ORGANISASI DAN KEADILAN ORGANISASI Arief Noviarakhman Zagladi e-mail :
[email protected] ABSTRAK Salah satu tema yang mendominasi permasalah dalam kehidupan organisasi adalah konsep keadilan dalam organisasi. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ketidakadilan dalam organisasi akan berujung pada meningkatnya stress kerja, penurunan kepuasan kerja, penurunan komitmen organisasi, penurunan kinerja dan produktivitas, serta meningkatkan rasa tidak betah bertahan di organisasi. Tulisan ini menjabarkan keadilan organisasi secara disributif, prosedural, dan interaksional, serta dampak negatifnya bagi organisasi. Juga ditunjukkan dalam tulisan ini hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi perasaan telah diperlakukan secara tidak adil oleh organisasi, sehingga dapat tercipta pekerja yang puas dan berkinerja tinggi. Kata Kunci: Keadilan, ketidakadilan, organisasi
PENDAHULUAN
keluaran-keluaran organisasi seperti kinerja, produktivitas, kepuasan kerja, komitmen organisasi, atau perputaran tenaga kerja. Penelitian dari Suliman (2007) menunjukkan bahwa organisasi yang dipercaya para pekerjanya telah memperlakukan mereka secara tidak adil akan berdampak pada penurunan kepuasan kerja dan kinerja. Penelitian Jahangir et al (2006) menemukan adanya korelasi positif antara ketidakadilan dalam organisasi terhadap keinginan karyawan untuk berhenti bekerja, yang berarti semakin karyawan merasa bahwa mereka telah diperlakukan secara tidak adil, semakin mereka ingin berhenti dari pekerjaannya tersebut, karena dengan berhenti diharapkan mereka akan menemukan pekerjaan lain yang lebih baik dari sebelumnya. Poon (2002) mengumpulkan beberapa kondisi negatif yang dapat terjadi akibat dari ketidakadilan dalam organisasi, seperti: 1. Meningkatnya stress kerja (atau kondisi psikologis lainnya)
Manajemen adalah suatu ilmu dan seni dalam mengelola sumber daya yang dimiliki agar dapat menjadi lebih bermanfaat. Salah satu sumber daya yang harus mendapat perhatian lebih adalah sumber daya manusia (SDM). Kehadiran manusia sebagai unsur penting dalam suatu organisasi mau tidak mau akan membuat suatu organisasi menjadi lebih kompleks dan sulit untuk dikelola. Setiap manusia memiliki persepsinya sendiri-sendiri terhadap setiap keputusan yang diambil, sehingga sangat sulit untuk menciptakan suatu keputusan yang dapat memuaskan semua pihak. Disinilah peran manajemen sebagai seni memegang peranan penting. Cremer (2005) menyatakan bahwa salah satu tema yang mendominasi permasalahan dalam kehidupan organisasi adalah konsep keadilan dalam organisasi. Telah banyak penelitian yang mengaitkan keadilan organisasi dengan 268
269 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
2. Menurunnya kepuasan kerja (atau perilaku pekerja lainnya) 3. Keinginan untuk mengundurkan diri (yang diawali oleh tindakan membangkang) 4. Penurunan kinerja individual 5. Penurunan kinerja organisasi secara keseluruhan Temuan-temuan seperti ditujukkan diatas menjadi faktor penggugah bagi para pengelola organisasi untuk lebih memperhatikan konsep keadilan dalam organisasinya, yaitu apakah mereka telah memperlakukan pekerjanya dengan adil atau belum, karena jika dibiarkan dampaknya akan jadi sangat luas dan menggerogoti fondasi organisasi. KEADILAN ORGANISASI Pada dasarnya keadilan organisasi adalah konsep yang mudah untuk diucapkan tetapi sangat sulit untuk diaplikasikan dengan benar, karena sangat erat kaitannya dengan unsur persepsi