BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Papalele : “Jao mbeta ikan sa embe 50ribu we’e..” (saya beli ikannya satu ember 50ribu saja). Nelayan: “Idee,,tamba dikii lah Bu...” (idihh,,tambah sedikitlah paman..) Papalele: “Iwaa, siang sudah, tak tamba-tamba ka..” (tidak, sudah siang, tidak tambah-tambah) Nelayan: “Joo,,ambil sudah iwa papa..” (yasudah, ambil sudah tidak apa-apa)
Saat tiba di pasar, percakapan itu terdengar olehku. Terlihat olehku seorang laki-laki paruh baya yang sedang membeli ikan dari seorang nelayan yang baru turun dari “taxi laut1” hanya dengan harga Rp.50.000,00 satu embernya. Padahal kalau dilihat satu ember ada sekitar 40-50 ekor ikan kombong/ tongkol yang satu ekor bisa dijual dengan harga Rp.2.500,00- Rp.3.000,00 /ekor. Nelayan itu pun langsung memberikan ikan tersebut kepada laki-laki itu tanpa banyak menawar. Jika dihitung secara kasar seharusnya sang nelayan dapat menerima uang dari hasil penjualannya ± sebesar Rp.150.000,00. “Itu pamannya mas yang bekerja sebagai papalele...di sini paman itu penting, mereka dihormati khususnya oleh keponakannya. Menjual ikan hasil tangkapan kepada pamannya sudah biasa di sini meskipun dengan harga yang tidak begitu sesuai dengan harga pasarannya. Mau tidak mau nelayan sebagai 1
Taxi laut merupakan sebutan untuk kapal laut di Ende yang beroperasi khusus untuk mengangkut penumpang /orang‐orang yang bepergian dari Ende ke Pulau Ende atau sebaliknya. Taxi laut tidak hanya mengangkut penumpang tetapi juga barang dagangan seperti ikan, sayur‐sayuran bahkan kambing dan motor.
1
keponakannya harus menurut..” Hal itulah yang diucapkan Arifin (27) yang menemani saya saat pergi ke pasar. Seketika itu juga muncul pertanyaan di benak saya bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Kasihan betul si nelayan itu, mengapa seorang paman tega berbuat seperti itu yang harusnya membantu kerabatnya ?. Sedikit cerita di atas memberikan gambaran bahwa banyak terjadi transaksi jual-beli seperti itu di Ende, khususnya di Pulau Ende. Jika dilihat pertukaran tersebut terlihat berat sebelah dan menguntungkan pihak pembeli. Penindasan yang dilakukan seorang papalele kepada keponakannya tidak muncul begitu saja. Dibalik itu ada suatu “kontrak” sosial, ekonomi dan politik yang menyebabkan terjadinya penghisapan terhadap para nelayan yang dilakukan oleh papalele2 yang diantaranya terjadi karena adanya pertukaran. Mayoritas yang menguasai transaksi jual beli ikan di wilayah ini adalah papalele. Papalele sendiri merupakan aktor yang paling berperan dalam arena jual beli ikan. Dominasi papalele mulai terlihat ketika mereka (para nelayan) mempunyai ikatan sosial dan ekonomi kepada papalele. Tidak seperti kebanyakan pada wilayah pesisir dimana mayoritas juragan mempunyai status elit lokal. Pada pulau Ende ini elit lokal lebih kental melekat pada papalele. Pemberian bantuan sebenarnya banyak dilakukan antara papalele dan nelayan. Papalele membantu nelayan yang sedang mengalami paceklik baik itu juragan 2
Papalele adalah sebutan bagi mereka yang bekerja sebagai pemborong dan tengkulak ikan dari nelayan di Ende. Beberapa papalele bahkan ada yang memiliki alat tangkap. Disamping itu papalele juga mempunyai status hierarki yang tinggi sebagai seorang paman yang padasistem kekerabatan wilayah Pulau Ende, paman dianggap sebagai seorang yang memunyai kuasa atas keponakannya.
