MAKA ALAH PRO OPOSAL O OPERASIO ONAL PEN NELITIAN N TA. 2014 4
KAJIIAN KE EBIJAK KAN DAN D IM MPLEM ENTAS SI D DISEM INASII INOV VASI PE ERTAN NIAN
Oleh: Kurn nia Suci Ind draningsih Wahyyuning Kussuma Sejatti Ro oosganda Elizabeth E Ahm mad Makky y Ar-Rozy Sri Suharryono
PUSAT SO OSIAL EKONOMI DAN KEBIJ AKAN PERTANIAN BADAN N PENEL LITIAN DAN D PENGEMB P BANGAN N PERTA ANIAN 2014 4
RINGKASAN Saat ini permasalahan yang dihadapi di sektor pertanian antara lain berupa kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan pengembangan inovasi yang dilakukan oleh para peneliti, kesenjangan antara inovasi hasil penelitian Litbang dan perguruan tinggi dengan aksesibilitas masyarakat pertanian, dan kesenjangan antara kebijakan pembangunan pertanian dengan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Tantangan dalam penyampaian inovasi pertanian ke depan adalah bagaimana senantiasa mampu mengembangkan inovasi pertanian yang tepat guna, partisipatif dan berkelanjutan? Tantangan tersebut dapat dijawab dengan terjadinya keterpaduan (interface) antara peran-peran: (1) lembaga penyuluhan, (2) lembaga penelitian, (3) lembaga pendidikan dan pelatihan (Perguruan Tinggi, dan Diklat Pertanian), (4) Lembaga pengaturan (penentu kebijakan), dunia bisnis (swasta) dan (5) lembaga pelayanan (Dinas dan instansi terkait), serta (6) kebutuhan petani dan usahatani. Keterpaduan tersebut setidaknya harus fokus mengarah pada terjadinya keterpaduan peran antar lembaga terkait dalam sistem agribisnis, yang mengarah pada potensi, permasalahan dan kebutuhan riil petani dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian. Substansi yang diteliti oleh lembaga penelitian adalah permasalahan dan kebutuhan riil petani, kelompok tani dan komunitas petani. Materi penyuluhan merupakan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga Litbang/perguruan tinggi yang benar-benar tepat guna bagi upaya menjawab kebutuhan petani. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi berbagai kebijakan Penelitian; Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian; dan pelayanan dinas dalam diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani; (2) Mengevaluasi implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani; (3) Menganalisis keterkaitan Penelitian; Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani. Lokasi penelitian mencakup wilayah Jawa (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan Luar Jawa (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif komparasi dan (2) analisis pemangku kepentingan (stakeholders analysis).
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) menyatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional dirancang dan dilaksanakan berdasarkan tahapan pembangunan pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan. Penempatan kedudukan (positioning) sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan kunci utama keberhasilan mewujudkan Indonesia yang Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Tahapan pencapaian dan peta jalan transformasi struktural merupakan landasan untuk menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional (Biro Perencanaan, 2013). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan sektor pertanian adalah pentingnya peran diseminasi inovasi pertanian dalam pembangunan pertanian. Diseminasi inovasi hasil penelitian/pengkajian pertanian merupakan aktivitas komunikasi yang penting dalam mendorong terjadinya proses penerapan dan penyebaran teknologi dalam suatu sistem sosial pedesaan. Hasil penelitian/pengkajian akan memberikan manfaat bagi masyarakat petani apabila komponen teknologi yang dihasilkan diterapkan petani dalam pengelolaan usahataninya. Untuk itu, informasi hasil penelitian/pengkajian perlu disebarluaskan baik kepada pengguna-antara maupun pengguna-akhir, melalui berbagai metode penyuluhan maupun media informasi yang akan dijadikan pendukung kegiatan penyuluhan pertanian di daerah dan pada akhirnya membantu petani meningkatkan efisiensi dalam mengelola usahatani. Hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk diketahui oleh 50 persen Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut di tingkat petani tentu diperlukan waktu lebih lama lagi. Kesenjangan antara subsistem penyampaian dan subsistem penerimaan inovasi merupakan penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi (Badan Litbang Pertanian, 2004). Permasalahan yang dihadapi sektor pertanian terkait dengan diseminasi inovasi adalah: (1) Pihak penyedia atau penghasil inovasi yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan pada kebutuhan petani pengguna; (2) Pihak pelaksana diseminasi, kelembagaan penyuluhan di daerah dalam era otonomi terjadi kelemahan pemahaman dan komitmen pimpinan daerah terhadap pengembangan dan penyelenggaran penyuluhan; dan (3) Petani pengguna inovasi, yang sebagian besar merupakan petani skala kecil dan kurang berani menanggung resiko dalam mengadopsi inovasi pertanian. Selain itu, semua petani dianggap sama, dan sering yang dimaksud dengan petani