individual. Persepsi bahwa seorang individu telah diperlakukan dengan adil lah yang akan menentukan apakah individu tersebut puas dengan pekerjaannya atau tidak, dan bukan keadilan itu sendiri. Kenyataan ini membuat peneliti yang ingin mendalami konsep keadilan organisasi harus melibatkan para pekerja sebagai responden penelitian mereka. Motif dibalik keadilan organisasi, yang menjadi dasar kenapa suatu organisasi berusaha untuk menciptakan persepsi bahwa mereka telah memperlakukan anggota organisasinya dengan adil, dapat diurutkan berdasarkan suatu hierarki seperti pada gambar 1. Keinginan untuk menciptakan suatu organisasi yang adil diawali dari keinginan yang bersifat selfinterest, yaitu keinginan seseorang untuk menciptakan organisasi yang adil dengan harapan agar dirinya
sendiri tidak akan dirugikan oleh keputusan-keputusan atau peraturan yang tidak adil. Di tingkatan yang lebih tinggi adalah keinginan untuk menciptakan organisasi yang adil agar lebih mudah untuk mengendalikan alokasi sumber daya dan imbalan. Tingkatan selanjutnya adalah keinginan untuk mengurangi unsur ketidakpastian dalam organisasi melalui kebijakan-kebijakan organisasi yang adil. Contohnya jika sistem imbalan diberlakukan dengan adil dan konsisten, maka pekerja dengan kinerja tertentu dapat dipastikan akan mendapatkan imbalan tertentu pula, atau pekerja yang telah memenuhi semua persyaratan untuk promosi jabatan dapat dipastikan akan mendapatkan promosi. Tingkatan yang paling tinggi adalah motif moral, yaitu keinginan untuk menciptakan organisasi yang adil karena alasan moral. Pada tingkatan ini keinginan untuk menciptakan organisasi yang adil tidak lagi didasari pada kepentingan pribadi tetapi didasari pada pemahaman bahwa semua orang berhak untuk diperlakukan secara adil. Keadilan dalam organisasi dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Byrne, 2005) seperti ditunjukkan pada gambar 2. Keadilan Distributif Keadilan distributif mengacu pada perasaan telah mendapat ganjaran yang sesuai jika dibandingkan dengan apa yang didapat oleh orang lain, khususnya rekan kerja. Jika seseorang merasa telah melakukan suatu pekerjaan lebih baik daripada rekan kerjanya, tetapi ganjaran yang mereka terima sama (seperti upah atau penghargaan lain yang bersifat non material), atau maka orang tersebut bisa jadi akan merasa dirinya telah diperlakukan tidak adil secara dis-
270 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
tributif. Kondisi yang sama juga bisa muncul jika seseorang melakukan pekerjaan yang sama dengan rekan kerjanya tetapi mendapatkan ganjaran yang berbeda. Keadilan distributif sangat erat kaitannya dengan persepsi individual, karena standar keadilannya dibuat berdasarkan persepsi masing-masing individu. Rawls (1999) dalam bukunya ”Theory of Justice” menyatakan bahwa hal-hal seperti tempat lahir, suku bangsa, status sosial, dan status keluarga adalah faktor lahir yang didapatkan melalui keberuntungan,
sehingga tidak seharusnya menjadi pertimbangan bagi pimpinan dalam mendiskriminasi bawahannya. Orang yang merasa didiskriminasi atas hal-hal tersebut akan merasa enggan untuk berprestasi, karena mereka yakin bahwa imbalan yang diterima tidak akan sama dengan jika prestasi itu diraih oleh orang lain. Penelitian mengenai keadilan distributif hampir selalu mengaitkan kepuasan dengan upah (Folger & Konovski, 1989) karena upah adalah ganjaran yang paling nyata dan paling mudah untuk diukur dan dibandingkan.
