AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh Ali Abdul Rodzik NIM: 104051001817
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008
AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)
Oleh
Ali Abdul Rodzik NIM: 104051001817
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008
AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam
Oleh Ali Abdul Rodzik NIM: 10405101817
Di Bawah Bimbingan,
Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti NIP. 150 236 319
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa
(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Juli 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta, 31 Juli 2008 Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Murodi, M.A. NIP. 150 254 102
Umi Musyarofah, M.A. NIP. 150 281 980
Anggota, Penguji I
Penguji II
Drs.Wahidin Saputra, M.A. NIP. 150 276 299
Dr. Arief Subhan, M.A. NIP. 150 262 442
Pembimbing
Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti NIP. 150 236 319
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Agustus 2008
Ali Abdul Rodzik
ABSTRAK ALI ABDUL RODZIK Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah.
Akulturasi merupakan perpaduan antarabudaya yang telah terjadi pada ratusan tahun yang lalu. Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi ini telah terjadi pada budaya Betawi dengan Tionghoa sehingga menghasilkan kesenian Gambang Kromong. Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui proses akulturasi budaya yang terjadi pada Etnis Betawi dengan Tionghoa melalui beberapa variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi. Adapun identifikasian dan rumusan masalah ini lebih terfokus pada variabel komunikasi dalam akulturasi sebagai cara pembuktian perpaduan pada alat-alat kesenian Gambang Kromong dilihat dari bagaimana komunikasi pribadi terbentuk antara kedua etnik tersebut? Bagaimana komunikasi sosial terbentuk antar kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong? Dan bagaimana lingkungan komunikasi memengaruhi kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong? Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi untuk menganalisa studi kesenian Gambang Kromong. Dalam pendekatan kualitatif, peneliti melakukan pencarian melalui dokumentasi berupa data-data yang bersifat teoritis berupa buku-buku, data-data dari dokumen yang berupa catatan formal, jurnal, internet dan sebagainya yang bersangkutan dengan judul. Peneliti juga melakukan observasi dengan mendatangi langsung Perkampungan Budaya Betawi sebagi lokasi studi penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara kebeberapa narasumber yang dianggap tepat dalam memberikan informasi. Akulturasi terjadi sudah lama dan terbentuk dalam komunitas etnik Betawi dengan Tionghoa, ini terbukti dari adanya kesenian Gambang Kromong hingga saat ini dan menjadi budayanya etnik Betawi. Dalam proses akulturasi tersebut komunikasi persona (pribadi) terjadi pada saat orang-orang Tionghoa mengadu nasib ke Batavia dalam kurun waktu yang lama. Mereka mempelajari pola-pola relasi, aturan-aturan, dan sistem komunikasi orang-orang Betawi. Proses komunikasi sosial orang-orang Tionghoa pun tak terelakan, terbukti dari orangorang Tionghoa telah mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosio-budaya Betawi dan lebih jauh mengetahui unsur dan sistem sosio-budaya Betawi. Dari
semua proses komunikasi tersebut maka lingkungan komunikasi sangat mendukung ini juga terbukti dari tempat pemukiman orang-orang Tionghoa dan Betawi yang berdekatan.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil ‘aalamin, dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allah SWT tiada kalimat yang lebih pantas diucapkan kepada-Nya, karena Dia adalah Dzat yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya serta memberikan banyak nikmat serta rizki kepada penulis, sehingga dengan izin Allah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya Betawi dengan
Tionghoa, (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong, Kelurahan Srengseng Sawah”. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada sosok manusia yang terjaga dari perbuatan buruk Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga hari akhir nanti. Terselesaikannya skripsi ini mulai dari penelitian sampai pada penyusunannya, banyak sekali pihak-pihak yang membantu, sehingga penulis memberikan penghargaan yang tinggi dengan ucapan terima kasih yang tiada tara kepada: 1. Bapak Dr. Murodi, M.A., selaku Dekan
Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku pembantu Dekan I, Bapak Drs. H. Mahmud Jalal, MA selaku pembantu Dekan II, dan Bapak Drs. Study Rizal Lk, M.Ag selaku Pembantu Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
3. Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Ibu Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretarsis Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang memberikan banyak informasi dan pengarahan kepada penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu, memberikan banyak ilmu baru dan memberikan
petunjuk
dalam
membimbing
penulis
sampai
terselesaikannya skripsi ini. 5. Bapak Drs. Suhaimi, M.Si., selaku Penasehat Akademik yang banyak memberikan masukan kepada penulis. 6. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan baru mulai semester I sampai semester VIII, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis. 7. Seluruh staf Lembaga Kebudayaan Betawi, khususnya Drs. Yahya Andi Saputra yang telah banyak meluangkan waktu dan kesempatan dalam memberikan informasi selama Penyusunan Skripsi. 8. Seluruh staf Pengelolah Perkampungan Budaya Betawi, khususnya Bang Indra Sutisna yang telah banyak meluangkan waktu dan kesempatan dalam memberikan informasi selama Penyusunan Skripsi. 9. Mpok Nori selaku pelaku seni yang telah bersedia untuk diwawancarai. 10. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Haji Kurnain(alm) dan Ibunda tercinta Hajah Sanati, yang telah banyak memberikan support baik materil maupun imateril dan senantiasa mendoakan disetiap sholatnya untuk penulis. Terima kasih atas keikhlasan dan kasih sayangnya yang tulus
kepada penulis. Semoga ibunda selalu diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Amin 11. My Brother KH. Abdul Muthi, Dr. H. Suryadinata, MA., H. Dani Ramdani, MA., Wawan Munjiani, MM., M. Sarwani, SE, Chaider S. Bamualim, MA., Iwan Setiawan, Ibnu Djarir, S.Ag, Iwan Dardiri, Ahmad Nabawi, Dzul Fikor Ali Akbar, Nuris Setiawan. To My Sister Hj. Marhani, Hj. Lilik Nurmaliha, Hanimah, Rusmiyati, Ika, Etty Kurniawati, Mila, Robiatu Adawiyah, Fitri, Icha, Khotimatu Sa’diyah, dan adikku tercinta Sakinatunnajah. yang telah banyak memberikan suport kepada penulis dan terutama kakanda Chaider S. Bamualim yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingannya kepada penulis. 12. Seluruh teman-teman jurusan KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI-C, Dzikril, Willy, Kery, Badru, Ade, Bule, Hayus, Ray, Renal, Jaka, Lutfi, Adnan, Hilmi, Yusuf, Eko, Nia, Ety, Lilis, Intan, Dama, Kartika, Syukriah, Masyitoh, Emma, Eriz., yang selalu membantu penulis dalam berbagi pengalaman, bertukar fikiran, dan motivasinya. Semoga persahabatan ini akan terus berlanjut. 13. Teman terbaik penulis yang menjadi belahan jiwa. Dimana Saya ada, Dia selalu ada untuk menemani Saya mencari bahan Skripsi serta memberikan suport dan masukan kepada penulis. Teman terbaikku Fitri Kustianti, S.Hum. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kemudahan. Amin
Akhirnya penulis berdoa kepada Allah Yang Maha Sempurna agar bantuan, dorongan, dan masukan dari semua pihak dapat dijadikan amal ibadah dan mereka mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Amin Dengan demikian penulis menyadari betul masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan ilmu baru yang bermanfaat.
Jakarta, 31 Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. i ABSTRAK ............................................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI.........................................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ...............................................................................1 A. Latar Belakang Masalah................................................................1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................4 C. Ruang Lingkup Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................6 D. Metodologi dan Bingkai Penelitian...............................................8 E. Tinjauan Pustaka ...........................................................................13 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 14
BAB II : AKULTURASI BUDAYA DALAM ILMU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ………………………………….…………….… 16 A. Akulturasi dan Asimilasi (Pembauran) .........................................16 1. Akulturasi ............................................................................... 18 2. Asimilasi (Pembauran) ........................................................... 18 B. Komunikasi Antarbudaya ............................................................. 18 1. Komunikasi ............................................................................ 28 2. Kebudayaan ............................................................................ 20 3. Komunikasi Antarbudaya ....................................................... 22 C. Variabel Komunikasi dalam Akulturasi .......................................24 1. Komunikasi Persona ............................................................... 24 a. Kompleksitas Kognitif Imigran ........................................ 25
b. Citra Diri Imigran .......………………………………….. 26 c. Motivasi Akulturasi .......................................................... 26 2. Komunikasi Sosial ................................................................. 27 3. Situasi dan Kondisi Komunikasi ............................................ 28 BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SERENGSENG SAWAH………………………………………………………....... 30 A. Gambaran Umum Masyarakat Serengseng Sawah ......................30 B. Sejarah Singkat Etnis Betawi .......................................................31 C. Sejarah Singkat Etnis Tionghoa ...................................................36 D. Asal-usul Kesenian Gambang Kromong ......................................41 E. Alat-alat (Instrumen) Kesenian Gambang Kromong ................... 45
BAB IV
: BETAWI DAN TIONGHOA DALAM AKULTURASI .............48 A. Komunikasi Pribadi dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong.......................................................................48 1. Kerumitan Kognitif Imigran .................................................. 49 2. Gambaran Diri …………………………………................... 52 3. Dorongan Akulturasi ............................................................. 54 B. Komunikasi Sosial dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong ...................................................................................... 56 C. Lingkungan Komunikasi dalam Akulturasi pada Kesenian GambangKromong ....................................................................... 62
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................67 B. Saran-Saran ..................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. ........................................................................................................... Su rat Keterangan Izin Penelitian di Perkampungan Budaya Betawi. 2. ........................................................................................................... Ga mbarab Umum Masyarakat Serengseng Sawah 3. ........................................................................................................... Ha sil Wawancara dengan Budayawan Betawi menjabat Sub. Bidang Pertunjukan. 4. ........................................................................................................... Ha sil Wawancara dengan Seorang Pemerhati Budaya Cina Indonesia. 5. ........................................................................................................... Ha sil Wawancara dengan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi 6. ........................................................................................................... Ha sil Wawancara dengan Pelaku Seni Betawi 7. ........................................................................................................... Su rat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 8. ........................................................................................................... Fo to-foto Kegiatan Penelitian dan Wawancara
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para
sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.1 Hal ini dapat dilihat dari beberapa seni budaya yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Betawi khususnya. Contohnya pada kesenian Gambang Kromong. Untuk dapat menghasilkan sebuah akulturasi yang baik maka perlu adanya proses sosial. Proses sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia yaitu ditandai oleh dinamika komunikasi. Hal ini jelas terjadi pada seluruh umat manusia di dunia, mereka benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat dipenuhi jika berkomunikasi dengan orang lain. Karena itu jika berhasil berkomunikasi secara efektif maka seluruh kebutuhannya dapat dia capai. Setiap hari, kita pasti selalu berkomunikasi. Kita saling bertukar informasi dan pengalaman. Kita berdiskusi dan berdialog panjang tentang sesuatu hal adalah untuk mencari sebuah keputusan dan hasil yang diinginkan bersama.
1
248.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980), h. 247-
Semua tidak terlepas dari adanya pertukaran inforamasi baik dari tetangga dan kenalan. Informasi yang didapat juga bias dari membaca majalah atau surat kabar dan mendengarkan radio atau menonton TV. Dari pagi hingga petang manusia berkomunikasi, manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi atau manusia tidak dapat mengelak dari komunikasi. Artinya, tiada hari tanpa komunikasi. Komunikasi telah ada sejak manusia lahir, dan akan terus ada sepanjang manusia lahir, dan akan terus ada sepanjang manusia hidup.2 Seseorang tidak dapat lepas dari komunikasi, begitu juga dengan budaya dan komunikasi yang tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan.3 Komunikasi adalah alat yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi kehidupan sosial.4 Budaya sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.5 Manusia belajar, berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bila melihat Betawi secara umum maka yang terlihat adalah merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerahdaerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, 2
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta, LKiS, 2003), h. 2-3. 3 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19. 4 Ibid, h. 137. 5 Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication Konteks-konteks Komunikasi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 237
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana atau marawis yang berakar pada tradisi musik Arab, Musik Keroncong Tugu yang muncul sebagai sebuah hasil kebudayaan betawi merupakan perpaduan unik dengan latar belakang Portugis-Arab, sedangkan kesenian Tanjidor lebih berlatar belakang ke-Belanda-an.6 Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.7 Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah merupakan tempat tinggal sebagian kecil masyarakat Betawi dan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan. Salah satunya adalah kegiatan kesenian Gambang Kromong. Gambang kromong bila diartikan dalam Kamus Kesar Bahasa Indonesia, Gambang merupakan alat musik pukul tradisional (bagian dari perangkat gamelan) yang dibuat dari bilah kayu (16-25 bilah) yang panjang dan besarnya tidak sama dimainkan dengan alat pukul. Sedangkan kromong diartikan sebagai gamelan khas betawi untuk mengiringi drama rakyat betawi (lenong dan cokek).8 Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur Pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alatalat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik
6
Samurai, Musik Tradisional, artikel diakses pada 2 Juni 2008, dari http://Musuk Tradisional by Samurai On Blogster.htm 7 Sekilas Tentang Masyarakat Betawi, Artikel Bamus Betawi diakses pada 1 Juni 2008 dari http://betawi.blogsome/htm. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), h. 329.
lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur Pribumi.9 Dari akulturasi yang telah terjadi, penulis melihat perlu adanya kejelasan proses akulturasi tersebut untuk dapat mengetahui apa saja yang terjadi? dan melalui apa saja?. Aklturasi ini jelas sekali telah menghasilkan sebuah kesenian Gambang Kromong. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi: "Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya
pada
Kesenian
Gambang
Kromong
di
Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan)."
