OTORISASI HADÎTS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA (Studi Analisis Pemikiran Ibnu Mâlik dalam Pembentukan Kaidah Nahwu)
Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam Oleh; Aang Saeful Milah 07.2.00.1.15.08.0090 Pembimbing; Prof. Dr. D. Hidayat. MA
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H
i
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini; Nama
: Aang Saeful Milah
Nomon Induk : 07.2.00.1.15.08.0090 Prog. Studi
: Pendidikan Bahasa Arab
Menyatakan bahwa tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu” adalah benar hasil karya sendiri yang didukung oleh berbagai sumber terkait dan bukan merupakan jiplakan. Apabila ternyata di kemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar dari sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Juni 2009 Penulis
Aang Saaeful Milah
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu”. Yang ditulis oleh Aang Saeful Milah, dengan nomor induk: 07.2.00.1.15.08.0090. Mahasiswa konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.
Jakarta, 04 Juni 2009 Pembimbing
Prof. Dr. D. Hidayat. MA.
iii
Tesis saudara Aang Saeful Milah, nomor induk 07.2.00.1.15.08.0090, yang berjudul “Otorisasi Hadîts Sebagai Sumber Kaidah Bahasa; Studi analisis pemikiran Ibnu Malik dalam pembentukan kaidah nahwu, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada Hari Selasa, 21 Juli 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim penguji.
TIM PENGUJI
Ketua Sidang/Penguji
Pembimbing/Penguji
Dr. Udjang Thalib
Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA
Tanggal, Agustus 2009
Tanggal, Agustus 2009
Penguji
Penguji
Dr. H. Sahabuddin, MA
Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA
Tanggal, Agustus 2009
Tanggal, Agustus 2009
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB - LATIN Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah: A. Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ﺍ
Alîf
`
Koma di Atas
ﺏ
Bâ’
B, b
Be
ﺕ
Ta’
T, t
Te
ﺙ
Tsâ’
Ts, ts
Te dan es
ﺝ
Jîm
J, j
Je
ﺡ
Hâ’
H, h
Ha (dengan garis di bawah)
ﺥ
Kha’
Kh, kh
Ka dan ha
ﺩ
Dâl
D, d
De
ﺫ
Dzâl
Dz, dz
De dan zet
ﺭ
Râ’
R, r
Er
ﺯ
Zây
Z, z
Zet
ﺱ
Sîn
S, s
Es
ﺵ
Syîn
Sy, sy
Es dan ye
ﺹ
Shâd
Sh, sh
Es dan ha
ﺽ
Dhâd
Dh, dh
De dan ha
ﻁ
Thâ’
Th, th
Te dan ha
ﻅ
Zhâ’
Zh, zh
Zet dan ha
ﻉ
‘Ain
‘
koma terbalik di atas
ﻍ
Ghain
Gh, gh
Ge dan ha
v
ﻑ
Fâ’
F, f
Ef
ﻕ
Qâf
Q, q
Qi
ﻙ
Kâf
K, k
Ka
ﻝ
Lâm
L, l
El
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ﻡ
Mîm
M, m
Em
ﻥ
Nûn
N, n
En
ﻭ
Wâw
W, w
We
ﻫـ
Hâ’
H, h
Ha
ﻻ
lâm alîf
Lâ, lâ
el dan a
ﺀ
hamzah
’
Koma di atas
ﻱ
Yâ’
Y, y
Ye
B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda
Nama Fathah Kasrah
Huruf Latin A I
Nama A I
Dhammah
U
U
َ
ِ ُ
2. Vokal Rangkap Tanda
Nama
Gabungan Huruf
Nama
ﻯ...َ
Fathah dan yâ’ Fathah dan wâw
Ai Au
a dan i a dan u
ﻭ...َ Contoh:
ﺣﺴﲔ
: Husain
ﺣﻮﻝ
: Haula
C. Maddah
vi
Tanda
ـــَـﺎ
Nama fathah dan alîf
Huruf Latin Â, â
Nama a dan garis di atas
ــــِﻲ
kasrah dan yâ’
Î, î
i dan garis di atas
Û, û
u dan garis di atas
ــــُﻮdhammah dan wâw D. Tâ’ Marbûthah
Tâ’ Marbûthah yang dipakai di sini dimatikan atau diberi harakat sukûn, dan transliterasinya adalah /h/. Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: ﺍﳌﻜﹼﺔ ﺍﳌﻜﹼﺮﻣﺔ: al-Makkah al-Mukarramah E. Syiddah Syiddah/tasydîd ditransliterasikan di sini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu. Contoh:
ﺭﺑـّﻨﺎ
: rabbanâ
ﻝﻧﺰ
: nazzala
F. Kata Sandang Kata sandang ditulis dengan huruf kecil. Seperti;
ﺍﻟﺸﻤﺲ
: al-Syams
ﺍﻟﻘﻤﺮ
: al-Qamar
G. Pengecualian Transliterasi Pengecualian ini adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.
vii
DAFTAR SINGKATAN Cet.
: Cetakan
dkk.
: dan kawan-kawan
H.
: Tahun Hijriyah
hal.
: Halaman
HR.
: Hadis Riwayat
J.
: Jilid
j.
: Juz
M.
: Tahun Masehi
QS.
: al-Quran Surat
r.a.
: Radhiya Allâh ’anhu
SAW.
: Sallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
SWT.
: Subhânahu wa Ta‘âla
t.th.
: Tanpa tahun
t.tp.
: Tanpa tempat penerbit
tp.
: Tanpa penerbit
viii
ABSTRAK Hadîts adalah sumber otoritaf bagi kaidah nahwu, setelah al-Qur’ân. dan Ibnu Mâlik adalah ahli nahwu pertama yang mengembangkan konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu. Meskipun diakui bahwa pada masa ahli nahwu klasik pun Hadîts telah menjadi sumber kaidah nahwu, hanya saja porsi yang diberikan ahli nahwu klasik pada Hadîts Nabi SAW, tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai teks bahasa yang paling fashih dibandingkan dengan lainnya. Tesis ini sesungguhnya menentang pemikiran ahli nahwu masa kini Muhammad al-Khadr Husayn, bahwa hadîts-hadîts yang dapat dijadikan sumber kaidah nahwu adalah hadîts mutawâtir, shahîh dan hanya berupa hadîts qaulî, bukan hadîts fi’lî atau hadîts taqrirî. Dan tesis ini memperkuat pendapat Thaha Rawi bahwa seluruh teks Hadîts yang terkandung dalam berbagai kitab Hadîts yang masyhur dapat dijadikan sebagai dalil nahwu, tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana yang disampaikan ahli nahwu lainnya. Pertentangan akan otorisai hadîts ini sesungguhnya juga terjadi pada masa Ibnu Malik, sikap Ibnu Mâlik (w 672 H) yang berani menyatakan bahwa Hadîts adalah sumber kedua setelah al-Qur’ân, menuai kritikan dari ahli nahwu yang hidup sezaman dan setelahnya. Seperti Abu al-Hasan al-Dhâ’i (w 680 H) dan Abu Hayyân (w 745 H). Para penentang pemikiran Ibnu Mâlik ini beralasan bahwa lafadz yang ada pada Hadîts Nabi SAW adalah bukan lafadz Hadîts Nabi SAW sesungguhnya. Karena dalam ilmu Hadîts para ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Alasan kedua adalah, periwayat Hadîts lebih banyak berasal dari kalangan Ajam. Sehingga dikhawatirkan lafadz yang diriwayatkan oleh mereka bercampur dengan bahasa yang tidak fashih. Untuk memperkuat pendapat Thaha Rawi di atas, penulis menganalisa pemikiran Ibnu Mâlik tentang otorisasi Hadîts melalui karya-karya Ibnu Mâlik di bidang nahwu, seperti; Syawâhid al-Taudhîh, Syarh al-Umdah, Syarh al-Kâfiyah. Karya tersebut menjadi data primer yang menjadi informan original yang menceritakan akan pemikiran Ibnu Mâlik. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Hadîts dalam karya-karya tersebut menjadi objek penelitian penulis, untuk menghasilkan pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu Dari penelitian ini menghasilkan berbagai kesimpulan di antaranya; dalam pandangan Ibnu Mâlik hadîts qauli, fi’li, taqriri dapat dijadikan sebagai dalil nahwu. Karenanya setiap teks Hadîts yang ada dalam kitab Hadîts, meskipun penuturnya dari kalangan sahabat, tabi’in atau bahkan bukan Muslim sekalipun, seperti Abu Jahal. Kesemuanya dapat dijadikan sebagai sumber kaidah bahasa.
ix
Abstract While the holy qur’an is the primary source for Arabic grammar, al-Hadith (the sayings of Prophet Muhammad) constitutes the secondary source, rangking immediately next to the holy qur’an as far as rhetoric and eloquence. To a muslim, the Prophet’s speech (peace be upon him) exhibits such eloquence and rhetoric as would by far excel those of any other Arab. This should be evident from the fact thet he is Allah’s messenger upon whom has descended astricly Arabic holy scripture, the qur’an. As foe the Arabic language of the prophet’s companions and followers, it was marked by the fluency and naturalness of pure native Arabs, which later generations seem to lack. The later generations were in need of rules to govern their discourse. While al-hadith is uncontestedly the second source (next to the qur’an) for legislation and Arabic language, it is a standard reference for Arabic grammar according to two of the following three viewpoint; and it is my conviction that alHadith will for ever remain a source for citation and quotation-side bay side with the qur’an-a fact confirmed by the Prophet’s own saying: “I have passed over to you two things whith which you shall never go astray : Allah’s Book, and may own tradition”. I have grouped the controversial views over citation from al-hadith into three tendencies. The first view is that citation from the Prophet’s Hadith to substantiate Arabic grammar is perfectly valid. This position is supported by a number of grammarians like Ibn Kharuf (d. 209 H), Ibn Mâlik (d. 672 H) and Ibnu Hisyam (d. 671 H) This is bay far the strongest position. Ibnu Mâlik, considering al-hadith asource for grammatical reference, has allowed citation from it. Indeed, of all his contemporaries there is hardly anyone who has better claim for discriminating between true and false versions of Hadith than Ibnu Mâlik himself, who is well-renowneed among the shafi’ite circles; it is through Ibn Mâlik that al-Suyuthi has narrated a number of the prophet’s sayings; it is Imam Yunini, Ibn Jama’ah, and other eminent Muslim leaders that were his Companions. His Syawahid al-Taudhih wa al-Tashhih li Musykilat al-Jami’ al-Shahih (Elucidation and Explication of problems in the true Hadith Volume) provides sufficient evidence that this scholar has pursued only that which falls within the scope of his specialization, and that he is trustworthy as regards the Prophet’s sayings which he would take up or leave whenever the need for citation or quotation arises. The second position consists in the explicit rejection of quotation or citation from al-hadith. This position is held by a group of grammarians like Abu Hayyan (d. 745 H) Abu al-Hasan Ibn al-Dha’i (d. 680 H). Those who subscribed to this second position had two pieces of evidence to put forward: [a]. the possibility of-a meaningnarration. [b]. the occurrence of numerous instances of solecism, considering the fact that quite a number of narrators were non-Arabs and lacked the native command of Arabic grammar. The third tendency is the compromise position between permitting and refraining from citation. Of those who subscribe ti this view the most prominent is Abu Ishaq al-Syatibi (d. 790 H), who distinguishes two categories of Hadith.
x
ﲡﺮﻳﺪ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱ ﻫﻮ ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﰲ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻭ ﺍﻟﻔﺼﺎﺣﺔ .ﻭﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﺍﺯﺩﻫﺎﺭ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﻭﻻ ﻳﺸﻚ ﻣﺴﻠﻢ ،ﻭﻻ ﻳﺮﺗﺎﺏ ،ﰲ ﺃﻥ ﻓﺼﺎﺣﺔ ﺍﻟﻨﱯ ﻻ ﺗﻀﺎﻫﻴﻬﺎ ﻓﺼﺎﺣﺔ ،ﻭﺃﺳﻠﻮﺑﻪ ﰲ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻻ ﻳﻘﺎﺭﺑﻪ ﺃﺳﻠﻮﺏ ،ﻓﻠﻘﺪ ﻣﺪﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻔﺼﺎﺣﺔ ﺭﻭﺍﻗﻬﺎ ،ﻭﺷﺪﺕ ﺑﻪ ﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﻧﻄﺎﻗﻬﺎ ،ﻭﻫﻮ ﺍﳌﺒﻌﻮﺙ ﺑﺎﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺒﺎﻫﺮﺓ ﻭﺍﳊﺠﺞ ،ﺍﳌﱰﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺮﺁﻥ ﻋﺮﰊ ﻏﲑ ﺫﻱ ﻋﻮﺝ. ﻟﻜﻦ ﻭﻗﻊ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﺑﲔ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﰲ ﺍﻻﺣﺘﺠﺎﺝ ﺑﺎﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱ ﰲ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﺍﻟﻌﺮﰊ ،ﺇﱃ ﺛﻼﺛﺔ ﺍﲡﺎﻫﺎﺕ :ﺍﻻﲡﺎﻩ ﺍﻷﻭﻝ .ﺻﺤﺔ ﺍﻻﺣﺘﺠﺎﺝ ﺑﺎﳊﺪﻳﺚ ﰲ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﺍﻟﻌﺮﰊ ،ﺫﻫﺐ ﺇﱃ ﺫﻟﻚ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺤﺎﺓ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺑﻦ ﺧﺮﻭﻑ )ﺕ609.ﻫـ( ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ )ﺕ 672.ﻫـ( ﻭﺍﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ )ﺕ761.ﻫـ( .ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻻﲡﺎﻩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﳌﻌﻮﻝ ،ﻭﺇﻟﻴﻪ ﺍﳌﺼﲑ .ﻭﻗﺪ ﺃﻓﺼﺢ ﻟﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺩﺍﺋﺮﺓ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻣﺼﺪﺭﺍ ﻣﻦ ﻣﺼﺎﺩﺭﻫﺎ. ﺍﻻﲡﺎﻩ ﺍﻟﺜﺎﱐ :ﺭﻓﺾ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﺎﳊﺪﻳﺚ ﻭﺍﻻﺣﺘﺠﺎﺝ ﺑﻪ ﺻﺮﺍﺣﺔ .ﺫﻫﺐ ﺇﱃ ﺫﻟﻚ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺤﺎﺓ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﺑﻮ ﺣﻴﺎﻥ )ﺕ 745.ﻫـ( ﻭ ﺃﺑﻮ ﺍﳊﺴﻦ ﺍﻟﻀﺎﺋﻊ ) 680ﻫـ .ﻭﻗﺪ ﲤﺴﻚ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺬﺍ ﺍﻻﲡﺎﻩ ﺑﻌﻠﺘﲔ )ﺃ( ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﺑﺎﳌﻌﲏ) .ﺏ( ﻭﻗﻮﻉ ﺍﻟﻠﺤﻦ ﻛﺜﲑﺍ ﰲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ،ﻷﻥ ﻛﺜﲑﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻏﲑ ﻋﺮﺏ ،ﻭﻻﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺑﺼﻨﺎﻋﺔ ﺍﻟﻨﺤﻮ .ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺤﺎﺓ ﻳﺰﻳﺪ ﺗﻠﻚ ﻋﻠﺔ ﺭﻓﻀﻬﻢ ﻭﻫﻲ ﻭﻗﻮﻉ ﺍﻟﺘﺼﺤﻴﻒ ﻭﻭﺟﻮﺩ ﻭﺿﻊ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ. ﺍﻻﲡﺎﻩ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺍﻟﺘﻮﺳﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﻨﻊ ﻭﺍﳉﻮﺍﺯ .ﻭﻣﻦ ﺃﺑﺮﺯ ﻣﻦ ﺞ ﻫﺬﺍ ﺍﳌﻨﻬﺞ ﻫﻮ ﺃﺑﻮ ﺍﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﺸﺎﻃﱯ) .ﺕ 790 .ﻣـ( ﻓﻘﺪ ﻗﺴﻢ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺇﱃ ﻗﺴﻤﲔ) :ﺃ( ﻣﺎﻳﻌﺘﲏ ﻧﺎﻗﻠﻪ ﲟﻌﻨﺎﻩ ﺩﻭﻥ ﻟﻔﻈﻪ ،ﻭﻫﺬﺍ ﱂ ﻳﻘﻊ ﺑﻪ ﺍﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ) .ﺏ( ﻋﺮﻑ ﺍﻋﺘﻨﺎﻉ ﻧﺎﻗﻠﻪ ﺑﻠﻔﻈﻪ ،ﳌﻘﺼﻮﺩ ﺧﺎﺹ ،ﻛﺎﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﱵ ﻗﺼﺪ ﺎ ﻓﺼﺎﺣﺘﻪ ﻭﺍﻷﻣﺜﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ .ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺼﺢ ﺍﻻﺳﺘﺸﻬﺎﺩ ﺑﻪ ﰲ ﺍﻟﻨﺤﻮ. ﻫﺬﺍ ﲝﺚ ﰲ ﻣﻮﻗﻒ ﺍﻟﻨﺤﺎﺓ ﻣﻦ ﺍﳊﺪﻳﺚ ،ﻋﺸﺖ ﻓﻴﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺤﻮ ﻣﻨﺬ ﻧﺸﺄﺗﻪ ﻭﻇﻬﻮﺭ ﺍﳊﺎﺟﺔ ﺇﻟﻴﻪ، ﻭﺣﺎﻭﻟﺖ ﺃﻥ ﺃﺗﻠﻤﺲ ﺍﳉﻬﻮﺩ ﺍﻷﻭﱃ ﻟﻮﺿﻌﻪ ،ﻭﺍﻷﺻﻮﻝ ﺍﻷﺳﺎﺳﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﻌﺮﺏ.
xi
KATA PENGANTAR Puja dan puji hanya milik Allah Yang Maha Luhur dan Agung. Dia adalah Dzat Yang Maha Baik, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui keinginan hamba-hambaNya dan Maha Memudahkan segala urusan kekasih-kekasih-Nya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW. Penelitian ini adalah respon dari kegusaran penulis dalam melihat karya-karya ahli nahwu klasik, yang lebih banyak berdalil dengan syair dari pada Hadîts Nabi SAW. Padahal sejauh pengetahuan penulis, bahasa yang dituturkan oleh Nabi SAW adalah bahasa fashih, terbaik dari pada bahasa lainnya. Untuk mengetahui posisi Hadîts dalam pemikiran ahli nahwu, penulis menelitinya melalui pandangan dan pemikiran Ibnu Malik. Dipilihnya Ibnu Mâlik sebagai tokoh ahli nahwu, bukan tanpa alasan. Ia adalah ulama yang memiliki pengaruh terbesar dalam pemikiran nahwu. Dan ia disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang paling perhatian dalam membela dan mempertahankan bahasa Hadîts Nabi SAW. Maka itu, tidak heran jika teks Hadîts Nabi SAW mendapatkan porsi yang lebih, jika dibandingkan dengan sikap ahli nahwu sebelumnya, terhadap teks Hadîts. Alhamdulillah, sejak penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007, hingga selesainya penulisan tesis ini, penulis tidak mendapatkan hambatan-hambatan berarti. Namun demikian tantangan yang memotivasi penulis untuk lebih kritis dan giat dalam memperkaya pengetahuan dalam bidang yang penulis tekuni, tentunya tidak sedikit. Keberhasilan penulis dalam melewati tantangan-tantangan tersebut, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari dosen, kawan, keluarga dan semua pihak yang ada dibalik layar keberhasilan ini. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap jajaran staf departemen Agama yang membiayai studi yang penulis lakukan. Kepada segenap dosen dan civitas akademika sekolah pasca sarjana UIN Jakarta, yang telah berkhidmah dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan penulis, khususnya
xii
pembimbing penulis; Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA. Dan kepada para penguji tesis ini; Dr. Udjang Thalib, Prof. Dr. Moh. Matsna, MA dan juga Dr. Syahabuddin, MA yang sudah penulis anggap sebagai orang tua penulis sendiri. Kepada orang tua penulis Bpk. Abdul Hakim dan segenap keluarga, ayah mertua penulis Bpk. H. Kusnadi dan segenap keluarga, istri penulis Hj. Nendah Nurjannah. S.Sos yang selalu mendorong penulis untuk lebih giat dalam menuntut ilmu, dan putra penulis Saqy Fatih Ulwan, penulis ucapkan Jazakumullah. Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, beliau adalah guru penulis di bidang Hadîts dan ilmu Hadîts, ajaran dan bimbingannya telah membuat penulis berani untuk mengkaji penelitian ini, yaitu otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa. Segenap guruguru pesantren Modern Darul Ulum lido, penulis haturkan jazakumullah, beliaubeliau adalah guru-guru penulis yang pertama kali menanamkan ilmu agama dan bahasa Arab pada diri penulis. Kawan-kawan penulis yang berada di berbagai penjuru dunia; Belanda, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, Sudan, Maroko dan juga seluruh sahabat dan teman diskusi penulis, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih pada mereka atas kesediaannya sebagai sahabat dan teman diskusi. Di antara yang berperan dalam keberhasilan penulisan tesis ini adalah staf perpustakaan sekolah pasca sarjana UIN Jakarta dan LIPIA. Khususnya Kang Mukhtar, Lc dan Ust. Dahri, Lc; keduanya staf perpustakaan LIPIA yang selalu membantu penulis dalam mencarikan referensi-referensi primer, sehingga proses penulisan tesis ini lebih ringan dari semestinya. Dan terakhir, kepada seluruh muslimin dan muslimat yang selalu mendoakan penulis, saudara-saudara penulis yang ada di Tasikmalaya, tempat kelahiran penulis dan seluruh orang-orang yang menyayangi penulis, penulis haturkan terima kasih. Allah yarhamuna wa yusahhil umurana insya Allah.[] Pondokgede, 09 Agustus 2009 Aang Saeful Milah
xiii
DAFTAR ISI PERNYATAAN PENULIS……………………………………………………….. ii PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………… iii PENGESAHAN TIM PENGUJI………………………………………………….. iv TRANSLITERASI ………………………………………………………………. v SINGKATAN…………………………………………………………………….. viii ABSTRAKSI……………………………………………………………………... ix KATA PENGANTAR……………………………………………………………. xii DAFTAR ISI……………………………………………………………………… xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………. 1 B. Permasalahan……..……………………………………………………... 13 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………... 15 D. Signifikansi Penelitian……………………………………………………16 E. Kajian Terdahulu yang Relevan …………………………........................ 16 F. Metode Penelitian……………………………………………………….. 18 G. Sistematika Penulisan…………………………………………................ 19 BAB II HADITS DAN NAHWU A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu…………………………… 22 B. Nahwu pada Periode Klasik ……………………………………………. 35 C. Aliran Pemikiran Nahwu……………………………………………….. 39 BAB III IBNU MALIK DAN AHLI NAHWU KLASIK A. Biografi Ibnu Malik……………………………………………………. 52 B. Hadits dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik……………… 57 BAB IV PENENTUAN IBNU MALIK BERKENAAN DENGAN HUKUM FI’IL, ISIM DAN HURUF A. B. C. D. E. F.
Ciri-ciri Isim…………………………………………………………… 65 Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi…………… 66 Tetapnya khabar al-Mubtada’ setelah laula…………………………… 68 Al-Asmâ’ al-Sittah…………………………………………….............. 71 Membatasi Mubtada’………………………………………………….. 77 Khabar terdiri dari jumlah……………………………………………… 77
xiv
G. H. I. J. K. L. M. N. O. P. Q.
Mengedepankan khabar dari Mubtada’………………………………... 78 Naib al-Fâ’il……………………………………………………………. 81 AlMunada…………………………………………………………… … 82 AlIstitsna’…………………………………………………………… … 83 Isim al-Tafdhil atau af’al alTafdhil……………………………………. 85 Menyembunyikan huruf al-Nidâ’……………………………………… 86 Menyembunyikan huruf fa’ pada jawâb syarth………………………… 87 Fi mengandung makna ta’lîl…………………………………………… 90 Penggunaan ِﺇ ﹾﺫpada tempat ِﺇﺫﹶﺍatau sebaliknya………………………… 90 Al-Mashdar…………………………………………………………….. 93 al-Mamnû’ min al-Sharf……………………………………………….. 93
BAB V PENENTUAN IBNU MALIK BERKENAAN DENGAN HUKUM TAWABI’, MAF’UL DAN ANALISA HADITS IBNU MALIK A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K.
Na’at dan Man’ut……………………………………………………. Mudhâf dan Mudhâf ilaih…………………………………………… Tamyiz……………………………………………………………….. Athaf al-Nasaq………………………………………………………. Al-Maf’ul Ma’ah atau Athaf………………………………………… Al-Taukid al-Lafdzi………………………………………………….. Menyembunyikan Muakkad………………………………………….. Badal…………………………………………………………………. Menjaga lahjat Arab………………………………………………….. Analisis bentuk Hadits yang menjadi sumber kaidah Ibnu Malik…… Pengaruh pemikiran otorisasi Hadits terhadap ahli Nahwu………….
95 96 112 113 116 117 118 121 124 126 159
BAB VI PENUTUP
xv
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 166 B. Saran……………………………………………………………………. 169 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 170 DAFTAR HADITS……………………………………………………………….. 170 RIWAYAT HIDUP PENULIS……………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Di antara hasil Konferensi Dakwah Islamiyah ke-8, yang berlangsung pada akhir tahun 2008 M di Libya,1 adalah seruan kepada seluruh umat Islam untuk memperdalam dan mengkaji ilmu bahasa Arab. Karena bahasa Arab memiliki arti penting bagi umat Islam, ia terpilih menjadi bahasa al-Qur’ân dan al-Hadîts; kitab suci umat Islam. Dalam ibadah shalat, yang merupakan ibadah wajib dan sebagai bentuk komunikasi hamba dengan Tuhan-Nya, lafadz yang digunakan adalah bahasa Arab, tidak dibenarkan menggunakan selainnya. Maka itu sangat tepat jika seruan tersebut menjadi perhatian ulama dunia, karena pada nyatanya tidak sedikit umat Islam yang salah dan menyimpang dalam memahami teks al-Qur’ân, disebabkan 1
Konferensi ini digelar oleh World Islamic Call Society (WICS) sebuah lembaga dakwah yang didirikan Libya pada tahun 1972 M. Perhelatan akbar ini mempertemukan 460 organisasi massa Islam dari 120 Negara, di antaranya Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan pada 27-30 oktober 2008 dengan pembahasan utama seputar tantangan dakwah di Era global.
xvi
kurangnya memahami ilmu bahasa Arab. Karenanya Ibnu Khaldûn (w 732 H) mewajibkan bagi ahli agama untuk belajar dan memahami ilmu bahasa Arab.2 Secara historis, bahasa Arab termasuk pada kelompok bahasa Semit.3 Di antara bahasa-bahasa Semit yang ada, bahasa Arab adalah bahasa yang paling maju.4 Dalam pandangan Ahmad Ghafur faktor inti yang mendukung kemajuan bahasa Arab ini adalah kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’ân yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, bahkan pada masa awal kemunculan Islam, al-Qur’ân mampu menyatukan berbagai dialek5 yang ada di jazirah Arab.6 Selain karena kitab suci tersebut dibaca dan ditelaah oleh seluruh umat Islam bahkan umat lainnya, dari kedua teks tersebut juga banyak melahirkan makna-makna baru bagi kata-kata bahasa Arab, sehingga satu kata memiliki makna lebih dari satu, atau satu jenis dzat memiliki puluhan bahkan ratusan kata.7 Selain itu, ulama Islam sendiri banyak
2
Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 545. Senada dengan Ibnu Khaldûn, Ibnu Fâris pun menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab merupakan kewajiban pokok bagi pengkaji alQur’ân dan al-Hadîts. Lihat Ibn Fâris, al-Shâhiby, hal. 50. 3 Jurjy Zaydân, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfâdz al-‘Arabiyyah (Dâr al-Hilâl), hal. 48. 4 Bahasa yang pernah digunakan umat manusia, dapat dibagi menjadi tiga rumpun; Pertama Indo-Eropa. Kedua; Semit-Hemit dan Ketiga Turania. Bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab saat ini sangat terbatas sekali penggunanya. Bahkan menurut para ahli bahasa, tidak sedikit bahasa yang pernah digunakan manusia sebagai alat komunikasi telah hilang dari peredaran dan tidak digunakan lagi. Ini tentu berbeda dengan bahasa Arab yang hingga saat ini kian maju dan berkembang. Lihat Mahmûd Fahmi Hijâzy, Ilm al-Lughah, madkhal târikhî muqâran fi dhau’i al-Turâts wa alLughat al-Sâmiyyah, (Kuwait), hal. 194-213 5 Adalah merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun suatu masyarakat berbicara satu bahasa, namun tetap mengalami perbedaan dialek yang mencolok dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya dalam penggunaan kata-kata qultu ( ﻗﻠﺖ: saya bicara), orang Mesir mengungkapkan dengan kata ult, diganti dengan u dari kosakata q. Orang Yaman mengatakan dengan ungkapan gultu kendati dalam menulis kata-kata semua orang Arab akan mengatakannya secara identik. Di Makkah, mayoritas Muslim memiliki latar belakang budaya yang beragam, karena Islam berkembang melewati batas kesukuan dan mencakup seluruh jazirah Arab, sehingga berbagai aksen terjadi kontak satu sama lain. lihat M.M. Al-A’zami, The History of the Qur’anic text. Terjemah Ali Mustafa Yaqub, Sejarah Teks al-Qur’ân (Jakarta; Gema Insani 2005), hal. 66-67. Dan untuk lebih mengenal perbedaan dialek-dialek Arab masa lampau, dapat dilihat dalam buku, Dirâsat al-Lahjât alArabiyyah al-Qadîmah, karya Dâwud Sallûm (Beirut; Maktabah al-Nahdhah al-Arabiyah 1987), cet. Ke-1 6 Fahd al-Rûmy, Khashâish al-Qur’ân, (Riyâdh; 1410 H), cet. Ke-5, hal. 60 7 Seperti kalimat shalat yang semula hanya bermakna ‘do’a’ kini mengalami perluasan makna. Antara lain bermakna perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. lihat Ahmad Abdul Ghofur Aththâr, Difâ’ an al-Fushha (Makkah; 1979), cet. Ke-1, hal. 35.
xvii
berkontribusi pada kemajuan bahasa Arab, misalnya dengan munculnya ilmu tafsîr, hadîts, filsafat dan keilmuwan lainnya yang menuntut adanya istilah-istilah baru dalam keilmuwan tersebut,8 sehingga menambah kosa kata dalam bahasa Arab. Di antara faktor pendukung kemajuan bahasa Arab lainnya adalah keistimewaan dari segi unsur-unsur kebahasaan yang dimiliki bahasa Arab itu sendiri. Secara umum suatu bahasa mempunyai dua macam unsur, al-Shaut (bunyi) dan alDilâlah (makna). Al-Dilâlah ini merupakan kajian leksikologi, sintaksis, morfologi dan stilistik,9 dalam bahasa Arab dikenal dengan Qâ’idah Nahwiyah dan Qâ’idah Sharfiyyah.10 Dari sisi keistimewaan bunyi, bahasa Arab tidak perlu diragukan lagi, karena ia memiliki lima belas makhraj (tempat keluar) huruf dan tiga belas sifat bunyi.11 Ibnu al-Atsîr (w. 606 H) menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang terjaga dan tidak dimasuki oleh kesalahan dan kecacatan, hal itu berlangsung hingga terjadi ekspansi ke beberapa daerah yang menyebabkan bangsa Arab bercampur dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain.12 Sesungguhnya terjaganya kualitas keluhuran bahasa Arab tidaklah mengherankan, karena masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah
Bahkan menurut De’ Hammaer ditemukan kata yang menunjuk kepada unta dan keadaannya sebanyak 5.644 kata. Lihat M. Qurais Syihab, Mukjizat al-Qur’ân, hal. 96. 8 Ahmad Abd al-Ghafûr Aththâr, Difâ’ an al-Fushha, hal. 36 9 Ali Abd al-Wâhid Wâfi, Fiqh al-Lughah hal 164 10 Dalam menganalisis kebahasaan kedua kaidah ini tidak dapat dipisahkan, karena keduaduanya merupakan kaidah yang khas dalam bahasa Arab, dan menjadi pembeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Arab mempunyai keistemawaan yang luar biasa dalam aspek morfologis dan sintaksis. Di antara keistimewannya itu adalah; Pertama; Dari aspek morfologis dan sintaksis, bahasa Arab adalah bahasa paling luas di antara bahasa-bahasa Semit lainnya. Kedua; Dalam bahasa Arab terdapat banyak bentuk jama’ taksîr, yang di dalam bahasa Semit lainnya hanya terdapat satu bentuk saja. Ketiga; Satu kata dasar bahasa Arab dapat melahirkan banyak kata, baik dengan perubahan harakat maupun penambahan atau tanpa penambahan huruf, seperti ( ﻗﺎﻝqâla) yakni qâf, wâwu dan lâm, dapat dibentuk enam bentuk kata yang kesemuanya mempunyai makna. Selengkapnya dapat dilihat di Lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr. 11 Untuk mendapatkan keterangan lebih mendalam tentang pembahasan bunyi dalam bahasa Arab, dapat dilihat pada Ali Abd al-Wâhid Wafi, Fiqh al-Lughoh, hal. 165-168 12 Ibn al-Atsîr, al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, (Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah 1997), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 9
xviii
dan permulaan Islam berkomunikasi dengan fashâhah.13 Pada masa itu bahasa yang digunakan adalah bahasa fashih, baik dalam ragam frozen, formal maupun consultative. Bahkan sebagian peneliti bahasa mengungkapkan bahwa bahasa fashih merupakan tabiat dan karakter bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan permulaan Islam.14 Terjaganya bahasa Arab fashih ini berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah di daerah pedesaan, sedangkan di perkotaan hingga akhir abad kedua hijriyah.15 Pada masa jahiliyah,16 bangsa Arab hidup bersuku-suku dengan tingkat kefashihan yang berbeda-beda. Letak geografis tempat tinggal setiap suku yang berbeda itu telah mengakibatkan perbedaan tingkat kefashihan antara satu tempat dengan tempat lain. Suku pedalaman jazirah Arab memiliki tingkat kefashihan yang berbeda dengan suku-suku yang berada di pinggiran jazirah Arab. Dan suku yang menetap di pedalaman mempunyai tingkat kefashihan paling tinggi, suku-suku tersebut adalah suku Tsaqîf, Kinânah, Hudzayl, Khuzâ’ah, Gatafân, Tamîm dan Asad.17 Sedangkan suku-suku yang menetap di pinggiran jazirah Arab mempunyai bahasa yang kurang fashih sejak zaman jahiliyah. Ini terjadi karena suku-suku tersebut telah bercampur dengan orang-orang Ajam (non-arab).
13
Al-Fashâhah berarti ungkapan yang jelas dan nyata, serta terbebas dari kesalahan secara lingusitik. Adapaun bahasa Arab Fashih adalah bahasa Arab yang terhindar dari berbagai kerancuan, yaitu bahasa Arab baku atau bahasa Arab standar. Lihal lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 3419-3420 14
Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990), hal. 5 Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna al-Qadîm wa al-Hadîts ( Mesir; Dar alMa’ârif), cet. Ke-2, hal. 24 16 Jurzy Zaydan membagai periode Jahiliyah pada dua masa. Jahiliyah pertama adalah sebelum masehi hingga abad kelima masehi, menurut Zaydan bahasa Arab pada masa ini belum widespread (tersebar luas). Adapun masa Jahiliyah kedua dimulai dari abad kelima masehi hingga datangnya Islam, masyarakat pada masa ini merupakan masyarakat yang pandai dalam berbahasa Arab, mereka berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu pada masa ini bahasa Arab yang digunakan adalan bahasa yang baik, selamat dari kecacatan dan terpatri kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Jurjy Zaydan, al-Lughah al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, hal 12-14. lihat juga Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyat al-Lughah al-Arabiyyah, hal. 42 17 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555 15
xix
Dengan bercampurnya Ajam dan Arab, dan intensnya komunikasi antara keduanya telah berdampak langsung pada kualitas bahasa di masyarakat tersebut, sehingga dalam perjalanannya, muncullah Lahn18 dalam bahasa Arab, yang kemudian membentuk bahasa yang disebut dengan bahasa ‘Amiyah.19 Akibatnya di beberapa suku, pengguna bahasa Arab fushhah mengalami degradasi, kecuali Quraisy dan Bani Sa’ad.20 Ini karena letak geografis Quraisy jauh dari kota-kota di luar Arab, sehingga Quraisy memiliki bahasa yang paling fashih di antara suku lainnya.21 Dengan munculnya lahn karena akibat kentalnya komunikasi Ajam dan Arab, berpengaruh pula pada bacaan al-Qur’ân sebagian Muslim, bahkan kesalahan dalam membaca alQur’ân ini, ditemukan pada generasi Muslim pertama.22 Sesuai dengan kenyataan di atas, sejak Islam mulai dijadikan sebuah keyakinan masyarakat Arab, perhatian terhadap penyusunan kaidah-kaidah penulisan, pembacaan dan penuturan bahasa Arab dirasakan sangat penting. Maka beberapa ulama yang prihatin akan hal di atas, berusaha semaksimal mungkin, agar bahasa
18
Ibnu Mandzûr mendefinisikan lahn dengan ( ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﰲ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺍﻟﻨﺸﻴﺪkesalahan membaca
dan menyanyi (membacakan syair). Sedangkan menurut al-Barr dan yang lainnya, salah satu makna lahn adalah kesalahan dalam i’râb. lihat lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 4013-4014 19 Bahasa Âmiyah adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh komunitas bangsa Arab dalam pergaulan di antara mereka, dan tidak terikat dengan kaidah gramatika bahasa. Tentunya hal itu berbeda dari bahasa Arab fushha. 20 Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang awal kemunculan lahn dalam bahasa Arab. Ada yang berpendapat setelah munculnya Islam, dengan alasan sebelum datangnya Islam masyarakat Arab terbiasa berbicara fashih. Namun hemat penulis, lahn sesungguhnya telah ada sejak zaman jahiliyah, ini dikarenakan sebagian suku bangsa Arab, pada masa itu sudah bercampur dengan masyarakat nonArab. Dan istilah lahn sendiri sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Ini sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda; “Aku adalah orang Quraisy dan hidup pada suku Bani Sa’ad, jadi bagaimana bisa saya mempunyai lahn. Lihat al-Suyûthi, al-Muzhir Juz. 2, hal. 397 21 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555 ﻻ ﻳﺄﻛﻠﻪ ﺇﻻ ﺍﳋﺎﻃﺌﲔ, padahal yang 22 Diriwayatkan bahwa Imam Ali k.w mendengar orang Arab membaca al-Qur’ân, surah al-Hâqqah ayat 37 benar adalah
ﺇﻻ ﺍﳋﺎﻃﺌﻮﻥkonon inilah yang menjadi motivasi Imam Ali untuk merumuskan Ilmu Nahw . Lihat Abd al-Karim Muhamm d al-As’ad, al-
u
a
Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby hal 28.
, .
xx
Arab terjaga kemurniannya, diantara yang paling populer adalah Ali bin Abi Thâlib dan Abu al-Aswad al-Du`aly.23 Maka itu sesungguhnya motivasi penulisan gramatika bahasa hadir dari kesadaran masyarakat generasi pertama akan pentingnya memahami al-Qur’ân secara mendalam.24 Sehingga peletakan kaidah nahwu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan, terlebih bagi Ajam yang belum memahami bahasa Arab fashih dengan sempurna. Selain motivasi agama, ada motivasi non-agama yang menguatkan masyarakat Arab untuk meletakkan kaidah gramatika dalam bahasa mereka, yaitu kebanggaan akan keluhuran dan keistimewaan yang terdapat dalam bahasa Arab.25 Mereka khawatir bahasa yang luhur ini akan rusak oleh lahn, karena becampur dengan bahasa Ajam. Itu sebabnya mengapa kaidah bahasa Arab perlu ditulis dan ditetapkan, antara lain sebagai alat kontrol bagi kefashihan bahasa itu sendiri. Dalam proses penetapan kaidah gramatika bahasa Arab, para ulama nahwu tentunya berpijak pada sumber bahasa Arab, Ahmad menyatakan bahwa sumber nahwu terdiri dari dua macam; Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah. Sumber al-Manqûl terdiri dari al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW, dan perkataan orang Arab baik yang berbentuk Sya’ir ataupun Natsr. Adapun al-Ma’qûl terdiri dari Qiyâsh dan Ishtishhâb atau yang lainnya, disebut demikian karena kedua sumber tersebut diperoleh melalui akal.26
23 Abu al-Aswad menceritakan bahwa ia bertemu Amîr al-Mu’minîn Ali Amir al-Mu’
. k.w, di tangannya terdapat Raq’ah. Kemudian aku bertanya; wahai
nin apa ini? Dia menjawab; Aku telah mengamati perkataan masyarakat, dan aku temukan perkataannya telah rusak karena seringnya
mi
berkomunikasi dengan Ajam, maka aku berinisiatif untuk melakukan sesuatu agar mereka dapat merujuk dan kembali pada ini (raq’ah). Kemudian Ali menyerahkan Raq’ah itu kepadaku, kudapati bertuliskan .ﳌﻌﲏ
ﻭﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﺃﻧﱯﺀ ﺑﻪ ﻭﺍﳊﺮﻑ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ، ﻓﺎﻻﺳﻢ ﻣﺎ ﺃﻧﺒﺄ ﻋﻦ ﺍﳌﺴﻤﻲ،ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻛﻠﻪ ﺍﺳﻢ ﻭﻓﻌﻞ ﻭﺣﺮﻑ. Kemudian Imam Ali
berkata kepadaku; “Selesaikan nahwu ini, dan tulislah jika kamu menemukan kesalahan lainnya. lihat Abdul Karim Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby hal 28
, .
24 Khadr Musa Muhammad Hammûd, Al-Nahwu wa al-Nuhât, (Beirut; Alam al-Kutub 2003) hal 10
,
25
.
atu-satunya bahasa yang mendapatkan pujian dari Pencipta Alam. Ini tergambar dalam firman Nya;
Bahasa Arab adalah s
-
ﺎِﺇﻧ
َﻌ ِﻘﻠﹸﻮﻥ ﺗ ﻌﻠﱠﻜﹸﻢ ﺎ ﹶﻟﺑِﻴﺮﺎ ﻋﺮ َﺁﻧ ﻩ ﹸﻗ ﺎﺰﹾﻟﻨ ﻧ( ﹶﺃQS. Yusuf: 02). Lihat juga QS Al-Ra’d: 37, QS Thoha: 113, QS al-Zumar: 28, QS al-Syura: 7. 26 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002), hal. 31
xxi
Tidak ada perselisihan di kalangan ahli nahwu dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber dalam penetapan kaidah nahwu. Hal ini berbeda dengan Hadîts Nabi SAW, yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam syariat. Dalam ilmu bahasa Arab, otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa menjadi kontroversi, padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbahasa Arab di antara sahabat dan seluruh umatnya. Dan pada prakteknya Hadîts kurang diperhitungkan dalam penetapan kaidah nahwu.27 Kalaupun ada teks Hadîts Nabi SAW dalam sebagian literature ilmu nahwu, itu sebatas pelengkap dan penguat atas sumber lain yaitu al-Qur’ân dan perkataan orang Arab, tidak dimaksudkan sebagai hujjah dalam penetapan kaidah nahwu.28 Kaitannya dengan kontroversi otoritas Hadîts di atas, ahli nahwu terbagi ke dalam tiga pandangan berkenaan dengan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu; Pertama, madzhab yang membolehkan. Madzhab ini adalah madzhab Ibnu Mâlik, ia adalah ahli nahwu yang dengan tegas menyatakan bahwa Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan syair. Alasannya, perkataan Nabi SAW merupakan perkataan paling fashih dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi alasan utama madzhab ini dalam mempertahankan dan membela Hadîts sebagai dalil nahwu. Madzhab ini pun membantah jika peran Hadîts dalam melahirkan kaidah nahwu baru muncul belakangan. Dalam pandangan madzhab ini, ahli nahwu klasik pun telah berdalil dengan Hadîts, hanya saja kuantitas Hadîts yang digunakan tidak sebanyak Hadîts yang digunakan oleh ahli nahwu yang hidup pada abad ketujuh dan seterusnya. Maka itu ulama madzhab ini berkeyakinan kuat bahwa Hadîts adalah sumber kaidah nahwu yang sah, keyakinan ini terwujud dalam karya-karya yang lahir dari ulama madzhab ini. Dalam penetapan kaidah nahwu mereka menjadikan Hadîts sebagai dalil atas kaidahnya.
hal. 55
27
Abd al-Hamid al-Syalqany, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh; Jâmi’ah al-Riyâdh 1980 M),
28
Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby, hal. 47-48
xxii
Tidak dipungkiri bahwa sebelum Ibnu Mâlik, ada ulama lain yang menjadikan Hadîts sebagai dalil nahwu yaitu al-Suhayli (w 581 H), beliau disebut sebagai orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Meskipun ada juga ulama lain yang mengatakan bahwa Ibnu Kharûf (w 609 H) adalah orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan nahwu, namun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Ied, ia mengatakan bahwa pernyataan ulama kontemporer yang mengatakan hal demikian adalah keliru, karena al-Suhayli hidup lebih awal dibandingkan dengan Ibnu Kharûf. Selain itu al-Suhayli juga disebut sebagai inspirator bagi Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah bahasa Arab.29 Sanggahan atas pandangan para penentang Hadîts, ditegaskan pula oleh ahli nahwu kontemporer yang mendukung madzhab ini, dengan dua jawaban; Pertama, memang benar ada tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu terjadi pada masa awal Islam, sebelum kodifikasi Hadîts di kitab-kitab yang dikenal saat ini. Karena pada awal Islam, bahasa Arab yang mereka gunakan belum rusak, kefashihannya masih terjaga, kalaupun terjadi periwayatan dengan makna, itu hanya pergantian lafadz Nabi SAW dengan lafadz yang sinonim. Kedua, adanya anggapan bahwa ulama klasik tidak menggunakan Hadîts sebagai dalil gramatika, maka sesungguhnya sikap ulama klasik tersebut tidaklah menunjukkan larangan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu.30 Melainkan karena tidak semua ahli gramatika bahasa Arab menguasai periwayatan Hadîts. Sehingga absennya Hadîts dalam karya mereka, bukanlah menunjukkan keraguan mereka akan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa, melainkan karena faktor lain, seperti belum maraknya tradisi periwayatan Hadîts pada masa itu. Ini berbeda dengan periwayatan syair, yang mudah didapatkan dari setiap orang Arab. Kesimpulannya menurut madzhab ini Hadîts adalah dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sehingga tidak perlu diragukan keotentikannya sebagai ucapan Nabi 29 30
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 87 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 9
xxiii
SAW. Karena kemampuan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab fashih tidak ada tandingannya. Maka itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak ucapan Nabi SAW sebagai dalil. Adapun bantahan mereka terhadap para penentang Hadits sebagai dalil Nahwu akan dianalisa dalam sub bab berikutnya. Kedua, madzhab yang tidak membolehkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa pelopor ulama nahwu yang tidak membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu adalah Ibnu al-Dhâ’i (w 686 H) dan Abu Hayyân (w 745 H). Ibnu al-Dhâ’i dikenal sebagai orang pertama yang mengkritisi konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, dan ia menyimpulkan bahwa para ahli bahasa terdahulu seperti Sybawaih dan lainnya tidak pernah berdalil dengan Hadîts, sikap mereka ini dalam pandangan Ibnu al-Dhâ’i disebabkan karena dalam ilmu Hadîts ada kaidah yang menyatakan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan maknanya saja.31 Sehingga lafadz yang disebut sebagai Hadîts Nabi SAW dimungkinkan merupakan lafadz periwayat Hadîts. Pendapat ini kemudian diikuti oleh muridnya, Abu Hayyân. Dan kemudian Abu Hayyân menjadi orang pertama yang mengkritisi pemikiran Ibnu Mâlik, yang nota bene banyak berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu32. Ulama madzhab ini menjelaskan, di antara sebab penolakan mereka adalah, karena ketidakyakinan mereka akan lafadz Hadîts tersebut merupakan lafadz Rasulullah SAW, ketidakyakinan ini berdasarkan dua hal; Pertama, adanya kaidah yang mengatakan bolehnya bagi periwayat Hadîts untuk meriwayatkan suatu Hadîts dengan maknanya saja,33 sehingga dimungkinkan lafadz Hadîts yang ia riwayatkan bukanlah lafadz yang diucapkan Nabi SAW, namun lafadz dari periwayat Hadîts tersebut. Buktinya ditemukan satu kisah tentang peristiwa pada masa Nabi SAW, diriwayatkan dengan berbagai lafadz yang berbeda, padahal peristiwanya sama dan 31
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 85 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz 1, hal. 14. Lihat juga di Hasan Mûsa al-Syâ’ir, alNuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 47 33 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 86 dan lihat juga Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, hal. 48 32
xxiv
sumbernya juga sama yaitu Rasulullah SAW. Menurut madzhab ini, hal tersebut membuktikan bahwa Hadîts yang dikenal sekarang, lafadznya tidaklah pasti sama dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW. Contohnya adalah riwayat;34
() ﺧﺬﻫﺎ ﲟﺎ ﻣﻌﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ( )ﺯﻭﺟﺘﻜﻬﺎ ﲟﺎ ﻣﻌﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ( ) ﻣﻠﻜﺘﻜﻬﺎ ﲟﺎ ﻣﻌﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ Maka itu dari beberapa riwayat di atas nampaklah bahwa Rasulullah SAW tidak melafadzkan seluruh lafadz tersebut, bahkan boleh jadi sebagiannya pun tidak, kendati tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi SAW menuturkan kata sinonim dengan lafadz tersebut. Dengan demikian diyakini bahwa periwayat tidak mengutip lafadz Nabi SAW secara keseluruhan, namun hanya menyampaikan maknanya, yaitu kata yang sinonim dengan lafadz yang digunakan Nabi SAW. Bisa demikian karena dalam Hadîts, yang diprioritaskan adalah makna yang disampaikan oleh Nabi SAW, bukan lafadznya. Ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh salah satu periwayat Hadîts, yaitu Sufyân al-Tsauri, “Jika aku mengatakan bahwa Hadîts yang aku sampaikan adalah sebagaimana yang aku dengar, maka janganlah percaya, karena yang aku sampaikan hanya maknanya saja.35 Kedua, terjadinya lahn pada ucapan periwayat Hadîts, ini dikarenakan periwayat Hadîts mayoritas bukan penduduk Arab asli, melainkan penduduk di luar Arab, dan mereka tidak memahami dengan baik dzauq bahasa Arab yang benar. Dengan
demikian
dimungkinkan
sekali
Hadîts
yang
mereka
riwayatkan
terkontaminasi dengan ucapan mereka.36 Dari kedua alasan tersebut, madzhab ini berkeyakinan bahwa Hadîts tidak layak dijadikan dalil dalam penetapan kaidah bahasa, karena tidak adanya kepastian bahwa lafadz Hadîts tersebut benar-benar lafadz yang dituturkan Nabi SAW. 34
(HR. al-Bukhâri), Hadîts ini diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. ini mengisahkan adanya seorang wanita yang menawarkan diri pada baginda Nabi SAW untuk dijadikan istri, namun kemudian ada seseorang yang menginginkan perempuan tersebut. Dan Nabi SAW pun menikahkannya, meskipun dengan maskawin bacaan al-Qur’ân, karena laki-laki tersebut tidak memiliki harta. Hadîts ini diriwayatkan oleh berbagai periwayat Hadîts dengan lafadz yang berbeda, seperti tercantum di atas. 35 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 11 36 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 146. Dan lihat Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 42
xxv
Ketiga, madzhab pertengahan. Di antara kedua madzhab di atas, terdapat madzhab ketiga, yaitu sebagian ulama yang secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak berpihak pada salah satu di antara kedua madzhab tersebut. Karena itu, ulama madzhab ini terkadang berdalil dengan Hadîts dan terkadang juga tidak, mereka memiliki konsep tersendiri tentang otorisasi Hadîts, yang tentunya berbeda dengan kedua madzhab pendahulunya. Pelopor madzhab ini adalah Imam al-Syâtibi (w 790 H), beliau mengatakan, “Kami belum pernah menemukan satu ulama nahwu pun yang berdalil dengan Hadîts, yang kami temukan adalah mereka berdalil dengan syair dalam penetapan kaidah nahwu, karena dalam Hadîts yang dinukil adalah maknanya saja, bukan lafadznya. Sehingga lafadznya berbeda-beda meskipun dalam konteks yang sama, ini tentunya berbeda dengan syair, dalam syair para periwayat lebih fokus pada lafadznya.37 Dalam pandangan al-Syâtibi, dari sisi penukilan Hadîts terbagi ke dalam dua macam; pertama, Hadîts yang dinukil hanya maknanya saja, tidak dengan lafadznya, maka Hadîts ini tidak dapat dijadikan dalil. Kedua, Hadîts yang dinukil oleh periwayat dengan makna dan lafadznya dengan maksud-maksud tertentu, yaitu untuk menunjukkan kefashihan bahasa Nabi SAW, seperti surat-surat yang ditulis oleh beliau, misalnya surat kepada Hamdân, Wâ’il bin Hajar, dan juga peribahasa Rasulullah SAW. Maka itu menurut madzhab pertengahan, kategori Hadîts ini dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu.38 Ulama kontemporer berbeda pendapat apakah al-Suyûthi bagian dari yang sepakat atau tidak akan otoritas Hadîts sebagai dalil nahwu, karena al-Suyûthi tidak menyatakan secara terang-terangan bahwa ia menolak Hadîts atau menerimanya sebagai dalil nahwu. Meskipun dalam karya-karya bahasanya ia kerap menampilkan Hadîts sebagai dalil bahasa.39 Karena itu al-Baghdâdi mengkategorikan al-Suyuthi
37
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 90 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 12 39 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 91 38
xxvi
bagian dari madzhab pertengahan, kesimpulan ini dihasilkan setelah ia menganalisa pendapat al-Suyûthi dalam kitab al-Iqtirâh.40 Barulah pada abad ketujuh hijriyah pandangan ahli nahwu terhadap otoritas Hadîts mulai terbenahi, seiring hadirnya ahli nahwu berasal dari Andalusia yaitu Ibnu Mâlik, yang secara terang-terangan membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Bahkan sejak lahirnya al-Kitab karya Sybawaih (w. 180 H) hingga kehadiran Syarh Umdah al-Hâfidz karya Ibnu Mâlik (w. 672 H), menurut penelitian ulama bahasa hanyalah Ibnu Mâlik yang terbanyak berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, yaitu berjumlah empat puluh tujuh (47) Hadîts yang tertuang dalam karyanya Syarh Umdah al-Hâfidz.41 Komitmen Ibnu Mâlik dalam membela keunggulan Uslub bahasa Arab dalam Hadîts ini juga dibuktikan dengan salah satu karyanya, yaitu Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh. Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian pemikiran nahwu Ibnu Mâlik dikenal bahkan diikuti oleh ahli bahasa Arab yang datang kemudian, bahkan pemikiran-pemikirannya tentang Ihtijâj bi al-Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu pun menjadi rujukan utama dibandingkan ulama lainnya. Kepopuleran pemikiran Ibnu Malik ini tersebar hingga negera Indonesia, padahal secara geografis, Indonesia sangat jauh dengan tempat di mana Ibnu Mâlik menetap. Namun karya Ibnu Mâlik tidak asing di kalangan santri pengkaji bahasa Arab. Di antara karya yang paling populer adalah Alfiyah Ibnu Mâlik,42 yang memuat seribu bait kaidah ilmu bahasa Arab. Di beberapa pesantren kitab ini adalah puncak dan standar kemahiran santri dalam bahasa Arab.43 Bahkan santri yang mampu menghapal bait-bait dalam kitab Alfiyah dianggap santri istimewa. Namun yang disayangkan, sedikit sekali pengkaji ilmu bahasa Arab yang menggali pemikiranpemikirannya dalam konteks sumber penetapan kaidah nahwu, dan pandangannya 40
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 13 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 93 42 Pada awalnya kitab ini bernama al-Khulâshah, namun kemudian dikenal dengan Alfiyah, disebut demikian karena dalam kitab tersebut terkandung seribu bait kaidah nahwu. 43 Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi, hal. 286 41
xxvii
terhadap Ushûl al-Nahwi, khususnya terhadap Hadîts. Padahal mengenal tokoh dan pemikirannya tidak kalah penting dari pada mengenal buah karyanya. Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts dan ilmu bahasa Arab adalah bagian dari ilmu agama, karenanya mengkajinya adalah merupakan usaha yang tidak dapat dihindarkan. Nampaknya ungkapan Muhammad bin Sirîn (W. 110 H) lebih diperlukan saat ini, yaitu “Ilmu ini (mengenai agama) menjelma atau merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu”.44 Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan ilmu ajaran Islam hendaknya diperoleh dari seorang muslim yang mumpuni dalam bidangnya, bukan dari sebaliknya. Untuk itulah, penulis meneliti pemikiran Ibnu Mâlik bukan hanya karena pemikirannya dianut oleh banyak ulama ahli bahasa, namun juga karena karya dan gagasannya sungguh bermanfaat bagi umat Islam yang cinta akan ilmu Agama, khususnya berkaitan dengan pemikirannya terhadap Hadîts. Sehingga pemikirannya dalam bidang sumber bahasa Arab tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib untuk diteliti. B. PERMASALAHAN 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas, banyak hal yang patut untuk dikaji dan ditemukan jawabannya. Baik dari sisi Ibnu Mâlik, Hadîts maupun sistem penetapan kaidah nahwu. Sehingga akan lahirlah beberapa pertanyaan, misalnya; a. Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Mâlik tentang Hadîts? b. Bagaimana lingkup kajian nahwu yang dikemukakan oleh Ibnu Mâlik? c. Sejauh mana otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu bagi Ibnu Mâlik dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya? d. Apa yang mendasari pemikiran otorisasi Hadîts Ibnu Mâlik dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? 44
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10
xxviii
e. Sejauh mana kualitas hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik sebagai dalil kaidahnya. Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai refresentatif pemikiran ulama nahwu Andalusia, bahkan ia banyak menghadirkan kaidah-kaidah nahwu yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan kedua madzhab besar nahwu yaitu; Bashrah dan Kûfah.45 Lantas; f. Apa perbedaan mendasar antara pemikiran nahwu Andalusia dan Bashrah serta Kûfah? g. Sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu sesudahnya? h. Jika dilihat dari sisi keindonesiaan, mengapa pemikiran Ibnu Mâlik dan karyakaryanya banyak memenuhi pengajian bahasa Arab di pesantren-pesantren, padahal banyak pemikiran ahli nahwu selainnya yang telah mapan.46 Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas. 2. Batasan Masalah Setelah mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dari latar belakang di muka, nampaknya tidak semua masalah tersebut dapat diteliti dalam peneltitan ini. Maka itu sudah menjadi keharusan untuk membatasi masalah-masalah apa saja yang akan dikaji dalam penelitian ini. Secara khusus tesis ini akan meneliti; a. Otorisasi Hadits sebagai sumber kaidah nahwu, perspektif Ibnu Malik dan membandingkannya dengan ulama klasik.
45
Meskipun Bashrah dan Kufah merupkan pusat pendidikan ilmu bahasa Arab, namun Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang memunculkan kaidah-kaidah yang berbeda dari keduanya. Padahal dari sisi pendidikan, Ibnu Mâlik pun mengenyam dan mengkaji al-Kitab karya Sybawaih kepada Ali Abd Abdillah bin Mâlik al-Mirsyani. Adanya perbedaan antara kaidah Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik ini adalah salah satu yang akan penulis buktikan dalam penelitian ini. 46 Misalnya al-Mubarrad (w. 285 H) dengan karyanya al-Muqtadhab, Ibnu al-Khasyab (w. 567 H) dengan karyanya al-Murtajal, al-Zujajî (w. 337 H) dengan karyanya al-Jumal. lihat Hasan Musa, al-Nuhât wa al-Hadits al-Nabawî, hal. 91-72
xxix
b. Fokus kajian ini hanya pada kaidah-kaidah Ibnu Malik yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW dalam syarh al-Umdah, syarh al-Kâfiyah dan syawâhid alTaudhîh. c. Kaidah nahwu yang akan diteliti dalam tesis ini adalah; Isim, fi’il, huruf, tawâbi’ dan maf’ûl. 3. Rumusan Masalah a. Bagaimana otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu dalam pandangan Ibnu Mâlik jika dibandingkan dengan ahli nahwu klasik. b. Kaidah-kaidah apa saja yang bersumber dari Hadîts, dan bentuk Hadîts apa yang digunakan sebagai dalil kaidah nahwu; apakah qauli saja, atau juga fi’li, dan taqriri. Apakah hanya hadîts marfû’ bagaimana dengan hadîts mauqûf atau maqthû’ C. TUJUAN PENELITIAN Dalam sikap dan ucap yang lahir dari manusia, pastinya memiliki tujuan dan maksud tertentu,47 terlepas apakah tujuannya baik atau tidak. Begitu pula dengan penelitian ini. Selain sebagai bukti kontribusi penulis terhadap pemikiran kaidah bahasa Arab,48 tesis ini juga membuktikan bahwa teks Hadîts (matan) mengandung stilistik bahasa yang luhur, di samping ia juga merupakan sumber hukum syariat.49 47
Bukhari)
Hal ini sesuai dengan wejangan Nabi SAW. “Innama al-A’mâl bi al-Niyât..” (HR. al-
48
Ketertarikan penulis pada kajian nahwu, antara lain adanya motivasi yang menyebutkan banyaknya keutamaan-keutamaan yang disampikan oleh para sahabat maupun ulama salaf bagi pengkaji nahwu. Misalnya Umar bin Khattâb r.a pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia dapat menguatkan akal dan menambah wibawa”, maksud dari bahasa Arab di sini adalah ilmu bahasa atau nahwu. Al-Sakhâwi juga pernah mengatakan, “Mengkaji nahwu untuk menjaga firman Allah SWT dan Sabda Nabi SAW adalah bagian dari kewajiban, karena menjaga syariat adalah kewajiban, dan untuk mencapai itu diperlukan ilmu nahwu”. Untuk mengetahui lebih jelas akan keutamaan mempelajari ilmu bahasa Arab, lihat Mahmud Fajal, Al-Hadits al-Nabawy fi al-Nahwi alAraby, hal. 44-48. 49 Dalam penelitian ini penulis membantah bahwa dalam matan Hadîts terdapat kecacatan bahasa dari sisi kaidah nahwu. Meskipun ada ulama yang menilai keshahihan Hadîts dengan melihat apakah bahasa yang tersurat baik atau buruk, maka itu dalam pandangannya meskipun Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam besar, shahih dari sisi sanad, namun buruk dari sisi kebahasaan, maka Hadîts itu palsu atau lemah. Inilah yang didakwakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya al-Manâr al-Munîf fi
xxx
Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan meneliti pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Dan tidak kalah pentingnya tesis ini juga membuktikan bahwa Ibnu Mâlik adalah pelopor ahli nahwu yang paling banyak berdalil dengan Hadîts Nabi SAW dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah; 1. Membuktikan bahwa hadits Nabi SAW dalam bentuk qauli, fi’ili, hadîst mauqûf atau marfû’ merupakan dalil nahwu yang otoritatif. 2. Membuktikan bahwa kaidah nahwu Ibnu Mâlik memiliki corak yang beragam atas kaidah nahwu sebelumnya, sebagai penguat atau bantahan atas kaidah yang ada sebelum Ibnu Mâlik.
D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.50 Itulah ujaran Nabi Muhammad SAW, sebagai cambuk bagi umatnya untuk selalu membawa kebaikan bagi yang lainnya. Karena itu usaha dalam penelitian ini juga memiliki signifikansi yang besar bagi pengkaji kaidah bahasa dan Hadîts. Antara lain; 1. Bagi pengkaji ilmu bahasa, akan mendapati kaidah-kaidah yang lahir dari Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan ahli nahwu klasik. 2. Bagi pengkaji Hadîts, akan mendapatkan wujud kongkrit otorisasi Hadîts dalam kaidah nahwu melalui pemikiran Ibnu Malik. 3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi tentang pemikiran Ibnu Mâlik, tentunya bagi pengkaji bahasa Arab yang selama ini memanfaatkan karya-karya Ibnu Mâlik. al-Shahîh wa al-Dhaîf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988). Karenanya tidaklah mengherankan jika kitab ini menuai kritikan keras dari berbagai ahli Hadîts. 50
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻗﻴﻞ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻱ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺃﺣﺐ ﺇﱃ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺃﻧﻔﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻠﻨﺎﺱLihat. Abu Nu’aim, Hilyatul ‘Auliya wa Thabaqat al-Ashfiya’, (Beirut; Dar al-Kutub 1405 H), cet.Ke-4, juz. 6, hal. 348.
xxxi
E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN Sejauh ini tidak banyak suatu kajian khusus yang membahas subjek ini secara utuh. Tentu telah ada beberapa karya yang dalam satu atau lain cara membahas sejumlah permasalahan sejenis. Sekalipun demikian, karya-karya tersebut tidak ditujukan untuk membahas otorisasi Hadîts dalam pandangan Ibnu Mâlik. Sejauh yang penulis temukan, kajian tersebut hanya diangkat sebagai pelengkap dari konsentrasi kajian yang dilakukan oleh para peneliti nahwu. Namun kajian-kajian tersebut sangat berguna bagi penelitian ini, sebagai langkah awal memasuki pintu penelitian yang akan dilakukan. Di antara penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah; Pertama, Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyîn, dirâsah wa tahlîl wa taqwîm karya Sayid Rizki Thawil (Disertasi di Universitas Al-Azhar). Penelitian ini mengungkap perbedaan pandangan ahli nahwu Bashrah dan Kûfah, sebagai kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu. Dalam penelitian ini disebutkan sebab-sebab perbedaan Bashrah dan Kûfah dalam penetapan kaidah nahwu, dan juga pengaruhnya terhadap kajian nahwu di Negara sekitarnya seperti Andalusia dan Baghdad. Keterkaitan penelitian Thawil, dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, hasil kajian Thawil yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pandangan para ahli nahwu terhadap Hadîts sebagai sumber penetapan kaidah nahwu, merupakan salah satu faktor lahirnya perbedaan dalam pembentukan kaidah nahwu. Kedua, Al-Manhaj al-Nahwy li Ibni Mâlik, karya D. Hidayat (Disertasi IAIN Jakarta 1998). Penelitian ini mengungkap peran Ibnu Mâlik terhadap perbedaan kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu, yaitu Bashrah dan Kûfah. Menurut penelitian ini, konsep nahwu perspektif Ibnu Mâlik lebih banyak dipengaruhi oleh aliran nahwu Andalusia, yang nota-bene tidak terlalu dikenal di kalangan ulama nahwu. Yang menarik dari penelitian ini, diungkapnya peran Ibnu Mâlik terhadap Ushûl al-Nahwi, salah satunya adalah Ihtijâj bi al-Hadîts. Dari penelitian ini, diketahui bahwa Ibnu Mâlik adalah tokoh ahli bahasa Arab yang paling banyak
xxxii
mengambil hujjah dan syâhid dari Hadîts Nabi SAW, jika dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya. Namun dalam penelitian ini tidak diungkap dan diteliti sejauh mana otorisasi Hadits dalam pandangan Ibnu Mâlik dan kaidah-kaidah apa saja yang lahir dari teks Hadits Nabi SAW. Kekosongan inilah yang berusaha penulis kaji dan teliti, untuk memperkuat dan membuktikan kembali bahwa Ibnu Mâlik adalah sosok ahli nahwu yang cermat dalam menganalisa dan meletakkan kaidah nahwu dari salah satu sumber otoritatif, Hadîts Nabi Muhammad SAW. Ketiga, Ilmu-Ilmu bahasa Arab dan perkembangannya pada zaman Dinasti Abbâsiyah 1, karya Ade Kosasih (Tesis IAIN Jakarta 1997). Penelitian ini mendeskripsikan perkembangan nahwu sejak awal masa kemunculannya berikut sebab dan faktor peletakan kaidah ilmu bahasa Arab, diantaranya adalah nahwu. Penelitian ini mempertegas keistimewaan bahasa Arab dengan mendeskripsikan faktor-faktor kelahiran ilmu bahasa Arab yang berasal dari faktor internal dan eksternal dari bahasa itu sendiri. Penelitian ini juga memperkuat akan kefashihan dan keluhuran bahasa yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini sangat tepat untuk dijadikan pijakan awal dalam penelitian yang penulis lakukan. Sebagai gambaran historis kemunculan ilmu bahasa Arab. F. METODE PENELITIAN Dilihat dari sumber datanya, penelitian ini termasuk bagian dari penelitian kepustakaan. Karena sumber datanya murni dari studi pustaka. Maka itu, penelitian ini menggunakan metode pustaka, tentunya dengan memadukan beberapa pendekatan sesuai dengan jenis data yang diteliti. Di antaranya; 1.
