MAKALAH PROP POSAL OP PERASION NAL PENE ELITIAN T TA. 2014
IINVENTARIS SASI M MODAL SOSIA AL DAL LAM MENDUK KUNG PEMBA ANGUN NAN PERTAN NIAN D DI KAW WASAN PERBA ATASA AN DAN N TERT TINGGAL
Oleh: Sunarsih h Dewa K Ketut Sadra a Swastika Mu uhammad IIqbal Mewa Aria ani Bam mbang Prassetyo Miftahul Azzis
PU USAT SO OSIAL EK KONOMII DAN KE EBIJAKA AN PE ERTANIA AN BA ADAN PE ENELITIA AN DAN PENGEM MBANGA AN PE ERTANIA AN 2013
1
Ringkasan Tujuan pembangunan nasional adalah mensejahterakan masyarakat tak terkecuali masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Perubahan paradigma dalam memandang wilayah perbatasan dari inward looking dengan pendekatan keamanan menjadi outward looking dengan pendekatan kesejahteraan dengan tanpa meninggalkan pendekatan keamanan, telah mengubah strategi pemerintah dalam membangun wilayah perbatasan. Pembangunan wilayah pertabatasan ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Tahap pertama (20052008) maupun kedua (2010-2014). Bahkan pada tahun 2010 telah dibentuk Badan nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dengan tugas menyusun grand design pembangunan di wilayah perbatasan. Sekali pun berbagai upaya telah dilakukan namun faktanya kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih belum menggembirakan. Wilayah perbatasan masih identik dengan wilayah tertinggal, miskin, dan rawan pangan, dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi masih sangat terbatas; dan di sektor pertanian tingkat produktivitas dan mutu produk pertanian yang dihasilkan relatif jauh lebih rendah dengan daerah lain. Jika diperhatikan secara seksama, strategi yang dilaksanakan selama ini lebih banyak bertumpu pada pengerahan modal pembangunan alamiah (natural capital), manusia (human capital), fisik (physical capital). Satu jenis modal yang belum secara optimal dimanfaatkan, bahkan cenderung diabaikan karena sifatnya yang abstrak adalah modal sosial. Padahal seperti halnya jenis modal yang lain, modal sosial bersifat produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya. Fakta empiris menunjukkan bahwa modal sosial mempunyai pengaruh yang kuat terhadap hasil-hasil pembangunan, termasuk pertumbuhan, keadilan dan pengentasan kemiskinan. Dengan demikian penting untuk dilakukan inventarisasi modal sosial yang ada dalam masyarakat di wilayah perbatasan dan perannya dalam pendukung pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan formulasi alternatif kebijakan tentang peran modal sosial dalam mendukung pembangunan pertanian di kawasan perbatasan dan tertinggal. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : (1) Mendeskripsikan Kondisi Kawasan Perbatasan dan Tertinggal, (2) Menginventarisasi Modal Sosial dalam Komunitas Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal, (3) Mengalisis Peran Modal Sosial dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal. Penggalian data terkait dengan parameter modal sosial yang diteliti menggunakan “Social Capital Assessment Tool” (SOCAT), yang mengkombinasikan penggalian data kuantitatif dan kualitatif. Data dan informasi yang berhasil dirangkum akan diolah dalam bentuk tabulasi sederhana maupun tabulasi silang dan disajikan secara deskriptif eksplanatif.
2
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional : kesejahteraan masyarakat, tak terkecuali bagi masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan. Isu pembangunan kawasan perbatasan saat ini memang telah menjadi salah satu isu yang cukup penting pada level nasional, sehingga masuk menjadi salah satu agenda prioritas dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan dan keamanan nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan terdiri dari kawasan perbatasan darat dan laut, yang tesebar secara luas dengan tipologi yang sangat beragam mulai dari pedalaman hingga pulau-pulau kecil terdepan (terluar) (Bappenas, 2010). Wilayah perbatasan nagara kesatuan Republik Indonesia dengan negara tetangga secara keseluruhan membentang dari pantai timur Sumatera, perbatasan darat Kalimantan, perbatasan laut Sulawesi Utara, daerah Maluku Utara dan Halmahera Tengah, serta perbatasan darat antara Jayapura dengan Merauke di Irian Jaya. Secara keseluruhan, daerah perbatasan dengan negara tetangga mencakup tujuh wilayah provinsi daerah tingkat I yang terdiri atas 24 wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. Ketujuh provinsi daerah tingkat I tersebut adalah: (i) Daerah Istimewa Aceh, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kalimantan Barat, (v) Kalimantan Timur, (vi) Sulawesi Utara, dan (vii) Irian Jaya. Secara umum daerah perbatasan dengan negara tetangga di Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam daerah perbatasan yang didasarkan pada gugus/kelompok provinsi, yaitu: (i) daerah perbatasan Sumatera bagian timur yang terdiri atas wilayah lautan dan pulaupulau kecil, (ii) daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta yang terbaru Kalimantan Utara, yang merupakan perbatasan wilayah darat, (iii) daerah perbatasan Jayapura-Merauke yang merupakan perbatasan wilayah darat, dan (iv) daerah perbatasan Sulawesi Utara yang meliputi wilayah lautan dan kepulauan (Suprayoga, 1996). Dari pengelompokkan provinsi yang menunjukkan tipologi dari daerah perbatasan di atas, dapat dikelompokkan pola keterkaitan yang ada antara dua atau lebih negara/provinsi/wilayah yang berbatasan sebagai berikut: (1) pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Sumatera bagian timur dengan wilayah Malaysia, Singapura, dan Thailand, relatif kurang dekat dan tidak langsung, karena dibatasi oleh perairan Selat Malaka; dengan perkecualian pola keterkaitan yang relatif telah maju dan pesat pada segitiga pertumbuhan IMS-GT/SIJORI antara Singapura, Johor, dan Riau (Pulau Batam); (2) pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Provinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah, relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat, serta dengan kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia sehingga terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia; (3) pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Provinsi Sulawesi Utara dengan Provinsi Mindanao di Filipina Selatan yang relatif kurang intensif dan tidak langsung karena relatif jauh dan dibatasi oleh perairan dalam dan wilayah kepulauan; namun demikian, kecenderungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat kepulauan yang ada di Kepulauan Sangihe dan Talaud mengarah kepada negara 3
tetangga yang relatif lebih maju perekonomiannya;dan (4) pola keterkaitan pada daerah perbatasan antara wilayah Provinsi Irian Jaya dan Negara Papua Nugini yang relatif berhubungan langsung satu sama lain, dimana kondisi perekonomian kedua wilayah yang berbatasan tersebut relatif sama namun belum terjadi kegiatan perdagangan atau ekonomi yang intensif diantara keduanya. Pada dasarnya terdapat tiga aspek pokok yang mendasari karakteristik daerah perbatasan, yaitu aspek (i) sosial ekonomi, (ii) pertahanan keamanan, dan (iii) politis. Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh: (a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, (b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, (c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), (d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots). Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut potensial untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terdapat kecenderungan untuk bergeser ke soal politik. Paradigma masa lalu memandang kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa dearah menjadi kurang tersentuh dinamika pembangunan. Sebaliknya, Negara tetangga Malaysia begitu agresif dan progresif mengembangkan kawasan perbatasan, sehingga menjadi sentra pertumbuhan bisnis yang menggiurkan, yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketimpangan tersebut tentu saja menimbulkan semacam kecemburuan sosial bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan yang masuk Indonesia. Perubahan paradigma dalam memandang wilayah perbatasan dari inward looking dengan pendekatan keamanan menjadi outward looking dengan pendekatan kesejahteraan dengan tanpa meninggalkan pendekatan keamanan juga telah mengubah strategi pemerintah dalam membangun wilayah perbatasan. Pembangunan wilayah perbatasan ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional, sebagimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Tahap pertama (2005-2008) maupun kedua (20102014). Penanganan wilayah perbatasan dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, juga dijalin berbagai berntuk kerjasama dengan negara tetangga: (1) Kerjasama di bidang sosial ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo, diketuai oleh General Border Committee (GBC) di masing-masing negara yang di Indonesia adalah Panglima ABRI. Di bawah GBC telah dibentuk pula kelompok kerja (KK) Sosek Malindo di tingkat provinsi/negeri yang ditujukan untuk: (a) menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi 4
