Balai Besar Tekstil
OPTIMASI GINTIRAN DAN DEGUMMING TERHADAP BENANG SUTERA SEBAGAI BAHAN ROMPI ANTI PELURU Oleh : Moekarto Moeliono*, Muliati Itung** Besar Tekstil, ** Balai Besar Industri Hasil Perkebunan JI. A. Yani No. 390 Bandung Telp. 022.7206214-5 Fax. 022.7271288; E-mail:
[email protected]
* Balai
Tulisan diterima:
5 Januari 2010, Selesai diperiksa:
30 April 2010
ABSTRAK Pada penelitian ini dilakukan proses mekanik dan kirnia terhadap bahan baku sutera jenis filarnen dan stapel, yang menggunakan bahan baku sutera filamen 28 Denier dengan rangkapan 24, 48, 100, 192 dan 238 helai, dan untuk benang stapel (staple) sutera Ne, 65 dengan rangkapan 24, 48, 72, dan 82 helai. Perangkapan yang berbeda untuk benang filamen dan stapel ditujukan untuk menyamakan dengan benang pembanding Kevlar nomor Ne. 0,80. Adapun penggintiran yang digunakan jenis slack twist dan average twist (136 s/d 782) dan proses pemasakan (degumming) dilaksanakan dengan 3 (tiga) variasi waktu, yaitu 30,45 dan 60 menit. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kekuatan benang sutera filamen dengan nomor yang sama (rangkapan 238 helai) menghasilkan kekuatan l3,250 kg berasal dari bahan sutera dengan lama degumming 30 menit; benang stapel dengan twist 202 sebesar 10,350 kg (82 helai). Untuk benang filamen yang digintir dapat dicapai kekuatan 19,400 kg (twist 651 dan pemasakan 30 menit); kekuatan 18,850 kg (twist 528 dan pemasakan 45 menit); kekuatan 18,650 kg (twist 304 dan pemasakan 60 menit), tetapi bila dibandingkan dengan benang Kevlar (25,00 kg) masih tetap dalam kondisi jauh dibawahnya. Penelitian )ni ditujukan sebagai upaya pengembangan benang sutera yang dihasilkan oleh industri rakyat untuk menjadi bahan baku rompi anti peluru, sehingga hasilnya dibandingkan terhadap benang Kevlar yang merupakan benang yang saat ini digunakan untuk membuat rompi anti peluru. Kata kunci : Sutera Filamen, Sutera Stapel, Antihan (Twist), Anti Peluru.
ABSTRACT Chemical and mechanical processes were applied to filament and staple silk yam to obtain the similar characteristic with Kevlar yam. Multiple ends of24, 48, 100,192 and 238 were applied to 28 Denier of silk filament material and 24, 48, 72, 82 were applied to Ne I of silk staple yam. The twisting type used was slack twist and average twist (136 up to 782). Degumming processes were done with duration of 30, 45 and 60 minutes. The research result showed that filament silk yarn with the same number (multiple ends of 238) and 30 minutes of degumming gave tensile characteristic up to 13.25 kg; whereas the 202 twisted staple yarn (82 ends) gave tensile strength up to 10.350 kg. Twisted filament yarn can reach up to 19.4 Kg of tensile strength (651 twisted and 30 minutes of degumming); 18.85 kg was reached by 528 twisted and 45 minutes of degumming); 18.65 kg was reached by 304 twistedand 60 minutes of degumming]. The characteristics showed lower value as compared to Kevlar yarn (25.0 kg). This research was to be aimed as a development of silk yarn to provide raw material for the bullet proof vest and compare it to Kevlar as main raw material so used to make the bullet proof.
Key words: Filament Silk, Staple Silk, Twist, Bullet Proof
PENDAHULUAN Diantara sekian banyak serat alarn rnaka serat suteraini merupakan salah satu potensi nasional yang belumsemuanya tergali, dimana produk sutera saat ini sangat terbatas dan hanya digunakan untuk sandang dan non-sandang rumah tangga, jadi disini benar-benar hanyaberkembang ke arah pemanfaatan kain biasa dan Optimasi Gintiran dan Degumming (MoekartoMoeliono, Muliati Itung)
Terhadap
bukannya ke arah teknologi masa depan untuk pengernbangan kain militer. Padahal kalau kita kaji serat sutera ini merniliki karakteristik yang sangat mungkin untuk dikembangkan (si fat fisik maupun kirnia) menjadi bahan baku produk unggulan selain untuk sandang, dalarn hal ini dapat dimanfaatkan menjadi bahan kain untuk perlengkapan militer seperti bahan baku rompi anti peluru (1).
Benang Sutera sebagai Bahan Rompi Anti Peluru
1
Balai Besar Tekstil
Seperti diketahui sistem persenjataan yang telah dimiliki TNI ternyata .lebih dari 50% masih bergantung kepada produk dari luar negeri, diantaraanya rompi anti peluru . TNI juga defisit rompi anti peluru dan baju ini masih diimport juga untuk memproduksi kain terse but di dalam negeri masih sulit, karena bahan yang dipakai adalah Kevlar atau Spectra yang sangat mahal, belum lagi penggunaannya sangat diawasi oleh pihak produsen (2). Rompi anti peluru merupakan salah satu alat pendukung militer yang mempunyai peranan sangat penting dalam rangka tugas operasi di Bidang Peranti Keamanan. Pada dasarnya rompi anti peluru sangat dibutuhkan dalam rangka penumbuhan daya psikologis dan moral tempur, di samping rompi itu sendiri mampu berfungsi melindungi pemakai dari senjata tajam, pecahan granat, pukulan, benturan dan hantaman akibat tembakan senjata khususnya AK-47, SS 1IFNC dengan amunisi kaliber 6.62 mm FMJ/AP dan 5.56 mm FMJ/AP. Jenis rompi di lingkungan militer antara lain rompi taktis, Dakhura, Intel, W ALIVIP, sedangkan kalau di kelompokkan .menurut level/tipenya yaitu level I, n. III A sebagai rompi Intel, W ALIVIP, untuk level III dan level IV digolongkan sebagai rompi taktis.(3). Salah satu polimer yang dikembangkan sebagai bahan rompi anti-peluru modern adalah kevlar. Kevlar dikenal juga sebagai twaron dan poliparajenilen tereftalamida. yaitu suatu serat sintetik yang kekuatannya lima kali kekuatan tembaga, dengan berat yang sama. Kevlar sangat anti terhadap panas dan terdekomposisi di atas 400 oC tanpa meleleh. Kevlar ditemukan oleh perusahaan DuPont pada awal 1960an, hasil kerja dari Stephanie Kwolek (4). Kevlar adalah salah satu tipe aramida, yang terdiri dari rantai panjang polimer dengan orientasi paralel. Aramida sendiri merupakan suatu serat sintetik yang berupa rantai panjang poliamida sintetik dengan paling sedikit 85 persen sambungan amidanya menempel secara langsung pada dua rantai aromatik (gugus amida dan gugus aromatik berselang-seling). Kekuatan kevlar diperoleh dari ikatan hidrogen intramolekuler dan interaksi tumpukan aromatik-aromatik antar lembaran. Interaksi-interaksi ini lebih kuat daripada interaksi Van der Waals yang terdapat dalam polimer-polimer sintetik lain dan serat-serat seperti dyneema (serat yang terbuat dari rantai polietilena yang sangat panjang, yang tersusun searah). Keberadaan garam-garam dan impuritis lain, biasanya kalsium, dapat mengganggu interaksi pada lembaran polimer dan harus dihilangkan dalam proses produksi. Kevlar terdiri dari molekul-rnolekul yang relatif rigid, yang membentuk struktur seperti lembaran-lembaran datar pada protein sutera. Dari sifat-sifat tersebut diperoleh serat dengan kekuatan mekanik yang tinggi dan anti terhadap panas. Kevlar mempunyai gugus-gugus bebas yang dapat membentuk ikatan hidrogen pad a bagian luarnya, 2
--.
