RATU KALINYAMAT Suatu Folklor yang Menjiwai Kesetiaan Wanita Jawa
Oleh : Vella Fitriana
JURUSAN SASTRA DAERAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 RATU KALINYAMAT
Sastra terdiri atas sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis dapat dijumpai di berbagai suku bangsa di Indonesia, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Salah satunya adalah sastra Jawa Kuno yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan sastra daerah lainnya. Sedangkan sastra lisan terdapat pada masyarakat suku bangsa di Indonesia yang telah lama ada, bahkan setelah tradisi tulis berkembang, sastra lisan masih kita jumpai. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas sastra lisan di Indonesia luar biasa kayanya dan luar biasa ragamnya. Melalui sastra lisan, masyarakat dengan kreativitas yang tinggi menyatakan diri dengan menggunakan bahasa yang artistik. Bahkan pada saat sekarang pun, kita masih menjumpai kehidupan sastra lisan terutama yang digelarkan dalam upacaraupacara adat. Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata atau lisan, itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan (oral tradition). Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Sedangkan folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Upacara tradisional mengandung berbagai aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap warga pendukungnya. Aturan tersebut tumbuh dan berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat secara turun-temurun, dengan peranannya yang dapat melestarikan ketertiban hidup masyarakat. Upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat dan juga merupakan penghubung antara dunia nyata dengan dunia ghaib. Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal dari dunia ghaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya terhadap simbol-simbol itu. Suatu contoh nyata adalah upacara tradisional Jembul, situs pertapaan Ratu Kalinyamat. Cerita tentang pertapaan Ratu Kalinyamat yang berada di Desa Tulakan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara ini dapat digolongkan sebagi cerita prosa
rakyat yang berbentuk legenda karena diyakini kebenarannya. Bermula dari kematian Sultan Hadirin suami Ratu Kalinyamat yang dibunuh oleh Arya Penangsang, demi menunjukan kesetiaan kepada suaminya, Ratu Kalinyamat melakukan pertapaan selama bertahun-tahun dan memohon kepada Tuhan supaya dendam suaminya dapat terkabul, dan Arya Penangsang akhirnya meninggal dunia dengan mengenaskan, sejak itulah tempat persemedian itu dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Cerita rakyat pertapaan Ratu Kalinyamat yang dwariskan secara turun-temurun secara lisan telah memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat pemilik cerita tersebut. Terkait dengan hal di atas yang melandasi uniknya cerita Pertapaan Ratu Kalinyamat adalah : 1. Mitos yang terkandung dalam cerita rakyat pertapaan Ratu Kalinyamat merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu untuk digali dan dihayati. 2. Cerita rakyat pertapaan Ratu Kalinyamat ini merupakan aset kebudayaan masyarakat di Desa Tulakan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara pada khususnya dan kebudayaan nasional pada umumnya, sehingga penelitian ini merupakan salah satu langkah dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah.
1. Asal-Usul Pangeran dan Ratu Kalinyamat Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, putri Sultan Trenggana raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat yang bernama Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putra Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Cina dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib. Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Disana Win-tang mendirikan Desa Kalinyamat, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri Bupati Jepara, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat
menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri. Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Kematian Pangeran Kalinyamat Pada tahun 1549 Sunan Prawata raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi bupati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan. Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal Sultan Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal. Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisasisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.
Ratu Kalinyamat Bertapa Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian bertapa di lereng antara Gunung Donorejo dan Gunung Clering. Ia memohon pertolongan dari Tuhan agar melampiaskan dendam kesumatnya terhadap Arya Penangsang, salah seorang murid kesayangan Sunan Kudus . Dengan dendamnya yang menggumpal Ratu Kalinyamat pun bersumpah tidak akan berhenti dengan pertapaannya sebelum berkeset kepala Arya Penangsang. Ingsun ora pisan-pisan jengkar soko topo ingsun, yen durung biso keramas getihe lan kesed jambule Aryo Penangsang,” artinya saya tidak akan beranjak dari
pertapaanku, selagi belum keramas dengan darah Aryo Penangsang, serta membasuh kakiku dengan rambutnya. Demikianlah sumpah yang diucapkan oleh Ratu Kalinyamat. Harapan terbesarnya adalah adik iparnya, yaitu Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, Bupati Pajang, karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan Bupati Jipang. Hadiwijaya segan menghadapi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan Pati. Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan, berkat siasat cerdik Ki Juru Martani. Perang yang legendaris ini berlangsung di dekat Sungai Kedung Srengenge. Dalam pertarungan yang sengit, Aryo Penangsang tewas secara tragis, ususnya terburai oleh kerisnya sendiri. Dendam kesumat ratu yang cantik ini pun terbalaskan sudah.
