IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI MENGALAMI GANGGUAN JIWA (Studi Analisis Terhadap Putusan Perkara Nomor 0284/Pdt.G/2008/PA.JT. di Pengadilan Agama Jakarta Timur)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Fauziah Fitriani 106044101368
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2010M/1431H
KATA PENGANTAR ا ا ا
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia, hidayah dan inayah-Nya, sehingga sampai saat ini hamba masih diberi kesempatan untuk dapat hidup di muka bumi ini. Dengan rahmat, karunia, hidayah dan inayahNya kepada hamba dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu hamba curahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beliau sebagai seorang suri tauladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini sepanjang hayat. Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa umat manusia dari tidak mengenal Allah SWT., sampai mengenal-Nya, serta menjalankan seluruh perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari tanpa bantuan moril dan materil, penulisan ini akan sulit untuk dapat diselesaikan. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu membimbing sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, antara lain: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S. Ag., MH., selaku sekertaris. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing sampai penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
v
4. keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap dosen, karyawan dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama studi di Kampus tercinta ini. 5. Terima kasih yang tak terhingga untuk keluarga terutama Ibuku, Samilah dan Ayahku, Zulherzal atas dukungan, perjuangan dan doa yang telah menjadikan saya seperti sekarang ini. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya untuk kalian semua. 6. Terima kasih untuk Makhsus Bilmajdi atas segala dukungan, waktu dan doa yang ditujukan kepada saya selama dalam proses penulisan skripsi ini sampai selesai. 7. Teman-teman alumni PP. Darul Arqam, khususnya angkatan 11 & 23, Nenden (temen never gone), maju terus!. 8. Terakhir, untuk teman-teman seperjuangan di jurusan PA angkatan 2006, Sa’dah, Lulu, Ewi, Hesti, Anis, Stephy, Eli, Aminah, Arud, Maul and all friends of Peradilan Agama, moga kita semua menjadi insan yang bermanfaat, jangan pernah berhenti belajar, keep our friendship and sukses!. 9. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan sarannya senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 24 Mei 2010
Penulis vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................v DAFTAR ISI.........................................................................................................vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah........................................7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................8 D. Studi Review Terdahulu..........................................................10 E. Metode dan Teknik Penelitian.................................................11 F. Sistematika Penulisan .............................................................14
BAB II
POLIGAMI DAN GANGGUAN JIWA A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami …………....…..........16 B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami…………………………...22 C. Teori Umum Gangguan Jiwa……………………………..….24 D. Pengaruh Gangguan Jiwa Terhadap Kewajiban Sebagai Isteri.........................................................................................30
BAB III
POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN A. Ketentuan Poligami dalam Fikih……………..……………...40 B. Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan.........................50
vii
BAB IV
PUTUSAN PERKARA IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI MENGALAMI GANGGUAN JIWA A. Perkara-Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur.............57 B. Pertimbangan
Hakim
Pada
Perkara
Nomor.
0284/Pdt.G/2008/Pa.Jt.............................................................60 C. Analisis Penulis………………………..……………………..67 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................75 B. Saran-Saran..............................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77 LAMPIRAN 1. Surat Keterangan........................................................................................81 2. Laporan Perkara Tahun 2008.....................................................................83 3. Laporan Perkara Tahun 2009.....................................................................85 4. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2008…..87 5. Laporan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Tahun 2009…..88 6. Pedoman Wawancara.................................................................................89 7. Putusan.......................................................................................................92
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Segala sesuatu di alam wujud ini, diciptakan oleh Allah berpasangpasangan. Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia (pria) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama. Untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis itu. Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu perkawinan.1 Tujuannya adalah agar manusia itu tidak seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara lawan jenisnya secara anarki dan tidak ada satu aturan. maka demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya, bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks).2 Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian di antara dua belah pihak, yakni suami isteri. Kedamaian dan
1
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet .ke-1, h.266. 2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, (Bandung: PT.Alma’arif, t.th), cet.ke-20, h.8.
1
2
kebahagiaan suami isteri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan dalam perjanjian tersebut.3 Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah tangga dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang menjadi dasar kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya sebagai suami maupun istri dan anggota keluarga lainnya dalam membina rumah tangga yang bahagia.4 Undang-Undang
Nomor
1
tahun
1974
tentang
Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.5 Maksud dari “ikatan lahir” ialah bahwa hubungan suami isteri tidak hanya berupa ikatan lahiriah saja, dalam arti hubungan suami istri hanya sebatas ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Jalinan ikatan lahir dan batin itulah yang menjadi fondasi yang kokoh dalam membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Kemudian 3
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ-SP, 1999),
h.9. 4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 27-28. 5
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal (1).
3
dilihat dari kalimat “berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” ini berarti bahwa norma-norma (hukum) agama harus menjiwai perkawinan dalam pembentukan keluarga. Dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan (baik arti maupun tujuan) tidak semata-mata hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspekaspek lainnya seperti agama, biologis, sosial dan adat istiadat. Pada praktiknya perjalanan suami isteri dalam membina rumah tangga tidak selalu harmonis, karena menyamakan persepsi antara dua karakter yang berbeda tidaklah mudah. Terlebih lagi jika terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari suami isteri dalam
kehidupan
rumah
tangga
tersebut,
maka
akibatnya
akan
memunculkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan rumah tangga. Kemudian jika konflik tersebut berkelanjutan dan tak kunjung ada penyelesaian secara tuntas maka umumnya munculah dua pilihan, yaitu perceraian atau poligami. Dari dua pilihan tersebut, penulis menjadikan poligami sebagai fokus permasalahan dalam penelitian ini. Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.6
6
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h.2.
4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.7 Poligami tidak dilarang dan tidak diperintahkan, hanya dibolehkan dengan syarat yang ketat. Meminjam istilah M.Quraish Shihab, poligami ibarat emergency exit dalam pesawat yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency saja. Dia hanyalah pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang menginginkannya ketika mengalami kasus atau keadaan darurat.8 Dalam Islam syarat mutlak poligami yang harus diperhatikan terdapat dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 3, yakni berlaku adil. Dalam ayat ini terdapat kata “khiftum”, yang biasa diartikan “takut” dan juga bisa berarti “mengetahui”, menunjukkan bahwa siapa saja yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga dirinya tidak akan bisa berlaku adil, tidak diperkenankan untuk berpoligami. Meskipun Islam telah mengatur masalah poligami, namun kerap kali timbul permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan para pelaku poligami dalam penerapannya, disebabkan karena kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau keburukan akhlaq mereka. Dengan demikian yang salah bukan hukum
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h.885. 8
2007), h.40.
Ustad Ansori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, (Depok, Pustaka Iman,
5
Islamnya, tetapi para pelaku poligami yang dalam penerapannya tidak sesuai dengan syari’at Islam. Sedangkan pelaksanaan poligami di Indonesia harus berdasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan. Seorang suami yang akan berpoligami harus memenuhi salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif, syarat alternatif di antaranya apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah persetujuan isteri/isteri-isteri, ada kepastian bahwa suami mampu akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka serta ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.9 Dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) prinsip monogami tetap dianut. Prinsip tersebut diungkapkan dalam kalimat Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
9
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal (4) dan pasal (5).
6
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Demikianlah yang tertuang dalam pasal 3 ayat (1) UUP tersebut. 10 Monogami menjadi salah satu azas tapi dengan pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami boleh beristeri lebih dari satu. Tentang pengecualian itu selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan perkawinan yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan.11 Dari uraian di atas, mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkannya permohonan izin poligami dari Pengadilan Agama, maka yang menjadi perhatian penulis yaitu putusan hakim yang mengabulkan izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan kejiwaan. Pada kasus ini isteri mengidap penyakit skizofrenia, sejenis penyakit gangguan jiwa di mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya kepribadian sehingga “kerjasama” antara pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak serasi lagi. Mengingat Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan gangguan jiwa sebagai alasan poligami maka yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah gangguan jiwa tersebut dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yaitu “isteri tidak dapat 10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.60-61. 11
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h.22.
7
menjalankan kewajibannya sebagai isteri” atau
“isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan” Berdasarkan kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam menyelesaikan perkara tersebut, untuk itu diperlukan penelitian dan analisa terhadap hasil putusan dari Pengadilan Agama dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Poligami dengan Alasan Isteri Mengalami Gangguan Jiwa (Studi Analisis Putusan Perkara Nomor 0284/Pdt.G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur)”
B.
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1.
Pembatasan Masalah Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih putusan Pengadilan
Agama Jakarta Timur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan mengenai izin poligami dengan perkara Nomor:
0284/Pdt.G/2008/PA.JT yang berkaitan dengan
alasan isteri mengalami gangguan jiwa. Sehubungan dengan beraneka ragamnya alasan yang menjadi latar belakang untuk melakukan poligami, maka pada pembahasan skripsi ini penulis membatasi hanya pada alasan yang disebabkan isteri mengalami gangguan jiwa.
8
2.
Perumusan Masalah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan lainnya, gangguan jiwa bukan menjadi salah satu alasan diizinkannya poligami, tetapi pada kenyataannya terdapat kasus di mana hakim mengabulkan permohonan poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa. Rumusan masalah di atas penulis rinci ke dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a.
Bagaimana
tinjauan
Undang-Undang
Perkawinan
terhadap
perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa? b.
Bagaimana tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa?
c.
Apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena isteri mengalami gangguan jiwa?
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah penulis
uraikan di atas, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah:
9
a. Untuk mengetahui tinjauan Undang-Undang Perkawinan terhadap perkara izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa. b. Untuk mengetahui tinjauan fikih terhadap izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan jiwa. c. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena isteri mengalami gangguan jiwa. 2.
Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai ketentuan izin poligami dalam peraturan PerundangUndangan. b. Manfaat praktis : sebagai bahan referensi bagi praktisi hukum serta memberikan informasi bagi masyarakat pada umumnya tentang ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur tentang izin poligami.
10
D.
STUDI REVIEW TERDAHULU No
Nama Penulis/
Substansi
Pembeda
Judul/Tahun 1
Restyaningrum, Izin Skripsi ini menjelaskan Di sini alasan yang Poligami
(Kajian pertimbangan
hakim digunakan
terhadap
putusan dalam permohonan izin permohonan
Pengadilan Agama poligami ditinjau dari poligami Jakarta Fakultas
Pusat), hukum Syariah peraturan
Islam
dalam izin adalah
dan isteri kurang dapat
Perundang- menjalankan
dan Hukum, 1430 Undangan.
kewajibannya untuk
H/2009 M
memenuhi kebutuhan biologis sedangkan
penulis
membahas poligami dengan alasan isteri mengalami ganguan jiwa. 2
Ahmad Faozi, izin Skripsi ini menjelaskan Di sini alasan suami poligami “ Kasus pertimbangan
hakim ingin
berpoligami
Putusan Pengadilan dalam permohonan izin adalah isteri masih Agama Cianjur No: poligami ditinjau dari sehat tetapi kurang 290/Pdt.G/2008/PA. fiqh dan Hukum Islam mampu Cjr, fakultas Syariah (KHI)
memenuhi
kebutuhan
11
dan
Hukum
1430/2009 M
biologisnya. Sedangkan penulis mengkaji mengenai poligami
dengan
alasan
isteri
mengalami gangguan jiwa.
E.
