1
DIVERSITAS DAN BIOMASSA EPIFIT PADA LAMUN Enhalus acoroides PADA BERBAGAI GRADIEN EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SPERMONDE
SKRIPSI
Oleh EKARISTI S. GELONG
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
2
ABSTRAK EKARISTI S. GELONG. L111 10 273 Diversitas dan Biomassa Epifit Pada Lamun Enhalus acoroides Pada Berbagai Gradien Eutrofikasi Di Kepulauan Spermonde. Dibimbing oleh AKBAR TAHIR dan KHAIRUL AMRI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman (diversitas) dan biomassa epifit yang menempel pada daun lamun Enhalus acoroides pada berbagai gradien eutrofikasi di Kepulauan Spermonde. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2015 mengunakan metode purposive sampling dengan memperhatikan kedalaman dan keberadaan lamun Enhalus acoroides. Pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel epifit pada bagian daun lamun Enhalus acoroides dilokasi penelitian selanjutnya diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 7 Familia, dan 14 jenis genera ditemukan di lokasi penelitian yaitu Boodlea, Amphiroa, Fosliella, Caulachantus, Centroceras, Ceramium, Hypnea, Laurencia, Hersposiphonia, Acanthophora, Gracilaria, dan 3 jenis Unidentified algae. Gradien lingkungan (jarak dari daratan utama) hanya memberikan pengaruh terhadap biomassa epifit tidak dalam jumlah jenis. Semakin dekat dengan daratan utama maka biomass epifit semakin besar. Kata kunci :Epifit, Eutrofikasi, Gradien, Lamun, Identifikasi.
3
DIVERSITAS DAN BIOMASSA EPIFIT PADA LAMUN Enhalus acoroides PADA BERBAGAI GRADIEN EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SPERMONDE
Oleh EKARISTI S. GELONG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
4
HALAMAN PENGESAHAN
Judul skripsi
: Diversitas dan Biomassa Epifit Pada Lamun Enhalus Acoroides Pada Berbagai Gradien Eutrofikasi Di Kepulauan Spermonde
Nama
: Ekaristi S. Gelong
Nomor Pokok
: L 111 10 273
Jurusan
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Akbar Tahir, M.Sc NIP. 19610718 198810 1 001
Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud NIP. 19690706 199512 1 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc NIP. 19670308 199003 1 001
Tanggal lulus :
Mei 2016
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan,
Dr. Mahatma Lanuru, ST. M.Sc NIP. 197010291995031001
5
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 September 1991 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Daud Gelong dan Damaris. Pada tahun 2004 lulus dari SD Frater Teratai II Makassar, tahun 2007 lulus dari SMP Frater Thamrin Makassar, dan tahun 2010 lulus dari SMA Katolik Rajawali Makassar. Pada tahun 2010, melalui
SNMPTN
penulis
berhasil
diterima
pada
Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan salah satu tridarma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) gelombang 85, di Desa Mekkatta Selatan, Kec. Malunda, Kab. Majene, Sulawesi Barat. Pada saat bersamaan, penulis sekaligus melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Mekkatta Selatan, Kec. Malunda, Kab. Majene dengan judul “Penentuan Jenis Butiran Sedimen Yang Tersebar Di Pantai Desa Mekkatta Selatan, Kecamatan Malunda Kabupaten Majene”. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi, penulis melakukan penelitian dengan judul “Diversitas dan Biomassa Epifit Pada Lamun Enhalus Acoroides Pada Berbagai Gradien Eutrofikasi Di Kepulauan Spermonde” dibawah bimbingan bapak Prof. Dr. Akbar Tahir, M.Sc., dan Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud.
6
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa di dalam Yesus Kristus atas berkat penyertaan-Nya serta kasih-Nya yang tiada berkesudahan,
sehingga
penulis
dapat
melaksanakan
penelitian
dan
menyelesaikan skripsi ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak Daud Gelong dan Ibu Damaris atas segala kasih sayang, doa, Bimbingan , Kesabaran dan dukungan yang tiada henti bagi penulis. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya juga penulis ucapakan kepada Bapak Prof. Dr. Akbar Tahir, M.Sc, selaku pembimbing pertama dan Bapak Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud selaku pembimbing kedua atas segala waktu, arahan dan saran dalam penyusunan tugas akhir ini. Melalui kesempatan yang berharga ini, penulis juga mengucapkan terima kasih :
1.
Kepada Bapak Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si. Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Sc dan Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc. yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk ikut membimbing dan mengarahkanku melalui kritik dan saran yang membangun hingga skripsi ini dapat selesai sesuai yang diinginkan.
2.
Kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Djompa , M.Sc selaku Dekan FIKP beserta jajarannya, Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST,M.Sc selaku Ketua Jurusan Ilmu Kelautan. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Kelautan atas segala limpahan ilmu dan pengetahuannya yang diberikan kepada penulis selama masa studi.
3.
Bapak Dr.Syafyuddin Yusuf, ST, M.Si. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga dapat menyelesaikan kuliah pada Jurusan Ilmu Kelautan.
4.
Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kelautan yang telah membagikan pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.
5.
Kepada saudara-saudaraku, Meyke Gelong, Devi Gelong, dan Angelica Gelong serta partner in crime Silvana Bontinge yang selalu dan terus memberikan semangat dan doa kepada penulis.
7
6.
Seluruh staf pegawai FIKP UH dan Laboran yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang selalu mendukung penulis secara ikhlas, sadar ataupun tidak, membantu penulis mengurus berkas, serta penyemangat di saat penulis butuh.
7.
Kepada Sahabat-sahabat seperjuangan di KONSERVASI 2010 (Kosong Sepuluh Berjuta Variasi) Nenni, Budi, Eki, Frans, Akram, Iswan, Hans, Ikram, Ifha, Nisa, Zusan, Hesti, Fira, Mardi, Setiawan, Putra, Januar, Andri, Weindri, Tuti, Asri, Talib, Dian, Dilla, Saldi, Zulfi, Ulil, Azan, Mudin, Ria, Roni, Tendri, Cute, Ashar, Chandra, Cia, Mito, Ipul, Ulli’, dan Wahid yang selalu mendampingi dan menyemangati.
