Pendidikan Jender Bagi Calon Guru SD Dalam Rangka Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Jender di Sekolah Dalam Rangka Pendekonstruksian Nilai Jender Pada Anak Menuju Tatanan Kehidupan yang Egalitarian Oleh Rr. Nanik Setyowati & Oksiana Jatiningsih ABSTRAK Teachers have important and strategic roles, especially for children who stay at elementary and low school level. On school ages, especially at elementary school, children are on important position on building their gender frame, because children are more easily built by older people. Therefore, learning experience anf teachers’ treatment to children are so importantly paid attention because not only teacher’s roles are as so information and identification and imitation resources (Kagan and Lang, 1978:64), but also the reality that so many books used at schools are gender-bias. Unfortunately, teachers and learning aids are coluored by traditional gender value. In preparing children on living at changing society, it is important to build gender awareness and socialize egalitarian gender values. This is mainly very important to do to future kinder garten and elementary school teachers as the future gender socialization agents at school. Here, it is very important to conduct gender education at PGSD program where elementary school teachers are educated. A. Latar Belakang Masalah. Pengembangan kecakapan intelektual terkait dengan fungsi transformasi pendidikan, dan pengembangan kecakapan pribadi dan sosial banyak terkait dengan fungsi sosialisasi pendidikan. Terkait dengan fungsi ini, peran guru sangat penting dan strategis, terutama bagi anak yang masih duduk di SD, dimana anak berada pada tahap penting dalam membangun kerangka jendernya. Pada usia 8 tahun anak sangat rigid dalam memikirkan semua topik dan cenderung berlebihan dalam menggeneralisasikan fakta-fakta baru yang ditemukannya (Bryan dan Luria, 1978:14; Eccless, 1995:175), mereka juga memegang kepercayaan mengenai peran-peran jender dengan sangat rigid (Baron, Graziano, dan Stangor, 1995:175). Di tingkat SD, guru adalah model yang sangat penting dalam proses imitasi dan identifikasi anak. Sikap dan perilaku jendernya sangat penting dalam mempengaruhi dan mengonstruksi jender anak. Sehingga persetujuan guru pun merupakan cara yang paling efektif untuk mensosialisasikan anak (Kagan dan Lang, 1978:62). Proses sosialisasi ini
Dosen jurusan PMP-KN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
27
terus berlanjut dan anak akan terkonstruksi melalui sosialisasi ini seiring dengan jenis informasi dan pengalaman yang diterimanya. Pengalaman belajar yang diwarnai oleh konstruksi jender tradisional akan mengukuhkan kerangka jender tradisional yang telah dimiliki anak.Di lain pihak, pengalaman belajar yang diwarnai oleh konstruksi jender yang berbeda dengan konstruksi jender awal dari anak akan memberikan alternatif pengalaman kepada anak yang dapat mempengaruhi bahkan mengubah konstruksi jender anak yang tradisional. Di sinilah sekolah melakukan peran sosialisasi yang mendekonstruksi kerangka jender tradisional yang telah dimiliki anak. Karena itu pengalaman belajar dan perlakuan guru terhadap anak penting untuk mendapatkan perhatian. Hal ini bukan saja karena peran guru yang sangat penting sebagai sumber informasi dan model identifikasi dan imitasi anak (Kagan dan Lang, 1978:64) tetapi juga karena realita bahwa buku teks yang dipergunakan di sekolah masih banyak yang bias jender. Buku ajar (dan kurikulum) belum berdasarkan peran jender yang seimbang ini akan dapat menyebabkan perempuan tetap tidak mempunyai mentalitas yang produktif (Suryadi dan Idris 2004:163). Buku-buku teks yang dibaca anak dapat mempengaruhi sikap dan opini anak (Kagan dan Lang, 1978:55; Koblinsky, Cruse dan Sugawara, 1978:452). Kalimat-kalimat yang dibaca anak bisa berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa (Murniati, 1992:28). Semua ini terjadi karena di setiap buku selain tujuan kurikuler juga terkandung tujuan kurikuler tersembunyi (hidden curriculum) yang berupa nilai-nilai yang diharapkan tertanam pada diri siswa (Shaw, 1989:296; Renzetty dan Curran, 1989:88). Karenanya guru disarankan dapat memilih buku yang tidak bias jender atau dapat memberikan respons yang positif terhadap materi bias jender dalam buku-buku yang terpaksa dipergunakan. Sayang sekali, guru dan perangkat pendidikan di sekolah masih diwarnai oleh nilai jender tradisional.Penelitian yang dilaksanakan Jatiningsih, Setyowati, dan Narwati (2002) terungkap bahwa guru dan buku teks yang digunakan di SD tidak mendukung upaya sosialisasi jender yang egalitarian. Kurangnya pengetahuan guru tentang jender ini, diduga membuatnya tidak memiliki sensitivitas jender dan kurangnya kesadaran guru terhadap persoalan hidden curriculum sebagaimana juga terungkap dalam penelitian tersebut. Akibatnya, sosialisasi jender yang terjadi di sekolah hampir selalu merupakan
28
pengukuhan stereotipe jender tradisional (Eccless, 1995: 185; Murniati, 1992:28; Muthali’in, 2001:1995). PGSD sebagai penghasil guru SD belum memperhatikan persoalan jender, meskipun diakui bahwa di masyarakat sedang terjadinya perubahan nilai jender dan pemberian pengetahuan dan penumbuhan kesadaran jender pada calon guru SD adalah penting. (Jatiningsih, 2000). Survei awal terhadap mahasiswa PGSD menunjukkan fenomena yang sama, mereka tidak mengetahui jender, apalagi sensitif, dan sadar jender, serta tidak responsif terhadap hidden curriculum dari suatu materi bacaan dan kebiasaan di sekolah yang bias jender. Hampir dapat dipastikan bahwa para calon guru itu tidak mengerti jender, peka, dan sadar jender, serta hanya akan memberikan penguatan saja kepada anak dalam mengkonstruksi jender yang tradisional. Seiring dengan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang begitu pesat, pendidikan sering dinilai kurang berkualitas, tertinggal zaman, dalam merespon perubahan yang terjadi, tidak efektif dan efisien, tidak relevan, dan sebagainya. Akibatnya, krisis yang terjadi di masyarakat merupakan refleksi dari krisis pendidikan (Tilaar, 2001:1). Ketertinggalan dan keterlambatan itu juga terjadi ketika masyarakat telah mengawali dan sedang bergerak menuju kehidupan yang demokratis dan konstruksi masyarakat yang egaliter. Sekolah justru menjadi lembaga yang “melestarikan” tradisionalitas jender. Dalam rangka mempersiapkan anak menuju kehidupan yang berubah itu, perlu dilakukan upaya penyadaran dan sosialisasi nilai jender yang berperspektif egalitarian, yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sejajar. Sangat penting dilakukan kepada calon guru SD karena merupakan ujung tombak segala kemajuan dan ketertinggalan. Oleh karena itu dalam rangka mempersiapkan anak dalam kehidupan yang berubah itu, pendidikan dan sekolah harus „dikendalikan“ oleh guru-guru yang memahami, peka, dan sadar jender yang terampil melakukan upaya sosialisasi nilai jender yang berperspektif egalitarian. Karena itulah memberikan pendidikan jender merupakan hal yang sangat penting dilakukan di PGSD sebab di sinilah seorang calon guru SD akan dipersiapkan.