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan cara mendeskripsikan sejumlah varibel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti12. Sedangkan Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang atau perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.
12
Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet. ke-6, hlm. 20.
12
2.
Data Penelitian Data yang digunakan dalam skripsi ini terbagi menjadi dua sumber
yaitu data primer yang diperoleh dari lapangan dengan mengadakan tinjauan langsung pada obyek yang diteliti berupa berkas putusan perkara izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara mengenai izin poligami tersebut. Untuk menjelaskan data primer maka dibutuhkan data-data pendukung atau data sekunder. Data-data sekunder diperoleh melalui studi pustaka berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau kitab-kitab yang memuat ketentuan poligami, kumpulan tulisan serta lain-lain yang berkaitan dengan penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Studi dokumentasi Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder mengenai permasalahan yang ada relevansinya dengan obyek yang diteliti, dengan cara membaca dan menelaah buku literatur, peraturan perundang-undangan, kumpulan tulisan serta lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. b. Interview/wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data yang diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data
13
yang diperoleh dari studi dokumentasi. Wawancara akan dilakukan terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara mengenai izin poligami yang dimaksud. 3.
Tekhnik Pengolahan Data a. Seleksi data: setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik melalui studi dokumentasi maupun wawancara, lalu diperiksa kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan. b. Klasifikasi
data:
setelah
data
dan
bahan
diperiksa
lalu
diklasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan. 4.
Analisis Data Tekhnik analisis yang digunakan adalah content analysist. Dalam hal ini,
penulis
mempelajari
putusan
perkara
nomor:
0284/Pdt.G/2008/PA.JT, mengungkapkan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut kemudian dipadukan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum terkait dalam memutuskan perkara, disimpulkan kemudian digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. 5.
Pedoman Penulisan Skripsi Tekhnik penulisan skripsi ini berpedoman pada ‘Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2007’ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
14
Hukum UIN Syarif Hidayatullah dengan beberapa pengecualian sebagai berikut: a.
Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama
b.
Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.
F.
SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika digunakan untuk memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, di mana antara bab yang satu dengan bab yang lain saling berkaitan. Masing-masing bab akan diuraikan lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, studi review terdahulu, metode dan teknik penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua ini memuat konsep dasar yang berkenaan dengan pokok masalah yaitu poligami, didalamnya meliputi pengertian dan dasar hukum poligami, sebab-sebab terjadinya poligami dan juga berisi tentang teori umum gangguan jiwa yang meliputi pengertian, macam-macamnya dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kewajiban isteri. Bab ketiga berisi mengenai ketentuan poligami dalam fikih dan dalam Undang-undang Perkawinan yang meliputi syarat-syarat kebolehan poligami dan aturan-aturan hukumnya.
15
Bab keempat membahas tentang analisis terhadap putusan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang izin poligami yang merupakan inti pembahasan dalam skripsi ini yakni deskripsi dan analisis yang meliputi gambaran umum perkara, dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kemudian analisa penulis terhadap putusan tersebut. Bab kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisis data yang diperoleh dan merupakan jawaban pada rumusan masalah, sedangkan saran adalah harapan penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalahan ini.
BAB II POLIGAMI DAN GANGGUAN JIWA A. Pengertian dan Dasar Hukum Poligami a.
Pengertian Ada tiga bentuk poligami, yang pertama poligini, yaitu sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan. Kedua, poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan dan ketiga, poligami yaitu sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.1 Walaupun dalam pengertian di atas ditemukan kalimat “salah satu pihak”, akan tetapi istilah perempuan yang mempunyai banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami di sini adalah ikatan perkawinan seorang suami yang mempunyai beberapa orang isteri sebagai pasangan hidupnya dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari bahasa yunani, poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti “suatu perkawinan yang banyak” atau “suatu perkawinan yang lebih dari seorang”, baik pria maupun wanita. Dalam bahasa Arab poligami dikenal
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi Ketiga, h. 885.
16
17
dengan istilah Ta’adudu Zaujah yang artinya berbilangnya isteri. 2 Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang isteri. b.
Dasar Hukum Islam membolehkan poligami berdasarkan Firman Allah SWT
4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)ρu y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ (٣ :( )ﺍﻝﻨﺴﺎﺀ#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr& Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3) Ayat tersebut diturunkan segera setelah perang Uhud usai (3H/628M), ketika itu laki-laki muslim banyak berguguran di medan perang. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak yatim yang ditinggal wafat oleh suami dan ayah yang merawat mereka serta memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan. Pada saat itu para pengasuh
2
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet.ke-5, h.107.
18
anak yatim mengawini anak-anak yang mereka asuh bukan karena menyayangi atau mencintai anak yatim tersebut, melainkan hanya tertarik pada kecantikan atau harta mereka, inilah yang memicu para pengasuh anak yatim tidak dapat berlaku adil kepada mereka (anak yatim). Maka itulah Allah SWT membolehkan untuk mengawini mereka, tetapi jika merasa takut akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara harta anak yatim tersebut, maka dibolehkan mencari perempuan lain untuk dikawini sampai empat orang.3 Dalam ringkasan Ibnu Katsir dikatakan bahwa maksud dari “Apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil…” adalah jika ada perempuan yatim dalam perlindunganmu dan kamu khawatir tidak dapat memberinya mahar yang memadai maka beralihlah kepada wanita lainnya, sebab wanita lain juga masih banyak dan Allah tidak mempersulitnya. Sedangkan “dua, tiga atau empat” nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain anak yatim. Jika kamu mau nikahilah dua, tiga atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah SWT menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh selain Rasulullah SAW, menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah SAW.4 Imam
Asy-Syafi’i
berkata,
“sunnah
Rasulullah
SAW
yang
memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan
3
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), jilid I, cet.ke-3, h.1187. 4
Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet-1, h. 649.
19
bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat isteri”. Pendapat yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi’ah yang menyatakan bolehnya menggabung isteri lebih dari empat hingga sembilan orang. Bahkan sebagian mereka berpendapat tanpa batas.5 Menurut Quraish Shihab ayat poligami ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.6
¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ #Y‘θàî x tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)ρu 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù È≅øŠyϑø9$# (١٢٩ : )ﺍﻝﻨﺴﺎ$VϑŠÏm§‘ Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, 5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 144-145. 6
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet-1, h. 270.
20
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. AnNisa:129) Firman Allah Ta’ala “dan sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil…” menurut penafsiran Ibnu Abbas dan sejumlah tabi’in, bahwa manusia tidak akan mampu berlaku secara sama terhadap isteri-isterinya dalam segala aspek walaupun gambaran lahiriahnya sama, misalnya setiap isteri mendapat giliran satu malam untuk masing-masing, pastilah hal itu mengandung perbedaan dalam hal cinta, syahwat dan jimak.7 Quraish Shihab menafsirkan, ayat ini memberikan kelonggaran kepada para suami sehingga keadilan yang dituntut bukanlah keadilan mutlak. Ditegaskan juga bahwa para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hatinya secara terus-menerus, keadilan dalam hal cinta di antara isteri-isteri, walaupun sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya, karena itu berbuat adillah sekuat kemampuan yakni dalam hal-hal yang bersifat material dan kalaupun hati lebih mencintai salah seorang di antara mereka (isteri), maka sedapat mungkin suami mengatur perasaan, sehingga tidak terlalu cenderung kepada isteri yang lebih dicintai, dan membiarkan isteri yang lain terkatung-katung, sehingga tidak merasa dilakukan sebagai isteri dan tidak 7
Katsir, h. 813.
Muhammad Nasib Ar-Rifai, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu
21
juga dicerai. Jika suami setiap saat berkesinambungan mengadakan perbaikan dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah dan bertakwa, yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang dia lakukan, karena sesungguhnya Allah selalu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.8 Selain terdapat dalam Al-Qur’an, ketentuan poligami juga terdapat dalam hadits Nabi, salah satunya mengenai batas jumlah isteri adalah sampai empat orang saja.
ﺓﻭﺴ ﻨﺸﹾﺭ ﻋ ﻝﹶﻪ ﻭﻠﹶﻡﺔﹶ ﺍﹶﺴﻠﹶﻤ ﺴﻥ ﺍﺒﻼﹶﻥ ﻏﹶﻴﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﹶﻥ ﺭﻪ ﺍﹶﺒﹺﻴﻥﺎ ﻝِﻡﹴ ﻋ ﺴﻥﻋ ﺎﻌﺒّ ﺍﹶﺭﻥﻨﹾﻬ ﻤّﺭّﺘﹶﺨﹶﻴ ﻴ ﺍﹶﻥﻠﹶﻡ ﺴ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﹶّﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺼ ﺍﻝﻨﹶّﺒﹺﻲﻩﺭ ﻓﹶﺎﹶَﻤﻪﻌ ﻤﻥَﻠﹶﻤﻓﹶﺎﹶﺴ 9
() ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺤﻤﺩ ﻭﺘﺭﻤﺫﻯ
Artinya : “Dari Salim dari ayahnya RA bahwasannya Ghailan binti Salamah masuk Islam sedang ia mempunyai sepuluh orang isteri dan mereka pun masuk Islam bersamanya maka Nabi SAW menyuruh agar ia memilih empat orang dari isteri-isterinya.”
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), cet-1, h. 581. 9
Muhammad bin Ismail Shan’ani, Subulu al-Salam, al-Maram min Jami’adillah alHakam, (Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008), juz 6, h. 66.
22
B. Sebab-Sebab Terjadinya Poligami Ketika poligami telah menjadi suatu pilihan maka sudah dipastikan adanya beberapa hal yang menyebabkan poligami tersebut dilakukan. Hal-hal umum yang menyebabkan timbulnya poligami adalah sebagai berikut10: 1. Isteri mandul, kadang-kadang wanita tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup suami isteri, karena dia mandul atau tidak bisa melahirkan anak sehingga tidak bisa memberikan keturunan. Dalam situasi seperti ini, poligami akan lebih dapat diterima daripada suami menceraikan isteri tersebut dan mencari wanita lain. Dengan demikian, isteri yang mandul tersebut tetap menjadi isteri yang sah dan tetap berada dalam pemeliharaan suami sehingga terpenuhi hak-haknya sebagai isteri. 2. Adanya keinginan seorang laki-laki untuk menikah lagi dengan wanita lain karena isteri terkena penyakit kronis yang lama sembuhnya atau penyakit menular sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri. Dalam kasus ini, poligami jauh lebih baik daripada menceraikan isteri yang sedang sakit dan sangat membutuhkan perlindungan serta pertolongan dari suaminya itu. Hal ini juga akan lebih bisa diterima daripada laki-laki tersebut memiliki “affair” dengan wanita lain di luar ikatan perkawinan. 10
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, h. 157-158. Lihat juga Abuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah dalam Islam VS Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet-1, h. 57-64, Lihat juga Abdul Natsir Taufiq al-Atthar, Polygamy dan Eksisistensinya, (Bekasi: LIPP Riyadhus Sholihin, 2004), h. 25-37.