2
maupun ABK berupa peminjaman alat tangkap (perahu, pukat), pinjaman uang, dan BBM. Hal ini mengakibatkan terjadinya hubungan yang mengikat antara papalele dan nelayan. Hubungan ini nantinya akan mengarah pada sifat patronase dimana papalele sebagai patron pemberi bantuan dan nelayan diposisikan sebagai klien. Pada umumnya nelayan yang dibantu masih terikat hubungan kerabat dengan papalele itu sendiri. Pemutusan hubungan antara patron dan kliennya bukanlah hal yang mudah karena sudah terikat secara ekonomi dan juga terikat secara kekerabatan. Apabila terjadi pemutusan hubungan, maka kerabat tidak segan untuk mengucilkan patron maupun klien yang dianggap “berkhianat”. Tidak hanya kerabat saja, bahkan tetangga sekitarpun melakukan hal yang sama. Muncul anggapan bahwa mereka yang berkhianat tidak bisa menjaga ikatan kekerabatan dan tidak membalas budi baik. Seorang paman (papalele) mempunyai status sosial dan politik yang lebih tingi dibandingkan peran seorang bapak sekalipun. Seorang Paman di Pulau Ende dipanggil dengan sebutan Bu. Dalam sistem kekerabatannya, Bu memiliki peranan penting dalam kehidupan keseharian masyarakat Pulau Ende. Pada upacara perkawinan peran Bu sangat penting sebagai orang yang memelihara anak bapak sampai menikah. Pada tataran ini terjadi pertukaran yang tidak tertulis antara keponakan dengan Bu dimana seorang keponakan yang bekerja sebagai nelayan akan terikat secara sosial dan ekonomi dengan Bu yang bekerja sebagai papalele. Artinya adalah hasil tangkapan yang dihasilkan oleh keponakan tersebut sebagian besar akan dijual kepada Bu.
3
Sistem kekerabatan dengan patronase di sini mengalami overlapping dimana terjadi penguatan dominasi papalele terhadap nelayan yang berujung terhadap terjadinya penindasan. Menurut Karl Heinz Kohl (2009) kenyataan ini didasarkan bahwa dalam masyarakat-masyarakat dari wilayah etnografis ini tata perkawinan dan hubungan kekerabatan, bentuk-bentuk organisasi, sosial dan politik, serta gambarangambaran kosmologis dan religius bercampur aduk. Pola-pola organisasi ekonomi tercermin dalam hubungan-hubungan sosial. Karena itu transaksi-transaksi ekonomi maupun pertukaran yang terjadi di Pulau Ende bukan sekedar bentuk perekonomian pedesaan, terapi mempunyai kareakteristik tersendiri berupa jaringan transaksi yang terdiri atas anggota-anggota di dalamnya. Pertukaran barang materi, misalnya ikan, hasil tanam (kelapa, ketela pohon), dan juga uang, berfungsi sebagai sarana untuk membangun dan memperkokoh hubungan sosial. Pada kasus ini yang saya temukan adalah adanya “pelegalan“ untuk mengeksploitasi hasil tangkapan nelayan yang dilakukan oleh papalele yang didukung oleh status sosial dalam sistem kekerabatannya sebagai elit lokal.
