PENGARUH PENAMBAHAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI PROPORSI DAGING IKAN TENGGIRI TERHADAP DERAJAD PENGEMBANGAN DAN KERENYAHAN KERUPUK IKAN TENGGIRI Oleh : Aisyah Tri Septiana, Herastuti Sri Rukmini dan Sujiman Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian UNSOED Email :
[email protected]
ABSTRAK Indonesia memiliki potensi kelautan yang sangat besar diantaranya rumput laut Eucheuma cottonii dan ikan tenggiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan daging ikan tenggiri dan rumput laut E. cottonii terhadap kualitas kerupuk khususnya pengembangan dan kerenyahan kerupuk ikan tenggiri. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan disusun secara faktorial dengan 9 kombinasi perlakuan dan 3 kali ulangan, sehingga diperoleh 27 unit percobaan. Faktor yang dicoba meliputi proporsi daging ikan (terhadap pati) sebesar 25% (A1), 50% (A2) dan 75% (A3), serta proporsi rumput laut (terhadap pati) sebesar 0% (B1), 20% (B2) dan 40% (B3). Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas derajat pengembangan, tekstur, dan kesukaan kerupuk. Peningkatan proporsi daging ikan tenggiri 25% sampai 75% dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk. Penambahan rumput laut E. cottonii 0 menjadi 20% dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk dan tidak menurunkan derajat pengembangan secara nyata, namun penambahan rumput laut dari 20 menjadi 40% dapat menurunkan kerenyahan dan kesukaan serta menurunkan derajat pengembangan kerupuk secara nyata. Kata kunci: Eucheuma cottonii, kerupuk ikan tenggiri, derajad pengembangan, kerenyahan
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa laut. Potensi hasil budidaya rumput laut Eucheuma cottonii maupun hasil perikanan sangat besar. Produksi perikanan Indonesia tahun 2008 tercatat sebesar 9,05 juta ton yang berasal dari kegiatan penangkapan dan budidaya.
Laju
pertumbuhan produksi perikanana nasional terus meningkat sejak tahun 2004-2008 yaitu 10,29 % pertahun.
Pada tahun 2007 Indonesia menempati urutan kedua
produksi budidaya rumput laut dunia setelah China. Sejak tahun 2003 hingga tahun
2007, perkembangan produksi budidaya rumput laut meningkat sebesar 68,76 % dan peningkatan produksi pada tahun 2006-2007 adalah 47,73 % (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan, 2009). Diversifikasi pengolahan ikan dan rumput laut secara nasional dapat dilakukan dengan cara membuat kerupuk ikan yang ditambahkan rumput laut. Kerupuk merupakan sajian yang hampir selalu hadir dalam hidangan masyarakat sehari-hari maupun pada perayaan kecil maupun besar.
Menurut SNI (1999),
kerupuk ikan adalah suatu produk makanan kering yang dibuat dari tepung tapioka, daging ikan dengan penambahan bahan-bahan lain dan bahan tambahan yang diizinkan. Tapioka dalam pembuatan kerupuk mempunyai peranan yang penting. Penggunaan tapioka tersebut memungkinkan kerupuk untuk mengembang 3-5 kali lipat pada saat digoreng serta membuat kerupuk tidak mudah mengalami pecah (Indraswari, 2007). Selain tapioka, bahan lain yang sering ditambahkan pada adonan kerupuk adalah ikan.
Ikan yang digunakan untuk membuat kerupuk biasanya
tergantung kebiasaan masing-masing daerah, misalnya ikan tenggiri untuk membuat kerupuk Palembang seperti yang digunakan pada penelitian ini. Menurut Ridwan (2007), ikan tenggiri memiliki kandungan protein yang tinggi dengan rasa yang lezat dibandingkan ikan-ikan yang lain. Penggunaan ikan dalam jumlah berlebihan (perbandingan ikan dengan tapioka 2:1) menyebabkan derajat pengembangan dan kerenyahan kerupuk menjadi jelek. Pembuatan kerupuk ikan tenggiri dapat dilakukan dengan penambahan rumput laut Eucheuma spinosum seperti yang dilakukan oleh Wahidi (2005) yang menunjukkan bahwa variasi persentase daging ikan tenggiri, rumput laut E. spinosum dan tepung tapioka berpengaruh terhadap derajad pengembangan, tekstur dan kesukaan kerupuk ikan. Jenis rumput laut lain yang kemungkinan dapat digunakan untuk membuat kerupuk ikan adalah Eucheuma cottoni. Kualitas kerupuk ikan yang ditambahkan rumput laut E. cottoni kemungkinan akan berbeda dengan yang ditambahkan E. spinosum. Kedua jenis rumput laut tersebut mengandung karagenan yang berfungsi sebagai bahan pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi dalam
industri makanan (Deman, 1997) tetapi menurut Winarno (1996), jenis karagenan yang dijumpai pada E. spinosum adalah iota karagenan dan jenis karagenan yang dijumpai pada E. cottoni adalah kappa karagenan.