sehingga dapat mengabsorpsi air dan mempunyai sifat 'basah' yang baik. Hal ini juga menjadikannya teras a lebih alami dan 'Iengket' dibandingkan dengan polimer pada umumnya, seperti polietilen. Kelemahan utama dari kevlar adalah dapat terdekomposisi pada kondisi basa atau ketika terpapar klorin. Meskipun dapat mendukung tensile stress yang besar, kevlar tidak cukup kuat di bawah tekanan kompresif. Untuk mengatasi rnasalah ini, kevlar sering digunakan secara bersama dengan bahan yang kuat terhadap tekanan kompresif (5). Sifat fisika serat sutera antara lain mempunyai kekuatan dalam keadaan kering 4 - 4,5 gram/denier dan dalam keadaan basah kekuatannya 3,5 - 4 gram/denier. Sedangkan mulur serat dalam keadaan kering 20 - 25% dan dalam keadaan basah 25 - 30%. Serat dapat kembali kepanjang semula bila diregangkan sampai dengan 4%. Peregangan lebih besar dari 4% pemulihan ke panjang semula akan melambat dan tidak kembali ke panjang semula. Moisture regain sutera mentah II %, akan tetapi setelah dihilangkan serisinnya menjadi 10%. Sutera mentah juga mempunyai berat jenis 1,3 - 1,35 dan apabila telah dihilangkan serisinnya, berat jenis serat sutera menjadi 1,25. Serat sutera mempunyai keantian terhadap panas sampai suhu 140°C dalam waktu singkat, sedangkan pernanasan lebih lama akan menyebabkan perubahan warna dan menurunkan kekuatannya. Sutera relatif anti alkali dalam konsentrasi rendah, akan tetapi pada suhu tinggi akan terjadi penurunan kekuatan. Alkali lemah dan dingin kecil pengaruhnya terhadap sutera apabila dikerjakan dalam waktu singkat dan segera dilakukan pencucian. Pad a kondisi alkali dengan pH 10, alkali-alkali lemah seperti 'soda abu', ammonia, silikat dan sabun, tidak akan merusak sutera sampai batas-batas tertentu, rnalahan hal ini digunakan untuk menghilangkan serisin pada proses pernasakan ( degumming). Pada serat sutera ada unsur N (Nitrogen) begitu pula pada Kevlar, dimana unsur N ini dapat membentuk polimer yang panjang dan kuat. Tetapi pada sutera ikatan yang terjadi linear sedangkan pada kevlar dapat terjadi secara cross link. Salah satu komposit yang akan dikembangkan sebagai bahan rompi anti peluru modern adalah serat sutera yang dirnodifikasi. Mengapa serat sutera, karena serat sutera memiliki karakteristik kuat dan ringan. Selain itu dapat diproduksi dengan investasi rendah, prosesnya mudah, tidak memerlukan alat khusus, tidak menyebabkan iritasi kulit dan rarnah lingkungan. Hanya saja serat sutera juga memiliki kelemahan seperti keantian panas yang lebih rendah serta daya serap air tinggi dibandingkan Kevlar. Namun kekurangan ini dapat diperbaiki dengan menambahkan crosslink agent untuk membuatnya anti panas sekaligus anti terhadap kelembaban iRencana Penelitian lanjut tahun 2010 oleh penulis). Dengan melihat karakteristik serat sutera, maka dapat digunakan
Arena Tekstil Volume 25 No. 1 - Juni 2010,' I-56
Balai Besar Tekstil
sebagai bahan balm dalam pembuatan rompi anti peluru. Rompi anti peluru akan mengalami defonnasi yang menekan ke arah dalam (shock wave) pada saat menyerap laju enerji peluru, dan tekanan kedalam ini akan diteruskan sehingga mengenai tubuh pengguna. Batas maksimal penekanan kedalam tidak boleh lebih dari 4,4 cm (44 mm). Jika batasan tersebut dilewati, maka pengguna baju akan mengalami luka dalam (internal organs injuries), yang tentunya akan membahayakan keselamatan jiwa (6). Pemodifikasian serat sutera untuk perlengkapan militer ini merupakan suatu usaha alternatif pemberdayaan sumber day a alam dalam negeri dalam rangka peningkatan kemampuan perJengkapan dan peralatan militer nasional. Visi dan misi juga target yang akan dikerjakan sesudah terwujud benang sutera siap pakai ini, selanjutnya akan dibuat kain baik melalui proses rajut maupun tenun (Rencana Penelitian lanjutan tahun 2010) yang dalam hal inikhususnya sebagai kain rajut yang mempunyai daya lenturlebih baik dari kain tenun akan dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk rompi anti peluru, dan ini dilakukan dengan melakukan rnodifikasi fisik (variasi gintiran benang yang dihasilkan) juga kimiawi (variasi degumming). Bertitik tolak dari hal ini perlu dilakukan penelitian modifikasi sutera sebagai bahan baku siap pakai untuk rompi anti peluru, yaitu baik dengan cara mekanik maupun kimiawi. Kekuatan komposit sebenarnya ada pada serat dan benangnya, day a rekat suatu serat justru meningkat bila diameter mengecil, misalnya kekuatan tariknya, juga modulusnya. Serat .seperti silika, alumina, aluminium silika, titania, zirkonia, boron, boron karbida, silikon karbida, silikon nitrida, dipakai pada komposit dengan media matriks berupa polimer, logam, keramik juga termasuk jenis keramik yang sama dengan seratnya. (7). Tiap serat mempunyai kemampuan tersendiri sehingga dalam pembuatan komposit sang at penting untuk memperhatikan . spesifikasi dari serat tersebut untuk