KONSTRUKSI MEDIA TERHADAP KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN CALON PRESIDEN DAN CALON WAKIL PRESIDEN PESERTA PEMILU PRESIDEN 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni-5 Juli 2009)
SKRIPSI Disusun guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh :
NUR HENI WIDYASTUTI NIM D0205104
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Oktober 2009 Dosen Pembimbing
Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. NIP. 197102171998021001
HALAMAN PENGESAHAN
Telah Disetujui dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari
: _____________________
Tanggal
: _____________________
Panitia Penguji
:
Drs. Mursito BM, S.U. (.....................................) Ketua
NIP. 195307271980031001 Drs. Haryanto, M.Lib.
(.....................................) Sekretaris
NIP. 196006131986011001 Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D.
(.....................................) Penguji
NIP. 197102171998021001
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. Supriyadi SN, S.U. NIP. 195301281981031001
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Iyyakana’budu waiyyaka nasta’iin Ihdinash shiratal mustaqiim” (Q.S. Al-Fatihakh: 5-6)
Skripsi ini Penulis persembahkan Untuk Ibu dan Ayah tercinta “Rabbighfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira” Untuk Almamaterku.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, karena hanya dengan KuasaNyalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga karya ini adalah upaya untuk menggapai keridlaanNya. Skripsi ini seperti menjadi penghujung masa study Penulis saat menjalani kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Namun, dengan selesainya skripsi ini, justru menjadi titik awal bagi Penulis untuk menjalani proses baru selanjutnya yang lebih baik. Skripsi ini mengambil tema konstruksi pemberitaan di Majalah Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2009. Pengambilan tema ini dilandasi atas ketertarikan Penulis terhadap dunia jurnalistik dan terhadap Majalah Tempo. Berawal dari pengamatan terhadap kampanye pemilihan presiden yang ingar bingar, Penulis ingin mengetahui bagaimana sosok capres dan cawapres itu ‘sesungguhnya’ tanpa adanya manipulasi image lewat iklan. Pada saat-saat itulah Tempo mengeluarkan Edisi Khusus Pemilihan Presiden (sepuluh hari sebelum pemilihan presiden langsung) yang mengangkat tema tentang karakteristik kepemimpinan mereka. Dari situ, penulis ingin meneliti bagaimana pembingkaian (framing) yang dilakukan pemberitaan Tempo terhadap karakteristik kepemimpinan para kandidat. Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itulah ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada: 1. Drs. Supriyadi SN, S.U. selaku Dekan FISIP UNS berserta seluruh jajaran dekanat, staf, karyawan dan seluruh civitas akademika FISIP UNS. 2. Dra. Prahastiwi Utari M.Si., Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Drs. Hamid Arifin M.Si selaku Sekretaris Jurusan, Drs. Kandiyawan selaku dosen
Pembimbing Akademik Penulis, berserta seluruh jajaran dosen, staf pengajar, serta karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS (Mas Budi), terimakasih atas ilmu dan bantuan yang diberikan, semoga akan selalu bermanfaat. 3. Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. selaku pembimbing skripsi, terimakasih atas diskusi, bimbingan, saran yang bermanfaat bagi Penulis. Terimakasih untuk buku Wars Within: The Story of Tempo nya Pak, sekali lagi terimakasih. 4. Ibundaku, Ayahandaku, Adikku, teman terdekatku, serta handai taulan yang lain, terimakasih atas doa, cinta, dan kasih sayang yang tak akan pernah putus. 5. Bapak Arief Zulkifli (Redaktur Utama Majalah Tempo) terimakasih atas kesempatan wawancara ditengah kesibukan Anda yang padat. 6. Keluarga besar LPM VISI FISIP UNS (semua teman seperjuangan di organisasi tercinta) yang telah menyediakan ruang dan waktu untuk sama-sama menimba ilmu dan berbagi banyak hal dalam suka dan duka. Tetaplah semangat untuk menjaga eksistensi organisasi yang kita cintai itu. 7. Seluruh teman-teman segala angkatan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang tergabung dalam HIMAKOM, khususnya teman-teman angkatan 2005. Bersemangatlah kawan untuk tetap berkarya demi mengharumkan nama almamater kita tercinta. Dan juga teruntuk teman-teman di Bildung Enterprise dan Medio Picture, semoga persahabatan ini akan tetap terjaga. 8. Seluruh pihak yang telah banyak membantu, namun tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya. Jika seluruh bantuan itu saat ini belum dapat dibalas oleh penulis, semoga nantinya Allah SWT akan memberi imbalan yang berlimpah.
Penulis menyadari jika skripsi ini tak luput dari kekurangan. Tetapi Penulis berharap skripsi ini tidak hanya menjadi sarana pembelajaran bagi Penulis, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca di masa yang akan datang. Selamat membaca.
Surakarta, Oktober 2009 Penulis , Nur Heni Widyastuti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................ v DAFTAR ISI .............................................................................................. viii DAFTAR TABEL, SKEMA, DAN GAMBAR ........................................ xii ABSTRAK .................................................................................................. xiii ABSTRACT ................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7 D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 8 E. Telaah Pustaka ................................................................................. 8 1. Paradigma Konstruktivisme ................................................. 8 2. Teori Konstruksi Realitas Sosial .......................................... 14 3. Media Massa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ... 17 4. Berita dan Konstruksi atas Realitas ...................................... 29 5. Framing sebagai Sebuah Teknis Analisis ............................ 33 6. Kepemimpinan ..................................................................... 39 F. Kerangka Berfikir ............................................................................ 44
G. Metodologi Penelitian ..................................................................... 45 1. Jenis Penelitian ................................................................... 45 2. Metode Penelitian ............................................................... 46 3. Objek Penelitian .................................................................. 53 4. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 54 H. Validitas Penelitian ......................................................................... 55 I. Penelitian yang Telah Ada .............................................................. 55
BAB II DESKRIPSI MAJALAH TEMPO A. Sekelumit Sejarah Majalah Tempo .................................................. 58 B. Visi, Misi, dan Moto ........................................................................ 65 C. Karakteristik Majalah Tempo .......................................................... 66 D. Struktur Organisasi .......................................................................... 68 E. Proses Pembuatan Berita dan Kebijakan Redaksional .................... 70 F. Ideologi yang Diusung ..................................................................... 71
BAB III ANALISIS FRAMING BERITA LIPUTAN KHUSUS MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS PEMILIHAN PRESIDEN A. Analisis Berita tentang Megawati Soekarnoputri A.1. Anak Revolusi di Kali Code ................................................... 80 A.2. Luka Batin Gadis Pendiam .................................................... 90 A.3. Tiga Cinta Putri Istana ......................................................... 100 A.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Mega ....... 107 B. Analisis Berita tentang Prabowo Subianto B.1. Sepotong Mimpi Anak Pelarian ............................................. 110
B.2. Sudut Elite di Wistminster ....................................................... 120 B.3. Jejak Militer dalam Tubuhnya ................................................ 129 B.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Prabowo ... 138 C. Analisis Berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono C.1. Lolos dari Persimpangan Jalan ............................................ 142 C.2. Bukan Sekadar Pendamping ................................................. 151 C.3. Dari Bandung ke Yogyakarta ................................................ 158 C.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan SBY ......... 167 D. Analisis Berita tentang Boediono D.1. Ekonom Berirama Calypso .................................................... 170 D.2. Boed, Sang Bima dari Blitar .................................................. 180 D.3. Terpikat Gadis Tetangga ........................................................ 188 D.4. Belajar dari Jantung Liberalisme ........................................... 194 D.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Boediono .. 200 E. Analisis Berita tentang Jusuf Kalla E.1. Godfather dari Makassar ...................................................... 203 E.2. Saudagar di Lapangan Hijau ................................................ 214 E.3. Kala Jusuf di Jalan Tengah .................................................... 220 E.4. Musim Panas di Fontainebleau .............................................. 227 E.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan JK ............ 232 F. Analisis Berita tentang Wiranto F.1. Satu Ayunan di Pintu Mercy .................................................. 234 F.2. Kenangan si Ento ................................................................... 245 F.3. Awalnya Hanya ’Rumput’ ...................................................... 254 F.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Wiranto ... 262
G. Karakteristik Berita Liputan Khusus Majalah Tempo ..................... 264
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 272 B. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 276 C. Saran ................................................................................................ 277
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 279
DAFTAR LAMPIRAN A. Surat Tugas dari Fakultas B. Transkrip Wawancara dengan Praktisi Media dari Majalah Tempo C. Pemetaan Elemen Berita D. Berita Liputan Khusus Majalah Tempo
DAFTAR TABEL, SKEMA DAN GAMBAR
TABEL Tabel 1 Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme .................... 10 Tabel 2 Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme ..................................... 13 Tabel 3 Kerangka Framing menurut Pan Kosicki ........................................ 53
SKEMA Skema 1 Faktor yang Mempengaruhi Media ................................................ 20 Skema 2 How factor intrinsic to the communicator may influence media
content
........................................................................................... 21 Skema 3 Berita dalam Peta Ideologi ............................................................ 27 Skema 4 Kerangka Pemikiran Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 ................................................................... 44
GAMBAR Gambar 1 Cover Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009... 73 Gambar 2 Ilustrasi Pengantar Redaksi Liputan Khusus ............................... 74
ABSTRAK
Nur Heni Widyastuti, D0205104, Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden Dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 (Studi Analisis Framing Berita Liputan Khusus di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni - 5 Juli 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
Media massa merupakan sebuah institusi yang mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Sehingga media massa disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas”. Pemilihan Umum Presiden 2009 yang merupakan agenda besar Bangsa Indonesia juga tak luput dari konstruksi pemberitaan di media massa. Majalah Tempo yang merupakan bagian dari media massa juga melakukan konstruksi atas realitas yang terjadi seputar Pemilu Presiden 2009 tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerbitkan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 sepuluh hari sebelum pemilihan tersebut berlangsung. Edisi khusus kali ini membahas profil keenam calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Angle yang ditetapkan oleh Redaksi Tempo dalam Rubrik Liputan Khusus tersebut adalah bagaimana karakteristik kepemimpinan para kandidat tersebut terbentuk. Kepentingan yang diusung oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menerbitkan majalah tersebut adalah untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang pandangan Redaksi Majalah Tempo terhadap ketiga pasangan capres dan cawapres tersebut. Dalam mengonstruksi realitas sosok capres dan cawapres tersebut, Redaksi Majalah Tempo menonjolkan aspekaspek tertentu dan menghilangkan aspek-aspek tertentu yang dirasa sesuai dengan kepentingan mereka. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimanakah framing yang dilakukan oleh Redaksi Majalah Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan para kandidat. Dalam menganalisis pemberitaan tersebut, Peneliti menggunakan metode analisis framing model Pan Kosickci. Alasan pemilihan metode tersebut karena lebih rinci dan detail dalam menganalisis dan lebih relevan dengan tema yang diangkat. Strategi framing yang digunakan dalam mengonstruksi pembentukan karakter kepemimpinan Capres dan Cawapres adalah dengan pemilihan angle dan narasumber sesuai dengan kebijakan redaksi, serta menonjolkan dan menghilangkan fakta tertentu. Diawali dari pembentukan karakteristik kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla sampai Wiranto.
ABSTRACT
Nur Heni Widyastuti D0205104, Media Construction Toward Leadership Characteristic of Indonesian Presidential Candidates in 2009 Indonesian General Election (Framing Analysis of News Reporting at Tempo magazine 2009 General Election Special Edition, 29 June - 5 July 2009), Department of Mass Communication Sciences, Faculty of Political and Social Science, Sebelas Maret University, 2009.
Mass Media is a institution which construct common reality (first reality) into the media reality (second reality). Media reality then spread through media channels. So the reality in media often referred to “second hand reality” as reality creators agent. As a big event, general election has allure many media in Indonesia to report and construct their own media reality. Tempo as a well known magazine in Indonesia also construct their reality in reporting the election. The Election special edition then published by Tempo 10 days before the general election. The special edition tells about the past and turning point of each candidates. Tempo editor deciding “how the leadership characteristic of candidates built” as an angle in reporting. The importance of this special edition is to bring another point of view to the reader from Tempo’s opinion of candidates. In constructing the reality Tempo shows certain aspect of candidates figure and hiding another aspect in Tempo’s opinion it isn’t necessary to brought to the audience and fixed their interest. This research explain how Tempo framed their news in constructing the second reality of leadership characteristic. In analyzing the news I used Pan Kosicki’s framing analysis model. Because this method is suitable for this issue, and this method can show fine points of this research. Framing strategies used in the construction of character formation and vice presidential leadership is the election of angles and sources in accordance with editorial policies, and highlight and eliminate certain facts. Beginning from leadership characteristics of Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla and Wiranto.
ABSTRACT
Nur Heni Widyastuti, D0205104, Media Construction Against Leadership Characteristics of Presidential Candidate And Vice President Candidate Presidential Election 2009 (Framing Analysis Study Special News on Tempo Magazine Special Edition Presidential Election 2009, 29 June - 5 July 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, 2009.
Mass media are institution that constructs a natural reality (called as first reality) into media’s reality (called as second reality). Reality of the media establishment is then disseminated to the public through channels owned by the media. So that the mass media referred to as “second hand reality” as well as an “reality construction agent”. Presidential election 2009, which is a big agenda of Indonesian also did not escape the construction of news in the media. Tempo magazine, which is part of the mass media also did construction of reality that occurred around Presidential Election 2009. One way to do is to publish Tempo Magazine Presidential Election 2009 Special Edition, ten days before the election took place. Special edition this time discussing the presidential candidate six profiles president and vice-presidential. Angle determined by the Editor in the Newsroom Tempo Special coverage is how the leadership characteristics of the candidate is established. Tempo Magazine Editors interest in publishing the magazine is to provide an overview to the readers of Tempo Magazine Editor's view of a president and vice presidential candidate. In the construction of reality and vice presidential figure, Tempo Magazine Editors highlight certain aspects and eliminating certain aspects of the perceived according to their interests. This research will explain how framing is done by Tempo Magazine Editors in the construction of the leadership characteristics of candidates. In analyzing the news, researchers using the method of framing the analysis of Pan Kosickci model. The reason is because the selection method in more detail and the detail in analyzing and more relevant to the themes raised. Framing strategies used in the construction of character formation and vice presidential leadership is the election of angles and sources in accordance with editorial policies, and highlight and eliminate certain facts. Beginning from leadership characteristics of Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Jusuf Kalla and Wiranto.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk komitmen suatu bangsa dalam melaksanakan demokrasi. Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika Serikat, mengemukakan bahwa demokrasi direpresentasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abdulkarim, 2005: 118). Pemilu tersebut memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih wakilanya yang duduk di parlemen atau di pemerintahan. Pemilu bisa dianggap sebagai momen puncak berdemokrasi, oleh karena itu penyelenggaraan pemilu selalu menjadi suatu yang luar biasa dengan diistilahkan sebagai pesta demokrasi (Budiman, 2004: 154). Lembaran sejarah mencatat Bangsa Indoneisa telah melaksanakan Pemilu Anggota Legislatif sebanyak sembilan kali yakni tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, dan yang terakhir 9 April 2009. Pada Pemilu tahun 2004, Bangsa Indonesia menorehkan sejarah baru, yakni untuk pertama kalinya presiden dipilih langsung
oleh
rakyat.
Sebelum
tahun
2004,
Presiden
dipilih
oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui mekanisme Sidang Umum (SU). Pada tahun 2009 kali ini untuk kedua kalinya Bangsa Indonesia mengadakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Pemilu Presiden menjadi agenda penting bangsa dan telah menjadi wacana nasional. Momen besar ini tentu tak luput dari pemberitaan di media massa. Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa diharapkan mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden. Kejujuran (honesty), akurasi (accuracy), keseimbangan (fairness) serta ketidak-berpihakan menjadi sebuah idealisme yang
seharusnya dipegang media ketika ingin menjalankan fungsinya tersebut dengan baik. Selain itu, media dibutuhkan masyarakat untuk menyalurkan informasi tentang Pemilihan Presiden. Sehingga media massa memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan Pemilu Presiden (www.mediaindonesia.com, 2009). Media massa sebagai pilar keempat demokrasi tersebut pada dasarnya adalah sebuah institusi ekonomi, sehingga unsur bisnis tidak bisa sepenuhnya dihilangkan. Pengusaha media kini harus banting setir, sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan idealisme dalam mengelola perusahaan, tetapi harus meningkatkannya menjadi industri. Itulah sebabnya akhir abad 20 dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang dikelola secara industri dengan memperhitungkan profit oriented (Djuroto, 2002: v). Selain sebagai institusi ekonomi, media juga sebagai sebuah institusi yang mengonstruksi realitas sosial dalam menjalankan bisnisnya. Media mengonstruksi realitas alami (yang disebut sebagai first reality) ke dalam bentuk realitas media (yang disebut sebagai second reality). Realitas bentukan media tersebut kemudian disebarluaskan kepada khalayak melalui saluran-saluran yang dimiliki oleh media. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah realitas yang sudah diseleksi, sehingga media disebut sebagai “second hand reality” sekaligus sebagai “agen pengonstruksi realitas” (Rakhmat, 2001: 224). Sehingga, pemberitaan yang beredar di masyarakat mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 juga merupakan konstruksi yang dilakukan oleh media massa. Dalam menjaga keberlangsungan pemilu agar lebih jujur dan adil, netralitas dan independensi media massa harus tetap dijaga. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, mengatakan media boleh bersikap, karena independensi tidaklah berarti harus netral sepenuhnya. Namun dalam artian sikap tersebut tidak dipengaruhi oleh apa pun, kecuali oleh proses-proses
pengambilan keputusan yang betul-betul otonom oleh media. Media massa menyediakan ruang bagi redaksi untuk menyatakan sikapnya terhadap obyek pemberitaan pemilu misalnya dalam tajuk rencana atau editorial (bukan dipemberitaan). Di situlah masyarakat mengidentifikasi dan menilai anjuran media atas keberpihakannya. Dalam tajuk rencana, dapat ditunjukkan alasan-alasan masuk akal atas keberpihakannya terhadap salah satu pihak (Saputra, www.vhrmedia.com, 2009). Tak terkecuali dalam Pemilu Presiden 2009 kali ini, terdapat beberapa fenomena menarik tentang keberpikakan media, salah satunya dalam pemberitaan pendeklarasian pasangan Capres dan Cawapres di televisi. Hampir semua stasiun televisi (Trans TV, Trans7, ANteve, TVRI, RCTI, TPI, Metro TV, dan TV One) serentak menanyangkan secara langsung acara deklarasi Pasangan Capres Cawapres nomer urut dua pada Jum’at 15 Mei 2009 di Jakarta. Namun saat pendeklarasian pasangan Capres dan Cawapres nomer urut satu dan tiga hanya Metro TV dan TV One yang menyiarakan. Saat siaran deklarasi berlangsung, Metro TV melakukan wawancara dengan pengamat Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J. Kristiadai. Ia berkomentar “Kok tega-teganya SBY membuat acara mewah seperti ini sementara rakyatnya hidup susah. Kalau seperti ini maka pendeklarasian JKWin terasa lebih sederhana dan heroik” (Alma, www.almaokay.wordpress.com, 2009). Sedangkan TV One, stasiun televisi “rival”dari Metro TV dalam pemberitaannya tidak terlalu concern dalam masalah dana, tetapi fokus pada pelaksanaan acara. Hal tersebut terlihat dari judul berita-berita yang diangkat semisal “Lagu Indonesia Raya Buka Deklarasi Yudhoyono” atau “Yudhoyono dan Boediono Kompak Berkemeja Merah” (www.tvone.co.id, 2009) Fenomena diatas hanyalah contoh dari sekian banyak fenomena tentang bagaimana sikap media terhadap pemberitaan pasangan Capres dan Cawapres. Banyak wacana beredar mengenai ketiga pasangan Capres dan Cawapres tersebut, mulai dari masa
lalu mereka, kegiatan-kegiatan yang dilakukan, track record, dan lain-lain. Keterbatasan kolom dan halaman pada media cetak, atau keterbatasan waktu pada media elektronik menyebabkan pengelola media massa melakukan seleksi terhadap fakta-fakta dilapangan yang hendak diberitakan. Peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, coba “disederhanakan” melalui stategi framing, yakni menonjolkan aspek tertentu dan menghilangkan aspek yang dirasa tidak penting. Pembuatan frame itu sendiri didasarkan pada kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis ataupun ideologis. Sehingga pembuatan sebuah wacana tidak saja mengindikasikan adanya kepentingan-kepentingan itu, tetapi juga bisa mengarahkan hendak dibawa kemana issue Pemilihan Presiden yang diangkat dalam wacana tersebut. Setiap media memiliki kebijakan berbeda-beda ketika ingin memberitakan tema terebut. Redaksi Tempo pun juga memiliki kebijakan tersendiri, salah satunya adalah dengan mengeluarkan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009, 10 hari sebelum pemilihan berlangsung. Dalam Liputan Khusus tersebut memuat berita mengenai tiga pasangan Capres dan Cawapres. Kepemtingan penerbitan edisi khusus itu diungkapkan Redaksi Tempo dalam pengantarnya di Laporan Khusus yang berjudul Enam Remaja Bertahun Kemudian. Redaksi Tempo menuliskan lead “Inilah kisah tentang masa silam enam kandidat pemimpin. Sekadar bekal masuk bilik suara”. Hal ini dimaksudkan agar edisi kali ini memberikan gambaran kepada calon pemilih tentang para Capres dan Cawapres sebelum menentukan pilihan di bilik suara. Redaksi Tempo melanjutlkan, “Persoalan muncul: bekal seperti apa yang dibutuhkan calon pemilih—sesuatu yang tak klise dan tak makin membuat orang mereduksi politik dari ”P” besar menjadi ”p” kecil?”. Kutipan tersebut akan dijawab dalam pemilihan tema yang diungkapkam Redaksi Tempo sebagi berikut : “Tapi kami tak ingin ”menghangatkan nasi kemarin”—mengulang ide, menanaknya berulang-ulang, lalu menyuguhkannya menjadi sajian tanpa selera.
Kami sadar, di dalam kata ”news”, sesuatu yang kami geluti sehari-hari, terkandung kata ”new” alias kebaruan. Dan bagi sebuah majalah berita, kebaruan itu bisa berarti kecerdikan dalam memilih sudut pandang. Melalui serangkaian diskusi, sampailah kami pada sudut pandang itu. Bahwa yang akan disoroti adalah masa lalu keenam calon presiden dan wakilnya. Bukan sembarang masa lalu, melainkan masa ketika karakter mereka sebagai pemimpin terbentuk.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28) Kalimat yang dicetak tebal dijadikan insert tulisan di halaman Pengantar Redaksi. Kutipan diatas menyiratkan bahwa pembentukan karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres di masa lalu menjadi poin penting dalam Edisi Khusus Tempo kali ini. Sedangkan yang menjadi poin penting dalam skripsi ini adalah bagaimanakah Tempo membingkai pemberitaan tentang masa lalu dalam hal pembentukan karakter kepemimpinan Capres dan Cawapres tersebut. Hal itu menjadi penting, karena Redaksi Tempo tidak bisa membingkai seluruh masa lalu Capres dan Cawapres, melainkan harus selektif sesuai dengan kesepakatan angle. Berikut kutipan Redaksi dalam pengantarnya : “Dengan sudut pandang ini, sejumlah cerita memang harus diabaikan. Bukan karena tak penting, melainkan karena kami tak ingin berkhianat terhadap angle. Kami, misalnya, harus menyimpan kisah tentang penculikan aktivis 1998, cerita kelam yang menyeret nama Prabowo Subianto. Kisah tentang peran Wiranto dalam insiden Semanggi dan bumi hangus Timor Timur juga terpaksa tak kami ketengahkan. Hidup memang menyimpan sejuta pilihan. Kali ini kami memilihkan berita untuk Anda, para pembaca—sesuatu yang moga-moga saja bisa menjadi bekal memilih 8 Juli nanti.” (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28) Terlepas dari berbagai kepentingan yang menyelubungi setiap pemberitaan di media (semisal kampanye), pewacanaan tentang karakteristik kepemimpinan Presiden dan Wakilnya oleh media memang dibutuhkan bagi para pemilih. Hal tersebut penting, mengingat Presiden adalah pucuk kepemimpinan di suatu negara, sehingga bukan sembarang orang yang bisa menduduki jabatan tersebut. Sebagai seorang pemimpin, kemahiran memimpin dan kharisma kepemimpinan Presiden bisa jadi menjadi representasi bangsa di mata dunia internasional.
Setiap Capres dan Cawapres memiliki masa lalu pembentukan karekter kepemimpinan yang berbeda-beda. Banyak sisi yang bisa ditonjolkan, dan banyak frame yang bisa diketengahkan, tergantung dari kebijakan redaksi media itu sendiri. Dari analisis teks-teks berita yang disajikan dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 bisa dilihat nantinya bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Redaksi Tempo terhadap kandidat orang yang akan memimpin Indonesia lima tahun mendatang.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini ingin menjawab rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu bagaimanakah framing yang dilakukan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai bagaimana Majalah Tempo mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden peserta Pemilu Presiden 2009 melalui pemberitaan di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu komunikasi, terutama dalam hal penggunaan metode analisis framing pemberitaan media cetak yang notabene merupakan salah satu bentuk komunikasi.
E. TELAAH PUSTAKA 1. Paradigma Konstruktivisme Pengertian paradigma secara umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: 1. model dari teori ilmu pengetahuan; 2. kerangka berfikir (KBBI, 2003: 729). Sedangkan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure Of Science Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu dalam memandang suatu fenomena. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (Kuhn, 2002: 187-188). Guba dan Lincoln dalam tulisannya Paragigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging Confluences di buku Handbook of Qualitative Research mengatakan paradigma memiliki lima tipologi yaitu positivism (positivisme), postpositivismem (postpositivisme), critical theory et al (teori kritis), constructivism (konstruktivisme) dan participatory (partisipatoris). Setiap paradigma membawa implikasi metodologi masingmasing (Denzin, 1994 : 192).
Paradigma
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
paradigma
konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme merupakan kritik terhadap paradigma positivisme, dimana yang membedakan keduanya adalah obyek kajiannya sebagai start awal dalam memandang realitas sosial. Positivisme berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Untuk lebih mengetahui perbedaan konstruktivisme dengan prositivisme dalam hal pemberitaan realitas sosial bisa dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 1. Perbedaan Paradigma Positivis dan Konstruktivisme Positivis Konstruktivisme Ada fakta riil yang diatur oleh kaidah- Fakta merupakan konstruksi atas kaidah tertentu yang berlaku universal. realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku dalam konteks tertentu. Media sebagai saluran pesan Media sebagai agen konstruksi pesan Berita adalah cermin dan refkelsi dari Berita tidak mungkin merupakan kenyataan. Karena itu berita haruslah cermin dan refleksi dari realitas. sama dan sebangun dengan fakta yang Karena berita yang terbentuk hendak diliput. merupakan kostruksi atas realitas. Berita bersifat objektif : Berita bersifat subjektif: Opini tidak Menyingkirkan opini dan pandangan dapat dihilangkan karena ketika subjektif dari pembuat berita. meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Wartawan sebagai pelapor Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keanekaragaman subjektifitas pelaku sosial Nilai, etika, opini, dan pilihan moral Nilai, etika, atau keberpihakan berada di luar proses peliputan berita wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Nilai, etika, dan pilihan moral harus Nilai, etika, dan pilihan moral bagian berada dikuar proses penelitian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Berita diterima sama dengan apa yang Khalayak mempunyai penafsiran dimaksudkan oleh pembuat berita. sendiri yang bisa jadi bebeda dari pembuat berita. Sumber: Eriyanto, 2002: 20-36 Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivisme. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai
perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri (Mualivah, 2009: 5). Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman (interpretive understanding) (Mualivah, 2009: 5). Egon G Guba dalam The Paradigm Dialog (Guba, 1990: 25) menyatakan: “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.” Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba, 1990:26). Penjelasan Guba memiliki arti “pengetahuan dapat
digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus. Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Paradigma konstruktivisme secara singkat menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai construct (bangunan “kebenaran”) dan construe (cara memahami “kebenaran”) yang berbeda-beda dalam mensikapi realitas. Konsekuensi dari penggunaan paradigma konstruktivisme adalah dalam melakukan penelitian penulis harus menggunakan elemen-elemen epistemologis, ontologis, metodologis, dan aksiologis yang sejalan dengan paradigma konstruktivisme. Guba dan Lincoln dalam tulisannya Paragigmatic Controversies, Contradiction, and Emerging Confluences di buku Handbook of Qualitative Research menuliskan elemenelemen konstruktivisme dengan penjelasan sebagai berikut (Denzin, 1994: 193) :
Tabel 2. Aspek-Aspek Paradigma Konstruktivisme Ontologis (Asumsi tentang obyek/realitas yang diteliti) Epistemologi (Asumsi tentang hubungan peneliti dan yang diteliti)
Metodologis (Asumsi bagaimana cara memperoleh pengetahuan)
Axioilogis (Berkaitan dengan posisi penilaian, etika, dan pilihan moral pemeliti)
Relativism: Realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersiat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Transaksionalis/Subjektivis: Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Hermeneutical / Dialectical: Menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metodemetode kualitatif seperti participant observation. Kriteria kualitas penelitian: Authenticity dan reflectifity, sejauhmana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh para pelaku sosial. Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian: Rekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti.
Sumber : Denzin, 1994 : 193 Pada tabel diatas tampak bahwa elemen ontologis (keberadaan realitas) paradigma konstruktivisme adalah bersifat relatif. Artinya, realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan “realitas sosial buatan” yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi. Dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa realitas tentang karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres dalam Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 memang diciptakan oleh Redaksi Majalah Tempo melalui berita yang dibuat. Elemen epistemologi dalam pendekatan ini bersifat subjektif-dialektikal. Artinya pemahaman atau temuan suatu realitas yang terdapat di dalam teks media merupakan hasil dari penalaran peneliti secara subjektif dan sebagai hasil kreatif peneliti dalam bentuk realitas. Peneliti juga berusaha masuk ke dalam obyek penelitian melalui wawancara
dengan praktisi media guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi media. Elemen metodologis atau cara mendapatkan pengetahuan pada perapektif ini bersifat reflektif dialektif. Dalam hal ini peneliti masuk ke dalam kondisi obyek peneliti melalui wawancara guna memperoleh gambaran pengetahuan secara dialektikal antara peneliti dengan praktisi media. Selain itu peneliti juga bertindak sebagai pengamat langsung berita yang disajikan oleh Tempo Edisi Khusus pemilihan Presiden 2009. Elemen aksiologis dalam paradigma konstuktivisme ini adalah peneliti bertindak sebagai passionate participant, yakni berperan sebagai fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Dalam hal ini nilai, etika, moral, dan pilihanpilihan lain dari peneliti merupakan suatu rangkain yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian ini.
2. Teori Konstruksi Realitas Sosial Teori konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Berger dan Lackman mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam, yaitu realitas subjektif, realitas objektif, dan realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang yang terbentuk dari pengalaman di dunia di dunia objektif yang berada di luar dari individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu, realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui internalisasi (Bungin, 2001: 5).
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjectif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan merekonstruksi kenyataan dalam dunia realitas, serta memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2001: 5). Masyarakat dan manusia adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Masyarakat tak lain adalah produk manusia namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah produk atau hasil dari masyarakat. Poses dialektis tersebut memiliki tiga tahapan (Eriyanto, 2002: 1415) yakni: 1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan metal maupun fisik. Dalam proses inilah manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia 2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik metal maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manudia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berbeda diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. 3. Internalisasi, penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Ketika manusia coba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses
komunikasi. Komunikasi di sini tidak dilihat dari perspektif paradigma transimisi. Komunikasi dilihat lebih kepada bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya manusia tersebut sebagai realitas sosial tadi. Bagi Berger, realitas sosial tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi ia dibentuk dan dikostruksi. Dalam pemahaman seperti itu realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas relitas. Setiap orang mempunyai pengalaman (frame of experience), preferensi (frame of reference), pendidikan
tertentu, dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Eriyanto, 2002: 15-16). Apabila penulis menggunakan teori tersebut sebagai landasan analisis dalam melihat konstruksi yang dilakukan oleh Tempo, maka realitas yang dibangun oleh Redaksi Majalah Tempo dalam menghasilkan teks berita berasal dari kerangka berfikir (frame of reference) dan kerangka pengalaman (frame of experience) individu wartawan. Keduanya itu diperoleh dari kegiatan eksternalisasi dan internalisasi yang juga turut mempengaruhi dalam mengonstruksi realitas sosial pemberitaan.
3. Media Massa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Cara yang baik untuk menggambarkan pengertian komunikasi dijelaskan oleh Harold Lasswell adalah dengan menjawab pertanyaan Who says What in which channel to Whom with What effect? atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana (Mulyana, 2005: 62). Dari pendapat Harold Lasswell tersebut, berarti komunikasi mengandung unsur : (a) Sumber (source) yang sering disebut juga sebagai pengirim pesan atau komunikator (communicator). (b) Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol
verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksd sumber tadi. (c) Ketiga, media, yakni alat, sarana atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. (d) Keempat, penerima (receiver), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. (e) Kelima, efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut Media yang digunakan dalam komunikasi bermacam-macam, namun yang bisa menjangkau khalayak lebih luas adalah media massa. Mursito BM dalam buku Memahami Institusi Media mengatakana bahwa media massa memiliki enam karakteristik khusus yang bersifat umum, pertama, penyampaian pesan ditujukan ke khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar, sertatak, serta tidak mengenal batas geografis-kultural. Kedua, bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Ketiga, pola penyampaiannya cenderung berjalan satu arah. Keempat, komunikasi massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir, dengan manajemen modern. Kelima, penyampaian pesan dilakukan secara berkala, tidak bersifat temporer. Keenam, isi pesan yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan. Dari karakteristik yang dipaparkan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa media massa adalah alat-alat dalam komunikasi berupa lembaga yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibandingkan dengan media komunikasi yang lain adalah bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu dan mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Media massa jenisnya ada dua, media cetak semisal koran dan majalah, dan media elektronik semisal televisi, radio, dan internet. Ada perubahan perspektif teoritik tentang content atau isi media. Jika sebelumnya media dipahami mampu merefleksikan realitas secara objektif, jernih dan apa adanya, maka sekarang ini isi media sebenarnya telah dibentuk oleh beragam faktor yang
menghasilkan bermacam-macam realitas. Isi media tidak lagi bisa dipahami dalam konteks bebas nilai, tetapi dalam praktiknya media sarat dengan berbagai kepentingan yang menyertainya. Turnomo Raharjo dalam tulisannya Koran Lokal dan Ruang Publik, Refleksi 55 Tahun Suara Merdeka mengutip pendapat Edward Herman (1990) yang menegaskan bahwa uang dan kekuasaan menjadi sarana untuk melakukan penetrasi terhadap (isi) media melalui kontrol langsung maupun tidak langsung. Herman menyebutkan lima, hal yang berpengaruh terhadap isi media, yaitu satu, kepemilikan yang terkonsentrasi, kekayaan pemilik dan orientasi profit. Dua, periklanan sebagai sumber utama media. Tiga, ketergantungan media pada informasi yang diberikan pemerintah, lembaga bisnis dan experts yang didanai dan disetujui oleh kelompok kepentingan tertentu. Empat, “flak” sebagai sarana mendisiplinkan media; dan lima, antikomunisme sebagai religi sekuler suatu bangsa dan mekanisme kontrol ideologis. Kelima hal tersebut berinteraksi dan saling menguatkan serta menentukan batas-batas antara wacana media dengan definisi tentang apa yang disebut sebagai kepatutan berita (newsworthy) (Suara Merdeka, 11 Februari 2005). Sedangkan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content mengatakan apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Mereka menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media yakni influences on content from individual media worker (level individual), influence of nedia routinies (level rutinitas media), organizational influence on content (level organisasi), influences on content from outside of media organization (level ekstra media), and the influence of idideology (level
ideologi). Kelimanya digambarkan dalam skema berikut ini (Shoemaker, 1996) : Skema 1. Faktor yang mempengaruhi media
Individual level media routines level organizational level
extra media level ideological level
Sumber : Shoemaker, 1996: 64 Kelima level yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese akan dirangkum sebagai berikut : 1. Level individual Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media. Hal tersebut dapat dilihat dari skema berikut : Skema 2. How factor intrinsic to the communicator may influence media content
Communicators’s characteristics, personal background, and experiences Communicators’s professional background, and experiences
Communicators’s personal attitudes, values, and beliefs
Communicators’s professional roles and ethics Communicators’s power within the organization Effect of ommunicators’s characteristics, backgrouns, experiences, attitudes, values, belief, roles, ethics, and power on mass media content
Sumber : Shoemaker, 1996: 65
2. Level Rutinitas media Level ini berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciriciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
3. Organisasi Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
4. Ekstra Media Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media seperti yang dijelaskan oleh Shoemaker dan Reese sebagai berikut : ”In this chapter, we shift our attention to factors extrinsic to (outside of) the media organization. They concluded the source of the information that becomes media contents, such us special interest groups, public relation campaigns, and even the news organization themselves; revenue source, such as advertisers and audiences; other social institutions, such us business and government; economic environment; and tecnology.” (Dalam chapter ini, kami memindahkan perhatian kami kepada faktor ekstrinsik dari organisasi media. Faktor tersebut disimpulkan sumber informasi yang menjadi ini media, seperti kelompok penekan, kampanye publik, dan bahkan organisasi berita itu sendiri; sumber pendapatan, seperti iklan dan audiens; institusi sosial yang lain, seperti saingan bisnis dan pemerintah; lingkungan ekonomi; dan teknologi) (Shoemaker, 1996: 175) Pernyataan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentang faktor eksternal yang memempengaruhi media tersebut akan dijelaskan sebagai berikut Ø Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan
untuk
mempengaruhi
media
dengan
berbagai
alasan:
memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. Ø Sumber
penghasilan
media,
berupa
iklan,
bisa
juga
berupa
pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. Ø Pihak-pihak eksternal yang lain, seperti pemerintah, persaingan bisnis, lingkungan ekonomi, dan teknologi yang berkembang saat ini. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis. Persaingan bisnis dan lingkungan ekonomi
mempengaruhi strategi dan kebijakan yang diambil oleh media. Sedangkan perkembangan teknologi informasi yang cepat menuntut media untuk selalu aktif mengikuti perkembangannya.
5. Ideologi Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengutip pendapat Raymond William dalam mendefinisi ideologi, yakni “relatively formal and articulated system of meaning, value, and belief, of a kind that can be abstracted as a ‘word view’ or a ‘class outlook’” (Shoemaker, 1996: 222). Madsud definisi yang diberikan Williams adalah, ideologi memberikan standar baku bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari definisi yang dikemukakan William dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese juga mengutip pendapat Samuel Becker yang menguatkan definisi dari William dengan mengatakan, “ideology govern the way we percieve our world and ourself; it control What we see as ‘natural’ or ‘obvious’” (Shoemaker, 1996: 222). Ideologi mengarahkan dan memberikan parameter bagi sistem pemaknaan, nilai-nilai, kepercayaan, yang dapat dijadikan pandangan dunia. Dari situ dapat dilihat bahwa ideologi mempengaruhi cara media menggunakan sistem tanda atau bahasa, karena bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan dan bangunan makna maka ideologi menyeleksi apa saja yang dapat dituliskan dan sebaliknya menyensor apa yang dilarang untuk dituliskan. Dari
pandangan Williams dan Becker menjadi semakin jelaslah bahwa ideologi memberikan aturan dalam produksi berita yang mempengaruhi pemilihan fakta untuk merangkai berita. Ideologi media tidak berdiri sendiri. Banyak faktor karena orang-orang di didalamnya berada di tangan penguasa budaya, politik, dan ekonomi masyarakat di mana informasi terpilih sering membentuk konsep ideologi yang secara berlebihan mewakili kepentingan yang berkuasa dan meminggirkan kepentingan kelompok lainnya. Dalam kaitannya dengan berita, Shoemoker dan Reese mengatakan bahwa setiap berita pada dasarnya tidak dapat lepas dari pengaruh ideologi. Analisis ideologi terhadap teks berita merupakan analisis makro dalam penelitian isi teks media, karena memperhatikan konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik (Shoemaker, 1996: 230). Daniel Hallin dalam Eriyanto (Eriyanto, 2002: 127) membuat ilustrasi bagaimana berita ditempatkan dalam bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang: bidang penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate controversy), dan bidang konsensus (sphere of consensus). Bidang-bidang ini menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh wartawan dalam keseluruhan peta ideologis. Skema 3. Berita dalam Peta Ideologi
Sphere of Consensus Sphere Legitimate Controversy Sphere of Deviance
Sumber: Erianto, 2002:127
Dalam wilayah penyimpangan, suatu peristiwa gagasan atau perilaku tertentu dikucilkan dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota komunitas. Dalam bidang ini akan terlihat jelas ideologi yang ada di balik sebuah berita, karena untuk mendefinisikan suatu peristiwa sebagai penyimpangan diperlukan pengetahuan akan sesuatu yang tidak menyimpang atau sesuai konsensus (Eriyanto, 2005: 127) Berbeda dengan bidang petama yang menegaskan kesepakatan bahwa realitas dipandang menyimpang, bidang kontroversi memandang realitas masih diperdebatkan. Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus yang menunjukkan bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama sebagai realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok. Peta ini dapat dipakai untuk menjelaskan realitas yang sama dapat dijelaskan secara berbeda karena memakai kerangkan yang berbeda. Media disini memberi legitimasi pada realitas tertentu dan mendelegitimasi realitas lain yang dinilai menyimpang (Eriyanto, 2005: 127). Proses kerja pembentukan dan produksi berita bukanlah suatu yang netral, melainkan ada bias ideologi yang secara sadar atau tidak tengah dipraktekkan oleh wartawan. Media dipandang sebagai agen konspiratif yang menyembunyikan atau menampilkan fakta yang dikehendaki, dan secara sadar mengelabuhi khalayak untuk kelompok dominan. Pada akhirnya pemberitaan media memang cenderung memarjinalkan kelompok yang tidak dominan dan memantapkan posisi status quo. Prosesnya berlangsung dalam suasana yang kompleks dan sering tidak disadari (Eriyanto, 2002: 136). Antonio Gramsci dalam Alex Sobur (Sobur, 2006: 30) melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa
menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Hal tersebut akan melahirkan konsep hegemoni oleh media. Konsep hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang ahli filsafat plitik Italia. Menurut Gramsci, hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri, melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan mebentuk alam pikiran mereka. Hegemoni berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, melainkan dengan cara yang wajar dan bisa diterima. Hegemoni bisa dilakukan oleh media dalam produksi berita. Proses itu melalui cara yang halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran oleh semua orang. Proses hegemoni itu menjadi subuah ritual yang sering tidak disadari oleh wartawan sendiri, semisal dalam keberpihakannya terhadap sesuatu (Eriyanto, 2001: 104-105)
4. Berita dan Konstruksi atas Realitas a. Proses Produksi Berita Media Cetak Menurut The New Grolier Webster International Dictionary, yang dikutip oleh Hikmat Kusumaningrat dalam Jurnalistik Teori dan Praktek (Kusumaningrat, 2006: 39) berita adalah : “(1) Current information about something that has taken place, or about something not known before; (2) News is information as presented by a media such as papers, radio, or television; (3) news is anything or anyone regarded by a news media as a subject worthy of treatment.” Artinya sebuah peristiwa layak menjadi berita ketika ia memiliki nilai yang
dihargai dalam masyarakat, padahal belum banyak orang yang mengetahuinya. Hal itu tentu saja berkaitan dengan hajat hidup orang banyak atau setidaknya mampu mengedukasi masyarakat. Sehingga, informasi itu harus disebarkan secara luas melalui media massa. Sementara itu Mitchel V. Charnley mendefinisikan berita sebagai the timely report of fact or opinion, that hold internal or importance, or both for a considerable number of people. Definisi itu dapat disederhanakan supaya lebih mudah dipahami, yaitu bahwa berita adalah informasi yang aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang (Kusumaningrat, 2006: 39). Satrio Arismunandar, dalam artikelnya Teknik Reportase atau Teknik Meliput Berita di www.wikimu.com mengemukakan media massa yang sudah mapan, biasanya telah membuat semacam Standart Operational Procedure (SOP) dalam pembuatan berita, untuk menjaga kualitas berita yang dihasilkan. Proses pembuatan berita biasanya dimulai dari rapat redaksi, yang juga merupakan jantung operasional media pemberitaan. Rapat redaksi merupakan kegiatan rutin, yang penting bagi pengembangan dan peningkatan kualitas berita yang dihasilkan, terutama berita yang akan dijadikan headline. Dalam rapat redaksi ini, para wartawan, juru kamera, redaktur, bisa mengajukan usulan-usulan topik liputan. Usulan itu sendiri bisa berasal dari berbagai sumber. Misalnya: Undangan liputan dari pihak luar, konferensi pers, siaran pers, berita yang sudah dimuat atau ditayangkan di media lain, hasil pengamatan pribadi wartawan, masukan dari narasumber/informan, dan sebagainya (Arismunandar, 2008). Setelah selesai meliput, wartawan menulis berita dari hasil reportase kemudian melaporkan hasilnya kepada redaktur yang memberi penugasan. Berita bisa ditulis dengan format straightnews, featurenews, softnews atau indephnews. Redaktur
membuat penilaian, apakah hasil liputan itu sudah sesuai dengan rancangan awal, yang sebelumnya ditetapkan dalam rapat redaksi. Redaktur juga melihat, apakah ada hal yang kurang terliput oleh wartawan dan mempertimbangkan asas keberimbangan dan proporsionalitas dalam isi pemberitaan. Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, redaktur mengusulkan di mana berita itu akan ditempatkan dalam rapat ”budgeting”. Dalam rapat ”budgeting” itulah ditentukan mana-mana berita yang masuk di halaman depan, mana yang masuk halaman dalam (Kusumaningrat, 2006: 76). Setelah itu mulailah tahap layout disusul proses cetak, kemudian hasil berita yang dimuat di media cetak siap didistribusikan. Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media antara lain berita itu mengandung nilai aktual (timelines), kedekatan (proximity), keterkenalan (prominence), dampak (consequence), besar (magnitude), dan human interest (Kusumaningrat, 2006: 61-66). Selain mempertimbangkan kriteria kelayakan berita, Redaksi juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya. Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput (Arismunandar, 2008).
b. Bagaimana Konstruksi Berita itu Dibuat Menulis berita tak ubahnya menceritakan kembali penggalan peristiwa. Mark Fishman memperkenalkan sebuah model yang disebut struktur fase. Struktur fase adalah tahapan-tahapan alur cerita atau kerangka berita yang disusun wartawan. Setiap wratawan memiliki alur berbeda dalam membuat berita. Lewat struktur fase, peristiwa yang kompleks, tindakan yang tidak beraturan, beragam, dan abstrak diorganisasikan sebagai peristiwa yang beraturan, logis, dan dibuat bermakna lewat skema interpretasi wartawan (Eriyanto, 2002: 92-94). Wartawan bukanlah agen tunggal yang menafsirkan peristiwa, sebab paling tidak ada tiga pihak yang saling berhubungan: wartawan, sumber dan khalayak. Setiap pihak menafsirkan dan mengonstruksi realitas dengan penafsiran sendiri dan berusaha agar penfsirannya yang paling dominan dan menonjol. Wartawan sebagai “agen konstruksi” berusaha untuk menjadikan apa yang ia konstruksi menjadi lebih dominan. Namun, dalam mengonstruksi realitas, wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam pikiran semata, tapi ia juga harus mempertimbangkan tiga aspek yaitu (Eriyanto, 2002: 254) : Ø Pertama, proses konstruksi itu juga melibatkan nilai sosial yang mengikat wartawan. Nilai-nilai sosial yang mengikat wartawan tersebut mempengaruhi bagaimana realitas dipahami dan dituliskan. Ø Kedua, ketika menulis dan mengonstruksi berita wartawan bukanlah berhadapan dengan publik yang kosong, dalam artian khalayak menjadi pertibangan wartawan dalam menyusun kata-kata. Ø Ketiga, proses konstruksi juga ditentukan oleh proses produksi yang selalu melibatkan standar kerja profesional dari wartawan, misal mentaati kode etik jurnalistik.
5. Framing sebagai Sebuah Teknis Analisis Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori
standar
untuk
mengapresiasi
relitas.
Konsep
ini
kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Erving Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavoir) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004: 161). Analisis framing sendiri dalam perspektif komunikasi, dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat merekonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2001: 162). Frame, menurut Robert M. Entmant adalah pemilihan (selection) dari penonjolan hal yang penting (salience). Lebih jauh ia menyatakan : To frame is to select some aspect of perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the itemdescribed (Zen 2004: 93). Todd Gitlin berpendapat bahwa framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Menurut Gitlin, frame adalah
bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. Dengan frame, jurnalis memproses berbagai aspek informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi dan skema intepretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk dan mengintepretasi makna di dalamnya (Eriyanto, 2002: 67-69). Wiliam A. Gomson mendefinisikan framing sebagai cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang diterima (Eriyanto, 2002: 67) Framing oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melakukan encoding, menafsirkan, serta memunculkan informasi yang dapat dikomunikasikan dan dihubungkan dengan kebiasaan dan konvensi pekerjaan jurnalistik. Oleh karena itu framing dapat dikaji sebagai suatu strategi untuk mengonstruksi dan merespon wacana berita (Zen, 2004: 94) Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai framing, namun ada titik singgung utama dari berbagai definisi tersebut. Secara sederhana, analisis framing digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Realitas sosial disini dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu (Eriyanto, 2002: 3). Eriyanto dalam buku Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, Politik Media menyebutkan ada empat model analisis framing. Pertama, model Murray Edelmen yang
memiliki perangkat framing yakni kategorisasi. Kedua, model Robert N. Entman yang memiliki perangkat framing seleksi isu dan penonjolan aspek tertentu dari isu. Ketiga, model William A. Gamson yang memiliki perangkat framing metapors, catchphrase, exemplaar, depiction, visual image, roots, appeals to principle, dan consequences. Keempat, model Pan Kosicki yang memiliki perangkat framing sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Delia Cristina Balaban dalam Journal of Media Research menuliskan malakah berjudul The Framing or the Interpretation Frames Theory yang mengetengahkan tentang klasifikasi frame. Ia menulis : There are also attempts to classify frames. Swiss researcher Jörg Matthes talks about two categories of mediatic-frames: formal-stylistic frames and contained frames which structure specific issues. Iyengar and Simon talk about episodic frames and theme frames. ... The multidimensionality of framing phenomenon should not be overlooked. There are: framing by selecting thematic issues, framing by internal structure, by creating relationships between different aspects of the theme and last but not least, framing through foreign contextualization by creating relationships with other topics, What we call in the field frame-bridging (Balaban: 2008: 12) Tulisan tersebut menyebutkan Jörg Matthes, peneliti Swiss menyebutkan sekitar dua kategori dari mediatic-frames yakni formal-stylistic frames dan contained frames (yang memiliki stuktur isu spesifik). Iyengar dan Simon menyebutkan tentang episodic frames dan theme frames. Fenomena framing yang multidimensional tidak boleh diabaikan. Ada framing dengan memilih isu-isu tematik, framing oleh struktur internal, dengan menciptakan hubungan antara berbagai aspek dari tema dan terakhir, framing melalui kontekstualisasi asing dengan menciptakan hubungan dengan topik-topik lainnya, apa kita sebut dalam field frame-bridging (Cristina: 2008: 12). Dalam proses freming ada dua aspek dilakukan yakni memilah fakta dan menuliskan fakta. Proses pemilihan fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam pemilihan fakta ini selalu terkandung
dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain (Eriyanto, 2002: 69) Kedua menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khlayak. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan headline di depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2002: 70). Menurut Pan Kosicki, terdapat beberapa perbedaan jika analisis framing dibandingkan dengan analisis teks berita lainnya. Pertama, analisis framing tidak memandang teks berita sebagai sarana simbolik teratur yang akan berinteraksi dengan khalayak. Kedua, analisis framing tidak terikat oleh pendekatan stukturalis yang bebas isi terhadap semua wacana. Ketiga, validitas dari analisis framing tidak berdasar pada teks berita saja, tetapi juga pada prosedur sistematik dalam mengumpulkan data (Eriyanto, 2002: 251). Pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif. Water Lippman menyarakan bahwa dalam proses kerjanya, bukan melihat lalu menyimpulkan dan menulis, tetapi lebih sering adalah menyimpulkan lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Wartawan tidak bia menghindari dari kemungkinan
subjektivitas, memilih fakta apa yang ingin dipilih dan membuang apa yang ingin dia buang (Eriyanto, 2002: 31). Dari pemaparan diatas, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana Tempo edisi Khusus Pemilihan Presiden memilih fakta-fatkta dalam memberitakan ketiga pasangan Capres dan Cawapres. Artinya dalam tataran praktis, bagaimana media mencitrakan karakteristik kepemimpinan mereka dimulai dari masa kanak, ketika remaja, hingga beranjak dewasa, atau ketika menempuh pendidikan tinggi.
6. Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi (KBBI, 2003: 769). Pimpin memuat dua hal pokok yaitu pemimpin sebagai subjek, dan yang dipimpin sebagai obyek. Sedangkan kepemimpinan adalah suatu proses dan perilaku untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin. 1. Teori Lahirnya Pemimpin Beberapa teori telah dikemukakan para ahli majemen mengenai munculnya seorang pemimpin. Kartono Kartini dalam buku Pemimpin dan Kepemimpinan menyebutkan ada tiga teori mengenai munculnya kepemimpinan (Kartono, 1994: 75), yaitu teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis atau sintesis, yang akan dijelaskan berikut ini: a. Teori Genetis Penganut teori ini mengatakan bahwa leaders are born and not made"
bahwa seorang pemimpin ada karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin. b. Teori Sosial Jika teori genetis merupakan kebalikan dari teori genesis yaitu "Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu. c. Teori ekologis atau sintesis Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dimana bakat kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teoriteori kepemimpinan.
2. Karakteristik Kepemimpinan Taprifios dalam Modul 11 Pengantar Manajemen berjudul Kepemimpinan dalam Organisasi mengatakan kepemimpinan berkaitan dengan dua fungsi yaitu fungsi yang berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah dan fungsi memelihara kelompok atau sosial, seperti menengahi perselisihan dan menjaga agar individu merasa dihargai dalam kelompoknya. Pemimpin yang sangat efektif dapat
melaksanakan kedua peran tersebut (Taprifios, 2008 :3). Tracey T Manning dalam Journal of Leadership & Organizational Studies mengemukakan sebuah pendapat yang menarik tentang karakteristik kepemimpinan. Dalam tulisannya berjudul Leadership across cultures: Attachment style influences ia menulis: Aditya & House (2002) describe the characteristic as “interpersonal acumen” ability to understand others' motives and behavior. Leaders were described by "encouraging, positive, motivational, confidence builder, dynamic, and foresight," along with team-building, communicating, and coordinating. Echoing these results, Hopkins & Hopkins (1998) found that successful diversity leaders are sensitive to all followers, patient and supportive, able to mediate fairly, and involved with their employees (Manning: 2003). Dari apa yang ditulis oleh Tracey T Manning karakteristik kepemimpinan dinilai sebagai ”kecerdasan interpersonal”, kemampuan untuk memahami motif dan perilaku orang lain. Pemimpin yang menonjol digambarkan dengan kemampuan “mendorong, positif, memotivasi, kepercayaan diri pembina, dinamis, dan tinjauan ke masa depan”, bersama dengan pembentukan tim, berkomunikasi, dan koordinasi. Hopkins & Hopkins (1998) menemukan bahwa para pemimpin keragaman sukses sensitif terhadap semua pengikut, sabar dan mendukung, mampu menengahi secara adil, dan terlibat dengan karyawan mereka (Manning: 2003). Jika disimpulkan, karakteristik kepemimpinana yang baik menurut Tracey T Manning lebih mengarah pada hubungan yang baik dengan bawahan atau orang lain. Sedangkan dalam buku The Toyota Ways Fieldbook karakteristik kepemimpinan yang baik itu harus mencakup enam hal yang berkaitan dengan diri pemimpin itu sendiri. Keenam hal tersebut yakni (1) kemauan dan keinginan untuk memimpin, (2) pengetahuan tentang pekerjaan yang akan ia jalani, (3) tanggungjawab terhadap pekerjaannya, (4) kemampuan perbaikan berkesinambungan, (5) kemampuan memimpin, (6) kemampuan mengajar (Liker, 2007: 236)
J. Salusu dalam buku Pegambilan Keputusan Stratejik menggolongkan karakteristik kepemimpinan sebagai berikut (Salusu, 1996:288-231): a. Entrepeneur, sangat kompeten, individualis, egosentris, dominan, percaya pada diri sendiri, inovatis, punya kemauan keras, mempunyai dorongan untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. b. Corporateur, tindakannya selalu sianggap sebagai tindakan tim, ia sangat dominan, tetapi tidak suka mendominasi, sangat direktif namun masih memberi kebebasan pada karyawan. Konsultatif, tapi kurang partisipatif. c. Developer, yang menganggap orang lain sebagai sumber kekuatan utama, itulah sebabnya ia sangat percaya pada bawahan. Memiliki ketrampilan membina hubungan kemanusiaan yang hebat, dengan itu ia mampu memenangkan loyalitas dari karyawan dan menciptakan iklim yang memberi dukungan penuh atas kepemimpinannya. d. Craftsman, seseorang yang menginginkan pekerjaan diselesaikan dengan sempurna. Bersahabat, konservatif, dan sangat hati-hati. Percaya pada diri sendiri, berorientasi pada penugasan, langsung pada sasaran, prefeksionis, independen, selalu berfikir dan bertindak analitis. e. Integrator, ialah seorang yang ingin membangun konsensus dan komitmen. Memiliki ketrampilan dalam membangun hubungan antar pribadi. Seorang egalitarian, suka memberi dukungan dan bantuan, serta sangat partisipatis. Ia juga seorang pelopor pembentuk tim yang kokoh, seorang yang penuh motivasi dan terampil dalam menyatukan masukan yang bervariasi. Pendeknya, ia adalah pemimpin yang brilian dan lebih menyukai, pengambilan keputusan kelompok. f. Gamesman, seorang pemain yang ulung, selalu berprinsip kita bermain
bersama-sama tetapi saya harus memengkan lebih banyak daripada anda. Bergerak cepat, luwes, terampil, sangat mobile, dan banyak mengetahui. Seorang yang dapat bekerja otonom, berani mengambil resiko, selalu ingin memenangkan sesuatu. Tetapi tidak mempunyai rasa kebencian. Dari pemaparan teori, penelitian ini menggunakan teori ekologis atau sintesis ini sebagai landasan berpijak. Peneliti berasumsi ketiga pasangan capres dan cawapres memiliki jiwa kepemimpinan sejak lahir, dimana bakat itu diasah semenjak kanak-kanak hingga dewasa sehingga karakteristik kepemimpinan mereka terbentuk.
F. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka berfikir skripsi ini dapat disederhanakan dalam skema di bawah ini: Skema 4. Kerangka Pemikiran Konstruksi Media Terhadap Karakteristik Kepemimpinan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Peserta Pemilu Presiden 2009 Pemilihan Umum Presiden 2009-2014 Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Wacana yang beredar dan berkembang mengenai Capres dan Cawapres
Kebijaksanaan Redaksional Media Mengenai Pemberitaan Tentang Capres dan Cawapres
Teks Berita Praktisi Media Analisis dan Reduksi Data
Rapat Redaksi
Media Framing Model Pan-Kosicki : Sintaksis, Skrip, Tematik, Retoris Melihat Ideologi dan Kepentingan Media Melalui Interview
Kesimpulan
Sumber: olahan penulis Kerangka pemikiran penelitian ini bertolak dari akan adanya Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Calon Presiden 2009-2014 secara langsung pada 9 Juli 2009. Pada tanggal 29 Mei 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tiga pasangan yang lolos sebagai peserta Pemilu Presiden dan Calon Presiden, yakni pasangan nomer urut satu Megawati Soekarno Putri berpasangan dengan Prabowo Subianto, pasangan nomer urut dua Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Boediono, serta pasangan nomer urut tiga Jusuf Kalla berpasangan dengan Wiranto. Banyak wacana beredar mengenai ketiga pasangan Capres dan Cawapres tersebut,
mulai dari masa lalu mereka, kegiatan-kegiatan yang dilakukan, track record mereka dan lain-lain. Semua media lokal maupun nasional memberitakan hal tersebut, tak terkecuali Tempo. Bahkan Tempo menerbitkan Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009. Dengan berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan dalam latar belakang, peneliti lalu melakukan analisis terhadap Laporan khusus di Tempo Edisi tersebut. Bertolak dari hasil analisis teks media, peneliti menemukan model framing yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu model Pan-Kosicki yang memiliki empat alat analisis yakni: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Guna mengetahui apa yang mendasari media sampai lahir teks-teks berita seperti yang dianalisis, penulis melakukan wawancara dengan praktisi media, terutama dari Redaksi Majalah Tempo.
G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Seperti telah dijelaskan di atas, paradigma konstruktivisme secara singkat menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai construct (bangunan “kebenaran”) dan construe (cara memahami “kebenaran”) yang berbeda-beda dalam mensikapi realitas. Dengan demikian penelitian ini akan menggali construct dan construe obyek yang diteliti yakni Majalah Tempo, khususnya mengenai berita tentang Capres dan Cawapres peserta pemilu 2009. Sedangkan penelitian kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan
(explanations),
mengontrol
gejala-gejala
komunikasi
atau
mengemukakan prediksi-prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007: 35) Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif yang merupakan representasi
simbolik yang lebih menekankan pada makna dan tujuan dari obyek penelitian dibandingkan isi data secara difinitif. Hal itu bisa berupa kata-kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah (Sutopo, 2002: 10) Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif hanya memaparkan dan menafsirkan data kualitiatif mengenai situasi, peristiwa atau fenomena secara komperkensif. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesa atau membuat prediksi (Rakhmat, 1991: 24).
2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (Pan Kosicki). Alasan memilih menggunakan metode framing metode Pan Kosicki ini karena metode tersebut memiliki dua kelebihan. Pertama, cara ini memberi peluang yang lebih luas terhadap unit analisa yang digunakan (struktur berita, gaya bahasa, idiom, gambar/foto, grafik). Kedua, terdapat tiga bagian besar dengan bagian analisa masing-masing sehingga lebih lengkap dan sangat membantu dalam proses pengategorian sampai pada tahap analisa. Selain itu Pan Kosicki mengatakan analisis framing dimunculkan sebagai pendekatan kaum konstruktivis (yang sejalan dengan kerangka berfikir penulis) dalam menguji wacana media yang bersifat empiris dan operasional yang dibagi ke dalam empat struktur yakni struktur sintaksis (syntatactional structure), struktur naskah (script structure), struktur tematik (thematic structure), dan struktur retoris (retoric structurei) (Zen, 2004: 91). Keempat dimensi struktural tersebut akan digunakan sebagai perangkat framing dalam setiap berita mengenai Capres dan Cawapres peserta pemilu 2009. Penjelasan keempat struktur tersebut adalah sebagi berikut : 1. Struktur Sintaksis Sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Sintaksis berhubungan
dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa –pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa– ke dalam bentuk susunan umum berita. Struktur sintaksis dapat diamati dari bagan berita (lead yang dipakai, latar, judul, kutipan yang diambil, dan sebagainya) sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana fakta hendak disusun. Bentuk sintaksis yang paling poluler adalah bentuk piramida terbalik yang dimulai dengan judul, lead, pendahuluan, latar, kutipan, dan penutup. a. Judul, merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Judul mempunyai fungsi framing yang kuat. Judul digunakan untuk menunjukkan bagaimana wartawan mengonstruksi suatu isu, seringkali menekankan makna tertentu lewat pemakaian tanda tanya untuk menunjukkan sebuah perubahan dan tanda kutip untuk menunjukkan adanya jarak perbedaan. b. Lead, umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. c. Pendahuluan, merupakan paragraf pertama berita, untuk mengetahui bagaimana sebuah berita diawali. d. Latar, merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat tersebut sangat beralasan. Karena itu, latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa. e. Kutipan, dimaksudkan untuk membangun obyektivitas. pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau
kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan berdasarkan diri pada kalim otoritas akademik. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai menyimpang. Kutipan bisa berbentuk parafrase, yakni kutipan yang disadur dari buku atau disadur dari kutipan orang lain. f. Penutup, merupakan paragraf terakhir berita, untuk mengetahui bagaimana sebuah berita diakhiri. 2. Struktur Skrip Skrip
berhubungan
dengan
bagaimana
wartawan
mengisahkan
atau
menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Berita laporan sering pula disusun dalam bentuk cerita karena dua hal. Pertama, banyak laporan berita yang berusaha menunjukkan hubungan, peristiwa yang ditulis merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya. Kedua, berita umumnya mempunyai orientasi menghubungkan teks yang ditulis dengan lingkungan komunal pembaca. Ini adalah cara wartawan agar berita yang ditampilkan menarik. Karena itu, peristiwa diramu dengan mengaduk unsur emosi, menampilkan peristiwa tampak sebagai sebuah kisah dengan awal, adegan, klimaks dan akhir. Stuktur skrip, pada umumnya terdiri dari Siapa (Who), Apa (What), Kapan (When), Dimana (Where), Kenapa (Why),
dan Bagaimana (How) atau
disingkat 5W + 1 H. Skrip adalah salah satu strategi wartawan dalam mengonstruksi berita: bagaimana suatu peristiwa dipahami melalui cara tertentu dengan menyusun bagianbagian dengan urutan tertentu. Skrip memberi tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi
penting. Dengan menghilangkan salah satu dari enam kelengkapan berita (5W + 1H) tersebut. Wartawan mampu menekankan atau menghilangkan bagian terpenting dalam mengisahkan sebuah fakta. 3. Tematik Struktur tematik berkaitan dengan bagaimana suatu fakta ditulis, meliputi: bagaimana kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks secara keseluruhan. Struktur tematik ini membuktikan tema tertentu yang dipilih wartawan dalam melaporkan berita lewat susunan atau bntuk kalimat tertentu, proporsi, atau hubungan antar proporsi. Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyatan yang diungkapkan, semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat. Dalam menulis berita, wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa. Ada beberapa elemen yang dapat diamati, antara lain adalah : a. Koherensi, menyangkut pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat yang berbeda dihubungkan dengan menggunakan koherensi.
Fakta
yang
tidak
berhubungan
sekalipun
dapat
menjadi
berhubungan ketika seorang wartawan menghubungkannya. Ada beberapa macam koherensi. Pertama koherensi sebab akibat. Proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi lain. Proposisi sebab akibat umumnya ditandai dengan kata hubung “sebab” atau “karena”. Kedua, koherensi penjelas. Proposisi kalimat satu atau dilihat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain. Koherensi penjelas ditandai dengan pemakaian kata “dan” atau “lalu”. Ketiga koherensi pembeda. Proposisi atau kalimat satu dipandang sebagai kebalikan atau lain dari proposisi atau kalimat lain.
Koherensi pembeda ditandai dengan kata hubung “dibandingkan” atau “sedangkan”. b. Kata ganti, menunjukkan posisi seseorang dalam suatu wacana bertujuan untuk memanipulasi dengan menciptakan imajinasi. c. Bentuk kalimat, hal yang berhubungan dengan cara berpikir logis yaitu prinsip kausalitas. Dengan kausalitas dalam bahasa diwujudkan dalam subjek dan predikat. d. Detail, hal yang berhubungan dengan pengendalian informasi yang menguntungkan diri komunikator agar ditampilkan lebih besar. Sebaliknya, komunikasi yang merugikan akan mendapat posisi yang lebih sedikit atau dihilangkan sama sekali. 4. Retoris Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Berfungsi membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu, dan meningkatkan gambaran yang diinginkan pada suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. Elemen yang diamati antara lain: a. Leksikon, merupakan struktur retoris yang paling penting. Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Pilihan ini tidak dilakukan secara kebetulan, tapi secara ideologis untuk menunjukkan pemaknaan terhadap fakta. b. Metafora, kiasan yang mempunyai persamaan sifat dengan benda atau hal yang dinyatakan dengan kata atau frasa. Dipakai tidak hanya untuk “ornamen” cerita, tetapi juga untuk mendukung dan menekan pesan utama yang
disampaikan. c. Grafis, diwujudkan dalam bentuk variasi huruf (ukuran, warna, efek), caption, grafis, gambar, tabel, foto dan data lainnya. Termasuk juga penempatan dan ukuran judul (dalam kolom). Elemen grafik memberikan efek kognitif, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukkan apakah suatu informasi itu dianggap penting dan menarik sehingga harus difokuskan. d. Gaya, menunjukkan pada kemasan bahasa tertentu dalam penyampaian pesan untuk meninbulkan efek tertentu kepada khalayak. e. Pengandaian, menganggap suatu peristiwa mungkin terjadi; memisalkan; atau mengumpamakan. Lebih jelasnya, model Pan dan Kosicki digambarkan dalam model berikut ini: Tabel 3. Kerangka Framing menurut Pan Kosicki STRUKTUR
PERANGKAT FRAMING
UNIT YANG DIAMATI
SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta
1. Skema berita
Headline, lead, latar, informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup
SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita
5W+1H Who, What, Where, When, Why dan How
TEMATIK Cara wartawan menulis fakta
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti
RETORIS Cara wartawan menekankan fakta
7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Paragraf, preposisi, kalimat, hubungan antarkalimat
Kata, idiom, gambar atau foto, grafik
Sumber : Eriyanto, 2002: 256
3. Obyek Penelitian Obyek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah berita Liputan Khusus di
Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni-5 Juli 2009. Total ada 20 berita tentang Capres dan Cawapres yang menjadi kontestan Pemilu Presiden 2009. Alasan pemilihan obyek penelitian dengan tema mengenai konstruksi karakteristik kepemimpinan Capres dan Cawapres adalah karena Penulis berasumsi bahwa pemiliha Presiden dan wakli Presiden merupakan momen yang penting bagi Bangsa Indonesia. Peran media sangat penting dalam menginformasikan segala hal tentang Cepres dan Cawapres yang akan memimpin bangsa lima tahun kedepan. Sedangkan alasan Peneliti menggunakan Majalah Tempo sebagai obyek penelitian adalah karena Tempo merupakan media massa nasional yang telah lama eksis di Indonesia (awal berdiri tahun 1971), bahkan termasuk media tertua di Asia Tenggara. Walaupun telah diberedel dua kali, namun Tempo terus-menerus mencoba bangkit dan masih tetap bisa eksis sampai saat ini. Selain itu jumlah tiras yang mencapai angka lebih dari 200.000 eksemplar termasuk jumlah oplah tertinggi untuk ukuran majalah di Indonesia. Sehingga Penulis berasumsi bahwa Tempo termasuk majalah yang diminati dan kredibel di bidangnya.
4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagi berikut : a. Data Primer i. Data primer berupa berita Laporan Khusus yang dimuat di Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 Edisi 29 Juni-5 Juli 2009. ii. Hasil wawancara dengan Redaksi Majalah Tempo. b. Data Sekunder Sumber-sumber tertulis lain dari buku, majalah, catatan, makalah, dokumen resmi, jurnal atau laporan, yang relevan dengan obyek kajian.
H. VALIDITAS PENELITIAN Dalam penelitian komunikasi kualitatif terdapat beberapa cara yang dipilih untuk menguji validitas (kesahihan) data penelitian. Dalam menguji validitas data dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik triangulasi. Tianggulasi merupakan cara melakukan pengujian dengan meng-cross check hasil analisis data dengan sumber lain yang sudah ada. Triangulasi ada lima macam, yakni triangulasi sumber, triangulasi waktu, triangulasi teori, triangulasi periset atau peneliti, dan tiangulasi metode (Kriyantono, 2006: 70). Dari kelima macam teknik triangulasi, penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Triangulasi sumber yaitu membandingkan atau mengecek ulang drajat kepercayaan analisis data yang diperoleh dengan sumber yang berbeda (Kriyantono, 2006: 70). Dalam hal ini, Peneliti membandingkan analisis data yang diperoleh dengan hasil wawancara dengan praktisi media dari Majalah Tempo.
I. PENELITIAN YANG TELAH ADA Dari hasil study literatur yang dilakukan Penulis, pernah ada penelitian yang hampir setipe dengan penelitian yang dilakukan oleh Penulis. Penelitian dalam bentuk skripsi yang disusun oleh Sri Wahyuningsih Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2002 tersebut mengambil judul Konstruksi Media tentang Citra Agen Perubahan (Analisis Framing 10 Tokoh yang Mengubah Indonesia di Majalah Tempo Edisi Khusus Akhir Tahun 2006). Tujuan dari penelitian itu adalah untuk mengetahui bagaimana Tempo mengkostruksi citra 10 Tokoh yang dianggap sebagai agent of change. Dalam melakukakan analisis data, Sri Wahyuningsih menggunakan analisis framing model Pan Kosicki.
Dari kesimpulan skripsi tersebut menunjukkan, dalam mengonstruksi citra 10 Tokoh yang dianggap sebagai agent of change, elemen sintaksis yang ditonjolkan oleh Tempo adalah kutipan narasumber yang sesusai dengan kepakaran masing-masing tokoh. Elemen skipnya banyak menonjolkan pada Who dan What. Sedangkan untuk elemen tematiknya dijelaskan secara detail tentang karya-karya apa yang telah dihasilkan oleh 10 tokoh tersebut. Elemen retoris ditonjolkan dari grafis (terutama foto yang didesain sedemikian rupa) dan leksikon (pemilihan kata yang dinilai mengandung makna dan tekanan tertentu). Hal yang dinilai kurang oleh Penulis dari penelitian tersebut adalah kurang detail dalam menganalisis tiap kalimat atau paragraf dalam tiap berita. Serta tidak melakukan cross check ulang terhadap pihak Tempo, yang merupakan pembuat berita. Penelitian yang saat ini dilakukan penulis diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan tersebut. Penelitian tentang kepala negara atau presiden pernah dilakukan oleh Youngkee Ju yang melakukan analsisi framing pendapat pembaca pada koran di Korea terhadap dua mantan presiden Korea Kim Young-sam dan Roh Moo-hyun dengan judul Policy or Politics? A Study of the Priming of Media Frames of the South Korean President in the Public Mind. Dalam tulisan yang pernah dimuat dalam International Journal of Public Opinion Research tersebut Youngkee Ju menuliskan: Results show that President Roh was predominantly referred to within a politics frame and had a lower approval among the population, mostly in terms of his being negatively characterized as a politician, while President Kim was represented more within a policy frame, and was evaluated in light of his policies among the public. The study discusses the significance of examining media framing of a president, and the necessity for further experimental study of the priming effect of media frames of a president. (Ju, 2005) Tulisan Youngkee Ju mengandung makna hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Roh sebagian beasr dirujuk ke dalam dalam sebuah politics frame dan mendapat persetujuan yang lebih rendah di kalangan penduduk, terutama dalam hal karakteristik
yang negatif sebagai politisi, sementara Presiden Kim diwakili lebih dalam policy frame, dan dievaluasi lebih baik tentang kebijakan-kebijakannya di kalangan masyarakat. Penelitian ini membahas pentingnya pembingkaian media dalam menguji presiden, dan dibutuhkan percobaan lebih lanjut studi mengenai priming effect dari frame media mengenai seorang presiden. Berdasarkan pembacaan terhadap jurnal diatas, penelitian ini mengembangkan studi tentang kepemimpinan presiden yang merupakan pemimpin tertinggi di suatu negara.
BAB II DESKRIPSI MAJALAH TEMPO
Definisi majalah oleh Kurniawan Junaedhie dibatasi sebagai berikut (Junaedhie, 1996: xiii): (a) media cetak yang terbit secara berkala, tetapi bukan yang terbit setiap hari, (b) media cetak itu bersampul, setidaknya punya wajah, dan dirancang secara khusus, (c) media cetak itu dijilid atau setidaknya memiliki sejumlah halaman tertentu. Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal mengenai Majalah Tempo.
J. Sekelumit Sejarah Majalah Tempo Lahirnya Majalah Tempo tak bisa dilepaskan dari sosok Goenawan Mohamad. Goenawan, waktu itu 27 tahun, adalah postgraduate Jurusan Ilmu Politik di Collage d’Europe, Belgia dan pernah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Ia mencetuskan ide untuk membuat majalah mingguan berita model Time dan Newsweek (yang beredar di Amerika). Setelah melalui serentetan perundingan yang melelahkan, disepakati menerbikan majalah jenis baru itu, berupa majalah mingguan bergambar. Namanya, Ekspres. Gunawan ditunjuk sebagai pemimpin Redaksi, dan Fikri Jufri sebagai wakilnya (Junaedhie, 1996 : 135-136). Pada bulan April 1969, nomer perdana majalah itu beredar. Tebalnya 34 halaman dicetak 20 ribu eksemplar. Kecuali gambar sampul, isi halaman dalamnya dicetak hitam putih. Ekspres menggunakan Surat Ijin Terbit (SIT) No. 0933/SK/Dir PP/SIT/1970 dan Surat Ijin Cetak (SIC) No. Kep. 040/PC/IV/1970. Rubrik-rubrik yang ditampilkan adalah Laporan Utama, Agama, Ekonomi, Film, Hiburan, Hukum dan Kriminalitas, Ilustrasi, Internasional, Kota dan Desa, Olah Raga, Pendidikan, Pers, Pokok dan Tokoh, Seni dan Ilmu, dan lain-lain. Dengan demikian, seperti gambaram Goenawan sebelumnya, pola
redakisonal maupun tata muka majalah ini memang menghampiri pola Time atau Newsweek (Junaedhie, 1996: 136). Baru enam bulan berjalan, Bulan Oktober, Gunawan dan Fikri Jufri diberhentikan oleh pemilik modal dari Ekspres. Alasannya karena ada konflik internal dan perbedaan pendapat mengenai kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Beberapa wartawan lain yang solider juga ikut keluar. Berita eksodusnya Goenawan dan kawan-kawan dari Ekspres menjadi berita yang ramai. Kabar itu sampai juga ke telinga Ir. Ciputra, Ketua Yayasan Jaya Raya, penerbit Majalah Djaja yang kemudian mengundang Goenawan ke kentornya. Disitu Ciputra membeberkan rancananya men-swasta-kan Djaja skaligus menjajagi kemungkinan untuk menggabungnya dengan majalah baru yang direncanakannya berdasarkan konsep Goenawan (Junaedhie, 1996: 137) Dalam bulan-bulan itu juga tercapai kesepakatan untuk menerbitkan sebuah majalah mingguan baru yang merupakan penerusan dari sifat majalah Ekspres, yaitu meingguan berita bergambar. Modalnya sebesar Rp. 20 Juta ditanggung oleh Yayasan Jaya Raya yang diwakili Ir. Ciputra dan kawan-kawan dengan pembagian saham fifty-fifty. Nama majalah itu dipilih Tempo. Menurut Goenawan Mohamad kata Tempo lebih mudah diucapkan, cocok dengan sifat majalah yang terbitnya berkala (mingguan). Bahkan Goenawan berpendapat karena dekat dengan nama Time, dan ada keisengan ia dan kawankawan untuk sedikit berolok-olok dengan meniru-niru majalah itu (Junaedhie, 1996: 137). Akhir Desember 1970, dengan rekomendasi Menlu Adam Malik, menpen Budiardjo mengeluarkan SIT Tempo. Menyusul 12 Januari 1971, keluar SIC-nya. Pada Januari 1971 nomer perkenalan Tempo terbit dengan 18 halaman dan dibagikan gratis. Dalam perwajahan, Tempo meniru Time, sesuatu yan tak disebutkan pengelola Tempo bahwa mereka terpengaruh oleh majalah Amerika. Bahkan kata Tempo dan Time berarti waktu, dan penggunaan kata waktu yang dengan segala variasinya lazim digunakan oleh
banyak penerbitan. Persamaan Tempo dan Time, terutama ketika Tempo menggunakan “bingkai merah” yang telah menjadi trademark Time, membuat Time menggugat Tempo pada tahun 1973 (Steele, 2007: 60). Majalah Tempo Edisi 1 yang terbit setebal 52 halaman itu dijual Rp. 80 per eksemplar. Diluar dugaan, majalah yang dicetak 10 ribu eksemplar oleh PT Dian Rakyat itu langsung ludes di pasaran. Dalam edisi 27
Maret 1977 Tempo berhasil
mengungkapkan utang Pertamina sebesar 10 Milyar Dollar US. Prestasi ini mendapat pujian dari surat kabar The Asian Street Journal, edisi 25 Mei 1977. Menurut koran itu Tempo memiliki penciuman berita yang tajam (Junaedhie, 1996 : 141)
Pemberedelan Pertama Pada edisi 24 Februari 1981, Tempo mengejutkan pembacanya karena dua halaman rubrik nasionalnya ditutup tinta hitam. Konon, halaman itu memuat laporan mengenai berita santet di Jember, yang tak boleh disiarkan sebelum ada keterangan dari Pangkopkamtib Sudomo (Junaedhie, 1996 : 141) Terhitung 12 April 1982, SIT Tempo dibekukan oleh Menpen berdasarkan SK Menpen No. 76/Kep/Menpen/1982. Hal itu dikarenakan Deppen menilai pemberitaan Tempo pada Edisi 27 Maret (perihal pengacauan di Lapangan Banteng), 3 April (perihal insiden kampanye di Solo dan Jogja), dan 10 April (perihal pemogokan di UI) secara sengaja atau tidak telah melanggar konsensus bersama antara pemerintah dan pers nasional. Atas dukungan dari berbagai pihak, semisal Persatuan Advokad Indonesia, Wakil Presiden Adam Malik, dan Persatuan Wartawan Indonesia, pada tanggal 29 Mei 1982, menpen Ali Murtopo menyatakan SIT Tempo dicairkan. Pada tanggal 9 Juni 1982 Tempo beredar kembali di kalangan pembacanya (Junaedhie, 1996 : 143) Tempo terus tumbuh dan berkembang, namun tak lepas dari berbagai cobaan. Salah satunya, pada tanggal 11 Juli 1987, 31 karyawan Tempo bereksodus mendirikan
penerbitan mingguan bernama Editor. Masih di tahun yang sama, Tempo mendapat ujian karena tulisan Prit ... Awas, Roda Copot mendapat gugatan ganti rugi sebesar 10 Milyar dari Probosutedjo. Untunglah perkara itu berakhir damai (Junaedhie, 1996 : 157)
Pemberedelan kedua Pada 11 Juni 1994, Tempo menurunkan laporan utama mengenai kontroversi pembelian 39 kapal bekas militer Jerman Timur oleh Pemerintah. Beberapa hari setelah laporan ini muncul, Presiden Soeharto berpidato dalam acara peresmian fasilitas TNI AL di Teluk Ratai, Lampung. Ia mengkritik media yang mengangkat berita kontroversial itu karena dianggap mengancam stabilitas nasional dan telah gagal melaksanakan prinsip Pers Pancasila. Setelah itu, tanggal 21 Juni 1994, departemen Penerangan mengeluarkan surat pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo (Steele, 2007: 215-216). Sebelum itu Tempo tengah melakukan suksesi pasca pengunduran diri Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi pada pertengahan Juni 1993, posisinya digantikan oleh Fikri Juhri. Rumor yang beredar waktu itu, Departemen Penerangan, terutama Harmoko (Mentri Penerangan) tidak suka dengan Fikri Juhri (Steele, 2007: 215-218). Setelah Tempo ditutup, Yayasan Jaya Raya (bekas pemilik Tempo) bernegoisasi dengan Bob Hasan (kroni Soeharto). Beberapa bulan kemudian muncullah Gatra. Menurut Goenawan, awalnya pemerintah ingin semua orang bergabung dengan Gatra. Rapat dewan pegawai Tempo digelar di kantor Tempo di Kuningan. Sekitar 300 orang hadir. Ketika diadakan voting, 70% memilih bergabung dengan majalah yang baru (Steele, 2007: 229-230). Para pendukung Tempo mempercayai Gatra hanyalah majalah “boneka” rezim, karenanya wartawan Tempo yang bergabung dengan majalah itu dianggap pengkhianat (Steele, 2007: xxvii). 7 September 1994 Goenawan Mohamad dan 43 wartawan eks-Tempo mempertanyakan legalitas Menteri Penerangan Harmoko membredel SIUPP. Tempo
menggugat Departemen Penerangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, karena keputusan Menteri mencabut izin terbit Tempo melanggar Undang-Undang Pokok Pers. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, sebuah media yang dibredel menggugat Departemen Penerangan (Steele, 2007: 236). Pada 3 Mei 1995, hal yang mengejutkan pemerhati media terjadi, Pengadilan Negeri Jakarta memenangkan guguatan Goenawan Mohamad eks-karyawan Tempo. Departemen Penerangan mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Namun, pada 13 Juni 1996 MA mementahkan semua, dan Tempo tetap dibredel. Kalangan pers Indonesia menyadari politik bermain dalam mempengaruhi putusan hukum tersebut (Steele, 2007: 238). Agar Tempo tetap dikenang saat tiada, Yusril Djalinus, Toriq Hadad, Saiful Ridwan, Gunawan Mohamad dan rekan-rekan dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bermarkas di Utan Kayu 68 H, merintis situs berita berbahasa Indonesia pertama, Tempo Interaktif (Steele, 2007: 247).
Kehidupan Ketiga Tempo Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri, setelah huru hara politik dan ekonomi melanda negeri. Peringatan empat tahun pembredelan Tempo 21 Juni 1998, tak lagi cerita tentang kisah duka, tapi sebuncah harapan untuk bisa terbit kembali. Maka, rapat demi rapat pun digelar. Satu rapat yang banyak dikenang adalah pertemuan alumni di Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur. Dari sanalah dicari kesepakatan apakah akan menerbitkan kembali Tempo atau tidak. Sebelumnya Menteri Penerangan Kabinet Presiden B.J.Habibie, Yunus Yosfiah, bertemu dengan eks petinggi Tempo untuk mengembalikan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo yang pernah “dirampas” Menteri Penerangan Harmoko (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008).
Pendapat karyawan bekas Tempo terbelah. Yang tidak setuju menginginkan Tempo tetap menjadi legenda perjuangan melawan Orde Baru. Ketika ingin membuat majalah baru jangan diberi nama Tempo, karena khawatir majalah yang baru tidak dapat mempertahankan nama Tempo yang sudahharum. Gunawan Mohamad, sebenarnya juga termasuk orang yang ragu Tempo terbit kembali, apalagi masih harus menggunakan SUIPP. Tetapi Gunawan Mohamad mendengar suara arus bawah, yang ingin Tempo kembali hadir di tengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan. Hasil pertemuan tersebut memutuskan untukmenerbitkan kembali Tempo (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008). Keputusan pertemuan Utan Kayu dengan radikal mengubah ritme hidup sebuah ruko pucat berlantai empat, dengan cat sudah mengelupas, di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat. Bangunan itu akan menjadi kantor majalah Tempo baru. Awal September, kantor Tempo mulai buka. Ruang redaksi ada di lantai tiga ruko. Lantai empat diisi oleh desk foto dan kreatif serta Tempo Interaktif (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008). Sejak 4 September 1998 redaksi bergerak mengumpulkan bahan nomor perdana dengan tema Pemerkosaan: Cerita & Fakta. Nomor perdana direncanakan muncul pada Selasa, 6 Oktober 1998. Pada masa awal, majalah masih terbit pada Selasa, mengikuti tradisi Tempo di Kuningan, sebelum akhirnya berpindah ke hari Senin (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008). Produksi nomor perdana melibatkan seluruh tim. Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad mengedit dan ikut menulis sejumlah artikel—selain Catatan Pinggir. Tempo edisi pertama disokong oleh 20 rubrik. Tebalnya 90 halaman. Di nomor ini, Rubrik Investigasi (yang sepuluh tahun terakhir dipelihara sebagai ”menu khas Tempo”) diperkenalkan. Dua hari sebelumnya, peluncuran dilangsungkan di Museum Keramik, Jakarta Pusat (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008).
Tempo terus berproses hingga sekarang. Ada ”anak-anak” lahir dan tumbuh dari Majalah Tempo. Koran Tempo, Tempo Interaktif, lahir Tempo Edisi Bahasa Inggris, Tempo News Room, U Magazine yang mulai terbit sejak Desember 2007 (Majalah Tempo, 20 Oktober 2008). Sejarah Tempo amatlah panjang dan berliku, tapi yang sekelumit ini semoga mampu memberikan gambaran tentang Majalah Tempo.
K. Visi dan Misi a. Visi Visi dari Tempo adalah menjadi acuan dalam meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat. b. Misi Visi tersebut diterjemahkan dalam beberapa misi sebagai berikut: ·
Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda, Sebuah produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan kekuasaan modal dan politik.
·
Meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang secara baik dan terus menerus.
·
Menciptakan karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik.
·
Menjadikan tempat kerja mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan jaman.
·
Menerapkan suatu proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor.
·
Menjadi lahan subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khasanah artistik dan intelektual.
L. Karakteristik Majalah Tempo a. Reguler Majalah Tempo terbit setiap Senin. Majalah ini memiliki jumlah halaman yang berubah-ubah, rata-rata lebih dari 130 halaman. Isi didalamnya terdiri dari rubrik berita, runrik non berita, dan iklan. Rubrik-rubrik yang tetap setiap minggunya adalah Prelude (Daftar Isi, Surat, Album, Etalase, Inovasi, Kartun, Nasional, Bahasa), Nasional (Laporan Utama, Laporan Khusus, Politik, Momen), Hukum (Hukum, Kriminalitas), Ekonomi & Bisnis, Internasional, Opini (Opini, Kolom, Catatan Pinggir), Gaya Hidup (Kesehatan, Film, Hiburan, Perilaku, Sport), Sain (Buku, Digital, Lingkungan, Pendidikan, Ilmu dan Teknologi), Seni (Seni Rupa, Teater, Tari, Musik, Sinema, Fotografi), Tokoh (Obituari, Wawancara, Pokok & Tokoh), dan Iklan (Info Tempo, Adventorial, Inforial, iklan cetak)
b. Edisi Khusus Selain mengelurakan edisi reguler Tempo juga sering mengeluarkan edisi khusus. Edisi khusus ini selalu diagendakan sejak memasuki awal tahun, sehingga pengerjaannya benar-benar terkonsep. Pengerjaannya dibuat oleh tim khusus yang bisa memakan waktu sampai dengan tiga bulan. Isinya hampir sama dengan Tempo edisi reguler, yang membedakan adalah adanya liputan khusus yang menghadirkan sisi yang lain dan mengupas lebih mendalam tentang suatu isu. Kebanyakan adalah untuk memperingati momen-momen tertentu, atau mengankat tokoh tertentu yang berjasa. Tempo telah mengeluarkan beberapa Majalah Tempo Edisi Khusu, semisal Edisi Khusus 100 tahun Sutan Syahrir, Edisi Khusus Kematian Soeharto, Edisi Khusus Tan Malaka, Edisi Khusus 64 dan 65 Tahun Kemerdekaan, Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Bangsa, Edisi Khusus Sumpah Pemuda, Edisi Khusus Akhir
Tahun dan Awal Tahun, Edisi Khusu Tokoh Tempo, dan masih banyak lagi. dan yang terbaru adalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan presiden 2009.
M. Struktur Organisasi Objek penelitian ini adalah Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden. Saat edisi itu terbit, susunan organisasi majalah tersebut adalah sebagai berikut: Pemimpin Redaksi: Toriq Hadad. Redaktur Eksekutif: Wahyu Muryadi. Redaktur Eksekutif: Hermien Y. Kleden. Redaktur Senior: Diah Purnomowati, Edi Rustiadi M., Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Stetia. Redaktur Utama: Arif Zulkifli, Bima Bektiani, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, M. Taufiqurohman, Purwanto Setiadi, Yos Rizal Suriaji, Wicaksono. Redaktur: Angela Dewi, Anne L. Handayani, Budi Setyarso, Firman Atma Kusuma, Irfan Budiman, Kurniawan, Padjar Iswara. Sidang Redaksi: Adek Media, Ahmat Taufik, Andari Karina A., Bagja Hidayat, Kurniasih Suditomo, Muchamad Nafi, Nunuy Nurhayati, Philipus Parera, Retno Sulisyowati, Sapto Pradityo, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yandi M. Rofiyandi. Desain Visual: Gilang Ramadhan (Redaktur), Denendro Adi, Hendy Prakarsa, Kendra H. Paramitha, Kiagus Auliansyah. Tata Letak: Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri Wanto Widodo. Fotografer: Rully Kesuma (Redaktur), Bismo Agung, Mazmur A. Sembiring, Santirta M. Redaktur Bahasa: Sapto Nugraha, Uu Suhardi, Dewi Kartika, Teguh W. Dokumentasi & Riset: Priatna, Ade Subrata
Sedangkan Tim Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 kali ini adalah sebagai berikut: Penanggung Jawab: Arif Zulkifli. Penyunting: Arif Zulkifli, Amarzan Loebis, Wahyu Muryadi, M. Taufiqurohman, Budi Setyarso, Leila S. Chudori, Yos Rizal Suriaji, Idrus F. Shahab, Toriq Hadad, Hermien Y. Kleden, Bina Bektiati, Purwanto Setiadi, Putu Setia.
Penulis: Yandi M. Rofiyandi, Wahyu Dhyatmika, Sunudyantoro, Dwidjo U. Maksum, Budi Riza, Agus Supriyanto, Arif Zulkifli, Bagja Hidayat, Rini Kustini, Kurniawan, Sapto Pradityo, Adek Media Roza, Harun Mahbub, Anton Aprianto, Kurie Suditomo, Irfan Budiman, Ahmad Taufik, Ramidi, Philipus Parera, Nunuy Nurhayati, Yuliawati. Penyumbang Bahan: Bernada Rurit (Yogyakarta), Dominggus Elcid Li (London), Hari Tri Wasono (Pacitan), Irmawati (Makassar), Mahbub Djunaidi (Jember), Pito A. Rudiana (Yogyakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Ukky Primartantyo (Solo), Widiarsi Agustina (Bandung). Desain: Gilang Rahadian (Kepala), Eko Punto Pambudi, Danendro Adi, Kiagus Auliansyah, Hendy Prakasa, Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri Watno Widodo. Foto: Bismo Agung (Kepala), Mazmur Sembiring, Aryus P. Soekarno. Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho. Dokumentasi & Riset: Endang Ishak, Soleh, Danny Muhadiansyah
N. Proses Pembuatan Berita dan Kebijakan Redaksional Di Tempo, tugas reporter adalah ”pergi ke lapangan” mengumpulkan data, melakukan wawancara dan menyerahkan transkrip wawancara plus background reportase kepada punulis. Reporter Tempo harus melakukan wawancara dengan persiapan. Jika wawancara tidak lengkap, berita juga tidak lengkap. Angle setiap berita ditentukan oleh penulis yang membuat penugasan dan nanti akan menulis berit.a Penulis Tempo meminjam mata reporter di lapangan yang menjelaskan ”situasi lapangan” kepada penulis. Detail deskripsi sangat penting, tetapi jangan membosankan, dan jangan pelit dengan detail (Steele, 2007: 15-16). Dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo Goenawan Mohamad menuliskan bahwa Tempo mencoba menulis jujur, jelas, jernih, jenaka-pun bisa (Mohamad, 2007: x). Apapun temanya, artikel Tempo ditulis “enak dibaca”. Gaya yang menggabungkan fungsi bahasa dan format berkisah. Tempo menggunakan kata-kata yang biasanya untuk sajak, tanpa merasa berat dan sok pintar. Pembaharuan yang dilakukan
Tempo adalah dalam hal sintaksis dan penggunaan stuktur bahasa Jawa (Steele, 2007: 6162). Cara menulis Tempo berbeda dengan cara koran menulis (yang biasa menulis hardnews) (Steele, 2007: 17). Aspek yang menarik dari Tempo adalah kualitas naratifnya. Tempo tak menggunakan gaya piramida terbalik, di mana bagian atas memuat yang paling penting dalam elemen 5 W + 1 H. Sejak awal Goenawan memang menekankan kepada penulis muda bahwa tulisan mereka harus ”bercerita”. Penulis Tempo terpengaruh oleh karya-karya Tom Wolfe dan ”jurnalistik baru” lainnya yang menerapkan teknik sastra dalam jurnalistik (Steele, 2007: 64). Mengenai kebijakan redaksional kepada Goenawan, Bambang Harimurti pernah mengatakan bahwa ia ingin Tempo menjadi cleaning house of information –akurat, adil, seimbang, tak memihak. Goenawan setuju, tapi ia juga ingin Tempo punya garis editorial yang jelas, apa adanya, keras, dan terus terang (Steele, 2007: xxxi) Tempo menulis laporan yang ”lengkap dan adil” untuk menegaskan posisinya yang berimbang di antara sekian banyak kekuatan sosial yang berseteru. Ini dilakukan agar majalah itu terhindar dari teguran atau kemungkinan lain yang lebih buruk (Steele, 2007: 99).
O. Ideologi yang Diusung Tempo bergerak di ranah jurnalistik. Berikut ini adalah petikan tentang definisi Tempo terhadap jurnalisme yang baik: Azaz jurnalisme kami … bukanlah azaz jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya pada kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukanlah menyebarkan prasangka, justru melengkapinya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme majalah ini karena itu bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba. Yang memberi komando bukanlah kekuasaan atau uang, tetapi niat baik, sikap adil dan akal sehat – yang menjadi dasar pemikiran penerbit kami ketika konsepsi majalah ini dimasak (Steele, 2007: 60)
Dari paragraf tersebut mengisyaratkan bahwa Tempo tidak memihak satu golongan. Sedangkan mengenai ideologi yang diusung Tempo, Redaktur Utama Majalah Tempo Arif Zulkifli mengatakan: ”Kalau secara umum bisa saya jawab Tempo itu mengusung kebebasan, karena Tempo hidup dan bernafas di alam yang membutuhkan kebebasan, saya kira itu jelas sekali. Sehingga Tempo akan sangat kritis terhadap elemen-elemen yang berusaha memberangus kebebasan. Misalnya apa sih yang memberangus kebebasan, misal pelarangan Ahmadiyah, Tempo akan di depan untuk mengatakan tidak, Ahmadiyah adalah salah satu entitas dari bangsa ini yang butuh ruang juga, kita tidak bisa mengklain dia sesat sehingga harus diberangus, prinsip-prinsip Tempo selalu begitu. Pemberedelan kami juga tidak suka.” (wawancara 14 Oktober 2009) Kecakapan wartawan Tempo untuk bernegosiasi dengan identitas religius yang beranekaragam ini menunjukkan kuatnya spirit ecumenicalism majalah itu selain juga menunjukkan kekuatan ideologis profesi jurnalistik mereka (Steele, 2007: 100). Tak ketinggalan pula aspek cover both side, subjektivitas dan obyektivitas yang dijunjung oleh Tempo. Wartawan Tempo memang dituntut cover both sides, tapi dalam hal objektivitas Tempo menganut prinsip “ritual stategis objektivitas”. Prinsip itu mengacu pada misi Tempo yakni “menegakkan keadilan”, sehingga walaupun angle berita yang dipilih dan narasumber yang dipilih adalah berdasarkan subjektivitas namun itu adalah ritual demi terciptanya keadilan yang objektif. Satu hal yang sudah didengar berkali-kali oleh reporter adalah sikap Tempo terhadap amplop. Kata Toriq Hadad (Pemimpin Redaksi Tempo saat ini) ”Ada dua aturan Tempo yang tidak berubah sampai sekarang, tidak boleh ada berita bohong dan tidak boleh ada berita amplop.” Tempo mengobarkan perang terhadap amplop. Ini sudah jadi ideologi. Aturan ini sangat keras (Steele, 2007: 16).
BAB III ANALISIS FRAMING BERITA LIPUTAN KHUSUS MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS PEMILIHAN PRESIDEN 2009
Enam orang saling bergandengan di bawah sorot sinar putih. Dimulai dari sebelah kiri, Prabowo Subianto, menggandeng tangan Megawati Soekarnoputri, dimana bahu Megawati dirangkul oleh tangan kiri Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Sementara itu, tangan kanan SBY merangkul Boediono yang digambarkan dengan gesture yang agak cemas. Tangan kiri Boediono merangkul bahu bahu Jusuf Kala (Jusuf Kalla) yang terlihat takjub akan sesuatu. Serta yang berdiri paling ujung adalah Wiranto yang juga merangkul bahu Jusuf Kalla dengan tangan kanannya. Background biru bertabur kerlip putih melatari tulisan “INDONSEISA MEMILIH...”, di atas keenam orang tersebut. Gambar 1. Cover Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009
Begitulah gambaran cover Tempo Edisi Pemilihan Presiden 2009 kali ini. Penggambaran cover tersebut menggiring pembaca ke dalam ingatan penentuan pemenang kontes ajang pencari bakat semacam Indonesia Idol. Cover tersebut mengandung konstruksi bahwa keenam orang tersebut sedang mengikuti “kontes pemilihan” yang akan menjadi RI-1 dan RI-2. Sebentar lagi, rakyat Indonesia akan memilih dua diantara mereka yang akan menjadi RI-1 dan RI-2, sehingga di tuliskan “Indonesia Memilih” yang merupakan jargon khas Indonesia Idol.
Tempo memilih cover tersebut karena disesuaikan dengan edisi kali ini yang mengangkat Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009. Sedangkan ilustrasi Pengantar Redaksi dalam Laporan Khusus yang berjudul Enam Remaja Bertahun Kemudian digambarkan sebagai berikut: Gambar 2. Ilustrasi Pengantar Redaksi Liputan Khusus
Cover tersebut merupakan penggambaran kandidat Capres dan Cawapres sewaktu mereka masih remaja, yang diasosiasikan dengan ilustrasi film dan novel “Laskar Pelangi”. Penggambaran cover tersebut disesuaikan dengan angle besar yang akan di angkat dari para kandidat yakni masa lalu mereka. Pembuatan Majalah Tempo Edisi Khusus Pemiliah Presiden 2009 telah direncanakan jauh-jauh hari oleh Redaksi Tempo. Dalam Rubrik Surat, Redaksi Tempo menjelaskan awal mula ide pembuatan tersebut sebagai berikut: Pembaca yang budiman, meski bukan pertama kali, pemilihan presiden secara langsung kami anggap sebagai momen yang sangat penting. Untuk itu, dalam rapat kerja di Puncak, akhir tahun lalu, kami memasukkan agenda ini dalam rencana edisi khusus 2009. Arif Zulkifli, Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional, bertanggung jawab mewujudkan rencana ini. Ide penulisan diasah dalam rapat berulang kali. Kami lalu memutuskan untuk memotret bagian-bagian terpenting dalam perjalanan hidup para kandidat—dari masa kanak, ketika remaja, hingga beranjak dewasa, atau ketika menempuh pendidikan tinggi. Kami menganggap bagian itu besar kemungkinan mempengaruhi gaya kepemimpinan mereka. Semua sumber daya dikerahkan. Kami mengirim koresponden Jawa Timur untuk melacak masa kecil Susilo Bambang Yudhoyono di Pacitan. Koresponden di Makassar menelisik perjalanan Jusuf Kalla. Kami juga menugasi kontributor di London mereportase sekolah menengah atas tempat Prabowo pernah jadi siswa (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 6).
