1
Pemailitan Badan Usaha Oleh Kejaksaan Negeri Republik Indonesia Dengan Dasar Kepentingan Umum (Studi Terhadap Putusan Pengadilan) Erick Andhika, Teddy Anggoro Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Pemberian pinjaman dan perolehan pinjaman merupakan kegiatan yang lazim terjadi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan di antara kedua belah pihak telah memiliki suatu kepercayaan bahwa pinjaman tersebut akan dikembalikan pada tanggal yang disepakati. Apabila pada tanggal yang telah ditentukan belum atau tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut, maka salah satu cara pengembalian pinjaman tersebut adalah dengan mengajukan permohonan pailit. Dalam skripsi ini membahas mengenai salah satu tugas dan kewenangan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap suatu badan usaha demi kepentingan umum. Pengajuan permohonan pailit ini, dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Cibadak sebagai suatu tindak lanjut dari putusan pengadilan pidana yang mana terdapat perintah untuk melelang dan membagikan harta tersebut secara adil kepada seluruh investor.
The Theory of Participation in the Offense of Counterfeiting an Authentic Deed Analyzed from the Perspective of Law on Notarial Function (A study on the Court Decision) Abstract Lending and acquisition loans are common activities. This can occur because in between the two sides have had a belief that the loan will be reimbursed on an agreed date. When on a date specified cannot restore the loan, then one way of the loan repayment is by applying for bankruptcy. In this thesis deals with one of the tasks and authorities of the Attorney General to file a petition in bankruptcy against a business entity for the sake of public interest. The filing of a petition in bankruptcy, was carried out by Cibadak State Prosecutor as a follow-up of the Criminal Court's verdict where there is an order to the property and share auctions are fair to all investors. Keywords: Bankruptcy, State Prosecutor, Public Interest
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
2
Pendahuluan Orang perorangan atau suatu badan hukum tersebut tidaklah selamanya mampu, atau memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan meminjam sejumlah uang dari pihak lain. Apabila seseorang atau suatu badan hukum memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang lain atau badan hukum lain), pihak yang memperoleh pinjaman itu disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman itu disebut kreditor.1 Faktor yang menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan (willingness) dari debitor untuk mengembalikan utangnya itu.2 Namun, untuk memberikan suatu keyakinan lebih kepada kreditor bahwa debitor akan mengembalikan pinjamannya dengan jangka waktu yang telah ditetapkan sebelumnya ada beberapa asas yang mengaturnya. Asas tersebut menyangkut jaminan:3 1. Asas pertama (terdapat dalam pasal 1131 KUH Perdata) menentukan, apabila debitor ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. 2. Asas kedua (terdapat dalam pasal 1132 KUH Perdata) menyangkut mengenai Jaminan, dimana harta kekayaan debitor menjadi agunan bersama-sama bagi semua kreditornya. Dalam KUH Perdata disebutkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, dimana hal ini dikecualikan apabila memang ditentukan lain oleh undang-undang dikarenakan memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kreditorkreditor tertentu yang didahulukan disebut dengan kreditor-kreditor preferen atau secured creditors, sedangkan kreditor-kreditor lainnya disebut kreditor-kreditor konkuren atau unsecured creditors.4 Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo. Stb. 1906 No. 348 merupakan pengaturan mengenai hukum kepailitan lama yang merupakan produk perundang-undangan 1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan , (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 2. 2
Ibid, hal. 3.
3
Ibid, hal. 5.