menyesuaikan dengan perlakuan yang diberikan. Sutera yang dihasilkan dari kepompong ulat sutera dapat digolongkan dalam 2 (dua) jenis, yaitu : a. Sutera dari jenis Bombyx Mori, yaitu sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera yang dipelihara secara teratur, makanannya daun inurbei dan serat yang dihasilkan sangat halus sehingga paling banyak diproduksi. . . b. Sutera liar, yakni sejenis sutera tussab yang dihasilkan oleh ulat sutera yang tidak dipelihara, biasanya hidup pada pohon oak, dan makanannya daun oakserta serat yang dihasilkannya kasar. Jenis sutera liar ini antara lain sutera eri di India dan sutera anaphe di Afrika. Adapun sutera yang digunakan untuk bahan penelitian, adalah dari jenis Bombyx Mori dan jenis sutera ini yang banyak
Optimasi Gintiran dan Degumming Terhadap (Moekarto Moeliono, Muliati Itung)
diproduksi di Indonesia baik secara skala kecil maupun besar (8). Adapun sutera yang digunakan untuk bahan penelitian, adalah dari jenis Bombyx Mori dan jenis sutera ini yang ban yak diproduksi di Indonesia baik secara skala kecil maupun besar. Permukaan sutera yang licin menyebabkan kilaunya tinggi serta penampang melintangnya memiliki bentuk segitiga dengan sudut-sudut membulat akan memberikan efek pegangan yang lernbut, Sutera mentah selain mengandung fibroin dan serisin, juga mengandung garam-gararn mineral, rnalarn, pig men dan air. Secara umum komposisi sutera mentah seperti berikut: • Fibroin (serat) • Serisin (perekat) • Malam • Garam-garam mineral
.......... 76 %
.......... 22% .......... 1,5 % .......... 0,5 %
Komposisi tersebut tidak selalu sama serta variasinya bergantung pada berbagai hal yang mempengaruhinya, seperti iklim, lokasi daerah dan cara pemeliharaan ulat sutera. Fibroin dan serisin keduanya adalah protein yang tidak mengandung belerang dengan susunan kimia dan sifat fisikanya berbeda. Zat atau komponen yang membentuk sutera tersebut, secara garis besarnya dijelaskan sebagai berikut: • Serisin merupakan protein albumin yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak di dalam air pan as dan larut di dalam larutan alkali lemah atau sabun. Dalam kandungan serisin, as am amino yang paling banyak adalah serisin. • Serisin menyebabkan serat sutera mentah rnernpunyai pegangan yang kaku dan kasar, akan tetapi dapat berfungsi sebagai pelindung serat selama pengerjaan mekanik. Supaya kain sutera menjadi lembut, berkilau dan dapat dicelup, serisin hams dihilangkan. Secara empiris serisin dapat dirumuskan (ClsH2S0sN5)n • Fibroin adalah protein yang tidak larut di dalam alkali lemah dan sabun. Senyawa protein ini merupakan bagian utama sutera yang mempunyai rumus empiris (CI5H230~5)'; dengan adanya gugus NH2 dan COOH, maka fibroin ini akan bersifat amfoter. Protein yang membentukflbrain merupakan molekul rantai yang tersusun oleh gabungan asarn amino, sedangkan filamen sutera mentah terdiri dari dua seratjibroin yang terbungkus di dalam serisin. Proses pemasakan sutera merupakan proses menghilangkan serisin (silk process degumming ) agar benang sutera menjadi lembut, berkilau dapat dicelup dengan baik. Pernasakan sutera dengansabun netral, daya larut sabun netral akan meningkat dengan penarnbanhan alkali lemah sampai pH 10. Secara teori dan literatur degumming biasanya dilakukan dengan mengerjakan sutera dalam lam tan sabun 10 - 20 gr/J
Benang Sutera sebagai Bahan Rompi Anti Peluru
3
Balai Besar Tekstil
selama ± I jam pada suhu 90°C atau selama 2 jam pada suhu 70 - 90uC. Air yang dipergunakan pada proses pemasakan sutera harus air lunak atau tidak boleh air sadah agar terhindari pengendapan (penodaan) sabun pada bahan. Untuk mengurangi kesadahan air dapat ditambahkan zat untuk melunakkan air atau zat yang dapat mengurangi kesadahan air kedalam larutan pemasakan. Larutan pemasakan (degumming) dapat digunakan lagi untuk proses pernasakan sutera yang lain, kemungkinan dapat dipakai 2 - 4 kali tergantung pada kekuatan degumming dengan selalu menambahkan sabun (9). Dalam penelitian yang dilakukan pemasakan tidak dilakukan sampai 2 (dua) jam, tetapi hanya sampai batas maksimum se lama 1 (sa tu) jam saja. Hal ini dilakukan dengan tujuan serisin yang ada pada sutera tidak hilang semua tapi masih ada dan diperlukan untuk menambah kekuatan benang yang nantinya akan dimodifikasi dengan cara rangkapan pada proses doubling. Macam-macam kualitas benang sutera antara lain: • Ecru silk, sekitar 2-5% serisin yang dihilangkan, pegangan ecru silk hampir sama dengan raw silk, agak kasar, cocok untuk benang lusi. • Souple silk, sekitar 8-\5% serisin yang dihilangkan, benang mempunyai pegangan yang penuh (fuller) dan lembut sesuai untuk benang pakan. • Boiled of silk , merupakan penghilangan serisin secara sernpurna, proses pemasakannya selain dengan sabun netral ditambah alkali lemah, natrium karbonat atau natrium bikarbonat pada pH 10. Sutera buat