Iota karaginan bersifat lebih
hidrofil dibandingkan kappa karaginan. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh persentase daging ikan tenggiri (terhadap proporsi pati) dan mengetahui persentase penambahan rumput laut E. cottonii terhadap derajat pengembangan, tekstur dan kesukaan kerupuk. Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pemanfaatan rumput laut E. cottonii, pembuatan kerupuk ikan tenggiri yang ditambah rumput laut E. cottonii; serta diversifikasi pengolahan pangan. METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daging ikan tenggiri, tepung tapioka, rumput laut Eucheuma cottonii, garam, air, bawang putih, dan minyak goreng. Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu timbangan, baskom, kompor, dandang, dan oven. Peralatan yang digunakan untuk analisis diantaranya adalah timbangan elektrik, pasir dan alat gelas. Pembuatan kerupuk ikan Pertama-tama rumput laut dicuci dan direndam selama 24 jam dalam air sampai terendam (perbandingan air dan rumput laut 2:1). Rumput laut selanjutnya dicuci, ditiriskan serta dilakukan steam blanching (pengukusan) selama 3 menit sampai lunak setelah itu dihancurkan sehingga didapatkan rumput laut yang halus. Rumput laut tersebut selanjutnya dicampur daging ikan tengiri dan pati ubi kayu dengan proporsi sesuai rancangan percobaan serta bumbu yang terdiri dari bawang putih, garam dan air, selanjutnya uleni sampai kalis, dicetak, dilakukan steam blanching (pengukusan) selama 20 menit, didinginkan, diiris tipis-tipis, dikeringkan, dan digoreng.
Derajad pengembangan (Widati, 1988 dalam Suryani, 2007) Pengujian derajad pengembangan dilakukan dengan memasukkan pasir kwarsa
kedalam gelas permukaan rata sampai penuh dan setelah diketuk ketuk
sebanyak 150 kali, diratakan menggunakan penggaris. Kerupuk mentah dimasukkkan dalam gelas yang telah penuh dengan pasir dan diketuk-ketuk lagi sebanyak 150 kali. Banyaknya pasir yang tumpah merupakan volume dari kerupuk yang diukur dengan gelas ukur ( a). Kerupuk tersebut kemudian digoreng dan dilakukan pekerjaan yang sama seperti diatas sehingga diperoleh jumlah pasir yang tumpah (b). Pengukuran dilakukan dua kali dan dirata rata. Perhitungan daya kembang dengan rumus sebagai berikut : Derajad pengembangan (% ) = b – a/ a X 100 % Keterangan : a = volume awal kerupuk sebelum digoreng b = volume akhir kerupuk setelah digoreng Kerenyahan dan kesukaan Analisis terhadap kerenyahan yang merupakan pengukuran terhadap tekstur kerupuk dan analisis kesukaan dilakukan secara organoleptik. Panelis yang digunakan 15 orang dan diminta untuk memberikan penilaian terhadap sampel yang diuji pada skala numerik dengan kriteria penilaian tekstur dari 1 (tidak renyah), 2 (sedikit renyah), 3 (agak renyah), 4 (renyah) sampai 5 (sangat renyah).
