PENGARUH MODEL EXPERIENTIAL LEARNING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Kelas X di Salah Satu SMA Negeri di Cimahi) Oleh: Wita Aprialita (1) Ririn Sispiyati (2) ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kuasi eksperimen dengan menggunakan Desain Kelompok Kontrol Non-Ekivalen (The Non-Equivalent Control Group Design). Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X di salah satu SMA negeri di Cimahi dengan sampel penelitian adalah dua kelas yang dipilih oleh pihak sekolah dimana satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satunya lagi sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian terdiri dari tes pemahaman matematis, jurnal harian, dan lembar observasi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning tidak lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional yang diduga karena kurangnya pengalaman dalam menampilkan perilaku kognitif guru yang luwes sebagai karakteristik kepribadian guru yang dapat memotivasi siswa dalam belajar, kurang menghayati setiap tahapan dalam model experiential learning sehingga belum dapat mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan baik, dan terdapat variabel luar yang tidak terkontrol selama penelitian. Kata Kunci: model experiential learning, kemampuan pemahaman matematis.
matematika lainnya. Kemampuan tersebut jika dipandang dari pengklasifikasian oleh Kilpatrick et al., akan serupa dengan kemampuan conceptual understanding dan procedural fluency. Kemampuan conceptual understanding adalah kemampuan menguasai gagasan-gagasan matematika secara fungsional dan terintegrasi, sedangkan procedural fluency adalah pengetahuan tentang prosedur, pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakan prosedur secara fleksibel, akurat, efisien, dan tepat (Kilpatrick et al., 2001).
PENDAHULUAN Salah satu kemampuan yang perlu dicapai oleh siswa dalam pembelajaran matematika menurut KTSP adalah kemampuan pemahaman matematis, yakni kemampuan untuk memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara fleksibel, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Kemampuan ini adalah kemampuan matematika yang paling mendasar sebagai fondasi dalam mencapai kemampuan 1
2 Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan sebesar 16,9% siswa sekolah menengah atas di Indonesia hanya mampu mencapai kemampuan conceptual understanding jika dibandingkan dengan rata-rata negara OECD sebesar 22% (OECD, 2010). Kemampuan ini dan procedural fluency saling berkaitan dan tidak bisa diprioritaskan salah satunya, sehingga dalam meningkatkan kemampuan conceptual understanding diperlukan kemampuan procedural fluency. Hal ini berimplikasi pada upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut yang terintegrasi menjadi kemampuan pemahaman matematis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa di Indonesia rendah. Hal ini dikarenakan pembelajaran konvensional yang menggunakan ceramah dalam penyampaian materi, cenderung membuat siswa melupakan pengetahuannya dengan mudah. Hal ini sesuai dengan Learning Pyramid dari National Training Laboratories (2007) yang menyampaikan bahwa Average Retention Rates (Tingkat Ingatan Rata-rata) siswa yang memperoleh metode pengajaran ceramah mengakibatkan mereka hanya dapat mengingat sebanyak 5% dari pengetahuan yang diajarkan. Salah satu model pembelajaran yang berpotensi untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis adalah model experiential learning. Model pembelajaran ini berorientasi pada teori belajar konstruktivisme. Model pembelajaran ini tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja, tetapi juga memberikan pengalaman yang akan membangun pemahaman dan keterampilan siswa melalui penugasan-penugasan nyata.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning dengan yang memperoleh pembelajaran konvensional. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen, karena subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya (Ruseffendi, 2010). Desain yang digunakan adalah Desain Kelompok Kontrol NonEkivalen (The Non-Equivalent Control Group Design). Desain ini menggunakan kelompok eksperimen dan kontrol yang tidak diambil secara acak, namun dipilih dua kelompok yang homogen. Adapun gambar disainnya adalah sebagai berikut (Ruseffendi , 2010: 53). O X1 O O X2 O dimana O = pretes/ postes; X1 = perlakuan berupa pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran experiential learning; dan X2 = perlakuan berupa pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di salah satu SMA negeri di Cimahi tahun ajaran 2013-2014 dengan sampel penelitian adalah dua kelas yang dipilih oleh pihak sekolah dimana satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satunya lagi sebagai kelas kontrol. Kedua kelas tersebut dapat mewakili populasi
3 berdasarkan proses pendistribusian siswa kedalam kelas-kelas yang homogen. Instrumen penelitian ini terdiri dari: 1. Tes pemahaman matematis, digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman matematis siswa sebelum dan sesudah memperoleh pembelajaran. Tes ini disebut pretes jika diberikan pada saat permulaan pembelajaran dan disebut postes jika diberikan pada saat akhir pembelajaran. 2. Jurnal harian, adalah sikap siswa selama penerapan model experiential learning yang digunakan sebagai acuan dalam merevisi RPP yang diberikan pada setiap akhir pertemuan. 3. Lembar observasi, digunakan sebagai pedoman dalam menilai kesesuaian antara pembelajaran experiential learning dengan skenario yang telah disusun RPP yang diisi oleh observer ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Selain itu, data mengenai proses pembelajaran pada kelas eksperimen akan diambil melalui rekaman audio visual.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap-tahap dalam pembelajaran experiential learning, mengacu pada penelitian oleh Silfianisa Nurhanifah tahun 2010 (Nurhanifah, 2010), namun dengan sedikit perubahan pada tahap pertama, yaitu: 1. Tahap konkret-reflektif, yang diawali dengan pemberian tugas 1 sebagai stimulus bagi siswa dalam mengingat kembali konsep-konsep yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Selain itu, siswa dikenalkan pada konsep baru yang akan dibentuknya. Siswa diminta untuk menyelesaikan tugas 1 melalui diskusi dengan teman sekelompoknya. Setelah diskusi
berakhir, guru bersama siswa membahas penyelesaian tugas 1 agar tidak terjadi miskonsepsi dalam merumuskan dan membentuk konsep yang menjadi tahap awal dalam mendalami konsep baru yang akan dipelajari. Siswa pada akhir tahap ini telah mengenal konsep awal yang akan digunakan dalam mendalami konsep baru yang akan diberikan pada tahap pembelajaran selanjutnya. 2. Tahap konkret-aktif, diawali dengan pemberian tugas 2 yang harus diselesaikan secara berkelompok. Tugas ini mengarahkan siswa pada pendalaman konsep baru yang akan dipelajari sebagai tahapan selanjutnya bagi siswa dalam memperoleh konsep baru secara utuh melalui pengalaman konkret. Siswa diberi tugas yang mengeksplorasi karakteristik dari konsep baru dengan konsep yang telah diketahuinya pada tugas 1. Siswa pada tahap ini terjadi transformasi pengalaman, yakni perubahan dari pengalaman siswa mengenai konsep lama yang diketahuinya untuk dibentuk menjadi konsep baru. Selama siswa berdiskusi, guru berkeliling kelas untuk mengawasi jalannya diskusi setiap kelompok dan memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. 3. Tahap abstrak-reflektif, diawali dengan justifikasi hasil jawaban pada tugas 2 oleh guru melalui penjelasan yang masuk akal, kemudian mengarahkan siswa dalam membentuk konsep baru melalui kaitannya dengan konsep lama yang diperoleh setelah membahas tugas 1. 4. Tahap abstrak-aktif, dilaksanakan melalui pemberian tugas 3 sebagai latihan bagi siswa dalam menggunakan konsep baru pada pembahasan tugas 2.