Kemudian disusunlah tim penggarap Liputan Khusus Pemilihan Presiden 2009 dengan penanggungjawab Arif Zulkifli. Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden ini diterbitkan 29 Juni 2009, tepatnya 10 hari sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2009 diadakan. Dalam Liputan Khususnya terdapat 25 berita yang mengangkat berita tentang Capres dan Cawapres. Urutan penempatan berita berdasarkan nomer urut pasangan calon, dengan pemetaan sebagai berikut:
· Berita tentang Megawati Soekarnoputri Megawati Soekarnoputri, yang kerap disapa Mega ini merupakan Capres dengan nomer urut satu berpasangan dengan Prabowo Subianto. Mega ditulis oleh Redaksi Tempo dalam empat berita sebanyak 11 halaman. Judul
Angle
Anak Revolusi di Kali
Masa lalu Mega saat lahir di Yogyakarta
Code
dan tumbuh di Istana Negara
Luka Batin Gadis
Masa-masa sulit Mega pasca Bung Karno
Pendiam
lengser dari jabatan Presiden
Tiga Cinta Putri Istana
Masa lalu Mega yang pernah menikah tiga kali
Megawati:
Wawancara dengan Mega tentang pribadi
Saya Anak Lambaran
Mega (Tulisan dengan format
Nyawa
wawancara)
Halaman 30-33
34-35
36 dan 38
40-42
· Berita tentang Prabowo Subianto Prabowo Subianto merupakan Cawapres pendamping Mega. Prabowo ditulis oleh Redaksi Tempo dalam tiga berita sebanyak delapan halaman. Judul Sepotong Mimpi Anak Pelarian
Angle
Halaman
Masa lalu Prabowo saat ikut ayahnya sebagai pelarian anggota sparatis PRRI/Permesta
44-47
Sudut Elite di
Masa lalu Prabowo saat bersekolah di luar
Wistminster
negeri
Jejak Militer dalam
Masa lalu Prabowo ketika memasuki
Tubuhnya
dunia militer
48 dan 50
52-53
· Berita tentang Susilo Bambang Yudhoyono Susilo Bambang Yudhoyono, yang akrab disapa SBY ini merupakan Capres dengan nomer urut dua berpasangan dengan Boediono. SBY ditulis oleh Redaksi Tempo dalam empat berita sebanyak 11 halaman. Judul
Angle
Lolos dari
Masa lalu SBY saat kedua orang tuanya
Persimpangan Jalan
bercerai
Bukan Sekadar
Peran istri dan orang-orang di sekitar
Pendamping
SBY
Dari Bandung ke
Masa lalu SBY saat pernah singgah di
Yogyakarta
Bandung dan Yogyakarta
Halaman 54-57
58-59
60 dan 62
Susilo Bambang Yudhoyono: Saya Tak
Bagimana strategi SBY dalam
Pernah Ambil
mengambil keputusan dan kebijakan
Keputusan Begitu
(Tulisan dengan format wawancara)
64-66
Bangun Tidur · Berita tentang Boediono Boediono, merupakan Cawapres pendamping SBY. Boediono ditulis oleh Redaksi Tempo dalam lima berita sebanyak 13 halaman. Judul
Angle
Ekonom Berirama
Masa lalu Boediono dari kecil hingga bisa
Calypso
kuliah di luar negeri
Boed, Sang Bima dari
Boediono yang menjadi tulang punggung
Blitar
keluarga
Terpikat Gadis
Kisah asmara Boediono dengan Herawati
Halaman 66-71
72-74 75
Tetangga Belajar dari Jantung
Masa lalu Boediono saat belajar di
Liberalisme
Amerika
Boediono: Saya Tak Peduli Mazhab
76-77
Wawancara tentang pendidikan Boediono yang mengambil jurusan ekonomi
78-80
(Tulisan dengan format wawancara)
· Berita tentang Jusuf Kalla Muhammad Jusuf Kalla, yang akrab disapa Jusuf Kalla ini merupakan Capres dengan nomer urut tiga berpasangan dengan Wiranto. Jusuf Kalla ditulis oleh Redaksi Tempo dalam lima berita sebanyak 11 halaman. Judul
Angle
Halaman
Godfather dari
Masa lalu Jusuf Kalla saat merintis usaha
Makassar
sebagai sudagar
Saudagar di Lapangan
Masa lalu Jusuf Kalla saat menjadi
Hijau
pengurus Persatuan Sepak bola Makasar
82-85
86
Masa lalu Jusuf Kalla diantara keyakinan
Kala Jusuf di Jalan
ayahnya (NU) dan ibunya
Tengah
88-89
(Muhammadiyah) yang berbeda
Musim Panas di
Masa lalu Jusuf Kalla saat kursus di
Fontainebleau
Perancis
Muhammad Jusuf
Wawancara dengan Jusuf Kalla tentang
Kalla: Pemilu Kira-
strategi kampanyenya (Tulisan dengan
kira Dua Putaran
format wawancara)
90
92-94
· Berita tentang Wiranto Wiranto, merupakan Cawapres pendamping Jusuf Kalla. Wiranto ditulis oleh Redaksi Tempo dalam empat berita sebanyak 11 halaman. Judul
Angle
Satu Ayunan di Pintu
Masa lalu Wiranto saat menjadi ajudan
Mercy
presiden Soeharto
Halaman 96-99
Kenangan si Ento
Masa lalu Wiranto dari kecil hingga memutuskan memilih ajlur militer
100-101
Awalnya Hanya
Masa lalu Wiranto saat masuk sekolah
102 dan
’Rumput’
militer
104
Wiranto: Pemilu
Wawancara dengan Wiranto tentang
Bukan Menang-
pencalonan dirinya sebagai cawapres.
menangan Survei
(Tulisan dengan format wawancara)
106-108
Dalam sekripsi ini akan dilihat bagaiamana Tempo mengonstruksi kepemimpinan para kandidat dalam pemberitaanya. Objek skripsi ini hanyalah tulisan yang berformat berita, sedangkan untuk tulisan yang berformat wawancara tidak akan dianalisis karena bukan seperti format berita pada umumnya. Sehingga total berita yang akan dianalisis berjumlah 20 berita terdiri dari 3 berita tentang Megawati, 3 berita tentang Prabowo, 3 Berita tentang SBY, 4 berita tentang boediono, 4 berita tentang Jusuf Kalla, dan 3 berita tentang wiranto. Proses analisis berita tersebut diawali dengan pemetaan struktur berita berdasarkan perangkat framing model Pan Kosicki. Pemetaan struktur berita tersebut penting, karena memudahkan Penulis dalam melakukan analisis. Namun pemetaan struktur berita tersebut tidak dicantumkan dalam bab ini, tetapi di letakkan dalam lampiran, dengan pertimbangan memudahkan dalam pembacaan sitematika laporan. Sistematika penulisan bab ini diawali dengan deskripsi tiap perangkat framing model Pan Kosicki di tiap berita, mulai dari struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris. Dari analisis tersebut akan ditarik kesimpulan mengnai bagaiaman Tempo membingkai karakteristik tiap kandidat. Setelah semua berita satu kandidat selesai, akan ditarik kesimpulan bagaimana Tempo membingkai karakteristik kepemimpinan kandidat kandidat tersebut dari keseluruhan berita tentang dirinya. Dalam menyeragamkan kesimpulan analisis, setiap kandidat akan disimpulkan melalui bagaimana latar belakang Tempo mengonstruksi karakteristik mereka dimulai dari (1)
latarbelakang keluarga dan masa kecil hingga remaja, (2) latar belakang pendidikan, (3) masa membina keluarga dan bekerja. Setelah itu akan ditarik kesimpulan bagaimana karakteristik kepemimpinan para kandidat yang digambarkan oleh Tempo. Berikut analisisnya:
A. ANALISIS BERITA CAPRES MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
A.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Anak Revolusi di Kali Code” A.1.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Anak Revolusi di Kali Code”. Kata “anak revolusi” merupakan metafora bagi Megawati. Metafora tersebut mengacu pada saat Megawati lahir dan menjalani masa kanak-kanak, kondisi negara sedang genting oleh agresi militer Belanda. Mega yang belum genap setahun diboyong kesana kemari oleh orang tuanya untuk menghindari agresi. Karena lahir dan tumbuh dalam suasana pergolakan bangsa melawan penjajah, Megawati di juluki oleh Tempo sebagai anak revolusi. Maka Megawati dikonstruksikan sebagai putri presiden yang istimewa, karena lahir dan tumbuh saat terjadinya revolusi di Indonesia. Sedangkan kata “di Kali Code” adalah nama daerah di Provinsi Yogyakarta dimana Megawati tinggal sampai usia dua tahun. Maka Tempo ingin menekankan pada judul berita ini bahwa Yogyakarta, khususnya kali code merupakan tempat yang istimewa bagi Megawati. Pada masa itu Ibukota Negara dialihkan dari Jakarta ke Yogyakarta. “Ia satu-satunya anak Bung Karno-Fatmawati yang lahir di Yogyakarta. Kakaknya, Guntur, serta adik-adiknya, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh, lahir di Jakarta” (Paragraf 6 Berita I Mega). Lead berita ini terdiri dari dua kalimat yakni “Mega lahir dan tumbuh dalam tekanan. Pendiam tapi mulai membuka diri.” Kata “dalam tekanan” pada kalimat pertama bermakna kondisi saat Mega lahir dan tumbuh dalam situasi genting dan penuh dengan ancaman. Ancama kepada dirinya dan keluarganya tersebut datang dari Belanda dan lawan politik ayahnya. Kalimat kedua yakni “Pendiam tapi mulai membuka diri”. Dari kalimat tersebut Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik pendiam. Kata
“pendiam” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yg tidak banyak bicara. Orang yang pendiam memiliki kecenderungan menjadi seorang yang “introvert” atau tertutup (Barata, 2004: 160). Tetapi Tempo menegasikannya dengan kata selanjutnya yakni “tapi mulai membuka diri”, dalam artian membuka diri untuk hal-hal yang selama ini ia tutupi oleh sifat pendiam dan introvert-nya. Berarti Tempo mengonstruksikan Mega walaupun memiliki karakteristik pendiam dan introvert namun Mega mau mencoba membuka diri untuk hal-hal baru baginya. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan pendahuluan sebagai berikut: Ingatannya berusaha menerawang ke zaman 60 tahun silam, ketika masih berusia dua tahun dan tinggal di Kali Code, Yogyakarta. Tapi ingatannya terbatas. Megawati Soekarnoputri tak cukup punya cerita tentang masa lalu itu. Ketika itu Soekarno, ayah Megawati, dibuang Belanda ke Bangka pada Februari 1949. Bersama ibunya, Fatmawati, Mega tinggal di rumah sempit dengan pintu dan jendela rusak. “Saya cari rumah itu sampai sekarang enggak ketemu,” kata Megawati kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. (Paragraf 1 Berita I Mega) Pembukaan berita ini mengantarkan pembaca menuju poin yang ditekankan dalam judul berita ini yakni ketika Mega tumbuh dan lahir di Kali Code pada saat terjadi revolusi. Kata “Mega tinggal di rumah sempit dengan pintu dan jendela rusak” mengonstruksikan tentang kehidupan yang kurang layak pada masa itu. Konstruksi tersebut diperkuat dalam paragraf selanjutnya: Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri memang lahir dalam kondisi prihatin. Bung Karno dalam Penyambung Lidah Rakyat menceritakan kelahiran anak keduanya dengan dramatis. Ketika beduk tanda magrib ditabuh, 23 Januari, 62 tahun lalu, halilintar di Yogyakarta seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam. Atap kamar runtuh. Awan gelap jatuh menjadi hujan deras. Megawati lahir hanya dengan cahaya lilin. (Paragraf 2 Berita I Mega) Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita terletak pada kalimat pertama paragraf tersebut yakni “(Mega) memang lahir dalam kondisi prihatin”. Tempo mengutip tulisan Bung Karno (ayah Mega) guna menguatkan konstruksi bagaimana situasi saat kelahiran Mega. Pada awal-awal berita ini menceritakan Mega saat masih kecil.
… Mega kecil diboyong ke sana-kemari karena agresi militer Belanda I. Si jabang bayi menjalani masa persembunyian di perkebunan kopi di daerah pegunungan Madiun, Jawa Timur. … (Paragraf 3 Berita I Mega) Pengalaman pahit bersama keluarganya terus berlanjut ketika Belanda kembali melancarkan agresinya pada akhir 1948. Bung Karno dibuang ke Bangka. Di sinilah Mega singgah di Kali Code. … (Paragraf 4 Berita I Mega) … Desing peluru menjadi santapan setiap malam.Tentara Belanda juga selalu mengawasi rumah itu karena sering dikunjungi pengawal proklamator yang menjadi gerilyawan. “Rumah kami sering menjadi sasaran peluru,” tulis Fatmawati. (Paragraf 5 Berita I Mega) Awal kelahiran serta pengalaman di pelarian itu membuat Mega sering disebut sebagai “anak revolusi”. Megawati mengatakan pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar. ... “Ibu pernah bilang saya mempunyai lambaran nyawa,” kata Mega. (Paragraf 6 Berita I Mega) Paragraf tiga sampai lima menjadi latar informasi tentang masa kecil yang dialani Mega sehingga Mega bisa disebut sebagai anak revolusi. Kata “pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar” mengonstruksikan bahwa Mega memiliki karakteristik pemimpin yang tegar. Kata “mempunyai lambaran nyawa” mengandung makna Mega mempunyai jiwa yang kuat. Dalam mengonstruksikan karakteristik Mega, terdapat dalam beberapa penggalan paragraf berikut: ... Paling tidak ada 23 upaya pembunuhan Bung Karno. Megawati mengatakan, rentetan peristiwa yang menimpa ayahnya itu membuatnya menjadi lebih waspada dan tabah menerima tekanan. “Kami tergodok secara alami,” kata Mega. (Paragraf 13 Berita I Mega) Kondisi yang dialaminya membuat watak Mega waspada dan tabah menerima tekanan. Mega mengonstruksikan dirinya memiliki watak seperti itu karena telah “tergodok secara alami” atau menjalaninya sendiri yang mengasah naluri. Meski tergolong aktif, Mega termasuk pendiam, sedikit bicara, dan banyak senyum. Pada 1993 Tempo pernah menulis pengakuan Eyang Citro. “Dari kecil dulu sampai sekarang ia memang begitu. Lembut dan keibuan,” kata Eyang Citro. Adis suka menanam bunga dan padi. (Paragraf 15 Berita I Mega) Kecenderungan Mega yang pendiam itu diakui adiknya, Rachmawati. Mega sering menghabiskan waktu di taman istana sambil menyiram bunga. Rachmawati mengatakan sifat kakaknya itu sudah muncul sejak kecil. “Saya mulai menari sejak empat tahun,” kata Rachmawati, “tapi Mega baru tujuh tahun.” (Paragraf 16 Berita I Mega)
Dari kalimat pertama paragraf 15, Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik pendiam. Dari kutipan Eyang Citro, Mega dikonstrukiskan memiliki sifat lembut yang berarti tidak suka berlaku kasar, dan keibuan berarti penyayang. Tempo mengutip penyataan Rachmawati (adik Mega), karena sifat pendiam Mega membuat ia asyik dengan dirinya sendiri sehingga kurang bersosialisasi dan kurang sigap. Konstruksi lain tentang karakteristik kepemimpinan Mega terletak pada paragraf berikut: Di Bandung, Mega menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, organisasi onderbouw Partai Nasionalis Indonesia. Dua tahun di kampus, Mega dipaksa keluar karena tak mau menandatangani kontrak politik dari rektor Sanusi Harjawinata. Isinya berupa pernyataan bahwa Mega masuk gerakan mahasiswa yang berkiblat pada Partai Nasionalis kelompok Osa MalikiUsep Ranuwidjaja, atau lebih dikenal kelompok sayap kanan. (Paragraf 22 Berita I Mega) Mega memutuskan berhenti kuliah. Situasi di Jakarta juga genting. Bung Karno dikucilkan di Bogor. Mega meninggalkan Istana pada 1967 dan tinggal bersama Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta. “Kami kembali seperti rakyat biasa,” kata Mega. (Paragraf 23 Berita I Mega) Pada paragraf 22 mengonstruksikan bahwa Mega memiliki karakteristik berani menolak sesuatu yang tak sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian Megawati memilih berhenti kuliah. Kutipan Mega pada paragraf 23 mengonstruksikan ia saat di istana tidak seperti rakyat biasa, dan saat ia meninggalkan istana ia kembali seperti rakyat biasa yang tidak mendapatkan perhatian lebih seperti saat menjadi putri presiden. Sepeninggal Bung Karno, Guntur bersaudara ingin menjauhi ingarbingar politik. Pada 1978, mereka membuat kesepakatan tak memasuki politik praktis selama Orde Baru masih berkuasa. Pada masa menjelang Pemilu 1982, kesepakatan itu diperbarui. Namun garis tangan berkata lain: menjelang Pemilu 1987, Mega bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia. (Paragraf 26 Berita I Mega) Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa saudara-saudara Mega (anak-anak mantan presiden Soekarno) tak ingin memasuki dunia politik selama Orde Baru berkuasa. Orde Baru adalah pihak yang melengserkan kekuasaan ayah mereka. Kata “garis tangan berkata lain” mengonstruksikan bahwa Mega seolah-olah mengingkari kesepakatan yang telah dibuat yakni mereka tidak ingin memasuki politik. Namun Tempo menghilangkan
fakta pada kalimat “kesepakatan itu diperbarui” karena hasil perbaruan kesepakatan itu tidak dicantumkan. Sehingga terkesan Mega mengingkari kesepakatan itu. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Erros Djarot, yang mendampingi Mega selama Orde Baru, mengatakan politik diam Mega sengaja dimunculkan. “Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius,” katanya. Erros, yang semula menjadi simpatisan PDIP, belakangan mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, dan kini bergabung dalam koalisi Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. (Paragraf 29 Berita I Mega) Kata “politik diam” mengandung makna bahwa Mega cenderung tidak banyak bicara menanggapi segala situasi saat ia menjabat sebagai ketua PDI P. Kata “tak bisa dijamah” mengandung makna tak bisa dijangkau oleh khalayak atau bisa bermakna tak bisa dimengerti dikarenakan Mega saat itu tidak bereaksi terhadap tekanan politik yang dilancarkan padanya. Kata “semakin misterius” mengandung makna sakral, tidak lazim, sehingga membuat orang penasaran dan ingin tahu.
A.1.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini fokus kepada Megawati. Sedangkan unsur what-nya adalah kehidupan megawati saat lahir, kanak-kanak dan remaja. Unsur where dan when yang paling menonjol adalah Kali Code dimana Mega tinggal disana sampai usia dua tahun (tahun 1947-1949), Kota Yogyakarta sebagai kota kelahiran Mega. Mega kemudian tinggal Istana Negara Jakarta (1949-1967) setelah itu Mega tinggal bersama Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta. Mega bersekolah di Perguruan Cikini Jakarta mulai SD hingga SMA. Ia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok di Beograd, Yugoslavia (1961). Mega juga pernah mendapat tugas sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (17 Agustus 1964). Unur when yang ditonjolkan lagi adalah saat Mega memimpin Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1993, dan 1998 saat mendirikan PDI Perjuangan yang mengantarnya menjadi wakil presiden pada 1999 dan tahun 2001 menjadi Presiden. Unsur how dalam berita ini adalah bagaiaman Mega menjalani kehidupan masa kanak-kanak hingga remaja. Sedangkan unsur why-nya Mengapa Mega bisa dijuluki sebagai anak Revolusi.
A.1.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, terdapat beberapa koherensi antarkata atau antarkalimat yang mengonstruksikan karakteristik Mega. Pada lead terdapat koherensi pembeda yakni pada kata “Pendiam tapi mulai membuka diri” (telah di jelaskan saat membahas lead). Koherensi pembeda juga terdapat pada paragraf 11 yakni “Namun hidup dalam tembok Istana sebagai putri presiden membuat ruang geraknya terbatas.” Kalimat tersebut mengonstruksikan Mega tidak bisa bergaul bebas seperti anak-anak yang lain karena terikat peraturan kepresidenan, sehingga ia kesulitan dalam bersosialisasi dengan lingkungan di luar Istana. Koherensi pembeda terdapat lagi pada paragraf 15 “Meski tergolong aktif, Mega termasuk pendiam, sedikit bicara, dan banyak senyum.” Kalimat ini mengandung kekontrasan kata “aktif” dibandingkan dengan “pendiam”. Koherensi penyebab terdapat pada paragraf 22 “Dua tahun di kampus, Mega dipaksa keluar karena tak mau menandatangani kontrak politik dari rektor Sanusi Harjawinata.” Menandakan ia teguh pada keyakinannya sehingga tidak mau dipaksa untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan pemikirannya Dari unit analisis kata ganti terdapat pada paragraf tiga yakni ganti yakni “Si jabang bayi menjalani masa persembunyian di perkebunan kopi di daerah pegunungan Madiun”. Kata “si jabang bayi” merujuk pada Mega yang digunakan untuk menekankan bahwa Mega yang basih bayi sudah harus hidup dalam persembunyian. Pada paragraf 11
Mega digantikan sebagai “putri Presiden” untuk menekankan kedudukannya saat itu, sehingga ia merupakan orang terpandang keturunan presiden.
A.1.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, beberapa kata dipilih Tempo dalam menekankan makna tertentu antara lain terdapat dalam paragraf berikut: “Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri memang lahir dalam kondisi prihatin” (Pargaraf 2 Berita I Mega). Kata “kondisi prihatin” menandakan Mega lahir pada kondisi menyedihkan dan pada saat keadaan serba sulit dalam hal apapun. Pada paragraf 6 terdapat kalimat “Megawati mengatakan pengalaman sejak bayi telah menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar. ”Ibu pernah bilang saya mempunyai lambaran nyawa,” kata Mega.” Kata ”menggemblengnya menjadi pemimpin yang tegar” serta ”mempunyai lambaran nyawa” mengonstuksikan bahwa Mega menjadi pemimpin yang tegar karena sejak bayi telah mengalami banyak cobaan hidup dan memiliki nyawa yang kuat. Mega terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat setelah pemilu. Posisinya sebagai anak Bung Karno menjadi “nilai jual” Megawati sehingga memimpin Partai Demokrasi Indonesia pada 1993. Ia semakin meroket ketika partai berlambang banteng ini pecah pada 1998. Mega mendirikan PDI Perjuangan, yang mengantarnya menjadi wakil presiden pada 1999. Dua tahun kemudian dia menjadi orang nomor satu ketika menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, yang mandatnya dicabut Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kata “nilai jual” adalah menjadi daya tarik, nilai lebih yang bisa mempermudahnya untuk mendapatkan sesuatu. Tetapi kemampuan Mega yang lain tidak ditampilkan oleh Tempo, hanya menampilkan unsur prominance dari Mega saja. Dari unit analisis grafis terdapat satu ilustrasi, dua buah foto dan satu insert tulisan. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah Megawati yang berbaju kebaya merah dengan mimik wajah sendu duduk diatas kerbau. Ia menganggat kepal tangan kanannya.
Mengonstruksikan bahwa Mega dalam konsdisi tertekan (dilihat dari ekspresi wajah) tetapi ingin berjuang (dilihat dari gesture tangan). Foro pertama dengan captoin “Presiden Soekarno bersama istri dan anakanaknya. Megawati paling kanan”. Foto kedua dengan caption “Megawati dan adikadiknya bermain piano di Istana Negara, Mei 1964”. Kedua foto tersebut digunakan untuk mendukung isi berita yakni saat Mega tingga di Istana Negara. Foto tersebut mengonstruksikan bahwa Mega seperti hidup layak dan nyaman di Istana, bisa berkumpul bersama keluarga dan bermain bersama adik-adiknya. Penonjolan ketika Mega “hidup susah” tidak dilakukan oleh Tempo. Insert tulisan diambil dari kutipan Erros Djarot “...politik diam Mega sengaja dimunculkan. ”Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius” (penjelasan lihat poin sintaksis). Insert tulisan ini untuk menekankan karakteristik Mega yang pendiam, namun dibalik sifatnya yang pendiam mengandung sikap politik tertentu. Terdapat unit analasis gaya bahasa yang digunakan dalam paragraf dua diambil dari cerita Bung Karno yakni: Ketika beduk tanda magrib ditabuh, 23 Januari, 62 tahun lalu, halilintar di Yogyakarta seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam. Atap kamar runtuh. Awan gelap jatuh menjadi hujan deras. Megawati lahir hanya dengan cahaya lilin. Hal ini untuk melukiskan bagaimana detail kelahiran Mega dengan bahasa yang lebih puitis. Menggnunakan unit analisis metafora yakni frase “Anak Revolusi” yang merujuk pada Megawati (telah dijelaskan di poin judul). Terdapat pula unit analisis pengandaian yang berkaitan dengan Mega yakni kutipan Erros Djarot “Ibarat keris, semakin tak bisa dijamah, semakin misterius” (telah dijelaskan pada poin sintaksis)
A.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Mega di Berita I
Karakter kepemimpinan Mega dikonstruksikan sudah terbentuk sejak bayi. Saat itu, ia menjani masa-masa sulit saat terjadi revolusi di Indonesia, sehingga ia dijuluki sebagai anak revolusi. Dari pengalamannya itu, Mega dikonstruksikan memiliki karakteristik waspada, tegar, dan memiliki jiwa yang kuat. Mega dikonstruksikan sebagai orang yang memiliki karakteristik pendiam, introvert, kurang bergaul dengan lingkungan di sekitarnya, dan kurang sigap. Ia dikonstruksikan bisa memimpin partai atau duduk di birokrasi karena ia adalah anak presiden, bukan dari kemampuan kepemimpinannya.
A.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Luka Batin Gadis Pendiam” A.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Luka Batin Gadis Pendiam”. Kata “luka batin” mengandung makna perasaan yang terluka atau tersakiti. Kata “gadis” merujuk pada Megawati
semasa
remaja
(belum
menikah).
Sedangkan
kata
“pendiam”
mengonstruksikan Mega sebagai seorang pendiam (tak banyak bicara dan tak banyak tingkah). Sehingga konstruksi yang dibangun dari judul ini adalah Mega saat masih remaja adalah gadis pendiam, dimana ia memiliki pengalaman yang menyakiti atau membuat luka perasaannya. Lead terdiri dari dua kalimat yakni “Megawati tumbuh pada masa sulit sebelum dan setelah kekuasaan Bung Karno. Bukan anak ideologis”. Kata “masa sulit sebelum dan setelah kekuasaan Bung Karno” pada kalimat pertama adalah masa-masa sebelum Bung Karno menjadi presiden dan setelah manjadi presiden. Masa-masa sulit yang dialami Mega sebelum kekuasaan Bung Karno (yang paling menonjol) adalah pada saat terjadi agresi militer Belanda, sampai-sampai Mega dijuluki oleh sebagai anak revolusi (lihat berita I).
Sedangkan masa-masa sulit yang diamani Mega setelah Bung Karno manjadi presiden (yang paling menonjol) adalah saat ia diminta keluar dari Istana Negara dan menjalani kehidupan seperti gadis pada umumnya (bukan putri presiden lagi), ditambah lagi kehidupan ekonomi yang sulit pada masa itu. Kalimat pertama lead mendukung konstruksi “luka batin” yang dialami Mega. Kalimat kedua “Bukan anak ideologis”. Kata tersebut merupakan metafora yang merujuk Mega yang dikonstruksikan sebagai anak yang tidak mewarisi ideologi yang diajarkan Bung Karno (ayah Mega). Sehingga konstruksi yang dibangun pada kalimat ini adalah Megawati tidak mewarisi ideologi Soekarno yakni Marhainisme. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: 7 Agustus 1967 Hari yang dicemaskan itu tiba juga. Setahun setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat mengangkatnya menjadi presiden, Soeharto menghalau anak-anak Soekarno yang masih tinggal di Istana Negara. Jenderal yang sedang di atas angin itu tak berkenan masih ada keluarga orang yang dituding biang ”Gerakan 1 Oktober 1965” di pusat pemerintahan, ketika untuk pertama kalinya ia menjadi inspektur upacara peringatan Proklamasi. Pendahuluan ini berisi deskripsi tentang nasib anak-anak Soekarno pasca ia lengser dari jabatan presiden. Presiden saat itu, Soeharto, tak ingin ada anak-anak Soekarno berada di Istana Negara. Pembukaan ini mengantarkan pembaca pada masa sulit yang dialami Mega pasca lengsernya Soekarno. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, anak kedua, harus mengambil keputusan akan pergi ke mana. … Megawati memutuskan akan menemui ayahnya, yang ditahan di Istana Batutulis, Bogor. Tapi menemui ayah sendiri, yang menjadi tawanan politik, bukan hal mudah. Harus ada izin tertulis dari panglima tentara daerah Jakarta dan Jawa Barat. (Paragraf 4 Berita II Mega) Paragraf tersebut mengonstruksikan Mega dituntut untuk mengambil keputusan ketika dalam kondisi tekanan. Penyataannya sumber dalam berita ini yang berkaitan dengan kepemimpinan Megawati yakni pada paragraf 6 yakni dari kutipan Soekarno sebagai berikut: ““Jangan
menangis,” kata Bung Karno. “Lebih baik kau ikut ibumu, dan bawa adik-adikmu ke sana.”” Pada paragraf 7 “Megawati, mengingat terus pesan itu hingga sekarang. “Jangan menangis” adalah pesan Bung Karno kepada anak-anaknya pada masa sulit awal Orde Baru.” Soekarno mengajarakan kepada Mega untuk tegar, jangan menyerah pada keadaan, dan melakukan usaha untuk keluar dari masalah. Tempo mengonstruksikan Megawati sangat dekat dengan Bung Karno dalam paragraf berikut: Karena itulah Megawati menjadi anak istimewa Soekarno, selain karena ia anak perempuan pertama. Dalam Penyambung Lidah Rakyat, kepada Cindy Adams, Bung Karno menuturkan bahwa ia menyayangi semua anaknya, Tapi... “pada Gadis, aku punya perasaan lain.” (Paragraf 10 Berita II Mega) Dalam Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku, Guntur menuturkan suatu kali pada 1958 ketika ia sedang bercakap tentang filsafat dengan ayahnya, Mega tibatiba menyela. “Pak, kalau artinya dharma eva hato hanti itu apa?” Kaget, Bung Karno menjawab. “Pintar kau. Dengar dari mana semboyan itu? Itu artinya kita kuat karena kita bersatu.” (Paragraf 14 Berita II Mega) Mengonstruksikan bahwa bagi Soekarno, Mega anak yang cerdas. Namun sayangnya, oleh sumber lain, yakni Fatmawati (adik kandung Mega) dan Erros Djarot (kawan Mega) ia dikonstruksikan tidak mewarisi ideologi ayahnya. Dalam soal ideologi, Rachma tak melihat kakaknya sungguh-sungguh menekuni ajaran Marhaenisme. Sementara Rachma menjuluki dirinya sebagai “anak ideologi”, Mega hanya “anak biologis” Soekarno. Sampai 1987, kata Rachma, kakaknya itu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Setelah itu hidupnya berubah jadi ingar ketika diminta memimpin Partai Demokrasi Indonesia. (Paragraf 20 Berita II Mega) Erros Djarot, sineas-politikus yang mendampingi Mega klandestin pada zaman Orde Baru, juga memberikan kesaksian yang sama. “Kalau ada komunitas pembaca Bung Karno, dia bukan salah satu anggotanya,” kata Erros. Dia meninggalkan Mega dan mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan karena menganggap teman masa kecilnya itu tak lagi menerapkan ajaran Bung Karno. (Paragraf 21 Berita II Mega) Ajaran marhaenisme adalah paham yg bertujuan memperjuangkan nasib kaum kecil. “Anak ideologi” merupakan metafora yang mengandung makna bahwa Racmawati menganggap dirinya anak yang menekuni ajaran dan ideologi marhaenisme Soekarno. Rahmawati mengonstruksikan Mega hanya sebagai “anak biologis” atau hanya anak
kandung Soekarno yang tidak menekuni ajaran dan ideologi marhaenisme Soekarno. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa Mega “hanya” seorang ibu rumah tangga biasa. Erros Djarot juga memberikan kesaksian yang berseberangan dengan konstruksi positif tentang Mega. Ia mengonstruksikan bahwa Mega bukan orang yang menerapkan ajaran ayahnya. Hal tersebut ditanggapi Mega dalam penutup berita yakni: Soal ideologi, Mega menanggapinya dengan senyum. Menurut penyuka burung hantu dan buku risalah tanaman ini, pemikiran dan pidato ayahnya terserak dalam pelbagai kitab. ”Saya belajar langsung dari orangnya,” katanya. Banyak buku tentang ajaran dan pidato Soekarno. Dalam kalimat ini Mega dikonstruksikan belajar ideologi dari Soekarno langsung, bukan dari buku tentang Soekarno. Penutup ini berisi penyangkalan Mega ketika dikatakan “bukan anak dieologis” Seokarno seperti yang dituliskan pada lead. Hal ini mengonstruksikan bahwa Tempo lebih condong kepada pendapat Rachmawati yang mengatakan bahwa Mega bukan ”anak ideologis”, tetapi Mega membantah asumsi tersebut. Daram paragraf yang lain terdapat konstruksi tentang Megawati yakni: Tekanan-tekanan politik itulah yang membentuk Mega tumbuh menjadi seorang pendiam, sampai menjadi sikap politik dan wataknya sehari-hari. Jika ia berdebat, Mega meniru adab ibunya ketika menyela Bung Karno atau siapa pun yang pemikirannya tak ia setujui. “Sikapnya dinyatakan dengan kalimat yang tak menyakitkan, namun tepat sasaran,” kata Mega dalam Tujuh Ibu Bangsa. (Paragraf 17 berita II Mega) Kalimat pertama paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Mega merupakan sosok yang pendiam. Karakteristiknya yang pendiam menjadikan ia memiliki sikap “politik diam” telah dijelaskan dalam berita I. Kalimat selanjutnya mengonstruksikan bagaimana Mega ketika memotong pembicaraan dan mengungkapkan pendapat, dengan kalimat yang tidak menyakitkan namun bisa membuat orang mengerti Tapi adiknya, Rachmawati, menilai sikap diam kakaknya itu sudah terlihat sejak kecil. Hobi Mega merawat tanaman dan kebun membuatnya kerap menyendiri. “Dia introvert sekali, jarang berinteraksi bahkan dengan saudarasaudaranya,” kata Rachma, yang terpaut tiga tahun. Dalam Bapakku Ibuku,
Rachma menduga sikap diam itu timbul karena luka batin akibat retaknya hubungan ayah dan ibu mereka. (Paragraf 18 berita II Mega) Kata “introvert” mengacu pada bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kepada orang lain. Mega jarang beriteraksi dengan saudaranya. Kata ”sikap diam” menunjukkan bahwa dia sangat ertutp terhada orang lain. Sikap itu akibat perasaan yang sakit dikarenakan ketidakharmonisan hubungan orang tua mereka karena ayahnya menikah lagi. Paragraf ini menguatkan konstruksi yang dibangun pada Judul.
A.2.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini ada dua yakni Megawati dan Soekarno (ayah Megawati). Hal ini terkait dengan unsur what, yang pertama bahwa apakah Mega ”anak ideologis” Soekarno. Kedua adalah kehidupan Mega pasca ayahnya lengser dari jabatan presiden. Unsur when dan where dalam berita ini: 7 Agustus 1967 diusir dari istana. Megawati lahir pada 23 Januari 1947 malam di sebuah rumah persalinan di Yogyakarta, Sampai usia tiga tahun, Mega tinggal di permukiman rudin Kali Code sebelum hidup nyaman di Istana setelah ibu kota kembali ke Jakarta. Soal gerakan Nonblok, misalnya, Guntur dan Mega diboyong untuk menyaksikan konferensinya di Beograd, Yugoslavia, pada 1961. Mega kemudian diterima di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1965. Sampai 1987, kata Rachma, kakaknya itu hanya seorang ibu rumah tangga biasa Unsur why yang menonjol dalam berita ini adalah mengapa Megawati mengalami luka batin. Hal itu disebabkan ketidak harmonisan hubungan ibu dengan ayahnya (yang menikah lagi). Seangkan unsur how yang ditonjolkan dalam berita ini adalah bagaimana Mega menjalani kehidupan setelah ayahnya tidak lagi menjabat sebagai presiden.
A.2.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, terdapat koherensi antarkata atau antarkalimat, yang mengonstruksikan karakteristik Mega. Koherensi penyebab terdapat pada paragraf 13 yakni “Bung Karno menyetrapnya karena Mega lupa pada halaman berapa buku itu sedang terbuka.” Mengonstruksikan walau sayang kepada Mega, Bung Karno juga memberikan hukuman kepada Mega karena kesalahannya yakni membuat buku yang sedang dibaca Soekarno tertutup hingga lupa sampai halaman berapa sudah dibaca. Koherensi penjelas terdapat pada paragraf 17 yakni “Tekanan-tekanan politik itulah yang membentuk Mega tumbuh menjadi seorang pendiam, sampai menjadi sikap politik dan wataknya sehari-hari.” Tekanan politik yang dimaksud adalah tekanan politik yang ditujukan kepada ayahnya dan sudaranya karena dianggap berseberangan dengan rezim yang berkuasa saat itu. Pendiam menjadi sikap politik dan wataknya. Pada paragraf 20 terdapat koherensi pembeda yakni “Sampai 1987, kata Rachma, kakaknya itu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Setelah itu hidupnya berubah jadi ingar ketika diminta memimpin Partai Demokrasi Indonesia.” Saat itu Mega dikonstruksikan menjadi ibu rumah tangga, namun setalah ia diminta menjadi pemimpin PDI kehidupannya menjadi berbeda dari sebelumnya. Unit analisis kata ganti terdapat pada paragraf 6 yakni “Ia (Soekarno) bertanya bagaimana gadis kesayangannya itu (Mega) bisa keluar dan lolos penjagaan”. Konstruksi yang dibangun dari kata ganti ini adalah Megawati adalah anak kesayangan Soekarno. Dikutakan pula tulisan di paragraf 10 “Karena itulah Megawati menjadi anak istimewa Soekarno, selain karena ia anak perempuan pertama, Soekarno menuturkan bahwa ia menyayangi semua anaknya, Tapi... ”pada Gadis, aku punya perasaan lain.””
Paragraf 22 terdapat kata ganti “Menurut penyuka burung hantu dan buku risalah tanaman ini”. Sebelumnya dikatakan oleh Erros Djarot ”Kalau ada komunitas pembaca Bung Karno, dia bukan salah satu anggotanya”, dengan menggunakan kata ganti “penyuka buku risalah tanaman” berarti memperkuat anggapan bahwa Mega bukan “anggota komunitas pembaca Soekarno” yang paling tidak ditunjukkan dengan menyukai buku-buku tentang Soekarno.
A.2.d. Struktur Retoris Beberapa kata yang dipilih oleh Tempo dalam tubuh berita yang menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu dalam berita ini adalah kata: Soeharto melarang Mega dan adik-adiknya membawa perabotan pribadi dari Istana. “Kami keluar hanya dengan satu lemari pakaian,” kata Mega kepada Tempo, pekan lalu. Tapi ia tak mengeluh. Ia menelan rasa sakit sebagai anak presiden yang disingkirkan dengan menempuh hari-hari yang terus diawasi intel. ”Saya jalani itu semua sebagai bagian dari fluktuasi hidup,” katanya. (Paragraf 8 Berita II Mega) Kata-kata dalam paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa ia mendapat tekanan dari penguasa saat itu dan saat Mega dan saudaranya diminta keluar dari istana, tidak membawa banyak bekal dari istana. Mega menjalani hidupnya saat itu (yang sedang mengalami keadaan sulit) sebagai bagian dari kehidupan yang mengalami keadaan yang tidak menentu. Pada paragraf 9 terdapat kalimat “Ia memang saksi suka-duka Bung Karno sebagai presiden dan tawanan politik.” Mengonstruksikan bahwa Mega merupakan anak yang menyaksikan suka dan duka ayahnya yang menjadi presiden dan tawanan politik. Pada paragraf 11 “Dari balik pintu kupu-kupu yang menghubungkan ruang tengah Istana Merdeka dan kantor presiden, Mega suka mengintip rapat-rapat kabinet yang sengit dalam bahasa Belanda dan Jawa.” Saat kecil, Mega telah mengetahui bagaimana rapat-rapat kabinet berlangsung dengan suasana seru namun tegang.
Pada paragraf 12 terdapat kalimat “Seusai pertemuan, Bung Karno menjelaskan deal dan sikap politiknya.” Bung Karno mengajarakan pada Mega tentang kesepakatan dan keputusan politik yang diambilnya. Paragraf 13 terdapat kalimat “Mega mewarisi cara membaca Soekarno yang sporadis.” Kata sporadis mengandung pengertian sering namun taktentu kuantitasnya. Sehingga mengonstruksikan bahwa Mega juga suka membaca. Dari unit analisis grafis terdapat dua buah foto. Foto pertama dengan caption “Masa perploncoan sebagai mahasiswa Unpad, Bandung.” Foto ini untuk mendukung isi berita saat Mega masih kuliah dan menonjolkan saat Mega masih “gadis” atau remaja. Foto kedua dengan caption “Megawati dan Bung Karno menari Lenso.” Hal ini untuk membangun konstruksi kedekatan antara Mega dan bung Karno. Berita ini menggunakan unit analisis metafora yakni “anak ideologis” dan “anak biologis” terdapat pada paragraf 20 berasal dari kutipan Rachmawati, telah dijelaskan dalam elemen sintaksis Paragraf 19 terdapat unit analisis pengandaian yakni “Megawati mengakui, ketika ibunya keluar Istana, dan ayahnya sering ke Bogor mengunjungi Hartini, ia seperti kehilangan induk semang”. Hal ini untuk menunjukkan dampak dari ayahnya yang menikah lagi, bahwa Mega merasa sendirian tidak ada yang mengasuh secara sempurna karena hubungan orang tuanya yang renggang.
A.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Mega di Berita II Konstruksi yang paling menonjol tentang karakter Mega adalah seorang yang pendiam. Mega dikonstruksikan bisa mengambil keputusan dibawah kondisi tertekan. Ia diajari oleh ayahnya untuk menjadi tegar dan tidak menyerah pada keadaan. Mega
dikonstruksikan banyak belajar politik dari ayahnya, terutama saat ayahnya masih menjabat sebagai presiden. Namun ia (oleh dua narasumber) dikonstruksikan tidak mewasisi ideologi sang ayah.
A.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Tiga Cinta Putri Istana” A.3.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Tiga Cinta Putri Istana”. Kata “putri istana” merujuk pada Megawati, yang menjadi putri presiden dan tinggal di Istana Negara. Kata “tiga cinta” merujuk pada tiga orang yang pernah menikah dengan Megawati. Sebagai satusatunya capres perempuan, Tempo menganggap penting siapa saja yang pernah menikah dengan Megawati. Badan Pusat Statistik (BPS) merislis sebuah laporan yang menyebutkan bahwa bagi seorang wanita, pernikahan, terutama setelah melahirkan anak, mempunyai pengaruh yang dalam dan berkepanjangan terhadap kesejahteraan, pendidikan, dan kemampuan memberikan sumbangsih terhadap masyarakatnya (BPS, 2006: 18). Dari latar belakang itu, dan juga karena Mega merupakan salah satu kandidat perempuan maka pernikahannya menjadi hal yang penting untuk dibahas. Lead terdiri dari dua kalimat ”Megawati menikah tiga kali. Lika-liku duka dan bahagia.” Kalimat pertama lead ini menjadi latar informasi yang paling ditonjolkan dalam berita ini, yakni Mega yang pernah menikah tiga kali. Kalimat kedua mengonstruksikan bahwa dari pernikahannya tersebut Mega pernah mengalami kesedihan dan kebahagiaan. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Megawati terkejut ketika membaca sebuah pengumuman di harian Kompas, 5 Juli 1972, yang disodorkan Tempo. Sambil mengamati tulisan di halaman sebelas dalam kolom ukuran 9 x 6 sentimeter, ia mundur sedikit, kemudian membenahi letak kacamatanya. (Paragraf 1 berita III Mega)
Tertulis di situ, “Telah menikah, Hassan Gamal A.H. Dengan Nj. Megawati Soekarnoputri”. Kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu, calon presiden nomor urut satu itu mengaku masih ingat pada peristiwa ketika dia menikah dengan Hassan. (Paragraf 2 berita III Mega) Pendahuluan tersebut berisi deksripsi reaksi Mega menanggapi pengumuman tentang pernikahannya yang dengan Hassan Gamal A.H. pada tahun 1972. Pendahuluan ini mengantarkan pembaca pada inti berita yakni mengenai pernikahan Megawati. Sejak awal Tempo telah menyiapkan pernikahan Mega menjadi berita, karena telah menyiapkan data tentang pernikahan Mega yang disodorkan kepada Mega. Awalnya Mega dikonstruksikan sebagai ibu rumah tangga biasa, dalam paragraf berikut: Megawati pertama kali menikah dengan Surindro Suprijarso—yang biasa dipanggil “Mas Patjul”. ... Pada 1968, Megawati ikut suaminya tinggal di Madiun, Jawa Timur. Di sana dia menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak pertamanya, Mohammad Rizki Pratama. Mega mengatakan, terlalu berisiko jika saat itu ia aktif di dunia politik. “Kalau saya aktif, bisa masuk penjara,” katanya. (Paragraf 5 berita III Mega) Sampai 1987, kata Rachma, kakaknya itu hanya seorang ibu rumah tangga biasa.(Paragraf 29 Berita II Mega) Kutipan Mega dalam di paragraf lima tersebut mengonstruksikan bahwa Mega tidak ingin mengambil resiko masuk penjara jika dirinya aktif di dunia politik. Sehingga Tempo ingin mengonstruksikan bahwa Mega adalah seorang yang tak ingin mengambil resiko besar. Kalimat tersebut diperkuat oleh kutipan Rachmawati yang mengonstruksikan Mega sebagai ibu rumah tangga biasa. Kemudian kabar buruk itu datang. Ketika Mega mengandung anak kedua, Surindro mengalami kecelakaan. Pesawat Skyvan T-701 yang dikendalikannya terempas di perairan Biak, Papua, pada 22 Januari 1970. Letnan satu itu, beserta tujuh awaknya, tak diketahui nasibnya. Hanya reruntuhan pesawat yang ditemukan. Mega dirundung duka. “Dia berkabung cukup lama,” kata Rachmawati. (Paragraf 8 Berita III Mega) Cinta Mega kepada Surindro tak pernah pupus. Ia masih menyimpan dan sesekali menengok pakaian seragam, foto, helm penerbang, dan surat terakhir Mas Patjul yang ditulis menjelang kepergiannya ke Papua. “Ada di satu ruangan tersendiri,” kata Erros Djarot, yang menjadi penasihat politik Megawati selama tujuh tahun. (Paragraf 13 Berita III Mega)
Mangkonstruksikan bahwa Mega sangat menyanyangi suami pertamanya hingga merasa kehilangan dan bersedih cukup lama ketika suami pertamanya meninggal. Kedukaan itu kemudian berganti dengan pengumuman yang menggemparkan tadi. Pernikahan Megawati dengan Hassan memicu kontroversi dalam keluarga. Ibunda Megawati, Fatmawati, membantah pernikahan itu. Dasarnya, suami pertama Megawati, Surindro, belum pasti meninggal. (Paragraf 9 Berita III Mega) Keluarga Soekarno kemudian menyewa seorang pengacara, Sumadji, untuk membatalkan pernikahan itu. Hassan berkeras. Baginya, pernikahannya dengan Megawati di depan penghulu Muhammad Cholil Fathurohman itu sah. (Paragraf 11 Berita II Mega) Tapi kenyataan berbicara lain. Perkawinan Megawati dengan Hassan hanya bertahan tiga bulan. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta membatalkan pernikahan mereka. Hasan menyerah. (Paragraf 12 Berita III Mega) Paragraf tersebut mengonstruksikan tentang ditentangnya keputusan Mega untuk menikah dengan seorang dari kedutaan Mesir. Keluarga Mega turut mempengaruhi keputusan Mega. Hingga akhirnya perceraian dilakukan dengan cara paksa. Tempo menghilangkan fakta tentang bagaimana reaksi Mega terhadap peristiwa tersebut. Mega hanya menanggapi dalam kutipan di paragraf dua ““Namanya juga riwayat hidup,” kata Megawati.” Pernikahan Mega yang ketiga dengan Taufiq Kiemas, masih langgeng sampai sekarang. Taufiq dikonstruksikan sbagai seorang aktivis yang mengagumi ayah Mega (Bung Karno). Selain aktif di GMNI, Taufiq bergabung dengan Inti Pembina Jiwa Revolusi, organisasi yang menegakkan ajaran Soekarno. Di organisasi inilah dia berkenalan dan dekat dengan Guntur, putra sulung Bung Karno. Ketika isu antiPartai Komunis Indonesia beralih menjadi anti-Soekarno, pengagum Bung Karno ini diciduk aparat. ... (Paragraf 15 Berita III Mega) Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Taufiq dan Megawati kemudian sama-sama aktif di dunia politik. Mereka pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1987. Selain berpolitik, Taufiq mengelola sejumlah pompa bensin.
Penutup berita ini mengonstruksikan bahwa pasangan suami istri ini sama-sama aktif di dunia polotik, hal tersebut bisa dikarenakan sama-sama sbagai pengagum Bung Karno sehingga bisa cocok.
A.3.b. Struktur Skrip Unsur Who dalam berita ini ada empat yakni Megawati, Surindro Suprijarso (suami pertama Mega), Hassan Gamal A.H. (suami kedua Mega), dan Taufiq Kiemas (suami ketiga Mega). Sedangkan unsur what adalah pernikahan Megawai dengan ketiga orang tersebut. Unsur when dan where adalah pada 1968, Megawati ikut suami pertamanya, Surindro Suprijarso, tinggal di Madiun, Jawa Timur. Pada 22 Januari 1970 Surindro Suprijarso dinyatakan hilang setelah Pesawat Skyvan T-701 yang dikendalikannya terempas di perairan Biak, Papua. Pada Juli 19 72 Megawati menikah dengan Hassan Gamal A.H. yang rumahnya dekat dengan rumah Fatmawati (ibu Mega) di kawasan Kebayoran Baru Jakarta. TNI Angkatan Udara di Madiun berkenalan. Pada akhir Maret 1973 Megawati dan Taufiq Kiemas melangsungkan pernikahan sederhana di Panti Perwira, Jakarta Pusat. Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana perjalanan penikahan Megawati. Sedangkan unsur why dalam berita ini yang paling menonjol adalah mengapa pernikahan kedua Mega dibatalkan.