8.
Kepada teman-teman PERMAKRIS IK UNHAS, pengurus Sekolah Minggu Gereja
Toraja
(SMGT)
Klasis
Makassar,
rekan-rekan
pemuda
Persekutuan Pemuda Gereja Toraja Jemaat Bontoala, pengurus SMGT Jemaat Bontoala, dan sahabat-sahabat persekutuan SILOAM BASE UNHAS atas doa dan dukungannya. 9.
Kepada Keluarga Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas dukungan, doa, serta canda tawanya. Terima kasih atas semua pelajaran hidup yang kalian berikan.
10. Kepada seluruh pihak yang ikut menjadi bagian dari perjuangan penulis dalam penyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Kelautan. Semoga Tuhan membalas segala bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan.
Penulis,
Ekaristi S. Gelong
8
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…....……………………………………………..............................iv DAFTAR GAMBAR.……………………………………………………..………………v DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….……….....vii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………...………….........……………..…1 B. Tujuan dan Kegunaan….…………...……………….........……………..…2 C. Ruang Lingkup…………….…………………..…….….......………………3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lamun……………………………………….….........….........…………..…4 B. Epifit………………………………………….......….….......................….6 C. Asosiasi Epifit Pada Lamun...................................................................7 D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Epifit….......................7 a) Intensitas Cahaya........................................................................7 b) Suhu .........................................................................................7 c) Salinitas.....................................................................................8 d) Kecepatan Arus..........................................................................8 e) Nitrat..........................................................................................8 f) Fosfat........................................................................................8 E. Eutrofikasi.......................................................................................9 F. Hubungan
Antara
Eutrofikasi
Dengan
Epifit
Pada
Daerah
Lamun...........................................................................................10 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat.........................................................................11 B. Alat dan Bahan..............................................................................11 C. Prosedur Penelitian........................................................................12 a) Persiapan .................................................................................13 b) Penentuan Lokasi Stasiun..........................................................13 c) Pengambilan Sampel Lamun ........................................................13 d) Pengambilan Sampel Epifit........................................................14
9
e) Pengamatan dan identifikasi Epifit.............................................14 f) Pengukuran Parameter Lingkungan............................................14 D. Pengolahan dan Analisis Data........................................................17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Lingkungan.......................................................................18 B. Komposisi Jenis Epifit...................................................................18 C. Biomassa Epifit Setiap Stasiun ......................................................27 D. Jumlah Jenis Epifit Pada Setiap Stasiun.........................................27 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ......................................................................................31 B. Saran............................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA………………..........……………………...…………….………58 LAMPIRAN…………………………………..........………………...…………………60
10
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Halaman
Jenis-jenis ganggang epifit yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides.........................................................................................23
11
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Enhalus acoroides .........................................................................................6
2.
Tingkat kesuburan perairan Spermonde berdasarkan konsentrasi Nitrat dan Fosfat (Faisal, 2012).......................................................................................9
3.
Peta Lokasi Penelitian...................................................................................11
4.
Komposisi jenis ganggang epifit yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides..............................................................................19
5.
Dominansi divisio ganggang epifit pada setiap lokasi...................................19
6.
Komposisi ganggang epifit kedalam famili yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides.....................................................................20
7.
Genus Boodlea.............................................................................................17
8.
Genus Amphiroa...........................................................................................22
9.
Genus Fosliella.............................................................................................23
10. Genus Caulacanthus....................................................................................23 11. Genus Centroceras.......................................................................................24 12. Genus Ceramium..........................................................................................24 13. Genus Hypnea..............................................................................................25 14. Genus Laurencia...........................................................................................25 15. Genus Hersposiphonia..................................................................................26 16. Genus Acanthophora....................................................................................26 17. Genus Gracilaria...........................................................................................27 18. Rata-rata biomassa epifit pada setiap stasiun..............................................27 19. Jumlah Jenis epifit pada setiap stasiun.........................................................29
12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Rata-rata Ukuran Daun Lamun (cm)............................................................ 35
2.
Rata-Rata Biomassa Epifit............................................................................36
3.
Hasil Pengelompokan Jenis Epifit Pada Daun Lamun Enhalus acoroides.37
4.
Uji Analysis of Varians Biomassa Epifit Dan Stasiun................................... 38
5.
Uji Analysis of Varians Jumlah Jenis Epifit dan Stasiun............................. 39
6.
Data Parameter Lingkungan Perairan Lokasi Penelitian...............................40
13
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Secara umum epifit dapat diartikan sebagai organisme yang hidup pada
sebuah tanaman, dengan atau tanpa ada hubungannya dengan ketersediaan nutrisi. Pada beberapa literatur sejumlah organisme epifit pada lamun dikaitkan dengan asosiasi epifit dan inangnya. Beberapa hasil percobaan menunjukkan adanya hubungan antara epifit dengan inangnya tersebut (Harlin, 1980). Epifit yang berasosiasi pada lamun merujuk pada seluruh organisme autotrofik (produsen primer) yang tinggal menetap di bawah permukaan (air) menempel pada rhizoma, batang dan daun lamun. Istilah ini sering digunakan mengacu pada semua organisme (hewan atau tumbuhan) yang hidup dan berkembang di lamun. Epifit pada lamun sangat berpengaruh sebagai indikator kesehatan lamun. Pada area yang diamati dengan asupan nutrien yang tinggi, epifit meningkatkan biomassa dan secara substansial mengakibatkan kerusakan bagi lamun. Menurut Tomasko dan Lapointe (1991) peningkatan konsentrasi nutrien pada kolom air akan meningkatkan biomasa epifit dan menurunkan tingkat pertumbuhan rhizoma secara substansial, yang merupakan akibat dari rendahnya densitas daun sehingga menurunkan produktivitas primer lamun secara keseluruhan. Eutrofikasi merupakan proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam perairan. Hal ini menyebabkan peningkatan kesuburan perairan dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Eutrofikasi dapat disebabkan beberapa hal sebagian besar diantaranya oleh aktivitas manusia di bidang pertanian dan peternakan, sisanya berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri. Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro,
14
untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Pada perairan yang mengalami eutrofikasi, keseimbangan ekosistem air menjadi terganggu. Tanaman akuatik (termasuk alga) akan berkembang biak dengan pesat dan secara spasial merusak vegetasi bentik yang berada di sekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian. Kadar nutrien dalam air laut mempengaruhi laju pertumbuhan organisme pada suatu ekosistem dalam laut. Hutomo (2003) menjelaskan bahwa pengayaan nutrien dapat meningkatkan pertumbuhan epifit pada permukaan daun lamun. Nutrien memang dibutuhkan bagi pertumbuhan lamun, tetapi konsentrasi di tubuhnya lebih rendah daripada di tubuh algae makro. Karena perbedaan rasio antara karbon: nitrogen: fosfor, di dalam tubuhnya, algae makro dapat mendominasi lamun pada kondisi nutrien yang berlebihan, baik sebagai epifit maupun spesies yang terapung bebas yang sebenarnya berasal dari bentuk yang menempel. Pertumbuhan epifit yang meningkat, pada akhirnya mengurangi sinar matahari sampai 65 % yang mengurangi laju fotosintesis dan kerapatan daun lamun yang pada akhirnya merubah komposisi komunitas padang lamun secara keseluruhan. B.
