1
Oleh:
SALMAN FARIS 09.2.00.1.05.01.0007
2 KATA PENGANTAR Puja dan Puji Syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Sholawat beserta salam senantiasa tercurahkan pada kekasih-Nya, Nabi Muh}ammad SAW, beserta keluarga, sah}abat dan para pengikutnya. Buku ini berasal dari studi penulis pada Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada mulanya, studi ini berjudul Kontekstualisasi al-Qur’a>n; Studi Penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r. setelah mengalami perubahan dari bentuk aslinya, judul studi ini berubah menjadi Kontekstualisasi alQur’a>n Muh}ammad Shah}ru>r. Perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan teknis, dengan tidak merubah atau mengurangi isi studi ini. Buku ini adalah sebuah kajian Kontekstual dalam melakukan pembacaan terhadap teks-teks suci al-Qur’a>n dalam pandangan Muh}ammad Shah}ru>r. pembacaan ini dilakukan agar pemahaman terhadap ayat-ayat suci al-Qur’a>n tidak bersifat sempit (LokalTemporal), tetapi juga dapat sesuai dengan realitas kekinian sekaligus menguatkan dictum bahwa al-Qur’a>n S{a>lih} li kulli Zama>n wa Maka>n. Hal ini selaras dengan prinsip Penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r yang Up
to Date. Dengan selesainya studi ini, secara tulus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang berkenan membantu, membimbing, memberikan kemudahan dalam penyelesaian buku ini. Kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pengelola program, terutama Prof. Dr. Suwito, M.A, Dr. Fuad jabali, M.A, dan Dr. Yusuf Rahman, M.A, berikut para dosen dan seluruh staf Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajar dan melayani dengan penuh keikhlasan sehingga aktivitas penulis dapat terselesaikan dengan baik. Kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A, atas bimbingan, arahan, dan nasehat-nasehat positifnya yang konstruktif. Semoga Allah membalas semuanya dengan Rahman dan Rahim-Nya, Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A (Penguji), Dr. Mukhlis Hanafi, M.A (Penguji), Prof. Dr. Suwito, M.A (Ketua Sidang Penguji) kelayakan buku ini. Pimpinan dan Staf
3 Perpustakaan Pascasarjana dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Perpustakaan The Islamic College (IC) dan Perpustakaan Iman Jama’ Jakarta, atas bantuan dan pelayanannya selama penulis menelusuri literatur studi ini. Kepada Prof. Dr. Ahmad Thibraya, M.A selaku rektor STAI AzZiyadah yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam memperoleh beasiswa Dosen Program magister (S-2) yang diselenggarakan Kementerian Agama R.I. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Drs. Usman H.Ibrahim dan Ibunda Ma’rifah yang telah melahirkan, membesarkan, mengarahkan dan mendo’akan penulis sehingga akhirnya mampu menyelesaikan studi di Program Magister ini, kaka penulis Syukran Hayati, S.Pd, dan Ainun Rofiqah, A.Md. atas dorongan dan motivasinya. Duhai Allah Tuhan Kami, Ampunilah Dosa Kami, Dosa kedua Orangtua Kami, Karuniakan Rahmat dan Kasih-Mu kepada kami dan Kepada Kedua Orangtua kami sebagaimana mereka telah mendidik kami. Kepada my fiancée Marsha, S.Si dan keluarga yang telah memberikan motifasi dan do’anya dalam menempuh dan merampungkan studi di Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhirnya, penulis berharap semoga mereka semua mendapat balasan terbaik dari Allah SWT, dan karya ini dapat bermanfaat bagi kehidupan, serta bernilai di sisi Yang Maha Kuasa.
4 DAFTAR ISI
ABSTRAKS » i KATA PENGANTAR » v
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA » vii DAFTAR ISI » viii BAB I PENDAHULUAN » 1 A. Latar Belakang Masalah » 1 B. Permasalahan » 8 C. Tujuan Penelitian » 9 D. Manfaat Penelitian » 9 E. Kajian Pustaka » 10 F. Metode Penelitian » 15 G. Sistematika Pembahasan » 16 BAB II PENAFSIRAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TERHADAP AL-QUR’A
n » 20 1. Kelompok Skripturalis dan Tekstualis » 22 2. Problematika Pembacaan Teks » 23 3. Kecenderungan Penafsiran Tekstual » 34 B. Penafsiran Kontekstual Terhadap Al-Qur’a>n » 37 1. Kelompok Kontekstualis dan Substansialis » 39 2. Kecenderungan Penafsiran# Kontekstual » 40 BAB III BIOGRAFI MUH{AMMAD SHAH{RUr » 47 1. Sekilas Biografi Intelektual » 47 2. Latar Belakang Intelektual » 48 3. Muh}ammad Shah}ru>r: Sang Penggagas Qira>’ah Mu’a>s}irah » 51 B. Sikap Shahru>r Terhadap Tafsir » 55 1. Tafsir sebagai Proses » 55 2. Tafsir sebagai Produk » 58 C. Prinsip-prinsip Penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r » 61
5 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prinsip Dekonstruksi » 61 Prinsip Anti-Sinonimitas dan Diferensiasi » 63 Prinsip Tarti>l dan Anti- Atomistic » 70 Prinsip Penafsiran Yang Up to Date » 71 Prinsip Rasionalitas Penafsiran » 73 Prinsip Otonomi Teks » 75
BAB IV APLIKASI METODOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL MUH{AMMAD SHAH{RUlah dan alNubuwwah » 81 1. Metode Takwil » 81 2. Metode Ijtihad/ Teori H{udu>d » 98 B. IMPLIKASI METODE KONTEKSTUAL TERHADAP ASBAb al-Nuzu>l Tidak Berlaku Bagi Ayat-Ayat al-Qur’a>n » 111 2. Asba>b Al-Nuzu>l Merupakan Cacat Bagi Ulu>m al-Qur’a>n? » 113 a. Antara Asba>b al-Nuzu>l dan Muna>saba>t al-Nuzu>l ; Sebuah Polemik Semantik » 118 b. Doktrin ‘Ada>lah Dan ‘Is}mah al-Sahabat Atas Umat Islam » 125 c. Tendensi Fanatisme Madhhab dan Golongan » 135 d. Relasi Antara al-Qur’a>n dan Asba>b al-Nuzu>l » 140 3. Penafsiran Tanpa Asba>b al-Nuzu>l; Antara Problem dan Solusi Alternatif » 145 BAB V PENUTUP » 149 A. Kesimpulan » 149 B. Implementasi » 150 DAFTAR PUSTAKA » 151 INDEKS » 157 GLOSSARY » 161 BIOGRAFI PENULIS » 164
6 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Diskursus pemikiran keislaman yang berkembang di masyarakat acapkali menempatkan al-Qur’a>n sebagai wilayah tak tersentuh (untouchable area), karena dianggap sacral dan baku. Selanjutnya masyarakat Muslim sendiri hanya sebatas mengiyakan, mengikuti, sami’na> wa at}a’na>, tanpa diperkenankan mengotak-atik, apalagi menyangkalnya. Sikap penyakralan terhadap teks al-Qur’a>n ini pada gilirannya akan mengantarkan umat Islam pada ‘stagnasi intelektual’ dan keringnya diskursus pemikiran keagamaan, ketika pemahaman tekstualnormatif al-Qur’a>n tersebut dihadapkan dengan realitas kekinian. Dari sikap ini kemudian muncullah apa yang dikenal dengan istilah ‚Islam Fundamental‛, 1 ‚Islam Otentik‛, 2 dan berbagai macam label Islam 1
Istilah fundamental secara etimologi berasal dari kata fundamen, yang berarti dasar atau pokok. Sedangkan fundamentalis adalah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam ajaran Kitab Suci. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 245. Istilah ini menimbulkan suatu kesan tertentu, misalnya: ekstremisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan dan mempertahankan keyakinan keagamaan. Ada beberapa karakter yang menjadi platform gerakan kaum fundamentalisme, antara lain: pertama, mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme. Ketiga, memonopoli kebenaran atas Tafsir agama. Keempat, gerakan fundamentalisme mempunya korelasi dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Berkenaan dengan istilah ‚Islam Fundamental‛, apabila dikaitkan dengan uraian tentang makna serta karakter paham fundamentalisme di atas, maka dapat dikatakan bahwa ‚Islam Fundamental‛ adalah sebuah paham keislaman yang menitik beratkan pada pemaknaan teks-teks keagamaan secara literal-tekstual, dengan mengabaikan sisi sisi kontekstual substansifnya. Selanjutnya para penganut paham ini disebut dengan kaum fundamentalis. Istilah fundamentalis sendiri muncul pertama kali di kalangan beberapa sekte Protestan di Amerika-Serikat sekitar Tahun 1910-an sebagai reaksi terhadap para Teolog yang Liberal- modernis atau sekuler. Lihat Hadimulyo, ‚Fundamentalisme Islam; Istilah yang Dapat Menyesatkan‛, Jurnal Ulumul Qur’an, No. IV (Jakarta: LSAF dan ICMI, 1993). Gerakan antimodernisme ini memperoleh namanya dari 12 booklet yang disebut fundamental, yang diterbitkan antara 1910 sampai 1915. Di dalam booklet itu tokoh-tokoh fundamentalis Kristen
7 lainnya yang mengandaikan bahwa muatan al-Qur’a>n harus dimaknai dan ditafsiri sesuai dengan teks yang ada secara literal-tekstual.3 Seiring dengan kecenderungan penafsirannya terhadap doktrin yang bercorak rigid dan literalis, kaum fundamentalis memandang bahwa corak pengetahuan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari doktrin yang mencakup itu, karena itu, Ijtihad dengan sendirinya dibatasi hanya pada masalah-masalah di mana doktrin tidak memberikan petunjuk sampai detail-detail persoalan.4 Di sisi lain, ada kelompok umat islam yang menganggap bahwa al-Qur’a>n yang berisikan teks-teks itu tidak terlepas dari kondisi sosiokultural-historis di mana teks-teks tersebut turun atau diciptakan. Kelompok yang satu ini mengandaikan bahwa muatan al-Qur’a>n harus dimaknai dan ditafsiri sesuai dengan kondisi sosio-kultural di mana teksteks tersebut diterapkan. Dengan kata lain, penafsiran teks-teks alQur’a>n tersebut harus bersifat kontekstual sehingga mampu menjawab problematika masyarakat yang sedang terjadi dewasa ini. Kelompok ini sering disebut dengan istilah ‚Islam Liberal‛, 5 ‚Islam Substantif‛, 6 awal menggariskan pokok-pokok ajaran mereka, yang pada intinya adalah bahwa doktrin Kristen sebagaimana termaktub dalam Injil tak boleh ditambah, apalagi dikurangi. Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia;Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina,1999), 137. Adapun istilah Fundamentalisme Islam menjadi popular di kalangan Barat sejak revolusi Islam Iran pada tahun 1979 yang melahirkan kekuatan revolusioner Muslim Syi’ah yang radikal dan fanatic siap mati untuk melawan Amerika Serikat. Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik dari Fundamentalis, Modernis hingga Post Modernis (Jakarta: Paramadina,1996), 107. 2 Kata otentik secara etimologi berarti: asli, sah, dapat dipercaya. Robert D. Lee, Professor ilmu politik Colorado Collage menjelaskan, menjadi otentik berarti menjadi yang ‚sebenarnya‛ ketimbang yang tampak, yang fundamental ketimbang yang superficial, yang asli ketimbang yang tambahan, yang benar ketimbang yang salah. Lihat Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), 199. Pengertian sesungguhnya mengenai ‚Islam Otentik‛ tidak dapat diketahui secara pasti. Kaum Fundamentalis cenderung mengartikannya sebagai upaya kembali ke masa lalu. Dalam artian, mengamalkan segala ajaran yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, bersama para shabatnya, tanpa dilihat konteks sosio-kulturalhistoris secara lebih jauh. 3 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’a>n; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’a>n (Jakarta: Penamadani:2005), 14. 4 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta:Paramadina, 1999), 31-32. 5 Definisi ‚Islam Liberal‛ tidak dapat diketahui secara pasti makna yang sesungguhnya. Charles Kurzman mengungkapkan bahwa istilah ‚Islam Liberal‛
8 ‚Islam Aktual‛ 7 dan berbagai label Islam lainnya yang menunjukkan kekinian dan penerimaannya terhadap kondisi realitas masyarakat modern. Fenomena di atas menunjukkan, ragam tafsir al-Qur’a>n secara garis besar terbagi pada dua macam penafsiran yaitu: Pertama, tafsir almugkin terasa seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan ( a contradiction in terms ). Karena selama berabad-abad, Barat mengenal Islam sebagai sebuah agama dengan seperangkat unsur fanatisme, fundamentalisme, serta keterbelakangan. Kurzman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsep Liberal di sini harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak. Selanjutnya ia memetakan tiga tradisi umat Islam, yaitu Islam adat, Islam revivalis, dan selanjutnya Islam Liberal. Dari ketiga kategori tentang Islam ini, menurutnya dua tradisi pertama lebih sering digunakan oleh para pemikir dan aktivis Muslim. Sementara tradisi yang disebut belakangan tidak terlalu dikenal. Untuk itu, ia berusaha memberikan porsi yang sama antara ketiganya. Tradisi pertama bisa disebut sebagai ‚Islam adat‛ ( Customary Islam), yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaankebiasaan yang juga dilakukan di seluruh dunia Islam. Tradisi kedua adalah ‚Islam revivalis‛, juga biasa dikenal sebagai Islamisme, fundamentalisme, atau Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Sedangkan tradisi ketiga yaitu ‚Islam Liberal‛, tradisi ini didefinisikan sebagai paham yang berbeda secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan periode Islam paling awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktikpraktik keagamaan masa kini. Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu itu untuk kepentingan modernitas. Karakter dari ‚Islam Liberal‛ ini antara lain adalah: Pertama, kebebasan berpikir. Kedua, pemaknaan secara kontekstual-seubstantif terhadap teksteks keagamaan. Ketiga, mendukung demokrasi. Keempat, menyuarakan hak-hak kaum wanita yang selama ini terabaikan. Lihat Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global terj. Bahrul Ulum, Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina,2001), xv-xvii. 6 Istilah Islam Substantif sebetulnya bukan hal baru. Menjadi lebih kaya nuansa dan warna ketika mampu dielaborasi secara apik oleh Azyumardi Azra, yang kemudian dituangkan menjadi judul sebuah buku ‚Islam Substantif; Agar Umat Tidak Menjadi Buih‛. Menurut Azyumardi, apabila Islam ingin berperan lebih luas, maka harus mengedepankan pesan-pesan moral, bukan menonjolkan symbol. Lihat Azyumardi Azra, Islam Substantif; Agar Umat Tidak Menjadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), 138. 7 Istilah Islam Aktual dipopulerkan oleh Kang Jalal--- sapaan akrab Dr. Jalaluddin Rahmat. Ia menegaskan ada dua macam Islam; konseptual dan actual. Islam konseptual terdapat dalam al-Qur’a>n, al-Sunnah, dan buku-buku atau ceramah-ceramah tentang keislaman. Islam actual terdapat pada perilaku pemeluknya. Islam konseptual boleh menunjukkan kebencian Islam kepada kezaliman dan dukungan kepada pihak yang dizalimi. Tetapi, Islam konseptual tidak akan dapat menghilangkan sistem yang zalim. Hanya Islam aktual yang mengubah sejarah. Kekuatan kaum muslim terletak pada tindakan mereka, bukan pada teks-teks suci yang mereka yakini. Lihat Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual; Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan (Bandung: Mizan, 1998), 18.
9 Qur’a>n yang berkembang dewasa ini lebih merupakan pemahaman langsung terhadap teks liturgis yang bersifat kebahasaan. Sedangkan yang kedua, proses pemahaman al-Qur’a>n melalui pendekatan hermeneutic,8 yakni pemahaman yang tidak saja dari segi narasi, tetapi teks al-Qur’a>n dipahami sebagai sebuah teks yang bersifat historis dengan bahasa yang lahir dalam konteks cultural teks tersebut.9 Dalam rangka kontekstualisasi ajaran-ajaran al-Qur’a>n, setidaknya ada dua kecenderungan pemahaman dan penafsiran al-Qur’a>n yang berkembang pada saat ini, yakni: Pertama, Kecenderungan penafsiran tekstual. Kecenderungan penafsiran ini berupaya ‚memaksakan‛ pemahaman, penafsiran dan aplikasi ajaran-ajaran alQur’a>n di masa lalu; yakni pada saat al-Qur’a>n berkomunikasi dengan realitas masyarakat Arabia di masa Nabi Muhammad SAW10 dan masa generasi sahabat11, untuk diaplikasikan pada saat dan situasi kekinian. Dengan kata lain, mereka berpegang pada dictum, sebagaimana dikatakan oleh Abu> Zaid (1943-...):12 ‚fahm al-khit}a>b kama> fahima almu’a>s}iru>n‛ (ujaran dipahami menurut pemahaman mereka yang hidup sezaman dengan turunnya ujaran itu).13
8
Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), 1-2. 9 Nasr H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}; Dira>sat fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Saqafi al-‘Arabi,1994), 10. 10 Ciri metode penafsiran Nabi SAW: tidak panjang lebar, sehingga penafsiran beliau hanya berupa penjelasan terhadap ayat-ayat global, menjelaskan ayat yang mushkil, mengkhususkan ayat yang umum, mentaqyid ayat yang mutlaq atau menjelaskan makna suatu lafaz. Lihat Fahd b. Abd al-Rah}ma>n b. Sulaima>n al-Ru>mi, Buh}u>th fi Us}u>l al-Tafsi>r wa mana>hijuh (Ttp: Maktabah al-Taubah, Tth), 19. 11 Pada masa sahabat ini, sumber penafsirannya adalah al-Qur’a>n itu sendiri, hadith Nabi, ijiha>d dan Quwwat al-istinba>t}, dan ahli kitab; yakni Yahudi dan Nasrani. Lihat Muhammad H{usein al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n Juz I, (T.tp.: Mus}’ab bin ‘Umair: 2004), 31-38. 12 Nas}r H{a>mid Abu> Zaid (10 Juli 1943-...) adalah pemikir muslim kontemporer asal Mesir yang dimurtad-kafirkan oleh kalangan Ulama’ Mesir, dan berakhir dengan pengasingan dirinya ke Belanda. Ia banyak berbicara tentang kritik teks dan ulumul Qur’a>n. Karya-karyanya antara lain: Naqd al-Khitha>b al-Di>ni> (Cairo: S{ina Li al-Nashr, 1992); Mafhu>m al-Nas}s}; Dira>sa>t fi Um al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Thaqafi al‘Arabi:1994); Ishka>liya>t al-Qira>’ah wa At al-Ta’wi>l (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fah al-‘Arabi; 1994). Lihat biografi kronologis Abu> Zaid dan kelengkapan karya-karyanya, M. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’a>n; Teori Hermeneutika Nas}r H{a>mid Abu> Zaid (Jakarta Selatan: Teraju:2003), 185-194. 13 Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran (Yogyakarta: LKiS: 2003), 160.
10 Contoh- sebagaimana dicontohkan Abdullah Saeed- yang paling mudah dijumpai bagi pandangan ini adalah kelompok Tradisionalis dan Salafi- Wahaby14 yang berkembang di beberapa Negara belahan dunia termasuk Indonesia. 15 Pandangan dengan pendekatan tekstual ini berusaha memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan bantuan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir klasik; ilmu Asba>b al-Nuzu>l, ilmu Naskh-Mansu>kh, ilmu Muna>saba>t al-Aya>t, dan lain sebagainya dengan tujuan dapat menyingkap original meaning ayat tertentu.16 Bagi golongan ini makna al-Qur’an telah terfiksasi dan aplikatif secara universal,17 sehingga seluruh yang tertera secara literal dalam teks alQur’an merupakan pesan yang sebenarnya dan harus diaplikasikan di masa kini dan bahkan di masa yang akan datang.18 Kedua, Kecenderungan penafsiran kontekstual yang terbagi menjadi dua; yakni penafsiran yang menjadikan present context dan sosio-historical context (Asba>b al-Nuzu>l) sebagai pertimbangan dalam penafsiran. Dalam proses penafsiran al-Qur’a>n, pandangan ini menekankan kepada Mufassir di masa kini untuk melakukan penyingkapan makna asli (original meaning) teks al-Qur’an terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat metodis ilmu Tafsir sebagaimana tersebut di atas. Pendekatan ini menjadikan original 14
Dengan berbagai modelnya, aliran ini mensosok figurkan generasi Salaf alS{a>lih{; yakni para pendahulu umat Islam yang mencakup tiga generasi; sahabat, tabi’in dan tabi’in al-yabi’in. Lihat Abd al-Mun’im al-H{afni>, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Madzhab, Partai dan Gerakan Islam terj. Muhtarom, (JakartaSelatan: Grafindo: 2006), 534-537. Lihat edisi Arabnya Mausu>’ah al-H{ara>kat wa alMadza>hib al-Isla>miyah fi al-A’la>m, cet II (Kairo: Maktabah Madbuli:1999). Lihat juga Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP: 2007), 116-145. 15 Gerakan Salafi radikal yang berkembang di Indonesia antara lain: FPI, HTI, IM, Laskar Jihad (Laskar kemiliteran yang bubar pada masa kepresidenanMegawatiHamzah Haz, dan sekarang yang masih aktif adalah FKAWJ, pen) dan MMI. Jamhari dan Jajang Jahroni (penyunting), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo: 2004). 16 Sahiron Syamsuddin, ‚Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer Terhadap al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’a>n dan Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol.8, No.2 (Juli: 2007), 198-200. 17 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n; Towords a Contemporary Approach (New York: Roudledge: 2006), 3. 18 Karena, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H) bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’an kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada mereka seluruh lafal-lafalnya. Lihat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Us}u>l al- Tafsi>r, Tahqiq Adnan Z., (Kuwait: Da>r alQur’a>n: 1971), cet I, 35.
11
meaning (makna historis) hanya sebagai pijakan awal untuk menafsirkan al-Qur’an di masa kini, dan di saat yang sama mereka tidak memandangnya sebagai pesan utama al-Qur’a>n, justru bagi pandangan ini, yang terpenting adalah pesan atau maksud al-Qur’an yang berada di balik makna literal itu, atau dalam bahasa Rahman (w. 1988 M) 19 dengan double movementnya20 disebut ideal moral dan Abu> Zaid (1943...) disebut maghza> (signifikansi)21. Inilah yang harus diaplikasikan di saat ini dan yang akan datang. Kecenderungan kontekstual lainnya adalah penafsiran yang menjadikan present context sebagai pertimbangan dalam penafsiran dan di saat yang sama mengabaikan historical context (Asba>b al-Nuzu>l). Pandangan ini meyakini bahwa teks al-Qur’an adalah rekaman kala>m Allah SWT yang abadi dan universal,sehingga dalam menafsirkan alQur’an tak ada keharusan untuk mempelajari Asba>b al-Nuzu>l (konteks turunnya ayat)22 dan sejarah Muhammad SAW. Bagi mereka cukuplah teks al-Qur’a>n berbicara sendiri pada pembacanya, dan jika setiap pembacaan harus selalu dikembalikan ke masa lalu; yakni situasi Arab ketika ia diturunkan, maka makna universalitasnya akan berkurang. 23 Dan dalam pandangan inilah Muh}ammad Shah}ru>r berada. Bagi Muh}ammad Shahru>r al-Qur’an hanya bisa dipahami melalui wujud alam semesta beserta fenomenanya, dan melalui jendela Asma> al-H{usna> yang terjelma dalam fenomena dan wujud alam semesta ini. Oleh karena itu
19
Fazlur Rahman (1919-1988) adalah tokoh pemikir asal Pakistan bermadzhab H{anafi. Karya-karyanya antara lain: Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: the University of Chicago Press, 1982); Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica: 1980); Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternatives, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol I, No.4 (1970). Lihat karya-kayanya yang lain dalam Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta: Gaung Persada Press: 2007). 20 Rumusan definitive double movement yang dikembangkan oleh Rahman dipengaruhi oleh pemikiran al-Sya>tibi dalam hal pentingnya memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif. Kemudian pandangan ini oleh Rahman diasimilasikan ke dalam bangunan metodologisnya. 21 Nas{r H{a>mid Abu> Zaid, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: S{ina> li al-Nasyr, 1992), 142-143. 22 Kontras dengan pendapat al-Suyu>ti yang menyatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan bagian terpenting dalam penafsiran. Lihat Jala>l al Din al- Suyu>ti, al-Tah}bi>r fi ‘#Ilm al-Tafsi>r tah}qi>q Fath}i ‘Abd al-Qadi>r (Kairo: Da>r al-Mana>r: 1986), 86. 23 Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 164. Lihat juga Muhammad Syahru>r, Nah}w Usu>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus; al-Aha>li:2000), cet I, 9394.
12 alam semesta sebagai satu keseluruhan tidak dapat diketahui secara penuh kecuali oleh Allah SWT.24 Dengan demikian menurut Muh}ammad Shahru>r, penafsiran generasi muslim awal terpagari oleh ruang dan waktu, pun penafsiran ala Nabi Muh}ammad SAW hanyalah kebenaran awal dalam sebuah penafsiran, dan bukan yang terakhir kalinya. Artinya Muh}ammad Shahru>r hanya mengakui adanya relativitas segala jenis penafsiran. Ini berarti pula bahwa memahami dan melakukan pembacaan terhadap alQur’a>n 25 saat ini harus disesuaikan dengan pengalaman dan perkembangan ilmu pengetahuan; baik eksakta maupun non- eksakta di saat seorang Mufassir berhadapan dan berdialog dengan al-Qur’a>n. Implikasinya adalah bahwa pendekatan yang dipilih Muh}ammad Shahru>r mengharuskan untuk menjauhkan Asba>b al-Nuzu>l dari Ilmuilmu al-Qur’a>n.26 Menurutnya, konsep Asba>b al-Nuzu>l dan Naskh adalah saudara kembar dan merupakan cacat terbesar dalam ulu>m al-Qur’a>n Baginya, Asba>b al-Nuzu>l yang menjadi pegangan mayoritas Muslim hingga saat ini, hanyalah menjelaskan sejarah bentu penafsiran atau pemahaman pada Abad ketujuh dan proses interaksi antara manusia dengan ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu. Sedangkan pada saat ini; yakni abad keduapuluh, hal itu sudah tidak diperlukan lagi. Sebab makna al-Qur’an eksis pada dirinya sendiri, sehingga tidak terikat pada proses perjalanan sejarah.27 Di samping mengabaikan historical context dalam pembacaan alQur’a>n, Shah}ru>r juga mengkritik Asba>b al-Nuzu>l yang biasa dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’a>n oleh umumnya sarjana muslim. Kritikan itu dituangkan dalam sub bab tersendiri, bahwa peletakan ilmu Asba>b al-Nuzu>l disebabkan; 1.) adanya fanatisme madzhab dan golongan dalam transmisi periwayatan, dan 2.) adanya doktrin keadilan sahabat yang ditanamkan dalam jiwa umat Islam. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang tersajikan dalam kitab Asba>b al-Nuzu>l karya
24
Shahru>r, Nahw Us{u>l Jadi>dah, 53-54. Shah}ru>r menggunakan istilah ‚Qira>’ah atau pembacaan‛ mengacu pada wahyu yang pertama kali turun. Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil ( Istidla>l), merenungi (ta’ammul), menemukan (idra>k), memaparkan (Isti’ra>d{) dan menganalisa (Tah{li>l), yang mana seorang pembaca setelah melakukan aktivitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang ia baca. Lihat Shahru>r, Nah{w Us{u>l Jadi>dah, 117. 26 Shah}ru>r, Nah{w Usu>l Jadi>dah, 93-94. 27 Shah}ru>r, Nah{w Usu>l Jadi>dah, 230. 25
13 al-Wa>h}idi dan al-Suyu>ti>. Sebab, keduanya banyak dikenal di kalangan; baik muslim maupun non-muslim. Model pembacaan Muh}ammad Shahru>r terhadap al-Qur’a>n inilah yang membuat penulis ingin mengetahui lebih dalam Kontekstualisasi al-Qur’an seperti apa menurut pandangan Muh}ammad Shah}ru>r. B. PERMASALAHAN 1. Identifikasi Masalah Setidaknya ada dua tipologi kecenderungan penafsiran al-Qur’an yang berkembang di kalangan Muslim hingga saat ini: a. Penafsiran yang cenderung tekstual. Golongan ini berpandangan bahwa begitu pentingnya unsur konteks historis dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga bentuk pemahaman, penafsiran dan aplikasi ajaran-ajaran al-Qur’an di masa Nabi SAW dan generasi muslim awal harus diaplikasikan di masa kini dan masa yang akan datang. Jadi, konteks saat ini tidak ada bedanya dengan konteks masa lalu. Sebab, makna al-Qur’an telah terfiksasi dan aplikatif secara universal. Pandangan ini dipegang oleh golongan Tradisionalis dan Salafi-
Wahaby. b. Penafsiran yang cenderung kontekstual. Dalam hal ini terbagi menjadi; pertama, penafsiran yang mempertimbangkan present context dan konteks historis. Pandangan menilai penting historical context ( Asba>b al-Nuzu>l) untuk mencari original meaning teks alQur’a>n. Tetapi itu hanya sebagai pijakan awal untuk membaca yang kemudian dapat terkuak maksud dan tujuan di balik makna literalnya. Maksud di balik makna literal itulah yang harus diaplikasikan di masa kini dan masa yang akan datang. Kedua, penafsiran yang mempertimbangkan present context, tetapi mengabaikan konteks historis dan Shahru>r mengamini pendapat ini. Pandangan ini menilai teks al-Qur’an adalah rekaman kala>m Allah SWT yang abadi dan universal, sehingga tidak ada keharusan untuk mempelajari Asba>b alNuzu>l dan sejarah Nabi SAW. Sebab al-Qur’an diperuntukkan bagi orang-orang yang masih hidup dan berakal di saat ini, bukan untuk orang yang sudah mati dan sudah berlalu. 2. Pembatasan Masalah Dalam mempersiapkan suatu kajian ilmiah, termasuk hal yang penting adalah membatasi permasalahan agar pembahasan tidak melebar. Mengingat pemikiran Shah}ru>r banyak tertuang dan terserak,
14 setidaknya dalam lima buku karyanya, 28 Maka dalam penelitian ini pembahasan dibatasi hanya mengenai kontekstualitas al-Qur’an dalam pandangan Muh}ammad Shah}ru>r. 3. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini, yakni membahas lebih mendalam tentang perbedaan antara Tekstualitas dan Kontekstualitas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, bagaimana pandangan Muh}ammad Shah}ru>r dalam memahami kontekstualitas alQur’an tersebut, agar rumusan masalah dapat dijawab, maka dibuat daftar pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana paradigma berpikir Muh}ammad Shah}ru>r tentang pengabaian Asba>b al-Nuzu>l dalam upaya mengkontekstualkan penafsiran al-Qur’a>n C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan pemahaman tekstualis dan kontekstualis, dan yang terpenting adalah bagaimana pandangan Muh}ammad Shah}ru>r tentang Kontekstualitas dalam pemahaman al-Qur’an. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Kegunaannya secara teoritis adalah sebagai usaha untuk menambah khazanah ilmiah tentang pemahaman dalam bidang Tafsi>r atau ilmu Tafsi>r khususnya kajian yang berkaitan dengan kontekstualitas alQur’a>n. Kajian ini juga berguna untuk menyadarkan penulis dan pembaca bahwa kajian Tafsi>r tidak pernah berhenti, akan tetapi akan terus berjalan secara dinamis bersamaan dengan berjalannya zaman. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan akan menarik minat bagi para peneliti Tafsi>r berikutnya.
28
Karya-karya Shah}ru>r yang berupa buku dan sudah menyebar sampai ke Indonesia terdapat empat kitab: al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah terbit 1990, Dira>sa>t Isla>miyyah Mu’a>s}irah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ terbit 1994, al-Isla>m wa alIma>n; Manz}u>ma>t al-Qiya>m terbit 1996, dan Nah}w Usu>l Jadi>dah li al Fiqh al-Isla>mi; Fiqh Mar’ah terbit 2000. Semuanya diterbitkan oleh al-Aha>li sebagai penerbit yang biasa digunakan oleh Muh}ammad Shah}ru>r dalam mempropagandakan pemikirannya di samping media televise dan internet. Lihat selengkapnya karya-karya Muh}ammad Shah}ru>r yang bisa di down-load secara gratis (kecuali buku yang kelima) dan dialognya dengan para netter di http://www.shahrour.org
15 2. Secara Praktis Kegunaannya secara praktis adalah sebagai salah satu usaha untuk mengetahui dan memahami paradigm Muh}ammad Shah}ru>r terhadap Penafsiran al-Qur’a>n secara kontekstual, yang hasilnya dapat diketahui kontribusi Muhammad Shah}ru>r bagi perkembangan pemahaman penafsiran, demi perkembangan pemikiran masyarakat Islam secara umum, serta diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi seluruh kalangan dalam upaya memahami al-Qur’an. E. Kajian Pustaka Upaya mendialogkan teks al-Qur’an yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas telah dilakukan oleh umat Muslim sejak dulu hingga saat ini. Sebagai fakta historisnya adalah sejumlah teks hasil kajian mengenai berbagai dimensi al-Qur’an yang lahir dari wacana para intelektual Muslim dari masa ke masa. 29 Salah satunya adalah usaha yang dilakukan oleh Shah}ru>r untuk menyelaraskan teks tertulis; alQur’an dengan teks terbuka; alam semesta sesuai dengan pengalaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa memperhatikan historical context; dimana seorang penafsir menafsirkan al-Qur’an dengan hanya present context; di mana seorang penafsir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan pengalaman, ruang dan waktu saat ia sedang berdialog dengannya. Hal itu dalam rangka kontekstualisasi ajaran-ajaran yang cocok disegala waktu dan tempat. Kajian-kajian lain yang berkaitan dengan kontekstualitas alQur’an antara lain; Taufik Adnan Amal dan samsu Riza Panggabean menulis A Contextual approach to the Qur’a>n.30 Tulisan ini menawarkan 29
Karya-karya hasil kajian al-Qur’a>n beserta pengarangnya lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, T{abaqa>t al-Mufassiri>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah:Tth); Shamsu alDi>n Muh}ammad b. ‘Ali b. Ah}mad al Da>wu>di, T{abaqa>t al-Mufassiri>n, tah}qiq ‘Ali Muh}ammad‘Umar, (T.tp: Maktabah Wahbah:1971); ‘An min S{adr al-Isla>m h}atta> al-‘As}r al-H{a>d}ir (Lebanon: Madrasah Nuwaih}id alThaqa>fiyyah: 1988); Muh}ammad H{usein al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (T.tp.: Mus’ab bin ‘Umair: 2004); ‘Ali> Shawwa>h} Ish}a>q, Mu’jam mus}annafa>t al-Qur’an alKari>m (Riyad}: Da>r al-Rifa>’i: 1984), cet I,. Karya-karya tafsir dalam konteks keindonesiaan, lihat Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia; Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan: 1996). Kemudian penelitian ini dilanjutkan oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia; dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Jakarta: JIL:2005), 11-14. 30 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, A Contextual Approach To The Qur’a>n, dalam Abdullah Saeed, Approach To The Qur’a>n In Contemporary Indonesia (London: Oxford University Press:2005), 107-118.
16 pendekatan kontekstual dalam penafsiran al-Qur’a>n. Tafsir Sosial; Mendialogkan Teks dengan Konteks,31 tulisan Waryono Abdul Ghafur. Buku itu mengupayakan kontekstualisasi ayat-ayat social dengan cara mengawinkan teks dengan konteks. Sajiannya menggunakan peendekatan tematik sebagaimana umumnya; menempatkan Asba>b alNuzu>l; baik mikro maupun makro sebagai alat penting untuk menggali makna dan mengungkap pesan dan isi kandungan al-Qur’a>n.
Kontekstualitas al-Qur’a>n; Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam al-Qur’a>n, tulisan Umar Shihab. 32 Buku ini menampilkan sajiannya dengan menggunakan metode tematik yang memandang alQur’an sebagai satu kesatuan yang utuh dengan mengutip beberapa pendapat Fazlur Rahman, ia menegaskan pentingnya historical context baik secara micro maupun macro dalam menafsirkan al-Qur’a>n, sehingga dalam menangkap pesan al-Qur’an tidak terjebak pada sisi teks belaka.
Al-Qur’a>n Berbicara; Kajian Kontekstual Berbagai Persoalan,
tulisan Imam Muchlas,33 kajian ini menggunakan metode tematik yang tentu saja menempatkan historical context sebagai sesuatu yang signifikan dalam menafsirkan al-Qur’a>n. Sajian buku ini tidak jauh beda dengan buku-buku di atas. ‛Orientasi Tekstual dan Kontekstual Dalam Penafsiran al-Qur’a>n; Melacak Akar Perbedaan Penafsiran Terhadap alQur’a>n‛. 34 Tesis ini memetakan orientasi atau kecenderungan dalam penafsiran; yakni tekstualis-skripturalis dan kontekstualis-substansialis. Namun sayangnya belum mengcover model pembacaan Shah}ru>r. ‚Teks, Konteks dan Kontekstualisasi; Hermeneutika dalam Tafsir al-Mana>r dan Tafsir al-Azhar‚ tulisan Fahruddin Faiz. 35 Tulisan ini membuktikan bahwa dalam dua Tafsir itu sudah menunjukkan operasi hermeneutic; yakni reproduksi makna teks supaya bisa dipahami dan berfungsi dalam konteks yang berbeda.
31
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial; Mendialogkan Teks dengan Konteks, cet I (Yogyakarta: elSAQ: 2005). 32 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’a>n; Kajian Tematik Atas Ayat Hukum Dalam al-Qur’an, ed. M. Noer (Jakarta: Permadani: 2005). 33 Imam Muchlas, al-Qur’an Berbicara; Kajian Kontekstual Berbagai Persoalan (Pustaka Progressif: Surabaya: 1996). 34 Didi Junaidi, ‚Orientasi Tekstual dan Kontekstual dalam Penafsiran alQur’a>n; Melacak Akar Perbedaan Penafsiran Terhadap Al-Qur’a>n‛ (Tesis S2 Program Tafsir Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005). 35 Fahruddin Faiz, ‚Teks, Konteks dan Kontekstualisasi; Hermeneutika dalam Tafsir Al- Manar dan tafsir Al-Azhar‛ (Tesis S2 Program Studi Agama dan Filsafat; UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta: 2001).
17 Kajian-kajian yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran Shah}ru>r yang dianggap controversial di kalangan sarjana Muslim umumnya, mendapatkan berbagai respon dan apresiasi. Respon yang berupa kritik tampak jelas pada buku yang berjudul al-Markisla>miyah wa al-Qur’a>n, mulai dari kritikan terhadap pencampuradukkan oleh Shahru>r terhadap istilah Jadi>dah dan Mu’a>sirah sampai pada masalahmasalah yang berkaitan dengan gender termasuk masalah pakaian wanita dan waris. Nasr H{a>mid Abu> Zaid tokoh pemikir Muslim Kontemporer, dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Teks Otoritas Kebenaran juga menyayangkan tentang kenaifan metodologi pembacaan kontemporer yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r.36 Berbeda dengan para sarjana Muslim yang melayangkan kritik terhadap Muh}ammad Shahru>r apresiasi positif justru muncul dari para Islamolog Barat. Di antara mereka adalah Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam; A Sourcebook, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia memasukkan Muh}ammad Shahru>r ke dalam kelompok Islam Liberal37dan memuat tulisannya dalam buku tersebut.38 Tulisan lain mengenai pemikiran Muh}ammad Shahru>r dalam bentuk artikel juga banyak ditemukan, misalnya ‚Metode Interaktualitas
36
Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, 104-148. Dalam kesempatan lain ia juga menganggap bahwa analaisis teks ala Syahru>r masih kurang layak untuk kategori kajian kesarjanaan yang serius. Lihat Nasr H{a>mid Abu> Zaid, Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer, dalam pengantar buku karya Shah}ru>r Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ: 2004), 20 37 Charlez Kurzman membagi Islam Liberal kepada tiga bagian: 1) Syari’ah Liberal (Liberal Shari’a); yakni argumentasi yang menyatakan bahwa syari’ah bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat; 2) Syari’ah yang diam ( Silent Shari’a); yakni argumentasi yang menyatakan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban yang jelas mengenai topic-topik tertentu, dan 3) Syari’ah yang ditafsirkan (Interpreted Shari’a), yakni bentuk argumentasi Islam Liberal yang paling dekat dengan perasaan atau pikiran-pikiran Barat. Pandangan ini menyatakan bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syari’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiya Sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Lihat Charlez kurzman, ed., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, xxxii-xiii. 38 Tulisan Shah}ru>r yang dimuat dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Islam dan Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Lihat Charlez Kurzman, ed., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, 210-218.
18 Shahru>r Dalam Penafsiran al-Qur’an‛ tulisan Sahiron Syamsuddin. 39 Tulisan ini secara spesifik membahas tentang metode intratekstualis dan analisis paradigm-sintagmatis yang diusung oleh Muh}ammad Shahru>r sebagai sumbangsih yang bermanfaat secara metodologis dalam kajian ‚al-Qur’a>n. Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Shah}ru>r‛ tulisan Abdul Mustaqim. 40 Tulisan ini mencoba mengeksplorasi metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shahru>r dalam rangka merespon problematika kontemporer. ‚Konsep Wahyu al-Qur’an Perspektif Shah}ru>r‛ tulisan Sahiron Syamsuddin.41 Sementara itu, para mahasiswa juga melakukan penelitian terhadap pemikiran Muh}ammad Shah}ru>r berupa skripsi, Tesis dan Desertasi. Setidaknya karya-karya tersebut dapat ditemukan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya-karya itu antara lain: ‚Poligami Dalam Pandangan Muh}ammad Syahru>r; Tela’ah atas Q.S: An Nisa’ ayat 3 dan 129‛ tulisan Sirojuddin.42 Skripsi ini menekankan pada aspek Tafsir gender menyangkut masalah poligami yang terkandung dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dan 129. ‚Studi Perbandingan Penafsiran antara Muh}ammad ‘Abduh dan Muh}ammad Syahru>r Terhadap Ayatayat Gender dalam al-Qur’a>n‛ tulisan Faizal Asdar Bakri.43 Tulisan ini memperbandingkan penafsiran ayat-ayat gender antara ‘Abduh dan Shah}ru>r yang sama-sama mendasarkan penafsirannya pada nilai universalitas al-Qur’a>n. ‚Wasiat dan Waris dalam al-Qur’an Perspektif Muh}ammad Syah}ru>r‚ tulisan Fahrur Rozi. 44 Tesis ini menyoroti 39
Sahiron Syamsuddin, ‚Metode Intertekstualitas Muh}ammad Syahru>r dalam Penafsiran al-Qur’an‛, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi alQur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya: 2002), 131-149. 40 Abdul Mustaqim, ‚Al-Qur’a>n Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Shah}ru>r‛, dalam Sahiron Syamsuddin, et, al, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Forstudia dan Islamika: 2003), 121-140. 41 Sahiron Syamsuddin, ‚Konsep Wahyu al-Qur’a>n Perspektif Syahru>r‛, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1, No. 1, (2000). 42 Sirojuddin, ‚Poligami dalam Pandangan Muhammad Syahru>r; Tela’ah atas Q.S An-Nisa’ ayat 3 dan 129‛ (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004). 43 Faizal Asdar Bakri, ‚Studi Perbandingan Penafsiran antara Muh}ammad ‘Abduh dan Muh}ammad Syahru>r Terhadap Ayat-Ayat Gender dalam al-Qur’a>n‛ (Tesis S2 Konsentrasi Tafsir Hadith UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006). 44 Fahrur Rozi, ‚Wasiat dan Waris dalam al-Qur’a>n Perspektif Muh}ammad Syah}ru>r‛ (Tesis S2 Program Tafsir Hadith, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006).
19 masalah wasiat dan waris dalam pemikiran Muh}ammad Shah}ru>r. ‚Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’a>n Kontemporer ‚ala‛ M. Syah}ru>r‛ karya Ahmad Zaki Mubarak.45 Buku ini menyoroti pemikiran Shah}ru>r dari sisi strukturalisme linguistik yang digagas oleh Ferdinand de Saussure dalam metodologi penafsirannya. ‚Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam; Analisis Terhadap Teori Limit Muh}ammad Syah}ru>r dalam al-Kitab wa al-Qur’a>n; Qira’ah Mu’a>s}irah‛ tulisan Moh. Khusen. 46 Tulisan ini hanya berkutat pada pembahasan tentang teori batas yang dikembangkan oleh Shah}ru>r dalam pemikiran hukum Islam. ‚Pemikiran Muh}ammad Syahru>r dalam Ilmu Us}ul> Fiqh; Teori H}udu>d Sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Us}ul> al-Fiqh‛ tulisan Muhyar Fanani. 47 Desertasi 612 halaman ini mendapatkan ucapan terimakasih dari Shah}ru>r melalui faks. Tulisan ini membahas tentang tawaran teori batas yang dikembangkan oleh Shah}ru>r dalam pengembangan Ilmu Us}ul> al-Fiqh. ‚Pandangan Muh}ammad Syah}ru>r Tentang Islam dan Iman‛ karya M. Zainal Abidin. 48 Tulisan ini mengkaji pemikiran Shah}ru>r tentang konsep Iman dan Islam. ‚Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syah}ru>r dan alQard}aw > i‛ tulisan Alamsyah.49 Tulisan ini mencoba memperbandingkan pemikiran Muh}ammad Shah}ru>r dan al-Qard}a>wi tentang posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam. ‚Epistemologi Tafsir Kontemporer; Studi Komparatif Antara Fazlur Rahman dan Muh}ammad Syah}ru>r‛ tulisan
45
Buku yang awalnya susunan skripsi ini selesai ditulis tahun 2005 oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat Ahmad Zaki Mubarak, ‚Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’a>n Kontemporer ‚ala‛ M. Syahru>r‛ (Yogyakarta: elSAQ, 2007). 46 Moh. Khusen, ‚Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam; Analisis Terhadap Teori Limit Muh}ammad Syah}ru>r dalam al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira’ah Mu’a>s}irah‛ (Tesis S2 Program Studi Pemikiran Hukum Islam; UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2003). 47 Muhyar Fanani, ‚Pemikiran Muh}ammad Syah}ru>r dalam Ilmu Us}u>l al-Fiqh; Teori H}udu>d Sebagai Alternatif Pengembangan ilmu Us}u>l al-Fiqh‛ (Disertasi S3 Program Studi Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2005). 48 M. Zainal Abidin, ‚Pandangan Muh}ammad Syah}r u>r tentang Islam dan Iman‛ (Tesis S2 Program Studi Agama dan Filsafat Islam; UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2003). 49 Alamsyah, ‚Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syah}ru>r dan al-Qard}a>wi‛ (Disertasi S3 Program Studi Ilmu Agama Islam; UIN Sunan kalijaga: Yogyakarta, 2007).
20 Abdul Mustaqim.50 Tulisan ini hanya berusaha menemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah masalah otonomi teks. Jika Shah}ru>r menganggap bahwa teks itu independent secara mutlak, maka Rahman sebaliknya. Menurut penulis, dari berbagai tulisan tersebut dirasa belum cukup dimana kajiannya terfokus pada metodologi penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r, terutama yang berkaitan langsung dengan kajian Kontekstualitas al-Qur’a>n, oleh karena itu penulis menganggap bahwa penelitian ini perlu untuk dilakukan. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dilihat dari sudut lapangan yang dijadikan objek penelitian, maka penelitian dalam tesis ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (Library research), karena data yang diteliti dan kesimpulan yang akan dihasilkan adalah berbentuk sekumpulan teks tertulis. Hal ini adalah perbedaan mendasar antara penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif. 51 Penelitian Kualitatif didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari objek yang diamati.52 Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena data yang dijadikan objek penelitian adalah buku-buku Tafsir karya Muh}ammad Shah}ru>r. Pendekatan Kualitatif dicirikan dengan karakteristik yang bersifat ilmiyah, deskriftif, analitis dan membangun ‚teori dari dalam‛ (Grounded Theory). 53 Deskriftif di sini dimaksudkan bahwa peneliti membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta dari data-data yang ada. 54 Adapun analitis di sini dimaksudkan bahwa data-data yang telah dideskripsikan, kemudian dianalisa menurut isinya. Maka dalam penelitian ini akan digunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik yang digunakan untuk 50
Abdul Mustaqim, ‚Epistemologi Tafsir Kontemporer; Studi Komparatif antara Fazlur Rahman dan Muh}ammad Syah}ru>r‛ (Disertasi S3 Program Studi Ilmu Agama Islam; UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2007). 51 Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2007), 3. 52 Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, 4. 53 Kirk, Jarome & Marc Miller, Reliability and Validity in Qualitative Research (Beverly Hill: Sage Publication: 1986), 9. 54 Lihat Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 2002), 18.
21 menganalisa makna yang terkandung dalam data yang dihimpun melalui penelitian kepustakaan. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini, sumber yang dihimpun terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah karyakarya Shah}ru>r, yakni: al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>sirah, dan Nah}w Usu>l Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi. Sedangkan data-data yang berkaitan dengan Shahru>r dan kontekstualitas al-Qur’an penulis jadikan sebagai sumber sekunder (secondary resources). Sumber sekunder diperlukan dalam rangka memperluas cakrawala untuk mempertajam analisis persoalan. G. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, tesis ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Pada Bab Pertama penulis menyajikan Pendahuluan yang mencakup latar belakang penulisan tesis, permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis, mencakup juga (identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah), tujuan penelitian tesis, manfaat yang didapat dari penulisan tesis, kajian pustaka yakni membahas tentang siapa saja yang telah menghasilkan karya-karya yang berkaitan dengan tema yang penulis bahas, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada Bab kedua, penulis membahas tentang penafsiran tekstual dan kontekstual terhadap al-qur’a>n. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab; yakni penafsiran tekstual terhadap al-Qur’a>n meliputi: kelompok skripturalis dan kontekstualis, penulis mengcounter siapa saja yang termasuk ke dalam dua golongan ini, problematika pembacaan teks, di dalamnya penulis menghadirkan tentang problem apa saja yang timbul akibat banyaknya system pembacaan teks, kecenderungan penafsiran tekstual, kecenderungan penafsiran kontekstual terhadap alQur’a>n. Pada Bab ketiga, penulis mulai membahas tentang biografi, kiprah dan karya-karya yang dihasilkan oleh tokoh yang penulis teliti yakni Muh}ammad Shah}ru>r, yang terpenting di sini adalah prinsip-prinsip apa sajakah yang digunakan oleh Muh}ammad Shah}ru>r dalam menafsirkan al-Qur’a>n. Bab keempat, penulis membahas tentang Ta’wi>l dan H}udu>d terhadap ayat-ayat al-Risa>lah dan al-Nubuwwah, di dalamnya membahas tentang dua metode tafsir kontekstual yang ditawarkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r, yakni; Pertama, metode takwil
22 yang dimaksudkan untuk memahami ayat-ayat Nubuwwah yang inti kandungannya adalah ilmu pengetahuan atau science; dan kedua, metode ijtihad dengan menggunakan teori H{udu>d yang dimaksudkan untuk memahami ayat-ayat hukum dan membuktikan elastisitas hukum Islam, dan terakhir penulis membahas juga tentang berbagai macam problematika Asba>b al-Nuzu>l dalam tafsir kontekstual. Dan dalam Bab terakhir yakni bab kelima, penulis mencakup tentang kesimpulan singkat dari apa yang sudah penulis bahas dari keseluruhan bab-bab sebelumnya.