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi masalah Dalam pengidentifikasian masalah ini, peneliti ingin membukti dengan jelas mengenai perpaduan yang serasi antara unsur-unsur Pribumi dengan unsur Tionghoa. Hal tersebut terlihat dari orang-orang Tionghoa yang sejak lama tinggal di Indonesia dan melakukan perkawinan dengan orang-orang Pribumi, sehingga perpaduan itu bukan saja pada alat musik Gambang Kromong, tetapi juga dari sisi ekomomi, politik, dan lain sebagainya. Pengindetifikasian masalah ini lebih terfokus variabel komunikasi dalam akulturasi dan sebagai bukti perpaduan pada alat-alat kesenian Gambang Kromong.
9
Rachmat Syamsudin dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, (Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1996), h. 5.
2. Pembatasan Masalah Dalam penyusunan skripsi ini, pembatasan masalah pada kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan yang kegiatan latihanya setiap hari sabtu pada pukul 09.00 – 13.00 WIB, hanya pada bulan Mei sampai dengan Juli 2008.
3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada maka peneliti merumuskan masalah utama sebagai berikut :
Bagaimana akulturasi budaya antara etnik Betawi dan Tionghoa terbentuk melalui Komunikasi Persona dan Sosial dalam kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah?
Berdasarkan masalah di atas, maka pertanyaan turunannya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana komunikasi persona terbentuk antara kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong? 2. Bagaimana komunikasi Sosial terbentuk antara kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong? 3. Bagaimana lingkungan komunikasi memengaruhi kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong?
C. Ruang Lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini merupakan akulturasi yang terjadi pada kesenian Gambang Kromong berupa alat-alat musik yang digunakannya. Gambang kromong adalah sebuah seni tradisi masyarakat betawi. Musik tradisi ini terdiri dari instrumen : a. Gambang (silofon) dengan 18 nada yang dilaras/tangga nada pentatonic dengan panjang tiga setengah oktaf b. Kromong berbentuk mirip dengan bonang, terdiri dari sepuluh buah gong kettle kecil (Pencong) yang dilaras pentatonic sepanjang 2 oktaf c. Kongahyan, tehyan, dan sukong adalah alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek. d. Sebuah flute/seruling yang berasal dari Tionghoa e. 2 buah gong gantung (kempul dan gong), gendang, dan kecrek, instrumen tersebut adalah asli Indonesia.10 Masyarakat pemilik/pendukung kesenian ini adalah masyarakat Tionghoa keturunan dari perkawinan campur Tionghoa-Pribumi, dan milik masyarakat Betawi asli. 2. Tujuan a. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui proses akulturasi budaya antara etnik Betawi dan Tionghoa terbentuk melalui variabel-variabel komunikasi dalam 10
Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, …, h. 10-16.
akulturasi yang diantaranya: Komunikasi Persona, Komunikasi Sosial, dan Lingkungan Komunikasi dalam kesenian Gambang Kromong. 2) Untuk dapat memperkirakan realitas akulturasi pada suatu saat tertentu dan juga meramalkan tahap akulturasi selanjutnya dalam komunikasi antarbudaya. b. Tujuan Umum Penelitian ini dibuat dengan sedikit memberikan usulan yaitu perlu adanya
penelitian-penelitian
yang
berkaitan
dengan
komunikasi
antarbudaya selanjutnya agar dapat lebih menambah kazanah ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi. 3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Dari penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri. b. Manfaat praktis Dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberi masukan positif bagi para teoritis, praktisi untuk lebih mengoptimalkan nilai-nilai yang terdapat dalam satu kebudayaan. Betapa pentingnya komunikasi sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang ada.
D. Metodologi dan Bingkai Penelitian
1. Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Di mana data-data yang telah diperoleh dideskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasi variabel.11
Metode di atas dimaksudkan agar penulis lebih leluasa dalam penelitian studi kesenian Gambang Kromong, sehingga dalam penelitian ini penulis dapat menggunakan dan mengembangkannya secara alamiah. Metode deskriptif tersebut dengan menggunakan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi sebagai berikut :
A. Komunikasi Persona merupakan sebuah proses pengaturan diri yang dilakukan individu pada dirinya (imigran) dan dengan sosialbudayanya, dimaksudkan orang tersebut dapat mengembangkan caracara melihat, mendengar, dan merespon lingkungannya. Hal di atas erat kaitanya dengan yang tertera di bawah ini :
11
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi contoh analisis statistik, (Bandung, Remaja Rosdakarya 2000), h. 24-25.
1) Kompleksitas kognitif imigran lebih menitikberatkan pada pedoman dan aturan-aturan sistem komunikasi Pribumi. Dengan demikian persepsi imigran terhadap lingkungannya lambatlaun akan menjadi lebih baik dan memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam lingkungan Pribumi. 2) Citra Diri (Self Image) artinya gambaran diri seorang imigran yang berhubungan dengan gambarannya tentang masyarakat Pribumi dan
budaya
aslinya,
dengan
cara
menceritakan
realitas
akulturasinya sesuai dengan apa yang ia rasakan. 3) Motivasi akulturasi di sini mengarah kepada keinginan imigran untuk mengetahui, berpartisipasi, dan pastinya lebih diarahkan pada sistem sosio-budaya Pribumi. B. Komunikasi Sosial adalah suatu proses berkomunikasi yang lebih umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu lainnya. Dan yang terpenting pada fase awal proses akulturasi seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Pribumi. C. Situasi dan kondisi komunikasi merupakan hal terpenting dalam hubungannya dengan komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran, dan fungsi komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat Pribumi. Apakah imigran tinggal di desa atau di kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau kaya, bekerja
sebagai buruh pabrik atau eksekutif. Semua itu merupakan kondisi lingkungan
yang
mungkin
secara
signifikan
mempengaruhi
perkembangan sosio-budaya yang akan dicapai imigran tanpa melupakan komunitas etniknya di daerah setempat.
2. Sumber Data Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, di sini peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.
a) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan pihak instansi yang bersangkutan dalam hal ini ialah Kelurahan setempat serta warga masyarakat Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. b) Data sekunder akan diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam buku, Jurnal, Kutipan-kutipan, dokumentasi atau arsip-arsip (kelurahan) dan literatur lain yang berkaitan dengan penelitian mengenai akulturasi budaya pada kesenian Gambang Kromong.
3. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti untuk mengetahui kegiatan Kesenian dalam perspektif komunikasi antarbudaya di Perkampungan Budaya Betawi adalah :
1. Observasi
Pengamatan langsung mengenai objek yang diteliti yaitu kesenian Gambang Kromong dengan observasi langsung ke Perkampungan Budaya Betawi di Srengseng Sawah. Dan sekaligus turut langsung dalam pelaksanaan kegiatan latihan yang dilakukan setiap hari minggu, dimulai pada pukul 9.00 WIB, dan acara-acara pagelaran seni Budaya Betawi di aula serbaguna Perkampungan Budaya Betawi.
Observasi juga dilakukan ke kantor pengelolah Perkampungan Budaya Betawi dan kantor Lembaga Kebudayaan Betawi di Kuningan untuk menambah referensi mengenai data yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. Guna dapat menambah referensi mengenai data kesenian Gambang Kromong, juga dilakukan penelusuran melalui dunia cyber/website yaitu; www.google.com dan www.kampungbetawi.com serta pengamatan yang bersifat langsung dengan mengikuti kegiatan Sarasehan Folklor Betawi di Cipayung - Bogor pada tanggal 28-29 Juli 2008 yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI Jakarta.
2. Interview
Mewawancarai pada pihak-pihak yang memiliki perhatian, pengetahuan sejarah, serta perannya dalam perkembangan kesenian Gambang Kromong. Melakukan wawancara seputar awal terjadinya akulturasi, nilai-nilai, sejarah serta hal-hal yang berkaitan dengan kesenian Gambang Kromong yaitu kepada Budayawan Betawi dan Sub. Bidang Pertunjukan di LKB oleh Drs. Yahya Andi Saputra, Pemerhati Budaya Cina Indonesia oleh David Kwa, Pengelolah Perkampungan Budaya Betawi oleh Indra Sutisna, serta mewawancarai Mpok Nori selaku Pelaku Kesenian Budaya Betawi untuk dapat mengetahui perkembangan kesenian Gambang Kromong.
3. Dokumentasi
Penulis menghimpun data-data yang terkumpul berupa; dokumen, foto-foto, buku-buku, catatan formal, jurnal, internet dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah peneltian sebagai bahan penunjang penelitian. Kemudian penulis menggunakan analisa deskriptif, artinya dari data yang terkumpul penulis menjabarkan dengan memberikan analisaanalisa untuk kemudian diambil kesimpulan akhir.
5. Pengolahan Dan Analisis Data
Dari data-data yang sudah peneliti peroleh, maka peneliti mempelajari berkas-berkas yang telah terkumpul kemudian peneliti melakukannya dengan cara: Editing, yaitu mempelajari kembali berkas-berkas data yang telah terkumpul,
sehingga keseluruhan berkas itu dapat diketahui dan dapat dinyatakan baik agar dapat dipersiapkan proses selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
Dari pengamatan peneliti di lingkungan UIN Jakarta, peneliti belum pernah menemukan penelitian tentang "Akulturasi Budaya Betawi Islam Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya Pada Kesenian Gambang Kromong Di Setu Babakan, Kelurahan Jagakarsa)". Peneliti hanya menemukan satu penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukru, S.Sos.I, Fakultas Dawah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, dengan judul penelitian, "Komunikasi Antarbudaya (Studi Pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi Dengan Madura Di Kelurahan Condet Batu Ampar)", penelitian ini dilakukan pada tahun 2006, dan hasil penelitian ini menekankan pola lain dari komunikasi antarbudaya masyarakat suku betawi dengan madura, mengambil bentuk komunikasi kecil, dimana hal ini terjadi dalam konteks keagamaan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa suku betawi dan madura adalah dua suku yang dikenal fanatik dalam agama dan secara umum amaliah keagamaannya mempunyai kesamaan, yakni: amaliah keagamaan yang tradisional. Berangkat dari minimnya penelitian tentang komunikasi antarbudaya, peneliti tertarik untuk meneliti tentang "Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa, Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong" sebagai sumbangsih pemikiran terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam skripsi ini, penulis berusaha membuat sistematika khusus berdasarkan kesamaan dan hubungan yang ada, skripsi ini terdiri dari lima bab :
Bab I Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, ruang lingkup tujuan dan manfaat penelitian, metodologi dan bingkai penelitian, tinjauan pustaka, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan.
Bab II Akulturasi dalam ilmu komunikasi antarbudaya, Akulturasi dan Asimilasi (pembauran) menjelaskan Pengertian Akulturasi dan Asimilasi (pembauran). Komunikasi Antarbudaya menjelaskan pengertian Komunikasi, Kebudayaan, dan Komunikasi Antarbudaya. Akulturasi dan variabel komunikasi dalam akulturasi yang meliputi : Komunikasi Persona yang terdiri dari kompeksitas struktur kognitif imigran, citra diri imigran, dan Motivasi akulturasi. Komunikasi Sosial, dan Situasi dan Kondisi Komunikasi. Bab III
Gambaran umum Srengseng Sawah dan sejarah Gambang
Kromong; dilihat dari gambaran umum masyarakat Srengseng Sawah, Etnis Betawi, Etnis Tionghoa, asal-usul terbentuknya kesenian Gambang Kromong, alat-alat (instrumen) yang digunakan pada kesenian tersebut, yang terakhir Gambang dan Kromong. Bab IV Betawi danTionghoa dalam Akulturasi, komunikasi pribadi dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong melalui, Kerumitan Kognitif Imigran, Gambaran Diri, dan Dorongan Akulturasi. Kemudian menganalisis
komunikasi sosial dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong. Dan yang terakhir lingkungan komunikasi dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong Bab V Penutup, Kesimpulan, Saran-saran, dan selain itu diakhir skripsi ini dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II AKULTURASI DALAM ILMU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
A. Akulturasi dan Asimilasi (Pembauran) 1. Pengertian Akulturasi
Akulturasi dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai proses pencampuran
dua
kebudayaan
atau
lebih,12 dalam
Akulturasi
atau
acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.13
Pengertian proses akulturasi dalam buku Komunikasi Antarbudaya merupakan suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru.14 Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam
12
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, (Surabaya, Gitamedia Press, 2006), h. 21. 13 Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1981), h. 247248. 14 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 140.
masyarakat Pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut15 :
a. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya Pribumi. b. Usia pada saat berimigrasi. c. Latar belakang pendidikan. d. Beberapa karakteristik kepribadian seperti sukan bersahabat dan toleransi. e. Pengetahuan tentang budaya Pribumi sebelum berimigrasi.