mengenai proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerjasama pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan, (2) Kerjasama Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia (KK SOSEK MALINDO) wilayah perbatasan antara Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah) dan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim) tersebut selain dikoordinasikan oleh Panglima ABRI selaku ketua GBC Indonesia, juga melibatkan Menteri Luar Negeri masing-masing negara selaku ketua Joint Committee Meeting (JCM) untuk membicarakan pembicaraan kerjasama bilateral antara Pemerintah Malaysia dan Pemerintah RI, (3) Kerjasama perbatasan Irian JayaPapua Nugini antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Papua Nugini melalui pembentukan Joint Border Committee (JBC) yang di pihak Pemerintah RI diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Pemerintah juga telah membentuk badan khusus untuk menangani wilayah perbatasan yaitu Badan nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) pada tahun 2010. Badan ini telah membuat grand design pembangunan di wilayah perbatasan, yang menghasilkan lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Semua upaya di atas, faktanya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Biro Perencanaan (2013) mengungkapkan kondisi wilayah perbatasan saat ini sebagai berikut : (1) Pada kawasan perbatasan, infrastruktur menjadi masalah utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi; (2) Kerawanan pangan dan “kurang gizi” dan keterisoliran menjadi tantangan di wilayah perbatasan; (3) Perekonomian di wilayah perbatasan masih bertumpu di sektor pertanian (dalam arti luas); dan (4) Pembangunan kawasan pertanian (fokus komoditas dan lokasi) diprioritaskan menyediakan infrastruktur dan pemberdayaan petani guna meningkatkan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan petani. Sektor pertanian yang sampai saat ini menjadi sumber nafkah utama masyarakat di wilayah perbatasan juga masih dalam kondisi yang belum optimal. Hasil kunjungan kerja yang dilakukan oleh anggota Forum Komunikasi Profesor Riset (FKPR) 2012 dan 2013 secara umum menemukan bahwa Indeks Pertanaman maupun produktivitas berbagai komoditas yang ditanaman petani masih relatih rendah dibandingkan hal serupa di wilayah bukan perbatasan dengan kondisi yang kurang lebih sama (Bahri et al. 2012; Sawit et al. 2012; Sutopo et al. 2012,). Pembangunan wilayah perbatasan tampaknya lebih fokus pada pendayagunaan modalmodal sumberdaya alam, manusia, fisik dan finansial, namun kurang memanfatkan potensi modal sosial. Padahal seperti halnya jenis modal yang lain, modal sosial bersifat produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak dapat dicapai tanpa keberadaannya. Oleh karenanya, menjadi penting untuk menginventasasi modal sosial yang ada dalam masyarakat di wilayah perbatasan, khususnya dalam komunitas pertanian, sebagimana yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu, dalam berbagai kasus telah diungkapkan bahwa modal sosial juga memiliki peran yang besar dalam pembangunan sosial maupun ekonomi (Hasbulah, 2006; Fukuyama, 1999) maka dinilai penting dalam penelitian ini untuk menganalisis peran modal sosial dalam mendukung pembangunan, khususnya pembagunan pertanian, di wilayah perbatasan. 1.2.
Dasar Pertimbangan
Wilayah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan wilayah negara tetangga yang berbatasan, nampak adanya kesenjangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Kondisi seperti ini mudah menimbulkan kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi ke 5
kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, maka kerawanan tersebut dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumber daya alam yang besar di kawasan perbatasan dan sekitarnya. Kebijaksanaan pembangunan daerah perbatasan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah perbatasan serta meningkatkan dan memantapkan ketahanan nasional (stabilitas dalam negeri). Strategi dan langkah-langkah kebijaksanaan pembangunan daerah perbatasan bermuara pada kesatuan pandangan bahwa wilayah perbatasan adalah merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana daerah dan masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal menerima pelayanan dari Pemerintah dalam arti luas, terutama melalui upaya pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air yang ditujukan kepada: (a) upaya memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat agar mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, dan (b) pemantapan keamanan dalam rangka pembinaan serta peningkatan ketahanan wilayah menuju terciptanya ketahanan nasional. Pengembangan wilayah-wilayah perbatasan telah mengalami perubahan paradigma yang mengubah arah kebijakan pembangunan yang sebelumnya inwrad looking menjadi outward looking, sehingga wilayah perbatasan dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi. Pendekatan pembangunan wilayah perbatasan kemudian berubah menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity/development approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Pembangunan wilayah perbatasan menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan dilakukan di beberapa titik wilayah perbatasan. Juga dijalin berbagai bentuk kerjasama dengan negara tetangga utnuk pengembangan wilayah perbatasan, baik dalam bentuk hubungan bilateral maupun multilateral, seperti : Sosek Malindo (Indonesia dengan Malysia), Joint Border Committee (JBC) antara Indonesia dengan Papua Nugini. Berdasarkan UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, pemerintah mendapatkan amanat untuk membentuk badan pengelola perbatasan di tingkat nasional dan daerah. Pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) terealisasi melalui Peraturan Presiden No.12 Tahun 2010, yang mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengokoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Sekali pun berbagai upaya telah dilakukan namun faktanya kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih belum menggembirakan. Wilayah perbatasan masih identik dengan wilayah tertinggal, miskin, dan rawan pangan, dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi masih sangat terbatas; dan di sektor pertanian tingkat produktivitas dan mutu produk pertanian yang dihasilkan relatif jauh lebih rendah dengan daerah lain. Hal senada dinyatakan Kementrian Lingkungan Hidup sebagaimana dikutip oleh Taryoto, (2013), yang antara lain mengungkapkan bahwa kawasan perbatasan termasuk sebagai daerah tertinggal dari sisi pembangunan; terdapat sekitar 45% desa miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%, sehingga hal tersebut mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal. Masih banyaknya tatangan yang harus dihadapi dan diselesaikan di wilayah perbatasan merupakan indikasi bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kondisi masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan tersebut belum membuah hasil seperti yang 6
diharapkan. Jika diperhatikan secara seksama, strategi yang dilaksanakan selama ini lebih banyak bertumpu pada pengerahan modal pembangunan alamiah (natural capital), manusia (human capital), fisik (physical capital). Satu jenis modal yang belum secara optimal dimanfaatkan, bahkan cenderung diabaikan karena sifatnya yang abstrak adalah modal sosial. Menurut Grootaert (1996), terdapat bukti yang terus berkembang bahwa modal sosial mempunyai pengaruh yang kuat terhadap hasil-hasil pembangunan, termasuk pertumbuhan, keadilan dan pengentasan kemiskinan. Bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efektif dan efisien dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya (Putnam, 1993). Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat. Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antarsesama pelaku ekonomi (Fukuyama, 1999). Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur yang dijalankan oleh pelaku dalam komunitas Cina, yang memiliki kohesifitas tinggi karena dilakukan dalam koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan dalam suatu jaringan terpola yang mendorong terbentuknya jaringan rasa percaya (network of trust). 1.3.
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan formulasi alternatif kebijakan tentang peran modal sosial dalam mendukung pembangunan pertanian di kawasan perbatasan dan tertinggal. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. 2. 3. 1.4.
Mendeskripsikan Kondisi Kawasan Perbatasan dan Tertinggal Menginventarisasi Modal Sosial dalam Komunitas Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal Mengalisis Peran Modal Sosial dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal Keluaran yang Diharapkan
1. Deskripsi Kawasan Perbatasan dan Tertinggal 2. Inventarisasi Modal Sosial di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal 3. Analisis Peran Modal Sosial dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal 4. Formulasi Alternatif Kebijakan Peran Modal Sosial dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal 1.5.