23
3. Sebagai kebutuhan sosial, ketika jumlah kaum perempuan melebihi jumlah kaum laki-laki sebagai akibat dari suatu perang. Karena bukan hanya banyak wanita yang kehilangan suaminya tetapi juga banyak anak yatim yang membutuhkan kehadiran seorang ayah. Atau banyaknya jumlah wanita yang tidak menikah, janda dan wanita-wanita yang diceraikan suaminya sehingga menyebabkan terjadinya semacam kekosongan hidup berkeluarga dikalangan sejumlah besar kaum wanita. Dan kekosongan ini mengakibatkan ekses-ekses yang membahayakan, yang kadang-kadang menjurus kepada merosotnya moral masyarakat secara merata. 4. Adanya suatu sebab yang bersifat ekonomis, seperti yang terdapat pada masyarakat yang agraris sifatnya, maka kebutuhan untuk mempunyai banyak isteri dan banyak anak lebih membantu dalam usaha memperoleh pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup suatu keluarga. 5. Sebab-sebab yang ada pada laki-laki itu sendiri, misalnya ia seorang yang mempunyai kemauan seksual yang sangat kuat sehingga tidak cukup hanya seorang isteri, ataupun dua orang isteri. Maka ia memilih poligami karena dianggap dapat menjaganya agar tidak terjerumus dalam kesesatan dan beberapa malapetaka yang akan timbul darinya untuk menimpa diri, keluarga dan masyarakatnya. Atau ia seorang yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk memperbanyak keturunan dan ia sanggup serta mampu memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka. Sebagaimana sebab-sebab poligami yang disebutkan di atas maka semuanya itu merupakan suatu kemungkinan yang tidak aneh. Poligami
24
ketika itu adalah jalan yang ideal, tetapi sekali perlu diingat bahwa ini bukan seperti anjuran apalagi kewajiban kerena semuanya diserahkan menurut pertimbangan masing-masing. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, masih banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang juga merupakan syarat yang tidak ringan.11 C. Teori Umum Gangguan Jiwa Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagianbagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik. Keabnormalan dapat dibagi atas dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).12 Menurut Zakiah Daradjat terdapat perbedaan antara neurose dan psychose yaitu orang yang kena neurose masih mengetahui dan merasakan kesukarannya, sebaliknya yang kena psychose tidak. Di samping itu orang yang kena neurose kepribadiannya tidak jauh dari realitas, sedangkan orang yang kena psychose, kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan atau emosi dan dorongan-dorongannya) sangat terganggu, tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan. Neurose merupakan gangguan kepribadian yang ringan sebagai akibat ketegangan psikis karena terjadi
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 199. 12
Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, (Malang: UIN-MALANG, 2008), h. 45.
25
konflik terus-menerus dalam pribadi orang yang bersangkutan. Contoh dari beberapa jenis gangguan jiwa (neurose) di antaranya sebagai berikut13 : 1) Neurasthenia Penyakit Neurasthenia adalah penyakit yang membuat penderitanya merasa payah. Penderita tidak sanggup berfikir tentang sesuatu persoalan, sukar mengingat dan memusatkan perhatian. Ia juga apatis, acuh tak acuh terhadap persoalan luar karena ia merasa seolah-olah akan ambruk saja sewaktu-waktu, sangat sensitif terhadap cahaya dan suara sehingga detik jam bisa menyebabkan tidak bisa tidur. Sebab terpenting dari penyakit Neurasthenia
adalah
ketidaktenangan
jiwa,
kegelisahan,
tekanan,
pertentangan batin dan persaingan. 2) Hysteria Seperti
gangguan
jiwa
lainnya
hysteria
juga
terjadi
akibat
ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria yang tidak wajar.
13
50.
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985), h. 33-
26
3) Psychastenia Gangguan jiwa yang bersifat paksaan, yang berarti kurangnya kemampuan jiwa untuk tetap dalam integrasi yang normal. Gangguan ini memiliki beberapa bentuk yaitu phobia, obsesi dan kompulsi. 4) Psychopath Psychopath ialah apabila penderita mempunyai kepribadian menyimpang sehingga selalu bertentangan dengan dunia luar dan dirinya sendiri. Dalam bahasa jawa penyakit semacam ini disebut gendeng. Macam Psychopath yang kini banyak terdapat dalam masyarakat ialah insania moralis. In yaitu tidak, sania yaitu sehat, moralis yaitu akhlaq, insania moralis adalah tidak sehat akhlaqnya. Penderita tidak dapat mengendalikan nafsunya dan penyakit ini dinamai sesuai nafsunya. Misalnya tidak dapat menahan nafsu untuk menyiksa atau membunuh disebut sadisme. Pada saat ini sadisme sedang merajalela di dalam masyarakat Indonesia. Perlu dicatat, meskipun penyakit jiwa tetapi para psychopat dapat dikenai hukuman.14 Sedangkan psychose adalah gangguan jiwa yang bersifat menyeluruh atau gangguan jiwa berat yang meliputi seluruh kepribadian penderita, sehingga kehilangan orientasi terhadap lingkungannya, bahkan penderita tidak dapat memahami tingkah lakunya sendiri (terjadi disorientasi pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan orang).15 14
Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 93. 15
Henry Narendrany Hidayati dan Andi Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 168.
27
Adapun ciri-ciri dari psychose ini adalah:16 1. Delusi atau waham yaitu timbulnya suatu fantasi atau khayalan yang diyakini penderita sebagai kenyataan. Contoh: merasa dirinya diawasi, diejek atau dimusuhi. 2. Halusinasi: penderita seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan mendengar orang lain membicarakannya atau melihat sesuatu yang menakutkannya. 3. Tidak dapat berkomunikasi seperti biasanya, contoh: tidak mampu mengurus rumah tangga, bekerja dan bergaul dalam masyarakat. 4. Tidak menyadari bahwa dirinya menderita gangguan jiwa (lack of illness insight). Kemudian terdapat dua macam faktor penyebab penyakit jiwa (psychose), yaitu17: Pertama, yang disebabkan pada kerusakan pada anggota tubuh misalnya otak, saraf pusat atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh keracunan akibat minuman keras, obat-obat perangsang atau narkotik atau karena penyakit kotor dan lain-lain. Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarutlarut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian yang wajar. 16
Syidat Zubair, Gangguan Jiwa (Mental Disorder), artikel diakses 19 Maret 2010, dari http://medicblueprint.blogspot.com/2009/06/gangguan-jiwa-mental-disorder.html. 17
Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, h. 56.
28
Dapat pula disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat suasana lingkungan yang sangat menekan dan adanya ketegangan batin. Di antara penyakit jiwa yang terkenal salah satunya adalah schizophrenia. Mengingat kasus yang diangkat penulis dalam penulisan skripsi ini adalah permohonan izin poligami yang dilakukan seseorang dengan alasan isteri mengalami sejenis penyakit gangguan jiwa yaitu schizophrenia, maka penjelasan mengenai penyakit ini sedikit lebih luas. Skizofrenia (schizophrenia) merupakan gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, juga sering terlihat adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi. Pada suatu saat, orang-orang dengan skizofrenia berpikir dan berkomunikasi dengan sangat jelas, memiliki pandangan yang tepat atas realitas, dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang lain, pemikiran dan kata-kata mereka terbalik-balik, mereka kehilangan sentuhan dengan realita, dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri, bahkan dalam banyak cara yang mendasar.18 Skizofrenia menyentuh setiap aspek kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan waham, halusinansi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku aneh. Di antara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respon 18
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 134.
29
emosional yang sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Mereka mungkin berbicara dengan nada yang mendatar dan menunjukkan sedikit (jika ada) ekspresi.19 Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya. Skizofrenia juga merupakan gangguan mental yang cukup luas yang dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% pasien di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia. Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya, tapi juga bagi orang-orang yang terdekat kepadanya. Biasanya keluargalah yang paling terkena dampak dari hadirnya skizofrenia di keluarga mereka.20 Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan penyakit Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat karena keturunan atau kerusakan kelenjar-kelenjar tertentu dari tubuh mulai menyerang setelah orang menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang akibatnya muncul penyakit yang mungkin tersembunyi di dalam diri orang itu.21 Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa yang membuktikan betapa besar akibatnya bila terganggunya kesehatan mental seseorang, yang akan menghilangkan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya. 19
Jeffrey S. Nevid, dkk, Psikologi Abnormal, judul asli: Abnormal Psychology in a Changing World, Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi UI, (Jakarta: Erlangga, 2005), jilid 2, h. 103 20
Iman Setiadi Arif, Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2006), cet-1, h. 4. 21
Tristiadi Ardi Ardani, Psikiatri Islam, h. 57.
30
D. Pengaruh Gangguan Jiwa terhadap Kewajiban sebagai Isteri Seseorang yang mengalami kesehatan mental yang buruk berbeda dalam hal tingkat kesehatan dibandingkan dengan seseorang yang memiliki kesehatan mental yang baik. Pada orang yang mengalami kesehatan mental yang buruk, perasaan-perasaaan bersalah kadang-kadang menguasainya, kecemasan-kecemasan tidak produktif sangat mengancamnya. Ia biasanya tidak mampu menangani krisis-krisis dengan baik dan ketidakmampuan ini mengurangi kepercayaan dan harga dirinya. Terkadang ancaman-ancaman dari dalam dan dari luar begitu kuat sehingga ia mengembangkan gangguan tingkah laku.22 Para ahli psikologi Eropa mengatakan bahwa segala sesuatu harus dilihat dari pangkal atau yang melandasi tingkah laku, yaitu jiwanya (psyche). Kalau jiwanya rusak, maka perilakunya pun terganggu, sebaliknya kalau perilakunya rusak maka pasti kerusakan itu hanya akibat dari jiwanya yang kacau.23 Gangguan kesehatan jiwa dapat mempengaruhi perasaan, fikiran, tingkah laku dan kesehatan tubuh. Pengaruh terhadap perasaan misalnya berupa cemas, takut, iri, dengki dan lain sebagainya. Juga sedih tak beralasan, bimbang, marah oleh hal-hal remeh, merasa diri rendah dan sebagainya. Demikian pula sombong, tertekan, pesimis, putus asa dan apatis. Pengaruh terhadap fikiran misalnya berupa kemampuan berfikir berkurang, sukar
22
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 10.
23
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, h. 58.
31
memusatkan fikiran, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana dan sebagainya.24 Sedangkan pengaruh terhadap perbuatan misalnya menganiaya diri atau menyakiti orang atau hatinya dan berbagai kelakuan yang menyimpang, perbuatan ini disebabkan oleh ketidakharmonisan fungsi-fungsi jiwa yaitu tidak ada keserasian dan kerjasama antara pikiran, perasaaan dan sikap jiwa manusia. Terakhir, pengaruh terhadap kesehatan tubuh, penyakit ini dinamakan psychosomatic yaitu kesehatan mental dapat menentukan kesehatan tubuh. Jika jiwa berada dalam kondisi kurang normal seperti cemas, gelisah, takut, putus asa dan lain-lain maka dapat menimbulkan terjadinya gangguan pada organ-organ tubuh seperti gangguan pada jantung, lambung, kadar gula, tekanan darah dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, jika jiwa dalam kondisi normal maka badan juga sehat.25 Apabila gangguan jiwa dialami oleh salah satu anggota keluarga, dalam kasus ini yaitu isteri, maka akan berpengaruh terhadap keharmonisan antar anggota keluarga, terutama dalam hubungan suami isteri. Karena isteri yang mengalami gangguan jiwa, dalam hal ini Schizophrenia, secara umum tidak mampu menjalankan kewajibannya secara total seperti ketika dia dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental. Hal seperti ini jika tidak dihadapi dengan bijaksana maka akan menimbulkan konflik yang berakibat fatal terhadap kehidupan keluarga selanjutnya.