23 BAB II PENAFSIRAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TERHADAP AL-QUR’A
Al-Qur’a>n merupakan sumber rujukan yang paling pertama dalam ajaran Islam. Ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia. Hakikat diturunkannya al-Qur’a>n adalah menjadi acuan moral secara universal bagi umat manusia untuk memecahkan problema sosial yang timbul di tengahtengah masyarakat.55 Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’a>n diturunkan lima belas abad yang lalu itu persis di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah. Karena itu, misi suci wahyu ini adalah ingin memperbaiki moralitas masyarakatnya yang rusak itu dengan berdialog secara argumentatif (‘aqliyah) dan bijak (h}ikmah), seraya mengajak umat yang ‚tak beradab‛ (jahili>yah) ini ke jalan yang berkeadaban (madani>yah).56 Lalu apakah pemahaman terhadap al-Qur’a>n pada zaman sekarang masih harus mengikuti pola pemahaman dan penalaran seperti dilakukan oleh para intelektual di zaman Salaf, misalnya? Apalagi, seperti sering ditegaskan oleh berbagai pakar, termasuk al-Qur’an sendiri bahwa, kendatipun al-Qur’a>n diturunkan di tanah Arab dan berbahasa Arab, 57 tidaklah serta merta content (kandungan) al-Qur’a>n dimaksudkan hanya untuk orang Arab (Parsialis), melainkan untuk seluruh umat manusia di muka bumi (universalis). 58 Karena itu, sifat kontekstualitas al-Qur’a>n menjadi mengental manakala ia dimaksudkan sebagai respons intelektual atas prinsip universalismenya itu, agar segala hal tidak jatuh menjadi serba kemutlak-mutlakan (absolutisme). Oleh karena itu, untuk memahami al-Qur’a>n, seseorang tidak hanya terpaku semata-mata pada teks ayat, tetapi juga konteks sosial di mana masyarakat berada. Perkembangan masyarakat yang positif dan penemuan-penemuan ilmiah yang telah mapan, merupakan dasar pertimbangan yang sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’a>n, 55
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’a>n; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’a>n (Jakarta: Penamadani:2005), 22. 56 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’a>n; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’a>n, 23. 57 58
Lihat Q.S. al-Syu’ara>/26: 195. Lihat Q.S. al-Nisa>’/4: 79.
23
24 asalkan penafsiran tersebut memenuhi kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para mufassir.59 Abdullah Saeed dalam bukunya Interpreting the Qur’a>n menyebutkan, setidaknya ada tiga tipologi penafsiran yang berkembang di kalangan Muslim; Tekstualis, Semi-Tekstualis dan Kontekstualis. Menurutnya, klasifikasi ini didasarkan pada; 1) pemahaman dan penafsiran yang hanya didasarkan pada kriteria linguistik dalam menentukan makna teks, dan 2) pemahaman dan penafsiran dengan mempertimbangkan sosio-historical context al-Qur’a>n, sebagaimana konteks pada masa kini.60 Dalam hal ini penulis merasa perlu menjelaskan terlebih dahulu maksud dari terma tekstual dan kontekstual dalam tulisan ini, sebab, kajian ini terkait erat dengan masalah teks dan konteks. A. Penafsiran Tekstual terhadap Al-Qur’a>n Untuk menghindarkan salah persepsi, maka sebelum melangkah lebih jauh pada pembahasan mengenai orientasi tekstual dalam penafsiran al-Qur’a>n, terlebih dahulu penulis ingin membatasi sekaligus menegaskan maksud kalimat ‚tekstual‛ dalam bahasan ini. Ricoeur memberikan definisi teks sebagai wacana (discourse)61 yang telah ditetapkan dengan bentuk tulisan. 62 Komaruddin Hidayat medefinisikan Teks sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan, 63 yang bertujuan untuk
59
Kriteria penafsiran yang dapat diterima dan memenuhi kaidah-kaidah penafsiran ialah penafsiran orang-orang yang: (a) menguasai Bahasa Arab dengan segala cabangnya, (b) menguasai ilmu Ushu>lul Fiqhi dengan segala seginya, (c) mengetahui Ilmu Hadith, (d) mengetahui ilmu Asba>b al-Nuzu>l , dan (e) mengetahui ilmu-ilmu pembantu lainnya sesuai dengan maksud-maksud ayat yang ditafsirkan. Lihat selengkapnya pada Jalalud Di>n Abdurrahman As-Sayut}i, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m alQur’a>n. Must}afa Al-Babil-Halabi wa Auladuh, Mesir,tth. Juz II, 169-180. 60 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n; Towards a Contemporary Approach (London & New York: Rouledge: 2006), cet I, 3. 61 Wacana merupakan medium bagi proses dialog antara berbagai individu untuk memperkaya wawasan dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran yang lebih tinggi. Lihat Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju: 2004), Cet II, 142. 62 Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences, John B. Thomson (ed) (New York: Cambridge University Press: 1981), 145. 63 Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 42.
25 melindunginya dari kehancuran. 64 Fiksasi itu bisa saja dalam bentuk goresan pada batu, kulit hewan, tulang, pelepah atau lainnya.65 Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tidak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata atau kalimat yang dirangkai dengan system tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya.66 Adapun maksud kalimat ‚tekstual‛ dalam pembahasan ini adalah sebuah kecenderungan dari sekelompok umat Islam, yang dalam menafsirkan al-Qur’a>n bertumpu pada makna lahir teks (secara literal), tanpa melihat aspek sosio-historis di mana, kapan dan mengapa teks tersebut lahir. Kelompok ini sering disebut dengan istilah skripturalis dan tekstualis. Kaidah yang sering diketengahkan oleh kelompok ini adalah bahwa al-‘ibrah bi ‘umu>m al-lafz} la> bi khus}u>s} al-sabab (ungkapan itu didasarkan pada universalitas (keumuman) teks, bukan pada partikularitas (kekhususan sebab). Di sisi lain, diktum yang diyakini umat Islam bahwa al-Qur’a>n adalah sebuah kitab suci yang S}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n (selalu up to date sepanjang masa), seringkali dimaknai oleh kelompok ini sebagai ‚pemaksaan‛ makna literal ke berbagai konteks situasi dan kondisi manusia.67 Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pengertian ‚tekstual‛ yang penulis maksudkan di sini lebih ditujukan kepada kelompok skripturalis dan tekstualis, yaitu mereka yang menafsirkan teks alQur’a>n hanya berdasarkan makna harfiah (secara tekstual) semata dan mengabaikan sisi konteks yang mengitarinya. Untuk lebih memperjelas deskripsi tentang pengertian ‚tekstual dalam penafsiran al-Qur’a>n‛, penulis mencoba memetakan siapa saja yang termasuk dalam kelompok dengan kecenderungan berpaku pada teks ini. 1. Kelompok Skripturalis dan Tekstualis 64
Dalam tradisi Islam, penjagaan dari kemusnahan peristiwa lisan tidak hanya dengan cara melembagakan ke dalam bentuk tulisan, tetapi juga didukung kuat dengan hafalan. Lihat, Muh}ammad b. Muh}ammad Abu> Shuhbah, al-Madkhal li Dira>sat alQur’a>n al-Kari>m (Beirut: Da>r al-Jail: 1992), cet I, 236-253. 65 Contoh fiksasi tersebut misalkan tradisi penulisan di Indonesia, lihat Ann Kumar and John H. McGlynn, Illuminations; the Writing Tradition of Indonesia (Jakarta: Lontar Fondation: 1996), cet I. 66 Hugh J. Silverman, Textualities, Between Hermeneutics and Deconstruction (London: Routledge, 1994), 73. 67 Lihat Fahd b. Abd. Al-Rah}ma>n b. Sulaima>n al-Ru>mi, Buh}u>th fi Us}u>l alTafsi>r wa mana>hijuh (Maktabah al-Taubah: ttp, tth), 19.
26 Istilah skripturalisme atau tekstualisme dimana para penganut paham tersebut kemudian dikenal dengan istilah skripturalis atau tekstualis, pada mulanya lebih dikenal dalam dunia fiqh (hukum Islam).68 Dalam madhhab fiqh, kelompok ini merupakan kelompok yang sedikit sekali untuk tidak mengatakan menafikan sama sekali menggunakan ra’yu-nya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tidak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka adalah: La> ra’ya fi> al-di>n (rasio tidak ada tempat dalam agama). Madhhab yang menggunakan kaidah semacam ini kemudian pada gilirannya disebut madhhab al-Z{ah> iri>69 Karena diprakarsai oleh Da>wud al- Z{ah> iri> (w. 270 H) yang dilanjutkan oleh Ibn H{azm (w. 456 H), dalam kitabnya alMuh}alla>.70 Kelompok ini juga menerapkan tekstualisme yang ketat dan cenderung menampilkan permusuhan yang ekstrem kepada intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan sektarian yang ada dalam Islam.71 Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa istilah skripturalis atau tekstualis dalam madhhab fiqh adalah mereka yang menjadikan
68
Seperti diketahui dalam Fiqh ta>bi’i>n, ada dua aliran besar dalam fiqh Islam, yaitu: ahl al-ra’y dan ahl al-h}adi>th. Yang pertama mengedepankan rasio dalam pengambilan keputusan (baca: penetapan hukum). Sedangkan yang kedua berdasarkan fiqh (baca: pemahaman) pada h}adi>th meskipun lemah (d}a’i>f) dan menolak rasio. Madhhab-madhhab fiqh terletak di antara kedua ekstrim itu. Kelompok pertama, yang mendasarkan pada ra’y (akal) dalam memahami nas}s} (teks) al-Qur’a>n maupun h}adi>th disebut dengan istilah rasionalis, atau belakangan disebut dengan kelompok liberal. Sedangkan kelompok kedua, yang menganggap bahwa nas}s} (teks) adalah segalanya dan merupakan satu-satunya sumber otoritas yang sah, disebut dengan istilah skripturalis atau tekstualis. Lihat Jalaluddin Rahmat, ‚Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh; dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rashidin hingga madhhab Liberalisme‛ dalam
http:www.geocities.com/anandito 2000/ensi/10-htm. 69
Kelompok yang dikenal dengan ‚al-Z{a>hiriyyah‛ yaitu pengikut-pengikut Da>wud al Z{a>hiri> (w. 270 H) tak membenarkan adanya penta’wilan atau pengertian metaforis dalam teks-teks keagamaan, kecuali bila pengertian yang ditetapkan itu telah popular di kalangan orang-orang Arab pada masa turunnya al-Qur’a>n, serta terdapat petunjuk yang jelas yang mendukung pengalihan makna atau penta’wilan tersebut. Lihat Abu> Zahrah, Ibn Hazm Haya>tuhu> Wa ‘As}ruhu (Cairo: Da>r al-Fikr, tth.), 226. 70 Makalah Ali Yafie, ‚Sistem Pengambilan Hukum oleh A’Immatu alMadhahib‛, disampaikan pada Pusat Pengkajian Islam PPI-LPM UNINUS, 8 Februari 1988, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam Kata Pengantar buku Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1990), cet II, 20. 71 Khaled Abu El- Fadl, Cita dan Fakta Toleransi dalam Islam; Puritanisme Versus Pluralisme (Bandung: Arrasy, 2003), 24.
27
nas}s} (teks) baik al-Qur’a>n maupun hadi>th sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah. Merujuk pada pengertian Skripturalis atau Tekstualis di atas, maka penulis menganalogikan bahwa dalam konteks penafsiran alQur’a>n, kelompok Skripturalis atau Tekstualis adalah mereka yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dari sudut pandang harfiah semata. Dengan kata lain penafsiran mereka bertumpu pada makna tekstualnormatif dan menafikan sisi kontekstual-substantif dari ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Hemat penulis, penyematan kata skripturalis atau tekstualis ini berlaku secara umum. Tidak terbatas pada masa atau kelompok tertentu saja dalam sejarah penafsiran al-Qur’a>n. Tegasnya, siapa saja, sejak masa klasik hingga kontemporer dewasa ini yang menafsirkan al-Qur’a>n dengan hanya melihat sisi tekstual semata tanpa mengindahkan sisi konteks yang melingkupinya, maka itulah yang disebut dengan kelompok skripturalis. 2. Problematika Pembacaan Teks Secara psikologis, untuk bisa menangkap apa yang diinginkan oleh penulis tidaklah mudah karena, berbeda dari forum dialog langsung, sebuah teks hadir tanpa selalu disertai penulisnya. Dan jikapun penulisnya hadir, maka situasi psikologis sewaktu menulis akan berbeda ketika bertemu langsung dengan pembacanya.72 Oleh sebab itu beberapa filsuf seperti Socrates, Rousseau dan Bergson berpendapat bahwa budaya tulis yang telah merubah budaya lisan ke budaya baca dianggap telah mengakibatkan berbagai kemunafikan dan hilangnya keintiman hubungan antar manusia.73 Lewat tulisan, sang penulis bisa saja bersembunyi dan mengelak dari pertanyaan pembaca. Bahkan tidak jarang penulis secara sengaja memalsukan identitas diri agar tidak diketahui oleh pembaca, sehingga kehadiran seseorang melalui medium tulisan telah mempersulit pembaca untuk bisa mengenal situasi dan ekspresi psikologisnya. Akibatnya sangatlah mungkin pembaca salah menafsirkan pikiran penulisnya. Problem distansi (jarak) ini juga muncul dan telah mengakibatkan perbedaan penafsiran, artinya kesulitan, perbedaan dan kesalahan dalam memahami teks juga menimpa pada teks-teks kitab suci, bahkan 72
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina: 1996), 130. 73 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, 131.
28 implikasi social-politiknya bisa serius, di mana antara pengarang (Tuhan) dan manusia terdapat jarak yang jauh.74 Dalam kajian teks al-Qur’a>n, variasi metodologi dan pendekatan dalam penafsiran, menunjukkan warna-warni level latar belakang pengalaman mental, situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mulai model bi al-ma’thu>r hingga bi al-ra’yi; baik yang mah}mu>dah maupun madhmu>mah da kemudian berbagai warna dan corak yang sesuai dengan selera keilmuan penulisnya sebagai seorang yang mendalami sebuah atau beberapa cabang disiplin ilmu. Pluralitas pemahaman ini terjadi karena respon historis dan tantangan zaman yang dihadapi sangat berbeda dan bervariasi, sehingga menimbulkan corak pemahaman yang variatif pula.75 Dalam perkembangannya hingga saat ini,76 wacana penafsiran alQur’a>n dalam Islam banyak bersentuhan dengan tradisi kajian ilmiah yang berkembang di Barat. Salah sebuahnya adalah hermeneutika 77 menjadi pilihan sebagai metode penafsiran al-Qur’a>n yang berbasis pada nalar kritis, yakni menjadikan posisi al-Qur’a>n as the text, realitas as the context, dan penafsir as the reader berjalan sirkular secara triadic dan dinamis.78 Lingkaran hermeneutik meliputi proses dialog dan interogasi yang berlangsung antara al-Qur’a>n dan pembacanya. Adakalanya sebuah teks berdiri sebagai subyek tetapi pada saat yang sama lalu diposisikan sebagai obyek. Sebagai obyek, maka teks al-Qur’a>n hendak ditanya dan diadili untuk bisa membuktikan klaim-klaim kebenaran yang ditawarkan. Dalam hal ini al-Qur’a>n harus bisa menjawab, atau dia akan 74
Dalam sejarah Islam tercatat adanya madhhab teologi yang masing-masing menganggap dirinya paling benar dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n sebagai basis ideologi perjuangannya. Di antaranya yang popular adalah madhhab Mu’tazilah. Ash’ariyah, Maturidiyah, dan Khawa>rij. Kesemuanya sepakat akan otentisitas wahyu al-Qur’a>n, namun ternyata berbeda-beda dalam memahami beberapa ayat yang berkenaan, misalnya, tentang paham kebebasan manusia dan keabsahan ataupun criteria seseorang sebagai pemegang kekuasaan Negara. 75 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Palapa: 1994), 227. 76 Mengenai perkembangan Tafsir al-Qur’a>n, lihat dalam Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi> (Kairo: Maktab al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah, 1995). 77 Penting untuk dibaca tentang sejarah hermeneutika, Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media Group, 2007). 78 Abdul Mustaqim, ‚Epistemologi Tafsir Kontemporer‛ (Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Agama Islam: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2007), 69.
29 dipandang sebelah mata dan bahkan ditinggalkan oleh pembacanya. 79 Istilah hermeneutika, pada awalnya memang tidak dikenal dalam khazanah ilmu keislaman. Namun, sejalan dengan derasnya arus informasi yang mengglobal dan akselerasi sirkulasi keilmuan, tidak sedikit sarjana Muslim yang mencoba menginternalisasi hermeneutik sebagai metode untuk mendekati al-Qur’a>n. Sebut saja misalnya Fazlur Rah}ma>n,80 H{assan H{anafi,81 Abu> Zaid,82 dan Shah}ru>r.83 Perjumpaan mereka dengan berbagai pandangan sejumlah tokoh hermeneutic telah menghadirkan paradigm dan horizon baru dalam wacana penafsiran al-Qur’a>n, yaitu munculnya anggapan dasar atau paradigma berpikir yang melihat tidak adanya kemutlakan atau kebenaran absolute dalam penafsiran. Kehadiran hermeneutik dalam wacana exegesis al-Qur’a>n kontemporer sekaligus menandai bahwa hermeneutik, yang jelas tidak berasal dan berakar dari tradisi Islam, secara perlahan mulai diterima di kalangan Muslim.84 Yang pada akhirnya, hermeneutik menjadi problem 79
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, 139. Ada titik temu antara pemikirannya dengan Gadamer mengenai dialektika masa lalu, kini dan esok, dan fusi horizonnya. Titik temu dengan hermeneutika Emilio Betti seputar obyektivismenya. Baca penelitian Ilyas Supena, Rekonstruksi Sistematik 80
Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rah}ma>n (1919-1988) (Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007). 81 Ia pernah mendalami ilmu Mantiq, perubahan dan sejarah dari Gitton; seorang reformis Katholik Roma. Belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur, analisa kesadaran dari Husserl, dan bidang perubahan dari Massignon selaku pembimbingnya. Lihat M. Ridlwan Hambali, H{assan H{anafi; dari Islam Kiri, Revitalisasi Turath, dalam Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, ed: M. Aunul Abid shah (Bandung: Mizan, 2001), 219-223. Lihat juga Azyumardi azra, Menggugat Tradisi Lama, Menggapai Modernitas; Memahami H{assan H{anafi, dalam Kata Pengantar karya H{assan H{anafi, dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, dkk (Jakarta: Paramadina, 2003), xi. 82 Metode dan pendekatannya dipengaruhi oleh hermeneutika yang dikembangkan oleh E.D. Hirsch, dalam hal pembedaan atau pemisahan antara makna (meaning) dan maghza> (signifikansi). Ahmad Hasan Ridwan, Metodologi Kritik Teks Keagamaan; Studi atas Pemikiran Hermeneutika Nas}r H{a>mid Abu> Zaid ( Disertasi S3 Konsentrasi Ilmu Agama Islam: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006). 83 Pendekatan Linguistiknya dipengaruhi oleh Ferdinand De Saussure. Tentang hal ini juga pernah dikaji oleh Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme
Linguistik Dalam Tafsir al-Qur’a>n Kontemporer ‚ala‛ Muh}ammad Shah}ru>r (Yogyakarta: eLSAQ, 2007). 84 Tidak seluruhnya intelektual Muslim menerima kehadiran hermeneutikan sebagai ilmu memahami teks dalam kajian keislaman, terutama al-Qur’a>n. Sebut saja
30 pembacaan teks dan di saat yang sama menjadi salah satu pilihan alternatif dalam pengembangan metode penafsiran al-Qur’a>n, terutama dalam rangka menghadapi tantangan postmodernisme yang sejalan dengan paham pluralisme, yakni menerima adanya beragam pendapat tentang realitas. Hermeneutika yang ditawarkan dalam kajian ini adalah berangkat dari tradisi filsafat bahasa yang kemudian melangkah pada analisa psiko-historis-sosiologis, jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’a>n maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’a>n hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menafsirkan realitas sosial.85 Metode penafsiran ala hermeneutik ini dipandang lebih aspiratif bagi pluralitas ketimbang penafsiran yang berkembang selama ini dalam tradisi Islam. Sebab, hermeneutik dipandang mempunyai tawaran alternatif bagi pemahaman dan penafsiran melalui pendekatan terhadap teks dengan berbagai asumsi, dari sini muncul dua madhhab, yaitu madhhab hermeneutika transcendental dan historis-psikologis. Yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Yang kedua adalah berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representative dalam teks. 86 Akibatnya adalah pengakuan terhadap relativitas kebenaran penafsiran. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemahaman dan penafsiran manusia terhadap teks al-Qur’a>n bukanlah al-Qur’a>n itu sendiri. Ia hanyalah produk pemikiran dan penalaran yang tidak terlepas dari hal-hal yang mempengaruhinya. Jika sebuah pemahaman dan penafsiran dipandang sebagai absolute, tentu akibatnya adalah
misalnya, adian Husaini yang begitu getol menolak ilmu ini dalam kajian keislaman. Ia mengatakan bahwa penerapan hermeneutika untuk penafsiran al-Qur’a>n adalah keliru dan beresiko tinggi. Lihat Adian Husaini, Hegemoni Kristen- Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, 135. 85 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, 137. 86 Gerald L. Bruns, Hermeneutics Ancient & Modern (Yale University Press: 1992), 2-3.
31 pengakuan adanya dua kebenaran mutlak;87 hal yang sama sekali tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Hermeneutik adalah kata kunci yang populer pada pemikiran abad duapuluh dan duapuluh satu. Hermeneutika adalah kerangka berpikir, paradigma filsafat dan menjadi salah satu jantung yang memicu lahirnya postmodernisme. Hermeneutika memiliki pengertian dasar sebagai ilmu tentang interpretasi, khususnya prinsip-prinsip interpretasi teks. Hal ini karena ia membawa paham baru dalam dunia filsafat yang berhasil membuka persoalan-persoalan dasar modernisme sekaligus menawarkan pola baru pada satu sisi. Pada sisi lain, persoalan pemahaman tidak lagi sekedar persoalan konseptualisasi dan penjelasan, serta terbatas penggunaannya dalam ilmu pengetahuan, tetapi lebih dilihat sebagai struktur fundamental.88 Jika dilihat dari tujuan hermeneutik yang dikembangkan, Josef Bleicher membaginya menjadi tiga aliran. Pertama, teori hermeneutika (hermeneutical theory). Hermenetika ini memusatkan diri pada problematika teori interpretasi umum sebagai sebuah metodologi bagi ilmu-ilmu humaniora. Aliran ini menghendaki agar pemahaman dan penafsiran terhadap sebuah karya, betul-betul obyektif sesuai dengan apa yang menjadi maksud si pengarang teks. Kelompok ini dianut oleh Schleiermacher, Wilhem Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (18901968 M). Kedua adalah aliran filsafat hermeneutika (hermeneutic philosophy). Aliran ini menegaskan bahwa seorang penafsir dan obyek dihubungkan oleh sebuah konteks tradisi, yang mengimplikasikan bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas obyek ketika ia mengkaji obyek tersebut. Sehingga tidak mungkin untuk memulai dengan sebuah pemikiran yang netral. Aliran ini dianut oleh Martin Heidegger (18891976 M) dan Hans- Georg Gadamer (lahir 1900 M). Ketiga adalah aliran hermeneutika kritis (critical hermeneutic) yang memfokuskan diri pada penyingkapan tabir-tabir yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam interpretasi, dan 87
Abu Zaid menyatakan tidak perlunya menganggap bahwa pemahaman Nabi SAW atas teks al-Qur’a>n sebagai petunjuk hakiki dari teks itu. Sebab, asumsi semacam itu akan berakibat pada kesyirikan, karena telah menyetarakan Yang Absolut dengan yang nisby, antara yang konstan dengan yang dinamis, antara maksud Tuhan yang absolute dengan pemahaman manusia yang relative. Pada akhirnya pandangan ini akan menyetarakan derajat Nabi yang tercipta dengan Tuhan yang Mencipta. Nas}r H}a>mid Abu> Zaid, Naqd al- Khit}a>b al- Di>ni> (Kairo: S{ina> Li al- Nashr: 1992), 125-126. 88 Hasan Ridwan, Metodologi Kritik Teks Keagamaan, 103.
32 kecenderungan kritis yang mencoba menggabungkan obyektifitas penafsiran dengan fungsi eksistensialnya. Aliran ini dianut oleh Apel, Jurgen Habermas dan Paul Ricoeur.89 Hermeneutik yang membahas tentang metodologi termasuk kategori teori hermeneutika. Dalam tradisi hermeneutika, paling tidak ada tiga kecenderungan penafsiran; author-centered hermeneutics, the movement away from author-text (reader-centered hermeneutics), dan structuralism. 90 Selanjutnya penulis akan menguraikan tiga metode pembacaan teks tersebut secara ringkas. a. Author-Centered Hermeneutics Model hermeneutik ini bertujuan merekonstruksi pesan asli (original message) seorang pengarang. Seorang pembaca teks berusaha menyatukan dirinya dengan makna yang dimaksudkan oleh teks, dengan cara memahami sejarah dan refleksi kritis terhadap teks. 91 Tokoh hermeneutik dalam kategori ini adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Betti. Schleiermacher memberikan rumusan hermeneutik yang terdiri atas dua bagian, yaitu interpretasi gramatis dan psikologis.92 Gramatikal berkenaan dengan dua hal; pertama segala sesuatu yang memerlukan pembatasan lebih jauh dalam sebuah teks hanya dapat dibatasi dengan mengaitkannya pada wilayah bahasa yang digunakan bersama oleh pengarang dan komunitas aslinya. 93 Artinya seorang pembaca teks harus mampu mengenali bahasa yang digunakan oleh pengarang dan masyarakat sekitarnya, sehingga ia mampu menangkap makna teks sesuai dengan maksud dan tujuan si pengarang, ditujukan kepada siapa, dan siapa yang menjadi targetnya. Karena suatu ungkapan atau wacana pasti mempunyai tujuan tertentu. 94 Perbedaan sasaran
89
Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, vii-xiii. Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral; a Comprehensive Introduction to Biblical Interpretation (Illinois: Intervarsity Press, 1991), 368-371. 91 Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 103. 92 Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics (New Haven & London: Yale University Press, tth), 68-71. 93 Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, 10. 94 Roger Fowler, Language in the News; Discourse and Ideology (London & New York: Routledge, 1991), 41-42. 90
33 pembicaraan akan berpengaruh pada tema, struktur, bahasa dan gaya bahasa yang dibuat kental dengan situasi dan kondisi penulis saat itu.95 Kedua, makna setiap kata dalam sebuah ayat harus ditentukan dalam kaitannya dengan koeksistensinya dengan kata-kata yang ada di sekitarnya. 96 Artinya untuk memahami sebuah teks, seseorang perlu menguasai dan memahami bahasa yang digunakan dalam teks tersebut, serta menguasai gramatikanya. Penguasaan bahasa dan gramatika diperlukan untuk menemukan makna dari tulisan yang ada di dalam teks. Namun pengetahuan bahasa dan gramatikanya saja belum mencukupi untuk memahami teks tersebut, karena bahasa bersifat polysemi atau mempunyai banyak makna. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hubungan antara bagian dan keseluruhan. Suatu teks terdiri dari bagian-bagian yang membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Satu teks terdiri dari gabungan kata-kata yang membentuk kalimat, dan gabungan kalimatkalimat membentuk alinea, dan gabungan alinea-alinea membentuk teks yang utuh. Jadi teks merupakan suatu totalitas keseluruhan. Dengan demikian, makna teks dipahami sebagai totalitas keseluruhan dari bangunan makna bagian-bagiannya, dan memahami makna bagianbagian berdasarkan makna keseluruhannya. Hubungan antara bagianbagian dengan keseluruhan dalam upaya memahami teks ini disebut dengan lingkaran hermeneutik (hermeneutical circle). 97 Sementara itu, interpretasi psikologis berkenaan dengan investigasi mengenai bangkitnya pemikiran di mana terdapat totalitas hidup pengarang. Pemakaiana aturan hermeneutika ini dimungkunkan diperolehnya sebuah pemahaman atas makna teks. Dengan mengetahui historis dan linguistik yang tepat, seorang interpreter berada dalam posisi untuk memahami dirinya sendiri.98 Dilthey mengambil pendekatan psikologis untuk mencapai kesimpulan logis. Menurutnya, penafsiran adalah upaya penyatuan subjek dan objek dalam tindakan memahami sejarah yang bertujuan untuk mencari dan menemukan makna obyektif dari pengarang. Mengikuti Schleiermacher, ia berpandangan bahwa interpreter dalam 95
Fariz Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur Untuk Penelitian Keagamaan: Kajian Metodologi dan Terapan terhadap Kebudayaan Shalat dan Makam Sunan Rohmat Gartt (Disertasi S3 Program Studi Kajian Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 93-95. 96 Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, 10. 97 Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan, 104. 98 Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, 11.
34 upayanya mengidentifikasi pengarang dengan cara memposisikan posibilitas pembaca dalam memahami makna teks akan lebih baik dibandingkan pengarang itu sendiri. Karena seorang pembaca bisa memotong pikiran seorang pengarang dari luar dan membawa berbagai macam teknik, maka pembaca pun bisa mencipta ulang makna-makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan pengarang teks itu sendiri.99 Dalam menafsirkan sebuah teks, subjektivitas seringkali terlibat dalam proses pemaknaan. Untuk menghindari hal itu, maka seorang penafsir harus mengetahui dan memahami pikiran penulis teks, sehingga makna yang sebenarnya dapat diperoleh. Hal ini dilakukan dengan cara merekonstruksi teks dan seluruh proses penciptaan pemikiran pengarang, sehingga seolah apa yang ditafsirkannya adalah kehendak pengarangnya.100 Artinya seorang penafsir harus mengetahui dan memahami latar belakang sejarah hidup penulis teks, lingkungan alam tempat tinggalnya, latar belakang budaya, sosial, dan politiknya, latar belakang pendidikan, kepada siapa pembicaraan atau penulisan ditujukan, konteks dan tujuan penulisan, dan apa yang mempengaruhi pemahaman dan pikiran penulis.101 b. The
Movement Hermeneutics)
Away
from
Author-Text
(Reader-Centered
Dalam hermeneutika ini, penulis teks diabaikan atau dalam istilah Roland Barthers the author is dead, artinya penulis dianggap tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap makna teks.102 Hal ini karena, begitu karya tulis itu dilahirkan ia akan terbang dengan sayapnya sendiri dan pembaca pun tidak mudah mengenal jejak pengarang yang melahirkannya. 103 Sebagaimana dikatakan ‘Ali H{arb, bahwa begitu hasil kajian terlepas dari pengarangnya dan hadir di hadapan public, maka ia memiliki kehidupan yang otonom, melalui hubungan-hubungan yang berkembang antara teks itu dengan para 99
Grant R. Osborne, the Hermeneutical Spiral, 368-369. Atau dalam ilmu Tasawuf biasa dikenal dengan istilah wah}datul wujud. Kauthar Azhari Noer, Ibnu al ‘Arabi; Waah}da al-Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), 35. 101 Pari, Hermeneutik Paul Ricoeur untuk Penelitian Keagamaan, 106. 102 Pendekatan semacam ini menempatkan makna wacana pada penerimaan pendengar atau pembaca. Lihat Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur (Malang: UIN Malang Press, 2007), 22-23. 103 Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 162. 100
35 pembacanya. 104 Di samping itu, apa yang ditunjukkan oleh teks tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pengarang teks, sehingga makna tekstual dan makna psikologis mempunyai tujuan yang berbeda.105 Hermeneutica model ini digagas oleh Hans- Georg Gadamer. Dalam teori ini, tindakan penafsiran dipahami sebagai proses keterlibatan masa kini yang diungkapkan dalam teks. Pandangan ini terkait bahwa sebuah teks tidak dipahami sebagai ekspresi kehidupan subyektifitas penulis, tetapi telah obyektif dalam dirinya sendiri dan terlepas dari kebergantungan pengarangnya. Oleh karena itu, menjadi bebas untuk melakukan hubungan baru dengan yang lainnya.106 Menurut Gadamer, penafsiran tidak lagi disebut sebagai sebuah ‚tindakan‛ subyektif, tetapi lebih sebagai tindakan historis, yakni menempatkan dirinya dalam proses tradisi, sehingga masa lalu dan masa kini bersatu secara konstan. Kunci persoalan ini adalah ‚jarak temporal‛ antara subyek (penafsir) dan obyek (teks). Hal ini memungkinkan seorang penafsir melakukan penyelidikan terhadap pra-pemahaman dan tradisi sejarah agar mampu memilih aspek-aspek makna untuk bisa memahami sebuah teks.107 Kerangka teoritisnya sebagai berikut; pertama, ketika menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus menyadari bahwa situasi dan kondisi hermeneutis tertentu telah mewarnai pemahamannya. Artinya penafsir sebelum menafsirkan teks harus sadar bahwa ia telah berada pada posisi tertentu atau bisa dikatakan bahwa ia telah memiliki sebuah pra-pemahaman (pre-understanding). Hal ini karena, baik disadari maupuntidak, pengaruh dari affective history (sejarah yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran dalam penafsiran.108 Pada akhirnya, hal yang sulit dihindari adalah subyektifitas penafsiran. Oleh karena itu, penafsir semaksimal mungkin harus berusaha untuk menghindarinya. 104
Ali H}arb, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2003), xxiii. 105 Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences, 139. 106 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 36 107 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 370. 108 Sahiron Shamsuddin, ‚Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Imu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan al-Qur’a>n pada Masa Kontemporer‛, Makalah dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI pada tanggal 26-30 November 2006 di Bandung, 6.
36
Kedua, pra-pemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang harus ada ketika ia melakukan pembacaan sebuah teks. Prapemahaman penafsir diambil untuk menginterogasi sebuah teks dan sebaliknya pra-pemahamannya pun terbuka untuk diinterogasi oleh teks. 109 Hal ini diperlukan untuk mendapatkan kesempurnaan pemahaman. Jadi, di sini ada dua horizon yang saling mengoreksi; yaitu horizon penafsir dan horizon teks.110 Ketiga, dengan demikian, subyektifitas penafsir obyektifitas teks harus bersatu, sehingga penafsiran menjadi sebuah posibilitas horizon baru yang terbuka. Singkatnya, baik teks maupun penafsir mengambil bagian dalam proses sejarah penafsiran. Keterbukaan teks disejajarkan dengan keterbukaan pembaca dan yang lebih penting bahwa proses penafsiran lahir dalam kondisi saat ini dan tidak lagi dikontrol oleh komponen subyektif maksud pengarang yang berada pada masa lalu. Pra-pemahaman penafsir menjadi kesadaran teks dan menggunakannya untuk menanyakan persoalan-persoalan yang terdapat di dalamnya. Inilah yang disebut fusi horizon, yang kemudian menjadi kontrol terhadap subyektifitas penafsiran, yakni horizon teks masa lalu dan masyarakat penafsir saat ini.111 Jadi, pemahaman adalah fusi horizon. Ketika interpreter berhadapan dengan teks, aktifitas penempatan diri sebagai interpreter yang berhadapan dengan teks tersebut merupakan proses distinguishing. Proses tersebut selalu hidup bersama tradisi yang membentuk horizon interpreter secara particular dan berkelanjutan, sehingga sesuatu (teks) yang lama yang mengandung past time dan sesuatu yang baru (interpreter I) yang mengandung present time, selalu terus menerus bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif bukan reproduktif). Nilai hidup yang dimaksud adalah fusi horizon untuk future. Pembaca yang berada pada situasi kekinian (present time) melebur dengan teks dalam effective history, yaitu suatu momen produktif bersama dengan horizon obyek dan ia akan menjadi fusi horizon ke arah masa depan.112 c. Structuralisme (Text-Centered Hermeneutis) 109
Dengan kata lain pembaca perlu ‚curiga‛ atau kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks. Lihat Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 146. 110 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 370 111 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 371. 112 Sahiron Shamsuddin, ‚Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Imu Tafsir?‛, 8-9.
37 Strukturalisme merupakan madhhab yang mencoba melepaskan diri dari pesan pengarang dan pembaca dalam sebuah proses penafsiran. Teori ini dikembangkan oleh Claude Levi- Strauss atau Semiotic post structuralis yang dipengaruhi oleh dua sumber pokok. Pertama, pembedaan yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure antara langue dan parole, dan antara penanda (the image) dan petanda (konsep yang berada di belakangnya) dalam bahasa.113 Kedua, sistem formal oposisi biner Roman Jakobson memperlihatkan sebuah polaritas antara metaphor (hubungan vertical atau asosiasi antara istilah dan makna literalnya) dan metonomi (hubungan horizontal atau rangkaian antara konsep-konsep linguistic, sehingga menggiring kepada kombinasi kata).114 Berdasarkan hal ini, Levi Strauss berpendapat bahwa fenomena linguistic mesti dipahami bukan dalam pengertian ‚kesadaran‛ (consciousness), dan makna yang ditentukan bukan melalui hubungan individu, tetapi melalui sistem ‚ketidaksadaran‛ (unconsciousness). Makna memiliki dua aspek, yaitu sintagmatis dan paradigmatic. Sintagmatis mewakili perkembangan yang terjadi dalam sebuah pemikiran dalam konteks permukaan, sedangkan paradigmatis mewakili pandangan dunia dari setiap ide yang sama dalam sebuah teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus mengaplikasikan hukum-hukum ini kepada system tanda tertutup (closed system of sign) agar bisa menentukan struktur batin (deep structure) atau ketidak sadaran (mitos puitis) makna yang mendasari struktur permukaan (surface structure). Menurut kalangan strukturalis, struktur nalar pemikiran manusia via system tanda atau kode tertutup sebenarnya disusun menurut pola-pola universal yang terdapat dalam pikiran. Pola-pola ini yang kemudian mempertemukan satu budaya dengan budaya lainnya dan secara substansial menentukan pandangan realitas seorang penulis. Oleh karena itu, manusia lebih dilihat sebagai sebuah keseluruhan daripada sebagai individu dan menghilangkan nilai-nilai fungsi pemikiran manusia, karena struktur manusia adalah sama.115 Kerangka teoritis madhhab ini adalah mengubah struktur teks ke dalam unit-unit dasar naratif atau disebut actan. Kemudian actan tersebut dikaji dari sudut kode-kode struktural atau melalui rangkaian 113
Pembahasan mengenai hal ini baca Ferdinand De Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 1996), 75-80. 114 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 371-372. 115 Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 372.
38 naratif naratif. Kedua proses ini kemudian melahirkan sebuah komposisi atau struktur konfigurasi kode-kode yang disusun kembali dengan basis aturan-aturan transformasial agar bisa menangkap pesan-pesan yang relevan untuk saat ini.116 Dalam madhhab strukturalis, mufassir tidak bisa hanya menggunakan pendekatan diakronik untuk menggambarkan maksud teks masa lalu, tetapi pendekatan sinkronik harus diprioritaskan untuk menguraikan maksud teks untuk saat ini. Oleh karena, bentuk pendekatan ini tidak memperhatikan makna yang dimaksudkan oleh seorang pengarang teks, tetapi hanya berusaha menemukan struktur di belakang pemikiran yang diekspresikan oleh seorang penulis teks atau ‚dunia umum‛ yang terdapat dalam kode-kode dasar yang berbicara kepada pembaca secara langsung.117 Ketiga madhhab hermeneutika di atas telah melahirkan madhhab-madhhab baru. Di antaranya post strukturalis dan hermeneutika fenomenologi yang dikembangkan oleh Ricoeur yang merupakan bentuk kritik atau pengembangan model hermeneutika yang sudah ada sebelumnya. Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa penafsiran teks berawal dan berakhir pada pembacaan teks, meskipun dengan cara yang berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil dari aktifitas penafsiran terhadap teks menghasilkan penafsiran yang relative. 3. Kecenderungan Penafsiran Tekstual Di atas telah dijelaskan mengenai hermeneutika yang berpusat pada pengarang teks (author centered), yakni menafsirkan teks melalui usaha membangun kembali imajinasi pikiran dan merasakan kembali pengalaman mental penulisnya, atau mengulang proses kreatif penulis teks. Hal ini dilakukan dengan cara mengetahui latar belakang sejarah, budaya, dan tujuan penulis atau pengirim teks. Persoalannya ialah bagaimana memahami dan menafsirkan teks suci al-Qur’a>n, sementara pengarangnya adalah Allah SWT yang tak terikat oleh ruang dan waktu, dan berada di luar batas kapasitas manusia?. Dalam hal ini, Komaruddin berpendapat bahwa oleh karena Allah SWT sebagai pengarang al-Qur’a>n di luar jangkauan dunia empiris dan kapasitas manusia, maka problem
116
Hasan Ridwan, Metodologi Kritik Teks Keagamaan, 114. Grant R. Osborne, The Hermeneutical Spiral, 373.
117
39 pengarang teks bergeser kepada pembawanya, yaitu Muh}ammad SAW yang hidup dalam sebuah konteks historis.118 Akhirnya pendekatan ini melahirkan sebuah metode penafsiran yang didasarkan pada riwayat-riwayat tradisi kenabian atau biasa dikenal dengan metode Tafsir bi al-ma’thu>r. Metode ini berpandangan bahwa Muh}ammad SAW memiliki otoritas untuk menjelaskan pesan dasar al-Qur’a>n, sehingga secara historis menggantikan kedudukan Allah SWT sebagai pengarangnya.119 Abdullah Saeed mengatakan bahwa hingga saat ini ada semacam hierarki otoritas sumber penafsiran tradisi sunni.120 Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah (w.278 H), tampaknya cukup mewakili strata otoritas itu. Ia mengatakan bahwa metode yang paling benar dalam penafsiran al-Qur’a>n adalah dengan al-qur’a>n sendiri, sebab suatu ayat yang bermuatan global pada satu tempat, sebenarnya telah dijelaskan pada ayat lainnya. Ayat yang ringkas pada satu tempat, juga telah dijelaskan secara panjang lebar pada ayat lainnya. Apabila hal ini cukup melelahkan bagi para pembaca, maka yang perlu dipegang adalah alSunnah, karena ia merupakan shahrh} bagi al-Qur’a>n. Sekiranya tidak didapatkan penafsirannya dalam al-Qur’a>n, juga tidak di dalam alSunnah, maka dikembalikan pada penafsiran para sahabat ra. Jika penafsiran tersebut tidak tertemukan dalam keduanya, maka sebenarnya banyak para ulama yang menjadi pemimpin umat yang mengembalikan penafsiran tersebut kepada penafsiran para tabi’in.121 Selanjutnya hierarki otoritas sebagaimana di atas berakibat pada kecenderungan penafsiran yang mengedepankan pengaruh atau symbol ketokohan untuk mengatasi berbagai problem. Ketokohan Nabi Muh}ammad SAW dan generasi salaf al-s}a>lih} cenderung dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran al-Qur’a>n dan dipandang sebagai standar dalam menentukan kebenaran dalam penafsiran. Akibatnya, 118
Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’a>n, 3. Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 162. 120 Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’a>n, 43. Berbeda dengan Sunni, tradisi kaum shi’ah duabelas dalam penafsiran al-Qur’a>n hanya menerima tafsir-tafsir yang diberikan oleh imam-imam mereka. Akan halnya hadith, kaum sunni membatasinya pada perkataan-perkataan Nabi SAW, sementara kaum shi’ah duabelas memperluasnya pada tradisi-tradisi dari para imam pula. Lihat Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedis Tematis Spiritualis Islam, judul asli Islamic Spirituality Foundations, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002), 229. 119
121
Ibnu Taimiyah, Majmu>’ al-Fata>wa>, tah}qi>q Mus}t}afa> ‘Abd al-Qa>dir ‘At}a (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), juz XIII, 164-165.
40 penafsiran model ini kurang kritis dalam menerima produk penafsiran, sebab, penafsiran ini akan selalu berusaha membumikan ajaran-ajaran alQur’a>n di masa kini dengan cara memahami dan menafsirkannya sesuai dengan konteks historis di mana al-Qur’a>n diturunkan kepada Nabi SAW yang disampaikan kepada generasi muslim awal.122 Secara visual, contoh yang paling mudah ditemui model penafsiran ini adalah yang dilakukan oleh kaum Tradisionalis dan Salafi yang berkembang di beberapa Negara belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam hal ini penulis contohkan kelompok salafi. Dasar ajaran salafi adalah Ahl al-Sunnah wa al-jama>’ah. Yaitu ajaran yang bermaksud mengikuti jejak langkah para salaf al-s}a>lih} yang diklaim sebagai al-T{ai> fah al-Athariyah atau al-T{ai> fah al-Najiyah. Yakni kelompok yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah SAW atau kelompok yang terselamatkan.123 Alasan mendasar mengapa kaum salafi mengikuti madhhab salaf al-s}a>lih} adalah karena mereka berkeyakinan bahwa manhaj salaf al-s}a>lih} tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari manapun datangnya. Hal ini dapat dilihat setidaknya dari dua sisi; 1) berkembangnya berbagai pemahaman firqah dalam Islam terjadi setelah masa kenabian dan Khulafa> al-Ra>shidi>n, 2) tidak akan kita temukan dalam berbagai kelompok pemahaman yang sesuai dengan pemahaman sahabat ra, kecuali ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah dari para pengikut salaf al-s}a>lih} dan Ahl al-Hadith.124 Dengan demikian kelompok ini hendak menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang bersumberkan al-Qur’a>n dan al-Hadith, serta mengamalkannya sesuai dengan pemahaman Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi, yang diterima mereka adalah tafsir sebagai produk, bukan tafsir sebagai proses. Akibatnya adalah penafsiran mereka sangat bergantung kepada alat bantu metodis ilmu-ilmu tafsir klasik; misalnya asba>b al-Nuzu>l dan naskh-mansu>kh yang keduanya terkait erat dengan periwayatan. Perangkat metodis itu semaksimal mungkin digunakan untuk mengetahui makna obyektif atau makna asli dari suatu ayat, dan dianggap itulah yang benar. Akibatnya, pemahaman secara literal 122
Sahiron Shamsuddin, ‚Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Imu Tafsir?‛ 14. 123 Salim al-Hilali, Mengapa Harus Manhaj Salafy, Edisi I/ 1416H; (Yogyakarta: Yayasan As-Sunnah, 1995), 3. 124 Ja’far Umar Thalis, Membela Sunnah Nabawiyah, Salafy, Edisi XIII/ 1417 H (Yogyakarta: Yayasan As-Sunnah, 1997), 7.
41 terhadap al-Qur’a>n akan dijadikan sebagai pegangan. Apa yang tertera secara tersurat di dalam al-Qur’a>n itulah esensi dari pesan Tuhan dan harus diaplikasikan oleh umat Islam di mana dan kapanpun. Pada akhirnya, secara prinsipil pemahaman ini mengabaikan tujuan-tujuan pokok yang melatarbelakangi penetapan sebuah hukum atau Maqa>s}id al-
Shari>’ah. Menurut Sahiron, ulama golongan ini sebenarnya telah berusaha menjelaskan beberapa tujuan hukum yang mungkin merupakan dasar ketetapan-ketetapan hukum al-Qur’a>n. Namun penjelasan mereka tidak dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada tujuan-tujuan penetapan hukum itu sendiri, melainkan bertujuan untuk menunjukkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’a>n itu rasional dan sebaiknya atau seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam sepanjang masa. Kelemahan pandangan ini adalah tidak diperhatikannya fakta bahwa sebagian ketetapan hukum tersurat, seperti hukum perbudakan, tidak lagi diaplikasikan dalam kehidupan saat ini. Kelemahan lainnya adalah bahwa para Ulama yang memiliki pandangan ini tidak tertarik untuk memperbarui pemahaman mereka terhadap al-Qur’a>n untuk menjawab tantangan modern dengan cara mempertimbangkan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara situasi pada saat-saat diturunkannya wahyu dan situasi yang ada pada masa kini.125 Dari uraian di atas, penulis menilai bahwa jika dilihat dari kaca mata hermeneutika, maka model penafsiran seperti ini termasuk hermeneutika yang berpusat pada pengarang (author-centered hermeneutics). B. Penafsiran Kontekstual Terhadap Al-Qur’a>n Bahasa al-Qur’a>n dan H{adi>th ketika diucapkan pada mulanya memiliki kaitan dengan ruang dan waktu hingga dikenal sebuah Ilmu Asba>b al-Nuzu>l, hal ini menimbulkan persoalan penafsiran ketika umat Islam yang hidup di zaman akhir hanya mengenal Islam melalui teksteks keagamaan, khususnya al-Qur’a>n dan H{adi>th, yang tidak diketahui lagi konteksnya. Dalam situasi apakah dan bagaimanakah sebuah ayat diwahyukan, dan dalam konteks apakah H{adi>th diucapkan oleh Rasulullah.126
125
Sahiron Shamsuddin, ‚Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Imu Tafsir?‛ 198-199. 126 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,
42 Teori sejarah menyatakan, sebuah peristiwa hanya sekali terjadi dan kemudian menghilang, sejarawan tidak bisa menghadirkan masa lalu kecuali sebuah konstruksi yang terdiri dari peninggalan fakta yang diyakini dan diinterpretasikan dengan menggunakan teori yang dipilih dan diterapkan secara konsisten berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya.127 Dalam perspektif al-Qur’a>n, yang perlu dipertegas nantinya adalah apakah landasan akhir dari sebuah nilai kebenaran, penafsiran atas sebuah kebenaran sejarah yang dialokasikan hanya pada masa lalu adalah sebuah kebenaran yang steril, yang mengkhianati spirit sejarah itu sendiri. Jika ditempatkan dalam perspektif al-Qur’a>n, yang paling penting dari sejarah adalah nilai i’tibarnya, bukan narasi kronologi peristiwanya.128 Abudin Nata menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’a>n sesuai dengan konteks dan aspek sejarah ayat itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya dari setiap yang dikemukakan oleh al-Qur’a>n.129 Adapun yang dimaksud penulis dengan kalimat ‚kontekstual‛ dalam pembahasan ini adalah sebuah kecenderungan dari sekelompok umat Islam, yang dalam menafsirkan al-Qur’a>n tidak hanya bertumpu pada makna lahir teks (secara literal), tetapi juga melihat aspek sosiohistoris di mana, kapan dan mengapa teks tersebut lahir. Kelompok ini sering disebut dengan istilah kontekstualis dan substansialis. Sejauh pengamatan penulis, meskipun tidak secara tegas disebutkan, kaidah yang sering mereka ketengahkan berkenaan dengan hal ini adalah bahwa al-‘ibrah bi khus}u>s} al-sabab la> bi ‘umu>m al-lafdh (ungkapan itu didasarkan pada partikularitas (kekhususan) sebab, bukan pada universalitas (keumuman) teks). 130 Di sisi lain, jargon yang diyakini umat Islam bahwa al-Qur’a>n adalah sebuah kitab suci yang 127
Penjelasan lebih luas tentang persoalan ini, lihat Alex Callinicos, Theories and Naratives, Reflections on the Philosophy of History (Durham: Duke University Press, 1995), 44-76. 128 Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’a>n yang berkenaan dengan persoalan i’tibar, terutama ketika al-Qur’a>n mengisahkan kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Karena itu, dari sisi ini kita dituntut untuk mencari ‚what is the moral behind the story‛ 129 Abudin Nata, Al-Qur’a>n dan Hadith (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 146. 130 Lihat Fahd b. Abd. Al-Rah}ma>n b. Sulaima>n al-Ru>mi, Buh}u>th fi Us}u>l alTafsi>r wa Mana>hijuh (Maktabah al-Taubah: ttp, tth), 19.
