ISBATH NIKAH SEBAGAI SOLUSI PERCERAIAN TERHADAP PERKAWINAN YANG TIDAK DICATAT PADA KANTOR URUSAN AGAMA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 DAN DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5O TAHUN 2009 TENTANG PERADILAN AGAMA SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA NOMOR :423/PDT.G/2005/PA.BOGOR)
Oleh: Kurnia Noerroaytsamma Setyaningrum
ABSTRAK Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa, hal tersebut dijelaskan pada Pasal 1 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya. Dalam penjelasan umum pada angka 4 huruf b Undang-undang perkawinan yaitu dalam undang-undang dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan adalah penting sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Dalam Pasal 5 huruf a Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan sendiri berfungsi agar seseorang mempunyai alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan karena bukti sah tersebut dikeluarkan oleh Negara. Selai itu
1
fungsi pencatatan perkawinan adalah sebagai penentu sahnya perkawinan bagi perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Bagi seseorang yang perkawinannya tidak dicatat bagi yang bersangkutan tidak dapat mendapatkan perlindungan hukum atas perkawinannya tersebut sebelum mengajukan permohonan isbath di Pengadilan Agama.
Latar Belakang Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan atau juga ada yang menyebut dengan kawin syar’i dan masih banyak istilah yang muncul mengenai perkawinan di bawah tangan. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pernikahan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN dianggap sah secara agama, tetapi tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.1 Pendapat lain menyebutkan bahwa perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat prosedur peraturan perundang-undangan. Terdapat perbedaan pendapat tentang sah tidaknya perkawinan di bawah tangan, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang pasti ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang mengharuskan pencatatan perkawinan terpisah dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang sahnya perkawinan yang harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya.2 Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah tersosialisasikan cukup lama dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam, tetapi sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian dari masyarakat muslim yang ada berpegang
1
Jaih Mubarok, t.t., Moderenisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2007), hal. 87. 2 Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal. 310.
2
teguh kepada prospektif Fiqih Tradisional. Pemahaman mereka bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu tidak diatur pada zaman Rasulullah.3 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dengan menggunakan berbagai sudut pandang terhadap perkawinan tadi, secara pendek pengertian perkawinan itu adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4 Doktrin yang lahir dari pendapat para sarjana memberikan pengertian perkawinan itu sebagai suatu persekutuan atau perserikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diakui sah oleh peraturan-peraturan Negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesatuan hidup yang abadi.5 Pada dasarnya nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antar seorang pria dan seorang wanita. Walaupun nikah itu merupakan salah satu bentuk perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda denga perjanjian-perjanjian perdata lainnya, misalnya jual beli, sewa menyewa,dan lain-lain. Beberapa hal ciri khusus dalam perjanjian perkawinan yang membedakan dengan perjanjian lainnya antara lain ialah: 1.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.
2.
Isi dari perjanjian itu sudah ditentukan terlebih dahulu dalam agama Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian itu tidak dengan bebas menentukan sendiri sesuai dengan kehendaknya masing-masing.
3
47.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.
4
Sayutu Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), hal. 47. 5 Sri Susilowati Mahdi, Hukum Perdata (suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 43.
3
3.
Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah ditentukan terlebih dahulu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan sendiri secara bebas.6 Pasal 2 angka 1 dan 2 menjelaskan bahwa (1) Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 UUP juga menganut asas monogami yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.8 Firman Allah SWT: Maka bolehlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu dua atau tiga atau empat ; jika kiranya kamu takut tidak dapat berlaku adil diantara mereka itu hendaklah kamu mengawini seorang saja. ( An Nisa ayat 3).9 Untuk dapat mempunyai isteri lebih dari seorang harus mempunyai alasan alasan yang kuat dan diterima oleh hukum. Pertama harus memperoleh izin dari isteri pertama atau isteri-isteri yang lain dan dikehendaki oleh pihak-pihak jika izin-izin itu tidak diberikan oleh isteri atau isteri-isterinya, dengan mengajukan permohonan disertai alasan-alasan yang kuat dan dalam Pasal 4 undang-undang disebutkan alasan-alasan itu diantaranya: a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b) isteri mendapat cacat badinah atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan. c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.10 Syarat lain yang harus dipenuhi, jika suami berkehendak kawin lagi, ialah: 1.
Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isterinya.
2.
Adanya kepastian bahwa si suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
6
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Kreasi Total Media, 2008), hal.174. 7 Indonesia, Undang-undang Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, hal. 6. 8 Martiman Prodjohamidjojo, Undang-undang Perkawinan dan Penjelasannya, (Jakarta: Cv Karya Gumilang, 2011), hal. 4. 9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV Asy Syifa, 1998) 10 Undang-undang Perkawinan, op cit, hal. 6.
