OLAHRAGA PRESTASI SEBAGAI SARANA PENYETARAAN GENDER BERLIANA ABSTRAK
Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa peluang yang diberikan pada anak perempuan untuk melakukan aktivitas publik (berkarir dalam olahraga prestasi) belum sepenuhnya, khususnya dalam cabang olahraga keras (masculine port). Kondisi ini berdampak pada minimnya jumlah atlet wanita pada cabang olahraga prestasi. Dampak lainnya yang dimunculkan adalah, minimnya jumlah pelatih dan pengelola olahraga. Keengganan para orangtua untuk memberikan izin pada anak perempuannya menggeluti cabang olahraga berat, masih dipengaruhi oleh konteks ”society” (kemasyarakatan) dan ”culture” (kebudayaan). Secara tradisional, wanita tidak bermain dalam olahraga berskala besar, jika dilihat wanita hanya melakukan kegiatan ”dansa” (tarian) atau ”gymnastic” (senam). Keluarga merupakan agen sosial pertama dan utama dalam internalisasi gender, dan oleh karenanya pola asuhan yang dilakukan keluarga menjadi penentu dalam pengambilan keputusan bagi anak perempuan untuk beraktivitas dalam olahraga prestasi. Sejalan dengan perkembangan zaman, juga ditandai oleh pergeseran budaya, terbukti bahwa sekarang perempuan sudah bermain sepakbola dan bahkan ”rugby” yang awalnya selalu dimainkan oleh kaum pria. Artinya pemberian peluang yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat pada anak perempuan, akan mengindikasikan jumlah atlet wanita yang kian hari meningkat untuk banyak cabang olahraga. Masalah pokok penelitian adalah memposisikan olahraga prestasi sebagai sarana penyetaraan gender. Kajian ini juga akan terkait dengan bentuk pola pengasuhan anak pada keluarga dan sekolah dalam menggiring mereka dalam mengambil keputusan sebagai atlet dalam olahraga kompetitif dan mampu bertahan dalam proses latihan yang cukup lama dijalani. Sekaitan dengan itu maka situs penelitian lapangan dilakukan pada atlet wanita, keluarga atlet, dan pelatihnya. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan teknik observasi partisipasi, wawancara, dan studi dokumentasi dipakai sebagai alat untuk memotret data, ini dilakukan peneliti secara terus menerus selama tiga bulan lamanya. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan interelasi sejumlah faktor dalam pola hubungan yang kompleks, yakni proses sosialisasi anak wanita usia muda ke dalam olahraga prestasi berawal dari keberadaan pola asuhan keluarga, dan sekolah. Berdasarkan temuan penelitian, dapat direkomendasikan kepada peneliti selanjutnya agar melihat (1) konteks kesetaraan gender partisipasi wanita dalam olahraga ditinjau dari lintas budaya suku bangsa di Indonesia; (2) Persepsi masyarakat tentang olahraga wanita, dan (3) Dampak olahraga terhadap mobilitas sosial wanita. Key word; masculine sport, pola asuh, gender
1
PENDAHULUAN Permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah pembinaan olahraga prestasi sebagai sarana penyetaraan gender, utamanya olahraga yang mengundang citra laki-laki (masculine sport). Meski sasat kini telah banyak payung hukum yang dibuat terkait dengan kesetaraan gender, seperti: konsep diskriminasi (discrimination) gender dalam konvensi CEDAW yang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 Pasal 6 Bab IV tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang menegaskan mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Jika ditilik lebih jauh, peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif, dan akuntabel oleh seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Berbagai kemajuan dalam pembangunan, khususnya di bidang olahraga telah menunjukkan angka yang meningkat, meski ketimpangan gender masih sangat dirasakan. Meskipun demikian aneka diskriminasi terhadap hak dan peranan kaum perempuan di Indonesia seperti dalam bidang sosial, ekonomi, dan lebih-lebih bidang politik masih merupakan masalah yang sangat kompleks dengan akar sejarah yang cukup panjang, dan simptomnya jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ketimpangan sosial ini dapat diamati sejak berlangsung proses sosialisasi terhadap anak bayi perempuan, dan semakin kentara tatkala mereka sudah menginjak usia remaja dan dewasa. Mereka sering diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat dan perlakuan itu semakin parah pada waktu mereka dilanda kesulitan ekonomi sehingga mereka semakin tidak berdaya. Akar masalah ketidak berdayaan itu ialah terutama karena terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan, dan kalaupun ada, lebih mengarah pada pelatihan kecakapan hidup berupa keterampilan mengerjakan tugas-tugas domestik seperti urusan rumah tangga. Di balik kesemua itu budaya merupakan faktor yang amat menentukan. Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia menyebabkan sempitnya kesempatan mereka untuk berperan di masyarakat. Di lain pihak pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen bersama masyarakat internasional untuk mengatasi aneka diskriminasi tersebut dengan ikut serta meratifikasi konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1975 di markas besar PBB. Komitmen itu diperkuat pula dengan diterbitkannya Undang-Undang RI no 7 tahun 1984 sebagai implementasi CEDAW yang berjalan 20 tahun lamanya, meski hanya segelintir orang tahu dan menjalankannya. Padahal sebagai payung hukum baik CEDAW maupun UU RI no 7 tahun 1984 harus mampu melindungi perempuan dalam berbagai aktivitasnya. Namun isi konvensi dan UndangUndang tersebut belum sepenuhnya diwujudkan, hingga berhasil mendudukkan perempuan setara dengan kaum laki-laki. Bahkan potret popular yang ditampilkan wanita di Indonesia tak ubahnya dengan profil wanita di kawasan Asia Tenggara yakni sosok korban yang mengalami tingginya angka buta huruf, kemiskinan, dan rendahnya harapan hidup (Rena,1998:12). Masalah sosial inilah di antaranya yang ingin dituntaskan melalui program pengentasan kemiskinan, program penurunan angka kematian akibat melahirkan, dan pemerataan pendidikan yang menjadi sasaran Millenium Development Goals 2015. Isu ini sangat relevan untuk menyoroti masalah sosial di Indonesia. Di sisi lainnya, payung hukum yang berkaitan dengan pembangunan bidang sosial budaya pada kurun waktu tahun 2010−2014 diprioritaskan pada banyak bidang antara lain: peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan prestasi olahraga, peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Artinya, peluang ke arah 2
kesetaraan dan pemberdayaan kaum perempuan sudah terbuka lebar, dengan layanan kesehatan bagi anak dan ibu hamil mendapat perhatian yang seksama. Lalu pertanyaannya, apakah keluarga sebagai unit terkecil sosialisasi gender telah paham betul secara signifikan. Seperti diketahui bersama, bahwa prinsip demokrasi juga ditegaskan dalam olahraga. Untuk menjamin hak berolahraga yang sama di Indonesia, telah diterbitkan payung hukumnya berupa Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang bertujuan untuk membangun dan menata sistem, di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Dalam Pasal 6 Bab IV ditegaskan hak semua orang untuk berolahraga, yang berarti baik laki-laki maupun perempuan harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berolahraga (Menpora, 2008). Kesempatan yang sama bagi semua anak, yang dimaksudkan dalam undang-uandang tersebut, diharapkan mampu memberikan motivasi pada anak untuk semakin kuat dirinya dalam menentukan arah dalam memilih olahraga yang disenangi. Dengan demikian, dapat berdampak langsung pada upaya penyetaraan gender. Dari data konkrit di lapangan dan ketersediaan payung hukum yang berkaitan dengan kesetaraan gender, yang menjadi persoalan ialah sejauh mana implementasi payung hukum tersebut, sama hal nya dengan realisasi penerapan beberapa butir deklarasi dalam bidang olahraga, seperti Deklarasi Paris 1978 yang dirumuskan oleh UNESCO perihal International Charter of Physical Education and Sport. Dalam pasal satu ditegaskan tentang hak azasi manusia untuk berolahraga. Dapat juga disimak secara seksama isi Olympic Charter yang melarang “Any form of discrimination with regard to a person on grounds of race, religion, politics, sex or otherwise in compatible