Pendekatan isi teks; jenis pendekatan ini dipergunakan untuk mengkaji kandungan kaidah nahwu yang terdapat pada karya-karya Ibnu Mâlik, dan meneliti kaidah-kaidah nahwu yang terlahir dari teks Hadîts Nabi SAW.
xxxiii
2.
Pendekatan sejarah, gunanya untuk memetakan pemikiran ahli nahwu terhadap Hadîts Nabi SAW dalam penetapan kaidah nahwu, mulai dari awal kemunculan nahwu hingga masa Ibnu Mâlik.51
3.
Pendekatan sosial-antropologis, ini penulis lakukan karena penulis meyakini pemikiran Ibnu Mâlik tidak mungkin berdiri sendiri, pastinya dipengaruhi oleh sosial dan budaya dimana Ibnu Mâlik tinggal.52 Dengan pendekatan-pendekatan di atas, penulis melakukan usaha-usaha yang
menunjang keberhasilan penelitian ini. Pada awalnya penulis akan mengidentifikasi kaidah-kaidah nahwu Ibnu Mâlik yang terlahir dari Hadîts Nabi SAW, kemudian mengelompokkannya sesuai dengan tema-tema dalam kaidah nahwu. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan oleh Ibnu Mâlik, penulis menganalisis Hadîts tersebut dengan mengkonfirmasikannya pada kitab-kitab Hadîts. Untuk melihat orisinalitas pemikiran Ibnu Mâlik, penulis akan menghubungkan kaidah-kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik dengan kaidah-kaidah ahli nahwu yang hidup sebelum maupun yang semasa dengan Ibnu Mâlik. Bahkan jika ada, penulis akan menghubungkannya juga dengan para ahli nahwu yang datang setelah Ibnu Mâlik, ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu setelahnya. Dan langkah terakhir, penulis akan membuktikan orientasi pemikiran Hadîts Ibnu Mâlik. Sehingga dalam tataran ilmiah, akan diketahui apakah pemikiran Ibnu Mâlik merupakan pemikiran baru, atau merupakan pengembangan konsep pemikiran pendahulunya, atau mungkin hanya mengulangi apa yang sudah dikaji oleh para ahli nahwu sebelumnya. Agar usaha penelitian ini menuai hasil maksimal, maka sumber data penelitian sejatinya merupakan data-data yang menunjang langsung dalam keberhasilan penelitian ini, baik itu data primer maupun sekunder. Data-data primer dalam 51
Dalam hal ini penulis mencoba membandingkan Ibn Mâlik dengan ahli nahwu sebelumnya, dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah nahwu, seperti Sybawaih (w. 180 H), alAnbâry ( w. 577 H), Ibnu Ya’isy (w. 643 H), Ibnu Usfhûr (w. 669 H) 52 Meskipun pada awalnya Andalusia tidak dikenal sebagai pusat madzhab besar dalam ilmu bahasa Arab, namun tidak sedikit ulama tafsir, hadits dan bahasa yang menetap di Andalusia, seperti Tsabit bin Muhammad (627 H) dan Ali al-Mirsyani (698 H).
xxxiv
penelitian ini, penulis peroleh dari karya-karya Ibnu Mâlik, dan sungguh tidak semua karya Ibnu Mâlik penulis jadikan sebagai data primer, namun hanya karya-karya yang ada kaitannya dengan penelitian ini yaitu kaidah-kaidah nahwu yang ditulis oleh Ibnu Mâlik. Antara lain; seperti Syawâhid al-Taudhih, Syarh al-Umdah dan Syarh alKâfiyah.. Adapun data sekunder yang penulis gunakan untuk menunjang data primer di atas adalah; karya-karya Ibnu Mâlik dalam bidang Nahwu yang di-syarh oleh para ulama, seperti Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyâm al-Anshary dan juga Syarh Alfiyah Ibn Mâlik karya Ibnu Aqîl al-Hâsymy. Dan juga karya-karya lain yang ditulis ahli nahwu klasik berkenaan dengan kaidah nahwu. Selain itu juga karya-karya berkenaan dengan Hadîts dan nahwu yang ditulis ulama yang otoritatif di bidang keilmuwannya menjadi data yang sangat urgen dalam tesis ini. G. SISTEMATIKA PENULISAN Pembahasan dalam Tesis ini terdiri atas enam bab, yakni Pendahuluan, Hadîts dan Nahwu, Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik, serta Penentuan Ibnu Mâlik berkenaan dengn fi’il, isim dan huruf, tawabi’, maf’ul dan kaidah nahwu lainnya, berikut analisis bentuk Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Dan yang terakhir penutup. Bab pertama, dalam bab ini penulis menceritakan latar belakang pemilihan topik pembahasan, kemudian dari uraian latar belakang tersebut, penulis mengidentifikasi masalah yang ada dalam lingkup topik pembahasan. Agar kajian ini lebih fokus dan mendalam pada suatu permasalahan, tidak semua permasalahan tersebut dikaji dalam penelitian ini, karenanya penulis membatasi masalah-masalah yang akan diteliti sesuai pertimbangan waktu dan konsentrasi pada topik yang menjadi fokus dari penelitian ini. Dalam bab ini juga, penulis mengungkapkan tujuan dan signifikansi dari penelitian, sehingga hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siapa pun yang cinta akan perkembangan Ilmu nahwu, khususnya. Bab kedua, Hadîts dan Nahwu. Penulis mengungkap tentang kedudukan Hadîts di antara sumber kaidah nahwu dan perkembangan ilmu nahwu mulai dari
xxxv
awal pembentukannya hingga masa Ibnu Mâlik, dengan tujuan untuk lebih mengenal dan menampakkan kedudukan Hadîts dalam pandangan aliran pemikiran nahwu. Bab ketiga, penulis mengungkap sosok Ibnu Mâlik, dari sisi potret kehidupan dan keilmuwannya. Kemudian penulis meneliti relasi Ibnu Mâlik dengan tokoh-tokoh sezamannya dan membandingkan pandangan Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik terhadap Hadîts Nabi SAW. Tentunya dengan meneliti karya-karya yang ditulis oleh mereka dan menganalisa riwayat hidupnya serta hubungan mereka dengan Hadîts Nabi SAW. Sehingga diketahui sejauh mana perkenalan dan kemampuan Ibnu Mâlik terhadap Hadîts dan Ilmu Hadîts. Karena hemat penulis, sejauh ini Ibnu Mâlik hanya dikenal sebagai ahli nahwu saja, jarang sekali diungkap dalam literatur Hadîts bahwa ia juga merupakan ulama yang konsen dalam Hadîts.53 Bab keempat, bab ini adalah bab inti dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis menganlisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik yang berkenaang dengan fi’il, isim dan juga huruf, yang berpijak pada Hadîts Nabi SAW, dan membandingkannya dengan kaidah dari ahli nahwu lain yang berpijak pada selain Hadîts, yaiu syair. Bab Kelima, bab ini juga merupakan bab inti dalam penelitian penulis. Maka itu dalam bab ini akan dianalisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik berkenaan dengan tawabi’, maf’ul, dan kaidah lainnya. Dan untuk membuktikan bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik, dalam bab ini jug dianalisa hadîts-hadîts yang dijadikan sumber oleh Ibnu Mâlik sebagai kaidah nahwu, dan membandingkannya dengan pendapat ahli nahwu lain yang juga bersumber pada Hadîts tersebut. Bab keenam, penutup yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, penulis menguraikan point inti dari penelitian ini sebagai jawaban dari rumusan masalah yang penulis tetapkan. Dan pastinya penelitian ini tidak sesempurna yang diharapkan, karena itu penulis mengemukakan saran-saran bagi para pembaca
53
Hal ini berbeda dengan Imam al-Suyûthi (w. 911 H), beliau sangat populer baik di kalangan ahli bahasa atau ahli Hadits, dan pemikirannya pun banyak dikutip oleh kalangan ahli hadits maupun ahli bahasa. Salah satu karya monumental dalam ilmu bahasa adalah al-Muzhir.
xxxvi
dan peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini, dan hal-hal yang perlu dikaji kembali oleh peneliti berikutnya.
BAB II NAHWU DAN HADÎTS A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu Layaknya sebuah hukum syariat yang penetapannya wajib berdasarkan dalil, nahwu yang merupakan kaidah bahasa Arab dan menjadi perangkat penting dalam memahami dalil-dalil syariat, al-Qur’ân dan al-Hadîts, mesti juga bersumber dari dalil otoritatif. Karenanya memahami dan mengkaji ushûl al-Nahwi yang merupakan kajian sumber kaidah nahwu, tidak kalah penting dari nahwu itu sendiri, bukankah untuk menghasilkan buah manis dan pohon kokoh mesti berasal dari akar yang bagus. Dan ushûl al-Nahwi adalah akar dari pohon yang bernama kaidah bahasa Arab. Dalam kajian ushûl al-Nahwi, didapati perbedaan pendapat ulama bahasa berkenaan dengan jumlah dan jenis sumber kaidah nahwu, termasuk urutan sumber
xxxvii
yang mesti didahulukan. Menurut Afaf Hasanayn ada empat dalil yang sering digunakan ahli bahasa dalam penetapan kaidah nahwu; Pertama, dalil Naqly (simâ’i), yaitu al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW dan perkataan orang Arab, baik itu berupa Syair maupun Natsr. Kedua, dalil Qiyâs. Ketiga, Ijmâ’. Keempat, dalil Ishtishhâb al-Hâl.54 Lain halnya dengan Ibnu Jinni, dalam kitabnya al-Khashâish ia mengungkapkan bahwa dalil nahwu hanya ada tiga, dalil Naql, Qiyâsh dan Ijmâ’.55 Sedangkan Ibnu alAnbâry menyebutkan dalil nahwu adalah dalil Naql, Qiyâsh dan Istishhâb al-Hâl, beliau tidak menyebutkan Ijmâ’ sebagai sumber dalil.56 Menurut Imam al-Suyûthi tidak disebutkannya Ijmâ’ oleh Ibnu al-Anbâry sebagai salah satu dalil nahwu, menandakan ia berpendapat bahwa Ijmâ’ bukanlah dalil dalam penetapan kaidah nahwu.57 Dari uraian di atas, diketahui bahwa ulama hanya berselisih pada sumber Ma’qûl, tidak pada sumber Manqûl. Dan ulama nahwu sepakat bahwa al-Qur’ân dan al-Hadîts merupkan sumber utama dalam penetapan kaidah nahwu, dan keduanya patut didahulukan dalam berdalil dan menentukan kaidah nahwu. Maka itu mashâdir manqûlah dan ma’qûlah menjadi urgen untuk dikaji dari sisi perilaku dan pengaruhnya terhadap kaidah nahwu, sebagai gambaran awal dalam menganalisis perilaku Hadîts dalam kaidah nahwu. Dengan demikian akan lebih mudah dalam membandingkan posisi Hadîts sebagai sumber kaidah dengan sumber lainnya. 1. Sumber Manqûl a. Al-Qur’ân dan Ragam Bacaannya
54
Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi (Kairo: al-Maktabah al-Akadimiyyah 1996), hal. 237238. Dalam istilah lain Mahmûd Ahmad Nahlah menyebutnya dengan Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah, dan istilah inilah yang penulis gunakan. Lihat dalam karyanya Ushûl al-Nahwi al-Arâby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002), hal. 31 55 Dimasukkannya Ijmâ’ sebagai dalil nahwu, menurut Ibnu Jinni karena adanya sabda Nabi SAW yang mengatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan. Lihat Ibnu Jinni, al-Khashâish, (Beirut: Dâr al-Huda, tth), cet. Ke-2, juz. 1, hal. 189 56 Ibnu al-Anbâry, Al-Ighrâb fi Jadli al-I’râb, hal. 45. 57 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 21
xxxviii
Menurut keyakinan umat Islam al-Qur’ân memiliki keluhuran bahasa, bahkan dari sisi ini tidak ada tandingannya.58 Predikat ini tentu saja menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber pertama dalam penetapan kaidah nahwu, artinya jika dalam penetapan kaidah nahwu terdapat pertentangan antara al-Qur’ân dengan teks atau sumber lainnya, maka al-Qur’ân wajib didahulukan. Ini telah menjadi kesepakatan ulama bahasa, siapa saja yang membuat kaidah yang bertentangan dengan struktur bahasa al-Qur’ân, dipastikan kaidah tersebut lemah dan tidak akan diakui.59 Kendati teks al-Qur’ân disepakati kehujjahannya, tidak demikian halnya dengan ragam bacaan al-Qur’ân, bacaan al-Qur’ân yang bentuknya beragam tidak terlepas dari kontroversi akan keabsahannya sebagai dalil nahwu, khususnya bacaan yang berkualitas lemah. Sebagaimana diakui, al-Qur’ân diturunkan dengan tujuh huruf,60 yang berarti tujuh ragam bacaan,61 dan diriwayatkan oleh para ulama qirâ’at, layaknya sebuah Hadîts Nabi SAW yang ditransmisikan oleh periwayat Hadîts. Sehingga dimungkinkan satu ayat memiliki lebih dari dua bacaan. Maka itu, dalam literatur kajian ushûl al-Nahwi, ulama bahasa berbeda pendapat apakah ragam bacaan ayat-ayat suci yang ada, dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu atau tidak. Karena ragam bacaan al-Qur’ân memiliki kualitas yang beragam, ada yang otentik dan ada juga yang tidak.
58
Keluhuran bahasa al-Qur’ân juga merupakan mukjizat bagi siapa yang tidak yakin akan datangnya al-Qur’ân dari Allah SWT. Bahkan Allah SWT menantang makhluk-Nya untuk membuat hal serupa, tantangan ini sesungguhnya penegasan akan ketidakmampuan makhluk-Nya dan juga ٍ ﻳﺭ ﻢ ﻓِﻲ ﺘﻨﻭِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ pemberitahuan akan keluhuran bahasa al-Qur’ân. Ini tercermin dalam firmannya; ﺎﺐ ِﻣﻤ
ﺭ ٍﺓ ﻮﻮﺍ ِﺑﺴﺎ ﹶﻓ ﹾﺄﺗﺒ ِﺪﻧﻋ ﻠﹶﻰﺎ ﻋﺰﹾﻟﻨ ﻧ(QS al-Baqarah: 23) ﲔ ﺎ ِﺩِﻗﻢ ﺻ ﺘﻨﻭ ِﻥ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛﻦ ﺩ ﻢ ِﻣ ﺍ َﺀ ﹸﻛﻬﺪ ﺷ ﻮﺍﻋﺍﺩﻦ ِﻣﹾﺜِﻠ ِﻪ ﻭ ِﻣ 59 60 61
Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh: Jâmiah al-Riyâdh 1980), hal. 3 (HR al-Bukhâri) ﺮ ﺴ ﻴﺗ ﺎ ﻣﻪﺀُﻭﺍ ِﻣﻨﻑ ﻓﹶﺎﻗﹾﺮ ٍ ﺣﺮ ﻌ ِﺔ ﹶﺃ ﺒﺳ ﻠﹶﻰﻧ ِﺰ ﹶﻝ ﻋﺁ ﹶﻥ ﺃﹸإِ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ
Untuk mengetahui lebih rinci pendapat kalangan ulama tentang Hadîts ini, pembaca dapat merujuk Ibnu Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân (al-Maktabah al-Ilmiyyah 1981 M), cet. Ke- 3, hal. 34. diakui bahwa ulama berbeda pendapat dalam makna “sab’ah ahruf”, Abu Hâtim bin Hibbân mengatakan ada tiga puluh lima pendapat ulama berkenaan dengan ini. Namun pendapat yang banyak dianut oleh ahli bahasa seperti al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi adalah; sab’ah ahruf bermakna tujuh ragam bacaan al-Qur’ân. Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tth), juz. 1, hal. 214
xxxix
Dari sisi kualitas periwayatan bacaan al-Qur’ân, Jalâluddin al-Bulqaini membaginya ke dalam Mutawâtir, Ahâd dan Syâdz,62 namun pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena tingkatan ini kurang dikenal dikalangan ulama qirâ’at. Lain halnya dengan pengelompokkan yang disajikan Abu al-Khair Ibnu al-Jaziry yang merupakan imam ahli qirâ’at pada masanya, ia membaginya ke dalam lima tingkatan;63 Pertama, Mutawâtir,64 yaitu bacaan yang dinukil oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong, mulai periwayat tingkat pertama hingga periwayat tingkat akhir. Bacaan mutawâtir ini berjumlah sepuluh qirâ’at, namun ada juga yang mengatakan hanya berjumlah tujuh, dan yang terakhir inilah pendapat yang paling popular.65 Kedua, Masyhur yaitu bacaan yang memiliki sanad shahih meskipun tidak mencapai derajat mutawatir, namun sesuai dengan kaidah bahasa Arab66 dan juga sesuai dengan salah satu mushhaf utsmani.67 Ketiga, Ahâd yaitu 62
Yang dimaksud dengan mutawatir di sini adalah al-Qirâ’ah al-Sab’ah atau bacaan tujuh yang telah terkenal. Ahad maksudnya adalah bacaan yang diriwayatkan oleh tiga orang yang termasuk dalam al-Qira’ah al-Asyrah, selain kelompok pertama. Adapun bacaan Syâdz adalah bacaan para tâbi’în seperti al-A’masy, Yahya bin Watstsab dan Ibnu Jubair. Menurut Imam al-Suyûthi, pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena jarang sekali digunakan oleh para ulama. Lihat AlSuyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr 1996), cet. Ke-3, juz. 1, hal 236. 63 Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 241-242 64 Para ulama ada yang membagi Hadîts mutawatir kedalam dua bagian; Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi. Meskipun demikian keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong dalam Hadîts Nabi SAW. Adapun yang membedakan keduanya hanya pada bentuk, yaitu lafdzi dan ma’nawi. Ulama berbeda pendapat dalam ungkapan ‘sekelompok orang’ ini, ada yang mengatakan berjumlah lima orang, sepuluh, empat puluh bahkan tujuh puluh orang. Ada juga yang menyebutkan bahwa Hadîts mutawatir adalah Hadîts yang diriwayatkan dari periwayat pertama hingga akhir masing-masing tingkatan berjumlah tiga ratus orang lebih, ini karena jumlah sahabat Thalût dan Muslim yang ikut perang Badr berjumlah tiga ratus orang. Imam al-Suyûthi menulis Kitâb al-Fawâ’id al-Mutakâtsirah fi al-Akhbâr al-Mutawâtirah, khusus memuat Hadîts mutawatir. Selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2006) cet. Ke-3, hal. 281. Lihat juga Imam al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr 1993), hal. 352 65 Mereka adalah 1. Abu Ja’far Yazîd bin al-Qa’qa’ (130 H), 2. Nâfi’ bin Abi Na’îm (169 H), 3. Abdullah bin Katsîr (120 H), 4. Abu al-Amr al-Ala’ (154 H), 5. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadhramy (205 H), 6. Abdullah bin Âmir (118 H), 7. Âshim bin Badlah Abi al-Najud (127 H), 8. Hamzah bin Habib al-Ziyât (156 H), 9. Ali bin Hamzah al-Kisâ’i ( 189 H) dan 10. Khalf bin Hisyam al-Asady (229 H). Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, (Jeddah: Dar al-Majma’ al-Ilmi 1979), hal. 17 66 Banyak ragam bacaan yang tidak sesuai dengan kaidah Nahwu, yang kemudian ditolak oleh kalangan ahli Nahwu seperti kaidah; mensukunkan huruf hamzah yang seharusnya kasrah (QS alBaqarah: 54) Uﻜﻢ ﺎ ِﺭﹾﺋ ﹸﺑU ﻮﺍ ﺇِﻟﹶﻰﻮﺑ ﻓﹶﺘmensukunkan huruf ra’ yang seharusnya dhammah (QS al-Baqarah:
xl
bacaan yang sanadnya shahih namun bertentangan dengan rasm mushhaf dan kaidah bahasa Arab, seperti bacaan yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim.68 Keempat, Syâdz yaitu bacaan yang memiliki sanad tidak shahih, kategori ini menjadi kontroversi di kalangan ulama.69 Imam al-Suyûthi menambahkan satu macam lagi, sehingga berjumlah enam, yaitu bacaan yang serupa dengan Hadîts Mudraj, yaitu menambahkan kata atau kalimat dalam bacaan al-Qur’ân dengan maksud sebagai penjelasan lengkap atas kata sebelumnya, jenis ini terjadi pada bacaan Ibnu Abbâs.70 Terkait dengan bacaan Syâdz di atas, ulama berbeda pendapat, apakah bacaan Syâdz dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu? Imam al-Suyûthi
U ﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠmenashabkan huruf zay yang seharusnya kasrah (QS al-Jatsiyah: 14) Uﺰﻱ ﺠ ﻴِﻟU
67) Uْﻛﻢ ﺮ ﹸ ﻣ ﻳ ﹾﺄ
ﺍﻮﻡ ﹶﻗmengkasrahkan huruf mim yang seharusnya fathah (QS al-Nisa’:1) ﺎ َﺀﻟﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪﺗﺴ ﻪ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﺗﻭ UﺎﻡﺣﺍﻟﹾﹶﺄﺭﻭU. Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 237. untuk mengkaji lebih mendalam tentang ragam bacaan dan ulama Nahwu, lihat di Muhammad bin Ahmad al-Azhari, alQirâ’at wa Ilal al-Nahwiyyin. 67 Ibnu al-Jaziri berkata bahwa yang dimaksud ungkapan “sesuai dengan salah satu mushhaf utsmâni” adalah bacaan itu sesuai dengan apa yang ada pada salah satu mushhaf utsmâni. Seperti ﺗ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺍtanpa waw dan (QS Ali Imran: 184) ِﺮﺑﺑﺎﻟﺰ bacaan Ibnu Âmir (QS al-Baqarah 116) ﺍﻭﹶﻟﺪ ﻪ ﺨ ﹶﺬ ﺍﻟﱠﻠ
ﺏ ِ ﺎﻭﺑﺎﹾﻟ ِﻜﺘ adanya huruf ba’ pada kedua kata, bacaan tersebut sesungguhnya terdapat pada mushhaf yang ada di Syâm. Atau seperti bacaan Ibnu Katsîr (QS al-Taubah: 100) ُﺎﺭﻧﻬﺎ ﺍﹾﻟﹶﺄﺘﻬﺤ ﺗ ﻦ ﺠﺮِﻱ ِﻣ ﺗ ﺕ ٍ ﺎﺟﻨ terdapat huruf min, ini juga sesungguhnya ada pada mushhaf yang ada di Makkah. Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 238 68 Imam al-Suyûthi mengutip Hadîts shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim dalam alMustadrak ‘ala al-Shahihayn yang memuat bacaan al-Qur’ân, namun menurutnya bacaan tersebut bertentangan dengan bacaan mutawatir. Seperti ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ، ﻋﻦ ﺃﰊ ﺑﻜﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ، ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺍﳉﺤﺪﺭﻱ
( ﺧﻀﺮ ﻭﻋﺒﻘﺮﻱ ﺣﺴﺎﻥUﺭﻓﺎﺭﻑU ) ﻣﺘﻜﺌﲔ ﻋﻠﻰ: ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺮﺃ. (QS al-Rahman : 76), menurut rasm mushhaf adalah ﺎﻥﺣﺴ ِ ﻱ ﺒ ﹶﻘ ِﺮﻋ ﻭ ٍﺮﻀ ﺧUٍﺮﻑ ﺭ ﹾﻓ U ﻋﻠﹶﻰ ﲔ ِﻜِﺌﺘﻣ. Selengkapnya lihat di Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm alQur’ân, juz. 1, hal. 242 69 Misalnya bacaan ﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻮ ﻳ ﻚ ( َﻣﹶﻠmenggunakan shigah al-Mâdhi, dan menashabkan kata ﻳﻮﻡalSuyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 242
ﺞ ﺤ ﺍ ِﺳ ِﻢ ﺍﹾﻟﻣﻮ ﻢ ﻓِﻲ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻦ ﻠﹰﺎ ِﻣﻮﺍ ﻓﹶﻀﺘﻐﺒﺗ ﺡ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺎﺟﻨ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺲ ﻴ ﹶﻟbacaan ini sesungguhnya mutawatir, hanya saja Ibnu Abbâs menambahkan kalimat ﺞ ﺤ ﺍ ِﺳ ِﻢ ﺍﹾﻟﻣﻮ ﻓِﻲsebagai penjelasan kalimat sebelumnya. (HR 70
Imam al-Bukhâri). Penjelasan mengenai Hadîts Mudraj dapat dilihat di Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 145. al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 175.
xli
mengungkapkan bahwa bacaan al-Qur’ân yang riwayatnya bersifat mutawatir maupun ahad dapat dijadikan dalil nahwu, bahkan menurutnya jika bacaannya bersifat Syâdz pun dapat dijadikan dalil, baik itu sesuai dengan qiyâs ataupun tidak.71 Contoh kaidah nahwu yang berasal dari ragam bacaan syâdz, yaitu bolehnya Lâm alAmr bersambung dengan Fi’il al-Mudhâri’ yang diawali dengan Ta’ al-Khithâb
ﹶﻓِﺒ ﹶﺬِﻟ. Meskipun dalam mushhaf utsmani, seperti firman Allah SWT TP72PTﻮﺍﺮﺣ ﻚ ﹶﻓ ﹾﻠﺘ ﹾﻔ redaksi ayat yang tertulis tidak demikian. Bacaan yang dipermasalahkan bukan hanya bacaan Syadz, ada juga sebagian ulama bahasa klasik seperti al-Farâ’ yang melemahkan bacaan al-Qur’ân dari ulama qirâ’at yang cukup terkenal seperti Âshim73, Hamzah74 dan Ibnu Amir.75 Menurut ulama yang menentang ini, dalam bacaan ketiga ulama qirâ’at tersebut terdapat penyimpangan dari sisi kaidah bahasa Arab, dan ditemukan lahn dalam bacaannya.76 71 72
Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 36-37. Bacaan yang digunakan dalam mushhaf utsmâni adalah ﻮﺍﺮﺣ ﻴﻔﹾﻚ ﹶﻓﻠﹾ ﹶﻓِﺒ ﹶﺬِﻟmenggunakan ya’.
(QS: Yunus: 58) 73 Nama lengkapnya adalah Âshim bin Bahdalah, ia seorang syaikh ahli qirâ’at di Kufah, dan termasuk salah satu ahli qirâ’at yang tujuh. Ia termasuk kalangan tâbi’în. Beliau wafat sekitar tahun 129 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah,hal. 18. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, Kitâb alIqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, (Damaskus: Dar al-Fikr 1402 H), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 115. 74 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Imârah Hamzah bin Habîb bin ‘Imârah, ia menjadi ahli qirâ’at setelah ‘Âshim dan al-A’masy, beliau juga seorang Imam yang selalu menjadi rujukan dalam bidang al-Qur’ân, wafat di Halwân tahun 156 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, 18. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, juz. 1, hal. 125 75 Ia adalah Abu ‘Imrân Abdullah, beliau lebih dikenal dengan Ibnu Âmir, termasuk salah satu dari tujuh ahli qirâ’at, beliau seorang ahli qirâ’at di Syâm, yang mengambil riwayat bacaan dari alMughîrah bin Abi Syihâb al-Makhzûmi dari Utsmân bin ‘Âffân, ia wafat pada tahun 118 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, hal. 17. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi alQirâ’at al-Sab’i, juz. 1, hal 103 76 Di antara bacaan Hamzah dan ‘Âshim yang ditolak adalah riwayat Abu Bakr bin ‘Iyâsh yaitu Uٌﺩ ِﺭّﻱﺀ U ﻛﻮﻛﺐmendhamahkan huruf pertama dan adanya hamzah setelah huruf ya’. Ulama yang menolak bacaan ini adalah seorang ahli bahasa terkenal yaitu al-Farâ’, alasannya bacaan tersebut tidak dikenal dalam kalangan orang Arab, bacaan ini hanya dikenal di kalangan Ajam. Tidak ada dalam ﻴ ﹲﻌ ﹸﻓ. Akan tetapi pendapat al-Farâ’ ini dibantah oleh ulama setelahnya, sebagaimana yang ucapan Arab ﻞ penulis sebutkan di atas. Dengan beberapa alasan; Pertama, bacaan al-Qur’ân adalah sunnah, bersumber dari Nabi SAW. Jika sanadnya shahih maka Qiyâs pada bahasa Arab tidaklah berlaku. Kedua, contoh di atas yang diduga tidak dikenal dikalangan masyarakat Arab, tidaklah benar, karena dalam karya Sybawaih yaitu al-Kitâb, contoh ini ada di dalamnya. Nampaknya ini sungguh
xlii
Kritikan tersebut kemudian ditentang oleh Iman al-Suyûthi, bahwa menurutnya bacaan mereka itu memiliki sanad mutawatir, dan tidak ada kecacatan di dalamnya.77 Sebelum Imam al-Suyûthi mengatakan hal tersebut, Ibnu Mâlik telah lebih dahulu membantah pendapat al-Farâ, Ibnu Mâlik menegaskan bahwa diakuinya bacaan mereka oleh segenap kaum Muslim merupakan bagian dari bukti bolehnya menjadikan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah dan bahasa,78 dan Ibnu Mâlik adalah di antara pelopor penggunaan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah nahwu. Adanya lahn dalam ragam bacaan al-Qur’ân tersebut menurut para penentang, adalah berdasarkan ungkapan Utsmân bin Affân. r.a. ketika diserahkan padanya beberapa mushhaf, Utsman r.a mengatakan bahwa di dalamnya terdapat lahn.79 Ada juga riwayat lain dari Urwah, bahwa ia pernah bertanya pada Aisyah. r.a perihal terdapatnya lahn dalam beberapa ayat,80 kemudian Aisyah menjawab bahwa itu kesalahan para penulis ketika menulis mushhaf.81 Riwayat di atas yang dijadikan dalil oleh mereka dibantah oleh para ulama, dengan beberapa sanggahan; Pertama, riwayat itu tidak-lah benar dari Utsmân, karena kualitas sanad periwayatan tersebut dha`îf, yang disebabkan mudhtharib dan munqathi’. Kedua, kalaupun riwayat itu shahih, maksudnya tidaklah demikian,
mengherankan karena al-Farâ’ adalah di antara ulama bahasa yang sangat menguasai karya Sybawaih ini, dan bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya. Atau boleh jadi al-Farâ’ menganggap apa yang dituangkan oleh Syabawaih bukanlah suatu ketetapan pasti, karena Sybawaih bukan dari kalangan Arab. Namun tentunya kita bertanya-tanya mengapa al-Farâ’ tidak mengkritisi pendapat Sybawaih dan justru beliau banyak mengambil ilmu darinya. Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989), cet. Ke-1, hal. 103-104 77 A l-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37 78 Misalnya ada ulama yang membenarkan pernyataan bahwa kata ﺍﷲberasal dari kata ﻻﻩ berdasarkan riwayat bacaan ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﰲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻻﻩ ﻭﰲ ﺍﻷﺭﺽ ﻻﻩ, meskipun dalam mushhaf utsmâni tertulis
( ﺇﻟﻪQS: al-Zukhruf: 43 & 84) lihat al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37 79 80
Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 38 Ayat yang dimasud adalah (QS Thâha: 63) ِﺍﻥﺣﺮ ِ ﺎﻫﺬﹶﺍ ِﻥ ﹶﻟﺴ ( ِﺇ ﹾﻥQS al-Nisa: 162) ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﲔ ﺍﻟ ﻤﻘِﻴ ِﻤ ﺍﹾﻟﻭ
ﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﺆﺗ ﻤ ﺍﹾﻟﻭ. 81
Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 39
xliii
karena yang dimaksud dalam riwayat tersebut berkenaan dengan metode penulisan.82 Di antara ulama yang membantah pendapat ini adalah Ibnu al-Anbâri dalam kitabnya al-Radd ala man Khalafa Mushhaf Utsmân.83 Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa ragam bacaan al-Qur’ân yang diriwayatkan oleh para ulama juga merupakan dalil dalam kaidah nahwu. Ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama, bahwa ragam bacaan al-Qur’ân merupakan sunnah yang tidak boleh ditentang, karena ragam bacaan al-Qur’ân telah terjadi pada masa Nabi SAW, dan Nabi SAW membenarkannya.84 b. Hadîts Nabi SAW Jika disebutkan kata Hadîts, maka difahami bahwa ia sebagai perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW.85 Namun ada juga ulama yang mengatakan apa yang disandarkan pada sahabat dan tâbi’în, juga merupakan bagian dari Hadîts.86 Terminologi di atas umumya dianut oleh ahli Hadîts dan fiqih. Sedangkan ahli nahwu memiliki terminologi sendiri tentang Hadîts Nabi SAW. Menurut mereka dalam bidang nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW, sebabnya karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja,87 dan perkataan Nabi SAW itulah yang merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada juga sebagian ahli nahwu yang menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan ahli Hadîts dan memiliki hukum marfu’, merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya itu dapat dijadikan dalil kaidah nahwu.88 Sedangkan sebab masuknya perkataan tâbi’în di antara yang layak untuk dijadikan sumber kaidah adalah, karena adanya beberapa perkataan mereka yang tertuang dalam kitab-kitab Hadîts seperti perkataan 82 83
Seperti ﺍﻟﻜﺘﺎﺏmenjadi ( ﺍﻟﻜﺘﺐdengan alif berdiri di atas huruf ta’)
Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal 587 Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 213. Lihat juga di Hasan Mûsa alSyâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 20 85 Mahmûd al-Thahhân, Taysir Musthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr), hal. 14 86 Dalam ilmu Hadîts dikenal dengan Hadits Marfû’, Mauqûf dan Maqthû’. Lihat Ahmad alUtsmâni, Qawâ’id fi ‘Ulûm al-Hadîts, (Riyadh: Maktabah al-Mathbû’at al-Islamiyah 1983), cet. Ke-5, hal. 25-26 87 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 88 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 84
xliv
al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar bin Abdul Azîz. Karenanya ahli nahwu menetapakan perkataan mereka sesungguhnya memiliki kualitas shahih untuk dijadikan dalil nahwu.89 Banyak alasan mengapa Hadîts menjadi bagian dari sumber kaidah nahwu, antara lain adalah kefashihan bahasa Nabi SAW, Nabi adalah orang yang paling fashih dalam berbicara bahasa Arab. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan keluhuran bahasa Nabi SAW, antara lain adalah Ibnu Asâkir dalam târikh-nya meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengakui bahwa ia pernah belajar bahasa Isma’îl, dan Jibril turut serta menjaga dan mengajarkannya.90 Dan sahabat-sahabat Nabi SAW pun mengakui keluhuran bahasa Nabi SAW, dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapati orang yang lebih fashih dalam bahasa Arab, kecuali Nabi SAW.91 Selain itu Nabi SAW juga mengakui bahwa ia pernah diajarkan pula alAsmâ’, sebagaimana Nabi Adam a.s diajarkan.92 Alasan lain otorisasi Hadîts Nabi SAW sebagai bagian dari dalil nahwu adalah terpeliharanya periwayatan Hadîts oleh para sahabat dan ulama setelahnya. Sehingga otentisitas Hadîts sebagai ucapan Nabi SAW dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah.93 Maka itu, dari sisi keluhuran bahasa, Hadîts menjadi kajian urgen bagi ahli nahwu, karena bahasa yang terkandung dalam Hadîts lebih baik dibandingkan dengan bahasa syair ataupun natsr. Kendati kuantitas kajian bahasa Hadîts baru meningkat pada abad ketujuh, yaitu pada masa Ibnu Mâlik, namun ini menunjukkan bahwa Hadîts bukan hanya dikaji dari sisi kandungan hukumnya, namun juga dari sisi keluhuran stilistik bahasa. 89
Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987), hal. 46 Imam al-Suyuthi mengutipnya dari Asâkir, lihat riwayat selengkapnya di al-Suyûthi, alMuzhir, juz. 1, hal. 35. 90
91
» ﺣﻖ ﱄ ﻭﺇﳕﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻲ ﺑﻠﺴﺎﻥ: ﻗﺎﻝ، ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻣﺎ ﺃﻓﺼﺤﻚ ﻣﺎ ﺭﺃﻳﻨﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺃﻋﺮﺏ ﻣﻨﻚ: ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺭﺟﻞ
« ( ﻋﺮﰊ ﻣﺒﲔHR Imam al-Baihaqi) Kitab al-Syu’ab al-Iman, bab Unzila al-Qur’ân alayya bi Lisan Arabiyyin Mubin, juz 3, hal. 469 92 al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 35 93 Kesungguhan para sahabat dalam menjaga Hadîts tidak diragukan lagi, meskipun ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang sahabatnya menulis apa yang ia sabdakan selain dari al-Qur’ân. Pembahasan ini akan dianalisis pada bab berikutnya.
xlv
c. Perkataan orang Arab Yang dimaksud dengan orang Arab di sini adalah mereka yang memiliki kefashihan dalam berbahasa dan ucapannya terhindar dari penyimpangan bahasa. Kendati demikian, tidak seluruh ucapan Arab dapat dijadikan dalil bahasa, karena seiring kemajuan zaman, sosialisai dan pertukaran antar budaya satu negeri dengan yang lainnya tidak dapat dihindarkan, akibatnya tidak setiap wilayah Arab mampu mempertahankan kefashihan bahasanya. Karenanya perlu ditentukan batasan masa dimana ucapan masyarakat Arab dapat dijadikan dalil nahwu. Sesungguhnya kajian batasan masa ini telah diteliti ahli bahasa dan sejarah, meskipun tidak dipungkiri terjadi perselisihan pendapat tentang batasan masa orang Arab yang dapat dijadikan hujjah dalam bahasa fashih. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa orang Arab yang sah dan perkataannya dapat dijadikan dalil nahwu adalah orang Arab perkotaan yang hidup hingga akhir abad kedua, sedangkan orang Arab Badui yang ada di Jazirah Arab perkataannya dapat dijadikan dalil Nahwu hingga akhir abad keempat.94 Perbedaan batasan masa ini, ditentukan berdasarkan kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan kemurnian bahasanya. Ucapan masyarakat Arab ini terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Syair dan Natsr. Meskipun terbagi ke dalam dua bentuk, bagi ahli nahwu klasik keduanya tidak menjadikan yang satu lebih penting dari yang lain, dalam posisinya sebagai dalil nahwu, kendati dalam beberapa kesempatan tidak dipungkiri bahwa ahli nahwu lebih banyak berdalil dengan syair.95 Gejala ini diakui oleh Ibrahim Anis, menurutnya ada ahli nahwu klasik yang memisahkan antara Syair dan Nastr, di antara ulama tersebut adalah al-Subki.96
94
Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu, bayna al-Qadim wa al-Hadits, (Mesir: Dar- alMa’arif t.th), hal. 24 95 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 86 96 Ibrâhim Anis, Min Asrâr al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah 1975), cet. Ke 5 lihat juga di Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 87
xlvi
Mengkaji syair tentunya tidak terlepas dari penyair, dengan kata lain kualitas syair tergantung dari kualitas penyair itu sendiri. Nyatanya tidak semua syair dapat dijadikan dalil, terlebih jika penyair tersebut hidup di masa yang bukan masa ihtijâj. Secara historis, penyair Arab terbagi ke dalam empat periode; Pertama, masyarakat Jahiliyah yang tidak hidup di masa Islam. Kedua, mukhadramun, yaitu masyarakat yang hidup pada masa jahiliyah dan masa Islam. Ketiga, umat Islam yang hidup pada masa awal kemunculan Islam. Keempat, muwalladun yaitu masyarakat yang hidup di masa setelah jayanya Islam sampai zaman kita saat ini. Al-Baghdâdi berpendapat tingkatan pertama dan kedua, menurut Ijmâ’ ulama bahasa, ucapan mereka dapat dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu, sedangkan tingkatan ketiga, menurut pendapat yang paling unggul boleh dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu.97 Menurut al-Ashma’i penyair terakhir yang syairnya dapat dijadikan dalil adalah Ibrahim bin Harmah (w 150 H), Ibnu Miyadah (w 149 H), Thufail al-Kannani dan Makin al-Udzri (w 160 H), ini menunjukkan bahwa syair yang ditulis setelah wafatnya mereka tidak ada lagi yang dapat dijadikan dalil.98 Karena setelah masa itu penyair muncul dari kalangan muwalladun, menurut al-Suyûthi penyair pertama dari golongan ini adalah Bisyâr bin Bard, dan menurutnya Sybawaih kerap berdalil dengan sebagian syair Bisyâr.99 Pendapat al-Suyuthi bahwa Sybawaih berdalil dengan syair Bisyar, menuai penentangan dari ulama bahasa. Jika menilik pada kedua sumber bahasa pendahulunya, al-Qur’ân dan alHadîts, didapati bahwa masing-masing sumber tersebut dapat berdiri sendiri menjadi sumber kaidah nahwu, tanpa didampingi sumber lainnya. Dengan kata lain Hadîts misalnya dapat menjadi dalil kaidah nahwu satu-satunya, jika pada sumber lain tidak ditemukan ungkapan yang dapat dijadikan dalil. Hal ini pun berlaku pada syair, menurut ahli bahasa, banyak kaidah-kaidah bahasa yang lahir dari sumber syair saja. 97
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , (Kairo: Dar al-Madani 1989), cet. Ke-3, juz. 1, hal. 6. 98 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-‘Arabiyah, (Kairo: Dar al-Fikr alArabi 1995), cet. Ke-1, hal. 108. 99 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 55
xlvii
Bahkan ada beberapa kaidah yang lahir berdasarkan uslub syair darurat, seperti adanya kontroversi pada kondisi darurat syair yang men-sharf-kan af’âl al-Tafdhil.100 Contoh lain dari syair yang menjadi dalil tunggal karena tidak didapatinya dalil dari al-Qur’ân, ini sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyâm berkenaan dengan kata ﻣﺬ ﻭﻣﻨﺬ, ia menyatakan bahwa mayoritas orang Arab mewajibkan jar dalam keadaan hadir. Akan tetapi pendapat yang lebih unggul adalah menjarkan ﻣﻨﺬuntuk al-Fi’il al-Mâdhi dibandingkan dengan merafa’kan-nya. Dan merafa’kan ﻣﺬ dibandingakan dengan menjarkan-nya.101 2. Sumber Ma’qûl a. Qiyâs Dalam tradisi ilmu keislaman qiyâs bukanlah ilmu baru, sebelum berkembang dan tumbuhnya qiyâs pada ilmu nahwu, ia terlebih dahulu muncul dalam bidang ilmu syariah yaitu ilmu ushûl al-Fiqh.102 Dan secara terminologi tidak ada perbedaan yang mencolok antara qiyâs dalam ilmu nahwu dan qiyâs dalam ushûl al-Fiqh.103 Yang membedakan tentunya hanya objek kajian dan illat, dalam nahwu tentu yang dianalisa berkaitan dengan i’râb bahasa, dan persyaratan illatnya pun tidak jauh berbeda dengan kajian ushûl al-Fiqh. Dalam pandangan Ibnu al-Anbâri, qiyâs bukan hanya sebagai dalil nahwu melainkan lebih jauh dari pada itu, nahwu adalah qiyâs. Menurutnya seluruh nahwu adalah qiyâs, jadi siapa saja yang mengingkari qiyâs, maka sesungguhnya ia mengingkari nahwu itu sendiri.104 Karena itu tidak heran jika orang pertama kali meletakkan qiyâs dalam nahwu adalah Abu al-Aswad yang juga disebut sebagai 100
Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1998), cet. Ke-1, juz. 2, hal. 31 101 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 91 102 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 143 103 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 243 104 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 145
xlviii
peletak dasar kaidah nahwu, ini artinya munculnya qiyâs dalam ilmu nahwu bersamaan dengan munculnya kaidah nahwu.105 Secara umum qiyâs telah digunakan pada masa sahabat, ini tercermin dalam surat yang ditulis Umar bin Khattab pada qadhi-nya Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah, agar ketika memutuskan sesuatu hendaknya bersandar pada dalil al-Qur’ân dan alHadits, jika tidak ditemukan pada keduanya maka lakukanlah qiyâs.106 Inilah mungkin di antara alasan kuat ahli bahasa melakukan qiyâs, tentunya sesuai dengan kaidah qiyâs yang disepakati, baik dari sisi rukun qiyâs dan bentuk qiyâs yang boleh dan tidak diperbolahkan, seperti yang tidak dibenarkan adalah melakukan qiyâs pada dalil manqul yang lemah.107 Dari uraian di atas dapat difahami bahwa qiyâs memiliki pengaruh besar dalam penetapan kaidah nahwu, bahkan dalam pengembangan bahasa Arab secara umum. Inilah dalil ma’qul pertama yang dianggap oleh sebagian ahli bahasa memiliki peran yang besar dibandingkan dengan dalil manqul itu sendiri. Namun pembahasan ini tidak akan dikaji lebih mendalam, karena ini bukanlah merupakan pembahasan pokok dalam tesis ini.108 b. Ijmâ’ dan Ishtishâb Dari uraian sebelumnya, diketahui bahwa tidak semua ahli nahwu berdalil dengan Ijmâ’, Ibnu al-Anbâri meskipun mengakui keberadaan Ijmâ’ dalam ilmu fiqih namun ia tidak mengakui adanya Ijmâ’ dalam ilmu nahwu.109 Ini karena pengertian Ijmâ’ dalam ilmu fiqih dengan ilmu nahwu sangat berbeda. Pengertian Ijmâ’ dalam bidang nahwu adalah kesepakatan ulama Bashrah dan Kufah dalam suatu kaidah.110 105
Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 245 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 244 107 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 73 108 Untuk lebih memahami qiyas, pembaca dapat merujuk pada kitab Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah. 109 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 213 110 Meskipun Ibnu Jinni mengakui adanya Ijmâ’, namun ia tidak memungkiri adanya syaratsyarat tertentu yang tidak dapat diabaikan dalam memegang Ijmâ’. Selengakapnya lihat Ibnu Jinni, alKhasâish, juz. 1, hal. 189 106
xlix
Ijmâ’ ini diakui sebagai dalil jika tidak bertentangan dengan teks dalil manqul dan juga qiyâs pada dalil manqul. Contoh Ijmâ’ dalam ilmu nahwu adalah; sepakatnya ulama nahwu Bashrah dan Kufah dalam perkara khabar al-Mubtada’ jika terdiri dari sifat, maka khabar itu mengandung dhamir yang merujuk pada mubtada’, seperti ﺯﻳﺪ
ﻋﻤﺮ ﺣﺴﻦ، ﻗﺎﺋﻢsifat pada dua kalimat tersebut kedudukannya sebagai khabar alMubtada’, namun secara Ijmâ’ keduanya mengandung dhamir yang kembali pada mubtada’.111 Ada yang perlu dilihat lebih mendalam dalam perkara Ijmâ’ ini, yaitu adanya beberapa kaidah yang bukan Ijmâ’, namun dianggap sebagai Ijmâ’ oleh beberapa ahli bahasa. Misalnya kata ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻳﺎﺍﷲ, dari kata ini sebagian ulama berpendapat bahwa huruf mim yang ada pada kalimat tersebut merupakan pengganti dari huruf ya’, hal ini dinggap Ijmâ’, dengan alasan bahwa kata ﻬﻢ اﻟﱠﻠdiambil dari perkataan ﻳﺎﺍﷲ, karena bertemunya dua huruf ya’ dalam satu kalimat maka huruf ya’ pertama diganti dengan huruf mim. Padahal sesungguhnya pendapat ini hanya dianut oleh ulama Bashrah, tidak oleh yang lainnya.112 Karena ulama Kufah memiliki pendapat lain, ungkapan yang biasa diucapkan oleh ulama Kufah adalah ﻨﺎ ﲞﲑﻳﺎﺍﷲ ﺃﹸﻣ, ulama Kufah cenderung menghilangkan sebagian ucapan yang biasa diucapkan oleh ulama Bashrah, dengan tujuan untuk mempersingkat dalam berdoa.113 Berbeda dengan Ijmâ’ dalam pandangan ilmu syariat, Ijmâ’ dalam ilmu nahwu tidak mutlak harus diikuti.114 Ibnu Jinni di antara ulama yang membolehkan
111
Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 213 Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, juz 1, hal. 317 113 Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, juz 1, hal. 320 114 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 218 112
l
keluar dari Ijmâ’, bahkan dalam beberapa kaidahnya, terkadang ia bertentangan 115
dengan Ijmâ’, seperti berkenaan dengan ungkapan; TP
PTﻫﺬﺍ ﺣﺠﺮ ﺿﺐ ﺧﺮﺏ
Selain Ijmâ’ ada dalil lain yaitu Ishtishhâb, dalil ini hanya dianut oleh Ibnu alAnbâri.116 Ia mendefenisikan Ishtishhâb sebagai penetapan keadaan suatu lafadz yang nota bene memiliki hak dalam asalnya ketika tidak memiliki dalil al-Naqli.117 Sesungguhnya Ishtishhab al-Hal adalah dalil yang berkembang di kalangan ulama Bashrah saja, kendati demikian di kalangan mereka pun dalil ini adalah dalil yang peling lemah, tidak dibenarkan berdalil dengan Ishtishhâb selama ada dalil lain yang lebih kuat ketika menetapkan kaidah nahwu. Maka itu mayoritas ulama tidak menjadikan ishtishhab sebagai bagian dari dalil nahwu. B. Nahwu Pada periode Klasik Kehadiran ilmu Nahwu sesungguhnya merupakan respon dari keprihatinan Imam Ali bin Abi Thalib ketika mendengar salah seorang sahabatnya berbicara bahasa Arab dengan stilistik yang salah.118 Respon inilah yang menjadikan titik awal dalam penulisan kaidah nahwu, tujuannya agar masyarakat Arab yang telah bercampur dengan Ajam dan begitu juga dengan masyarakat non Arab, dapat memahami bahasa fashih dengan baik. Karena kualitas pemahaman seseorang terhadap bahasa Arab, akan berpengaruh langsung pada pemahamannya terhadap teks Agama, al-Qur’ân dan al-Hadîts.119 Meskipun dalam perjalanan kodifikasi ilmu 115
Ibnu Jinni berpendapat adanya penentangan terhadap Ijma’ nahwu sesungguhnya telah ada sejak adanya ilmu nahwu itu sendiri. Selengkapnya lihat Ibnu Jinni, al-Khashâish, juz. 1, hal. 191-192 116 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 229 117 Defenisi ini sesungguhnya terminolgi yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam ilmu ushul al-Fiqhnya, yang intinya berlandaskan pada kaidah ‘asal sesuatu itu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya’. Dikatakan bahwa ahli nahwu mengutip istilah ini dan kemudian diterapkan pada kaidah ushul al-Nahwi. 118 Penyimpangan bahasa adalah faktor utama pendorong peletakan kaidah nahwu. Kemunculan Lahn ini bukan hanya pada masa Ali bin Abi Thâlib, konon pada masa Nabi SAW pun sudah terjadi penyimpangan bahasa, namun saat itu Nabi SAW langsung menegurnya, karena Nabi SAW adalah orang yang paling mengerti bahasa fashih. Selengkapnya lihat Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi târikh al-Nahwi al-Arabi, (Riyadh: Dar al-Syawâf 1992), cet. Ke-1 hal. 27. 119 Di antara syarat menjadi Mufassir dan Muhaddits adalah penguasaan yang mumpuni dalam bidang ilmu gramatika bahasa dan bahasa Arab fashih, bahkan Abbâs Hasan menyatakan kalaulah bukan karena ilmu nahwu, tentu kita tidak dapat memahami firman Allah SWT. Lihat Abbâs
li
nahwu ini tidak terlepas dari perselisihan pendapat ulama akan kaidah yang dibangun,120 akan tetapi tidak menyurutkan generasi berikutnya untuk terus membangun kaidah nahwu yang lebih kuat dan kokoh. Terlebih jika mengkaji pemikiran nahwu sebelum masa Ibnu Mâlik (w 672 H), akan ditemukan adanya perselisihan pemikiran nahwu di kalangan ulama, baik dari perbedaan perangkat ushûl al-Nahwi yang digunakan, maupun dari perlakuan ulama nahwu terhadap dalil-dalil bahasa.121 Singkatnya adanya perbedaan pemikiran dalam ilmu ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada disiplin ilmu lainnya seperti tafsîr, hadîts dan fiqih. Itu sebabnya dalam ilmu nahwu dikenal juga aliran atau madzhab pemikiran nahwu, hanya saja aliran pemikiran ini diwakili oleh kotakota tertentu dimana para ulama nahwu menetap, bukan perorangan. Misalnya madzhab nahwu kota Bashrah, Kûfah, Baghdad dan lainnya. Sehingga ketika disebutkan nama seorang ahli nahwu, dan hendak mengetahui pemikirannya tentang nahwu, baiknya diketahui terlebih dahulu di mana ia dibesarkan dan bertempat tinggal, karena diyakini pemikiran satu ulama tidak akan terlepas dari lingkungan di mana ia menetap. Maka itu, pemikiran seorang ahli nahwu bisa jadi refresentatif dari pemikiran sebuah kota atau madzhab tertentu.
Hasan, al-Lughah wa al-Nahwu bayna al-Qadîm wa al-Hadîts (Mesir: Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, hal. 66. Lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr1996), cet. Ke-3, juz. 2, hal. 129 120 Perselisihan tidak hanya terjadi pada ulama yang hidup di kemudian hari, namun terjadi pula pada ulama-ulama awal yang merupakan perintis kaidah nahwu, yang karya-karyanya selalu dijadikan rujukan dan standar oleh ulama yang hidup setelahnya. Al-Farâhidi adalah di antara tokoh madzhab Bashrah, dan al-Kisâ’i adalah tokoh Madzhab Kûfah dan juga murid al-Farâhidi, namun keduanya memiliki perbedaan dalam kaidah ilmu nahwu, baik dari sisi metodologi, interpretasi terhadap teks dan lainnya. Contoh; dalam hal boleh tidaknya mendahulukan huruf istitsnâ’ di awal ﺎ ﹶﺃ ﹶﻛ ﹶﻚ ﻣ ﻣ ﺎ ﺇ ﹶﱠﻻ ﹶﻃﻌnamun pernyataan ini perkataan, menurut al-Kisâ’i, hal itu boleh saja seperti ﺪ ﺯِْﻳ ﻞ dibantah oleh ulama Bashrah. selengkapnya lihat al-‘Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf bayna alNahwiyyin al-Bashariyyin wa al-Kûfiyyin, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah 1998), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 254 121 Dalam pandangan penulis pangkal dari perbedaan bentuk kaidah nahwu yang dibangun oleh masing-masing madzhab adalah perbedaan mereka dalam kualitas pengetahuan dan pengalaman akan sumber nahwu, khususnya syair. Dan tentunya perbedaan pengalaman dan pengetahuan akan syair ini pun disebabkan beberapa faktor, baik itu faktor internal maupun eksternal. Selengkapnya lihat di Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, (Dâr al-Manâr 1991), hal. 73
lii
Begitu juga ketika penulis ingin membuktikan orisinilitas pemikiran nahwu Ibnu Mâlik, penulis mengawalinya dengan menganalisa aliran madzhab nahwu yang pernah muncul sebelum keberadaan Ibnu Mâlik. Dan juga membuktikan sebesar apa pengaruh pemikiran ulama Andalusia bagi Ibnu Mâlik, dengan demikian akan nampak orisinil atau tidaknya pemikiran Ibnu Mâlik. Jika tidak, lantas pemikiranpemikiran apa saja yang mempengaruhi sikap Ibnu Mâlik dalam menetapkan kaidah nahwu. Ada lima aliran pemikiran atau lebih tepatnya lima kota, yang merupakan refresentatif dari pemikiran nahwu yang muncul sebelum Ibnu Mâlik, tentunya di setiap aliran terdapat persamaan dan perbedaan satu sama lainnya, hal ini karena faktor tingkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki para ulama nahwu yang berbeda-beda. Pada awal kemunculan ilmu nahwu, dalam menetapkan suatu kaidah ulama lebih banyak berpijak pada sya’ir Arab dan al-Qur’ân,122 kemudian setelah adanya kodifikasi Hadîts, barulah muncul semangat untuk melahirkan kaidah nahwu yang bersandar pada Hadîts Nabi SAW. Dan perbedaan tersebut makin nampak manakala wilayah penyebaran Islam makin meluas, kecenderungan pendalaman ilmu pengetahuan makin melebar. Jika pada masa awal para ulama lebih cenderung pada kajian Tafsir dan Hadîts, maka pada masa berikutnya kecenderungan mereka juga melebar pada kaidah bahasa Arab. Secara historis, perkembangan nahwu terbagi ke dalam beberapa periode;123 Pertama, periode perintisan dan penumbuhan (Periode Bashrah), perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abu al-Aswad sampai munculnya Al-Khalîl bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. 122
Seperti Sybawaih dalam Kitâb-nya,dari 1450 dalil nahwu yang digunakan, 1050 di antaranya terdiri dari sya’ir. Al-Rumâni dalam karyanya Ma’âni al-Hurûf dari 338 dalil nahwu yang digunakan, 147 terdiri dari syair dan 187 terdiri dari al-Qur’ân. Al-Mufasshal karya al-Zamakhsyari dari 791 dalil, 454 terdiri dari syair dan 319 terdiri dari al-Qur’ân. Lihat Hasan Musa al-Sya’ir, alNuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 94. 123 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât, hal. 20-28
liii
Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai digunakannya metode analogi. Kedua; periode ekstensifikasi (Periode
Bashrah-Kufah),
periode ini
merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang sengit antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sybawaih, sedangkan aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam al-Kisâ’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf. Ketiga; periode penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad), di akhir periode ekstensifikasi. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru, Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masingmasing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara pemikiran Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat hijriyah. Masa ini berakhir kira-kira pada pertengahan abad keempat hijriyah. Ahli nahwu yang hidup sampai masa tersebut dikategorikan sebagai ahli nahwu klasik. Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. Faktor-faktor geografis yang terpencar-pencar inilah yang pada akhirnya mendorong terbentuknya madzhab-madzhab nahwu, yang awalnya berpusat di Bashrah kemudian Kûfah, lalu tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pengaruh faktor ini
liv
dianggap penting karena kegigihan ulama dalam menyiarkan ilmu pengetahuan ke berbagai penjuru bumi, yang tentunya tidak terlepas dari kecenderungan pengetahuan yang mereka miliki, telah memberikan warna pemikiran tersendiri pada kota yang ditempatinya.124 Karena itu jika diteliti lebih mendalam keunggulan Bashrah dalam bidang nahwu, dan keunggulan Kûfah dalam bidang tafsîr, hadîts dan fiqih, maka tidak akan terlepas dari kecenderungan dan pengetahuan ulama-ulama, khususnya para sahabat, tâbi’în dan atbâ’ tâbi’în yang menetap dan berdakwah di kota-kota tersebut.125 Sehingga madzhab-madzhab nahwu yang dikenal luas di kalangan ahli bahasa tersebut memiliki ciri khas dan pengaruh tersendiri terhadap pemikiran nahwu ulama kemudaian. C. Aliran Pemikiran Nahwu 1. Madzhab Bashrah Pendiri madzhab ini adalah al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidî (w 1754 H), beliau dikarunia kecerdasan luar biasa, mampu mengungkap rahasia dan keluhuran bahasa Arab dengan cermat. Pemahamannya terhadap nadzam dan stilistik bahasa Arab menjadi inspirasi ulama yang datang kemudian, karenanya tidak mengherankan jika banyak santri yang mengaji dan berguru padanya. Di antara murid beliau yang paling populer adalah Sybawaih (w 188 H), beliau dikenal sebagai murid al-Farâhidî yang istimewa, ia merupakan ulama Nahwu yang paling produktif dan cerdas dalam mengkaji nahwu, sehingga para ulama menjulukinya sebagai imam para ahli nahwu. Abu Thayyib mengatakan bahwa dari sekian banyak murid yang belajar pada al124
Pendelegasian ulama kepada negeri-negeri yang belum mengenal Islam sudah terjadi pada masa Nabi SAW, misalnya Mush’ab bin Umair ke Yatsrib, satu rombongan yang dipimpin oleh alMundzir bin ‘Amir ke Najed, Abu Musa al-‘Asyari, Muadz bin Jabal dan sahabat lainnya yang diutus ke Yaman. Lihat Ali Mustafa Yaqub Sejarah, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000), cet. Ke-2, hal. 166-173 125 Adanya pengaruh ulama-ulama terhadap corak pemikiran pada suatu kota tertentu, tergambar dalam pernyataan Ibnu Taimiyah, yang merupakan pemikir Islam Abad pertengahan, dalam menghubungkan tingkat pengetahuan para sahabat dan tâbi’în mengenai tafsir, beliau mengatakan; “kelompok yang paling mengetahui tafsir adalah penduduk Makkah, karena mereka menyertai Ibnu Abbas. Selanjutnya adalah orang Kûfah karena mereka menyertai Ibnu Mas’ûd. Kemudian adalah para ahli dari Madinah, seperti Zaid bin Aslam, Abdurrahman bin Zaid, dan Mâlik bin Anas. Untuk mengetahui lebih mendalam penyebaran ulama tafsir lihat. Al-Hafidz Syamsuddin al-Dâwûdi, Thabaqât al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2002) cet. Ke-1, hal. 4
lv
Farâhidî, tak satupun murid yang kecerdasannya serupa dengan Sybawaih, ia adalah orang yang paling memahami nahwu setelah al-Farâhidî, ini dibuktikan dengan karyanya yang disebut-sebut sebagai Qur’an-nya nahwu.126 Sebagai madzhab pertama dalam ilmu nahwu, Bashrah memiliki kekhususan dan keutamaan dalam pemikirannya, kaidah-kaidah yang lahir dari pena ulama Bashrah sangat kuat menghujam di kalangan ulama, maka itu tidaklah mengherankan jika pemikirannya banyak mempengaruhi sudut pandang ulama nahwu setelahnya, ciri yang paling menonjol dari madzhab ini adalah; Pertama; ketelitian dan keselektifan. Ketelitiannya tergambar dalam memilih uslub yang fashih dan ketajamannya dalam memilih dalil-dalil kuat sebagai sumber penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun mereka mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang Arab, namun tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sebelum terlebih dahulu ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan keshahihannya. Sikap ini muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal, ini dilakukan tidak lain karena ulama Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu ini kuat, maka itu harus dibangun dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatinya.127 Karena bangunan yang berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan angin dan badai. Ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil terlihat juga dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya,128 ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu bahasa, dan juga kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang kokoh. Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat. Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya 126
Untuk lebih mengenal keluhuran Sybawaih dan kecerdasannya dalam bidang nahwu, pembaca dapat merujuk pada buku; Sybawaih Imâm al-Nuhât karya Ali al-Najdi Nâshif (Kairo; Alam al-Kutub) 127 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. 128
." "ﻭﲰﻌﺖ ﻣﻦ ﺃﻭﺛﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻳﻘﻮﻝ،" "ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﺮﺿﻲ ﻋﺮﺑﻴﺘﻬﻢ،""ﻭﲰﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﻮﺛﻖ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ
lvi
riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyas sebagai sumber kaidah ilmu nahwu.129 Keistimewaan-keistimewaan inilah yang menjadikan kota Bashrah sebagai rujukan utama dalam bidang nahwu. Kedua keistimewaan di atas tidaklah berdiri sendiri, pastinya ada beberapa faktor penting yang mendukungnya, antara lain; a. Letak geografis kota Bashrah; Kota Bashrah sangat berdekatan dengan orang Badui yang merupakan oase bahasa fashih, keluhuran bahasa Arab Badui ini dibuktikan dengan terhindarnya bahasa yang mereka gunakan dari lahn dan kecacatan bahasa. Kelebihan ini nampaknya dimanfaatkan betul oleh ulama dan pelajar di Bashrah untuk menggali bahasa fashih dari sumber dan pakarnya. Pemanfaatan kesempatan emas ini terlihat dari adanya beberapa ulama Bashrah yang sering menyempatkan berkunjung ke wilayah Badui. Di lain kesempatan, masyarakat Badui pun sering berkunjung ke kota Bashrah, dan tentunya kedatangan mereka disambut baik bagai para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan. Karenanya jika menilik kitab Tarajum,130 akan ditemukan pada tarajum ulama nahwu Bashrah, sebagiannya pernah berkunjung ke wilayah Badui dan bertemu dengan orang-orang Arab, tujuannya antara lain mendengar dan mengkaji keluhuran bahasa Arab dari penutur aslinya. Bahkan tokoh ulama nahwu, yaitu al-Farâhidî131 pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana diceritakan al-Kisâ’i, bahwa ia bertanya pada gurunya, alFarâhidî, “Dari mana engkau mendapatkan ilmu nahwu ini?” al-Farâhidî menjawab, “Aku mengambilnya dari orang Badui Hijâz, Najd dan Tihâmah. Setelah mendengar
129
hal. 31
Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2,
130
Pembaca dapat melihat pada kitab Bughyat al-Wu’ât karya al-Suyuthi, Mu’jam al-Udabâ’ karya Yâqût, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsîr dan lainnya. 131 Nama lengkapnya al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, ketokohannya dalam bidang bahasa tidak diragukan lagi, ia disebut-sebut sebagai Sayyid al-Udabâ’. Bahkan Sufyan al-Tsaurî memujinya dengan mengatakan, “Barang siapa yang ingin melihat seseorang yang diciptakan dari emas dan minyak Misk, maka lihatlah pada al-Khalîl bin Ahmad. Lihat Yâqût, Mu’jam al-Udabâ’ (Beirut; Dâr al-Fikr 1980), cet. Ke-3, juz. 11, hal. 74.
lvii
itu, al-Kisâ’i pun bergegas berkunjung ke wilayah Badui, untuk memahami bahasa Arab dari penutur aslinya, sebagaimana yang dilakukan gurunya.132 Maka itu dalam beberapa biografi ahli nahwu Bashrah, diketahui bahwa sebagian dari ulamanya pernah berkunjung ke wilayah Badui seperti; Yûnus bin Habib, al-Nadhr bin Syâmil al-Maznî dan Abu Zaid al-Anshârî. Bahkan sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Badui pun sering berkunjung ke kota Bashrah, mereka terkadang tinggal dalam waktu yang lama dan terkadang juga hanya sebentar. Tentunya kedatangan mereka disambut baik khususnya oleh pelajar bahasa Arab.133 b. Pasar Mirbad; Pasar Mirbad yang terletak di kota Bashrah merupakan pasar besar yang juga cukup terkenal, pasar itu merupakan tempat istirahat para musafir, bertemunya para saudagar dari berbagai kota dan Arab Badui. Di pasar Mirbad inilah terjadi komunikasi yang tinggi antara penduduk Bashrah dan para saudagar yang datang dari Arab Badui. Bahkan di pasar tersebut, para penyair kerap mengumandangkan syair, syair yang baik tentu akan mendapatkan pujian, dan pastinya para pelajar bahasa memanfaatkan keberadaan penyair tersebut untuk mendengar dan belajar bahasa Arab yang bebas dari penyimpangan dan kecacatan itu.134 Kondisi
ini
dimanfaatkan
pula
oleh
para
ulama
bahasa,
mereka
menyengajakan datang ke pasar tersebut, bukan untuk berbelanja atau berniaga, namun sekedar untuk mendengar ungkapan bahasa fashih dari para penuturnya yang sedang berniaga di Mirbad. Karena itu, pasar ini menjadi faktor penting dalam menunjang lahirnya Madzhab Bashrah, sebagai madzhab nahwu pertama.