hanya sebatas petani yang dinilai mampu melaksanakan program pemerintah, yang secara umum adalah petani menengah ketas, dengan jumlah yang relatif terbatas. Petani menengah ke bawah sebenarnya akan mampu melaksanakan program pemerintah apabila diberi kepercayaan dan kesempatan untuk melaksanakannya, dengan diawali fasilitasi dan bimbingan dari penyuluh. Tantangan penyuluhan pertanian dalam penyampaian inovasi pertanian ke depan adalah bagaimana senantiasa mampu mengembangkan inovasi pertanian yang tepat guna, partisipatif dan berkelanjutan? Tantangan semacam ini semakin sulit dijawab dengan sistem penyuluhan yang tersubordinasi oleh kepentingan sempit proyek-proyek dinas yang lebih berorientasi hanya pada pembelanjaan anggaran dibanding menjawab kebutuhan petani (Sumardjo, 2012). Tantangan tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan terjadinya keterpaduan (interface) antara peran-peran: (1) lembaga penyuluhan, (2) lembaga penelitian atau pengembang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS), (3) lembaga pendidikan dan pelatihan (Perguruan Tinggi, dan Diklat Pertanian), (4) Lembaga pengaturan (penentu kebijakan), dunia bisnis (swasta) dan ((5) lembaga pelayanan (Dinas dan instansi terkait), serta (6) kebutuhan petani dan usahatani. Keterpaduan tersebut setidaknya harus fokus mengarah pada terjadinya keterpaduan peran antar lembaga terkait dalam sistem agribisnis, yang mengarah pada potensi, permasalahan dan kebutuhan riil petani dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian. Substansi yang diteliti oleh lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) dan perguruan tinggi adalah permasalahan dan kebutuhan riil petani, kelompok tani dan komunitas petani. Materi penyuluhan merupakan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga Litbang/perguruan tinggi yang benar-benar tepat guna bagi upaya menjawab kebutuhan petani (Sumardjo, 2012). 1.2. Dasar Pertimbangan Diseminasi inovasi pertanian yang merupakan kegiatan penyuluhan pertanian, akan berfungsi secara optimal bila SDM yang bekerja dipersiapkan dengan baik untuk mampu bekerja secara profesional. Untuk itu lembaga pendidikan dan pelatihan penyuluhan pertanian perlu ditata menjadi subsistem penyuluhan yang mampu menyiapkan dan mensuplai SDM yang kompeten. Penyuluh memerlukan materi yang disampaikan kepada pengguna dan lembaga yang memiliki kapasitas untuk menghasilkannya adalah lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Substansi yang diteliti dan dihasilkan agar sesuai dengan kebutuhan petani dan penyuluh, maka lembaga tersebut dijadikan subsistem dalam Sistem Penyuluhan Komprehensif (Slamet, 2008). Selama ini penyuluh cenderung menunggu informasi yang diperlukannya dari sumber informasi (Liitbang, perguruan tinggi). Fakta di lapangan tidak semua penyuluh mempunyai kemampuan untuk mencari, menelusur bahkan mengunduh (browsing) informasi dari berbagai sumber dan mengolahnya menjadi informasi yang diperlukan untuk disampaikan kepada petani. 3
Lembaga-lembaga teknis lingkup Kementerian Pertanian, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi subsistem dalam Sistem Penyuluhan Komprehensif (makro) yang berfungsi menyusun dan menetapkan kebijakan dan rencana strategis, sehingga dapat berfungsi efektif dan berkelanjutan. Sebagai sistem, masing-masing subsistem harus terhubung secara fungsional dengan subsistem lain yang relevan, karena setiap subsistem harus berfungsi menghasilkan sesuatu yang akan menjadi masukan yang diperlukan oleh subsistem lain yang terhubung tadi. Mutu masukan akan mempengaruhi proses yang terjadi dalam sub sistem yang lain. Sebagai gambaran, isi kebijakan yang dihasilkan oleh subsistem kebijakan (pemerintah) akan mempengaruhi kegiatan (proses) dalam subsistem lainnya. Demikian halnya yang terkait dengan subsistem pendidikan dan pelatihan, akan mempengaruhi kualitas penyuluh. Subsistem penyuluhan (di lapangan), mutu prosesnya dipengaruhi oleh informasi dan teknologi yang masukannya berasal dari subsistem penelitian. Dengan demikian, mutu penyuluhan yang diterima petani sebagai representasi difusi inovasi atau diseminasi inovasi, sangat tergantung pada berfungsi atau tidak subsistem yang ada serta tergantung pada mutu masukan dari subsistem yang lain. Penyuluh harus mampu memahami informasi dan teknologi dari penelitian, kemudian mengolah kembali (repackaging) informasi dan teknologi tersebut sesuai dengan kebutuhan riil petani. Keterkaitan antar subsistem (lembaga) tersebut bertumpu dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan petani untuk pengembangan usahatani. Asumsinya, berkembangnya usahatani secara optimal dan berkesinambungan, akan lebih dapat menjamin berkembangnya sistem agribisnis dan terwujudnya kesejahteraan petani (Slamet, 2001). Pengertian keterkaitan ini yang perlu dipahami oleh semua fihak. Selama ini terdapat kesan arti keterkaitan hanya “bertumpu pada kebutuhan pemerintah,” misalnya peningkatan produksi, mewujudkan ketahanan pangan dan sebagainya. Untuk itu kajian yang mencermati keterkaitan antar subsistem (lembaga) dalam rangka percepatan diseminasi inovasi menjadi penting untuk dilakukan. 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah rekomendasi kebijakan peningkatan sinergitas antara lembaga penelitian, lembaga pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan sebagai upaya percepatan diseminasi inovasi pertanian dalam memenuhi target pembangunan pertanian dengan tetap bertumpu pada kepentingan dan kebutuhan petani.
4
1.3.2. Tujuan Khusus 1.
2. 3.