which belonging to Olympic movement.” Kesenjangan antara komitmen dalam dokumen dengan praktek sesungguhnya masih terjadi. Sejak diterbitkannya Resolusi 1092 (1996) oleh sidang umum Dewan Eropah tentang diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga, dan lebih khusus dalam olympiade, diungkapkan adanya diskriminasi dalam hal akses untuk berolahraga, baik sebagai amatir maupun professional. Diskriminasi ini, seperti dalam dokumen rekomendasi Dewan Eropah (1701) yaitu masih terdapat stereotipe yang melekat, kurangnya dukungan bagi olahragawan wanita untuk mewujudkan prestasinya, kesulitan rekonsiliasi kerja/olahraga dan kehidupan keluarga, masalah integrasi kembali dalam dunia kerja dan terbatasnya liputan media terhadap olahraga wanita, di samping terbatas pula dana yang disediakan. Selanjutnya dijelaskan perlunya upaya yang meluas melalui tindakan nyata ini untuk memerangi diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga, seperti dalam Brightown Declaration (1994), Wind Lock dan Paris Call for Action (1994 dan 2004) dan memorandum Berlin (2002). Perempuan sebagai pengemban aktivitas ganda (domestik dan publik), hendaknya diimbangi dengan pria. Sehingga sosok perempuan pada aktivitas publik dapat kian meningkat, tidak seperti data yang mampu digarap pada tahun 2006, menunjukkan bahwa persentase perempuan yang menduduki jabatan eselon I sampai eselon IV, masing-masing hanya sebesar 9,6 persen; 6,6 persen; 13,7 persen; dan 22,4 persen. Dan Pada tahun 2008, persentase tersebut untuk eselon II sampai eselon IV, masing-masing meningkat menjadi 7,1 persen; 14,5 persen; dan 23,5 persen. Di bidang politik, partisipasi perempuan di lembaga legislatif meningkat dari 11,3 persen pada tahun 2004 menjadi 17,9 persen pada tahun 2009. Demikian pula, anggota DPD perempuan meningkat dari 19,8 persen pada tahun 2004 menjadi 27,3 persen pada tahun 2009. Sebetulnya peningkatan angka perempuan yang berperan di bidang publik cukup signifikan, hal ini dibarengi dengan kemajuan di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yang mendukung peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, selain yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang 3
Perlindungan Saksi dan Korban; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi; dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Pada dasarnya keberadaan gender, jika ditilik dari sisi sosial dalam aturan sosial dapat dilihat dari bagaimana masyarakat melihat keperempuanan dan kelaki-lakian, berikut nilai-nilai yang berhubungan dengan jenis kelamin. Masyarakat yang berfungsi sebagai penerima dan pemberi berita dalam wadah komunikasi sering memberi batasan tentang derajat laki-laki dan perempuan. Wood (1993) memaparkan peran sosiologis yang dipikul oleh masing-masing kelompok (perempuan dan laki-laki) yang kerap mengakar lewat komunikasi, yang digambarkan bahwa secara sosial masih kental terlihat perbedaan di antara gender, di mana dalam sejarah pembedaan antara dua oposisi seperti halnya warna kulit, jenis kelamin, suku, ras, minoritas, bahkan posisi rendah diperuntukkan bagi perempuan dan posisi tinggi bagi laki-laki sangat berat
IDENTIFIKASI MASALAH Persoalan kesetaraan gender dalam olahraga masih belum tuntas penyelesaiannya, dalam arti kata bahwa prestasi gemilang kaum wanita dalam olahraga tidak cukup untuk menghapuskan bias gender dan stereotip. Stereotip ini masih terjadi dan ditujukan pada kaum wanita yang terjabarkan dalam sikap negatif dan perlakuan yang tidak adil, sehingga berdampak pada: (1) sempitnya kesempatan bagi kaum wanita untuk berolahraga, dan (2) perlakuan itu berdampak pada kehidupan dan kesejahteraan kaum wanita. Kondisi itu merupakan faktor penghambat, di mana partisipasi wanita dalam olahraga rupanya terkait langsung dengan faktor yang lebih mendalam ialah faktor budaya yang dibentuk dan diusung sendiri oleh para anggota keluarga masyarakat secara meluas. Pada proses interaksi yang pada awalnya terjadi di rumah (keluarga) dimaksudkan itu mencakup pengalihan nilai, pembentukan