Tujuan dan Kegunaaan Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
keanekaragaman
(diversitas) dan biomassa epifit yang menempel pada daun lamun Enhalus acoroides pada berbagai gradien eutrofikasi di Kepulauan Spermonde. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan referensi diversitas epifit pada daun lamun Enhalus acoroides di Kepulauan Spermonde.
15
C.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini mencakup beberapa pulau di Spermonde
berdasarkan jarak yang berbeda dari daratan utama. Aspek yang diteliti dalam penelitian ini mencakup komposisi jenis dan biomassa epifit pada daun lamun Enhalus acoroides, pengukuran parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, kekeruhan dan nutrien (Nitrat dan Fosfat).
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang termasuk ke
dalam tumbuhan berbiji satu (Monocotyledocae) yang mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan berpembuluh yang tumbuh di darat yang mampu tumbuh di laut. Faktor yang sangat menentukan sehingga bisa tumbuh di laut adalah adanya akar dan rimpang yang berfungsi sebagai jangkar dan menyerap hara dari air (interstitial water) sedimen, mampu hidup dalam keadaan terbenam dalam air laut dan melakukan penyerbukan di air (Arber, 1920 dalam Den Hartog, 1970). Lamun merupakan tumbuhan yang mampu hidup dan tumbuh subur pada daerah terbuka terutama pada daerah pasang surut dan perairan pantai yang bersubstrat pasir, lumpur, kerikil, maupun pecahan karang mati dengan kedalaman hingga 4 meter. Pada daerah tropis lamun dapat berkembang sangat baik dan dapat tumbuh di berbagai habitat mulai pada kondisi nutrien rendah sampai nutrien tinggi (Dahuri et al., 2001). Lamun adalah tumbuhan yang ditempatkan pada class Angiospremae, dan subclassis Monocotyledoneae. Di perairan Indonesia sejauh ini dapat ditemukan 2 familia dari 4 familia yang sudah diketahui yaitu Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae (Den Hartog, 1970). Secara lengkap klasifikasi beberapa jenis tumbuhan yang terdapat di perairan pantai pulau Indonesia (John Kuo, & Den Hartog, 2001) yaitu sebagai berikut: Divisio Class
: Anthophyta : Monocotyledonae
17
Ordo
: Helobeae
Famili
: Potamogetonacea
Genus
: Cymodoceae, Halodule, Syringodium, Thalassodendron Spesies
: Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Syringodium
isoetifolium,
Thallassodendron ciliatum Famili
: Hydrocharitaceae
Genus
: Enhalus, Halophila, Thalassia
Spesies
: Enhalus acoroides, Halophila decipiens, Halophila minor, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii
Dari berbagai spesies lamun di atas, Enhalus acoroides memiliki karakter dan bentuk fisik lebih besar dibandingkan dengan spesies lamun yang lain. Hal Ini dibuktikan dari ciri-ciri morfologi Enhalus acoroides yang memiliki bentuk daun panjang dan lebar menyerupai sabuk, lebar daun yang mampu mencapai lebih dari 3 cm, panjang daun 30-150 cm, dan rimpangnya yang berdiameter lebih dari 1 cm (Moriaty, & Boon, 1989).
18
Gambar 1. Enhalus acoroides
Permukaan daun Enhalus acoroides yang panjang dan lebar mampu menyediakan habitat yang luas sebagai tempat tinggal dan sumber makanan untuk epifit dalam kelangsungan hidupnya. Organisme epifit yang menempel pada lamun tergolong dalam berbagai jenis yaitu : makroalgae, mikroalgae, bakteri dan detritus, jamur, spons, bryozoa, ascidia, protozoa, crustacean, dan moluska. Epifit memiliki pertumbuhan yang relative cepat. Organisme pada lamun yang paling dominan jumlah dan keragaman adalah alga (Borowitzka et al, 2006). B.
Epifit Epifit merupakan organisme yang berfotosintesis yang hidup pada alga
atau tumbuhan lain. Epifit dapat diartikan sebagai tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya. Berbeda dengan parasit, epifit dapat sepenuhnya mandiri, lepas dari tanah sebagai penyangga dan penyedia hara bagi kehidupannya, maupun dari hara yang disediakan tumbuhan lain (Castro & Huber 2007).
19
Sebagian besar tumbuhan epifit pada lamun juga termasuk ganggang (Algae) yang hidup pada permukaan lamun baik itu pada daun maupun rimpangnya. Ganggang yang hidup sebagai epifit terdapat hampir di semua jenis alga mulai dari alga biru (Cyanophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), alga keemasan
(Chrysophyceae),
alga
coklat
(Phaeophyceae),
alga
merah
(Rhodophyceae). C.
Asosiasi Epifit Pada Lamun Epifit merupakan organisme yang hidup menempel pada inang
khususnya pada lamun. Terdapat pada bagian permukaan daun dengan kelimpahan paling tinggi. Hal ini disebabkan karena bagian daun menyediakan substrat padat yang memiliki akses terhadap cahaya, nutrien dan pertukaran air (Arifin, 2001). D.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberadaan Epifit Faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi epifit
pada lamun diantaranya adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, kecepatan arus, fosfat dan nitrat, a.