29
B. Perumusan Masalah 1. Permasalahan jender apa yang terjadi pada mahasiswa calon guru SD? 2. Kecakapan-kecakapan apa yang perlu dimiliki oleh mereka agar menjadi guru SD yang memiliki kecakapan intelektual, sensitivitas, dan kesadaran jender? 3. Bagaimana deskripsi pokok-pokok bahasan yang akan dirumuskan menjadi materi ajar pendidikan jender bagi mahasiswa PGSD? 4. Bagaimana program atau kurikulum yang relevan bagi mahasiswa PGSD? 5. Bagaimana deskripsi matakuliah dan bahan ajar yang relevan bagi mahasiswa PGSD? 6. Bagaimana perangkat pembelajaran pendidikan jender yang terdiri atas kurikulum (silabus) bahan ajar, media, panduan dosen dan sebagainya? 7. Bagaimanakah model pendidikan yang efektif bagi mahasiswa PGSD agar mereka memiliki pengetahuan, pemahaman, sensitivitas, dan kesadaran jender sehingga mereka akan cakap bertindak sebagai agen sosialisasi jender ketika mereka menjadi guru.
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pendidikan jender bagi mahasiswa calon guru SD dan perangkat pembelajarannya. Pendidikan jender ini terutama dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang konsepkonsep jender, memberikan keterampilan merencanakan dan mengajar yang berperspektif jender, serta menumbuhkan kepekaan dan kesadaran jender.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini terutama diharapkan bermanfaat bagi program PGSD. Model dan perangkat pembelajaran dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kualitas perkuliahan bagi MCG D dalam rangka memberikan bekal agar kelak dapat menjadi guru yang dapat mengembangkan pembelajaran dan interaksi yang berperspektif jender.
30
E. Jender dan Peran Jender Jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8). Konsep semacam ini sering dicampuradukkan dengan konsep seks yang merujuk pada pengertian laki-laki dan perempuan secara biologis, padahal kedua konsep tersebut berbeda. Konsep biologis merujuk pada pengertian yang bersifat kodrati sehingga hal tersebut tidak bisa saling dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, sedangkan konsep jender merujuk kepada pengertian yang bersifat sosial kultural. Arief Budiman (1985:3) mengartikan jender sebagai intepretasi mental dan kultural terhadap jenis kelamin. Jender menunjukkan sifatsifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8). Masyarakat memberikan memberikan status dan peran yang berbeda kepada lakilaki
dan
perempuan.Gross,Mason,dan
McEachern
(dalam
Suyanto,
1995:492)
mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Pendefinisian laki-laki dan perempuan mengacu kepada serangkaian kepercayaan dan pendapat yang menjadi "pola baku" laki-laki dan perempuan, dan kualitas maskulinitas dan femininitas (Susilastuti, 1993:31), yang kemudian dikukuhkan sebagai hegemoni sebab disosialisasikan secara terus-menerus melalui keluarga, sekolah, agama, dan negara. Akibatnya, pola itu dirasakan sebagai suatu "kebenaran baku" yang harus diterima begitu saja.
Perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lembut, tidak
asertif, dan cenderung mengalah, sedangkan laki-laki ditampilkan sebagai sosok yang besar, asertif, dan dominan (Susilastuti, 1993:29), perempuan juga harus tampil menarik, senantiasa bersih, rapi, berpakaian tertentu, dan sebagainya, yang berbeda dengan lakilaki. Dikotomi stereotipe menekankan peran utama perempuan pada urusan domestik dan laki-laki pada urusan publik. Dikotomi ini bersatu dan menjadi elemen penting dalam sebagian besar budaya masyarakat, serta timbul dan dilestarikan melalui proses sejarah yang kompleks dan melingkupi segenap kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (Kusujiarti, 1997:91) dan dianggap sebagai ketentuan "kodrat" yang tidak bisa diingkari. Perbedaan jender juga menyebabkan terjadinya pembagian kerja secara seksual di
31
masyarakat. Ada pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Susilastuti, 1993:29; Budiman, 1985:24; Sanderson, 1995:395). Jenis pekerjaan yang dianggap pantas untuk perempuan atau laki-laki sangat ditentukan oleh stereotipe jendernya. Peran jender telah menimbulkan "ketidakadilan" sehingga menyebabkan timbulnya marginalisasi dan subordinasi pada salah satu pihak. Secara umum hubungan pria-wanita bersifat asimetris (Ihromi, 1995:433). Dalam suatu masyarakat dengan "citra baku" perempuan dan laki-laki yang didominasi oleh pola-pola man's world atau patriarkhi, laki-laki diletakkan pada posisi superordinat dan perempuan pada posisi subordinat. Perempuan adalah orang kedua, kedudukannya tidak sejajar atau tidak sama pentingnya dengan laki-laki, makhluk sekunder atau the second sex (Kusujiarti, 1997:90). Di kalangan masyarakat Jawa, dalam perhubungan antara laki-laki dan perempuan, berlaku perumpamaan bahwa perempuan itu "suarga nunut neraka katut", "kanca wingking”, isteri harus ngajeni suaminya (Koentjaraningrat, 1984:3). Anggapan bahwa perempuan sebagai makhluk yang "kurang" penting (Ihromi, 1995:433-435) ini kemudian dikukuhkan secara luas dan terus-menerus dalam sistem kebudayaan masyarakat sehingga menyebabkan timbulnya berbagai kondisi yang menyebabkan perempuan tidak dapat berpartisipasi secara maksimal dalam proses pembangunan.