gagasan, sebagaimana halnya manakala seseorang yang lebih dewasa menularkan kebiasaan yang baik, mengalihkan informasi tentang manfaat berolahraga, juga mengenai manfaat berolahraga ke pada anak yang lebih muda. Dalam proses interaksi itu memang berlangsung hubungan antara subjek dengan subjek, maksudnya adalah seseorang yang menerima informasi sebagaimana peserta didik dengan kedudukannya bukanlah sebagai seseorang yang pasif, karena di antara keduanya itu terjadi hubungan yang saling mempengaruhi. Inilah alasan mengapa sosialisasi itu bukan merupakan proses satu arah dalam rangka mengalihkan atau membentuk nilai rujukan yang kemudian disepakati secara bersama. Dari beberapa paparan di atas, identifikasi permasalahan pokok yang dapat diungkap adalah bahwa kecilnya peluang para wanita Indonesia dalam melakukan aktivitas, khususnya aktivitas olahraga yang terkait dengan masalah pola asuh, budaya, sosial, ekonomi, dan agama. Padahal secara umum keberadaan para wanita di Indonesia masih terbilang kelompok ’nomor dua’ dibandingkan dengan laki-laki. Jika kondisi ini berlangsung terus, maka salah satu wadah penyetaraan gender yakni klub olahraga, tidak dapat vberfungsi sebagai mana adanya.
4
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan studi kasus, dan merupakan studi yang berusaha menyingkap, mendeskripsi, menganalisis, memproyeksi dan pemberian makna tentang berbagai upaya orang tua dalam model pola asuh yang dilakukan dalam membesarkan dan mendewasakan anak perempuannya, sehingga anak memutuskan untuk tetap menggeluti olahraga kompetitif/olahraga prestasi. Penelitian ini tergolong pada studi kasus, karena sangat unik ditinjau dari proses perkembangan dan dampak olahraga prestasi dalam penyetaraan gender. Berkaitan dengan penelitian kualitatif, sesungguhnya merupakan payung untuk berbagai strategi penelitian yang mempunyai persamaan karakteristik (Bogdan dan Biklen, 1982). Selanjutnya disebutkan pula dalam istilah lain seperti penelitian naturalistik untuk bidang pendidikan. Sehubungan dengan penggunaan pendekatan kualitatif, maka data yang dihimpun diungkap dengan melakukan eksplorasi melalui komunikasi partisipatif yang intensif langsung dengan sumber data. Perlakuan eksplorasi ini bertujuan untuk menjaring, mengungkap, memahami, dan menjelaskan masalah, dan berakhir ketika masalah yang diinginkan telah terkumpulkan menurut analisis peneliti yang berfungsi sebagai instrumen utama dalam pengambilan data. Masalah sosial yang dikaji dalam penelitian ini meliputi banyak aspek seperti prestasi para atlet perempuan yang ditinjau dari sisi budaya nasional, di mana para perempuan pada dasarnya belum sepenuhnya diizinkan untuk berprestasi di bidang olahraga khususnya olahraga maskulin, yakni olahraga yang mengundang citra laki-laki. Sejalan dengan itu Neuman (1991:16) menjelaskan tentang qualitative style antara lain: “Construct social reality, cultural meaning, focus on interactive processes, events, situationally constrained, few cases, subjects,…”. Untuk memenuhi kelengkapan data, peneliti menggunakan beberapa teknik yakni, observasi dan wawancara. Kedua teknik ini digunakan secara bergantian dengan tidak menentukan urutan. Keseluruhan teknik tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhannya dalam penjaringan data. Keberfungsian teknik ini juga saling melengkapi, sehingga data yang tidak dapat diperoleh lewat teknik yang satu dapat terjaring lewat teknik lain yang disediakan. Data yang terjaring lewat pengamatan, wawancara dan dokumentasi, dicoba untuk dilihat tingkat keabsahannya. Alasan utama adalah sering munculnya prasangka-prasangka subjektif dari peneliti yang tergambar dari dirinya sendiri, sehingga kondisi demikian ini menyebabkan bias dan mengelabui data yang ada. Mengacu pada pendapat Lincoln & Guba (1985), tingkat keabsahan suatu penelitian kualitatif dapat diukur dengan tiga kriteria, yakni: kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas. Sejalan dengan itumaka penelitian ini juga menggunakan tiga criteria ukur ini dalam melihat tingkat kabsahan data.