132
Yâqût, Mu’jam al-Udabâ, juz. 13, hal. 169. Di antara Arab Badui yang terkenal sering berkunjung ke Bashrah adalah Abu Mahdiyyah yang kerap berbicara bahasa Arab dengan dialek Hijâj, dan al-Muntaji’ bin Nabhân yang berbicara dengan lahjat Tamîm. Musthafa abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat alLughawiyah al-Hadîtsah, hal. 19 134 Musthafa abd al-Aziz, Al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat al-Lughawiyah alHaditsah, hal. 18 133
lviii
c. Masjid Bashrah; Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, masjid selain sebagai tempat ibadah shalat, juga merupakan tempat pembelajaran al-Qur’ân dan kegiatan belajar mengajar lainnya.135 Hal ini pun berlangsung hingga masa berikutnya, hingga masa berkembangnya ilmu pengetahuan di Bashrah. Masjid Bashrah tidak kalah terkenalnya dengan pasar Mirbad, masjid ini ramai didatangi oleh para ulama dan pelajar, untuk berdiskusi atau menuntut ilmu keislaman seperti ilmu bahasa, kalam, tafsir dan hadîts. Di Masjid Bashrah, pembelajaran berbagai ilmu Agama ini diasuh oleh penduduk Arab yang tinggal di Bashrah atau para utusan dari Arab Badui yang memiliki kemampuan luhur dalam bidang ilmu bahasa dan Agama. Maka itu setidaknya fakta ini menunjukkan bahwa masjid Bashrah memiliki peranan penting dan menjadi faktor berarti akan kelahiran madzhab nahwu Bashrah. 2. Madzhab Kûfah Jika mengkaji kitab tarajum ahli nahwu dan melihat pendahulu ulama Kufah, maka akan ditemukan Abu Ja’far al-Ruwâsy136 dan Mu’âdz al-Harrâ’137 berada pada urutan pertama, namun ini tidak berarti bahwa mereka berdua peletak madzhab nahwu Kufah. Karena menurut kesepakatan ahli sejarah, peletak kaidah nahwu Kufah adalah murid mereka berdua yaitu al-Kisâ’i dan al-Farâ’, kedua murid inilah yang merumuskan pondasi ilmu nahwu Kufah, dengan penuh kesungguhan dan ketelitian, hasilnya kaidah-kaidah yang lahir dari Kufah memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan madzhab Bashrah.138 Secara historis madzhab Kûfah muncul belakangan, sekitar seratus tahun setelah kemunculan madzhab Bashrah. Hal ini bukan lantaran ilmu nahwu dianggap 135
Al-A’zami, The History of The Qura’nic Text, Alih bahasa Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Gema Insani 2005), cet. Ke-1, hal 66 136 Ia adalah seorang ahli nahwu di Kufah, pernah berguru pada Isa bin Amr. Salah satu karyanya berkenaan dengan Jama’ dan Mufrad, ia dijuluki al-Ru’asi karena ia mempunyai kepala yang besar. Lihat di al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyin wa al-lughawiyyin, hal. 125. 137 Dijuluki al-Harrâ, karena ia penjual pakaian al-Harwiyah, kemudian ia dinisbatkan pada Hirât yaitu salah satu kota di Khurasan. Ada yang mengatakan beliau adalah peletak ilmu sharaf yang wafat 187 H. lihat al-Suyuthi, Bughyat al-Wu’ât, hal. 393. 138 Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, hal. 154. dan lihat juga di Musthafa abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat al-Lughawiyah al-Hadîtsah (Jeddah: al-Fayshaliyah 1986), hal. 38
lix
tidak penting, melainkan ulama Kûfah lebih konsentrasi pada ilmu keislaman lainnya seperti Fiqih, Hadîts, dan Qirâ’at, sehingga perhatian mereka terhadap nahwu tidak seserius masyarakat Bashrah pada masa itu.139 Dengan kata lain, perhatian ulama Kûfah terhadap ilmu keislaman hampir berbarengan dengan perhatian ulama Kûfah terhadap Bahasa. Karenanya dari sisi penguasaan Sya’ir, ulama Kûfah lebih unggul dibandingkan dengan ulama Bashrah.140 Jika meneliti sikap para ulama Kûfah terhadap sumber kaidah nahwu, akan kita temukan bahwa mereka lebih banyak menggunakan sumber bahasa yang nota bene diabaikan oleh mayoritas ulama Bashrah. Sebagaimana penulis jelaskan di awal bahwa ulama Bashrah tidak banyak menggunakan uslub ahli kalam sebagai dalil nahwu, mereka lebih banyak memperhitungkan akal, dan bersandar pada dalil-dalil manthiq serta sumber-sumber filsafat, dengan demikian sikap ini berlainan sekali dengan ulama Kûfah. Maka itu, ulama Kûfah lebih mengandalkan pendengaran, mereka banyak mendengar ungkapan bahasa Arab fashih dari kabilah-kabilah Arab, baik yang selama ini menjadi sumber ulama Bashrah maupun tidak, antara lain; masyarakat Arab yang hidup di kampung Sawâd di Baghdad, seperti Arab al-Hathamiyah dan lainnya. Selain itu ulama Kûfah juga menerima seluruh riwayat Syair dan ungkapan Arab, tanpa memperdulikan kualitas syair tersebut, mereka menerapkannya sebagai dalil dalam penetapan kaidah nahwu. Akibatnya, ulama Kûfah kerap menggunakan dalil yang jarang digunakan ulama lainnya, sehingga kaidah-kaidah yang lahir dari ulama mereka kerap berbeda dengan kaidah-kaidah yang selama ini dibangun oleh ahli nahwu Bashrah.141 Jika diamati secara historis lebih jauh, kebesaran kedua madzhab di atas tidaklah mengherankan, karena Irak yang merupakan tempat dua kota besar Bashrah dan Kufah, adalah negeri yang memiliki perkembangan signifikan dalam sisi ilmu pengetahuan, di negeri inilah awal berkembangnya ilmu-ilmu bahasa Arab. 139
Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’ârif 1976), hal. 153 Al-Suyûthi, al-Iqtirâh fi Ilm Ushul al-Nahwi, hal. 84 141 Lihat di Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah, hal. 41 140
lx
Kebesaran kedua kota tersebut tidak terlepas dari peran ulama pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab r.a sekitar tahun 14 H yang menjadikan Bashrah dan Kufah sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedua kota besar tersebut memiliki perbedaan yang mencolok dari berbagai sisi, antara lain dari sisi letak geografis, kecenderungan dan tabiat masyarakatnya, kefasihan ucapannya dan metodologi penelitiannya dalam kaidah nahwu. Di bawah ini akan diuraikan keunggulan dan perbedaan antara kedua madzhab di atas; Pertama; dari sisi letak georafis, Bashrah diuntungkan karena letak kota Bashrah berdekatan dengan masyarakat Badui, yang memiliki kefashihan dalam bahasa Arab. Sedangkan letak kota Kufah sangat jauh dari komunitas masyarakat Arab, jika dibandingkan dengan Bashrah. bahkan kota ini sering dikunjungi oleh utusan-utusan dari negeri non Arab, dan terjadilah hubungan diplomatis antara penduduk Kufah dan non Arab, akibatnya tabiat dan karakter Kufah telah bercampur dengan Ajam, dan bahasanya pun telah terpengaruhi oleh satu sama lainnya. Maka itu implikasinya dalam penetapan kaidah nahwu, Kufah lebih bersifat toleran dan sangat memudahkan, tidak seketat dan seselektif masyarakat Bashrah dalam menggunakan dalil bahasa.142 Kedua; dari sisi tabiat dan kecenderungan, penduduk Bashrah adalah masyarakat yang keras dan sulit bersosialisasi, mungkin karena itulah mereka menjadi pendukung Muawiyah. Adapun penduduk Kufah masyarakatnya lebih cenderung penurut dan pecinta ketenangan. Secara politik, mereka merupakan pendukung Ali bin Abi Thâlib yang pernah mendatangi kota mereka. Dan kelak Kufah menjadi penolong Daulah Abbasiyah, tidak heran jika Daulah Abbâsiyah sangat mengistimewakan masyarakat Kufah, bahkan dari sisi ilmu pengetahuan para khalifahnya mempercayakan ulama Kufah untuk mendidik anak-anaknya. Contohnya seorang ulama bahasa terkenal al-Kisâ’i pernah mengajarkan sastra pada khalifah al142
Abdul karim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-Nahwi al-Arabi, hal. 35
lxi
Rasyîd dan kedua anaknya al-Amîn dan al-Ma’mûn, al-Farâ’ juga demikian yang merupakan murid dari al-kisâ’i mengajarkan anak-anak al-Ma’mûn. Ibnu Sikit murid dari al-Farâ ‘mengajarkan anak-anak al-Mutawakkil dan lainnya.143 Ketiga; Keluhuran bahasa, penduduk Bashrah memiliki karakter bahasa paling lembut dalam berbicara bahasa fashih, karena mereka bagian dari kabilah yang memiliki bahasa yang jernih. Di samping itu mereka sering berinteraksi dengan masyarakat Badui, keuntungannya adalah perkataan Arab yang dijadikan sebagai dalil nahwu oleh mereka adalah perkataan yang shahih. Ini bertolak belakang dengan penduduk Kufah, mereka tidak memiliki lingkungan yang masyarakatnya berbahasa luhur, sehingga terkadang mereka mengambil sumber bahasa dari kabilah yang kefashihannya jauh lebih rendah dari Bashrah, terlebih konsentrasi mereka terhadap ilmu nahwu, muncul jauh belakangan setelah masyarakat Bashrah.144 Keempat; penduduk Bashrah telah meletakkan undang-undang komprehensif bagi bahasa dalam hal Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Undang-undang dan kaidahkaidah kebahasaan yang meeka bangun mendekati keshahihan, karena mereka mengambil saksi atau dalil kaidah dari sumber terpercaya dan teruji kefashihanya.145 Keteguhannya dalam mempertahankan kaidah yang telah mereka bangun tercemin dalam sikapnya ketika ada ungkapan Arab yang shahih namun bertentangan dengan kaidah mereka, maka mereka berusaha untuk meta’wilkannya agar keduanya sejalan, dan tidak melakukan qiyas sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Kufah.146 Sikap Bashrah ini berbeda sekali dengan penduduk Kufah, ulama Kufah lebih cenderungan bersikap Mutasahhil, ini tercermin misalnya ketika ada ungkapan Arab 143
Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa Târîkh Asyhar al-Nuhât,hal 76 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât,hal 75 145 Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-nahwi al-Arabi, hal. 36 146 Ulama Bashrah kerap menyalahkan sebagian orang Arab yang perkataan dan qirâ’atnya tidak sejalan dengan kaidah yang mereka bangun, misalnya kaidah yang sudah masyhur di kalangan Arab ن ّ إmenashab isim dan merafa’kan khabar, namun didapati dalam sebagian kondisi ن ّ إtidak melakukan itu padahal ungkapan itu bersumber dari yang shahih, seperti bacaan shahih yang diakui ّ إ, meskipun ada riwayat oleh Ulama Qira’at Sab’ah kecuali Abu Amr bin al-Ala’ yaitu ن هﺬان ﻟﺴﺎﺣﺮان lain dari Abu Amr إن هﺬﻳﻦ ﻟﺴﺎﺣﺮان. lihat Ibnu Hisyâm, Syarh Syudzûr al-Dzahâb fi ma’rifat kalâm al‘Arab (Makkah: Dar al-Baz) hal. 46 144
lxii
yang shahih padahal bertentangan dengan kaidah umum, maka ulama Kufah membolehkan qiyas, bahkan mereka menjadikan bahasa yang lemah ini sebagai pondasi bagi kaidah umum yang baru. Ibnu Darastawayh al-Baghdâdi yang merupakan ulama fanatik terhadap penduduk Bashrah mengatakan; al-Kisâ’i pernah mendengar bahasa yang syadz yang tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan darurat, akan tetapi ia menjadikan bahasa syadz tersebut sebagai dalil dan membolehkan berqiyas padanya, karena itulah ilmu nahwu menjadi rusak.147 3. Madzhab Baghdad Kemajuan pertumbuhan dan perkembangan madzhab Baghdad dalam bidang nahwu, tidak akan terlepas dari peran aktif para pelajarnya yang menimba ilmu dari kedua madzhab besar pendahulunya, Bashrah dan Kûfah. Kontribusi pelajar-pelajar ini adalah kesungguhannya dalam mempelajari kaidah-kaidah nahwu yang dibangun oleh kedua Madzhab tersebut, kemudian memilahnya dengan cara mencari pendapat yang lebih unggul dari keduanya. Pendapat yang tepat menurut mereka akan dipegang sebagai corak pemikirannya, tanpa melihat asal kemunculan kaidah tersebut, dari Bashrah-kah atau Kûfah. Dengan demikian, tidak sedikit ulama nahwu yang menyebutkan bahwa madzhab Baghdad adalah madzhab gabungan antara pemikiran Bashrah dan Kûfah. Meskipun al-Zubaidi mengatakan bahwa Madzhab ini lebih cenderung pada Bashrah, karena dilihat dari banyaknya jumlah kaidah yang mereka gunakan, banyak kesesuaiannya dengan pemikiran Bashrah.148 Jika meneliti pergerakan pemikiran ahli nahwu Baghdad, akan ditemukan dalam generasi pertama madzhab ini, kecenderungan yang berbeda-beda, misalnya dari mereka ada yang lebih cenderung pada madzhab Kûfah, seperti Muhammad bin Sulaiman al-Hamidh (w 305 H) dan Ahmad bin Syaqir (w 327 H). Ada juga yang cenderung pada madzhab Bashrah misalnya Ibrâhim al-Zujaj (w 310 H), Muhammad bin Sirâj (w 316 H), Abdurrahman al-Zujaji (w 337 H), Abu Aly al-Shaffâr (w 341 147
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah 2003), juz. 2, hal. 164 148 Musthafa Ad al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 73
lxiii
H), dan Abdullah bin Darastawayh (w 347 H). Selain itu, ada juga sebagian ulama Baghdad yang menggabungkan antara kedua madzhab tersebut, seperti Abdullah bin Qutaibah al-Dînurî (w 276 H), Ali bin Sulaiman al-Akhfas al-Shaghîr (w 315 H) dan Muhammad al-Khayâth (w 320 H).149 Demikianlah fenomena pergerakan pemikiran generasi pertama di Baghdad, mereka memiliki kecenderungan yang berbeda-beda antara satu ulama dengan yang lainnya. Pendapat yang menurut mereka tepat, baik itu dari Bashrah atau Kûfah, maka itulah pendapat yang dianut. Bahkan terkadang para ulama Baghdad berijtihad sendiri, jika menurutnya kaidah dari kedua madzhab pendahulunya kurang tepat, atau ada dalil lain yang memberikan kaidah alternatif dari kedua pendahulunya. Maka itu ahli sejarah bahasa menegaskan bahwa sesungguhnya hasil ijtihad para ulama Baghdad inilah yang merupakan ciri dari pemikiran Madzhab Baghdad,150 karena kaidah tersebut berbeda dan tidak ditemukan pada madzhab sebelumnya. 4. Madzhab Andalus Perkembangan pemikiran nahwu di Andalusia telah mengalami proses perkembangan dalam beberapa periode; Periode pertama, pemikiran nahwu madzhab ini lebih banyak dipengaruhi oleh Madzhab Kûfah, ini disebabkan ulama nahwu pertama di Andalus yaitu Jaudy bin Utsmân (w 198 H) pernah menuntut ilmu di Kûfah dan mengaji langsung kepada beberapa tokoh ulama Kûfah seperti al-Kisâ’i, al-Farâ’, dan lainnya. Dan ketika Jaudy kembali ke Andalusia, ia membawa kitab karya al-Kisâ’i dan mengajarkannya pada siswa dan pelajar di Andalusia.151 Periode kedua, adalah periode dimana pelajar Andalusia beramai-ramai berkunjung ke daerah Timur, termasuk Bashrah, di antaranya adalah Muhammad bin Musa al-Andalûsy, beliau belajar di daerah Bashrah, dan pernah mengaji Kitab karya Sybawaih pada Abu Ali al-Dinûrî, dan beliau juga pernah mengaji pada al-Maznî. 149
Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 74 Pemikiran orisinal Baghdad seperti bolehnya me-ma’rifah-kan al-Hâl, sedangkan Bashrah sebaliknya, wajib me-nakirah-kan al-Hâl secara muthlak. Lihat Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah, hal. 76 151 Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-nahwi al-Arabi, hal. 147 150
lxiv
Dan tentunya sekembalinya dari Bashrah, Muhammad bin Mûsa menyebarkan pemikiran Bashrah pada pelajar-pelajar di Andaluisa, bahkan para ahli sejarah mengatakan bahwa beliau adalah orang pertama kali yang mengajarkan dan menyebarkan pemikiran Sybawaih di Andalûsia, meskipun di Andalûsia telah berkembang pemikiran nahwu Kûfah. Periode ketiga, pada periode ini pelajar Andalûsia banyak mengkaji beberapa karya ulama Baghdad, dan tidak dipungkiri pemikiran ulama Baghdad ini banyak mempengaruhi sebagian pelajar Andalûsia. Fenomena ini tentunya menambah wawasan bagi ulama nahwu Andalusia kemudian, khususnya ulama yang hidup setelah munculnya ketiga perode di atas. Karenanya ciri pemikiran Andalûsia sesunguhnya baru terlihat pada abad kelima Hijriyah, inilah awal dari kemandirian dan kemapanan pemikiran Andalusia, meskipun pada prinsipnya pemikirannya tidak terlepas dari pemikiran ketiga pendahulunya, Bashrah, Kûfah dan Baghdad. Kendati demikian, kemandirian ini berlangsung hingga abad keenam dan ketujuh hijriyah.152 Di antara ciri madzhab ini adalah, terlihat dari kaidah-kaidah yang mereka bangun lebih banyak bersumber pada teks manqul, sedikit sekali dari mereka yang bersandar pada teori qiyâs. Nash-nash itu adalah al-Qur’ân, al-Hadîts dan perkataan orang Arab baik yang berbentuk Syair dan Nastr.153 Selain itu ada ciri lain yang tidak kalah menarik, yaitu kecenderungan dan usaha mereka untuk mempermudah pembelajaran nahwu, ini dapat dilihat dari karya-karya yang lahir dari tangan ulama Andalûsia, misalnya usahanya dalam menjelaskan dengan rapih kaidah dan permasalahan nahwu yang nampaknya sulit, terlihat begitu mudah. Dalam aspek penyajian pun ulama Andalusia banyak menulis ringkasan-ringkasan nahwu, baik dalam tulisan biasa atau juga dalam bentuk nadzam, ini dilakukan untuk mempermudah para pelajar dalam memahami nahwu yang sederhana, khususnya bagi
152
Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 87 Menurut penulis kecenderungannya pada sumber manqul, antara lain disebakan karena madzhab Andalus berkembang di saat ilmu keislaman mencapai puncak keemasan, seperti penafsiran al-Qur’ân, kodifikasi Hadits dan periwayatan syair yang sudah berkembang dengan pesat. 153
lxv
para pemula yang ingin mempelajari nahwu dengan singkat dan hanya sebagai pelengkap ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. 5. Madzhab Mesir Kajian nahwu di Mesir muncul setelah masuknya Islam ke negeri itu, kemunculannya berbarengan dengan semangat masyarakat Mesir untuk mengkaji alQur’ân, dan dasar-dasar nahwu dipelajari untuk mempermudah pemahaman mereka terhadap kitab suci al-Qur’ân.154 Maka itu, Ilmu Agama adalah ilmu pertama kali yang berkembang di Mesir, yang dirintis dan kembangkan pertama kali oleh seorang sahabat Nabi SAW Abdullah bin Amr bin al-Ash. Secara historis, pengembangan kajian nahwu di Mesir pertama kali dipelopori oleh al-Walid bin Muhammad al-Tamimi, yang dikenal dengan Wallâd. Semasa kecil ia tumbuh di Mesir, kemudian setelah dewasa ia mengembara ke Irak untuk mengaji pada al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, sekembalinya dari Irak ia mengembangkan ilmu yang didapati dari gurunya al-Farâhidi.155 Estapet perkembangan nahwu ini kemudian dilanjutkan oleh Abu al-Hasan al-A’ajj, ia berguru pada al-Kisâ’i. Dan setelah munculnya madzhab ketiga yaitu Baghdad pada abad keempat hijriyah, mulailah pemikiran Baghdad merasuki pemikiran nahwu Mesir.156 Dari tokoh-tokoh ulama ini dapat disimpulkan bahwa pada periode pertama pemikiran nahwu di Mesir lebih diwarnai oleh pemikiran Bashrah dan Kûfah. Namun pada abad keempat hijriah, seiring lahirnya pemikiran madzhab Baghdad, Mesir tidak luput dari pengaruh madzhab ini. Pengaruh Andalusia di Mesir pun tidak bisa dipandang sebelah mata, ini dibuktikan ketika lahir madzhab Andalusia, pemikirannya langsung menyebar ke berbagai kota di Mesir.157
154
Di antara ulama yang pertama mengembangkan ilmu al-Qur’ân adalah Abdurrahman bin Harmaz yang berdakwah di Mesir, dan kemudian menetap di sana. Beliau wafat pada 227 H, dan dimakamkan di Iskandaria. Lihat Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 91 155 Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, hal. 328 156 Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 92 157 Untuk mengetahui perkembangann nahwu Mesir lebih mendalam, pembaca dapat merujuk pada Ahmad Nashîf al-Janâbi, Al-Dirâsât al-Lughawiyyah wa al-Nahwiyyah fi Mishr, (Kairo: Dâr alTurâts 1977)
lxvi
BAB III IBNU MÂLIK DAN AHLI NAHWU KLASIK A. Biografi Ibnu Mâlik 1. Asal usul Ibnu Mâlik Ibnu Mâlik bernama lengkap Jamâl al-Dîn Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah bin Mâlik al-Thay al-Jayyânî al-Andalûsî al-Syâfi’î al-Nahwî al-Lughawî. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang nama ayah beliau, ada yang mengatakan bahwa namanya Abdullah bin Mâlik,158 ada juga yang mengatakan ayahnya bernama 158
Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Kairo; Dar al-Hadîts 1994), juz. 13, hal. 298
lxvii
Abdullah bin Abdullah bin Mâlik.159 Perbedaan keduanya terletak pada nama kakeknya Ibnu Mâlik, apakah nama kakeknya bernama Abdullah juga, sama seperti nama ayahnya. Sebagian para hâfidz mengatakan ketika menjelaskan silsilah Ibnu Mâlik, bahwa nama Abdullah disebutkan dua kali berturut-turut, dan sebagiannya lagi menyebutkan nama Abdullah hanya disebutkan sekali. Pendapat kedua ini tersurat pada awal tulisan syarh umdah al-Hâfidz, selain itu pendapat ini juga dianut oleh alShafdî dan Ibnu Khâthib.160 Lain halnya dengan yang tersurat dalam muqaddimah al-Tashîl yang ditulis oleh Muhammad Kâmil, beliau menulis Muhamad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Mâlik, dengan tambahan Muhammad, Kamil menukilnya dari alDamâminî dalam awal Syarh al-Tashîl.161 Waktu kelahirannya pun diperselisihkan oleh ulama, sehingga penulis pun tidak dapat memastikannya, ini karena Imam al-Dzahabi,162 al-Maqqari,163 Ibn alImâd,164 al-Subkî, al-Asnâwî dan Yasin al-Alimî165 pun tidak dapat memastikan tahun kelahirannya dengan pasti, mereka hanya mengkisarkan antara 600 atau 601 H. AlShafdî, Ibnu Taghrî berpendapat bahwa Ibnu Mâlik dilahirkan pada tahun 601 H, ini tentunya berbeda dengan pendapat Muhammad Kamil dan juga ulama terdahulunya seperti al-Dâminî, Ibnu Syâkir,166 Ibnu Katsîr,167 dan al-Suyûthi168 yang mengatakan bahwa Ibnu Mâlik dilahirkan pada tahun 600 H.
159
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130. Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir 1968), juz. 2, hal. 223. 161 Adnân al-Dûrî, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 18 162 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 163 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2, hal. 222 164 Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbari man Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr 1994), juz. 5, hal. 339 165 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, (Baghdad: Maktab al‘Âny 1977), hal. 19 166 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 19 167 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, juz.13, hal. 267 168 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi Ulum al-Lughah wa ‘Anwaiha (Kairo: Dar al-Turats), cet. Ke-2, juz. 2, hal. 468 160
lxviii
Sedangkan tempat kelahirannya, ahli sejarah bersepakat bahwa tempat kelahiran Ibnu Mâlik di Jayyân,169 ia merupakan salah satu kota terkenal di Andalusia. Adapun kabilah al-Thay yang disematkan pada Ibnu Mâlik adalah merupakan salah satu kabilah yang ada di Andalusia.170 Sepanjang usianya Ibnu Mâlik memiliki keluhuran budi pekerti yang dikagumi oleh setiap orang. Imam alDzahabi menuturkan, Ibnu Mâlik adalah orang yang tekun dalam beribadah baik itu wajib maupun sunnah, hatinya lembut, cerdas dan sosialnya amat tinggi.171 Selain itu ia juga seorang yang giat dalam menulis karya tulis dalam bidang bahasa.172 Ibnu Mâlik dikaruniai dua putra; Pertama, Badruddin Muhammad, beliau dikenal sebagai ulama cerdas dalam bidang nahwu, Bayân, Arûdh, Ushûl, Manthiq dan ia juga aktif mengikuti perkembangan fiqih dan ushûl Fiqh.173 Badruddin belajar langsung dari ayahnya, Ibnu Mâlik. Meskipun berguru pada ayahnya, namun 169
Jayyân adalah kota terkenal di Andalusia yang terletak sebelah timur Qurtubah. Dari kota Jayyân banyak lahir ulama-ulama besar, seperti al-Husain bin Muhammad al-Ghassyani yang populer dengan julukan al-Jayyânî (w 498 H), ia adalah tokoh ahli Hadîts di Qurtubah. Ada juga Yusuf bin Muhammad al-Jayyânî (w 545 H), ia juga merupakan ahli Hadîts. Ada juga ahli bahasa Arab, yaitu Mush’ab bin Muhammad al-Jayyânî, dan Ibnu Mâlik juga di antaranya dan lain-lain. Karenanya kemasyhuran Andalusia akan ulama-ulama besar tidak diragukan lagi. Bahkan Syaikh Abu al-Hasan al-Nubahi menulis kitab khusus yang menceritakan keluhuran ulama-ulama Andalusia. Lihat Abu alHasan al-Nubahi al-Andalusi, Târikh Qudhât al-Andalus (Beirut: Maktab al-Tijari t.th) 170 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 20 171 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz 1, hal. 130. 172 A. Karyanya dalam bidang Sharaf dan Bahasa 1. Al-Kâfiyah al-Syâfiyah, terdiri dari tiga ribu bait syair tentang nahwu 2. al-Wâfiyah fi Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah. 3. al-Khulâshah, yang dikenal dengan nama kitab alfiyah. 4. al-Tashîl 5. Syarh al-Tashîl. 6. al-Mufasshal fi Nadzmi alMufashshal 7. Sabku al-Mandzûm wa Fakku al-Makhtûm. 8. Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz. 9. Syarh al-Umdah 10. Ikmâl al-Umdah 11. Syarh Ikmâl al-Umdah 12. Syawâhid al-Tawdhîh wa alTashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh. 13. al-Muqaddimah al-Asadiyah 14. Syarh al-Juzwaliyah 15. Naktuhu al-Nahwiyyah ala Muqaddimah Ibnu Hâjib. 16. Mukhtashar al-Syâfiyah 17. Syarh alKhulâshah 18 Ajwibah ala As’ilah Jamâl al-Din al-Yamânî fi al-Nahwi. 19. I’jâz al-Ta’rîf fi Ilm alTashrîf. 20. Syarh Tashrîf Ibnu Mâlik, yang diakutip dari karyanya al-Kâfiyah 21. Qâshidah fi alAsmâ’ al-Mu’annatsah. 22. Nadzm al-Farâid 23. Ikmâl al-A’lâm bi Matslats al-Kalâm 24. Ikmâl alA’lam bi Tatslits al-Kalâm. 25. Tsulatsiyyât al-Af’âl. 26. Lâmiyah al-Af’âl aw al-Miftâh fi Abniyah alAf’âl. 27. Syarh Lâmiyah al-Af’âl. 28. al-I’tidhâd fi al-Farq bayna al-Dhâd wa al-Dza. 29. al-I’timâd fi Nadzâ’ir al-Dha wa al-Dza. 30. Tuhfat al-Maudûd fi al-Maqshûr wa al-Mamdûd. 31. Syarh Tuhfat alMawdûd. B. Karyannya dalam bidang Qirâ’at. 1. al-Mâlikiyah fi al-Qirâ’at. 2. al-Lâmiyah fi alQirâ’at. 3. al-Dâliyah fi al-Qirâ’at C. Karya Ibnu Mâlik dalam al-‘Arûdh hanya satu yaitu kitab al‘Arûdh. Lihat Adnan, Muqaddimah Syarh al-Umdah, hal. 43-45. 173 Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbâri man Dzahab, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. 5, hal. 398
lxix
perbedaan dan perselisihan pendapat dengan ayahnya dalam bidang nahwu tidak terhindarkan. Syarh Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Mâlik sendiri, Muhammad Badruddin (w 686 H). Syarh ini banyak mengkritik pemikiran nahwu yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian Maf’ûl Muthlaq, Tanâzu’ dan sifat Mutasyâbihât. Meskipun kritikan Badruddin ini dianggap tidak kuat oleh sebagian ulama, tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’ân. Akan tetapi, karena hampir semua ilmuan mengetahui bahwa tidak semua teks al-Qur’ân bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama, sehingga sanggahan dan kritikan ulama terhadap teoriteori Badruddin ini pun tidak terhindarkan. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini sangat rasional dan cerdas dalam bidang nahwu, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwu yang syâdz. Karena itu, penulis-penulis syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyâm, Ibn Aqîl, dan al-Asymûni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Mâlik tadi. Meskipun begitu, syarh Badrudin ini cukup menarik, ini terlihat dari banyaknya ulama besar yang menulis Hâsyiyah (peluasan) untuknya, seperti karya Ibn Jamâ’ah (w.819 H), al-‘Ainî (w.855 H), Zakaria al-Anshâriî (w.191 H), alSuyûthi (w.911 H), Ibn Qâsim al-Abbâdi (w.994 H), dan Qâdhi Taqiyuddin bin Abdulqâdir al-Tamimî (w.1005 H). Selama tinggal di Ba’labak, banyak masyarakat yang mengaji padanya, antara lain Badruddin bin Zaid. Namun setelah wafat ayahnya, ia diminta untuk kembali ke Damaskus untuk meneruskan beberapa pekerjaan ayahnya yang belum tuntas, seperti menulis karya yang belum rampung dan melayani murid-murid yang hendak berguru padanya, seperti apa yang dilakukan ayahnya semasa ia hidup. Karya Badruddin yang merupakan penjelasan dari kitab ayahnya, Alfiyah, dinamainya dengan syarah Ibnu Nâdhim, selain itu ia juga turut mensyarh karyakarya ayahnya yang lain seperti al-Kâfiyah, Lâmiyah, dan ia juga menyelesaikan syarah Tashîl dan al-Mishbâh fi al-Ikhtishâr al-Miftâh yang merupakan karya yang
lxx
mengkaji al-Ma’âni. Badruddin wafat di Damaskus hari Ahad, delapan Muharram tahun 686 H, ada juga yang mengatakan ia wafat pada tahun 687 H. Pada waktu wafatnya Badruddin, tidak sedikit masyarakat Damaskus yang bersedih dan merasa kehilangan akan putra dari ulama besar ini.174 Adapun putra kedua Ibnu Mâlik adalah Taqiyuddin Muhammad bin Muhammad, ia dikenal dengan al-Asad, Ibnu Mâlik pernah mengabadikan julukan ini dalam salah satu karyanya, yang dinamai dengan al-Muqaddimah al-Asadiyah, ia memiiki Masjid dan Toko, dan diduga kuat ia wafat ketika ayahnya masih hidup sekitar 659 H.175 2. Pendidikan Ibnu Mâlik Tersiar di kalangan ahli bahasa bahwa guru-guru Ibnu Mâlik dalam bidang bahasa Arab dan Qira’at sulit untuk dilacak,176 ini dirasakan oleh Ibnu Hayyân, beliau mengatakan ‘Aku telah lama meneliti guru Ibnu Mâlik, dan hasilnya tidak ada satu pun orang yang memberitahukan perihal gurunya padaku’. Akan tetapi dengan berlangsungnya waktu, Ibnu Hayyân mendapatkan informasi dari salah satu teman sekaligus murid Ibnu Mâlik yaitu Sulaimân bin Abi Harb, ia menceritakan bahwa Ibnu Mâlik pernah mengaji kepada Tsabit bin Khayyâr. Ia berasal dari tempat yang sama dengan tempat lahirnya Ibnu Mâlik, Jayyân. Dan sesungguhnya Tsabit bin Khayyar ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, melainkan ia seorang ahli dalam bidang Qira’at. Ibnu Mâlik juga pernah mengikuti majelis Abu Ali Al-Syalaubini (w. 645 H) sekitar tiga belas hari.177 Dari berbagai literatur sejarah, sedikitnya ada tiga tempat dimana Ibnu Mâlik menggali ilmu dan mengaji kepada para ulama, ada yang di Jayyân, Damaskus dan Halb. Di Jayyan Ibnu Mâlik belajar qirâ’at dan nahwu dari Tsabit bin Hayyân.178 Di 174
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 225 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2 hal. 431 176 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 25 177 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2, hal. 428-429 178 Ia dikunyahi dengan Abu al-Mudhaffar, Abu Razin dan Abu al-Hasan bin Muhammad bin Yûsuf bin Hayyân al-Jayyâni. Ia seorang ahli nahwu dan juga ahli qira’at, wafat pada tahun 627 H. Lihat di Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 482 175
lxxi
kota ini juga Ibnu Mâlik pernah mengaji pada Abu Ali Al-Syalaubini (w. 645 H) kirakira lima belas hari lamanya, dalam riwayat lain disebutkan hanya sepuluh hari.179 Di Damaskus, Ibnu Mâlik pernah belajar pada al-Sakhâwi,180 Abu Shâdiq al-Hasn bin alShabâh,181 Abu al-Fadhl Mukarram bin Muhammad bin Abi al-Shaqr,182 dan Muhammad Abu al-Fadhl al-Mursî.183 Di Halb Ibnu Mâlik sering mengikuti pengajian yang diasuh oleh Ibnu Ya’îsh,184 ia juga sering berdiskusi dengan Ibnu Amrûn,185 murid dari Ibnu Ya’îsy.186 Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Ibnu Mâlik sangat komprehensif. Di tempat kelahirannya, Jayyân, ia sudah berkenalan dengan ilmu bahasa Arab, hadîts dan qira’at. Studinya ia sempurnakan dengan mengadakan rihlatul’ilmi ke berbagai kota di Timur, yang masa itu merupakan gudangnya para ulama. Dengan demikian penulis meyakini bahwa kemampuan ijtihad-nya dalam bidang nahwu, yang disebut-sebut sebagai ahli bahasa yang banyak berdalil dengan 179
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 131 Ia adalah Ibnu al-Hasan Ilmuddin Ali bin Muhammad bin Abd al-Shamad al-Sakhâwi alNahwii al-Muqri’ al-Syafi’i. Dari namanya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti qirâ’at, nahwu dan bahasa. Ia juga seorang ahli tafsir, fiqih dan ushul fiqh. Di kalangan guru dan muridnya ia dikenal berakhlak tinggi dan rendah hati. Diketahui selama hidupnya ia pernah berguru pada al-Syâtibi dan al-Tâjj al-Kindi. Ibnu Khalkan berkata mengenainya, “Aku sering melihat al-Sakhâwi mengendari tunggangan menuju ke arah gunung, di sekitarnya terdapat dua atau tiga orang yang mengaji padanya. Untuk lebih jelasnya lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 192-194 181 Dalam nama lengkapnya terdapat kata al-Mishri al-Kâtib, ini menunjukkan bahwa ia berasal dari Mesir dan merupakan seorang penulis. Ia wafat 632 H, selama hidupnya ia dikenal sebagai ahli sastra yang shaleh dan baik hati. 182 Ia berasal dari Damaskus, lebih dikenal dengan nama Ibn Abi al-Shaqr, dilahirkan pada tahun 458 H, beliau seorang ahli Hadîts, wafat pada tahun 635. menurut Imam al-Suyûthi dari al-Shaqr inilah, Ibnu Mâlik belajar Hadîts. Lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, hal. 446 183 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 184 Nama lengkapnya adalah Yâ’isy bin Ali bin Yâ’isy bin Muhammad Muwaffiquddin Abu al-Baqa’, namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Yâ’isy al-Nahwî al-Halbî. Halb adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya. Lahir pada tahun 553 H, dan wafat pada tahun 643 H. Ia termasuk ulama besar di bidang nahwu dan sharaf. Pernah mengaji pada al-Kindi di Damaskus. Selengkapnya lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 351 185 Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abu Said bin Amrun al-Nahwî al-Halbî. Menurut Al-Dzahabi, tahun kelahirannya diperkirakan 596 H dan wafat pada tahun 649 H. Ibnu Amrun ini belajar nahwu pada Ibnu Yâ’isy dan lainnya. Lihat AlSuyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 231 186 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 180
lxxii
Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, adalah merupakan istana yang dibangun dari pondasi yang kuat, yaitu pondasi ilmu agama dan bahasa. B. Hadîts dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik Dalam bab ini akan dianalisa keterlibatan ahli nahwu seperti Ibnu Mâlik dan yang lainnya dalam menjadikan Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Sehingga keterlibatan ahli nahwu klasik dengan Hadîts dapat dibuktikan kebenarannya. Karena tidak dipungkiri bahwa bidang ilmu apapun terlebih kaidah bahasa, akan selalu berkaitan dengan ilmu syariat lainnya, sehingga perhatian ahli nahwu terhadap Hadîts tidak dapat dielakkan. Meskipun pada masa awal kemunculan ilmu nahwu, kodifikasi Hadîts belum dilakukan secara teratur. Keterlibatan ahli nahwu klasik terhadap Hadîts tercermin dalam berbagai bentuk; Pertama dari sisi bahasa Hadîts, ahli nahwu tersebut adalah Abu Amr bin alA’la (154 H),187 yang mengomentari salah satu Hadîts Nabi SAW.188 Menurutnya kalaulah Rasulullah SAW menghendaki kata ِﺓ ﻏﹸﺮdengan makna aslinya, tentulah Rasulullah SAW akan berkata ﰲ ﺍﳉﻨﲔ ﻋﺒﺪ ﺃﻭ ﺃﻣﺔ. Akan tetapi yang dimaksud dalam Hadîts ini tidaklah demikian, karena makna yang kehendaki Rasulullah SAW adalah 189
maknaTP
PTﺍﻟﺒﻴﺎﺽ. Kedua, dari sisi i’râb, ini terlihat ketika Hamad bin Salamah
mengimla’kan Hadîts Nabi SAW kepada Sybawaih. Hadîts Nabi SAW tersebut
187
Ia adalah imam ulama Bashrah dalam bidang qirâ’at, nahwu dan bahasa. Ia meriwayatkan hadîts dari Anas Bin Mâlik dan Abu Shâlih. Lihat. Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât alLughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 231 188 Hadîts tersebut adalah; ﻣ ٍﺔ ﻭ ﹶﺃ ﺒ ٍﺪ ﹶﺃﻋ ﺮ ِﺓ ﲔ ِﺑﻐ ِ ﺠِﻨ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟHadîts ini diriwayatkan oleh banyak ahli Hadîts. Seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya, hanya saja redaksi yang digunakan sedikit berbeda-beda. 189 Menurut Abu Amr makna Hadîts tersebut adalah; ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﰲ ﺍﻟﺪﻳﺔ ﺃﻻ ﻏﻼﻡ ﺃﺑﻴﺾ ﺃﻭ ﺟﺎﺭﻳﺔ ﺑﻴﻀﺎﺀ pembahasan selengkapnya lihat; Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar alMa’ârif), cet. Ke-2, hal. 36
lxxiii
berkenaan dengan kata Aba al-Darda’.190 Sybawaih kemudian berusaha membetulkan gurunya dengan mengatakan ﻟﻴﺲ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ, karena ia fikir kata Abu al-Darda’ berkedudukan sebagai isim Laysa. Kemudian Hamad berkata, bahwa Sybawaih telah melakukan lahn, karena yang dimaksud kata laysa di sini adalah bermakna pengecualiaan.191 Sesungguhnya kedatangan Sybawaih ke Bashrah ditujukan untuk mendalami dan mengkodifikasi Hadîts Nabi SAW, namun karena peristiwa dengan Hamad tersebut, ia beralih pada kajian ilmu Bahasa, yaitu nahwu. Dan kemudian ia dianjurkan oleh gurunya al-Khalîl untuk menjadi Imam ahli nahwu, dan kelak Syabwaih disebut-sebiut sebagai pewaris ilmu nahwu al-Khalîl.192 Karena itu dalam karya Sybawaih yaitu Kitâb tidak banyak ditemukan hadîts-hadîts Nabi SAW. Ini dikarenakan kehati-hatian dan ketidakmampuan Sybawaih dalam mengkaji Hadits. Barulah ketika masa Sybawaih berlalu, ahli nahwu mulai banyak berinteraksi dengan Hadîts Nabi SAW. Hal itu terjadi pada abad keenam Hijriyah, ketika kajian ilmu nahwu telah banyak dituntut oleh pelajar bahasa, dan karya-karya nahwu pun kian banyak. Di sisi lain ilmu Hadîts dan karya-karya dibidang Hadîts pun telah menyebar ke berbagai negeri besar Muslim. Dengan kondisi demikian ahli nahwu pun mulai banyak menilik Hadîts sebagai bagian dari kajian bahasa. Sebut saja misalnya, al-Zamakhsyari (538 H) yang menulis karya di bidang bahasa yang bersentuhan dengan Hadîts, karya tersebut adalah al-Fâ’iq fi Gharîb al-Hadîts, dalam karya tersebut al-Zamakhsyari banyak berdalil dengan Hadîts yang sebelumnya tidak banyak dilakukan ahli nahwu klasik. Selain al-Zamakhsyari terdapat ahli nahwu lain yang juga berhubungan dengan Hadîts, misalnya al-Suhayli (581 H) dalam karyanya ia menjelaskan Hadîts dari sisi bahasa, bahkan ia dijuluki sebagai al-Hâfidz dan al-Muhaddits. Setelah itu
190 191 192
Redaksi Hadîts yang dimaksud adalah; ﺍﺀﺩﺭﺎ ﺍﻟﺪﺲ ﹶﺃﺑ ﻴﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﰊ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻟﻮ ﺷﺌﺖ ﻷﺧﺪﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﻟ Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 66. Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 95
lxxiv
kemudian muncul al-Akbari (616 H), Ibnu Ya’îsy (643 H) dan Ibnu Mâlik (672 H). Ibnu Mâlik adalah pemimpin para ahli nahwu yang berdalil dengan Hadîts Nabi SAW. Ia menjelaskan kedudukan i’râb bahasa dalam Hadîts, dan ia juga banyak melahirkan kaidah bahasa yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW. Sikap Ibnu Mâlik inilah yang mungkin menjadi inspirasi bagi ahli nahwu lainnya untuk berdalil dengan Hadîts, seperti Ibnu Hisyâm (761 H) dan al-Asymûni (929 H). Jumlah Hadîts yang terdapat dalam setiap karya nahwu, memiliki jumlah yang beragam, dan jika dibandingkan antara ahli nahwu klasik dan kontemporer, tentulah karya nahwu klasik lebih sedikit memuat Hadîts Nabi SAW. Karena ahli nahwu klasik lebih banyak berisitisyhad dengan syair dan qiyas dibandingkan dengan Hadîts Nabi SAW, ini dilakukan antara lain oleh; Abdullah bin Abi Ishâq (117 H),193 Isa bin Amr (149 H).194 Bahkan Sybawaih dalam karyanya al-Kitab, bersyahid dengan seribu lima ratus bait syair, empat ratus ayat al-Qur’ân dan tidak lebih dari sepuluh Hadîts. Sikap ini kemudian diikuti oleh murid-murid mereka seperti al-Mazni, al-Mubarrad, Tsa’lab, Abu Ali al-Farisi, Ibnu Siraj dan Ibnu Ushfur.195 Kendati Hadîts mendapat porsi sedikit dalam karya ahli nahwu klasik, akan tetapi karya nahwu klasik dapat dikatakan tidak terlepas dari Hadîts. Untuk lebih memahami posisi Hadîts dalam karya nahwu, di bawah ini akan dianalisa karya-karya nahwu Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik lainnya. 1. Hadits dalam Karya Nahwu Ibnu Mâlik a. Syawâhid al-Taudhih Ini adalah karya yang merupakan bukti nyata kepandaian Ibnu Mâlik dalam menganalisa Hadîts dari sisi nahwu. Sebagian ulama ada yang menyebut karya ini sebagai i’râb al-Hadîts. Dalam metode penyajiannya, Ibnu Mâlik menetapkan satu 193
Ia adaah ahli Nahwu yang terkenal dengan pembelaannya terhadap qiyas. Lihat. AlZubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 31 194 Ia adalah murid ibnu Abi Ishaq, dia mencela jika ada orang Arab fashih berbicara bertentangan dengan qiyas. Lihat. Syawqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, hal. 25 195 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 97
lxxv
kaidah nahwu yang kemudian disebutkan dalil dari Hadîts Nabi SAW yang terdapat pada shahih al-Bukhâri, dan dijelaskan kaidah nahwu tersebut sesuai analisa Ibnu Mâlik. Dalam karya ini, Ibnu Mâlik menjelaskan kedudukan i’râb kata-kata dalam Hadîts Nabi SAW. Tanpa melihat dan menganalisa apakah ia hadîts fi’li atau hadîts qauli, atau bahkan perkataan non Muslim seperti Abu Jahal. Dalam pandangannya, apapun bentuk hadîts tersebut, selama termuat dalam shahih al-Bukhâri, dipastikan Hadîts itu shahîh dan dapat dijadikan sumber kaidah nahwu. Penjelasan ini telah penulis uraikan di atas. Dalam bentuk penyajian Hadîts, dalam karya ini Ibnu Mâlik hanya menyebutkan matan atau redaksi yang akan dikaji dari sisi nahwu, sehingga jika Hadîts itu panjang dan berbentuk cerita, Ibnu Mâlik tidak mengutip seluruh matannya, melainkan ia mencantumkan matan yang menjadi objek kajian nahwu pada waktu itu. b. Syarh al-Umdah Karya ini adalah di antara sumber primer dalam penelitian ini, didapati bahwa tidak semua kaidah bahasa baik itu sharaf maupun nahwu dikaji dalam karya ini. Jika dibandingkan antara syarh al-Umdah dan Alfiyah, didapati perbedaan yang saling melengkapi. Misalnya dalam syarh al-Umdah tidak didapati pembahasan mengenai al-I’lâl dan al-‘Ibdâl, padahal dalam alfiyah pembahasan ini diulas dengan baik. Dan juga sebaliknya tidak ditemukan dalam alfiyah pembahasan mengenai al-Istifhâm, sedangkan dalam syarh al-Umdah pembahasan ini dapat dinikmati oleh pengkaji nahwu. Maka itu meskipun syarh al-Umdah disebut-sebut sebagai karya yang komprehensif dalam membandingkan dalil-dalil bahasa, namun tetap diakui adanya kekosongan dari kaidah-kaidah yang seharusnya diulas juga oleh Ibnu Malik dalam karya ini. Dalam karya ini ditemukan empat puluh satu Hadîts, dan terkadang satu Hadîts dijadikan dalil bagi beberapa kaidah nahwu. Inilah yang nampak dalam karya ini. hadîts-hadîts tersebut umumnya tidak disebutkan sumber rujukannya, sehingga
lxxvi
ditemukan beberapa hadîts dalam karya ini yang tidak diketahui sumber rujukannya. Kalaupun ada, hadîts tersebut memiliki matan yang berbeda dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik. Bagi penulis hal ini menunjukkan beberapa hal; Pertama, boleh jadi penulis tidak mendapati rujukan kitab Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik, meskipun telah dicari dalam berbagai standar kitab Hadîts. Kedua, dimungkinkan Ibnu Mâlik melakukan pemotongan Hadîts atau menambahkan kata dalam Hadîts sebagai penjelasan akan makna dalam Hadîts tersebut. Hal ini nampak dari hasil penelitian penulis dalam karya ini.196 sulitnya menemukan kitab rujukan yang memuat hadîts yang sama dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik . c. Syarh al-Kâfiyah Kitab ini merupakan penjelasalan terhadap Nadzam yang ditulis oleh Ibnu Mâlik, yang berjumlah sekitar dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh bait (2757). Ibnu Mâlik membaginya ke dalam enam puluh enam (66) bab, dan enam puluh dua pasal.197 Kitab ini ditulis sebelum alfiyah, karena alfiyah ditulis di kota Himat. Sedangakan syarh al-Kafiyah ditulis sebelum ia berangkat ke Himat dan menetap di Damaskus.198 Hadîts dalam kitab ini berjumlah sekitar tujuh puluh lebih. Yang dikutip dari berbagai kitab shahih. Dalam kitab ini terkadang Ibnu Mâlik menyebutkan sumber kutipannya dan juga terkadang tidak. Misalnya ia mengungkapkan bahwa ia mengutip Hadîts ini dari kitab shahihain,199 maksudnya shahih al-Bukhâri dan Muslim.200 2. Hadits dalam Karya ahli Nahwu a. al-Kitab karya Sybawaih
196
Contoh dan bentuk hadîts-hadîts tersebut dapat dilihat pada pembahasan kaidah-kaidah nahwu yang telah penulis analisa di atas. 197 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz 1, hal. 38 198 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz 1, hal 47 199 Seperti ungkapannya ﻛﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﰲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﲔ 200
Penyebutan sumber Hadîts banyak ditemukan dalam kitab ini. Pembaca dapat melihat langsung pada kitab Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah.
lxxvii
Dalam karya ini, Sybawaih bersyahid kurang lebih dengan sepuluh Hadîts, namun ia tidak menyebutkan bahwa itu adalah bagian dari sabda Nabi Muhammad SAW. Dalam karyanya Sybawaih cenderung menyebutkannya sebagai bagian dari perkataan orang Arab. Karena ia hanya menyatakan dengan ungkapan; ‘seperti perkataan ini’, ‘seperti perkataan kamu’. Padahal sesungguhnya ia adalah Hadîts Nabi SAW. Misalnya ketika ia menjelaskan kaidah tanâzu’, ia bersyahid dengan salah satu potongan Hadîts qunut.201 b. al-Mufashshal karya al-Zamakhsyari Al-Zamakhsyari sangat memperhatikan Hadîts dalam karya bahasanya, dalam kitab al-Mufashshal ini ia bersyahid dengan sekitar delapan belas Hadîts, sebagiannya ia sebutkan bahwa ungkapan itu bagian dari Hadîts NabiSAW, dan sebagiannya lagi tidak. Misalnya ketika ia menjelaskan bab af’âl al-Tafdhîl, ia bersandar pada Hadîts Nabi SAW.202 c. Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzûr Karya ini mungkin tidak asing lagi di kalangan pelajar bahasa arab, karena ia merupakan mu’jam (kamus) terbesar dan terlengkap. Dalam muqaddimahnya, Ibnu Mandzur mengakui bahwa karyanya ini merupakan kumpulan dari lima kitab besar yang ditulis ahli bahasa sebelumnya, yaitu; Tahdzîb karya Azhari, Muhkam karya Ibnu Sayyidah, shihah al-Jauhari dan Nihâyah karya Ibnu al-Atsîr. Dalam karyanya ini, Ibnu Mandzur menjelaskan kata al-Ba’ât dalam salah satu Hadîts Nabi SAW adalah bermakna nikah.203 Di bawah ini adalah jumlah hadîts yang terdapat dalam karya nahwu klasik sejak sybawaih hingga Ibnu Mâlik.204
201
Hadîts yang dimaksud adalah ﻭﳔﻠﻊ ﻭﻧﺘﺮﻙ ﻣﻦ ﻳﻔﺠﺮﻙLihat. Sybawaih, al-Kitab, juz. 1, hal. 74
202
Hadîts tersebut adalah ﺃﻻ ﺃﺧﱪﻛﻢ ﺑﺄﺣﺒﻜﻢ ﺇﱄ ﻭﺃﻗﺮﺑﻜﻢ ﻣﲏ ﳎﺎﻟﺲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔLihat. Ibnu Ya’isy, Syarh
al-Mufashshal, juz 3, hal. 7 203 Hadîts yang dimasud adalah; ﺎ ٌﺀ ِﻭﺟ ﹶﻟﻪﻧﻪﻮ ِﻡ ﹶﻓِﺈ ﺼ ﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟﻌﹶﻠ ﻊ ﹶﻓ ﺘ ِﻄﺴ ﻳ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ﻣ ﻭ ﺝ ﻭ ﺰ ﺘﻴﺎ َﺀ ﹶﺓ ﹶﻓ ﹾﻠﻢ ﺍﹾﻟﺒ ﻨ ﹸﻜﻉ ِﻣ ﺘﻄﹶﺎﺳ ﻦ ﺍ ﻣ 204
Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 94
lxxviii
No 1 2 3 4 5 6
Kitab Kitab Ma’ani al-Huruf Al-Mufashshal Al-Murtajal Al-Muqarrab Syarh al-Umdah
Penulis Sybawaih Al-Rumani (384 H) Al-Zamakhsyari Ibnu al-Khasyab (567H) Ibnu Ushfur (669 H) Ibnu Mâlik (672 H)
Hadits 10 4 18 3 3 47
Qur’an 400 187 319 113 60 466
Syair 1050 147 454 121 365 514
Dari fakta di atas, jika Hadîts dibandingkan dengan sumber nahwu lainnya dalam karya-karya ahli nahwu, akan ditemukan bahwa Hadîts memiliki porsi yang sangat sedikit. Fakta ini tentunya melahirkan pertanyaan, mengapa ahli nahwu lebih banyak berdalil dengan syair dibandingkan dengan Hadîts. Dalam sejarah, diketahui bahwa pada abad pertama, masyarakat Arab lebih cenderung meriwayatkan syair dibandingkan lainnya, bahkan aktifitas ini menjadi bagian dari kegiatan yang dibanggakan. Hafalan menjadi metode yang paling banyak digunakan pada masa itu.205 Fakta ini tercermin dari pengakuan beberapa ahli nahwu, seperti Abu Mashal, ia meriwayatkan dari Ali bin Mubarak sebanyak empat puluh ribu bait syair.206 Dan Tsa’lab pernah sangat menyesal karena menghiraukan bait-bait syair yang diriwayatkan oleh Abu Mashal dari Ali bin Mubarak.207 Adanya kecenderungan menghapal syair dan banyaknya periwayat yang mentransmisikannya membuat ahli nahwu sangat mudah untuk memanfaatkan dan menela’ahnya. Dibandingkan dengan mendapatkan Hadîts Nabi SAW yang hanya dimiliki oleh periwayat-periwayat tertentu, dan itupun mereka bertempat tinggal di berbagai negeri yang sangat berjauhan. Karenanya dari fakta ini, wajar saja jika ahli nahwu klasik lebih banyak berdalil dengan syair dibandingkan dengan Hadîts. Dan tentunya problem di atas tidak dirasakan oleh banyak ahli nahwu kontemporer, karena Hadîts pada masa ini telah terkodifikasi dengan baik, dan syarat penerimaan dan periwayatannya pun sangat ketat dibandingkan dengan syair. Maka itu tidaklah
14
205
Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990), hal.
206
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz 2, hal. 123 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 135
207
lxxix
salah jika pada abad ketujuh, Hadîts dijadikan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam penetapan kaidah nahwu.
BAB IV PENENTUAN IBNU MÂLIK BERKENAAN DENGAN HUKUM FI’IL, ISIM DAN HURUF R. Ciri-ciri Isim Mengenali ciri isim adalah di antara pengetahuan dasar dalam bidang ilmu nahwu. Karenanya bab ini sering ditemukan dalam karya-karya ilmu nahwu pada awal pembahasan. Dengan karya Ibnu Mâlik pun tidak jauh berbeda, ia meletakkannya dalam awal pembahasan dalam karya syarh al-Umdah. Ibnu Mâlik
lxxx
menyebutkan bahwa di antara ciri isim adalah kema’rifahannya. Ahli nahwu sering menyebutkan bahwa kema’rifahan ini hanya ditandai dengan alif dan lam seperti kata
ﺍﻟﺮﺟﻞ. Kaitannya dengan ini, Ibnu Mâlik menambahkan bahwa kema’rifahan isim dapat ditandai juga dengan adanya huruf alif dan mim dalam suatu kata.208 Seperti kata ﻡ ﺎﺼﻴ ِ ﻣ ﺍdan ﺴﻔﹶﺮ ﻣ ﺍyang terdapat dalam salah satu Hadîts Nabi SAW.209 Dalam pandangan al-Sakhâwi ungkapan Hadîts tersebut mengandung dua kemungkinan; Pertama, ungkapan itu dituturkan Nabi SAW kepada lawan bicara yang memiliki dialek bahasa demikian. Kedua, dimungkinkan ungkapan itu berasal dari periwayat yang merupakan pengguna dialek tersebut. Karena dalam Hadîts Nabi SAW tersebut, kedua kata itu hanya berganti dari huruf lam menjadi mim. Sedangkan al-Azhari berpendapat lain, menurutnya tepatnya alif pada Hadîts tersebut tidak mesti ditampakkan, karena huruf mim pada kata tersebut telah mewakili huruf alif dan lam.210 Menarik untuk dianalisa ungkapan al-Sakhâwi di atas yang menyatakan bahwa adanya redaksi Hadîts seperti itu mengandung dua kemungkinan; Pertama; kata ﻡ ﺎﺼﻴ ِ ﻣ ﺍdan ﺴﻔﹶﺮ ﻣ ﺍdalam Hadîts tersebut kemungkinan hanya dituturkan Nabi SAW kepada lawan bicara yang merupakan pengguna dialek tersebut. Dalam sejarah, diakui bahwa Nabi SAW sangat menguasai berbagai bahasa atau dialek Arab dan bahkan ia adalah merupakan orang terfashih dalam bertutur. Karenanya dalam berkomunikasi dengan sahabatnya yang berasal dari berbagai suku, Nabi SAW terkadang menggunakan bahasa atau dialek lawan bicaranya. Sikap inilah yang mengundang pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi SAW perihal
208 209
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 96-97 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻔﹶﺮﺴﻡ ﻓِﻲ ﺍﻣ ﺎﺼﻴ ِ ﻣ ﺮ ﺍ ﻣِﺒ ﻦ ﺍ ﺲ ِﻣ ﻴﹶﻟ
Hadîts ini tercantum dalam kitab musnad Ahmad. Selain Ibnu Mâlik, ada juga ahli nahwu lain yang mengutip Hadîts ini dalam karya-karyanya, seperti dalam kitab al-Mufashshal, syarh Ibnu Ya’îsy, dan juga syarh al-Tashîl karya al-Marâdi. 210 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal.
lxxxi
kemampuannya dalam berkomunikasi dengan ragam bahasa yang ada di Arab.211 Dan Nabi SAW menjawabnya, bahwa sewaktu kecil Nabi SAW dibesarkan dilingkungan bani Sa’ad yang memiliki kefashihan bahasa yang paling baik dari suku-suku lainnya. Maka itu pernyataan al-Sakhâwi di atas boleh jadi benar, ketika Nabi SAW menyampaikan Hadîts tersebut, lawan bicaranya adalah merupakan pengguna bahasa yang mengganti huruf lam menjadi mim. Kedua; al-Sakhâwi meragukan kedhabitan periwayat. Dalam ilmu Hadits, disebutkan bahwa setiap periwayat memiliki kualitas kedhabitan yang berbeda-beda. Dan kualitas itu mempengaruhi pada otentisitas Hadits Nabi SAW. Artinya suatu Hadits dapat menurun derajat keshahihannya, bila kedhabitan periwayat juga menurun. Kendati demikian, kualitas Hadîts tidaklah mempengaruhi sikap Ibnu Malik dalam menjadikannya sebagai dalil bahasa. Karena dalam pandangan Ibnu Malik setiap Hadîts yang termuat dalam kitab-kitab Hadîts yang populer atau yang tergabung dalam al-Kutub al-Tis’ah, maka ia layak untuk dijadikan dalil nahwu. S. Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi Dalam kaidah fi’il syarth dan jawâb al-Syarth, hendaknya fi’il yang digunakan pada keduanya memiliki kesamaan. Jika fi’il syarth menggunakan fi’il al-Mâdhi maka jawâbnya pun harus menggunakan fi’il al-Mâdhi. Dan begitu pula jika fi’il syarth menggunakan fi’il al-Mudhâri’, maka jawâbnya pun mesti menggunakan fi’il al-Mudhâri’, inilah kaidah yang dianut oleh sebagian ahli nahwu.212 Menurut Sybawaih dan mayoritas ahli nahwu, kalaupun ada teks manqûl yang bersebrangan dengan kaidah di atas, seperti fi’il syarth dari al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi, maka itu hanya digunakan pada kondisi syair darurat.213 Sedangkan al-Farâ’ memiliki pendapat lain, menurutnya berlainannya bentuk fi’il syarth dengan fi’il jawab syarth adalah kaidah yang dibolehkan, dan kaidah tersebut 211Lihat Abd al-Karim Muhamm d al-As’ad, al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby hal 28
a , . Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz, 3, hal. 183 213 Al-Suyûthi, Ham’u al-Hawâmi’, juz. 2, hal. 62 212
lxxxii
menjadi pilihan bagi pengguna bahasa. Meskipun demikian, al-Farâ’ mengakui bahwa kaidah yang lebih tepat adalah fi’il syarth dan jawâbnya terdiri dari fi’il yang serupa, bisa keduanya dari fi’il al-Mudhâri’ atau fi’il Mâdhi.214 Ibnu Mâlik menegaskan pendapat al-Farâ’ ini, dan sekaligus membantah pendapat Sybawaih dan Jumhur ahli nahwu, ia menyatakan bahwa berlainannya fi’il syarth dan jawâb syarth adalah kaidah yang benar, karena dalam teks Hadîts banyak ditemukan bentuk ungkapan seperti itu. Karenanya kaidah ini bukan hanya kaidah alternatif atau hanya digunakan dalam kondisi darurat syair, melainkan ini adalah kaidah yang tetap dan dapat digunakan dalam teks apapun.215 Hadîts yang dimaksud Ibnu Mâlik adalah sabda Nabi SAW yang berkenaan dengan ibadah pada malam lailatulqadr.216 Dan ucapan Aisyah. r.a. ketika mensifati ayahnya, Abu Bakr alShiddiq.217 Ibnu Mâlik menyatakan bahwa dalam kedua Hadîts di atas yang fi’il syaratnya terdiri dari fi’il al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi adalah Hadîts yang diriwayatkan secara lafdzi, tidak maknawi. Karenanya meskipun ahli bahasa mendhaifkan kaidah ini dan bahkan sebagiannya mengkhususkan hanya dalam kondisi darurat, tetapi sesungguhnya hukum yang tepat bagi kaidah ini adalah boleh secara mutlak. Maka itu, kedua Hadîts di atas menjadi bantahan terhadap pendapat
214
Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz, 3, hal. 184 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 372 216 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh umdah al-Hâfidz wa uddah al-Lâfidz selengkapnya adalah; ﻧِﺒ ِﻪﻦ ﹶﺫ ﻡ ِﻣ ﺪ ﺗ ﹶﻘ ﺎ ﻣﺮ ﹶﻟﻪ ﺎ ﻏﹸ ِﻔﺎﺑﺣِﺘﺴ ﺍﺎ ﻭﺎﻧﺪ ِﺭ ﺇِﳝ ﻴﹶﻠ ﹶﺔ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻢ ﹶﻟ ﻳ ﹸﻘ ﻦ ﻣ Hadîts ini diriwayatkan Imam al215
Bukhâri dalam shahih al-Bukhâri. Hadîts ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, namun dalam riwayat imam Muslim terdapat tambahan kalimat di tengah redaksi Hadîts tersebut, yaitu ﺪ ِﺭ ﻴﹶﻠ ﹶﺔ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻢ ﹶﻟ ﻳ ﹸﻘ ﻦ ﻣ
ﺮ ﹶﻟﻪ ﺎ ﻏﹸ ِﻔﺎﺑﺣِﺘﺴ ﺍﺎ ﻭﺎﻧ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺇِﳝﺍﻩﺎ ﺃﹸﺭﺍِﻓ ﹸﻘﻬﻮﹶﻓﻴ. Dari sini jelaslah bahwa Ibnu Mâlik menggunakan redaksi yang ada pada kitab shahih al-Bukhâri . 217 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah ﻕ ﺭ ﻚ ﻣ ﻣﻘﹶﺎ ﻢ ﻳ ﹸﻘ ﻰﻣﺘ . Ungkapan ini muncul ketika ‘Aisyah sedang berdialog dengan Nabi SAW tentang Abu Bakr al-Shiddiq. Kendati ini merupakan perkataan ‘Aisyah, namun ungkapan ini terdapat dalam kitab Hadîts shahih al-Bukhâri. Dalam pandangan Ibnu Malik, perkataan siapa pun yang terdapat dalam kitab Hadîts, maka dapat dijadikan dalil nahwu.
lxxxiii
ahli nahwu di atas. Dan dalam karya-karya nahwu, kaidah ini terdapat dalam bab alfi’il al-Mudâhari’ al-Majzum. Berkenaan dengan al-fi’il al-Mudâhari’, diketahui bahwa nasb dan jazm adalah bagian dari tanda i’râb fi’il mudhâri’. Sesungguhnya ada Hadîts yang secara dzahir bertentangan dengan kaidah bahasa yang ditetapkan ahli nahwu, yaitu berkenaan dengan al-Af’âl al-Khamsah. Dalam Hadîts Nabi SAW terdapat al-Af’âl al-Khamsah yang dihilangkan nun-nya seperti ﻠﹸﻮﺍﺪﺧ ﺗ ﻟﹶﺎpadahal sebelum fi’il tersebut tidak ada huruf nashab ataupun huruf jazm.218 Karena ﻟﹶﺎpada Hadîts tersebut adalah ﻟﹶﺎ nâfiyah bukan nâhiyah. Hal tersebut merupakan contoh lain yang menunjukkan bahwa seorang ahli nahwu dapat melahirkan kaidah-kaidah nahwu yang berbeda dengan ahli nahwu sebelumnya, dengan berpijak pada Hadîts Nabi SAW. Ibnu Mâlik adalah di antara tokoh tersebut. T. Tetapnya khabar al-Mubtada’ setelah ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟ Dalam berbagai literatur ilmu nahwu ditemukan bahwa isim yang berada
ﻮ ﹶ ﹶﻟadalah berharakat dhammah, seperti dalam ungkapan ﻚ ﺘﻣ ﺮ ﺪ ﹶﻟﹶﺄ ﹾﻛ ﻳﺯ ﻮﹶﻟﺎ ﹶﻟ. setelah ﻻ Dalam pandangan ulama Kûfah marfû’-nya kata ﺪ ﻳﺯ disebabkan ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟ, karena ﻮ ﹶﻻ ﹶﻟ merupakan refresentatif dari fi’il yang jika ditampakkan fi’il tersebut, akan terungkap bahwa redaksi sesungguhnya adalah ﻚ ﺘﺮﻣ ﻚ ﹶﻟﹶﺄﻛﹾ ﺮﺍِﻣ ﻦ ِﺇ ﹾﻛ ﺪ ِﻣ ﻳﺯ ﻌﻨِﻲ ﻨﻤ ﻳ ﻮ ﻟﻮ ﹶﻟnamun fi’il tersebut disembunyikan dalam ungkapan tersebut. Menurut ulama Bashrah hal itu bertujuan untuk mempersingkat dalam ucapan.219 Maka itu sebagai pengganti fi’il di
218
Redaksi Hadits yang dijadikan dalil dalam kaidah ini adalah ﻭﻟﹶﺎ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﻰ ﺗﺣﺘ ﻨ ﹶﺔﺠ ﺍﹾﻟUﻠﹸﻮﺍﺪﺧ ﺗU ﻟﹶﺎ
ﻮﺍﺎﺑﺗﺤ ﻰﺣﺘ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﺗ (HR Abu Dawud). Berbeda dengan riwayat Abu Dawud, dalam riwayat Imam Muslim huruf nun tersebut ditampakkan. ﻮﺍﺎﺑﺗﺤ ﻰﺣﺘ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﻭﻟﹶﺎ ﺗ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﻰ ﺗﺣﺘ ﻨ ﹶﺔﺠ ﺍﹾﻟUﺧﻠﹸﻮﻥﹶ ﺪ ﺗU ( ﻟﹶﺎHR Imam Muslim). 219
Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 74
lxxxiv
ﹶ, sehingga keduanya terkesan seperti satu atas, huruf ﻟﻮditambahi dengan huruf ﻻ huruf. Menurut ulama Kûfah kaidah seperti ini adalah kaidah umum, dalam syair pun sering
terjadi
penyembunyian
fi’il
yang
diganti
dengan
huruf,
sebagai
220
penyederhanaan dalam ucapan.