Perkiraan Manfaat dan Dampak
Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah semua pihak yang terlibat dan berwenang dalam membuat kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan maupun pelaksananya. Mengingat bahwa penelitian ini lebih fokus menyoroti masyarakat tani, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak, baik di pusat dan daerah, khususnya yang terlibat dalam pembangunan pertanian di wilayah perbatasan.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kerangka Teoritis
2.1.1. Konsep dan Peranan Modal Sosial Modal sosial (social capital) adalah salah satu bentuk dari beberapa modal (capitals) lainnya seperti modal sumberdaya alam (natural capital), modal keuangan (financial capital), modal fisik (physical capital), modal sumberdaya manusia (human capital), dan modal dari karya sumberdaya manusia (human made capital atau produced assets). Modal sosial tersebut lahir sebagai kritik terhadap modal sumberdaya manusia yang menggunakan pendekatan individual otonom yang merupakan karakter utama ilmu ekonomi terhadap masyarakat. Dari berbagai definisi tentang modal sosial, satu diantaranya telah disarikan oleh Bank Dunia (World Bank, 2002) dengan pengertian yang cukup mendasar, dimana modal sosial “.....
is broadly define as institutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Jadi, kata kunci modal sosial adalah lembaga (institutions), hubungan (relationships), sikap (attitudes), nilai (values), saling mempengaruhi (interactions), masyarakat (people/community), dan sumbangan (contributions) terhadap pembangunan yang dilandasi tanggungjawab bersama sehingga
masyarakat tidak hanya sekadar sebagai kumpulan perorangan belaka. Kontribusi modal sosial dalam pembangunan adalah penting, agar tidak menjadi satu mata rantai yang hilang (the missing link) khususnya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Grootaert, 1997).
Uphoff (2000 dalam World Bank, 2002) memilah modal sosial menjadi dua bentuk (forms) yaitu modal sosial struktural (structural social capital) dan modal sosial kognitif (cognitive social capital). Modal sosial struktural berkaitan dengan struktur sosial yang relatif bersifat obyektif dan dapat diamati secara eksternal seperti jaringan (network), perkumpulan (associations), dan lembaga (institutions), serta aturan dan prosedur (rules and procedures) yang melekat didalamnya. Contoh dari elemen ini diantaranya kumpulan profesi (atlit, musikus, dsb.), kepanitiaan pengguna air (water user committees), dan rukun tetangga (neighborhood association). Sementara itu, modal sosial kognitif lebih bersifat subyektif dan abstrak (intangible) yang disadari (cognition) sudah diterima atau diakui dimana secara umum meliputi tatanan pola sikap (attitudes), kaidah (norms), nilai (values), hubungan timbal balik (reprocity), dan kepercayaan (trust). Kendati kedua bentuk (forms) modal sosial diatas saling memperkuat, keberadaan satu elemen tidak semestinya sangat tergantung pada satu elemen lainnya. Suatu organisasi yang merepresentasikan modal sosial struktural dapat berjalan tanpa adanya modal sosial kognitif. Sebaliknya, hubungan kepercayaan sebagai bagian dari modal sosial kognitif dapat terjalin walaupun tanpa formulasi organisasi. Deskripsi modal sosial menurut kedua bentuk (forms) tersebut telah terbukti bermanfaat sebagai basis dalam analisis empirik suatu kegiatan. Konsep modal sosial dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Pihak Bank Dunia telah memberi perhatian tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial khususnya untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Paham yang dikembangkan oleh Bank Dunia dengan menggunakan modal sosial didasari oleh beberapa asumsi (World Bank, 1998). Pertama, modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, dan politik; dan meyakini bahwa hubungan sosial mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja. Sebaliknya, pasar dan negara juga akan membentuk bagaimana modal sosial di masyarakat bersangkutan. Kedua, hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong 8
keefektifan dan efisiensi baik perilaku kolektif maupun individual. Ketiga, modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diperkuat. Untuk itu, diperlukan dukungan sumberdaya tertentu untuk memperkuatnya. Keempat, agar tercipta hubungan-hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, maka anggota masyarakat mesti mendukungnya. Modal sosial tercipta dari rentang waktu interaksi antar orang setiap hari. Tidak berada pada diri pribadi atau dalam struktur sosial, tetapi diantara keduanya (space between people). Modal sosial adalah pelengkap institusi (bukan milik organisasi, pasar, ataupun negara). Keberadaanya berupa fenomena yang tumbuh dari bawah, berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan jaringan yang didasarkan atas prinsip “..... trust, mutual reciprocity, and norm of actions”. Oleh karena itu, modal sosial tidak dapat diciptakan secara individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (ataupun organisasi) untuk membentuk asosiasi dan jaringan baru. Esensi dari modal sosial adalah kualitas hubungan sosial. Untuk individu, modal sosial dapat dijadikan sarana akses timbal balik (reciprocal) dalam proses hubungan sosial. Untuk komunitas, modal sosial merefleksikan kemampuan komunitas dalam partisipasi, kerjasama, organisasi, dan interaksi (Stone dan Hughes, 2002). 2.1.2. Parameter Modal Sosial Subejo (2004) menggarisbawahi bahwa eleman utama modal sosial adalah kaidah (norms), hubungan timbal balik (reciprocity), kepercayaan (trust), dan jaringan (network). Senada dengan itu, Serageldin dan Grootaert (1997) menyoroti modal sosial sebagai “..... the
sets of norms, networks, and organization through which people gain access to power and resources that are instrumental in enabling decision-making and policy formulation”. Jadi modal
sosial memungkinkan terciptanya formulasi pengambilan keputusan dan kebijakan. Sementara itu, Putnam (1993) menekankan bahwa modal sosial meliputi tiga elemen utama yaitu rasa saling percaya (trust), norma yang disepakati dan ditaati (social norms), serta jaringan sosial (social network). Dari ketiga elemen tersebut, Putnam (1993) lebih lanjut mengedepankan bahwa rasa saling percaya (trust) merupakan elemen penting dalam modal sosial. Hingga kini belum ada teori yang cukup memadai untuk mengidentifikasi mekanisme produksi, pemeliharan, dan penumbuhan modal sosial. Banyak interaksi dan relasi formal dan informal diantara anggota-anggota suatu masyarakat yang dapat memperkuat modal sosial, namun spektrum dari interaksi yang dimaksud tidak sepenuhnya bisa diobservasi (Stolle dan Rochon, 1998). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur modal sosial adalah melalui metode survai. Substansinya adalah pengukuran derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat (level of trust and civic engagement). Bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran modal sosial dapat dilakukan baik melalui instrumen kuantitatif maupun kualitatif. Integrasi kedua instrumen tersebut dapat diukur menggunakan alat penilaian modal sosial atau “the Social Capital Assessment Tool/SOCAT” (Grootaert dan van Bastelaer, 2002). Secara garis besar SOCAT terdiri dari tiga komponen parameter, yaitu profil komunitas, profil rumah tangga, dan profil organisasi sebagaimana disarikan pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Parameter Modal Sosial Parameter
Subparameter
1. Profil komunitas
a. b. c. d. e. f.
