Menyingkirkan Makanan yang Haram Sunday, 02 August 2009 13:43
{mosimage}
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I. |
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Baqarah [2]: 168-169).
Sebagaimana dalam aspek kehidupan lainnya, dalam perkara makanan dan minum-an manusia dibatasi dengan hukum halal dan haram. Manusia hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan yang halal dan dilarang mengonsumsi makanan yang haram. Ketetapan tersebut disampaikan dalam banyak ayat dan hadits. Ayat di atas adalah di antaranya.
Makan Makanan yang Halal
Allah SWT berfirman: Yã ayyuhã al-ladzîna âmanû kulû min thayyibât mâ razaqnâkum (hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk makan dari rezeki yang thayyibât . Dalam ayat sebelumnya (QS al-Baqarah [2]: 168), perintah serupa juga ditujukan kepada
1/5
Menyingkirkan Makanan yang Haram Sunday, 02 August 2009 13:43
seluruh manusia. Secara spesifik, para rasul juga diserukan dengan perintah yang sama (lihat QS al-Mukminun [23]: 51).
Pengertian al-thayyib dalam ayat ini, menurut al-Samar-qandi, al-Khazin, al-Baghawi, dan al-Jazairi adalah halâl. Tidak jauh berbeda, Ibnu Jarir al-Thabari juga mengatakan bahwa al-thayyib adalah yang suci; tidak najis dan tidak diharamkan.
Kesimpulan para mufassir itu sejalan dengan QS al-A'raf [7]: 157. Dalam ayat tersebut diberitakan bahwa Rasulullah SAW menghalalkan al-thayyibât (yang baik) dan mengharamkan al-khabâits (yang buruk) bagi umatnya. Penjelasan itu menunjukkan bahwa al-thayyibât adalah yang dihalalkan.
Dijelaskan Ibnu Katsir, kata kulû (makanlah) tidak hanya menunjuk kepada perbuatan makan, namun mencakup semua intifâ' (pemanfaatan) terhadapnya. Ditegaskan pula bahwa mengkonsumsi makanan yang halal menjadi sebab diterimanya doa dan ibadah. Sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram dapat menyebabkan ditolaknya doa dan ibadah.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Thayyib (baik) dan tidak mene-rima kecuali yang baik (thayyib), dan sesungguhnya Allah meme-rintahkan kaum Mukmin sebagaimana Dia telah memerintahkannya kepada para Rasul”, lalu membaca QS al-Mukminun [23]: 51. Kemudian beliau mengisahkan tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, "Ya Tuhanku, Ya Tuhanku," padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram; dan dikenyangkan dengan makanan yang haram. Bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan?" (HR. Muslim)
Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa [i]sykurû li-Lâh (dan bersyukurlah kepada Allah). Bersyukur kepada Allah SWT adalah dengan mengakui semua kenikmatan-Nya, memuji kepada-Nya atas semua kenikmatan itu, dan mempergunakannya dalam koridor ridha-Nya.
2/5
Menyingkirkan Makanan yang Haram Sunday, 02 August 2009 13:43
Demikian al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr. Oleh karena itu, bukan termasuk tindakan bersyukur kepada Allah SWT apabila menyia-nyiakan benda-benda yang telah dihalalkan-Nya, terlebih mengharamkannya seperti khurafat jahiliyyah yang mengharamkan beberapa jenis binatang tertentu.
Perintah tersebut kemudian dikukuhkan dengan frasa berikutnya: in kuntum iyyâhu ta'budûn (jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah). Abdurrahman al-Sa'di menyatakan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang yang tidak bersyukur kepada Allah, berarti tidak hanya menyembah kepada-Nya; sebagaimana orang yang bersyukur kepada-Nya berarti telah ber-ibadah kepada-Nya.”
{mosimage}Jenis Makanan Haram
Setelah menyerukan kepada kaum Mukmin untuk makan makanan yang halal dan bersyukur kepada-Nya, kemudian Allah SWT berfirman: Innamâ harrama 'alaykum al-maytah wa al-dam (sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah). Bangkai adalah binatang yang mati karena tidak disembelih secara syar'i, baik karena jatuh, tercekik, dipukul, ditanduk, dsb (lihat QS al-Maidah [5]: 3). Ada beberapa jenis bangkai yang dihalalkan, yakni bangkai binatang laut (lihat QS al-Maidah [5]: 96), ikan, dan belalang (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Sedangkan darah yang dimaksudkan adalah darah yang mengalir, dam[an] masfûh[an] sebagaimana disebutkan dalam QS al-An'am [6]: 145, bukan darah yang melekat pada daging. Menurut hadits riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim ada dua darah yang dihalalkan, yakni al-kabid wa al-tihâl (hati dan limpa).
Selain kedua benda itu, juga diharamkan: wa lahm al-hinzîr (daging babi). Patut ditegaskan, kendati yang disebutkan hanya lah m (daging), bukan berarti yang diharamkan bagi babi hanya dagingnya. Sebagaimana dinyatakan al-Khazin, yang diharamkan meliputi seluruh anggota tubuh babi.
Diharamkan pula: wa mâ uhilla lighayril-Lâh (dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah). Kata al-ihlâl berarti mengeraskan suara. Orang-orang Musyrik dahulu ketika menyembelih binatang menyebut Lâta dan 'Uzzâ dan mengeraskan suaranya. Dituturkan al-Syaukani dalam tafsirnya, bahwa yang
3/5
Menyingkirkan Makanan yang Haram Sunday, 02 August 2009 13:43
dimaksud dengannya adalah semua yang disembelih disebut selain nama Allah SWT. Menurutnya, tidak ada perbedaan pendapat mengenai haramnya benda tersebut. Termasuk di dalamnya adalah sembelihan yang dipersembahkan kepada patung dan berhala mereka.
Kemudian Allah SWT berfirman: faman [i]dhthurra ghayra bâgh[in] wa lâ âd[in] (tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas). Kata [i]dhthurra berasal dari al-dharar yang berarti al-dhayyiq . Menurut Fakhruddin al-Razi, keadaan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, lapar yang amat sangat dan tidak didapati makanan lain; dan kedua, karena dipaksa untuk memakannya.
Sedangkan kata al-bâghi berarti thâlib al-syarr (mencari yang buruk), dan kata al-'âdi merupakan bentuk fâ'il dari al-'udwân yang berarti dzalim dan melewati batas. Menurut 'Ali al-Shabuni, dalam konteks ayat ini al-bâghi berarti makan yang melebihi kebutuhannya, dan al-'âdi berarti memakan makanan yang diharamkan itu padahal ada makanan lainnya yang dihalalkan.
Ditegaskan dalam ayat ini, jika seseorang dalam keadaan terpaksa sebagaimana dijelaskan al-Razi--, memakannya hanya sekadar memenuhi kebutuhannya dan berlaku dzalim, maka: fal â itsma 'alayhi (maka tidak ada dosa baginya). Frasa ini menunjukkan adanya rukhsah bagi orang yang mengalami keadaan tersebut. Ayat ini lalu ditutup dengan firman-Nya: Innal-Lâh Ghafûr Rahîm (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Akhir kata, kita wajib menjaga diri dari makanan yang diharamkan-Nya. Dan tentu saja, pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan makanan yang halal, seraya
4/5
Menyingkirkan Makanan yang Haram Sunday, 02 August 2009 13:43
menyingkirkan makanan haram dari kehidupan. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb .
5/5