Orang Jawa di Singapura II Catatan Tak Terjadwal dari Negeri Seberang Maret 2007 – Mei 2008
Arief Yudhanto
1
Pengantar
Ada 70 esai pendek di dalam buku ini. Sebagian besar ditulis di Singapura, sebagian lagi di Amerika Serikat. Edisi online-nya dapat dilihat di http://ari3f.wordpress.com. Selamat membaca Singapura, 2008 Arief Yudhanto
2
ISI I. Tokoh 1. Gajah Mada 2. Kamprad 3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971* 4. Sufiah, Hothousing dan Matematika* 5. Raja 6. Goncharov 7. Leonardo da Vinci
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
II. Kerabat dan Kawan 8. Nambar (in English) 9. Konco 10. Bubur dan Roti Montor 11. Rachid dan Humor 12. SF dan Sepupu 13. Tukang Becak 14. Kawan Lama 15. Kemprit 16. AAN
VI. Pengalaman 41. Gempa di Silicon Valley 42. Nggragas 43. Rapapan 44. Ngimpi 45. Interview: Tentang Pekerjaan di Singapura 46. Doa 47. Attitude 48. Rugby dan 19 49. Pernikahan 50. 30 51. Hari Valentine 52. Jatim Trip 53. Santet 54. Sekolah di ITB 55. Dosen Unik di ITB 56. PhD 57. 29: Menulis Seseorang 58. 2008: Ngapain? 59. TGIF 60. Bosan
III. Buku 17. Aku dan Meneer Janssens 18. Ayu Utami dan AAC 19. Membaca BTJ 20. Rumah Bambu
V&V Ide Pesawat Terbang Dont Panic with Mechanics! Keris Mpu Gandring: Hipotesis Statistik Mancal di Rel Kereta Fitna, A380 dan Pak OD
IV. Singapura 21. Shonanto 22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di Singapura 23. Fabian Fobia: Tentang Etika Anak di Singapura 24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di Singapura 25. Adzan di Singapura 26. Ras 27. Rokok 28. Orang Bawean di Singapura 29. Big Bro Congrat 30. O$P$
VII. Budaya 61. Paguyuban 62. Indonesianis 63. Indonesia di Cornell 64. Kuda Kepang* 65. Fitna: Alat Verifikasi 66. Kopi 67. Atheist
V. Teknologi 31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya Di Mana? 32. Perkoro Gawean
VIII. Musik 68. Gitar 69. Balawan, Sinkretisme dan Tapping 70. Jazz di Indonesia
3
I. TOKOH
4
1. Gajah Mada Di sudut halaman pertama buku pemberiannya, Viking Mythology, adik saya menulis "Untuk kakakku yang mencoba menjadi sejarawan". Sejarawan? Saya lalu melihat kembali judul-judul buku di rak. Hampir semuanya mengenai orang (terkenal) yang sudah mati, yang sudah jadi sejarah; dan saya sering bercerita tentang orang mati itu (plus pemikiran-pemikirannya) kepada adik saya. Tak heran jika dia berpikir bahwa saya memiliki properti seorang sejarawan: menceritakan orang mati (yang dulunya mencoba memecahkan teka-teki kehidupan), memetakan pemikiran dan membuat konstruk cerita. Properti ini dilatih dengan mempelajari teks sejarah. Namun, yang seharusnya dilakukan adalah petualangan, seperti yang dilakukan Indiana Jones atau ahli-ahli purbakala National Geographic Society. Sejarah, o sejarah. Beberapa minggu lalu saya teringat Gajah Mada. Sumpah Palapanya yang tertulis di Pararaton (Kitab Raja-Raja) cukup terkenal: “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palap “ Majapahit sangat beruntung memiliki Gajah Mada. Ia adalah seorang panglima yang setia dan memiliki ambisi besar untuk menaklukkan wilayah Nusantara. Kerajaan dan wilayah yang ditaklukkannya lebih dari apa yang dia sebut dalam sumpah: hari ini, wilayah penaklukan Gajah Mada adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina Selatan. Di sini, kita bisa tahu bahwa kekuatan militer Majapahit tidak hanya tangguh di darat, tapi juga laut. Hal ini terjadi karena Gajah Mada berhasil mengadopsi strategi perang di darat dan laut dengan baik. Bubat barangkali saksi bisu berakhirnya Gajah Mada. Di Bubat, Gajah Mada diutus Hayam Wuruk untuk menyambut Raja Sunda (yang selama ini tak pernah mau takluk dengan Majapahit) dan puteri Dyah Pitaloka yang akan dipersunting Hayam Wuruk. Gajah Mada melihat pertemuan ini sebagai tanda takluknya Sunda, namun Raja Sunda tidak. Ini adalah kesalahpahaman. Pertempuran terjadi, dan Dyah Pitaloka bunuh diri. Hayam Wuruk segera mencopot Gajah Mada dan mengasingkannya di Madakaripura (Madangkara), di sekitar Probolinggo. Gajah Mada mati dalam kesunyian, di tempat pertapaan terakhirnya, di dekat air terjun. Hingga hari ini, sosok Gajah Mada sendiri masih misteri. Tak ada yang tahu kepribadian, kecerdasan, karya-karya atau kisah cintanya. Sebagaimana biasa dalam romantika kerajaan jaman dulu, proses penaklukan besar-besaran ini barangkali ditentukan oleh empat faktor itu. Gajah Mada jadi sangat menarik, karena ia misterius. Saya menunggu filmnya. (18 Mei 2007)
5
2. Kamprad “Aku telah mengatakan semua yang aku bisa. Bisakah seseorang memaafkan kebodohan itu?” Ingvar Kamprad, pendiri IKEA IKEA adalah sebuah ikon raksasa plus perusahaan home furnishing terbesar di dunia. Ada 200 outlet di 31 negara, dan dibuka di Singapura tahun 1978. Pegawainya mencapai 75000 dan Ingvar Kamprad, pendirinya, ditulis sebagai orang terkaya yang melampaui Bill Gates tahun 2004.
Desain kantor a la IKEA (www.ikea.com) Kamprad mendirikan IKEA pada umur 17. Ia pengusaha sejak dini, dan menjual apa saja: korek api, hiasan pohon natal, stoking, ikan, bibit tanaman hingga mebel. Apakah IKEA? Ini adalah kependekan dari Ingvar-Kamprad-Elmtaryd-Agunaryd. Elmtaryd adalah nama tanah pertanian tempat ia dilahirkan, dan Agunaryd adalah nama desa terdekat di sana. Tahun 1953, secara resmi IKEA berdiri dan memfokuskan diri pada kebutuhan rumah. Yang menarik dari IKEA adalah pengunjung toko bisa dengan bebas mencoba dan melihat sendiri kualitasnya, kemudian bisa membawa pulang barang yang bulky dalam packing yang flat, mendapatkan harga yang miring dan bisa memasang sendiri peralatan tanpa bantuan ahli mebel. Hanya itu saja? Lebih dari itu, IKEA selalu memperkenalkan desain baru yang dibuat di beberapa negeri seperti Swedia sendiri, Cina, Vietnam dan lainnya. Yang menarik bagi saya adalah uji kelelahan (fatigue test) terhadap kursi santai bernama Poang. Sandaran kursi didorong oleh mesin pendorong beberapa puluh kilogram, maju-mundur, seolah seseorang menggoyang-goyang sandarannya berulang kali. Bebannya tak begitu besar, namun ini dilakukan berulang-ulang hingga beberapa tahun. Apa yang ingin dihitung? Tentu saja batas kemampuan kursi menahan beban siklus ini atau dengan kata lain, kekuatan lelah (fatigue strength) kursi tadi. Uji ini biasanya dilakukan juga pada struktur pesawat terbang seperti sayap.
6
Apa yang disesali Kamprad hingga ia meminta maaf kepada seluruh karyawannya dengan surat terbuka? Tidakkah anda tahu bahwa Kamprad adalah bekas anggota Nazi? Pembunuhkah ia? Entahlah … yang jelas, rapat a la Nazi melibatkan patriotisme yang kelewatan: menjustifikasi bahwa nyawa suatu kaum tak lebih berharga dari furniture …
7
3. Obama di Djakarta: 1967 – 1971 Barack Obama, seorang kandidat presiden dari Partai Demokrat – Amerika Serikat yang bersaing dengan Hillary Clinton. Ia lahir di Honolulu tahun 1961. Ia menyelesaikan sekolah hukum di Universitas Harvard dan pernah menjadi orang kulit hitam pertama yang menduduki kursi presiden Harvard Law Review. Saat ini ia adalah satu-satunya anggota senat AS yang berkulit hitam dan orang hitam ketiga yang pernah bertanding untuk kursi kepresidenan dalam 100 tahun terakhir sejarah Amerika (Jakarta Post, Nov 2006). Obama datang ke Jakarta tahun 1967. Kala itu ia masih berusia enam tahun. Jakarta berada dalam transisi dari Soekarno ke Soeharto, dan kenangan berdarah G30S (“Gerakan 30 September” yang membuat Partai Komunis Indonesia diganyang habishabisan) masih segar membekas. Barry, panggilan akrab Obama, lahir dari seorang ibu Kaukasian dan ayah dari Kenya. Orangtuanya adalah mahasiswa di Universitas Hawaii. Ia diberi nama persis seperti ayahnya, Barack Hussein Obama. Ayahnya meninggalkan Barry ketika ia masih dua tahun. Barry kemudian mengenal Lolo Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham, telah menikah dengan Lolo, ia mengajak Barry pergi ke Indonesia tahun 1967. Dalam memoarnya Dreams from My Father – A Story of Race and Inheritance yang ditulis tahun 1994, ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta – yang ia sebut “Djakarta”. Jakarta yang ia gambarkan kala itu barangkali masih mirip dengan Jakarta hari ini (setidaknya di beberapa tempat): tengah kota yang sedikit modern, toko-toko kecil yang berderet di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang, matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan. Sosok lelaki asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry adalah Lolo Soetoro tentunya. Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan mudah akrab dengan siapa saja; ia juga pandai bermain tennis dan catur. Lolo beragama Islam, meski ia juga masih memberikan ruang bagi pandangan Hinduism dan animisme yang kuno. Jika mengikuti penggolongan Clifford Geertz, mendiang profesor antropologi AS, dalam The Religion of Java (yang lebih merupakan spekulasi ketimbang analisis, dan tak merepresentasikan masyarakat Jawa yang lebih luas), Lolo barangkali bisa dikategorikan “abangan” – pemeluk Islam nominal, yang tidak sepenuhnya mempraktekkan sholat wajib dan filosofinya didasarkan pada sinkretisme antara Hindu, Buddha, animisme, dan elemen-elemen Islam. Lolo bekerja sebagai ahli geologi untuk angkatan bersenjata (army) dan ia pernah ditugaskan di New Guinea sebelum Obama dan ibunya datang ke Jakarta. Barry sering bermain dengan Lolo di waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan dengan memberi makan binatang peliharaan seperti ayam, bebek, anjing, kera, burung cendrawasih, burung kakatua dan buaya kecil. Lolo memberi hadiah Obama sarung tinju, yang kemudian ia gunakan untuk berlatih dengannya.
8
Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun, ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggris lima hari seminggu: mereka berdua bangun pukul empat pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke sekolah. “Ini juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,” begitu ibunya mengingatkan ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar. Obama juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak dari petani, pembantu rumah tangga dan birokrat kelas bawah. Ia bermain selayaknya anak-anak kampung di Indonesia: bekejar-kejaran di jalan kecil siang – malam, menangkap jangkrik dan adu layangan (kites battle). Meski ia tak mendapatkan pengertian yang memuaskan mengenai “kemiskinan”, “korupsi” dan “instabilitas keamanan” (yang ia lihat di Indonesia kala itu), ia mendapatkan buku-buku tentang pergerakan hak-hak sipil, dan rekaman Mahalia Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin Luther King yang memukau. Di usia belia itu pula, Barry diajarkan memiliki nilai-nilai luhur manusia, seperti kejujuran, keadilan, berbicara lugas dan menilai secara independen. Ibunya kadang bercerita tentang murid-murid kulit hitam di wilayah selatan Amerika yang miskin dan hanya mendapat buku-buku bekas dari murid kulit putih, lalu mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita tentang mars anak-anak yang lebih muda dari Barry, yang berbaris untuk kebebasan. Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier; setiap perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib yang spesial, beban kejayaan yang hanya dipikul mereka yang kuat saja. Di sini, Barry menjadi bersemangat dan memiliki kesadaran bahwa yang-hitam bukanlah yang-kalah dan tertindas, tetapi yang penuh daya juang dan yang merdeka. Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tetap melihat bahwa penjelasan ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap. Ia melihat bahwa dunia itu kejam – suatu pengertian yang tak bisa dipahami oleh kakek neneknya di Hawaii yang tenang dan jauh dari negeri yang terbelakang di Asia Tenggara. Ia juga melihat bahwa ras dan warna kulit tak lagi menjadi indikator antropologi belaka, tetapi lebih mengerikan: menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, ia mulai menilai, dalam sikap percaya diri yang kadang tak terjustifikasi, bahwa dunia memerlukan perubahan, sebagaimana ia memandang dunia dengan mata yang berbeda. Empat tahun adalah periode yang cukup bagi seorang anak untuk memahami bahwa dunia bisa tergerak oleh hal yang trivial seperti ras dan warna kulit. Dunia kadang dirundung kegilaan orang dewasa dalam melihat sesuatu. Hari ini, Barry yang sementara ini memiliki perolehan delegasi lebih banyak dari Hillary Clinton (Obama: 1202 vs Clinton: 1042) terus berusaha melanggengkan jalannya untuk naik ke kursi kepresidenan AS tahun 2008. Jika ia terpilih menjadi presiden, ia akan menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika. Janjinya mengenai perbaikan ekonomi, pelayanan kesehatan, green technology, energi,
9
lingkungan, hak sipil, kemiskinan, pendidikan, kebijakan luar negeri dan isu penting lainnya akan segera diuji setelahnya.
10
4. Sufiah, Hothousing dan Matematika Bagi orang ramai, Sufiah Yusof di masa mendatang barangkali dibayangkan sebagai pemenang Fields Medal (mirip dengan “Nobel Prize” bidang matematika), gelar profesor dari universitas terkemuka, atau bahkan filosof atau penulis besar seperti halnya alumni St Hilda’s College lainnya. Namun, harapan itu seperti kandas di usianya yang 23 tahun ini. Di sekolah itu, Sufiah dikenal sebagai independent escort. Metamorfosis dari jenius matematika ke seorang pelacur adalah ekses pemberontakan. Setidaknya inilah yang dialami Sufiah, perempuan blasteran Melayu – Pakistan, yang masuk St Hilda’s College, Universitas Oxford, bidang matematika pada usia 13 tahun. Pemberontakan ini agaknya tidak disebabkan oleh matematika, tetapi oleh isolasi yang ditimbulkan oleh keluarganya. Hothousing Ayahnya Farooq dan ibunya Halimaton menerapkan sebuah metode bernama “hothousing” di mana seorang anak dilatih untuk berkonsentrasi dalam satu pelajaran – biasanya matematika – hingga menguasai pelbagai subjek lebih awal dari kawan sebaya. Dibarengi dengan kecerdasan Sufiah, mereka mendapatkan hasil memuaskan dalam waktu singkat, yaitu diterimanya Sufiah di Oxford. Di sana pun, Sufiah tetap mendapatkan akselerasi dalam penyerapan pelajaran. Orangtuanya secara bergantian menemaninya, sehingga ia pun mengeluh tak mempunyai banyak teman. Implikasi dari isolasi ini sangat serius: seorang anak cenderung mencari kebebasan, meninggalkan apa yang dulu ditekuninya, mencoba hal-hal baru, menguji moralitas umum, mencicipi kebahagiaan yang diraih “manusia biasa”. Di satu sisi, orangtua Sufiah mempunyai kekhawatiran yang umum dimiliki orangtua lainnya. Orangtua berupaya mengamankan masa depan anak yang serba tak tentu dan yang makin kompetitif dewasa ini. Dengan bekal kejeniusan anaknya ini, orangtua Sufiah cenderung mengarahkannya menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa yang Sufiah inginkan. Namun, hal ini malah menyebabkan seorang anak tak memiliki waktu untuk menerapkan apa yang dia pelajari di kehidupan nyata, karena waktunya habis untuk belajar, menempuh ujian dan mengerjakan pekerjaan rumah. Anak tak memiliki kepercayaan diri karena cenderung diarahkan dalam jangka waktu lama. Ia kemudian biasanya memberontak, dan mencari apa yang hilang di masa kecilnya. Tentang Matematika Penulis mengakui bahwa matematika adalah subjek yang paling tidak diminatinya ketika kecil. Hal ini lambat laun berubah karena ternyata matematika memiliki banyak kegunaan. Ekonom, jurutera, fisikawan, akuntan, pilot, dokter semua memerlukan perhitungan matematika meski dalam frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Sebagian profesi memerlukan matematika lebih intensif dibanding profesi lainnya. Namun, intinya: matematika akan selalu bermanfaat di manapun dan kapanpun. Matematika yang diperkenalkan di sekolah umumnya latihan mengoperasikan persamaan dan bilangan. Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah seorang anak perlu dilatih memahami penggunaannya, dan menerapkannya di
11
kehidupan nyata. Di sekolah dasar (primary school), seorang anak perlu dilatih mengkonversikan satuan panjang (misal: dari meter ke centimeter) dengan mengambil penggaris (ruler) dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah pertama (secondary school), seorang anak perlu mengetahui bahwa pertumbuhan tinggi badan seseorang itu bisa didekati dengan fungsi kuadratik. Di sekolah menengah atas (junior college), seorang anak bisa menghitung volume mangkuk dengan integral. Dan, perkenalan terhadap aplikasi matematika ini perlu disampaikan tanpa tekanan. Dengan cara ini, matematika malah menimbulkan afeksi, kecintaan, karena di sana ada kemudahan jika kita memahaminya. Di bidang aeronautical engineering, matematika digunakan dalam menghitung kekuatan struktur sayap, gaya angkat pesawat, rute pesawat, performance terbang pesawat dan lainnya. Jika anda duduk di jendela dekat sayap pesawat, dan memperhatikan ujung sayap yang terdefleksi ke atas namun tidak patah, maka struktur sayap ini dihitung dengan baik oleh engineer dan mereka menggunakan aplikasi matematika dalam menghitungnya (dikenal dengan operasi matriks dalam metode elemen hingga). Penutup Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan akselerasi. Yang diperlukan adalah pengenalan matematika lewat contoh nyata, berlatih belajar mandiri dan rutinitas belajar. Sufiah sepertinya sudah mendapatkan itu semua; yang tidak ia dapatkan adalah kebebasan dalam mempelajarinya. Seandainya ada keseimbangan antara harapan orangtua dan keinginan anak maka Sufia bisa menjadi selayaknya ia. Hari ini, setiap orang mengharapkan Sufiah menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus jadi apa? Bermetamorfosis menjadi “yang baik” barangkali mengidap ketidakpastian. Dan, sulit diformulasikan dalam matematika. Jadi, tak ada solusi. Ternyata “metamorfosis” itu lebih susah daripada integral lipat tiga.
12
5. “Raja” Akhirnya "raja Jawa" itu wafat di usia 86. Suharto, bekas presiden Indonesia yang paling lama berkuasa itu, meninggal akibat kegagalan organ-organ tubuh. Salim Said mengatakan di ChannelNewsAsia (stasiun TV yang paling banyak dirujuk orang Singapura untuk berita terkini) bahwa awalnya Suharto itu "Great!". Tapi sepuluh tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak dewasa, ia mulai bertindak seperti raja. Ia memanfaatkan posisinya sebagai presiden untuk memperkaya dirinya, anak-anak dan kroninya. Ia mendirikan Suharto, Inc. Di negeri yang tak-demokratik, tangan besi dan korupsi bisa menghancurkan dirinya sendiri. Empat puluh lima tahun pertama hidupnya tak banyak diketahui orang hingga ia "tiba-tiba" muncul lewat Kostrad dan memberantas PKI tahun 1965. Ia membuat Sukarno menjadi tahanan rumah, dan melalui surat sakti Supersemar (11 Maret 1966), ia menjadi presiden kedua Indonesia. Ia kemudian membangun Indonesia di segala segi, membangun ikatan dengan negara lain. Di masa itu, demokrasi jadi komoditi yang haram. Yang halal adalah kolusi, korupsi dan nepotisme; tapi tak bisa dijadikan obrolan biasa karena malah tak sakral. Tiga kata itu harus menjadi rahasia umum; harus menjadi tindakan yang diamini banyak pihak tanpa didenda, tanpa dijerat hukum, tanpa diprotes. Tiga kata itu tak muncul meski ada. Mereka invisible. Tahun 1998 ia dipaksa lengser. Tiga puluh dua tahun hidupnya membuatnya jadi bapak pembangunan sekaligus bapak korupsi Indonesia. Oleh sebab itu, ChannelNewsAsia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang campur aduk (mixed) mengenai Suharto. Ini disebabkan Suharto "menari" di antara yang-baik dan yang-buruk. "Raja" yang pandai "menari" itu telah wafat. Namun ingatlah, tanpa dia, barangkali Habibie tak pernah pulang dan membangun industri pesawat terbang. Tanpa dia, ilmu penerbangan tak muncul di Bandung yang bau sampah. Tanpa dia, tak seorangpun tahu makna demokrasi, tangan besi, korupsi dan keadilan yang gagal. Indonesia, sementara ini, berkabung untuk bekas “raja”.
13
6. Goncharov Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, barangkali hanya orang Eropa (Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol), Timur Tengah dan India saja yang tercatat mengunjungi, berdagang atau menjajah kita. Adakah bangsa lain yang mengunjungi Hindia Belanda? Dalam buku "Kampus Kabelnaya - Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet", Koesalah Soebagyo Toer menulis tentang Goncharov dan Wasili Maligan. Dua orang ini terpisah waktu, tempat, aksi dan cerita. Tapi keduanya orang Rusia yang pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Di sini saya tulis tentang Goncharov saja ... Ivan Goncharov (1812 - 1891) lahir di Simbirsk, dan dibesarkan di lingkungan aristrokat. Ia menyelesaikan pendidikan perdagangan di Universitas Moskow, dan menjadi pegawai pemerintahan selama tiga puluh tahun. Ia bertemu penyair Apollon Maikov dan Valerian yang kemudian mendorongnya menjadi penulis. Goncharov hanya menulis tiga novel sepanjang hidupnya: Kisah Biasa (1847), Oblomov (akhir 1840an) dan The Frigate Pallada (1859). Meski demikian, Dostoevsky menganggap Goncharov adalah rival yang patut dicatat dalam dunia sastra realisme Rusia. Tolstoy juga melihat Goncharov sebagai penulis yang tak terinspirasi oleh kaum buruh dan masyarakat bawah, seperti halnya kebanyakan penulis Rusia lainnya; Goncharov terinspirasi masyarakat aristokrat dan mengkritik mereka sebagai pemalas dan masyarakat tak berguna. Goncharov yang pernah singgah di Jawa (Banten) tahun 1852 menulis: Saya merasa sangat gembira bahwa akhirnya saya sampai ke pantai yang sama sekali tak punya masa lalu dan tak punya sejarah itu. Apakah Anyer itu? Suatu perkampungan Melayu yang sama sekali tak pernah mengalami perubahan. Perkampungan ini pernah ditulis oleh Turnberg. Keadannya masih seperti itu juga sekarang ini. Batavia terletak dua hari perjalanan dengan jalan darat. Kami pergi ke sana, tinggal di sana sehari dan kembali lagi. Pikir kami, di sana ada jalan besar dan kendaraan yang baik. Ternyata tidak ada apa-apa. Dua minggu sekali dari Anyer dikirim pos ke Batavia; tukang pos naik kuda ... Hari berikutnya kami tinggalkan tempat itu tanpa melihat seorang Eropa pun, sedang di Anyer hanya ada tiga orang. "Tak punya sejarah"? Apakah Goncharov tak membaca sejarah Jawa? Apakah Goncharov hanya melihat akibat Cultuurstelsel tapi tak memahami kejamnya kata itu? Apakah Goncharov tak menemukan priyayi atau aristokrat yang pemalas di Jawa?
14
7. Leonardo da Vinci Leonardo da Vinci termasyhur sebagai pelukis dan pematung jaman Renaissance yang menghasilkan banyak mahakarya, termasuk di dalamnya, dua lukisan terkenal Monalisa dan Makan Malam Terakhir (The Last Supper). Tak hanya itu, ia juga seorang desainer peralatan militer, ilmuwan, penemu, insinyur, penulis, ahli tanaman dan musisi. Leonardo yang berambut panjang, keriting, berwarna merah tua, berperangai menyenangkan, tampan, juga berbakat sebagai pendongeng (storyteller), musisi, humoris, seniman, pecinta kebebasan dan pesulap (magic trick). Menurut catatan kakeknya, Leonardo lahir pukul 10:30 malam, Sabtu, 15 April 1452, di sebuah desa dekat kota kecil Vinci, provinsi Florence. Ibunya (Caterina) adalah petani, dan diperkirakan juga imigran dari Timur Tengah, dan ayahnya (Ser Piero da Vinci) adalah seorang akuntan dan notaris terkemuka di kotanya. Umur 5 tahun, ia kemudian diasuh oleh kakeknya yang akuntan juga. Karena orangtuanya tak pernah menikah, maka Leonardo tak bakal diperkenankan masuk Klub Notaris (Guild of Notary) nantinya. Oleh sebab itu, tahun 1466, ia kemudian dikirim kepada Andrea del Verrocchio (1435 – 1488), seorang pelukis dan pematung kenamaan. Di sana, bakat Leonardo makin berkembang dan melampaui gurunya, sehingga ia diperkenalkan kepada Lorenzo de’ Medici (Il Magnifico), penguasa Florence. Di bawah penguasa yang menyukai seni dan ilmu pengetahuan ini, Leonardo bergaul dengan banyak filosof, matematikawan dan seniman lainnya. Ia juga memperdalam ilmu anatomi di Company of St Luke tahun 1472. Pada masa di Florence ini, karya terbesarnya adalah The Adoration of the Magi, yang diperuntukkan bagi biksu biarawan di San Donato a Scopeto. Tahun 1482, Leonardo pindah ke Milan. Di bawah penguasa Ludivico “the Moor” Sforza, Leonardo melukis karya besarnya Makan Malam Terakhir (The Last Supper) di sebuah tembok ruang makan gereja Santa Maria delle Grazie. Perancis menyerang Milan, Sforza jatuh dan diasingkan tahun 1499. Leonardo kembali ke Florence tahun 1500. Tahun 1502 ia berpindah minat dari aspek seni-religius untuk menjadi chief engineer bagi komandan militer, Cesare Borgia. Ia kemudian membuat peta yang sangat akurat untuk enam daerah di Italia tengah. Angkatan bersenjata Borgia jatuh setahun kemudian setelah Niccolo Machiavelli gagal membantunya. Leonardo dan Machiavelli, meski demikian, berkawan dan Machiavelli membantu Leonardo sehingga ia mendapatkan komisi dari Signoria of Florence bulan April 1503. Pada masa inilah, Leonardo melukis istri ketiga bangsawan Florentine, Francesco del Giocondo. Istri ketiganya kita kenal sebagai Mona Lisa, nama kecil dari Madonna Elisabetta.
15
Dr Lillian Schwartz dari Bell Laboratories (pengarang The Computer Artists Handbook) membuat jukstaposisi gambar Mona Lisa (kiri) dan Leonardo da Vinci (kanan; foto diri yang digambar dengan kapur merah), dan menyimpulkan bahwa Mona Lisa tidak lain adalah Leonardo sendiri. Benarkah? Tahun 1512, anak Lodovico bernama Maximilian mengusir Perancis dari Milan. Leonardo pergi ke Roma untuk mengabdi kepada Leo X, paus baru Medicean. Karena posisi seniman gereja sudah diisi Michaelangelo dan Raphael, maka Leonardo yang sudah berumur 60 tahun kurang mendapat perhatian. Ia kemudian mempelajari anatomi, optik dan geometri. Ia juga sempat memberikan pengaruh kuat bagi Raphael. Tahun 1516, ditemani murid dan asistennya, ia pergi ke Amboise di wilayah Lembah Loire. Di Perancis, Leonardo mengabdi kepada Raja Perancis, Francois I. Di sini Leonardo diberi kebebasan melakukan apa saja, namun utamanya, ia diminta untuk memberikan nasihat filosofis bagi raja Francois I. Leonardo mengalami penurunan vitalitas selama di Perancis, dan stroke menyerangnya sehingga tangan kanannya lumpuh. Ia meninggal di usia 67, pada 2 Mei 1519. Leonardo telah melukis 17 karya, tapi tidak semuanya tuntas. The Last Supper, The Battle of Anghiari dan kuda Sforza tidak pernah selesai. Buku catatan, atau jurnalnya, berisi sketsa yang detil namun tidak tersusun rapi dan tak pernah dipublikasikan. Kontribusinya mendahului jamannya •
40 tahun sebelum Nicolaus Copernicus (1473 – 1543), Leonardo mencatat bahwa matahari tidak bergerak, dan bumi bukan pusat perputaran matahari, juga bukan pusat galaksi.
•
60 tahun sebelum Galileo Galilei, Leonardo menyarankan agar lensa pembesar (magnifying lens) digunakan untuk mempelajari permukaan bulan dan benda
16
langit lainnya. •
200 tahun sebelum Isaac Newton, Leonardo telah mengemukakan konsep gravitasi.