Berbeda dengan ulama Kûfah, ulama Bashrah memandang marfû’-nya isim setelah ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟdisebabkan karena isim tersebut berada pada awal kalimat, yang tidak
ﻮ ﹶ ﹶﻟ didahului oleh sesuatu yang dapat mempengaruhi i’râb isim. Adapun keberadaan ﻻ sebelum isim tidak-lah memiliki pengaruh apa-apa bagi isim yang ada setelahnya. Karena dalam pandangan ulama Bashrah, huruf ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟhanya berpengaruh pada fi’il tidak pada isim.221 Dalam kaidah nahwu, isim yang berada setelah ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟadalah mubtada’. Dan tentunya setiap ada mubtada’ mesti ada khabar yang menyertai mubtada tersebut.222 Menurut ulama Bashrah jika terdapat mubtada’ setelah ﻻ ﻮ ﹶ ﹶﻟal-Imtinâiyyah, maka khabarnya wajib disembunyikan, pendapat ini dianut oleh masyoritas ahli nahwu selain al-Rummâni dan al-Syajari.223 Ibnu Syajari berpendapat bahwa tetapnya khabar setelah ﻮﻻ ﹶﻟsesungguhnya telah ada pada teks manqûl yaitu al-Qur’ân, bahkan setidaknya ada dua ayat yang menunjukkan ditampakkan khabar ketika mubtada’ 220
Selain itu, menurut ulama Bashrah terdapat syair yang juga menyembunyikan fi’il, syair tersebut adalah; ﻓﺈﻥ ﻗﻮﻣﻲ ﱂ ﺗﺄﻛﺎﻫﻢ ﺍﻟﻀﺒﻊ-Uﺫﺍ ﻧﻔﺮU ﺃﺑﺎ ﺧﺮﺍﺷﺔ ﺃﻣﺎ ﺃﻧﺖmenurut ulama Kûfah dibalik kata yang digarisbawahi terdapat fi’il ﺃﻥ ﻛﻨﺖ ﺫﺍ ﻧﻔﺮ. Fi’il tersebut disembunyikan untuk penyederhanaan, fi’il tersebut disembunyikan dengan cara ditambahkan huruf ﻣﺎpada ﺃﻥsebagai pengganti dari fi’il. Syair tersebut terdapat pada al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz 4, hal. 49. Lihat pembahasan ini di al-Suyûthi, Ham’u al-Hawami’, juz. 2, hal. 33-34 221 Perbedaan pendapat ini terjadi antar generasi ahli nahwu. Selengkapnya lihat Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 273 222 Al-Damâmini, Ta’lîq al-Farâ’id ala Tashîl al-Fawâ’id, juz. 3, hal. 47 223 Al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz. 4, hal. 50-51. Lihat juga Ibnu Hisyâm, Mughni alLabîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 272-273
lxxxv
ﻮ ﹶ ﹶﻟal-Imtinâiyyah.224 Di kemudian hari, pendapat Ibnu al-Syajari ini berada setelah ﻻ dibantah oleh Ibnu Hisyâm, ia mengatakan bahwa apa yang dinyatakan oleh Ibnu alSyajari tentang adanya ayat yang mengandung tetapnya khabar setelah ﻮﻻ ﹶﻟpada surat al-Nisa’ sebagai pembenaran terhadap kaidah yang dimaksud, adalah salah. Karena ada kaidah yang mengatakan bolehnya menggantungkan dzaraf pada kata alfadhlu.225 Berkenaan dengan ini, Ibnu Mâlik menjelaskan bahwa sesungguhnya khabar setelah ﻮﻻ ﹶﻟmemiliki tiga bentuk; Pertama, mukhbir anhu-nya tidak ada pengikatnya. Kedua, mukhbir anhu yang ada pengikatnya. Jika disembunyikan khabarnya, makna kalimat tidak mudah dimengerti. Maka itu khabarnya mesti ditampakkan. Ketiga, mukhbir anhu yang ada pengikatnya. Maknanya mudah dimengerti meskipun khabarnya disembunyikan.226 Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Mâlik menghadirkan bentuk kedua sebagai jawaban atas apa yang diselisihkan ahli nahwu di atas. Pada bentuk kedua ini Ibnu Mâlik berlandaskan pada Hadîts Nabi SAW. Maka itu berdasarkan Hadîts ini boleh menampakkan khabar pada kalimat yang
ﻮ ﹶ ﹶﻟal-Imtinâiyyah.227 Hadîts Nabi SAW yang mubtada’-nya didahului dengan ﻻ dihadirkan Ibnu Mâlik sekaligus memperkuat pendapat al-Rummâni dan al-Syajari. U. Al-Asmâ’ al-Sittah
224
Ayat yang dimaksud Ibnu al-Syajari adalah QS al-Nisa’: 83; ﻪﻤﺘ ﺣ ﺭ ﻭ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ Uِﻞﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﹶﻓﻀU ﻮﻟﹶﺎ ﻭﹶﻟ
ِ ﻳ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻬ ﻨﺖ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ ِﻣ ﻤ ﻬ ﹶﻟﻪﻤﺘ ﺣ ﺭ ﻭ ﻚ ﻴﻋﹶﻠ ﻞﹸ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻮﻟﹶﺎ ﹶﻓﻀ ﻭﹶﻟ . Lihat (83) ﻄﹶﺎﻥﹶ ِﺇﻟﱠﺎ ﹶﻗﻠِﻴﻠﹰﺎﻴ ﺍﻟﺸﻢﺘﺒﻌ ﻟﹶﺎﺗdan QS: al-Nisa’: 113; ﻙ ﻀﻠﱡﻮ Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 273 225 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 178-179 226 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 65 227 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam Syawâhid al-Taudhîh adalah; ﻢ ِﺑﻜﹸ ﹾﻔ ٍﺮ ﻫﻬﺪ ﻋ ﺚ ﺣﺪِﻳ ﹲ ﻚ ِ ﻮﻣ ﻮﻟﹶﺎ ﹶﻗ ﹶﻟ
ﻴ ِﻦﺑﺎﺎ ﺑ ﹶﻟﻬﻌﻠﹾﺖ ﺠ ﺒ ﹶﺔ ﹶﻓﻌ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﺖﻨ ﹶﻘﻀﹶﻟ. Redaksi Hadîts tersebut ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitabnya shahih al-Bukhâri .
lxxxvi
Pembahasan tanda i’râb nahwu adalah pembahasan yang sangat luas, di antara sub kajiannya adalah berkenaan dengan al-Asmâ’ al-Sittah. Menurut pendapat yang paling populer tanda i’râb al-Asmâ’ al-Sittah adalah dengan huruf; fathah dengan alif, dhammah dengan waw, dan kasrah dengan ya’, kecuali isim ﻫﻦ.228 Pendapat ini ditolak oleh sebagian ahli bahasa seperti Abu Zaid, Abu al-Khithab Abu al-Husayn dan al-Kisâ’i, alasannya karena ada ungkapan Hadîts yang menunjukkan bahwa tanda i’râb al-Asma’ al-Sittah adalah dengan huruf, ini tercermin dalam salah satu Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari pada kalimat
ﺃﺑﺎ ﺟﻬﻞ/ ﺃﺑﻮ ﺟﻬﻞ229 Dalam kaidah ilmu bahasa Arab kata ﻓﻮﻙadalah merupakan bagian dari alAsmâ’ al-Sittah, karenanya huruf ﻭdalam kata tersebut harus diganti menjadi ﻡ, sehingga kata tersebut menjadi ﻓﻢ.230 Namun dalam beberapa teks Arab huruf ﻡpada kata tersebut tidak berubah, meskipun bergandengan dengan huruf atau kata lain. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Hadîts Nabi SAW yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari.231 Menurut Abu Ali al-Fârisi (377 H) tetapnya huruf mim ketika bergandengan dengan kata berikutnya, hanya terjadi pada syair darurat saja. Namun hal ini dibantah oleh al-‘Asmûni, bahwa Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam
228
Isim tersebut adalah . ﺫﻭ، ﻓﻮ، ﺣﻢ، ﺃﺏ، ﺃﺥmaka itu, selain ﻫﻦkelima isim tersbeut oleh ulama
disebut sebagai al-Asma’ al-Khamsah. Lihat di Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, juz. 2, hal. 226 229 Anas bin Malik menceritakan bahwa, sewaktu perang Badar, Rasulullah SAW bersabda; Uٍﻬﻞ ﺟ ﺎﹶﺃﺑU ﺖ ﻧﺩ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺁ ﺮ ﺑ ﻰﺣﺘ ﺍ َﺀﻋ ﹾﻔﺮ ﺎﺑﻨ ﺍﺑﻪﺮ ﺿ ﺪ ﹶﻗﺪﻩ ﺟ ﻮ ﻮ ٍﺩ ﹶﻓﺴﻌ ﻣ ﻦ ﺑﻖ ﺍ ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﻓﹶﺎUٍﻬﻞ ﺟ ﻮﺑUَﻊ ﺃ ﻨﺻ ﺎ ﻣﻨﻈﹸﺮﻳ ﻦ ﻣ (HR alBukhâri).
230
Kata ﻓﻢasalnya adalah ﻓﻮﻩyang bentuk jama’nya adalah أﻓﻮاﻩ. Lihat Ibnu Mandzûr, Lisân alArab, (Dar al-Ma’arif), juz. 5, hal. 3471 231 ﻚ ِ ﺴ ﻦ ﺭِﻳ ِﺢ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﺎﻟﹶﻰ ِﻣﺗﻌ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻨ ِﻋﻴﺐﺎِﺋ ِﻢ ﹶﺃ ﹾﻃﻑ ﹶﻓ ِﻢ ﺍﻟﺼ ﺨﻠﹸﻮ ( ﹶﻟHR al-Bukhâri)
lxxxvii
Bukahari tadi menjadi dalil tetapnya huruf mim, meskipun bergandengan dengan kata berikutnya.232 Dalam pandangan ulama Kûfah al-Asmâ’ al-Sittah yaitu ﺫﻭ، ﺃﺑﻮﻙ، ﻓﻮﻙ،ﺃﺧﻮﻙ
ﲪﻮﻙ، ﻫﻨﻮﻙ، ﻣﺎﻝmerupakan mu’arrabah dari dua kedudukan.233 Sedangkan ulama Bashrah memandangnya mu’arabah dari satu kedudukan. Menurutnya huruf waw, alif dan ya’ adalah huruf i’râb. Pendapat ini juga ditegaskan oleh al-Danûsyari bahwa i’râb al-Asmâ’ al-Sittah dengan huruf.234 Abu al-Hasan al-Akhfasî memiliki dua pandangan dalam hal ini; Pertama, ia sepakat dengan apa yang disampaikan ulama Bashrah. Kedua, ia menyatakan bahwa huruf itu semua bukanlah huruf i’râb, melainkan dalâ`il al-I’râb. Terkait dengan ini, masyarakat Arab pun terkadang berbeda-beda dalam pengucapan al-Asmâ’ al-Sittah. Ditemukan bahwa mereka 235
terkadang mengucapkan seperti TP
PT ﻣﺮﺭﺕ ﺑﺄﺑﻚ، ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺑﻚ، ﻫﺬﺍ ﺃﺑﻚtanpa waw, alif 236
dan ya’. Ada juga yang mengucapkan TP
PT. ﻣﺮﺭﺕ ﺑﺄﺑﺎﻙ، ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺑﺎﻙ،ﻫﺬﺍ ﺃﺑﺎﻙ
Semuanya menggunakan alif baik dalam keadaan rafa’, nashab, dan jar. Ungkapan dalam bentuk ini juga pernah diucapkan oleh Abu Hanîfah. Diriwayatkan bahwa Abu Hanîfah pernah ditanya soal hukum tentang seseorang yang melempar batu tanpa sengaja, lalu mengenai orang lain, dan kemudian ia wafat disebakan lemparan batu tersebut. Apakah yang melempar dikenakan qishash. Abu Hanîfah menjawab ﻮ ﻭﹶﻟ ،ﻻﹶ
232
Pembahasan ini dapat dilihat di Hâsyiyat al-Shibbân ala Syarh al-Asymuni, juz 1, hal. 73 Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 24 234 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 61 235 Contoh ungkapan syair yang serupa dengan ucapan tersebut adalah perkataan Ru’bah; ﻢ ﻓﻤﺎ ﹶﻇﹶﻠﺑﻪﺎﺑﻪ ﹶﺃﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻭ ﻡﰲ ﺍﻟﻜﺮ ِ ﻱ ﻱ ﻋ ِﺪﺘﺪ ِﺑﹶﺄِﺑ ِﻪ ﺍ ﹾﻗlihat Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, 233
juz. 1, hal. 64 236 Ada ungkapan syair yang sesuai dengan ucapan di atas, yaitu; ﻳﺘﹶﺎﻫﺎﺠ ِﺪ ﹶﻏﺎ ﻨﺎ ﰲ ﺍ ﹶﳌﻐ ﺑﹶﻠ ﺪ ﻫﺎ ﹶﻗ ﺑﺎﻭﹶﺃﺑﹶﺎ ﹶﺃ ﻫﺎ ﺑﺎ ﺇ ﱠﻥ ﹶﺃLihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 25
lxxxviii
TP237PTﺲ ٍ ﻴﺒﺎ ﻗﹸﻩ ﺑِﺄﹶﺑ ﺎﺭﻣ dalam ungkapan Abu Hanîfah ini, terlihat bahwa kata ﺃﺏyang merupakan salah satu al-Asmâ’ al-Sittah bertanda alif, padahal ia dalam kedudukan majrûr. Di bawah ini ada beberapa i’râb al-Asmâ’ al-Sittah yang ditetapkan Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW, antara lain; i. i’râb ﻫﻦdengan harakat ketika diidhâfahkan Sebagaimana disebutkan di atas, secara umum al-Asmâ’ al-Sittah memiliki ciri i’râb dengan huruf, yaitu waw, alif dan ya’. Ciri i’râb tersebut sebagai pengganti dari ciri i’râb yang asli yaitu dhammah, fathah dan kasrah. Berbeda dari kelima isim di atas, ﻫﻦmenjadi kontroversi di kalangan ahli nahwu, apakah ia mengunakan ciri i’râb asli atau dengan huruf, yang juga dikenakan pada isim lainnya. Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa ciri i’râb ﻫﻦsama dengan yang lainnya yaitu dengan huruf.238 Sedangkan Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ciri i’râb ﻫﻦ ketika ia diidhâfahkan pada kata berikutnya adalah dengan harakat,239 dalilnya adalah 240
Hadîts Nabi SAW yang menuturkanTP
PTﻩ ِﺑ َﻬ ِﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ ﻮﹶﻓﹶﺄ ِﻋﻀ. Di kalangan ahli nahwu
kaidah inilah yang banyak digunakan dalam berbagai literatur Arab. 237
Abu Qubais adalah salah satu gunung di Makkah.Lihat Ibnu Mandzûr, Lisan al-Arab, juz. 14, hal. 13 pada kata ﺃﰊ 238
Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 62 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 123 240 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz adalah; ﻮﺍﺗ ﹾﻜﻨ ﻭﻟﹶﺎ ﻬ ِﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ ﻩ ِﺑ ﻮﻴ ِﺔ ﹶﻓﹶﺄ ِﻋﻀﺎ ِﻫِﻠﺍ ِﺀ ﺍﹾﻟﺠﻌﺰ ﻯ ِﺑﻌﺰ ﺗ ﻣﻦ. Hadîts ini tercantum dalam kitab musnad Ahmad, hanya saja 239
pada musnad tersebut kata ﻣﻦyang digunakan Ibnu Mâlik di atas tidak ditemukan, yang tertulis adalah kata ﻞ ﺟ ﹸ ِﺇﺫﹶﺍ ﺍﻟﺮ. Boleh jadi Ibnu Mâlik mengganti kata tersebut agar lebih umum. Kendati terjadi perbedaan antara redaksi yang digunakan Ibnu Malik dan redaksi yang terkandung dalam musnad, namun hal itu tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan. Karena objek kata yang menjadi ِ ﻬ ِﺑ. dalil Ibnu Mâlik terletak pada kata ﻦ ﹶﺃﺑِﻴﻪ
lxxxix
ii. tetapnya huruf Mim pada ( )ﻓﻢsaat diidhâfahkan Al-Danusyari menyatakan bahwa asal kata dari ﻓﻢadalah ﻓﻮﻩyang termasuk 241
ﻌ ﹲ ﹶﻓ. dalam wazan ﻞ
Dalam pandangan al-Fârisi memunculkan huruf mim pada kata
ﻓﻢsaat diidhâfahkan dengan kata berikutnya, hanya boleh dilakukan pada keadaan darurat. Karena dalam pandangan al-Fârisi, mim pada kata ﻓﻢtidak boleh 242
dimunculkan selain pada syair.
Pendapat ini kemudian dibantah oleh Ibnu Mâlik, ia berpendapat bahwa mim dapat dimunculkan pada teks selain syair dan bukan hanya pada keadaan darurat.243 244
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW.TP
PTﺎِﺋ ِﻢﻑ ﹶﻓ ِﻢ ﺍﻟﺼ ﺨﻠﹸﻮ ﹶﻟ
Dalam teks Hadîts tersebut terdapat mim pada kata ﻓﻢyang ditampakkan, meskipun ia berkedudukan sebagai mudhâf. Dalam bahasa Arab tidak sedikit ditemukan kata yang terdiri dari tiga huruf atau lebih, namun ketika bersambung dengan kata berikutnya, huruf terakhirnya disembunyikan. Kaitannya dengan kaidah menghilangkan huruf pada suatu kata, baik diawal maupun diakhir kata. Hadîts yang merupakan teks klasik, yang lahir pada masa di mana kuantitas dialek-dialek Arab masih terpelihara, turut serta dalam menjaga bahasa ini. Misalnya menghilangkan huruf terakhir pada suatu kata, ditemukan pada salah satu kata dalam Hadîts Nabi SAW, yaitu ketika ada salah seorang sahabat Nabi SAW yang memanggil beliau dengan ungkapan ﻳﺎﻧﱯﺀ ﺍﷲ, Nabi
241
Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 61 Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz. 1, hal. 30. 243 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 516 244 Redaksi Hadîts yang terdapat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻦ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِﻣ ﻨ ِﻋﻴﺐﺎِﺋ ِﻢ ﹶﺃ ﹾﻃﻑ ﹶﻓ ِﻢ ﺍﻟﺼ ﺨﻠﹸﻮ ﹶﻟ 242
ﻚ ِ ﺴ ﺭِﻳ ِﺢ ﺍﹾﻟ ِﻤ. Hadits ini diriwayatkan dalam kitab shahih al-Bukhâri dari beberapa sahabat seperti; Ali bin Abi Thalib r.a, Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri.
xc
SAW menegur sahabatnya untuk tidak memanggil beliau dengan ungkapan seperti itu, tetapi dengan ungkapan ﻧﱯ ﺍﷲtanpa hamzah di akhir kata PTﻧﱯ
245 .
Sebagian
ulama seperti al-Jauharî (w 398 H) menjelaskan sebab larangan tersebut adalah karena kata ﻧﱯﺀbukan bagian dari bahasa Qurasiy.246 Akan tetapi Sybawaih Kitabnya, menjelaskan bahwa ditemukan pada sebagian masyarakat Hijâz yang menggunakan ungkapan ( ﻧﱯﺀmenggunakan hamzah) namun itu hanya sedikit, karena ungkapan tersebut jarang digunakan.247 Berbeda dengan Sybawaih, al-Mubarrad (w 285 H)248 tidak setuju jika ungkapan tersebut dikatakan ungkapan yang kurang dikenal dan jarang digunakan. Al-Mubarrad menjelaskan tidak digunakannya hamzah pada kata ﻧﱯdalam Hadîts Nabi SAW di atas ditujukan untuk meringankan pengguna bahasa.249 Hal ini pun diakui oleh Ibnu Duraid, bahwa ia pernah mendengar orang Arab mengatakan ( ﻧﺎﺑﺌﺎdalam bentuk Isim Fa’il) baik menggunakan hamzah maupun tidak.250 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Hamzah pada kata ﻧﱯﺀ merupakan bahasa yang dinukil dari orang Fashih.
ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ. ﻳﺎ ﻧﱯﺀ ﺍﷲ: ﺟﺎﺀ ﺃﻋﺮﺍﰊ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ: ﻗﺎﻝ، ﻋﻦ ﺃﰊ ﺫﺭ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ245 ﻭﻟﻪ ﺷﺎﻫﺪ ﻣﻔﺴﺮ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ، ﻭﱂ ﳜﺮﺟﺎﻩ، ﻭﻟﻜﲏ ﻧﱯ ﺍﷲ « » ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ ﺍﻟﺸﻴﺨﲔ، » ﻟﺴﺖ ﺑﻨﱯﺀ ﺍﷲ: ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ (HR al-Hâkim) al-Mustadrak ala al-Shahihayn « ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺷﺮﻁ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ 246
Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, (Beirut: Dar al-Fikr 1997), cet. Ke-1, juz. 5, hal. 4 247 Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat alLughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 66 248 Ibnu Khaldun berkata; “kami mendengar dari guru-guru di berbagai majelis ta’lim, bahwa sumber primer seni sastra dan rukun-rukunnya hanya ada empat; Pertama, Kitab al-Kâmil karya alMubarrad. Kedua, Adab al-Kâtib karya Ibnu Qutaibah. Ketiga, kitab al-Bayân wa al-Tabyin karya alJahidh dan Keempat, kitab al-Nawadhir karya Abu Ali al-Qali al-Baghdâdi. Dan selain empat kitab tersebut dikategorikan sebagai kitab sekunder. Penulis mendapati ungkapan ini di dalam sampul kitab al-Kamil karya al-Mubarrad, nampaknya ini dikutip oleh muhaqqiquntuk menunjukkan keluhuran ilmu al-Mubarrad. 249 Al-Mubarrad, al-Muqtadhab (Kairo: 1399 H), juz. 1, hal. 298 250 Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, (Dar al-Shadir), juz. 3, hal. 211.
xci
Dengan demikian pernyataan Sybawaih, bahwa ungkapan ﻧﱯjarang digunakan oleh masyarakat Arab, telah terbantahkan oleh pendapat dan saksi dari para ulama bahasa seperti Ibnu Duraid, al-Mubarrad, Ibnu Mandzûr dan Ibnu al-Atsîr. Dan lagi jika kata tersebut tidak populer di kalangan Arab, bagaimana mungkin kata tersebut diucapkan di khalayak umum. Adapun larangan Nabi SAW kepada sahabatnya yang memanggil beliau dengan ungkapan ﻧﱯﺀhal ini mungkin karena sebab agama, bukan sebagai celaan pada kata tersebut atau penampikan atas keberadaannya. Ini jika kita tidak mengakui penyembunyian hamzah pada kata tersebut ditujukan untuk meringankan dalam pengucapan kata. Dan yang pasti ahli bahasa tidak mengingkari keberadaan kata tersebut, dan ini adalah bagian dari kontribusi Hadîts. Fenomena menyembunyikan atau menghilangkan huruf dari suatu kata yang terdapat dalam Hadîts Nabi SAW, tidak hanya terjadi pada huruf yang berada pada awal kata sebagaimana contoh di atas, namun pada huruf akhir dari suatu kata pun terjadi dalam salah satu Hadîts yang cukup popular. Ini berkenaan dengan sabda Nabi tentang Abu Bakr al-Shiddîq.251 Dalam Hadîts ini huruf alif dalam kata
ﺇﺧﻮﺓ
dihilangkan, sehingga menjadi ﺧﻮﺓ. Dalam berbagai kitab Hadîts, ditemukan bahwa terkadang Nabi SAW menggunakan kata ﺇﺧﻮﺓdan juga kata ﺧﻮﺓ. Dalam pandangan alJauhari, penggunaan kedua bentuk kata tersebut pada Hadîts menunjukkan bahwa hal tersebut majhûl.252 V. Membatasi Mubtada’
251
Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 85. Pembahasa ini juga dapat dilihat di Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh (Beirut: Alam al-Kutub 1983) cet. Ke 3, hal 82 252 Untuk mengetahui lebih mendalam pendapat al-Jauhari ini, lihat al-Jauhari, al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh al-Arabiyah, (1982), juz. 1, hal. 41.
xcii
Ibnu Mâlik membagi mubtada’ kedalam dua bagian; Pertama. Mubtada’ lahu khabar. Kedua, mubtada’ laysa lahu khabar. yang kedua ini dianggap menempati posisi fi’il, karena ia memiliki hukum yang sama dengan fi’il, yaitu merafa’kan kata setelahnya. Bentuk kedua ini secara umum harus didahului dengan huruf istifham atau nafy.253 Dari uraian bentuk kedua ini, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa membatasi mubtada’ dengan mujarrad lebih utama dibandingkan membatasinya dengan isim alMujarrad, karena mubtada’ al-Mukhbir anhu terkadang tidak berasal dari isim.254 Hal ini berlandaskan Hadîts Nabi SAW.255 W. Khabar terdiri dari jumlah Khabar al-Mubtada’ dapat terdiri dari isim mufrad, dharf atau jar dan majrur, dan adakalanya juga terdiri dari jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah.256 Ibnu Mâlik berpendapat idealnya khabar berkaitan dengan mubtada’nya, keterkaitan ini dapat dicapai dengan kalimat yang sama dengan mubtada, meskipun dari sisi maknanya saja, sehingga tidak membutuhkan rabith (pengikat) dari lainnya.257 Pernyataan Ibnu Mâlik berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW berkenaan dengan kalimat tahlîl.258 253
Contoh yang pertama adalah ﺯﻳﺪ ﻗﺎﺋﻢcontoh yang kedua seperti ﺃﻗﺎﺋﻢ ﺍﻟﺰﻳﺪﺍﻥ. Selengkapnya
lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 156 254 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 158 255 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻮ ِﺯﻛﻨ ﻦ ﹸ ﺰ ِﻣ ﻨ ﹶﺓ ِﺇﻟﱠﺎ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻛﻭﹶﻟﺎ ﻗﹸﻮ ﻮ ﹶﻝ ﺣ ﻟﹶﺎ
ﻨ ِﺔﺠ ﺍﹾﻟ. Dalam berbagai kitab Hadîts tidak ditemukan redaksi yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik ini. Kendati demikian, ditemukan redaksi yang mirip dengan redaksi Ibnu Mâlik yaitu Hadîts yang terkandung dalam sunan al-Tirmidzi dan musnad Ahmad. Redaksi tersebut adalah; ﹶﺓ ِﺇﻟﱠﺎﻭﻟﹶﺎ ﻗﹸﻮ ﻝ ﻮ ﹶ ﺣ ﻟﹶﺎ
ﻨ ِﺔﺠ ﻮ ِﺯ ﺍﹾﻟﻦ ﹸﻛﻨ ﺰ ِﻣ ﻨﺎ ﹶﻛﻧﻬﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓِﺈ. Jika dibandingkan antara redaksi keduanya, dimungkinkan Ibnu Mâlik menghilangkan satu kata dalam Hadîts ini yaitu ﺎﻧﻬﹶﻓِﺈ. Meskipun demikian perbedaan antara redaksi yang digunakan Ibnu Malik dan redaksi yang ada pada kitab Hadits, tidaklah berpengaruh pada kaidah tersebut. 256 Contoh khabar dari mufrad; ﻋﻠﻲ ﺟﺎﻟﺲdan dari jar al-Majrur; ﻋﻠﻲ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ. 257 258
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 165 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺒﻠِﻲ ﻟﹶﺎﻦ ﹶﻗ ﻮﻥﹶ ِﻣﺒِﻴﺍﻟﻨﺎ ﻭﺖ ﹶﺃﻧ ﺎ ﹸﻗ ﹾﻠﻀﻞﹸ ﻣ ﻭﹶﺃﻓﹾ
ﻚ ﻟﹶﻪ ﺷﺮِﻳ ﻟﹶﺎﺪﻩ ﺣ ﻭ ﻪ ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ ِﺇﹶﻟ. (HR al-Tirmidzi). Hadîts ini merupakan potongan do’a Nabi SAW pada hari Arafah sewaktu menunaikan ibadah haji. Karena ia merupakan lafadz do’a, tentunyasering diucapkan
xciii
X. Mengedepankan khabar dari Mubtada’ Di antara kondisi yang mengakibatkan dilarangnya mendahulukan khabar dari pada mubtada’ adalah, jika khabar dan mubtada’ memiliki kesamaan dalam ta’rif dan tankir, seperti ﺯﻳﺪ ﺻﺪﻳﻘﻚatau ﺧﲑ ﻣﻨﻚ. Menta’khirkan khabar pada kedua contoh tersebut atau yang semisalnya adalah wajib. Sebagian ahli nahwu juga berpendapat bahwa mendahulukan khabar dari mubtada dalam kondisi demikian tidak dibenarkan, karena jika khabar dikedepankan, pembaca atau pendengar sulit untuk mengetahui keberadaan khabar dari mubtada’ tersebut. Dalam pandangan ulama Kûfah khabar tidak dibenarkan mendahului mubtada’, baik itu khabar yang berbentuk kata tunggal maupun jumlah.259 Sebabnya, karena jika khabar dikedepankan, maka dhamir mendahului dari dzahirnya. Dan ini tidak dibenarkan. Ulama Bashrah memiliki pendapat lain, menurutnya boleh mengedepankan khabar dari pada mubtada’. Alasannya karena kaidah yang menyatakan demikian banyak terjadi pada ungkapan masyarakat Arab dan syair.260 Sebagaimana diketahui bahwa dalil syair dan ungkapan Arab menjadi dalil prioritas dalam madzhab Bashrah, maka itu sebagai madzhab pertama dalam sejarah ilmu nahwu, Bashrah memiliki kekhususan dan keutamaan dalam pemikirannya, kaidah-kaidah yang lahir dari pena ulama Bashrah sangat kuat menghujam di kalangan ulama, maka itu tidaklah mengherankan jika pemikirannya banyak mempengaruhi sudut pandang ulama nahwu setelahnya, ciri yang paling menonjol dari madzhab ini antara lain; Pertama; ketelitian dan keselektifan ulamanya. Ketelitiannya tergambar dalam memilih uslub yang fashih dan ketajamannya dalam memilih dalil-dalil kuat sebagai oleh seluruh umat Islam, maka otoritasnya sebagi dalil bahasa mendapat posisi tinggi dikalangan ahli nahwu. 259 Misalnya; . ﺃﺧﻮﻩ ﺫﺍﻫﺐ ﻋﻤﺮﻭ، ﺃﺑﻮﻩ ﻗﺎﺋﻢ ﺯﻳﺪ، ﺫﺍﻫﺐ ﻋﻤﺮﻭ،ﻗﺎﺋﻢ ﺯﻳﺪ 260
Misalnya; ﻣﺸﻨﻮﺀ ﻣﻦ ﻳﺸﻨﺆﻙ، ﰲ ﺃﻛﻔﺎﻓﻪ ﻟﻒ ﺍﳌﻴﺖ،ﰲ ﺑﻴﺘﻪ ﻳﺆﰐ ﺍﳊﻜﻢ. Lihat Ibnu Mandsur, Lisan al-
Arab, juz. 11, hal. 152
xciv
sumber penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun mereka mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang Arab, namun tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sebelum ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan otentisitasnya. Sikap ini muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal. Hal itu dilakukan karena ulama Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu yang mereka tetapkan sangat kuat, maka itu harus dibangun dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatainya.261 Karena bangunan yang berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan angin dan badai. Bukti lain dari ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil, terlihat juga dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya,262 ungkapanungkapan tersebut menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu bahasa, dan juga kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang kokoh. Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat. Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyâs sebagai sumber kaidah nahwu.263 Berbeda dengan berbagai pemikiran di atas, Ibnu Mâlik menghadirkan pemikiran lain, menurutnya dalam kaidah khabar al-Mubtada’ memiliki beberapa bentuk; ada khabar yang boleh bahkan wajib didahulukan dari mubtada’, dan ada juga khabar yang dapat disembunyikan, artinya tidak ditampkakkan pada suatu kalimat. Bentuk-bentuk tersebut kesemuanya berlandaskan pada teks Hadîts Nabi SAW. Maka
261
Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. ." "ﻭﲰﻌﺖ ﻣﻦ ﺃﻭﺛﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻳﻘﻮﻝ،" "ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﺮﺿﻲ ﻋﺮﺑﻴﺘﻬﻢ،""ﻭﲰﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﻮﺛﻖ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺏ 263 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, 262
hal. 31
xcv
itu, terlihat wajar jika hukum kaidah hasil pemikiran Ibnu Malik berbeda dengan Bashrah dan Kufah yang nota bene lebih cenderung berdalil dengan syair dan ungkapan Arab. Di bawah ini merupakan pemikiran Ibnu Mâlik berkenaan dengan Khabar al-Mubtada’; i. boleh mengedepankan khabar Ibnu Mâlik berpendapat boleh mendahulukan khabar dari mubtada-nya, meskipun khabar dan mubtada’-nya memiliki kesamaan dalam ta’rif dan tankir, asalkan ada qarinah yang menjembatani keduanya.264 Pendapat ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW yang mendahulukan khabar dari mubtada’.265 Menurut Ibnu Mâlik maksud dari Hadîts ini bukanlah; orang miskin adalah lelaki yang tidak memiliki istri. Akan tetapi lelaki yang tidak memiliki istri adalah orang miskin. Karenanya dalam Hadîts tersebut kata ﺭﺟﻞadalah mubtada’ dan kata ﻣﺴﻜﲔadalah khabar yang dikedepankan dari mubtada’nya. Dalam pandangan Ibnu Mâlik, Hadîts tersebut sebagai bukti bolehnya mengedepankan khabar, meskipun dalam pandangan ahli nahwu lain tidak dibenarkan. ii. wajib mengedepankan khabar Ibnu Mâlik menyebutkan ada tiga kondisi di mana khabar wajib didahulukan dari mubtada’,266 salah satu kondisinya adalah manakala ada dhamir dalam mubtada yang menunjukkan pada khabar,267 seperti perkataan ﰲ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎkhabar dalam kalimat ini didahulukan. Karena jika diakhirkan akan menjadi ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﰲ ﺍﻟﺪﺍﺭdan tentunya kalimat ini akan membingungkan, karena dhamir yang ada pada mubtada’
264 265
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 169 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah; ﺭﺟﻞ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ، ﻣﺴﻜﲔ ﻣﺴﻜﲔ ﻣﺴﻜﲔ
(HR al-Thabrani). Dalam riwayat lain ditemukan redaksi yang berbeda, yang kandungannya ditujukan bagi perempuan. Yaitu ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻴﺲ ﳍﺎ ﺯﻭﺝ، ﻣﺴﻜﻴﻨﺔ ﻣﺴﻜﻴﻨﺔ ﻣﺴﻜﻴﻨﺔ 266 267
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 171 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 173
xcvi
tersebut sulit menemukan rujukannya. Berdasarkan teks Hadîts di atas, Ibnu Mâlik menetapkan kaidah tersebut.268 Hadîts ini tentunya memperkuat kaidah yang telah ada, bahwa khabar wajib didahulukan manakala mubtada’ bergandengan dengan dhamir. iii. wajib menyembunyikan khabar Di antara kondisi yang menyebabkan wajibnya mennyembunyikan khabar adalah manakala kata yang seharusnya menjadi tempat khabar ditempai oleh al-Hâl. Dalam kondisi ini maka khabar wajib untuk dihilangakan atau tidak ditampakkan.269 Menurut Ibnu Mâlik kaidah ini sejalan dengan Hadîts Nabi SAW.270 Dari Hadîts tersebut, diketahui bahwa khabar dari ﻳﻜﹸﻮ ﹸﻥ pada Hadîts itu dihilangakan, yang ada hanya fi’il yakûnu dan isim yakûnu, sedangkan khabar yakûnu-nya ditempati oleh alHâl. Karenanya khabar tersebut wajib disembunyikan. Kaidah yang bersumber dari Hadîts ini menunjukkan sikap Ibnu Malik yang kerap menyanggah pendapatpendapat ahli nahwu lain yang lebih mendahulukan syair dari pada Hadîts Nabi SAW. Y. Naib al-Fâ’il Ibnu Mâlik berpendapat bahwa hukum bagi Nâ’ib al-Fâ’il adalah hukum yang sama wajibnya bagi Fâ’il. Dalam kaidah nâ’ib al-Fâ’il hendaknya fi’il yang
ﻌ ﹸ ﻳ ﹾﻔ/ﹸﻓ ِﻌ ﹶﻞ, jika terdiri dari tsulatsi, atau isim maf’ul atau juga digunakan bershigah ﻞ terdiri dari mashdar muqaddar.271 Dalam pandangan Ibnu Mâlik kaidah ini sejalan
268
Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻌﻨِﻴ ِﻪ ﻳ ﺎ ﻟﹶﺎ ﻣﺮﻛﹸﻪ ﺗ ﺮ ِﺀ ﻤ ﺳﻠﹶﺎ ِﻡ ﺍﹾﻟ ِﻦ ِﺇﺴﻦ ﺣ ِﻣ.
U Hadîts tersebut terdapat dalam kitab al-Muwaththa’ karya Imam Mâlik. 269 270
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 177 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻮ ﻭﻫ ﺑ ِﻪﺭ ﻦ ﺪ ِﻣ ﺒﻌ ﻳﻜﹸﻮ ﹸﻥ ﺍﹾﻟ ﺎ ﻣﺮﺏ ﹶﺃ ﹾﻗ
ﺪ ﺎ ِﺟﺳ.U Hadîts tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim. 271
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 184-185
xcvii
ِ ﻴﺘﻴﺫِﻱ ﺍﻟ ﱡﻄ ﹾﻔﺘ ِﺮ ﻭﺑﺘ ِﻞ ﺍﹾﻟﹶﺄﺮ ِﺑ ﹶﻘ ﻭﺃﹸ ِﻣ taqdirnya adalah ﻭﺫﹸﻭ ﺘﺮﺑﺘ ﹶﻞ ﺍﹾﻟﹶﺄﻳ ﹾﻘ ﺮ ِﺑﺄﻥ ﻭﺃﹸ ِﻣ dengan Hadîts Nabi SAWﻦ ﻴ ِﻦﺘﻴﺍﻟ ﱡﻄ ﹾﻔ. Kalaulah tidak demikian maka ﻴ ِﻦﺘﻴﻭﺫﹸﻭ ﺍﻟ ﱡﻄ ﹾﻔ tidaklah akan menjadi rafa’272 Z. Al-Munâda Dalam kaidah al-Munâda, i’râb baginya adalah di-nashab-kan secara lafadz oleh huruf al-Nidâ. Kalaupun ada al-Munâda’ yang marfû’ itu hanya taqdir saja.273 Menurut sebagian ahli nahwu al-Munada’ dapat marfu’ pada kondisi tertentu.274 Berkenaan dengan ini, al-Farâ’ berpendapat bahwa al-Munâda yang kedudukannya sebagai al-Maushûf (yang disifati) dan berbentuk nakirah harus manshub. Ini dikarenakan kebiasaan di kalangan masyarakat Arab, al-Munâda yang dalam kondisi demikian di-nashab-kan.275 Meskipun ketika mereka mengifradkannya lebih banyak dirafa’kandari pada dinashabkan. Ibnu Mâlik menguatkan pendapat yang dianut oleh al-Farâ’ ini, dengan menghadirkan Hadîts Nabi SAW sebagai dalil tambahan dari kaidah yang dianut alFarâ’276. Hadîts ini merupakan lafadz do’a.277 Dalam memperkuat kaidah ahli nahwu 272
Hadist ini sengaja ditampakkan di atas, agar tidak rancu dalam pembahasan. Hadits tersebut terdapat dalam kitab shahih Muslim. 273 Lihat pembahasan selengkapnya di Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz. 2, hal. 480 274 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz 2, hal. 169 275 Seperti perkataan ﻞ ﺒ ﹾِﻤﺎ ﹶﺃﻗ ﻳﺟﹰﻠﺎ ﹶﻛ ِﺮ ﺭ ﻳﺎ selengkapnya lihat Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala alTaudhîh, juz 2, hal. 168. lihat juga al-Asymûni, Hâsyihah al-Shibbân, juz 3, hal. 138 276 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 278 277 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺳﺠﺪ ﻟﻚ ﺧﻴﺎﱄ ﻭﺳﻮﺍﺩﻱ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻚ
.ﻓﺆﺍﺩﻱ ﺭﺏ ﻫﺬﻩ ﻳﺪﻱ ﲟﺎ ﺟﻨﻴﺖ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻲ ﻳﺎ ﻋﻈﻴﻤﺎ ﺗﺮﺟﻰ ﻟﻜﻞ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﺩﻓﻊ ﻋﲏ ﻛﻞ ﻋﻈﻴﻢ. Tidak diketahui pasti dari kitab Hadîts mana Ibnu Malik mengutip redaksi ini. Dalam penelitian penulis memang ada beberapa kitab Hadîts yang mencantumkan redaksi Hadîts ini, namun tidak sama seluruhnya, terdapat sedikit perbedaan antara keduanya. Pertama, dalam kitab majma’ al-Zawâ’id tercantum redaksi ﺳﺠﺪ ﻟﻚ ﺳﻮﺍﺩﻱ
ﻭﺧﻴﺎﱄ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻚ ﻓﺆﺍﺩﻱ ﺭﺏ ﻫﺬﻩ ﻳﺪﻱ ﻭﻣﺎ ﺟﻨﻴﺖ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻲ ﻳﺎ ﻋﻈﻴﻢ ﺗﺮﺟﻰ ﻟﻜﻞ ﻋﻈﻴﻢKedua, dalam kitab alMustadrak ala al-Shahihain ﻭﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺟﻨﻴﺖ ﻋﻠﻰ، ﺃﺑﻮﺀ ﺑﻨﻌﻤﺘﻚ ﻋﻠﻲ، ﻭﺑﻚ ﺁﻣﻦ ﻓﺆﺍﺩﻱ، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺳﺠﺪ ﻟﻚ ﺳﻮﺍﺩﻱ ﻭﺧﻴﺎﱄ ﻳﺎ ﻋﻈﻴﻢ، ﻳﺎ ﻋﻈﻴﻢ، ﻧﻔﺴﻲ. Dari perbandingan redaksi di atas, nampak bahwa hadîts-hadîts yang tercantum dalam kitab Hadîts terdapat perbedaan yang signifikan dengan redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik.
xcviii
yang telah ada, Ibnu Malik tidak hanya memperkuat pendapat mayoritas ahli nahwu, karena pendapat minoritas pun jika sesuai dengan teks Hadîts, Ibnu Mâlik akan mendukungnya. Selain kaidah di atas, tidak sedikit dalam karya Ibnu Malik ditemukan kaidah-kaidah yang mendukung pendapat minoritas. AA.
Al-Istitsna’ Secara umum kaidah i’râb mutsanna memiliki dua tanda, yaitu ketika dalam
keadaan rafa’ maka tandanya alif, dan ketika dalam keadaan nasb dan jar ditandai dengan ya’.278 Namun ada beberapa ungkapan Arab yang tidak selaras dengan kaidah tersebut, yaitu ungkapan atau perkataan yang digunakan oleh sebagian kabilah Arab, antara lain; Kinanah, Bani Harits bin Ka’ab, Bani Anbar, Bani Hajim dan keturunan Rabi’ah.279 Di antara teks Arab yang mendokumuntasikan dialek kabilah ini adalah Hadits Nabi SAW280 ﻴﹶﻠ ٍﺔﺍ ِﻥ ﻓِﻲ ﹶﻟﺗﺮ ﻟﹶﺎ ِﻭdi antara kabilah yang populer menggunakan bentuk bahasa seperti ini adalah Bani Harits bin Ka’ab, karenanya dalam ungkapan mereka apapun kedudukan i’râb mutsanna selalu dengan alif, menurut mereka kedudukan mutsanna seperti kata maqshur.281 Sesungguhnya Hadits tersebut bukanlah satu-satunya Hadîts yang mewakili dialek Bani Harits bin Ka’ab, banyak
Misalnya, kata yang menjadi objek pembahasan ini yaitu al-Munâda adalah kata ﻋﻈﻴﻢkedua redaksi Hadîts tersebut tidak memuat huruf alif pada kata adzim. Ini penting untuk dianalisa karena jika Ibnu Mâlik mengutip Hadîts bukan dari sumber aslinya, maka kaidah yang dibangun dari Hadîts ini lemah. Inilah yang perlu dianalisa lebih mendalam. Dan sejauh penelitian penulis, tidak ditemukan kitab Hadîts yang memuat redaksi yang sama dengan redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik tersebut. 278 Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, juz. 2, hal. 225 279 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1993), juz. 6, hal. 145
ﺭ ﺪ ﺤ ﻧ ﺍﺎ ﹸﺛﻢﺮ ِﺑﻨ ﺗﻭ ﻭﹶﺃ ﻴﹶﻠ ﹶﺔﻚ ﺍﻟﻠﱠ ﺎ ِﺗ ﹾﻠﻡ ِﺑﻨ ﻭﻗﹶﺎ ﺎﻰ ِﺑﻨﻣﺴ ﺎ ﹶﻥ ﹶﻓﹶﺄﻣﻀ ﺭ ﻦ ﻮ ٍﻡ ِﻣ ﻳ ﻲ ﻓِﻲ ﻋِﻠ ﻦ ﺑ ﺎ ﹶﺃﺑِﻲ ﹶﻃﻠﹾﻖﻧﺍﺭﺑ ِﻦ ﹶﻃ ﹾﻠ ٍﻖ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺯ ﺲ ِ ﻴﻦ ﹶﻗ ﻋ 280 ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻟﹶﺎ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻲﻢ ﹶﻓِﺈﻧ ﺮ ِﺑ ِﻬ ﻭِﺗ ﹶﺃﻠﹰﺎ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﻪﺟﻡ ﺭ ﺪ ﹶﻗﺮ ﹸﺛﻢ ﺗﻲ ﺍﹾﻟ ِﻮ ﺑ ِﻘ ﻰﺣﺘ ﺎِﺑ ِﻪﺻﺤ ﺼﻠﱠﻰ ِﺑﹶﺄ ﺠ ٍﺪ ﹶﻓ ِﺴ ﻣ ﺇِﻟﹶﻰ (HR al-Nasâ’i) ﻴﹶﻠ ٍﺔﻥ ﻓِﻲ ﹶﻟ ِ ﺍﺗﺮِﻭ 281
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 97
xcix
Hadîts shahih lain yang menunjukkan kedudukan i’râb mutsanna yang dalam kondisi nashb yang ditandai dengan alif.282 Selain itu, sikap Ibnu Mâlik dalam memperkuat kaidah ahli nahwu klasik tercermin juga dalam kaidah al-Itstitsnâ’ (pengecualiaan). Dalam bebrbagai karya nahwu, ditemukan bahwa ahli nahwu membagi al-Mustatsna ke dalam dua bentuk; Pertama, al-Muttashil283 yaitu jika al-Mustatsna minhu sejenis dengan al-Mustatsna. Kedua, al-Munqathi’284 adalah kebalikan dari al-Muttashil, yaitu al-Mustatsna minhu tidak sejenis dengan al-Mustatsna.285 Berkenaan dengan i’râb al-Mustatsna, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa i’râb alMustatsna al-Munqathi’ memiliki dua macam. Pertama, dinashabkan, ini adalah bahasa yang digunakan orang-orang Hijâz. Kedua, menjadikan al-Mustastna sebagai Badal dari al-Mustatsna minhu, dan ini adalah bahasa yang digunakan orang Tamim.286 Pendapat Ibnu Mâlik ini memperkuat pendapat Sybawaih yang berdalil dengan syair.287 Ibnu Mâlik memperkuat pendapatnya dengan berdalil pada teks Hadîts Nabi SAW.288 Karena dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadîts ini mengandung kaidah al-Mustatsna al-Munqathi’.289
282
Seperti ﺇﻳﺎﻛﻢ ﻭﻫﺎﺗﺎﻥ ﺍﻟﻜﻌﺒﺘﺎﻥ ﺍﳌﻮﺳﻮﻣﺘﺎﻥdan Hadîts lain ﰲ ﻣﻜﺎﻥ ﻭﺍﺣﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ،ﺇﱐ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻭﻫﺬﺍﻥ ﻭﻫﺬﺍ
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 98 283 Misalnya; ﺍﻴﺪﺳ ِﻌ ﻭﻥ ِﺇﻻﱠﺎﻓِﺮﺎ َﺀ ﺍﹾﳌﹸﺴﺟ 284 285
Misalnya; ﺐ ﺘﺭ ِﺇﹼﻟﹶﺎ ﺍﹾﻟ ﹸﻜ ﺪﺍ ﺖ ﺍﻟ ﺮﹶﻗ ﺘﺣ ِﺍ
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 127 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz,hal. 379 287 Syair tersebut adalah ﻛﺬﹶﺍ ﻌ ﹶﻞ ﹶ ﻚ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ ﹾﻓ ﻦ ﹶﻛﺬﹶﺍ ِﺇﻻﱠ ﺣِﻞﱡ ﹶﺫِﻟ ﹶﻟﹶﺎﻓﹾﻌﹶﻠpembahasan selengkapanya tentang 286
kaidah ini dapat dilihat di, Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 2, hal. 374 288 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz,hal. 379-380 289 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﲔ ﺤ ِ ﺎِﻟﺑﹶﻠﻎﹸ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼﺡ ﹶﺃ ٍ ﻦ ِﺳﻠﹶﺎ ﲔ ِﻣ ِ ﻴﺎ ﹶﻃﺸ ﻣﺎﻟِﻠ
ﻮ ﹶﻥﻭﺟ ﺰ ﺘﻤ ﺎﺀِ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﹾﻟﺴﻦ ﺍﻟﻨ ِﻣHadîts ini diriwayatkan dari Abu Dzarr. Sejauh penelitian penulis, Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik ini, tercantum dalam kitab musnad Ahmad. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan, yaitu pada kata al-Syaithan. Dalam kitab musnad Ahmad redaksi Hadîts-nya menggunakan kata mufrad ﻥ ِ ﻴﻄﹶﺎﺸ ﻣﺎ ﻟِﻠ sedangakan Ibnu Mâlik menggunakan kata jama’ ﲔ ِ ﻴﺎ ﹶﻃﺸ ﺎ ﻟِﻠﻣ. Meskipun demikian perbedaan itu tidak akan merubah kaidah yang telah ditetapakan Ibnu Mâlik, karena objek kajian nahwu Ibnu Mâlik dalam Hadîts ini bukan pada bentuk kata tersebut, akan tetapi berkenaan dengan alIstitsnâ’.
c
BB.
Isim al-Tafdhil atau af’al al-Tafdhil Isim al-Tafdhîl atau af’al al-Tafdhîl adalah sifat yang diambil dari fi’il untuk
menunjukkan bahwa satu di antara kedua kata yang ada dalam suatu kalimat mengandung makna lebih dari yang lainnya. Dan kedua kata itu harus memiliki sifat yang sama.290 Ibnu Mâlik berpendapat bahwa jika ada ungkapan atau teks yang lebih otoritatif menyalahi kaidah ini, maka teks yang mengandung tafdhîl tersebut harus ditakwilkan.291 Meskipun Ibnu Mâlik meyakini bahwa Hadîts adalah sumber hukum nahwu kedua, dan merupakan dalil otoritaf. Namun diakuinya bahwa tidak semua teks Hadîts Nabi SAW sejalan dengan kaidah nahwu yang telah ada. Misalnya dalam kaidah af’al al-Tafdhîl ia menemukan ada teks Hadîts yang menyalahi kaidah di atas. Yaitu Hadîts yang berkenaan dengan dua keburukan, namun yang satu lebih sedikit keburukannya.292 Misalnya sabda Nabi SAW yang mengungkapkan bahwa seseorang yang duduk di atas bara api lebih baik baginya dari pada ia duduk di atas kuburuan.293 Dalam pandangan Ibnu Mâlik kaidah af’al al-Tafdhîl adalah ungkapan yang menyatakan bahwa adanya sesuatu yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya.
290
Misalnya ﻪﻞ ِﻣﻨﺃﹶﻓﹾﻀﺪ ﻭﺳ ِﻌﻴ ﻦ ِﻣﻋﹶﻠﻢ ﻞ ﹶﺃﺧِﻠﻴ lihat Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah,
juz, 1, hal. 193. 291 Misalnya ada ungkapan Arab yang mengatakan ﺎﺀﺘﻦ ﺍﻟﺸ ﺮ ِﻣ ﺣ ﻒ ﹶﺃﻴ ﺍﻟﺼdalam ungkapan ini terdapat af’al al-Tafdhîl yang menunjukkan bahwa satu di antara dua kata tersebut mengandung makna yang lebih. Namun dua kata di atas memiliki sifat yang berbeda. Karena ﻒﻴ ﺍﻟﺼdan ﺎﺀﺸﺘ ﺍﻟadalah cuaca yang berbeda. Karenanya Ibnu Mâlik mengatakan bahwa ungkapan ini perlu ditakwilkan. Selengakapnya lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 767 292 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 768 293 Redaksi Hadîts tersebut adalah ﺒ ٍﺮﻠﹶﻰ ﹶﻗﺲ ﻋ ﺠِﻠ ﻳ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ِﻣﺮ ﹶﻟﻪ ﻴﺧ ﻠﹶﻰ ﲨﺮﺓﻢ ﻋ ﻛﹸﺣﺪ ﺲ ﹶﺃ ﺠِﻠ ﻳ ﹶﻟﹶﺄ ﹾﻥtidak ditemukan dalam kitab Hadîts yang memuat redaksi yang sama dengan redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Namun diakui bahwa banyak Hadîts serupa yang terkandung dalam berbagai kitab Hadîts seperti dalam shahih Muslim, sunan Abi Dawud, sunan al-Nasa’i, sunan Ibnu Majah bahkan musnad ﺺ ﺇِﻟﹶﻰ ِﺟ ﹾﻠ ِﺪ ِﻩ ﻠﹸﺘﺨﻪ ﹶﻓ ﺑﺎﻕ ِﺛﻴ ِﺮﺤﺮ ٍﺓ ﹶﻓﺘ ﻤ ﺟ ﻠﹶﻰ ﻋﻛﹸﻢﺣﺪ ﺲ ﹶﺃ ﺠِﻠ ﻳ ﹶﻟﹶﺄ ﹾﻥ Ahmad. Redaksi dalam kitab Hadîts tersebut yaitu ﺮ ﻴﺧ
ﺒ ٍﺮﻠﹶﻰ ﹶﻗﺲ ﻋ ﺠِﻠ ﻳ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ِﻣﹶﻟﻪ. Jika dibandingkan antara kedua redaksi di atas, nampaknya tidak terlalu banyak perbedaan. Hanya saja dimungkinkan Ibnu Mâlik menghapus bagian tengah dari redaksi sebenarnya. Meskipun demikian dihilangkannya redaksi bagian tengah Hadîts tersebut, pastinya tidak akan mengurangi substansi makna bahkan kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik.
ci
Seperti ،( ﻫﺬﺍ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ ﻫﺬﺍini lebih baik dari ini) ( ﻫﺬﺍ ﺃﻃﻮﻝ ﻣﻦ ﻫﺬﺍini lebih pandang dari ini) dan kedua kata yang dibandingkan tersebut harus memiliki sifat kebaikan dan sifat kepanjangan, sesuai dengan af’al atau isim al-Tafdhîl-nya.
294
kaitannya dengan
teks Hadîts di atas, disebutkan ﻦ ِﻣﺮ ﹶﻟﻪ ﻴﺧ (ia lebih baik dari), padahal kedua-duanya memiliki sifat buruk. Bukankah duduk di bara api dan kuburan suatu keburukan. Karenanya Hadîts ini menyalahi kaidah di atas, dan wajib untuk ditakwilkan. Inilah di antara sikap Ibnu Mâlik terhadap Hadîts yang berbenturan dengan kaidah yang telah ada, ia tidak melemahkan bahkan meninggalkan Hadîts tersebut, karena Hadîts adalah sumber hukum, melainkan ia mentakwilkannya. Sehingga ia tidak melanggar kaidah yang ada, dan juga tidak mengenyampingkan teks Hadîts. CC.
Menyembunyikan huruf al-Nidâ’ Menurut kebanyakan ahli nahwu, huruf al-Nidâ’ dapat disembunyikan
manakala munâda’-nya menjadi mudhâf atau tidak diketahui tanpa isyarat tertentu. Ibnu Mâlik menambahkan kondisi lain yang menyebabkan bolehnya huruf al-Nidâ’ disembunyikan yaitu; manakala al-Munâda dapat dikenali baik dengan huruf nidâ’ maupun isim al-Isyârah.295 Pendapat ini berdasarkan dua teks Hadîts Nabi SAW; 296
Pertama,TP
PTﺍﺷﺘﺪﻱ ﺃﺯﻣﺔ ﺗﻨﻔﺮﺟﻲ. Kedua, Hadîts Nabi SAW yang merupakan 297
kutipan dari ucapan Nabi Musa a.s.TP
PTﺠﺮ ﺣ ﻮﺑِﻲ ﹶﺛ. Kedua Hadîts di atas terdapat
al-Munâda yang hurup al-Nidâ’-nya disembunyikan. DD.
Menyembunyikan huruf fa’ pada jawâb syarth 294
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 766 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 295 296 Tidak ditemukann redaksi Hadîts tersebut dalam kitab-kitab Hadîts. Penulis hanya mendapatinya dalam syarh al-Hadîts yaitu kitab faydh al-Qadîr, juz 1, hal. 659 297 Hadîst ini tercantum dalam kitab shahîh al-Bukhâri, shahîh Muslim, musnad Ahmad dan sunan al-Tirmidzi. Dengan redaksi yang sama. 295
cii
Sebuah kalimat yang mengandung syarth dan jawab al-syarth, mesti menggunakan fa’ pada jawab al-Syarth. Jumhur ahli nahwu berpendapat bahwa wajib bagi jawâb al-Syarth didahului dengan huruf fa’ jika salah satu syarat dalam kaidah ini tidak terpenuhi, tujuannya agar hubungan antara syarth dan jawâbnya tidak terputus.298 Kalaupun huruf fa’ hendak disembunyikan, maka itu hanya dibolehkan dalam syair darurat.299 Berkenaan dengan ini Sybawaih pernah bertanya pada gurunya, al-Khalîl, tentang ungkapan ﺇﻥ ﺗﺄﺗﲏ ﺃﻧﺎ ﻛﺮﱘ, kemudian al-Khalîl menjawab bahwa ungkapan demikian (menyembunyikan huruf fa’ pada jawab al-syarth) hanya dibolehkan ketika dalam kondisi darurat.300 Karena kalimat ﺃﻧﺎ ﻛﺮﱘberkedudukan sebagai mubtada’.301 Dalam penjelasannya, al-Khalîl mencontohkan kalimat yang menyembunyikan huruf fa’ dalam kondisi darurat.302 Jika al-Khalîl dan Sybawaih membolehkan untuk menyembunyikan fa’ dalam kondisi darurat, berbeda dengan al-Mubarrad, ia menegaskan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Sybawaih berserta gurunya adalah pendapat yang salah, karena bolehnya menyembunyikan fa’ pada kondisi darurat dalam syair adalah pendapat yang lemah.303 Sedangkan al-Syalubin berpendapat bahwa fa’ harus disertakan dengan kalimat ismiyyah304 baik itu yang mengandung permintaan305 atau tidak.306 Adapun di
298
Musthafa Ghalayini menyebutkan bahwa ada dua belas tempat di mana jawab al-Syarth wajib didahului dengan huruf fa’. Lihat Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 2, hal. 192-193 299 Al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz. 4, hal. 19 300 Contoh syair darurat yang menyembunyikan huruf fa’ adalah syair Tsabit bin Hasan; ﻣﻦ ﻳﻔﻌﻞ ﺍﳊﺴﻨﺎﺕ ﺍﷲ ﻳﺸﻜﺮﻫﺎ ﻭﺍﻟﺸﺮ ﺑﺎﻟﺸﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻣﺜﻼﻥLihat; Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwi inda Ibni Mâlik, hal. 98 301 Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 3, hal. 64-65 302 Contoh tersebut adalah ﺇﻥ ﺗﺄﱐ ﺃﻧﺎ ﺻﺎﺣﺒﻚlihat. Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 1, hal. 437 303
Al-Mubarrad, Al-Muqtadhab, juz. 2, hal. 71 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwi inda Ibni Mâlik, hal. 99 305 Seperti ungkapan ﺇﻥ ﻗﺎﻡ ﺯﻳﺪ ﻓﺎﷲ ﻳﻐﻔﺮ ﻟﻪ 304
306
Seperti ungkapan ﺇﻥ ﻗﺎﻡ ﺯﻳﺪ ﻓﻌﻤﺮﻭ ﻗﺎﺋﻢ
ciii
antara yang mengkhususkannya pada kondisi darurat ialah Ibnu Hisyâm, ia berdalil dengan ayat al-Qur’ân yang menyembunyikan huruf fa’, namun digantikan dengan idza al-Fujâiyyah.307 Dalam penjelasannya Ibnu Hisyâm juga mengutip pendapat alMubarrad yang melarang menyembunyikan fa’ meskipun dalam syair. Meskipun demikian Ibnu Hisyâm juga mengakui bahwa ada ahli nahwu lain seperti al-Akhfasî yang menyatakan bolehnya menyembunyikan fa’ pada jawâb al-Syarth, karena ada natsr fashih yang menunjukkan kebolehan itu.308 Dari penjelasan Ibnu Hisyâm di atas, diketahui bahwa al-Akhfasî membolehkan menyembunyikan huruf fa’, sebagai pilihan alternatif. Pendapat ini kemudian dikuatkan oleh Ibnu Mâlik dengan menghadirkan tiga teks Hadîts Nabi SAW sebagai dalil bolehnya menyembunyikan jawâb al-Syarth dalam kondisi apapun, tidak hanya dalam keadaan darurat. Pendapat Ibnu Mâlik ini sekaligus membantah apa yang dianut oleh mayoritas ahli nahwu. Hadîts tersebut antara lain; Pertama, sabda Nabi SAW yang ditujukan pada Sa’ad berkenaan dengan pentingnya menafkahi keluarga,309 dalam Hadîts ini huruf fa’ dan al-Mubtada’ disembunyikan dari kalimat jawâb al-Syarth. Jika ditampakkan keduanya maka redaksi kalimat tersebut akan berbeda.310 Inilah yang selalu dianggap oleh ahli nahwu sebagai pengkhususan bagi kondisi darurat, padahal tidaklah demikian. Meskipun tidak dipungkiri bahwa menyembunyikan huruf fa’ ini banyak ditemukan pada syair, dan sedikit terjadi pada teks manqul lainnya. Kondisi ini tentunya bukan berarti bahwa menyembunyikan huruf fa’ hanya dibolehkan pada syair. 307
Ayat yang dimaksud Ibnu Hisyâm adalah ﺖ ﻣ ﺪ ﺎ ﹶﻗﻴﹶﺌ ﹲﺔ ِﺑﻤﺳ ﻢ ﻬ ﺒﺼ ِ ﺗ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺎﻮﺍ ِﺑﻬﻤ ﹰﺔ ﹶﻓ ِﺮﺣ ﺣ ﺭ ﺱ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹶﺃ ﹶﺫ ﹾﻗﻨ
ﻨﻄﹸﻮ ﹶﻥﻳ ﹾﻘ ﻢ ﻫ ِﺇﺫﹶﺍﺪِﻳﻬِﻢ( ﺃﹶﻳQS al-Rum: 36) 308 309
Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 187 Hadîts tersebut adalah ﺎﹶﻟ ﹰﺔ ﻋﻢﺭﻫ ﺗ ﹶﺬ ﻥ ﻦ ﹶﺃ ﹾ ﺮ ِﻣ ﻴﺧ َﺎﺀﻚ ﺃﹶﻏﹾﻨِﻴ ﺘﺭﹶﺛ ﻭ ﺭ ﺗ ﹶﺬ ﻚ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻧ ِﺇHadîts ini diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhâri dalam kitab shahih al-Bukhâri. Selain itu juga banyak ahli Hadîts lain yang meriwaytkannya. Ini menandakan bahwa Hadîts ini adalah Hadîts populer. Dan pastinya berkualitas shahih. 310 Yaitu ﺮ ﻴﺨ ﺎﺀَ ﹶﻓﻚ ﺃﹶﻏﹾﻨِﻴ ﺘﺭﹶﺛ ﻭ ﺭ ﺗ ﹶﺬ ﹶﺃ ﹾﻥ
civ
Kedua, sabda Nabi SAW yang diceritakan oleh Ubay bin Ka’ab.311 Dalam Hadîts ini terlihat bahwa jawâb ﺇﻥpertama disembunyikan, begitu juga dengan syarth
ﺇﻥkedua disembunyikan juga. Sehingga huruf fa’ yang seharusnya terangkai dalam jawâb syarth tidak didapati. Padahal jika ditampakkan akan terlihat semuanya.312 Ketiga, adalah sabda Nabi SAW kepada Hilâl bin Umayyah.313 Dalam Hadîts ini banyak hal yang disembunyikan; di antaranya fi’il yang menashabkan al-Bayyinah dan fi’il al-Syarth setelah ﺇﻥ ﻻ. Tentunya fa’ al-Jawâb dan mubtada’-nya juga disembunyikan. Dan jika ditampakkan akan terlihat kalimat tersebut berbeda dengan aslinya.314 Ketiga Hadîts di atas, nampaknya cukup sebagai bantahan terhadap pendapat mayoritas ahli nahwu yang mengatakan bahwa menyembunyikan huruf fa’ hanya dibolehkan pada saat darurat dan itu pun khusus pada syair. Dari sikap Ibnu Mâlik ini, disimpulkan bahwa ia hendak menunjukkan bahwa Hadîts memiliki keluhuran bahasa untuk dijadikan sebagai dalil nahwu.