Moral motives Uncertainty-reduction motives Control motives Self-interested motives Gambar 1. Hierarki Motif-Motif Keadilan Organisasi
Keadilan Organisasi
Keadilan distributif
Keadilan prosedural
Keadilan Interaksional
Perbandingan dengan orang lain
Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan organisasi
Perlakuan yang didapat dari orang lain
Gambar 2. Bentuk-Bentuk Keadilan Organisasi Keadilan Prosedural
272 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
Keadilan prosedural mengacu pada perasaan seseorang telah mendapatkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang adil oleh organisasi. Seorang individu merasa mendapatkan keadilan prosedural jika ketetapan yang ada di organisasi mereka persepsikan sebagai ketetapan yang adil. Ketetapan organisasi yang sering menjadi sorotan adalah sistem imbalan, dimana para anggotanya akan merasa kalau sistem imbalan itu adil jika pekerjaan yang berat mendapatkan imbalan yang besar dan pekerjaan yang ringan mendapat imbalan yang kecil pula. Jika para anggota mempersepsikan bahwa kondisi ini tidak terjadi, maka meraka akan merasa bahwa perusahan telah bersifat tidak adil secara prosedural. Untuk menghindari persepsi individu yang terlalu beragam mengenai keadilan prosedural, organisasi perlu untuk mensosialisasikan seluk beluk dari suatu pekerjaan lengkap dengan manfaatnya bagi organisasi, sehingga terbentuk kesamaan persepsi mengenai mana pekerjaan yang layak mendapatkan imbalan tinggi, dan mana yang tidak. Organisasi yang tidak memperhatikan keadilan prosedural akan menanggung resiko terciptanya perilaku pekerja yang membangkang dan tidak puas terhadap keluarankeluaran organisasi (Lin and Tyler, 1988). Perasaan telah diperlakukan adil secara prosedural akan berdampak pada penurunan tingkat absensi, penurunan keinginan untuk berhenti, peningkatan kepuasan kerja, dan peningkatan komitmen terhadap organisasi (Masterson et al, 2000). Keadilan Interaksional Keadilan yang ketiga adalah keadilan interaksional. Keadilan interaksional mengacu pada perasaan seorang individu mengenai bagaimana ia diperlakukan di da-
lam organisasi. Persepsi terhadap keadilan interaksional sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal dan aspek komunikasi. Bies (2001) menyatakan bahwa keadilan interaksional melibatkan unsur pengakuan terhadap status seseorang dalam organisasi. Perasaan bahwa seseorang diperlakukan adil secara interaksional adalah jika ia merasa dihormati oleh orang yang statusnya lebih rendah di organisasi, dan atasannya lebih menghargainya dibandingkan rekan kerjanya yang statusnya lebih rendah di organisasi. Perasaan tidak adil secara interaksional seringkali muncul jika dalam organisasi terdapat hubungan yang bersifat informal yang mengacaukan hierarki dalam hubungan interpersonal anggota organisasi, seperti jika ada rekan kerja yang merupakan kerabat pimpinan sehingga diperlakukan lebih baik daripada pekerja lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa keadilan interaksional memiliki korelasi yang positif terhadap komitmen pekerja terhadap pimpinannya (Malatesta & Byrne, 1997). PENTINGNYA KEADILAN ORGANISASI Model relasional dari otoritas dalam organisasi menyatakan bahwa keadilan dalam organisasi akan berdampak pada terciptanya hubungan yang baik antara pekerja dan pimpinan. Pimpinan akan mendapatkan pengakuan status dari bawahannya, sehingga komunikasi dan arus komando vertikal organisasi dapat berjalan dengan lancar. Penelitian dari Byrne (2005) menemukan juga bahwa keadilan dalam organisasi dapat mengurangi dampak negatif dari politik organisasi terhadap kepuasan kerja, perilaku pekerja, dan keinginan untuk berhenti bekerja. Politik dalam organisasi adalah kegiatan yang pada dasarnya bersifat