24
Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, h. 100.
25
Henry Narendrany Hidayati dan Andi Yudiantoro, Psikologi Agama, h. 155-156.
32
Dalam hubungan suami isteri, seorang suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si isteri mempunyai beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an, umpamanya pada surat alBaqarah ayat 228:
“Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £çλm;uρ 4 $[s≈n=ô¹Î) (#ÿρߊ#u‘r& ÷βÎ) y7Ï9≡sŒ ’Îû £ÏδÏjŠtÎ/ ‘,ymr& £åκçJs9θãèç/uρ .... (٢٢٨: )ﺍﻝﺒﻘﺭﺓîΛÅ3ym ͕tã ª!$#uρ 3 ×πy_u‘yŠ £Íκön=tã ÉΑ$y_Ìh=Ï9uρ 4 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £Íκön=tã Artinya : “…. dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. alBaqarah:228) Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan juga mempunyai kewajiban. Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak isteri semisal hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan isteri semisal atau setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan
33
setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.26 Ketika perempuan menyatakan bersedia untuk menikah, dia yakin bahwa dia akan mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti, tetapi bukan hanya perempuan saja yang membutuhkan perlindungan, laki-laki juga membutuhkannya. Dalam kehidupan rumah tangga nanti, bukan saja pada waktu suami sakit, tetapi suami juga membutuhkan bantuan dan perlindungan isterinya pada saat ia menghadapi
aneka
kesulitan
dalam
pekerjaannya.
Di
sini,
suami
membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari isteri yang dapat menjadi perisai kesulitan yang ia hadapi. Sekaligus pendorong untuk mencapai sukses dalam segala perjuangannya, ia juga memerlukan ketenangan lahir dan batin yang seharusnya ia peroleh dalam rumah tangganya.27 Kewajiban isteri sebenarnya sebagai konsekuensi logis dari hak yang diterimanya dari suami. Kewajiban isteri kepada suami mempunyai kaitan yang tak terpisahkan dengan kewajiban suami terhadap isteri. Di antara kewajiban isteri terhadap suami adalah28:
26
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 159. 27
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 129. 28
143-158.
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h.
34
1. Taat kepada Allah SWT dan suami Kewajiban seorang isteri untuk taat kepada Allah dan taat kepada suami, antara lain tertuang dalam firman Allah SWT:
!$yϑÎ/uρ <Ù÷èt/ 4’n?tã óΟßγŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ≅āÒsù $yϑÎ/ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$# xáÏym $yϑÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M≈sàÏ≈ym ìM≈tGÏΖ≈s% àM≈ysÎ=≈¢Á9$$sù 4 öΝÎγÏ9≡uθøΒr& ôÏΒ (#θà) x Ρr& ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ 4 ª!$# $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù ( £èδθç/ÎôÑ$#uρ (٣٤: )ﺍﻝﻨﺴﺎﺀ#ZÎ6Ÿ2 Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar." (An-Nisa:34)
35
Wanita yang baik yaitu wanita yang taat kepada Allah dan suaminya, yang senantiasa menunaikan hak-hak suaminya, memelihara diri mereka dari kekejian, dan menjaga harta suaminya dari pemborosan. 2. Menjaga kehormatan suami. Seorang isteri harus menjaga kehormatan dirinya, baik di saat suaminya berada di rumah, lebih-lebih apabila suaminya tidak ada di rumah. 3. Melayani kebutuhan biologi suami dengan baik. Salah satu dorongan kuat laki-laki untuk mengadakan perkawinan ialah agar dapat menyalurkan nafsu birahinya (nafsu seksnya) secara sah dan terhormat. Dalam kondisi objektif, baik biologis maupun psikologis, syariat Islam telah mewajibkan kepada setiap isteri untuk melayani suaminya dengan baik, apabila diajak bersenggama. Isteri dilarang menolak ajakan itu, kecuali ketika haid, nifas, dan shaum (puasa) bulan Ramadhan. 4. Mengurus rumah tangga dengan baik. Perbedaan fisiologi dan fungsi antara suami dan isteri, menyebabkan perbedaan kewajiban dan tanggung jawab. Apabila suami bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga secara keseluruhan, baik ke luar maupun ke dalam, maka isteri bertanggung jawab terhadap kehidupan rumah tangga secara intern. Ketentuan ini terdapat dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
36
ﻪﺘﻋﻴ ﺭﻥلٌ ﻋﺌَﻭﺴ ﻤﻜﹸﻠﱡ ﹸﻜﻡﺍﻉﹴ ﻭ ﺭ ﻓﹶﻜﹸﻠﱡﻜﹸﻡ،ﻩﻝﹶﺩﻭﺎ ﻭﺠﹺﻬﻭ ﺯﺕﻴﻠﹶﻰ ﺒﺔﹲ ﻋﻴﺍﻋﺃَﺓﹸ ﺭﺭﺍﹶﻝﹾﻤ 29
(ِ)ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻝﺒﺨﺎﺭﻯ
Artinya : “Tiap-tiap wanita (isteri) adalah pengurus bagi rumah tangga suaminya dan akan ditanyakan (diminta pertanggungjawaban) tentang kepemimpinaanya itu” (H.R. al-Bukhari) Selain yang disebutkan sebelumnya, perlu diketahui juga bahwa gangguan jiwa yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan pengaruh pada aktivitas hidup sehari-hari. Penderita dengan gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya pada aktivitas kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Penderita seperti ini banyak yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Pengucilan penderita dari lingkungan, kurangnya dukungan keluarga, dan gangguan fungsi dari penderita dapat menyebabkan kurangnya kesempatan menyelesaikan masalah dengan tepat dalam menghadapi stres pada kehidupannya. Hal ini dapat menyebabkan penderita mudah kambuh dan masuk ke rumah sakit lagi. Selanjutnya penderita mempunyai kebutuhan pengobatan yang lama. Sebagian penderita gangguan jiwa tidak lepas dari obat untuk membantu menjaga keseimbangan dalam tubuhnya. Banyak di antara mereka yang bosan sehingga putus obat yang akhirnya menurun kondisinya setelah ada di rumah. Selain itu penderita gangguan jiwa mempunyai harga diri rendah, khususnya dalam hal identitas dan perilaku. 29
hadits no: 5200.
Al-bukhari, Shohih Bukhori, (Libanon: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2008), h.607,
37
Penderita
menganggap
dirinya
tidak
mampu
untuk
mengatasi
kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal), dan tidak berani mencapai sukses.30 Diketahui dari beberapa pengaruh gangguan jiwa terhadap fikiran, perasaan, tingkah laku penderita, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang menderita gangguan jiwa tidak dapat melakukan aktivitas apapun secara normal. Begitu juga dengan isteri yang mengalami gangguan kejiwaan, ia tidak mampu untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hal ini disebabkan karena seseorang yang terkena penyakit jiwa, kepribadiannya akan terganggu sehingga penderita kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya. Penyakit ini juga mengganggu akalnya, sehingga akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai oleh kebingungan dan kekacauan fikiran, orang yang akalnya tertutup atau terganggu, tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang baik dan yang buruk.31 Pada orang yang keadaan akalnya terganggu, maka dirinya tidak mampu untuk menerima beban hukum. Artinya , ia tidak mampu dikenai hukum dan berbuat hukum karena adanya halangan yaitu keadaan akalnya yang terganggu. Halangan tersebut dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ‘awaridh al-ahliyah atau halangan taklif. Halangan taklif itu dapat 30
Juliansyah, Peran Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa, artikel diakses 19 Maret 2010, dari http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=30254. 31
cet.ke-3, h. 406.
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999), jilid I,
38
dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ‘awaridh samawiyah yaitu halangan yang timbul dari luar dirinya yang ia sendiri tidak mempunyai daya dan kehendak menghadapinya. Kedua, ‘awaridh muktasabah atau ‘awaridh ikhtiyari, yaitu halangan yang timbul dari dirinya atau tersebab kehendaknya sendiri. Di sini pengertian kelainan yang terdapat pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang menurut yang semestinya disebut dengan gila. Gila termasuk salah satu macam dari ‘awaridh samawiyah. Keadaan gila dapat dipisahkan pada dua hal, yaitu gila yang lama dan berketerusan atau muabbad dan gila sementara atau ghair muabbad yang terjadi dalam waktu tertentu dan tidak berketerusan.32 Melihat dari pembagian gila tersebut, keadaan isteri pada kasus dalam pembahasan skripsi ini, maka termasuk pada gila sementara atau ghair muabbad. Pada satu saat ia dapat berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari, tapi pada saat lain ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik dan berperilaku aneh serta jauh dari realita. Keadaan akal yang terganggu menyebabkan ia terhalang sebagai subjek hukum, di mana syarat subjek hukum yang pertama adalah “baligh dan berakal”. Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak berlaku padanya tuntutan hukum atau taklif hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
32
Amir Syarifudddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 1, cet-3, h. 400.
39
ﻥ ﻋ ﺍﻝﹾﻘﹶﻠﹶﻡﻊﻓ ﻗﹶﺎلَ ﺭﻠﱠﻡﺴ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻝﻠﱠﻪ ﺼ ﺍﻝﻨﱠﺒﹺﻲ ﺃَﻥﻨﹾﻪ ﻋ ﺍﻝﻠﱠﻪﻲﻀ ﺭﻲﻠ ﻋﻥﻋ َلﻘﻌﺘﱠﻰ ﻴﻨﹸﻭﻥﹺ ﺤﺠ ﻗﹶﺎلَ ﺍﻝﹾﻤ ﺃَﻭﺘﹸﻭﻩﻌ ﺍﻝﹾﻤﻥﻋﻅﹶ ﻭﻘﺘﹶﻴﺴﺘﱠﻰ ﻴ ﺍﻝﻨﱠﺎﺌِﻡﹺ ﺤﻥ ﻋﺜﹶﻠﹶﺎﺜﹶﺔ 33
ﺏﺸﺘﱠﻰ ﻴﻴﺭِﺤﻐ ﺍﻝﺼﻥﻋﻭ
“Dari Ali ra., sesunguhnya Nabi SAW bersabda: Diangkat tuntutan dari tiga hal, yaitu dari orang tidur sampai ia terjaga, dari orang yang kurang akal atau gila sampai ia berakal (waras), dari anak kecil sampai ia dewasa”
33
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih, (Beirut: Dar- eL-Marefah, 2004), hadits no: 1423, h. 597.
BAB III POLIGAMI DALAM FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN A. Poligami dalam Fikih Poligami sejak dulu telah dilakukan dan tidak ada pembatasan jumlah perempuan yang boleh dijadikan isteri oleh seorang laki-laki. Seorang lakilaki diperbolehkan menikah dengan setiap wanita yang dikehendakinya berapapun jumlahnya. Praktek poligami ini dilakukan baik oleh kalangan kaum Hindu, bangsa Persia, bangsa Arab jahiliah, bangsa Romawi, maupun bangsa di berbagai daerah Eropa dan Asia Barat. Sebagai salah satu sistem perkawinan tertentu, poligami membawa nasib yang menyedihkan bagi kaum wanita. Derajat wanita dianggap jauh lebih rendah dari derajat pria.1 Pada abad ke-7, agama Islam datang dengan Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa berita gembira antara lain dengan membawa perbaikan terhadap masalah poligami. Kedatangan Islam mengubah konsep poligami dan didefinisikan ulang sampai keakar-akarnya. Beberapa bentuk poligami yang lazim berlaku di Arabia dilarang oleh Islam, seperti menikahi dua orang perempuan yang bersaudara secara bersamaan atau menikahi seorang perempuan dengan bibinya secara bersamaan dan sebagainya.2
1
Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet.ke-5, h.107. 2
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet-1, h.149.