4
3.
Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anakanak mereka.11 Perkawinan yang didasarkan pada hukum Indonesia pada umumnya disamping
ketentuan-ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, UUP juga menentukan syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut: 1.
Perkawinan harus didasarkan batas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan.
2.
Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan di atas, dapat meminta dispensasi dari Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pihak perempuan maupun laki-laki.
3.
Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Jika orang tuanya meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.
Dalam hal tidak terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara meraka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang yang disebut di atas.
6.
Hal-hal yang disebutkan di atas angka 1 sampai 5, berlaku sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.12 Hukum perkawinan Islam yang menurut asalnya disebut Fiqih Munakahat adalah
ketentuan perkawinan menurut Islam. Islam itu hanya satu dan berlaku bagi seluruh umat dunia dan sepanjang masa. Kata “Munakahat” merupakan kata yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia disebut kawin atau 11 12
Ibid, hal. 7. Martiman Prodjohamidjojo, op cit, hal. 13.
5
perkawinan. Kata ini disebut dalam bentuk jama mengingat bahwa perkawinan menyangkut dan berkaitan dengan banyak hal: disamping perkawinan itu sendiri, juga perceraian dan akibatnya serta kembali lagi kepada perkawinan sesudah perkawinan itu putus yang dinamakan rujuk. Dengan demikian Munakahat lebih tepat disebut “ hal ikhwal berkenaan dengan perkawinan”.13 Secara arti nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad” adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qu’an mengandung dua arti tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah Ayat 230: Maka jika suami menalaknya (sesudah talak dua kali), maka permpuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. 14 Sebaliknya, ulam Hanafiyah berpendpat bahwa nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. (Ibn al-humam, III, 185).15 Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan itu ada hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan dan ada hak dan kewajiban yang bersifat bukan kebendaan. Adapun hak dan kewajiban suami isteri dalam kehidupan berumah tangga yang bersifat kebendaan antara lain yaitu: 1. Suami wajib memberi mahar kepada isterinya. 2. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya, yaitu segala kebutuhan isteri yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Dan disamping itu suami wajib memberikan biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak. 3. Isteri wajib mengatur dan mengelola rumah tangga dengan baik. 4. Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anak dengan sebaik-baiknya.16
13
Prof. DR. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 5 14 Departemen Agama Republik Indonesia, op cit. 15 Amir Syarifudin, op cit, hal. 37. 16 Abdul Ghofur Anshori, op cit, hal. 191.
6
Sedangkan hak dan kewajiban suami isteri dalam kehidupan berumah tangga yang bersifat bukan kebendaan antara lain adalah: 1. Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah tangga termasuk saling menjaga rahasia masing-masing. 2. Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain. 3. Suami isteri harus menciptakan pergaulan dalam rumah tangga yang diliputi rasa saling cinta-mencintai. 4. Suami harus saling menciptakan pergaulan yang saling membela dan memerlukan di masa tua.17 Hukum Islam memberikan aturan tersendiri tentang akibat putusnya perkawinan baik karena kematian maupun akibat perceraian (talaq). Apabila putusnya perkawinan karena kematian, bagi sang suami yang ditinggal mati oleh isterinya secara langsung dapat melakukan perkawinan dengan wanita lain, selain itu juga berhak mendapat warisan harta sang isteri. Apabila terdapat anak, sang suami bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak. Hal ini berbeda dengan sang isteri yang ditinggal mati sang suaminya, ia harus menunggu masa iddah terlebih dahulu, yaitu apabila ditinggal mati selama 4 bulan 10 hari sedangkan karena perceraian selama 3 bulan 10 hari sebelum melangsungkan perkawinan lagi, sedangkan hak waris dan kewajiban terhadap anak-anak sama seperti suami yang ditinggal mati isterinya.18 Apabila putusnya perkawinan akibat talak ba’in sughara, maka suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dalam masa iddah, kalau suaminya hendak mengambil mantan isterinya kembali harus dengan perkawinan baru (melalui akad nikah). Sedangkan pada putusnya perkawinan karena talak ba’in kubra, akan berakibat si suami tidak boleh merujuk (mengawini) kembali isterinya baik selama atau setelah masa iddah isterinya baru boleh dikawini kembali jika telah memenuhi syarat-syarat diantaranya: isteri telah kawin dengan
17
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang NO.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, ( Medan, Cv Zahir Trading: 1975), hal. 14. 18 Abdul Ghofur Anshori, op cit, hal. 153.