bahan penelitian di titik beratkan pad a kekuatan dan tidak diperlukan lembut atau mengkilat. Dalam penelitian ini pemasakan benang sutera dilakukan dalam 3 (tiga) variasi waktu proses pemasakan (30, 45 dan 60 menit) dengan tidak melebihi lamanya pemasakan suhu 90°. Salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan benang , yaitu melaksanakan proses perangkapan dan penggintiran (antihan untuk serat dan gintiran untuk benang) dan proses penggintiran benang biasa dHakukan pada mesin gintir (twisting machine).Selanjutnya dengan adanya proses perangkapan (doubling) dan gintiran (twistimg) ini kekuatan bahan (benang) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan benang tungga\nya (\ 0). Untuk proses gintiran ini ada beberapa tipe yang dapat diklasifikasi atas : • Super strong twist (2.933 s/d 4.479) • Strong twist (1.094 s/d 2.932) • A verage twist (238 s/d 1095) • Slack twist (lOO s/d 191) Dalam rangka modifikasi ini dilakukan kajian atas pembuatan variasi rangkapan, gintiran benang, dan 3 (tiga) variasi lamanya pemasakan (degumming) benang sutera dengan menggunakan suhu btidak melebihi 90°. Dengan adanya modifikasi melalui
4
proses perangkapan dan penggmtiran III I diharapkan kekuatan benang sutera akan mampu mendekati kekuatan benang Kevlar. Adanya modifikasi benang sutera yang mencakup variasi waktu degurnming ; rangkapan dan gintiran baik untuk filamen maupun stapel diharapkan akan mendapatkan kondisi kekuatan benang sutera yang mendekati kondisi kekuatan benang Kevlar yang biasa dipakai untuk bahan rompi anti peluru. METODA PENELITIAN Bahan baku Sebagai kelengkapan dalam penelitian ini telah digunakan bahan baku sutera filamen 28 Denier dengan rangkapan 24, 48, 100, 192 dan 238 helai, dan benang staple sutera Ne, 65 dengan rangkapan 24, 48, 72 dan 82 helai. Pnggunaan bahan filamen dan staple dalam penelitian, dalam hal ini dikarenakan adanya keinginan untuk mengetahui perbedaan antara filamen dan stapel atas hasil modifikasinya. Jadi dalam kajian untuk penyediaan bahan sutera untuk rompi anti peluru dapat dipilh salah satu alternatif mana yang lebih memungkinkan dan yang lebih baik Mesin Mesin yang digunakan untuk melaksanakan ini mencakup : • Mesin kelos (Winding Machine) • Mesin Rangkap (Doubling Machine) • Mesin Gintir (Twister Machine)
penelitian
Proses Pembuatan Benang Dalam proses pembuatan banang III I dilakukan perangkapan filamen sejumlah 24, 48, 100, ,192, dan 238 helai, akan tetapi untuk benang dari serat staple dilakukan sampai dengan 82 helai. Proses penggintiran (Twisting) yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan jenis Gintiran Slack (Slack Twist) dan A verage Twist yang berkisar diantara 136 s/d 782.
Keterangan
Gambar 1 :
Tin Roll 1\" Pita spindel ..................... ;'r 3. Spindel 4. Bobin Cakra '\~." S. Ekor babi I. 2.
.H
'~.
'rfL.'""' ..... ~....'3 "''-I£~~~
;
6. Traverse
7. Penggulung Benang
fr :
Gambar 1. Mesin Gintir (Up Twister) Sistematika Penelitian Sistematika penelitian yang dilakukan disajikan seperti pada Gambar 6 berikut (11).
dapat
Arena Tekstil Volume 25 No.l - Juni 2010 : 1-56
Balai Besar Tekstil
PM 1 30 menit
~~~ V
y
v PM2 4S menit
~
R24
H
-~ r-~ R24
~
VARIASI GINTIRAN
R 100
~~
I .
~ VARIASI GINTlRAN
VARIASI GINTIRAN
BENANG STAPEL
R 48
R 100
~~
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
PM3 60 menit
R 48
I-~I
G24
I~I
r-~ r-~ R 192
VARlASI GINTlRAN
r-~I
R 192
G48
R 238
t-~I
R 238
~
VARIASI GINTIRAN
VARlASI GINTIRAN
I-~I
G72
I
VARIASI GINTlRAN
~
V
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTIRAN
V
I-~I
G82
I
I
~ VARIASI GINTlRAN
VARIASI GINTlRAN
VARIASI GINTIRAN
VARIASI GINTlRAN
VARIASI GINTIRAN
-
y
DISIAPKAN UNTUK PENELITlAN LANJUTPROSES KNITTING
Keterangan Gambar 6 : PM 1 : Pemasakan variasi 1 selama 30 menit PM 2 : Pemasakan variasi 2 selama 45 menit PM 3 : Pemasakan variasi 3 selama 60 menit R : Rangkapan G: Gintiran
Gambar
2 : Sistematika
HASIL DAN PEMBAHASAN HasH Modifikasi Benang Hasil pengujian modifikasi benang Sutera danuji serat-benang Kevlar dapat disajikan seperti pada Tabel-Tabel berikut. Tabell. Hasil Kekuatan Benang Sutera Rangkapan 24, 48, 100, 192, dan 238 Helai (Tidak Digintir) Variasi Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Waktu Degum Rangkapan (Helai) KV ming (%) 24 48 100 192 238 (Jam) 0,50 2,054 4,485 6,273 9,035 13,250 2,76 s/d 3,50 0,75 2,000 3,965 5,976 8,945 12,980 2,68 s/d 3,26 1,00 1,965 3,325 5,213 8,802 12,750 2,50 s/d 3,10
Optimasi Gintiran
dan Degumming
(Moekarto Moeliono, Muliati ltung)
Terhadap
Penelitian Tabel 2. Contoh Hasil Uli Benang Stapel Sutera Ne! 6S Variasi Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Ne! Twist (Jam)
(Rangkapan- Helai) 24
48
72
82
Helai
Helai
Helai
Helai
82 hi KV
(%)
Range
136
2,025
4,158
6,453
8,850
1,45 s/d 2,67 0,830
168
2,580
4,950
7,453
8,950
1,48 s/d 2,80 0,812
202
3.344
5,631
6,750
10,350 1,59 s/d 3,08 0,810