B. Tinjauan Pustaka Peran keluarga ataupun kerabat dapat diperhitungkan untuk membantu dalam perekonomian rumah tangga, terlebih lagi di daerah yang miskin. Bagaimanapun juga pertukaran (resiprositas) yang dibangun antar kerabat dapat memperkokoh relasi diantara keduanya. Tetapi selain memperkokoh suatu relasi, pertukaran diantara aktor pelaku perkonomian juga dapat menimbulkan ketimpangan sosial seperti dalam 4
masyarakat pesisir di Pulau Ende dimana papalele menjadi penguasa melalui status sosial di dalam jaringan kekerabatannya sebagai elit dan nelayan sebagai pihak subordinat. Pada studinya Twikromo memperlihatkan dominasi elit lokal pada masyarakat Sumba Timur (Twikromo, 2008). Maramba atau bangsawan lokal memiliki kekuasaan mutlak terhadap sumber daya manusia dan alam. Mereka menguasai ata atau budak yang dalam kenyataannya pelayan dari para bangsawan setempat. Hierarki politik lokal ini sangat menguntungkan para bangsawan karena berbagai kebijakan yang masuk ke daerah baik dari pemerintah dan non-pemerintah ditangkap sebagai arena untuk melanggengkan kekuasaan elit setempat. Pada satu sisi, seorang ata ada yang dianggap sebagai “saudara” yang mengabdi sehingga segala kebutuhan bahkan sampai kematian dibiayai oleh maramba sehingga terdapat pertukaran di dalam relasi tersebut. Saat perekonomian tersendat, kerabat dapat menjadi alternatif untuk dimintai bantuan guna memenuhi kebutuhan perekomian rumah tangga. Firth (1966: 20) mengungkapkan dalam penelitiannya terhadap masyarakat nelayan di Malaysia, ditemukan adanya keterlibatan tengkulak dalam proses produksi masyarakat nelayan. Ini disebabkan karena pendapatan nelayan yang bersifat harian (daily increment), perencanaan produksi tidak berketentuan, investasi modal dan teknologi mahal. Menurut hasil penelitian Firth, investasi untuk pengadaan sarana produksi berasal terutama dari nelayan sendiri, apakan itu nelayan Cina atau nelayan setempat. Investasi ini dilakukan dengan modal yang diperoleh baik itu dari hasil penangkapan 5
ikan yang mereka lakukan maupun dari hasil penggadaian tanah. Apabila mereka memerlukan bantuan, mereka mendapatkannya terutama dari keluarga atau teman. Oleh karena itu dengan bantuan yang sudah diberikan oleh kerabat atau teman tercipta suatu ikatan sosial yang berujung pada timbal balik diantara pemberi bantuan dan peminjam. Sallatang (1982) menelaah kelompok Pinggawa-Sawi dari sudut dan pendekatan sosiologi dengan memfokuskan pada kelompok kecil menemukan bahwa hubungan antara pinggawa dengan sawi merupakan hubungan kepentingan yang diperkuat oleh hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan yang menyerupai hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara pinggawa besar dengan pinggawa kecil dan antara pinggawa besar dengan sawi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses transformasi berpengaruh terhadap berbagai hubungan sosial-ekonomi rumahtangga nelayan dan mencirikan sebagai rumah tangga miskin. Peran kerabat baik itu kerabat inti atau luas sangat berpengaruh pada jalannya sistem perekonomian rumah tangga. Rama dan Nurland (dalam Muchlis, 1988) tentang penelitiannya di komunitas nelayan Desa Taroang Kabupaten Jeneponto, menemukan keterlibatan isteri dan anak-anak nelayan pada usia lima sampai tujuh tahun dalam membantu ekonomi rumah tangga. Sedangkan Radjab (1994) dalam penelitiannya terhadap kehidupan komunitas nelayan Barranglompo menunjukkan tingginya drop-out pendidikan anak-anak nelayan oleh karena pada umumnya anakanak mereka dilibatkan dalam membantu orangtua setelah kembali menangkap ikan. 6
Pada kehidupan pesisir yang lain, Wahyu Nugraheni S, Tri Marhaeni PA, Sucihatiningsih DWP (2012) melihat bahwa selain wanita nelayan berperan sebagai ibu rumah tangga (domestik), wanita nelayan di Desa Bedono juga berperan dan ikut berpartisipasi mencari nafkah untuk pemenuhan ekonomi keluarganya. Bias jender dalam kehidupan ekonomi keluarga sudah tampak kabur karena para istri juga di tuntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Partisipasi istri dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di desa Bedono diwujudkan dalam dalam lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekonomi, maupun dalam masyarakat.3 Agustiati (1994:14) mencermati persoalan ekonomi di kalangan ina-ina melalui studi “Wanita dan Pekerja Sektor Informal di Kota Palu” menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam rumah tangga sangat signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mempunyai peran reproduktif. Menyangkut kelangsungan hidup manusia dan keluarga, misalnya melahirkan, menyusui, memelihara dan mengasuh anak. Selain itu, kegiatan domestik seperti mengambil air, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Peran sosial mencakup kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan keluarga, juga berperan produktif dalam meningkatkan kebutuhan hiup seperti mencari uang.
