ORITENTASI SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA Ust. Al-Bahra *, Dr. Ir, HM. Givi Efgivia, M.Kom **, Dr. Ir. Hamid Aljufri, MM, M.Kom *** Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu sekolah menengah yang menjanjikan bahwa lulusannya akan dapat langsung bekerja di dunia industri. Sekolah Menengah Umum (SMU) juga membuat janji yang sama kepada masyarakat, jika lulusannya tidak ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Selain itu banyak Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan nasional ataupun multinasional dengan harapan kurikulumnya akan sejalan (mix dan match) dengan dunia kerja, sehingga mahasiswanya dapat langsung bekerja di perusahaan setelah lulus, atau dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sehingga sebagian orang tua berusaha membekali anak-anak mereka dengan pelajaran umum seperti bahasa Inggris, Matematika, dll, dengan harapan anaknya kelak dapat masuk SMU atau SMK unggulan dan dapat langsung bekerja setelah lulus. Akhirnya mereka bahkan kita melupakan, bahwa pendidikan yang terpenting dalam Islam adalah membangun kesempurnaan iman, demi menjadi manusia yang bertaqwa. Seorang muslim yang sempurna Imannya akan dapat menjalani kehidupan di alam dunia ini dengan baik dan selamat. Allah telah menentukan jatah rizki seseorang, sehingga seorang lulusan SMP yang beriman dan bertaqwa akan lebih tenang hidupnya dibanding dengan seorang sarjana yang tidak mengenal tidak beriman. A. PENDAHULUAN Berangkat dari tujuan diatas, maka secara nasional porsi pendidikan agama di sekolah umum hanya dua jam dalam satu minggu. Dari porsi pembagian ini dapat menggambarkan bahwa sekolah hanya mempersiapkan peserta didik memenuhi dimensi individu (dalam hal ini kognitif) saja. Tetapi dimensi agama, sosial, dan susila dianggap tidak penting. Akibatnya setelah menjadi orang yang berhasil individu memiliki kepribadian yang tidak sehat. Misalnya saja seorang direktur yang arogan, pejabat yang korupsi, orang kaya yang tidak peduli tetangganya, pengusaha yang tidak peduli lingkungan, dosen/guru yang bermoral tidak baik. Lebih menyedihkan lagi lembaga pendidikan yang berbasis agama seperti madrasah dan pesantren juga berusaha untuk mengejar tujuan tersebut, dengan harapan agar anak didiknya setelah lulus juga dapat langsung bekerja sesuai dengan bidangnya. Akibatnya berapa banyak lulusan pesantren yang hanya pintar berbahasa Inggris dan bahasa Arab, tetapi akhlaq dan aqidahnya sangat rendah. Hal ini dapat di buktikan dengan wanita-wanita yang lulusan pesantren dan pintar bahasa Arab dan Inggris, tetapi tidak menutup aurat mereka, padalah secara teori mereka tahu ayat AlQur‟an dan Hadits yang mewajibkan menutup aurat, bahkan sebagian mereka yang alumni pesantren terlibat dalam pergaulan bebas, seperti pacaran, mojok berduaan dengan lawan jenis, dll, padahal secara teori mereka juga tahu bahkan hafal ayat AlQur‟an dan Hadits yang menyatakan kalau memegang tangan pria atau wanita yang bukan muhrim, sama saja dengan mengenggam bara api, kalau dua orang bukan muhrim yang berlainan jenis berdua-duaan maka syaitan akan hadir bersama mereka. B. KONSEP PENDIDIKAN SEKULER dan LIBERAL Roberto Carnio menyatakan bahwa kita memerlukan lifelong education for all and curriculum for 21st century, yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang 1
digariskan oleh UNESCO dalam konsep : learning to be (agar manusia tanpa melihat asal-usulnya mampu dan mau belajar dari setiap peristiwa kehidupan sebagai dinamika kehidupan social kemasyarakatan dan berusaha mandiri sebagai manusia yang utuh secara rohaniah dan jasmaniah). learning to know (manusia harus mampu melihat situasi dan kondisi dan mampu memahami makna kehidupan melalui pengenalan atas kondisi alam dan sekitarnya), learning to do (jika manusia sudah mampu mandiri dalam mengatasi setiap berbagai masalah serta mengetahui apa yang patut dan layak dikerjakannya atas sebuah kondisi yang dihadapinya, maka selanjutnya manusia harus berusaha berbuat sesuai kapasitasnya), learning to live together (kemampuan