Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor)
Nurhasanah P062020061
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 11 Januari 2012
Nurhasanah NRP. P062020061
ii
ABSTRACT NURHASANAH. Processing and Utilization Leachate as Liquid Fertilizer to Support the Development of Sustainable Waste Disposal Site. (Case study at Waste Landfill in Bogor District). Under supervision of LATIFAH K, DARUSMAN, SURJONO HADI SUTJAHJO and BIBIANA WIDIYATI LAY. Until recently, leachate has been an unsolvable problem in most cities in Indonesia. Most of them has not been processed properly. It causes pollution in water bodies around the final waste disposal. Moreover, the process of leachate into usefull materials as liquid fertilizer and apllying it at planting, have not been done. The objectives of this research were to obtain environmentally safe effluent and liquid fertilizer from leachate from a Final Waste Disposal Site in Galuga owned by Regional Government of Bogor City. This research was conducted from July 2006 through to April 2007. The experiment was started by aerating the leachate at 4 difference aeration rates (0, 10, 30 and 70 liters/minute) followed by passing through the effluent from the upper side of column of zeolite that has three difference particle sizes (5-10, 10-20 and 20-30 mesh). The experiment of production liquid fertilizer was carried out by adding lime or KMnO4 with different dosage into sediment generated from processing by aerating at 70 liters/minute followed by centrifugation process or shaker. Further, the liquid fertilizer generated from such experiment were applied to chili’s plant (Capsicum annum). The research results shows that the 2 phases processing conducted by aerating at the rate 70 liters/minute and passed to 20-30 mesh zeolite particles was the most effective in reducing pollutants from leachate. The addition of 1000 ppm CaO or Ca(OH)2 limes in sediment from aeration is the most effective in depositing the dissolved material and the addition of 0.01% KMnO4 combined with the addition of 1000 ppm CaO was the most effective in depositing the dissolved material compared to the addition of KMnO4 in other dosage. Liquid fertilizer generated through the addition of 1000 ppm CaO followed by centrifugation have the content of (ppm) N = 375,83, P = 121,44, K = 948,11, Ca = 8300,00, Mg = 959,50, S = 48,53, Cu = 9,83, Zn = 35,68, Mn = 264,81, Fe = 348,24, Pb = 13,53, Cd = 7,86 and Cr = 2,27; and liquid fertilizer generated through the addition of 0.01% KMnO4 and 1000 ppm CaO has the content of (ppm) N = 306,40, P = 93,90, K = 1023,08, Ca = 8146,10, Mg = 897,50, S = 39,23, Cu = 16,72, Zn = 39,42, Mn = 429,25, Fe = 362,82, Pb = 16,25, Cd = 9,62 and Cr = 2,43. The use of liquid fertilizer generated by adding 1000 ppm CaO followed by centrifugation were the most effective in enhancing vegetation growth and production of chili’s fruits. The non essential element (Pb, Cd and Cr) in fruits from vegetation given liquid fertilizer produced from such treatment did not exceed tolerable threshold. Keywords: effluent, leachate, liquid fertilizer
iii
RINGKASAN NURHASANAH. Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung TPA Sampah Lestari (Studi Kasus pada TPA sampah Galuga di Kabupaten Bogor), di bawah bimbingan LATIFAH K. DARUSMAN, SURJONO HADI SUTJAHJO dan BIBIANA WIDIYATI LAY. Hingga saat ini, lindi dari tempat pembuangan akhir sampah masih selalu menjadi sumber masalah di kota-kota di Indonesia. Hal itu terjadi karena umumnya lindi belum dikelola dengan baik. Lindi belum diolah secara maksimal menjadi efluen yang aman dialirkan ke lingkungan hingga lindi selalu mencemari badan-badan air di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Apabila hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPA sampah di wilayahnya. Pada dasarnya, TPA sampah tidak akan dipermasalahkan oleh masyarakat di sekitar TPA sampah apabila keberadaan TPA sampah tidak menyebabkan pencemaran baik pencemaran yang disebabkan oleh sampah padat atau lindinya. Apabila keberadaan TPA sampah dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat baik keuntungan yang diperoleh dari sampah padat maupun dari lindinya diharapkan akan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap TPA sampah dan bahkan diharapkan masyarakat sekitar TPA sampah justru yang menginginkan agar TPA sampah tetap berada di wilayahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan efluen yang aman bagi lingkungan dan bahan pupuk cair dari lindi yang berasal dari tempat pembuangan akhir sampah Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Juli 2006 hingga bulan April 2007. Penelitian ini merupakan penelitian berskala laboratorim menggunakan drum plastik yang diberi dua kran di bagian bawahnya. Kran pertama berada sekitar 25 cm dari dasar drum untuk mengeluarkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan dan kran kedua berada pada dasar drum untuk mengeluarkan efluen yang akan diolah menjadi bahan pupuk cair. Penelitian diawali dengan percobaan pemberikan udara selama 6 jam pada lindi pada empat laju aerasi yang berbeda (0, 10, 30 dan 70 liter/menit) untuk menghasilkan efluen yang aman dibuang ke lingkungan yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen yang dikeluarkan dari kran atas melalui zeolit yang memiliki tiga ukuran partikel yang
iv
berbeda (5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh dan 20 – 30 mesh) untuk mengurangi polutan yang masih tersisa. Percobaan pembuatan bahan pupuk cair diawali dengan menambahkan kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 atau dolomit) pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000, 6000 ppm) pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Kemudian kedua bahan ini diaduk agar tercampur merata. Upaya untuk mendapatkan kadar logam mikro yang lebih maksimal, maka pada campuran tersebut diproses lebih lanjut melalui sentrifugasi atau pengocokan. Oleh karena perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan nilai Total Dissolve Solid (TDS) pada sentratnya paling rendah, maka perlakuan ini dicobakan kembali dengan cara yang sama dan mengkombinasikannya dengan pemberian KMnO4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01, 0,02 dan 0,03%). Bahan pupuk cair yang dihasilkan dari
percobaan tersebut diaplikasikan sebagai
pupuk daun (dosis 4ml/liter) pada pertanaman cabai (Capsicum annum).
Sebagai
pembanding, pada percobaan ini juga digunakan pupuk cair komersial (Alami, Lauxin®, Kontanik dan Petrovita®). Hasil percobaan pengolahan lindi menjadi air yang aman bagi lingkungan melalui cara aerasi dan penggunaan zeolit menunjukkan bahwa pengolahan dua tahap yang dilakukan dengan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluennya pada zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh memiliki efektivitas menurunkan polutan tertinggi dan efluennya memiliki kadar polutan terendah. Polutan yang dapat diturunkan hingga di bawah baku mutu melalui perlakuan ini adalah COD, TDS, TSS, E. coli, Cu dan Pb. Hasil percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah menunjukkan bahwa penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan nilai TDS pada sentrat terendah yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan, jumlah padatan terlarut yang dapat diendapkan mencapai jumlah maksimal. Pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 lebih efektif dalam mengendapkan Mn dan Fe dibanding pemberian CaCO3 maupun dolomit pada 11 dosis yang dicobakan. Pemberian CaO atau Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm juga lebih efektif dalam mengendapkan Cu dan Zn dibanding pada dosis yang lebih tinggi. Penambahan 0,01% KMnO4 yang
dikombinasikan
dengan
v
penambahan 1000 ppm CaO atau
Ca(OH)2 pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah menunjukkan nilai TDS pada sentrat terendah dan perlakuan ini paling efektif dalam mengendapkan Cu, Zn dan Fe. Bahan pupuk cair yang
dihasilkan
melalui
penambahan 1000 ppm CaO diikuti oleh proses sentrifugasi memiliki kadar (ppm) N = 375,83, P = 121,44, K = 948,11, Ca = 8300,00, Mg = 959,50, S = 48,53, Cu = 9,83, Zn = 35,68, Mn = 264,81, Fe = 348,24, Pb = 13,53, Cd = 7,86 dan Cr = 2,27; sedangkan bahan pupuk cair yang dihasilkan melalui penambahan 0,01% KMnO4 dan 1000 ppm CaO yang diikuti oleh proses sentrifugasi memiliki kadar (ppm) N = 306,40, P = 93,90, K = 1023,08, Ca = 8146,10, Mg = 897,50, S = 39,23, Cu = 16,72, Zn = 39,42, Mn = 429,25, Fe = 362,82, Pb = 16,25, Cd = 9,62 dan Cr = 2,43. Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan pupuk cair yang dihasilkan melalui penambahan 1000 ppm CaO atau 0,01% KMnO 4 dengan 1000 ppm CaO paling efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari perlakuan ini lebih tinggi dibanding tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diberi perlakuan lainnya. Tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diberi perlakuan ini tidak nyata berbeda dibanding tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam buah dari tanaman yang diberi pupuk cair yang dihasilkan dari perlakuan tersebut tidak melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Kata Kunci : efluen, lindi, pupuk cair.
vi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
vii
Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor)
Nurhasanah P062020061
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Penguji luar komisi pada ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS
Penguji luar komisi pada ujian terbuka : 1. Dr. Nonon Saribanon, MSi 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc
ix
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
: Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatan sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA sampah Lestari (Studi Kasus di TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor)
Nama
:
Nurhasanah
NRP
:
P062020061
Program Studi
: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Latifah K. Darusman, MS Ketua
Prof. Dr. Bibiana Widiyati Lay, MSc Anggota
Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 19610212 198501 1 001
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr NIP. 19650814 199002 1 001 x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Pengolahan Lindi dan Potensi Pemanfaatannya sebagai Pupuk Cair untuk Mendukung Pengembangan TPA Sampah Lestari (Studi Kasus TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor)” yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2006 hingga April 2007. Selama melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis banyak mendapat bantuan baik moril maupun materil serta bimbingan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Latifah K. Darusman, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS maupun Prof. Dr. Bibiana Widiati Lay, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberi saran demi kemajuan penulisan dan menyempurnakan tulisan ini. 2. Prof. Dr. Surjono Hadi Sutjahjo, MS yang pada saat beliau masih menjabat Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor selalu memacu, memotivasi dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang penulis hadapi serta meluangkan waktu setiap saat diperlukan dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis agar penulis dapat menyelesaikan studi. 3. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas perkenan beliau yang mengijinkan penulis meneruskan pendidikan di program studi ini. 4. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf akademik/administrasi yang telah berkenan menerima dan mengasuh serta selalu mendukung penulis untuk kelancaran dan kesuksesan studi ini. xi
5. Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Tertutup (Dr. Ir. Widiatmaka, DAA dan Dr. Ir Etty Riany, MS) dan Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Terbuka (Dr. Nonon Saribanon, MSi dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc) yang telah memberikan banyak masukan yang berarti bagi perbaikan Disertasi ini. 6. Rektor, Pembantu Rektor I, Dekan FMIPA, Pembantu Dekan I FMIPA, Pembantu Dekan II FMIPA, Ketua Program Studi Agribisnis FMIPA, Direktur, Asisten Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascasarjana Universitas Terbuka yang telah memotivasi penulis dan memberikan solusi agar penulis dapat menyelesaikan studi. 7. Prof. Dr. Atwi Suparman, MSc, mantan Rektor UT yang pada saat menjabat sebagai Rektor UT telah memberikan perpanjangan tugas belajar selama 1 tahun sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian. 8. Pimpinan Dikti dan Penanggung Jawab Program Beasiswa BPPS yang telah membiayai pelaksanaan tugas belajar ini. 9. Prof. Dr. H. Surjono Hadi Sutjahjo, Prof. Dr. Bibiana Widiati Lay, MSc, Dr. Catur Herison, MSc dan Dr. Rustikawati, MSi selaku Penanggung Jawab dan Pengelola Dana Hibah Pascasarjana dari Direktur P2M DIKTI yang telah membantu sebagian dana penelitian. 10. Dr. Hilman, Penanggung Jawab Laboratorium Konservasi Seameo Biotrop Bogor atas bantuan mengijinkan penulis menggunakan laboratorium dan rumah kaca. 11. Staf Laboratorium Servis Seameo Biotrop Bogor yang telah membantu analisis. 12. Staf Laboratorium Kimia Fisik, Jurusan Ilmu Kimia, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu analisis. 13. Staf Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu analisis. 14. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu baik moril maupun materil kepada penulis.
xii
Akhir kata, semoga kepada semua pihak yang telah membantu mendapat ganjaran kebaikan dari Allah S.W.T. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan dengan segala kerendahan hati, penulis menerima segala masukan, kritikan dan saran agar tulisan ini dapat disempurnakan sesuai dengan yang diharapkan.
Selanjutnya,
penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah terutama yang diberi kewenangan dalam menangani Tempat Pembuangan Akhir Sampah maupun pihak lain yang membutuhkannya. Bogor, 11 Januari 2012 Nurhasanah
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Nopember 1963 di Jakarta Pusat, merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari ayah M. Romdid dan ibu Marwiyah. Penulis menamatkan Pendidikan Dasar tahun 1975 di SDN Tanah Tinggi II Jakarta Pusat; Pendidikan Menengah Tingkat Pertama tahun 1979 di SMPN LXXVIII Jakarta Pusat; Pendidikan Menengah Atas tahun 1982 di SMPPN I Jakarta Pusat. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Perintis II (PP II) dan lulus sebagai Sarjana Ilmu Tanah pada tahun 1986. Pada tahun 1996, penulis mendapat kepercayaan mengikuti Pendidikan Pascasarjana strata dua (S2) pada Jurusan Ilmu Tanah di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelas Magister Sains (MSi) pada tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2002 hingga sekarang, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana strata tiga (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1988 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sebagai dosen di Universitas Terbuka dpk. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka (UPBJJUT) Palembang hingga tahun 1990. Awal tahun 1991, penulis pindah ke UPBJJ-UT Bogor dengan status yang sama. Pada bulan Nopember tahun 2004, penulis ditugaskan di Unit Pascasarjana Universitas Terbuka Pusat, di Pondok Cabe Ciputat Tangerang. Penulis menikah dengan Rachimuddin pada tahun 1991 dan hingga saat ini telah dikaruniai dua orang putra, yaitu Abdul Aziz (lahir pada tahun 1993 di Bogor) dan Lukman Hakim (lahir pada tahun 1994 di Bogor).
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
………………………………………………….............
DAFTAR GAMBAR
xx
……………………………………………………….
xxiv
I. PENDAHULUAN ………………………………………………….........
1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………........
1
1.2 Kerangka Pemikiran …………………………………………............
2
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………........
5
1.4 Hipotesis ……………………………………………………..............
5
1.5 Manfaat ………………………………………………………............
5
1.6 Novelty ………………………………………………………….........
5
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….........
6
2.1 TPA Sampah dan Pembentukan Lindi …………………………….....
6
2.2 Karakteristik Lindi .........……………………………………...............
7
2.2.1 BOD dan COD ………………………………………………....
9
2.2.2 Bahan Anorganik …………………………………………….....
10
2.2.3 Bakteri Patogen …………………………………………….......
12
2.2.4 Total Dissolve Solid, Total Suspended Solid dan Padatan Mengendap ...............................................................................
13
2.3 Pengaruh Lindi terhadap Lingkungan …………………………...........
14
2.3.1 Gangguan terhadap Kesehatan …………………………….......
14
2.3.2 Gangguan terhadap Kehidupan Biotik ………………………....
14
2.3.3 Gangguan terhadap Keindahan dan Kenyamanan .....................
15
2.3.4 Gangguan terhadap Benda ……………………………………..
15
xv
2.4 Pengolahan Air Limbah ……………………………………………….
15
2.4.1 Pengolahan Aerasi ………………………………………………
17
2.4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan dari Limbah Cair
24
2.5 Potensi Lindi menjadi Pupuk Cair …………………………….............
29
2.6 Upaya Mengendapkan Logam Mikro melalui Penambahan Kapur atau KMnO4 maupun Proses Fisik .................................................................
32
2.7 Beberapa Logam Mikro yang terdapat pada Lindi dan Manfaatnya bagi Tanaman …………………………………………………....................
35
2.8 Pupuk dan Pemupukan ………………………………………………...
36
2.8.1 Jenis Unsur Hara yang Dibutuhkan Tanaman ……..…………..
36
2.8.2 Jenis-Jenis Pupuk Cair
………………………………………...
36
2.8.3 Dasar dalam Melakukan Pemupukan …………………………..
38
2.8.4 Analisis Status Hara ……………………………………….........
39
III. METODE PENELITIAN …………………………………………............
40
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………....
40
3.2 Tahapan Penelitian
..………………………………………….............
40
3.3 Pengolahan Tahap I (Pengolahan Aerasi melalui Pemberian Udara pada Laju yang Tinggi) …...............................................................................
43
3.3.1 Tujuan ………………………………..........................................
43
3.3.2
43
Bahan dan Alat ………………………........................................
3.3.2 Rancangan Percobaan ……………….........................................
44
3.3.3 Pelaksanaan …………………….……........................................
44
3.3.5
44
Analisis Data ………………………….......................................
3.3.6 Metode Analisis ………………...................................................
44
3.4 Pengolahan Lanjutan terhadap Efluen Hasil Aerasi Menggunakan Zeolit sebagai Penjerap Polutan ………………………………………………
45
3.4.1 Tujuan ………………………………...........................................
45
3.4.2 Bahan dan Alat ……………………….........................................
45
3.4.3 Rancangan Percobaan ………………...........................................
46
xvi
3.4.4 Pelaksanaan …………………….……..........................................
46
3.4.5 Analisis Data ………………………….........................................
47
3.4.6
Metode Analisis ………………....................................................
47
3.5 Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan Kapur dan Proses Fisik .........................................
47
3.5.1
Tujuan ………………………………............................................
48
3.5.2
Bahan dan Alat ………………………..........................................
48
3.5.3
Rancangan Percobaan ………………...........................................
48
3.5.4
Pelaksanaan …………………….……..........................................
48
3.5.5
Analisis Data ………………………….........................................
49
3.5.6
Metode Analisis ………………....................................................
50
3.6 Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan KMnO4 dan Proses Fisik ..……………………........
50
3.6.1
Tujuan ………………………………...........................................
51
3.6.2
Bahan dan Alat ……………………….........................................
51
3.6.3
Rancangan Percobaan ………………..........................................
51
3.6.4
Pelaksanaan …………………….…….........................................
51
3.6.5
Analisis Data …………………………........................................
52
3.6.6
Metode Analisis ………………....................................................
52
3.7 Percobaan Rumah Kaca ………………………………………...............
52
3.7.1
Tujuan ………………………………...........................................
53
3.7.2
Bahan dan Alat ……………………….........................................
53
3.7.3
Rancangan Percobaan ………………..........................................
53
3.7.4
Pelaksanaan …………………….…….........................................
54
3.7.5
Analisis Data …………………………........................................
54
3.7.6
Metode Analisis ………………...................................................
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………..........
56
4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi …………………..
56
4.1.1
Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD5, COD, E. coli, NH3 dan Sulfida ....................................................
xvii
56
4.1.2 Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solute (TDS), pH dan Logam Terlarut …………..………………………………..
68
4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa …
74
4.2.1 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS …………
75
4.2.2 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH3, Sulfida, BOD5 dan COD …….………………………………………….
78
4.2.3 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan pH ...........................................................................
82
4.2.4 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap ...................…....
84
4.2.5 Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II ………………..........................................
87
4.2.6 Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan ...........................................................................
88
4.3 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan ................................................................
91
4.3.1 4.3.2 4.3.3 4.3.4
4.3.5
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, pH dan Kadar Ca2+ pada Sentrat ………………………………………..
91
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan .......................................................
102
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan ..........................………….....................................
109
Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) ......................................................................
111
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur)
113
4.4 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan ......................................................................... 4.4.1 4.4.2
115
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Nilai TDS, pH, Kadar Mn dan Ca pada Sentrat ………………………………………...
116
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan ......................................................................
120
xviii
4.4.3 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan ………………………............................................ 4.4.4
126
Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO4) ..……........................................................
128
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMn04)
130
Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi ……………………………………………
130
4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca ...................................................................
134
4.4.5 4.4.6
4.5.1
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman …………...........................
134
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ……………………………
141
Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ……………
144
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Kadar Pb, Cd dan Cr pada Buah Cabai .……..............................
149
4.5.5 Desain IPAL TPA Sampah untuk Menghasilkan Efluen Layak Buang dan Bahan Pupuk Cair ………………………………….
150
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………..
152
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………............
152
5.2 Saran ………………………………………………………………..........
153
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….....
154
VII. LAMPIRAN ………………………………………………………………….
163
4.5.2
4.5.3 4.5.4
VI.
xix
DAFTAR TABEL Teks Halaman 1. Komposisi lindi buangan domestik ..............................................................
7
2. Kualitas lindi TPA sampah Bantar Gebang .................................................
8
3. Hasil pengukuran kualitas lindi TPA Sampah Galuga di Kabupaten Bogor
8
4. Klasifikasi tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air ………………...........................................................
9
5. Unsur hara yang berasal dari tanaman dan sumbernya ...............................
10
6. Kandungan logam berat dalam lumpur TPA Sampah Bantar Gebang ........
10
7. Organisme patogen yang sering ditemukan di sampah ...............................
12
8. Kategori bau pada sampah ..........................................................................
15
9. Hubungan antara lama aerasi dan konsentrasi oksigen terlarut ……...........
20
10. Bakteri dan fungsinya ..................................................................................
23
11. Rata-rata konsentrasi influen dan efluen dari proses penyisihan biologi .....
24
12. Persentase logam berat tertukar dari zeolit tanpa aktivasi dan zeolit diaktivasi melalui pemanasan ………...........................................................
28
13. Urutan selektivitas kation berdasarkan perbedaan aktivasi .........................
28
14. Kualitas keluaran pengolahan air buangan dengan menggunakan zeolit Bayah pada laju alir 22 liter per menit .......................................................
29
15. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman ……..................................................
30
16. Kisaran zat hara yang terdapat pada lindi .....................................................
30
17. Nama beberapa pupuk cair, sumber, komposisi dan cara pemberiannya ......
31
18. Konsentrasi umum larutan hara mikro untuk penyemprotan daun ............
31
19. Persyaratan teknis minimal pupuk cair ........................................................
32
20. Beberapa contoh pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya .............................................................................
38
21. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pengolahan aerasi ..........
45
22. Metode analisis yang digunakan pada percobaan penggunaan zeolit sebagai penjerap polutan ..............................................................................
47
xx
23. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pembuatan pupuk cair dari lindi .....................................................................................................
50
24. Perlakuan percobaan rumah kaca .............................................................
53
25. Metoda analisis yang digunakan pada percobaan rumah kaca ……..........
55
26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD5 .......................................
59
27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan bawah pada jam ke 6 .....................................................................................................
72
28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian ....................................
76
29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit .................................................................
82
30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II
88
31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan .........
89
32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur ..............................................
92
33. pH pada sentrat dari perlakuan kapur ..........................................................
101
34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur …........……......................................................................................
109
35. Nilai TDS, pH dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda .........
112
36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) ..........................................
129
37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ...............................
131
38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ...............................
132
39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian ................................................
133
40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial .......................................................................
137
41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ........
140
42. Kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam Pb, Cd dan Cr yang dapat ditoleransikan ………………………………………………….....................
149
xxi
Lampiran 1. Hasil analisis pendahuluan
...........................................................................
164
2. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap kadar polutan pada efluennya .............................................................................................
165
3. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap efektivitas penurunan beberapa polutan dan peningkatan pH dan DO ............................
167
4. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi terhadap perubahan nilai BOD5, DO, nilai TDS, pH, nilai MLVSS dan laju penguraian BOD5 ...............................
168
5. Hasil uji F pengaruh pengolahan 1 tahap (aerasi 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (penggunaan zeolit pada 3 ukuran partikel yang berbeda) terhadap kadar polutan pada efluen .................................................................
169
6. Hasil uji F pengaruh ukuran partikel zeolit terhadap efektivitas penurunan polutan ..............................................................................................................
170
7. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap nilai TDS, pH dan kadar Ca pada sentrat ......................................................................................................
171
8. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap kadar logam mikro pada endapan ............................................................................................................
172
9. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO4 terhadap nilai TDS, pH, kadar Mn dan Ca pada sentrat .........................................................................
174
10. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO4 terhadap kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan .........................................................
175
11. Hasil uji F pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman serta kadar Pb, Cd dan Cr dalam buah
177
12. Nilai beberapa parameter kimia pada efluen setelah diaerasi selama 6 jam ...
178
13. Data efektivitas (%) dari pengolahan aerasi selama 6 jam .............................
180
14. Data hasil percobaan aerasi dari jam ke 1 hingga jam ke 6 ...........................
181
15. Nilai beberapa parameter kimia pada efluen hasil percobaan pengolahan menggunakan zeolit .......................................................................................
183
16. Efektivitas (%) penurunan polutan dari pengolahan lindi dengan menggunakan zeolit ...............................................................................................................
184
17. pH pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur ..........................................................................................
185
18. Nilai TDS pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur ...............................................................................
186
xxii
19. Kadar Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur ................................................................
187
20. Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur .............
188
21. Nilai TDS, pH, kadar Mn dan Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO4 ...........
189
22. Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO4 .........................................................................................................
190
23. Kadar hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S), E. coli dan bahan organik pada pupuk cair berbahan dasar lindi .................................................................
192
24. Tinggi tanaman, bobot brangkasan tanaman, jumlah buah, bobot buah dan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah hasil percobaan rumah kaca
193
xxiii
DAFTAR GAMBAR Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran ................................................................................
3
2. Reaktor sistem batch (Wisjnuprapto, 1995) ............................................
19
3. Pola pertumbuhan bakteri (Wisjnuprapto, 1995) ..................................
19
4. Aerasi dengan memasukkan udara ke dalam air limbah (Sugiharto, 1987)
20
5. Struktur rangka zeolit (Sutarti dan Rahmawati, 1994) .............................
24
6. Aliran melalui media berbutir (Fair et al., 1963)
...................................
27
7. Kantong plastik berisi lindi yang akan diteliti .........................................
40
8. Tahapan penelitian ...................................................................................
41
9. Kondisi lindi sebelum dilakukan pengambilan sampel ...........................
42
10. Alat yang digunakan dalam penelitian .....................................................
43
11. Kolom yang berisi zeolit yang digunakan dalam penelitian .....................
46
12. Bibit cabai sesaat sebelum dipindahkan ke polibag .................................
54
13. Fluktuasi nilai BOD5 pada empat taraf laju aerasi ....................................
56
14. Efektivitas penurunan BOD5 (%) dari masing-masing laju aerasi ..............
57
15. Laju penguraian BOD5 (k) tiap jam pada empat tingkat laju aerasi ...........
58
16. Fluktuasi nilai MLVSS pada empat taraf laju aerasi ..................................
60
17. Fluktuasi nilai DO pada empat taraf laju aerasi ..........................................
61
18. Nilai COD pada jam ke 6 ...........................................................................
62
19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6 ................................................
62
20. Nilai E. coli pada jam ke 6 .........................................................................
63
21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6 ..............................................
64
22. Kadar amoniak (NH3) pada jam ke 6 ..........................................................
65
23. Kadar sulfida pada jam ke 6 ........................................................................
65
24. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada jam ke 6 ................................
66
25. Kadar nitrat (NO3-) pada jam ke 6 ...............................................................
67
xxiv
26. Kadar sulfat (SO42-) pada jam ke 6 ............................................................
67
27. Kadar fosfat pada jam ke 6 .........................................................................
68
28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi .................................................
69
29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi ..............
69
30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 .......
70
31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 .......
70
32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 ...............................................................................................
71
33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 ...............................................................................................
71
34. pH tiap jam dari keempat laju aerasi ……………………………………...
73
35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi
74
36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit ...………………..
75
37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit ………..
76
38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) ……..………………………………………………………………..
77
39. Kadar NH3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit …………………
78
40. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit ………………………………………………………………………...
79
41. Kadar BOD5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit ………………...
80
42. Efektivitas penurunan BOD5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit …………….…………………………………………………………..
81
43. Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit …………………
81
44. Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit ……...
81
45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ketiga ukuran partikel zeolit ………………………………………………………………..
83
46. pH dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit ...
84
47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit ………………………….
85
48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit ........................
85
49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit ………………………………………………………………..
86
50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit …………………………………....
87
xxv
51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) …..……………………………………………………………..
93
52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) …………………………………………………………………
94
2+
53. Pola perubahan kadar Ca pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi) ....................................................................................................
98
54. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) …………………………………………………………………
98
55. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi ......
99
56. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok ...............
99
57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur .............................................
102
58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur .............................................
102
59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur ............................................
103
60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur .............................................
103
61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur .............................................
104
62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur .............................................
104
63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur ..............................................
105
64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai pH (Davis dan Masten, 2004) ...
106
65. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda ...................................................................................
110
66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur .................
111
67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) ........................................................................
112
68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur) ........................................................................
113
69. Sentrat setelah proses sentrifugasi ...................................................................
115
70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO4 ...............................................
117
71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO4 ...............................................
117
72. pH pada sentrat dari perlakuan KMnO4 ...........................................................
120
73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO4 ..............................................
122
74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO4 ..............................................
122
75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO4 .............................................
123
xxvi
76.
Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO4 .............................................
123
77.
Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO4 .............................................
124
78.
Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO4 .............................................
124
79.
Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO4 ..............................................
125
80.
Kadar Ca pada sentrat dari perlakuan KMnO4 ................................................
126
81.
Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 pada dosis yang berbeda ..........................................................................................
127
82.
Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 ..........................
128
83.
Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) ....................................................................
129
Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) ...................................................................
129
Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) ...........................
135
Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) ............................................................
135
Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) ..........................................................................................
136
88.
Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan .............................
142
89.
Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan ...............................
142
90.
Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan ........................
143
91.
Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan ......
143
92.
Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK ...................................................................
145
Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK ...................................................
145
Bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK ...................................................
146
Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK ...................................................
146
Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4 ...........................................................................................................
147
Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan CaO .................................................................................................................
147
84. 85. 86. 87.
93. 94. 95. 96. 97.
xxvii
98. 99. 100.
Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan atau tanpa CaO yang diperkaya dengan NPK ..................................................................
148
Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4 dan CaO yang diperkaya dengan NPK ……………………………..
148
Desain IPAL TPA Sampah yang Disarankan .……………………………..
150
Lampiran 1.
Gambaran visual dari pupuk cair berbahan dasar lindi …………………….
xxviii
163
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga berada di wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi, yakni sebesar 287,5 mm/bulan menyebabkan TPA sampah ini mampu menghasilkan lindi dalam jumlah yang cukup besar. Permasalahan utama yang terjadi di tempat ini adalah pencemaran yang diakibatkan oleh lindi akibat pengelolaan yang kurang memadai sehingga lindi yang masuk ke badan-badan air dan persawahan di sekitarnya masih
mengandung polutan
(Priambodho, 2005). Hasil pengukuran DKP Kota Bogor (2003) menunjukkan bahwa persawahan di sekitar TPA sampah ini
mengandung BOD5 (255 ppm), COD
(607,72 ppm), Cd (0,05 ppm), Pb (0,011 ppm) dan Cu (0,091 ppm). Menurut PP No.82 tahun 2001, kadar polutan tersebut berada di atas baku mutu. Hasil penelitian Priambodho (2005) menunjukkan bahwa sumur gali penduduk yang ada di sekitar TPA sampah Galuga mengandung BOD5 34,72 ppm, COD 1557,87 ppm dan E coli diatas 1,1 103 MPN/100 ml membuat air sumur penduduk tidak layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Syahrulyati (2007) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa pada cekungan air bawah permukaan Galuga yang menjadi pusat terkumpulnya air bawah permukaan dari segala arah, secara permanen telah tercemar oleh lindi. Apabila hal ini terus dibiarkan dapat menyebabkan persawahan yang ada di sekitar TPA sampah Galuga menjadi tidak produktif dan jumlah air bersih menjadi berkurang yang berujung pada penolakan masyarakat atas keberadaan TPA sampah di wilayahnya. Menurut Kurniawan (2009), hal ini sebenarnya pernah terjadi di tempat ini. Upaya untuk menjaga agar TPA sampah Galuga tetap lestari dapat dilakukan dengan memperbaiki sistim pengelolaan lindi melalui pengolahan yang dapat menghasilkan efluen sesuai baku mutu dalam waktu yang relatif singkat dan memanfaatkan sisa hasil olahannya menjadi bahan pupuk cair. Menurut Lingga dan Marsono (2005), beberapa pupuk organik cair yang beredar di pasaran diolah melalui proses fermentasi bahan organik. Pupuk ini mengandung hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe. Lindi dari TPA sampah Galuga juga dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik yang ada di TPA sampah tersebut dan berdasarkan hasil penelitian DKP Kota Bogor (2003), lindi TPA sampah Galuga mengandung hara mikro Cu (0,097 ppm) dan Mn (0,016 ppm) serta hara makro dalam bentuk NO3- (0,068 ppm) dan 1
SO42- (13,60 ppm). Oleh karena itu, lindi TPA sampah Galuga dapat dijadikan sebagai pupuk cair. Namun demikian, Arya dan Gilar (2008) mengemukakan bahwa kandungan senyawa yang dibutuhkan tanaman yang terdapat pada lindi dari TPA sampah umumnya belum memenuhi standar seperti yang ditentukan oleh Departemen Pertanian RI sehingga pupuk organik cair dari lindi TPA sampah belum dapat langsung dipasarkan. Oleh karena itu, perlu upaya yang dapat mengendapkan hara dalam lindi TPA sampah agar hara yang ada menjadi lebih pekat dan lebih berdaya guna dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. 1.2 Kerangka Pemikiran Hingga saat ini pengelolaan TPA sampah Galuga baru dilakukan dalam bentuk upaya pemanfaatan bahan sampah padat baik dalam bentuk reuse maupun recycle. Menurut Muthmainnah (2008), sampah padat yang bersifat anorganik yang ada di TPA sampah Galuga yang layak dimanfaatkan kembali oleh pemulung sebesar 28 ton/hari. Apabila bahan ini dimanfaatkan semua, maka upaya ini mampu memberikan keuntungan sebesar Rp. 10.683.000,-/hari. Hasil penelitiannya juga mendapatkan bahwa upaya mengomposkan sampah padat yang bersifat organik dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 100.237,50/orang/bulan. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dari sampah padat tentu dapat menumbuhkan ketergantungan masyarakat terhadap TPA sampah yang berdampak pada kelangsungan pengoperasian TPA sampah itu sendiri. Di lain pihak, dalam mengelola lindi TPA sampah Galuga, sampai saat ini pengelolaanya belum maksimal menyebabkan lindi selalu menjadi sumber masalah dan belum ada upaya memanfaatkan lindinya menjadi bahan yang berguna. Padahal rasa memiliki masyarakat sekitar terhadap TPA sampah akan timbul dengan sendirinya apabila paradigma lama ”lindi hanya menjadi sumber masalah” diubah dengan mengolah lindi menjadi efluen sesuai baku mutu dan memanfaatkan kembali sisa hasil olahannya menjadi pupuk cair. Salah satu upaya untuk menghindari badan-badan air dari pencemaran oleh lindi TPA sampah Galuga adalah mengolah lindi menjadi efluen sesuai baku mutu lingkungan dalam waktu relatif cepat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengolahan aerasi dengan memberikan udara pada kecepatan tinggi. Cara ini efektif dalam menurunkan kadar gas-gas yang bersifat toksik, bahan organik maupun logam terlarut pada limbah cair yang diproses (Siregar, 2005; Borglin, Hazen dan Oldenburg, 2004). 2
Beberapa kelebihan lain dari pengolahan ini, diantaranya: 1) dapat menghilangkan polutan dengan kecepatan lima kali lebih besar dibanding pada kondisi anaerobik (Leikam, Heyer dan Stegmann, 1999), 2) dapat mengubah bahan toksik menjadi bahan yang relatif lebih aman bagi lingkungan (Metcalf dan Eddy, 2003), 3) dapat mengendapkan logam-logam terlarut yang merupakan hara bagi tanaman (Moore, 1991), 4) dapat menurunkan jumlah bakteri patogen akibat terbentuk H2O2 yang merupakan
racun
bagi
bakteri
tersebut
(Park
et al.,
1994), dan 5) dapat
menghasilkan hara makro berupa NO3-, SO42- dan PO43- (Achmad, 2004). Secara bagan, kerangka pemikiran dari permasalahan tersebut sebagai berikut.
Hujan
TPA SAMPAH GALUGA
Lindi Bau, kotor dan ketidaknyaman
Diolah? Ya
Tidak
Dampak Negatip (Sosial, ekonomi)
Pengolahan Aerasi Penggunaan Zeolit sebagai penjerap Sesuai baku mutu?
Endapan mengandung Cu, Zn, Mn & Fe
Upaya Pemekatan
Penolakan Masyarakat Thd TPA SAMPAH
TPA SAMPAH DITUTUP
Pupuk Cair
Tidak Ya (Sawah, Badan-badan air) Kebutuhan Air Terpenuhi
Produktivitas Tanaman Meningkat Rasa Memiliki Masyarakat Terhadap TPA Sampah
TPA SAMPAH LESTARI
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Upaya untuk memaksimalkan penghilangan polutan dari efluen yang akan dialirkan ke lingkungan dapat dilakukan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi melalui zeolit karena menurut hasil penelitian Husaini (1992) zeolit mampu menjerap logam berat, bahan organik dan mikroorganisme dari air limbah. Hasil penelitian Tang et al. (2010) menunjukkan bahwa 15 liter air limbah yang mengandung 20 ppm NH3 dapat diturunkan kadarnya menjadi kurang dari 5 ppm 3
dengan menggunakan 105 gram zeolit. Kurniawan et al., (2006) mengemukakan bahwa NH3 merupakan bahan yang sangat toksik bagi kehidupan akuatik yang selalu ada pada lindi TPA sampah. Di lain pihak, produk samping hasil olahan aerasi berupa endapan yang mengandung logam mikro dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Endapan ini mengandung Cu dan Fe yang merupakan hara mikro bagi tanaman (Diana, 1997; DKP Kota Bogor, 2003). Hasil penelitian Dimitrion et al. (2006) menunjukkan bahwa pengaplikasian lindi TPA sampah sebagai pupuk cair yang diberikan bersamaan dengan air irigasi menyebabkan tanaman dapat tumbuh lebih baik.
Hamludin
(2010) mengemukakan bahwa pengaplikasian pupuk organik cair dari lindi TPA sampah di Wonorejo pada tanaman pangan dan holtikultura juga menunjukkan hasil yang positif. Pupuk cair ini dihasilkan dengan cara memfermentasikan kembali lindi dari
TPA sampah tersebut menggunakan bioaktivator. Hal ini mengindikasikan
bahwa lindi memiliki peluang yang baik untuk dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Upaya meningkatkan kadar hara tanaman yang terdapat pada lindi dapat dilakukan dengan cara pemekatan melalui penambahan kapur atau KMnO4 dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) agar hara tanaman yang masih dalam keadaan terlarut menjadi mengendap. Menurut Asrie (2009), kapur digunakan secara luas untuk mempresipitasikan logam mikro. Singh dan Rawat (2006) mengemukakan bahwa Kapur (Ca(OH)2) efektif dalam mengendapkan Fe (III) dan Cu (II). Kedua logam ini dapat dimanfaatkan sebagai hara mikro essensial bagi tanaman. Selanjutnya Waluyo (2005) mengemukakan bahwa kapur dan KMnO4 biasa digunakan dalam pengolahan air limbah, khususnya untuk mengendapkan logam terlarut dan membunuh bakteri patogen. Melalui penambahan kapur atau KMnO4 diharapkan bahan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi mengandung hara yang lebih pekat dengan jumlah bakteri patogen di bawah baku mutu. Layak atau tidak, pupuk cair dari lindi yang berasal dari TPA sampah ditentukan oleh kadar hara makro atau logam mikro essensial/non essensial maupun mikrooganisme patogen. Sebagai
pupuk
cair, lindi yang sudah diolah harus
memenuhi Standar Minimal Pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian.