Serangan Pertama Ratu Kalinyamat pada Portugis Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati Jepara. Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, wilayah Demak, Jepara, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya sebagai raja. Meskipun demikian, Sultan tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati. Ratu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), bersikap anti Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan sultan Kerajaan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih bertahan. Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2.000
prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka. Ratu Kalinyamat tidak pernah jera. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative.
Serangan Kedua Ratu Kalinyamat pada Portugis Pada tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang Malaka tahun 1567 meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal. Pada tahun 1573 Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Malaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis. Pasukan Jepara yang terlambat datang itu langsung menembaki Malaka dari laut. Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar. Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan damai karena terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang tiba di Jawa. Meskipun dua kali mengalami kekalahan, namun Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige
Dame, yang berarti "Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani".
Pengganti Ratu Kalinyamat Ratu Kalinyamat meninggal dunia sekitar tahun 1579. Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di Desa Mantingan. Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena putra bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi Bupati Madiun. Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi Bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Ayah Pangeran Arya Jepara adalah Maulana Hasanuddin raja pertama Banten. Ketika Maulana Yusuf raja kedua Banten meninggal dunia tahun 1580, putra mahkotanya masih kecil. Pangeran Arya Jepara berniat merebut takhta. Pertempuran terjadi di Banten. Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah Ki Demang Laksamana, panglimanya, gugur ditangan Patih Mangkubumi Kesultanan Banten.
Gambaran Tempat Situs Pertapaan Ratu Kalinyamat. Ratu perempuan kerajaan yang berpusat di Jepara—tepatnya di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan—itu terpaksa menjanda pada tahun 1549 setelah suaminya, Sultan Hadirin dibunuh Aryo Penangsang. Sejak saat itu, di salah satu sudut gunung, ratu yang dilukiskan cantik ini bertahun-tahun bertapa telanjang (tapa wudo), hanya berbalut rambutnya yang panjang. Situs pertapaan Ratu Kalinyamat itu kini diyakini berada di Desa Tulakan, Kecamatan Keling. Letaknya sekitar 40 Kilometer arah timur laut Kota Jepara, atau 78 Kilometer dari Kota Kudus, Jawa Tengah. Di tempat itu terdapat bangunan sederhana berukuran 3x6 Meter, yang berada persis di tepian sungai kecil di Tulakan. Oleh Pemerintah Kabupaten Jepara, lokasi ini telah dibangun pintu gerbang.
Tempat pemandian untuk kungkum (berendam) di sungai kecil dekat pertapaan juga dibangun pagar pemisah untuk peziarah (baca: pelaku tirakatan) pria dan wanita. Jalanan dan halaman situs pun telah diperkeras dengan paving block. Petilasan pertapaan adik kandung Sunan Prawata ini setiap malam Jumat Wage dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai daerah di sekitar Jepara. Para peziarah kebanyakan kaum perempuan yang ingin cantik alami seperti Ratu Kalinyamat. Syaratnya, mereka terlebih dahulu harus mandi di sungai kecil di dekat situs bekas pertapaan. Setelah itu mereka tirakatan selama 40 hari. Laku tapa Ratu Kalinyamat dengan sumpahnya itu ditafsirkan oleh masyarakat Desa Tulakan sebagai wujud kesetiaan, kecintaan, dan pengabdian Sang Ratu kepada suaminya. Ia dengan kesadaran dan keikhlasan yang tinggi bersedia meninggalkan gemerlapnya kehidupan istana.