4 Berdasarkan hasil analisis data terhadap skor pretes dapat ditunjukkan bahwa rata-rata skor pretes kelas eksperimen sama dengan kelas kontrol atau dengan kata lain kemampuan awal pemahaman matematis kelas eksperimen sama dengan kelas kontrol. Hasil analisis data terhadap skor postes pun menunjukkan bahwa ratarata skor postes kelas eksperimen tidak lebih tinggi daripada kelas kontrol atau dengan kata lain peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa kelas eksperimen tidak lebih tinggi daripada kelas kontrol. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning tidak lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil analisis jurnal harian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa menampilkan sikap positif terhadap pembelajaran experiential learning. Hal ini dapat ditunjukkan dengan persentase sikap positif yang ditampilkan siswa pada keempat hasil jurnal harian berada di atas 50%. Hasil lembar observasi yang diperkuat oleh rekaman audio visual juga menunjukkan semua aspek pada aktivitas guru maupun siswa telah dilaksanakan. Namun terdapat aktivitas guru yang mengakibatkan aktivitas siswa menjadi terhambat yang akan dijelaskan pada uraian permasalahan guru dalam penerapan model experiential learning. Penerapan model experiential learning diduga terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran tersebut, yakni sebagai berikut. 1. Siswa Motivasi yang telah terbentuk dalam diri siswa di kelas eksperimen untuk belajar matematika cukup tinggi. Siswa dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh
guru, tidak hanya memanfaatkan buku paket yang dimiliki oleh setiap siswa, tetapi juga memanfaatkan internet sebagai sumber belajar lainnya. Siswa memiliki keinginan yang cukup kuat untuk mau mengerjakan setiap tugas yang diberikan oleh guru. Namun pada prosesnya, siswa terlihat kebingungan dalam mengerjakan tugas 1 pada tahap konkret-reflektif dalam mengeksplorasi karakteristik pada konsep baru yang dipelajari, seperti tugas 1 pada pertemuan 1 berikut. 1. Manakah diantara bilangan-bilangan berikut yang termasuk kedalam bentuk sederhana dan bentuk tidak sederhana? Jelaskan alasanmu. a.
2
b.
√3
2 3
√3
2
c. √3
d.
1 3
√6
2. Berdasarkan hasil yang kamu peroleh pada nomor 1, tulislah dengan katakatamu sendiri apa yang dimaksud dengan bentuk sederhana pada bilangan yang memuat bentuk pecahan dan akar. Siswa dalam mengerjakan tugas 1 di atas dapat membedakan antara bentuk sederhana dan tidak sederhana pada pecahan dan akar, namun mereka kebingungan dalam memberikan alasan yang dapat membedakan kedua bentuk tersebut yang pada akhirnya kesulitan dalam merumuskan pengertian dari bentuk sederhana pada pecahan dan akar. Siswa terlihat mulai bekerja dalam menyelesaikan tugas 2 pada tahap konkretaktif. Hal ini diduga karena siswa telah memperoleh rumusan konsep yang benar pada tahap konkret-reflektif yang dapat membantu penyelesaian tugas 2, seperti pada contoh tugas 1 dan 2 pada pertemuan ketiga berikut. Tugas 1 1. Hitunglah. 1
a. (32 )2
1
b. √32 c. (23 )− 3
d.