273 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
negatif tetapi selalu terjadi karena berbagai alasan. Politik organisasi diterjemahkan sebagai perilaku yang bersifat informal, tidak sah, sempit, yang dilakukan untuk mengacaukan, menciptakan, atau mempertahankan kekuasaan seseorang dalam organisasi (Mintzberg, 1983). Telah banyak penelitian yang mengaitkan politik organisasi dengan keluaran organisasi seperti penurunan kepuasan kerja, penurunan komitmen organisasi, dan peningkatan keinginan untuk berhenti bekerja (seperti penelitian dari poon (2002) dan Jahangir et al (2006)). Keadilan dalam organisasi dapat mengurangi dampak negatif dari politik yang mempengaruhi keputusan-keputusan dalam organisasi terhadap kepuasan kerja dan keinginan pekerja untuk berhenti, karena jika pekerja merasa diperlakukan telah dengan adil oleh organisasi, baik secara distributif, prosedural, maupun interaksional, maka mereka tidak keberatan terhadap adanya unsur politik yang mempengaruhi keputusankeputusan yang dibuat oleh organisasi. Seperti telah disebutkan di awal, jika seorang pekerja merasa
ia telah diperlakukan secara tidak adil, kepuasan kerja dan komitmen organisasinya akan menurun, sehingga sangat rentan terhadap faktor-faktor pendorong untuk bersikap membangkang dan akhirnya meninggalkan organisasi (Robbins, 2003) seperti pada gambar 3. Penelitian dari Janssen (2001) menemukan bahwa perasaan telah diperlakukan dengan adil dalam hal perbandingan antara kinerja dengan imbalan akan berdampak pada kepuasan kerja dan meningkatkan kemauan dari pekerja untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaannya. Keyakinan bahwa seseorang telah diperlakukan dengan adil dalam organisasi juga berdampak pada meningkatnya motivasi mereka untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh organisasi (Kang, 2007), karena mereka tahu bahwa mengikuti pelatihanpelatihan akan meningkatkan skill dan otomatis akan berdampak pada peningkatan imbalan yang diterima (material ataupun non material) tanpa hambatan dari unsurunsur lain (ketidakadilan prosedural dan interaksional).
Active VOICE
EXIT Destructive
Constructive NEGLECT
LOYALTY
Passive Gambar 3. Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja Sumber: Robbins, 2003
273 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
Temuan-temuan yang disebutkan diatas menegaskan pentingnya bagi organisasi untuk menciptakan kebijakan-kebijakan serta perlakuan terhadap anggota secara adil. Adanya ”anak emas” dalam organisasi yang tidak ada hubungannya dengan kinerja aktual yang bersangkutan akan menciptakan kecemburuan yang berujung perasaan diperlakukan secara tidak adil. Dampak dari ketidakadilan pun ternyata sangat beragam dan dapat membahayakan masa depan perusahaan, seperti perubahan perilaku kerja (sering absen, membangkang terhadap perintah, dan sabotase), penurunan kepuasan kerja yang berdampak pada penurunan produktivitas dan gairah kerja, serta penurunan komitmen organisasi yang dalam jangka panjang akan membuat para pekerja sangat rentan terhadap faktorfaktor yang dapat mempengaruhi mereka untuk meninggalkan organisasi. TIPE-TIPE REAKSI TERHADAP KETIDAKADILAN DALAM ORGANISASI Reaksi-reaksi terhadap perasaan telah diperlakukan tidak adil oleh organisasi seperti ketidakpuasan kerja, turunnya motivasi kerja, dan lainnya, menurut Miller (2001) dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu bereaksi dengan menarik diri dan bereaksi dengan menyerang. Bereaksi Dengan Menarik Diri Salah satu sikap yang dapat dilakukan seseorang untuk mengekspresikan perasaannya terhadap organisasi adalah menarik diri, yang ditandai dengan penurunan prestasi, kinerja, sering absen, dan secara bertahap berusaha untuk mengurangi perannya dalam organisasi. Kondisi semacam ini jika dibiarkan akan berujung pada yang bersangkutan