Batasan dan aset komunitas Aksi kolektif komunitas Tata kelola dan proses pengambilan keputusan Organisasi lokal Hubungan antara komunitas dan organisasi Jaringan kelembagaan
2. Profil rumah tangga
a. Karakteristik rumah tangga b. Genogram (hubungan antar rumah tangga dan komunitas) c. Dimensi struktural (keanggotaan dalam organisasi, solidaritas, kerjasama, ekpektasi, dan eksklusi/keterkecualian) d. Dimensi kognitif (norma, nilai, sikap, keyakinan/beliefs, kepercayaan/trust, dan hubungan timbal balik/reciprocity) e. Dimensi kognitif (solidaritas, saling percaya dan kerjasama, penyelesaian konflik)
3. Profil organisasi
a. Karakteristik organisasi (sejarah, keanggotaan, dan lain-lain) b. Kapasitas institusi (kepemimpinan, partisipasi, dan lain-lain) c. Hubungan kelembagaan dengan organisasi lain (pemerintah dan nonpemerintah)
Sumber: Grootaert dan van Bastelaer, 2002 Krishna dan Shraker (2002) mengemukakan bahwa integrasi metode kuantitatif dan kualitatif dalam pengukuran modal sosial lebih berdayaguna dibandingkan penggunaan salah satu metode kuantitatif atau metode kualitatif saja. Akan tetapi, Stone dan Huges (2002) menekankan bahwa dalam pengukuran modal sosial perlu diperhatikan beberapa hal: Pertama, sebelum melakukan pengukuran modal sosial, perlu dipahami terlebih dahulu kerangka teoritis tentang apa itu “modal sosial”. Tujuan utamanya adalah agar sesuatu atau apapun yang diberi label sebagai “modal sosial” dapat dipahami maknanya. Kedua, perlu dipahami bahwa modal sosial merupakan sumberdaya untuk aksi kolektif. Artinya, jika ingin menentukan apakah modal sosial dapat menghasilkan sesuatu terkait dengan aspek sosial ekonomi yang diinginkan, maka harus dihindari agar tidak terjebak dengan pengulangan gagasan (tautologis) tentang modal sosial yang bertentangan dengan aksi sosial dan lainnya. Ketiga, secara empiris konsep modal sosial adalah multi dimensi. Oleh karena itu harus dipahami bagaimana berbagai dimensi modal sosial tersebut saling berkaitan secara keseluruhan dan berhubungan dengan konsep terkait lainnya. Keempat, perlu disadari bahwa modal sosial bervariasi menurut jenis jaringan dan skala sosial. Suatu dimensi modal sosial dalam jaringan sosial tertentu barangkali tidak sesuai dengan lainnya. Implikasinya, pengukuran modal sosial pada suatu komunitas tidak dapat dilakukan sama persis pada komunitas lainnya. 2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait 2.2.1. Karakteristik Wilayah Perbatasan Wilayah perbatasan secara garis besar memiliki karakteristik: pertama, karakteristik fisik dan infrastruktur yang sangat terbatas (masalah penegasan dan penetapan garis batas yang belum selesai, berada di pedalaman, sarana-prasarana terbatas, pos pengawas lintas batas dan custom, immigration, quarantine, security/CIQS belum lengkap). Kedua, karakteristik 10
permukiman penduduk yang jarang dan tidak terdistribusi merata, kualitas relatif rendah, angka kematian tinggi, secara etnis memiliki hubungan kekeluargaan dengan saudara di negara tetangga. Ketiga, karakteristik ekonomi yang tidak seimbang. Keempat, belum terkelolanya sumber daya alam secara baik. Kelima, karakteristik pertahanan: penduduk mudah tergoda oleh kemudahan di negara tetangga, belum optimalnya sistem informasi dan komunikasi, serta lemahnya pengawasan karena pos-pos TNI dan pos lintas batas kualitasnya masih kurang memadai (Batubara, 2011). Kementerian Lingkungan Hidup seperti yang dikutip oleh Taryoto (2013) memperinci bahwa terdapat setidaknya sembilan tantangan pengelolaan wilayah perbatasan KalimantanSerawak: (1) Belum jelasnya penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam; (2) kenyataan bahwa Kawasan perbatasan termasuk sebagai daerah tertinggal dari sisi pembangunan; (3). Terdapatnya Kendala geografis yang berupa luasnya wilayah perbatasan, sehingga cukup menyulitkan dalam penanganan terutama ditinjau dari aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, kebutuhan aparatur, serta kondisi infrastruktur jalan yang relatif sangat terbatas; (4). Ketidakjelasan wewenang dan koordinasi berbagai pihak pada berbagai tingkatan penyelenggara pemerintahan; (5) Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas kesejahteraan penduduk; (6). Kondisi kemiskinan warga wilayah perbatasan, yang ditunjukkan dengan terdapatnya sekitar 45% desa miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%, sehingga hal ini cenderungmendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal; (7) Keterbatasan infrastruktur, baik berupa infrastruktur sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan dan pasar. Hal ini mendorong warga wilayah perbatasan cenderung untuk berorientasi ke negara tetangga yang tingkat aksesilibilitas infrastruktur fisik dan informasinya relatif lebih baik. Dari 14 ibukota kecamatan yang ada di kawasan perbatasan Kalimantan Barat, baru enam ibukota kecamatan (43%) yang mendapat pelayanan listrik, sementara masyarakat Serawak hampir seluruhnya telah mendapat layanan listrik. Selain itu juga lemahnya penegakan hukum, sehingga berbagai bentuk pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Berbagai permasalahan seperti perubahan batasbatas wilayah, penyelundupan barang/jasa (smuggling), pembalakan liar (illegal logging), perdagangan manusia, anak-anak dan wanita (human trafficking) menjadi fenomena kontemporer kejahatan lintas Negara. Pemanfaatan sumber daya alam belum optimal, sementara potensi sumber daya alam yang berada di kawasan perbatasan sangat besar, seperti bahan tambang (emas dan batu bara), potensi hutan dan perkebunan. Di sisi lain, terjadi eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali melalui berbagai kegiatan illegal. Sementara itu menurut Deputi Bank Indonesia terdapat 10 masalah yang dihadapi wilayah perbatasan yaitu adanya keterbatasan permodalan, keterbatasan akses ke lembaga keuangan, keterbatasan akan uang rupiah yang beredar, keterbatasan infrastruktur, keterbatasan jangkauan pembiayaan, keterbatasan pasokan energi, keterbatasan penggunaan teknologi, terbatasnya ketersediaan tenaga kerja terampil, keterbatasan pengetahuan, serta terbatasnya ketersediaan bahan baku (http://www.infobanknews.com /2012/05/10-masalahdaerah-perbatasan). Hasil analisis wilayah perbatasan yang dilakukan oleh Setiyanto dan Irawan (2013) menyimpulkan bahwa wilayah perbatasan secara umum dapat dibedakan atas wilayah perbatasan laut (berbatasan dengan laut lepas) dan wilayah perbatasan darat. Wilayah perbatasan tersebut tersebar di 21 Provinsi, 64 Kabupaten/kota dan 187 kecamatan. Sekitar 10 11