•
400 tahun sebelum Charles Darwin, Leonardo telah mengenalkan teori evolusi dengan menempatkan manusia dalam kategori yang sama dengan kera dan monyet, kecuali bahwa manusia berakal
Di bidang anatomi, Leonardo melukis penampang anggota tubuh (cross section), representasi manusia dan kuda paling detil dan komprehensif, melakukan studi bayi di dalam rahim ibu dan membuat cetakan otak dan saluran jantung. Di bidang pertanian, ia memperkenalkan geotropisme (efek gravitasi terhadap tumbuhan) dan heliotropisme (reaksi tumbuhan terhadap matahari); ia menyatakan bahwa umur pohon berhubungan dengan jumlah lingkar cincin di penampangnya; ia juga membuat sistem susunan daun pada tumbuhan. Di bidang geologi dan fisika, ia mempelajari proses fosilisasi dan fenomena erosi tanah. Di bidang engineering, ia mendesain helikopter, parasut, tangga yang bisa diperpanjang (kini dipakai oleh fire departments), perpindahan roda gigi, alat membuat ulir pada sekrup (screw), sepeda, snorkel (alat selam), kunci untuk sistem kanal, roda air horisontal, jam alarm tenaga air, kursi terapetik. Di bidang militer, ia mendesain tank, senjata mesin, mortar, guided missile dan kapal selam. Tujuh prinsip Leonardo Apa rahasia Leonardo menjadi demikian kreatif dan penuh daya cipta? Dalam bukunya How to think like Leonardo da Vinci, Michael Gelb menuliskan tujuh prinsip yang disarikan dari sikap kerja da Vinci sehingga ia mampu menghasilkan karyakarya lebih modern dari jamannya. Berikut tujuh prinsip itu: Curiositá Inti dari curiosita adalah keinginan untuk terus belajar sesuatu yang baru. Ia mengamati alam, dan mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi. Dalam proses belajar ini, Leonardo menyarankan seseorang untuk memperluas cakrawala pengetahuannya dengan mempelajari bidang lain, bidang yang bukan keahliannya. Dimostrazione Leonardo tidak begitu saja mempercayai ilmu pengetahuan, dogma atau teori-teori yang sudah mantap. Ia mengujinya lewat eksperimen dan mengalaminya sendiri
17
(dimostrazione). Ketika mengalami kegagalan dalam eksperimen, dia terus berusaha, dan tidak putus asa. Sensazione Rahasia dari melakukan eksperimen adalah dengan mempertajam indera (senses). Bagi Leonardo penglihatan adalah indera yang paling penting, sehingga melukis merupakan disiplin yang dikuasainya. Pendengaran (telinga) menjadi indera penting kedua. “Musik adalah saudara kandung melukis,” katanya. Dengan dua indera ini, dia mempertajam indera yang lain. Sfumato Sfumato, secara literal bermakna “masuk ke dalam asap”, adalah kemauan untuk berkawan dengan ambiguitas (tidak jelas), paradoks (suatu yang berlawanan), ketidakpastian. Dalam hal ini, Leonardo menjadi menjadi lebih kreatif karena berpikiran terbuka. Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, ia kerapkali berhadapan dengan sesuatu yang tak diketahui, bertolak belakang dan tak pasti. Arte/Scienza Bagi Leonardo seni dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Ia berpikir logis dalam mempelajari mekanisme suatu benda, ia juga membuat sketsa yang indah untuk catatannya. Dia disebut sebagai whole-brain thinker, tidak berat sebelah ke penggunaan otak kanan atau kiri saja. Corporalita Corporalita bermakna pemupukan keseimbangan antara tubuh dan otak. Di samping memiliki kecerdasan yang tinggi dan berbakat seni, Leonardo juga diberi kekuatan fisik yang baik. Ia pandai berkuda, berenang dan bermain anggar. Ia menyebutkan dalam bukunya bahwa aretriosclerosis dapat mempercepat penuaan, dan ini karena kurangnya olahraga. Dia juga mempercayai bahwa diet adalah kunci dari kesehatan. Connessione Connessione diartikan sebagai apresiasi terhadap hubungan antara benda dan fenomena, proses berpikir suatu sistem (systems thinking). Leonardo berusaha mempelajari bagaimana burung bisa terbang di udara dengan mengamati kegiatan berenang. Hal ini membangun kemampuannya dalam memperoleh kesimpulan dari hubungan antarsistem. ***
18
19
II. KERABAT & KAWAN
20
8. Nambar Today, a man’s name, Nambar, comes to mind. I never met him since he passed away one year before I was born. This story is a compilation of hearsays. Nambar was born in a small town Blitar, East Java, in 1917. Nobody knew him except his close family, relatives, students and local teachers. In Javanese language, “Nambar” means avoid. It was intentionally given to him so as to avoid any illnesses. Lately, I learned that this name is widely used in Mongolia; but it could have different meaning. His parents were dukun obat (medicine shaman), and both embraced Kejawen (Javanese religious belief). Nambar has an elder sister and younger brother. When he was young, he was taught by a teacher named Mbah Sosro [1] until he finished primary school. Some said, after finished primary school, he was working in a ketchup company. Thereafter, he learned the volume precision when the machine poured ketchup into conveyed-bottles. He also had talent in teaching. He went to teach in primary school after resigning from a ketchup company. He taught sport, finance administration and algebra. He was then asked to teach secondary school, and to train new teachers on “mathematics”. His students loved him because of his clarity in describing the meaning of mathematical concepts and his humor [2]. However, he was also well-known as too-discipline-teacher and stressing more onto “education” rather than “teaching” only. He was married with a Priyayi (aristocratic) lady when he was 19. With their four children, they lived in a house with many bedrooms behind a Masjid Jamik (city mosque) [3]. He was not born as Muslim though. Having four children, in Indonesia 1940s, was a rare case. Most couple would have more than five children. He thought the Keluarga Berencana (family planning) should have been started now, since big family would only invite insufficient care for the children. He sublet several rooms for students. These students were sent by their parents so that they received strict observation in education. Nambar and other worlds Although he was known as a rational person, Nambar was a ghost-phobic. Story-1: At dawn, he rode his bicycle from his school. He passed through an empty highway, lined with canopy trees along the sidewalks. It was getting dark, and he rushed up his wheels. Suddenly, everything became static. He saw the same trees on his sides while he was riding his bike. It was weird. He was like running at the same spot time to time. No displacement at all. He got a goose bump all over his neck. And, suddenly, it was all disappeared. Now he could see a small house in the distant. Everything became normal. He has possibly an empty mind for a second during a ride. Story-2: His loo was built separated from the main house. It’s a common architectural design during World War, or even nowadays in a sub-country area. There was no
21
electricity, so people relied on oil-lamp. The connection between main house and the loo was very dark at night. Nambar went out to the loo, did his business and immediately came back to the main house. It was eerie out there. But, somehow, he could not open the door. The door was lock. He was panic, and scared. He knocked the door like crazy but no response. He could not speak; something closed his mouth, he said. He felt his body weakened, and he was slowly falling in front of the door. Suddenly, his youngest son opened the door. “What’s wrong, Pak??” [4] Nambar sat down in front of the door. Powerless. He answered: “There was a ghost … “ When they were all inside, his son told him that the door was actually unlocked. It’s also smooth, right? He checked his students’ workbooks. In one of his students’ book he found this: “Her cheek is so smooth. I want to kiss her.” Coldly, he called the student affront. Everyone began to look at the student. In such cold event, students were ready to hear thunderstorm anger from his teacher. “Can you get a bottle of ketchup from the foodstall behind?” Nambar asked the sweating student. Not so long, the student came back with a bottle of ketchup. It’s an empty bottle. Nambar said: “Please clean it up”. The student followed. “Do you remember what you wrote in this book?” he asked. He student nodded. “Now … you may kiss the bottle,” Nambar coldly asked the student. Laugh was bursting out of the class! But that student needed to kiss the bottle though. After several kisses, Nambar smiled at the student: “It’s also smooth, right?” Laugh was getting louder! Bell’s code Nambar had a bell in his house. Each bell’s code had different meaning. For example, “ting-ting” was used to call person A, and “ting-ting-ting” was used to call person B. This code was not only for his children; his tenants were also subjected to this rule! There was also a collective bell’s code; it means everyone must be at home immediately once they heard the bell. His house was located nearby the city square where his children and his tenants usually played. They played only 50 meters away (blocked by the mosque), and his bell was actually effective. Most people found his bell was annoying and they thought it was better to ignore him. But, no one dared to play deaf. Until today, during the reunion, they still couldn’t know why they can’t play deaf by saying: “I’m sorry I didn’t hear your bell …” Learning Arabic As mentioned, Nambar’s parents believed in Kejawen. Practically, he was not Muslim and was not able to read Qur’an (Islam’s bible) in Arabic. In his 50s, he turned to Islam, and began to learn Qur’an. He started to pray five times per day and fasting during Ramadhan month. He was a practical man: he memorized Asma’ul Husnah (99 names of god) by which he expected god would give him a special place in heaven. He also suggested his wife to memorize these names. In the third-year of his self-learning, he was able to read Qur’an. Then, he regularly helped mosque employee to convey
22
Qur’an messages for older people. He translated Qur’an messages into Javanese. His son asked him once: “How did you do that?” His reply was short: “Just read” Cheque Nambar’s cousin came to his house. She was with her daughter. They intended to borrow some money of Rp 60000 (~ SGD 10) for a tuition fee. Nambar has only 60000 in his pocket, but he gave all the money to them. He asked them to pay the tuition fee immediately before it’s too late. But, as kitchen minister, his wife complained that she needed the money to shop the day after. “Why you give all the money?” his wife was upset. Nambar said “Tomorrow, I’ll eat whatever you cook. Rice and salt will do. The money will be used to pay someone’s tuition fee. School is more important. God will repay us fold-wisely.” Next day, Nambar came home with smiley face. He waved a cheque to his wife. “Look at this! Remember what I’ve told you: God will repay us!” He got a cheque sent by his son. Last Day Nambar had high-blood pressure although he was humorous and friendly guy. He had an appointment with a doctor in Syaiful Anwar General Hospital, Malang, 80 km from Blitar. Before they left, Nambar asked his wife to bring all of the jewelleries. They brought three pieces of steamed-banana, and they took a train to Malang. He was checked by the doctor, while his wife was waiting in the hospital corridor. The doctor went out to see his wife, and politely told her (in Javanese) that his husband has passed away. It was quiet. Her tears dripped down. She immediately sold all the jewelleries and brought her husband back to Blitar. Nambar rested in peace in Blitar, the city he was born, in 1977. Referensi [1] Mbah Sosro: his real name was Raden Soekemi Sosrodihardjo; Soekarno’s father (Soekarno was the first president of Indonesia). [2] He could do three-digit multiplication mentally (without paper and calculator) [3] His first son was an assistant professor at the Institut Teknologi Bandung after obtaining a PhD in Chemical Engineering from Wisconsin University, USA. He lives with his wife in US. His second daughter used to be a vice principal of a highschool in Surabaya; she was teaching sport and English; she passed away in 2005. His third son is retiree of government office; he previously studied Economics in Airlangga University. His last son has been a director of four general hospitals in East Java; he opens a private clinic in Bondowoso. [4] Pak is daddy, mister.
23
9. Konco “Hidup” saya di kantor tinggal 7 hari lagi. Minggu depan, untuk terakhir kalinya saya duduk di sebuah cubicle yang selalu berantakan dengan bongkaran hard disk drive dan tumpukan paper. Hari itu saya bebas dari disorientasi riset yang selama ini menganggu saya. “Disorientasi” ini berasal dari kepemimpinan riset yang bobrok dan tak jujur. Kini saya sadar bahwa seorang bodoh yang jujur (secara intelektual terhadap diri sendiri) jauh lebih bermanfaat daripada seorang PhD yang sok tahu. Yang saya ingat dari tempat ini adalah (1) pekerjaan saya, (2) orang-orang yang unik, (3) cerita lucu dan (4) insiden. Yang nomor 2 sungguh berkesan. Di sini saya berjumpa dengan seorang peneliti senior yang gemar mengumpat. Umpatannya dilafalkan dalam beberapa bahasa: Inggris, Mandarin, Hokkien, Melayu. Karena sangat mengimani metode eksperimental, ia seolah menuhankan hasil eksperimen. “There is only one true result, and it is only obtained by experiment,” demikian kirakira kalau perilakunya difirmankan. Saya yang orang simulation sungguh beruntung diajak bergabung dalam timnya: saya bisa belajar bagaimana eksperimen dilakukan, nama-nama peralatan, akurasi, trik dan analisis data. Memang tidak mendalam, tapi cukup mendapat dasar dalam melihat “seberapa benar” suatu eksperimen dilakukan. Di luar diskusi riset yang biasanya bersemangat, ia selalu bercerita mengenai pengalamannya ikut wajib militer. Selama 22 tahun ia pulang pergi ke barak setiap beberapa waktu untuk memenuhi panggilan tugas. Kini ia tak dipanggil lagi karena sudah 40 tahun. Ia tak disukai oleh beberapa peneliti lain lantaran sering mengumpat, konfrontasi dengan suara bising, menang sendiri. Seorang mengatakan bahwa ia mengidap inferiority complex. Waduh … panganan opo iki? Maksudnya … karena ia tak mampu secara finansial dan intelektual (padahal ia PhD lho … tapi masih ada aja yang bilang ia kurang canggih), ia menggunakan kata-kata dan sikap kasar dalam berkonfrontasi. Di luar itu, bagi saya, ia adalah teman baik yang selalu punya cerita ketika mampir di cubicle saya.
24
10. Bubur dan Roti Montor
Pagi ini ayah saya dilarikan ke rumah sakit. Kata ibu saya, dia diopname karena tekanan darahnya 170. Gejala: tangannya geringgingen (kesemutan). Sorenya saya telpon untuk mengetahui perkembangannya. Ketika saya telpon, lho kok dia ketawa-ketawa… becanda nih opname-nya? Nggak. Sore itu tekanannya sudah kembali normal, sistole (atau diastole ya?) alias upper bound-nya 130 (satuannya apa ya? mm-Hg?). Jadi, sore itu makanya dia udah bisa ngguyu-ngguyu. Saya tanya kenapa kok tekanannya bisa sampai 170. Kepikiran apa? Stress? atau karena … makanan? Nah, ayah-ibu saya rebutan njawab: panganan … panganan! … Oalah … Sore itu juga adik saya menelpon. Dia bilang “Mama ngasih sate kambing ke papa. Makanya, tekanan langsung nglonjak”. Karena sudah mendingan, saya bilang ke ayah saya: Ben tambah normal, cepet waras, kudu tuku bubur kacang ijo karo roti montor! Ayah saya ngakak … Kacang ijo + roti montor ini punya sejarah. Begini: ketika kecil, dua makanan itu adalah makanan mewah bagi keluarganya yang miskin. Karena (barangkali) ngidam buanget, maka ia jadi sakit. Anak terkecil biasanya dimanja, jadi ia memanfaatkan itu untuk ‘pengen bubur karo roti montor‘. Ayahnya langsung membelikannya, dan ia dengan cepat jadi sehat. Pesan moral: makanlah sesuatu yang diidamkan, niscaya kesembuhan cepat datang. Ketika sakit tubuh perlu energi untuk sembuh; makanan biasa terlalu hambar; jadi belilah yang bener-bener diinginkan … *Peringatan pemerintah: sate kambing out of topic bagi pengidap darah tinggi!
25
11. Rachid dan Humor Tentang Rachid. Seperti biasa, saya makan siang dengan kawan baru bernama Rachid. Tubuhnya menjulang 185 cm, berwajah Arab, olahragawan plus programmer, muslim by birth dan berbahasa Inggris dengan logat Perancis. Hidupnya menarik meski bukan seorang eksil: ayahnya imigran dari Maroko yang kemudian hidup di pinggiran Perancis, membenci kehidupan riset di Perancis karena elitist, menyelesaikan S1 di Perancis dan S2 di Singapore (gak kesasar ta?), juara triathlon di NUS dan suka Laksa. Rachid adalah orang yang ramah namun senyap; ia menikmati kesendirian tanpa mengeluh dan gundah. O ya, ia akan menikahi seorang gadis China yang bilingual: Mandarin + French. Tentang Humor. Turun dari shuttle bus sehabis makan siang, Rachid cerita humor. Humornya dalam bahasa Perancis. Judulnya Pirate alias bajak laut. Kami ketawa-tawa dan di lingkungan English-Malay-Chinese ini, Perancis adalah bahasa alien. Kemudian saya bercerita pada istri saya. “Hah, iso boso Perancis ta awakmu??” tanyanya (yang sudah saya duga). Saya senyum-senyum saja, dan bilang “Hehe … pokoke mau kethok pinter boso Perancis!” Lumayanlah … tumben-tumben saya bisa mengerti humor yang benar-benar kocak dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis yang (katanya) seksi dan njlimet. Mau tahu rahasianya …? Mudah saja. Pertama saya ceritakan satu humor kepada Rachid. Ini sungguh bikin pusing karena humor ini aslinya dalam bahasa Jawa (Suroboyoan). Dalam kepala, proses translasi mulai bekerja Jawa English. Dengan bantuan peragaan akhirnya kelucuan dari humor ini tersampaikan semua. Rachid terpingkal-pingkal karena tiga alasan: (1) kok ya ada orang gendheng jadi peneliti?, (2) kok ya ada humor khayal kayak gini!, (3) benar-benar kocak. Kedua, saya minta Rachid mengulang humor itu dalam bahasa Perancis. Cerita lucu biasanya mudah diingat, jadi dia dengan mudah menerjemahkannya. Dia juga minta dikoreksi jika ada kesalahan detil cerita. Mudah kan? By the way, pasti anda penasaran dengan humornya! Bagi non-pembahasa Jawa mohon minta kawan Suroboyo atau Jatim-nya untuk menerjemahkan. Ini saya paste di sini: Muntiyadi pethuk ambek Gempil koncone sing dines ndhik angkatan darat. Tibake Gempil iku saiki sikile sing kiwo yo dingklang pisan, ambek tangane sing tengen tibake yo tughel digenti cathoke bakul beras. Sing luwih nemen maneh, motone gempil kari sing kiwo. Moto sing tengen wis cumplung ditutupi kain ireng malih koyok bajak laut. “Lho Mun, sikilmu opoko?” takok Gempil. Mari ngono Muntiyadi cerito pengalamane kijolan sikile wong wedhok. “Lha awakmu opoko kok mreteli pisan?” Muntiyadi genti takok nang Gempil . “Pas aku patroli nang Aceh, sikilku ngincak granat, langsung puthul. Pas iku onoke sikile sapi, berhubung aku gak gelem, akhire yo ngene sikilku dhadhi mek sithok”.
26
“Waduh cik apese nasipmu, lha tanganmu opoko kok digenti cathoke beras?” takok Muntiyadi maneh. “Mari sikilku tughel iku mau, aku dirawat ndhik barak. Moro-moro barakku dibom ambek mungsuh, kenek tanganku, langsung tughel. Pas iku onoke cathoke beras, timbangane gak onok blas, akhire aku gelem.” jarene Gempil maneh. “Wah kayal thok kon iku, lha motomu opoko kok cumplung pisan? Kelilipengranat tah?” takok Muntiyadi maneh. “Oo iku seje ceritone. Enak-enak cangkruk nyeritakno pengalamanku iku mau, moromoro onok manuk nembeleki mripatku,” jare Gempil. “Wah kon iku tambah ngawur thok ae, lha mosok ditembeleki manuk isok motone cumplung,” Muntiyadi mulai gak percoyo. “Lho iku dhudhuk mergo tembelek manuk,” jare Gempil. “Lho opoko?” takok Muntiyadi. “Iku pas dino pertama aku nggawe cathok beras.”
27
12. SF dan Sepupu Kota San Francisco ternyata kecil! Luasnya kira-kira 7 x 7 mil2. Ia disusun oleh blok persegi sempurna, dan dipenuhi townhouse yang sempit. Menuju ke perimeternya, jalan mulai menanjak, dan ikon “tram” – kereta kuno yang masih kuat — berkeliaran naik-turun. Relnya membelah jalan raya yang sudah sempit, dan penumpang bergelantungan. Kota ini tak dipenuhi gagasan ilmiah atau teknologi seperti halnya San Jose atau Santa Clara, tapi lebih menyerupai objek wisata dengan landmark yang memikat seperti Golden Gate. Lanjutkan ke Pier 39, Union Square, Market Street, SoMA (South of Market), City Light Bookshop, Golden Gate, Chinatown, etc. Golden Gate Bridge
Chinatown
28
Trem
Fisherman’s Wharf di Sabtu Pagi
Hari Sabtu saya berjumpa dengan seseorang yang berwajah sangat Indonesia, berkacamata, bernama Jawa dan masih senyap. Dua belas tahun tak begitu mengubah wajahnya, tapi ia nampak lebih kurus. “Harus menjaga pola makan, karena punya darah tinggi,” begitu katanya. Ia tak bisa bahasa Indonesia (dan Jawa!) meski orangtuanya bercakap-cakap dalam dua bahasa itu. Singkat kata: americanized. Malam itu saya bermalam di tempatnya; sebuah rumah tiga tingkat yang tak banyak barang kecuali dalam ruang kerja dan kamarnya yang sedikit berantakan. Ia pecinta gadget. Pernah membuat perusahaan sendiri bersama kawan-kawannya pada 1990an, lalu dijual ke Sapient Corp., dan berhenti setelah 1 tahun bekerja di sana. Alasannya: tak cocok dengan gaya kerja orang-orang corporate.
29
Ketika ngobrol di cafe, ia banyak bertanya mengenai Singapura. “Bagaimana kalian hidup di sebuah negeri di mana permen karet dilarang dan menyebrang jalan sembarangan (jaywalking) dikenai denda?” begitu tanyanya. Untuk ukuran orang yang tak mengenal Singapura, kecuali dari bahan bacaan, ia cukup teliti dalam bertanya. Saya kemudian menjelaskan bagaimana bekerja di sana. Namun, saat itu juga saya merasa bahwa saya “berasal” dari sebuah negeri yang opresif, sekaligus komunistik di mana seseorang (sedikit banyak) ditentukan nasibnya oleh negara. “Kebebasan” jadi barang mahal, dan demarkasi antara Singapura dan Amerika dipisahkan oleh kata ini. Ah, sudahlah. Mengeluh adalah indikasi bahwa kita terjangkit penyakit Singaporean: tak pernah puas. Dua hari itu saya senang sekali karena telah berjumpa dengan sepupu saya.
30
13. Tukang Becak Pada 11 Agustus 2005 di Singapura, dalam sebuah ruang interview, seorang manajer memberikan pertanyaan pertama yang mengejutkan: "Where is Bondowoso?" Saya mengangkat alis, apakah ini serius? Ia kemudian bertanya lagi: "Bondowoso, which part of Indonesia is it?" Kemudian, dengan bersemangat, saya menjelaskan bahwa ia terletak di sisi timur pulau Jawa, dekat dengan Bali meski harus nyebrang selat; sekitar 4 jam bermobil dari Surabaya. Saya ragu bahwa geografinya bagus, tapi barangkali ia hanya ingin memecah kebekuan wawancara.
Bondowoso itu yang paling kiri. Diletakkan bersebelahan dengan Bali supaya orang langsung ngeh, Bondowoso itu sebelah kirinya Bali to hehe ... 2.5jam naik mobil *** Senin pagi, 4 Feb, kami (saya, olit, tuti) naik becak Pak Kus ke Pecinan, dan membeli pecel Mbak Debri (tak ada nama toko, letaknya di pinggir gang Gereja). Bosan menunggu antrian, saya pergi ke luar dan ngobrol dengan Pak Kus. Lelaki ini berumur 60, tapi ia tak terlihat renta. Ia nampak sehat, meski kulitnya yang hitam terbakar terik mulai keriput. Dia bercerita: setiap pagi pergi pukul lima pagi, dan mengayuh sejauh 2 km ke pasar, berbelanja, lalu mengirim belanjaan ke masjid jamik. Kemudian ia mulai mangkal di depan rumah saya. Kalau sedang untung, ia bisa mendapat 35 ribu/hari. Kalau lagi sepi, ia hanya dapat 15 - 20 ribu/hari. Ia hidup bersama istri dan cucu perempuan yang hampir lulus SMP. Ia berencana menyekolahkan cucunya di kota untuk SMA-nya, dan membiayainya sendiri. Pukul 10-11 pagi, biasanya ia pulang ke rumah, beristirahat. Esoknya ia mulai bekerja lagi. Jam kerjanya pendek, namun ia bilang ia akan tetap
31
mbecak selagi masih sehat. Ia tak ingin jadi beban anak-anaknya, ia ingin mandiri, dan ingin tetap "memberi" selama jantung masih berdetak. Di Bondowoso yang sunyi, tukang becak mengingatkan kita agar mensyukuri keberuntungan, dan menikmati kesederhanaan tujuan hidup. Terbiasakah kita?
32
14. Kawan-Kawan Lama Semalam saya terlalu nganggur hingga akhirnya saya nelponin kawan-kawan lama masa SMP - SMA yang berdomisili di Jember dan Surabaya. Tidak banyak yang ditelpon karena bill telpon bisa melonjak. Sunu. Dia sudah masuk blog beberapa kali. Dia yang mengajarkan bermain gitar waktu SMP. Ketika SMA, kami ikut ekskul pecinta alam dan mendirikan band yang bernama "Springfield". Ia kemudian keluar dari band dan solo karir. Setamat SMA, Sunu pindah ke Yogya dan menimba ilmu Food & Beverage di AMPTA (akademi perhotelan). Tahun 1998, saya sempat mampir di Yogya dan menginap beberapa hari di kos-kosannya. Meski sempat menyaksikan sisa-sisa kerusuhan, kesan tentang Yogya masih sama: slow motion, friendly people. Sunu bertanya: wong Singapur opo nggapleki? kok soko critomu koyoke ngono (orang Singapura apa nyebelin? dari ceritamu sepertinya gitu). Saya lupa menjawab apa; barangkali "Iya, sebagian". Sunu masih bermain band dan ia main bass. Ia bekerja untuk bagian manajemen di sebuah apartemen di Surabaya. Tidak memasak roti lagi sepertinya. Ia masih single dan tertawanya masih sama: menggelegar dan diskrit (seperti kita semua). Dan cara berbicaranya pun masih sama. Hahang. Orang pasti bertanya "Kok namanya Hahang? Ini nama asli? Dari mana nama itu berasal?" Yah dia pun barangkali tidak tahu, kecuali bahwa itu pemberian orangtua lalu distempel di akta lahir. Awal Januari 2008 Hahang sempat patah hati, tapi hanya sebentar (seperti halnya laki-laki kebanyakan). Di hari ia memutus pacarnya, ia kemudian (katanya) pergi menjemput adik kelasnya yang lain (laaaa). Tahun 1996 ia bersekolah di Surabaya, mengambil jurusan kedokteran ... hewan. Woof woof. Akhirnya ia lulus dan bekerja di perusahaan pakan ternak di Surabaya. Tetap sebagai dokter hewan. Dulu kami sering meledeknya: wah susah lho jadi dokter hewan ... setiap kali nanya pasien "Kamu sakit apa? Di mana sakitnya? Pasti dijawabnya cuma dengan, misal, "Mbeeeek ....mbeeek" What a job. Hahang masih seperti dulu, cara bicaranya pun sama. Reinhardt. Ini teman satu band di Springfield. Barangkali ia pemain gitar terbaik di angkatan saya. Dia orang Batak, tapi lahir dan besar di Jember. Kata seperti "Bah", "cem mana la kau!", "Eh kek mana ni..." kayaknya gak pernah saya dengar. Logatnya sudah Jawa, langgamnya pun Jawa. Dia belajar gitar 12 jam per hari, low profile, cepat membaca tempo dan playing by heart (meski ia juga bisa membaca not balok). Dia sempat main di beberapa kafe di Samarinda, Batam, dan kini ia di Surabaya. Dia sempat kena peluru nyasar waktu ada pertikaian gank di kafe di Samarinda itu. Sempat kritis, dan dioperasi bagian pipi hingga leher. Untung dia selamat, dan semalam bisa ngomong dengan lancar. Pertanyaan pertama saya waktu menelpon dia: "Heh ... sik urip koen?? Hehe" (Eh masih hidup kamu?). Dia sedikit pendiam, kadang saya juga bingung mau ngomong apa sama dia. Tapi dia orangnya baik. Agak unik: pernah ditemukan tidur siang sambil ngelonin gitar, sampe ngiler. Hehe. (Mudah2an tulisan ini tak dibacanya!)
33
Kurniawan. Namanya panggilannya banyak, seperti Wawan, Beben, Kur-Kur, Brodin, dan terakhir ya Kurinawa. Tapi saya selalu memanggilnya Wawan. Kurniawan adalah satu kawan yang sukses jadi pengusaha. Dia selalu bilang "Aduh opone pengusaha ... aku iki akeh utange, Rip..." (Aduh apanya pengusaha ... aku ini banyak hutangnya Rip". Benarkah? Sepertinya setiap orang pasti punya hutang; yang beda ya besar kecilnya, plus deadline-nya. Kurniawan memulai usahanya dengan membuka percetakan, kemudian merambah ke pengadaan hardware komputer, penyewaan mobil, cuci mobil, toko handphone, penyewaan game, kini membuka centrabiz di jalan Karimata. Wah pokoknya semuanya harus dijadikan duit. Orangnya cekatan, pandai berkomunikasi, mencari tahu dan pekerja keras. Ia juga penggemar kopi dan rokok. Dia masih bisa krama inggil! (this is something, man). Yang tidak pernah berubah adalah: ia selalu meminta saya jadi investor. Ha ha .... tunggu 10 tahun lagi kaleee .. Begitulah sebagian kawan-kawan lama saya. Biasa saja. Tapi mereka yang memberikan hangatnya persahabatan selama 15 tahun lebih: dari jaman pake kathok SMP sampe umur 30 sekarang ini. How is yours?
34
15. Kemprit Tanggal 14 Januari saya menerima sms: Breaking news: fridia udah kawin sama arief, sabtu 12jan pk16 di kapel ursulin, tanpa ngundang2, jd sorry ya? doain aja ... Padahal dia ngundang saya sebulan lalu; supaya saya pergi ke Bandung menghadiri perkawinan dia. Tapi sayang saya tidak bisa hadir. Akhirnya saya telpon dia setelah nrima sms itu. Bilang "selamat sudah menjadi seorang istri sekarang", lalu ngobrol sebentar dengan dia, plus dengan suaminya Mas Arief (aduh nama kok pasaran ya hehe). Dengan suaminya, saya malah ngobrol komputer Asus yang mau dia beli. Hehe. Mbak Fridia, saudara-saudaranya memanggilnya “kemprit”, adalah perempuan Tionghoa yang barangkali 8 tahun lebih tua dari saya. Ia berasal dari Kupang, namun lama di Bandung. Ia seorang psikolog khusus anak-anak autis. Ia hidup bersama maminya. Ia penggemar seni, teh, buku dan suka ngobrol. Ia juga suka traveling. Tutur bahasanya rapi: mirip seragam SD yang habis disetrika ... mirip buku-buku formal gitu lah. Awal ketemu dengan Mbak Fridia gimana ya? Tahun 2001 (kalau gak salah), di dalam kereta jurusan Surabaya - Bandung, seorang perempuan dengan ransel besar mendekat. Mirip orang Jepang. Ia kemudian duduk di sebelah saya, di dekat jendela. Ia lalu mengeluarkan beberapa majalah dan mulai membaca. Karena ia juga mengeluarkan majalah National Geographic, maka saya langsung (tanpa jaim) pinjem majalah itu. Setelah itu, obrolan terbuka dan kami jadi teman baik hingga hari ini. Ya perempuan "Jepang" itu Mbak Fridia. Mbak Fridia menikahi seorang lelaki Jawa (yang Islam, tapi selalu dibilangnya agnostik). Keluarganya (dulu) tak setuju, karena seorang CK (dia bilang: Cina Katolik) harus menikahi CK juga. Tapi, lama-lama, peraturan sepertinya melunak seperti jenang. Oleh sebab itu, ia dan Mas Arief bisa menikah di gereja. Di gereja, katanya, calon suami-istri tak perlu punya agama sama. Tapi di kantor catatan sipil ... sepertinya harus beragama sama. Cinta terhalang tembok. Yah mirip cerita sinetron jaman dulu. Tapi yang ini kawin beneran ... Sebelum tutup telpon tempo hari, saya bilang: Ayo ayo ... bikin anak! Dia bilang: iya mudah-mudahan lah ... biar gak kena deadline (umur) nih.