1 3
√23
5 2. Perhatikan kembali nomor 1. Apa kaitan antara poin a dan b? 3. Perhatikan kembali nomor 1. Apa kaitan antara poin c dan d? Tugas 2 1. Nyatakan bentuk pangkat berikut menjadi bentuk akar, kemudian hitunglah. 1
1
2
2
b. (83 ) a. (82 )3 c. 83 2. Berdasarkan hasil yang kamu peroleh pada nomor 1, rumuskanlah perubahan 𝑚
bentuk pangkat pecahan positif 𝑎 𝑛 menjadi bentuk akar. Siswa
setelah
mengetahui
kaitan
1 𝑛
antara bentuk pangkat pecahan 𝑎 dengan 𝑛 bentuk akar √𝑎 pada tahap konkretreflektif, mereka dapat mengerjakan tugas 2. Namun sebagian besar siswa dalam mengerjakan tugas 2 pada tahap konkretaktif cenderung langsung menggunakan rumus perubahan bentuk pangkat pecahan 𝑚
𝑛
𝑎 𝑛 menjadi bentuk akar √𝑎𝑚 , tanpa dikaitkan dengan konsep yang telah didapatkan pada tugas 1. Siswa dalam hal ini kurang bisa mengaitkan konsep yang diketahuinya dengan konsep baru yang akan dibentuknya. Adapun suasana belajar di dalam kelas eksperimen cenderung bersifat individualis. Siswa dalam mengerjakan tugas secara berkelompok cenderung mengerjakan tugas sendiri atau bersama teman sebangkunya. Bahkan terdapat siswa yang cenderung mengandalkan satu atau dua orang temannya yang dianggap pintar dalam pelajaran matematika. Kelompok siswa yang terbentuk selama kegiatan pembelajaran ini didasarkan oleh keheterogenan kemampuan siswa yang dilihat dari hasil pretes, sehingga dalam sebuah kelompok terdapat siswa dengan kemampuan yang tinggi dan rendah. Siswa dengan kemampuan yang rendah
memiliki karakteristik yaitu salah satunya adalah percaya bahwa jika sesuatu akan terlalu sulit, tak ada yang bisa mereka lakukan (Rasyid dan Mansur, 2009: 56). Hal ini akan mengakibatkan siswa menunggu teman sekelompoknya berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Selain bersifat individualis, suasana kelas yang tercipta ketika proses pembelajaran membuat siswa menjadi tegang dalam belajar. Hal ini diduga karena siswa dituntut untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan. Permasalahan seperti ini akan berpengaruh pada kinerja dan perilaku siswa yang akan mengurangi motivasi siswa dalam belajar. Hal inilah yang mengakibatkan terdapat siswa yang meminta bantuan atau menunggu justifikasi dari guru pada saat pembahasan tugas. 2. Fasilitas Keadaan fisik di kelas eksperimen cukup pengap yang diduga dapat menyebabkan siswa kurang bersemangat dalam belajar. Hal ini dapat terlihat dari aktivitas siswa yang sering mengibaskan buku pada badannya karena kegerahan pada saat pembelajaran berlangsung. Pembelajaran baik di kelas eksperimen maupun kontrol dilakukan pada siang hari. Namun ruang kelas eksperimen cukup sempit, memiliki sedikit ventilasi udara, dan tidak dilengkapi Air Conditioner (AC) jika dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini menjadi variabel luar yang tidak terkontrol selama penelitian ini berlangsung yang seharusnya dapat diantisipasi oleh penulis agar tidak mempengaruhi hasil penelitian. 3. Guru Berdasarkan uraian mengenai permasalahan pada siswa, dapat diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Guru dalam memberikan bantuan
6 kepada siswa mengalami kesulitan dalam mengarahkan siswa untuk membentuk sendiri konsep yang dipelajarinya tanpa menjelaskan konsep tersebut secara langsung. Hal ini salah satunya terjadi pada bantuan yang diberikan pada tugas 1 pertemuan pertama. Adapun contoh dari tugas 1 dan bentuk bantuannya adalah sebagai berikut. Tugas 1 1. Manakah diantara bilangan-bilangan berikut yang termasuk kedalam bentuk sederhana dan bentuk tidak sederhana? Jelaskan alasanmu. a.
2 √3
b.
2
√3 3
2
c. √3
d.
