48
ORIENTASI TUJUAN, BERBAGI PENGETAHUAN DAN KREATIVITAS: SEBUAH MODEL MULTILEVEL HENRI DWI WAHYUDI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
ABSTRAK Teori orientasi tujuan (Goal Orientation Theory/GO) berakar dari literatur psikologi pendidikan yang berkembang selama tahun 1970-an dan 1980. Salah satu studi meta-analitik yang mendalam tentang GO dilakukan oleh Payne, Youngcourt dan Beaubien (2007) yang menyatakan bahwa literatur orientasi tujuan berperan sentral dalam menjelaskan beragam keputusan terkait human resources, seperti: rekruitmen, seleksi, training dan penilaian kinerja. Juga topik organisasional lainnya, seperti: iklim dan kultur, kepemimpinan dan team building. Pemahaman mengenai knowledge network menjadi sangat penting agar kita dapat lebih memahami bagaimana pengetahuan dihasilkan. Knowledge network merupakan hasil dari kolaborasi antara individu, tim dan organisasi yang berperan meningkatkan kualitas dan nilai ekonomis dari pengetahuan baru yang dihasilkan. Peran individu dalam jaringan tersebut akan mempengaruhi outcome pengetahuannya karena mereka berada pada hubungan yang bersifat triadik. Pada isu-isu tersebut, knowledge network research masih menghasilkan temuan yang saling bertentangan, sehingga masih dibutuhkan dukungan riset. Studi ini diharapkan dapat memberi kontribusi teoritis pada literatur kreativitas yang bersifat multilevel dengan pendekatan bottom-up. Kata Kunci: Goal Orientation Theory, Human Resources, Team Building, Knowledge Network, Multilevel, dan Bottom-Up. PENDAHULUAN Latar Belakang Selama hampir tiga dekade, para teoris mendefinisikan kreativitas sebagai pengembangan ide tentang produk, praktik, layanan atau prosedur yang memiliki kebaruan/novelty dan kemanfaatan/useful (Zhou & Shalley, 2003; Amabile et.al., 1996) hingga menghasilkan studi yang ekstensif untuk menemukan mekanisme peningkatan kreativitas di lingkungan kerja (Amabile & Conti, 1999; Oldham & Cummings, 1996). Guna lebih memahami hubungan tersebut, para peneliti menggunakan berbagai lensa teori, antara lain: teori orientasi tujuan/goal orientation theory (Gong et.al., 2013; Gong, Huang & Farh, 2009; Hirst, Knippenberg & Zhou, 2009). Terdapat tiga orientasi tujuan yang dianalisis oleh para peneliti pada level individu, yaitu: orientasi pada tujuan pembelajaran/learning goal orientation (selanjutnya disebut orientasi pembelajaran), orientasi pada tujuan pencapaian kinerja/performance goal orientation (selanjutnya disebut orientasi kinerja), dan orientasi pada tujuan penghindaran kinerja/avoidance goal orientation (selanjutnya disebut orientasi penghindaran kinerja). Bukti empiris menunjukkan bahwa orientasi pembelajaran dan orientasi kinerja berhubungan positif dengan outcome tertentu, antara lain: kreativitas (Van Der Vegt & Bunderson, 2005), sedangkan orientasi penghindaran berhubungan negatif (Seijts et.al., 2004).
Di antara akumulasi riset tersebut, Gong et.al. (2013) menyebutkan bahwa pengujian hubungan antara orientasi tujuan dan kreativitas belum pernah dilakukan pada level tim. Hal
49
ini menjadi tantangan bagi riset dan praktik untuk menganalisis fenomena multilevel dibalik hubungan individu dan tim dalam menghasilkan kreativitas. Apa sajakah variabel anteseden, pemediasi dan atau pemoderasi hubungan tersebut dengan mempertimbangkan hubungan dinamis antara individu dan tim. Lebih lanjut, Hirst, Knippenberg dan Zhou (2009) menggunakan pendekatan cross-level untuk menganalisis hubungan antara orientasi tujuan, dan kreativitas individu dan menemukan bukti hubungan yang bersifat non-linier dengan perilaku belajar tim sebagai variabel pemoderasi. Studi lainnya dilakukan oleh Taggar (2002) yang juga menggunakan pendekatan cross-level untuk menganalisis hubungan antara kreativitas individu dengan kreativitas tim. Hasil pengujian terhadap 94 grup dari 13 jenis tugas yang berbeda menghasilkan kesimpulan bahwa proses yang terkait dengan kreativitas tim/team creativity-relevant process, yaitu: pemberian motivasi, pengelolaan dan pengkoordinasian, dan pertimbangan individu menjadi variabel pemoderasi hubungan antara kreativitas individu dan kreativitas tim. Walaupun menggunakan analisis cross-level pada hubungan individu ke tim, namun studi Taggar (2002) menggunakan mahasiswa sebagai partisipan dalam riset, sehingga membatasi generalisasi hasil studi. Demikian pula dengan Hirst, Knippenberg dan Zhou (2009) yang menggunakan desain cross-sectional, sehingga membatasi kesimpulan kausalitas, selain minimnya jumlah tim yang menjadi sampel penelitian (n=25). Berbeda dengan kedua studi tersebut, Gong et.al. (2013) menganalisis fenomena kreativitas tim menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan membangun sebuah model heuristik efektivitas tim yang terdiri dari dua kategori. Kategori pertama menganalisis proses yang terjadi dalam tim/team process dengan cara menguji hubungan antara orientasi tujuan tim dan kreativitas tim menggunakan variabel pemediasi pertukaran informasi dalam tim dan variabel pemoderasi rasa percaya terhadap pimpinan. Kategori kedua menganalisis pengaturan tim/team design dengan cara menguji hubungan antara kreativitas individu dan kreativitas tim menggunakan variabel pemediasi iklim yang mendukung kreativitas dengan pendekatan bottom-up dimana pendekatan ini berbeda dengan studi cross-level lainnya yang didominasi pendekatan top-down. Hasil pengujian Gong et.el. terhadap 100 tim R&D menunjukkan terdukungnya hubungan tidak langsung antara orientasi tujuan tim dengan kreativitas tim dan kreativitas individu serta peran variabel pemediasi dan pemoderasi. Tujuan Studi Studi ini bertujuan memperdalam kajian kreativitas tim menggunakan goal orientation theory dengan mempertimbangkan setting bahwa sebuah tim niscaya berada dalam jaringan/network. Bagaimana kekuatan hubungan tim dengan tim lain dalam sebuah jaringan/tie strenght berdasar lensa knowledge network research akan menjadi novelty studi ini, sekaligus memperluas/expand model yang dibangun oleh Gong et.al. (2013). Studi ini berupaya membangun sebuah model heuristik tentang efektivitas tim menggunakan panduan Cohen dan Bailey (1997) dalam Srivastana, Bartol dan Locke (2006). Cohen dan Bailey menyebutkan, untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal, maka sebuah model perlu mempertimbangkan empat konsep penting, yaitu: 1) desain tim, komposisi dan konteks; 2) proses tim; 3) kepribadian psikososial tim; serta 4) efektivitas tim.