A.3.c. Struktur Tematik Dari unit koherensi koherensi antarkata atau antarkalimat yang mengonstruksikan karakteristik Mega antara lain koherensei pembeda Paragraf 3 “Namun ia hanya menggeleng ketika ditanyai apakah masih menjalin hubungan dengan mantan suaminya
itu.” Mega tidak menjalin hubungan lagi dengan mantan suaminya yang kedua semenjak pernikahannya dibatalkan oleh pengadilan. Koherensi penjelas pada paragraf 4 “Soekarno membantah pernikahan tersebut hingga akhirnya dibatalkan pengadilan.” Soekarno, sebagai ayah Mega, tidak mengakui dan tidak merestui pernikahan kedua Mega. Koherensi penjelas pada paragraf 8 “Kemudian kabar buruk itu datang.” Kata “kabar buruk” ini merupakan kabar tentang kecelakaan yang dialami oleh suami pertama Mega. Koherensi penjelas dan penyebab pada paragraf 9 “Kedukaan itu kemudian berganti dengan pengumuman yang menggemparkan tadi. Ibunda Megawati, Fatmawati, membantah pernikahan itu. Dasarnya, suami pertama Megawati, Surindro, belum pasti meninggal.” Pernikahan kedua Mega tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari sang Ibu, karena suami pertama Megawati, Surindro, belum pasti meninggal. Koherensi pembeda pada paragraf 12 “Tapi kenyataan berbicara lain. Perkawinan Megawati dengan Hassan hanya bertahan tiga bulan.” Pernikahan Mega dengan sumai keduanya sah menurut hukum agama, namun hanya bertahan tiga bulan. Dari unit analisis kata ganti terdapat pada paragraf 2 yakni “calon presiden nomor urut satu itu”, untuk menguatkan fakta tentang penalonan dirinya menjadi capres pada Pemilu Presiden 2009 ini.
A.3.d. Struktur Retoris Beberapa kata yang dipilih oleh Tempo dalam tubuh berita yang menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu dalam berita ini terdapat pada paragraf antara lain pada paragraf 3 “Ketika itu, kabar pernikahan Megawati dengan mantan diplomat Mesir sekaligus pengusaha ini menjadi sorotan media massa.” Kata “menjadi sorotan media massa” mengandung penekanan sebagai putri mantan presiden pernikahan Mega menjadi
berita yang mengandung nilai prominance. Terlebih pernikahan tersebut dengan orang asing (bukan orang Indonesia) Pada paragraf 4 terdapat kalimat “Laporan khusus majalah Tempo kala itu menyebutkan pernikahan ini dilakukan secara diam-diam.” Tempo mengonstruksikan bahwa pernikahan itu seperti disembunyikan dan tak ingin banyak diketahui orang. Dari unit analisis grafis terdapat dua buah foto. Foto pertama dengan caption “Perkawinan Megawati Soekarnoputri dengan Letnan Satu Surindro Suprijarso.” Foto ini untuk memperkuat isi berita tentang pernikahan Mega dengan suami pertamanya. Foto kedua dengan caption “Megawati dan Taufiq melakukan ziarah ke makam Bung Karno.” Pada paragraf 7 terdapat unit analisis pengandaian “Mega mengatakan, terlalu berisiko jika saat itu ia aktif di dunia politik”. Hal ini menunjukkan bahwa Megawati kala itu tak ingin terjun ke dunia politik dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Manandakan bahwa ia tak ingin mnegambil resiko.
A.3.e. Konstruksi Kemepmimpinan Mega di Berita III Mega dikonstruksikan menikah tiga kali. Suaminya pertama meninggal karena kecelakaan pesawat. Mega dikonstruksikan sangat menyayangi suami pertamanya. Suaminya yang kedua adalah diplomat asal Mesir, tetapi pernikannya ditentang oleh keluarga, sehingga pernikahannya dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan keluarga. Pernikahannya yang ketiga adalah dengan suaminya yang sekarang, Taufiq Kiemas, dan memiliki anak Puan Maharani. Setelah dengan menikah dengan suami ketiganya, Mega baru membuka diri ke dunia politik. Karena background suaminya adalah seorang aktivis. Mega juga dikonstruksikan sebagai seorang yang tak berani mengambil resiko
A.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Mega
Dari tiga berita tentang Mega, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Mega adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Mega merupakan putri kedua Presiden Indonesia (Soekarno). Saat lahir, ia dalam masa-masa penuh tekanan yang dialami keluarganya karena ayahnya mendapat tekanan dari Belanda. Ia hidup prihatin di Kali Code Jogja bersama ibunya karena sang ayah dibuang ke Bangka. Rumahnya sering menjadi sasaran peluru. Setelah perang usai ia menjalani hidup di istana. Hidup di lingkungan Istana negara membuat dirinya susah bersosialisasi dengan kawan sebayanya. Kahidupan di Istana Nagara sangat berbeda dngan kehidupan sebelum Mega memasuki Istana. Di istana segala keperluan Mega terpenuhi. Namun saat usia Mega 20an ia dipaksa keluar dari Istana karena ayahnya tidak menjadi Presiden lagi, sehingga ia kembali menjadi rakyat biasa tanpa pelayanan yang lebih seperti saat di Istana Negara. Dari beberapa narasumber yang dikutip oleh Tempo Mega sejak kecil adalah gadis pendiam, introvert. Mega lebih suka mengurusi tanaman dan menjadi kurang sigap.
·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa remaja Mega awalnya bersekolah di lingkungan Istana Negara, guru didatangkan kesana. Karena alasan Mega tidak bisa bersosialisasi, maka ia dipindahkan ke SD, SMP, dan SMA Cikini. Prestasi pendidikan formal Mega tidak ditonjolkan. Ia hanya dikonstruksikan pandai menari. Ketika memasuki bangku kuliah, ia berdebat dengan ayahnya tentang jurusan yang akan ia ambil. Hal ini mengonstruksikan ayahnya terlalu mencampuri pilihan Mega. Saat kuliah, ia mengikuti organisasi yang merupakan organisasi bentukan PNI (organisasi yang dibentuk sang ayah) namun ia dipkasa keluar dari kuliah karena tidak mau menandatangani pernyataan dari rektornya bahwa
ia tidak boleh memasuki organisasi tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Pendidikan formal Mega hanya sampai SMA. ·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Mega dikonstruksikan menikah tiga kali. Suaminya pertama meninggal karena kecelakaan pesawat. Mega dikonstruksikan sangat menyayangi suami pertamanya. Mega menjadi ibu rumah tangga biasa mengurusi dua anaknya. Mega menikah lagi dengan seorang dari kudutaan Mesir. Tetapi pernikannya ditentang oleh keluarga, sehingga pernikahannya dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan keluarga. Prenikahannya yang ketiga adalah dengan suaminya yang sekarang, Taufiq Kiemas, dan memiliki anak Puan Maharani. Setelah dengan menikah dengan suami ketiganya, Mega baru membuka diri ke dunia politik. Karena background suaminya adalah seorang aktivis sehingga Mega dan suaminya bisa cocok. Mega dikonstruksikan tidak memiliki pekerjaan tetapi selain menjadi ibu rumah tangga, politisi sebagai pemimpin partai politik, dan membantu suaminya mengurus bisnis pompa bensin. Jabatan tertinggi sebagai politisi yang pernah disandang Mega adalah menjadi Presiden pada tahun 2001. Mega dikonstruksikan sebagai orang yang tinggi mengambil resiko terlalu besar.
Dari latar belakang tersebut, Mega dikonstruksikan sebagai pemimpin yang berkarakter pendiam, introvert, asyik dengan dunianya sendiri, kurang bisa bersosialisasi, dan tidak berani mengambil resiko besar. Disisi lain Mega memiliki jiwa yang kuat, tabah menerima tekanan, berani menolak sesuatu yang dirasanya tak sesuai, tidak menyerah pada keadaan, banyak belajar politik dari ayahnya, keputusan dan kehidupannya sangat dipengaruhi orang tua.
B. ANALISIS BERITA CAWAPRES PRABOWO SUBIANTO
B.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Sepotong Mimpi Anak Pelarian” B.1.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Sepotong Mimpi Anak Pelarian”. Kata “sepotong mimpi” mengandung makna sebuah harapan atau cita-cita. Kata “anak pelarian” merujuk pada Prabowo. Ia disebut oleh Tempo sebagai anak pelarian karena ketika kanak-kanak hingga SMA ia mengikuti sang ayah sebagai pelarian yang dicap sebagai “pemberontak” PRRI/Permesta. Mereka lari atau berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain karena dicari-cari oleh Negara. Sehingga dari judul ini, penekanan yang ingin dilakukan oleh Tempo adalah harapan atau cita-cita Prabowo yang dikonstruksikan sebagai anak dari seorang pemberontak yang melarikan diri ke luar negeri. Lead berita terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama “Sejak kecil, Prabowo Subianto bercita-cita mengubah negeri”. Kata “mengubah negeri” bermakna membuat Negara Indonesia menjadi lebih baik versi Prabowo. Kalimat ini ingin mengonstruksikan bahwa sejak kanak-kanak Prabowo telah memiliki keinginan untuk membuat negara Indonesia menjadi lebih baik. Kalimat kedua “Petarung yang selalu ingin lekas”. Kata “petarung” mengonstruksikan bahwa Prabowo suka akan hal-hal yang berkaitan dengan pertarungan, pertandingan atau tantangan. Sedangkan kata “selalu ingin lekas” mengonstruksikan bahwa Prabowo memiliki sifat tergesa-gesa dan ingin segera memulai atau mengakhiri suatu yang ia lakukan. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf pendahuluan sebagai berikut: DI bawah pohon besar, dua bocah itu berhadapan dengan tangan terbungkus sarung tinju. Yang satu 13 tahun, tinggi ramping menjulang. Bocah di depannya 11 tahun, tegap atletis dengan mata setajam elang. (Paragraf 1 Berita I Prabowo)
Pendahuluan ini berisi deskripsi tentang pertandingan tinju yang dilakukan oleh Prabowo bersama temannya. Hal ini memperkuat konstruksi bahwa Prabowo menyukai pertarungan. Pada kalimat terakhir berisi deskripsi tentang Prabowo yang digambarkan sebagai anak yang berbadan tegap atletis dan bermata tajam yang mengasosiasikan bahwa ia seorang yang tegas. Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita adalah bahwa ayah Prabowo sebagai seorang pemberontak serta pemikiran dan pendidikan Prabowo yang ia dapatkan selama di luar negeri. Dalam mengonstruksikan karakteristik Prabowo, Tempo meminta beberapa pendapat narasumber, yang pertama Eko Muhatma Kartodihardjo (kawan Prabowo) sebagai berikut: Dalam tiga ronde, Eko kalah. Sampai puluhan tahun kemudian, pertandingan itu terekam jelas di benaknya. Bayangan Prabowo, bocah 11 tahun yang liat berkelahi dengan wajah kukuh enggan mengalah, tak mudah dia lupakan. “You are a good fighter,” kata Eko memuji lawannya. (Paragraf 6, berita I Prabowo) Kata “wajah kukuh enggan mengalah” mengonstruksikan bahwa Prabowo adalah anak yang tidak mudah menyerah apalagi untuk mengalah. Sehingga Eko mengonstruksikan Prabowo sebagai petarung yang baik. Narasumber lain adalah Kun Mawira (Kawan Prabowo) yang mengonstruksikan karakter Prabowo sebagi berikut: Kun ingat betul bagaimana Prabowo sering memimpin gerombolan bocah pelarian ini. “Dia sering punya ide duluan dan tegas menyampaikan apa yang dia mau,” katanya. Eko punya kenangan serupa, “Anaknya keras dan tidak mau mengalah,” katanya. Meski lebih tua dua tahun, dia sering tak kuasa menentang keinginan Prabowo. (Paragraf 11 Berita I Prabowo) Pada kalimat pertama paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Prabowo telah menunjukkan bakat kepemimpinan. Pada kalimat kedua Kun mengonstruksikan bahwa Prabowo selalu berinisiatif dan selalu menyampaikan keinginannya kapada kawan-
kawannya. Eko memperkuat kutipan sebelumnya bahwa Prabowo memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Pada kalimat terakhir mengonstruksikan bahwa orang yang tebih tua dari Prabowo pun tidak mampu untuk menentang keinginan Prabowo, hal ini menimbulkan pemikiran bahwa Prabowo memang memiliki pengaruh besar terhadap kawan-kawannya atau Prabowo memang cenderung memaksakan kehendaknya. Pandapat tentang karakter Prabowo juga diungkapkan oleh
Ronny Warouw
(kawan Prabowo), yakni: “Sejak pertama bertemu, saya perhatikan anak itu,” kata Ronny Warouw, putra sulung Joop Warouw. Usia yang terpaut jauh membuat Ronny kerap berperan sebagai abang pelindung. ”Dia cerdas dan selalu ingin tahu,” katanya. (Paragraf 13 Berita I Prabowo) Ronny mengonstruksikan Prabowo sebagai anak yang cerdas dan selalu ingin tahu. Keingintahuan Prabowo itu dicontohkan Ronny dalam hal kemiliteran, karena Ronny adalah anak jendral. Hal serupa juga diungkapkan oleh Pinky Warouw yakni: Pinky ingat bagaimana mereka bertiga doyan betul bermain koboi dan Indian. Prabowo selalu memilih menjadi koboi, “Karena dia suka bermain pistol mainan,” katanya. Prabowo juga sangat serius jika bermain menjadi tentara. Dia mengoreksi cara berbaris kawan-kawannya, memperbaiki posisi mereka saat memegang senjata, dan selalu memberikan contoh di depan. “Dia sangat tertarik pada dunia militer,” kata Pinky. (Parafraf 17 Berita I Prabowo) Paragraf tersebut cukup untuk memberi gambaran bagaimana karakteristik kepemimpinan Prabowo semasa kanak-kanak. Prabowo ingin tampil di depan memberikan contoh kepada teman-temannya. Prabowo juga dikonstruksikan sangat tertarik dengan dunia militer, dengan sangat serius ketika bermain menjadi tentara. Dalam paragraf 18 Pinky mengungkapkan lagi salah satu karakteristik Prabowo yakni “Dia rupanya dididik untuk tidak memukul perempuan”. Namun konstruksi positif dari Pinky itu diperlemah dengan konstruksi negatif dari Ronny tentang sifat Prabowo yakni: Sifat Prabowo juga kerap kurang sabar dan temperamental. “Tapi, kalau marah, cepat hilang lagi,” kata Ronny Warouw. Kesaksian serupa muncul dari
Des Alwi. “Prabowo cenderung ingin lekas, agak tergesa-gesa,” katanya. (Paragraf 19 Berita I Prabowo) Prabowo dikonstruksikan sebagai anak yang kurang sabar dan tempramental. Kata tempramental dalam KBBI mengandung makna sifat batin yang mempengaruhi perbuatan dari perasaan, dan pikiran. Kutipan Ronny “Tapi, kalau marah, cepat hilang lagi,”
menunjukkan bahwa tempramen
Prabowo
adalah
pemarah.
Des
Alwi
mengonstruksikan karakteristik Prabowo yang cepat lekas (cepat ingin memulai atau cepat ingin mengakhiri), karakteristik tersebut membuat Prabowo cenderung tergesa-gesa dalam bertindak atau mengambil keputusan. Prabowo dikonstruksikan sebagai anak yang disayang oleh ibunya. Hal ini diungkapkan oleh kawan-kawannya, yakni: Dari penuturan kawan-kawan dekat Prabowo, tampak bahwa putra ketiga Sumitro ini anak kesayangan ibunya. “Bu Dora selalu bicara tentang Prabowo,” kata Des. Pinky dan Ronny Warouw punya cerita ibunda Prabowo tak mempersoalkan anaknya yang setiap bulan minta kiriman celana dalam saat mulai masuk Akademi Militer. “Setelah kami periksa, ternyata Prabowo tak pernah mencuci pakaian dalamnya,” kata Ronny terbahak. Setiap habis mandi, Prabowo membuang pakaian dalam bekasnya. (Paragraf 25 Berita I Prabowo) Dalam paragraf tersebut terdapat kutipan Ronny yang mengungkapkan bahwa Prabowo tidak mencuci dan membuang celana dalamnya entah karena alasan apa, tetapi hal itu tidak dipermasalahkan oleh ibu Prabowo. Dalam hal pendidikan Prabowo dikonstruksikan sebagai berikut: Pada 1960, keluarga Djojohadikusumo pindah ke Malaysia. Sumitro membuka pabrik perakitan alat elektronik merek Premiere dari Prancis. Di Kuala Lumpur, Prabowo, yang menginjak usia 9 tahun, lolos ujian masuk Victoria Institution, sekolah bergengsi di sana. “Prestasinya bagus di sekolah,” kata Des Alwi. (Paragraf 26 Berita I Prabowo) Prabowo dikonstruksikan bersekolah di sekolah elite saat menjalani pendidikan di Malaysia. Kutipan Des Alwi tersebut mengonstruksikan Prabowo termasuk siswa yang cerdas di sekolah.
Konstruksi bahwa Prabowo dan teman-temannya sebagai anak pemberontak sangatlah kuat. Hal itu dapat dilihat dalam paragraf berikut: Kun Mawira, putra Tan Goan Po, dan Prabowo sering bermain bersama. “Kami masih 6-7 tahun waktu itu, tidak tahu bagaimana kesusahan orang tua lari dari kejaran pemerintah,” tutur Kun, kini komisaris di Panin Sekuritas. Mereka hanya tahu agar tidak bergaul rapat dengan putra-putri diplomat di Kedutaan Besar Indonesia. “Kami kan anak-anak pemberontak.” (Paragraf 10 Berita I Prabowo) Dari paragraf itu dapat terlihat bagaimana hubungan Prabowo dengan Warga Negara Indonesia pada saat itu. Yang membuat rancu adalah kutipan di akhir paragraf yang tidak menyebutkan itu kutipan dari siapa. Bisa jadi mungkin itu kutiupan dari Kun, tetapi ada kemungkinan juga itu adalah pendapat penulis berita yang dikamuflasekan menjadi kutipan Kun. Hal ini sangat menunjukkan bahwa Tempo ingin mengonstruksikan Prabowo sebagai anak pemberontak.
B.1.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Prabowo dan keluarganya, karena selain diri Prabowo juga diceritakan tentang keluarga Prabowo (khususnya ayah dan ibu Prabowo). Sedangkan unsur what-nya adalah tentang kehidupan masa lalu keluarga Prabowo dan Prabowo sewaktu kecil saat di luar negeri. Unsur when dan where Prabowo lahir di Jakarta pada 17 Oktober 1951. Pada Mei 1957, Sumitro (Ayah Prabowo) duluan menghilang di pedalaman Sumatera, mempersiapkan deklarasi PRRI/Permesta yang menjadi cikal bakal keluarga Prabowo menjadi “pelarian”. Pada 1959, keluarga Prabowo mengungsi ke Hong Kong. Pada 1960, keluarga Djojohadikusumo pindah ke Malaysia. Di Kuala Lumpur, Prabowo, yang menginjak usia 9 tahun, lolos ujian masuk Victoria Institution, sekolah bergengsi di sana. Ia lulus sekolah menengah atas, American School in London, pada 1967, dan masuk Akademi Militer Nasional di Magelang, Jawa Tengah, pada 1970.
Unsur why dalam berita ini adalah kenapa keluarga Prabowo menjadi pelarian. Sedangkan unsur how dalam berita ini adalah bagaiaman Prabowo menjalani hidup menjadi pelarian di luar negeri.
B.1.c. Struktur Tematik Dari unit analisis detail dalam berita ini (yang belum dijelaskan dalam struktur sintaksis) adalah tentang keluarga Prabowo bahwa dari Ibulah Prabowo mendapatkan pendidikan dan perhatian lebih dari sang ayah. Ibu Prabowo mendidik anak-anaknya ”a la” Barat karena ia keturunan Belanda. Disiplin dan sikap keras Prabowo diturunkan dari ibu, gaya berpikirnya yang kritis dan bebas muncul dari ayah. Pada paragraf terakhir dijelaskan bagaimana bentuk perhatian Sumitroyang diberikan kepada anak-anaknya. Dari unit analisis kata ganti yang digunakan dalam berita ini ada dua yakni “petarung” yang telah di jelaskan di lead. Kata ganti kedua adalah “purnawirawan jenderal bintang tiga dan calon wakil presiden koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya”. Kata ganti itu mempertegas jabatan terakhir Prabowo dan mempertegas bahwa ia adalah cawapres yang ikut dalam pemilihan kali ini.
B.1.d. Struktur Retoris Tempo ingin menonjolkan latar belakang keluarga Prabowo yang merupakan ”keluarga pemberontak” dengan kata-kata sebagai berikut: Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, adalah salah satu pentolan pemberontak untuk urusan logistik dan keuangan. (Paragraf 3 Berita 1 Prabowo) Sejak perang melawan Jakarta meletus, keluarga semua pemimpin pemberontak terserak di Singapura, Hong Kong, dan Malaysia. (Paragraf 4 Berita 1 Prabowo) Pada Mei 1957, Sumitro duluan menghilang di pedalaman Sumatera, mempersiapkan deklarasi PRRI/Permesta. (Paragraf 7 Berita 1 Prabowo) Ada sekitar 10 keluarga pemberontak PRRI/Permesta yang berlindung di Singapura. (Paragraf 9 Berita 1 Prabowo)
Di Hong Kong, keluarga pemberontak ini tinggal di kawasan Hong Kong Side, di flat-flat kecil dekat Macdonald Road. (Paragraf 9 Berita 15 Prabowo) Sepuluh tahun menjadi eksil (orang yang melarikan diri) di luar negeri, Sumitro tak bisa berperan sebagaimana kepala keluarga normal lain. (Paragraf 23 Berita 1 Prabowo) Semuanya untuk menjamin asap dapur keluarganya dan pendukung pemberontak lain. (Paragraf 24 Berita 1 Prabowo) Prabowo mengumpulkan rekannya, putra-putri para eksil Partai Sosialis Indonesia yang tumbuh bersamanya di luar negeri, untuk berdiskusi dengan para ekonom dan turun ke desa-desa. (Paragraf 29 Berita 1 Prabowo) Dengan
penggunaan
kata-kata
“pentolan
pemberontak”,
“pemimpin
pemberontak”, “keluarga pemberontak”, “eksil”, pada penggalan paragraf diatas sangat menunjukkan bahwa keluarg aPrabowo pada saat itu adalah orangyang berbahaya bagi negara, karena ingin mendirikan negara tandingan. Setelah itu mereka melarikan diri keluar negeri selama bertahun-tahun. Tetapi dalam berita ini tidak dijelaskan sama sekali mengenai pemulihan nama baik ayah Prabowo. Dalam menjabarkan hedline “Sepotong Mimpi Anak Pelarian” tersebut terdapat pada paragraf berikut: Lulus sekolah menengah atas, American School in London, pada 1967, Prabowo Subianto menggebu-gebu ingin memperbaiki negerinya. Pulang ke Tanah Air, Sumitro meminta putranya berkeliling Jawa, untuk mengenal lebih dekat negeri yang ditinggalkannya satu dekade. (Paragraf 27 Berita I Prabowo) Prabowo tancap gas. Remaja 16 tahun itu aktif membangun jaringan dengan aktivis dan membentuk Korps Lembaga Pembangunan, meniru Korps Perdamaian, Peace Corps, kumpulan relawan sosial asal Amerika Serikat yang digagas Senator John F. Kennedy pada 1961. (Paragraf 28 Berita I Prabowo) Prabowo mengumpulkan rekannya, putra-putri para eksil Partai Sosialis Indonesia yang tumbuh bersamanya di luar negeri, untuk berdiskusi dengan para ekonom dan turun ke desa-desa. Emil Salim, yang ketika itu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pernah mereka datangi malam-malam. “Kami berdiskusi berjam-jam di rumah Pak Emil,” kata Ronny. Hidupnya sebagai aktivis berhenti ketika dia memutuskan masuk Akademi Militer Nasional di Magelang, Jawa Tengah, pada 1970. (Paragraf 29 Berita I Prabowo) Kata “menggebu-gebu ingin memperbaiki negerinya” pada paragraf 27 mengonstruksikan bahwa Prabowo sangat bersemangat untuk memperbaiki negara Indonesia yang telah ditinggalkannya selama sepuluh tahun menetap di luar negeri. Kata
“Prabowo tancap gas” mengandung makna bahwa Prabowo memulai kegiatannya untuk memperbaiki negeri dengan membentuk Korps Lembaga Pembangunan. Sebagai anak yang pernah hidup di luar negeri ia mengajak kawan-kawan yang senasib dengannya untuk membantunya. Namun dalam berita ini tidak dijelaskan secara rinci Prabowo menginginkan Indonesia yang seperti apa yang ia impikan. Dari unit analisis grafis terdapat satu ilustrasi gambar Prabowo dan dua buah foto. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah Prabowo dengan mengenakan hem coklat lengan panjang dan caping petani di kepala, ia memegang padi di tangan kanan dan ikan di tangan kiri. Ilustrasi ini mengonstruksikan bahwa Prabowo ingin dekat dengan nelayan dan petani seperti citra yang dibangun Prabowo dalam kampanye selama ini. Hal tersebut juga ingin menunjukkan bahwa Prabowo adalah aktivis yang dulu sempat turun ke desadesa dan membicarakan ekonomi kerakyatan yang memperjuangkan nasib petani dan nelayan. Foto pertama dengan caption “Kolonel Prabowo Subianto pada pelantikan anggota Kopassus di Nusakambanagn, 1993.” Foto ini untuk mempertegas jabatan prestisius yang pernah dilaksanakan oleh Prabowo, dimana pada waktu itu Kopassus dikenal sebagai pasukan elite dan banyak menuai kontroversi. Foto kedua dengan caption “Keluarga Sumitro Djojohadikusumo di Kuala Lumpur, 1964.” Hal ini untuk mempertegas bahwa keluarga Prabowo pernah bermukim di luar negeri dalam rangka menghindari kejaran pemerintah. Dalam mengonstruksikan Prabowo menggunkan unit analisis metafora “Bocah di depannya 11 tahun, tegap atletis dengan mata setajam elang” pada paragraf satu untuk membangun konstruksi postur tubuh dan watak Prabowo yang tegas.
B.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Prabowo di Berita I
Saat kecil Prabowo dikonstruksikan sebagai anak yang sangat menyukai tantangan dan pertandingan, sehingga oleh Tempo disebutnya sebagai “petarung”. Prabowo adalah anak yang tidak mudah menyerah. Sehingga Tempo mengonstruksikan Prabowo sebagai petarung yang baik. Prabowo dikonstruksikan telah menunjukkan bakat kepemimpinan sejak kecil dengan selalu menjadi pimpinan dan memberi contoh di depan kepada kawan-kawannya. Prabowo selalu berinisiatif dan menyampaikan keinginannya kapada kawan-kawannya. Prabowo memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Mengonstruksikan bahwa orang yang tebih tu dari Prabowo pun tidak mampu untuk menentang Prabowo, hal ini menimbulkan pemikiran bahwa Prabowo memang memiliki pengaruh
besar
terhadap
kawan-kawannya
atau
Prabowo
memang
cenderung
memaksakan kehendaknya. Karakter emosi Prabowo adalah orang yang tempramental, selalu ingin lekas dan terburu-buru dalam bersikap atau mengambil keputusan. Duan narasumber menyebut Prabowo sebagai anak yang cerdas dan selalu ingin tahu.
B.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Sudut Elite di Wistminster” B.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah Sudut Elite di Wistminster. Wistminster adalah salah satu nama kota di London tempat Prabowo mengenyam pendidikan SMA. Kata “Sudut Elite” merupakan ungkapan untuk American School in London (tempat Prabowo bersekolah) dimana sekolah itu terletak di sudut blok tempat gedung-gedung elite. Sehinga hal yang ingin ditonjolkan dalam berita ini adalah saat Prabowo mengenyam pendidikan SMA di sebuah sekolah elite (American School) di London. Lead terdiri dari dua kalimat yakni “Selama dalam pelarian, Prabowo selalu bersekolah di sekolah elite. Dia pernah menyusun anggaran rumah tangga senat pelajar
di Swiss”. Kata “selama dalam pelarian” memperkuat penenkanan bahwa Prabowo dan keluarganya saat itu menjadi kejaran pemerintah dan lari ke luar negeri. Kata “selalu bersekolah di sekolah elite” menunjukkan bahwa keluarga Prabowo merupakan keluarga dengan kondisi ekonomi yang mapan karena bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang bergengsi. Selain itu juga ingin menunjukkan bahwa Prabowo ingin disekolahkan di sekolah dengan pendidikan bermutu. Kalimat kedua “Dia pernah menyusun anggaran rumah tangga senat pelajar di Swiss” menunjukkan bahwa ia seorang siswa yang berinisiatif. Di dalam tubuh berita disebutkan bahwa ia yang memprakarsai penyusunan anggaran rumah tangga tersebut. Konstruksi yang ingin dibangun dari lead ini adalah bahwa Prabowo memiliki latar belakang pendidikan formal yang bagus dan memiliki inisiatif untuk hal-hal yang baru. Memasuki tubuh berita, paragraf pendahuluan berita ini sebagai berikut: Gedung York Terrace di City of Westminster, London, Inggris, itu hanya satu blok dari museum lilin terkenal Madame Tussaud’s dan tak jauh dari beberapa tempat penting, semacam Regent’s Park, Wallace Collection, dan Royal Academy of Music. Di gedung itulah dulu Prabowo Subianto menyelesaikan sekolah menengah atas. Pada kurun 1963-1970, bangunan berlantai tiga itu dipakai American School in London. (Paragraf 1 Berita II Prabowo) American School termasuk sekolah elite. Uang sekolah para pelajarnya saat ini 19 ribu poundsterling atau sekitar Rp 317 juta per tahun. Dengan uang sebanyak itu, seorang mahasiswa non-Eropa sudah mampu menempuh studi untuk meraih dua gelar master. Uang sebesar itu juga bisa untuk membiayai sekolah satu orang calon doctor of philosophy dari Eropa. (Paragraf 5 Berita II Prabowo) Pendahuluan ini berisi deskripsi tempat Prabowo bersekolah di Westminster, London tepatnya di American School in London. Konstruksi yang ingin dibangun adalah bahwa sekolah itu memang benar sekolah elite dimana dekat dengan tempat-tempat penting di London. Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita ini adalah informasi tentang sekolah Prabowo dijelaskan berikut ini:
Prabowo menempuh sekolah menengah atas di London ini setelah berpindah-pindah sekolah mengikuti ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, melarikan diri ke luar negeri (1957-1967). Ekonom senior itu harus meninggalkan Indonesia karena terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Semesta (PRRI-Permesta). Kala itu, PRRI membentuk pemerintahan tandingan, dan Sumitro menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran. (Paragraf 3 Berita II Prabowo) Dari latar informasi ayah Prabowo yang berpindah-pindah ke luar negeri, berdampak pada sekolah Prabowo yang juga harus berpindah-pindah. Dalam mencari informasi tentang sekolah Prabowo, Tempo juga meminta keterangan dari pihak American School in London, tetapi tidak diperbolehkan. Serta meminta keterangan dari Wendy Robinson sebagai berikut: Tempo kemudian mendapatkan info dari Wendy Robinson, editor penerbitan media alumni sekolah itu, yang memastikan Prabowo memang pernah bersekolah di sana. “Benar, ia tercatat bersekolah di sini sejak 1966 hingga 1968, tapi kami tidak bisa memberikan informasi lebih jauh,” katanya. (Paragraf 11 Berita II Prabowo) Hal tersebut dialakukan oleh Tempo, guna mencari fakta tentang pendidikan Prabowo, karena Tempo tidak bisa mendapatkan keterangan langsung dari Prabowo. Tempo juga mendapatkan sedikit informasi tentang kehidupan Prabowo di luar negeri, yakni: Di luar sekolah itu, kehidupan Prabowo dan keluarganya juga masih kabur. Beberapa warga Indonesia yang bermukim lama di London mengaku tak mengenal keluarga Sumitro. “Mereka enggak campur dengan masyarakat. Kalau orang lain, meski enggak berhubungan dengan KBRI, masih bertemu dengan masyarakat,” kata Royandi Abas, pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, yang tinggal di sana sejak 1956. (Paragraf 13 Berita II Prabowo) Kata “kabur” mengandung makna tidak jelas informasinya. Dari kutipan Royandi Abas tersebut mengonstruksikan bahwa keluarga Prabowo tidak bersosialisasi dengan masyarakat saat di London. Dalam mengonstruksikan keluarga Prabowo saat tinggal di luar negeri, Tempo, meminta keterangan dari keluarga Tanya Alwi (Kawan Prabowo), yakni:
Tanya juga membantah kabar angin bahwa Prabowo sukar berbahasa Indonesia karena lama bersekolah di luar negeri. “Keluarga Sumitro berbahasa Indonesia dalam kesehariannya,” katanya. (Paragraf 18 Berita II Prabowo) Dia mengenang keluarga Sumitro sebagai keluarga yang penuh disiplin. “Protokoler banget dan sopan,” kata Tanya. Keluarga itu, kata Tanya, hanya bersedia menerima tamu bila sudah membuat janji 2-3 hari sebelumnya. “Di meja makan mereka juga kaku sekali,” katanya. (Paragraf 19 Berita II Prabowo) Menurut Tanya, selama di pengasingan, Dora Sigar, ibunda Prabowo, mengurusi sendiri hidangan makan keluarga itu karena mereka tak memiliki pembantu. Keluarga itu juga berdisiplin dalam perkara waktu makan, seperti sarapan pukul tujuh, makan siang pukul satu, makan malam pukul tujuh, dan pukul delapan semua anak sudah harus masuk ke kamar masing-masing. (Paragraf 20 Berita II Prabowo) Dari kutipan tanya dalam paragraf di atas mengonstruksikan bahwa keluarga Sumitro walaupun di anggap sebagai pemberontak tetap mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya. Namun keluarga Sumito mendidik anaknya dengan pendidikan ”a la” barat. Selain itu Prabowo dididik untuk berdisiplin dalam hal waktu. Dalam mengonstruksikan kepemimpinan Prabowo, Tempo membingkai pendapat dari Tanya Alwi, yakni: Tanya Alwi, putri mantan diplomat Des Alwi Abubakar, menuturkan bahwa di masa itu Prabowo, yang baru berusia 14 tahun, mengambil prakarsa dalam penyusunan rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Student Senate sekolah itu, semacam Organisasi Siswa Intra Sekolah di Indonesia. “Padahal biasanya yang mengurusi senat pelajar itu adalah pelajar senior, yakni anak kelas 10 ke atas, sedangkan dia saat itu masih duduk di kelas 9,” kata Tanya. (Paragraf 17 Berita II Prabowo) Konstruksi dari kutipan tersebut ingin menunjukkan bahwa Prabowo sebagai anak yang memiliki inisiatif, walaupun ia masih junior tetapi berani untuk memprakarsai gagasan yang biasanya dilakukan oleh siswa yang lebih senior. Karakteristik Prabowo juga diungkapkan oleh Des Awi, yakni: Dalam kenangan Des Alwi, Prabowo tampak lebih cepat matang dan mulai mengenal politik. “Dia sudah tahu siapa musuh-musuh bapaknya,” kata Des. Bahkan Prabowo sempat berdebat dengan Des mengenai ada-tidaknya Dewan Jenderal dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, yang terjadi ketika keluarga Sumitro sedang bermukim di Zurich. (Paragraf 21 Berita II Prabowo)
“Prabowo percaya adanya Dewan Jenderal setelah membaca Cornell Paper, tapi saya membantahnya,” kata Des, yang saat itu sedang menjenguk keluarga Sumitro di sana. (Paragraf 22 Berita II Prabowo) Kata “lebih cepat matang” mengonstruksikan Prabowo lebih cepat dewasa dari anak-anak sebayanya. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi keluarganya yang dicap sebagai “pemberontak”, sehingga Des Alwi mengonstruksikan Prabowo sudah tahu siapa musuh-musuh ayahnya. Prabowo yang masih muda juga berani berdebat dengan orang yang lebih senior. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Des tak begitu ingat bagaimana perdebatan itu berlangsung. Namun dia masih ingat bahwa Prabowo terlihat keras dan ambisius, termasuk soal citacitanya membereskan masalah di negerinya. “Kalau nanti saya berkuasa, akan saya bereskan semuanya,” kata Des, menirukan ucapan Prabowo muda kala itu. (Paragraf 23 Berita II Prabowo) Paragraf ini mengonstruksikan watak Prabowo yang keras dan ambisius. Kata “keras” (yang tersirat dalam pengertian di KBBI) mengandung makna bahwa Prabowo selalu bersungguh-sungguh, kuat, lugas dan tegas dalam bertindak. Sedangkan kata “ambisius” mengandung makna penuh ambisi atau berkeinginan kuat mencapai “citacitanya membereskan masalah di negerinya”. Kata “membereskan masalah” mengandung makna Prabowo ingin menjadi seorang yang bisa mengatasi permasalahan yang sedang melanda Indonesia. Keinginan itu diperkuat dengan parafrase Prabowo yang di kutip oleh Des Alwi “Kalau nanti saya berkuasa, akan saya bereskan semuanya.” Kalimat itulah yang menjadi alasan Prabowo ingin menduduki kursi kepresidenan diawali dengan menjabat sebagai wakil presiden.
B.2.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Prabowo. Sedangkan unsur what dalam berita ini adalah pendidikan Prabowo dan apa hal yang dilakukan dan ingin dilakukan oleh
Prabowo. Unsur where dan why dalam berita ini adalah saat Sumitro Djojohadikusumo, melarikan diri ke luar negeri tahun1957-1967. Prabowo tercatat bersekolah di American School in London sejak 1966 hingga 1968. Saat Prabowo kelas 9 di International School, Zurich, Swiss, jiwa kepemimpinannya terbentuk terutamana saat menyusun anggaran rumah tangga pelajar Swiss. Unusur why dalam berita ini adalah alasan mengapa Prabowo memilih pendidikan di luar negeri dan memilih sekolah yang elite. Sedangka unsur hownya adalah bagaimana Prabowo saat menjalani pendidikan di luar negeri.
B.2.c. Struktur Tematik Struktur Tematik dalam berita ini adalah detail mengenai pendidikan Prabowo. Diawali dengan pendiskripsian secara detail tentang sekolah Prabowo di London di paragraf 1, 2, 6, 7, 8, 9, 10. Sekolah itu mendapat porsi lebih oleh Tempo bukan karena mendapatkan informasi tentang Prabowo, justru karena sulitnya mendapatkan informasi tentang Prabowo karena ketatnya penjagaan di sekolah itu. Detail pendidikan Prabowo serta unit analisis koherensi juga terdapat dalam paragraf berikut: Pada mulanya, Sumitro tinggal di Singapura selama dua tahun, lalu ke Hong Kong dan menetap di sana setahun. Kemudian dia ke Kuala Lumpur, Malaysia, tapi tersiar isu bahwa Sumitro menghasut Malaysia dalam konfrontasi dengan Indonesia, sehingga dia pindah ke Zurich, Swiss, dan tinggal di sana selama dua tahun. Kemudian dia terbang ke London, Inggris, dan sempat memindahkan basis perjuangannya ke Bangkok, Thailand. (Paragraf 4 Berita II Prabowo) Dia sempat menyelesaikan sekolah dasarnya di Hong Kong pada 1961, lalu melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di Victorian Institute, sekolah swasta paling tua dan terkenal di Kuala Lumpur, Malaysia. (Paragraf 15 Berita II Prabowo) Prabowo hanya dua tahun bersekolah di negeri jiran. Setelah itu, dia melanjutkan sekolahnya di International School di Zurich, Swiss, selama setahun dan menamatkan sekolah menengah atasnya di London, Inggris. Namun di Swisslah jejak kepemimpinan Prabowo terlihat. (Paragraf 16 Berita II Prabowo)
Paragraf ini menjelaskan secara detail bagaimana kondisi pendidikan yang dijalani oleh Prabowo. Dalam paragraf empat terdapat sebuah latar informai tentang ayah Prabowo “Kemudian dia ke Kuala Lumpur, Malaysia, tapi tersiar isu bahwa Sumitro menghasut Malaysia dalam konfrontasi dengan Indonesia, sehingga dia pindah ke Zurich, Swiss.” Kalimat tersebut mendeskriditkan ayah Prabowo yang sudah di cap sebagai pemberontak juga diisukan menghasut Malaysia dalam konsforntasi dengan Indonesia.
B.2.d. Struktur Retoris Beberapa kata yang dipilih oleh Tempo dalam tubuh berita guna menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu dalam berita ini adalah antara lain adalah penggunaakn kata ”sekolah elite” dalam menyebut sekolah-sekolah dimana tempat Prabowo mengenyam pendidikan. Hal ini untuk mengonstruksikan bahwa Prabowo ingin disekolahkan dengan sekolah yang bermutu. Prabowo dikonstruksikan sebagai anak pemberontak yang dimarginalkan (orang yang terpinggirkan karena perbuatannya) terbukti dari pengguaan kata-kata berikut ini pada paragraf 5 “Prabowo mengikuti keluarganya yang mengasingkan diri ke berbagai negara.” Pada paragraf 15 ”Selama Sumitro dalam pelarian, Prabowo juga berpindahpindah sekolah.” Pada paragraf 18 “Keluarga Des Alwi dan keluarga Sumitro bersahabat lama. Keduanya adalah pentolan Partai Sosialis Indonesia dan sama-sama diburu ketika terlibat pemberontakan PRRI-Permesta.” Pada paragraf 20 “Menurut Tanya, selama di pengasingan, Dora Sigar, ibunda Prabowo, mengurusi sendiri hidangan makan keluarga itu karena mereka tak memiliki pembantu.” Dari unit grafis terdapat dua buah foto. Foto pertama dengan caption “Gedung York Terrace di City Of Westminster, London, Inggris.” Foto ini untuk memperkuat isi berita mengenai sekolah tempat dimana Prabowo mengenyam pendidikan SMA. Foto
kedua dengan caption “Prabowo Subianto di Kuala Lumpur, 1964.” Foto ini digunakan untuk memperkuat isi berita saat Prabowo tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia. Berita ini ditulis dengan gaya bahasa biasa (tidak menggunakan gaya bahasa), tidak menggunkan kata ganti untuk Prabowo, dan tidak menggunakan metafora.
B.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Prabowo di Berita II Latar pendidikan Prabowo di sekolah elit menjadi penonjolan utama dalam berita ini. Sedangkan untuk karakteristik kepemimpinan, Prabowo dikonstruksikan sebagai anak yang mempunyai inisiatif dan ide-ide yang segar dibandingkan dengan teman-temannya yang lebih senior. Bahka ia berani berdebat dengan orang yang lebih tua. Prabowo dikonstruksikan memiliki watak
yang keras dan ambisius. Kata
”keras” (yang tersirat dalam pengertian di KBBI) mengandung makna bahwa Prabowo selalu bersungguh-sungguh, kuat, lugas dan tegas dalam bertindak. Sedangkan kata “ambisius” mengandung makna penuh ambisi atau berkeinginan kuat mencapai “citacitanya membereskan masalah di negerinya”. Kata “membereskan masalah” mengandung makna Prabowo ingin menjadi seorang yang bisa mengatasi permasalahan yang sedang melanda Indonesia.
B.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Jejak Militer dalam Tubuhnya” B.3.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Jejak Militer dalam Tubuhnya”. Kata “jejak” dalam judul tersebut bisa dimaknasi sebagai sesuatu yang ditinggalkan atau membekas, bisa juga dimaknai sebagai suatu riwayat. Sehingga kalimat tersebut menekankan bahwa Prabowo memiliki riwayat kemiliteran yang telah melekat pada diri Prabowo. Riwayat itu
diturunkan mulai dari kakek, paman, buku yang ia baca, serta mainan yang ia gemari semuanya berhubungan dengan militer. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan Prabowo dan militer menjadi penekanan dalam berita ini. Lead berita ini terdiri dari dua kalimat “Sejak kecil, minat Prabowo terhadap dunia militer sudah terlihat. Sempat menjadi aktivis.” Pada kalimat pertama “Sejak kecil, minat Prabowo terhadap dunia militer sudah terlihat” memperkuat konstruksi bahwa Prabowo telah meminati dunia militer sudah sejak lama, bahkan sejak kecil. Kalimat kedua “Sempat menjadi aktivis.” Menunjukkan bahwa dahulu Prabowo pernah menjadi aktivis sosial dengan membentuk Korps Lembaga Pembangunan yang membantu para pengusaha kecil menengah. Lead ini menunjukkan bahwa Prabowo meminati dua hal, yakni sebelum memasuki dunia militer, Prabowo sempat menjadi seorang yang aktif di bidang sosial. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf pendahuluan sebagai berikut: Hotel Merdeka, Yogyakarta, Januari 1946, pukul 21.00. Margono Djojohadikusumo mendapat telepon dari Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo. Sebuah berita duka. Kedua putranya tewas. Letnan Subianto Djojohadikusumo pada usia 22 tahun saat bersama adiknya, Sujono Djojohadikusumo, 17 tahun, gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Desa Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang, pada 25 Januari 1946. (Paragraf 1 Berita III Prabowo) Pendahuluan ini berisi tentang deskripsi kakek Prabowo yang mendapat kabar bahwa dua paman Prabowo (yang saat itu menjadi tentara) tewas dalam pertempuran melawan Jepang. Hal ini mengantarkan pembaca untuk memahami kata “jejak militer”, yakni dua paman Prabowo adalah prajurit yang meninggalkan riwayat kemiliteran pada Prabowo, dimana kedua pamannyalah yang menginspirasi Prabowo untuk menjadi tentara. Konstruksi latar informasi tersebut diperkuat dengan kutipan Des Alwi (kerabat Prabowo) yang menyebutkan:
Sifat Subianto ini, menurut Des Alwi, agak-agak mirip Prabowo, bandel dan sedikit nekat. “Cuma Subianto sedikit lebih halus,” kata Des (Paragraf 9 Berita III Prabowo) Kutipan Des Alwi tersebut mengonstruksikan bahwa Prabowo memiliki watak bandel dan sedikit nekat. Kata “bandel” mengandung pengertian tidak mau menurut atau mendengar kata orang serta keras kepala. Sedangkan kata “sedikit nekat” mengandung pengertian suka melakukan tindakan tanpa pertimbangan yang matang. Watak Prabowo tersebut disamakan dengan watak pamannya, Subianto. Kata “Cuma Subianto sedikit lebih halus” mengandung pengertian bahwa Prabowo memiliki watak yang lebih kasar daripada Subianto. Latar informasi tentang jejak kemiliteran Prabowo diperkuat lagi yang diambil dari kutipan Ronny Warouw (teman Prabowo) yakni: Pengaruh militer di keluarga Prabowo juga mengalir dari kakek dari garis ibunya, Dora Sigar. Ronny Warouw, salah satu karib Prabowo sedari di Hong Kong, mengatakan kakek Prabowo adalah perwira tentara kolonial Belanda, yakni Mayor Sigar. Walaupun Prabowo tak sempat bertemu dengan kakeknya, berbagai cerita militer sering mampir di telinganya sejak kecil. (Paragraf 11 Berita III Prabowo) Paragraf tersebut mengonstruksikan “jejak militer” yang dimaksud dalam judul berasal dari kekek Prabowo yang juga seorang tentara. Selain dari paman dan kakeknya, minat Prabowo terhadap militer juga ditunjukkan dari bacaan dan mainan yang disukainya. Pernyataan tersebut diambil dari kutipan Bob Maramis (pengikut ayah Prabowo), Eko Muhatma Kartodirdjo (kawan masa kecil Prabowo), dan Kun Mawira (kawan masa kecil Prabowo), yakni: Minat Prabowo terhadap militer bisa dilihat dari hobinya. Bob Maramis, salah satu bekas prajurit Permesta, memberikan kesaksian. Dia bertemu dengan Prabowo semasa pelarian di Hong Kong. “Hobinya baca komik Sergeant Strykers,” katanya. Strykers adalah komik superhero militer buatan Atlas Comics. Tak ada saudaranya yang mempunyai hobi serupa. (Paragraf 12 Berita III Prabowo) Saat bermain dengan teman sebayanya, Prabowo juga lebih suka main perang-perangan. “Dia selalu bersemangat kalau main serdadu,” Eko Muhatma Kartodirdjo, teman bermain Prabowo di Hong Kong, menuturkan. Setiap kali
bermain perang-perangan, Kun Mawira menambahkan, Prabowo suka menenteng pistol kecil. Eko dan Kun ini juga putra pelarian politik Permesta di Hong Kong. (Paragraf 13 Berita III Prabowo) Kutipan Eko dan Kun mengonstruksikan bahwa minat Prabowo terhadap militer memang sudah terlihat sejak kecil. Kesemuanya itu adalah segmen pertama berita yang mengisahkan masa kecil Prabowo (yang saat itu masih tinggal di luar negeri) yang tertarik dengan dunia militer. Segmen kedua berita adalah saat Prabowo berada di Indonesia, yang mengambil kutipan dari Jopie Lasut (kawan Prabowo) tentang karkter Prabowo, yakni: Setelah pulang kembali ke Indonesia dari Inggris pada 1967, Prabowo muda banyak bergaul dengan aktivis 1966. Menurut Jopie Lasut, salah satu aktivis, walau Prabowo baru berusia 16 tahun, sikap ideologinya sudah jelas dan pengetahuan politiknya lumayan luas, sehingga tak canggung bergaul dengan politikus senior. “Dia berani debat dengan intelektual selevel Sudjatmoko dan Soe Hok Gie,” kata Jopie. (Paragraf 16 Berita III Prabowo) Dari paragraf tersebut, Prabowo dikonstruksikan sebagai remaja berumur 16 tahun telah memikiki sikap ideologi yang jelas dan pengetahuan politiknya lumayan luas. Hanya saja dalam berita tersebut tidak dijelaskan sikap ideologi seperti seperti apa yang dimiliki oleh Prabowo. Di usia 16 tahun belum tentu seorang anak memiliki pengetahuan politik yang cukup luas seperti Prabowo. Kutipan Jopie Lasut tersebut mendukung konstruksi bahwa Prabowo tak canggung bergaul dengan politikus senior. Dari kutipan Jopie tersebut juga bahwa Prabowo memiliki watak berani. Namun konstruksi tersebut di kontraskan dengan pendapat Soe Hok Gie sebagai berikut: Di mata Soe Hok Gie, Prabowo adalah pemuda cerdas yang cepat memahami persoalan, tapi juga naif. Dia banyak memahami persoalan dari buku. “Kalau dia hidup dua atau tiga tahun di dunia nyata, mungkin akan berubah,” Soe Hok Gie menulis kesan itu di buku hariannya. (Paragraf 17 Berita III Prabowo) Soe Hok Gie memang mengakui bahwa Prabowo memnag anak yang cernas, tapi juga naif. Kata “naif” dalam KBBI mengandung makna bersahaja atau sederhana, tetapi
juga bisa dimaknasi sebagai celaka; bodoh; tidak masuk akal. Sehingga Soe Hok Gie mengonstruksikan Prabowo sebagai pemuda yang bersahaja dan belum memiliki pemikiran yang matang dan panjang. Ditambah dengan kutipan Soe Hok Gie yang memperkuat konstruksi tersebut. Pabowo dikonstruksikan sebagai aktivis sosial yang terdapat pada paragraf berikut: Yang tak banyak diungkap, Prabowo remaja pernah keliling Jawa bersama Jopie dengan mobil pinjaman dari ayahnya. Yang menjadi sopir, seorang mantan anggota PKI. Sepanjang jalan, dia mengamati kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dari perjalanan itulah dia kemudian mencetuskan ide Korps Lembaga Pembangunan. (Paragraf 21 Berita III Prabowo) Idenya, menurut Ronny, agak mirip dengan Peace Corps yang digagas Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yakni kumpulan relawan untuk membantu komunitas ekonomi yang terbelit persoalan. “Kami membantu perajin sepatu di Cibaduyut,” kata Gideon Imanto Tan Bun An, bekas Direktur Korps di Bandung. (Paragraf 22 Berita III Prabowo) Hal itu menjadi latar informasi bahwa Prabowo menjadi seorang aktivis sosial. Sebagai sorang pemuda, ia dikonstruksikan sebagai pemuda yang perduli terhadap kondisi masyarakat dan memiliki ide-ide yang belum tentu dimiliki oleh remaja seusianya. Berita ini diakhiri dengan masuknya Prabowo ke Akademi Militer sesuai dengan pokok bahasan berita ini yakni tentang Prabowo dan kemiliteran dalam paragraf berikut: Atas sponsor Kepala Koordinator Intelijen Negara, Sutopo Juwono, Prabowo kemudian malah masuk Akademi Militer pada 1970. Padahal sebelum itu dia sudah diterima di University of Colorado, Amerika Serikat. Menurut Ronny, ada satu insiden yang membuat Prabowo berubah pikiran. Namun dia menolak membeberkannya. “Saya yang mengantar dia ke Magelang naik mobil VW pinjaman,” kata Ronny. (Paragraf 24 Berita III Prabowo) Kalimat “Atas sponsor Kepala Koordinator Intelijen Negara, Sutopo Juwono, Prabowo kemudian malah masuk Akademi Militer pada 1970” berarti mengonstruksikan Prabowo memiliki “backing” ketika memasuki Akmil. Konstruksi yang dibangun selanjutnya adalah, Prabowo lebih memili masuk ke akmil daripada University of Colorado, Amerika Serikat, padahal ia telah diterima di sana. “Menurut Ronny, ada satu
insiden yang membuat Prabowo berubah pikiran.” Parafrase dari Rony tersebut menunjukkan sesuatu yang tak diungkap oleh Prabowo apa alasan yang mendasar ia memasuki Akmil. Paragraf penutup berita ini adalah sebagai berikut: Masuk ke Akademi Militer bisa jadi memang sudah lama dipertimbangkan Prabowo. Imanto pernah menyimak percakapan Prabowo dengan ayahnya. Waktu itu mereka mendiskusikan soal pengalaman Gamal Abdul Nasser di Mesir. (Paragraf 25 Berita III Prabowo) Penutup ini menegaskan tentang keinginan Prabowo untuk masuk ke dunia militer yang sudah lama ia pertimbangkan. Hanya saja penutup ini seperti belum terselesaikan karena seperti berhenti ditengah jalan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut setelah kata “Waktu itu mereka mendiskusikan soal pengalaman Gamal Abdul Nasser di Mesir”. Sehingga tidak diketahui hal apa yang didiskusikan.