4
Ibid, hal 3. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
3
Belanda. Dimana mengatur materi tentang kepailitan secara lengkap, ketat dan mendetail seperti ciri khas perundang-undangan Belanda. Faillissementsverordening pada saat itu di Indonesia hanya berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, dan untuk orang-orang yang tidak tunduk kepada Hukum Perdata Barat berlaku hukum adatnya masingmasing.5 Sejalan dengan perkembangan perdagangan yang semakin cepat, meningkat dan dalam skala yang lebih luas dan global, masalah utang piutang perusahaan semakin rumit dan membutuhkan
aturan
hukum
yang
efektif.6
Perkembangan
perekonomian
global
membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. International Monetary Fund (IMF), sebagai pemberi bantuan dana kepada pemerintah Republik Indonesia, memberikan suatu pendapat agar penyelesaian utang dari pengusaha Indonesia baik terhadap utang-utang luar negeri meupun penyelesaian kredit-kredit macet perbankan di Indonesia. Oleh karena hal tersebut, IMF memberikan suatu desakan kepada pemerintah Indonesia agar mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku pada masa itu. Maka kemudian, lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, disini pemerintah memandang perlu untuk mengubah Undang-Undang Kepailitan sebelumnya untuk kemudian diperbaiki, dan menambah serta meniadakan ketentuan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang kepailitan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang. Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha, dan modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain, telah menimbulkan berbagai permasalahan penyelesaian utang piutang.7 Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif diperlukan perangkat hukum yang dapat 5
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (Suatu Telaah Perbandingan), (Bandung: P.T. Alumni, 2006), hal. 7. 6
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan:USU Press, 2009), hal.1.
7
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 31, TLN No. 4484, Penjelasan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 bagian Umum. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
4
mendukungnya. Kepailitan menurut Rachmadi Usman mempunyai pengertian yaitu keadaan dimana seorang debitor tidak mampu melunasi hutang-hutangnya pada saat hutang tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus dinyatakan oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau pihak ketiga.8 Secara bahasa, pailit dalam bahasa Perancis adalah faillite yang artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata dalam bahasa latin digunakan istilah failire.9 Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa;
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.10 Di dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga diatur mengenai ketentuan kepailitan. Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan, direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS. Kemudian, dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit, jika Direksi melakukan kesalahan maupun kelalaian. Tujuan utama dari hukum kepailitan menurut Levinthal; 11
8
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2009),
hal.12. 9
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hal. 26-27. 10
Indonesia (a), op.cit, Ps 1 angka 1.
11
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 28. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
5
All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law. Sehingga dapat diketahui bahwa tujuan dari hukum kepailitan adalah; 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya; 2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditornya; 3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Syarat-syarat mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan Pasal 2 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sebagai berikut;
Pasal 2 (1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas, sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. (2) Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum. Dimana kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya; a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang yang berasal penghimpunan dana dari masyarakat luas; d. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau e. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Pengertian “kepentingan umum” sebagaimana diberikan dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
6
Pembayaran Utang sungguh sangat luas dan tidak berbatas.12 Kepentingan umum seperti yang dimaskud dalam Undang-Undang ini adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, sementara itu didalam contoh-contohnya dikemukakan “dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum”. Hal ini membuat sebuah pengertian yang subjektif terhadap apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”. Kejaksaan memiliki otoritas untuk menentukan apa yang dimaksudkan dengan “kepentingan umum” berkaitan dengan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor.13 Berdasarkan pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu di bidang perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.14 Kemudian, dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2000 tentang Permohonan Pailit Untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa dalam permohonan pernyataan pailit tersebut Kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah, dan badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah. Dalam Pasal 24 dan 25 huruf e Keputusan Presiden Nomor 55 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (JAM DATUN) mempunyai tugas dan wewenang memberikan bantuan, pertimbangan, dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah, melakukan tindakan hukum didalam maupun diluar pengadilan, mewakili kepentingan keperdataan negara, pemerintah dan masyarakat, baik berdasarkan jabatan atau kuasa khusus didalam atau diluar negeri. Bahwa kemudian, berdasarkan kepada pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu JAM DATUN mempunyai tugas dan wewenang kejaksaan dibidang Perdata dan TUN. Hal inilah yang menjadi dasar suatu Kejaksaan Negeri dapat mengajukan permohonan pailit terhadap suatu badan usaha. 12
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 110.
13
Ibid.