3
Wahyu Nugraheni S, Tri Marhaeni PA, Sucihatiningsih DWP (2012), “Peran dan Potensi Wanita dalam pemenuhan kebutuhan Ekonomi Keluarga Nelayan” dalam Journal of Educational Social Studies, Vol 1.No 2. http://Journal.unnes.ac.id/sju/indexs.php/jess
7
Pada studi yang lain Slamet Widodo (2012) menulis tentang “Penguatan Modal Sosial Untuk Pengembangan Nafkah Berkelanjutan dan Berkeadilan.”4 Dalam tulisannya Widodo menjelaskan bahwa di Desa Karang Agung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, modal sosial yang ada di lokasi penelitian berdasarkan ikatan kekerabatan, kekeluargaan dan pertetanggaan. Kelembagaan tradisional yang masih hidup di Karang Agung adalah sambatan, anjeng atau buwuhan dan mendarat. Strategi nafkah yang dijalankan antara lain dengan pola nafkah ganda, penggunaan tenaga kerja dari dalam rumah tangga dan melakukan migrasi. Pola pertukaran antar kerabat dalam membantu perekonomian rumah tangga terbentuk dalam lembaga tradisional. Kelembagaan tradisional ini masih bisa bertahan hidup di masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya sambatan, yakni kegiatan saling tukar menukar tenaga kerja pada saat pembangunan atau perbaikan rumah. Sambatan dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh pemilik rumah ketika mendirikan atau memperbaiki rumah. Sambatan juga dilaksanakan pada saat hajatan pada saat mempersiapkan pesta. Kegiatan sambatan dilakukan oleh laki-laki dewasa dan dilakukan antar tetangga maupun kerabat dekat. Untuk perempuan dikenal istilah mendarat, yaitu tukar menukar tenaga kerja untuk keperluan memasak pada saat hajatan. 4
Artikel telah disajikan dalam Seminar Nasional “Membangun Negara Agraris Yang Berkeadilan dan Berbasis Kearifan Lokal” yang diselenggarakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta pada tanggal 19 April2012. Artikel termuat dalam Prosiding Seminar Nasional Prosiding Membangun Negara Agraris Yang Berkeadilandan Berbasis Kearifan Lokal” ISBN 978‐979‐17638‐9‐9. http://journal.ui.ac.id/humanities/article/view/890/849
8
Selain itu strategi nafkah seperti pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga juga menjadi salah satu bentuk strategi nafkah yang dijalankan oleh nelayan Karang Agung. Peran anak dalam membantu orang tua untuk mencari nafkah sangat besar. Anak laki-laki yang sudah dewasa biasanya akan turut serta pergi melaut atau menjalankan pekerjaan lainnya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup orang tua serta adik-adiknya. Bagi anak laki-laki yang masih belum dewasa, keterlibatan dalam usaha pencarian nafkah masih terbatas pada kegiatan ringan seperti membantu menurunkan, memilih dan menjual hasil tangkapan. Kegiatan ini dilakukan pada saat nelayan sudah mendarat di pantai pada sore hari sehingga tidak mengganggu waktu sekolah anak-anak. Dari studi pustaka yang ada di atas semuanya membahas tentang peran kerabat dalam ekonomi rumah tangga dimana bantuan kerabat diharapkan dapat membantu kehidupan perekonomian keluarga. Pada studi di atas diperlihatkan bahwa relasi yang terjadi di antara kerabat dilihat saling menguntungkan. Pada studi-studi di atas yang belum ada adalah pada konteks yang lebih intern dimana faktor kekerabatan dapat menjadi bagian tersendiri sebagai penguat dominasi elit yaitu papalele yang “melegalkan” eksploitasi terhadap kerabatnya sendiri yang berstatus inferior. Beda kajian-kajian di atas dengan kajian saya adalah pola hubungan yang terjadi bukanlah hubungan yang setara antara pandhiga, juragan atau antar nelayan dalam hubungan transaksional. Pola hubungan ini lebih kepada hubungan papalele dengan nelayan (juragan atau ABK) dalam lingkup kerabat. Hubungan ini didasarkan
9
pada sistem resiprositas yang tidak seimbang dimana papalele mempunyai ikatan yang kuat untuk mengeksploitasi hasil produksi yang dihasilkan nelayan.