40
41
Berdasarkan hadits Nabi SAW
ﻊﹺﺒ ﺃَﺭﻥﻰ ﻋلُ ﺍﷲُ ﺹ ﻡ ﻨﹶﻬﻭﺴّ ﺭﺃَﻥ:َ ﻗﹶﺎلﻨﹾﻪ ﺍﷲُ ﻋﻲﻀﺓﹶ ﺭﺭﻴﺭ ﺍﹶﺒﹺﻰ ﻫﻥﻋ .ﺎ ﺨﹶﺎ ﻝﹶﺘﹸﻬﺃَﺓﹸ ﻭﺭﺍﻝﹾﻤﺎﹾ ﻭﺘﹸﻬﻤ ﻋﺃَ ﺓﹸ ﻭﺭ ﺍﻝﹾﻤ: ّﻥﻨﹶﻬﻴ ﺒﻊﻤﺠ ﻴ ﺃَﻥﺓﻭﺴﻨ 3
ـ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻝﺠﻤﺎﻋﺔـ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang empat wanita untuk berpoligami. yaitu, seorang wanita dengan bibinya dari
jalur ayah dan seorang bibinya dari
jalur ibu.”
(HR.Jamaah). Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi paling banyak empat orang saja (itupun dengan beberapa persyaratan tertentu) dan mengenalkan monogami sebagai salah satu bentuk perkawinan yang ideal.4 Allah SWT berfirman:
4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)ρu y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ (٣ :( )ﺍﻝﻨﺴﺎﺀ#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr& Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3)
3
Abi al-Hasan Muslim bin al-Hijaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bierut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2004), h. 562. 4
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, h. 149.
42
Di antara keagungan ayat ini tampak jelas bahwa bolehnya poligami dan pembatasannya dengan empat orang, datang dan dibarengi kekhawatiran berlaku zhalim kepada perempuan yatim.
5
Ketika turunnya ayat ini
Rasulullah memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperisterikan empat orang wanita. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.
ﺕﹸ ﺍﻝﻨﱠﺒﹺﻲ ﺼﻠﻰ ﻓﹶﺄَﺘﹶﻴ،ﺓﻭﺴ ﻨﺎﻥﻯ ﺜﹶﻤﻨﹾﺩ ﻋﺕﹸ ﻭﻠﹶﻤ ﺍﹶﺴ:َ ﻗﹶﺎلﺎﺭﹺﺙﻥﹺ ﺍﻝﹾﺤﺱﹴ ﺒ ﻗﹶﻴﻥﻋ 6
.ﺎﻌ ﺒ ﺍﹶﺭﻥﻨﹾﻬ ﻤﺘﹶﺭﺤ ﺍ:َ ﻓﹶﻘﹶﺎل، ﻝﹶﻪﺕﹸ ﺫﹶﺍﻝِﻙﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻓﹶﺫﹶﻜﹶﺭ
Artinya : “Dari Qais bin al-Harits, Ia berkata: Aku masuk Islam sedangkan aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku datang mengunjungi Nabi SAW Dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Pilihlah di antara mereka itu empat’ ”.
Sabda Nabi SAW Kepada Ghailan bin Salamah pada waktu masuk Islam sementara isterinya berjumlah sepuluh:
َ ﻥﻫﺎﺌِﺭ ﻓﹶﺎ ﺭﹺﻕﹾ ﺴﺎ ﻭﻌﺒ ﺃ َﺭﻙﺴﺃَﻤ
7
Artinya : “Pertahankanlah yang empat dan ceraikanlah yang lain Menurut Wahbah az-Zuhaili, alasan pembatasan poligami sampai empat orang adalah karena pada lahirnya kemampuan suami dalam berlaku 5
Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h.20. 6
Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah al-Qozwi, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2004), hadits nomor 195, h. 2122. 7
Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), cet-1, h.567.
43
adil, membayar nafkah, pembagian waktu dan sebagainya hanya sampai empat orang isteri dengan pengaturan mingguan dalam satu bulan. Lebih dari itu, disangsikan suami tidak mampu memberi perhatian sempurna dan tidak sanggup menunaikan hak-hak isteri-isterinya. Karena itu kebolehan berpoligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, berlaku adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya. Kedua, kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW tentang perlunya biaya nikah (al-ba’ah) bagi calon suami. (HR.alBukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)8 Islam juga membatasi alasan poligami, di mana poligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat dan dengan syarat-syarat yang berat serta dilakukan berdasarkan keadilan, bukan dalam kerangka memuaskan nafsu biologis semata.9 Muhammad Abduh, seorang ilmuwan Mesir berpendapat bahwa mengambil isteri lebih dari satu orang itu diperbolehkan dalam Islam, namun kebolehan tersebut diikuti oleh adanya kewajiban bahwa suami harus memperlakukan para isterinya secara adil. Beliau menyatakan, “Hukum Islam itu memperbolehkan seorang laki-laki untuk memiliki isteri sampai berjumlah empat orang ketika dia memperkirakan akan mampu memperlakukan isteriisterinya secara adil. Akan tetapi kalau dia merasa tidak mampu memenuhi
8 9
Ensiklopedi Hukum Islam, h.1187.
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: LKAJ-PSP dan The Asian Fondation, 1999), cet-1, h.9.
44
kondisi seperti itu, maka dia dilarang beristeri
dengan lebih dari satu
orang”.10 Jika ia memiliki lebih dari satu isteri dan ternyata ia lebih mengutamakan salah satu di antara mereka, maka ia terkena ancaman keras yang termaktub dalam sabda Nabi SAW:
ﺃَﺘﹶﺎﻥﹺﺭﻤ ﺍ ﻜﹶﺎﻨﹶﺕﹾ ﻝﹶﻪﻥ ﻗﹶﺎلَ ﻤ: ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﺍﻝﻨﱠﺒﹺﻲﺓﹶ ﺍﹶﻥﺭﻴﺭ ﻫ ﺍﹶﺒﹺﻰﻥﻋ 11
ٌﺎﺌِل ﻤﻘﱡﻪﺸ ﻭﺔﺎﻤﻴ ﺍﻝﹾﻘﻡﻭ ﻴﺎﺀﺎ ﺠﻤﺍﻫﺩﺤ ﺍﻝﹶﻰﺎلَ ﺍﻓﹶﻤ
Artinya : “Barang siapa punya dua orang isteri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan bahunya miring”. Hadits di atas menunjukkan adanya keharusan bagi suami membagi giliran secara adil dan merata kepada isteri-isterinya. Dan diharamkan baginya pilih kasih di antara isteri-isterinya itu. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ #Y‘θàî x tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)ρu 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù È≅øŠyϑø9$# (١٢٩ : )ﺍﻝﻨﺴﺎﺀ$VϑŠÏm§‘
10
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, h. 150-151. 11
Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, h.565.
45
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. AnNisa:129)
Kecenderungan di sini adalah dalam hal memberikan giliran dan nafkah, bukan dalam hal cinta, karena cinta di luar kekuasaan manusia. Pemahaman terhadap firman-Nya “kullal mail (terlalu cenderung)” berarti bahwa kecenderungan yang kecil dibolehkan.12 Allah SWT tidak menciptakan dua hati dalam jasad seorang manusia. Firman-Nya dalam Al-Qur’an:
(٤: )ﺍﻷﺤﺯﺍﺏ..........ﻪﻓﻭﻲ ﺠﻥﹺ ﻓﻴ ﻗﹶﻠﹾﺒﻥلٍ ﻤﺠ ﻝِﺭلَ ﺍﻝﻠﱠﻪﻌﺎ ﺠﻤ Artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya…”(al-Ahzaab: 4) Dalam sebuah kesempatan, Aisyah ra. berkata: Pada saat itu, Rasulullah berusaha untuk menentukan giliran untuk isteri-isterinya dan kemudian mencoba berlaku adil. Setelah itu beliau bersabda:
:ُلﻘﹸﻭﻴ ﻭ،ُلﺩﻌ ﻓﹶﻴ،ﺎﺌِﻪﺴ ﻝِﻨﻡﻘﹾﺴلُ ﺍﻝﻠﱠﻪ ﺹ ﻡ ﻴﻭﺴ ﺭﻜﹶﺎﻥ:ﺎﺌِﺸﹶﺔﹶ ﺭﺽ ﻗﹶﺎ ﻝﹶﺕﹾ ﻋﻥﻋ 13
ﻙﻠﻻﹶ ﺃَﻤ ﻭﻙﻠﺎ ﺘﹶﻤﻤﻴﻰ ﻓﻨﻻﹶ ﺘﹶﻠﹸﻤ ﻭ،ﻙﻠﺎ ﺃَﻤﻤﻴ ﻓﻲﻤﺴﺫﹶﺍ ﻗ ﻫﻡﺍﹶﻝﻠﱠﻠﻬ
Artinya : “Ya Allah, inilah hasil pembagianku dari apa yang aku miliki. Maka, janganlah engkau membebankanku dengan sesuatu yang 12
h.176.
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), cet-5,
46
Engkau miliki tapi tidak dapat ku miliki”. Dan yang dimaksud di sini adalah hati (al-qalbu).13
Abdullah Ibn Abbas, dalam penafsirannya menjelaskan bahwa adil yang dimaksud adalah adil dalam hubb (cinta) dan jima’ (hubungan intim suami-isteri).
Mengomentari
pandangan
Ibn
Abbas,
Quraish
Shihab
menegaskan bahwa keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan di bidang immaterial
(cinta).
Itu
sebabnya,
orang
yang berpoligami
dilarang
memperturutkan suasana hati dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai.14 Perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk seperti terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu. Apalagi bila pembatalan tersebut justru mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat seperti munculnya wanita simpanan serta pernikahan di bawah tangan dan dampak buruk lainnya, lebih-lebih terhadap perempuan.15 Praktek poligami Rasulullah SAW merupakan praktek poligami perspektif Islam yang senantiasa menjadi panutan yang ditiru oleh umatnya. Tidak sedikit pula orang Islam yang keliru memahami praktek poligami tersebut. Ada anggapan bahwa Nabi berpoligami dengan tujuan memuaskan 13
Al-‘asqalani, Bulughul Maram, h. 180.
14
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), h.201. 15
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 177.
47
nafsu seksualnya seperti kebanyakan yang dilakukan pada umumnya. Padahal dari isteri Rasul hanya Aisyah yang masih gadis ketika dinikahi, selainnya adalah para janda tua. Maka dari itu kekeliruan ini harus diluruskan, karena poligami Nabi sering dijadikan dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim.16 Poligami yang dilakukan Rasulullah SAW adalah upaya transformasi sosial. Artinya, mekanisme poligami yang diterapkan Nabi SAW merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristeri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah membatasi praktek poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan berpendapat bahwa dari segi pandangan normatif al-Quran yang selanjutnya diadopsi oleh para ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang laki-laki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya
isteri
yang
dinikahi.
