Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
10 KETIDAKMANTAPAN KAIDAH BAHASA: KENDALA BAHASA INDONESIA MENJADI BAHASA INTERNASIONAL Syamsul Ghufron Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
Abstrak: Banyak pakar bahasa berpendapat bahwa bahasa Indonesia sangat berpotensi menjadi bahasa internasional. Pendapat tersebut sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bahasa yang menyatakan bahwa pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Karena itu, melalui makalah ini penulis bertujuan memaparkan hal-hal berikut: (1) peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, (2) kendala bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, serta (3) ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia dan upaya mengatasinya. Peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional dapat dilihat dari faktor intrabahasa (berasal dari bahasa itu sendiri) dan faktor ekstrabahasa (berasal dari luar bahasa). Faktor intrabahasa di antaranya berupa sistem bahasa: KBBI, TBBBI, Pedoman EYD, Pedoman Pembentukan Istilah. Faktor ekstrabahasa di antaranya berupa jumlah penutur bahasa Indoensia, daya tarik kekayaan alam, dan budaya Indonesia. Kendalanya di antaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia, paradigma masyarakat tentang penggunaan bahasa asing sebagai gengsi sosial, dan daya tawar politik dan ekonomi yang rendah. Ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia di antaranya berupa ketidakmantapan kaidah pembentukan kata. Kata-kata kunci: bahasa Indonesia; bahasa internasional; kendala; ketidakmantapan kaidah; peluang; upaya mengatasi
PENDAHULUAN Perkembangan global berbagai sisi kehidupan bangsa-bangsa di dunia memicu perlunya penguasan bahasa-bahasa sabagai alat komunikasi internasional untuk bergaul dengan bangsa lain. Hal itu dilakukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Terkait dengan hal tersebut, bangsa Indonesia tergelitik untuk meningkatkan status bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Keinginan ini mengemuka bukan tanpa alasan. Secara empiris objektif, bahasa Indonesia yang menyandang status bahasa nasional dan bahasa negara ini. Saat ini bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahan pelajaran yang dinikmati di ruang-ruang kelas dalam negeri sendiri, tetapi menjadi mata kuliah yang tampil di ruang-ruang kelas di luar negeri. Tidak sedikit pula penutur asing belajar bahasa Indonesia di dalam negeri melalui berbagai jalur program. Terlepas dari tujuan apa yang ingin dicapai para pembelajar, banyaknya warga negara asing belajar bahasa Indonesia di dalam negeri mendorong lembaga pendidikan di Indonesia membuka kelas pelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing demi memenuhi minat mereka. Fenomena makin meningkatknya minat penutur asing belajar bahasa Indoneia yang berdampak pada makin meluasnya pembelajaran bahasa Indonesia, baik di luar maupun di dalam negeri, pada satu sisi membuat kita bangga sebagai bangsa, namun pada sisi lain merupakan tantangan yang tidak ringan. Upaya rintisan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ke arah bahasa internasional tidak dapat dilepaskan dari usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebelumnya. Upaya yang paling menentukan adalah pengangkatan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu secara bertahap menjadi bahasa nasional (1928) dan bahasa negara (1945). Pertemuan-pertemuan dalam bentuk kongres yang memberikan sumbangan bagi pengembangan bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia semakin mantap menempatkan dirinya pada posisi sebagai sarana komunikasi utama di Indonesia. Gagasan untuk meningkatakan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional akhir-akhir ini makin mengemuka dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.Hal ini tercantum dalam Bab III tentang Bahasa Negara dan Bagian Keempat tentang PeningkatanFungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional pada pasal 44, yang menyatakan bahwa
49
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
1) Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. 2) Peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikoordinasi oleh lembaga kebahasaan. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Regulasi pemerintah di atas secara yuridis formal memberikan landasan konstitusional dan membuka ruang selebar-lebarnya bagi pengembangan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. PEMBAHASAN Peluang Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional Bahasa Indonesia sangat berpotensi menjadi bahasa internasional. Begitulah ungkapan beberapa pakar. Collins (2005) telah menunjukkan betapa potensialnya bahasa Indonesia (Melayu) menjadi bahasa dunia (internasional) dilihat dari sejarahnya. Di samping itu, saat ini sudah banyak ahli atau komunitas sarjana dari mancanegara yang mengkhususkan diri mempelajari bahasa Indonesia/Melayu (lihat Collins 2005:xvii; lihat juga penyumbang tulisan dalam Moriyama dan Manneke Budiman, 2010). Widodo (2015) menyatakan bahwa kepotensialan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional dapat dilihat dari dua faktor: (1) faktor intrabahasa (berasal dari bahasa itu sendiri) dan (2) faktor ekstrabahasa (berasal dari luar bahasa). Faktor Intrabahasa Faktor intrabahasa terkait dengan sistem bahasa. Sistem bahasa Indonesia dapat dikatakan sudah mapan. Beberapa aspek yang terkait dengan bahasa Indonesia sudah diatur dan sudah dibakukan. Bahasa Indonesia telah memiliki sistem ejaan, yakni dengan diberlakukannya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Dengan demikian, dari segi tata tulis bahasa Indonesia telah memiliki aturan yang baku. Di samping itu, untuk mengantisipasi pengaruh bahasa lain dan untuk pengembangan peristilahan bahasa Indonesia, juga telah diterbitkan buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Pembakuan lainnya adalah pembakuan kaidah bahasa yang tertuang dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Pembakuan suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kamus. Kamus inilah yang dipakai sebagai sarana untuk membakukan kosakata yang digunakan dalam sebuah bahasa. Karena itu, peran kamus sangatlah penting. Dengan adanya kamus, kita dapat mengetahui bahwa suatu bahasa sudah dikodifikasi. Adanya kamus dapat menunjukkan bahwa seberapa banyak kosakata bahasa tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan ide, menjelaskan pengetahuan dan mengekspresikan sikap oleh penuturnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ke-4 (2008), telah memuat lebih dari 90.000 lema. Selain itu, terbit kamus istilah berbagai bidang ilmu, tesaurus, dan glosarium. Glosarium berbagai bidang ilmu pun sudah diterbitkan, antara lain Glosarium Kedokteran, Glosarium Biologi, Glosarium Fisika, Glosarium Kimia, Glosarium Matematika, Glosarium Pendidikan, dan Glosarium Perikanan.Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia mampu berperan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu sebagai wahana komunikasi di dunia politik, bisnis, pariwisata, seni, budaya, dan sebagainya. Dengan kata lain, bahasa Indonesia mampu berperan sebagai bahasa dan sarana komunikasi di segala bidang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa bahasa Indonesia juga mampu sebagai sarana komunikasi di dunia intermasional. Selain itu, sistem bahasa Indonesia sangat sederhana. Penulisan bahasa Indonesia yang menggunakan huruf Latinyang universal menjadikannya lebih mudah dipelajari siapa pun dibandingkan misalnya bahasa China, Arab, Jepang, atau Korea yang menggunakan simbol dan tanda yang khas. Kesederhanaan bahasa Indonesia juga terlihat dari tidak adanya pembedaan struktur tata bahasanya berdasarkan waktu (tenses) sepertidalam bahasa Inggris dan tidak adanya pembedaan kosakata berdasarkan tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa. Bahasa Indonesia juga relatif mudah beradaptasi dengan istilah-istilah asing dengan melakukan penyerapan, termasuk istilah Inggris yang seiring waktu kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia. sehingga bagi orang asing yang belajar bahasa Indonesia tidak perlu repot-repot menghafal kosakata tertentu. Kosakata tersebut sedikit modifikasi sudah menjadi bahasa Indonesia. Kata-kata serapan asing misalnya computer = komputer, organization = organisasi, nationalism = nasionalisme, paradigma = paradigm, dsb.
50
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Faktor Ekstrabahasa Faktor ekstrabahasa dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni faktor yang memengaruhi secara langsung dan faktor yang memengaruhi secara tidak langsung.Faktor ekstrabahasa yang memengaruhi secara langsung adalah jumlah penutur bahasa Indoensia dan sikap penutur bahasa Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia merupakan modal yang sangat berarti untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Jumlah penutur ini makin bertambah banyak dengan adanya kecenderungan orang asing menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga didukung upaya pemerintah memperkenalkan bahasa Indonesia pada dunia. Saat ini Indonesia memiliki 150 pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara. Di beberapa negara juga diajarkan bahasa Indonesia. Di Australi, bahasa Indonesia merupakan bahasa paling populer keempat. Ada kurang lebih 500 sekolah pada tingkat pendidikan dasar yang mengajarkan bahasa Indonesia di negara kanguru ini. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib dipelajari di tingkat sekolah dasar. Beberapa universitas di Australia ini juga ada yang menyediakan jurusan bahasa atau sastra Indonesia.Hal ini membuat Australia menjadi salah satu negara yang paling populer mengembangkan bahasa Indonesia. Salah satu Negara di benua Afrika, yaitu Mesir tercatat sebagai negara yang paling utama mengembangkan bahasa Indonesia. Negara piramid tersebut baru saja membangun pusat studi Indonesia. Pusat studi ini ada di Suez Canal University dan merupakan langkah awal untuk lebih mendalami Indonesia dari semua aspek, mencakup ideologi, politik, sosial dan budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanannya. Di Jepang, di negara matahari terbit ini sudah lama didirikan pusat-pusat studi Indonesia. Salah satunya yang didirikan oleh Nihon-Indonesia Gakkai atau Perhimpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang tahun 1969. Anggota organisasi ini terdiri dari kalangan akademisi Jepang yang mengajar bahasa dan berbagai aspek tentang Indonesia di berbagai Universitas di Jepang. Sejak tahun 1992 organisasi ini mulai melakukan ujian kemampuan Bahasa Indonesia. Sampai sekarang tercatat sudah lebih dari 12.500 peserta yang telah mengikuti tes kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai level atau tingkatan. Saat ini ada beberapa Universitas di Jepang yang membuka jurusan bahasa Indonesia, antara lain Universitas Kajian Asing Tokyo, Universitas Tenri, Universitas Kajian Asing Osaka, Universitas Sango Kyoto, dan Universitas Setsunan. Sementara yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan ada lebih dari 20 perguruan tinggi di Jepang. Vietnam juga merupakan negara yang menghargai bahasa Indonesia. Di Vietnam, posisi bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang sebagai bahasa resmi yang diprioritaskan. Bahkan sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Vietnam, menempatkan Vietnam sebagai negara kedua setelah Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Hal tersebut menunjukan persebaran dan perkembangan bahasa Indonesia yang pesat. Perkembangan bahasa Indonesia yang pesat ini merupakan peluang karena menunjukan bahasa Indonesia sudah dikenal diseluruh dunia dan bahasa Indonesia tidak asing lagi. Peluang yang kedua adalah bahasa ini digunakan oleh empat negara bukan hanya satu negara sehingga jumlah penuturnya sangat besar mampu menandingi bahasa internasional yang sekarang sudah diakui yaitu Rusia dan perancis. Faktor ekstrabahasa yang memengaruhi secara tidak langsung, antara lain daya tarik kekayaan alam dan budaya Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah merupakan daya tarik bagi pelaku ekonomi dari mancanegara untuk berinvestasi di Indonesia. Dengan banyaknya pelaku ekonomi dari mancanegara yang berinvestasi di Indonesia ini mau tidak mau akan berdampak pada banyak orang asing yang masuk ke Indonesia. Hal itu dapat berdampak pula pada banyaknya orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Saat ini sudah banyak perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (219 lembaga di 74 negara), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang menyelenggarakan BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) (Wahya,2010:174). Lanin (2013) menyatakan bahwa bahasa Indonesia cukup berpeluang untuk berperan di dunia internasional.Jumlah penduduk Indonesia yang banyak merupakan madu bagi kumbang-kumbang perusahaan internasional untuk memasarkan produknya melalui globalisasi. Untuk dapat memasarkan produk mereka, negara-negara tersebut harus berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh rakyat Indonesia. Meskipun telah ada sebagian masyarakat Indonesia yang memahami bahasa Inggris yang merupakan basantara (lingua franca) dunia, sebagian besar rakyat Indonesia masih lebih mudah memahami bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi mereka. Kepentingan ekonomi ini
51
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
merupakan salah satu hal yang mendorong ketertarikan dunia internasional untuk menggunakan bahasa Indonesia. Bukti ketertarikan tersebut dapat dilihat pada dua contoh, yaitu penggunaan bahasa Indonesia oleh berbagai situs web terkemuka dan penyertaan bahasa Indonesia dalam kurikulum sekolah dasar di Australia. Contoh pertama dapat kita lihat sendiri pada Google yang menjadikan bahasa Indonesia salah satu bahasa yang mereka sediakan pada situs-situs web mereka. Demikian juga halnya pada Twitter, Facebook, WordPress, dan berbagai jejaring sosial lain. Keanekaragaman budaya Indonesia telah menjadi daya pikat yang luar biasa bagi turis asing untuk datang dan menyaksikan berbagai budaya Indonesia. Apalagi Indonesia yang kaya budaya ini ditunjang sikap penduduknya yang terkenal ramah, luwes, dan mudah menerima budaya dari luar. Tidak kalah penting dari apa yang dikemukakan di atas adalah kestabilan keamanan di Indonesia. Dengan keamanan yang stabil saat ini, banyak wisatawan asing datang ke Indonesia tanpa rasa takut. Beberapa media massa elektronik, khususnya radio yang disiarkan secara internasional, misalnya BBC, Radio Australia, Suara Amerika (Voice of America = VoA), dan Radio Belanda, secara rutin mempunyai siaran dalam bahasa Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah kehadiran bahasa Indonesia di dunia internet. Sudah banyak laman yang ada di internet menyajikan berbagai informasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, sudah banyak laman luar negeri pun menyediakan layanan dalam bahasa Indonesia. Tidak ketinggalan pula laman klub sepak bola ternama dunia juga sudah ada yang menyediakan layanan bahasa