Kriteria penilaian
kesukaan dari 1 (tidak suka) sampai 5 (sangat suka). Rancangan Percobaan (Sudjana, 1989) Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan mengguna kan dua faktor, yaitu: 1) Persentase daging ikan (A) terhadap proporsi pati, terdiri atas: A1= 25%; A2= 50%; A3= 75%. 2) Persentase rumput laut (B) terhadap proporsi pati, terdiri atas: B1= 0%; B2= 20%; B3= 40%. Kombinasi perlakuan yang terbentuk ada 9 macam dengan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 27 unit percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Pengembangan Hasil analisis ragam pengukuran derajat pengembangan kerupuk ikan tenggiri yang ditambah rumput laut Eucheuma cottonii ditunjukkan pada Lampiran 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan rumput laut berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan sedangkan proporsi ikan dan interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan kerupuk. Nilai rata-rata derajat pengembangan kerupuk dengan proporsi ikan 25% (A1), 50% (A2) dan 75% (A3) berturut-turut adalah 608,566%; 591,798%; 525,174%. Meskipun secara statistik perlakuan proporsi ikan derajat pengembangan menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata, namun rerata derajat pengembangan kerupuk menunjukkan bahwa derajat pengembangan kerupuk A3 < A2 < A1. Pada pembuatan kerupuk, kadar protein dan lemak ikan sangat perlu diperhatikan. Lemak dapat mengganggu pengembangan granula pati karena menghambat penetrasi air ke dalam granula pati sehingga daya ikat pati terhadap air terganggu, suhu gelatinisasi pati meningkat atau menghambat proses gelatinisasi pati. Kadar protein ikan yang cukup tinggi juga dapat mempengaruhi interaksi protein dengan pati yang akan mempengaruhi sifat gelatinisasi pati karena adanya protein sarkoplasma yang dapat menghambat gelasi pati. Protein ikan dapat dibagi menjadi tiga fraksi yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma dan protein stroma. Fraksi protein miofibril memiliki jumlah terbesar yaitu berkisar antara 65-75%. Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 20-30% dari total protein ikan. Protein stroma merupakan fraksi terkecil dalam protein ikan dengan jumlah 1-3%. Protein miofibril merupakan jenis protein ikan yang larut dalam garam dan terdiri dari aktin, miosin, serta protein regulasi (aktinin, troponin, tropomiosin). Protein miofibril berperan dalam gelasi otot dan dapat diekstrak dengan larutan garam netral berkekuatan ion sedang (>0,5M). Protein miofibril terutama aktomiosin (gabungan aktin dan miosin) sangat berperan dalam pembentukan gel.
Protein
sarkoplasma terdiri dari enzim, mioglobin dan albumin lainnya merupakan fraksi
protein ikan yang larut dalam air. Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan bahkan mengganggu proses gelasi. Protein stroma adalah fraksi paling kecil dalam protein ikan dan tidak dapat diekstrak dengan larutan alkali, asam, atau garam berkekuatan ion tinggi. Protein stroma berada pada bagian luar sel otot, dan terdiri dari kolagen serta elastin. Pada saat pembentukan gel ikan, protein ini tidak dihilangkan karena mudah larut oleh panas dan merupakan komponen yang netral pada produk akhir (Fennema 1996). Derajat pengembangan kerupuk merupakan salah satu faktor mutu kerupuk yang
penting karena mempengaruhi penerimaan konsumen. Prinsip proses
pengembangan produk kering merupakan hasil tekanan uap air, udara dan gas lain yang diperoleh dari pemanasan kemudian mendesak struktur bahan, sehingga terbentuknya rongga-rongga udara pada kerupuk. Ketika pati dan ikan dicampur dengan air dalam perbandingan tertentu, maka protein akan membentuk adonan koloidal yang plastis yang dapat menahan gas dan akan membentuk suatu struktur spons bila dipanaskan. Mula-mula protein di dalam adonan membentuk koil dan menghasilkan sifat-sifat yang elastis. Ikatan antara rantai pada semua titik tidak sama kuat, sehingga apabila adonan dicampur, sebagian putus dan lainnya tetap utuh dan ini berlangsung selama pencampuran antara pati dengan bahan lain. Adonan tersebut mengandung sel-sel gas yang memisahkan sebagian dari pada sel-sel gas yang utuh dan inti gas membentuk gelembung di dalam adonan. Hasil analisis ragam penambahan rumput laut terhadap derajat pengembangan kerupuk menunjukkan perlakuan penambahan rumput laut B1 (rumput laut 0%), B2 (rumput laut 20%), dan B3 (rumput laut 40%) berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan kerupuk. Nilai rata-rata yang dihasilkan dari perlakuan B1, B2 dan B3 masing-masing adalah 628,669%; 595,369%; 501,500%.
