canda lagi. Gratis kok prend! Gitu aja kok udah manyun………… Dari kutipan di atas, tentunya kita akan bertanya-tanya, apakah redaktur tidak bisa memilah dan memilih, mana tulisan yang layak dimuat dan tidak. Dari segi gagasan memang bagus, tentang pentingnya pemanfaatan limbah dengan daur ulang. Namun diwujudkan dengan menggunakan kata, istilah, singkatan, akronim yang sifatnya sukasuka penulisnya. Apakah tidak akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pendidik akan pengaruh negatif dari tulisan itu pada siswa. Alwi (2010: 22) secara tegas menyatakan bahwa bahasa pengantar di lingkungan pendidikan adalah menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tiga tujuan pendidikan; pertama bagaimana peserta didik memperoleh kemahiran dalam menggunakan bahasa kebangsaannya demi tercapainya perpaduan nasional dan demi pemerataan kesempatan bekerja yang mensyaratkan kemampuan itu. Kedua, bagaimana orang dapat memahami bahasa etnisnya sehingga ia dapat menghayati dan melestarikan
194
warisan budayanya. Ketiga, bagaimana orang dapat mempelajari jenis bahasa asing yang akan membukakan gerbang baginya ke dunia ilmu dan teknologi modern. Dari uraian di atas dapat disimpulkan terdapat tiga bahasa yang saling berdampingan, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara ketiga bahasa tersebut pasti akan terjadi proses saling mempengaruhi (asimilasi). Bahasa Indonesia akan mempengaruhi bahasa daerah dan bahasa asing, demikian juga sebaliknya. Bahasa dapat berkembang karena adanya kontak dengan bahasa dan budaya lain, sehingga perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dapat diikutinya. Bahasa Indonesia telah banyak menyerap bahasa asing, paling banyak adalah dari bahasa Inggris. Dari bahasa Belanda, misalnya kamar, kantor dan pos. Dari bahasa Portugal, misalnya kemeja, bendera dan jendela. Dari bahasa Sansekerta misalnya, karya, dwi, dan asrama. Serta masih banyak lagi lainnya. Namun harus diperhatikan bahwa bahasa Bahasa Indonesia memiliki aturan yang jelas dalam penyerapan kosa kata asing maupun daerah (Depdiknas, 2009:3). Tidak berbeda dengan yang terjadi pada siswa di sekolah, di kalangan mahasiswa pun terjadi penyimpangan dalam pemakaian kosa kata maupun istilah. Dalam karya tulis ditemukan sejumlah penjelasan yang ditulis dalam bahasa Inggris yang sesungguhnya penjelasan itu tidak diperlukan lagi karena kalimat dalam bahasa Indonesia sudah dimengerti. Berikut kutipannya. Arifin (2012: 21) Tujuan menulis ada tiga, yaitu menjelaskan (explanatory), meyakinkan (persuasive), dan mengungkapkan perasaan (expressive). Tujuan menlisyang berbeda akan menghasilkan jenis tulisan yang berbeda. Misalnya tujan memberitahukan akan menghasilkan wacana informatif (informative discourse), tujuan meyakinkan akan menghasilkan wacana persuasif (persuasive discourse), tujuan menghibur akan mengasilkan wacana kesastraan (literary discourse) dan tujuan expresif akan menghasikan wacana ekspresif (expressive discourse). Tampaknya penulis begitu bangga dengan istilah asing yang digunakan. Tulisan akan terasa cita rasa ilmiahnya dengan menggunakan istilah asing. Namun apakah penggunaan istlah asing menjadi kriteria penulisan sebuah karya tulis ilmiah? Tentu tidak. Kriteria karya tulis ilmiah adalah (1) objektif, (2) rasional, (3) kritis, (4) up to date / tidak ketinggalan zaman, (5) reserved / menahan diri / hati-hati, (6) jujur, (7) lugas, dan (8) terbebas dari kepentingan atau motif pribadi (Data, 2012: 6).
195
Untuk menanggulangi hilangnya identitas bahasa Indonesia yang murni, alangkah bijaksana bila siswa, guru, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat tetap setia menggunakan kosa kata Indonesia asli (bukan sinonim serapan). Berikut beberapa contoh kosa kata Indonesia serapan yang sudah ada padanannya dalam kosa kata bahasa Indonesia asli, namun kalah bersaing dengan kosa kata serapan dari bahasa asing. Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Serapan
Asli
Serapan
Asli
adaptasi
Penyesuaian
aksen
logat
Aktif
Giat
aktivitas
kegiatan
basis,
dasar,
beraksi
bertindak
berbasis [kan]
berdasar [kan]
berdemo (nstrasi)
unjuk rasa
bujet
anggaran
Decade
Dasawarsa
diaplikasikan
diterapkan
didesain
Dirancang
dikategorikan
digolongkan
edukasi
Pendidikan
eksis, eksistensi
ada, keberadaan
ekspektasi
harapan
elemen
unsur
Favorit
kesayangan
fenomena
gejala
Figur
tokoh
harmonis
rukun
Historis
bersejarah
ide
gagasan
identitas
jati diri
imajinasi
daya khayal
Implisit
tersirat
indikasi
sinyalemen
Kalem
tenang
kapabilitas
kemampuan
kapasitas
daya tampung
kapital
modal
karakteristik
ciri
legitimasi
keabsahan
komprehensif
pemahaman
teks
wacana
loyal, loyalitas
setia, kesetiaan
memonitor
memantau
memprovide
menyediakan
mendistribusikan
membagikan
mengetes
menguji
mengevakuasi
mengungsikan
Opini
pendapat
opsi
pilihan
196
Otentik
asli
otoritas
wewenang
partisipasi
keikutsertaan
pentransferan
pengalihan
Polusi
pencemaran
populasi
penduduk
Realitas
kenyataan
regulasi
peraturan
Relatif
nisbi
respek
menghargai
Sains
ilmu pengetahuan
sensitif
peka
Servis
layanan
simbol
lambang
Situasi, kondisi
keadaan
taktik
siasat
temperatur
suhu
temporer
sementara
tendensi
kecenderungan
tensi
ketegangan
Sumber: Kamus Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Dari data sederhana di atas, tampaknya ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali ke bahasa Indonesia yang murni, demi memartabatkannya di negeri sendiri. Bagaimana bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa persatuan jika di negeri sendiri sudah terpinggirkan. Ini menjadi tugas kita semua, masyarakat Indonesia, untuk lebih giat mengembangkan serta menggunakan kosa kata Indonesia murni. CENTANG- PERENANG WARNA BAHASA INDONESIA Jika ada yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia sekarang sebagai bahasa centang perenang yang sakit identitas, maka pernyataan tersebut hendaknya dianggap sebagai satu bentuk apresiasi terhadap bahasa Indonesia. Seorang profesor pengamat politik Indonesia, Anderson (dalam Munsyi, 2005: 39) menyatakan bahasa Indonesia sebagai a hodge-podge of irrational gobbledygook, bahasa capcay yang berbelit-belit dan membingungkan lagi tidak masuk akal. Mari kita buktikan pendapat sang profesor dengan memindai beberapa surat kabar, seperti Kompas, Jawa Pos, dan Kontan. Berikut beberapa kata dan istilah yang dipindai. Kompas, 26 Januari 2013. Kasus Ninik Jangan Hanya Dipadang Yuridis Formal, hlm. 1. Pada isi berita tertulis kalimat “ Dari rekonstruksi di TKP diketahui bahwa tersangka dalam keadaan ………Pada halaman tiga terdapat berita dengan judul “ Choel Akui Terima Uang”. Pada isi berita terdapat kalimat “ Pertemuan face to face antara Choel dan Herman Prananto, direktur PT Global Daya manunggal dilakukan sebanyak dua kali”. 197
Jawa Pos, 4 Desember 2012. Kesempatan kenal Banyak Orang, hlm. 30. Pada isi berita tertera kalimat “……Anggota tim humas Polsek Klojen yang punya andil besar dalam menyukseskan kampanye safety ridding, selalu menyiapkan statemen untuk dirilis pada acara jumpa pers. Rachman, Eileen & Savitri Sylvana. 26 januari 2013. Kreatif. Kontan, hlm. 33. Ditemukan kalimat sebagai berikut. “ ……Hanya saja kenyataan untuk menebarkan mindset tidak ada. Jadi, bersikap dan berpikir kreatif justru perlu dianggap sebagai way of life dan way of thinking kita. …… Para ahli dan peneliti kini juga lebih leluasa untuk melakukan dua penelitian sekaligus. Tinggal menggoogle semua informasi yang relevan serta mengupdate pengetahuan kita. Jiwa entrepreneurship harus kita budayakan. Dari beberapa contoh kata dan istilah yang dipindai dari surar kabar di atas, terbersit keingintahuan pembaca, apakah redaktur tidak tahu padanan kata Indonesianya atau memang sengaja tidak mau menggunakannya. Padahal istilah rekonstruksi sudah ada padanannya yaitu reka ulang. Face to face akan lebih mudah dipahami dengan empat mata. Safety ridding bisa menjadi aman berkendara, statemen menjadi pernyataan. Dirilis menjadi diluncurkan. Rupanya penggunakan istilah asing sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia. Pada contoh surat kabar ketiga, pembaca dibuat berdecak kagum pada hasil tulisan tersebut. Sangat keren! Begitu remaja kita sekarang menyebut sesuatu yang bagus. Banyak sekali istilah asing yang digunakan, dan jelas-jelas istilah tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah mindset bisa digantidengan pola pikir, way of life dan way of thinking diganti dengan pandangan hidup dan cara berpikir, entrepreneurship dengan kewirausahaan. Dari beberapa contoh di atas, memperlihatkan apa yang disebut oleh Profesor Anderson kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa gado-gado, bahasa capcay, bahasa ikut-ikutan yang berasal dari kesalahan yang centang –perenang adalah benar. Centang-perenang bahasa Indonesia pun semakin lengkap setelah dicampur aduk oleh orang Indonesia sendiri. Kata berikut menggelitik namun dapat mengundang daya tarik masyarakat pemakai bahasa untuk mencipta kata serupa. “Angkotway di Margonda untuk Mengurangi Kemacetan”. Akronim angkot dengan kata way digunakan sebagai istilah yang bermakna jalur angkutan kota. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah busway, yang mungkin mengilhami munculnya istilah tersebut. Bukan tidak mungkin jika kemudian akan lahir istilah bajajway, motorway, becakway dan way-way yang lain.