B.3.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Prabowo dan orang-orang yang mempengaruhinya untuk masuk ke dunia militer. Unsur what dalam berita ini sangat tersurat dalam judul yakni segala hal yang berhubungan dengan kemiliteran dalam diri Prabowo, dimulai dari alasan dan hal-hal yang dilakukan Prabowo. Unsur when dan where dalam berita ini adalah pada 25 Januari 1946 kedua paman Prabowo gugur dalam pertempuran melawan Jepang. Kenangan tentang keduanya sebagai militer tersimpan di Jalan Taman Amir Hamzah 10, Matraman, Jakarta Pusat. Prabowo pulang ke Indoneisa tahun 1967. Prabowo kemudian masuk Akademi Militer pada 1970. Padahal sebelum itu dia sudah diterima di University of Colorado, Amerika Serikat Unsur why dalam berita ini adalah alasan mengapa Prabowo sangat menyukai militer yakni karena memiliki Riwayat militer dari paman dan kakeknya. Sedangkan unsur
how-nya adalah bagaimana Prabowo bisa menyukai dunia militer dan bagaimana Prabowo bisa sempat menjadi aktivis. Pabowo menyukai dunia militer dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan militer, semisal melakukan permainan serdadu dengan kawan-kawannya atau membaca buku-buku militer. Sedangkan kegiatannya di bidang sosial telah dijelaskan pada strukutur sintaksis (yang membahas paragraf 21 dan 22).
B.3.c. Struktur Tematik Dari struktur tematik, yang yang akan disoroti adalah dari unit analisis detail. Berita ini mengangakat tentang kemiliteran Prabowo, namun detail tentang karier militer Prabowo dihilangkan sama sekali. Berbeda sekali dengan SBY dan Wiranto yang samasama dari kalangan militer. Kedua purnawirawan tersebut ditonjolkan dalam hal karier militernya, namun karier Militer Prabowo tidak disinggungsama sekali. Padalah Prabowo memiliki
prestasi antara lain pernah menjabat sejumlah posisi “seksi”, di antaranya
Wadan Detasemen 81/Kopassus, Dan Detasemen 81/Kopassus, Danyon 328 Kujang II/Kostrad, Kepala Staf Brigif Linud 17/Kostrad, dan Danjen Kopassus tahun 1996-1998 (www.kompas.com, 2008). Bisa dikatakan ini sangat merugikan Prabowo dibanding rivalnya yang lain, yakni SBY dan Wiranto, yang sama-sama berangkat dari dunia militer. Sedangkan dari unit analisis kata ganti terdapat pada paragraf enam penggunaan kata ganti “calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri” untuk menekankan lgi bahwa ia kini adalah kandidat cawapres peserta Pemilihan Umum Presiden 2009.
B.3.d. Struktur Retoris
Beberapa kata di tubuh berita yang dipilih Tempo dalam menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu selain kata-kata yang telah dijelaskan sebelumnya antara lain pada paragraf 19 terdapat kaliamat “Dengan bahasa Indonesia yang masih belepotan,
Prabowo
gesit
membangun
jaringan
aktivis”.
Kalimat
tersebut
mengonstruksikan, karena lama tinggal di luar negeri, Prabowo menjadi tidak lancar berbahasa Indonesia. Ia dengan cepat dan cekatan membangun hubungan dengan para aktivis untuk memudahkan misinya dalam merubah keadaan bangsa Indonesia sesuai dengan harapannya. Dari unit analisis grafis terdapat dua buah foto dan satu insert tulisan. Foto pertama dengan caption “Subianto, sekembali dari Negeri Belanda, 1939”. Foto kedua dengan caption “Sujono, Den Haag. 1939”. Kedua foto ini mendukung isi berita tentang dua paman Prabowo. Foto tersebut menunjukkan bahwa keluarga Prabowo adalah keluarga berada yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai keluar negeri. Sedangkan insert tulisan dalam berita ini “Tokoh perlawanan yang yang Prabowo kagumi ketika itu antar lain Yaser Arafat dan Che Guevara”. Hal ini mengonstruksikan bahwa Prabowo telah memiliki pengetahuan tentang “perlawanan” sehingga mengagumi tokoh tersebut. Berita ini ditulis dengan gaya bahasa biasa (tidak menggunakan gaya bahasa) dan tidak menggunakan metafora.
B.3.e. Konstruksi Kemepimpinan Prabowo di Berita III Tempo mengonstruksi Prabowo sebagai anak yang meminati dunia militer sejak kecil, terbukti dengan kegemarannya membaca komik militer, permainan serdadu yang ia gemari. Kegemarannya terhadap militer tersebut diturunkan dari sang Kakek dan sang Paman. Tempo mengonstruksikan bahwa Prabowo memiliki watak bandel dan sedikit
nekat. Kata “bandel” mengandung pengertian tidak mau menurut atau mendengar kata orang serta keras kepala. Sedangkan kata “sedikit nekat” mengandung pengertian suka melakukan tindakan tanpa pertimbangan yang matang. Prabowo dikonstruksikan sebagai remaja berumur 16 tahun telah memikiki sikap ideologi yang jelas dan pengetahuan politiknya lumayan luas. Hanya saja dalam berita tersebut tidak dijelaskan sikap ideologi seperti seperti apa yang dimiliki oleh Prabowo. Di usia 16 tahun belum tentu seorang anak memiliki pengetahuan politik yang cukup luas seperti Prabowo. Prabowo tak canggung bergaul, bertanya, bahkan berdebat dengan politikus senior. Soe Hok Gie memang mengakui bahwa Prabowo memnag anak yang cernas, tapi juga naif. Kata “naif” dalam KBBI mengandung makna bersahaja atau sederhana, tetapi juga bisa dimaknasi sebagai celaka; bodoh; tidak masuk akal. Sehingga Soe Hok Gie mengonstruksikan Prabowo sebagai pemuda yang bersahaja dan belum memiliki pemikian yang matang dan panjang.
B.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Prabowo
Dari tiga berita tentang Prabowo, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan Prabowo adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Ayah Prabowo adalah seorang ekonom yang dikonstruksikan sebagai seorang pemberontak atau ancaman negara karena terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta. Ibunya adalah ibu rumah tangga keturunan Belanda. Dua Pamannya adalah tentara yang gugur dalam perang, dan kakeknya juga tentara. Saat usia Prabowo enam tahun ia diajak oleh keluarganya melarikan diri ke luar negeri, karena ayahnya dikerjar-kejar oleh pemerintah. Ia berpindah-pindah, mulai dari Singapura, Hong Kong, Malaysia,
Swiss, dan Inggris. Saat keluarganya di luar negeri, ia dikonstruksikan sebagai keluarga yang tidak bersosialisasi dengan lingkungan ditempat mereka tinggal. Ayah Prabowo sering berpergian untuk mengurusi keluarga pemberontak lainnya. Sehingga sang ibu yang banyak memberikan pendidikan kepada Prabowo. Pendidikan yang diajarkan sang ibu adalah pendidikan a la Belanda, namun dalam kesehariannya masih mengguna-kan bahasa Indonesia. Prabowo anak yang disayangi sang ibu. Prabowo meminati dunia militer sejak kecil, terlihat dari permainan yang sering ia mainkan dengan kawan-kawannya (serdadu dan koboi), bacaan tentang militer dan pamannya yang gugur sebagai tentara menginspirasinya untuk menjadi tentara. Saat bermain serdadu Prabowo selalu ingin tambil didepan dan menjadi pemimpin bagi teman-tamannya. Badannya tegap dan atletis. Prabowo menyukai hal-hal yang berhubungan dengan tantangan dan pertarungan. Prabowo sering memiliki inisiatif dan terkadang memaksakan apa yang dia mau saat bermain bersam kawan-kawannya. Prabowo dikonstruksikan sebagai anak yang tegas dan tidak mau mengalah. Sifat Prabowo juga kerap kurang sabar dan temperamental, cenderung cepat ingin memulai dan mengakhiri sesuatu, sehingga terkesan tergesa-gesa. Terdapat perbedaan konstruksi, dalam berita II terdapat konstruksi bahwa Prabowo adalah anak yang bandel dan sedikit nekat, sedangkan pada berita satu dia dikonstruksikan sebagi anak yang pendiam dan tidak jahil ·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa remaja Keluarga Prabowo berkecukupan dalam hal materi. Prabowo disekolahkan di sekolah-sekolah yang bermutu. Menamatkan SD di Hong Kong, SMP di Kuala Lumpur kemudian pindah ke Swiss, dan SMA di London. Kepemimpinannya
dikonstruksikan terlihat saat ia bersekolah di Swiss. Ia memiliki inisiatrif untuk membuat anggaran dasar senat pelajar di sekolahnya yang seharusnya dilakukan oleh siswa kelas 10, padahal dia le;as 9. Hal tersebut menunjukkan bahwa Prabowo memiliki karakter berani dan memiliki inisiatif dibanding teman-temannya yang lain. Prabowo berani berdebat dengan orang yang lebih senior. Prabowo memiliki watak ingin tahu dan lebih bisa memahami situasi yang dihadapinya saat itu. Ia dikonstruksikan sebagai remaja yang naif dan ambisius untuk menjadi pemimpin. Prabowo memiliki karakteristik suka berorganisasi dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat dengan membentuk Korps Lembaga Pembangunan. ·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Tidak diceritakan saat Prabowo bekerja dan membina keluarga.
Dari latar belakang tersebut, Prabowo dikonstruksikan sebagai pemimpinan yang selalu ingin tampil didepan, suka tantangan dan pertarungan, memiliki inisiatif, tegas, selalu ingin tahu, berani, perduli terhadap masyarakat, suka berorganisasi. Disisi lain Prabowo memiliki watak selalu memaksakan kehendak, temperaental, tergesa-gesa, ingin cepat lekas dalam memulai dan mengakhiri sesuatu, bandel, nakal, naif, dan ambisius.
C. ANALISIS BERITA CAPRES SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
C.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Lolos dari Persimpangan Jalan” C.1.a. Struktur Sintaksis Judul berita tersebut adalah “Lolos dari Persimpangan Jalan”. Kata “lolos” mengandung makna bahwa Susilo Bambang Yudhotono (SBY) telah mampu melalui “sesuatu”.
SBY telah “lolos” atau mampu melalui cobaan hidup ketika ia harus
menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya bercerai. Sedangkan kata “persimpangan jalan” diambil dari kutipan SBY yang ditonjolkan lagi oleh Tempo sebagai judul. Sesaat setelah perceraian orang tuanya ia merasa “kalut” (kata dalam paragraf 10) sehingga Tempo (seperti yang dikutip dari ucapan SBY) mengibaratkan kondisi SBY saat itu seperti berada di persimpangan Jalan. Konstruksi yang dibangun oleh Tempo dari judul tersebut adalah SBY mampu melalui cobaan hidupnya pasca perceraian orang tuanya. Lead terdiri dari dua kalimat yakni “Masa kecil Yudhoyono tak seterang karier politiknya. Dipecut perceraian orang tuanya”. Pada kalimat pertama Tempo mengonstruksinya kesuksesan karier politik SBY dengan kata “terang”. Namun Tempo mengkontraskan ke“terang”an karier politik itu dengan masa kecil SBY yang tidak terang. Kata “Dipecut perceraian orang tuanya” mengandung makna masa kecil SBY mengalami kondisi broken home (kata paragraf 3), namun justru hal itu memacu SBY (dikonotasikan dengan kata “dipecut”) untuk lebih sukses di kemudian hari. Dapat disimpulkan, konstruksi yang dibangun Tempo dari lead ini adalah masa kecil SBY yang notabene dari keluarga broken home memacunya untuk lebih sukses hingga mencapai karier politik yang cemerlang, puncaknya adalah menjabat sebagai presiden tahun 2004. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Suaranya bergetar, lalu sejenak ia menatap langit-langit. Susilo Bambang Yudhoyono mengisahkan memori pada prahara keluarga orang tuanya
dengan sesekali menekan dan mengelus meja. “Ketika itu saya merasa di persimpangan jalan,” ujarnya. (Paragraf 1 Berita I SBY) Pendahuluan berita diawali dengan deskripsi mengenai gesture SBY. Konstruksi yang dibangun oleh Tempo dari pendahuluan berita itu menyiratkan unsur ketidakceriaan, karena gesture SBY yang digambarkan oleh Tempo tidak menyiratkan sebuah gesturegesture yang ceria. Kata “prahara keluarga” mengacu pada perceraian orang tuanyalah yang membuat SBY menunjukkan gesture tidak ceria. Dalam paragraf selanjutnya dijelaskan bagaimana proses perceraian orang tua SBY. Latar informasi tersebut yang dibangun oleh Tempo dalam mengonstruksi kepemimpinan SBY. Terdapat dalam paragraf berikut: Yudhoyono juga merasa terpukul. Tapi ia cepat mengambil keputusan. “Di persimpangan itu, saya bersumpah harus keluar dari situasi broken home dan menjadi seseorang,” ujarnya. (Paragraf 3 Berita I SBY) Kata “merasa terpukul” berarti merasa bersalah, kecewa dan terbebani. SBY dikonstruksikan sebagai remaja yang cepat mengambil keputusan dari tekanan yang ia alami. Kata “di persimpangan jalan” telah dijelaskan di judul. Kutipan SBY memperkuat konstruksi bahwa SBY sebagai remaja tidak larut dalam kesedihan pasca orang tuanya bercerai. SBY sempat merasakan efek dari perceraian orang tuanya yang berpengaruh pada mentalnya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut: Saking dekatnya pertemanan, Yudhoyono pernah berkeluh kepada Rahmad ihwal perceraian orang tuanya. Menurut Rahmad, sahabatnya itu sempat kalut. Anak yang semula bersih dan rapi berubah menjadi agak kumal kurang terurus. (Paragraf 10 Berita I SBY) Yudhoyono juga menjadi kurang percaya diri. Rahmad memberikan contoh, suatu kali Yudhoyono ingin menantang klub voli desa sebelah. Tapi ia tak berani ngomong dan menyuruh Rahmad menyampaikan tantangan. “Susilo kurang percaya diri,” kata Rahmad. Di kampungnya, Yudhoyono dipanggil Susilo. (Paragraf 11 Berita I SBY) Kata “kalut” bermakna pikiran dan tindakannya kacau tidak keruan, karena tekanan dan kekhawatiran yang dialaminya. SBY sempat merasakan itu disebabkan oleh
perceraian orangtuanya. Efek dari percerian itu SBY juga dikonstruksikan mengalami krisis percaya diri ditunjukkan tidak berani bertindak tegas. Dalam paragraf lain disebutkan tentang karakteristik yang kurang percaya diri sebagai berikut: Setahun kemudian, ia diterima masuk Akademi Angkatan Bersenjata. “Tingkat satu saya minder,” katanya. Sebab, SMA Pacitan baru berdiri dan kurikulumnya masih kacau. Pelajaran pun tak tuntas. Dari lima buku kimia yang mestinya selesai dibahas, di sekolah Yudhoyono hanya diajarkan dua. (Paragraf 25 Berita I SBY) Dari kutipan SBY tersebut menandakan bawa SBY memiliki sifat yang kurang percaya diri dan malu bila memiliki kekurangan yang ada pada dirinya. Ia dikonstruksikan sebagai siswa yang cerdas saat menjalani studi di sekolah, sehingga ingin tampil sempurna saat menjalani pendidikan di Akmil, tetapi karena merasa kurang sempurna ia menjadi minder atau kurang percaya diri. Dalam mengonstruksikan kepemimpinan SBY saat kecil digambarkan dalam paragraf berikut: Karena tubuhnya tinggi tegap, guru selalu menunjuk Yudhoyono sebagai komandan upacara. Di kelas, dia bertugas memimpin pengucapan salam untuk guru saat masuk dan pulang sekolah. (Paragraf 20 Berita I SBY) SBY ketika duduk si bangku sekolah dasar sering memimpin kawan-kawannya yang lain, dari situ dia bisa belajar memimpin. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Berbagai kendala itu membuat Yudhoyono tumbuh tangguh. Alam miskin Pacitan, misalnya, menantangnya lebih maju. Menurutnya, sang ayah juga mendidiknya berdisiplin, keras, punya prinsip, dan lurus. Ia berujar, ”Cara mendidik itu mungkin yang jadi values dalam pikiran saya.” Dari penutup berita tersebut dapat disimpulkan bahwa walau orang tua SBY sudah bercerai dan ia memilih tinggal bersama ibu, tetapi SBY tidak membenci atau dendam kepada ayahnya. Ema Karim dalam tulisannya berjudul Pendekatan Perceraian dari Perspektif Spsiologi menyatakan, dampak lain dari perceraian yang terlihat oleh
Landis (1960) adalah meningkatnya “perasaan dekat” dengan ibu, serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu (Ihromi, 1999: 161). Tetapi itu tidak terjadi dari berita yang dibuat oleh Tempo. SBY dikonstruksikan masih menghormati sang ayah dengan mengingat jasa sang ayah. Sedangkan penekanan yang dilakuakn untuk mengonstruksi karakteristik SBY adalah pada kata berdisiplin, keras, punya prinsip, dan lurus. Kata “keras” bermakna tegas, lugas, kukuh dalam bersikap. Kata “punya prinsip” bermakna teguh pada pendirian yang benar sesuai dengan keyakinan. Kata “lurus” taat pada aturan agama maupun negara.
C.1.b. Struktur Skrip SBY menjadi tokoh sentral (who atau subjek) yang ditonjolkan dalam berita ini. Selain itu, ayah dan ibu SBY, Raden Soekoco dan Siti Habibah juga menjadi subjek dalam berita tersebut. Unsur what dalam berita ini adalah kemampuan SBY untuk “lolos” (menemukan jati diri) dari “persimpangan jalan” (pasca orang tuanya bercerai) demi mewujudkan sumpahnya “menjadi seseorang”. Penonjolan lokasi dan waktu yang berhubungan dengan SBY adalah ketika ia dilahirkan 9 September 1949 di sebuah rumah limas di belakang Pondok Tremas, Pacitan. SBY tinggal di Tremas hingga berusia sekitar tiga tahun. Setelah itu, ia mengikuti ayahnya pindah tugas ke Ploso. Ketika SBY enam tahun, ayahnya pindah tugas ke Koramil Kebonagung. Kantor ini persis berhadapan dengan Sekolah Rakyat Purwoasri— kini Sekolah Dasar Negeri 1 Purwoasri. Keluarga ini mondok di rumah Soekajin Hardjo Soekarto, kepala sekolah itu. Ia masuk kelas I di SD tersebut ketika berusia tujuh tahun pada 1956. Naik kelas V, SBY pindah ke Sekolah Rakyat Gajah Mada, kini Sekolah Dasar Negeri 1 Baleharjo, persis di seberang alun-alun Pacitan. SBY meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Pacitan, yang bersebelahan dengan Sekolah
Rakyat Gajah Mada. Ketika SMA ia bersekolah di SMA Pacitan, kemudian meneruskan di ITS Surabaya tetapi tidak dilanjutkan dan memilih mengukuti pendidikan keguruan di Magelang. Setahun kemudian ia diterima di Akademi Militer di Magelang. Unsur how yang ditekankan dalam berita tersebut adalah bagaimana SBY menghadapi perceraian keluarganya. Sedangkan unsur why menekankan pada sebab dan akibat pasca orang tuanya bercerai.
C.1.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, koherensi yang mengonstruksikan tentang karakteristik SBY adalah pada paragraf 3 “Yudhoyono juga merasa terpukul. Tapi ia cepat mengambil keputusan.” yakni terdapat koherensi pembeda anatara kalimat satu dengan kalimat berikutnya. Dari unit analisis detail, terdapat beberapa detail dalam mengonstruksikan SBY. Yang pertama adalah detail tentang keluarga SBY yang diceritakan mulai dari paragraf dua hingga tujuh. Inti konstruksi yang dibangun dari paragraf tersebut adalah bagaimana SBY menjalani masa kecil dengan berpindah-pindah mengikuti sang ayah berdinas sebagai tentara. Kemudian dijelaskan secara detail mengenai dirinya dan ibunya semenjak orang tuanya bercerai. Detail yag kedua adalah detail yang pendidikan SBY yang mengonstruksikan bahwa SBY adalah siswa yang cerdas. Hal tersebut terlihat dari dituliskannya detai nilai yang diperoleh SBY saat menjalani pendidikan di SD hingga SMA. Menurut Sri Banon, Yudhoyono berprestasi menonjol, terutama untuk pelajaran berhitung. (Paragraf 18 Berita I SBY) Ia lulus Sekolah Rakyat Gajah Mada pada 1 Agustus 1962 dengan nilai bahasa Indonesia delapan, berhitung sembilan, dan pengetahuan umum sembilan. (Paragraf 20 Berita I SBY) Yudhoyono meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Pacitan, yang bersebelahan dengan Sekolah Rakyat Gajah Mada. Di sini, ia lulus ujian nasional dengan nilai sempurna 10 untuk pelajaran kewarganegaraan dan
ilmu bumi. Dalam mata pelajaran lain, nilainya delapan dan sembilan. Ia jeblok di ilmu ukur, dengan nilai lima. (Paragraf 21 Berita I SBY) Selain itu diceritakan secara detail bagaimana SBY menjalani pendidikan di SMA hingga memutuskan untuk memasuki akademi militer. Dari unit analisis kata ganti dalam berita ini hanya menggunkan dua kata ganti untuk SBY. Pertama, yakni “anak tunggal dari ayah-ibu yang berpisah” (Paragraf 3 Berita I SBY) untuk menonjolkan bahwa SBY adalah anak tunggal dan orang taunya bercerai. Kedua, ”Anak yang semula bersih dan rapi berubah menjadi agak kumal kurang terurus” (Paragraf 10 Berita I SBY), kata ganti ini juga menonjolkan efek dari perceraian orang tua SBY.
C.1.d. Struktur Retoris Drai unit analisis leksikon, kata kata yang mengonstruksikan tentang tekanan yang dialami SBY adalah sebagai berikut: Di masa-masa inilah orang tuanya berpisah. Kehidupannya berubah drastis. Ibunya harus menghidupi Yudhoyono dengan berjualan. (Paragraf 22 Berita I SBY) “Ketika itu saya merasa di persimpangan jalan,” (Paragraf 1 Berita I SBY) “Di persimpangan itu, saya bersumpah harus keluar dari situasi broken home dan menjadi seseorang,” ujarnya. (Paragraf 3 Berita I SBY) Berbagai kendala itu membuat Yudhoyono tumbuh tangguh. (Paragraf 26 Berita I SBY) Kata-kata dari ketiga potongan paragraf tersebut yang menjadi penonjolan dalam berita ini. Kata “Kahidupannya berubah drastis”, “merasa di persimpangan” adalah kata-kata yang mengonstruksikan tekanan yang dialami oleh SBY. Sedangkan kata “bersumpah harus keluar dari situasi broken home dan menjadi seseorang” dan “Berbagai kendala itu membuat Yudhoyono tumbuh tangguh” adalah kata-kata yang mengonstruksikan SBY bisa keluar dari situasi tertekan yang dialaminya.
Terdapat satu ilustrasi dan dua buah foto. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah SBY seperti bernyanyi sersama beberapa orang yang memainkan alat (seperti pengamen). Di sekelilingnya ada beberapa pengawal berseragam hitam berkacamata hitam. Ilustrasi tersebut menggambarkan SBY sebagai orang penting yang ingin bergaul dengan mayarakat kecil (pengamen), namun harus dengan pengawalan ketat. Foto pertama yakni foto SBY berpose bersama teman-temannya diatas motor dengan caption “Masa Remaja. Susilo Bambang Yudhoyono bermotor mengelilingi Pacitan bersama teman-temannya.” Foto yang kedua yakni ayah SBY dengan busana jas duduk diapit dua anak SBY yang masih kecil dengan mengenakan busana jawa. Foto tersebut dengan caption “Ayahanda SBY. Raden Soekotjo bersama Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono.” Walau ayah SBY sudah bercerai dengan ibunya, namun Tempo membangun konstruksi bahwa anak-anak SBY masih dekat dengan kakeknya. Dari unit analisis gaya bahasa, terdapat satu bagian yang menggunakan bahasa Jawa untuk mendiskripsikan SBY ketika masih bayi mripate blalak-blalak tur lincah (matanya berbinar dan lincah). Hal ini untuk menandakan bahwa sejak bayi SBY sudah lincah
C.1.e. Konstruksi Kepemimpinan SBY di Berita I Dalam berita ini, framing yang dilakukan oleh Tempo adalah masa kecil dan masa remaja SBY dan penonjolan dilakuakn pada perceraian keua orang tuanya. SBY dikonstruksikan oleh Tempo sebagai anak dari keluarga yang tepandang. Prestasi akademik di SD dan SMP bisa dikatakan menonjol dengan perolehan nilai ujian akhir nasional yang bagus. Ia berperawakan lebih tinggi dan tegap dibanding anak-anak seusianya, sehingga sering diminta oleh guru menjadi pmimpin. Disinilah jiwa
kepemimpinan SBY mulai terbentuk. Namun saat ia duduk di SMA kelas 1, orang tuanya bercerai. SBY dikonstruksikan dalam kondisi kalut dan kepercayaan dirinya menurun. Namun SBY berhasil memenuhi sumpahnya ”untuk menjadi seseorang” terbukti dari kesuksesan karier politiknya sekarang. Hal itu berkat didikan sang ayah yang berdisiplin, keras, punya prinsip, dan lurus. Walau sudah bercerai dengan ibunya, SBY dikonstruksikan tidak menyimpan dendam kepada ayahnya.
C.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Bukan Sekadar Pendamping” C.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Bukan Sekadar Pendamping”. Kata “pendamping” merujuk pada Istri SBY, Kristiani Herrawati atau yang kerap disapa Ani. Kata ”bukan sekadar” bermakna lebih dari yang umum atau yang biasanya. Konstruksi yang dibangun oleh Tempo dari judul tersebut adalah menggambarkan Ani tidak hanya menjadi seorang istri, tetapi bisa lebih dari seorang istri kebanyakan, Ani memiliki pengaruh terhadap SBY. Lead terdiri dari dua kalimat yakni ”Yudhoyono membantah istrinya memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Takzim kepada ibu mertua.” Konstruksi yang dibangun oleh Tempo paka kalimat pertama adalah adalah Tempo berusaha menggiring pembaca untuk melihat Ani sebagai seorang istri yang berperan bagi SBY. Namun SBY yang tak ingin istrinya dianggap memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan politiknya. Karena awalnya Tempo ingin mengonstruksikan Ani memberikan pengaruh kepada SBY, maka bantahan dari SBY dijadikan salah satu poin penting dalam berita ini. Kalimat kedua “Takzim kepada ibu mertua.” Kalimat ini mengonstruksikan SBY sebagai menantu yang menghormati mertuanya. Hal tersebut disebabkan karena pada saat SBY masih menjadi taruna, ayah mertuanya adalah petinggi TNI, dimana membawahi ayahnya SBY sendiri, sehingga SBY sangat segan kepada mertuanya. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan deskripsi suasana hati SBY ketika mendapatkan tawaran dari Presiden Abdurrahman Wahid untuk masuk ke jajaran kabinetnya. Pendahuluan bermuara pada konstruksi tentang kedekatan SBY dengan Ani dalam paragraf berikut: Dalam perjalanan pulang dari kantor Yayasan Dharma Pertiwi di kawasan Menteng, Jakarta, Yudhoyono pun menelepon istrinya, Kristiani
Herrawati. Ia meminta sang istri, yang sedang ke luar rumah, pulang untuk mendiskusikan tawaran itu. “Bantu saya berdoa, saya akan dimasukkan dalam kabinet,” ucapnya. (Paragraf 3 Beritan II SBY) Potongan kisah pada Oktober sepuluh tahun silam itu cukup untuk menggambarkan hubungan Yudhoyono dengan sang istri. (Paragraf 4 Beritan II SBY) Beberapa peran Ani terhadap karier suamninya dapat dikonstruksikan dalam paragraf berikut ini: Lebih dari sekadar istri, Yudhoyono menjadikan Ani sebagai teman diskusi. Salah satu contoh mutakhir adalah ketika ia mengumumkan kriteria calon wakil presiden pilihannya. “Saya mendapat masukan, termasuk yang disampaikan oleh Ibu Negara,” kata Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu beberapa pekan setelah pemilihan umum legislatif, April lalu. (Paragraf 4 Berita II SBY) … Bahauddin Thonti, mengatakan, jauh sebelum SBY mencari figur lain untuk calon wakil presidennya, Ani sudah lebih dulu enggan jika suaminya tetap bersama Kalla. (Paragraf 5 Berita II SBY) Kata “lebih dari sekadar istri” mengonstruksikan bahwa Ani memiliki peran yang lebih daripada istri-istri kebanyakan kepada suaminya. Kata “sebagai teman diskusi” mengonstruksikan bahwa Ani sering dimintai pendapatnya oleh SBY. Kutipan SBY dalam kalimat terakhir paragraf empat menggambarkan lebih jelas pendapat apa yang disampaikan oleh Ani. Parafrase Bahauddin Thonti (salah satu pendiri Demokrat, kawan SBY) memperkuat konstruksi tentang betapa kuatnya pengaruh Ani terhadap keputusan SBY. Peran-peran Ani yang lain diambil dari beberapa kutipan narasumber pada paragraf berikut: Ani tipikal istri yang terlibat kegiatan suami. “Karena cerdas, dia aktif membantu suami dalam segala hal,” kata aktivis yang enggan disebut namanya itu. (Paragraf 6 Berita II SBY) “Dari dulu SBY memang selalu melibatkan istrinya dalam kegiatan apa pun,” tulis Usamah Hisyam dalam SBY Sang Demokrat. Keterlibatan sang istri itu termasuk dalam hal sederhana semisal menuliskan bahan presentasi di atas plastik transparan—ketika belum ada komputer atau InFocus untuk presentasi. ”Karena SBY merasa tulisannya kurang baik, Ani sering menuliskannya kembali,” Usamah menulis. (Paragraf 9 Berita II SBY) Kalimat “Ani tipikal istri yang terlibat kegiatan suami”, ”dia aktif membantu suami dalam segala hal”, “SBY memang selalu melibatkan istrinya dalam kegiatan apa
pun”, mengonstruksikan bagaimana Ani turut andil dalam kegiatan suaminya. Kutipan aktivis pada paragraf enam mengonstruksikan bahwa Ani adalah istri yang cerdas. Kutipan-kutipan diatas adalah dari narasumber yang setuju dengan konstruksi yang ingin dibangun oleh Tempo tentang pengaruh Ani terhadap SBY. Tetapi ada pula kutipan narasumber yang tidak ikut mendukung konstruksi tersebut yakni terdapat dalam beberapa paragraf berikut: Heru Lelono, mengatakan … untuk urusan kenegaraan dan kampanye, ia hakulyakin SBY tak disetir istrinya. “Saya dengar Pak SBY berkata kepada Ibu (Ani) supaya tak mencampuri urusan kenegaraan,” katanya. … (Paragraf 10 Berita II SBY) Di mata Yahya Ombara, Ani adalah istri yang sangat lekat dengan suami. … Apakah kelekatan itu mempengaruhi Yudhoyono dalam pengambilan keputusan? Yahya menolak berkomentar. “Silakan tafsirkan sendiri,” ujarnya. (Paragraf 11 Berita II SBY) Yahya mengatakan … ia mendapat kesan Ani adalah ibu rumah tangga yang tak mau ikut campur urusan suami. … (Paragraf 12 Berita II SBY) Ketika berkunjung ke Tempo pekan lalu, Yudhoyono membantah istrinya memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. “Saya pastikan tak ada proses pengambilan keputusan karena sesuatu yang tidak sistemik. Saya tak pernah punya keputusan bangun tidur,” katanya. (Paragraf 13 Berita II SBY) Dari kutipan narasumber tersebut (Heru Lelono, Yahya Ombara, dan SBY sendiri) meruntuhkan konstruksi yang dibangun oleh Tempo tentang pengaruh Ani terhadap pengambilan keputusan SBY.
Jika diamati lebih jauh kutipan SBY pada
paragraf 13 tidak sesuai dengan konsteks yang ditanyakan. Namun tidak ada penjelasan dari Tempo. Selain Ani, yang juga disinggung adalah ibu Ani yang tak lain adalah mertua SBY, hal tersebut terdapat dalam paragraf berikut: Bukan cuma Ani yang lekat di hati Yudhoyono. Ibu mertuanya, Sunarti Sri Hadiyah, yang disapa Ibu Ageng, 82 tahun, juga amat dekat dengan SBY. Heru bercerita, bila sedang di luar kota, Yudhoyono kerap menelepon menanyakan kondisi Ibu Ageng, yang juga tinggal di Cikeas. Buku SBY Sang Demokrat menyebutkan Yudhoyono lebih dulu mengenal istri Sarwo Edhie itu sebelum mengenal Ani. Maklum, Sunarti selalu ada di rumah dinas Gubernur Akabri tiap kali SBY menghadiri acara. “Tanpa setahu saya, ibu saya lebih dulu kenal dia. Ibu jatuh sayang kepada dia,” kata Ani
dalam buku itu. Bahauddin Thonti pernah melihat betapa SBY sangat menghormati Sunarti. “Saya lihat Pak SBY sedang makan, ketika dipanggil, langsung meletakkan piring dan menghampiri Bu Ageng,” katanya. Konstruksi yang dibangun dari penutup berita ini adalah SBY adalah menantu yang menghormati mertua. Hal tersebut terlihat pada kutipan Ani dan Baharudin tentang SBY yang menunjukkan rasa sayangnya ibu mertua ke SBY ataupun sebaliknya. Tempo justru tidak mengangkat cerita tentang ibu SBY yang merupakan single parent saat SBY masih SMA. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pengaruh yang yang diberikan oleh keluarga Ani. Hal tersebut terdapat dalam paragraf berikut: Ani Yudhoyono memang bukan berasal dari keluarga biasa. Ia putri mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin pembasmian pengikut Partai Komunis Indonesia, pascaperistiwa 30 September 1965. … (Paragraf 6 Berita II SBY) … Mereka pun menjalin hubungan, sehingga sempat membuat khawatir ayah SBY, Pembantu Letnan Satu Soekotjo, yang “cuma” Komandan Rayon Militer Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. (Paragraf 7 Berita II SBY) Kerisauan Soekotjo dimuat dalam SBY Sang Demokrat. “Apa tidak njomplang statusmu dengan anak gubernur yang pangkatnya mayor jenderal?” tanya Soekotjo. (Paragraf 8 Berita II SBY) Kata “bukan berasal dari keluarga biasa” mengonstruksikan bahwa Ibu Ani dan Ani dari keluarga keluarga militer berpangkat tinggi, yang tak lain adalah atasan SBY saat itu. Ayah SBY sempat merasa minder dengan hubungan mereka. Hal tersebut dikonstruksikan dengan kata “cuma” terhadap jabatannya sebagai bawahan, dan kutipan “Apa tidak njomplang statusmu dengan anak gubernur yang pangkatnya mayor jenderal”. Latar belakang status keluarga SBY yang “lebih rendah” dari keluarga Ani yang membuat SBY sangat spoan dan menghormati istri dan ibu mertuanya.
C.2.b. Struktur Skrip Selain bukan berasal dari keluarga biasa SBY, Istri SBY Ani Yudhoyono menjadi tokoh sentral (who atau subjek) yang ditonjolkan dalam berita ini. Konstruksi yang dibangun oleh Tempo (sebagai unsur what) adalah, walaupun dibantah oleh SBY
namun sedikit banyak Ani merupakan istri yang berpengaruh bagi SBY. Selain itu, mertua SBY Sunarti Sri Hadiyah, yang disapa Ibu Ageng juga menjadi subjek dalam berita tersebut. Penonjolan yang dilakukan oleh Tempo pada Ibu Ageng adalah rasa hormat SBY pada mertua. Penonjolan waktu dan tempat yang berhubungan dengan SBY dan Ani adalah saat keduanya berkenalan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Magelang, Jawa Tengah, pada 1973 dan kemudidan menjalin hubungan. Akhirnya mereka menikah pada pada 30 Juli 1976 di Jakarta. Pada Oktober 1999 dimana SBY diminta oleh Gus Dur menduduki jabatan di kabinet. SBY mendiskusikan hal tersebut dengan Ani. Hal ini menunjukkan Ani juga dilibatkan dalam pemikiran SBY. Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana Ani berperan bagi SBY. Sedangkan unsur why-nya adalah alasan SBY menolah anggapan bahwa Ani berperan dalam pengambilan keputusan politiknya.
C.2.c. Struktur Tematik Dari unit koherensi, terdapat koherensi pembeda yang mengonstruksikan karakter SBY yakni pada paragraf 1 “Ia terkejut, senang karena mendapat kehormatan, sekaligus bimbang.” Dari unit analisis detail, terdapat bebrapa detail yang mengonstruksikan peran Ani terhadap SBY. Dalam berita ini di contohkan tentang pengambilan keputusan saat menentukan kandidiat calon presiden, serta contoh bantuan-bantuan kecil yang diberikan oleh Ani. Pada paragraf satu menggunakan kata “Kepala Staf Teritorial TNI untuk mengganti SBY” untuk menonjolkan jabatan SBY saat itu. Pada paragraf empat terdapat kutipan ““Saya mendapat masukan, termasuk yang disampaikan oleh Ibu Negara,” kata Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu beberapa pekan setelah pemilihan umum
legislatif, April lalu.”. Dalam kalimat terdapat kata “Ibu Negara” untuk menggantikan Ani, hal itu dimaksudkan untuk menonjolkan peran Ani sebagai Ibu Negara. Juga terdapat kata ganti untuk SBY yakni Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk menonjolkan partai yang dipimpin oleh SBY.
C.2.d. Struktur Retoris Unit analisis leksikon penggunaan kata-kata yang paling menonjol adalah kata “Lebih dari sekadar istri, Yudhoyono menjadikan Ani sebagai teman diskusi”, ”Ani adalah istri yang sangat lekat dengan suami”, ”Perubahan peran Ani, terasa ketika SBY mulai diusung menjadi calon wakil presiden pada 2001,” penggalan kata-kata di beberapa paragraf tersebut yangpaling ditonjolkan dalam mengonstruksikan pengaruh istrinya terhadap SBY. Selain itu kata “Bukan cuma Ani yang lekat di hati Yudhoyono. Ibu mertuanya, Sunarti Sri Hadiyah, ... juga amat dekat dengan SBY.” yang memperkuat konstruksi dalam lead yang menyebutkan SBY takzim kepada ibu mertua. Dari unit grafis dalam berita ini terdapat dalam 3 foto. Pertama, foto dengan caption “Ani Yudhoyono. Berorasi pada acara peringatan Seabad Kebangkitan Nasional di Lapangan Monas, Jakarta.” Foto tersebut ingin membangun konstruksi Ani sebagai ibu negara yang aktif dan menonjolkan bahwa ia “bukan sekadar pendamping”. Kedua, foto dengan caption “Kecupan saat SBY meraih gelar doktoral di Institut pertanian Bogor, 2004”. Foto ini mengonstruksikan rasa sayang dan kedekatan antara Ani dan SBY. Ketiga, foto “Sunarti Sri Hidayah. Mertua SBY”. Foto ini digunakan untuk pendukung berita.
C.2.e. Konstruksi Kepemimpinan SBY di Berita II
Dalam berita ini Tempo ingin menampilkan framing bahwa SBY adalah tipikal suami yang dipengaruhi istri dan ibu mertua dalam mengambil kebijakan. Hal itu disebabkan karena SBY dikonstruksikan memiliki watak yang minder. Keminderan tersebut di sebabkan karena status istri dan ibu mertuanya bukan dari “golongan biasa”. Ketika SBY melamar Ani, kegusaran dirasakan oleh sang ayah karena ia adalah bawahan dari ayah Ani.
C.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Dari Bandung ke Yogyakarta” C.3.a.
Struktur Sintaksis Judul berita tersebut adalah “Dari Bandung ke Yogyakarta”. Hal yang ingin
ditonjolkan dari berita ini adalah saat SBY tinggal di Bandung kemudian sempat menetap beberapa waktu di Yogyakarta, dua kota itulah yang dianggap penting oleh Tempo bagi karier SBY. Lead terdiri dari dua kalimat yakni “Yudhoyono menatahkan karier militernya dari Bandung. Sempat “hinggap” di Yogyakarta, bergaul dengan kalangan sipil kritis”. Konstruksi yang ingin dibangun dari lead ini adalah di Bandung SBY memulai karier kemiliterannya. Kata “hinggap” bermakna ia sempat berpindah tugas ke Yogyakarta. Kata “bergaul” bermakna sering melakukan kunjungan dan diskusi saat di Yogyakarta. Sedangkan kata “kalangan sipil kritis” adalah tokoh-tokoh masyarakat sipil yang berpikiran kritis terhadap keadaan yang sedang dihadapi. Kata “sipil” ditonjolkan karena mereka berbeda dengan SBY yang berasal dari kalangan militer. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut : Rumah bercat hijau di Jalan Yos Sudarso, Yogyakarta, itu tampak kesepian. Terisolasi, jauh dari rumah-rumah penduduk, bangunan rumah dinas Komandan Resor Militer Pamungkas itu hanya berteman sebuah pohon mangga. Ya, di rumah berhalaman luas yang dikelilingi gedung-gedung perkantoran,
kampus, sekolah, dan stadion olahraga itulah Susilo Bambang Yudhoyono sempat tinggal pada 1995. Rumahnya terasing, tapi penghuninya cukup gaul. “Dia menjalin hubungan dengan semua kalangan,” kata Yahya Ombara, yang kala itu Pemimpin Umum Harian Yogya Post. Pendahuluan berita ini diawali dengan deskripsi tentang tempat tinggal SBY sewaktu di Yogyakarta. Pendahuluan ini tidak langsung menuju poin penting yang ingin ditonjolkan dalam berita. Di parargaf selanjutnya baru ada penekanan “Rumahnya terasing, tapi penghuninya cukup gaul. “Dia menjalin hubungan dengan semua kalangan,” Konstruksi yang ingin di bangun Tempo adalah, walau SBY bertempat tinggal jauh dari kebanyakan pemukiman penduduk, namun SBY tetap bersosialisasi dengan semua kalangan dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita adalah tentang karier militer SBY dimana ia menapaki jenjang kariernya dengan pesat. Seorang aktivis mahasiswa dalam paragraf tiga mengatakan “Dia tentara pertama yang masuk dari kampus ke kampus”. Kutipan tersebut mengonstruksikan SBY sebagai kalangan militer pertama yang akrab dengan mahasiswa dan aktivis kampus. Hal tersebut diperkuat melalui paragraf berikut ini: Selain sering membagi-bagikan buku kepada mahasiswa saat diskusi, Yudhoyono sesekali mentraktir mahasiswa. Mereka diajak ke Gramedia, Yogyakarta, disuruh memilih buku. Dia yang bayar. Bahkan pernah suatu kali mahasiswa bertemu dengannya di Gramedia. Mereka memberikan salam ke Yudhoyono. Di depan kasir, mahasiswa menyodorkan buku, “Nanti yang membayar bapak yang itu,” sambil menunjuk Yudhoyono, yang manggutmanggut saja. (Paragraf 5 Berita III SBY) Dari paragraf tersebut terlihat bahwa SBY dikonstruksikan sebagai seorang yang dermawan dan akrab dengan mahasiswa. Kutipan lain datang dari Riswandha Imawan, yakni: Melihat sisi yang “berbeda” pada seorang Yudhoyono itu, Riswandha Imawan (almarhum) dari Universitas Gadjah Mada sering mengatakan
Yudhoyono calon pemimpin mendatang. “Dia intelektual berbaju militer, bukan militer umumnya,” katanya. (Paragraf 7 Berita III SBY) Kata “calon pemimpin mendatang” merupakan kalimat yang mengonstruksikan bahwa SBY diprediksikan sebagai calon pemimpin. Kata “intelektual berbaju militer” berarti mengonstruksikan SBY sebagai orang di kalangan militer yang cerdas dan kritis dalam menanggapi kondisi lingkungan, tidak seperti kalangan militer pada umumnya yang hanya berkutat di militer. Feisal Tanjung dalam paragraf 10 mengatakan ”Dia itu benar-benar seorang prajurit yang komplet”. Kata ”prajurit yang komplet” berarti prajurit yang memiliki banyak kemampuan, tidak hanya pandai di dunia militer tetapi juga pandai di hal yang lain. Kecerdasan SBY tersebut diperkuat dalam paragraf berikut: Yudhoyono ditugasi sebagai Komandan Peleton 3 Kompi Senapan A, berkedudukan di Dayeuhkolot. Kompi ini berisi perwira yang dinilai memiliki intelektualitas tinggi. “Letda Yudhoyono selalu terpilih sebagai perencana dalam kompi kami karena perencanaannya terkenal bagus,” kata Arief Budi Sampurna, teman satu angkatannya yang masuk kompi itu. (Paragraf 13, Berita II SBY) Kalimat “Kompi ini berisi perwira yang dinilai memiliki intelektualitas tinggi” mengandung latar informasi yang mengkostruksikan bahwa SBY adalah perwira yang cerdas. Kutipan Arief Budi Sampurna mengonstruksikan SBY memiliki perencanaan strategi yang baik. Kutipan Agus Widjojo diambil oleh Tempo dan diletakkan dalam paragraf 14 sebagai berikut “Dia selalu mencari dan membagi pengetahuan baru.” Dari kutipan Agus mengonstruksikan bahwa SBY sebagai seorang yang suka mencari pengetahuan baru dan tidak pelit untuk membaginya kepada rekannya. Dalam paragraf 16 Kutipan Agus Widjojo ditulis ”Bagaimana saya menghukum kalau tidak ada kesalahan?” Hal tersebut mengkonstuksikan SBY tidak mendapat hukuman karena tidak melakukan kesalahan. Sesudah itu, dia menjadi Komandan Yonif 744, batalion pemukul Kodam Udayana di Timor Timur. Ada kejadian beberapa bintara enggan mengikuti instruksi seorang perwira seusai latihan. Soal itu, dalam SBY Sang
Demokrat yang ditulis Usamah Hisyam, Komandan Korem Wiradharma Kolonel Infanteri Muhammad Yunus Yosfiah, yang menjadi atasannya, tidak menyalahkan Yudhoyono, hanya menilai Yudhoyono terlalu “baik” kepada bintara. Dua setengah tahun Yudhoyono memimpin batalion ini. (Paragraf 19 Berita III SBY) Pada kalimat ke tiga terjadi kerancuan bentuk kalimat karena kalimat yang terlalu panjang sehigga tidak sesuai dengan prinsip kausalitas subjek dan predikat. Kata “terlalu baik” bisa mengandung makna memang dia baik hati kepada anak buah, tetapi bisa juga bermakna SBY terlalu memanjakan anak buah dan kurang tegas. Sedangkan SBY sendiri mengonstruksikan kepemimpinannya yang di kutip dalam paragraf berukut: Memimpin brigade itu, dia menggiatkan latihan dan turut berlatih juga. “Bayangkan kalau prajurit disuruh perang tapi pemimpinnya tidak ikut perang,” kata Yudhoyono dalam SBY Sang Demokrat. (Paragraf 22 Berita III SBY) Penggalan paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa SBY bersedia untuk berlatih bersama bawahannya. Dari kutipan SBY tersirat makna bahwa seorang pemimpin prajurit juga harus mau berperang bersama prajuritnya. Berita ini diakhiri dengan paragraf penutup berikut ini berikut: ”Sukses menjadi komandan brigade, Kolonel Yudhoyono mulai belajar menangani masalah teritorial ketika menjadi Asisten Operasi Kodam Jaya. Setahun bertugas di Ibu Kota, dia terpilih sebagai Komandan Resor Militer 072/Pamungkas yang membawahkan sepuluh kodim di Daerah Istimewa Yogyakarta dan eks Karesidenan Kedu dalam teritori Kodam IV/Diponegoro.” (Paragraf 23, Berita III SBY) Kata “Sukses menjadi komandan brigade” mengonstruksikan SBY sukses dalam memimpin pasukan yang dipimpinnya. Penutup berita tersebut mengonstruksikan karier SBY yang cepat melesat dan kepemimpinannya yang terasah karena selalu ditunjuk sebagai komandan.
C.3.b. Struktur Skrip
Unsur who dalam berita ini hanya SBY. Sedangkan unsur what dalam berita ini adalah karier militer SBY dan apa yang dilakukan SBY dalam mendukung karier militernya. Unsur where dan when dalam berita ini adalah dimulai dari lulus Akabri tahun 1973 SBY mengikuti Kursus Dasar Kecabangan Infanteri ke Bandung. Pada 1975 mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Amerika. Lima hari setelah menikah, SBY ke Timor Timur, turut dalam Operasi Seroja selama 13 bulan. Pada 1977, ia mendapat promosi sebagai komandan kompi. Total 11 tahun Yudhoyono melewati periode jenjang karier sebagai perwira pertama. Sesudah itu, dia menjadi Komandan Yonif 744, batalion pemukul Kodam Udayana di Timor Timur. Pada 1990-1991, dia menempuh pendidikan setingkat Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Command and General Staff College, di Amerika Serikat. Setahun bertugas di Ibu Kota, dia terpilih sebagai Komandan Resor Militer 072/Pamungkas yang membawahkan sepuluh kodim di Daerah Istimewa Yogyakarta dan eks Karesidenan Kedu dalam teritori Kodam IV/Diponegoro. Saat di Yogyakarta ia tinggal di Jalan Yos Sudarso, Yogyakarta, pada 1995. Dari Yogyakarta, Yudhoyono bertugas sebagai Kepala Pengamat Militer Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pulang dari sana, dia menjadi Kepala Staf Kodam Jaya, pada 1996. Karier militernya berhenti pada 1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengangkatnya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana SBY melewati jenjang karier di kemiliteran. Sedangakn unsur why-nya adalah alasan mengapa jenjang karier SBY terus meningkat.