Mengidentifikasi berbagai kebijakan Penelitian; Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian; dan pelayanan dinas dalam diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani. Mengevaluasi implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani. Menganalisis keterkaitan Penelitian; Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani.
1.4. Keluaran yang Diharapkan 1.4.1.
Keluaran Umum
Rekomendasi kebijakan peningkatan sinergitas antara lembaga penelitian, lembaga pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan sebagai upaya percepatan diseminasi inovasi pertanian dalam memenuhi target pembangunan pertanian dengan tetap bertumpu pada kepentingan dan kebutuhan petani. 1.4.2. 1.
2. 3.
Keluaran Khusus
Hasil identifikasi berbagai kebijakan Penelitian, Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian, dan pelayanan dinas dalam diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani. Hasil evaluasi implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani. Hasil analisis keterkaitan Penelitian, Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian dalam implementasi diseminasi inovasi pertanian sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah Kementerian Pertanian terutama Badan Litbang Pertanian dan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian, Bakorluh, dan Bapeluh), serta petani dan pelaku usaha. Luaran kegiatan ini berguna bagi Dinas Pertanian, Bakorluh, dan Bapeluh untuk membangun sistem diseminasi inovasi pertanian di daerah. Luaran kegiatan ini juga berguna bagi Kementerian Pertanian untuk merumuskan kebijakan dalam mempercepat diseminasi inovasi pertanian. Rumusan konsepsi rekomendasi kebijakan apabila dilaksanakan oleh institusi atau lembaga-lembaga terkait, maka diperkirakan diseminasi inovasi pertanian di tingkat petani akan meningkat yang menstimulir peningkatan pendapatan petani.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Keterlibatan Pengguna dalam Proses Penelitian Dalam sejarah formal penelitian dan pengembangan pertanian terdapat tiga model transfer teknologi yang dikembangkan (Rhoades, Batugal dan Booth, 1985 dalam Rhoades, 1990). Sebagai contoh, petani disebut juga sebagai pengguna seperti halnya konsumen, pengolah (processors) atau pedagang. Model transfer teknologi secara vertikal (top-down) dapat dilihat pada Gambar 1.
PENELITIAN Penyuluhan
Petani Gambar 1. Model Transfer Teknologi Vertikal (top-down) Model vertikal berimplikasi terhadap penentuan masalah oleh peneliti, umumnya dalam suatu laboratorium atau penelitian eksperimental. Interaksi antara peneliti dengan petani sedikit, kecuali melalui mediasi agen penyuluhan. Hasil penelitian disampaikan kepada penyuluh yang merupakan pemecahan masalah bagi petani. Keberhasilan model ini tergantung pada kekuatan keterkaitan antara tiga unsur. Model transfer teknologi secara horizontal (umpan balik) dapat dilihat pada Gambar 2.
PENELITIAN
Penyuluhan
Petani
Gambar 2. Model Transfer Teknologi Horizontal (umpan balik) Pada tahun 1970-an, suatu pendekatan baru yang mengembangkan komunikasi yang kuat antara peneliti, penyuluh dan petani. Pendekatan ini disebut penelitian Farming Systems pada sisi penelitian dan Training and Visit System (T and V) pada sisi penyuluhan. Keterkaitan penelitian dengan petani melalui survai formal, percobaan on-farm, atau agen penyuluhan dengan beberapa pelatihan khusus. Masalah yang muncul disebabkan oleh lemahnya keterkaitan antar subsistem penelitian dan penyuluhan. Sebagian besar petani berperan pasif dalam kaitan dengan proses penciptaan teknologi. 6
Petani-Kembali-ke- Petani (Participatory) Model ini tidak melihat petani atau pengguna teknologi sebagai penerima pasif dari hasil penelitian pertanian tetapi sebagai aktor kreatif dan berpartisipasi penuh dalam proses penelitian dari awal sampai akhir. Petani mempunyai pengetahuan tentang masalah yang mana ilmuwan tidak memilikinya. Ilmuwan memiliki pengetahuan berbeda yang petani tidak memilikinya. Dengan melibatkan petani proses penelitian ilmiah diperkaya dan keberhasilan ditingkatkan. Keterlibatan petani lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Bersimpati terhadap pekerjaan petani merupakan bagian yang harus diketahui dengan lebih baik. Kontak tatap muka merupakan hal penting dan tidak dapat digantikan dengan kegiatan lain. Hal ini tergantung pada waktu, sumberdaya, tujuan kunjungan, penerimaan petani teradap kunjungan. Idealnya semakin lama peneliti tinggal bersama petani, semakin baik. Model transfer teknologi PetaniKembali-Petani dapat dilihat pada Gambar 3.
Farmer knowledge and problem Commond definition of problem
Adapted solution
Solutions (Potential)
Gambar 3. Model Transfer Teknologi Petani-Kembali-ke- Petani (Participatory) (Sumber: Rhoades, 1990) 2.1.2.