304
3.250
5,150
6,560
9,745
1,65s/d3,10
528
2.900
4,820
6,150
8,650
1,65 s/d 3,25 0,782
0,800
681
2.847
4,540
6,100
7,660
1,80 s/d 3,30 0,779
782
2,250
4,287
5.850
6,900
1,85 s/d 3,41 0,779
Benang Sutera sebagai Bahan Rompi Anti Peluru
5
Balai Besar Tekstil Tabel 3. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Fila men) Gintiran (Twist 782) (AveraJ?e Twist) Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Variasi (Ran kapan- Helai) Waktu KV (%) Degumming 24 48 100 192 238 (Jam) Range 17,450 2,45 s/d 3,21 3,490 5,250 7,960 11,971 0,50 1l,850 17,300 2,53 s/d 3,25 0,75 3,750 5,100 7,710 11,730 16,750 2,40 s/d 3,20 1,00 3,190 4,950 7,471 Tabel 4. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Filamen) Gintiran (Twist 651) (AveraJ?e Twist) Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Variasi (RangkapanHelai) Waktu Degumming KV (%) 192 238 24 48 100 (Jam) Ranee 4,050 5,950 8,150 12,050 19,400 2,35 s/d 3,06 0,50 2,38 s/d 3,20 0,75 3,500 4,900 7,680 10,925 18,450 10,851 18,100 2,49 s/d 3,21 1,00 3,100 4,855 7,593 Tabel 5. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Filamen) (Twist 528 ) (A verage Twist ) Kekuatan Benang Rata-Rata Variasi Waktu (RangkapanHelai) Degumming (Jam) 192 238 24 48 100 0,50 0,75 1,00
3,910 3,860 2,950
5,700 5,650 5,520
7,836 7,963 6,770
11,750 11,655 10,550
(Kg)
Tabel 6. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Filamen) Gintiran (Twist 304) (AveraJ?e Twist) Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Variasi Waktu (RangkapanHelai) Degumming KV (%) 238 100 24 48 192 (Jam) Ranze 0,50 3,510 5,080 7,700 11,352 18,150 2,10 s/d 2,80 3,450 0,75 5,750 7,620 11,150 17,755 2,08 s/d 2,75 1,00 3,355 5,350 11,050 18,650 2,03 s/d 2.75 7.570 Tabel 7. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Fila men) Gintiran (Twist 202) ( Slack Twist) Variasi Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Waktu (Ran kapan- Helai) Degumming KV (%) 24 48 192 100 238 (Jam) Range 0,50 3,100 3,580 8,100 10,950 17,650 2,05 s/d 2,80 0,75 2,950 3,260 7,850 10,700 17,150 2,05 s/d 2,70 1,00 2,850 3,100 7,452 2.00 s/d 2,70 10,250 17,455 Tabel 8. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Fila men) Gintiran (Twist 168) ( Slack Twist) Variasi Kekuatan Benang Rata-Rata (Kg) Waktu (RangkapanHelai) Degumming (Jam) KV (%) 24 48 100 192 238 Ranze 0,50 2,018 3,750 8,200 10,065 16,655 1,95 s/d 2,78 0,75 16,450 1,85 s/d 2,65 1,950 3,500 7,967 9,975 1,00 1,875 3,200 7,655 9,852 15,800 1,80 s/d 2.60
6
12. Contoh Uji Tarik dan Mulur Serat Kevlar per Helai Ne, 080 , X V lu (95%) N Min Max Elongation 25 3.25% 10.31 0.14 2,70 3.95 2.37 16.33 Force 25 35.24g 27.29 49.31 1.88 Work to Rupture 25 7.02g*cm 26.31 0.30 4.69 5.46 Tenacity 25 7.02g1den 16.33 047 9.86 Count 1 5.00 den Breaking Time 25 21.57 sec
Gintiran
KV (%) Range 18,750 2,25 s/d 2.95 18,850 2,15 /d 2,80 18,250 2,15 s/d 2,80
Tabel 9. Hasil Kekuatan Benang Sutera (Fila men) (Twist 136) ( Slack Twist) Variasi Kekuatan Benang Rata-Rata Waktu (RangkapanHelai) Degumming 24 48 100 192 238 (Jam) 0,50 2,350 3,800 8,560 15,435 15,750 0,75 2,200 3,650 8,105 15,158 15,650 1,00 2,050 3,700 7,950 14,964 15,255
Tabel
Gintiran (Kg) KV (%) Range 1,48 s/d 2,21 1,45 sfd 2,20 1,35 s/d 2,10
Waktu Degum ming 30 45 60
Tabel 13. Hasil Pengujian Nomor Benanz (Fila men) Nomor Benang Ne, 0,80 Range (Twist) KV(%) 136 202 168 304 528 681 782 0,810 0.790 0,780 0,773 0,765 0,760 0,760 1,05 s/d 1,92 0,796 0,790 0,770 0,765 0,760 0,760 0,750 1,97 s/d 2.38 0,790 0,780 0,770 0,765 0,760 0,750 0,750 2,27 s/d 2,47
Hasil data yang terdapat pada Tabel 1 s/d TabeI 13 tersebut merupakan kajian dari data Jab. BBT, dan seJanjutnya akan dikupas meIaJui pembahasan berikut.
la
d; rr
o bi
se PEMBAHASAN Dari hasil perhitungan atas dasar Tabel I s/d TabeI 13 dapatlah dikaji haJ-hal sebagai berikut. Mesin Penggunaan mesin mencakup rnesin kelos (winding machine), mesin rangkap (doubling), dan mesin gintir naik (up-twister). Mesin-mesin secara keseIuruhannya dalam kondisi baik dan ini dapat diperlihatkan pad a saat proses tidak ada gangguan yang cukup berarti, karena sebeIum diIakukan proses pengeIosan, dan perangkapan, juga penggintiran pada mesin-mesin tersebut terlebih dahuIu diIakukan perawatan/pemeJiharaan yang disesuaikan dengan maintenance' guide dari pembuat mesinnya. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan, adaIah sutera filamen (nomor 28 denier untuk benang tunggalnya) dan staple Ne, 65. Penggunaan dua jenis benang sutera ini dengan tujuan untuk mendapatkan suatu informasi yang jelas antara benang sutera filamen dan stapJe, sehingga selanjutnya dapat dipilih jenis sutera mana yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku untuk rompi anti peIuru. Untuk benang stapeI diIakukan perangkapan sejumIah 82 helai, sedangkan untuk benang fiIamennya sejumlah 238 helai, hal ini diJakukan agar
P {:!'