Kedua,
seorang
lelaki
harus
16
Hasan Aedy, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007) h. 24. 17
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Ciputat: elKAHFI, 2008), cet.ke-1, h. 195.
48
memperlakukan semua isterinya dengan adil. Tiap isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.18 Berkenaan dengan syarat adil, Ibrahim Hosen menyatakan bahwa syarat adil bagi kebolehan berpoligami merupakan syarat agama, bukan sebagai syarat hukum. Adil tidak dapat dijadikan syarat hukum sahnya poligami, karena adil itu belum dapat diwujudkan sebelum terwujudnya poligami. Syarat hukum mengakibatkan batalnya hukum ketika syarat tersebut batal, tetapi syarat agama hanya mengakibatkan dosa kepada Tuhan. Syarat agama ialah syarat yang dituntut agama dan tidak mesti menjadi syarat hukum, sedangkan syarat hukum adalah sesuatu yang dituntut adanya sebelum adanya hukum, artinya syarat tersebut tidak dapat berpisah dari hukum.19 Begitu beratnya syarat berlaku adil sehingga wajarlah bila ada sementara ulama yang tidak membolehkan poligami hanya kecuali dalam keadaan darurat. Artinya, menurut pendapat ini, pembolehan poligami oleh Al-Qur’an hanya dimaksudkan untuk keadaan darurat. Muhammad Abduh misalnya, membolehkan poligami hanya kalau sang isteri tidak mampu memberikan keturunan.20
18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3.h. 159. 19
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, 1971), h. 149-150. 20
2007), h.26.
Ustad Ansori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, (Depok: Pustaka Iman,
49
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman21 setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yaitu: 1) Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit untuk disembuhkan. 2) Isteri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. 3) Isteri sakit ingatan (gila). 4) Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri. 5) Isteri memiliki sifat buruk. 6) Isteri minggat dari rumah. 7) Ketika terjadi ledakan perempuan (jumlah perempuan yang banyak) misalnya dengan sebab perang, 8) Kebutuhan suami beristeri lebih dari satu, dan jika tidak dipenuhi menimbulkan kemadharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya. Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain, sebagai berikut:22 1. Untuk mendapat keturunan bagi suami yang sabar dan isteri yang mandul;
21
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 159. 22
h. 261.
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),
50
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai isteri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statis menunjukkan bahwa di beberapa Negara Barat yang melarang poligami mengalami akibat merajalelanya prostitusi dan freesex (kumpul kebo), yang mengakibatkan pula anak-anak zina mencapai jumlah yang cukup tinggi; 4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum pria, misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
B. Poligami dalam Undang-Undang Perkawinan Peraturan poligami di Indonesia telah diatur oleh pemerintah dalam rangka melindungi warga Negara khususnya kaum perempuan dari tindak ketidakadilan, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ( selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan ).23 Pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3
23
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 201.
51
ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami, mono dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Klausul kebolehan poligami dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasanalasan yang membolehkan poligami.24 Dalam pasal 4 dinyatakan25: Seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a.
Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami
dalam UUP dapat dipahami alasannya dengan mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika tiga alasan yang disebutkan UUP tersebut menimpa suami isteri maka dapat dianggap rumah
24
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975), cet-1, h. 26. 25
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung, Fokus Media, 2005), h. 2.
52
tangga tersebut tidak mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).26 Di samping itu, lembaga poligami tidak semata-mata merupakan kewenangan penuh suami, tetapi dilakukan atas dasar izin dari hakim (Pengadilan). Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, sesuatu yang tidak ada preseden historisnya di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan27: Pengadilan Agama dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami. Prosedur permohonan izin seperti yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2 di atas harus diajukan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya si pemohon. Permohonan dilakukan secara tulisan dengan syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 5 ayat (1) dan (2)28:
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 47. 27
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 162. 28
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, h. 26.
53
Ayat (1) : 1.
Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka;
3.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anakanak mereka.
Ayat (2) : Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan. Perbedaan pada pasal 4 dan 5 adalah bahwa pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif di mana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.29 Seperti yang disebut dalam pasal 5 dan diulang kembali dalam pasal 41 huruf (b), (c) dan (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
29
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, h. 46-47.
54
Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9/1975) dengan tambahan penjelasan bahwa30: b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri, baik persetujuan lisan maupun tetulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan; c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan itu. Selain tentang alasan dan syarat seperti tersebut di atas, PP No. 9/1975 hanya memberikan tiga macam ketentuan tentang tata cara pemeriksaan dan pemberian izin itu, seperti dapat disimpulkan dari pasal 42 dan 43 sebagai berikut:31 Pasal 42 ayat (1) : (1)
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. 30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 162. 31
1976), h.23
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
55
(2)
Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43 : Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Adapun seorang suami yang melanggar ketentuan poligami yaitu melakukan poligami dengan tidak melalui izin Pengadilan Agama, maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang melanggar ketentuan yang berlaku yang termasuk tindakan pidana dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan pasal 45 yaitu hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan bagi pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang dimaksud, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Tindak pidana yang dimaksud merupakan pelanggaran.32 Pelaksanaan
poligami
tanpa
dibatasi
oleh
peraturan
yang
membatasinya secara ketat, akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya, seperti hubungan antar isteri menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu menjurus kepada
32
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab IX Ketentuan Pidana, Pasal 45 ayat (1) dan (2).
56
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya, hal ini biasanya terjadi setelah ayah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga pelaku poligami, maka Undang-Undang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. UndangUndang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu benar-benar membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.33
33
Abdul Manan, Kencana, 2008), cet-2, h. 10.
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
BAB IV PUTUSAN PERKARA IZIN POLIGAMI DENGAN ALASAN ISTERI MENGALAMI GANGGUAN JIWA
A.
Perkara-Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan kehakiman negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum
dan
keadilan
berdasarkan
Pancasila
demi
terselenggaranya negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pengadilan Agama adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di samping tiga peradilan lainnya. Selanjutnya, Pengadilan Agama juga memiliki kewenangan absolut sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi Syariah. Adapun perkara yang paling banyak masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah masalah perkawinan, terutama dalam perceraian. Berikut penulis paparkan perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
57
58
Jakarta Timur tahun 2008-2009. Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2008 dari bulan Januari sampai Desember yaitu sebanyak 2126 perkara, dengan perincian sebagaimana daftar terlampir: LAPORAN TAHUN 2008 TENTANG PERKARA YANG DITERIMA1
Perkara yang diterima pada tahun 2008 didominasi oleh perkara perkawinan, terutama jenis perkara cerai gugat dengan 1303 perkara dan cerai thalak dengan 640 perkara. Di sini yang faktor yang mendominasi penyebab perceraian adalah terus menerus berselisih. Sedangkan untuk perkara izin poligami hanya 13 perkara saja, yang pada umumnya
1
Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 31 Maret 2010
59
didasarkan pada alasan isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai isteri.2 Selanjutnya perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2009, berikut perinciannya: LAPORAN TAHUN 2009 TENTANG PERKARA YANG DITERIMA3
Tidak jauh berbeda dengan perkara yang diterima tahun 2008, pada tahun 2009 perkara perceraian masih lebih banyak dibandingkan perkaraperkara lainnya yaitu sebanyak 1546 untuk cerai gugat dan 855 untuk cerai thalak. Pada tahun ini faktor yang mendominasi penyebab terjadinya perceraian adalah gangguan pihak ketiga. Sedangkan untuk perkara izin
2
Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur
3
Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 31 Maret 2010
60
poligami lebih sedikit dari tahun 2008, yaitu sebanyak 6 perkara saja dan rata-rata alasan poligami didasarkan karena isteri tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya sebagai isteri. Demikian data yang penulis peroleh dari hasil penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur, yang mana dapat disimpulkan kasus perceraian lebih banyak disidangkan dari pada perkara poligami.4
B.
Pertimbangan Hakim Pada Perkara Nomor. 0284/Pdt.G/2008/Pa.Jt Dari sekian banyak perkara yang masuk ke Pengadilan Agama, yang menjadi perhatian penulis adalah perkara nomor 0284/Pdt.g/2008/Pa. Jt mengenai perkara izin poligami di mana alasan suami ingin berpoligami adalah isteri telah mengalami sejenis penyakit gangguan jiwa. Dalam perkara ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam adalah, putusan hakim yang menetapkan dikabulkannya izin poligami tersebut. Padahal dalam Undang-Undang Perkawinan tidak disebutkan gangguan jiwa sebagai alasan dibolehkannya poligami. Dan mengapa hakim mengizinkan
poligami
pada
saat
kondisi
isteri
yang
seharusnya
membutuhkan perawatan ataupun perhatian yang lebih besar dari suami untuk mempercepat kesembuhannya. Berikut di bawah ini pemaparan deskripsi perkara tersebut:
4
Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur
61
a.
Pihak-pihak yang berperkara Berdasarkan surat yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama
Jakarta Timur tanggal 28 Februari 2008 dengan nomor perkara 0284/Pdt.G/PA.JT, bahwa Dr. Zulkifli Amin bin H. Amin Rachmani, agama Islam, selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON” , dalam hal ini memberi kuasa kepada Eliman Harefa, S.H seorang advokat di Jakarta yang beralamat di Jl. Daan Mogot Km. 11 Komp. Dep. Agama No. 35, Jakarta Barat, melawan Erna Veronica binti Abdul Wahab, agama Islam, selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON”. Pemohon dan termohon, keduanya adalah suami isteri yang sah dan berdomisili di Jl. Bumi Pratama IX Blok N-9 Rt. 005/006, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Dalam perkara ini pemohon mengajukan permohonan izin beristeri lebih dari satu orang ke Pengadilan Agama Timur. b. Duduk perkara Pemohon adalah suami sah dari termohon yang menikah pada tanggal 17 Februari 1980 sesuai dengan kutipan akta nikah nomor 50/122/1980 tertanggal 18 Februari 1980 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama kecamatan Kebayoran Baru, Kabupaten/Kotamadya Jakarta Selatan. Dari pernikahan tersebut, mereka dikarunia tiga orang anak, yaitu Lukman ZA (26 tahun), Firman ZA (23 tahun) dan Hilman ZA (18 tahun). Kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon sejak awal pernikahan sampai pertengahan tahun 1998 berjalan normal, rukun dan harmonis. Tetapi pada pertengahan tahun 1998 sampai permohonan ini diajukan kehidupan rumah
62
tangga pemohon dan termohon mulai berubah dan berjalan tidak normal lagi. Hal ini menurut pemohon disebabkan karena termohon mulai menunjukkan sikap dan tingkah laku yang tidak normal lagi yaitu menjadi pendiam, sulit diajak berkomunikasi, suka mengurung diri dan bersikap seakan-akan memiliki dunianya sendiri. Karena perubahan sikap yang terjadi pada isterinya (termohon) maka pemohon berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawatnya yang berprofesi sebagai dokter. Setelah konsultasi, diketahui bahwa termohon mengidap penyakit yang disebut skizofrenia yaitu sejenis penyakit gangguan jiwa di mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya kepribadian sehingga kerjasama antara pikiran, perasaan dan tingkah laku tidak serasi lagi. Pemohon sudah berusaha untuk memberikan perawatan secara khusus terhadap termohon tetapi selalu gagal karena termohon selalu memberikan reaksi penolakan secara keras setiap kali dibawa ke psikiater sehingga sampai saat ini pemohon hanya dapat memberikan obat-obatan dengan resep dari beberapa dokter spesialis jiwa dan karena termohon tidak berhasil dibawa untuk perawatan khusus maka pemohon juga tidak berhasil mendapat surat keterangan dari dokter ahli jiwa mengenai kondisi termohon tersebut. Sejak termohon menderita penyakit tersebut yang sudah berlangsung kurang lebih 10 tahun terakhir. Maka pemohon tidak dapat lagi menjalani kehidupannya secara normal, kebutuhan pemohon sebagai seorang suami tidak terpenuhi karena isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dengan
63
keadaan demikian pemohon berkeinginan untuk menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Prafithrie Avialita Shanti binti Moh. Nasir Rahawi, selanjutnya disebut sebagai calon isteri pemohon. Karena kondisi kejiwaan termohon saat ini maka pemohon tidak dapat meminta izin untuk menikah lagi dengan calon isteri tersebut. Antara pemohon dan calon isteri, sudah saling mencintai dan tidak ada hubungan hukum yang melarang mereka untuk menikah. Pemohon juga menyatakan bahwa ia sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri serta anakanak pemohon, pemohon juga memiliki penghasilan tetap sebagai dokter serta penghasilan tambahan dari praktek pada beberapa rumah sakit yang rata-rata perbulannya sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Berdasarkan
alasan-alasan
tersebut
di
atas,
maka
pemohon
mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur/ Majelis Hakim untuk memeriksa dan memutuskan permohonan dengan amar putusan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. b. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan calon isteri pemohon. c. Membebankan biaya perkara sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Atau apabila pengadilan berpendapat lain. Mohon putusan yang seadiladilnya.