198
Dari fenomena tersebut muncul rasa masygul, jangan-jangan ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 satu bangsa Indonesia, satu tanah air Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia sudah berganti baru, seperti yang diplesetkan oleh sastrawan Remy Sylado dengan “satu nusa, satu bangsa dua languages”. Mengacu pada kenyataan yang tersebut di atas, tampaknya sikap bahasa masyarakat Indonesia adalah salah satu faktor yang menentukan kegagalan atau keberhasilan pelaksanaan kebijakan bahasa nasional. Pada dasarnya kebijakan bahasa nasional adalah pernyataan sikap nasional terhadap bahasa. Dalam pelaksanaannya diperlukan keseimbangan antara sikap bahasa dan perilaku bahasa. Dalam hal ini, bagaimana kita memelihara identitas bahasa Indonesia serta meningkatkan kemampuan para pemakainya, bila sikap para pemakai bahasa Indonesia saat ini cenderung “mendua”. Dikatakan mendua karena kosa kata yang dipakai tidak bercita rasa murni Indonesia. Pada satu ketika pemakai bahasa menggunakan kata Indonesia yang keasing-asingan, namun di ketika yang lain kata-kata yang digunakan adalah kata asing yang keindonesiaindonesiaan. Inilah sikap yang tidak memartabatkan bahasa Indonesia itu sendiri. Dengan demikian kesetiaan menggunakan bahasa Indonesia mutlak diperlukan, karena bahasa Indonesia adalah kebanggaan, jati diri orang Indonesia. Bukan malah bangga dengan menggunakan istilah asing sehingga istilah bahasa negeri sendiri akhirnya tergerus dan kalah dalam persaingan pemakaia kosa kata.
DAFTAR RUJUKAN Ali, Mohammad. 2009. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: IMTIMA Alwi, Hasan, dkk. 2010 Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arifin, Hudi. 2012. Hubungan Antara Motivasi Belajar, Strategi Belajar dan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri Pacitan Tahun Pelajaran 2011/2012. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs Unisma. Data, Mochtar. 2012. Penulisan Karya Ilmiah, (Tayangan Visual). Malang: Unisma. Depdiknas. 2009. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa. Jawa Pos, 4 Desember 2012. Kesempatan kenal Banyak Orang, hlm. 30
Kompas, 26 Januari 2013. Kasus Ninik Jangan Hanya Dipadang Yuridis Formal, Hlm, 1. 199
Koran Pendidikan. 1 – 7 Desember 2011. Teenagers Journalism. Daur Ulang? Why Not?, hlm. 21. Kridalaksana, Harimukti. 2007. Perkembangan Kosa Kata Bahasa Indonesia. Setengah Abad Bahasa Indonesia (Yusuf Abdulah, Ed.). Jakarta: Idayus Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Gramedia. Rachman, Eileen & Savitri Sylvana. 26 januari 2013. Kreatif. Kontan, hlm. 33. Rakhmat, Jallaludin. 2009. Retorika Modern. Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soedarsono, Soecipto. 2010. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta:Gramedia. Susanto & Darmawan, Hika. 2010. Memupuk Semangat Kebangsaan. Jakarta:Dikdasmen
200
TINDAK TUTUR GURU DALAM PEMBELAJARAN MENULIS BAHASA INDONESIA Nur Fajar Arief Universitas Islam Malang
[email protected] ABSTRACT Speech act can communicate, interact, and delivering the message produced by the teacher as the sender to the student as the receiver. The characteristic of speech act could be predicted that the learning is dynamic, pleasant, and promoting the inclusion, or on the contrary, the learning is boring and monotonous. What and how the teacher’s speech act on the learning context? The article explain from the point of view of teaching learning interaction in the class (classroom interaction) and the classroom discourse. Key words: speech act, leasrning, classroom discourse
PENDAHULUAN Pengkajian tindak tutur dalam wacana kelas telah banyak dilakukan baik berupa pengembangan teori/konstruk yang diverifikasi melalui berbagai sudut pandang, pengamatan-pengamatan, ataupun penelitian terapan terhadap tindak tutur (dengan segala aspeknya) dalam situasi tutur belajar mengajar di kelas. Beberapa hasil pengkajian tersebut dikemukakan sebagai berikut. Barnes (1969) dalam pengamatannya mengemukakan adanya keterhubungan (diistilahkan “mata rantai”) antara pola tindak tutur guru dan pola belajar (bertindak tutur) siswa selama pembelajaran berlangsung. Misalnya ketika guru melakukan tindak pemancingan, maka pemusatan interaksi instruksional yang intensif terjadi pada diri siswa sehingga menimbulkan respon dalam bentuk tindak tertentu. Sejalan dengan hal ini, Ashner dan Taba (dalam Wibisono, 1991:25) berargumentasi bahwa dalam kelas terjadi pola tindak yang simultan atau transaksi aktif antara guru dan siswa, dan frekuensi transaksi aktif inilah yang sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan siswa . Istilah “transaksi aktif”, oleh Hanafi (1984:55) disebut sebagai “kontrak” antara guru dan siswa yang saling mengikat dalam aktivitas belajar. Dalam hal ini jika pada saat tertentu siswa tidak termotifasi dan terdorong oleh tindak tutur guru, maka sebenarnya terjadi pembatalan/penyimpangan kontrak. Oleh karena itulah, dalam rangka pencapaian hasil yang optimal, partisipan interaksi verbal di kelas
harus senantiasa menggunakan 201
aturan- aturan yang mereka pahami bersama tentang bagaimana menyampaikan pesan dan memberikan respon, bagaimana bertanya jawab, bagaimana memberikan penghargaan/ penguatan, dan sebagainya (Soeseno dalam Soenjono, 1987:239). Cazden dan Hymes (1972) mengamati dua hal, yaitu (1) bagaimana hubungan antara tingkah laku dan pengalaman berbahasa secara komunikatif dan (2) bagaimana suatu bentuk bahasa menandai strategi kognitif siswa. Sebelumnya Gallagher dan Aschner (1963) melakukan hal yang sama dengan dasar klasifikasi strategi kognitif, meliputi (1) ingatan (memory), (2) kebiasaan (routines), (3) konvergen-divergen (convergent-divergent), dan (4) berfikir secara evaluatif (evaluate thinking). Kedua pengamatan ini menghasilkan suatu temuan bahwa kualitas berpikir siswa (termanifestasi dalam tindak tutur siswa) sangat bergantung pada struktur wacana guru dalam kelas, yang sekaligus merefleksikan proses korespondensi pola pikir antara guru dan siswa. Berkaitan dengan hal tersebut, Rivers (1987:4) mengemukakan “through interaction, student can increase their language store”. Penelitian terapan tentang tindak tutur dalam wacana kelas di anta-ranya dilakukan oleh Tsui Bik May (1982). Penelitiannya difokuskan pada berbagai tindak tutur guru, dengan tujuan untuk membuktikan bahwa masukan data bahasa diperoleh dari pemeran interaksi terpenting, yaitu guru. Dua pendapat yang dijadikan dasar yaitu (1) pandangan Krashen (1981) yang mengatakan bahwa dalam situasi berbahasa kelas, terjadi proses pe-merolehan dan pembelajaran secara simultan dan (2) pandangan Selger (1977) yang menyatakan bahwa dalam proses belajar bahasa seorang pembelajar (high input generator ataupun low input generator) yang menggunakan lingkungan bahasanya secara aktif dan selalu mengadakan hubungan di antaranya, akan memperoleh kualitas kompetensi lebih baik dari pada yang lain. Tsui Bik May menganalisa hal tersebut, dengan dasar pijakan me-liputi (1) pola interaksi verbal (tindak tutur guru dan siswa), (2) masukan data bahasa yang diproduksi oleh guru serta efeknya terhadap keluaran siswa, dan (3) modifikasi masukan dan interaksi agar dapat berlangsung efektif, efisien, dan komprehensif. Hasil penelitiannya berupa kesimpulan bahwa (1) tindak tutur guru mempunyai porsi yang dominan di kelas (75 % di antaranya adalah prakarsa guru) dan (2) masukan dan keluaran siswa dapat berlangsung maksimal sepanjang guru memfokuskan tindak tuturnya secara komunikatif, konstan, dan dalam interaksi yang dimengerti oleh siswa (tidak semata-mata memfokuskan pada bentuk linguistik yang benar). Oleh karena itu pada akhir penelitiannya ia mengklaim bahwa kelas merupakan tempat atau setting yang tepat dalam rangka masukan komprehensif bagi siswa dan pencapaiannya dilakukan melalui modifikasi interaksi oleh guru. Lebih lanjut dikatakan “the classroom can be an exellent place for L2 acquisition,... teacher can begin to think of way
202
realizing the potiented of classroom for it, and begin awareness of the kind of input and the kind of interaction”. PEMBELAJARAN DI DALAM KELAS Kata pembelajaran secara semantis mencakup membelajarkan (teaching) dan belajar
(learning). Membelajarkan
membimbing,
mengelola,
(teaching)
mengorganisasikan,
lebih
mengarah
menyampaikan,
pada
pengertian
menanamkan,
dan
memindahkan sesuatu kepada pembelajar. Belajar (learning) merupakan proses melihat, mengenal, mengamati, dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Sedangkan secara konseptual pengertian pembelajaran dalam kelas mencakup beberapa konsep dasar meliputi (1) proses timbal balik, (2) pola aktivitas, (3) komunikasi aktif, (4) pengelolaan belajar, (5) variasi peran belajar, dan (6) kegiatan interaktif, aksional, dan transaksional yang mempertimbangkan aspek tujuan, isi, metode, dan evaluasi pengajaran. Berikut salah satu tabel yang menggambarkan skema hubungan perilaku antara guru dan siswa, siswa dan siswa, serta siswa dan guru pada saat proses belajar mengajar dalam kelas berlangsung. Tabel 1 Skema Hubungan Tingkah Laku Verbal Cohan
Tingkah laku guru yang dirasakan
Kemungkinan mempengaruhi siswa
Pengaruh alamiah dan peningkatan
Tingkah laku siswa
1. Motivasi siswa 2. Komunikasi Siswa dengan siswa 3. Pengalaman siswa dalam kelas
Menyebabkan perubahan peran pada siswa (kreatif-produktif)
Interaksi antara guru dan siswa di dalam kelas ditinjau dari segi hasil yang akan dicapai, dibedakan menjadi dua hal yaitu (1) transfer pengetahuan (transfer of knowledge) 203
dan (2) transfer nilai-nilai (transfer of values). Inilah yang selanjutnya berkembang pada pemikiran bahwa guru di dalam kelas bekedudukan ganda sebagai pengajar dan pendidik. Pada kenyataannya, memang keberlangsungan proses yang mengarah pada hasil akhir tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut. Faktor guru, keberadaan guru dalam interaksi edukatif dapat dikaitkan secara langsung dengan fungsi-fungsinya antara lain sebagai motivator, katalisator, fasilitator, dinamisator, konselor, dan sebagainya. Masing-masing fungsi ini dipengaruhi pula oleh kompetensi (penetahuan) dan performansi (keterampilan) dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Paling tidak seorang guru harus mampu (1) menguasai bahan, (2) mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media/sumber, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program layanan bimbingan/penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (10) memahami karakteristik siswa. Faktor siswa,