14
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kejaksaan, UU No. 16 Tahun 2004, LN. No.67, TLN. No. 4401, Ps 30. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
7
Kewenangan untuk menentukan pemailitan terhadap suatu perusahaan yang terlihat seperti tanpa batas, dikarenakan suatu “kepentingan umum” yang tidak dapat diurai secara baik oleh peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak membedakan debitur dengan status mempunyai kepentingan publik melainkan hanya debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur, tidak membayar sedikitnya satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.15 Tentunya hal ini akan menimbulkan suatu permasalahan dimana kejaksaan dapat secara otoriter menggunakan kewenangannya untuk menentukan apakah suatu badan usaha dapat dipailitkan. Dalam proses penentuan “kepentingan umum” yang dimaksudkan, terdapat suatu tolak ukur yang dapat dijadikan pembatas untuk luasnya suatu pengertian dari “kepentingan umum”. Secara kasuistis dapat diserahkan kepada hakim pengadilan niaga yang memeriksa permohonan pernyataan pailit, dimana hal ini sejalan dengan semangat ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada ketua pengadilan untuk menentukan suatu perkara menyangkut kepentingan umum.16 Disini pengadilan wajib untuk memeriksa dan menentukan apakah ada kepentingan umum yang memberikan suatu landasan bagi kewenangan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit.17 Didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas undangundang tentang kepailitan menjadi undang-undang, tidak seyogyanya kejaksaan tidak dapat mewakili dirinya sendiri sebagai pemohon pernyataan pailit. Untuk perbuatannya mengajukan pernyataan pailit adalah kejaksaan selaku “kuasa dari dan untuk kepentingan umum”; oleh karena itu janggal apabila untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit itu kejaksaan masih harus mengangkat seorang penasehat hukum untuk mewakilinya.
15
Parwoto Wignjosumarto, (Jakarta:Tatanusa, 2003), hal. 58.
Hukum
Kepailitan
selayang
pandang
(himpunan
makalah),
16
Indonesia (c), Undang-Undang tentang Peradilan Umum, UU No. 2 Tahun 1986. Pasal 57 UndangUndang Nomor 2 tahun 1986 berbunyi “Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau suratsurat lainnya yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan”. 17
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. hal. 116 Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
8
Metode Penelitian Penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis-normatif yang bersifat deskriptif-preskriptif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, traktat, keputusan pengadilan, dan norma yang hidup dalam masyarakat.18 Penelitian hukum normatif ialah jenis penelitian yang lazim digunakan dalam kegiatan pengembanan ilmu hukum yang biasa disebut dogmatika hukum.19 Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis-normatif karena yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah masalah hukum.20 Sebagaimana dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki, ruang lingkup isu hukum meliputi dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Adapun isu hukum dalam dogmatika hukum adalah aspek praktis ilmu hukum, yaitu: (1) terjadinya multi-tafsir terhadap suatu teks peraturan; (2) terjadinya kekosongan hukum; (3) terdapat perbedaan penafsiran atas fakta.21 Adapun isu hukum pada tataran teori hukum harus mengandung konsep hukum dan isu hukum pada ruang lingkup filsafat hukum harus berkaitan dengan asas hukum. Selain itu, penelitian hukum normatif tidak semata-mata merupakan penelitian terhadap teks hukum semata.22 Sebagaimana Lawrence M. Friedman memaknai hukum bukan dalam arti “rules” dan “regulations” atau hukum positif saja, tetapi hukum dalam makna “legal system” yang terdiri dari structure, substance, dan culture.23 18
William J. Filstead, “Qualitative Method: A Needed Perspective in Evaluation Research,” dalam Qualitative and Quantitative Research in Evaluation Research, (London: Sage Publications, 1978), hal. 38. 19
Bernhard Arief Sidharta, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal,” dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 142. 20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 57-61.
21
Ibid., hal. 65.
22
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Banyumedia, 2008), hal.