Indonesia bagi penggemarnya. Dengan demikian, harusdiyakinibahwa suatu saat nanti bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional. Dengan memperhatikan arah dan perkembangan bahasa Indonesia yang sudah jelas dan pasti tidak dapat dimungkiri bahwa bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional. Kita sebagai pengguna bahasa Indonesia harus mendukung arah tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia dan lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia daripada bahasa asing. Kendala Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional Muslich (http://nixpn.blogspot.com/2012/10/mengupayakan-bahasa-indonesia-sebagai. html) menyebutkan bahwa kendala bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional dibagi menjadi dua aspek:(1) kualitas SDM Indonesia dan (2) gengsi sosial. Dengan rendahnya kualitas SDM Indonesia menyebabkan susahnya mengembangkan bahasa Indonesia. Dalam penggunaan bahasa banyak orang Indonesia yang belum mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal ini akan menghambat pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pada pelaksanaan ujian nasional SMP/SMA, misalnya, kegagalan ujian bahasa Indonesia mencapai 30 persen. Sebaliknya, kegagalan di ujian bahasa Inggris berkisar 5 persen. Bagaimana mungkin sebuah bahasa dijadikan bahasa dunia tetapi penutur aslinya tidak menguasai. Menurut Lanin (2013), ada dua masalah utama bahasa Indonesia:(1) memudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia dan (2) menurunnya keterampilan berbahasa Indonesia. Memudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia, antara lain tampak dalam (1) penyisipan bahasa asing yang sebenarnya ada padanan bahasa Indonesianya, (2) penggunaan bahasa asing untuk nama tempat atau acara di Indonesia, serta (3) penggunaan bahasa asing sebagai pengantar dalam acara di Indonesia. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk memukul rata semua kasus di atas sebagai tanda pudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia karena ada beberapa alasan yang mungkin masuk akal. Fenomena penyisipan bahasa asing yang dikenal dengan campur kode sangat lazim ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan kata dalam kalimat “Skedul miting dengan klien minggu depan dikensel.” merupakan contoh campur kode. Padahal, apa sulitnya menggunakan kata jadwal, rapat, dan dibatalkan? Menurut Koentjaraningrat (1969), ada enam sifat negatif bangsa Indonesia, yaitu (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tuna harga diri, (4) menjauhi disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) latah atau ikut-ikutan. Meremehkan mutu tecermin dalam perilaku berbahasa asal bisa dimengerti. Sifat ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal saja tanpa memedulikan apakah bahasa yang digunakan benar atau salah. Tidak ada keinginan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah. Suka menerabas tecermin dalam perilaku berbahasa ingin dapat berbahasa Indonesia dengan baik tanpa melalui proses belajar. Bahasa Indonesia dianggap merupakan bahasa yang ada secara alami dan bisa dikuasai tanpa harus dipelajari. Menjadi warga negara Indonesia bukan berarti secara otomatis mampu berbahasa Indonesia. Banyak penduduk Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dan bahasa daerah sebagai bahasaibunya. Sedangkan untuk dapat menggunakan bahasa ibu dengan baik saja seseorang perlu belajar dari
52
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
lingkungan, apalagi untuk dapat mahir menggunakan bahasa kedua.Tuna harga diri tecermin dalam perilaku berbahasa yang mengagungkan bahasa asing dan menomorduakan bahasa sendiri, misalnya dengan mencantumkan “Exit”, alih-alih “Keluar” pada pintu masuk kantor atau dengan menggunakan istilah “meeting”, alih-alih “rapat” dalam bahasa sehari-hari. Menjauhi disiplin tecermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Semua bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia, memiliki aturan dan kaidah yang harus digunakan secara taat asas. Enggan bertanggung jawab tecermin dalam perilaku berbahasa yang tidak memperhatikan penalaran bahasa yang benar. Bertanggung jawab dalam berbahasa adalah mempertanggungjawabkan kebenaran isi bahasa dengan berpikir dengan baik sebelum mengeluarkan suatu kalimat agar tidak menimbulkan kesalahan nalar. Latah atau ikut-ikutan tecermin dalam perilaku berbahasa meniru atau mengulang kembali ucapan orang lain tanpa memperhatikan kebenaran ucapan tersebut, baik secara semantik maupun gramatikal. Hambatan yang kedua yaitu paradigma masyarakat tentang penggunaan bahasa asing sebagai gengsi sosial. Sebuah tren penggunaan bahasa daerah dikalahkan oleh bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia dikalahkan oleh bahasa Inggris. Orang banyak berpikir bahwa menggunakan bahasa asing yaitu bahasa Inggris menunjukkan gengsi sosial yang tinggi dan dianggap orang berpendidikan. Hambatan lain dari bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yaitu daya tawar politik dan