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya, melalui media masa). Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu saja, kultur tuan rumah berubah juga. Tetapi, pada umumnya, kultur imigranlah yang lebih banyak berubah. 16
Menurut Young Yun Kim, seperti yang dikutip Joseph A. Devito, penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula, mereka yang lebih muda dan terdidik lebih cepat
15 16
479.
Ibid, h. 146. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Professional Books, !997), h.
terakulturasi ketimbang mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh. Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, misalnya, lebih mudah terakulturasi. Akhirnya, orang yang terbiasa dengan kultur tuan rumah sebelum berimigrasi, apakah melalui kontak antarpribadi ataupun melalui media masa, akan tetapi lebih mudah terakulturasi.17
2. Pengertian Asimilasi (Pembauran) Asimilasi atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaus langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-nsur kebudayaan campuran.18 Biasanya golongangolongan yang ada dalam proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.19
B. Komunikasi Antarbudaya 1. Pengertian Komunikasi 17
Ibid, h. 479. Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1981), h. 255. 19 Ibid, h. 255. 18
Komunikasi antarbudaya memiliki dua kata yang masing-masing memiliki pengertian, untuk lebih memudahkan penulis memberikan pengertian komunikasi terlebih dahulu. Komunikasi mengandung makna bersama-sama (Common). Istilah komunikasi atau Communication berasal dari bahasa latin, yaitu Communicatio. Yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya Communis, yang bermakna umum atau bersamasama.20
Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah hubungan atau diartikan pula saling tukar-menukar pendapat. Komunikasi dapat juga diartikan hubungan kontak antar manusia baik individu maupun kelompok.21 Komunikasi membangun kontak-kontak manusia dengan menunjukkan keberadaan dirinya dan berusaha memahami kehendak, sikap dan perilaku orang lain. Komunikasi membuat cakrawala seseorang menjadi makin luas.22
Kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi. Seluruh umat manusia di dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat terpenuhi jika dia berkomunikasi dengan orang lain. Sejak lahirnya kita di dunia ini kita sudah mulai berkomunikasi dengan orang disekitar kita terutama dengan ibu dan bapak kita, dari nangis, ngompol, isap-
20 21
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, Grasindo, 2005), Cet. Ke-2, h. 5. H.A.W.Widjaja, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, (Jakarta, Rieneka Cipta, 2000), h.
13. 22
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persad, 2005), h. 32.
isap
jari
tangan
dan
lainya
merupakan
cara
awal
seorang
bayi
berkomunikasi.23
Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui prilaku verbal dan nonverbal. Segala prilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih.24 Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dari Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri-sendiri. Kedua, untuk kelangsungan hidup bermasyarakat,
tepatnya
untuk
memperbaiki
hubungan
sosial
dan
mengembangkan keberadaan suatu masyarakat.25
Berbeda dengan pengertian yang dikutip Alo Liliweri dari Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan.26
2. Pengertian Kebudayaan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan, juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat, 23
Ibid, h. 32. Dedy Mulyana, Komunikasi Efektif suatu pendekatan Lintas Budaya, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005), h. 3. 25 Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), h. 5. 26 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta, LkiS, 2003), h. 3. 24
mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Masalah kebudayaan, sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh antropologi budaya. Akan tetapi walaupun demikian, seseorang yang memperdalam perhatiannya terhadap masyarakat, tak dapat menyampingkan kebudayaan dengan begitu saja, oleh karena itu di dalam kehidupan yang nyata, keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwi-tunggal. Masyarakat adalah orang yang menghasilkan kebudayaan.27
Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.28
Kebudayaan secara sederhana banyak yang mengartikan sebuah seni, akan tetapi kebudayaan bukan sekedar sebuah seni, kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antarmanusia. Dengan begitu, manusia merupakan aktor dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan, dan makna yang ada di dalam manusia dan bukan sekedar dalam kata-kata. Ia meliputi kepercayaan, nilai-nilai, dan norma, semua ini merupakan langkah awal di
27 28
Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 10. Ibid, h. 10.
mana kita merasa berbeda dalam sebuah wacana. Kebudayaan melibatkan karakteristik suatu kelompok manusia dan bukan sekedar pada individu.29
Para
antropologi
mengatakan
bahwa
kebudayaan
merupakan
keseluruhan kompleks yang di dalamnya meliputi pengetahuan, seni moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. Untuk mempermudah menjelaskan kebudayaan yaitu dengan mendeskripsikan rincian pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu.30 Setiap kelompok budaya menerima pesan dari segi pola budayanya, tidak terbatas pada kebudayaannya. Komunikasi antarbudaya menitikberatkan proses komunikasi serta efektivitas dan akibat suatu pesan dari segi kontak budaya.31
3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan Kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial.
Komunikasi
antarbudaya
merupakan
interaksi
antarpribadi
dan
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akibatnya, interaksi dan komunikasi yang sedang dilakukan itu membutuhkan tingkat keamanan dan sopan santun 29
Ibid, h. 11. Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 10-11. 31 Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Binacipta, 1988), h. 9. 30
tertentu, serta peramalan tentang sebuah atau lebih aspek tertentu terhadap lawan bicara.32 Komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda.
Kultur
Pesan
s/p
Kultur s/p
Model diatas menjelaskan lebih jauh. Lingkaran lebih besar menggambarkan kultur dari komunikator. Lingkaran yang lebih kecil menggambarkan komunikatornya (sumber/penerima). Dalam model ini masing-masing komunikator adalah anggota dari kultur yang berbeda.33
Semua pesan dikirimkan dari konteks kultural yang unik dan spesifik, dan konteks itu mempengaruhi isi dan bentuk pesan. Kita berkomunikasi seperti yang kita lakukan sekarang sebagaian besar sebagai akibat kultur kita. Kultur mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman komunikasi kita.34
Sehingga dalam kehidupan sehari-hari dapat tercipta keselarasan dan tidak terjadi distorsi. Disinilah pentingnya mengetahui dan memahami komunikasi antarbudaya. Karena komunikasi antarbudaya adalah komunikasi
32 33
Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 13-14. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Professional Books, 1997), h.
479-480. 34
Ibid, h. 14
yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat kebiasaan.
C. Variabel Komunikasi dalam Akulturasi
1. Komunikasi Persona
Komunikasi persona (interpersona) mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon lingkungan. Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dari Ruben, "Komunikasi persona dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berprilaku terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ia adalah proses yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya."35 Artinya dalam konteks akulturasi, komunikasi persona sebagai cara untuk dapat memudahkan seorang imigran untuk merespon dan mengidentifikasi secara konsisten budaya Pribumi yang secara potensial memudahkan aspekaspek akulturasi lainnya.
Mengenai komuniaksi persona, seperti yang telah dikutip oleh Astrid S. Susanto dari James H. Campbell dan Hall W. Hepler memberikan contoh dari dua orang yang berkomunikasi, kemudian berinteraksi satu sama lain. Mereka menekankan tentang gambaran dirinya, apa yang dimiliki oleh 35
Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 141.
masing-masing. Dalam komunikasi dan interaksi, maka faktor diri selalu menjadi faktor terpenting dan faktor pihak yang diajak berkomunikasi dihubungkan dan diteropong dalam bentuk sesudah menilai keadaan dan kepentingan serta milik dirinya.36
Akhirnya setelah terjadi interaksi, hasil interaksi adalah dengan mengutamakan diri, kepentingan pihak yang lain dihubungkan dengan kepentingan diri, dan mengutamakan kepentingan yang lain.
Suatu
variabel
komunikasi
persona
dalam
akulturasi
adalah
kompleksitas struktur kognitif imigran, citra diri (self image) imigran, dan Motivasi akulturasi.
a) Kompleksitas Kognitif Imigran
Kompleksitas kognitif seorang imigran yaitu dengan mengetahui secara keseluruhan bagaimana mempersepsikan lingkungan Pribumi sehingga mengetahui budaya Pribumi lebih jauh. Dalam mengawali proses akulurasi
biasanya
seorang
imigran
mempersepsikan
lingkungan
Pribuminya secara sederhana karena seorang imigran masih belum dapat beradaptasi secara langsung, masih merasa asing pada lingkungan Pribumi.37
Seorang imigran diharapkan mengetahui pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi Pribumi, fungsinya untuk mempermudah dalam
36 37
Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, …, h. 94. Ibid, h. 141.
meningkatkan partisipasi seorang imigran dalam jaringan-jaringan komunikasi antarpersona dan komunikasi massa yang terdapat pada masyarakat Pribumi.
b) Citra Diri (self image).
Citra diri (self image) imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Artinya citra diri imigran yang berhubungan dengan citra-citranya tentang masyarakat Pribumi dan budaya aslinya. Misalnya, memberi informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan yang diderita oleh seorang imigran sangat berkaitan dengan jarak perasaan antara dirinya dan anggota-anggota masyarakat Pribumi mengenai keterasingannya, dan masalah-masalah psikologis lainnya.38
c) Motivasi Akulturasi
Motivasi akulturasi seorang imigran terbukti sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya sehingga memudahkannya dalam proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan untuk belajar tentang berpartisipasi dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya Pribumi. Apa yang telah dilakukan imigran terhadap lingkungan yang baru, biasanya seorang imigran meningkatkan partisipasinya dalam berkomunikasi dengan masyarakat.39
38 39
Ibid, h. 141. Ibid, h. 142.
2. Komunikasi Sosial
Komunikasi persona berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak sengaja. Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, "Komunikasi adalah suatu proses yang mendasari intersubjektivisasi, suatu fenimena yang terjadi sebagai akibat simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol."40
Komunikasi massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih umum,
yang
dilakukan
individu-individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu lainnya.41
Menurut kim, seperti yang dikutip oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, "Fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona."42 Melalui komunikasi massa, seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Pribumi. Fungsi akulturasi komunikasi massa akan sangat penting pada fase awal proses akulturasi seorang imigran. Dalam fase ini, imigran baru memulai mengembangkan suatu kecakapan yang memadai untuk membina hubungan-hubungan antarpersona yang memuaskan anggota-anggota masyarakat Pribumi.
40
Ibid, h. 142. Ibid, h. 142. 42 Ibid, h. 143. 41
3. Situasi dan Kondisi Komunikasi
Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat Pribumi. Apakah imigran tinggal di desa atau di kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau kaya, bekerja sebagai buruh pabrik atau eksekutif. Semua itu merupakan kondisi
lingkungan
yang
mungkin
secara
signifikan
mempengaruhi
perkembangan sosio-budaya yang akan dicapai imigran.43
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Seperti yang dikutip oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dari Taylor, bahwa derajat pengaruh komunitas etnik atas prilaku imigran sangat bergantung pada derajat "kelengkapan kelembagaan" komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggotaanggotanya.44 Artinya dari drajat kelengkapan kelembagaan imigran tersebut dapat memudahkannya dalam mengatasi tekanan-tekanan dalam komunikasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi. Namun lain halnya apabila seorang imigran terlalu luas dalam komunitas etniknya dan tanpa komunikasi yang memadai dengan anggota masyarakat Pribumi mungkin akan memperlambat kecepatan akulturasi imigran. Hingga sejauh ini, mayarakat Pribumilah yang
43 44
Ibid, h. 144. Ibid, h. 144.
memberikan
kebebasan
kepada
pihak
imigran
minoritas
untuk
mengembangkan lembaga-lembaga etniknya tanpa harus mengikuti pola-pola budaya masyarakat Pribumi yang bisa dibilang lebih dominan.