43
S{a>lih li kulli zama>n wa maka>n (selalu up to date sepanjang masa), harus dimaknai dengan semangat progresifitas dan kontekstualitas. Dalam artian bahwa ayat-ayat al-Qur’a>n harus selalu tanggap dengan realitas kekinian, sehinga mampu meghadirkan solusi terhadap pelbagai problematika kemanusiaan. Dengan kata lain, al-Qur’a>n harus selalu membumi dan menjadi ‚mitra dialog‛ serta ‚kawan diskusi‛ yang mencerahkan. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pengertian ‚kontekstual‛ yang penulis maksudkan di sini lebih ditujukan kepada kelompok kontekstualis dan substansialis, yaitu mereka yang menafsirkan teks alQur’a>n tidak hanya berdasar makna harfiah (secara tekstual) semata, tetapi juga menekankan sisi konteks yang mengitarinya. 1. Kelompok Kontekstualis dan Substansialis (Liberal) Seperti telah penulis sebut di atas, bahwa baik istilah skripturalis maupun kontekstualis (Liberal) bermula dari munculnya madhhabmadhhab fiqh pada masa ta>bi’i>n. Pada dasarnya, dua kelompok ini berusaha menghadirkan semangat pembaruan dalam paham keagamaan. Kelompok pertama mencoba kembali secara ketat pada teks-teks alQur’a>n dan al-H{adi>th, sedangkan kelompok kedua berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’a>n dan al- H{a>dith dengan menggunakan penalaran secara bebas. Dalam bahasan ini penulis akan memfokuskan kajian tentang kelompok kontekstualis atau substansialis yang sering juga disebut dengan istilah Liberal. Dari pengertian tentang kelompok ahl-ra’y (yang menekankan aspek rasionalitas)--- dalam madhhab fiqh--- yang berusaha menemukan ruh atau semangat ajaran baik dari al-Qur’a>n ataupun alH{adi>th, maka penulis menganalogikan bahwa dalam khazanah Tafsir, yang disebut dengan kelompok kontekstualis dan substansialis atau yang sering juga disebut sebagai kelompok liberal adalah mereka yang berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a>n dengan tidak bertumpu pada makna harfiah semata. Dengan kata lain penafsiran mereka tidak bersifat tekstual normatif, tetapi melihat sisi kontekstual-substantif dari ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Penyematan kata kontekstualis dan substansialis atau liberal ini berlaku secara umum. Tidak terbatas pada masa atau kelompok tertentu saja dalam sejarah peafsiran al-Qur’a>n. Tegasnya, siapa saja, sejak masa klasik hingga kontemporer dewasa ini yang menafsir al-Qur’a>n dengan tidak hanya melihat sisi tekstual semata, tetapi juga mengindahkan sisi
44 konteks yang melingkupinya, mereka itulah yang disebut dengan kelompok kontekstualis dan substansialis atau liberal. 2. Kecenderungan Penafsiran Kontekstual Berbeda dengan penafsiran tekstual, model penafsiran secara kontekstual justru sangat mempertimbangkan present context sebagai pijakan untuk mendialogkan dengan teks. Setidaknya ada dua model penafsiran ini, yaitu yang mempertimbangkan Asba>b al-Nuzu>l, baik mikro maupun makro dan yang mengabaikannya. a. Penafsiran Kontekstual Dengan Pertimbangan Historical Context Model penafsiran ini berpandangan bahwa perangkat metodologis ilmu tafsir klasik masih perlu dilengkapi. Sebut saja misalnya ilmu sejarah makro Arab; yang meliputi adat kebiasaan, gaya bicara sebelum dan saat al-Qur’a>n diturunkan, termasuk perang PersioByzantium.131 Juga ilmu bahasa dan sastra modern, serta hermeneutika yang dewasa ini juga banyak diminati oleh para intelektual muslim. Dengan kata lain, meminjam bahasa Amin Abdullah, paradigm integrasi-interkoneksi132 antar disiplin ilmu dalam penafsiran merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun al-Qur’a>n diturunkan di kawasan Arabia pada abad ke7 M dan menggunakan bahasa Arab pula, namun ia tetap berlaku secara universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, model penafsiran ini berusaha melibatkan sosio-historical context dalam proses penafsiran dan present context yang mengitari pembaca teks. Menafsirkan al-Qur’a>n adalah upaya melihat apa sebenarnya yang menjadi maksud dan tujuan di balik teks ayat-ayat al-Qur’a>n, dan selanjutnya makna-makna kontekstual dapat diperoleh. Adalah bukan tidak mungkin di saat ini muncul sebuah kaedah us}u>liyyah yang lahir dari dua kaedah klasik yang (tampak) bertentangan; yaitu al-‘ibrah bi ‘umu>m al-lafdh la> bi khus}u>s al-sabab dan al-‘ibrah bi khus}u>s al sabab la> bi ‘umu>m al-lafdh. Kaedah itu adalah al-‘ibrah bi maqa>s}id al-Shari>’ah. 133 Implikasi teoritis dari ‚kaedah‛ 134 ini adalah menjadikan tujuan shari’at sebagai pegangan dalam istinba>t hukum. 131
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1998), 21-22. 132 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 361. 133 Sebenarnya istilah Maqa>s}id al-Shari’ah awalnya dipopulerkan oleh alShatibi. Pada akhirnya penafsiran ini dikenal dengan ‚tafsir al-maqa>s}idi‛, yakni model penafsiran dengan menggunakan pendekatan Maqa>s}id al-Shari’ah. Ide pengguliran
45 Dalam hal ini Fazlur Rahman menawarkan metode tematik kontekstual. Baginya, pesan yang hendak disampaikan al-Qur’a>n bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan literalnya, melainkan ideal moral yang ada di balik ungkapan literal tersebut. Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’a>n hendaknya dipahami dalam rangka mendapatkan pesan moral tersebut. Untuk itu, Fazlur Rahman menekankan pentingnya memahami situasi dan kondisi historis yang melatarbelakangi proses turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n. Situasi dan kondisi historis dimaksud bukanlah terbatas hanya pada apa yang dikenal dalam ilmu tafsir dengan asba>b al-Nuzu>l, melainkan lebih luas dari itu, yakni sejarah makro yang menyebabkan turunnya al-Qur’a>n.135 Bagi rahman, ayat-ayat al-Qur’a>n adalah pernyataan moral, religious dan social untuk merespon apa yang terjadi dalam masyarakat. Ayatayat tersebut menurut Rahman memiliki apa yang disebutnya idealmoral yang harus dijadikan acuan untuk memahami ayat-ayat alQur’a>n.136 Dengan memakai pendekatan hermeneutika yang dikembangkan oleh Emilio Betti 137 untuk memperoleh makna obyektif sebuah teks, tafsir ini, sebenarnya dikembalikan kepada mereka yang bersemangat melakukan kajian maqa>s}id al-shari’ah seperti Imam al-‘Izz al Di>n b. ‘Abd al-Sala>m (w:660 H), al-Qarra>fi> (w:684 H), Najm al-Di>n al-T{u>fi> (w: 717 H0, al-Sha>t}ibi> (w: 790 H), al-T{a>hir Ibn ‘Ashu>r (w. 1973 M). ‘Ala>l al-Fa>si (w. 1973 M). Ibn ‘Ashu>r sendiri secara tegas menyatakan bahwa dalam memahami teks-teks syari’at (al-Qur’a>n dan al-Sunnah) mutlak membutuhkan pengetahuan seputar Maqa>s}id al-Shari’ah. Lihat Arwani Shaerozi, memperkenalkan ‚Tafsir Maqasidi‛, diakses 27 Desember 2010, dari http;//jurnalislam.net/id/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Itemid=1 134 Tanda kutip dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kaedah tersebut tidak dikenal selama ini dalam ilmu Us}u>l al-Fiqh, dan hanya muncul dari pendapat individual, bukan dari kesepakatan ulama’. 135 Fazlur Rahman, ‚Menafsirkan al-Qur’a>n‛, terj. Taufik Adnan Amal, dari edisi Inggris ‚Interpreting the Qur’a>n‛ , dalam buku Metode dan Alternatif: Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan: 1994), cet VI, 55-57. 136 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 5. 137 Menurut Ebrahim Moosa, metode hermeneutika yang dikembangkan Rahman ini sebenarnya merupakan ringkasan dari empat norma penafsiran Betti yang ia ringkas menjadi dua gerakan. Empat norma tersebut menjadi petunjuk penafsir dalam menghasilkan makna orisinal secara obyektif. Pertama, norma otonomi hermeneutika obyek; artinya bentuk-bentuk yang bermakna itu harus dipahami sesuai dengan perkembangan logika mereka sendiri, hubungan yang mereka harapkan, serta kepentingan, koherensi, dan keyakinan mereka. Kedua, prinsip kemutlakan atau prinsip koherensi makna; artinya makna keseluruhan harus disadari unsure-unsur individual dan unsur-unsur individual harus dipahami dengan mengacu kepada bagian-bagian yang luas dan tajam. Ketiga, norma aktualisasi pemahaman; artinya penafsir
46 Fazlur Rahman menawarkan hermeneutika double movement 138 yang harus ditempuh untuk menafsirkan al-Qur’a>n: dari situasi sekarang ke masa al-Qur’a>n diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Hermeneutika double movement yang ditawarkan Fazlur Rahman diperlukan untuk menjawab berbagai problem kontemporer dengan dua langkah. Pertama, memahami suatu pernyataan atau ayat dengan mengkaji situasi atau problem historis, di mana pernyataan atau ayat tersebut merupakan jawabannya. Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai pernyataanpernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum. Setelah mengetahui apa yang menjadi ideal moral dari ayat itu, maka problematika kontemporer diharapkan dapat terselesaikan.139 Abu> Zaid mengedepankan pendekatan sastra dalam upayanya memahami al-Qur’a>n. Al-Qur’a>n dipahami sebagai produk budaya yang tak bisa lepas dari keberadaannya sebagai teks linguistic, teks historis dan teks manusiawi, maka pemahamannya pun tidak bisa lepas dari tiga aspek ini, yang kesemuanya berangkat dari konteks budaya Arab abad ke-7. Sebagaimana gagasan yang dikembangkan Hirsch,140 Abu Zaid, membedakan antara dua term, yaitu ma’na> (meaning) dan maghza> (signifikansi).141 Jika makna atau meaning sebuah teks bersifat tetap dan menyelidiki kembali proses kreatif dan merekonstruksi dalam dirinya bagian masa lalu sebagai peristiwa ke dalam aktualisasi kehidupannya sendiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan pengetahuan tersebut ke dalam diri seseorang. Keempat, norma keharmonisan, artinya penafsir membawa aktualisasi dirinya lebih dekat dengan rangsangan yang ia terima dari obyek sedemikian rupa, sehingga satu sama lain berhubungan secara harmonis. Lihat Ebrahom Moosa, Pendahuluan dalam buku Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan dalam Islam (Bandung: Pustaka: 2000), 2021. 138 Rumusan definitive double movement yang dikembangkan oleh Rahman dipengaruhi oleh pemikiran al-Sha>t}ibi> dalam hal pentingnya memahami al-Qur’a>n sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif. Kemudian pandangan ini oleh Rahman diasimilasikan ke dalam bangunan metodologisnya. Lihat Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini, dalam Metode dan Alternatif, 27. 139 Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 5-6. 140 Irena R. Makaryk (ed.), Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Terms (London: University of Toronto Press, 1993), 92. 141 E.D. Hirsch Jr menjelaskan bahwa ‚Meaning is that which is represented
by a text: it is what the author meant by his use of a particular sign sequence; it is what the signs represent. Significance, on the other hand, name a relationship between that meaning and a person, or a conception, or a situation or indeed anything
47 statis, maka maghza> bersifat dinamis. 142 Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh sebuah teks oleh tanda-tanda. Sedangkan signifikansi menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau persepsi situasi atau sesuatu yang bisa dibayangkan. Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan dari satu kutub konstan yang tidak pernah berubah. Dari hubungan inilah makna bisa diperoleh.143 Pembedaan antara makna dan signifikansi dalam proses interpretasi teks bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sebab, signifikansi tak bisa lepas dari sentuhan makna, sebagaimana signifikansi mengarah pada dimensi makna, signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka tujuan tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Sehingga takwil merupakan gerak bolak-balik antara dua dimensi asal dan tujuan atau antara makna dan signifikansi seperti gerak bandul yang tidak hanya bergerak satu arah. Gerakan ini merupakan gerakan yang berawal dari realitas (signifikansi) untuk menyingkapkan makna teks (masa lalu), kemudian makna tersebut kembali lagi untuk menetapkan signifikansi dan mengubah titik permulaan.144 Abu> Zaid membedakan tiga level makna teks-teks keagamaan. Pertama, level makna yang hanya merupakan bukti-bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis atau lainnya. Kedua, level makna yang dapat diinterpretasi secara metaforis. Ketiga, level makna yang dapat diperluas atas dasar signifikansi yang dapat disingkapkan dari konteks social-culture di mana teks-teks tersebut bergerak, dan melalui produktivitas makna dari teks-teks tersebut.145 Jadi, metode takwil yang ditawarkan adalah proses gerak dialektis antara makna dan signifikansi, antara masa lalu dan masa kini, dan atara teks dan pembacanya. Gerak dialektis ini nantinya akan menghasilkan suatu pemahaman bolak-balik antara ma’na dan maghza> sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan saat ini dalam rangka mencari tujuan atau maksud, untuk menemukan original meaning kapan dan di mana teks itu muncul. Kemudian hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali maghza> dan begitu seterusnya. imaginable‛. E.D. Hirsch Jr, Validity in Interpretation (New Haven & London: Yale University Press, 1978), 8. 142 Abu> Zaid, Naqd al- Khit}a>b al- Di>ni>, 116. 143 Abu> Zaid, Ishka>liyya>t al-Qur’a>n wa At al-Ta’wi>l, 48. 144 Abu> Zaid, Naqd al- Khit}a>b al- Di>ni>, 144. 145 Abu> Zaid, Naqd al- Khit}a>b al- Di>ni>, 203.
48 Proses seperti ini tidak berhenti pada makna historis partikularnya, akan tetapi proses ini harus menyingkapkan maghza> yang memungkinkan untuk membangun dasar kesadaran ilmiah atas dasar maghza> tersebut. Jika ditarik dari ilmu hermeneutika, maka model penafsiran ini termasuk hermeneutika yang berpusat pada pembaca (Reader-Centered Hermeneutics), sebagaimana pernah dikembangkan oleh Gadamer. b. Penafsiran Kontekstual Tanpa Pertimbangan Historical Context Model penafsiran ini memandang bahwa al-Qur’a>n seakan-akan diturunkan semalam kepada manusia saat ini dan saat yang akan datang. Hal ini berimplikasi pada pandangan bahwa sebuah teks dianggap tidak mempunyai konteks historis atau Asba>b al-Nuzu>l. Jikapun ada, hal itu hanyalah bersifat temporal yang hanya berlaku di saat itu. Asba>b alNuzu>l atau penafsiran Nabi SAW hanyalah bentuk penafsiran awal yang terpagari oleh ruang, waktu dan personal saat itu.146 Dengan demikian, peluang pembaca di saat ini menjadi sangat luas sesuai dengan back ground dan pengalaman mentalnya. Dengan kata lain model penafsiran ini dilakukan berdasarkan present context, namun mengabaikan konteks historis. Metode ini dianut oleh Muh}ammad Shah}ru>r. Sebelum menafsirkan al-Qur’a>n, Muh}ammad Shah}ru>r membedakan antara kalam Allah dan kalimat Allah. Jika kalam Allah sebagai teks tertulis, maka kalimat Allah sebagai teks terbuka, yakni realitas obyektif berupa alam semesta. Menurutnya, kalam Allah terlihat kesesuaiannya setelah melihat dan memahami kalimat Allah. Namun, sebuah pemahaman tentang sunnah-sunnah Allah dan hukum-hukumNya pada alam semesta tidak bisa terlepas dari (tunduk pada) ‚kondisi berproses‛ dan ‚kondisi menjadi‛. Asumsi inilah yang mendasari pandangan bahwa pemahaman tentang kalam Allah merupakan pemahaman yang berkembang dan tidak tetap, sementara kalam Allah sendiri tetap pada ‚kondisi berada‛ sebagai sebuah teks.147 Dengan kata lain, metode ini mengkonsentrasikan penafsirannya pada teks; teks tertulis dan teks terbuka. Untuk itu, Muh}ammad Shah}ru>r menggunakan pendekatan strukturalisme-linguistik yaitu dengan cara mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan sifat khas yang dimiliki oleh bahasa itu. Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r menelaah secara sinkronic
146
Muh}ammad Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi> (Damasku; alAha>li, 2000), 99. 147 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 99.
49 dan diachronic,148 dan menggunakan analisis hubungan sintagmatik dan paradigmatik.149 Dalam kaitan ini, Muh}ammad Shah}ru>r sepakat dengan Ibnu Jinni dan al-Jurjani yang menolak sinonimitas bahasa. Karena setiap kata memiliki kekhususan makna.150 Satu kata bisa jadi memiliki lebih dari satu kemungkinan makna. Untuk menentukan makna yang lebih tepat dari berbagai kemungkinan makna, maka perlu dilihat siya>q alkala>mnya, di mana kata itu disebutkan. Jika ditarik ke dalam ilmu hermeneutika, maka model pembacaan seperti ini termasuk hermeneutika yang berpusat pada teks (textcentered hermeneutics), namun di sisi lain juga hermeneutic yang memberikan kebebasan kepada pembacanya atau reader-centered hermeneutics ). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara substansial, pembacaan tekstual hanya berkutat dengan makna d}ohir teks/ ayat alQur’a>n, sehingga penafsiran yang didapat akan berwawasan sempit, sedangkan pembacaan kontekstual terkait erat dengan hermeneutika. Yakni bagaimana teks al-Qur’a>n hadir di tengah masyarakat, kemudian dipahami, ditafsirkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial yang semakin komplek yang sedang dihadapi.
148
Sinkronik adalah kajian yang tidak melibatkan historisitas obyek dengan memandangnya pada penggal waktu tertentu dan berkeadaan stabil. Sedangkan diachronic adalah kajian yang memandang perkembangan obyeknya sepanjang masa dan bersifat histories. Lihat Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta: Gajah Mada Unibersity Press, 1996), 8-10. 149 Hubungan sintagmatic adalah hubungan antar unsur-unsur yang saling digabungkan dalam satu keseluruhan sama yang lebih besar. Adapun hubungan paradigmatic ialah hubungan antara unsur-unsur yang memperlihatkan keserupaan sistematik yang ditentukan satu terhadap yang lain dalam bentuk fonologi, sifat tata bahasa, segi semantik dan lain sebagainya. Jadi, hubungan sintagmatik berkenaan dengan kemungkinan penggabungan unsur-unsur bahasa pada setiap tingkat. Sedangkan hubungan paradigmatik berkenaan dengan golongan atau kategori tempat unsure-unsur tersebut dapat dibagikan atas dasar keserupaannya dengan yang lain. A.C. dik/ J.G. kooij, Ilmu Bahasa Umum, terj, T.W. Kamil (Jakarta: RUL, 1994), 78. 150 Ja’far Dikki al Ba>b, al-Manhaj al-Lughawi> fi al-Qur’a>n, pengantar buku alKita>b wa al-Qur’a>n, 23.
50 BAB III BIOGRAFI MUH{AMMAD SHAH{RUn yang terbatas dengan realitas sebagai konteks yang tidak terbatas meniscayakan umat Islam untuk melakukan penafsiran secara terus-menerus, sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi manusia. 151 Dalam rangka inilah Muh}ammad Shah}ru>r menawarkan apa yang ia sebut sebagai Qira>’ah Mu’a>s}irah 152 atau pembacaan ‚kontemporer‛ terhadap alQur’a>n. Namun penulis lebih memilih menggunakan istilah ‚Tafsir Kontekstual‛ sebab penggunaan istilah ini dirasa lebih sesuai dengan penafsiran modern, di mana penafsiran tidak lagi terpaku terhadap teks semata, melainkan lebih melihat realitas social, sehingga masalahmasalah yang muncul belakangan dapat terjawab tanpa bergeser dari makna asli teks al-Qur’a>n. Pada Bab ini penulis memfokuskan pembahasan pada aspek metodologis ‚tafsir kontekstual‛ yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r. Namun, sebelum membicarakannya lebih jauh, perlu dibahas terlebih dahulu siapakah sosok Muh}ammad Shah}ru>r, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‚tafsi>r‛ dalam pandangan Muh}ammad Shah}ru>r, sebab, pandangan ini memiliki pengaruh atas peletakan metodologinya. A. Biografi Muh}ammad Shah}ru>r 1. Sekilas Biografi Intelektual
151
Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah (Damaskus: al-Aha>li, 1992), 33. 152 Muh}ammad Shah}ru>r menggunakan istilah ‚Qira>’ah‛ atau pembacaan yang mengacu pada wahyu yang pertama kali turun (Q.S: 96: 1-5). Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil (Istidla>l), merenungi (ta’ammul), menemukan (idra>k), memaparkan (isti’ra>d}), dan menganalisa (tah}li>l), yang mana seorang pembaca setelah melakukan aktifitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang ia baca. Sedangkan kata Mu’a>s}irah berasal dari kata ‚al-‘as}r‛ sebagaimana sumpah dalam kitab-Nya. Pilihan kata Mu’a>s}irah ditujukan untuk menghilangkan penyakit ‚bapakisme‛ sebagaimana Q.S: 5: 103. Muh}ammad Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah li alFiqh al-Isla>mi> (Damaskus: al-Aha>li>, 2000), 117.
51 Muh}ammad Shah}ru>r dilahirkan pada tanggal 11 April 1938 M153 di perempatan Salihiyah Damaskus. Seorang anak laki-laki yang kelak akan dicatat dalam dunia pemikiran Islam sebagai seorang figure pemikir yang fenomenal sekaligus controversial, mulai ‚menyejarah‛, sebagai buah perkawinan dari seorang ayah yang bernama Deib Ibn Deib Shah}ru>r dan Ibu yang bernama S{iddi>qah bint S{a>lih Filyu>n. 154 Muh}ammad Shah}ru>r al-Dayyu>b, demikian nama yang disematkan kepadanya. Dalam kehidupan pribadinya, Shah}ru>r dapat dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia (saki>nah). Dari istri tercintanya, Azizah ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang telah menikah adalah T{a>riq (beristrikan Rih}a>b), Lays} (beristrikan Olga), dan Rima> (bersuamikan Luis), sedangkan dua lainnya adalah Ba>s}il dan Mas}u>n. Adapun dua cucunya bernama Muh}ammad dan Kina>n. Kasih saying Shah}ru>r terhadap keluarganya, paling tidak diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya. Selain itu, juga tampak dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuannya, Rima>, yang dirayakan dengan mengundang para tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari parta al-Bath, partai paling berpengaruh di Shiria saat ini.155 2. Latar Belakang Intelektual Muh}ammad Shah}ru>r mengawali karier intelektualnya pada Pendidikan Dasar dan Menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrah}man al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan Menengahnya ia rampungkan pada tahun 1957. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd. AlRah}man al-Kawa>kibi di Damaskus tahun 1957 M dalam usia 19 tahun berangkat ke Saratow, dekat Moscow untuk mempelajari ilmu tehnik. Di sinilah ia berkenalan dengan Marksisme yang kemudian mempengaruhi beberapa tulisannya tentang Islam.156 Pada tahun 1964, Muh}ammad Shah}ru>r kembali ke Suriah untuk melanjutkan magister dan Doktoralnya dalam bidang mekanika tanah 153
Muh}ammad Shah}ru>r, Dira>sat isla>miyyah Mu’a>s}irah fi> al-Daulah wa alMujtama>’ (Damaskus: al-Aha>li, 1996). 154 Dale F. Eickelman, Inside The Islamic Reformatioan (Wilson Quarterly: 1998).
155
M. Aunul ‘Abied Shah dan Hakim Taufik, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 237. 156 Rumadi, ‚Menafsirkan al-Qur’a>n: Eksperimen Muh}ammad Shah}ru>r‛, Jurnal al-Burhan, No. 6, (Jakarta: 2005), xx.
52 dan tekhnik pondasi di Universitas College, Dublin, Irlandia. Dalam waktu 4 tahun ia berhasil menyelesaikan magister dan doktoralnya kemudian pada akhirnya ia kembali ke Suriah pada tahun 1972. Sekembalinya ke Suriah, ia bergabung dengan universitas Damaskus dan menjadi mitra sebuah perusahaan tehnik sipil. Muh}ammad Shah}ru>r tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan dia tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman.157 Latar belakang akademisnya sering menjadi sasaran kritik orangorang yang tidak seide dengannya, terutama dalam kajian metodologi alQur’a>n. Abdul Qadir Muh}ammad S{alih dengan secara implisit menggugat kelayakan Muh}ammad Shah}ru>r dalam mengkaji al-Qur’a>n dengan menyatakan bahwa Muh}ammad Shah}ru>r bukan ahli dalam alQur’a>n, ia merupakan orang yang ahli dalam tekhnik. Munir Muh}ammad T{ahir mengatakan bahwa Shah}r>ur bahkan belum mempelajari Islam, dan ini merupakan salah satu penyebab penyimpangan- penyimpangan terhadap ajaran Agama yang ia lakukan dalam buku al-Kita>b wa al- Qur’a>n Qira’ah Mu’a>s}irah. Dan sebagai seorang yang tidak diperkirakan masuk dalam lingkaran wacana keagamaan, Muh}ammad Shah}ru>r harus menghadapi penentangan massif dari hampir seluruh para ahli yang professional di bidang Agama. pada saat yang sama, dia tidak memiliki lembaga pendukung, baik jaringan yang berbasis akademik maupun ‚pesantren‛ (lembaga pendidikan Islam). Lingkaran ini menyebabkannya dianggap telah dibayar oleh organisasi asing/zionis. 158 Sementara ada juga yang menuduhnya menciptakan agama yang benar-benar baru, melakukan plagiat (penjiplakan), atau berkomitmen melakukan perbuatan ‚dilettant‛ yang tidak termaafkan dalam wilayah penafsiran. Dan di antara hampir dua lusinan karya yang menanggapinya, hampir tidak ada reaksi yang positif terhadapnya.159 Setelah menekuni Filsafat dan Linguistik dia mencoba merambah wilayah studi al-Qur’a>n. Pada September 1990, dunia pemikiran Islam Timur Tengah segera mengenal Shah}ru>r sebagai tokoh yang controversial, tepatnya setelah ia meluncurkan karya magnum opus-nya al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah yang menggunakan 157
Burhanuddin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: alSAQ Press, 2004), 25. 158 Munir Muhammad Thahir, Tah}afut al-Qira>’ah al-Mu’as}irah (Cyprus: alSyawwaf li al-Nasyr wa al-Dirasat, 1993), 31. 159 Munir, Tah}afut al-Qira>’ah al-Mu’as}irah, 32.
53 pendekatan linguistic modern, 160 sebuah buku yang ditulisnya setelah melakukan kajian serius tentang al-Qur’a>n selama dua puluh tahun. Jakfar Dakk al-Ba>b, seorang kawan yang sekaligus menjadi guru linguistik bagi Muh}ammad Shah}ru>r, menyatakan bahwa Muh}ammad Shah}ru>r telah berhasil mengintrodusir banyak hal yang baru dalam bukunya itu, yang bertolak belakang dengan mainstream pemahaman yang diyakini umat Islam selama ini. Kontroversi yang terdapat dalam bukunya ini, menjadikannya merasa perlu memberikan penegasan bahwa ia adalah orang Arab muslim yang beriman. 161 Berbeda dengan Nas}r H{ami>d Abu> Zaid yang menyatakan bahwa kajian yang dilakukan Muh}ammad Shah}ru>r dalam bukunya itu tidak memuat sesuatu yang orisinal dan baru. Muh}ammad Shah}ru>r menegaskan bahwa al-Qur’a>n senantiasa sesuai dengan segala ruang dan waktu sampai hari Kiamat. Kemukjizatannya dapat dibuktikan melalui pendekatan ilmiah, dan menuntut usaha keras para ilmuan dari berbagai disiplin ilmu untuk menguak rahasianya. Ia lalu mengkritik kebanyakan ulama yang menurutnya terikat pada pemahaman al-Qur`’a>n yang sudah ketinggalan zaman. Menurutnya, para ulama tradisional (salafi ) merupakan muqallid (pengikut buta) yang mengabaikan konteks ruang dan waktu, serta menyia-nyiakan potensi akal yang diberikan Allah Ta’ala. 162 Muh}ammad Shah}ru>r juga menganggap bahwa Sunnah Rasulullah hanya sebagai salah satu variasi dari pengamalan al-Qur’a>n, dan ini tidak menutup kemungkinan adanya variasi implementasi ajaran dan nilai al-Qur’a>n yang lain. Menurutnya, hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW terkait konteks ruang dan waktu pada masa beliau, yakni Abad VII M, sehingga bagaimanapun upaya kita memahami alQur’a>n seperti pemahaman orang yang hidup pada Abad VII M, kita hanya mampu kembali melalui teks-teks sejarah, padahal kita hidup pada abad XXI M.163
160
Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira’ah Mu’a>s}irah (Beirut: Syirkah al-Mathbu’at li al-Tauzi’ wa al-Nasyr, 2000). 161 Muh}ammad Shah}ru>r, al-Islam wa al-Iman: Manz}umah al-Qiyam (alih bahasa oleh M. SaidSu’di dengan judul Iman dan Islam; Aturan-aturan Pokok) (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). 32. 162 Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah (Damaskus: al-Aha>li, 1992), 33. 163 Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah (Damaskus: al-Aha>li, 1992), 35.
54 Muh}ammad Shah}ru>r menganalogikan kondisi ini dengan seekor gagak yang ingin berkicau merdu seperti burung perkutut, namun suaranya tetap saja parau. Ketika ia putus asa dan hendak kembali berkicau selayaknya gagak, ia terlanjur lupa untuk bersuara seperti gagak, yang pada akhirnya ia tidak memiliki identitas yang jelas; Gagak bukan, perkututpun bukan.164 Muh}ammad Shah}ru>r juga mengkritik pendekatan yang selama ini digunakan ulama dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’a>n, sebagai pendekatan yang tidak mampu menjawab tantangan dan problematika sosial kontemporer. Muh}ammad Shah}ru>r menyatakan bahwa untuk memahami al-Qur’a>n hendaknya menyesuaikannya dengan konteks kekinian, seakan-akan Rasulullah baru saja wafat. Dan dalam melakukan kajian terhadap al-Qur’a>n, Muh}ammad Shah}ru>r menggunakan metode historis-ilmiah (ta>rikhy ‘ilmy) yang diadopsi dari aliran linguistic Abu Ali> al- Fari>si>. Metode ini merupakan perpaduan teori Ibn Jinny dalam buku al-Khas}ais> dan Abdul Qahir al-Jurjany dalam kitab Dala>il al-I’ja>z. Ibn Jinny menitikberatkan kajiannya pada analisa kata perkata dan hubungan antara kata dengan suara (as}wa>t). Sedangkan al-Jurjani mengkaji hubungan antara struktur kata dengan peranannya sebagai media komunikasi (ibla>gh). Jakfar Dakk al-Ba>b memahami kedua teori ini saling melengkapi, yang ketika ditarik akar mulanya, akan bertemu pada aliran lingusitik Abu ‘Ali al-Fa>risi. Salah satu pendapat aliran ini adalah penolakan adanya sinominitas kata (tara>duf). Dalam hal ini, ada ucapan Tha’lab yang terkenal bahwa ‚Apa yang dalam kajian bahasa Arab dikira sebagai tara>duf (sinonim), sebenarnya adalah hal yang berbeda (Mutasha>biha>t).165 Metode historis-ilmiah menyatakan bahwa bahasa manusia pada mulanya merupakan suara-suara (as}wa>t) yang diucapkan manusia secara sadar sebagai media (was}ilah) menyampaikan tujuan-tujuan (ide dan gagasan) kepada orang lain dan untuk memahami tujuan-tujuan itu, dalam kehidupan bersama. Point-point penting yang terdapat dalam kitab ini dijelaskan Shahrur secara ringkas dalam Mukadimah bukunya. 3. Muh}ammad Shah}ru>r: Sang Penggagas Qira>’ah Mu’a>sirah Fenomena stagnasi pemikiran dunia Arab- islam, lebih jauh lagi stagnansi peradaban dan kegamangan memasuki millennium baru dalam 164
tth), xxi.
165
Rumadi, Menafsirkan al-Qur’a>n: Eksperimen Muh}ammad Shah}ru>r (ttp,
Syahiron Syamsuddin, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’a>n Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), xxi.
55 arus globalisasi menggugah kesadaran para pemikir era kontemporer untuk melakukan evaluasi. Problem inti yang menjadi poros perdebatan sejak era kebangkitan pada tahun 1967 hingga era kontemporer tahun 1990 hingga sekarang dapat dipetakan dalam tiga masalah: 1) sikap terhadap Tura>th (warisan tradisi), 2) sikap terhadap Barat, dan 3) sikap terhadap modernitas.166 Pisau analisis yang digunakan para pemikir Muslim Kontemporer terhadap kondisi stagnan tersebut sebagaimana mencuat dalam karya besar para pemikir kontemporer, seperti ‘Abid al-Ja>biri, Muh}ammad Arkoun, Faz}lurrah}man, Nas}r H{a>mid Abu> Zaid dan Muh}ammad Shah}ru>r, terpusat pada satu proyek besar: Kritik Diri (al-naqd al-Z{at> i). 167 Fazlurrahman mengusung wacana hermeneutic melalui konsep double movement, ideal moral dan legal specific-nya. Moh}ammad Arkoun menggagas Kritik Nalar Islam (al-Yasa>r al-Isla>mi) dan Oksidentalisme (‘Ilm al-Istigra>b) melalui proyek besarnya al-Tura>th wa al-H{ada>sah.168 Abid al-Ja>biri, pemikir asal Maroko mencetuskan Kritik Nalar Arab (Takwi>n al-‘Aqli al-‘Arabi).169 Nas}r H{a>mid Abu> Zaid mengusung Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni).170 Varian kritik diri ini berkembang sedemikian rupa yang hingga kini masih dapat kita saksikan dalam karya-karya mereka. Meski mengusung wacana kritik yang berbeda, seluruh pemikir kontemporer di atas sepakat bahwa khazanah keilmuan Islam selama ini diperlakukan dalam dalam kerangka repetisi, bukan progresi. ‘Abid al-Ja>biri misalnya, berhasil membuktikan bahwa aktivitas akademik yang dikerjakan para sarjana Muslim adalah pembacaan repetitive (al-Qira>’ah alMutakarrirah), sedangkan Nas}r H{a>mid mengkritisinya dengan istilah 166
Syahiron, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’a>n, xxiii. Tentang peta gerakan kritik diri ini lihat A. Lutfi Asshaukani, ‚Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer‛ dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Juli-Desember 1998, 58-95. 168 Tentang kajian kritis terhadap ide-ide besar dalam proyek kiri Islam Hassan Hanafi lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Yogyakarta: LKiS, 1997), 28. Tentang reaktualisasi tradisi keilmuan Islam lihat A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), 56. 169 Lihat misalnya, dalam Mohammed Abed al-Jabiri, terj. M. Nur Ichwan, Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam (Yogyakarta: Islamika, 2003) dan Takwi>n al-‘Aqli al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 1989), 27. 170 Lihat misalnya dalam Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni (Kairo: Sina li al-Nas}r, 1994), 24 dan Takwi>n al-‘Aqli al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih}dah al-‘Arabiyyah, 1989). 167
56 ideologis tendensius (al-Qira>’ah al-Mughridah alMulawwanah) dan pembacaan yang a-historis (al-Qira>’ah al-la> ta>rikhiyyah). Nas}r H{a>mid mengusulkan pembacaan produktif hermeneutis (al-Qira>’ah al-Muntijah). Dalam konteks inilah dapat dipahami proyek besar Muh}ammad Shah}ru>r untuk menggagas pembacaan hermeneutis kontemporer (Qira>’ah Mu’a>s}irah ) sebagai counter terhadap pembacaan tiranik (al-Qira>’ah al-Mustabiddah).171 Muh}ammad Shah}ru>r setelah menekuni filsafat dan linguistic mencoba merambah wilayah studi al-Qur’a>n. Pada September 1990, dunia pemikiran Islam Timur Tengah segera mengenal Shah}ru>r sebagai tokoh yang controversial, tepatnya setelah ia meluncurkan karya magnum opus-nya al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah yang menggunakan pendekatan linguistic modern.172 Dalam bukunya ini, Muh}ammad Shah}ru>r juga sering menggunakan metafora dan analogy yang diambil dari ilmu teknik dan sains. 173 Ia berpendapat bahwa al-Qur’a>n yang dalam pengertian khas Muh}ammad Shah}ru>r berarti bagian tertentu dari Kitab Suci yang bertemakan ilmu pengetahuan obyektif seharusnya dibaca dan dipahami bukan melalui prisma abad-abad yurisprudensi, melainkan seolah-olah ‚Rasulullah SAW baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang Kita>b tersebut. Shah}ru>r berusaha melakukan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi terhadap pelbagai konsep, teori, dan paradigm yang telah mapan menjadi mainstream pemahaman, pemikiran bahkan keyakinan mayoritas umat Islam. Muh}ammad Shah}ru>r yang didukung oleh guru linguistiknya Ja’far Dakk al-Ba>b, menyatakan bahwa al-Qur’a>n merupakan kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan, sastrawi (al-i’ja>z al-Bala>gi) dan ilmiah (al-I’ja>z al-‘Ilmi) untuk memahami aspek ilmiahnya harus dipahami dengan pendekatan historis-ilmiah (al-Manhaj al-ta>rikhi al-‘Ilmi), yang keduanya diletakkan dalam bingkai studi linguistic.174 pembacaan
171
Tentang pembacaan tiranik, lihat Muh}ammad Shah}ru>r, Dira>sah Isla>miyyah Mu’a>s}irah fi al-Daulah wa al-Mujtama> (Shiria: al-Ahali, 1994). 172 Charles Kurzman eds., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001), 210. 173 Charles Kurzman eds., Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, 211. 174 Syahiron, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’a>n, 15.
57 Pendekatan pertama dilakukan dengan cara memadukan analisis sastra (bala>ghah) dengan analisis gramatika (al-nah}wu). Selama ini, kedua disiplin linguistic tersebut lebih sering dikaji secara terpisah, sehingga menghilangkan potensi keduanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua, menuntut penolakan terhadap fenomena sinonimitas (altara>duf)175 dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim. Lebih jauh, Shah}ru>r juga menegaskan asumsinya bahwa alQur’a>n sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat dipahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode memahami al-Qur’a>n yang oleh Shah}ru>r disebut dengan istilah manhaj al-tarti>l, yang dapat diidentikkan dengan metode intratekstualis. 176 Selanjutnya Shah{ru>r meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Qur’a>n yang diistilahkannya dengan alta’wi>l. Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Shah}ru>r menggagas teori batas (naz}ariya>t al-h}udu>d) yang disebut sebagai ijtihad cerdas untuk pembaharuan fikh Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Shah}ru>r sedang meletakkan dasar-dasar baru metodologi pembacaan teks keagamaan, khususnya al-Qur’a>n. 175
Sinonimitas: (Arab: Al-Tara>duf), secara etimologis al-tara>duf berarti berturut-turut, mengikuti, dan membonceng. Kalimat tara>dafa al-shai’ berarti saling mengikuti. Secara istilah, tidak ada kesepakatan antara ahli bahasa, namun yang dimaksud di sini adalah ‚dua kata atau lebih yang memiliki satu arti ketika dilihat dari akar katanya‛. Selain Shah}ru>r, tokh-tokoh penolak sinonimitas antara lain, Ibnu alA’rabi, Abu> al-Abbas Sa’lab (w. 291 H), Abu> Bakar Muh}ammad bin al-Qa>sim alAnbari (w. 328 H). ibnu Fa>ris (w. 395 H), Abu> Hilal al-‘Askari (w. 395 H). Abu> ‘Ali alFa>risi (w. 377 H), dan Ibnu Jinni (w. 392 H). lihat Muh}ammad Nuruddin al-Munajjad, al-Tara>duf fi al-Qur’a>n al-Kari>m baina al-Naz}ariyah wa al-Tat}bi>q (Damaskus, Da>r alFikr al-Mu’a>s}ir, 1997), 29, 33, dan 252. 176 Istilah ‚Intratekstualis‛ diadaptasi dari istilah ‚intertekstualitas‛ yang berarti hubungan antara sebuah teks tertentu dengan teks lain. Gerakan intertekstualitas ini tanpa batas, sejajar dengan proses semiosis yang juga tidak berujung pangkal. Sebagaimana dikatakan oleh Kristeva, ‚setiap teks memperoleh bentuknya sebagai mosaic kutipan-kutipan, setiap teks merupakan rembesan dan transformasi dari teks-teks lain...‛. Lihat Kris Budiman, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999), 51-52. Jika intertekstualitas terdiri dari jaringan teks yang berbeda-beda, intratekstualitas mengacu pada jaringan antar satuan teks di dalam teks itu sendiri. Dalam konteks tafsir al-Qur’a>n, satuan teks ini disejajarkan dengan pengertian ‚ayat‛. Teknis metodis ini muncul dari konsep al-Qur’a>n yufassiru ba’d}uhu> ba’d}an (sebagian ayat al-Qur’a>n menafsirkan ayat yang lain) dan diaplikasikan secara lebih sistematis pada abad ke-20 dengan istilah al-Tafsi>r al-Mawd}u>’i (tafsir tematik).
58
Al-Kita>b wa al-Qur’a>n merupakan karya pertamanya yang monumental dan cukup komprehensif merefleksikan pemikirannya, baik pada aspek metodologi maupun aplikasinya dalam penafsiran teks alQur’a>n.177 Hingga saat ini paling tidak Shah}ru>r sudah menulis tiga buku lanjutan dalam proyek ambisiusnya ‚Qira>’ah Mu’a>s}irah‛. Salah satu muatan penting dalam buku-buku tersebut adalah revisi (al-tas}wi>b) terhadap pelbagai perspektif dan asumsi metodologis yang digagas dalam buku pertamanya.178 Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikiran Muh}ammad shah}ru>r, yang jelas Muh}ammad Shah}ru>r cukup berani dan kritis melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n. Sebenarnya, jargon ‚Qira>’ah Mu’a>s}irah ‛ yang dilontarkan Muh}ammad Shah}ru>r bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat alQur’a>n sesuai dengan perkembangan sejarah interaksi antar generasi, sehingga diharapkan akan mengaskan eksistensinya dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. B. Sikap Shah}ru>r Terhadap Tafsir Tafsir mengandung dua makna yang berbeda;179 yakni: Pertama, ‚Tafsir" dipandang sebagai proses pemahaman yang terus berkelanjutan (Processing atau Sairu>rah), sebab pada kenyataannya Tafsir merupakan proses memahami yang tidak pernah final. Kedua, ‚Tafsir‛ dipandang sebagai produk atau hasil pemahaman (Becoming atau S}airu>rah), hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa al-Qur’a>n telah menjadi pusat bagi munculnya inspirasi yang kemudian melahirkan berjuta-juta karya tulis sebagai karya pemahaman anak zaman. 1. Tafsir sebagai Proses Muh}ammad Shah}ru>r meyakini bahwa al-Qur’a>n merupakan risalah terakhir yang tidak terikat oleh tempat dan temporal waktu.180 Oleh karena itu, al-Qur’a>n harus memiliki beberapa karakteristik, karena; pertama Allah SWT bersifat Absolut, maka kitab-Nya juga 177
Shah}ru>r menolak menyebut bukunya sebagai karya ‚tafsir‛ atau ‚fikh‛, ia lebih menekankan bahwa buku ini adalah sebuah pembacaan baru dan kontemporer terhadap konsep inti dalam al-kitab yang disebutnya sebagai al-Zikr. Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah, 45. 178 Sebagaimana ditegaskannya dalam pengantar buku keempatnya, Nah}w Us}u>l Jadi>dah lil Fiqh al-Isla>mi: Fiqh al-Mar’ah (Damaskus: al-Aha>li, 2000). 179 Abdul Mustaqim, ‚Pergeseran Epistemologi Tafsir; dari Nalar MitisIdeologis hingga Nalar Kritis,‛ dalam Jurnal Tas}wirul Afkar, Edisi 18; 2004, 89. 180 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 23.
59 mengandung unsur-unsur yang absolut; kedua Allah SWT tidak perlu mencurahkan ilmu dan petunjuk bagi diri-Nya, maka al-Qur’a>n diturunkan sebagai petunjuk manusia. Dengan demikian pada sisi pemahamannya ia memuat unsur-unsur yang relatif, dan ketiga kitab ini dimanifestasikan dengan bahasa manusia, dan harus memiliki karakter khusus, yakni muatannya bersifat absolute dan pemahamannya bersifat relative sesuai dengan perjalanan waktu (Thaba>t al-Nas}s} wa H{araka>t alMuh}tawa>). 181 Tampaknya itu pula yang mendasari asumsi Shah}ru>r bahwa al-Qur’a>n S}a>lih li Kulli Zama>n wa Maka>n. Muh}ammad Shah}ru>r berpandangan bahwa seluruh penafsiran, termasuk Tafsi>r dan Ijtiha>d, tak lebih dari sekedar usaha manusia menuju pemahaman dan tindakan berdasarkan teks ketuhanan.182 Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai penafsiran adalah bersifat relatiflokal-temporal. Bahkan penafsiran Nabi SAW sekalipun, hanyalah tradisi berupa pemahaman manusia yang nisbi pada masa awal Islam. Menurutnya ‚peristiwa abad ketujuh‛ merupakan hasil interaksi manusia terhadap al-Qur’a>n pada saat itu dan di tempat itu pula. Hasil interaksi ini hanyalah bentuk alternative pertama dalam memahami Islam, bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir. Dalam hal ini Muh}ammad SAW telah melakukan interaksi pertama dan menjadi suri tauladan yang baik bagi umatnya.183 Oleh karena itu Muh}ammad Shah{ru>r berpandangan bahwa perjalanan sejarah selalu berproses dan berkembang tanpa henti sebagai sunnatullah yang tidak pernah berubah. Sehingga mustahil merealisasikan ajaran Islam di abad ini dengan cara bagaimana bentuk kehidupan abad ketujuh.184 Pandangan di atas diperkuat dengan ‚dialektika filsafat proses‛ yakni being (kondisi berada), process (kondisi berproses) dan becoming (kondisi menjadi). Berdasarkan ‚dialektika filsafat proses‛ ini, maka relasi antara ketiga kondisi tersebut merupakan sebuah keniscayaan alami yang berkait kelindan. Dari relasi inilah, kemudian muncul secara terus menerus suatu hukum yang disebut dengan istilah ‚hukum
181
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 36.
182
‚All interpretations, including tafsir (exegesis) or ijtihad (independent reasoning) are; no more than human attempts towards understanding and acting on this devine text‛. Muh}ammad Shah}ru>r, The Devine Text and Pluralism in Muslim Society, htpp://media.isnet.org/islam/Etc/shah}rour.html, (14 November 2010). 183 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 36. 184 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 23.
60 dialektika negative‛ ( Qa>nu>n al- Nafy wa Nafy al-Nafy; hukum negasi dan penegasian negasi). Hukum negasi diandaikan sebagai A adalah A, tetapi juga bukan A. Hukum ini adalah hukum dialektis internal.185 Pendek kata, seluruh makhluk di alam semesta ini berproses di bawah kategori being (kondisi berada), process (kondisi berproses) dan becoming (kondisi menjadi). Jadi, ada semacam pergerakan menuju sesuatu yang baru, namun sesuatu yang baru itu bukanlah yang terakhir atau final, tetapi ada pergerakan menuju kebaruan selanjutnya, dan begitu seterusnya.186 Jika ‚teori proses‛ di atas ditarik ke dalam penafsiran al-Qur’a>n maka implikasinya adalah sebuah penafsiran benar-benar bersifat relative-temporal dan bahkan local. Sebab, hanyalah al-Qur’a>n yang memiliki ‚kondisi berada‛ pada dirinya sendiri, yang maknanya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sementara penafsiran tunduk di bawah ‚kondisi berproses‛ dan ‚kondisi menjadi‛ yang terikat oleh ruang dan waktu. Artinya ketika seorang Mufassir melakukan pembacaan terhadap al-Qur’a>n (kondisi berproses), maka ia akan sampai pada sebuah kesimpulan dari apa yang ia baca. Pada posisi ini, penafsiran memiliki ‚kondisi menjadi‛, yakni penafsiran tidak dipandang sebagai terakhir atau final. Sehingga ia masih perlu dikaji ulang ataupun direvisi. Sebab, sangat mungkin hasil penafsiran kemarin berbeda dengan hari ini, dan hari ini berbeda dengan hari esok. Dengan demikian, hal penting yang perlu disadari adalah bahwa ‚kondisi menjadi‛ bukanlah ‚kondisi berada‛, yang berarti bahwa penafsiran bukanlah al-Qur’a>n itu sendiri. Jika demikian adanya, maka keberadaan produk penafsiran generasi masa lalu hanyalah untuk mereka di masa dan tempat mereka. Produk penafsiran mereka yang sekarang telah menjadi tura>th 187 bagi
185
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 30. Baca tentang ‚dialektika filsafat proses‛ dalam Shah}ru>r , Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 27-58. 187 Menurut H{assan H{anafi tura>th adalah titik awal sebgagai tanggung jawab kebudayaan dan bangsa, sedangkan tajdi>d adalah penafsiran ulang atas tura>th sesuai dengan konteks zaman yang berkembang, karena yang lama mendahului yang baru. Otentisitas merupakan dasar dari modernitas, sementara sarana adalah penghantar kepada tujuan. Tura>th adalah perantara, sedangkan tajdi>d adalah tujuan; yakni berpartisipasi dalam pengembangan realitas, memecahkan problematikanya, menghilangkan factor-faktor penghambat setiap upaya pengembangannya. Lihat H{assan H{anafi, al-Tura>th wa al-Tajdi>d: Mawqifuna> Min al-Tura>th al-Qadi>m (Beirut: Maktabah al-Anjlu> al-Mis}riyyah, 1981), 9. 186
61 generasi saat ini, cukuplah untuk dihormati tanpa perlu mengaguminya. Sebab, sikap demikian bisa berakibat pada rasa puas diri dengan apa yang sudah ada, sehingga melahirkan kemalasan intelektual (Laziness Intellectual). Pada akhirnya, hal yang sulit dihindarkan adalah stagnasi pemikiran dan aktifitas penafsiran. Padahal di saat ini yang dibutuhkan adalah tafsir kontemporer yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dalam memberikan solusi kompleksitas problematika kekinian. Dengan kata lain, produk tafsir kemarin tidak digunakan untuk menyelesaikan problematika hari ini. Dengan memandang Tafsir sebagai ‚proses‛, maka aktifitas penafsiran akan berjalan secara continue dan dinamis, dan pada saat yang sama metodologi penafsiran juga bisa dikembangkan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Ami>n al-Khu>li bahwa metodologi Tafsir merupakan ilmu yang belum matang, sehingga akan terus berkembang. 188 Oleh Shah}ru>r mencurahkan pemikirannya untuk merumuskan ‚Metodologi Tafsir Kontekstual‛, yang diharapkan mampu menjadi metodologi alternative bagi model penafsiran al-Qur’a>n kontemporer. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ‚tafsir sebagai proses‛ merupakan dialektika sirkular antara teks al-Qur’a>n, reader dan realitas sebagai konteks secara continue, sesuai dengan kebutuhan yang dinamis, yang berjalan bersama perubahan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan. 2. Tafsir Sebagai Produk
Kemudian secara lebih spesifik, Muh}ammad Shah}ru>r memberikan batasan bahwa Tura>th dipahami sebagai hasil ciptaan manusia dan produk kreativitas sadar manusia dalam episode sejarah yang silih berganti. Adapun modernitas Muh}ammad Shah}ru>r menyebutnya dengan al-Mu’a>s}irah dipahami sebagai interaksi manusia dengan produk material dan pemikiran kontemporer yang diciptakan manusia tersebut. Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 32. Dengan demikian tradisi dan modernitas memiliki hubungan erat. Hanya saja terpisahkan oleh dimensi waktu yang terus bergerak menuju yang baru, sehingga jika suatu pernyataan yang telah diwujudkan dalam bentuk teks 10-an atau lebih tahun yang lalu, maka teks itu dianggap sebagai tura>th. Pada akhirnya adalah fakta bahwa manusia yang terlahir dalam lading tradisi harus berinteraksi dengan tradisi mereka. Sementara menolak ataupun menerima modernitas dalam tradisi mereka adalah pilihan. 188 Amin al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1961), 302.