meninggalkan organisasi secara sukarela (voluntary turnover). Bereaksi dengan Menyerang Jika beberapa orang mengekspresikan ketidakpuasannya dengan menarik diri, ada pula yang mengekspresikannya dengan cara yang lebih ekstrim, yaitu dengan balik menyerang organisasi yang dirasa telah merugikan dirinya. Reaksi tipe ini diwujudkan dengan mencuri barang-barang milik organisasi, menyabotase pekerjaan orang lain, melakukan protes secara terbuka (demonstrasi masal), dan melakukan tindak kekerasan. Mereka seringkali akan menjelek-jelekan orang yang telah membuat prosedur yang dirasa tidak adil kepada publik, atau dalam kasus tertentu akan diteruskan ke meja hijau. MENCIPTAKAN KEADILAN DALAM ORGANISASI Seperti disebutkan sebelumnya, keadilan merupakan konsep universal yang seringkali dipersepsikan berbeda oleh masingmasing individu sesuai dengan kepentingannya. Disinilah peran pimpinan sebagai pembuat keputusan untuk menciptakan standar keadilan yang dapat memuaskan semua pihak, atau setidaknya sebagian besar anggota perusahaan. Untuk meningkatkan persepsi karyawan tentang keadilan distributif, pimpinan harus dapat memastikan bahwa setiap situasi yang dihadapi diperlakukan secara berimbang. Pimpinan harus memeriksa apakah alokasi sumber daya telah dilakukan dengan adil dan apakah pekerja mengganggap telah terdapat perbandingan yang sesuai antara pekerjaan dan imbalan dibandingkan dengan pekerja lain. Untuk meningkatkan persepsi karyawan tentang keadilan prosedural, pimpian harus dapat memastikan bahwa tidak satupun
274 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
kebijakan perusahaan yang dianggap merugikan oleh pekerja. Untuk meningkatkan persepsi karyawan tentang keadilan interaksional, pimpinan harus memastikan bahwa semua pekerja mendapat kejelasan tentang pekerjaannya dan kondisi organisasi serta memperlakukan mereka dengan baik. Persepsi seseorang tentang keadilan tidak selalu akurat, sehingga diperlukan kejelasan informasi agar pimpinan dapat mengarahkan persepsi keadilan para pekerjanya. Dari uraian diatas dapat disusun hal-hal yang perlu dilakukan untuk menciptakan persepsi pekerja bahwa mereka telah diperlakukan dengan adil, yaitu: 1. Melakukan penilaian murni atas dasar kinerja, dan tidak berdasarkan pada faktor-faktor lain seperti status sosial, kedekatan dengan pimpinan, suku bangsa, agama, faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan perasaan ketidakadilan distributif dan interaksional. 2. Unsur politik dalam keputusankeputusan organisasi seringkali tidak dapat dihindari, oleh karena itu harus diusahakan agar tidak terlalu terlihat (sertakan penjelasan yang logis) dan tidak merugikan orang lain. 3. Menetapkan standar yang jelas dan logis mengenai sistem imbalan dan persyaratan jenjang karier di organisasi serta mensosialisasikannya secara merata, sehingga semua orang mengetahui apa saja yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan imbalan yang lebih baik, atau untuk naik ke jenjang karier yang lebih tinggi. 4. Menciptakan sistem imbalan yang seimbang antara pengorbanan dengan imbalan yang didapat. Kondisi ini bisa tercapai jika penetapan sistem imbalan dilakukan dengan melibatkan partisipasi dari