karakteristik siswa merupakan hal yang paling esensi harus di-
perhatikan ketika seorang guru melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Pandangan tradisional yang cenderung skeptis dengan menghubung-hubungkan antara keadaan siswa dan prestasi dari sisi letak geografis serta kemajuan masyarakat lokal, seharusnya mulai dihilangkan oleh karena justru akan menghambat tingkat motivasi belajar siswa itu sendiri. Kata “karakteristik” siswa yang lebih dekat maknanya pada “pola kelakuan dan kemampuan” hasil pembawaan dan pengaruh lingkungan sosial, dibedakan antara lain (1) latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan, (2) gaya belajar, (3) usia kronologi, (4) tingkat kematangan, (5) spektrum dan ruang lingkup minat, (6) lingkungan sosial ekonomi, (7) hambatan-hambatan lingkungan dan budaya, (8) intelengensi, (9) keselarasan dan sikap, (10) prestasi belajar, dan (11) motivasi. Faktor aktivitas, variasi aktivitas atau kegiatan dalam kelas menurut beberapa pandangan ahli psikologis sangat signifikan berpengaruh pada keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan proses belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa situasi kelas akan terasa lebih “hidup” jika siswa dikondisikan belajar melalui aktivitas yang beragam. Beberapa jenis aktivitas ini antara lain: 1. Aktivitas Visual (visual activities), misalnya membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, memahami pekerjaan orang lain. 2. Aktivitas Lisan (oral activities), misalnya menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. 3. Aktivitas Mendengarkan (listening activities), misalnya mendengarkan uraian, percakapan, musik, pidato. 204
4. Aktivitas Menulis (writing activities),
misalnya menulis cerita, karangan, laporan,
angket, menyalin. 5. Aktivitas Mendesain (drawing activities), misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram. 6. Aktivitas Motorik (motor activities),
misalnya melakukan percobaan, membuat
konstruk-si, model mereparsi, bermain, berkebun, beternak. 7. Aktivitas Mental (mental activities), misalnya menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil keputusan. 8. Aktivitas Emosional (emotional activities), misalnya menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. TINDAK TUTUR GURU DALAM WACANA KELAS MENULIS Sebagai suatu sarana, tindak tutur (speech act) dapat mengkomunikasikan, menginteraksikan, dan menyalurkan pesan yang disampaikan oleh guru sebagai pengirim (sender) kepada siswanya sebagai penerima (receiver). Dalam hal ini, Nababan (1978) mengemukakan bahwa tindak tutur yang sesuai dengan keadaan siswa akan sa-ngat membantu penyerapan pesan tersebut. Karakteristik tindak tutur (speech act) guru merupakan salah satu faktor yang me-nentukan pemerlain atau corak keberlangsungan proses belajar mengajar di kelas. Berdasarkan karakteristik tindak tutur (speech act) pula, dapat diprediksikan apakah inter-aksi belajar mengajar berlangsung dinamis, menyenangkan, dan menggambarkan keterli-batan, ataukah monoton, menjengkelkan, atau membosankan. Lebih jauh lagi, dari inter-aksi verbal (verbal interaction) tersebut, dapat ditentukan strategi
yang
digunakan guru dalam mengelola kelas, yaitu strategi pemusatan aktivitas pada siswa melalui prakarsa (initate) guru dan respon (responses) dari siswa. Berkaitan dengan hal tersebut, dipahami bahwa proses belajar mengajar merupakan proses komunikasi antara guru sebagai pemrakarsa atau penutur, murid sebagai perespon atau petutur, dan bahan pengajaran sebagai topik tutur. Keberadaan tindak tutur dalam peristiwa bahasa interaksi antarkomponen tersebut, sudah semestinya dapat membangkitkan aktivitas belajar, memancing pola pikir dan ujar kreatif, memerikan konsep abstrak,
menajamkan
pemahaman, memberikan pengalaman
berbahasa, selain fungsinya yang utama sebagai sarana verbal dalam menyampaikan bahan pelajaran (topik tutur). Dalam kenyataannya, tidak jarang kita dapati suatu gejala bahwa kemampuan guru dalam bertindak tutur secara monoton, monolog, dan menggunakan katakata yang sulit dipahami, menyebabkan proses belajar mengajar berlangsung menjengkelkan dan 205
membosankan. Gejala ini di satu sisi menyebabkan kualitas, kuantitas, relevansi, dan kejelasan pesan relatif berkurang, sedangkan di sisi lain, tidaklah menutup kemungkinan menyebabkan gagalnya proses belajar mengajar itu sendiri. Berkaitan dengan kemampuan guru dalam bertindak tutur, diasumsikan ada dua prinsip yang harus dipertimbangkan guru dalam menciptakan interaksi, yaitu (1) prinsip keterterimaan, yaitu kecermatan guru dalam mengkomunikatifkan perbincangan sesuai dengan latar, topik, koherensi, kreasi, hubungan sosial siswa, serta hubungan psikologis siswa, dan (2) prinsip ketersesuaian, yaitu ketepatan guru dalam memilih (yang mana) dan menggunakan (kapan, di mana, dan dalam situasi yang bagaimana) jenis tindak tutur tertentu. Keberlangsungan kedua prinsip ini mengarah pada tingkat kekomunikatifan wacana kelas dalam suatu situasi berbahasa (speech event). Tindak tutur (speech act) dalam lingkup wacana kelas (classroom discourse), dengan pemaduan kedua prinsip di atas dapat membangkitkan dialog antar individu (inter-individual),
yang
secara
simultan
membentuk
dialog
internal
individu
(intra- individual). Hubungan inilah yang diistilahkan oleh Barnes sebagai perubahan dari perca-kapan
ke kognitif (from convertation to cognition). Perwujudannya berupa
perubahan tingkah laku belajar siswa, misalnya merangsang pikiran siswa untuk aktif mengolah pe-san, merangsang perasaan dan
perhatian siswa untuk merespon, dan
kejelasan kon-sep pesan secara visual pada diri siswa. Bloom (1979) mengklasifikasikan perubahan tersebut menjadi tiga bagian, yakni (1) hasil belajar kognitif: mengenal, memahami, mengaplikasi, menganalisa, mensintesis, dan mengevaluasi, (2) hasil belajar psikomotor: kemampuan
persepsi,
kemampuan ge-rakan yang disertai skill, dan komunikasi yang bersifat berkelanjutan, dan (3) hasil belajar afektif: penerimaan, responsi, pengorganisasian dan internalisasi nilai. Interaksi kelas yang ditandai dengan adanya komunikasi multi arah, antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru, dalam proses belajar mengajar secara simultan membentuk wacana kelas (classroom discourse). Sementara pelaksanaannya tercermin dalam pola umum perbuatan guru-siswa, yang bertitik tolak pada tiga kegiatan kurikuler, yakni (1) kegiatan intrakurikuler, (2) kegiatan kokurikuler, dan (3) ke-giatan ekstrakurikuler Selanjutnya dalam membentuk pengetahuan komprehensif pada siswa, seorang guru selalu berusaha memodifikasi interaksi melalui perpindahan dari satu jenis tindak (act) ke tindak tutur lainnya. Minimal, seorang guru memiliki pengetahuan tentang bagaimana memberikan informasi kepada siswa sehingga menjadi mudah dipahami, bagaimana mengarahkan dan mendorong siswa untuk terlibat dalam pengajaran, bagai-mana
memancing
pertanyaan siswa dan memberikan penguatan ataupun 206
pemeriksaan terhadap balasan tersebut, bagaimana memulai
suatu
pelajaran,
memberikan batas-batas peralihannya, dan bagaimana menutup suatu pelajaran, serta beberapa perilaku lainnya yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan wacana kelas (classroom discourse). Suyono (1990:16) menyebutnya sebagai "pengetahuan bersama" yang di-miliki oleh kedua belah pihak tentang "sesuatu", sehingga isi dan bentuk tindak tutur yang digunakan wajar, dan dapat diterima oleh keduanya. Jadi yang dimaksudkan tindak tutur (speech act) guru adalah semua perilaku guru secara verbal (verbal act) yang dilakukan guru pada saat mengajar di kelas, dan tercermin dalam keinteraktifan wacana yang dibentuknya. Berbagai penelitian dan pengamatan tentang tindak tutur (speech act) guru dan siswa dalam wacana kelas (classroom discourse) telah banyak dilakukan, misalnya pengamatan yang dilakukan oleh Austin (1962), J. Searle (1965), Bellack (1968), Barnes (1968), Flanders (1970), Moskowitz (1971), Cazden (1972:1986), Giglioli (1973), Grice (1975), Larsen-Freeman (1976), Sinclair dan Coulthard (1978), Coulthard (1979), Long (1981), Bell (1983), Levinson (1983), Leech (1986), dan Hatch (1992). Ataupun beberapa penelitian yang telah dilaksanakan oleh Halliday (1976), Jones (1977), van Ek (1980), Shuy dan Griffin (1981), Reisner (1983), Amy (1985), Arfah A. Aziz dan Shirley Lim (1987), dan lain-lain (lihat Hacth 1992). Pada bagian akhir tulisan ini, dikemukakan rangkuman berbagai jenis tindak tutur guru, yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam melaksanakan proses belajar mengajar di dalam kelas. SIMPULAN Berdasarkan uraian sebelumnya, dapatlah dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Terdapat “mata rantai” antara pola tindak tutur guru dan pola belajar (bertindak tutur) siswa selama pembelajaran menulis dalam kelas berlangsung. Keterhubungan ini dipelajari dan diperoleh siswa melalui “kontrak transaksi aktif” selama interaksi verbal dalam kelas terjadi. 2. Strategi dan struktur wacana kelas sekaligus merefleksikan proses korespondensi pola pikir antara guru dan siswa. Masukan bahasa yang diperoleh dimodifikasi sedemikian rupa melalui kompetensi berbahasa siswa sehingga pada akhirnya menjadi pengalaman berbahasa secara komunikatif. 3. Pembelajaran di dalam kelas mencakup beberapa konsep dasar, yaitu (1) proses timbal balik, (2) pola aktivitas, (3) komunikasi aktif, (4) pengelolaan belajar, (5) variasi peran belajar, dan (6) kegiatan interaktif, aksional, serta transaksional. 207
4. Keseluruhan struktur dan modifikasi tindak tutur guru dan siswa membentuk wacana kelas yang secara komprehensif mempengaruhi hasil belajar kognitif, psikomotor, dan afektif siswa. 5. Tindak tutur guru dalam wacana kelas menulis , meliputi tindak (1) prawacana/ pengantar, (2) perintah, (3) informasi, (4) pemancingan, (5) pemeriksaan, (6) arahan, (7) penawaran, (8) dorongan, (9) petunjuk, (10) isyarat, (11) pertanyaan terbatas, (12) pertanyaan tak terbatas, (13) penunjukkan, (14) penerimaan, (15) penolakan, (16) meminta balsan, (17) komentar, (18) penilaian, (19) penandan, (20) penyimpulan, dan (21) humor.