35
16. AAN Clementi – 2003 Sebelum ke Singapura tanggal 19 Juli 2003, saya kenalan dengan seorang kawan (baru) lewat email. Namanya Ahmad Ali Nurdin (AAN). Dia katanya baru pulang dari “mondok” di Australia, dan mampir ke Singapura, tepatnya di padepokan NUS, untuk studi Master yang ke-2 (master²). Ketika itu kami mencari kos-kosan bersama dekat kampus (sebenarnya yang nyariin dia sih, karena dia sudah di Singapura duluan). Saya lagi di Bandung, dan sibuk mindahin barang-barang dari kos-kosan di Cisitu ke rumah kakak & pacar di Jakarta. Akhirnya, dengan bantuan housing agent, yang namanya masih kami ingat yaitu Tan Man Lee, kami diantar ke Blok 335 di Clementi. Di sana, kami viewing rumah baru. Kami memutuskan untuk menyewa master bedroom yang ada kamar mandi dalam. Rumahnya ada di lantai 6; dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Jadi, kami lumayan beruntung tidak perlu naik turun tangga. Flat ini estate lama; lokasinya dekat dengan MRT station Clementi (6 menit jalan kaki), jendela belakang terhalang pohon jadi agak sungup, dan ada seorang lelaki yang tidur di kamar lain, pacar pemilik rumah, namanya Bob (meski aslinya bernama Arab, yaitu Arba'a). Ada dua tempat tidur di kamar itu, ada 1 lemari pakaian, 1 meja belajar. Satu tempat tidur yang saya gunakan hanyalah matras setebal (awalnya) 15 cm. Tapi setelah 6 bulan, bagian tengah matras jadi 5 cm; jadi punggung agak dingin ketika malam tiba. Malam hari sepulang dari kampus, kami biasanya nonton TV, ngobrol, minum coke atau kopi, ngrokok Gudang Garam. Dia sebenarnya bukan perokok; tapi karena saya rajin membeli GG di Clementi, maka dia ikutan ngrokok (di Jember ini disebut perokok pasif - artinya "njaluk rokok" hehe). Kini GG yang Internasional tidak ada lagi di Singapura; dilarang beredar sejak 2004. Extinct. Di depan rokok, TV dan kadang gitar, kami ngobrol soal macam-macam, terutama soal budaya, agama, politik, kehidupan dan topik favoritnya, "Australia". Pasir Panjang – 2004 Setelah 6 bulan di sana, kami pindah ke sebuah landed house di Pasir Panjang, namanya The Village. Di sana kami tinggal sekamar lagi. Tapi kali ini sekamar diisi 3 orang. Seorang lagi adalah anak Lumajang (alumni ITB) yang kuliah di NUS juga. Jadilah, tiga bujangan di pinggir galangan kapal, West Coast. Tiap malam, seperti ritual sebelumnya, kami mengadakan "meeting". Meeting adalah ngobrol di beranda depan, dekat kolam renang, sambil ngopi, ngrokok dan main gitar. Obrolannya lebih bervariasi, tergantung partisipan dan ada beberapa housemate cewek yang ikut nimbrung. Setelah 6 bulan, AAN pulang ke Bandung untuk kembali mengajar di almamaternya, UIN Bandung. Dia yang asli kuningan ini adalah dosen muda yang lebih banyak menghabiskan waktu belajar daripada mengajar. Ya gimana mau ngajar, kan selalu di LN untuk menuntut ilmu. Tapi dia tidak pernah lepas kontak dengan kawan-kawan
36
dosen di sana. Dia juga bilang banyak adik kelasnya yang nyalip dia gara-gara lama gak balik ke kampus. Tapi tak apa. Jalan hidup kadang memang tak bisa diduga. Dia sendiri tidak punya impian ke LN sebelum lulus dari UIN, begitu katanya. Tapi menjelang lulus, keinginan ke LN itu muncul. Jadilah ia ke Australia sebelum ke Singapura. Bukit Panjang – 2006 & 2008 AAN kembali ke Singapura tahun 2006. Kali ini ia mengambil PhD di bidang politik. Dan, ia membawa serta keluarganya. Dia menyewa flat di Bukit Panjang, beberapa blok dari tempat saya menyewa kamar. Setelah 1-1.5 tahun mereka sekeluarga pulang ke Kuningan. Setelah field work dan cuti hingga 9 bulan, ia kembali ke Singapura. Kebetulan akhirnya saya menyewa flat sendiri di Bukit Panjang, maka ia tinggal sebentar di sini. Setelah 7 bulan, ia pulang kampung ke Kuningan pagi tadi pukul 5.30. Ia tinggal menulis conclusion saja untuk thesisnya. Penutup Seperti halnya Gus Dur, Ulil, mereka yang dididik secara tradisional di pesantren kemudian terekspos risalah ilmiah dari Barat, biasanya memiliki pemikiran agama yang progresif, tidak jumud, fleksibel dan liberal. Demikian juga AAN. Maka, berdiskusi dengannya mengenai Islam progresif selalu membuahkan pandangan atau pengetahuan baru. Saya sendiri tidak pernah dididik di pesantren. Dan, dulu agak ngeri kalau diancam akan dimasukkan pesantren waktu kecil. Tapi di pertengahan kuliah di Bandung, saya membaca banyak sekali buku-buku pemikiran Barat yang mudah didapat di toko-toko kecil dekat kampus. Buku-buku ini tentu saja tidak berguna untuk kuliah saya. Dan, saya sendiri selalu bingung kalau ditanya kenapa membaca buku-buku seperti itu (seperti Fyodor Dostoevsky, Gogol, Sartre, Foucoult, Nietzsche, Marx, Arkoun, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Geertz, Anne-Marie Schimmel, M Iqbal dll). Tidak ada tujuan kecuali ingin tahu ranah lain di bumi ini. Mereka tentu tidak berbicara nonsense, itu saja yang saya percaya. Kalau non-sense, kenapa buku-buku itu dibahas di universitas besar di dunia? Jadi, agak eklektik dan self-enrichment. Belakangan, terasa sekali manfaatnya. Tanpa membaca buku-buku itu, barangkali saya tidak bisa nyambung dengan AAN. Buku-buku itu secara tidak langsung memberikan hal-hal berikut: (1) kecenderungan untuk terbuka kepada pemikiran baru; (2) memahami dengan lebih cepat fenomena yang non-mekanistik; (3) memahami mengapa komunitas bertindak ini itu; (4) kesempatan untuk menguji metode ilmiah di bidang sains ke bidang sosial; (5) lebih bisa masuk ke banyak kalangan yang nonteknik karena ada hal yang diobrolkan. AAN dulunya studi hadits, lalu berekspansi ke jalur pemikiran politik dan Islam liberal. AAN adalah seseorang yang produktif dalam dunia jurnalistik. Tulisannya menghiasi koran-koran di Indonesia dan Singapura; dan lewat kenalan dia ini, saya bisa memasukkan artikel di koran Singapura. AAN Ia juga menunggu satu bukunya
37
diterbitkan di Thailand, dan ini mengenai Islam. juga orang yang sederhana dan tidak ambisius. Ambisinya hanya dituangkan lewat jalur akademis dan pemikiran saja; meski ada juga profesor yang mengatakan tulisannya konservatif. AAN sangat ingin kembali ke Australia, entah untuk belajar lagi atau mengajar. Negeri ini sangat berkesan baginya. AAN sedang menantikan anak keduanya (yang katanya Made in Singapore - hehe and born elsewhere, probably). AAN adalah orang yang sering dipermudah jalannya oleh Tuhan meski dihadapkan pada berbagai masalah pelik. Selamat jalan kawan ... keep on writing.
38
III. BUKU
39
17. Aku dan Meneer Janssens Pagi itu aku murung: ayah-ibuku mati tertabrak lori. Air mataku menetes, lalu diseka Meneer Janssens, bekas majikan orangtuaku. Pada umur 11 tahun itu, aku diasuh Meneer: ini semacam privilege yang aku bayar dengan menjadi jongosnya. Enam tahun kemudian, Meneer mengirimku ke Amsterdam. “Pendidikan adalah bekal untuk mandiri, ” pesannya. Di sana, aku belajar ilmu hukum di sebuah universitas. Setelah lulus, aku bekerja di sebuah firma huku. Karena inlander, upahku rendah. Namun aku betah di Belanda: sebuah negeri yang berbeda dari Jawa, di mana sistem berjalan tanpa cambuk rotan. Suatu sore aku mendapati surat Meneer: “Tole, pulanglah segera.” Alasannya tak jelas, tapi aku tahu bahwa Meneer memerlukan aku di Jawa. Balasan suratku mungkin menyakitinya: “Meneer, aku tak ingin pulang, karena aku menyukai kehidupan Belanda, dan aku memiliki perempuan idaman di sini.” Beberapa hari kemudian, dugaanku benar: surata balasan Meneer membuat kita saling melukai. O, Meneer, bukan aku tak ingin membalas budi, tapi bisakah engkau membebaskan aku? Tak ada balasan. Lima tahun kemudian, aku pulang ke Jawa. Dalam pelukan rindu kami, Meneer berbisik: komunis di mana-mana, berhati-hatilah … Esoknya, aku melihat tubuh Meneer tak lagi bernyawa: ia kena serangan jantung. Dua tahun kemudian, orang komunis diberangus, dipenggal, ditembak dan dibuang ke sungai. Bau anyir mayat mengundang mual. Aku tak mual, karena aku ada di antara tumpukan mayat-mayat itu. *Diterbitkan di Flash! Flash! Flash! Kumpulan Cerita Sekilas (Blogfam & Penerbit Gradien, 2006); jumlah kata = 216
40
18. Ayu Utami dan AAC Ada beberapa orang yang nanya ke saya: sudahkah membaca Ayat-Ayat Cinta (AAC)? Saya selalu jawab belum. Kalau AAS (Ayat-Ayat Setan - Satanic Verses - Salman Rushdie) dulu pernah baca tapi gak tuntas. Katanya juga, filmnya sudah beredar di Indonesia dan ditonton 3 juta orang. Sensasional kayaknya. Dan, ini bukti bahwa saya kuper (ha ha). Saya nemu komentar Ayu Utami mengenai AAC ini. Novel Ayu Utami yang saya kagumi adalah Saman. Novel lainnya, seperti Larung, kurang 'menggigit'. Dalam Saman, Ayu mendobrak pintu sastra yang kokoh, rapi, bersih dan keramat. Ia tidak seperti itu: ia vulgar, apa adanya, sedikit 'kotor' dan ramai kritik. Sastra memang seperti itu: membuka pergulatan, bukan memberi solusi. Yang memberi solusi (khususnya happy ending) biasanya ya Hollywood. Kalau Bollywood? Ada lapangan, ada lagu, ada pertempuran, ada hero, ada nangis (tapi kadang kocak juga). Saya percaya Ayu Utami memberi komentar yang objektif mengenai AAC. Seperti: Ayat-ayat Cinta itu novel Hollywood, novel yang akan membuat senang pembacanya. Cara membuat senang itu dengan memakai resep cerita pop, misalnya berita happy ending, katakan yang orang ingin dengar, jangan katakan yang tidak ingin didengar. Nah kan ... Cerita novel ini sangat laki-laki, memenuhi keinginan dan impian semua laki-laki untuk dicintai banyak perempuan, yang perempuan istri pertama menyuruh dia kimpoi lagi. Lalu penyelesaiannya untuk kompromi simpel, perempuan yang istri kedua mati. Kalau dalam novel ini, kasus poligami disikapi dengan pengecut. Dalam arti, sebagian besar perempuan tidak mau dipoligami. Bila pun ada, perempuan yang mau dipoligami itu, biasanya mereka sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat. Kekuatan novel ini? Judulnya kuat, ini mengingatkan pada Ayat-Ayat Setan, atau lagu Laskar Cinta. Kemudian enak dibaca, dia punya keterampilan menulis. Tapi saya kira kekuatan AyatAyat Cinta ini adalah kemampuannya untuk menyenangkan, untuk mengkonfirmasi apa yang dipercaya kebanyakan orang. Mental masyarakat itu merindukan orang untuk masuk ke agamanya, kita senang bila ada yang masuk agama kita. Di sini, masuk Islam, di Hollywood masuk Kristen. Kelemahan novel ini? Paling lemah, kalau menurut saya, adalah nafsunya pada kebenaran. Begitu bernafsu untuk menunjukkan kebenaran. Tapi dia mengakui ini novel dakwah, jadi nggak masalah.
41
Benarkah? Mesti membaca sendiri kayaknya. Ada yang berbaik hati mengirimi saya? hehe
42
19. Membaca BTJ Urip iku mung mampir ngombe – Anonim Sejak hari Minggu, saya baca buku Babad Tanah Jawi (Javaansche Rijkskroniek) yang ditulis oleh WL Olthof tahun 1941. Bukunya berbahasa Indonesia dan saya beli ketika pulang ke Jember. Awalnya agak membosankan, tapi begitu lewat 20 halaman, isinya menarik. Isinya mengenai cerita raja-raja Jawa dan keturunannya, konflik dan kesaktian. Makin ke belakang (tahun 1400an), mungkin karena sumber literatur mulai lengkap, maka isi buku banyak dibumbui dialog dan catatan yang rinci. Alasan tiba-tiba tertarik membaca buku ini ya karena akhir-akhir ini sering mikir tentang "Jawa", budaya nenek moyang. Alasan lain ya karena dulu sempat membaca cerita Amangkurat II yang kejamnya minta ampun (ia menghabisi 6000 orang termasuk perempuan dan anak-anak di alun-alun kota dalam waktu setengah jam - ini karena ia cemburu lantaran istrinya selingkuh dengan adik lelakinya). Katanya cerita Amangkurat II ini ada di Babad Tanah Jawi. Tapi belum sampe ke sana sih. Jadi mesti lanjut membaca. Alasan lain lagi kenapa membaca buku ini karena ingin tahu cerita tentang Gajah Mada. Tapi lumayan kecewa, karena cerita tentang Gajah Mada tidak banyak. Mungkin karena Gajah Mada ini bukan raja kali... Namun, sekilas, penulisnya kagum dengannya, tapi tidak hendak merinci lebih jauh. Mungkin keterbatasan data sejarah. Beda dengan Langit Kresna Hariadi, yang menulis tiga jilid tentang Gajah Mada. Saya sendiri pengen sekali beli buku-bukunya. Nanti kalau sudah pulang ke Jember, atau main ke Batam :) Pertanyaan yang mesti saya jawab adalah: Gajah Mada ini orang mana sih? Orang Jember ta? He he ... Soalnya hal ini sendiri masih kontroversi. Ada yang bilang GM ini (bukan Goenawan Mohamad lho ya) orang Melayu, orang Jawa, orang Myanmar, orang Mongolia, dan lainnya. Dan, kematian GM sendiri masih sangat misterius. Katanya sih, dia konflik dengan Hayam Wuruk, lalu diasingkan ke Probolinggo dan nyepi di dekat air terjun. Lalu lenyap. Atau kemudian bekerja di BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat hehe. Hush ... GM kok diguyoni... Ya begitulah, belum ada hasil membaca BTJ, kecuali bahwa pas tidur siang hari minggu saya mimpi Raden Pajang merencanakan hendak membunuh Arya Penansang. Gila! Sampe terbawa mimpi bo ...
43
20. Rumah Bambu Tahun 1998 saya sempat main ke gang Kuwera, Yogyakarta. Ada rumah yang agak tertutup di sana. Dari luar nampak sebuah ruang di tingkat dua yang penuh buku. Ia tak memiliki balkon, dan hanya dilapisi kaca besar, terawang, sehingga orang bisa mengintip tatanan buku di lemari. Rumah siapakah itu? Dua tahun kemudian (2000) saya membaca Rumah Bambu. Buku ini berisi cerpencerpen yang ditulis YB Mangunwijaya. Kemudian saya melanjutkan ke buku-bukunya yang lain seperti Burung-Burung Manyar, dan beberapa biografinya, sehingga saya "mengenal" YBM. Rumah di gang Kuwera itu rumah YB Mangunwijaya. Sayangnya, 1 tahun sebelumnya ia meninggal. YBM ini unik: arsitek/engineer, pastor, pekerja sosial, agamawan, sosiolog (antropolog), penulis dan banyak lagi atribut lainnya. Gus Dur bilang "Ia adalah pemilik moral yang absolut." Desain rumah yang dibuatnya di Kali Code, Yogya, memenuhi kriteria "rumah", layak huni, ventilasi dan pencahayaan yang baik dan dibuat dengan bahan yang mudah didapat. Rumah-rumah itu dibangun untuk penduduk tak mampu di sana. Ia juga terlibat dalam INTERFIDEI (lembaga dialog antaragama). Satu cerita dalam Rumah Bambu masih saya ingat: Rheinstein. Barangkali ini cerpen paling panjang dalam buku itu (long short-story) dan ia bercerita tentang kebosanan, kerinduan, keinginan, gairah, seks dan kesetiaan. Tunggu ... ada suara petikan Dewa Budjana dan tiupan Embong Rahardjo dalam Early Mornin' (album SAMSARA) ... indah sekali. Seseorang dengan baik hati meng-upload potongan cerpen Rheinstein. (Potongannya bisa dibaca di Yendi's Blog). Rheinstein menulis tentang perempuan. Kadang ia muak dengan kesetiaan: Jangan tanya. Kesetiaan memang memuakkan. Makanya setiap pagi aku muntahmuntah, persis seperti perempuan hamil yang mengidam untuk mencium aroma lelakinya. Pun hanya selembar kemejamu yang tertinggal. Ya, kesetiaan memang membuat mual. Apalagi setiaku tumbuh merambat seperti tanaman di dinding lumut. Liar dan menjalar. Tapi kadang ia membuktikan kesetiaan dengan menunggu: Tepat di pukul empat, aku pasti menunggu. Menunggu memang bisa membunuh, seperti yang kurasakan. Tepat pukul empat, tubuhku seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum. Rasanya aneh. Pertama geli, lalu aku mulai kejang karena kesakitan dan disambung perih yang tanpa jeda. Begitu setiap hari sampai menjelang malam, rasa itu akan hilang dengan sendirinya dan aku jadi terbiasa.
44
Untungnya, menungguku adalah bagian dari setia padamu. Jadi perih itu bisa kunikmati. Karena kesetiaan hakikinya memang indah. Kalau istilahmu, cantik. Cantik itu setia. Cantik itu menunggu. Aku ingin cantik di matamu jadi aku setia dan menunggu. Menunggu waktu berbaur dengan harapan dan mungkin ditambah setengah tetes doa, bisa jadi mantra untuk hidup bahagia. Lalu ia membuat pengakuan Tapi aku mau membuat pengakuan. Pernah aku hampir menyerah kalah. Saat tubuhku mulai kebal dari rasa perih dan cecap darah di sudut bibir justru terasa manis. Aku menangis meraung-raung. Kugigiti tubuhku sendiri. Semalaman. Aku tidak ingin menunggumu lagi. Aku bosan, dan aku mulai terbunuh oleh setiaku sendiri. Tersiksa sekali rasanya. Mungkin karena aku manusia. Bukan titisan Drupadi yang punya kesabaran tanpa batas cakrawala atau kekuatan seperti milik Mutjingga2 yang bisa menyatukan segala roh dan membuatnya terlahir kembali dengan suci. Tapi untung saja aku kembali terjaga dalam setiaku. Dalam menunggumu. Kembali kuperca kain yang kali ini kupilihkan dengan warna biru awan. Agar kamu tahu bahwa kesetiaanku hanya langit batasannya. Dan ia hanyalah perempuan ... Aku perempuan. Dan hanya kesetiaan yang bernilai untuk kupersembahkan padamu. Bukan gerai rambut yang kuronce dengan melati atau tarian srimpi yang kutarikan dengan cadar emas atau selembar dua daun mindi yang kubiarkan kering agar aromanya menempel di tubuhku. Aku perempuan dan terlanjur mencintaimu. Seriously, bagaimana YB Mangunwijaya bisa begitu pandai membahasakan perempuan? Bagaimana ia bisa berempati dengan perempuan lewat perasaan yang terbahasakan? Sampai sekarang masih terkesan dengan cerpen dan kata-kata dalam cerpen itu.
45
IV. SINGAPURA
46
21. Shonanto Bukan, itu Shōnantō bukan nama Jawa, tapi kependekan dari Showa no jidai ni eta minami no shima (pemendekan dengan metode gimana ya?) alias pulau di selatan yang didapat di era kaisar Jepang, Showa. Shōnantō adalah nama lain Singapura. Selanjutnya bisa dibaca di Wikipedia. Empat puluh dua tahun silam (+ dua hari) Singapura merdeka dari Malaysia. 9 Agustus. Negeri yang disebut punya anomali antropologi (sebuah pulau yang dominan imigran China di antara “raksasa” Melayu) ini bisa mengatur dirinya sendiri. Dalam sebuah buku (lupa judulnya, tapi risalah serius seorang ahli politik-ekonomi Asia), Singapura adalah satu-satunya negeri di ekuator yang punya GDP tertinggi. Dalam hal kemakmuran, ia juga anomali. Titik merah ini agresif dalam ekspansi bisnis; ia juga punya kualitas layanan keuangan yang fleksibel sekaligus terpercaya; ia punya cita-cita besar; tapi ia juga diatur dengan sistem politik demokrasi terpimpin. “Demokrasi” ada karena ada kompetisi partai dan pemilu, “terpimpin” karena bak seorang raja yang infalibel, perdana menteri punya kuasa penuh atas segala aspek Singapura. Presiden hanyalah simbol. Yang lebih aneh lagi: ada tiga perdana menteri di pulau berpenduduk 4.5 juta ini (perdana menteri, menteri senior dan guru menteri). Peran ketiganya sama, yaitu mengatur negara, dan punya wilayah otoritas sendiri. Jangan belajar politik di Singapura karena tak menarik.
Dua hari lalu ada National Day Parade. Suatu peringatan besar-besaran. Di teluk Marina itu, merah di mana-mana. Saya tak menonton karena fobia keramaian (halah!). Tidak ada yang istimewa, kecuali bahwa ini (katanya) pesta kemerdekaan terbesar
47
dalam sejarah Singapura. Tapi teman saya mengutip LKY: setiap kembang api yang meledak selalu diiringi bau uang yang terbakar (begitu parafrasenya). Dan uang itu adalah uang rakyat — yang bulan lalu berkontribusi untuk kenaikan gaji perdana menteri, dan terkena kenaikan pajak jadi 7%. Tak ada yang sensitif. Karena yang sensitif pasti kena Al-Sensor. Selamat ulang tahun Singapura. Kowe oleh sedho sak marine aku sedho.
48
22. Bekupon: Tentang „Rumah“ di Singapura Di Singapura, (katanya) 80% keluarga hidup di HDB flat. HDB ini badan pemerintah yang mengurusi perumahan rakyat. Di Indonesia HDB ini barangkali mirip dengan Perumnas. Pemilik HDB flat memiliki rumah, tapi tak memiliki tanah. Bilik dibatasi oleh dinding. Kemudian tetangga ditumpuk di atas dan di bawahnya. Lalu disediakan lift supaya tak penat naik turun tangga, terutama jika flat-nya sampai 30 lantai. Air dan listrik tersedia (kemudian disebut “PUB” alias Public Utility Board). Tapi jangan lupa bayar tiap bulan. Enam bulan pertama di Singapura saya hidup di HDB flat. Lewat sebuah agen perumahan (calo atau makelar), saya mendapatkan rumah itu.Bangunannya lama, dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Total 12 lantai. Kanan-kiri flat dilingkupi pohon rindang. Jadi, kadang ada burung jalak (Tiong bird) atau gagak yang bertengger di jendela. Ruangannya sungup alias gelap berlembab. Arah bangunan tak utara selatan, jadi tak kebagian matahari. Angin lumayan kencang. Bila hujan tiba, dan lupa menutup jendela, beceklah dapur dan kamar. Kini saya pindah ke HDB flat di wilayah lain. Lebih bersih, lebih baru, dapat banyak matahari dan angin. Daerahnya seperti pinggir kota. Ayah saya bilang: “Iki luwih sepi timbang Bondowoso.” Tapi saya suka tinggal di sini. Memang mirip Bondowoso, tapi supermarket (plus kedai kopi, ATM) tinggal selemparan batu (dengan syarat nglemparnya harus kayak nglempar granat ~ 100 m). Mari loncat ke Surabaya. Ketika kecil saya sering ke tempat paman di tengah kota Surabaya. Rumahnya kecil dan berdempetan dengan tetangga lain. Maklum, rumahnya model kampung. Di sana, banyak sekali orang memelihara burung merpati. Sebagian dipelihara untuk kontes. Burung-burung itu dipelihara dalam rumah kecil di atas tiang, dan dikenal dengan nama bekupon. Nama lainnya pagupon. Kadang ada yang tumpuk-tumpuk 3 lantai. HDB flat ini mirip dengan bekupon. Tapi tentu lebih canggih: penghuni flat lebih pandai internetan. Tinggal di condo hampir tidak ada beda. Kecuali mereka punya sarana olahraga seperti kolam renang dan gym. Selebihnya ya ditumpuk. Kalau merpati bisa ngomong dan punya anatomi mirip manusia, barangkali dia juga mesti bayar PUB.
49
23. Fabian Fobia: Tentang Anak di Singapura Phobia terhadap ketinggian, ruang yang luas dan laba-laba barangkali biasa. Yang lebih biasa lagi adalah phobia terhadap bos. Kalau phobia terhadap tetangga umur 7 tahun, nah ini luar biasa. Istri saya mengidap ini. Fabian adalah nama anak ini. Seorang murid SD kelas 2 tapi tak pandai membaca. Dia suka menyapa dan kadang berdiri di depan rumah dan berkata “Can I come to your house?”. Tentu kami mempersilakan masuk. Dia kemudian main dengan anak kami. Ada yang unik: tata kramanya beda. Dia tanpa permisi langsung masuk ke kamar tidur, naik ke box bayi, lalu lari ke dapur, membuka kulkas dan minta ijin untuk minum susu. Lama kelamaan tingkah lakunya menjengkelkan: jika ia ingin makan cereal ia langsung bilang “Hey, I want this.” Dia juga suka berbohong kepada kakekneneknya: “Please don’t tell my Ah Kong that I eat this, OK?” Dia tak boleh makan coklat di rumahnya, tapi kami tetap memberinya karena tidak tega (tidak tega membiarkan ompongnya cuma dua hehe). Dia juga tak kenal waktu jika ingin main. Jam 8 pagi sampai jam 8 malam. Akhirnya kadang kita suruh dia pulang alias usir dengan alasan “Baby wants to sleep…” atau “We’re going out in a minute…” Dia juga pernah tertangkap basah mau mengantongi mainan. Klepto. Kadang-kadang kami mendengar ia bertengkar dengan kakeknya dan saling bentak. Ribut banget deh. Singkatnya: arek iki nggapleki pol… Dengan anak kecil yang lain, istri saya tidak phobia. Cuma sama Fabian aja dia phobia. Barangkali dia phobia dengan tingkah laku yang menjengkelkan itu. Kenapa ya anak kecil kok bisa berperilaku begitu? Kami tak habis pikir. Tapi kami tidak menyerah: kami menyimpulkan bahwa dia anak yang kekurangan kasih sayang orang tua. Dia tinggal dengan kakek-neneknya, dan orang tuanya datang seminggu sekali (woi ini Singapore gitu lho … koyok Surabaya-Jember wae!). Dia juga jarang diajak bermain ke rumah orang dan diberi petunjuk mengenai sikap-sikap baik ketika bertamu. Jadi ya begitu main ke rumah orang ia seenaknya sendiri. Ini salah siapa coba?
50
24. Muram: Tentang „Ekspresi“ di Singapura Setiap pagi saya jalan kaki ke bus interchange. Jika antrian bus sepi, saya bisa memilih tempat duduk yang strategis; tempat di mana saya bisa melakukan “people watching” yang diskontinu dan agak invisible. Perilaku ini sebenarnya mengganggu bagi orang lain. Siapa yang suka diam-diam diamati makhluk lain? Tapi ini jadi kebiasaan. Saya bisa melihat sesuatu yang konstan di Singapura: wajah muram. Apa sebab seseorang berwajah muram di pagi yang segar? Umumnya karena ngantuk; sebab lain: tumpukan tugas dan kerja yang menanti; alasan lain: setelan mulut sudah demikian murung; coro londo-nya: life sucks! Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang energik dan ceria: Are you happy here? Jawabannya ekspres: No! Apa pasal? Ia lalu mendadak muram dan berjalan gontai: semua perlu uang, bayar ini bayar itu, sedangkan gaji kecil. Jika memang demikian: life barangkali memang sucks. Hidup itu “menghisap” seperti lintah. Tapi apakah “kita” dalam “hidup”? Kemudian, siapakah “lintah” itu? Seperti mengejar ekor sendiri, sumber kemuraman adalah kita sendiri. Seorang kawan pernah dikenal sebagai source of happiness di Singapura yang muram. Dia mencari masalah, kadang juga sial tertimpa masalah, jadinya penuh masalah. Harusnya ia muram. Tapi tidak. Ia selalu ceria. Kenapa demikian? Singkat saja: aku tak punya pilihan lain selain menjadi ceria; ini untuk anakku; sebaiknya ia tak melihat aku murung; aku ingin ia selalu melihat ayahnya ceria. Apakah ini berbohong pada diri sendiri? Iya, tapi itu tak soal baginya. Karena hidup hari ini lebih bermakna jika kita berbuat baik pada dua orang: diri kita sendiri dan seseorang yang kita cintai. Naif barangkali. Tapi hasilnya positif. Setiap pagi saya naik bus. Lewat pintu yang terbuka otomatis dan bunyi “teeeet” kartu bus yang ditempel, wajah muram masuk berurutan. Inilah Singapura. Jangan heran.
51
25. Adzan di Singapura Adzan adalah pengingat dan panggilan bagi muslim supaya sembahyang. Bagi saya, yang pernah hidup 25 tahun di Indonesia (di mana adzan adalah lantunan yang terjadwal), adzan adalah bukti pemerintah yang tak represif terhadap agama meski Indonesia cenderung sekuler. Di Bondowoso, kota masa kecil saya, lonceng gereja juga diperbolehkan berdenting tiap hari minggu. “Panggilan” massal untuk berdoa ini tak mengganggu; malah memperkaya bunyi di keseharian. Lain halnya di Singapura. Seberapapun besar masjid dibangun di sini, tak 1 dB-pun bunyi adzan boleh dilantunkan. “Menganggu ketenangan,” kata seseorang. Meski muslim perlu pengingat sholat yang unik seperti adzan, tapi karena pemerintah tidak memahami esensi “adzan” maka adzan dilarang bunyi. Karena minoritas maka muslim di Singapura diam saja. Bergeming. Diam juga pilihan dan mereka membunyikan adzan lewat speaker dalam ruangan masjid saja: tak sampai keluar. Satu-satunya (mungkin) masjid yang boleh membunyikan adzan adalah masjid Sultan di sekitar Arab Street. Masjid Sultan adalah masjid tertua kedua di Singapura dan dikategorikan national heritage. Oleh sebab itu, ia mendapat perkecualian.
Masjid Sultan, Kampung Glam, Singapura Yang diijinkan berbunyi di Singapura, antara lain: bunyi memekakkan seperti crengcreng dan tabuh-tabuhan yang mengiringi barongsai, lagu-lagu ketika ada perkawinan Melayu, pukulan kayu sekelompok penyembah api yang berjubah putih seperti Ku Klux Klan (ini pernah saya saksikan sendiri di Bukit Panjang - entah agama apa), dan lainnya.
52
Sebentar lagi puasa. Saya sebenarnya kangen sekali dengan adzan. Di Bondowoso, sebelum buka puasa atau imsak, adzan dibunyikan setelah bunyi sirine branwir selama 1 menit. Akhir kata: adzan pun kena “sensor” di Singapura.
53
26. Ras
Di bawah selubung kota yang teratur diatur dan taat hukum (karena denda), orang Singapura “terbiasa” dengan (dan dibiasakan ber-) corak pikir rasis. “Are you Chinese? Are you Malay? Are you Indian?” terdengar rutin (selama 5 tahun hidup di Singapura). Ras ditulis jelas-jelas di kartu identitas. Untuk apa? Untuk membedakan hak dan kewajiban tentunya. Terdengar klasik? Iya. Dan di sana tumbuh purbasangka ras di benak setiap penduduk Singapura. Menyedihkan. Padahal sebuah nasion yang besar adalah nasion yang terbentuk oleh mozaik etnik yang kemudian melebur dan tak dipertanyakan lagi: sebuah negeri yang barangkali utopia (meski Amerika atau Indonesia) tengah berjuang ke arah sana. Tapi tidak Singapura. Saya membaca “Minoritas” yang ditulis Goenawan Mohamad beberapa waktu lalu. “Minoritas” didasarkan pada apresiasi tari masyarakat Papua berjudul “In front of Papua” di mana keserempakan gerak, laku yang jenaka dan sayu, serta tata tari (koreografi) yang rapi adalah inti dari pertunjukan. Sekali lagi: apresiasi. Seorang penonton (Singaporean) lalu bertanya: “Apakah ini tarian dari kebudayaan minoritas?” Orang Singapura tak akan terkejut mendengar pertanyaan ini; malah makin penasaran. Tapi orang Indonesia menilai sebaliknya.
Tari Irian (sumber: travel.webshot.com) Kemudian GM menulis panjang lebar: “Minoritas” — tak seorang pun di Indonesia akan menggunakan kata itu buat orang Papua, ataupun sebuah suku kecil sekalipun di pulau itu. Tapi saya kira saya tahu mengapa orang ini bertanya demikian. Seperti kebanyakan orang Singapura, ia
54
terbiasa hidup dengan ruang yang tak bersentuhan langsung dengan alam. Ia mudah melihat ekspresi yang “primitif”, “eksotik” – yang praktis tak ada di London atau New York — sebagai sesuatu yang terpencil, ganjil, dan nyaris hilang. Modernitas ada di mana-mana; yang beda dari itu adalah “minoritas”. Barangkali GM masih halus. Tapi “mayoritas” dan “minoritas” dalam benak orang Singapura adalah ekspresi tak sadar (unconsciousness) yang kerapkali muncul di mana saja termasuk di warung kopi. Ras menjadi penting - sepenting antri membeli lotre, membayar CPF, merangsek dalam antrian bus kota (dan bergaya kiasu). Dalam hal pertunjukan tari itu, kita sebaiknya hanya mengharapkan satu dari Singapura: menyediakan panggung dan sound system yang apik. Mengharapkan apresiasi tari? Next life maybe … ketika reinkarnasi tak menjadikannya tuna-seni.