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SRENGSENG SAWAH DAN SEJARAH GAMBANG KROMONG
A. Gambaran Umum Masyarakat Srengseng Sawah Kelurahan Srengseng Sawah merupakan salah satu dari 6 (enam) Kelurahan di Wilayah Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986, dengan luas wilayah 674,70 Ha yang berbatasan dengan : - Sebelah Utara
: Kel. Lenteng Agung dan Kel. Jagakarsa
- Sebelah Timur
: Kali Ciliwung
- Sebelah Selatan
: Kotamadya Depok
- Sebelah Barat
: Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan Cipedak.45
Pola pembangunan Kelurahan Srengseng Sawah senantiasa mengacu kepada Rencana Umum Tata Ruang Tahun (RUTR) 2005 dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) wilayah selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Resapan Air. Hal ini didukung dengan keberadaan potensi air tanah yang ada antara lain Setu Babakan, Setu Mangga Bolong, Setu Salam UI dan Setu ISTN. Disamping itu potensi Daerah Hijau yang sarat dilindungi oleh Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berupa Hutan Kota yang berada di kawasan Wales Barat Universitas Indonesia.46 Perkembangan penduduk di Kelurahan Srengseng Sawah cukup pesat. Hal ini selain suasana yang cukup menyenangkan karena kelestarian alam masih terjaga dengan baik, juga disebabkan oleh tersedianya fasilitas sarana umum yang 45
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Laporan Bulan April 2008, (Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan), h 1-2. 46 Ibid, h. 1-2.
memadai, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lain. Pada umumnya penduduk Kelurahan Srengseng Sawah adalah masyarakat Betawi, sehingga adat istiadat yang berlaku adalah Budaya Betawi.47 Mayoritas penduduk Kelurahan Srengseng Sawah adalah beragama Islam. Namun demikian kerukunan antar umat beragama sudah berjalan dengan baik sehingga kehidupan bermasyarakat antar pemeluk agama satu dengan yang lain saling menghormati. Sarana peeribadatan yang ada selain Masjid dan Musholla, di Kelurahan ini pun telah terdapat 3 buah gereja dan 1 buah Pura.48 Mayoritas penduduk memiliki mata pencarian buruh dan pedagang. Sisanya adalah petani ladang dan pensiunan. Program yang sedang dilaksanakan dalam pengembangan pembangunan wilayah kelurahan adalah pembangunan cagar Budaya Betawi yang disebut Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan RW. 08 Kelurahan Srengseng Sawah.49 Adapun Surat Keputusannya melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomer 3 Tahun 2005, tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Untuk melengkapi gambaran umum kelurahan Srengseng Sawah dan SK Gubernur Provinsi Khusus Ibukota Jakarta diatas (lihat Lampiran)
B. Sejarah Singkat Etnis Betawi Sebelum melihat gambaran umum masyarakat Betawi lebih jauh, seyogyanya melihat terlebih dahulu awal terbentuknya masyarakat Betawi. Dikutip dari Parsudi Suparlan dalam bukunya “Masyarakat dan Kebudayaan 47
Ibid, h 1-2. Ibid, h 1-2. 49 Ibid, h 1-2. 48
Perkotaan”, dikatakan bahwa dari hasil analisis sejarah yang telah dibuat oleh Lance Castel, disimpulkan bahwa identitas orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik mulai dikenal sejak abad ke-19. Dikatakannya bahwa mereka merupakan hasil dari suatu melting pol atau percampuran dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia dan luar Indonesia. Orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik dibedakan dari kelompok-kelompok etnik lainnya sejak akhir abad ke-19.50 Berikut adalah tabel yang menunjukkan proses perubahan klasifikasi penduduk Batavia pada abad ke16, 18, dan 19 : Tabel 1.1 Penduduk Batavia dan Sekitarnya TAHUN GOLONGAN Orang Belanda dan Indo
1673 2750
1815 2028
1893 9017
Orang Cina (termasuk peranakan)
2747
11854
26569
Orang Marjikers
5362
-
-
-
318
-
6339 (a)
119
2842
Orang Jawa (termasuk Orang Sunda)
-
3331
-
Orang-orang Sulawesi Selatan
-
4139 (b)
-
981
7720
72241 (c)
Orang Sumbawa
-
232
-
Orang Ambon dan Banda
-
82
-
611
3155
-
13278
14249
-
32068 (d)
47211
10669
Orang Arab Orang “Moors”
Orang Bali
Orang Melayu Budak JUMLAH
Sumber : L. Castles, Indonesia, no.3, 1967:157 dalam Kleden, Teater Lenong Betawi. Hal 105.
50
Parsudi Suparlan, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif antropologi perkotaan, (Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004), h. 145.
Keterangan : (a)termasuk 5.000 orang “Jawa” di luar kota (b)termasuk orang Timor (c)termasuk senia penduduk asli (d)tidak termasuk 1260 tentara Belanda dan 359 orang Belanda51
Dari tabel diatas tersebut terlihat bahwa dalam pencatatan penduduk tahun 1893 terdapat penyederhanaan golongan sosial dari penduduk di Batavia. Terdiri dari empat golongan, yaitu : 1) Orang Eropa dan Indo 2) Orang Cina (termasuk peranakan) 3) Orang Arab dan “Moors” dan 4) Orang pribumi (Orang Betawi) Dalam pencatatan tahun 1983 tersebut golongan budak hilang, karena menurut Werthem dalam bukunya Ninuk Kleden, pada tahun 1860 perbudakan mulai dilarang, begitu juga golonan asal dari penduduk pribumi kota Batavia.52 Jumlah budak menurut catatan angka tahun 1673 lebih dari setengah seluruh penduduk Batavia. Menurut Ninuk Kleden, hal itu bisa dimaklumi karena saat itu sedang ramai-ramainya perdagangan budak. Begitu juga dengan bangsa Portugis dan Belanda mendatangkan budak-budak dari daerah Malabar, Bengkal dan Arakan di Burma.53 Selain itu di dalam keterangan tabel juga ditulis “termasuk semua penduduk asli”, menurut Castles dalam Ninuk, siapa yang tersebut penduduk asli tidak dijelaskan lebih lanjut. Menurut Ninuk, mungkin mereka adalah orang-orang dari Kerajaan Pajajaran atau keturunan orang-orang Demak yang mengadakan
51
Ninuk Kleden-Probonegoro, Teater Lenong Betawi, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 105. 52 Ibid, h. 106. 53 Ibid, h. 105.
ekspansi ke daerah ini. Seperti yang dikutip oleh Saidi dari Siswantari tentang asal-usul masyarakat Betawi lebih ditekankan pada teori Bern Nothofer tentang bahasa Melayu dialek Jakarta. Bahasa tersebut berasal dari rumpun Melayu Polinesia yang titik persebarannya berasal dari Kalimantan Barat.54 Menurut Van der Aa yang dikutup dari bukunya Ninuk Kleden, ia adalah seorang sarjana yang pada abad ke-18 tertarik pada Betawi, ia melihat munculnya orang Betawi dari segi bahasa. Dari penelitiannya, tampak bahwa dahasa pergaulan pada abad ke-18 adalah dialek Portugis. Dialek ini tidak lagi dikenal pada abad ke-19, dan sebagai gantinya timbul jenis bahasa semacam bahasa Melayu Betawi. Dari pengguanaan bahasa inilah yang kemudian disebut sebagai orang Betawi. Berikut adalah perkiraan komposisi sukubangsa di Batavia pada tahun 1930. Tabel 1.1 Penduduk Batavia dan Sekitarnya PENDUDUK
1930
%
Orang Betawi (termasuk Orang Depok)
419.800
64,3
Sunda
150.300
24,5
Jawa
60.000
9,2
Aceh
-
Batak
1.300
0,2
Minangkabau
3.200
0,5
800
0,1
Sukubangsa dari Sumatra Selatan
0
Banjar
-
0
Orang Sulawesi Selatan
-
0
Orang Sulawesi Utara
3.800
0,6
Orang Maluku dan Irian
2.000
0,3
54
Ridwan Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, (Jakarta: LSIP, 1994), h. 25.
Nusatenggara Timur
-
0
Nusatenggara Barat
-
0
Bali
-
0
Malaya dan Pulau-pulau sekitarnya
5.300
0,8
Lain-lain dan sukubangsa yang tidak diketahui
6.900
1,1
Sumber : L. Castles, The Ethnic Profil of Djakarta, Indonesia, no.3, 1967:181 dalam Kleden, Teater Lenong Betawi. hal 109.
Tabel di atas memprediksikan bahwa pada tahun 1930, sebagian besar penduduk kota yaitu 64% adalah Orang Batavia (orang Betawi). Dari tabel ini orang Betawi ditunjukkan pada suatu kelompok etnik tersendiri dari kelompok-kelompok etnik yang lain, yang tidak terlihat dari tabel sebelumnya. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik maupun sebagai sebuah satuan sosial dan politik dalam ruang lingkup yang lebih luas (yaitu Nederland India pada waktu itu, nampaknya baru muncul setelah didirikannya Perkoempoelan Kaoem Betawi oleh tokoh masyarakat orang Betawi Moh. Hoesni Thamrin, pada tahun 1923. dengan didirikannya perkumpulan tersebut, maka kesadaran bahwa mereka itu tergolong sebagai orang Betawi juga di bangunkan.55 Menurut Ridwan Saidi dalam bukunya Yasmine Zaki Shahab, wilayah budaya Betawi dapat dibagi dalam relokasi empat subwilayah yaitu : 1) Betawi Pesisir, yang meliputi dari ujung sebelah Barat sampai ke Timur yaitu Teluk Naga, Kampung Mauk, Japad, Tanjung Priuk, Marunda, Sarang Bango, Marunda Bekasi, dan Kepulauan Seribu.
55
Parsudi Suparlan, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan, …, h. 145.
2) Betawi Tengah yang meliputi Grogol, Jelambar, daerah Kota, Mangga Dua, Sawah Besar, Taman Sari, Gambir, Kemayoran, Senen, Jatinegara (Mester), Tanah Abang, Cikini, dan Petamburan. 3) Betawi Pinggir disebelah Timur meliputi Pulo Gadung sampai Tambun, sebelah Barat meliputi Pesing sampai Tangerang, sebelah Selatan meliputi Kebayoran, Cilandak, Pangkalan Jati, Cinere, Ciputat, Pasar Minggu, Selatan Timur meliputi Pasar Rebo, Selatan Barat meliputi Meruya, Sukabumi, Ilir?Udik, Joglo, Pengumben dan sekitarnya. 4) Betawi Udik meliputi daerah sebelah Timur yaitu, dari daerah Tambun, ke timur sampai dengan Cikarang yaitu batas akhir pemakai bahasa Betawi, sebelah Barat mulai dari perbatasan Tangerang sampai menjelang Balaraja, sebelah selatan – Barat adalah daerah-daerah perbatasan Ciputat sampai dengan Parung dan perbatesan Limo, sebelah Selatan meliputi Lenteng Agung, Depok, dan Bojong Gede. Jika dilihat dari relokasinya seperti di atas, maka Betawi di Setu Babakan atau Perkampungan Budaya Betawi termasuk dalam Betawi Pinggir sebelah Selatan.56
C. Sejarah Singkat Etnis Tionghoa
Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa 56
Yasmine Zaki Shahab, Betawi dalam Perspektif Kontenprer : Perkembangan, Potensi dan Tantangannya, (Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), h. 95.
yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.57
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatancatatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.58
Tentang riwayat nenek moyang tersebut, Leo Suryadinata (1999) mengatakan bahwa: “Sebelum terjadi imigrasi massal etnik Tionghoa ke Asia Tenggara. khususnya ke Indonesia dan Malaysia, masyarakat Tionghoa di kedua kawasan itu sangat kecil. Pada umumnya, anggotanya telah berbaur ke dalam masyarakat setempat. Pada masa itu, transportasi sulit. Orang Tionghoa, dilarang oleh kerajaan Tiongkok untuk meninggalkan negaranya. Mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya juga tidak membawa keluarganya”. Jadi, wajar jika mereka akhirnya mengawini wanita setempat. Umumnya wanita Islam nominal dan tinggal menetap di tempat itu. Karena jumlahnya yang kecil, orang Tionghoa ini bertendensi yang berintegrasi dengan masyarakat lokal. Keturunan mereka akhirnya tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa
57
Asal Usul China Benteng, China Benteng, Kampung Teluk Naga, Tragedi China Benteng, Artikel diakses pada 23 Mei 2008 dari http://asal usul china benteng, china benteng, kampung teluk naga, tragedi china benteng/htm. 58
Ibid.