ekonomi yang rendah. Kesiapan bahasa menjadi bahasa internasional yang digunakan banyak negara bergantung pada seberapa besar ketergantungan terhadap bahasa tersebut dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Ketidakmantapan Kaidah Bahasa Indonesia dan Upaya Mengatasinya Hasil usaha modernisasi yang dilakukan Pusat Bahasa (sekarang Badan Bahasa)di antaranya adalahKamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI). Akan tetapi, KBBI dan TBBBI mengecewakan banyak pihak. Hal ini terbukti dari adanya beberapa kali diadakannya revisi terhadap TBBBI tersebut. Kali pertama terbit pada 1988 edisi pertama, kemudian terbit lagi pada 1993 edisi kedua dengan cetakan terbatas, terakhir pada 1998 terbit TBBBI edisi ketiga. Meskipun sudah mengalami beberapa kali revisi, masih ada bagian isi TBBBI yang menunjukkan tidak mantapnya kaidah bahasa Indonesia terutama kaidah pembentukan kata. Hal itu terlihat pada bagian-bagian yang lebih menunjukkan tata bahasa bahasa yang deskriptif daripada yang preskriptif, padahal tata bahasa yang preskriptiflah yang menunjukkan kemantapan tata bahasa. Data berikut menunjukkan ketidakmantapan kaidah pembentukan kata tersebut. Akan tetapi, peluluhan /k/ kadang-kadang tidak terjadi jika dirasakan perlu untuk membedakan makna tertentu. Prefiks meng- yang dihubungkan dengan kaji, misalnya, menghasilkan mengaji (memperdalam pengetahuan tentang agama Islam dengan belajar kepada guru agama) dan mengkaji (memikirkan secara mendalam) (Alwi dkk., 2000:110). Adanya peluluhan dan pengekalan /k/ di atas menunjukkan tidak mantapnya kaidah pembentukan kata. Jika kaidah morfofonemik sudah menyatakan bahwa bentuk meng- tetap meng- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan /k/, pemakai bahasa Indonesia haruslah taat asas tanpa ada perkecualian. Bukankah dalam bahasa Indonesia ada kata mengukur yang berasal dari meng- + ukur dan ”berarti menghitung ukurannya (panjang, besar, luas, tinggi, dsb.) dengan alat tertentu”dan kata mengukur yang berasal dari meng- + kukur dan berarti ” menggaruk-garuk atau mengorek kelapa (memarut dengan kukur)”? Ketidakmantapan kaidah pembentukan kata juga terlihat pada data berikut. Pada dasar yang dimulai ter- seperti pada tertawa dan terjemah, fonem /t/ kadang-kadang luluh, kadang-kadang tidak. Dengan demikian, kata yang sering dipakai umumnya cenderung untuk luluh, sedangkan yang jarang dipakai lebih sering muncul tanpa peluluhan. Perhatikan contoh berikut. terjemah menerjemahkan atau menterjemahkan tertawa menertawakan atau mentertawakan (Alwi dkk., 2000:111). Adanya ketentuan ”kata yang sering dipakai umumnya cenderung untuk luluh, sedangkan yang jarang dipakai lebih sering muncul tanpa peluluhan” menunjukkan ketidakmantapan itu. Munculnya ketentuan tersebut membingungkan pemakai bahasa apalagi tidak ada ukuran pasti bagi ”sering dipakai” dan ”jarang dipakai”. Karena itu, sebaiknya ketentuan itu ditiadakan. Ketentuan yang menimbulkan ketidakmantapan kaidah pembentukan kata juga terlihat pada data berikut. Kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda-beda, bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan tidak berlaku. Hanya kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa meng- di depan dasar asing yang
53
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
dimulai dengan /s/ menjadi men-. Jika dasar itu dirasakan tidak asing lagi, perubahan morfofonemiknya mengikuti kaidah yang umum (Alwi dkk., 2000:113). Frekuensi dan lamanya kata dipakai yang dijadikan dasar peluluhan dan pengekalan juga menimbulkan persoalan karena tidak ada ukuran jelas untuk itu. Agar kemantapan kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dapat terwujud, tidak perlu ada perkecualian pada kaidah morfofonemik bahasa Indonesia. Dalam KBBI pun terdapat bentukan-bentukan kata yang masih membingungkan pemakai bahasa. Kata simpulan dan kesimpulan merupakan dua kata yang masing-masing bermakna. Makna simpulan adalah sesuatu yang disimpulkan atau diikatkan; hasil menyimpulkan; kesimpulan. Makna kesimpulan adalah ikhtisar (dari uraian, pidato, dsb.); kesudahan pendapat (pendapat terakhir yg berdasarkan pada uraian sebelumnya) (Sugono, 2011:1309). Hal itu berbeda dengan pendapat beberapa pakar kebahasaan yang lebih memilih kata “simpulan” daripada kesimpulan. Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia tidaklah mantap. Hal ini secara otomatis menimbulkan kebingungan pada diri pemakai bahasa Indonesia. Keadaan ini tentu tidak diharapkan oleh semua pihak terutama oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia juga terbukti dari adanya perbedaan pandangan pakar gramatika bahasa Indonesia di antaranya terkait dengan penyebutan prefiks meng-, istilah dan konsep frasa, dan penggunaan istilah objek dan pelengkap(Ghufron, 2011).. Dalam buku TBBBI terdapat penyebutan prefiks meng- sebagai pengganti prefiks me-. Selain itu, masih ada pakar gramatika bahasa Indonesia yang menyebutnya dengan prefiks meN- sehingga ada tiga nama/penyebutan, yaitu (1) prefiks me-, (2) prefiks meng-, dan (3) prefiks meN-. Pakar yang menggunakan sebutan prefiks me- di antaranya adalah Chaer (1993; 1994; 2003; 2006; 2007; 2008; 2009), Parera (1990), Putrayasa (2009a), dan Suwandi (2008). Pakar yang menggunakan sebutan prefiks meng- di antaranya adalah Alwi (2000), Arifin dan Junaiyah (2009), dan Yulianto (2008). Pakar yang menggunakan sebutan prefiks meN- di antaranya adalah Muslih (1990), Ramlan (1985), dan Putrayasa (2008a). Dalam bahasa Indonesia penggunaan istilah frasa bersaing dengan penggunaan istilah frase. Selain masalah penggunaan istilah yang berbeda, konsep yang dipaparkan oleh para pakar gramatika bahasa Indonesia pun berbeda. Meskipun buku TBBBI menggunakan istilah frasa (bukan frase), buku-buku gramatika yang terbit setelah terbitnya TBBBI masih juga berbeda dalam menggunakan istilah tersebut, ada buku gramatika bahasa Indonesia yang menggunakan istilah frasa dan ada juga buku gramatika bahasa Indonesia yang menggunakan istilah frase. Hal ini dapat dimaklumi karena memang buku panduan utama berbahasa Indonesia kita, yakni KBBI dan TBBBI yang diterbitkan secara bersamaan pada tahun 1988 itu pun menggunakan istilah yang berbeda. Dalam TBBBI baik edisi pertama maupun edisi ketiga digunakan istilah frasa. Dalam KBBI Edisi Ketiga yang terbit tahun 1991 masih digunakan istilah frase (bukan frasa). Dalam kamus tersebut ada kata frasa, namun kata itu dianggap tidak baku buktinya dalam kamus tersebut kata frasa dirujuk ke kata frase (Moeliono (ed), 1995: 281). Perbedaan istilah yang digunakan dalam dua buku pedoman utama ini juga yang menyebabkan perbedaan penggunaan istilah di antara para pakar bahasa Indonesia. Sebenarnya perbedaan itu saat ini sudah tidak perlu lagi karena dalam KBBI yang sudah dalam bentuk daring (online) di internet tidak lagi digunakan istilah frase, tetapi sudah digunakan istilah frasa. Pakar yang menggunakan istilah frasa di antaranya adalah Alwi (2000), Yualianto (2008), dan Moeliono (1989). Pakar yang menggunakan istilah frase di antaranya adalah Moeliono (1995), Putrayasa (2008b; 2009b), Chaer (1993; 1994; 2003; 2006; 2007; 2008; 2009), Parera (1988; 1990), Kridalaksana (1984, 1989, 2005), Tarigan (1986a, 1986b), Ramlan (1983), dan Soeparno (2008). Dalam KBBI, frasa diartikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif (misal gunung tinggi disebut frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif) (Moeliono (ed), 1995: 281). Dalam Kamus Linguistik karangan Harimurti Kridalaksana, frasa didefinisikan sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang; misal gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat predikatif (Kridalaksana, 1984:53). Dalam buku TBBBI, frasa juga diartikan sebagai dua kata atau lebih sebagaimana dua definisi tersebut (Moeliono (ed), 1988:127; Alwi dkk., 2000:157). Dengan demikian, jelas bahwa konsep frasa dalam dua buku pedoman utama berbahasa Indonesia sudah sama. Konsep frasa tersebut berintikan hal-hal berikut: (1) dua kata atau lebih, (2) tidak bersifat predikatif, dan (3) menduduki satu fungsi. Kenyataan di lapangan, dalam buku-buku gramatika bahasa Indonesia terdapat dua pandangan yang berbeda tentang konsep frasa: (1) pandangan yang sama dengan
54
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
KBBI dan TBBBI dan (2) pandangan yang berbeda dengan KBBI dan TBBBI yang menganggap frasa tidak harus berupa dua kata atau lebih, tetapi bisa berupa satu kata. Pakar yang sejalan dengan pandangan pertama di antaranya adalah Kridalaksana, Tarigan, Ramlan, Chaer, Parera, dan Kridalaksana. Pakar yang sejalan dengan pandangan kedua di antaranya adalah Putrayasa, Soeparno, dan Yulianto. Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa buku TBBBI secara tegas membedakan fungsi objek dari fungsi pelengkap walaupun pemakai bahasa masih sering mencampuradukkan pengertian objek dan pelengkap. Hal itu dapat dimengerti karena antara kedua konsep itu memang terdapat kemiripan. Baik objek maupun pelengkap sering berwujud nomina dan keduanya juga sering menduduki tempat yang sama, yakni di belakang verba. Akan tetapi, sejak terbitnya buku TBBI, seharusnya semua buku gramatika bahasa Indonesia mengacu kepada TBBBI. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat buku-buku gramatika yang tidak membedakan objek dan pelengkap tersebut, yakni buku Jenis Kalimat dalam Bahasa Indonesia karya Putrayasa (2009a). Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diupayakan hal-hal berikut: (1) memantapkan kaidah dan (2) menerapkan kaidah yang sudah mantap (Ghufron, 2014). Memantapkan Kaidah Gramatika Bahasa Indonesia Kaidah gramatika bahasa Indonesia yang paling mendesak untuk segera dimantapkan di antaranya adalah penyebutan prefiks meng-, peluluhan konsonan /k/, /p/, /t/, /s/, dan penggunaan afiks bersaing seperti pada kata-kata simpulan/kesimpulan, latihan / pelatihan / perlatihan. Sebenarnya penyebutan prefiks meng- berdasarkan jumlah fonem yang dilekati prefiks mengsebagaimana dipaparkan di atas tidak dapat diterima. Fonem awal yang dilekati prefiks meng- separuhnya berupa vokal, yakni 6 vokal, sedangkan separuh yang lain berupa konsonan. Dari keenam konsonan itu pun ada dua konsonan yang sangat jarang digunakan pada awal kata, yakni /q/ dan /x/. Jadi, prefiks kebanyakan hanya melekat pada 4 konsonan, yakni /g/, /h/, /k/, dan /kh/. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya prefiks meng- hanya melekat pada 5 tempat, yakni konsonan /g/, /h/, /k/, /kh/, dan vokal jika 6 vokal dianggap satu. Sebaliknya, prefiks me- melekat pada 8 tempat yang berupa konsonan /l/, /m/, /n/, /r/, /w/, /y/, /ng/, dan /ny/. Kedelapan konsonan tersebut frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Karena itu, penyebutan prefiks meng- perlu ditinjau lagi. Adanya peluluhan dan pemertahanan /k/ pada kata mengaji dan mengkaji juga perlu diluruskan. Jika kaidah morfofonemik sudah menyatakan bahwa bentuk meng- tetap meng- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan /k/ dan /k/ mengalami peluluhan, dalam kaidah tidak perlu lagi ada perkecualian. Bukankah dalam bahasa Indonesia ada kata mengukur yang berasal dari meng- + ukur dan ”berarti menghitung ukurannya (panjang, besar, luas, tinggi, dsb.) dengan alat tertentu” dan kata mengukur yang berasal dari meng- + kukur dan berarti ” menggaruk-garuk atau mengorek kelapa (memarut dengan kukur)”? Begitu juga halnya dengan prefiks meng- yang dilekatkan pada kata tertawa dan terjemah. Jika kaidah morfofonemik sudah menyatakan bahwa bentuk meng- berubah menjadi men- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan /t/ dan /t/ mengalami peluluhan, dalam kaidah tidak perlu lagi ada alternatif yang dapat dipilih pemakai bahasa Indonesia sebagaimana dicontohkan di atas. Adanya penjelasan ”kata yang sering dipakai umumnya cenderung untuk luluh, sedangkan yang jarang dipakai lebih sering muncul tanpa peluluhan” menunjukkan ketidakmantapan itu. Munculnya penjelasan tersebut membingungkan pemakai bahasa apalagi tidak ada ukuran pasti bagi ”yang sering dipakai” dan ”yang jarang dipakai”. Karena itu, sebaiknya penjelasan itu ditiadakan. Frekuensi dan lamanya kata dipakai yang dijadikan dasar peluluhan dan pemertahanan juga menimbulkan persoalan karena tidak ada ukuran jelas untuk itu. Agar kemantapan kaidah pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dapat terwujud, tidak perlu ada perkecualian pada kaidah morfofonemik bahasa Indonesia. Menerapkan Kaidah Gramatika Bahasa Indonesia Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menerapkan kaidah di antaranya sebagai berikut. 1) Sosialisasi Bahasa Indonesia Standar Setelah adanya usaha pengembangan bahasa dalam bentuk pemantapan kaidah gramatika bahasa Indonesia, perlu adanya usaha pembinaan. Usaha pembinaan itu dimulai dengan kegiatan sosialisasi hasilhasil pengembangan. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai media. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media massa baik cetak maupun elektronika. Sosialisasi dapat pula dilakukan melalui pendidikan-
55
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
pendidikan formal dari SD sampai PT. Dapat pula sosialisasi itu dilakukan melalui penataran para guru dan dosen yang menjadi subjek utama dalam penerapan kaidah gramatika di lembaga pendidikan formal. Kegiatan ini sangat urgen karena berdasarkan pengamatan dan penelitian sampai saat ini banyak di antara para pemakai bahasa Indonesia tidak mengenal kaidah-kaidah yang terdapat dalam TBBBI yang sudah ada sejak 1988 itu. Mereka bukan hanya para siswa atau mahasiswa, melainkan juga para guru dan dosen. Karena itulah, kegiatan ini wajib dilakukan agar semua pemakai bahasa Indonesia melek terhadap kaidah gramatika yang sudah dimantapkan. 2) Penerapan Kaidah pada Situasi Formal dan Karya Tulis Ilmiah Kaidah gramatika yang sudah mantap haruslah diterapkan pada situasi formal dan karya tulis ilmiah. Salah satu situasi formal yang penting dalam hal ini adalah lembaga pendidikan formal. Penerapan kaidah dapat dimulai dari sana. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan kaidah gramatika yang sudah mantap ke dalam materi pembelajaran atau perkuliahan di tingkat SD sampai PT. Tentu saja ini dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan dan perkembangan siswa/mahasiswa. Kegiatan tersebut merupakan jalan pembuka ke arah penerapan kaidah yang sebenarnya. Dengan jalan itu, kaidah-kaidah gramatika dapat diterapkan tidak hanya pada situasi-situasi formal, tetapi terutama juga pada karya-karya tulis ilmiah yang disusun mereka. Jika ada pemakaian yang menyimpang dari kaidah pada bahasa mereka, para guru dan dosen harus segera mengingatkan dan membenarkan. Kegiatan seperti ini harus dilakukan secara terus-menerus sehingga kaidah yang mantap itu benar-benar diterapkan dalam pemakaian bahasa Indonesia. 