[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (TQS al-Hujurat [49]: 1)
Sebelum diutus nabi dan rasul, tidak ada kewajiban bagi manusia untuk terikat dengan hukum. Sebab, hukum syara’ belum ada dan belum disampaikan kepada mereka. Maka manusia pun dijamin tidak diberikan siksa manakala belum diutus rasul kepada mereka (lihat QS al-Isra’ [17]: 15). Namun ketika diutus rasul yang menyampaikan syariah kepada mereka, maka sejak itu manusia wajib terikat dengan syariah tersebut. Manusia tidak lagi memiliki alasan di hadapan Allah SWTu untuk mengatakan tidak mengetahui karena telah diutus rasul kepada mereka (lihat QS al-Nisa [4]: 165). Oleh karena itu, tidak boleh manusia memiliki pendapat yang berbeda dengan hukum yang dibawa rasul. Tidak boleh membuat keputusan dan mengeluarkan pendapat mendahului Rasulullah SAW. Inilah di antara yang ditegaskan oleh ayat ini.
Tidak Mendahului Allah dan Rasul-Nya
Allah SWT berfirman: Yâayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ tuqaddimû bayna yadayl-Lâh wa Rasûlihi ( hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya). Ayat ini merupakan ayat pertama surat al-Hujurat. Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari al-Hasan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang menyembelih kurban. Mereka melakukannya sebelum diperintahkan Rasulullah SAW pada hari Nahar. Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk mengulangi lagi penyembelihan kurbannya. Lalu turunlah ayat ini.
1/6
[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
Dalam ayat tersebut Allah SWT memanggil al-ladzîna âmanû. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Jarir al-Thabari, mereka adalah orang-orang yang membenarkan keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW. Al-Jazairi juga mengatakan, mereka adalah orang yang beriman terhadap Allah SWT sebagai Tuhan, Islam sebagai syariah dan agama, Muhammad sebagai nabi dan rasul. Atau sebagaimana dikatakan al-Biqa’ii, mereka adalah orang-orang yang membenarkan keimanan.
Mereka dengan dipanggil dengan sebagai orang-orang yang beriman. Panggilan tersebut mengingatkan mereka sebagai seorang hamba yang beriman, yang wajib merealisasikan keimanan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Kemudian mereka pun ditegur dengan firman-Nya: Lâ tuqaddimû bayna yadayl-Lâh wa Rasûlihi (janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya).
Kata tuqaddimû berasal dari kata qadama al-muta’addi (mendahului). Artinya, menjadikan sesuatu menjadi dahulu atas yang lain. Demikian penjelasan al-Alusi dalam tafsirnya. Dalam ayat ini tidak disebutkan perkara yang didahuluinya karena tidak yang menjadi al-maf’ûl bih (obyeknya). Ini memberikan bahwa perkara yang didahului mencakup semua perkara yang relevan termasuk di dalamnya.
Sedangkan kata bayna yadayil-Lâh wa Rasûlihi berarti amâmahumâ (di hadapan keduanya). Sehingga, sebagaimana diterangkan al-Alusi, ayat ini berarti: Janganlah kamu memutuskan suatu perkara dan lancang melakukannya sebelum Allah SWT dan Rasul-Nya menghukumi dan mengizinkannya.
Penjelasan tersebut juga dinyatakan Ibnu Jarir al-Thabari. Menurut ahli tersebut, ayat ini berarti: Janganlah kalian mendahului memutuskan urusan peperangan atau agama kalian sebelum Allah SWT dan Rasul-Nya menetapkan perkara tersebut untuk kalian, sehingga kalian membuat keputusan yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya. Diriwayatkan dari bangsa Arab, “ Fulan yuqaddimu bayna yaday imâmihi, artinya dia tergesa-gesa membuat perintah dan larangan tanpa menunggu pemimpinnya itu. Al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, mengatakan bahwa larangan tersebut berarti: Janganlah kalian berkata dan beramal kecu a li mengikuti apa yang dikatakan Allah dan rasul-Nya, syariah Allah dan rasul-Nya.
2/6
[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, ini merupakan penafsiran para ahli takwil. Meskipun berbeda redaksional kata-katanya, namun maknanya sama. Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip al-Thabari, ayat ini berarti Janganlah kalian menyelisihi al-Kitab dan al-Sunnah. Ibnu Zaid juga menafsirkannya dengan ungkapan: Janganlah memutuskan perkara tanpa Allah SWT dan rasul-Nya.
Meskipun disebutkan bayna yaday yang berarti di hadapannya, namun ketentuan ini bukan hanya berlaku semasa Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau umat Islam tidak boleh berpendapat dan membuat keputusan sebelum mengkaji lebih dahulu firman Allah SWT dalam Alquran dan sabda Rasulullah SAW dalam hadits Nabi SAW.
Disebutkan Ibnu Katsir, termasuk dalam adab syar’i tersebut adalah hadits Muadz bin Jabal ra ketika Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Dengan apa kamu memutuskan?” Dijawab oleh Muadz, Denga n Kitabullah.” beliau bertanya lagi, “Jika tidak kamu mendapatinya?” Dijawab, “Dengan Sunnah Rasulullah SAW?” Beliau bertanya, “Jika kamu tidak mendapatinya?” Dijawab, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasulullah SAW menepuk dada Muadz seraya berkata, “Alhamdulillah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhainya.”