C.3.c. Struktur Tematik
Dari unit analisis Koherensi antarkata dan antarkalimat, yang mengonstruksikan kepemimpinan SBY terdapat dalam paragraf dua yakni “Dari sanalah Yudhoyono melakukan konsolidasi internal, sekaligus meluaskan jangkauan komunikasi: dari kampus hingga pesantren.” Kalimat tersebut mengonstruksikan hal-hal yang dilakukan oleh SBY. Kata “konsolidasi internal” berarti membuat solid dan akrab antara dirinya dengan kalangan tertentu. Kata “meluaskan jangkauan komunikasi” berarti SBY berusaha untuk menjalinhubungan dengan siapapun untuk memperluas “link” yang ia miliki, sehingga berguna dikemudian hari. Kata “dari kampus huingga pesantren” memeperkuat konstruksi bahwa ia ramah terhadap dua lingkungan tersebut, karena tidak semua dari kalangan militer bisa akrab dengan lingkungan tersebut. Dari unit detail lebih banyak menyoroti detail tentang prestasi dan jabatan yang ternah disandang oleh SBY serta hal-hal yang dilakukan oleh SBY. Dari unit analisis kata ganti, hanya ada satu kata ganti untuk SBY pada paragraf 15 yakni ”lelaki kelahiran Tremas, Pacitan, Jawa Timur” untuk mengonstruksikan darimana SBY berasal.
C.3.d. Struktur Retoris Unit analisis Leksikon yang ditonjolkan dalam mengkonstrukikan kepemimpinan SBY sebagai seorang yang mudah bergaul terdapat dalam beberapa paragraf anatar lain “bergaul dengan kalangan sipil kritis” (lead), “penghuninya cukup gaul” (Paragraf 1), “Dia menjalin hubungan dengan semua kalangan” (paragraf 2), “meluaskan jangkauan komunikasi: dari kampus hingga pesantren” (paragraf 2), “Yudhoyono memang akrab dengan intelektual Universitas Gadjah Mada” (paragraf 3), “Beberapa aktivis masih kerja dengannya” (paragraf 4), “melakukan kunjungan ke pesantren dan ke Kraton Yogyakarta” (paragraf 6).
Kata “intelektual” banyak digunakan dalam paragraf ini guna mengonstruksikan karakter SBY, sehingga SBY dikonstruksikan sebagai seorang yang cerdas. Watak lain SBY juga ditampilkan dalam paragraf berikut: Menghadapi mahasiswa yang bergejolak, Yudhoyono memilih strategi persuasif. Pernah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga dia ikut mendengarkan orasi unjuk rasa, kemudian mengajak mahasiswa salat berjemaah, lalu disambung dengan dialog. (Paragraf 4 Berita III SBY) Kata “Yudhoyono memilih strategi persuasif” mengandung makna SBY menggunakan jalur kompromi untuk menyelesaikan masalah. Konstruksi tersebut diperkuat
dengan
contoh
di
kalimat
selanjutnya.
Penggalan
kalimat
terebut
mengonstruksikan bahwa SBY memiliki watak kompromis dalam menyelesaikan masalah. Dari unit analisis grafis, terdapat dua buah foto dan satu insert tulisan. Foto pertama dengan caption “Susilo Bambang Yudhayana. Saat menjadi komandan linud XIV Kostrad.” Foto tersebut memperkuat konstruksi berita saat SBY meniti karier sebagai pemimpin di militer. Foto kedua dengan caption “SBY menikah dengan Kristiani Herrawati, 1976.” Insert tulisan berasal dari kutipan Arif Budi Sampurna yakni “Letda Yudhoyono selalu terpilih sebagai perencana dalam kompi kami karena perencanaannya terkenal bagus.” Hal ini memperkuat konstruksi kepemimpinan SBY bahwa ia memiliki kemampuan perencanaan yang baik. Unit analisis pengandaian terdapat dalam paragraf 10 yakni “Terlepas dari penyesalan tersebut, yang terang sejak itu Yudhoyono seakan digiring ke panggung yang lebih besar.” Kata “panggung yang lebih besar” mengandung makna tempat berperan yang lebih besar dari sebelumnya, yakni di kancah politik bahkan menjadikan peran SBY sebagai orang nomer satu di Indonesia. Maksud penekanan dari pengandaian tersebut adalah walau SBY menyesal terhadap keputusannya berhenti dari kemiliteran, namun justru semenjak itu SBY bisa berperan lebih besar.
C.3.e. Konstruksi Kepemimpinan SBY di Berita III SBY dikonstruksikan sebagai seorang yang ramah dan mudah bergaul. Walaupun dia dari kalanga militer tetapi bisa akrab dengan orang dilingkingan kampus dan pesantren. Ia dikonstruksikan sebagai seorang yang cerdas, suka mencari dan membagi ilmu. Ia memiliki banyak kemapuan salah satunya adalah strategi dan perencanan yang baik. SBY dikonstruksikan sebagai seorang yang kompromistis dalam menghadapi permasalahan. Ia juga dikonstruksikan terlalu baik sehingga kurang tegas. SBY sebagai atasan mau berlatih bersama bawahan.
C.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan SBY Dari tiga berita tentang SBY, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi katakteristik kepemimpinan SBY adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Ayah SBY, Raden Soekotjo, adalah seorang tentara keturunan priyayi. Ibu SBY adalah ibu rumah tangga biasa. SBY merupakan anak tunggal. Karena ia keturunan priyayi, SBY tidak dituntut bekerja seperti anak-anak sebayanya di kapung. Saat SBY duduk di kelas 1 SMA, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian tersebut membuat SBY sempat kalut dan kurang percaya diri. SBY dikonstruksikan akhirnya bisa mengatasi situasi tersebut. SBY tinggal bersama sang ibu. Walau telah bercerai hubungan SBY dan ayahnya dikonstruksikan baik-baik saja. Saat belum bercerai kondisi ekonomi keluarga SBY berkecukupan. Setelah bercerai sang Ibu menghidupi SBY dengan berjualan di toko kelontong. SBY dikonstuksikan suka bergaul dengan
kawan dan suka berorganisasi. Ayah SBY mendidik SBY untuk menjadi seorang yang memiliki watak berdisiplin, keras, dan bunya prinsip. ·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa Remaja SBY menjalani pendidikan di Sekolah Rakyat Purwoasri—kini Sekolah Dasar Negeri 1 Purwoasri. Naik kelas V, Yudhoyono pindah ke Sekolah Rakyat Gajah Mada, kini Sekolah Dasar Negeri 1 Baleharjo. Yudhoyono meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Pacitan kemudia SMA Pacitan. Tubuhnya tinggi, tegap, lebih jangkung dari kawan sebayanya, sehingga ia sering ditunjuk sebagai komandan upacara dan memimpin pengucapan salam untuk guru saat masuk dan pulang sekolah. Saat menjalani pendidikan ia dikonstruksikan sebagai siswa yang cerdas dengan menunjukkan detail-detail nilai bagus yang diperoleh SBY. Saat SMA orang tuanya bercerai, tetapi tidak dikonstruksikan berimbas pada pendidikannya. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Akademi Militer, tetapi tidak dijelaskan alasannya. Saat awal-awal memasuki Akmil SBY dikonstruksikan memiliki sifat kurang percaya diri dan malu bila memiliki kekurangan yang ada pada dirinya. Ia dikonstruksikan sebagai siswa yang cerdas saat menjalani studi di sekolah, sehingga ingin tampil sempurna saat menjalani pendidikan di Akmil, tetapi karena merasa kurang sempurna ia menjadi minder atau kurang percaya diri. Tidak dijelaskan bagaiman SBY menjalani pendidikan di Akmil, hanya dijelaskan SBY lulusan terbaik Akabri 1973 yang mengonstruksikan bahwa ia berprestasi saat menjalani pendidikan di Akmil.
·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Istri SBY adalah anak atasan dari ayah SBY. Keluarga SBY sempat merasa minder terhadap status keluarga saat SBY melamar Ani. Hal tersebut berimbas sampai saat ini, yakni SBY dikonstruksikan oleh Tempo sangat menghormati keluarag istrinya
karena perbedaan statusnya. Saat membina rumah tangga istri SBY dikonstruksikan sangrat berperan terhadap suaminya sehingga pengambilan kebijakan SBY dipengaruhi oleh sang istri. Saat memasuki dunia kerja, SBY dikonstruksikan sebagai pribadi suka mencari ilmu, cerdas, baik hati dan suka berbagi dengan orang lain. SBY dikonstruksikan sebagai pribadi yang ramah, suka bergaul, hal tersebut dilakukan untuk meluarsakan jaringan komunikasi yang ia bangun. SBY dikonstruksikan sebagai seorang yang kompromistis dalam menghadapi masalah, melakukan dengan jalan persuasif. Saat memimpin pasukan ia mau berlatih bersama bawahan, namun ia dikonstruksikan kurang tegas terhadap bawahan.
Dari latar belakang tersebut, SBY dikonstruksikan sebagai pemimpin yang berwatak suka bergaul berorganisasi, disiplin, keras dan punya prinsip, cerdas, suka mencari ilmu serta berbaik hati untuk membaginya, memiliki banyak kemampuan khususnya dalam hal strategi dan perencanaan, mau berlatih bersama bawahan. Di sisi lain SBY sebagai orang yang sempat kalut dan kurang percaya diri ketika menghadapi masalah yang membuatnya merasa kurang, tetapi bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, kurang tegas terhadap bawahan, terpengaruh oleh istri dan ibu mertua, dan kompromistis.
D. ANALISIS BERITA CAWAPRES BOEDIONO
D.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Ekonom Berirama Calypso” D.1.a. Struktur Sintaksis
Judul berita ini adalah “Ekonom Berirama Calypso”. Kata “ekonom” merujuk pada sosok Boediono yang merupakan pakar di bidang ekonomi. Kata “calypso” sendiri diambil dari aliran musik yang sering diamainkan Boediono dan teman-temannya ketika kuliah di Australia. Calypso meruakan aliran musik sejenis aliran musik jazz yang iramanya kadang konstan, mengalun pelan, dan sesekali menghentak. Sehingga, kata “Ekonom berirama calypso” merupakan metafora yang menggambarkan hidup Boediono sebagai seorang pakar ekonomi yang diibaratkan seperti irama musik calypso, kadang biasa-biasa saja dan ada saatnya menemui sesuatu yang luar biasa. Judul tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam lead. Lead berita ini adalah “Perjalanan hidupnya datar, mengalir. Kariernya landai, sesekali melenting jauh, mengikuti garis hidupnya yang tak direncanakan.” Kata “datar” dan “mengalir” dalam kalimat pertama mengonstruksikan bahwa perjalanan hidup Boediono biasa-biasa saja. Kata “kariernya landai” mengonstruksikan bahwa kariernya naik perlahan namun secara konstan. Kata “sesekali melenting jauh” mengonstruksikan bahwa karier Boediono sempat melesat lebih cepat dari kariernya yang naik secara perlahan. Kata “mengikuti garis hidupnya yang tak direncanakan” mengonstruksikan bahwa ia sesekali menemui hal yang tak terduga. Sehingga, konstruksi yang dibangun dari lead ini, bahwa Boediono menjalani kehidupan yang biasa, namun ada saatnya ia menemui hal yang tak terduga yang justru membuat karier dan kehidupannya lebih baik. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Di SMA ia jarang bicara, tapi jago bermain gitar, menyanyikan lagulagu The Beatles bersama band sekolah. “Orangnya mesam-mesem thok (senyum-senyum saja), tapi pintar sekali,” kata teman dekatnya, seorang rektor universitas swasta di Yogyakarta. “Dari aljabar, keuangan, hukum dagang, sampai melodi lagu dia kuasai.” (Paragraf 1 Berita I Boediono) Pendahuluan ini berisi deskripsi tentang karakter Boediono, dimana ia dikonstruksikan oleh teman dekatnya (seorang rektor universitas swasta di Yogyakarta)
sebagai siswa pendiam yang ramah dan pintar dalam banyak hal. Pada paragaf dua juga terdapat pendapat dari teman Boediono yakni : Boediono, siswa SMA Blitar, Jawa Timur, dan kini kandidat wakil presiden 2009, sebenarnya tidak suka berorganisasi. Tapi hampir di sepanjang hidupnya selalu saja ada keadaan khusus yang mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pernah direncanakan. Ketika duduk di kelas tiga, keadaan memaksanya jadi ketua kelas, karena ketua kelas yang sesungguhnya terpilih menjadi ketua OSIS. “Dia terpaksa menerima, manut disuruh-suruh cari kapur tulis,” tutur sang teman, tertawa. (Paragraf 2 Berita I Boediono) Teman Boediono tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono menerima tawaran menjadi ketua kelas karena terpaksa. Dan Boediono juga dikonstruksikan sebagi orang yang baik hati dan penurut. Pada kalimat sebelumnya Boediono dikonstruksikan sebagai seorang tidak suka berorganisasi. Dengan ketidaksukaan Boediono terhadap kegiatan keorganisasian, berarti mengonstruksikan bahwa karakteristik kepemimpinan Boediono kebanyakan tidak terbentuk dari kegiatan keorganisasian. Hal ini menjadi latar informasi yang penting, karena dalam tulisan Utami Sri Rahayu berjudul Berorganisasi Melatih Jiwa Kepemimpinan, menyatakan bahwa fungsi terbesar organisasi bagi individu adalah melatih jiwa kepemimpinan mereka (Rahayu, 2009). Keinginan Boediono menjadi ekonom sebenarnya tidak di sengaja, dalam artian tidak memiliki perencanaan yang matang sebelumnya. Hal tersebut digambarkan pada paragraf tiga, yakni: Lulus dari SMA, Boediono akhirnya melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, satu bidang yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya. “Hanya ikut-ikutan teman. Sepertinya jurusan ekonomi kok oke. Cinta ekonomi tuh tidak. Ramai-ramai saja, daftar sana ikut, sini ikut,” kata Boediono. Ia melukiskan masa kuliah pada tahun pertama itu “datar-datar saja”, kecuali untuk satu momen yang tak pernah dilupakannya. (Paragraf 3 Berita I Boediono) Kata “datar-datar saja” dalam paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono termasuk mahasiswa biasa, bukan seorang aktivis. Sedangkan kata “kecuali untuk satu momen yang tak pernah dilupakannya” adalah kuliah umum yang diberikan
oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Hal itulah yang menjadi latar karakteristik Boediono sebagai ekonom, terdapat pada paragraf empat. Waktu itu, suatu siang pada 1961, usianya masih 18 tahun, ia menyimak sosok seorang lelaki berkacamata yang tengah memberikan kuliah umum di kampus Pagelaran Keraton Yogyakarta. Mohammad Hatta, ia menguraikan pendapatnya tentang dunia seorang ekonom. Dunia yang tidak steril, karena ekonomi tidak bisa berdiri sendiri dan perlu pemahaman dari disiplin hukum, sosial, politik, dan lain-lain. Hatta mencela ekonom yang hanya memahami sisi teknis ilmunya. “Berangkat sampai di tujuan, tapi tak tahu situasi perjalanan,” begitu kata-kata sang proklamator yang tak pernah dilupakan mahasiswa baru itu. (Paragraf 4 Berita I Boediono) Kalimat dari Moh. Hatta tersebut dikonstruksikan oleh Tempo sangat di camkan oleh Boediono yang ingin menjadi seorang ekonom. Moh. Hatta mengajarkan pada Boediono sebagai ekonom jangan hanya memahami sisi teknis ilmu ekonomi saja. Boediono sebagai seorang ekonom harus tahu tujuan ekonomi namun juga harus tahu bagaimana kondisi ekonomi saat itu. Sehingga bukan menjadi ekomon yang mencapai tujuan tanpa mengetahui proses yang baik. Pada struktur sintaksis, kutipan dari narasumber merupakan unit yang dianalisis. Semua narasumber yang dikutip Tempo adalah narasumber yang memihak kepada Boediono dan tidak ada yang berseberangan. Kutipan Boediono sendiri dalam mengonstruksikan dirinya terdapat pada paragraf 8 terdapat kutipan Boediono “Kemampuan bahasa Inggris makin bagus, jadi kemaruk baca apa saja.” Mengonstruksikan bahwa saat kemampuan bahasa Ingrisnya semakin bagus ia menjadi gemar membaca buku. Pada paragraf 11, Boediono menceritakan bahwa saat menjadi mahasiswa di Australia ia menjadi operator mesin penerima setoran gandum, ia mengatakan “Itu memang kerja kasar, kok.” Sehingga saat di menjalani pendidikan di Australia Boediono mau berkerja pekerjaan kasar atau berat. Pada paragraf 13 terdapat inforrmasi bahwa pada 1968, ketika pulang ke Tanah Air, Boediono membeli rumah kecil di Jalan Samiaji, daerah Senen, Jakarta Pusat. Ia
mengatakan “Uang itu dari tabungan di Australia.” Dari informasi tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono sebagai seorang yang rajin menabung untuk kepentingan masa depan. Pada paragraf 14 terdapat informasi bahwa saat Boediono duduk di tingkat tiga, Boediono cuti dua bulan pulang ke Tanah Air. Ia mengatakan “Suasana mencekam, tak tahu siapa lawan siapa kawan, Perjalanan tegang karena selalu ada pemeriksaan.” Mengonstruksi Boediono pernah mengalami masa-masa yang sangat mencekam dan menegangkan karena ada pemberontakan PKI. Pada paragraf 15 terdapat parafrase Abdillah Toha, seorang rekan Boediono, yakni “Tentang wanita, Abdillah memuji sahabatnya sebagai lelaki setia. Selama di Australia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun kecuali pacarnya di Blitar.” Hal tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono adalah lelaki yang setia. Pada paragraf 19 terdapat kutipan dari Tony Prasetyantono, mantan asisten dosen Boediono, yang mengatakan “Dia minta diantar beli jas obralan di mall yang harganya US$ 40. Murah sekali, padahal beliau sudah menjabat Deputi Fiskal dan Moneter Bappenas.” Pendapat Tony tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono sebagi seorang yang sederhana walaupun telah memiliki jabatan yang tinggi.
D.1.b. Struktur Skrip Unsur who yang ditonjolkan dalam berita ini adalah Boediono sebagai seorang ekonom yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Australia. Sedangkan unsur what yang ditonkolkan adalah pengalaman dan pelajaran yang bisa diambil Boediono saat menjalani pendidikan di UGM dan Australia. Unsur itu yang ditonjolkan karena saat kuliah di UGM ia mendapat pencerahan tentang dunia ekonomi dari Moh. Hatta yang mampu merubah pemikirannya tentang dunia ekonomi. Saat kuliah di Australia ia mendapat benyak pengalaman saat menghidupi dirinya disana dengan bekerja dan belajar.
Unsur where dan when dalam berita ini adalah Boediono lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943. Pada 1961, usia Boediono masih 18 tahun, ia menyimak kuliah dari Moh. Hatta Pagelaran Keraton Yogyakarta yang menginspirasinya. Setahun kuliah di Faluktas Ekonomi UGM kemudian kuliah di ekonomi makro University of Western Australia. Boediono bekerja sambilan di kawasan pertanian Perth, bagian utara Australia Barat, menjadi operator mesin penerima setoran gandum. Pada 1968, ketika pulang ke Tanah Air, Boediono beli rumah kecil di Jalan Samiaji, daerah Senen, Jakarta Pusat. Pada 1965, saat duduk di tingkat tiga, Boediono cuti dua bulan pulang ke Tanah Air. Pada 1968, ketika sedang mengerjakan tesis, dia kembali ke Indonesia. Sambil menyelesaikan tugas akhir studinya, dia bekerja di Bank of America di Jakarta. Menjadi dosen UGM hingga tahun 1980-an. Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana Boediono meniti karier mulai dari sekolah dasar kuliah hingga menjadi calon wakil presiden. Sedangkan unsur why yang paling menonjol adalah mengapa Boediono bisa terjun ke bidang ekonomi.
D.1.c. Struktur Tematik Dilihat dari segi koherensi antarkata atau antarkalimat yang mengonstruksikan karakteristik Boediono antara lain terdapat dalam paragraf berikut: Dunia akademis yang datar itu kini mulai menarik hati Boediono, apalagi kampus Pagelaran kerap dikunjungi profesor. Boediono beruntung, karena sebagai mahasiswa tingkat satu, ia sudah “digembleng” para pakar. Namun kesulitan ekonomi kemudian menyergapnya di tengah jalan dan uang kiriman ibundanya hasil berjualan batik itu seret. (Paragraf 5 Berita I Boediono) Dalam paragraf tersebut terdapat koherensi penjelas (apalagi), penyebab (karena), dan pembeda (namun). Dari kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa dunia pendidikan yang dulu biasa-biasa saja mulai membuat Boediono tertarik dan sesetelah
kampusnya kerap dukunjungi pakar ekonomi yang melatihnya. Kata “digembleng” menunjukkan bahwa ia benar-benar dilatih dengan serius. Detail-detail yang di tonjolkan dalam berita ini ada dua hal, yakni detail tentang kondisi dan situasi saat Boediono kuliah dan detail tentang pendidikan Boediono. Detail tentang kondisi dan situasi yang dialami Boediono terdapat pada paragraf enam: Uang kiriman wesel hanya cukup untuk bayar kos dan nunut makan ibu kos dua kali sehari. Kalau lapar menyerang, ia mesti puasa. “Sebulan sekali baru jajan bakso atau tongseng dekat kampus Pagelaran atau Malioboro.” Dan tak dinyana, dari kondisi serba terjepit ini, terbukalah sebuah dunia baru bagi mahasiswa fakultas ekonomi tingkat dua ini. Boediono memperoleh beasiswa Colombo Plan. (Paragraf 6 Berita I Boediono) Paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono tengah mengalami kesulitan ekonomi, dan ia berusaha untuk mengatasinya. Saat kuliah di Australia, ia juga mencari penghasilan tambahan, yakni terdapat pada paragraf berikut: Pada musim liburan, Boediono dan Abdillah Toha bekerja sambilan di kawasan pertanian Perth, bagian utara Australia Barat, menjadi operator mesin penerima setoran gandum di sebuah lembaga semacam Bulog di Indonesia. Mereka mengoperasikan mesin besar untuk memasukkan gandum yang turun dari truk ke gudang. Kadang jadi kuli angkut. “Itu memang kerja kasar, kok.” Tapi honornya lumayan besar, bisa ditabung, beli buku, dan traveling. (Paragraf 11 Berita I Boediono) Di sela belajar, Boediono kembali mengukir kecintaannya memetik dawai gitar. Bersama Abdillah Toha, mereka membentuk band beraliran musik calypso beranggotakan lima orang mahasiswa Indonesia. “Kami sempat beberapa kali masuk televisi di Australia dan main di sejumlah klub,” kata Abdillah Toha. (Paragraf 12 Berita I Boediono) Sehingga memperkuat konstruksi bahwa Boediono adalah ekonom yang berkompeten di bidangnya. Sedangkan detail tentang kepemimpinannya adalah tentang sifatnya yang pandai, bersahaja, dan baik hati. Sedangkan dari unit analisisi kata ganti, hanya ada satu kata ganti yang menonjol untuk menggantikan Boediono yakni pada paragraf lima ”anak kos di kampung Ngadiwinatan, NG II, Jalan Patok”. Kata ganti tersebut untuk menguatkan konstruksi Boediono yang saat itu sedang menjalani kuliah di Yogyakarta. Sebagai anak kos, ia
mengalami kesulitan keuangan karena kiriman uang dari orangtuanya dirasa kurang mencukupi diasebabkan usaha orang tuanya berjualan bateik “sedang seret”.
D.1.d. Struktur Retoris Beberapa pilihan kata (leksikon) di tubuh berita yang dipilih Tempo dalam menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu selain kata-kata yang telah dijelaskan struktur berita sebelumnya adalah pada paragraf lima 5 “Harga barang membubung gara-gara inflasi. Kondisi ini membuat anak kos di kampung Ngadiwinatan, NG II, Jalan Patok, dekat pos polisi itu sulit bernapas.” serta pada paragraf enam “Kalau lapar menyerang, ia mesti puasa. Dan tak dinyana, dari kondisi serba terjepit ini, terbukalah sebuah dunia baru bagi mahasiswa fakultas ekonomi tingkat dua ini.” Kalimat di kedua paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono saat menjalani kuliah di UGM sedang mengalami kesulitan ekonomi, dan ia selalu berusaha megatasi kesulitan tersebut. Pada paragraf delapan terdapat kata-kata ”Ia telah melompat jauh.” Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono yang semula mahasiswa bisas-biasa, menjadi mahasiswa yang mendapat biaya ke luar negari. Pada paragraf 12 terdapat kalimat “Di sela belajar, Boediono kembali mengukir kecintaannya memetik dawai gitar.” Mengonstruksikan bahwa Boediono bisa bermain gitar. Pada paragraf 18 terdapat kalimat “Boediono bukan tipe dosen yang pongah.” Kalimat tersebut mengonstruksikan Boediono bukan dosen yang sombong atau congkak terhadap mahasiswa. Pada paragraf 22 terdapat kalimat “Dia ditunjuk menjadi Kepala Biro Ekonomi Bappenas. Sejak itulah karier Boediono melejit.” Kata “karier melejit” mengonstruksikan setelah menjadi Kabiro Bapenas, karier Boediono semakin meningkat dengan pesat menduduki jabatan yang lebihtinggi.
Dari unit grafis terdapat sebuah ilustrasi dan dua buah foto. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah Boediono berdiri mengenakan jas dengan berpose menunjuk sesuatu, untuk mendukung konstruksi pada judul. Foto pertama dengan caption “Pernikaan Boediono dan Herawati 1969”. Foto tersebut hanya memperkuat fakta tentang pernikahan Boediono dan Herawati. Foto kedua dengan caption “Boediono duduk paling kanan, sebelum tampil di televisi Perth, Australia”. Foto ini digunakan untuk mendukung penekanan berita yakni (1) bahwa Boediono gemar bermain musik (terutama musik calypso yang metaforanya digunakan dalam judul dan penutup). (2) Boediono dan rekanrekannya bermain musik di Australia untuk membantu biaya hidup dan kuliah di sana. (3) Menekankan bahwa Boediono berhasil berkuliah di luar negeri.
D.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Boediono di Berita I Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang tidak suka berorganisasi. Ada satu saat dimana Boediono diminta menjadi ketua kelas, tapi dengan terpaksa. Boediono dikonstruksikan sebagai siswa yang cerdas dalam banyak hal. Boediono menguasai bidang ekonomi, dan kepemimpinannya dibidang ekonomi dikonstruksikan tersebuntuk saat mendengarkan ceramah dari Moh. Hatta tentang kehidupan dunia ekonomi. Boediono dikonstruksikan menjalani masa kuliah dengan biasa-biasa saja, hingga suatu saat ia mendapatkan beasiswa pendidikan ke luar negeri, namun tidak diceritakan bagaimana ia mendapatkan beasisiwa tersebut. Saat menjalani pendidikan di Australia, ia dikonstruksikan bekerja kasar guna mendapatkan uang tambahan. Ia dikonstruksikan sebagai seorang yang pandai mengatur keuangan pribadinya. Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang setia terhadap perempuan. Selain itu, ia juga dikonstruksikan sebagai seorang yang sederhana. Sebagai
seorang pengajar Boediono dikonstruksikan sebagai dosen yang tidak congkak dan sombong kepada mahasiswa.
D.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Boed, Sang Bima dari Blitar” D.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita tersebut adalah “Boed, Sang Bima dari Blitar”. Kata “Boed” adalah panggilan akrab Boediono saat remaja. Kata “Bima” merujuk pada sosok wayang saudara kedua dari Pandhawa lima, yang digambarkan sebagai sosok perkasa, berani, dan teguh membela kebenaran. Metafora “Sang Bima” ini digunakan untuk merujuk pada Boediono yang dikonstruksikan sebagai “pahlawan” bagi keluarganya dimana berhasil mewujudkan cita-cita sang ayah untuk bersekolah ke luar negeri. Selain itu Boediono diibaratkan sebagai Bima karena sama-sama jarang bicara. Dari judul ini dapat dikonstruksikan bahwa Boediono adalah sosok yang hebat. Sedangkan kata “dari Blitar” adalah kota kecil di Jawa Timur dimana Boediono melewatkan masa kecil dan remajanya. Lead terdiri dari dua kalimat. ”Dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, Boediono diasuh dengan cita-cita besar: sekolah tinggi di luar negeri. Ayahnya buta sejak paruh baya, telaten menemani anak-anaknya belajar.” Boediono dikonstruksikan sebagai anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga yang sederhana. Keluarganya (terutama sang ayah) mengasuh dan mendidiknya untuk jadi anak yang giat belajar. Ayahnya memiliki harapan besar untuknya yakni bisa sekolah tinggi dengan pendidikan “tinggi” (bagus) di luar negeri. Lead ini juga menekankan tentang ayah Boediono yang buta sejak usia 40 tahun. Walaupun buta, namun ia tetap telaten (sabar, teliti dan cermat) dalam menemani anak-anaknya belajar. Sehingga ayah Boediono berperan besar dalam pendidikan Boediono.
Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Di lantai sebuah rumah tua di Blitar, Boediono melukiskan sebagian lamunan masa kanak-kanaknya. Dengan sebatang kapur di tangan, dia bergerak dari bidang ke bidang lantai, melukiskan apa yang terlintas di kepala. (Paragraf 1 Berita II Boediono) Mula-mula Boed—begitu dia disapa—kerap mencoretkan spoor, kereta api. Beranjak remaja, obyek kegemarannya berganti ke wajah kepala suku Indian lengkap dengan mahkota berhiasan bulu. Tapi yang paling sering ia gambar adalah Bima, tokoh cerita wayang Pandawa lima bersaudara, yang perkasa, berani, dan teguh membela kebenaran. Ahmad Siswo Sardjono, ayahnya, kerap menuturkan tokoh ini kepada Boediono kecil. (Paragraf 2 Berita II Boediono) Pendahuluan berita ini diawali dengan deskripsi tentang apa yang dilakukan Boediono di masa kanak-kananknya. Setelah paragraf kedua barulah diketahui tentang relevansi antara pembukaan dengan isi berita. Bahwa Boediono dikonstruksikan ingin menjadi “Bima” bagi keluarganya. Latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita adalah harapan keluaraga Boediono (terutama sang ayah) untuk menyekolahkan Boediono ke luar negeri. Sehingga ketika Boediono bisa bersekolah di luar negeri menjadi seperti “pahlawan” bagi keluarganya yang diibaratkan seperti Bima, tokoh wayang yang sering diceritakan oleh ayah Boediono kepadanya.. Penyataannya sumber dalam berita ini yang berkaitan dengan karakteristik Boediono antara lain pada paragraf tiga terdapat kutipan Tuti Iswari, adik Boediono “Justru karena diamnya itu. Kalau cerewet, bukan Bima lagi namanya.” Kutipan tuti ini mengonstruksikan bahwa Boediono adalah sosok yang pendiam. Dalam paragraf 21 juga terdapat kutipan Tuti yakni “Kalau Mas Boed pulang ke Blitar, Ibu akan memasak otak goreng kesukaannya.” Hal tersebut menunjukkan, karena menjadi kebanggaan dalam keluarganya, Boediono mendapat perhatian yang lebih. Sedangkan Dibyo Prabowo, kawan Boediono, berpendapat tentang Boediono dalam paragraf 22 yakni “Pintar aljabar, keuangan, hukum dagang, pintar semuanya.” Sehingga membangun konstruksi bahwa Boediono pintar dalam banyak hal, terutama
yang berkaitan dengan hitungan. Konstruksi tentang pendidikan Boediono juga terdapat dalam paragraf 13 yakni dari kutipan Boediono “Sekolah itu amat sederhana. Semua siswa tidak bersepatu, sandal pun tidak. Saya juga tidak.” Hal tersebut mengonstruksikan bahwa sekolah Boediono adalah sekolah yang sangat sederhana karena semua siswa tidak mengenakan sepatu. Boediono saat menjalani pendidikan kondisinya juga dalam keterbatasan sehingga juga tak mampu memakai sepatu. Dalam berita ini juga mengonstruksikan tentang bagaimana sosok ayah Boediono yang bernama Ahmad Siswo. Tuti Iswari, berpendapat tentang ayahnya pada paragraf delapan sebagai berikut ”Tuti mengenang ayahnya sebagai sosok amat intelek. Bahasa Inggris dan Belandanya istimewa. Ahmad juga pandai bermain biola.” Tuti mengonstruksikan bahwa Ayah Boediono adalah seorang yang cerdas. Bahasa Inggris dan Belanda baik serta pandai bermain biola. Dalam memberikan pendidikan kepada Boediono, pada paragraf 14 Ahmad Siswo berujar “Kalau pintar, bisa dapat beasiswa sekolah ke luar negeri.” Dari kalimat tersebut Ahmad Siswo mengingankan Boediono bisa bersekolah ke luar negeri, itulah yang menjadi fokus interes dalam berita ini. Pelajaran yang bisa diambil Boediono dari ayahnya adalah pada parafraseya di paragraf 20 yakni “Kalian itu dari satu rahim, tapi pasti nasibnya tidak sama. Tak boleh saling iri, tak boleh benci. Harus saling membantu, tak boleh lapar, semua harus sekolah.” Dari kalimat tersebut mengonstruksikan palajaran kepada Boediono untuk saling menyayangi saudara-saudara-nya, tidak boleh hidup kekurangan dan todak boleh ada yang tidak mengenyam pendidikan. Paragraf penutup berita ini adalah sebagai berikut: Ketika Ahmad menutup mata pada 1974, impiannya tentang “sekolah tinggi di luar negeri” telah dipenuhi Boediono dengan patut: dia master dari Monash University, Melbourne. Dan beberapa tahun kemudian, dia meraih gelar doktor The Wharton School of the University of Pennsylvania—salah satu sekolah ekonomi terbaik di dunia. (Paragraf 22 Berita II Boediono)
Penutup berita ini merupakan kesimpulan dari berita, bahwa Boediono mampu memenuhi impian sang ayah. Dengan menyebutkannya jenjang pendidikan, gelar yang disandang serta dimana tempat ia menuntut ilmu ekonomi, konstruksi yang dibangun dari penutup ini adalah Boediono merupakan seorang yang ahli di bidang ekonomi.
D.2.b. Struktur Skrip Unsur Who dalam berita ini ada dua, yakni Boediono dan Ahmad Siswo (ayah kandung Boediono). Ayah kandung Boediono menjadi subjek dalam berita ini karena mengajarkan banyak keteladanan bagi Boediono. Sedangkan unsur What dalam berita ini adalah kondisi keluarga dan pendidikan Boediono saat di sekolah dasar dan menengah. Hal ini untuk mengonstruksikan bagaimana kepemimpinan Boediono terbentuk. Sedangkan unsur where dan when dalah saat Boedino lahir dan besar di sebuah rumah sederhana berukuran 200 meter persegi di Jalan Wahidin 6, Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar. Boediono bersekolah di SD Muhammadiyah Blitar. Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana pendidikan bis menjadi hal yang penting bagi keluarga Boediono dan bagaimana Boediono bisa menjadi ”Bima” nagi leuarganya. Unsur why dalam berita ini adalah kanapa Boediono bisa menjadi kebanggan bagi keluarganya.
D.2.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi dalam mengonstruksikan karakteristik Boediono antara lain terdapat pada paragraf 14 yakni “Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting. Setidaknya itu yang selalu dipesankan Ahmad dengan tidak bosan-bosannya.” Terdapat koherensi pembeda dalam kata “tapi” dan oherensi penjelas
dalam kata setidaknya. Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa pendidikan adalah yang diutamakan bagi keluarga Boediono dengan diharuskannya Boediono tetap bersekolah walau dalam kondisi serba terbatas. Pada Paragraf 22 terdapat koherensi pembeda tentang karakteristik Boediono yakni “Seperti ayahnya, Boediono cenderung pendiam. Tapi temannya banyak.” Koheresnsi tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono sebagai orang yang tidak banyak bicara tetapi tidak seperti orang pendiam pada umumnya yang punya sedikit teman, Boediono justru memiliki banyak teman. Koherensi pembeda juga terdapat dalam paragraf 23 yakni “Pada masa kecil, Boediono sempat bercita-cita jadi insinyur. Namun di SMA dia memilih jurusan C atau sosial ekonomi.” Koherensi ini memperkuat konstruksi tentang pilihan Boediono untuk memilih jurusan ekonomi secara tidak sengaja dan tidak sesuai dengan piliahnnya ketika kecil. Detail-detail yang ditonjolkan dalam berita ini adalah bagaimana ayah Boediono mendidik anak-anaknya. Detail itu terdapat pada paragraf berikut: Dan Ahmad serius betul mengawasi studi anak-anaknya. Setiap anak mesti melaporkan ponten yang mereka dapat untuk pelajaran hari itu, terutama mencongak. Mereka belajar bersama setiap malam di meja makan. Karena tak bisa melihat, Ahmad Siswo menggunakan kemoceng (bulu ayam) untuk mengontrol apakah kepala anak-anak masih tegak menatap buku. Kalau menunduk atau tertidur, kemoceng beralih jadi “senjata”. (Paragraf 15 Berita II Boediono) Untuk mendisiplinkan anak-anaknya, Ahmad Siswo punya cara menghukum yang khas, yakni memasukkan mereka ke almari jati besar. “Hayo, kapok enggak?” ayahnya berteriak dari luar. Kalau ada jawaban kapok, baru dia membuka pintu lemari. (Paragraf 18 Berita II Boediono) Hal ini mengkonatrukaikan bahwa ayah Boediono sangat ketat dalam hal pendidikan.
D.2.d. Struktur Retoris
Unit analisis leksikon yang paling ditonjolkan dalam tubuh berita ini adalah peran Boediono bagi keluarga dan pentingnya pendidikan bagi keluarga Boediono. Seperti terdapat dalam paragraf 23 “Sang ayah melepasnya dengan bangga ketika ia berhasil masuk Jurusan Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Hanya setahun di situ, ia dapat beasiswa Colombo Plan untuk melanjutkan studi ke Australia dalam usia 19 tahun.” Kata “melepasnya dengan bangga” berarti menunjukkan prestasi Boediono yang bisa membanganggakan dan memenuhi harapan sang ayah. Sedangkan tentang pendidikan yang penting dikonstruksikan dalam paragraf 14 yakni “Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting.” Dari unit analisis grafis terdapat tiga buah foto. Foto pertama dengan caption “Acara Agustusan. Boediono (berdiri paling kanan) bersama rekan-rekannya merayakan HUT RI di Perth Australia.”. Foto ini untuk mengkonstrksikan bahwa Boediono bisa bersekolah ke luar negeri sesuai dengan cita-cita sang ayah. Foto kedua dengan caption “Ahmad Siswo Sarjono. Ayah Boediono”. Berita ini juga menceritakan tentang ayah Boediono, sehingga foto ini mendukung penonjolan tentang ayah Boediono. Foto tersebut untuk mendukung konstruksi bahwa ayah Boediono adalah seorang yang intelek. Kalimat tersebut ada di paragraf delapan yakni “... ayahnya sebagai sosok amat intelek. ... Foto ayah mereka semasa muda lebih mirip sarjana lulusan Belanda, bukan pedagang batik dari Blitar.” Foto ketiga dengan caption “Rumah Boediono di Jalan Wahidin Kota Blitar.” Hal ini untuk mendukung gambaran tentang keluarga Boediono saat tinggal di Blitar. Rumah itu terlihat sederhana untuk mengonstruksi Boediono memang lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sederhana. Penggunaan gaya bahasa Jawa terdapat pada paragraf 16 ”Mboten kepanggih, Ndoro”. Hal tersebut digunakan untuk mendukung konstruksi bahwa keluarga Boediono
berasal dari suku jawa yang masih menggunakan adat Jawa dalam keseheriannya. Dalam paragraf enam terdapat kalimat “Warga Blitar menjuluki mereka ”Keluarga Mataraman” karena berasal dari Yogya”. Selain itu penggunaan islitah “Sang Bima” juga karena Boediono adalah orang Jawa, dimana wayang sangat kental dengan falsafah kehidupan orang Jawa.
D.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Boediono di Berita II Boediono dikonstruksikan sebagai seorang pahlawan yang membanggakan bagi keluarganya. Hal tersebut dilihat dari kemampuan Boediono memenuhi harapan keluarganya untuk bisa berkuliah ke luar negeri. Keluarga Boediono dikostrusikan sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Ayah Boediono menerapkan pendidikan dngan ketat. Ketatnya pendidikan tersebut terbawa hingga Boediono dewasa. Saat menjalani pendidikan di sekolah dasar, Boediono menjalani pendidikan di sekolah yang sederhana. Boediono sejak kecil dididik unuk menyayangi saudaranya dan telah diberi pembagian tugas agar menjadi orang yang bertanggungjawab.
D.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Terpikat Gadis Tetangga” D.3.a. Struktur Sintaksis Judul berita tersebut adalah “Terpikat Gadis Tetangga”. Kata “terpikat” menunjukkan makna suka atau tertarik terhadap sesuatu. Kata “gadis tetangga” merujuk pada Herawati yang merupakan tetangga Boediono pada saat merka masih sama-sama tinggal di Blitar. Konstruksi yang ingin dibangun dari judul ini adalah bahwa Boediono tertarik pada Herawati.
Berita ini tidak menggunakan lead, dan langsung masuk ke pendahuluan dengan paragraf sebagai berikut: Di masa remajanya, inilah dua kegiatan harian Boediono: membuka toko batik keluarganya di pagi hari, dan menutupnya di malam hari. Diam-diam, kegiatan anak muda itu mencuri perhatian gadis tetangganya, Herawati. Herti, begitu dia biasa disebut, menaruh simpati karena amat jarang dia melihat lelaki muda mau melakukan pekerjaan seperti itu. (Paragraf 1 Berita III Boediono) Pendahuluan ini berisi tentang bagaimana Herti menaruh perhatian kepada Boediono. Kata “mencuri perhatian” mengandung makna bahwa Herawati tertarik kepada Boediono secara diam-diam. Konstruksi yang dibangun dari pendahuluan ini adalah Boediono bukan seperti lelaki muda kebanyakan yang jarang melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh Boediono. Boediono dikonstruksikan sebagai lelaki muda yang giat membantu orang tua. Kutipan yang mengonstruksikan tentang karakter Boediono terdapat dalam paragraf berikut: Menurut Herti, dia menyukai kesederhanaan suaminya. “Orangnya juga ulet,” kenang Herti saat bertutur kepada Tempo. (Paragraf 4 Berita III Boediono) Dari penggalan paragraf tersebut menandakan bahwa Boediono adalah orang yang berkarakter sederhana dan ulet tidak mudah menyerah dalam bekerja. Terdapat konstruksi lain tentang karakteristik Boediono dalam paragraf berikut: Boediono yang pendiam pun tak pernah bercerita soal urusan kantor. (Paragraf 8 Berita III Boediono) Ratri menuturkan ibunya gemar berbicara dan membuat suasana ramai, kebalikan dari sang Bapak. “Ibu memberi warna dalam keluarga, sementara Bapak yang tenang cenderung membosankan,” kata Ratri. (Paragraf 10 Berita III Boediono) Ratri dan Dios mengatakan kedua orang tuanya tak pernah bersuara keras kepada anak-anak mereka. Namun, dalam disiplin, tak ada toleransi dan kompromi. (Paragraf 11 Berita III Boediono) Dari kutipan paragraf tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa Boediono adalah tipikal orang yang tak banyak bicara sedangkan istrinya adalah tipikal orang yang banyak bicara. Pasangan suami istri tersebut mendidik adalnya dalam disiplin yang tinggi.
Selain Boediono dalam berita ini juga mengonstruksikan tentang karakteristik Istri Boediono, Herawati. Selain paragraf diatas, terdapat karakteristik Herawati dalam paragraf berikut: Setelah menikah, Herti memutuskan total menjadi ibu rumah tangga. “Itu mauku sendiri,” katanya. Dia menegaskan pantang mencampuri pekerjaan suaminya. ... Herti hanya memberikan saran ini kepada suaminya dalam soal kerja: “Jangan menyakiti orang lain.” (Paragraf 8 Berita III Boediono) Tatkala Susilo Bambang Yudhoyono meminta Boediono menjadi calon wakil presidennya, bekas Gubernur Bank Indonesia ini meminta saran istrinya. “Saya bilang, di mana pun mengabdi itu sama saja, yang penting kerjanya benar,” kata Herti. (Paragraf 9 Berita III Boediono) Dari penggalan paragraf tersebut mengkonstrukikan bahwa Herti hanya ibu rumah tangga biasa dan bukan tipikal istri yang memiliki pengaruh banyak terhadap penggambilan kebijakan Boediono. Ia hanya memberi nasehat tentang kebaikan. Paragraf ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Ibu dua anak yang telah dewasa ini tetap energetik. Dia gemar bermain tenis. Bila sedang di rumah, Herti rajin membersihkan rumah dan merawat tumbuhan. “Ibu tak suka memasak,” tutur Ratri. Keahlian terbaik sang Ibu dalam hal memasak: nasi goreng. Ratri ingat ketika mereka masih kanak-kanak—saat uang masih sulit dan semua serba terbatas—ibunya selalu menyajikan nasi goreng, tanpa telur. Penekanan yang dilakukan dalam penutup ini adalah tentang Herawati, sehingga kurang relevan dengan karakteristik Boediono. Pada kalimat terakhir menekankan tentang latar bahwa saat awal-awal berumah tangga (anak-anaknya masih kecil) Boediono dan Herawati mengalami masa-masa sulit ditunjukkan dengan kalimat ”saat uang masih sulit dan semua serba terbatas—ibunya selalu menyajikan nasi goreng, tanpa telur.”
D.3.b. Struktur Skrip Unsur Who dalam berita ini ada dua, yakni Boediono dan Herawati (istri Boediono). Sedangkan unsur What dalam berita ini adalah tentang jalinan kasih Boediono dengan Herawati serta kehidupan keluarga mereka setelah menikah.
Unsur Where dan When dalam berita ini ada dalam paragraf tiga yakni ”Saat bersekolah di SMU Negeri 1 Blitar, kedua remaja ini kerap bersepeda bareng”. Paragraf empat yakni “Persahabatan keduanya berlanjut meski selepas SMU Boediono melanjutkan studi ke Yogyakarta. Setahun kemudian, pada 1962, Boediono mendapat beasiswa Colombo Plan ke Universitas Western Australia.” Paragraf lima yakni ”Beberapa lama setelah peristiwa Gerakan 30 September pada 1965, Boediono cuti dua bulan dari kampus dan pulang kampung.” Pada Paragraf tujuh yakni “Kembali ke Tanah Air pada 1969, Boediono meminta kedua orang tuanya melamar Herawati.” Unsur how dalam berita ini yang ditonjolkan adalah bagaimana jalinan hubungan Boediono dan Istrinya, sedangkan unsur why-nya adalah Boediono ketertarikan herti kepada Boediono.
D.3.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, koherensi yang mengonstruksikan karakteristik Boediono adalah dalam Paragraf 1 terdapat koherensi penyebab yakni “Herti, begitu dia biasa disebut, menaruh simpati karena amat jarang dia melihat lelaki muda mau melakukan pekerjaan seperti itu.” Pada paragraf 11 sebagai berikut “Namun, dalam disiplin, tak ada toleransi dan kompromi. Ratri pernah mendapat hukuman tidur di kursi teras karena pulang lewat jam malam saat di SMU.” Dalam kalimat tersebut terdapat koherensi pembeda dan penyebab. Kata “tak ada toleransi dan kompromi” mengonstruksikan Boediono mendidik anak-anaknya untuk disiplin dengan lebih ketat. Dari unit analisis detail yang mengonstruksikan Boediono dan istrinya dalah sebagai berikut: Tatkala Susilo Bambang Yudhoyono meminta Boediono menjadi calon wakil presidennya, bekas Gubernur Bank Indonesia ini meminta saran istrinya. “Saya bilang, di mana pun mengabdi itu sama saja, yang penting kerjanya benar,” kata Herti. Boediono, menurut Herti, perlu waktu merenung tiga hari—termasuk
lewat salat malam—sebelum menjawab tawaran tersebut. Paragraf 9 Berita II Boediono)
D.3.d. Struktur Retoris Beberapa kata di tubuh berita yang dipilih Tempo dalam menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu selain kata-kata yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut, pada paragraf 3 “Kemahiran bermain voli membuat Herawati populer di sekolah menengah itu. Dan Boediono beruntung bisa memikat si bintang voli.” Kata-kata uang dipilih tersebut mengonstruksikan Herawati terkenal di sekolah tempat Herawati dan Boediono bersekolah karena keahlian Herawati dalam bermain Voli. Pada paragraf 7 “Tahun-tahun lewat, dan dua sejoli itu tetap kompak.” Kata “kompak” Mengonstruksikan bahwa Boediono dan istrinya adalah pasangan yang serasi dan kompak. Pada paragraf 13 “Ibu dua anak yang telah dewasa ini tetap energetik.” Kata “energetik” mengonstruksikan bahwa istri Boediono walau sudah paruh baya tetap memiliki energi dan bersemangat. Terdapat satu buah foto Istri Boediono dengan captoion “Herawati. Disiplin dalam urusan rumah tangga.” Hal ini mengonstruksikan bahwa Istri Boediono sangat teliti dan disiplin dalam hal urusan rumah tangga, lebih spesifik lagi dalam mengatur keuangan rumah tangga.
D.3.e. Konstruksi Kepemimpinan Boediono di Berita III Konstruksi yang dibangun tentang karakteristik Boediono bahwa Boediono adalah seorang yang ulet, terlihat saat muda mau membantu pekerjaan orang tua membuka toko. Ia juga dikonstruksikan sebagai seorang yang pendiam. Berbeda dengan istrinya yang cenderung banyak bicara. Dalam berita ini dikonstruksikan Boediono bisa membina keluarga yang harmonis. Istri Boediono dikonstruksikan sebagasi seoraang istri yang tak
banyak memerikan pengaruh terhadap pengambilan kebijakan Suami. Mereka dikonstruksikan mendidik anak-anaknya dalam hal disiplin dan keuangan.