F. Sosialisasi Jender Sosialisasi adalah semua proses dengan mana individu-individu dibentuk oleh sistem sosialnya ketika ia tumbuh dan berkembang (Eccles, 1995:164). Melalui sosialisasi, seorang individu diupayakan untuk menjadi sosok manusia yang diharapkan oleh masyarakatnya. Melalui sosialisasi jender, seseorang diarahkan menjadi individu yang sifat dan perilakunya sesuai dengan jenis kelaminnya sebagaimana yang diharapkan masyarakatnya. Sosialisasi dimulai sejak anak lahir didalam keluarga. Ketika anak lebih berkembang, orang-orang di luar rumahnya dan sekolah juga berperan dalam pengkonstruksian jender seseorang. Informasi dan pengalaman yang dimiliki seseorang akan menentukan perkembangan konsep jender awal (jender constancy) yang dimiliki oleh seorang individu.
32
Eccles (1995:166) mengemukakan, ketika mengembangkan peran jendernya, anak-anak mengalami dua perubahan penting pada dirinya yaitu kesadaran seks (sex awareness) dan identitas jender (gender identity). Proses ini terjadi ketika anak berusia sekitar 18 bulan. Identitas jender ialah penerimaan anak terhadap seksnya sebagai bagian sentral dari konsep dirinya. Sadli dan Patmonodewo (1995:71) mengartikannya sebagai suatu perasaan subjektif tentang keberadaan dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Tahap ini terjadi ketika anak berusia 24 bulan (2 tahun). Sadli dan Patmonodewo (1995:77) mengemukakan bahwa identitas jender memiliki kaitan yang erat dengan identitas peran jender yang menjelaskan sejauh mana seseorang menganggap dirinya sebagai feminin dan maskulin sebagaimana ditentukan peran seksualnya.Jadi, kesadaran seks dan identitas jender memiliki dua konsekuensi besar, yaitu seks menjadi katagori sosial yang penting untuk menciptakan perasaan dunia sosial seseorang, dan anak menjadi termotivasi untuk mempelajari perilaku jender yang sesuai, khususnya untuk mempelajari bagaimana cara berperilaku seperti yang diharapkan untuk kelompoknya (Eccles, 1995:167). Ada tiga teori yang membahas sosialisasi, yaitu teori identifikasi, belajar sosial, dan perkembangan sosial/kognitif. Terkait dengan penelitian ini, dalam kerangka pendidikan jender di sekolah sebab peran guru sebagai sumber informasi dan pengelola proses pembelajaran. Dalam rangka pendidikan jender di PGSD teori yang digunakan untuk membahas dan mengembangkan model pendidikan dan pelatihan jender adalah teori belajar sosial, dan perkembangan sosial/kognitif. Teori Belajar Sosial lebih memfokuskan pada kejadian-kejadian yang dapat diobservasi dan konsekuensinya daripada pada motif-motif dan dorongan yang tidak disadari (Tauris dan Wade, 1984 dalam Renzetty dan Curran, 1989:64). Teori ini merumuskan hipotesis bagaimana kondisi lingkungan mempengaruhi perilaku sosial dan kesadaran sosial. Ahli-ahli teori ini percaya bahwa perilaku yang bertipe seks (sex-typed behaviour) dipelajari melalui dua proses utama yaitu pengkondisian perangkat dan observasi atau belajar observasional (Kagan dan Huston, 1990:401; Mussen dkk., 1990:385). Pengkondisian (pujian atau hukuman) merupakan reinforcement yang diberikan terhadap suatu perilaku. Anak cenderung mengulangi perilaku yang ditampilkannya jika dia memperoleh pujian dan membuatnya berpikir bahwa perilaku
33
tersebut tepat (jender-appropriate behavior). Sebaliknya, anak cenderung tidak mengulang perilakunya jika ia memperoleh hukuman atas suatu perilakunya. Jadi anak mencapai pengertian jendernya melalui pujian terhadap perilakunya yang sesuai dan hukuman karena perilakunya yang tidak sesuai yang ditampilkannya (Renzetty dan Curran, 1989:64). Selain reinforcement, imitasi atau pemodelan merupakan prinsip yang penting dalam teori belajar sosial. Pencapaian peran jender seorang anak dilakukan melalui imitasi terhadap individu yang berjenis kelamin sama dengan cara belajar observasional (observational learning). Anak-anak adalah imitator besar, dan kadang-kadang dilakukannya dengan cara yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya (Mussen, 1990:385). Imitasi tidak sepenuhnya merupakan peniruan perilaku model.Belajar observasional merupakan proses pencapaian pola baru dari perilaku dengan cara melihat apa yang dilakukan orang lain terhadap mereka (Eccles, 1995:170). Bandura dan Walters (1963) serta Perry dan Bussey (1979) (dalam Eccles, 1995:172) mengemukakan bahwa belajar observasional sangat mungkin bagi terjadinya imitasi yang jelas jika model diperkuat dengan perilaku. Proses ini disebut pemodelan peran (role modeling). Teori Perkembangan Kognitif/Sosial berasumsi bahwa anak-anak dimotivasi untuk memodelkan perilaku orang lain dan mereka secara khusus tertarik untuk mempelajari peran jender dari seks yang sama (Eccles, 1995:173). Menurut teori ini individu berusaha menjadi orang yang ideal melalui sosialisasi-sendiri. Proses aktif ini menjadi dasar bagi penciptaan stereotipe dan naskah peran jender. Selanjutnya setelah terbentuk, konsep-konsep ini
diasumsikan
menjadi
kerangka kerja untuk
mengintepretasikan apa yang dilihatnya dan untuk memprediksi perilaku di masa mendatang. Anak-anak didorong untuk menjadi individu seperti katagori yang telah diciptakannya. Mereka akan mengimitasi perilaku yang dinilai penting bagi seksnya dan mengadopsi yang sesuai dengan penilaiannya menjadi anak perempuan atau laki-laki yang "baik", dan anak-anak termotivasi untuk menjadi seperti itu. Lebih
lanjut,
dalam
rangka pencapaian keterampilan kognitif yang tepat,
diasumsikan bahwa perubahan dalam struktur kognitif sosial bergantung pada tersedianya stimuli sosial yang tepat (Eccles, 1995:175-176). Stuktur tersebut hanya akan berubah bila konteks sosial memberikan informasi yang bertentangan dengan skema sosial yang
34
ada. Karena itu anak akan terus mempercayai peran jender tradisional sampai mereka memperoleh kecakapan kognitif untuk membayangkan peran-peran yang berbeda dan kesempatan untuk mengobservasi contoh-contoh transendensi peran jender.