ti P d d b d fi SI SI
k n
d p n
P b (
Arena Tekstil VoLume 25 No.I - Juni 2010: 1-56
(J
Balai BeSaT Tekstil
nomor benang kedua-duanya mendekati nomor Ne, 0,80 sesuai dengan benang Kevlar yang digunakan sebagai pembanding. Hasil pengujian nomor benang menunjukkan kondisi normal, baik benang stapel maupun filamen. Kondisi koefisien variasi dari nomor yang dihasilkan masih dibawah 5 % (12). (Untuk pengujian nomor benang menggunakan SNI 08-04601989)
Subu Pemasakan Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa serat sutera .mempunyai keantian terhadap panas sampai suhu 140°C dalam waktu singkat, sedangkan pemanasan lebih lama akan menyebabkan perubahan warna dan menurunkan kekuatannya (dapat dilihat pada Tabel 1 s/d 9). Oleh karena itu perlakuan yang sifatnya terlalu panas harus dihindari, dan pada waktu penelitian khususnya pemasakan yang dilaksanakan tidak melebihi suhu 100 0; hal ini sangat penting dan harus diperhatikan secara lebih serius juga hati-hati berhubung serat yang diperlukan bukan yang kilaunya tinggi tapi lebih dititik beratkan kepada kekuatan benangnya (jadi serisin yang dikandung masih cukup banyak). Pengaruh waktu proses degumming yang lebih lama mengakibatkan penurunan kekuatan benangnya, dan ini berlaku baik buat benang sutera filamen maupun stapel. Mengapa hal ini terjadi, dikarenakan oleh berkurangnya unsur perekat yang dikandung oleh bahan serat sutera tersebut yang dalam hal ini terutama serisin. Hasil yang dicapai oleh filamen dengan pemasakan 30 menit dan twist 65! (ranggkapan 238) , yaitu sebesar19,400 kg. Sedangkan untuk benang stapel dengan twist 202 dapat dicapai kekuatan sebesar 10,300 kg. Selain itu pengaruh lamanya pemasakan cenderung menghasilkan koefisien variasi nomor benang sedikit meningkat, ha! ini dimungkinkan kerusakan serat lebih banyak sehingga banyak bulu benang yang keluar.
Dari pengamatan yang dilakukan selama proses penelitian pada semua mesin menunjukkan, bahwa kesulitan terjadi waktu proses perangkapan pada mesin doubling. Kesulitan yang terjadi ini dikarenakan keterbatasan jumlah bahan sutera yang digunakan, bahan sutera yang diproses masih dalam bentuk strengan baik yang filamen maupun yang stapel dengan berat rata-rata 100 gram. Selain menggunakairfilamen, juga pada mesin terse but digunakan benang sutera stapel. Pada waktu proses menggunakan benang sutera filamen banyak terjadi putus, baik pada mesin kelos maupun mesin gintir; oleh karena itu untuk mengantisipasi agar putus benang turun, maka digunakan mesin dengan kecepatan rendah dan pemberian malam (wax). Tanpa penggunaan bahan malam, maka pada saat proses pengelosan, perangkapan, dan penggintiran kurang lancar dan benang ban yak putus, sehingga mesin sering berhenti (Moekarto Moeliono, Muliati Itung)
Modifikasi Modifikasi benang sutera yang mencakup variasi waktu degumming , perangkapan (doubling) dan penggintiran (twisting) dilakukan dengan kondisi bahan baku yang sangat terbatas, hal ini dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan benang sutera yang baik kualitasnya. Perangkapan yang dilakukan pada benang stapel dan filamen berbeda jumlahnya. Untuk benang fstapel menggunakan rangkapan 82 helai sedang untuk filamen 238 helai. Dengan perangkapan yang berbeda ini menghasilkan nomor-nomor benang yang sama dengan nomor benang Kevlar yaitu Ne, 0,80. Dengan proses penggintiran 82 he\ai benang stapel, kondisi gulungan benang bobin diameternya sangat besar melewati batas maksimum sehingga sering bergesekan dengan ring- ring yang ada pada mesin gintir, akibatnya benang sutera sering putus. Oleh karena itu dalam penelitian untuk merangkap lebih banyak lagi akan dikerjakan pada mesin gintir buatan baru trencana penelitian tahun 2010). Berbeda dengan proses perangkapan dalam hal ini tidak ada kendala yang cukup berarti, kecuali saat menyetel kedudukan tempat benang pada cone gulungan yang menempel pada drum.
Rangkapan Benang
Proses
Optimasi Gintiran dan Degumming Terbadap
dan hasil benang menjadi banyak cacat. Sehingga kualitas benang yang dihasi!kan kurang baik, karena ban yak benang yang disambung. Terjadinya gangguan pada saat pemrosesan dikarenakan rnesin-mesin yang digunakan bukan rnesin terbaru, dan banyak suku cadang (spare part) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Data uji kekuatan benang ada 2 (dua), yaitu kekuatan hasil rangkapan dan gintir, sedang untuk benang stapel hanya dihasilkan kekuatan benang gintirnya saja, ha! ini dengan alas an benang filamen terlalu halus sedang yang stapel termasuk cukup kuat untuk langsung digintir.
Dalam melakukan perangkapan dan penggintiran dilakukan secara bertahap mengambil gintiran sistem kabel (cabled), jadi untuk filamen tidak di lakukan sekaJigus 238 helai dirangkap dan terus digintir; begitu pula untuk stapel tidak dilakukan sekaJigus 82 helai dirangkap terus digintir. Untuk jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut.
Single
Folded
Cabled
Gambar 3. Proses Perangkapan dan Penggintiran Tujuan digunakan gintiran sistem kabel, adalah untuk meningkatkan kekuatan benang secara bertahap dan penyebaran proses puntiran menjadi lebih merata.