4
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji efektivitas pengolahan aerasi maupun aerasi yang dilanjutkan dengan menggunakan zeolit dalam menurunkan polutan lindi. 2. Mengkaji pengaruh pemberian kapur atau KMnO4 terhadap kadar hara mikro pada lindi. 3. Mengkaji pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. 1.4 Hipotesis 1. Pengolahan aerasi yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit, efektif dalam menurunkan polutan lindi. 2. Kapur atau KMnO4 dapat mengendapkan hara mikro yang terdapat pada lindi. 3. Pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, 1.5 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Masyarakat bahwa ada sumber pupuk cair baru yang berasal dari lindi TPA sampah. 2. Pemerintah/pengelola TPA sampah bahwa ada teknologi yang dapat diterapkan di IPAL TPA sampah yang dapat menghindari pencemaran air. 3. Ilmu pengetahuan bahwa ada teknologi baru yang dapat mengolah lindi menjadi pupuk cair. 1.6 Novelty Novelty yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Penggunaan teknologi aerasi dan zeolit mampu menjadikan lindi yang berbahaya menjadi efluen yang layak buang. 2. Penambahan kapur/KMnO4 dapat mengubah lindi menjadi pupuk cair yang berguna bagi tanaman.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 TPA Sampah dan Pembentukan Lindi Tempat
pembuangan
akhir
(TPA)
pembuangan sampah bagi penduduk kota.
sampah
merupakan
suatu
tempat
Setiap hari berbagai jenis sampah
penduduk diangkut dari bak-bak sampah yang terdapat di kota, kemudian ditumpuk di TPA. Beberapa bahan organik yang ada di TPA sampah yang bersifat mudah urai (biodegradable) umumnya tidak stabil dan cepat menjadi busuk karena mengalami proses degradasi menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia toksik dan bahan-bahan organik sederhana, selanjutnya akan menimbulkan bau yang menyengat dan mengganggu (Samorn et al., 2002). Lindi terbentuk di setiap lokasi pembuangan sampah (Biehler dan Hagele, 1995). Pembentukan lindi merupakan hasil dari infiltrasi dan perkolasi (perembesan air dalam tanah) dari air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi pembuangan sampah (Nemerow dan Dasgupta, 1991). Lindi memiliki karakteristik tertentu, hal ini disebabkan limbah yang dibuang pada lokasi pembuangan sampah berasal dari berbagai sumber yang berbeda dengan tipe limbah yang berbeda pula. Menurut Fadel et al. (1997), komposisi lindi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik, anorganik), tetapi juga mudahtidaknya penguraian (larut/tidak larut), kondisi tumpukan sampah (suhu, pH, kelembaban, umur), karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan hidrogeologi), komposisi tanah penutup, ketersediaan nutrien dan mikroba, serta kehadiran inhibitor. Iklim merupakan faktor penting yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas lindi. Hujan menjadi fase transport untuk pencucian dan migrasi kontaminan dari tumpukan sampah dan memberikan kelembaban yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis.
Demikian halnya dengan umur tumpukan sampah, juga mempengaruhi
kualitas lindi dan gas yang terbentuk. Perubahan kualitas lindi dan gas menjadi parameter utama untuk mengetahui tingkat stabilisasi tumpukan sampah (Pohland dan Harper, 1985).
6
2.2 Karakteristik Lindi Lindi mengandung bahan organik, bahan anorganik dan bakteri patogen (Garnasih, 2009). Bahan organik yang terdapat pada lindi diindikasikan dengan nilai BOD dan COD (Qasim, 1994). Beberapa hara tanaman, baik berupa hara makro seperti: nitrat (NO3-), amonium (diindikasikasikan oleh NH3), phosfat (PO43-), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan Sulfat (SO42-); hara mikro seperti : besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan seng (Zn) ditemukan di dalam lindi. Sedangkan bakteri patogen yang umumnya diindikasikan oleh nilai E. coli juga terdapat pada lindi. Nilai dari parameter pencemar tersebut disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Komposisi lindi buangan domestik Parameter Satuan PH
-
Kisaran Konsentrasi 6,2 – 7,4
COD (Chemical Oxygen Demand)
mg/l
66
–
11.600
BOD (Biological Oxygen Demand)
mg/l
<2
–
8.000
TOC (Total Organic Carbon)
mg/l
21
–
4.400
Amoniak
mg/l
5
–
30
Nitrat
mg/l
< 0,2
–
4,9
mg/l
ND
–
155
mg/l
< 0,02
–
3,4
mg/l
70
–
2.777
mg/l
55
–
456
Na
mg/l
43
–
2.500
Mg
mg/l
12 -
K
mg/l
20 – 50
Ca
mg/l
Cr
mg/l
< 0,05 – 0,14
Mn
mg/l
0,32 – 26,5
Fe
mg/l
0,09 – 380
Ni
mg/l
< 0,05 – 0,16
Cu
mg/l
< 0,01 – 0,15
Zn
mg/l
< 0,05
Cd
mg/l
< 0,005
– 0,01
Pd
mg/l
< 0,05
– 0,22
Nitrogen organik H2PO4 Cl
-
-
SO4
2-
Sumber : Lisk dalam Young et al., 1995 ND = not detectable
7
480
165 – 1.150
– 0,95
Tabel 2. Kualitas lindi TPA sampah Bantar Gebang Parameter Konsentrasi (mg/l) Biochemical Oxygen Demand (BOD) 4.500 - 13.000 Chemical Oxygen Demand (COD) 11.000 - 22.000 Padatan Tersuspensi 550 2.000 Padatan Terlarut 11.000 - 14.450 PH 6,5 - 7,6 Kesadahan (CaCO3) 3.100 5.200 Kalsium 650 900 Magnesium 450 650 Phosphor 2,6 - 3,0 NH3-N 700 2.000 Kjehldal-N(NO3 N) 600 1.750 Sulfat 110 700 Clorida 3.000 5.000 Natrium 1.150 1.400 Kalium 950 970 Kadmium 0,045 - 0,009 Crom 0,23 - 0,4 Sumber : Widyatmoko dan Sintorini, 2002
Tabel 3. Hasil pengukuran kualitas lindi TPA sampah Galuga di Bogor Parameter Fisika 1. Kekeruhan 2. Warna 3. Padatan Tersuspensi 4. Odour/bau Kimia 1. pH 2. COD 3. BOD5 4. Nitrit (NO2-N) 5. Nitrat (NO3-N) 6. Mangan (Mn) 7. Tembaga (Cu) 8. Kadmium (Cd) 9. Timah Hitam (Pb) 10. Sulfat (SO4) Mikrobiologi 1. E. coli
Satuan
Stasiun Pengamatan Kolam Kolam Sawah Lindi 1 Lindi 2
Baku Mutu*)
NTU Pt.Co mg/l Visual
0,05 62 250 bau
0,95 48 1980 tb
0,62 23 1990 tb
(-) (-) 400 (-)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7,67 880,23 305 0,004 0,068 0,016 0,053 0,032 0,015 13,597
6,50 628,80 260 0,004 0,033 0,008 0,097 0,057 0,009 12,217
8,83 670,72 255 0,004 0,014 0,015 0,091 0,050 0,011 9,344
5–9 100 12 (-) 20 (-) 0,2 0,01 1 (-)
MPN/100 ml
35.000
40.000
20.000
10.000
Sumber : DKP Kota Bogor (2003) *) Baku mutu air kelas IV berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
8
Hubungan antara komposisi beberapa bahan pencemar dalam air limbah domestik dengan tingkat pencemaran disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan klasifikasi tingkat pencemaran seperti yang terdapat pada tabel tersebut dan apabila BOD dan COD yang dijadikan acuannya, maka TPA sampah Galuga di Bogor termasuk TPA sampah dengan tingkat pencemaran berat. Tabel 4. Klasifikasi tingkat pencemaran dari limbah domestik berdasarkan beberapa parameter kualitas air Tingkat Pencemaran Parameter Berat Sedang Ringan 1. Padatan total (mg/liter) 1.000 500 200 2. Bahan padatan terendapkan (ml/liter) 12 8 4 3. BOD (mg/liter) 300 200 100 4. COD (mg/liter) 800 600 400 5. Nitrogen total (mg/liter) 85 50 25 6. Amonia nitrogen (mg/liter) 30 30 15 Sumber : Rump dan Krist (1992 dalam Effendi, 2003)
Beberapa bahan pencemar yang terdapat dalam lindi seperti BOD, COD, bahan anorganik dan bakteri patogen. 2.2.1 BOD dan COD BOD dan COD merupakan indikator keberadaan bahan organik dalam lindi dan kedua parameter ini merupakan komponen terbesar dalam lindi (Qasim, 1994). Menurut Manik (2007), BOD merupakan banyaknya oksigen yang diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan atau mengoksidasikan bahan organik dalam 1 liter air limbah selama pemeraman (5 x 24 jam pada suhu 20oC). COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oksidator untuk mengoksidasi bahan/zat organik dalam 1 liter air limbah. Nilai COD biasanya lebih tinggi dari nilai BOD karena bahan yang stabil (tidak terurai) dalam uji BOD dapat dioksidasi dalam uji COD. Keberadaan bahan organik yang tinggi dalam lingkungan perairan dapat menimbulkan masalah berupa bau, warna dan rasa. Dalam suasana anaerobik (kekurangan oksigen), degradasi bahan organik dapat menghasilkan gas-gas (NH3, H2S dan CH4) yang menyebabkan bau (Samorn et al., 2002).
9
2.2.2 Bahan Anorganik Bahan anorganik yang terdapat dalam lindi dapat berupa kation dan anion. Kation atau anion tersebut dapat berguna/tidak berguna sebagai hara tanaman. Zat hara yang terdapat dalam lindi, selain berasal dari hasil pembilasan bahan sampah yang berasal dari industri, juga dapat berasal dari proses pelapukan bahan sampah yang mudah urai (jaringan tanaman maupun hewan) karena di dalam jaringan tanaman dan hewan juga terdapat unsur yang diambil dari tanah dan akan kembali ke lingkungan melalui proses perombakan jaringan tanaman atau hewan tersebut. Menurut Hakim et al. (1986), sekitar 0,5 atau hingga 6% jaringan tanaman berupa unsur yang diambil dari tanah. Tabel 5. Unsur hara yang berasal dari tanaman dan sumbernya Unsur Makro Unsur Mikro Dari udara dan air Dari Tanah Dari tanah C N Mn H P Cu O K Zn Ca Mo Mg B S Cl Fe Sumber : Hakim et al. (1986)
Logam berat dapat berada di TPA sampah karena bahan tersebut diperlukan untuk mendukung aktivitas kehidupan manusia seperti untuk membuat peralatan. Keberadaannya di lingkungan harus dihindari karena apabila logam berat masuk ke dalam rantai makanan dalam kadar tertentu dapat mengganggu kesehatan. Diana (1992) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa pada lumpur air sampah yang terdapat di TPA sampah Bantar Gebang didapati kandungan logam berat, seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan logam berat dalam lumpur TPA sampah Bantar Gebang Statiun Pengamatan No. Parameter 1 2 7 1. Fe (mg/l) 10,83 10474,72 20,26 2. Pb (mg/l) ttd 17,087 0,015 3. Cr (mg/l) 0,009 4,976 0,015 4. Cu (mg/l) 0,00025 20,072 0,00945 5. Cd (mg/l) 0,0034 0,301 0,003 Sumber : Diana (1992)
10
Beberapa logam yang sering dijumpai dalam lindi adalah Cu, Zn, Mn, Fe yang merupakan hara mikro essensial dan Pb, Cd, Cr yang merupakan hara mikro non essensial bagi tanaman. Logam-logam tersebut dapat mengendap pada pH tertentu atau setelah mengalami oksidasi. Logam-logam tersebut juga dapat membentuk zat yang mudah mengendap bila berikatan dengan bahan lain. Beberapa kegunaan dan akibat yang ditimbulkan oleh logam tersebut pada lingkungan dan manusia sebagai berikut : 1. Tembaga (Cu) Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain sebagai alloy. Selain itu, tembaga juga banyak digunakan untuk bidang pertanian yakni sebagai campuran untuk fungisida dan moluskisida. Logam ini dapat menyebabkan gastro enteritis, shock dan kematian (Darmono, 2001). 2. Seng (Zn) Seng banyak digunakan dalam produksi logam campuran, misalnya : perunggu, loyang dan kuningan. Logam ini dapat menyebabkan pembentukan tulang yang abnormal (Darmono, 1995). 3. Mangan (Mn) Mangan biasa digunakan dalam industri baterai. Akibat yang ditimbulkannnya dapat mempengaruhi metabolisme pembentukan Hb (Darmono,1995). 4. Besi (Fe) Besi banyak digunakan dalam industri bahan celupan dan tekstil (Eckenfelder, 1989). Logam ini dapat menyebabkan gangguan mental (Darmono, 2001). 5. Timbal (Pb) Timbal banyak digunakan untuk aki, baterai, produksi logam, kimia, listrik, pigmen dan cat, sedangkan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dapat menghambat sistem pembentukan Hb (Darmono, 2001). 6. Kadmium (Cd) Kadmium banyak digunakan untuk pelapis logam, cat/pigmen, pembuatan PVC atau plastik, juga untuk pembuatan baterai/aki; sedangkan akibat yang dapat ditimbulkannya yaitu menyebabkan keracunan pada manusia dan kerapuhan tulang (Darmono, 2001).
11
7. Crom (Cr) Crom banyak digunakan sebagai bahan pelapis pada bermacam-macam peralatan. logam ini dapat menyebabkan kanker paru-paru (Palar, 2004). 2.2.3 Bakteri Patogen Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air limbah adalah bakteri yang menyebabkan penyakit diare, disentri, kolera, atau tifus (Perpamsi-ITB, 1989). Bakteri-bakteri tersebut tumbuh dalam suasana yang cocok bagi dirinya yaitu usus manusia dan hewan berdarah panas. Oleh karena jumlah penderita dan pengidap dibandingkan
keseluruhan populasi yang ada sangat kecil, maka secara teknis
penelusuran bakteri patogen secara langsung sangat sulit dilakukan karena konsentrasinya yang rendah (Santika, 1984).
Oleh karena itu, untuk menduga
keberadaan bakteri patogen dalam lindi diperlukan bakteri indikator untuk menduga terdapatnya bakteri patogen ataupun tidak. Sebagai indikatornya digunakan bakteri E. coli. Pemilihan bakteri E. coli sebagai bakteri indikator didasarkan pada beberapa hal, yaitu bakteri E. coli terdapat pada tinja dalam jumlah yang besar; E. coli hidup secara komensalisme dengan bakteri patogen; bakteri tersebut dapat dihitung dengan mudah dan hasilnya dapat dipercaya; dan tidak dapat tumbuh di luar tubuh, kecuali di dalam media biakan bakteri. Tabel 7. Organisme patogen yang sering ditemukan di sampah Organisme Bacillus anthracis
Penyakit Antrax
Ascaris spp
Cacing Nematoda
Mycobacterium tuberculosis
Tuberculosis
Samonella paratyphi
Demam Typhoid
Shigella spp Leptospira icterohaemorhagiae Taenia spp Vibrio cholerae
Bacillary dysentery
Sumber Sampah. Spora sulit ditangani. Air buangan dan lumpur yang digunakan untuk pupuk. Berbahaya bagi manusia. Air buangan dan limbah yang berasal dari Sanatorium. Air buangan. Kadang-kadang bersifat endemik. Air tercemar.
Leptospirosis
Selokan
Cacing pita Kolera
Entamoeba hystolytica
Disentri
Air buangan. Air buangan dan air yang tercemar. Air yang tercemar dan air yang digunakan untuk pupuk.
Sumber : Hawkes, 1971 dalam Tso et al., 1990.
12
2.2.4 Total Dissolve Solid, Total Suspended Solid dan Padatan Mengendap Air buangan seringkali mengandung padatan terlarut yang tidak dapat diidentifikasi secara visual dengan indera biasa. Selain itu, pada air buangan juga mengandung bahan tersuspensi yang tetap melayang dalam air dan bahan yang mudah mengendap yang langsung dapat diidentifikasi secara visual dengan indera biasa. Jumlah padatan terlarut dapat diindikasikan oleh nilai total Dissolve Solid (TDS) dan jumlah padatan tersuspensi dapat diindikasikan oleh nilai total padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) (TSS). Keduanya dapat diukur dengan cara gravimetrik. Jumlah padatan mengendap dapat diukur dalam satuan ml/volume dengan menggunakan tabung imhoff (Santika, 1984). Bahan padatan terlarut dapat berupa bahan organik atau anorganik baik berupa kation atau anion terlarut yang tidak tersaring dengan kertas saring milipore berukuran pori 0,45 µm (Oram, 2010). Beberapa bahan anorganik yang merupakan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS, seperti: Timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), garam Magnesium maupun Kalsium (Effendi, 2003). Tampilan air yang memiliki TDS tinggi seringkali tidak merubah warna air. Air tetap kelihatan jernih, namun rasa menjadi berbeda. Nilai TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan, karena keberadaan bahan padatan terlarut dalam jumlah yang tinggi dapat menjadi racun bagi ikan. Oleh karenanya, analisis total padatan terlarut sering digunakan sebagai uji indikator untuk menentukan kualitas umum dari air. Nilai total padatan terlarut mewakili jumlah ion yang terdapat dalam air (Fardiaz, 1992). Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm. Bahan-bahan tersebut terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad renik. Keberadaan bahan-bahan ini menyebabkan kekeruhan hingga dapat menghambat laju fotosintesis fitoplankton yang merupakan produktivitas primer perairan yang selanjutnya dapat mengganggu keseluruhan rantai makanan (Nasution, 2008).
Padatan tersuspensi dapat mempengaruhi biota perairan melalui 2 cara.
Pertama, padatan tersuspensi dapat menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air. Hal ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, padatan telarut yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena bahan ini tersaring oleh insang (Fardiaz, 1992).
13
Padatan mengendap merupakan bahan padatan yang dapat langsung mengendap jika air tidak terganggu untuk beberapa saat. Bahan yang mudah mengendap ini terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya karena gravitasi. Padatan mengendap dapat menimbulkan pendangkalan pada badan-badan air yang selanjutnya dapat berpengaruh pada berkurangnya fungsi badan air (Nasution, 2008). 2.3 Pengaruh Lindi terhadap Lingkungan Apabila lindi yang berasal dari TPA sampah masuk ke badan-badan air akan mengakibatkan pencemaran pada badan-badan air tersebut yang ditandai dengan perubahan kualitas air sungai dan selanjutnya dapat mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat di sekitar TPA sampah yang memanfaatkan air yang sudah tercemar untuk kehidupan sehari-harinya (Garnasih, 2009). Beberapa gangguan akibat pencemaran yang disebabkan air limbah diuraikan di bawah ini. 2.3.1 Gangguan terhadap Kesehatan Lindi dapat berfungsi sebagai pembawa penyakit karena di dalamnya sering didapatkan bakteri patogen yang berasal dari sampah (Mulia, 2005). Menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi (2000 dalam Suganda, 2003), jenis penyakit dengan frekuensi lebih tinggi yang ditemukan pada masyarakat di sekitar TPA sampah Bantar Gebang adalah ISPA, kulit dan gastritis. Penyakit-penyakit tersebut dapat disebarluaskan melalui lindi yang telah terkontaminasi oleh bakteri patogen sebagai akibat lindi yang masuk ke badan-badan air di sekitar TPA sampah belum/kurang mendapatkan perlakuan yang memadai. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sumur milik penduduk yang berada di sekitar TPA Sampah Putri Cempo Surakarta mengandung jumlah E. coli di atas baku mutu (Wahjuni, 1996). Demikian halnya dengan sampel air yang diambil dari areal persawahan di sekitar TPA sampah milik Pemda Kota Bogor, juga mengandung E. coli di atas baku mutu (DKP Kota Bogor, 2003). Kenyataan ini menunjukkan bahwa lindi yang dialirkan ke lingkungan telah menjadi sumber penyebar penyakit yang berasal dari sampah. 2.3.2 Gangguan terhadap Kehidupan Biotik Zat pencemar yang ada di dalam lindi dapat menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut mengakibatkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, selanjutnya dapat mengurangi perkembangannya bahkan 14
dapat menyebabkan kematian.
Kematian juga dapat disebabkan oleh adanya zat
beracun yang terdapat dalam lindi. Selain menyebabkan kematian ikan-ikan dan bakteri-bakteri, polutan yang terdapat dalam lindi juga dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Kematian bakteri dapat menyebabkan proses penjernihan sendiri (self purification) menjadi terhambat. Akibat selanjutnya adalah air limbah akan sulit untuk diuraikan (Sugiharto, 1987). 2.3.3 Gangguan terhadap Keindahan dan Kenyamanan Bau dapat disebabkan oleh hidrogen sulfida yang dihasilkan dari proses pembusukan bahan organik secara anaerobik, sedangkan gangguan warna dan rasa dapat disebabkan oleh senyawa organik (Effendi, 2003). Beberapa bau lainnya yang berasal dari sampah adalah sebagai berikut. Tabel 8. Katagori bau pada sampah Senyawa Formula Amin CH3NH2(CH3)3N Amoniak NH3 Diamin NH2(CH2)5NH2 Hydrogen Sulfida H2 S Organik Sulfida (CH3)2S.CH3SCH3 Mercaptan CH3SH.CH3(CH2)3SH Skatole C8H5NHCH3
Kualitas Bau amis amoniak daging busuk telur busuk kubis busuk bau seperti musang tinja
(Moncieff, 1987 dalam Tso et al., 1990)
2.3.4 Gangguan terhadap Benda Kerusakan pada benda dapat disebabkan oleh keberadaan gas karbondioksida dalam air limbah karena gas ini bersifat korosif, dapat mempercepat proses terjadinya karat pada benda yang terbuat dari besi yang akhirnya dapat menimbulkan kebocoran. Selain itu, keberadaan lemak pada air limbah juga dapat menimbulkan masalah karena pada suhu tinggi berbentuk cair, namun dalam suhu normal akan menggumpal pada saluran pipa-pipa (Sugiharto, 1987). 2.4 Pengolahan Air Limbah Pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersuspensi terapung, menurunkan bahan organik biodegradable serta mengurangi organisme patogen. Pengolahan dapat dilakukan secara alamiah maupun dengan bantuan peralatan (Manik, 2005). Setiap metode pengolahan limbah menghasilkan efluen dengan kualitas tertentu. Untuk menentukan efektivitas dari suatu metode pengolahan limbah cair didasarkan pada kualitas efluen yang diinginkan. 15
Mara dan Cairncross (1994) mengemukakan bahwa sistem pengolahan air limbah yang ideal harus memenuhi kriteria-kriteria berikut ini : 1. Kesehatan. Sistem harus mempunyai kemampuan bakterisida yang tinggi terhadap mikroorganisme patogen. 2. Guna ulang. Sistem harus menghasilkan produk yang aman untuk digunakan kembali, terutama dalam akuakultur dan agrikultur. 3. Ekologis. Apabila tidak digunakan lagi, maka limbah cair yang dibuang ke lingkungan agar dijaga tidak melebihi kemampuan alam untuk pemurnian diri sendiri. 4. Kenyamanan. Bau yang ditimbulkan harus di bawah batas ambang yang diperkenankan. 5. Kultural. 6. Metode yang dipilih dalam pengumpulan, pengolahan dan penggunaan kembali harus dapat diterima oleh budaya masyarakat setempat. 7. Operasional. Ketrampilan yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem pengolahan harus dapat disediakan secara lokal dengan hanya sedikit tambahan latihan. 8. Biaya. Menurut Subiyanto (2000), dalam pengelolaan air limbah, tidak ada aturan yang pasti mengenai jenis pengolahan yang harus mendahului dibanding jenis pengolahan lainnya. Semuanya tergantung pada keadaan khusus dalam setiap kasus dan tujuan pengolahan.
Informasi yang dibutuhkan sebelum memilih instalasi pengolahan
limbah adalah : (1) informasi tentang kualitas dan kuantitas limbah, dan (2) informasi tentang baku mutu. Penghilangan polutan dari air limbah dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya melalui pemberian udara (aerasi) ke dalam air limbah maupun melalui proses penyaringan menggunakan zeolit. Siregar (2005) mengemukakan bahwa pengolahan aerasi bertujuan untuk membersihkan zat-zat organik/mentransformasi zat-zat organik menjadi bentuk yang kurang berbahaya. Perubahan zat-zat organik yang terlarut menjadi zat-zat partikulta (koloni bakteri) dapat dihilangkan dengan tahapan proses selanjutnya, biasanya melalui sedimentasi atau filtrasi. Oleh karena 16
itu, proses aerasi hanya merupakan tahapan tersendiri di dalam rantai proses pengolahan yang modern.
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) biasanya
memiliki lebih dari satu proses pengolahan. Filtrasi (penyaringan) guna menurunkan polutan dari air limbah dapat dilakukan menggunakan zeolit. Menurut Sutarti dan Rahmawati (1994), zeolit mampu menghilangkan kekeruhan, menurunkan kandungan bahan kimia dan menurunkan jumlah bakteri patogen. Ketiga hal tersebut dapat terjadi karena selama proses, di dalam media filter terjadi peristiwa-peristiwa: mekanis, penjerapan, metabolisme secara biologis dan pertukaran ion. Proses penghilangan polutan melalui sistim aerasi umumnya menghasilkan partikulat
dan
bahan organik
koloid
berupa
gumpalan
lumpur.
Untuk
mengendapkannya memerlukan waktu 20 – 30 menit (Jenie dan Rahayu, 1990). Menurut Sugiharto (1987), kebutuhan udara dalam proses aerasi adalah sebesar 123 m3 tiap kg BOD. 2.4.1 Pengolahan Aerasi Proses aerasi merupakan proses penambahan gas oksigen yang berasal dari udara ke dalam air limbah dengan tujuan untuk menghilangkan bahan organik maupun bau yang disebabkan oleh senyawa hasil penguraian zat organik yang terjadi secara anaerobik, misalnya NH3, H2S dan CH4. Dasar perencanaannya bersumber dari pengertian aktivitas metabolisme (biokimia) mikroorganisme. Pengertian proses biokimia itu sendiri adalah penggunaan enzim mikroorganisme untuk mengubah bahan makanan/substrat (biodegradable carbon), demi berlangsungnya sintesis sel dan pertumbuhan mikroorganisme tersebut (Metcalf dan Eddy, 2003). Lebih jauh lagi dikemukakan bahwa prinsip aplikasi dari proses pengolahan dengan cara ini adalah : (1) pengurangan bahan organik berkarbon (carboneous organic matter) dalam air limbah, yang biasanya diukur dengan parameter BOD (biological organic demand), TOC (total organic chemical) atau COD (chemical organic demand); (2) Nitrifikasi; dan (3) Stabilisasi limbah.
17
Qasim (1994) mengemukakan bahwa hal yang diperlukan secara mendasar dari proses aerasi adalah : 1. Keberadaan mikroorganisme; 2. Kontak (hubungan) yang baik antara mikroorganisme dengan limbah cair; 3. Ketersediaan oksigen; 4. Ketersediaan nutrien; dan 5. Pemeliharaan kondisi lingkungan lainnya seperti : suhu, pH dan lainnya. Tempat berlangsungnya proses biokimia (bioproses) sering diistilahkan dengan ”reaktor”. Ada dua macam reaktor, yakni reaktor alami dan buatan. Reaktor alami yang terjadi dalam periode waktu lama seperti sungai atau danau, dan reaktor alami yang terjadi secara spontan sesudah turun hujan seperti genangan atau kolam. Sedangkan tempat berlangsungnya proses biokimia buatan manusia dapat didesain untuk proses fermentasi maupun aktivated sludge (Wisjnuprapto, 1995). Berdasarkan sistim pengolahannya, reaktor terbagi menjadi dua, reaktor sistim batch (RB) yang bersifat tertutup dan reaktor sistim kontinyu yang bersifat terbuka yang memungkinkan limbah cair yang akan diproses dapat masuk ke dalam tangki dan efluen yang dihasilkan dapat dikeluarkan selama proses pengolahan berlangsung. Pada reaktor sistim batch, bahan yang diproses dapat tercampur sempurna.
RB
mengandung nutrien dalam suspensi tertentu. Tidak ada material yang ditambahkan ke dalam atau dihilangkan dari reaktor. Pada sistem ini, nutrien akan menjadi habis dan pertumbuhan menjadi terbatas. Lingkungan RB dapat dikarakterisasikan sebagai lingkungan yang berubah secara kontinyu. Di lingkungan RB, konsentrasi nutrien, dan massa sel berbeda dari satu saat ke saat lainnya (Wisjnuprapto, 1995). Reaktor jenis ini menjadi sangat sesuai apabila produk dari bioproses akan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Secara visual, reaktor sistim batch disajikan pada Gambar 2 dan pola pertumbuhan bakteri disajikan pada Gambar 3.
18
Gambar 2. Reaktor sistem batch (Wisnujprapto, 1995)
Gambar 3. Kurva pertumbuhan bakteri (Metcalf & Eddy, 2003) Salah satu upaya untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah dapat dilakukan dengan memasukkan udara ke dalam air limbah. Proses memasukkan udara atau oksigen murni ke dalam air limbah dapat dilakukan dengan menggunakan benda porous atau “nozzle”. Apabila “nozzle” diletakkan di tengah-tengah, maka akan meningkatkan kecepatan gelembung udara tersebut berkontak dengan air limbah sehingga proses pemberian oksigen akan berjalan lebih cepat.
Oleh karena itu,
biasanya “nozzle” diletakkan pada dasar bak aerasi. Udara yang dimasukkan berasal dari udara luar yang dipompakan ke dalam air limbah oleh pompa tekan. Di dalam bak aerasi, bakteri aerob akan memakan bahan organik dengan bantuan O2. Upaya penyediaan oksigen ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan sehingga bakteri pemakan bahan organik dapat tumbuh dan berbiak dengan baik dan terjamin kelangsungan hidupnya. Pengalaman menunjukkan bahwa 43 – 123 m3 udara diperlukan untuk menguraikan 1 kg BOD atau bila menggunakan aerator mekanik 19
diperlukan 0,7 – 0,9 kg oksigen/jam untuk dimasukkan ke dalam lumpur aktif. Hasil yang baik dari hasil pengolahan aerasi ini dapat diperoleh dengan memperhatikan beberapa hal, diantaranya : a) banyaknya udara yang diberikan setiap m3 air limbah adalah sebanyak 8 – 10 m3 atau sekitar 20 - 30 liter/menit yang diberikan selama 6 jam, b) sebaiknya air limbah berada pada tangki aerasi adalah selama 6 – 8 jam, dan c) banyaknya udara yang harus dibandingkan dengan derajat pengotoran air limbah yang ada adalah sebesar 40 – 80 m3 udara untuk setiap kg BOD, dengan rumus perhitungan sebagai berikut (Sugiharto, 1987): Banyaknya udara dalam m3/hari --------------------------------------------------------BODdari air limbah x volume limbah/hari (m3) Secara visual, sistim aerasi dengan cara memasukkan udara ke dalam air limbah disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Aerasi dengan memasukkan udara ke dalam air limbah (Sugiharto, 1987) Dalam pengolahan biologis secara aerobik, lama aerasi (operation time) sangat mempengaruhi jumlah pasokan oksigen. Sebelum mencapai tingkat jenuh, semakin lama aerasi, maka semakin meningkat pula kandungan oksigen terlarutnya. Hubungan antara lama aerasi dengan konsentrasi oksigen terlarut didapatkan Sorab (1973 dalam Metcalf dan Eddy, 2003) dari hasil penelitiannya sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hubungan antara lama aerasi dan konsentrasi oksigen terlarut. Lama Aerasi (menit) Konsentrasi Oksigen Terlarut (mg/l) 5 0,5 10 1,5 15 3,0 20 4,0 25 5,1 30 6,0 Sumber : Sorab (1973 dalam Metcalf dan Eddy, 2003)
20
Pada pengolahan secara aerobik, oksigen digunakan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi limbah dalam rangka memperoleh energi yang cukup demi kelangsungan hidupnya. Energi yang diperoleh dari proses tersebut memungkinkan bakteri untuk mensintesis molekul kompleks yang terdiri dari protein dan polisakarida untuk kemudian membentuk sel baru.
Metabolisme bakteri terjadi dalam dua
tahapan, yaitu katabolisme (perombakan) untuk mendapatkan energi dan anabolisme (pembentukan) untuk sintesis (Sempurna, 2010). Satu pertiga dari BOD digunakan untuk reaksi katabolisme, sedangkan dua pertiganya digunakan untuk reaksi anabolisme. Secara umum reaksi yang terjadi antara air limbah dan oksigen dengan bantuan bakteri adalah sebagai berikut (Mara, 1976) : Katabolisme : CxHyOzN + O2 → CO2 + H2O + NH3 + energi Anabolisme : CxHyOzN + energi
----------> C5H7NO2 (sel baru)
Termasuk bagian yang penting dari reaksi katabolisme adalah reaksi autolisis : C5H7NO2 + O2 (sel baru)
------------> 5 CO2 + NH3 + 2 H2O + energi
Eckenfelder (1989) menggambarkan proses dekomposisi bahan organik secara aerob seperti pada persamaan reaksi berikut: Bahan organik + O2 + N + P -----------> sel baru + CO2 + H2O + residu bahan non biodegradable terlarut Sel + O2 ----------> CO2 + H2O + N + P + residu bahan nonbiodegradable celluler Dari reaksi tersebut terlihat bahwa besar sekali peranan oksigen untuk berlangsungnya proses biodegradasi. Dalam hal ini oksigen bertindak sebagai akseptor hidrogen dan dari reaksi oksigen dengan hidrogen akan membentuk air. Dengan perkataan lain respirasi aerob adalah reaksi oksidasi substrat menjadi CO2, H2O dan energi.
21
Proses perubahan bentuk unsur organik menjadi anorganik melalui oksidasi biologi sebagai berikut (Metcalf dan Eddy, 2003) : 1. Karbohidrat, fenol dan sebagainya diubah menjadi karbondioksida dan air; 2. Senyawa organik nitrogen diubah menjadi karbondioksida, air, amina, amonia dan nitrat; 3. Senyawa organik sulfur diubah menjadi sulfat; 4. Senyawa organik fosfor diubah menjadi fosfat. Selain bakteri yang memiliki peran dalam pengolahan nutrien organik dalam air limbah, ada juga bakteri yang berperan dalam pengolahan nutrien anorganik. Bakteri ini merupakan bakteri kemoautotrof, terutama bakteri yang dapat merombak nitrit menjadi nitrat dan merombak senyawa polifosfat menjadi bentuk yang lebih sederhana (ortofosfat), sehingga dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme fotosintetik. Dari berbagai jenis bakteri yang termasuk kemoautotrof, yang paling penting dalam hubungannya dengan pengolahan air limbah secara biologis adalah Nitrosomas dan Nitrobacter. Kedua jenis bakteri inilah yang melaksanakan oksidasi nitrogen amonia dan nitrit menjadi nitrat yang prosesnya disebut dengan nitrifikasi (Suriawiria, 1993). Mikroorganisme yang terlibat dalam pengolahan limbah cair secara biologis, adalah (Metcalf dan Eddy, 2003): 1. Bakteri Jenis bakteri yang dapat digunakan bersifat prokaryotic. Bakteri ini hanya dapat hidup pada pH dan suhu yang cocok dengan rentang pH 4 – 9,5 dengan kondisi pH optimum 6,5 – 7,5. Dilihat dari kerja optimum bakteri yang berkaitan dengan temperatur lingkungan, maka bakteri dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni : a) Psychrophilic, suhu optimum 12 – 18oC; b) Mesophilic, suhu optimum 25 – 40oC c) Thermophilic, suhu optimum 55 – 65oC Berkaitan dengan lingkungan hidupnya, bakteri dapat dibedakan atas : a) Bakteri aerob, bakteri yang memerlukan oksigen untuk hidupnya; b) Bakteri anaerob, bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas untuk hidupnya; dan c) Bakteri fakultatif, yakni bakteri yang dapat hidup dengan atau tanpa oksigen bebas di sekitarnya.
22
2. Fungi Jenis fungi yang terlibat dalam pengolahan biologis adalah jenis aerobik dan bersel tunggal.
Fungi dapat tumbuh pada lingkungan dengan pH dan kadar
nutrien yang rendah. Rentang pH antara 2 – 9 dengan pH optimal 5 – 6. 3. Protozoa Umumnya protozoa bersifat aerobik, heterotrof dan tidak dapat berfotosintesis; sebagian kecil lainnya bersifat anaerobik. Dalam limbah cair, protozoa berfungsi sebagai pembersih efluen pada pengolahan limbah cair biologis, dengan memakan bakteri dan partikel-partikel bahan organik lainnya. 4. Rotifera Rotifera bersifat aerobik, heterotrof dan bersel banyak. Rotifera sangat efektif dalam mengkonsumsi bakteri dan partikel kecil bahan organik. Keberadaan rotifera di dalam efluen mengindikasikan proses purifikasi aerobik biologis berjalan sangat efektif. 5. Algae Algae merupakan organisme yang dapat berfotosintesis, bersifat autotrof dan dapat bersel banyak atau bersel tunggal. Dua sifat algae yang penting mendapatkan perhatian dalam pengolahan limbah cair adalah : a) Algae mampu menghasilkan oksigen; b) Algae dapat mengurangi kadar nutrien (nitrogen dan phospor) dalam limbah cair sehingga keberadaannya dapat mengurangi kadar hara. Jenis bakteri yang berperan penting dalam proses pengolahan air limbah secara biologis seperti yang terdapat dalam tabel berikut. Tabel 10. Bakteri dan fungsinya Jenis bakteri Pseudomonas Zoogloea Bacillus Athrobacter Microthix Acinobacter Nitrosomonas Nitrobacter
Fungsi karbohidrat
Pengurangan dan denitrifikasi Produksi Lumpur dan pembentukan flok Degradasi protein Degradasi karbohidrat Degradasi lumut, pembentukan filamen Pengurangan phosfor Nitrifikasi Nitrifikasi
Sumber : Horan (1993)
23
Bakteri patogen yang banyak terdapat dalam usus manusia kurang banyak berperan dalam proses dekomposisi bahan organik yang terdapat di air limbah (Mara, 1976).
Keberadaan oksigen pada konsentrasi di atas normal akan berpengaruh
terhadap bakteri patogen ini, terutama yang bersifat anaerobik (Park et al., 1994). Hasil penelitian Halliwell dan Gutteridge (1984) menunjukkan bahwa pertumbuhan E. coli ternyata dapat dihambat dengan adanya paparan oksigen. Smith dan Wildener (1986 dalam Qasim, 1994) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa efisiensi dalam menurunkan kadar bahan organik dan NH4+ serta meningkatkan kadar hara nitrat (NO3-) dari proses pengolahan biologi sebagai berikut. Tabel 11. Rata-rata konsentrasi influen dan efluen dari proses penyisihan biologi Parameter Influen Efluen COD (mg/l) 1.170 155 TOC (mg/l) 380 60,3 + NH4 (mg/l) 300 <1 NO3 (mg/l) 0 175,3 Sumber : Smith dan Wildener (1986 dalam Qasim 1994)
2.4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan dari Limbah Cair Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai penyaring polutan dalam pengolahan limbah cair adalah zeolit. Sastiono (2004) mengemukakan bahwa zeolit merupakan kelompok senyawa berbagai jenis mineral alumino silikat hidrat dengan logam alkali yang terbentuk dari hasil sedimentasi abu vulkanik yang teralterasi. Zeolit memiliki sifat-sifat kimia dan fisik yang unik, seperti kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi (100 sampai 180 me/100 g) dan bersifat porous. Kerangka dasar struktur zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral AlO4 dan SiO4 yang saling berhubungan melalui atom O dan di dalam struktur tersebut Si 4+ dapat diganti dengan Al3+.