1 3
√6
2. Berdasarkan hasil yang kamu peroleh pada nomor 1, tulislah dengan katakatamu sendiri apa yang dimaksud dengan bentuk sederhana pada bilangan yang memuat bentuk pecahan dan akar. Bantuan Guru 1. Sebutkan contoh bilangan berbentuk pecahan yang kamu ketahui. 2. Sebutkan contoh bilangan berbentuk akar yang kamu ketahui, lalu bandingkan dengan contoh bilangan berbentuk pecahan yang kamu sebutkan sebelumnya. Bantuan yang diberikan oleh guru dimulai dengan memberikan pertanyaan yang disesuaikan dengan skenario RPP seperti contoh di atas. Siswa merasa kebingungan dalam menanggapi bantuan yang diberikan, karena mereka masih belum dapat membedakan antara bilangan pecahan yang termasuk himpunan bilangan rasional dengan bilangan akar yang termasuk himpunan bilangan irrasional. Respon siswa yang kebingungan dalam menanggapi bantuan tersebut kurang diantisipasi oleh guru sehingga dalam mengatasi masalah tersebut guru perlu mengingatkan kembali perbedaan antara kedua himpunan bilangan
tersebut. Hal ini menyimpang dari RPP yang telah dirancang, karena dalam skenarionya tidak ada aktivitas dimana guru mengingatkan kembali konsep tersebut. Permasalahan ini dapat terjadi karena penulis sebagai guru masih belum berpengalaman dalam mengajar, sehingga kurang dapat mengantisipasi dengan baik respon siswa yang akan diberikan ketika memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas siswa. Guru dalam hal ini seharusnya dapat mempertimbangkan berbagai alternatif cara mengkomunikasikan bantuan kepada siswa. Uraian mengenai permasalahan pada siswa juga menyebutkan suasana kelas yang tercipta ketika proses pembelajaran membuat siswa menjadi tegang dalam belajar. Hal ini diduga karena guru terlalu terpaku pada model pembelajaran yang digunakan sehingga suasana belajar pada akhirnya terkesan monoton dan membosankan. Padahal guru seharusnya dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan atmosfir kelas yang baik sehingga dapat mengurangi ketegangan siswa dalam belajar. Sikap guru dalam mempertimbangkan berbagai alternatif cara mengkomunikasikan bantuan kepada siswa dan menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan atmosfir kelas yang baik adalah salah satu ciri dari perilaku kognitif guru yang luwes menurut Daradjat (Syah, 2005: 227). Daradjat lebih lanjut menyatakan bahwa keluwesan guru dalam menampilkan perilaku kognitif adalah salah satu karakteristik kepribadian guru yang dapat memotivasi siswa dalam belajar. Lemahnya motivasi siswa akan berdampak pada lemahnya keinginan untuk belajar yang selanjutnya hasil belajar akan menjadi rendah. Guru sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran perlu membangkitkan
7 motivasi siswa untuk belajar, karena tidak semua siswa sudah memiliki keinginan belajar yang kuat. Strategi membangkitkan motivasi belajar kepada siswa bergantung salah satunya pada kepribadian guru (Eggleton, 1991). Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah penulis sebagai guru belum dapat menampilkan perilaku kognitif guru yang luwes sebagai karakteristik kepribadian guru yang dapat memotivasi siswa dalam belajar. Permasalahan lainnya yang terjadi pada guru adalah terdapat kegiatan experiential yang belum berjalan baik. Berdasarkan hasil rekaman audio visual, aktivitas siswa dalam suatu pertemuan sempat mengalami hambatan dikarenakan pada saat pembahasan suatu tugas, guru selalu mencatat pendapat siswa di papan tulis dan diskusi yang berlangsung pada saat mengerjakan suatu tugas berjalan terlalu lama. Hal ini didukung oleh pendapat Silberman (2012) yang menyatakan bahwa dalam membantu kegiatan experiential, usahakan agar aktivitas terus berjalan. Jangan memperlambat aktivitas dengan terus mencatat pendapat siswa di papan tulis dan jangan biarkan diskusi berjalan berkepanjangan. Uraian mengenai permasalahan siswa telah menyebutkan bahwa mereka mengalami kesulitan pada tahap konkretreflektif dalam mengeksplorasi karakteristik pada konsep baru yang dipelajari dan pada tahap konkret-aktif dalam mengaitkan konsep yang diketahui dengan konsep baru yang akan dibentuk. Permasalahan siswa lainnya yaitu pada tahap abstrak-aktif setiap pertemuan tidak dapat dilaksanakan di dalam kelas, dikarenakan keterbatasan waktu yang dimiliki dalam satu kali pertemuan pembelajaran. Guru tidak dapat mengamati proses pembelajaran yang terjadi pada tahap abstrak-aktif untuk mengetahui