24 23
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cet. 1, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 164. Dengan menggunakan studi ini, akan diketahui apa yang menjadi jiwa dari suatu peraturan perundangan dan latar belakang perumusannya dalam arti tarik-menarik berbagai kepentingan. Sedangkan, dalam hal putusan hakim, akan diketahui bagaimana peran hakim apakah hanya menerapkan undang-undang saja atau ikut peran dalam melakukan penemuan hukum. Lihat: Sulistyowati Irianto dan Lim Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
9
Dalam penelitian ini, penelitian hukum yuridis-normatif dilakukan terhadap hukum positif, yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan-ketentuan perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang hukum Kepailitan yang berhubungan dengan permohonan kepailitan yang dilakukan oleh kejaksaan.24 Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian preskriptif merupakan penelitian yang bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan terkait luasnya batasan dari kepentingan umum dalam pengajuan permohonan pailit oleh Kejaksaan Negeri.25 Penulis melakukan penelitian kepustakaan sehingga data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengumpulan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.26 Dilihat dari kekuatan mengikatnya, penulis menggunakan sumber data sekunder atau pustaka hukum dari sumber primer berupa undang-undang dan Peraturan Kepailitan, sumber data sekunder atau pustaka hukum dari sumber sekunder yakni data yang bersumber dari buku, makalah, artikel ilmiah, laporan penelitian dan berbagai tulisan yang diperoleh dengan menggunakan media elektronik dan digital, sementara sumber data tersier atau pustaka hukum dari sumber tersier semisal ensiklopedia atau kamus. Untuk mendapatkan data tersebut penulis menggunakan 2 (dua) alat pengumpul data, yaitu studi dokumen dan wawancara.27 Metode pengolahan data yang digunakan penulis adalah analisis data kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang
Sing Meij, “Praktek Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya,” dalam Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 191. 24
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet. 1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005), hal. 4. 25
Sri Mamudji et al., Loc. Cit..
26
Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal. 28.
27
Ibid., hal. 6. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
10
dinyatakan sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan sesuai dengan kenyataan.28 Pembahasan Kejaksaan memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum. Hal ini telah dinyatakan oleh komunitas internasional dalam salah satu dokumennya yang menjadi referensi dalam penilaian keberadaan Jaksa. Selaku institusi penegak hukum, Kejaksaan Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya hendaknya senantiasa berlandaskan hukum.29 Kejaksaan harus selalu berpihak kepada hukum untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, baik represif dalam kaitannya dengan Proses Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), preventif berupa penyuluhan, serta administratif dengan tindakan Kejaksaan dalam upayanya mengatur.30 Institusi Kejaksaan dan profesi jaksa adalah penyelenggara dan pengendali penuntutan atau selaku dominus litiz dalam batas juridiksi negara.31 Pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai Kejaksaan.32 Tugas dan Wewenang Kejaksaan; 33 1. Dalam bidang hukum pidana: a. Melakukan penuntutan; b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
28
Sri Mamudji et al., Op. Cit., hal. 67.
29
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal 5. 30
Ibid, hal 6.
31
Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Platform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan. (Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1999), hal. 2. 32
Marwan Effendy, loc.cit.
33
Indonesia (b), op.cit, ps 30. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
11
c.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang;
e.
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;
2. Dalam bidang hukum perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar negeri untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarkat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan
masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Disamping tugas dan wewenang tersebut didalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan bahwa kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kemudian, pada Pasal 33 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.34 Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts).35 Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa baraang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban 34
Ibid, ps 33.