Ikatan ion Al-Si-O membentuk struktur kristal, sedangkan
logam alkali merupakan sumber kation yang mudah dipertukarkan (Sutarti dan Rachmawati, 1994). O
O
O
O
+
Si
Na Al
Si O
O
Si O
Si O
Gambar 5. Struktur rangka zeolit (Sutarti dan Rachmawati, 1994) 24
Menurut
Cotton
dan
Wilkinson
(1989),
keterbukaan
struktur
zeolit
menyebabkan terbentuknya saluran dan rongga dengan ukuran garis tengah yang berbeda-beda antara 2 - 11 Ao. Molekul dengan ukuran yang tepat dapat terperangkap dalam lubang. Sifat itulah yang memungkinkan zeolit digunakan sebagai adsorben yang selektif. Dalam keadaan hidrat, semua rongga mengandung molekul air, tetapi dalam keadaan anhidrat yang diperoleh dengan pemanasan dalam vakum, maka rongga yang sama dapat terisi oleh molekul lain. Molekul-molekul dalam rongga cenderung untuk tertahan dengan gaya elektrostatik van der waals. Gaya tersebut menyebabkan zeolit dapat mengadsorpsi (menjerap) dan menahan secara kuat molekul-molekul yang tepat dan cukup kecil untuk masuk ke dalam rongga. Droste (1997) mendefinisikan adsorpsi sebagai kemampuan menahan molekul-molekul (gasgas, ion, logam, molekul organik dan sebagainya) pada bagian permukaan suatu padatan sehingga terjadi perpindahan massa dari fase cairan atau gas kepada permukaan padatan. Kemampuan zeolit dalam mengadsorpsi sejumlah ion dan molekul yang terdapat dalam larutan maupun gas dimungkinkan oleh struktur mineral zeolit yang porous. Volume rongganya meliputi 20 – 50% dari luas permukaan bagian dalam, seluas ratusan ribu m2 kg-1. Rongga yang besar dan saluran dalam kristal zeolit diisi oleh air yang mengelilingi kation-kation dapat dipertukarkan. Molekul-molekul air tersebut dapat dikeluarkan dari saluran melalui pemanasan dengan temperatur sebesar 350oC. Molekul-molekul yang memiliki diameter lebih kecil dari diameter saluran masuk akan diadsorpsi ke bagian dalam rongga kristal, sementara molekul yang memiliki diameter lebih besar dari diameter saluran masuk tidak mampu dijerap oleh zeolit.
Kondisi ini memberikan sifat selektifitas molekul yang merupakan
karakteristik mineral zeolit (Ming dan Mumpton, 1989). Sifat zeolit yang penting lainnya adalah kemampuannya di dalam menukarkan kation. Kation-kation yang dapat dipertukarkan dari zeolit tidak terikat secara kuat di dalam kerangka tetrahedral zeolit sehingga dengan mudah akan dilepaskan ataupun dipertukarkan melalui pencucian dengan larutan kation-kation lain (Barrer dan Klinowski, 1972 dalam Sastiono, 1993).
25
Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses pertukaran ion, diantaranya (Montgomery, 1985) : 1. Ukuran partikel Laju proses difusi bertambah besar dengan berkurangnya ukuran partikel; tetapi berkurangnya ukuran partikel akan menambah head loss dalam kolom. Hasil penelitian Purwadio dan Masduqi (2004) menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel 40 mesh paling efektif dalam menurunkan Fe dalam air limbah, sedangkan Utami (2007) mendapatkan bahwa zeolit berukuran 10 – 20 mesh paling efektif dalam menurunkan kadar logam berat dalam air limbah. 2. Besar aliran (debit) Besar debit dalam kolom mempengaruhi kesetimbangan reaksi pertukaran ion yang terjadi. Untuk debit rendah, berarti waktu kontak menjadi lama sehingga keseimbangan reaksi pertukaran menjadi sempurna. Akibatnya semakin banyak ion-ion yang tertahan dalam media pertukaran dan memperbesar kapasitas operasi. 3. Konsentrasi larutan Kecepatan difusi akan bertambah jika konsentrasi ion dalam larutan meningkat. Bertambahnya konsentrasi larutan harus diimbangi dengan debit yang rendah untuk mendapatkan kapasitas operasi yang sama. 4. Tingkat regenerasi Tingkat regenerasi adalah banyaknya regenerant yang dipakai per volume media penukar. Semakin tinggi tingkat regenerasi akan semakin banyak ion penukar dalam media penukar yang dapat diregenerasi sehingga kapasitas penukaran akan meningkat. 5. Kedalaman kolom bed Pengaruh kedalaman bed kolom terkait dengan besarnya pemakaian media penukar ion dalam proses pertukaran ion. 6. Suhu Kecepatan reaksi pertukaran ion akan bertambah dengan bertambahnya suhu. Pada suhu yang lebih tinggi, difusi akan meningkat dan keaktifan ion-ion dalam larutan akan bertambah. 7. Ukuran pori-pori intra partikel Derajat ikatan silang mempengaruhi ukuran pori-pori intra partikel dalam media penukar ion. Hal ini akan mempengaruhi proses difusi partikel karena untuk derajat ikatan silang yang besar, ukuran pori-pori intra partikel akan lebih rapat. 26
Proses pertukaran ion dapat dilakukan dengan sistem fixed bed. Gambaran dari sistem tersebut sebagai berikut (Benefield et al 1982).
Gambar 6. Aliran melalui media berbutir (Fair et al., 1963) Pada sistim yang dikembangkan oleh Fair et al. (1963) seperti pada gambar di atas, air yang akan diolah dialirkan melalui kolom yang berisi media penukar ion. Proses pertukaran ion terjadi selama air kontak dengan media penukar yang aktif. Media penukar ion pada daerah di tempat air masuk akan lebih dahulu menjadi daerah tak aktif. Daerah aktif dalam kolom bergeser ke bawah selama reaksi berlangsung. Zeolit alam umumnya masih memiliki kemampuan yang rendah baik sebagai penjerap, penyaring molekul maupun sebagai penukar ion sehingga diperlukan proses aktivasi untuk meningkatkan mutu zeolit. Proses aktivasi yang paling sederhana dapat dilakukan melalui proses pemanasan. Aktivasi fisik melalui pemanasan bertujuan untuk meningkatkan keaktifan zeolit yang disebabkan oleh terbukanya pori-pori atau saluran pada kristal.
Kondisi ini
mengakibatkan interaksi spesies yang dijerap semakin besar. Jumlah air yang dapat dikeluarkan tergantung dari tingkat suhu maupun lamanya waktu pemanasan (Barrer, 1982). Husaini (1992) mengemukakan bahwa makin tinggi suhu pemanasan, maka luas permukaan spesifik zeolit makin tinggi dan jumlah air yang menguap makin banyak sehingga pori-pori zeolit yang bebas dari molekul air makin banyak pula. Menurut Anwar dan Darmawan (1985), adsorpsi maksimum terjadi pada pemanasan antara 110oC sampai 300oC. Hasil penelitian Husaini (1992) yang berkaitan dengan persentase ion tertukar antara zeolit tanpa aktivasi dengan zeolit yang diaktivasi dengan cara pemanasan seperti yang terdapat pada tabel berikut.
27
Tabel 12. Persentase logam berat tertukar dari zeolit tanpa aktivasi dan zeolit diaktivasi melalui pemanasan % Ion Tertukar
Kation Logam Berat Cu2+ Co2+ Zn2+ Cr3+ Mn2+ Fe3+ Pb2+
Tanpa Aktivasi 98,8 48,8 46,6 41,2 34,2 100 100
Pemanasan 99,2 44,2 70,9 44,6 35,6 100 100
Sumber : Husaini (1992)
Husaini (1992) mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwa aktivasi menyebabkan perbedaan selektivitas dalam pertukaran ion oleh zeolit. Urutan dari selektivitas tersebut sebagai berikut. Tabel 13. Urutan selektivitas kation berdasarkan perbedaan aktivasi Jenis Aktivasi Urutan Selektivitas Tanpa aktivasi Pb/Fe > Cu > Co > Zn > Cr > Mn Aktivasi Pemanasan
Pb/Fe > Cu > Zn > Co/Cr > Mn
Sumber : Husaini (1992)
Afinitas setiap jenis kation dalam proses perrtukaran ion adalah berbeda. Ion dengan valensi (muatan) lebih besar akan lebih mudah untuk dipertukarkan. Urutan kekuatan adsorpsi pada media penukar ion sebagai berikut (Komar, 1985): Fe3+ > Al3+ > Pb2+ > Cd2+ > Zn2+ > Cu2+ > Fe2+ > Mn2+ > Ca2+ > Mg2+ > K+ > NH4+ > H+ Zeolit dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair. Bahkan zeolit lebih mampu menyaring kotoran yang terdapat pada limbah cair dibanding pasir kuarsa disebabkan zeolit mempunyai pori-pori yang besar dan bentuknya tidak teratur sehingga dapat menangkap lumpur yang lebih banyak.
Menurut Sutarti dan
Rachmawati (1994), peranan zeolit pada air buangan kota dan air buangan industri untuk menjerap logam berat sehingga terjadi penurunan konsentrasi logam tersebut pada efluen sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Selain itu, kemampuan zeolit dalam memisahkan fitoplankton dan bakteri lebih baik dibanding penyaring kuarsa dan penggunaannya dapat lebih tahan lama. Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), jumlah E. coli dapat diturunkan melalui proses penyaringan dengan menggunakan zeolit.
Kemampuan zeolit dalam menurunkan beberapa parameter
pencemar yang diperoleh dari hasil penelitian Suganal et al., (1990) sebagai berikut.
28
Tabel 14. Kualitas keluaran pengolahan air buangan dengan menggunakan zeolit Bayah pada laju alir 22 liter per menit Konsentrasi Polutan Efluen No. Parameter Satuan Influen Setelah Kolom I Kolom II Regenerasi 1. pH 8,2 7,9 7,8 8,3 + 2. NH4 ppm 33,12 3,0 2,6 11,5 3. NO2 ppm 0,17 0,115 0,11 0,14 4. NO3 ppm 1,1 0,65 0,25 0,4 2+ 5. Ca ppm 38,48 42,0 48,0 28 + 6. Na ppm 88,0 180,0 140,0 170 2+ 7. Mg ppm 9,71 18,0 19,0 14 8. COD ppm 96,0 75,0 36,0 88,0 Sumber : Suganal et al. (1990)
Dari hasil penelitian Sastiono (1993), kemudahan permukaan zeolit dalam menukar ion tergantung dari : 1. Tenaga ikat ion terhadap kristal; 2. Konsentrasi ion yang ditukar dan besarnya kelarutan ; 3. Muatan ion yang ditukar; dan 4. Ukuran ion-ion. 2.5 Potensi Lindi menjadi Pupuk Cair Umumnya, pupuk organik cair yang beredar di pasaran merupakan hasil fermentasi dari bahan organik.
Jika ditinjau dari proses pembentukannya, lindi
dihasilkan dari proses pembilasan bahan yang melekat pada sampah. Sebagian besar dari bahan yang melekat pada sampah merupakan hasil dari fermentasi (perombakan) bahan sampah baik yang berupa jaringan tanaman maupun hewan yang ada di TPA. Kedua proses tersebut menghasilkan zat hara yang dibutuhkan tanaman. Beberapa hara dan bentuk yang dapat diambil tanaman dari tanah disajikan pada Tabel 15, sedangkan kisaran zat hara dalam lindi yang diperoleh dari beberapa hasil penelitian disajikan pada Tabel 16.
Sebagai pembanding, kadar hara dari
beberapa pupuk cair yang sudah beredar di pasaran yang juga dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik disajikan pada Tabel 17.
29
Tabel 15. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman Bentuk yang Diserap oleh Tanaman Jenis Unsur Simbol Hara Kation (+) Anion (-) + Nitrogen N NH4 NO3H2PO4-, HPO42-
Fosfor
P
-
Kalium
K
K+
Kalsium Magnesium
Ca
-
2+
-
2+
-
Ca
Mg
Mg
S
-
SO42-
Mn
Mn2+
-
B
-
BO32-
Molibdenum
Mo
-
MoO42-
Tembaga
Cu
Cu2+ atau Cu3+
Sulfur Mangan Boron
Seng Besi
Zn
Zn 2+
Fe
2+
-
3+
Fe atau Fe
-
Sumber : Novizan (2005)
Tabel 16. Kisaran zat hara yang terdapat pada lindi Pohland dan Lisk dalam Young Komponen Hara Harper et al., (1995) (1985) Nitrat (mg/l) 0 - 9,8 < 0,20 - 4,9 Fosfor (mg/l)
0 - 234
Kalium (mg/l)
0,16 - 3.370
Kalsium (mg/l)
< 0,02 - 3,4 20 - 50
600 - 1.750 2,6 - 3,0 950 - 970
165 - 1.150
650 - 900
12 - 480
450 - 650
0 - 1.850
55 - 456
110 - 700
0,05 - 1.400
0,32 - 26,5
tidak diteliti
Boron (mg/l)
0 - 0,413
tidak diteliti
tidak diteliti
Tembaga (mg/l)
0 - 9,9
< 0,01 - 0,15
tidak diteliti
Seng (mg/l)
0 - 1.000
< 0,05 - 0,95
tidak diteliti
Besi (mg/l)
0 - 42.000
Magnesium (mg/l) Sulfur (mg/l) Mangan (mg/l)
5 - 4.080
Widyatmoko dan Sintorini (2002)
115 - 600
0,09 - 380
30
tidak diteliti
Tabel 17. Nama beberapa pupuk cair, sumber, komposisi dan cara pemberiannya Nama Dagang
Sumber
Mukti Sari Asri (MSA)
Hasil fermentasi limbah alam, limbah ternak serta limbah tanaman.
Super Natural Nutrition (SNN)
Hasil fermentasi limbah hewan, tanaman dan alam.
Bayfolan
Larutan unsur hara. (pupuk anorganik)
Orgasol
Fermentasi dari bahan organik.
Komposisi N 5% PO4 2.250 ppm K 250 ppm Ca 1.000 ppm Mg 10 ppm Sedikit unsure Na, Fe, Cu, Mn,. Cl, B, Zn, Al dan S Ntotal 20% Ptotal 15% Ktotal 20% Organik padat 25% Organik cair 6% Air 12% N 11% P 8% K 6% Fe, Mg, B, Cu, Zn, Co, Mo N 8% P 2% K 5,8% Zat organik 31% Air 45%
Cara Pemberian
- Disiramkan ke media tanam. - Dosis 20 – 40 ml/m2 setiap 15 hari.
- Disiramkan ke media tanam. - Dosis 2 sdt/liter setiap 2,5 - 3 bulan sekali. - Disemprotkan ke daun. - Dosis 2 ml/l air (2 – 4 liter pupuk/ha) - Disemprotkan ke daun. - Dosis 4 ml/liter air. - Digunakan untuk anggrek
Sumber : Lingga dan Marsono (2005)
Jika ditinjau dari kuantitasnya, ada hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit seperti halnya logam mikro, tetapi ada juga hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang lebih banyak seperti halnya hara N, P dan K. Oleh karenanya, untuk menjadikan lindi menjadi pupuk cair perlu memperhatikan hal-hal tersebut. Menurut Hakim (1986), jumlah unsur hara mikro yang umum diberikan dalam bentuk pupuk daun seperti pada tabel berikut. Tabel 18. Konsentrasi umum larutan hara mikro untuk penyemprotan daun Senyawa Hara Tanaman Konsentrasi (%) Seng sulfat
0,2
Tembaga sulfat
0,2
Mangan sulfat
0,2
Besi sulfat
0,2
Borax
0,1
Asam molybdate
0,05
Sumber : Hakim (1986)
31
Unsur hara mikro (Cu, Mn, Zn dan Fe) umumnya sering berada dalam kekurangan sebagai akibat pertanaman yang intensif yang hanya dipupuk berat dengan
hara
makro
(Lingga
dan
Marsono,
2005).
Hardjowigeno
(2010)
mengemukakan bahwa unsur tersebut dapat berubah kelarutannya sebagai akibat berubahnya pH, sifat oksidasi atau reduksi. Apabila lindi akan dijadikan pupuk cair, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: (1) jumlah unsur yang dibutuhkan tanaman yang harus ada dalam pupuk, dan (2) jumlah unsur ikutan yang tidak diinginkan yang ada dalam pupuk cair yang dihasilkan. Persyaratan teknis minimal yang harus dipenuhi apabila lindi akan dijadikan pupuk cair sebagai berikut. Tabel 19. Persyaratan teknis minimal pupuk cair Pupuk Organik Cair Parameter
Persyaratan
C-organik C/N ratio Bahan Ikutan Kadar Air Logam Berat As Hg Pb Cd pH -
≥ 6% < 10 ppm < 1 ppm < 50 ppm < 10 ppm 4-8 -
Pupuk Anorganik Cair Pupuk Parameter Pupuk Majemuk Tunggal Ntotal ≥ 20% Total N, P2O5 dan P2O5 < 8% K2O ≥ 10% K2O < 15% Zn < 0,25%
B
Cu Mn Mo Co Biuret
-
0,125%
< 1% -
0,25% 0,25% 0,001% 0,0005% < 1%
Sumber: Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
2.6 Upaya Mengendapkan Logam Mikro melalui Penambahan Kapur atau KMnO4 maupun Proses Fisik Keberadaan logam mikro essensial di dalam lindi menunjukkan bahwa lindi mempunyai potensi untuk dijadikan bahan pupuk cair. Namun untuk mendapatkan jumlah logam yang lebih maksimal agar pupuk cair yang dihasilkan dapat lebih berdaya guna, perlu upaya melalui penambahan bahan yang mampu mengendapkan logam mikro agar logam mikro essensial yang masih terlarut dapat mengendap hingga akhirnya konsentrasinya menjadi lebih besar. 32
Menurut Waluyo (2005), logam terlarut dapat mengendap melalui peningkatan pH maupun proses oksidasi. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan pH adalah kapur dan bahan yang dapat mengoksidasikan logam mikro adalam KMnO 4. Asri (2009) mengemukakan bahwa tiap-tiap logam memiliki karakteristik pH optimum presipitasi (pengendapan) tersendiri, yaitu pH pada saat logam tersebut memiliki kelarutan minimum. Oleh karena itu, pada limbah yang mengandung beragam logam, presipitasi dapat dilakukan dengan perubahan pH sehingga pada pH tertentu logam yang diinginkan dapat mengendap. Logam dalam keadaan terlarut umumnya dapat dipresipitasikan dalam bentuk hidroksidanya. Menurut Asrie (2009), logam besi membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksidanya. Upaya untuk mempresipitasikan logam besi dapat dilakukan dengan menambahkan Ca(OH)2 agar besi dapat mengendap. Reaksi pengendapan besi sulfat digambarkan Asrie (2009) sebagai berikut: 2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + ½O2 ---- 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O Hasil penelitian Asrie (2009) didapatkan bahwa dalam upaya mengendapkan logam mikro, penggunan Ca(OH)2 lebih cepat dibanding NaOH. Di samping itu biaya operasional dari penggunaan Ca(OH)2 juga relatif lebih murah dibanding NaOH. Praswati et al. (2001) dalam Asrie (2009) mengemukakan bahwa variabel pH 4,6 hingga pH 8 tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap pengendapan logam Cu dan Fe. Hasil penelitiannya juga didapatkan bahwa penambahan Ca(OH)2 dengan waktu flokulasi 30 menit menyebabkan kelarutan crom (Cr) dan seng (Zn) secara teoritis minimum, masing-masing pada pH 7,5 dan 10,2 dan menunjukkan kenaikan yang signifikan dalam konsentrasi di atas atau di bawah pH tersebut.
Besarnya %
removal Fe pada pH 8, 9, 10, 11 dan 12 berturut-turut sebesar 99,82%, 99,91%, 99,924% dan 99,927%. Besarnya % removal masing-masing logam berbeda-beda. Hal ini terjadi karena kelarutan masing-masing logam berbeda-beda. Oleh karena itu, perlakuan pH untuk masing-masing logam tidak sama.
Reaksi antara Ca(OH)2
dengan beberapa logam seperti yang digambarkan Asrie (2009) sebagai berikut. Cu2+ Ni2+ Zn2+ Fe2+
+
Ca(OH)2
Cu(OH)2 ------> Ni(OH)2 Zn(OH)2 Fe(OH)2
33
+ Ca2+
Keefektifan dari suatu bahan pengendap baik kapur maupun bahan lainnya seperti FeCl3 dalam menurunkan bahan-bahan terlarut dapat ditunjukkan oleh nilai TDS yang terdapat air yang diolah.
Nilai TDS semakin rendah berarti bahan
pengendap tersebut semakin efektif dalam menurunkan bahan terlarut (Effendi, 2003). Pemberian FeCl3 sebesar 1000 ppm mampu menyebabkan nilai TDS terendah (Amuda, 2005). Oleh karenanya, pemberian bahan pengendap berupa kapur pada dosis tersebut juga diharapkan dapat memaksimalkan pengendapan padatan terlarut dalam air limbah. Selain melalui perubahan pH akibat penambahan kapur, pengendapan logam dalam air limbah juga dapat terjadi melalui proses oksidasi. Salah satu bahan oksidator yang digunakan untuk mengendapkan logam mikro adalah KMnO4. Harjadi (1993) mengemukakan bahwa kalium permanganat (KMnO4) dapat bereaksi dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari pH larutannya. Kekuatannya sebagai oksidator juga berbeda-beda sesuai dengan reaksi yang terjadi pada pH yang berbeda. Reaksi yang bermacam-macam ini disebabkan oleh keragaman valensi mangan dari 1 sampai dengan 7.
Menurut Waluyo (2005), pada proses pengolahan air bersih,
KMnO4 selain dapat digunakan untuk mengendapkan logam terlarut, juga dapat digunakan untuk menghilangkan bau/rasa dan membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan. Menurut Rismana (2002), penggunaan 0,02% KMnO4 dapat membunuh mikroorganisme yang terdapat dalam air dengan daya aksi dalam hitungan detik hingga menit. Upaya pengendapan logam mikro terlarut yang dilakukan dengan penambahan bahan dapat dimaksimalkan dengan proses fisik menggunakan alat diantaranya alat kocok (shaker) dan sentrifuge agar bahan yang ditambahkan ke larutan dapat bereaksi hingga logam mikro yang masih terlarut dapat membentuk endapan. Menurut Lahay (2004), alat kocok (shaker) digunakan untuk menghomogenkan 2 bahan yang dicampurkan agar membentuk endapan; sedangkan sentrifuge, menurut Anonim (2009) digunakan untuk memisahkan zat dari cairannya dengan cara pemutaran menggunakan kekuatan rotasi. Pemutaran dengan kecepatan tertentu dapat menyebabkan zat-zat yang terlarut mengendap. Kecepatan putar 60 – 100 rpm selama 1 – 3 menit mampu mengoptimalkan pengendapan logam terlarut.
34
2.7
Beberapa Logam Mikro yang terdapat pada Lindi dan Manfaatnya bagi Tanaman Beberapa logam terlarut yang terdapat dalam lindi yang juga terdapat dalam
pupuk cair komersial adalah Cu, Zn, Mn dan Fe. Karsono et al. (2004) mengemukakan manfaat dan pengaruh dari unsur-unsur tersebut pada pertumbuhan tanaman sebagai berikut. 1. Besi (Fe) Besi diperlukan untuk sintesis klorofil. Sebagai enzim, Fe akan mengaktivasi proses biokimia, misalnya respirasi, fotosintesis dan fiksasi nitrogen. Mobilitas Fe rendah, sehingga bila sudah berada di dalam suatu jaringan tanaman tidak dapat dibongkar untuk dipindahkan ke bagian lain.
Oleh karenanya, gejala
defisiensi seperti tulang daun tetap hijau, tetapi warna hijau di antara tulang daun memudar atau berwarna kekuningan akan mudah terlihat di pucuk daun; sedangkan gejala kelebihan Fe jarang terlihat. 2. Mangan (Mn) Unsur mangan merupakan aktivator untuk berbagai enzim lainnya. Mangan juga membantu Fe dalam pembentukan klorofil dan membantu produksi oksigen dari air ketika proses fotosintesis berlangsung. Defisiensi Mn menunjukkan gejala helaian daun menguning diantara tulang daun pucuk.
Daun tua berubah warna menjadi coklat, kemudian terjadi nekrotik
(bercak hitam karena kematian sel dan jaringannya) dan akhirnya rontok. Kelebihan Mn menunjukkan gejala klorosis, yakni warna daun berubah menjadi kuning, pembentukan klorofil tidak merata dan pertumbuhan terhambat. 3. Cuprum (Cu) Unsur Cu berperan sebagai aktivator enzim-enzim tertentu dan ikut dalam kegiatan fotosintesis. Jika kekurangan Cu, produksi protein juga akan terhambat. Gejala kekurangan Cu adalah pertumbuhan terhambat, tanaman kerdil, daun muda berwarna hijau gelap, terpelintir, berubah bentuk, muncul bintik-bintik nekrotik, mudah layu dan akhirnya pucuk daun kering dan mati.
Kelebihan Cu
menunjukkan gejala pertumbuhan tanaman terhambat yang diikuti dengan klorosis karena terdesaknya Fe oleh Cu yang berlebih. Gejala lainnya adalah tanaman kerdil, percabangan berkurang, akar menggelembung dan berwarna gelap.
35
4. Seng (Zn) Seng diperlukan untuk pembentukan hormon IAA dan mengaktivasi enzim-enzim tertentu. Defisiensi seng ditunjukkan oleh gejala memendeknya jarak antar ruas batang, ukuran daun mengecil, tepi daun sering bergelombang dan kadang-kadang terjadi klorosis di antara tulang daun. Kelebihan Zn ditandai oleh gejala klorosis karena terdesaknya Fe oleh Zn. 2.8 Pupuk dan Pemupukan Dalam pengertian sehari-hari, pupuk diartikan sebagai bahan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah, sedangkan pemupukan adalah penambahan bahan pupuk (zat hara) ke tanah agar tanah menjadi lebih subur (Hardjowigeno, 2010). Pemupukan akan menjadi efektif apabila persyaratan kualitatif dan kuantitatif telah terpenuhi.
Persyaratan kuantitatifnya adalah dosis pupuk, sedangkan
persyaratan kualitatif meliputi empat hal, yakni : (1) unsur hara yang diberikan dalam pemupukan harus relevan dengan masalah nutrisi yang ada, (2) waktu pemupukan dan penempatan pupuk yang tepat, dan (3) unsur hara yang berada pada waktu dan tempat yang tepat dapat diserap oleh tanaman (Indranada, 1994). 2.8.1 Jenis Unsur Hara yang Dibutuhkan Tanaman Keharusan untuk memupuk disebabkan tanaman memerlukan sejumlah unsur hara dalam takaran cukup, seimbang dan kontinyu untuk terus tumbuh, berkembang dan menyelesaikan daur hidupnya. Takaran dan jenis unsur hara yang dibutuhkan setiap jenis tanaman berbeda. Unsur hara yang dibutuhkan dalam takaran banyak disebut unsur hara makro, sedangkan unsur hara yang diperlukan dalam takaran sedikit disebut unsur hara mikro. Unsur hara makro terdiri dari : N, P, K, Ca, Mg, S. Unsur hara mikro, diantaranya: Cu, Zn, Mn, Fe (Poerwowidodo, 1992). 2.8.2 Jenis-Jenis Pupuk Cair Berdasarkan bahan bakunya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan dan pupuk alam. Pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat oleh industri atau pabrik, yang kadar haranya sengaja dibuat dalam jumlah tertentu, contohnya : urea, TSP, KCl dan sebagainya.
Pupuk alam adalah pupuk yang bahan bakunya berasal dari alam,
contohnya pupuk kandang, kompos dan sebagainya. Kadar hara dari pupuk alam terdapat secara alami, sedangkan pupuk buatan dibedakan menjadi pupuk tunggal dan pupuk majemuk (Hardjowigeno, 2010). 36
Berdasarkan cara aplikasinya, pupuk dibedakan menjadi pupuk akar dan pupuk daun.
Pupuk akar adalah semua jenis pupuk yang diberikan lewat akar dengan
maksud memperbaiki keadaan fisik, kimia dan biologi tanah supaya tumbuhan yang ditanam di atasnya tumbuh subur dan memberi hasil maksimal; sedangkan pupuk daun adalah pupuk yang diberikan ke tanaman dengan cara disemprotkan ke daun dan umumnya mengandung unsur hara mikro. Pemberian pupuk daun diharapkan dapat mengatasi kekurangan hara tersebut yang sering dialami pada tanaman dan menghindari tanah dari kerusakan. Kelebihan dari pemakaian pupuk daun adalah penyerapan haranya berjalan lebih cepat dibanding dengan pemberian yang dilakukan lewat akar. Dengan pemberian pupuk lewat daun diharapkan tanaman akan lebih cepat menumbuhkan tunas dan tidak merusak tanah. Oleh karenanya, pemupukan lewat daun dipandang lebih berhasil guna dibanding pemupukan lewat akar (Lingga dan Marsono, 2005). Berdasarkan bentuknya, pupuk ada yang berwujud cair dan padat. Bentuk padat dapat berupa kristal halus sampai berupa tepung, sedangkan pupuk yang berbentuk cair pemakaiannya cukup diencerkan saja hingga konsentrasi yang dianjurkan. Berdasarkan bahan bakunya, pupuk dapat dibedakan menjadi pupuk yang diramu dari zat kimia (bahan anorganik) dan ada pula yang bahannya diambil dari bahan organik. Pupuk berbahan organik merupakan hasil pelapukan tumbuhan atau hewan. Berdasarkan kadar haranya, pupuk dapat dibedakan menjadi pupuk yang berkadar hara makro atau mikro (Lingga dan Masono, 2005). Beberapa contoh dari pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya seperti yang terdapat pada Tabel 20.
37
Tabel 20. Beberapa contoh pupuk daun cair yang beredar di pasaran, komposisi, aplikasi dan manfaatnya Nama Dagang
Asri
BASF Foliar B
Biolan
Kandungan Unsur
Kepekatan Larutan
Keterangan
N, P, K, Mg, S, Fe, Zn, Cu, Mn, B, Mo, Co, Cl, Ca, Vitamin
2 ml/l air
- Pupuk anorganik makro dan mikro - Bentuk cair - Memperbesar buah - Memperbesar kerontokan - Diaplikasikan 7 – 10 hari sekali setelah muncul bunga
N 11% P 8% K 6% Fe, Mg, B, Cu, Zn, Co, Mo
2 ml/l air (2 – 4 liter pupuk/ha)
- Pupuk anorganik makro dan mikro - Bentuk cair - Untuk pertumbuhan vegetatif
3 ml/l air
- Pupuk anorganik makro dan mikro - Berbentuk cair - Mudah larut dalam air dan mudah diserap akar - Meningkatkan hasil serta mutu panen - Mempercepat Pertumbuhan tunas daun dan bunga - Meningkatkan daya tahan serangan hama - Memperkokoh batang - Dapat dicampur dengan pestisida
N 9 – 17,2% P2O5 9,5 – 18,2% K2O 9,7 – 11,5% S 1,9 – 2,2% Ca 0,7 – 0,8% Cu 210 – 230 ppm Zn 210 – 243 ppm Fe 52 – 67 ppm B 95 – 107 ppm Mn 40 – 95 ppm Mo 5 – 37 ppm
Sumber : Lingga dan Marsono (2005)
2.8.3 Dasar dalam Melakukan Pemupukan Dalam melakukan pemupukan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni (Hardjowigeno, 2010), yaitu: 1. Tanaman yang akan dipupuk. Sifat-sifat tanaman yang perlu diperhatikan dalam pemupukan meliputi : (a) penggunaan unsur hara oleh tanaman, dan (b) sifat-sifat akar. 2. Jenis tanah yang akan dipupuk. Kandungan unsur hara, kemasaman dan kemampuan dalam memfiksasi unsur hara yang diberikan pada masing-masing jenis tanah berbeda-beda sehingga kebutuhan pupuk untuk setiap jenis tanah juga berbeda.
38
3. Jenis pupuk yang digunakan. Tiap-tiap jenis pupuk mempunyai kandungan unsur hara, reaksi fisiologis, kelarutan, kecepatan bekerja yang berbeda-beda sehingga jumlah dan jenis pupuk yang diberikan serta cara dan waktu pemberiannya berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman atau jenis tanah. 4. Jumlah pupuk yang diberikan. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. 5. Waktu pemupukan Pupuk yang bekerjanya cepat diberikan setelah tanam dan diberikan sedikit demi sedikit dalam 2 atau 3 kali pemupukan karena pupuk ini mudah tercuci, sedangkan pupuk yang bekerjanya lambat diberikan sebelum tanam dan sekaligus. Untuk tanaman yang telah lama tumbuh diberikan setiap akan mulai kegiatan maksimum pertumbuhan. 6. Cara penempatan pupuk Pentingnya cara penempatan pupuk adalah agar dapat diambil tanaman lebih efisien, tidak merusak biji yang ditanam atau akar tanaman dan dalam penyediaan tenaga kerja menjadi lebih ekonomis. 2.8.4 Analisis Status Hara Upaya untuk menilai efektivitas dari pupuk yang diberikan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dapat dilakukan dengan mengevaluasi hasil percobaan di rumah kaca. Percobaan menggunakan tanaman tertentu sebagai indikator. Pada percobaan rumah kaca, bahan pupuk ditambahkan menurut jenis dan jumlah seperti yang direncanakan. Pertumbuhan atau produksi tanaman yang ada dapat diketahui kekurangan dan kebutuhan akan unsur hara dari tanah dan tanaman tersebut (Hardjowigeno, 2010). Menurut Nyakpa et al. (1985), salah satu keuntungan dari percobaan rumah kaca adalah mudah dalam melakukan pengulangan dan relatif murah. Kelemahannya terletak pada kondisi percobaan yang keadaan lingkungannya terkendalikan sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman indikator lebih baik.
39
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan rumah kaca SEAMEO Biotrop, serta Laboratorium Kimia Fisik Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan Juli 2006 sampai April 2007. Lindi yang diteliti diambil pada saat musim kemarau dari bak pengumpul di instalasi pengolah limbah (IPAL) yang ada di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Gunung Galuga milik Pemda Kota Bogor dengan menggunakan kantong plastik berukuran 60 x 90 cm (Gambar 7), untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dimasukkan pada drum-drum plastik untuk dilakukan beberapa percobaan.
Gambar 7. Kantong plastik berisi lindi yang akan diteliti 3.2 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan analisis pendahuluan pada lindi yang akan diolah, kemudian baru dilakukan beberapa percobaan. Ada tiga tahapan percobaan yang dilakukan, yakni: (1) pengolahan lindi melalui pemberian udara pada beberapa laju aerasi, dilanjutkan dengan melewatkan efluen yang memiliki kadar polutan terendah melalui zeolit pada 3 ukuran partikel yang berbeda, (2) pengolahan endapan hasil olahan aerasi yang mengandung hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) paling tinggi untuk
40
dijadikan pupuk cair, dan (3) mengaplikasikan pupuk cair terpilih sebagai pupuk daun pada pertanaman cabai (Capsicum annum).
Skenario penelitian ini disajikan pada
Gambar 8.
Lindi yang menjadi penyebab bau busuk (berasal dari NH3, H2S dan bahan organik terlarut): gangguan kesehatan akibat logam-logam terlarut, pencemaran badan-badan air dan tanaman yang ada di sekitar TPA sampah. Pengolahan aerasi untuk menurunkan polutan penyebab bau dan logam terlarut (penerapan 4 laju aerasi: 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). Analisis kadar logam mikro pada efluen bagian bawah (endapan)
Analisis kadar beberapa polutan yang masih tersisa pada efluen bagian atas
Pemekatan logam mikro melalui Penambahan kapur - 4 jenis kapur - 11 dosis - Proses fisik
Penyaringan dan penjerapan polutan yang masih tersisa menggunakan zeolit (ukuran partikel: 5 – 10, 10 – 20 dan 20 – 30 mesh)
Penambahan KMnO4 - 4 dosis KMnO4 - Penambahan kapur - Proses fisik
Analisis - 11 dosis - 11 dosis - Nilai TDS, Ca dan Mn pada sentrat. - Kadar logam mikro essensial dan non essensial
Analisis kadar polutan yang masih tersisa pada efluen
Bahan pupuk cair terpilih Pengkayaan (penambahan N, P, K 10%)
Analisis kadar polutan yang masih tersisa dengan baku mutu
Pengaplikasian pupuk cair dari lindi pada tanaman (percobaan rumah kaca) Analisis pertumbuhan/produksi tanaman dan analisis kadar logam berat pada buah
Rekomendasi Pengolahan yang menghasilkan pupuk cair yang memberikan pertumbuhan dan produksi tanaman tertinggi dan aman bagi kesehatan manusia
Pengolahan yang menghasilkan efluen rendah polutan
Gambar 8. Tahapan penelitian 41
Penelitian didahului dengan melakukan analisis pendahuluan pada lindi yakni analisis terhadap beberapa parameter yang terkait dengan penelitian sebelum lindi diberi perlakuan. Lindi yang diteliti diambil dari kolam penampungan terakhir sebelum lindi keluar menuju lingkungan. Secara visual, kondisi dari lindi di tempat asalnya sebelum dilakukan pengambilan sampel ditampilkan pada Gambar 9. Beberapa parameter yang diamati dalam analisis pendahuluan disajikan pada Tabel Lampiran 1.
Gambar 9. Kondisi lindi sebelum dilakukan pengambilan sampel Upaya menjadikan lindi menjadi efluen yang aman dialirkan ke lingkungan dilakukan melalui pengolahan tahap I dengan cara aerasi melalui pemberian udara pada laju yang tinggi dilanjutkan dengan pengolahan tahap II dengan melewatkan efluen hasil aerasi yang mengandung polutan terendah melaui zeolit agar polutan yang masih tersisa menjadi berkurang. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari masing-masing pengolahan tersebut diuraikan di bawah ini.
42
3.3
Pengolahan Tahap I (Pengolahan Aerasi melalui Pemberian Udara pada Laju yang Tinggi)
3.3.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah untuk: 1) mengkaji efektivitas berbagai laju aerasi dalam menurunkan polutan lindi (NH3, sulfida, Biologycal Oxygen Demand (BOD5), Chemical Oxygen Demand (COD), E. coli, Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), 2) mengkaji kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr serta bahan organik dalam endapannya, dan 3) mengkaji kesesuaian kadar polutan tersebut pada efluen berdasarkan baku mutu. 3.3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah lindi dari TPA sampah Galuga milik Pemda Kota Bogor, sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah drum plastik yang telah diberi 2 buah kran (kran atas 25 cm dari dasar drum dan kran bawah pada dasar drum), kompressor, nozzle, rotameter, total dissolve solute (TDS) meter dan pH meter.
Gambar10. Alat yang digunakan dalam penelitian 43
3.3.3 Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor. Faktor 1 (laju aerasi) terdiri dari : tanpa aerasi, Aerasi 10 liter/menit, Aerasi 30 liter/menit dan Aerasi 70 liter/menit dan faktor 2 (lama aerasi) terdiri dari 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 jam. Masing-masing dengan 2 ulangan. Parameter yang diukur pada jam ke 1 sampai jam ke 6 adalah dissolve oxygen (DO), nilai total dissolve solid (TDS), pH, BOD5 dan nilai mix liquid volatil Suspended solid (MLVSS). Selain itu juga dilakukan pengukuran terhadap COD, NH3, sulfida, NO3-, SO42-, PO43-,
E. coli
dan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr) di akhir jam ke 6. 3.3.4 Pelaksanaan Pada drum plastik seperti ditampilkan pada Gambar 10, dimasukkan lindi sebanyak 160 liter. Kemudian selama 6 jam, udara yang berasal dari kompressor dialirkan ke dalam drum melalui selang yang ujungnya diberi 3 buah nozzle (air stone) dengan tingkat laju aerasi sesuai perlakuan. Besarnya laju aerasi yang keluar dari kompressor diukur dengan menggunakan rotameter. 3.3.5 Analisis Data Parameter yang diukur pada efluen yang diambil dari kran atas, terdiri dari: nilai TDS, pH, BOD5, nilai MLVSS, COD, NH3, sulfida, NO3-, SO42-, PO43-, E. coli dan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr). Selain itu, beberapa logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dan logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) juga diukur pada efluen yang diambil dari kran bawah. Pengambilan sampel dari kran bawah dilakukan setelah efluen dari kran atas dikeluarkan semua. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. 3.3.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel 21.