62 Abu Zaid berpandangan bahwa teks merupakan produk pemikiran dari hubungan dialektis antara mufassir dengan realitas (Jadal al-Insa>n Ma’a al-Wa>qi’) di satu sisi, dan dialognya dengan al-Qur’a>n (H{iwa>ruhu Ma’a al-Nas}s}) di sisi lain. 189 Artinya, sebuah penafsiran dibatasi oleh problematika yang hendak dicarikan solusinya dan system ilmu pengetahuan yang diikuti dalam menyelesaikan problematika itu.190 Dengan demikian, penafsiran terhadap al-Qur’a>n akan menghasilkan teks kedua (tafsir) yang memiliki muatan terbatas, dengan warna atau cirri khas tertentu yang dimilikinya. Ketika seorang mufassir yang hidup pada titik waktu sejarah tertentu, berangkat dari struktur ilmu pengetahuan tertentu dan membawa problematika social- saintifik tertentu pula, maka ia akan memahami teks al-Qur’a>n (yang tetap) itu tentang hal-hal yang mungkin tidak sama atau bahkan belum pernah terpikirkan oleh orang lain. Hal ini karena hakekatnya al-Qur’a>n memiliki ‚kondisi berada‛ pada dirinya, dan mengandung "kondisi berproses‛ dan ‚kondisi menjadi‛ untuk lainnya. Tampaknya, pandangan inilah yang menyebabkan Shah}ru>r, beberapa kali menegaskan tentang ‚tetapnya teks dan bergeraknya kandungan makna, dan tentang dialektika teks dan kandungan makna‛ (Thaba>t al-Nas}s} wa H{araka>t al-Muh}tawa>). 191 Hal ini menjadi sangat penting bagi mufassir di era ini untuk menyadari bahwa dalam studi keislaman, tidaklah cukup hanya tertuju pada studi teks-yang tetap itu, melainkan juga pada kajian social- saintifik yang selalu berubah dan berkembang, sehingga mau tidak mau harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu social dan science. 192 Sementara di saat yang sama, keberadaan produk-produk tafsir masa lalu harus tetap disikapi secara kritis. Karena bisa jadi apa yang diyakini pada suatu masa tertentu sebagai sesuatu yang benar, justru menjadi sesuatu yang salah di saat yang lain.193
189
Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}; Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Thaqa>fah al-‘Arabi>, 1998), 9. 190 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 55. 191 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 54, Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 36, 190. 192 Komaruddin Hidayat, ‚Ketika Agama Menyejarah,‛ dalam jurnal alJa>mi’ah, Vol. 40, No: 1, Januari-Juni 2002, 102-103. 193 Oleh karena itu, Muh}ammad Shah}ru>r berusaha untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran Arab yang ada sebelumnya. Lihat Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 29.
63 Jadi, tafsir sebagai produk pemikiran merupakan hasil dialektika antara mufassir, teks al-Qur’a>n dan realitas, hanyalah percikan kecil dari sinaran nilai agung universalitas al-Qur’a>n. 194 Sehingga tafsir hanya bersifat particular, berlaku local-temporal, hanya berlaku pada tempat dan masanya. Dengan demikian, semua aktifitas penafsiran berikut hasil kesimpulannya terikat oleh konteks particular. Sehingga sebuah penafsiran yang bersifat universal. Sebab, sifat universalitas hanyalah dimiliki oleh al-Qur’a>n, sementara apapun bentuk penafsiran ditentuksn oleh kebutuhan dan kepentingan yang bersifat relative dan tentative. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tafsir merupakan hasil pemikiran yang sangat dipengaruhi oleh kondisi socialsains yang melingkupinya, sehingga tafsir bersifat subyektif-relatif, local-temporal. Kebenaran al-Qur’a>n bersifat mutlak, sementara kebenaran tafsir bersifat relative. Untuk itu, tafsir hanyalah proses pencarian kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’a>n. Sehingga mufassir setiap generasi hendaknya memiliki tafsir al-Qur’a>n yang bersifat solutif terhadap persoalan yang berkembang di masanya. Dengan demikian, dalam menafsirkan al-Qur’a>n pada saat ini tidak perlu kembali kepada penafsiran-penafsiran masa lalu yang memiliki masa dan tempatnya masing-masing. Berangkat dari situlah kemudian Shah}ru>r menawarkan sebuah ‚Metodologi Tafsir Kontekstual‛ yang diharapkan mampu menjadi solusi alternative sekaligus mengisi kekosongan metodologi penafsiran al-Qur’a>n kontemporer. Berbicara tentang metodologi 195 berarti membahas konsepkonsep teoritis tentang proses dan prosedur atau langkah-langkah yang sistematis yang digunakan oleh penafsir untuk mengetahui sesuatu. metodologi merupakan bagian dari logika yang mengkaji kaedah penalaran yang tepat, di samping juga mengkaji tentang asumsi yang
194
Abd al-La>h Dirra>z, al-Naba’ al-‘Az}i>m (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1974), 117-
118.
195
Metodologi merupakan bagian dari epistimologi. Dalam perkembangannya epistemology dibagi menjadi dua: 1) epistemology modern, yang dimulai oleh Descartes (1595-1650) dan Francis Bacon (1561-1626) dan kemudian melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme. Epistemology modern menekankan pada teori ilmu pengetahuan dan sumber ilmu pengetahuan, 2) epistemology kontemporer yang dimulai oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dan kemudian melahirkan aliran pragmatism. Epistemology kontemporer ini menekankan pada proses dan prosedur untuk memperoleh ilmu yang lebih dikenal sebagai metodologi. Rodliyah Khuza’I, Dialog Epistemologi; M. Iqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: Refika Aditama, 2007), 19.
64 melatarbelakangi sebuah metode. 196 Hal ini diperlukan untuk memperoleh cirri-ciri ilmiah. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh lagi, penulis bahas terlebih dahulu mengenai prinsip umum yang mendasari peletakan metodologi Shah}ru>r dalam menafsirkan al-Qur’a>n. C. Prinsip-Prinsip Penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r Pengkajian ulang terhadap al-Qur’a>n, Hadith Nabi, tafsir dan warisan tradisi lainnya dengan model pembacaan kontemporer, sangat besar dan mendesak. Namun, kebutuhan untuk melakukan pembacaan ulang terhadap landasan-landasan dasar yang dijadikan pijakan jauh lebih besar dan mendesak.197 Sebab, hasil penafsiran yang benar sangat bergantung pada akurasi dan ketepatan prinsip-prinsip tersebut. Untuk itu Shah}ru>r meletakkan beberapa prinsip dasar sebagai pijakan dalam penafsirannya, sebagaimana penulis paparkan sebagai berikut: 1. Prinsip Dekonstruksi198 Andreas Christmann mengatakan bahwa pintu masuk terbaik untuk memahami gagasan-gagasan Shah}ru>r adalah melalui bukunya yang pertama, yaitu al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah.199 Sebab, dalam sub judul buku tersebut, Shah}ru>r menegaskan posisinya dalam proses ‚pembacaan kembali‛ teks al-Qur’a>n sebagai ‚pembacaan kontemporer‛ dengan tujuan utama bahwa perlunya menjaga keterbukaan wacana epistemology meskipun harus bersinggungan dengan warisan penting Arab Islam.200
196
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), 119. 197 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 189. 198
‚A Deconstruction is thus a kind of internal conceptual critique in which implicity and provisionally az}eres to the position criticized‛. Robert Audi (ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy (USA: Cambridge University Press, 1999), 209. Dengan kata lain dekonstruksi adalah sebuah cara baca yang sangat toleran terhadap pembekuan dan pembakuan teks. Oleh karena itu, pembaca dekonstruktif selalu mengejutkan, atau bisa dikatakan subversive. 199 Andreas Christmann, ‚The Form is Permanent, but The Content Moves; The Qur’anic Text and Its Interpretation Mohamad Shahrour’s al-Kitab wal-Qur’an‛, dalam Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectual and The Qur’an (New York: Oxford University Press, 2004), 267. 200 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 30.
65 Hal ini ditunjukkan Shah}ru>r pada paragraph pertama dalam buku al-kitab wa al-Qur’a>n, dengan mengambil analogy sebuah cermin yang memantulkan bayangan secara terbalik sebagai perumpamaan bagi posisi umat Islam ketika memandang Islam. Artinya, apa yang menjadi pandangan umat Islam selama ini adalah terbalik untuk tidak mengatakan sesat. Shah}ru>r menyebutnya dengan istilah ‚al-Musallama>t al-Ma’ku>sah‛ (aksioma terbalik).201 Langkah awal Muh}ammad Shah}ru>r dalam proyeknya adalah dengan melakukan pembedaan secara krusial antara dua bentuk yang berbeda dari wacana agama; pertama, realitas ilahiyah, yang abadi, kekal dan absolute; kedua, pemahaman manusia terhadap realitas ilahiah tersebut, yaitu tentang sesuatu yang profan, bisa berubah, parsial dan relative. Karena ia merupakan produk interaksi dengan paradigm intelektual pada masyarakat manusia yang hidup tempat dan masa tertentu, sehingga ia berada dalam sebuah proses perkembangan dan penyempurnaan yang berkelanjutan.202 Artinya karya-karya tafsir masa lalu hanyalah hasil dari paradigm intelektual masyarakat mereka, dan pandangan yang mereka ambil mempengaruhi kualitas cakrawala pandangan mereka sehingga yang mereka hasilkan bukanlah hasil yang paripurna. Oleh karena itu, Shah}ru>r berusaha keluar dari pembatasan proses penafsiran apapun yang ditetapkan oleh ulama Tafsir (misalnya konsep Na>si>kh-Mansu>kh dan Asba>b al-Nuzu>l) dan fiqh terdahulu. Dengan kata lain, menurutnya, dekonstruksi terhadap karyakarya Tafsir klasik sangat diperlukan, memotong putus tura>th (warisan tradisi) yang lebih bersifat local-temporal, dan perlunya kembali kepada sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’a>n yang bersifat universal. Untuk itu Shah}ru>r melakukan defamiliarisasi, meminjam istilah Andreas Christmann terhadap konsep yang lazim dipakai terhadap istilah-istilah yang terkait dengan al-Qur’a>n. 203 Definisi umum dari 201
Kemudian untuk memperkuat analisisnya, Muh}ammad Shah}ru>r mencontohkan bahwa selama berabad-abad manusia di muka bumi beranggapan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (Teori Geosentris oleh Ptolemeus). Kemudian Nicolas Copernicus, dengan penelitiannya menyatakan sebaliknya bahwa pusat tata surya bukanlah bumi, melainkan matahari (Teori Heliosentris oleh Copernicus). Didukung oleh fisikawan besar Galileo Galilei, ia menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 29. 202 Christmann, The Form is Permanent, but The Content Moves (ttp, tth), 267. 203 Lihat konsep al-Kita>b dan al-Qur’a>n yang selama ini dianggap sama atau bersinonim, dipahami berbeda oleh Shah}ru>r. Selengkapnya baca karya Shah}ru>r; al-
Kita>b wa al-Qur’a>n.
66 terma-terma tradisional yang dikenal selama ini dianggap sebagai definisi yang tidak logis, na’if, bias, dan rancu. Namun demikian, kemudian ia membuktikan dengan menunjukkan makna baru yang belum ada sebelumnya. Menurut penulis, mufassir generasi baru tidak perlu tergesa-hesa untuk menyama-ratakan karya-karya klasik sebagai tura>th yang harus didekonstruksi. Sikap hati-hati dan bijak harus dikedepankan, sehingga tura>th tetap perlu dikaji dan tidak perlu ditinggalkan secara keseluruhan; ‚mempertahankan warisan klasik yang masih relevan dan mengambil terbaru yang lebih baik‛. 2. Prinsip Anti-Sinonimitas dan Diferensiasi Prinsip dekonstruksi tidak lepas dari prinsip anti-sinonimitas dalam bahasa. Setidaknya ada dua perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan Ulama ahli bahasa; pertama, ulama yang berpandangan bahwa terdapat sinonimitas di dal am bahasa. Termasuk dalam golongan ini adalah Imam Sibawaih (148-180H), Muh}ammad ibn Mustani>r (w. 206 H), dan al-As}mu’i (w. 122-216H). kedua, ulama yang menolak adanya sinonimitas dalam bahasa. Yang termasuk golongan ini adalah Abu> Ali> al-Fa>risi>, Ibnu Fa>ris dan Ibnu Ziya>d al-‘Arabi> (150 H231 H).204 Salah satu sumber perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai bahasa al-Qur’a>n; apakah tawqi>fi> (formulasi Tuhan) ataukah is}tila>h}i> (konstruksi manusia, meskipun kandungannya bersifat ilahi). 205 Keyakinan bahwa bahasa al-Qur’a>n merupakan tawqi>fi> berimplikasi pada penolakan terhadap kemungkinan adanya sinonimitas kata dalam al-Qur’a>n. Sebaliknya, mereka yang meyakini bahwa bahasa al-Qur’a>n merupakan is}tila>h}i> berimplikasi pada penerimaan adanya sinonimitas, dengan argumentasi bahwa ia adalah konstruksi manusia, meskipun kandungannya bersifat Ilahi.206
204
Mengenai perbedaan pendapat ini dapat dilihat dalam buku karya Abu> Hila>l al-‘Askari>, al-Furu>q fi al-Lughah (Beirut: Da>r al-Affa>k al-Adikah, 1973), 13-19. Bandingkan Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 297-299. 205 Ibnu Jinni dalam hal ini mengatakan; baik ist}ila>hi maupun tawqi>fi> , yang jelas bahasa tidak diletakkan seluruhnya dalam satu waktu, tetapi ia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Al-Suyu>t}i, al-Muzhir fi> ‘Ulu>m al-Lughah wa Anwa>’iha> (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, tth), 55. 206 Lihat selengkapnya mengenai alasan masing-masing golongan dalam alSuyu>t}i, al-Muzhir fi> ‘Ulu>m al-Lughah wa Anwa>’iha>, 17-24.
67 Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r berpihak kepada pendapat yang menolak konsep sinonimitas dalam bahasa al-Qur’a>n. Bahkan Muh}ammad Shah}rur berkeyakinan bahwa tidak ada sinonimitas dalam struktur kalimat al-Qur’a>n. 207 Pandangan ini didasarkan pada argumentasi teologis bahwa penggunaan kata dan struktur kalimat dalam al-Qur’a>n adalah sempurna, karena ia adalah wahyu Tuhan. 208 Sehingga tidak ada satupun huruf dalam al-Qur’a>n yang hanya sebagai huruf tambahan tanpa makna. Paham anti-sinonimitas yang dianut oleh Muh}ammad Shah}ru>r rupanya dipengaruhi oleh teori anti-sinonimitas yang dikembangkan oleh Ibnu Fa>ris yang berpandangan bahwa kata-kata yang dianggap sinonim dalam kajian bahasa, sebenarnya ia tidaklah benar-benar sinonim, tetapi masing-masing kata memiliki stressing makna tersendiri.209 Oleh karena itu, Muh}ammad Shah}ru>r dalam bukunya al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah membedakan antara al-Kita>b dan alQur’a>n. Sebab, menurutnya tidak ada kata sinonim dalam bahasa, terutama al-Qur’a>n yang seluruh kata dan struktur kalimatnya sudah sempurna. Begitu juga pembedaan antara al-Nubuwwah dan al-Risa>lah yang secara teoritis berimplikasi pada metodologi pembacaan. Menurut Muha}mmad Shah}ru>r, al-Nubuwwah mencakup seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang tertera dalam al-Kita>b, sementara al-Risa>lah berisi hukum dan aturan tingkah laku. AlNubuwwah cenderung bersifat obyektif dan independent dari penerimaan manusia, sementara al-Risa>lah cenderung bersifat subyektif dan tergantung pada pengetahuan kapasitas manusia untuk mengetahui yang benar dan yang salah.210 Perbedaan antara al-Nubuwwah dan al-Risa>lah sejajar dengan dua aspek yang juga dibedakan oleh Muh}ammad Shah}ru>r, yaitu al-Kita>b dan al-Qur’a>n. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, istilah al-Kita>b merupakan bentuk isim mas}dar dari fi’il ma>di kataba, 211 yang berarti 207
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 189. Shah}ru>r, Dira>sa>t Isla>miyya>t Mu’a>s}irah fi al-Dawlah wa al-Mujtama’ (Damaskus: al-Aha>li, 1994), 37. 209 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 24. 210 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 54. 211 Untuk memperkuat pengertian, Muh}ammad Shah}ru>r membandingkan secara sintagmatis-fonologis kata ‚al-Kita>b‛ yang bersusunan ka-ta-ba dengan kata lain seperti ‚al-Bata>k‛ (memotong atau memutus) yang bersusunan ba-ta-ka atau kata ‚al-Bakat‛ (memukul dengan pedang atau memotong ) yang bersusunan ba-ka-ta. Kata al-Batak dalam ayat ‚falayubattikunna a>dha>na al-an’a>mi‛, berarti: ‚Hendaknya kalian 208
68 menggabungkan atau mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh sebuah konsep atau tema tertentu, sehingga pengertiannya komprehensif dan bermanfaat.212 Ketika kata al-Kita>b berbentuk ma’rifat (definite) dengan menggunakan atribut Lam Ta’ri>f, maka kata tersebut merujuk kepada pengertian sekumpulan berbagai macam tema (al-Mawa>di’) yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muh}ammad SAW berupa al-Nas}s} dan kandungannya al-Muh}tawa> yang kesemuanya terkumpul dalam mus}h}af mulai dari surat al-Fa>tih}ah sampai surat al-Na>s, dan oleh karena itu surat al-Fa>tih}ah disebut ‚Fa>tih}at al-Kita>b‛. Misalnya firman Allah SWT ‚Dha}lik al-Kita>b la> raiba fih‛ (Q.S: 2:2).213 Sementara itu, jika kata Kita>b ditulis tanpa menggunakan atribut La>m Ta’rif (al), seperti dalam ayat ‚Kita>ban Mutasha>bihan‛ (Q.S: alZumar:23), berarti hanya mencakup satu tema, yakni sekumpulan ayatayat mutasha>b> ih, bukan seluruh ayat-ayat al-Qur’a>n. Misalnya ayat; ‚Kita>ban muajjalan‛ (Q.S: Ali ‘Imra>n: 145), berarti tema yang hanya berkaitan dengan kematian.214 Sedangkan istilah al-Qur’a>n hanya merujuk kepada pengertian sebagian istilah dari isi al-Kita>b berupa ayat-ayat mutasha>biha>t, yaitu ayat-ayat yang berisi tentang hakikat kebenaran obyektif di luar kesadaran manusia. 215 Dengan demikian, al-Qur’a>n itu tidak sama dengan al-Kita>b. Hal ini didasarkan pada salah satu ayat yang menyatakan ‚tilka a>yat al-Kita>b wa Qur’a>n mubi>n‛ (Q.S: al-Hijr: 1). Dalam ayat ini, antara kata al-Kita>b dan Qur’a>n terpisahkan oleh huruf ‘at}af waw. Dalam teori linguistic Arab ia berfungsi; pertama, li altaghayyur, yakni menunjukkan antara ma’t}u>f dengan ma’t}u>f ‘alaihnya ada perbedaan. Misalkan, Ahmad dan Rid}o datang, berarti Ahmad bukanlah Rid}o. Kedua, ‘at}af al-Kha>s}s} ‘ala al’amm. Artinya apa yang (perempuan) memotong teling#a binatang itu‛. Q.S: an-Nisa>’: 119. Menurut Shah}ru>r kata al-Bakat memiliki pengertian yang berlawanan dengan kata al-Kita>b. Dalam uraian ini Muh}ammad Shah}ru>r hendak menegaskan bahwa dalam Bahasa Arab terdapat fenomena pembalikan susunan fonetik kata yang berimplikasi pada pembalikan makna. Kata al-Kita>b (ka-ta-ba) secara fonetis berkebalikan dengan kata al-batak (ba-ta-ka) atau al-bakat (ba-ka-ta). Jika kata pertama mengandung pengertian ‚menghimpun atau mengumpulkan sesuatu‛, maka kata kedua dan ketiga mengandung pengertian ‚memisahkan, memotong atau memutus sesuatu‛. Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa alQur’a>n, 51. 212 Lihat Ibnu Faris, al-Maqa>yis fi al-Lughah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 918. 213 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 54. 214 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 53. 215 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 57.
69 disebut secara khusus itu penting dan merupakan bagian dari yang umum. Setidaknya ada dua kemungkinan pemahaman di sini; pertama, al-Qur’a>n merupakan satu entitas, sementara al-Kita>b merupakan entitas yang lain, dan penyandingan keduanya menunjukkan perbedaan. Kedua, al-Qur’a>n merupakan bagian dari al-Kita>b dan penyandingan keduanya berfungsi sebagai penunjukkan yang khusus dari yang umum. 216 Dari analisis linguistic tersebut, Muh}ammad Shah}ru>r sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa al-Qur’a>n itu berbeda dari al-Kita>b. ‘Abid al-Ja>biri> memiliki pandangan yang berbeda, bahwa kedua nama tersebut sebenarnya untuk satu benda yang sama; yakni nama ‚alKita>b‛ disebutkan untuk ‚al-Qur’a>n‛; sebutan yang selama ini lazim dikenal dalam studi al-Qur’a>n. Sebutan ini bertujuan untuk merubah masyarakat Arab sebagai masyarakat ummi yang tidak memiliki ‚kitab‛ menuju masyarakat yang memiliki kita>b. Pada saat yang sama hal ini juga merupakan sebuah batas monopoli para penganut Yahudi dan Nasrani yang memiliki label ‚Ahl al-Kita>b‛.217 Bagi Muh}ammad Shah}ru>r, al-Qur’a>n adalah salah satu bagian dari al-Mutasha>biha>t yang diturunkan dalam dua bentuk inza>l dan tanzi>l secara terpisah dari al-lauh} al-mah}fu>z} dan ima>m mubi>n, yang berisi dua bagian. 218 Bagian pertama adalah bagian yang tetap dan tidak mengalami perubahan. Bagian ini berupa kaedah-kaedah umum yang mengatur semua alam mulai dari awal penciptaannya sampai hari akhir kiamat nanti. Bagian kedua adalah bagian yang berubah, tergantung pada factor-faktor alamiah obyektif yang mempengaruhinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah peristiwa-peristiwa alam spesifik, seperti perubahan angin, jenis kelamin, gempa dan sebagainya, serta peristiwa-peristiwa historis.219 Mah}am > i> al-Shawwa>f dalam penelitiannya sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa pembagian tersebut memiliki sumber referensi pemikiran yang berbau filsafat marxisme dengan dua asas pokoknya, yaitu materialisme dialektik dan materialisme historis. Materialisme dialektik merupakan teori umum tentang sosialisme ilmiah. Disebut demikian (materialisme dialektik) karena metodenya dalam memandang kejadian-kejadian alam adalah bersifat dialektik, dalam artian bahwa metode yang digunakan dalam mengkaji dan mengetahui adalah dengan 216
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 57. Muh}ammad ‘Abiri, Madkhal Ila> al-Qur’a>n al-Kari>m Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006), 160. 218 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 155-157. 219 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 74-81. 217
(Beirut:
70 menyingkap berbagai pertentangan pemikiran melalui perdebatan. Inilah sisi yang tetap dari aliran Marxisme. Sedangkan Materialisme historis adalah perluasan cakupan pemikiran materialisme dialektik, sehingga mencakup studi kehidupan dalam masyarakat, dan pengaplikasian pemikiran tersebut pada kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia adalah pengaplikasian pemikiran materialisme dialektik pada studi masyarakat, dan studi sejarah masyarakat. Inilah sisi yang berubah dari aliran Marxisme.220 Dari sini dapat dinilai bahwa Muh}ammad shah}ru>r tidak bisa benar-benar lepas dari pengaruh pengetahuan yang ada sebelumnya. Oleh karena itu, prinsip dekonstruksi yang ditawarkannya masih perlu dikaji ulang. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r al-Kita>b terdiri dari jenis ayatayatnya menjadi tiga bagian; 1) al-At al-Muh}kama>t adalah ayat-ayat yang menandai kerasulan Muh}ammad, atau juga disebut Ummu al-Kita>b yang dapat dikaji ulang menggunakan metode ijtihad sesuai dengan perkembangan social-ekonomi, kecuali dalam masalah ibadah, akhlak dan h}udu>d;221 2) al-At al-Mutasha>biha>t yakni ayat-ayat akidah. Ayatayat ini juga disebut al-Qur’a>n dan Sab’ul Matha>ni yang dapat dikaji melalui mekanisme takwil, karena sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang bersifat relative; 3) At La> Muh}kama>t wa La> Mutasha>biha>t adalah kategori ayat yang tidak Muh}kama>t juga tidak Mutasha>biha>t atau disebut juga dengan istilah Tafs}i>l al-Kita>b.222 Muh}ammad Shah}ru>r membagi muatan al-Kita>b menjadi dua; yaitu al-Risa>lah dan al-Nubuwwah yang diturunkan kepada Nabi Muh}ammad SAW sesuai kedudukannya, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Kita>b al-Risa>lah merupakan kumpulan seluruh ajaran yang harus dijadikan pedoman oleh manusia, yang meliputi masalah ibadah, mu’amalah, akhlaq dan persoalan hukum (halal dan haram) yang berfungsi sebagai pangkal pembebanan.223 Kesemuanya tercakup dalam ayat-ayat Muh}kama>t (ayat-ayat hukum). Dalam hal ini fungsi 220
Mah}a>mi> Muni>r Muh}ammad T{a>hir al-Shawwa>f, Tah}a>fut al-Qira>’ah alMu’a>s}irah (Cyprus: al-Shawwaf, 1993), 130. 221 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 37. 222 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 37, 122. Berbeda dengan kategorisasi para Ahli tafsir selama ini yang membagi hanya menjadi dua bagian, yaitu ayat Muh}kama>t dan Mutasha>biha>t. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (ttp: tth), 5.
223
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 54.
71 Muh}ammad sebagai Rasul. Sedangkan Kita>b al-Nubuwwah mencakup ayat-ayat Mutasha>biha>t, yakni al-Qur’a>n, al-Sab’al-Matha>ni 224 dan Tafs}i>l al-Kita>b merupakan kumpulan yang berisi pengetahuanpengetahuan tentang alam semesta, sejarah, kisah-kisah dan berusaha menjelaskan tentang hakekat wujud obyektif, yang mana hal ini menandai kenabian Muh}ammad SAW.225 Kita>b al- Nubuwwah hanya berisi tentang berita (anba’); informasi tentang hukum alam dan pengetahuan obyektif yang berada di luar kesadaran manusia. Ayat-ayat tersebut turun tanpa Sabab al-Nuzu>l, yang berfungsi untuk menjelaskan tentang hakekat wujud obyektif dan membedakan antara yang hak dan yang batil.226 Wujud obyektif tidak terpengaruh oleh subyektifitas manusia, baik mereka mengetahui atau tidak, mengingkari atau mengimani. Misalnya tentang informasi kematian, hari kiamat, hari kebangkitan, surga dan neraka. Semuanya benar-benar ada, baik manusia mempercayainya atau tidak. Oleh karena itulah dikatakan bahwa al-Maut H{aqq wa al-Ba’th H{aqq, dan bukan al-
Maut H{ala>l wa al-Ba’th H{ala>l.227 Sedangkan kita>b al-Risa>lah
berkaitan dengan Tashri’ (perundang-undangan). Ia berisi kaedah-kaedah bertindak bagi manusia, yang meliputi tiga hal pokok. Pertama, al-Sha’a>ir (s}alat, zakat, puasa dan haji.) kedua, al-Akhla>q. Dan ketiga, ayat-ayat Tashri>’ wa Ah}ka>m (ayat-ayat hukum) yang di dalamnya berisi masalah H{udu>d. Ayat-ayat yang terdapat di dalam Kita>b al-Risa>lah berfungsi membedakan antara yang halal dan haram dan menurut Muh}ammad Shah>ru>r tashri>’ tersebut
224
Istilah ini dijustifikasi dengan Q.S: al-Hijr: 87. Dalam hal ini sebenarnya anti-sinonimitas tidak sepenuhnya digunakan oleh Shah}ru>r. Dalam ayat itu ada istilah ‚sab’an min al-matha>ni‛; ada huruf jar berupa min yang telah disamakan Shah}ru>r dengan istilah ‚al-Sab’ al-Matha>ni‛. Pertanyaannya adalah kenapa Shah}ru>r tidak mempermasalahkannya? Padahal menurutnya tidak ada sinonimitas; baik dalam kata maupun kalimat. Lihat shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 196. Juga tidak mengandung unsure sisipan, kesia-siaan dan tambahan. Lihat shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 189-190. Dengan demikian, jika Shah}ru>r mau consisten dalam memegang prinsipnya, seharusnya istilah yang digunakannya adalah ‚Sab’an min al-Matha>ni‛ bukan ‚al-Sab’ alMatha>ni‛. Jadi kata ‚min‛ di situ tidak menjadi sia-sia. Menurut penulis, sebaliknya mengetahui ilmu nahwu dasar terlebih dahulu dipandang sebagai hal yang penting. Sebab, dalam ilmu nahwu huruf jar memiliki7 makna yang berbeda. Lihat selengkapnya Ibnu Hisha>m, Aud}ah} al-Masa>lik Ila> Alfiyah Ibni Malik (Beirut: Da>r al-Jail, 1979), 21-28. 225 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 37, 54. 226 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 54-56. 227 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 103.
72 bisa berubah sesuai dengan tuntutan perubahan kondisi zaman, yang penting masih berada dalam wilayah batas-batas hukum Allah SWT.228 Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, ayat-ayat Kita>b al-Risa>lah bersifat subyektif (al-Dha>ty). Misalnya wasiat Allah SWT tentang Birr alWa>lidain (Q.S: al-‘Ankabu>t: 8, Q.S: Luqma>n: 14, Q.S: al-Ah}qa>f: 15). Dari ayat ini akan terlihat bahwa Birr al-Wa>lidaiyn tidak memiliki wujud obyektif di luar kesadaran manusia. Dalam hal ini, mungkin saja orang mau berbakti kepada keduanya, dan mungkin pula tidak. Demikian juga tentang perintah s}alat, manusia bisa melaksanakannya atau meninggalkannya. Artinya, Kita>b al-Risa>lah (hukum-hukum dalam Ummu al-Kita>b) terkait erat dengan subyektifitas manusia. Oleh karena itu, kata al-Haqq tidak diucapkan pada Ummu al-Kita>b, karena ia merupakan kaedah-kaedah perilaku manusia. Tetapi lebih tepat dengan istilah al-Risa>lah. Artinya manusia diberi hak untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya.229 Pada akhirnya, diferensiasi ini berimplikasi pada metode penafsiran yang harus digunakan dalam menafsirkan al-Tanzi>l al-Haki>m. Jika al-Kita>b yang mencakup ayat-ayat Muh}kama>t, yakni ayat-ayat hukum sebagai Kita>b al-Risa>lah dibaca dengan menggunakan mekanisme ijtihad sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman, maka ayat-ayat al-Qur’a>n, yakni ayat-ayat Mutasha>biha>t sebagai Kita>b al-Nubuwwah menggunakan mekanisme takwil, dan di saat yang sama pemahamannya tidak tunduk kepada perkembangan ilmu pengetahuan yang relative.230 Dari uraian di atas, setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati; Pertama, pembedaan antara al-Kita>b dan al-Qur’a>n yang menurut Muh}ammad Shah}ru>r tidak ada kata sinonim dalam bahasa terutama alQur’a>n. Kedua, Pembagian muatan al-Kita>b menjadi dua bagian, yaitu: al-Risa>lah dan al-Nubuwwah. Ketiga, kategorisasi ayat-ayat al-Kita>b menjadi tiga bagian; yakni Muh}kama>t, Mutasha>biha>t dan Tafsi>l alKita>b; tidak Mutasha>biha>t juga tidak Muh}kama>t menunjukkan bahwa Muh}ammad Shah}ru>r menggunakan teori himpunan dalam logika matematika.
228
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 55. Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 133-143. Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 105. 230 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 37. 229
73 3. Prinsip Tarti>l dan Anti- Atomistic Prinsip Tarti>l ini didasarkan pada Q.S al-Muzammil: 4. Tarti>l di sini identik dengan penafsiran secara tematik, yaitu mengambil ayatayat yang saling berhubungan dalam satu tema dan merangkainya satu dengan yang lainnya secara berurutan. Hal ini dilakukan Karena tematema al-Qur’a>n terletak secara terpisah-pisah dalam berbagai surat. Dengan demikian, seorang mufassir mendapatkan hasil yang baik dan konsep yang utuh.231 Dengan kata lain, prinsip ini sejalan dengan prinsip ‚ al-Qur’a>n Yufassiru Ba’d}uhu> Ba’d}an‛ (sebagian ayat al-Qur’a>n menafsiri ayat yang lain) yang sebenarnya sudah muncul sejak awal Islam, namun baru diaplikasikan secara sistematis pada abad keduapuluh yang populer dengan istilah Tafsir Maud}u>’i.232 Muh}ammad Shah}ru>r berpandangan bahwa keharusan menggunakan Tarti>l hanya berlaku untuk memahami al-Qur’a>n saja, tidak untuk Umm al-Kita>b.233 Mengapa demikian? Muh}ammad Shah}ru>r tidak menjelaskan secara pasti. Padahal prinsip ini juga bisa diaplikasikan pada Umm al-Kita>b, yaitu ayat-ayat hukum. Setidaknya metode tarti>l atau tematik juga pernah dilakukan oleh Faz}lur Rah}man yang tertulis dalam bukunya Mayor Themes of The Qur’a>n. Misalnya tentang poligami.234 Di samping itu, hal yang tidak boleh diabaikan menurut Muh}ammad Shah}ru>r adalah prinsip anti-atomistic, yakni menghindari pembacaan secara sepotong-sepotong (ta’diyyah), mengingat ayat alQur’a>n masing-masing memuat sebuah pemikiran yang utuh, tiap ayat adalah satuan tema sempurna yang berkait dan saling menyempurnakan (integral). Prinsip ini didasarkan pada Q.S: al-H{ijr: 91. Ayat ini menunjukkan arti ‚pembagian yang tidak dapat dibagi lagi‛. Oleh karena itulah al-Qur’a>n tidak boleh dibagi-bagi, sehingga diperoleh konsep yang menyeluruh dan holistic.235 Jika ditarik ke dalam ilmu filsafat, maka istilah tarti>l atau tematik lebih dikenal dengan istilah holistica. Ia merupakan corak khas dan suatu kelebihan dalam konsepsi filosofis, sebab filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Sebuah obyek kajian tidak hanya dilihat 231
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 197. Sahiron Shamsuddin, ‚ Metode Intratekstualitas Muh}ammad Shah}ru>r dalam Penafsiran al-Qur’a>n‛, dalam buku Abdul Mustaqim dan Sahiron Shamsuddin (ed.). 233 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 198. 234 Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’a>n, terj. Mayor Themes of the Qur’a>n (Bandung: Pustaka, 1996), 68-75. 235 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 198. 232
74 secara atomistic, yakni terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. Dengan kata lain, pandangan menyeluruh atau juga disebut totalitas merupakan pandangan terhadap obyek dalam kesinambungannya dan dalam satu totalitas. Oleh karena itu, Descartes mengatakan bahwa tidak ada kebenaran yang terisolasi, melainkan setiap pemahaman dihubungkan dalam suatu pembicaraan menyeluruh.236 Pada akhirnya, hasil dari pembacaan secara Tarti>l atau holistic ini diharapkan mampu menjawab tantangan dan memberikan solusi alternative bagi problematika kontemporer. Hal ini pula nantinya yang mendasari peletakan prinsip bahwa penafsiran harus selalu up to date. 4. Prinsip Penafsiran yang Up to Date Muh}ammad Shah}ru>r berpandangan bahwa al-Tanzi>l al-Haki>m (al-Qur’a>n) memiliki kesesuaian dan memiliki arti penting dalam kehidupan (signifikansi). Ia adalah benar dan sesuai dengan realitas dan aturan-aturan alam, sehingga ketika ditafsirkan, ia selalu selaras dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Ia juga tidak sama dengan sya’ir-sya’ir yang muncul dari alam khayya>li> dan bersifat relative. Q.S: al H{a>qqah: 41, Q.S: Ya>si>n: 69 menegaskan bahwa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muh}ammad SAW bukanlah sya’ir. Implikasinya adalah metode yang digunakan untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’a>n, bukan metode yang digunakan terhadap sya’ir, 237 karena keduanya jelas berbeda. Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r sangat menyayangkan terhadap sebagian umat Islam yang masih menyamakan al-Qur’a>n dengan teks sastra. 238 Artinya Muh}ammad Shah}ru>r menilai bahwa mengkaji teks al-Qur’a>n dengan menggunakan pendekatan sastra sama saja dengan menyetarakannya teks-teks sastra biasa, sehingga nilai sakralitas teks menjadi hilang. Dengan demikian, pandangan ini secara tidak langsung merupakan kritik Muh}ammad Shah}ru>r terhadap model pendekatan sastra yang digunakan untuk mengkaji al-Qur’a>n. Secara historis, model pendekatan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, setidaknya pendekatan ini telah dipergunakan sejak abad pertama Islam oleh ‘Abd al-La>h b. ‘Abba>s (w. 68 H/687 M); dengan cara menyajikan sya’ir-sya’ir pra-Islam untuk menafsirkan beberapa teks al-Qur’a>n, sebab ada 236
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 46-47. 237 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 191. 238 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 191.
75 beberapa kata dalam al-Qur’a>n yang dianggap asing. 239 Kemudian pendekatan ini diikuti oleh beberapa ulama lain, terutama Abu> ‘Ubaidah (w. 210 H/825 M), al-Ja>h}iz (255H/ 869M), al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r (w. 415 H/ 1024 M), dan al-Zamakhshari> (w. 538H/ 1144 M). Kemudian dalam masa selanjutnya pendekatan semacam ini tidak popular, terutama setelah dikritik oleh Muh}ammad ‘Abduh, dengan alasan bahwa al-Qur’a>n bukanlah kitab sastra, tetapi kitab petunjuk. Oleh karena itu, menurutnya, tidak seyogyanya sastrawan menafsirkan al-Qur’a>n dengan keahlian sastranya. Apa yang terjadi pada awal tahun 60-an merupakan geliat awal bagi pendekatan ini, yang ditandai dengan kritik Ami>n alKhulli> (1930- 1967) terhadap pernyataan ‘Abduh. Menurut al-Khulli>, seseorang tidak akan mendapatkan hidayah al-Qur’a>n tanpa mengetahui makna literal teks sebagaimana ia dipahami pada masa awal pewahyuannya. Kemudian pendekatan ini digunakan oleh Khalafullah, Bintu al-Sha>t}i’ dan Nas}r H{ami>d Abu> Zaid.240 Menurut penulis, pendekatan sastra bukan berarti menyamakan teks al-Qur’a>n dengan teks sastra. Tetapi kenyataannya teks al-Qur’a>n ketika dilihat dari kacamata sastra oleh seorang yang ahli dalam bidang sastra, al-Qur’a>n memiliki nilai keindahan bahasa dan sastra yang sangat tinggi. Oleh karena itu wajar bila kajian al-Qur’a>n didekati dengan pendekatan sastra, sesuai dengan spesialisasi ilmu yang dibidangi oleh orang yang mengkajinya. Sebagaimana al-Qur’a>n memiliki kandungan informasi dan petunjuk ilmiah, maka al-Qur’a>n juga layak untuk didekati dengan ilmu pengetahuan sains modern, tanpa harus mengatakan bahwa al-Qur’a>n adalah buku ilmiah. Memang al-Qur’a>n bukan kitab sya’ir yang bersifat relative dan hanya diperuntukkan bagi para ahli sya’ir, tetapi ia juga bersifat universal untuk seluruh makhluk di alam semesta. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar al-Qur’a>n yang S}a>lih} likulli Zama>m wa Maka>n yang kemudian mendorong Muh}ammad Shah}ru>r untuk memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan kepada generasi Islam saat ini dengan anggapan bahwa Nabi Muh}ammad SAW baru saja
239
Lihat Abu> ‘Abd al-La>h Muh}ammad b. Muh}ammad al-Ans}a>ri> al-Qurt}u>bi>, alJa>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah: 1968), 56. Lihat juga John Wansbrough, Qur’anic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), 217. 240 M. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’a>n; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), 53-54.
76 wafat kemarin. 241 Tetapi hal ini tidak secara otomatis menafikan pentingnya pendekatan sastra untuk mengkaji al-Qur’a>n. Bagi Muh}ammad Shah}ru>r al-Tanzi>l al-H{aki>m merupakan lembaran-lembaran yang mengandung Nubuwwah sekaligus Risa>lah. Ayat-ayat Nubuwwah menjelaskan tentang norma-norma alam (nawa>mi>s al-kaun) dan aturan-aturannya serta berisi pula tentang haqq dan bat}il. Ia adalah ayat-ayat Mutasha>biha>t yang tunduk pada teori: ‚Thaba>t al-Nas}s} wa H{araka>t al-Muh}tawa>‛ dan memungkinkan untuk melakukan kajian ulang terhadapnya sesuai dengan perkembangan system ilmu pengetahuan yang berlaku dalam perjalanan masa yang berkesinambungan. Sementara ayat-ayat Risa>lah berisi penjelasan tentang hukum, perintah, larangan, dan berisi tentang ketaatan dan kedurhakaan. Risa>lah adalah ayat-ayat Muh}kama>t yang tidak mungkin berlaku dan cocok bagi seluruh ruang dan waktu, kecuali ia bersifat H{udu>diyyah, elastis dan mampu menyesuaikan secara lentur dengan perubahan ruang dan waktu. Dengan demikian, Risa>lah menerima ijtihad dan penyesuaian terhadap kondisi obyektif dalam masyarakat.242 Implikasi teoritis dari pandangan ini adalah bahwa al-Tanzi>l alH{aki>m selalu bersifat kontekstual untuk ditafsirkan, yang pada gilirannya mengharuskan umat Islam untuk melakukan desakralisasi produk-produk penafsiran generasi masa lalu, dan di saat yang sama juga melakukan sakralisasi teks al-Qur’a>n. 5. Prinsip Rasionalitas Penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r dalam mengenalkan prinsip ini menegaskan bahwa, sebuah penafsiran harus memiliki dua prinsip yang harus dipenuhi; pertama, wahyu tidak bertentangan dengan rasio,243 kedua, ia juga tidak bertentangan dengan realitas dan ilmu pengetahuan.244 Jadi, seorang Mufassir harus berdialog dengan al-Qur’a>n melalui dua arah; pertama berhadapan dengan ‚teks tertulis‛ yakni teks alQur’a>n, dan kedua ‚teks terbuka‛ yang berupa alam semesta, dan pada
241
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 53. Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 191. 243 Bandingkan dengan prinsip rasionalitas penafsiran yang dijadikan prinsip oleh Muhamad ‘Abduh dan Rashid Rid}a. Lihat kajian Quraish Shihab, Rasionalitas alQur’a>n; Kajian Kritis atas Tafsir al-Mana>r (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 32-51. 244 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194. 242
77 akhirnya kebenaran sebuah penafsiran terletak pada kesesuaian antara keduanya.245 Pandangan ini selaras dengan formulasi konsep penafsiran ‚conformity to nature‛ yang dikembangkan oleh Ah}mad Khan Bahadur (1817-1898 M) dalam bukunya ‚Principles of Exegesis‛, bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara Word of God dan Work of God, serta keselarasan antara keduanya merupakan hal yang esensial.246 Oleh Karena itu, seluruh wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muh}ammad SAW merupakan bagian dari alam realitas dan alam rasional, dengan asumsi bahwa tidak ada sesuatupun dari benda material yang tidak dapat dipahami dengan akal. Dengan demikian, tidak ada satu ayat pun dari al-Kita>b yang tidak dapat dipahami oleh akal, baik pemahaman tersebut tercapai pada masa sekarang maupun di masa depan. Karena bagaimanapun juga akal manusia memiliki keterbatasan. Dengan kata lain, jika ada sebuah atau beberapa ayat yang sulit diterima oleh akal untuk saat ini, sebenarnya hal itu hanyalah masalah waktu, yakni pemahaman yang tertunda. Kiranya perspektif ini lebih baik dan logis daripada harus mengatakan bahwa al-Qur’a>n tidak rasional, sehingga tidak dapat dipahami oleh akal manusia.247 Dengan berpegang pada prinsip ini, boleh jadi seorang Mufassir akan terjebak kepada anggapan bahwa semua penafsiran al-Qur’a>n harus bersifat rasional-positivistis.248 Tentu pandangan ini memiliki implikasi 245
Shah}ru>r mengatakan mengenai hal ini dalam sebuah wawancara dengan Much. Nur Ichwan: ‚Jika Tuhan menciptakan alam semesta, maka kita harus
melihatnya pula dalam kitab suci. Artinya, kitab suci ini adalah ‚kitab tertulis‛ yang diciptakan oleh Tuhan, dan alam semesta adalah ‚kitab terbuka‛ yang diciptakan oleh Tuhan juga. Saya harus melihat bahwa pesan yang pasti adalah sama. Apabila kedua kitab itu dari Tuhan, saya ingin melihat Tuhan di dalam keduanya. Kita tidak bisa mengabaikan electron di dalam kehidupan, meskipun kita tidak mendapati electron dalam al-Qur’a>n. Kita harus menjadikan hal ini sebagai pertimbangan. Inilah metodologi saya‛. Lihat Prof Dr Mohamad Shahrour, ‚Kita Tidak Memerlukan Hadis‛, terj. Mohamad Zaki Husein yang diambil dari majalah Ummat, No. 4 Thn. IV, 3 Agustus 1998/9 Rabiul Akhir 1419 H. Lihat, [email protected]. 246 Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis (Jakarta Selatan: Teraju, 2004), 92-93. 247 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194. 248 Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat bahwa kebenaran tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia. Oleh karena itu, rasio dipandang sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran juga sebagai sumber pengetahuan/ kebenaran. Kemudian aliran Rasionalisme Barat ini terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, rasionalisme ekstrem, yang berpendapat bahwa kebenaran hanya
78 teoritis yang cukup serius; yakni jika sebuah penafsiran dianggap tidak rasional, maka akan dianggap salah, karena tidak sesuai dengan akal, dan oleh karena itu harus ditolak. Padahal standar batas minimal atau batas maksimal antara rasional dan tidak rasional tidaklah memiliki ukuran yang pasti. Karena hal ini terkait erat dengan isi otak berdasarkan pengalaman hidupnya. Hal penting yang perlu disadari bahwa ada wilayah-wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh dimensi rasionalitas akal manusia. Bukan karena ia tidak rasional, akan tetapi karena ia bersifat metarasional; yakni di luar jangkauan akal. Misalnya tentang peristiwa Isra>’ Mi’ra>j yang menurut sebagian orang sulit untuk diterima oleh akal. 249 Atau tentang peristiwa terbelahnya bulan; Q.S: al-Qamar: 1, yang tidak dapat diterima oleh akal kaum Mushriq. 6. Prinsip Otonomi Teks Ja’far Dakk al-Ba>b menjelaskan bahwa dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’a>n Muh}ammad Shah}ru>r mengadopsi metode historis ilmiah. Dasar-dasar metode tersebut merupakan kesimpulan dari aliran linguistic Abu> ‘Ali al-Fari>si> 250 yang ciri-ciri umumnya merupakan perpaduan teori Ibnu Jinni> yang tertuang dalam bukunya; al-Khas}a>is}251 dan al-Jurja>ni> dalam bukunya Dala>il al-I’ja>z Fi> ‘Ilm al-Ma’a>ni>.252 Sebuah kajian linguistic yang memusatkan pada aspek structural teks, tidak saja mengesampingkan semua unsure ekstra-lingual, tetapi bersumber dari rasio manusia; Kedua, rasionalisme moderat, yang berpendapat bahwa kebenaran selain bersumber dari panca indera, wahyu atau lainnya. Sementara positivisme mempercayai bahwa manusia mengalami perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana, sampai yang modern, yaitu positif (jelas dan bisa digambarkan serta bermanfaat). Pada tahap ini manusia hanya mempercayai yang riil saja berdasarkan ilmu positif yang didasarkan pada pengalaman (observasi) dan percobaan langsung (eksperimentasi). Melalui dua pembuktian ini, segala sesuatu yang berbau metafisis (sesuatu yang tidak bisa digambarkan secara riil) harus dibuang, karena tidak bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut. Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 169-184. 249 Ahmad Baiquni, al-Qur’an; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1995), 108-117. 250 Abu> ali> al-Fa>risi>, al-S{a>h}ibi>, Tah}qi>q: Ah}mad S{aqr (Kairo: ‘I<sa> al-Ba>b alH{alibi>, tth). 251 Abu> al-Fath} ‘Uthma>n b. Jinni>, al-Khas}a>is, Tah}qi>q: M. ‘Ali al-Najja>r (Beirut: ‘Ab, ‚al-Manhaj al-Lughawi> Fi> al-Kita>b‛; Kata Pengantar dalam buku karya Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 20. Lihat ‘Abd al-Qa>hir al-Jurja>ni>, Dala>il al-I’ja>z Fi ‘Ilm al-Ma’a>ni> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
79 juga melepaskan obyek studi dari dimensi waktu.253 Sebab, unsure-unsur dalam suatu struktur teks itu saling berkaitan, dan masing-masing unsure itu mempunyai makna atau fungsi dalam hubungannya dengan unsure yang lain, sehingga membentuk ‚dunia sendiri‛. Bagi penganut paham strukturalisme linguistic, bahasa menemukan puncak perwujudannya pada tulisan. Hal ini ada benarnya, mengingat sebuah kebenaran akan bertahan lebih abadi dan komunikatif ketika diekspresikan ke dalam bentuk bahasa tulis, dan bukan bahasa person. Teks memiliki jangkauan lebih jauh daripada ucapan. Teks memiliki ‚emosi‛ yang stabil, sementara kebenaran yang diucapkan oleh pembicara mudah dipengaruhi oleh situasi psikologisnya. 254 Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Roland Barthes bahwa tulisan adalah kebenaran bukan milik si penulis, tetapi kebenaran milik bahasa (Writing is the truth not of the person [of the author], but of language).255 Dengan demikian, kajian semacam ini membawa dampak pada pelepasan sebuah teks dari konteks sejarah dan social-budayanya. Teks hanya terbang bersama pembacanya dalam present context. Teks memiliki kehidupannya yang otonom, melalui hubungan yang berkembang antara teks itu dengan para pembacanya.256 Jika ditarik ke dalam kajian al-Qur’a>n, maka implikasinya adalah mengkaji al-Qur’a>n tanpa perlu mempertimbangkan historical context yang mengiringi turunnya wahyu. Dengan kata lain, menolak konsep Naskh-Mansu>kh dan Asba>b al-Nuzu>l yang selama ini menjadi bagian dari ilmu-ilmu al-Qur’a>n. Muh}ammad Shah}ru>r menolak konsep Na>si>kh di antara lembaranlembaran mus}h}af al-Tanzi>l al-Haki>m sebagaimana selama ini diyakini 253
Dalam kajian linguistic dikenal istilah pendekatan sinkronis dan diakronis. Secara sederhana sinkroni bisa dijelaskan sebagai ‚bertepatan menurut waktu‛ dan diakroni sebagai ‚menelusuri waktu‛. Diakroni adalah peninjauan historis, sedangkan sinkroni menunjukkan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni adalah peninjauan ahistoris. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), 204-205. 254 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), 179. 255 Roland Barthes, Petualangan Semiologi, terjemah dari L’aventure Semiologique, oleh Stephanus Aswar Herwinarko (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 8. 256 ‘Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKIS, 2003), xxiii. Lihat juga ‘Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’a>n, terj. M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKIS, 2003), 9.
80 oleh para ulama ulumul Qur’a>n,257 yang salah satu di antaranya Na>si>kh al-H{ukm, namun bacaannya tetap. Misalnya tentang tahap pengharaman hukum khamr.258 Menurut Muh}ammad Shah}ru>r Na>si>kh-Mansu>kh tidak mungkin terjadi, sebab setiap ayat memiliki area sendiri dan setiap hukum memiliki ruang untuk pengalamannya. Naskh-Mansukh tidaklah terjadi antar ayat dalam al-Qur’a>n, tetapi hanya ada pada shari’at antar Nabi.259 Penolakan ini sebenarnya tidak wajar, sebab seseorang tidak boleh berpegang pada pendapat Mufassir yang awam dan hasil Ijtihad seorang Mujtahid yang tidak berdasarkan riwayat yang S{ah}i>h} karena masalah konsep Abrogasi- Abrogated (Na>si>kh wa al-Mansu>kh) mengandung penetapan dan penghapusan hukum dari teks yang hanya terjadi/ ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Ibnu Shiha>b al-Zuhri (w. 742 M) menyebut 42 ayat yang Abrogated, al-Nuh}a>s (w. 949 M) menyebut hanya 138 ayat, Ibnu Salamah (w. 1020 M) menyebut 238 ayat. Tren semacam ini berlangsung hingga generasi abad berikutnya; Ibnu al‘Ata>qi (w. 308 M) menyebut 231 ayat. Pada masa al-S{uyut}i> (w. 1505 M) menyusut menjadi 20 ayat, sampai pada masa Shah Wali Allah alDihlawi (w. 1762 M) angka itu lebih jauh lagi terkurangi menjadi 5 ayat.