C. Rumusan Masalah Perekonomian keseharian pada masyarakat Pulau Ende tidak terlepas dari sistem tradisional yang mengharuskan masyarakatnya mematuhi aturan tersebut. Pada Pulau Ende, kaum perempuan dan generasi muda pada umumnya menempati posisi kurang penting di dalam hierarki sosial dan demikian juga dalam aturan adat. Seorang paman mempunyai peran yang penting yang berpengaruh dalam kehidupan seharihari baik dalam hal perkawinan ataupun perekonomian. Aturan-aturan internal ekonomi di Pulau Ende mencerminkan hierarki yang seperti itu. Untuk memahami permasalahan dalam penelitian ini, maka pemfokusan penelitian ini akan dirumuskan ke dalam pertanyaan, yaitu mengapa sistem kekerabatan yang mempunyai moralitas baik yang seharusnya dapat membantu kerabatnya justru menjadi alat yang digunakan untuk mengeksploitasi kerabatnya sendiri (hasil tangkapan nelayan) ? dan nantinya akan dipecah lagi bagaimana pertukaran yang terjadi menjadi tidak seimbang ? serta bagaimana perilaku ekonomi keseharian di Pulau Ende yang dikuasai oleh papalele sebagai elit lokal serta relasi antar aktor ?.
10
D.
Kerangka Pemikiran
Sistem pertukaran memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat di samping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai, juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku. Pertukaran dapat dilihat sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik, dan organisasi sosial (Dalton, 1961: 12). Batasan yang diberikan Dalton (1968:xi) bahwa resiprositas merupakan pertukaran sosialekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kewajiban sosial. Terdapat kewajiban orang untuk memberi, menerima dan mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama atau berbeda. Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personal diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas atau masyarakat kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama.5 Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sahlin (1976) mengatakan bahwa dalam masyarakat sederhana, peranan hubungan kerabat personal 5
Mengenai ciri‐ciri perekonomin primitif lihat Mary Douglas, “Primitif Economics” dalam George Dalton ”Tribal and Primitive Economics” dalam Sjafri Sairin, Pujo Semedi, Bambang Hudayana (2002),“Pengantar Antropologi Ekonomi “.
11
sangat berpengaruh terhadap pertukaran. Resiprositas umum cenderung memusat di kalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Masing-masing pihak percaya bahwa dalam resiprositas umum ini mereka akan saling memberi. Pemberian seperti ini tidak disertai pamrih, tetapi kedua belah pihak telah dibekali suatu moral bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Meskipun faktor genetis patut diperhitungkan terhadap terjadinya gejala resiprositas umum dalam lingkugan kerabat, tetapi terjadinya gejala tersebut merupakan peristiwa kebudayaan yang keberadaannya tergantung dari proses sosial-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk resiprositas di atas memperlihatkan bahwa pertukaran yang ada terutama di lingkup kerabat terjadi saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Dalam pandangan Wolf (1996)6 suatu relasi kekerabatan merupakan hasil dari proses sosialisasi seseorang dalam hidupnya, di mana terkandung di dalamnya rasa saling percaya yang dapat dimanfaatkan olehnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hubungan ini juga didasari oleh sanksi-sanksi yang ada dalam sistem kekerabatannya ataupun oleh sanksi-sanksi dari masyarakatnya. Jika ada kerabat yang bertindak diluar ikatan hubugan antar kerabat dianggap tidak sesuai dengan aturan setempat yang berlaku di wilayah tersebut. Batas-batas antara kerabat dengan yang bukan kerabat dalam masyarakat terkadang tidak begitu jelas. Selain itu, meskipun 6
Terdapat dalam buku Minawang ‐ Hubungan Patron Klien di Sulawesi Selatan karya Heddy Sri Ahmisa Putra (1988) hal. 9
12