44
Tabel 21. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pengolahan aerasi Parameter yang Waktu No. Metode Analisis diukur Pengamatan 1. Nilai TDS (ppm) SNI 06-2413-1991 Jam ke 1 s/d 6 2. pH SNI 06-2413-1991 Jam ke 1 s/d 6 3. BOD5 (ppm) SNI 06-2480-1991 Jam ke 1 s/d 6 4. DO (ppm) DO meter Jam ke 1 s/d 6 5. Nilai MLVSS Gravimetrik Jam ke 1 s/d 6 SNI 06-2480-1991 6. COD (ppm) Jam ke 6 7. NH3 (ppm) Spektrofotometrik (Nessler) Jam ke 6 8. Sulfida (ppm) Spektrofotometrik Jam ke 6 9. NO3 (ppm) SNI 06-2480-1991 Jam ke 6 310. PO4 (ppm) Stanus Klorida Jam ke 6 211. SO4 (ppm) Turbidimetri Jam ke 6 12. TSS Gravimetrik Jam ke 6 13. Cu (ppm) SNI 06-6989-6-2004 Jam ke 6 SNI 06-6989-7-2004 14. Zn (ppm) Jam ke 6 SNI 06-6989-5-2004 15. Mn (ppm) Jam ke 6 16. Fe (ppm) SNI 06-6989-4-2004 Jam ke 6 17. Pb (ppm) SNI 06-6989-8-2004 Jam ke 6 SNI 06-6989-16-2004 18. Cd (ppm) Jam ke 6 19. Cr (ppm) SNI 06-6989-17-2004 Jam ke 6 20. E. coli (MPN/100 ml) MPN Jam ke 6
3.4 Pengolahan Lanjutan terhadap Efluen Hasil Aerasi Menggunakan Zeolit sebagai Penjerap Polutan 3.4.1 Tujuan Percobaan ini ditujukan untuk mengkaji efektivitas masing-masing ukuran partikel zeolit dalam menurunkan polutan yang masih tersisa pada efluen hasil olahan aerasi. 3.4.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah efluen hasil olahan aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit yang diambil dari kran atas dan zeolit berukuran partikel 5 - 10 mesh, 10 - 20 mesh atau 20 - 30 mesh; sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah kolom yang terbuat dari botol plastik ukuran 1/2 liter (Gambar 11), buret untuk mengalirkan hasil olahan aerasi dengan kecepatan tetap, gelas piala untuk menampung efluen yang telah melewati zeolit dan tabung Imhoff padatan mengendap.
45
untuk mengukur
Gambar 11. Kolom yang berisi zeolit yang digunakan dalam penelitian 3.4.3
Rancangan Percobaan Rancangan
percobaan
yang
digunakan
dalam
percobaan
ini
adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor dengan 2 ulangan. Faktor 1 (ukuran partikel zeolit) terdiri dari: 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh, 20 – 30 mesh, dan faktor 2 (jumlah efluen yang dilewatkan) terdiri dari: penuangan 1 sampai ke 40 untuk pengamatan nilai TDS, penuangan 1 sampai ke 10 untuk pengamatan Total Suspended Solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Penuangan dilakukan melalui buret dengan volume 150 ml/penuangan. Pengukuran terhadap nilai BOD5, COD, NH3, sulfida, E. coli, Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr dilakukan pada efluen yang berasal dari penuangan ke 20. 3.4.4
Pelaksanaan Pertama, zeolit dari masing-masing ukuran partikel diaktivasi melalui cara
pemanasan pada suhu 200oC selama 2 jam. Setelah itu, 400 gram zeolit yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam kolom plastik. Kemudian dialirkan 150 ml efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui buret dengan kecepatan 300 ml/menit ke bagian atas zeolit tersebut. Efluen yang keluar dari zeolit ditampung pada gelas piala untuk dilakukan analisis terhadap beberapa parameter pencemar. Proses penuangan (pengaliran) tersebut dilanjutkan hingga volume yang dilewatkan melalui zeolit mencapai 6 liter dan pada efluen hasil penuangan ke 20 (saat nilai TDS terendah) dilakukan analisis terhadap beberapa parameter pencemar.
46
3.4.5 Analisis Data Analisis data dilakukan pada efluen terhadap nilai TDS hingga penuangan ke 40; analisis terhadap TSS dan padatan mengendap dilakukan pada efluen hingga penuangan ke 10; analisis terhadap nilai BOD5, COD, NH3, sulfida, E. coli dan beberapa logam terlarut (Cu, Fe, Mn, Zn, Pb, Cd, Cr) dilakukan pada efluen hasil penuangan ke 20 (saat nilai TDS mencapai nilai terendah). Selain itu juga dilakukan analisis terhadap KTK zeolit. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai rancangan percobaan yang digunakan. 3.4.6 Metode Analisis Metode yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Metode analisis yang digunakan pada percobaan penggunaan zeolit sebagai sebagai penjerap polutan Parameter Parameter No. Metode Analisis No. Metode Analisis yang diukur yang diukur Nilai TDS 1. SNI 06-2413-1991 9. Mn (ppm) SNI 06-6989-5-2004 (ppm) 2. pH SNI 06-2413-1991 10. Fe (ppm) SNI 06-6989-4-2004 3. BOD5 (ppm) SNI 06-2480-1991 11. Pb (ppm) SNI 06-6989-8-2004 4. COD (ppm) SNI 06-2480-1991 12. Cd (ppm) SNI 06-6989-16-2004 13. Cr (ppm) SNI 06-6989-17-2004 Spektrofotometrik 5. NH3 (ppm) (Nessler) MPN 14. E. coli SNI 06-2413-1991 6. Sulfida (ppm) Spektrofotometrik 15. TSS (ppm) 7. Cu (ppm) SNI 06-6989-6-2004 Padatan 16. Mengendap Volumetrik (ml/vol) SNI 06-6989-7-2004 8. Zn (ppm) 17. KTK SNI 13-3494-1994 3.5 Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan Kapur dan Proses Fisik Bahan dasar yang dijadikan pupuk cair adalah endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan melalui kran bawah. Endapan ini mengandung kadar logam mikro essensial Cu, Zn, Mn dan Fe paling maksimal. Pada endapan tersebut kemudian ditambahkan kapur yang dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) guna lebih memaksimalkan proses pengendapan logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) hingga menjadikan bahan ini lebih berpotensi sebagai sumber hara mikro bagi tanaman. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini. 47
3.5.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian kapur dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap nilai TDS, pH dan kadar Ca pada sentrat, 2) Mengkaji pengaruh pemberian kapur dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), kadar logam mikro
non
essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik pada endapan, 3) Mengkaji
kesesuaian kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dan non essensial (Pb, Cd dan Cr) dengan standar minimal pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian Tahun 2003, dan 4) Mengkaji pengaruh proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe), kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dan kadar bahan organik pada endapan. 3.5.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah endapan hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit dan 4 jenis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3, dolomit); sedangkan alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah gelas piala, alat pengaduk, sentrifuge, botol sentrifuge, botol berpenutup ukuran 1,5 liter, alat kocok dan pipet. 3.5.3 Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 3 faktor. Faktor 1 (jenis kapur), terdiri dari: CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan Dolomit. Faktor 2 (dosis kapur (w/v)) terdiri dari: 500 ppm, 750 ppm, 1000 ppm, 1250 ppm, 1500 ppm, 1750 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, 5000 ppm dan 6000 ppm. Faktor 3 (proses fisik dalam memaksimalkan proses pengendapan logam terlarut), terdiri dari: sentrifugasi dan pengocokan. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali. 3.5.4 Pelaksanaan Pada 2 (liter) efluen hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan dari kran bawah diberikan kapur dengan dosis sesuai perlakuan dan diaduk selama ± 1 menit. Kemudian bahan tersebut dibagi menjadi 2 bagian untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Sebagian diberi perlakuan sentrifugasi dan sebagian lagi diberi perlakuan pengocokan. Proses sentrifugasi dilakukan dengan cara memasukkan 50 ml lindi dalam botol sentrifuge, setelah itu baru dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit.
Sebelum memulai proses sentrifugasi pada tahap berikutnya, maka cairan
bening yang berada di atas endapan (sentrat) yang terdapat dalam botol sentrifuge yang 48
merupakan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu, baru kemudian pada botol sentrifuge yang berisi endapan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dimasukkan kembali lindi untuk disentrifugasi pada tahap kedua. Demikian seterusnya hingga jumlah lindi yang disentrifugasi mencapai 1 liter dan jumlah endapan yang terkumpul merupakan akumulasi dari proses sentrifugasi dari 1 liter lindi. Proses pengocokan dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter lindi ke dalam botol tertutup, kemudian baru dilakukan pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam. Setelah pengocokan selesai, maka botol tertutup didiamkan selama 1/2 jam, baru kemudian
cairan
di
bagian
atas
endapan
(sentrat)
dipisahkan
dengan
cara
mengeluarkannya melalui pipet hingga volume endapan yang tersisa kurang lebih sama dengan volume endapan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi yakni 150 ml untuk setiap liter lindi yang diproses. 3.5.5 Analisis Data Parameter yang diukur pada sentrat (cairan bening yang berada di bagian atas endapan), terdiri dari: nilai TDS, pH dan Ca; parameter yang diukur pada endapan yang berasal dari perlakuan pemberian kapur pada dosis terendah (500 ppm), dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah dan dosis tertinggi (6000 ppm), terdiri dari: logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik; dan pada endapan yang berasal dari perlakuan pemberian kapur pada dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah dilakukan pengukuran kadar hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S). Data dianalisis dengan anova sesuai rancangan percobaan yang digunakan. Nilai TDS merefleksikan besarnya kadar ion anorganik terlarut (Khoury et al., 2000). Nilai TDS juga dapat menjadi petunjuk keberadaan bahan organik yang terlarut di dalam lindi. Nilai TDS yang rendah menunjukkan kadar bahan tersebut rendah (Umar, Aziz dan Yusoff, 2010). Atas dasar ini maka nilai TDS terendah pada sentrat dijadikan dasar dalam menentukan pupuk cair terpilih dari perlakuan yang dicobakan. Diduga pada sentrat dengan nilai TDS terendah mengandung hara tanaman baik hara makro maupun hara mikro terendah hingga pada sentrat dari perlakuan ini menjadi bahan buangan yang aman apabila dibuang ke lingkungan sebagai produk sisa dari pengolahan lindi menjadi pupuk cair. Sebaliknya pada endapan dari perlakuan ini diharapkan mengandung hara tanaman dalam kondisi maksimal.
49
3.5.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini sebagai berikut. Tabel 23. Metode analisis yang digunakan pada percobaan pembuatan pupuk cair dari lindi Parameter Parameter No. yang Metode Analisis No. Metode Analisis yang diukur diukur SNI 06-6989-17Nilai TDS 9. Cr (ppm) SNI 06-2413-1991 1. (ppm) 2004 Bahan Organik Walkey & Black 2. pH SNI 06-2413-1991 10. (ppm) Kjeldahl 3. Cu (ppm) SNI 06-6989-6-2004 11. N (ppm) 4.
Zn (ppm)
SNI 06-6989-7-2004
12.
P (ppm)
Spektrofotometrik
5.
Mn (ppm)
SNI 06-6989-5-2004
13.
K (ppm)
Platefotometrik
6.
Fe (ppm)
SNI 06-6989-4-2004
14.
Ca (ppm)
AAS
7.
Pb (ppm)
SNI 06-6989-8-2004
15.
Mg (ppm)
AAS
8.
Cd (ppm)
SNI 06-6989-16-2004
16.
S (ppm)
Spektrofotometrik
3.6 Pengolahan Endapan Hasil Olahan Aerasi menjadi Bahan Pupuk Cair melalui Penambahan KMnO4 dan Proses Fisik Bahan dasar yang dijadikan pupuk cair adalah endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dikeluarkan melalui kran bawah. Endapan ini mengandung kadar logam mikro essensial Cu, Zn, Mn dan Fe paling maksimal. Pada endapan tersebut kemudian ditambahkan KMnO4 dengan atau tanpa kapur terpilih (CaO atau Ca(OH)2) yang dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) guna lebih memaksimalkan proses pengendapan logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) hingga menjadikan bahan ini lebih berpotensi sebagai sumber hara mikro bagi tanaman. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini.
50
3.6.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian KMnO4 dengan atau tanpa kapur dan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap nilai TDS, pH, Mn dan Ca pada sentrat, 2) Mengkaji pengaruh pemberian KMnO4 dengan atau tanpa kapur dan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), kadar logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik pada endapan, 3) Mengkaji kesesuaian kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe) dan logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) pada endapan dengan standar minimal pupuk yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian Tahun 2003, dan 4) Mengkaji kadar hara makro N, P, K, Ca, Mg, S, E. coli dan bahan organik pada endapan dari perlakuan terpilih yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca. 3.6.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah endapan hasil pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit, oksidator KMnO4 dan kapur (CaO atau Ca(OH)2); sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gelas piala, alat pengaduk, sentrifuge, botol sentrifuge, botol ukuran 1,5 liter berpenutup, alat kocok dan pipet. 3.6.3 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 3 faktor. Faktor 1 (dosis KMnO4), terdiri dari: tanpa KMnO4, KMnO4 0,01%, KMnO4 0,02%, KMnO4 0,03%. Faktor 2 (penambahan kapur), terdiri dari: tanpa kapur, penambahan 1000 ppm CaO dan penambahan 1000 ppm Ca(OH)2. Faktor 3 (proses fisik untuk memaksimalkan proses pengendapan logam terlarut), terdiri dari: sentrifugasi dan pengocokan. Masing-masing perlakuan diulang 2 kali. 3.6.4 Pelaksanaan Pada 2 liter endapan hasil olahan aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit diberikan bahan oksidator KMnO4 sesuai perlakuan (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa penambahan kapur (1000 ppm CaO atau 1000 ppmCa(OH)2), kemudian diaduk ± 1 menit. Setelah itu, pada bahan tersebut sebagian diberi perlakuan sentrifugasi dan sebagian lagi diberi perlakuan pengocokan.
51
Proses sentrifugasi dilakukan dengan cara memasukkan 50 ml lindi dalam botol sentrifuge, kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Sebelum memulai proses sentrifugasi pada tahap berikutnya, pada cairan bening yang berada di atas endapan (sentrat) yang terdapat dalam botol sentrifuge yang merupakan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian pada botol sentrifuge yang berisi endapan hasil proses sentrifugasi sebelumnya dimasukkan kembali lindi untuk disentrifugasi pada tahap kedua. Demikian seterusnya hingga jumlah lindi yang disentrifugasi mencapai 1 liter dan jumlah endapan yang terdapat pada botol sentrifuge merupakan akumulasi dari hasil proses sentrifugasi 1 liter lindi. Proses pengocokan dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter lindi ke dalam botol tertutup, kemudian dilakukan pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam. Setelah pengocokan selesai, maka botol tertutup didiamkan selama 1/2 jam, baru kemudian cairan di bagian atas (sentrat) dipisahkan dengan mengeluarkannya melalui pipet hingga volume endapan sama dengan volume endapan yang dihasilkan dari proses sentrifugasi, yakni 150 ml setiap 1 liter lindi yang diproses. 3.6.5 Analisis Data Pada sentrat, parameter yang diukur terdiri dari: nilai TDS, pH, Ca dan Mn; pada endapan dilakukan pengukuran terhadap kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn, Fe), logam mikro non essensial (Pb, Cd, Cr) dan bahan organik. Pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang menyebabkan nilai TDS terendah juga dilakukan pengukuran kadar hara makro N, P, K, Ca, Mg, S, E. coli dan bahan organik. 3.6.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti yang dilakukan pada percobaan ini sama seperti yang disajikan pada Tabel 23. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. 3.7 Percobaan Rumah Kaca Percobaan rumah kaca dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. Secara rinci, tujuan, bahan, alat, rancangan percobaan, pelaksanaan, analisis data dan metode analisis dari percobaan ini diuraikan di bawah ini.
52
3.7.1 Tujuan Tujuan dari percobaan ini adalah: 1) Mengkaji pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman; 2) Mengkaji kadar logam berat Pb, Cd dan Cr yang terdapat dalam buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi. 3.7.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari endapan lindi hasil proses aerasi pada laju aerasi 70 liter/menit dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO atau 0,01% KMnO4, 4 macam pupuk cair komersial sebagai pembanding (Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita), pupuk makro (urea, TSP dan KCl) untuk memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi, bibit cabai merah, tanah ultisol dan Dithane M45. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari polibag, media pertanaman, alat semprot, penggaris dan alat untuk penyiraman. 3.7.3 Rancangan Percobaan Upaya untuk membandingkan pengaruh antar pupuk cair yang digunakan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, maka rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah RAL 1 faktor dengan 2 ulangan. Secara rinci, perlakuan yang diujicobakan dalam percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Perlakuan percobaan rumah kaca No. Perlakuan
No.
1.
Kontrol
12.
2.
+ NPK
13.
3.
Lindi disentrifugasi
14.
4.
Lindi dikocok
15.
5.
Lindi disentrifugasi + NPK
16.
6.
Lindi dikocok + NPK
17.
7.
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
18.
8.
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi + NPK Lindi + 1000 ppm CaO dikocok + NPK Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
19.
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi + NPK Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok + NPK Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi + NPK Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok + NPK Alami
20.
Lauxin
21. 22.
Kontanik Petrovita
9. 10. 11.
Catatan : + NPK artinya pada pupuk cair berbahan dasar lindi diperkaya dengan 10% N, 10% P dan 10% K yang berasal dari urea, TSP dan KCl.
53
3.7.4
Pelaksanaan Bibit cabai merah disemaikan pada media persemaian. Setelah bibit tersebut
berumur 1 bulan, bibit dipindahkan ke dalam polibag yang berisi 5 kg tanah. Pemberian pupuk daun diberikan seminggu setelah bibit dipindahkan ke polibag. Dosis pupuk cair yang diberikan adalah 4 ml endapan lindi atau 4 ml dari pupuk cair komersial dijadikan 1 liter. Selanjutnya pupuk diberikan dengan cara disemprotkan ke daun (20 semprot/tanaman).
Pemupukan dilakukan setiap minggu. Pemeliharaan tanaman
dilakukan apabila diperlukan dengan menggunakan obat pembasmi hama dan penyakit (Dithane M45).
Pada saat tanaman berumur 18 minggu setelah tanam dilakukan
pengamatan terhadap tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah dan bobot buah serta kadar logam berat pada buah.
Gambar 12. Bibit cabai sesaat sebelum dipindahkan ke polibag 3.7.5
Analisis Data Beberapa parameter yang diamati pada tanaman terdiri dari : pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman dan bobot biomassa di atas tanah) dan produksi (jumlah buah dan bobot buah). Setelah selesai pertanaman diukur kadar Pb, Cd dan Cr pada buah. Data yang diperoleh dari percobaan ini dianalisis dengan anova sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. 54
3.7.6 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk mengukur parameter yang diteliti pada tahap percobaan ini disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Metode analisis yang digunakan pada percobaan rumah kaca No. Parameter yang diukur Metode Analisis 1.
Tinggi Tanaman (cm)
-
2.
Bobot Brangkasan (gr)
-
3.
Jumlah buah
-
4.
Bobot buah (gr)
-
5.
Pb (ppm)
Pengabuan kering/SNI 06-6989-8-2004
6.
Cd (ppm)
Pengabuan kering/SNI 06-6989-16-2004
7.
Cr (ppm)
Pengabuan kering/SNI 06-6989-17-2004
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat laju alir udara yang berbeda (0 liter/menit, 10 liter/menit, 30 liter/menit dan 70 liter/menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi yang berasal dari kran atas menunjukkan kualitas lebih baik dibanding sebelumnya. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan polutan dari lindi terjadi pada perlakuan
pemberian
udara pada
laju aerasi
70 liter/menit. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 2 - Tabel Lampiran 4. 4.1.1
Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD5, COD, E. coli, NH3 dan Sulfida Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini
efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 yang ada dalam lindi mengalami penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dari keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14.
Gambar 13. Fluktuasi nilai BOD5 pada 4 taraf laju aerasi 56
Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi (70 liter/menit) menyebabkan BOD5 mengalami penurunan yang drastis dan mencapai nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2. Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5, sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilainilai BOD5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD5 pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai BOD5 terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit (Gambar 14). Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju penurunan nilai BOD5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zatzat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan BOD5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat keberadaan oksigen.
Gambar 14. Efektivitas penurunan BOD5 (%) dari masing-masing laju aerasi
57
Perhitungan terhadap laju penguraian BOD5 pada empat taraf laju aerasi dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Laju penguraian BOD5 (k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan
lindi dengan
memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD5 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan 10 liter/menit. Laju penguraian BOD5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD5.
Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD5 (k)
tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar 0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara 0,05 – 0,3 per hari.
58
Laju penguraian BOD5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD5 dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni 0,4587 (Gambar 15).
Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam
Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi 70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD5 Nilai k Kriteria > 0,01 Cepat 0,005 - 0,01 Moderat < 0,005 Lambat Sumber : Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)
Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang biodegradable (BOD5). Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya, selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik (BOD5) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO2.
Pemanfaatan bahan organik dalam
limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi. Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada Gambar 16.
59
Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi 10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan nilai BOD5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme) dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD5). Informasi ini penting artinya dalam menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD5 saja yang menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif. Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam mendegradasi bahan pencemar yang biodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi
60
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO)) pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17).
Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit). Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non biodegradable (COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit) (Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Park et al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah.
61
Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6
Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6 Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan 62
sebagai
petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan
meningkatnya
laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit
selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml) (Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda nyata dibanding
perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan
0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009) yang mendapatkan bahwa E. coli dan Salmonella spp berkurang akibat proses aerasi. Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O2-) yang dalam air akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H2O2). H2O2 disamping sebagai oksidator kuat, juga mempunyai sifat desinfektan.
Gambar 20. Nilai E. coli pada jam ke 6
63
Gambar 21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6 Selain BOD5, COD dan E. coli sebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam lindi, maka NH3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH3 harus ditekan jumlahnya. NH3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH3 dapat berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clement et al., 1993). NH3 merupakan racun utama bagi kehidupan akuatik (Kurniawan et al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1 ppm, NH3 sudah dapat mematikan Ciprinus carpio (Hasan dan Machintosh, 1986). Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH3 dan sulfida sebagai akibat proses aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan efektifitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri yang memanfaatkan NH3 dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad (2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH3 dan sulfida menjadi nitrat dan sulfat.
64
Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH3 pada efluen yang dihasilkan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH3 yang masih ada. Salah satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH3 dapat dijerap karena menurut Sutarti dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH3.
Gambar 22. Kadar amoniak (NH3) pada jam ke 6
Gambar 23. Kadar sulfida pada jam ke 6 65
Gambar 24. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada jam ke 6 Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama (pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH3 dan sulfida pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH3 dan sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan NH3 dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH3 maupun sulfida menjadi nitrat dan sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah. Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH3) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat (SO42-) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat. Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH3 dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut: NH3 NH4+ 4FeS
+ 2O2
-------- NH4+ ------- 2H+
+ NO3-
+ 9O2 + 10H2O ------ 4Fe(OH)3
66
+ H2 O
+ SO42- + 8H+
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27).
Gambar 25. Kadar nitrat (NO3-) pada jam ke 6
Gambar 26. Kadar sulfat (SO42-) pada jam ke 6
67
Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6 Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahanbahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD5, COD, NH3 dan sulfida dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan pemberian udara pada laju yang lebih rendah. 4.1.2
Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solid (TDS), pH dan Logam Terlarut Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi
dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses (Khoury et al., 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju aerasi disajikan pada Gambar 28. 68
Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29).
Gambar 29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi 69
Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33).
Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6
Gambar 31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 70
Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6
Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 71
Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada jam ke 6 Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm) Jenis Logam 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c Zn
0,005a
0,016a
0,042a
0,380b
Mn
0,073a
0,962ab
2,22b
4,670c
Fe
1,215a
3,230a
6,135b
8,615b
Pb
0,002a
0,003a
0,005a
0,009a
Cd
0,006a
0,022ab
0,048b
0,080c
Cr
0,016a
0,063ab
0,120b
0,234c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi semakin besar (Tabel 27). Menurut Park et al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan suasana menjadi lebih oksidatif. Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap. Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut. 4Fe2+ + O2
+ 10H2O ----- 4Fe(OH)3(s) + 8H+
Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus ferroxidans. Selama proses aerasi berlangsung, pH juga terus mengalami peningkatan. Dari proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, pH tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34).
72
Gambar 34. pH tiap jam pada empat laju aerasi Peningkatan pH yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut. O2 + H2O ------ 2OHCO2 + OH- ----- HCO3HCO3- + OH- ----
CO32-
H2S + OH- ----- HS- + H2O Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pH pada lindi yang diproses. Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi pH yang lebih rendah, logam berada dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila pH mengalami kenaikan, maka logam terlarut akan bereaksi dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut. 4Fe(HCO3)2 + O2 + H2O 2Mn(HCO3)2
+ O2
----- 4 Fe(OH)3(s) + 8CO2
--- 2MnO2(s) + 4CO2 + 2H2O
73
Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan pH akibat aerasi dapat memberikan dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke lingkungan.
Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih
tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada Gambar 35.
70 l/mnt
30 l/mnt
10 l/mnt
0 l/mnt
Anaerobik
Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi 4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5 - 10 mesh, 10 - 20 mesh, 20 - 30 mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 6.
74
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di bawah ini. 4.2.1
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai
TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit (Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1 hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh menunjukkan nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran 20 – 30 mesh paling efektif dalam menurunkan polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37).
Gambar 36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 75
Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Zeolit ukuran kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) secara fisik kurang efektif dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan zeolit yang lebih halus (20 – 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) menjadi lebih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran lebih halus. Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh dalam menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh yang lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh (Tabel 28). Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion. Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g) 5 – 10 mesh
66,65a
10 – 20 mesh
100,15a
20 – 30 mesh
157,92b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
76
Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air.
Hal ini pula yang
menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) (Gambar 38).
Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Pada zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh, jumlah lindi yang dituangkan ke zeolit (150 ml) baru akan sama dengan jumlah efluen yang keluar melalui zeolit tersebut pada penuangan keempat. Pada zeolit berukuran partikel 10 – 20 mesh, jumlah efluen baru akan sama dengan jumlah lindi yang masuk ke media filter tersebut pada penuangan keenam, sedangkan pada zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, jumlah lindi yang masuk ke zeolit dan keluar sebagai efluen baru akan sama pada penuangan ketujuh. 77
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) nyata memiliki kemampuan menjerap air lebih tinggi dibanding zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh). Air dapat dijerap oleh zeolit dikarenakan zeolit memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi. 4.2.2
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH3, Sulfida, BOD5 dan COD Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan aerasi pada laju 70
liter/menit ternyata masih menyisakan NH3 sebesar 2,33 ppm dan sulfida 1,17 ppm pada efluennya. Namun setelah efluen tersebut dilewatkan melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda, ketiga efluennya menunjukkan kadar NH3 dan sulfida lebih rendah dibanding sebelum dilewatkan melalui zeolit (tanpa zeolit) (Gambar 39). Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menurunkan NH3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Adapun efektivitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 40.
Gambar 39. Kadar NH3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit Gambar 39 memperlihatkan bahwa kadar NH3 dan sulfida terendah terdapat pada efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, yakni 1,07 ppm dan 0,82 ppm; sedangkan Gambar 40 menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH3 dan sulfida yang tersisa, juga terdapat pada zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, yakni sebesar 53,73% dan 30,02%.
78
Gambar 40. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 mesh – 30 mesh) lebih mampu dan memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH3. Kemampuan ini juga berkaitan erat dengan kapasitas tukar kation (KTK) zeolit pada ukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar (10 – 20 mesh atau 5 – 10 mesh). Penjerapan NH3 oleh zeolit terjadi melalui proses pertukaran dengan ion yang dijerap sebelumnya. Di lain pihak, pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh, karena ukuran partikel pada zeolit tersebut lebih kecil dibanding zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh menyebabkan jumlah senyawa sulfida yang terperangkap dalam poripori zeolit tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar sulfida dalam efluen setelah melewati zeolit berukuran 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding kadar sulfida yang terdapat pada efluen yang melewati zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh.
Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan NH3,
Suyartono dan Husaini (1991) mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung NH3 sebesar 0,3 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, kadar NH3 berkurang menjadi 0,02 ppm. Disamping mempunyai kemampuan menurunkan NH3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit, zeolit ternyata juga mampu menurunkan BOD5 dan COD yang masih tersisa. Hal ini ditunjukan oleh nilai BOD5 dan COD pada efluen setelah dilewatkan pada zeolit dari ketiga ukuran 79
partikel lebih rendah dibanding sebelumnya (tanpa zeolit) (Gambar 41). Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) lebih mampu menurunkan nilai BOD5 dan COD yang masih tersisa dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar ( 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh). Demikian halnya dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dan COD yang masih tersisa, efektivitas tertinggi dalam menurunkan kedua bahan ini juga terjadi pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh yakni 47,96% dan 50,15% (Gambar 42). Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan COD, Suyartono dan Husaini (1991) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung COD sebesar 20,82 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, 10 hari dan 30 hari, kadar COD berkurang berturut-turut menjadi 10,62 ppm, 6,72 ppm dan 4,79 ppm.
Gambar 41. Kadar BOD5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit
80
Gambar 42. Efektivitas penurunan BOD5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit Kemampuan yang tinggi dari zeolit berukuran lebih halus dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar dalam menurunkan nilai BOD5 dan COD dari limbah cair berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih halus yang menyebabkan ukuran rongga menjadi lebih kecil dibanding partikel yang berukuran lebih kasar. Semakin kecil ukuran rongga, maka zeolit akan semakin mampu menyaring polutan yang lewat. Selain lebih mampu menurunkan NH3, sulfida, BOD5 dan COD; ternyata zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh juga lebih mampu menurunkan E. coli dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh seperti yang ditunjukan oleh data yang dihasilkan pada penelitian ini sebagai berikut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Husaini (1993) yang juga mendapatkan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan
46
45
39
E fe k tivita s P e n u ru n a n E . coli (% )
Nilai E. coli (MPN/10 ml)
E. coli dari limbah cair yang diproses.
35 30
32
20 25 Tanpa
5 – 10
zeolit
mesh
10 – 20 20 – 30 mesh
mesh
55
60
45 32,5 30
22,5
15
0 5 – 10 m esh 10 – 20 m esh 20 – 30 m esh
Penggunaan Zeolit
Penggunaan Zeolit
Gambar 43. Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit
Gambar 44. Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit 81
4.2.3
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan pH Kemampuan zeolit dalam menukar ion menyebabkan zeolit sering dimanfaatkan
dalam menurunkan bau yang disebabkan oleh amoniak (NH3) dan sulfida yang terdapat dalam limbah cair. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Zorpas et al. (2000), zeolit juga dapat menurunkan kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dalam air limbah. Sebagian dari logam-logam tersebut seperti Cu, Zn, Mn dan Fe merupakan hara mikro bagi tanaman. Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menjerap logam-logam tersebut yang masih ada pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit agar dihasilkan efluen yang lebih aman dialirkan ke lingkungan dengan jumlah logam terlarut yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa logam terlarut yang masih tersisa di dalam efluen hasil olahan aerasi dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam ternyata masih mampu diturunkan lagi dengan cara melewatkannya melalui zeolit. Kadar beberapa logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada masing-masing efluen setelah efluen tersebut melewati zeolit yang berbeda ukuran partikelnya disajikan pada Tabel 29, sedangkan efektivitas dari penurunan logam terlarut dari ketiga ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 45. Tabel 29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit Kadar logam terlarut pada efluen (ppm) Media Filter Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Tanpa zeolit
0,021a
0.070a
0,235a
2,380a
0,022a
0,030a
0,0410a
Zeolit 5 – 10 mesh
0,016a
0,057ab
0,177b
1,790ab
0,014ab
0,020b
0,0290b
Zeolit 10 – 20 mesh
0,014ab
0,048bc
0,156b
1,490bc
0,010b
0,014bc
0,0250bc
Zeolit 20 – 30 mesh
0,008b
0,034c
0,139b
0,850c
0,006b
0,010c
0,022c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Penggunaan zeolit sebagai penjerap logam menyebabkan kompleks jerapan dijenuhi oleh logam tersebut. Zeolit yang telah jenuh karena mengandung hara mikro dapat dijadikan bahan pembenah tanah. Hasil penelitian Suherman et al. (2005) menunjukkan bahwa penggunaan zeolit mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Khusus untuk zeolit yang telah digunakan pada proses penyaringan polutan lindi, karena mengandung logam berat lainnya, maka tidak disarankan untuk digunakan pada tanaman pangan.
Zeolit ini dapat dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan untuk meningkatkan
kesuburan tanaman-tanaman hias yang ada di sepanjang jalan-jalan kota. 82
Efe ktivita s Pe nuruna n Loga m M ikro (% )
72,92
75
66,52
64,47
64,19
65
56,67
55
51,55
52,91 46,24
45 35 25
40,96 33,18
33,74
31,46
24,51
23,57
37,32
36,25
38,88 34,82 29,07
24,76
19,24
15 Cu
Zn
Mn
Fe
Pb
Cd
Cr
Loga m M ikro 5 - 1 0 m e sh
1 0 - 2 0 m e sh
2 0 -3 0 m e sh
Gambar 45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ke 3 ukuran partikel zeolit Zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan logam terlarut. Hal ini berkaitan dengan KTK dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh yang lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) (Tabel 28). Semakin tinggi nilai KTK, semakin besar pula kemampuan zeolit dalam menjerap dan menukar ion. Ukuran partikel zeolit yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan pH pada efluennya. pH dari efluen yang telah melewati
zeolit lebih rendah dibanding pH
sebelumnya (Gambar 46). Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat terjadi pertukaran antara ion H+ yang ada pada zeolit dengan ion logam yang terdapat dalam lindi. pH dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding pH dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga akibat KTK pada zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Zeolit dengan KTK yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan H+ melalui proses pertukaran ion dibanding zeolit dengan KTK rendah. Semakin banyak H+ yang ditukar dengan logam-logam terlarut menyebabkan H+ semakin banyak pada efluen sehingga pH efluen semakin rendah.
83
Gambar 46. pH dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit 4.2.4
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap Selain kemampuan dalam menurunkan logam terlarut dan bahan organik dari lindi
yang diolah, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan ukuran partikel zeolit yang layak digunakan untuk menurunkan polutan yang masih tersisa dari lindi terolah adalah total suspended solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap yang terdapat pada efluen dari tiga ukuran partikel zeolit seperti yang terdapat pada Gambar 47 dan Gambar 49. Zeolit yang telah jenuh oleh polutan memiliki efektivitas yang rendah. Apabila zeolit ini akan digunakan kembali sebagai penjerap polutan, maka upaya untuk meningkatkan kapasitas penjerapan zeolit tersebut dapat dilakukan melalui proses regenerasi. Regenerasi secara fisik dapat dilakukan melalui pemanasan, namun hal ini hanya untuk menghilang air yang terjerap di dalam zeolit. Zeolit yang jenuh dengan polutan berupa logam yang terjerap dapat diregenerasi (dihilangkan polutannya) melalui cara kimia melalui penggunaan garam (NaCl), asam (H2SO4) atau basa (NaOH) untuk mengeluarkan polutan-polutan yang terjerap. Hasil penelitian Widianti (2007) didapatkan bahwa penggunaan 0,5 N NaCl; 0,2 N H2SO4 atau 0,2 N NaOH menunjukkan nilai KTK tertinggi.
84
E f e k tiv ita s P e n u r u n a n T S S (% )
Gambar 47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit
85
7 7 ,0 3
65 4 8 ,1 2
45 3 0 ,9 3
25 5 – 1 0 m e sh
1 0 – 2 0 m e sh
2 0 – 3 0 m e sh
P e n g g u n a a n Z e o lit
Gambar 48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit
85
Gambar 49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit TSS berkaitan dengan kekeruhan dan kekeruhan berkaitan dengan pencemaran pada badan-badan air penerima terutama berkaitan dengan kemampuan sinar matahari menembus ke bagian yang lebih bawah dari badan air. Semakin tinggi TSS, badan air akan semakin keruh dan hal ini dapat menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton. Apabila fotosintesis berkurang akan berakibat pada penurunan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan berakibat buruk bagi kehidupan biotik dalam badan air penerima. Jumlah padatan mengendap berkaitan dengan jumlah bahan-bahan yang mengendap yang terkandung dalam efluen yang dihasilkan. Jumlah padatan mengendap dapat berpengaruh buruk bagi badan air penerima karena berkaitan langsung dengan proses pendangkalan pada badan air penerima. Apabila terjadi pendangkalan pada badan air penerima berarti akan menambah biaya dalam pengelolaan badan air. Oleh karena itu, dalam pemilihan ukuran partikel zeolit yang akan digunakan dalam proses pengolahan lindi untuk menurunkan polutan yang masih tersisa, kedua hal ini juga perlu mendapatkan perhatian.
86
Hasil penelitian ini, seperti yang disajikan
pada Gambar 47 dan Gambar 49
menunjukkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan melalui zeolit berukuran 5 – 10 mesh dan 10 – 20 mesh lebih tinggi dibanding nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan pada zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh. TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang telah melewati zeolit berkaitan dengan ukuran partikel zeolit karena ukuran partikel zeolit berpengaruh terhadap ukuran rongga, selanjutnya ukuran rongga berkaitan langsung dengan kemampuan zeolit dalam melewatkan bahan padatan yang berukuran sangat halus yang menempel pada partikel zeolit sebagai akibat proses penggerusan saat pembuatan partikel pada ukuran yang diinginkan. mesh atau 10 – 20 mesh)
Zeolit yang berukuran lebih kasar (5 – 10
memiliki rongga yang
lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh. Oleh karenanya, kemampuan melewatkan bahan padatan dari zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh
lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh. 4.2.5
Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II Sebagai akibat perbedaan kemampuan dalam menurunkan polutan dari ketiga
ukuran partikel zeolit menyebabkan perbedaan visual dari efluennya. Secara visual, efluen yang dilewatkan pada masing-masing ukuran partikel zeolit ditampilkan pada Gambar 50.