257
Para Ulama tidak memperbolehkan seseorang menafsirkan al-Qur’a>n sebelum ia mengetahui mana ayat yang Na>sikh dan mana yang Mansu>kh. Dalam hal ini mereka sepakat bahwa hal tersebut terjadi dalam al-Qur’a>n. Lihat al-Zarkashi>, alBurha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, tahqi>q: Muh}ammad Abu> al-Fad}l Ibra>hi>m (Beirut: Da>r alMa’rifah, 1391 H), 29. Lihat juga al-Suyut}i, al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Tura>th, tth), 59. Selanjutnya al-Zarqa>ni> mengemukakan bahwa masalah Nasi>kh- Mansu>kh merupakan hal yang penting untuk diketahui, setidaknya karena lima hal; pertama, pembahasannyaluas dan membutuhkan penalaran yang dalam; kedua, membutuhkan ketelitian dan penguasaan materi. Dan ini menjadi pemicu perselisihan di kalangan Us}u>liyyi>n; ketiga, musuh-musuh Islam menjadikan Na>sikh-Mansu>kh sebagai alat untuk mengobrak-abrik tatanan shari’at Islam; keempat, sesungguhnya menguasai persoalan Na>sikh-Mansu>kh akan dapat menyingkap pentahapan Tashri>’ islam, dan akan mengetahui hikmah Allah dalam mendidik, mengatur, dan menguji makhluk-Nya, dan kelima, mengetahui Nasi>kh-Mansu>kh menjadi rukun penting dalam memahami Islam dan untuk mendapatkan petunjuk tentang hukum yang benar. Lihat al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 188. 258 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Manshu>ra>t al-‘As}r alH{adi>th, 1973), 238. Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 35. 259 Muh}ammad Shah}ru>r, Dira>sa>t Isla>miyah Mu’a>s}irah fi al-Daulah wa alMujtama’ (Damaskus: Al-Aha>li, 1994), 271-301.
81 Terakhir pada masa Sayyid ah}mad Khan Bahadur (w. 1898 M) anggapan adanya ayat-ayat yang abrogated sudah tidak ada lagi.260 Selain menolak konsep Na>si>kh, Muh}ammad Shah}ru>r juga menolak Asba>b al-Nuzu>l yang dipandangnya sebagai dua saudara kembar. Baginya kedua konsep ini merupakan cacat terbesar dalam Ulu>m al-Qur’a>n. 261 Mungkin inilah yang dimaksud oleh Muh}ammad Shah}ru>r dengan aksioma terbalik (al-Musallama>t al-ma’ku>sah); yakni meyakini suatu pandangan yang dianggap benar, padahal salah. Bagi Muh}ammad Shah}ru>r, Asba>b al-Nuzu>l yang menjadi pedoman mayoritas masyarakat Muslim hingga saat ini hanyalah menjelaskan sejarah bentuk penafsiran pertama atau pemahaman pada abad ketujuh dan proses interaksi antara manusia dengan ayat-ayat alQur’a>n pada saat itu. Sedangkan pada saat ini, yakni abad keduapuluh, hal tersebut sudah tidak diperlukan lagi, sebab makna al-Qur’a>n ‚eksis pada dirinya sendiri‛; memiliki ‚kondisi berada‛, sehingga ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah. Sementara Asba>b al-Nuzu>l, sangat terikat dengan ruang dan waktu personal pada saat itu.262 Dengan kata lain, Asba>b al-Nuzu>l yang menjadi pegangan mayoritas Muslim tunduk pada ‚kondisi berproses‛ dan ‚kondisi menjadi‛. Dengan demikian, teks al-Qur’a>n bersifat otonom, sudah cukup dirinya sendiri yang berbicara, sehingga Asba>b al-Nuzu>l tidak diperlukan lagi dalam proses penafsiran. Hal ini berbeda dengan Faz}lur Rah}man yang memandang bahwa teks al-Qur’a>n tidaklah bersifat otonom, sehingga tidak hanya Asba>b al-Nuzu>l dalam arti micro , tetapi juga secara macro perlu dikuasai benar untuk membantu proses penafsiran al-Qur’a>n. 263 Abu> Zaid juga menambahkan bahwa dalam mengkaji al-Qur’a>n, bagaimanapun juga tidak bisa terpisahkan dari struktur budaya tempat ia terbentuk,264 sehingga aspek konteks historis tidak bisa diabaikan dalam proses penafsiran. Dengan demikian, secara teoritis bisa disimpulkan bahwa pemahaman yang baik terhadap teks al-Qur’a>n tidak bisa dilepaskan dari 260
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, ‚A Contextual Approach to the Qur’a>n‛, dalam Abdullah Saeed (ed.), Approach to the Qur’a>n in Contemporary Indonesia (London: Oxford University Press, 2005), 111-112. 261 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 230. 262 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 230. 263 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1998), 5-7. 264 Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran (Yogyakarta: LKiS, 2003), 112.
82 perangkat metodis, yakni Sosio-Historical Context yang mengiringi munculnya teks tersebut. Sebagaimana pandangan yang digambarkan oleh Q.S: al-Isra>’: 106 bahwa al-Qur’a>n tidak sekaligus turun, melainkan secara berangsur-angsur, sesuai dengan konteks kebutuhan situasikondisi.
83
BAB IV APLIKASI METODOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL MUH{AMMAD SHAH{RUr, maka pada bab ini penulis akan membahas tentang metodologi Tafsir Kontekstual yang digunakan oleh Muh}ammad Shah}ru>r dalam menafsirkan ayat-ayat al-Risa>lah dan al-Nubuwwah serta implikasi/ dampak dari pengaplikasian metodologi tersebut, yang mau tidak mau akan berdampak terhadap penolakan Muh}ammad Shah}ru>r akan pemakaian Asba>b al-Nuzu>l dalam menafsirkan al-Qur’a>n. D. Metodologi Tafsir Kontekstual Atas Konsep al-Risa>lah dan al-
Nubuwwah Setidaknya Muh}ammad Shah}ru>r menawarkan dua metode Tafsir Kontekstual; Pertama, metode takwil yang dimaksudkan untuk memahami ayat-ayat Nubuwwah yang inti kandungannya adalah ilmu pengetahuan atau science; dan kedua, metode ijtihad dengan menggunakan teori H{udu>d yang dimaksudkan untuk memahami ayatayat hukum dan membuktikan elastisitas hukum Islam. 1. Metode Takwil Metode Takwil265 yang diusung oleh Muh}ammad Shah}ru>r paling tidak memiliki tendensi untuk membebaskan diri dari bayang-bayang 265
Secara historis kata Takwil sudah ada pada zaman Nabi, yakni ketika mendo’akan Ibnu ‘Abbas agar dikaruniai pemahaman dalam urusan agama. Lihat alBuha>ri, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, tah}qi>q Mus}tafa> Di>b (Beirut: Da>r Ibni Kathi>r: 1987), 66. Istilah Takwi>l dahulu masih dianggap sama dengan istilah tafsi>r, lihat misalnya tafsir karya Ibnu Jari>r al-T{abari>, Tafsir al-T{abari, (ttp;tth). Kemudian kedua istilah tersebut menjadi kata yang berbeda. Al-Ra>ghib al-Is}faha>ni> berpandangan bahwa tafsir lebih umum daripada takwi>l. Jika tafsir lebih menitik beratkan pada sisi lahiriyah lafaz} dan mufradatnya, maka takwil lebih menekankan pada sisi batiniyah; makna dan kalimatnya. Al-Zarkashi>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: al-Maktaba>t al‘As}riyyah: 1972), 167.
84 produk penafsiran masa lalu yang tunduk pada ‚kondisi berproses‛ dan ‚kondisi menjadi‛, sehingga bersifat relative-lokal-temporal. Dan di saat yang sama, Muh}ammad Shah}ru>r ingin teks yang memiliki ‚kondisi berada‛ kembali pada dirinya sendiri, sehingga ia bersifat absolutuniversal. Selanjutnya Muh}ammad Shah}ru>r menawarkan metode takwil untuk memahami ayat-ayat al-Nubuwwah dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebelumnya, Muh}ammad Shah}ru>r telah menegaskan bahwa al-Qur’a>n dan al-Sab’ al-Matha>ni> merupakan bagian dari Mutasha>biha>t, yang mana karakter inti Tasa>buh adalah relativitas pemahaman terhadap realitas obyektif yang mutlak dan tersusun dalam redaksi teks yang tetap.266 Kata ta’wi>l merupakan bentuk derivasi dari a-w-l yang memiliki kandungan dua arti yang berlawanan. Kalimat ‚awwalu al-amri‛ (hal pertama) berarti kebalikan dari kalimat ‚akhiru al-amri‛ (hal terakhir). Pengertian pertama merujuk pada Q.S: al-H{adi>d: 2: ‚ huwa al-awwalu wa al-a>khiru‛ 267 . Sedangkan pengertian sebaliknya, yaitu ‚akhiru alamri‛ dapat dipahami dari kalimat: ‚Inna al-Sariqata Tu’awwalu bi S}a>h}ibiha> ila> al-Sijni‛ (sesungguhnya tindak pencurian itu telah berakhir dengan dimasukkannya pelaku pencurian ke dalam penjara). Dengan demikian, ta’wi>l diartikan sebagai makna akhir dari suatu ayat, baik berupa hukum rasio-teoritis maupun hakekat objektif-empiris. Penakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n yang tersusun dalam redaksi teoritis, akan mengahsilkan sebuah hukum yang sesuai dengan akal dan realitas. 268 Jadi, metode ta’wi>l yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r hendak merasionalkan atau membuktikan bahwa informasi berupa
Pemikir kontemporer Nas}r H{a>mid Abu> Zaid juga membedakan kedua istilah itu. Menurutnya terma tafsir lebih bertumpu pada naql atau riwayat dan pengungkapannya hanya dari aspek eksternal teks, dan selalu membutuhkan mediator untuk memahaminya, sementara takwi>l lebih menekankan peran pembaca dalam mengungkap makna internal teks dan tidak selalu membutuhkan mediator, tetapi lebih bergantung kepada gerak nalar si penakwil. Dengan kata lain, takwi>l berkaitan dengan istinba>t}, sementara tafsir didominasi oleh naql dan riwayat. Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}; Dira>sah Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Thaqa>fah al-‘Arabi>: 1998), 236. 266 Muh}ammad Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah (Damaskus: al-Aha>li: 1992), 191, 194. 267 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194 268 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194
85 petunjuk-petunjuk ilmiah yang terkandung dalam ayat-ayat Mutasha>biha>t sesuai dengan realitas empiris dan ilmu pengetahuan.269 Setidaknya ada dua prinsip dasar yang harus dipahami ketika menggunakan metode ta’wi>l dalam sebuah pembacaan. Pertama, wahyu tidak bertentangan dengan akal (revelation does not contradict with reason), dan kedua wahyu tidak bertentangan dengan realitas (revelation does not contradict with reality). 270 Dengan memahami kedua prinsip ini, maka informasi berupa petunjuk-petunjuk ilmiah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’a>n berbanding lurus dengan realitas empiris dan teori ilmu pengetahuan. Jadi, takwil merupakan proses pengalihan teks kitab suci ke dalam bentuk yang bisa dijangkau kesadaran manusia baik secara teoritis maupun realitas empiris. Mena’wilkan ayat al-Qur’a>n artinya menjadikan ayat yang sebelumnya berupa teks ke dalam bentuk konkrit di alam realitas (bas}a’> ir).271 Pengertian di atas diperoleh Muh}ammad Shah}ru>r dari pemahaman terhadap Q.S: Ali-Imra>n: 7, yang menurutnya pihak yang dapat mengetahui takwil ayat-ayat Mutasha>biha>t selain Allah adalah alRa>sikhu>na fi al-‘Ilmi, yaitu himpunan cendekiawan seperti ahli Fisika, ahli Matematika, ahli Kimia, Filosof secara Kolektif. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, dalam hal ini ulama Fiqh tidak perlu dimasukkan dalam kelompok ini, sebab kapasitas mereka hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat Umm al-Kita>b yang berisi tentang hukum (Muh}kama>t). Kemudian proses dimulai dengan penggalian teori-teori filosofis-ilmiah berdasarkan struktur ilmu pengetahuan yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’a>n, yang masing-masing memahaminya berdasarkan spesifikasi keilmuan dan dibatasi epistem pengetahuannya.272 Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, al-Nubuwwah dan al-Risa>lah berjalan beriringan. Dalam kehidupan, manusia membutuhkan akumulasi pengetahuan hingga menjadi loncatan tashri>’. Nubuwwah adalah Bandingkan dengan pengertian ta’wi>l yang dijelaskan oleh Jala>l al-Di>n alSuyu>t}i> yang menyatakan bahwa ta’wi>l merupakan penjelasan makna yang terkandung dalam susunan kalimat menurut kesimpulan para Ulama yang memiliki ilmu pengetahuan untuk dapat menafsirkannya. Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> Ulu>m alQur’a>n (Beirut: Da>r Ihya>’al-‘Ulum: tth). 270 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194 271 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 192-193. 272 Bandingkan dengan penafsiran tentang ta’wi>l oleh Nas}r H{ami>d Abu> Zaid, Falsafat al-Ta’wi>l ( Bairut: Da>r al-Wahdah: 1983). 269
86 loncatan ilmu pengetahuan, ketika pengetahuan semakin berakumulasi, maka timbul tuntutan untuk menyusun undang-undang yang sesuai.273 Dengan kata lain, loncatan ilmu pengetahuan memicu loncatan penetapan hukum, sehingga posisi ayat-ayat Umm al-Kita>b sebagai alRisa>lah akan selalu mengiringi ayat-ayat al-Qur’a>n sebagai al-
Nubuwwah. Inilah salah satu implikasi nyata dari prinsip diferensiasi antara al-Risa>lah dan al-Nubuwwah, yang berlanjut pada dikotomi antar ilmuwan; bidang agama dan ilmu umum atau eksakta dalam proses penafsiran.274 Perbedaan antara konsep Nubuwwah dan Risa>lah dapat dilihat dari tabel berikut:275 Kriteria
Nubuwwah
Risalah
Karakter
Terdiri dari ilmu-ilmu Terdiri dari hukumyang obyektif (maudui) hukum (al-ahkam) yang subyektif (Z{ati)
fungsi
Pembeda antara yang hak dan yang batil Memposisikan Muh}ammad SAW sebagai seorang Nabi
273
Pembeda antara yang halal dan yang haram Memposisikan Muh}ammad SAW sebagai Rasul
Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 81. Menurut Amin Abdullah, diferensiasi hasil dari modernisme dan sekularisme, yang keduanya menghendaki pembedaan yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan. Menurutnya, hal ini tidak lagi sesuai dengan zaman. Spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal justru mempersempit horizon berpikir. Oleh karena itu diperlukan perubahan, yaitu gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya dediferensiasi, yakni penyatuan dan rujuk kembali. Jika diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sector-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dan sector-sektor kehidupan lain, termasuk agamadan ilmu. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi; ‚ Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2006), 102-103. 275 Burhanuddin, ‚ Kritik Metodologi Muh}ammad Shah}ru>r dalam Buku alKita>b wa al-Qur’a>n : Qira>’ah Mu’a>s}irah‛, Tesis Fak. Us}u>luddi>n IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: 2004), 57. 274
87 Muatan
Aturan Universal dalam semesta, aturan sejarah, ah}san al-Qasas, aturan particular fenomena alam, ah}san al-Hadith (al-Sab’u al-Matha>ni>), ayat-ayat penjelas (Tafs}i>l al-Kita>b)
H{udu>d, ibadat, alakhlak (al was}aya), ta’limat yang bersifat khusus atau umum, namun tidak termasuk dalam shari’at, dan informasi ajaran yang pernah diterapkan pada Nabi, bersifat lokal dan temporal.
Seharusnya ayat-ayat al-Kita>b dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh, sehingga dalam mengkajinya tidak perlu memisahkan antara ilmuwan yang satu dengan yang lainnya. Dengan menyatukan mereka duduk dalam ‚satu bangku‛, maka hasil kajian meminjam istilah Amin Abdullah diharapkan lebih integrative-interkonektif, tidak sempit dan kerdil. Dengan demikian, prinsip tarti>l dan ‘adam al-ta’d}iyyah tidak mengabaikan unsur eksternal al-Qur’a>n; yakni berbagai disiplin keilmuan. Sebagai contoh ketika diadakan pengkajian tentang masalah kejadian manusia dari cloning. Cloning merupakan perbanyakan sel atau organisme secara aseksual. Hasil cloning adalah klon, yaitu populasi yang berasal dari satu sel atau organisme yang mempunyai rangkaian kromosom yang sama dan sifat yang identik dengan induk asalnya.276 Cloning manusia berarti suatu proses ‚penciptaan‛ manusia.277 Kajian seperti ini tentu tidak hanya melibatkan ilmuwan ahli bioteknologi saja, tetapi ahli fikih dan usul fikih juga harus dilibatkan untuk duduk bersama guna menentukan hukumnya; bukan dalam tataran teoritis, tetapi juga dalam aplikatif. Karena bagaimanapun juga tindak276
Soleh Partaonan Daulay, Kloning dalam Perspektif Islam: Mencari Formulasi Ideal Relasi Sains dan Agama ( Jakarta: Teraju: 2005). Lihat juga Tim Perumus Fakultas Tekhnik ~UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1998), 167-174. 277 Kata ‚penciptaan‛ tentu berbeda jauh ketika disandingkan dengan kata ‚ilmuwan‛ dan ‚Tuhan‛.
88 tanduk manusia tidak ada yang lepas dari hukum. Ahli fikih tidak akan bisa menentukan hukumnya sebelum mengetahui detailnya proses aplikasi takwil ilmi tersebut. Fatwa MUI tentang pengharaman rokok tidak muncul begitu saja tanpa melibatkan para dokter dan ilmuwan lainnya, tetapi juga seyogyanya memperhatikan aspek ekonomis dan sosiologis yang melibatkan masyarakat petani tembakau. Dengan kata lain penulis hendak mengatakan perlunya menghindari keterjebakan pandangan untuk melakukan dikotomi keilmuan. Proses takwil dan ilmu pengetahuan akan bertambah maju seiring perkembangan zaman hingga hari kiamat. Pada saat itulah proses takwil terhadap setiap ayat yang terkait dengan alam semesta dan kehidupan ini akan mencapai garis finishnya, yaitu ketika ayat-ayat tersebut menjelma fenomena empiris yang dapat dipahami oleh akal.278 Dari penjelasan di atas Muh}ammad Shah}ru>r sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muh}ammad SAW belum melakukan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n. Karena al-Qur’a>n merupakan amanah yang harus beliau sampaikan kepada manusia tanpa menakwilkannya. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, beliau hanyalah menyajikan kunci-kunci pemahaman secara umum. Jika pun beliau melakukan takwil dan itu benar, maka hanya sesuai dengan generasi yang hidup bersama beliau. Dengan demikian, takwil beliau hanyalah bentuk pertama yang paling sederhana, bukan satu-satunya, sehingga menolak takwil yang lain yang pada akhirnya berakibat pada pembekuan gerak laju ilmu pengetahuan.279 Mungkin maksud Muh}ammad Shah}ru>r semisal takwil Nabi mengenai kata ‚al-ra’ad‛ pada Q.S: al-Ra’d: 13, seperti berikut: حذشُا عثذ اهلل تٍ عثذ انرحًٍ اخثرَا اتٕ َعٍى عٍ عثذ اهلل تٍ انٕنٍذ:لال انرريٍذي الثهد: ٔكاٌ ٌكٌٕ فً تًُ عجم عٍ تمٍر تٍ شٓاب عٍ سعٍذ تٍ جثٍر عٍ اتٍ عثاش لال ٌٕٓد انى انُثً صهى اهلل عهٍّ ٔ سهى فمانٕا ٌا اتا انماسى اخثرَا عٍ انرعذ يا ْٕ؟ لال ياسسك يٍ ايالئكّ يٕكم تاانسحاب يعّ يخارٌك يٍ َار ٌسٕق تٓا انسحاب حٍس شا اهلل فمانٕا فًا ْادا انصٕخ انذي َسًح؟ لال زجرِ تا انسحاب ادا زجرِ حرى ٌُرًٓ انى حٍس اير لانٕا ..غرٌة ٍحس حذٌس ْادا لال....صذلد Kalimat yang bergaris bawah artinya (wa Alla>h a’lam );…al-ra’d
adalah salah satu malaikat yang diserahi tugas oleh Allah untuk menggiring awan, yang ditangannya ada sumber-sumber api untuk 278
Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 192. Lihat juga Al-Nu’ma>n bin Muh}ammad, Ta’wi>l al-da’aim (Mekah: Da>r al-Ma’a>rif: 1969). 279 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 60.
89
menghalau awan itu dan menggiringnya ke mana saja Allah menghendaki…‛. Mereka (Yahudi ) bertanya lagi: ‚Apa suara yang terdengar itu?‛ Rasulullah SAW menjawab: ‚Itulah suara malaikat tersebut‛.280 Takwil di atas tampak jelas kental dengan nuansa teologisnya, dan di saat yang sama jika dilihat dari perspektif sains modern, maka bisa jadi takwil tersebut kurang bisa diterima atau dalam bahasa Muh}ammad Shah}ru>r ta’wi>la>tuhu qas}i>rah, yang menurutnya justru bisa menghancurkan bangunan Islam.281 Menurut penulis, hendaknya mufassir tidak perlu tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa takwil Nabi SAW tidak relevan lagi untuk saat ini, sehingga dapat mengakibatkan terjebak pada lokalitastemporalitas. Justru, sikap tergesa-gesa dalam menolak sesuatu menunjukkan sempitnya pengetahuan dan horizon berpikir seseotang. Pertanyaannya adalah apakah tidak mungkin malaikat berwujud petir? Padahal ia bisa saja berwujud manusia, 282 bukankah ia juga berbincang-bincang di mendung?.283 Di sinilah wilayah metarasional; di mana rasionalitas akal manusia bisa jadi tidak menjangkaunya, kecuali hanya mengimaninya. Hendaknya penafsiran ilmiah ini tidak mengabaikan nuansa teologis dari teks suci yang ditafsirkan. Asumsinya, secara hakiki ‚alRa’d‛ merupakan salah satu malaikat yang diberi tugas untuk menggiring mendung, namun di saat yang sama, secara teoritis-ilmiah ia adalah suara yang berasal dari awan yang disebabkan adanya benturan antar awan karena pengaruh angin yang membuat awan saling berbenturan. Sedangkan sebab terjadinya suara adalah api yang bersentuhan dengan awan yang basah, sehingga menimbulkan goncangan hebat yang menyebabkan munculnya suara. Seperti halnya ketika api dipadamkan dengan air, maka akan terdengar suara yang menghentak, akibat adanya gerakan yang mendadak yang amat cepat dan keras, yang mengakibatkan sebagian ruang menjadi hampa udara. 280
Al-Tirmidhi>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Tirmidhi>, tah}qi>q: Ah}mad Muh}ammad Sha>kir (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>: tth), Kitab; Tafsi>r al-Qur’a>n, Bab; S{urat al-Ra’d, hadith no: 3117, 294. 281 Shah{ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 60. 282 Al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, Tah}qi>q: Mus}}tafa Di>b (Beirut: Da>r Ibni Kathi>r: 1987), Kita> al-I<ma>n, Ba>b Su’a>l Jibri>l al-Nabi ‘An al-I<ma>n wa al-Isla>m, 27. 283 Al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, Juz III, Kita>b Bad al-Khalq, Ba>b Dhikr alMala>ikat, 1175, hadith no: 3038-3114.
90 Gesekan yang amat dahsyat dan cepat tersebut mengakibatkan tabrakan yang luar biasa, sehingga muncullah suara. 284 Namun juga tidak menutup kemungkinan bila malaikat ditafsirkan sebagai energi alam. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, aplikasi metode takwil dapat dilakukan dengan dua cara; Pertama, ta’wil hissi> (empiris), yaitu menakwilkan sebagian ayat-ayat al-Qur’a>n menjadi fenomena empiris yang dapat dipahami oleh akal (bas}ai> r), yakni kesesuaian langsung dengan realitas atau kebenaran obyektif. Hal ini sejalan dengan Q.S alAn’a>m: 67.285 Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa setiap informasi yang tedapat dalam al-Qur’a>n akan datang saatnya ketika informasi tersebut benar-benar terjadi.286 Dengan kata lain, ta’wi>l hissi> ini bersifat induktif- empiris, yakni berangkat dari realitas menuju teks. Inilah bentuk ta’wil yang paling kuat. Kedua, ta’wi>l naz}ari> (teoritis), yaitu takwi>l dengan cara melakukan penarikan kesimpulan atau perumusan teori filosofis-ilmiah secara deduktif terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n, berdasarkan latar belakang dan kapasitas keilmuan masing-masing penakwil. Dalam hal ini Muh}}ammad Shah}ru>r mengutip Q.S: Fus}s}ilat: 53 sebagai justifikasi bentuk takwil ini. Dalam ayat itu terdapat redaksi ‚sanuri>him‛ yang berasal dari isim mas}dar ‚al-ru’ya‛. Dari sini takwil bisa dipahami sebagai pengalihan objek abstrak ke dalam objek konkrit yang bisa ditangkap melalui salah satu aktivitas kognitif (fu’a>d) manusia yaitu pengetahuan terhadap objek konkrit melalui indera. 287 Jadi, metode takwi>l kedua ini bersifat deduktif; dari teks menuju realitas. Namun demikian, Muh}ammad Shah}ru>r menambahkan bahwa apa yang disebut takwil tidak ada yang sempurna. Sebab, ayat-ayat alQur’a>n beserta takwilnya yang sempurna secara keseluruhan tidak akan terjadi kecuali di Hari Kiamat, karena pada hari itu seluruh ayatnya, seperti al-Sa>’ah, al-S{ur> , yauma yaqu>m al-H{isa>b, pahala dan siksa menjelma menjadi kenyataan yang dapat diindera. Hal ini diperkuat oleh Q.S: al-A’ra>f: 53, 288 yang menyatakan bahwa pada hari datangnya kebenaran informasi al-Qur’a>n, orang-orang yang melupakannya akan 284
Bandingkan dengan penafsiran al-Ra’d oleh Muh}ammad ‘Abdullah Shah}a>tah, Tafsi>r al-At al-Kauniyyah (Kairo: Da>r al-I’tisa>m: 1980), 115-118. 285 ‚Untuk setiap berita (yang dibawa oleh Rasul-Rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui‛. (Q.S: al-An’a>m: 67). 286 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 193. 287 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 194. Bandingkan dengan penafsiran tentang ta’wi>l oleh Nas}r H{ami>d Abu> Zaid, Falsafat al-Ta’wi>l 288 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 195.
91 menyadari bahwa apa yang disampaikan para utusan Tuhan adalah sesuatu yang h}aqq. Dari uraian di atas, tampak bahwa model tafsir ini adalah bercorak tafsir ilmi, yaitu suatu penafsiran yang berusaha membuktikan bahwa teori sains modern tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n, bahkan sains tersebut dapat dideduksi dari al-Qur’a>n. 289 Artinya bahwa alQur’a>n tidak akan bertentangan dengan akal dan realitas. Selanjutnya, metode takwil yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r secara teoritis dan aplikatif melibatkan pendekatan linguistic dan teori sains modern dengan kaedah-kaedah sebagai berikut: Pertama, berpegang pada prinsip-prinsip linguistik Arab; 1) bahwa bahasa Arab tidak mengandung karakter sinonim, bahkan satu kata memiliki banyak arti (polysemi); 2) lafaz} itu hanya sebagai khadam (pelayan) bagi makna, sedangkan makna merupakan hal yang substansial. Dengan kata lain, lafaz} adalah sarana yang membantu untuk memperoleh makna. Sedangkan makna adalah isinya. Makna-makna itu adalah penguasa yang berhak mengatur kata-kata. Prinsip ini diadopsi dari al-Jurja>ni; 3) yang menjadi pegangan adalah makna, jika makna sudah diperoleh, maka bangsa Arab cenderung tas}a>hul dalam mengungkapkan kata-kata tersebut. Prinsip ini diadopsi dari Ibnu Jinni; 4) teks bahasa apapun tidak dapat dipahami kecuali dengan cara yang sesuai dengan akal atau realitas obyektif. Jika teks tersebut terkait dengan hal-hal ghaib, maka ia hanya dapat dipahami oleh akal melalui mekanisme penelitian; 5) memperhatikan asal-usul bahasa Arab. Misalnya mengkaji kata kerja yang berkebalikan makna (af’a>l al ad}da>d), seperti kata ‘abida, khafiya. Begitu pula dalam kata kerja yang bertentangan antara makna dan bunyinya, seperti kata ‘alaqa dan qala’a, kataba dan bataka, fa’ad}a dan d}af> a. Dengan kata lain, seorang mufassir hanya harus memahami filologi Bahasa Arab (fiqh lughah) dengan baik.290 Kedua, memahami perbedaan konsep al-Inza>l dan al-Tanzi>l, sebab perbedaan ini dipandang sebagai dasar dalam teori-teori pengetahuan manusia. Artinya, harus dipahami hubungan antara wujud obyektif dalam konsep al-Tanzi>l dengan kesadaran manusia terhadap wujud tersebut yang berada dalam konsep al-Inza>l.291 289
J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairus Salim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1997), 55-57. 290 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 196. 291 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 196.
92
Ketiga, menggunakan pendekatan tarti>l. Sebenarnya tarti>l bisa dikatakan sebagai metode tersendiri, meskipun tidak secara mendetail Muh}ammad Shah}ru>r menyebutkan langkah-langkah operasionalnya. Hal ini setidaknya tampak pada tataran aplikasi metode tarti>l yang dia sajikan ketika mengkaji tema al-Qas}as} fi> al-Qur’a>n.292 Tarti>l di sini tidak sama dengan apa yang telah lama dikenal sebagai tila>wah atau lantunan lagu Qur’a>ni. Muh}ammad Shah}ru>r mengartikannya sebagai ‚barisan pada rangkaian tertentu‛. 293 Pembacaan secara tarti>l ini didasarkan pada Q.S: al-Muzammil: 4, di samping alasan teologis bahwa Allah SWT menurunkan al-Qur’a>n secara artal, barangkai atau berangsur-angsur, tidak sekaligus sebagaimana Q.S: al-Furqa>n: 32. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, ayat-ayat al-Qur’a>n itu memiliki kandungan tema-tema tertentu yang apabila dibaca secara tarti>l dengan cara mengurutkan dan menggabungkan ayat-ayat tersebut secara tematis akan melahirkan pandangan yang obyektif, utuh dan komprehensif. 294 Meskipun pandangan semacam ini bukanlah hal yang baru dalam penafsiran al-Qur’a>n dengan sebutan metode tematik. Sebut saja misalnya Abd al-Rah}i>m, 295 Mus}tafa> Muslim, 296 Ziya>d Khlali>l alDagha>mi>n, 297 dan lain sebagainya, yang pada intinya metode tematik adalah suatu kajian yang berupaya menyajikan secara utuh pesan-pesan ayat al-Qur’a>n yang berserakan dalam satu atau beberapa surat yang berbicara tentang satu tama tertentu. Pendekatan tartil ini penting untuk dijadikan sabagai salah satu prinsip dalam penelitian ilmiah modern. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r, tanpa pendekatan tersebut, kesimpulan yang valid tidak mungkin didapatkan. Misalnya, ketika seseorang hendak melakukan sebuah penelitian tentang masalah air, maka si peneliti harus mengumpulkan data-data; baik berupa artikel atau penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema ‚air‛ tersebut. Oleh karena itulah, kelengkapan data-data dalam penelitian sangat berpengaruh terhadap kesimpulan yang 292
Lihat kajian berikut bagannya, Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 675-710, dan 733-734. 293 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 197. 294 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 198 295 Abd al-Jali>l Abd al-Rah}i>m, al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> li al-Qur’a>n fi> Ka>fati alMiza>n (Oman: Da>r al-Nashr: 1992), 34. 296 Lihat Must}afa> Muslim, Maba>h}ith fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> (Damaskus: Da>r al-Qala>m: 1989), 16. 297 Ziya>d Khali>l al-Dagha>mi>n, al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> wa Manhajiyyah al-Bah}th Fi>hi> (Oman: Da>r ‘Amma>r, 2007), 205.
93 dihasilkan, yakni lebih utuh dan komprehensif. Hal demikian seharusnya juga dilakukan ketika seseorang hendak mengkaji tema tertentu dari ayat-ayat al-Qur’a>n.298 Hal yang patut disayangkan adalah langkah tarti>l ini tidak bisa dipraktekkan pada semua ayat-ayat al-Kita>b, melainkan khusus untuk kategori ayat-ayat al-Qur’a>n. 299 Hal ini dimaksudkan sebagai upaya ilmiah- obyektif dalam memahami kandungan al-Qur’a>n yang memuat prinsip-prinsip universal dan particular yang juga bersifat obyektif, sehingga menghasilkan gagasan yang positif. Sementara untuk Ummu al-Kita>b ayat-ayat muh}kam cukup dilakukan dengan memperbandingkan dan melakukan pengecekan silang (cross examination ) antar ayat yang meiliki keterkaitan tema kajian. 300 Misalnya membandingkan ayat yang berbicara tentang utang-piutang dengan ayat yang berbicara tentang wud}u yang masing-masing hanya disebut satu kali dalam al-Kita>b.301 Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r tidak menjelaskan bagaimana perbandingan dan pengecekan silang itu diterapkan dalam penafsiran, dan bagaimana pula langkah-langkah metodisnya. Hanya saja, Muh}ammad Shah}ru>r memberikan contoh dengan membandingkan ayat yang berbicara tentang utanag-piutang dengan ayat yang berbicara tentang wud}u yang sama-sama disebut satu kali dalam al-Qur’a>n. Namun demikian, penulis tidak melihat keterkaitan tema antara keduanya. Jika Muh}ammad Shah}ru>r memang berketetapan bahwa prinsip tartil ini didasarkan pada Q.S : 73: 4 dan Q.S: 25: 32, maka hendaknya Muh}ammad Shah}ru>r tidak pilah pilih dalam menerapkan langkah ini. Artinya langkah tartil ini tidak hanya diterapkan pada ayat-ayat alQur’a>n, tetapi juga seluruh ayat-ayat Umm al-Kita>b yang di dalamnya terdapat ayat-ayat hukum (muh}kam), sebagaimana Fazlur Rahman juga
298
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 197. Muh}ammad Shah}ru>r tampaknya konsisten dengan prinsip dekonstruksinya, sehingga ia berbeda dengan ulama lain, yang tidak mengkhususkan metode tartil atau tematik bagi ayat-ayat tertentu. Lihat misalnya M. Quraish Shihab, Membumikan alQur’a>n; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2003), 111-121. 300 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 203. 301 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 203. 299
94 menerapkannya. 302 Misalnya Louay Fatoohi pernah membahas tentang jihad secara tematis.303 Keempat, tidak terjebak kepada pemilahan yang atomistic; sepotong-sepotong (ta’d}iyah ) mengingat ayat-ayat al-Qur’a>n antara yang satu dengan yang lain berkait kelindan dan saling menyempurnakan. Hal ini didasarkan pada Q.S: 15: 91. Dalam ayat tersebut terdapat kata ‘id}i>n yang menurut Muh}ammad Shah}ru>r berasal dari kata ‘ad}ana yang artinya pembagian yang tidak dapat dibagi lagi. Berarti al-Qur’a>n janganlah dibagi-bagi dan seorang Mufassir harus mampu merumuskan konsep secara utuh dan menyeluruh. Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip sebelumnya, yakni tarti>l yang diharapkan mampu melahirkan sebuah pemahaman yang sempurna.304 Kelima, memahami rahasia Mawa>qi’ al-Nuju>m, yakni tempat potongan atau pemilahan antar ayat ( al-Fawa>s}il Bain al-Aya>t ). Prinsip ini sangat penting, karena merupakan salah satu kunci penting bagi pemahaman al-Kita>b secara keseluruhan. Memahami hubungan awal dan akhir yang sangat penting, sebab dengan begitu akan tampak bahwa susunan redaksi al-Qur’a>n sesungguhnya sangat menakjubkan. Ada keterkaitan konsep antara akhir dan awal ayat berikutnya.305 Contohnya hubungan Q.S: Hu>d, akhir ayat 54 dan awal 55: Kata mimma> tushriku>n dihubungkan dengan kata berikutnya yakni mindu>nihi. Demikian pula pentingnya pendekatan Mawa>qi’ alNuju>m sangat Nampak, misalnya ketika kita memahami Q.S: al-‘Alaq: 1-5. Jika tanpa tanji>m (pemisah), maka akan menjadi:
302
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’a>n, 68-75. Louay Fatoohi, Jihad in The Qur’a>n; The Truth from The Source (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2004). 304 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 198. 305 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 199. Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r mencontohkan juga Q.S: al-Fajr: 1-5. Kemudian diambil 4 ayat pertama yang kemudian dibagi menjadi dua. Dengan demikian, maka konsep 2 ayat pertama akan menjadi utuh ketika digabungkan dengan 2 ayat setelahnya. Hal ini juga dibahas oleh Muh}ammad ‘Abduh dengan contoh yang sama. Lihat pembahasan ini pada sub-bab tentang pandangan ‘Abduh bahwa ‚setiap surat sebagai satu kesatuan yang serasi‛. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’a>n; Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar, 26-28. 303
95 .... Namun demikian, ketika dibaca seperti di atas, maka maknanya adalah bahwa pengajaran Allah dengan Qalam seolah hanya untuk manusia saja. Sedangkan untuk selain manusia tidak menggunakan qalam. Pemahaman seperti ini tidak benar. Berbeda ketika dibaca seperti aslinya ‚ Alladhi> ‘allama bil Qalam‛. Ayat ini menunjukkan bahwa pengajaran Allah mutlak, berlaku untuk seluruh makhluk-Nya yang meliputi malaikat, jin, dan manusia serta benda-benda padat. Kemudian ayat ini dilanjutkan dengan ayat berikutnya ‚’Allamal Insa>na Ma> lam ya’lam‛. Maka ketika ditanya, bagaimana Allah mengajari manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S al-Baqarah: 31, yaitu ‚Wa ‘allama A’a Kullaha> ‛ jawabnya adalah bahwa Allah mengajarnya dengan wasilah al-Qalam.306 Jika ditarik ke dalam ilmu linguistic umum, maka pendekatan Mawa>qi’ al-Nuju>m identik dengan hubungan sintagmatik, yaitu hubungan antara unsure-unsur yang saling digabungkan dalam satu keseluruhan sama yang lebih besar. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan linier, di mana jika posisi salah satu darinya itu berubah, maka kata itu tidak dapat dipahami. Jadi hubungan sintagmatik berkenaan dengan kemungkinan penggabungan unsure-unsur bahasa pada setiap tingkat.307 Dalam teori ulumul Qur’an tradisional, pendekatan Mawa>qi’ alnuju>m ini mirip atau setidaknya sudah dikenal dengan sebutan Muna>sabah antar ayat,308 atau juga antar surat atau dalam bahasa Sa’i>d Hawa disebut teori al-Wah}dah al-Maud}u>’iyyah.309 Keenam, melakukan pengujian silang ( Taqa>t}u’ al-Ma’lu>ma>t; Cross Examination ). Prinsip ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menghindari adanya kesan kontradiktif antara seluruh ayat-ayat alKita>b, baik dalam masalah ta’lima>t (ayat-ayat pengajaran ) maupun tashri>’a>t (ayat-ayat penetapan hukum). Misalnya ketika hendak membahas tentang ‚Zi>nah‛ (perhiasan) dalam Q.S: al-Nu>r: 31, maka 306
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 200-201. A.C. Dik/ J. G. Kooij, Ilmu Bahasa Umum, T.W. Kamil (Jakarta: RUL,
307
1994),78.
308
Lihat contoh-contohnya dalam buku karyan’Aji>, al-Baya>n fi
Tana>sub At wa suwar al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Insa>n, 2005), 40-41.
309
96 perlu dilakukan cross examination dengan ayat Mah}a>rim al-Zuwa>j ( perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi) dalam surat al-Nisa>. Dengan demikian, akan diperoleh pemahaman tentang ‚Zi>nah‛ yang sesuai dengan rasionalitas dan realitas, sehingga terhindar dari pertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lain.310 Jika ditarik ke dalam teori linguistic umum, maka prinsip Cross Examination atau Taq}a>t}u’ al-Ma’lu>ma>t dikenal dengan istilah hubungan asosiatif atau paradigmatic, yakni hubungan antara unsure-unsur yang memperlihatkan keserupaan sistematik yang ditentukan satu terhadap yang lain dalam bentuk fonologi, sifat tata bahasa, segi semantic dan lain sebagainya. Jadi, hubungan paradigmatic berkenaan dengan golongan atau kategori tempat unsure-unsur tersebut dapat dibagikan atas dasar keserupaannya satu dengan yang lain.311 Analisis paradigmatic sebenarnya juga sudah dipakai dalam teori Muna>sabah dan metode tafsir tematik, di mana seorang mufassir diharuskan memahami korelasi ayat-ayat yang terkait dengan tema yang dibahasnya, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa adanya kontradiksi internal al-Qur’a>n ataupun pemaksaan.312 Tampaknya analisis mawa>qi’ al-nuju>m dan taqa>tu’ ma’luma>t yang digunakan Muh}ammad Shah}ru>r merupakan cerminan bahwa Muh}ammad Shah}ru>r adalah penganut linguist-strukturalis yang mengasumsikan bahwa teks merupakan kesatuan yang integral; antara bagian-bagiannya saling berkait-kelindan, dan bahwa susunan ayat-ayat dalam mush}af al-Qur’a>n bersifat tawqi>fi. 313 Demikian pula, makna sebuah kata yang bahkan berpotensi polysemi, akan ditentukan oleh relasi-relasi antar kata yang ada dalam struktur kalimat tersebut. 314 Dengan demikian, seorang penafsir dapat menemukan sebuah konsep yang utuh. Sampai di sini, penulis perlu mempertanyakan tentang konsistensi Muh}ammad Shah}ru>r dalam memegang prinsipnya. Contoh yang perlu dicermati adalah tafsir Muh}ammad Shah}ru>r atas Q.S: alKahfi: 46; 310
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 203. A.C. Dik/ J. G. Kooij, Ilmu Bahasa Umum, 78. Bandingkan dengan alKhu>li>, Dictionary og Theoritical Linguistic, 73. 312 Abd al-H{ayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al- Tafsir> al-Maud}u>’i> (Mesir: alH{ad}a>rah al- ‘Arabiyaah, 1977), 62. 313 Al-Suyu>t}i>, al-Muzhir fi ‘Ulu>m al-Lughah wa Anwa>’iha>, 17-18. 314 Abdul Chaer, Kajian Bahasa; Struktur Internal, Pemakaian dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 81. 311
97 ..... Menurut Muh}ammad Shah}ru>r kata ‚al-Banu>n‛ merupakan bentuk jam’u- jam’in (double plural ) dari kata ‚al-Bunya>n‛ yang berarti bangunan.315 Sementara menurut riwayat yang ada, misalnya al-Suyu>t}i> menyebutkan dalam tafsirnya ‚al-Du>rr al-Manthu>r‛ menyatakan bahwa ‚al-Banu>n‛ berarti anak laki-laki (plural).316 Dari sini tampak jelas bahwa Muh}ammad Shah}ru>r melanggar prinsip tartil dan anti-atomistic yang ditawarkannya sendiri. Jika ditarik ke dalam Ulumul Qur’an tradisional dan menggunakan konsep muna>saba>t, maka sebenarnya awal ayat Q.S al-Kahfi: 39: ........ Hal ini juga diperkuat dengan makna tematis kata ‚al-Banu>n‛. Setidaknya bisa ditemukan bahwa kata ‚al-Banu>n‛ berarti anak lakilaki, dan bukan bangunan, dalam Q.S: al-S{affa>t: 149 sampai ayat 153 yang masih berbicara satu tema; Dengan demikian, tampak sekali bahwa pemaknaan kata ‚alBanu>n‛ sebagai ‚bangunan‛ merupakan pemaknaan yang dipaksakan. Sehingga, teks suci harus tunduk di bawah prejudice yang telah matang tertanam dalam diri Muh}ammad Shah}ru>r, hanya karena dia seorang arsitek dan yang dihadapinya selalu berkaitan erat dengan bangunan. Dari sisi lain, bisa ditemukan bahwa metode takwil yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r betul-betul terlepas dari konteks historis, bahkan berpotensi terlepas dari konteks teks, 317 sehingga apa yang ditafsirkannya sama sekali berbeda dengan penafsiran biasanya. 315
Shah}ru>r, Dira>sa>t Isla>miyah Mu’a>s{irah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ , 44. Lihat Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r (Beirut: Da> al-Fikr, 1993),
316
396.
317
Konteks teks berarti semua yang merupakan (makna) kata yang hendak dipahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik bersifat lafz}iyyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat tunggal yang berkaitan dengan lafaz} yang hendak dipahami,
98 Dalam ilmu semantic disebutkan adanya teori kontekstual, yaitu teori semantic yang berasumsi bahwa system bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Makna suatu kata, setidaknya dipengaruhi oleh empat konteks; 1) Konteks kebahasaan, yaitu yang berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdi>m dan ta’khi>r. 2) Konteks emosional juga dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturalnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional. 3) Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah makna karena adanya perubahan situasi; 4) Konteks cultural, yakni nilai-nilai social dan cultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Teori ini sekaligus mengisyaratkan bahwa teks tak akan bermakna jika terlepas dari konteks.318 Apabila ditinjau dari sisi ilmu semantic, penafsiran Muh}ammad Shah}ru>r di atas terlepas dari konteks social-cultural dan dari ilmu linguistic ia terlepas dari hubungan paradigmatic. Oleh karena itulah Gamal al-Banna>’ menilai tafsir di atas adalah tafsir yang salah. Sebab tafsir tersebut betul-betul terlepas dari konteks. Namun demikian, alBanna>’ menilai apa yang diusahakan Muh}ammad Shah}ru>r merupakan upaya yang bersih dari pengaruh orientalis.319 Secara teologis, sebuah penafsiran merupakan cerminan dari keimanan atau kesesatan penafsir, dengan jiwa yang bersih atau nafsu pribadinya. Penafsiran terhadap teks suci bukanlah permainan makna dalam kata atau bahasa. Oleh karena itulah al-Tirmidhi> 320 dan alatau bersifat h}a>liyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang dicakup oleh kalimat dan menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan. Lihat Jalaluddin Rahmat, Pengantar dalam buku karya Taufik Adnan Amal, Islam dan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989), 24. 318 Lihat Moh. Matsna, Orientasi Sematik al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), 21-22. 319 Lihat Gamal al-Banna>, Evolusi Tafsir dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, terj. dari Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Bain al-Qudama> wa al-Mutaakhkhiri>n (Jakarta: Qisthi Press, 2004), 212-214. 320 Al-Tirmidhi> mengatakan bahwa para intelektual dari kalangan sahabat dan lainnya sangat ketat dalam persoalan penafsiran al-Qur’a>n. Lihat al-Tirmidhi>, al-Ja>mi’ al-S{a>h}ih} Sunan al-Tirmidhi>, tah}qi>q Ah}ma>d Muh}ammad Sha>kir (Beirut#: Da>r Ih}ya> al‘Arabi>, tth), hadith no. 2950, 2951, 2952, Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n, Ba>b Ma> ja>’a fi alLadhi> Yufassir al-Qur’a>n Bi Ra’yi Nafsih, 199.
99 Muna>wi 321 menolak penafsiran al-Qur’a>n yang tidak didasari dengan ilmu yang memadai. Tidak mengherankan jika Izzat Darwazah menolak model tafsir 322 ilmi. Demikian juga ‘Abd al-Maji>d ‘Abd al-Sala>m al-Muh}tasib, setelah menyajikan berbagai pendapat penolakan para intelektual muslim, kemudian ia menegaskan posisinya bahwa ia menolak model takwil ilmi. Penolakan terhadap tafsir ilmi ini umumnya didasarkan pada; pertama, bahwa dalam tafsir ilmi ada kecenderungan memahami teks suci tidak sebagaimana ia dipahami ketika diturunkan saat itu, kedua, adanya pemaksaan pemahaman atau penundukkan terhadap teks suci untuk dicocok-cocokan dengan ilmu sains, ketiga, sisi kesinambungan ilmu pengetahuan (yang bersifat akumulatif) menunjukkan bahwa tidak semua teori ilmu pengetahuan diambil dari teks al-Qur’a>n 323 sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur’a>n hanya mengandung informasi ilmiyah, bukan teori ilmiah itu sendiri. Oleh karena itu, hal yang penting untuk diperhatikan adalah mengakui bahwa al-Qur’a>n merupakan petunjuk etika, norma, moral, akhlak, kebijaksanaan dan mendapat menjadi teologi ilmu serta menjadi grand theory ilmu.324 Dengan kata lain, al-Qur’a>n adalah kitab hidayah, tetapi di saat yang sama ia memiliki kandungan informasi berupa petunjuk-petunjuk ilmiah, sehingga seorang pembaca tidak tergesa-gesa menolak tafsir ilmi. Di samping itu, seorang mufassir dalam memahami teks suci tidak boleh terlepas dari konteks, sehingga pemahaman tidak terlalu jauh melenceng dari original meaning yang historis. 2. Metode Ijtihad/ Teori H{udu>d Wael B. Hallaq dalam bukunya A History of Islamic Legal Theories, An Introduction to Sunni Us}ul al-Fiqh memuji teori limit325 321
Al-Muna>wi mengatakan bahwa orang yang menafsirkan al-Qur’a>n hanya dengan Dha>hir al-‘Arabiyyah, maka ia mengalami banyak kesalahan, dan ia termasuk orang yang membicarakannya tanpa ilmu (hadith). Lihat ‘Abd. Al-Ra’u>f al-Muna>wi>, Faid} al-Qadi>r; Sharh} al-Ja>mi’ al-S{aghi>r (Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, 1356 H), hadith no: 8899, 190. 322 Muh}ammad Izzat Darwazah, al-Tafsi>r al-Hadi>th; Tarti>b al-Suwar H{asb alNuzu>l (Kairo: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 2000), 190-192. 323 Tokoh-tokoh intelektual muslim yang menolak tafisr ilmi antara lain, Abu> H{ayya>n al-Andalu>si>, al-Sha>t}ibi>, Muh}ammad Rashid Rid}a dan lain sebagainya. Lihat ‘Abd al-Maji>d ‘Abd al-Sala>m al-Muh}tasib, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi al-‘As}r al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), 295-324. 324 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, 102. 325 Ilustrasi filosofis dari teori limit ini misalnya ada segerombolan anak nakalyang sedang bermain di samping jurang, dengan jarak atau batas 9 meter dari
100 (h}udu>d) yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r sebagai sebuah teori yang dianggap mampu menjawab banyak pertanyaan yang tidak mampu diselesaikan oleh Fazlurrahman. 326 Teori ini merupakan implikasi dari pembagian secara tegas antara konsep al-Nubuwwah (bersifat keagamaan) dan al-Risa>lah (bersifat hukum dan pengaturan). Jika kitab al-Nubuwwah yang mencakup seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang tertera dalam al-kita>b harus dikaji melalui mekanisme takwil, maka Kita>b al-Risa>lah yang berisi ayat-ayat Muh}kama>t (ayat-ayat hukum) harus dikaji melalui mekanisme ijtihad, dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r menawarkan teori H{udu>dnya. Dengan prinsip dekonstruksi yang dipegangnya, Muh}ammad Shah}ru>r memberikan pemahaman yang berbeda mengenai konsep hudu>d dari apa yang selama ini biasa dipahami.327 Menurut Abdullah al-Na’i>m, meskipun konsep h}udu>d diambil dari al-Qur’a>n, tetapi kenyataannya masih menyisakan problematika mengenai definisi. 328 Selama ini masalah H{udu>d dipahami sebagai ancaman hukuman yang berkaitan dengan zina, pencurian dan tuduhan zina (qadzaf). Sebagaimana juga
posisi berdiri mereka. Kemudian mereka bertaruh; siapa yang paling berani berdiri paling dekat dengan jurang?. Dari sini dapat dimengerti sebuah rumusan matematis bahwa jika salah seorang anak dari mereka ingin berdiri sedekat mungkin dengan jurang, maka dia harus mendekat sedekat mungkin, dengan catatan tidak melebihi batas 9 meter persis. Angka 9 meter persis merupakan batas atau limit dari posisi sang anak. Lihat selengkapnya mengenai pembahasan ini dalam Evawati Alisah dan Eko Prasetyo Z{armawan, Filsafat Dunia Matematika; Pengantar untuk Memahami KonsepKonsep Matematika (Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2007), 60-77. 326 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (United Kingdom: Cambridge University Press, 1997), 245-246. Baca juga edisi Indonesianya, Wael B. Hallaq, Teori Hukum Islam; Pengantar untuk Usul Fiqh Madzhab Sunni (Jakarta: Rajawali Press, 2000), 364-365. 327 Hudu>d sebagai term berarti hukuman yang harus diterima bagi yang melanggar batas-batas atau ketentuan Allah SWT. Abu> Hasan Ali bin Muh}ammad alJurja>ni>, al-Ta’rifa>t (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2002), 88. Kata yang berasal dari hadd berarti sesuatu yang menghalangi atau memisahkan dua hal sehingga tidak bercampur. Majd al-Di>n Muba>rak b. Muh}ammad b. Al-Athi>r (Ibn al-Athi>r), al-Nih}a>yah fi> Ghari>b al-Hadi>th wa al-Athar (Beirut: Da>r al-Fikr, tth), 352. Dalam hal ini hadd berkaitan erat dengan hal yang harus dipatuhi oleh setiap Muslim; misalnya seperti zina, menuduh wanita baik-baik melakukan zina, minum khamar dan sebagainya, agar tidak melakukannya, karena perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hudu>d merupakan perbuatan yang diharamkan. 328 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan Nuruddin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997), 208.