dalam analisa dapat kita bedakan adanya berbagai macam hubungan tersebut, namun dalam tingkat operasional atau kenyataan hidup sehari-hari hal ini sering sulit dilakukan (Boissevain, 1966: 21-22). Pada perspektif yang lain, resiprositas yang terjadi di lingkup kerabat dapat menjadi berat sebelah atau bersifat ekploitaitif dari senior ke junior. Meillassoux (1964) memandang relasi antara yang material dan yang kultural sebagai relasi internal yang timbal-balik. Pada masyarakat peasant, diferensiasi produksi dan konsumsi betul-betul tegas. Kebutuhan untuk mencurahkan kerja-kerja sambil mengkonsumsi hasil produksi sebelumnya, secara terus-menerus memperbarui siklus kerjasama yang pada akhirnya memperpanjang ikatan bersama. Dalam masyarakat seperti ini, masa depan, dan dengan demikian reproduksi sosial, menjadi perhatian penting untuk menjamin berfungsinya komunitas sebagai unit ekonomi. Harapan pada masa depan (panen) sekaligus hidup dari hasil kerja di masa lalu (panen sebelumnya) yang disimpan dan disalurkan melalui satu titik redistribusi memungkinkan berkembangnya relasi ketergantungan antara individu-individu yang ada lebih lebih dahulu dengan yang ada sekarang atau di kemudian hari, atau dengan kata lain antara senior dan junior. Lebih lanjut Meillasoux melihat bahwa persembahan (prestation) dan redistribusi menjadi mekanisme sirkulasi hasil produksi di dalam komunitas. Persembahan merepresentasikan ketergantungan junior terhadap senior, sedangkan redistribusi merepresentasikan kebutuhan senior kepada junior sebagai golongan yang mengerahkan tenaga kerja dalam proses produksi, sekaligus kekuasaaan mereka terhadap produk kerja. Bagi junior, persembahan itu 13
semcam persekot untuk jaminan di masa depan mendapatkan hasil produksi untuk memenuhi kehidupan hidup. Terbentuklah relasi produksi yang khas, yakni antara junior dan senior. Tidak seperti pada moda produksi kapitalis, relasi ketergantungan seniorjunior tidak bertumpu pada penguasaan kelas sosial atas sarana produksi, tetapi lebih berlandaskan pada penguasaan senior atas sarana reproduksi kelompok (Meillassoux 1972). Dalam masyarakat tribal, penguasaan ini diobjektifkan melalui ikatan-ikatan kekerabatan sehingga kekerabatan berfungsi sebagai infrastrutuktur perekonomian masyarakat. Pada hakikatnya, reproduksi lebih dari sekedar manajemen teknis aliran sarana subsistensi dan tenaga kerja di dalam masyarakat. Di dalam produksi dan distribusi, kelangsungan mekasnisme sirkulasi barang berdasarkan persembahan dan redistribusi menunjukkan adanya relasi hirarkis junior-senior. Pertukaran yang terjadi antara paman sebagai papalele (senior) dan keponakan sebagai nelayan (junior) bukan bentuk pertukaran yang biasa. Bagi masyarakat pulau Ende, pola pertukaran dalam bentuk barter ini mengandung moralitas tertentu yang merujuk pada nilai-nilai esensial yang diyakini masyarakat bersangkutan. Sebab, pertukaran itu bukan hanya menyangkut transaksi peralihan kepemilikan suatu benda/barang kepada orang lain, tetapi juga merefleksikan apa yang disebut sebagai cosmic balance and social order (Johnny Parry and Maurice Bloch, 1989). Papalele memberikan bantuan terhadap nelayan sebagai bentuk relasi yang mengikat dan kebutuhan akan tenaga kerja dalam mencari ikan. Sebaliknya, nelayan sebagai klien
14
yang juga mempunyai status junior harus mempersembahkan hail tangkapannya kepada papalele akibat relasi diantara keduanya. Interaksi sosial dalam arus hubungan pertukaran antara papalele dengan nelayan dalam lingkup kerabat tidaklah berlangsung dalam posisi kesetaraan, karena dominansi kekuasaan dan kepemilikan sumberdaya ada pada papalele. Dengan kata lain terdapat ketimpangan dalam hal kekuasaan dan sumberdaya pada kedua belah pihak, sehingga terjadilah pertukaran yang tidak seimbang. Dalam Teori Pertukaran yang dikemukakan oleh Peter Blau (Johnson, 1990:82) tentang munculnya pertukaran yang tidak seimbang disebutkan bahwa, “... tidak dapat dihindarkan, bahwa orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus menerima suatu posisi subordinasi, paling tidak kalau ia mau mempertahankan hubungan itu. Menerima suatu posisi subordinasi adalah mengakui utang seseorang dan ketergantungannya pada kemurahan hati pihak lain ...”. Dalam studinya tentang struktur hubungan-hubungan sosial, Barnes (1969) dalam (Haryono, 1999: 26-27) mengatakan bahwa masyarakat menjalin ikatan-ikatan sosial berdasarkan atas unsur-unsur kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan. Ikatan-ikatan tersebut dapat berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang sepadan atau tidak sepadan. Ikatan-ikatan sosial yang terbentuk merupakan sarana yang menjembatani hubungan-hubungan di antara anggota jaringan. Dalam masyarakat yang tidak begitu kompleks, tentu saja hubunganhubungan tersebut akan terjadi lebih intensif.