35
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:Kencana, 2008), hal 1. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
12
debitor.36 Prinsip ini dianut dalam system hukum perdata di Indonesia, dimana termuat dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pada prinsip Pari Passu Prorata Parte, maksudnya adalah harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.37 Prinsip ini juga termuat dalam Pasal 1132 KUH Perdata, dinyatakan bahwa Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu, menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Apeldoorn membedakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat dengan kepentingan perorangan atau pribadi.38 Dalam menetapkan dan memelihara kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan umum atau masyarakat, akan tetapi antara kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan atau pribadi tidak dapat dipisahkan.39 Di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus dihormati dan dilindungi dan wajarlah jika setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingankepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi, yang tentu tidak mungkin dipenuhi secara keseluruhan, mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang bertentangan satu sama lain. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Luasnya pengertian kepentingan umum sehingga segala macam kegiatan dapat dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan umum.40 36
Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, (Bandung: Alumni, 2001), hal 168.
37
Ibid.
38
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, 1991, halaman 185 dan 189.
39
Ibid.
40
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), hal. 7. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
13
Berdasarkan UUPT, dan teori Gierke-Scholten-Bregstein, maka fungsi direksi adalah melakukan pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berkaitan dengan tugas-tugas internal suatu perseroan terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan perseroan, sedangkan perwakilan adalah berkaitan dengan tugas direksi mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili di luar dan di dalam pengadilan.41 Tanggung jawab ekstern adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan, tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si pengurus sebagai organ terhadap organ lainnya, yaitu institusi komisaris dan/atau rapat umum pemegang saham.42 Secara substansi, tanggung jawab direksi perseroan terbatas dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori; a. Tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care; b. tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule); c. tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires; dan d. tanggung jawab berdasarkan prinsip piercing the corporate veil. Terhadap tugas fiduciary duties dari seorang direksi dalam hal ini adalah tugas yang terbit secara hukum, sehingga seorang direksi harus mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).43 Simpulan Dari uraian dan pembahasan tersebut di atas dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: Hampir seluruh aset yang diperoleh dari penghimpunan dana dari masyarakat diatasnamakan Termohon Pailit II. Menurut pendapat penulis, dalam konsep suatu Perseroan Terbatas, dikenal adanya pemisahan harta antara harta pribadi direksi dengan harta milik perusahaan. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa aset tersebut merupakan milik dari 41
Subhan, hal 226.
42
Rudhi Prasetya (1), Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 81. 43
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal 81. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
14
Termohon Pailit II (direksi/perorangan) sehingga kedua kepemilikan terhadap harta tersebut harus dipisahkan. Dikarenakan adanya pemisahan terhadap harta perusahaan dan direksi, maka kejaksaan telah tidak tepat dalam menjabarkan salah satu syarat kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU. Termohon Pailit II tidak melaksanakan fiduciary duty dalam menjalankan pengurusan perseroan dan mengakibatkan adanya utang kepada sejumlah 6.478 kreditur, sehingga Termohon Pailit II juga ikut bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi miliknya. Menurut hemat penulis, dalam kasus ini dilihat dari Putusan Pengadilan negeri Cibadak Nomor : 69/Pid.B/2003/PN. Cbd, tanggal 30 Juli 2003 yang telah diperbaiki dengan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor : 247/Pid/2003/PT.Bdg, tanggal 17 Desember 2003 memang dapat dilihat bahwa Termohon Pailit II telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. Namun, disini juga mempertegas bahwa tindakan penghimpunan dana dari masyarakat luas adalah dilakukan oleh Termohon Pailit II, sehingga pernyataan Kejaksaan Negeri Cibadak tidak dapat membuktikan bahwa Termohon Pailit I juga melakukan tindakan penghimpunan dana dari masyarakat luas. Termohon