juta hektar lahan pertanian atau 26% total lahan pertanian nasional (lahan sawah dan lahan kering) terdapat di kabupaten wilayah perbatasan. Sumberdaya lahan pertanian yang tersedia tidak begitu berbeda antara kabupaten perbatasan dan kabupaten nonperbatasan dimana sebagian besar lahan pertanian merupakan lahan kering dan hanya sebagian kecil yang berupa lahan sawah. Akan tetapi lahan pertanian di kabupaten perbatasan (sekitar 128 ribu ha/kabupaten) jauh lebih luas dibanding di kabupaten nonperbatasan (sekitar 75 ribu ha/kabupaten). Sebagian besar pendapatan penduduk di kabupaten perbatasan berasal dari usaha pertanian terutama tanaman padi dan tanaman perkebunan. Kondisi demikian tidak berbeda dengan kawasan non perbatasan dimana sebagian besar pendapatan penduduknya berasal dari usaha pertanian kedua komoditas tersebut. Begitu pula kemiskinan penduduk tidak berbeda signifikan antara wilayah perbatasan (sekitar 15% penduduk miskin) dibanding wilayah non perbatasan (sekitar 13% penduduk miskin). Akan tetapi ketersediaan tenaga kerja di kabupaten perbatasan (sekitar 136 ribu orang/kabupaten) jauh lebih rendah dibanding kabupaten non perbatasan (248 ribu/kabupaten). Hasil studi Bahri et al. (2012), mengungkapkan bahwa sumberdaya lahan pertanian yang terdapat di kawasan perbatasan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste adalah lahan irigasi dan lahan kering dataran rendah. Meskipun kawasan perbatasan ini mempunyai lahan irigasi teknis, indeks pertanaman (IP) di lahan irigasi pada tahun 2011 masih sangat rendah, yaitu baru mencapai 1,23 dengan produktivitas 3,60 ton/ha. Di lahan kering dataran rendah, masyarakat mengusahakan tanaman jagung. Produktivitas jagung juga tergolong masih rendah, yaitu 1,45 ton/ha pada tahun 2011. Di kawasan perbatasan antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Malaysia, hasil kajian Sawit et al. (2012), mengungkapkan bahwa di kawasan perbatasan ini sumberdaya lahan pertanian yang diusahakan masyarakat petani adalah lahan sawah tadah hujan dan lahan kering. Seperti halnya di kawasan perbatasan Provinsi NTT dengan Timor Leste, produktivitas padi di kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia juga masih tergolong rendah, yaitu 3,30 ton/ha. Indeks Pertanaman (IP) padi di lahan sawah baru mencapai 1,52 sehingga masih terbuka peluang untuk ditingkatkan menjadi IP > 2,00. Rendahnya produktivitas padi disebabkan oleh pengelolaan sawah yang masih tradisional, belum menggunakan varietas unggul baru, dosis pemupukan yang tidak tepat karena kelangkaan pupuk serta kurangnya pembinaan dari penyulu pertanian. Permasalahan pada lahan kering adalah kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan lahan, sehingga produktivitasnya juga rendah. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan mengusahakan lahan kering, sehingga banyak menjadi lahan tidur. Untuk kawasan perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Malaysia, hasil kajian yang dilakukan oleh Sutopo et al. (2012), menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian utama adalah lahan kering untuk usaha perkebunan. Komoditas perkebunan yang diusahakan antara lain adalah: Kelapa sawit, kakao, vanili, kopi dan lada. Untuk tanaman pangan, terdapat lahan sawah (7.785 ha) dan sedikit lahan kering (1.754 ha). Berbeda dengan dua kawasan perbatasan yang diuraikan di atas, maka produktivitas padi sawah di kawasan perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia relatif lebih tinggi, yaitu mencapai 4,17 ton/ha. Produktivitas padi ladang pun tergolong sedang yaitu mencapai 2,54 ton/ha. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam membangun pertanian di kawasan perbatasan adalah terbatasnya tenaga kerja (Setiyanto dan Irawan, 2013). Begitu pula ketersediaan sarana/prasarana pertanian, lembaga pendukung pertanian dan sarana perekonomian di kabupaten perbatasan relatif terbatas. Namun demikian, luas lahan yang sementara tidak diusahakan dan berpotensi untuk perluasan lahan pertanian jauh lebih besar pada kabupaten 12
perbatasan dibanding kabupaten non perbatasan. Profil pertanian di kawasan perbatasan pada umumnya tertinggal dibanding kawasan non perbatasan. Tantangan yang dihadapi dalam membangun sektor pertanian di kawasan perbatasan juga relatif kompleks. Dengan kedua kondisi tersebut maka pembangunan pertanian di kawasan perbatasan perlu ditempuh dengan pendekatan yang berbeda dengan kawasan nonperbatasan dan memperhitungkan keunikan yang melekat pada setiap kawasan perbatasan. Mengingat kompleksitas permasalahan yang terdapat di wilayah perbatasan maka pembangunan sektor pertanian di wilayah perbatasan perlu ditempuh melalui program khusus yang hanya dilaksanakan di kawasan perbatasan agar lebih fokus. Untuk mengatasi permasalahan di sektor pertanian di kawasan perbatasan, Sawit et al. (2012), mengungkapkan bahwa pemerintah Kabupaten Sambas melakukan pendekatan melalui berbagai strategi, kebijakan, dan aplikasi program prioritas. Pemerintah akan menerapkan 3 strategi untuk meningkatkan pembangunan pertanian yaitu: (i) peningkatan produktivitas dan kualitas, (ii) pengembangan kawasan dan komoditas unggulan, dan (iii) penanganan pembangunan dkawasan secara komprehensif dan terintegrasi. Strategi peningkatan pembangunan pertanian tersebut diikuti dengan empat kebijakan yaitu: (a) pengembangan kemitraan, (b) pemberdayaan masyarakat, (c) penanganan aspek hulu sampai dengan hilir (pasar), dan (d) Orientasi pelestarian lingkungan. Strategi dan kebijakan pengembangan dan pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Sambas akan diimplementasikan ke dalam 6 program prioritas yaitu: (a) pelatihan dan penyuluhan, (b) demplot integrasi, (c) penataan pencetakan lahan sawah (peningkatan IP), (d) optimalisasi lahan, (e) dukungan sarana dan prasarana, dan (f) peningkatan efektifitas modal dan peningkatan akses ke sumber-sumber permodalan. Di kawasan perbatasan NTT dengan Timor Leste, Bahri et al. (2012), mengungkapkan bahwa prioritas pembangunan adalah sub-sektor tanaman pangan, dengan komoditas unggulan: padi sawah, jagung, kedelai, dan ubi kayu. Guna mencapai tujuan tersebut, setidaknya ada 4 (empat) jenis kegiatan utama menjadi prioritas pada tahun 2013, yakni (a) pembukaan pasar perbatasan, (b) identifikasi kesiapan pemangku kepentingan, (c) pembinaan kelembagaan, dan (d) pendampingan teknologi dan budi daya komoditas unggulan. Di kawasan perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia, sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap ekonomi kawasan adalah pertambangan dan penggalian, diikuti oleh sektor pertanian. Dalam sektor pertanian, potensi pengembangan utama adalah sub-sektor perkebunan, dengan komoditas unggulan kelapa sawit, kakao, vanili, kopi dan lada. Prioritas kedua adalah tanaman pangan, dengan komoditas padi dan palawija. Pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Nunukah di kawasan ini adalah program GERBANG EMAS (Gerakan Pembangunan Ekonomi Mandiri, Aman, dan Sejahtera). Gerbang Emas mempunyai beberapa program, salah satu program yang menjadi prioritas adalah pemberian bantuan modal kerja kepada petani, pekebun, dan nelayan. Untuk itu, Pemerintah Daerah mengimplementasikan 5 (lima) kebijakan utama yaitu: (1) meningkatkan dan mendorong terlaksananya kawasan strategis dan cepat tumbuh, (2) mendorong pertumbuhan wilayah potensial ekonomi melalui pembentukan kawasan pengembangan produksi, (3) meningkatkan sumber-sumber pembiayaan untuk penyediaan fasilitas pelayanan barang, jasa, dan orang antar daerah maupun antar negara, (4) memberikan fasilitas kemudahan bagi pelaku usaha dalam perdagangan antar negara, dan (5) meningkatkan kerjasama perdagangan antar wilayah perbatasan dan antar negara (Sawit et al. 2012).