Melayu-lingua franca dalam Nusantara untuk berkomunikasi (setelah 1928, bahasa Melayu dinamakan bahasa Indonesia).59 Orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Tang (618-907). Ketika itu, mereka mengirim ekspedisi militernya ke daerah China Selatan. Sejak itu, banyak sekali orang-orang Hoakiau/Hokkian yang berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di Provinsi Fukien (Fujian) dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan Makao di Provinsi Kwangtung (Guangdong) terus menetap di perantauan dan tak kembali lagi ke kampung halamannya.60 Pada masa Dinasti Sung (907-1127) mulai banyak pedagang-pedagang China yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah, kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia. 61 Dalam sejarah China Kuno, dikatakan orang-orang China mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang, yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah.Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten (Tangerang) dan Jakarta. Orang China datang ke Indonesia dengan membawa serta
59
Ibid. Ibid. 61 Ibid. 60
kebudayaannya, termasuk unsur agamanya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.62
Asal kata Tionghoa
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi "Tiong Hoa Hwe Kwan" (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda. 63
62 63
Ibid. Tionghoa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku: 64
1. Hakka 2. Hainan 3. Hokkien 4. Kantonis 5. Hokchia 6. Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir Tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir Tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.65
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar
64 65
Ibid. Ibid.
berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat.66
D. Asal-usul Kesenian Gambang Kromong
Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambangnya yang biasa berjumlah 18 buah, terbuat dari kayu suangking, huru kayu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah sepuluh buah. Satuan kromong disebut pencon. Alas untuk bilahan gambang dan kromong disebut ancak, biasanya berkaki cukup tinggi sehingga alat musik itu dapat dimainkan sambil berdiri atau duduk dikursi.67
Kesenian gambang kromong merupakan perpaduan yang cukup harmonis antara unsur-unsur Pribumi dan unsur Cina atau Tionghoa. Secara fisik unsur Cinanya tampak pada alat musik geseknya, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong
66
Ibid. Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, …, 1996), h. 5. 67
merupakan unsur Pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Lagu-lagu yang menunjukkan unsur Pribumi, Jali-jali, seperti Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama, melodi, maupun liriknya seperti Sipatmo, Kong Jilok, dan lain sebagainya. Seperti yang dikutip oleh Rachmat Syamsudin dan Dahlan dari tulisan Phoa Kian Sioe, "Orkes gambang, hasil kesenian Tionghoa peranakan di Djakarta", orkes gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes yang-khimyang terdiri atas yang-khim, sukong, hosian, thehian, kongahian, sambian, suling, pan (kecrek) dan ningnong.68
Oleh karena yang-khim sulit diperoleh, maka digantilah dengan gambang yang larasnya disesuaikan dengan notasi yamh diciptakan oleh orang-orang Hokian. Sukong, tehian dan kongahian tidak begitu sulit untuk dibuat di sini. Sebangkan sambian dan hosiang ditiadakan tanpa terlalu banyak mengurangi nilai penyajian musik.69 Orkes gambang yang semula hanya disenangi oleh kaum peranakan Cina saja lama kelamaan disenangi juga oleh golongan Pribumi karena berlangsung proses perbauran. Proses perbauran itu paling banyak terjadi setelah pemberontakan orang-orang Cina melawan Belanda pada tahun 1740, yang timbul karena mereka terlalu ditekan oleh pejabat-pejabat VOC. Pada waktu terjadi pemberontakan itu banyak orang-orang Cina yang meloloskan diri menyingkir keluar kota Batavia. Diantaranya banyak yang terus menetap di berbagai daerah sekitar Batavia, seperti Babelan, Tambun, Bekasi, Lemahabang, Jonggol dan Tangerang. Mereka hidup berbaur dalam lingkungan penduduk Pribumi. Kecuali 68 69
Ibid. h. 5-6. Ibid. h. 6.
yang kemudian memeluk Agama Islam, pada umumnya mereka tetap menganut adat istiadat serta kepercayaan leluhurnya. Musik yang mereka gemari adalah gambang, baik sebagai pengiring rancak atau cerita, maupun wayang cokek.70 Menurut Pelaku Seni kebudayaan Betawi, Pok Nori, persebaran Gambang Kromong hingga saat ini sudah meluas keluar daerah Jakarta, di antara persebaranya itu di daerah Bogor, Tangerang, hingga ke Bekasi.71 Pernyataan Pok Nori diperjelas lagi oleh David Kwa, dalam artikelnya, Mengenal Gambang Kromong. Jadi awalnya memang dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi.72 Pada awal perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan Gambang Kromong adalah lagu-lagu Cina. Menurut istilah setempat lagu semacam itu biasa disebut Gambang Cina. Gambang Cina itu berupa lagu-lagu instrumentalia dan lagu-lagu bersyair. Lagu-lagu instrumentalia sering disebut dengan nama Pobian atau Phobian. Lagu bersyair antara lain adalah Sipatmo dan Silitan. Lagu Gambang Cina dewasa ini sudah jarang dinyayikan orang.73
Nada dan Laras 70
Ibid. h. 6. Wawancara dengan Pok Nori, Seorang Pelaku Kesenian Budaya Betawi, Kantor Perkampungan Budaya Betawi, pada 6 Juni 2008. 72 David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://kampungbetawi.Com/htm. 73 Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, ………………, 1996), h. 10. 71
Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya. Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salèndro Cina tadi. Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.74 Lagu Pobin Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.75
Lagu Dalem Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), dan Centé Manis Berdiri. Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan bukan untuk ngibing (Sunda, menari), tetapi untuk mengetahui kualitas vokal seorang penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.76 Wayang Cokèk Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal dengan istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’ sedangkan cokèk berasal dari istilah 74
David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://kampungbetawi.Com/htm. 75 Ibid. 76
Ibid.
Tionghoa dialek Hokkian chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ (to sing a song). Jadi, wayang cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem, bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di kawasan Teluk Naga, Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian (nomina), tetapi menyanyi (verba). Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang, terbuat dari dari bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian (sekitar tahun 1960-an) mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka mulai dipotong pendek dan dikeriting.77 Lagu Sayur Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik gambang kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing. Saat itu wayang cokèk bukan lagi hanya menyanyi menghibur para tamu, namun juga ngibing bersama tamu. Fungsi wayang cokèk telah meluas dari sekadar penyanyi menjadi penyanyi plus penari. Oleh sebab itu lagu sayur terdengar lebih riuh ditingkah oleh hentakan-hentakan kendang. Kata kerja menari yang dilakukan baik oleh wayang cokèk maupun pasangannya disebut ngibing, dengan sejenis selendang yang disebut cukin (Hok.) atau sodèr (Sunda). Ngibing bersama wayang cokèk disebut ngibing cokèk. Gejala mulai maraknya ngibing ini mengindikasikan semakin kuatnya pengaruh budaya setempat (dalam hal ini Melayu dan Sunda/Jawa) di kalangan etnik Tionghoa peranakan, sebab jogèt dan nayuban bersama ronggèng juga dikenal dalam budaya Melayu dan Sunda/Jawa Lagu-lagu sayur sampai sekarang masih banyak yang mampu memainkannya, terutama di daerah Tangerang. Di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jalijali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.78
E. Alat-alat (Instrumen) Kesenian Gambang Kromong Jenis musik betawi Gambang kromong terdapat pembauran yang harmonis antara unsur-unsur pribumi dengan unsur-unsur Cina. Pembauran itu tampak pada alat musiknya. Seperti yang dikutip oleh Nirwanto Ki S Hendrowinoto, dkk dari
77 78
Ibid. Ibid.
laporan Seminar Lenong yang diselenggarakan surat kabar kampus Warta Universitas Indonesia kerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Betawi dan Lenong Rumpi Jakarta di Balairung Kampus Universitas Indonesia, Depok (sabtu, 16 November 1991) disimpulkan bahwa musik yang mengiringi Lenong adalah Gambang Kromong.79 Instrumen musik tradisi ini terdiri dari : a. Gambang (silofon) dengan 18 nada yang dilaras/tangga nada pentatonik dengan panjang tiga setengah oktaf (terbuat dari kayu, berasal dari Jawa dan Sunda. b. Kromong berbentuk mirip dengan bonang, terdiri dari sepuluh buah gong kettle kecil (Pencong) yang dilaras pentatonik sepanjang 2 oktaf, alat dari gamelan Jawa atau Sunda, sumber suara yang berbentuk seperti mangkuk.80 c. tehyan, semacam rebab berukuran kecil, alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek. d. Kongahyan, semacam rebab berukuran sedang, alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek. e. Sukong, semacam rebab berukuran besar, alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek. f. Kemong, semacam gong keci yang terdiri dari 2 buah gong gantung (kempul dan gong) berasal dari gamelan Jawa dan Sunda. g. Kendang, semacam tambur dengan dua permukaan, juga merupakan perangkat gamelan Jawa, Sunda, dan Bali. Gunanya untuk memberi irama. 79
Nirwanto Ki S Hendrowinoto. dkk, Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, (Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI, !998), h. 45 80 Rachmat dan Dahlan, Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, …, 1996), h. 10-16.
h. Kecrek, beberapa bilah perunggu yang diberi landasan kayu untuk dipukul-pukul sehingga berbunyi crek-crek. Gunanya untuk memberi tanda akan dimulai atau diakhiri oleh seorang pemimpin musik. i. Ning-nong, alat musik berasal dari gamelan Jawa dan Sunda yang terbuat dari perunggu berbentuk bulat seperti kue mangkok.81
81
Nirwanto, dkk. Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, …, h. 45.
BAB IV BETAWI DAN TIONGHOA DALAM AKULTURASI
A. Komunikasi Pribadi Dalam Akulturasi Pada Kesenian Gambang Kromong Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan di cagar Budaya Betawi yang disebut Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan RW. 08 Kelurahan Srengseng Sawah, sangat jarang ditemukan adanya komunikasi persona yang dilakukan peranakan Tionghoa yang masih muda. Hal tersebut dikarenakan lambatnya regenerasi pada pelaku kesenian Gambang Kromong yang menyebabkan perkembangan kesenian Gambang Kromong menjadi lambat. Sebaliknya generasi tua dari pranakan Tionghoa yang masih ada saat ini, secara intensif merespon, membentuk, dan mengatur sejumlah pengetahuannya dan perasaan cintanya terhadap kebudayaan Betawi melalui pengalaman-pengalamannya dalam akulturasi. Dalam proses komunikasi pribadi dengan etnis Betawi, etnis Tionghoa terbukti dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan secara perlahan-lahan melihat, mendengar, dan merasakan keadaan lingkungannya. Hal ini terlihat dari orang-orang Tionghoa yang sudah sejak lama bermukim di kota ini. Ketika orang Belanda untuk pertama kalinya menginjakkan kaki mereka di Jayakarta, telah ada pemukiman Tionghoa di sebelah timur muara Ciliwung. Proses komunikasi dan interaksi telah lama berlangsung hingga awal abad ke-20. Kebanyakan orang Tionghoa yang datang ke Batavia hanya kaum laki-lakinya saja. Dalam komunikasi pribadi yang dilakukan orang-orang Tionghoa melalui pendekatan-pendekatan terhadap orang-orang Betawi, mereka mulai mempelajari adat dan kebiasaan orang-orang Betawi serta mempelajari bahasanya. Ini terbukti dari orang-orang Tionghoa yang tidak lagi berbahasa Tionghoa, melainkan Melayu, seperti kebanyakan penduduk kota Batavia.
Selama proses interaksi itu berjalan, banyak laki-laki Tionghoa totok yang kemudian menikahi perempuan Betawi dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa pranakan (baba-nona).82 Komunikasi pribadi yang dilakukan orang-orang Tionghoa terus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, dan telah menghasilkan beberapa akulturasi budaya. Pembauran yang dilakukan budaya Tionghoa dengan kebudayaan penduduk asli (Betawi) hingga kini dapat dilihat 82
Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://kampungbetawi.Com/htm.
dalam kesenian cokek, lenong, gambang kromong, dan lain-lain. Hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi ini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi.83 Dalam perkembangannya, orang-orang Tionghoa sangat merespon sekali keadaan sosio-budaya Indonesia. Mereka layaknya orang pribumi, telah bercampurbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka saling bergotong royong dalam hubungan kemasyarakatan. Proses komunikasi ini secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi. 1. Kerumitan Kognitif Imigran
Kerumitan
kognitif
seorang
imigran
dapat
dimudahkan
dengan
kemampuan mempersepsikan lingkungan Pribumi sehingga mengetahui budaya Pribumi lebih jauh.84 Pada fase-fase awal akulturasi, orang-orang Tionghoa mengamati lingkungan sekitarnya secara sederhana, sehingga mereka masih belum dapat beradaptasi dengan lingkungan asing tersebut dengan baik. Pada awal mula datang ke Batavia, mereka masih menutup diri terhadap lingkungan di sekitar mereka. Para migran Tionghoa ini hanya melihat, mendengar, tanpa merespon secara mendalam lingkungan sekitarnya dikarenakan persepsi mereka saat itu masih awam dan belum banyak mengetahui pola-pola maupun aturan sistem komunikasi pribumi.85
Pada mulanya orang-orang Tionghoa hanya mengadu nasib di Batavia dengan mencoba mencari untung melalui perdagangan dengan orang-orang Belanda. Setelah berimigrasi dan menetap di Batavia, mereka kemudian mulai
83
Jejak-jejak Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa, artikel diakses pada 4 Juni 2008 dari http://kompas.com/kompas-cetak/0008/31/dikbud/akul09.htm 84 Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 141. 85 Ibid, h. 141.
terlibat dalam sistem komunikasi masyarakat setempat. Pengetahuan yang telah didapat orang-orang Tionghoa kemudian sangat membantu mereka dalam meningkatkan partisipasinya dalam jaringan-jaringan komunikasi pribadi dan komunikasi massa yang terdapat pada masyarakat pribumi.86 Artinya, partisipasi yang dimaksud tidak terbatas pada masyarakat Betawi saja, melainkan juga pada berbagai etnis. Banyaknya pengetahuan yang didapat oleh orang-orang Tionghoa tentang berbagai hal yang berkaitan dengan orang-orang Pribumi, membuat persepsi mereka menjadi lebih halus dan kompleks. Ini memungkinkan mereka menemukan banyak variasi dalam lingkungan Pribumi. Bukti nyata yang sangat berpengaruh dalam proses akulturasi ini adalah pengetahuan tentang bahasa Pribumi. Bahasa merupakan hal yang sangat mendasar, dan harus dimiliki oleh setiap orang atau kelompok yang ingin berkomunikasi dengan komunitas lain. Seperti disinyalir oleh Lusiana Andriani Lubis dari Edward Sapiur dan Benyamin Whorf, bahwa bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.87 Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut: 1) Bahasa dan cara berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa.