EE.
Fi mengandung makna ta’lîl
311
Hadîts yang dimaksud adalah; ﺎﻊ ِﺑﻬ ﻤِﺘ ﺘﺳ ﺇِﻟﱠﺎ ﺍﺎ ﻭﺒﻬﺎ ِﺣﺎ َﺀ ﺻﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺟ. Konteks Hadîts ini berkaitan
dengan cara menjaga barang temuan. Hadîts dijadikan dalil sebagai bolehnya menyembunyikan huruf fa’ pada fi’il fastamti’ yang merupakan jawab al-Syarth. Hadîts ini shahih, karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun imam al-Bukhâri juga meriwayatkan redaksi lain yang menggunakan huruf ﻭِﺇﻟﱠﺎ ﻓﹶﺎ ﺎﺒﻬﺎ ِﺣﺎ َﺀ ﺻ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺟpadahal keduanya diriwayatkan dari sahabat fa’pada fi’il istamti’. Yaitu ﺎﻊ ِﺑﻬ ﻤِﺘ ﺘﺳ yang sama yaitu Ubay bin Ka’ab.
ﺎﻊ ِﺑﻬ ﻤِﺘ ﺘﺳ ﻭﺇﻥ ﻻ ﳚﻰﺀ ﻓﺎ ﺎ ﺃﺧﺪﻫﺎﻬﺻﺎﺣِﺒ ﺎ َﺀﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺟ 313 ﻙ ﻬ ِﺮ ﻓِﻲ ﹶﻇﺪﻭ ﺣ ﻨ ﹶﺔ ﹶﺃﻴﺒ ﺍﹾﻟHadîts ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun ia juga menghadirkan redaksi yang berbeda dalam kitab shahihnya yaitu; ﻙ ﻬ ِﺮ ﻓِﻲ ﹶﻇﺪﻭِﺇﻟﱠﺎ ﺣ ﻨ ﹶﺔﻴﺒﺍﹾﻟ. Meskipun ada 312
perbedaan, hal ini tidak akan mempengaruhi ketetapan kaidah Ibnu Mâlik. 314
ﺃﺣﻀﺮ ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ ﻭﺇﻥ ﻻ ﲢﻀﺮﻫﺎﺭﻓﺠﺰﺍﺅﻙ ﺣﺪ ﰲ ﻇﻬﺮﻙ
cv
Hukum asal i’râb al-Maf’ûl lahu jika berasal dari mashdar adalah dinashabkan.315 Jika tidak terdiri dari mashdar, maka tidak dibenarkan untuk dinashabkan, sebagai penggantinya ia harus didahului dengan lâm al-Ta’lîl.316 Dalam kaidah al-Maf’ûl lahu, jika ia bukan dari mashdar, menurut Ibnu Mâlik boleh menggunakan huruf al-Jar sebagai pengganti lâm al-Ta’lîl, misalnya huruf ba’ atau fi. Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ada huruf fi yang bermakna ta’lîl.317 Temuan ini berdasarkan pada Hadîts Nabi SAW yang didalamnya mengandung al-Maf’ûl lahu namun terdiri dari jâr dan majrûr.318 FF.Penggunaan ِﺇ ﹾﺫpada tempat ﺇِﺫﹶﺍatau sebaliknya Jumhur ahli nahwu berpendapat bahwa ِﺇ ﹾﺫadalah dzaraf yang digunakan untuk masa lampau. Ia dapat digandengkan dengan jumlah ismiyyah dengan syarat khabar al-Mubtada’-nya tidak terdiri dari fi’il al-Mâdhi. Selain itu, ia juga dapat digandengkan dengan jumlah fi’liyah, dengan syarat fi’il-nya menggunakan fi’il alMâdhi secara lafadz dan makna. Atau secara makna tidak secara lafadz. Sedangkan ِﺇ ﹶﺫﺍ adalah dzaraf yang digunakan untuk masa akan datang, dan ia hanya digandengkan dengan jumlah fi’liyah.319 Berkenaan dengan hukum ini, Sybawaih menceritakan bahwa ia pernah bertanya pada gurunya, al-Khalîl, tentang kaidah ﺇﺫﺍ. Kemudian al-Khalîl menjawab bahwa fi’il yang seharusnya didahului dengan ﺇﺫﺍdapat ditempati oleh ﺇﺫ, seperti pada
315 316 317
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 44 Seperti firman Allah SWT ﺎ ِﻡﺎ ِﻟ ﹾﻠﹶﺄﻧﻌﻬ ﺿ ﻭ ﺽ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄ( ﻭQS al-Rahman: 10)
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 397. Lihat juga Ibnu Mâlik Syawahid al-Taudhih, hal. 67 318 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺮ ٍﺓ ﺭ ﻓِﻲ ِﻫ ﺎﺖ ﺍﻟﻨ ﺧﹶﻠ ﺩ ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﻣ ﹶﺃﻥﱠ ﺍHadîts ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang tercantum dalam musnad Ahmad. 319 Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 80
cvi
ﻮ ﹸ ﺗ ﹸﻘ ﺮ ِﺇ ﹾﺫ ﺗ ﹾﺬ ﹸﻛ ﹶﺃ. Begitu juga dengan ﺇﺫﺍia dapat menempati ﺇﺫuntuk masa ungkapan ﻝ lampau. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa ﺇﺫﺍdiperuntukkan bagi waktu yang telah diketahui.320 Berdasarkan fatwa gurunya ini, kemudian Sybawaih berpendapat bahwa ﺇﺫdigunakan untuk masa lampau dan ﺇﺫﺍdigunakan untuk masa yang akan dating.321 Pendapat Sybawaih ini kemudian diikuti oleh al-Mubarrad (w 285 H), ia menegaskan bahwa kaidah yang menyatakan ﺇﺫdapat digunakan untuk menjelaskan masa lampau adalah benar.322 Namun kemudian pendapat ini ditentang oleh alZamakhsyari, menurutnya penempatan ﺇﺫpada tempat ﺇﺫﺍadalah kaidah yang tidak dibenarkan. Berkenaan dengan ayat al-Qur’ân yang memperkuat kaidah di atas, alZamakhsyari menyatakan bahwa ayat yang di dalamnya terdapat penggunaan ﺇﺫpada tempat ﺇﺫﺍdalam salah satu ayat al-Qur’ân323 adalah seperti ungkapan keseharian kita yaitu ﺳﻮﻑ ﺃﺻﻮﻡ ﺃﻣﺲ. Dalam pandangan al-Zamakhsari ayat tersebut dapat mengandung makna ﺇﺫﺍyang menunjukkan pada masa akan dating, ketika kisah yang diceritakan Allah SWT tersebut bertujuan untuk meyakinkan. Meskipun Allah SWT mengungkapkannya dengan lafadz yang telah terjadi pada masa lampau, namun ia mengandung makna untuk masa akan dating.324 Sedangakan keberadaan salah satu
320
Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 1, hal. 433 Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 4, hal. 229 322 Al-Mubarrad, Al-Muqtadhab, juz 2, hal. 53 323 Ini adalah potongan ayat dari ﻝ ( ِﺇ ِﺫ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﹾﻏﻠﹶﺎ ﹸ70) ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻑ ﻮ ﺴ ﺎ ﹶﻓﺳﹶﻠﻨ ﺭ ﺎ ِﺑ ِﻪﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﺑِﻤﺏ ﻭ ِ ﺎﻮﺍ ﺑِﺎﹾﻟ ِﻜﺘﻦ ﹶﻛﺬﱠﺑ ﺍﱠﻟﺬِﻳ 321
ﻮﻥﹶﺒﺤﺴﻠﹶﺎ ِﺳﻞﹸ ﻳﺍﻟﺴﻢ ﻭ ﺎِﻗ ِﻬﻋﻨ ( ﻓِﻲ ﹶﺃQS Ghafir: 70-71) 324
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil (Beirut: Dar alFikr: 1977), cet. Ke-1, juz. 3, hal. 436
cvii
325
ayat al-Qur’ân yang mengandung dzaraf ﺇﺫﺍyang bermakna ﺇﺫ,
al-Zamakhsyari
menjelaskannya bahwa itu hanya khusus digunakan dalam cerita masa lampau.326 Bagi sebagian ahli nahwu ayat-ayat yang dikemukakan al-Zamakhsyari tersebut sesungguhnya menunjukkan dan menguatkan pendapat yang dikemukakan oleh Sybawaih dan ahli nahwu lainnya, bahwa dzaraf ﺇﺫﺍyang nota bene digunakan untuk masa akan datang, ternyata bergandengan dengan fi’il al-Mâdhi yang menggambarkan masa lampau. Padahal itu merupakan tempat yang seharusnya diduduki dzaraf ﺇﺫ. Karenanya kedua ayat ini seharusnya menjadi dalil bagi Sybawaih dan lainnya, bukan sebagai pengecualiaan sebagaimana yang dijelaskan alZamakhsyari di atas. Dalam pandangan Ibnu Mâlik penggunaan dzaraf ﺇﺫyang seharusnya digunakan untuk kalimat masa lampau, namun menempati kalimat bermakna akan datang, yang seharusnya ditempati oleh ﺇﺫﺍadalah penggunaan yang benar dan tidak menyalahi kaidah. Dalilnya adalah perkataan Waraqah bin Nufal dalam salah satu Hadîts Nabi SAW.327 Dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadîts tersebut merupakan pembenaran atas kaidah yang menyatakan bolehnya menggunakan ﺇِﺫuntuk makna akan dating.328 Sedangkan dalil ayat yang disampaikan al-Zamakhsyari di atas, dalam pandangan Ibnu Mâlik ayat-ayat tersebut justru menjadi penguat akan kaidah yang lahir dari Hadîts Nabi SAW tersebut, bukan sebaliknya.
325
Ayat selengkapnya adalah ﺽ ِ ﺭ ﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﺮﺑ ﺿ ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﺍِﻧ ِﻬﺧﻮ ﻭﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ِﻟِﺈ ﻭﺍﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﻮﺍ ﻛﹶﺎﱠﻟﺬِﻳﻜﹸﻮﻧﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗﻣﻨ ﻦ َﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ
ﲑ ﺼ ِ ﺑ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﺎ ِﺑﻤﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻤِﻴﺖﻳﺤﻴِﻲ ﻭ ﻳ ﺍﻟﻠﱠﻪﻢ ﻭ ﺮ ﹰﺓ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑ ِﻬ ﺴ ﺣ ﻚ ﻪ ﹶﺫِﻟ ﻌ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ﺠ ﻴﺎ ﻗﹸِﺘﻠﹸﻮﺍ ِﻟﻭﻣ ﻮﺍﺎﺗﺎ ﻣﺎ ﻣﺪﻧ ﻨﻮﺍ ِﻋﻮ ﻛﹶﺎﻧ ﻯ ﹶﻟﻮﺍ ﹸﻏﺰﻭ ﻛﹶﺎﻧ ﹶﺃ (156) QS Ali Imran: 156) 326 327 328
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil, juz. 1, hal. 473.
ﻚﻣﻚ ﹶﻗﻮ ِﺮﺟﺨﺎ ِﺇ ﹾﺫ ﻳﺣﻴ ﺘﻨِﻲ ﹶﺃﻛﹸﻮ ﹸﻥﻴَﹶﻟ Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 9
cviii
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa perbedaan antara ahli nahwu di atas, didasarkan pada dua hal; Pertama, perbedaan dalam memandang teks manqûl, yaitu ayat al-Qur’ân. Kedua, berlainannya perangkat dalil yang digunakan. Terlepas dari itu, Ibnu Mâlik berhasil mematahkan argumen penolakan kaidah bolehnya menggunakan dzaraf ﺇِﺫpada masa akan dating, berdasarkan Hadîts Nabi SAW, yang menurutnya ahli nahwu banyak yang tidak menghiraukan Hadîts ini.329 GG.
al-Mashdar i. Dalam pandangn Ibnu Mâlik mashdar dapat bekerja sebagai fi’il, yaitu
menashabkan isim.330 Pandangan ini berdasarkan analisa Ibnu Mâlik terhadap teks Hadîts Nabi SAW, yang mengandung mashdar dan berperilaku menashabkan isim yaitu pada kata ﺗﻪﺮﹶﺃ ﺍﻣ.
331
ii. berkaitan dengan mashdar juga, Ibnu Mâlik berkontribusi dalam menghadirkan shigah baru dari mashdar al-Hay’ah. Shigah tersebut adalah ﻌﻠﹶﺔ ِﻓ.332 Shigah ini lahir berdasarkan analisanya terhadap teks Hadits Nabi SAW yang mengandung mashdar al-Hay’ah.333 HH.
al-Mamnû’ min al-Sharf Berkenaan dengan kaidah al-Mamnû’ min al-Sharf, Ibnu Mâlik memberikan
kategori baru dalam kaidah ini. Ia menyatakan bahwa di antara isim al-Mamnû’ min al-Sharf adalah isim yang ditambahi alif dan nûn untuk ma’rifah. Alif dan nûn ini
329
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 10 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal 695 331 Hadîts tersebut adalah ﻮ ُﺀﻮﺿ ﺍﹾﻟﺗﻪﺮﹶﺃ ﻞ ﺍﻣ ِ ﺟﺒﹶﻠ ِﺔ ﺍﻟﺮﻦ ﻗﹸ ( ِﻣHR Imam Mâlik ) 330
332 333
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 726 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻢ ﺘﺤ ﺑﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹶﺫ ﺘﹶﻠ ﹶﺔﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻘﺴﻨ ِ ﻢ ﹶﻓﹶﺄﺣ ﺘﺘ ﹾﻠﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﹶﻗ
ﺤ ﹶﺔ ﺑﻮﺍ ﺍﻟ ﱢﺬﺴﻨ ِ ( ﹶﻓﹶﺄﺣHR Muslim)
cix
mesti didahului oleh tiga, empat atau lima huruf, sehingga diketahui bahwa huruf alif dan nûn adalah huruf tambahan bukan asli.334 Dan meskipun sebelum alif, ada tiga huruf yang kedua dan ketiganya mudgham, maka itu juga termasuk dalam al-Mamnû’ min al-Sharf, ini sesuai dengan teks Hadîts
ِ ﺡ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ ِ ﻭﺎ ﹶﻥ ِﺑﺮﺣﺴ ﺪ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻳ. Nabi SAW ﺱ
335
Kesimpulan dari pembahasan bab ini adalah, Ibnu Malik telah berkontribusi besar dalam memperkuat bangunan kaidah yang berkenaan dengan isim, fi’il dan juga huruf. Terlebih ia menghadirkan dalil lain yang sebelumnya langka digunakan oleh ahli nahwu sebelumnya, yaitu Hadîts Nabi SAW. Dalam penetapan kaidah fi’il, isim dan huruf yang berlandaskan Hadîts Nabi SAW di atas, Ibnu Mâlik memiliki sikap beragam terhadap kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli nahwu klasik, sikap tersebut antara lain, memperkuat apa yang telah ada dan mengkritisi bahkan membantah pendapat yang telah muncul sebelum kedatangan Ibnu Mâlik, hal ini karena dalil yang digunakan antara ahli nahwu klasik dan Ibnu Mâlik memiliki perbedaan. Dan Ibnu Malik berkeyakinan bahwa Hadits lebih layak untuk didahulukan sebagai pijakan dalam penetapan kaidah nahwu dibandingkan dengan syair.
334
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 864 Sejauh penelitian penulis dalam berbagai kitab Hadîts, ditemukan bahwa Hadîts yang mengandung do’a ini berkenaan dengan salah seorang sahabat Nabi SAW yaitu Hassan bin Tsabit. Namun tidak ditemukan redaksi Hadîts yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik dalam karyanya. Hanya saja memang ada beberapa redaksi Hadîts yang mirip dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik, seperti; Pertama, dalam Shahîh al-Bukhari, Shahîh Muslim dan sunan al-Nasa’i, kata Hassan ditempati oleh dhamir yang memang merujuk pada Hassan yaitu ﺱ ِ ﺡ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ ِ ﻭﻩ ِﺑﺮ ﺪ ﹶﺃﻳﻬﻢ ﺍﻟﱠﻠ. Kedua, dalam 335
kitab sunan al-Tirmidzi tersurat ﺱ ِ ﺡ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ ِ ﻭﺎ ﹶﻥ ِﺑﺮﺣﺴ ﺪ ﺆﻳ ﻳ ﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠdalam riwayat ini fi’il al-Amr yang ada pada redaksi Ibnu Mâlik ditempati oleh fi’il al-al-Mudhâri’. Ketiga dalam kitab Musnad Ahmad disebutkan dengan redaksi yang agak mirip, yaitu ﺱ ِ ﺡ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ ِ ﻭﺎ ﹶﻥ ِﺑﺮﺣﺴ ﺪﺆﻳ ﺟﻞﱠ ﹶﻟﻴ ﻭ ﺰ ﻋ ﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ. Penulis tidak mengetahui pasti sumber kitab Hadîts yang menjadi rujukan Ibnu Mâlik, dan meskipun redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik tidak sama dengan redaksi Hadîts dalam kitab-kitab tersebut, akan tetapi Hadîts yang terdapat pada kitab sunan al-Tirmidzi dan Musnad Ahmad mengandung hukum nahwu yang sama dengan redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Sehingga adanya perbedaan dalam redaksi di atas, tidaklah mengganggu pada otentisitas kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik.
cx
BAB V PENENTUAN IBNU MÂLIK BERKENAAN DENGAN HUKUM TAWABI’, MAF’UL DAN ANALISA HADÎTS IBNU MÂLIK
L. Na’at dan Man’ût Dalam kaidah na’at man’ût, sebagian ahli nahwu berpendapat bahwa tidak dibenarkan na’at memiliki makna khusus dari makna yang terkandung di dalam man’ût.336 Berbeda dengan itu, dalam kaidah athaf al-Bayân, justru sebaliknya tâbi’ (kata yang mengikuti kata sebelumnya) harus memiliki makna lebih khusus dibandingkan dengan matbû’-nya.337 Dalam pandangan Ibnu Mâlik, pernyataan ulama di atas bertentangan dengan teori dan dalil naqli. Pertama, secara teori, na’at dan tâbi’ dalam kaidah athaf alBayân keduanya sama-sama sebagai penyempurna dan penjelas dari kata sebelumnya. Sebagai penjelas tentunya harus mengandung makna yang spesifik dari kata sebelumnya. Maka itu pernyataan sebagian ahli nahwu di atas, tidak-lah tepat karena bertentangan dengan teori ini. Kedua, kaidah di atas yang menyatakan bahwa na’at tidak dibenarkan memiliki makna lebih khusus dibandingkan dengan man’ût, bertentangan dengan teks Hadîts Nabi SAW.338 Dalam salah satu teks Hadîts terdapat na’at yang mengandung makna lebih khusus dibandingakan dengan man’ût. Seperti
TP339PTﺱ ِ ﻭﻚ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺪ ِ ﻤِﻠ ﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟﺒﺤﺳ . Maka itu jika kaidah di atas benar, bagaimana mungkin 336
Pembahasan ini dapat dilihat juga di Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, (Damaskus: Beirut 1982) cet. Ke-1, juz. 2, hal. 403 337 Ini adalah pendapat yang banyak dianut oleh ahli nahwu klasik. Sedangkan ahli nahwu kontemporer lebih cenderung berpendapat bahwa idealnya tâbi’ mengandung makna yang sama dengan matbû’ atau bahkan lebih umum darinya. Lihat. Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz 2, hal. 424. 338 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 599 339 Hadîts ini merupakan do’a yang selalu dibaca Nabi Muhammad ketika usai melaksanakan shalat witir. Tentu saja kalimat atau ucapan Nabi SAW yang berbentuk do’a adalah kategori dalil Hadîts yang kuat bagi ahli nahwu. Ulama nahwu sepakat bahwa teks Hadîts yang merupakan do’a dan dibaca oleh para sahabat adalah dalil nahwu yang otoritatif. Meskipun Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadîts ini gharîb. Hadîts yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik ini diriwayatkan dari Ubay bin
cxi
dapat bertentangan dengan teks yang lebih otoritatif, yang bersumber dari penutur yang keluhuran dan kefashihan bahasanya tidak diragukan lagi. Dalam redaksi Hadîts tersebut kata al-Quddûs berkedudukan sebagai na’at bagi kata al-Mâlik. Dan al-Quddûs340 memiliki makna yang lebih khusus dibandingan dengan al-Mâlik,.341 Maka itu teks Hadîts ini menjadi bantahan bagi pendapat yang menyatakan larangan na’at memiliki makna khusus dari makna yang terkandung di dalam man’ût. Dalam kaidah ini, Ibnu Mâlik menyanggah pendapat ahli nahwu klasik. Bantahannya ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW. Sikap Ibnu Mâlik ini mencerminkan pandangannya akan otorisasi Hadîts sebagai dalil nahwu. Maka itu wajar jika kaidah yang muncul dari Ibnu Mâlik terkadang berbeda dengan ahli nahwu lainnya, karena perbedaan pijakan dalam menetapkan kaidah nahwu M. Mudhâf dan Mudhâf ilaih Berkenaan dengan kaidah idhâfah, banyak permasalahan yang muncul dari kaidah ini. Ibnu Mâlik sendiri dalam kitab syarh al-Umdah, sedikitnya menyebutkan empat belas permasalahan terkait dengan kalimat idhâfah,342 baik itu yang terjadi pada mudhâf maupun pada mudhâf ilaih-nya. Di antara permasalahan yang ada pada kitab tersebut, sebagian dalil dalam menetapkan kaidahnya adalah berdasarkan Hadîts Nabi SAW, antara lain; i. kandungan makna idhâfah (kontribusi Hadits dalam memaknai kata) Makna asal dari kalimat idhâfah adalah ( ﻟـuntuk/bagi), namun kalimat idhâfah juga dapat memiliki makna lain, misalnya ( ﻣﻦdari) atau ( ﰲdi). Secara umum Ka’ab dan tercantum dalam berbagai kitab Hadîts, seperti; Sunan Abi Dâwud, Sunan al-Tirmidzi, sunan al-Nasâ’i, dan musnad Ahmad. Bahkan Hadîts tersebut dimuat dalam berbagai bab, karena Rasulullah SAW mengucapkannya tidak hanya pada satu kesempatan atau waktu tertentu saja, melainkan berulang kali. 340 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz, 4, hal. 23 341 Pengertian selengkapnya lihat di Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa alAtsar, juz, 4, hal. 358-359 342 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 480-516
cxii
banyak kalimat idhâfah yang memiliki makna ganda, bisa bermakna ‘untuk’ dan juga bermaka ‘dari’. Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ada kalimat idhâfah yang hanya bermakna ﰲdan tidak bisa bermakna lain atau mangandung makna ganda.343 Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW.
344
Dalam Hadîts tersebut terdapat dua kalimat idhâfah ; Pertama, ﻮ ٍﻡ ﻳ ﻁ ﺎ ﹸ ِﺭﺑdalam pandangan ahli nahwu, pada kalimat idhâfah sesungguhnya tersembunyi huruf yang jika ditampakkan memiliki jenis dan makna yang beragam. Dan dalam pandangan Ibnu Mâlik huruf yang tersembunyi di antara dua kata di atas adalah huruf ﰲdan hanya memiliki satu makna yaitu (di). Kedua, kata ﻬ ٍﺮ ﺷ ﺎ ِﻡﺻﻴ ِ dalam kalimat ini, Ibnu Mâlik juga berpendapat bahwa makna dari kalimat idhâfah tersebut juga sama dengan makna yang ada pada kalimat pertama. Dan tidak mungkin dalam kedua kalimat tersebut mengandung makna selain dari ﰲ, sebagaimana disebutkan di atas. Sesunguhnya jika menganalisa teks Hadîts secara komprehensif, akan ditemukan kontribusi Hadîts dalam memaknai suatu kata bahasa Arab. Bahkan banyak kata-kata dalam bahasa Arab yang memiliki makna baru, setelah Nabi SAW memaknainya. Dan ada juga kosa kata baru bahasa Arab sebagai alat komunikasi yang muncul atau ditemukan pertama kali dalam teks Hadîts Nabi SAW, yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh masyarakat Arab. Kata adalah hal penting dalam bahasa, perkembangan kosa kata sesungguhnya dipengaruhi juga oleh perkembangan peradaban manusia, karena itu jika pada masa jahiliyah kosa kata bahasa lebih cenderung terbatas dan stagnan, maka dengan 343 344
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 483 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻬ ٍﺮ ﺷ ﺎ ِﻡﺻﻴ ِ ﻦ ﻀﻞﹸ ِﻣ ﻴﹶﻠ ٍﺔ ﹶﺃ ﹾﻓﻭﹶﻟ ﻮ ٍﻡ ﻳ ﻁ ﺎ ﹸِﺭﺑ
ﺎ ِﻣ ِﻪﻭِﻗﻴ . Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad Ahmad. Selain itu, Hadîts ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dengan sedikit perbedaan redaksi ﻬ ٍﺮ ﺷ ﺎ ِﻡﺻﻴ ِ ﻦ ﺮ ِﻣ ﻴﺧ ﻴﹶﻠ ٍﺔﻭﹶﻟ ﻮ ٍﻡ ﻳ ﻁ ﺎ ﹸِﺭﺑ ﺎ ِﻣ ِﻪﻭِﻗﻴ . Jika dibandingkan keduanya, yang membedakannya hanya pada isim al-Tafdhîl. Namun itu bukanlah objek pembahasan saat ini, sehingga tidak mempengaruhi pembahasan kaidah mudhâf.
cxiii
datangnya Hadîts Nabi SAW, bahasa Arab kian berkembang bahkan kosa kata baru banyak bermunculan dari Hadîts. Ini menandakan bahwa Hadîts berperan penting dalam perkembangan bahasa Arab.345 Dari segi kosa kata, ada dua bentuk bagaimana Hadîts berkontribusi pada kosa kata Bahasa Arab; pertama, memindahkan makna satu kata kepada makna yang lain, proses ini sering disebut dengan Majâz. Kedua, menciptakan suatu kata yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal di kalangan orang Arab. Bentuk ini bisa melalui proses irtijâl, Qiyâs atau Isytiqâq.346 Peran Hadîts bagi kedua bentuk di atas, umumnya melalui dua cara; a. Mengalihkan makna Ulama berbeda pendapat dalam hal apakah bahasa Nabi SAW merupakan pengalihan dari bahasa Arab sebagai bagian dari budaya dan peradaban kepada syariat, atau Nabi SAW independen dalam meletakkan bahasa. Pendapat yang paling tepat adalah pendapat Ibnu Burhân bahwa Rasulullah SAW memindahkan dari bahasa Arab biasa kepada bahasa syara’. Dalam proses pemindahan ini tidak terlepas dari salah satu di antara dua bentuk yang disebutkan di awal yaitu majaz.347 Lafadz islami yang muncul pada masa Nabi SAW adalah merupakan lafadz lama yang bermakna baru. Sebelumnya masyarakat Arab telah mengenal lafadz tersebut, namun ketika Nabi SAW menjelaskan ayat-ayat global dalam al-Qur’ân, Nabi SAW menafsirkan sebagian lafadznya dengan makna yang tidak dikenal sebelumnya, yang dijelaskannya hanyalah hakikat syariat dari suatu lafadz tersebut. Terkadang Nabi SAW menjelaskan suatu kata dengan ucapan dan sikap beliau, misalnya ketika Nabi menjelaskan kata shalat dalam salah satu firman Allah SWT.348 Nabi SAW tidak menjelaskannya secara bahasa, yaitu do’a. Akan tetapi Nabi SAW menjelaskannya makna shalat dengan perilakunya.349 Pada akhirnya banyak istilah-
345
Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 8 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 57 347 Al-Suyûthi, al-Muzhir, Juz 1, hal. 294-296 348 ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﻮﺍ ﺍﻟ( ﹶﺃﻗِﻴﻤQS al-An’âm: 72) 346
349
Sabda Nabi SAW ﺻﻠﱢﻲ ﻮﻧِﻲ ﹸﺃﻤﺘﺭﹶﺃﻳ ﺎﺻﻠﱡﻮﺍ ﹶﻛﻤ (HR al-Bukhâri)
cxiv
istilah dalam ilmu fiqih yang terbangun dari ucapan Nabi SAW, bahkan menurut ahli bahasa jumlah makna baru bagi suatu kata tertentu yang datang dari Nabi SAW mencapai ratusan bahkan ribuan kata.350 b. Menciptakan kata Tidak kecil peran Hadîts dalam menciptakan kata baru atau istilah baru, proses pembentukan kata baru ini dapat melalui berbagai cara, antara lain; Pertama; al-Irtijal, Irtijal adalah menciptakan kata baru yang tidak ada sebelumnya, Irtijal ini tidak diterima kecuali berasal dari sumber terpercaya akan kefashihannya, maka itu irtijal dapat diterima jika yang menyampaikannya terbukti menguasai bahasa fahih.351 Penjelasan Hadîts terhadap bahasa yang dianggap asing oleh sebagian sahabat,
sesungguhnya memiliki rahasia tertentu, baik berdasarkan sosok lawan
bicara Nabi SAW, atau untuk siapa kata itu ditujukan. Jika kata asing yang ada pada Hadîts Nabi SAW ditujukan untuk seluruh kaum Muslim, misalnya ada satu lafadz atau lebih yang tidak difahami sahabat, maka mereka bertanya langsung pada Nabi SAW agar kata yang asing bagi mereka, menjadi jelas, dan kemudian Nabi SAW berusaha menjelaskannya. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tamimah al-Hujaimi yang tidak faham kata yang disabdakan Nabi yaitu ﺍﳌﺨﻴﻠﺔ kemudian Nabi menjelaskan kata tersebut yaitu; ( ﺳﺒﻞ ﺍﻹﺯﺍﺭmenjulurkan kain/sarung hingga di bawah mata kaki).352 Dan jika kata asing tersebut ditujukan hanya untuk orang-orang tertentu, misalnya untuk utusan dari berbagai suku Arab yang nota bene memiliki dialek berbeda-beda. Maka Nabi SAW hanya menggunakan kalimat yang dapat difahami 350
Muhammad Dhâry Himadî, al-Hadîts al-Nabawî al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat alLughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 125 351 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 59 352
ﻡ ﳓﻦ ﻗﻮ، ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ: " ﺇﻳﺎﻙ ﻭ ﺍﳌﺨﻴﻠﺔ " ﻓﻘﺎﻝ:ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻷﰊ ﲤﻴﻤﺔ ﺍﳍﺠﻴﻤﻲ:ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﻓﻤﺎ ﺍﳌﺨﻴﻠﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﺳﺒﻞ ﺍﻹﺯﺍﺭ، ﻋﺮﺏLihat al-Mubarrad, al-Kamil fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif), juz. 2, hal. 288. Hadîts ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, dengan redaksi yang berbeda namun bermakna sama.
cxv
lawan bicaranya. Karenanya tidaklah heran jika Ali k.w bertanya pada Nabi SAW perihal perkataan Nabi SAW yang tidak dimengerti oleh Ali k.w ketika Nabi SAW berbicara pada salah satu utusan Arab, padahal Ali k.w dan Nabi SAW berasal dari satu keturunan.353 Selain itu ada beberapa kalimat untuk nama-nama tertentu yang sebelumnya tidak dikenal, dan Nabi SAW adalah orang yang pertama yang memberikan arti baru bagi kata tersebut. Misalnya kata dalam salah satu sabda Nabi SAW354 ﺣﻈﲑﺓyang dalam Hadîts ini bermakna pagar surga, padahal kata ini hanya bermakna kandang binatang terbuat dari kayu yang menjaganya dari dinginnya udara.355 Nabi SAW juga pernah menyebutkan kata ﺍﻟﻀﺮﺍﺡyang bermakna rumah di langit.356 Menurut Ibnu Khalawayh penjelasan kata ini tidak ditemukan pada ucapan Arab, kecuali dari Hadîts Nabi SAW saja.357 Kedua; Ta’rîb, yaitu memindahkan kata dari bahasa Ajam ke bahasa Arab, sedangkan muarrab adalah kalimat-kalimat yang dinukil dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab, baik itu terjadi perubahan atau tidak. Ada juga istilah lain yaitu alDakhil yaitu kosa kata asing yang masuk ke dalam bahasa Arab, baik itu digunakan oleh orang fashih pada masa Jahiliyah dan Islam, atau digunakan juga pada generasi berikutnya dari kalangan muwalladun, yaitu mereka yang disebut-sebut sebagai orang yang datang setelah masa ihtijaj.358 Ulama berbeda pendapat tentang adanya muarrab
353
Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 8. Lihat juga di Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 146 354 ﺱ ِ ﲑ ِﺓ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ ﺣ ِﻈ ﻦ ﻩ ِﻣ ﺎﻬﺎ ِﺇﻳ ﺘﺳ ﹶﻘﻴ ﺎﹶﻓﺘِﻲ ِﺇﻟﱠﺎﻣﺨ ﻦ ﻋﺒِﻴﺪِﻱ ِﻣ ﻦ ﺪ ِﻣ ﺒﻋ ﺎﻋﻬ ﺪ ﻳ ﻭﻟﹶﺎ . (HR Ahmad). 355
Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 389
ﻋﻪ ﻭﻗﺪﺣﻪ ﻭﻫﻲ ﺍﳌﻘﺎﺑﻠﻪ ﻭﺍﳌﹸﻀﺎﺭﻤﺎﺀ ﺣِﻴﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﻜﻌﺒﺔ ﻭﻳﺮﻭﻯ ] ﺍﻟﻀﺮﻳﺢ [ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺍﳌﻌﻤﻮﺭ ﻣﻦ ﺍﳌﹸﻀﺎﺭﺖ ﰲ ﺍﻟﺴ ﺡ ﺑﻴ ﺮﺍﺍﻟﻀ ﻒ ﺟﺎﺀ ﺫﻛﺮﻩ ﰲ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻠﻲ ﻭﳎﺎﻫﺪ ﻭﻣﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺑﺎﻟﺼﺎﺩ ﻓﻘﺪ ﺻﺤIbnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al356
Atsar, juz. 3, hal. 75 357 Al-Suyûthi, al-Muzhir, Juz 1, hal. 301 358 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal 133
cxvi
dalam al-Qur’ân. Imam al-Syâfi’i di antara yang menolak adanya muarrab di dalam al-Qur’ân.359 Di antara cara yang digunakan Hadîts dalam memperkaya kosa kata bahasa Arab adalah dengan cara ta’rîb. Misalnya dalam Hadîts Nabi SAW ditemukan kata360
ﺑﺮﺍﺯﻳﻖatau diriwayatkan juga ﺑﺮﺍﺯﻕyang bermakna jama’ah. Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Paris yang diarabkan. Ada juga Hadîts yang memuat kata361 ﺳﺒﻴﺞyang bermakna baju atau pakaian, sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari Paris. Ada juga Hadîts yang memuat kata ﺯﺭﻣﻖ, merupakan bahasa Ajam, sebagian orang mengatakan itu berasal dari bahasa Ibrani.362 Ada juga kata ﺍﻟﺪﻳﺒﺎﺝyang merupakan bahasa paris yang 363
dita’rîbkan.
Selain berkontribusi pada pengayaan kosa kata bahasa Arab melalui irtijal, isytiqaq, majaz dan ta’rîb. Hadîts juga berperan dalam menghapus makna bahasa Arab yang pada masa jahiliyah digunakan, kemudian pada masa Nabi SAW dihilangkan dan tidak digunakan lagi, karena instruksi baginda Nabi Muhammad SAW, di antaranya; ، ﺍﻟﻔﻀﻮﻝ، ﺍﻟﻨﺸﻴﻄﺔ،ﺍﳌﺮﺑﺎﻉ
dan kata ﺍﻟﺼﻔﻲ, kata-kata tersebut
dihilangkan atas instruksi Nabi SAW364 Selain itu ada kata-kata yang juga hilang dari peredaran masyarakat Arab seperti; ﻟﻌﻠﻊ،ﺩﻋﺪﻉ.365 Adapun mengganti kalimat dengan kalimat lain, banyak ditemukan juga dalam Hadîts Nabi SAW. Seperti kalimat ﺧﺒﺜﺖ
359
Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 135 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 118 361 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 298 362 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 273 363 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 92 364 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 69-70 365 Ibnu Faris, al-Shâhibi, (Kairo: Mathba’ah Isa tth), hal. 58 360
cxvii
ﻧﻔﺴﻲharus diganti dengan kalimat ﻟﻘﺴﺖ ﻧﻔﺴﻲ.366 Ada juga mengganti kosa kata dengan kosa kata lain, seperti, ﻋﺒﺪﻱdiganti menjadi ﻓﺘﺎﻱ. Dan panggilan seorang hamba sahaya pada tuannya dari ﺭﰊmenjadi ﺳﻴﺪﻱ.367 Berdasarkan uraian di atas, tidak mengherankan jika ulama banyak yang mengkaji ta’rîb, baik dalam al-Qur’ân ataupun dalam ungkapan lainnya, meskipun kebanyakan ulama berkeyakinan bahwa tidak ada kata muarrab dalam al-Qur’ân368 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli nahwu telah berperan penting menjadikan Hadîts sebagai dalil otoritatif dalam ranah kebahasaan, yang sebelumnya telah dialfakan oleh sebagian ahli bahasa. Maka itu, ini membuktikan bahwa Hadîts dalam pandangan ahli bahasa sangat berperan dalam menjaga otentisitas bahasa. Fakta-fakta di atas juga sekaligus membantah anggapan sebagian ulama bahasa seperti Ibnu al-Dha’i (w 680 H), Abu Hayyan al-Andalusi (w 745 H) dan ahli nahwu lainnya yang meragukan otentisitas dan keluhuran redaksi bahasa Hadîts, yang nota bene bersumber dari orang yang terfashih dalam bahasa Arab, Rasulullah SAW. Dan dalam hal ini, Ibnu Mâlik (w 672 H) di antara orang yang paling berperan dalam membela eksistensi Hadîts sebagai dalil otoritatif dalam kaidah bahasa. ii. terpisahnya antara mudhâf dan mudhâf ilaih Dalam kaidah umum ilmu nahwu, terdapat pembahasan mengenai kalimat idhâfah, di dalamnya disebutkan bahwa kata yang berkedudukan sebagai mudhâf dan
ﻔﹾﺴِﻲﺖ ﻧ ﺴ ﻴﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻟ ِﻘﻦ ِﻟ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻔﹾﺴِﻲﺖ ﻧ ﹶﺜﺧﺒ ﻛﹸﻢﺣﺪ ﻦ ﹶﺃ ﻳﻘﹸﻮﹶﻟ ﻢ ﻟﹶﺎ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﺖ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺸ ﹶﺔ ﻗﹶﺎﹶﻟ ﺎِﺋﻦ ﻋ ﻋ 366 (HR. Muslim), bab karâhatu qauli al-Insân khabutsat nafsi.
ﻭﻟﹶﺎ ﻱ ﺎﻴﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻓﺘﻦ ِﻟ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻋﺒِﻴ ﻢ ﺪِﻱ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﱡ ﹸﻜﻋﺒ ﻛﹸﻢﺣﺪ ﻦ ﹶﺃ ﻳﻘﹸﻮﹶﻟ ﻢ ﻟﹶﺎ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﺮ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺮﻳ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫ ﻋ367 ﻴﻘﹸ ﹾﻞﻦ ِﻟ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻲﺭﺑ ﺪ ﺒﻌ ﻳ ﹸﻘ ﹾﻞ ﺍﹾﻟ (HR. Muslim), bab hukmu ithlâq lafdhah al-Abd wa al-Ammah wa al-ﻴﺪِﻱﺳ Mawâli. Untuk mendapatkann contoh lain dari ta’rîb lihat di Sa’di Dhannawi, al-Mu’jam alMufashshal fi al-Muarrab wa al-Dakhil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 2004) cet. Ke-1. 368
cxviii
mudhâf ilaih mesti bergandengan, huruf al-Jarr yang merupakan pemisah di antara keduanya mesti disembunyikan, meskipun sebagian ahli nahwu membolehkan menampakkannya.369 Ulama Kûfah berpendapat bahwa boleh memisahkan antara mudhâf dengan mudhâf ilaih selain dengan dzaraf dan huruf al-Jar. Asalkan keduanya dalam kondisi darurat syair. Dalam pandangan ulama Kûfah, banyak ditemukan terpisahnya mudhâf dengan mudhâf ilaih dalam berbagai syair darurat.370 Dalam memperkuat pendapat ini, al-Kisâ’i menyebutkan bahwa ia pernah mendengar orang Arab memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih dalam ucapannya.371 Selain itu Abu Ubaidah juga bersaksi bahwa ia pernah mendengar ungkapan orang Arab yang memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih.372 Sedangakan ulama Bashrah berpendapat bahwa tidak dibenarkan memisahkan mudhâf dan mudhâf ilaih karena ia adalah kalimat satu paket. Kecuali pemisahnya dari dzaraf dan huruf al-Jar. Selainnya tidak diperbolehkan. Seperti dalam ungkapan syair Amr bin Qamî’ah.373 Jika mengamati dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i, yang merupakan perkataan Arab. Adalah dalil lemah yang kemungkinan menjadi sasaran empuk bagi 369
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 206 lihat juga Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz 2, hal. 59 370 Syair yang dimaksud adalah; ﻩ ﺩ ﺍﻣﺰ ﺹ ﹶﺃﺑِﻲ ﺝ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻠﹸﻮ ﺯ - ﺟ ٍﺔ ﺰ ﺎ ِﺑ ِﻤﻬﺘﺠﺟ ﻓﹶﺰDalam syair ini mudhâf dan mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata ﺹ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻠﹸﻮyang merupakan maf’ul, bukan dzaraf atau huruf al-Jarr. Dipisahkannya mudhâf dan mudhâf ilaih karena keduanya dalam kondisi darurat syair. Padahal redaksi sesungguhnya adalah ﺹ ﻩ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻠﹸﻮ ﺩ ﺍﻣﺰ ﺝ ﹶﺃﺑِﻲ ﺯ lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 382 371
Ucapan orang Arab yang dimaksud adalah; ﻳ ٍﺪ ﺯ ﷲ ِ ﻭﺍ ﻡ ﻫ ﹶﺬﺍ ﹸﻏﹶﻠﺎ dalam ucapan ini mudhâf dan
mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata ﻭﺍﷲlihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385 372
Ucapan orang Arab yang dimaksud adalah; ﻬﺎ ﺑﺭ ﻭﺍﻟِّﻠﻪ ﺕ ﻮ ﺻ ﻊ ﻤ ﺴ ﺘﺮ ﹶﻓ ﺘﺠ ﺗ ﺸﺎ ﹶﺓ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟdalam ucapan
ini mudhâf dan mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata ﻭﺍﷲlihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385 373
Ungkapannya adalah ﺎﻣﻬ ﻦ ﻟﹶﺎ ﻣ ﻡ ﻮ ﻴﺭ ﺍﹾﻟ ﺩ ﺕ – ِﻟﹼﻠ ِﻪ ﺮ ﺒﻌ ﺘﺳ ﺎ ﺍﺪﻣ ﻴﺎِﺗﺕ ﺳ ﺭﹶﺃ ﹶﳌﺎﱠdalam ungkapan ini memang
mudhâf dan mudhâf ilaih terpisah, namun dipisahkan dengan dzaraf, maka ia dibolehkan. Dan redaksi ungkapan itu sesungguhnya ﻡ ﻮ ﻴﺎ ﺍﹾﻟﻣﻬ ﻦ ﻟﹶﺎ ﻣ ﺭ ﺩ ِﻟﹼﻠ ِﻪlihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385
cxix
ahli nahwu lain untuk mengkritisi pemikirannya. Al-Kisâ’i merupakan tokoh penting dalam pemikiran nahwu Kufah, hanya saja diakui bahwa ulama Kufah cenderung mutasahhil dalam menyeleksi dalil-dalil yang akan dijadikannya sebagai sumber kaidah. Khususnya perkataan orang Arab baik itu berupa syair maupun natsr. Akibatnya perkataan Arab yang menjadi dalil al-Kisa’i ini, banyak dibantah oleh ahli nahwu lainnya. Al-Anbâri misalnya, ia mengkritisi ungkapan Arab yang dijadikan pijakan oleh al-Kisa’i, menurutnya dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i dan Abu Ubaidah adalah dalam kalimat sumpah. Karena pemisah antara mudhâf dan mudhâf ilaih adalah kalimat sumpah yang bertujuan untuk penguatan (taukid). Maka itu dalam pandangan al-Anbâri, kedua dalil di atas yang merupakan perkataan Arab tidaklah masuk dalam kategori ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bolehnya memisahkan mudhâf dan mudhâf ilaih kecuali pada kalimat sumpah, sebagaimana disebutkan di atas.374 Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh ulama Bashrah, meskipun mereka sangat selektif dalam memilah perkataan Arab yang dijadikan dalil dalam suatu kaidah, namun mereka tidak melihat dalil lain yang lebih otoritatif, yaitu Hadîts Nabi SAW. Maka pendapatnya pun dibantah oleh Ibnu Mâlik. Ibnu Mâlik juga membantah pendapat Al-Anbâri di atas, menurutnya boleh memisahkan antara mudhâf dengan mudhâf ilaih, asalkan pemisahnya tidak berasal dari fâ’il, mungkin bisa dari munâda atau sifat mudhâf. Pemisahan ini dibolehkan bukan hanya dalam kondisi darurat syair saja, akan tetapi berlaku dalam kondisi apapun.375 Dalam kaidah ini Ibnu Mâlik berdalil dengan Hadîts Nabi SAW yang menunjukkan adanya teks kalimat yang menunjukkan terpisahnya mudhâf dan mudhâf ilaih.376 374
Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 388. Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 491 376 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺣﺒِﻲ ِ ﺎﺎ ِﺭﻛﹸﻮ ﻟِﻲ ﺻﻢ ﺗ ﺘﻧﻬ ﹾﻞ ﹶﺃ ﹶﻓHadîts 375
ini diriwayatkan dari Abu darda’. Hadîts ini terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhâri, yang terulang dua
cxx
Dalam Hadîts tersebut terdapat kalimat idhâfah ﺎ ِﺣﺒِﻲﺎ ِﺭﻛﹸﻮ ﺻﺗ, namun kalimat idhâfah di atas dipisahkan oleh kata ﻟِﻲ. Sehingga dari Hadîts ini Ibnu Mâlik meletakkan kaidah bolehnya memisahkan antara mudhâf dan mudhâf ilaih, dengan catatan pemisahnya bukan dari fa’il. Yang menjadi cacatan penting dalam perdebatan ini adalah, tidak digunakannya Hadîts oleh madzhab Bashrah sebagai dalil dalam penetapan kaidah bolehnya memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih. Dan bukan lantaran mereka tidak sepakat bahwa Hadîts adalah merupakan dalil otoritatif dalam penetapan kaidah nahwu. Melainkan ini lebih disebabkan karena dua hal; Pertama; di masyarakat Bahsrah, ilmu keagamaan baru berkembang setelah berkembangnya ilmu nahwu. Dan seratus tahun kemudian, setelah munculnya madzhab Kufah, barulah ulama Bashrah mengembangkan kajiannnya pada bidang ilmu syariat seperti Hadîts Nabi SAW. Sehingga kalaulah sejak masa awal Hadîts telah menjadi objek kajiannya, tentunya ulama Bashrah akan berdalil dengan Hadîts Nabi SAW. Kedua, kodifikasi Hadîts. Diketahui bahwa pada awal kemunculan nahwu di Bashrah, Hadîts belum terkodifikasi dengan baik, untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan sejarah kodifikasi Hadîts, sebagai fakta sejarah bahwa tidak digunakannya Hadîts sebagai dalil nahwu, bukan lantaran keengganan ahli nahwu untuk menggunakannya, namun pada masa itu Hadîts belum terkodifikasi secara utuh. Sejarah kodifikasi Hadîts penting untuk dianalisa dalam sub bab ini. Kaitannya dengan penentang Hadîts, sebagian mereka beranggapan bahwa Hadîts belum dikodifikasi pada awal keislaman, sehingga ini menjadi alasan bagi mereka kali dalam dua bab yang berbeda. Terdapat perbedaan redaksi Hadîts antara yang ada di shahîh alBukhâri dan syarh al-Umdah. Dalam shahîh al-Bukhâri tertulis ﺣﺒِﻲ ِ ﺎﺎﺭِﻛﹸﻮﺍ ﻟِﻲ ﺻﻢ ﺗ ﺘﻧﻬ ﹾﻞ ﹶﺃ ﹶﻓperbedaannya terletak pada alif setelah huruf waw jama’ah. Dalam bab lain tertulis ﺣﺒِﻲ ِ ﺎﺎ ِﺭﻛﹸﻮ ﹶﻥ ﻟِﻲ ﺻﻢ ﺗ ﺘﻧﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ dalam redaksi ini, tetapnya huruf nun. Meskipun demikian hal tersebut tidak mempengaruhi kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik, karena yang menjadi objek dalil dalam Hadîts ini adalah terpisahnya mudhâf dan mudaf ilaih, bukan berkenaan dengan tetap tidaknya huruf nun dalam waw jama’ah ketika ia menjadi mudhâf.
cxxi
untuk meragukan otentisitas lafadz Hadîts sebagai lafadz Nabi SAW. Kaitannya dengan pembahasan di atas, bahwa madzhab Bashrah dan Kufah tidak banyak berpijak pada Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, di antara sebabnya adalah belum terkodifikasinya Hadîts secara utuh. Sehingga bagi sebagian ulama mereka mendapatkan ungkapan Arab dalam bentuk syair lebih mudah dibandingkan dengan mendapatkan riwayat Hadîts Nabi SAW. Untuk membuktikanya, di bawah ini akan dianalisa sejarah kodifikasi Hadîts, khususnya pada masa Nabi SAW, sahabat dan tâbi’în, yang dimungkinkan berpengaruh pada pemikiran kedua madzhab besar nahwu, yaitu Bashrah dan Kufah. a. Pada Masa Nabi SAW Pada masa awal kenabian, Rasulullah SAW sangat menganjurkan kaum Muslim untuk mengkaji dan memperhatikan kandungan al-Qur’ân saja, maka itu pada masa tersebut, para sahabat hanya terfokus dalam menyebarkan al-Qur’ân, tidak ada yang lainnya. Bagi siapa saja yang belum mampu membaca dan menulis al-Qur’ân, maka Rasulullah SAW membuat tim khusus sebagai guru bagi sahabatnya yang lain.377 Itu sebabnya pada masa awal kenabian muncul larangan menulis selain alQur’ân, termasuk Hadîts Nabi SAW.378 Namun larangan ini di-naskh oleh Hadîts lain yang menunjukkan bolehnya menulis Hadîts Nabi SAW.379 Nampaknya lahirnya izin menuliskan apa yang Nabi sabdakan, lebih ditujukan bagi siapa yang khawatir lupa akan sabda-sabda beliau. Adapun sebab larangan penulisan tadi, nampaknya ditujukan bagi orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hafalan, sehingga khawatir hafalannya bercampur dengan al-Qur’ân. Dengan kata lain jika kekhawatiran bercampurnya Hadîts dengan al-Qur’ân dapat dihilangkan maka larangan itu tidak berlaku kembali.380 Maka itu kemudian Rasulullah SAW mengizinkan para sahabatnya untuk menuliskan apa yang 377
Al-A’dzami, the histori of the qur’anic tex, hal. 68
ﻪﺤﻴﻤﺁ ِﻥ ﹶﻓﻠﹾﺮ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ﻴﻲ ﹶﻏﻋﻨ ﺐ ﺘﻦ ﹶﻛ ﻣ ﻭ ﻲﻋﻨ ﻮﺍﺒﺗ ﹾﻜﺘ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻟﹶﺎ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻱ ﹶﺃﻥﱠ ﺪ ِﺭ ﺨ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺍﹾﻟ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻋ P378P Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 63. (HR Muslim) 379 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 127 380 Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 214
cxxii
ia sabdakan, dan semenjak itu banyak sahabat yang menuliskan sabda-sabda beliau dan menjaganya agar tidak bercampur dengan al-Qur’ân.381 Bahkan Nabi SAW menganjurkan sahabatnya untuk mengikat ilmu dengan tulisan.382 Bukti lain adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah, riwayat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika terjadi fathu Makkah (8 H), Rasulullah SAW berdiri menyampaikan khutbah, seteleh selesai, datang seorang lakilaki bernama Abu Syah, ia meminta pada Nabi SAW untuk menuliskan khutbah yang telah disampaikannya, kemudian Nabi SAW menyuruh sahabatnya yang lain untuk menuliskan dan memberikannya pada Abu Syah.383 Bahkan Abu Hurairah, mengakui bahwa ia adalah orang yang paling banyak menulis sabda Nabi SAW di antara sahabat-sahabatnya.384 Abdullah bin Umar juga mengakui bahwa ia menulis segala apa yang ia dengar dari Nabi SAW, dan meskipun diingatkan oleh masyarakat Quraisy agar tidak menuliskan sabda Nabi SAW, namun ia tetap menuliskannya, setelah Nabi SAW mengizinkannya.385 Bukti nyata adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah adanya shuhuf yang memuat Hadîts Nabi SAW, antara lain ada al-Shahifah al381
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 20-21. Lihat juga di Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 70-77 382 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
ﻮ ﹸﻝﺭﺳ ﻡ ﻴ ِﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎﺎ ِﻫِﻠﻢ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﺠ ﻬ ﺚ ِﺑ ﹶﻘﺘِﻴ ٍﻞ ﹶﻟ ٍ ﻴﻨِﻲ ﹶﻟﻦ ﺑ ﺟﻠﹰﺎ ِﻣ ﺭ ﻋﺔﹸ ﺍﺰﺖ ﺧ ﺘﹶﻠﻣﻜﱠ ﹶﺔ ﹶﻗ ﺘ ِﺢﻡ ﹶﻓ ﺎﻪ ﻋ ﺮ ﹶﺓ ﹶﺃﻧ ﺮﻳ ﻮ ﻫﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻤ ﹶﺔ ﺳﹶﻠ ﻮﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ 383 ﺤ ﱡﻞ ِ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﺒﻠِﻲﺣ ٍﺪ ﹶﻗ ﺤﻞﱠ ِﻟﹶﺄ ِ ﺗ ﻢ ﺎ ﹶﻟﻬﺇِﻧﲔ ﹶﺃﻟﹶﺎ ﻭ ِﻣِﻨﺆﺍﻟﹾﻤ ﻭﻮﹶﻟﻪﺭﺳ ﻢ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﻂ ﺳﻠﱠ ﹶ ﻭ ﻣﻜﱠ ﹶﺔ ﺍﹾﻟﻔِﻴ ﹶﻞ ﻦ ﻋ ﺲ ﺒﺣ ﻪ ﻢ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻ ﺎ ِﺇﻟﱠﺎﺘﻬﺎِﻗ ﹶﻄﺘ ِﻘﻂﹸ ﺳﻳﻠﹾ ﻭﻟﹶﺎ ﺎﻫﺮﺠ ﺷﻀﺪ ﻌ ﻭﻟﹶﺎ ﻳ ﺎﻮ ﹸﻛﻬ ﺷ ﻠﹶﻰﺘﺨﻡ ﻟﹶﺎ ﻳ ﺍﺣﺮ ﻫ ِﺬ ِﻩ ﺘِﻲﺎﻋﺎ ﺳﻧﻬﻭِﺇ ﺎ ٍﺭ ﹶﺃﻟﹶﺎﻧﻬ ﻦ ﻋ ﹰﺔ ِﻣ ﺎﺖ ﻟِﻲ ﺳ ﺎ ﺃﹸ ِﺣﻠﱠﻧﻤﻭِﺇ ﻌﺪِﻱ ﹶﺃﻟﹶﺎ ﺑ ﺣ ٍﺪ ِﻟﹶﺄ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﺎﺐ ﻟِﻲ ﻳ ﺘﺎ ٍﻩ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺍ ﹾﻛﻮ ﺷ ﹶﺃﺑﻳﻘﹶﺎ ﹸﻝ ﹶﻟﻪ ﻤ ِﻦ ﻴﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟ ﻦ ﹶﺃ ﺟ ﹲﻞ ِﻣ ﺭ ﻡ ﺩ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﻳﻘﹶﺎ ﺎﻭِﺇﻣ ﻯﻮﺩﺎ ﻳﻳ ِﻦ ِﺇﻣﺮ ﻨ ﹶﻈﻴ ِﺮ ﺍﻟﺨ ﻮ ِﺑ ﹶﻗﺘِﻴ ﹲﻞ ﹶﻓﻬﻦ ﻗﹸِﺘ ﹶﻞ ﹶﻟﻪ ﻣ ﻭ ﺪ ﺸ ِ ﻨﻣ (HR. al-Bukhâri) ﺎ ٍﻩﻮﺍ ِﻟﹶﺄﺑِﻲ ﺷﺘﺒﻛ ﻢ ﺍ ﹾ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺣﺪِﻳﺜﹰﺎ ﺮ ﺪ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﺣ ﻢ ﹶﺃ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻲ ﺻ ﻨِﺒﺏ ﺍﻟ ِ ﺎﺻﺤ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﻣ ﺮ ﹶﺓ ﺮﻳ ﺎ ﻫ ﹶﺃﺑﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﻦ ﹶﺃﺧِﻴ ِﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻋ ﺒ ٍﻪﻨﻦ ﻣ ﺑ ﺐ ﻫ ﻭ ﻦ ﻋ َ384 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa ﺐﻛﺘ ﻭﻟﹶﺎ ﹶﺃ ﹾ ﺐﻳ ﹾﻜﺘ ﻛﹶﺎ ﹶﻥﻧﻪﺮٍﻭ ﹶﻓِﺈﻤﺑ ِﻦ ﻋ ﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻋ ﻦ ﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﻣﻲ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣ ِﻣﻨﻪﻋﻨ Fadhlih, juz. 1, hal. 70. Diriwayatkan juga dalam shahih al-Bukhâri, kitab al-Ilm 385 ﻛﻨﺖ ﺃﻛﺘﺐ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺃﲰﻌﻪ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺭﻳﺪ ﺣﻔﻈﻪ ﻓﻨﻬﺘﲏ ﻗﺮﻳﺶ: ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻗﺎﻝ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ، ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺮﺿﺎ ﻭﺍﻟﻐﻀﺐ ؟ ﻓﺄﻣﺴﻜﺖ ﻋﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ، ﺃﺗﻜﺘﺐ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺗﺴﻤﻌﻪ: ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ « » ﺍﻛﺘﺐ ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻣﺎ ﳜﺮﺝ ﻣﻨﻪ ﺇﻻ ﺣﻖ: ﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺄﻭﻣﺄ ﺑﺈﺻﺒﻌﻪ ﺇﱃ ﻓﻴﻪ ﻭﻗﺎﻝIbnu Abdi alBarr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 71
cxxiii
Shadiqah yaitu sebuah catatan milik Abdullah bin Amr bin ‘Ash, ini sebagaimana dikabarkan oleh Mujâhid.386 Bahkan diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah memiliki shahifah yang memuat hadîts-hadîts Rasulullah SAW, dan kemudian putranya meriwayatkan Hadîts dari shahifah ini.387 b. Masa al-Khulafa al-Rasyidun Ketatnya dalam menjaga teks al-Qur’ân pada masa awal kenabian, dipertahankan oleh Abu Bakr al-Shiddiq, ia mengumpulkan seluruh hadîts-hadîts yang ada, kemudian membakarnya.388 Bahkan ketika Umar bin Khattab hendak menuliskan sunnah-sunnah Nabi SAW, terlebih dahulu ia meminta fatwa dari sahabat-sahabatnya,
dan
mereka
menyetujuinya,
namun
Umar
r.a
tidak
melakukkannya, karena khawatir umat Muslim lebih mengutamakan Hadîts dibandingkan dengan al-Qur’ân.389 Bahkan Ali r.a pernah berkhutbah di depan sahabat-sahabat; ‘barang siapa yang memiliki tulisan selain al-Qur’ân agar ia menghapusnya, karena kecelakaan umat terdahulu adalah karena mereka lebih mengikuti perkataan ulama dan meninggalkan al-Qur’ân’.390 Namun larangan itu pun tidak berlarut-larut, karena tidak lama setelah itu Abu Bakr r.a dan Umar r.a menulis Hadîts kembali, bahkan menyarankan pada para sahabat-sahabatnya untuk menulis Hadîts. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sebab dari larangan tersebut hanyalah kekhwatiran akan ditinggalkannya al-Qur’ân oleh umat Muhammad SAW.391 Dalam sejarah, dikenal sejumlah sahabat yang membolehkan penulisan Hadîts seperti Umar, Ali, Hasan, Abdullah bin Amr bin al-
ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺎﺩﻗﺔ! ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﲰﻌﺖ ﻣﻦ: ﺭﺃﻳﺖ ﻋﻨﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺎﺹ ﺻﺤﻴﻔﺔ ﻓﺴﺄﻟﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻘﺎﻝ:ﻋﻦ ﳎﺎﻫﺪ ﻗﺎﻝ386 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. . ﻟﻴﺲ ﺑﻴﲏ ﻭﺑﻴﻨﻪ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﺣﺪ، ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ،ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ 387
1, hal. 72
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 24 388 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 39 389 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 64. 390 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 63-64 391 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 41
cxxiv
Ash, Anas, Jabir, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.392 Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin Khattab menganjurkan sahabatnya untuk menulis.393 c. Masa Tâbi’în Generasi tâbi’în mengambil ilmu dari para sahabat, mereka mengetahui mana perkara yang dibenarkan dan mana yang tidak, pastinya dari sahabat. Dan mereka juga banyak meriwayatkan Hadîts dari sahabat, maka itu tâbi’în sangat mengetahui sekali kapan penulisan Hadîts itu diperbolehkan dan juga dilarang.394 Keputusan para sahabat dalam membolehkan penulisan Hadîts berpengaruh pada generasai berikutnya yaitu tâbi’în, karenanya ditemukan di antara tâbi’în yang juga membolehkannya seperti; Basyir bin Nahik dan Said bin Zubair. Meskipun demikian ada juga dari kalangan tâbi’în yang melarangnya seperti; al-Sya’bi dan Ibrahim alNakha’i.395 Contoh lain dari pengaruh sahabat dalam menjaga Hadîts adalah, anjuran Abu Hurairah dan Said al-Khudri, bahwa ia memberi kesempatan pada tâbi’în untuk membuat shuhuf yang memuat hadîts-hadîts Nabi SAW, karena Abu Hurairah dan sahabat lainnya pernah melakukan hal yang sama pada saat Nabi SAW masih ada.396 Bahkan di antara tâbi’în ada yang mendapatkan warisan shuhuf yang memuat Hadîts Nabi SAW, yaitu Hammam bin Munabbih yang mendapatkan shuhuf dari Abu Hurairah, maka dikenallah dengan shahifah Hammam.397 Lain halnya dengan Basyir bin Nuhaik, yang menulis hadîts-hadîts dari Abu Hurairah, dan setelah memiliki banyak Hadits, Basyir melaporkannya bahwa ia telah menulis hadîts-hadîts yang didapatinya dari Abu Hurairah, dan Abu Hurairah mengijazahkannya.398
392 393
Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
« » ﻗﻴﺪﻭﺍ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺏ: ﻳﻘﻮﻝ، ﺃﻧﻪ ﲰﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ، ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﳌﻠﻚ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺳﻔﻴﺎﻥAtsar ini
diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak ala al-Shahihayn. 394 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 321 395 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 42 396 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 70 397 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, 32 398 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
cxxv
Namun sesungguhnya penulisan Hadîts secara kolektif dan teratur baru terjadi pada masa pertengahan tâbi’în, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Umar yang merupakan khalifah pada masa Bani Umayyah ini, memerintahkan bawahannya yang ada di Madinah yaitu Abu Bakr bin Hazm untuk menuliskan Hadîts yang ia dapati. Dan setelah itu barulah para ulama menulis Hadîts secara sistematis, dan ulama pertama yang berperan aktif dalam urusan ini adalah Ibnu Syihâb al-Zuhri (w 124 H).399 Menurut pengakuannya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan padanya untuk membuat daftar Hadîts Nabi SAW, dan menyebarkannya ke seluruh negeri Muslim.400 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan Hadîts secara teratur dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun tradisi penulisannya dalam shuhuf telah dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW, dan tradisi ini terus dilakukan dan tidak pernah terputus meskipun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.401 Dan pada masa akhir tâbi’în, barulah terjadi pemalsuan Hadîts, disebabkan banyaknya aliran pemikiran dalam Islam. Karenanya pada masa ini bukan hanya penulisan yang terus ditingkatkan, namun juga hafalan-hafalan Hadîts pun terus digiatkan agar hadîts-hadîts palsu lebih mudah untuk diidentifikasi.402 Dari uraian di atas, difahami bahwa tradisi penulisan Hadîts telah terjadi pada masa Nabi SAW. Adapun adanya larangan Nabi SAW pada sebagian sahabat untuk menulis Hadîts, merupakan kekhususan bagi sahabat yang khawatir tercampurnya antara al-Hadîts dan al-Qur’ân. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa larangan tersebut telah di-nasakh oleh Hadîts yang menyatakan bolehnya menuliskan
399
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, 44-45. Lihat juga di Muhammad Ajâj alKhatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 329-330. 400 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 77 401 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 332 402 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 48
cxxvi
Hadîts Rasulullah SAW. Dalam pandangan ahli Hadîts, hadîts-hadîts yang menyatakan bahwa Abu Bakr telah membakar Hadîts, adalah hadîts lemah.403 Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa sejak awal Hadîts telah ditulis oleh para sahabat, hanya saja masih dalam bentuk shuhuf. Belum terkodifikasi secara utuh. Karenanya wajar saja jika sebagian ulama mengalami kesulitan dalam mendapatkan Hadîts, tidak semudah ketika mereka mendapatkan syair. Kondisi itu berbeda dengan masa Ibnu Mâlik, yang nota bene Hadîts telah terkodifikasi dengan baik, sehingga ahli nahwu pada masa itu tidak mengalami kesulitan dalam merujuk teks Hadîts, ketika mereka membutuhkan pembenaran dari dalil simâ`i. iii. menyembunyikan mudhâf Bagi Ibnu Mâlik, Hadîts bukan hanya sebagai dalil akan bolehnya memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih. Melainkan lebih dari itu, ia menyatakan bahwa boleh menyembunyikan mudhâf, meskipun mudhâf ilaih-nya ditampakkan.404 Pendapat ini didasarkan pada dua teks Hadîts yang menyembunyikan mudhâfnya. Padahal mudhâf ilaih-nya nampak. Pertama, Hadîts yang berkenaan dengan pentingnya bersiwak sebelum menunaikan shalat.405 Dalam Hadîts Nabi SAW ini, kata
ﲔ ﺒ ِﻌﺳ berkedudukan sebagai mudhâf ilaih, sedangkan mudhâf-nya
ﻀﹸ ﹶﻓ, sehingga jika disembunyikan. Dalam pandangan Ibnu Malik, mudhâf-nya adalah ﻞ mudhâf-nya ditampakkan, maka kalimatnya akan beredaksi ﺻﻼﹶﺓ ﲔ ﺒ ِﻌﺳ ﻞﹸﹶﻓﻀ. Kedua, Sabda Nabi SAW ketika beliau ditanya tentang berapa lama dajjal menetap di bumi? 403
Al-A’dzami, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, juz. 1, hal. 32 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 501 405 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺍ ٍﻙﻴ ِﺮ ِﺳﻮﻐ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ِﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﺍ ِﻙﺴﻮ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ﺑِﺎﻟ ﻞﹸ ﺍﻟﹶﻓﻀ ﻼ ﹰﺓ ﺻﹶ ﲔ ﺒ ِﻌﺳ Hadîts ini tercantum dalam kitab majma’ al-Zawâ’id dengan sedikit perbedaan, yaitu; ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ . ﺑﺴﻮﺍﻙ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻐﲑ ﺳﻮﺍﻙ ﺳﺒﻌﲔ ﺻﻼﺓPerbedaannya adalah pada kata siwak. Yang pertama menggunakan alif lam dan kedua tidak menggunakannya. Hadîts ini juga ditemukan dalam musnad Ahmad dengan redaksi yang hampir sama yaitu ﻌﻔﹰﺎ ﺿ ِ ﲔ ﺒ ِﻌﺳ ﺍ ٍﻙﻴ ِﺮ ِﺳﻮﻐ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ِﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﺍ ِﻙﺴﻮ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ﺑِﺎﻟ ﻞﹸ ﺍﻟﹶﻓﻀ. Hadîts yang berkenaan dengan siwak tersebut seluruhnya diriwayatkan dari ‘Aisyah. Menurut Imam al-Hakim, Hadîts ini shahih. 404
cxxvii
Nabi SAW menjawab
406
ﺎﻮﻣ ﻳ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃdalam Hadîts ini Ibnu Mâlik berpendapat bahwa
ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃadalah berkedudukan sebagai mudhâf ilaih, dan mudhâf disembunyikan yaitu ﺚ ﺒ ﹸﹶﻟ. Sehingga jika mudhâf ini ditampakkan, maka Hadîts tersebut beredaksi ﺎﻮﻣ ﻳ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃ ﺚ ﺒ ﹸﹶﻟ.407 Analisa Ibnu Mâlik terhadap dua Hadîts tersebut, sungguh sangat mendalam. Jika seseorang yang tidak mengetahui dan menguasai dzauq bahasa Arab, tentu tidak akan memahami kandungan Hadîts tersebut. Ini tercermin dari ketelitiannya dalam menganalisa satu kata yang majrur, namun tidak nampak hal yang menyebabkan majrurnya kata tersebut, yaitu kata ﲔ ﺒ ِﻌﺳ dan ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃ. Dengan analisanya, ia mendapati bahwa kata yang memajrurkannya adalah kata yang tersembunyi yang berkedudukan sebagai mudhâf. Maka itu dari Hadîts ini, lahirlah kaidah yang menetapkan bahwa boleh menyembunyikan mudhâf, meskipun mudhâf ilaihnya tetap ditampakkan. N. Tamyîz Dalam kaidah umum tentang bilangan, tamyîz bagi bilangan murakkab (dari sebelas sampai sembilan puluh sembilan) dan dua puluh, adalah mufrad dalam keadaan nashab.408 Ibnu Mâlik berpendapat jika tamyîz dari bilangan tersebut berbentuk jamak, maka tamyiznya disembunyikan, dan yang menempatinya adalah
406
Dalam karyanya, Ibnu Mâlik nampaknya tidak mengutip langsung redaksi Hadîts dari periwayatnya. Ia hanya menceritakan kembali peristiwa dalam Hadîts tersebut dengan tetap mempertahankan ucapan Nabi SAW yaitu ﺎﻣﻳﻮ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃ. Hadîts ini diriwayatkan dalam kitab musnad Ahmad. Dalam kitab tersebut, memuat redaksi sebagai berikut; ﺭِﻱﲔ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺩ ﺑ ِﻌﺭ ﻢ ﹶﺃ ﺒﺚﹸ ﻓِﻴ ِﻬﻴﻠﹾﻣﺘِﻲ ﹶﻓ ﺎ ﹸﻝ ﻓِﻲ ﹸﺃﺪﺟ ﺍﻟﺝﺨﺮ ﻳ
ﺍﺮﺷﻬ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﻭ ﹶﺃ ﻴﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﺃﲔ ﹶﻟ ﺑ ِﻌﺭ ﻭ ﹶﺃ ﻨ ﹰﺔ ﹶﺃﺳ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﻭ ﹶﺃ ﺎ ﹶﺃﻣﻳﻮ ﲔ ﺑ ِﻌﺭ ﹶﺃ. Meskipun terjadi perbedaan redaksi, hal ini tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan. 407 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 502 408 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 117
cxxviii
badal, yaitu kata yang merupakan pengganti dari tamyîz.409 Ini sejalan dengan Hadîts fi’li yang merupakan perkataan Ibnu Mas’ûd.410 Dalam Hadîts tersebut, terdapat kata-kata yang berkedudukan sebagai tamyîz,
،ﻮ ٍﻥﺖ ﹶﻟﺒ ﻨ ِﺑ،ﻮ ٍﻥﺖ ﹶﻟﺒ ﻨ ِﺑ، ِﺣﻘﱠ ﹰﺔ،ﺽ ٍ ﺎﻣﺨ ﺖ ﻨ ِﺑdisebut tamyîz karena kata-kata tersebut yaitu ﻋ ﹰﺔ ﺟ ﹶﺬ datang setelah bilangan murakkab dan ia merupakan mufrad yang dalam keadaan nashab. Ini tentunya sesuai dengan kaidah ahli nahwu secara umum. Akan tetapi dalam rangkaian kata pada Hadîts tersebut terdapat kata lain yang berbeda dengan kata-kata sebelumnya yaitu kata ﺽ ٍ ﺎﻣﺨ ﻨِﻲﺑ. Tentu saja sulit untuk mengatakan bahwa kata tersebut merupakan tamyiz, meskipun ia datang setelah bilangan murakkab. Dalam hal ini Ibnu Mâlik menyebutnya sebagai badal dan ia merupakan pengganti dari tamyîz yang disembunyikan. Karena kata tersebut adalah jamak, sehingga tidak bisa disebut sebagai tamyîz bagi bilangan murakkab. Maka itu dari Hadîts ini, Ibnu Mâlik menetapkan suatu kaidah bahwa kata jamak yang muncul setelah bilangan murakkab, bukanlah berkedudukan sebagai tamyiz melainkan ia sebagai badal. O. Athaf al-Nasaq i. hak ma’thûf dengan tsumma Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts juga berkontribusi dalam memaknai kata atau huruf dalam bahasa Arab. Dan kajian ini tidak luput dari analisa Ibnu Mâlik. Nampaknya ia kerap mengamati perilaku huruf dan kata-kata dalam Hadîts, yang kemudian ia kaitkan dengan kaidah tata bahasa. Maka itu di antara peran Ibnu Mâlik adalah memunculkan Hadîts sebagai dalil dalam tata bahasa, yang sebelumnya diabaikan oleh sebagian ahli nahwu. 409 410
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 528 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻰﹶﻗﻀ
ﻋ ﹰﺔ ﺟ ﹶﺬ ﻦ ﺸﺮِﻳ ﻭ ِﻋ ﻮ ٍﻥﺖ ﹶﻟﺒ ﻨﻦ ِﺑ ﺸﺮِﻳ ﻭ ِﻋ ﺍﺽ ﺫﹸﻛﹸﻮﺭ ٍ ﺎﻣﺨ ﺑﻨِﻲ ﻦ ﺸﺮِﻳ ﻭ ِﻋ ﺽ ٍ ﺎﻣﺨ ﺖ ﻨﻦ ِﺑ ﺸﺮِﻳ ﺨ ﹶﻄِﺈ ِﻋ ﻳ ِﺔ ﺍﹾﻟﻦ ِﺣﻘﱠ ﹰﺔ ﻓِﻲ ِﺩ ﺸﺮِﻳ ﻭ ِﻋ (HR Abu Dawud)
cxxix
Berkenaan dengan sikap Ibnu Mâlik di atas, terdapat salah satu kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik berkenaan dengan kaidah athaf. Diketahui bahwa huruf athaf adalah waw, fa, tsumma, hatta, aw dan lainnya.411 Ibnu Mâlik berpendapat bahwa jika dalam suatu kalimat terdapat huruf athaf yang menggunakan ﹸﺛﻢmaka makna yang terkandung dalam rangkaian kalimat tersebut terdapat jeda waktu antara ma’thûf dengan al-Ma’thûf alaih. Baik jeda waktunya sebentar ataupun lama.412 Kaidah ini tercermin dalam salah satu Hadîts Nabi SAW yang menceritakan bagaimana Jibrîl a.s mengajarkan Muhammad SAW shalat.413 Dalam Hadîts tersebut terdapat ungkapan ﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻮ ﹸﺭﺳ ﺼﻠﱠﻰ ﺻﻠﱠﻰ ﹶﻓ ﹸﺛﻢ, dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadîts tersebut menceritakan bahwa ketika Jibrîl a.s mencontohkan cara shalat, maka Nabi Muhammad mengikutinya setelah Jibrîl a.s menyelesaikan pada setiap gerakan shalat. Misalnya ketika Jibrîl a.s ruku’, maka Nabi SAW diam sejenak lalu kemudian mengikuti gerakan yang dilakukan Jibrîl. a.s. Maka itu, dari Hadîts ini Ibnu Mâlik menetapkan bahwa jika dalam kalimat terdapat huruf athaf dengan ﹸﺛﻢmaka di dalamnya terdapat jeda waktu antara ma’thûf dan ma’thûf ilaih. Dalam bahasa lain athaf tsumma memiliki makna littartîb dan littarâkhi.414 ii. tidak selamanya ﻰﺘ ﺣmenunjukkan berurutan. Sebagian ulama mengatakan bahwa ﻰﺘ ﺣadalah huruf athaf yang memiliki kandungan makna adanya urutan antara ma’thûf dengan al-Ma’thûf alaih. Pendapat
411
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 244. Lihat juga Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 606 412 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 611 413 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻮ ﹸﺭﺳ ﻠﱠﻰﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼﺰ ﹶﻝ ﻓﹶﺼ ﻧ ﺮِﻳ ﹶﻞﹶﺃﻥﱠ ِﺟﺒ
ﻠﱠﻰﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼ ﺻﻢ ﹸﺛﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻠﱠﻰﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼ ﺻﻢ ﹸﺛﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻠﱠﻰﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼ ﺻﻢ ﹸﺛﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﺮﺕ ﺬﹶﺍ ﺃﹸ ِﻣ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺑِﻬﻢ ﹸﺛﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻠﱠﻰﺻﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼ ﻢ ﹸﺛﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ (HR Imam Mâlik). 414
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 245
cxxx
ini dibantah oleh Ibnu Mâlik, ia mengatakan bahwa ﻰﺘ ﺣtidak selamanya menunjukkan adanya urutan suatu kalimat antara ma’thûf dengan al-Ma’thûf alaih.415 Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan pada Hadîts Nabi SAW.416 Dalam Hadîts tersebut kata ﺠ ِﺰ ﻌ ﺍﹾﻟma’thuf pada ﺪ ٍﺭ ﹶﻗ. Tentu saja dalam Hadîts itu tidak mengandung makna berurutan antara ﺠ ِﺰ ﻌ ﺍﹾﻟdan ﺪ ٍﺭ ﹶﻗ. Karena ma’thuf pada Hadîts tersebut merupakan bagian dari al-Ma’thuf alaih. Ungkapan Hadîts tersebut mungkin sama dengan ungkapan keseharian kita seperti; ﳝﻮﺕ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺣﱵ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ. iii. menyembunyikan waw athaf Dalam sebuah kalimat, sering didapati bahwa di dalamnya mengandung rangkaian kata, antara satu kata dengan kata berikutnya saling berkaitan, dan kata yang muncul belakangan memiliki kandungan hukum yang sama dengan kata sebelumnya. Agar tidak mengandung kerancuan, maka di antara kata-kata tersebut diletakkan huruf athaf. Athaf dengan menggunakan huruf dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan athaf al-Nasaq.417 Seperti ungkapan ﺟﺎﺀ ﺧﺎﻟﺪ ﻭﻋﻠﻲ. Dari ungkapan tersebut, jika huruf athaf yaitu ‘waw’ yang berada di antara kata khalid dan Ali dihilangkan, maka makna dari kalimat tersebut akan berubah. Pendengar atau pembaca akan menganggap bahwa kata Ali bergandengan dengan kata khalid, sehingga maknanya akan menjadi khalid Ali telah datang. Padahal yang dimaksud adalah khalid dan Ali telah datang.