13
Keberhasilan pembangunan ekonomi, khususnya di sektor pertanian, sangat ditentukan oleh peran bekerjanya modal sosial di masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengindentifikasi peran modal sosial dalam mendukung pembangunan pertanian di kawasan perbatasan. 2.2.2. Modal Sosial dan Peranannya dalam Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal Kementerian Pertanian mempunyai empat target sukses yaitu (1) swasembada berkelanjutan dan pencapaian swasembada pangan, (2) diversifikasi pangan, (3) peningkatan daya saing, nilai tambah dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Indikator tercapainya target (1) adalah tercukupinya kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri. Untuk mencapai kecukupan tersebut, maka diperlukan upaya peningkatan produksi pangan melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman yang di kawasan perbatasan NTT dengan Timor Leste dan kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia masih rendah. Untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya padi dan jagung di dua kawasan perbatasan tersebut melalui peningkatan produktivitas dan indeks pertanaman, tidak hanya dibutuhkan inovasi teknologi, tetapi juga rekayasa sosial. Agar proses rekayasa sosial berjalan dengan baik, diperlukan dukungan modal sosial masyarakat yang memadai yang manyangkut tradisi, norma, interaksi antar komponen masyarakat dalam komunitas dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat setempat. Interaksi sosial yang dilandasi oleh kepentingan bersama (common interest), aturan yang berlaku (norms), rasa saling percaya (trust), dan nilai-nilai (values) yang dijunjung bersama oleh anggota masyarakat, sangat menentukan keberhasilan dari suatu komunitas dalam mencapai tujuan bersama. Helmi (2009) menegaskan bahwa hal terpenting yang harus ada dalam jiwa insan-insan pertanian adalah menumbuhkan kembali modal sosial. Sebab, tidak ada satu negara pun yang mampu bertahan dan menjadi besar tanpa ditopang oleh modal sosial yang kokoh. Setidaknya ada tiga modal sosial yang harus dikembangkan dalam rangka membangun karakter unggulan insan pertanian yaitu: (i) sense of belonging, yakni rasa memiliki terhadap bangsa Indonesia; (ii) sense of togetherness, yakni rasa kebersamaan antar seluruh elemen bangsa; dan (iii) trustworthiness, yaitu sikap saling percaya bahwa semua elemen bangsa memiliki niat baik untuk memajukan bangsa ini meskipun dengan bentuk dan cara ekspresi yang berbeda. Dengan tiga modal sosial tersebut di atas akan membuat masyarakat menjadi lebih produktif. Hasil penelitian Ulinnuha (2012) menunjukkan bahwa dalam masyarakat (di Kecamatan Guntur Kabupaten Demak) terdapat modal sosial yang berpengaruh terhadap produktivitas pertanian, yaitu: sikap saling percaya, norma, interaksi antar sesama petani, sikap, nilai-nilai kerukunan, gotong royong, dan berusaha maju untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial yang paling menonjol dalam masyarakat adalah rasa saling percaya dan norma yang dipegang teguh oleh masyarakat. Adanya rasa saling percaya menyebabkan kerjasama antar komponen masyarakat bisa berjalan dengan baik, sedangkan norma yang dipatuhi merupakan pegangan bagi anggota masyarakat untuk bertindak dalam komunitasnya. Menurut Sedyadi (2012), bahwa modal sosial merupakan sebuah konsep mengenai kehidupan sosial bermasyarakat dimana anggotanya dapat bersama-sama menghimpun kekuatan untuk mencapai tujuan bersama (common goals). Dengan menggunakan modal sosial, biaya-biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama dapat ditekan. Hal ini penting untuk dimiliki oleh para petani agar dapat mencapai posisi tawar yang seimbang dengan lembaga sistem tataniaga pertanian yang selama ini telah mendominasi sistem tataniaga hasil pertanian. Dalam perdagangan hasil pertanian, Syahyuti (2008) mengungkapkan 14
bahwa modal sosial tumbuh dan terakumulasi menurut waktu dan secara signifikan memengaruhi kinerja sistem perdagangan komoditas pertanian. Modal sosial mampu mengurangi dampak ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi para pelaku perdagangan. Modal sosial mereduksi tingginya biaya transaksi melalui tiga dimensi yaitu relasi dengan pedagang lain yang dapat membantu jika dihadapi kesulitan keuangan karena berada bisnis dengan resiko yang besar, dan relasi keluarga yang dapat mengefisienkan dan mereduksi kesalahan dalam penilaian kualitas barang. Modal sosial dapat ditumbuhkan melalui penumbuhan asosiasi pedagang, kesukuan dan memfasilitasi komunikasi dan ninformasi yang baik. Ia juga mengungkapkan bahwa reputasi dan relasi (reputation and relationship) merupakan dua modal sosial yang sangat penting dalam menentukan kinerja perdagangan produk pertanian. Hasil penelitian Widodo (2012) di Desa Karang Agung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban menunjukkan bahwa modal sosial yang ada berdasarkan ikatan kekerabatan, kekeluargaan dan pertetanggaan. Kelembagaan tradisional yang masih hidup adalah sambatan, anjeng atau buwuhan dan mendarat. Kelompok sosial yang ada antara lain kelompok pengajian, arisan ibu-ibu dan yaasinan. Pemenuhan nafkah rumah tangga sebagian besar menggantungkan dari hasil laut. Strategi nafkah yang dijalankan antara lain dengan pola nafkah ganda, penggunaan tenaga kerja dari dalam rumah tangga dan melakukan migrasi. Modal sosial masih terbatas digunakan untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek (konsumtif), belum mengarah pada pemenuhan kebutuhan jangka panjang (produktif). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gede Sedana (2013) di Subak Guama, Kecamatan Kediri, KabupatenTabanan menunjukkan modal sosial di subak terdiri dari kepercayaan, norma sosial dan jaringan sosial berada padakategori yang tinggi. Sikap petani berkenaan dengan pengembangan agribisnis dalam sistem subak tergolong positif. Pengetahuan petani mengenai pengembangan agribisnis pada sistem subak juga tergolong tinggi. Pengembangan agribisnis yang dicerminkan oleh partisipasi petani juga tergolong tinggi. Elemen-elemen modal sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap petani. Pengetahuan dipengaruhi secara signifikan oleh kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, melalui sikap. Elemen-elemen modal sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan agribisnis di tingkat subak. Beberapa kekuatan subak yaitu: 1) ikatan antar petani, 2) ikatan antara petani dengan pengurusnya, 3) awig-awig subak, 4) nilai religius di subak. Kelemahan subak dalam pengembangan agribisnis adalah: 1) sempitnya lahan sawah, 2) rendahnya tingkat pendidikan formal petani, 3) terbatasnya teknologi budidaya, dan 4) terbatasnya teknologi pasca panen. Modal sosial sebagai modal utama yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh keluarga miskin berbasis etika sosial kolektif sebagai landasan moral. Kepercayaan mempunyai hubungan nyata dengan ketahanan pangan. Semakin luas dan sifat jaringan sosial yang dimiliki keluarga miskin dan semakin baik lingkungan dalam memenuhi dalam memenuhi kebutuhan pangan semakin tnggi tingkat ketahanan pangan. Semakin kuat, luas dalam norma sosial yang tidak tertulis atau aturan informal berbasis aturan tradisional yang dimiliki keluarga dan lingkungan, semakin kuat dukungan dalam memenuhi kebutuhan pangan (Wasito dan Subagyono, 2011). Uraian di atas mencerminkan bahwa modal sosial memainkan peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan Pembangunan Pertanian, baik dalam proses produksi pertanian maupun dalam perdagangan hasil pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengidentifikasi jenis modal sosial yang ada di masyarakat kawasan perbatasan, serta mengkaji perannya dalam mendukung keberhasilan pembangunan pertanian di kawasan tersebut.
15
III. METODOLOGI 3.1.
Kerangka Pemikiran
Wilayah perbatasan memiliki karakteristik yang berbeda-beda namun secara umum dinyatakan memiliki karakteristik yang serba tertinggal dan timpang serta marjinal. Secara fakta wilayah perbatasan merupakan pintu gerbang internasional dan beranda depan negara Indonesia. Kenyataan inilah yang kini tengah diupayakan oleh pemerintah dan semua pihak untuk melakukan pengembangan wilayah perbatasan sehingga kesan ”daerah tertinggal” dapat dihilangkan, serta kesenjangan antara perbatasan dan wilayah bukan perbatasan dapat diminimalkan. Secara umum tantangan besar pengembangan wilayah perbatasan adalah bagaimana mensinergikan semua sumberdaya dan stakeholder terkait dalam pengembangan wilayah dengan segala permasalahannya yang multidimensi. Sumberdaya yang merupakan modal pembangunan mencakup alam, sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, dan yang sering diabaikan adalah modal sosial. Penelitian ini lebih fokus untuk mengungkapkan modal sosial yang ada dan perannya dalam mendukung pembangunan, khususnya pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Pengertian modal sosial mengacu pada definisi seperti yang disarikan Wold Bank, (2002) adalah “..... is broadly define as institutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”. Jadi, kata kunci modal sosial adalah lembaga (institutions), hubungan (relationships), sikap (attitudes), nilai (values), saling mempengaruhi (interactions), masyarakat (people/community), dan sumbangan (contributions) terhadap pembangunan yang dilandasi tanggungjawab bersama sehingga masyarakat tidak hanya sekadar sebagai kumpulan perorangan belaka. Modal sosial dipilah menjadi dua bentuk (Uphoff dalam World Bank, 2002) Modal sosial struktural berkaitan dengan struktur sosial yang relatif bersifat obyektif dan dapat diamati secara eksternal seperti jaringan (network), perkumpulan (associations), dan lembaga (institutions), serta aturan dan prosedur (rules and procedures) yang melekat didalamnya, sedangkan modal sosial kognitif lebih bersifat subyektif dan abstrak (intangible) yang disadari (cognition) sudah diterima atau diakui dimana secara umum meliputi tatanan pola sikap (attitudes), kaidah (norms), nilai (values), hubungan timbal balik (reprocity), dan kepercayaan (trust). Premis dasar penelitian ini bahwa modal sosial adalah faktor produktif yang memberikan manfaat bagi setiap individu yang mampu membangun hubungan dengan individu atau kelompok lain. Kontribusi modal sosial dalam pembangunan adalah penting, agar tidak menjadi satu mata rantai yang hilang (the missing link) khususnya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Grootaert, 1997). Beberapa penelitian telah berhasil mengungkapkan bahwa modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Kohesifitas yang tinggi yang terbentuk oleh koneksi kekeluargaan dan kesukuan, mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas batas keluarga, suku, agama. Budaya gotong royong, tolong menolong, saling mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust), dan adanya jaringan -jaringan sosial (sosial networking). Kondisi ini akan membangun kekompakan pada masyarakat desa untuk bersama16
sama menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan perekonomian pertanian. Pelaksanaan program-program pembangunan pertanian pada masyarakat dengan modal sosial tinggi akan berhasil karena modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat. Investasi akan berkembang pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Mengacu pada pendapat Grootaert dan van Bastelaer (2002), maka terdapat tiga parameter dasar dalam pengukuran modal sosial, yaitu profil komunitas, profil rumahtangga, dan profil organisasi. Profil komunitas, mencakup: batasan dan aset komunitas, aksi kolektif komunitas, tata kelola dan proses pengambilan keputusan, organisasi lokal, hubungan antara komunitas dan organisasi, dan jaringan kelembagaan. Profil rumahtangga mencakup: karakteristik rumah tangga, genogram (hubungan antar rumah tangga dan komunitas), dimensi struktural (keanggotaan dalam organisasi, solidaritas, kerjasama, ekpektasi, dan eksklusi/keterkecualian), dimensi kognitif (norma, nilai, sikap, keyakinan/beliefs, kepercayaan/trust, dan hubungan timbal balik/reciprocity), dimensi kognitif (solidaritas, saling percaya dan kerjasama, penyelesaian konflik), sedangkan profil organisasi mencakup:karakteristik organisasi (sejarah, keanggotaan, dan lain-lain), kapasitas institusi (kepemimpinan, partisipasi, dan lain-lain), hubungan kelembagaan dengan organisasi lain (pemerintah dan nonpemerintah).