D.4. Analisis Struktur Berita IV Berjudul “Belajar dari Jantung Liberalisme” D.4.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Belajar dari Jantung Liberalisme”. Kata “jantung” merupakan metafora dari pusat atau sumber kehidupan dimana ia memompa suatu aliran. Sedangkan “liberalisme” merupakan suatu paham yang mengagungkan kebebasan pasar dan kekuatan modal. Sehingga kata “jantung liberalisme” memiliki makna dari pusat atau sumber dari pasar bebas dan kekuatan modal. “Jantung Liberalisme” ini mengacu pada negara Amerika dimana di negara tersebut merupakan pusat atau sumber liberalisme. Sehingga konstruksi dari judul tersebut adalah Boediono belajar ekonomi langsung dari Amerika yang merupakan negara yang menganut dan menjadi pusat liberalisme. Lead terdiri dari dua kalimat “Boediono belajar ekonomi moneter dan finansial di Amerika. Balik ke Indonesia, ia menggagas Ekonomi Pancasila.” Konstruksi yang ingin dibangun dari lead ini adalah Boediono memang belajar ekonomi moneter dan finansial di negara yang menganut liberalisme, namun justru ia tidak terbawa aliran liberalisme itu. Tempo ingin menegaskan bahwa Boediono masih memiliki jiwa nasionalisme dengan menggagas Ekonomi Pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan deksripsi saat Boediono bersama putrinya mengunjungi lagi Pennsylvania Amerika, tempat dimana Boediono mengenyam pendidikan ekomomi bergelar master (diceritakan dari paragraf satu hingga paragraf lima). Latar informasi yang menggiring Tempo dalam mengkosntruksi berita ini
kondisi Boediono saat menjalani pendidikan Wharton School, University of Pennsylvania Amerika. Selama menjalani pendidikan di sana, Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang giat belajar. Kehidupan Boediono selama di Philadelphia hanya berkutat antara apartemen itu dan kampus. Ia menghabiskan siang sampai sore di kampus, sebagian besar di perpustakaan. Sepulang dari kampus, Ratri mengenang, bapaknya kerap langsung ke ruang tamu untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Ia hanya sesekali nonton berita di televisi. “Ia juga sering tertidur di sofa tamu ketika belajar,” ujar Ratri. (Paragraf 6 Berita IV Boediono) Koleganya, Boediono Sri Handoko, menceritakan, Boediono tidak terlibat organisasi kampus atau kesibukan lain di luar kuliah. Sesekali Boediono memang main ke Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika. Waktunya habis untuk belajar. ”Karena biayanya terbatas, harus cepat,” kata Boediono. (Paragraf 10 Berita IV Boediono) Pada paragraf enam diceritakan secara detail mengenai kegiatan Boediono di sana. Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang tidak suka berorganisasi dan lebih mementingkan belajar. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya yang dialami Boediono dan keluarganya, seperti yang dijelaskan dalam paragraf berikut: Sabtu dan Minggu, kadang Boediono mengajak keluarganya jalan-jalan. “Itu pun tidak jauh dari apartemen, karena biaya untuk itu enggak ada,” kata Ratri. (Paragraf 7 Berita IV Boediono) Kehidupan mereka selama di Amerika, kata Ratri, pas-pasan. Saat itu, Boediono hanya mengandalkan beasiswa dari Rockefeller Foundation. (Paragraf 8 Berita IV Boediono) Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada yang berangkat bersama Boediono pada Juni 1975 itu—ia belajar ekonomi di Boston University—mengatakan dosen yang mendapat beasiswa ke luar negeri memang harus mau hidup prihatin. (Paragraf 11 Berita IV Boediono) Ketiga penggalan paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Boediono menjalani kehidupan yang pas-pasan saat berkuliah di Amerika. Karena menuntut ilmu di Amerika Boediono dituding sebagai penganut neoliberalisme. Boediono juga terlibat dalam perumusan konsep Ekonomi Pancasila bersama Mudrajad Kuncoro—kini guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada—di bawah arahan Profesor Mubyarto. Itu sebabnya Tony tak percaya Boediono menganut neoliberalisme. Neolib, kata Tony, adalah paham yang memberikan kebebasan penuh kepada pasar, misalnya melalui privatisasi dan liberalisasi. ”Saya sangat yakin beliau tidak pernah melakukan itu,” katanya.
Kata “menggagas ekonomi pancasila” menyiratkan ada jiwa nasionalisme pada Boediono. Narasumber yang diambil dalam berita ini adalah Tony Prasetiantono (Asisten Boediono) yang merupakan narasumber yang “pro” dengan Boediono. Padahal gencar diberitakan bahwa Boedino adalah penganut neoliberal. Hal ini menandakan bahwa Tempo menonjolkan bahwa Boediono bukan penganut neoliberal. Hal tersebut juga terdapat dalam paragraf berikut: Boediono juga membantah tudingan itu. “Saya ini dari universitas ndeso, masak cocok sebagai neolib?” katanya saat pamit ke almamaternya pada akhir Mei lalu. Ketimbang berdebat soal isme-isme dalam ekonomi, ujarnya, saat-saat seperti ini lebih baik dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, dan harga kebutuhan pokok. (Paragraf 15 Berita IV Boediono) Penekanan yang ingin dilakukan Tempo dari penutup ini adalah bahwa Boediono membantah tudingan bahwa ia penganut aliran neoliberalisme. Bantahan tersebut diperkuat dengan pernyataan Boediono yang ingin memanfaatkan waktu untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat daripada berdebat soal aliran yang ia anut. Konstruksi yang ingin dibangun dari penutup ini adalah Boediono bukan merupakan penganut neolib (pasar bebas) dan Boediono berpihak pada masyarakat.
D.4.b. Struktur Skrip Unsur Who dalam berita adalah Boediono. Sedangkan unsur What dalam berita ini pendidikan ekonomi Boediono dan kehidupan Boediono saat menjalani pendidikan di Amerika. Unsur Where dan When dalam berita ini adalah saat Boediono menjalani pendidikan ekonomi di Wharton School, University pf Pennsylvania, Amerika pada tahun 1979. Unsur how dalam berita ini adalah untuk bagaimana Boediono mempelajari ekonomi langsung dari negara asalnya, Amerika. Sedangkan undur why yang paling
menonjol adalah (1) mengapa Amerika disebut sebagai jantung liberalisme, serta alasan penolakan Boediono yang di cap sebagai penganut neoliberal
D.4.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, terdapat antar kata atau antar kalimat yang mengonstruksikan kepemimpinan Boediono. Salah satunya pada paragraf delapan “Universitas Gadjah Mada, tempat Boediono mengajar, tak memberikan dana tambahan sepeser pun. Padahal ia membawa istri dan dua anaknya yang masih kecil.” Terdapat koherensi pembeda yang mengonstruksikan seolah-olah menyalahkan istitusi tempat Boediono mengajar. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab Boediono hidup pas-pasan di negeri orang. Terdapat koherensi penyebab pada paragraf 10 “Karena keterbatasan itulah Boediono tenggelam dalam kegiatan belajar dan buku.” Mengonstruksikan bahwa tak banyak kegiatan yang dilakukan Boediono selain belajar dan membaca buku karena keterbatasan biaya yang dialaminya. Dari unit analisis kata ganti terdapat kata ganti untuk Boediono pada pada paragraf 13 terdapat kalimat ”... pria yang menjadi salah satu dari 125 alumnus Wharton paling berpengaruh itu... ”. Dari potongan kalimat tersebut mengonstruksikan (1) Boediono termasuk orang sukses dan berpendidikan ekonomi yang mumpuni karena merupakan lulusan dari Wharton (2) Boediono merupakan orang yang berpengaruh.
D.4.d. Struktur Retoris Beberapa kata di tubuh berita yang dipilih Tempo dalam menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu selain kata-kata yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut pada aragraf 6 “Kehidupan Boediono selama di Philadelphia hanya berkutat antara apartemen itu dan kampus”. Kata “hanya berkutat” menadakan
bahwa ia tidak melakukan banyak kegiatan selain di kampus dan apatemen. Pada paragraf 11 “Boediono akhirnya tak tega melihat istrinya hidup susah di negeri orang” mengonstruksikan Boediono tak tega melihat istri dan anak-anaknya hidup tak layak di Amerika, sehingga ia memulangkan mereka. Pada paragraf 11 terdapat kalimat “dosen yang mendapat beasiswa ke luar negeri memang harus mau hidup prihatin.” Kata “hidup prihatin” mengandung makna hidup dengan keadaan ekonomi pas-pasan dan penuh dengan penderitaan. Kalimat tersebut mengonstruksikan kehidupan Boediono saat menjalani pendidikan di luar negeri dengan beasiswa juga sangat prihatin. Terdapat dua buah foto. Foto Pertama dengan caption “Boediono. Saat menjadi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, di rumahnya, 1981”. Foto ini digunakan untuk menguatkan bahwa Boediono pernah menjadi dosen Fakultas Ekonomi di UGM. Sehingga konstruksi bahwa Boediono sebagai ekonom yang berpengalaman semakin kuat. Foto kedua dengan caption “Wharton School, University of Pennsylvania, Amerika” Untuk menguatkan bahwa Boediono pernah bersekolah disana.
D.4.e. Konstruksi Kepemimpinan Boediono di Berita IV Dalam berita ini Boediono dikonstruksikan menjani pendidikan di tempat liberalisme berkembang. Sehingga di akhir berita ia diokonstruksikan sebagai penganut neoliberal, namun itu dibantah oleh Boediono dan salah satu narasumber. Dalam berita ini saat menjalani pendidikan si Amerika Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang giat belajar. Boediono dikonstruksikan mengalami kondisi ekonomi yang sangat terbatas, sehingga menjalai kehiduan yang sederhana.
D.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Boediono
Dari tiga berita tentang Boediono, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi katakteristik kepemimpinan Boediono adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Ayah Boediono, Ahmad Siswo, adalah pedagang batik yang menderita kebutaan sejak usia 40 tahun. Ibu Boediono, Samilah, membantu suaminya berjualan batik. Ayah Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang cerdas, sehingga pendidikan untuk anak-anaknya amat penting baginya. Ayah Boediono mendidik sangat ketat dan tegas terhadap pendidikan Boediono. Ayah Boediono menaruh harapan agar Boediono bisa membanggakan keluarga dengan bisa bersekolah di luar negeri. Ayah Boediono memberi pelajaran kepada Boediono untuk menyayangi saudara-saudaranya. Kaluarga Boediono hidup dalam kesederhanaan. Boediono sejak kecil dikonstruksikan sebagai anak yang pendiam.
·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa Remaja Boediono
dikonstruksikan
menjalani
pendidikan
sekolah
Dasar
Muhammadiyah yang anat sederhana, dicontohkan dengan tidak mengenakan sepatu saat bersekolah. Boediono saat menjalani pendidikan menjadi siswa pendiam. Boediono juga dikonstrukskikan sebagai siswa yang cerdas hampir dalam segala hal terutama yang berkaitan dengan angka-angka. Boediono bukan tipikal seorang yang suka berorganisasi, menjadi ketua kelas juga karena terpaksa. Boediono melanjutkan study ke Fakultas Ekonomi UGM. Mengambil ekonomi hanya ikut-ikut teman. Pandangan terhadap dunia ekonomi berubah saat mendapatkan ceramah dari Moh. Hatta yang menerangkan seorang ekonom harus mengerti benar-benar kodisi ekomoni bukan hanya dari segi praktis ilmunya saja. Ia menjalani kuliah biasa-biasa saja hingga ia mendapatkan beasiswa kuliah ke Australia. Saat kuliah di Australia Boediono dikontruksikan mengisi waktu
luang dengan bekerja guna mendapatkan tambahan uang. Boediono dikonstruksikan sebagai seorang rajin menabung dan pandai dalam mengelola keuangan. Kemudia Boediono melanjutkan kuliah mengambil gelar Master di Amreika, yang dikonstruksikan sebagai jantung liberalisme. ·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Boediono dikonstruksikan sebagai seorang yang setia terhadap istri yang hubungannya telah terjalin sejak SMA. Saat berumah tangga Boediono dan istri dikonstruksikan membina hubungan yang harmonis. Istri Boediono bukan tipikan istri yang mencampuri pengambilan kebijakan suami. Istri Boediono dikonstruksikan memiliki manajemen keuangan yang baik. Boediono menerapkan disiplin yang ketat terhadap anak-anaknya. Boediono mengawali pekerjaan menjadi dosen. Boediono dikonstruksikan bukan sebagai dosen yang congkak dan sombong kepada mahasiswa, namun sebagai dosen yang cerdas. Boediono tak banyak bergaul, ia kebanyakan bergaul dengan lingkungan akademisi saja. Boediono dan keluarganya menjalani hidup prihatin di Amerika saat Boediono menjalani pendidikan di Amerika. Boediono dikonstruksikan sebagai penganut aliran neoliberalisme karena menjalani pendidikan ekonomi di Amerika (jantung liberalisme). Namun Boediono membantah tudingan tersebut. Boediono memang hebat dalam hal ekonomi, tetapi bukan dari kalangan partai dan tidak suka berorganisasi dan bersosialisasi, hal tersebut yang menjadi nilai minus dari segi kepemimpinan untuk Boediono dalam mencalonkan diri sebagai capres pemilu kali ini.
Dari latar belakang tersebut, Boediono dikarakteristikan sebagai pemimpin yang berwatak cerdas, pendiam, giat belajar, setia terhadap pasangan, tanggungjawabterhadap
keluarga dan orang tua, sederhana, dan pandai dalam manajemen keluangan. Namun Boediono tidak suka berorganisasi dan bersosialisasi dan kurang ditonjolkan dalam hal kepemimpinan
E. ANALISIS BERITA CAPRES JUSUF KALLA
E.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Godfather dari Makassar” E.1.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Godfather dari Makassar”. Dalam Kamus Inggris Indonesia kata godfather berarti wali laki-laki seorang bayi (Echols, 1992: 274). Kata “godfather” dalam judul tersebut diambil dari kutipan Ahmad Kalla, adik kandung Jusuf Kalla (paragraf 25) yang mengatakan ”Jusuf Kalla itu seperti godfather bagi kami”. Sehingga, konstruksi yang dibangun oleh Tempo dari kata godfather adalah peran Jusuf Kalla sebagai “wali” bagi adik-adiknya. Dalam makna yang lebih luas, “godfather” ini bisa dimaknai bahwa Jusuf Kalla sangat berperan dalam keluarga terutama sebagai pemegang bisnis keluarganya. Peran Jusuf Kalla bagi keluarganya menjadi hal yang ditekankan dalam berita ini. Sedangkan kata “dari Makassar” merupakan tempat tinggal Jusuf Kalla sejak SMP hingga dewasa, di kota itulah Jusuf Kalla tumbuh, menimba ilmu, dan memulai karirnya. Konstruksi yang ingin dibangun dari penggunaan kata Makassar adalah untuk memberikan penekanan bahawa Jusuf Kalla merupakan satu-satunya calon presiden yang berasal dari luar Pulau Jawa. Presiden dari “orang Jawa” dan “orang luar Jawa” pernah menjadi pembicaraan bahkan kontroversi. Contoh kasus adalah ucapan Andi Malarangeng dalam kampanye Capres-Cawapres SBY-Boediono di GOR Andi Mattalatta Makasar 1 Juli 2009. Ia yang menyatakan “Belum saatnya orang Bugis (Sulawesi Selatan) memimpin bangsa Indonesia” (www.kompas.com, 2009). Hal itulah yang menyulut kontroversi bertendensi ras dalam pertarungan perbutan kursi presiden dan wakil presiden, karena selama ini preseiden dan wakil presiden identik dengan “orang jawa”. Sehingga Tempo menggunakan “isu” tempat dari mana Jusuf Kalla berasal untuk dijadikan sebagai judul.
Lead berita ini terdiri dari dua kalimat yakni ”Jusuf Kalla menyerap sikap keras dan kesederhanaan dari orang tuanya. Anak bapak yang sejak kecil dilindungi”. Kata “menyerap” mengandung makna mengambil pelajaran. Kata “sikap keras” berarti tegas, lugas, dan teguh dalam bersikap. Konstruksi yang dibangun dari lead tersebut adalah bahwa Jusuf Kalla memiliki karakter yang tegas dan lugas dalam bersikap dan sikap sederhana yang ia peroleh dari kedua orang tuanya. Sedangkan kalimat kedua, “Anak bapak yang sejak kecil dilindungi”. Kata “anak bapak” mengonstruksikan Jusuf Kalla sebagai anak kesayangan ayahnya. Dikuatkan dengan kata “yang sejak kecil dilindungi”, menguatkan konstruksi bahwa Jusuf Kalla menjadi anak yang paling disayang dalam keluarga. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Bagi orang tuanya, Muhammad Jusuf Kalla adalah putra mahkota. (Jusuf Kalla) mendapat perhatian khusus untuk mengelola bisnis yang telah dirintis ayahnya, Haji Kalla, sejak masih belia. Pada sekitar usia 15 tahun, Kalla senior, yang telah yatim, mengumpulkan laba dari berjualan tekstil keliling dengan kuda dari desa ke desa. Ia lantas membuka kios di Pasar Bajoe, enam kilometer sebelah timur Watampone, ibu kota Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. (Paragraf 1 Berita I Jusuf Kalla) Pembukaan mengantarkan pembaca bahwa Ayah Jusuf Kalla adalah usahawan yang merintis bisnisnya dari bawah, dan Ayah Jusuf Kalla adalah kerja keras. Jusuf Kalla sendiri memiliki latar belakang pengusaha yang diturunkan dari sang ayah. Kata “Jusuf Kalla adalah putra mahkota” menandakan ia merupakan anak kesayangan yang disiapkan untuk menjadi pengusaha meneruskan bisnis sang ayah tersebut. Konstruksi bahwa Jusuf Kalla adalah anak kesayangan ayah diperkuat lagi dari unit analisis berikut ini: Menurut Ahmad Kalla, adik nomor dua Jusuf, sang kakak laksana pangeran yang dijaga oleh sang ayah. Jika Daeng Ucu—begitu sapaan Jusuf oleh adik-adiknya—ketahuan bermain air di sungai, sang ayah akan marah. “Jika ada istilah anak ibu, Jusuf Kalla ini anak ayah,” kata Ahmad. (Paragraf 3 Berita I Jusuf Kalla)
Dari paragraf tersebut mengandung dua unsur unit analisis yakni kutipan (sintaksis) dan pengandaian (retoris). Kata “sang kakak laksana pangeran yang dijaga oleh sang ayah” dan “Jika ada istilah anak ibu, Jusuf Kalla ini anak ayah” menguatkan konstruksi bahwa Jusuf Kalla adalah anak kesayangan ayahnya. Penggunaan pengandaian tersebut sengaja di munculkan karena Tempo ingin mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla dari keluarga yang menganut patriarki, sehingga anak laki-laki pertama sangat diagungagungkan untuk meneruskan tradisi keluarga. Latar informasi yang menggiring Tempo dalam mengonstruksi karekteristik Jusuf Kalla adalah pada paragraf 6 yakni “Dari ayahnya, Jusuf belajar cepat mengambil keputusan.” Hal tersebut mengonstruksikan bahwa ayah Jusuf Kalla adalah orang yang cepat mengambil keputusan. Jusuf Kalla juga memiliki karakteristik cepat mengambil keputusan yang diturunkan dari sang ayah. Karakteristik lain Jusuf Kalla diambil dari kutipan Muhammad Abduh (teman Jusuf Kalla) sebagai berikut: Menurut Muhammad Abduh, cara orang tua mendidik anak pada masa itu memang keras. “Kena tempeleng atau tendangan itu biasa,” katanya. Menurut Abduh, hal itulah yang membuat Jusuf Kalla berkarakter keras. “Jangan harap kalau Jusuf Kalla sudah membuat keputusan lalu akan berubah,” katanya. ... Soal sifat keras ini, Jusuf mengakui mendapatnya dari sang ayah. “Bapak saya tegas dan teguh.” (Paragraf 8 Berita I Jusuf Kalla) Paragraf tersebut mengonstruksilan bahwa Jusuf Kalla memiliki karakter keras. Karakter keras yang dimaksud adalah kuat, teguh, dan konsisten pada pendirian. Latar belakang Jusuf Kalla memiliki watak yang keras adalah cara mendidik orangtuanya yang keras pula, sehingga ia mempelajari karakter itu dari sang ayah. Kutipan lain yang mengonstruksikan karakteristik Jusuf Kalla terdapat pada paragraf berikut: Saat Haji Kalla menikah lagi dengan Hajah Adewiyah, tanggung jawab Kalla sebagai anak lelaki tertua semakin besar. Ini karena sang ibu, Hajah Athirah, melarang suaminya bermalam di rumah. Kalla seketika berperan sebagai kepala rumah tangga. “Saya yang mengiringi Ibu ke rumah sakit saat melahirkan
adik-adik,” kata Jusuf. “Bapak baru datang setelah Ibu melahirkan.” (Paragraf 14 Berita I Jusuf Kalla) Menurut Ahmad Kalla, Jusuf saat itu ibarat ayah bagi adik-adiknya. “Dia mendaftarkan adik-adik sekolah, termasuk membayarkan uang sekolahnya,” kata Ahmad. (Paragraf 15 berita I Jusuf Kalla) “Jusuf Kalla itu seperti godfather bagi kami,” kata Ahmad. (Paragraf 25 Berita I Jusuf Kalla) Latar informasi yang dibangun pada kalimat 14 adalah tentang ayah Jusuf Kalla yang menikah untuk kedua kalinya. Hal tersebut membuat karakteristik kepemimpinan Jusuf Kalla terbentuk yakni sebagai seorang yang bertanggungjawab terhadap keluarga. Kalimat “Kalla seketika berperan sebagai kepala rumah” mengonstruksikan bentuk tanggungjawab tersebut, yang sebenarnya tanggungjawab itu belum diemban oleh teman sebayanya, (saai itu Jusuf Kalla masih SMA). Konstruksi tersebut diperkuat dengan detail hal yang dilakukan Jusuf Kalla sebagai “kepala rumah tangga”. Kalimat “Jusuf saat itu ibarat ayah bagi adik-adiknya” pada kalimat 15 mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla adalah seorang peduli dan perhatian terhadap saudara-saudaranya, sehingga ia disebut sebagai godfather bagi adik-adiknya. Kata godfather telah dijelaskan di dalam judul. Dalam segi gaya hidup, Jusuf Kalla dikonstruksikan dalam paragraf berikut: Sejak kecil, Athirah mengajari anak-anaknya agar hidup sederhana. ”Kalau kau naik mobil, lihat kawan kau yang naik motor atau sepeda. Tapi, jika ingin berhasil, lihat kawan yang lebih pintar,” begitu petuah sang ibu. (Paragraf 9 Berita I Jusuf Kalla) Ketika menginjak SMA pada 1958, Jusuf Kalla mengendarai Vespa. “Dibelikan Ayah karena SMA saya cukup jauh,” kata alumnus SMA 3 Makassar ini. ... Karena anak orang berada, Jusuf juga kerap mentraktir kawan-kawan di kantin. “Uang jajannya memang lebih banyak daripada yang lain,” kata Muhammad Abduh. (Paragraf 16 Berita I Jusuf Kalla) Setahun mengendarai Vespa, Jusuf dibelikan mobil Willys. Tak dipakai bergaya-gaya, Willys itu disewakan. Sesekali mobil itu dipakai sendiri oleh Jusuf dan ayahnya untuk mengunjungi rekan bisnis. (Paragraf 17 Berita I Jusuf Kalla) Pada paragraf sembilan, dijelaskan bahwa Jusuf Kalla dididik untuk bergaya hidup sederhana. Jusuf Kalla diajarkan oleh sang ibu untuk melihat kawan yang lebih susah dari dia agar bisa bersempati dan tidak sombong. Tetapi ketika ingin berhasil, Jusuf
Kalla diajarkan untuk melihat kawan yang lebih pandai agar termotivasi. Pada paragraf 16 Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai seorang anak dari keluarga yang status ekonominya berkecukupan. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai kawan yang tidak pelit dan dermawan. Pada kalimat “Tak dipakai bergaya-gaya, Willys itu disewakan” di paragraf 17 mengonstruksikan gaya hidup sederhana yang diterapkan keluarga Jusuf Kalla. Mengenai pendidikan yang mengonstruksikan tentang karakteristik Jusuf Kalla terdapat dalam paragraf berikut: Dalam soal agama, Haji Kalla sangat puritan. Pengurus Nahdlatul Ulama itu tak segan merotan anaknya yang tak mengaji. Belajar Al-Quran biasanya dilakukan di masjid atau rumah guru agama pada sore hari. Jika rotan melayang, sang ibu, Hajah Athirah, mengiba-iba. “Jangan diteruskan,” kata Jusuf menirukan ibunya. (Paragraf 7 Berita I Jusuf Kalla) Haji Kalla lalu memasukkan Jusuf ke SMP Islam di Jalan Datuk Museng pada 1954. Harapannya, Jusuf Kalla belajar ilmu agama dan bisa melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Kairo, Mesir. Menurut Muhammad Abduh, rekan satu bangku Kalla, kurikulum sekolah ini 30 persen pendidikan umum dan 70 persen agama. (Paragraf 11 Berita I Jusuf Kalla) Dalam paragraf tujuh mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla dididik dalam didikan agama Islam yang kuat. Kalimat “(Haji Kalla) tak segan merotan anaknya yang tak mengaji” mengonstruksikan ketegasan dalam pendidikan tersebut. Merotan berarti memukul dengan rotan. Pada dua kalimat terakhir paragraf tujuh mengonstruksikan tentang Ibu Jusuf Kalla yang lebih lunak dalam memberikan hukuman. Karakteristik kepemimpinan Jusuf Kalla dikonstruksikan terbentuk dalam paragraf berikut: Sejak di Makassar, bakat kepemimpinan Kalla terasah. Ia bergabung dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia. Tiap Jumat ia berlatih pidato. “Saya sempat berpidato pada Isra’ Mi’raj,” kata Jusuf. (Paragraf 13 Berita 1 Jusuf Kalla) Pada 1961, Jusuf Kalla kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Di sana ia sempat menjadi ketua dewan mahasiswa dan ketua Himpunan Mahasiswa Islam cabang Makassar pada 1965-1966. (Paragraf 18 Berita 1 Jusuf Kalla) Saat menjadi aktivis inilah, Jusuf Kalla berkenalan dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Makassar (1960-1964), Jenderal M. Jusuf. ... Sang
jenderal juga menanamkan sikap berani menanggung risiko. (Paragraf 19 Berita 1 Jusuf Kalla) Pada paragraf 13 dan 18 mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla adalah seorang yang
suka
mengasah
bakat
kepemimpinannya
melalui
kegiatan
organisasi.
Kepemimpinannya terasah saat mengikuti organisasi pelajar Islam dan menjadi ketua organisasi Mahasiswa Islam di Makasar. Dipilihnya organisasi Islam karena sesuai dengan background keluarganya yang menerapkan pendidikan agama. Selain dari keorganisasian, kepemimpinan Jusuf Kalla juga terasah dari tanggungjawab usaha bisnis yang dilakukannya. Saat masih kuliah, Kalla sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (1965-1968) dari jalur Sekretariat Bersama Golongan Karya. Ia meninggalkan legislatif setelah sang ayah memintanya mengembangkan bisnis keluarga. Saat itu bisnis Haji Kalla sedang ambruk. ... (Paragraf 22 Berita I Jusuf Kalla) Transisi kepemimpinan bisnis itu terjadi begitu saja. Menurut Ahmad Kalla, peristiwa ini disaksikan tiga orang: ayah, ibu, dan Jusuf Kalla. Sang ayah mengeluarkan 15 kilogram emas batangan hasil likuidasi usaha setelah guncangan ekonomi pada 1955. ... (Paragraf 23 Berita I Jusuf Kalla) Di tangan Jusuf, bisnis Haji Kalla berkibar. ... Dua pekan sebelum meninggal, Haji Kalla meminta notaris dan menyerahkan saham kepada Jusuf dan adik-adiknya. Jusuf mendapat saham 50 persen, selebihnya dibagikan kepada anak yang lain. Posisi Jusuf di keluarga besarnya semakin kukuh. ... (Paragraf 25 Berita I Jusuf Kalla) Dari paragraf 22 dan 23 mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla dipercayai untuk meneruskan kepemimpinan usaha yang dirintis oleh sang ayah. Kata “Di tangan Jusuf, bisnis Haji Kalla berkibar” mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla mampu memimpin usaha itu dengan baik. Dan kata “Posisi Jusuf di keluarga besarnya semakin kukuh” mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla memiliki pengaruh yang besar terhadap keluarganya.
E.1.b. Struktur Skrip
Unsur who yang paling menonjol dalam berita ini adalah Jusuf Kalla. Sedangkan unsur what-nya adalah masa kecil hingga remaja Jusuf Kalla yang menjadi anak kesayangan ayahnya dan disiapkan menjadi pengusaha meneruskan sang Ayah. Unsur when dan where yang menonjol dalam berita ini adalah pada tahun 1950 Haji Kalla membuka kios bernama ”Sederhana” di Jalan Wajo, Watampone. Pada 1952, pecah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Banyak toko dirampok dan dibakar. Kehidupan bisnis lumpuh. Haji Kalla memutuskan pindah ke Makassar pada 1953. Haji Kalla lalu memasukkan Jusuf ke SMP Islam di Jalan Datuk Museng pada 1954. Jusuf Kalla kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Di sana ia sempat menjadi ketua dewan mahasiswa dan ketua Himpunan Mahasiswa Islam cabang Makassar pada 1965-1966. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (19651968) dari jalur Sekretariat Bersama Golongan Karya Unsur how dalam berita ini adalah bagaimana kehidupan masa kecil, masa remaja, dan Jusuf Kalla sewaktu dewasa. Sedangkan unsur why yang paling menonjol adalah mengapa Jusuf Kalla bisa menjadi godfatehr bagi adik-adik dan keluarganya.
E.1.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, terdapat koherensi penyebab di paragraf 16 yakni “Karena anak orang berada, Jusuf juga kerap mentraktir kawan-kawan di kantin.” Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa kondisi ekonomi keluarga Jusuf Kalla berkecukupan. Dari unit analisis kata ganti, terdapat kata ganti yang digunakan untuk Jusuf Kalla yakni pada paragraf 1 yakni Calon presiden dari Partai Golkar. Kata ganti tersebut menenkankan bahwa saat ini Jusuf Kalla sebagai kandidat presiden dalam pemilu pesiden 2009 dari partai Golkar. Jusuf Kalla telah lama menjadi kader Golkar sejak tahun 1965
Dari unit analisis detail, dijelaskan secara detail apa saja usaha yang dilakukan oleh Jusuf Kalla hingga usahanya bisa berkembang dengan pesat
E.1.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, kata yang dipilih Tempo dalam mengkonstrusikan karakteristik Jusuf Kalla teradapat pada paragraf yakni “Dalam soal agama, Haji Kalla sangat puritan. Pengurus Nahdlatul Ulama itu tak segan merotan anaknya yang tak mengaji.” Kata “puritan” mengandung makna kesholehan atau taat pada ajaran agama. Dari latar belakang tersebut Jusuf Kalla menjadi orang yang taat beragama. Pada paragraf 23 terdapat kaliamat “Transisi kepemimpinan bisnis itu terjadi begitu saja.” Kata “Transisi kepemimpinan” memperkuat konstruksi bahwa Jusuf Kalla, digadang-gadang untuk meneruskan kepemiminan usaha keluarga. “Di tangan Jusuf, bisnis Haji Kalla berkibar” (paragraf 25). Kalimat ini mengandung gaya yang mengandung makna bisnis Haji Kalla yang besar bisa sukses dengan usaha Jusuf Kalla. Dalam berita ini menggunakan metafora yakni dalam
kata “godfather” untuk
mengistilahkan Jusuf Kalla, pembahasa telah dilakuakn di dalam judul. Dari unit analisis grafis, terdapat satu ilustrasi, dua buah foto dan satu insert tulisan. Deskrispsi ilustrasi tersebut adalah Jusuf Kalla seperti mengikuti perlombaan lomba lari. Ia digambarkan berpostrur tubuh lebih pendek dari yang lain namun memiliki langkah kaki yang lebih panjang. Sementara peserta lain menggunakan kaos singket dan celana pendek, Jusuf Kalla justru memakai celana panjang dan kaos lengan panjang. Yang paling menarik adalah saat peserta lain memakai sepatu olah raga bagus, Jusuf Kalla justru menenteng sepatu kantor dikedua tangannya. Hal tersebut mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla orang yang berpostrur tubuh kecil namun gesit. Foto pertama dengan caption “Jusuf Kalla. Dalam acara pembukaan depot penjualan spare part di Sinjai, 1979.” Foto kedua dengan caption “Kunjungan Bisnis.
Kalla di pabrik Toyota di Tokyo, 1973.” Kedua foto tersebut ingin menguatkan konstruksi Jusuf Kalla sebagai pengusaha bisnis perakitan mobil. Insert tulisan diambil dari kutipan Muhammad Abduh “Jangan harap kalau Jusuf Kalla sudah mengambil keputusan lalu akan berubah.” Insert tulisan ini ingin menguatkan konstruksi Jusuf Kalla sebagai orang yang teguh terhadap keputusannya.
E.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Jusuf Kalla di Berita I Jusuf Kalla lahir dari kekuarga pengusaha. Ia sejak kecil sudah dididik untuk menjadi pengusaha. Jusuf Kalla berada di tengah keluarga dengan ekonomi berkecukupan. Ia dikonstruksikan memiliki karakter yang sederhana dan dermawan. Jusuf Kalla sangat disayang oleh sang ayah, nantinya Jusuf Kalla yang akan meneruskan bisnis sang ayah. Ayak Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai seorang yang memiliki watak keras, teguh, dan cepat mengambil keputusan. Waktak tersebut menurun kepada dirinya, sehingga Jusuf Kalla juga dikonstruksikan memiliki watak yang keras, teguh, dan cepat mengambil keputusan. Jusuf Kalla juga dikonstruksikan sebagai seorang yang bertanggungjawab terhadap keluarganya, dengan menjadi “ayah” bagi adik-adiknya. Kemampuan kememimpinan Jusuf Kalla terbentuk saat ayahnya menikah lagi. Ia turus bertanggungjawab mengurus ibu dan adik-adiknya. Kepemimpinan Jusuf Kalla juga terbentuk karena ia ikut berorganisasi di organisasi Islam. Ia juga sempat menjai anggota DPRD Makasar saat masih kuliah, namun ditinggalkannya karena fokus pada urusan bisnis keluarga. Keluarga Jusuf Kalla dikonstruksikan mengajarkan disiplin yang kuat pada pendidikan agama. Jusuf dan adik-adiknya mendapat hukuman jika tidak melaksanakan ibadah dan mengaji. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai pemimpin perusahaan yang sukses, dilihat dari usaha yang dirintisnya mengalami perkembangan yang pesat.
E.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Saudagar di Lapangan Hijau” E.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita kedua adalah “Saudagar di Lapangan Hijau”. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai “saudagar”. Dalam KBBI kata “saudagar” menunjukkan arti pedagang besar yang sukses. Sedangkan kata “di lapangan hijau” merupakan metafora dari “lapangan sepak bola”. Metafora bahwa “lapangan hijau” bermakna “lapangan sepak bola”. Jika dikaitkan dengan isi berita, konstruksi yang dibangun dari judul tersebut bahwa Jusuf Kalla merupakan pengusaha yang berkecimpung dalam persepakbolaan di Makasar. Sebagai saudagar, keterlibatan Jusuf Kalla dalam persepakbolaan itu adalah sebagai penyandang dana. Dalam berita ini tidak menggunakan lead, langsung memasuki tubuh berita dengan paragraf pendahuluan berita sebagai berikut: Stadion Mattoangin, Makassar, menyimpan cerita tersendiri bagi Jusuf Kalla. Di tempat itulah Kalla kecil kerap diajak ayahnya, Haji Kalla, menonton sepak bola. Sang ayah hampir tak pernah absen menonton aksi Ramang, pemain Persatuan Sepak Bola Makassar yang di masa itu jadi kebanggaan Sulawesi Selatan. Jika sore hari ada pertandingan sepak bola, sehabis zuhur, anak-beranak itu sudah siap di stadion sambil membawa sajadah untuk persiapan salat asar. “Bapak memang penggemar bola,” kata Kalla kepada Tempo. Pembukaan ini mengonstruksikan kecintaan ayah Jusuf Kalla terhadap pertandingan sepak bola dan hal apa yang dilakukan bersama anak-anaknya saat menonton bola. Pembukaan ini mengantarkan pembaca bahwa Jusuf Kalla memiliki latar kecintaan terhadap sepak bola yang diturunkan dari sang ayah. Dari unit analisis kutipan, beberapa kutipan tentang karakteristik Jusuf Kalla salah satunya dari Muhammad Abduh pada paragraf tiga “Menjadi pengurus PSM itu untuk menghormati bapaknya yang pecandu bola,” ujar Abduh. Kutipan tersebut menekankan konstuksi bahwa Jusuf Kalla adalah anak yang menghormati sang ayah.
Pendapat lain tentang Jusuf Kalla datang dari Syamsuddin Umar (mantan pemain sepak bola asuhan Jusuf Kalla) Syamsuddin Umar bercerita, dalam urusan pendanaan, Kalla tak pernah pelit. Bahkan pernah, ketika Makassar Utama bertanding di Bali pada 1986, para pemain diperbolehkan membawa keluarganya. (Paragraf 6 Berita II Jusuf Kalla) Kalla, kata Syam, juga sangat memikirkan masa depan pemainnya. ”Saat itu hampir semua pemain dikuliahkan. Terbukti saya, Yopie Lumoindong, dan Ronny Pattinasarani bisa sarjana,” ujar mantan pelatih PSM itu. (Paragraf 7 Berita II Jusuf Kalla) Kalimat “Kalla tak pernah pelit” mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla sebagi seorang yang telah berkecukupan buklanlah orang yang pelit, Jusuf Kalla adalah orang yang dermawan. Kalimat “Kalla, juga sangat memikirkan masa depan pemainnya.” Mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla peduli terhadap orang lain. Pada paragraf selanjutnya, Syam masih ingat dia dan teman-temannya pernah dihukum gara-gara ketahuan memukul wasit saat bertanding di Bogor. “Kami ramai-ramai dihukum. Saya, yang memukul wasit, diskors satu setengah tahun,” ucap Syam. Biarpun begitu, gaji bulanan pemain tetap dibayar. Hikmah lainnya, kata Syam, dia dan teman-temannya bisa menyelesaikan kuliah yang sebelumnya terbengkalai. (Paragraf 8 Berita II Jusuf Kalla) Paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla orang yang tegas dalam meberikan hukuman. Meskipun tegas Jusuf Kalla tetap perduli masa depan orang lain. Jusuf Kalla dalam paragraf empat mengatakan “Mengurus bola itu kayak mengurus bayi,” kata Kalla”. Kata “bayi” mengandung makna repot dan rewel. Sehingga mengurus persatuan sepak bola yang ia dirikan itu membuat repot dan banyak masalah. Dicontohkan dalam paragraf berikut: Walaupun Toyota, Merpati, dan Mizuno terkadang menjadi sponsor, Kalla tetap merogoh duit lumayan banyak setiap kali klubnya bertanding. “Waktu itu sekitar Rp 100 juta, sebagian besar untuk akomodasi dan tiket pesawat,” katanya. (Paragraf 5 Berita II Jusuf Kalla) Mengonstruksikan bahwa besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh Jusuf Kalla dalam mengurusnya.
Berita ini diakhiri dengan paragraf sebagai berikut: Abduh mengatakan, dari dulu, temannya (Jusuf Kalla) tak pernah pusing dengan urusan menang atau kalah. Hanya, karena selalu merugi, ditambah kondisi kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) makin meredup, Makassar Utama akhirnya dibubarkan. Para pemain kemudian bergabung dengan PSM. ”Saya capek,” begitu alasan Kalla. Penutup berita ini mengisahkan penutupan klub Makasar Utama merupakan “ending” dari usaha Jusuf Kalla dalam mengurus klub tersebut. Jusuf Kalla sudah tidak sanggup dengan mengatakan “Saya capek.”.
E.2.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Jusuf Kalla dan persatuan sepak bola yang ia dirikan. Unsur what-nya adalah apa yang dilakukan Jusuf Kalla terhadap persatuan sepak bola yang ia dirikan. Unsur where dan when dalam berita ini adalah Stadion Mattoangin, Makassar menjadi kenangan saat Jusuf Kalla masih kecil. Jusuf Kalla, yang sukses sebagai saudagar, diminta menjadi Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar mulai 1980 sampai 1990. Kalla juga mendirikan klub sendiri, Makassar Utama, pada 1985. Unsur why dalam berita ini adalah alasan mengapa Jusuf Kalla menyukai sepak bola. Dan unsur how-nya bagaimana Jusuf Kalla mencurahkan perhatiannya untuk dunia persepakbolaan di Makasar.
E.2.c. Struktur Tematik Unit analisis koherensi yang mengonstruksikan karakteristik Jusuf Kalla antara lain terdapat pada paragraf 1 terdapat koherensi penjelas yakni ”anak-beranak itu sudah siap di stadion sambil membawa sajadah untuk persiapan salat asar.” Kata ”sambil membawa sajadah” menekankan bahwa ayah Jusuf Kalla mengajarkan anak-ananya
untuk tidak lupa ibadah walau sedang menikmati asyiknya nonton bola sehingga menyelipkan ajaran agama diselipkan saat menonton sepak bola. Pada pargaraf dua terdapat koherensi penjelas yakni ”Berhubung badannya paling kecil, Kalla selalu kebagian posisi kiper” Mengonstruksikan bawa postur tubuh Jusuf Kalla lebih kecil dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Koherensi penjelas juga terdapat pada Paragraf 6 yakni “Bahkan pernah, ketika Makassar Utama bertanding di Bali pada 1986, para pemain diperbolehkan membawa keluarganya.” Kalimat tersebut mengkontruksikan bahwa Jusuf Kalla tidak pelit dalam memberikan dana untuk orang lain. Pada Paragraf 10 terdapat koherensi pembeda yakni “Hanya, karena selalu merugi, ditambah kondisi kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) makin meredup, Makassar
Utama
akhirnya
dibubarkan.”
Koherensi
penyebab
dan
penjelas
Mengonstruksikan Jusuf Kalla sudah enggan mengurus persatuan sepak bola itu karena lama-lama merugi dan kondisi kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) meredup.
E.2.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, terdapat pilihan kata yang mengonstruksikan karakteristik Jusuf Kalla yakni pada paragraf tiga “Kalla, yang sukses sebagai saudagar, diminta menjadi Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar.” Kalimat “Kalla, yang sukses sebagai saudagar” mengonstruksikan bahwa Kalla adalah pengusaha yang sukses. Pada paragraf delapan terdapat kalimat“Kalla dikenal tegas mengambil kebijakan.” Hal itu menandakan dengan jelas bahwa Jusuf Kalla adalah seorang yang tegas. Pada paragraf 10 terdapat kalimat “Tapi Kalla sendiri, kata Abduh, tak percaya pada hal-hal klenik seperti itu.” Kalimat tersebut ingin menunjukkan bahwa Jusuf Kalla tidak percaya pada hal klenik, karena ia dididik dalam ajaran agama Islam yang kuat.
Terdapat satu buah foto dengan caption “Cinta bola. Jusuf Kalla bersama pengurus dan pemain PSM Makasar di stadion Mattoangin, Makasar, 1980-an.” Foto tersebut menguatkan konstruksi Jusuf Kalla sebagai pecinta bola sehingga mau dengan sukarela menyumbang dana besar untuk kelangsungan sepak bola Maksar. Menggunakan kata ”lapangan hijau” untuk mengistilahkan lapangan sepak bola dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan persepakbolaan, hal tersebut sudah dibahas dalam judul. Mengunakan pengandaian dari kutipan Jusuf Kalla yakni ”Mengurus bola itu kayak mengurus bayi.” Pengandaian ini mengandung konstruksi bahwa mengurus segala hal yang berhubungan dengan persepak bolaan itu tak mudah, semuanya dari awal. Mengurus bayi kadang ada “rewel”nya dan banyak yang harus diatur dan dipersiapkan.
E.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Jusuf Kalla di Berita II Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai seorang yang berbakti kepada orang tua. Ia mendirikan persatuan sepak bola untuk menghargai ayahnya yang menyukai sepak bola. Jusuf Kalla menjadi pengusaha yang sukses sehingga mampu membiayai operasional klub yang ia dirikan. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai seorang yang tidak pelit. Jusuf Kalla seorang yang dermawan. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai pemimpin yang tegas dalam memberi hukuman kepada bawahan.
E.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Kala Jusuf di Jalan Tengah” E.3.a. Struktur Sintaksis Judul berita ketiga adalah “Kala Jusuf di Jalan Tengah”. Kata “kala” mengandung makna lain “ketika” atau “saat”. Pemilihan kata “kala” karena hampir mirip
dengan nama belakang Jusuf Kalla yakni Kalla. Sedangkan kata “di Jalan Tengah” merupakan metafora dari makna “penengah”. Jika dikaitkan dengan isi berita, konstruksi yang dibangun dari judul tersebut adalah saat Jusuf Kalla mengambil sikap sebagai penengah dari permasalahan perbedaan keyakinan yang dianut oleh kedua orang tuanya. Lead berita ini terdiri dari tiga kalimat yakni “Jusuf Kalla tumbuh dalam dua pengaruh besar. Ayah pengikut Nahdlatul Ulama dan ibunya warga Muhammadiyah. Dia bersikap suhaimi”. Dalam kalimat ketiga terdapat kata “suhaimi”, Jusuf Kalla memaknai kata “suhaimi” sebagai “ajaran tengah” (dalam paragraf 18). Konstruksi yang dibangun dari kalimat ketiga lead tersebut adalah Jusuf Kalla berusaha tidak memihak salah satu ajaran dari yang diyakini orang taunya dan berusaha untuk memadukan ajaran yang sekiranya bisa dilakukan. Memasuki tubuh berita, empat paragraf awal berita ini mengutip kisah yang dituturkan Ahmad Kalla (Adik Jusuf Kalla) tentang bagaimana Haji Kalla sangat marah terhadap Jusuf Kalla karena mengikuti keyaninan sang ibu (penganut Muhammadiyah) yang melaksanakan ibadah sholat iedul fitri lebih cepat sehari dari keyakinan sang ayah (penganut Nahdlatul Ulama). Pendahuluan sebagai latar bagaimana perbedaan keyakinan yang terjadi dalam keluarga Haji Kalla, pendahuluan secara tidak secara langsung mengantarkan pada pokok bahasan yakni perbedaan ajaran Islam yang dianut oleh orang tua Jusuf Kalla. Hal tersebut dijelaskan dalam paragraf berikut: Keluarga ini memang unik. Kepala rumah tangga, yakni Haji Kalla, adalah seorang penganut tradisi Nahdlatul Ulama yang fanatik. Sebaliknya Athirah, sang istri, dan ibu dari anak-anaknya adalah orang Muhammadiyah yang juga tak kalah taat. ”Beliau NU tulen, begitu juga ibunya, Muhammadiyah tulen,” kata Muhammad Abduh, sahabat Jusuf sejak remaja. (Paragraf 5 Berita III Jusuf Kalla) Meski sama-sama Islam, kedua organisasi ini punya banyak perbedaan yang sangat prinsip. Nahdlatul Ulama dikenal konservatif, sebaliknya Muhammadiyah dikenal sangat moderat. Ibarat sepasang rel kereta, meski punya tujuan yang sama, keduanya sulit bertemu. (Paragraf 6 Berita III Jusuf Kalla)
Dua paragraf tersebut mengkosntruksikan tentang perbedaan keyakinan yang dianut oleh kedua orang tua Jusuf Kalla, hal itu yang menjadi latar informasi berita ini. Jusuf Kalla mengambil tindakan seperti yang dijaskan dalam paragraf berikut: Pada akhirnya, Jusuf pun memandang perlunya sebuah jalan tengah. Bagi Jusuf ini adalah langkah yang terbaik. ”Saya suhaimi saja atau mengambil ajaran tengah.” (Paragraf 18 Berita III Jusuf Kalla) Jusuf Kalla sebagai anak berusaha untuk mengambil langkah terbaik dengan mengambil “jalan tengah” yakni mengkombinasikan ajaran kedua orang tuanya jika memungkinkan agar tidak memilih salah satu. Latar informasi lain yang dibangun dari berita ini adalah pendidikan agama yang kuat diterapkan dalam keluarga Jusuf Kalla. Jusuf Kalla menuturkan di paragraf 10 “Kalau tidak mengaji, kami dipukul pakai rotan.” Dan di paragraf 11 “Kalau lalai salat dan tidak mengaji atau rapor ada angka merahnya, dia akan memarahi kami.” Kedua kalimat tersebut menandakan betapa ketatnya orang tua Jusuf Kalla saat mendidik agama, sampai menerapkan hukuman. Paragraf penutup berita ini adalah “Jalan tengah serupa pada akhirnya dia tawarkan pula pada anak-anaknya. “Mereka normal-normal saja. Tidak ada pengaruh satu sama lain. Mix saja.”” Konstruksi yang dibangun dari penutup tersebut adalah Jusuf Kalla tidak memakasakan juga kehendak orangtuanya kepada anaknya, Jusuf Kalla menawarkan ”jalan tengah” yang ia yakini kepada anak-anakanya.
E.3.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Jusuf Kalla dan kedua orang tuanya. Sedangkan unsur what dalam berita ini adalah perbedaan keyakinan atara keus orang tua Jusuf Kalla dan apa yang dilakukan oleh Jusuf Kalla menyikapi perbedaan itu. Unsur when dan where dalam berit aini yang menonjol adalah saat lebaran yang terjadi inseden barahnya ayah Jusuf Kalla terhadap Jusuf Kalla. Karena pecah
pemberontakan DI/TII, pada 1952, keluarga ini hijrah ke Makassar. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah di Jalan Andalas, yang bersebelahan dengan Masjid Raya Makassar. Unsur how dalam berita ini dalah bagaiamana perbedaan keyakinan kedua orang tua Jusuf Kalla mempengaruhi keluarga ini, dan bagaiamana Jusuf Kalla menyikapi perbedaan tersebut. Serta unsur why-nya adalah alasan Jusuf Kalla mengambil jalan tengah dari pernedaan keyakinan kedua orang tuanya.
E.3.c. Struktur tematik Dari unit analisis koherensi, Koherensi antarkata atau antarkalimat, yang mengonstruksikan karakteristik Jusuf Kalla adalah sebagai berikut. Koherensi pembeda terdapat dalam paragraf sepuluh yakni “Mereka menerapkan aturan yang ketat bahkan keras”. Kata “bahkan” memberikan penekanan jika aturan agama sangat berlaku di keluarga ini. Ketat mengandung makna tidak boleh ada yang dilanggar, keras mengandung makna jika melanggar akan di beri hukuman. Terdapat koherensi pembeda pada parargraf 18 yakni “Dari berbagai rangkaian peristiwa yang dialaminya itu lambat-laun Jusuf memahami kedua perbedaan tersebut. Namun tak juga selamanya mulus.” Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla memahami pebedaan keyakinan kedua orang tuanya, tetapi ada saat dimana ia juga melakukan hal yang membuat perbeadaan itu menimbulkan masalah. Koherensi penyebab terdapat dalam paragraf 19 yakni “Itu pun bukan semata karena perbedaan ibadah, melainkan karena sikap keras sang ayah. Secara ritual, akhirnya dia mengikuti ajaran yang dianut sang bapak”. Kalimat ini menekankan bahwa ayah sangat dominan dalam keluarga sehingga kebanyakan mengikuti ajaran sang ayah karena ayahnya yang memaksa dengan sikap yang keras. Dari unit analisis detail terdapat detail tentang pendidikan Jusuf Kalla yakni:
Kalla menginginkan anak-anaknya, terutama Jusuf yang menjadi anak lelaki tertua, menjadi pemuka agama Islam. ”Beliau menginginkan saya menjadi ustad,” kata Jusuf. Untuk itulah, dia pun disekolahkan di sekolah menengah Islam di kawasan Datumuseng, Makassar. (Paragraf 12 Berita III Jusuf Kalla) Di sana Jusuf selama empat tahun membedah Quran, hadis, dan fikih. ”Pokoknya semua soal agama,” kata Abduh, yang menjadi teman sebangkunya. Pada tahun keempat, mereka ikut ujian persamaan sekolah menengah umum. (Paragraf 13 Berita III Jusuf Kalla) Dari detail tersebut menandakan bahwa ajaran agama memang sangat diutamakan dalam keluarga Jusuf Kalla. Dari unit analisis kata ganti yang digunakan dalam berita ini adalah “Kalla menginginkan anak-anaknya, terutama Jusuf yang menjadi anak lelaki tertua, menjadi pemuka agama Islam.” (paragraf 12). Kata “yang menjadi anak lelaki tertua”, menonjolkan sebuah makna tanggung jawab yang besar bagi Jusuf Kalla sebagai “anak lelaki tertua” yang paling diharapkan oleh ayahnya.