7
laki-laki lain, isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru, isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru dan telah habis masa iddahnya.19 Undang-undang Perkawinan di Indonesia menganut sistem pembatalan relatif. Pihak yang mengajukan pembatalan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan isteri, suami dan isteri, pejabat yang berwenang dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut.20 Isbath Nikah (Pengesahan Nikah) Dan Akibat Hukumnya Dalam Tuntutan Perceraian Penjelasan Pasal 1 menjelaskan bahwa: “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah KeTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan, dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.21 Dalam Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut KHI pada Pasal 4 bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UUP”. Sebagaimana telah diuraikan bahwa perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat 1 UUP adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama adalah suatu “peristiwa hukum” yang tidak dapat dianulir oleh Pasal 2 ayat 2 UUP yang menentukan tentang “pencatatan perkawinan”. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa rumusan Pasal 4 KHI mempertegas bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UUP.22 Pencatatan Perkawinan dalam KHI diatur dalam Pasal 5: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
19
Ibid, hal. 153. Martiman Prodjohamidjo, op cit, hal. 24. 21 Undang-undang Perkawinan, op cit, hal. 26. 22 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 219. 20
8
2. Pencatatan perkawinan sebagaimana tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 tahun 1954.23 “Perkawinan tidak dicatat” adalah berbeda pengertian dengan “perkawinan siri”. Yang dimaksud dengan “Perkawinan tidak dicatat” adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam, tetapi tidak dicatat atau belum dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA Kecamatan) sebagai Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Instansi pelaksana di wilayah Kecamatan setempat, sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.24 Istilah “tidak dicatat” tidak sama dengan istilah “tidak dicatatkan” kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah “perkawinan tidak dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur “dengan sengaja” yang mengiringi itikad atau niat seorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah “perkawinan tidak dicatatkan” terkadang itikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang “dengan sengaja” tidak dicatatkan. Maka ada penyepadanan “perkawinan tidak dicatat” dengan “perkawinan yang belum dicatat” berbeda dengan perkawinan tidak dicatatkan.25 Pada perkawinan sah sesuai hukum Islam yang tidak dicatat yang berakibat hukum sebagai perkawinan yang tidak mempunyai kekuatan hukum, masih berpeluang menjadi perkawinan yang berkekuatan hukum, asalkan diajukan permohonan isbath nikah kepada Pengadilan Agama. Sedangkan pada perkawinan sah sesuai hukum Islam yang tidak dicatat berakibat hukum sebagai “perkawinan yang tidak sah” tidak berpeluang menjadi perkawinan yang sah apabila tidak melalui isbath nikah. Perkawinan tersebut tidak dapat di-itsbath-kan karena kedudukan hukum perkawinan Islam pada pandangan ini hanya berfungsi sebagai pelengkap bukan penentu sahnya perkawinan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UUP dan Pasal 6 KHI.26 Dalam perkawinan yang tidak dicatat tentu saja akan menimbulkan berbagai akibat hukum dikemudian hari, diantaranya: 23
Martiman Prodjohamdjojo, op cit, hal. 142. Neng Djubaidah, op cit, hal. 153. 25 Ibid, hal. 153. 26 Ibid, hal. 315. 24
9
1. Perkawinan dianggap tidak sah Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. 2. Anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak dicatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 UUP) dengan demikian anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. 3. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Analisis Perceraian Terhadap Perkawinan Yang Tidak Dicatat Di Kantor Urusan Agama Penggabungan Gugatan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 dan Perubahannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Gugatan pembagian harta bersama dianggap assessor atas gugatan cerai. Namun sifat assesornya dapat diterapkan dalam acuan, jika gugatan cerai ditolak, dengan sendirinya menurut hukum penolakan itu meliputi gugatan pembagian harta bersama. Sebaliknya, apabila gugatan cerai dikabulkan, sekaligus diselesaikan pembagian pembagian harta bersama dalam satu putusan. Penerapan seperti itu, digariskan dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang membolehkan secara tegas penggabungan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama.27 Penggabungan permohonan Isbath nikah dengan permohonan gugat cerai, dapat diterapkan dengan 3 (tiga) alasan: 1. Adanya Hubungan hukum yang sangat erat antara keduanya (Innerlejke samenhangen)
27
Undang-undang tentang peradilan agama.