Wilayah Perbatasan
Pembangunan pertanian
Komunitas Pertanian
Modal Sosial ‐ Komunitas ‐ Rumahtangga ‐ Organisasi Gambar 1. Kerangka Pemikiran 3.2.
Ruang Lingkup Kegiatan
Penelitian ini mencakup serangkaian aktivitas, mulai dari persiapan (menyusun rencana penelitian, mempelajari konsep yang terkait dengan substansi penelitian, mempelajari hasilhasil sebelumnya, membangun kerangka pemikiran, menentukan subyek dan lokasi penelitian), seminar proposal, penggalian data, pengolahan data, penulisan laporan kemajuan dan laporan akhir, policy brief dan bahan rapim, seminar hasil. Publikasi hasil penelitian juga dilakukan, secara sendiri maupun bersama. Substansi penelitian ini adalah tentang modal sosial. Sejalan dengan pemikiran Grootaert dan van Bastelaer, (2002), maka yang dicakup dalam penelitian adalah modal sosial pada dimensi struktural dan kognitif. Penelitian ini berlokasi di wilayah perbatasan dan tertinggal, pada komunitas masyarakat petani. Terkait dengan hal tersebut, maka program pembangunan yang dimaksud dalam 17
penelitian ini adalah program pembangunan pertanian tanpa mengabaikan adanya program lain sejauh hal tersebut memiliki relevansi dengan substani yang diteliti. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Penelitian akan berlokasi di wilayah perbatasan, khususnya perbatasan daratan, karena pertimbangan akses yang relatif lebih mudah, di samping pertimbangan ketersediaan dana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi dan data yang telah digali oleh Tim Badan Litbang Pertanian sebelumnya, sehingga tersedia data yang komprehensif sebagai dasar untuk memformulasikan kebijakan program pembangunan di wilayah perbatasan dan tertinggal. Dengan pertimbangan tersebut, maka lokasi penelitian akan bersesuaian dengan lokasi kegiatan Badan Litbang Pertanian. 3.3.2. Lokasi dan Responden Lokasi penelitian secara tentatif ditetapkan di wilayah perbatasan yang terletak di Propvinsi Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pada masing-masing provinsi akan dipilih 1-2 komunitas petani yang kondisinya relatif tertinggal namun berpotensi untuk bergerak lebih maju karena memiliki basis modal sosial yang kuat. Subyek penelitian mencakup komunitas, rumahtangga dan individu, organisasi (aparat pemerintah, swasta, LSM) yang ada di wilayah penelitian terpilih. Jumlah subyek penelitian tergantung pada kecukupan informasi/data yang diperlukan. 3.4.
Data dan Metode Analisis
3.4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dibangun menurut rancangan metode penelitian kualitatif yang dikombinasikan dengan rancangan penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan bagian utama dari metodologi, mulai dari persiapan, pengumpulan data lapang, sampai dengan analisis. Penggalian data terkait dengan parameter modal sosial yang diteliti menggunakan “Social Capital Assessment Tool” (SOCAT), yang mengkombinasikan penggalian data kuantitatif dan kualitatif, dengan parameter dan subparameter sebagaimana telah ditampilkan pada Tabel 1 di atas. Penggalian data menggunakan beberapa metode pengumpulan data secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen Ada pun jenis informasi/data dan sumbernya untuk menjawab tujuan penelitian, sebagai berikut : Tabel 2. Jenis Informasi/Data dan Sumbernya untuk Masing-masing Tujuan Penelitian. Tujuan 1. Karakteristik kawasan perbatasan 2. Inventarisasi modal sosial 3. Analisis peran modal sosial
Jenis informasi/data Karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, infrastruktur, program pembangunan (pertanian) Profil komunitas Prosil rumahtangga Profil organisasi Semua di atas
Sumber data Dinas teknis, BPS, BNPP, dan lainnya Anggota komunitas Anggota rumahtangga Anggota organisasi Semua di atas
18
3.4.2. Metode Analisis Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu data sekunder dan data primer (menurut sumbernya); data kuantitatif dan kualitatif (menurut jenisnya). Data dan informasi yang berhasil dirangkum akan diolah dalam bentuk tabulasi sederhana maupun tabulasi silang disajikan secara deskriptif eksplanatif. IV. ANALISIS RISIKO Pelaksanaan kegiatan penelitian tidak terlepas dari berbagai risiko yang dapat menjadi kendala atau masalah yang harus dihadapi dan perlu upaya solusi penanganan risiko. Risikorisiko tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Berbagai risiko yang dimungkinkan akan dihadapi selama kegiatan penelitian, penyebab dan dampaknya terhadap kegiatan penelitian yang dilakukan serta bagaimana penanganan risikonya, secara lengkap ditampilkan pada berikut. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait. Tabel 3. Daftar Risiko yang Mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Penelitian, 2014. No 1. 2.
3.
Risiko Keterbukaan responden dalam menjawab pertanyaan Revisi anggaran penelitian
Penyebab Independensi responden dan kerahasiaan informasi Kebijakan pemerintah
Tim peneliti yang mungkin dapat mencurahkan waktunya pada saat penelitian berlangsung karena penugasan lain yang mendesak.
Berbagai tugas mendesak dari pimpinan kepada peneliti
Dampak Kelengkapan dan akurasi data dan informasi Penyesuaian kegiatan penelitian sesuai dengan anggaran dan waktu yang dijadualkan untuk penyelesaian laporan kegiatan Penyelesaian kegiatan/ penyusunan laporan terhambat
Tabel 4. Daftar Penanganan Risiko No 1.
Risiko Keterbukaan responden dalam menjawab pertanyaan
Penyebab Independensi responden dan kerahasiaan informasi
2.
Revisi anggaran penelitian
Kebijakan pemerintah
3.