101 telah dicontohkan dalam buku-buku fiqh,329 bahwa bagi pezina ghairu muh}san hukumannya adalah cambuk 100 kali (Q.S: al-Nu>r:2), untuk pencurian hukumannya adalah potong tangan dan qadhaf hukumannya cambuk 80 kali (Q.S: al-Nu>r: 4). Konsep di atas cenderung bersifat statis-tekstual, sementara konsep h}udu>d yang diusung oleh Muh}ammad Shah}ru>r lebih bersifat elastic-kontekstual; tidak hanya menyangkut masalah hukuman seperti di atas, tetapi juga menyangkut masalah hukum lain, misalnya pakaian wanita, waris dan lain sebagainya. Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r mengilustrasikan dengan permainan sepak bola, yang mana para pemain bisa bermain bebas, selama dalam batas-batas waktu dan garis yang telah ditentukan,330 sehingga pelanggaran hanya terjadi apabila pemain melampaui batas-batas tersebut, dengan kata lain, H{udu>dulla>h adalah lingkaran atau batasan di mana Allah menempatkan kebebasan manusia untuk bertindak.331 Teori H{udu>d yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r di bangun di atas dua dasar dari karakter Islam yang berbeda dan saling berlawanan; yaitu al-istiqa>mah dan al-H{ani>fiyyah, yang mana di dalamnya terdapat ruang gerak bebas bagi manusia untuk berijtihad, sehingga pemahaman Islam bergerak sesuai dengan perbedaan tempat dan perubahan waktu.332 Melalui analisis linguistic, Muh}ammad Shah}ru>r menjelaskan bahwa kata al-h}ani>f berasal dari kata h}anufa yang memiliki beberapa arti; bengkok, melengkung (h}anafa), orang yang berjalan di atas dua kakinya (ah}naf), atau kebengkokan telapak kaki (h}anufa). 333 Secara Tarti>l, Muh}ammad Shah}ru>r mengkaji ayat-ayat yang bertema alH{anifiyyah, yaitu; Q.S: al-An’a>m: 79; al-Ru>m: 30; al-Bayyinah: 5, alH{ajj: 31; an-Nisa>’: 125; al-Nah}l: 120, 123.334 Sementara itu, kata al-Istiqa>mah adalah derivasi dari akar kata qw-m yang memiliki dua arti, yaitu: kumpulan manusia dari jenis lakilaki, dan berdiri tegak (al-intisa>b) atau kuat (al-‘azm). Dari kata alintisa>b ini muncul kata al-Mustaqi>m dan istiqa>mah, lawan dari bengkok 329
Lihat di kitab-kitab fiqh. Misalnya Ibnu Quda>mah, al-Mughni> fi al-Fiqh alIma>m Ah}mad Ibn H{anbal al-Shaiba>ni (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H), 116. 330 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 144. 331 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed.j. Milton Cowan (Beirut: Librairie Duliban, 1999), 159 332 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 447. 333 Ibnu al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r S{a>dir, tth), 56. 334 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 447.
102 (al-inh}ira>f), sedangkan dari pengertian terma al-‘azm (teguh, kuat, kokoh) muncul kata al-di>n al-qayyim. Muh}ammad Shah}ru>r menemukan makna ini dalam Q.S: an-Nisa>’ : 34 dan al-Baqarah: 25.335 Analisis linguistic paradigmatic di atas, yang juga merupakan aplikasi dari prinsip tarti>l, telah mengantarkan Muh}ammad Shah}ru>r kepada sebuah ayat Q.S: al-An’a>m: 161. Cakrawala yang tergambarkan dalam ayat itu, menunjukkan adanya tiga terma pokok, yaitu: al-Di>n alQayyim, al-Mustaqi>m dan H{anifa. Kata ‚H{anifa‛ oleh Muh}ammad Shah}ru>r diartikannya sebagai ‚H{ani>fiyyah Mutaghayyirah‛; 336 yakni gerak elastic atau dinamis.337 Dengan demikian, al-Di>n al-H{ani>f adalah agama yang fleksibel, dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu. Hal ini karena al-H{ani>f adalah sifat bawaan yang fit}ri. Demikian juga halnya manusia yang merupakan bagian dari alam materi, memiliki watak atau sifat bawaan yang sama.338 Jadi, Muh}ammad Shah}ru>r berusaha meletakkan teori Hudu>dnya di atas karakter dasar dalam Islam; yaitu al-Istiqa>mah dan al-H{ani>fiyyah sebagai garis lurus yang harus diikuti tanpa tawar-menawar, dan alH{ani>fiyyah sebagai garis lengkung yang bergerak searah dengan garis lurus. Hubungan dialektis antara al-Istiqa>mah dan al-H{ani>fiyyah ini akan memberi ruang ijtihad yang dinamis dan fleksibel, sehingga hukum Islam dapat diadaptasikan sesuai dengan perubahan waktu dan perkembangan zaman. Dalam hal ini, manusia bergerak leluasa dalam wilayah al-H{ani>fiyyah, tetapi tetap berada dalam koridor atau batasbatas al-Istiqa>mah. Artinya al-H{ani>fiyyah adalah gerakan dinamis sesuai dengan ruang dan waktu, namun tetap berdasarkan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’a>n, yakni H{udu>dulla>h. 335
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 448. Bandingkan dengan kamus yang menjadi rujukan Muh}ammad Shah}ru>r, yaitu al-Maqa>yis fi al-Lughah, karya Ibnu Fa>ris. Dalam kamus itu Ibnu Fa>ris memilih pendapat yang dianggapnya paling s}ah}i>h}, yang dari sini dapat dimengerti bahwa Muh}ammad Shah}ru>r berusaha memperluas atau mengembangkan makna baru dari kata ‚h-n-f‛ tersebut yang sebelumnya belum ada, bahkan dalam kamus rujukannya. Lihat Ibnu Fa>ris, al-Maqa>yis fi al-Lughah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 285. 337 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 449. Berbeda dengan al-Qur’a>n terjemahan DEPAG RI yang mengartikannya ‚lurus‛. Lihat Al-Qur’a>n dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra: tth), 285. Sejalan dengan apa yang ditulis Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, 56. 338 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 449. Bandingkan dengan Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’a>n; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), 61-84. 336
103 Muh}ammad Shah}ru>r membagi teori hudu>dnya menjadi dua bagian, yaitu al-H{udu>d fi> al-Tashri>’ dan al-H{udu>d fi> al-Iba>dah. Al-H{udu>d fi> al-Tashri>’ Mengenai al-H{udu>d fi> al-Tashri>’ pada tataran aplikasi, Muh}ammad Shah}ru>r merumuskan teori-teorinya dengan bantuan analisis matematis (al-Tah}li>ly al-Riya>d}y). Secara geneologis, Muh}ammad Shah}ru>r menggunakan analisis matematis yang dikembangkan oleh Issac Newton (1642-1727), mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y= f (x) dengan satu variabel. 339 Gambaran relasi dialektik antara al-h}ani>fiyyah dan al-Istiqa>mah, bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks sebagai berikut: Y (al-H{ani>fiyyah = ruang ijtihad)
X Keterangan: 1. Sumbu X = Zaman (konteks historis) 2. Sumbu Y = al-Tashri>’ yang di dalamnya terdapat
hudu>dulla>h. 3. Sumbu O = kenabian/ kerasulan Muh}ammad ‚al-H{ijrah al-Nabawiyyah‛.340 Berkaitan dengan teori ijtihad, maka kurva (al-H{ani>fiyyah ) di atas merupakan gambaran ruang ijtihad yang bergerak dinamis sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan hudu>dulla>h, yakni sumbu Y. Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan berubah senantiasa saling terkait; yakni al-Tha>bit (al-istiqa>mah) yang bergerak tetap 339
Bandingkan mengenai teori limit dalam buku karya Norman B. Haaser, et, al, Mathematical Analysis (Ginn and Company: London, 1959), 297-335. 340 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 452.
104 (konstan) dan sisi yang al-H{ani>fiyyah (al- Mutaghayyirah) yang bergerak secara dinamis. Dengan demikian, hukum Islam selalu berjalan dinamis sesuai dengan konteks ruang dan waktu.341 Selanjutnya Muh}ammad Shah}ru>r membagi al-Hudu>d fi> al-Tashri>’ menjadi enam bagian:342 Pertama, Ha>lah al-H{add al-Adna> (Posisi Batas Minimal). Yaitu daerah hasilnya berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik minimum. Titik ini terletak berimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Posisi Batas Minimal (H{ala>h al-H{add al-Adna>) sebagai berikut: Y
Kurva terbuka = ruang ijithad Titik balik minimum
X O
Dalam posisi seperti ini, maka keputusan hukum boleh dilakukan di atas batas minimal yang telah ditentukan dalam al-Qur’a>n atau berada pada batas minimal yang telah ditetapkan. Tetapi tidak boleh melebihi batas minimal tersebut. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r H{a>lah al- H{add al341
Lihat Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Naz}ariyyah Hudu>d) Muh}ammad Shah}ru>r Dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia, dalam Sahiron Syamsuddin, et al, Hermeneutika Madzhab Yogya (Yogyakarta: Forstudia-Islamika, 2003), 158-159. 342 Lihat diagram lengkap dalam buku Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 465466. Mengenai pembagian yang tetap dan berubah Shah}ru>r dipengaruhi oleh filsafat marxisme. Lihat al-Syawwa>f, Tah}a>fut al-Qira>’ah al-Mu’a>s}irah, 30.
105
Adna> ini terdapat pada ayat-ayat al-Mah}ar> im (mah}ram-mah}ram); Q.S: an-Nisa>’: 22-23, dan pada ayat-ayat al-Muh}a>rama>t dalam masalah makanan; yakni bangkai, darah, dan daging babi dalam Q.S: al-Ma>idah: 3, Q.S: al- An’a>m: 145, 119 dan Q.S: an-Nu>r: 31.343 Di dalam Q.S: an-Nisa>’: 22-23dijelaskan tentang perempuanperempuan yang haram untuk dinikahi sebagai batas minimal. Namun, boleh jadi perempuan yang dilarang untuk dinikahi lebih dari apa yang disebutkan dalam ayat itu. Demikian pula pada masalah jenis makanan yang haram untuk dimakan; Q.S: al-Ma>idah: 3, masalah pakaian perempuan; Q.S: an-Nu>r: 31. Kedua, H{alah al-H{add al-A’la> (Posisi Batas Maksimal), yaitu daerah hasil (range) dari persamaan fungsi Y= f (X) berbentuk kurva tertutup (garis lengkung yang menghadap ke bawah) yang hanya memiliki satu titik balik maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Posisi Batas Maksimal (H{alah al-H{add al-A’la>) sebagai berikut: Y
Titik Balik Maksimum Kurva tertutup = ruang ijtihad X
O
Menurut Muh}ammad Shah}ru>r H{a>lah al-H{add al-A’la> hanya memiliki batas maksimal, sehingga ijtihad dalam menentukan hukum tidak boleh melebihi batas maksimal tersebut. Artinya ijtihad hukum hanya boleh di bawah garis maksimal atau paling tidak berada pada garis yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dalam hal ini terdapat pada 343
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 453-455.
106 masalah potong tangan dalam kasus pencurian Q.S: al-Ma>idah; 38, masalah pembunuhan tanpa h}aqq Q.S: al-Isra>’: 33, qis}a>s} (hukuman setimpal) Q.S: al-Baqarah: 178, dan pembunuhan tanpa sengaja Q.S: anNisa>’: 92.344 Dalam kasus pencurian, maka batas maksimal hukumannya adalah potong tangan. Jadi, dalam hal ini seorang hakim tidak boleh menetapkan hukuman kepada pencuri dengan potong kaki atau potong leher. Bentuk berat ringannya hukuman ditentukan oleh Wali al-Amri. Namun, penentuan hukuman harus lebih rendah dari hukuman potong tangan. Misalnya diumumkan di khalayak ramai, diasingkan, dipukul jari-jemarinya, dipenjara, dicabut beberapa haknya dan lain sebagainya.345 Hal ini tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat. Ketiga, H{a>lah al-H{addaini al-A’la> wa al-Adna> Ma’an (Posisi Batas Maksimal Bersamaan Dengan Batas Minimal). Daerah hasilnya berupa kurva gelombang yang merupakan gabungan antara kurva tertutup (garis lengkung menghadap ke bawah) dan terbuka (garis lengkung menghadap ke atas) yang masing-masing memiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut terletak berimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Di antara kedua kurva ini terdapat titik singgung yang tepat berada di antara keduanya.
Posisi Batas Maksimal dan Minimal Bersamaan: Y
344
Titik Balik Maksimum
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 455-457. Mus}tafa Mah}mud, Menangkap Isyarat al-Qur’a>n (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 89-90. 345
107 Kurva tertutup dan terbuka (wilayah ijtihad) Titik Balik Minimum X O
Dalam hal ini, penetapan hukum dilakukan di antara kedua batas tersebut. Pada sebagian ayat-ayat h}udu>d ada yang mempunyai batas maksimal sekaligus batas minimal secara bersamaan, sehingga penetapan hukum dapat dilakukan di antara kedua batas tersebut. Menurut Muh}ammad Shah}ru>r posisi ini terdapat pada ayat wasiat dan waris dalam Q.S: an-Nisa>’: 11, 12, 13, dan pada ayat poligami Q.S: anNisa>’: 3.346 Keempat, H{a>lah al-H{addaini al-A’la> wa al-Adna> ma’an atau juga disebut H{a>lah al-Mustaqi>m atau H{a>lah al-Tashri>’ al-‘Aini (Posisi Lurus Tanpa Alternatif). Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik balik maksimum berimpit dengan titik balik minimum.
Posisi Batas Lurus (H{alah al-Mustaqi>m) Y
346
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 457-462.
108 Nilai Y selalu tetap untuk nilai X (Hukum tidak berubah meski zaman terus bertambah) X O
Pada kondisi ini, ayat h{udu>d tidak punya batas maksimal dan batas minimal, sehingga tidak ada alternative hasil dari penerapan hukumannya selain yang disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan kata lain, hukum tidak berubah meskipun zaman berubah. Ini terdapat pada ayat tentang zina saja, Q.S: an-Nu>r: 2 yang pelaksanaannya dipertegas oleh ayat 3-10.347 Dengan demikian, tidak ada pilihan lain kecuali harus menetapkan hukuman 100 kali cambuk sebagaimana tertuang dalam ayat tersebut. Sebab pelaksanaannya ditegaskan ‚Wa la> ta’khudz kum bihima> ra’fatun...‛ Jadi, dalam proses penghukuman tidak boleh ada rasa kasihan kepada mereka (pelaku). Menurut penulis, tawaran Teori Limit H{a>lah al-H{addaini al-A’la> wa al-Adna> Ma’an atau disebut juga H{a>lah al-Mustaqi>m atau H{a>lah alTashri>’ al-‘Aini> (Posisi Lurus Tanpa Alternatif) kurang bisa diterima. Di situ Muh}ammad Shah}ru>r mencotohkan hukuman cambuk 100 kali berdasarkan Q.S: an-Nu>r: 2, dan tidak ada alternative lain untuk hukumannya selain itu. Pemahaman seperti ini mestinya tidak akan terjadi apabila Muh}ammad Shah}ru>r konsisten berpegang pada prinsip tarti>l dan anti-atomistic, dan juga otonomi teks yang meniscayakan tidak adanya konsep Naskh-Mansu>kh.348 Sebab dalam Q.S: an-Nisa>’: 16 disebutkan:
347
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 463. Jadi di sini tidak ada perbedaan antara zina muh}san dan ghair muh}s}an. Berbeda dengan fikih-fikih konvensional yang membedakan antara keduanya, yakni khusus untuk muh}s}an ghair muh}s}an hukumannya adalah dicambuk 100 kali, sementara muh}s}an hukumannya adalah rajam sampai mati. 348
Para Ulama bersepakat bahwa Q.S: an-Nisa>’: 16 tersebut pemberlakuan hukumnya dihapus dengan Q.S: an-Nu>r: 2. Al-T{aba>ri>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ‘Ay al-Qur’a>n, 636. Al-Nahh}a>s, Ma’a>n al-Qur’a>n al-Kari>m, tah}qi>q: Muh}ammad ‘Ali> alS{a>bu>ni> (Makkah al-Mukarramah: Universitas Umm al-Qura>, 1409H), 494.
109 Ayat di atas349 tampaknya tidak menghendaki adanya hukuman cambuk, dengan catatan bahwa si pelaku zina segera bertaubat dengan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Oleh karena itulah, Mus}tafa> Mah}mu>d berpandangan bahwa atribut ‚Lam Ma’rifat‛ pada kata ‚alZa>niyat‛ dan ‚al-Za>ni>‛ pada Q.S: an-Nu>r: 2 menunjukkan makna orang yang sudah seringkali melakukan perbuatan zina atau sudah menjadi semacam profesi, bukan orang yang hanya melakukan satu kali karena godaan Iblis kemudian terjerumus dalam perbuatan fa>h}ishah tersebut,350 dan kemudian menyesalinya (Q.S: an-Nisa>: 17). Abu> Zahrah juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa hukuman cambuk tersebut bisa dilakukan zina telah dilakukan berulang-ulang, begitu juga dalam hal hukuman potong tangan dalam kasus tindak pidana pencurian.351 Dengan demikian, hukuman 100 kali cambuk bagi pelaku zina, menurut penulis seharusnya dijadikan sebagai H{add al-A’la>, sehingga diposisikan sama dengan hukuman potong tangan yang dijadikan sebagai H{add al-A’la> bagi pencuri professional. Sebab, keduanya (alZa>ni> dan al-Sa>riqah) menggunakan s}ighat ism al-fa>’il yang menunjukkan makna profesi, sebagaimana kata ‚al-Ka>tib‛ yang menunjukkan makna orang yang berprofesi sebagai sekretaris. Inilah yang dipahami Muh}ammad Shah}ru>r dari kata ‚al-Sa>riqah‛.352 Sedangkan penggalan ayat: ‚Wa la> ta’khudz kum bihima> ra’fatun...‛, menurut penulis, sama sekali tidak menunjukkan batas minimal. Pada akhirnya, hal ini berimplikasi pada peniadaan teori limit ‚Posisi Lurus Tanpa Alternatif ‛, dan hal ini pula tampaknya tidak diantisipasi oleh Muh}ammad Shah}ru>r.
349
Meskipun kata ‚al-La>ti>‛dalam Q.S an-Nisa>’: 15 dan ‚al-Ladha>ni> ‛ dalam Q.S: an-Nisa>’: 16 sebagian ulama mengartikan sebagai perbuatan lesbi dan homoseksual, hal itu tidak merubah makna bahwa perbuatan tersebut adalah zina. Lihat al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-@az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>: tth), 227. 350 Mus}tafa> Mah}mu>d, Menangkap Isyarat al-Qur’a>n, 89-90. 351 Hal ini juga disepakati oleh kalangan fuqaha>. Muh}ammad Abu> Zahrah, alMu’jizat al-Kubra> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1998), 339-340. 352 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 101.
110 Kelima, H{a>lah al-H{add al-A’la> Bih}az}z}i Maqa>rib li Mustaqi>m atau Yaqtaribu wa la> Yamassu ( Posisi Batas maksimal cenderung mendekati garis batas minimal dan tidak menyentuhnya). Pada posisi ini, daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu Y. Jadi, posisi batas maksimal ini cenderung mendekat tanpa menyentuh sama sekali, kecuali pada daerah tak terhingga. Aplikasi terdapat pada posisi hubungan jenis laki-laki dan perempuan, yang berawal dari hubungan biasa, namun secara bertahap akan mendekati pada perbuatan zina, yang digambarkan dengan garis lurus. Hal ini dalam Q.S: al-isra>’: 32, Q.S: al-An’a>m: 151.353 Posisi Batas Maksimal Cenderung Mendekat tanpa persentuhan sebagai berikut: Titik final akan berimpit dengan sumbu Y di daerah tak terhingga
Y
perzinaan di sini adalah berada tepat di atas batas, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar akad nikah
X O Garis yang mendekati perbuatan zina
Garis lurus ini tidak memiliki batas minimal dan maksimal dan hanya ditandai dengan satu titik garis lurus. Garis lurus ini sebagai h}udu>dullah berupa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar akad nikah yang disebut dengan zina. Oleh karena itu, al-Qur’a>n menggunakan redaksi ‚Wa la> taqrabu> al-zina>‛ (Q.S: al-Isra>’: 32) dan ‚Wa la> taqrabu> al-fawa>h}ish‛ (Q.S: al-An’a>m: 151). Hal ini menunjukkan 353
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 464.
111 bahwa proses pendekatan tersebut jika diteruskan, maka akan menjadikannya menerobos batas larangan Allah. Keenam, H{a>lah al-H{add al-A’la> Mu>jab Mughlaq La> Yaju>zu Tuja>wizuhu, wa H{a>lah al-H{add al-Adna> Yaju>zu Tuja>wizuhu (Posisi Batas Maksimal Positif Yang Tidak Boleh Melampauinya). Posisi daerah hasilnya adalah kurva gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel X dan Y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah negative (variabel Y bernilai negative). Keduanya berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r mengaplikasikannya dalam masalah riba sebagai batas maksimal positif yang tidak boleh dilampaui dan zakat sebagai batas minimal yang boleh dilampaui.354 Posisi Batas Maksimal Positif dan Batas Minimal Negatif (H{a>lah al-H{add al-A’la> Mu>jaban wa al-H{add al-Adna> Saliban) sebagai berikut: Y (bunga) 100%
Titik balik maksimum di daerah positif = riba
Titik tengah = qardu hasan O X Titik Balik Minimum di daerah negative = zakat 2,5% Jadi, riba yang berlipat ganda tidak boleh, sedangkan orang yang hendak berzakat di atas 2,5 % sebagai batas minimal diperbolehkan. Tetapi hitungan lebihan itu sebagai sedekah yang memiliki dua batas, batas maksimal pada daerah positif dan batas minimal pada daerah negative. Posisi ini memiliki batas tengah, tepat berada di antara keduanya yang disimbolkan dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu. Itulah riba tanpa bunga (qard} h}asan ). Dalam kondisi tertentu, sangat mungkin pihak Bank memberi kredit tanpa bunga terhadap mereka yang berhak
354
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 464.
112 menerima sedekah. 355 Hal itu merupakan bentuk aplikasi dari batas minimal (bunga 0%) dalam masalah bunga Bank, sebagai salah satu tawarab Bank Islami.356 Pertanyaannya adalah mengapa tiba-tiba Muh}ammad Shah}ru>r berubah haluan dengan menggunakan ketetapan Nabi berupa ukuran zakat 2,5% sebagai batas minimal? Kenapa batas minimal tidak diambil bukan dari al-Qur’a>n sendiri? Padahal menurutnya penafsiran Nabi bersifat relative, dan yang relative tidak bisa membatasi yang mutlak. Mengapa Muh}ammad Shah}ru>r tidak menilainya sebagai ijtihadi? Tampaknya hal ini kurang disadari oleh Muh}ammad Shah}ru>r. H{udu>d fi> al-‘Iba>dah Menurut Muh}ammad Shah}ru>r ibadah adalah hubungan (al-S}ilah) manusia dengan Allah SWT yang bersifat Tauqi>fiyyah. ‘Ibadah tersebut adalah s}alat, zakat, puasa di bulan Ramadhan dan Haji (bagi yang mampu). Oleh sebab itu karena bersifat Tauqi>fiyyah, maka Muh}ammad Shah}ru>r tidak memberlakukan teori H{udu>dnya dalam hal ibadah.357 Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa Muh}ammad Shah}ru>r konsisten dalam memegang prinsip otonomi teksnya. Teorinya yang berbasis matematika yang di ambilnya dari Isaac Newton (1642-1727) merupakan terobosan baru dalam penafsiran yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, beliau tampaknya tidak konsisten dalam memegang prinsip tartil dan anti-antomistic, yakni ketika menafsirkan kata ‚al-Banu>n‛, dia tidak melihat pada ayat sebelumnya dan tidak melihat ayat lainnya yang memiliki hubungan paradigmatic. Justru di sini tampak subyektifitasnya sebagai seorang arsitek. Tentang teori limit yang ditawarkannya, sebenarnya bisa disadari bahwa ayat-ayat al-Kita>b memang mengandung konsep atau teori limit. Konsep ini tidak hanya terkandung dalam ayat-ayat al-Risa>lah sebagaimana diklaim oleh Muh}ammad Shah}ru>r, tetapi juga dalam ayat al-Nubuwwah. Misalnya tentang ‚al-Shajarah‛ yang tidak boleh didekati oleh Adam A.S (Q.S: al-Baqarah: 35, al-A’ra>f: 19). Di sini ‚alShajarah‛ merupakan batas Allah yang tidak boleh dilewati. Adam boleh makan dengan sesuka hati, kecuali buah ‚al-Shajarah‛. Tetapi kenyataannya buah tersebut dimakan juga oleh Adam yang berakibat dia diturunkan oleh Allah ke bumi. 355
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 136. Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 464. 357 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 480-491. 356
113 E. IMPLIKASI METODOLOGI ASBA
KONTEKSTUAL
TERHADAP
1. Asba>b al-Nuzu>l Tidak Berlaku Bagi Ayat-Ayat al-Qur’a>n Dalam bukunya yang pertama, Muh}ammad Shah}ru>r menulis sub bab khusus ‚Asba>b al-Nuzu>l hanya berlaku bagi ayat-ayat hukum dan Tafs}i>l al-Kita>b , tetapi ia tidak berlaku bagi ayat-ayat al-Qur’a>n‛. Sungguh mengejutkan dan mengagetkan merupakan ciri khas dari prinsip defamiliarisasi yang dipedomani oleh Muh}ammad Shah}ru>r. jika pembaca tidak jeli dalam memahaminya, maka kesalahpahaman mungkin akan terjadi. Sebab, al-Qur’a>n yang dimaksud di sini bukanlah al-Qur’a>n yang secara umum dikenal di kalangan umat Islam, dan diperkenalkan Muh}ammad Shah}ru>r dengan nama al-Kita>b. Bagi Muh}ammad Shah}ru>r al-Qur’a>n adalah ilmu tentang realitas obyektif ‚yang eksis di luar kesadaran manusia‛. Dengan kata lain, al-Qur’a>n hanya memuat tema-tema alam semesta dan kisah-kisah.358 Untuk mengantarkan kepada sebuah pemahaman yang baik, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dikehendaki dari kata alQur’a>n oleh Muh}ammad Shah}ru>r. menurutnya, kata al-Qur’a>n ketika disebut secara definitive (memakai atribut alif-lam), maka akan menunjuk kepada dirinya sendiri. Sementara ketika disebut secara umum (nakirah), maka ia bisa jadi merujuk pada bagian tertentu saja atau hanya sebagian darinya. Yang dimaksud dengan al-Qur’a>n alH{aki>m adalah al-Qur’a>n al-Am yang diturunkan pada bulan Ramadhan itu sendiri. Sedangkan ungkapan Qur’a>num Maji>d tidak secara otomatis merujuk kepada al-Qur’a>n al-Am, tetapi ia adalah termasuk jenis ayat al-Qur’a>n, atau bagian tertentu dari al-Qur’a>n bukan keseluruhannya.359 Secara substansial al-Qur’a>n memiliki dua kandungan. Pertama, bagian yang tetap (al-Juz’ al-Tha>bit) yang dijustifikasi oleh Q.S: alBuru>j: 21-22. Bagian ini berupa undang-undang atau tata aturan universal yang menganut segala eksistensi sejak penciptaan alam semesta (Big bang Pertama). Di dalamnya terdapat undang-undang perkembangan (hukum evolusi), hukum obyektif kematian dan hukum perubahan bentuk hingga datangnya hari kiamat dan ditiupnya sangkakala, kebangkitan, surga dan neraka. Bagian universal ini tampak 358
Muh}ammad Shah}ru>r, al-Kita>b wa (Damaskus: al-Aha>li>, 1992), 92. 359 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 73.
al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah
114 pada Q.S: al-Kahfi: 27. Hukum yang sudah terprogram ini tidak mengalami perubahan demi kepentingan siapapun,360 meskipun seorang Nabi ataupun rasul. Kedua, bagian al-Qur’a>n yang berubah. Bagian ini merupakan bagian dari Ima>m Mubi>n , Q.S: Ya>si>n: 12, yang memiliki dua aspek yaitu: a) peristiwa dan hukum alam particular. Bagian ini merupakan sasaran ilmu pengetahuan manusia terhadap alam, berada dalam wilayah yang dapat dirubah oleh Allah dan manusia sekaligus masuk dalam wilayah do’a, karena ia tidak bersifat tetap di satu sisi, dan di sisi lain ia tidak keluar dari hukum universal. Dengan kata lain, semua itu tidak bersifat adi>m. Misalnya, hukum universal dalam lauh} Mah}fu>z} menyatakan bahwa kematian adalah riil, tetapi peristiwa particular di alam memungkinkan terjadinya fenomena pemanjangan atau pemendekkan usia. Tetapi hal ini bukanlah penghapusan kematian itu sendiri. b) peristiwa sejarah manusia yang telah terjadi disebut dengan ah}san al-qas}as}, al-kita>b al-mubi>n. Di dalamnya terdapat program perkembangan sejarah dengan nubuwwah dan risa>lah. Sejarah manusia yang sadar adalah pengetahuan dan penetapan hukum, produk yang dihasilkannya berupa produk material dan sarana peradaban manusia. Manusia membutuhkan akumulasi pengetahuan hingga menjadi loncatan tashri>’. Nubuwwah adalah loncatan ilmu pengetahuan, ketika pengetahuan semakin berakumulasi, maka timbul tuntutan untuk menyusun #undang-undang yang sesuai. 361 Misalnya, ketika motor pertama masuk ke Indonesia, tentu tidak bersamaan dengan aturan lalulintas. Namun, undang-undang berkendara motor dibuat setelah semakin banyak orang menggunakannya dan terjadinya banyak kecelakaan. Dengan kata lain, loncatan ilmu pengetahuan memicu loncatan penetapan hukum, sehingga posisi ayat-ayat Umm al-Kita>b sebagai alRisa>lah akan selalu mengiringi ayat-ayat al-Qur’a>n sebagai al-
Nubuwwah. Pendek kata, Muh}ammad Shah}ru>r bermaksud ingin mengatakan bahwa al-Qur’a>n tidak memiliki Asba>b al-Nuzu>l, sebab kenyataannya alQur’a>n diturunkan dalam satu waktu berbentuk bahsa Arab pada bulan Ramad}an; Q.S: al-Baqarah: 185, Q.S: al-Qadr: 1.362 Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Qur’a>n yang dimaksud di sini bukanlah yang 360
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 74. Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 81. 362 Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 93. Hal ini juga sekaligus menjawab atas keragu-raguan dari pertanyaan, mulai dari atau di mana al-Qur’a>n berbahasa Arab? Lauh} mah}fu>z}, Bait al-‘Izzah, Malaikat atau Nabi Muh}ammad SAW. 361
115 diturunkan selama 22 tahun itu, akan tetapi yang berada di Lauh} Mah}fu>z}, dan memuat ilmu tentang tema-tema alam semesta dan kisahkisah masa lalu. Dalam hal ini tidak ada masalah, jika dikatakan bahwa al-Qur’a>n tidak memiliki Asba>b al-Nuzu>l. 2. Asba>b Al-Nuzu>l Merupakan Cacat Bagi Ulu>m al-Qur’a>n? Pernyataan Muh}ammad Shah}ru>r bahwa ‚Asba>b al-Nuzu>l hanya berlaku bagi ayat-ayat hukum...‛ mengandung pengertian bahwa ia hanya berlaku bagi ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, yakni ayatayat Muh}kama>t (Umm al-Kita>b ). Dalam hal ini Muh}ammad Shah}ru>r mencotohkan sebab turunnya ayat yang termasuk Umm al-Kita>b; Q.S: ‘Abasa: 1-2 yang merupakan koreksi Allah SWT kepada Nabi Muh}ammad SAW atas sikap cemberutnya, saat kedatangan Ibnu Ummi Maktu>m.363 Menurutnya, seandainya Nabi tidak berpaling dari Abd alLa>h b. Ummi Maktu>m tentu secara mutlak ayat ini tidak akan turun dan tidak akan bisa didengar hingga saat ini.364 Dengan kata lain, Umm alKita>b tidak akan turun jika tidak ada hal-hal yang menyebabkan turunnya. Namun demikian, pendapat dan pernyataan dalam buku pertamanya itu tampaknya telah dikoreksi sendiri oleh Muh}ammad Shah}ru>r dalam bukunya yang keempat; yakni Nah}w Usu>l Jadi>dah Li alFiqh al-Isla>mi>. Muh}ammad Shah}ru>r menyatakan bahwa dalam ketiga buku sebelumnya (al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah, Dira>sa>t
Islamiyyah Mu’a>s}irah fi> al-Daulah wa al-Mujtama’ dan al-Isla>m wa alI<ma>n Mandhu>ma>t al-Qiya>m) terdapat beberapa pokok pikiran yang kurang tepat dan berseberangan dengan pokok pikiran yang ada dalam buku keempat ini. Oleh sebab itu, Muh}ammad Shah}ru>r menyatakan telah mengoreksinya atas dasar bahwa prinsip metodologi yang dipakainya adalah untuk mengungkap kelemahan dan kesalahan yang dilakukan sebelumnya tanpa pilih kasih ataupun penolakan yang emosional.365 Sebagai ilmu yang dianggap sejajar dengan konsep Asba>b alNuzu>l, konsep Naskh-Mansu>kh juga dikoreksi oleh Muh}ammad Shah}ru>r. Sebab menurutnya, keduanya memiliki problem yang sama; yakni terkait erat dengan sifat lokalitas dan temporalis. 363
Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l Ay al-Qur’a>n (ttp: tth), 443. Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 159. 365 Muh}ammad Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: al-Aha>li>, 2000), 15. 364
116 Dalam bukunya yang pertama ia mengakui adanya konsep Naskh Mansu>kh dalam Umm al-Kita>b. Dengan kata lain, Muh}ammad Shah}ru>r mengakui bahwa dalam ayat-ayat Risa>lah telah terjadi perubahan. Misalnya Q.S: al-Baqarah: 284, pemberlakuannya dihapus oleh Q.S: 2: 286. Perubahan ini menurut Muh}ammad Shah}ru>r dijustifikasi oleh Q.S: al-Ra’d: 39. 366 Sedangkan dalam bukunya yang keempat Muh}ammad Shah}ru>r menolak adanya konsep Naskh Mansu>kh dalam al-Tanzi>l alH{aki>m (al-Kita>b), sebab setiap ayat memiliki wilayah dan tempatnya sendiri.367 Koreksi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pemikiran Muh}ammad Shah}ru>r terus berkembang dan terus berubah seiring perkembangan perspektif dan metodologi yang digunakannya. Dari sini ada indikasi bahwa apa yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r bukanlah sesuatu yang benar-benar matang (Ghair al-Nad}j). Oleh karena itu masih terbuka peluang bagi peneliti lain untuk membantah atau Muh}ammad Shah}ru>r akan mengoreksi pendapatnya sendiri dalam buku-buku berikutnya. Jika dalam bukunya yang pertama, Muh}ammad Shah}ru>r berpandangan bahwa Asba>b al-Nuzu>l hanya berlaku bagi ayat-ayat hukum, maka dalam bukunya yang kedua, Asba>b al-Nuzu>l tidak berlaku, baik bagi al-Qur’a>n maupun ayat-ayat hukum. Tampaknya alasan mendasar penolakan dalam bukunya yang keempat ini, didasarkan atas ‚Dialektika Filsafat Proses‛ (Kainu>nah [Being], sairu>rah [processing], sairu>rah [Becoming]), sehingga posisi Asba>b al-Nuzu>l meskipun berkualitas s}ah}i>h}, ia tidak lebih dari sekedar bentuk penjelasan awal terhadap al-Qur’a>n atau paling tidak hanya menjelaskan bentuk pemahaman dan penafsiran abad ketujuh. Dengan demikian, ia hanyalah cerminan awal bagaimana proses interaksi pertama yang historis antara manusia dengan al-Qur’a>n pada saat itu. Sementara pada saat ini, pemahaman dan penafsiran yang historis itu sudah tidak diperlukan lagi. Sebab, makna al-Qur’a>n itu eksis pada dirinya sendiri (kainu>nah), sehingga ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah (sairu>rah).368 Dengan demikian, Asba>b al-Nuzu>l hanyalah satu dari varian penafsiran yang bersifat particular-historis dan local-temporal. Oleh karena itulah, menurut Muh}ammad Shah}ru>r, menjadikannya sebagai 366
Shah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur’a>n, 160. Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 230. 368 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 94. 367
117 bagian dari Ulu>m al-Qur’a>n, merupakan cacat terbesar, sebagaimana juga menjadikan ilmu tajwi>d dan ilmu qira>’at sebagai bagian darinya.369 Sebab, sebenarnya ia masuk dalam lingkaran sejarah yang terbatasi oleh ruang dan waktu serta pemeran pada saat itu. Oleh karena itulah, ia lebih tepat jika dijadikan sebagai bagian dari ilmu sejarah. Perdebatan ini bukanlah hal yang baru. Tampak jelas bagaimana para Sarjana Muslim tradisional menyajikan dalam buku-buku Ulu>m alQur’a>n sebuah bab khusus tentang Asba>b al-Nuzu>l dan menyebutkan tentang urgensinya memahami ayat-ayat al-Qur’a>n yang memiliki Asba>b al-Nuzu>l , sekaligus membantah pendapat yang menganggap bahwa ia hanyalah bagian dari sejarah. Al-Zarkashi> misalnya, memberikan rincian detail arti penting mengetahui Asba>b al-Nuzu>l sekaligus menentang pendapat yang mengatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l tidak penting dan merupakan sejarah. Pertama, segera mengetahui hikmah yang timbul atas dishari’atkannya sebuah hukum. Kedua, segera mengetahui kekhususan hukum yang terbatas pada sebab, bagi yang berpendapat bahwa ‚Yang menjadi pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz}‛. Ketiga, cara efektif untuk segera memahami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’a>n keempat, menghindarkan dari shak wa sangka tentang ketentuan pembatasan dalam ayat-ayat al-Qur’a>n. Artinya ayat itu dalam penerapannya berlaku umum atau khusus. Kelima, menghilangkan kesulitan dalam memahami ayat (yang memiliki Saba>b al-Nuzu>l).370 Jadi, tampaknya Muh}ammad Shah}ru>r berusaha memunculkan kembali pendapat lama yang telah ‚ terpendam‛ untuk kemudian dipolesnya dengan filsafat, sehingga akan Nampak benar-benar seperti ‚grand theory‛ atau pendapat yang betul-betul baru. Faktor lain yang mendasari penolakan Muh}ammad Shah}ru>r juga didasarkan atas rapuhnya Asba>b al-Nuzu>l itu sendiri. Padahal Asba>b alNuzu>l selama ini dianggap sebagai bagian dari Ulumul Qur’a>n yang barang siapa tidak mengetahuinya, maka tidak akan bisa memahami alQur’a>n. Doktrin inilah yang hendak dibuktikan Muh}ammad Shah}ru>r, bahwa doktrin tersebut adalah tidak benar. Oleh karena itu, agar bahasan tidak melebar, maka Muh}ammad Shah}ru>r membingkai pembahasannya dalam bentuk sajian sub-bab tersendiri dan menjadikan dua buku koleksi 369
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 230. Selengkapnya berikut contoh-contoh, lihat al-Zarkashi>, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 2001), 45-51. 370
118 karya al-Wa>h}idi> dan al-Suyu>t}i> sebagai bukti-bukti dan referensi utamanya.371 Sebab kedua buku inilah yang banyak dikenal di kalangan Muslim. Mula-mula Muh}ammad Shah}ru>r mempertanyakan kembali pernyataan al-Wa>h}idi> (yang juga banyak dikutip oleh para penulis IlmuIlmu al-Qur’a>n) bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n tidak mungkin dilakukan kecuali dengan cara mengetahui sebab-sebab turunnya.372 Pernyataan seperti ini bagi Muh}ammad Shah}ru>r memiliki implikasi yang cukup serius; yakni upaya pembodohan umat melalui pembohongan public. Kegelisahan akademik yang dialami oleh Muh}ammad Shah}ru>r cukup beralasan. Sebab, pernyataan al-Wa>h}idi> di atas, ternyata mengandung problem serius yang tampaknya tidak disadarinya. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa tidak semua ayat al-Qur’a>n memiliki Sabab al-Nuzu>l. Roem Rowi, dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa secara kuantitatif al-Wa>h}idi> mengoleksi riwayat-riwayat Asba>b alNuzu>l sebanyak 82 surat atau sekitar 72% dan 32 surat yang tidak memiliki Asba>b al-Nuzu>l. Dari jumlah 32 itu, menurut al-S{uyu>t}i>, 23 di antaranya memiliki Asba>b al-Nuzu>l. Hanya ada 9 surat saja yang disepakati oleh kedua kitab tersebut yang tidak memiliki Asba>b alNuzu>l. Jika keduanya digabungkan, maka jumlah surat yang ber-Asba>b al-Nuzu>l bias lebih banyak lagi. Secara kuantitatif, jumlah seluruh ayat al-Qur’a>n berdasarkan penghitungan terhadap mushaf al-Qur’a>n alKari>m Wa Tarjamatuh al-Indu>ni>siyyah yang diterbitkan oleh kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia adalah 6234 ayat. Dari jumlah tersebut, ada 715 atau sekitar 11,5% di antaranya memiliki Asba>b al-Nuzu>l.373 Apalagi dari sisi kualitas, al-S{uyu>t}i> ( w. 911 H) mengklaim bahwa koleksinya merupakan pelengkap koreksi riwayat karya alWa>hidi> (w. 468 H). 374 Sebagaimana dikatakan oleh W. Montgomery Watt bahwa kitab al-Wa>hidi> memiliki banyak cacat; di antaranya tidak
371
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 83. Sebagaimana juga dikutip oleh al-S{uyu>t}i> dalam bukunya, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,2000), 59. 373 \Roem Rowi, Menafsir Ulumul Qur’a>n; Upaya Apreseasi Tema-Tema Pokok Ulumul Qur’an (Sidoarjo: al-Fath Press, 2005), 47. 374 Jala>l al-Di>n al-S{uyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l (Beirut: Dar Ihya>’ al-‘Ulum, tth), 13. 372
119 lengkap dan tidak konsisten.375 Bahkan hanya memuat riwayat-riwayat yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang tanggal kejadiannya tidak diketahui.376 Namun demikian, al-Wa>hidi> juga memperingatkan agar berhatihati dalam menerima riwayat; dar mana sumber Asba>b al-Nuzu>l itu didapatkan. Oleh karena itulah, al-Wa>hidi> mensyaratkan agar riwayat harus didapatkan dari orang yang mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan proses turunnya ayat. 377 Jelasnya, sumber pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l harus diperoleh melalui proses transmisi periwayatan yang s}ahih. Jadi, tidak ada satupun cara untuk dapat mengetahui Asba>b al-Nuzu>l kecuali dengan naql yang s}ah}i>h.378 Semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadith para ahli. Seperti halnya persoalan hadith pada umumnya, penuturan atau berita tentang sesuatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, berbanding lurus dengan keaneka ragaman sumber berita itu. Oleh karena itu, berita-berita yang ada harus dipilih dengan sikap kritis. Setidaknya hal ini juga diakui oleh al-Zarkashi> bahwa kebanyakan riwayat yang terkait dengan masalah Asba>b al-Nuzu>l tidak bias dipercaya, namun demikian hal itu tidak semuanya.379 Sikap kehati-hatian yang ditegaskan oleh al-Wa>hidi>, ternyata tidak membuatnya selamat dari kesalahan. Riwayat-riwayat lemah banyak dikutipnya, sebagaimana kritik yang dilontarkan oleh al-S{uyu>t}i> terhadapnya. Al-Wa>hidi> dinilai terlalu bersemangat mengoleksi riwayatriwayat yang bercampur aduk antara riwayat yang S{ah}i>h} dan riwayat yang d}a’i>f. Sebab, menurut al-S{uyu>t}i> riwayat yang ditulis al-Wa>hidi> kebanyakan melalui jalur transmisi dari Kalbi> dari Abi> S{a>lih} dari Ibnu ‘Abba>s yang sangat tidak berdasar dan lemah. 380 Meskipun demikian, penelitian berikutnya membuktikan bahwa al-s{uyu>t}i> juga ‚tidak
375
Lihat dan cek ulang kebenaran pernyataan Watt ke kitab aslinya; Abi> alH{asan ‘Ali> b. Ah}mad b. Muh}ammad b. ‘Ali al-Wa>h}idi> al-Naisa>buri>, Asba>b al-Nuzu>l (Kairo: Da>r al-H{aram li al-Tura>th, 1996). 376 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’a>n, terj. Lilian D. Tedjasuz}ana (Jakarta: INIS, 1998), 95. 377 al-Wa>h}idi, Asba>b al-Nuzu>l, 10. 378 Muh}ammad ‘Abd. Al-‘Adhi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi> Ulu>m alQur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 115. 379 al-Zarkashi>, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, 156. 380 al-S{uyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l, 17.
120 selamat‛ dari kesalahan yang sama, dalam hal memilah dan memilih riwayat-riwayat yang S{ah}i>h}.381 Jika demikian halnya, maka kitab-kitab pada generasi berikutnya yang mengutip dari dua kitab tersebut sebagai rujukan utama dalam penafsiran akan berakibat pada kualitas yang sama; sesat dan menyesatkan. Inilah yang disayang kan oleh Muh}ammad Shah}ru>r, sehingga ia dan juga gurunya menyeru kepada umat Islam untuk menjauhkan Asba>b al-Nuzu>l dari ‘Ul>um al-Qur’a>n dan menolak segala kebohongan dan informasi apa yang disebut sebagai asba>b al-Nuzu>l.382 Dalam rangka ini pula Muh}ammad Shah}ru>r memiliki kepentingan untuk melakukan kritik dan membuktikan betapa rapuh dan lemahnya ilmu itu. Dengan demikian akan menjadi kesadaran bersama bagi umat Islam bahwa ilmu tersebut sebenarnya tidaklah layak untuk dijadikan sebagai salah satu unsure penting dalam penafsiran al-Qur’a>n. Kritik Muh}ammad Shah}ru>r tersebut penulis bahas sebagai berikut. a. Antara Asba>b al-Nuzu>l dan Muna>saba>t al-Nuzu>l ; Sebuah Polemik Semantik Istilah Asba>b al-Nuzu>l tidak muncul di masa dan oleh Rasulullah, bahkan sahabat sekalipun. Andrew Rippin dalam penelitiannya membuktikan bahwa istilah ini muncul dan terkenal belakangan, yakni sejak masa al-Wa>h}idi> bersama buku koleksinya Asba>b al-Nuzu>l , dan setelah masa itu, istilah tersebut menjadi terpatenkan.383 Tampaknya al-Zarkashi>. Al-Suyu>t}i> dan buku-buku turunannya tidak mempermasalahkan istilah tersebut. Hanya saja, mereka menengarai permulaan munculnya buku koleksi riwayat tentang ‚peristiwa turunnya al-Qur’a>n‛ sejak Ibn ‘Ali al-Madini> (w. 848) dengan buku koleksinya; ‚Kita>b al-Tanzi>l‛. 384 Bisa jadi, istilah ini hanya dianggap masalah keterbatasan bahasa yang tidak memiliki implikasi teoritis. Namun bagi para peminat ilmu linguistic, justru istilah ini memiliki implikasi teoritis
381
Muh}ammad H{a>di> Ma’rifat, al-Tamhi>d fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (ttp; Mu’assasah al-Nashr al-Isla>mi>, 1461 H), 247-253. 382 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 93-94. 383 Andrew Rippin, ‚The Exegetical Genre ‚Asba>b al-Nuzu>l‛: A Bibiliographical and Terminological Survey‛ , Bulletin of the School Oriental and African Studies, University of London, 15. 384 al-Zarkashi>, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, 45. Al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, 13.
121 yang cukup serius. Muh}ammad Shah}ru>r adalah salah satu di antara banyak orang yang tidak setuju dan mempermasalahkan istilah itu. Ketidak setujuan Muh}ammad Shah}ru>r terhadap istilah Asba>b alNuzu>l didasarkan pada asumsi bahwa istilah Asba>b al-Nuzu>l menunjuk kepada pengertian bahwa suatu ayat tidak akan turun kecuali dengan adanya sebab-sebab turunnya ayat tersebut, sebagaimana hubungan antara al-ma’lu>l dan al-‘Illah nya.385 Sehingga ketika alasan atau sebab ini tidak ada, maka ayatpun tidak akan turun. Muh}ammad Shah}ru>r menawarkan istilah ‚Muna>saba>t al-Nuzu>l ‚ yang menurutnya pernah diucapkan olehSayyidina> ‘Ali r.a,386 dan istilah inilah yang lebih tepat untuk menyebut peristiwa-peristiwa yang menyertai turunnya ayat. Sebab, secara teologis, istilah Asba>b al-Nuzu>l lebih memiliki stressing makna sikap yang tidak beradab (Su>’ al-Adab). Kepada Allah SWT.387 Secara etimologi, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar dan memiliki implikasi teoritis yang cukup serius. Istilah Muna>saba>t al-Nuzu>l lebih mengarah kepada makna sebuah ungkapan bagi keadaan di mana wahyu turun di dalamnya, dan ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap ada-tidaknya atau turutidaknya teks; dengan asumsi bahwa al- Munasaba>t secara bahasa berarti kesesuaian dan kecocokan. Sementara istilah Asba>b al-Nuzu>l lebih dipahami sebagai sebuah keadaan yang menuntut dan meniscayakan turunnya sebuah ayat, sehingga ia memiliki pengaruh yang cukup serius terhadap keberadaan teks tersebut. Hal ini berangkat dari sebuah pemahaman terhadap kata ‚sebab‛, yang secara istilah berarti sesuatu yang meniscayakan keberadaannya karena adanya penyebab, dan ketiadaannya karena tidak adanya penyebab.388 385
Ulama berbeda pendapat tentang ‚illat\ ‚ ; Pertama, golongan yang tidak mensyaratkan kesesuaian antara sifat dan hokum. Alasannya, bahwa baik ada kesesuaian atau tidak di antara keduanya, tetap saja dianggap sebagai asbab dan ‘illat. Kedua, golongan yang mensyaratkan adanya kesesuaian antara keduanya. Alasannya, jika sifat dan hukum tidak ada kesesuaian yang jelas, maka hanya dianggap sebagai asba>b dan bukan ‘illat. Lihat Zakiy al-Di>n al-Sha’ba>n, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r alNashr, tth), 248. 386 Sayangnya Muh}ammad Shah}ru>r tidak menyebutkan dari mana ia mengutip istilah itu. Di samping itu, apakah istilah itu benar-benar telah diucapkan oleh Sayyidina> ‘Ali> r.a sendiri atau hanya pengagumnya saja. 387 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 84. 388 Lihat diskusi tentang Muna>saba>t al-Nuzu>l La> sabab al-Nuzu>l, diakses 31 Januari 2011 di http://www. Tafsir.net/vb/showtread.php?t=8975
122 Bagi Muh}ammad Shah}ru>r kelemahan paling mendasar Asba>b alNuzu>l adalah bahwa ilmu itu akan menghapus sifat universalitas risalah Muhammad SAW dan membatasinya dalam batas-batas temporer, dan membuka pintu bagi para pengingkar wahyu yang menduga akan historisitas kitab Allah SWT, yang bias lenyap dengan lewatnya sebabsebab yang diturunkannya. 389 Dengan kata lain, kata Asba>b lebih dipahami dan diletakkan dalam bingkai sejarah, dan oleh karenanya ia bersifat historis. Jika, Asba>b bersifat historis, maka konsekuensinya adalah teks yang memiliki relasi dengan Asba>bnya juga harus bersifat historis. Padahal, sebagaimana dipahami bahwa sejarah merupakan peristiwaperistiwa masa lalu yang terletak terpisah dari peristiwa saat ini. Oleh karena itu sejarah tidak bias dikatakan bersifat universal, sebab ia terpagari oleh ruang, waktu dan personal pada saat terjadinya peristiwa. Sementara yang demikian itu, sama sekali bukan karakteristik daripada teks shar’i> yang bersifat universal kontekstual; yakni untuk masa lalu, masa kini dan masa yang akan dating. Artinya, sifat universalitasnya al-Qur’a>n dapat menembus ruang dan waktu, dan tidak terpengaruh oleh peristiwa particular, ayat alQur’a>n tetap turun. Dengan kata lain, teks shar’i> merupakan khit}a>b Allah SWT yang tidak hanya ditujukan kepada manusia pada saat ia diturunkan pertama kali, tetapi ia juga untuk manusia di masa kini dan masa yang akan datang hingga hari akhir nanti. Tampaknya istilah Muna>saba>t al-Nuzu>l yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r mirip dengan istilah Sha’n al-Nuzu>l. Dalam buku ‚Ta>rikh al-Qur’a>n‛, Ha>di> Ma’rifat berpendapat bahwa istilah Sha’n alNuzu>l memiliki jangkauan makna yang lebih umum daripada istilah Asba>b al-Nuzu>l. Jadi, setiap ada peristiwa berkaitan dengan seseorang atau suatu masalah yang terjadi pada masa lalu, saat ini dan masa mendatang, terkait dengan hokum, diturunkan satu atau beberapa ayat, maka semua ini disebut dengan Sha’n al-Nuzu>l dari ayat-ayat yang diturunkan. Misalnya ayat yang diturunkan dengan membawa pesan mengenai kemaksuman para Nabi atau malaikat, itu semua adalah Sha’n al-Nuzu>l. Sementara Asba>b al-Nuzu>l adalah sebuah peristiwa yang disusul oleh turunnya ayat atau beberapa ayat. Dengan kata lain, peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat al-Qur’a>n. 390 Namun
389
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 204-205. M. Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’a>n (Jakarta: al-Huda, 2007), 98.