Diseminasi Inovasi dan Pendekatannya
Diseminasi dapat diartikan sebagai cara dan proses penyampaian hasil hasil pengkajian teknologi kepada masyarakat atau pengguna untuk diketahui dan dimanfaatkan (Permentan No. 20 tahun 2008). Di dalam Permentan No. 03/ Kpts/HK.060/1/2005, dijelaskan bahwa hasil-hasil pengkajian teknologi di bidang pertanian tersebut merupakan inovasi yang mengandung ilmu pengetahuan baru atau cara baru untuk menerapkan pengetahuan dan teknologi ke dalam produk
7
atau proses produksi. Inovasi yang dimaksud mencakup teknologi pertanian dan kelembagaan agribisnis unggul mutakhir hasil temuan atau ciptaan Badan Litbang Pertanian (Andries, 2012). Lebih lanjut Andries (2012) mengemukakan bahwa untuk mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyebaran teknologi pertanian dapat dilakukan dengan: memberikan informasi, membantu kelancaran, meningkatkan motivasi masyarakat, meningkatkan kemandirian. Diseminasi teknologi pertanian dapat dilakukan dengan menggunakan lima pendekatan, yaitu: 1.
Pendekatan agroekosistem, artinya dalam implementasi perlu diperhatikan kesesuaian kondisi biofisik lokasi yang meliputi sumber daya lahan, air, wilayah komoditas, dan komoditas dominan; 2. Pendekatan agribisnis, memperhatikan struktur dan keterkaitan subsubsistem penyediaan input, usaha tani, pascapanen, pemasaran dan penunjang dalam suatu sistem agribisnis pedesaan; 3. Pendekatan wilayah berarti optimisasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan administrasi (desa atau kecamatan) untuk memudahkan fasilisasi dari stakeholders, terutama pemerintah; 4. Pendekatan kelembagaan berarti dalam pengembangan agribisnis industrial pedesaan tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input, proses dan output, tetapi juga modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Prima Tani; 5. Pendekatan pemberdayaan masyarakat mengandung arti lebih menekankan pada upaya penumbuhan kemandirian masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya setempat. Lakitan (2013) mengemukakan bahwa secara umum ada empat prasyarat untuk keberhasilan proses difusi teknologi, yakni: (1) Teknologi yang dikembangkan secara teknis relevan dengan kebutuhan pengguna; (2) Selain relevan secara teknis, teknologi yang ditawarkan harus sepadan dengan kapasitas absorpsi (calon) pengguna yang disasar; (3) Teknologi yang ditawarkan mampu bersaing dengan teknologi serupa yang tersedia di pasar; dan (4) Aplikasi teknologi yang ditawarkan akan meningkatkan keuntungan dibandingkan dengan praktek bisnis yang saat ini dilakukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara teoritis terdapat dua pendekatan yang dilakukan dalam proses inovasi teknologi, yakni mengembangkan teknologinya terlebih dahulu baru kemudian mencari mitra penggunanya (dikenal sebagai pendekatan ‘supply-push’; atau sebaliknya, memahami terlebih dahulu realita kebutuhan atau persoalan nyata yang dihadapi pengguna, baru kemudian mengembangkan teknologi yang berkesesuaian (dikenal sebagai pendekatan demand-driven atau demand-pull). Sampai saat ini, pendekatan yang lebih dominan di Indonesia adalah pendekatan supply-push, karena pendekatan ini bisa dilakukan oleh para pengembang teknologi (akademisi, peneliti, perekayasa) dengan tanpa
8
berkomunikasi dan berinteraksi dengan para (calon) pengguna potensialnya atau bahkan dengan tanpa mengetahui apakah ada calon penggunanya. Kadang juga terkesan bahwa para pengembang teknologi tidak terlalu peduli apakah teknologi yang dihasilkan akan digunakan atau tidak. Dalam strategi diseminasi inovasi pertanian untuk peningkatan akses petani terhadap inovasi teknologi pertanian, terdapat tiga tahapan utama dengan asumsi operasional diseminasi dapat terlaksana secara optimal. Tahap pertama, pengguna dan pengguna antara (operator, penyuluh, fasilitator) dapat mengakses informasi inovasi pertanian yang tersedia di pusat informasi pertanian secara baik dan benar. Tahap kedua, informasi yang telah diperoleh dikelola, dirakit dan disederhanakan ke dalam bentuk yang mudah diterima oleh pengguna (petani, misalnya) sesuai dengan karakteristik pengguna (user friendly) dengan biaya yang murah (terjangkau). Tahap ketiga, diharapkan informasi yang telah dikemas dalam berbagai media dapat disebarkan ke pengguna melalui kombinasi dari media terbaru (digital media), konvensional, termasuk media tradisional yang populer di tingkat masyarakat. Pada tahap ini diharapkan peran petugas sebagai fasilitator dapat bersinergi dengan tokoh masyarakat untuk mendukung operasionalisasi informasi diseminasi inovasi pertanian melalui media potensial yang mampu menjangkau pengguna (siaran radio, telepon seluler, papan pengumuman desa, dan media personal) sampai di tingkat desa perlu dioptimalkan untuk mempercepat informasi diseminasi inovasi pertanian sampai di tingkat petani. Salah satu strategi Badan Litbang Pertanian dalam melaksanakan diseminasi inovasi tersebut agar dapat diadopsi oleh petani adalah dengan pendekatan model Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC), yaitu suatu terobosan mempercepat dan memperluas jangkauan diseminasi inovasi teknologi budidaya dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait secara optimal melalui berbagai media secara simultan dan terkoordinasi (Badan Litbang Pertanian, 2011). Diseminasi inovasi teknologi dengan pola/model SDMC yang diawali dengan sosialisasi dan advokasi kepada para pemangku kepentingan sehingga mereka dapat menjadi penyalur inovasi teknologi kepada petani, Sekolah lapang (SL), penerbitan dan penyebarluasan media cetak leaflet serta pelaksanaan demplot teknologi budidaya dan pasca panen (dimana ditentukan satu orang petani kooperator untuk masing-masing lokasi). Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar ”tahu” tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: 9
pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan, seperti ditampilkan pada Gambar 4 (Mardikanto, 1993). INFORMATIF
KOGNITIF pengetahuan PSIKOMOTORIK keterampilan ADOPSI INOVASI perubahan perilaku
INOVASI
Persuasif dan
entertainment
AFEKTIF sikap
Gambar 4. Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993) Proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/ menerapkan, meskipun selang waktu antara tahapan yang satu dengan yang lainnya tidak selalu sama. Dalam setiap tahapan adopsi, terdapat faktor pribadi dan lingkungan yang berpengaruh. 2.2.