Terdapat dua pertimbangan penting terkait urgensi tim dalam riset kreativitas. Pertimbangan pertama, beberapa penelitian empiris menunjukkan bahwa efektivitas kinerja tim berperan sebagai faktor penentu kesuksesan organisasi (Gist, Locke, Taylor, 1987; Guzzo
50
& Dickson, 1996). Pada kasus tertentu, tim bertanggungjawab terhadap keseluruhan barang atau jasa yang dihasilkan, sedang pada kasus lainnya, tim hanya berperan sebagai elemen pendukung pada mata rantai organisasi. Selain itu, tim dianggap mampu menstimulasi fleksibilitas, kesadaran akan kualitas, dan inovasi (Anderson & West, 1998) karena tim memberikan ruang bagi anggotanya untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam hal kreativitas dan pemecahan masalah. Kompetensi tim kerja/teamwork tersebut selanjutnya akan menempa tim menjadi sebuah tim pembelajar (van der Vegt & Bunderson, 2005) yang terbentuk dari akumulasi keahlian dan pengalaman dari para anggotanya yang bersifat komplementer. Senge (1990) dalam van Woerkom dan Sanders (2010) menyatakan bahwa tim (dan bukan individu) yang menjadi unit pembelajaran fundamental dalam organisasi modern. Pembelajaran dalam tim adalah proses dimana para anggota tim saling berbagi pengetahuan (Payne, Youngcourt, & Beaubien, 2007) yang menjadi prasyarat bagi organisasi untuk menjadi organisasi pembelajar (Argote & Miron-Spektor, 2011) selain menjadi tahapan penting dalam Manajemen Pengetahuan (Indarti & Dyahjatmayanti, 2014). Proses berbagi pengetahuan yang efektif akan memampukan organisasi untuk membangun basis pengetahuan dan meraih keunggulan kompetitifnya (Andrews & Delahaye, 2000; McEvily & Chakravarthy, 2002). Berbagi pengetahuan juga merupakan proses tim yang penting karena jika pengetahuan tidak dibagikan, maka sumber daya kognitif yang tersedia dalam tim menjadi kurang termanfaatkan (Argote & Miron-Spektor, 2011). Pertimbangan kedua, berdasar lensa knowledge network research, Andrews dan Delahaye (2000) mendefinisikan knowledge network sebagai kumpulan titik (nodes) 1 yang terhubung secara sosial yang dapat memampukan sekaligus menghambat usaha-usaha titik (nodes) untuk memperoleh, mentransfer dan menghasilkan pengetahuan. Pemahaman mengenai knowledge network menjadi sangat penting agar dapat lebih memahami bagaimana pengetahuan dihasilkan dan dampak lebih luasnya seperti pada perekonomian makro, antara lain pertumbuhan ekonomi. Knowledge network merupakan penghasil dan pensuplai pengetahuan yang menjadi prasyarat utama pertumbuhan ekonomi dimana knowledge network merupakan hasil dari kolaborasi antara individu, tim dan organisasi yang berperan meningkatkan kualitas dan nilai ekonomis dari pengetahuan baru yang dihasilkan. Dengan kata lain, studi mengenai perilaku dalam organisasi akan lebih dapat menjelaskan keberagaman fenomena jika keberadaan individu di dalamnya dianalis menggunakan perspektif multiplexity, bahwa individu anggota tim adalah bagian dari satu atau lebih jaringan sosial (social network) yang mungkin saja saling berbeda jenis dan kekuatan hubungannya. Peran individu dalam jaringan tersebut tentu saja akan mempengaruhi outcome pengetahuannya karena mereka berada pada hubungan yang bersifat triadik. Pada isu-isu tersebut, knowledge network research masih menghasilkan temuan yang saling bertentangan sehingga masih dibutuhkan dukungan riset. Rumusan Masalah Berdasar argumen tersebut, maka studi ini mengajukan pertanyaan penelitian pertama: Apakah orientasi tujuan tim memiliki hubungan dengan kreativitas tim dan kreativitas individu? Jika berhubungan, bagaimana mekanismenya? Apakah berbagi informasi memediasi hubungan ini? Apakah kekuatan hubungan dalam jaringan (tie strenght) dapat memoderasi hubungan ini? Dengan mengintegrasikan perspektif orientasi tujuan, berbagi informasi dan social network, kami berargumentasi bahwa orientasi tujuan dapat 1
Titik (nodes) dapat berwujud: 1) aktor atau agen pada level individu hingga organisasi; 2) elemen pengetahuan seperti: paten, hasil penelitian, produk; dan 3) repositori, seperti: database, katalog.