415 416
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 616 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺠ ِﺰ ﻌ ﻰ ﺍﹾﻟﺣﺘ ﺪ ٍﺭ ﻭﹶﻗ ﺎ ٍﺀﻲ ٍﺀ ِﺑ ﹶﻘﻀ ﺷ ﹸﻛﻞﱡ
ﺠ ِﺰ ﻌ ﺍﹾﻟﺲ ﻭ ِ ﻴﻭ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﺲ ﹶﺃ ِ ﻴﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﻭTidak ditemukan sumber rujukan yang memuat Hadits yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik. Akan tetapi ditemukan Hadits lain yang mirip dengan hadits tersebut, yaitu
ﺠ ِﺰ ﻌ ﺍﹾﻟﺲ ﻭ ِ ﻴﻭ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﺲ ﹶﺃ ِ ﻴﺍﹾﻟ ﹶﻜﺠ ِﺰ ﻭ ﻌ ﻰ ﺍﹾﻟﺣﺘ ﺪ ٍﺭ ﻲ ٍﺀ ِﺑ ﹶﻘ ﺷ ﹸﻛﻞﱡterlihat perbedaan antar keduanya, yaitu pada kata ٍﺑِﻘَﻀَﺎء. Dalam karya Ibnu Mâlik terdapat kata tersebut, padahal dalam kitab-kitab hadits tidak demikian. Namun perbedaan ini tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik 417 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 606
cxxxi
Maka itu jika dalam suatu kalimat terdapat rangkaian kata yang tidak ada pemisahnya, padahal semestinya ditengahi dengan huruf athaf, tentunya maknanya akan rancu. Namun dalam pandangan Ibnu Mâlik, jika ketidakberadaan huruf athaf tidak mengubah makna yang ada pada suatu kalimat, maka dalam kondisi ini boleh menyembunyikan waw athaf.418 Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan adanya teks Hadîts yang menunjukkan suatu kalimat yang terangkai dari kata-kata, namun tidak ditengahi dengan waw athaf. Meskipun demikian kalimat tersebut dapat difahami maknanya, tanpa ada kerancuan di dalamnya.419 P. Al-Maf’ul ma’ah atau Athaf Ahli nahwu menetapkan bahwa kata yang berada setelah huruf waw memiliki empat hukum. Pertama, wajib nashab sebagai ma’iyyah. Kedua, waw tersebut sebagai waw athaf, dan i’râb nya mengikuti kata ma’thûf. Ketiga, lebih tepat nashab. Keempat, lebih tepat sebagai athaf.420 Berkenaan dengan hukum-hukum tersebut, Ibnu Mâlik menyebutkan bahwa ada kata yang muncul setelah huruf waw memiliki dua hukum i’râb, dan keduaduanya sah untuk diterapkan. Pandangan Ibnu Mâlik ini berdasarkan adanya Hadîts Nabi SAW yang memiliki dua kemungkinan hukum i’râb tersebut, Hadîts Nabi 421
SAW yang dimaksud adalah TP 418 419 420
PTﻤ ﹰﺔ ﻭﹶﺃِﺋ ﺖ ﻧﻒ ﹶﺃ ﻴ ﹶﻛ.
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 640 ﻤ ِﺮ ِﻩ ﺗ ﻉ ِ ﺎﻦ ﺻ ِﻩ ِﻣﺮﻉ ﺑ ِ ﺎﻦ ﺻ ﻮِﺑ ِﻪ ِﻣ ﻦ ﹶﺛ ﻫ ِﻤ ِﻪ ِﻣ ﺭ ﻦ ِﺩ ﺎ ِﺭ ِﻩ ِﻣﻦ ﺩِﻳﻨ ﺟ ﹲﻞ ِﻣ ﺭ ﻕ ﺪ ﺼ ﺗ (HR Muslim)
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 74. Kajian tentang Hadîts ini setidaknya membuktikan kemahiran Ibnu Mâlik dalam bidang Hadîts. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kata ﺔ ﹶﺃِﺋﻤyang terdapat dalam Hadîts tersebut dapat 421
dibaca dengan rafa atau dengan nashab. Dalam penelitian penulis Hadîts ini diriwayatkan dari Abu dzarr dan terdapat dalam dua kitab Hadîts; Pertama, dalam kitab musnad Ahmad, dalam kitab ini kata ﺔ ﹶﺃِﺋﻤdalam keadaan nashab, sebagaimana yang dikutip Ibnu Mâlik. Kedua, Hadîts tersebut terdapat dalam kitab Sunan Abi Dâwud, akan tetapi ﺔ ﺃﹶﺋِﻤdalam kitab tersebut dalam keadaan rafa’. Meskipun redaksi Hadîts dalam kitab ini agak berbeda, yaitu ﻲ ِﺀ ﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹶﻔﻭ ﹶﻥ ﺑِﻬﺘ ﹾﺄِﺛﺮﺴ ﻳ ﻌﺪِﻱ ﺑ ﻦ ﻤ ﹲﺔ ِﻣ ﻭﹶﺃِﺋ ﻢ ﺘﻧﻒ ﹶﺃ ﻴ ﹶﻛnamun tidak mengganggu dalam penetapan kaidah ini, karena yang membedakan keduanya hanya isim dhamir, yang satu menggunakan tunggal dan lainnya menggunakan jama’. Adapun perbedaan i’râb pada kata
cxxxii
Dalam pandangan Ibnu Mâlik, teks Hadîts di atas yang mengandung kata ﺔﺃﹶﺋِﻤ setelah huruf waw tersebut, memiliki dua hukum i’râb . Pertama, ia dapat dirafa’kan, jika kata tersebut diathafkan pada ﺖ ﻧ ﹶﺃ. Kedua, ia dapat dinashabkan, jika kata tersebut berkedudukan sebagai al-Maf’ûl ma’ah, dan fi’ilnya disembunyikan yaitu takûnu422. Dari sikap Ibnu Mâlik di atas, disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik memberikan alternatif hukum yang berlandaskan Hadîts. Yaitu satu kata memiliki dua kemungkinan hukum, adapun keputusannya diserahkan kepada pembaca, tergantung dari kecenderungan masing-masing setiap orang. Sikap Ibnu Mâlik ini, tentunya melahirkan implikasi pada teks yang memiliki tipe seperti Hadîts di atas, sehingga suatu kata yang berada setelah huruf waw memiliki dua kemungkinan hokum dan dua pemahaman. Contoh dari kaidah buah pemikiran Ibnu Mâlik ini, terlihat juga di beberapa perkataan Arab, antara lain syair.423 Q. Al-Taukid al-Lafdzi Jika sebelumnya Ibnu Mâlik memberikan alternatif hukum i’râb pada satu kata setelah huruf waw. Lain halnya dengan kaidah al-Taukid al-Lafdzi pada kata
ﻊﺟﻤ ﹶﺃdan ﺎﺀﻤﻌ ﺟ . Dalam kaidah ini Ibnu Mâlik bersikap kebalikan dari sikap di atas. Dalam kaidah ini justru ia memastikan satu kedudukan i’râb pada kedua kata tersebut. Sementara ahli Nahwu sebelumnya, memberikan alternatif hukum i’râb bagi kedua kata yang berkedudukan sebagai taukid tersebut.
ﺔ ﹶﺃِﺋﻤhal itu justru menjadi dalil akan adanya pilihan kedudukan ﺔ ﹶﺃِﺋﻤdalam disiplin ilmu nahwu, sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Mâlik di atas. 422 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 405 423 Syair ini menurut Ibnu Mâlik memiliki dua kemungkinann hukum i’râb sebagaimana yang terjadi pada Hadîts Nabi SAW di atas. Syair-nya adalah ﻂ ِ ﺎِﺑﺡ ﺑِﺎﻟﺬﱠ ﹶﻛ ِﺮ ﺍﻟﻀ ﺒﺮﻳ ﻒ ٍ ﺘﹶﻠﻣ ﺮ ﻓِﻲ ﻴﺴ ﺍﻟﺖ ﻭ ﻧﻓﹶﻤﹶﺎ ﹶﺃ pembahasan selengkapanya tentang syair ini dapat dilihat di Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 404
cxxxiii
Misalnya, dalam kaidah ini al-Farâ’ mengangkat dua contoh ungkapan yang
ﺭ ﺍﺘﻨِﻲ ﺍﻟﺪﺒﺠ ﻋ ﹶﺃ, Dalam mengandung taukid yaitu ﻊﻤ ﺃﹶﺟﺮﻨِﻲ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺼﺒﺠ َﺃﻋdan ungkapan ﺎﺀﻤﻌ ﺟ pandangan al-Fara’ kedua kata taukid tersebut yaitu ﻊﺟﻤ ﹶﺃdan ﺎﺀﻤﻌ ﺟ dapat memiliki dua kemungkinan hukum i’râb; Pertama, jika kedua kata tersebut marfû’, maka kedudukan keduanya sebagai taukîd. Kedua, jika keduanya manshûb, maka kedudukannya sebagai al-Hâl.424 Ibnu Mâlik berpendapat bahwa kaidah tersebut mungkin saja benar, namun tidak berlaku pada teks Hadîts Nabi SAW ﺎ َﺀﻤﻌ ﺟ ﻤ ٍﺔ ﺑﻬِﻴ ﻦ ﺍﹾﻟِﺈِﺑﻞﹸ ِﻣﺗﺞﺎﻨﺎ ﺗﻛﹶﻤ.425 Dalam Hadîts
hanya memiliki satu hukum i’râb, yaitu sebagai al-Taukîd al-Lafdzi, ini, kata ﺎ َﺀﻤﻌ ﺟ tidak sebagaimana yang disebutkan al-Farâ’ di atas. Meskipun demikian, pendapat Ibnu Mâlik ini berbeda dengan al-Syalubin yang merupakan gurunya, al-Syalubin berpendapat bahwa ﺎ َﺀﻤﻌ ﺟ pada Hadîts tersebut sebagai sifat bagi ﺔﺑﻬِﻴﻤ.
426
R. Menyembunyikan Muakkad Dalam kadiah nahwu, taukid terbagi dua macam. Ada al-Taukid al-Lafdzi dan ada juga al-Taukid al-Ma’nawi. Jika kita hendak menegaskan lafadz yang akan kita ungkapkan pada lawan bicara, sangatlah mudah, yaitu dengan mengulangi kata yang hendak dikuatkan atau ditegaskan, dalam ilmu bahasa ini disebut dengan al-Taukid al-Lafdzi. Sedangkan jika yang hendak kita tegaskan adalah makna dari ungkapan kita, dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan taukid maknawi, yaitu dengan cara menyebutkan kata ﻛﻼ ﺃﻭ ﻛﻠﺘﺎ، ﲨﻴﻊ، ﺍﻟﻐﲔ، ﺍﻟﻨﻔﺲdan lainnya.427
424
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 575 Hadîts ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, dan Hadîts tersebut tercantum dalam dua kitab Hadîts, yaitu al-Muwatha’ dan Sunan Abi Dâwud. Keduanya memuat redaksi Hadîts yang sama. Tidak ada perbedaan satu sama lainnya. 426 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 576 427 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 232 425
cxxxiv
Berkaitan dengan hukum i’râb maknawi, Sybawaih berpendapat bahwa taukid maknawi mempunyai dua hukum; rafa’ dan nashab.428 Misalnya dalam kalimat ﺃﺗﺎﱐ
ﺍﺧﻮﻩ ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎtaukid pada kalimat tersebut menurut Sybawaih bisa dalam keadaan nashab, jika taqdirnya ﺃﻋﻴﻨﻬﻤﺎ ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎdan bisa juga rafa’ jika taqdirnya pada ﳘﺎ ﺻﺎﺣﱯ
ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎ. Sedangkan berkenaan dengan muakkad, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa terkadang muakkad dapat disembunyikan, seperti apa yang dijelaskan Sybawaih. Dan menurutnya, jika muakkad disembunyikan i’râb taukid lebih cenderung manshub.429 Pendapat ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW yang menunjukkan hal demikian, 430
yaitu;TP
PTﲔ ﻤ ِﻌ ﺟ ﺎ ﹶﺃﺟﻠﹸﻮﺳ ﺼﻠﱡﻮﺍ ﹶﻓ. Dalam pandangan Ibnu Mâlik muakkad pada Hadîts
tersebut disembunyikan, karena ungkapan tersebut mengandung kata ﺃﻋﻴﻨﻜﻢ, sehingga
ﻤ ِﻌ ﺟ ﺃﻋﻴﻨﻜﻢ ﹶﺃ. pada Hadîts tersebut, seakan-akan Nabi SAW bersabda ﲔ Pendapat Ibnu Mâlik di atas kemudian dikomentari oleh al-Damâmini, ia mengatakan bahwa dalam riwayat lain taukid pada Hadîts tersebut adalah rafa’ yaitu
ﺃﲨﻌﻮﻥyang merupakan taukid bagi dhamir fa’il pada fi’il ﺻﻠﻮﺍ. Selain itu ada juga 428
Ini terlihat dalam kalimat ﺃﺗﺎﱐ ﺍﺧﻮﻩ ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎtaukid pada kalimat tersebut menurut Sybawaih
bisa dalam keadaan nashab, jika taqdirnya ﺃﻋﻴﻨﻬﻤﺎ ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎdan bisa juga rafa’ jika taqdirnya pada ﳘﺎ
ﺻﺎﺣﱯ ﺍﻧﻔﺴﻬﻤﺎlihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 567 429
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 568 Diakui bahwa dalam berbagai kitab Hadîts, redaksi teks Hadits tersebut berbeda-beda, sehingga hal ini menjadi kontroversi di kalangan ahli nahwu. Misalnya dalam kitab shahih al-Bukhâri, Muwaththa’ Imam Mâlik dan shahih Imam Muslim dan juga sunan Abi Dawud termuat redaksi yang ﻮ ﹶﻤﻌ ﺟ ﺎ ﹶﺃﺟﻠﹸﻮﺳ ﺼﻠﱡﻮﺍ ﹶﻓ. Sedangkan dalam kitab sunan Ibnu Majah dan musnad Imam Ahmad berbeda yaitu ﻥ 430
tercantum redaksi yang sama dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik yaitu ﲔ ﻤ ِﻌ ﺟ ﺎ ﹶﺃﺟﻠﹸﻮﺳ ﺼﻠﱡﻮﺍ ﹶﻓ. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan redaksi yang ada pada kitab musnad Ahmad. Dan tentunya perbedaan ini berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik. Meskipun demikian ini juga membuktikan hal lain berkenaan dengan sikap Ibnu Mâlik, bahwa Hadits yang terdapat dalam kitab Hadits dapat dijadikan dalil nahwu, tanpa mempertimbangkan adanya riwayat lain yang berbeda.
cxxxv
pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan kata tersebut sebagai al-Hal, sehingga harus dalam kondisi nashab. Maka itu redaksinya menjadi ﺟﻠﻮﺳﺎ ﳎﺘﻤﻌﲔ. Meskipun demikian kedua bahasa di atas tidak digunakan oleh ulama Bashrah, menurut madzhab Bashrah taukid di sini kembali pada dhamir yang tersembunyi, atau dengan kata lain muakkadnya tersembunyi, sebagaimana pendapat yang dinyatakan Ibnu Mâlik di atas. Dari perdebatan di atas, antara Ibnu Mâlik dan al-Damâmini, menarik untuk dianalisa. Jika menganalisa sumber yang digunakan kedua ahli nahwu di atas, keduaduanya berpijak pada Hadîts Nabi SAW, yang membedakan keduanya adalah sumber riwayat yang digunakan kedua ahli nahwu di atas. Al-Damâmini menggunakan redaksi yang ada pada kitab shahih al-Bukhâri, Muwaththa’ Imam Mâlik, shahih Muslim dan juga sunan Abi Dawud. Sedangkan Ibnu Mâlik menggunakan redaksi yang ada pada kitab sunan Ibnu Majah dan musnad Imam Ahmad. Dalam perspektif ilmu Hadîts jika ada redaksi Hadîts yang bertentangan dengan riwayat lain, maka dilihat dari periwayat Hadîts tersebut, jika di antara kedua periwayat tersebut terdapat periwayat yang lebih tsiqah dan memiliki kualitas yang lebih tinggi, maka riwayat tersebut-lah yang digunakan.431 Maka itu jika menggunakan perspektif ilmu Hadîts, kaidah al-Damamini tentunya lebih unggul dibandingkan dengan Ibnu Mâlik, karena ia menggunakan redaksi Hadîts yang terdapat dalam kitab yang lebih shahih dibandingkan dengan kitab rujukan Ibnu Mâlik.432 Meskipun demikian, inilah yang membedakan pemikiran Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya dalam berdalil dengan Hadîts Nabi SAW. Mungkin saja Ibnu Mâlik tidak menganalisa sejauh itu, karena dalam pandangannya setiap Hadîts yang ada pada kitab Hadîts, boleh dijadikan sebagai dalil nahwu,
431
Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 296 Ulama Hadits sepakat bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah shahih alBukhari, kemudian shahih Muslim dan seterusnya. Sedangan musnad Ahmad dan Ibnu Majah berada pada urutan keenam dan kesembilan. lihat al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 51 432
cxxxvi
meskipun dalam riwayat lain ditemukan redaksi yang berbeda. Itu sebabnya Ibnu Mâlik disebut sebagai ahli nahwu mutasahhil dalam berdalil dengan Hadîts. S. Badal Sebagaimana diketahui bahwa Nabi SAW adalah orang terfashih dalam berbahasa Arab, ucapannya juga penuh hikmah, ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a bahwa jika Nabi SAW berbicara, susunan kata yang keluar begitu indah.433 Keindahan inilah yang dimanfaatkan oleh ahli bahasa, dengan keyakinan bahwa Hadîts yang merupakan perkataan Nabi SAW menyimpan kontribusi besar bagi bahasa. Baik itu dari sisi kosa kata, tarkib maupun bayan. Begitu juga dengan kaidah badal. Badal di sini dapat difahami sebagai salah satu kaidah nahwu atau juga sebagai salah satu kaidah sharaf, kedua-duanya merupakan kaidah bahasa. Meskipun Nabi SAW tidak pernah berbicara dengan menggunakan sebagian ashwat beberapa dialek seperti ‘An’anah434, Kisykisyah435, Kaskasah436 dan
ﻮ ﹶﻝﺭﺳ ﺎﻩ ……ِﺇﻥﱠﺣﺼ ﺩ ﹶﻟﹶﺄ ﺎﻩ ﺍﹾﻟﻌ ﻋﺪ ﻮ ﺣﺪِﻳﺜﹰﺎ ﹶﻟ ﺙ ﹸﺤﺪ ﻳ ﻢ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻲ ﺻ ﻨِﺒﺎ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﻨﻬﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ِ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺎِﺋﻦ ﻋ ﻋ 433 (HR al-Bukhari) ِﺩﻛﹸﻢﺴﺮ ﺚ ﹶﻛ ﺤﺪِﻳ ﹶ ﺍﹾﻟﺩﺴﺮ ﻳ ﻦ ﻳ ﹸﻜ ﻢ ﻢ ﹶﻟ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻ 434
Lahjah al-An’anah adalah perubahan hamzah menjadi ‘ain pada suatu kata. Misalnya kata
ﻛﺄﺹmenjadi ﻛﻌﺺ. Contoh lain adalah ﺍﳋﺐﺀmenjadi ﺍﳋﺒﻊ. Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa Tamim, Qays, Asad dan Mesir. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât alArabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 168. Untuk memahami lebih mendalam pembahasan mengenai lahjat, lihat juga Ibrahim Anis, fi al-Lahjât alArabiyah, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah) cet. Ke-4. 435 Lahjah Kisykisyah adalah bentuk penambahan syin pada kaf khitab muannats dalam waqaf. Misalnya kata ﻚ ِ ( ِﺑbiki) dibaca ﺶ ‘ ِﺑ ِﻜbikasy’ atau kata ﻚ ِ ﻴﻋﹶﻠ (alaiki) dibaca ﺶ ﻴ ِﻜﻋﹶﻠ (alaikisy). Lahjah ini digunakan pada saat waqaf, namun pada prakteknya ada juga yang menggunakan pada saat washal, dengan cara tidak menyebutkan kaf khitab dan mengkasrahkannya ketika washal dan mensukunkannya pada saat waqaf. Misalnya kata alaiki dibaca alaisyi ketika washal, dan dibaca alaisy ketika wakaf. Penggunaan lahjah semacam ini hanya ditemukan pada kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudhar. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 162. 436 Lahjah al-Kaskasah adalah perubahan kaf khitab mudzakkar menjadi sin. Misalnya kata ‘alaika dibaca ‘alaikas. Penggunaan lahjah semacam ini hanya ditemukan pada kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudhar. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 164
cxxxvii
Syansyanah,437 yang oleh sebagian ulama bahasa disebut sebagai bagian dari bahasa yang buruk,438 akan tetapi Hadîts Nabi SAW mempunyai pengaruh dan ikatan dengan ashwat-ashwat tersebut, baik melalui periwayatan maupun penukilan oleh orang– orang Arab yang bukan dari kalangan Quraisy, mereka banyak mengutip Hadîts Nabi SAW dan menyebarkannya dengan bahasa mereka, tidak dengan bahasa Quraisy. Ini untuk mempermudah dalam penyampaian dan penyebaran ke berbagai daerah yang tidak menguasai dialek Quraisy, yang sering Nabi SAW gunakan. Ibnu Faris mengungkapkan, di antara sunah Arab adalah mengganti huruf satu dengan huruf lainnya, dan juga menempatkan sebagian huruf di tempat huruf lainnya. Namun pendapat ini dibantah Abu al-Thîb, ia menegaskan yang dimaksud dengan ibdal tidaklah demikian, ibdal adalah adanya kesamaan makna dalam berbagai dialek yang beraneka ragam, meskipun bentuk lafadznya memiliki kemiripan akan tetapi menuju pada satu makna.439 Dalam Hadîts pun sering terjadi ibdal, ini menunjukkan bahwa Hadîts pun turut serta dalam menjaga ‘sunnah’ Arab ini. Wujud kontribusi Hadîts dalam al-Ibdâl al-Shauty tercermin dalam bentuk yang luas dan detail, misalnya dalam mengganti huruf ya’ dengan waw tercermin dalam sebuah Hadîts yang diriwayatkan Ibnu Umar;440 ﺣﻴﺚmenjadi ﺣﻮﺙ. Atau sebaliknya mengganti huruf waw menjadi ya’ pada kata ﻟﻐﻮﺕmenjadi ﻟﻐﻴﺖyang terkandung dalam sebuah Hadîts yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.441 Meskipun 437
Lahjah al-Syansyanah adalah perubahan huruf kaf yang terletak diakhir kata menjadi syin. Misalnya kata labbaika yang berarti aku memenuhi panggilanmu, berubah menjadi labbaisya dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa Yaman. Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 166 438 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-lughah wa ‘Anwa’iha, (Kairo: Maktabah al-Iman), cet. Ke-3, juz. 1, hal. 221-226 439 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-lughah wa ‘Anwa’iha, juz, 1. hal 460 440 Riwayat Ibnu Umar ﻤﺎ ﺣﻮﺙ ﻭﻗﻌﺘﺎ ﺍﺭﻡ, Lihat al-Khatîb al-Baghdâdi, kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 182.
ﺖ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺪ ﹶﻟﻐِﻴ ﹶﻓ ﹶﻘﺨﻄﹸﺐ ﻳ ﻡ ﺎﺍﹾﻟِﺈﻣﻌ ِﺔ ﻭ ﻤﻡ ﺍﻟﹾﺠ ﻮ ﻳ ﺖ ﺼ ِ ﻧﻚ ﹶﺃ ﺎ ِﺣِﺒﺖ ِﻟﺼ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺇِﺫﹶﺍ ﻗﹸﻠﹾ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻲ ﺻ ﻨِﺒﻦ ﺍﻟ ﻋ ﺓﻳﺮﺮ ﻫ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻋ 441 ﻮ ﻐ ﺪ ﹶﻟ ﻮ ﹶﻓ ﹶﻘ ﻫ ﺎﻧﻤﻭِﺇ ﺮ ﹶﺓ ﺮﻳ ﻐﺔﹸ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ ﻲ ﻟﹸ ﺎ ِﺩ ِﻫﺰﻧ ﻮ ﺍﻟﹶﺃﺑ (HR. Muslim) ﺕ
cxxxviii
ada sebagian ulama Hadîts seperti Abu Zinâd berpendapat bahwa kata ﻟﻐﻴﺖadalah kata yang berasal dari Abu Hurairah Dengan kata lain Hadîts ini adalah hadîts mudraj. Meskipun kata tersebut menjadi kontroversi apakah ia ucapan Nabi SAW atau ucapan Abu Hurairah, pada nyatanya Hadîts tersebut telah memberikan kontribusi pada bahasa, dan telah tersebar dan dikutip di berbagai karya ilmiah. Bahkan An’anah dan Tamim yang disebut oleh sebagian ahli bahasa klasik bagian dari yang mendhaifkan bahasa tersebut, juga merupakan bagian dari periwayat Hadîts ini, karenanya tidak layak bagi mereka untuk tidak menyukai bahasa tersebut.442 Uraian di atas tentunya merupakan gambaran akan luasnya kontrubisi Hadîts dalam kaidah badal, dari sisi kaidah bahasa secara umum. Adapun kaidah badal, perspektif ahli nahwu, ada contoh yang menarik berkenaan dengan boleh tidaknya megganti isim ma’rifah dengan nakirah. Ulama Kûfah menyebutkan bahwa boleh isim ma’rifah diganti dengan nakirah, asalkan kedua lafadz tersebut memiliki kesamaan dalam lafadz. Seperti pada kata ﻴ ٍﺔﺻ ِ ﺎ ﻧdalam salah satu firman Allah SWT.443 Ibnu Mâlik membantah pendapat di atas, ia menyatakan bahwa syarat yang menyebutkan harus adanya kesamaan lafadz antara isim yang diganti dengan yang mengganti adalah tidak benar. Karena ada dalil lain yang menunjukkan bolehnya mengganti ma’rifah dengan nakirah, meskipun kedua lafadz tersebut berbeda.444 Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW;445 Dalam Hadîts ini, kata ﺏ ﺭ
442
Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat alLughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 64 443 (16) ﺎ ِﻃﹶﺌ ٍﺔﺑ ٍﺔ ﺧﺻَﻴ ٍﺔ ﻛﹶﺎ ِﺫ ِ ( ﻧَﺎ15) ﺻَﻴ ِﺔ ِ ﻦ ﺑِﺎﻟﱠﻨﺎ ﻌ ﺴ ﹶﻔ ﻨﺘ ِﻪ ﹶﻟﻨﻳ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ( ﹶﻛﻠﱠﺎ ﹶﻟِﺌQS: al-Alaq: 15-16) 444
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 582-583
445
Redaksi Hadîts dalam syarh al-Umdah adalah; ﻪﺘﺭﹶﺃﻳ ﺪ ﻝ ﹶﻗ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻪﺳﹶﺄﻟﹾﺘ ﺪ ﻲ ﹶﻗﺟﻞﱠ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓِﺈﻧ ﻭ ﺰ ﻋ ﻪ ﺭﺑ ﺃﹶﻯﻫ ﹾﻞ ﺭ
ﺍﻩﻰ ﺃﹶﺭﺍ ﹶﺃﻧﻮﺭ ﻧHadîts ini diriwayatkan dari dari Abu Dzarr. Dalam kitab musnad Ahmad, Hadîts ini
cxxxix
diganti dengan kata ﺍﻮﺭﻧ. Tentu saja kedua lafadz tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang pertama ma’rifah dan kedua nakirah. Inilah dasar dari kaidah yang dimunculkan Ibnu Mâlik, bahwa boleh mengganti kata ma’rifah dengan nakirah, meskipun kedua lafadz kata tersebut berbeda. T. Menjaga Lahjat Arab Imam al-Suyûthi menyebutkan bahwa Ibnu Mâlik sangat menguasai dialek Arab.446 Karenanya, tidak heran ketika Ibnu Mâlik mendapati teks manqûl seperti Hadîts Nabi SAW dan perkataan sahabat yang bertentangan dengan kaidah bahasa yang ada, ia tidak langsung melemahkan bahasa yang terdapat pada teks tersebut. Melainkan ia menganalisa dan mengkaji kemungkinan adanya dialek pada masa awal islam yang seirama dengan Hadîts Nabi SAW. Kelebihan ini nampak dari kajian Ibnu Mâlik terhadap hadîts-hadîts Nabi SAW yang dianggap bermasalah oleh sebagian ahli nahwu. Teks Hadits yang bermasalah tersebut kemudian ditegaskan keshahihannya oleh Ibnu Mâlik, karena ungkapan tersebut sesuai dengan salah satu dialek Arab yang pernah ada. Dalam pandangan Ibnu Mâlik, bahasa yang lahir dari masyarakat Arab klasik (yang hidup pada masa ihtijaj) adalah bahasa fashih, dan mereka tidak mungkin menuturkan bahasa yang buruk, meskipun bahasa tersebut digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Arab. Sikap ini berimplikasi pada sikapnya terhadap teks manqûl yang mengandung dialek Arab klasik yang jarang dituturkan oleh mayoritas masyarakat Arab. Misalnya;
memiliki dua redaksi yang berbeda, pertama sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik. Kedua, adalah ﺍﻩﻰ ﺃﹶﺭﺭ ﹶﺃﻧ ﻮﻝ ﻧ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻪﺳﹶﺄﻟﹾﺘ ﺪ ﺭ ﹶﻗ ﻮ ﹶﺫﺟﻞﱠ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﺑ ﻭ ﺰ ﻋ ﻪ ﺭﺑ ﺃﹶﻯﻫ ﹾﻞ ﺭ . 446
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130
cxl
i. menghilangkan tanwîn pada kata ﲦﺎﱏ Ungkapan tersebut terdapat pada salah satu perkataan sahabat Nabi SAW yaitu Abu Barzah.447 Ibnu Mâlik mengakui bahwa sesungguhnya lafadz yang lebih tepat pada kata ﻲ ﺎِﻧ َﹶﺛﻤdalam Hadîts tersebut adalah ﻴﺎﺎِﻧَﹶﺛﻤ. Karena huruf terakhir dari kata tersebut adalah huruf ya’, sehingga jika dalam keadaan manshûb, ya’-nya harus ditampakkan.448 Dalam hal ini Ibnu Mâlik berpendapat bahwa pada kata ﺎﻧِﻲَﹶﺛﻤ sesungguhnya memiliki tiga bentuk, bentuk yang ketiga adalah hendaknya kata tersebut dalam keadaan manshûb dan bertanwin. Kecuali jika ditulis dengan bahasa Rabi’iyyah. Karena bagi mereka ketika ada kata yang manshub dengan tanwin, maka mereka mensukunkannya, sehingga sang penulis tidak menambahinya dengan alif. Dan siapa yang mengabadikannya dalam bentuk tulisan, ia akan menuliskannya dalam keadaan waqaf. Maka itu, dalam bahasa tutur jika alif tersebut disembunyikan baik ketika waqaf, maupun washal, maka ia juga harus disembunyikan juga ketika dituangkan dalam bentuk tulisan.449 Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa Ibnu Mâlik tidak menyalahkan tulisan dalam Hadîts tersebut, namun justru menguatkannya dengan membuktikan bahwa bahasa yang digunakan dalam Hadîts itu, adalah merupakan bahasa yang juga digunakan oleh salah satu kabilah di Arab. Dengan sikap ini, setidaknya Ibnu Mâlik membuktikan bahwa Hadîts berperan dalam menjaga ragam bahasa yang ada di masyarakat Arab tempo dulu. Dan bukan hanya Hadîts tersebut, ada juga Hadîts lain yang ditunjukkan Ibnu Mâlik yang mengandung bahasa Rabi’ah.450 Tentu saja bagi 447
Hadits yang dimaksud adalah ﻲ ﺎِﻧﺕ ﺃﻭ َﹶﺛﻤ ٍ ﺍﺰﻭ ﻊ ﹶﻏ ﺒﺳ ﻭ ﺕ ﹶﺃ ٍ ﺍﺰﻭ ﺖ ﹶﻏ ﻮ ِﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِﺳﺭﺳ ﻊ ﻣ ﻭﺕ ﺰ ( ﹶﻏHR al-
Bukhâri )
448
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 47 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 49 450 ﺕ ِ ﺎﻭﻫ ﻊ ﻨﻣ ﻭ ﺕ ِ ﺎﺒﻨﺩ ﺍﹾﻟ ﻭﹾﺃ ﻭ ﺕ ِ ﺎﻣﻬ ﻕ ﺍﹾﻟﹸﺄ ﻋﻘﹸﻮ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﻡ ﺮ ﺣ ﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠHadîts ini diriwayatkan oleh Imam al449
Bukhâri. Dalam Hadîts ini tulisan yang diterima secara umum adalah ﻣﻨﻌﺎnamun dalam teks hadîts
cxli
yang tidak menguasai dialek Arab, secepatnya ia akan menyalahkan Hadîts tersebut, dan dianggap sebagai hadîts palsu, karena menyalahi salah satu kaidah nahwu. Dengan pertimbangan bahwa tidak mungkin Hadîts yang merupakan teks yang memiliki kandungan bahasa yang tinggi bertentangan dengan kaidah nahwu. ii. menggunakan ﺸ َﺮ َ ﺍﹾﺛﻨَﺎ َﻋ Pada salah satu Hadîts Nabi SAW, terdapat perkataan sahabat yang seakanakan menyalahi kaidah bahasa.451 Dalam Hadîts tersebut terdapat kata ﺮ ﺸ ﻋ ﺎﺍﺛﹾﻨ. Ungkapan tersebut dianggap menyalahi kaidah bahasa secara umum, karena bahasa yang sering digunakan pada kalimat tersebut adalah ﺮ ﺸ ﻋ ﻨﻰﺍﹾﺛ, namun kata dalam Hadîts tersebut menggunakan alif. Menurut Ibnu Mâlik penggunakan seperti itu tidak salah, karena kalimat itsna asyar yang menggunakan alif adalah bahasa yang digunakan oleh Bani al-Harits bin Ka’ab. Bagi mereka kata tersebut harus seperti alMutsanna. Dan mesti digandengkan dengan alif meski dalam kondisi apapun, karena dalam pandangan Bani al-Harits bin Ka’ab kata tersebut seperti al-Maqshûr.452 U. Analisis bentuk Hadits yang menjadi sumber kaidah Ibnu Mâlik Secara historis diakui bahwa ahli nahwu klasik berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, meskipun jika dianalisa dari sisi kuantitas Hadîts, tidak sebanding dengan jumlah Hadîts yang ada. Setidaknya ini menunjukkan bahwa kehadiran Ibnu Mâlik sebagai ahli nahwu yang banyak berdalil dengan Hadîts bukanlah warna baru dalam pemikiran ilmu nahwu, karena ahli nahwu klasik seperti sybawaih, al-Rummâni, al-Zamakhsyari dan Ibnu Ushfûr pun merujuk pada Hadîts
tersebut huruf alif disembunyikan. Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât alJâmi’ al-Shahîh, hal. 49 451 ﻼﺭﺟ ﺮ ﺸ ﻋ ﺎﺎ ﺍﹾﺛﻨﺮﹶﻗﻨ ( ﹶﻓ ﹶﻔHR. al-Bukhâri) 452
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 97
cxlii
dalam menetapkan kaidah nahwu.453 Kendati demikian, ahli nahwu yang secara terang-terangan menjadikan Hadîts sebagai sumber kedua dalam penetapan kaidah nahwu, diawali oleh Ibnu Mâlik. Akibatnya sikap ini melahirkan kontroversi baru di kalangan ahli nahwu. Ahli nahwu yang semasa dan yang datang kemudian menentang apa yang dilakukan Ibnu Mâlik. Kesimpulan ini berdasarkan fakta sejarah bahwa kontroversi Hadîts sebagai dalil bahasa muncul setelah lahirnya karya-karya Ibnu Mâlik dalam bidang nahwu. Ini menunjukkan bahwa ijtihad Ibnu Mâlik memiliki pengaruh dan perhatian besar di kalangan ahli bahasa. Kalaulah ijtihad ini muncul dari orang biasa yang tidak banyak memahami kaidah nahwu dan Hadîts, tentu saja ahli nahwu tidak akan menanggapi ijtihadnya dengan serius. Ibnu Mâlik lebih dikenal sebagai ahli bahasa, namun sesungguhnya ia juga merupakan ahli dalam bidang Hadîts, ketekunanya dalam menelaah hadîts-hadîts Nabi SAW diakui oleh ulama, antara lain oleh Al-Maqqâri, ia mengatakan bahwa ketekunan Ibnu Mâlik dalam menelaah Hadîts Nabi SAW memiliki bukti otentik.454 Imam al-Suyûthi yang merupakan ahli bahasa dan Hadîts juga menyebutkan bahwa Ibnu Mâlik adalah di antara ulama yang tekun dalam mengkaji Hadîts.455 Bukti lain dari keahlian Ibnu Mâlik dalam bidang Hadîts adalah keberadaan murid-muridnya yang merupakan ahli dalam bidang Hadîts seperti al-Qathb al-Yunini dan Badruddin Ibnu Jama’ah.456 Imam al-Suyûthi mengakui bahwa ia pernah mendapatkan Hadîts melalui jalur periwayatan Ibnu Mâlik.457 Ibnu Mâlik juga mengetahui perbandingan riwayat satu dengan yang lainnya, ini tercermin dalam salah satu ungkapannya ﰲ ﺇﺣﺪﻱ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺘﲔketika hendak 453
Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 94 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir 1968), juz. 2, hal. 422 455 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah 2003), juz. 1, hal. 130 456 Bahkan diceritakan al-Yunini mengaji kitab shahîh al-Bukhâri pada Ibnu Mâlik. Lihat alSuyûthi, Thabaqat al-Huffâdz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), cet. Ke- 1, hal. 520 457 Hadîts tersebut adalah ﻢ ﻻﻳﻀﺎﻣﻮﻥ ﰲ ﺭﺅﻳﺘﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﻈﺮﻭﻥ ﺇﱃ ﺍﻟﻘﻤﺮﻟﻴﻨﻈﺮﻥ ﻗﻮﻡ ﺇﱃ ﺭ. Lihat. Al454
Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 404-405, no. 16
cxliii
menyebutkan salah satu Hadîts sebagai dalil kaidah hukum al-Fi’il al-Mu’tal bisa sejalan dengan hukum al-Fi’il al-Shahih.458 Untuk mengetahui perspektif Ibnu Mâlik terhadap Hadîts Nabi SAW, perlu juga menganalisa pengertian-pengertian yang dituturkan ulama yang dikenal sebagai ahli Hadîts. Sehingga diketahui adakah persamaan dan perbedaan istilah yang digunakan antara ahli Hadîts dengan Ibnu Mâlik. Dalam ilmu Hadîts, yang dimaksud dengan Hadîts adalah perkataan, perbuatan, sifat dan taqrir yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Namun tidak dipungkiri bahwa ada istilah-istilah lain yang dikenal di kalangan ahli Hadîts berkenaan dengan sebutan bagi apa yang datang dari Nabi SAW, seperti atsar, khabar dan sunnah. Di kalangan ahli Hadîts ada yang menyamakan pengertian istilah-istilah tersebut dan ada juga yang membedakannya. Misalnya Imam Nawawi menjelaskan bahwa ahli Fiqih Khurâsan menamai perkataan sahabat (hadits mauqûf) dengan atsar, dan menamai Hadîts yang bersumber dari Nabi SAW dengan khabar. Tetapi secara umum ahli Hadîts menamai Hadîts Nabi dan perkataan shabat dengan atsar juga. Sementara sebagian ulama memakai kata atsar untuk perkataan-perkataan tâbi’în saja.459 Al-Zarkasyi menggunakan kata atsar untuk Hadîts mauqûf, namun ia juga membolehkan menggunakan atsar untuk perkataan Rasulullah SAW (hadits marfû’). Al-Thahâwi menggunakan kata atsar untuk hal yang datang dari Nabi SAW dan sahabat, kesimpulan ini dianalisa dari karyanya yang berjudul ma’âni al-Atsar, yang di dalamnya menjelaskan hadîts-hadîts Nabi yang marfû’ dan mauqûf. Sedangkan alThabari menggunakan atsar khusus untuk Hadîts marfû’ saja. Kesimpulan ini juga didapat dari analisa karyanya yang berjudul tahdzîb al-Atsar yang didalamnya menerangkan hadîts-hadîts marfû’ saja. Tidak mudah menemukan istilah Hadîts yang didefinisikan langsung oleh Ibnu Mâlik. Untuk mendapatkannya perlu menganalisa hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada Hadîts Nabi SAW di 458 459
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 21 Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Fikr 1995), hal. 8
cxliv
dalam karya-karya Ibnu Mâlik. Defenisi Hadîts Ibnu Mâlik penting untuk dianalisa agar tujuan dari tulisan ini, yaitu menganalisa pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu yang bersumber dari Hadîts dapat dibuktikan dengan baik. Tidak dipungkiri bahwa kajian yang mengulas tentang persfektif ahli nahwu terhadap Hadîts telah dilakukan oleh ahli nahwu sejak lama. Karenanya terminologi Hadîts dalam pandangan ahli nahwu secara umum dimungkinkan dapat dilacak keberadaannya. Dan pandangan ahli nahwu tersebut pun perlu dibandingkan dengan pandangan Ibnu Mâlik, ini dimaksudkan untuk membuktikan adanya kesamaan dan perbedaan dalam pandangan mereka tentang Hadîts Nabi SAW. Ahli nahwu memiliki pandangan sendiri tentang Hadîts Nabi SAW, menurut mereka dalam bidang ranah kajian nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW. Ini karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja,460 dalam istilah ahli Hadîts, bentuk seperti itu disebut sebagai hadîts qauli, itulah yang merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada juga sebagian ahli nahwu yang menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan oleh ahli Hadîts dan mengandung hukum marfû’, adalah merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya itu dapat dijadikan dalil kaidah nahwu.461 Bahkan perkataan tâbi’în pun disebut sebagai sumber kaidah, alasannya karena adanya beberapa perkataan mereka yang tertuang dalam kitab-kitab Hadîts, seperti; perkataan al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar bin Abdul Azîz, karenanya para ahli nahwu menetapkan perkataan tâbi’în sesungguhnya memiliki otoritas sebagai dalil nahwu462 Selanjutnya untuk mendapatkan pengertian Hadîts yang dianut Ibnu Mâlik, teks-teks Hadîts yang terdapat dalam karya-karya nahwu Ibnu Mâlik, dianalisa dan dibandingkan dengan pemikiran ahli nahwu dan ahli Hadîts yang telah diuraikan di atas. Hasil dari analisa tersebut antara lain; 460
Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, Al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 462 Sa’îd al-Afghâni, Fi Ushûl al-Nahwi, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987), hal. 46 461
cxlv
i. berdalil dengan hadîts qauli Dalam karya-karya Ibnu Mâlik, ditemukan bahwa ia berdalil dengan hadîts qauli, yaitu perkataan Nabi SAW, seperti ketika Ibnu Mâlik menjelaskan kaidah 464
tamyîz,463 dalam kaidah tersebut Ibnu Mâlik berdalil dengan hadîts qauli.
Dari sini
diketahui bahwa sikap ibnu Mâlik ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh mayoritas ahli nahwu, bahwa fokus ahli nahwu terhadap teks Hadîts adalah hadîts qauli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan hadîts qauli dalam menetapkan kaidah nahwu. ii. berdalil dengan hadîts fi’li Dalam karyanya, Ibnu Mâlik juga berdalil dengan hadîts fi’li, yaitu; sikap atau perbuatan Nabi SAW yang diceritakan oleh sahabat atau istri Nabi SAW. Tentunya lafadz Hadîts kategori ini dipastikan bukan dari Rasulullah SAW, melainkan ucapan sahabat Nabi SAW.465 Dalam pandangan hukum syariat diakui bahwa kandungan hadîts fi’li memiliki kekuatan hukum seperti hadîts qauli, yakni keduanya bersumber dari Nabi SAW. Namun tidak demikian halnya dalam perspektif hukum nahwu, lafadz hadîts fi’li bukanlah lafadz Nabi SAW, melainkan lafadz sahabat. Sehingga kualitas kedua bahasa tersebut berbeda, karena lafadz yang datang dari Nabi SAW adalah lafadz yang terbaik dibandingkan dengan lafadz sahabat. Meskipun demikian hadîts fi’li tetap dijadikan sebagai dalil nahwu oleh Ibnu Mâlik, contoh ungkapan 463 464
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 466 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ﺎﻫﺒ ٍﺪ ﹶﺫﻞ ﺃﹸﺣ ِﻣﹾﺜ ﹶﻛﹸﻢﺣﺪ ﻖ ﹶﺍ ﻧ ﹶﻔﻮ ﹶﺃ ﹶﻟHadîts
ini diriwayatkan dari Abu Sa’îd al-Khudri dan Abu Hurairah. Ini adalah hadîts qauli, karena Hadîts ini merupakan ucapan langsung Nabi SAW. Redaksi Hadîts ini terdapat dalam kitab sunan Abi Dâwud dan al-Mu’jam al-Kabîr karya al-Thabrâni. Meskipun Hadîts ini diriwayatkan juga oleh ahli Hadîts lain dalam kitab yang berbeda-beda, namun redaksi hadîts-hadîts tersebut sedikit berbeda dengan apa yang digunakan Ibnu Mâlik. Seperti dalam kitab Shahîh Muslim dan musnad Ahmad, tertulis ﺪﻛﹸﻢ ﺣ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﹶﺃ
ﺎﺒ ٍﺪ ﺫﹶﻫﻖ ِﻣﹾﺜ ﹶﻞ ﺃﹸﺣ ﻧ ﹶﻔﻮ ﹶﺃ ﹶﻟperiwayat dalam kedua kitab Hadîts tersebut juga adalah Abu Sa’îd al-Khudri. Meskipun Hadîts ini diriwayatkan dalam redaksi yang berbeda, namun perbedaan tersebut tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik. Karena perbedaan teks Hadîts tersebut tidak berpengaruh pada pembahasan tamyîz yang merupakan objek dalam Hadîts ini, yaitu kata ﺎﺒﺫﹶﻫ. 465
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 465
cxlvi
hadîts fi’li yang digunakan Ibnu Mâlik adalah; ﻮﻝﹸ ﺭﺳ ﻲﻧﻬ ﻪ ﻗﹶﺎﻝ ﹶﺃﻧﺎ ِﺭﻱﺼﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﻟﹾﹶﺄﻧﻋ ﻦ ِ ﺑ ﺎِﺑ ِﺮﻦ ﺟ ﻋ
TَP466PTﷲ ِ ﺍhadîts fi’li ini dikutip Ibnu Mâlik ketika ia menjelaskan kaidah al-Hâl. iii. berdalil dengan hadîts mauqûf Ibnu Mâlik juga berdalil dengan ucapan sahabat, yang dalam ilmu Hadîts disebut sebagai hadîts mauqûf. Ada kesamaan dan perbedaan antara hadîts fi’li dan hadîts mauqûf. Dari sisi lafadz Hadîts, kesamaannya adalah keduanya sama-sama merupakan ucapan yang bersumber dari sahabat Nabi SAW. Adapun perbedaannya adalah jika hadîts fi’li memiliki kandungan hukum syariat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW, sedangankan hadîts mauqûf hanya merupakan perkataan sahabat dan kandungan hukumnya tidak selamanya dapat disandarkan pada Nabi SAW. Ditemukan dalam karya nahwu Ibnu Mâlik, pada beberapa kaidah nahwu Ibnu Malik berdalil dengan perkataan sahabat, misalnya dalam menyatakan kaidah fi’il syarth dan jawâb-nya. Ibnu Mâlik menyatakan bahwa boleh menggunakan fi’il syarth dari fi’il al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi’, kaidah tersebut berlandaskan
466
Hadîts fi’li yang dijadikan dalil dalam kaidah al-Hâl oleh Ibnu Mâlik adalah;
ﺍ ِﺣ ٍﺪﻴ ِﻦ ِﺑﻮﻨﻧﺴِﻴﹶﺌ ﹰﺔ ﺍﹾﺛ ﺍ ِﻥﻴﻮﺤ ﺍ ِﻥ ﺑِﺎﹾﻟﻴﻮﺤ ﻴ ِﻊ ﺍﹾﻟﺑ ﻦ ﻋ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﻰﻧﻬ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻱ ﹶﺃﻧ ﺎ ِﺭﻧﺼﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺍﹾﻟﹶﺄﻋ ﺑ ِﻦ ﺎِﺑ ِﺮﻦ ﺟ ﻋ Dalam literatur Hadîts biasanya hadîts fi’li diawali dengan pernyataan sahabat bahwa ia melihat Nabi SAW melakukan ini dan itu….’ Dan hadîts fi’li yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik ini adalah perkataan Jâbir bin Abdullah yang merupakan seorang sahabat. Hadîts ini diriwayatkan dalam musnad Ahmad. Meskipun redaksi kata-kata dalam Hadîts ini datang dari sahabat, namun kandungan hukum syariatnya bersandar pada Nabi Muhammad SAW, karena itu teks ini dinamai dengan Hadîts. Selain dari Jâbir, Hadîts di atas diriwayatkan juga oleh Samurah bin Jundab dengan redaksi yang berbeda dengan di atas, yaitu ﻧﺴِﻴﹶﺌ ﹰﺔ ﻥ ِ ﺍﻴﻮﺤ ﺍ ِﻥ ﺑِﺎﹾﻟﻴﻮﺤ ﻴ ِﻊ ﺍﹾﻟﺑ ﻦ ﻋ ﻰﻧﻬ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﺏ ﹶﺃﻥﱠ ٍ ﺪ ﻨﺑ ِﻦ ﺟ ﺮ ﹶﺓ ﺳﻤ ﻦ ﻋ . Hadîts Samurah ini terdapat dalam berbagai kitab Hadîts, seperti sunan al-Nasâ’i, al-Tirmidzi, dan Abu Dâwud. Dan nampaknya Ibnu Mâlik lebih cenderung menggunakan redaksi Hadîts yang terkandung dalam kitab musnad Ahmad. Meskipun demikian perbedaan redaksi tersebut tidak mengganggu ketetapan kaidah yang dibuat oleh Ibnu Mâlik, karena keduanya sama berbentuk hadîts fi’li dan juga mengandung kaidah al-Hâl, pada kata ﻧﺴِﻴﹶﺌ ﹰﺔ.
cxlvii
pada ucapan ‘Aisyah r.a.467 Bahkan ucapan ini dijadikan bantahan terhadap ahli nahwu yang menyatakan bahwa kaidah ini hanya khusus digunakan pada syair.468 Selain ucapan ‘Aisyah ada juga ucapan sahabat lain yang djadikan dalil nahwu oleh Ibnu Mâlik, misalnya; perkataan Ibnu Abbâs, Umar r.a, dan Amr bin Ma’ad.469 Kesimpulannya, sikap Ibnu Mâlik ini tidak jauh berbeda dengan sikap ahli nahwu lainnya, yaitu menjadikan ucapan sahabat Nabi SAW sebagai dalil kaidah nahwu. iv. berdalil dengan perkataan non Muslim Ibnu Mâlik juga berdalil dengan perkataan non Muslim yang semasa dengan 470
Nabi Muhammad SAW, yaitu perkataan Abu Jahal.