G. Peran Guru dalam Sosialisasi Jender di Sekolah Pentingnya peran guru dalam mengembangkan konstruksi jender anak dapat didiskusikan dari beberapa sudut pandang, yaitu (1) peran guru sebagai sumber informasi dan model; (2) peran guru dalam memilih materi sekolah dan buku teks; (3) peran guru dalam mengembangkan proses pendidikan; dan (4) peran guru dalam menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Pertama, guru adalah sumber informasi dan model bagi siswa. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa usia-usia anak ketika mereka pertama kali memasuki tingkat pertama sekolah dasar secara psikologis merupakan waktu yang sangat penting dalam pembentukan karakteristik dan sikap. Pada saat ini, identitas dan pemahaman jender awal dari anak akan berkembang sesuai dengan jenis informasi dan pengalamannya. Berkaitan dengan itu fungsi dan peran guru sangatlah penting. Guru merupakan salah satu agen sosialisasi dan model yang penting di sekolah. Mereka mengambil peran orang tua sebagai model bagi anak ketika anak memasuki tingkat pertama sekolah. Terkait dengan proses penanaman nilai jender, kedudukan "model" bagi seorang anak (siswa) sangatlah penting. Seseorang dapat menjadi model bagi anak, bila mereka memiliki ciri-ciri yang menimbulkan "kekaguman" sehingga merangsang anak untuk berimitasi atau mengidentifikasikan dirinya dengan model yang dimaksud. Perilaku dan nilai yang dimiliki anak juga dapat dipengaruhi oleh contoh yaitu orang dewasa yang dikagumi dan karena itu ia ingin menyerupainya (Kagan dan Lang, 1978:64). Di sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar, guru merupakan model yang sangat penting dalam proses sosialisasi nilai. Pengaruh guru terhadap pembentukan peran seks pada anak bergantung pada jenis hubungan yang ada antara guru dan siswa dan nilai hubungan tersebut (Hurlock, 1986:471). Karena itu menciptakan hubungan yang baik, dekat, familiar dan menarik merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh guru dalam rangka sosialisasi nilai
35
sehingga guru akan lebih mudah mempengaruhi anak.
Dengan cara ini guru akan
menjadi model yang efektif bagi anak. Kedua, guru berperan dalam memilih materi sekolah. Sarana sosialisasi jender yang lain adalah buku teks dan media belajar yang digunakan siswa. Dibandingkan dengan pesan-pesan jender yang disampaikan secara verbal, pesan-pesan yang dikemukakan dalam bentuk pelukisan, seperti komik dan gambar dalam buku cerita atau buku-buku sekolah lebih berarti bagi anak-anak (Hurlock, 1986:467). Kalimat-kalimat yang dibaca anak sejak dini merupakan pemahaman dasar yang dapat berubah menjadi ideologi bila kelak ia dewasa (Murniati, 1992: 28) dan dapat mempengaruhi opini dan sikap anak (Kagan dan Lang, 1975:55). Materi kurikuler yang tertulis dalam buku-buku teks selain memuat materi formal kurikulum, juga mengandung materi kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang berupa nilai-nilai yang diharapkan tertanam pada diri anak (Shaw, 1989:296; Renzetty dan Curran, 1989:88). Logsdon (dalam Saptari dan Holzner, 1997: 218; Eccles, 1995:85) mengemukakan bahwa pendidikan di sekolah dasar sangat menunjukkan pembakuan peran-peran sosial perempuan dan laki-laki dalam buku teks yang diberikan. Akibatnya, sekolah semakin mengukuhkan konstruksi jender yang tradisional pada diri anak. Sensitivitas jender (kepekaan jender) adalah kemampuan untuk mengenal ketimpangan jender terutama dalam hal pembagian kerja dan akses kepada sumberdaya. Seseorang dikatakan peka jender bila sikap dan perilakunya selalu berorientasi pada keadilan jender. Seorang guru yang memiliki sensitivitas jender dan kesadaran terhadap nilai yang diajarkan akan cenderung selektif dalam memilih materi sekolah dan buku teks untuk mengajarkan nilai (Kagan dan Lang, 1978:58). Lebih lanjut kesadaran guru terhadap keberadaan dan pengaruh kurikulum tersembunyi selain membuatnya selektif dalam memilih bahan ajar juga akan membuatnya bereaksi secara positif bagi upaya pendekonstruksian nilai jender yang tradisional. Perubahan buku semata tanpa penjelasan dan penegasan khusus dari guru tentang nilai-nilai yang berubah barangkali menjadikan perubahan itu kurang efektif dalam mendekonstruksi nilai jender. Karena itu peran guru sangat diperlukan dalam memberikan penjelasan, klarifikasi, dan penegasan terhadap perubahan tersebut.
36
Ketiga, guru mempunyai peran dalam mengembangkan proses pembelajaran. Jenis hubungan dan aktivitas pendidikan yang dikembangkan guru sangat merefleksikan konstruksi jender guru dan secara langsung apa yang dilakukan guru merupakan pelajaran jender bagi siswa. Pekerjaan penting yang perlu dilakukan guru dalam berinteraksi dengan siswanya adalah membuat siswa memahami bahwa jender dan seks adalah dua hal yang berbeda, dan peran-peran bagi laki-laki dan perempuan adalah hasil bentukan sosial yang mungkin berubah atau berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda. Keempat, guru mempunyai peran dalam mengembangkan situasi dan lingkungan sosial sekolah yang sensitif jender. Guru perlu memberikan penjelasan yang kritis berkaitan dengan fakta sosial yang bias jender misalnya jumlah kepala sekolah yang cenderung lebih banyak laki-laki daripada perempuan; guru juga tidak seharusnya bertindak sekses pada mata pelajaran tertentu misalnya olahraga atau keterampilan. Guru juga perlu memberikan informasi tentang fakta dan peran-peran sosial yang berbeda dari konsep nilai jender tradisional. Dalam
penyampaian
informasi
tersebut,
guru
harus
menyadari
tahap
perkembangan siswa di SD yang berada di awal tahap operasional formal. Anak mulai dapat berpikir secara sistematis dan mulai berpikir operasional formal. Dalam rangka menyiapkan anak dengan kehidupan yang sedang berubah, anak perlu didekatkan dan dibiasakan mengenal masalah jender dan perubahan yang terjadi,sehingga anak diharapkan bisa bereaksi dan merespon persoalan itu dengan cepat dan dapat menggunakan penalarannya.