86
Clockener Brousson, Batavia Awal Abab 20, Gedenkschriften van een oud-kolonial, (Jakarta, Komunitas Bambu, 2004), h. 75. 87 Lusiana Andriani Lubis, Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di antara Perbedaan Kebudayaan, (Sumatra Utara, FISIP), h. 11.
Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial. 2) Struktur sosial yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi perubahan-perubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan
berubahnya
konteks
dan
topik
pembicaraan
(Grimshaw,
1973:49).88 Jadi dengan kemampuan menggunakan bahasa kaum pribimi, secara perlahanlahan orang-orang Tionghoa mulai terintegrasi dalam struktur sosial komunitas lokal. Ini memudahkan mereka dalam mengatasi berbgai kerumitan dan hambatan akibat berbedaan-berbedaan sosial-budaya antara mereka dan orang Betawi.
2. Gambaran Diri Gambaran diri di sini merupakan cara pandang orang Tionghoa tentang masyarakat Pribumi dan budaya aslinya.89 Dilihat dari gambaran orang-orang Tionghoa saat ini, mereka sangat dekat sekali dengan orang-orang Betawi. Hal ini dapat dirasakan oleh orang-orang Tionghoa yang salah satunya adalah pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa. Dalam wawancara penulis dengannya, tepatnya di kediamannya di Baranang Siang, Bogor, ia mengatakan bahwa orangorang Tionghoa dewasa ini telah banyak yang berbaur dan bercampur dengan orang-orang pribumi khususnya orang Betawi. Kondisi ini secara perlahan-lahan berhasil merubah 88 89
gambaran diri orang Tionghoa yang semulanya eksklusif
Ibid, h. 11. Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 141.
menjadi lebih inklusif.
Artinya, pada akhirnya mereka melihat diri mereka
sebagai bagian dari orang-orang Betawi. Hal ini terlihat dari cara mereka bersikap dan berinteraksi dengan orang-orang Betawi. Orang-orang Tionghoa dan Betawi juga suka bekerja sama dalam perdagangan dan pertukangan.90 Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti yang dikutib Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat-istiadat Betawi mirip adat-istiadat Tionghoa. Cara orang Betawi memperkenalkan diri sama seperti orang Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga relatif sama dengan orang Tionghoa. Dan jika makan mereka memakai meja, tidak bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa. Sifat orang Betawi yang pemberani (alias pede?) sangat mungkin dipengaruhi kaum peranakan Tionghoa.91 Mereka juga mampu menjaga kerukunan di anatara mereka dan dengan komunitas lainnya. Fakta bahwa masyarakat Tionghoa hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya merupakan bukti bahwa mereka dapat hidup rukun dengan keluarga dari etnis lain. Berdasarkan pengamatan peneliti, di Jakarta ini interaksi budaya dalam arti saling mempengaruhi antara kedua belah pihak sangat kuat. Di satu pihak etnik Tionghoa, khususnya peranakan, sangat dipengaruhi budaya Betawi, di lain pihak etnik Betawi juga sangat dipengaruhi budaya Tionghoa. Begitu dekatnya
90
Wawancara dengan David Kwa, Seorang Pemerhati Budaya Cina Indonesia, Bogor, pada 17 Juni 2008. 91 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, (Jakarta, PT. Gunara Kata, 2004), h. 115.
hubungan budaya antara kedua etnik ini, sehingga sering kali orang-orang Tionghoa dianggap sama seperti orang-orang Betawi. Dalam kunjungan peneliti di Perkampungan Budaya Betawi. tepatnya di saat berlangsungnya kegiatan latihan rutin anak-anak kesenian Gambang Kromong, peneliti mendapat kesempatan untuk mewawancarai tokoh Betawi sekaligus pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Indra Sutisna. Menurutnya, yang namanya budaya tidak ada polisi budaya. Ketika terjadi perpaduan suatu budaya dengan budaya yang lainnya, proses ini akan sulit dihambat bila terdapat sifat akomodatif di antara budaya-budaya tersebut. Dalam konteks perpaduan budaya Tionghoa dengan Betawi, selama budaya itu bisa diterima oleh masyarakat Betawi, tidak merugikan dan secara terus-menerus digunakan oleh masyarakat, maka pada akhirnya budaya tersebut akan diakui oleh masyarakat Betawi.92 Masyarakat Betawi cederung menerima perpaduan itu karena sifatnya yang terbuka dengan budaya-budaya luar. Hal ini membantu pembentukan gambaran diri peranakan Tionghoa terhadap orang Betawi yang pada gilirannya memudahkan keduanya dalam proses-proses akulturasi.
3. Dorongan Akulturasi Dorongan akulturasi merupakan kemauan atau motif orang Tionghoa untuk belajar tentang pola-pola, aturan-aturan, serta sistem komunikasi Pribumi serta keinginan untuk berpartisipasi dalam sistem sosio-budaya Betawi. Adanya orientasi positif orang-orang Tionghoa untuk dapat tinggal di Indonesia, khususnya di Batavia, membuat mereka terdorong untuk berhubungan langsung 92
Wawancara dengan Indra Sutisna, Seorang Tokoh Betawi dan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan, pada 18 Mei 2008.
dengan masyarakat Betawi. Untuk membangun hubungan ini, mereka dituntut agar lebih dapat melebur, dalam arti ikut berpartisipasi dalam jaringan-jaringan komunikasi masyarakat Pribumi. Jaringan komunikasi terbentuk dari proses yang saling membutuhkan di mana satu sama lainnya saling mengerti dan bergantung. Ini kemudian memungkinkan terjadinya komunikasi. Dalam kesenianpun demikian halnya, yaitu adanya rasa saling membutuhkan. Misalnya, Tehyan kurang enak kalau tidak diiringi alat musik lainnya. Gambang juga kurang asyik kalau tidak diiringi dengan alat lainnya. Di sini ada kondisi/situasi saling melengkapi sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Dari proses saling membutuhkan tersebut, mereka berkumpul bersama, berimprovisasi dan membentuk kesenian yang sama meskipun dengan memainkan alat musik yang berbeda-beda.93 Motivasi akulturasi orang Tionghoa terlihat dari perpaduan kesenian Gambang Kromong. Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah instrumen Indonesia yang digunakan untuk menggantikan fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih. Ini jelas memperlihatkan dorongan dan keinginan orang-orang Tionghoa untuk mempelajari pola-pola, aturan-aturan, dan sistem komunikasi orang-orang Betawi. Mereka terus berinteraksi dan saling bertukar pengalaman. Pembauranpun 93
Wawancara dengan Yahya Andi Saputra, Seorang Budayawan Betawi, juga Menjabat sebagai Sub. Bidang Pertunjukan di LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi), Kuningan, 24 Juni 2008.
terus berlanjut hingga pada akhirnya orang-orang Tionghoa yang sering memainkan lagu-lagu Tionghoa termotivasi untuk menggabungkan beberapa alat musiknya dengan alat-alat musik khas Pribumi. Dalam perkembangannya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, dan kecrèk. Dengan demikian terciptalah gambang kromong yang akulturatif.94 Lewat musik yang awalnya mungkin sebatas main-main, kemudian setelah adanya orientasi positif orang Tionghoa terhadap Pribumi, musik itu diterima oleh masyarakat Betawi. Ketika berkembang sedemikian rupa menjadi satu kelompok baru dengan hasil perpaduan tadi, masyarakat kemudian melihatnya sebagai satu kesenian yang utuh yang telah maju karena tuntutan zaman yang setiap waktu berubah. Dari penjelasan di ats jelas terlihat bagaimana dorongan akulturasi itu terjadi dan kemudian diaktualkan dalam kesenian Gambang Kromong. Ini sekaligus memperlihatkan realitas orang Tionghoa yang ingin hidup dan berjalan bersama-sama dengan masyarakat Pribumi dan memiliki keinginan untuk terus meningkatkan partisipasinya dalam hubungan sosio-budaya. Berubahnya cara pandang peranakan Tionghoa tentang komunitas lokal Betawi membantu mereka berbaur bersama orang-orang Betawi. Gambang Kromong merupakan hasil penting dari proses pembauran tersebut.
B. Komunikasi Sosial dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong
94
Mengenal Gambang Kromong, …, 2008.
Proses komunikasi sosial yang lebih umum dilakukan orang-orang Tionghoa dengan berinteraksi kepada masyarakat Betawi dalam lingkungan sosiobudayanya, tidak hanya dalam hubungan-hubungan antarpersona.95 Melalui komunikasi sosial, orang Tionghoa mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Betawi. Fungsi komunikasi sosial dalam akulturasi sangat penting pada fase awal proses akulturasi kaum imigran, yaitu pada saat orang-orang Tionghoa baru memulai mengembangkan suatu kecakapan yang
memadai
untuk
membina
hubungan-hubungan
antarpersona
yang
memuaskan anggota-anggota masyarakat Betawi.96
Pada mulanya orang-orang Betawi hanya mengenal cokek sebagai kesenian Tionghoa secara umumnya saja. Itupun disertai banyak penolakanpenolakan karena pertunjukannya identik dengan barang haram semisal alkohol, judi, dan wanita. Hal ini serupa dengan Gambang Kromong. Dari sinilah orangorang Tionghoa memperkenalkan alat-alat musik lainnya kepada masyarakat Betawi, seperti kongahyan, tehyan, dan sukong yang dapat dimainkan dengan cara digesek.
Cokek sendiri merupakan tradisi lokal masyarakat Betawi dan Cina Benteng yaitu kelompok etnis Cina yang nyaris terpinggirkan, dan saat ini banyak bermukim di daerah Tangerang. Seperti yang dikutip Choesnoel Yakin tentang awal kelahiran seni rakyat dari Ninuk Kleden Probonegoro, seorang peneliti LIPI. Menurutnya, banyak versi tentang awal kelahiran seni rakyat ini.97
95
Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 142. Ibid, h. 143. 97 Choesnoel Yakin, Lagu Cokek 'Jali-jali' dan 'Sirih Kuning' Hiasi Hut ke-474 Kota Jakarta, Artikel diakses pada 23 Mei 2008, dari http://www.jakarta.go.id/Ctralba/th2/Cit10h/htm. 96
Versi pertama, cerita dimulai pada masa tuan-tuan tanah menguasai Betawi sekitar abad ke-19, khususnya di daerah yang saat ini dikenal dengan nama Kota atau Beos. Di sana banyak tinggal tuan tanah kaya. Setiap malam Minggu, mereka biasa mengadakan pesta. Para tuan tanah ini biasanya juga banyak memiliki pembantu yang mahir bermain musik dan menari. Umumnya pesta para tuan tanah ini dimeriahkan oleh musik dari rombongan Gambang Kromong. Saat itulah para pembantu tuan tanah yang terdiri dari gadis-gadis muda itu, melayani tamu-tamu lelaki untuk menari. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai penari Cokek. Versi kedua, Cokek berasal dari Teluk Naga di Tangerang. Menurut versi ini, pada saat itu daerah Tanjungkait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Seperti tuan tanah kaya lainnya, Tan Sio Kek juga mempunyai sebuah kelompok musik. Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu dengan rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan Cina. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Te`yang , Su Khong dan Khong ayan, ternyata ketiga orang itu juga mahir memainkan musik. Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersamasama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang dimainkan oleh para pemusik terebut, lahirlah musik Gambang Kromong. Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai Cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek. Dalam perkembangannya, walau kelompok Gambang Kromong bila mendapat undangan
pentas mendapatkan honor atau bayaran, namun para Cokek, atau penari perempuan itu, tidak dibayar, tetapi mencari bayaran sendiri dari para lelaki yagn mengajak mereka menari atau ngibing.98 Seiring dengan perkembangannya, setelah orang-orang peranakan Tionghoa dan Betawi menyatu dan bercampur baur dalam hubungan dan pola kehidupan bermasyarakat, kesenian Betawi menjadi kesenian rakyat. Kegiatan kesenian
tradisi
Betawi
terus
berkembang.
Tetapi
dalam
proses
perkembangannya, kesenian Betawi ini terpojokkan setelah keluarnya keputusan Walikota Jakarta, Sudiro, sekitar tahun 1950-an yang melarang karnaval rakyat berdasarkan
tradisi
Cina.
Alasanya
adalah
untuk
meningkatkan
rasa
nasionalisme.99 Dalam buku Yasmine Zaki Shahab yang berjudul Betawi dalam Perspektif Kontenporer: Perkembangan, Potensi dan Tantangannya, mengatakan bahwa pada 1954 Walikota (Gubernur) Jakarta ketika itu Sudiro juga melarang seniman pribumi "ngamen" pada saat perayaan "taon baru Belande" maupun "lebaran Cine". Alasannya adalah untuk menjaga martabat bangsa yang baru merdeka.100 Akibatnya, tidak ada lagi pengamen pada waktu Imlek, Cap Go Meh, dan Tahun Baru Blande. Meskipun ada larangan tersebut dan punahnya sebagian kesenian itu karena tidak ada generasi penerusnya, kesenian Betawi masih tetap exis. Pasalnya, ada keunikan pada tradisi kesenian tersebut, yaitu para pelakunya bersifat turun temurun dan bertalian darah. Namun, dengan adanya pengaruh globalisasi, seni budaya tradisional ini semakin kurang diminati oleh generasi penerus dan penontonnya. Akibatnya tradisi ini sedikit tergeser.