DAFTAR RUJUKAN Austin, J.L. 1975. How To Do Things with Words. Harvard: Harvard University Press. Allwright, Dick. 1986. “Classroom Observation: Problems and Possibilities” dalam Bikran K.Das. Patterns of Classroom Interaction In South East Asia. Singapore: Contin-ental Press. Arief, Nur Fajar.1992. Tindak Tutur Guru dalam Interaksi Belajar Mengajar di SMA se Kota-madya Malang Tahun 1992. Skripsi: Tidak Dipublikasikan. Amy, Tsui Bik May. 1982. “Analyzing Input and Interaction In Second Language Classrooms” dalam RELC Vol.16 No. 1. Singapore : Regional Language Centre. Amidon, Edmund and Elizabeth Hunter 1966. Improving Teaching Analyzing Verbal Interaction The Classroom. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Amidon, Edmund and Elizabeth Hunter. 1967. “Verbal Interaction In The Classroom: The Verbal Interaction Category System” dalam Amidon-Hugh. Interaction Analy-sis: Theory, Research, and Application. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Bellack (et al). 1969. The Language of The Classroom. New York: Teacher College Press. Brown, Gillian and George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
208
THE USE OF PORTFOLIO ASSESSEMENT THROUGH PROBLEM BASED LEARNING APPROACH TO IMPROVE THE WRITING ABILITY Syawal dan Amaluddin Universitas Muhammadiyah Pare-Pare Sulawesi Selatan e-mail:
[email protected] e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
The Use of Portfolio Assessment through Problem Based Learning Approach to Improve the Writing Ability of the Second Semester Students of English Department Students at FKIP Universitas Muhammadiyah Parepare. This research is aimed at finding out: (1) the extent of applicating portfolio assessment through problem based learning approach in English Department of FKIP UMPAR, (2) the obstacles in applying the portfolio assessment through problem based learning approach for English Department of FKIP UMPAR. Related to the aims of the research, a quasi-experimental method was carried out. The population was the second semester students of English department at FKIP UMPAR. Two classess choose randomly as sample. As the result, the experimental group consisting of 30 students while the control group consisting of 30 students. The instruments for collecting the data were a questionnaire on writing interest and a writing test. Keywords: Portfolio assessment, problem based learning, expository teaching Background Learning Writing in University of Muhammadiyah Parepare is still dominated by expository education and oriented to the final test, so, in learning process the students always as an object of the lecture speech. Based on the discussion with some fresh students, up to now, the students just listen and accept the explanation without giving them chance to express their idea. After that, the students are given assignment which only related to their cognitive skill. Task or assignment is not always evaluated or discussed with the students, so the students do not know their result. This condition does not effective for students to enrich their knowledge (learning to do) by increasing their interaction to the environment. Moreover, it cannot encourage students’ comprehension and knowledge to their surrounding (learning to know). In addition, they do not have chance to build their knowledge and confidences (learning to be), also their interaction to
209
another personality or group (learning to live together) in the society (Depdiknas, 2004: 910). Based on the explanation above, the researcher promote the teaching method as an alternative to overcome the difficulties faced by the students and also to overcome the low of the national education quality, also to make the learning process in UMPAR especially in writing becomes more innovative, by using Portfolio assessment and Problem Based Learning as a learning method. Based on the previous study, the following statements are formulated to be question: 1. To what extent does the application of portfolio assessment through problem based learning approach improve the writing ability of the second semester’s students of English department of FKIP UMPAR? 2. What are the obstacles faced in applying portfolio assessment through problem based learning approach to the second semester students of English department of FKIP UMPAR? The objectives of this study are: 1. To describe how extent the application of portfolio assessment through problem based learning approach in English Department of FKIP UMPAR. 2. To explain the obstacles in applying the portfolio assessment through problem based learning approach for English Department students’ of FKIP UMPAR. Writing ability a. Concept of writing Writing is basic skill that can be developed by everyone through application and practice. It is the way to express an idea, opinion, science or to introduce one’s culture to another country, etc. Some experts have different definition about it. Some of them are: 1) Hornby (1995:1383) states that writing is an activity or occupation of writing e.g. books, stories, or articles. 2) McCrimmon (1984: 6) states that writing is hard work, but writing is also an opportunity to convey something about ourselves; to communicate ideas to people our immediately vicinity, to learn something we did not know. b. Types of writing Horn and Rosman in Kasmawati (2004: 5) divided writing into three kinds, as follows: 210
1) Narration 2) Description 3) Exposition Local school directory (2009) stated that there are five types of writing, three of them have been explained above and two of them are as follow: 1) Technical writing 2) Persuasive writing c. The components of writing According to Jacob et. al, in Sitti Rahma (2001:20) states that there are five components of writing, namely content, organization, vocabulary, language use, and mechanics. 1) Content 2) Organization 3) Vocabulary 4) Language Use 5) Mechanics d. Writing process The term process of writing has been bandied about for quite a while in ESL. It is no more than the writing process approach to teaching writing (Oak, 2008) 1) Mental Capacity 2) Prewriting 3) Systemic drafting 4) Revising 5) Editing Portfolio Assessment a. Definition of Portfolio According to Paulson and Meyer, CA. (1991, February) A portfolio is a purposeful collection of student work that exhibits the student's efforts, progress, and achievements in one or more areas of the curriculum. The collection must include the following: 1) Student participation in selecting contents. 2) Criteria for selection. 3) Criteria for judging merits. 4) Evidence of a student's self-reflection. The Use of Portfolio 211
Paulson and Meyer, CA. (1991) states that In this new era of performance assessment related to the monitoring of students' mastery of a core curriculum, portfolios can enhance the assessment process by revealing a range of skills and understandings one students' parts; support instructional goals; reflect change and growth over a period of time; encourage student, teacher, and parent reflection; and provide for continuity in education from one year to the next. b. The Characteristics of Portfolio Paulson and Meyer, CA. (1991), Portfolio assessment is a multi-faceted process characterized by the following recurrent qualities: 1) It is continuous and ongoing, providing both formative 2) It is multidimensional 3) It provides for collaborative reflection. c. Different Types of Portfolio Paulson and Meyer, CA. (1991) states that there are many different types of portfolios, each of which can serve one or more specific purposes as part of an overall school or classroom assessment program. The following is a list of the types most often cited in the literature: 1) Documentation 2) Process Portfolio 3) Showcase Portfolio d. The Phases of Portfolio In applying learning through portfolio, Paulson and Meyer, CA. (1991) devide them into three phases as follows: 1) Organization and Planning 2) Collection 3) Reflection e. Evaluating Portfolio Burke and Fogerty, (1994) state that in order for thoughtful evaluation to take place, teachers must have multiple scoring strategies to evaluate students' progress. Criteria for a finished portfolio might include several of the following: 1) Thoughtfulness 2) Growth and development 3) Understanding and application of key processes. 4) Completeness, correctness, and appropriateness of products and processes presented in the portfolio. 212
5) Diversity of entries Problem Based Learning a. Definition Barrows, H., and Kelson, A. C. (1995) stated that Problem-based learning (PBL) is an approach that challenges students to learn through engagement in a real problem. According to Barrows, H., and Kelson, A. C. (1995) the process is aimed at using the power of authentic problem solving to engage students and enhance their learning and motivation. The problem-based learning (PBL) process essentially consists of the following stages: (1) meeting the problem; (2) problem analysis and generation of learning issues; (3) discovery and reporting; (4) solution presentation and reflection; and (5) overview, integration, and evaluation, with self-directed learning bridging one stage and the next (Hmelo and Silver (2004)). b. Process involved in PBL Hmelo and Silver (2004) state that When one faced with a problem, an individual is likely to engage in the processes of clarifying, defining and reframing, analyzing, as well as summarizing and synthesizing the problem. Thus, effective problem solving in the real world involves the harnessing of cognitive processes that include the following: 1) “Planful” thinking. 2) Generative thinking. 3) Systematic thinking. 4) Analogical thinking. 5) Systemic thinking. c. Goals of PBL According to Hmelo and Silver (2004), the goal of PBL is include helping students to develop: 1) Flexible knowledge, 2) Effective problem-solving skills, 3) SDL skills, 4) Effective collaboration skills, and 5) Intrinsic motivation.
