Odyssey silverku memasukki halaman hotel Sheria yang tampak megah dengan kilauan lampulampu. Aku turun dari mobil, seorang petugas valet parking mengambil alih kemudi mobilku. Sejenak aku berdiri mematung di depan pintu hotel. Meredakan gemuruh jiwa yang mengganggu, memantapkan gejolak hati yang ramai berdegup, meskipun keraguan masih saja menyeruak liar dalam dada. Pelan-pelan kulangkahkan kaki, berpeep-toeshoes hitam klasik dengan heels setinggi 12 cm, masuk ke dalam lobi hotel dan langsung menuju lift yang membawaku sampai ke lantai tiga tempat acara resepsi berlangsung. Acara belum dimulai tapi beberapa tamu undangan sudah ramai berdatangan. Aku sengaja datang lebih cepat dari waktu yang tertulis di undangan. Alasannya cukup payah sebenarnya, aku hanya ingin mempersiapkan diri sendiri sebelum melihat Ardha dan pasangannya naik pelaminan. Rasanya aku masih belum terlalu sanggup, aku perlu lebih banyak waktu untuk menguasai diriku sendiri. Baru saja aku selesai mengisi buku tamu dan menerima souvenir berupa sebuah kotak perhiasan mungil berbentuk unik – yang untuk bisa pas masuk ke dalam clutch mungilku – Radit mendatangiku, wajah orientalnya jelas sekali menunjukkan ketidakberesan. “Quee, tolongin gue dong, Quee” tuturnya panik sambil menarik tanganku ke sudut ruangan mendekati sebuah pot besar berisi palm mini.
“Bentar-bentar, Dit, ada apaan sih?” aku berbalik tanya, bingung, dan turur khawatir, meskipun belum tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Radit memandang tepat ke arah mataku, “Bokapnya Clara kena serangan jantung. Clara nyusul ke rumah sakit” ada jeda sejenak, aku masih menunggu kelanjutan cerita Radit. “ Clara nggak bisa perform mala mini, Quee. Gue harap lu mau ya gantiin dia, please…” pinta Radit akhirnya, sambil menggenggam erat tanganku, seolah itu bisa meyakinkanku untuk menjawab sesuai dengan keinginannya. Di belakang Radit, berdiri Rakha yang menatapku dengan tatapan yang sama, memohon. Alih-alih menjawab, aku malah terdiam, pikiranku melayang-layang dan jatuh tepat ke dua hari yang lalu di ruangan Rakha. “Jadi gimana weekend nanti, Quee?” tanya Rakha dari balik meja kerjanya. Ku jawab dengan gelengan pasrah, “mesti gue ya, Kha?”tanyaku pelan. “Gue nggak pernah maksa lu perform kan, Quee? Tapi, ini permintaan klien. Keluarga mempelai cewek yang minta” ucap Rakha seolah berusaha menjelaskan posisinya kepadaku. Lagi-lagi aku menggeleng “Kayanya gue nggak bisa, Kha”itu keputusanku. Rakha sepertinya cukup mengerti dengan penolakanku. Karena selanjutnya, entah dengan
2
alasan apa, akhirnya Rakha menggantikanku dengan Clara. Aku, Radit, Ardha, Clara, dan Joan. Kami semua adalah singer yang tergabung di grup entertainment bernama Sopranoz milik Rakha, yang juga bekerja sama dengan salah satu wedding organizer yang cukup diperhitungkan di Bandung. Ya… sebagian besar job kami adalah sebagai wedding singer. Selain kami berempat, ada juga Rara yang menjadi coach vocal kami. Sudah menjadi rahasia umum, terutama di lingkungan Sopranoz, bahwa aku dan Ardha memiliki hubungan dekat lebih dari sekedar teman. Kami berdua berpacaran. Sudah hampir satu tahun lebih. Tapi, kemudian semua hubungan itu berakhir dengan keputusan sepihak dari Ardha, kurang lebih satu bulan lalu. Dan malam ini, aku diminta untuk menggantikan Clara, yang berhalangan, untuk bernyanyi di acara pernikahan Ardha, mantan pacarku sendiri yang masih sangat-sangat aku cintai, yang meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Dengan sebuah helaan napas berat, aku segera kembali ke dunia nyata dan menyudahi segala lamunanku. Menghadapi Radit dan Rakha yang masih berada di posisi yang sama dengan tatapan yang belum berubah, menunggu jawabanku. “Oke, gue gantiin Clara” jawabku, memberikan efek perubahan ekspresi yang signifikan di wajah Rakha dan Radit, meskipun aku mengucapkannya dengan datar. 3
Tanpa membuang waktu, kami bersiap di stage. MC yang memandu acara malam ini, mulai menyampaikan untaian kata mutiara nan manis sebagai pembuka acara, menguarkan kesan romantis yang kental. Merunut setiap poin acara yang akan dijalankan malam hari ini. Sampai pada waktunya, pria berjas abu-abu itu, memanggil nama kedua mempelai. Ardha dan Fairy. Spontan Rakha mengetuk tuts piano putihnya, mengalirkan getar yang membuatku seperti menggigil menahan setiap gejolak dalam hati. Sesaat kemudian terdengarlah suara bass Radit mengawali bait pertama lagu. My love There's only you in my life The only thing that's right Selalu ada rasa tenang sekaligus merinding setiap kali mendengar suara Radit. Tetapi kali ini disertai rasa sakit yang menghujam rongga hati. My first love You're every breath that I take You're every step I make Sekuat tenaga kukendalikan diri, kunyanyikan bait selanjutnya dari lagu ini. Lagu yang sangat sering aku nyanyikan bersama Ardha dan sangat ingin kubawakan suatu saat nanti di pesta pernikahan kami.