PENGUNGKAPAN DATA KUALITATAIF Sehubungan tidak adanya prosedur baku dalam menganalisis data dalam penelitian kualitatif, maka dalam hal ini peneliti berupaya untuk mencari cara dan pola khusus untuk melakukan analisis data sesuai dengan fokus penelitian. Upaya yang dilakukan dalam penyusunan data adalah menggolongkannya dalam pola, tema, dan kategorisasi yang sesuai. Kreativitas dan kemampuan intelektual yang tinggi dibutuhkan dalam menganalisis data, sehingga peneliti tidak melakukan kesalahan dalam pemaknaan tiap data yang diperoleh. Pembuatan tafsiran dan interpretasi yang menggambarkan perspektif atau pandangan peneliti, digunakan untuk menyusun dan menjelaskan unit atau kategori tersebut, yang berikutnya
5
mencari hubungan di antara berbagai konsep yang ditemukan hingga pemberian makna dan menemukan analisis dan kategori. Analisis yang demikian menurut Hadisubroto (1988:15) merupakan suatu proses kerja yang tujuannya membuat informasi-informasi yang telah berhasil dihimpun menjadi sesuatu yang jelas dan eksplisit. Hal yang sama diungkapkan oleh Bogdan & Biklen (1982:68-70) bahwa prosedur analisis semacam ini disebut sebagai content analisys. Dengan berpatokan pada uraian dan tata aturan yang dikemukakan tersebut, maka secara sederhana dapat digambarkan tahapan-tahapan analisis yang dilakukan oleh peneliti, sebagai berikut: 1. Dari data yang dihasilkan lewat pengamatan yang berulang terus menerus dan berkesinambungan, wawancara, serta studi dokumentasi, kemudian diketik dengan rapih sehingga mudah terbaca, dapat membantu peneliti dalam membuat deskripsi untuk menggambarkan masalah. Ini dilakukan dengan sistem pengkodean pada data mentah, dengan tujuan untuk dapat ditransformasikan secara sistematis dan digolong-golongkan sesuai dengan karakteristiknya yang terkait pada fokus penelitian. Identifikasi data yang dilakukan dengan model penggolongan tadi, diharapkan dapat menghampiri peneliti dalam memiliki wawasan untuk melakukan analisis data yang berikutnya. Gambaran yang demikian ini membangun kerangka analisis untuk melakukan rekonstruksi. Selanjutnya akan mampu membuat kategori dan konsep, melakukan interpretasi, dan menjelaskan proporsi antar konsep yang dibentuk oleh hubungan yang terbina selama proses pengambilan data berlangsung. Analisa dan rekonstruksi data yang berulang kali dilakukan menghasilkan bangunan relasi sistem antar berbagai konsep yang berkaitan dengan pola asuh anak dalam keluarga. 2. Setelah pembuatan kategori lewat penggolongan data pada tahap pertama, selanjutnya upaya analisa data bergerak pada menjelaskan secara tertulis agar tiap kategori tadi dapat dipahami sejalan dengan pencarian penggolongan data lain yang relevan. Menjadi sulit dalam melakukan pekerjaan pada tahap kedua ini, karena sering terganggu oleh pemikiran yang ada saat melakukan analisis saja, padahal kondisi pengambilan data sering diwarnai oleh atmosfir yang bervariasi. Untuk mengatasi hal itu rekaman audio visual dicermati kembali. Hal yang paling penting adalah membuka kembali field notes yang dibuat sesaat ketika tiap pengamatan selesai dilakukan. 3. Tahapan yang ketiga membuat tafsiran dengan menggambarkan perspektif peneliti dalam memberikan makna dari tiap pengelompokan data dan menjelaskan makna hubungan tiap unitnya.