Efluen dari zeolit 5 – 10 mesh
Efluen dari zeolit 10 – 20 mesh
Efluen dari zeolit 20 – 30 mesh
Gambar 50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 87
Gambar 50 menunjukkan bahwa efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh lebih cerah dibanding efluen dari zeolit berukuran partikel lebih kasar. Perbedaan warna dari ketiga efluen tersebut berkaitan dengan kandungan polutan yang masih tersisa. Oleh karena zeolit dengan ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih mampu menurunkan beberapa parameter pencemar seperti NH3, sulfida, BOD5, COD, logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), TSS dan padatan mengendap maka zeolit dengan ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih layak digunakan dalam pengolahan lanjutan dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. 4.2.6
Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan Efektivitas penurunan polutan dari pengolahan 1 tahap (pengolahan aerasi pada laju
0, 10, 30 atau 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit berukuran 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh) serta kadar beberapa parameter pencemar yang terdapat pada efluen dari masing-masing pengolahan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap I (%) * Polutan
Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap II (%) ** 5 - 10 10 - 20 20 - 30 mesh mesh mesh
0 l/mnt
10 l/mnt
30 l/mnt
70 l/mnt
BOD5
3,87a
29,98b
70,32c
74,63c
8,15a
17,92a
47,96b
COD
2,11a
14,63a
50,71b
15,27a
30,09ab
50,15b
NH3
-1,67a
24,38b
60,93c
74,53c 66,60c
14,22a
40,95b
53,73b
Sulfida
-2,20a
23,24b
55,51c
74,67c
8,85a
13,31a
30,02b
TDS
-0,31a
3,82b
6,25b
12,83c
14,04a
17,89a
30,70b
Cu
2,38a
9,76b
29,27c
48,78d
23,81a
33,33a
61,90b
Zn
1,12a
10,23b
17,05c
20,45c
19,24a
31,46ab
51,55b
Mn
0,13a
14,07b
28,39c
70,22d
24,51a
33,74ab
40,96b
Fe
0,03a
11,07b
26,00c
38,74d
24,76a
37,32b
64,47c
Pb
1,87a
3,62b
3,85b
15,38c
36,25a
56,67b
72,92c
Cd
0,76a
20,00b
40,00c
53,85c
34,82a
52,91ab
66,52b
Cr
0,56a
19,10b
38,20c
53,93d
29,07a
38,88ab
46,24b
E. coli
-7,29a
14,59b
42,02c
66,49d
22,50a
32,50ab
55,00b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris berdasarkan pengolahan tahap 1 atau pengolahan tahap 2 tidak berbeda nyata pada taraf 1%. * Efektivitas pengolahan tahap I (pemberian udara (aerasi) pada laju 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). ** Efektivitas pengolahan tahap II (pengolahan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada ukuran partikel 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh)).
88
Tabel 31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan Pada Efluen Hasil Olahan 1 Tahap *
Pada Efluen Hasil Olahan 2 Tahap **
Nilai
Nilai
Gol. A
Gol. B
Gol. C
Gol. D
pH
9,05a
8,25a
6-9
6-9
6-9
6-9
DO (ppm)
10,2a
9,2a
6
4
3
0
BOD5 (ppm)
80,76a
41,74b
2
3
6
12
COD (ppm)
166,15a
82,56b
10
25
50
100
E. coli (MPN/100 ml)
450a
200b
1000
5000
10000
10000
NH3 (ppm)
2,33a
1,07b
0,5
-
-
-
Sulfida (ppm)
1,17a
0,82b
0,002
0,002
0,002
-
TDS (ppm)
2850a
1975b
1000
1000
1000
2000
TSS (ppm)
128,8a
37,90b
50
50
400
400
2,45a
0,2b
-
-
-
-
Cu (ppm)
0,021a
0,008b
0,02
0,02
0,02
0,2
Zn (ppm)
0,070a
0,034b
0,05
0,05
0,05
2
Mn (ppm)
0,235a
0,139b
1
-
-
-
Fe (ppm)
2,380a
0,850b
0,3
-
-
-
Pb (ppm)
0,022a
0,006b
0,03
0,03
0,03
1
Cd (ppm)
0,030a
0,010b
0,01
0,01
0,01
0,01
Cr (ppm)
0,041a
0,022b
0,05
0,05
0,05
0,01
Parameter Pencemar
Baku Mutu***
Padatan Mengendap (ml/150ml)
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 1%.. * Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit. ** Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh. *** Baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001.
Tabel 31 menunjukkan bahwa kadar
polutan pada efluen hasil pengolahan 2
tahap dengan memberikan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang memiliki ukuran partikel 20 – 30 mesh nyata lebih rendah dibanding kadar polutan pada efluen hasil pengolahan hanya dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lanjutan dengan menggunakan zeolit efektif dalam menurunkan polutan yang masih tersisa. 89
Beberapa parameter pencemar yang masih di atas baku mutu untuk golongan D (pertanian), meskipun efluen tersebut telah diolah dengan cara aerasi pada laju 70 liter/menit adalah BOD, COD, nilai TDS, TSS, Cu, Cd dan Cr. Parameter yang dapat diturunkan lagi hingga di bawah baku mutu melalui pengolahan tahap II dengan cara melewatkan efluen tersebut melalu zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh adalah COD, nilai TDS, Cu dan Cd. Pengolahan yang disarankan untuk mendapatkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan adalah melalui pengolahan dua tahap, yakni pada tahap pertama pengolahan dilakukan melalui pemberian udara dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam yang dilanjutkan dengan pengolahan tahap kedua dengan cara melewatkannya melalui zeolit berukuran 20 - 30 mesh.
Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan menurunkan
sejumlah polutan dari pengolahan dua tahap lebih tinggi dibanding pengolahan satu tahap yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter pencemar yang lebih rendah dibanding pengolahan satu tahap.
90
4.3
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian empat jenis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit)
pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000 dan 6000 ppm) untuk menjadikan endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit sebagai bahan pupuk cair memberikan hasil yang berbeda. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan ini disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada 11 dosis yang berbeda dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) ternyata menyebabkan perbedaan pada beberapa parameter kimia (nilai TDS, pH dan Ca2+) pada sentrat dan kadar beberapa logam mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) maupun bahan organik pada endapan. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian kapur jenis CaO dan Ca(OH)2 menyebabkan perubahan terhadap nilai TDS, pH dan Ca2+ dengan pola perubahan yang serupa. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan yang disebabkan oleh pemberian kapur jenis CaCO3 dan dolomit. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda ternyata juga berpengaruh terhadap jumlah logam mikro dan bahan organik yang dapat diendapkan. Beberapa logam mikro dalam endapan mengalami penurunan dan beberapa logam mikro lainnya justru mengalami peningkatan bila dosis kapur yang diberikan makin ditingkatkan; sedangkan jumlah bahan organik yang dapat diendapkan ternyata makin meningkat bila dosis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit) yang diberikan makin tinggi. Secara rinci, nilai dari masing-masing parameter tersebut akan diuraikan di bawah ini. 4.3.1 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, pH, dan Kadar Ca2+ pada Sentrat Hasil percobaan mendapatkan bahwa pemberian kapur yang berbeda pada lindi yang akan dijadikan bahan pupuk cair ternyata menyebabkan perbedaan nilai TDS pada sentrat. Secara rinci, nilai TDS pada sentrat dari masing-masing dosis kapur disajikan pada Tabel 32.
91
Tabel 32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 3000 4000 5000 6000
CaO 2765 bc 2695 abc 2467,5 a 2642,5 ab 2905 c 3347,5 d 3702,5 e 5662,5 f 6900 g 7710 h 8287,5 i
Ca(OH)2 2785 b 2700 b 2442,5 a 2617,5 ab 2755 b 3082,5 c 3662,5 d 4785 e 5977,5 f 7095 g 7352,5 h
CaCO3 2912,5 a 2860 a 2797,5 a 2785 a 2752,5 a 2725 a 2685 a 2680 a 2670 a 2670 a 2690 a
Dolomit 2895 a 2932,5 ab 2942,5 ab 2957,5 ab 2962,5 ab 2967,5 ab 2980 ab 3072,5 abc 3205 bc 3325 cd 3497,5 d
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Tabel 32 maupun Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa nilai TDS pada sentrat akibat pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis rendah (500 ppm hingga dosis kurang dari 1000 ppm) mengalami penurunan dan mencapai minimum pada dosis 1000 ppm; sedangkan pada dosis lebih dari 1000 ppm, nilai TDS mengalami peningkatan yang tajam sejalan dengan dosis CaO atau Ca(OH)2 yang makin meningkat. Sejalan dengan penelitian ini, Amuda (2005) yang menggunakan bahan kimia FeCl3 sebagai bahan untuk mengendapkan bahan terlarut dari lindi TPA sampah mendapatkan bahwa penggunaan FeCl3 pada dosis 1000 ppm juga menyebabkan penurunan polutan yang maksimal yang ditunjukkan oleh nilai TDS pada lindi yang diproses menunjukkan nilai terendah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada pemberian FeCl3 di atas 1500 ppm mulai terjadi peningkatan garam besi dalam larutan yang ditunjukan oleh peningkatan nilai TDS pada lindi yang diproses. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan pemberian
CaO dan
Ca(OH)2 terdapat kemiripan pola dalam perubahan nilai TDS pada sentrat.
Pola
perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan dari perlakuan kapur jenis CaCO3 maupun dolomit. Gambar 51 hingga Gambar 56 menunjukkan bahwa perubahan nilai TDS, Ca2+ bahkan pH dari perlakuan CaCO3 maupun dolomit tidak sebesar perubahan pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan sifat kapur tersebut.
92
Tabel 32, Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa penggunaan kapur jenis CaCO3 atau dolomit pada dosis 500 ppm hingga 6000 ppm tidak mengakibatkan penurunan yang berarti terhadap nilai TDS pada sentrat.
Nilai TDS dari perlakuan
CaCO3 berangsur-angsur menurun dan mencapai minimum (2670 ppm) pada dosis 4000 ppm hingga 5000 ppm. Nilai TDS minimum dari perlakuan pemberian CaCO3 tersebut masih berada di atas nilai TDS minimum (2467,5 ppm dan 2442,5 ppm) dari perlakuan
pemberian
1000 ppm
CaO dan Ca(OH)2. Nilai TDS pada sentrat dari
perlakuan pemberian CaCO3 pada dosis di atas 5000 ppm baru menunjukkan peningkatan. Sebaliknya, pada pemberian dolomit, nilai TDS pada sentrat justru terus mengalami peningkatan secara berangsur mulai dari dosis 500 ppm hingga 6000 ppm.
Gambar 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)
93
Gambar 52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Nilai pH dari perlakuan pemberian CaCO3 ternyata juga mengalami peningkatan secara berangsur dengan peningkatan pH yang jauh lebih rendah dari peningkatan pH dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 55 dan Gambar 56). Demikian juga halnya dengan pH dari perlakuan pemberian dolomit yang juga mengalami peningkatan secara berangsur apabila dosis pemberiannya makin ditingkatkan. Perbedaan pola perubahan nilai TDS dan pH berkaitan dengan reaksi yang terjadi dalam lindi akibat pemberian jenis dan dosis kapur yang berbeda. Pada perlakuan CaO, setelah bahan tersebut dicampur dengan lindi maka CaO akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam lindi, kemudian terurai membentuk ion-ion. Menurut Manahan (2005), reaksi CaO dalam air sebagai berikut. CaO + H2O -------> Ca(OH)2 Kemudian Ca(OH)2 dalam air akan berubah menjadi ion Ca2+ dan OH- sebagai berikut. Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OH-
94
Demikian juga pada perlakuan pemberian kapur jenis Ca(OH)2 dalam air, Ca(OH)2 akan langsung bereaksi sebagai berikut (Manahan, 2005). Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OHBerdasarkan reaksi
seperti
yang
digambarkan di atas, pemberian CaO atau
Ca(OH)2 ke dalam lindi akan menghasilkan bahan yang sama berupa Ca2+ dan OH-. Kedua bahan tersebut (Ca2+ dan OH-) selanjutnya juga dapat mempengaruhi bahan lain yang terlarut yang terdapat dalam lindi berupa koloid. Muatan negatif pada koloid
baik
logam-logam
koloid
organik
terlarut
maupun
maupun
koloid -
anorganik yang terdapat dalam lindi makin meningkat bila konsentrasi OH makin meningkat. Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2010), muatan negatif dari koloid dapat meningkat sebagai akibat terjadi disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal seperti gambar berikut.
OH
+
OH-
------>
O-
+
H2O
Pada pH rendah (masam), H+ terikat erat. Namun bila pH naik, maka H+ menjadi mudah lepas mengakibatkan muatan negatif dari koloid menjadi meningkat. Muatan ini disebut muatan tergantung pH. Pada koloid organik, sumber muatan negatif terutama berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus phenol (-OH). Muatan tersebut adalah muatan tergantung pH, artinya dalam keadaan masam, H+ dipegang kuat oleh gugus karboksil atau phenol. Menurut Hardjowigeno (2010), ikatan H+ pada gugus karboksil atau phenol menjadi berkurang bila pH menjadi lebih tinggi. Ikatan yang lemah tersebut memudahkan terjadi disosiasi H+ yang menyebabkan H+ terlepas hingga pada gugus tersebut menjadi bermuatan negatif. Makin tinggi pH, makin tinggi pula disosiasi H+ menyebabkan muatan negatif pada koloid menjadi makin tinggi. Muatan negatif yang terbentuk dapat menyebabkan terjadi interaksi antara koloid dengan logam yang terlarut termasuk dengan Ca2+, baik Ca2+ yang berasal dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari penambahan kapur. Hasil interaksi antara muatan positif dari logam terlarut dengan muatan negatif dari koloid membentuk senyawa kompleks berbentuk flok yang mudah untuk diendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Hasil penelitian Harmsen (1983) menunjukkan bahwa pada pH tinggi, logam terlarut menjadi berkurang 95
karena membentuk komplek dengan asam humik. Berdasarkan hasil penelitian Umar, Aziz dan Yusoff (2010), pada pH sedikit di atas netral, 30 – 100% Cu dan 0 – 95% Zn umumnya berada dalam kondisi berikatan dengan koloid. Menurut Vigneault dan Campbell (2005), hal ini dapat menurunkan toksisitas lindi yang diproses akibat logam terlarut berkurang. Pembentukan flok yang mudah mengendap antara Ca atau logam terlarut dengan koloid menyebabkan kadar Ca2+ maupun logam-logam terlarut lainnya menjadi makin menurun dalam sentrat. Ca2+ maupun logam terlarut lainnya merupakan bahan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS.
Apabila bahan-bahan tersebut berkurang
mengakibatkan nilai TDS menurun hingga sentrat lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Gambaran dari reaksi pengikatan antara koloid organik dengan koloid anorganik yang dijembatani oleh Ca2+ seperti yang dikemukakan oleh Peterson (1947) dalam Supardi (1988) sebagai berikut. --------- liat – Ca – OOC – R – COO – Ca – liat --------Gambaran ikatan kompleks antara liat dan liat dengan Ca sebagai penghubung seperti yang dikemukakan oleh Foth (1978) sebagai berikut.
Permukaan Liat
-
+ Ca +
- Permukaan Liat
+ Ca +
-
Permukaan Liat
Penurunan nilai TDS pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah Ca2+ dan logam-logam terlarut lainnya sebagai akibat terjadi pengikatan logam tersebut oleh koloid yang membentuk endapan. Penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut juga dapat disebabkan oleh penurunan jumlah logam terlarut akibat terjadi reaksi antara logam terlarut dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah. Sebagai contoh, gambaran dari reaksi pembentukan senyawa hidroksida logam seperti yang dikemukakan oleh Mohajit (2001) sebagai berikut. Fe 3+ + 3OH- -------> Cr3+
+ 3OH-
-------->
96
Fe(OH)3 (s) Cr(OH)3 (s)
Pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2, bila dosis pemberian kapur tersebut terus ditingkatkan ternyata menyebabkan pH juga mengalami peningkatan, melebihi peningkatan pH dari perlakuan CaCO3 dan dolomit (Gambar 55 dan Gambar 56). pH yang makin meningkat menggambarkan konsentrasi OH- juga makin meningkat. Namun pada konsentrasi OH- yang makin tinggi, menurut Davis dan Masten (2004) justru dapat menyebabkan pembentukan senyawa baru antara logam terlarut dan OH- berlebih yang ada dalam larutan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) lebih tinggi dibanding sebelumnya. Proses ini menyebabkan jumlah padatan terlarut pada sentrat akan mengalami peningkatan kembali. Davis dan Masten (2004) mengemukakan bahwa pada pH di atas netral hingga ± pH 9, logam-logam terlarut seperti Cu, Zn dan Pb memiliki solubilitas yang minimum dan akan membentuk endapan dalam bentuk senyawa hidroksida. Namun pada pH > 9, ketiga logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang mudah larut (Gambar 64). Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan dosis 1000 ppm, pH mencapai 10,35 hingga 10,55 (Tabel 33) dan pada pH tersebut nilai TDS pada sentrat mencapai minimum. Pada kondisi ini, meskipun ada beberapa logam mikro terlarut yang mengalami pelarutan kembali seperti Cu, Zn, Pb dan Cd, namun ada pula logam mikro lainnya yang masih mengalami pengendapan seperti Mn, Fe dan Cr. Pada pH tersebut jumlah padatan terlarut pada sentrat mencapai minimum sebagai akibat logam-logam terlarut yang berinteraksi dengan OH- atau berinteraksi dengan koloid membentuk senyawa yang mudah mengendap berada dalam jumlah yang lebih banyak dibanding logam-logam terlarut lainnya yang melarut kembali karena membentuk senyawa komplek dengan OH- yang berlebih. Kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan dosis 1500 ppm menunjukkan nilai yang paling minimum (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm menyebabkan muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur maksimal dalam mengikat Ca2+ baik yang berasal dari lindi maupun kapur. Apabila dari kedua
dosis
pemberian
jenis kapur tersebut terus ditingkatkan (di atas 1500 ppm) sementara
volume lindi tetap, Ca2+ pada sentrat mulai mengalami peningkatan. Diduga pada dosis > 1500 ppm, jumlah muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur kurang dari jumlah Ca2+ yang ada pada larutan menyebabkan ada Ca2+ yang tidak diikat dan tetap berada dalam bentuk terlarut.
97
Kelebihan Ca2+ tersebut menjadi salah satu bahan padatan terlarut yang sulit terendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Kelebihan Ca2+ tersebut dapat mempengaruhi nilai TDS pada sentrat.
Gambar 53. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)
Gambar 54. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) 98
Kemiripan pola perubahan nilai TDS, kadar Ca2+ dan pH pada sentrat
dari
perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 51 - Gambar 56) berkaitan pada tiga hal, yakni: 1) Kedua jenis kapur tersebut memiliki perbedaan bobot molekul (BM) yang relatif sempit (BM CaO = 56 dan BM Ca(OH)2 = 74), 2) pada larutan, kedua jenis kapur tersebut akan bereaksi membentuk bahan yang sama yakni Ca2+ dan OH- sehingga pada konsentrasi yang sama hampir menyumbangkan Ca2+ dan OH- ke dalam larutan dalam jumlah yang hampir sama, dan 3) reaksi CaO atau Ca(OH)2 dalam air membentuk ion Ca2+ dan OH- tidak mencapai kejenuhan hingga pada dosis 6000 ppm.
Gambar 55. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi
Gambar 56. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok 99
Pada dosis 500 ppm hingga 4000 ppm, konsentrasi Ca2+ yang terlarut yang terdapat pada sentrat dari perlakuan CaCO3 masih mengalami penurunan secara berangsur dan penurunan mencapai maksimum pada dosis pemberian yang relatif tinggi (4000 hingga 5000 ppm) (Gambar 53 dan Gambar 54). Fenomena tersebut terjadi disebabkan penambahan CaCO3 pada lindi menyebabkan terbentuk ion Ca2+, OH- dan HCO3menyebabkan pada dosis yang makin meningkat terjadi sedikit peningkatan pH. Reaksi peruraian CaCO3 dalam air menjadi ion-ion seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CaCO3 CO32-
------>
+ 2H2O
Ca2+
------->
+ CO32HCO3-
+
OH-
Jumlah OH- yang dihasilkan akibat pemberian CaCO3 lebih rendah dibanding jumlah OHyang dihasilkan akibat pemberian CaO atau Ca(OH)2. Disamping itu, CaCO3 bersifat garam. Diduga pemberian bahan ini ke dalam lindi pada dosis yang lebih tinggi akan tercapai kejenuhan hingga CaCO3 yang diberikan akan langsung mengendap. Pola perubahan nilai TDS, pH maupun kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan pemberian dolomit menunjukkan pola yang berbeda dibanding perlakuan CaO maupun Ca(OH)2 dan sedikit menyerupai pola perubahan nilai TDS, pH dan kadar Ca2+ akibat pemberian CaCO3 (Gambar 51 hingga Gambar 56).
Hal ini disebabkan pemberian
dolomit ke dalam lindi akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian CaO maupun Ca(OH)2 karena dari hasil reaksi dolomit dengan air yang terdapat dalam lindi, selain akan menghasilkan CaCO3 juga menghasilkan MgCO3 seperti yang digambarkan oleh Hardjowigeno (2010) sebagai berikut. CaMg(CO3)2 -----> Ca2+ + Mg2+ + 2CO32CO32- yang dihasilkan dari reaksi tersebut akan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksil (OH-) seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CO32-
+ 2H2O
------->
HCO3-
+
OH-
Pada suhu kamar (20oC), CaCO3 memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah (0,0006170), sedangkan MgCO3 memiliki solubilitas yang lebih tinggi (0,039) dibanding CaCO3 (Wikipedia, 2007). Oleh karena itu, MgCO3 lebih sulit untuk diendapkan dibanding CaCO3. Apabila dosis dolomit ditingkatkan, maka kadar MgCO3 yang masuk 100
dalam larutan mengalami peningkatan. Hal ini akan menambah bahan padatan terlarut pada sentrat karena MgCO3 yang dihasilkan dari perlakuan dolomit akan membentuk ion-ion Mg2+ dan CO32- yang secara otomatis berpengaruh terhadap besaran nilai TDS dan pH karena Mg2+ termasuk bahan padatan terlarut, sedangkan CO32- akan bereaksi dengan air membentuk HCO3- dan OH- yang menyebabkan larutan sedikit mengalami peningkatan pH. Keberadaan Mg2+ dalam larutan tersebut dapat menyebabkan pada dosis yang sama, perlakuan dolomit memiliki nilai TDS dan pH sedikit lebih tinggi dibanding CaCO3. Pada dosis kurang dari 2000 ppm, kadar Ca2+ yang terdapat pada sentrat sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit ke dalam lindi relatif lebih tinggi dibanding kadar Ca2+ yang berasal dari perlakuan CaO maupun Ca(OH)2 (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini, akibat jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Dampak selanjutnya, kemampuan mendisosiasi H+ pada koloid menjadi rendah mengakibatkan jumlah muatan negatif yang terbentuk pada koloid yang dihasilkan dari perlakuan CaCO3 dan dolomit juga menjadi lebih rendah dibanding perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Padahal, muatan negatif yang terbentuk mampu mengikat Ca2+ baik yang berasal dari lindi maupun yang berasal dari pemberian kapur. Secara rinci, pH dari keempat jenis kapur pada 11 dosis yang berbeda yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. pH pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH)2
CaCO3
Dolomit
500
9,33 a
9,18 a
8,3 a
8,7 a
750
9,70 ab
9,55 ab
8,43 a
8,73 a
1000
10,50 abc
10,38 abc
8,5 a
8,73 a
1250
10,88 abc
10,7 abc
8,7 a
8,73 a
1500
11,50 bc
11,35 bc
8,73 a
8,78 a
1750
11,68 c
11,65 c
8,78 a
8,78 a
2000
11,83 c
11,80 c
8,8 a
8,78 a
3000
12,05 c
12 c
8,85 a
8,8 a
4000
12,15 c
12,1 c
8,85 a
8,83 a
5000
12,23 c
12,18 c
8,85 a
8,85 a
6000
12,25 c
12,18 c
8,85 a
8,85 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
101
4.3.2 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan. Demikian halnya dengan jumlah logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam endapan, juga berbeda (Gambar 57 - Gambar 63). Secara rinci, gambaran kandungan logam-logam tersebut dalam endapan dari masing-masing jenis kapur dapat dilihat pada Gambar 57 – Gambar 63.
Gambar 57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur
102
Gambar 59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur
103
Gambar 61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur
104
Gambar 63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar logam mikro essensial Cu dan Zn dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO maupun Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 57 dan Gambar 58). Demikian halnya kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm, juga lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 61 dan Gambar 62). Perilaku ini seperti yang dikemukakan oleh Davis dan Masten (2004) terjadi sebagai akibat pada pH yang semakin tinggi (di atas 9), logam-logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang lebih tinggi sehingga pada pH > 9 logam tersebut cenderung berada dalam kondisi terlarut dan tetap berada dalam sentrat. Amer (1998) mengemukakan bahwa umumnya, tetapi tidak semua, presipitasi (pengendapan) logam hidroksida terjadi pada pH 8,5 sampai 9,5. Perubahan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd pada pH tinggi sebagai berikut (Davis dan Masten, 2004): • Pada pH > 9, Cu akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cu2+ + 2OH- ----- Cu(OH)2 (s) Cu(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cu(OH)42-
105
• Pada pH > 9, Zn akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Zn2+ + 2OH- ----- Zn(OH)2 (s) Zn(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Zn(OH)42• Pada pH > 9, Pb akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Pb2+ + 2OH- ----- Pb(OH)2 (s) Pb(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Pb(OH)42• Pada pH > 9, Cd akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cd2+ + 2OH- ----- Cd(OH)2 (s) Cd(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cd(OH)42Perilaku kelarutan dari ke empat logam mikro (Cu, Zn, Pb dan Cd) pada berbagai pH digambarkan oleh Davis dan Masten (2004) sebagai berikut.
Gambar 64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai pH (Davis dan Masten, 2004)
106
Gambaran di atas menunjukkan bahwa solubilitas (kelarutan) akan menurun dan mencapai minimum pada pH antara ± 9 (pada Cu, Zn dan Pb) hingga pH ± 11 (pada Cd), tergantung jenis logamnya. Apabila pH ditingkatkan lagi dari pH pada titik minimum maka pada logam tersebut akan terbentuk senyawa kompleks dengan kelarutan yang semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm, kadar Cu, Zn, Pb dan Cd dalam endapan lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm.
Pada dosis 500 ppm, 1000 ppm dan 6000 ppm dari
perlakuan CaO maupun Ca(OH)2, pH berkisar antara 9,3 hingga 12,15. Oleh karenanya, apabila pH ditingkatkan lagi lebih dari 6000 ppm akan mengakibatkan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd akan semakin banyak berada dalam kondisi terlarut. Pada perlakuan pemberian kapur jenis CaCO3 maupun dolomit; kadar logam Cu, Zn, Pb dan Cd yang terdapat dalam endapan pada dosis yang makin tinggi dari 500 ppm hingga 6000 ppm justru masih menunjukkan peningkatan.
Hal ini berbeda dengan
perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Pada dosis yang sama, pH sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit lebih rendah dibanding pH akibat penambahan CaO maupun Ca(OH)2. Hal ini menunjukkan jumlah OH- akibat pemberian CaCO3 maupun dolomit lebih rendah dibanding peningkatan pH akibat pemberian CaO maupun Ca(OH)2 (Tabel 33). Nilai pH sebagai akibat pemberian CaCO3 dan dolomit hingga dosis 6000 ppm ternyata masih berada pada kisaran pH < 9.
Peningkatan konsentrasi OH- yang
menyebabkan pH masih berada dibawah pH 9 sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit menyebabkan logam Cu, Zn, Pb dan Cd masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan. Pada pH < 9, keempat logam tersebut (Cu, Zn, Pb dan Cd) belum membentuk senyawa komplek dengan solubilitas yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Pemberian CaO, Ca(OH)2, CaCO3 maupun dolomit) ternyata menyebabkan peningkatan jumlah logam Mn dan Fe pada endapan sejalan dengan pemberian kapur tersebut pada dosis yang semakin meningkat (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan solubilitas (kelarutan) dari logam besi (Fe) maupun Mangan (Mn) akan semakin rendah pada pH yang semakin tinggi sehingga mudah untuk diendapkan. Semakin tinggi dosis kapur yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi pH. Semakin tinggi pH berarti semakin tinggi pula konsentrasi OH - dalam larutan dan hal ini akan menyebabkan semakin besar pula peluang untuk terjadi interaksi antara Mn atau Fe terlarut dengan OH- yang ada dalam larutan membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi lebih terakumulasi dalam
107
endapan. Menurut Vogel (1979), pembentukan senyawa hidroksida yang mudah mengendap dari Mn dan Fe dapat terjadi hingga pH 14. Perilaku yang sama dengan logam Mn dan Fe juga diperlihatkan oleh logam Cr. Kadar logam Cr dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO atau Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian kedua jenis kapur tersebut pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 63). Menurut Vogel (1979), pada pH > 9 hingga pH 12, Cr masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan logam Cr menjadi senyawa hidroksida yang mudah mengendap ditunjukan oleh Vogel (1979) sebagai berikut: Cr3+ + 3OH- ----- Cr(OH)3 (s) Pada dosis 6000 ppm, kadar logam Mn dan Fe dari perlakuan CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan pada dosis tersebut, pH dari perlakuan pemberian CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH)2. Otomatis, konsentrasi OH- dalam larutan yang diberi perlakuan CaCO3 dan dolomit juga lebih rendah yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pembentukan jumlah senyawa hidroksida maupun senyawa kompleks yang mudah mengendap yang terbentuk dari koloid dengan kedua logam tersebut lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Logam Cu, Zn, Mn dan Fe yang terdapat dalam endapan hasil pengolahan lindi dapat digunakan sebagai sumber hara mikro essensial; sedangkan logam-logam Pb, Cd dan Cr merupakan logam berat yang termasuk logam mikro non essensial yang belum diketahui manfaatnya bagi tanaman, bahkan logam tersebut apabila masuk ke dalam sistem metabolisme dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, ketiga logam tersebut (Pb, Cd dan Cr) perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jika bahan pupuk cair hasil olahan lindi mengandung ketiga logam tersebut, maka kadar dari logam-logam tersebut yang berada dalam bahan pupuk cair harus berada di bawah baku mutu. Berdasarkan aturan yang ditetapkan Menteri Pertanian tahun 2003, batas maksimal Pb dan Cd yang diperbolehkan dalam pupuk cair organik adalah : Pb kurang dari 50 ppm dan Cd kurang dari 10 ppm. Batas maksimal logam Cu, Mn, Pb dan Cd dalam pupuk cair anorganik adalah Cu 0,25% (2500 ppm), Mn 0,25% (2500 ppm), Pb 0,125% (1250 ppm) dan Cd 0,125% (1250 ppm). Jika dilihat dari jumlah logam tersebut dalam endapan lindi hasil penambahan 1000 ppm CaO dan Ca(OH)2 yang dijadikan sebagai perlakuan terpilih dari tahap percobaan ini dan kadar logam-logam tersebut yang ada pada endapan 108
lindi hasil penambahan CaCO3 dan dolomit juga pada dosis 1000 ppm seperti yang disajikan pada Tabel 34, kadar keempat logam tersebut (Cu, Mn, Pb dan Cd) dari perlakuan pemberian keempat jenis kapur pada dosis 1000 ppm masih berada di bawah baku mutu. Kisaran kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dari perlakuan pemberian masing-masing jenis kapur pada dosis 1000 ppm sebagai berikut. Tabel 34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur Logam Mikro Non
Kadar Maksimal
Jenis Kapur
Dalam Pupuk Cair*
Essensial
CaO
Ca(OH)2
CaCO3
Dolomit
Cu (ppm)
8,23b
8,59b
5,2ª
12,24c
Zn (ppm)
30,02a
31,56a
17,99b
19,28b
Mn (ppm)
230,57c
196,48b
155,04a
184,94b
Fe (ppm)
320,95b
302,36ab
287,77a
320,72b
Pb (ppm)
10,34b
11,40b
4,29 a
10,52b
Cd (ppm)
6,93 a
8,27 a
8,81 a
8,46 a
Cr (ppm)
2,05ab
2ab
2,49b
1,31 a
Organik
Anorganik
Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan < 50 ppm
0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,125% (1250 ppm) 0,125% (1250 ppm) Tidak disebutkan
< 10 ppm Tidak disebutkan
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Angka di atas merupakan rata-rata dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan. * Standar minimal pupuk cair berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 09/Kpts/TP.260/I/2003
4.3.3
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 65, ternyata
pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik pada endapan. Gambaran jumlah bahan organik pada endapan dari masing-masing jenis kapur sebagai berikut.
109
Gambar 65. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda Gambar 65 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan menyebabkan jumlah bahan organik dalam endapan makin tinggi. Pada dosis 6000 ppm dari keempat jenis kapur menunjukkan jumlah bahan organik yang lebih tinggi dibanding pada dosis 500 ppm ataupun 1000 ppm. Fenomena ini dapat disebabkan pada pH yang tinggi sebagai akibat pemberian kapur pada dosis 6000 ppm, logam dan koloid organik dapat lebih berinteraksi membentuk flok yang mudah untuk diendapkan sehingga keduanya menjadi lebih terakumulasi dalam endapan. Gambar 66 menunjukkan bahwa jumlah bahan organik pada endapan dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 lebih tinggi dibanding pada perlakuan CaCO3 dan dolomit. Kondisi ini terkait dengan kemampuan CaO dan Ca(OH)2 dalam menyumbangkan lebih banyak OH- sehingga kedua jenis kapur tersebut lebih mampu dalam memicu terjadinya disosiasi H+ pada koloid organik dibanding CaCO3 dan dolomit. Hal ini menyebabkan CaO dan Ca(OH)2 lebih mampu dalam menyebabkan pembentukan flok yang mudah mengendap antara koloid organik dengan logam terlarut dibanding CaCO3 maupun dolomit.
110
Gambar 66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur
4.3.4 Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) Dari hasil penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 35 didapatkan bahwa nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat dari kedua perlakuan fisik yang berbeda (sentrifugasi atau pengocokan) menunjukkan hasil yang berbeda.
Nilai TDS yang
terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dan nyata berbeda dibanding nilai TDS pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan, sedangkan pH pada perlakuan sentrifugasi meskipun lebih tinggi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan pengocokan. Di lain pihak, rata-rata Ca dalam sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi justru lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pengocokan. Diduga gaya sentrifugal dapat lebih membantu memperlancar terjadi reaksi antara air yang ada dalam lindi dengan kapur sehingga proses peruraian kapur menjadi Ca2+ dan OH- lebih intensif dibanding pada proses pengocokan. Hal ini selanjutnya mengakibatkan pada perlakuan sentrifugasi jumlah Ca2+ dan OH- menjadi lebih banyak dalam larutan dibanding proses pengocokan (Tabel 35).
111
Tabel 35. Nilai TDS, pH dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda Sifat Kimia Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 3523a 3672b pH 10,00a 9,96a Ca (ppm) 12,45a 10,66b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Keberadaan OH- yang lebih banyak dalam larutan pada perlakuan sentrifugasi menyebabkan peluang terbentuknya senyawa kompleks yang mudah mengendap dari logam terlarut dengan koloid menjadi lebih banyak dan keberadaaan OH- yang tinggi juga dapat menyebabkan peluang terbentuk senyawa hidroksida dari logam Mn dan Fe akan semakin besar menyebabkan kedua logam tersebut akan makin banyak pada endapan. Kedua hal ini akan menyebabkan nilai TDS pada sentrat menjadi lebih rendah.
Gambar 67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)
112
1285
Kadar Bahan Organik (ppm)
1300
1250 1180 1200
1150
1100 Sentrifugasi
Pengocokan Prose Fisik
Gambar 68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)
4.3.5
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur) Hal yang juga harus diperhatikan dalam penentuan jenis dan dosis kapur yang
dipilih untuk diterapkan dalam pengolahan lindi menjadi bahan pupuk cair adalah nilai TDS dan kadar Ca2+ pada sentrat. Nilai dari kedua parameter tersebut harus minimal karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Ca yang masih tersisa yang terdapat pada sentrat karena sentrat nantinya akan dibuang ke lingkungan setelah endapan lindi hasil pengolahan aerasi selesai diproses menjadi bahan pupuk cair melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan.
Apabila nilai TDS pada sentrat
memiliki nilai terendah maka diharapkan di dalam sentrat mengandung polutan dengan kadar yang paling rendah, baik yang berupa Ca2+ yang berasal dari pemberian kapur, logam-logam terlarut lainnya maupun bahan organik yang memang sudah ada sebelumnya dalam lindi. Semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, semakin rendah pula bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung di dalamnya sehingga menyebabkan sentrat menjadi semakin aman untuk dibuang ke lingkungan. Di lain pihak, semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, berarti semakin tinggi kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan hingga endapan ini memiliki peluang yang lebih baik untuk difungsikan sebagai sumber hara bagi tanaman. 113
Selain nilai TDS pada sentrat, kadar Ca2+ pada sentrat selayaknya juga menjadi dasar dalam penentuan dosis terpilih karena apabila kadar Ca2+ pada sentrat yang berasal dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari kapur yang ditambahkan pada saat pembuatan pupuk cair masih tinggi dan sentrat tersebut dibuang ke lingkungan, dikhawatirkan Ca2+ dapat menjadi sumber pencemaran, mengingat Ca2+ merupakan salah satu bahan yang dapat menyebabkan kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan dapat menyebabkan sabun tidak berbusa. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan dalam penggunaan sabun. Selain itu, kesadahan juga dapat menyebabkan terjadi kerak pada ketel uap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm memiliki nilai TDS yang paling rendah dan kadar Ca2+ dalam sentrat juga relatif rendah dibanding pada dosis lainnya maupun dibanding perlakuan CaCO3 maupun dolomit (Gambar 51 - Gambar 54). Nilai TDS pada sentrat mencapai minimum pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menggambarkan kadar padatan terlarut pada sentrat berada pada kondisi paling minim sekaligus mencerminkan secara keseluruhan jumlah logam terlarut atau bahan organik yang dapat diendapkan mencapai maksimum dengan kadar logam mikro, khususnya Cu, Mn, Pb dan Cd masih berada di bawah baku mutu untuk digunakan sebagai pupuk cair berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan Menteri Pertanian tahun 2003 (Tabel 34). Dengan alasan tersebut di atas, maka perlakuan yang mewakili perlakuan kapur dan dianggap layak digunakan dalam proses pembuatan pupuk cair baik melalui proses lanjutan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan adalah pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2. Namun demikian, bila dilihat dari data pada Tabel 34, pada perlakuan pemberian 1000 ppm Ca(OH)2, kadar logam berat Pb dan Cd pada endapan yang akan dijadikan pupuk cair lebih tinggi dibanding kadar logam tersebut pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Oleh karenanya endapan lindi yang layak dijadikan pupuk cair berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Gambaran visual dari sentrat dari perlakuan kapur disajikan pada Gambar 69.
114
Gambar 69. Sentrat setelah proses sentrifugasi Gambar 69 menunjukkan pada 2 botol yang paling kanan yang berisi sentrat dari perlakuan pemberian 6000 ppm kapur (CaO dan Ca(OH)2) yang disentrifugasi berwarna bening dan tembus pandang. Namun bukan berarti di dalam cairan tersebut mengandung kadar bahan terlarut yang minimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, nilai TDS dan kadar Ca pada sentrat dari perlakuan tersebut paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. 4.4 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian bahan oksidator KMnO4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa pemberian 1000 ppm kapur (CaO atau Ca(OH)2) pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata memberikan hasil yang berbeda terhadap beberapa parameter kimia pada sentrat maupun pada endapan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan pembuatan pupuk cair dari bahan tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 9 dan 10. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4 yang diberikan semakin tinggi menyebabkan peningkatan nilai TDS dan kadar Mn pada 115
sentrat.
Pada perlakuan pemberian KMnO4 yang semakin tinggi, pH hanya sedikit
mengalami perubahan hingga tidak berbeda nyata dibanding tanpa penambahan KMnO4. Namun demikian, ada kecenderungan, pH makin menurun dengan semakin tinggi dosis KMnO4 yang diberikan. Di lain pihak, pada perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan pH yang nyata lebih tinggi dibanding tanpa penambahan KMnO4. Pada perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4 ditingkatkan menyebabkan kadar beberapa logam mikro pada endapan cenderung mengalami peningkatan. Meskipun demikian, ada juga logam mikro lainnya yang mengalami penurunan sejalan dengan dosis KMnO4 yang makin meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi pada perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2, kadar beberapa logam mikro pada endapan ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 cenderung mengalami penurunan bila dosis KMnO4 makin ditingkatkan. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa kapur. Secara rinci, nilai-nilai dari parameter kimia yang diukur saat percobaan ini akan diuraikan di bawah ini. 4.4.1 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Nilai TDS, pH, Kadar Mn dan Ca, pada Sentrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan terhadap beberapa parameter kimia (nilai TDS, kadar Mn dan pH) pada sentrat. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Gambar 70, 71 dan 72.