Pailit 2 telah melakukan kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan perseroan dikarenakan telah lalai dalam melaksanakan kepercayaan yang diberikan (fiduciary duty) dengan melakukan penghimpunan dana dari masyarakat. Dana yang diperoleh terbukti digunakan untuk mendanai aset atas nama Termohon Pailit 2, baik asset bergerak maupun tidak bergerak. Asset yang diperoleh dari penghimpunan dana dari masyarakat ini hampir seluruhnya diatasnamakan Termohon Pailit 2. Tindakan Termohon Pailit 1 dengan menghimpun dana dari masyarakat yang dilakukan melalui Termohon pailit 2 merupakan tindakan melanggar hukum karena tindakan tersebut tidak mempunyai izin dari instansi yang berwenang. Jika ditafsirkan secara sempit maka dapat dianggap bahwa kejaksaan negeri cibadak tidak melaksanakan atau belum tuntas melaksanakan eksekusi barang-barang yang disebutkan dalam putusan tersebut. Namun, tidak dijelaskan secara luas dalam Peraturan Perundangundangan, maupun teori pendukung yang ada mengenai mekanisme eksekusi yang harus dilakukan oleh kejaksaan untuk melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara pidana. proses eksekusi suatu putusan pidana melalui putusan perdata (niaga) dengan mekanisme pengajuan pailit, tidak dapat dilaksanakan dengan alasan bahwa proses untuk membagi barang bukti setelah dilelang secara adil dan berimbang membutuhkan proses penghitungan Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
15
serta proses verifikasi yang sangat banyak sehingga dalam proses pelaksanaan eksekusi terdapat banyak kendala. Saran Sudah seharusnya pemerintah segera membuat suatu peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dan peraturan teknis turunan lainnya, untuk memberikan batasan yang jelas dari definisi kepentingan umum baik yang diatur didalam UUK-PKPU maupun peraturan
perundang-undangan
lainnya.
Mengenai
eksekusi
Putusan
pidana
yang
dilaksanakan melalui Putusan perdata, disini penulis menilai bahwa jika dikaitkan dengan fungsi kejaksaan untuk melindungi kepentingan umum (kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara) baik dilihat dari tugas dan wewenangnya untuk melakukan penuntutan dalam ranah pidana, kejaksaan juga dapat masuk kedalam ranah perdata untuk melindungi kepentingan umum tersebut. Sehingga penulis menyarankan apabila kejaksaan memandang perlu untuk melakukan pengajuan gugatan, permohonan pailit, atau bentuk lainnya yang termasuk dalam ranah perdata demi kepentingan umum, kejaksaan harus mengutamakan kepentingan umum sebagai landasan pelaksanaan tugas dan wewenangnya tersebut. Selain itu, penulis juga menyarankan agar proses pengajuan permohonan pailit dapat dijadikan suatu acuan atau alternatif pelaksanaan putusan pidana yang menjadi tugas dan wewenang dari kejaksaan. Sehingga, apabila dapat diterapkan dengan baik, proses eksekusi terhadap benda atau barang dalam jumlah yang banyak dapat terlaksana dengan baik dan mengedepankan asas keadilan bagi masyarakat / korban secara langsung.
Daftar Referensi Buku Effendy, Marwan, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Filstead, William, J., Qualitative and Quantitative Research in Evaluation Research. London: Sage Publications, 1978. Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
16
Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005. Garner, Bryan A. Ed. Black’s Law Dictionary: Eighth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co, 1999. Hoff, Jerry, Indonesian Bankruptcy Law, Jakarta: Tatanusa, 1999. Huntington, Samuel P., Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Banyumedia, 2008. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita,1982. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Platform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan. Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 1999. Lusk, Harold F., Business: Principles and Cases, Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc., 1986. Mamudji, Sri, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005. Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi Dengan Studi Kasus Kepailitan), Bandung: CV. Mandar Maju, 2012. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2007. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan ketiga, Yogyakarta: Liberty, 2002. Mulyadi, Kartini, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, Bandung: Alumni, 2001. Pramino, Nindyo, Sertifikasi Saham PT Go Publik dan Hukum Pasal Modal di Indonesia, cet. 2, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2001. Prawirohamidjojo, R.Soetojo, Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. V, Bandung : Alumni, 1986. Prasetya, Rudhi (1), Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai dengan Ulasan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
17