Ibnu Mâlik berdalil dengan
perkataan ini dalam kaidah; tetapnya alif dalam kata ﻳﺮﺍﻙsetelah ﻣﱵal-Syarthiyyah.471 Inilah mungkin yang berbeda dari Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya. Diketahui sebab diterimanya Hadîts sebagai dalil nahwu baik itu hadîts mauqûf atau hadîts marfû’ antara lain adalah ucapan tersebut berasal dari orang mulia. Sedangan Abu Jahal, yang merupakan tokoh kafir yang menentang dakwah Nabi SAW adalah orang 467
Ucapan ‘Aisyah ini merupakan komentar akan sosok Abu Bakr al-Shiddîq yang merupakan ayah kandungnya. Ungkapannya adalah ﻕ ﺭ ﻚ ﻣ ﻣﻘﹶﺎ ﻢ ﻳ ﹸﻘ ﻰﻣﺘ ﻒ ﺟ ﹲﻞ ﹶﺃﺳِﻴ ﺭ ﻪ ِﺇﻧ, ucapan ‘Aisyah ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhâri. 468 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal 372 469 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 1018 470 Perkataan yang dimaksud adalah ﺖ ﺨﻠﱠﻔﹾ ﺗ ﺪ ﺱ ﹶﻗ ﺎﻙ ﺍﻟﻨ ﺍﻳﺮ ﻰﻣﺘ . Ungkapan Abu Jahal ini ditujukan pada Abu Shafwân. Ibnu Mâlik mengutipnya dalam kitab Syawâhid al-Taudhîh, yang merupakan kumpulan Hadîts Shahîh yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun ketika penulis merujuk pada kitab Shahîh Bukhari, redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik dengan apa yang ada pada kitab Shahîh al-Bukhâri terdapat sedikit perbedaan, yaitu adanya huruf ﻣﺎantara kata ﻣﱵdan ﻳﺮﺍﻙkarena dalam kitab Shahîh al-Bukhâri redaksi hadîts yang tertulis adalah; ﻞ ِ ﻫ ﺪ ﹶﺃ ﺳﻴ ﺖ ﻧﻭﹶﺃ ﺖ ﺨﻠﱠﻔﹾ ﺗ ﺪ ﺱ ﹶﻗ ﺎﻙ ﺍﻟﻨ ﺍﻳﺮ ﺎﻰ ﻣﻣﺘ
ﺍﺩِﻱ ﺍﹾﻟﻮdalam karya Ibnu Mâlik tidak tercantum ﻣﺎdan juga tidak dijelaskan apa kedudukannya dalam i’râb. Ini penting karena objek yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik adalah dua kata yang berada di antara ﻣﺎtersebut. Sehingga dikhawatirkan Ibnu Mâlik melakukan kesalahan dalam mengambil dalil nahwu. Tentunya ini perlu penelitian lebih mendalam, dan sejauh penelitian penulis tidak ditemukan ulama yang memberikan komentar berkaitan dengan hadîts tersebut. 471 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 17
cxlviii
yang buruk. Bahkan Ibnu Mâlik sendiri mengatakan la’natullah ketika mengutip ucapannya.472 Dari sini dapat terlihat perbedaaan sikap antara ahli nahwu dan ahli Hadîts terhadap teks Hadîts. Mungkin saja secara hukum apa yang diucapakan oleh Abu Jahal tidak diterima karena ia bukan merupakan sumber hukum syariat. Akan tetapi dalam pandangan ahli nahwu Abu Jahal merupakan orang Arab yang faham akan kefashihan bahasa Arab, karena dalam ilmu nahwu, tidak penting agama atau aliran apa yang dianut penutur bahasa, asalkan ia sesuai dengan syarat dan ketetapan sebagai bahasa fashih, maka ia dapat dijadikan sumber kaidah nahwu. Terlebih Abu Jahal hidup di masa ihtijaj. Sebagaimana ditetapkan ahli bahasa bahwa batasan masa diterimanya ungkapan Arab sebagai dalil bahasa, yang menurut pendapat paling kuat adalah; Pertama, orang Arab perkotaan yang hidup hingga akhir abad kedua. Kedua, orang Arab Badui yang hidup di Jazirah Arab hingga akhir abad keempat.473 Berdasarkan prinsip di atas, Abu Jahal termasuk orang Arab yang hidup pada masa ihtijâj, karena ia hidup di masa sebelum hijrah. Tidak diketahui alasan pasti Ibnu Mâlik menjadikan ucapan Abu Jahal sebagai dalil nahwu, apakah alasannya sebagaimana yang disebutkan di atas, atau karena ucapan tersebut terdapat dalam kitab Hadîts yang paling shahih, sehingga ucapan tersebut dipastikan fashih karena diriwayatkan oleh orang-orang kredibel dalam meriwayatkan Hadîts. v. hadîts bagian dari perkataan Arab Dalam salah satu karya nahwu, ketika Ibnu Mâlik hendak membuktikan bahwa kaidah na’at boleh memiliki makna yang lebih khusus dibandingkan dengan man’ût adalah kaidah otoritatif. Ibnu Mâlik menyatakan bahwa; “kaidah itu terjadi
472
Redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik adalah ".... : ﻟﺼﻔﻮﺍﻥ، ﻟﻌﻨﺔ ﺍﷲ، ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻮ ﺟﻬﻞLihat.
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 17 473 Abbâs Hasan, al-Lughah wa al-Nahwu, bayna al-Qadim wa al-Hadîts, (Mesir: Dar- alMa’arif tth), hal. 24
cxlix
pada perkataan Arab, di antaranya Hadîts Nabi SAW”.474 Dari ungkapan Ibnu Mâlik ini, setidaknya menunjukkan bahwa ia mendudukkan Hadîts sebagai bagian dari perkataan Arab, karena memang Nabi SAW adalah orang Arab. Secara hukum syariat tentunya berbeda antara perkataan orang Arab secara umum dan perkataan Nabi Muhammad SAW. Karenanya ungkapan Ibnu Mâlik ini menunjukkan bahwa dalam perspektif ilmu nahwu, kedudukan Hadîts Nabi SAW sama dengan perkataan lainnya yaitu bagian dari perkataan orang Arab yang wajib dijadikan dalil nahwu. Dan kalaupun perkataann Nabi SAW diriwayatkan oleh orang-orang terbaik dan terpuji maka ini menjadi nilai lebih dalam ilmu periwayatan, jika dibandingkan dengan periwayatan syair dan natsr. Artinya jika syair yang merupakan perkataan Arab tidak diragukan otorisasinya sebagai sumber kaidah nahwu, maka tentunya tidak ada alasan untuk meragukan Hadîts sebagai sumber yang lebih otoritatif. Dalam pandangan Ibnu Mâlik seluruh Hadîts dapat dijadikan dalil nahwu, baik itu yang diriwayatkan secara makna atau lafdzi. Sikap inilah di antara yang mengundang kecaman dari sebagian ahli bahasa, yaitu mudahnya Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts, tanpa melihat dan membandingkannya dengan riwayat lain. Jika ada riwayat lain yang menghadirkan redaksi yang sedikit berbeda, hal itu tidak menjadikan kaidah yang telah dilahirkan Ibnu Mâlik menjadi lemah. Misalnya Ibnu 475
Mâlik menjadikan Hadîts TP 474
PTﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﹲﺔ ﻢ ﻮ ﹶﻥ ﻓِﻴ ﹸﻜﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ sebagai dalil dalam beberapa
Dalam salah satu karyanya tertulis ﻭﺍﻗﻊ ﰲ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻛﺜﲑﺍ ﻓﻤﻦ ﺫﻟﻚ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻨﱯlihat Ibnu Mâlik,
Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 599. 475 Hadîts ini diriwayatkan dari seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah. Hadîts ini diriwayatkan juga oleh banyak ahli Hadîts dalam berbagai kitab. Pertama, oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhâri. Redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik nampaknya sesuai dengan apa yang ada pada kitab Shahîh al-Bukhâri dalam berbagai bab, kecuali pada bab dzikr al-Malâ’ikah. ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶ ﻭ ﻴ ِﻞﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﹲﺔ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ﻮ ﹶﻥﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ ﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜﺔﹸ ﺍﹾﻟ redaksi Hadîts yang terdapat pada pada bab tersebut agak berbeda; ﺎ ِﺭﻨﻬﻜ ﹲﺔ ﺑِﺎﻟ Kedua, Hadîts ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh Muslim, kasus yang terjadi dalam kitab ini, sama dengan apa yang terjadi pada Shahîh al-Bukhâri, yaitu adanya dua redaksi yang berbeda dalam satu kitab tersebut. Ketiga, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam musnad Ahmad, dalam kitab ini ada tiga redaksi Hadîts yang berbeda-beda, ada juga yang sama dengan kedua Hadîts yang telah disebutkan sebelumnya, namun ada pula yang berbeda, yaitu; ﻜ ﹶﺔ ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶ ﻮ ﹶﻥﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ِﻟﻠﱠ ِﻪ
ﺎ ِﺭﻨﻬﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﹶﺔ ﺍﻟ ﻭ ِﻞﺍﻟﻠﱠﻴ. Jika semua redaksi Hadîts yang disebutkan tersebut hukumnya Shahîh, maka dapat
cl
kaidah, antara lain dalam kaidah al-Af’âl al-Khamsah476 dan Na’at477. Bagi Ibnu Mâlik Hadîts tersebut dijadikan sebagai pembenaran akan ungkapan
ﻮِﻧﻲ ﹶﺃ ﹶﻛﹸﻠ
TP478PTﺚ ﻴ ﹸﺮﺍ ِﻏ ﺒﹾﺍﻟ. Menurut al-Suyûthi boleh jadi benar kedua kaidah tersebut jika berdasarkan teks Hadîts yang dikutip Ibnu Mâlik yang bersumber dari shahih alBukhâri dan al-Muwaththa’. Meskipun kaidah tersebut benar, namun al-Suyûthi menolak jika Hadîts tersebut sebagai dalil bagi kedua kaidah di atas, karena menurutnya ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa terdapat kata lain sebelum kata ﻮ ﹶﻥﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ. Hadîts ini riwayat dari Abu Hurairah yang tercantum dalam musnad
ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶ ِﺇﻥﱠ ِﻟﻠﱠ ِﻪ. Ahmad, dalam kitab tersebut tertulis ﻮ ﹶﻥﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ ﻜ ﹰﺔ Dalam pandangan imam al-Suyûthi bahwa waw jamâ’ah pada fi’il ﻮ ﹶﻥﺎﹶﻗﺒﺘﻌﻳ kembali pada kata sebelumnya yaitu ﻜ ﹰﺔ ﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶ . Dan waw jama’ah pada fi’il di sini adalah dhamir yang menunjukkan pada fâ’il. Dan waw tersebut bukan menunjukkan jumlah fâ’il. Maka itu dalam pandangan al-Suyûthi istinbath Ibnu Mâlik dari Hadîts ini tertolak, karena ada riwayat lain yang menunjukkan hal yang berbeda dengan apa yang dilihat Ibnu Mâlik 479. Sesungguhnya Ibnu Mâlik bukanlah orang pertama yang berdalil dengan riwayat ini, ada ahli nahwu lain yang merupakan inspirator Ibnu
disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik berdalil dengan salah satu redaksi Hadîts tersebut dan meninggalkan yang lainnya. Dan jika menggunakan redaksi yang lain akan mengganggu otentisitas kaidah nahwu yang disampaikan Ibnu Mâlik. Dari sikap ini dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan semua Hadîts sebagai dalil nahwu, meskipun ada redaksi lain yang berbeda dengan redaksi yang digunakannya, meskipun mengandung makna yang sama. 476 Untuk lebih mengetahui pembahasan mengenai al-Af’âl al-Khamsah, lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 129 477 Untuk lebih mengetahui pembahasan mengenai kaidah Na’at , lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 540 478 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 53. Lihat juga al-Suyûthi, Ham’u al-Hawâmi’ Syarh Jam’u al-Jawâmi’, juz. 1, hal. 160 479 Al-Suyûthi , Ham’u al-Hawâmi’ Syarh Jam’u al-Jawâmi’, juz. 1, hal. 160
cli
Mâlik, yaitu al-Suhayli yang menjadikan Hadîts itu sebagai dalil dari salah satu kaidah-nya.480 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Ibnu Mâlik dan pandangan Imam al-Suyûthi terhadap Hadîts memiliki perbedaan yang cukup mendalam. Akibatnya perbedaan ini melahirkan kaidah-kaidah nahwu yang berlainan. Perbedaan dalam menginterpretasi suatu sumber kaidah, akan melahairkan kaidah yang berbeda pula. Maka itu dalam tesis ini, hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik dinalisa dan dibandingkan dengan riwayat lain, dalam tesis ini analisa tersebut ditempatkan pada catatan kaki, sehingga pembahasan pokok tentang perbandingan kaidah Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya tidak terkesampingkan. Dan setidaknya analisa riwayat Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik ini, dapat menjadi gambaran sesungguhnya dari pemikiran dan pandangan Ibnu Mâlik terhadap teks Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. vi. posisi Hadîts di antara Sumber lainnya Bagi Ibnu Mâlik, Hadîts memiliki kedudukan tinggi sebagai sumber kaidah nahwu setelah al-Qur’ân. Ketika ada ahli nahwu yang berdalil dengan syair, dan kaidah tersebut bertentangan dengan ungkapan dalam Hadîts Nabi SAW, maka dalam pandangan Ibnu Mâlik kaidah yang bersumber dari syair tersebut akan dikesampingkan, karena teks Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan teks syair.481 Bahkan ada beberapa kaidah yang sebelumnya tidak terdapat dalam khazanah ilmu nahwu klasik, namun muncul dari tangan Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW. Karena Hadîts pada masa awal kemunculan ilmu nahwu tidak menjadi prioritas sebagai sumber kaidah Nahwu. Implikasi dari pemikiran Ibnu Mâlik ini adalah jika pembenaran suatu kaidah bahasa tidak ditemukan dalam al-Qur’ân, maka ia merujuk pada Hadîts Nabi SAW, 480
Lihat juga Muhammad Fajjâl, al-Idhâh fi Syarh al-Iqtirâh, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989), cet. Ke-1, hal. 88-85 481 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, (Makkah: Dar al-Ma’mun 1982), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 91
clii
dan jika didapati dalam Hadîts maka ia mengabaikan sumber lain yang lebih rendah otoritasnya, terlebih jika teks tersebut bersebrangan dengan teks Hadîts. Dan kalaupun ada syair yang sejalan dengan teks Hadîts dalam suatu kaidah, itu sematamata hanya pelengkap dari hukum yang terdapat dalam teks Hadîts. Misalnya kaidah yang mengatakan boleh menyembunyikan huruf al-Nidâ’, dalam menetapkan kaidah ini Ibnu Mâlik berdalil dengan dua Hadîts Nabi SAW.482 Meskipun sebelumnya ada ahli nahwu yang berpendapat lain akan kaidah tersebut berdasarkan syair. Misalnya ulama Bashrah memandang kaidah boleh menyembunyikan huruf al-Nidâ’ adalah kaidah syadz dan tidak boleh mengkiyaskan padanya. Sedangkan ulama Kûfah mengkiyaskan pada kaidah tersbut. Meskipun ada natsr dan nadzam yang memperkuat pendapat ulama Bashrah, Ibnu Mâlik tidak menghiraukannya, bahkan ia tetap berpegang pada kedua Hadîts tersebut.483 Sikap inilah di antara yang membedakan Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu sebelumnya dalam memposisikan Hadîts sebagai sumber kaidah. Maka itu tidak sedikit ulama kontemporer yang menyebutkan bahwa Ibnu Mâlik telah menempatkan Hadîts pada posisinya yang tepat.484 Meskipun tidak dipungkiri ada ulama lain yang bersebrangan dengannya. vii. analisis sebab-sebab penolakan Hadits. Ahli bahasa sepakat bahwa bahasa Nabi SAW adalah bahasa yang terfashih dibandingkan dengan ucapan masyarakat Arab lainnya, hanya saja sebagian ulama meragukan apakah Hadîts yang sampai pada kita saat ini, lafadznya masih sama dengan lafadz ketika Nabi SAW mensabdakannya. Maka itu, dari sini dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab penolakan mereka terhadap Hadîts adalah dua hal; Pertama, periwayatan Hadîts hanya dengan makna. Kedua, para
482
Kedua Hadîts tersebut adalah; Pertama, ﺛﻮﰊ ﺣﺠﺮ. Kedua, ﺍﺷﺘﺪﻱ ﺃﺯﻣﺔ ﺗﺘﻔﺮﺟﻰpembahasan ini
akan dianalisa lebih mendalam dalam pembahasan ‘menyembunyikan huruf al-Nida’. 483 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz. 1, hal. 92 484 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz. 1, hal. 92
cliii
periwayat Hadîts bukanlah orang Arab, sehingga dimungkinkan ketika meriwayatkan Hadîts ia menggunakan bahasa cacat yang jauh dari kefashihan. Abdul Hamid alSyalqâni menambahkan dua penyebab lain yang menjadi alasan ulama bahasa dalam menolak Hadîts, yaitu; al-Tashîf dan pemalsuan Hadîts.485 Penyebab-penyebab ini akan dianalisa kebenarannya satu persatu, agar diketahui sejauh mana otentisitas sebab penolakan mereka terhadap Hadîts tersebut. Karena sikap mereka ini berpengaruh pada kaidah nahwu yang ada, ini terlihat dari kaidah-kaidah mereka yang sangat bersebrangan dengan kaidah Ibnu Mâlik yang nota bene berdasarkan Hadîts Nabi SAW. a. Meriwayatkan Hadîts dengan makna Jika diamati lebih mendalam hadîts-hadîts dalam karya Ibnu Mâlik yang dijadikan sebagai sumber kaidah nahwu, akan ditemukan beberapa Hadîts yang diduga diriwayatkan dengan makna. Identifikasi ini terlihat dari adanya redaksi Hadîts yang dijadikan sebagai sumber kaidah memiliki redaksi lain, meskipun satu makna. Seperti terjadi pada kaidah bolehnya menyembunyikan muakkad yang
ﺎ ﹶﺃﺟﻠﹸﻮﺳ ﺼﻠﱡﻮﺍ ﹶﻓ, dalam riwayat lain disebutkan ﲔ ﻤ ِﻌ ﺟ ﹶﺃ. berlandaskan pada Hadîts ﻮ ﹶﻥﻤﻌ ﺟ Tentu saja terlalu dini untuk mengatakan bahwa Hadîts tersebut diriwayatkan dengan makna, karena boleh jadi Nabi SAW menuturkan ungkapan seperti itu di berbagai tempat. Untuk mengetahui hokum periwayatan Hadîts dengan makna, maka mesti menganalisa perspektif ahli Hadîts berkenaan dengan boleh atau tidaknya meriwayatkan Hadîts dengan makna. Karena problem ini adalah merupakan masalah yang selalu dijadikan alasan bagi sebagian ahli nahwu, seperti; Ibnu al-Dha’i dan Abu Hayyân untuk menolak Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa. Dalam transmisi Hadîts, periwayat pertama adalah para sahabat, mereka adalah orang yang mendengarkan langsung apa yang dituturkan Rasulullah SAW, dan mereka paling mengetahui maksud dari Hadîts yang dituturkan tersebut. Karena itu urgen sekali untuk mengetahui sejauh mana etika dan cara sahabat ketika 485
Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh: Jâmiah al-Riyâdh 1980), hal. 56
cliv
menyampaikan sabda Nabi SAW pada sahabat lain atau tâbi’în, yang tidak mendengar dan bertemu langsung dengan Nabi SAW. Dalam literatur ilmu Hadîts dan sejarah, digambarkan bagaimana kehatihatian sahabat dan kekhawatirannya jatuh pada jurang kesalahan dalam meriwayatkan sabda Nabi SAW. Karenanya mayoritas sahabat berusaha menjaga lafadz Hadîts Nabi SAW, diharapkan lafadz yang diriwayatkan olehnya, sama persis dengan lafadz yang mereka dengar dari Rasululah SAW, tanpa penambahan dan pengurangan. Sikap ini sesungguhnya sesuai dengan arahan Nabi SAW bagi siapa yang mendengar Hadîts Nabi SAW agar menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia dengar.486 Contoh kasusnya adalah; ketika Nabi SAW meminta salah satu sahabatnya, al-Barâ’, mengulangi salah satu do’a yang diajarkannya, al-Barâ’ menyebutkan ‘warasulika’ padahal yang benar adalah wanabiyyika, dan Rasulullah SAW memperbaikinya sambil menunjuk dadanya.487 Riwayat ini menunjukkan akan perhatian Rasulullah SAW akan orisinal lafadz yang ia sabdakan, artinya para sahabat dididik untuk tetap menjaga lafadz yang dituturkan Rasulullah SAW. Di antara sahabat Nabi SAW yang terkenal akan kesungguhan dan ketelitiannya dalam menjaga lafadz Hadîts Nabi SAW adalah; Abdullah bin Umar, beliau pernah meriwayatkan Hadîts ‘Islam itu didirikan atas lima perkara..”,488 kemudian Hadîts itu diulangi oleh kawannya, dan Ibnu Umar berkata, “Letakkan puasa ramadhan di akhir ucapan, sebagaimana aku mendengarnya dari mulut Rasulullah SAW.489 Dari riwayat di atas, nampaklah ketelitian para sahabat dalam 486
Untuk mengetahui keutamaan-keutamaan yang diberikan bagi periwayat Hadîts yang menyampaikan sabda Nabi SAWsesuai dengan apa yang ia dengar, pembaca dapat merujuk pada Kitâb; Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1978), juz. 1, hal. 39. 487 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, (Dar al-Ilmi al-Malayîn 1959), cet. Ke-1, hal. 80-81
ﻪ ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ ﺩ ِﺓ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻟﹶﺎ ِﺇﹶﻟ ﻬﺎ ﺷ ﺲ ٍ ﻤ ﺧ ﻠﹶﻰﻡ ﻋ ﺳﻠﹶﺎ ﻲ ﺍﹾﻟِﺈ ِﻨﻢ ﺑ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﺎ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﻤﻬﻨﻪ ﻋ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﻤ ﺑ ِﻦ ﻋﻦ ﺍ ﻋ ﺎﻥﻣﻀ ﺭ ﻮ ِﻡ ﺻ ﻭ ﺞﺍﻟﹾﺤﺰﻛﹶﺎ ِﺓ ﻭ ﺎ ِﺀ ﺍﻟﻭﺇِﻳﺘ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ﻭِﺇﻗﹶﺎ ِﻡ ﺍﻟ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﺍﺪﻤﺤﻭﹶﺃﻥﱠ ﻣ (HR al-Bukhâri) 488
489
Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah (Beirut, Dar al-Kutub alIlmiyyah 1988), hal. 176. lihat juga, Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, (Beirut, Dar al-Fikr 1990), hal. 128.
clv
meriwayatkan Hadîts, bahkan mereka melarang menambahkan atau menghilangkan satu huruf pun dari Hadîts Nabi SAW, meskipun hal itu tidak merubah makna. Sikap ini bukan hanya dianut oleh sahabat, tâbi’în yang merupakan generasi kedua setelah sahabat pun bersikap demikian. Ibnu ‘Aun mengatakan; “Yang aku ketahui di antara orang yang sangat ketat menjaga lafadz Hadîts adalah; al-Qâsim bin Muhammad di Hijâz, Rajâ’ bin Haywah di Syâm dan Muhammad bin Sirîn di Bashrah.490 Kehati-hatian ahli Hadîts dalam menjaga lafadz Nabi SAW bisa terlihat juga dari sikap Ibrâhim bin Maysarah dan Thawûs ketika menyampaikan sebuah Hadîts, mereka senantiasa menjaga huruf-huruf dalam Hadîts Nabi, bahkan Thawûs hingga menghitung huruf perhuruf, agar tidak ada huruf yang ditambah atau dihilangkan, yang akibatnya mengurangi keotentikan Hadîts Nabi SAW.491 Kesungguhan ulama dari kalangan sahabat dan tâbi’în dalam meriwayatkan Hadîts Nabi SAW dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian ini, menunjukkan akan hukum asal meriwayatkan Hadîts adalah dengan menjaga lafadz dan huruf yang sesuai dengan apa yang Nabi SAW sabdakan. Ini ditegaskan oleh Ibnu al-Atsîr, ia menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa; menjaga lafadz Hadîts, huruf, titik dan i’râbnya merupakan bagian dari syariah dan hukum, maka itu menukil dan meriwayatkan Hadîts dengan mejaga lafadznya adalah pekerjaan utama yang tidak boleh diabaikan.492 Sikap ideal ini bukan hanya dianut oleh ahli Hadîts saja, ulama-ulama yang dikenal sebagai ahli fiqih pun bersikap demikian dalam menjaga keotentikan lafadz Nabi SAW, Mâlik bin Anas yang merupakan ahli fiqih adalah merupakan ulama yang senantiasa menyampaikan Hadîts huruf-perhuruf, agar yang mendengarkannya tidak menghilangkan satu huruf pun dari apa yang disabdakan Nabi SAW.493 Imam Mâlik 490
Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 206. Lihat juga Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 129 491 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn 129 492 Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fi Ahâdîts al-Rasûl (Maktabah Dar al-Bayân 1969), juz. 1, hal. 97 493 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn 130. Meskipun demikian Mâlik bin Anas membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna, jika maknanya benar, dan tentunya harus
clvi
menjelaskan bahwa; meriwayatkan hadîts marfû’ dengan maknanya saja tidaklah dibenarkan, sedangkan meriwayatkan hadîts yang tidak marfû’ (hadîts mauquf) dengan maknanya, maka itu dibolehkan. Karenanya tidaklah mengherankan jika Imam Mâlik dikenal ketelitiannya dalam menjaga Hadîts Nabi SAW. Diriwayatkan bahwa Imam Mâlik sangat menjaga huruf-huruf seperti ba, ya dan ta’ dalam Hadîts Rasululah SAW. Mungkin alasan dari sikapnya ini adalah, karena ketiga huruf tersebut memiliki kesamaan dalam bentuk, sehingga jika titik pada huruf tersebut tidak diperhatikan dengan cermat, maka makna dari teks itu akan mengalami perubahan.494 Riwayat di atas setidaknya menunjukkan pada generasi Islam akan kesungguhan ulama dalam menjaga lafadz Nabi SAW. Imam al-Syâfi’i yang juga murid dari Imam Mâlik berkata ketika menjelaskan sifat periwayat khabar Ahad; “Orang yang menyampaikan Hadîts mesti tsiqah dalam agamanya dan terkenal kejujurannya dalam berbicara. Berakal ketika meriwayatkan Hadîts dan sangat memahami kandungan maknanya. Ketika meriwayatkan Hadîts harus dengan huruf-huruf yang ia dengar, tidak boleh meriwayatkannya dengan makna, karena jika ia meriwayatkan Hadîts dengan makna dan ia tidak mengetahui kandungan makna sesungguhnya, tanpa disadari boleh jadi ia menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan jika ia meriwayatkan Hadîts dengan huruf-huruf yang sesuai dengan yang ia dengar dari periwayat sebelumnya, maka kekhawatiran tersebut akan terhindari495 Ibnu al-Shalâh membenarkan pendapat di atas, bahwa periwayat yang tidak menguasai bahasa Arab fashih dan bukan seorang alim dalam bidang ilmu syariat, tidak dibenarkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Adapun periwayat alim dan yang mengetahui maksud dari kandungan Hadîts, maka ulama salaf berbeda pendapat akan kebolehannya meriwayatkan Hadîts dengan makna. Menurut Ibnu al-Shalâh memenuhi syarat-syarat tertentu. Lihat Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 188. 494 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts li Imam Ibn Katsîr, (Beirut, Dar al-Fikr 1983), cet. Ke-1, hal. 136-137 495 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts 2005), cet. Ke-3, hal. 392
clvii
mayoritas ulama salaf membolehkannya, dengan syarat jika ia menguasai dengan baik bidang ilmu syariat dan bahasa serta mengetahui kandungan Hadîts dengan sempurna.496 Dari segi boleh atau tidaknya meriwayatkan Hadîts dengan makna, Ibnu alAtsîr al-Jazirî membaginya ke dalam empat bagian; Pertama, hadîts muhkam. Maka Hadîts ini boleh diriwayatkan dengan makna, karena lafadznya hanya mengandung satu hukum saja. Kedua, Hadîtsnya jelas namun mengandung sesuatu yang tidak jelas. Maka Hadîts ini tidak boleh diriwayatkan dengan makna, kecuali oleh ahli fiqih yang mengetahui ilmu syariat dan metode ijtihad, karena meskipun makna Hadîts nampak jelas, namun terkadang mengandung majaz dan kekhususan, sehingga khawatir terjadi kesalahan dalam periwayatan. Ketiga, Hadîts yang kontroversial, Hadîts ini tentunya tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya. Keempat, Hadîts yang kandunganya bersifat global.497 Kendati demikian, diakui bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan maknanya dalam kondisi darurat, selama memenuhi syarat tertentu dan tetap menjaga keshahihan bahasa dan makna Hadîts. Ulama yang membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan maknanya adalah al-Hasan Sya’by dan Ibrahim.498 Pandangan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan makna, sesungguhnya berasal dari kalangan sahabat, seperti; Ali r.a, Abdullah bin Masûd, Abdullah bin Abbâs, Abu Darda’, Abu Hurairah, Anas bin Mâlik, ‘Aisyah, Amr bin Dinâr, Amir al-Sya’bî, Ibrahim al-Nakha’i, Mujahid, Ikrimah, Ibnu Abi Najih, Amr bin Murrah, Ja’far bin Muhammad bin Ali, Sufyân bin Uyainah dan Yahya bin Said al-Qaththân.499 Bahkan Watsilah bin al-Asqa’ pernah berkata; cukuplah bagi kalian, jika aku menyampaikan Hadîts dengan maknanya saja.500 Sikap ini muncul boleh jadi karena melihat sikap Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Anas, yaitu jika mereka meriwayatkan 496
Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts,hal. 236 Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi AHadîts al-Rasul, juz. 1, hal. 98-99. 498 Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 206 499 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 132 500 Ibnu Abdi al-Barr, Jami’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 78 497
clviii
Hadîts terkadang berkata, ‘atau seperti ini’, ‘atau yang senada dengannya’, ‘atau yang mendekatinya’501 ‘atau sebagaimana Rasulullah SAW bersabda’.502 Dan mungkin dianggapnya ungkapan seperti itu menunjukkan keraguan dalam meriwayatkan lafadz Nabi SAW yang otentik, sehingga sikap ini dianggap kebolehan dalam meriwayatkan Hadîts dengan makna. Al-Baghdâdi mengakui bahwa adanya tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu hanya terjadi pada masa awal islam, ketika Hadîts belum dikodifikasi dan tertulis dalam kitab-kitab Hadîts. Karena hadîts-hadîts yang telah terkandung dalam kitab, sesuai kesepakatan ulama tidak dibenarkan mengganti lafadznya dengan lafadz yang lain, meskipun lafadz tersebut sinonim dengannya.503 Kalaupun periwayatan Hadîts dengan makna itu terjadi pada ulama, pastinya sejalan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ahli Hadîts, misalnya syarat yang dikemukakan Ibnu Katsîr, antara lain; seyogyanya bagi pelajar Hadîts memahami bahasa Arab. Al-Asma’i berkata, aku khawatir jika pelajar tidak mengetahui bahasa Arab akan termasuk pada sabda Nabi, ‘Barang siapa yang berbohong atas-ku, maka bersiaplah ia duduk di tungku api neraka.504 Hal yang senada juga diungkapkan oleh Syu’bah, “kekhawatiran ini sungguh sangat beralasan, karena tidak pernah ada dalam ucapan Nabi saw lahn yang menunjukkan kelemahannya dalam berbicara bahasa Arab”, sehingga jika itu ada, dipastikan berasal dari periwayat, bukan dari Nabi SAW. Muhammad Ajâj berpendapat bahwa Hadîts yang sampai pada kita saat ini, sesungguhnya sesuai dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW, buktinya dalam literatur sejarah dikenal beberapa sahabat dan tâbi’în yang memiliki kekuatan dan kecepatan dalam menghafal, seperti Abdullah bin Abbâs dari kalangan sahabat dan
501
Ibnu Katsîr, Ikhtishar ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 136 Ibnu Abdi al-Barr, Jami’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 79 503 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , ju. 1, hal. 15 504 Ibnu Katsîr, Ikhtishar ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 139 502
clix
Nâfi’ maula Abdullah bin Umar, mereka semua dikenal sebagai orang yang teliti dan tidak pernah salah dalam hapalannya505. Maka itu, menurut Muhammad Ajâj adanya perbedaan lafadz Hadîts dalam satu riwayat, tidak selamanya menunjukkan bahwa Hadîts tersebut diriwayatkan dengan makna, akan tetapi hal itu menunjukkan pada beberapa kemungkinan, pertama, hal itu terjadi biasanya pada Hadîts yang berkenaan dengan perilaku Rasulullah SAW yang disaksikan langsung oleh para sahabat Nabi SAW, dan diceritakan dengan lafadz sahabat, jika demikian maka Hadîts tersebut bukanlah termasuk objek kajian nahwu, karena objek kajian nahwu adalah hadîts qaulî atau ucapan Nabi SAW. Kedua, adanya beberapa riwayat yang berbeda bukanlah karena diriwayatkan dengan makna, namun boleh jadi karena satu tema yang sama disabdakan di beberapa tempat oleh Nabi SAW. Sebagaimana diketahui Nabi SAW menjawab para penanya sesuai dengan kemampuan para penanya, dan banyaknya jumlah sahabat yang meminta fatwa Nabi SAW dalam satu kesempatan atau dalam beberapa kesempatan tentang satu permasalahan yang sama, sehingga hal ini memungkinkan lafadz yang diucapkan Nabi SAW berbeda satu sama lainnya, makanya ini mengesankan bahwa adanya riwayat yang sama, namun berbeda lafadznya. Akibatnya sebagian orang menyimpulkan bahwa Hadîts tersebut telah mengalami perubahan lafadz,506 padahal tidaklah demikian. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sesungguhnya hukum asal meriwayatkan Hadîts Nabi Saw adalah dengan lafadz yang sesuai dengan apa yang Nabi SAW tuturkan, adapun adanya periwayatan dengan makna, ini lebih disebabkan kondisi darurat. Berkenaan dengan ini ahli Hadîts telah menatapkan aturan main dan syarat meriwayatkan Hadîts dengan makna, ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kecacatan dalam lafadz dan makna Hadîts. Kesimpulan ini didapat, salah satunya berdasarkan adanya fakta sejarah akan kesungguhan dan kehati-hatian para
505 506
Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 136 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 137
clx
sahabat dan tâbi’în dalam meriwayatkan Hadîts yang sesuai dengan lafadz yang Nabi SAW sabdakan. b. Periwayat bukan dari kalangan orang Arab Alasan lain yang juga dilontarkan oleh para penentang Hadîts, dan peragu akan otentisitas redaksi Hadîts sebagai bahasa yang paling baik dan otoritatif untuk dijadikan sumber kaidah nahwu setelah al-Qur’an adalah, adanya dugaan bahwa mayoritas periwayat berasal dari kalangan Ajam. Sehingga Hadîts yang pada mulanya memiliki bahasa yang fashih, telah berganti menjadi bahasa yang buruk, karena diriwayatkan oleh orang yang tidak memahami dzauq arabi. Untuk membuktikan apakah benar apa yang dituduhkan para penentang, berikut akan dinalisa periwayatperiwayat dari generasi awal hingga periode kodifikasi Hadîts Nabi SAW. Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk makhluk semesta alam, di antara tugasnya adalah menyatukan seluruh umat manusia, baik itu Ajam maupun Arab, bersatu dan berpadu dalam panji ilahi. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam, kemuliaan hanya dilihat dari ketakwaan seseorang pada Allah SWT. Nabi SAW juga menyerukan kepada sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dari Nabi SAW.507 Maka itu sebagai sebuah kewajiban bagi periwayat Hadîts untuk menyampaikan sabda Nabi SAW yang ia dengar baik dari Nabi SAW secara langsung maupun dari orang lain yang terbukti kejujuran dan keadilannya.508 Sahabat adalah orang pertama yang terpercaya mengemban amanah ini, mereka adalah orang-orang Arab yang fashih dalam berbahasa Arab. Ketika ekspansi Islam ke berbagai negara dan pelosok dunia, orang Arab dan Ajam telah bercampur,
507 508
(HR al-Bukhâri) ﻪ ِﻣﻨﻰ ﹶﻟﻪﻭﻋ ﻮ ﹶﺃ ﻦ ﻫ ﻣ ﺒﱢﻠ ﹶﻎﻰ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳﺴﺪ ﻋ ﺎ ِﻫﺐ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﺸ ﺎِﺋ ﺍﹾﻟﻐﺎ ِﻫﺪﺒﻠﱢﻎ ﺍﻟﺸﻴِﻟ
Kejujuran dan keadilan ini merupakan syarat dari hadîts shahîh. Menurut Ibnu al-Shalâh hadîts shahîh adalah Hadîts yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, diterima oleh periwayat yang adil dan dhabith, tidak ada kejanggalan dan tidak berillat. Penjelasan selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 18-19
clxi
yang menyatukan mereka hanyalah Islam, mereka bekerja sama dalam membangun agama ini. Di antara dakwah yang mereka lakukan adalah menyampaikan Hadîts yang mereka dengar kepada yang belum mendengarnya. Lantas dari kalangan manakah para periwayat Hadîts tersebut, apakah dari kalangan Arab atau Ajam? Ini penting untuk diketahui, karena adanya fakta periwayatan Hadîts dengan makna terjadi pada generasi sahabat, dan jika sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan Hadîts tersebut berasal dari kalangan Ajam, maka adanya lahn dalam sabda Nabi SAW yang kita dapati saat ini, boleh jadi benar. Untuk menganalisanya, dapat dilakukan dengan dua metode; Pertama, al-Thariqah al-Washfiyah, ini digunakan untuk meneliti tingkatan-tingkatan terbaik dalam setiap generasi, dan mengenal siapa saja periwayat yang paling terkenal dan terbanyak dalam meriwayatkan Hadîts, sehingga penelitian akan lebih terfokus pada sahabat-sahabat tersebut. Kedua, al-Tharîqah al-Ihshâiyyah, ini dilakukan untuk menganalisa jumlah data periwayat Hadîts dari kalangan Arab dan Ajam. Sehingga secara statistik akan ditemukan dari kalangan manakah periwayat terbanyak berasal. Data ini dianalisa untuk membuktikan kebenaran dugaan para penentang Hadîts, bahwa periwayat Hadîts mayoritas berasal dari kalangan Ajam. i. Al-Thariqah al-Washfiyah Para periwayat Hadîts tentunya berasal dari berbagai generasi, disini akan dianalisa tiga generasi yang disebut-sebut sebagai generasi terbaik yaitu sahabat, tâbi’în dan tâbi’it tâbi’în.509 Pertama, pada tingkatan sahabat. Dalam terminologi ilmu Hadîts sahabat adalah orang yang bertemu Nabi SAW, beriman padanya dan ia wafat dalam keadaan Islam.510 Keadilan para sahabat tidak perlu dipertanyakan lagi, karena keadilannya
509 510
(HR al-Bukhâri) ﻢ ﻬ ﻧﻳﻠﹸﻮ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻢ ﹸﺛﻢ ﻬ ﻧﻳﻠﹸﻮ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻧِﻲ ﹸﺛﻢﺱ ﹶﻗﺮ ِ ﺎ ﺍﻟﻨﺮﺧﻴ
Meskipun ada perbedaan di kalangan ulama tentang pengertian sahabat, namun pengertian ini adalah pengertian yang paling banyak diikuti oleh kalangan ulama Hadîts. Lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 301. Lihat juga al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 372-376.
clxii
telah ditetapkan dalam al-Qur’ân, Hadîts dan Ijmâ’ ulama.511 Begitupula dengan kemampuannya dalam bahasa Arab fashih, diyakini perkataan mereka terbebas dari penyimpangan bahasa Arab. Para ulama berselisih pendapat tentang jumlah para sahabat. Imam al-Syâfi’i mengatakan jumlah sahabat yang bertemu dengan Nabi SAW dan yang meriwayatkan Hadîts sekitar enam puluh ribu sahabat.512 Dan yang terakhir wafat adalah Amir bin Watsilah al-Laytsi yang wafat pada tahun 100 H,513 adapun sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadîts berjumlah sembilan orang,514 mereka adalah; 1. Abu Hurairah:
5374 Hadîts
2. Abdullah bin Umar: 2630 Hadîts
3. Anas bin Mâlik:
2286 Hadîts
4. ‘Aîsyah: 2210 Hadîts
5. Abdullah bin Abbâs :1660 Hadîts
6. Jâbir bin Abdillah: 1540 Hadîts
7. Abu Saîd al-Khudri:1170 Hadîts
8. Abdullah bin Mas’ûd:848 Hadîts
9. Abdullah bin Amr bin al-Ash: 700 Hadîts Kedua, pada tingkatan tâbi’în. Al-Khatîb al-Baghdâdi mendefinisikan bahwa yang disebut dengan tâbi’în adalah mereka yang pernah bersahabat dengan sahabat Nabi SAW. Dalam ungkapan al-Hâkim, tâbi’în adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan meriwayatkan Hadîts dari sahabat, meskipum ia tidak bersosialisasi dengan sahabat tersebut.515 Imam al-Hâkim membagi tâbi’în kedalam lima belas tingkatan,516 yang paling tinggi adalah mereka yang meriwayatkan Hadîts dari sepuluh sahabat yang utama, dan berikutnya adalah mereka yang lahir pada masa Rasulullah SAW dan merupakan 511
Ini adalah kesepakatan ulama Hadits dari ahlu sunnah, karena ada sebagian ahlu syi’ah yang mengingkarinya, untuk mengetahui pembahasan ini, pembaca dapat melihat skripsi penulis yang berjudul Adâlah al-Shahabah bayna Ahli Sunnah wa al-Syi’ah (Jakarta; UIN Syarif Hidayatullah, fakultas dirasat islamiyah 2005). Pembahasan keadilan shahabat ini dapat dilihat juga di, Ibnu alShalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 302. Dan lihat juga al-Suyûthi, Tadrîb alRâwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 377. 512 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 180 513 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 307. Dan lihat juga alSuyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 388-390. 514 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 182 515 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal 186 516 Al-Irâqi, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts (Makkah, Maktabah al-Tijâriyah 1993), cet. Ke-1, hal. 300.
clxiii
keturunan dari para sahabat seperti; Abdullah bin Abi Thalhah dan As’ad bin Sahl bin Hanif.517 Menurut ahli sejarah tâbi’în yang hidup terakhir kali adalah Khalf bin khalifah (w 181 H), ia dikategorikan sebagai tâbi’în terakhir yang wafat, karena ia adalah tâbi’în yang bertemu dengan sahabat yang terkahir kali wafat, yaitu; Abu Thufail Amir bin Watsilah. Maka itu berakhirnya masa tâbi’în bersamaan dengan wafatnya Khalf pada tahun 181 H.518 Pada masa tâbi’în inilah banyak dari kalangan Ajam yang masuk Islam, nama mereka dikenali dengan sebutan mawâli, Muslim Ajam inilah yang kemudian mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh hingga di kemudian hari mereka menjadi Ulama. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ketika al‘Ibadilah wafat, ahli fiqih di seluruh penjuru dunia terdiri dari kalangan mawali, kecuali di Madinah.519 Di antara tâbi’în yang memiliki ketelitian dalam menjaga Hadîts dan termasuk di antara yang banyak meriwayatkannya adalah; Sa’îd bin alMusayyab bin Hizn al-Quraisyi al-Makhzûmi,520 Nâfi’ Maula Ibnu Umar,521 517
Tingkatan kedua, al-Mukhadramun dari kalangan tâbi’în, yaitu mereka yang hidup di masa Jahiliyah dan masa Rasulullah SAW, mereka beriman namun tidak bersahabat dengan Muslim lainnya, diperkirakan berjumlah sepuluh orang. Namun al-Irâqi menambahkan 20 orang sehingga menjadi 30 orang, antara lain; Abu Amr al-Syaibani, Suwaid bin Gaflah al-Kindi, Abu Utsmân al-Nahdi, Abu Muslim al-Khulani, Ahnaf bin Qais, Aslam maula Umar, Uwais bin Amir al-Qarni, dan Ka’ab alAhbar. Tingkatan ketiga adalah tâbi’în dari kalangan ahli fiqih yang berjumlah tujuh orang dan berasal dari Madinah. Mereka adalah Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, Kharijah bin Zain, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dan Sulaiman bin Yasar. Selengkapnya lihat al-Irâqi, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 300. 518 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 357 519 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 371 520 Ibnu Hanbal berkata bahwa Sa’îd bin al-Musayyab adalah sebaik-baik tâbi’în. Ayah dan kakeknya adalah seorang sahabat. Said gemar bepergian untuk menuntut Hadîts, ia pernah mendengar Hadîts langsung dari Umar, Utsmân, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit dan lainnya. Ia wafat pada tahun 94 H. lihat, Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. 2, hal. 375. 521 Ia seorang ahli fiqih yang tsiqah, ia pernah menjadi khadim Ibnu Umar selama tiga puluh tahun, Imam Mâlik bin Anas adalah di antara kawan Nâfi’. Imam Mâlik pernah berkata; jika aku telah mendengar Nâfi’ menyampaikan sebuah Hadîts dari Ibnu Umar, maka aku tidak perlu mendengar lagi dari yang lainnya”. Imam al-Bukhâri berkata; sanad yang paling shahih adalah dari Mâlik dari Nâfi’ dan Ibnu Umar. Dalam khidmahnya pada agama, Umar bin Abdul aziz pernah mengrimnya ke Mesir untuk mengajarkan sunnah dan ilmu Agama. Nâfi’ wafat pada tahun 117 H. Lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 5, hal. 367
clxiv
Muhammad bin Sirîn,522 Ibnu Syihâb al-Zuhri523 Sa’îd bin Jubair al-Asadî al-Kûfî.524 Ketiga, pada tingkatan Atbâ’ tâbi’în, mereka adalah Muslim yang bertemu dengan tâbi’în, beriman pada Nabi SAW dan wafat dalam keadaan Islam. Ulama populer dan merupakan pimpinam madzhab fiqih yang termasuk dalam katagori atbâ’ tâbi’în adalah Imam Mâlik bin Anas,525 (w 79 H) dan Imam al-Syâfi’i, (w 204 H).526 Adapun Abu Hanîfah, menurut pendapat yang lebih unggul termasuk dalam katagori tâbi’în, karena ia pernah bertemu dengan sahabat Nabi dan meriwayatkan Hadîts dari mereka, yaitu; sahabat Anas bin Mâlik, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Jaz’i, Abdullah bin Unais dan ’Aisyah binti Ajrad. Adapun pemimpin madzhab fiqih terakhir yaitu Ahmad bin Hanbal termasuk dalam katagori atbâ’u atbâ’i tâbi’în, karena ia wafat pada tahun 241 H, sedangkan masa atbâ’ tâbi’în berakhir hingga tahun 220 H.527 Selain itu ada juga ulama-ulama lain yang termasuk atbâ’ tâbi’în antara lain; Sufyân
522
Ayah Muhammad bin Sirin adalah seorang maula Anas bin Mâlik dan Ibunya Shafiyyah adalah seorang maula Abu Bakr, ia pernah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat, antara lain Zaid bin Tsabit, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Huzaifah bin Yaman dan lainnya. Banyak ulama yang memberikan kesaksian akan kemuliannya, antara lain; Ibnu ‘Auf pernah berkata: Muhammad bin Sirin selalu menyampaikan Hadîts huruf perhuruf. Hisyâm bin Hasân berkata: ‘Ibnu Sirin adalah orang yang paling jujur yang pernah aku temui di muka bumi ini’. Muhammad bin Sirin wafat pada tahun 110 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 181 523 Ia seorang alim dan ahli fiqih yang pernah berkawan dengan Sa’id bin al-Musayyab selama delapan tahun, ia selalu menulis Hadîts yang ia dengar. Al-Zuhri juga dikenal sebagai orang yang paling teliti dan terperinci dalam menukil Hadîts. Amr bin dinar berkata; aku tidak pernah menemukan seseorang yang selalu menulis Hadîts yang sesuai dengan teksnya kecuali al-Zuhri. Karenanya ia dikenal sebagai orang yang tamak dalam menulis Hadîts, konon Hadîts yang dimilikinya mencapai seribu dua ratus Hadits. Lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i alZamân, juz. 4, hal. 177 524 Sa’id adalah ulama yang meriwayatkan Hadîts dari Abdullah bin Zubair, Abu Said alKhudri. Ia dibunuh oleh al-Hajjaj pada tahun 95 H, karena ia pergi bersama al-Asyats. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân,juz. 2, hal. 371 525 Ia lahir pada tahun 93 H, seorang Imam di Madinah dan juga Amir al-Mukminin dalam bidang Hadits. Imam al-Syâfi’i mengatakan bahwa Hujjatullah setelah masa tâbi’in berakhir adalah Imam Mâlik. Ia menulis kitâb al-Muwatha’, kitab tersebut pernah dikonsultasikan pada tujuh puluh ahli fiqih di Madinah. Ia wafat pada tahun 179 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 135 526 Keshalehan dan kecerdasannya dalam bidang fiqih cukup terkenal di kalangan ulama, ia disebut-sebut sebagai salah satu Imam Madzhab fiqih yang paling banyak pengikutnya. Riwayat hidup selengkapnya lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 163 527 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 357-358
clxv
al-Tsauri al-Kûfi,528 Sufyan bin Uyainah,529 al-Layts bin Sa’ad bin Abdurrahman alFahmi.530 Ulama masa tersebut dikenal sebagai ahli Hadîts yang ketat dalam menjaga lafadz Hadîts. ii. al-Tharîqah al-Ihshâ’iyyah Untuk mengetahui persentase ulama Hadîts yang berasal dari kalangan Ajam dalam tingkatan sahabat dan tâbi’în, dapat ditelusuri dalam kitab al-Thabaqât alKubra karya Ibnu Sa’ad.531 Kitab ini menyajikan pembagian sahabat dan tâbi’în di berbagai penjuru bumi ke dalam tingkatan sesuai berdasarkan tahun hidupnya. Akan tetapi tidak semua tingkatan dianalisa di sini, hanya tingkatan sahabat dan tâbi’în yang di kota-kota besar saja, seperti; Bashrah, Madinah dan Makkah, sehingga akan diketahui persentase ulama dari kalangan Ajam yang meriwayatkan Hadîts, dibandingkan dengan orang Arab sendiri, yang disebut-sebut sebagai pemilik dan penguasa bahasa Arab fashih. Tingkatan tâbi’în di Bashrah;532 TINGKATAN
ARAB
AJAM
JUMLAH
Pertama
46
5
51
Kedua
103
9
112
Ketiga
43
11
54
528
Ia dikenal di kalangan ahli Hadîts karena kekuatan hafalannya, maka itu ia dijuluki sebagai Amir al-mukminin dalam bidang Hadîst (seperti Imam Mâlik ), ia wafat pada tahun 161 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz 2, hal 386 529 Ia pernah bertemu dengan delapan puluh tujuh tâbi’în, dan ia mendengar Hadîts dari tujuh puluh orang di antara mereka. Diperkirakan ia telah meriwayatkan Hadîts sebanyak tujuh ribu Hadîts. Al-Ajali mengatakan ia adalah orang Kufah yang diakui ketsiqahannya di lakangan ahli Hadits. Ia wafat pada tahun 198 H pada usia 91 tahun. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i alZamân, juz 2, 391 530 Ia ahli fiqih dan ahli Hadîts di Mesir, Imam Bukhâri dan Imam Muslim adalah di antara orang yang paling banyak meriwayatkan Hadîts darinya. Ketsiqahannya diakui oleh Ahmad bin Hanbal, al-Syâfi’i, dan Sufyan al-Tsauri. Ia wafat pada tahun 175 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz 4, 127 531 Penelitian ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Hasan Mûsa al-Syâ’ir dalam bukunya alNuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 38-39. Dan penulis menganalisa kembali dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad. 532 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1997), cet. Ke-2, juz. 7
clxvi
Keempat
48
15
63
Kelima
36
14
50
Keenam
28
11
39
Ketujuh
47
4
51
Kedelapan
11
2
13
Jumlah keseluruhan tingkatan tâbi’în di Bashrah adalah 433, dari kalangan Ajam hanya berjumlah 71 orang, maka nisbah orang Arab kira-kira 84% dan Ajam 16%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di Bashrah mayoritas berasal dari kalangan Arab. Tingkatan tâbi’în di Madinah;533 TINGKATAN
ARAB
AJAM
JUMLAH
Pertama
130
19
149
Kedua
160
98
258
Ketiga
23
-
23
Keenam
22
18
40
Ketujuh
21
12
34
Jumlah keseluruhan tingakatan tâbi’în di Madinah adalah 504, dari kalangan Ajam hanya berjumlah 147 orang, maka nisbah rrang Arab kira-kira 70% dan Ajam 30%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di Madinah mayoritas berasal dari kalangan Arab. Tingkatan tâbi’în di Makkah;534 TINGKATAN
ARAB
AJAM
JUMLAH
Pertama
11
-
11
Kedua
23
4
27
533 534
Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, juz. 5 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, juz. 6
clxvii
Ketiga
38
13
51
Keempat
21
2
23
Kelima
16
3
19
Jumlah keseluruhan tingkatan tâbi’în di Makkah adalah 131, dari kalangan Ajam hanya berjumlah 22 orang, maka nisbah orang Arab kira-kira 83% dan Ajam 17%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di Madinah mayoritas berasal dari kalangan Arab. Secara umum dari data statistik di atas jumlah seluruh tâbi’în baik di Bashrah, Madinah dan Makkah berjumlah sekitar 79 % dari kalangan Arab, dan 21% dari non Arab. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tâbi’în dari kalangn Arab lebih banyak dibandingkan dengan non arab, bahkan tidak lebih dari seperlimanya saja. Kesimpulannya, apa yang dinyatakan para penentang Hadîts, bahwa mayoritas periwayat Hadîts berasal dari kalangan Ajam, tidaklah banar. Meskipun diakui ada beberapa tingkatan yang berasal dari kalangn Ajam, namun jumlahnya hanya sedikit. Sehingga data ini merupakan bantahan bagi yang mengatakan periwayat Hadîts lebih banyak dari kalangan Ajam, yang disebut-sebut tidak menguasai bahasa fashih. c. al-Tashhîf Tashhîf ini penting untuk dianalisa lebih mendalam, karena tashhîf dianggap oleh sebagian ahli bahasa sebagai penyebab penolakan ahli nahwu terhadap Hadîts, sehingga mereka enggan menjadikannya sebagai salah satu sumber bahasa.535 Ahli bahasa dan Hadîts bersepakat bahwa makna tashhîf adalah perubahan dalam kalimat. Karenanya di antara definisi tashhîf adalah perubahan titik atau harakat dalam huruf tanpa berubahnya bentuk tulisan. Seseorang yang mengutip ungkapan dari shahifah akan selalu berhubungan dengan lafadz suatu ungkapan yang terangkai dari kata-kata. Itu sebabnya, ada kemungkinan kata yang hurufnya tidak bertitik memiliki 535
Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, hal. 56
clxviii
interpretasi bacaan yang beragam. Misalnya dalam shahifah terdapat kata ﻓﺤﻤﺔjika tidak bertitik kemungkinan ada yang membaca ﻗﺤﻤﺔatau ﻓﺨﻤﺔdan lainnya. Maka itu al-Zamakhsyari mengungkapkan bahwa tashhîf adalah gembok yang kuncinya hilang. Artinya sulit untuk mencari solusi ketika terjadi tashhîf, karena yang mengetahui pasti bacaan kata yang di shahifah tertentu, adalah sang guru yang menulisnya.536 Bukan hanya kuncinya hilang, namun sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa tashhîf adalah bencana besar dalam tradisi tulis menulis sastra, maka itu mereka tidak memberikan toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya tashhîf menjadi problem yang sulit untuk dilepaskan dalam dunia tulis menulis Arab, tidak mengherankan jika Ahmad bin Hanbal bertanya pada siapapun yang aktif dalam dunia tulis menulis, ‘siapakah yang mampu terbebas dari kesalahan dan tashhîf ?537 Ini karena tulisan Arab pada tempo dulu belum dapat membedakan bentuk huruf satu dengan huruf lainnya yang memiliki kemiripan, seperti huruf ﺝ, ﺡdan ﺥ. Juga antara
ﺩdan ﺫatau ﺱdan ﺵ. Kemiripan bentuk suatu huruf dengan huruf lainnya menjadi sebab terjadinya tashhîf. Adanya tashhîf dalam teks apapun sangat membahayakan bagi setiap pengkaji atau pembaca yang berusaha memahami teksnya, terlebih dalam hukum syariat, bisa saja yang halal menjadi haram dan juga sebaliknya. Terlebih ada riwayat yang mengatakan; kafirnya umat Nashrani disebabkan terjadinya tashhîf dalam kitab Injil milik Nabi Isa a.s.538 Dan ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa terjadinya fitnah pertama kali dalam Islam disebabkan adanya tashhîf dalam surat Utsmân, yaitu
536
Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, (Kairo: al-Maktabah al-Arbiyah al-Haditsah 1982), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 39 537 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 2, hal. 353 538 Dalam Injîl, Allah SWT berfirman; ﻝﻮﺘﻦ ﺍﹾﻟﺒ ﻚ ِﻣ ﺗﻭﻟﱠﺪ ﻲﻧِﺒﻴ ﺖ ﻧ ﹶﺃKemudian terjadi tashhîf pada umat Nabi Isa a.s, sehingga firman tersebut menjadi ﻝﻮﺘﻦ ﺍﹾﻟﺒ ﻚ ِﻣ ﺗﻭﹶﻟﺪ ﻲ ﻴﺑﻨ ﺖ ﻧﹶﺃ. Lihat di Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, juz 1, hal. 23
clxix
ketika Utsmân menulis surat yang diperuntukkan bagi yang menjadi Amir di Mesir.539 Ibnu al-Shalâh menyebutkan bahwa tashhîf terjadi pada beberapa tempat,540 antara lain; ada tashhîf sanad,541 matan,542 pendengaran,543 penglihatan,544 lafdzi,545 dan ma’nawi.546 Pembagian tashhîf tersebut bisa jadi berpengaruh langsung pada bahasa secara umum, tapi tidak pada kaidah nahwu, karena nahwu hanya membahas i’râb bahasa. Maka itu keberadaan tashhîf ini tidak terlalu berpengaruh besar pada penetapan Hadîts sebagai dalil nahwu. Meskipun Ibnu Hajar menyatakan bahwa tashhîf lebih banyak terjadi pada matan dibandingkan dengan nama-nama dalam sanad.547 Selain dalam Hadîts, tashhîf juga terjadi dalam syair, terlebih syair muncul sebelum datangnya Hadîts Nabi SAW, karenanya jika penyebab penolakan Hadîts 539
Dalam surat tersebut, redaksi yang benar adalah ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻓﺎﻗﺒﻠﻮﻩpada surat ini terjadi
tashhîf, sehingga penduduk setempat memahaminya ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀﻛﻢ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩdengan demikian terjadilah apa yang telah terjadi, yaitu pembunuhan. 540 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 295 541 Seperti al-Thabari mengatakan ﻋﺘﺒﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺒﺬﱠﺭmenggunakan huruf ba’ dan dza, padahal yang benar adalah ﺭﺪ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻨmenggunakan nun dan dal. 542
Seperti ketika Ghundar meriwayatkan Hadîts dari Jabir, ﻳﻮﻡ ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ ﻋﻠﻰ ﺃﹶﻛﹾﺤِﻠِﻪﻲﺭﻣِﻲ ﺃﹸﺑ dan ia
telah melakukan tashhîf dengan mengatakan ﺭﻣِﻲ ﹶﺃﺑِﻲ . 543
Sebagian ahli Hadîts ada yang mengatakan dalam sanad mereka ﻋﺎﺻﻢ ﺍﻷَﺣﻮﺍﻝdengan
berkata ﻭﺍﺻﻞ ﺍﻷﺣﺪﺏ 544
Ibnu Lahi’ah pernah meriwaytkan Hadîts ﺍﺣﺘﺠﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ. Padahal
yang benar adalah ﺍﺣﺘﺠﻢ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ, konon sebab tashhîf ini karena Ibnu Lahi’ah mengutipnya dari shahifah. 545
Mengganti huruf tsa pada kata ﻛﺜﺮdengan sin, sehingga menjadi ﻛﺴﺮ
546
Sebagian orang ada yang melakukan tashhîf ma’nawi pada Hadîts ﺯﺭ ﻏﺒﺎ ﺗﺰﺩﺩ ﺣﺒﺎdengan
mentashhîf-nya menjadi ﺯﺭﻋﻨﺎ ﺗﺮﺩﺩ ﺣﻨﺎ. Penulis mengutip contoh-contoh tersebut dalam kitab Ibnu alShalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts,hal. 295 dan Al-Askari, Tashhîfât alMuhadditsîn, juz. 1, hal. 41. Dan lihat juga al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 363. 547 Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhûd al-Muhadditsîn fi Naqdi Matn al-Hadîts al-Nabawi al-Syarîf (Mu’assasah Abdul Karim1986), hal. 296
clxx
sebagai dalil nahwu lebih dikarenakan banyaknya kesalahan dalam tulisan, lalu bagaimana dengan syair, yang metode periwayatannya tidak seketat dan sedetil periwayatan dalam
Hadîts. Kondisi ini sangat mengherankan, meskipun tashhîf
terjadi dalam dunia sastra, namun mereka tetap menjadikannya sebagai dalil nahwu. Sedangkan pada Hadîts tidaklah demikian, standar ganda inilah di antara yang menjadi kritikan ulama bahasa548 kepada para penolak Hadîts sebagai dalil nahwu. Meskipun tashhîf menjadi perkara menyeramkan bagi dunia Hadîts khususnya, yang akibatnya menyebabkan keraguan di sebagian ahli bahasa untuk menjadikannya sebagai sumber kaidah bahasa. Namun sesunguhnya kekhawatiran tersebut tidak seharusnya menjadikan ahli bahasa ragu akan keotentikan redaksi Hadîts sebagai sabda Nabi SAW. Karena ulama Hadîts telah melakukan beberapa langkah agar terhindar kita terhindar dari tashhîf. Di antaranya; Pertama, seseorang yang hendak berguru Hadîts hendaknya belajar secara langsung dari orang terpercaya, bergaul dengannya, dan tidak mengandalkan dari shuhuf yang ditulis oleh sang guru. Kedua, memastikan apa yang ditulis oleh periwayat benar-benar dari gurunya, dan ditulis dengan kaidah penulisan yang jelas. Ketiga; usaha menjaga Hadîts dari tashhîf ini dilakukan ulama dengan menulis karya-karya yang khusus menganalisa ada atau tidaknya tashhîf dalam Hadîts. Antara lain; Taqyyîd al-Ilm karya Abu Ali alGhassâni, Masyâriq al-Anwâr karya al-Qâdhi Iyâdh, Mathâli’ al-Anwâr karya Ibnu Qurqul, al-Tanbîh ala Hudûts al-Tashhîf, Tashhîfât al-Muhadditsîn karya al-Askari. Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ketiga dan keempat hijriyah.549 Sehingga ahli nahwu yang hidup setelah abad ketiga dapat merujuk pada karya-karya tersebut agar terhindar dari tashhîf, yang pada akhirnya tidak ada alasan untuk menolak Hadîts sebagai dalil nahwu. Ibnu Katsîr memberikan solusi tegas dalam perkara tashhîf ini, antara lain ia mengatakan bahwa obat dari racun tashhîf adalah mendengarkan langsung dari mulut guru yang memiliki hafalan kuat. Kalaupun sang guru melakukan lahn, maka sikap 548 549
Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah,hal. 59 Al-Askari, Tashhîfat al-Muhadditsin, juz 1, hal. 23-28
clxxi
yang tepat hendaknya periwayat mentransmisikan redaksi yang terbebas dari kecacatan bahasa saja, dan meninggalkan riwayat yang memiliki kecacatan bahasa. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Sirîn dan Abu Ma’mar, mereka berpendapat meskipun sang guru melakukan lahn maka periwayat hendaknya mentransmisikan apa yang ia terima dari guru tanpa penambahan dan pengurangan. Pendapat ini kemudian dibantah olah Ibnu al-Shalâh, menurutnya sikap ini adalah sikap ghuluw (berlebihan) dalam mempertahankan redaksi lafadz dari guru.550 Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun tashhîf terjadi pada sebagian Hadîts Nabi SAW, namun ulama Hadîts telah melakukan pencegahan dan seleksi ketat dalam proses menerima dan meriwayatkan Hadîts, sehingga tashhîf yang menjadi kecacatan dalam periwayatan dapat terhindarkan, terlebih adanya karya-karya ilmiah yang ditulis ahli Hadîts dalam meneliti keberadaan tashhîf dalam Hadîts Nabi SAW dapat membantu kekhawatiran ini. Usaha ini setidaknya membuktikan bahwa penyakit ini telah terobati. Karenanya alasan sebagian ahli bahasa yang menolak Hadîts sebagai sumbernya, kini sulit untuk mendapatkan pembenarannya. d. Pemalsuan Hadîts Kesenjangan waktu antara wafatnya Nabi SAW dengan waktu kodifikasi Hadîts, yang menurut A’zami memakan waktu sekitar seratus tahun lebih,551 telah menyebabkan maraknya upaya-upaya pemalsuan Hadîts. Jika tashhîf terjadi karena ketidaksengajaan, lain halnya dengan pemalsuan Hadîts, pemalsuan Hadîts disinyalir karena faktor kesengajaan dan niat dari pemalsu Hadîts berdasarkan motivasi yang beragam, baik itu bersifat agama maupun duniawi. Jika dianalisa dari bentuk-bentuk Hadîts palsu yang beredar dan terdeteksi oleh ahli Hadîts, diketahui bahwa motivasi mereka sangat beragam, antara lain;552 550
Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 140 Al-A’dzami, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, (Beirut: al-Maktab alIslami 1992), juz. 1, hal 72. 552 Akram Dhiya’ al-Umra, Bu’ûts fi Târikh al-Sunnah al-Musyarrafah (Mu’assasah alRisâlah 1975), cet. Ke-3, hal. 21 551
clxxii
Pertama, pembelaan terhadap aliran, baik aliran politik maupun aliran agama. Menurut sebagian ahli sejarah, faktor inilah yang muncul pertama kali dalam dunia pemalsuan Hadîts. Yaitu ketika terjadi fitnah antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Shafyân. Faktor politik inilah awal kali pendorong sebagian umat untuk memalsukan Hadîts, sebagai pembenaran atas pilihan politiknya.553. Kedua, niat untuk menghancurkan agama Islam, ini dilakukan oleh orang-orang zindik. Diketahui bahwa banyak dari kalangan intelektual yang tidak senang akan adanya Islam, mereka ingin melawan Islam secara terang-terangan namun tidak kuasa melakukannya, yang pada akhirnya mereka merusak syariat Islam, agar umatnya ragu akan keyakinan agamanya. Baik dari sisi akidah maupun muamalah.554 Ketiga. Motivasi duniawi, seperti mendekati penguasa. Pemalsu Hadîts sengaja menyebutkan Hadîts Nabi SAW dengan tujuan agar sang raja atau penguasa mengasihinya, padahal Hadîts tersebut palsu. Keempat, mencari popularitas, biasanya Hadîts palsu ini disampaikan kepada masyarakat awam yang tidak mengetahui banyak Hadîts, sehingga masyarakat awam akan menganggap pemalsu Hadîts sebagai orang alim di bidang Hadîts, padahal nyatanya ia pendusta. Melihat fenomena pemalsuan Hadîts dengan berbagai motif di atas, kalangan sahabat, tâbi’în dan generasi selanjutnya tidak bersikap diam, banyak yang mereka lakukan untuk membendung pemalsuan ini, antara lain; berusaha memperkenalkan pelaku pemalsuan Hadîts kepada masyarakat, agar tindakan pemalsu Hadîts tidak 553
Hadîts palsu ini banyak ditemukan berkenaan dengan kesucian ahli bait, sebagai pembenaran akan Imam Ali bin Abi Thalib, meskipun tidak dipungkiri ada sebagian hadîts shahîh yang menyatakan keluhuran ilmu dan akhlak Ali k.w di mata Nabi SAW. Al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 181. Maka itu, setelah kejadian fitnah kubra tersebut, ahli Hadîts lebih selektif lagi dalam menerima Hadîts, bahkan mereka melihat sedetil mungkin perangai dan pemikiran periwayat Hadîts. Hal tersebut sebagaiman yang digambarkan oleh Ibnu Sirin; ﻮﺍﻳﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﻝ ﹶﻟ ﻦ ﻗﹶﺎ ﹶ ﺑ ِﻦ ِﺳﲑِﻳﻦ ﺍ ﻋ
ﺧﺬﹸ ﺆ ﻉ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﻳ ِ ﺪ ﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟِﺒ ﺇِﻟﹶﻰ ﹶﺃ ﹶﻈﺮﻨﻭﻳ ﻢ ﻬ ﺣﺪِﻳﹸﺜ ﺧﺬﹸ ﺆﻨ ِﺔ ﹶﻓﻴﺴ ﻫ ِﻞ ﺍﻟ ﺇِﻟﹶﻰ ﹶﺃ ﹶﻈﺮﻨﻢ ﹶﻓﻴ ﺎﹶﻟ ﹸﻜﺎ ِﺭﺟﻮﺍ ﹶﻟﻨﻤﻨﺔﹸ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺳﺘﺖ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﻌ ﻭﹶﻗ ﺎﺎ ِﺩ ﹶﻓﹶﻠﻤﺳﻨ ﻦ ﺍﹾﻟِﺈ ﻋ ﺴﹶﺄﻟﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﻢ ﻬ ﺣﺪِﻳﹸﺜ Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10 554 » ﺇﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻔﺮﺱ: ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ، ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ، ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﳌﻬﺰﻡ، ﻋﻦ ﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ . « ﰒ ﺧﻠﻖ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻨﻬﺎ، ﻓﺄﺟﺮﺍﻫﺎ ﻓﻌﺮﻗﺖArtinya; Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan kuda, lalu
menjalankannya hingga berkeringat. Kemudian dia menciptakan dirinya dari kuda. Imam al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa al-Shifât, (Kairo: Dar al-Hadîts 2002), hal.381
clxxiii
diikuti oleh umat lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa sikap sahabat dan tâbi’în ketika ada yang meriwayatkan Hadîts pada mereka. Contohnya; Abdullah bin Abbâs yang secara terang-terangan tidak mau mendengarkan Hadîts dari orang yang ia tidak kenal, karena khawatir periwayat tersebut telah membuat hadîts palsu, Umar bin Khattâb, Anas bin Mâlik dan Mu’awiyah juga demikian.555 Itulah yang dilakukan para sahabat dan tâbi’în dalam menjaga Hadîts Nabi SAW dari para pendusta agama. Tentu tujuannya sebagai upaya pemurnian dan penjagaan syariat Islam dari pendustaan ahli bid’ah. Meskipun kodifikasi Hadîts Nabi SAW telah dimulai sejak masa Nabi SAW dan terbukti ada beberapa sahabat dan tabi’în yang mengkodifikasikan hadits-hadits yang mereka dengar, namun kodifikasi pada masa itu hanya parsial dan dilakukan oleh orang per-orang, yakni tidak semua mengkodifikasikan apa yang mereka dengar dari Rasulullah SAW. Seandainya mereka melakukan kodifikasi secara serempak dan dipeloporoi oleh pemerintah maka jalan yang dilalui oleh para pemalsu Hadîts tentu akan terputus. Pemalsuan Hadîts adalah perilaku haram, Nabi SAW mengancam bagi siapa yang melakukannya akan duduk di atas tungku api neraka. Maka itu ahli Hadîts, merumuskan cara-cara mendeteksi hadîts-hadîts palsu, antara lain; dengan cara melihat pengakuan pemalsu bahwa ia telah melakukan pemalsuan Hadîts Nabi SAW,556 subyektifitas periwayat, keganjilan dalam materi Hadîts dan lainnya.557 Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun terjadi pemalsuan Hadîts pada masa sahabat dan tâbi’în, akan tetapi sikap buruk ini dapat dicegah dan diidentifikasi, sehingga hadîts-hadîts palsu yang lahir dari pendusta dapat dibendung dengan cepat. Bahkan banyak ahli Hadîts yang mengumpulkan hadîts-hadîts palsu dalam satu kitab
555
Akram Dhiya’ al-Umra, Bu’uts fi Tarikh al-Sunnah al-Musyarrafah hal 19-20
ﻓﻬﻲ، » ﺃﻗﺮ ﻋﻨﺪﻱ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩﻗﺔ ﺃﻧﻪ ﻭﺿﻊ ﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﺣﺪﻳﺚ: ﻳﻘﻮﻝ، ﲰﻌﺖ ﺍﳌﻬﺪﻱ: ﻗﺎﻝ، ﻋﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ « ﲡﻮﻝ ﰲ ﺃﻳﺪﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱlihat al-Baghdâdi, kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 77 556
557
al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 187-189
clxxiv
tertentu, seperti; al-Maudhu’at karya Ibnu al-Jauzi, tujuannya agar umat Islam tidak terjebak dalam syariat yang salah. V. Pengaruh pemikiran ibnu Mâlik terhadap ahli Nahwu Sebagaimana yang disebutkan penulis di awal, bahwa Ibnu Mâlik adalah ulama Andalusia yang pemikirannya memiliki pengaruh paling besar bagi para ahli bahasa yang hidup setelahnya. Ini terlihat dari banyaknya ulama yang men-syarh karya-karya yang ditulis oleh Ibnu Mâlik. Secara geografis, Mesir dan Syam adalah dua kota yang disebut-sebut paling banyak merujuk pada pemikiran Ibnu Mâlik, bahkan pengaruh Ibnu Mâlik ini mengalahkan pengaruh ulama-ulama Baghdad yang nota bene pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan. Di antara karya Ibnu Mâlik yang paling polpuler adalah Alfiyah, sehingga terkadang ahli bahasa menyebut Ibnu Mâlik dengan sebutan shahibul alfiyah.558 Bukan hanya pada abad lampau, masa kini pun pemikiran Ibnu Mâlik tetap hidup, khususnya di Indonesia. Pesantren dan majelis ta’lim banyak menjadikan Alfiyah sebagai kurikulum wajib bagi santri senior yang hendak mematangkan ilmu nahwu-nya. Selain itu banyak ulama bahasa yang mengambil manfaat atau lebih tepatnya berguru pada Ibnu Mâlik, dengan cara menggali kemampuan yang dimiliki Ibnu Mâlik, khususnya Qira’ât dan bahasa Arab. Selain putranya yang mengaji pada beliau yaitu Badruddin Muhammad, ada juga ulama lain yang menimba ilmu dari Ibnu Mâlik, antara lain; Syamsuddin bin Ja’wân, Syamsuddin bin Abu al-Fath al-Ba’lî, Ala’ bin al-Aththâr, Zaenudin Abu Bakr al-Mazzy, Syaikh Abu al-Husayn, Abu Abdullah al-Shayrafî, Badruddin bin Jamâ’ah, Syihâbuddin bin Mahmûd, Syihâbudin bin Ghanîm, Nashruddin al-Syafi’i, Ibnu Nuhâs Bahâ’uddin Abu Abdillah Muhammad bin Ibrâhim. Dan ahli Hadîts, seperti Imam Nawawi pun banyak mengutip pemikiran Ibnu Mâlik, hal ini tercermin dalam salah satu karyanya syarh 558
Untuk lebih lengkap mengenal pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik, lihat Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât, hal 160-174.
clxxv
shahîh Muslim, selain itu ada juga al-Ilm al-Fariqî, Ilmuddin al-Barzalî dan juga lainnya.559 Meskipun Ibnu Mâlik telah wafat di Damaskus pada 12 Sya’ban di tahun 672 H silam,560 karya Ibnu Mâlik hingga saat ini terus dikaji di berbagai lembaga pendidikan di seluruh dunia, Bahkan jika kita mengkaji karya al-Azhari yaitu syarh al-Tashrîh dan alSuyûthi dalam karyanya Ham’u al-Hawâmi’, ditemukan di dalamnya pendapatpendapat Ibnu Mâlik yang ada pada kitab syarh al-Umdah. Meskipun mereka tidak menyebutkannya secara langsung, karena pemikiran Ibnu Mâlik memiliki ciri khas tersendiri, yang berbeda dengan lainnya. Sehingga jika ada yang mengutip pemikirannya tanpa menyebutkan sumber rujukan, bagi sebagian ahli sangat mudah untuk memastikan bahwa itu adalah pemikiran Ibnu malik. Di sisi lain, ada juga ahli nahwu yang secara terang-terangan mengutip pemikiran Ibnu Mâlik dalam syarh alUmdah. Misalnya; Ibnu Hisyâm dalam Mughni al-Labîb dan juga al-Asymûni dalam karyanya Hâsyiyah al-Shibbân.561 Bukti kepopuleran lainnya adalah, banyak para ahli tafsir dan hadîts yang merujuk pada karya-karya Ibnu Mâlik. Bahkan juga banyak lembaga pendidikan yang menjadikan karya Ibnu Mâlik -khususnya Alfiyah- sebagai rujukan utama dalam pembelajarannya. Sehingga ini menjadi bukti kepopuleran tersendiri bagi karya dan pemikiran Ibnu Mâlik. Dalam bidang bahasa Hadîts, keluhuran Hadîts sebagai sumber yang kaya akan dialek Arab lama, tentunya tidak diragukan lagi. Ini dibuktikan oleh beberapa ahli bahasa, seperti Abi al-Biqâ’i al-‘Akbarî (616 H) dalam karyanya, I’râb al-Hadîts al-Nabawî, Jamâl al-Din bin Mâlik (672 H) dalam kitabnya Syawâhid al-Tawdhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, al-Mubarrad dalam karyanya Jamharah al-Lughah, alJauhari dalam karyanya al-Shihhâh dan lainnya.