Intensitas Cahaya Epifit dan lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melaksanakan proses fotosintesis. Hal ini terbukti dari hasil observasi Hutomo (2003) yang menunjukkan bahwa distribusi epifit dan lamun hanya terbatas pada perairan yang tidak terlalu dalam.
b.
`Suhu Kisaran suhu optimal bagi epifit adalah 25-30oC. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Rifqi, 2008).
20
c.
Salinitas Organisme epifit memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang cukup luas yaitu 10-40 0/00. Nilai salinitas optimum untuk lamun dan epifit adalah 35 0/00 . Nilai salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dan sungai atau daratan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem padang lamun (Rifqi, 2008).
d.
Kecepatan Arus Perairan Kecepatan arus bermanfaat bagi banyak biota menyangkut penambahan makanan/nutrien. Kecepatan arus merupakan faktor pertambahan makanan biota sebagai pengangkut nutrien pada suatu perairan ke perairan lain.
e.
Nitrat Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen dominan di perairan alami dan merupakan nutrien utama pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan.
Dan
morfologi
lamun
pada
perairan
yang
jernih.
Konsentrasi N dan P dalam perairan sangat sedikit padahal sangat dibutuhkan. Kandungan nitrat rata-rata di perairan laut sebesar 0.5 ppm dan kandungan fosfat lebih rendah dari itu (Effendi, 2003). f.
Fosfat Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat
21
produktivitas perairan. Senyawa ini menggambarkan subur tidaknya suatu perairan (Effendi, 2003). E.
Eutrofikasi Eutrofikasi didefinisikan sebagai pengayaan (enrichment) air dengan
nutrien atau unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer perairan. Nutrien yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor (Effendi, 2003). Faisal (2012) menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi eutrofikasi (konsentrasi nitrat dan fosfat) di perairan Spermonde berdasarkan zona-zona yang berbeda jarak dari daratan utama. Konsentrasi nutrien lebih tinggi pada zona yang lebih dekat dengan daratan utama.
Gambar 2. Tingkat kesuburan perairan Spermonde berdasarkan konsentrasi a). Nitrat dan b). Fosfat (Faisal, 2012) Pembagian zona di Kepulauan Spermonde yaitu berdasarkan distribusi karang, jarak dari daratan utama, dan kedalaman perairan, yang terbagi menjadi empat zona. Zona pertama (1) adalah zona yang disebut dengan zona dalam (inner zone) yg berbatasan lansung dengan daratan utama. Kedalaman rata-rata 10 meter dan substrat lebih didominasi oleh pasir berlumpur. Zona kedua (2) disebut dengan zona tengah bagian dalam (middle inner zone) dengan rata-rata kedalaman 30 meter, jarak dari daratan utama kurang dari 5 kilometer, dengan substrat didominasi oleh karang (reef plat). Zona ketiga (3) atau zona tengah
22
bagian tengah luar (middle outer zone) dengan kedalaman perairan 30-50 meter, dan substrat dasar terumbu sampai pada slope. Zona keempat (4) adalah zona terluar (outer zone) dengan ciri khusus terumbu penghalang, kedalaman rata-rata 40-50 meter bahkan ada yang mencapai 100 meter, dengan jarak rata-rata dari daratan 30 kilometer (Hutchinson, 1945 dalam Hoekseama, 1990). Kondisi eutrofik pada suatu perairan yang disebabkan oleh adanya peningkatan unsur hara (nitrat dan fosfat) menyebabkan perairan tersebut menjadi
berlimpah
sumber
makanan
bagi
organisme
mikro.
Hal
ini
mengakibatkan algae, tumbuhan air berukuran mikro, maupun epifit untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming). F.
Hubungan Antara Eutrofikasi Dengan Epifit Pada Daerah Lamun Kondisi eutrofik pada suatu perairan mengakibatkan pertumbuhan
organisme menjadi tidak tekendali. Peningkatan nutrien oleh proses eutrofikasi menyebabkan kerusakan lingkungan yang secara substansial disebabkan oleh organisme mikro, algae maupun epifit. Pada daerah lamun kodisi eutrofik dapat dilihat dengan menggunakan biomassa sebagai indikator eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan penyebab degradasi padang lamun yang paling banyak dilaporkan dan tentunya akan tetap merupakan ancaman serius terhadap populasi lamun di masa datang (Short & Wyllie-Echeverria 1996; Alongi 1998; Ralph et al. 2006). Peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan produsen primer yang mengarah pada perubahan komposisi spesies (Alongi 1998). Eutrofikasi menyebabkan munculnya spesies yang bersifat oportunistik dan nitrophilous (Orfanidis et al. 2003; Moreira et al. 2006).
23
III. METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Februari
sampai Mei 2015. Lokasi penelitian bertempat di Pulau Lae-lae, Pulau Barranglompo, dan Pulau Lumu-lumu yang seluruhnya masuk ke dalam wilayah kota Makassar. Identifikasi epifit dilakukan di Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong sampel yang
berfungsi untuk menyimpan sampel, kamera digital untuk mendokumentasikan
24
kegiatan penelitian, cool box untuk menyimpan semua sampel yang telah diambil, alat tulis menulis untuk mencatat sampel yang didapat, spidol permanen untuk pelabelan, botol sampel untuk menyimpan sampel epifit. Untuk pengukuran data oseanografi digunakan layang-layang arus untuk mengukur arah kecepatan arus, Secchi Disk untuk mengukur kecerahan perairan, kompas bidik untuk mengetahui arah arus, Water Quality Checker (WQC) untuk mengukur suhu perairan, salinitas perairan, dan kekeruhan, dan buku identifikasi yang digunakan untuk mengidentifkasi sampel epifit. Bahan yang digunakan adalah ethanol 70% untuk mengawetkan sampel. Sampel air laut yang di ambil pada kolom
air dengan menggunakan botol
sampel untuk menganalisis nitrat dan fosfat yang selanjutnya dianalisis di laboratorium Untuk sampel epifit dilakukan di laboratorium dengan menggunakan pisau untuk memisahkan epifit dari daun lamun, penggaris untuk mengukur panjang dan lebar daun lamun, stereo-microscope dan compound-microscope sebagai alat identifikasi epifit, cawan petri sebagai wadah unutk menaruh epifit, serta deck gelas dan objek gelas untuk mengamati sampel epifit yang berukuran kecil. C.