Nilai rata-rata derajat pengembangan kerupuk (%)
800 600 400 200 0
628.669 a
0
595.369 a
20
501.5 b
40
Persentase penambahan rumput laut
Gambar 1. Pengaruh penambahan rumput laut terhadap derajat pengembangan (%) kerupuk Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan bahwa penambahan rumput laut 20% tidak menurunkan derajat pengembangan secara nyata, tetapi peningkatan rumput laut dari 20% sampai 40% menurunkan derajat pengembangan secara nyata. Penurunan derajat pengembangan kerupuk diduga disebabkan pembentukan gel yang kokoh dari rumput laut E. cottonii. Jenis karagenan yang dijumpai pada rumput laut E. cottonii adalah kappa karagenan yang dapat membentuk gel yang kokoh dan kaku, karena memiliki satu gugus sulfat disetiap unitnya yang melekat pada cincin O-2anhydrogalactose . Karaginan dapat membentuk gel secara reversibel artinya dapat membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan. Pembentukan gel disebabkan terbentuknya struktur heliks rangkap yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Berdasarkan sifat gel yang terbentuk serta jumlah dan posisi gugus ester sulfat, karagenan dibedakan menjadi tiga golongan yaitu, kappa karagenan, iota karagenan, dan lambda karagenan. Secara umum, semakin besar jumlah gugus ester sulfat yang terkandung, maka semakin rendah solubilitasnya dalam temperatur tertentu, dan semakin rendah kekuatan gel yang terbentuk. Kappa karagenan memiliki satu gugus sulfat disetiap unitnya yang melekat pada cincin O-2-
anhydrogalactose. Karagenan jenis ini mampu membentuk gel yang bersifat kaku dibandingkan jenis karagenan yang lain (strongest gelling), bersifat termoreversibel. Iota karagenan mengandung 2 gugus sulfat yang yang melekat pada cincin 12anhydrogalactose. Iota karagenan dapat membentuk gel yang sangat elastis dan lebih lembut dibandingkan kappa. Iota karagenan bersifat lebih hidrofilik. Lambda karagenan memiliki struktur D-galactose-2-sulphate-D-galactose-2,6-disulphate. Karagenan jenis ini mengandung tiga gugus sulfat dalam strukturnya.
Berbeda
dengan jenis kappa dan iota, lambda karagenan tidak dapat membentuk gel, melainkan dapat membentuk cairan yang kental atau viscous (Glicksman, 1983) Pada adonan kerupuk, pembentukan gel ini akan menghasilkan penampang yang berongga-rongga, karena pada saat penggorengan kerupuk terjadi kenaikan suhu dan terbentuknya uap air serta terbentuknya gas CO2 yang disebabkan oleh adanya gelatinisasi pati dan koagulasi protein. Ketika air mencapai titik didihnya, air akan menguap meninggalkan permukaan adonan kerupuk dan gelembung-gelembung udara yang terbentuk akan meninggalkan ruangan kosong melalui pori-pori, sehingga menimbulkan pengembangan pada kerupuk. Derajat pengembangan tertinggi ditunjukkan pada kerupuk A2B1 (ikan 50% non rumput laut) dengan nilai 668,743%, sedangkan derajat pengembangan terendah ditunjukkan oleh kerupuk A3B3 (ikan 75% - rumput laut 40%) dengan nilai 434,393%. Hal ini disebabkan ikan mengandung protein dan lemak yang cukup tinggi serta rumput laut yang dapat membentuk gel yang sangat kokoh atau kaku sehingga dapat menurunkan derajat pengembangan kerupuk. Kerenyahan/Tekstur Kerenyahan adalah salah satu sifat tekstur yang merupakan sifat penting untuk penerimaan oleh konsumen terhadap produk yang digoreng atau olahan pangan yang berkadar air rendah. Kerenyahan berkaitan dengan derajad pengembangan. Pada umumnya semakin besar derajad pengembangan semakin besar pula kerenyahan kerupuk. Kerenyahan nampaknya juga dipengaruhi kekekaran kerupuk seperti yang terlihat pada kerupuk ikan yang ditambah rumput laut E. cottonii ini.
Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan proporsi ikan (A) dan penambahan rumput laut (B) berpengaruh sangat nyata terhadap kerenyahan kerupuk. Skor tekstur kerupuk pada berbagai kombinasi perlakuan proporsi ikan (A)
Nilai rata-rata tekstur kerupuk
dan penambahan rumput laut (B) disajikan pada Gambar 2. 5 4 3 2 1 0
3.3 b
A1B1
3.9 ab
3.9 ab
4.1 ab
3.2 b
A1B2
A1B3
3.7 ab
4.4 a
4 ab
2.9 b
A2B1
A2B2
A2B3
A3B1
A3B2
A3B3
Kombinasi perlakuan penambahan ikan dan rumput laut
Gambar 2. Kombinasi perlakuan penambahan ikan dan rumput laut terhadap kerenyahan kerupuk Tekstur sangat penting pada makanan yang kering. Tekstur pada kerupuk dapat dilihat berdasarkan kerenyahannya yaitu bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat dan berongga-rongga. Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai ratarata tekstur kerupuk yang dihasilkan dari kombinasi A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2 dan A3B3 masing-masing adalah 3,3 (agak renyah), 3,9 (mendekati renyah), 3,2 (agak renyah), 3,9 (mendekati renyah), 4,1 (renyah), 3,7 (mendekati renyah), 4,0 (renyah), 4,4 (renyah-sangat renyah) dan 2,9 (mendekati agak renyah). Kerenyahan yang terasa pada kerupuk ini karena kerupuk memiliki penampang yang berongga-rongga. Pada proses penggorengan, terjadi kenaikan suhu, terbentuknya uap air, dan terbentuknya gas CO2 yang disebabkan adanya gelatinisasi pati dan koagulasi protein. Ketika air mencapai titik didihnya, air akan menguap meninggalkan permukaan adonan kerupuk. Penguapan ini menyebabkan kerupuk kering
dan
mengeras.
Gelembung-gelembung
udara
yang
terbentuk
akan
meninggalkan ruangan kosong melalui pori-pori, dan akan mempengaruhi kerenyahan kerupuk. Gambar 2 menunjukkan bahwa kerenyahan kerupuk dipengaruhi oleh proporsi ikan tenggiri. Peningkatan proporsi daging ikan dari 25% sampai 75% dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk yang dihasilkan kecuali pada perlakuan
penambahan rumput laut yang tinggi (40%). Hal ini diduga karena protein myofibril dari ikan dan amilopektin dari pati tapioca yang mampu membentuk gel sebagai fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai polimer yang selanjutnya mengimobilisasi air didalamnya membentuk struktur yang kuat. Pada penambahan rumput laut yang terlalu tinggi (40%), peningkatan proporsi daging dari 50% menjadi 75% menyebabkan kerenyahan menjadi berkurang karena kandungan air rumput laut yang telah direndam menyebabkan adonan menjadi terlalu lembek sehingga struktur gel yang terbentuk menjadi lemah. Penambahan rumput laut
20% (B2) dalam adonan dapat meningkatkan
tekstur menjadi sangat renyah. Hal ini disebabkan penambahan rumput laut E. cottonii sampai 20 % dapat sedikit meningkatkan kekekaran kerupuk sehingga dapat meningkatkan
kerenyahannya. Penambahan rumput laut dari 20% menjadi 40%
menurunkan kerenyahan kerupuk karena kerupuk yang dihasilkan terlalu keras. Kesukaan Kesukaan merupakan penilaian yang diberikan berdasarkan kondisi produk secara keseluruhan berdasarkan kenampakan, aroma, flavor dan tekstur. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan penambahan ikan (A) dan persentase rumput laut (B) berpengaruh nyata terhadap kesukaan. Skor kesukaan kerupuk pada berbagai kombinasi perlakuan antara proporsi ikan (A) dan
Nilai rata-rata kesukaan kerupuk
penambahan rumput laut (B) disajikan pada Gambar 3. 5 4 3 2 1 0
3.8 ab
4 ab
A1B1
A1B2
3.1 b
3.5 ab
3.7 ab
3.7 ab
4.1 a
3.7 ab
3.3 ab
A1B3
A2B1
A2B2
A2B3
A3B1
A3B2
A3B3
Kombinasi perlakuan penambahan ikan dan rumput laut
Gambar 3. Kombinasi perlakuan penambahan ikan dan rumput laut terhadap kesukaan kerupuk Nilai rata-rata kesukaan kerupuk yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2 dan A3B3 masing-masing