55
27. Rokok 3 May 2007 Rokok, tak peduli di Singapura yang sepi senyum maupun di Jakarta yang ramai Bajaj, adalah komoditi yang mudah ditemui dan dihirup. Variannya pun banyak rupa, namun metode menikmatinya tetap sama: disulut-dihisap-dihembuskan. Yang khas dari rokok adalah "tekstur" fluida (tekstur ini diindikasikan dengan mudah oleh kata "halus", "kering" dan "kasar"), rasa, aroma dan kepekatan. Semua bersumber dari tembakau, filter dan bumbu tambahan lain seperti cengkeh. Selain kerapkali dijadikan alasan sebagai penghilang stress, rokok adalah sumbu pertemanan; ada manfaat sosial di sana, meski dalam jangka panjang, rokok dikategorikan pembunuh terbesar ketiga di dunia. Di Singapura, jumlah perokok pernah mencapai 18% pada 1992. Namun, angka ini kemudian turun menjadi 12% tahun-tahun belakangan ini. Kurang lebih 540 ribu orang merokok sekarang ini; dan statistik menyebutkan bahwa mayoritas perokok adalah laki-laki (mungkin tak hanya konteks Singapura, di dunia pun laki-laki adalah gender mayoritas perokok). Mengapa jumlah perokok menurun? Merokok itu mahal di Singapura. Bayangkan ini: uang yang digunakan membeli rokok satu pak selama sebulan (~ S$ 300) di Singapura cukup untuk menggaji seorang profesor di ITB yang telah mengabdi hampir 30 tahun. Sedangkan di Indonesia, dengan uang S$ 300 itu kita bisa membeli hampir 300 pak. Ruang perokok dibatasi. Dulu, di setiap kedai atau pun bar, setiap orang boleh merokok. Kini, di setiap restoran atau kedai, hanya 10-20% meja yang boleh digunakan sebagai "pojok merokok". Tempat (sampah) untuk mematikan puntung diperbanyak jumlahnya di jalanan. Kotak rokok dengan organ rusak yang "memukau". Di Indonesia, kotak rokok cukup "sopan" dalam mengingatkan perokok. Paling tidak ada tulisan ini: "Merokok dapat menyebabkan gangguan jantung, paru-paru dan kehamilan" dan sejenisnya. Tapi di Singapura, selain mencantumkan kandungan nikotin dan tar serta tulisan semacam itu, foto organ (leher, jantung, gigi, gusi) yang hancur rusak dan berdarah ditampilkan dengan "memukau". Orang jadi segan membeli rokok; tapi mereka tak kekurangan akal. Setelah memindahkan isinya ke kotak rokok pribadi (cigarette case), kotak "artistik" itu dibuang. *** Tahun 2003, penggemar Garpit (Gudang Garam International) masih bisa menemui rokok Indonesia ini di Clementi. Rasanya sama persis dengan yang ada di Indonesia (berat, tebal dan manis), meski kandungan tar dan nikotin (barangkali) dibuat rendah. Setahun kemudian, rokok ini lenyap. Penyebabnya? Entahlah. Ia hilang begitu saja dari peredaran dunia rokok.
56
Extinction is forever. Conserve now! Oleh sebab itu, saya selalu berterima kasih (jika mungkin sambil membungkukbungkuk a la Jepang) jika ada orang yang membawakan saya Garpit meski hanya sekotak.
57
28. Orang Bawean di Singapura Apakah itu “Boyan”? Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti “boyan” kepada saya. Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah “Boyan” itu? Dijelaskannya bahwa “Boyan” adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana “Bawean” bisa menjadi “Boyan”? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu (sebagian orang menyebutnya ‘korupsi kata’). Nama “bawean” sendiri diberikan oleh orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti “matahari terbit”. Karena orang Bawean (atau Madura) mengganti huruf “w” menjadi “b” maka kadangkala Bawean ini disebut Bebien (“e” dibaca seperti ‘benar’). Ketika kecil, sewaktu saya masih tinggal di Probolinggo, sebuah kota 100 km di timur Surabaya, nenek saya kadang bercerita mengenai pulau-pulau di utara Jawa, seperti pulau Gili, kepulauan Karimun Jawa, pulau Bawean dan lainnya. Baginya, beberapa pulau ini adalah tempat ziarah ke makam-makam kyai (seorang pemuka muslim yang biasanya memiliki pesantren atau perguruan agama). Kyai yang terkenal di Bawean adalah almarhum Kyai Maulana Umar Mas’ud. Pada awal 80an itu, pulau-pulau kecil ini masih tak memiliki listrik yang memadai. Listrik hanya dinyalakan pada jam-jam tertentu dan di tempat tertentu, karena listrik dibangkitkan oleh mesin diesel. Pulau Bawean masuk ke dalam kabupaten Gresik tahun 1974; sebelumnya, pulau Bawean masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal express (ferry) selama 3 – 6 jam. Pulau Bawean sedikit lebih luas daripada pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah 65000. Pulau ini dibagi menjadi dua kecamatan (district), yaitu Sangkapura dan Tambak. Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patarselamat, Gunungteguh, Sungairujing, Baliktetus, Daun, Kebunteluk Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakittimur, Pudakitbarat, Komalasa, Suwari dan Deka-Tagung. Sedangkan, Kecamatan Tambak meliputi 14 desa, yaitu Desa Tambak, Telukjati, Dedawang (Dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk, Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuhteluk dan Kepuhlegundi. Bahasa Bawean Seorang kawan dekat di Singapura kebetulan keturunan Bawean, dan ayahnya pernah memiliki band yang tersohor di tahun 1950-60an, namanya “La Obe”. Suatu hari saya ingin tahu apakah bahasa Bawean ini lebih mirip bahasa Jawa, bahasa Madura, atau campuran keduanya. Saya bertanya dalam bahasa Madura, dan ayahnya membalas dalam bahasa Bawean. Ternyata bahasa Bawean ini mirip sekali dengan bahasa Madura! Tingkat kemiripannya barangkali lebih tinggi dibanding Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Diceritakannya bahwa orang-orang Bawean yang datang ke Singapura dulunya berpencaharian sebagai ahli agama, guru silat dan pedagang “ilmu”. Menurut sejarah, memang benar bahwa kesenian yang paling menonjol di Bawean adalah kesenian pencak silat. Hingga kini, kesenian ini masih dilestarikan. Merantau
58
Secara historis, mayoritas masyarakat Bawean adalah nelayan. Dari pekerjaan ini, jiwa mereka secara praktis adalah perantau, yang berhari-hari berlayar, kemudian pulang sambil membawa uang hasil penjualan ikan. Jiwa merantau dan berdagang ini menjadi turun-temurun dan menentukan garis hidup keturunan mereka juga. Setiap lelaki di pulau Bawean dirasa “wajib” untuk merantau, meski mereka telah menikah. Orang Bawean di Singapura Dalam artikel yang cukup komprehensif, The Baweanese (Boyanese), yang ditulis oleh Nor Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, sensus penduduk pertama kali mencatat adanya orang Bawean tahun 1849. Antara tahun 1901 – 1911, populasi orang Bawean di Singapura makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pajak yang terlampau tinggi yang dikenakan Belanda kepada inlander (penduduk asli) di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Di tahun-tahun itu, dicatat bahwa ada dua perusahaan transportasi yang melayani migrasi penduduk dari Bawean ke Singapura, yaitu Dutch Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Belanda) dan Heap Eng Moh Shipping Company (Singapura). Populasi orang Bawean makin meningkat ketika pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945 karena penjajahan ini menyebabkan kelaparan dan kemiskinan yang parah. Setelah 1945, arus masuk imigran diperketat di Singapura dan Malaysia. Sebagian orang Bawean berbelok ke Tanjung Pinang dan Riau. Ketika Inggris membangun pacuan kuda tahun 1842, mereka menyewa orang-orang Bawean sebagai pekerja konstruksi untuk membangun Race Course lama, atau Turf City masa kini. Karena berbakat melatih kuda, orang Bawean akhirnya dipekerjakan sebagai pelatih kuda pacuan. Sebagian dari mereka tetap bekerja sebagai pelayar (seamen). Namun ada pula yang bekerja sebagai sopir untuk tuans dan mems, perawat kebun, pegawai pelabuhan dan sopir bullock-cart. Antara tahun 1840an hingga 1950an, orang Bawean banyak yang bermukim di Kampong Boyan (kini bernama Kampong Kapor). Mereka membangun pondok (ponthuk, dalam bahasa Bawean) sebuah rumah yang digunakan untuk bersosialisasi dan tempat menampung pendatang Bawean yang baru. Komunitas ini dipimpin oleh Pak Lurah. Secara literal, Pak Lurah berarti kepala kampung atau kepala desa (the chief of the village). Istilah ini sekarang masih dipakai secara luas di Indonesia. Banyak dari masyarakat Bawean di Singapura akhirnya menikah dengan etnis lain seperti Melayu, Jawa, Bugis dan lainnya. Peleburan ini menyebabkan identitas keturunan mereka secara praktis disebut “Melayu”. Namun, ada juga yang masih menggunakan garis etnis ayah, sehingga tetap beretnis “Boyan”. Seperti halnya keturunan Jawa di Singapura, sedikit sekali generasi muda Boyan yang menguasai bahasa Bawean, atau Madura. Sebagian dari mereka cukup mengenal beberapa kata, atau mengerti sedikit beberapa kalimat. Hal ini cukup wajar, mengingat bahasa Bawean tidak dipakai sehari-hari di sini. Generasi tua keturunan Bawean di Singapura kadang masih mengunjungi sanak saudara di pulau Bawean. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah artikel pribadi yang ditulis oleh generasi muda keturunan Bawean. Ia ingin sekali ke Bawean, meski hanya sekali seumur hidupnya. Sama halnya dengan bahasa, jika
59
kultur Bawean ini mirip dengan Madura, maka setiap saudara itu adalah saudara dekat. Sehingga perlakuan mereka terhadap saudaranya (meski hubungannya jauh sekalipun) sangat-sangat akrab. Ini ciri khas orang Madura yang juga saya amati di pulau Jawa.
60
29. Big Bro Congrat Kata Cincai "Big Bro Congrat" (Mas Selamat maksudnya) feng shui-nya bagus: karena ada "selamat" nya, makanya ia gak ketemu-ketemu. Sudah lebih dari 40 hari pemerintah Singapura berlagak bingung. Padahal, Ketua Jamaah Islamiyah (JI) capem Singapura ini dingklang, ditambah lagi negara ini kan sak ipet, kecil banget. Mana mungkin orang bisa susah ditemukan. Kalau di Indonesia barangkali memang sulit ditemukan. Foto MS ada di mana-mana, termasuk tembok pintu masuk kantor. Di pintu keluar bus kota pun ada tempelan wajah MS. Persis jaman Wild Wild West dengan foto kartun bandit, tinggal ditulisin "WANTED" dan sekian ratus dollar buat hadiahnya. Fotonya seperti ini:
MS kini jadi seleb tanpa sinetron, tanpa nyanyi, tanpa jadi MP (member of parliament). Ia tak membuat policy, tapi ia membuat orang Singapura jadi bertanya: pemerintah kok kesulitan sih cari-cari dia? Dan, di koran tidak ada rekonstruksi proses lepasnya MS dari sel di daerah Whitley. Kalau di Indonesia, TEMPO biasanya langsung membuat denah ruangan, plus proses lepasnya buronan. Yah, semua kan disensor di Singapura. Lalu, Guru Menteri langsung bilang bahwa kita ini terlalu berpuas hati (complacent). Sudah puas dengan fasilitas Singapura, lalu teledor dan maling bisa lolos. Lho, kok jadi "kita"? Polisi yang jaga gimana? Barangkali udah dipecat kali ya ... trus JI cabang Singapura ini gimana kelanjutannya tanpa MS? Pasti ada penggantinya dong ... ditangkap juga? Entahlah. Eh ada juga yang bilang kalau MS sudah diserahkan ke AS dan aksi-bingung-bingungcari-dia di dalam negeri ini cuma nutup-nutupi bahwa ia sengaja dilenyapkan. Lamalama kan orang juga lupa. Sudah lebih dari 40 hari lho. Sampai berapa lama lagi kita di ambang amnesia MS? Dan lagi, emang hidup cuma MS doang? Apalagi sekarang harga makanan naik, harga minyak goreng naik. Semua naik. Yang gak naik cuma gaji kayaknya.
61
MS ... In any way, congrat ... ! Kamu tak perlu membayar CPF lagi ...
62
30. O$P$ Minggu pagi ini, karena gak lanjut molor, saya ke kopitiam (hokkien: kedai kopi) di sebelah rumah untuk beli nasi lemak dan teh tarik. Saya juga menemani Olit dan mamanya ke playground. Di dalam lift, saya menemukan contoh vandalisme yang, sepertinya, umum di Singapura. Seseorang menuliskan: nomor rumah, "O$P$" dan nomor telepon di dalam lift. Sebelumnya saya juga menemukan tulisan ini di tembok (tapi mungkin nomor rumah dan nomor telepon yang berbeda; lupa). Tulisan di lift ini bisa dihapus karena hanya memakai krayon. Kalau di tembok, biasanya mereka memakai spidol (jadi harus dicat ulang). Ukuran hurufnya besar, sekitar 30 cm vertikal. Pada 2003, saya juga pernah menemukan tulisan ini di tembok flat di wilayah Clementi. Dan, barangkali ini hanya terjadi di lingkungan flat saja, tidak di condo atau di private houses. Apa itu O$P$? Itu artinya "Owe Money, Pay Money". Seseorang yang berhutang telah terlambat melakukan pembayaran. Tentunya tidak kepada bank, tetapi kepada Ah Long (moneylender di Malaysia dan Singapura). Dan tulisan itu ditujukan untuk memperingatkan penghutang, sekaligus mempermalukannya di depan tetangga. Mempermalukan? Saya sendiri tidak mengenal siapa yang tinggal di lantai 12 itu.
Seorang kawan pernah mengatakan, jika keterlambatannya berlarut-larut, ah long biasanya mengunci pintu pemilik rumah dari luar dengan grendel dan rantai yang besar. Penghutang jadi terkurung dan panik sesaat (setelahnya, mereka bisa menelpon tukang kunci sih). Ah Long ini sudah jadi bulan-bulanan polisi, dan banyak yang tertangkap. Ada juga penghutang yang berhasil ngibulin loan shark dengan cara berikut: pinjam uang, lewat masa pembayaran, digedor ah long, kemudian melaporkan ke polisi; polisi nyanggongin rumahnya, lalu menangkap loan shark; uang barangkali dikembalikan karena tidak banyak. Ngibulin ini cukup berisiko. Bisa-bisa dipukulin atau malah dibunuh sama loan shark. Tidak, tidak. Singapura cukup ketat dalam hal kekerasan. Jika ada yang bertengkar, siapa yang mukul duluan itulah yang masuk sel; bukan yang sebenarnya salah. Apalagi membunuh. Bisa di-dor di tempat oleh polisi, tanpa pengadilan; hanya dengan praduga bersalah.
63
Utang yang melilit di Singapura biasanya buah dari berjudi dan dari bunga yang terlampau tinggi. Jika sudah begini maka hutang menggunung. Dan bank tidak akan dengan mudah meminjamkan uang ke orang yang catatan account-nya tidak sehat. Jalan lain adalah meminjam ke saudara. Jika sudah mentok, maka pinjam ke ah long. Dan jika tak sanggup membayar ah long, ia dipermalukan lewat tulisan dalam lift itu. Oh utang ...
64
V. TEKNOLOGI
65
31. Dari Pesawat ke HDD: Nyambungnya Di Mana? Berapa banyak orang yang profesinya benar-benar nyambung dengan kuliahnya dulu? Jika membicarakan jurusan teknik, barangkali jawabnya: sedikit sekali! ITB barangkali lupa mencatat apa yang kini dikerjakan oleh tiap angkatan di ITB, yang jumlahnya sekitar 2000 orang, dan 4-5 tahun dari detik itu mempelajari bidang teknik, sains, seni dan desain. Sebagian mungkin masih konsisten di bidangnya (barangkali juga karena mereka dosen atau peneliti!), tapi sebagian besar barangkali mencangkul di ladang lain — yang lebih menarik , sesuai bakat, menumbuhkan passion dan, tentunya, lebih subur duitnya. Di teknik penerbangan ITB, yang didirikan tahun 1962 di bawah jurusan mesin, setiap mahasiswa “dicekoki” pelbagai ilmu penerbangan (mekanika terbang, sistem kendali, mekanika bahan, perawatan, perancangan pesawat, pengendalian satelit, aerodinamika, statistik, aeroelastisitas, kalkulus lanjut dan lainnya). Mahasiswa diberi bekal matematika yang (katanya) lebih advanced dibanding jurusan lain; mahasiswa dituntut berpikir logis dan terintegrasi ketika mengerjakan perancangan pesawat; mahasiswa diminta rajin mengerjakan PR dan teliti dalam menghitung (sampai tiga digit di belakang koma). Ada yang kandas dan mutung, sehingga dropped-out atau mengundurkan diri. Ada juga yang terseok-seok, dan memompa diri untuk lulus. Ada juga yang berprestasi sangat baik, sehingga bisa lulus doktor dari MIT. Macemmacemlah… Mereka yang lulus tentu bercita-cita bekerja di maskapai penerbangan, PTDI (ex IPTN) dll. Tapi sayangnya, cita-cita mereka tinggal impian, terutama mereka yang lulus di masa krisis ekonomi (1997 - 1998). Hingga 2003 (mungkin juga sampai sekarang?) lapangan kerja bagi lulusan teknik penerbangan sangat sulit dicari; meski belakangan akhirnya ada juga yang pergi ke Bandung, Jakarta dan Surabaya untuk bekerja di pabrik pesawat dan maskapai. Namun bagi yang tidak bekerja di industri penerbangan, hikmahnya: lulusan mesti kreatif mencari kerjaan lain. Ada yang jadi penulis, ada yang menekuni bidang IT, ada yang kerja di perbankan (sedikit mirip “penerbangan” kan? hehe), ada yang sekolah S2-S3, ada yang kerja di bidang konstruksi dan bidang teknik non-penerbangan lain. Saya termasuk yang murtad dari penerbangan dan masuk bidang hardware komputer, yaitu hard disk drive (HDD). Bagaimana bisa ke HDD? Nyambungnya di mana dengan teknik penerbangan? Setelah lulus dari NUS, saya lumayan confident dengan pengetahuan FEM (finite element method) saya. Lalu saya melamar ke sebuah lembaga riset (data storage technologies) sebagai ahli FEM. Meski “mainan”-nya bukan pesawat lagi, melainkan HDD, saya punya tekad untuk belajar mainan baru ini. Saya belajar dari web Storage Review dan Hitachi GST mengenai pengenalan HDD. Hampir dua tahun saya di sana dan akhirnya saya memutuskan untuk terus berkarir di industri HDD. Sekarang saya tak lagi mengerjakan FEM, tapi benar-benar meluas ke teknologi servo, material, mekanika, recording physics, chemical, proses produksi, hingga manufaktur HDD.
66
Saya mesti berterima kasih kepada FEM (yg sudah saya tekuni 6 tahun) sebagai alat penyambung karir. Sukses buat teman penerbangan yang lain! Pasti banyak cerita juga dari kalian! Nyambungnya barangkali juga di gambar ini (link mohon dibaca supaya “nyambung” idenya):
67
32. Perkoro Gawean
Beberapa minggu terakhir ini saya dapat tugas yang menarik sekaligus bikin frustrasi. Tugasnya menarik karena baru bagi saya, melibatkan technical skill yang bikin tangan kotor dan technically challenging. Yang bikin frustrasi: teman-teman kantor bilang “That’s impossible!” dan belum pernah ada yang ngerjain di kantor. Rata-rata dari mereka hanya bisa membongkar dan bikin HDD rusak; memakai spin stand. Apa tugasnya? Membuat prototipe hard disk drive. Mampus kon … Bos bilang berkali-kali saya harus resourceful. Ngomong-ngomong, tugas ini sebenarnya bukan tugas saya. Tapi karena beberapa staf yang seharusnya ngerjain ini pada pindah kompeni atau sibuk berat, maka saya yang disuruhnya. Alasannya tidak jelas; lan bos-ku iki pancen ora cetho kapabilitas ilmiahe (yo be’e pancen ora ndue). Penggawean sing nggarai deweke munggah pangkat koyoke mikro-manajemen, dhudhu tulisan ngilmiah sing akeh diwoco uwong liyo. Singapura pancen rodho ora jelas. Pokoke ndue gelar S3 terus pinter ngecap (”mbujuk”), iso dadhi bos lho. Yen takon iso tuajem tenan tapi yo tetep ora ngerti masalahe (takon nang di - nang di pancen guampil!). Alaaah … “c spasi d” … cepe de ngomongin dia … (opo maneh jowoan hehe…) Singkat kata: tiba’e yo ono wong ethok-ethok dadi scientist Setelah frustrasi dua hari, beberapa teman datang membantu. Tapi mereka juga gak tau mau bantu apa, lha wong sama-sama gak ngerti cara bikin hard disk. Kemudian saya teringat kata-kata Habibie: “bermula di akhir, berakhir di awal”. Saya kemudian menerapkan prinsip ini dalam mengerjakan “mission: impossible” saya.
(1) Ambil HDD baru, bongkar dengan hati-hati di clean room. Kembalikan lagi komponennya. Waktu itu saya hanya mencopot disk lalu mengembalikan lagi. Hasilnya: HDD masih berfungsi. Artinya: disk tidak sensitif terhadap setting baru baik torque maupun sentuhan pada tepi outer diameter. (2) Ambil disk dan suspension (aktuator yang bergerak-gerak membaca data) yang baru. Bongkar HDD lalu pasang disk dan suspension itu. Head pasti bikin goresan
68
pada disk jika setting-nya tidak pas. Maka, saya mengatur ketinggian stacking disknya. Nah, pengaturan ketinggian stacking disk ini adalah trik perusahaan hard disk, yang pada akhirnya menentukan kemampuan terbang slider/head di atas disk yang berputar. Putaran disk biasanya 4200 RPM, 5400 RPM dan seterusnya. Head/slider ini biasanya dapat membaca data pada ketinggian belasan nanometer (1 nm = 1/1000000000 meter) . Untuk menentukan ini biasanya orang di kantor memakai spinstand; yang memakai HDD langsung belum ada. Setelah saya cerita langkah-langkah yang saya kerjakan, dan langkah selanjutnya, orang-orang di kantor bilang itu “possible”. Kok berubah pendapat? Hehe. Proses membuat prototipe ini masin ongoing. Jadi belum ada hasil. Kapan-kapan cerita lagi jika berhasil. Oiya .. satu lagi yang bikin frustrasi adalah time frame. Saya punya waktu 8 minggu, dan ini memasuki minggu ke-3 … hix hix …
69
33. V & V
Karena mesti install software sendiri, maka perlu ke library buat pinjem CD-nya. Udah lama gak ke library kantor meski beda cuma dua lantai. Hawanya lebih adem, sepi dan ada bunyi “ting-tong” kalau ada orang masuk library. Tiga staff yang bekerja di sana, semua perempuan. Ada satu yang manis, cuma kayaknya darah rendah (lho opo hubungane coba … hehe). Buka-buka majalah (lalu nemu artikel yang bilang “ternyata burung gagak juga cerdas!”, lihat-lihat buku …. lalu nemu buku baru. Buku ini kumpulan paper konferensi di negeri antah berantah (alias mboh). Judulnya menarik: Fluid structure interaction and moving boundary problems. Judul kayak gini dibong-maringonodiuntal juga gak manfaat (haha). Tapi ada artikel yang not-so-scientific yang menarik di sini, yaitu menjelaskan perbedaan verifikasi dan validasi, alias V & V. Dua jargon ini sering muncul di paper ilmiah khusus mekanika komputasional/eksperimental/teoretikal, tapi aku ora mudheng soale memang males cari tahu. Kok ya ndilalah nemu di buku ajaib ini. Yang bergaya mathematician: Verification - solving the equations right Validation - solving the right equations Yang bergaya formal: Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model by comparison with known solutions. Verification is the assessment of the accuracy of the solution to a computational model by comparison with experimental data. Yang bergaya programmer: Verification - getting most of the bugs out of the code Validation - demonstrating the numerical model is capable of making (appropriate) predictions So, what? So … saiki ngerti bedhone.
70
34. Ide ide. cari di mana? otak kanan yang biasanya dipakai cari ide. jadi kalau stroke, orang kreatif yang kebanyakan ide badan bagian kanannya yang lumpuh (ini kalau lebih dari 6 jam baru dibawa ke rumah sakit lho). otak kanan juga yang diakses waktu orang mau ngibul. jadi mata nglirik-nglirik ke kanan-atas. gak percaya? coba bilang ini di depan kaca: sampeyan cakep! bos SONY corp datang ke kantor. dia ngasih ceramah. namanya “ray” kubota. selain dikenal sebagai penemu piringan (disk) pertama di jepang, ia juga pemain gitar. jadi sehabis ngasih seminar, ia main gitar. sudah agak tua, jadi jari-jarinya kaku. pesannya yang selalu saya ingat adalah … “if something is impossible, then do it!” penemuan diawali dari cari ide. idenya berasal dari lihat sana-sini, dari mimpi, dari nglamun di wc, dari ngobrol dengan kawan, dari lamunan saat pulang kerja. ide datangnya cepat, hilangnya lebih cepat. jadi segeralah dicatat. ide yang biasa itu banyak. “yang biasa” artinya begitu cek hak paten, walah sudah dipatenkan semua ide-idenya. makanya, kadang-kadang mikir sesuatu yang “gak mungkin” itu penting. pikiran capek juga kena tekanan supaya cari ide. tapi gimana lagi … sandang, pangan, papan semua bersumber dari ada tidaknya ide. kalau tidak punya ide sebenarnya bisa aja bilang: “mmmh i’m running out of ideas.” tapi kalau terlalu rajin bilang ini jadi orang yang tak punya integritas (iyo ta? hehe). sebelum buka buku, googling, tanya sana-sini: think! think something impossible!
71
35. Pesawat Terbang
Umumnya, orang mengenal pesawat sebagai “burung besi” yang mampu terbang 10000 meter di atas permukaan laut, mengangkut ratusan penumpang, mampu menjelajahi beberapa benua dalam sehari dan dibangun menggunakan teknologi canggih. Lebih jauh lagi, pesawat udara adalah hasil kompromi dari pelbagai ilmu pengetahuan yang tiada henti. Ilmu yang digunakan untuk membangun pesawat adalah aerodinamika, struktur ringan dan bahan (lightweight structures & materials), panduan terbang (flight guidance), kendali terbang (flight control), sistem transportasi, sistem avionik, sistem propulsi, manufaktur, manajemen, keuangan hingga pemasaran. Mendesain pesawat Seorang pakar aerodinamika menginginkan pesawat dengan gaya hambat (drag) minimum dan gaya angkat (lift) besar. Pakar struktur menginginkan pesawat yang ringan, namun kuat dan tahan terhadap berbagai macam pembebanan. Pakar sistem avionik menginginkan pesawat yang memiliki instrumen lengkap dan menyediakan status terbang secara waktu nyata (real-time). Pakar transportasi udara berusaha mengoptimalkan penggunaan seat pesawat dan menentukan strategi pemasaran. Pakar kendali terbang menginginkan pesawat yang lincah (agile) namun stabil dan mudah dikendalikan. Pakar sistem propulsi menginginkan pesawat yang punya efisiensi mesin tinggi, hemat bahan bakar dan mampu memberikan gaya dorong (thrust) dalam jangka waktu lama. Pakar manufaktur menginginkan pesawat yang mudah dibuat namun juga memenuhi kaidah desain yang ditentukan oleh pakar struktur. Masih banyak lagi keinginan pakar lain, dan hal-hal itu akan saling “dibenturkan” dan dioptimalkan guna membuat sebuah pesawat yang diinginkan.
Pesawat Turbo Prop N250 buatan PT Dirgantara Indonesia
72
Umumnya, mendesain pesawat memerlukan kerja keras lebih dari empat tahun untuk memperoleh desain konseptual (conceptual design) dan desain awal (preliminary design); kemudian ditambah beberapa tahun untuk membuat desain rinci (detailed design), perencanaan proses manufaktur, pengujian (testing) dan sertifikasi dari dinas penerbangan setempat maupun internasional seperti FAA (Federal Aviation Authority). Singkatnya kita memerlukan kurang lebih 10 tahun untuk membuat pesawat udara. Namun, dengan kemajuan teknologi software dan manufaktur, kini proses desain ini jauh lebih cepat beberapa tahun, dan memungkinkan pabrik me-release pesawat dengan lebih cepat ke customer. Kemudian, pesawat akan dapat diterbangkan kurang lebih 30 tahun setelah masa pembuatan. Hal ini dimungkinkan jika proses perawatannya mengikuti petunjuk yang diberikan pabrik pesawat. Bagaimana pesawat bisa terbang Pesawat mematuhi hukum Newton untuk prinsip terbangnya. Kemampuan terbang pesawat ditentukan oleh sayap yang memberikan gaya angkat dan engine yang memberikan gaya dorong. Pesawat haruslah ringan sehingga gaya beratnya kecil, dan ini membuat lift menjadi semakin efektif. Untuk ini, seorang engineer biasanya memilih paduan aluminum atau komposit serat karbon. Pesawat juga harus memiliki gaya hambat yang kecil sehingga thrust juga efektif. Untuk ini, seorang engineer membuat profil pesawat agak lancip dan sayapnya setipis mungkin. Sebelum take off, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu sehingga tekanan di bagian bawah sayap lebih tinggi dari atas sayap. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh penampang sayap yang dinamakan airfoil. Jika beda tekanan makin besar maka gaya angkat yang ditimbulkan akan cukup untuk mengangkat pesawat. Penjelasan ini didasarkan pada persamaan Bernoulli (fisikawan Switzerland yang hidup pada 1700 1782). Prinsip terbang pesawat yang lebih akurat biasanya dijelaskan lewat ilmu mekanika fluida yang membahas mengenai vortisitas atau aliran yang berputar. Pesawat udara berbeda dengan pesawat ulang alik (space shuttle). Untuk take off, space shuttle memakai roket booster raksasa untuk melesatkannya ke luar atmosfer, lalu setelah melepaskan roket booster raksasa itu, ia akan mewahana di luar atmosfer dengan tiga roket kecilnya. Kecelakaan pesawat Hal yang paling banyak disorot akhir-akhir ini adalah kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat adalah hal yang kritis mengingat jumlah survivor-nya sangat kecil dibanding kecelakaan moda transportasi lain, seperti kereta api, mobil, sepeda motor atau bus. Namun frekuensi kecelakaan pesawat sangatlah kecil dibanding kecelakaan transportasi lain itu. Data tahun 2000an menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat disebabkan oleh kesalahan pilot yang berhubungan dengan kemampuan pilot itu sendiri, cuaca dan kegagalan mekanik pesawat (total 52%); kegagalan mekanik (25%), kesalahan lain manusia (9%), cuaca (8%) dan sabotase (6%). Kecelakan pesawat dapat
73
dihindari dengan melatih pilot supaya lebih desicive, bijak dan secara teknik mumpuni; disiplin melakukan proses perawatan (maintenance) dengan kualitas baik; menentukan rute penerbangan yang aman; teliti dalam melakukan review desain struktur pesawat dan lainnya.
74
36. Dont Panic with Mechanics!
Pelajaran di tahun kedua kuliah yang paling berkesan bagi saya adalah Statika. Alasannya: pernah tidak lulus (ha ha). Statika pada dasarnya versi canggih dan dalam dari pelajaran mekanika statis SMA. Yah, berhubung waktu SMA malas baca buku pelajaran, kadang bolos, membenci guru fisika (meski penjurusannya fisika juga), maka tidak ada satupun subjek yang nyantol. Statika ini bagian dari Mekanika Teknik, alias MekTek. Sepertinya, hampir 40% kesulitan dengan statika. Entah kenapa. Apakah kurang pintar? Apakah malas membaca buku? Apakah jarang mengerjakan soal-soal? Apakah sering bolos kuliah? Apakah ketika ujian tiba-tiba mules dan keringat dingin? Apakah dosen menggunakan terlalu banyak rumus, ngomongnya canggih dan sulit dimengerti mahasiswa?? Mungkin semuanya. Yang jelas dulu saya tidak mengerti prinsip-prinsip dalam Statika, kebanyakan mata kuliah yang diambil dan sakit pas menjelang ujian akhir (halah alasan thok! ha ha).
Dosen kadang begini: tidak mampu menjelaskan teorema matematika dengan bahasa yang sederhana, yang mudah ditangkap oleh mahasiswa. Ibu itu bilang: Kenapa kamu tidak mengatakan kepada anak itu bahwa kamu sedang ngomongin angka rata-rata (mean value)?! Fast forward. Akhirnya saya lulus kuliah itu setelah ngulang di tahun ke-3. Tahun ke-4 saya jadi mbantuin dosen untuk kuliah Beban Pesawat. Nah, kuliah ini menggunakan prinsip-prinsip dalam statika dan mekanika teknik juga. Setelah lulus, saya kebagian ngoreksi ujian komprehensif bidang struktur yang soal-soalnya statika dan mektek. Mereka yang beres TA harus lulus ujian komprehensif untuk bisa maju sidang. Saat itu juga saya mbantuin dosen buat ngasih responsi statika. Lumayan jadi makin ngerti. Apalagi, kadang ada teman -teman yang minta ajarin Statika. Jadi tambah mancep.
75
Intinya: ngerti prinsipnya dulu (dengan matematika yang sederhana), prosedur pengerjaan, kemudian berlatih mengerjakan soal. Dulu, sepertinya, bahasa yang dipakai dosen terlalu canggih, jadi kadang tidak mengerti sama sekali. Jadi, bagi kawan-kawan yang sering menjelaskan di depan mahasiswa, saran saya: hindari penjelasan yang canggih dan gunakan analogi seharihari. Ini supaya lawan bicara cepat ngerti dan waktu kita tidak terbuang. Barusan saya menemukan buku mengenai MekTek, berisi statika, mekanika bahan dan dinamika. Isinya lengkap, tidak terlalu banyak rumus, banyak kartunnya. Buku ini ditulis dua ilmuwan Jerman, Romberg dan Heinrichs. Judulnya menarik: "Don't Panic with Mechanics". Bukunya masih fase eksperimental, mereka bilang. Dalam pengantarnya (yang relaks dan lucu), Dr Heinrichs mengatakan bahwa rekannya Dr Romberg adalah seorang yang mudah akrab (sociable), lucu namun pendek. Dr Romberg tak mampu membalas "pujian" itu jadi ia hanya mengatakan bahwa Dr Heinrichs adalah ilmuwan yang membosankan unggul.