Dari beberapa data yang ditangkap, dapat dianalisis bahwa’ 1. Hambatan wanita Indonesia untuk berlatih berpangkal pada keengganan mereka untuk latihan beban sebagai cara untuk meningkatkan power. Keengganan itu ditambah pula dengan kekhawatiran wanita yang berakibat pada perubahan bentuk tubuhnya, mirip seperti laki-laki. Sedangkan karakter atlet puteri itu tampaknya dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya setempat di mana atlet itu dibesarkan. Atlit (Pegulat) Jambi misalnya postur badannya lebih “kekar” dibandingkan dengan pegulat puteri Jawa Barat yang lemah gemulai. 6
2. Minimnya jumlah atlet pada mulanya sangat dipengaruhi oleh anutan budaya, yang memandang olahraga tidak cocok untuk perempuan, karena aktivitas olahraga lebih cenderung pada gerakan yang berjingkrak-jingkrak layaknya laki-laki. Karena itu atlet perempuan yang ada pada saat itu merupakan anak perempuan yang berasal dari keluarga olahraga yang telah terbiasa dengan budaya olahraga, dan biasanya berasal dari kota. 3. Bahkan pelatih saya juga tidak pernah membedakan antara perempuan dan laki-laki untuk dilatih, dan jika kelihatan ada yang berbeda, saya selalu ingin mencoba apa yang dilakukan laki-laki. Olahraga yudo menurut saya lebih penting untuk kaum perempuan, karena selain untuk prestasi juga untuk menjaga diri. Tapi penting dukungan orang tua. 4. Perbedaan gender dalam olahraga prestasi, tidak terjadi, karena perempuan an laki-laki tidak dipertandingkan, tapi merupakan dua kmunitas yang sama-sama berlatih pada program latihannya masing-masing. 5. Beberapa perempuan yang berprestasi dalam berbagai cabang olahraga menjadi terhenti ketika sudah menikah. Padahal situasi seperti ini sangat disayangkan, atau mungkin juga keadaan itu sudah menjadi budaya (huruf miring oleh peneliti) kalau isteri dikehendaki untuk lebih banyak mengurus rumah tangga; atau lebih jelas lagi bahwa rumah tangga adalah tanggung jawab isteri saja. 6. Untuk prestasi olahraga yang digeluti wanita, saya sangat mendukung, asal saja etika keperempuannya (huruf miring oleh peneliti) jangan sampai tercoret apalagi kalau sudah jadi isteri. Artinya seorang perempuan yang memiliki prestasi baik atau bahkan berkarir baik, jangan sampai tidak menghargai suaminya, karena bagaimanapun, isteri merupakan tonggak dalam rumah tangga. Di sanalah terkait pandangan kodrati perempuan yang disesuaikan dengan porsinya, meski tidak semua perilaku wanita selalu dihubungkan dengan kodrat. Untuk angkat besi sendiri saya fikir tak ada masalah bagi wanita karena pada angkat besi itu mereka mampu mengukur kekuatannya sendiri untuk mengangkat besi. KESIMPULAN Dari beberapa data yang mampu diungkapkan, kemudian di analisis, dapat diajukan beberapa kesimpulan, yakni: 1. Proses pola asuh dan sosialisasi olahraga ketika berusia dini di kalangan wanita melalui pengalihan nilai, pengetahuan, pembentukan sikap dan perolehan kecakapan dasar berolahraga secara terpadu, keseluruhan terjadinya bermula di lingkungan keluarga inti, dengan catatan, pihak ayahlah yang paling dominan membuat keputusan, sekaligus membuka kunci kesempatan bagi anak wanita tersebut untuk berolahraga. 2. Sejarah perkembangan olahraga, termasuk di Indonesia yang umumnya mengadopsi olahraga dari kelompok masyarakat Barat dan atau masyarakat kolonial sejak zaman prakemerdekaan, benar-benar dipasung oleh mindset “masculine sport.” Karena itu halangan utama bagi pengembangan olahraga wanita di Indonesia dalam konteks kesetaraan gender dan implementasi prinsip inklusif, atau olahraga sebagai hak asasi manusia yang menjiwai Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional adalah dibutuhkannya upaya sistematis dan sungguh-sungguh pada setiap lapisan masyarakat, khususnya di lingkungan lembaga 7