H. Mempersiapkan Guru yang Sensitif Jender Pengalaman dan informasi baru yang diterima oleh setiap orang dapat menjadi pengetahuan baru kepadanya yang memungkinkannya memperoleh referensi dalam merekonstruksi pemahamannya tentang sesuatu. Berkaitan dengan jender, terutama yang memiliki nuansa berbeda dengan konstruksi jender yang sudah ada dapat menjadi alternatif berpikir dan pilihan bagi subjek yang sudah dewasa, sebagaimana dikemukakan oleh Eccles (1995:187) dan Stangor dan Ruble (dalam Baron dan Byrne, 1991:122). Banyak faktor yang mempengaruhi proses pendekonstruksian jender pada individu
37
dewasa. Selain proses sosialisasi sebelumnya, proses belajar aktif, kemampuan berpikir, dan analisis kritis memiliki peran yang besar dalam proses tersebut. Berkaitan dengan itu, pengalaman pribadi, pengamatan sosial, serta pengetahuan seseorang tentang jender dan peran jender menjadi sumber pelajaran jender. Calon guru yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman jender akan cenderung melihat jender sebagai persoalan kodrat dan tidak sensitif jender. Mereka tidak menyadari adanya bacaan yang bias jender, muatan nilai yang tersembunyi dalam kurikulum, pengaruh bacaan terhadap pembentukan konsep jender anak, dan tidak adanya kreativitas yang kritis mereka untuk menyikapi suatu kondisi dalam rangka membentuk konstruksi jender muridnya yang sesuai dengan kondisi di masa depan. Sehingga mereka tidak (bisa) menangkap adanya "keganjilan" pada bacaan atau cerita yang bias jender pada buku teks yang dipergunakan siswa sekolah dasar. Memang mengubah konstruksi nilai seseorang dewasa tidaklah mudah, tetapi betapapun informasi jender yang non-tradisional tidak mudah diingat sebagaimana yang terjadi pada anak-anak yang skema jendernya yang belum mantap, informasi itu tetap akan berguna untuk memberikan alternatif pikiran dan pilihan kepada mereka untuk melihat alternatif aktivitas yang diwarnai oleh stereotipe jender yang non-tradisional dan kemudian mendekonstruksi konsep jendernya, sebagaimana diungkapkan oleh Eccles (1995:187) dan Stangor dan Ruble (dalam Baron dan Byrne, 1991:122). Individu "harus" dibuat menyadari adanya ketimpangan jender sehingga ia merasa tidak puas terhadap suatu keadaan dan merasa perlu untuk menghadirkan dalam dirinya nilai-nilai jender yang non-tradisional. Pengalaman, kebutuhan, dan kesempatan baru yang berlangsung sepanjang kehidupan manusia merupakan faktor-faktor yang dapat memotivasi individu dewasa untuk "menilai" ulang konstruksi jendernya. Pemberian informasi jender kepada calon guru ditekankan pada pemberian pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep jender. Hal ini berbeda dengan pendidikan jender yang kelak mereka lakukan kepada siswanya. Berkaitan dengan upaya mempersiapkan dan menghasilkan guru yang memiliki sensitivitas jender, memberikan pengalaman belajar yang diwarnai oleh sensitivitas jender juga menjadi suatu keharusan. Salah satu caranya dengan menata kurikulum lembaga penghasil guru agar menjadi
38
sensitif jender. Materi jender dapat dijadikan sebagai bagian dari pembahasan materi, pokok bahasan, atau diberi jatah waktu pertemuan sendiri untuk itu. Sebagai kerangka pengalaman belajar mahasiswa, kurikulum berisi pengalaman belajar yang akan diterima mahasiswa calon guru (MCG). Kurikulum yang sensitif jender akan bermuatan jender, dan sebaliknya. Dari beberapa studi di lembaga penghasil calon guru dapat dikemukakan bahwa kurikulumnya kurang mengarah pada upaya untuk menciptakan guru yang sensitif jender. Kurikulum PGSD sebagai lembaga penghasil guru SD tidak sensitif jender (Jatiningsih, 2000:256). Jender atau pendidikan jender tidak menjadi salah satu matakuliah di PGSD, bahkan juga tidak menjadi topik yang dibahas secara khusus. Dari pengkajian terhadap kurikulum PGSD dan TIU yang tertulis di kurikulum, dapat dikemukakan bahwa upaya penumbuhan sensitivitas jender dapat dilakukan melalui mata kuliah Perspektif Global. Tetapi sangat disayangkan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Mahasiswa tidak mendapat informasi tentang jender dan tidak pula disadarkan akan arti kurikulum tersembunyi dan pengaruhnya dalam pembentukan karakteristik dan kepribadian anak. Karena itu MCG ini cenderung tidak paham terhadap persoalan sensitif jender ketika diberikan bacaan yang bias jender. Dalam kondisi semacam ini tentu saja sulit diharapkan mereka akan sensitif dan sadar jender dan dapat mendekonstruksi kerangka jender siswanya yang mungkin tradisional. Lebih buruk lagi, pengajar matakuliah di lembaga tersebut juga tidak sensitif jender (Jatiningsih, 2000: 257). Padahal guru yang tidak memiliki pengetahuan dan sensitivitas jender akan cenderung berinteraksi secara seksis dengan siswanya (Renzetty dan Curran, 1989:87). Selain melalui perkuliahan, upaya penyiapan guru yang sensitif jender dapat juga dilaksanakan melalui kegiatan khusus (pelatihan) yang diselenggarakan untuk kepentingan supaya tercipta pribadi mahasiswa yang sadar dan sensitif jender sehingga akan mempunyai sikap dan perilaku yang berperspektif jender. MCG harus dimotivasi agar dapat mengubah konstruksi jender dan tingkah lakunya yang bias jender. Ada beberapa tahapan yang dapat digunakan untuk mengubah tingkah laku seseorang. Michenbaum (dalam Wahyuni, 2005:37) mengembangkan tiga tahapan perubahan perilaku yaitu melakukan pengamatan diri, memulai dialog internal baru, dan mempelajari keterampilan baru.
