Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
KONTROVERSI KEBUTUHAN INDIVIDU DAN KEBUTUHAN PUBLIK DI INDONESIA: STUDI KASUS TINDAKAN PORNOGRAFI PADA OKNUM LEMBAGA RESMI NEGARA DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Oleh: Rani Praditia, 0806395251(Iseng-iseng Munir) Program Studi Sastra Jerman, FIB UI
a. Pendahuluan Anggota dewan sebagai entitas terhormat pada kontestasi individu di kancah publik jelas merupakan bagian yang tidak dapat lepas dari jeratan perilaku asusial dan amoral, karena perilaku asusila dan amoral sangat bergantung pada penilaian anggotanya. Namun sebagai individu yang melekat dengan lembaga resmi, sudah seharusnya dalam memutuskan tindakan, terutama dalam memenuhi kebutuhan, mempertimbangkan aspek susila dan moral sebagai referensi tindakan. Tentu moralitas yang didasarkan pada kebudayaan setempat, yang dijunjung tinggi oleh anggota kelompoknya (bangsa Indonesia) sebagai pengamat sesungguhnya. Kasus arfinto, sebagai anggota dewan yang menonoton video/gambar porno dalam ruang sidang jelas merupakan objek kontrofersial, terutama dari perspektif arifinto sebagai individu, dan arifinto sebagai anggota dewan (lembaga negara) yang menjadi cerminan bangsa Indonesia - yang mempercayainya/memilihnya. Ini jelas merupakan objek kontrofersial yang dapat didiskusikan sebagai bahan perenungan, terutama untuk mengkaji lebih jauh, kepiawaian bangsa Indonesia dalam menjalankan proses demokratisasi, yang salah satu subtansinya adalah cerdas membedakan kebutuhan privat dan kebutuhan publik. Sehingga pada ahirnya, kematangan proses demokratisasi dapat menghantarkan bangsa Indonesia dalam menjalankan proses kenegaraan untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Namun kasus asusila yang muncul dalam ruang publik, bahkan ruang terhormat merupakan tindakan kontroversi yang memang tidak dapat dibenarkan. Tidak ada alasan untuk membenarkan perilaku ini dari berbagai perspektif, kecuali satu yaitu aspek psikologis dan pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dipahami bagaimana mengelola potensi demoralisasi di negeri ini dengan menjaga entitas “terhormat” seperti anggota dewan agar tetap seimbang dengan kebutuhan lainya.
Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
Tulisan ini berusaha menganalisis tindakan pornografi (menonton video/gambar porno) di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan bagaimana mengeliminir dampak kasus tersebut agar dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi pemenuhan kebutuhan individu dan kebutuhan publik di negeri ini? Tulisan ini lebih berupaya melihat kasus tersebut dalam perspektif sastra, baik sastra sebagai kritik sosial maupun sastra sebagai identitas ilmu pengetahuan, yang harus mampu menjawab problematika dalam kehidupan bermasyarakat. b. Pembahasan Membedakan kebutuhan privat dan kebutuhan publik jelas membutuhkan tempat yang sesuai. Anggota dewan sebagai individu berhak memenuhi kebutuhan pribadinya, pada batasan kebutuhan dirinya tidak mengganggu kebutuhan publik. Identitas anggota dewan seperti Arifinto, jika dipahami dari sisi humanisnya jelas merupakan hal wajar. Wajar dalam batasan upaya memenuhi kebutuhan sebagai individu, namun menjadi tidak wajar ketika kebutuhan individu tidak ditempatkan pada ranah individu, tetapi ditempatkan pada ranah publik. Terlepas dari keputusan Arinfinto dalam memberanikan diri menilai tontonan tersebut.
Analisis Hirarki Kebutuhan (maslow) Maslow menyebutkan bahwa manusia cenderung akan memenuhi kebutuhan pada tingkatan dibawahnya sebelum berusaha memenuhi kebutuhan pada hirarki diatasnya. Kebutuhan maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Maslow menyebutkan hirarki kebutuhan manusia dalam lima tahapan sebagai berikut: (1) Kebutuhan Fisiologis (2) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan (3) Kebutuhan Sosial (4) Kebutuhan Penghargaan (5)
Kebutuhan Aktualisasi Diri.