adalah 3,8 (mendekati suka), 4,0 (suka), 3,1 (agak suka), 3,5 (mendekati suka), 3,7 (mendekati suka), 3,7 (mendekati suka), 4,1 (suka), 3,7 (mendekati suka) dan 3,3 (agak suka). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan proporsi ikan dari 25% menjadi 75% maupun penambahan rumput laut tidak berpengaruh terhadap kesukaan kerupuk yang dihasilkan kecuali pada perlakuan kesukaan yang tertinggi dan terendah . Kesukaan tertinggi diperoleh dari hasil interaksi A3B1 yaitu kerupuk dengan penambahan ikan 75% tanpa penambahan rumput laut dengan skor sebesar 4,1 (suka), sedangkan kesukaan yang terendah sebesar 3,1 (agak suka) pada interaksi A1B3 yaitu kerupuk dengan penambahan ikan 25% dan rumput laut 40%. Hasil penelitian Septiana et al (2011) menunjukkan bahwa kesukaan terhadap kerupuk bukan hanya dipengaruhi oleh kerenyahan dan derajad pengembangan saja tetapi juga dipengaruhi oleh kenampakan dan flavor. KESIMPULAN Peningkatan proporsi daging ikan tenggiri 25% sampai 75% dalam adonan dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk
serta tidak menurunkan derajad
pengembangan secara nyata. Penambahan rumput laut E. cottonii 0% menjadi 20% juga dapat meningkatkan kerenyahan kerupuk serta tidak menurunkan derajat pengembangan secara nyata. Penambahan rumput laut 20% menjadi 40% dapat menurunkan kerenyahan serta menurunkan derajat pengembangan kerupuk secara nyata dari 595,369% menjadi 501,5%. DAFTAR PUSTAKA De Man, J.M. 1997. Kimia Pangan. Terjemahan: Kosasih Patmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Glickman, M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol II. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Indraswari, C. H. 2007. Kerupuk Puli Masa Kini. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Fennema, O.R., M. Karel, G.W. Sanderson, S.R. Tannenbaum, P. Walstra and J.R. Whitaker. 1996. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. Ridwan, D. 2007. Pengaruh substitusi tepung sagu dengan tepung tapioka dan penambahan ikan tenggiri terhadap kualitas kerupuk getas. Jurnal Balai Riset dan Standardisasi Industri, Padang. 15 (2) : 14-28. Septiana, A.T., H.S. Rukmini, dan Sujiman. 2011. Formulasi Kerupuk Ikan Tengiri yang Disubstitusi Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Variasi Jenis Pati. Laporan Hasil Penelitian UNSOED. Purwokerto. SNI. 1999. Kerupuk ikan (SNI 01-2713-1999). Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jakarta. Sudjana. 1989. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung. 412 hal. Suryani, D. A. L. 2007. Kualitas Kerupuk Rambak Kulit Kambing Peranakan Etawah (PE) dan Peranakan Boer (PB) Ditinjau dari Kadar Air, Daya Kembang, Rasa dan Kerenyahan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang. Wahidi, R. 2011. Variasi Persentase Daging Ikan Tenggiri pada Kerupuk Rumput Laut (Eucheuma spinosum) terhadap Kualitasnya (On-line) http://www. faperikanunlam.org/Abstrak-PDF-1/Rfiki_Wahidi.pdf diakses 10 Oktober 2011. Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumpt Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lampiran 1. Hasil analisis ragam kerupuk ikan tenggiri yang disubstitusi rumput laut E. cottonii terhadap derajat pengembangan yang diamati Variabel yang diamati A
Perlakuan B
A B
Derajat tn * tn Pengembangan Keterangan: A = persentase ikan; B = persentase rumput laut; tn = tidak nyata; * = berpengaruh nyata; ** = berpengaruh sangat nyata; AxB = interaksi persentase ikan dan rumput laut
Lampiran 2. Hasil uji Friedman kerupuk ikan tenggiri yang disubstitusi rumput laut E. cottonii terhadap kerenyahan/tekstur dan kesukaan yang diamati No. Variabel yang diamati AB 1 Tekstur ** 2 Kesukaan * Keterangan: AB = kombinasi persentase ikan dan rumput laut; * = berpengaruh nyata; ** = berpengaruh sangat nyata
Lampiran 2.
Diagram alir proses pembuatan kerupuk ikan tenggiri yang ditambah rumput laut Eucheuma cottonii. Ikan Tenggiri
Bumbu
Pencucian n
Penghalusan
Pengambilan bagian daging Pencampuran dan pembuatan adonan
Tepung tapioka, garam, dan pulp rumput laut
Pencetakan Pengukusan 20 menit Pendinginan 12 jam; suhu 10oC Pengirisan Pengeringan 2 hari; suhu 50oC Penggorengan n Pengemasan Kerupuk Ikan Tenggiri