Hasil Penelitian Terkait
Hasil penelitian Indraningsih (2011) mengungkapkan bahwa persepsi petani terhadap inovasi pertanian menunjukkan peningkatan yang berarti jika pada inovasi pertanian tersebut terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal ataupun usahatani terpadu. Peningkatan persepsi petani terhadap inovasi akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat sifat berani mengambil resiko dan lebih berorientasi ke luar sistem sosialnya (kosmopolit). Faktor penting yang menunjang peningkatan persepsi petani terhadap inovasi adalah ketersediaan input (sarana produksi), sarana pemasaran (termasuk sistem pemasaran yang baik). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi adalah manfaat langsung dari teknologi yang berupa keuntungan relatif (termasuk keuntungan ekonomi yang lebih tinggi), kesesuaian teknologi terhadap nilai-nilai sosial budaya, cara dan kebiasaan berusahatani, kerumitan penerapan teknologi, serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani. Tjitropranoto (2005) mengemukakan bahwa secara umum petani di lahan kering marjinal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifatsifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (1) kapasitas diri petani yang rendah, (2) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga 10
terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah, (3) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (4) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (5) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (6) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (7) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan. Sumardjo et al. (2012) dalam penelitiannya tentang sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis teknologi informasi untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran mendapatkan hasil bahwa model diseminasi inovasi berbasis Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan memanfaatkan penyuluh dan kelembagaan lokal merupakan model ideal dengan beberapa penyempurnaan peran dari masing-masing pelaku diseminasi sesuai dengan lingkungan strategis. Strategi implementasi sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis TIK dapat dilaksanakan dengan mengoptimalkan kelembagaan formal (penyuluh) bersinergi dengan kelembagaan lokal serta didukung dengan revitalisasi kelembagaan informal di tingkat lokal. Masing-masing kelembagaan memiliki peran yang saling bersinergi untuk memantapkan sistem diseminasi inovasi pertanian berbasis TIK dengan mewujudkan one stop shop untuk pengembangan ekonomi perdesaan yang komprehensif. Hasil kajian Hatta (2011) tentang sistem informasi diseminasi untuk percepatan inovasi pertanian spesifik lokasi menyimpulkan bahwa: (1) Sistem informasi diseminasi ditingkat lapang belum merata antar petani, antar desa/kecamatan/kabupaten, sehingga inovasi teknologi belum memberikan peningkatan hasil dan pendapatan secara signifikan; (2) Sistem informasi inovasi yang berkembang cenderung mengarah pada Model Farmer Back To Farmer (TriAngulasi). Model ini mengasumsikan bahwa penelitian harus dimulai dan diakhiri di tingkat petani dan inovasi teknologi belum seutuhnya dapat menggerakkan usahatani yang berwawasan agribisnis; (3) Perguliran suatu informasi teknologi melalui model difusi inovasi yang masih bersifat top-down (linier) merupakan model penyuluhan pertanian konvensional yaitu dari sumber melalui beberapa rangkaian birokrasi sebelum sampai pada sasaran antara (penyuluh) kemudian akhirnya tiba pada sasaran akhir (petani); (4) Paket teknologi maupun komponen teknologi yang didiseminasikan belum berkelanjutan (sustainable) karena belum terarah dan terprogram dengan baik, (5) Sumber daya dan jejaring informasi yang ada di tingkat kabupaten sampai di tingkat desa belum sepenuhnya dimanfaatkan baik oleh penyuluh lapangan maupun petani sehingga proses diseminasi masih berjalan lambat; (6) Model yang harus dibangun adalah model bottom up planning dengan melibatkan petani dalam penyusunan inovasi sehingga inovasi teknologi yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan petani dan sesuai dengan agroekosistem spesifik lokasi dan Proses pembelajaran yang berlangsung mengharuskan terjadinya komunikasi yang efektif antara ketiganya. 11
Hasil penelitian Margono dan Sugimoto (2011) tentang hambatan penyuluh pertanian dalam mendiseminasikan informasi pertanian ke petani menunjukkan bahwa pembuat kebijakan perlu memberikan perhatian terhadap kendala penyuluh, antara lain meningkatkan akses penyuluh terhadap teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi lapang. Hal ini mengingat kondisi ekologi yang beragam, tidak bisa menjadi “satu ukuran cocok untuk semua strategi.” Kendala yang muncul antara kebijakan Pemerintah dengan Penyuluh antara lain adalah: (1) kurangnya anggaran, (2) keterkaitan antara sumberdaya manusia, (3) informasi, (4) infrastruktur, dan (5) desentralisasi. III.
METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran Peran lembaga penelitian, dalam hal ini Badan Litbang Pertanian dalam sistem inovasi pertanian nasional adalah (1) Menemukan atau menciptakan inovasi pertanian maju dan strategis; (2) Mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi; dan (3) Menginformasikan dan menyediakan materi dasar inovasi/teknologi (Badan Litbang Pertanian, 2004). Adapun yang menjadi tugas pokok dan fungsi Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian: (1) Mengembangkan sistem penyuluhan pertanian yang komprehensif dan terpadu; (2) Mengembangkan sistem pelatihan pertanian yang berbasis kompetensi kerja; dan (3) Mengembangkan pendidikan, standarisasi dan sertifikasi profesi SDM pertanian yang kredibel. Keterkaitan antara lembaga penelitian dengan lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan ditampilkan pada Gambar 5. KOMUNITAS PETANI
KELOMPOK TANI
PELAKU AGRIBISNIS
KELEMBAGAAN/ ORGANISASI PETANI
DISEMINASI INOVASI
KELEMBAGAAN INDUSTRIALISASI PERTANIAN
SUMBER INFORMASI
PEDESAAN
LEMBAGA PENDIDIKAN
LEMBAGA PENELITIAN
LEMBAGA PELATIHAN
LEMBAGA PENDUKUNG - Lembaga penentu kebijakan - Lembaga pelayanan
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Kebijakan dan Implementasi Diseminasi Inovasi Pertanian (Diadaptasi dari: Slamet, 2001)
12
Penyuluh Lapangan dan Penyuluh Ahli direkrut dari program pendidikan formal, pendidikan yang terakreditasi dan wajib mempunyai sertifikat dari Asosiasi Profesi Penyuluh Pertanian. Penyuluh Pertanian dikembangkan keahliannya secara terus menerus melalui sistem pelatihan yang diselenggarakan secara professional. Kelembagaan/Organisasi Petani diikutkan dalam proses penyuluhan terutama dalam mempersiapkan petani dan menindaklanjuti program penyuluhan. Penyuluhan Pertanian perlu berkoordinasi dengan pelakupelaku agribisnis non-petani sebab mereka juga berkepentingan dengan adanya penyuluhan yang efektif dan relevan dengan usahanya. Penyuluh Pertanian dapat berperan sebagai fasilitator dalam membangun hubungan/keterkaitan antara petani dan pelaku agribisnis lainnya. Fungsi-fungsi dari semua komponen sistem penyuluhan pertanian itu harus ”berjalan” dan interaksi antar komponen itu juga harus terjadi agar penyuluhan pertanian yang bermutu dapat terjadi secara berkelanjutan. Penelitian pertanian harus lebih diutamakan untuk mengisi usaha pemberdayaan petani ke arah kemandirian. Pengumpulan, analisis dan penyebaran informasi pasar perlu dilembagakan. Informasi pasar akan digunakan sebagai dasar perencanaan usahatani. Perencanaan usahatani (maximizing profit) perlu dijadikan materi penting dalam penyuluhan pertanian (Slamet, 2001). 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Untuk melihat proses diseminasi inovasi serta merumuskan kebijakan akselerasinya perlu memilih salah satu program Kementerian Pertanian, yang menjadi skala prioritas program nasional. Selanjutnya dari program tersebut akan dicermati beberapa hal yang terkait dengan: 1. Apakah programa yang disusun oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian telah mengakomodir inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Puslit/Puslitbang atau Balit terkait)? 2. Sejauhmana programa yang disusun di tingkat operasional (Balai Penyuluhan Pertanian) telah mengikuti Programa Pusat? Dengan kata lain apakah materi penyuluhan merupakan hasil penelitian yang telah diterjemahkan dalam bahasa penyuluhan? 3. Apakah para penyuluh telah memperoleh pendidikan dan pelatihan yang memadai, agar dapat mengikuti perkembangan inovasi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian? 4. Bagaimana evaluasi implementasi diseminasi inovasi pertanian? 5. Bagaimana mewujudkan koordinasi yang sinergis antara Badan Litbang Pertanian dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian dalam rangka akselerasi implementasi inovasi pertanian? 6. Apakah ada umpan balik dari petani ke penyuluh dan peneliti terkait dengan inovasi yang diperkenalkan dengan kebutuhan petani terhadap suatu inovasi pertanian?
13
7. 8.
Sejauhmana lembaga penelitian dalam mendesain penelitian telah mengakomodir kebutuhan petani? Adakah prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan sinergitas antara Penelitian, Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan dalam implementasi inovasi pertanian?
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1.
1.
2.
3.
Dasar Pertimbangan
Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: Provinsi/kabupaten terpilih terdapat program yang dapat ditelusuri keterkaitan antara inovasi pertanian yang diperkenalkan dengan hasil penelitian yang relevan. Kejelasan komponen inovasi pertanian yang diperkenalkan yang dapat dipilah antara lokasi yang berhasil dan kurang berhasil, sehingga dapat diidentifikasi keberhasilan dan kekurangannya. Keberadaan Penyuluh (baik PNS, THL-TBPP, Swadaya, maupun Swasta) di lokasi yang memungkinkan diidentifikasi implementasi diseminasi inovasi.
3.3.2.