Benang Sutera sebagai Baban Rompi Anti Peluru
7
Balai Besar Tekstil
Benang filamen dan stapel Adanya rangkapan benang filamen meningkatkan kekuatannya, dan ini berbanding lurus dengan pertambahan jumlah rangkapannya, sedang dengan jumlah twist yang bertambah juga akan meningkatkan kekuatan sampai batas tertentu dan apabila terus ditambah justru akan menjadi turun. Pengaruh gintiran meningkatkan kekuatan benang, tapi ini terjadi sampai pada batas gintiran tertentu. Sebagai contoh untuk benang filamen terjadi peningkatan kekuatan dari twist 136 s/d twist 651 dan mulai menurun pada twist 782. Dari data ini terlihat bahwa seandainya gintiran tersebut terus ditambah justru akan menurunkan kekuatan benangnya seperti dapat dilihat. Hal ini karena adanya gaya Torque dari dalam bagian benang yang akan memberikan reaksi menahan kekuatan yang terjadi, sehingga kekuatan benang menjadi turun. Peristiwa menurunnya kekuatan pada benang stapel dan filamen berbeda, pada benang filamen sesudah twist 651 sedangkan benang stapel sesudah twist 202. Penurunan kekuatan akibat bertambahnya twist saatnya berbeda dan ini terkait dengan kondisi asal bahan asalnya saat pemasakan. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan proses sebelumnya (seperti degumming) (Iihat Tabel I s/d 9). '''':'-;'='-;:'::==--:::'':''''
.....!.•.•
,....!',: I. j t If 11 I I j f
! j
i I I
::
I I I I I
:: 11
I ~ I1
i " I.'
I
I
j
I
J I
I
~
f
::
I:
..t-
-',
I
1 I j
'1 !tll1 :.-.... (...•
t.... .:
\'
-----r----' - )""""
_ ..-
conI
tf)n$~n
..•..
IO(QUC
Gambar 4. Tampilan Gaya Torque dan Twist (13) Pengaruh Gintiran terhadap Nomor Benang Peningkatan jumlah gintiran secara teori dapat meningkatkan kekuatan sampai batas tertentu seperti sudah dibahas, tapi juga dalam hal ini mengakibatkan hasil benang sedikit lebih kasar nomornya. Perubahan nomor benang biarpun sedikit dapat dilihat dari data hasil pengujian, kejadian ini dikarenakan pada proses penggintiran adanya faktor twist cons traction (terjadi pengurangan panjang benang). Pengurangan panjang benang masih jauh dibawah 1 %, jadi ditinjau dari segi teknologi penggintiran masih dalam kondisi wajjar dan nomor benangnya juga masih dalm kondisi standar; begitu pula kalau dilihat hasil koefisien variasi nomor benang masih dalam batas standar. Penjelasan gaya Torque ini dapat dipaparkan sebagai berikut : Misalkan ada 12 helai benang sutera spun dengan nomor Ne! 65 dan digintir sehingga menjadi
8
Ne, 65/12. Hasil gintiran (twist) yang terjadi mengakibatkan suatu gaya sebut saja F dan sebagai reaksinya timbul gaya F; gaya reaksi (F) ini biasa disebut Torsion Force tidak akan menimbulkan efek apa-apa bahkan nomor gintiran secara normal Ne, 65!l2 (twist constraction dianggap nol), terjadi keseimbangan gaya dan ini tercapai apabila gintiran (twist) optimum. Tetapi apabila proses gmtiran lTII terus dilakukan, maka akan muncul gaya reaksi lain dari serat atau benangnya sendiri, yaitu gaya F2 (torque force= r x F2) yang akan membalik melawan gaya gaya lainnya. Gaya torque ini justru akan kembali membalik dan menekan serat ataupun benangnya yang dapat mengakibatkan serat-serat menjadi putus bisa sebagian atau sekelompok secara acak (random), yang se;anjutnya menyebabkan kekuatan benang otomatis menjadi turun baik untuk filamen maupun yang stape!. Itulah sebabnya penambahan twist untuk meningkatkan kekuatan benang ada batasnya, dan terkait dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kekuatan untuk bahan yang berbeda terjadi pada kondisi twist yang yang berbeda, sebagai contoh kekuatan benang sutera filamen dengan nomor yang sama (rangkapan 238 helai) menghasilkan kekuatan 13,250 kg berasal dari bahan sutera dengan lama degumming 30 menit; benang stapel dengan twist 202 sebesar 10,350 kg (82 helai). Untuk benang filamen yang digintir dapat dicapai kekuatan \9,400 kg (twist 651 dan pemasakan 30 menit); kekuatan 18,850 kg (twist 528 dan pemasakan 45 menit); kekuatan 18,650 kg (twist 304 dan pemasakan 60 menit), tetapi bila dibandingkan dengan benang Kevlar (25,00 kg) masih tetap dalam kondisi jauh dibawahnya. Dari hasil penelitian benang sutera filamen masih lebih kuat dibandingkan benang sutera stapel dalam kondisi nomor benang yang sama. Pada benang filamen yang digintir kekuatan justru menjadi lebih besar karena pada waktu penarikan kekuatan benang mengandalkan akumulasi kekompakan helai-helai benangnya baik yang dalam maupun yang luar. Sedangkan pada benang sutera stapel dalam hal ini justru cenderung mengandalkan pada kekompakan helai-helai benang bagian luar (15). Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud tersebut, dapatlah diterangkan rnelalui Gambar 5 dan Gambar 6 berikut.
Gambar 5. Skematis Geometris Benang Gintir Arena Tekstil Volume 25 No. 1 - Juni 2010: 1-56
Balai Besar Tekstil
A.2
Al
_/ L-/ "--' "'--'
(b) Terjadi
Filamen
Gaya Torque Satu Arah (Twist Satu Macarn)
Srapel
< A2 (kek.Filamen > Stapel) Gambar 6. Skematis Penggintiran Benang Filamen dan Stapel
Sudut Gintir Al
(c) Gaya Torque
Gambar 8. Anyaman Kain Rajut
Penurunan Kekuatan Karena Deformasi Friksi Benang stapel dibandingkan dengan benang filamen, rnaka kekuatannya masih lebih rendah. Hasil ini dikarenakan adanya puntiran yang tinggi pada benang stapel mengakibatkan penurunan friksi atau deformasi friksi yang selanjutnya diikuti dengan slip serat sutera, dan untuk ini dapat dijelaskan melalui tampilan Gambar 7 berikut.
~,,_{)::~/~><: +- Mulat Frjks]
8ER.\.T --. SUTERA---.