390
123 demikian, pendapat ini masih menyetujui adanya Asba>b al-Nuzu>l dalam bingkai yang masih khusus. Sa>mir Isla>m bu>li>, dalam bukunya ‚Z{ah> irat al-Nas} al-Qur’a>n; Ta>rich wa Mu’a>s}irah ‛ tidak menyetujui penggunaan terma ‚sabab‛. Sebab, kata ‚sabab‛ menunjuk makna sesuatu yang meniscayakan adanya sesuatu karan adanya penyebab, dan meniscayakan ketiadaannya karena tidak adanya penyebab. Menurutnya, istilah yang tepat adalah ‚Historisitas Turunnya Tashri> ‛ ( ) َسٔل انرشرٌح ذارٌخٍح. Istilah ini mengandung pengertian bahwa waktu dan peristiwa memiliki ksesuaian dan kecocokan, yang secara sempurna telah ditentukan oleh Allah SWT untuk menurunkan teks shari’at dengan format yang sesuai pada saat itu.391 Menurut penulis, penggunaan istilah Historisitas atau ‚Ta>rikhiyyah‛ yang ditawarkan Sa>mir justru telah terjebak dalam sifat lokalitas dan temporalitas. Jika demikian halnya, maka s}alat, puasa, atau shari’at lainnya hanya berlaku untuk orang di saat dan tempat itu. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa sejarah terkait erat dengan ruang, waktu dan personal pada saat tertentu.392 Sementara turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n, meskipun ia tampak bersifat historis, tetapi ia sebenarnya justru melampaui dimensi historis itu sendiri. Sebab, ia sudah disetting secara rapi oleh Allah SWT untuk diturunkan pada suatu konteks tertentu. Artinya, ia tidak tunduk pada historisitas, sebagaimana asba>b lain yang tunduk pada relativitas dan partikularitas. Justru ialah yang menjustifikasi sejarah. Bahkan ia mewujudkan dan memberikan pengaruh dalam sejarah. Dengan demikian, tidak mungkin dalam menafsirkan teks harus menyandarkan pada sejarah. Penolakan Muh}ammad Shah}ru>r terhadap istilah Asba>b al-Nuzu>l tampaknya didasarkan pada pandangan yang diungkapkan oleh Ulama Us}ul> al-Fiqh, seperti apa yang diungkapkan oleh al-A<<midi>393 bahwa:
391
Sa>mir Isla>mbu>li>, Z{a>hirat al-Nas} al-Qur’a>n Ta>rich wa Mu’a>s}irah (Damaskus: Da>r al-Awa>il, 2002), 130. 392 Abd al-‘Azi>z Ka>mil, al-Qur’a>n wa al-Ta>ri>kh (Kuwait: Da>r al-Buh}u>th al‘Ilmiyyah, 1984), 11-74. 393 Muh}ammad b. Al-Ami>r al-S{an-‘a>ni>, Us}u>l al-Fiqh; Ija>bat al-Sa>’il Sharh} Bughyah al-A<mi>l (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1986), 51. Lihat juga ‘Abd alWahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-‘Ilm, 1978), 117.
124 "اٌ ٔجٕد انسثة ٌسرهسو حرًا ٔجٕد انًسثة ٔاَعذاو انسثة ٌسرهسو حرًااَعذاو انًسثة " انعذو ّعذي ٍي ٌهسو ٔ انٕجٕد ِٔجٕد ٍي فٍهسو Namun demikian, hal yang kurang disadari oleh Muh>ammad Shah}ru>r adalah bahwa istilah Asba>b al-Nuzu>l dalam Ulumul Qur’a>n, tidak serta merta dianggap sebagai sesuatu yang menuntut dan mengharuskan turunnya ayat, sebagaimana kritik yang juga dilontarkan oleh Shah}ru>rian (orang-orang yang sepaham dengan Muh}ammad shah}ru>r). Sebab, bagaimanapun juga makhluk yang terbatas tidak akan pernah mampu memaksa Sang Khalik yang Maha Tidak Terbata untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini menurunkan suatu ayat al-Qur’a>n. Kenyataannya para ulama ahli us}u>l berpandangan bahwa Asba>b al-Nuzu>l bukan berarti temporalitas (waqtiyyah) hokum dan tidak terbatas sebagai sebab, sehingga kaidah yang dipegang adalah ‚al-‘Ibrah bi ‘Umu>m al-Lafz} La> Khus}u>s} al-Sabab‛. Misalnya al-S{uyu>t}i> meskipun menggunakan istilah Asba>b al-Nuzu>l, tetapi ia sendiri memilih kaedah seperti di atas.394 Sebenarnya Muh}ammad Shah}ru>r juga memilih kaedah di atas, tetapi persoalan mendasar yang membedakan adalah mempertimbangkan Asba>b al-Nuzu>l dalam penafsiran. Jika Muh}ammad Shah}ru>r menolak dan menafikannya sama sekali, maka para ulama tradisional menjadikannya sebagai pertimbangan dalam penafsiran. Berbeda dengan Abu> Zaid yang tampaknya tidak memilih kedua kaedah tersebut. Ia memilih kaedah baru dengan cara membuat perbedaan antara ‚makna‛ historis yang diperoleh dari suatu konteks pada satu sisi, dan ‚signifikansi‛ (al-maghza> ) yang diindikasikan oleh makna dalam konteks sosio-jistoris penafsiran pada sisi yang lain. 395 Dengan kata lain, ‚kaedah‛ yang digunakan oleh Abu> Zaid adalah al-
‘Ibrah bi al-Maghza>, La> bi ‘Umu>m al-Lafaz} wa La> bi Khus}u>s} al-Sabab
atau dalam bahasa Fazlurrahman al-‘Ibrah bi Maqa>s}id al-Shari>’ah. 396 394
Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 61. Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Dekonstruksi Gender; Kritik Wacan Perempuan dalam Islam, terjemah dari Dawa>ir al-Khauf; Qira>’ah fi> Khit}a>b al-Mar’ah, oleh: Moch. Nur Ichwan dan Moch. Shamsul Hadi (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan McGill, 2003), 180. 396 Ungkapan semasam ini sudah biasa terdengar dari bibir ke bibir. Sahiron Shamsuddin mengatakannya pada saat ujian promosi doctoral Ali Sodikin di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 14/08/2008. Untuk dijadikan kaedah, adagium tersebut masih perlu dikaji ulang (untuk tidak mengatakan ditolak). 395
125 Namun demikian, hal ini masih menyisakan pertanyaan siapa dan apa yang menjadi tolak ukur bagi penentu maghza> atau maqa>s}id? Dalam Ulumul Qur’a>n, kata ‚sabab‛ digunakan selalu diikuti dengan kata ‚al-Nuzu>l ‛ dan terpatenkan menjadi istilah Sabab al-Nuzu>l (sejak masa al-Wa>h}idi>. Dalam hal ini, menarik untuk diungkapkan kesimpulan Nasiruddin Baidan setelah menampilkan beberapa pengertian dari para pakar Ulumul Qur’an, bahwa Sabab al-Nuzu>l adalah sesuatu yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat, baik berupa peristiwa atau dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. 397 Dengan kata lain, Saba>b al-Nuzu>l bisa diartikan sebagai peristiwa yang menjadi latar belakang pada saat turunnya al-Qur’a>n; lalu turun satu atau beberapa ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut, atau seperti pertanyaan yang dihadapkan kepada Rasulullah SAW lalu turunlah ayat yang di dalamnya terdapat jawabannya. Dari sini dapat dipahami bahwa penamaan istilah Asba>b al-Nuzu>l dalam Ulumul Qur’a>n, terkait dengan adanya pertalian antara peristiwa dengan penjelasan yang dikandung oleh ayat yang turun kemudian. Pertalian tersebut dapat berupa jawaban, 398 penjelasan, 399 sanggahan atau bahkan persetujuan atas hal-hal yang terjadi dalam peristiwa Asba>b al-Nuzu>l. Pertalian yang begitu dekat, sehingga seakan-akan masuk dalam kategori sebab-akibat (kausalitas); suatu ayat ‚seakan-akan‛ tidak akan turun jika tidak ada peristiwa tersebut. Sedangkan istilah Muna>sabah tidak mengandung makna tuntutan adanya hubungan layaknya sebab-akibat, yang terpenting adalah adanya keterkaitan antara suatu ayat dengan peristiwa yang mengiringinya tersebut. Menarik untuk dicontohkan, Q.S: al-Qamar: 45; ‚Sayuhzam alJam’u wa Yuwallu>n al-Dubur‛ yang menurut ijma>’ ulama bahwa ayat tersebut termasuk Makkiyyah. 400 Kebenaran ayat tersebut terbuktikan pada peristiwa Perang Badar; yakni manakala ‘Umar b.al-Khat}t}a>b
397
Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 136. 398 Tampak jelas pada Q.S: al-Anfa>l: 1. 399 Misalnya tentang kasus Zaid dan Zainab. Lihat Nur Cholis Madjid, Konsep
Asbab al-Nuzul; Relevansinya Bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan, dalam Nur Cholis Madjid; Kontekstualisasi Dalam Sejarah, ed. Buz}y Munawar-Rachman (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), 4. 400 Muqa>til mengatakan bahwa surat al-Qamar Makkiyyah, kecuali ayat 45 tersebut. Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n b. ‘Ali> b. Muh}ammad al-Jauzi>, Za>d al-Masi>r fi ‘Ilm alTafsi>r (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1404 H), 87.
126 melihat bahwa Nabi Muh}ammad SAW membaca ayat itu. 401 Di sini tampak adanya keterkaitan dan kesesuaian antara ayat dan peristiwa , dan bahwa ayat lebih dahulu turun daripada peristiwa. Meskipun demikian, al-Zarkashi> memasukkannya dalam kategori Asba>b alNuzu>l.402 Dalam hal ini penulis kurang menyepakatinya, sebab peristiwa tersebut lebih tepat dikatakan sebagai Muna>saba>t al-Nuzu>l daripada Asba>b al-Nuzu>l. Dengan kata lain, peristiwa tersebut hanya memiliki kesesuaian dan bukan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat. Demikian juga, apa yang telah dianggap al-Wa>h}idi> sebagai Asba>b al-Nuzu>l, semisal mengenai surat-surat al-Fi>l. Surat ini turun berkenaan dengan kisah As}ha} >b al-Fi>l yang hendak menghancurkan Ka’bah dan kemudian Allah SWT menghancurkan mereka. 403 Sebenarnya ini lebih tepat jika dikatakan sebagai informasi historis daripada Asba>b al-Nuzu>l. Oleh karena itu al-Suyu>t}i> tidak mengkategorikannya sebagai Asba>b. Sebab, ayat tersebut turun tidak pada hari terjadinya peristiwa.404 Di samping itu tampaknya istilah Asba>b juga disandarkan pada kata ‚Sabab‛ sebelum kata ‚Nuzu>l ‛ atau juga disandarkan pada huruf fa’ al-sababiyyah yang dirangkaikan dengan kata ‚Nazalat‛, sehingga wajar ketika riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa turunnya yang menggunakan redaksi tertentu disebut ‚sabab‛. Jadi, ketika ditemukan sebuah riwayat yang menggunakan redaksi ‚Nazalat Ha>dhih al-A Kadha> ‛, maka ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut merupakan Asba>b al-Nuzu>l, penafsiran atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hokum sebuah ayat. Untuk menentukan hal ini, demikian ‘Adna>n Ka>mil mengatakan, dengan melihat qari>nah-qari>nah yang terkait dengan salah satu kemungkinan itu, atau paling tidak ditentukan dengan pentarjihan.405 Dengan demikian, penggunaan kata Asba>b lebih dilihat dari redaksi yang digunakan dalam riwayat itu. Bukan Asba>b dalam pengertian Us}u>l al-Fiqh yang mengharuskan wujudnya musabbab. 401
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi> H{a>tim. Lihat Ibnu Kathi>r, alBida>yah wa al-Niha}yah (Beirut: Maktabah al-Ma’a>rif, Tth), 276. Bandingkan alT{abari, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H), 33.
402
al-Zarkashi>, al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, 33. Asba>b al-Nuzu>l ini diriwayatkan oleh al-T{abra>ni>, namun al-Suyu>t}i> menilainya sebagai d}a’i>f. Al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l, 106. 403 al-Wa>h}idi, Asba>b al-Nuzu>l, 256. 404 Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 64. 405 Adnan Kamil, Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: al-Mukhta>r al-isla>mi>, tth), 31.
127 Solusi alternative ditawarkan oleh S{abu>r Sha>hi>n bahwa asba>b tidak melulu berarti sesuatu yang meniscayakan sesuatu, tetapi juga berarti suatu Muna>saba>t ; kecocokan atau kesesuaian. 406 Oleh karena itulah, ia memberikan pengertian bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan kesesuaian ruang, waktu, personal dan komunitas, yang mana ayat-ayat tertentu turun di dalamnya sebagai penjelas suatu hukum mengenai sesuatu yang dianggap mushkil oleh golongan orang-orang Muslim. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah Asba>b alNuzu>l sebagai peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tidak merusak nilai universalitas al-Qur’a>n. Menurut penulis istilah Asba>b lebih tepat diperuntukkan bagi peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi atau memiliki kesesuaian atau kecocokan dengan turunnya ayat secara mikro (tertentu), sementara istilah muna>saba>t lebih tepat jika diperuntukkan bagi peristiwa yang melatar belakangi atau kesesuaian dengan turunnya ayat secara makro. Dengan kata lain, Asba>b memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dibandingkan dengan Muna>saba>t. b. Doktrin ‘Ada>lah Dan ‘Is}mah al-Sahabat Atas Umat Islam Muh}ammad Shah}ru>r berpandangan bahwa salah satu sebab peletakkan ilmu Asba>b al-Nuzu>l adalah anggapan bahwa apa yang telah diriwayatkan oleh sahabat tentang Asba>b al-Nuzu>l adalah sacral dan sama sekali tidak boleh diragukan, sebab mereka semua adalah adil. Dengan begitu para ulama hadith menyusun sebuah judul tertentu tentang apa-apa yang telah diriwayatkannya itu dalam kitab-kitab hadith Nabi yang disebut al-Musnad, 407 yang hanya berisi riwayatriwayat lemah dan tidak berarti.408 Untuk memperkuat argumentasinya Muh}ammad Shah}ru>r kemudian mengutip riwayat al-Wa>hidi409 sebagai sebab turunnya Q.S: al-Furqa>n: 10. Dari riwayat al-Wah}idi> ada beberapa kemustahilan yang meniscayakan Muh}ammad Shah}ru>r untuk menolaknya. Kemustahilan itu di antaranya; a) Ayat tersebut dibawa oleh Malaikat Ridwan yang bertugas sebagai penjaga Surga, bukan oleh Jibril yang bertugas 406
Abd al-S{abu>r Sha>hi>n, Ta>ri>kh al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-I’tis}a>m, 1998), 32-
33.
407
Al-Musnad adalah sebuah riwayat yang diriwayatkan dari seorang sheikh dan secara jelas didapat melalui sima>’i> dari sheikhnya, kemudian dari sheikhnya hingga sampai pada sahabat. Al-H{a>kim mensyaratkan bahwa al-Musnad tidak berupa riwayat yang mauqu>f, mursal, dan mu’d}a>l. 408 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 88. 409 al-Wa>h}idi, Asba>b al-Nuzu>l, 224.
128 menyampaikan wahyu; b) Mengecilnya tubuh Jibril hingga sekecil biji ‘adas karena merasa takut terhadap kaum mushrik yang menghina Nabi Muh}ammad SAW’ c) Adalah mengherankan jika pada masa al-Wahidi> dan al-Suyu>t}i> ada pihak yang membenarkan seluruh informasi yang kemudian dipatenkan sebagai bagian dari Ulum al-Qur’a>n yang barang siapa tidak mengetahuinya, maka tidak akan dapat memahami isi kandungan al-Qur’a>n.410 Menurut penulis, riwayat di atas memang agak sulit diterima oleh akal,. Sebab, secara maklum dimengerti bahwa setiap Malaikat sudah mempunyai job description masing-masing, termasuk Rid}wa>n a.s yang bertugas untuk menjaga surge, bukan menyampaikan wahyu yang sebenarnya merupakan tugas dari Jibril a.s. bisa jadi, riwayat tersebut memang dibuat oleh orang yang memiliki tendensi atau kepentingan tertentu. Muh}ammad Shah}ru>r tidak hanya mengkritik riwayat tersebut, tetapi ia juga berusaha memberikan tawaran penafsiran yang solutif untuk memahami ayat itu tanpa harus bergantung kepada Asba>b alNuzu>l. Dengan berpegang pada prinsip tarti>l dan ‘adam al-ta’d}iyyah – nya, Muh}ammad Shah}ru>r merujuk kepada ayat sebelumnya, Q.S: alFurqa>n: 7-8.411 Cakrawala ayat tersebut menggambarka ucapan kaum Quraish ketika datang risalah Tuhan kepada mereka, dan Allah menjawab mereka sebagaimana Q.S: al-Furqa>n: 10.412 Tampaknya kritik Muh}ammad Shah}ru>r terhadap riwayat di atas juga diamini oleh beberapa sarjana Muslim dalam bidang hadith. Setelah penulis telusuri melalui proses takhri>j, 413 ternyata diperoleh hasil 410
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 89-90. ‚Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?, Atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?" dan orang-orang yang zalim itu berkata: "Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir". (Q.S: al-Furqa>n: 7-8). 412 ‚Maha Suci (Allah) yang jika dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungaisungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana‛. (Q.S: al-Furqa>n: 10). 413 Riwayat itu ditemukan dalam Abu> Ish}a>q Ah}mad b. Muh}ammad b. Ibra>hi>m al-Ta’labi> al-Nayshabu>ri>, al-Kashfu wa al-Baya>n, tah}qi>q: Abu> Muh}ammad b. ‘Ashu>r (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>th al-‘Araba>, 2002), 124. Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Is}a>m al-Di>n al-S{a>bit}i>, Ja>mi’ al-Aha>di>th al-Qudsiyyah. Qism al-D{a>’if wa al-Mawd}u>’ (ttp: tth), 54. Abu> al-H{asan al-‘Ali> b. Muh}ammad ‘Arra>q al-Kanna>ni>, Tanzi>h al-Sha>ri’ah al-Marfu>’ah 411
129 negative; yakni terbukti bahwa riwayat tersebut termasuk ke dalam kategori d}a’i>f. Riwayat yang diajukan Muh}ammad Shah}ru>r selanjutnya adalah riwayat yang menurutnya ditulis oleh al-Suyu>t}i> tentang kasus hubungan suami isteri ‘Umar di malam hari dengan isterinya pada malam Ramad}an. Penulis mencoba recheck ke buku aslinya dan tidak menemukan redaksi yang sama dengan kutipan yang tertuliskan dalam buku Muh}ammad Shah}ru>r. Jika dalam buku Muh}ammad Shah}ru>r dituliskan;414 "انخ...ٔدنك اٌ عًر تٍ انخطاب افطر نٍهح ٔ َاو Maka dalam buku al-Suyu>t}i> tertuliskan:415 ٔاخرض احًذ ٔ اتٍ جرٌر ٔ اتٍ اتً حاذى يٍ طرٌك عثذ اهلل تٍ كعة تٍ يانك ٔصُع كعة يصم دنك فغذا عًر انى انُثً صهى اهلل عهٍّ ٔسهى فاخثرِ فُسند االٌح... Penulis menemukan redaksi sebagaimana dikutip oleh Muh}ammad Shah}ru>r tidak dalam karya al-Suyu>t}i>, tetapi dalam kitab alKashfu wa al-Baya>n.416 Riwayat ini setelah ditelusuri ternyata sanadnya tidak jelas. Sehingga tidak bias dihukumi (Lam Aqif ‘Alaih). Riwayat ini hanya disebutkan dalam Kitab Tafsir al-Kashfu wa al-Baya>n dan inipun tanpa menyebutkan sanad sekaligus tidak menyebutkan kualitasnya. Dengan demikian, mayoritas ulama Tafsir sudah mengantisipasi dalam pengutipan riwayat, terutama terkait dengan kualitasnya. Jadi, kritik yang dilontarkan Muh}ammad Shah}ru>r pun menjadi kritik yang salah alamat; kritik yang seharusnya tidak terjadi.417 Mengenai klaim Muh}ammad Shah}ru>r bahwa penanaman konsep al-‘Ada>lah para sahabat merupakan penyebab diletakkannya ilmu Asba>b al-Nuzu>l, menurut penulis perlu dicermati lebih lanjut. Sebab, perdebatan mengenai konsep al-‘Ada>lah pada sahabat bukanlah hal yang baru, dan sebenarnya telah memiliki akar perdebatan yang terjadi antar golongan dan sekte dalam tubuh Islam; Sunni dan Shi’ah. Hal ini ‘An al-Aha>di>th al-Shani>’ah al-Mawd}u>’ah, tah}qi>q: ‘Abd al-Wah}h}a>b ‘Abd al-Lat}i>f dan ‘Abd al-La>h b. Muh}ammad al-Ghuma>ri> (Beirut: Da>r al-Kutub al’Ilmiyyah, tth), 386. 414 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 90. 415 al-S{uyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l, 17. 416 Dalam Abu Ish}a>q Ah}mad b. Muh}ammad b. Ibra>hi>m al-Tha’labi> alNaysabu>ri>, al-Kashfu wa al-Baya>n (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>th al-‘Araba>, 2002), 76. 417 Lihat kritikannya, Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 91.
130 tidak terlepas dari akar permasalahan yang perlu dijawab; siapakah yang dimaksud dengan sahabat? Dan apa yang dimaksud dengan konsep al‘Ada>lah ?. Sahabat dalam pandangan Ahl al-Hadi>th adalah setiap Muslim yang melihat Rasulullah SAW.418 Pengertian ini mengecualikan ‘Abd alLa>h b. Umm Maktu>m yang buta penglihatannya dan orang-orang semisalnya. Padahal dia betul-betul telah bersahabat dengan Rasulullah SAW. Kemudian al-Bukha>ri meredefinisi dengan menambahkan kata ‚sah}iba‛ yang berarti menemani. Jadi sahabat adalah orang Islam yang pernah menemani Nabi SAW atau melihatnya.419 Pengertian ini berarti memberikan ‘angin segar’ bagi Ibnu Umm Maktu>m untuk diakui sebagai sahabat oleh para ahli hadith. Ibnu H{ajar al-Asqala>ni> al-Sha>fi’i> mendefinisikan pengertian di atas dengan pengertian yang lebih longgar bahwa sahabat adalah orang yang (pernah) bertemu dengan Rasulullah SAW, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam, 420 termasuk dari golongan Jin. Sebab, Muh}ammad SAW juga diutus untuk menjaga mereka juga. Tampaknya definisi ini hingga saat ini diamini oleh mayoritas umat Islam. Pengertian di atas mengecualikan orang yang awalnya bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan beragama Islam, namun kemudian konversi ke agama lain. Orang seperti ini bukanlah sahabat, seperti Abd al-La>h b. Jah}sh al-Asa>di> beserta isterinya Umm H{abi>bah b. Abi Sufya>n b. H{arb yang kemudian berhijrah ke tanah H{abshah, namun pada akhir hayatnya mereka keluar dari islam dan memeluk agama Nasrani.421 (Wa al-‘Iya>dh Billa>h). Juga mengecualikan orang yang mencicipi hidup di zaman Jahiliah dan masa Rasulullah SAW, dan masuk Islam pada masa itu, namun dia tidak pernah berteman (meskipun sebentar) dengan
418
Zain al-Di>n al-‚Ira>qi>, al-Taqyi>d wa al- Ih}; Sharh} Muqaddimah Ibn alS{ala>h, tah}qi>q ‘Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad Uthma>n (Beirut: Da>r al-Fikr, 1970), 291. 419 Al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar, tah}qi>q: Muh}ammad Di>b alBagha> (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 1978), Juz III, Kita>b: Fad}a>il al-S{ah}a>bat, Bab: Fad}a>il Ash}a>b al-Nabi>, 1333. Pembahasan lebih jauh dalam Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} alBa>ri>; Shahrh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, 1379 H), 3. 420 Lihat Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni>, Nukhbat al-Fikr Fi> Must}alah} Ahl al-Athar (Beirut: Da>r al-Ma’sha>ri>, 2001), 59. 421 Ibnu Sa’ad al-Bas}ri> al-Zuhri>, al-T{abaqa>t al-Kubra> (Beirut: Da>r S{a>dir, tth), 259.
131 Rasulullah. Sebab, ulama telah bersepakat bahwa orang dalam kategori ini disebut al-Mukhad}rami>n (t}abaqat Kiba>r Tabi’i>n).422 Sementara itu, ‘adil secara definitive telah dirumuskan oleh para ahli ilmu hadith di kalangan Sunni. Al-H{a>kim al-Naysabu>ri> mensyaratkan perawi yang ‘adil adalah harus seorang Muslim, tidak mengajak kepada perbuatan bid’ah, dan tidak melakukan maksiat yang menggurkan keadilan. 423 Pengertian ini masih menimbulkan sebuah pertanyaan; maksiat macam apa yang bias menyebabkan gugurnya sifat adil?. Al-Subki> mengatakan bahwa sifat adil adalah tabiat, naluri mencegah perbuatan dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan mubah yang dianggap rendah. Misalnya makan di jalan, dan kencing di pinggir jalan. 424 Ibnu S{ala>h mensyaratkan bahwa perawi yang adil harus beragama Islam, baligh, berakal sehat, memelihara muru>’ah, dan tidak melakukan perbuatan fasik.425 Jadi, perbutan yang bias menggugurkan sifat keadilan adalah perbuatan yang merusak muru>’ah termasuk perbuatan fasik. Dengan kata lain, rawi yang adil adalah harus beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara
nuru>’ah. Meskipun pengertian sahabat di atas diamini mayoritas umat Islam, namun ada persoalan selanjutnya yang menjadi perdebatan; yakni pelekatan sifat adil bagi seluruh sahabat oleh para Ahl al-Hadi>th. Dalam hal ini golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah (Sunni) berkesepakatan bahwa sahabat secara keseluruhan bersifat adil. Kesepakatan teologis ini, sebagaimana dikatakan Ibnu H}ibba>n,426 berdasarkan sebuah riwayat dari Nabi yang melarang celaan atas sahabat:427
ًحذشُا ادو تٍ اتً اٌاش حذشُا شعثح عٍ االعًش لال سًعد دكٕاٌ ٌحذز عٍ ات ٕسعٍذ انخذري رضً اهلل عُّ لال لال انُثً صهى اهلل عهٍّ ٔسهى ال ذسثٕا اصحاتً فه 422
al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1967), 240. 423 Al-H}aki>m al-Naysabu>ri>, Ma’rifat ‘Ulu>m al-H{adi>th, 99. 424 ‘Ali> b. ‘Abd al-Ka>fi> al-Subki>, al-Ibha>j fi> Sharh} al-Minh}a>j ‘Ala> Minh}a>j alWus}u>l Ila> ‘Ilm al-Us}u>l Li al-Baid}a>wi>, tah}qi>q: Jama>’at Min al-‘Ulama> (Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H), 315. 425 Uthma>n b. ‘Abd al-Rah}ma>n b. S{alah} (Ibnu S{ala>h}), Muqaddimah Ibu S{ala>h} (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1977), 104. 426 Ibnu H{ibba>n, S{ah}i>h} Ibn H{ibba>n (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), 238. 427 Al-Bukaha>ri>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar, Kita>b: Fad}a>il al-S{ah}a>bat, 1343.
132 َّصٍف
ٔال
احذْى
يذ
دْثاياتهغ
احذ
يصم
اَفك
احذكى
ٌا
Dari riwayat inilah kaum Sunni sampai kepada sebuah kesimpulan besar bahwa seluruh sahabat bersifat adil.428 Kenyataannya, pengakuan (tentang sifat keadilan) ini tidak hanya dalam tataran teoritis-konseptual, tetapi juga tampak jelas dalam tataran aplikatif, yakni para ulumul hadith tidak ada yang berani (ta>’atan) melakukan jarh} seorangpun pada tingkatan sahabat.429 Jika demikian halnya, maka criteria adil di atas adalah sia-sia, it is nothing. Sebab, ada atau tidak adanya criteria tersebut sama sekali tidak berpengaruh pada keadilan sahabat. Dengan kata lain, kriteria tersebut hanya diberlakukan bagi generasi setelah sahabat; yakni tabi’in dan generasi seterusnya, dan tidak bagi sahabat. Implikasinya adalah orang yang pernah murtad dan meskipun kemudian masuk Islam kembali disebut sahabat, dan akan sama adilnya dengan sahabat lainnya. Ibnu ‘Umar atau Ibnu ‘Abba>s akan sama adilnya dengan al-Ash’ath b. Qais yang pernah murtad pada masa Nabi SAW dan masuk islam kembali pada masa Abu> bakar.430 Sahabat lain bernama Wali>d b. ‘Uqbah yang pernah menajdi Imam s}alat subuh dalam keadaan mabuk, sehingga yang seharusnya dilaksanakan sebanyak dua raka’at, ia melakukannya empat raka’at. Berkaitan dengan hal ini ‘Uthma>n b. ‘Affa>n memberikannya hukuman cambuk. 431 Jadi, antara yang mencambuk dan yang dicambuk adalah sama adil. Sebab mereka adalah sahabat dan secara keseluruhan adalah adil. 428
Lihat catatan kaki Taqiy al-Di>n al-Nadwi> dalam Malik b. Anas, Muwat}a’ al-Ima>m al-Ma>lik; Riwayat Muh}ammad b. Al-H{asan, tah}qi>q: Taqiy al-Di>n al-Nadwi> (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1991), 462. 429 Lihat kitab-kitab al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Misalnya Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni>, Taqri>b al-Tahdhi>b (Suriah: Da>r al-Rashi>d, 1986); al-Asqala>ni>, Lisa>n al-Miza>n (Beirut: Muassasah al-A’lami>, 1986) ; Hamd b. Ah}mad al-Dhahabi>, al-Ka>shi>f fi Ma’rifat Man Lahu Riwa>yat fi> al-Kutub al-Sittah (Jeddah: Da>r al-Qiblat Li al-Thaqa>fah alisla>miyyah, 1992). 430 Izz al-Di>n b. Al-Athi>r Abi> al-H{asan b. Muh}ammad al-Jazari> (Ibn al-Athi>r), Usd al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-S{ah}a>bah, tah}qi>q: Khairi> Sa’i>d (Kairo: al-Maktabah alTaufi>qiyyah, tth), 136-138. 431 Muslim, S{ah}i>h} Muslim, tah}qi>q: Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth), Kita>b al-H{udu>d, Ba>b Hadd al-Khamr, 1321. Sulaima>n b. al-Ash’ath Abu> Da>wu>d al-Sijista>ni> al-Azdi>, Sunan Abi> Dawu>d, tah}qi>q: Muh}ammad Muh}yi al-Di>n ‘Abd al-H{ami>d (Beirut: Da>r al-Fikr, tth), Kita>b al-H{udu>d, Ba>b Hadd al-Khamr, 568.
133 Sahabat lain, al-H{akam b. Abi> al-‘A<s} b. Umayyah yang masuk Islam pada waktu Fath} Makkah dan berdomisili di Madinah, kemudian diasingkan oleh Nabi Muh}ammad SAW dari Madinah ke tanah T{a>if, dan kembali lagi ke Madinah pada masa Khalifah ‘Uthma>n b. ‘Affa>n. Dia pernah dilaknat oleh Nabi SAW karena telah tidak sopan mengintip melalui celah rumah beliau, sedangkan beliau sedang bersama isterinya. Sehingga wajah beliau menjadi masam.432 Jadi, sahabat yang mengintip dan dilaknat sama adilnya dengan sahabat yang tidak mengintip. Sebab, seluruh sahabat adalah adil. Sebuah penanaman sifat adil yang tidak adil?. Tampaknya, pandangan sifat adil bagi seluruh sahabat lebih didasarkan pada keyakinan teologis, dan bukan didasarkan pada penelitian historis mengenai biografi sahabat. Sebuah pendapat lain mengatakan bahwa masalah keadilan sahabat secara keseluruhan bias diterima, dengan catatan hanya terhitung sampai pada terjadinya tragedy ‚Fitan‛ (Perang Sipil/ Perang saudara), dan setelah masa itu, maka harus diteliti terlebih dahulu. 433 Misalnya dalam kasus pembunuhan terhadap Sayyidina> ‘Ali r.a, maka menurut golongan Mu’tazilah, si pembunuh tersebut masuk dalam kategori fasiq. 434 Dengan demikian, si pembunuh tersebut adalah
432
104-105.
Al-Asqala>ni>, al-Isa>bah fi> Tamyi>z al-S{ah}a>bah, Ba>b al-H{a>’ Ba’dah al-Ka>f,
433
Pendapat ini tampaknya berangkat dari pernyataan Ibnu Sirri>n (w. 110 H): ‚Dulu, orang-orang tidak bertanya tentang Isna>d. Ketika telah terjadi fitnah, mereka
berkata: Jelaskan nama-nama Isna>d kalian..! Jika berasal dari ahl al-Sunnah maka hadith kalian diterima dan jika berasal dari Ahl al-Bida’ maka hadith kalian akan diabaikan‛. Muslim b. al-Haja>j, S{ah}i>h} Muslim (Indonesia: Maktabah Dahla>n: Tth), Ba>b Muqaddimah, 15. Ungkapan ini juga dikutip oleh Mah}mu>d T{ah}h}a>n, Tafsi>r Mus}t}alah} al-Hadi>th (Beirut: Da>r al-Thaqa>fah al-Isla>miyyah, 1985), 9-10. Pernyataan tersebut, setidaknya telah melahirkan dua teori tentang kelahiran sanad. Pertama, sebagian besar ahli hadith dari abad pertengahan hingga sekarang sepakat bahwa yang dimaksud fitnah dalam pernyataan Ibnu Sirri>n adalah perang sipil pertama yang ditandai dengan terbunuhnya Kha>lifah ‘Uthma>n pada 35 H/656 M sebagai awal perkembangan isna>d. M. M. Must}afa> al-A’z}ami>, Studies in Early Hadi>th Literature (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1968), 216-217. Kedua, Joseph Schacht (w. 1969) berpendapat bahwa fitnah yang disebut oleh Ibnu Sirri>n adalah perang sipil ketiga yang dimulai dari terbunuhnya Khalifah bani> Umayah, Wa>li>d b. Yazi>d pada 126 H/ 743 M. Lihat Joseph Schacht, The Origin of Muh}ammadanism Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950), 36. 434 Zain al-Di>n al-‘Ira>qi>, al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h}: Sharh} Muqaddimah Ibn alS{ala>h, 302.
134 sahabat yang tidak ‘a>di>l. Sebab, salah satu cirri ‘ada>lah; baik dalam persaksian maupun periwayatan adalah selamat dari perbuatan fasiq.435 Oleh karena itu para ulama ‘Ulu>m al-H{adi>th menegaskan pentingnya mengetahui biografi para sahabat, kenyataannya antara sahabat yag satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Setidaknya ada 12 klasifikasi atau tingkatan sahabat; 1) Para sahabat yang masuk Islam di Makkah, sebelum berhijrah, seperti Khulafa> al-Ras}i>di>n; 2) Para Sahabat yang mengikuti Da>r al-Nadwah; 3) Para Sahabat yang ikut berhijrah ke Habashah; 4) Para Sahabat yang ikut serta pada baiat ‘Aqabah pertama; 5) Para Sahabat yang ikut serta pada baiat ‘Aqabah kedua; 6) Para Sahabat yang ikut berhijrah setelah sampainya Rasulullah SAW ke Madinah; 7) Para Sahabat yang ikut serta pada perang Badar; 8) Para Sahabat yang berhijrah antara perang Badar dan perjanjian H{udaibiyyah; 9) Para Sahabat yang ikut serta pada bai’at Rid}wa>n; 10) Para Sahabat yang ikut berhijrah antara perjanjian H{udaibiyyah dan fath}u Makkah, seperti Kha>lid b. Wa>lid dan ‘Amr b. ‘A<s}; 11) Para Sahabat yang Masuk Islam pada Fath}u Makkah, seperti Abu> Sufya>n dan Mu’a>wiyah; 12) Bayi-bayi dan anak-anak yang pernah melihat Rasulullah SAW pada
Fath}u Makkah.436
Justru dengan adanya klasifikasi ini, golongan Shi’ah sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa derajat para sahabat tidaklah sama, sehingga tidaklah benar bahwa sahabat secara keseluruhan adalah adil. Oleh karena itu kemudian golongan Shi’ah menilai pandangan kaum Sunni yang mengatakan bahwa seluruh sahabat adil merupakan pendapat yang batil. Sebab, doktrin al-‘Ada>lah sengaja diciptakan oleh kaum Sunni untuk mencapai ambisi politik tertentu dengan cara mempengaruhi masyarakat agar menerima bahwa konsep ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama Islam dan merupakan bagian dari akidah,437 sehingga yang mengingkarinya menjadi kafir. Tampaknya apa yang dilontarkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r selaras dengan pendapat kaum Shi’ah, atau paling tidak, pandangan Muh}ammad Shah}ru>r juga sejalan dengan pendapat Kaum Mu’tazilah. 435
‚...wa salama>tihi min al-fasq...‛. al- Khat}i>b al-Baghda>di>, al-Kifa>yah Fi> ‘Ilm al-Riwa>yah, tah}qi>q: Abu> ‘Abd al-La>h al-Su>raqi> (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tth), 80.
436
Al-‘Ami>r al-S{an’a>ni>, Taud}i>h} al-Afka>r Li al-Ma’a>ni> Tanqi>h} al-Anz}a>r, tah}qi>q: Muh}ammad Muh}y al-Di>n ‘Abd al-H{ami>d (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Salafiyyah, tth), 433. 437 Ah}mad Husain Ya’qu>b, Keadilan Sahabat; Sketsa Politik Awal Islam (Jakarta: al-Huda, tth), 38-39, 71.
135 Melalui celah ini tampaknya Muh}ammad Shah}ru>r berupaya memasuki wilayah perdebatan klasik yang tidak berhujung hingga kini. Kemudian dengan celah ini pula, Muh}ammad Shah}ru>r menolak dan mengklaim bahwa konsep al-‘Ada>lah telah menjadi salah satu sebab peletakkan ilmu Asba>b al-Nuzu>l. Menyikapi hal ini, menurut penulis perlunya dicermati kata-kata ‚Kulluhum ‘Adu>l ‛. kata ‚Kullu‛ yang artinya ‚setiap/seluruh‛ tidak selalu menunjukkan makna secara keseluruhan tanpa adanya pengecualian. Misalnya Q.S: al-Anbiya>’: 30 yang menyatakan bahwa setiap sesuatu yang hidup itu diciptakan dari air. 438 Di sisi lain, alQur’a>n juga menyatakan bahwa ada makhluk hidup yang diciptakan bukan dari air, melainkan dari kilatan api; Q.S: al-Rah}ma>n: 15. 439 Dengan demikian, tidak selamanya kata ‚Kullu‛ menunjukkan makna keseluruhan, tanpa pengecualian, tetapi ada juga sahabat yang melakukan perbuatan yang menyebabkan gugur keadilannya. Tampaknya makna inilah yang dikehendaki oleh al-Ghaza>li> dalam bukunya al-Mus}tasfa>. Ia meyakini bahwa pada dasarnya seluruh sahabat adalah adil, sebagaimana tercantum dalam al-Qur’a>n dan alSunnah, kecuali jika ada bukti yang menetapkan bahwa di antara mereka secara pasti telah melakukan perbuatan fasiq secara sadar.440 Pendapat ini tampaknya lebih bisa diterima akal, dan lebih realistis secara historis. Sebab, sangat sulit diterima jika seorang sahabat yang jelas munafik dikategorikan sebagai adil. Seperti Abd al-la>h b. Ubbay b. Salu>l yang jelas munafik, sehingga Allah melarang Rasulullah untuk melakukan salat atasnya; Q.S: al-Taubah: 84. Seorang munafik adalah seorang yang fasiq; Q.S: al-Taubah: 67, dan orang fasiq bukanlah orang yang adil. Tentu kesimpulan seperti ini sangat bertentanga apa yang disepakati oleh Ulama’ hadith. Penulis melihat bahwa sebenarnya persoalannya terletak pada pengertian sahabat sebagaimana di atas yang 438
Al-T{abari> meriwayatkan: كًا حذشُا اتٍ عثذ االعهى لال شُا يحًذ تٍ شٕر عٍ يعًر عٍ لرادج ٔجعهُا يٍ انًاء كم شًء حً لال كم شًء حً خهك يٍ انًاء Lihat al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l Ay al-Qur’a>n, 19. 439 al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l Ay al-Qur’a>n, 583. 440 Al-Ghaza>li>, mengatakan: انفصم انراتع فً عذا نح انصحاتح رضً اهلل عُٓى ٔانذي عهٍّ سهف اليح ٔ جًاٍْر انخهف اٌ عذا نرٓى يعهٕيح ترعذٌم اهلل عس ٔجم اٌا ْى ٔشُائّ عهٍٓى فً كراتّ فٕٓ يعرمذَا فٍٓى اال اٌ ٌصثد تطرٌك لا طع ارذكا ب ٔاحذ نفسك يع عهًّ تّ ٔدانك يًا ال ٌصثد فال حا جح نٓى انى انرعذٌم Lihat Abu> H{a>mid Muh}ammad b. Muh}ammad al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> fi> ‘Ilm al-Us}u>l, tah}qi>q: Muh}ammad ‘Abd al-Sala>m Abd al-Sha>fi> (Beirut: Da>r al-Kutub al‘Ilmiyyah: 1413 H), 130.
136 terlalu longgar, sehingga memungkinkan memasukkan orang-orang ‚bermasalah‛ di atas (sebagaimana penulis contohkan) sebagai sahabat. Dalam hal ini, kesalahan Muh}ammad Shah}ru>r adalah tidak memberikan solusi alternative pengertian sahabat, tetapi di saat yang sama ia menyangsikan keadilan sahabat. Jika Muh}ammad Shah}ru>r memang menengarai adanya sahabat yang tidak adil, seharusnya secara rinci ia harus menyebutkan keslahan apa yang diperbuat oleh sahabat sehingga menggurkan keadilannya. Namun Muh}ammad Shah}ru>r tidak melakukan hal itu. Sebuah lontaran kritik yang tidak fair. Hal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua sahabat yang pernah berbuat jahat kemudian tidak obyektif dalam periwayatan. Misalnya, seorang sahabat Mu’a>wiyah b. Abi> Sufya>n secara politis memang dikenal telah melakukan perbuatan licik terhadap ‘Ali, tetapi di sisi lain tidak ditemukan data historis bahwa ia telah melakukan perbuatan licik terhadap ‘Ali, tetapi di sisi lain tidak ditemukan data historis bahwa ia telah melakukan perbuatan licik terhadap Nabi Muh}ammad SAW berupa pembohongan atau pemalsuan riwayat. Sebab, meskipun Mu’a>wiyah memiliki rival politis dengan ‘Ali, tetapi Mu’a>wiyah masih bersikap obyektif dalam masalah agama. Hal ini terbukti, ketika Mu’a>wiyah mendengar berita kewafatan ‘Ali> b. Abi T{al> ib r.a, ia membaca istirja>’ dan langsung menangis. Kemudian istrinya yang bernama Fakha>tah bint Qurt}ah mempertanyakan kesedihannya dan mengungkit masalah rivalitas politisnya terhadap ‘Ali>. Ia berkata kepadanya sambil marah, bahwa menangisnya tidak ada kaitannya dengan politik, tetapi sebab masalah agama; yakni orangorang telah kehilangan kebaikan, keutamaan serta kedalaman ilmu ‘Ali>. 441 Dengan kata lain, Mu’a>wiyah hanya bermain dalam ranah politis, dan tidak main-main dalam masalah agama. Terkait dengan tuduhan Muh}ammad Shah}ru>r bahwa peletakan Asba>b al-Nuzu>l disebabkan adanya penanaman doktrin ‘Ada>lat alS{ah}ab> ah dalam benak kaum Muslimin, menurut penulis perlu dicermati. Sebab, riwayat yang ia sodorkan sebagai legitimasi untuk memperkuat pendapatnya tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan Muh}ammad Shah}ru>r telah salah mengutip sebuah riwayat yang diklaimnya sebagai koleksi al-Suyu>t}i>, padahal bukan. Jika Muh}ammad Shah}ru>r berketetapan pandangannya yang demikian, maka sesungguhnya Muh}ammad Shah}ru>r sama saja dengan 441
Ibn Kathi>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah, 16.
137 mengatakan bahwa terkoleksinya hadith-hadith Nabi dalam berbagai kitab juga akibat penanaman doktrin ‘Ada>lat al-S{ah}ab> ah. Akibatnya adalah sikap inka>r al-sunnah, karena memandang bahwa eksistensi riwayat-riwayat yang ada tidaklah benar-benar berasal dari Nabi, tetapi karena adanya doktrin. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peletakan Asba>b alNuzu>l disebabkan adanya penanaman doktrin ‘Ada>lat al-S{ah}ab> ah adalah tuduhan yang tendensius dan lemah. c. Tendensi Fanatisme Madhhab dan Golongan Muh}ammad Shah}ru>r berkesimpulan bahwa salah satu peletakan ilmu Asba>b al-Nuzu>l adalah adanya sikap mengunggulkan aliran dan kelompok; dan anggapan bahwa salah satu sahabat lebih utama daripada sahabat lain. Adalah kenyataan pengaruh sektarianisme aliran dan madhhab masa lalu masih membekas di kalangan umat Islam hingga saat ini. Tidak sedikit riwayat-riwayat yang ‚menguntungkan‛ atas golongan tertentu, misalnya Shi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah ataupun Ash’ariyah.442 Tampaknya hal ini juga diakui oleh para akademisi dalam bidang ilmu hadith, misalnya ‘Ajja>j al-Kha>t}i>b.443 Golongan Shi’ah menengarai bahwa Imam Bukha>ri> memiliki motif tertentu (terlepas dari motif positif ataupun negative), sehingga ia tidak pernah berhujjah dengan riwayat dari Ima>m Ja’far. Padahal umat Islam telah mengakui bahwa ia merupakan guru dari Imam empat Madhhab. 444 Pada masa paruh pertama abad ke tiga hijriyyah merupakan masa yang rawan dalam periwayatan, sehingga muncul riwayat-riwayat palsu. Oleh karena itulah, Izzat Darwazah mengingatkan tentang banyaknya kitab Tafsir yang menafsirkan ayat dengan memanfaatkan riwayat-riwayat palsu dan tidak benar; yakni riwayat-riwayat yang banyak dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi pada paruh pertama abad 442
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 91. Banyaknya pemalsuan riwayat terjadi akibat perpecahan politik dalam tubuh Islam sejak masa Mu’awiyah. Pemalsuan ini biasanya dilakukan untuk mendukung klaim masing-masing kelompok yang berseteru, para zindiq, tukang cerita dan lain sebagainya. Namun, para sarjana Muslim, terutama dalam bidang Ilmu Hadith telah mencurahkan tenaganya untuk membuat aturan untuk menjaga keotentikan sebuah riwayat; mulai dari Iltiza>m al-Isna>d, memerangi pembohong, memperkenalkan biografi para perawi dan membuat kaedah-kaedah untuk mengetahui riwayat-riwayat palsu. Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khati>b, al-Sunnah Qabl al-tadwin (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), 129-164. 444 Husain Ya’qu>b, Keadilan Sahabat; Sketsa Politik Awal Islam, 38. 443
138 ke 3 Hijriah, terkait erat masalah Khila>fah, politik, madhhab fiqh dan kalam atau lainnya, sehingga memiliki pengaruh yang kuat terhadap lahirnya riwayat-riwayat yang kental dengan SARA. Oleh karena itulah Izzat menganjurkan agar para penafsir jeli dan tidak salah dalam memilih riwayat, dan riwayat yang d}a’i>f harus dihindari.445 Untuk memperkuat klaimnya, Muh}ammad Shah}ru>r mengetengahkan beberapa riwayat yang diambil dari al-Suyu>t}i> dan alWa>h}idi> sebagai bukti adanya motif fanatisme madhhab atau golongan tertentu dalam periwayatan. Riwayat yang dikutip oleh Muh}ammad Shah}ru>r dari al-Suyu>t}i> adalah mengenai turunnya Q.S: al-Rah}ma>n: 46. Riwayat itu menceritakan tentang Abu> Bakar yang menyebutkan waktu terjadinya hari kiamat, hisab amal, surga dan neraka. Dalam kondisi seperti itu Abu> Bakar menginginkan dirinya menjadi sayur mayor yang diberikan kepada binatang.446 Riwayat tersebut setelah ditelusuri, selain dalam kitab Luba>b alNuqu>l juga ditemukan dalam kitab Durr al-Manthu>r,447 dan itupun oleh pengarang yang sama. Kemudian riwayat tersebut ditemukan lengkap dengan sanadnya hanya dalam kitab al-‘Uz}mah karya Ibnu H{ayya>n alAs}baha>ni>. 448 Riwayat ini setelah melalui proses takhri>j ternyata berkualitas d}a’i>f. Muh}ammad Shah}ru>r menengarai bahwa penyusun riwayat ini bermaksud mengangkat derajat Abu> Bakar. Karena tidak mungkin orang sekaliber Abu Bakar mempunyai pikiran seperti itu, yakni ‚seandainya tidak diciptakan‛. Padahal beliau telah merasakan manisnya bersahabat dengan Rasulullah SAW. 449 Namun, apa yang dikatakan oleh Muh}ammad Shah}ru>r bahwa riwayat tersebut sebagai upaya pengangkatan derajat bagi Abu> Bakar, bisa jadi juteru malah sebaliknya, yakni upaya pelecehan terhadap pribadi Abu> Bakar. Sebab, dapat memberikan pemahaman bahwa Abu> Bakar adalah pribadi orang yang tidak puas atau tidak siap menerima kenyataan atas keadaan yang dihadapinya. 445
Muh}ammad Izzat Darwazah, al-Tafsi>r al-H{adi>th Tarti>b al-Suwar H{asb alNuzu>l (Kairo: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 2000), 205-210. 446 al-S{uyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l, 203. 447 Al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), 706. 448 Abd al-La>h b. Muh}ammad b. Ja’far b. H{ayya>n al-As}baha>ni>, al-‘Uz}mah, tah}qi>q: Rid}a>’ al-La>h b. Muh}ammad Idri>s al-Muba>rakfu>ri> (Riya>d: Da>r al-‘A<s}imah, 1408 H), 308. 449 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 92.