64
Adapun alat-alat bukti untuk memperkuat dalil-dalilnya, pemohon telah mengajukan bukti tertulis berupa: 1. Surat permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang kepada instansi tempat pemohon bekerja, tertanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.1. 2. Surat jaminan berlaku adil tanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.2. 3. Surat keterangan dari RSUP Cipto Mangunkusumo Departemen Psikiatri tanggal 7 April 2008, asli diberi tanda P.3. 4. Surat izin atasan pemohon tanggal 2 Juni 2008, asli diberi tanda P.4. Selanjutnya pemohon juga mengajukan dua orang saksi dari pihak keluarga untuk memberikan keterangan kepada Majelis Hakim. c.
Pertimbangan Menimbang, bahwa karena termohon tidak datang menghadap di
persidangan atau tidak mengutus kuasa atau wakilnya meskipun telah dipanggil dengan cara yang sepatutnya dan tidak terdapat alasan yang sah atas ketidakhadirannya, maka termohon dinyatakan tidak hadir dan perkara diputus tanpa hadirnya termohon, sesuai dengan pasal 125 HIR. Menimbang, bahwa pemohon telah menguatkan dalil-dalil tersebut dengan bukti tertulis P.1, P.2, P.3, P.4 dan keterangan saksi-saksi yang dinilai oleh Majelis Hakim dapat menguatkan alasan-alasan tersebut di atas sehingga bukti-bukti tersebut dapat dipertimbangkan.
65
d. Putusan a. Kepala putusan Putusan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Timur
Nomor
0284/Pdt.G/2008/PA.JT dengan kepala putusan yang didahului dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Di bawah kepala putusan dilanjutkan dengan identitas dari pihak pemohon dan termohon. b. Pertimbangan hukum dan amar putusan Sebelum Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menjatuhkan putusannya, Majelis Hakim mengemukakan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Pemohon adalah suami sah dari termohon terbukti pada kutipan akta nikah No. 50/122/1980 tertanggal 18 Februari yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. 2. Menyatakan termohon tidak hadir, karena termohon tidak datang dalam persidangan, walaupun telah dipanggil dengan cara yang sepatutnya, maka perkara ini diputus
tanpa hadirnya termohon
sesuai dengan maksud pasal 125 HIR. 3. Diketahui bahwa alasan pemohon untuk berpoligami adalah karena isteri mengalami gangguan jiwa yang sudah berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun sehingga kebutuhan pemohon sebagai
66
suami tidak terpenuhi lagi karena termohon tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai isteri. 4. Adanya bukti tertulis yang dihadirkan pemohon untuk menguatkan dalil-dalilnya, ditandai dengan kode P.1, P.2, P.3, dan P.4 . 5. Adanya keterangan dua saksi yang dihadirkan pemohon, keterangan saksi pertama yang pada pokoknya menyatakan saksi ada hubungan saudara, saksi mengetahui kondisi termohon yang sakit karena gangguan kejiwaan sejak lima tahun yang lalu dan termohon kadang-kadang bisa diajak berkomunikasi oleh pemohon, kadang tidak bisa. 6. Adanya keterangan saksi kedua yang pada pokoknya menyatakan, saksi adalah saudara pemohon, saksi mengetahui kondisi termohon sejak lima tahun yang lalu, saksi mengetahui termohon tidak banyak berkomunikasi dan suka mengurung diri serta termohon juga sudah diobati baik secara medis maupun alternatif. 7. Menyatakan permohonan pemohon sudah sesuai dengan maksud dan ketentuan pada pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975. 8. Menyatakan bahwa calon isteri pemohon tidak keberatan untuk dimadu dan antara pemohon dengan calon isterinya tidak ada
67
halangan perkawinan sebagaimana dengan yang dimaksud pada pasal 39 dan pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Majelis Hakim mengambil kesimpulan akhir dalam menyelesaikan perkara ini yaitu dengan amar putusan yang berbunyi: 1) Menyatakan
termohon
dipanggil
dengan
sepatutnya
untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir. 2) Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek. 3) Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi yang kedua (poligami) dengan calon isteri yang bernama Dr. Prafithrie Avialita Shanti binti Moh. Nasir Rahawi. 4) Membebankan pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 681.000,- (enam ratus delapan puluh satu ribu rupiah). Putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim, dengan dihadiri oleh pemohon dan tanpa hadirnya termohon pada hari Rabu tanggal 23 Juli 2008.
C.
ANALISIS PENULIS Pada perkara ini karena termohon tidak hadir di persidangan dan tidak mewakilkan kepada orang lain atau kuasa hukumnya tanpa alasan yang sah walaupun Pengadilan telah memanggil termohon dengan patut, maka Majelis Hakim menjatuhkan perkara ini dengan putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat atau termohon tidak hadir dan tidak
68
mewakilkan kepada orang lain meskipun telah dipanggil secara patut. Putusan ini sudah sesuai dengan pasal 125 HIR. Dalam hal persyaratan yang harus dipenuhi pemohon untuk dapat mengajukan permohonan beristeri lebih dari seorang ke Pengadilan Agama, di sini pemohon sudah memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Undang-Undang. Perundang-undangan yang dijadikan acuan Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara ini selain Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun syarat-syarat yang dipenuhi pemohon, mencakup syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif yang dipenuhi pemohon adalah terpenuhinya salah satu dari apa yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (2) poin (a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, alasan pemohon untuk beristeri lebih dari satu didasarkan pada kondisi isteri (termohon) yang mengalami sejenis gangguan kejiwaan yaitu skizofrenia, di mana penderita skizofrenia sulit untuk berkomunikasi dengan baik dan bertingkah laku aneh karena terpecahnya kepribadian dan ketidaksesuaian kerjasama antara pikiran, perasaan dan tingkah laku 5 Sehingga sejak saat itu isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri secara penuh. 5
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Abnormal, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 134.
69
Adapun syarat kumulatif yang telah dipenuhi pemohon yaitu dengan adanya bukti-bukti, diantaranya surat permohonan izin untuk beristeri lebih dari seorang kepada instansi tempat pemohon bekerja, tertanggal 2 Juni 2008, surat jaminan berlaku adil tertanggal 2 Juni 2008, surat keterangan dari RSUP Cipto Mangunkusumo Departemen Psikiatri tertanggal 7 April 2008 dan surat izin atasan tertanggal 2 Juni 2008. Di sini pemohon tidak dapat menunjukkan izin isteri baik secara lisan maupun tulisan, karena kondisi isteri yang sedang mengalami gangguan jiwa. Maka dengan demikian izin isteri dalam perkara ini tidak diperlukan lagi. Seperti yang terdapat dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan lagi bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterimya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Bukti-bukti di atas selain sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Di samping bukti-bukti tertulis di atas, pemohon juga membawa 2 orang saksi yang masih ada hubungan saudara dengan pemohon untuk dapat dimintai keterangannya oleh Majelis Hakim.
70
Menurut penulis, persyaratan yang terdapat pada pasal 4 UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 bersifat diskriminatif. Di dalamnya, kelemahan isteri baik fisik maupun non fisik dijadikan alasan kebolehan suami untuk berpoligami. Sehingga seolah-olah isteri hanya dianggap sebagai ”pelayan” suami, yang ketika sudah tidak berfungsi lagi, maka suami dapat mencari wanita lain untuk dapat melayaninya sesuai dengan keinginannya. Tampak tidak manusiawi, terutama melihat dari sisi psikis isteri yang mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut. Undang-Undang ini juga bisa menjadi faktor pendukung seseorang untuk berpoligami yang merasa kondisi rumah tangganya memenuhi kriteria persyaratan untuk bepoligami. Akan tetapi walau bagaimanapun UndangUndang ini sudah berusaha untuk meminimalisir ekses negatif atau mafsadat pada praktek poligami demi terciptanya kemaslahatan bagi isteri, suami maupun anak-anak. Perlunya peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini dalam perspektif relasi yang lebih adil antara laki-laki dan perempuan dan ditetapkannya suatu peraturan mengenai sanksi terhadap pelaku poligami yang terbukti menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan rumah tangganya terutama terhadap isteri/ isteri-isteri dan anak-anak. Mengenai saksi, menurut penulis, Majelis Hakim lebih baik untuk meminta juga keterangan dari orang-orang yang hidup dalam satu ruang lingkup dengan pemohon, sehingga orang tersebut benar-benar telah melihat,
71
mendengar dan mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya secara langsung. Seperti kesaksian dari anak-anak pemohon dan termohon yang masih tinggal satu rumah atau siapa saja yang berada dalam rumah tersebut agar dapat diperoleh pengetahuan tentang kondisi rumah tangga pemohon dan termohon dengan jelas dan terang. Di lingkungan Peradilan Agama, permohonan untuk beristeri lebih dari seorang merupakan jenis perkara yang mempunyai produk Pengadilan Agama berupa penetapan bukan dalam bentuk volunteria murni, sehingga penetapannya harus dianggap putusan dan pemohon dan termohon harus dianggap sebagai penggugat dan tergugat.6 Secara keseluruhan permohonan pemohon untuk beristeri lebih dari seorang sudah sejalan dengan maksud yang terdapat dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, maka demikian Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon dengan amar putusan yang berbunyi: 1. Menyatakan termohon dipanggil dengan sepatutnya untuk menghadap di persidangan, tidak hadir. 2. Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek. 3. Menetapkan memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi yang kedua (poligami) dengan calon isteri yang bernama Dr. Prafithrie Avialita Shanti binti Moh. Nasir Rahawi.