Bagi yang berprofesi sebagai dosen, bisa membaca buku ini dan memasukkan kartunkartunnya ke dalam slide yang dipakai. Bagi mereka yang sedang mengambil kuliah Statika atau MekTek coba baca buku ini. Ada banyak contoh soal di bagian akhir; supaya lebih mancep prinsip-prinsipnya.
76
37. Keris Mpu Gandring: Hipotesis
GANDRING dikenal sebagai pengrajin logam yang tersohor di kerajaan Tumapel (cikal bakal Singosari). Ia juga dikenal sakti. Karena "profesional" dan sakti itu ia kemudian diberi gelar "Mpu". Ken Arok, seseorang yang dipercaya sebagai titisan Wisnu, memesan keris kepadanya. "Satu hari", begitu Ken Arok memberikan tenggat waktu bagi Gandring. Satu hari berlalu dan Gandring telah menyelesaikan kerisnya. Namun sarung keris belum tuntas. Karena tak sabar, Ken Arok mengambilnya, lalu membunuh Gandring. Gandring sempat menyumpahi Ken Arok dan keturunannya: tujuh turunan bakal mati tertikam keris itu. Jaman itu, teknologi pengolahan logam atau metalurgi masih sangat tradisional: besi dipanaskan dan ditempa; atau dalam istilah metalurgi, diberi perlakuan panas (heat treatment) dan dibentuk (forging). Kemudian, ilmu metafisika masuk, dan besi yang telah terbentuk (misal: pedang, keris dll), diberi doa-doa, dan menjadi sakti. Begitukah? Entahlah. Bagaimana Mpu Gandring membuat kerisnya jadi ampuh? Mpu Gandring memilih bahan yang kuat tapi ringan. Jaman itu, proses pemaduan logam dengan logam lain barangkali tak menghasilkan paduan yang memuaskan. Jadi, bahan monolitik adalah pilihan. Mpu Gandring memilih batu meteor sebagai bahan kerisnya. Hal ini juga perlu diteliti lebih jauh apakah batu meteornya bisa diberi perlakuan panas dan dibentuk. Batu meteor ini bisa dilihat dan disentuh di Museum Geologi - Bandung. Tapi, apakah bahan itu yang digunakan Mpu Gandring atau bukan, ini masih pertanyaan. Setelah, keris terbentuk, Mpu Gandring mencelupkan keris (yang masih panas) tersebut ke dalam bisa ular. Ada proses difusi dari racun ular ke dalam keris yang masih membara itu. Bisa ular sebagian menempel hanya di permukaan, dan sebagian lain berdifusi ke dalam keris. Setelah mendingin, keris dimasukkan ke dalam sarungnya, dan disimpan. Bisa dibayangkan jika keris itu disentuh atau ditancapkan ke tubuh: bisa ular segera menempel dan masuk ke dalam darah, lalu bagian tubuh akan lumpuh dan manusia bisa mati. Pada jaman itu, hanya sedikit orang yang mengetahui proses pembuatan keris secara "ilmiah"; salah satunya adalah Mpu Gandring. Karena pengetahuan dan pengalaman yang cukup advanced dalam pembuatan keris, mungkin Mpu Gandring juga dikenal sebagai mahaguru pada jaman itu. Apakah dia bisa disebut profesor di jaman ini? Penelitian lebih jauh sangat diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai peta kemajuan teknologi Jawa pada abad lampau.
77
38. Statistik Kematian satu orang adalah tragedi; kematian sejuta orang adalah statistik -- Joseph Stalin Saya tak hendak membicarakan Stalin (yang hingga kini dibenci anak perempuannya, yang kemudian mengganti nama supaya tak dikenali di Amerika), tetapi statistik. Satu aspek statistik yang paling awal dikenal (jaman SD) barangkali berhubungan dengan masalah demografi; misal: populasi penduduk, sebaran penduduk dan lainnya. Dengan berjalannya waktu, kita mengenal regresi linear, histogram, pie chart dan lainnya. Itu semua representasi statistik, bukan statistik. Statistik barangkali bercerita tentang data-data dan korelasi; statistik bercerita tentang trend atau kecenderungan; statistik berbicara tentang konklusi; statistik, pada akhirnya, adalah desisi alias keputusan. Pada 2001 saya mengambil kuliah statistik (dan probabilitas) lewat sebuah kebetulan. Karena ingin "membuang" mata kuliah dengan angka buruk, saya mesti mengambil satu mata kuliah dengan jumlah kredit sama. Mata kuliah lain tersedia namun bisa membuat saya pindah spesialisasi; jadinya saya mengambil yang agak generic, yaitu statistik. Entah bagaimana isinya, tapi yang saya dengar, dosennya baik. Ternyata benar: lebih dari itu, dosennya suka dongeng, cerita lucu dan memberikan pencerahan yang non-statistik. Lumayan, bikin gak ngantuk. Ia juga meminta mahasiswa membuka www.ngakak.com supaya tidak stress. Tak jelas untuk apa statistik ini nantinya, yang jelas saya lulus dengan nilai lumayan (meski lupa ujiannya seperti apa). Hari ini saya membaca statistik lagi. Untuk apa? Yang jelas, pekerjaan sekarang menggunakan statistik untuk mengambil keputusan; keputusan mengenai penjualan, peningkatan produktivitas pabrik, supplier, evaluasi produk dan lainnya. Ada trend yang menjadi fungsi waktu [work week]. Ada data supplier yang ngaco. Ada hasil evaluasi yang mengecilkan hati. Macam-macam reaksi yang ditimbulkan grafik representasi statistik itu. Hari ini saya menyadari bahwa statistik itu penting. Sepenting kematian sejuta orang yang dibilang Stalin. Di sana nama menjadi anonim, yang kemudian ditanyakan adalah untuk apa mereka mati, mengapa mereka mati, siapa yang membunuhnya. Kelanjutan dari statisk biasanya tak pernah berhenti, tetapi menghembus kontinu seperti angin, meski dengan arah dan kecepatan yang berbeda. Rusaknya satu hard disk itu tragedi (karena kita hanya punya satu di rumah), dan rusaknya sejuta hard disk itu statistik (yang kemudian menyebabkan direktur dipecat). Hari ini saya membeli buku statistik. Ada gambar Gauss di sampulnya. Siapa dia? Dia, seingat saya, matematikawan Jerman yang namanya sering disebut dalam statistik, metode numerik, aljabar, mekanika dan lainnya. Waktu Gauss SD, seorang guru memerintahkan semua murid untuk menjumlahkan 1 sampai 100. Murid kemudian sibuk menulis deret angka secara vertikal, lalu mulai menjumlah. Gauss diam. Ia hanya menulis satu baris, lalu diam lagi. Gurunya bertanya: kenapa kamu tak mengerjakan? Apa kamu tahu jawabannya secepat itu? Gauss menunjukkan kertas dan menulis hasilnya: "5050". Gauss menciptakan cara perhitungan dari suatu pola ketika
78
semua orang sibuk menghitung. Sensitif terhadap angka seperti Gauss? "Berenanglah" di dunia statistik juga ...
79
39. Mancal di Rel Kereta
Bisakah orang mancal (mengayuh) kendaraan di rel kereta? Ya bisa. Tapi perlu kendaraan yang dimodifikasi sehingga ban-nya bisa jalan di atas spoor (rel), punya pedal, dan body-nya mesti bisa kuat digenjot (perlu material yang ringan - tapi biasanya mahal atau dua tukang mancal).
Kereta-pancal? (sumber: http://www.bikebrats.com/indomal/glinjl.htm) Unik sekali dan inovatif. Perlu di HaKI*-kan? Gak kebayang kalo mesti mancal dari Jember ke Bondowoso: banjir keringat, dengkul copot, jantung mesti ditransplantasi. Yo ta?? *Hak atas Kekayaan Intelektual
80
40. Fitna, A380 dan Pak OD
Banyak hal yang terjadi belakangan ini. 1. Fitna Sejak film pendek "Fitna" dirilis oleh Geert Wilders (politikus sayap kanan Belanda) minggu lalu, orang jadi berpikir beginikah wajah Islam dalam persepsi Barat (atau lebih khususnya Belanda)? Setelah saya tonton, film ini mirip film eksperimen. Film indi. Tidak untuk dipertarungkan di Cannes atau di Toronto, tidak untuk dikritisi pengamat film, tapi untuk menimbulkan reaksi. Di sana ada sitiran lima surah Quran, ada aksi pengeboman, ada aksi ceramah yang "membakar", dan lainnya. Reaksinya bisa bermacam-macam: ada yang marah, kemudian ramai-ramai membela Islam; ada yang tenang-tenang aja dan mengatakan ini persepsi Wilders, bukan persepsi barat tentang Islam; ada yang bengong "Hah, film apaan tuh? Baru?". Macem-macemlah. Saya kemudian menanyakan di milis alumni (yang sebagian anggotanya pernah bermukim bertahun-tahun di Belanda): apakah benar ini merepresentasikan orang Belanda? Berikut tanggapan beberapa rekan: Menurut saya orang-orang seperti Geert Wilders itu ada saja, tapi sekali lagi dia hanya segelintir orang orang extrim kanan. Dalam perpolitikan Belanda, mereka juga cuma mengantongi suara yang sedikit. Cuma nggak usah disikapi terlalu serius. Zaman tahun 80-an saja sudah ada televisi di Belanda yang mengolok olok Paus, sama seperti siaran TV Republik Mimpi di sini mengolok olok Presiden/Wapres. (SP, hidup di Belanda 83 - 90) Saya tinggal di sana untuk yg kedua kalinya, 1989 s/d 1993. Pada masa itu, saya mendirikan perguruan Satria Nusantara, anggotanya lebih banyak bulenya daripada yg Indonesia, sekitar 500 orang. Interaksi yg intens dg masyarakat bule itu memberikan gambaran bahwa mereka tidak anti islam dan tidak anti orang islam. Namun, tetap saja ada orang yg sudah terbentuk menjadi perilakunya memusuhi apa yg tidak sama dengan dirinya. Seperti di sini juga ada saja orang yg ingin menghapus Borobudur, dan mengancam Gereja. Saya fikir, kita tidak perlu mengikuti seruan Mahathir untuk memboikot produk Belanda, sebab Pemerintah Belanda sudah dalam situasi sulit menghadapi sebagian warganya yg usil. (DS, hidup di Belanda 83-84 dan 89 - 93) 2. A380 Lewat British Aerospace, PT Dirgantara Indonesia dipercaya memproduksi bagian penting sayap A380, yaitu bagian inboard outer fixed leading edge. Bagian ini memberikan kekakuan yang diinginkan di bagian inner wing, sekaligus memberikan bentuk bagi bagian primer sayap. Kontraknya dimulai dari 2002 hingga 2012. Tapi masih bisa berlanjut lagi jika produksi A380 makin pesat dan BAe masih percaya dengan PTDI.
81
3. Pak OD "Pak Diran diwawancarai TEMPO," kata seorang kawan. Dia lalu men-scan halamannya, dan saya share di sini. Siapakah dia? Guyonannya: tiap kali ada orang naik pesawat lalu kecelakaan, pasti muncul nama beliau. Dulunya dia dosen penerbangan ITB, lalu jadi penasihat di IPTN, lalu ketua komisi nasional kecelakaan transportasi. Gampangnya: penyelidik kecelakaan pesawat. Dia mengajar bidang desain pesawat di ITB. CN235 lahir dari tangan beliau. Download di sini wawancaranya: Wawancara Pak OD http://ari3f.wordpress.com
82
VI. PENGALAMAN
83
41. Gempa di Silicon Valley
Waktu kecil saya kadang mendengar ayah saya berteriak “Lindu .. lindu …!”, yang artinya “Gempa …. gempa”. Ketika itu, skala gempa biasanya kecil dan tak begitu terasa di Bondowoso yang jauh dari laut selatan, epicentrum gempa. Jadi, tidak ada evakuasi, korban jiwa atau kerugian material akibat lindu itu.
Merah: pusat gempa, hijau: kantor saya Hari ini saya merasakan gempa lagi. Tapi tidak di Bondowoso; kira-kira 12000 km dari Bondowoso, tepatnya di San Jose. Saya sudah dua hari di Silicon Valley. Tujuannya: jalan-jalan. Eh, gak lah … tugas kantor kok (hehe). Pukul 8:04 malam, meja saya bergoyang dan saya buru-buru berlindung di bawah meja, sambil menunggu energi gempa meredup. Untungnya gedung masih utuh. Saya buru-buru pulang. Kantor saya terletak sekitar 17 km dari epicentrum, dan katanya skala gempanya 5.6 Richter. Mudah-mudahan tidak ada gempa susulan. Teman saya bilang: saya belum pernah merasakan gempa sebesar ini di San Jose; terakhir tahun 1989. Eh di luar sana … suara sirine fire fighter bertalu-talu…
84
42. Nggragas
Seorang kawan datang ke workstation saya pukul 5.30pm di hari Jumat. Jumat biasanya memang rileks (seperti juga hari yang lain!), dan kawan saya ini bilang baru selesai acara orientasi. Karena dia staf baru, maka dia dikumpulkan dengan 15 staf baru lainnya, kemudian ikut acara kenalan dengan bagian manajemen (direktur dan manajer) dan ikut permainan. Game-nya mirip amazing race, tapi lokasinya cuma satu di gedung kantor aja naik turun dari lantai 1 sampai lantai 7. Karena dia olahragawan, ya jelas aja dia menang hehe. Jaran ngono lho … Dan, dia dapat hadiah. Hadiah dia tunjukkan kepada saya, dan buru-buru dia buka. Isinya: coklat Kit Kat dalam box. Ada 3-4 Kit Kat bar di dalamnya. Dia lalu memberi saya satu slab kecil Kit Kat. Satu slab isinya 4 batang. Tak sabar, karena juga lapar, saya buru-buru membukanya. Gigit! … hah, kok gak puthul? Gigit lagi, gigit sana, gigit sini, gak putusputus. Kemudian saya coba patahkah. Tidak berhasil. Saya tanya … ini apa? Dia lalu coba melihat-lihat. Lah … ini karet! Jangkrik! Layak alot men … Karena dia takut dikira nipu, dia buru-buru ngasih coklat yang asli (sambil sebelumnya memastikan itu bukan karet); sambil ngakak gak habis-habis …! (dasar kucing goreng)
Kit Kat slab Pertanyaannya: lho ngapain kitkat naruh coklat karet di dalam paket Kit Kat itu??? Menjebak orang yang nggragas??? Hehehehehe *nggragas [jawa ngoko] = rakus (biasanya berhubungan dengan makanan, harta, tahta, wanita … laaaaaa? ….)
85
43. Rapapan Entah di Singapura bagaimana, tapi di Bondowoso, SD jaman saya (80s) ada sistem yang namanya CBSA alias cara belajar siswa aktif. Intinya: setiap anak dibiasakan menyampaikan pendapat lewat forum diskusi. Bagi yang pemalu, forum diskusi ini momok: pasti kebelet pipis kalau kebagian jadi pembicara. Waktu itu yang paling bikin saya malas adalah memilih nama kelompok. Guru biasanya menyuruh mencari nama pahlawan, atau orang besar, atau nama ilmuwan. Yah karena kurang baca jadinya saya selalu tidak punya ide kalau disuruh cari nama. Suatu hari (kayaknya hari Senin), setiap kelompok sudah membawa plakat kertas berisi nama kelompoknya. Tapi, saya lupa! Kelompok lain ada yang bernama Alexander Agung, Enrico Fermi, dan nama orang besar lainnya. Wah saya sama sekali tak ada ide dalam kondisi darurat ini! Tapi kemudian karena sangat-sangat mendesak saya kemudian mengambil nama yang ada di sampul buku harian. Isinya sih motto “Rajin Pangkal Pandai”. Terlalu panjang kayaknya. Jadi saya singkat: Rapapan. Rapapan wafat setelah dua hari. Alasannya: jeneng kok ngisin-ngisini... Yang ketawa ngakak kalau ingat “legenda” Rapapan ini cuma dua: papaku dan Tuti.
86
44. Ngimpi Setiap orang yang tidur pasti bermimpi meski keesokan harinya ia lupa total mimpi semalam. Yang ia ingat barangkali cuma sinopsis, respon terhadap mimpi, artis dan aktor dalam mimpi. Saya sendiri sering ngimpi, tapi selalu lupa mimpi apa. Yang bisa diingat biasanya mimpi yang seram, lucu, aneh dan bentuk ekstrim lainnya. Kadang saya juga nglindur atau menggerakkan tangan. Mimpi ini, sepertinya, manifestasi otak dan perasaan yang tak terkontrol, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kejadian, lakon dan orang. Saya jadi teringat Deepak Chopra: yang “riil” dari mimpi adalah respon kita terhadap mimpi itu. Misal, jika kita mimpi dibentak setan lalu ketakutan, barangkali “ketakutan” itulah yang akan kita alami ketika kita benar-benar dibentak setan. Benarkah? Ya mboh. Jangankan dibentak, wong bayangannya aja udah bikin saya kabur palingan. Mimpi ini barangkali memang tak bisa dikontrol. Tapi sepertinya bisa dimanipulasi. Dulu, ketika otak macet [tak ada ide] dalam memecahkan problem tugas akhir (Bandung, 2002), saya jadi mengharapkan suatu ilham lewat “kamar ide” yang lain: mimpi. Biasanya, kamar ide yang sering saya pakai adalah WC. Nah, sebelum tidur, saya mempersiapkan diri: mikirin suatu masalah hingga akhirnya saya tertidur. Kok ya ndilalah, “masalah” itu muncul, lalu di dalam mimpi, saya menemukan jawabnya. Tidak straightforward memang: berliku-liku, trial and error, bahkan dipecahkan dengan cara yang gak nyambung. Di sini, barangkali jawaban itu didapat ketika jiwa “menari-nari” di luar tubuh yang penat. Apakah mimpi selalu berhubungan dengan seksual? Jika berkiblat kepada psikoanalisis a la Freud dan agak materialist maka jawabannya IYA. Freud membedah mimpi dengan mencari simbol di dalamnya, lalu menghubungkannya dengan suatu bentuk, dan bentuk ini berhubungan dengan genital pria dan wanita, kemudian ia membuat interpretasi dari sana. Ia juga bermain probabilitas plus pengaruh kuat bahwa psikoanalisis adalah “pisau bedah” baru di abad 20. Masa Die Traumdeutung (Tafsir Mimpi) sesederhana itu? Yo ora lah … lebih kompleks. Eh, mari kita mundur selangkah: mengapa manusia bermimpi (baik dalam tidur maupun dalam kenyataan)? Mungkin karena itulah satu-satunya cara ia bisa lepas dari belenggu “kenyataan” sambil bergeming.
87
45. Attitude
Apa yang paling berkesan ketika bekerja di lembaga riset? Ya “riset” itu sendiri, barangkali. Meski setiap orang pasti pernah melakukan riset (kecil ataupun besar), yang namanya riset di sebuah lembaga biasanya “kaya” akan birokrasi. Harus ada proposal, pengajuan dana, review, meeting, masalah antarpersonal dan aspek nonteknis yang kadang jauh lebih rumit dari risetnya sendiri. Rumit karena ada faktor manusia yang punya kepentingan dan sikap yang kontraproduktif. Simalakama: tanpa manusia, riset pun tak ada ..
Di lembaga riset tempat saya bekerja, meski ikatan antar kolega tidak dibina dengan baik, ada banyak hal yang bermanfaat, terutama jika kita ingin belajar. Inti dari lembaga riset ini didirikan adalah melatih pegawainya melakukan riset dan belajar hal baru. Tidak heran, hampir sebagian besar orang-orangnya tidak ngerti hard disk ketika masuk kantornya (termasuk saya). Tapi selama 1.6 tahun di sini, sedikit banyak pengetahuan mengenai HDD meningkat. Setidaknya cukup ngerti komponenkomponen hard disk drive. Lainnya, tentu lebih spesifik ke pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan saya lebih dekat ke numerical simulation dan mechanical design. Generic fields, oleh karenanya saya bisa menggunakan kantor ini sebagai stepping stone. Di hari-hari terakhir ini, ada satu hal yang saya pelajari. Ternyata “sikap bekerja” atau attitude memegang peranan penting dalam bekerja; utamanya di lembaga riset. Meski attitude sifatnya non-teknis, tapi hal ini sangat menentukan sampai sejauh mana kita bisa belajar, dan menentukan karir kita. Di manapun, sikap ini dikarakterisasi hal-hal berikut:
• • • • • • • • •
•
Keinginan untuk belajar hal-hal baru yang bermanfaat Ask the right questions in order to have better understanding Jangan ragu untuk segera hands-on Bersikap terbuka terhadap ide dan gagasan Jika tak menyukai suatu ide gunakan cara yang tepat untuk menyatakan ketidaksetujuan Bersikap konstruktif terhadap tim; tujuannya: get things done! Selalu merefleksikan setiap pekerjaan: am I doing the right thing, or am I doing the thing right … (proses dan hasil sama pentingnya) Convince yourself, then you can convince others Ketika mendapatkan masalah, think … think … think. Jangan terburu-buru bertanya atau mencari informasi lewat buku, internet. Di sini, proses berpikir ini mengasah ketajaman berpikir kita dan melatih kreativitas. Motivasi diri sendiri untuk memberikan hasil terbaik.
88
•
•
•
•
•
Kaizen! Gunakan hari yang baru untuk meningkatkan kualitas skill kita. Harus ada achievement setiap harinya. Kecil tidak apa-apa, yang penting achievement. Bersikap positif dan baik kepada semua orang; termasuk “musuh” dalam kantor. Bersikap frontal dalam menghadapi masalah seringkali membuat seseorang disalahpahami, bahkan sebelumnya cangkeme mengo sekalipun … Help others, share with others. Dengan cara seperti ini, orang lain juga akan membantu kita ketika ada kesulitan. Kecuali orang ini sakit jiwa alias pelit dalam memberikan pertolongan. Orang dari negeri tertentu merasa bahwa mereka harus menyembunyikan pengetahuan mereka supaya tidak kesalip oleh juniornya. Apakah hal ini bermanfaat? Tidak sama sekali. Di satu sisi, ia mengharapkan orang lain akan mengagumi kemampuan dia, tapi yang terjadi adalah orang lain malah menganggapnya pelit ilmu dan segan membantunya jika ada problem. Orang seperti ini tidak lebih baik dari … nguk nguk … (kethek ta? hehe) Bersikap perfectionist. Hal ini perlu dilakukan dalam tataran individual. Jika dihadapakan pada kerja tim, maka hal ini tidak produktif karena standard kesempurnaan setiap orang itu berbeda. Tapi bagi saya, kesempurnaan itu adalah goal di setiap harinya. Jika tidak tercapai hari ini, ya besok tho … Usaha dulu ngerjain sesuatu sebelum bilang “tidak bisa”. Kalaupun tidak bisa, harus diusahakan bisa menjelaskan “kenapa kok tidak bisa”.
Barangkali masih banyak yang bisa direfleksikan, tapi segini dulu deh… mau sahur! Semoga bermanfaat.
89
46. Interview: Tentang Pekerjaan di Singapura Sejak pertengahan 2005, baru empat kali saya menjalani interview (dua pekerjaan sebelumnya tak memerlukan interview berkat kedekatan dengan bekas dosen). Empat interview itu dilakukan di (1) lembaga riset milik pemerintah Singapura, (2) firma engineering milik dosen ITB, (3) perusahaan turbin angin milik Denmark dan (4) pabrik pesawat kecil di Singapura. Interview pertama: where is Bondowoso? Ini interview pekerjaan yang pertama seumur hidup saya. Empat hari menjelang kepulangan saya ke Indonesia, yang barangkali untuk selamanya, saya ditelpon HRD lembaga riset. Saya memang melamar ke lembaga ini bulan Mei 2005, tapi kemudian saya lupa. Siang hari bulan Agustus itu saya mesti membatalkan penerbangan ke Jakarta untuk datang ke interview. Pada hari yang ditentukan saya datang ke sana. Saya masuk ke dalam ruang rapat dengan meja besar dan beberapa kursi. Saya mengisi formulir kemudian menyerahkan kembali kepada staff HRD. Seorang lelaki yang nampak masih muda, memakai baju polo memperkenalkan diri. Saya lupa namanya. Dia lalu bertanya: where is Bondowoso? Saya hanya menjawab: ha? Dia kemudian tersenyum dan bertanya lagi: where is it? Bondowoso? Saya lalu menjawab: oh … that’s my hometown, city I was born (padahal saya lahir di Jember; Bondowoso adalah tempat ortu saya membuat akte kelahiran). Kemudian dia bertanya mengenai material pesawat, bertanya mengenai finite element. Dia juga bilang bahwa dia ingin memodelkan hard disk drive jatuh dari ketinggian tertentu, membentur lantai dan hancur berkeping-keping. Dia bertanya: can you simulate that? Saya mengatakan bahwa software finite element bisa memodelkannya, tapi saya belum tahu caranya. Saya membutuhkan waktu untuk mempelajari software-nya. Ada beberapa pertanyaan yang saya merasa saya gagal menjawabnya. Dia menggeleng sambil mengatakan: that’s not what I meant. Wah rasanya bodoh banget deh. Dia ramah, murah senyum. Tapi barangkali tidak banyak berguna kecuali bahwa saya lebih relaks dalam menjawab (dengan ngawur hehe). Setelah 30 menit, dia mengatakan bahwa ia mengenal supervisor saya. Yah, setidaknya supervisor saya orang yang lumayan kesohor (dalam publikasi ilmiah dan temperamen-nya). Setelah 45 menit, orang ini mempersilakan saya pulang. Eh iya, saya sempat bertanya: how much is the wage? Haha. Hari itu saya butuh uang. Jadi saya ingin tahu berapa saya dibayar. Dia bilang dia tidak tahu. Hah … bagaimana mungkin? Jadi, berapa gaji saya tetaplah misteri. Kemudian saya pulang dan merasa setengah berhasil setengah gagal. Setengah berhasil karena saya bisa haha-hehe di dalam ruang interview dan berhasil mengalahkan sikap gugup saya. Setengah gagal karena banyak jawaban saya yang tidak memuaskan penanya. Jadi, entahlah, bisa diterima atau tidak. Tapi setidaknya, untuk dua bulan ke depan saya tidak memerlukan pekerjaan itu karena ada proyek lain di Bandung. Tapi setelahnya … nah ini cilaka … saya mesti lamar ke tempat lain.
90
Interview ke-2: kami butuh komputer dan orang pinter! Kerja di perusahaan minyak adalah cita-cita saya. Di perusahaan minyak, para insinyur biasanya digaji di atas rata-rata insinyur lain. Di pabrik pesawat terbang, gaji kawan saya hanya dua juta. Di perusahaan minyak, bisa 3 - 4 kali lipatnya. Ngiler pokoke … Sebuah firma engineering kecil miliki dosen di jurusan lain membutuhkan seseorang untuk mengurusi asset integrity management. Binatang apa itu saya juga tidak tahu. Yang penting saya segera memasukkan resume ke dosen itu. Tak berapa lama, saya dipanggil dan hari Sabtu saya datang ke kampus. Ada 5 orang yang hadir di sana. Dua orang sudah saya kenal sebelumnya karena bekas teman SMA. Lainnya: satu orang dosen, satu orang engineer dari firma itu dan satu lagi dari client mereka. Yang paling banyak bertanya adalah client-nya. Dia bertanya banyak hal mengenai maintenance pesawat (yang saya tidak banyak tahu). Kemudian saya bertanya: anda membutuhkan apa dan orang yang bagaimana untuk pekerjaan ini? Dia bilang: kami membutuhkan komputer yang bagus dan orang yang pinter! Wah general banget batin saya. Batin saya yang sebelah bilang: lha sampeyan wis nemu lek ngono hehe. Setelah interview selesai, saya pulang. Dua minggu kemudian, saya mendapatkan kabar bahwa saya diterima di lembaga riset Singapura. Segera saya menelpon teman saya untuk mengatakan bahwa review hasil wawancara dengan saya dibatalkan saja; saya mau ambil pekerjaan yang di Singapura. Saya harusnya bekerja mulai 15 Oktober. Tapi karena pengurusan Employment Pass yang bertele-tele, saya akhirnya bisa mulai bekerja 1 Februari. Lama juga. Saya murni jobless dua bulan. Pada saat yang bersamaan saya merevisi thesis saya. Interview ke-3: cool! Sebuah perusahaan turbin angin terbesar di dunia membuka kantor riset di Singapura. Beberapa bulan kemudian mereka melakukan rekruitmen. Salah satu posisi yang sangat menarik adalah composite structures engineer. Wah, ini sangat sesuai dengan background saya. Saya memasukkan aplikasi dan menunggu hasilnya. Satu bulan kemudian, HRD perusahaan ini menelpon untuk janji interview. Pada saat interview, seorang perempuan umur 35 datang. Dia datang dari Australia dan bekerja sebagai project engineer di sana. Pertanyaannya sangat banyak!! Pendek-pendek, tapi buanyak. Bicaranya yang cepat, membuat saya balapan juga. Sampai-sampai kata Jawa juga ikut mencolot (misal: it can be done by mmm … anu …eh …). Kemudian dia balik bertanya: do you have any questions? Saya spontan bilang: I have many…. hehe. But I give you two questions instead. Yang paling berkesan buat saya adalah pertanyaan ini: What do you wanna be for the next 3 years, or 15 years? Jawaban saya: for the next 3 years I wanna become a manager, and for the next 15 years I’ll have my own company! Dia bilang: “cool!” sambil senyum-senyum. Nah, kata “cool” yang keluar dari mulutnya ini kalau dihitung selama satu jam interview barangkali muncul tiap 3 menit. Miss cool pancene. Setelah pulang, saya agak menyesal: lha lapo cek pedene … wong durung karuan diterimo haha. Tapi dungakno rek … iki dudu pabrik dolanan soale.
91
Interview ke-4: when did you get married? Saya iseng-iseng memasukkan lamaran ke pabrik pesawat. Pabriknya kecil, dan mirip workshop atau gudang komputer. Ada dua orang yang memberikan interview. Oiya, pabrik ini memproduksi pesawat yang terbang 1-2 meter di atas permukaan laut, dengan memanfaatkan gaya angkat permukaan air. Intinya, tenaga dorong mesin terbantu oleh gaya angkat ini. Jadi lebih efisien. Ketika di Bandung saya sempat membantu orang-orang ITB menghitung pesawat model ini. Tapi saya hanya selesai sampai badan pesawat saja, bagian sayap dan ekor belum sempat terhitung. Saya kemudian pergi ke Singapura. Nah karena punya pengalaman itu, saya nekat mendaftar. Seorang lelaki kecil, berkacamata agak tebal, banyak sekali bertanya. Dia bilang: let’s make this interview as informal as possible. Tapi nyatanya: wah dia membuat seolah interview ini seriusssss sekali, sampai kerongkongan saya kering kerontang. Goro thok wong iki! Pertanyaannya kritis-kritis tapi selalu menthal kena jawaban saya yang khas ngawur dan sok PD. Contohnya ini: Inteviewer (I): Software ini kayaknya gak bisa dibuat ngitung komposit karena bla bla bla … Saya (S): Wrong! Kalau kamu mengerti teori-teorinya dan parameter yang perlu dimasukkan apa saja maka kamu bisa … bla bla bla I: Kamu tipe follower atau risk taker? S: (Dengan mata tajam dan wajah 1000% sok serius) case-by-case! (laaa … kok pendek jawabane mas .. hehe) Tapi yang paling ngawur adalah yang ini … I: When did you get married? S: (Jangkrik koen gak ngerti privacy opo??) Februari 2004. (gak wani ngetokno jangkrike hehe…) Di sela-sela interview itu, saya sempat (dengan sok tahu) “berceramah” mengenai campur tangan politik dalam bisnis pesawat. Saya juga berceramah mengenai perkembangan riset komposit dan analisis struktur pesawat. Wis pokoke gak akan tak ulangi maneh. Ngisin-ngisini! … Untungnya mereka mlongo dan manggut-manggut. Jadi ya sempat nglunjak pas itu PD-nya. Haha … (ojo gelem digoroi wong koyok aku rek!) Yah begitulah kesan-kesan selama interview di sini dan di sana … gak bakal kapok. Bakal ada interview yang lain. Cihui!