Tim peneliti yang kurang dapat mencurahkan waktunya pada saat penelitian berlangsung
Berbagai tugas mendesak dari pimpinan kepada peneliti
Penanganan Risiko Konfirmasi responden lebih awal dan variasi responden untuk menggali informasi dan data yang dibutuhkan 1) Penyesuaian jumlah lokasi yang dikaji 2) Penyesuaian jadual survei lapang Komitmen anggota tim untuk dapat mencurahkan waktu dan tenaga selama penelitian berlangsung 19
V. 5.1.
TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
Susunan Tim Pelaksana
Penelitian akan dilaksanakan oleh unit kerja di bawah Badan Litbang Pertanian, khususnya oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP). Kebutuhan tenaga pelaksana secara lengkap adalah sebagai berikut. Tabel 5. Susunan Tim Pelaksana Kegiatan Penelitian “Inventarisasi Modal Sosial dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Kawasan Perbatasan dan Tertinggal” TA. 2014 No
Nama
NIP
Gol/Pangkat
19650119 199403 2 001
IIId/Penata Tk. I
1.
Ir. Sunarsih, MSi
2.
Prof. Dr. Dewa K. 19560502 198203 1 003 Sadra S Ir. Muhammad Iqbal, 19590817 198903 1 001 MSc Ir. Mewa Ariani, MS 19600202 198603 2 002
3. 4. 5. 6.
5.2.
Dr. Bambang Prasetyo Miftahul Azis, SE
IVe/Pembina Utama IVa/Pembina
19640511 198903 1 002
IVe/Pembina Utama IIId/Penata Tk. I
19820416 200912 1 003
IIIa/Penata Muda
Jabatan Fungsional Peneliti Muda Peneliti Utama Peneliti Madya Peneliti Utama Peneliti Pertama Peneliti
Status Ketua Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Jadwal Pelaksanaan
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember tahun 2014. Penelitian akan diselesaikan dalam waktu 12 bulan yang meliputi kegiatan pengumpulan data, analisis dan penulisan laporan. Secara rinci, jadwal kegiatan penelitian adalah sebagai berikut. Jadwal Palang Pelaksanaan Kegiatan Penelitian T.A. 2014 Jenis Kegiatan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survei dan pretest kuesioner Survei utama Entry, Validasi, Pengolahan dan Analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir 20
DAFTAR PUSTAKA Bahri, S., K. Suradisastra, A.K. Makarim, dan D. Priyanto. 2012. Pengembangan Kegiatan Ekonomi Terpadu Berbasis Inovasi Pertanian di Kawasan Perbatasan NKRI-RDTL (Kabupaten Belu dan TTU). Laporan Hasil Pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Bappenas. 2010. Perbatasan. http://kawasan.bappenas.go.id/index.php?catid 36:sub-
direktorat-kawasan-khusus-perbatasan&id=98:perbatasan&option =com_content&view=article. Diakses 3 Februari 2014.
Batubara, Harmen. 2011. Menjadikan Wilayah Perbatasan Jadi Halaman Depan Bangsa. http://www.wilayahperbatasan.com/menjadikan-wilayah-perbatasan-jadi-halamandepan-bangsa/. Diakses 17 Februari 2014. Biro Perencanaan. 2013. Bahan Rapat konsolidasi program/kegiatan Pembangunan Pertanian di wilayah perbatasan nkri. Biro Perencanaan, Kementerian Pertanian. Pontianak. Fukuyama, Francis. 1999. The end of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Penerbit Qalam. Yogjakarta. Grootaert, C. 1997. Social Capital: the Missing Link? in Expanding the Measure of Wealth: Indicators of Environmentally Sustainable Development. Environmentally Sustainable Development Studies and Monographs Series No. 7. The World Bank. Washington DC. Grootaert, C. and T. van Bastelaer. 2002. Social Capital: from Definition to Measurement in
Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners (Editors: Grootaert, C. and T. van Bastelaer). The World Bank. Washington DC.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Sosial Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia. Press. Jakarta.
MR United
Helmi, A. 2009. Modal Sosial dan Pertanian Indonesia. http://alfian1810. blogspot.com /2009/05/modal-sosial-dan-pertanian-indonesia.html Diakses: 5 Feb 2014 Krishna, A. and E. Schrader. 2002. The Social Capital Assessment Tool: Design and
Implementation in Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners (Editors: Grootaert, C. and T. van Bastelaer). The World Bank.
Washington DC.
Putnam, R. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American Prospect (13): 35-42. Sawit, M.H., S. Iskandar, R. Thahir, Abubakar, dan B. Abdullah. 2012. Percepatan Pengembangan Pertanian Berbasis Inovasi di Wilayah Perbatasan Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Laporan Hasil Pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Sedana, Gede. 2013. Modal Sosial dalam pengembangan Agribisnis Petani pada Sistem Subak di Bali. Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Sedyadi, GSM. 2012. Dukungan Modal Sosial Terhadap Kelembagaan Pertanian Dalam Peningkatan Posisi Tawar Pada Sistem Tata Niaga (Studi Kasus: Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang). Tgas Akhir Program Studi PWK SAPPK-ITB. http://sappk.lib.itb.ac.id/index.php?menu=library&action= detail&libraryID=18126 Diakses: 5 Februari 2014. Serageldin, I. dan C. Grootaert. 1997. Defining Social Capital: An Integrating View. Paper
presented at Operations Evaluation Department Conference on Evaluation and Development: the Institutional Dimension. The World Bank. Washington DC.
Setiyanto, A dan B. Irawan. 2013. Profil Pertanian Di Wilayah Perbatasan. Makalah disampaikan pada seminar Membangun Kemandirian Pangan Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Perbatasan. Cipayung, 22-23 Oktober. Badan Litbang Pertanian. 21
Stolle, Dietlind dan T.R. Rochon, 1998. Are all associations alike? In: American Behavioral Scientist, Sep98, Vol. 42 Issue 1. Stone, W. dan J. Hughes. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and Measurment Validity. Research Paper No. 27, June 2002. Australian Institute of Family Studies. Melbourne. Subejo. 2004. Peranan Social Capital dalam Pembangunan Ekonomi: Suatu Pengantar untuk Studi Social Capital di Pedesaan Indonesia. Majalah Agro Ekonomi Vol. 11 No.1 Juni 2004. Jakarta. Suprayoga, Hadi. 1996. Pengembangan Kerjasama Ekonomi Regional dan Peningkatan Kinerja Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. www.bappenas. go.id/index.php/download_file/view/10589/2289. Diakses 12 Februari 2014. Sutopo, D., B. Haryanto, dan Kuswandi. 2012. Model Percepatan Pembangunan Pertanian Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Laporan Hasil Pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (social Cap[ital) dalam Perdagangan Hasil Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 26, No.1, Juli. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Ulinnuha, M. Z. 2012. Strategi Peningkatan Produktivitas Petani Melalui Penguatan Modal Sosial (Studi Empiris di Kecamatan Guntur Kabupaten Demak). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. UNDIP. Semarang. Taryoto, A.H. 2013. Wilayah Perbatasan: Halaman Depan Atau Halaman Belakang ? (Catatancatatan kecil Wilayah Perbatasan dan Pulau-pulau Terluar). Makalah disampaikan pada seminar Membangun Kemandirian Pangan Pulau-Pulau Kecil dan Wilayah Perbatasan. Cipayung, 22-23 Oktober. Badan Litbang Pertanian. Wasito dan K.Subagyono. 2012. Modal Sosial dalam Memperkuat Ketahanan Pangan Keluarga Miskin. Buku Kemandirian Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Widodo, S. 2012. Penguatan Modal Sosial Untuk Pengembangan Nafkah Berkelanjutan Dan Berkeadilan. Prosiding Seminar Nasional Prosiding Membangun Negara Agraris Yang Berkeadilan dan Berbasis Kearifan Lokal.” ISBN 978-979-17638-9-9. Universitas Sebelas Maret. Jawa Tengah World Bank. 2002. Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners (Editors: Grootaert, C. and T. van Bastelaer). The World Bank. Washington DC. World Bank. 1998. The Initiative on Defining, Monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding. Social Capital Initiative Working Paper No. 2. Social
Development Family, Environmentally, and Socially Sustainable Development Network. World Bank. http://www1.worldbank.org/prem /poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf. Diakses 19 Februari 2014.
22