6
2002), h.205
Roihan A, Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo,
72
4. Membebankan pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 681.000,- (enam ratus delapan puluh satu ribu rupiah). Putusan dibacakan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, sesuai dengan asas putusan. Karena pada prinsipnya pemeriksaan dan putusan harus diucapkan secara terbuka, ketentuan ini terdapat dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 20 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi7: Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Untuk memperkuat penelitian ini, penulis juga telah melakukan wawancara terhadap salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta timur yang menangani langsung perkara ini. 8 Dari hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa gangguan jiwa yang dijadikan sebagai alasan oleh pemohon untuk dapat menikah lagi memang tidak disebutkan secara tekstual dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, tetapi di sini hakim melakukan interpretasi terhadap apa yang dimaksud oleh pasal 4 ayat (2) point a yang menyatakan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dilihat dari kondisi istri yang pada saat itu mengalami gangguan jiwa.
7
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet-7, h.804.
8
Lihat wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.
73
Hal-hal yang dijadikan pertimbangan oleh hakim tidak hanya berpaku pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga melihat dari sisi maslahat dan mafsdat dari para pihak yang terkait. Seperti pada perkara ini yang menjelaskan bahwa kehidupan suami yang sudah tidak normal lagi selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir karena isterinya mengidap penyakit gangguan jiwa, sehingga tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya sebagai isteri. Menurut Majelis Hakim agar kehidupan suami kembali normal, terjaga dari perbuatan zina serta isteri tetap dalam pemeliharaan suami terutama dalam proses kesembuhannya, sehingga menolak kemafsadatan di sini yaitu dengan memelihara suami dari zina serta menarik kemaslahatan yaitu dengan tetap terpeliharanya isteri yang pertama sebagai tanggung jawab suami, maka Majelis Hakim menetapkan untuk mengabulkan permohonan tersebut. Penulis
setuju
dengan
penetapan
hakim
yang
mengabulkan
permohonan izin poligami tersebut, karena dengan berpoligami kehidupan suami terselamatkan dan terpelihara dari perbuatan zina dan isteri pertama juga tetap terlindungi hak-haknya karena masih menjadi isteri yang sah sehingga pemeliharaan, perawatan dan perlindungan masih dalam tanggung jawab suami. Sedangkan menurut fiqh, ketentuan poligami hanya ditekankan pada keyakinan seorang muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil
diantara
para
isterinya
dalam
masalah
makan,
minum,
berpakaian,tempat tinggal, menginap dan nafkah, kecuali dalam masalah hati, karena hati adalah diluar kendali manusia. Maka barang siapa yang
74
tidak yakin terhadap kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari seorang, juga kebolehan poligami terbatas hanya pada empat orang isteri. seperti dalam Firman Allah SWT:
4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? āωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)ρu y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ (٣ :( )ﺍﻝﻨﺴﺎﺀ#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr& Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa:3) Poligami yang dibangun pemohon itu sangat wajar dan sesuai dengan apa yang diimpikan tujuan berpoligami yaitu terciptanya ketenangan lahir dan batin dalam suatu kehidupan rumah tangga. Meninjau kembali kepada tujuan perkawinan dengan menunjang kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Di sini poligami sebagai jalan darurat dan pencegahan yang penting
untuk
memelihara
nilai-nilai
kehidupan
masyarakat
serta
melindungi masyarakat dari kekacauan, maka dengan begitu terwujudlah hikmah dari poligami yang mengandung kemaslahatan bagi para pihak yang terkait.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab terdahulu, maka pada bab ini penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Pada perkara ini permohonan izin poligami sudah sejalan dengan maksud yang terdapat dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 40 dan pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. 2. Poligami dalam fikih merupakan kebolehan yang bersyarat, yaitu ditekankan pada syarat kemampuan untuk bersikap adil pada isteriisteri dan anak-anaknya serta terbatas pada empat orang isteri. Pada kasus ini permohonan untuk poligami dianggap sudah sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam fikih. 3. Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara selain berpedoman pada peraturan perundangan-undangan, al-Qur’an dan al-Hadits juga lebih memprioritaskan faktor maslahat dan mafsadah para pihak dengan menjunjung tinggi asas keadilan.
75
76
B.
SARAN 1.
Perlu adanya peninjauan kembali pada ketentuan poligami yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan hak asasi manusia serta tidak juga memberi ruang yang menyebabkan perilaku poligami tidak sehat dan menimbulkan dampak negatif atau bahaya.
2.
Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara permohonan untuk berisiteri lebih dari seorang, hendaknya tidak hanya berpaku pada perundang-undangan saja atau law in book, tapi juga harus mempertimbangkan dari sisi maslahat dan mafsadah atau manfaat dan bahaya dari kedua belah pihak yang berperkara.
3.
Mengenai pengetahuan poligami, agar dapat dilaksanakan sesuai Syariat
dan
lebih
hati-hati
dalam
pelaksanaannya
hendaknya
dimasukkan dalam kurikulum fikih Aliyah. 4.
Perlu adanya sosialisasi melalui khutbah jum’at, ceramah subuh dan pengajian sebagai media sosialisasai berkenaan dengan hukum kekeluargaan yang ditujukan kepada masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Tafsirnya Aedy, Hasan, Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum Perempuan, Bandung: Alfabeta, 2007. Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007. Al-‘asqalani, Bulughul Maram, Kairo: Dar al-Hadits, 2003. Al-Atthar, Abdul Natsir Taufiq, Polygamy dan Eksisistensinya, Bekasi: LIPP Riyadhus Sholihin, 2004. Al-bukhari, Shohih Bukhori, Libanon: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2008. Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi, Al-Wajiz, Ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, April 2006. Al-Qozwi, Abdillah Muhammad bin Yazin Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Baitul al-Afkar ad-Dauliyah, 2004. Ardani, Tristiadi Ardi, Psikiatri Islam, Malang: UIN-MALANG, 2008. Arif, Iman Setiadi, Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2006, cet-1. Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet-1. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, cet.ke-5. Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1985. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ketiga, 2007.
77
78
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Voeve, 1999, jilid I, cet.ke-3. Fahmie , Ustad Ansori, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Depok, Pustaka Iman,2007Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta: UI-Press, 1986. Farhat, Karam Hilmi, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, Jakarta: Darul Haq, Februari 2007. Gangguan Jiwa (Mental Disorder), http://medicblueprint.blogspot.com/2009/06/gangguan-jiwa-mentaldisorder.html Haikal, Abuttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah dalam Islam VS Monogami Barat, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet-1. Harahap, M.Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, Medan: CV. Zahir Trading, 1975. _______________, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, cet-7. Hasan, M.Ali, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet .ke-1. Hidayati, Henry Narendrany dan Yudiantoro, Andi, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talaq, Rujuk dan Hukum Kewarisan, Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, 1971. Ibnu Saurah, Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih, Beirut: Dar- eL-Marefah, 2004. M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet.ke-4, h. 129. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, cet-2. Mujieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
79
Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: LKAJ-SP, 1999. Nevid, Jeffrey S, dkk, Psikologi abnormal, judul asli: Abnormal Psychology in a Changing World, Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi UI, Jakarta: Erlangga, 2005, jilid 2. Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet.ke-3. Peran
Keluarga Menangani Penderita Gangguan Jiwa, http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=30254.
Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2002. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 6, Bandung: PT.Alma’arif, cet.ke-20. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976. Sanapiah, Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar Aplikasinya, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003, cet. ke-6.
dan
Semiun, Yustinus, Kesehatan Mental 1, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subulu al-Salam, al-Mausilah ila al-Maram min Jami’adillah al-Hakam, Kairo: Dar Ibnu Jauziyah, 2008 , juz 6. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2000, cet-1. Su’dan R.H, Al Qur’an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Ciputat: elKAHFI, 2008, cet.ke-1. Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006. _______________, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, jilid 1, cet-3. Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2000.
80
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bandung, Fokus Media, 2005. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, cet-1. Wiramihardja, Sutardjo A, Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
Pedoman Wawancara Nama
: Dra. Hj. Saniyah KH
Jabatan
: Hakim
Hari/tanggal
: Selasa, 13 April 2010
Waktu/tempat : 13.00, Ruang Meditasi 1) Pertanyaan
:
Pada perkara permohonan izin poligami yang masuk ke PA JT, hal2 apa saja yang memicu suami ingin memiliki isteri lebih dari satu?
Jawaban
:
Pada umumnya hal-hal yang memicu suami berpoligami tidak jauh dari apa yang terdapat dalam UUP, yaitu isteri tidak dapat menjalani kewajibannya sebagai isteri, isteri mempunyai penyakit atau cacat badan, dan tidak dapat melahirkan
keturunan.
Ditambah
lagi
misalnya
kebutuhan biologis suami yang tidak terpenuhi dan menghindari dari dosa (berzina), tetapi yang paling banyak
adalah
isteri
tidak
bisa
melaksanakan
kewajibannya dengan berbagai macam alasan. 2) Pertanyaan
:
Pada putusan PA JT nomor 0284/Pdt.G/2008, hakim mengabulkan permohonan izin poligami dikarenakan isteri mengalami gangguan jiwa, padahal dalam UndangUndang tidak ditemukan gangguan jiwa sebagai alasan dibolehkannya berpoligami. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut? Dasar
89
90
hukum apa yang digunakan? Jawaban
:
Pertimbangan ini merupakan interpretasi dari pasal 4 ayat (2) point (a) yaitu isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Dikarenakan kondisi isteri yang telah mengalami gangguan jiwa, maka isteri tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya. Bagaimana bisa ia
mengurus suaminya sedangkan ia sendiri tidak
mampu mengurus dirinya sendiri. Disini yang diambil adalah dari segi kemaslahatan. 3) Pertanyaan
Menurut ibu, apakah ada perbedaan antara fikih dan UUP dalam pengaturan perkawinan poligami ini?
Jawaban 4) Pertanyaan
Sama saja, secara keseluruhan tidak ada yang berbeda Apakah izin poligami di Pengadilan Agama merupakan syarat sahnya perkawinan selanjutnya?
Jawaban
Perkawinan tersebut tetap sah, tetapi perkawinan tersebut tidak mendapat perlidungan hukum, karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan UUP dan Kantor Urusan Agama tidak akan menikahkan tanpa ada surat izin poligami dari Pengadilan Agama.
5) Pertanyaan
Sanksi apa yang dikenakan terhadap pelaku poligami diluar izin Pengadilan Agama?
91
Jawaban
Sanksi bagi pihak pelaku poligami diluar izin Pengadilan Agamamaupun
pegawai
pencatat
perkawian
yang
mencatatkan perkawinan tersebut maka sesuai dengan PP nomor 9 tahun 1975 Bab IX Ketentuan Pidana Pasal 45, yaitu denda setingi-tinginya Rp.7500,- atau dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan. Atau sebagaimana yang terdapat dalam
Kompilasi
Hukum Islam pasal 71 dan pasal 72 yaitu pihak yang merasa
dirugikan
dapat
mengajukan
permohonan
pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama. 6) Pertanyaan
Menurut ibu apakah alasan-alasan kebolehan poligami yang terdapat dalam UUP sudah mencakup alasan-alasan poligami yang terjadi dalam masyarakat?
Jawaban
Iya, terkecuali hal-hal lain yang menjadi pertimbangan hakim untuk dapat dikabulkannya poligami, seperti dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan atau suami sudah terlanjur menghamili perempuan lain misalnya. Dan hal-hal lain yang bersifat kasuistik, karena hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak terpaku pada Undang-Undang saja, tetapi melihat maslahat dari setiap kasus itu sendiri.