Lokasi dan Responden
Lokasi kajian mencakup wilayah Jawa (Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten) dan Luar Jawa (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Beberapa Provinsi dipilih secara purposif yang dinilai representatif untuk dilakukan kajian kebijakan dan implementasi diseminasi inovasi pertanian. Jenis kuesioner untuk kajian ini terdiri atas: 1. Panduan pertanyaan kualitatif dengan format pertanyaan terbuka untuk para nara sumber yang berasal dari lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penentu kebijakan, lembaga pelayanan, baik di tingkat pusat dan daerah. 2. Kuesioner semi terstruktur (pertanyaan kualitatif dan kuantitatif) untuk responden Peneliti, Widyaiswara, dan Penyuluh. 3. Panduan pertanyaan untuk kegiatan Group Discussion dengan Kelompok Tani. Responden dalam kegiatan penelitian ini adalah: (1) Pimpinan lembaga penelitian, lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan, lembaga penentu kebijakan, lembaga pelayanan yang terkait dengan bidang kajian dari pusat sampai daerah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten); (2) Informan kunci (kontak tani, aparat pemerintah, penyuluh swasta, dan lain-lain); (3) Kelompok tani; (4) Penyuluh; (5) Widyaiswara; serta (6) Peneliti. Sebaran jumlah responden menurut kategori responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
14
Tabel 1. Cakupan dan Jumlah Responden Penelitian Uraian Tingkat/Jenis Responden Tingkat Pusat Instansi (aparat/ Informan) - Pusat Penyuluhan Pertanian - Pusat Diklat Pertanian - Badan Litbang Pertanian - Ditjen Tanaman Pangan - Ditjen Peternakan Tingkat Provinsi/ Kabupaten Instansi (aparat/ informan) - Bakorluh - BPTP - BP4K/Lembaga Penyuluhan - Dinas Pertanian - Dinas Peternakan - Balai Diklat Pertanian - BP3K/BPP (Penyuluh) - Koordinator penyuluh - Kelompok tani Jumlah
Provinsi DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Nusa Tenggara Timur
Total
4
-
-
-
4
4
-
-
-
4
4
-
-
-
4
4 4
-
-
-
4 4
-
4 4
4 4 4 4 4
4 4 4 4 4
12 12 12 12 12
4
4
12
4 4 4
-
4
-
6
6
6
18
20
2 6 38
2 6 38
2 6 38
6 18 134
15
3.4. 3.4.1.
Data dan Metode Analisis Jenis dan Sumber Data
Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang digunakan untuk menjawab tujuan kajian, sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap. Data primer dikumpulkan langsung dari responden, yakni seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan inovasi pertanian. Data dari informan kunci seperti pejabat/pimpinan institusi, peneliti, penyuluh, widyaiswara, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan wawancara yang dilakukan secara intensif kepada informan, sehingga terelaborasi beberapa elemen dalam jawaban informan, yakni opini, nilai-nilai (values), motivasi, faktor-faktor sosial ekonomi dan kendala-kendala pokok, pengalaman-pengalaman maupun perasaan informan. Dalam wawancara mendalam, peneliti memperhatikan jawaban verbal maupun respon-respon non verbal dari informan. Untuk mendapatkan informasi yang holistik (dengan cara menghimpun pendapat, persepsi, kepercayaan, dan sikap responden terhadap sesuatu yang dijadikan topik diskusi) terkait dengan tujuan penelitian dilakukan diskusi kelompok dengan pendekatan ethnomethodology, yakni penelitian terhadap perilaku sosial rutin sehari-hari. Cakupan data primer terdiri atas data kuantitatif (jawaban pertanyaan semi terstruktur dalam kuisioner) dan data kualitatif (data penjelas dari fenomena yang diamati, baik yang diperoleh dari lembaga penelitian, lembaga pendidikan/pelatihan dan penyuluhan, lembaga penentu kebijakan, dan lembaga pelayanan di dinas lingkup pertanian provinsi, kabupaten, kecamatan, maupun desa (kelompok tani sebagai penerima inovasi). Data sekunder diperoleh dari instansi, seperti: Badan Litbang Pertanian, Puslit/Puslitbang atau Balit, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Pusat Penyuluhan Pertanian, Pusat Pedidikan dan Pelatihan Pertanian, Bakorluh, Bapeluh, dan Dinas Pertanian yang terkait. Disamping itu data sekunder juga dapat diperoleh dari media, baik cetak maupun elektronik. 3.4.2.
Metode Analisis
Penganalisaan terhadap data dilakukan mengikuti format tujuan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif, dan (2) analisis pemangku kepentingan (stakeholders analysis). Analisis data deskriptif dapat dilakukan melalui statistik deskriptif, yakni statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
16
Untuk menjawab tujuan 1 s/d 3 dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif komparasi dan analisis pemangku kepentingan (stakeholders analysis). Data kualitiatif disampaikan secara deskriptif, dengan menganalisis dan membandingkan antara kebijakan dengan implementasi diseminasi inovasi pertanian. Analisis pemangku kepentingan dapat digunakan untuk: (1) menganalisis bagaimana kelompok tani akan terpengaruh oleh suatu inovasi pertanian; (2) menganalisis dampak suatu inovasi; (3) mengidentifikasi keuntungan suatu inovasi pada setiap kelompok; dan (4) mengeksplorasi bagaimana suatu inovasi dapat meninimalkan konsekuensi negatif. IV. ANALISIS RISIKO PENELITIAN Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami hambatan yang menjadi risiko. Pada Tabel 2 ditampilkan beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa cara penanganan risikonya. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait. Tabel 2. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan No. 1.