pekerja (perwakilan pekerja), sehingga tidak ada keputusan yang dirasa berat sebelah. 5. Mensosialisasikan kriteria dan hasil penilaian kinerja, sehingga pekerja yang bersangkutan dapat melihat sendiri catatan kinerja mereka, sehingga dapat menghilangkan perasaan telah diperlakukan secara tidak adil secara prosedural. 6. Pimpinan harus dapat berinteraksi secara adil kepada bawahannya. Ini artinya tidak boleh ada bawahan yang terlalu sering berhubungan dengan pimpinan, yang dapat menimbulkan persepsi negatif dari pekerja yang lain. 7. Menciptakan sosok pimpinan yang dapat dipercaya oleh bawahannya. Pimpinan yang tindak-tanduknya dianggap mencurigakan oleh para pekerja sulit untuk mengeluarkan ketetapan yang dapat diterima semua pihak, dan selalu akan menghasilkan pro kontra. KESIMPULAN Kesimpulannya, pimpinan harus terus menerus mempertanyakan dan menjawab satu pertanyaan penting, ”Apakah keputusan yang telah dibuat itu adil?”. Pemimpin harus terus memastikan bahwa semua kebijakan-kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi perusahaan adil baik bagi organisasi maupun bagi para pekerja. Standar keadilan dibuat tidak berdasarkan persepsi pribadi dari pimpinan, melainkan melalui masukan dari berbagai pihak (termasuk bawahan), sehingga standar tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Ini dapat dilakukan melalui pertemuan-pertemuan, survey, membuat kotak keluhan, dan menciptakan open-door policy, dimana setiap orang berhak untuk mengutarakan pendapat dan keluhannya terhadap peraturan dan
275 Kindai Volume 9 Nomor 4, Oktober – Desember 2013
kebijakan organisasi. Hal-hal seperti inilah yang diyakini dapat menciptakan persepsi keadilan yang sama antara bawahan dengan pimpinan. DAFTAR PUSTAKA Bies, R. J. 2001. Interactional (in)justice: The sacred and the profane. In J. Greenberg & R. Cropanzano (Eds.), Advances in organizational justice (pp. 89–118). Stanford, CA: Stanford University Press. Byrne, Zinta S .2005. Fairness Reduces The Negative Effect of Organizational Politics on Turnover Intentions, Citizenship Behavior and Job Performance. Journal of Business and Psychology, Vol. 20, No. 2, Winter 2005. p.175-200. Cremer, D. (2005), Procedural and distributive justice effects moderated by organisational identification. Journal of Managerial Psychology, Vol. 20 No. 1, pp. 4-13. Folger, R. & Konovsky, M. A. (1989). Effects of procedural and distributive justice of reactions to pay raise decisions. Academy of Management, 32, 115–130. Janssen, Onne. 2001. Fairness Perceptions As A Moderator In The Curvilinear Relationships Between Job Demands, and Job Performance and Job Satisfaction. Academy of Management Journal. Vol 44. No 5. pp.1039-1050. Kang, Dae-Seok. 2007. Perceived Organisational Justice as a Predictor of Employees’ Motivation to Participate in Training, Research and Practice in Human Resource Management, Vol. 15(1). 89-107.
Lin, E. and Tyler, T. 1988. The Social Psychology of Procedural Justice, Plenum, New York, NY. Malatesta, R. M. & Byrne, Z. S. 1997. The impact of formal and interactional procedures on organizational outcomes. Paper presented at the 12th annual conference of the Society for Industrial and Organizational Psychology, St. Lois, MO. Masterson, S. S., Lewis, K., Goldman, B. M., & Taylor, M. S. (2000). Integrating justice and social exchange: The differing effects of fair procedures and treatment of work relationships. Academy of Management Journal, 43, 738–748. Miller, Dale T. 2001. Disrespect and the Experience of Injustice. Annual Review Psychology. 52, pp. 528-545. Mintzberg, H. 1983. Power In and Around Organizations, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior. Pearson Education, Inc. New Jersey. Suliman, Abubakr Mohyeldin Tahir. 2007. Link Between Justice, Satisfaction, and Performance in the Workplace. Journal of Management Development. Vol 26. No.4. pp.294-311.