pendidikan dan organisasi olahraga untuk mengurai simpul ikatan-ikatan psikologis yang berakar pada budaya, yang mendasari sikap dan perilaku masyarakat dalam olahraga. 3. Partisipasi wanita usia muda dalam olahraga prestasi selama bertahun-tahun menimbulkan beberapa perubahan. Pertama, terbentuknya watak yang didukung oleh sifat-sifat kepribadian unggul yakni motif berprestasi (need of achievement) yang terkait kebiasaan mengandalkan usaha (effort), ketekunan (perseverance), penentuan dan fokus pada tujuan, determinasi (determination), tanggung jawab (responsibility) selain sifat lainnya seperti percaya diri, konsep diri positif (self-concept), kemampuan mengendalikan diri (self-control), kerja sama (cooperation), kecakapan bergaul pada sesamanya (socialization), rasa empati (empathy) dan berfikir logis. Kedua, peningkatan status sosial ekonomi yang bersumber dari imbalan materi karena berprestasi, hingga kemudian memberikan dukungan bagi peningkatan pendidikan. Keadaan ini membangkitkan rasa berdaya dan setara dengan warga masyarakat lainnya. Ketiga, pemberdayaan itu terkait dengan peningkatan status wanita yang terpandang di masyarakat, dan dari sisi sosial budaya, berdampak kuat untuk menunda pernikahan pada usia muda. 4. Proses pembinaan wanita dalam olahraga yang potensial untuk berprestasi lebih banyak didorong oleh kalkulasi peluang memperoleh medali, yang hasilnya sekaligus membangun citra positif bagi klub atau daerah, sementara untuk memperkuat dukungan keluarga dan semua pengorbanan atlet disediakan unsur pengukuh hadiah material. Kesemuanya itu masih terbilang bukan upaya tulus untuk memberikan peluang bagi wanita guna memperoleh manfaat dari kegiatan olahraga, tetapi lebih cenderung sebagai tindak manipulatif untuk menjadikan wanita sebagai objek belaka. Kian besar peluang wanita untuk berprestasi dalam suatu cabang olahraga, kian besar potensi mereka hanya dijadikan objek belaka.
REKOMENDASI 1. Perlu diberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan anak laki-laki untuk aktif pada olahraga kompetitif, sesuai UU SKN yang sudah ada. Kesemptan ini, dapat dimanfaatkan bagi pelatih dan jajarannya untuk mengekspresikan program latihan yang tidak bias gender. 2. Perlu diberi kesempatan dan kepercayaan kepada kaum perempuan untuk ikut serta menentukan kebijakan dan keputusan olahraga, kaum perempuan juga perlu meningkatkan kemampuannya untuk mengisi jabatan tertentu.
8
KEPUSTAKAAN Agutino Rosomery.1997. History of Ideal On Woman. Bercley Publishing Group. New York avenue Ahimsa Putra, 2006. Strukturalisme dan Teori Sosiologi L’evi Strauss. Jogyakarta. Penerbit Insight Reference. Aldemar Harold, et all. 1996. Discomposing the Gender Gap in Cognitive Skills in a Poor Rural Economy. Journal of Human Recources Anshel. MH.1990. Sport Psychologi From Theory to Practice. Scotsdale Gorsuch Scarispirck Aspesd. 2005. IJASPED. Internasional Journal, volume 3. Number 1 Atkinson. J.W. 1984. Introduction to Motivation. New York. Van Notsland Rheinhold Australian Coaching Counsil Incorporated. 1990. Beginning Coaching. Level 1. Coach Manua Belconnen Act 2616 Black, Sandra E. 1999. Importing Equality; The Effect of Increased Competition on the Gender Wage Gap. Federal reserve bank of New York and William collage, Departement of Economics Bogdan R & Biklen, S.K. 1990. Riset Kualitatif untuk Pendidikan. Pengantar, Teori dan Metode. Alih bahasa Munandar. Jakarta PAU-UT Bogdan R & Taylor S.J. 1993. Kualitatif Dasar-dasar Penelitian, alih bahasa A. Khosin Afandi. Jakart: Usaha Nasional Bompa. O. Tudor. 