Jenis Penyebab Dampak Risiko Kegiatan - Anggaran - Jadwal survai penelitian belum tersedia lapang menjadi tidak pada waktu mundur optimal direncanakan ke lapangan
Penanganan - Ketersediaan anggaran pada waktu merencanakan ke lapangan
- Peneliti yang merangkap di beberapa kegiatan penelitian
- Pendistribusian - Peneliti terbagi tenaga peneliti waktu dan konsentrasinyase dengan baik, sehingga tidak hingga kurang terjadi kelebihan fokus dengan beban pada kegiatan beberapa peneliti penelitian ini saja.
- Kelebihan beban kerja di bagian entry data dan pengolahan data
- Merekrut tenaga - Target pengolah data pengolahan data tidak sesuai jadual sehingga mempengaruhi penyelesaian laporan penelitian
17
V.
TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Susunan Tim Pelaksana Susunan tim penelitian menurut golongan dan kepangkatan, jabatan fungsional dan bidang keahlian adalah sebagai berikut (Tabel 3) : Tabel 3. Susunan Tim Penelitian No
Golongan/ Pangkat
Nama
1.
Dr. Kurnia Suci Indraningsih
IV/a
2.
Ir. Wahyuning K. Sejati, MS
IV/b
3.
Ir. Roosganda Elizabeth, MSi.
IV/b
4.
Ahmad Makky Ar-Rozi,S.Sos
III/a
5.
Sri Suharyono, S.Sos
III/a
Jabatan Fungsional Peneliti Muda Peneliti Madya Peneliti Madya Peneliti Pertama Calon Peneliti
Kedudukan dalam tim Ketua Tim Anggota Anggota Anggota Anggota
5.2. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember tahun 2014 dengan rincian jadwal sebagai berikut (Tabel 4): Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Jenis Kegiatan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survai dan pretest kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir
18
DAFTAR PUSTAKA
Andries, Nandy. 2012. Diseminasi Teknologi Pertanian. Pertanian Hijau. http://agronomi3000.blogspot.com/2012/05/diseminasi-teknologipertanian.html (Diunduh 24 Februari 2014). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Pedoman Umum Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC). Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Biro Perencanaan. 2013. Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 20132045 Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Jakarta. Hatta, Muhammad. 2011. Kajian Sistem Informasi Diseminasi Untuk Percepatan Transfer Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi Di Propinsi Sulawesi Selatan Laporan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan. www.sulsel.litbang.deptan.go.id (Diunduh 24 Februari 2014). Indraningsih, KS. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agro Ekonomi (JAE). 29 (1):1-24. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Lakitan, Benyamin. 2013. Kebijakan Sistem Inovasi dalam Membangun Pusat Unggulan Peternakan. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Industri Peternakan, Bogor, 18 September 2013. http://benyaminlakitan. files. wordpress.com/ 2013/ 09/20130918kebijakan-sistem-inovasi (Diunduh 24 Februari 2014). Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. University Press. Surakarta.
Sebelas Maret
Margono, Tri dan S. Sugimoto. 2011. The Barriers of the Indonesian Extension Workers in Disseminate Agricultural Information to Farmers. International Journal of Basic and Applied Sciences IJBAS-IJENS. 11(02): 80-87. Rhoades RE. 1990. Models, Means and Methods: Rethinking Rural Development Research. Makalah Asian Training of Trainers on Farm Diagnostic Skills. University of Philipines. Los Banos, Philipines. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. Fifth Edition. The Free Press. New York.
19
Slamet, Margono. 2001. Menata Sistem Penyuluhan di Era Otonomi Daerah. http://margonoipb.files.wordpress.com. (diunduh 12 Maret 2013). ______________. 2008. “Menuju Pembangunan Implementasi UU No. 16/2006 tentang Sistem perikanan dan kehutanan.” Dalam: Pemberdayaan yang Bermartabat. Disunting oleh Ida Yustina Sydex Plus. Bogor.
Berkelanjutan melalui Penyuluhan Pertanian, Manusia Pembangunan dan Adjat Sudradjat.
Sumardjo. 2012. Review dan Refleksi Model Penyuluhan dan Inovasi Penyuluhan Masa Depan. Seminar Nasional: Membangun Penyuluh-an Masa Depan yang Berkeadilan dan Menyejahterakan. 22 Februari 2012. Institur Pertanian Bogor. Bogor. Sumardjo, Retno Sri Hartati Mulyandari, Darojat Prawiranegara, Leo Darmawan. 2012. Sistem Diseminasi Inovasi Pertanian Berbasis Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Keberdayaan Petani Sayuran Dalam Proses Pengambilan Keputusan Usahatani. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. http://web.ipb.ac.id/ppm/ID/index.php?view=penelitian/hasil cari&status=buka&id_haslit=KKP3N/018.12/SUM/s (Diunduh 24 Februari 2014). Tjitropranoto, Prabowo. 2005. Penyediaan dan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian untuk Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Marjinal: Peningkatan Mutu Partisipasi. Seminar Nasional Pengem-bangan Sumberdaya Lahan Marjinal. 30-31 Agustus 2005. Mataram.
20