39
I. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian penelitian pengembangan yang dimaksudkan untuk menghasilkan prototype model pendidikan jender untuk mahasiswa calon guru SD dan perangkatnya yang berorientasi pada guru yang paham, sensitif, dan sadar jender serta terampil melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif yang dirancang dengan two-phase design (Creswell, 1994:177) Pendekatan kuantitatif dipergunakan terkait dengan tujuan penelitian untuk menggambarkan pengetahuan jender, sedangkan tujuan lain dalam penelitian ini diteliti dengan pendekatan kualitatif. 2. Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dan bersifat longitudinal (multi years) yang dirancang untuk dilaksanakan dalam kurun waktu tiga tahap selama dua tahun. Pada tahun pertama dilaksanakan kegiatan need assesment melalui survai. Secara operasional kegiatan yang dilaksanakan pada tahun pertama ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi kecakapan-kecakapan dan masalah jender yang ada pada mahasiswa. Untuk itu dilakukan survai untuk mendeskripsikan pengetahuan dan konstruksi jender mahasiswa PGSD. 2. Menganalisis dan merumuskan kebutuhan-kebutuhan topik-topik sebagai materi ajar dalam pembelajaran di PGSD. 3. Merumuskan indikator-indikator keberhasilan kegiatan belajar dan pembelajaran. 4. Menyusun model dan perangkat pembelajaran (modul) yang berorientasi pada kecakapan menjadi guru yang sensitif jender. 5. Melakukan validasi terhadap draft naskah perangkat pembelajaran yang dihasilkan, dan selanjutnya revisi terhadapnya. 6. Mengujicobakan secara empirik model dan perangkat pembelajaran yang dihasilkan. 7. Melakukan revisi akhir terhadap model dan perangkat yang dihasilkan. Pengembangan model pendidikan menggunakan model 4D yang meliputi define, design, develop, dan dissemination (Thiagarajan, Simmel & Simmel, 1985) yang dilaksanakan dalam tiga tahap dalam waktu dua tahun. Pada tahap awal analisis terhadap kurikulum
40
dilakukan berdasarkan deskripsi matakuliah, selanjutnya berdasarkan prediksi awal tentang matakuliah yang dapat dititipi pendidikan jender, dengan pertimbangan dari pengelola prodi PGSD, disepakati beberapa dosen yang akan diundang dalam focus group discussion (FGD) yang diadakan untuk kepentingan itu. 3. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah dosen dan pengelola PGSD serta mahasiswa PGSD. Pemilihan subjek mahasiswa dipilih secara random sederhana, sedangkan pemilihan subjek dosen didasarkan pertimbangan karena mereka adalah para pengajar pada matakuliah yang akan “dititipi” pendidikan jender yaitu IPS Kelas Awal dan IPS Kelas Lanjut. 4.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan jender, kecakapan-kecakapan jender, mata kuliah dan topik-topik esensial, dan model dan perangkat pembelajaran pendidikan jender. Permasalahan jender adalah kondisi atau problem atau faktor-faktor yang lemah dan menjadi penghalang dalam upaya menjadi guru yang paham, sensitif, dan sadar jender, serta melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender, yang ada pada mahasiswa PGSD. Hal ini mungkin meliputi konstruksi jender mahasiswa yang masih tradisional, pengetahuan, kepekaan, dan kesadaran jender yang kurang atau tidak ada, hidden curriculum yang kurang dipahami, tidak dimilikinya kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender. Kecakapan-kecakapan jender adalah keterampilan atau kemampuan yang terkait dengan jender yang diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan jender. Kecakapan ini misalnya mengenal bias jender dalam materi, merespon fenomena bias jender, membuat perencanaan pembelajaran yang berperspektif jender, dan berperilaku yang berperspektif jender. Mata kuliah dan topik-topik esensial adalah mata kuliah dan topik-topik materi yang relevan yang berdasarkan deskripsinya dapat digunakan untuk melaksanakan pendidikan jender kepada mahasiswa.
41
Model pendidikan jender adalah pola penyelenggaraan pendidikan jender yang dirancang untuk memberikan bekal untuk membentuk guru yang berperspektif jender. Perangkat pembelajaran pendidikan jender adalah modul pembelajaran, pedoman dosen, materi pelatihan, yang diperlukan dan akan digunakan dalam praktik pembelajaran untuk membentuk guru yang berperspektif jender. 5. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan beberapa cara yaitu kuesioner, diskusi, serta analisis isi. Penelitian tahap pertama dimaksudkan untuk menggali data yang dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan halangan bagi pelaksanaan pendidikan jender yang berguna untuk perancangan prototipe model pendidikan jender dan penyusunan perangkatnya. Kegiatan ini ditindak lanjuti dengan pengembangan prototipe model pendidikan jender dan penyusunan perangkatnya. Pada tahun pertama ini pula dilakukan reviu ahli dan ujicoba terbatas terhadap perangkat yang sudah disusun. 6. Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualititatif dan kuantitatif. Analisis terhadap data konstruksi jender mahasiswa dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data-data yang lain dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data pengetahuan jender mahasiswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif berdasarkan rerata skor yang diperoleh subjek dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti dalam kuesioner. Kriteria yang dipergunakan untuk melakukan justifikasi terhadap pengetahuan jender adalah: Jawaban benar 0 % - 60%
: kurang
Jawaban benar 61% - 75%
: cukup
Jawaban benar 76% - 85%
: baik
Jawaban benar 86% - 100%
: sangat baik
Produk yang dihasilkan dikaji kejelasan/kelengkapan materi, keterbacaan, kemudahan untuk dipergunakan (keterlaksanaan), dan kemenarikan tampang.