Dinyatakan juga oleh Wahbah al-Zuhaili, maksud dari larangan tersebut adalah: Janganlah kalian berkata bertentangan dengan A l q uran dan s unnah. Syiabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa maksud larangan tersebut adalah mendahului suatu perkara tanpa mengikuti contoh kitab dan sunnah.
3/6
[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
Diperintahkan untuk Bertakwa
Setelah melarang kaum Muslimin mendahului Rasulullah SAW dalam membuat keputusan, kemudian Allah SWT berfirman: Wattaqûl-Lâh (dan bertakwalah kepada Allah). Allah SWT memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya. Takwa berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bisa juga berarti takut kepada-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Baidhawi, perintah tersebut berarti takut kepada Allah SWT dalam perkara yang diperintahkan dan yang dilarangnya, dan tidak menyelesihi perintah Allah SWT dan rasul-Nya.
Diterangkan juga Ibu Jarir al-Thabari ayat ini berarti: Takutlah wahai kaum Muslimin dalam perkataanmu, jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperbolehkan Allah dan Rasul-Nya. Juga dalam semua urusan kalian lainnya. Jagalah perkataanmu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar apa yang kalian ucapkan; Maha Mendengar apa kamu inginkan dari ucapan; dan tidak ada yang tersembunyi dalam dada kalian.
Ayat ini diakhiri dengan firman Allah SWT: Innal-Lâha Samî’ ‘Alîm (sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Artinya, sesungguhnya Allah itu Samî’ (Maha Mendengar) terhadap semua ucapan kalian, dan ‘Alîm (Maha Mengetahui) terhadap semua niat dan perbuatan kalian. Demikian menurut Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya, al-Ba h r al-Mu h îth.
Ditegaskan al-Jazairi menegaskan, bertolak dari ayat ini, maka seorang Muslim wajib tidak berkata, beramal, memutuskan, dan berfatwa dengan pendapatnya sendiri kecuali dia telah mengetahui firman Allah dan sabda Rasulullah serta keputusan keduanya. Apabila tidak mendapatinya, maka dia berijtihad; lalu berkata dan beramal dengan pendapat yang paling
4/6
[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
dekat dengan ridha Allah. Apabila setelah itu tampak kepadanya nash dari kitab dan sunnah, maka dia beralih dari pendapatnya kepada kitab dan sunnah.
Hadits tersebut jelas mendahulukan Allah dan rasul-Nya, dengan menjadikan kitab dan sunnah sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara. Ijtihad diperbolehkan tatkala tidak ditemukan nash yang secara jelas terdapat pada sumber hukum terus. Patut ditegaskan bahwa ijtihad yang dimaksudkan hadits ini bukan berarti membebaskan akal manusia untuk membuat keputusan tanpa bimbingan wahyu. Tidak! Dalam berijtihad, tetap menjadikan Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum dalam istinbâth al-hukm (penggalian hukum).
Haram Menyelesihi Allah dan Rasul-Nya
Jelaslah, berdasarkan ayat ini tidak boleh menyelisihi Allah dan rasul-Nya dalam berbagai perkara, seperti tindakan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, membuat hukum dan syariat, dan sebagainya. Perkara-kara tersebut haram hukumnya dan seorang Mukmin terlarang untuk melakukannya.
Selain ayat ini, terdapat banyak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa hukum Allah adalah hukum yang paling baik dan sempurna untuk memutuskan semua perkara. Tidak boleh seseorang berhukum dengan selain hukum Allah. Termasuk dalam sikap tuqaddimû bayna yadayil-Lâh (lancang mendahului Allah dan rasul-Nya) adalah sikap lebih memilih menggunakan undang-undang dan peraturan produk manusia. Di antaranya dianggap sebagai orang beriman sebelum menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim (lihat QS al-Nisâ [4]: 65]. Juga firman Allah SWT dalam QS al-Ahzab [33]: 36, al-Nisa [4]: 80, al-Hasyr [59]: 7, dan lain-lain.
Jelaslah, umat Islam wajib menjadikan syariah sebagai parameter dalam menilai dan menghukumi segala sesuatu. Apa pun keputusan syariah, akal dan hawa nafsu wajib tunduk kepadanya. Ini merupakan prinsip mendasar yang wajib dipegang kaum Musimin. Dengan berpegang dengan prinsip ini, umat Islam tidak akan tergoda dan dengan ideologi sekulerisme yang menyingkirkan agama dari kehidupan dan hanya berlaku dalam kehidupan privat. Juga tidak akan tergiur dengan sistem demokrasi yang menjadikan rakyat –yang pada kenyataannya
5/6
[111] Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya Saturday, 28 September 2013 02:49
dipegang oleh para pemilik modal—sebagai sumber kedaulatan dan suara terbanyak sebagai kata pemutus. Semua ide kufur itu jelas bertentangan dengan Islam dan wajib ditolak. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar: 1. Dilarang memutuskan suatu perkara sebelum ada keputusan Allah SWT dan rasul-Nya 2. Wajib bertakwa kepada Allah SWT
6/6