kesulitan yang dihadapi siswa dalam mengerjakan tugas 3, karena tugas tersebut dijadikan PR. Hal ini diduga karena interaksi yang terjalin kurang baik antara guru dengan siswa. Kemampuan guru dalam berinteraksi dengan siswa ketika pembelajaran berlangsung adalah salah satu aspek yang mempengaruhi strategi membangkitkan motivasi belajar siswa (Eggleton, 1991). Interaksi yang baik antara guru dengan siswa akan memungkinkan keterlibatan mental siswa secara optimal dalam merealisasikan pengalaman belajar (Tim MKPBM, 2001). Interaksi yang kurang baik dengan siswa akan berdampak pada belum optimalnya guru merealisasikan pengalaman belajar di setiap tahapan pembelajaran experiential learning. Permasalahan ini mengindikasikan bahwa penulis sebagai pelaksana skenario pembelajaran, masih belum dapat menghayati dengan baik setiap tahapan dalam model experiential learning sehingga belum dapat mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan baik. Berdasarkan uraian mengenai faktorfaktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan pembelajaran experiential learning dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning tidak lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional diduga disebabkan oleh kurangnya pengalaman penulis dalam menampilkan perilaku kognitif guru yang luwes sebagai karakteristik kepribadian guru yang dapat memotivasi siswa dalam belajar, kurangnya menghayati setiap tahapan dalam model experiential learning sehingga belum dapat mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan baik, serta terdapat variabel luar yang tidak terkontrol
8 selama penelitian berlangsung yakni keadaan fisik yang berbeda pada kelas eksperimen dan kontrol. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa SMA yang memperoleh pembelajaran experiential learning tidak lebih tinggi daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini diduga karena kurangnya pengalaman penulis dalam menampilkan perilaku kognitif guru yang luwes sebagai karakteristik kepribadian guru yang dapat memotivasi siswa dalam belajar, kurangnya menghayati setiap tahapan dalam model experiential learning sehingga belum dapat mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan baik, serta terdapat variabel luar yang tidak terkontrol selama penelitian berlangsung yakni keadaan fisik yang berbeda pada kelas eksperimen dan kontrol. Adapun rekomendasi-rekomendasi yang diajukan terhadap kesimpulan penelitian ini diantaranya: (1) instrumen penelitian dan bahan ajar yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis melalui pembelajaran experiential learning direkomendasikan untuk dilakukan eksperimen kembali di kelas yang berbeda dengan tingkat dan jenjang pendidikan yang sama; serta (2) penelitian terhadap kemampuan pemahaman matematis direkomendasikan untuk menggunakan model-model pembelajaran lainnya yang dapat berpotensi untuk meningkatkan kemampuan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Eggleton, P. J. (1991). Motivation: A Key to Effective Teaching. Dalam The Mathematics [Online], Vol 3 (2), 12 halaman. Tersedia: http://www.math. coe.uga.edu/ [4 Oktober 2013] Kilpatrick, J., Swafford, J., dan Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learns Mathematics. Washington, DC. National Academy Press. National Training Laboratories. (2007). The Learning Pyramid. [Online]. Tersedia: http://siteresources.world bank.org/DEVMARKETPLACE/ Resources/Handout_TheLearningPyr amid.pdf [27 Juni 2013] Nurhanifah, S. (2010). Penerapan Model Experiental Learning dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematis Siswa SMA. Skripsi pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). (2010). PISA 2009 Results: What Students Know and Can Do-Student Performance in Reading, Mathematics and Science (Volume I). [Online]. Tersedia: http://www. oecd.org/pisa/pisaproducts/48852548 .pdf [27 Juni 2013] Rasyid, H. dan Mansur. (2009). Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV. Wacana Prima. Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Silberman, M. L. (2012). Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nuansa. Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
9 Sugiyono. (2012). Statistika Penelitian. Bandung: Alfabeta.
untuk
Syah, M. (2005). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim
MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICAUniversitas Pendidikan Indonesia.