92
47. Doa
Tuhan menyukai sesuatu yang spesifik. Jika berdoa padanya mintalah sesuatu sedetildetilnya. Dia tak akan tertawa meski permintaan kita agak konyol dan pragmatis. Toh dia juga bukan penonton ketoprak atau pelawak. Sejak kecil saya diajari berdoa memakai tiga bahasa: Arab, Indonesia dan Jawa. Khusus yang terakhir ini, ayah saya mengajari doa ketika menghadapi ujian. Ia sudah menggunakannya sejak dulu kala, dan (katanya) sering berhasil. Doanya pendek, tapi jelas dan efektif (jika persiapan belajarnya matang). Ya Allah … mugo-mugo opo sing tak sinaoni mambengi metu kabeh dino iki, lan aku iso nggarap ora kangelan (Ya Allah … mudah-mudahan apa yang aku pelajari semalam keluar semua hari ini, dan aku bisa mengerjakan tanpa kesulitan) Tuhan juga menyukai sesuatu yang ganjil. “Ganjil” di sini berhubungan dengan angka. Bismillahirrohmanirrohim itu 19 huruf. Asmaul Husnah itu 99 nama. Dan seterusnya. “Ganjil” ada yang berarti lain: seorang tetangga di masa kecil kerapkali melantunkan doa ini sembari ngakak setelahnya (ganjil banget tho?): Duh Gusti … paringono waras dhewe sing lain gak usah! (Aduh Tuhan … berikanlah kesembuhan untukku sendiri yang lain tidak usah) Entah gimana nasib tetangga ini sekarang.
93
48. Rugby dan 19
Jaman kuliah di Bandung dulu, setiap mahasiswa dikenakan Wajib Olahraga pada tahun pertama. Semester 1, kami wajib ikut atletik. Semester 2, kami dibebaskan memilih olahraga yang digemari, atau diminati. Saya memilih rugby, olahraga asal Inggris yang keras dan berbola aneh. Alasan ikut rugby: supaya kenal cewek cantik. Salah besaaaaaar! Mana ada cewek yang ikut rugby! Ketika itu, yang paling banyak ikut rugby memang anak seni rupa (yang menurut saya ceweknya keren; bukan kerenmpeng); tapi sayangnya yang ikut cowok semua, sangar pula. Hehe. Tapi tak apa, yang penting tetap bisa belajar nendang bola berbentuk aneh.
Rugby: Bastard Game Played by Gentlemen (thanks, Bi!) Hari pertama, kami diajarkan teori bermain rugby. Sudah banyak yang lupa meski ujian teori ketika itu hampir dapat 100 (mau gak gampang gimana wong dosennya tidak ada yang punya gelar PhD bidang rugby hehe). Seingat saya, ngoper bolanya gak boleh ke depan, tapi ke samping atau ke belakang. Tidak boleh nyekek orang, tidak boleh main kasar (alias nendang selain bola), boleh megangin badan, kaki, pinggul dan lainnya. Boleh nindih orang lain, boleh menerjang orang, boleh nabrak tapi harus suam-suam kuku, alias tidak boleh ngawur: nabrak harus sopan. Hehe. Alhasil, setiap pulang rugby di Sabtu sore, badan rasanya legrek, mau patah tulang, kulit lecet dan otot nyeri. Tapi selalu puas dan senang hati; karena kadang dapat bonus njlungupno wong liyo hehe.
Bukan seragam rugby saya; cuma sama nomornya aja
94
Seragamnya ketika itu hanya celana pendek selutut, baju lengan panjang berbahan sekian persen polyester, berlambang gajah. Tak ada pelindung di pundak atau bagian alat vital, tak ada helm, tak ada handuk di pantat. Untuk nomor jersey, saya memilih nomor 19. Alasannya: waktu masuk kuliah itu umurnya 19, dan 19 ini bilangan prima (tidak bisa dibagi apapun selain satu dan angka itu sendiri... halah gak ada hubungannya kok!). Di pertengahan bulan, ada foto session. Pemain rugby berbaris, melipat tangan di depan dada, jepret! Keren. Tapi saya nampak kecil waktu di foto itu! (foto belum discan, sori). Lainnya berbadan bueeesar-bueeesar soalnya (ya hiperbola sedikit gak papa). Entah, gimana nasib rugby ini sekarang. Apakah masih ada di ITB?
95
49. Pernikahan
Setiap orang biasanya memiliki pandangan sendiri dalam memaknai pernikahan. Jika gagasan-gagasannya dipengaruhi karakter religius, biasanya ia melihatnya sebagai ibadah, wujud syukur dan pengabdian pada tuhan. Dalam hal ini, pernikahan adalah sebuah medium untuk menjaga amanah, prokreasi dan perwujudan manusia yang seutuhnya. Tanpa atribut agama, pernikahan bisa dilihat sebagai medium berbagi antardua manusia yang berbeda karakter dan berusaha mewujudkan sinergi untuk meningkatkan kualitas hidup. Pernikahan juga bisa dilihat sebagai institusi. Namun, ada yang ekstrim: pernikahan adalah penjara, di mana seseorang mengalami dilema, terhimpit di antara yang-gratis dan menjadi-terpasung. Bermacam-macam. Tepat empat tahun lalu saya menikah dengan ibu ini. Dalam pernikahan itu, saya belajar mengenai relationship, memahami orang lain dan diri sendiri, mencari dan mengembangkan metode untuk meningkatkan kualitas pikiran dan perasaan, berempati dan bersimpati, menjadi fleksibel dalam bersosialisasi, menjadi strategis dan kreatif dalam memecahkan persoalan hidup, lebih tahu arti kerja tim, mengerti arti setia, memaafkan dan lainnya. Prokreasi atau menciptakan generasi baru (baca: punya anak) adalah wajib, karena ini adalah bukti eksistensi manusia yang paling alamiah dan mendasar. Tidak berhenti di sana, setelah prokreasi, seseorang diwajibkan membina dan mengembangkan kreasinya sehingga jadi lebih baik. Jika lama menikah, kebosanan pasti muncul. Ada yang bilang, rasa bosan muncul di ultah ke-1, kemudian ke-3, ke-7 dan seterusnya. Entahlah. Bosan ini sifat alami manusia juga, karena manusia punya kecenderungan menyukai hal-hal baru, sesuatu yang kinclong. Jika bosan, apa yang harus dilakukan? Lakukan kegiatan yang berbeda secara bersama, kemudian berkomunikasi. Yang lebih mujarab adalah becanda. Rasanya tidak ada ya perceraian karena bosan; yang ada biasanya karena masalah ekonomi, masalah visi hidup, masalah tidak punya keturunan, masalah orang ketiga dan lainnya. Bosan tidak bisa jadi alasan untuk berpisah; ia hanya bisa jadi alasan untuk punya kegiatan baru. Kegiatan baru ini harus melibatkan keluarga. So, do something different biar tidak bosan. Saya tidak pernah bosan dengan istri saya, karena ia sendiri berbeda, unik.
96
50. 30 Kilas Balik Tepat tiga puluh tahun silam saya lahir di Dinas Kesehatan Tentara, Jember. Entah bagaimana saya dilahirkan di sana. Barangkali setelah ayah saya selesai wamil (wajib militer) ia tengah ditugaskan di Jember. Kemudian saya dibawa ke Gending, sebuah kecamatan di Probolinggo, tempat kakeknenek dari ibu saya. Di rumah dinas pegawai PG (pabrik gula) itu saya tumbuh sampai usia dua tahun. Saya tak memiliki akte lahir. Dan baru ketika pindah ke Bondowoso saya mendapatkannya; jadi yang tertulis di paspor ya Bondowoso. Dua belas tahun saya tinggal di Bondowoso. Kota ini, yang saya kunjungi minggu lalu, masih tetap memberikan ambience yang sama: ia tenang, berpenduduk ramah dan saling mengenal, punya hawa menyegarkan dan menyediakan makanan sederhana, enak dan murah. Meski dibesarkan di lingkungan Jawa, saya memahami dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Madura. Dengan bahasa ini, saya cepat relate dengan penduduk sekitar. Meski tidak selancar dulu, minggu lalu saya ngobrol dengan tukang pijat dalam bahasa Madura (ngoko alus - intermediate). Di kota ini, saya bertemu dengan beberapa teman masa kecil. Mereka sudah berkeluarga dan rata-rata mbalik kucing ke Bondowoso setamat kuliah. Bukan hanya untuk mengabdi, tapi supaya dekat dengan keluarga dan agak malas meninggalkan masa lalu. Sebagian yang lain, pergi ke kota besar dan menetap di sana. Bukan hanya untuk bekerja, tapi sudah jenuh dengan ritme Bondowoso dan ingin melihat dunia luar. Tidak ada yang percaya ketika saya bilang bahwa saya sebenarnya pemalu dan pendiam ketika kecil. Tentu saja, karena mereka tidak hidup di masa lalu saya, dan kalaupun iya, mereka terlalu ignorant untuk mengingat bahwa seseorang itu pemalu atau tidak. Pergi ke toko dan bertanya harga suatu barang saja saya malu, apalagi berdiskusi di dalam kelas/berpidato/menyanyi. Saya biasanya memilih kegiatan yang minim bersuara, seperti bermain musik, berkemah, menjadi pengibar bendera, menjelajahi alam, menyukai teman perempuan, berkelahi, gerak jalan atau main bola. Saya pun kurang gemar membaca, kecuali komik, ensiklopedia dan buku bergambar. Tapi saya memiliki banyak teman dekat dan teman baik. Barangkali saya tidak berbakat jadi public figure yang dikerumuni orang; yang cocok ya jadi tukang wawancara, karena berhadapan dengan satu atau dua orang saja. Sepuluh tahun lalu, saya hidup di Bandung. Bandung punya kesan berikut: kota anak muda, kota pendidikan, kota mojang priangan, kota jazz. Di Bandung saya murni hanya belajar teknologi pesawat terbang (karena terpengaruh buku Habibie) dan mempelajari jazz. Ketika itu, yang saya impikan adalah lulus sebagai insinyur penerbangan, lalu bekerja di pabrik pesawat, memiliki rumah di Bandung, dan setiap malam minggu bisa bermain jazz bersama teman-teman. Sepuluh tahun kemudian, saya di Singapura dan berumur tiga puluh. Saya (untungnya) lulus sebagai insinyur penerbangan, tapi bekerja di pabrik hard drive, menyewa flat di Singapura barat, dan setiap malam minggu nonton film di DVD bersama istri saya.
97
Hari Ini Di umur 30 ini saya sungguh bersyukur karena dikaruniai keluarga kecil yang setiap hari adalah tujuan saya untuk pulang. Keluarga kecil ini adalah "rumah" bagi saya. Ia memberikan keceriaan, ketenangan, kebahagiaan dan cinta. Meski si kecil belum pandai berbicara, tapi ia adalah cahaya bagi saya. Saya juga bersyukur karena ditemani seorang istri yang setia dan gigih dalam memperjuangkan keutuhan rumah tangga. Ia sekarang pandai memasak; dengan kata lain, ia bisa membuka restoran. Ia pandai menghafal lagu anak-anak dan suka membaca; dengan kata lain, ia bisa menjadi guru playgroup anak saya. Di umur 30 ini saya baru sadar bahwa saya gagal mendapatkan PhD sebelum umur 30. Tapi hal ini tak akan saya sesali karena PhD tidak lagi membawa pesan yang subtil. Ia adalah suatu komoditi. Ia menjadi sesuatu yang harus dimiliki. Meski di satu sisi ia adalah academic achievement, tapi yang lebih penting adalah di kemudian hari ia akan diuji oleh lingkungan, masyarakat dan alam: ia perlu memberikan inspirasi, ia perlu bermanfaat bagi orang banyak, ia perlu memperluas batas-batas ilmu pengetahuan, ia perlu dipertanggungjawabkan tanpa tesis. Ia terlalu berat untuk diselesaikan dalam waktu singkat karena ia telah dikurung oleh sistem, silabus, panel dan tesis. Ia dipasung. Oleh sebab itu PhD bukan lagi kebebasan dan esensi. Di umur 30 saya memiliki pekerjaan yang menyenangkan, hidup yang tenang, saudara-saudara baru (yang asli Singapura maupun yang ketemu di sini) dan harapan. Benar sekali: harapan. Tanpa harapan, seseorang tak akan pernah menikmati indahnya ketakterdugaan. Hari ini istri saya membuat Bakwan Malang dan membelikan kue tart kecil rasa mocca. Yang ikut makan: saya, istri, Verdi dan Pak Ali. Si Olit turu. Sudah jam 9pm. Terima kasih Tuhan: ijinkan saya menghirup O2-mu hingga 30 tahun lagi.
98
51. Hari Valentine Tomorrow will be my second Valentine's Day in the United States. As I've discovered, the celebration here bears little resemblance to the one I know from growing up in Saudi Arabia. Yes, there are dates. But in Saudi Arabia, we eat them. - Rajaa Alsanea, Chicago Saya suka sekali quote di atas :D Di AS, atau negeri yang ter-Barat-kan (westernized), hari Valentine atau kasih sayang identik dengan memberikan bunga untuk kekasih, antri di restoran untuk makan malam dan berkencan. "Teman kencan" alias "date" adalah pre-requisite. Namun, "date" juga berarti buah kurma. Tak hanya di Arab; di negeri yang tak memiliki gurun pun kita temukan kurma. Dan, kita memakannya. Di dalam bus dan di jalanan, saya temukan para remaja mendekap seikat bunga yang dilindungi plastik. Tanggal 13 - 14 Februari itu, Singapura merayakan Valentine's day, meski tak sesemarak tahun baru Cina. Ada yang bertanya pada saya: apa rencana kamu malam ini untuk hari Valentine? Saya jawab: tak ada, paling cuma makan malam di rumah, karena 14 Feb adalah ulang tahun saya. Alisnya terangkat, setengah tak percaya: bagaimana mungkin kamu lahir tepat 14 Februari?? Lalu saya merogoh dompet, mengeluarkan kartu identitas, dan menunjuk tanggal lahir: percayakah kamu sekarang? Dia mengangguk, lalu menyalami saya :) Ada juga yang bertanya: bagaimana bisa lahir pas hari Valentine? Saya sendiri bingung mau jawab apa. Biasanya saya jawab singkat: ayah-ibu membuat saya kirakira pada bulan April 1977. Mau mencoba juga? Rencanakan sekarang.
99
52. Jatim Trip
Ini postingan hasil liburan ke Jawa Timur minggu lalu. Tujuannya banyak: sowan sama orangtua, marani dulur-dulur, mamerin hometown ke anak (yg masih 19 bulan mana ngerti ya?), menikmati makanan khas Jatim, reuni "mendadak" dengan kawankawan lama, memberikan istirahat kepada otak (tapi tubuh tidak). Laporan pandangan mata juga telah ditulis di blog ndoro Tutee. Kota-kota yang mendadak dikunjungi adalah Surabaya, Pandaan, Lawang, Malang, Batu, Blitar, Bondowoso, Jember dan Situbondo, dan dilakukan dalam 7 hari 6 malam non-stop! (Pantes badan serasa legrek kabeh!). Lumpur Lapindo. Kami mendarat di Juanda pukul 8.45 pagi. Ortu sudah menjemput. Semua langsung meluncur ke Malang (rencananya), tapi mampir dulu di Sidoarjo, melihat (dengan hati pilu) perumahan yang sudah tertimbun lumpur Lapindo. Tapi beneran, lumpur ini benar-benar menghabisi rumah ribuan keluarga dan kompensasi yang turun baru 20%. Anyway, lumpur dibendung supaya tidak membludak ke jalan lagi, dan tidak menganggu spoor (jalur kereta) yang menghubungkan Surabaya Banyuwangi. Begitu parkir, jukir (juru parkir) langsung meminta uang parkir sebesar Rp 5000. Ketika menyeberang jembatan kecil untuk naik ke gundukan tanah dan melihat lumpur, seseorang harus membayar Rp 2000. Berikut foto-fotonya:
Spanduk ini secara implisit mengatakan bahwa lumpur Lapindo tidak pernah selesai karena kemarahan dan pertengkaran dua kubu "yang-menyalahkan" dan "tak-mau-dikatakansepenuhnya-salah"
Atap di tengah lumpur Lapindo
100
Slow traffic menuju Sidoarjo (di belakang sana ada Gunung Semeru)
Cocok jadi sampul film "Pacar ketinggalan kereta (lalu termangu di pinggir lumpur)" Dari Surabaya, kami menuju Batu, alias Mbatu kalau orang Jawa bilang. Tapi di antaranya, kami singgah di sentra industri kulit di Tanggulangin, ke Taman Safari II di Pandaan, lalu ke restoran HTS yang jual rawon di Lawang. Tanggulangin dan Lawang tidak ada fotonya. Kalau Taman Safari II, fotonya lebih banyak binatang dan lanskap daripada manusia. Taman Safari II lebih luas dari Taman Safari I. Koleksinya barangkali lebih banyak, fasilitasnya lebih baru dan ada taman bermain yang luas. Bayarnya Rp 35000 per orang. Mahal juga ya ... padahal hanya untuk melihat binatang! Waktu itu komentarnya: barangkali bisa lebih murah kalau kita naik motor. Ha ha. Ilang ndasmu kene saut macan!
Hippo!
101
Ezra mbayangin ... wah enak sekali bisa bergelantungan seperti mereka. Orangutan mbatin: duh kapan bisa naik mobil, moto-moto dan nonton manusia dari jauh ...
Llama ... jadi inget binatang ini di komik Tintin. Eh rujak cingur Surabaya enak gak ya pake cingur Llama??
102
53. Santet
Di Sabtu sore, sambil melihat deretan flat di kejauhan, minum teh itu nikmat. Hmm. Suara Elmo (Sesame Street) di belakang saya - Olit lagi nonton sendirian, duduk selonjor di sofa panjang, santai, makan wafer; Mama Olit lagi nyiapin pisang goreng. Tapi saya lagi mikir tentang santet. Lhaaa ... gak nyambung dengan suasana ... hehe. Gapapa. Waktu kecil saya sering dengar cerita tentang santet atau teluh/tenung. Ini "skill" dari "fakultas" ilmu hitam di mana seseorang mampu mentransfer materi ke dalam tubuh orang lain. Materi yang ditransfer bisa berupa jarum, pecahan beling, paku, serpihan besi, pasir, bahkan organik yang mati (alias bathang) seperti kecoak, kutu, dan lainnya. Kucing mungkin terlalu besar, apalagi becak (ha ha). Mekanisme transfernya tak diketahui karena tak pernah diteliti. Telematik transfer? Yang jelas seorang dukun atau ahli ilmu hitam biasanya menghubungi kawan setannya untuk membawa materimateri ke dalam perut penerima. Ini biasanya juga permintaan dari orang yang ingin balas dendam tanpa ingin meninggalkan jejak (sehingga CSI: Miami tidak bisa melacak). Katanya, pohon pepaya bisa jadi penolak santet ini. Tapi, entahlah ... Suatu hari (di masa SD) saya ditanya ayah saya: piye carane nglebokno pasir, paku, beling nang njero wetenge wong liyo? (bagaimana cara memasukkan pasir, paku dan pecahan kaca ke dalam perut orang lain?). Wah ... mana saya tahu? Kalau tahu, bisa saya coba ke musuh SD ketika itu (ha ha). Saya njawab: kenapa kok nanya gitu? Dia bilang: karena hari itu dia baru aja mbedah perut seseorang (sebagai bagian dari visum et repertum) dan di dalamnya dia temukan materi seperti pasir, paku, kaca, dan lainnya. Perut siapa? Seseorang yang kita kenal? Ia tak menjawab. Lalu pergi. Mungkin agar saya tidak kepikiran atau ketakutan: maklum ketika itu saya suka mikir dan penakut (sekarang sih tidak suka mikir dan pemberani! ha ha). Saya ingat beberapa bulan sebelumnya, ayah tetangga saya sering berada di rumah. Orangnya tinggi, agak gemuk, berkumis (a la Pak Raden), berkulit coklat dan jarang senyum. Hidup dan pekerjaannya pasti berat, jadinya ia jarang di rumah. Saya kenal dengan ketiga anaknya, plus saudara lainnya. Kami sering main bersama. Lalu saya tanya anak bungsunya: kenapa ayahmu di rumah sekarang? Temang saya bilang: dia lagi sakit. Oh gitu... ayahnya memang sering berdiri di depan rumah, memakai sarung dan kalau berjalan prok prok prok ... he gak lah ... kalau berjalan lambat sekali. Berhatihati dan sering kelihatan nyeri. Makin hari perutnya makin besar. Dan setelah 1-2 bulan, ia menghilang. Tak pernah muncul lagi hingga bertahun-tahun. Kawan saya lalu saya tanya: ke mana ayahmu. Ia bilang: sudah meninggal. Lho, sakit apa? Dia disantet. Dulu dia punya masalah dengan seseorang, lalu orang itu menyantet bapaknya. Kasihan. Sedih sekali. Nah, pertanyaan hingga hari ini: mungkinkah seorang yang dibedah ayah saya itu adalah bapak kawan saya?
103
54. Sekolah di ITB
Tahun 1998, seorang senior membahasakan ITB dengan: jika kamu ingin jadi apa saja, masuklah ITB. "Apa saja"? Sebenarnya tidak hanya ITB saja, semua sekolah pasti juga demikian. Kalau dilihat dari alumninya sih, memang beragam. Ada yang dulunya ambil jurusan Matematika dan Sipil lalu jadi seniman seperti Sujiwo Tedjo. Ada yang belajar elektro lalu jadi musisi seperti (alm) Harry Roesli. Ada yang belajar penerbangan lalu jadi politikus seperti Sri Bintang Pamungkas. Ada yang belajar seni rupa lalu jadi pelawak/entertainer seperti Amink (kalau ini kayaknya nyambung banget jurusannya hehe). Ada yang belajar Sipil lalu jadi penulis buku atau naskah film seperti Adithya Mulya. Yang patut diketahui, apa yang terjadi pada periode ketika mereka sekolah hingga "puncak" karir mereka itu. Pasti banyak dan bakalan panjang banget. ITB, sepanjang pengetahuan saya, memfasilitasi banyak hal: (1) Lingkungan yang mendukung untuk jadi unik. Dalam keragaman suku yang tinggi di sana, semua orang jadi anonim, tak dikenal. Bagaimana caranya supaya dikenal? Like something different, be someone different, do something different. Free your mind. (2) Dosen yang mendorong "kerja keras". Banyak orang stress karena pekerjaan rumah, praktikum dan tugas itu bertumpuk-tumpuk; ditambah individualisme di ITB itu lumayan tinggi: setiap orang ada kecenderungan bekerja sendiri, karena mereka punya style sendiri dalam mengerjakan sesuatu, dan prime-time mereka juga berbeda. Stress adalah proses yang dilewati ketika tugas datang berlimpah. Dan kerja keras adalah satu cara menghindari stress. Tidak ada pilihan lain, kecuali kalau mau tidak lulus. Cara lain: banyak becanda dong! Ha ha ... (3) Ada yang bilang sebelum masuk ITB, bahwa iptek di ITB itu ketinggalan 30 tahun dari luar negeri. Ini salah; yang benar adalah 31 tahun. Haha. (ngarang). Ya siapa sih yang tahu teknologi suatu sekolah itu ketinggalan berapa tahun? Pasti ada benchmarknya. Fasilitas komputasi tingkat tinggi (high performance computing)? Mungkin ada sih, tapi tidak besar. Coba dibandingkan universitas maju yang lain? Wah jauh sekali ketinggalannya. Yang tidak ketinggalan itu kemampuan dosennya. Dosen di ITB memfasilitasi mahasiswa untuk jadi orang mandiri. Mereka juga approachable, mudah didekati dan bersahabat. Ada juga yang killer, tapi hampir punah. Dosennya juga banyak pengetahuan, pandai bercerita dan lulusan universitas ternama (MIT, Imperial College, Caltech, TU Delft dan lainnya). Mereka juga pandai membuat semuanya jadi simple di muka kelas. Tapi ketika ujian, jangan harap simplisitas itu muncul (ha ha ha). (4) Nama besar membuat orang lebih percaya diri. Sedikit banyak iya. Tapi tidak absolut. Karena seseorang akan dibuktikan lewat kemampuannya sendiri, bukan lewat nama besar, bukan lewat reputasi universitas. Dan kemampuan dialah yang membuatnya makin besar hati, makin percaya diri. (5) Minimnya jumlah perempuan (cantik!). Perempuan biasanya memberikan estetika di lingkungan kampus. Mereka juga memberikan tambahan energi di pagi hari lewat
104
wanginya dan wajahnya yang berseri. Karena estetika dan energi ini hanya 20% (sekarang mungkin lebih) maka setiap mahasiswa berkompetisi membuat atau mencari dua hal itu sendiri. Suka "berkompetisi" ini yang akhirnya membuat mahasiswa maju. (nyambung gak sih? ha ha ya ngarang lah). Hal lain....silakan ditambahkan ... Btw, meski saya tidak tenar seperti nama-nama tokoh di atas, tapi setidaknya saya punya achievement yang saya banggakan: jadi ayah dan suami! :)
105
55. Dosen Unik di ITB
Ini sambungan dari tulisan sebelumnya "Sekolah di ITB". Dosen itu ya guru. Bedanya dengan guru SD, SMP, SMA, dosen tidak punya waktu reguler untuk mengajar. On, off. Kadang ngajar 1 jam, kadang 2 jam, Senin ada, Selasa menghilang (entah proyek atau seminar) di mana. Dosen juga dituntut melakukan penelitian, membimbing mahasiswa, mengurusi administrasi kampus, seminar di luar, proyek bersama institusi atau korporasi lain, dan banyak lagi. Rutinitas ini dilakukan dosen dimanapun. Lho ... kok jadi cerita kehidupan dosen. Back to dosen unik. Saya tahu ada beberapa dosen dengan latar belakang yang unusual, tak biasa. Sebagian saya tahu sendiri, sebagian dari cerita kawan. ( 1) Sebut saja WT (kayak menyembunyikan identitas a la koran hehe). Ia masuk ITB umur 16, lalu selesai umur 20 tahun. Katanya, ketika teman-temannya, yang ketika itu sudah umur 25an lulus bareng, sudah ngomongin kawin, sedangkan dia masih main layangan di kampus (haha). Setelah itu ia melanjutkan S2 di ITB, dan melanjutkan S2 (lagi) dan S3 di Amerika. Umur 27 ia mendapatkan doktor dan pulang ke ITB. Ia penggemar fotografi: suka sekali memajang foto di dinding kantornya, indah sekali, ia suka permainan warna. Kalau mengajar, wow mengagumkan. Pernah ia mengajar satu semester 8 mata kuliah (4 kuliah di jurusannya dan 4 kuliah di jurusan lain). Dan yang diajarkan berbeda sama sekali! Ketika mengajar, ia tak membawa apa-apa kecuali kapur berbagai warna. Dalam dua jam, ia menulis setiap sub-topik di papan, berikut teorema (ini khusus advanced calculus), pembuktian lalu contoh soal. Sebelum memberikan contoh soal, ia keluar kelas. Menarik napas, mencari inspirasi, lalu masuk lagi dan menuliskan dengan cepat. Setelah dua papan terisi penuh, ia bertanya: ada pertanyaan? sudah selesai nulisnya? Jika senyap (seperti biasa!) ia langsung menghapus dua papan itu dan melanjutkan lagi "mengotori" papan dengan cacingcacing hingga 2 jam habis terkuras. Akhir kata: mengagumkan. Ini seperti show, sungguh entertaining. Ketika ujian tiba ... mampus deh. Hihi. (2) Ini ceritanya lebih pendek, karena dapat dari kawan. Sebut saja OS. Ia sebenarnya lulus S1 sebagai dokter. Entah kenapa ia lalu melanjutkan S2 bidang musik dan mendalami piano dan musik klasik di Perancis. Setelah lulus S2, ia lalu melanjutkan studi S3 bidang komputer dan mendapatkan doktor beberapa tahun kemudian. Ia sekarang masih mengajar ilmu komputer. Aneh? Unik? (3) Ini dapat cerita juga dari kawan. Sebut saja OD. Ia lulus S1 dari Belanda dan melanjutkan S2 di Purdue, AS. Jadi dia bukan alumni ITB. Tapi kemudian ia pulang dan mengabdi di Indonesia. Karena ilmunya advanced, maka ia membantu menristek Habibie membangun industri pesawat terbang. Katanya, model bimbingannya menyeramkan. Ia pernah merobek-robek kertas desain pesawat mahasiswa selama 2 minggu berturut-turut; minggu ke-3, mahasiswanya yang merobek desainnya sendiri (haha - mbales). Terakhir, ia menjadi ketua komisi nasional kecelakaan transportasi. Kini ia pensiun.
106
Ada yang punya lagi cerita dosen unik, unusual? Catatan: Jika data tidak akurat, mohon dikoreksi. Harap maklum ....
107
56. PhD
Seorang kawan lama menelpon semalam. Ia baru pulang dari berlibur ke Malaysia bersama pacarnya. Obrolan kami biasanya seputar pekerjaan, sekolah (lagi), keluarga, engineering dan lainnya. Kami tak suka bola: klop - jadinya tak ada percakapan mengenai klub mana meng-hire siapa, golnya berapa-berapa, atau seputar info bola. Ia tak main musik atau secara spesifik menggandrungi sebuah genre; oleh sebab itu, obrolan musik di-skipped. Topik yang terus dibicarakan (tapi tak ditindaklanjuti) selama 3 tahun belakangan ini adalah sekolah PhD. Berasal dari lab yang sama - namun dengan tema riset yang berbeda - kami sama-sama berhenti hingga master's degree, dan meniti karir di industri. Dulu melanjutkan PhD adalah impian yang menggebu. Tapi setelah mendapatkan master, kok ya capek sekali mau sekolah lagi. PhD mungkin bukan jalan kami; di mana, jika hal itu dilakukan di Singapura, palingpaling (saat ini) bisa kerja di Singapura saja, atau kembali ke kampung halaman (mengajar di almamater). Mengajar, riset, membimbing mahasiswa, memberikan ujian barangkali memiliki kesenangannya sendiri. Tapi seringkali kesenangan ini tidak terbayar dengan gaji bulanan (khususnya di Indonesia). Seorang dosen muda (assistant professor) di banyak negeri memang tak dibayar mahal (kecuali di Singapura, Hong Kong). Oleh sebab itu, hanya mereka yang terpanggil untuk riset hingga menyelesaikan PhD saja yang menjadi dosen. Mereka yang melakukan PhD for "fun" (ono ta??) - maksudnya for the sake of research or science, biasanya berakhir kerja di lembaga riset, pindah haluan jadi enterpreneur, atau jadi pegawai biasa yang tidak ada hubungannya dengan sains lagi. PhD barangkali bukan jalan kami. Kami merasa tak ada bakat untuk itu. Saya bilang: PhD memerlukan daya tahan (endurance) dan kesabaran. PhD juga memerlukan kreativitas dalam mencari persoalan, memecahkan lalu menyiarkannya lewat buku tesis atau paper ilmiah. PhD tidak berhenti di sana. Ia terus menggali, melebarkan batas-batas domain pengetahuan di mana ia bermain. Ia juga bertugas mencari penerus dengan membimbing calon-calon PhD. Tidak mudah. Dan, saya merasa tak punya prerequisite untuk ke sana. Pilihan saya dan dia saat ini adalah berkarir di industri. Lalu, mau ke mana setelahnya. Ya, kami harus meniti corporate ladder hingga titik maksimum. Bisa juga nyempal dari perusahaan dan mendirikan perusahaan sendiri. Hal ini barangkali tak memerlukan PhD, tapi memiliki kesamaan dengan melakukan PhD research, yaitu terus belajar, memecahkan masalah, berinovasi, mengajarkan sesuatu kepada yang lebih muda, membimbing orang lain, dan pada saat yang bersamaan, bisa punya income (yang lumayan). By the way, ada bacaan menarik bagi anda yang ingin melanjutkan PhD: A PhD is not enough
108
57. 29: Menulis Seseorang
Hari ini istri saya ulang tahun. Bingung mau ngado apa. Pas saya tanya dia juga bingung. Mungkin karena banyak keinginan tapi tahu kocek saya gak setebal balast (dudukan rel kereta). Eh kok "kereta" lagi? Mungkin karena postingan sebelumnya barangkali .... Kemarin dia langsung bilang: kadonya tulisan aja! (baca: esai). Wah, ini baru kado yang "mahal". "Mahal" karena ide esai tidak bisa dibeli. Ide itu datang sekonyongkonyong. Dan supaya tidak terkesan "tukang" (baca: supaya dibilang seniman), ide mesti datang di waktu yang kurang tepat: ketika diceramahin bos, ketika melihat limpahan bill bulanan, ketika digencet penumpang bus (yang kekar dan punya gank), saat ditilang pak pulisi, saat membantu pengamen nyetem (tune in) gitar, saat ditabrak sepeda kumbang, saat duduk di toilet dan kehabisan tissue dan keran lagi macet (kebangetan kayaknya!) dan lainnya. Intinya: 50 + 50 = ce_pe (cape deh - bahasa gaul saat-saat ini?). Tapi, demi istri, saya harus menulis. Dulu sering juga memberi kado tulisan, tapi ke orang lain. Menulis orang lain jauh lebih mudah dibanding menulis seorang terdekat. Karena "menulis orang lain" tidak punya konsekuensi logis yang berkepanjangan. Jadi nulisnya seperti nebak-nebak (ilmiah) aja (mirip psikolog lah). Kalau menulis seorang terdekat dan tulisannya meleset, bisa dapat sabda: Lho, kamu gak kenal aku ya?? Kamu gimana sih bertahun-tahun tapi tidak memperhatikan .... Bingung jawabnya. Mendingan ya tidak menulis. Takut diomelin he he. Nah, hari ini saya harus menulis mengenai istri saya. Tapi mulai dari mana ya? Ya dari belakang dong .... Dari 29 (umur dia sekarang!) *Kepada teman-teman yang dulu pernah saya tulis: mohon jangan dibuang tulisan itu karena saya tidak bisa mengulang lagi :p
109
58. 2008: Ngapain?