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan dalam enam tahap yaitu tahap persiapan,
penentuan lokasi stasiun, pengambilan sampel lamun, pengambilan data parameter oseanografi, pengambilan sampel epifit, serta pengamatan dan identifikasi sampel.
25
a.
Persiapan Pada tahap persiapan kegiatan yang dilakukan adalah konsultasi,
pengumpulan referensi, serta persiapan pengumpulan peralatan yang akan digunakan saat penelitian. b.
Penentuan lokasi stasiun Lokasi stasiun pengamatan ditentukan dengan menentukan tiga stasiun
berurut pada beberapa pulau yang masing-masing merupakan keterwakilan dari beberapa zona-zona di perairan Spermonde yaitu Pulau Lae-lae (inner zone), Pulau Barranglompo (middle inner zone), dan Pulau Lumu-lumu (middle outer zone). c.
Pengambilan sampel lamun Pengambilan sampel lamun dilakukan sebagai berikut : 1) Transek kuadran 1x1 m2 diletakkan dengan menggunakan metode purposive
sampling
dengan
mempertimbangkan
kedalaman
dan
keberadaan Enhalus acoroides. Transek diletakkan secara acak di setiap stasiun masing-masing dengan melakukan lima kali pengulangan di lokasi yang berbeda. 2) Daun lamun diambil sebanyak lima helai daun dengan cara menggunting pangkal masing-masing daun lamun dangan memperhatikan luasan dan tinggi daun yang sama disetiap pengulangannya. 3) Daun lamun yang telah digunting kemudian diambil bagian tengah daun dengan panjang 3 cm untuk kemudian diserut permukaannya. 4) Bagian tersebut disimpan dalam kantong sampel dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk pengamatan.
26
d.
Pengambilan sampel epifit dilakukan menurut Kendrik and Lavery (2001) sebagai berikut : 1) Epifit yang terdapat di permukaan daun lamun diambil dengan cara diserut permukaan daunnya dengan menggunakan pisau. 2) Epifit yang diserut difiksasi dalam botol yang berisi ethanol 70%.
e.
Pengamatan dan Identifikasi epifit 1) Pengamatan sampel epifit dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo untuk mengamati sampel epifit yang berukuran makroskopik dan compound microscope untuk mengamati sampel epifit yang berukuran mikroskopik. 2) Identifikasi epifit dilakukan dengan menggunakan referensi dari beberapa sumber yaitu : Harlin (1980), Boney (1969), Chapman & Chapman (1973), Trono & Ganzon-Fortes (1988), dan Jha et al (2009) 3) Jumlah jenis yang didapatkan dari hasil pengamatan untuk setiap helaian daun dicatat dan diambil gambarnya.
f.
Pengukuran parameter lingkungan Pengukuran parameter lingkungan di lokasi penelitian dilakukan sebanyak
dua kali pengulangan pada setiap substasiun dengan memperhatikan perbedaan jarak waktu pada masing-masing pengulangan. Ulangan pertama dilakukan pada pagi hari dan ulangan kedua dilakukan pada siang hingga sore hari. Hal ini dilakukan melihat kondisi parameter lingkungan di setiap stasiun yang berubahubah disetiap waktunya. 1) Kecepatan dan arah arus Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang-layang arus yang dilengkapi dengan tali sepanjang 5 meter. Alat ini dilepaskan di
27
perairan dan dibiarkan hanyut hingga tali menegang/lurus. Selisih waktu pada saat pelepasan alat dan saat tali tegang dihitung sebagaikecepatan dengan menggunakan stopwatch. Pengukuran arah dilakukan bersamaan dengan pengukuran kecepatan arah arus dengan menggunakan kompas geologi yang diarahkan pada saat drift float setelah tali tegang/liris (Mason, 1981). Perhitungan Kecepatan arus menggunakan rumus :
V=S/t
Dimana,
V = Kecepatan arus (m/s) S = Jarak (m) t = Waktu (s)
2) Suhu Pengukuran suhu perairan dilakukan langsung di lapangan dengan menggunakan Water Quality Checker (WQC). 3) Salinitas Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Water Quality Checker (WQC) langsung di lapangan. 4) Kekeruhan Pengukuran kekeruhan perairan dilakukan langsung di lapangan dengan menggunkan Water Quality Checker (WQC). 5) Kecerahan Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan Secchi Disk langsung di lapangan. Data yang di hasilkan dalam skala meter
28
kemudian
dikonversikan
kedalam
nilaipersen
kecerahan
dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : Kecerahan Perairan =
Kondisi Secchi disk tidak terlihat + Secchi disk terihat 2
6) Nitrat Pengukuran nitrat dillakukan dengan cara menyaring sampel air laut dengan kertas Wathman No. 42. Air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml. Kemudian ditambahkan dengan indikator Brucine 5-8 tetes, dan ditambahkan 2 ml larutan asam sulfat pekat (H2SO4) lalu kocok. Setelah itu larutan didiamkan hingga dingin, dan absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 410nm (Haryadi, 1992). Perhitungan penetapan nitrat : Nitrat = abs sampel x 6,69 Dimana, abs sampel = absorban sampel 6,69 = konstanta larutan untuk nitrat 7) Fosfat Pengukuran fosfat dilakukan dengan cara menyaring sampel air laut dengan kertas Wathman No. 42, air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml. Kemudian ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat (H2SO4) lalu kocok. Setelah itu larutan didiamkan selama 2 menit, dan absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 660 nm (Haryadi, 1992)
29
Perhitungan penetapan fosfat : Nitrat = abs sampel x 19,2 Dimana, abs sampel = absorban sampel 19,2 = konstanta larutan untuk fosfat D.