3) Pemberdayaan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) Sudah bertahun-tahun UKBI ada, namun sampai saat ini belum diberdayakan. Pemberdayaan UKBI perlu dilakukan karena hal ini menjadi motivasi bagi pemakai bahasa Indonesia untuk berusaha mempelajari dan menerapkan kaidah dalam bahasa Indonesia. UKBI dapat diberdayakan dengan berbagai cara. Menjadikan UKBI sebagai salah satu syarat menjadi pegawai di lembaga pemerintah maupun swasta. UKBI dijadikan syarat kelulusan mahasiswa pada semua strata. UKBI juga dapat dijadikan syarat masuk perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. SIMPULAN Sungguh merupakan kebanggaan yang luar biasa jika bahasa Indonesia berhasil menjadi bahasa internasional. Potensi yang dimiliki bahasa Indonesia untuk menuju ke sana memang sudah ada baik dari faktor intrabahasa maupun faktor ekstrabahasa. Namun, semua itu masih terkendala adanya ketidakmantapan kaidah bahasa Indonesia. Karena itu, sebagai bangsa Indonesia kita harus bersatu padu dalam memantapkan bahasa Indonesia demi terwujudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. REFERENSI Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Arifin, E. Zaenal dan Junaiyah. 2009. Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi Edisi Kedua. Jakarta: PT GramediaWidiasarana Indonesia. Bahasa Indonesia menuju Bahasa Internasional. Diakses dari http://humanioratamalanrea.blogspot.com/2010/11/bahasa-indonesia-menuju-bahasa.html (30 April). Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2003. Seputar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2007. KajianBahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2009. SintaksisBahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ghufron, Syamsul. 2011. “Saling Silang Pandangan dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Kendala dalam Mewujudkan Kemantapan Bahasa Indonesia dan Kemandirian Bangsa Indonesia” dalam Sawerigading: Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 17, Edisi Khusus, Oktober 2011 hal. 1—12. Makassar: Balai Bahasa Ujung Pandang.
56
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Ghufron, Syamsul. 2014. “Memantapkan dan Menerapkan Kaidah Gramatika Bahasa Indonesia: Sebuah Upaya Mengindonesiakan Manusia Indonesia”.Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra di Universitas Muhammadiyah Surabaya tanggal 22—23 Oktober 2014. http://humanioratamalanrea.blogspot.com/2010/11/bahasa-indonesia-menuju-bahasa.html http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/04/nei8ah-bahasa-indonesia-berpotensi-menjadibahasa-internasional Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lanin, Ivan. 2013. “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Makalah pada Sarasehan Kebahasan dan Kesastraan Indonesia Tahun 2013 Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, 23 Oktober 2013 http://nixpn.blogspot.com/2012/10/mengupayakan-bahasa-indonesia-sebagai.html (30 April 2015) Moeliono, Anton M. (ed). 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: PT Gramedia. Mungkinkah Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional? Diakses dari http://kabarinews.com/mungkinkahbahasa-indonesia-jadi-bahasa-internasional/50688 (30 April 2015) Muslih, Masnur. 1990. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Malang: YA3. Parera, Jos Daniel. 1988. Sintaksis. Jakarta: PT Gramedia. Parera, Jos Daniel. 1990. Morfologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Peluang dan Tantangan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional. Diakses dari https://sugiartha26.wordpress.com/2012/10/08/peluang-dan-tantangan-bahasa-indonesia-menjadibahasa-internasional/ (30 April 2015). Putrayasa, Ida Bagus. 2008a. Kajian Morfologi: Bentuk Derivasional dan Infleksional. Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, Ida Bagus. 2008b. Analisis Kalimat: Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, Ida Bagus. 2009a. Jenis Kalimat dalam Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, Ida Bagus. 2009b. Kalimat Efektif: Diksi, Struktur, dan Logika. Bandung: PT Refika Aditama. Ramlan, M. 1983. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono. Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono. Soeparno. 2008. Aliran Tagmemik: Teori, Analisis, dan Penerapan dalam Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: Tiara Wacana. Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Perlbagai Praktik Berbahasa. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Tarigan, Henry Guntur. 1986a. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1986b. Prinsip-Prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa. Wahya. 2011. “Peningkatan Status Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional: Sudah Lebih Mantapkah Perencanaan Bahasanya?” Dalam Sugiyono dan Yeyen Maryani (Penyunting). 2011. Perencanaan Bahasa pada Abad Ke-21: Kendala dan Tantangan (Risalah Simposium Internasional Perencanaan Bahasa). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Widodo, Supriyanto. Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Internasional. Diakses dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1362 (30 April 2015). Yulianto, Bambang. 2008. Aspek Kebahasaan dan Pembelajarannya. Surabaya: Unesa Universitiy Press.
57