(
.!
,y?
Hasil gintiran benang sutera dapat mengimbangi kekuatan benang Kevlar, dan adanya gaya-gaya yang terjadi pada benangnya juga si fat kain rajut yang elastis ini diharapkan dapat mengabsorpsi dengan meogurangi sebanyak mungkin lontaran eoergi kioetik peluru saat terjadi penetrasi oleh peluru pada tubuh.
KESIMPULAN
y.Y,..~)\;,{.i\..-. +- Proses Frik.si (,., ..' .... '._--, Deformasi Friksi
r+»: ...-~---'_;
~/'\.AYv/V,// /~~
Keseimbangan Gaya dengan Energi Kinetik Peluru
"'-.
~-.~~
(
Bolak Balik (Twist 2 Macam)
/'\
\,-" '-
./,
'\':J
dan Terjarll Slip ••.
I
dan Kerusakan Serat
Gambar 7. Deformasi Friksi Pemanfaatan Gaya Torque Seperti sudah dipaparkan , bahwa gaya torque yang terjadi akan menurunkan kekuatan benangnya. Oleh karena itu dalam penelitian lanjut akan dibuat benang gintir dengan 2 (dua) macam, yaitu twist S dan Z. Dengan mernanfaatkan sifat elastis kain rajut dan benang yang digunakan 2 macarn twist maka diharapkan akan dihasilkan kain untuk anti peluru yang harmonis (Gambar 8 c).
Atas dasar uraian dipaparkan sebelumnya, sebagai berikut :
1. Bahan benang yang digunakan untuk sediaan rompi anti pe1uru ibalistic fabrics), nampaknya 1ebih baik menggunakan bahan sutera filamen. 2. Ketersediaan kualitas bahan baku yang hornogen sangat terbatas sehingga proses inventarisasi dan pemodifikasian nomor benang sutera sangat terbatas sekali variasinya. 3. Kekuatan benang asli sutera masih lebih rendah bila dibandingkan dengan benang kevlar (1.400 gram/helai) dan ini untuk nornor benang yang sama (28 Denier). Benang sutera filarnen kekuatan rataratanya 466,3 gramlhelai dengan KV = 1,34 %, sedangkan untuk staple 525,4 grarn/helai dengan KV = 1.25 %. 4.
(a) Tidak Ada Gaya Torque
Optimasi Gintiran dan Degumming Terhadap (Moekarto Moeliono, Muliati Itung)
dan penjelasan seperti telah dapatlah disirnpulkan hal-hal
5.
Untuk meningkatkan kekuatan benang sutera tidak cukup hanya dengan proses perangkapan, tapi harus dilanjutkan dengan proses penggintiran (twisting). Pengaruh gintiran (twist) baik bagi benang filamen rnaupun stapel dapat menigkatkan kekuatan benang yang dihasilkan, dan ini sampai batas jurnlah gintiran tertentu. Pengaruh makin lamanya proses pernasakan rnenurunkan kekuatan benang sutera, dan hasil
Benang Sutera sebagai Bahan Rompi Anti Peluru
9
Balai Besar Tekstil
penelitian lamanya pemasakan yang cukup baik bila dilakukan hanya selama 30 menit dan ha! ini menghasilkan kekuatan benang yang paling optimal. 6. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kekuatan benang sutera filamen dengan nomor yang sama (rangkapan 238 helai) menghasiJkan kekuatan 13,250 kg berasal dari bahan sutera dengan lama degumming 30 men it; benang stapel dengan twist 202 sebesar 10,350 kg (82 helai). Untuk benang filamen yang digintir dapat dicapai kekuatan 19,400 kg (twist 651 dan pemasakan 30 menit); kekuatan 18,850 kg (twist 528 dan pemasakan 45 menit); kekuatan 18,650 kg (twist 304 dan pemasakan 60 menit), tetapi bila dibandingkan dengan benang Kevlar (25,00 kg) masih tetap dalam kondisi jauh dibawahnya. 7. Dari hasil data penelitian kekuatan benang sutera hasil modifikasi kalau dibandingkan dengan kekuatan benang Kevlar (25kg) masih lebih rendah, oleh karena itu benang Kevlar ini harus didekati lagi dengan melanjutkan penelitian lanjut dengan memperbaiki cara-cara proses perangkapan dan penggintiran juga harus dicari lagi peroses degumming yang baik, tepat dan standar untuk keperluan bahan sutera yang akan digunakan sebagai bahan rompi anti peluru.
(2)
Lutfi, P., "Penelitian untuk Manfaat Limbah Serat Kokon Ulat Sutera untuk digunakan sebagai Alternatif Material Rompi Anti Peluru", Universitas Hasanuddin, 2009.
(3)
ABRI, "Din as Penelitian TNI AD", Bandung, 1982.
(4)
Du Pont, "Textile Fibers Department", Kevlar, Special Product, CenterProd Building, Wilmington Dalaware, 1978. Moeliono, M., "Mengenal Kain Tahan Peluru dan Pengujiannya", Arena Tekstil, Ba1ai Besar Tekstil, Bandung, No. 9, 1989. Hough M. E., "Ballistic Entry Motion". Including Gravity - Constant Drag Coefficientcase, 1982. Small man & Bishop, "The Technology of Composite", New York, 2009. Bers, c., "The Knowledge of Silk", New Delhi, 1997. Smith, Jr, " Textile Properties", Stuttgart, Germany, 2004. Sasas dkk., " Optimasi Proses Degumming dan Pencelupan Sutera dengan Zat Warna Reaktif", Arena Tekstil. 1994 Ichida, "Doubling System", Japan, 1994. Sudjana, "Desain dan Analisis Experimen", Tarsito, Bandung, 1980. . Grover, Hamby, et aI., "Textile Testing", Second Edition, New York, 1981. Hearle, Konopasek, "Combined Extesion and Twist". Cheh, 1975. Slater, K., "Textile Mechanics", Volume I, The Textile Institute Manchester, Ontario, 1977.
(5)
(6) (7) (8) (9) (10)
(11) (12) (13)
DAFTAR PUSTAKA
(14)
(I)
(15)
10
Hanafiah, dkk., "Budidaya Sutera A lam", Balai besar Tekstil, Bandung, 1993.
dan Pengembangan
Arena Tekstil Volume 25 No. 1 - Juni 2010: 1-56