15
Godelier (1978) mencatat bahwa dalam masyarakat masa kini mengasumsikan bahwa tidak ada pemisahan yang jelas antara lembaga ekonomi dan lembaga kekerabatan, politik maupun keagamaan. Jika ada perbedaan yang mencolok antara basis dan infrastruktur maka perbedaan itu harus atas dasar fungsi. Jika hubungan kekerabatan atau ritus keagamaan berfungsi untuk mengatur produksi dan distribusi, maka dalam hal ini hubungan tersebut merupakan unsur-unsur dari sistem ekonomi. Hubungan kekerabatan dan ritus keagamaan tampak dipermukaan dan berfungsi sebagai bagian dari suprastruktur suatu sistem sosial. Dengan demikian berarti bahwa semua itu bertujuan mempertahankan sistem hubungan sosial yang ada, atau menurut istilah Marxisme ‘mereproduksi’ saran bagi kelangsungan sistem. Kekerabatan, dengan mengatur perkawinan menghasilkan tenaga kerja. Agama, menurut mata para pesertanya, memelihara kosmos seperti misalnya musim, kesuburan tanam-tanaman, kekuatan gaib, tanpa semua itu upaya produktif manusia tidak akan dapat diwujudkan. Tetapi, menurut Godelier, dalam suatu masyarakat tribal, kekerabatan berarti lebih jauh dari sekedar fisik menghasilkan angkatan kerja melalui kelahiran, pengasuhan dan subsistensi, suatu fungsi yang dimainkan oleh kekerabatan didalam suatu masyarakat industri atau feodal. Dalam masyarakat peasant, kekerabatan melengkapi sistem mana produksi itu sendiri diatur dan melalui mana distribusi berjalan. Maurice Godelier (1980) berpendapat bahwa dalam konsepsi Marx dan Engels, moda produksi Asiatik merujuk pada sebuah moda produksi yang khas dan tidak bisa disamakan dengan moda produksi perbudakan kuno atau moda produksi 16
feodal. Ciri mendasar mode produksi Asiatik adalah keberadaan komuniti-komuniti primitif yang kepemilikan lahannya komunal dan diorganisasi dalam landasan hubungan kekerabatan, digabung dengan keberadaan kekuasaan negara yang mewujud
secara
nyata
maupun
imajiner
terhadap
komuniti-komuniti
ini,
mengendalikan pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi mendasarnya, dan secara langsung mengambil bagian dari kerja dan produksi komuniti yang didominasinya. Salah satu bentuk pertukaran yaitu hubungan patron-klien sebagaimana dimaksud senantiasa menjadi fenomena perdebatan antara hubungan yang bersifat eksploitasi dan hubungan bersifat resiprositas. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi, yaitu pertama, harus dilihat sebagai satu tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi, mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Adanya perbedaan dalam transaksi pertukaran barang atau jasa akibat terdapat pihak yang berstatus sebagai superior di satu sisi dan pihak yang berstatus sebagai inferior di sisi lain berimplikasi pada terciptanya kewajiban untuk tunduk hingga pada gilirannya memunculkan hubungan yang bersifat tidak setara (asimetris). Hubungan sosial pada komunitas nelayan di Pulau Ende menunjukkan hubungan campuran yang bertumpang tindih dari ketiga model hubungan sosial, yaitu dominasi/hirarkis (patron-klien), diagonal (brother–sister relationship) dan horisontal 17
(equal partners relationship). Hal ini tergantung dari konteks dan situasi di mana interaksi itu terjadi.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk memberikan informasi mengenai kehidupan nelayan di Pulau Ende : 1. Penelitian ini mencoba memperlihatkan pola hubungan kerja yang terjadi di dalam masyarakat yang didasarkan pada sistem kekerabatan. 2. Penelitian ini ingin menunjukkan relasi antar elit lokal yang berkuasa dan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan nelayan maupun bantuan dari pemerintah. 3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan dan bahan perbandingan tentang studi-studi yang sudah ada tentang nelayan beserta dinamika yang menyelimutinya baik itu dari segi ekonomi, sosial, maupun politik.