51
memotivasi tetapi dapat pula menghambat kegiatan berbagi pengetahuan, karena sifat dari tujuan bersama yang diyakini dalam tim (shared goals) akan mempengaruhi perilaku anggota tim dalam mencapai tujuan bersamanya. Pertanyaan pertama ini akan dihubungkan dengan isu generalisasi multilevel, dimana hal ini masih belum banyak memperoleh perhatian pada riset-riset kreativitas (Zhou & Shalley, 2003; Gong et.al., 2013)2. Isu multilevel menjadi penting untuk diangkat manakala masih terdapat pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, seperti: apakah anteseden yang sama dapat memprediksi kreativitas pada level analisis yang berbeda? (Zhou & Shalley, 2003). Sebagaimana disebutkan oleh Gong et.al. (2013), pada level tim dibutuhkan variabel penjelas misalnya berupa pengaruh motivasional atau input lainnya yang mungkin berbeda dengan variabel penjelas pada level individu. Kebutuhan analisis hubungan yang bersifat cross-level ini kemudian memunculkan pertanyaan penelitian yang kedua: Apakah kreativitas individu berkontribusi pada kreativitas tim? Jika berkontribusi, bagaimana perilaku intra-grup terjadi? Bagaimana peran team creativity-relevant processes dalam memoderasi hubungan antara kreativitas individu dengan kreativitas tim? Pertanyaan ini terkait dengan hubungan bottom-up pada teori multilevel, dimana kreativitas tim bukan agregasi dari kreativitas individu karena adanya fenomena sosial yang mengakibatkan individu mau menampilkan kerja kreatifnya yang belum terjelaskan secara komprehensif (Woodman, Sawyer & Griffin, 1993). Studi ini diharapkan dapat memberi kontribusi teoritis pada literatur kreativitas yang bersifat multilevel dengan pendekatan bottom-up. Gambar 1 Model Heuristik Kreativitas Tim Team Process Tie Strength
Goal Orientation Learning
Knowldege Sharing
Team Creativity Team Design Team CreativityRelevant Processes
Individual Creativity
DASAR TEORI DAN PROPOSISI hubungan moderasi Teori Orientasi Tujuan 2
Level generalisasi teori menjadi penting karena berhubungan dengan kepentingan dimana riset akan diaplikasikan baik secara teoritis maupun praktis.
52
Teori orientasi tujuan (Goal Orientation Theory/GO) berakar dari literatur psikologi pendidikan yang berkembang selama tahun 1970-an dan 1980. Salah satu studi meta-analitik yang mendalam tentang GO dilakukan oleh Payne, Youngcourt dan Beaubien (2007) yang menyatakan bahwa literatur orientasi tujuan berperan sentral dalam menjelaskan beragam keputusan terkait human resources, seperti: rekruitmen, seleksi, training dan penilaian kinerja. Juga topik organisasional lainnya, seperti: iklim dan kultur, kepemimpinan dan team building. Teori orientasi tujuan dari disebutkan bahwa individu memiliki kecenderungan tertentu dalam dirinya, yaitu kecenderungan untuk belajar (Learning Orientation/LGO) atau kecenderungan untuk mencapai kinerja (Performance Orientation/PGO). Terdapat atribut perbedaan orientasi pada referensi yang dipakai seseorang untuk menilai kesuksesannya, yaitu: internal-referent (menghasilkan LGO) versus external-referent (menghasilkan PGO). Selain itu juga ada atribut pada incremental (menghasilkan LGO) versus entity theory of intelligence (menghasilkan PGO). Konvergensi tersebut sulit ditemukan individu dengan dua kecenderungan, sehingga kedua dimensi orientasi tujuan tersebut masing-masing dianggap terletak di ujung kontinum. Pada tahun 1990-an, teori orientasi tujuan diperkenalkan pada literatur organisasional antara lain oleh Farr, Hoffman dan Ringenbach (1993) dalam Payne, Youngcourt dan Beaubien (2007) yang mengkontradiksikan LGO dan PGO serta menghubungkannya dengan isu organisasional, seperti: task interest, goal setting, feedback seeking dan traineee motivation. Temuan dari disiplin ilmu psikologi pendidikan dan organisasional menunjukkan konvergensi, yaitu LGO berhubungan positif dengan perilaku positif, seperti: pemilihan tujuan yang realistis, ketahanan untuk menghadapi kegagalan. Sedangkan, PGO berhubungan dengan perilaku negatif, seperti strategi kinerja mal-adaptif atau perasaan berputus asa. Dikotomi dimensi LGO dan PGO menghasilkan model dua faktor yang konsisten diuji dari waktu ke waktu. Studi lain yang cukup berpengaruh pada literatur orientasi tujuan adalah van de Walle (1997) yang menyatakan bahwa orientasi pada tujuan pencapaian kinerja bersifat multidimensional, sehingga membaginya menjadi dua dimensi, yaitu: menyetujui (prove) atau menghindari (avoid). Pemecahan ketegori inilah yang memunculkan jenis orientasi tujuan yang ketiga, yaitu orientasi pada tujuan penghindaran kinerja. van de Walle berargumentasi bahwa model tiga faktor lebih superior dibanding model dua faktor. Sependapat dengannya, Elliot dan Church (1997) juga menyatakan bahwa orientasi pada tujuan menyetujui atau menghindari kinerja, masing-masing memang memiliki perbedaan anteseden maupun outcome. Lebih lanjut, pada tahun 2000-an, para peneliti berupaya mengembangkan teori orientasi tujuan dengan cara menganalisis mekanismenya pada level tim dengan ringkasan pada tabel 1.