Pengolahan dan Analisis Data Semua hasil yang diperoleh dianalsis secara deskriptif dalam bentuk
tabel, grafik, dan gambar. Perbandingan diversitas dan biomassa epifit dari setiap stasiun berdasarkan jarak yang berbeda dari daratan utama dilakukan dengan menggunakan One-Way ANOVA. Proses perhitungan dilakukan dengan menggunakan perangkat spss 12.
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan di lokasi penelitian umumnya hampir sama dilihat dari
kondisi parameter lingkungan di masing-masing stasiun. Hal ini disebabkan pada saat pengambilan sampel di lokasi penelitian dilakukan saat musim penghujan dimana keadaan tersebut menyebabkan suhu perairan di masing-masing stasiun cenderung rendah. Melihat lokasi penelitian yang memiliki gradien lingkungan yang berbeda menyebabkan kadar nutiren (nitrat dan fosfat) pada masingmasing stasiun juga ikut mengalami perbedaan. Untuk nitrat di lokasi penelitian, Pulau Lae-lae memiliki kadar nitrat tertinggi sebesar 0,156 mg/L dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu Pulau Barranglompo sebesar 0,039 mg/L dan Pulau Lumu-lumu sebesar 0,038 mg/L. Sedangkan untuk fosfat, Pulau Lae-lae memiliki kadar fosfat tertinggi sebesar 0,076 mg/L dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu Pulau Barranglompo sebesar 0,024 mg/L dan Pulau Lumu-lumu sebesar 0,012 mg/L. B.
Komposisi Jenis Epifit Hasil identifikasi jenis epifit, ditemukan 15 jenis ganggang epifit yang
tumbuh pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides, yang berasal dari dua divisio yaitu Chlorophyta dan Rhodophyta. Ganggang epifit ini didominasi oleh divisio Rhodophyta.
31
Gambar 4. Komposisi jenis ganggang epifit yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Dominansi divisio ganggang epifit pada setiap lokasi, (a) Pulau Laelae, (b) Pulau Barranglompo, (c) Pulau Lumu-lumu Gambar 5. menunjukkan dominansi ganggang pada setiap stasiun. Pada stasiun Pulau Lae-lae, Pulau Barranglompo, dan Pulau Lumu-lumu lebih dari 92% didominasi oleh divisio Rhodophyta. Divisio Chlorophyta dominasi lebih tinggi di tunjukkan pada stasiun Pulau Lumu-lumu sebesar 8%, stasiun Pulau Lae-lae dan Pulau Barranglompo sebesar 1%.
32
Gambar 6. Komposisi ganggang epifit ke dalam famili yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides. Divisio Chlorophyta ditemukan 1 familia dan 2 spesies alga yang tidak teridentifikasi (Unidentified algae), sedangkan division Rhodophyta ditemukan 6 familia dan 1 spesies Unidentified algae. Dari enam familia yang ditemukan, Rhodomelaceae mendominasi daerah permukaan daun lamun (Gambar 6, Tabel 1). Hal ini bisa
disebabkan karena seluruh jenis ganggang dari familia
Rhodomelaceae hidup sebagai epifit (Cribb, 1983).
33
Chlorophyta
Genera
Boodleaceae
Boodlea Unidentified algae 1 Unidentified algae 3 Amphiroa Fosliella Caulachantus Centroceras Ceramium Hypnea Laurencia Hersposiphonia Acanthophora Gracilaria Unidentified algae 2
… Corallinaceae Caulacanthaceae Ceramiaceae
Rhodophyta
Hypneaceae Rhodomelaceae Gracilariaceae
P. Lumu-lumu
Familia
P. Barranglompo
Divisio
P. Lae-lae
Tabel 1. Jenis-jenis ganggang epifit yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides.
Dari 14 genera yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan 3 genera yang masuk ke dalam spesies yang bersifat oportunistik, yaitu : Genus Boodlea, Genus Hypnea, Genus Acanthophora. Ketiga genus tersebut hanya ditemukan pada Pulau Lae-lae, hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Lae-lae merupakan daerah eutrofik. Family Bodleaceae Genus Boodlea Genus Boodlea umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuningan, rimbun berfilamen, bentuk percabangan tidak beraturan, rapuh dan berspons. Membentuk percabangan anastomose antara satu dengan lainnya. Tumbuh
34
pada substrat keras atau pada spesies rumput laut lain. Genus Boodlea umumnya menempati daerah intertidal dimana akan terpapar saat surut (Trono & Ganzon-Fortes 1988).
Gambar 7. Genus Boodlea (Pembesaran 40x40) Family Corallinaceae Genus Amphiroa Genus Amphiroa memiliki thallus berkapur. Bentuk thallus silindris dan memiliki ruas yang kasar. Mempunyai kerangka tubuh kemerah-merahan. Bentuk thallus bulat, agak pipih, karakteristik rapuh dan mudah patah menjadi potongan kecil. Genus Amphiroa melimpah di zona intertidal, tumbuh menempel pada dasar pasir atau menempel pada substrat dasar lainnya di dasar lamun. Persebarannya banyak terdapat di daerah tropis, dan banyak ditemukan di sepanjang perairan pantai,
Gambar 8. Genus Amphiroa (Pembesaran 10x10)
35
Genus Fosliella Memiliki thallus yang kecil, ramping, dan membentuk permukaan yang mudah hancur.
Gambar 9. Genus Fosliella (Pembesaran 40x40) Family Caulacanthaceae Genus Caulacanthus Percabangan thallus tidak beraturan. Umumnya berwarna ungu tua hingga kecoklatan. Melekat dengan mencekramkan stolon yang berbentuk rhizoid multiseluler.
Gambar 10. Genus Caulacanthus (Pembesaran 10x10)
36
Family Ceramiaceae Genus Centroceras Thallus berbentuk filamen dan halus pada bagian permukaannya. Percabangan dichotomous, pada filamen terdapat node dan internode. Cortication seragam pada setiap filamen.
Gambar 11. Genus Centroceras (Pembesaran 10x10) Genus Ceramium Thallus berbentuk filamen. Percabangan dichotomous pada setiap filamen terdapat node dan internode. Cortication tidak sama rata pada setiap filamen.