10
Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, mengatur tentang penggabungan gugatan hanya terbatas soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dengan gugatan perceraian Penulis berkesimpulan bahwa ketiga perkara tersebut dapat digabungkan gugatannya bersama-sama dengan gugatan perceraian karena mempunyai hubungan yang erat (innerlijke samenhangen) yakni sebagai akibat dari perceraian. Demikian juga penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah antara lain angka (20), yaitu tentang penetapan asal-usul seorang anak dan angka (22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain (isbath nikah). Penulis berkesimpulan bahwa kedua perkara tersebut mempunyai hubungan hukum yang erat (innerlijke samenhangen); sebagai akibat dari suatu perkawinan. 2. Ketatnya Acara Pembuktian Isbath Nikah Selain itu, cara pandang para ulama dalam menilai keabsahan suatu perkawinan (isbath nikah) sangat ketat yakni tidak ada saksi istifadlah dalam acara pembuktian suatu perkawinan, harus dihadirkan saksi-saksi yang memang menyaksikan atau hadir dalam suatu akad nikah, kalau tidak kesaksian saksi tersebut harus dikesampingkan. Berbeda dengan pembuktian asal-usul anak, sekalipun anak itu lahir dari suatu perkawinan yang fasid, bahkan nikah adat, anak tersebut dapat dinisbahkan kepada orang tuanya yang menikah fasid atau ada tersebut. Sesuai hujjah syar`iyyah yang tercantum dalam kitab AlFiqh Al Islami wa Adillatuhu jilid VII halaman 690 sebagai berikut : Artinya:” Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan
11
di dalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami isteri (yang bersangkutan).”
3.
Azas Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
Selanjutnya permohonan perkara isbath nikah dan penetapan asal-usul anak secara kumulatif obyektif mempunyai hubungan erat yakni penetapan asal-usul anak sebagai bagian dari perkawinan (Innerlejke samenhangen) dan berdasarkan azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang dimaksudkan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, maka gabungan permohonan perkara isbath nikah dan asal usul anak perlu dipertimbangkan oleh penegak hukum di Peradilan Agama.
Penutup Dari keseluruhan bab yang telah diuraikan di atas, maka Penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut: 1.
Pada penjelasan umum angka 4 huruf b Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pencatatan Perkawinan diatur dalam Pasal 5 yaitu: a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. b. Pencatatan perkawinan sebagaimana disebut dalam ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah seebagaimana diatur dalamUndang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
12
2.
Fungsi pencatatan perkawinan adalah agar seseorang memiliki sebuah alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan. Sebab, suatu bukti dikatakan sah apabila dokumen tersebut dikeluarkan oleh Negara. Namun secara ijtihad dengan mempertimbangkan aspek masalah dan mudharat, pencatatan perkawinan menjadi penting dengan argumentasi pencatatan perkawinan sebagai berikut: a. Kemaslahatan tujuan perkawinan. b. Banyak kemudharatan yang akan timbul. c. Kaidah fiqh, sesuatu yang mendatangkan mudharat harus dihilangkan.
3.
Beberapa masalah yang sering terjadi apabila pencatatan suatu perkawinan tidak dilakukan
sebagaimana
mestinya
diantaranya
praktek
menyimpang
yang
mengatasnamakan surat nikah. Misalnya saja surat nikah yang kadang dijadikan alat untuk melegalkan perizinahan atau hubungan tidak sah ketika ada suami isteri yang sudah bercerai, namun tidak melaporkan perceraian tersebut ke Pengadilan Agama setempat sehingga mereka masih memiliki surat nikah. Ketika mereka merajut hubungan kembali hubungan sebagai suami isteri padahal mereka sudah bercerai secara agama, maka mereka secara bebas akan berlindung dibalik surat nikah tersebut. 4.
Dalam perkara perceraian yang dilakukan setelah pencatatan perkawinan, karena berdasarkan keterangan para saksi di bawah sumpah yang hadir pada saat Penggugat dan Tergugat melangsungkan perkawinan maka majelis hakim menyatakan perkawinan Penggugat dan Tergugat adalah sah. Sementara untuk putusan perceraiannya, karena antara Penggugat dan Tergugat telah timbul percekcokan yang sudah tidak dapat diselesaikan lagi dan antara mereka sudah berpisah tempat tinggal cukup lama. Maka majelis hakim menyatakan perkawinan mereka putus.
13
Daftar Pustaka
Indonesia, Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai mana diubah dengan, Undang-undang Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah dengan, Undang-undang Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
Anshori, Abdul, Ghofur,Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta: Kreasi total media, 2008.
Anshori, Abdul, Ghofur, Perkawinan Islam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, Yogyakarta: Press UII, 2011.
Djubaedah, Neng, Pencatatan perkawinan dan Perkawinan tidak dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafiak, 2010.
Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Medan: Cv Zahir Trading, 1975.
Maman, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Mubarok, jaih, moderenisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraishy, 2007.
Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1961. Syarrifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
14