1990. Theory and Methodology of Training; The Key to Athletic Performance, second edition. Kendal Hunt Publishing Company Baravoo Bauman. 2000. Capitalisation of experiences on the Contribution of Livestock Projects to Gender Issues. Working Document. Bern, Swiss. Agency for Development and Cooperation Coakley JJ. 2003. Sport in Society. St Louis Times Mirror College Publishing Cresswell. J.w. 1994. Recearch Design. Qualitative and Quantitative Approaches; London. Sage Publications Deutsch, Ruthanne. 1998. Does Child Care Pay. Labor Force Participation and The Earning Effect of Access to Child Care in the Favelas of Rio the Janeiro. American Development Bank. Washington DC. Dewantara . 1997. Kebudayaan. Bagian IIA. Penerbit Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Dewey .J. 1964. Democracy and Education. An International to the Phylosopy of Education, New York. McMilan Co Dian Rakyat, 2005. Pembangunan Berpespektif Gender, Melalui keseteraan gender dalam hak, sumber daya, dan aspirasi .Penerbit PT Dian Rakyat Jakarta Eshleman & Cashion. 1985. Sociology An Introduction. Second Edition. Brown and Company Boston Toronto Eshleman dan Barbara. 1985. Gender Differentation. United States, America Fan Hong. 2005. Sport in Society. Culture, Commerce, Media, Politics, Routledge. Taylor& Francin in group. Journal International Getler, Paul J, and Neuman. 1991. Family Labor Supply Decission in Rural Peru. Proceedings of the ninth Worl Congress of the International Economic Assosiation
9
Glewwe, Paul, Hannan, Jacob, and Elisabeth. Early Childhood Nutrition and Academic Archievement. Journal Of Public Academic Goleman. 1997. Emotional Intelegence. Cetakan ke-6. Alih bahasa Hermaya. PT SUN Jakarta Gunarsa. D. 2004. Psikologi Olahraga Prestasi. Penerbit PT BPK Gunung Mulia Harsono. 2004. Perancanaan Program latihan Edisi ke-2. di gunakan sebagai bahan kuliah dan acuan melatih bagi mahasiswa. Harrison dan Hungtington. 2003. Culture Matters. First edition. Basic Books; New York Illich, Ivan. 1998. Mestinya Gender. Jogyakarta. Pustaka Jejeboy, shirren J. 1995. Women Education, Autonomy and Repproductive Behavior. New York. Oxford University Press Jurnal Perempuan 2006-2007. Edisi 23-52. Penerbit Jakarta Kartini. 1995. Kartini Leherts to steela zeehamdelaar 1899-1903. Monash University. Clayton Keesing, Roger, M. 1992. Antropologi Budaya Satu Perspektif Kontemporer Jillid 1&2. Jakarta: Penerbit Erlangga Koentjaraningrat. 1993. Persepsi tentang kebudayaan Nasional. ( Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan ). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Kretch, David and Richard S,Crutchfield.1984. Theory and Problems of Social Psycology. Tokyo. Mcgraw Hill. Kogakhusha LTd Logsdon, M. 1985. Gender Roles in Elementary School Texts in Indonesia. Women In Asia The Fasific Hawaii. The womwn studies Program. University Hawaii Milles. Mathew B, Huberman, and Michael. 1984. Analisis Data Kualitatif. Buku sumber tentang metodemetode baru. Jakarta. Penerbit UI Press Moleong lexi, J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit PT Remaja Rosda Karya Ollenburger, Jane C dan Moore. 1996. Sosiologi Wanita, Bandung.Penerbit rineka cipta Oxendine, Joseph B. 1980. Psychology of Motor Learning. Engle Wood Clifft. Prentice Hall, inc Randall. 1988. A Fair Go? Women in Sport in South Australia 1945-1965. Studies in Sport History, no 6. Flinders University Rusli Lutan. 2003. Olahraga Kebijakan dan Politik; sebuah analisis. Proyek pengembangan & keserian kebijakan olahraga. Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional
10