116
Gambar 70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO4 Nilai TDS mengalami peningkatan sejalan dengan makin meningkatnya dosis KMnO4 (Gambar 70). Peningkatan nilai TDS ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kadar Mn pada sentrat. Kadar Mn pada sentrat akibat pemberian KMnO4 pada dosis 0,03% lebih tinggi dibanding kadar Mn akibat pemberian KMnO4 pada dosis 0,02%, 0,01% dan 0% (Gambar 71).
Gambar 71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO4 117
Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), apabila KMnO4 ditambahkan ke dalam larutan yang bersifat basa, KMnO4 tersebut akan bereaksi dengan air menghasilkan endapan MnO2. Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO4-
+
H2O
------->
MnO2 (s)
+
OH-
Lindi yang digunakan dalam percobaan ini bersifat basa karena memiliki pH 8 hingga pH 9. KMnO4
Merujuk pada reaksi di atas, apabila pada lindi tersebut diberikan
pada dosis yang
makin
meningkat
tanpa penambahan
kapur dapat
menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menghasilkan endapan MnO2 dan OH-. Namun demikian, dengan semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan, sedangkan volume lindi sama, tetap akan menyebabkan lebih banyak MnO4- tersisa yang tetap berada dalam larutan mengakibatkan MnO4- pada sentrat menjadi lebih banyak dibanding jumlah MnO4- pada sentrat yang berasal dari perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang lebih rendah. Oleh karena MnO4- merupakan salah satu bahan padatan terlarut yang dapat mempengaruhi nilai TDS, maka bila bahan tersebut pada sentrat makin meningkat sebagai akibat pemberian KMnO4 pada dosis yang makin meningkat menyebabkan nilai TDS juga makin meningkat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan pH akibat pemberian KMnO4 pada dosis yang makin tinggi. Namun hal ini tidak menyebabkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan tanpa kapur dan tanpa KMnO4 (Gambar 72). Penurunan pH dapat diakibatkan oleh H+ yang dihasilkan dari reaksi pembentukan logam hidroksida. H+ merupakan penyebab kemasaman. Reaksi pembentukan H+ digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----->
MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
Reaksi di atas menunjukkan bahwa OH- yang dihasilkan dari MnO4- dan H2O akan digunakan oleh logam terlarut Fe2+ membentuk logam hidroksida (Fe(OH)3) yang mudah mengendap dengan menghasilkan H+. Di lain pihak, pada dosis KMnO4 yang sama terdapat perbedaan nilai TDS maupun kadar Mn pada sentrat antara perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur (CaO atau Ca(OH)2) dengan perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 (Gambar 70 dan 71). Pada dosis KMnO4 yang sama, nilai TDS dari perlakukan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan
118
penambahan CaO ataupun Ca(OH)2 lebih rendah dibanding nilai TDS pada perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2. Hal ini dapat disebabkan pada perlakuan yang ditambahkan CaO atau Ca(OH)2 terjadi peningkatan konsentrasi OH- yang ditunjukkan oleh nilai pH yang lebih tinggi dibanding tanpa penambahan bahan tersebut (Gambar 72). Peningkatan konsentrasi OH- menyebabkan koloid terdisosiasi sehingga muatan negatif dari koloid juga meningkat yang mengakibatkan jumlah logamlogam terlarut termasuk Mn yang berasal dari penambahan KMnO4 maupun Ca yang berasal dari penambahan kapur akan berikatan dengan koloid tersebut membentuk flok yang mudah mengendap. Selanjutnya dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan), flok tersebut akan membentuk endapan. Disamping itu, jumlah senyawa hidroksida yang mudah mengendap yang terbentuk dari logam Mn atau logam terlarut lainnya dengan OHjuga makin tinggi. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah Mn maupun logam-logam terlarut lainnya dalam sentrat makin berkurang. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan nilai TDS pada sentrat. Pada
perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO atau
Ca(OH)2, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, juga menyebabkan pH menjadi menurun (Gambar 72). Penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan suasana menjadi lebih basa dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur tersebut. Pada kondisi suasana lebih basa akan lebih banyak OH- dalam larutan. Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), OH- berlebih yang ada dalam larutan akan digunakan oleh ion permanganat (MnO4-) membentuk ion manganat (MnO42-). Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO4-
+
OH-
----------->
MnO42-
Penggunaan OH- dalam pembentukan ion manganat (MnO42-) oleh ion permanganat (MnO4-) mengakibatkan pH pada perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang makin meningkat yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 akan mengalami penurunan. Apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, MnO4- yang akan menggunakan OH- dalam larutan akan makin banyak hingga pH akan menurun.
119
Gambar 72. pH pada sentrat dari perlakuan KMnO4 4.4.2
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Gambar 73 sampai dengan Gambar 79 menunjukkan bahwa pemberian bahan
oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar logam mikro dalam endapan. Pada perlakuan tanpa kapur, semakin meningkat KMnO4 yang diberikan menyebabkan logam Cu, Zn, Mn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan makin meningkat. Hal ini dapat disebabkan pemberian KMnO4 pada lindi yang bersifat basa menyebabkan pembentukan endapan mangan dioksida (MnO2) dan juga dihasilkan ion hidroksil (OH-). Reaksi tersebut seperti yang digambarkan oleh Cotton dan Wilkinson (1989) sebagai berikut: MnO4-
+
H2O
------->
MnO2(s) +
OH-
OH- yang dihasilkan dari reaksi tersebut tidak menyebabkan pH > 9 (Gambar 72), sehingga OH- yang dihasilkan akan digunakan untuk berikatan dengan logam terlarut yang ada dalam lindi membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan. Secara lengkap, contoh reaksi pengendapan logam besi sebagai akibat pemberian KMnO4 digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut:
120
MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----->
MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
Reaksi di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis KMnO4 yang diberikan akan menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menjadikan semakin banyak MnO2 pada endapan, endapan logam hidroksida dan H+. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2. Apabila dosis KMnO4 ditingkatkan justru menyebabkan kadar logam Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan menjadi makin rendah sebagai akibat terjadi reaksi yang justru memanfaatkan OH- oleh MnO4- membentuk senyawa lain.
Cotton dan Wilkinson (1989)
menggambarkan reaksi permanganat pada suasana sangat basa dengan kadar KMnO 4 yang makin meningkat sebagai berikut: MnO4- + OH- -----> MnO42- + H2O Reaksi tersebut menggambarkan bahwa perlakuan pemberian KMnO4 pada pH tinggi sebagai akibat penambahan kapur tidak menghasilkan OH-, tetapi justru memanfaatkan OH- yang ada dalam larutan dengan menghasilkan ion manganat (MnO42-). Semakin tinggi KMnO4 berarti kadar MnO4- dalam larutan semakin tinggi karena menurut Cotton dan Wilkinson (1989), KMnO4 dalam larutan akan berubah menjadi ion K+ dan MnO4-. Apabila jumlah MnO4- semakin banyak maka jumlah OH- yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan MnO4- membentuk MnO42- juga semakin banyak hingga menyebabkan jumlah OH- dalam larutan yang seharusnya bereaksi dengan logam terlarut membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan menjadi semakin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan pada dosis KMnO4 yang semakin tinggi, bila ditambahkan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2, pH semakin menurun dan kadar logam (Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd) dalam endapan juga semakin menurun.
121
Gambar 73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO4
122
Gambar 75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO4
123
Gambar 77. Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 78. Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO4
124
Gambar 79. Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO4 Gambar 80 memperlihatkan bahwa pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat, baik tanpa maupun dengan penambahan kapur menyebabkan kadar Ca dalam sentrat semakin menurun. Hal ini diduga merupakan akibat terbentuk senyawa yang mudah mengendap dari Ca. Di lain pihak, pada perlakuan tanpa kapur, bila dosis KMnO4 ditingkatkan menyebabkan penurunan kadar Cr dalam endapan, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kapur justru berlaku sebaliknya, Cr dalam endapan makin bertambah bila dosis KMnO4 makin tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm kapur akan menyebabkan logam Cr mengalami pengendapan (Gambar 79).
125
Gambar 80. Kadar Ca (ppm) pada sentrat dari perlakuan KMnO4 4.4.3
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Hasil penelitian
seperti
yang
disajikan
pada
Gambar 81 dan Gambar 82
menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik dalam endapan. Tabel tersebut terlihat bahwa baik pada perlakuan tanpa maupun dengan penambahan CaO atau Ca(OH)2, semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan semakin menurun. Hal ini dapat terjadi pada perlakuan tanpa kapur akibat proses oksidasi bahan organik oleh KMnO4 dengan bantuan H+ yang dihasilkan dari reaksi antara MnO4-, logam terlarut dan air membentuk logam hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi tersebut digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----- > MnO2 + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
H+ yang dihasilkan dari reaksi di atas akan digunakan untuk mengoksidasi bahan organik. Sebagai contoh reaksi toluena dengan KMnO4 adalah sebagai berikut (Takeuchi, 2008). 5C6H5CH3 + 6MnO4- + 18 H+ –> 5C6H5COOH + 6Mn+2 126
Berdasarkan reaksi di atas, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, maka MnO4- yang dihasilkan akan semakin banyak. Demikian halnya dengan H+ yang dihasilkan juga semakin banyak dan H+ tersebut akan digunakan untuk proses oksidasi bahan organik. Apabila proses oksidasi semakin intensif, maka bahan organik akan menjadi berkurang. Pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO maupun Ca(OH)2, bahan organik dalam endapan juga semakin menurun bila dosis KMnO4 yang diberikan semakin meningkat. Pada kasus ini, penurunan bahan organik dapat disebabkan pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat akan terjadi penggunaan OH- oleh MnO4berlebih membentuk MnO42-. Penggunaan OH- akan menyebabkan terjadi penurunan jumlah OH- dalam larutan hingga berdampak pada penurunan pembentukan jumlah muatan negatif pada koloid organik. Penurunan pembentukan muatan negatif pada koloid organik selanjutnya mengakibatkan proses pengikatan logam terlarut oleh koloid organik membentuk flok yang mudah diendapkan juga makin berkurang. Gambaran rata-rata kadar bahan organik dari perlakuan pemberian KMnO4 pada empat dosis yang berbeda disajikan pada Gambar 81 dan kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 tanpa maupun dengan penambahan kapur (CaO atau Ca(OH)2) disajikan pada Gambar 82.
Gambar 81. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 pada empat dosis yang berbeda
127
Gambar 82. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 Gambar 82 menunjukkan bahwa pada dosis KMnO4 yang sama, perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2. 4.4.4
Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO4) Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nilai dari beberapa parameter
kimia pada sentrat maupun endapan sebagai akibat proses fisik yang berbeda. Nilai TDS, kadar Ca dan Mn yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dibanding nilai dari ketiga parameter tersebut yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan.
Hal sebaliknya terjadi pada nilai dari
beberapa parameter kimia yang terdapat pada endapan. Kadar logam mikro maupun bahan organik yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih tinggi dibanding nilai dari parameter tersebut yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi pada lindi yang diberi perlakuan penambahan KMnO4 lebih mampu mengendapkan logam-logam terlarut dan bahan organik dibanding proses pengocokan. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 36, Gambar 83 dan Gambar 84. 128
Tabel 36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) Parameter Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 2692a 2722a pH 9,62a 9,54a Ca (ppm) 1,35a 1,59a Mn (ppm) 0,31a 0,53b Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Gambar 83. Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4)
Gambar 84. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) 129
4.4.5
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMnO4) Hal terpenting dalam penentuan dosis KMnO4 yang akan diterapkan dalam
pembuatan pupuk cair dari lindi adalah nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Mn dan Ca yang ada pada sentrat setelah KMnO4 atau kapur ditambahkan pada saat proses pengolahan. Nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat yang diinginkan adalah yang paling minimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 pada dosis 0,01% baik tanpa maupun dengan penambahan kapur memberikan nilai TDS dan kadar Mn pada sentrat lebih rendah dibanding perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis 0,02% maupun 0,03% (Gambar 70 dan Gambar 71). Pada perlakuan pemberian 0,01% KMnO4 yang ditambahkan kapur (1000 ppm CaO atau Ca(OH)2) menunjukkan kadar logam mikro essensial Cu, Zn dan Fe pada endapan lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian KMnO4 0,02% atau 0,03%. Atas dasar hal tersebut, pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan dari perlakuan penambahan KMnO4 yang dipilih untuk diaplikasikan pada percobaan rumah kaca adalah endapan yang dihasilkan dari perlakuan penambahan 0,01% KMnO4 baik dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO. 4.4.6
Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi Kelayakan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi TPA sampah ditentukan oleh kadar
hara makro dan hara mikro serta jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalamnya. Jumlah bakteri patogen diindikasikan oleh jumlah E. coli. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan kadar hara makro, hara mikro dan jumlah E. coli yang terdapat pada endapan lindi dengan atau tanpa penambahan kapur maupun KMnO4 yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca serta kesesuaiannya dengan Standar Minimal Pupuk Cair yang telah ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 seperti yang disajikan pada Tabel 37, 38 dan 39. Kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) maupun kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) dalam edapan lindi yang dijadikan bahan pupuk cair masih berada di bawah Standar Minimal Pupuk Cair Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian RI tahun 2003, sedangkan kadar E. coli tidak disebutkan dalam standar tersebut, namun kadar E. coli yang terdapat dalam bahan pupuk cair dari lindi masih berada di bawah standar mutu air baku untuk minum.
130
Tabel 37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Lindi Lindi disentrifugasi Lindi dikocok Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO dikocok Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
Kadar Hara Makro dalam Endapan (ppm) N
P
K
Ca
Mg
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
S
6,23 121,42 98,26
12,32 31,43 26,75
87,33 845,68 731,65
97,46 393,60 326,41
91,06 264,50 234,43
8,42 16,80 12,39
375,83
121,44
948,11
8300
959,50
48,53
324,54
97,76
827,68
7970
873,98
37,52
144,55
62,47
1040,58
523,05
324,77
28,26
137,21
54,27
1015,63
496,29
296,38
24,92
306,40
93,90
1023,08
8146,10
897,50
39,23
287,42
86,77
986,73
7612,36
864,93
32,84
Lauxin
6500
5100
9100
3300
2100
-
Alami
88000
10000
21700
-
1000
-
Kontanik
158100
63500
61700
-
1100
116300
Petrovita
88200
62100
64700
4,66
3000
189000
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
131
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
N tidak disebutkan
Ntotal ≥ 20%
P2O5 tidak disebutkan
P2O5 < 8%
Pupuk Majemuk
Total N, P2O5 dan K2O ≥ 10%
K2O tidak disebutkan
K2O < 15%
Tabel 38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian
Kadar Logam Mikro (ppm) Cu
Zn
Mn
Fe
Pb
Cd
Cr
Lindi
0,13
0,45
4,91
11,00
0,03
0,11
0,28
Lindi disentrifugasi
9,66
12,52
165,58
261,65
12,88
7,02
2,17
Lindi dikocok
5,98
8,19
126,51
240,94
7,05
6,23
1,71
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
9,83
35,68
264,81
348,24
13,53
7,86
2,27
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
6,63
24,36
196,33
293,65
7,15
7,06
1,83
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
13,75
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
19,28
435,27
316,76
13,96
9,09
1,98
12,96
418,21
258,87
9,93
8,23
2,17
16,72
39,42
429,25
362,82
16,25
9,62
2,43
12,77
30,55
410,87
305,88
14,32
8,84
1,87
20,00
8,00
24,70
-
-
-
-
85
30,00
85,00
16
-
-
-
Kontanik
< 0,003
363700
-
9000
-
-
-
Petrovita
1000
37,22
57,58
2000
-
-
-
Alami
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
Pupuk Majemuk
Zn < 2500 ppm
7,79
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok Lauxin
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
132
Pb < 50 ppm
Cu < 2500 ppm Cu < 10000 ppm
Cd < 10 ppm
Mn < 2500 ppm Fe < 400 pm
Tabel 39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian
Kadar Logam Mikro dalam Endapan (ppm) E. coli (MPN/100 ml) 530
Bahan Organik (ppm) 150
Lindi disentrifugasi
4280
920
Lindi dikocok
3970
840
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
2030
1300
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
1940
1220
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
1880
900
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
1690
840
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
1260
1160
1130
1080
Lindi
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
133
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
C-organik ≥ 6% E. coli tidak disebutkan
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
C-organik tidakdisebutkan E. coli tidak disebutkan
Pupuk Majemuk
C-organik tidak disebutkan E. coli tidak disebutkan
4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca Pemberian pupuk cair ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan tersebut. Namun di lain pihak, pemberian pupuk cair sebagai pupuk daun yang mengandung logam mikro seperti halnya Pb, Cd dan Cr dapat menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini dapat terjadi apabila pemberian bahan tersebut menyebabkan kadar logam mikro Pb, Cd dan Cr dalam bagian tanaman yang dikonsumsi manusia berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kadar logam tersebut dalam bagian tanaman yang akan dikonsumsi manusia harus sangat diperhatikan. Hasil percobaan rumah kaca dengan mengaplikasikan pupuk cair berbahan dasar lindi maupun pupuk cair komersial sebagai pupuk daun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini diperlihatkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah yang bervariasi dan berbeda nyata dibanding kontrol. Dari hasil percobaan ini juga didapatkan bahwa pengaplikasian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun ternyata tidak menyebabkan kadar beberapa logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan nilai dari masing-masing parameter yang diperoleh dari percobaan rumah kaca akan diuraikan di bawah ini. 4.5.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang tidak diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 85 - Gambar 87, sedangkan hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95. Di antara pupuk cair yang tidak diperkaya dengan hara NPK menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan penambahan 1000 ppm CaO menunjukkan bobot brangkasan, bobot buah dan jumlah buah tertinggi.
134
Gambar 85. Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK)
Gambar 86. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) 135
Gambar 87. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 92 - Gambar 95 menunjukkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Data pada Tabel 40 menunjukkan bahwa pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot barngkasan, jumlah buah dan bobot buah) dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding kontrol. Tabel 40 juga memperlihatkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial juga nyata lebih tinggi dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata dibanding tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pemberian 1000 CaO yang diperkaya dengan hara NPK maupun perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diperkaya dengan hara makro NPK. Jumlah parameter yang nyata berbeda maupun tidak berbeda nyata dibanding kontrol dari perlakuan-perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel 40.
136
Tabel 40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial Perlakuan
Tinggi Tanaman
Bobot Brangkasan
Jumlah Buah
Bobot Buah
Σ parameter yang Nyata Berbeda Dibanding Kontrol + NPK
Kontrol
26,50 a
8,34 a
0,5 a
1,49 a
-
-
+ NPK
27,75 ab
9,01 a
1,0 ab
3,32 ab
-
-
Lindi S
28,50 abc
9,13 a
1,5 abc
4,67 ab
-
-
Lindi P
28,00 ab
9,13 a
1,0 ab
3,36 ab
-
-
Lindi S + NPK
31,50 bcde
12,82 abcd
2,5 abc
9,24 abcd
1
-
Lindi P + NPK
31,00 bcde
12,42 abcd
2,5 abc
7,65 abc
1
-
Lindi + CaO 1000 ppm S
29,00 abcd
12,29 abcd
2,5 abc
8,42 abcd
-
-
Lindi + CaO 1000 ppm P
28,50 abc
10,92 abc
2,0 abc
6,21 ab
-
-
Lindi + CaO 1000 ppm S + NPK
32,50 de
17,24 cd
7,0 e
24,23 g
4
4
Lindi + CaO 1000 ppm P + NPK
32,00 cde
16,37 bcd
5,0 de
17,71 defg
4
4
Lindi + KMnO4 0,01% S
28,50 abc
10,75 abc
2,0 abc
6,32 ab
-
-
Lindi + KMnO4 0,01% P
28,50 abc
10,47 ab
1,5 abc
5,07 ab
-
-
Lindi + KMnO4 0,01% S + NPK
32,00 cde
15,79 bcd
3,5 cd
12,53 bcdef
4
3
Lindi + KMnO4 0,01% P + NPK
31,50 bcde
14,26 abcd
3,0 bcd
9,83 abcde
2
-
29,00 abcd
11,58 abcd
2,5 abc
8,28 abcd
-
-
28,50 abc
10,64 ab
1,5 abc
5,55 ab
-
-
32,00 cde
16,77 bcd
6,5 e
22,39 fg
4
4
32,00 cde
16,08 bcd
5,0 de
17,64 cdefg
4
4
Alami
32,50 de
16,59 bcd
6,0 e
19,68 efg
4
4
Lauxin
32,00 cde
16,93 bcd
3,0 cd
11,24 abcde
3
3
Petrovita
32,50 de
16,52 bcd
6,5 e
23,23 g
4
4
Kontanik
34,00 e
17,90 d
7,0 e
25,54 g
4
4
Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% S Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% P Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% S + NPK Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% P + NPK
Ket : Angka yang diikuti oleh hiruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dibanding kontrol pada taraf 1% S = Sentrifugasi P = Pengocokan
Tabel 40 memperlihatkan bahwa diantara perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi, pertumbuhan (tinggi dan bobot brangkasan) dan produksi tanaman (jumlah buah dan bobot buah) tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol pada keempat parameter tersebut terdapat pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang disentrifugasi atau dikocok dan
137
diperkaya dengan hara NPK maupun pada perlakuan penambahan 1000 ppm CaO dan KMnO4 0,01% yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK. Pada perlakuan penambahan KMnO4 0,01% yang disentrifugasi dan diperkaya dengan hara NPK, parameter yang nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian NPK hanya untuk tiga parameter saja, yakni tinggi, bobot brangkasan dan jumlah buah. Pada perlakuan pemberian pupuk cair dari lindi (tanpa penambahan kapur atau KMnO4) yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK, meskipun pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah) memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun tiga dari keempat parameter tersebut yakni bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah belum menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol. Pada perlakuan tersebut hanya tinggi tanaman saja yang berbeda nyata dibanding kontrol. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO maupun pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 menyamai pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO maupun penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diberi perlakuan fisik sentrifugasi atau pengocokan mengandung hara makro N, P, Ca dan S tertinggi serta hara mikro seperti Cu, Zn, Mn dan Fe yang juga cukup tinggi (Tabel 37 dan Tabel 38). Apabila jumlah hara tersebut tercukupi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan menjadi lebih baik. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol, juga lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pertumbuhan dan produksi dari tanaman yang hanya diberi NPK (Tabel 40). Hal ini disebabkan pada pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ini, juga terdapat unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro essensial yang lebih tinggi dibanding kedua perlakuan tersebut. Kadar hara makro NPK dan hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe pada pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41. Pada masing-masing pupuk cair komersial, jumlah unsur tersebut bervariasi. Akibat keberadaan hara NPK pada pupuk cair komersial lebih tinggi dilengkapi dengan hara mikro essensial pada pupuk cair komersial, maka kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut menjadi lebih terpenuhi dibanding kontrol. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), unsur N dibutuhkan tanaman dalam penyusunan
138
protein dan meningkatkan kadar selulosa, unsur P dibutuhkan tanaman untuk menyusun jaringan tanaman, pembentukan bunga dan organ untuk reproduksi, sedangkan unsur K dibutuhkan tanaman untuk pengembangan sel dan mengatur tekanan osmosis. Jenis dan jumlah unsur hara makro dan hara mikro yang terkandung pada masing-masing pupuk cair komersial yang digunakan pada penelitian ini bervariasi. Secara rinci, kadar unsur hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar hara makro maupun hara mikro yang terkandung dalam pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41.
139
Tabel 41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Kadar Logam Mikro (ppm)
Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian N Lindi
P
K
Ca
Mg
S
Cu
Zn
Mn
Fe
6,23
12,32
87,33
97,46
91,06
8,42
0,13
0,45
4,91
11,00
121,42
31,43
845,68
393,60
264,50
16,80
9,66
12,52
165,58
261,65
98,26
26,75
731,65
326,41
234,43
12,39
5,98
8,19
126,51
240,94
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
375,83
121,44
948,11
8300
959,50
48,53
9,83
35,68
264,81
348,24
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
324,54
97,76
827,68
7970
873,98
37,52
6,63
24,36
196,33
293,65
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
144,55
62,47
1040,58
523,05
324,77
28,26
13,75
19,28
435,27
316,76
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
137,21
54,27
1015,63
496,29
296,38
24,92
7,79
12,96
418,21
258,87
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
306,40
93,90
1023,08
8146,10
897,50
39,23
16,72
39,42
429,25
362,82
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
287,42
86,77
986,73
7612,36
864,93
32,84
12,77
30,55
410,87
305,88
Lauxin
6500
5100
9100
3300
2100
-
20,00
8,00
24,70
-
Alami
88000
10000
21700
-
1000
-
85
30,00
85,00
16
158100
63500
61700
-
1100
116300
< 0,003
363700
-
9000
88200
62100
64700
4,66
3000
189000
1000
37,22
57,58
2000
Lindi disentrifugasi Lindi dikocok
Kontanik
Petrovita
140
4.5.2
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan
bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair yang diproses melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Gambar 88 - Gambar 91. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui proses fisik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan yang ditunjukkan oleh jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses sentrifugasi lebih tinggi dibanding jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses pengocokan. Hal ini disebabkan pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui sentrifugasi mengandung hara makro dan hara mikro lebih tinggi dibanding kadar hara tersebut yang ada dalam bahan pupuk cair yang diolah melalui proses pengocokan mengakibatkan kebutuhan akan unsur-unsur tersebut pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses sentrifugasi lebih terpenuhi dibanding pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pengocokan. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Tabel 41.
141
Gambar 88. Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
Gambar 89. Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
142
Gambar 90. Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
Gambar 91. Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi atau pengocokan
143
Hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe, meskipun dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, namun memiliki fungsi yang sangat vital. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Cu berfungsi dalam metabolisme protein dan karbohidrat, Zn berfungsi untuk asimilasi CO2 dan metabolisme N,
Mn berfungsi untuk sintesis protein dan karbohidrat, sedangkan Fe
berfungsi sebagai penyusun klorofil, protein maupun enzim dan berperanan dalam perkembangan kloroplas. Di lain pihak, unsur N, P, K, Ca, Mg dan S merupakan unsur hara makro essensial, unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak. Umumnya unsurunsur tersebut dibutuhkan tanaman untuk proses metabolisme. Menurut Novizan (2005), sebagai unsur hara essensial, Ca diperlukan tanaman untuk digunakan dalam proses metabolismenya dan fungsi Ca tidak dapat digantikan oleh unsur hara lainnya. Kekurangan unsur ini akan menyebabkan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang tidak semestinya.
4.5.3 Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Upaya memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi melalui penambahan hara makro NPK masing-masing sebesar 10% ternyata berpengaruh terhadap keempat parameter yang diukur (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah maupun bobot buah) yang ditunjukkan oleh nilai dari keempat parameter tersebut dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi
dibanding
tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa penambahan NPK. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan unsur hara makro NPK pada bahan pupuk cair yang berasal dari lindi memang sangat perlu karena NPK merupakan unsur hara makro essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fenomena tersebut juga mengindikasikan unsur NPK dalam bahan pupuk cair dari hasil olahan lindi kurang memadai untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang lebih baik apabila dosis pemberian disamakan dengan pupuk cair komersial. Perbedaan pertumbuhan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan unsur hara NPK dengan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa NPK disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95, sedangkan gambaran visualnya disajikan pada Gambar 96 - Gambar 99.
144
Gambar 92. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
Gambar 93. Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
145
Gambar 94. Bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
Gambar 95. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK 146
Lindi + KMnO4 S + NPK
Lindi + KMnO4 P + NPK
Kontrol
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 96. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4
Kontrol
Lindi + 1000 ppm CaO (S)
Lindi + 1000 ppm CaO (P) + NPK
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 97. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan CaO
147
Lindi (S) + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO (S) + NPK
Kontrol
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 98. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan atau tanpa penambahan CaO yang diperkaya dengan hara NPK
Kontrol Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO (P) + NPK
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO (S) + NPK
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 99. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4 dan CaO yang diperkaya dengan hara NPK
148
4.5.4
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Kadar Pb, Cd dan Cr pada Buah Cabai Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa pada buah cabai yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi mengandung logam mikro Pb, Cd dan Cr. Kadar ketiga logam mikro tersebut dalam buah cabai yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam mikro tersebut yang dapat ditoleransikan disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam Pb, Cd dan Cr yang dapat ditoleransikan Perlakuan Jenis Logam
Lindi + NPK
Pb (ppm) Cd (ppm) Cr (ppm) Sumber:
* ** S P
Lindi + 0,01% KMnO4 + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 + NPK
Kadar logam Mikro dalam bagian tanaman yang dikonsumsi yang dapat ditoleransikan
S
P
S
P
S
P
S
P
0,823
0,815
1,237
1.148
0,926
0,874
1,426
1,252
2 **
0,031
0.026
0,039
0.028
0,033
0,033
0,039
0.027
0,04 **
0,18
0.14
0,16
0.16
0,21
0,17
0,25
0,18
0,05 – 0,27 *
= = = =
WHO dalam Amir et al., (2009) Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (1989) sentrifugasi pengocokan
Efek toksik dari bahan yang tidak diinginkan dalam sistim biologis baru terjadi apabila bahan tersebut berada pada tubuh dalam konsentrasi yang cukup untuk menghasilkan manisfestasi toksik (Achmad, 2004). Konsentrasi bahan kimia akan memberikan efek toksik dikenal dengan istilah baku mutu. Jumlah bahan kimia di bawah baku mutu yang masuk ke dalam tubuh masih dapat dikeluarkan melalui urine (Darmono, 2001). Tabel 42 menunjukkan bahwa kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai yang berasal dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi masih berada di bawah ambang batas yang dapat ditoleransikan. Atas dasar pendapat yang dikemukakan Achmad (2004) dan Darmono (2001), maka dapat dikatakan bahwa pupuk cair berbahan dasar lindi masih relatif aman digunakan pada pertanaman karena menghasilkan buah cabai dengan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr masih berada dalam batas toleransi.
149
4.5.5
Desain IPAL TPA Sampah untuk Menghasilkan Efluen Layak Buang dan Pupuk Cair Upaya menjadikan lindi TPA sampah Galuga menjadi efluen layak buang dan pupuk cair membutuhkan perubahan dalam pengelolaan lindi. Instalasi Pengolahan Lindi (IPAL) yang ada di TPA sampah perlu dimodifikasi agar IPAL dapat menghasilkan dua produk tersebut. Beberapa tahapan pengolahan diperlukan yang masing-masing membutuhkan tempat (kolam) tersendiri.
Secara bagan, desain
tersebut sebagai berikut. AREAL
TPA
SAMPAH 1
1
2
1
1
1
2
2
2
2
3 4 5 8
6
9
7 10
Keterangan: 1. Saringan yang ada di masing-masing outlet TPA sampah 2. Saluran menuju ke kolam pengendapan 3. Kolam pengendapan 4. Saluran menuju ke kolam aerasi 5. Kolam aerasi 6. Saluran untuk mengalirkan efluen hasil aerasi bagian atas menuju kolam zeolit 7. Kolam zeolit 8. Saluran untuk mengalirkan endapan hasil aerasi menuju kolam pembuatan bahan pupuk cair 9. Kolam pembuatan bahan pupuk cair 10. Saluran untuk mengalirkan sentrat menuju kolam zeolit 11. Outlet menuju lingkungan
Gambar 100. Desain IPAL TPA sampah yang disarankan
150
11
Outlet yang ada di TPA sampah perlu dilengkapi dengan penyaring (1) untuk memisahkan lindi dari bahan-bahan sampah padat. Setelah melewati saringan tersebut, lindi yang keluar dari outlet TPA sampah dapat mengandung bahan padatan yang mudah mengendap (settleable), bahan padatan tersuspensi (suspended solid) dan bahan padatan terlarut (dissolve solid). Sebelum proses pengolahan dilakukan, bahan padatan yang mudah mengendap diendapkan dahulu di kolam pengendapan (3) guna memaksimalkan efektivitas pengolahan aerasi dalam menghasilkan efluen layak buang. Oleh karena itu, lindi yang keluar dari outlet di TPA sampah setelah melalui proses penyaringan di outlet, lindi langsung dialirkan ke kolam pengendapan untuk dibiarkan selama ± 1 jam untuk kemudian lindi yang sudah tidak mengandung bahan-bahan yang mudah mengendap dialirkan ke kolam aerasi (5) untuk mendapatkan perlakuan pemberian udara dengan kecepatan tinggi (70 liter/menit) selama 6 jam. Lindi yang telah diaerasi didiamkan selama ± 1 jam agar flok yang terbentuk baik berupa senyawa hidroksida maupun senyawa komplek yang berasal dari koloid organik/anorganik dan logam, mengendap. Setelah itu, 4/5 bagian atas dari volume
lindi dialirkan ke kolam zeolit (7) untuk
diminimalkan polutan-polutan terlarut yang masih tersisa, sebelum lindi dialirkan ke lingkungan dan 1/5 bagian volume lindi yang berada di bagian bawahnya dialirkan ke kolam pembuatan bahan pupuk cair (9) untuk diberi tambahan bahan pengendap (CaO) dengan dosis 1000 ppm dan perlakuan fisik (pemutaran dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit atau pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam) agar bahanbahan yang ada di dalamnya tercampur merata. Perlakuan fisik tersebut dapat digantikan dengan cara pemutaran dengan baling-baling atau alat lainnya yang dijalankan oleh kincir angin. Cara ini diharapkan dapat mengurangi bioaya operasional. Flok-flok yang terbentuk (senyawa logam hidroksida atau senyawa komplek yang berasal dari koloid dan logam) didiamkan selama ½ jam agar mengendap. Setelah itu, cairan bening yang ada di atas endapan (sentrat) dialirkan ke kolam zeolit untuk diminimalkan polutan yang masih tersisa, sebelum sentrat dilairkan ke lingkungan. Endapan yang ada di kolam 9 siap dipanen sebagai bahan pupuk cair.
151
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan 1. Pengolahan dengan cara aerasi melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit selama 6 jam yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen tersebut melalui zeolit berukuran 20 – 30 mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan polutan. Polutan yang dapat diturunkan melalui pengolahan tersebut hingga di bawah baku mutu adalah COD, TDS, TSS, E. coli, Cu dan Pb. Endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit mengandung logam mikro essensial (ppm) Cu = 0,125, Zn = 0,450, Mn = 4,905 dan Fe = 10,995. Endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit memiliki potensi tertinggi untuk dijadikan bahan pupuk cair karena mengandung kadar hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe tertinggi. 2. Pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui penambahan 1000 ppm CaO mengandung (ppm) N = 375,83, P = 121,44, Ca = 8300,00, Mg = 959,50, S = 48,53. Kadar hara makro N, P, Ca, Mg dan S dari perlakuan tersebut lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 mengandung kadar (ppm) Cu = 16,72, Zn = 39,42, Mn = 429,25 dan Fe = 362,82. Kadar hara mikro Cu, Zn dan Fe dari perlakuan tersebut lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. 3. Tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diberi perlakuan fisik sentrifugasi atau pengocokan dan diperkaya dengan hara makro NPK, 10% lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya dan nyata berbeda dibanding kontrol serta tidak berbeda nyata dengan tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah dengan penambahan 1000 ppm CaO sebagai pupuk daun tidak menyebabkan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan.
152
5.2 Saran Teknologi pengolahan lindi dan pemanfaatan endapan sebagai pupuk cair perlu diterapkan di TPA sampah untuk: 1. Mengurangi pencemaran air, biaya operasional pengelolaan lindi di TPA sampah, kesenjangan sosial dan terjadinya konflik. 2. Meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat
dan
pertumbuhan
perekonomian
masyarakat di sekitar TPA sampah. 3. Menumbuhkan rasa memiliki masyarakat sekitar terhadap TPA sampah.
153
VI. DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. A., G. Jingsong, L. Z. Ping, P. Y. Ya dan W. S. Al Rekabi. 2009. Review on Landfill Leachate Treatments. Journal of Applied Sciences 6(4):672-684. Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. ANDI. Yogyakarta. Amir, H. K., F. Aghili and A. Sanaelostovar. 2009. Daily Intake of Heavy Metal and Nitrate Through Greenhouse Cucumber and Bell Pepper Consumption and Potensial Health Risks for Human. International Journal of Food Sciences and Nutrition. Vol.60 No.S:199-208. Amuda, O.S. 2005. Penghapusan COD dan Warna dari Lindi TPA Sanitarry dengan Menggunakan Koagulasi – Proses Fenton. Jurnal Ilmu Pengetahuan Terapan dan Manajemen Lingkungan, Vol 10, No.2:49-53. Anwar, S. dan Darmawan. N2 dalam Cairan.
1985. Prospek Pemakaian Zeolit Bayah sebagai Penyerap
Anonim. 2009. Pengenalan Alat Laboratorium dan Fungsinya. www.list-wordpress.com/alat-alat laboratorium-fungsi-prinsip kerja.html Diakses pada tanggal 8 Oktober 2010. Arya, K. dan G. M. Gilar. 2008. Pupuk Cair Organik Tanah Surga. http://tanahsurga.blogspot.com/2008/09/pupuk-cair--organik-tanah-surga.html Diakses pada tanggal 12 Juni 2011. Asrie, N. P. 2009. Penurunan Kadar Logam Berat Limbah Cair Industri Emas (PT X) di Surabaya. Seminar Nasional Teknik Kimia Industri-SNKTI. Bandung 19 – 20 Oktober 2009. Attar. H. M., B. Bina dan K. Moeinian. 2005. Effects of Aeration Rate and Detention Time on Thermophilic Aerobic Digestion of Mixed Sludge and Its Dewaterability. International Journal Environmental Science Technologi 2:105 – 111. Barrer, R. M. London.
1982.
Hydrothermal Chemistry of Zeolits.
Academic Press.
Benefield, L.D., C.W. Randall & A. Frost. 1982. Process Chemistry for Water Wastewater Treatment. Prentice Hall Inc., New Jersey.
and
Biehler, Markus J. dan Siegfried Hagele. 1995. Treatment Process of Sanitary Landfill Leachates. Natural Resources and Development. Vol.41 : 64 84.
154
Borglin S. E., T. C. Hazen dan Oldenburg C. M. 2004. Comparison of Aerobic and Anaerobic Biotreatment of Municipal Solid Waste. Air dan Water Management Association. 54: 815 – 822. Clement B., C. Delolme, T. Winiarski dan Y. Bouvet. 1993. The Risk of Contaminants by leachates of freshwater Ecosystems. Proceedings of the 4th International Symposium on Landfill, Margaritha di Pula, pp: 1155- 1166. Cotton, F.A. and G. Wilkinson. 1989. John Wiley and Sons Inc.
Basic Inorganic Chemistry.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Indonesia Press. Jakarta.
USA:
Univesitas
________. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan toksikologi senyawa logam. UI-Press. Jakarta. Davis dan Masten. 2004. Principles of Environment Engineering and Science. Mc Graw Hill. Michigan State Unversity. USA. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No.03725/SK/B/VII/89 tentang Batas Maksimal Cemaran Logam dalam Makanan. Depkes RI. Jakarta. Diana, E. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah secara Sanitary Landfill Bantar Gebang terhadap Kualitas Air Permukaan, Air Tanah dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diana, H. I. 1997. Pengaruh Leachate terhadap Sungai dan Perbaikan Kinerja Bangunan Pengolahan Leachate. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemerintah Kota Bogor. 2003. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Bogor.Droste, R. L. 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment, John Wiley & Sons, Inc. New York. Dimitrion, I. dan P. Aronsson. 2006. Landfill Leachate Treatment with Willow and Polars - Efficiency and Plant Response Waste Management 30(11):2137-2145. Droste, R. L. 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment, John Wiley & Sons, Inc. New York.