Tabel 1 Ringkasan Hasil Penelitian Orientasi Tujuan Tim
53
Peneliti
Tujuan Riset
Jenis Orientasi Tujuan Tim yang Digunakan Orientasi pembelajaran, orientasi kinerja, dan orientasi penghindaran kinerja
Gong et.al. (2013)
Menguji hubungan orientasi tujuan tim dengan kreativitas tim dan kreativitas individual menggunakan pendekatan multilevel
Hirst, Knippenberg, dan Zhou (2009)
Membangun dan menguji model cross-level pada hubungan antara kreativitas individu, orientasi tujuan tim dan pembelajaran tim
Orientasi pembelajaran, dan orientasi kinerja
Gong, Huang, dan Farh (2009)
Menguji hubungan orientasi tujuan tim dengan kinerja
Orientasi pembelajaran
Temuan Utama Rasa percaya terhadap pimpinan tim, memoderasi secara positif hubungan tidak langsung antara orientasi tujuan tim dengan kreativitas tim dan kreativitas individu Rata-rata kreativitas individu berhubungan positif dengan kreativitas tim (melebihi pengaruh pertukaran informasi dalam tim) melalui variabel mediasi iklim yang mendukung kreativitas Interaksi non-linier antara orientasi tujuan tim dan pembelajaran tim Hubungan positif antara orientasi belajar dan kreativitas terjadi manakala pembelajaran tim tinggi Orientasi kinerja individu berhubungan positif ddengan kreativitas hanya ketika perilaku belajar tinggi Kreativitas berhubungan positif dengan kinerja yang diukur menggunakan penjualan dan penilaian supervisor Orientasi belajar dan kepemimpinan transformasional berhubungan positif dengan kreativitas, dimana hubungan ini dimediasi oleh employee creative self-efficacy
Sumber: studi literatur. Para peneliti memandang tim sebagai pengolah informasi, dimana mereka membagi pengetahuan, informasi, ide atau kognisi dengan berbasis tujuan dan untuk mencapai tujuan pula (De Dreu et.al., 2008; Hinsz, Tindale & Vollrath, 1997). Pemilihan tujuan/goal choice,
54
yaitu: apa yang ingin dicapai oleh tim dan pencapaian tujuan/goal striving yaitu: strategi apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan merupakan bagian penting dari proses motivasional mendasar dalam tim (Chen & Kanfer, 2006 dalam Gong et.al., 2013) dan anggota tim akan saling berbagi pengetahuan untuk mencapai tujuan tersebut. Orientasi pembelajaran tim (Team Learning Goal Orientation) memiliki karakteristik berupa keinginan bersama dari anggota tim untuk mendapatkan pemahaman yang berhati-hati, mendalam dan akurat dari tugas-tugas tim, sebuah keinginan yang akan memotivasi anggota tim untuk mau mencari, bertukar dan memproses informasi (de Dreu et.al., 2008). Berdasarkan tujuan bersamanya yaitu peningkatkan kompetensi, anggota tim akan bersedia mencari informasi dan saling belajar (Bunderson & Sutcliffe, 2003), mereka juga akan berbagi informasi sehingga di antara mereka akan terjadi mekanisme pengujian dan perbaikan dari setiap pengetahuan dan ide yang disampaikan (Gong et.al., 2013). Orientasi kinerja tim (team performance goal orientation) adalah tujuan kolektif untuk mendapatkan evaluasi eksternal yang menguntungkan, mempersatukan anggota tim, memotivasi untuk berbagi informasi seputar tugas dan menjadikannya fokus pada tujuan (Chen & Kanfer, 2006 dalam Gong et.al., 2013). Orientasi ini menghasilkan outcome yang bersifat interdependen antar anggota tim, sehingga mengarahkan mereka untuk hasil positif bersama. Tujuan ini berkaitan dengan kualitas perencanaan dan koordinasi tim, antara lain proses komunikasi antar anggota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tujuan untuk mencapai kesuksesan bersama ini akan meningkatkan kualitas perencanaan dan kerja sama dalam tim- yang di dalamnya melibatkan, tetapi tidak terbatas pada komunikasi efektif antar anggota tim (Weingart, 1992; Weldon, Jehn & Pradhan, 1991). Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh de Dreu et.al. (2008), preferensi tim yang diyakini bersama untuk mencapai sukses akan meningkatkan aktivitas berbagi pengetahuan. Selanjutnya, orientasi penghindaran kinerja tim (team performance avoidance goal) adalah tujuan kolektif untuk bersama-sama menghindari kesalahan dan evaluasi negatif yang selanjutnya dapat mengurangi kepercayaan diri anggota tim untuk berbagi informasi. Tujuan utama tim adalah menghindari berbuat kesalahan dibanding menunjukkan kinerja yang lebih baik. Orientasi seperti ini menunjukkan tendensi untuk menghindari tantangan dan ketidakpastian yang membuat tim berada dalam resiko yang menghalanginya menuju kesuksesan (van de Walle, 1997). Berbagi pengetahuan mengandung resiko karena memiliki potensi terjadinya kekeliruan dan reaksi negatif dari pengetahuan yang dibagikan. Ketika sebuah tim memiliki kecenderungan untuk menghindari resiko dan kekeliruan, persepsi kolektif muncul, dan berbagi informasi dan ide menjadi hal yang tidak diinginkan, sebagai konsekuensinya maka aktivitas berbagi pengetahuan menjadi rendah. Berbagi Pengetahuan dan Kreativitas Tim Berbagi pengetahuan fokus pada mekanisme transfer pengetahuan yang dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif karena sifat pengetahuan yang implisit dan tidak mudah untuk diimitasi atau disubstitusikan. Berbagi pengetahuan yang efektif menjadi prasyarat inovasi dan pembelajaran organisasional. Sebelum kombinasi dari pengetahuan yang dimiliki/existing knowledge dan pengetahuan baru dapat terjadi yang disebut kombinasi kapabilitas, maka pengetahuan yang relevan harus diakses terlebih dahulu dan diintegrasikan ke dalam basis pengetahuan organisasi yang diistilahkan dengan absoprtive capacity. Diyakini bahwa semakin banyak individu yang melakukan berbagi pengetahuan, maka semakin cepat tercipta inovasi. Inovasi tersebut akan memberikan karakteristik yang unik bagi perusahaan dibanding dengan pesaingnya dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan
55
kinerja organisasi. Lebih lanjut, kreativitas adalah persyaratan penting bagi inovasi (Amabile, 1983, dalam Miron, Erez & Naveh, 2004) karena inovasi membutuhkan inisiatif untuk mengeksekusi ide-ide kreatif, sehingga inovasi membutuhkan dukungan organisasi untuk mengimplementasikannya. Berbagi pengetahuan di dalam organisasi/knowledge inflows dan keluar organisasi/knowledge outflows adalah proses sentral dalam Manajemen Pengetahuan dan menjadi komponen penting pada berbagai isu organisasi, seperti: keberagaman struktural pada organisasi global (Cummings, 2004), kepemimpinan (Srivastana, Bartol & Locke, 2006), centrality position dan studi tentang network. Peran strategis berbagi pengetahuan dimungkinkan karena dengan berbagi pengetahuan, anggota organisasi akan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyebaran dan saling bertukar informasi, ide, pengalaman, pengetahuan melalui komunikasi, dan interaksi sosial yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya, individu dengan kelompok, maupun antar kelompok di dalam dan di luar perusahaan dengan tujuan untuk menciptakan pengetahuan baru (Indarti & Dyahjatmayanti, 2014). Berbagi pengetahuan juga merupakan sebuah proses kritis dalam tim, sebagai sarana berbagi ide, informasi dan saran antar anggota tim yang terkait dengan tugas mereka (Srivastava, Bartol & Locke, 2006). Berbagi pengetahuan dapat menjadikan tim lebih kreatif setidaknya melalui dua mekanisme yaitu memperbaiki proses pengambilan keputusan dan koordinasi. Stasser dan Titus (1985) menemukan bukti meningkatnya aktivitas berbagi pengetahuan antar anggota tim akan menambah jumlah pertimbangan yang lebih komprehensif dari berbagai alternatif keputusan. Penggunaan pengetahuan tim/existing knowledge dengan lebih baik juga akan memperbaiki pengambilan keputusan. Berbagi pengetahuan memampukan anggota tim untuk berkoordinasi karena dihasilkannya rasa kebersamaan/shared mental model dan dibangunnya memori transaktif/ transactive memory. Rasa kebersamaan didefinisikan sebagai pengetahuan bersama yang diyakini anggota tim tentang tugas mereka dan/atau proses sosialnya (Matieu et.al., 2000). Jika antar anggota tim saling berbagi pengetahuan setiap waktu, maka mereka akan membangun kemampuan untuk dapat mengenali dan memproses pengetahuan dalam bentuk pola (pattern) tertentu yang spesifik, bukan dalam bentuk informasi diskrit. Proses pembentukan pola (misalnya berupa intuisi) ini akan berlangsung lebih cepat dibanding informasi diskrit tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa berbagi pengetahuan di setiap waktu dapat menghasilkan intuisi yang bersifat kolektif sebagai perwujudan rasa kebersamaan, dimana mereka akan mengacu pada standar kerja yang sama/to be on the same page ketika menyelesaikan tugas dan mencapai kinerja. Berbagi pengetahuan juga memungkinkan koordinasi yang lebih baik karena terbangunnya memori transaktif, yaitu pengetahuan dalam tim tentang “siapa mengetahui apa” (Wegner, 1987, dalam Srivastana, Bartol & Locke, 2006). Memori transaktif dimulai saat individu mempelajari suatu keahlian dari anggota tim lainnya. Dengan memori transaktif ini, proses koordinasi dapat menjadi lebih baik karena apa yang dilakukan oleh anggota lain dapat diantisipasi. Selain itu, interaksi yang berulang juga akan memfasilitasi pembelajaran antar anggota ketika sebuah tim memiliki keahlian tertentu yang menjadi spesialisasi mereka. Pada akhirnya, kepemilikan memori transaktif akan mampu menghasilkan kinerja tim yang lebih tinggi. Beberapa teoris berpendapat bahwa mengkomunikasikan ide dan informasi dapat merangsang kreativitas (Amabile et.al., 1996; Kanter, 1988; Woodman, Sawyer & Griffin, 1993). Hal ini terjadi karena keberadaan domain pengetahuan dan ketrampilan terkait
56
kreativitas yang relevan dengannya. Domain pengetahuan adalah berbagai fakta, lingkup dan isu terkait pengetahuan yang meliputi keahlian tehnis dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi (Amabile et.al., 1996). Meningkatkan ketrampilan terkait kreativitas akan berpengaruh pada kinerja kreatif dengan cara meningkatkan kemampuan untuk menghasilkan dan memvalidasi pemecahan masalah yang optimal. Hal ini terbuktikan secara empiris pada temuan Andrews dan Delahaye (2000) bahwa seorang manajer produk yang memiliki pengetahuan lebih pada bidang pemasaran akan dapat menciptakan program pemasaran yang lebih kreatif. Selain itu, komunikasi dengan pihak lain juga akan meningkatkan pemahaman seseorang akan suatu bidang dan memfasilitasi dihasilkannya pendekatan-pendekatan yang tidak hanya layak dan sesuai, tetapi juga bersifat unik. Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka proposisinya: Proposisi 1. Orientasi pembelajaran tim memiliki hubungan positif secara tidak langsung melalui berbagi pengetahuan, dengan kreativitas tim dan kreativitas individu. Proposisi 2. Orientasi kinerja tim memiliki hubungan positif secara tidak langsung melalui berbagi pengetahuan, dengan kreativitas tim dan kreativitas individu. Proposisi 3. Orientasi penghindaran kinerja tim memiliki hubungan negatif secara tidak langsung melalui berbagi pengetahuan, dengan kreativitas tim dan kreativitas individu. Peran Kekuatan Jaringan (Network Ties) sebagai Variabel Pemoderasi Beberapa faktor kontekstual mulai dihubungkan dengan kreativitas, antara lain: pengaruh sistem penghargaan, gaya kepemimpian dan kecukupan sumber daya pada kreativitas individu (Amabile et.al., 1996), adanya interaksi dengan area fungsional lainnya dalam organisasi akan meningkatkan kreativitas program pemasaran (Andrews & Delahaye, 2000), sisi