dan perbuatan akan berarti jika dapat dirasakan semua orang, sehingga apa yang kita miliki, ketahui dan pelajari bukan untuk kita saja tetapi selayaknya berguna bagi manusia lainnya). Demi mengacu pada 4 pilar pendidikan tersebut, maka muncullah sekolah/lembaga pendidikan yang mengedepankan kecerdasan otak (baik otak kanan maupun otak kiri) serta keterampilan dalam memasuki dunia kerja. C. FALSAFAH (FILSAFAT) PENDIDIKAN Falsafah pendidikan merupakan dasar dari konsep pendidikan sekuler danb liberal. Falsafah pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan selalu berangkat dari ilmu filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme adalah : Demokritos, Ludwig Feurbach. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lainlain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu : a. Filsafat pendidikan “progresif”. Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. b. Filsafat pendidikan“Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalamanpengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich. Fisafat pendidikan di Indonesia mengadopsi seluruh hal-hal yang positif dari seluruh aliran filsafat pendidikan yang ada di dunia. Sementara filsafat pendidikan sendiri adalah hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Lebih jauhnya lagi manusia-manusia yang menjadi bapak/tokohnya filsafat adalah orang sosialis, komunis, yahudi dan nasrani. Sehingga dapat di pastikan 100% bahwa konsep 2
filsafat manapun tidak akan mampu menghasilkan anak didik yang mengenal Allah SWT, sebagai penciptanya, dan tidak akan mampu mengarahkan anak didik kepada tujuan hidup sebenarnya, sama seperti para pencetus filsafat yang tersesat jalan hidupnya. D. DISKRIMINASI ANTARA PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM Dalam sistem pendidikan yang baru, pendidikan dibagi menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu. Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu/miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Secara tak langsung, terjadilah diskriminasi pendidikan. Hanya keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan bermutu karena sangat mahalnya biaya pendidikan Kita cukup salut dengan pemerintah Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan gratis bagi warganya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai anggaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan. Lembaga pendidikan agamapun (pesantren) tidak mau kalah bersaing. Hari ini banyak pesantren yang memungut uang pendaftaran serta uang awal masuk 2 hingga 8 juta, bahkan uang bulananpun ditargetkan sekian ratus ribu. Belum uang mencuci, uang menggosok, uang jajan anak, dll, sehingga anak yang tinggal di beberapa pesantren berbiaya mahal tersebut, bagaikan raja kecil. Pada intinya tidak menjadikan anak mandiri saat masuk di pesantren, hanya memindahkan tempat tidur dan mengganti pembantu saja. Pada jenjang pendidikan tinggi, diskriminasi itu juga kini terjadi. Kuota kursi yang diperebutkan secara adil dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN ), misalnya, hanya 30-40 persen dari kapasitas yang ada. Sebagian besar kursi itu justru ”dilelang” dengan beragam nama yang berbiaya tinggi. Akhirnya hanya mahasiswa dari keluarga kaya yang peluangnya terbuka lebar masuk perguruan tinggi negeri. Adapun mahasiswa miskin hanya bisa gigit jari. Kondisi inilah yang antara lain dicemaskan para guru besar dan dokter-dokter senior lulusan tahun 1960-an Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), saat mengunjungi harian Kompas, Senin (9 Agustus 2010). ”Ditempatkan di mana pun, asal bisa membaktikan hidup buat bangsa dan kemanusiaan, tidak masalah,” kata Dr Boedihartono MHA yang lama bertugas di Papua. Namun, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi, termasuk kedokteran, mereka khawatir, jiwa nasionalisme, kemanusiaan, dan pengabdian dokter-dokter muda lulusan perguruan tinggi negeri akan luntur. ”Kami khawatir, nasionalisme dan semangat pengabdian itu luntur oleh kalkulasi kapitalistik,” kata Dr Abdoel Djalal AR, dokter senior FKUI.