31 Dec hari yang santai di kantor. Ada meeting, tapi ya masih sempat guyonan. Teman ada yang mengemukakan opini "Sulit sekali mengukur ketidakpastian spektrum getaran yang dialami equipment produksi - kadang frekuensinya tinggi, kadang rendah, arahnya juga berubah-ubah." Boss juga menambahkan, "Betul sekali. Kondisi ketika membuat produk di San Jose beda banget dengan kondisi Singapura." Saya (seperti biasa) menimpali: "Iya. San Jose punya gempa, Singapura gak punya kecuali kiriman dari Indonesia!" (baca cerita di postingan sebelumnya: Gempa di Silicon Valley). Ngakak semua. Mereka ingat, saya pernah ketakutan waktu terkena gempa di sana! Siaul. Saya pulang cepat hari ini: 4.30pm. Boss bilang: "I will feel guilty when I left and I know that you are still here. Go hooooomeeeee ... it's new year's eve!" Wah, dengar kayak gitu langsung aja saya masukkan barang ke tas dan bilang "OK I'm off!" Habis itu saya dan pasukan (Mama Olit dan Ezra "Olit") ke rumah Om Indra Pr di Signature Park. Ada acara BBQ buat Pak Budi Rahadjo dosen elektro (yang dulu kantornya di PAU Mikroelektronika lantai 2) yang kebetulan main ke Singapura nyambangi anak wedhoke. Ini kopdar blogger pertama yang saya ikuti. Foto-fotonya bisa dilihat di Picasa-nya Mas Judhi dan Flick-nya Mas Indra Pr. Cowok-cowoknya ngobrol di dekat BBQ pit. Mungkin supaya pulang ke rumah aroma sate masih nempel di baju. Udah itu tinggal ambil nasi putih, nyium-nyium baju, lalu ngemplok nasi. Ya lumayan, seolah-olah seperti sambil makan sate gitu lah ... he he. Btw, satenya Mbak Hany enak dan langka. Di Singapura mana nemu sate khas Indonesia seperti itu. Bumbunya simple. Saya sempat dikasi bocorannya. Patut dicoba. Kalau gagal, berarti memang tangan saya dengan tangan dia beda temperatur: tangan dia lebih "dingin" :)
Woi ngelantur. Jadi tahun 2008 pengennya apa? Pengen ngapain aja?
110
Olahraga! Ini supaya jantung sehat. Ingat pesan papa. Jangan tekad/niat mulu. Mesti dilakukan... beli raket badminton. Main di lapangan bawah. Hapalkan komponen HDD, problem and solutions-nya, dokumentasikan, lalu pelajari lagi. Kalau ada masalah, think think think. Lalu experiment, lalu diskusi. Setiap hari harus ada achievement, harus ada sesuatu yang baru untuk dipelajari. Ingat pesan buku Unmask Japan: kaizen! Biar kepake otaknya. Berkelana ke negeri yang tidak terkenal dengan keluarga kecil. Yang terkenal juga boleh, tapi jadi tidak unik sebenernya. Tuva? ;) Hubungi anak yang punya electric piano itu sebelum pulkam ke Indonesia. Jam session main lagu-lagu Antonio Carlos Jobim. Lemaskan jarinya, konsentrasi di depan partitur, biar koordinasi otak dan tangan tetap baik. Beli kamera yang agak pro. Belajar moto orang, jangan moto tumbuhan dan landscape aja. Soalnya bakal ada job nih! Kirim Ezra ke playgroup, biar kenal ma lebih banyak teman. Biar terekspos banyak bahasa.
Apalagi ya? Jangan kebanyakan, nanti gak sanggup.
111
59. TGIF Hari ini hari Jumat. Thank God It's Friday. Ada beberapa cerita ... Permanent Resident (PR). Rasanya tidak ada orang yang ingin tukar kewarganegaraan di dunia ini kecuali terpaksa. Alasan terpaksa bisa macam-macam: diusir, mencari suaka, menjadi orang eksil, terdampar, mudah cari kerja dan lainnya. Singapura memberi kemudahaan bagi warga asing untuk punya "banci" (baca: dual) citizenship tanpa paspor: jadilah PR. Dengan menjadi PR seseorang punya privilege yang "lebih" dibanding foreigner - khusus masalah pekerjaan. Hal-hal lain? Sekarang PR mbayar medical fee lebih mahal dibanding citizen. Dan kemerosotan benefit lainnya. Di sini, pesan moralnya: "Wahai PR jadilah engkau warga negara Singapura". Jadi PR atau citizen pun tidak mudah. Perlu antri di imigrasi, dicek macem-macem sertifikat, dicek punya gelar apa dan nunggu tiga bulan atau lebih. Berhubung Singapura pengen punya penduduk yang minimal bergelar S1, maka yang S1 ke atas agak mudah apply PR. Ya maklumlah, mungkin karena banyak juga yang masih lulusan SMP (secondary school atau O-level), lalu ambil short course, atau ambil diploma/degree ketika umur 30/40. Ganesa: Gemuk atau Kurus? Di dalam taksi, saya membaca majalah bisnis yang disediakan sopir di belakang kursinya. Ada gambar yang menarik: patung Ganesh dengan muka gajah (as usual), gading yang gumpil sebelah, tapi perawakannya kurus. Sedangkan lambang ITB yang juga Ganesa itu gemuk sekali. Saya tanya istri saya: "Lha kok gajahe ITB iku lemu, trus iki kuru nemen??" Istri saya bilang: "Bandung kakehan panganan enak. Dadi lemu." She got the point. Gemuk atau kuruskah Ganesa? Tuva. Saya membaca buku Tuva or Bust! Richard Feynman's Last Journey sore ini di Koufu (saingan Kopitiam) di dekat kantor. Anak saya tidur di strollernya. Ia lelap 1.5 jam. Saya bisa tenang membaca buku dan ngopi. Di manakah Tuva? Ia terletak di inner Mongolia. Yang unik darinya banyak, tapi saya sebutkan beberapa: perangkonya segitiga dan bentuk diamond, ada penyanyi kerongkongan (throat singer), penunggang kuda yang hebat dan ia tak dikenal (bahkan oleh guru geografi sekalipun!). Mengapa Feynman tertarik dengan Tuva? Sederhana: karena ibukotanya bernama Kyzyl. K-Y-Z-Y-L. Semua konsonan. Nah itu yang membuat Feynman tertarik. Serius? Iya. Baca sendiri bukunya :) Benazir Bhutto. Saya sedih karena pejuang demokrasi yang cantik itu mati. Sebenarnya saya tidak terlalu mengikuti perkembangan politik, apalagi di Pakistan. Yang saya tahu dari Pakistan adalah (1) seorang kenalan yang ketika pertama kali saya menjejakkan kaki di Singapura, ia memasakkan ayam kari dan menyuruh saya memakannya dengan roti - "Heh aku iki wong Jowo! Lek gak mangan sego artine yo gak mangan!" - tapi ayam karinya wenak! (2) seorang profesor tambun yang mengajar metode manufaktur, yang kemudian saya tahu ia dikeluarkan dari universitas - ia dari Pakistan, katanya (3) scientist-nya didukung pemerintah dalam hal teknologi pertahanan - jadilah negara di Asia yang punya senjata nuklir - dan lumayan ditakuti Amerika (4) ya Benazir Bhutto. Mengenai Benazir, saya selalu ingat guru ngaji saya waktu SD. Guru saya ini orang NU tulen, mengajarkan Quran secara terstruktur,
112
sabar, makanan favoritnya kerupuk, suka membaca buku (ketika SD, kosakatanya sering membuat saya terperangah - iku ngarang opo ono tenan?), menikah di usia senja. Untuk yang terakhir ini, ia katanya sangat mengagumi Benazir Bhutto dan ingin mencari pasangan hidup yang sama dengan Benazir Bhutto. Wait a second: ini Bondowoso ya ... sedangkan Benazir ini yang mbrojol ke dunia lewat keluarga high politics, lalu dididik di Oxford dan Harvard. Adakah seorang perempuan Bondowoso yang latar belakangnya sama? Di jaman saya sih gak ada. Gak tau hari ini ... Tapi saya yakin hari Kamis lalu, guru ngaji saya itu sedih, seperti halnya pengagum Benazir lainnya. Mengapa pejuang demokrasi mesti cepat sekali berpulang? Ini foto Benazir waktu umur 19. Saya suka angka 19 ini. Entah kenapa. Mungkin karena paras seorang perempuan bisa sempurna di umur ini. Alah sok romantis! Btw, inalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mugo-mugo gusti Allah maringin panjenengan omah sing apik nang suargo...
113
60. Bosan
Beberapa hari ini pekerjaan saya jauh lebih membosankan dari kata bosan itu sendiri. Meski awalnya, sistem hard disk drive adalah sesuatu yang kompleks, terintegrasi, tapi jika sudah sering melihat, mendengar, mendiskusikan dan mengerjakan, lamalama kok ya bosen. Karena bosan itu akhirnya badan saya jadi pegel-pegel, tidak enak. Sempat loyo dan hawa panas-dingin (terik-hujan) di sini menambah buruknya mood saya. Jadinya, Senin pagi saya meriang, dan pengen tidur, dan mbolos (alias MC). Kemudian Selasanya saya masuk. Rabu saya MC lagi. Kerja kok kelap-kelip lampu di kota? Bos saya ceria sekali waktu melihat saya hari Selasa lalu. Dia bilang, pulang lebih awal tidak apa-apa supaya masuk kerja tidak malah membuat sakitnya lebih buruk. Dia malah nanyain kabar anak dan istri saya sebelum nanya tentang saya. Wah, baik sekali tho? Bos saya ini orangnya memang memperhatikan well-being staff-nya. Ia dididik dan dibesarkan di Silicon Valley, jadi culture bekerjanya sangat family-oriented, namun tetap profesional. By the way, saya barusan pinjam buku "Silicon Valley Way", buku mengenai membangun bisnis high-tech a la perusahaan terbaik di Silicon Valley, California. Baru membaca pengantarnya saja. Sepertinya menarik sekali karena seperti buku know-how, sehingga ia bisa secara praktis diterapkan. Buku ini adalah buku yang selama ini saya cari mengenai "bagaimana memulai bisnis yang berbasis teknologi dan riset". Bosan. Apa obatnya? Entahlah. Saya juga bosan menunggu artikel saya (yang ketiga) dimuat oleh Berita Harian, Singapura. Judulnya "Obama di Djakarta: 1967 - 1971". Pasti judulnya bakal diubah lagi sama mereka, seperti halnya dua artikel terdahulu mengenai "orang Jawa di Singapura" dan "Bengawan Solo". Saya udah pinjam dua film, baru ditonton yang "The Brave One". Menulis, bosan. Main gitar, bosan. Nonton film? Membaca buku? Atau ambil PhD? Ha ha. Yang terakhir ini malah bikin bosan, terutama di tahun ke-2 dan seterusnya. Believe me. Sebenarnya keinginan mengambil PhD itu masih ada. Cuma kok ya agak malas kalau bidang engineering. Pengennya ambil bidang fisika murni. Tapi kok ya otak tidak nyucuk rasanya, apalagi jika dihadapkan pada persamaan diferensial yang sekarang sudah lupa total. Ada juga ide melakukan PhD research bidang kebudayaan Indonesia, seperti yang dilakukan orang-orang Cornell yang saya kagumi. Topik risetnya: Kehidupan Orang Jawa di Luar Jawa: New Caledonia, Singapura, Malaysia, Suriname. Aduh, siapa yang mau membiayai? Dan siapa yang bertanggungjawab jika saya tetap bosan? hix hix.
114
VII. BUDAYA
115
61.
Paguyuban
Setidaknya seseorang pasti pernah ikut “gank”. Meski terdiri dari dua orang, ini sudah gank. Ada juga yang kemudian membentuk sekian puluh orang dan memberi nama. Ada yang lebih kolosal: membentuk suatu paguyuban yang akhirnya berjumlah ribuan orang, memberi nama (kadang kocak, kadang nggilani), merancang aktivitas (kadang menyedot biaya, kadang nirguna), saling mengenal (enam bulan kemudian ingat wajah, lupa nama) dan at the end of the day menjadi kenangan; misal: Eh dulu ikut paguyuban GB alias Gendheng Bareng, gak? Eh, si Tuyul carik paguyuban Waras Dhewe di mana ya sekarang? Fenomena kenapa membentuk paguyuban bisa dilihat dari perspektif psikologi sosial. Tapi saya ini buta psikologi sosial meski ada yang bilang “Lho, pengetahuan psikologi itu kan inheren, jadi kita hanya perlu menggali sendiri atau beli buku psikologi populer di toko buku”. Siapa bilang? Kalau begitu bisa-bisa Fakultas [waktu kecil saya ngiranya Bakul Tas] Psikologi bisa tutup ket jaman mbah buyute Sigmund Freud. Salah satu sebab orang mendirikan paguyuban atau kelompok adalah menungso kuwi sejatine ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri. Eh bentar-bentar … kok aku inget terjemahan “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam bahasa Jawa ya?? Tahu nggak? Sila siji: “Gusti Allah ora ono koncone” Lanjut. Manusia perlu orang lain; terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar belakanga sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disamasamain gak papa). Sebab lain: menungso kuwi sejatine pengen ndue posisi dalam komunitas. Kalau punya posisi ia bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas. Dalam ruang besar ini, ia memiliki kekuasaan. Walah, melip sekali sampai ke “kekuasaan”! Manusia itu unik. Salah satu aspek non-material yang selalu ia ingkari tapi terus dikejar-kejar tanpa sadar (tanpo bondho, kecuali peserta Pilkada) adalah kekuasaan. Ora percoyo? Nietzsche bilang Der Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa). Tapi jangan sampai terjebak: intinya adalah Macht atau berkuasa. Kalau dipisah antara Wille dan Macht, bisa jadi Hitler sampeyan (hehe). Lho nglantur sampe Nietzsche! Alasan lain kenapa orang membentuk paguyuban: cari pacar, bisa menceritakan kesuksesan (oleh sebab itu mereka yang merasa gagal kadang malas ikut paguyuban), bisa mencari pelanggan dan membangun jaringan (gaya kapitalis yang tak perlu dicemooh dan tak perlu dikuatirkan karena kita sudah terjebak di dalamnya) dan mengerjakan PR. Maksudnya mengerjakan PR? Lha iya … paguyuban kan punya citacita. Yang dulu tak tercapai, barangkali saat ini bersama-sama teman yang lebih banyak bisa mewujudkan cita-cita itu. Agak telat mikir? Bukan. Tapi telat bertindak karena keterbatasan resources. Mengenai paguyuban, orang Singapura harus belajar dari orang Indonesia. Secara alami tanpa dioyak-oyak, orang Indonesia otomatis gatel bikin paguyuban di manapun mereka. Useful? Tentu to a certain extent. Jika tidak ngapain bikin?
116
Paguyuban berarti membuat sistem. Di atas sistem ada kekuasaan. Penggerak kekuasaan hanya satu: aku. Menungso … menungso … guyubo!
117
62.
Indonesianis
Malam hari dan akhir pekan biasanya saya gunakan untuk membolak-balik buku "non-angka". Sejak di Bandung, saya selalu mengagumi karya-karya sastra dan budaya dari Timur dan Barat yang ditulis beragam manusia dari pelbagai abad. Buku-buku itulah yang menghiasi rak kecil saya sejak dulu. Sebagian besar buku saya titipkan di rumah kakak di Jakarta (katanya aman dari banjir), dan sebagian lagi saya kumpulkan di sini. Baca punya baca, ada pertanyaan menarik: kenapa ahli-ahli mengenai budaya atau sejarah Indonesia kebanyakan bukan orang Indonesia? "Indonesianis" yang non-Indonesia Ahli mengenai Indonesia biasanya disebut Indonesianis. Ada juga istilah lebih umum yang dipakai: orientalis (ahli dunia timur). Sir Stamford Raffles barangkali penulis tersohor mengenai wilayah Indonesia, khususnya Jawa (lihat "History of Java"). Snouck Hurgronje juga meninggalkan karya ilmiah termasyhur mengenai MuslimAceh, meski dulu kita mengenalnya sebagai "penjahat" intelek di balik kemenangan Belanda terhadap Aceh. Di belahan Amerika Utara, nama-nama berikut lumayan terkenal: Daniel S. Lev, Ben Anderson, James Siegel, Jeffrey Winters, George McTurnan Kahin, Clifford Geertz dan Hildred Geertz. Di belahan Eropa, nama ini yang saya kenal: Denys Lombard. Dari Australia, Greg Barton adalah favorit saya. Tidak banyak ahli mengenai Indonesia yang berasal dari Indonesia. Alasannya barangkali masalah praktis seperti "dana penelitian". Di Indonesia, riset itu adalah prioritas paling buncit kalau berani jujur-jujuran. Dulu, masa rejim Suharto dan ketika Habibie masih menjabat Menristek, riset adalah ladang emas. Tapi setelah krisis moneter, di mana utang menggunung dan korupsi merajalela, mata pemerintah tak lagi ke bidang riset; tapi ke pemulihan ekonomi, politik, kepastian hukum dan HAM. Alasan lain barangkali "beda perspektif". Orang Indonesia melihat budayanya sebagai keseharian, bukan keunikan. Jadi ya wajar kalau budaya dan sastra wilayahnya sendiri dikuasai oleh orang luar. "Indonesianis" yang Indonesia Taufik Abdullah, Koentjaraningrat dan Kuntowijoyo adalah ahli sejarah dan budaya yang asli Indonesia. Selain mereka, banyak sekali bermunculan ahli Indonesia yang asli Indonesia. Setidaknya di Singapura ini, baik di NTU atau NUS, banyak profesor atau doktor yang melakukan riset mengenai Indonesia (terutama bidang ekonomi dan agama). Yang menarik, rata-rata dari mereka menempuh pendidikan doktorat di luar negeri (Amerika), bukan di Indonesia. Padahal, topik penelitiannya mengenai Indonesia. Mengapa? Alasan selain dana penelitian adalah resource hidup yang berupa "profesor" dan resource mati seperti buku-buku dan jurnal ilmiah. Di Amerika sangat banyak profesor yang meneliti mengenai Indonesia, dan perpustakaan lengkap mengenai Indonesia ada di Cornell dan Leiden. Selain itu, Harvard juga menyediakan buku-buku bagus mengenai Indonesia. Oksidentalis Lah terus, kapan kita jadi oksidentalis (peneliti dunia Barat)? Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Hassan Hanafi (penulis Al Yasar al Islam - "Kiri Islam"). Namun,
118
menurut beberapa pengamat, buku mengenai oksidentalismenya belum mampu mengalahkan "despotisme" orientalisme yang sangat mengakar di dunia Barat. Setidaknya, Edward Said pernah membela dunia Timur lewat "Orientalism". Barangkali kita bisa jadi oksidentalis ketika hal-hal yang menarik dari Barat bukan lagi berupa materi ...
119
63.
Indonesia di Cornell
27 Maret 2007 Saya belum pernah ke Cornell, tapi orang-orang Cornell rajin ke Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Mereka, seperti James Siegel dan Ben Anderson, datang ke Indonesia untuk mencatat. Mereka lalu mempublikasikan temuan-temuannya dalam jurnal. Yang mereka catat adalah cerita seseorang, perkembangan pemikiran, keunikan budaya, kekacauan politik dan lainnya. Hampir semua aspek politik, budaya dan sosial di-potret oleh kacamata ilmuwan. Di sini, peralatan sosiologi mesti telah dikuasai dan pemakaian bahasa yang rapi dan sistematis adalah keharusan. Mencatat suatu kejadian atau fakta dalam bahasa Indonesia memerlukan keterampilan sendiri, karena bahasa ini dibentuk oleh Melayu (yang diperbarui) dan absorbsi pelbagai bahasa seperti Arab, Inggris, Belanda dan Sanskrit. Catatan dalam bentuk jurnal itu dapat ditemukan di sini: INDONESIA Melanjutkan tulisan saya Indonesianis beberapa waktu lalu saya menduga dua hal mengenai para Indonesianis kita ini: (ijinkan saya meminjam kutipan dari buku Orientalism - Edward Said) bahwa "the East is a carrier" dan "They cannot represent themselves, they must be represented". Dunia timur menjanjikan karir di dunia akademis barat dan mereka sadar bahwa orang Indonesia kurang mampu menceritakan dirinya, jadi mesti dibantu dalam penceritaan. Benarkah? Entahlah...
120
64. Kuda Kepang* Di sebuah kota kecil di Jawa, dalam semaraknya karnaval 17-an (perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus), saya menyaksikan sekelompok orang memakai topeng menyeramkan, diiringi kuda kepang, barong (kepala singa raksasa yang berambut ekor burung merak) menari mengikuti irama musik tradisional Jawa. Kelompok ini disebut reog, yang berasal dari Ponorogo. Mereka muncul di karnaval sebagai simbol kesenian yang lahir di sudut provinsi Jawa Timur. Itu terjadi di medio 1980an ketika karnaval merupakan ritual tahunan, seperti halnya Chingay di Singapura, yang menghabiskan dana jutaan dan menyedot penonton dari seluruh penjuru desa. Kini karnaval 17an jarang terlihat lagi. Reog ini memukau karena penari kuda kepang lalu menari agresif, setengah sadar dan memakan beling (pecahan kaca). Penari itu juga memasukkan segenggam paku ke dalam mulutnya, mengunyahnya lalu menelannya. Ia lalu meminum minyak tanah untuk melepas dahaga. Semua orang menunggu: apa yang terjadi sesudahnya? Anakanak kecil mundur sedikit takut, tapi mata mereka masih menyaksikan atraksi “liar” itu. Tak terjadi apa-apa: penari kuda kepang terus menari, tak berdarah, tak terluka, mereka seperti dadhi mabuk (jadi mabuk). Di rumah, tentu tak ada yang berani mencobanya. Berbahaya. Orangtua bilang: itu efek dari ilmu hitam. Benarkah? Entahlah. Reog Reog adalah kesenian asli Jawa Timur, lebih tepatnya kota Ponorogo, yang menggabungkan konsep musik tradisional Jawa, seni tari, humor, seksualitas dan mistisisme. Reog dibentuk oleh singobarong (yang dimainkan oleh warok), kuda kepang (yang dimainkan oleh gemblak) dan musik gamelan. Reog ini menjadi simbol kota Ponorogo. Asal kata “reog” Ada kalanya seseorang menyebutnya “reyog”, namun ini adalah ejaan lama. Ejaan yang baru adalah reog (tanpa “y”). Kata “reyog” diturunkan dari kata “angreyok”, yang digunakan oleh seorang penyair Prapanca pada abad ke-14 dalam kitab Nagara Kertagama. Menurut Dr Theodoor GT Piegaud (1899 – 1988), penulis kamus Jawa Belanda, angreyok berhubungan dengan dorongan semangat kemiliteran, pertunjukan tari reyog modern, perang-perangan, pendidikan militer kuno. Reog dan politik Dalam perkembangannya, ketika kesadaran politik mulai tumbuh dan parti-parti melihat bahwa sinergi antara kesenian dan politik sangat efektif, reog akhirnya juga membawa misi politik. Dalam “Performance, Music and Meaning of Reyog Ponorogo” (Jurnal Indonesia, 1976) Margaret J. Kartomi mengatakan bahwa hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kesenian reog yang disokong parti besar seperti Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia pada sebelum 1965. Kini, di samping memiliki kesenian ludruk (drama dan komedi situasi), parti
121
besar seperti Parti Golkar masih menggunakan reog untuk menyebarkan pengaruh politiknya ke desa-desa di Jawa. Kuda kepang dalam reog Kuda kepang yang dalam bahasa Jawa disebut jaran kepang biasanya ditampilkan sebagai tarian pembuka dalam reog. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu, menari dan mengikuti musik gamelan reog yang dibentuk oleh harmoni antara kendang (drum besar), kempul (suspended gong), slompret (seruling dengan bunyi melengking), angklung (tiga pipa bambu) dan tipung (drum kecil). Kuda kepang inilah yang barangkali merefleksikan aspek kemiliteran, yaitu pasukan kavaleri atau latihan berkuda, yang kemudian ditiru oleh anak-anak menggunakan kuda-kudaan bambu. Di wilayah Ponorogo, kuda kepang diasosiasikan dengan elemen-elemen magis-religius, termasuk erotisme dan kepercayaan kesuburan. Di wilayah lain, kuda kepang diasosiasikan dengan penari-penari yang kerasukan hewan dan roh orang yang sudah mati. Kuda kepang dikenal di Singapura sebagai percampuran antara seni tari dan aspek mistik. Di tengah tarian kuda kepang tadi, penari kuda kepang mengalami kasurupan (Jawa: kemasukan makhluk halus) sehingga ia memakan kaca (Norain Kasban, Komentar BH, 5 & 22 Mac 2008). Kasurupan dalam kuda kepang Dalam kelompok reog tertentu, di tengah tarian itu, ketika musik sudah mencapai klimaks, penari kuda kepang mengalami kasurupan (Jawa: kemasukan makhluk halus). Jiwa penari seperti terlepas dari badannya dan digantikan makhluk lain. Ia tetap menari mengikuti irama namun dalam keadaan setengah sadar (trance). Dalam masyarakat Jawa kuno yang menganut Kejawen (gabungan antara animismedinamisme, agama Jawi dan Hindu), seseorang mempercayai kehadiran dan peran roh-roh orang yang sudah meninggal. Roh-roh ini bisa dipanggil dan melakukan sesuatu yang diinginkan pemanjat doa (biasanya dukun - shaman). Kemenyan (incene) kemudian dibakar untuk memberi makan roh-roh ini. Roh ini, menurut Dr Paul D. Stange dalam The Sumarah Movement in Javanese Mysticism (1980), memiliki pemikiran, perasaan dan nafsu yang sama dengan manusia, dan roh ini berasal dari kematian yang tak sempurna. Roh ini kemudian masuk ke dalam roh penunggang kuda kepang, dan memanfaatkan fisik penunggang kuda untuk melakukan sesuatu yang musykil dilakukan orang biasa, seperti memakan beling (pecahan kaca), paku dan minum minyak tanah. Tubuh mereka kadang juga berdarah, namun mereka tak dapat merasakannya. Di satu sisi, adegan mistis ini mengundang decak kagum dan perasaan terhibur. Namun di sisi lain, adegan ini juga mengundang kontroversi terutama jika dipertemukan dengan ajaran agama Islam. Menurut orang Ponorogo, reog yang mereka tampilkan tidak memiliki unsur kuda kepang yang kasurupan. Aspek ini biasanya ditampilkan kelompok-kelompok reog dari Tulungagung, Madiun dan wilayah luar Ponorogo lainnya. Orang Ponorogo
122
melihat bahwa kasurupan ini adalah ketidakmurnian dalam reog asli. Kasurupan ini kemungkinan lebih dekat ke kesenian ebeg dari Banyumas (Jawa Tengah), seblang dari Banyuwangi (Jawa Timur), jaranan sentherewe dari Tulungagung (Jawa Timur) dan kuda lumping dari Cirebon (Jawa Barat). Pelestarian reog oleh pesantren-pesantren di Jawa Di Jawa sendiri, reog ini masih dilestarikan oleh sejumlah pesantren. Pesantren Tegalrejo di Magelang, Jawa Tengah, malah mendatangkan ragam kesenian selain reog, seperti ketoprak, wayang kulit, barongsai, warangan dari pelbagai daerah. Selain menyukai cerita-cerita wayang, mereka juga melihat kandungan filsafat yang sejalan dengan nafas Islam di balik cerita itu. Kesenian di Jawa ini juga dipercaya sebagai alat pemersatu warga. Integrasi antara agama Islam dan budaya Jawa ini telah terjadi ketika Wali Songo (sembilan wali) menyebarkan Islam di tanah Jawa mulai abad ke-14. Alih-alih memusnahkan budaya asli, mereka menggunakan kesenian Jawa sebagai medium penyampaian ajaran Islam. Oleh beberapa kyai di Jember dan Tulungagung, beberapa gerakan dalam jaranan dimaknai sebagai proses pengambilan air wudlu. Pesantren-pesantren ini dipercaya hanya melestarikan keseniannya saja, tidak aspek lain seperti pemanggilan roh. Berita Harian, Singapura, 30 April 2008
123
65. Fitna: Alat Verifikasi
Film ini punya satu lagi fungsi: alat verifikasi. Canggih juga Si Wilders. Dia barangkali hanya ingin membuktikan bahwa orang Islam itu identik dengan kekerasan, terutama di developing countries, seperti Indonesia. Lihat saja di Liputan6: HMI Sumut "...membakar ban, mendobrak gerbang, membakar bendera Belanda, melempari jendela dengan batu ...". Orang Islam marah, marah, marah. Wajarkah? Tidak. Buat apa marah? Kalau marah artinya pancingan Wilders berhasil: inilah wajah Islam yang sebenarnya, terlepas bahwa kemarahan itu adalah hasil dari persepsi diri yang terhina. Dihina, diolok-olok itu biasa. Kalau dilihat isi film-nya, film ini asli kacangan, suatu cara murahan yang akan ditertawakan oleh umat Islam (bahkan non Islam) di Eropa. Cukup ditertawakan. Tidak usah marah. Kemudian lupakan. Demo boleh, dialog boleh, intinya: meminta pengertian pemerintah Belanda mengenai dampaknya. Kebebasan boleh berlaku di Belanda, tetapi jangan sampai membuat orang lain terhina. Sebagai muslim, saya tidak merasa terhina dengan film kacangan ini. Jadi ya biasa saja. Terus bagaimana dengan pandangan non-muslim mengenai film ini, terutama mereka yang hidup di Barat? Barangkali efeknya sama dengan efek 9/11: makin banyak orang mengkaji surah-surah di dalam Quran, dan berbalik memverifikasi "Benarkah Islam identik dengan kekerasan? Apakah banyak orang (bahkan kalangan muslim sendiri) salah interpretasi?" Kayaknya lebih sakit hati ketika membaca Satanic Verses dulu ...alasannya: karena selalu menghubung-hubungkan tokoh Mahound di dalam buku itu dengan Muhammad SAW - kalau paradigmanya diganti, mungkin tidak akan sakit hati.
124
66. Kopi
Di Jawa, misalnya, ketika kata "Indonesia" belum lahir, kopi tak memiliki label. Tapi ia memiliki aroma, pecandu dan harga. Ia hanyalah biji, tapi ia salah satu penyebab imperialisme. Dan perdagangan adalah titik mula suatu kekejian di perkebunan. Kopi, dan teman sejawat seperti cokelat, teh, tembakau, pala, menghisap nafsu invasi sebuah negeri ke negeri lain. Tapi kopi tetap tak bisa dibawa ke pengadilan. Kopi membuat saya sakit perut. Sial. Tapi seringkali saya bandel dan menjadi test bud beberapa kopi di lingkungan kantor. Bermacam-macam rasanya. Tapi "rasa" itu hanya terbentuk oleh komposisi air, kopi, gula dan susu. Bukan komposisi di dalam kopinya. Kopinya seperti seragam, seperti halnya kopi di belahan sudut lain di Singapura. Barangkali supplier kopi pun dimonopoli di sini [ha ha]. Akhirnya disimpulkan bahwa kopi yang lumayan adalah kopi yang kental (highly concentrated), tak terlalu banyak di"tumpuk" sehingga mirip recycling kopi (bukan fresh coffee lagi). Setidaknya kopi ini jauh lebih enak daripada kopi di hotel dan kantor di San Jose. Di sana, seolah-olah, lidah tak memiliki indera, lidah tak diberi kenikmatan, lidah mengalami resesi sebagaimana ekonomi Amerika saat ini. Kopi tetap membuat saya sakit perut (sebenarnya). Nama kafe tak penting. Jika itu kopi maka ia bisa mengalamatkan saya ke toilet berkali-kali. Atau, setidaknya, perut jadi tak nyaman. Mengapa masih minum kopi? Karena kopi adalah gaya hidup barangkali. Gaya hidup yang sedikit mempedulikan fungsi jantung. Orang Singapura suka kopi. Oleh sebab itu di setiap blok, ada kedai kopi (kopi tiam). Rasanya sama. Gelasnya sama. Ia adalah gaya hidup.