sosial kreativitas (Perry-Smith & Shalley, 2003), keberagaman kognitif dalam tim dan lainnya. Di antara berbagai studi tersebut, Perry-Smith dan Shalley (2003) berpendapat terdapat dua faktor sosial yang penting dalam menjelaskan kreativitas, yaitu komunikasi interpersonal dan interaksi interpersonal dimana keduanya dapat dijadikan sebagai awal yang baik bagi peneliti untuk memahami bagaimana perilaku sosial dapat berpengaruh lebih pada kreativitas. Studi tersebut juga menjadi dasar yang penting bagi pengembangan teori modal sosial. Lebih lanjut, Perry-Smith dan Shalley (2003) berargumen bahwa komunikasi dan interaksi tergantung pada jenis tekanan/exposure dan jenis informasi yang dikomunikasikan dimana keduanya dipengaruhi oleh kekuatan hubungan/tie strenght dan posisi individu atau tim dalam sebuah jaringan/network. Hubungan sosial/social relationship atau ikatan jaringan/network ties dapat digambarkan dalam berbagai cara, antara lain menggunakan perspektif teori jaringan sosial/social network theories (Granovetter, 1973). Secara sederhana, sebuah ikatan hubungan dapat diposisikan pada ujung-ujung kontinum, yaitu kuat dan lemah dimana garis sepanjang kontinum tersebut melambangkan fungsi dari interaksi, intensitas emosional dan hubungan resiprokal antara dua individu (Granovetter, 1973). Hubungan yang kuat/strong ties menggambarkan level tertinggi dari fungsi-fungsi tersebut, contohnya ketika antar anggota memiliki komunikasi yang intens, ketika terjadi hubungan in-group, atau ketika sebuah tim berkolaborasi dalam proyek tertentu yang membuat kebersamaan sepanjang periode waktu. Sebaliknya, hubungan yang lemah/weak ties tidak selalu menuntut hubungan resiprokal dan melibatkan frekwensi pertemuan yang rendah. Menurut Granovetter (1973) hubungan yang lemah memiliki karakteristik bersifat nonredundant atau lebih dikenal dengan istilah structural bridge, dimana hubungan individu-
57
individu di dalamnya terhubung secara langsung maupun tidak langsung melalui individu lain dalam jaringan. Ilustrasinya, sebagai berikut: Jaringan 1 terdiri dari individu A,C,D,E; sedangkan Jaringan 2 terdiri dari individu B,F,G. Structural bridge terjadi manakala A terhubung dengan B misalnya berupa hubungan asosiasi profesi, dimana A tidak terhubung dengan individu lainnya dalam jaringan 2 (B,F,G). Demikian pula B, yang juga tidak terhubung dengan individu lainnya dalam jaringan 1 (C,D,E). Sebagai konsekuensinya, hubungan yang lemah akan menyediakan akses ke jaringan yang lebih luas dengan jenis pengetahuan yang lebih beragam dan di luar lingkungan sosialnya (Granovetter, 1973, Burt, 1997). Akses pada informasi yang bersifat non-redundant dan beragam dalam sebuah jaringan sosial yang disediakan oleh hubungan yang lemah akan memfasilitasi berbagai proses yang membantu terciptanya kreativitas (Perry-Smith & Shalley, 2003) sesuai dengan model komponensial kreativitas (Amabile dalam Hirst, Knippenberg & Zhou, 2009): Pertama, akses yang lebih atas informasi yang berasal dari luar jaringan akan meningkatkan pengetahuan yang relevan dengan kreativitas. Ketika dihadapkan pada permasalahan, individu dengan hubungan yang lemah akan dapat memvalidasi respon potensial dibanding solusi yang sudah dijalankan oleh individu lain dalam jaringan sebagai hasil dari akses efisien yang diperolehnya dari tipe pengetahuan yang lebih luas. Kedua, akses ini juga akan menyediakan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menciptakan kreativitas seperti kemampuan untuk menghasilkan alternatif yang berbeda serta memfasilitasi pemikiran yang lebih fleksibel. Keterlibatan individu pada pendekatan baru atau proses berpikir yang baru akan menjadi benih untuk melakukan hal-hal yang belum tereksplorasi sebelumnya atau memunculkan ideide yang memiliki kebaharuan dan kemanfaatan. Ketika individu berhubungan dengan individu lain yang memiliki perbedaan persepsi, harapan dan kepentingan, maka ia tidak akan dengan mudahnya membuat pilihan atau keputusan yang sama dengan individu lain yang berada dalam jaringannya. Pada kasus ini, individu tersebut akan dipaksa untuk berpikir dengan cara pandang yang luas dan mengkombinasikannya dengan cara yang unik. Sebagai variabel kontekstual, hubungan yang lemah (weak ties) diharapkan dapat memoderasi hubungan tidak langsung antara orientasi tujuan dan kreativitas. Hubungan yang lemah antar individu dalam tim akan memfasilitasi otonomi karena individu tidak identik dengan individu lain dalam tim dan lebih terpisah dari koneksi yang berbeda (Coser dalam Perry-Smith & Shalley, 2003). Sebaliknya, hubungan yang kuat (strong ties) akan menjadi penghambat kreativitas ketika hubungan tadi menciptakan kesamaan antar individu (conformity) dan menghambat aktivitas berbagi informasi. Studi berbagi pengetahuan tidak selalu berhubungan positif dengan manfaat yang diterima. Pada organisasi publik menunjukkan adanya keinginan untuk berbagi pengetahuan menurun seiring kenaikan personal benefit yang mungkin disebabkan oleh perbandingan biaya dan manfaat, dimana pada kasus tertentu biaya akibat berbagi informasi melebihi manfaatnya. Kompleksitas fenomena berbagi pengetahuan menuntut para peneliti untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan faktor-faktor kontekstual yang memperkuat atau memperlemah hubungan berbagi pengetahuan dengan berbagai outcome, seperti kreativitas tim dalam studi ini. Pada studi berbagi informasi yang termuat dalam jurnal bidang Manajemen Pengetahuan, aktivitas berbagi pengetahuan memiliki berbagai variabel pemoderasi, antara lain iklim organisasional, level dari modal sosial, interaksi antara faktor sosial dengan degree on courage pada pertimbangan normatif.