3
Dalam lembaga pendidikan non-formal pun terjadi diskriminasi. Namun diskriminasi ini di lakukan sendiri oleh masyarakat. Banyak orang tua yang rela membayar 1 juta bahkan sampai belasan juta rupiah untuk memasukkan anaknya di sebuah Taman Kanak-Kanak. Demi mendukung kemampuan belajar anak di sekolah umum (SD/SMP/SMU), banyak orang tua dengan rela memasukkan anak-anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Bahkan mereka sanggup membayar biaya bimbingan belajar dari 2 juta hingga belasan juta rupiah. Namun sebaliknya berapa banyak orang tua yang mampu mengeluarkan uang jutaan rupiah diatas, keberatan mengeluarkan uang infaq hanya Rp.10.000 saja untuk anaknya belajar membaca Al-Qur‟an di TPA/TPQ. Lebih ironisnya lagi mereka maunya yang gratisan. Dengan kondisi demikian, maka semakin banyak orang yang berlomba-lomba membuka usaha lembaga bimbingan belajar, karena menjadi salah satu bisnis yang menjanjikan. Lihat saja, tak sedikit lembaga bimbingan belajar yang berhasil diwaralabakan di berbagai kota. Sebaliknya sangat sedikit orang yang bersedia membuka TPA/TPQ, mengingat banyak orang tua yang maunya gratisan. E. TAUHID SEBAGAI LANDASAN SYSTEM PENDIDIKAN ISLAM. (STUDI KASUS PENDIDIKAN NABI LUQMAN AS DAN IBRAHIM AS TERHADP ANAK MEREKA) Pemikiran tauhid sebagai konsep yang berisikan nilai-nilai fundamental yang harus dijadikan paradigma pendidikan Islam. Sebab, tauhid sebagai pendangan dunia Islam menjadi dasar atau fundamen bangunan Islam secara keseluruhan, tidak terkecuali dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas dasar yang benar dari pandangan ilmu tauhid. Pendidikan dalam pandangan tauhid, adalah pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Ilahiah sebagai landasan etis normatif dan nilai-nilai insaniah sebagai basis praktis operasional. Dari perspektif ini dapat diambil formulasi bahwa tauhid dalam pemikiran Islam berfungsi untuk mentransformasikan setiap individu anak didik menjadi “manusia tauhid” yang lebih kurang harus ideal, dalam arti memiliki sifat-sifat mulia dan komitmen kepada penegakkan kebenaran dan keadilan. Berbagai atribut manusia tauhid yang diharapkan lahir dari rahim pendidikan adalah : Pertama. Memiliki komitmen utuh, tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Ia berusaha secara maksimal menjalankan pesan dan perintah Allah sesuai dengan kadar kemampuannya. Kedua. Menolak segala pedoman dan pandangan hidup yang bukan datang dari Allah SWT dalam konteks masyarakat manusia. Seperti firman Allah dalam surat Luqman [31] ayat 12 -19, yang artinya ”Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, 4
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. Ketiga. Bersikap progressif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas hidupnya, adat istiadat, tradisi, dan faham hidupnya. Bila dalam penilaiannya terdapat unsur-unsur syirik, maka ia tidak segan-segan merubahnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Manusia tauhid akan selalu bersikap progressive inovative (memiki inovasi dan berpandangan kedepan), karena ia tidak pernah menolak perubahan yang bersumber dari nilai-nilai Islam (Al-Qur‟an dan Sunnah). Keempat. Tujuan hidupnya amat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya, selalu ditunjukkan untuk dan demi Allah semata. Inilah komitmen yang selalu diucapkan berkali-kali dalam setiap shalatnya. Manusia tauhid tidak akan mudah terjerat ke dalam niali-nilai palsu atau hal-hal yang tanpa nilai. Atribut-atribut duniawiyah seperti kekayaan, kekuasaan dan kesenangan hidup bukanlah tujuan hidupnya. Sebaliknya, hal-hal tersebut dipandang sebagai sarana belaka untuk mencapai keridhoan Allah SWT. Kelima. Manusia tauhid memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupan yang akan dibangunnya bersama manusia-manusia lainnya. Aqidah Tauhid adalah asas/dasar yang menjadi landasan dari seluruh tatanan aktivitas hidup manusia. Kedudukan iman ini diumpamakan Al-Quran seperti sebuah “akar” pohon. Akar berfungsi sebagai asas, dasar, sekaligus sebagai penopang dari seluruh bangunan yang tumbuh diatasnya. Seperti dilukiskan dalam (QS:Ibrahim[14]:24-25), yang artinya :“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan “Kalimah Thoyyibah” seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. Pada gilirannya, visi tersebut mendorongnya untuk mengubah dan membangun dunia dan masyarakat sekelilingnya. Kewajiban untuk membongkar masyarakat yang jumud, anarkis, status quo dan, sebaliknya membangun tata kehidupan yang baru, adil, dan menghargai manusia sebagai makhluq ciptaan Allah. Contoh kasus aktual lainnya, bisa kita lihat bagaimana pola Ibrahim as mencetak kader yang juga berpredikat nabi (Ismail as). Al-Qur‟an memberi gambaran dengan tahapan yang sitematis dan detail. Hal ini dapat kita fahami dengan penjelasan berikut : Pertama Visi pendidikan Ibrahim adalah mencetak generasi shaleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena Ibrahim as yakin dengan janji Allah dalam QS:Al5