213
Barrows and Kelson, (1995) stated that PBL was designed with several important goals. It is designed to help students to; 1) Construct an extensive and flexible knowledge base 2) Develop effective problem-solving skills 3) Develop self-directed, lifelong learning skills 4) Become effective collaborators; and 5) Become intrinsically motivated to learn. 4. Obstacles in PBL According to Julie (1997:5), there are
some challenges with problem-based
learning. One challenge is that students who share a common first language may use that language rather than English when working in groups on the
assigned
problem. A second concern is that problem-based learning may not be appropriate for beginning or literacy level students whose English oral
and reading skills
are
minimal (Julie (1997:5). Teachers may face a different kind of challenge when they allow students to negotiate meaning and solve the problem among themselves, without teacher intervention (Julie (1997:5). Population There are many definitions of population. Saleh (2002:17) says that population is group of objects, events or indicators that become targets of the research. Meanwhile, Johnson, D.M (1987:110) stated that population is the entire group of entities or person to which the results of a study are intended to apply. Brown and Dowling (1998:33) also say that population is the notional class of possible subjects and it may be defined at any level of analysis. The population may be all the individuals of a particular type or more restricted part of that group The population of this research is the second semester of English Department of FKIP UMPAR in academic year 2011/2012. It consisted of five classes, they are II/a, II/b, II/c, II/d and II/e. The number of students in each class was varied from 30 to 35 students. So the number of population is 175 students. Sample The researcher used cluster random sampling technique to take the sample of the research. From the number of population, two classess randomly become sample of 214
research. They are II/c as experimental group and II/d control group which consist of 60 students. Findings 1. Data percentage of pre-test, the data obtained of the writing test of control and experimental group students. Shows the score classification of sudents’ pretest in writing competence. The frequency and percentage also accompany the classification. The control score shows that there are 11 (37%) of students got good, 16 (53%) of students got enough, 3 (10%) of students got poor classification, and no students is classified very good and very poor. The experimental shows that there are 8 (27%) of students got good, 16 (53%) of them got enough, 6 (20%) of them got poor, and 0 (0%) or no students got poor and very poor classification. It means that the result of pre-test was low before the students were treated with portfolio assessment through problem based learning. 2. Data percentage of post-test, the data obtained of the writing test of control and experimental group students. Shows the score classification of students’ control and experimental group in writing competence. The post-test score of control group shows that 0 (0%) of students got very good, 18 (60%) of students got good, 12 (40%) of students got enough, 0 (0%) of students got poor and 0 (0%) or no students got very poor classification. The post-test of experimental group shows that 8 (27%) of students got very good, 21 (70%) of them got good, 1 (3%) of them got enough, and 0 (0%) or no students got poor and very poor classification. It means that the result of post-test was improve after the students were treated with portfolio assessment through problem based learning. 3. The mean score, standard deviation and t-test of students’ pretest The mean score and standard deviation of experimental and control groups shows that the mean score obtained by the students in experimental group, 65.85 is lower than the control group, 66. It means that the mean scores of the pretest obtained by the students in both groups are different. It is found that the t-table was 1.671 by probability sig. (one tailed) 0.05 and t-test was -0.24. It means that ttest is lower than t-table or the probability is lower than 1.671 as the level of significance for one tailed test, -0.24 < 1.671. The data of pretetst indicated that the statstical hypothesis of H0 was accepted and statistical of H1 is rejected. 4. The mean score, standard deviation and t-test of students’ posttest 215
The mean score and standard deviation of both groups shows that the mean score obtained by the students in experimental class, 80.59 is higher than the control group, 71.3. It means that the mean scores of the posttest obtained by the students in both groups are different. It is also found that the t-test was 5.76 by probability sig. (one tailed) was 1.671 or t test is higher than 1.671 as the level of significance for one tailed test, 5.76 > 1.671. The data of posttest indicated that the statstical hypothesis of H 0 was rejected and statistical of H1 is accepted. 5. Hypothesis testing The result of the-test analysis from pretest showed the achievement pretest df = 58, t = -0. 24 α = 0.05 and the result of the t-test analysis from posttest showed that df = 58, t = 5.76. α = 0.05. the result of t-test analysis both of using problem based learning and using expository teaching showed that the writing competence of the second semester students of English Department at FKIP UMPAR improve after they were taught through Problem Based Learning. The researcher concluded that Null Hypothesis (H0) is rejected. However alternative Hypothesis (H1) is accepted, it means that the writing competence of the second semester students of English Department at FKIP UMPAR improves after they were taught through problem based learning. 6. The obstacle found in applying portfolio assessment through problem based learning There are some challenges with problem-based learning. One challenge is that students who share a common first language may use that language rather than English when working in groups on the assigned problem. This difficulty can be addressed by placing students of different language backgrounds in the same group. A second concern is that problem-based learning may not be appropriate for beginning or literacy-level students whose English oral and reading skills are minimal. One way to address this concern is to place students with stronger and weaker language skills in the same group, thus allowing those with weaker skills to hear the language and observe the learning strategies of the stronger students, while giving more proficient students opportunities to engage in interactions and negotiate meaning with their peers. Lecturers may face a different kind of challenge when they allow students to negotiate meaning and solve the problem among them, without lecturer intervention. Discussing as a class why problem-solving activities are useful for
216
students to carry out without the lecturers’ input may help to keep both students and lecturers on track. Discussion 1. To develop portfolio assessment and applying problem based learning in the teaching-learning of writing, the writer finds out that with the portfolio assesment, the students collect items that showcase their talents and then puts them in a large folder, blinder or even in the box. Portfolio assesment through problem based learning allow the information to be stored well in form of worksheet, digitally on a CD, or portable drive (e.g. flash drive), after scanned. 2. Portfolio assessment through problem based learning and non-problem based learning have strongths as well as weknesses. Nevertheless, students’ writing interest also plays an important role in achieving the goal of teaching writing. Such interest is essential for the learning process. From the characteristics that the problem based learning processes, it is suitable for the students who have writing interest. Their writing interests will help them develop the confidence to undertake a new learning activity or to venture into an unfamiliar intellectual domain such as publishing their works on-line or to a wider audience. Meanwhile, the expository teaching possesses characteristics that are nearly similar to the usual in-class writing instruction. The students, particularly unnterested students. They are not challenged to learn and nearly don’t have confidence to publish their work because they were affraid of being cheated because of their mistakes. Conclusion In this section, the conclusion presents the overall descriptions of the research result gained through an experimental research, the researcher puts forward conclusion as follows: 1. The use of portfolio assessment through problem based learning can improve the students’ writing ability. The writing ability of students’ who are treated with portfolio assessment performs better than students who are treated with nonproblem based learning (expository teaching). There are five components in writing recount text namely content, organization, vocabulary, language use and mechanics improved significantly after giving a test. Finding a better result on the writing, the students revised any words, grammatical errors, sentence correlation, and text organization. Therefore, it could be concluded that the second semester students of English Department of FKIP at Universitas Muhammadiyah Parepare
217
who were taught with portfolio assessment through problem based learning in terms of writing competence are positve category. 2. In applying portfolio assessment through problem based learning approach, there were obstacle faced by the researcher. It was the time allocation which only one and a half hour for every meeting. With this limited time allocation, it was difficult to apply all the stages or steps of PBL approach in teaching process. To anticipate this matter, the researcher then modify the five stages into three stages they were: (1) meeting the problem; (2) generating problem from students’ worksheet; and (3) evaluating/solving the problem. Moreover, another obstacle is that students who share a common first language may use that language rather than English when working in groups on the
assigned problem. This difficulty can be addressed by placing students of
different language backgrounds in the same group. A second concern is that problem-based learning may not be appropriate for beginning or literacy-level students whose English oral and reading skills are minimal. One way to address this concern is to place students with stronger and weaker language skills in the same group, thus allowing those with weaker skills to hear the language and observe the learning strategies of the stronger students, while giving more proficient students opportunities to engage in interactions and negotiate meaning with their peers. Another way is to pre-teach challenging vocabulary through reading and discussion. Teachers must carefully consider the problems and activities that students are involved in to ensure that the students with limited language and literacy understand and find solutions to the problems. In conclusion, in getting good result it must need more time and more power. Although, the application of Portfolio assessment through problem based learning approach is more difficult than non-problem based learning, but the result of studying process in post-test showed that Portfolio assessment through problem based learning approach is more effective than non-problem based learning.