559
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 134 561 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 65-66 560
clxxvi
Menurut Muhammad Dhârî, diakuinya bahasa Hadîts oleh ahli bahasa sebagai teks bahasa Arab yang memiliki nilai kebahasaan yang sangat tinggi telah mengundang berbagai ahli bahasa untuk mengkajinya. Sekurang-kurangnya hal itu menunjukkan pada dua hal; Pertama, tidak dibenarkannya mencela kefashihan dialek yang ada dalam Hadîts, meskipun itu tidak sesuai dengan kaidah nahwu secara umum, karena keberadaan lahjat Arab lebih dahulu dari pada kaidah nahwu. Fakta ini juga merupakan bantahan bagi orang yang mengatakan adanya lahn pada sebagian bacaan al-Qur’ân dan Hadîts Nabi SAW. Kedua, manfaat dari keberadaan dialek ini, sesungguhnya untuk meluruskan pendapat sebagian ulama lampau yang mendhaifkan beberapa lafadz Hadîts, dan menyatakan adanya lahn dalam ungkapan baginda Nabi SAW, bahkan mengingkari keberadaannya dalam bahasa Arab. Dalam pandangan Muhammad Dhârî sikap ulama ini disebabkan akan kurangnya mereka dalam menelaah dan mengkaji kekayaan bahasa Arab.562 Kaitannya dengan otorisasi Hadîts, banyak ahli bahasa yang hidup sezaman maupun setelah Ibnu Mâlik, berdalil dengan Hadîts dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk sharaf, nahwu dan lainnya, selama masih dalam naungan kaidah bahasa. Dan tentunya pemikiran mereka tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Ibnu Malik. Seperti kaidah-kaidah di bawah ini; i. al-Alfâdz al-Mutarâdhifah Ucapan Nabi SAW adalah merupakan bahasa terfashih di antara penutur bahasa lainnya, hal ini diakui oleh Abu Hayyân al-Andalusî (w 745 H) ia menyatakan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbicara bahasa Arab, Nabi SAW tidak pernah berkata selain dengan bahasa yang fashih, stilistik yang indah dan popular. Jika ditemukan pada ucapan Nabi SAW bahasa yang tidak biasa dituturkannya, hal ini semata-mata dilakukan untuk menyesuaikan dengan lawan bicaranya. Dalam pandangan sebagian ulama, Allah SWT telah mengajarkan
562
Muhammad Dhârî Himadî, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat alLughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 61-62
clxxvii
bahasa kepada Nabi SAW secara langsung, tanpa bantuan seorang guru.563 Pendapat demikian dianut oleh beberapa ulama fiqih maupun Hadîts, seperti; al-Râfi’i, alSyâfi’i, Ibnu Fâris dan juga ulama lainnya; mereka menuturkan bahwa kefashihan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab merupakan tauqify dari Allah SWT.564 Karena itu banyak ditemukan dalam hadîts-hadîts shahîh, dialek-dialek Arab yang jarang digunakan oleh sahabat Nabi SAW. Fakta ini disebut oleh sebagian ulama sebagai keunggulan dari Hadîts Nabi SAW. Di antara permasalahan yang menjadi perhatian ahli bahasa adalah berkaitan dengan al-Alfâdz al-Mutarâdifah. Ibnu Darastawayh berpendapat bahwa tidak dibenarkan adanya dua lafadz yang berbeda namun memiliki satu makna, kecuali kedua lafadz itu berasal dari kaum yang berbeda, karena mustahil dari satu bahasa ada dua lafadz yang memiliki satu makna.565 Kaitannya dengan ini, ditemukan Hadîts yang diduga oleh sebagian orang mengandung kata sinonim, padahal kata itu bukan sinonim dari satu suku Arab, melainkan berasal dari suku Arab yang berbeda, misalnya kata ﺍﳌﺪﻳﺔdan ﺍﻟﺴﻜﲔ. Kata tersebut terdapat dalam shahih al-Bukhâri yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.566 Bukan hanya pada sinonim, pada kata antonim pun Hadîts berkontribusi besar dalam menjaga kata-kata dalam bahasa Arab.567 ii. al-Itbâ’ Di antara sumber dialek adalah al-Itbâ’ yang berarti adanya satu kata yang mengikuti kata lain dari sisi wazan-nya, dengan maksud untuk menyempurnakan dan 563
Al-Baghdâdi, khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 11-12. Dalam riwayat al-Dailamî, disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa pengtetahuannya akan nama-nama yang ada di bumi ini, diajarkan langsung oleh Allah SWT, sebagaimana nabi Adam a.s diajarkan hal yang serupa oleh Allah SWT. Pembahasan selengkapnya lihat; Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 35 565 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 384 564
ﺑ ِﻦﺐ ﺑِﺎ ﻫ ﺐ ﹶﻓ ﹶﺬ ﺎ َﺀ ﺍﻟﺬﱢﹾﺋﺎ ﺟﻫﻤ ﺎﺑﻨﺎ ﺍﻬﻤ ﻌ ﻣ ﺎ ِﻥﺮﹶﺃﺗ ﻣ ﺖ ﺍ ﻧﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻛﹶﺎ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻪ ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﺭﺳ ﹶﺃﻥﱠﻪﻋﻨ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﺮﻳ ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫ ﻋ 566 ﻯﺮﻰ ِﺑ ِﻪ ﻟِﻠﹾﻜﹸﺒﻠﹶﺎﻡ ﹶﻓ ﹶﻘﻀﻴ ِﻪ ﺍﻟﺴﻋﹶﻠ ﺩ ﺍﻭﺎ ﺇِﻟﹶﻰ ﺩﻤﺘ ﺎ ﹶﻛﺘﺤﻚ ﹶﻓ ِ ﺑِﻨﺐ ﺑِﺎ ﻫ ﺎ ﹶﺫﻤﻯ ﺇِﻧﺮﺖ ﺍﻟﹾﺄﹸﺧ ﻭﻗﹶﺎﹶﻟ ﻚ ِ ﺑِﻨﺐ ﺑِﺎ ﻫ ﺎ ﹶﺫﻤﺎ ﺇِﻧﺒِﺘﻬﺎ ِﺣﺖ ِﻟﺼ ﺎ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟﻫﻤ ﺍﺣﺪ ِﺇ ﺎﻨﻬﺑﻮ ﺍ ﻪ ﻫ ﻚ ﺍﻟﱠﻠ ﺣﻤ ﻳﺮ ﻌ ﹾﻞ ﺗ ﹾﻔ ﻯ ﻟﹶﺎﺮﻐﺖ ﺍﻟﺼ ﺎ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟﻤﻨﻬﺑﻴ ﻪ ﺷﻘﱡ ﲔ ﹶﺃ ِ ﺴ ﱢﻜ ﻮﻧِﻲ ﺑِﺎﻟﻩ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﹾﺋﺘ ﺎﺮﺗ ﺒﺧ ﺴﻠﹶﺎﻡ ﹶﻓﹶﺄ ﺎ ﺍﻟﻴ ِﻬﻤﻋﹶﻠ ﺩ ﺍﻭﺑ ِﻦ ﺩ ﺎ ﹶﻥﻴﻤﺳﹶﻠ ﻠﹶﻰﺎ ﻋﺟﺘ ﺮ ﺨ ﹶﻓ (HR al-Bukhâri) Uﻳ ﹶﺔﺪ ﺍﹾﻟﻤU ﻝ ِﺇﻟﱠﺎ ﻧﻘﹸﻮ ﹸ ﺎﺎ ﹸﻛﻨﻭﻣ ﻣِﺌ ٍﺬ ﻮ ﻳ ﻗﹶﻂﱡ ِﺇﻟﱠﺎUﲔ ِ ﺴ ﱢﻜ ﻟU ﺑِﺎﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ِﺇ ﹾﻥﺮ ﹶﺓ ﻭ ﺮﻳ ﻮ ﻫﻯ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﺑﻐﺮ ﺼ ﻰ ِﺑ ِﻪ ﻟِﻠﹶﻓ ﹶﻘﻀ 567
Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 384
clxxviii
memperkuat kata sebelumnya,568 Hadîts pun ikut serta dalam melestarikan itba’. Sabda Nabi SAW membuktikan akan hal itu; ﺇﻧﻪ ﺣﺎﺭ ﻳﺎﺭ. Menurut al-Kisâi’ kata ﻳﺎﺭ merupakan itba’, karena ia tidak bermakna, keberadaannya hanya memperkuat dan mempertegas kata sebelumnya.569 iii. al-Qalb Dalam pemikiran ilmu nahwu, disebutkan bahwa melahirkan kata dari asalnya disebut dengan Isytiqâq, sedangkan membalikkannya dalam berbagai wazn disebut tashrif. Isytiqâq kabir dilandasi dengan al-Qalb dan isytiqâq akbar dilandasi dengan ibdal.570 Sebagian ulama bahasa menyatakan bahwa telah terjadi qalb dalam dialek Arab, yaitu membalikkan satu huruf dengan huruf sesudahnya yang berada dalam satu kata. Bentuk dialek ini tetap dilestarikan dalam teks Hadîts Nabi SAW, diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan kata571 ﺍﻟﻄﺒﻴﺦ, menurut Ibnu Duraid dalam kata ini telah terjadi Qalb yaitu antara huruf thâ’ dan ba ﺍﻟﺒﻄﻴﺦ.572 Ini menunjukkan bahwa orang Arab terkadang berbicara menggunakan qalb. Kendati demikian kaidah ini tidak terlepas dari pada kontroversi, Ibnu Darastawayh misalnya; ia di antara orang yang menentang telah terjadinya qalb pada kata tersebut. Menurutnya kata ﺍﻟﻄﺒﻴﺦdalam Hadîts tersebut berbeda dengan kata ﺍﻟﺒﻄﻴﺦ, maka itu menurutnya apa yang disangkakan oleh sebagian orang telah terjadi qalb pada kata yang ada dalam teks Hadîts tersebut merupakan pendapat yang salah.573
568
Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 414 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 415 570 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah 1980), cet. Ke-1, hal. 120 569
« » ﺍﻟﺸﻚ ﻣﻦ ﺃﲪﺪ، « ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ » ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﺍﻟﻄﺒﻴﺦ ﺃﻭ ﺍﻟﺒﻄﻴﺦ ﺑﺎﻟﺮﻃﺐP571P 572
(HR Ibnu Hibbân)
Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 477 573 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 481
clxxix
iv. Jama’ Taksir Jamak taksir adalah bagian dari pembahasan ilmu sharaf, disebut jamak taksir karena jamak ini mengalami perubahan dari bentuk awalnya yaitu mufrad. Perubahan jamak taksir ini adakalanya melalui proses penambahan dan pengurangan huruf. Adakalanya juga melalui perubahan bunyi, baik dengan penambahan maupun pengurangan.574 Dari tiga puluh sembilan bentuk jamak taksir, tidak semuanya terdapat dalam al-Qur’ân.575 Dan dalam hal ini, Hadits ikut serta menjaga bentukbentuk jamak taksir ini. Dalam Hadîts ditemukan kata yang berbentuk jamak taksir, di antaranya Hadîts Nabi SAW yang berkaitan dengan istisqâ’.576 Dalam Hadîts tersebut terdapat ungkapan ﺍ ﺍﻟ ِﻌِّﺒﺪyang merupakan jamak dari ﺪﻌﺒ ﺍﻟ, padahal selain itu ia telah memiliki jamak seperti; ﺎﺩ ﺍﻟ ِﻌﺒdan ﺪﻌِﺒﻴ ﺍﻟ. Hal itu setidaknya menunjukkan keberadaan jamak taksir yang menyalahi qiyâs yang telah ditetapkan bagi jamak taksir, dan ini bukanlah bahasa yang buruk dan aib. Karena ada beberapa kata lain yang dalam rumusan qiyâs tidak ditemukan, misalnya; untuk jamak dari kata ﻲ ﺻِﺒ Hadîts menggunakan bentuk jamak ﺓﻮﺒﺻ. Ibnu al-Atsîr menyatakan bahwa bentuk jamak tersebut adalah sah,
(menggunakan ya’) lebih banyak digunakan.577 meskipun diakui kata jakam ﺔﺻِﺒﻴ v. Shighah dan binâ’ lafadz Yang sangat nampak perbedaan dialek bahasa Arab dengan dialek lainnya adalahditentukan dari bentuk bina’ dan shighah pada suatu lafadz. Satu lafadz memiliki binâ’ dan shighah lebih dari satu, sebagaimana terjadi dalam al-Qur’ân pada 574
Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah 1994), cet. Ke-30, juz. 2, hal. 28 575 Untuk mengetahui perilaku jamak taksir dalam al-Qur’ân, lihat tesis Mamat Zaenudin, Jama’ Taktsir: studi analisis perilaku gramatikal dan semantik jamak taksir dalam al-Qur’ân (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003) –xii, 167 p. T 871 576 ﻌﺒِﻴﺪ ﺎﺩ ﻭﺍﻟﺪ ﻛﺎﻟ ِﻌﺒﻌﺒ ﻊ ﺍﻟﺟﻤ : ﺪ ﺍ ﺑﺎﻟﹾﻘﺼﺮ ﻭﺍﳌﻣﻚ [ ﺍﻟ ِﻌِﺒﺪﺣﺮ ﺍﻙ ِﺑﻔِﻨﺎﺀﻻﺀ ِﻋِﺒﺪﺆ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻻﺳﺘﺴﻘﺎﺀ ] ﻫIbnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 154 577 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 10
clxxx
kata578 ﺍﳊﺞada yang menggunakan fathah (al-Hajju) ada juga yang menggunakan kasrah (al-Hijju). Hal ini juga terjadi juga pada Hadîts Nabi SAW. Bahkan lebih dari itu, perbedaan dialekterlihat dari bedanya dalam bina’ lafadz terjadi dalam bentuk perbedaan huruf, tidak pada harakat sebagaimana contoh di atas. Seperti ditemukan pada teks Hadîts Nabi SAW dalam kalimat,579 ﺎ ﹰﺓﺿﺤ ﹶﺃyang merupakan salah satu dari empat dialek dari kata ﺃﺿﺤﻴﺔ.580
578
ﺖ ِ ﻴﺒﺞ ﺍﹾﻟ ﺱ ِﺣ ِ ﺎﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨﻭِﻟﻠﱠ ِﻪ ﻋ (menggunakan kasrah) lihat QS Ali Imran 97. ﺕ ﺎﻌﻠﹸﻮﻣ ﻣ ﺮ ﻬ ﺷ ﺞ ﹶﺃ ﺤ ﺍﹾﻟ
(menggunakan fathah) lihat QS al-Baqarah 197. 579 (HR al-Nasâ’i) ﺎ ﹰﺓﺿﺤ ﺎ ٍﻡ ﹶﺃﺖ ﻓِﻲ ﹸﻛﻞﱢ ﻋ ٍ ﻴﺑ ﻫ ِﻞ ﻠﹶﻰ ﹶﺃِﺇﻥﱠ ﻋ 580
Hadist di atas menggunakan salah satu dari empat bahasa pada kalimat ﺃﺿﺤﻴﺔyaitu; ﺃﺿﺤﻴﺔ,
ﺃﺿﺤﻴﺔbentuk jama’nya ﺃﺿﺎﺣﻲdan ﺿﺤﻴﺔjama’nya ﺿﺤﺎﻳﺎdan ﺃﺿﺤﺎﺓjama’nya ﺃﺿﺤﻲ. Lihat Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 70.
clxxxi
BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN Hadits adalah sumber otoritaf bagi kaidah Nahwu. Meskipun diakui bahwa pada masa ahli nahwu klasik pun Hadîts telah menjadi sumber kaidah nahwu, hanya saja porsi yang diberikan ahli nahwu klasik pada Hadîts Nabi SAW, tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai teks bahasa yang paling fashih dibandingkan dengan lainnya. Tesis ini sesungguhnya menentang pemikiran ahli nahwu masa kini Muhammad al-Khadr Husayn, bahwa hadits-hadits yang dapat dijadikan sumber kaidah nahwu adalah hadits mutawatir, shahih dan hanya berupa hadits qauli, bukan hadits fi’li atau hadits taqriri. Dan tesis ini memperkuat pendapat Thaha Rawi bahwa seluruh Hadits dalam berbagai kitab hadits yang masyhur dapat dijadikan sebagai dalil nahwu tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana yang disampaikan ahli nahwu lainnya. Pertentangan akan otorisai hadits ini sesungguhnya juga terjadi pada masa Ibnu Malik, sikap Ibnu Mâlik (w 672 H) yang berani menyatakan bahwa Hadîts adalah sumber kedua setelah al-Qur’an, menuai kritikan dari ahli nahwu yang hidup sezaman dan setelahnya. Seperti Abu al-Hasan al-Dha’i (w 680 H) dan Abu Hayyan (w 745 H). Para penentang pemikiran Ibnu Mâlik ini beralasan bahwa lafadz yang ada pada Hadîts Nabi SAW adalah bukan lafadz Hadîts Nabi SAW sesungguhnya. Karena dalam ilmu Hadîts para ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Alasan kedua adalah, periwayat Hadîts lebih banyak berasal dari kalangan Ajam. Sehingga dikhawatirkan lafadz yang diriwayatkan oleh mereka bercampur dengan bahasa yang tidak fashih. Untuk memperkuat pendapat Thaha Rawi di atas, dalam tesisi ini dianalisa pemikiran Ibnu Mâlik tentang otorisai hadits sebagai sumber kaidah nahwu, dalam penelitian ini karya-karya Ibnu Mâlik di bidang nahwu, seperti Syawahid al-Taudhih,
clxxxii
Syarh al-Umdah, Syarh al-Kafiyah menjadi data primer yang menjadi informan original yang menceritakan akan pemikiran Ibnu Mâlik. Kaidah-kaidah yang bersember dari Hadîts dalam karya-karya tersebut kemudian dianalisa perilakunya. Sehingga menghasilkan pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah Nahwu Setelah menganalisis kontroversi otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu dengan mengkaji alasan-alasan yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok. Dan juga setelah menganalisis perilaku Hadîts dalam karya-karya Ibnu Mâlik dalam bidang nahwu, seperti syarh al-Umdah, Syarh al-Kâfiyah dan Syâwahid al-Taudhîh. Dapat disimpulkan bahwa; 1.
Dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadits adalah sumber otoritaf bagi kaidah Nahwu meskipun ada beberapa teks Hadîts yang memiliki redaksi yang beragam, menurutnya kesemuanya dapat dijadikan dalil Nahwu. Pemikiran ini diwujudkan dalam karya-karya Nahwu-nya, yang selalu menonjolkan Hadîts dan mengedepankannya jika bertentangan dengan sumber lain yang kualitas bahasanya di bawah Hadîts seperti syair, qiyas dan lainnya.
2.
Ibnu Mâlik adalah ahli nahwu pertama yang mengembangkan konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu. Sehingga kehadirannya melahirkan berbagai kontroversi di kalangan ahli Nahwu. Meskipun demikian karya-karyanya tetap menjadi rujukan utama di kalangan ahli Hadîts dan Tafsir, terlebih bagi ahli Nahwu yang hidup setelahnya.
3.
Ibnu Mâlik adalah ulama yang Mutasahhil dalam berdalil dengan Hadîts. Ini dibuktikan dalam pengunaannnya terhadap seluruh Hadîts sebagai dalil Nahwu, tanpa mempertimbangkan adanya riwayat lain yang semakna dengan Hadîts yang ia gunakan. Karena dalam pandangan Ibnu Mâlik setiap teks Hadîts yang ada dalam kitab Hadîts adalah dalil kaidah Nahwu, meskipun penuturnya dari kalangan sahabat, tabi’in atau bahkan bukan Muslim sekalipun, seperti Abu Jahal.
clxxxiii
4.
Kaidah yang bersumber dari Hadîts yang ada dalam karya-karya Ibnu Mâlik memiliki peran yang beragam. Ada yang sebagai penguat atas kaidah yang ada yang bersumber selain dari Hadîts. Ada yang sebagai penentang atas kaidah yang ada yang lahir dari ahli nahwu klasik. Selain itu ada juga yang merupakan kaidah orisinil, yang belum ada sebelumnya. Dan hanya muncul dari Ibnu Mâlik, dengan berdasarkan Hadîts Nabi SAW
5.
Pemikirin Ibnu Mâlik di atas, tidak terlepas dari kritikan ahli nahwu yang hidup sezaman atau yang jauh setelahnya. Alasan yang dikemukakan oleh penentang Hadîts sebagai dalil kaidah Nahwu yang antara lain; Pertama, adanya toleransi dalam meriwayatkan Hadîts dengan makna. Kedua, periwayat mayoritas berasal dari Ajam. Ketiga, adanya tashhîf dalam Hadîts. Keempat, terjadinya pemalsuan Hadîts. Kesemuanya telah dibantah oleh para ahli Hadîts maupun ahli Nahwu. Alasan-alasan tersebut tentu saja dibantah oleh para pengikut Ibnu Mâlik,
dengan bantahan sebagai berikut; Bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan makna hanya terjadi pada masa awal kedatangan Islam, dan masyarakat pada masa itu masih menggunakan bahasa fashih. Sedangkan tuduhan bahwa mayoritas periwayat dari kalangan Ajam telah dibuktikan oleh ahli sejarah, bahwa periwayat Hadîts mayoritas berasal dari Arab. Adapun adanya pemalsuan dan tashhîf dalam Hadîts adalah merupakan penyakit yang sudah terobati, yaitu dengan adanya syarat dan ketentuan yang ketat yang ditetapkan ahli Hadîts dalam metode penerimaan dan periwayatan Hadîts. Sesungguhnya selain dalam karya-karya nahwu Ibnu Mâlik, Hadîts juga banyak terdapat dalam karya-karya nahwu yang ditulis oleh ahli Nahwu pada awal lahirnya kaidah Nahwu. Diawali dari Sybawaih hingga saat ini. Hanya saja kuantitas Hadîts yang mereka gunakan tidak sebanding dengan jumlah Hadîts yang ada. Namun sedikitnya jumlah Hadîts yang digunakan ahli nahwu klasik tidaklah menunjukkan bahwa mereka menentang Hadîts sebagai dalil nahwu.
clxxxiv
Karena itu, apabila Imam al-Syâfi’i (w. 204 H) pada masa klasik dijuluki Nâshir al-Sunnah (pembela sunnah) oleh warga kota suci Makkah, karena beliau berhasil mematahkan argumentasi para pengingkar sunnah. Dan pada masa kini. Muhammad Musthafa al-A’zami dijuluki sebagai pembela eksistensi Hadîts karena beliau berhasil meruntuhkan kelompok orientalis yang menolak Hadîts berasal dari Nabi Muhammad SAW. Maka sesungguhnya Ibnu Mâlik (w. 672 H) lebih layak diberi gelar pembela keluhuruan bahasa Hadîts Nabi SAW, karena berhasil mendobrak pemikiran dan tradisi ulama nahwu dalam Ihtijâj bi al-Hadîts. B. SARAN Setelah mengamati seluruh kandungan tesis ini, maka penulis menyarankan kepada siapa saja yang cinta akan ilmu Nahwu, untuk melengkapi kajian ini. Karena banyak hal yang masih perlu dilanjutkan dan dituntaskan berkenaan dengan judul tesis ini. antara lain; 1. Sumber primer yang digunakan dalam kajian ini tidaklah merupakan seluruh karya Ibnu Mâlik, maka itu perlu untuk dikaji juga sumber lain yang ditulis Ibnu Mâlik dalam bidang Nahwu. 2. Selain karya-karya Ibnu Mâlik, penting juga untuk menganalisa perilaku Hadîts dalam karya-karya ahli Nahwu kontemporer. Sehingga akan terlihat perbedaan pandangan mereka dan ahli Nahwu klasik dalam menggunakan Hadîts sebagai dalil kaidah Nahwu. 3. Untuk mengkaji sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik dalam kaidah Nahwu yang bersumber dari Hadîts dalam menginterpretasi ayat al-Qur’ân dan Hadîts Nabi SAW. Demikianlah kesimpulan dan saran yang dapat disampaikan. Harapan penulis semoga karya ini bermanfaat bagi pecinta ilmu dan masyarakat umumnya. Dan semoga karya ini menjadi tambahan informasi khususnya bagi para pengkaji karyakarya Ibnu Mâlik dalam bidang nahwu dan juga para pengkaji Hadits. Wa Allah A’lam[]
clxxxv
DAFTAR PUSTAKA Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990) Al-Anbârî, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1998), cet.Ke-1 Al-Alûsî, Sayyid Mahmûd Syukry, Ittihâf al-Amjâd fi mâ Yashihhu bihi al-Isytisyhâd, (Baghdad; Mathba’ah al-Irsyâd 1982) Anis, Ibrahim, Fi al-Lahjât al-Arabiyah, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah) cet. Ke-4 Al-As’ad, Abdul Karim Muhammd. al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby (Riyâd; Dar al-Shawâf 1992) cet 1 Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, (Kairo: al-Maktabah al-Arbiyah al-Haditsah 1982), cet. Ke-1 Aththâr, Ahmad Abdul Ghofur, Difâ’ an al-Fushha (Makkah; 1979), cet.Ke-1 Al-Aziz, Musthofa Abd. al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhay’i al-Dirasat alLughowiyah al-Hadîtsah (Makkah; Maktabah al-Faysholiyah 1986), cet.Ke-1 Al-A’zami, M. Musthafa. The History of the Qur’anic text. Terjemah Ali Mustafa Yaqub, Sejarah Teks al-Qur’an (Jakarta; Gema Insani 2005), cet. Ke-1 -----------, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, (Beirut: al-Maktab alIslami 1992) Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , (Kairo: Dar al-Madani 1989), cet. Ke-3 --------------, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1988) Al-Baihaqi, al-Asma’ wa al-Shifat, (Kairo: Dar al-Hadits 2002) Al-Daminî, Musfir. Maqoyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyadh 1984) cet 1
clxxxvi
al-Dâwûdi, Al-Hafidz Syamsuddin, Thabaqât al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah 2002), cet. Ke-1 Al-Dîn, Ahmad Husayn Syaraf, al-Lughoh al-‘Arabiyyah fi Ushûr ma Qobla alIslâm (1970) Dhayf, Syauqî, al-Madâris al-Nahwiyyah (Mesir; Dar al-Ma’ârif ), cet.Ke-3 -----------------, Kitâb al-Radd ala al-Nuhat, Li Ibni Madho’ al-Qurthuby (Dar alMa’ârif), cet.Ke-3 Fajâl, Mahmud. al-Hadîts al-Nabawy fi al-Nahwi al-‘Aroby (Riyadh; Adwa’ al-Salaf 1997), cet. Ke-2 ------------------, al-Sayr al-Hatsîts ila al-Isytisyhâd bi al-Hadîts fi al-Nahwi al-Araby (Riyadh; Adwa’ al-Salaf 1997), cet. Ke-2 -------------------, al-Ishbah fi Syarh al-Iqtirâh, (Damaskus; Dar al-Qolam 1989), cet. Ke-1 Ghalayini, Musthafa, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah 1994) Hasan, Abbas, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna Al-Qodîm wa Al-Hadîts ( Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2 Handawi, Hasan. Manâhij al-Shorfiyyîn wa Madzâhibuhum (Damaskus;Dar al-Qolam 1989), cet. Ke-1 Hammud, Khadr Musa Muhammad, Al-Nahwu wa al-Nuhât, (Beirut; Alam al-Kutub 2003), cet. Ke-1 Hamadî, Muhammad Dharî. Al-Hadîts al-Nabawy al-Syarîf wa Atsaruhu fi alDirâsat al-Lughowiyyah wa al-Nahwiyyah (Baghdad 1982 M), cet. Ke-1 Hassânayn, Afâf, Fi Adillah al-Nahwi (Kairo: al-Maktabah al-Akadimiyyah 1996) Hijazy, Mahmud Fahmy. Ilm al-Lughoh, madkhol tarikhy muqoron fi dhau’i al-turots wa al-lughot al-samiyyah, (Kuwait, Wikalah al-Mathbu’ah) Hilâl, Abdul Ghaffâr Himâd, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2
clxxxvii
Al-Ibady, Ahmad Mukhtar, Tarikh al-Maghrib wa al-Andalus, (Beirut; Dar alNahdhah al-Arabiyyah) Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbari man Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr 1994) Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Tawdlîh wa al-Tashhîh, (Beirut; ‘Alam al-Kutub 1983), cet. Ke-3 -------------, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, (Baghdad; Mathba’ah al‘Any 1977) ------------, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, (Makkah: Dar al-Ma’mun 1982), cet. Ke-1 Ibnu Faris, al-Shâhiby fi fiqh al-Lughah al-Arabiyyah, (Beirut; Maktabah al-Ma’arif 1993), cet. Ke-1 Ibrahim Musthafa, Ihya’ al-Nahwi (Kairo; Dar al-Kitab al-Islamy 1992), cet. Ke-2 Ibnu Jinnî, al-Khashaish, (Beirut; Dar al-Huda ), cet. Ke- 2 Ibnu Abi Hasyim, Akhbâr al-Nahwiyyin (Dar al-I’tisham 1981), cet. Ke-1 Ibnu Mandzûr, Lisân al-Arab (Dâr al-Ma’ârif) Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (Beirut; Dâr al-Kutub alIlmiyah 1997) cet 1 Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut; Dar al-Fikr) Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, (Beirut: Dâr al-Fikr) Ibnu Aqîl, Syarh Ibnu Aqîl ala Alfiyah Ibn Mâlik, (Beirut; al-Maktabah al-Ashriyyah 1988) Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, (Damaskus: Beirut 1982) cet. Ke-1 Ibnu Hisyâm, Audhoh al-Masâlik ila Alfiyah Ibn Mâlik, (Beirut; Dar Ihya’ alTurats1966), cet. Ke-6 Ibnu Hisyâm, Syarh Syudzûr al-Dzahâb fi ma’rifat kalâm al-‘Arab (Makkah: Dar alBaz) Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, (Damaskus: Dar al-Fikr 1402 H), cet. Ke-1 Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, (Dar al-Shadir) Al-Irâqy, Alfiyah al-Hadîts, (Kairo; Maktabah al-Sunnah 1988), cet. Ke-2
clxxxviii
----------, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts (Makkah, Maktabah alTijâriyah 1993), cet. Ke-1 Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, al-Manâr al-Munîf fi al-Shahîh wa al-Dlaîf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988) al-Janâbi, Ahmad Nashîf, al-Dirâsât al-Lughawiyyah wa al-Nahwiyyah fi Mishr, (Kairo: Dâr al-Turâts 1977) al-Jawabi, Muhhamd Thahir, Juhud al-Muhadditsin fi Naqdi Matn al-Hadits alNabawi al-Syarif (Muasasah Abdul karim1986) al-Jauhari, al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh al-Arabiyah, (1982), al-Khatîb, Muhammad Ajâj, al-Sunnah Qabla Tadwîn, (Beirut, Dar al-Fikr 1990), Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir 1968) Al-Mubarrad, al-Muqtadhab (Kairo: 1399 H Al-Nîsâbûrî, Muslim, Shahîh Muslim, (Beirut; Dâr al-Fikr 1992), cet. Ke-1 Nahlah, Mahmûd Ahmad. Ushûl al-Nahwi al-Araby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002) Nâshif, Ali al-Najdi, Sybawaih Imâm al-Nuhât, (Kairo; Alam al-Kutub) Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1993) Al-Rajihy, Abduh. Durûs fi al-Madzahib al-Nahwiyyah (Beirut; Dar al-Nahdhah 1980) Al-Rûmî, Fahd. Khoshoish al-Qur’ân, (Riyâdh; 1410 H) cet 5 Al-Suyûthi, Al-Muzhir fi Ulûm al-Lughoh wa Anwâ’uha (Kairo; Dar al-Turôts ) cet 3 -------------, Kitâb al-Iqtirôh fi Ilmi Ushûl al-Nahwi (1988) cet 1 -------------, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr 1996), cet. Ke3 -------------, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr 1993), -------------, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah 2003),
clxxxix
Al-Syâir, Hasan Musa. al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy (Wazârah al-Tsaqofah wa al-Syabâb 1980), cet. Ke-1 Al-Syalqany, Abd al-Hamid. Mashâdir al-Lughoh, (Riyâdh; Jami’ah al-Riyâdh 1980 M), cet. Ke-1 Sulthany, Muhammad Alî. Syawâhid al-Nahwiyyah li Buhuts al-Alfiyah (Damaskus Dar al-Ashama’ 2001), cet. Ke-1 Sya’ban, Kholid Sa’ad Muhammad, Ushûl al-Nahwi Inda Ibni Mâlik (Kairo; Maktabah al-Adab 2006), cet. Ke-1 Sallûm, Dâwud. Dirâsat al-Lahjât al-Arabiyyah al-Qadîmah (Beirut; Maktabah alNahdhah al-Arabiyyah 1987), cet. Ke-1 Syâhîn, Taufiq Muhammad. Awâmil Tanmiyat al-Lughoh al-Arabiyyah, (Kairo; Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2 Syâkir, Ahmad Muhammad, al-Bâ’its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts li Imam Ibn Katsîr, (Beirut, Dar al-Fikr 1983), cet. Ke-1 Al-Syâfi’î, al-Risâlah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts 2005), cet. Ke-3, Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Qur’ân (Bandung; Mizan 2003), cet. Ke-14 Al-Thawil, Sayid Rizki. Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyin (Makkah; Maktabah alFayshaliyah 1985), cet. Ke-1 Al-Thanthawy, Muhammad, Nasy’at al-Nahwi, (Dar-al-Manâr 1991) Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Fikr 1995) al-Umra, Akram Dhiya’, Bu’uts fi Tarikh al-Sunnah al-Musyarrafah (Muassasah alRiaslah 1975) cet. Ke-3 Wafî, Ali Abd al-Wahid. Fiqh al-Lughah, (Kairo; Dar al-Nahdhah), cet. Ke-8 Ali Mustafa Yaqub Sejarah, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000), cet. Ke-2 Yâqût, Mu’jam al-Udabâ’ (Beirut; Dâr al-Fikr 1980), cet. Ke-3 Zaydân, Jurjy. al-Falsafah al-Lughowiyah wa al-Alfâdz al-Arabiyyah (Dâr al-Hilâl) -----------------, Al-Lughoh al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, (Beirut; Dâr al-Jîl 1988), cet. Ke-2
cxc
Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tth) Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil (Beirut: Dar al-Fikr: 1977), cet. Ke-1
DAFTAR HADITS
Hal
Kaidah
Penutur
65
Ciri Isim
Nabi SAW
Teks Hadits ﺴﻔﹶﺮ ﻣ ﻡ ﻓِﻲ ﺍ ﺎﺼﻴ ِ ﻣ ﺮ ﺍ ﻣِﺒ ﻦ ﺍ ﺲ ِﻣ ﻴﹶﻟ
67
Fi’il Syarth
Nabi SAW
ﻧِﺒ ِﻪﻦ ﹶﺫ ﻡ ِﻣ ﺪ ﺗ ﹶﻘ ﺎ ﻣﺮ ﹶﻟﻪ ﺎ ﻏﹸ ِﻔﺎﺑﺣِﺘﺴ ﺍﺎ ﻭﺎﻧﺪ ِﺭ ﺇِﳝ ﻴﹶﻠ ﹶﺔ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻢ ﹶﻟ ﻳ ﹸﻘ ﻦ ﻣ
68
al-af’al al-khamsah
Nabi SAW
ﻮﺍﺎﺑﺗﺤ ﻰﺣﺘ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﻭﻟﹶﺎ ﺗ ﻮﺍﺆ ِﻣﻨ ﻰ ﺗﺣﺘ ﻨ ﹶﺔﺠ ﺍﹾﻟUﻠﹸﻮﺍﺪﺧ ﺗU ﻟﹶﺎ
71
Nabi SAW
ﻴ ِﻦﺑﺎﺎ ﺑ ﹶﻟﻬﻌﻠﹾﺖ ﺠ ﺒ ﹶﺔ ﹶﻓﻌ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﺖﻨ ﹶﻘﻀﻢ ِﺑ ﹸﻜ ﹾﻔ ٍﺮ ﹶﻟ ﻫﻬﺪ ﻋ ﺚ ﺣﺪِﻳ ﹲ ﻚ ِ ﻮﻣ ﻮﻟﹶﺎ ﹶﻗ ﹶﻟ
71
Khabar setelah laula Al-Asma al-Sittah
Nabi SAW
ﺑﻪﺮ ﺿ ﺪ ﹶﻗﺪﻩ ﺟ ﻮ ﻮ ٍﺩ ﹶﻓﺴﻌ ﻣ ﻦ ﺑﻖ ﺍ ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﻓﹶﺎUٍﻬﻞ ﺟ ﻮﺑUَﻊ ﺃ ﻨﺻ ﺎ ﻣﻨﻈﹸﺮﻳ ﻦ ﻣ Uٍﻬﻞ ﺟ ﺎﹶﺃﺑU ﺖ ﻧﺩ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺁ ﺮ ﺑ ﻰﺣﺘ ﺍ َﺀﻋ ﹾﻔﺮ ﺎﺑﻨﺍ
72
Al-Asma al-Sittah
Nabi SAW
ﻚ ِ ﺴ ﻦ ﺭِﻳ ِﺢ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﺎﻟﹶﻰ ِﻣﺗﻌ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻨ ِﻋﻴﺐﺎِﺋ ِﻢ ﹶﺃ ﹾﻃﻑ ﹶﻓ ِﻢ ﺍﻟﺼ ﺨﻠﹸﻮ ﹶﻟ
73
Al-Asma al-Sittah
Nabi SAW
ﻮﺍﺗ ﹾﻜﻨ ﻭﻟﹶﺎ ﻬ ِﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ ﻩ ِﺑ ﻮﻴ ِﺔ ﹶﻓﹶﺄ ِﻋﻀﺎ ِﻫِﻠﺍ ِﺀ ﺍﹾﻟﺠﻌﺰ ﻯ ِﺑﻌﺰ ﺗ ﻣﻦ
75
Hadzf al-Harf
Nabi SAW
ﻭﻟﻜﲏ ﻧﱯ ﺍﷲ، ﻟﺴﺖ ﺑﻨﱯﺀ ﺍﷲ
77
Khabar jumlah
Nabi SAW
ﺔﺠﻨ ﻮ ِﺯ ﺍﹾﻟﻦ ﹸﻛﻨ ﺰ ِﻣ ﻨ ﹶﺓ ِﺇﻟﱠﺎ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻛﻭﻟﹶﺎ ﻗﹸﻮ ﻮ ﹶﻝ ﺣ ﻟﹶﺎ
78
Taqdim al-khabar
Nabi SAW
ﺷﺮِﻳ ﻟﹶﺎﺪﻩ ﺣ ﻭ ﻪ ﻪ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻠِﻲ ﻟﹶﺎ ِﺇﹶﻟﻦ ﹶﻗ ﻮﻥﹶ ِﻣﺒِﻴﺍﻟﻨﺎ ﻭﺖ ﹶﺃﻧ ﺎ ﹸﻗ ﹾﻠﻀﻞﹸ ﻣ ﻭﹶﺃﻓﹾ ; ﻚ ﻟﹶﻪ
80
Taqdim al-khabar
Nabi SAW
ﺭﺟﻞ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ، ﻣﺴﻜﲔ ﻣﺴﻜﲔ ﻣﺴﻜﲔ
81
Taqdim al-khabar
Nabi SAW
ﻌﻨِﻴ ِﻪ ﻳ ﺎ ﻟﹶﺎ ﻣﺮﻛﹸﻪ ﺗ ﺮ ِﺀ ﻤ ﺳﻠﹶﺎ ِﻡ ﺍﹾﻟ ِﻦ ِﺇﺴﻦ ﺣ ِﻣ.
81
Hadzf al-khabar
Nabi SAW
ﺎﺟِﺪﻮ ﺳ ﻭﻫ ﺑ ِﻪﺭ ﻦ ﺪ ِﻣ ﺒﻌ ﻳﻜﹸﻮ ﹸﻥ ﺍﹾﻟ ﺎ ﻣﺮﺏ ﹶﺃ ﹾﻗ
82
Naib al-fail
Nabi SAW
ﻴ ِﻦﺘﻴﺫِﻱ ﺍﻟ ﱡﻄ ﹾﻔﺘ ِﺮ ﻭﺑﺘ ِﻞ ﺍﹾﻟﹶﺄﺮ ِﺑ ﹶﻘ ﻭﺃﹸ ِﻣ
82
Al-munada
Nabi SAW
ﺳﺠﺪ ﻟﻚ ﺧﻴﺎﱄ ﻭﺳﻮﺍﺩﻱ ﻭﺁﻣﻦ ﺑﻚ ﻓﺆﺍﺩﻱ ﺭﺏ ﻫﺬﻩ ﻳﺪﻱ ﲟﺎ ﺟﻨﻴﺖ .ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻲ ﻳﺎ ﻋﻈﻴﻤﺎ ﺗﺮﺟﻰ ﻟﻜﻞ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﺩﻓﻊ ﻋﲏ ﻛﻞ ﻋﻈﻴﻢ
83
Mutsanna
Nabi SAW
ﻴﹶﻠ ٍﺔﺍ ِﻥ ﻓِﻲ ﹶﻟﺗﺮﻟﹶﺎ ِﻭ
84
Al-Istitsna
Nabi SAW
ﻮﻥﹶﺟﻭﺰﺘﺎﺀِ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﹾﻤﺴﻦ ﺍﻟﻨ ﲔ ِﻣ ﺤ ِ ﺎِﻟﺑﹶﻠﻎﹸ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼﺡ ﹶﺃ ٍ ﻦ ِﺳﻠﹶﺎ ﲔ ِﻣ ِ ﻴﺎ ﹶﻃﺸ ﻣﺎﻟِﻠ
85
Isim al-Tafdhil
Nabi SAW
ﺒ ٍﺮﻋﻠﹶﻰ ﹶﻗ ﺲ ﺠِﻠ ﻳ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ِﻣﺮ ﹶﻟﻪ ﻴﺧ ﻠﹶﻰ ﲨﺮﺓ ﻋﻛﹸﻢﺣﺪ ﺲ ﹶﺃ ﺠِﻠ ﻳ ﹶﻟﹶﺄ ﹾﻥ
cxci
ﻚ ﺃﹶﻏﹾﻨِﻴﺎﺀَ ﺧﻴ ﺮ ِﻣ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗ ﹶﺬ ﺭﻫﻢ ﻋﺎﹶﻟ ﹰﺔ ﻚ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗ ﹶﺬ ﺭ ﻭ ﺭﹶﺛﺘ ِﺇﻧ
Nabi SAW
Hadzf harf fa
88
ﺍﹾﻟﺒﻴﻨ ﹶﺔ ﹶﺃ ﻭ ﺣﺪ ﻓِﻲ ﹶﻇ ﻬ ِﺮ ﻙ
Nabi SAW
Hadz harf awamil
89
ﺖ ﺍﻟﻨﺎ ﺭ ﻓِﻲ ِﻫ ﺮ ٍﺓ ﹶﺃﻥﱠ ﺍ ﻣ ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﺩ ﺧﹶﻠ
Nabi SAW
Fi makna ta’lil
90
ﺱ ﺡ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪِ ﺴﺎ ﹶﻥ ِﺑﺮﻭ ِ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻳ ﺪ ﺣ
Nabi SAW
ﺱ ﻚ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺪﻭ ِ ﺳﺒﺤﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ﻤِﻠ ِ
Nabi SAW
Al-Mamnu’ min al-Sharf Na’at man’ut
94 95
ﺻﻴﺎ ِﻡ ﺷ ﻬ ٍﺮ ﻭِﻗﻴﺎ ِﻣ ِﻪ ﻀﻞﹸ ِﻣ ﻦ ِ ﻁ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﻭﹶﻟﻴﹶﻠ ٍﺔ ﹶﺃ ﹾﻓ ِ .ﺭﺑﺎ ﹸ
Nabi SAW
Idhafah
97
ﺻﻠﱢﻲ ﺻﻠﱡﻮﺍ ﹶﻛﻤﺎ ﺭﹶﺃﻳﺘﻤﻮﻧِﻲ ﹸﺃ
Nabi SAW
-
98
" ﺇﻳﺎﻙ ﻭ ﺍﳌﺨﻴﻠﺔ " ﻓﻘﺎﻝ :ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ،ﳓﻦ ﻗﻮ ﻡ ﻋﺮﺏ ،ﻓﻤﺎ ﺍﳌﺨﻴﻠﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ " ﺳﺒﻞ ﺍﻹﺯﺍﺭ"
Nabi SAW
-
99
ﺱ .ﻭﻟﹶﺎ ﻳ ﺪ ﻋﻬﺎ ﻋﺒ ﺪ ِﻣ ﻦ ﻋﺒِﻴﺪِﻱ ِﻣ ﻦ ﻣﺨﺎﹶﻓﺘِﻲ ِﺇﻟﱠﺎ ﺳ ﹶﻘﻴﺘﻬﺎ ِﺇﻳﺎ ﻩ ِﻣ ﻦ ﺣ ِﻈ ﲑ ِﺓ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪِ
Nabi SAW
-
100
Nabi SAW
-
102
Nabi SAW
-
102
ﹶﻓ ﻬ ﹾﻞ ﹶﺃﻧﺘ ﻢ ﺗﺎ ِﺭﻛﹸﻮ ﻟِﻲ ﺻﺎ ِﺣﺒِﻲ
Nabi SAW
Idhafah
104
ﺐ ﻋﻨﻲ ﹶﻏﻴ ﺮ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﺁ ِﻥ ﹶﻓﻠﹾﻴﻤﺤﻪ ﻟﹶﺎ ﺗ ﹾﻜﺘﺒﻮﺍ ﻋﻨﻲ ﻭ ﻣ ﻦ ﹶﻛﺘ
Nabi SAW
ﻼ ﹰﺓ ﺻﹶ ﲔ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ِﺑ ﻐﻴ ِﺮ ِﺳﻮﺍ ٍﻙ ﺳﺒ ِﻌ ﺴﻮﺍ ِﻙ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ﺑِﺎﻟ ﹶﻓﻀﻞﹸ ﺍﻟ
Nabi SAW
ﺖ ﻧﻔﹾﺴِﻲ ﺴ ﺖ ﻧﻔﹾﺴِﻲ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻦ ِﻟﻴﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻟ ِﻘ ﻟﹶﺎ ﻳﻘﹸﻮﹶﻟ ﻦ ﹶﺃ ﺣﺪﻛﹸﻢ ﺧﺒﹶﺜ ﻱ ﹶﻟﺎ ﻳﻘﹸﻮﹶﻟ ﻦ ﹶﺃ ﺣﺪﻛﹸﻢ ﻋﺒﺪِﻱ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﱡ ﹸﻜ ﻢ ﻋﺒِﻴ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻦ ِﻟﻴﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻓﺘﺎ ﻭﻟﹶﺎ ﻳ ﹸﻘ ﹾﻞ ﺍﹾﻟ ﻌﺒ ﺪ ﺭﺑﻲ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻦ ِﻟﻴﻘﹸ ﹾﻞ ﺳﻴﺪِﻱ
106 Idhafah
111
ﲔ ﲔ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺩﺭِﻱ ﹶﺃ ﺭﺑ ِﻌ ﺨﺮﺝ ﺍﻟ ﺪﺟﺎ ﹸﻝ ﻓِﻲ ﹸﺃ ﻣﺘِﻲ ﹶﻓﻴﻠﹾﺒﺚﹸ ﻓِﻴ ِﻬ ﻢ ﹶﺃ ﺭﺑ ِﻌ ﻳ ﲔ ﺷ ﻬ ﺮ ﲔ ﹶﻟﻴﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﺃ ﻭ ﹶﺃ ﺭﺑ ِﻌ ﲔ ﺳﻨ ﹰﺔ ﹶﺃ ﻭ ﹶﺃ ﺭﺑ ِﻌ ﻳﻮﻣﺎ ﹶﺃ ﻭ ﹶﺃ ﺭﺑ ِﻌ
Tamyiz
112
ﺨ ﹶﻄِﺈ ;ﹶﻗﻀﻰ ﺭﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﻓِﻲ ِﺩﻳ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﺖ ﹶﻟﺒﻮ ٍﻥ ﺸﺮِﻳ ﻦ ِﺑﻨ ﺽ ﺫﹸﻛﹸﻮﺭﺍ ﻭ ِﻋ ﺸﺮِﻳ ﻦ ﺑﻨِﻲ ﻣﺨﺎ ٍ ﺽ ﻭ ِﻋ ﺖ ﻣﺨﺎ ٍ ﺸﺮِﻳ ﻦ ِﺑﻨ ِﻋ ﺸﺮِﻳ ﻦ ﺟ ﹶﺬ ﻋ ﹰﺔ ﻭ ِﻋ
Tamyiz
113
ﺼﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼﻠﱠﻰ ﺭﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﹶﺃﻥﱠ ِﺟﺒﺮِﻳ ﹶﻞ ﻧ ﺰ ﹶﻝ ﹶﻓ ﹸﺛﻢ ﺻﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼﻠﱠﻰ ﺭﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﹸﺛﻢ ﺻﻠﱠﻰ ﻓﹶﺼﻠﱠﻰ ﺭﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﹸﺛﻢ
Nabi SAW
Makna tsumma
114
ﺲ ﺲ ﹶﺃ ﻭ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﻴ ِ ﺠ ِﺰ ﻭﺍﹾﻟ ﹶﻜﻴ ِ ﹸﻛﻞﱡ ﺷ ﻲ ٍﺀ ِﺑ ﹶﻘﻀﺎ ٍﺀ ﻭﹶﻗ ﺪ ٍﺭ ﺣﺘﻰ ﺍﹾﻟ ﻌ
Nabi SAW
Makna hatta
115
ﺠ ِﺰ ﻭﺍﹾﻟ ﻌ ﻉ ﺑﺮِ ﻩ ِﻣ ﻦ ﻕ ﺭ ﺟ ﹲﻞ ِﻣ ﻦ ﺩِﻳﻨﺎ ِﺭ ِﻩ ِﻣ ﻦ ِﺩ ﺭ ﻫ ِﻤ ِﻪ ِﻣ ﻦ ﹶﺛ ﻮِﺑ ِﻪ ِﻣ ﻦ ﺻﺎ ِ ﺼ ﺪ ﺗ
Nabi SAW
Hadzf harf waw
116
ﻉ ﺗ ﻤ ِﺮ ِﻩ ﺻﺎ ِ ﺴﺘ ﹾﺄِﺛﺮﻭ ﹶﻥ ﺑِﻬﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﻲ ِﺀ ﻒ ﹶﺃﻧﺘ ﻢ ﻭﹶﺃِﺋ ﻤ ﹲﺔ ِﻣ ﻦ ﺑ ﻌﺪِﻱ ﻳ ﹶﻛﻴ
Nabi SAW
Maf’ul ma’ah
116
ﻛﹶﻤﺎ ﺗﻨﺎﺗﺞ ﺍﹾﻟِﺈِﺑﻞﹸ ِﻣ ﻦ ﺑﻬِﻴ ﻤ ٍﺔ ﺟ ﻤﻌﺎ َﺀ
Nabi SAW
Taukid
118
Aisyah
-
121
ﺚ ﺤﺪِﻳ ﹶ ﺴﺮﺩ ﺍﹾﻟ ِ ﱠﻥ ﺭﺳﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﹶﻟ ﻢ ﻳ ﹸﻜ ﻦ ﻳ
cxcii
ﺴﺮِ ﺩﻛﹸﻢ ﹶﻛ ﺨﻄﹸﺐ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺪ ﺖ ﻳ ﻮ ﻡ ﺍﻟﹾﺠﻤ ﻌ ِﺔ ﻭﺍﻟﹾﺈِﻣﺎﻡ ﻳ ﺼ ﻚ ﹶﺃﻧ ِ ﺖ ِﻟﺼﺎ ِﺣِﺒ ِﺇﺫﹶﺍ ﻗﹸﻠﹾ ﺕ ﺖ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﺑﻮ ﺍﻟ ﺰﻧﺎ ِﺩ ِﻫ ﻲ ﻟﹸ ﻐﺔﹸ ﹶﺃﺑِﻲ ﻫ ﺮﻳ ﺮ ﹶﺓ ﻭِﺇﻧﻤﺎ ﻫ ﻮ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺪ ﹶﻟ ﻐ ﻮ ﹶﻟﻐِﻴ
Nabi SAW
ﻫ ﹾﻞ ﺭﺃﹶﻯ ﺭﺑ ﻪ ﻋ ﺰ ﻭ ﺟﻞﱠ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓِﺈﻧﻲ ﹶﻗ ﺪ ﺳﹶﺄﻟﹾﺘﻪ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻗ ﺪ ﺭﹶﺃﻳﺘﻪ ﻧﻮﺭﺍ
-
122
Badal
123
ﹶﺃﻧﻰ ﺃﹶﺭﺍﻩ ﺕ ﺃﻭ َﹶﺛﻤﺎِﻧ ﻲ ﺕ ﹶﺃ ﻭ ﺳﺒ ﻊ ﹶﻏ ﺰﻭﺍ ٍ ﺖ ﹶﻏ ﺰﻭﺍ ٍ ﹶﻏ ﺰ ﻭﺕ ﻣ ﻊ ﺭﺳﻮ ِﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ِﺳ ﺕ ﺕ ﻭ ﻣﻨ ﻊ ﻭﻫﺎ ِ ﺕ ﻭ ﻭﹾﺃ ﺩ ﺍﹾﻟﺒﻨﺎ ِ ﻕ ﺍﹾﻟﹸﺄ ﻣﻬﺎ ِ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ ﺣ ﺮ ﻡ ﻋﹶﻠﻴ ﹸﻜ ﻢ ﻋﻘﹸﻮ
Hadzf tanwin
125
-
125
Itsna atsar
126
-
127
Hadits qauli
130
Jabir bin Abdillah
Hadits fi’li
131
Aisyah
Hadits mauquf
132
Abu Jahal
Mata syarthiyyah
132
al-af’al al-khamsah
132
Hadzf harf nida
137
Hadzf harf nida
137
Mata syarthiyyah
132
Nabi SAW
ﺸ ﺮ ﺭﺟﻼ ﹶﻓ ﹶﻔ ﺮﹶﻗﻨﺎ ﺍﹾﺛﻨﺎ ﻋ ﻟﻴﻨﻈﺮﻥ ﻗﻮﻡ ﺇﱃ ﺭﻢ ﻻﻳﻀﺎﻣﻮﻥ ﰲ ﺭﺅﻳﺘﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﻈﺮﻭﻥ ﺇﱃ ﺍﻟﻘﻤﺮ. ﹶﻟ ﻮ ﹶﺃﻧ ﹶﻔ ﻖ ﹶﺍ ﺣﺪﻛﹸﻢِ ﻣﹾﺜ ﹶﻞ ﺃﹸﺣٍ ﺪ ﹶﺫ ﻫﺒﺎ ﺤﻴﻮﺍ ِﻥ ﻧﺴِﻴﹶﺌ ﹰﺔ ﺤﻴﻮﺍ ِﻥ ﺑِﺎﹾﻟ ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻋﹶﻠﻴ ِﻪ ﻭ ﺳﻠﱠ ﻢ ﻋ ﻦ ﺑﻴ ِﻊ ﺍﹾﻟ ﺍﹾﺛﻨﻴ ِﻦ ِﺑﻮﺍ ِﺣ ٍﺪ ﻕ ﻚ ﺭ ﻒ ﻣﺘﻰ ﻳ ﹸﻘ ﻢ ﻣﻘﹶﺎ ﻣ ِﻧ ﻪ ﺭ ﺟ ﹲﻞ ﹶﺃﺳِﻴ ﺖ ﺨﻠﱠﻔﹾ ﺱ ﹶﻗ ﺪ ﺗ ﻣﺘﻰ ﻳﺮﺍ ﻙ ﺍﻟﻨﺎ
ﻳﺘﻌﺎﹶﻗﺒﻮ ﹶﻥ ﻓِﻴ ﹸﻜ ﻢ ﻣﻠﹶﺎِﺋﻜﹶﺔ ﺛﻮﰊ ﺣﺠﺮ ﺍﺷﺘﺪﻱ ﺃﺯﻣﺔ ﺗﺘﻔﺮﺟﻰ ﺖ ﺳﻴ ﺪ ﹶﺃ ﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟﻮﺍﺩِﻱ ﺖ ﻭﹶﺃﻧ ﺨﻠﱠﻔﹾ ﺱ ﹶﻗ ﺪ ﺗ ﻣﺘﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﺍ ﻙ ﺍﻟﻨﺎ
cxciii
Abu Jahal
Riwayat Hidup Penulis Nama Tempat,Tgl, lahir Orang tua Status Istri Anak Pekerjaan Alamat
•
: Aang Saeful Milah : Tasikmalaya 11 Desember 1981 : Abdul Hakim dan Yayah Juwariyah : Menikah : Hj. Nendah Nurjannah. S.Sos. : Saqy Fatih Ulwan : Guru dan Dosen Bahasa Arab : Jl. H. Taqwa Jati Makmur, Pondok gede, Bekasi. Hp: 081317416590. Email;
[email protected]
PENDIDIKAN
SDI Nurul Ikhlas. Jakarta Utara MTs Pesantren Modern Darul Ulum lido. Bogor MA Pesantren Modern Darul Ulum lido. Bogor Pesantren Tahfidz Manba’ al-Furqon. Bogor S1 Dirasat Islamiyah (Prog. Internasional). (S.S.I) -Kerjasama UIN Jakarta & Al Azhar Cairo, MesirS1 Hadits dan Ilmu Hadits (Lc) -Pesantren luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah, CiputatS2 Pendidikan Bahasa Arab -Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah•
1994 1997 2000 2005 2005 2006 2009
PENGALAMAN
Relawan Zakat Dompet Dhuafa Republika Pimpinan Rumah Belajar Bait al-Hikmah Instruktur Pesantren Kilat al-Hikmah, Bank Indonesia Penerjemah Buku Berbahasa Arab Pengajar di Sekolah Islam Akselerasi Al Marjan
2004 2005 2005 2005 2007
cxciv
Pengajar di Ma’had Aly As Syafi’iyah Kontributor/Penulis di H.U Republika Pemimpin Redaksi Buletin JERNIH Dosen Bahasa Arab STAI Bina Madani Dosen Agama Islam Universitas Az Zahra
2008 Sekarang Sekarang Sekarang Sekarang
cxcv