Aktivitas menjadi anggota dewan dapat dinilai sebagai aktivitas mengaktualialiasikan diri untuk kepentingan orang lain. Kebutuhan ini menempati hirarki tertinggi, yang berarti bahwa menjadi anggota dewan, berarti menjadi individu yang telah mampu melewati hirarki kebutuhan dibawahnya seperti: kebutuhan fisiologi, keamanan, sosial, dan penghargaan. Pada tingkatan ini, cerminan individu yang ada seharusnya sudah sangat matang dan mustahil kembali pada pemenuhan kebutuhan dibawahnya.
Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
Jika analisis hirarki kebutuhan maslow diterapkan dalam kasus Arifinto, maka terdapat gejala unik pada individu anggota dewan, yang dapat melewati tahapan hirarki dengan cepat dan kadangkala menurun, sehingga membentuk pola pemenuhan kebutuhan yang tidak menentu. Lompatan pemenuhan kebutuhan yang tidak menentu ini, jelas menunjukkan ada proses yang salah dari sistem demokrasi pada aspek individu di negeri ini, terutama dalam memberikan hak politik maupun hak sosialnya kepada individu.
Analisis Proses Demoralisasi Proses demoralisasi pada anggota dewan, memang terjadi dari proses yang salah. Anggota dewan sebagai individu, lebih melihat lembaga dewan perwakilan rakyat sebagai institusi individu. Pandangan ini tercermin dari banyaknya anggota dewan yang termotivasi untuk menjadi anggota atas dasar pemenuhan kebutuhan individu. Sehingga motivasi ideal berupa gagasan yang muncul pada saat kampanye, mengerucut pada satu motivasi yang dominan yang melekat pada semua anggota dewan, yakni menginvestasikan kekayaan. Proses yang salah juga muncul pada aspek pemilihan calon. Banyak anggota dewan yang muncul tiba-tiba dan lahir dari entitas individu yang hanya mengandalkan popularitas. Padahal batasan popularitas, jelas tidak dapat menjamin seorang individu yang menjadi cerminan entitas lembaga terjamin moralitasnya untuk menjaga institusi. Sehingga, institusi yang mentolelir pada tahapan proses jelas akan menanggung konsekunsi yang dilahirkan dari proses tersebut. Kasus arfinto, jika saja terjadi pada anggota dewan, dari partai yang tidak mendengungkan moralitas, barangkali tidak seheboh sekarang. Arifinto sebagai individu yang menjadi cerminan partai dalam tanda kutip “bermoral” pada kenyataannya tidak melembaga dalam institusi yang bermoral. Oleh karena itu, ada konfrontasi pada intitusi publik yang serba bebas bicara pada era keterbukaan. Proses demoralisasi selanjutnya terlihat dari berbagai proses persidangan dalam ruang sidang, yang kadang menempatkan moral dan etika bersidang sebagai landasan terahir dalam menjalankan proses persidangan. Individu dalam DPR lebih mengedepankan kepentingan sebagai dasar dalam menjalankan proses persidangan. Sehingga, demoralisasi juga terjadi pada proses kerja harian para anggota dewan.
Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
Demoralisasi dari berbagai aspek jelas menurunkan kredibilitas individu dengan nilai-nilai yang dianutnya. Seorang agamawan dapat berubah menjadi kurang bermoral, seorang cerdik cendekia bisa menggunakan akalnya untuk memenangkan kepentingan, dan seorang yang sangat dipercaya bisa saja berubah haluan menjadi berhianat.
Analisis Objektifitas Penilaian Publik Kebutuhan publik memberikan penilaian terhadap kinerja anggota dewan, lebih banyak tanpa indikator yang jelas. Sementara kebutuhan anggota dewan adalah mendapatkan tempat di hati rakyat tentang pengabdian yang dilakukanya. Namun pada aspek pelaksanaan terdapat ketimpangan antara indikator publik dan indikator anggota. Dalam melakukan penilaian, publik di negeri ini masih sangat sensitif. Publik di negeri ini belum terbiasa memberikan penilaian berdasarkan indikator-indikator yang absah dan terukur secara objektif. Cara menilai lebih didasarkan pada subjektifitas diri, yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai komunal, yang tingkat kebenaranya masih sangat relatif. Salah satu contoh tindakan yang menunjukkan publik di negeri ini masih rendah dalam memberikan penilaian secara objektif terhadap suatu kasus adalah kemampuan membedakan hak privat dan hak publik. Di negeri ini, tidak ada batasan yang jelas tentang hak privat dan hak publik, sehingga banyak individu yang menjadi korban penilaian. Jika melihat kasus dan masalahnya adalah menonton video porno, maka kasus ini hanya melingkupi individu terhadap nilai yang dianutnya. Jika nilai yang dipegang teguh adalah nilai agama, maka jelas tindakan menonton video/gambar porno adalah salah. Namun kesalahan hanya sebatas pada individu dan nilai yang dipegangnya, karena tidak ada kerugian secara langsung yang diderita oleh orang lain. Mundurnya Arifinto sebagai anggota Dewan secara tiba-tiba, akibat sebuah proses demoralisasi yang terbaca publik, merupakan konsekuensi logis dari hasil sebuah prose pendewasaan yang salah. Ada batasan individu dan batasan moral yang tegas. Ada etika dan estetika dalam menjawab masalah publik Masyarakat sebenarnya telah terbiasa mendengar tindakan amoral dan asusila para pejabat negara. Seperti, banyaknya pejabat negara yang terkena kasus korupsi atau banyaknya pejabat Negara yang menyalahgunakan.
Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
Batasan Sastra menjawab Moralitas Bangsa Dalam kacamata sastra, seks, porno, keindahan tubuh dan sejenisnya bisa menjadi gejala yang bernilai tinggi. Ada banyak bukti, yang ditunjukkan dalam berbagai mahakarya pujangga di berbagai belahan dunia, seperti: Tajmahal dibangun akibat kecintaan pada seorang istri, berikut bangunan bangunan lain, yang merupakan maha karya bernilai tinggi, lahir dari sebuah motivasi menjunjung seks dan keindahan perempuan dalam bangunan yang luhur. Ini merupakan bukti bahwa seks dalam kacamata sastra merupakan hal lumrah yang sangat berguna. Dalam sebagian masyarakat kita, kawulo alit tidak melekat pada pejabat publik seperti anggota DPR. “Kawulo alit” dalam masyarakat jawa memiliki keluwesan untuk melakukan apapun tanpa batasan, sepanjang tidak mengganggu hak orang lain. Namun, dalam pandangan jawa kelompok “priyayi” memiliki batasanbatasan perilaku untuk menunjukkan ke-priyayian-nya. Salah satunya adalah menjaga moral dalam masyarakat umum. Yang masuk dalam kelompok ini umumnya adalah masyarakat terdidik dan pejabat negara. Dengan demikian, menjaga moral dan susila adalah keharusan bagi seorang anggota dewan, untuk menjaga eksistensi kepriyayian-nya, terutama bagi masyakat yang tidak memiliki kultur feodal. Dalam dunia sastra, kasus ini dapat dikembangkan menjadi imaginasi menarik untuk menamkan nilai-nilai penting, terutama nilai-nilai moral dan susila. Kedua nilai tersebut, dapat dilanggar dalam berbagai bentuk.
c. Penutup Aktivitas pornografi yang dilakukan oleh anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dalam ruang sidang jelas merupakan aktivitas yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apalagi aktivitas tersebut terjadi pada entitas penduduk yang menghargai etika dan moralitas, maka sah jika etika dan moralitas kadang ditempatkan bangsa ini sebagai ukuran pertama sebelum menimbang dan menilai disbanding dengan indikator lain. Dengan batasan hak individu, mungkin tidakan asusila yang terjadi dalam ruang sidang dapat dibenarkan, karena tindakan amoral cenderung tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Namun hal ini bergantung pada pandangan dan prinsip hidup seseorang, dan partai menjadi salah satu entitas yang bertanggungjawab atas melekatnya individu dalam tubuh partai tersebut.
Hadiah Ulang Tahun untuk Teman Bijak – Rani Praditia, sahabatnya Aprianisah Fitri tulisan ini ngarang dan patas – mohon dimaklumi adanya
Dengan demikian, ada proses demokratisasi yang unik di negara Indonesia yang tidak sepenuhnya berpijak pada demokratisasi normatif1, tetapi lebih pada demokratisasi substansial2 yang menggunakan aspek penilaian dan indikator yang sangat beragam. Ini menjadi khasanan bagi generasi mendatang untuk mematangkan pandangan, saat menempatkan diri pada era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi
diunduh
tanggal 13 April 2011.
1
Demokratisasi Normatif adalah proses pendewasaan demokrasi dalam sebuah institusi yang mendasarkan pada aturan sebagai platform tidakan. 2 Demokratisasi Substansial adalah proses pendewasaan demokrasi dalam sebuah institusi yang mendasarkan pada subtansi (inti) dari demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.