125
67. Atheist
Ketika kecil saya ngeri mendengar kata "atheis" karena kata ini begitu dekat dengan komunis (baca: PKI). PKI, di tahun 80an, adalah aktor laga yang antagonis pada setiap 30 September malam di TVRI. Tentara adalah protagonis. Kita juga harus pro tentara, pro negeri ini. Begitu pesan implisitnya. Namun, belakangan saya membaca ada tiga teori mengenai siapa pelaku G30S ini: (1) PKI, (2) CIA atau (3) Suharto. Siapa ya? Jadi bingung. Rasanya perlu membaca dokumen yang diterbitkan CIA baru-baru ini. Tapi saya lupa nyimpen di mana. Untuk sumber lain, tengah mencari (tanpa usaha berlebih). Kembali ke atheisme. Teman dekat saya semasa kuliah di Singapura adalah seorang atheist. Ia tak mengenal tuhan. Sepertinya kalimat d'Holbach (1772) bisa diberlakukan pada teman saya ini, sonder masalah umur "Semua anak dilahirkan atheist; mereka tak mengenal konsep tuhan." Masuk akal, bahkan semua anak tak mengenal siapa ayahibunya! (ha ha - ups) Teman saya ini "korban" Mao Zedong yang menggalakkan "no god solution". Artinya: tak perlu ada gagasan untuk merujuk ke tuhan dalam segala aktivitas manusia. Ketika saya tanya (dengan analogi): jika ada bunyi klothak-klothek di dapur dan tidak ada makhluk apapun, percayakah kamu bahwa bunyi itu disebabkan hantu atau makhluk gaib? Ia bilang: itu pasti anjing atau kucing atau binatang lain, atau suatu mekanisme. Ia tak percaya sesuatu yang gaib, seperti halnya tuhan, tapi ia percaya mekanisme. Kini ia tetap atheist (atau biar lebih keren, ia sering menyebut dirinya "free thinker"), meski dulu sering mendengar saya bercerita tentang agama semit (yahudi, islam dan kristen), atau konsep "gusti" dalam kejawen, siddharta gautama, atau sang hyang widi wasya. Tak mempercayai sesuatu pun adalah suatu kepercayaan. Pada 2001, setelah menulis "Hidup, Mati, Jiwa, Keabadian dan Bunuh Diri" sependek dua halaman, saya pernah disangka tak mempercayai kematian. Kalau yang bilang teman sendiri sih ga apa-apa. Lha ini dosen yang bilang! Saya bingung menjawabnya. Yang jelas sangat sulit menjelaskan tentang keabadian yang non-fisik dan "bersifat ateistik" yang kebetulan ditulis oleh seorang yang beragama. (ada gak sih?). Tulisan memang ada yang ateistik. Artinya ia menolak salah satu konsep yang digariskan tuhan. Prior to that, ia pastinya menolak konsep tuhan. Seperti misal: fase hidup-mati yang digariskan tuhan lewat kitab-kitabnya. Ia lebih mempercayai garis abadi atau kekekalan yang memang ada -- meski kita cenderung membagi fase hidupmati menjadi fase fisik-non fisik, fase rasional - irrasional (masuk akal - tak bisa dipaksa masuk akal). Aduh tambah bingung ya. Sebenarnya tulisan itu hanya bunga rampai beberapa pemikiran dari jaman islam keemasan, hingga pemikiran Albert Camus. Tapi ya karena kurang pandai mengolah flow tulisan, jadinya malah dituduh tak percaya kematian. Yah begitulah jika kebanyakan membaca buku Rusia dan Jerman. Sekarang makanya lebih sering baca buku masak (ha ha)
126
VIII. MUSIK
127
68. Gitar Awalnya, belajar nggitar itu susahnya minta ampun. Empat jari kiri mesti menekan senar pada fret yang berbeda-beda, senar ditekan tak terlalu kuat juga tak terlalu lemah (kalau terlalu kuat bisa sengkleh drijine, sedangkan kalau terlalu lemah ya senar gak bunyi tho …), selanjutnya genjreng enam senar yang ada di depan lubang resonansi, lalu jreng… kita bisa tersenyum meski hanya bisa satu kunci. Ini pemandangan hari pertama belajar gitar. Selanjutnya … ada yang menyerah karena jari-jarinya keburu dhedhel duel nglentheki (compang-camping mengelupas), ada yang lempar gitar karena memang tidak sabar untuk cepet selihai Rhoma Irama atau Joe Satriani (eh jomplang banget yo perbandingane? hehehe), karena tidak berbakat musik alias motorik plus sense musik memang dilahirkan cacat, tapi ada juga yang gigih belajar sampai menguasai satu lagi sederhana plus nyanyi dengan suara lirih (karena ingin ngetes genjrengannya bener atau nggak). Belajar gitar di sekolah musik biasanya lebih terstruktur. Di sana kita diajari membaca not balok, belajar ketukan, belajar bermacam-macam lagu, diawasi guru dan ada pekerjaan rumah. Belajar pada teman sendiri agak berbeda. Di sini, tidak ada baca not balok dan PR: lebih relaks dan self-discipline memegang peranan penting. Saya belajar gitar dari seorang kawan bernama Sunu. Setelah Sunu saya “nguping” di depan kaset Tohpati, Lee Ritenour dan Earl Klugh. Mirip dengan tiga begawan itu? Yo ora la … jauh. Tapi setidaknya saya mencoba. Hasilnya? Tidak ada, hanya bisa main gitar saja. Sederhana dan personal: kepuasan diri setelah bertahun-tahun melatih jari di atas fret. Karena tidak good enough, maka keahlian main gitar tidak bisa buat cari nafkah. Lagipula, “main gitar bosen juga ya” hehe (mengutip Balawan waktu manggung bersama Trisum). Ngomong-ngomong, pernahkah anda main gitar di bawah ini? Saya belum, dan rasanya impossible buat mainin gitar ini … tapi nggak juga lho … gitar yang namanya Pikasso I ini benar-benar ada! Gitar 42 senar ini dimiliki Pat Matheny, gitaris jazz. Dan, gitarnya sendiri dibuat khusus oleh Linda Manzer (Kanada).
Pikasso I Kok yo ono gitar aneh koyok ngene …
128
69. Jazz, Jakarta dan Trisum Juni 2006 Pada 1997, dalam sebuah mobil yang stasioner di tepi parkiran, saya mendengarkan jazz mainstream. Telinga saya tak bisa menelannya karena terbiasa dengan jazz fusion yang mudah dan enak dicerna. Lalu di belakang setir, seorang kawan yang seniman bilang: “Jazz berasal dari suatu yang papa. Yang melarat dan kumuh. Di New Orleans. Di tengah orang-orang hitam. Jazz pada mulanya adalah representasi kemiskinan.” Sejenak saya berpikir: kini, jazz dengan evolusi dan asimilasi musikal berakhir di sebuah klub yang nyaman dan telinga yang elit. Jazz tak lagi papa, tak lagi miskin, dan jazz memilih pendengar. Ketika kecil, saya selalu memimpikan pergi ke Jakarta: untuk menyaksikan Monas, bermain di Dunia Fantasi dan melihat hiruk pikuk ibukota yang gemerlap. Tahun 1999 saya jadi akrab dengan Jakarta. Impian saya larut dalam acaknya lalu lintas, tebalnya karbon monoksida, budaya desa dalam sebuah kota, mozaik miskin dan kaya, ketidakteraturan dalam pola yang rutin. Tapi saya mulai bisa menikmati jazz mainstream ketika itu. Mungkin jazz adalah representasi Jakarta: chaos dalam ritme yang konstan. Saya tak membenci Jakarta meski impian masa kecil tinggal utopia belaka. Tahun 1999 itu saya juga menyaksikan 7 pendekar gitar (jazz) bermain bersama. Dua di antaranya masih muda: Dewa Budjana dan Tohpati. Lalu saya jadi pesimis: lima senior mungkin bakal gantung gitar segera, dan gitaris jazz yang masih muda “dituntut” meramaikan negeri ini. Agak lama saya menunggu “keramaian” jazz muncul kembali. Penantian saya terjawab: ada TRISUM, yang terdiri dari Dewa Budjana, Tohpati dan Balawan. Saya tak lagi pesimis. Dengan gaya kalem, Budjana mengidap dualisme: komersial dan idealis. Isme yang pertama adalah masalah popularitas dan cashflow, sedang isme kedua adalah masalah integritas. Budjana bagi saya adalah gitaris jazz yang mampu menciptakan komposisi harmonis, etnikal, dan kerap menyuguhkan suasana magis dalam instrumentalnya. Tohpati bagi saya adalah gitaris jazz dengan nada unik yang terdengar out of tune namun berhasil membentuk komposisi a la Mike Stern dan Pat Metheny. Balawan bagi saya adalah seorang rendah hati yang keterampilan tappingnya sulit ditandingi gitaris jazz lainnya: Balawan berhasil memainkan komposisi jazz dan blues dalam tepukan jari yang lincah dan cepat, lalu mengentaskan musik Bali dari ekslusivitas budaya. Jazz dihidupkan oleh mereka bertiga, dalam atraksi gitar yang mengagumkan. Kemudian, dari Jakarta dan Bali, jazz segera mengalir ke pelbagai pelosok Indonesia. Jazz kini mengakrabi pendengar, melintasi batas mozaik budaya yang ulet dan getas, kemudian menyelinap di iPod, televisi dan radio. Jazz, pada akhirnya, mungkin tak lagi representasi Jakarta, melainkan lokus hidup yang universal, di Indonesia …
129
70. Balawan, Sinkretisme dan Tapping Maret 2006 Di kesehariannya, anak-anak di Bali umumnya terekspos upacara agama Hindu, dimana doa-doa, aroma bakaran dupa, gamelan Bali dan umat yang apresiatif menyatu. Ini membawa konsekuensi logis: apresiasi terhadap seni dan musik tumbuh di masa kanak-kanak. I Wayan Balawan tak luput dari konsekuensi lingkungan ini di masa kecilnya, dan itulah yang membentuk kejeniusannya bermusik. Sinkretisme Musik, Teknik Tapping dan Kecepatan. Setelah menyaksikan konser Balawan dua hari di University Cultural Center - NUS, saya menemukan perkawinan antara gamelan Bali dengan jazz. Perkawinan itu diusung oleh Balawan dan Batuan Ethnic Fusion. Balawan adalah musisi muda yang berbakat dan memiliki motif mulia: dia mencoba menggabungkan gamelan Bali dengan jazz, yang saya rasa, itu hanya akan dilakukan oleh musisi yang sudah matang. Proses menggabungkan jazz dengan gamelan Bali bisa dimaknai sebagai sinkretisme dalam musik. Gamelan adalah pentatonik sedangkan jazz adalah diatonik. Jazz bisa dimainkan dengan tempo lambat ataupun cepat, sedangkan gamelan Bali umumnya cepat. Hal pertama yang harus dilakukan untuk memasukkan jazz dalam gamelan Bali adalah dengan menyamakan tempo. Hal kedua adalah memasukkan nada-nada jazz dalam gamelan, dan sebaliknya.
Balawan memainkan gitar double-neck 12 senar dengan teknik tapping Balawan memainkan gitar elektrik dengan teknik right-handed tapping (teknik ini dipopulerkan oleh Eddy van Halen tahun 70an) dimana dia menekan senar gitar antar dua fret dengan empat jari (tangan kanan) seperti memainkan piano, dan empat jari dari tangan kiri memainkan bass dan chords. Kelincahan jemarinya sungguh tinggi, namun kehalusan melodi gitar tetap dipertahankan. Balawan juga dikenal sebagai gitaris Asia pertama yang mampu memainkan tapping delapan jari pada double-neck guitar secara bersamaan.
130
Siapakah Balawan? Balawan, gitaris jazz muda yang tengah naik daun, lahir di Gianyar, Bali, 9 September 1973. Ketika kecil Balawan belajar memainkan organ Bali dimana kecepatan dan harmoni pentatonik menjadi esensi permainan. Balawan mendapatkan beasiswa untuk belajar musik jazz dan vokal di Australian Institute of Music, Sidney. Sekembalinya dari Australia, Balawan membentuk sebuah kelompok musik untuk mengakomodasi musik jazz dan gamelan Bali. Kelompok ini bernama Batuan Ethnic Fusion (BEF). Kelompok ini beranggotakan Balawan, Wayan Suastika, Wayan Sudarsana, Nyoman Marcono, Nyoman Suwidha, Gusti Agung Bagus Mantra, Gusti Agung Ayu Risna Dewi dan Ito Kurdhi. BEF memainkan instrumen tradisional seperti reong, suling, rindik, genggong, kendang and cengceng. (1993 - 1995). Balawan terinspirasi oleh banyak musisi, terutama Balawan dan BEF merilis tiga album: “GloBALIsm” (1999), diproduksi Dewa Budjana; “Balawan” (2001), direkam di Jerman; “Magic Fingers” (2005). Matematikawan, Atlit dan Artis. Untuk menjadi musisi yang terkemuka seseorang mesti menjadi “matematikawan”, atlit dan artis. Balawan memiliki tiga hal itu. Ketika memainkan gitar, akurasi dalam menyentuh senar di antara dua fret bisa menghasilkan aliran yang jernih, halus dan bersih. Akurasi adalah syarat yang esensial dalam mengerjakan matematika. Untuk menguasai teknik tapping, yang umumnya sulit, Balawan melatih dirinya siang-malam untuk menghasilkan tapping kecepatan tinggi dan suara yang diinginkan. Usaha ini memerlukan energi luar biasa seperti halnya atlit. Balawan memulai debutnya dengan melebur jazz dan gamelan Bali. Proses memperluas musik dan menggabungkannya dengan musik etnik tidaklah mudah. Hal ini memerlukan jiwa artis dengan kreativitas tinggi untuk menciptakan musik agar jazz dan gamelan Bali tetap hidup. Makan-Makan di Tepi Sungai. Saya melihat permainan Balawan pertama kali pada 10 dan 12 Maret 2006 di Singapura, meski sebelumnya saya sering mendengar namanya ketika dia manggung di JGTC (Jazz Goes To Campus, Universitas Indonesia). Sungguh menghibur sekaligus mengagumkan. Aransemen musik yang bagus, harmonisasi yang sangat etnikal, kompleks tapi enak untuk dinikmati! Dan, permainan tapping yang sangat cepat! Setelah konser kecil di UCC itu, saya, istri saya, Balawan, Momoko Fusa (pianis klasik dari Jepang), Ony Pah (drum), Dody (bass) dan Batuan Ethnic Fusion makan-makan di tepi Singapore River, tepatnya di Clarke Quay. “Bagaimanapun baiknya saya bermain jazz, saya tak akan pernah cukup ‘hitam’ untuk memainkannya. Jadi, daripada bersusah payah memainkan otentisitas jazz yang tak akan pernah saya capai, saya memutuskan memainkan musik dimana saya feel at home”, ujar Balawan pada saat merilis Magic Finger. For my friend Wayan Balawan
131
Penulis Arief Yudhanto lahir di Jember (de facto) atau di Bondowoso (de jure) tahun 1978. Ia menempuh pendidikan dasar dan menengah di Bondowoso dan Jember. Bulan Juni 2002, ia menyelesaikan Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Bandung. Setelah bekerja 1 tahun di Laboratorium Aerodinamika, Pusat Antar Universitas – ITB, ia memperoleh beasiswa dari ASEAN/Jepang untuk melanjutkan studi Master of Engineering di National University of Singapore (Juli 2003 – Juli 2005). Bulan September 2005 ia kembali ke ITB dan membantu tim desain pesawat wing-insurface effect (kerjasama ITB dan BPPT) dalam perhitungan struktur. Ia kembali ke Singapura bulan Desember 2005, dan bekerja sebagai staf peneliti untuk Data Storage Institute (Agency for Science, Technology and Research) milik pemerintah Singapura. Sejak Oktober 2007, ia bekerja sebagai product engineer di Hitachi GST, sebuah produsen hard disk drive ex-IBM. Kegemarannya adalah menulis esai pendek, bermain musik, fotografi dan mengoleksi buku. Kini ia menetap di Singapura bersama istri dan anak lelakinya.
132
LAMPIRAN: Artikel di Berita Harian Singapura L1 – Kaitan Obama: Kenya, Indonesia dan Amerika Berita Harian, Singapura, 17 Mac 2008 NAMA Barack Hussein Obama kian harum di Indonesia, Afrika sehingga Jepun (kerana ada sebuah pekan bernama Obama). Di Indonesia, beliau pernah bersekolah di Jakarta - antara 1967 dengan 1971. Betapa tidak, beliau kian meninta sejarah sebagai warga Afrika-Amerika ketiga yang diharap menjadi presiden Amerika Syarikat pada November ini. Namun, bukan mudah baginya mengalahkan pesaing handalan dari parti Demokrat, Cik Hillary Clinton, mantan Wanita Pertama dan calon wanita pertama bagi presiden Amerika. Encik Obama lahir di Honolulu dalam 1961. Beliau lulusan fakulti undang-undang Universiti Harvard dan merupakan orang kulit hitam pertama yang menduduki kerusi presiden jurnal ternama, Harvard Law Review. Bahkan, beliau merupakan satu-satunya anggota kulit hitam di Senat Amerika. Ketika usianya enam tahun, Obama menetap di Jakarta, yang ketika itu berada dalam peralihan zaman Orde Lama (Sukarno) kepada Orde Baru (Suharto). Ketika itu, kenangan berdarah G30S (Gerakan 30 September) yang mengganyang Parti Komunis Indonesia masih segar. Barry, begitulah panggilan mesra Obama, lahir daripada seorang ibu kulit putih dan ayah asal Kenya. Mereka merupakan mahasiswa Universiti Hawaii. Namanya persis ayahnya sendiri iaitu, Barack Hussein Obama. Ayahnya meninggalkan Barry ketika beliau masih dua tahun. Barry kemudian mengenal Lolo Soetoro, seorang mahasiswa dari Indonesia yang menjadi kekasih ibunya. Dan, ketika ibunya, yang bernama Stanley Ann Dunham, menikahi Lolo, ia mengajak Barry pergi ke Indonesia dalam 1967. Dalam memoirnya, Dreams from My Father - A Story of Race and Inheritance (1994), ia bercerita tentang masa kecilnya di Jakarta - yang beliau sebut 'Djakarta'. Djakarta dalam gambarannya barangkali masih ada sisanya dengan Jakarta hari ini, setidak- tidaknya di beberapa tempat seperti tengah kota yang sedikit moden, deretan toko kecil di jalanan, lalu lintas yang sesak dan macet, pendorong gerobak barang, matahari yang terik dan pengemis di persimpangan jalan.
133
Sosok lelaki Asia, atau lebih khususnya Indonesia, yang melekat dalam ingatan Barry tentulah Lolo Soetoro. Lolo dikenalnya sebagai pemuda yang sopan dan mudah akrab dengan siapa saja. Beliau pandai bermain tenis dan catur. Lolo beragama Islam tetapi memberikan ruang bagi pandangan Hinduisme dan Animisme yang kuno. Menurut sarjana ternama, mendiang Clifford Geertz, profesor antropologi Amerika, dalam The Religion of Java, orang Jawa seperti Lolo boleh dikategorikan 'abangan' iaitu pemeluk Islam luaran saja. Lolo seorang ahli geologi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Abri) dan pernah ditugaskan di New Guinea sebelum Barry dan ibunya datang ke Jakarta. Barry sering bermain dengan Lolo pada waktu senggang. Mereka berbagi kesenangan dengan memberi makan binatang peliharaan seperti ayam, itik, anjing, kera, burung cendrawasih, burung kakaktua dan buaya kecil. Lolo menghadiahi Obama sarung tinju, yang kemudian ia gunakan untuk berlatih dengannya. Dalam waktu kurang dari enam bulan, Barry mahir berbahasa Indonesia. Namun, ibunya tetap mengajarkan bahasa Inggeris lima hari seminggu. Ibu dan anak bangun pukul 4 pagi dan belajar selama tiga jam sebelum Barry pergi ke sekolah. 'Ini juga bukan piknik yang menyenangkan bagiku, buster,' begitu ibunya mengingatkan ketika Barry pura-pura sakit atau malas belajar. Barry juga bermain dengan siapa saja, termasuk anak-anak petani, pembantu rumah dan birokrat kelas bawah. Ia bermain seperti anak kampung di Indonesia: berkejarkejaran di jalan yang sempit, menangkap jengkerik dan main lelayang. Obama, yang masih kecil tentu belum cukup mengerti mengenai 'kemiskinan, rasuah dan kegenjotan' di Indonesia waktu itu. Namun, beliau belajar pergerakan hak awam dan rakaman Mahalia Jackson (penyanyi gospel terkenal) serta pidato Dr Martin Luther King yang memukau. Pada usia belia, Barry sudah diajarkan memiliki nilai luhur manusia, seperti kejujuran, keadilan, berbicara fasih dan menilai secara merdeka. Ibunya, Ann Dunham, pernah bercerita tentang murid kulit hitam di wilayah selatan Amerika yang miskin dan hanya mendapat buku bekas daripada murid kulit putih, namun mereka tumbuh menjadi dokter, pengacara dan ilmuwan. Ibunya juga bercerita perihal anak yang lebih muda daripada Barry tetapi sanggup berbaris untuk kebebasan.
134
Setiap lelaki kulit hitam adalah Thurgood Marshall atau Sidney Poitier. Setiap perempuan kulit hitam adalah Fanny Lou Hamer atau Lena Horne. Menjadi kulit hitam adalah pemilik keturunan yang agung, nasib istimewa, beban kejayaan yang hanya dipikul mereka yang kuat saja. Dengan asuhan itulah, Barry menjadi bersemangat dan memiliki kesedaran bahawa yang hitam bukanlah yang kalah dan tertindas tetapi yang penuh daya juang dan yang merdeka. Di Jakarta yang panas, Barry yang menjelang usia 10 tahun, tetap melihat bahawa penjelasan ibunya dan Lolo mengenai dunia belumlah lengkap. Beliau melihat bahawa dunia itu kejam - suatu pengertian yang tidak dapat difahami oleh datuk neneknya di Hawaii yang tenang dan jauh dari negara yang terbelakang di Asia Tenggara. Beliau juga melihat bahawa ras dan warna kulit tidak lagi menjadi penanda asal usul belaka. Tetapi lebih mengerikan, ia menjadi prasangka dan rendah diri. Di sini, beliau berasa bahawa dunia memerlukan perubahan. Jika Encik Obama benar-benar terpilih menjadi Presiden Amerika, ia bak satu sejarah dunia kerana orang kulit hitam pertama menerajui negara majoriti kulit putih dan adikuasa tunggal. Tetapi mungkinkah itu berlaku? Nota: Penulis lahir di Indonesia, pernah menjadi penyelidik di A*Star dan kini bekerja sebagai jurutera di sini.
135
MENCINTAI MATEMATIK TANPA KEPERIHAN Berita Harian, Singapura, 24 April 2008 RAMAI orang, seperti saya, memang tidak suka matematik sejak kecil lagi. Namun, hari ini sebagai jurutera, matematik merupakan sumber rezeki saya. Hati saya terbuka kepada matematik apabila menyedari pentingnya subjek ini yang memiliki banyak kegunaan. Sesudah membaca dan menulis, setiap orang perlu tahu mengira. Semakin tinggi bidangnya, semakin canggih cara pengiraan atau disebut matematik. Pakar ekonomi, jurutera, ahli fizik, akauntan, pilot sehingga juruukur memerlukan perhitungan matematik walaupun kekerapannya tidak sama. Cerita matematik ini membuat saya merenung kisah hidup Sufiah Yusof, anak Islam yang mengagumkan dunia apabila diterima masuk ke Universiti Oxford pada usia 13 tahun. Namun, 10 tahun kemudian, setelah berkahwin dengan seorang peguam Britain yang sudah memeluk Islam tetapi sayangnya bercerai pula, tiba-tiba Sufiah dihebohkan oleh berita sensasi - beliau menjadi seorang pelacur! Apakah Sufiah silap perkiraan moralnya? Kata pakar, matematik tidak punya nilai moral kecuali angka-angka yang perlu ditafsirkan dengan bijaksana. Matematik di sekolah umumnya bersifat latih tubi mengenai persamaan (equation) dan bilangan (sums). Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah memastikan seorang anak memahami konsep dan penggunaannya serta menerapkannya dalam kehidupan nyata. Di sekolah rendah, seorang anak perlu dilatih merubah nilai daripada sentimeter kepada meter dengan mengambil pembaris dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah, seorang anak perlu mengetahui bahawa pertumbuhan tinggi badan seseorang itu boleh didekati dengan fungsi kuadratik. Di maktab rendah, seorang pelajar sudah dapat menghitung isi padu mangkuk dengan kamilan. Pengenalan guna pakai atau aplikasi matematik ini perlu disampaikan tanpa tekanan. Dengan cara ini, matematik menjadi semacam kecintaan seperti yang dialami oleh ahli matematik yang turut membina tamadun silam Islam - Al-Khwarizmi (penemu
136
algebra dan logarithm), Omar Khayyam sehinggalah Ibn Sina atau sehingga Albert Einstein. Apabila anda naik kapal terbang, duduklah di jendela dekat sayapnya. Perhatikan hujung sayap yang terpesong (defleksi) ke atas namun tidak patah. Mengapakah ini terjadi? Sebab sayap pesawat ini dikira dengan tepat oleh jurutera dengan menggunakan aplikasi matematik. Merenung kejadian alam dengan tidak terkira jumlah planet dan bintang - semua dapat bergerak menurut orbitnya dengan tepat (tanpa berlanggar), matahari terbit dan terbenam dan pantulan cahaya purnama, jelas keagungan Ilahi dalam matematik-Nya. Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan pacuan. Namun, ini yang berlaku pada Sufiah. Ayahnya, Farooq Yusof, dan ibunya, Halimaton, menerapkan kaedah belajar pacuan atau disebut hothousing - anak dilatih untuk tertumpu pada satu mata pelajaran, biasanya matematik. Tidak syak, Sufiah dan adik- adiknya memang pintar. Sufiah mencapai prestasi sehingga diterima oleh Oxford, antara 10 universiti terbaik di dunia. Di Oxford, Sufiah masih dipacu oleh ibu bapanya sehingga mengeluh tidak mempunyai banyak teman. Kesan ini dan selanjutnya ketegangan antara ibu bapanya (bapanya dituduh mencabul murid perempuan dan ibunya kini dalam proses menuntut cerai) menjejas jiwa Sufiah. Ibu bapa Sufiah tentu berniat baik untuk masa depan anak- anaknya. Namun, hal ini mencetuskan keadaan tidak seimbang dalam pertumbuhan Sufiah, termasuk kekeliruan pada matlamat dan harga dirinya. Hari ini, ramai orang berdoa, mengharapkan dan mahu menolong Sufiah menjadi orang yang baik. Kembali ke jalan yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus jadi apa? Penjelmaan menjadi 'yang baik' sukar dirumuskan dalam matematik yang tidak punya nilai moral. Nota: Penulis asal Indonesia dan jurutera di sini.
137
MENJEJAKI ORANG JAWA DI SINGAPURA Oleh Arief Yudhanto MINAT saya untuk menjejak orang Jawa di Singapura bermula dengan e-mel pada awal 2005 yang mengulas makalah saya 'Apakah Jawa itu?' di blog saya (http://arief.blog.sohu.com/1342281.html) . Tulisannya dalam krama inggil (bahasa Jawa yang halus yang ditutur orang tua-tua atau lebih dihormati). Saya terpegun. Sebabnya, walaupun lahir dan besar di Jawa, saya sukar bertutur bahasa itu. Saya berusaha membalas e-melnya dengan bahasa campuran madya dan krama inggil. 'Oh, ternyata bahasa Jawa masih 'hidup' di Singapura,' kata hati kecil saya. Pada pertengahan 2005, saya singgah di kedai perata dekat Universiti Nasional Singapura (NUS). Sudah dini hari dan lengang saja. Seorang pekerja lelaki menyapa untuk mengambil pesanan saya. Lelaki tadi bertanya dengan loghat Melayu: 'Kamu dari Indonesia?' Saya mengangguk, dan beliau bertanya lagi: 'Dari Jawa?' Saya mengangguk lagi. Kemudian, dengan tak terduga, beliau mulai berbicara dalam bahasa Jawa ngoko. Berusia 40-an, beliau berasal dari Johor. Ayahnya datang dari Jawa dalam dekad 1950an, dan menetap di Johor Bahru. Ayahnya kemudian menikahi perempuan Melayu. Selain bahasa Melayu, keluarganya dapat bertutur Jawa di rumah. Itulah kali pertama saya mendengar bahasa Jawa dengan pelat Melayu! Saya geledah Perpustakaan Pusat NUS dan tersua satu laporan ilmiah tulisan Abdul A. Johari pada tahun 1965 dan rencana oleh Lockard tahun 1971. Saya difahamkan bahawa orang Jawa didatangkan ke Singapura sejak 1825. Mereka berasal dari Jawa Tengah. Mereka bekerja buruh kontrak di kebun getah (karet), landasan kereta api dan pembinaan jalan raya. Kampong Jawa, di tepi sungai Rochor, ialah pemukiman pertama orang Jawa di Singapura. Selain itu, mereka mendiami Kallang Airport Estate yang turut menampung orang Melayu dan Cina (Johari, 1965). Menurut Lockard (1971), orang Jawa di Kampong Jawa berkembang daripada 38 orang pada 1825 kepada 5,885 orang pada tahun 1881.
138
Puncak pendudukan orang Jawa ialah tahun 1931 - ada 170,000 orang Jawa diam di Singapura. Selang 16 tahun kemudian, jumlah orang Jawa menurun dengan banyak daripada 169,311 pada 1931 kepada 24,715 pada 1947. Penyebabnya dijelaskan sebagai berikut: Kemelesetan ekonomi yang mendorong berdirinya perkebunan skala kecil yang tidak lagi menggunakan buruh. Meningkatnya taraf ekonomi dan sosial buruh. Tekanan antarabangsa yang melarang buruh kontrak. Daripada Internet, saya menemui perangkaan 1985 yang menunjukkan ada sekitar 800 daripada 21,230 (3.8 peratus) orang Jawa di Singapura masih melestarikan bahasa Jawa. Kadar kecil ini disebabkan mereka lebih sering menggunakan bahasa pengantar Melayu atau Inggeris dalam pertuturan harian. Hal ini juga terjadi di beberapa kota di Indonesia. Di ibu kota Jakarta, misalnya, kebanyakan orang Jawa lebih berbahasa Indonesia atau Betawi. Namun mereka masih dapat memahami walaupun sukar bertutur Jawa. Bahasa Jawa mempunyai tiga peringkat - ngoko, madya dan kromo inggil - dengan kosa kata, nahu dan makna yang berbeza. Ngoko biasanya dituturkan secara informal, antara teman sebaya, bos terhadap bawahan, orang lebih tua kepada orang yang muda. Madya memiliki tingkat menengah, antara ngoko dan kromo. Madya biasanya digunakan antara orang asing yang baru kenal. Kromo ialah gaya yang paling sopan, antara dua orang yang tingkatnya sama dan menghindari suasana informal, kemudian digunakan dalam pidato, atau diucapkan orang yang lebih muda kepada orang tua. Peringkat bahasa Jawa serupa bahasa Jepun dan Korea. Hal ini menyukarkan pembelajaran bahasa Jawa, terutama yang jauh dari tanah Jawa, seperti di Singapura. Data bahasa dunia menunjukkan bahawa bahasa Jawa di anak tangga ke-12 sebagai bahasa yang banyak dipakai di dunia. Penggunanya sekitar 75.5 juta orang itu tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, New Caledonia dan Surinam. Nota: Penulis lahir di Bondowoso, Jawa Timur, dan menetap di Singapura sejak 2003; siswazah NUS dan kini seorang jurutera di sini.
139