218
BIBLIOGRAPHY Anni, Catharina Tri. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK
UNNES.
Anonym. 2009. Types of Writing (Online) (http. www. Local school directory.com, accessed on March 20, 2009) Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Penyusunan Kurikulum Ting kat Jenjang Pendidikan Dasar
Panduan
Satuan Pendidikan
dan Menengah. Jakarta.
Barrows, H., and Kelson, A. C.1995 Problem-Based Learning in and the Problem-Based Learning Institute
Secondary
(Monograph
1),
Education Problem-
Based Learning Institute, Springfield, IL. Brandt, R. 1989. On misuse of testing: A conversation with George Madaus.
Educational
Leadership, 46(6), 26-29.
219
MODEL BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA TULIS UNTUK ANAK JEPANG Jauharoti Alfin IAIN Surabaya
[email protected] ABSTRACT Indonesian Language teaching for Indonesian student is very different from BIPA (Indonesian Language for Foreign Speaker) because of different input, process, and output. Input related to a variety of age of students participating in learning Indonesian. It needs a way to be accepted by the BIPA learning students according to the desired destination.The main issue in this study is how the process of developing teaching materials Indonesian to Japanese students in Japanese schools of Surabaya. The development process use a model of development that adapting development R2D2 (Reflective, Recursive Design and Development) Willis. R2D2 produces three-step model of development, namely 1) the stage of defining / focusing, 2) design and development stage, and 3) dissemination phase. This research successfully develops teaching materials Indonesian to Japanese students in Japanese schools Surabaya. Keyword: teaching materials, BIPA, Japanese student PENDAHULUAN Dalam suatu sistem pembelajaran, ketersediaan bahan ajar merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat komponen pembelajaran yang terkait dan berpengaruh satu dengan yang lainnya. Secara umum dapat disebutkan bahwa komponen-komponen pembelajaran tersebut antara lain; (1) kurikulum,(2) pengajar, (3) pebelajar, (4) bahan ajar, (5) media pembelajaran, (6) metode dan teknik, (7) evaluasi. Komponen-komponen tersebut sama dengan komponen pembelajaran pada Bahasa Indonesia untuk penutur asing dalam hal ini siswa bilingual Jepang, yang membedakan adalah karakteristik dan skemata pebelajarnya. Latar belakang budaya yang dimiliki pebelajar Jepang serta skemata anak Jepang akan berpengaruh dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk itu latar belakang budaya pebelajar juga dapat diakomodasi dalam bahan ajar yang dipergunakan.
220
Pada proses belajar mengajar siswa dapat menggunakan berbagai macam sumber alternatif yang diantaranya sumber dari guru maupun dari bahan ajar. Bahan ajar yang digunakan oleh guru adalah bahan ajar yang mempunyai bentuk bahan dan struktur yang jelas serta berdasarkan kebutuhan siswa sehingga dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam merancang pembelajaran. Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan Gunter, Estes, & Schwab (1990: 46), bahwa guru adalah perencana juga pembangun pertumbuhan kompetensi siswa dalam tiga cara, yaitu (1) merencanakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa; (2) memformulasikan tujuan, dan prosedur assesmen/evaluasi; dan (3) memilih materi, prosedur penyajian, dan penyedia materi yang bervariasi. Berdasarkan
pendapat tersebut
dan hasil analisis kebutuhan di Sekolah Jepang
Surabaya, perlu dikembangkan sebuah bentuk bahan ajar Bahasa Indonesia tingkat dasar yang dapat dipergunakan oleh anak bilingual Jepang, bahan ajar bahasa Indonesia yang akan dikembangkan menggunakan skemata anak bilingual sebagai landasan berpikir pembelajaran bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan kriteria pengembangan yang ada. Penelitian pengembangan ini dilakukan juga untuk memberikan variasi tentang bahan ajar bahasa Indonesia tingkat dasar anak bilingual di Sekolah Jepang Surabaya yang terfokus pada proses, bentuk pengembangan bahan ajar serta kualitas bahan ajar bahasa Indonesia anak bilingual di Sekolah Jepang Surabaya. Berkaitan dengan hal di atas, masalalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah proses pengembangan bahan ajar keterampilan berbahasa Indonesia tulis untuk siswa bilingual Jepang-Indonesia?, (2) bagaimanakah hasil pengembangan bahan ajar keterampilan berbahasa Indonesia tulis untuk siswa bilingual Jepang-Indonesia?
METODE Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari Model Pengembangan R2D2 (Reflective, Recursive Design and Development) Willis. Model R2D2 menghasilkan tiga langkah pengembangan, yaitu: 1) tahap pendefinisian, 2) tahap desain dan pengembangan, dan 3) tahap diseminasi. Prosedur penelitian pengembangan ini didasarkan pada tiga komponen R2D2, yakni: (1) fokus penetapan, (2) fokus desain dan pengembangan, dan (3) fokus diseminasi yang dimodifikasi sesuai dengan konteks lingkungan pengembangan dan kebutuhan. Pada 221
fokus penetapan, kegiatan utamanya adalah penentuan tim partisipasi, pemecahan masalah berkelanjutan, dan pemahaman konteks. Fokus desain dan pengembangan meliputi kegiatan pemilihan lingkungan, pemilihan format dan media, penentuan dan pengembangan prototype produk, dan strategi evaluasi. Fokus diseminasi meliputi kegiatan untuk penyebaran produk penelitian. Penelitian ini masih sampai pada fokus desain dan pengembangan, khususnya sampai dihasilkannya prototype produk berupa bahan ajar BIPA tingkat dasar untuk anak Jepang.