A‟raf:96 ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi......”. Dalam penantian panjang beliau berdo‟a agar diberi generasi shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam al-Qur‟an yang artinya "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orangorang yang saleh." (Q.S. Ash Shaaffaat : 100) Ibrahim sangat konsisten dengan visi ini, tidak pernah terpengaruh predikat dan titel-titel selain keshalehan. Dalam mentransfer nilai kepada anaknya, Ibrahim selalu bertanya Maata‟buduuna min ba‟dii bukan Maata‟kuluuna min ba‟dii. "Nak, apa yang kau sembah sepeninggalku?" bukan pertanyaan "Apa yang kamu makan sepeninggalku?" Ibrahim tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya tapi Ibrahim sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah SWT. Ibrahim menempatkan aqidah tauhidnya diatas kepentingan ekonomi, dan masalah dunia lainnya. Kedua, Misi pendidikan Ibrahim adalah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara totalitas. Beliau menerapkan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ibrahim as juga yakin dengan firman Allah dalam surat QS:AdDzariat:56 ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Sehingga ajaran tersebut dapat menjadi proteksi bagi anakanaknya agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya . Allah SWT menjelaskan harapan Ibrahim dengan sebuah do‟anya ” Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS: 2 : 132) Ketiga, Kurikulum pendidikan Ibrahim juga sangat lengkap. Kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh Ibrahim as juga telah mempertimbangkan aspek kognitif, afektif & psikomotorik. Ibrahim as telah lebih dulu menerapkan kurikulum berbasis kompetensi. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi Tilawah untuk pencerahan intelektual, Tazkiyah untuk penguatan spiritual, Ta‟lim untuk pengembangan keilmuan dan Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan. Muatan-muatan strategis pendidikan Ibrahim tersebut, Allah SWT telah jelaskan secara terperinci dalam firman-Nya: "Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (QS:Al-Baqarah : 129) Keempat Lingkungan pendidikan Ibrahim untuk putranya bersih dari virus aqidah dan akhlaq. Beliau dijauhkan dari berhala dunia, fikiran sesat, budaya jahiliyah dan prilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih agar fikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk di sekitarnya. Selain jauh dari perilaku yang tercela, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah „Baitullah‟. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam suasana spritual, beribadah (shalat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak di sekitarnya. Pemilihan tempat (bi‟ah) yang strategis untuk pendidikan 6
Ismail secara khusus Allah SWT abadikan dalam al-Qur‟an, sebagaimana firman-Nya: "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS:Ibrahim : 37) Pendidikan Nabiullah Ibrahim memang patut dicontoh. Beliaulah satu-satunya nabi yang berhasil mengantar semua anaknya menjadi nabi. Dan dari keturunan anak cucu beliau muncul nabi akhir zaman, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan Islam dalam kerangka tauhid harus melahirkan dua kemestian strategis sekaligus. Pertama; menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah. Kedua melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya. Dengan kata lain, pendidikan Islam dalam tinjaun aqidah tauhid diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi ketundukan vertikal dan dialektika horisontal. Pada dimensi pertama, pendidikan Islam diarahkan pada asal-usul dan tujuan hidup manusia dalam mencapai hubungan dengan Allah SWT. Sedangkan dimensi kedua, pendidikan Islam hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrit yaitu kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam lingkungan sosialnya. Pada dimensi ini manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia nyata dengan seperangkat kemampuan yang dimiliki (pengetauan, keterampilan, moral dan kepribadian). Kemampuan-kemampuan semacam ini tidak lain hanya bisa diperoleh melaui proses pendidikan. Dari kemestian ini sesungguhnya bangunan pendidikan Islam dilandasi, dan sekaligus hendak mengarahkan manusia pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu hubungan manusia dengan Allah (Hablun minallah, atau aspek teologis), hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas atau aspek antropo- sosiologis), dan hubungan manusia dengan alam (hablum min a‟lam atau aspek kosmologis). Keyakinan hanya ada satu Rabb yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta (tauhid rububiyah) sekaligus meyakini akan kesatuan alam, keteraturan dan keharmonisan alam dengan berbagai hukum yang mengaturnya dan diikat dengan satu hukum tertinggi dari Yang Maha Pengatur.
7