F. Metode Penelitian F.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Ende, Kecamatan Pulau Ende, Kabupaten Ende, Flores Nusa Tenggara Timur pada bulan September 2011- April 2012. Lokasi 18
penelitian merupakan daerah pesisir yang dihuni oleh mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. Penduduk Pulau Ende 100% beragama Islam dimana Kabupaten Ende sendiri penduduknya 70% beragama non Islam. Hal ini dikarenakan oleh ekspansi para saudagar dari Sulawesi dan Jawa yang berdagang ke daerah ini serta untuk menyebarkan agama Islam. Berbagai hubungan untuk mendapatkan produksi terjalin erat diantara aktor-aktor pesisir dimana papalele berperan sebagai tengkulak yang memborong ikan dari para nelayan. Relasi yang terjalin diantara aktor ini menempatkan papalele sebagai aktor yang berperan penting selain sebagai pemborong dan penjual ikan, juga sebagai pendistribusi ikan dari nelayan ke masyarakat Pulau Ende.
F.2. Tekhnik Pengumpulan Data
Pada awalnya penelitian ini dilakukan dengan metode survei sederhana tentang kehidupan sosial ekonomi pada 50 rumah tangga nelayan termasuk 5 rumah tangga papalele. Hal ini dilakukan untuk membangun kedekatan dengan para nelayan melalui cara datang ke rumah-rumah nelayan secara rutin. Seperti pada umumnya penelitian pada antropologi, saya juga melakukan observasi partisipasi dengan ikut melaut bersama nelayan, ikut ke pasar, dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat Pulau Ende seperti acara perkawinan dan sunatan. Data yang diperoleh melalui dua sisi yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ini didapat dengan mencari langsung data di lapangan melalui berbagai
19
metode yaitu wawancara, survei, serta observasi partisipasi. Wawancara dilakukan terhadap infoman yang memiliki banyak infomasi tentang kehidupan sehari-hari di Pulau Ende seperti musalaki (pemangku adat), Kepala Desa, papalele dan juga beberapa nelayan. Selain itu penggunaan data sekunder dibutuhkan sebagai pendukung data primer antara lain melalui data dari pemerintahan setempat dan dokumen foto. Data dari pemerintah setempat antara lain adalah data kepemilikan alat tangkap nelayan dan jumlah KK beserta anggota keluarganya, sedangkan foto digunakan sebagai bukti otentik kegiatan sehari-hai masyarakat Pulau Ende.
F.3. Analisis Data Selanjutnya, data tentang kepemilikan sarana alat tangkap dikelompokan berdasar kepemilikan untuk mengetahui pelapisan kekayaan yang dimiliki. Nantinya akan dilihat peluang nelayan dalam usaha meningkatkan hasil produksinya yang dikontraskan dengan biaya pengeluaran yang harus ditanggung di dalam kegiatan sosial ekonomi di masyarakat. Data yang sudah terkumpul lalu akan dipilah dan dipilih mana yang relevan dengan kajian ini. Informasi yang diperoleh kemudian dicek kembali kepada narasumber satu dengan yang lain. Dengan memakai analisis deskriptif, analisis akan dideskripsikan secara tajam melalui fenomena yang hadir di lapangan serta data-data penunjang fenomena tersebut. Tindakan, perilaku, dan pikiran para aktor lapangan akan dideskripsikan untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada nelayan dalam kehidupan sosial ekonominya. 20