58
Studi ini berupaya mengelaborasi perspektif Manajemen Pengetahuan dan kreativitas dengan mempertimbangkan knowledge network research dengan cara menempatkan weak ties sebagai variabel moderasi pada hubungan antara orientasi tujuan dan aktivitas berbagi informasi. Dengan menguji hubungan moderasi, maka akan dapat memahami dengan lebih baik bagaimana pengaruh berbagai variabel anteseden yang diobservasi pada satu studi, namun tidak diobservasi pada studi yang lain3. Berlanjut pada argumen untuk mendukung proposisi berikutnya, orientasi pembelajaran akan memotivasi aktivitas berbagi pengetahuan antar anggota tim yang mensyaratkan adanya timbal balik (reciprocity) antara pemilik dan penerima pengetahuan dimana kedua tipe orientasi tujuan memiliki arah hubungan yang berbeda4. Orientasi pembelajaran relevan dengan persyaratan Model Komponensial Kreativitas (Amabile et.al, 1996) karena berhubungan dengan akuisisi ketrampilan dan motivasi intrinsik. Individu dengan rasa kebersamaan/shared mental model yang mendukung pembelajaran satu dengan lainnya menyediakan atmosfer lingkungan kerja yang memungkinkan para anggota tim mengkomunikasikan ide-ide yang memiliki kebaruan dan non-redundant. Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka proposisinya: Proposisi 4. Hubungan yang lemah (weak ties) memoderasi secara positif hubungan tidak langsung antara orientasi pembelajaran tim dengan kreativitas tim dan kreativitas individu melalui berbagi pengetahuan. Pendekatan Bottom-Up pada Hubungan Kreativitas Individu dan Kreativitas Tim Para peneliti menyimpulkan bahwa kreativitas yaitu proses menghasilkan ide yang baru/novel dan bermanfaat/useful (Amabile et.al., 1996) adalah hal yang kritis bagi keberlangsungan organisasi dan bagi pencapaian keunggulan kompetitifnya (Oldham & Cummings, 1996). Berdasarkan asumsi bahwa kreativitas individu akan bermanfaat terhadap kinerjanya, para peneliti mulai memberi perhatian pada indentifikasi variabel antesedennya, walaupun belum terlalu memberi perhatian pada variabel konsekuensinya (Zhou & Shalley, 2003). Peneliti lainnya berpendapat bahwa studi kreativitas secara umum hanya berfokus pada satu level analisis pada satu waktu tertentu saja (Sternberg & Lubart dalam Taggar, 2002) dan menyarankan pentingnya menguji hubungan pada level individu dan tim (Neuman & Wright dalam Taggar, 2002). Beragamnya hasil studi kreativitas dan kompleksitas mekanisme di balik hubungan simultan antara kreativitas individu dan kreativitas tim membutuhkan analisis multilevel yang mengakomodir lingkungan kerja melalui komponen motivasional (Amabile dalam Taggar, 2002). Teori multilevel kreativitas menyebutkan bahwa kreativitas individu adalah landasan bagi kreativitas tim dan mungkin menimbulkan pengaruh unik yang bersifat bottom-up melebihi pengaruh yang dihasilkan dari proses dalam tim, sebagimana disajikan pada Proposisi 1-4 (Taggar, 2002; Woodman et.al., 1993). Beberapa riset empiris juga menunjukkan bahwa unit analisis dasar sebuah sistem sosial (seperti dalam tim) seringkali dipengaruhi oleh perilaku individu yang menghasilkan interaksi sosial selama kurun waktu tertentu sebagai bagian dari proses penting dalam grup/intra-group processes. Konsisten dengan pendapat tersebut, Taggar (2002) menyatakan bahwa outcome grup dan individu mungkin saja dipengaruhi oleh perilaku proses intra-grup dari anggotanya yaitu proses yang 3
4
Sebagaimana faktor kepemimpinan juga menjadi pemoderasi pada hubungan ini, antara lain: rasa percaya pada pimpinan (Gong et.al., 2013), tipe kepemimpinan transformasional (Gong, Huang & Farh, 2009) dan tipe kepemimpinan pemberdayaaan (Srivastava, Bartol & Locke, 2006). Orientasi kinerja dan orientasi penghindaran kinerja tidak dianalisis dalam studi ini.
59
relevan dengan kreativitas tim/team creativity-relevant processes. Proses tersebut terdiri dari tiga komponen, yaitu: motivasi yang inspirasional, pengorganisasian dan pengkoordinasian, dan pertimbangan individu. Solusi yang original dan berkualitas akan meningkat manakala anggota tim distimuli untuk memandang masalah secara berbeda, mendefinisikan kembali permasalahan, memperluas pencarian informasi, dan menghasilkan ide-de berkualitas selama mempersiapkan pemecahan masalah. Kinerja kreativitas tim akan meningkat dengan adanya alokasi tugas yang efektif, keberagaman tugas, koordinasi dari usaha-usaha yang beragam, dan perencanaan yang matang (Brophy dalam Taggar, 2002). Evaluasi atau umpan balik yang informatif dan konstruktif dapat menjadi media yang kondusif bagi kreativitas (Collins & Amabile dalam Taggar, 2002). Dengan menggali pertimbangan dan mengenali ide dan pandangan dari anggota tim, maka keputusan yang dihasilkan akan mendatangkan manfaat pengetahuan dan informasi yang lebih luas bagi anggota tim dalam menghadapi pengambilan keputusan dan proses validasinya (Brass dalam Taggar, 2002). Memperkuat argumen sebelumnya, berdasar social information processing theory, individu akan senantiasa mengamati lingkungan sosial terdekatnya untuk mendapatkan isyarat (cues) bagaimana membangun dan memahami realitas, serta selanjutnya menentukan sikap (atitudes) dan perilaku (behaviors) yang sesuai. Sikap dan perilaku tersebut adalah bentuk langsung dari pengaruh-pengaruh sosial dimana perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain juga akan mengasah persepsi, sikap dan perilakunya. Isyarat yang berasal dari lingkungan sosial yang menciptakan minat, akan membuat aspek-aspek tertentu dari lingkungan menjadi kurang atau lebih menonjol, dan memberikan harapan tentang perilaku individu serta konsekuensi logis dari perilaku tersebut. Dalam banyak hal, isyarat sosial dapat membantu individu untuk mempelajari apa kebutuhan mereka, nilai-nilai dan persyaratan yang seharusnya. Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka proposisinya: Proposisi 5. Rata-rata kreativitas individu dalam tim berhubungan positif dengan kreativitas tim dengan variabel proses yang relevan dengan kreativitas tim sebagai pemoderasi. DAFTAR PUSTAKA Amabile, T.M., & Conti, H. 1999. Changes in the work environment for creativity during downsizing. Academy of Management Journal, 42: 630–640. Amabile, T.M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J., & Herron, M. 1996. Assessing the work environment for creativity. Academy of Management Journal, 39: 1154–1184. Anderson, N.R., & West, M.A. 1998. Measuring climate for work group innovation: development and validation of the team climate inventory. Journal of Organizational Behavior, 19 (3), 235-258. Andrews, K.M., & Delahaye, B.L. 2000. Influences on knowledge processes in organizational learning: The psychosocial filter. Journal of Management Studies, 37 (6), 797-810. Argote, L., & Miron-Spektor, E. 2011. Organizational learning: From experience to knowledge. Organization Science, 22 (5), 1123-1137. Bunderson, J.S., & Sutcliffe, K.M. 2003. Management team learning orientation and business unit performance. Journal of Applied Psychology, 88: 552–560. Burt, R.S. 1997. The contingent value of social capital. Administrative Science Quarterly, 42: 339-365.