98
Ibid. Nirwanto, dkk. Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, …, h. 41. 100 Yamine Zaki Shahab, Betawi dalam Perspektif Kontenporer, Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, (Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), h. 169. 99
Akhir-akhir ini dengan adanya wadah-wadah seni budaya Betawi, seperti Lembaga Kebudayaan Betawi (LBK) dan peran pemerintah DKI sendiri melalui perangkatnya Dinas Kebudayaan yang melakukan berbagai upaya pelestarian dan pengembangan, seni budaya Betawi bisa tetap bertahan. Pada beberapa tahun terakhir ini seni Betawi kembali mencuat ke permukaan melalui berbagai festival, lomba, sarasehan, dan sebagai menu utama mewarnai acara keprotokolan, penerimaan tamu negara, festival dan event-event lainnya di Ibukota. Uniknya, kesenian Betawi ini bersifat universal dalam arti kata bukan lagi jadi milik orang Betawi asli, tetapi sudah merasuk kepada warga Jakarta yang non-Betawi. Bahkan, pelaku seni budaya ini yang paling banyak di bidang seni tari. Penari dan koreografernya didominasi oleh etnik non-Betawi. Seni budaya Betawi digandrungi oleh masyarakat pendatang yang sudah menjadi warga Jakarta.101 Hasil dari interaksi orang-orang Tionghoa dengan masyarakat Betawi yang cukup lama, tidak saja mempengaruhi budaya keduanya tapi juga melahirkan kebudayaan baru yang menambah khasanah kebudayaan Indonesia. Bahkan, perpaduan dan pembauran yang terjadi pada kedua etnis tersebut bukan hanya pada kesenian saja, tapi juga dalah hal-hal lain di antaranya dalam arsitektur, sastra, bahasa, kesenian, olah raga dan adat istiadat lainnya.
1. Arsitektur Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid-masjid di Jawa terutama di daerah-daerah pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk
101
Nirwanto. dkk, Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, …, h. 41.
di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming.102
2. Sastra Banyak hasil sastra yang dihasilkan bangsa Tionghoa di P. Jawa. Sebaliknya terjemahan yang diterbitkan di Tiongkok berasal dari Indonesia ke bahasa Mandarin. Misalnya, cerita roman paling populer adalah cerita Saan Pek Ing Tai, di Jawa Barat Populer karya Lo Fen Koi. Cerita-cerita silat misalnya, Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga, Putri Cheung Ping, Kera Sakti, dan Sepuluh pintu Neraka. Puisi yang diciptakan penyair Tiongkok kuno pernah diterjemahkan sastrawan Indonesia, HB Jasin. Sedangkan di dunia novel kita sudah cukup akrab dengan karya Marga T, yang banyak mengambil latar belakang negeri Tiongkok.103 3. Bahasa Menurut Profesor Kong Yuaanzhi, terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Tionghoa yang memperkaya bahasa Melayu / Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Tiong Hoa. Misalnya jenis alas kaki dari kayu Bakiak, kodok(jawa) asal dari nama Kauw Tok, Kap Toa menjadi Ketua.104
4. Kesenian Pertukaran musik dan tari telah dilangsungkan sejak zaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan caanang, Erhu (rebab Tiongkok senar dua), suling, kecapi telah masuk dan menjadi alat musik daerah di Indonesia. 102
Jejak-jejak Akulturasi, …, 2008. Ibid. 104 Ibid. 103.
Gambang Kromong merupakan perpaduan antara musik Jawa dan Tiongkok, pada mulanya adalah musik tradisional dari Betawi dan digunakan untuk mengiringi upacara sembahyang orang keturunan Tionghoa, kemudian menjadi musik hiburan rakyat. Wayang Ti-Ti atau Po The Hie, adalah wayang yang memakai boneka kayu dimakain dengan keterampilan jari tangan,dimainkan saat menyambut hari besar di upacara keagamaan orang Tiong Hoa.105
5. Olahraga Misalnya olahraga pernapasan Wei Tan Kung kini menjadi Persatuan Olahraga Pernapasan Indonesia, Olahaga pernapasan Tai Chi menjadi Senam Tera Indonesia, olahraga bela diri Kung Fu yang populer di Indonesia.
6. Adat Istiadat Upacara minum teh yang disuguhkan kepada tamu sudah cukup populer di Jawa dengan mengganti teh dengan kopi. Kemudian tradisi saling berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan tradisi membakar petasan saat lebaran. Dengan bukti-bukti kekayaan kebudayaan Indonesia hasil akulturasi dengan bangsa Tiongkok serta besarnya kontribusi Bangsa Tiongkok terhadap perjalanan sejarah Indonesia cukup menjadi alasan, mengapa kita harus menyambut baik pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap bangsa Tionghoa. Sebab kini, tidak perlu lagi memperdebatkan dikotomi warga
105
Ibid.
keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi, karena mereka adalah satu kesatuan NKRI.106
C. Lingkungan Komunikasi dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong
Komunikasi persona dan komunikasi sosial imigran dan fungsi komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat Pribumi; apakah imigran tinggal di desa atau di kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau kaya, bekerja sebagai buruh pabrik atau eksekutif.107 Semua itu merupakan kondisi lingkungan yang diduga mempengaruhi secara signifikan perkembangan sosiobudaya yang akan dicapai imigran.
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi etnis Tionghoa adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Artinya dari derajat kelengkapan kelembagaan etsis Tionghoa tersebut dapat memudahkannya
dalam
mengatasi
tekanan-tekanan
dalam
komunikasi
antarbudaya. Ini memudahkan akulturasi. Namun lain halnya apabila orang-orang Tionghoa terlalu luas dalam komunitas etniknya dan tanpa komunikasi yang memadai dengan anggota masyarakat Betawi. Faktor ini dapat memperlambat akulturasi komunitas Tionghoa ke dalam sisitem sosial orang Betawi.
106 107
Ibid. Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 144.
Lingkungan komunikasi pada saat terjadinya akulturasi adalah ketika orang-orang Tionghoa mulai berinteraksi melalui perdagangan di Batavia. Pada masa Dinasti Sung (907-1127) dilaporkan banyak pedagang-pedagang Cina yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin Cina yang indah, kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia.108 Dalam sejarah Cina Kuno, dikatakan bahwa orang-orang Cina mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang.109 Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang, yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Banyak di antara mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten (Tangerang) dan Jakarta. Orang Cina datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk unsur agamanya. Dengan demikian, perpaduan kebudayaan Cina ke dalam kebudayaan Indonesia tak terelakkan. Menurut budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, orang-orang Tionghoa selain sebagai pendatang, ada orang kaya, ada juga orang-orang yang dibawa oleh penjajah awal abad ke-15, ketika kraton Jayakarta dibumi hanguskan. Akibatnya, sebagian masyarakat yang menguasai keraton Jayakarta tersebut pindah ke Jatinegara Kaum. Kampung tersebut kemudian dibangun menjadi kota baru dan diberi nama kota Batavia oleh Jan Piterszoon Coen Dia lah yang mendatangkan 108
Asal Usul China Benteng, China Benteng, Kampung Teluk Naga, Tragedi China Benteng, …, dari http://asal usul china benteng, china benteng, kampung teluk naga, tragedi china benteng/htm. 109
Ibid.
unsur-unsur etnik dari luar terutama dari Cina, karena etnik Cina cakap membangun serta ahli dalam hal furnitur. Nasib orang Tionghoa dengan orang Pribumi sama saja, diperlakukan sama sehingga mereka dapat hidup saling bergandengan.110 Hal di atas diperjelas lagi dengan tulisan Clockener Brousson yang menyatakan bahwa tempat di mana dahulu Jacarta dihancurkan sekarang telah berdiri sebuah kota yang berkembang dengan pesat sebagai kota dagang yang oleh Jan Piterszoon Coen diberi nama Batavia. Dari semua daerah di Asia orang-orang berdatangan ke Batavia mengadu nasib, terutama orang Tionghoa, pedagang dari Asia Timur. Mereka mencoba mencari untung di tempat ini dengan cara berdagang dengan orang-orang Belanda. Di samping bagian kota bergaya Belanda lama dengan jalan-jalan sempit dan kecil berliku-liku tanpa ujung yang ditanami pepohonan serta ophaalbruggen (Jembatan yang bisa diangkat), mulai muncul juga kampung Tionghoa dan kampung Pribumi.111 Batavia memang tak mungkin dapat dihindari dari orang-orang berkulit kuning yang berambut thaucang. Ada gula ada semut, demikianlah pribahasa Melayu dan itu terutama cocok untuk menggambarkan Batavia dan orang Tionghoa. Orang Tionghoa merupakan penduduk yang rajin, hemat, pekerja keras, sabar, dan supel dalam bergaul.112 Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini
110
Wawancara dengan Yahya, Seorang Budayawan Betawi, …, 24 Juni 2008. Clockener Brousson, Batavia Awal Abad 20, Gedenkschriften van een oud-koloniaal, (Jakarta, Komunitas Bambu, 2004), edisi terjemahan, h. 75-76. 112 Ibid, h. 77-79. 111
kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah Timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.113 Seperti yang telah dikutip oleh Choesnoel Yakin dari Ninuk Kleden Probonegoro, bahwa percampuran unsur Tionghoa dengan orang Betawi itu terlihat dari alat-alat musik yang dipergunakan. Percampuran ini diceritakan bermula pada masa tuan-tuan tanah menguasai Batavia sekitar abad ke-19, khususnya di daerah yang saat ini dikenal dengan nama Kota atau Beos. Proses komunikasi dalam akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong, hanya dimungkinkan oleh proses interaktif yang saling melengkapi antara orang Tionghoa dengan orang Betawi. Komunikasi pribadi, komunikasi sosial, dan lingkungan komunikasi sangat menunjang sekali keberhasilan proses akulturasi tersebut. Seperti dikutip oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dari Mendelson, "komunikasi dapat menggambungkan kelompok-kelompok minoritas ke dalam suatu organisasi sosial yang memiliki gagasan-gagasan dan nilai-nilai bersama."114 Kesamaan-kesamaan itulah yang menjembatani perbauran dua komunitas tadi dalam berbagai aspek kehidupan sosial budaya, sebagaimana tercermin dalam kesenian Gambang Kromong.
113
Asal Usul China Benteng, China Benteng, Kampung Teluk Naga, Tragedi China Benteng, …, dari http://asal usul china benteng, china benteng, kampung teluk naga, tragedi china benteng/htm. 114 Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya, …, h. 148.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan observasi, menganalisis data dan dalam rangka menjawab rumusan pertanyaan dalam skripsi ini, maka penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Komunikasi persona dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong terjadi pada saat orang-orang Tionghoa mengadu nasib ke Batavia untuk berdagang pada orang-orang Belanda. Karena menetap dalam kurun waktu yang lama, pada akhirnya mereka mempelajari pola-pola relasi, aturan-aturan, dan sistem komunikasi orang-orang Betawi. Proses ini kemudian tumbuh kembang melalui perkawinan antara kedua etnis tersebut. Dalam hal ini biasanya para pendatang yang kebanyakan laki-laki itu mempersunting perempuan lokal etnis Betawi. Hubungan sosial ini menjadi semakin kental setelah
orang-orang Tionghoa lambat laun dapat berbahasa Melayu dan
membentuk Tionghoa peranakan. 2. Dalam proses komunikasi sosial orang-orang Tionghoa terbukti mampu berpartisipasi dalam keidupan sosio-budaya Betawi dan mulai mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Betawi. Hasil pembauran kedua etnis tersebut tercermin dari kehadiran kesenian Gambang Kromong.
3. Pada saat terjadinya akulturasi, lingkungan komunukasi sangat mendukung. Ini terlihat dari tempat pemukiman orang-orang Tionghoa dan Betawi yang berdekatan.
B. Saran-saran 1. Kesenian Gambang Kromong ini diharapkan dapat lebih dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya sebagai bukti historis akulturasi budaya Betawi dan Tionghoa. Ini juga tentu dapat menjadi aset kultural yang tak ternilai harganya terutama bagi masyarakat ibukota yang multikultural. Pemerintah hendaknya
terus
melestarikan
kesenian
ini
dan
bahkan
dapat
memperkenalkannya pada tingkat nasional sebagai salah satu contoh model akulturasi antar dua kelompok entis yang
sebenarnya memiliki banyak
perbedaan. 2. Penulis menyarankan agar studi Komunikasi Lintas Budaya atau disebut juga Komunikasi Antar Budaya dikembangkan pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. 3. Hendaknya pemahaman tentang penerapan Komunikasi Lintas Budaya ini tidak hanya di lingkungan Sivitas Akademika saja, namun perlu diperluas kepada masyarakat untuk menghindari konflik-konflik atas nama SARA yang dapat mengancam integrasi sosial, keamanan, ketenangan dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat.