42
J. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian a. Konstruksi Jender Tema-tema yang dapat dirumuskan terkait dengan konstruksi jender subjek guru adalah sebagai berikut. (1) Sifat „kodrat“ laki-laki dan perempuan berbeda; (2) Peran „kodrat“ perempuan dan laki-laki tidak sama; (3) Perempuan harus mengutamakan peran „kodratnya.“ Konstruksi jender subjek masih lebih didominasi oleh nilai jender tradisional, meskipun dalam beberapa hal telah mulai terjadi pergeseran. Tampaknya karakteristik „kodrat“ feminin maskulin yang dipahami subjek dan kerangka jender ibuisme (perempuan sebagai ibu) masih menjadi akar permasalahan sehingga dalam banyak hal segala kejadian, peristiwa, dan keadaan harus dikaitkan dengan hal tersebut. b. Pengetahuan Jender Secara umum pemahaman subjek terhadap konsep jender dan seks masih kurang. Pada setiap item pertanyaan tentang seks dan jender, jawaban benar yang diberikan subjek sebagian besar kurang dari separo. Secara detail pemahaman subjek terhadap konsep jender dan seks ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1 Pengetahuan tentang Konsep dan Peran Jender dan Seks No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Item Pengertian jender Pengertian seks Perbedaan jender & seks Sifat kodrat Sifat dinamis Karakteristik jender Karakteristik seks Konsep hubungan L dan P di masyarakat Nilai tentang L dan P di masyarakat Nilai tentang L dan P dari Tuhan Pencipta aturan jender Pencipta aturan seks Dinamika karakteristik L dan P Jender sebagai konstruksi budaya Peran kodrat perempuan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui Peran kodrat laki-laki untuk melakukan pembuahan Kodrat perempuan untuk mengurus suami, merawat anak
f 32 32 28 57 43 29 42 31 46 46 50 42 57 41 43
% 43 43 38 77 58 39 37 42 62 62 68 57 77 55 58
58 8
78 11
43
18 19 20 21 22 23 24 25
Nilai relatif budaya Kodrat laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah Laki-laki sebagai househusband Sifat kodrat laki-laki: tegas, berani, berwibawa Sifat kodrat perempuan:sabar, lemah lembut, kasih sayang Keharusan: Perempuan hormat kepada laki-laki dan laki-laki melindungi perempuan Perempuan sebagai pemimpin Dikotomi domestik-publik untuk perempuan
54 6
73 8
14 21 12
19 28 16
24
32
35 39
47 53
Seluruh subjek telah mendengar istilah jender. Namun hal ini tidak berarti bahwa mereka juga memahami pengertian konsep tersebut dengan baik. Dapat dikemukakan 43% subjek mengemukakan pengertian jender dan seks dengan benar. Jika mereka benarbenar memahami konsep itu, dapat diprediksi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang lain minimun akan dijawab benar oleh mereka (43%) itu. Banyak ketidak-konsistenan jawaban yang disampaikan oleh subjek. Masalah kodrat juga tidak dipahami dengan benar oleh subjek. 78% subjek menjawab dengan benar untuk pertanyaan tentang kodrat laki-laki untuk menjalankan fungsi pembuahan, tetapi persentase tentang kodrat perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui hanya dijawab benar oleh 58% subjek. Menarik untuk dicermati, subjek memahami bahwa persoalan jender adalah persoalan yang dinamis dan karena itu perubahan karakteristik laki-laki dan perempuan dimungkinkan terjadi (77%). Namun tampaknya dinamika yang terjadi tidak menyangkut karakteristik „kodrat“ yang dipengaruhi oleh pemahaman fungsi laki-laki dan perempuan di lingkup domestik-publik. Hanya 8% subjek yang menjawab benar tentang pertanyaan „kodrat“ laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, dan hanya 11% yang mengatakan bahwa perempuan tidak dikodratkan mengurus suami. Mencari nafkah, menjadi kepala rumah tangga, merawat anak, mengurus suami dan rumah tangga adalah contoh-contoh peran jender. Peran jender akan berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan di atas subjek mengemukakan bahwa peran jender dan nilai jender dapat berubah sesuai dengan perubahan masyarakat, tetapi dari data yang diperoleh dapat dikemukakan bahwa hal tersebut tidak selalu dipahami subjek seperti itu. Misalnya, mengurus anak, suami dan rumah tangga masih banyak dipahami
44
subjek sebagai persoalan kodrat bagi perempuan. 88% subjek berpendapat bahwa perempuan dikodratkan merawat anak, mengurus suami dan rumah tangga. Jawaban-jawaban yang tidak konsisten yang dikemukakan subjek menandakan bahwa subjek tidak memiliki pemahaman yang utuh mengenai jender dan seks. Peran jender yang seharusnya bisa dipertukarkan sebagaimana karakteristik laki-laki dan perempuan, namun menurut sebagian besar subjek peran jender sebagai suami dan isteri tetap dipandang sebagai peran „kodrat“. Selanjutnya bagaimanakah pemahaman subjek terkait dengan hidden curicullum dan peran pendidikan dalam sosialisasi nilai jender? Hal ini dapat dicermati pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Pengetahuan tentang Pendidikan Jender dan Hidden Curriculum No 1 2 3 4 5 6 7 8
Item Pendidikan mengubah nilai budaya Pendidikan menyosialisasikan nilai jender Pengaruh bacaan pada pembentukan karakter anak HC dalam gambar dan bacaan anak HC memuat nilai-nilai tertentu Sosialisasi nilai melalui HC Pengaruh HC yang egalitarian Pengaruh HC yang tradisional
f 46 57 47 61 55 43 43 4
% 62 77 64 82 74 58 58 5
Meskipun tingkat pemahaman subjek terhadap peran pendidikan dalam sosialisasi nilai jender dan masalah hidden curriculum tergolong tinggi, tetapi ketika kepada mereka diberikan kepada kasus bacaan yang memuat bias jender sebagaimana dikutip di bawah ini, sebagian besar subjek tidak merespon bacaan tersebut dengan mengemukakan nilai jender yang terkandung di dalamnya. Mereka lebih banyak merespon nilai yang terkandung dari sudut pandang nilai moral atau bahkan mengatakan hal tersebut sebagai hal yang biasa karena sesuai dengan norma-norma atau kepantasan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Kesadaran subjek bahwa ada persoalan jender yang menjadi bagian dari hidden curricukum suatu bacaan masih belum tersentuh. Sebagian besar subjek mengemukakan tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap hidden curriculum yang terkandung di dalam suatu bacaan atau kalimat. Mereka tidak terlalu perhatian dengan persoalan tersebut karena perhatiannya lebih terpusat pada apa yang tersirat dan menjadi muatan
45