Gambar 12. Genus Ceramium (Pembesaran 10x10)
37
Family Hypneaceae Genus Hypnea Thallus genus Hypnea tidak berkapur. Memiliki bentuk thallus silindris. Percabangan thallus tidak teratur berduri. dan bersifat epifit. Spesies dari genus Hypnea umumnya tumbuh melekat pada substrat batu maupun substrat berpasir.
Gambar 13. Genus Hypnea (Pembesaran 10x10) Family Rhodomelaceae Genus Laurencia Thallus
genus
Laurencia
berbentuk
silindris.
Percabangan
thallus
dichotomous. Percabangan utama thallus lebih memusat ke bagian pangkal thallus.
Gambar 14. Genus Laurencia (Pembesaran 10x10)
38
Genus Hersposiphonia Thallus Genus Hersposiphonia halus, tebal, seperti benang halus, dan berbentuk seperti bulu. Thallus tidak mengandung kapur. Cabang tidak menyatu. sumbu utama jelas, berhubungan dengan daun muda yang ada pada tangkai
.Gambar 15. Genus Hersposiphonia (Pembesaran 10x10) Genus Acanthophora Thallus genus Acanthophora berbentuk silindris, berduri, lonjong runcing dan rapat yang terdapat pada seluruh permukaan thalli. Percabangan tidak teratur dan warnanya coklat tua. Genus ini umumnya tumbuh pada substrat batu di daerah rataan terumbu dan substrat keras lainnya, biasanya di tempat-tempat yang selalu tergenang air.
Gambar 16. Genus Acanthophora (Pembesaran 10x10)
39
Family Gracilariaceae Genus Gracilaria
Bentuk Thallus genus Gracilaria silindris dan permukaan thallus licin. Percabangan dichotomous berulang-ulang dan tidak beraturan. Genus Gracilaria tumbuh menempel pada batu dan daerah rataan terumbu, terutama tempat-tempat yang masih tergenang air pada saat surut rendah.
Gambar 17. Genus Gracilaria (Pembesaran 10x10) C.
Biomassa epifit setiap Stasiun Biomassa epifit pada setiap stasiun diduga memiliki hubungan dengan
jarak yang berbeda dari daratan utama. Hal ini terlihat pada stasiun Pulau Laelae yang memiliki biomassa epifit lebih tinggi dibanding stasiun lainnya.
Gambar 18. Rata-rata biomassa epifit pada setiap stasiun
40
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), menunjukkan bahwa antar stasiun Pulau Lae-lae dengan stasiun Pulau Barranglompo dan Pulau Lumu-lumu menunjukkan adanya perbedaan rata-rata biomassa epifit yang ditemukan (Gambar 18). Hal ini disebabkan letak stasiun yang terletak pada zona dalam (inner zone) sangat dekat dengan daratan utama mempengaruhi asupan nutrient yang tinggi sehingga meningkatkan laju pertumbuhan epifit. Sedangkan pada stasiun Pulau Barranglompo dan Pulau Lumu-lumu tidak menunjukkan adanya perbedaan rata-rata biomassa epifit yang ditemukan. Hal ini disebabkan letak stasiun yang terletak pada zona tengah bagian dalam (middle inner zone) dan zona tengah bagian tengah luar (middle outer zone) yang memiliki jarak cukup jauh dari daratan utama sehingga mempengaruhi asupan nutrient yang rendah dan mengurangi laju pertumbuhan epifit. Lokasi stasiun yang berbeda gradien dan zona merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan asupan nutrient terhadap epifit. Hal ini disebabkan perbedaan jarak antara stasiun dan daratan utama sebagai produsen utama nutrient. Karakteristik lamun Enhalus acoroides yang memiliki ukuran dan bentuk daun yang panjang dan lebar menyebabkan kemampuan untuk dilekati oleh ganggang epifit lebih besar. Aswandy dan Azkab (2000) mengatakan bahwa karakteristik seperti perbedaan bentuk dan ukuran daun lamun akan mempengaruhi kecepatan dan arah arus yang melewatinya. Karakteristik daun lamun dan vegetasi lamun menyebabkan lambatnya pergerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan perairan di bawahnya menjadi lebih tenang. Hal ini akan menyebabkan mineral dan partikel organik terlarut dalam air akan lebih mudah mengendap atau tenggelam di dalam padang lamun. Partikel yang
41
terendap tersebut akan membantu pertumbuhan lamun dan organisme yang berasosiasi di dalamnya. Menurut Luing (1990), kecepatan arus/pergerakan air merupakan faktor ekologi primer yang mengontrol lingkungan dan status mikroalgae dalam suatu komunitas. Menurut Effendi (2003), partikel organik yang merupakan nutrient bagi pertumbuhan alga di perairan alami yaitu ntrat dan fosfat. Beberapa penelitian membuktikan bahwa tingkat serapan nutrien untuk alga dan lamun tergantung pada kecepatan air. Selain peranannya yang dapat mempengaruhi penempelan dan serapan nutrien oleh epifit serta lamun, gerakan air juga berperan dalam mengontrol dominasi epifit pada pertumbuhan lamun. Misalnya, gelombang tinggi yang biasanya berlangsung selama badai musim dingin, menghilangkan sebagian epifit yang terakumulasi pada tumbuhan lamun selama periode pertumbuhan puncak saat musim panas (Borowitzka & Lethbridge, 1989). D.
Jumlah Jenis Epifit pada setiap Stasiun
`
Jumlah jenis epifit pada setiap stasiun yang diperoleh di lokasi penelitian
disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut :
Gambar 19. Jumlah Jenis epifit pada setiap stasiun
42
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α=0,05), menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata jumlah jenis ganggang epifit pada daun lamun Enhalus acoroides di setiap stasiun yang berbeda. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan dan ekosistem
masing-masing
memerlukan
cahaya
pulau
matahari
yang
untuk
tidak dapat
jauh
berbeda.
melangsungkan
Makroalga fotosintesis.