2. Mitos-Mitos yang Terdapat dalam Cerita Rakyat Pertapaan Ratu Kalinyamat Menurut James Danandjaya, Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita, mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa, peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau. Dalam cerita rakyat pertapaan Ratu kalinyamat ini dipercaya terdapat mitos-mitos sebagai berikut : a. Situs pertapaan Ratu Kalinyamat ini setiap malam Jumat Wage dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai daerah, karena dipercaya pada malam Jumat Wage merupakan malam yang penuh berkah dan doa mudah terkabul. b. Dipercaya jika kaum perempuan ingin cantik alami, mereka harus terlebih dahulu mandi di sungai kecil yang ada di dekat pertapaan Ratu Kalinyamat serta dilengkapi dengan bertapa atau meditasi selama 40 hari. c. Pada saat diadakannya upacara yang dinamakan Jembul, Jembul dipercaya telah dirasuki roh halus sehingga beberapa kali gagal untuk diletakkan. Jembul disini adalah rangkaian sesaji yang diletakkan di dalam ancak.
d. Masyarakat desa Tulakan ini mempercayai jika tiap tahun sekali mengadakan prosesi upacara Jembul, maka masyarkat sekitar akan merasa makmur dan hasil pertaniannya pun akan berhasil dengan baik.
3. Tradisi Upacara Yang Ada Dalam Situs Pertapaan Ratu Kalinyamat Terbentuknya simbol-simbol dalam upacara tradisional itu berrdasarkan nilainilai estetis dan pandangan hidup yang berlaku didalam kehidupan bermasyarakat. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu, ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulangulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata social yang berlaku.
Tradisi Upacara Jembul Ribuan penduduk Desa Tulakan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, setiap satu tahun sekali dipenuhi oleh para pengunjung. Mereka ingin menyaksikan prosesi puncak upacara Sedekah Bumi Jembul, yang menelan biaya begitu besar hingga puluhan juta. Sebelum puncak acara pada malam Jumat Wage, sebagian besar penduduk Desa Tulakan yang berjumlah sekitar 14.000 jiwa ini menggelar acara makan bersama. Esok harinya dilanjutkan doa bersama, lalu pada Minggu malamnya digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Jembul adalah istilah setempat. Orang Jawa umumnya menyebutnya sebagai jambul, artinya bagian dari rambut kepala yang sengaja ditata agar sedikit menjulang ke atas. Adapun Jembul dalam prosesi ini adalah rangkaian sesaji yang diletakkan di dalam ancak, sejenis keranjang atau kotak yang terbuat dari kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Di bagian bawahnya diikatkan dengan dua batang bambu berjajar yang berfungsi untuk memikul. Jembul terdiri atas Jembul lanang (laki-laki) yang di dalamnya berisi aneka makanan, seperti jadah (gemblong), jenang, tape. Di bagian atasnya dihias dengan ratusan potongan bambu ukuran sebesar jempol tangan, panjang sekitar 30 Cm
yang bagian ujungnya disayat tipis-tipis melingkar sehingga membentuk mirip Jembul atau jambul, dan diikatkan potongan kain beraneka warna. Disamping itu, ada Jembul wadon (perempuan) yang di dalamnya berisi nasi ambengan dan laukpauknya. Jumlah Jembul ada empat pasang. Jembul pertama dari Dukuh Krajan, disusul dari Dukuh Ngemplak, Dukuh Winong, dan Jembul keempat dari Dukuh Drojo dan Pejing. Masing-masing Jembul di bagian puncaknya terdapat boneka golek dari kayu. Sebelum ditempatkan di halaman rumah Kepala Desa Tulakan, empat pasang Jembul tersebut digotong puluhan penduduk. Namun, untuk mengangkat masingmasing Jembul di tempat yang telah ditentukan ternyata membutuhkan tenaga yang ekstra kuat. Konon, pada saat itu Jembul telah dirasuki roh halus sehingga beberapa kali gagal diletakkan. Jembul berubah menjadi berat sekali, dan seakan ada yang mengendalikan. Setiap memasuki arena parkir, masing-masing Jembul diiringi gending (musik) Jawa yang berbeda satu sama lain. Setelah semua Jembul ditaruh di area yang