Prasetya, Rudhi (2), Maatschap, Firma, dan Persekutuan Komanditer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002. Prints, Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta : Djambatan, 1989. Profil Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Pada Akhir Tahun Ke V, Jakarta: Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1997. Rajagukguk, Erman, Globalisasi Hukum Dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Dan Pembangunan Hukum Indonesia, Pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan, 20 November 2001. Rasjidi, Lili, Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta: Mandar Maju, 2002. Sastrawidjaja, H.Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (Suatu Telaah Perbandingan). Jakarta: PT. Alumni, 2006. Sari, Elsa Kartika, Advendi Simangunsong. Hukum Merger Dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo, 2007. Sidharta, Bernhard Arief, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Sinaga, Syamsudin M., Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta : Tatanusa, 2012. Sitorus, Oloan, Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004. Situmorang, Victor M., Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010. Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 1990. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo, 2001. Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta:Kencana, 2008. Suhadibroto, et.al, Penelitian Pembaharuan Kejaksaan : Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, Kerjasama Komisi Hukum Nasional, Masyarakat Pemantau Peradilan
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
18
Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Jakarta : 2004. Sunarmi. Hukum Kepailitan. Jakarta: USU Press, 2009. Suseno, Frans Maguis, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1995. Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Tukgali, Liake Lianadevi, Fungsi Sosial Hak atas Tanah dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Jakarta: Gramedia, 2010. Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramitha, 1991. Van Bemmelen, Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-delik Khusus, Bandung: Penerbit Binacipta, 1986. Waxman, Ned, Bankruptcy, Gilbert Law Summaries, Chicago: Harcourt Brace Legal and Professional Publication Inc, 1992. Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum: Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002. Wignjosumarto, Parwoto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang (Himpunan Makalah). Jakarta: Tatanusa, 2003. Yani, Ahmad, Gunawwan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Yuhassarie, Emmy, Pemikiran Kembali Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005. Putusan Putusan
Pengadilan
Negeri/Niaga
Jakarta
Pusat.
Putusan
No.
23/PDT.SUS/PAILIT/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst atas nama Pemohon Pailit Kejaksaan Negeri Cibadak, Termohon Pailit I PT. Qurnia Subur Alam Raya, dan Termohon Pailit II H.M. Ramli Araby, S.E.
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
19
Putusan Mahkamah Agung. Putusan No. 308 K/ PID / 2004 atas nama Terdakwa H.M. Ramli Araby, SE. Peraturan perundang-undangan Indonesia (a). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. LN. No.131, TLN. No. 4443. Indonesia (b). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan. LN. No.67, TLN. No. 4401. Indonesia (c). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. LN. No.20, TLN. No. 3327. Indonesia (d). Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. LN. No.89, TLN. No. 5144. Indonesia (e), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Indonesia (f). Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Permohonan Pailit Untuk Kepentingan Umum. LN. No. 37, TLN. No. 3943. Indonesia (g). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. LN. No.106, TLN. No. 4756. Indonesia (h), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN No. 74 TLN No. 1970. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP- 115/J.A/10/1999 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP -225/A/J.A/05/2003 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP – 558/A/J.A/12/2003.
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014
20
Jurnal Sherril, Robert, Bankruptcy, Grand Street, Volume 7 Nomor 3, 1998, Diperoleh dari http://www.jstor.org/stable/25007105. Diakses pada tanggal 22 Maret 2014. Internet Kusumasari,
Diana,
lingkup
kewenangan
pengadilan
niaga
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d47fcb095f46/lingkup-kewenanganpengadilan-niaga. Diakses tanggal 4 april 2014. Madhav,
Srinivas,
The
Right
to
Information
and
Public
Interest:
http://www.rtigateway.org.in/Documents/Articles/Public%20Interest.pdf,
A
Primer, Diakses
tanggal 23 April 2014. Sulaiman, Alfin, Pertanyaan: Hubungan OJK terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan Industri
Keuangan
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52dfe654d9902/hubungan-ojk-terhadapprosedur-kepailitan-perbankan-dan-industri-keuangan Diakses tanggal 6 Juni 2014.
Universitas Indonesia
Pemailitan badan…, Erick Andhika, FH UI, 2014