Tingginya intensitas cahaya matahari yang masuk dalam air berhubungan erat dengan kecerahan air laut. Tinggi permukaan air laut yang berkisar antara 2-4 meter menyebabkan intersitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan cukup tinggi. Gerakan air selain untuk mensuplai zat hara, juga membantu memudahkan ganggang menyerap zat makanan, melangsungkan pertukaran oksigen dan karbondioksida. Salinitas merupakan salah satu parameter yang berpengaruh pada ganggang epifit. Salinitas perairan di lokasi penelitian yang berkisar antara 29-30 0/00 masih merupakan kisaran toleransi epifit terhadap kadar salinitas perairan, dimana toleransi optimum epifit dan lamun adalah 35 0/00 (Rifqi, 2008). Suhu dalam perairan mempengaruhi kelangsungan hidup ganggang epifit. Suhu perairan lokasi penelitian yang berkisar antara 25-300 C masih merupakan toleransi hidup epifit dan lamun terhadap suhu, dimana toleransi optimum epifit dan lamun terhadap suhu adalah 300 C (Rifqi, 2008).
43
V. SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat disimpulkan :
a) Ganggang epifit yang ditemukan pada permukaan daun lamun Enhalus acoroides di Pulau Lae-lae, Pulau Barranglompo, dan Pulau Lumu-lumu terdiri dari 2 Divisio, 7 Familia, dan 14 Genera. b) Gradien lingkungan (jarak dari daratan utama) hanya memberikan pengaruh terhadap biomassa epifit, tetapi tidak dalam jumlah jenis. Semakin dekat dengan daratan utama maka biomass epifit semakin besar. B.
Saran Untuk kesempurnaan penelitian ini, perlu dilakukan beberapa penelitian
lanjutan, yaitu : a) Perbedaan jenis epifit yang terdapat pada rhizome dan daun lamun. b) Identifikasi epifit ke dalam jenis yang lebih luas di luar alga
44
DAFTAR PUSTAKA
Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton: CRC Press. Arifin, 2001. Ekosistem Padang Lamun. Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS, Makassar. Aswandy I., dan Azkab, M, H.,2000. Hubungan Fauna Dengan Padang Lamun. Oseana, Volume XXV, Nomor 3, : 19-24. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta Boney AD. 1969. A Biology of Marine Algae. Hutchinson Educational Limited. London. Borowitzka M. A. and Lavery PS., Keulen, MV., 2006 Epiphytes Of Seagrasses. In: Larkum A.W.D., McComb A. J. & Sheperd S. A. (Eds.), Seagrasses with Special Reference to the Australian Region. Elsevier/North Holand: Amsterdam. PP. 441-461. Borowitzka M. A. and Lethbridge R. C., 1989. Seagrass Epiphytes. In: Larkum A.W.D., McComb A.J. & Sheperd S.A. (Eds.), Seagrasses with Special Reference to the Australian Region. Elsevier/North Holland: Amsterdam. PP. 441-461. Castro. P, and Huber, M. E. 2007 Boston
Marine Biology. 6th Edition. McGraw Hill.
Chapman VJ, Chapman DJ. 1973. The Algae. McMillan. London Cribb A. B., 1983. Marine Algae of The Southerm Great Barrier Reff. Part 1 Rhodophyta. Australian Coral Reef Society. Dahuri, R., J. Rais, P. G Sapta dan M. J. Sitepu. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Den Hartog., 1970. The Seagrass of The World. North Holland Publ Co. Amserdam Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagian Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius (IKAPI). Yogyakarta. Faisal, A & J. Jompa. 2012. Dinamika Spasio-Temporal tingkat Kesuburan Perairan Di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan.Jurnal Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin. Harlin, M.M. 1980. Seagrass epiphytes. In : Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective (RC. Phillips & C.P. McROY, eds.). Garland STPM Press. New York 117-151. Haryady, S., 1992. Metode Analisa Kualitas Air. Bagian Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisus (angota IKAPI), Yogyakarta.
45
Hoeksema, B.W. 1990. Systematic and Ecology of Mushroom Corals (Scleractinia-Fungiidae). PhD Thesis Leiden Netherland. Hutomo, M. 2003. Proses Peningkatan Nutrient Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Lamun. Reef Research. Kalawarta. Jha B, Reddy CRK, Thakur MC, & Rao MU. 2009. Seaweeds of India. Springer Science. Dordrecht. Kendrick, G.A. and Lavery, P.S. 2001. Assessing biomass, assemblage structure and productivity of algal epiphytes on seagrasses. In Short, F.T. and Coles, R.G. (eds) Global Seagrass Research Methods, The Netherlands, Elsevier Science, pp. 199-222. Kuo, J., and den Hartog, C. 2001. Seagrass Taxonomy and Indentificatkon Key In Short, F.T., Coles, R. G., and Short, C. A. (eds.). Global Seagrass Research Methods. Elsevier. Amsterdam. Luing K. 1990. Sea Weeds, Their Environment Biogeography and Ecophysiology. John Wiley and Sons, New York. Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. London Moreira AR, Armenteros M, EC. Maria, and Suarez Ana M. 2006. Variation of macroalgae biomass in Cienfuegos Bay, Cuba. Rev Invest Mar 27(1): 312. Moriaty, D. J W. and P. I. Boon. 1989. Interactive of Seagrasses with Sediment and Water in Larkum. A W. D, A. J McComb and S. A. Sepherd (eds). Biologi of Seagrasses. Elsevier. Amsterdam p500-535. Orfanidis S, Panayotidis P, & Stamatis N. 2003. An insight to the ecological evaluation index (EEI). Ecol Indic 3: 27-33. Ralph PJ, Tomasko D, Moore K, Seddon S, & Macinnis-Ng CMO. 2006. Human impacts on seagrasses: eutrophication, sedimentation and contamination. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. The Netherland: Springer. hlm 567593 Rifqi. 2008. Ekologi Laut. http://arifqbio.mutiply.com./journal. (Akses Tanggal 5 April 2014) Short FT, Wyllie-Echeverria S. 1996. Natural and human induced disturbance of seagrasses. Environ Conserv23: 17-27. Tomasko, D.A., & Lapointe, B.E., 1991. Productivity and biomass of Thalassia testudinum as related to water column nutrient availability and epiphyte levels: field observations and experimental studies. Mar. Ecol. Prog. Ser. 75, 9-17. Trono GJ, Jr, & Ganzon-Fortez ET. 1988. Philippine Seaweeds. National Book Store, Inc. Manila.
46