ditentukan, upacara Jembul Tulakan yang berlangsung setahun sekali setiap Senin Pahing bulan Apit atau pada bulan Dzulqaidah berturut-turut memberikan sambutan Kepala Desa Tulakan, Kecamatan Keling, dan terakhir oleh utusan Bupati Jepara. Prosesi ini dilanjutkan dengan hiburan berupa kesenian tayub dari perwakilan sejumlah perangkat desa setempat, yaitu dari Dukuh Krajan, Ngemplak, Winong, Drojo, dan Pejing. Selanjutnya dilaksanakan upacara kenduri. Kepala Desa Tulakan disertai seluruh perangkatnya mengitari semua Jembul yang diletakkan di halaman rumah kepala desa. Acara diakhiri dengan kembalinya Jembul ke masing-masing pedukuhan. Pada saat ke luar dari halaman kepala desa inilah masing-masing Jembul diperebutkan oleh warga yang hadir. Pada saat seperti ini sering terjadi baku hantam antarwarga. Pada prosesi tahun ini juga diwarnai dua kali adu fisik, namun dengan cepat bisa diatasi warga lain serta petugas kepolisian yang menjaga keamanan. Prosesi Jembul sendiri juga disamakan dengan upacara sedekah bumi atau bersih desa yang biasanya dimaksudkan untuk menyambut masa tanam. Petani melakukan upacara bersih desa dengan maksud agar panenan nanti berhasil baik. Suatu kegiatan sedekah bumi dari Desa Tulakan yang
menampilkan sesajian yang berbentuk gunungan sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan Yang Maha Esa, dikarenakan mereka berhasil mendapatkan panen pertanian dengan cukup melimpah. dengan sajian tersebut juga diharapkan pada masa mendatang dapat berhasil mendapatkan panen yang bagus. Kegiatan ini begitu ramai sehingga tidak saja diikuti oleh warga desa setempat, namun juga dari berbagai warga desa lain.
Cerita rakyat yang berjudul pertapaan Ratu Kalinyamat ini merupakan cerita legenda karena dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci berlainan dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib, tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau, cerita ini mengajarkan kepada kaum perempuan untuk selalu setia kepada suami, serta pengabdiannya kepada suami, serta mengajarkan agar tidak hanya mementingkan harta, sebab harta bukanlah segalanya dibandingkan dengan orang yang disayangi. Ratu Kalinyamat (1549-1579) merupakan seorang pemimpin wilayah Jepara yang sangat disegani kawan maupun lawan, walaupun penyerbuan prajurit – prajurit Jepara ke Malaka untuk mengusir Portugis boleh dibilang gagal, namun semangatnya melenyapkan penjajahan dan kesewenang-wenangan patutlah dicontoh oleh bangsa Indonesia. Terlepas dari mitos tentang kecantikan Ratu Kalinyamat yang legendaris itu, Jepara tampaknya menjadi wilayah yang bisa memberi inspirasi bagi kaum perempuan. Di Jepara pulalah RA Kartini lahir dan dibesarkan, dan memberikan pencerahan bagi kaum perempuan Indonesia pada awal abad ke-20. Tempat pertapaan Ratu Kalinyamat ini dipercaya terdapat banyak mitos oleh masyarakat sekitar, salah satu alasannya dikarenakan tempat ini adalah tempat keberhasilan Ratu Kalinyamat memohon kepada Tuhan. Adapun suatu tradisi di masyarakat sekitar wilayah Kecamatan Keling Kabupaten Jepara, sebagai ungkapan rasa
syukur dengan mengadakan sedekah bumi pada setiap tahun sekali yang dinamakan Upacara Jembul. Upacara resikan atau upacara pembersihan tempat jalannya Upacara Jembul Desa Tulakan, yang dilakukan warga masyarakat Desa Tulakan secara beramai-ramai tersebut sebagai lambang dalam rangka mengusir segala macam bentuk kejahatan lainnya, seperti mala petaka serta penyakit agar jangan sampai menimpa masyarakat Desa Tulakan.
DAFTAR PUSTAKA Atar Semi. M. 1990. Metode penelitian sastra. Bandung : Angkasa Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakartya : Gadjah Mada University Press James Danandjaya. 1991. Folklor Insonesia Ilmu gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta :Grafiti Soepanto, dkk. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Vladamir Proop. 1979. Morphology Of the Folkate.