kurikulum. Jika pun mereka merespon, respon tersebut lebih banyak diajukan dari sudut pandang nilai-nilai moral dan bukan nilai jender, walaupun kepada mereka telah ditegaskan mengenai konteks pembicaraannya. c. Analisis Kurikulum dan Topik Esensial Berdasarkan data yang diperoleh dalam FGD, dapat dikemukakan bahwa analisis kurikulum dimaksudkan untuk mengidentifikasi pada mata kuliah atau materi apa pendidikan jender dapat dilakukan. Juga disepakati bahwa pembekalan calon guru agar menjadi sensitif dan sadar jender serta mampu melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender sangat penting dilakukan, tetapi memang belum ada hal yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh untuk menumbuhkan kecakapan itu pada mahasiswa. Yang dipilih sebagai „lokasi“ dilaksanakannya pendidikan jender adalah matakuliah IPS Kelas Awal dan matakuliah IPS Kelas Lanjut,dengan dua pertemuan (2 x 150 menit) yang dialokasikan untuk materi pendidikan jender.Pendidikan Jender pada IPS
Kelas
Awal dimaksudkan
untuk
memberi
kemampuan
kognitif
kepada
mahasiswa.Topik yang dirumuskan adalah „Jender dan Sosialisasi Jender“.Materi yang dipelajari dalam pokok bahasan ini adalah :Pengertian jender dan seks, Karakteristik jender dan seks, Peran jender dan seks, Pengkonstruksian nilai jender dan Ideologi jender Pendidikan jender pada matakuliah IPS Kelas Lanjut dimaksudkan untuk membekali mahasiswa agar terampil membuat perencanaan dan melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender. Topik yang diangkat adalah Menuju Pembelajaran yang Berperspektif Jender. Materi yang harus dipelajari mahasiswa untuk mencapai tujuan tersebut adalah:Pengertian bias jender , Materi dan perilaku bias jender, Pendekonstruksian nilai jender pada anak, Peran guru dalam sosialisasi jender ,Hidden curriculum, Membangun kesensitifan dan kesadaran jender dan Guru yang sensitif jender Hal lain yang juga disepakati adalah model pendidikan jender yang dirumuskan. Ada tiga hal yang harus digarap pada diri mahasiswa berkaitan dengan pembekalan mahasiswa agar menjadi menjadi guru SD yang juga dapat bertindak sebagai agen sosialisasi jender yang mampu mendekonstruksi nilai jender yang tradisional pada anak didiknya menuju egalitarian. Tiga hal tersebut adalah aspek kognitif, kepribadian, dan
46
kecakapan menjadi guru. Untuk tujuan itu, pendidikan jender yang dilakukan dirancang sebagai berikut: Seks dan Jender (IPS Kelas Awal)
Memahami jender
Pelatihan: Pendidikan Jender
Sensitif dan sadar jender
Menjadi guru yang Sensitif Jender (IPS Kelas Lanjut)
Terampil menjadi guru yang berperspektif jender
GURU DAN PENDIDIKAN YANG BERPERSPEKTIF JENDER
K. Simpulan Dan Saran 1. Simpulan Pengetahuan yang kurang dan konstruksi jender yang cenderung tradisional, serta kemampuan menangkap fenomena bias jender yang sangat minim menuntut perlunya dilakukan pendidikan jender untuk mahasiswa PGSD yang suatu saat akan menjadi guru SD. Pendidikan jender yang dimaksudkan untuk mempersiapkan mahasiswa agar menjadi calon guru SD yang paham, sensitif, dan sadar jender serta berperilaku dan mampu melaksanakan pembelajaran yang berperspektif jender. Pendidikan jender yang dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan jender kepada mahasiswa diberikan melalui mata kuliah IPS Kelas Awal. Penggarapan aspek kepribadiannya dilakukan melalui pelatihan jender, dan penggarapan aspek kecakapannya sebagai calon guru dilakukan melalui IPS Kelas Lanjut.
2 Saran Dalam rangka pendekonstruksian nilai jender anak menuju egalitarian, penting untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai calon guru SD agar menjadi guru dan agen sosialisasi jender yang paham, sensitif, dan sadar jender. Tentu saja pihak penghasil calon guru SD sangat perlu untuk peduli dan perhatian pada upaya ini.
47
DAFTAR PUSTAKA Baron, Reuben M. dan William G. Graziano, 1995. Social Psychology. Chicago: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Bryan, Janice Westlund dan Zella Luria, 1978. "Sex-Role Learning: A Test of Selective Attention Hypothesis". Child Development, Volume 49, Nomor 1, Maret. Chicago: University of Chicago Press. Budiman, Arief, 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Jakarta: Gramedia. Eccles, Jacquelynne Parsons, 1995. “Jender-Role Socialization”. In Reuben M. Baron, William G. Graziano, dan Charles Stangor, Social Psychology (p160-191). Chicago: Holr, Rinehart dan Winston Inc. Fakih, Mansour, 1996. Analisis Jender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hurlock, Elizabeth B., 1984. Child Development. Edisi ke-6. London: McGraw-Hill. Ihromi, T.O., 1996. Analisis Jender . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jatiningsih, Oksiana, Dwi Retnani Sih Narwati, dan Nanik Setyowati, 2002. Pengembangan Model Pendidikan di SD: Studi untuk meningkatkan Pemahaman Jender pada Anak dalam Rangka Penyiapan Anak menuju Tatanan Masyarakat Egalitarian. Laporan penelitian tahap I, tidak dipublikasikan. Surabaya: Lembaga Penelitian UNESA. Kagan, Jerome, dan Cynthia Lang, 1997. Psychology and Education: An Introduction. New York: Harcourt Brace Javanovich, Inc. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kusujiarti, Siti, 1997. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Jender dalam Masyarakat Jawa." Sangkan Paran Jender. Editor: Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mussen, Paul Henry, dkk., 1990. Child Development and Personality, 7th edition, New York: Harper Collins Publisher. Muthali’in, Achmad, 2001. Bias Jender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Renzetti, Claire M. dan Daniel J. Curran, 1997. Women, Men, and Society. The Sociology of Jender . Boston: Allyn and Bacon.
48
Sadli, Saparinah, and Patmonodewo, 1995. "Identitas Gender dan Peranan Gender," dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, penyunting T.O. Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Saptari, Ratna, and Brigitte Holzner, 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Shaw, Beverley, 1989. "Sexual Discrimination and the Equal Opportunities Commission: Ought School to Eradicate Sex Stereotyping?" Journal Of Philosophy of Education. Volume 23, Nomor 2. Great Britain: The Philosophy of Education Society. Suryadi, Ace, dan Cecep Idris, 2004. Kesetaraan Jender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: Genesindo. Susilastuti, 1993. "Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi." dalam Ridjal, Margiyani dan Husein (eds.), Dinamika Gerakan Perempuan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Tilaar, H.A.R., 2003a. Kekuasaan dan Pendidikan (Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Jakarta: Indonesia Tera.
49