4
And I I want to share All my love with you No one else will do And your eyes They tell me how much you care Oh, yes you will always be My endless love Ingin rasanya air mata ini tumpah melihat Ardha yang kini mulai berjalan di atas karpet merah menuju pelaminan dengan mengenakan beskap modern berwarna biru gelap bersama wanita lain yang menggandeng posessif lengan Ardha dan tak henti melengkungan senyuman di wajah cantiknya yang terlihat sempurna. Two hearts Two hearts that beat as one Our lives had just begun Forever I'll hold you close in my arms I can't resist your charms And love I'll be a fool for you I'm sure You know I don't mind Whoooooa, you know I don't mind 5
'Cos you You mean the world to me Oh, I know I know I found in you My endless love Radit berulang kali menyentuh lembut bahuku ketika kami bernyanyi. Ada sinar menguatkan yang terpancar dari sepasang mata teduh berwarna cokelat milik Radit. Paling tidak itulah yang terasa olehku. And love I'll be that fool for you I'm sure You know I don't mind Whooooa, you know I don't mind And yes You'll be the only one 'Cos no one can't deny This love I have inside And I'll give it all to you Menjelang akhir lagu, kupandangi wajah Ardha sekali lagi dengan sisa kekuatan yang kupunya. Tatapan kami bertemu. Perih itu menyalak dalam hati. Semakin kuat. Semakin menyeretku secara paksa untuk menyadari kenyataan bahwa tak akan pernah ada Ardha lagi dalam hidupku mulai detik ini. 6
My love My endless love Tujuh ribu dua ratus detik yang menyiksa di setiap detaknya itu akhirnya selesai sudah. Para undangan mulai menyepi. Tibalah giliran kami para crew Sopranoz untuk naik ke pelaminan dan mengucapkan selamat untuk pasangan pengantin. Sengaja aku berdiri di belakang Radit dan Rakha, mengulur waktu untuk berlama-lama sampai kehadapan Ardha dan Fairy. Jika saja tak ingat dengan norma kesopanan, pastilah aku lebih memilih untuk lekas pergi dari ballroom mewah itu. Rakha yang lebih dahulu naik ke pelaminan, disusul Radit, kemudian aku. Kakiku terasa dibebani besi ribuan ton, langkahku terseret berat. Kuhampiri kedua orang tua Fairy. “Naaahhh, Queera, akhirnya bisa juga ya tampil di sini. Tadinya Tante udah kecewa waktu dibilang kamu nggak bisa tampil. Makasih lho ya, surprise, tadi itu suara kamu bagus banget” ucap Ibu Fairy. Aku hanya bisa mengangguk dengan senyum yang terasa kaku. Selangkah dihadapan Ardha, aku seperti membeku. Sulit sekali mengangkat tanganku untuk sekedar menjabat tangan Ardha. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus memaksakan diri melakukan itu sebelum semua orang curiga dengan ketidaklogisan sikapku. Aku menyalami Ardha. 7
Menatap wajah tampannya dari jarak dekat. Mata bulatnya yang dipayungi alis tebal, rahang kokohnya sukses meninggalkan kesan gagah, perpaduan hidung mancung dengan bibir berbentuk sempurna. He will never belong to me anymore. Never. Ardha menatapku dengan pandangan yang entahlah, sulit sekali kudeskripsikan. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirku. Itu ucapan selamat paling bisu. Meskipun aku sudah berusaha bersikap wajar. Entah apa yang merasuki Ardha, tiba-tiba dia menarikku kepeluknya. Aku tersentak kaget, tapi tak berusaha menghindar, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Fairy, kedua keluarga yang ada di pelaminan, dan semua orang yang melihat kejadian itu. Bahkan untuk berpikir jernih pun aku tak bisa. “Maafin aku, Quee” bisik Ardha dalam peluknya – yang diam-diam kurindukan – membuat pandanganku buram karena genangan air mata yang hadir tanpa permisi. Sepersekian detik, aku menikmati berada dalam dekapan Ardha. Pelukkan yang pernah kumilikki selama ini, yang selalu berhasil menenangkan setiap resah dan amarahku, yang tak akan pernah lagi kurasakan hangatnya. Belum sempat aku menguasai diri, Ardha melepas pelukannya, mengelus kepalaku lembut seperti yang sering dilakukannya selama ini. Aku mengerjap kuat-kuat mencoba menghentikan laju air mata. Pastinya akan tampak konyol jika sampai terlihat oleh orang lain. “Love, kenalin ini Queera sahabat aku di Sopranoz dan singer cewek yang suaranya paling 8
keren” puji Ardha mengenalkanku kepada – ehem – istrinya. “Hai, Queera! Senang banget bisa ketemu. Makasih ya udah nyempatin waktu nyanyi di acara kita” Fairy ramah sambil menempelkan pipinya ke pipiku. “Iya… iya… makasih yaaa, Fairy. Happy wedding for you both, wish happily ever after” balasku dengan keramahan artifisial. Selesai acara ‘ramah tamah’ beraroma akting itu, aku langsung berpamitan pada crew Sopranoz yang lain. Secepatnya meninggalkan tempat resepsi itu. Setengah berlari aku keluar. “Quee… Queera… tunggu bentar!” suara teriakan Radit menghentikan langkahku. Kutunggu dia yang berlari kecil menuju ke arahku. “Makasih ya, Quee, tadi lu udah gantiin Clara. Gue tahu banget gimana perasaan lu. Tapi, gue salut lu bisa professional” Radit menepuk-nepuk pundakku. “Oh ya, nggak perlu makasih segala lagi, Dit. Gue ngelakuin apa yang seharusnya gue lakuin. Nggak ada yang keren kok. Ya udah, gue duluan ya, Dit” pamitku. “Balik sama siapa lu, Quee?” “Sendiri. Gue bawa mobil kok” Sepanjang perjalanan pulang, aku tak kuasa lagi menahan tangis yang sedari tadi ingin kutumpahkan. Malam ini benar-benar menjadi malam puncak dari semua luka yang tertoreh semenjak 9
kepergian Ardha sebulan lalu. Tangisku pecah bersamaan dengan alunan lagu Rossa dari audio mobilku. Refrain lagu itu sontak membuatku hampir tak bisa menahan diri, hingga harus kutepikan mobil yang kukemudikan, lalu terisak sekuat tenaga, berharap semua itu bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan setiap inci rasa sakit yang ada dalam hati. Aku tahu… Dirimu kini telah ada yang memiliki Tapi bagaimanakah dengan diriku Tak mungkin ku sanggup untuk kehilangan dirimu Aku tahu… Bukan saatnya ‘tuk mengharap cintamu lagi Tapi bagaimanakah dengan hatiku Tak mungkin ku sanggup hidup begini Tanpa cintamu… Setelah semuanya mereda, aku melanjutkan perjalananku. Isakkanku baru benar-benar terpaksa terhenti ketika Odysseyku berbelok ke arah komplek dan berhenti tepat di depan pagar rumahku. Kulirik sekilas kaca spion, memandangi pancaran wajah bermake up yang kini luar biasa berantakan akibat tangis membabi buta sepanjang perjalanan tadi. Kutarik beberapa helai tisu, dari kotak yang teronggok pasrah di kursi belakang, dan mulai membersihkan wajah seadanya. Hanya ingin membuatnya nampak lebih normal seandainya dilihat orang, khawatir bertemu salah satu tetangga sekitar 10
rumah, walaupun semuanya itu tetap tak bisa menghilangan jejak sembab yang masih jelas di kelopak mata.
11