155
Eckenfelder, W.W. 1989. Industrial Water Pollution Control 2th edition. New York: Mc Graw Hill. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Fadel, E. M., A. N. Findikakis, and O. J. Leckie. 1997. Environmental Impacts of Solid Waste Landfilling. Journal Environments Mgmt. 50:1-25. Fair, D., M. Geyer & P. Okun. 1963. Water and Wastewater Engineering. John Wiley & Sons., New York. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Jakarta. Foth, H. D. 1978. Fundamental of Soil Science. New York. John Wiley and Sons, Inc. Garnasih, I. 2009. Tesis. Bandung.
Program Studi Biologi.
Institut Teknologi Bandung.
Goldman dan Horne. 1983. Limnologi. Mc Graw Hill Book Company, New York. Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, .B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Palembang. Sumatera Selatan. Halliwell, B. & J. M. C. Gutteridge. 1984. Oxigen toxicity, oxygen radical, transition metals and desease, Biochemical Journal (2)19:1-14. Hamludin. 2010. Bantar Gebang Olah Air Lindi Jadi Pupuk. http://www.greenradio.fm/news/latest/2377-bantar-gebang-olah-air-lindi-jadi-puk. Diakses pada tanggal 4 Juli 2011. Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Harmsen, J. 1983. Identification of Organic Compounds in Leachate from a Waste Tip. Waste Research Vol 17 No.6:699-705. Hasan, M. R. dan D. J. Machintosh. 1986. Acute Toxicity of Ammonia to Common Carp Fry. Aquaculture 54:97-107. Horan, N. J. 1993. Biological. Waste Water Treatment System Theory and Operation. John Wiley and Sons. New York. Husaini. 1992. Daya Pertukaran Ion Zeolit Polmas terhadap Beberapa Jenis Ion Logam Berat. Buletin Pusat Pengembangan Teknologi Mineral 14(2):15-29.
156
______. 1993. Preparation of Modified Zeolite and its Application in Adsorbing Microorganism E. coli. Buletin Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral 15(4):1-29. Indranada, H. K. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Penerbit Bumi Aksara. 90 hal. Jenie, B.S.L. dan Rahayu W.P. Kanisius. Jakarta.
1990.
Karsono, S., Sudarmodjo dan Sutiyoso, Y. Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Penanganan Limbah Industri Pangan.
2004.
Hidroponik Skala Rumah
Komar, D.A. 1985. Prospek Pemakaian Zeolit Bayah sebagai Penyerap Kation. Laporan Teknik Pengembangan. Nomor 62. Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Khoury R., M. El Fadel, S. Sadek dan G. Ayoub. 2000. Temporal Variation of Leachate Quality in Seawater Saturated Fills. Adventure Enviroinmental Resources 4: 313 – 323. Kurniawan. 2009. Warga Protes Keberadaan TPA Galuga. http://www.indosiar.com/fokus/74801/warga-protes-keberadaan-tpa-galuga Diakses pada tanggal 4 Juli 2011. Kurniawan, T. A. , W. H. Lo dan G. Y. S. Chan. 2006. Physico-Chemical Treatments for Removal Recalcitrant Contaminats from Landfill Leachate. Journal of Hazardous Materials 129(1-3):80-100. Lahay, T. 2004. Teknik Laboratorium. Jurusan FMIPA Biologi. Universitas Makasar Leikam, K., K. U Heyer dan R. Stegmann. 1999. Aerobic in Situ Stabilization of Completed Landfills and Old Sites. Waste Management Resources 17: 555 – 562. Lingga P. dan Marsono. 2005. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Manahan S. E. 2005. Environmental Chemistry. 8th ed. CRC Press, USA. Manik, K. E. S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta. Mara, D. 1976. Sewage Treatment in Hot Climates. New York.
John Wiley and Sons,
Mara D. dan Cairncross, S. 1994. Pemanfaatan Air Limbah dan Ekskretra. Patokan untuk Perlindungan Kesehatan Masyarakat. ITB. Bandung.
157
Menteri Pertanian. 2003. Persyaratan Teknis Minimal dan Metode Uji Pupuk An-Organik Padat dan Cair. www.deptan.go.id/bsp/puk_pest/peraturan/LAMPIRAN%20II%20an-organik.htm Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering. Treatment, Disposal and Reuse. 4th Edition. Mc Graw Hill International, New York. Ming, D. W. and F. A. Mumpton. 1989. Zeolits in Soils. In J.B. Dixon and S.D Weed. Minerals in Soil Environments. Madison, Wisconsin. Mohajit. 2001. Prinsip-Prinsip Pengendalian Kualitas Air. Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
Departemen Teknik
Montgomery, J. M. 1985. Water Treatment Principles and Design. John Wiley & Sons, Inc, New York. Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminat of Surface Water. New York. 334p.
Springer Verlag,
Mulia, R. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Muthmainnah, A. 2008. Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat Menuju Zero Waste. Tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nasution, M.I. 2008. Penentuan Jumlah Amoniak dan Total Padatan Tersuspensi pada Pengolahan Air Limbah PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate Dolok Merangkir. http://repository.usu.ac.id/bitstream. Nemerow, L. Nelson dan A. Dasgupta. 1991. Industrial and Hazardous Waste Treatment. Van Nostrand-Reinhold, New York. Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. AgroMedia Pustaka. Nyakpa, Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong, Hakim N., 1985. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung.
dan
Oram, B. 2010. Total Dissolved Solids. http://www.water-research.net/to. Diakses pada tanggal 06 Nopember 2011. Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksiokologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Park, K. M., K. H. Muhvich, R. A. Myers, L. Marzeilla. 1994. Hyperbaric Oxygen in Infectious Diseases : Basic Mechanisms.
158
Effects of
Perpamsi-ITB. 1989. Mikrobiologi Air. Penyediaan Air Minum. ITB.
Pendidikan dan Latihan Tenaga Teknik
Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung. Pohland, Frederick G. and Stephen R. Harper. 1985. Critical Review and Summary of Leachate and Gas Production from Landfills. U.S. Environmental Protection Agency, Ohio. Priambodho, K. 2005. Kualitas Air Lindi pada Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwadio, A.D. dan A. Masduqi. 2004. Iron Removal by Natural Zeolit of Ponorogo in Continuous Flow. Jurnal Purifikasi, Vol 3 No.4: 169-174. Qasim, S. R. 1994. Sanitary Landfill Leachate. treatment. Tecnomic. Lancaster – BaseI.
Generation control and
Rismana, E. 2002. Mengenal Bahan Kimia Desinfeksi. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/1004/07/cakrawala/lain01.htm. Diakses pada tanggal 27 Juli 2005. Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Jakarta. Samorn, M., C. L. Sales and S. Phunsiri. Disposal and Management in Bangkok. 28:106-112.
2002. Solid Waste Recycling. Journal Environment Resources
Santika, S. S. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Sastiono, A. 1993. Perilaku Mineral Zeolit dan Pengaruhnya Perkembangan Tanah. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. _________. 2004. Indonesia belum www.entropi-online.com/info/1.6.asp
serius
memanfaatkan
terhadap
zeolit.
Seaman, L., R. Sherif, W. J. Parker, K. Kennedy dan P. J. Seto. 2009. Sludge Pretreatment Before Aerobic Digestion to Enhance Pathogen Destruction. Canadian Journal of Civil Engineering, Vol.36(5) :871-880. Singh, G. dan N. S. Rawat. 2006. Removal of Trace Elements from Acid Mine Drainage. International Journal of Minewater 4 (1):17-23.
159
Sempurna, U. 2010. http://www.docstoc.com/docs/43498597/artikel. tanggal 30 Agustus 2010.
Diakses pada
Shofuan. 1996. Pengaruh Aerasi Tekanan Tinggi terhadap Limbah Cair Organik Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo, Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana. Progam Studi Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia. Jakarta. Siregar, S.A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Menuntaskan pengenalan alat- alat dan sistem pengolahan air limbah. Kanisius. Yogyakarta. Subiyanto, A. 2000. Teknologi Pengolahan Air Limbah. Himpunan Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan. Vol. II/No/1 tahun 2000-2001. Bapedalda DKI Jakarta. Suganal, Y. Basuni, Marmer, H.D. Suryadi, T., Purnawan, W. 1990. Pemanfaatan Zeolit Bayah untuk Pengolahan NH4+, NO2-, NO3- dalam Air Buangan Industri Mono Sodium Gultamate di PT Miwon Indonesia Surabaya. Buletin Pusat Pengembangan Teknologi Mineral.. Vol.12 No.3 : 14-32. Suganda. 2003. Tinjauan Kualitas Air Tanah dan Air Permukaan sebagai Akibat Penanganan Sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat). Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. Sugiharto. 1987. Jakarta.
Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia.
Suherman, D., N. Karningsih, D. Fatimah, L. N. Estiaty, I. Nurlela, D. Nurbaeti, Suwardi. 2005. Pemanfaatan Zeolit untuk Pupuk. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Bandung. Supardi, G. 1988. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. IPB. Bogor. Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan secara Biologis. Alumni. Bandung. Sutarti, M. dan M. Rachmawati. 1994. Zeolit : Tinjauan literatur. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Suyartono dan Husaini. 1991. Tinjauan terhadap kegiatan penelitian karakrteristik dan pemanfaatan zeolit Indonesia yang dilakukan PPTM periode 1980 – 1991, buletin PPTM Vol.13 No.4. Mei 1991. Syahrulyati, T. 2007. Pemetaan Isophreatic Kontur untuk Menduga Arah Aliran Cemaran Lindi di bawah Permukaan Tanah. Studi Kasus pada TPA Sampah Galuga. Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol 21(3):225-233.
160
Takeuchi, Y. 2008. Kimia Dasar. Oksidasi dan Reduksi. http://www.chemistry.org/materi_kimia/kimia_dasar/oksidasi_dan_reduksi/konsep oksidasi_reduksi/ Diakses pada tanggal 23 Agustus 2010. Tan, K. H. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. Tang D. Y., Z. Zheng, Z. Lin, C. L. Tao, H. Gao dan H. Lu. 2010. Adsorption of Ammonium-nitrogen from Low Concentration Wastewater by Natural Zeolite. http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-FJKS201012051.htm Tso, C. P., K. S. Low and G. Balamurugan. 1990. Public Perception Towards Sewage Treatment Plants in Selected Areas in Selangor and Kuala Lumpur, Malaysia. The Environmentalist. Official Journal of the Institution of Environmental Sciences. Vol. 10, No.2. Umar M., H. A. Aziz dan M. S. Yusoff. 2010. Variability of Parameters Involved in Leachate Pollution Index and Determination of LPI from Four Landfills in Malaysia. Hindawi Publihing Corporation International Journal of Chemical Engineering Vol 2010, Article ID 747953, 6 pages. doi:10.1155/2010/747953 Utami, A. R. 2007. Penelitian Uji Efisiensi Penggunaan Zeolit Malang Selatan untuk Menurunkan Kandungan Logam Berat dalam Air Limbah. Hasil Penelitian. Litbang Baristand Industri Surabaya. Vigneault B. dan P. G. Campbell. 2005. Uptake of Cadmium by Freshwater Green Algae: Effect of cadmium and aquatic humic substances. Journal of Phycology 41(1):55-61. Vogel. 1979. Texbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis. Longman Group Limited, London. Wahjuni, N. S. 1996. Pengaruh Tempat Pembuangan Akhir terhadap Air Sumur Dangkal. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. Waluyo, L. 2005. Mikrobiologi Lingkungan. UMM. Malang. p.197. Widianti, T. 2007. Pengujian Kapasitas Tukar Kation Zeolit sebagai Penukar Kation Alami untuk Pengolahan Limbah Industri. http://www.lipi.go.id/www.cgi?cetakpublikasi&1169628121&&& Widyatmoko, H. dan M.M. Sintorini. 2002. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abdi Tandur. Jakarta. Sydney. Wikipedia. 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/solubility_table
161
Wisnujprapto. 1995. Pengantar Bioproses. Jurusan Teknik Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. ITB. Bandung. p.31– 32. Young, M.M., W.A. Anderson and A. M. Chakrabarty. Biotechnology. Principles and Applications. Dordrect- Boston-London.
Lingkungan.
1995. Environmental Kluwer Academic.
Zorpas, A. A., T. Constantinides, A. G. Vlyssides, I. Haralambous dan M. Loizidou. 2000. Heavy Metal Uptake by Natural Zeolite and Metals Partitioning in Sewage Sludge Compost. Bioresouce Technology, Vol.72(2):113-119.
162
163
Lindi + 1000 ppm CaO
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO
Lindi + 0,01% KMnO4
Lindi tanpa penambahan bahan
Gambar Lampiran 1. Gambaran visual dari pupuk cair berbahan dasar lindi
Tabel Lampiran 1. Hasil analisis pendahuluan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Parameter Analisis FISIKA Temperatur Residu Terlarut Residu Tersuspensi Warna Kekeruhan Daya Hantar Listrik (DHL) KIMIA pH Besi Terlarut (Fe) Salinitas Alkalinitas Kesadahan Ca Kesadahan Mg Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Mangan Terlarut (Mn) Barium (Ba) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Kromium Total (Cr) Kadmium Raksa Timbal Tin (Sn) Arsen Selenium Nikel Kobalt Boron Perak (Ag) Sianida Sulfida Fluorida Nitrogen Organik Orthofosfat Total Fosfat (P-total) Sulfat Klorida Ammonia Nitrat Nitrit BOD5 COD Detergen Fenol Minyak dan Lemak MIKROBIOLOGI E. coli
Satuan o
Hasil Pengukuran
C mg/l mg/l TCU NTU µmhos/cm
29,0 2836 165,2 732,5 456,0 4300
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7,36 0,470 1,0 <0,5 220,2 330,2 88,3 80,2 0,753 0,183 0,043 0,090 0,075 0,064 <0,0008 0,022 <0,05 <0,05 <0,05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 4,37 0,07 548,61 0,92 3,20 66,23 518,60 6,28 1,48 <0,001 333,29 956,16 0,098 0,016 21,0
MPN/100 ml
1600
164
Metoda Analisis/Alat SNI 06-2413-1991 SNI 06-2413-1991 SNI 06-2413-1991 Kolorimetrik Turbidimetrik Konduktometri SNI 06-2413-1991 SNI 06-6989-4-2004 Refraktometer Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik AAS AAS SNI 06-6989-5-2004 AAS SNI 06-6989-6-2004 SNI 06-6989-7-2004 SNI 06-6989-17-2004 SNI 06-6989-16-2004 SNI 06-2464-1991 SNI 06-6989-8-2004 AAS SK-SNI-M-16-1991-03 SNI-06-2475-1991 SNI-06-2520-1991 SN-06-2471-1991 AAS AAS Spektrofotometrik Spektrofotometrik SNI-06-2482-1991 Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Titrimetrik Spektrofotometrik SNI-06-2480-1991 SNI-06-2480-1991 SNI-06-2480-1991 SNI-06-2480-1991 SNI-06-2480-1991 SNI-06-2480-1991 Gravimetrik MPN
Tabel Lampiran 2. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap kadar polutan pada efluennya Parameter COD (ppm) BOD5 (ppm) E. coli (MPN) NH3 (ppm) Sulfida (ppm) Nitrat (ppm) Sulfat (ppm) Fosfat (ppm) Nilai TDS (ppm) pH DO (ppm) Cu bagian atas Zn bagian atas
Mn bagian atas Fe bagian atas Pb bagian atas Cd bagian atas Cr bagian atas Cu bagian bawah Zn bagian bawah Mn bagian bawah Fe bagian bawah Pb bagian bawah Cd bagian bawah Cr bagian bawah
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat
db 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4
JK
254142,38 4883,65 64416,27 1247,22 12037,50 1850,00 21,65 0,83 10,97 0,65 10,83 0,45 1473,71 277,68 0,11 0,01 190300,00 7500,00 1,25 0,07 135,25 0,11 0,0005 0,00007 0,0004 0,00007 0,34 0,04 2,60 0,19 0,00002 0,00001 0,001 0,00008 0,003 0,0001 0,008 0,0002 0,18 0,007 18,55 0,66 40,24 1,88 0,00001 0,000005 0,002 0,0003 0,03 0,001
165
KT
84714,13 1220,91 21472,09 311,80 4012,50 462,50 7,22 0,21 3,66 0,16 3,61 0,11 491,24 69,42 0,04 0,004 63433,33 1875,00 0,42 0,02 45,08 0,03 0,0002 0,00002 0,0001 0,00002 0,11 0,009 0,87 0,05 0,000006 0,000002 0,0005 0,00002 0,0009 0,00003 0,003 0,00005 0,06 0,002 6,18 0,16 13,41 0,47 0,000005 0,000001 0,0006 0,00008 0,01 0.0003
Fhitung
F Tabel 5% 1%
69,39**
6,59
16,69
68,86**
6,59
16,69
8,68*
6,59
16,69
34,58**
6,59
16,69
22,52**
6,59
16,69
31,76**
6,59
16,69
7,08*
6,59
16,69
10,14*
6,59
16,69
33,83**
6,59
16,69
23,71**
6,59
16,69
1639,39**
6,59
16,69
8,50*
6,59
16,69
6,81*
6,59
16,69
11,58*
6,59
16,69
18,35**
6,59
16,69
2,52
6,59
16,69
24,60**
6,59
16,69
26,64**
6,59
16,69
51,97**
6,59
16,69
37,38**
6,59
16,69
37,56**
6,59
16,69
28,51**
6,59
16,69
3,87
6,59
16,69
7,64*
6,59
16,69
39,37**
6,59
16,69
Lanjutan Tabel Lampiran 2. Parameter
Selisih Cu Selisih Zn Selisih Mn Selisih Fe Selisih Pb Selisih Cd Selisih Cr
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat
db 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4
JK
0,01 0,0001 0,19 0,006 23,93 0,46 63,31 1,37 0,00006 0,00002 0,006 0,0001 0,05 0,001
166
KT
Fhitung
F Tabel 5%
1%
0,00003 0,003 0,06 0,002 7,98 0,12 21,10 0,34 0,000019 0,000006 0,002 0,00004 0,02 0,0003
110,42**
6,59
16,69
43,02**
6,59
16,69
68,63**
6,59
16,69
61,64**
6,59
16,69
3,19
6,59
16,69
57,35**
6,59
16,69
51,45**
6,59
16,69
Tabel Lampiran 3. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi selama 6 jam terhadap efektivitas penurunan beberapa polutan dan peningkatan pH dan DO Parameter Penurunan COD Penurunan BOD5 Penurunan E. coli Penurunan NH3 Penurunan Sulfida Penurunan Nilai TDS Peningkatan pH Peningkatan DO
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat
db 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4
JK
14412,80 85,58 6871,61 27,72 6198,78 61,17 6204,63 74,09 6968,47 72,83 167,48 5,03 138,91 5,99 5837291,67 826597,22
167
KT
Fhitung
F Tabel 5% 1%
4804,27 21,39 2290,54 6,93 2066,26 15,29 2068,21 18,52 2322,82 18,21 55,83 1,26 46,30 1,49 1945763,89 206649,31
224,55**
6,59
16,69
330,50**
6,59
16,69
135,11**
6,59
16,69
111,65**
6,59
16,69
127,57**
6,59
16,69
44,38**
6,59
16,69
30,92**
6,59
16,69
9,42*
6,59
16,69
Tabel Lampiran 4. Hasil uji F pengaruh pengolahan aerasi terhadap perubahan nilai BOD 5, DO, nilai TDS, pH, nilai MLVSS dan laju penguraian BOD5 Sumber Keragaman Laju Aerasi (A)
db 3
JK 350648,23
KT 116882,74
Fhitung 361,58**
Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
5 15 24
38431,19 20781,64 7758,14
7686,39 1385,44 323,26
23,78** 4,29**
2,82 2,11
3.90 2,89
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
37310,54 4011,20 2202,58 1808,62
12436,85 802,24 146,84 8,34
1490,80** 96,16** 17,60**
3,01 2,82 2,11
4,72
DO selama 6 jam
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
511,19 91,81 45,07 2,13
170,40 18,36 3,00 0,09
1919,94** 206,90** 33,86**
3,01 2,82 2,11
4,72 3.90 2,89
Nilai TDS selama 6 jam
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
404822,92 119910,42 93714,58 58550,00
134940,97 23982,08 6247,64 2439,58
55,31** 9,83** 2,56*
3,01 2,82 2,11
4,72 3.90 2,89
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B)
3 5
358,14 120,73
119,38 24,15
206,84** 41,84**
3,01 2,82
4,72 3.90
Interaksi (A x B) Galat
15 24
78,58 13,85
5,24 0,58
9,08**
2,11
2,89
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
2,91 0,77 0,53 0,31
0,97 0,15 0,04 0,01
73,84** 11,80** 2,70*
3,01 2,82 2,11
4,72 3.90 2,89
Perubahan Nilai MLVSS selama 6 jam
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
2745277,60 688699,42 2258894,90
915092,53 137739,88 150592,99
16,13** 2.43 2,63*
3,01 2,82 2,11
4,72 3.90 2,89
Laju Penguraian BOD5 selama 6 jam
Laju Aerasi (A) Lama Aerasi (B) Interaksi (A x B) Galat
3 5 15 24
1,738 0,088 0,129
0,579 0,018 0,009
356,46** 10,82** 5,29**
3,01 2,82 2,11
4,72 3.90 2,89
Parameter Nilai BOD5 selama 6 jam
Efektivitas Penurunan Nilai BOD5 selama 6 jam
Efektivitas Penurunan Nilai TDS selama 6 jam
pH selama 6 jam
168
F Tabel 5% 1% 3,01 4,72
3.90
2,89
Tabel Lampiran 5.
Parameter COD BOD5 E. coli NH3 Sulfida Nilai TDS pH TSS Padatan Mengendap KTK Jumlah Filtrat yang dapat Melewati Zeolit Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr
Hasil uji F pengaruh pengolahan 1 tahap (aerasi 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (penggunaan zeolit pada 3 ukuran partikel yang berbeda) terhadap kadar polutan pada efluen Sumber Keragaman Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat
db
3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 2 3 2 3 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4 3 4
169
JK
KT
7646,77 1137,72 1741,83 300,34 650,00 100,00 1,99 0,32 0,13 0,12 778337,50 4250,00 0,65 0,01
2548,92 284,43 580,61 75,09 216,67 25,00 0,66 0,08 0,04 0,03 259445,83 1062,50 0,22 0,002
5923,63 189,09 14,75 0,53
Fhitung
F Tabel 5% 1%
8,96*
6,59
16,69
7,73*
6,59
16,69
8,67*
6,59
16,69
8,39*
6,59
16,69
1,43
6,59
16,69
244,18**
6,59
16,69
86,67**
6,59
16,69
2961,82 63,03 4,92 0,13
46,99**
6,59
16,69
37,09**
6,59
16,69
341,30 10,18
170,65 3,39
50,29**
6,59
16,69
7065,33
3532,67
81,52**
6,59
16,69
130,00
43,33
0,0002 0,00001
0,00006 0,000003
19,99**
6,59
16,69
0,001 0,00005 0,01 0,0003 2,43 0,26
0,0005 0,00001 0,004 0,00008 0,81 0,07
37,62**
6,59
16,69
43,28**
6,59
16,69
12,34*
6,59
16,69
0,0003 0,00001
0,0001 0,000003
30,55**
6,59
16,69
0,0005 0,00001
0,0002 0,000002
57,32**
6,59
16,69
0,00005 0,000006
0,00002 0,000002
12,33*
6,59
16,69
Tabel Lampiran 6. Hasil uji F pengaruh ukuran partikel zeolit terhadap efektivitas penurunan polutan
Parameter Penurunan COD Penurunan BOD5 Penurunan E. coli Penurunan NH3 Pnurunan Sulfida Penurunan Nilai TDS Penurunan TSS Penurunan Padatan Mengendap Penurunan Cu Penurunan Zn Penurunan Mn Penurunan Fe Penurunan Pb Penurunan Cd Penurunan Cr Nilai TDS pada volume yang berbeda
Jumlah Padatan Mengendap pada volume yang berbeda
TSS pada volume yang berbeda
Sumber Keragaman Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Perlakuan Galat Ukuran Partikel (A) Volume (B) Interaksi (AB) Galat Ukuran Partikel (A) Volume (B) Interaksi (AB) Galat Ukuran Partikel (A) Volume (B) Interaksi (AB) Galat
170
db 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 39 78 239 2 9 18 30 2 9 18 30
F Tabel 5% 1%
JK 1225,43 33,89
KT 612,72 11,30
Fhitung 54,24**
9,55
30,82
1722,26 32,70 1108,33 175,00 1625,99 58,45 498,19 15,54 304,73 8,13 2170,54 69,28 1225,44 33,89 1802,64 19,94 1064,63 44,16 271,94 38,32 1648,19 7,20 1350,10 17,36 1011,55 108,16 296,63 27,88
861,13 10,90 554,17 58,33 812,99 19,48 249,09 5,18 152,36 2,71 1085,27 23,09 612,72 11,30 901,32 6,65 532,32 14,72 135,97 12,77 824,09 2,40 675,05 5,79 505,78 36,05 148,31 9,29
78,99**
9,55
30,82
9,50*
9,55
30,82
41,73**
9,55
30,82
48,09**
9,55
30,82
56,24**
9,55
30,82
46,99**
9,55
30,82
54,24**
9,55
30,82
135,59**
9,55
30,82
36,17**
9,55
30,82
10,65*
9,55
30,82
343,19**
9,55
30,82
116,63**
9,55
30,82
14,03*
9,55
30,82
15,96*
9,55
30,82
7468203,33 3661093,33 175396,67 39000 28,18 32,97 9,73 0,73 24563,38 64454,58 3099,97 844,12
3734101,67 93874,19 2248,68 325 14,09 3,66 0,54 0,02 12281,69 7161,62 172,22 28,14
11489,54** 288,84** 6,92**
3,07 1,49 1,4
4,78 1,75 1,6
581,65** 151,22** 22,30**
3,32 2,21 1,96
5,39 3,06 2,55
436,49** 254,52** 6,12**
3,32 2,21 1,96
5,39 3,06 2,55
Tabel Lampiran 7. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap nilai TDS, pH dan kadar Ca pada sentrat Sumber Ftabel Parameter db JK KT Fhit Keragaman 5% 1% 87 437996979,55 5034448,04 Perlakuan 171,25** 1,47 1,72 3 88783511,36 29594503,79 Kapur 1006,69** 2,71 4,02 10 179708192,05 17970819,20 Dosis 611,30** 1,93 2,54 1 975056,82 975056,82 Fisik 33,17** 3,95 6,94 Nilai TDS Kapur Dosis 30 163317526,14 5443917,54 185,18** 1,59 1,92 3 1004111,36 334703,79 Kapur Fisik 11,39** 2,71 4,02 10 1640055,68 164005,57 Dosis Fisik 5,58** 1,93 2,54 30 2568526,14 85617,54 Kapur Dosis Fisik 2,91** 1,59 1,92 88 2587000,00 29397,73 Galat 87 367,53 4,22 Perlakuan 2,72** 1,47 1,72 3 275,09 91,69 Kapur 59,07** 2,71 4,02 10 55,62 5,56 Dosis 3,58** 1,93 2,54 1 0,07 0,07 Fisik 0,04 3,95 6,94 pH 30 35,87 1,19 Kapur Dosis 0,77 1,59 1,92 3 0,16 0,05 Kapur Fisik 0,03 2,71 4,02 10 0,46 0,05 Dosis Fisik 0,03 1,93 2,54 30 0,26 0,01 Kapur Dosis Fisik 0,01 1,59 1,92 88 136,60 1,55 Galat 87 40150,13 461,50 Perlakuan 34,77** 1,47 1,72 3 6204,01 2068,00 Kapur 155,82** 2,71 4,02 10 18282,08 1828,21 Dosis 137,75** 1,93 2,54 1 10,41 10,41 Fisik 0,78 3,95 6,94 Ca 30 14957,48 498,58 Kapur Dosis 37,57** 1,59 1,92 3 158,72 52,91 Kapur Fisik 3,99* 2,71 4,02 10 227,75 22,77 Dosis Fisik 1,72 1,93 2,54 30 309,69 10,32 Kapur Dosis Fisik 0,78 1,59 1,92 88 1167,93 13,27 Galat
171
Tabel Lampiran 8. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur terhadap kadar logam mikro pada endapan Parameter
Cu
Zn
Mn
Fe
Pb
Sumber Keragaman Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat
db
JK
KT
Fhit
23 3 2 1 3 2 6 6 24 23 3 2 1 3 2 6 6 24 23 3 2 1 3 2 6 6 24 23 3 2 1 3 2 6 6 24 23 3 2 1 3 2 6 6 24
834,35 327,92 69,78 177,10 38,58 24,59 169,99 26,38 117,47 8051,09 3516,94 456,61 1523,93 2,65 5,39 2511,13 34,45 1100,65 95247,09 2510,92 2510,98 2506,24 971,53 635,18 3172,29 721,27 27098,73 106463,55 28950,18 53203,82 12851,76 1086,43 704,60 8916,54 750,21 21670,15 828,89 339,78 3,91 309,27 40,65 2,14 125,23 7,92 106,92
36,28 109,31 34,89 177,10 12,86 12,29 28,33 4,39 4,89 350,04 1172,31 228,30 1523,93 0,88 2,69 418,52 5,74 45,86 4141,18 9915,66 18451,13 23097,56 323,84 317,59 528,71 120,21 1129,11 4628,85 9650,06 26601,91 12851,76 362,14 352,30 1486,09 125,04 902,92 36,04 113,26 1,95 309,27 13,55 1,07 20,87 1,32 4,46
7,41** 22,33** 7,13** 36,18** 2,63* 2,51 5,79** 0,89
Ftabel 5% 1% 1,99 2,68 3,01 4,72 3,40 5,61 4,26 7,82 2,51 3,67 3,01 4,72 3,40 5,61 2,51 3,67
7,63** 25,56** 4,98* 33,23** 0,02 0,06 9,13** 0,13
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
3,67** 8,78** 16,34** 20,46** 0,28 0,28 0,47 0,11
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
5,13** 10,69** 29,46** 14,23** 0,40 0,39 1,65 0,14
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
8,09** 25,42** 0,44 69,42** 3,04* 0,24 4,68* 0,29
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
172
Lanjutan Tabel Lampiran 8 Parameter
Cd
Cr
Bahan Organik
Sumber Keragaman Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat
23 3 2 1 3 2 6 6 24
84,93 24,44 3,30 26,40 8,52 0,16 21,24 0,87 62,29
3,69 8,15 1,65 26,40 2,84 0,08 3,54 0,14 2,59
0,16 3,14* 0,64 10,17** 1,09 0,03 1,36 0,06
Ftabel 5% 1% 1,99 2,68 3,01 4,72 3,40 5,61 4,26 7,82 2,51 3,67 3,01 4,72 3,40 5,61 2,51 3,67
Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat
23 3 2 1 3 2 6 6 24
23,88 6,79 9,79 4,78 0,35 0,16 1,49 0,52 4,99
1,04 2,27 4,89 4,78 0,12 0,08 0,25 0,09 0,21
4,99** 10,89** 23,52** 22,95** 0,56 0,39 1,19 0,42
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
Perlakuan Kapur (K) Dosis (D) Fisik (F) Kapur Fisik (KF) Dosis Fisik (DF) Kapur Dosis (KD) Kapur Dosis Fisik (KDF) Galat
23 3 2 1 3 2 6 6 24
586500,00 193766,67 237650,00 132300,00 2566,67 1250,00 15683,33 3283,33 275400,00
25500,00 64588,89 118825,00 132300,00 855,56 625,00 2613,89 547,22 11475,00
2,22* 5,63** 10,36** 11,53** 0,07 0,05 0,23 0,05
1,99 3,01 3,40 4,26 2,51 3,01 3,40 2,51
2,68 4,72 5,61 7,82 3,67 4,72 5,61 3,67
db
JK
173
KT
Fhit
Tabel Lampiran 9. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO 4 terhadap nilai TDS, pH, kadar Mn dan Ca pada sentrat Parameter
Sumber
JK
KT
23 2 3 1 6 2 3 6 24
957991,67 460116,67 435708,33 10800,00 42766,67 4650,00 1583,33 2366,67 1156000,00
41651,81 230058,33 145236,11 10800,00 7127,78 2325,00 527,78 394,44 48166,67
0,86 4,78* 3,02* 0,22 0,15 0,05 0,01 0,01
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
pH
Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat
23 2 3 1 6 2 3 6 24
19,30 16,91 1,83 0,07 0,39 0,04 0,02 0,03 3,81
0,84 8,46 0,61 0,07 0,07 0,02 0,01 0,01 0,16
5,28** 53,27** 3,85* 0,43 0,41 0,14 0,04 0,04
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
Mn
Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat
23 2 3 1 6 2 3 6 24
11,98 4,62 3,94 0,60 2,18 0,26 0,23 0,14 0,49
0,52 2,31 1,31 0,60 0,36 0,13 0,08 0,02 0,02
25,72** 114,08** 64,89** 29,44** 17,98** 6,40** 3,87* 1,17
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
Ca
Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat
23 2 3 1 6 2 3 6 24
56,32 6,51 41,16 0,69 5,44 0,60 0,02 1,90 5,85
2,45 3,25 13,72 0,69 0,91 0,30 0,006 0,32 0,24
10,05** 13,36** 56,33** 2,83 3,72** 1,23 0,03 1,30
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
Nilai TDS
174
Fhit
Ftabel 5% 1%
db
Keragaman Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat
Tabel Lampiran 10. Hasil uji F pengaruh pemberian kapur dan KMnO 4 terhadap kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan Parameter
Cu
Sumber Keragaman Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Zn
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF Galat Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Mn
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF KDF Galat Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Fe
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD DF KDF Galat Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Pb
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KF DF KDF Galat
JK
KT
23 2 3 1 6 2 3 6
461,58 34,62 170,89 126,04 109,39 8,25 6,24 6,15
20,07 17,31 56,96 126,04 18,23 4,13 2,08 1,02
3,42** 2.95 9,70** 21,47** 3,11* 0,70 0,35 0,17
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
23 2 3 1 6 2 3 24
3023,49 1356,69 259,59 424,83 854,81 5,13 73,61 642,63
131,46 678,35 86,53 424,83 142,47 2,56 24,54 26,78
4,91** 25,33** 3,23* 15,87** 5,32** 0,09 0,92
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72
23 2 3 1 6 2 6 24
587782,92 2847,23 559648,45 9180,91 13184,34 69,72 627,00 48042,23
25555,78 1423,62 186549,48 9180,91 2197,39 34,86 104,50 2001,76
12,77** 0,71 93,19** 4,59* 1,09 0,02 0,05
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 3,67
23 2 3 1 6 3 6 24
81424,73 5768,78 6273,08 37921,51 25525,84 1437,68 1705,22 17569,06
3540,21 2884,39 2091,03 37921,51 4254,31 479,23 284,20 732,04
4,84** 3,94* 2,86 51,80** 5,81** 0,65 0,39
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 4,72 3,67
23 2 3 1 2 3 6 24
358,12 3,11 63,43 205,51 0,39 15,94 4,12 149,08
15,57 1,55 21,14 205,51 0,19 5,31 0,69 6,21
2,51* 0,25 3,40* 33,09** 0,03 0,86 0,11
1,99 3,40 3,01 4,26 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 5,61 4,72 3,67
175
Fhit
Ftabel 5% 1%
db
Lanjutan Tabel Lampiran 10.
Parameter
Cd
Sumber Keragaman Perlakuan Penambahan Kapur (K) Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Cr
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat Perlakuan Penambahan Kapur (K)
Bahan Organik
Dosis KMnO4 (D) Fisik (F) KD KF DF KDF Galat
db
JK
KT
Fhit
Ftabel 5%
1%
23 2 3 1 6 2 3 6
59,98 14,18 14,04 5,71 25,48 0,21 0,12 0,23
2,61 7,09 4,68 5,71 4,24 0,11 0,04 0,04
0,53 1,43 0,95 1,15 0,86 0,02 0,008 0,008
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
23 2 3 1 6 2 3 6 24
7,74 3,17 0,04 2,59 1,73 0,13 0,04 0,05 6,93
0,34 1,58 0,01 2,59 0,29 0,06 0,01 0,008 0,29
1,17 5,49* 0,05 8,95** 0,99 0,22 0,04 0,03
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
23 2 3 1 6 2 3 6 24
994497,92 679904,17 198356,25 56718,75 56112,50 1137,50 856,25 1412,50 583650,00
43239,04 339952,09 66118,75 56718,75 9352,08 568,75 285,42 235,42 24318,75
1,78 13,98** 2,72 2,33 0,38 0,02 0,01 0,009
1,99 3,40 3,01 4,26 2,51 3,40 3,01 2,51
2,68 5,61 4,72 7,82 3,67 5,61 4,72 3,67
176
Tabel Lampiran 11. Hasil uji F pengaruh pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman serta kadar Pb, Cd dan Cr dalam buah Sumber Parameter
Ftabel
JK
Keragaman Perlakuan Galat
21 22
183,44 8,74
31,63 1,44
6,08**
5% 2,03
1% 2,76
21 22
434,78 20,70
88,92 3,87
5,35**
2,03
2,76
Bobot Brangkasan
Perlakuan Galat Perlakuan Galat
21 22
190,39 9,07
11,50 0,50
18,13**
2,03
2,76
Jumlah Buah
Perlakuan Galat
21 22
2427,39 115,59
205,21 8,92
12,96**
2,03
2,76
Bobot Buah
21 22
1,86 0,06
0,09 0,003
31,46**
2,03
2,76
Pb dalam buah
Perlakuan Galat Perlakuan Galat
21 22
0,001 0,0003
0,00006 0,00001
4,70**
2,03
2,76
Cd dalam buah
Perlakuan Galat
21 22
0,06 0,01
0,003 0,0006
5,31**
2,03
2,76
Cr dalam buah
Tinggi Tanaman
177
KT
Fhit
db
Tabel Lampiran 12. Nilai beberapa parameter kimia pada efluen setelah diaerasi selama 6 jam
Parameter COD (ppm) BOD5 (ppm) E. coli (MPN/10 ml) NH3 (ppm) Sulfida (ppm) Nitrat (ppm) Sulfat (ppm) Fosfat (ppm) Nilai TDS (ppm) pH DO (ppm) Cu pada efluen atas (ppm) Zn pada efluen atas (ppm) Mn pada efluen atas (ppm) Fe pada efluen atas (ppm) Pb pada efluen atas (ppm) Cd pada efluen atas (ppm) Cr pada efluen atas (ppm) Cu pada efluen bawah (ppm) Zn pada efluen bawah (ppm) Mn pada efluen bawah (ppm) Fe pada efluen bawah (ppm) Pb pada efluen bawah (ppm) Cd pada efluen bawah (ppm) Cr pada efluen bawah (ppm)
0 l/mnt
Ulangan I 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Ulangan II 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Rata-Rata 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
598,52 276,75 130,00 6,24 4,02 1,23 62,16 0,80 3220.00 8,00 0,10 0,04 0,08 0,69 3,91 0,03 0,06 0,08 0,05 0,09
517,61 206,23 100,00 4,22 2,92 1,43 68,77 1,03 3130,00 8,30 9,00 0,04 0,08 0,62 3,39 0,03 0,05 0,07 0,06 0,09
361,52 80,56 80,00 2,51 1,82 2,98 79,09 1,08 3050,00 8,70 9,40 0,02 0,07 0,49 3,04 0,03 0,04 0,05 0,06 0,10
183,73 72,31 50,00 2,02 1,02 4,60 98,57 1,18 2860,00 9,00 9,90 0,02 0,07 0,22 2,63 0,02 0,03 0,04 0,12 0,40
633,54 312,82 170,00 6,61 4,49 1,58 69,68 0,95 3330,00 8,00 0,10 0,04 0,09 0,69 3,86 0,03 0,07 0,09 0,04 0,09
579,81 229,54 140,00 5,21 3,72 1,68 80,23 0,96 3160,00 8,60 9,30 0,04 0,08 0,62 3,52 0,03 0,06 0,07 0,.05 0,10
302,91 99,65 100,00 2,92 2,41 3,32 97,26 1,12 3090,00 8,90 9,60 0,03 0,08 0,49 2,71 0,03 0,04 0,06 0,07 0,13
148,56 89,21 40,00 2,64 1,32 3,82 104,68 1,21 2840,00 9,10 10,20 0,02 0,07 0,22 2,13 0,02 0,03 0,04 0,13 0,50
616,03 294,79 150,00 6,43 4,26 1,41 65,92 0,88 3275,00 8,00 0,10 0,04 0,09 0,79 3,89 0,03 0,07 0,09 0,05 0,09
548,71 217,89 120,00 4,72 3,32 1,56 74,50 0,99 3145,00 8,45 9,15 0,03 0,08 0,68 3,46 0,03 0,05 0,07 0,06 0,09
332,22 90,11 90,00 2,72 2,12 3,15 88,18 1,10 3070,00 8,80 9,50 0,03 0,07 0,57 2,88 0,03 0,04 0,06 0,07 0,12
166,15 80,76 45,00 2,33 1,17 4,21 101,63 1,20 2850,00 9,05 10,05 0,02 0,07 0,24 2,38 0,02 0,03 0,04 0,13 0,45
0,77 5,08 0,03 0,07 0,10
1,39 7,14 0,03 0,07 0,12
2,41 8,96 0,03 0,09 0,18
4,57 11,85 0,03 0,10 0,30
0,96 5,12 0,03 0,08 0,11
1,89 6,23 0,03 0,08 0,15
3,17 9,06 0,03 0,09 0,17
5,24 10,14 0,03 0,12 0,26
0,86 5,10 0,03 0,07 0,11
1,64 6,69 0,03 0,07 0,14
2,79 9,01 0,03 0,09 0,.18
4,90 10,99 0,03 0,11 0,28
178
Lanjutan Tabel Lampiran 12.