139 Riwayat lain yang diketengahkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r adalah riwayat al-Suyu>t}i> berkaitan dengan turunnya Q.S: al-H{ujura>t: 12. Riwayat itu berbicara mengenai kebiasaan Salma>n al-Fa>risi> yang memiliki kebiasaan makan dan kemudian tidur, yang menyebabkan perutnya gendut. Ketika seseorang menyebut-nyebut kebiasaannya, maka turunlah ayat tersebut.450 Riwayat tersebut setelah penulis telusuri, selain ditemuan dalam kitab Durr al-Manthu>r, 451 juga ditemukan dalam kitab tafsir karya alAlu>si>, 452 dan semuanya tidak menyebutkan sanadnya secara lengkap. Hanya dalam kitab al-Taubi>kh wa al-Tanbi>h yang menyebutkan sanadnya secara lengkap. 453 Riwayat ini, sebagaimana di atas juga berkualitas d}a’i>f. Dari riwayat ini Muh}ammad Shah}ru>r menengarai adanya tendensi kuat untuk mengangkat derajat Salma>n al-Fari>si>. Sebab, ia memiliki kedudukan tersendiri bagi sebagian golongan. Dalam hal ini, menurut Muh}ammad Shah}ru>r, para perawi berusaha menanamkan keutamaannya melalui riwayat semacam ini. 454 Menurut penulis, Muh}ammad Shah}ru>r masih perlu memperkuat tuduhannya, paling tidak dengan cara mengkaji secara historis hubungan antara Salma>n al-Fari>si> dengan Ibnu Juraij, dan kemudian menyajikan dalam bukunya. Sehingga tuduhannya tampak ilmiah dan tidak mengada-ada. Selain riwayat di atas, Muh}ammad Shah}ru>r juga mengetengahkan riwayat al-Wa>hidi> dalam bukunya Asba>b al-Nuzu>l. \Riwayat tersebut menceritakan tentang ‘Ali r.a yang menggantikan pesuruhnya untuk menyiram pohon kurma dan sedikit biji gandum, sehingga setelah gandumnya berbuah, dia menumbuk 1/3nya. Kemudian mereka membuat roti dari gandum tersebut untuk dimakan. Ketika telah matang, seorang miskin dating dan roti itu diberikannya. Kemudian, 2/3 dari gandum tersebut dibuat roti lagi. Ketika telah matang, datanglah seorang anak yatim, dan makanan itu diberikannya. Hal demikian juga diperbuatnya pada sisa 1/3 terakhir, dan diberikannya kepada seorang tawanan dari kaum Mushrik. Sehingga mereka melewatkan hari dengan hal itu, maka sebab itulah turun ayat Q.S: al-Insa>n: 8.455 450
al-S{uyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l, 194. Al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r , 570. 452 Abu> al-Fad}l Mah}mu>d al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al- ‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth), 159. 453 Abu> al-Shaikh al-As}baha>ni>, al-Taubi>kh wa al-Tanbi>h (ttp: tth), 255. 454 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 93. 455 Al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l, 336. 451
140 Riwayat ini oleh Ibnu H{ajar dinilai sebagai riwayat yang sangat lemah, bahkan maudu}>’. Dari riwayat ini, Muh}ammad Shah}ru>r menilai adanya tendensi tertentu untuk mengangkat derajat Sayyidina> ‘Ali r.a. oleh para pengagumnya. Shah}ru>r mempertanyakan tentang kemungkinan perubahan ayat yang turun jika orang yang dating kedua adalah juga orang miskin dan orang ketiga juga orang miskin, apakah kemudian ayat akan berbunyi: ٍٍٔ ٌطًعٕ ٌ انطعاو عهى حثّ يسكٍُا ٔ يسكٍُا ٔ يسك (Dan mereka memberi makanan yang disukai kepada orang miskin, orang miskin dan orang miskin). Menurut penulis, jika dikembalikan kepada pandangan Muh}ammad Shah}ru>r dalam bukunya yang pertama, yakni Asba>b alNuzu>l terkait erat dengan ayat-ayat al-Risa>lah, dan oleh karena itu tergantung pada Asba>b al-Nuzu>l, maka bisa saja terjadi perubahan, dan bentuk redaksi ayat akan seperti di atas. 456 Jika dikembalikan kepada bukunya yang kedua, maka suatu peristiwa sama sekali tidak bisa mempengaruhi turunnya ayat. Jadi, seandainya riwayat itu benar, maka ia sama sekali tidak berpengaruh terhadap bentuk redaksi ayat; ia akan tetap seperti itu. Terkait dengan tuduhan adanya tendensi fanatisme madhhab dan golongan sebagai penyebab peletakkan ilmu Asba>b al-Nuzu>l, maka hal yang perlu disadari adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok dalam Islam terjadi jauh setelah al-Qur’a>n turun. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan: Pertama, masing-masing golongan tersebut mengambil ayat-ayat dan riwayat-riwayat tertentu yang dirasa menguntungkan bagi golongan masing-masing.457 Hal ini tidak dipungkiri oleh para sejarawan dan para 456
Dalam buku pertamanya, Muh}ammad Shah}ru>r mencontohkan sebab turunnya ayat yang termasuk kategori al-Risa>lah (Umm al-Kita>b); Q.S: ‘Abasa: 1-2 yang merupakan koreksi Allah SWT kepada Nabi Muh}ammad SAW atas sikap cemberutnya, saat kedatangan Ibnu Ummi Maktu>m. Menurutnya, seandainya Nabi tidak berpaling dari Abd al-La>h b. Ummi Maktu>m tentu secara mutlak ayat ini tidak akan turun dan tidak akan bias terdengar hingga saat ini. Shah}ru>r , al-Kita>b wa alQur’a>n, 159. 457 Oleh karena itu, perlunya dilakukan penelitian terhadap otentitas sebuah riwayat; apakah ia betul-betul dari tulisan muallif atau hanya sekedar nukilan, atau juga meneliti sumbernya. Misalnya kitab ‚Nahjul Balaghah‛ yang ditengarai telah dipalsukan oleh orang-orang Shi’ah untuk memperkuat kebenaran madhhabnya. Tetapi setelah diteliti dan uji materi ternyata banyak yang bukan dari Imam Ali r.a, melainkan
141 ilmuwan hadith bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Namun demikian, juga tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat beberapa kelompok yang berpandangan obyektif dan bersikap moderat; yakni Ahl al-H{adi>th yang berusaha menjaga riwayat melalui kekuatan hafalan.458 Dengan demikian, ketika ada sebuah riwayat yang ‚tampak‛ menguntungkan salah satu golongan dan merugikan golongan lain tidak serta merta dapat dikatakan lemah atau palsu, sebelum adanya penelitian tentang otentitas riwayat tersebut, baik secara dirayah maupun riwa>yahnya. Kedua, pada awal kemunculan sekte-sekte dalam Islam, riwayatriwayat tersebut belum terkodifikasi secara rapi. Sehingga, sangat mungkin suatu kelompok tertentu hanya mendapatkan riwayat dari ulama tertentu pula, tanpa dapat membandingkan (permasalahan yang sama) dengan riwayat dari ulama lain. Padahal, sebagaimana dikutip bahwa semasa hidupnya, Nabi Muh}ammad SAW telah melakukan komunikasi tidak hanya dengan satu komunitas tertentu, bahkan hamper semua komunitas masyarakat di Arab, baik yang terpelajar maupun terbelakang. Di dalam komunikasi tersebut, tentunya akan terjadi dialog dua arah antara beliau dengan mereka. Dan sebagai sumber keputusan dan hokum, beliau memberikan solusi yang tidak selalu sama antara satu orang dengan orang yang lain, walaupun dalam satu masalah yang sama. Dengan demikian, agar tidak terjebak pada dominasi madhhab atau golongan tertentu, maka seorang peneliti haruslah melakukan pengecekan masing-masing golongan tersebut, kemudian melakukan kajian masing-masing riwayat sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Riwayat-riwayat yang dikutip Muh}ammad Shah}ru>r dari dua buku koleksi riwayat-riwayat al-Wa>hidi> dan al-Suyu>t}i> ternyata tidak ada yang sampai pada derajat s}ah}i>h}, sehingga para ulama tidak memakainya. Jika pun mengutip, kualitas riwayat juga disertakan. Misalnya Ibnu Kathi>r yang mengutip riwayat tentang turunnya Q.S: al-Qadr: 1-3 menyebutkan kemunkarannya.459 Hal ini menunjukkan bahwa para ulama sangat ketat dalam proses penyeleksi riwayat-riwayat, sehingga mayoritas mufassir tidak secara serampangan mengutip apa yang disebut Asba>b al-Nuzu>l sebagai dari mereka sendiri (para pengikutnya). Muh}ammad bin S{a>mil al-Sulmi>, Manhaj al-
Ta>rich al-Isla >mi> (Makkah: Da>r al-Risa>lah al-‘Ilmiyyah, 1998), 173-174. 458
Lihat tata cara prosesi periwayatan dalam kitab-kitab ulu>m al-Hadi>th. Lihat selengkapnya dalam Ibnu Kathi>r, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000), 2012-2013. 459
142 salah satu perangkat metodis dalam penafsiran. Dengan demikian, riwayai itu hanya menjadi dokumen yang tidak digunakan dalam penafsiran. Penulis menengarai bahwa Muh}ammad Shah{ru>r telah mengetahui sebelumnya bahwa riwayat-riwayat Asba>b yang dikutipnya adalah lemah dan bahkan palsu, yang kemudian dijadikannya sebagai legitimasi atau berbagai tuduhan yang dilontarkannya dan memiliki kepentingan untuk memuluskan metodologi yang ditawarkannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peletakan Asba>b alNuzu>l karena adanya tendensi fanatisme madhhab dan golongan tidak bisa diterima. Sebab, data-data yang disajikan Muh]ammad Shah}ru>r yang sebenarnya hanya digunakan untuk memperkuat argumennya, justru sebaliknya; semuanya lemah dan dengan sangat apik telah diantisipasi oleh para ulama. Jika klaim Muh}ammad Shah}ru>r tersebut dibenarkan, tentu yang terjadi adalah sebuah pandangan bahwa terkodifikasinya kitab-kitab hadith, seluruhnya disebabkan karena ansich adanya fanatisme madhhab dan tendensi negative tertentu, oleh karena itu tidak perlu mengakuinya (inka>r al-Sunnah). Hal ini bukanlah keyakinan penulis. Sebab, sejarah membuktikan bahwa obyektifitas periwayatan itu benar-benar ada dan bukan mengada-ada. d. Relasi Antara al-Qur’a>n dan Asba>b al-Nuzu>l Abu> Zaid memandang Asba>b al-Nuzu>l sebagai informasi historis sekaligus sebagai pertimbangan dalam penafsiran al-Qur’a>n.460 fazlurrahman menjadikan Asba>b al-Nuzu>l; baik mikro maupun makro sebagai informasi historis yang harus diketahui dan dijadikan pertimbangan dalam penafsiran.461 Muh}ammad ‘Ima>rah menyatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l harus diletakkan dalam kerangka konteks aslinya, sehingga dapat benar-benar membantu dalam memahami ayat sesuai makna ketika ia diturunkan. Sebab, memahami dila>lah al-Qur’a>n harus berdasarkan pada penggunaan lafaz}-lafaz} pada saat turunnya wahyu, dan bukan
460
Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}; Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Thaqa>fah al-‘Arabi>, 1998), 97-116. Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: S{ina> Li al-Nashr, 1992), 144. Nas}r H{a>mid Abu> Zaid, Teks, Otoritas, Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2003), 112. 461 Fazlur Rahman, Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 5-7.
143 setelahnya. 462 Jadi, menafsirkan al-Qur’a>n berdasarkan makna-makna yang dipakai pada saat turunnya. Dengan demikian, fungsi Asba>b alNuzu>l di samping sebagai informasi historis juga sebagai pertimbangan dalam penafsiran al-Qur’a>n. Nur Kholis Setiawan dalam penelitiannya menekankan bahwa Asba>b al-Nuzu>l adalah informasi historis dalam pandangan sarjana Muslim dan juga menjadi salah satu pertimbangan pemahaman ataupun penafsiran mereka, dan bukan Asba>b al-Nuzu>l dalam pengertian lain. Sebab, ada pengkaji al-Qur’a>n lain di Barat pada abad ke 20 yang menetapkan bahwa Asba>b al-Nuzu>l sebagai penafsiran itu sendiri dan bukan merupakan informasi historis di belakang turunnya ayat.463 Andrew Rippin dalam penelitiannya yang berjudul The Function of Asba>b al-Nuzu>l in Qur’anic Exegesis,464 menyimpulkan bahwa secara primer, fungsi Asba>b al-Nuzu>l dalam teks tafsir bukanlah bentuk halakhic exegesis; yakni tafsir yang berkaitan dengan hokum dan prosedur penafsirannya memakai analogi, naskh-mansu>kh, dan Asba>b an-Nuzu>l. 465 Namun peran utama materi tersebut dapat ditemukan dalam haggadic exegesis; yakni tafsir naratif yang ditandai dengan penggunaan hadith Nabi, identifikasi (ta’yi>n ) dan anekdot.466 Tulisan tersebut merupakan bantaha terhadap kesimpulan gurunya; yakni John Wansbrough yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa fungsi esensial Asba>b al-Nuzu>l tidak tampak pada haggadic exegesis. 467 Kedua tokoh inilah tampaknya yang dimaksud oleh Nur Kholis sebagai peneliti Barat abad ke 20 di atas. Meskipun berbeda antara guru dan murid dalam kesimpulan, namun ada sisi persamaan antara keduanya; yakni sama-sama memandang bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan bentuk penafsiran itu sendiri. 462
Muh}ammad ‘Ima>rah , al-Tafsi>r al-Marki>si> Li al-Isla>m (Kairo: Da>r alShuru>q, 1996), 60. Muh}ammad ‘Ima>rah, Tah}qi>q. Dalam Muh}ammad ‘Abduh, alA’ma>l al-Ka>milah (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1993), 11. 463 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’a>n Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: ELSAQ, 2005), 100. 464 Andrew Rippin, ‚The Function of Asba>b al-Nuzu>l in Qur’a>nic Exegesis‛, Bulletin of The School of Oriental and African Studies , University of London (1988). 465 Yusuf Rahman, Awal Penafsiran al-Qur’a>n dan Literatur Tafsir di Abad Pertama Hijriyah, Refleksi (2000), 23. 466 Yusuf Rahman, Awal Penafsiran al-Qur’a>n dan Literatur Tafsir, 23. 467 John Wansbrough, Qur’anic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), 141, 146, 147.
144 Muh}ammad Shah}ru>r dalam klaimnya mengatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l hanyalah bentuk penafsiran awal terhadap al-Qur’a>n pada abad ke 7 yang bersifat historis, dan oleh karena itulah ia bersifat localtemporal.468 Pernyataan al-Wa>hidi> bahwa tidak halal memperbincangkan Asba>b al-Nuzu>l kecuali dengan riwayat dan mendengarkan langsung (sima>’i) dari orang-orang yang menyaksikan proses turunnya ayat…, 469 justeru semakin memperkuat klaim Muh}ammad Shah}ru>r bahwa apa yang disebut dengan Asba>b al-Nuzu>l oleh kebanyakan umat Islam hanyalah bentuk penafsiran awal yang bersifat relative. Jadi dalam pandangan ini, sahabat yang menyaksikan peristiwa turunnya ayat kemudian menyimpulkan dengan cara menafsirkan melalui pemahamannya dari penyaksiannya itu sebagai sebab turunnya ayat. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa riwayat-riwayat yang disampaikan oleh seorang sahabat dan tabi’in ini tidak terdapat satu huruf pun yang berasal dari Nabi; baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan. Dengan demikian, lebih tepat jika dikatakan bahwa riwayat-riwayat tersebut merupakan bentuk penafsiran awal terhadap alQur’a>n. Perbedaan pandangan mengenai fungsi Asba>b al-Nuzu>l; antara fungsinya sebagai penafsiran itu sendiri atau sebagai informasi historis dan sebagai pertimbangan dalam penafsiran, tampaknya bukanlah hal baru dalam ilmu tafsir. Hal ini tampak dalam pernyataan Ibnu Taimiyah yang juga dikutip oleh al-Suyu>t}i> 470 bahwa ulama berbeda pendapat dalam hal periwayatan sahabat Nabi: ‚ayat ini turun dalam masalah ini ‛; apakah diapandang sebagai hadith Musnad sebagaimana halnya ketika sahabat tersebut menyebutkan sabab yang karenanya sebuah ayat diturunkan, ataukah hanya sekedar penafsiran, dan bukan sebagai hadith Musnad. Dalam hal ini al-Bukha>ri> mengkategorikan sebagai hadith Musnad, sementara ulama hadith lainnya tidak memasukkannya.471 Implikasi teoritisnya adalah jika Asba>b al-Nuzu>l dipandang sebagai penafsiran, maka ia terkait erat dengan subyektifitas penafsir, situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya, sehingga ia terbingkai dalam sejarah. Jadi, ia hanya berlaku local-temporal dan tidak bisa dijadikan sebagai perangkat metodis atau pertimbangan dalam 468
Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 94. Al-Wa>hidi>, Asba>b al-Nuzu>l, 10. 470 Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 63. 471 Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi> Usu>l al-Tafsir>, (Kuwait: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1971), 48. 469
tah}qi>q: ‘Adna>n Zarzu>r
145 penafsiran al-Qur’a>n. Dengan kata lain, Asba>b al-Nuzu>l sama sekali tidak ada kaitannya dengan turunnya ayat. Sebaliknya, jika Asba>b alNuzu>l dipandang sebagai informasi historis yang melatarbelakangi turunnya ayat, maka ia bisa dijadikan perangkat metodis dan pertimbangan dalam penafsiran. Sebab, ia terkait erat dengan proses turunnya ayat, dalam artian ia merupakan jawaban bagi permasalahan yang dihadapi oleh Nabi Muh}ammad SAW dan para sahabat ketika itu. Dengan demikian, makna asli teks dapat dipahami melalui gambaran situasi dan kondisi Yang terbingkai dalam Asba>b al-Nuzu>l. Menurut penulis, kalaupun Asba>bun Nuzu>l dipandang sebagai bentuk penafsiran awal, bukan berarti mendalaminya termasuk hal terlarang. Justru mengetahuinya merupakan suatu ‚keharusan‛ dalam rangka memperluas cakrawala sebagai seorang yang sedang berbicara dengan al-Qur’a>n. sehingga al-Qur’a>n sebagai teks yang dianggap berbicara tidak merasa jenuh dengan si pembaca. Pada akhirnya, dalam dialog itu terjadi pertemuan antara dua kutub cakrawala: yakni cakrawala teks dan cakrawala pembaca yang melebur menjadi satu, dan kemudian menghasilkan new horizon yang bersifat future time.472 Berbeda dengan seorang pembaca yang miskin cakrawala. Maka, dengan mudah bisa ditebak bahwa al-Qur’a>n sebagai subyek yang diajak berbicara akan merasa jenuh, karena pembaca terlalu jauh dari memadai. Dengan kata lain, cakrawala pembaca yang terlalu sempit dihadapan alQur’a>n akan menghasilkan sesuatu pemahaman yang sempit, dan itu tidak dikehendaki dalam aktifitas penafsiran al-Qur’a>n. Riwayat dari Sa’i>d b. Jubair dari Ibn ‘Abba>s: ‚man kadhdhaba ‘alayy muta’ammidan fa al-yatabawwa’ maq’adahu min al-na>r‛,473 yang dikutip oleh al-Wa>h}idi> dan kitab-kitab turunannya untuk melegitimasi kewajiban dalam mengetahui ilmu Asba>b al-Nuzu>l, merupakan penyandaran yang bukan pada tempatnya. Dalam hal ini, penulis setuju dengan pendapat dari Muh}ammad Shah}ru>r. 474 Sebab menurut penulis, memang tampak jelas bahwa al-Wa>h}idi> dalam hal ini terlepas dari konteks; tidak memperhatikan situasi atau sedang berbicara mengenai apa hadith itu. Dengan kata lain, penyandaran ini merupakan upaya untuk menakut-nakuti umat Islam dan bentuk perampasan atau pemaksaan dalil atas sesuatu yang bukan pada tempatnya. Padahal, 472
Lihat hermeneutika Gadamer tentang teori fusion of horizons dalam bab II. Al-Tirmidhi>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Tirmidhi>, tah}qi>q: Ah}mad Muh}ammad Sha>kir (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth), Kita>b: Tafsi>r alQur’a>n, Ba>b: Ma> Ja>’a fi> al-Ladhi> Yufassir al-Qur’a>n bi Ra’yihi, 199. 474 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 87. 473
146 hadith tersebut berbicara mengenai periwayatan hadith, bukan Asba>b alNuzu>l yang jelas-jelas bukan hadith. Meskipun demikian, anjuran para ulama ulumul Qur’a>n yang mengharuskan untuk mengetahui Asba>b al-Nuzu>l dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur’a>n harus dipahami sebagai keharusan untuk memperluas cakrawala, dan bukan keharusan yang bersifat Shar’i> yang tidak mengetahuinya akan mengakibatkan menjadi kafir atau dosa. Pada hakekatnya, persoalan mengetahu Asba>b al-Nuzu>l adalah satu hal, sementara mempertimbangkannya dalam penafsiran merupakan hal lain. Jika dicermati, Muh}ammad Shah}ru>r sedikit banyak telah memiliki pengetahuan sejarah keagamaan, termasuk sejarah turunnya alQur’a>n dan pengetahuannya terhadap Asba>b al-Nuzu>l. Hal ini tampak pada pembahasannya mengenai hokum potong tangan. Dengan pendekatan linguistiknya, Muh}ammad Shah}ru>r sampai pada kesimpulan bahwa kata ‚qat}a’a‛ dalam al-Qur’a>n memiliki banyak arti, dan tidak ada satupun yang terkait dengan aksi pemotongan anggota tubuh sebagaimana yang dianggapkan kebanyakan orang, juga tidak terkait dengan pisau, parang atau benda-benda tajam lainnya. Al-Qur’a>n memakai kata kerja ‚qat}t}a’a dengan shiddah pada ‘ain fi’ilnya untuk pengertian pemotongan secara fisik Q:S: al-Ma>idah: 33, Q.S: Yu>suf: 31. Meskipun demikian, Muh}ammad Shah}ru>r mengakui bahwa pengertian tersebut tidak bersifat mutlak.475 Di sini tampaknya Muh}ammad Shah}ru>r sengaja menghindari pengertian pemotongan secara fisik, sebagaimana dipahami oleh para ulama tafsir pada umumnya, meskipun secara historis memang kata ‚iqt}a’u> ‛ berarti pemotongan secara fisik. Hal demikian karena hukuman berupa potong tangan dipandang tidak sesuai lagi dengan untuk diaplikasikan di masa ini. Anehnya, Muh}ammad Shah}ru>r pada akhirnya menerima pengertian pemotongan secara fisik, dengan catatan pengertian tersebut diletakkan dalam batas maksimal hukuman. 476 Contoh lain tentang konsep wasiat dan waris, Muh}mmad Shah}ru>r mengutip riwayat Asba>b al-Nuzu>l dan mengkajinya secara historis, meskipunpada akhirnya ia tidak memakainya.477
475
Lihat selengkapnya Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 97-101. Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 103. 477 Shah}ru>r, Nah}w Us}u>l Jadi>dah, 94. Tentang konsep wasiat dan waris lihat Fahrur Razi, ‚Wasiat Dan Waris Dalam al-Qur’a>n Perspektif \ Muh}ammad Shah}ru>r‛, Tesis S2 Program Tafsir Hadith, Universita sIslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006. 476
147 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan Asba>b al-Nuzun. Sedangkan mempertimbangkan atau mengabaikannya dalam proses penafsiran hanyalah pilihan, yang masing-masing memiliki implikasi tersendiri. 3. Penafsiran Tanpa Asba>b al-Nuzu>l; Antara Problem dan Solusi Alternatif Sebagaimana tampak di atas, bahwa riwayat Asba>b al-Nuzu>l memiliki problem yang cukup serius; baik dalam hal kualitasnya, fungsinya sebagai Tafsir maupun sebagai informasi historis yang melatarbelakangi turunnya ayat. Dalam hal ini tampaknya ada perbedaan yang cukup mendasar antara dua model penafsiran; yakni penafsiran yang mempertimbangkan Asba>b al-Nuzu>l dan yang mengabaikannya sama sekali. Muh}ammad Shah}ru>r meskipun memandang bahwa al-Qur’a>n tidak memiliki konteks historis (yakni al-Qur’a>n diturunkan baru kemarin) dan menolak keberadaan Asba>b al-Nuzu>l, namun dalam pembahasan tertentu ia juga mengutip riwayat Asba>b al-Nuzu>l; meskipun pada akhirnya ia tidak menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’a>n tidak bisa lepas sama sekali dengan konteks historis sebagai alat bantu dalam upaya memahami teks al-Qur’a>n. Pendekatan yang hanya bertumpu pada sisi linguistic saja bisa berimplikasi pada penafsiran yang rancu, meskipun hal tersebut tidak selalu ditemui. 478 Sebab, al-Qur’a>n turun berbahasa Arab dan dala>lah lafaz}nya berbeda-beda karena bisa jadi suatu lafaz} memiliki makna polysemi, hakekat, metafora dan variasi stilistiknya, sehingga hal demikian berakibat pada perbedaan pemahaman. Pada akhirnya, makna yang dikehendaki al-Qur’a>n hanya dibatasi oleh al-Qur’a>n sendiri. Persoalannya adalah bagaimanajika tidak ada Qarinah yang
478
Nur Ichwan mmeperbandingkan antara model penafsiran Abu> Zaid yang mempertimbangkan Asba>b al-Nuzu>l dan Muh}ammad Shah}ru>r yang mengabaikannya, menghasilkan penafsiran yang sama; yakni: 66,6 % sebagai batas maksimal harta warisan bagi laki-laki dan 33,3% bagi perempuan. Jadi, ada potensi perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki. Liha Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan al-Qur’a>n; Teori Hermeneutika Nas}r H{amid Abu> Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), 144-149.
148 menunjukkan maknanya? Maka mau tidak mau harus merujuk kepada makna historis yang tergambar dalam Asba>b al-Nuzu>l.479 Salah satu contoh 480 yang rawan keliru dalam memahaminya adalah Q.S: al-Baqarah: 158. Redaksi ‚La> Juna>h}a‛ dalam bahasa Arab, biasa tidak digunakan untuk menunjukkan makna kewajiban untuk melakukan sesuatu atau menjadi beban bagi mukallaf. Redaksi seperti ini tepat digunakan untuk menunjukkan makna iba>h}ah. Oleh karena itu sahabat ‘Urwah bin Zubair telah mengalami kesalahan dalam pemahaman terhadap ayat tersebut. Ia memahami bahwa melakukan sa’iy antara bukit S{afa> dan bukit Marwah tidaklah wajib. Sebab, makna ini adalah yang tampak pada madlu>l lafaz}, dan makna almutaba>dir seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’a>n, seperti Q.S: al-Baqarah: 198 tentang iba>hahnya mencari karunia Allah SWT, Q.S: alBaqarah: 229 tentang iba>hahnya melakukan gugatan cerai oleh isteri (khulu’), Q.S: al-Baqarah: 230 tentang iba>Hahnnya rujuk bagi pasangan suami- isteri yang telah bercerai. Begitulah ‘Urwah bin Zubair memahaminya. Dari siya>q alkala>mnya, ayat tersebut menunjukkan makna al-Iba>h}ah, dan al-Iba>h}ah meniadakan makna al-Wuju>b. apalagi dilanjutkan dengan redaksi ‚min sha’a>ir al-la>h ‛ yang menunjukkan bahwa sa’iy antara bukit S{afa dan Marwah hanyalah mengisyaratkan makna mustah}abb ‚disukai‛, dan sama sekali tidak menunjukkan makna wajib. 481 Tetapi kenyatannya para ulama’ fiqh dan Us}u>l al-fiqh menyimpulkan bahwa ayat tersebut tidak meniadakan kewajiban untuk melakukan sa’iy antara S}afa dan Marwah. Bahkan, hal itu sebagai rukun yang wajib dilakukan dalam ibadah haji.482 Hal ini didasarkan pada keterangan ‘Ar yang merasa berdosa setelah melakukan Sa’iy antara S{afa dan Marwah. Sebab, hal tersebut juga dilakukan oleh dan menjadi tradisi kaum jahiliyyah. Padahal Islam dating untuk menghapus ajaran-ajaran 479
Muh}ammad Sali>m Abu> ‘A<si>, Asba>b al-Nuzu>l; Tah}di>d Mafa>him wa Radd Shubuha>t (Kairo: Da>r al-Bas}a>ir, 2002), 34. Lihat juga Abd al-La>h Dirra>z, H{as}s}ad Qalam, tah}qi>q: Ah}mad Mus}tafa> Fad}ilah (Kuwait: Da>r al-Qalam, 2004), 69. 480
Lihat contoh-contoh lainnya dalam kitab-kitab ulumul Qur’a>n. Abu> ‘A<s}i>, Asba>b al-Nuzu>l; Tah}di>d Mafa>hi>m wa Radd Shubuha>t, 35. 482 Al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kitab al-H{ajj, Ba>b Wuju>b al-S{afa> wa alMarwah wa ja’l min Sha’a>ir al-La>h, no: 1561, 592. Lihat juga Muslim. S{ah}i>h} Musli>m, Kita>b al-H{ajj, Bab Ann al-Sa’y Bain al-S{afa> wa al-Marwah Rukn la Yas}ih}h} Illa> bih, no: 1277, 928. Lihat juga al-Tirmidhi>, al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} Sunan al-Tirmidhi>, Kita>b Tafsi>r al-Qur’a>n, Ba>b Surat al-Baqarah, no: 2965, 208. 481
149 sebelumnya. Jika hal itu dilakukan, maka amal mereka menyerupai perbuatan para penyembah berhala kaum jahiliyyah. Oleh karena itu kemudian turun ayat tersebut sebagai jawaban dari permasalahan ini bahwa tidaklah mengapa demikian itu dilakukan.483 Dari contoh di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, jika pemahaman terhadap ayat tersebut hanya mengandalkan pada al-madlu>l al-Lughawi>, tanpa mempertimbangkan dan mengabaikan terhadap Asba>b al-Nuzu>l, maka akan menghasilkan pemahaman kebolehan melakukan atau meninggalkan sa’iy antara S{afa> dan Marwah. Kedua, jika pemahaman dilakukan denga mempertimbangkan Asba>b al-Nuzu>l, maka akan menghasilkan pemahaman bahwa ayat tersebut tidak menafikan kewajiban, sebagaimana yang tercantum di dalam hadith. Oleh karena itu mayoritas ulama ‘ulumul Qur’an memandang akan pentingnya mengetahui original meaning of the teks yang tergambar dalam Asba>b al-Nuzu>l dan memprtimbangkannya dalam penafsiran. Kenyataannya makna sebagaimana di atas (kewajiban sa’iy sebagaimana dalam hadith) masih digunakan hingga saat ini. Hal ini tampaknya kurang dicermati oleh Muh}ammad Shah}ru>r, sekaligus menunjukkan bahwa argumentasinya untuk menolak Asba>b al-Nuzu>l sebagai bagian dari ulumul Qur’a>n terbilang lemah. Dengan demikian. Muh}ammad Shah}ru>r telah gagal meruntuhkan pendapat yang menyatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan bagian dari ulumul Qur’a>n. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan bagian dari ulumul Qur’a>n dan instrumen paling penting dalam membantu penafsiran al-Qur’a>n.
483
Malik b. Anas, Muwat}a’ Ma>lik Riwa>yat Yah}ya> al-Laithi>, tah}qi>q: Muh}ammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi> (Mesir: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth). Kita>b alH{ajj , Ba>b Ja>mi’ al-Sa’y, no\: 832, 373. Lihat juga Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, Kita>b al-Mana>sik, Ba>b: Amr al-S{afa> wa al-Marwah, no: 1901, 584. Lihat tentang hal ini dalam Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri>: Sharh} S{ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, 1379 H), Kita>b al- H{ajj, Ba>b Wuju>db al-S}afa> wa al-Marwah wa ja’l min Sha’a>ir al-La>h, no: 1561, 499-500.
150 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pembacaan Kontekstual terhadap al-Qur’a>n sangat penting untuk menghindari adanya stagnansi pemahaman terhadap ayat/teks suci alQur’a>n, pembacaan Kontekstual juga dapat menjawab persoalan yang muncul belakangan sekaligus penguatan diktum yang menyatakan bahwa al-Qur’a>n S{a>lih} likulli zama>n wa maka>n. Pembacaan kontekstual yang dilakukan oleh Muh}ammad Shah}ru>r memberikan kontribusi besar dalam upaya memahami al-Qur’a>n bukan hanya dari sisi tekstual kitab suci namun lebih kepada realitas kekinian sehingga dapat menjawab problem dan tuntutan perkembangan zaman. Kesimpulan tersebut di dapat berdasarkan prinsip-prinsip penafsiran serta metodologi yang diajukan oleh Muh}ammad Shah}ru>r dalam melakukan pembacaan kontekstual terhadap al-Qur’a>n seperti prinsip penafsiran yang up to date, dimana al-Qur’a>n memiliki kesesuaian dan memiliki arti penting dalam kehidupan (signifikansi). Ia adalah benar dan sesuai dengan realitas dan aturan-aturan alam, sehingga ketika ditafsirkan, ia selalu selaras dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Metodologi penafsiran al-Qur’a>n yang ditawarkan Muh}ammad Shah}ru>r tersebut berdasarkan prinsip-prinsip yang meniscayakan pengabaian konteks historis. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip dekonstruksi, prinsip anti sinonimitas dalam bahasa, prinsip diferensiasi, prinsip-prinsip tarti>l dan anti-atomistic, prinsip penafsiran yang up to date, prinsip rasionalitas, dan prinsip otonomi teks. Semua prinsip ini juga tidak lepas dari sebuah pandangan bahwa al-Qur’a>n tidak untuk masa lalu, tetapi ia diturunkan semalam untuk manusia kini. Sehingga penafsiran yang benar adalah kesesuaian antara kandungan al-Kita>b sebagai firman Allah yang tertulis dengan realitas sebagai firman yang yang terbuka. Dengan prinsip-prinsip itu pula Muh}}ammad Shah}ru>r tidak hanya menolak Asba>b al-Nuzu>l sebagai perangkat metodis dalam penafsiran, tetapi juga mengklaim bahwa Asba>b al-Nuzu>l merupakan cacat terbesar bagi ilmu-ilmu al-Qur’a>n. sebab, Asba>b al-Nuzu>l hanyalah bentuk penafsiran awal, dan lebih tepat dikategorikan sebagai ilmu sejarah (penafsiran). Menurutnya, Asba>b al-Nuzu>l diletakkan dalam kerangka 146
151 melanggengkan doktrin sifat keadilan sahabat dan bertujuan untuk memuluskan eksistensi madhhab dan golongan tertentu. Dari penelitian ini, setidaknya ada hal yang perlu diperhatikan; metodologi yang dikembangkan oleh Muh}ammad Shah}ru>r sangat penting dan menjadi jargon besar dalam upaya Kontekstual al-Qur’a>n, namun perlu dilihat pula bahwa tidak secara keseluruhan metodologi dan prinsip-prinsip tersebut dapat lansung diterapkan. Perlu adanya kehatihatian dan kebijakan sehingga tidak menyimpang dari apa yang sudah dilakukan ulama-ulama ahli Tafsir terdahulu. Upaya pembacaan kontemporer penting, namun usaha yang dilakukan oleh Ahli tafsir sebelumnya pun tidak secara keseluruhan tidak relevan. B. Saran-Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, masih banyak hal yang perlu dikaji dari penelitian ini, diantaranya pembacaan kontekstual bukan hanya dari sudut pandang Muh}ammad Shah}ru>r saja, melainkan dari ulama-ulama kontemporer lain. Oleh karena itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
152 DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks. Yogyakarta: eLSAQ, 2005. Abdul Mustaqim. al-Qur’a>n Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Shahru>r, dalam Sahiron Syamsuddin, et, al, Hermeneutika AlQur’a>n Mazhab Yoga. Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003. ‘Abd. Al-‘Adhi>m al-Zarqa>ni>, Muh}ammad. Mana>hil al-Irfa>n fi> Ulu>m alQur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996. Abu> Zahrah, Muh}ammad. al-Mu’jizat al-Kubra> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1998. Abū Zaid, Nashr Hāmid. Mafhūm al-Nas}s}; Dirāsat fî ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: al-Markaz al- tsaqāfi> al-‘Arabi>, 1990. ______. Teks, Otoritas, Kebenaran, terj. Khoiron Nahdiyin. Yogyakarta: LKis, 2003. ______. Mengurai Benang Kusut Teori Pembacaan Kontemporer, dalam pengantar buku karya Shah}ru>r Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’ān Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri. Yogyakarta: eLSAQ, 2004. Ah}mad b. Muh}ammad b. Ibra>hi>m al-Tha’labi> al-Naysabu>ri>, Abu Ish}aq> , al-Kashfu wa al-Baya>n. Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>th al-‘Araba>, 2002. Alu>si>, al. Ru>h} al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-@az}i>m wa al-Sab’ alMatha>ni> . Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tth. Alwasilah, A. Chaedar. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa, 1987. Azi>z Ka>mil, Abd al. al-Qur’a>n wa al-Ta>ri>kh. Kuwait: Da>r al-Buh}u>th al‘Ilmiyyah, 1984. Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean. Tafsir Kontekstual Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1990, Cet. Ke-2. Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1994. --------. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: Alfabet, 2005. Arkoun, Muhammad. Kajian kontemporer Al-Qur’a>n. Bandung: Pustaka, 1998. Azra, Azyumardi. Menggugat Tradisi Lama, Menggapai Modernitas; Memahami Hassan Hanafi, dalam Kata Pengantar karya Hassan
153 Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, dkk. Jakarta: Paramadina, 2003. Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Dagha>mi>n, Ziya>d Khali>l al. al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> wa Manhajiyyah alBah}th Fi>hi> . Oman: Da>r ‘Amma>r, 2007. Esack, Farid. Qur’ān; Liberation and pluralisme. Oxford: One World, 1997. Farmawi>,Abd al-H{ayy al. al-Bida>yat fi al- Tafsir> al-Maud}u’> i>. Mesir: alH{ad}ar> ah al- ‘Arabiyaah, 1977. Fatoohi, Louay. Jihad in The Qur’a>n; The Truth From The Source. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2004. Haaser, Norman B. Mathematical Analysis, Ginn and Company: London, 1959. Hallaq, Wael B, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, United Kingdom: Cambridge University Press, 1997. --------. Teori Hukum Islam; Pengantar Untuk Usul Fiqh Madzhab Sunni. Jakarta: Rajawali Press, 2000. Hanafi, Hassan. Al-Di>n wa ath- Thaurah, Vol VIII. Kairo: Maktabah Madbu>li>, 1981. --------. Dialog Agama dan Revolusi. edisi Indonesia dari Religious Dialogue And Revolution, terj. Tim Penterjemah Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996. Hidayatullah, Syarif. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Ima>rah, Muh}ammad. al-Tafsi>r al-Marki>si> Li al-Isla>m. Kairo: Da>r alShuru>q, 1996. Isla>mbu>li>, Sa>mir. Z{a>hirat al-Nas} al-Qur’a>n Ta>rich wa Mu’a>s}irah. Damaskus: Da>r al-Awa>il, 2002. Izzat Darwazah, Muh}ammad. al-Tafsi>r al-Hadi>th; Tarti>b al-Suwar H{asb al-Nuzu>l. Kairo: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 2000. Kathi>r, Ibnu. Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000. Mah}mud, Mus}tafa. Menangkap Isyarat al-Qur’a>n. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Matsna, Moh. Orientasi Sematik al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006. Ma’rifat, M. Hadi. Sejarah al-Qur’a>n. Jakarta: al-Huda, 2007.
154 Muna>wi>, ‘Abd. Al-Ra’u>f. Faid} al-Qadi>r; Sharh} al-Ja>mi’ al-S{aghi>r. Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, 1356 H. Muslim, Mus}t}afa>. Maba>h}ith fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>. Damaskus: Da>r alQala>m, 1989. Mustaqim, Abdul. Madha>hibuttafsi>r; Peta Metodologi Penafsiran alQur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003. Mustaqim, Abdul, Sahiron Syamsuddin (ed.). Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002. Nasir, Malki Ahmad. Hermeneutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas, ISLAMIA,TI, No.I Maret 2004. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985, Cet. Ke-5. Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muh}ammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002. Palmer, Richard. E. Hermeneutics: Interpretation Theory in Scheirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Nortwestern University Press, 1969. Qutb, Sayyid. Islam The Religion of The Future. Delhi: Markazi Maktaba Islami, tth. --------. Fiqh al-Dakwah, Ahmad Hasan (ed), ttp: Muassasat ar-Risālah, 1970. --------. Keadilan Sosial dalam Islam, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984. --------. Fî Zhilāl al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Syurūq, 1993, Cet. Ke-XXI, jilid I, II. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1984. --------. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terj. Taufik Adnan Amal. Bandung: Mizan, 1987. --------. Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1996, Cet. Ke-2. Setiawan, Nur Kholis. al-Qur’a>n Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: ELSAQ, 2005. Shadily,Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta, Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984. Sha’ba>n, Zakiy al-Di>n. Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Nashr, tth. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1995, cet.X.
155 Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas AyatAyat Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005. --------. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maud{u’i> atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. --------. Mukjizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000, Cet.ke-8. --------. Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Sudjiman, Panuti. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia, 1996. Suma, Muh}ammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Sumaryon, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2002, Cet. Ke-13. Shahru>r, Muhammad. al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah. Mesir: Sînā li al-Nasyr, 1992. --------. Nahw Usu>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus; al-Aha>li>, 2000. S{uyu>t}i>, Jala>l al-Di>n al. Luba>b al-Nuqu>l fi Asba>b al-Nuzu>l. Beirut: Dar Ihya>’ al-‘Ulum, tth. Syamsuddin, Sahiron. ‚Tipologi dan Proyeksi Penafsiran Kontemporer Terhadap al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol.8, No.2, Juli: 2007. --------. Hermeneutika Madzhab Yogya. Yogyakarta: Forstudia-Islamika, 2003. --------. Metode Intratekstualis Muh}ammad Shahru>r dalam Penafsiran alQur’a>n, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron syamsuddin ed.,
Studi al-Qur’a>n Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. --------. ‚Konsep Wahyu Al-Qur’a>n Perspektif Muh}ammad Shahru>r‛, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Tirmidhi> al. al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Tirmidhi>. tah}qi>q: Ah}mad Muh}ammad Sha>kir . Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tth. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut: Librairie Duliban, 1999. Z{armawan, Eko Prasetyo. Filsafat Dunia Matematika; Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2007. http://www. Tafsir.net/vb/showtread.php?t=8975
156 INDEKS INDEKS TOKOH Abba>s, Abd al-La>h b. ‘79 Abdullah, Amin 23, 39 Abu> Zaid, Nasr H{a>mid 4,5,12,13,52, 59, 82 al- Z{a>hiri 20 al-‘Arabi, Ibnu Ziya>d 65 al-Ba>b, Jakfar Dakk 49, 51 Ali al-Fa>risi, Abu ‘51 al-Ja>biri, Abid 52, 68 al-Jurjany, Abdul Qahir 51 al-Wa>hidi 119, 120, 129, 142, 144, 147 Arkoun, Muh}ammad 52 Barthers, Roland 29, 79, 80 Bergson 21 Betti, Emilio 23, 25, 41 Christmann, Andreas 62, 64 de Saussure Ferdinand 15 Faiz, Fahruddin 12 Fazlur Rah}ma>n 23, 52,98, 145 Georg Gadamer Hans 26, 29 H{anafi, H{assan 23 Habermas, Jurgen 26 Heidegger, Martin 26 Hidayat, Komaruddin 18, 21, 23, 24, 37 ibn H{azm 20 ibn Jinny 51 ibnu Fa>ris, Ibn Jinny 51 ibnu Fa>ris 65 Kurzman,Charles 3, 13 Muchlas, Imam 12 Muh}ammad S{alih, Abdul Qadir 48 Muh}ammad T{ahir, Munir 48 Muhammad 4, 6, 7, 10, 14,46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153
157 Mustaqim, Abdul 14, 16 Ricoeur 18, 23, 26, 27, 28, 29, 33 Rippin, Andrew 121, 146 Riza Panggabean, Samsu 11 Rousseau 21 Saeed, Abdullah 5, 11, 18, 34 Schleiermacher 25, 26, 27, 28 Shahru>r, Muh}ammad 7, 8, 9,10,13,14, 16,17, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 60, 62, 63, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 79, 80, 81, 82, 85, 91, 94, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 118, 120, 125, 129, 130, 131, 136, 138, 139, 141, 147, 149, 150, 153 Sibawaih, Imam 64 Socrates 21 Syamsuddin, Sahiron 5, 13, 14 Zaid,Abu> 23, 24, 25, 42, 43 Zaki Mubarak, Ahmad 15 INDEKS ISTILAH al-Kita>b 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 143 al-Nubuwwah 80, 81, 82, 83, 99, 112, 114 al-Qur’a>n 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 37, 42 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82 al-Risa>lah 80, 82, 83, 99, 112, 114, 124, 133, 142, 143 Analitis 16 Asba>b al-Nuzu>l 80, 112, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153 Deskritif 16 Diskursus 1 Epistemologi 80, 103 Fundamentalis 1, 2 H{udu>d 107 Hermeneutika 4,22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 33, 36, 39, 41, 44, 45 Historis 19, 22, 24, 28, 30, 34, 35, 38, 41, 42, 43, 44 Historisitas 123, 124 Ijtihad 17 Intelektual 1
158 Islam 1, 2, 3, 5, 6, 8, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 80, 85, 86, 96, 99, 100, 101, 103, 113, 120, 125, 128, 131, 132, 133, 134, 136, 139, 140, 143, 145, 147, 149, 152 Kontekstual 12, 17,46, 59, 61,80, 112 Kontekstualisasi 8, 12 Kontemporer 46, 51, 52, 55, 58, 59, 61, 62, 63, 73 Linguistic 18, 28, 32, 42 Mikro 11 Mutasha>biha>t 51, 68, 69, 70, 72, 76 Narasi 4 Rasionalitas 76, 78 Rekonstruksi 53 Tekstual 12, 17 Tradisionalis 5, 8 INDEKS TEMPAT Damaskus 46,47, 48, 49, 53, 54, 56 Irlandia 47, 63, 76 INDEKS AL-QUR’A>N DAN HADITS al- Kahfi: 46; 93 al-‘Alaq: 1-5; 91 al- Baqarah: 35; 109 al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h Kita>b al-I<ma>n, Ba>b Su’a>l Jibri>l al-Nabi ‘An al-I<ma>n wa al-Isla>m, 27; 85 al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} al-Tirmidhi> hadith no: 3117, 294; 85 al-Kahfi: 39; 93 al-Ra’d: 13; 84 al-S{affa>t: 149; 93 Hu>d: 54-55 , 90
159 GLOSSARY Fundamentalis
: Pada mulanya istilah ini mengacu pada variasi dari Protestan konservatif, khususnya di AS, namun sekarang istilah ini dipakai lebih luas dengan memasukkan variasi dari Islam Konservatif dan Yudaisme Konservatif, dan juga jenis ajaran Katolik dogmatik militan yang dijumpai dalam gerakan Opus Dei. Dalam satu pengertian, Islam pada dasarnya adalah fundamentalis karena menekankan pada kesempurnaan Kalam Tuhan yang tertuang dalam al-Qur’a>n. dalam penggunaan kontemporer, istilah Muslim ‚Fundamentalis‛ dihubungkan dengan salah satu dari gerakan-gerakan konservatif atau dipakai untuk menunjukkan gerakan yang dicirikan oleh militansi dan fanatisme.
hermeneutika
: Area aktivitas dan penelitian filosofis berkaitan dengan teori dan praktek pemahaman pada umumnya, dan interpretasi makna dari teks dan tindakan pada khususnya. Pemikiran hermeneutika menunjukkan bahwa semua aktivitas berada dalam kerangka interpretasi tertentu. Ia menarik perhatian kita pada pra-anggapan, dan keterbatasan, semua bentuk pemikiran dan praktik sosial. Tujuan penganut pemikiran ini adalah memperkaya interaksi komunikasi dan memfasilitasi perkembangan bentuk koeksistensi sosial yang benar-benar manusiawi dan rasional. : Ciri penting dari teori filsafat dan sosial sepanjang dekade-dekade terakhir abad ke-20.
Historisisme
160
Kontemporer
Linguistic
:Pada waktu yang sama; semasa; pada masa kini; dewasa ini Ilmu Tata Bahasa, telaah bahasa secara ilmiah
Tradisionalis
: Tradisionalis berdasarkan definisinya loyal kepada cara lama. Tetapi ini bukan berarti mereka konservatif dalam pengertian di Barat, dan juga bukan berarti tradisionalis berada dalam aliran politik kanan. Jadi, kekerabatan, agama, kelas social dan halhal sacral bukan berarti sesuai dengan prefensi konservatif pada individualism, pasar bebas, libertarianisme dan property dan profit tanpa batasan.
Rasionalitas
: Sistem sebab dan akibat yang rasional, diatur oleh hukum yang dapat ditemukan oleh metode ilmiah (Nalar). Dalam cara apapun hubungan kausalitas ini dipahami, hubungan itu menyingkirkan makna dan tujuan dari cara kerja alam dan membebaskan sains dari pemikiran bahwa alam ini adalah desain Tuhan. Pendapat ini juga mengabaikan soal kebetulan; tetapi ada sedikit ruang kompromi untuk teori probabilitas, yang mengizinkan sejumlah elemen terbatas yang tak bisa diprediksi. ‚Positivisme‛ sebagai istilah yang dipakai dalam ilmu social, mengaplikasikan filsafat dan ilmu alam kedunia social.
Tekstual
: Pemahaman yang didasarkan hanya kepada
161 (makna harfiah) teks suci saja, tanpa melihat realitas kekinian. Kontekstual
: Pemahaman yang lebih melihat kepada aspek kekinian, serta mengaplikasikan apa yang tertera dalam kitab suci kepada realitas yang terjadi.
BIOGRAFI PENULIS Salman Faris dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1986, mengawali Pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sunter Jaya 05 Pagi Jakarta-Utara, dan SLTPN 152 Sunter Jakarta-Utara, selesai menuntaskan pendidikan menengah pertamanya ia melanjutkan pendidikan menengah atas sekaligus ‚nyantri‛ di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’a>n Tebuireng (|Huffaz}) Jombang Jawa-Timur. Selepas menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren, pada tahun 2005 putra dari Drs. Usman H. Ibrahim dan Ma’rifah ini kembali ke Jakarta untuk melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Us}ulu>ddi>n Jurusan Tafsir Hadits, selama 3 tahun lebih di bangku kuliah ia berhasil meraih gelar (S.Th.I) dan pada tahun yang sama pula Ia kembali tercatat sebagai mahasiswa pada almamater yang sama program Magister Graduate School Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Tafsir hadits. Karya yang dihasilkan di antaranya: ‚Konsep Khusyu’ Dalam alQur’a>n‛ (Skripsi) dibawah bimbingan Dr. Muhammad Akhsin Sakho, M.A, dan ‚Kontekstualisasi al-Qur’a>n Studi Penafsiran Muh}ammad
Shah}ru>r‛.
yang pada mulanya adalah sebuah tesis untuk memperoleh gelar M.A Hum (Magister Agama bidang Humaniora).