Prosedur pengembangan selengkapnya dapat dlihat pada bagan berikut ini. 1. FOKUS PENETAPAN A. Penentuan Tim Partisipatif Peneliti Ahli Perancan Pembelajaran Ahli Media Pembelajaran Ahli Isi /BIPA Guru BI di SJS Siswa SJS B. Pengidentifikasian dan Pemecahan Masalah Survei awal di lapangan (wawancara, diskusi, dan penyebaran angket untuk mengidentifikasi masalah) Diskusi pemecahan masalah oleh tim partisipatif. C. Pemahaman Konteks Studi Pustaka Identifikasi Karakteristik Sekolah dan Siswa Analisis 2. FOKUS DESAIN & PENGEMBANGAN A. Pemilihan Media dan Format Media yang dipilih berupa buku teks dengan format bahan dan tugas otentik yang muncul dari diskusi dengan guru dan siswa serta dari pandangan mengenai literatur dan eksplorasi materi pembelajaran BIPA B. Pemilihan Lingkungan: C. Pengembangan Prototipe Produk
Bagan 1 Prosedur Penelitian Pengembangan Bahan Ajar BIPA
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dipaparkan dua hal berkaitan dengan pengembangan produk penelitian, yaitu (1) proses pengembangan bahan ajar, (2) hasil pengembangan bahan ajar. 222
Proses Pengembangan Bahan Ajar Proses pengembangan bahan ajar dalam penelitian ini dikembangkan melalui dua tahapan. Kedua tahapan tersebut adalah (1) pemfokusan dan (2) perencanaan dan pengembangan. Tahap Pemfokusan Fokus penetapan yang dilaksanakan bertujuan menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran. Kegiatan fokus penetapan dalam penelitian ini mencakup dua aktivitas, yaitu: (1) identifikasi dan pemecahan
masalah dan (2)
pemahaman
konteks. Untuk memperoleh data awal sebagai identifikasi masalah penelitian ini, telah dilakukan survey di tempat penelitian, yaitu Sekolah Jepang Surabaya. Selain melihat kondisi pembelajaran, peneliti melakukan kegiatan wawancara dengan guru bahasa Indonesia di Sekolah ini. Wawancara yang dilakukan meliputi sistem dan model pembelajaran serta penggunaan buku ajar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan pula studi dokumentasi untuk mendapat data tentang profil sekolah. Berdasarkan hasil wawancara tidak terstruktur maka dapat digambarkan tentang profil Sekolah Jepang Surabaya. Selanjutnya pada tahap berikutnya dalam pemfokusan adalah kegiatan pemahaman konteks penelitian yang meliputi studi pustaka, identifikasi kebutuhan, dan karakteristik siswa dan guru di Sekolah Jepang Surabaya. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah melakukan studi pustaka dan wawancara untuk mengetahui dan memahami tentang pembelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa asing serta berbagai karakteristik pembelajar yang berasal dari latar belakang Negara Jepang. Bentuk kegiatan ini adalah observasi di sekolah Jepang Surabaya yang dilakukan pada hari Jumat sesuai dengan jam pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Jepang Surabaya. Wawancara dilakukan dengan tiga orang guru senior dan empat tingkat siswa dasar dan kepala sekolah. Tahap Perencanaan dan Pengembangan Berdasarkan studi pendahuluan (tahap pemfokusan) dapat diketahui deskripsi tentang identifikasi dan pemecahan masalah pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah 223
Jepang Surabaya, maka langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah merencanakan dan mengembangkan produk bahan ajar Bahasa Indonesia. Tahap perencanaan dan pengembangan meliputi: (1) pemilihan media dan format, (2) pemilihan lingkungan, (3) pengembangan prototipe produk, dan (4) strategi evaluasi meliputi kegiatan uji kualitas prototipe/draf pengembangan melalui telaah pengguna dan penilaian ahli, dan uji eksperimen prototipe. Perencanaan dimulai dengan pemilihan media dan format, serta pemilihan lingkungan. Media yang dipilih berupa buku teks cetak, dengan format bahan dan tugas otentik yang muncul dari diskusi dengan guru dan siswa serta dari pandangan mengenai literatur dan eksplorasi materi pembelajaran BIPA. Pemilihan lingkungan di Sekolah Jepang Surabaya, dengan fokus pada dua tingkatan belajar tingkat dasar, yaitu kelas Nyumon 1 dan Nyumon 2 (tingkatan dasar 1) dan kelas Kyu 3 dan Kyu 4 (tingkatan dasar 2). Langkah berikutnya adalah mengembangkan prototype produk. Pengembangan dimulai dengan menentukan muatan silabus. Muatan silabus pada tahap ini berasal dari penetuan standar kompetensi, kompetensi dasar yang akan dikembangkan dalam bentuk bahan ajar. Tahap selanjutnya adalah penentuan muatan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang akan dijadikan rujukan sebagai pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia Tingkat Dasar di Sekolah Jepang Surabaya, sehingga diperoleh standar kompetensi, kompetensi dasar serta indikator. Berikutnya dikembangkan prototype produk berdasarkan rancangan yang telah dilakukan sebelumnya. Ada dua produk yang dihasilkan melalui penelitian ini, yaitu (1) Buku Guru dan (2) Buku Siswa. Buku guru dikembangkan untuk guru sebagai panduan dalam mengajarkan bahasa Indonesia tingkat dasar untuk anak Jepang. Isi secara garis besar buku ini adalah latar belakang penulisan bahan ajar, tujuan umum penulisan bahan ajar, sasaran pemakai bahan ajar, garis besar isi bahan ajar, dan panduan penggunaan pada setiap kegiatan pembelajaran yang akan membantu guru dalam penggunaan buku siswa. Penulisan bahan ajar ini berlatar belakang masih sedikitnya materi BIPA yang dikembangkan secara khusus untuk penutur anak Jepang. Khusus pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Jepang Surabaya (SJS) terdapat banyak 224
kendala. Permasalahan paling mendasar di sekolah ini adalah tidak adanya bahan ajar baku yang digunakan untuk mengajar guru yang khusus digunakan untuk anak Jepang. Selama ini, guru mengajar dengan memanfaatkan beragam materi terutama dari materi BIPA
yang
masih
sangat
umum.
Berkaitan
dengan
inilah
akhirnya
peneliti
mengembangkan produk khususnya yang berupa bahan ajar tingkat dasar untuk anak Jepang. Tujuan secara umum penulisan bahan ajar ini adalah untuk memudahkan pengajaran Bahasa Indonesia bagi siswa Jepang khususnya di SJS karena model bahan ajar ini dirancang khusus untuk siswa Jepang yang disesuaikan dengan skemata anak bilingual (Jepang-Indonesia), sehingga pembelajaran diharapkan lebih aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan demikian tujuan akhir pembelajaran Bahasa Indonesia tingkat dasar 1 yakni membekali siswa bilingual Jepang-Indonesia di sekolah Jepang Surabaya agar memiliki kemampuan dasar berbahasa Indonesia yakni menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Sasaran utama pengguna buku ini adalah para guru pengajar Bahasa Indonesia tingkat dasar 1 siswa bilingual Jepang-Indonesia di sekolah Jepang Surabaya. Buku siswa dikembangkan dalam bentuk cetak. Buku dilengkapi dengan huruf Kanji, Katakana, Hiragana. Huruf kanji adalah huruf symbol / huruf cina yang telah diadopsi oleh bangsa Jepang. Hiragana dipakai untuk menulis kata-kata yang berasal dari bahasa Jepang asli, dan dipakai untuk menggantikan kata-kata dari tulisan kanji, selain itu juga digunakan untuk kata ganti, kata keterangan, dan kata sambung serta nama hewan dan tumbuhan. Sedangkan Katakana dipakai untuk kata-kata yang berasal dari bahasa asing, nama orang asing, nama kota di luar negeri, nama Negara, dan dipakai untuk katakata yang perlu ditonjolkan dalam sebuah kalimat. Alasan mengapa dalam bahan ajar ini dilengkapi dengan huruf bantu karena tidak semua orang Jepang paham dengan huruf Kanji. Hal ini akan membantu skemata siswa dalam mempelajari bahan ajar Bahasa Indonesia Tingkat dasar yang dikembangkan.
Hasil Pengembangan Bahan Ajar Bahan ajar ini dikembangkan dengan rancangan kompetensi sebagai berikut. Tabel 1: Rancangan Kompetensi 225
Saran Penyajia n Pertemu an 1
Kompetensi Dasar
Indikator
Judul
Mampu mengucapkan salam dengan benar dan sesuai dengan waktu percakapan Mampu memperkenalkan diri dengan kalimat sederhana Mampu menyapa temannya dengan kalimat sapaan yang tepat dan bahasa yang santun Mampu mengenal lingkungan sekolah dengan baik
Terampil mengucapkan salam
Mengucapk an salam
Terampil memperkenalkan diri
Berkenalan
Terampil menyapa teman
Bertemu teman
Terampil mendeskripsikan tempat/ruangan dan keadaan serta kegiatan yang berlangsung di lingkungan sekolah Terampil mendeskripsikan dan menyebutkan orang, benda, dan kegiatan yang ada di kelas Terampil mendeskripsikan dan menyebutkan tempat, orangorang, benda-benda dan kegiatan yang ada di perpustakaan Terampil mendeskripsikan dan menyebutkan orang-orang, jenis makanan dan minuman, dan kegiatan yang berlangsung di kantin sekolah Terampil mendeskripsikan alamat dan ruangan rumah dengan jelas benar Terampil memperkenalkan diri dan anggota keluarga
Lingkungan sekolahku
Pertemu an 6 &7
Belajar di kelas
Pertemu an 8 & 9
Perpustakaa n
Pertemu an 10 & 11
Makan di kantin sekolah
Pertemu an 12 & 13
Lingkungan tempat tinggalku Aku dan keluargaku
Terampil menceritakan kegiatan yang dilakukan di rumah Terampil menceritakan aktivitas/pekerjaan rumah
Kegiatan di rumah
Terampil mendeskripsikan
Berjalan-
Pertemu an 14 & 15 Pertemu an 16 & 17 Pertemu an 18 & 19 Pertemu an 20 & 21 Pertemu
Mampu mengenal lingkungan kelas dengan baik Mampu mengenal lingkungan perpustakaan dengan baik
Mampu mengenal lingkungan kantin dengan baik
Mampu mendeskripsikan alamat dan ruangan rumah dengan benar Mampu mengenal dan menyebutkan identitas diri dan anggota keluarga Mampu menceritakan kegiatan yang dilakukan di rumah Mampu menceritakan aktivitas/pekerejaan rumah Mampu memahami hal-hal
Membantu orang tua
Pertemu an 2 & 3 Pertemu an 4 & 5
226
Kompetensi Dasar
Indikator
yang ditemui dan aktivitas yang dilakukan saat jalanjalan di taman Mampu memahami macam-macam toko dan aktivitas yang dilakukan saat berkunjung ke took Mampu memahami macam dan menu makanan serta aktivitas yang di lakukan saat pergi ke restoran
alat-alat yang digunakan untuk memelihara taman, macammacam pohon dan bunga Terampil menyebutkan dan membedakan benda-benda yang ditemui saat pergi ke toko satu dengan yang lainnya Terampil mendeskripsikan menu dan macam makanan yang ditemui saat makan di restoran
Judul jalan di taman
Saran Penyajia n an 22 & 23
Pergi ke toko
Pertemu an 24 & 25
Makan di restoran
Pertemu an 26 & 27
Isi buku secara keseluruhan adalah sebagai berikut. Buku ini berisi 4 pelajaran yang terdiri atas beberapa bagian/subbab. Pendahuluan :
Pengucapan bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. で
あ
Pelajaran 1 Pertemuan: 出会い Mengucapkan salam, berkenalan, dan bertemu teman. わたし
がっこう
Pelajaran 2 Sekolahku : 私 の学校 Lingkungan sekolahku, kelasku, perpustakaan, dan kantin sekolah. わたし
うち
Pelajaran 3 Rumahku : 私 の家 Lingkungan tempat tinggalku, aku dan keluargaku, kegiatanku di rumah, dan membantu orang tua Pelajaran 4 Jalan-jalan: 散歩します Berjalan-jalan di taman, berbelanja, dan makan di restoran. Adapun ringkasan isi dari masing-masing paket disajikan di bawah ini.