0 l/mnt
Ulangan I 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Ulangan II 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Rata-Rata 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
Selisih Cu antara efluen atas dan bawah
0,006
0,026
0,038
0,102
0,004
0,01
0,04
0,106
0,005
0,018
0,039
0,104
Selisih Zn antara efluen atas dan bawah
0,008
0,009
0,026
0,328
0,002
0,023
0,058
0,432
0,005
0,016
0,042
0,38
Selisih Mn antara efluen atas dan bawah
0,078
0,766
1,92
4,347
0,068
1,158
2,52
4,992
0,073
0,962
2,22
4,669
Selisih Fe antara efluen atas dan bawah
1,17
3,75
5,92
9,22
1,26
2,71
6,35
8,01
1,215
3,23
6,135
8,615
Selisih Pb antara efluen atas dan bawah
0,003
0,002
0,004
0,006
0,001
0,004
0,006
0,012
0,002
0,003
0,005
0,009
Selisih Cd antara efluen atas dan bawah
0,004
0,02
0,047
0,072
0,008
0,024
0,049
0,088
0,006
0,022
0,048
0,08
Selisih Cr antara efluen atas dan bawah
0,018
0,052
0,131
0,255
0,014
0,074
0,109
0,213
0,016
0,063
0,12
0,234
Parameter
179
Tabel Lampiran 13. Data efektivitas (%) dari pengolahan aerasi selama 6 jam
Parameter
0 l/mnt
Ulangan I 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Ulangan II 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
0 l/mnt
Rata-Rata 10 30 l/mnt l/mnt
70 l/mnt
Penurunan COD pada t = 6 jam
1,92
16,27
45,35
71,15
2,29
12,99
56,06
77,90
2,10
14,63
50,70
74,52
Penurunan BOD5 pada t = 6 jam
2,81
28,95
57,18
73,91
1,58
17,52
53,83
75,42
2,20
23,24
55,50
74,67
Penurunan E. coli pada t = 6 jam
8,33
16,67
42,86
61,54
6,25
12,50
41,18
71,43
7,29
14,58
42,01
66,48
Penurunan NH3 pada t = 6 jam
1,96
29,90
62,14
68,83
1,38
18,85
59,72
64,37
1,67
24,37
60,93
66,60
Penurunan Sulfida pada t = 6 jam
2,81
28,95
57,18
73,91
1,58.
17,52
53,83
75,42
2,20
23,24
55,50
74,67
Penurunan TDS pada t = 6 jam
0,31
3,39
5,57
11,46
0,30
4,24
6,93
14,20
0,31
3,82
6,25
12,83
Peningkatan pH pada t = 6 jam
1,23
3,75
7,41
12,50
1,23
6,17
9,88
12,35
1,23
4,96
8,64
12,42
Peningkatan DO pada t = 6 jam
75.00
2150,00 2250,00 2375,00
83.33
1450,00 1500,00 1600,00
180
1800,00 1875,00 1987,50 79.17
Tabel Lampiran 14. Data hasil percobaan aerasi dari jam ke 1 hingga jam ke 6 Parameter
Waktu 0 Jam ke 1 Jam ke 2
Nilai BOD5 (ppm)
Efektivitas Penurunan BOD5 (%)
Nilai TDS (ppm)
Efektivitas Penurunan TDS (%)
Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6
283,52 283,28 280,42 279,61 278,98 276,75 1,42 1,51 2,50 2,78 3,00 3,78 3210,00 3210,00 3220,00 3220,00 3220,00 3220,00 0,00 0,00 0,31 0,31 0,31 0,31
Ulangan I
Ulangan II
Laju Aerasi (liter/menit)
Laju Aerasi (liter/menit)
10
280,24 270,51 241,33 240,65 222,16 206,23 3,31 6,66 16,73 16,96 23,35 28,84 3220,00 3180,00 3170,00 3150,00 3140,00 3130,00 0,62 1,85 2,16 2,78 3,09 3,40
30
218,42 117,45 95,21 90,67 80,26 80,56 23,28 58,74 66,56 68,15 71,81 71,70 3200,00 3170,00 3140,00 3120,00 3070,00 3050,00 0,93 1,86 2,79 3,41 4,95 5,57
70
172,23 70,12 82,40 90,46 82,63 72,31 47,34 78,56 74,81 72,34 74,73 77,89 3150,00 3110,00 3050,00 2970,00 2900,00 2860,00 2,48 3,72 5,57 8,05 10,22 11,46
0
10
323,24 318,23 315,87 316,08 314,46 312,82 0,76 2,30 3,03 2,96 3,46 3,96 3320,00 3320,00 3330,00 3330,00 3330,00 3330,00 0,00 0,00 0,30 0,30 0,30 0,30
181
315,26 299,64 265,24 255,29 256,61 229,54 5,38 10,07 20,39 23,38 22,98 31,11 3280,00 3260,00 3220,00 3230,00 3210,00 3160,00 0,61 1,21 2,42 2,12 2,73 4,24
30
238,17 141,46 103,.34 80,38 82,45 99,65 25,76 55,91 67,79 74,94 74,30 68,94 3260,00 3220,00 3180,00 3150,00 3120,00 3090,00 1,81 3,01 4,22 5,12 6,02 6,93
70
204,28 76,11 90,12 88,58 90,36 89,21 34,41 75,56 71,07 71,56 70,99 71,36 3200,00 3150,00 3090,00 3000,00 2910,00 2840,00 3,32 4,83 6,65 9,37 12,08 14,20
Lanjutan Tabel Lampiran 14.
Parameter
Waktu 0
DO (ppm)
Efektivitas Peningkatan DO (%)
pH
MLVSS
Laju Penguraian BOD5
Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6 Jam ke 1 Jam ke 2 Jam ke 3 Jam ke 4 Jam ke 5 Jam ke 6
0,30 0,30 0,20 0,20 0,10 0,10 -25.00 -25.00 -50.00 -50.00 -75.00 -75.00 8,10 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 1029,00 1218,00 990,00 1245,00 1038,00 982,00 0,01 0,01 0,01 0,005 0,008 0,007
Ulangan I
Ulangan II
Laju Aerasi (liter/menit)
Laju Aerasi (liter/menit)
10
2,40 4,50 6,00 6,80 8,20 9,00 500,00 1025,00 1400,00 1600,00 1950,00 2150,00 8,10 8,10 8,20 8,20 8,30 8,30 1214,00 1154,00 1052,00 1175,00 1163,00 1301,00 0,03 0,03 0,05 0,03 0,05 0,05
30
3,50 5,70 7,40 8,20 9,10 9,40 775,00 1325,00 1750,00 1950,00 2175,00 2250,00 8,20 8,30 8,40 8,50 8,60 8,70 1159,00 1421,00 1584,00 1638,00 2287,00 1846,00 0,26 0,38 0,37 0,22 0,31 0,28
70
5,80 8,50 8,90 9,20 9,40 9,90 1350,00 2025,00 2125,00 2200,00 2250,00 2375,00 8,20 8,50 8,60 8,70 8,80 9,00 1098,00 1740,00 1587,00 1226,00 1064,00 1312,00 0,64 0,73 0,59 0,36 0,41 0,37
0
10
0,50 0,40 0,40 0,20 0,10 0,10 -16.67 -33.33 -33.33 -66.67 -83.33 -83.33 8,10 8,10 8,10 8,10 8,00 8,00 1115,00 952,00 1208,00 911,00 1100,00 1182,00 0,008 0,01 0,01 0,006 0,008 0,008
182
2,30 4,90 7,10 7,50 8,70 9,30 283,33 716,67 1083,33 1150,00 1350,00 1450,00 8,20 8,30 8,40 8,50 8,50 8,60 858,00 1000,00 1150,00 1093,00 1149,00 1143,00 0,.06 0,05 0,06 0,04 0,06 0,06
30
3,90 5,20 7,90 8,70 9,20 9,60 550,00 766,67 1216,67 1350,00 1433,33 1500,00 8,20 8,50 8,60 8,60 8,80 8,90 975,00 1525,00 1668,00 2168,00 1771,00 1548,00 0,30 0,37 0,37 0,22 0,33 0,29
70
6,20 8,80 9,40 9,60 9,90 10,20 933,33 1366,67 1466,67 1500,00 1550,00 1600,00 8,40 8,60 8,70 8,80 9,00 9,10 1312,00 2592,00 2199,00 1264,00 1652,00 1048,00 0,42 0,61 0,51 0,31 0,37 0,32
Tabel Lampiran 15. Nilai beberapa parameter kimia pada efluen hasil percobaan pengolahan menggunakan zeolit Tanpa Zeolit
Ulangan I Ukuran Partikel (mesh) 5 − 10 10 − 20 20 − 30
Tanpa Zeolit
Ulangan II Ukuran Partikel (mesh) 5 − 10 10 − 20 20 − 30
Tanpa Zeolit
Rata-Rata Ukuran Partikel (mesh) 5 − 10 10 − 20 20 − 30
COD (ppm)
183,73
154,24
121,64
88,64
148,56
127,04
109,37
76,47
166,15
140,64
115,51
82,56
BOD5 (ppm)
72,31
67,63
60,26
40,13
89,21
80,45
72,11
43,34
80,76
74,04
66,19
41,74
E. coli (MPN/10 ml)
50,00
40,00
30,00
20,00
40,00
30,00
30,00
20,00
45,00
35,00
30,00
20,00
NH3 (ppm)
2,02
1,79
1,23
1,02
2,64
2,19
1,51
1,11
2,33
1,99
1,37
1,07
Sulfida (ppm)
1,02
0,94
0,88
0,74
1,32
1,19
1,15
0,89
1,17
1,07
1,02
0,82
2860,00 2410,00 2320,00 1970,00 2840,00 2490,00 2360,00 1980,00 2850,00 2450,00 2340,00
1975,00
Parameter
Nilai TDS (ppm) pH
9,00
8,70
8,60
8,20
9,10
8,70
8,60
8,30
9,05
8,70
8,60
8,25
TSS (ppm) Padatan Mengendap (ml/150 ml)
136,20
118,50
92,10
43,80
121,40
109,70
79,30
32,10
128,80
114,10
85,70
37,95
2,50
3,50
3,00
0,10
2,40
3,60
4,00
0,30
2,45
3,55
3,50
0,20
KTK (me/100 gr) Jumlah Filtrat yang Melewati Zeolit (ml)
─
62,80
105,15
167,30
─
70,50
95,15
148,60
─
66,65
100,15
157,95
─
108,00
80,00
34,00
─
112,00
90,00
22,00
─
110,00
85,00
28,00
Cu (ppm)
0,02
0,02
0,01
0,007
0,02
0,02
0,02
0,008
0,02
0,02
0,.01
0,008
Zn (ppm)
0,07
0,06
0,05
0,03
0,07
0,06
0,05
0,04
0,07
0,06
0,05
0,03
Mn (ppm)
0,22
0,18
0,15
0,14
0,25
0,18
0,16
0,14
0,24
0,18
0,16
0,14
Fe (ppm)
2,63
1,97
1,63
0,98
2,13
1,61
1,35
0,72
2,38
1,79
1,49
0,85
Pb (ppm)
0,02
0,02
0,01
0,007
0,02
0,01
0,01
0,005
0,02
0,01
0,01
0,006
Cd (ppm)
0,03
0,02
0,02
0,01
0,03
0,02
0,01
0,01
0,03
0,02
0,01
0,01
Cr (ppm)
0,04
0,03
0,02
0,02
0,04
0,03
0,03
0,02
0,04
0,03
0,03
0,02
Catatan : Tanpa zeolit = hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit
183
Tabel Lampiran 16. Efektivitas (%) penurunan polutan dari pengolahan lindi dengan menggunakan zeolit Ulangan I
Ulangan II
Rata-Rata
Ukuran Partikel (mesh) 5− 10 − 20 − 10 20 30
Ukuran Partikel (mesh) 5− 10 − 20 − 10 20 30
Ukuran Partikel (mesh) 5− 10 − 20 − 10 20 30
Penurunan COD (%)
16,05
33,79
51,76
14,49
26,38
48,53
15,27
30,09
50,15
Penurunan BOD5 (%)
6,47
16,66
44,50
9,82
19,17
51,42
8,15
17,92
47,96
Penurunan E. coli (%)
20,00
40,00
60,00
25,00
25,00
50,00
22,50
32,50
55,00
Penurunan (NH3) (%)
11,39
39,11
49,51
17,05
42,80
57,95
14,22
40,95
53,73
Penurunan Sulfida (%)
7,84
13,73
27,45
9,85
12,88
32,58
8,85
13,31
30,02
Penurunan Nilai TDS (%)
15,73
18,88
31,12
12,32
16,90
30,28
14,03
17,89
30,70
Penurunan TSS (%)
28,27
44,25
73,49
33,60
51,99
80,57
30,93
48,12
77,03
Jumlah Padatan Mengendap (%)
16,05
33,79
51,76
14,49
26,38
48,53
15,27
30,09
50,15
Penurunan Cu pada efluen (%)
21,05
31,58
63,16
26,09
34,78
65,22
23,57
33,18
64,19
Penurunan Zn pada efluen (%)
17,65
32,35
55,88
20,83
30,56
47,22
19,24
31,46
51,55
Penurunan Mn pada efluen (%)
21,08
31,84
39,01
27,94
35,63
42,91
24,51
33,74
40,96
Penurunan Fe pada efluen (%)
25,10
38,02
62,74
24,41
36,62
66,20
24,76
37,32
64,47
Penurunan Pb pada efluen (%)
37,50
58,33
70,83
35,00
55,00
75,00
36,25
56,67
72,92
Penurunan Cd pada efluen (%)
32,14
46,43
64,29
37,50
59,38
68,75
34,82
52,91
66,52
Penurunan Cr pada efluen (%)
26,32
36,84
44,74
31,82
40,91
47,73
29,07
38,88
46,24
Parameter
184
Tabel Lampiran 17. pH pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Sentrifugasi Pengocokan Dosis (ppm) Ulangan CaO Ca(OH)2 CaCO3 Dolomit CaO Ca(OH)2 CaCO3 Dolomit 1 9,4 9,5 8,5 8,8 9,2 9,0 8,1 8,6 2 9,2 9,2 8,4 8,7 9,4 9,1 8,2 8,7 500 1 9,8 9,6 8,7 8,8 9,4 9,7 8,2 8,6 2 9,7 9,7 8,4 8,8 9,5 9,6 8,4 8,7 750 1 10,3 10,5 9,2 8,8 10,4 10,3 9,3 8,6 2 10,5 10,6 8,9 8,8 10,5 10,4 9,4 8,7 1000 1 10,8 11,2 8,6 8,8 10,5 10,8 8,6 8,6 2 10,9 10,8 8,9 8,8 10,6 10,7 8,7 8,7 1250 1 11,1 11,7 8,9 8,9 11,4 11,5 8,6 8,7 2 11,4 11,3 8,7 8,8 11,6 11,4 8,7 8,7 1500 1 11,5 11,9 8,7 8,8 11,6 11,8 8,7 8,7 2 11,6 11,5 8,9 8,8 11,7 11,7 8,8 8,8 1750 1 11,9 11,9 9,0 8,8 11,8 11,7 8,9 8,7 2 11,7 11,6 8,8 8,8 11,9 11,6 9,0 8,8 2000 1 12,1 12,2 8,9 8,9 12,0 12,1 8,8 8,7 2 11,8 11,9 8,8 8,8 12,1 12,0 8,9 8,8 3000 1 12,2 12,2 8,9 8,9 12,3 12,1 8,8 8,8 2 11,9 11,9 8,8 8,8 12,4 12,2 8,9 8,8 4000 1 12,2 12,2 8,9 8,8 12,3 12,2 8,8 8,8 2 12,0 12,0 8,8 9,0 12,4 12,3 8,9 8,8 5000 1 12,3 12,2 8,8 8,8 12,3 12,2 8,8 8,8 2 12,0 12,0 8,9 9,0 12,2 12,3 8,9 8,8 6000
185
Tabel Lampiran 18. Nilai TDS pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Dosis (ppm)
500 750 1000 1250 1500 1750 2000 3000 4000 5000 6000
Sentrifugasi
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
CaO 2740 2780 2690 2680 2450 2480 2620 2640 2950 2850 3400 3130 3700 3560 5260 5500 6950 6550 7660 6750 7140 7460
Ca(OH)2 2780 2770 2700 2680 2430 2440 2600 2610 2680 2810 2940 3130 3480 3680 4360 4620 5950 5670 7010 7030 7540 6690
CaCO3 2850 2940 2850 2860 2720 2880 2770 2790 2720 2780 2740 2680 2730 2680 2710 2690 2700 2670 2710 2670 2700 2680
186
Pengocokan Dolomit 2860 2900 2960 2900 2950 2930 3000 2910 2980 2940 2990 2940 3030 2920 3090 2980 3330 3030 3380 3170 3390 3420
CaO 2760 2780 2720 2690 2490 2450 2630 2680 2920 2900 3460 3400 3880 3670 6080 5810 7320 6780 8570 7860 9580 8970
Ca(OH)2 2780 2810 2690 2730 2460 2440 2580 2680 2750 2780 3160 3100 3770 3720 4990 5170 6370 5920 7240 7100 8080 7100
CaCO3 2990 2870 2840 2890 2760 2830 2760 2820 2760 2750 2760 2720 2680 2650 2690 2630 2700 2610 2680 2620 2700 2680
Dolomit 2920 2900 2920 2950 2990 2900 2970 2950 2980 2950 2980 2960 2990 2980 3130 3090 3140 3320 3370 3380 3420 3760
Tabel Lampiran 19. Kadar Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Dosis (ppm) 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 3000 4000 5000 6000
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
CaO 13,08 9,83 7,20 6,52 2,73 1,99 1,08 0,95 0,30 0,62 1,28 0,49 1,89 1,01 46,97 35,90 52,12 42,18 52,33 42,40 50,46 44,53
Sentrifugasi Ca(OH)2 CaCO3 8,23 4,15 11,37 8,01 3,42 4,31 2,25 2,33 3,33 4,09 1,52 2,44 3,22 3,66 1,25 2,42 1,22 3,12 0,23 2,13 1,29 3,12 0,27 2,12 1,65 3,26 0,99 1,94 41,03 3,10 31,07 1,28 48,29 2,56 38,88 0,85 51,38 1,60 39,44 0,81 42,21 9,20 50,78 8,22
Dolomit 6,36 5,98 4,29 5,30 3,62 4,63 5,04 4,03 5,23 4,06 4,78 5,69 8,38 6,78 9,63 6,93 9,27 7,98 8,24 10,66 12,42 8,44
187
CaO 12,71 16,34 7,68 5,09 3,62 1,69 0,74 1,16 0,52 0,31 0,29 0,50 12,67 8,23 39,34 26,40 50,88 40,07 52,55 42,61 52,12 46,76
Pengocokan Ca(OH)2 CaCO3 8,31 6,87 12,73 8,19 3,04 4,35 1,99 7,81 1,98 6,07 1,27 5,59 0,23 6,23 0,59 5,19 0,33 6,44 0,48 4,70 0,72 3,38 0,55 6,34 1,11 4,98 0,86 3,91 1,27 4,98 13,63 3,83 31,76 3,01 44,78 3,98 56,13 6,21 33,83 7,78 52,37 7,20 41,94 11,25
Dolomit 9,87 6,16 7,36 5,98 7,54 5,10 7,46 6,02 7,23 6,49 6,12 8,26 7,16 10,74 8,43 10,65 8,76 12,44 9,59 12,01 7,16 15,52
Tabel Lampiran 20. Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur Parameter
Dosis (ppm)
500 Cu (ppm) 1000 6000 500 Zn (ppm) 1000 6000 500 Mn (ppm) 1000 6000 500 Fe (ppm) 1000 6000 500 Pb (ppm) 1000 6000 500 Cd (ppm) 1000 6000 500 Cr (ppm) 1000 6000
CaO
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1
Bahan
500
(ppm)
2 1
Organik 1000
2 1
6000
Sentrifugasi
Ulangan
2
17,77 16,05 8,65 11,01 8,21 7,51 58,17 39,29 39,64 31,72 20,87 39,37 195,24 175,62 223,87 305,75 256,76 288,06 335,78 286,34 325,67 370,81 387,67 415,15 16,67 13,07 16,76 10,30 10,45 9,05 8,96 7,78 9,32 4,72 7,21 5,61 2,32 1,98 2,45 2,09 3,54 3,98 1190,0 0 1370,0 0 1190,0 0 1410,0 0 1440,0 0 1520,0 0
Ca(OH)2
18,04 21,92 8,76 12,32 6,35 10,61 65,34 59,08 30,65 42,73 29,43 37,63 168,48 191,84 264,32 174,74 248,67 225,13 321,74 260,84 365,34 285,02 365,35 384,77 12,56 18,94 14,73 13,77 10,46 12,76 9,21 8,15 8,82 8,42 7,32 6,34 1,75 1,51 2,98 1,54 2,56 2,40 1160,00 1360,00 1160,00 1400,00 1390,00 1510,00
CaCO3
6,29 3,61 6,48 5,04 6,76 7,26 15,21 12,41 25,01 22,19 31,19 25,33 132,67 104,73 165,67 213,25 212,87 188,99 217,56 239,86 310,98 276,32 320,98 295,50 4,76 3,90 6,12 4,98 4,87 7,03 7,12 10,40 8,64 10,72 10,34 9,58 2,37 1,79 2,23 3,23 3,76 3,30 1060,0 0 1220,0 0 1160,0 0 1260,0 0 1220,0 0 1340,0 0
188
Pengocokan Dolomit
15,06 10,98 15,21 12,57 16,43 11,85 26,34 20,86 27,98 20,36 40,91 28,01 176,57 156,45 199,35 203,75 231,56 174,64 290,23 351,51 318,67 355,03 330,98 384,40 11,78 12,94 11,35 13,61 15,87 17,13 8,45 10,51 10,96 8,62 9,23 10,91 1,64 1,36 1,23 1,81 2,15 1,91 1090,0 0 1270,0 0 1190,0 0 1250,0 0 1320,0 0 1360,0 0
CaO
6,89 9,99 4,32 8,94 5,98 2,96 45,31 31,27 20,43 28,29 18,23 19,47 121,92 180,72 132,45 260,21 229,49 203,99 242,87 300,19 287,67 299,63 397,67 356,21 9,34 6,94 9,67 4,63 5,76 3,36 8,65 6,01 8,72 4,94 6,11 4,13 1,78 1,06 1,97 1,69 2,65 2,01 1060,0 0 1260,0 0 1120,0 0 1320,0 0 1300,0 0 1460,0 0
Ca(OH)2
CaCO3
10,23 8,41 5,67 7,59 6,23 3,33 49,12 45,56 19,43 33,41 15,78 29,14 167,45 96,85 187,35 159,51 203,47 185,99 254,68 211,20 303,34 255,72 370,54 344,76 10,34 8,32 7,12 9,98 5,76 3,70 9,04 7,24 9,12 6,72 6,12 5,56 1,12 0,74 1,12 2,36 2,76 1,58
4,87 2,03 6,02 3,24 6,24 3,40 7,87 5,25 14,98 9,76 16,28 11,92 87,64 61,20 131,61 109,63 186,21 151,77 198,78 207,80 308,34 255,42 302,89 287,23 1,68 2,28 3,67 2,39 6,01 4,25 8,02 6,30 8,23 7,65 7,14 10,48 1,23 1,15 1,87 2,61 2,56 2,98
1100,00
980,00 1100,0 0 1020,0 0 1100,0 0 1080,0 0 1200,0 0
1220,00 1120,00 1280,00 1280,00 1400,00
Dolomit
12,76 7,62 12,32 8,84 13,75 10,91 14,01 10,65 15,67 13,11 28,58 15,74 142,56 134,64 154,69 181,97 173,66 181,06 309,71 258,77 289,67 319,51 310,97 337,51 7,03 3,53 6,67 10,43 11,21 7,95 7,03 5,89 8,74 5,52 8,64 5,74 1,12 0,88 1,23 0,97 1,98 1,32 1020,0 0 1140,0 0 1100,0 0 1220,0 0 1120,0 0 1320,0 0
Tabel Lampiran 21. Nilai TDS, pH, kadar Mn dan Ca pada sentrat dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO4 Dosis Parameter
KMnO4 (%)
0 TDS (ppm)
0,01% 0,02% 0,03%
0 pH
0,01% 0,02% 0,03%
0 Mn (ppm)
0,01% 0,02% 0,03%
0 Ca (ppm)
0,01% 0,02% 0,03%
Ulangan
Tanpa Kapur
+ CaO
+ Ca(OH)2
Tanpa Kapur
+ CaO
+ Ca(OH)2
1 2 1 2 1 2 1 2
2870 2560 2950 2630 2790 2900 3290 2540
2450 2480 2750 2590 2530 2880 2970 2460
2430 2440 2730 2560 2510 2880 2970 2450
2950 2610 2990 2630 2880 2900 3150 2880
2490 2450 2730 2640 2870 2590 2940 2560
2460 2440 2670 2650 2850 2560 2840 2600
1 2 1 2 1 2 1 2
8,6 9,2 9,0 8,6 8,6 9,0 8,4 9,2
10,3 10,8 9,6 10,4 9,6 10,4 9,6 10,3
10,5 10,3 9,6 10,0 10,0 9,5 9,9 9,5
9,0 8,7 8,4 8,9 8,3 8,9 8,3 8,9
10,4 10,5 9,6 10,3 9,6 10,2 9,4 10,4
10,3 10,4 9,8 10,1 9,9 9,5 9,3 10,0
1 2 1 2 1 2 1 2
0,01 0,03 0,32 0,58 1,09 0,81 1,09 1,21
0,003 0,007 0,05 0,09 0,14 0,20 0,11 0,27
0,005 0,009 0,07 0,11 0,21 0,29 0,25 0,49
0,03 0,05 1,02 0,48 1,65 1,57 1,65 2,13
0,002 0,004 0,17 0,25 0,23 0,37 0,21 0,47
0,002 0,004 0,18 0,3 0,34 0,6 0,59 0,49
1 2 1 2 1 2 1 2
3,02 4,04 1,65 1,93 0,72 1,20 0,78 0,48
2,73 1,99 1,29 1,59 0,51 0,77 0,28 0,38
3,33 1,52 1,31 1,33 0,43 0,75 0,18 0,26
5,43 4,43 1,72 2,14 1,52 1,12 0,65 0,85
3,62 1,69 1,65 1,87 0,71 0,83 0,78 0,44
1,98 1,27 1,63 1,25 0,56 0,94 0,43 0,71
189
Tabel Lampiran 22. Kadar logam mikro dan bahan organik pada endapan dari percobaan pembuatan bahan pupuk cair dari lindi dengan penambahan kapur dan KMnO4 Parameter
Dosis KMnO4 (%)
0 Cu (ppm)
0,01% 0,02% 0,03% 0
Zn (ppm)
0,01% 0,02% 0,03% 0 0,01%
Mn (ppm)
0,02% 0,03% 0 0,01%
Fe (ppm)
0,02% 0,03% 0 0,01%
Pb (ppm)
0,02% 0,03%
Ulangan
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Tanpa Kapur
7,89 11,43 11,27 16,23 17,35 12,87 14,89 17,03 11,21 13,83 22,21 16,35 23,34 25,00 23,21 27,43 128,32 202,84 398,21 472,33 423,45 481,31 468,98 484,20 239,60 283,70 347,45 286,07 354,34 324,92 356,78 339,70 15,02 10,74 14,89 13,03 15,98 13,32 17,45 15,55
+ CaO
+ Ca(OH)2
8,65 11,01 13,44 20,00 14,11 17,57 15,23 12,17 39,64 31,72 36,72 42,12 29,49 33,25 20,86 30,90 223,87 305,75 412,23 446,27 412,65 472,33 432,65 508,13 325,67 370,81 376,23 349,41 376,87 332,77 354,32 320,50 16,76 10,30 18,05 14,45 16,02 13,94 16,12 12,94
8,76 12,32 12,98 16,16 13,87 9,49 9,06 7,54 30,65 42,73 40,76 35,64 27,87 30,11 17,56 21,68 264,32 174,74 398,54 447,82 413,45 465,57 476,89 450,75 365,34 285,02 374,23 326,01 342,65 317,21 299,65 281,05 14,73 13,77 16,09 14,67 15,56 12,60 14,03 10,47
190
Tanpa Kapur
+ CaO
5,67 6,29 6,21 9,37 10,98 11,26 11,23 15,29 7,56 8,82 11,98 13,94 22,25 13,77 29,31 12,35 132,98 120,04 456,65 379,77 467,89 395,05 423,76 489,22 265,87 216,01 276,54 241,20 327,13 289,29 327,65 311,65 8,86 5,24 11,23 8,63 13,95 8,35 13,99 11,97
4,32 8,94 11,64 13,90 10,34 13,26 8,98 12,58 20,43 28,29 32,76 28,34 25,21 32,35 26,42 16,08 132,45 260,21 454,43 367,31 398,76 449,78 432,87 486,61 287,67 299,63 312,23 299,53 312,67 286,85 245,87 221,29 9,67 4,63 16,09 12,55 13,98 8,56 11,38 7,26
+ Ca(OH)2
5,67 7,59 13,21 10,87 12,48 8,82 5,87 8,77 19,43 33,41 29,65 28,07 28,31 24,07 18,56 20,12 187,35 159,51 378,44 426,22 432,39 404,95 412,56 452,56 303,34 255,72 297,56 264,14 265,87 248,01 234,80 190,62 7,12 9,98 13,34 11,24 12,32 10,40 10,23 6,19
Lanjutan Tabel Lampiran 22.
Parameter
Dosis KMnO4 (%)
0 Cd (ppm)
0,01% 0,02% 0,03% 0
Cr (ppm)
0,01% 0,02% 0,03% 0
Bahan Organik (ppm)
0,01% 0,02% 0,03%
Ulangan
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Tanpa Kapur
9,01 5,03 11,12 7,06 10,54 9,08 12,01 8,69 1,98 2,36 2,05 1,91 2,12 1,36 1,87 0,97 800 1040 780 1020 760 980 700 1010
+ CaO
+ Ca(OH)2
9,32 6,40 10,29 8,95 9,56 8,16 9,76 6,40 2,45 2,09 2,65 2,21 3,23 2,03 2,99 2,57 1190 1410 1100 1220 1060 1140 980 1180
8,82 7,24 9,34 7,90 9,98 4,40 8,03 5,23 2,98 1,54 2,64 2,12 2,76 2,16 2,65 2,53 1160 1400 1080 1200 1020 1140 940 1140
191
Tanpa Kapur
8,65 3,81 9,65 6,81 8,99 8,69 11,27 7,75 1,98 1,44 2,76 1,58 1,63 1,27 1,41 1,01 720 960 700 980 680 960 660 980
+ CaO
8,72 5,40 11,21 6,47 9,72 6,60 8,98 6,46 1,97 1,69 1,99 1,75 2,04 1,86 2,45 2,17 1120 1320 1020 1140 900 1180 920 1040
+ Ca(OH)2
9,12 5,34 8,98 6,86 7,43 6,55 7,87 4,43 1,12 2,36 1,59 1,99 1,98 1,74 1,87 2,43 1120 1280 1060 1100 860 1180 820 1100
Tabel Lampiran 23. Kadar hara makro (N, P, K, Ca, Mg, S), E. coli dan bahan organik pada pupuk cair berbahan dasar lindi Pupuk Cair Berbahan Dara Lindi
N
P
K
Ca
Mg
S
E. coli
Bahan Organik
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
1
2
2
1
2
1
2
1
2
1
2
6.57
11.04
13.60
80.46
94.20
92.46
102.46
93.49
88.63
7.54
9.30
590
470
130
170
114.18
128.66
28.17
34.69
825.42
865.94
402.18
385.02
257.42
271.58
16.12
17.48
4150
4410
950
890
90.07
106.45
22.49
31.01
742.67
720.63
334.49
318.33
228.70
240.16
13.25
11.53
3840
4100
860
820
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
383.42
368.24
128.47
114.41
953.28
942.94
8324.00
8276.00
942.80
976.20
46.47
50.59
2140
1920
1270
1330
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
317.45
331.63
91.47
104.05
836.49
818.87
7914.00
8026.00
864.12
883.84
35.12
39.92
1870
2010
1180
1260
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
137.69
151.41
68.70
56.24
1032.48
1048.68
518.14
527.96
315.75
333.79
29.27
27.25
1850
1910
840
960
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
130.48
143.94
59.74
48.80
1022.48
1008.78
490.42
502.16
301.46
291.30
26.49
23.35
1640
1740
810
870
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
314.47
298.33
97.12
90.68
1029.46
1016.70
8137.10
8155.10
893.42
901.58
38.12
40.34
1280
1240
1090
1230
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
281.45
293.39
81.46
92.08
982.23
991.23
7624.30
7600.42
852.19
877.67
34.49
31.19
1090
1170
1020
1140
Lindi Lindi disentrifugasi Lindi dikocok
1
2
5.89
1
192
2
1
Tabel Lampiran 24. Tinggi tanaman, bobot brangkasan tanaman, jumlah buah, bobot buah dan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah hasil percobaan rumah kaca Parameter No.
Perlakuan
Ulangan
Tinggi
Bobot Brangkasan
Jumlah Buah
Bobot Buah
Logam dalam buah
26,0 27,0
9,39 7,29
1 0
2,97 0
Pb 0,69 0,65
Cd
Cr
0,02 0,03
0,09 0,11
1
Kontrol
1 2
2
+ 10% NPK
1 2
27,5 28,0
10,05 7,96
1 1
3,15 3,48
0,69 0,75
0,02 0,02
0,10 0,12
3
Lindi + Pengocokan tanpa NPK
1 2
27,0 29,0
9,27 8,99
1 1
3,13 3,59
0,81 0,75
2 0,03
0,14 0,10
4
Lindi + Sentrifugasi tanpa NPK
1 2
27,5 29,5
10,08 8,17
1 2
3,09 6,24
0,82 0,78
0,03 0,02
0,12 0,16
5
Lindi + Pengocokan + 10% NPK
1 2
32,0 30,0
14,56 10,28
3 2
9,04 6,26
0,84 0,79
0,02 0,03
0,12 0,16
6
Lindi + Sentrifugasi + 10% NPK
1 2
32,0 31,0
10,43 15,21
3 2
11,24 7,24
0,86 0,79
0,03 0,03
0,20 0,16
7
Lindi + 0,01% KMnO4 + Pengocokan tanpa NPK
1 2
29,5 27,5
11,39 9,54
1 2
3,11 7,02
1,02 1,08
0,02 0,03
0,12 0,16
8
Lindi + 0,01% KMnO4 + Sentrifugasi tanpa NPK
1 2
27,0 30,0
9,72 11,77
3 1
9,26 3,37
1,08 1,13
0,03 0,04
0,16 0,14
9
Lindi + 0,01% KMnO4 + Pengocokan + 10% NPK
1 2
32,0 31,0
16,43 12,08
3 3
10,42 9,24
1,09 1,21
0,03 0,03
0,18 0,14
10
Lindi + 0,01% KMnO4 + Sentrifugasi + 10% NPK
1 2
31,5 32,5
17,61 13,96
4 3
15,16 9,89
1,18 1,29
0,04 0,04
0,17 0,15
11
Lindi + 1000 ppm CaO + Pengocokan tanpa NPK
1 2
28,0 29,0
11,08 10,76
2 2
6,29 6,13
0,72 0,78
0,02 0,03
0,16 0,18
12
Lindi + 1000 ppm CaO + Sentrifugasi tanpa NPK
1 2
30,0 28,0
13,08 11,49
3 2
10,27 6,56
0,73 0,88
0,03 0,03
0,18 0,20
13
Lindi + 1000 ppm CaO + Pengocokan + 10% NPK
1 2
31,5 32,5
17,48 15,26
6 4
22,93 12,48
0,84 0,91
0,04 0,03
0,19 0,15
14
Lindi + 1000 ppm CaO + Sentrifugasi + 10% NPK
1 2
33,0 32,0
15,84 18,63
7 7
23,38 25,07
0,89 0,96
0,03 0,04
0,23 0,19
193
Lanjutan Tabel Lampiran 24
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO + pengocokan tanpa NPK
1 2
27,5 29,5
9,45 11,82
2 1
7,89 3,21
Logam dalam Buah Pb Cd Cr 0,86 0,02 0,15 0,93 0,03 0,19
16
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO + Sentrifugasi tanpa NPK
1 2
29,0 29,0
10,13 13,02
2 3
6,72 9,84
0,92 1,02
0,03 0,03
0,18 0,2
17
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO + Pengocokan + 10% NPK
1 2
32,5 31,5
14,93 17,22
5 5
18,92 16,35
1,24 1,26
0,02 0,03
0,16 0,20
18
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO + Sentrifugasi + 10% NPK
1 2
33,0 31,0
18,67 14,86
7 6
24,06 20,71
1,38 1,47
0,04 0,04
0,23 0,27
LAUXIN
1 2
33,0 31,0
15,63 18,23
4 2
15,36 7,12
0,71 0,77
0,03 0,02
0,14 0,10
ALAMI
1 2
31,0 34,0
15,12 18,06
6 6
20,73 18,63
0,72 0,66
0,02 0,02
0,12 0,10
21
KONTANIK
1 2
33,0 35,0
18,21 17,59
7 7
24,46 26,61
0,79 0,73
0,02 0,03
0,14 0,10
22
PETROVITA
1 2
32,0 33,0
18,72 14,31
6 7
20,22 26,24
0,72 0,68
0,02 0,02
0,09 0,11
No.
Perlakuan
Ulangan Tinggi
15
19
20
194
Parameter Bobot Jumlah Brangkasan Buah
Bobot Buah