60
Cummings, J.N. 2004. Work groups, structural diversity, and knowledge sharing in a global organization. Management Science, Vol.50 (3): 352-364. de Dreu, C.K., Nijstad, B.A. & van Knippenberg, D. 2008. Motivated information processing in group judgment and decision making. Personality and Social Psychology Review, 12: 22–49. Elliot, A.J., & Church, M.A. 1997. A hierarchical model of approach and avoidance achievement motivation. Journal of Personality and Social Psychology, 72 (1): 218. Gist, M.E., Locke, E.A., & Taylor, M.S. 1982. Organizational Behavior: Group Structure, Process and Effectiveness. Journal of Management, 13(2):237-257. Gong, Y., Huang, J. C., & Farh, J. L. 2009. Employee learning orientation, transformational leadership, and employee creativity: The mediating role of employee creative selfefficacy. Academy of Management Journal, 52 (4): 765-778. Gong, Yaping, Tae-Yeol Kim, Deog-Ro Lee, & Jing Zhu. 2013. A Multilevel Model of Team Goal Orientation, Information Exchange, and Creativity. Academy Management Journal, 56 (3): 827-851. Granovetter, M.S. 1973. The strength of weak ties. American Journal of Sociology, 78: 13601380. Guzzo, R.A., & Dickson, M.W. 1996. Teams in Organizations: Recent Research on Performance and Effectiveness. Annual Review Psychology, 47:307-338. Hinsz, V.B., Tindale, R.S., & Vollrath, D.A. 1997. The emerging conceptualization of groups as information processors. Psychological Bulletin, 121: 43–64. Hirst, Giles, Knippenberg, D. & Zhou, J. 2009. A Cross-Level Perspective on Employee Creativity: Goal Orientation, Team Learning Behavior,and Individual Creativity. Academy of Management Journal,Vol. 52 (2): 280-293. Indarti, N., & Dyahjatmayanti, D. 2014. Manajemen Pengetahuan: Teori dan Praktik. Yogykarta: Gadjah Mada University Press. Kanter, R.M. 1988. When a thousand flowers bloom: Structural, collective, and social conditions for innovation in organization. Research in Organizational Behavior, 10: 169-211. Mathieu, J. E., Heffher, T. S., Goodwin, G F., Salas, E., & Cannon-Bowers, J. A. 2000. The influence of shared mental models on team process and performance. Journal of Applied Psychology, 85: 273-283. McEvily, S. K., & Chakravarthy, B. 2002. The persistence of knowledge-based advantage: an empirical test for product performance and technological knowledge. Strategic Management Journal, 23 (4): 285-305. Miron, E., Erez, M., & Naveh, E. 2004. Do personal characteristics and cultural value that promote innovation, quality, and efficiency compete or complement each other? Journal of Organizational Behavior, 25: 175-1999. Oldham, G. R., & Cummings, A. 1996. Employee creativity: Personal and contextual factors at work. Academy of Management Journal, 39 (3): 607-634. Payne, S.C., Youngcourt, S.S. & Beaubien, J.M. 2007. A Meta-Analytic Examination of the Goal Orientation Nomological Net. Journal of Applied Psychology, 92 (1): 128–150. Perry-Smith, J.E. & Shalley, C.E. 2003. The Social Side of Creativity: A Static and Dynamic Social Network Perspective. The Academy of Management Review, Vol. 28 (1): 89-106. Seijts, G.H., Latham, G.P., Tasa, K., & Latham, B.W. 2004. Goal setting and goal orientation: An integration of two different yet related literatures. Academy of Management Journal, 47 (2): 227-239. Stasser, G., & Titus, W. 1985. Pooling of unshared information in group decision making: Biased information sampling during discussion. Journal of Personality and Social Psychology, 48: 1467-1478.
61
Srivastava, A., Bartol, K.M., & Locke, E.A. 2006. Empowering leadership in management teams: Effects on knowledge sharing, efficacy, and performance. Academy of Management Journal, 49 (6), 1239-1251. Taggar, S. 2002. Individual creativity and group ability to utilize individual creative resources: A multilevel model. Academy of Management Journal, 45 (2), 315-330. van de Walle, D. 1997. Development and validation of a work domain goal orientation instrument. Educational and Psychological Measurement, 57 (6): 995-1015. van der Vegt, G.S., & Bunderson, J.S. 2005. Learning and performance in multidisciplinary teams: the importance of collective team identification. Academy of Management Journal, Vol. 48 (3): 532-547. van Woerkom, M., & Sanders, K. 2010. The romance of learning from disagreement. The effect of cohesiveness and disagreement on knowledge sharing behavior and individual performance within teams. Journal of Business and Psychology, 25 (1), 139-149. Weingart, L.R. 1992. Impact of group goals, task component complexity, effort, and planning on group performance. Journal of Applied Psychology, 77: 682–693. Weldon, E., Jehn, K.A., & Pradhan, P. 1991. Processes that mediate the relationship between a group goal and improved group performance. Journal of Personality and Social Psychology, 61: 555–569. Woodman, R.W., Sawyer, J.E., & Griffin, R.W. 1993. Toward a theory of organizational creativity. Academy of Management Review, 18: 293-321. Zhou, J., & Shalley, C.E. 2003. Research on employee creativity: A critical review and directions for future research. Research in Personnel and Human Resources Management, 22:165-218.