DAFTAR PUASTAKA
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatam Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, Edisi IV, 1998. Brousson, Clockener. Batavia Awal Abad 20, Gedenkschriften van een oudkoloniaal, Jakarta, Komunitas Bambu, edisi terjemahan. 2004. Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2005. Devito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Professional Books. 1997. Hendrowinoto. Nirwanto Ki S, dkk. Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman, Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Balai Pustaka. 2005. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru. 1980. Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: LkiS. 2003. Lubis, Andriani Lusiana, Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di antara Perbedaan Kebudayaan, Sumatra Utara, FISIP. Ninuk, Kleden-Probonegoro, Teater Lenong Betawi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1996. Multamia RMT, Rachmat Ali, Rachmat Ruchiat. Muhadjir, Peta Seni Budaya Betawi, Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI. 1986.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Antar Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-XII. 2005. , Komunikasi Efektif suatu pendekatan Lintas Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005. , Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005.
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laporan Bulan April. Kelurahan Serengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. 2008. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005.
Shahab, Yasmine Zaki. Betawi dalam Perspektif Kontenporer, Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi. 1997. , Idebtitas dan Otoritas: Rekontruksi Tradisi Betawi. Laboratorium, Antropologi, FISIP UI. 2004.
Saidi, Ridwan. Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Jakarta: LSIP. 1994. , Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta, PT. Gunara Kata. 2004.
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. Human Communication "Kontek-kontek Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Suparlan,
Parsudi, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif antropologi perkotaan, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2004.
Susanto, Astrid S., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Binacipta. 1988 Syamsudin, Rachmat dan Dahlan. Petunjuk Praktis Latihan Dasar Bermain Musik Gambang Kromong, Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. 1996.
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer, edisi lengkap, Surabaya: Gitamedia Press. 2006. Effendi, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-XII. 2002. Widjaja, H. A. W. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, Jakarta: Rieneka Cipta, Cet. Ke-2. 2000.
Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo, Cet. Ke-2. 2002.
Shahab, Yasmine Zaki. Betawi dalam Perspektif Kontenporer, Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi. 1997.
, Idebtitas dan Otoritas: Rekontruksi Tradisi Betawi. Laboratorium, Antropologi, FISIP UI. 2004.
WEBSITE
http://www.jakarta.go.id/Ctralba/th2/Cit10h/htm. http://kompas.com/kompas-cetak/0008/31/dikbud/akul09.htm http://kampungbetawi.Com/htm. http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia http://asal usul china benteng,china benteng,kampung teluk naga,tragedi china benteng/htm http://Musuk Tradisional by Samurai On Blogster.htm
WAWANCARA
Wawancara dengan David Kwa, Seorang Pemerhati Budaya Cina Indonesia, Bogor. Wawancara dengan Indra Sutisna, Seorang Tokoh Betawi dan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan. Wawancara dengan Pok Nori, Seorang Pelaku Kesenian Budaya Betawi, Kantor Perkampungan Budaya Betawi. Wawancara dengan Yahya Andi Saputra, Seorang Budayawan Betawi, LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi), Kuningan.
Gambaran Umum Kelurahan Srengseng Sawah
1. RT dan RW Lembaga RT dan RW sebagai organisasi Masyarakat yang diakui secara resmi dan dibina oleh Pemerintah, dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 36 Tahun 2001 tentang Peraturan RT/RW di Propinsi DKI Jakarta. Adapun Jumlah RT/RW di Kelurahan Srengseng Sawah Sebagai berikut :
TABEL I JUMLAH RT/RW KELURAHAN SRENGSENG SAWAH NO
RUKUN WARGA ( RW)
RUKUN TETANGGA (RT)
1
01
9
2
02
13
3
03
15
4
04
7
5
05
13
6
06
11
7
07
12
8
08
13
9
09
14
10
010
4
11
011
4
12
012
5
13
013
7
14
014
3
15
015
7
16
016
9
17
017
3
18
018
3
19
019
4
JUMLAH
156
KETERANGAN
Pembinaan RT/RW di Kelurahan Srengseng Sawah diarahkan pada pembinaan ketertiban Administrasi dan merangsang tumbuhnya pembangunan dari Swadaya Masyarakat.
2. Kependudukan dan Catatan Sipil Wilayah Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jakarsa Kotamadya Jakarta Selatan, terbagi ke dalam 19 RW dan 156 RT . Dengan Jumlah Penduduk pada Akhir bulan ini sebanyak 51.085 yang terdiri atas : Jumlah Penduduk laki-laki
: 26.590
Jiwa
Jumlah Penduduk Perempuan
: 24.495
Jiwa
Jumlah KK. Laki-laki
: 9.886
KK
Jumlah KK. Perempuan
: 1.402
KK
Jumlah KK. Asing
:
Jiwa
Kepadatan Penduduk
: 7.571
-
Jiwa/KM2.
Komposisi Penduduk menurut umur dan jenis kelamin adalah Sebagai berikut; TABEL II JUMLAH PENDUDUK MENURUT UMUR DAN JENIS KELAMIN WNI NO
UMUR
1
LK
PR
0- 4
2280
2234
2
5–9
1862
3
10-14
4
WNA JML
JUMLAH
LK
PR
JML
4514
-
-
-
4514
1725
3587
-
-
-
3587
1878
1781
3659
-
-
-
3659
15-19
3028
2602
5630
-
-
-
5630
5
20-24
2415
2057
4471
-
-
-
4471
6
25-29
2504
2396
4900
-
-
-
4900
7
30-34
2265
1895
4160
-
-
-
4160
8
35-39
2257
1821
4078
-
-
-
4078
9
40-44
1596
1502
3098
-
-
-
3098
10
45-49
1421
1235
2656
-
-
-
2656
11
50-54
1259
1242
2501
-
-
-
2501
12
55-59
1096
1003
2099
-
-
-
2099
13
60-64
858
884
1742
-
-
-
1742
14
65-69
799
978
1777
-
-
-
1777
15
70-74
569
525
1094
-
-
-
1094
16
75 ke
504
615
1119
-
-
-
1119
26.590
24.495
51.085
-
-
-
atas Jumlah
51.085
TABEL III JUMLAH PENDUDUK DI TIAP RW WNI NO
RW
1
01
1.679
1687
2
02
2.135
2.071
3 4 5
03 04 05
LK
2.037 805 2.053
PR
1.836 668 1.770
WNA JML
JML
LK
PR
JML
3.366
-
-
-
3.366
4.206
-
-
-
4.206
3.873
-
-
-
3.873
1.473
-
-
-
1.473
3.823
-
-
-
3.823
-
-
4.211
6
06
2.213
1.998
4.211
-
7
07
2.575
2.443
5.018
-
-
-
5.018
8
08
2.703
2.601
5.304
-
-
-
5.304
9
09
3.272
2.931
6.203
-
-
-
6.203
10
010
471
448
919
-
-
-
919
11
011
547
554
1.101
-
-
-
1.101
12
012
589
616
1.205
-
-
-
1.205
13
013
927
738
1.665
-
-
-
1.665
14
014
807
755
1.562
-
-
-
1.562
15
015
895
946
1.841
-
-
-
1.841
2.673
-
-
-
2.673
-
-
-
928
-
-
944
-
-
-
769
-
-
-
51.085
16 17 18 19
016
1.386
017
1.287
492
018
436
498
019
446
506
Jumlah
26.590
263 24.495
928 944 769 51.085
TABEL IV
ANGKA MOBILITAS PENDUDUK LAHIR NO
MATI
PINDAH
DATANG
RW
KK BARU
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
LK
PR
1
01
2
2
-
-
1
-
3
4
1
1
2
02
2
1
-
1
1
-
9
3
3
-
3
03
3
1
1
-
2
2
-
4
-
-
4
04
3
1
1
-
-
-
-
-
-
-
5
05
3
2
2
1
-
2
6
4
2
-
6
06
3
2
-
-
2
-
7
1
1
-
7
07
4
3
3
1
6
5
4
4
1
-
8
08
3
4
4
1
4
6
6
5
1
-
9
09
1 1
5
2
1
2
-
-
010
5 -
-
10
5 1
-
1
-
2
2
-
-
11
011
-
1
-
1
-
-
-
012
-
-
12
1
-
-
-
-
1
-
-
-
13
013
1
1
-
-
1
-
1
-
-
-
14
014
1
-
-
-
1
-
-
-
-
-
15
015
1
-
-
-
1
-
-
1
-
-
16
016
2
-
-
-
1
3
2
5
-
-
17
017
1
2
-
-
1
-
-
-
-
-
18
018
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
19
019
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
36
24
13
5
28
20
43
35
9
1
JUMLAH
Angka pertambahan penduduk pada bulan ini adalah : 72 jiwa yang terdiri dari : - Laki-laki
: 38
Jiwa
- Perempuan
: 34
Jiwa
Jumlah Penduduk menurut pencaharian : 1.
Karyawan a). Pegawai Negeri
:
1.557 Jiwa
b).TNI
:
2.817 Jiwa
c).Swasta
:
7.726 Jiwa
2.
Pensiunan
:
841 Jiwa
3.
Pedagang
:
3.265 Jiwa
4.
Tani
:
1.995 Jiwa
5.
Pertukangan
:
446 Jiwa
6.
Nelayan
:
7.
Pemulung
:
169 Jiwa
8.
Buruh
:
1.562 Jiwa
9.
Jasa
:
418 Jiwa
10.
Pengangguran
:
238 Jiwa
11.
Ibu Rumah Tangga
:
13.053 Jiwa
-
Jiwa
12.
Usia Sekolah/Pelajar :
14.417 Jiwa
13.
Balita
:
2.576 Jiwa
JUMLAH
:
51.085 Jiwa
Penduduk Kelurahan Srengseng Sawah yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 32.754 umum dalam pelayanan Administrasi Kependudukan sebagai berikut :
TABEL V PELAYANAN KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL NO
JENIS BLANKO/FORMULIR PENERIMAAN PENGELUARAN KET
1
Kartu Keluarga (KK) WNI.
1.300
1.137
2
Kartu Keluarga (KK) WNA.
-
-
3
KTP ( FS. 03 )/ KTP BIRU
4.396
4.171
4
KTP FS. 03 A )
-
-
5
KTP FS. 03 B )
402
320
6
SK. Kelahiran WNI
214
190
7
SK. Kelahiran WNA
1
-
8
SK. Kematian WNI
85
72
9
SK. Kematian WNA
-
-
10
SK. Lahir/Mati (WNI/WNA)
-
-
11
SK. Pindah WNI
158
123
12
SK. Pindah WNA
-
-
13
SK. Tempat Tinggal WNI
170
142
14
SK. Tempat Tinggal WNA
6
2
15
SKCP
250
200
16
SK. Tamu WNI
-
-
17
SK. Tamu WNA
-
-
6.984
6.357
JUMLAH
KEL. JAGAKARSA
RW 11 RW 17
KEL. CIGANJUR
RW RW 05 05
RW 10
RW 08 RW Perkampungan 06
KEL . CIP EDA K
R W 14
RW 07
RW 09
RW 18
RW 19
RW 13 RW 03
R W 12
Budaya Betawi
KEL. LENTENG AGUNG
R W 04
RW 02
KALI CI LIWUNG
RW 15 UI
RW 01
RW 16
KODYA DEPOK
Keterangan : Luas Wilayah : 674,70 Ha Jumlah RW : 19 Jumlah RT : 156
FOTO-FOTO SEPUTAR OBSERVASI DAN ALAT-ALAT MUSIK GAMBANG KROMONG.
Foto seorang pria Tionghoa ber-toucang di jalanan Batavia pertengahan dasawarsa 1910-an
Daerah konsentrasi di Indonesia
Alat-alat Musik Gambang Kromong, diantaranya : 1. Alat Musik Tehyan, Kongahyan, dan Sukong (gambar dari kiri ke kanan, tepatnya depan Gambang)
2. Alat Musik Gambang
3. Alat Musik Kromong
4. Alat Musik Kendang
5. Alat Musik Gong dan Kempul
6. Alat Musik Kecrek
7. Alat Musik Kemong
Foto diambil setelah wawancara dengan Indra Sutisnadi selaku pengelolah Perkampungan Budaya Betawi di Kantor Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan
Berpose dengan pelaku kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan.
Foto bersama Pok Nori setelah melakukan Wawancara, beliau selaku pelaku dan pemerhati Budaya Betawi, di Perkampungan Budaya Betawi, Jakarta Selatan
Suasana pementasan kesenian Gambang Kromong
Foto diambil disaat peneliti melalkukan Observasi di Perkampungan Budaya Betawi Foto ini merupakan panggung pentas kesenian Betawi di Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah, Jakarta Selatan.
Rumah Betawi dari depan
Rumah Betawi dari samping
Suasana latihan Gambang Kromong