Kompetensi Dasar Pelajaran 1 (Pertemuan): Siswa bisa bercakap-cakap sederhana dalam bahasa Indonesia, maka siswa perlu belajar hal-hal seperti mengucapkan salam, mengucapkan kalimat-kalimat perkenalan, dan mengucapakan kalimat-kalimat tertentu jika bertemu teman. Paket 1 Mengucapkan salam
227
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang bagaimana mengucapkan salam berdasarkan waktu ketika percakapan. Selain dari sisi waktu, siswa juga diajarkan salam yang diucapkan pada saat-saat tertentu atau jika ada acara-acara khusus. Paket 2
Berkenalan dengan teman baru
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang hal-hal yang dilakukan jika menjumpai teman baru, salah satunya adalah memperkenalkan diri. Paket 3 Bertemu teman Dalam paket ini siswa diajarkan tentang kalimat-kalimat yang biasanya diucapkan saat bertemu dengan teman/sahabat terutama untuk menanyakan keadaan.
Kompetensi Dasar Pelajaran 2 (Sekolahku): Siswa bisa berinteraksi dengan lingkungan sekolah dalam bahasa Indonesia, maka siswa harus mengenal sekolah kita dengan belajar hal-hal seperti, lingkungan sekolah, belajar di kelas, pergi ke perpustakaan, dan makan di kantin sekolah. Peket 4
Lingkungan sekolahku
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang arah, denah sekolah, dan tempat-tempat di sekolah. Paket 5
Belajar di kelas
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang-orang yang ada di kelas, benda-benda yang ada di kelas, dan kegiatan yang ada di kelas. Paket 6
Perpustakaan
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang di perpustakaan, benda-benda di perpustakaan, dan kegiatan yang dilakukan diperpustakaan. Paket 7
Makan di kantin sekolah
Dalam paket ini siswa diajarkan tentang orang-orang di kantin, jenis makanan yang ada di kantin, dan kegiatan di kantin.
Kompetensi Dasar Pelajaran 3 (Rumahku): Siswa bisa mengenal lingkungan tempat tinggalnya, diri dan keluarganya, dan mengenal beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan di rumah, serta bisa membantu kegiatan yang dilakukan orang tua di rumah. 228
Peket 8 Lingkungan tempat tinggalku Dalam paket ini siswa diajarkan tentang letak rumah, ruangan yang ada di rumah, dan benda-benda yang ada di rumah. Paket 9
Aku dan keluargaku
Dalam paket ini siswa dilatih untuk mengenal dirinya, menyebutkan aggota keluarganya, dan menyebutkan identitas aggota keluarganya. Paket 10
Kegiatan di rumahku
Dalam paket ini siswa diperkenalkan beberapa kegiatan yang biasanya dikerjakan di rumah sesuai dengan waktunya, yakni kegiatan pada pagi hari, kegiatan pada siang hari, dan kegiatan pada malam hari. Paket 11
Membantu orang tua
Dalam paket ini siswa diperkenalkan beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang tua yang juga bisa juga dikerjakan bersama-sama oleh siswa.
Kompetensi Dasar Pelajaran 4 (Jalan-jalan): Siswa bisa mengenal tempat yang biasanya digunakan untuk jalan-jalan dan mengerti tentang aktivitas yang biasanya dilakukan di tempat tersebut. Peket 12
Berjalan di taman
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan hal-hal yang biasanya ditemui di taman, alat untuk memelihara taman, macam-macam pohon, jenis-jenis bunga, dan kegiatan yang biasanya dilakukan di taman. Paket 13
Pergi ke toko
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan macam-macam toko, dan kegiatan yang biasanya dilakukan di toko. Paket 14
Makan di resotan
Dalam paket ini siswa diperkenalkan dengan beberapa menu makanan, macam-macam makanan, dan kegiatan yang biasanya dilakukan pada saat pergi di restoran.
Adapun kutipan isi buku siswa yang dikembangkan adalah sebagai berikut.
229
Gambar 1 Cover Buku Cetak
Gambar 2 Daftar Isi
Gambar 3 Cover Pelajaran
230
Gambar 4 Menu Ayo Belajar
Gambar 5 Menu Ayo Menyanyi
Gambar 6 Menu Yang Kita Pelajari
231
Gambar 7 Menu Ayo Berlatih
Semua produk yang dihasilkan selanjutnya nanti diukur dengan menggunakan instrumen untuk mengukur kesahihan, keefektifan serta kepraktisan akan produk yang dihasilkan.
PENUTUP Proses pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah bahan ajar bahasa Indonesia tingkat dasar yang dilengkapi dengan silabus, peta kompetensi, buku desain pembelajaran yang diperuntukkan untuk pembelajar tingkat dasar di sekolah Jepang Surabaya. Model pengembangan penelitian ini diadaptasi dari Model Pengembangan R2D2 (Reflective, Recursive Design and Development) Willis dan Model Asesmen Bahasa Lisan O’malley & Pierce. Model R2D2 menghasilkan tiga langkah pengembangan, yaitu: 1) tahap pendefinisian, 2) tahap desain dan pengembangan, dan 3) tahap diseminasi Model pengembangan dalam penelitian pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia tingkat dasar anak bilingual Jepang adalah model pengembangan R2D2 (Reflective, Recursive, Design and Development) yang diadaptasi dari model desain penelitian pengembangan Jerry Willis (2005:237). Model pengembangan R2D2 memiliki komponen Define, Design and Develop, and Disseminate, yang merupakan model pengembangan non-linier. Prosedur penelitian pengembangan ini didasarkan pada tiga komponen R2D2, yakni: (1) fokus penetapan, (2) fokus desain dan pengembangan, dan (3) fokus diseminasi yang dimodifikasi sesuai dengan konteks lingkungan pengembangan dan kebutuhan. 232
Pada kegiatan awal berupa fokus penetapan Kegiatan fokus penetapan mencakup tiga aktivitas, yaitu: (1) pembentukan tim partisipatif, (2) pemecahan masalah, dan (3) pemahaman konteks. Produk penelitian pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia bagi siswa Jepang ini, berusaha membuat produk yang menarik bagi pengguna bahan ajar lewat lay out materi dan penggunaan gambar-gambar yang efektif dan kreatif. Maksudnya adalah peneliti sebagai perancang dan pengembang perlu mencoba berbagai alternatif dan meminta masukan secara teratur dari para calon pengguna bahan ajar bahasa Indonesia ini, baik itu guru bahasa Indonesia di SJS maupun siswa SJS. Dengan menggunakan lingkungan pengembangan yang tepat, perubahan yang dilakukan pada disain pengajaran bisa dijalankan secara langsung untuk mengetahui bagaimana tampilannya dan jika dilihat dari perspektif para pebelajar yang akan menggunakan bahan ajar tersebut berupa: Silabus, Peta kompetensi, dan Bahan ajar. Pengembangan bahan ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah Jepang ini dapat disempurnakan secara lebih terperinci lagi. Perlu dikembangkan alat evaluasi yang lebih baik untuk semua tingkat kompetensi sehingga benar-benar dapat mengukur tingkat kompetensi siswa dengan valid. Bahan ajar yang dikembangkan dapat didesiminasikan di Sekolah Jepang seluruh Indonesia. Alokasi waktu untuk pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Internasional perlu ditambah sehingga ketuntasan belajar dapat dilihat dengan baik. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi dalam standarisasi kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa berdasarkan negara asal siswa BIPA. Pemerintah juga mendorong pembuatan bahan ajar bahasa Indonesia disesuaikan dengan asal negara pembelajar karena dalam pemahaman akan sangat berbeda antara satu negara dengan negara lain dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Burn, P.C.; Roe, B.D. Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Todays Elementary Schools. Boston: Houghton Mifflin Company. Cox, C. & Zarrillo, J. 1993. Teaching Reading with Children's Literature. New York: Merril Macmillan Publishing Company. 233
Depdiknas. 2006. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas. Design, New York: Holt, Rinehart and Winston. Gunter, M.A.; Estes, T.H.; Schwab, J.H. 1990. Instruction A Models Approach. Boston: Allyn & Bacon. Mikihiro, Moriyama & Kashimura Akio. 2003. Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penerbit tidak diketahui. Noton, D.E. & Norton, S. 1994. Language Arts Activities for Children. New York: Macmillan College Publishing Company. Nunan, David. 1995. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teacher. New York: Phoenix. Panen, P & Purwanto, 1997. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud Tomlinson, B. (ed.). 1998. Material Development in Material Teaching. New York: Cambridge University Press. Widodo, dkk. 2007. Sejarah BIPA, Tantangan dan Peluang Pengembangan BIPA. Semlok Internasional BIPA Pusat Bahasa Jakarta Willis, Jerry. 1995. A Recursive, Reflective Instructional Design Model Based on Constructivist-Interpretivist Theory. Educational Technology, 35 (6), 5-23. Willis, Jerry. 2000. The Maturing of Constructivist Instructional Design: Some Basic Principles that can Guide Practice. Educational Technology, 40 (1), 5-16. Willis, Jerry. 2000. A General Set of Procedures for Constructivist Instructional Design: The New R2D2 Model. Educational Technology, 40 (2), 5-20.
234