E.3.d. Struktur Retoris Beberapa kata di tubuh berita yang dipilih Tempo dalam menekankan dan menonjolkan makna-makna tertentu selain kata-kata yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut: pada paragraf lima terdapat kalimat “Keluarga ini memang unik”. Kata “unik” mengandung makna keluarga yang terdiri dari perbedaan yang lain dari keluarga yang lain. Pada paragraf 10 terdapat kalimat ”Pendidikan agama adalah harga mati bagi keluarga ini.” Kalimat tersebut mengonstruksikan bahwa ajaran agama agama menjadi hal terpenting dalam keluarga ini. Terdapat dua buah foto dan satu insert tulisan. Foto pertama dengan caption “Istigasah. Bersama para ulama dalam istigasah PWNU Jawa Timur di Bangkalan, Madura.” Foto ini memperkuat bahwa Jusuf Kalla juga mengikuti aliran NU saat bergaul dengan warga NU di Jawa Timur. Foto kedua dengan caption “Musyawarah HMI. Kalla
saat berpidato di depan Musyawarah HMI di Makassar 1966.” Mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla adalah aktivis salah satu organisasi mahasiswa Islam di Indonesia. Hal ini menguatkan bahwa latar belakang keagamaan menjadi landasan Jusuf Kalla dalam mengambil organisasi yang diikutinya. Insert tulisan “Jusuf berada dalam dua alam yang berbeda. Jika mengikuti sang sayah, sudah pasti dia berbeda dengan ibunya. Pun sebaliknya.” Insert ini menguatkan konstruksi tentang perbedaan keyakinan yang dianut kedua orang tua Jusuf Kalla, serta latar kenapa Jusuf Kalla mengambil sikap jalan tengah. Gaya bahasa retoris digunakan dalam pendahuluan “Kenapa lelaki itu teramat marah?”, yakni gaya bahasa yang menggunkan kalimat tanya yang tak perlu dijawab. Pengandaian pertama terdapat pada paragraf 7 yakni “Ibarat sepasang rel kereta, meski punya tujuan yang sama, keduanya sulit bertemu”. Hal ini menguatkan pernyataan tentang perbedaan keyakinan kedua orang tua Jusuf Kalla. Pengandaian kedua pada paragraf 8 “Jusuf seolah berada dalam dua alam yang berbeda. Jika mengikuti sang ayah, sudah pasti dia berbeda dengan ibunya”. Hal ini menjadi latar bagi Jusuf Kalla untuk mengambil sikap jalan tengah. Pengandaian yang ketiga pada paragraf 10 “Anak-anaknya akan dihukum jika lalai mengaji dan salat” Pengandaian keempat pada pargraf 11 “Kalau lalai salat dan tidak mengaji atau rapor ada angka merahnya, dia akan memarahi kami. Namun, bila dianggap benar, dia tidak ragu membela anak-anaknya”. Hal ini menjadi latar bahawa pendidikan keagamaan menjadi hal yang penting bagi keluarga ini. Keluarga ini juga menerapkan prinsip keadilan karena yang salah mendapat hukuman dan yang benar akan dibela. Pengandaian kelima pada paragraf 21 “Bak mengikuti langkah kedua orang tuanya, saat berjodoh ternyata pasangannya datang dari kalangan Muhammadiyah.” Hal
ini yang menjadi latar Jusuf Kalla ada kecenderungan mengikuti aliran Muhammadiyah (seperti yang dikisahkan dalam pendahuluan), sehingga membuat ayahnya marah.
E.3.e. Konstruksi Kepemimpinan Jusuf Kalla di Berita III Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai anak yang hidup ditengah pendidikan agama Islam yang sangat ketat dari kedua orang tuanya. Walau sama-sama taat beragama, namun kedua orang tua Jusuf Kalla memiliki aliran keyakinan yang berbeda. Jusuf Kalla mrngambil sikap tidak memihak dan memadukan kedua ajaran tersebut juka memungkinkan. Watak keras sang ayah mendominasi keyakinan Jusuf Kalla. Jusuf Kalla dikonstruksikan tidak memaksakan keyakinan yang ia yakini kepada ank-anaknya. Latarbelakang tersebut membuat Jusuf Kalla menjadi pemimpin yang berlatar belakang agama yang ia. Ia dikonstruksikan bisa memahami perbedaan dan mengambil jalan terbaik dari perbedaan tersebut.
E.4. Analisis Struktur Berita IV Berjudul “Musim Panas di Fontainebleau” E.4.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Musim Panas di Fontainebleau“. Judul ini tidak merepresentasikan esensi berita sama sekali (esensi berita akan dijelaskan di lead). Judul itu hanya merepresentasikan saat Jusuf Kalla berada di Fontainebleau, Prancis (untuk menjalani kursus manajemen), saat itu bertepatan dengan musim panas, maka berita ini diberi Judul Musim Panas di Fontainebleau. Lead berita ini terdiri dari dua kalimat yakni “Dengan beasiswa Kamar Dagang Indonesia, Jusuf Kalla ikut kursus manajemen di Prancis. Menjadi salah satu alumnus yang dibanggakan”. Orang yang mengikuti management of change di Institut Européen d’Administration des Affaires (INSEAD), Fontainebleau, Prancis, dari dana beasiswa
Kamar Dagang Indonesia (Kadin) merupakan pengusaha-pengusaha pilihan. Jusuf Kalla salah satu pengusaha sukses dari Sulawesi yang dipilih oleh Kadin. Kalimat “Menjadi salah satu alumnus yang dibanggakan” mengandung konstruksi bahwa saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden merupakan kebanggaan tersendiri bagi almamater tersebut, mengingat telah banyak alumnus almamater tersebut yang menjadi orang terkenal kelas dunia. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan deskripsi tentang Henri-Claude de Bettignies (mantan guru Jusuf Kalla) di Institut Européen d’Administration des Affaires (INSEAD) buru-buru terbang ke Indonesia dari Singapura untuk memberi selamat dan menunjukkan rasa bangga saat salah satu muridnya terpilih menjadi Wakil Presiden Indonesia. Menjadi alumnus INSEAD yang sukses menjadi latar informasi yang menggiring pemikiran Tempo dalam mengonstruksi isi berita. INSEAD menjadi hal yang penting bagi Jusuf Kalla, karena INSEAD merupakan institut yang istimewa, alasannya dijelaskan dalam paragraf berikut: Barangkali itu sebabnya institut pelopor pendidikan MBA di Eropa yang mengusung moto ”sekolah bisnis untuk dunia” ini punya segudang alumnus ternama. Di antaranya Pangeran Jean dari Luksemburg; Pangeran Friso dan Constantijn dari Belanda; bos Kodak, Antonio M. Perez; pemimpin L’Oreal, Lindsay Owen-Jones. (Paragraf 12 Berita IV Jusuf Kalla) Berarti, jika Jusuf Kalla juga pernah mengenyam pendidikan di sama, merupakan suatu prestasi. Jusuf Kalla mendapat beasiswa dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk kursus management of change di INSEAD, Fontainebleau, Prancis. Yang mendapatkan beaisiswa dari Kadin adalah eksekutif muda yang sukses, berarti Jusuf Kalla merupakan salah satu pengusaha yang sukses di Indonesia. Hal yang dipelajari Jusuf Kalla terdapat dalam paragraf berikut: Menurut Soedjai, mereka lebih banyak belajar soal kepemimpinan dan manajemen. ”Programnya serius, meski cuma satu setengah bulan,” katanya. Ada sedikit teori, banyak bedah kasus dan diskusi. Setiap akhir pekan, peserta kursus diminta mewawancarai dua mahasiswa master of business administration
(MBA). Hasilnya dijadikan bahan presentasi dalam diskusi pekan berikutnya. (Paragraf 8 Berita IV Jusuf Kalla) Selain itu terdapat konstruksi yang berbeda dari narasumber lain tentang INSEAD, yakni: Menurut Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, alumnus INSEAD 1979, materi kuliah di institut bisnis terkemuka itu sebenarnya tidak terlalu istimewa. ”Saya pernah ikut pelatihan di Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Enggak beda jauh,” katanya. (Paragraf 10 Berita IV Jusuf Kalla) ”Yang membuat sekolah ini istimewa,” kata Jero, ”siswanya orangorang pilihan.” Untuk program eksekutif, misalnya, INSEAD hanya menerima manajer atau direktur di perusahaan ternama. Kalla, misalnya, telah menjadi pengusaha sukses di Sulawesi ketika mendapat beasiswa dari Kamar Dagang. (Paragraf 11 Berita IV Jusuf Kalla) Dari paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Jusuf Kalla merupakan salah satu “siswa pilihan” dan pengusaha dari perusahaan ternama. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Lima tahun lalu, setelah terpilih jadi wakil presiden, Kalla pun masuk daftar alumnus “bintang” sekolah bisnis ternama itu. ”Sebenarnya itu kursus singkat saja. Tapi, karena ada ijazah, lalu orang cantumkan sebagai pendidikan,” katanya terbahak. Konstruksi yang dibangun dari penutup berita ini sudah jelas yakni Jusuf Kalla masuk daftar alumnus yang terkenal di sekolah bisnis ternama itu.
E.4.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Jusuf Kalla dan INSEAD. INSEAD juga menjadi who karena menjadi objek yang dibicarakan. Sedangkan unsur what adalah Jusuf Kalla menjadi lulusan INSEAD yang sukses. Unsur when dan where dalam berita ini adalah saat Jusuf Kalla mengikuti kursus di INSEAD di Fontainebleau, Parancis di ujung musim semi 1977.
Unsur how dalam berita ini adalah bagaiamana Jusuf Kalla menjalani khursus di INSEAD. Unsur why adalah mengapa Jusuf Kalla bisa memperoleh beasisiwa dari Kadin, dan mengapa Jusuf Kalla bisa menjadi lulusan yang dibanggakan.
E.4.c. Struktur Tematik Pada paragraf 3 terdapat koherensi pembeda yakni “De Bettignies menyampaikan rasa bangganya karena ada alumnus INSEAD yang menjadi wakil presiden.” Mengonstruksikan Jusuf Kalla menjadi orang yang bisa dibanggagan menjadi lulusan INSEAD yang menjadi wkil presiden. Pada paragraf 13 terdapat koherensi penjelas “Toh, Kalla mengaku suka INSEAD.” mengonstruksikan walaupun tak kursus terlalu lama dan materinya juga ada di Indonesia tetapi Jusuf Kalla tetap menyukai INSEAD. Penggunaan kata “alumnus” di beberapa paragraf, walau bukan sebagai kata ganti namun merujuk pada diri Jusuf Kalla. Kata tersebut menekankan makna bahwa Jusuf Kalla merupakan lulusan dari “institut bisnis terkemuka” (paragraf 11).
E.4.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, kata-kata yang ditonjolkan oleh Tempo tentang Jusuf Kalla adalah kebanggaan bahwa ia lulusan INSEAD yang membanggakan. Leksikon tersebut terdapat dalam kalimat berikut “menjadi salah satu alumnus yang dibanggakan”, ”De Bettignies menyampaikan rasa bangganya karena ada alumnus INSEAD yang menjadi wakil presiden”, ”Lima tahun lalu, setelah terpilih jadi wakil presiden, Kalla pun masuk daftar alumnus ”bintang” sekolah bisnis ternama itu.”
INSEAD sendiri dikonstruksikan oleh Tempo sebagai “institut pelopor pendidikan MBA di Eropa yang mengusung moto ”sekolah bisnis untuk dunia” ini punya segudang alumnus ternama.” Dari unit analisis grafis terdapat dua buah foto. Foto pertama pas foto Jusuf Kalla tahun 1964. Foto kedua adalah foto Institut Européen d’Administration des Affaires, namun foto tersebut tak menyakinkan bahwa itu foto institut tersebut, karena hanya sebagian gedung yang terlihat. Unsur grafis tidak mendukung konstruksi, hanya menjelaskan Jusuf Kalla pernah kursus di sana.
E.4.e. Konstruksi Kepemimpinan Jusuf Kalla di Berita IV Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai pengusaha yang sukses, sehingga ia layak mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri. Jusuf Kalla dikonstruksikan belajar kepemimpinan dan majanerial dari isntitut terkemuka di dunia. Alumnus institut tersebut adalah pemimpin-pemimpin terkenal dunia. Jusuf Kalla menjadi salah satu alumnus yang membanggakan setelah terpilih menjadi wakil presiden.
E.5. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Jusuf Kalla Dari tiga berita tentang Jusuf Kalla, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi katakteristik kepemimpinan Jusuf Kalla adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla) adalah pengusaha, dan Hajah Athirah (Ibu Jusuf Kalla) membantu usaha suaminya. Sehingga Jusuf Kalla tumbuh di lingkungan pengusaha dengan kondisi ekonomi yang berkecukupan. Jusuf Kalla sejak kecil sudah dididik untuk menjadi pengusaha. Ayah Jusuf Kalla sangat sayang pada Jusuf Kalla.
Sikap keras, tegas dan cepat mengambil keputusan menurun pada Jusuf Kalla. Sedangkan ibu Jusuf Kalla cenderung kalem. Dari ibu Jusuf Kalla, Jusuf Kalla mendapat pelajaran untuk hidup sederhana. Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Jusuf Kalla adalah anak pertama dan memiliki beberapa adik. Kepemimpinan Jusuf Kalla terbentuk saat ia harus bertanggungjawab menjaga adik-adiknya. Ajaran agama sangat ketat diterapkan dalam keluarga Jusuf Kalla. Jusuf Kalla tumbuh dalam dua keyakinan ajaran agama berbeda yang dianut oleh sang ibu dan ayah. Sang ayah mendominasi ajaran agama yang dianut keluarga kerena sifatnya yang kecas dan cenderung memaksa. Jusuf Kalla dididik disiplin dalam usuran agama, dengan diberi hukuman jika lalai mengaji atau sembahyang. ·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa remaja Latar belakang pendidikan agama Islam yang sangat ditonjolkan dalam berita ini. Dalam pendidikan formal, Jusuf Kalla dikonstruksikan sebagai siswa yang biasabiasa saja, dalam artian tidak telalu menonjol prestasinya. Ia disekolahkan di sekolah yang berbasis agama Islam yakni SMP Islam, kemudian melanjutkan ke SMA Islam, namun berpindah ke SMA umum. Saat menjadi pelajar, Jusuf Kalla bergabung dalam organisasi Perhimpinan Pelajar Islam Indonesia. Jusuf Kalla memilih berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin. Saat menjalani kuliah ia menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) Makasar. Dari oragnisasi tersebut mengasah kepemimpinan Jusuf Kalla.
·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Mufida (istri Jusuf Kalla) memiliki latar belakang suku dan keyaninan Islam yang berbeda dengan Jusuf Kalla, sehingga memperkaya perbedaan dalam keluarga Jusuf Kalla. Saat bekerja, ia dikonstruksikan sebagai seorang saudagar yang sukses.
Sebagai saudagar yang sukses Jusuf Kalla memiliki watak yang sederhana, tidak pelit, dan dermawan. Jusuf Kalla aktif dalam kegiatan sosial. Jusuf Kalla belajar kepemimpinan dan manajemen dari institut terkenal di Prancis yang mencetak pemimpin-peminpin dan pengusaha yang sukses. Sehingga Jusuf Kalla menjadi salah satu alumnus isntitut tersebut setelah menjadi wakil presiden
Dari latar belakang tersebut, Jusuf Kalla dikarakteristikan sebagai pemimpin yang berwatak keras, teguh, cepat mengambil keputusan, bertanggungjawab kepada kaluarga, perduli terhadap orang lain, hormat kepada orang tua, karakter pengusaha yang sukses, bisa memahami konflik dan perbedaan, serta mengasah kepemimpinannya dengan kegiatan sosial dan berorganisasi.
C. ANALISIS BERITA CAWAPRES WIRANTO
C.1. Analisis Struktur Berita I Berjudul “Satu Ayunan di Pintu Mercy” C.1.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Satu Ayunan di Pintu Mercy”. Kata “ayunan di pintu Mercy” adalah ungkapan untuk kegiatan membuka dan menutup pintu mobil Mercy. Hal itu menjadi penekanan dalam berita ini karena salah satu hal penting yang dilakukan oleh Wiranto (yang saat itu menjadi Ajudan Presiden) adalah membukakan dan menutupkan pintu mobil Mercy Presiden Soeharto. Kata “satu” menekankan makna melakukan hal sepele itu satu kali saja adalah hal penting, dalam artian bahwa sekali saja membuka dan menutup pintu mobil presiden tersebut adalah proses penting dan membutuhkan proses belajar.
Lead terdiri dari dua kalimat “Menjadi ajudan Presiden Soeharto merupakan babak penting dalam karier Wiranto. Belajar menjalin jaringan dari bosnya”. Kata “babak penting” pada kalimat pertama mengandung makna momen atau periode yang penting, berharga dan menentukan kedepannya dalam karier Wiranto. Penekanan dan apa yang ditonjolkan oleh Tempo dari kalimat itu sudah sangat jelas, yakni ketika Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto merupakan masa yang penting dimana karier Wiranto mulai menanjak. Kalimat kedua “Belajar menjalin jaringan dari bosnya”. Wiranto dikonstruksikan banyak belajar dari “bosnya” yakni Presiden Soeharto. Kata “menjalin jaringan” mengandung makna memperluas pergaulan yang bisa digunakan untuk jenjang kariernya kelak. Jaringan yang dimaksud adalah kolega dan orang-orang yang berhubungan dengan Soeharto saat ini. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan pendahuluan sebagai berikut: Pintu mobil merupakan persoalan penting bagi Wiranto. Di hari-hari pertama menjadi ajudan Presiden Soeharto, 20 tahun silam, ia sering menghabiskan waktu semalaman di garasi hanya untuk belajar membuka-tutup pintu Mercedes-Benz S-560 punya bosnya. (Paragraf 1 Berita I Wiranto) Pembukaan ini langsung mengantarkan pembaca pada poin penting yang ingin ditonjolkan oleh Tempo yakni hal yang dilakukan ketika Wiranto menjadi ajudan presiden. Pembukaan ini menguatkan usaha Wiranto dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Kata “sering menghabiskan waktu semalaman di garasi hanya untuk belajar membuka-tutup pintu Mercedes-Benz S-560” menunjukkan betapa pentingnya melakukan tugas tersebut. Tugas itu sebenarnya remeh, seperti yang diuangkapkan oleh Handoko Prasetya (teman Prabowo) dalam paragraf lima, ““Awalnya saya ketawa dalam hati: mosok buka pintu saja diajari,” tuturnya”. Tetapi karena yang di dalam mobil adalah seorang Presiden, maka persoalannya menjadi “penting”. Konstruksi “penting” tersebut terdapat dalam paragraf berikut:
Buka-tutup pintu ketika Soeharto berada di dalam mobil bukan perkara sederhana. Jika terlalu pelan, pintu tak terkunci. Jika terlalu kencang, bakal terkesan marah—hal yang diharamkan pada sang ajudan. Maka Wiranto punya kiat buat menutup pintu berkaca antipeluru itu. “Diayun pelan, tapi saya kerahkan tenaga sebelum tertutup,” katanya. (Paragraf 2 Berita I Wiranto) Kata “bukan perkara sederhana” tersebut yang mengonstruksikan pentingnya membuka tutup mobil Soeharto. Sedangakan kata “hal yang diharamkan pada sang ajudan” menandakan sesuatu yang tak boleh dilakukan oleh ajudan, hal tersebut mengonstruksikan betapa Soeharto sangat berpengaruh terhadap para ajudan. Dari unit analisis kutipan atau parafrase ada enam narasumber yang dimintai pendapatnya mengenai Wiranto, salah satunya Handoko Prasetyo, yang pernah bersama-sama Wiranto menjadi ajudan Soeharto, menilai koleganya itu selalu tampil prima. Kepada Wirantolah para ajudan bertanya. (Paragraf 5 Berita I Wiranto) Menurut Handoko, gampang-gampang susah memahami Soeharto. Dia tak pernah terlihat marah. Repotnya, sekali tersinggung, ia tak akan menyapa lagi. Nah, Wiranto bisa cepat memahami suasana bosnya. Itu sebabnya Soeharto pun sangat menyukai pria kelahiran 1947 ini. (Paragraf 6 Berita I Wiranto) Menurut Handoko, kepada para ajudannya, Soeharto selalu berkata, “Di sini tempat kamu belajar semua hal. Tapi seberapa besar kamu belajar, ya, tergantung kamu sendiri.” Wiranto, menurut Handoko, adalah murid terbaik Soeharto. (Paragraf 14 Berita I Wiranto) “Dalam pengamatan saya, Pak Harto memang menyiapkan Pak Wiranto untuk menjadi pemimpin Angkatan Bersenjata,” kata Handoko. (Paragraf 22 Berita I Wiranto) Kata “koleganya selalu tampil prima” dalam paragraf lima mengonstruksikan bahwa kondisi fisik dan mental Wiranto yang selalu terlihat segar, bugar, dan sehat. Sedangkan kalimat “Kepada Wirantolah para ajudan bertanya” mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah ajudan yang lebih berpengalaman dibandingkan ajudan yang lain, sehingga teman-temannya bertanya padanya. Pada paragraf enam “Nah, Wiranto bisa cepat memahami suasana bosnya. Itu sebabnya Soeharto pun sangat menyukai (Wiranto)” mengonstruksikan bahwa tak semua orang bisa memahami Soeharto, tetapi Wiranto adalah sosol yang bisa memahami atasannya itu dengan baik. Kata “murid terbaik” dalam paragraf 14 mengandung makna
bahwa Soeharto menjadi “guru” yang mengajarkan banyak hal kepada Wiranto, karena kemampuannya yang baik dalam memahami atasn Wiranto menjadi murid kesayangan yang baik bagi Soeharto. Karena menjadi “murid terbaik Soeharto”, Soeharto yang memiliki kekuasaan saat itu bisa dengan mudah mempersiapkan Wiranto dalam jabatanjabatan tertentu, seprti yang diungkapkan oleh Handoko bahwa Soeharto menyiapkan Wiranto menjadi pemimpin Angkatan Bersenjata Konstruksi tentang Wiranto juga diungkapkan oleh Soentoro pada Paragraf 12 “Di
setiap
jenjang
pendidikan,
ia
selalu
peringkat
pertama,”
Kalimat
ini
mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah orang yang pandai. Suaidi Marasabessy juga mengungkapkan pendapatnya pada aragraf berikut: Menurut Suaidi, banyak orang telah menduga Wiranto akan menjadi pemimpin tentara. (Paragraf 25 berita I Wiranto) Menurut Suaidi, cerita itu menandakan teman-teman Wiranto sudah memperkirakan sang perwira kelak akan menjadi pemimpin. Di lingkungan tentara, kata Suaidi, pengakuan dari rekan seangkatan merupakan prestasi tersendiri. “Nilainya lebih tinggi dari pengakuan bawahan atau bahkan atasan.” (Paragraf 28 Berita I Wiranto) Kalimat “banyak orang telah menduga Wiranto akan menjadi pemimpin tentara” mengonstruksi banyak orang yang percaya dengan apa yang dimiliki Wiranto (baik kemampuan manajerial, kemampuan memimpin, akses dan dukungan dari Soeharto dll) ia telah siap dan dipercayai menjadi pemimpin tentara. Hal ini diperkuat dengan konstruksi bahwa pengakuan dari rekan seangkatan adalah sesuatu yang membanggakan dan mendekati realitas sesungguhnya karena rekan seangkatan yang tahu tentang selukbeluk rekan yang lain. Dalam mengonstruksi kepemimpinan Wiranto, Tempo membangunnya dengan menceritakan tertang bagaimana Wiranto menindak anak buahnya dalam paragraf berikut: Suatu ketika, Wiranto sampai adu jotos dengan seorang anak buahnya. Penyebabnya, Kopral Selayar, nama prajurit itu, beristri tiga. Sang Kopral juga menjadi koordinator perjudian di kawasan tempatnya bertugas. Wiranto awalnya hanya memberikan peringatan, tapi tak digubris. (Paragraf 12 Berita I Wiranto)
Wiranto lalu menyergap Selayar yang usai berjudi. Keduanya baku pukul dan sang Komandan berhasil menaklukkan kopralnya. Setelah itu, Wiranto mengultimatum: “Hentikan perbuatanmu atau keluar dari tentara.” Selayar memilih tetap menjadi prajurit dan menceraikan dua istrinya. (Paragraf 11 Berita I Wiranto) Dariparagraf tersebut mengonstruksikan bahwa Wiranto pemimpin yang tegas terhadap bawahan, bahkan memberi peringatan tegas dan mau turun tangan untuk menyelesaikan masalah. Paragraf penutup berita ini adalah sebagai berikut “Kini, ia bertarung berebut kekuasaan itu bersama calon presiden Jusuf Kalla”. Kata “berebut kekuasaan” mengandung makna ketika Wiranto mencalonkan diri menjadi presiden tahun 2004 dan wapres tahun 2009. Kalimat tersebut mengandung konstruksi bahwa setelah lebih dari empat tahun Wiranto menjadi ajudan presiden, tahu seluk beluk kepresidenan, baik buruknya Orde Baru (sampai rezim itu tumbang), dan dengan jabatan-jabatan prestisius yang pernah ia sandang, kini ia kini ingin menduduki jabatan kepresidenan tersebut walau hanya jadi wakil presiden.
C.1.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini ada dua yakni Wiranto dan Soeharto. Soeharto juga banyak diceritakan dalam berita tersebut, karena keberhasilan Wiranto tak bisa dilepaskan dari peran Soeharto. Sedangkan unsur what-nya adalah tentang apa yang dilakuakan dan didapat Wiranto saat dan setelah menjadi ajudan presiden. Unsur where dan when berita ini yang berhubungan dengan Wiranto Lulus Akademi Militer Nasional pada 1968. Memulai kariernya di Desa Totolobomoeto, Tilamuka, Gorontal. Menjadi ajudan presiden Soeharto selama 4 tahun, 1989 sampai 1993. Tahun 1993 dipromosikan menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta
Raya jenderal. Tahun 1994 meraih bintang keduanya saat menjadi Panglima Kodam Jaya. Tahun 1996 diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Unsur how yang ditonjolkan dalam berita ini adalah bagaimana Wiranto bisa menjadi ajudan presiden dan bagaimana karier Wiranto bisa meningkat. Sedangkan unsur why dalam berita ini adalah alasan kenapa Soeharto sangat menyukai Wiranto dan kenapa banyak orang telah memprediksinya menjadi pemimpin tentara.
C.1.c. Struktur Tematik Dari unit analisis koherensi, koherensi antarkalimat yang membangun karakteristik Wiranto terdapar dalam paragraf berikut: Dari sinilah ia membangun jaringan dengan semua orang yang berhubungan dengan Soeharto. Kelak, jaringan ini berguna ketika ia menjadi Panglima Angkatan Bersenjata dan menjalankan penugasan lainnya. (Paragraf 17 Berita I Wiranto) Terdapat
koherensi
penjelas
yakni
pada
kata
“kelak”.
Hal
tersebut
mengonstruksikan bahwa dari Soehartolah Wiranto bisa membangun jaringan yang berguna ketika menjalankan tugas kedepannya. Terdapat koherensi pembeda pada paragraf 18 yakni “Apa sih yang didengerin Pak Harto, kok serius amat? Saya pingin tanya, tapi enggak berani. Takut dimarahi,” ujar Wiranto.” Terdapat pembeda pada kata “tapi” yang mengonstruksikan bahwa Wiranto tidak memiliki keberanian untuk menyinggung atasannya. Terdapat koherensi penjelas pada paragraf 29 yakni “Toh, Soeharto merupakan faktor terpenting dalam karier militer Wiranto. Bahkan, pada akhir kekuasaan 32 tahun Orde Baru, Wiranto menjadi benteng yang melindungi Soeharto.” Kata “ toh” dan bahkan” merupakan koherensi penjelas untuk mengonstruksikan betapa pentingnya Soeharto bagi Wiranto, ditekankan pada kata “menjadi benteng yang melindungi Soeharto”
Unit analisis detail, detail yang ditonjolkan dalam berita ini adalah detaih hubungan Wiranto dengan Soeharto, dan pelajaran apa saja yang didapat oleh Wiranto dari Soeharto. Detail yang paling menonjol adalah dalam paragraf berikut: Pada satu dari lima butir sikapnya sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, Wiranto menyatakan, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan tetap menjaga kehormatan dan keselamatan para mantan presiden mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat, termasuk Bapak Soeharto, beserta keluarga.” (Paragraf 30 Berita I Wiranto) Soal kejatuhan Orde Baru, Wiranto berpendapat itu merupakan akibat kelemahan kepemimpinan di akhir masa Soeharto. Ketika bertamu ke kantor majalah Tempo, Maret lalu, ia mengatakan, karena terlalu lama, kekuasaan pun menjadi terpusat ke seseorang. Akibatnya, mereka yang ingin ikut bertahan lama di lingkaran dalam kekuasaan bertingkah “asal bapak senang”. Akhirnya, Soeharto dikelilingi pialang-pialang yang membuatnya lupa pada kondisi riil masyarakat. (Paragraf 31 Berita I Wiranto) Paragraf 30 wiranto mengaskan sikapnya untuk melindungi Soeharto. Hal tersebut mungkin dilakukan untuk membalas jasa terhadap apa yang telah diberikan Soeharto kepada Wiranto. Pada paragraf 31 menunjukkan bahwa Wiranto tidak sepenuhnya menyalahkan Soeharto atas kejatuhan Orde Baru. Wiranto juga menunjukkan kalau orang-orang disekitar Soeharto juga
ikut
andil menjadikan
kelemahan
kepemimpinan Soeharto. Dari unit analisis kata ganti, terdapat kata ganti “bosnya” dalam lead dan pendahuluan merujuk pada Presiden Soeharto yang saat itu menjadi atasan Wiranto. Hal tersebut memberikan bahwa Soeharto bukan bos biasa bagi Wiranto, bos yang sangat penting bagi Wiranto. Kata “sang ajudan” dalam paragraf dua merujuk pada Wiranto yang saat itu menjabat sebagai ajudan persiden. Jabatan ajudan ditonjolkan karena adalah jabatan yang memulai karier Wiranto.
C.1.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, kata-kata yang ditonjolkan untuk mengonstruksikan karakteristik Wiranto terdapat dalam paragraf berikut:
Wiranto, ketika itu kolonel, mengalahkan 13 perwira lain dari Angkatan Darat untuk menjadi ajudan Soeharto. (Paragraf 3 Berita I Wiranto) Lulus ujian di pedalaman, karier Wiranto lempang setelahnya. ... Tapi jalan terang di depan mata ketika ia diangkat menjadi ajudan presiden. (Paragraf 12 Berita I Wiranto) Di masa Soeharto, ajudan merupakan jenjang prestisius. “Ajudan presiden itu perwira yang terbaik,” kata Subagyo Hadisiswoyo (Paragraf 13 Berita I Wiranto) Pada paragraf tiga mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah kolonel yang hebat bisa mengalahkan 13 perwira. Kata “lempang” dan “jalan terang” pada paragraf 12 mengkontruksikan tentang karier militer Wiranto yang baik. Kata “jenjang prestisius” pada paragraf 13 mengonstruksikan bahwa menjadi ajudan presiden merupakan karier yang bergengsi. Kalimat “Ajudan presiden itu perwira yang terbaik” mengonstruksikan bahwa Wiranto saat menjadi ajudan adalah salah satu perwira terbaik. Dari unit grafis terdapat satu ilustrasi dan dua buah foto. Deskripsi ilustrasi tersebut adalah puluhan ribu mozaik foto mini (yang kemungkinan) wajah wiranto yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk gambar wajah Wiranto dalam ukuran besar. Foto pertama dengan caption “Ajudan presiden. Mendampingi Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudharmono di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 1942”. Foto kedua dengan caption “Bersama Soeharto saat menunaikan ibadah haji pada 1991”. Kedua foto tersebut mengkonstruk-sikan bahwa Wiranto sangat dekat dengan presiden Soeharto pada masa itu. Dari unit analisis gaya bahasa, pada pragraf 22 terdapat tulisan “Belum genap setahun—tepatnya delapan bulan—ia ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.” Tulisan tersebut mengandung gaya pleonasne atau menambahkan keterangan pada pernyataan untuk menguatkan. Hal ini untuk mempertegas betapa cepatnya Wiranto ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.
Dari unit analisis metafora, dalam berita ini terdapat metafora pada paragraf 23 yakni golongan “rumput” alias taruna berprestasi biasa-biasa saja. Sehingga Wiranto ketika menjalani pendidikan dikonstruksikan sebagai taruna yang tidak menonjol. Dari unit analisis pengandaian, pada paragraf empat terdapat pengandaian “Segera setelah itu, Wiranto menempel bagai prangko, setiap saat di dekat Soeharto”. Konstruksi yang ingin dibangun dari pengandaian itu adalah ketika menjadi ajudan Presiden, Wiranto santa dekat dengan Soeharto selalu mengikuti Soeharto setiap saat. Paragraf 20 terdapat pengandaian ketiga yakni “Seusai menjadi ajudan pada 1993, karier Wiranto melesat bak meteor”. Pengandaian itu mengonstruksikan kecepatan dan kesuksesan jenjang karier Wiranto setelah menjadi ajudan presiden.
C.1.e. Konstruksi Kepemimpinan Wiranto di Berita I Sebagai seorang atasan, ia dikonstruksikan sebagai atasan yang tegas dalam menindak anak buah yang melakukan kesalahan. Ia menyelesaikan langsung masalah dengan anak buahnya. Saat menjadi taruna Wiranto dikonstruksikan sebagai taruna dengan prestasi tidak menonjol (biasa-biasa saja). Pada akhirnya, dari seorang taruna yang tidak menonjol, Wiranto menjadi perwira terbaik yang mempu mengalahkan 13 perwira lain dari Angkatan Darat untuk menjadi ajudan presiden (sebuah jabatan prestisius bagi seorang perwira). Wiranto dikonstruksikan sangat dekat dengan penguasa saat itu (dalam hal ini Presiden Soeharto), sehingga banyak akses yang membuat kariernya bagus. Wiranto bisa memahami atasannya dan menjadi ajudan kesayangan Soeharto. Dimasa akhir kekuasaan Soerharto Wiranto melindungi Soeharto sebagai bentuk balas budi kepada Soeharto. Selama menjadi ajudan presiden, Wiranto tahu seluk-beluk dan belajar hal-hal yang berhubungan dengan kepresidenan sebagai modal ia mencalonkan diri menjadi cawapres. Semisal belajar cara mengelola negara, memiliki kesempatan membaca
berbagai dokumen yang keluar-masuk ruang kerja presiden saat itu, belajar menghadapi berbagai problem, mengambil keputusan strategis, dan membangun jaringan dengan kolega Presiden Soeharto saat itu. Ia telah banyak menduduki jabatan-jabatan penting dikemiliteran. Pelajaran yang dipeoleh Wiranto tentang kepemimpinan adalah seorang pemimpin harus banyak belajar lingkungan dan pengalaman agar bisa menjadi teladan bagi anak buahnya.
C.2. Analisis Struktur Berita II Berjudul “Kenangan si Ento” C.2.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Kenangan si Ento”. Kata “kenangan” bermakna ingatan tentang masa lalu. Sedangkakan “si Ento” adalah panggilan ketika Wiranto masih remaja. Sehingga dari judul tersebut menekankan tentang bagaimana masa lalu Wiranto saat remaja. Jika dikaitkan dengan isi berita, Wiranto yang kini sukses mengenang banyak pelajaran hidup yang ia dapatkan sewaktu remaja dari kehidupannya yang serba kekurangan. Lead terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama “Wiranto remaja tukang loper koran dan jual ban sepeda untuk uang sekolah”. Kalimat tersebut mengonstruksikan kehidupan remaja Wiranto yang sulit. Untuk biaya sekolah saja ia menjadi tukang loper koran dan jual ban sepeda. Kata “tukang” menunjukkan pekerjaan yang rendah. Kalimat kedua “Mengimbangi ketat Rudi Hartono pada kejuaraan junior bulu tangkis di Malang”. Wiranto dikonstruksikan sebagai remaja yang jago dalam bermain bulu tangkis. Sehingga pertandingannya melawan Rudi Hartono yang memenangkan kejuaraan All England ditonjolkan dalam lead. Memasuki isi berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut:
Rumah berdinding gedek berukuran 8 x 7 meter itu tak banyak berubah. “Saya inget, tempat buat tidur pun tidak cukup. Kami tidur di mana-mana, kadang di atas meja, atau tidur dengan tiker di luar rumah. (Paragraf 1 Berita II Wiranto) Wiranto, kini 62 tahun, tidak mungkin lupa bagaimana ia dan delapan saudaranya, kedua orang tuanya, serta neneknya, hidup bersama di dalam rumah kecil di atas tanah seluas 300 meter persegi itu. Rumah tradisional Jawa, dengan kamar-kamar yang hanya dipisahkan oleh sekat. Di sebelah timur rumah ada sebuah sumur tempat Wiranto biasa mengguyur tubuhnya yang kecil dengan seember air. (Paragraf 2 Berita II Wiranto) Dari pembukaan ini langsung pada latar informasi yang menggiring Tempo dalam mengonstruksi berita ini. Kehidupan remaja Wiranto yang serba kekurangan, dengan mengonstruksikan tentang ketidaklayakan tempat tidur, kondisi rumah, dan banyaknya tanggungan keluarga Wiranto saat itu. Dalam
mengonstruksi
karakter
Wiranto
mengambil
beberapa
kutipan
narasumber. Yang pertama adalah Parafrase dari ibu Wiranto, yang terdapat dalam paragraf berikut ini : Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta ... ia ingin membangun kembali rumah bambu itu demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu. Namun ia tercengang dengan penolakan spontan sang ibu. ”Kalau kamu bangun dan berpagar tinggi, saya tak bisa bersosialisasi, tetangga pasti takut masuk rumah kita,” tutur Wiranto, menirukan ucapan ibunya. (Paragraf 4 Berita II Wiranto) Dari situ Wiranto memetik pelajaran berharga tentang kehidupan sosial. Akhirnya, ”Rumah itu saya pugar setelah Ibu wafat, untuk melanjutkan keinginan ibu agar rumah itu berguna bagi orang banyak,” tutur (Wiranto). Pendopo rumah itu kini dipakai penduduk sekitar untuk acara hajatan, arisan, pengajian, rapat partai, atau acara lain yang membutuhkan ruangan cukup besar. ”Silakan, itu anggap saja sebagai amal almarhumah ibu saya,” ujarnya. (Paragraf 5 Berita II Wiranto) Sang ibu memang tak pernah berhenti memberikan keteladanan … Ibunya juga pernah menolak pemberian mobil dari putranya dengan alasan bersahaja tapi begitu mengena. … ”O, enggak usah kalau kamu kasih mobil. Tukang becak yang menjadi langganan saya bertahun-tahun nanti hidupnya bagaimana?” Sampai sang ibu meninggal pada 1997, Wiranto tidak bisa membelikan mobil untuk ibunya. (Paragraf 5 Berita II Wiranto) Kata ”Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta” mengonstruksikan bahwa Wiranto telah menjadi orang sukses. Kata “demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu” mengonstruksikan bahwa Wiranto adalah anak yang berbakti terhadap orang
tua. Dari ucapan sang ibu, Wiranto diajarai tentang kehidupan sosial yakni untuk berosialisasi dan peduli dengan lingkungan disekitarnya. Kutipan lain yang mengonstruksikan tentang kepemimpinan Wiranto terdapat dalam paragraf berikut ini: Wiranto tumbuh menjadi anak yang berdisiplin, dengan kegemarannya dan kemampuannya yang menonjol pada olahraga, khususnya bulu tangkis dan sepak bola. … ”Sejak kecil Ento sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan. Hal itu tampak saat menjadi kapten tim sepak bola Condromowo. Orangnya disiplin dan tertib. Bahkan, jika waktunya belajar tiba, dia langsung berhenti bermain dan masuk rumah langsung belajar,” kata Wisnu Sunarno, salah satu teman main Wiranto saat tinggal di Surakarta. (Paragraf 10 Berita II Wiranto) … Sedangkan di bidang bulu tangkis, Ento terkenal jago sekampung, menurut Wisnu, dan sering menjadi juara di lomba tujuh belasan. (Paragraf 12 Berita II Wiranto) Konstruksi yang dibangun oleh Wisnu Sunarno bahwa Wiranto memiliki karakter disiplin dan tertib. Menurut Wisnu, kepemimpinan Wiranto telah nampak sejak kecil dengan menjadi kapten tim sepak bola di kampungnya. Wiranto juga dikonstruksikan hebat dalam olahraga (sepak bola dan bulu tangkis). Khusus untuk bulu tangkis, Tempo mengonstruksikan kehebatan Wiranto dalam paragraf berikut : Hobi yang satu ini sempat mempertemukannya dengan Rudi Hartono, juara All England delapan kali, pada suatu kejuaraan junior tingkat sekolah lanjutan atas di Malang, Jawa Timur. Bahkan, menurut pengakuannya, Ento mampu menahan lajunya angka jago Jawa Timur itu. ”Skornya kejar-kejaran, saya kalah, tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15. Waktu itu namanya masih Rudi Nio,” katanya. (Paragraf 13 Berita II Wiranto) Tempo ingin mengetengahkan sisi lain dari Wiranto yakni prestasinya di bidang olah raga. Kata ”tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15” dari kutipan Wiranto mengonstruksikan
walau
ia
mengakui
kekalahannya,
tetapi
ingin
meonjolkan
kehebatannya. Dalam berita tentang Wiranto sama sekali tidak dijelaskan tentang keluarga Wiranto sendiri (bagaimana istri dan anak-anaknya). Wiranto hanya dikonstruksikan
sebagai seorang susah untuk berhubungan dengan wanita meskipun dia tekun belajar dan hebat dalam olah raga. Hal tersebut terdapat dalam paragraf berikut : Walau tekun belajar, jago berbagai macam olahraga, Wiranto tak mulus saat berhubungan dengan lawan jenisnya. Saat di SMA, menurut Sri, ada teman perempuan satu sekolah yang mengejar-ngejarnya, sering bertandang ke rumah. ”Tapi dasarnya pemalu, Wiranto justru sembunyi setiap didatangi,” ujarnya. (Paragraf 13 Berita II Wiranto) Dari kutipan Sri mengonstruksikan bahwa Wiranto pemalu terhadap lawan jenis. Tetapi Wiranto oleh Sri di konstruksikan sebagai anak yang tidak malu bekerja keras demi perekonomian keluarganya, seperti terdapat dalam paragraf berikut: Banyak cara dilakukan oleh lelaki kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini untuk menutupi kekurangan yang dialaminya sekeluarga. ”Saya kumpulkan kertas, majalah bekas, koran bekas di rumah, lalu dijual ke Pasar Legi. Hasilnya saya belikan ketela untuk makan,” kata lulusan siswa Sekolah Dasar Ketelan, Solo, ini. (Paragraf 9 Berita II Wiranto) Si Ento juga sempat menjadi pengantar langganan koran dari rumah ke rumah, dan menjajakan ban sepeda untuk tambahan jajan dan uang sekolah. ”Saat masih SMP, ia sering berbelanja ke pasar jalan kaki; dia tidak malu. Lalu uang ongkos becak bisa diiritnya buat ibu,” ujar Sri, kakak Wiranto yang usianya berselisih sepuluh tahun dengannya. (Paragraf 11 Berita II Wiranto) Paragraf tersebut menggambarkan tentang kondisi ekonomi keluarga Wiranto yang serba kekurangan, sampai-sampai mengumpulkan kertas dan menjualnya untuk membeli makan. Wiranto dikonstruksikan peduli terhadap ibu dan kondisi keuangan keluarga, sehingga dia mau dan tidak malu melakukan pekerjaan yang sekiranya akan membuat malu kaum laki-laki. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Wiranto memang bukan guru, tapi ia selalu ingat satu pelajaran tentang kejujuran setiap kali keluarga guru itu makan. Di rumah sudah ada piring masing-masing. Tiap hari mereka dapat satu potong tempe dengan setumpuk nasi. Meski sekolahnya berbeda waktu, masing-masing sudah terlatih. “Walaupun laparnya bukan main, ndak ada niat mengambil tempe atau mengurangi nasi yang lain. Di situlah ada tanggung jawab. Kalau saya kurangi punya orang lain, saudara saya yang lain juga akan kelaparan,” ujar Wiranto. Paragraf penutup ini adalah mengonstruksikan watak Wiranto yang jujur, bertanggungjawab dan perduli terhadap orang lain. Ia tak ingin mengambil jatah orang
lain walau ia sendiri sedang kesusahan, karena orang lain juga akan kesusahan jika jatahnya ia ambil.
C.2.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini adalah Wiranto dan keluarganya (terutama Suwarsijah, Ibu Wiranto), karena dalam berita ini (unsur what-nya) menyoroti tentang kehidupan masa lalu Wiranto dan keluarganya yang hidup kurang berkecukupan. Unsur where dan when yang ditonjolkan dalam berita ini yang berkaitan dengan Wiranto adalah. Wiranto lahir di Yogyakarta 4 April 1947. Sejak kecil ia tinggal di daerah Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Bersekolah di SMP Negeri 2 Surakarta dan SMA Negeri 4 Surakarta. Saat di SMA ia mengikuti kejuaraan bulu tangkis junior tingkat sekolah lanjutan atas di Malang, Jawa Timur. Unsur unsur why yang ditonjolkan dalam berita ini adalah alasan kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan. Untuk itu dalam unsur how yang ditekankan dalam berita ini adalah bagaimana Wiranto manjalani kehidupan di tengah keluarg ayang kurang berada itu, mulai jadi loper koran, jual ban, berjalan kaki ke pasar, memilih sekolah yang tidakm memgeluarkan biaya, baktinya kepada ibu, dan prestasi dalam hal olah raga (sepak bola dan bulu tangkis).
C.2.c. Struktur Tematik Koherensi antarkata, antar kalimat, tentang karakteristik Wiranto telah banyak yang telah masuk dalam elemen sintaksis. Dari unit analisis detail, banyak ditonjolkan detail tentang tentang pelajaran apa yang Wiranto dapat dan detail tentang ibu Wiranto. Namun ada yang lebih dari sekadar nostalgia dari rumah di Punggawan, Kecamatan Banjarsari, Surakarta, itu. Di sanalah sang ibu, Suwarsijah,
mengasuhnya dan memberikan keteladanan akan keuletan, kesabaran, dan kesederhanaan. (Paragraf 3 Berita II Wiranto) Suwarsijah memang menyerupai gambaran seorang superwoman sekarang ini. Suaminya R.S. Wirowijoto, seorang guru sekolah dasar di Boyolali, kota kecil di dekat Solo, yang setiap hari pulang menjelang magrib. “Dalam situasi sesulit apa pun, Ibu bertanggung jawab pada keluarga, mengusahakan untuk tetap makan, uang sekolah agar tetap dibayar, pakaian yang pantes. Itu tidak mudah dengan gaji ayah seorang guru sekolah dasar, punya sembilan anak. Saya bisa merasakan luar biasa beratnya,” tutur Wiranto. (Paragraf 7 Berita II Wiranto) Detail pelajaran yang didapat dari ibu Wiranto adalah keteladanan akan keuletan, kesabaran, dan kesederhanaan. Dan detai tentang Ibu Wiranto adalah bawa ia adalah ibu yang bertanggungjawab terhadapkeluarganya. Detail lain tentang keluarga Wiranto adalah sebagai berikut: Masuknya Wiranto menjadi taruna memecah tradisi profesi keluarganya, menjadi guru. “Semua kakak saya menjadi guru. Namun, sejak saya ke akademi militer, adik di bawah saya mengikuti. Satu menjadi polisi, seorang lagi insinyur teknik sipil,” ujarnya. (Paragraf 16 Berita II Wiranto) Kata “memecah tradisi profesi keluarganya” mengonstruksikan bahwa Wiranto merupakan salah satu anak yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan saudarasaudaranya yang menjadi guru. Unit analisis kata ganti menggunkan kata “Si ento” yang merupakan panggilan ketika Wiranto masih remaja, kata ganti itu digunakan dalam judul, paragraf enam, sepuluh, dan 11. Kata ganti ini relefan dengan konteks “kenangan” yang dimaksudkan dalam judul, karena mengandung unsur masa lalu dari Wiranto. Kata ganti kedua terdapat di paragraf 4 yakni “sosok yang sudah jadi orang di Jakarta”. Konstruksi yg dibangun sumber dari kata ganti ini adalah dahulunya Wiranto hidup susah, namun sekarang ia telah sukses hidup di Jakarta. Kata ganti ketiga terdapat pada paragraf lima yakni “calon wakil presiden pasangan Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2009” yang menekankan posisi Wiranto saat berita itu diterbitkan. Kata ganti keempat pada paragraf 19 yakni “lelaki kelahiran Yogyakarta 4 April 1947” menekankan tempat tanggal lahir Wiranto.
C.2.d. Struktur Retoris Kata-kata yang dipilih Tempo dalam mengonstruksikan keluarga Wiranto menunjukkan bahwa mereka memang dari kalangan keluarga dari ekonmi yang kurang mampu. Semisal pendiskripsian tentang rumah Wiranto, dan pendeskripsian tetang hal yang wiranto lakukan untuk mendapatkan uang tambahan. Dari unit grafis terdapat satu ilustrasi dan satu insert tulisan. Ilustrasi yang ada dalam berita itu menggambarkan dua orang sedang bertanding bulu tangkis ditonton banyak orang. Hal ini untuk melukiskan bahwa Wiranto jago bermain bulu tangkis. Konstruksi kehebatan Wiranto bermain bulu tangkis itu didukung dengan insert tulisan dari kutipan wiranto yakni “Skornya kejar-kejaran, saya kalah, tapi angka saya masih di atas sepuluh dari 15. Waktu itu namanya masih Rudi Nio,” (sudah dijelaskan dalam elemen sintaksis) Paragraf 4 terdapat kalimat “Sebagai sosok yang sudah jadi orang di Jakarta— saat itu kedudukannya Panglima Angkatan Bersenjata—ia ingin membangun kembali rumah bambu itu demi menunjukkan baktinya kepada sang ibu”. Kalimat ini mengandung gaya pleonasme yakni menambahkan keterangan untuk menguatkan Pengandaian pertama terdapat pada paragraf delapan yang munsul dari kutipan Wiranto yakni “Mungkin, kalau sekarang disensus, keluarga saya pada waktu itu termasuk yang dapat beras jatah orang miskin dan bantuan langsung tunai, karena memang berat sekali kehidupan.” Pengandaian itu mengonstruksikan masa lalu Wiranto yang sangat sulit. Pengandaian kedua terdapat pada paragraf 15 yakni juga dari kutipan Wiranto “Kalau ada dana barangkali saya sudah masuk jurusan arsitektur, jadi insinyur”. Hal ini juga mengonstruksikan masa lalu Wiranto yang sangat sulit, sehingga tidak bisa mewujudkan cita-citanya yang ingin jadi insinyur.
C.2.e. Konstruksi Kepemimpinan Wiranto di Berita II Wiranto sejak kecil hingga remaja hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Hingga ia sejak kecil dididik oleh orang tuanya untuk hidup sederhana, tidak malu dalam bekerja keras, dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Pelajaran itu kebanyakan diajarkan oleh sang ibu. Sang ibu juga memberi pelajaran kepada Wiranto untuk mau bersosialisasi dengan tetangga dan peduli terhadap orang lain. Wiranto anak yang berbakti kepada orang tua. Kepemimpinan Wiranto sejak kecil tampak pada saat menjadi kapten tim sepak bola Condromowo. Wiranto memiliki watak disiplin dan tertib. Wiranto mengubur impiannya menjadi arsitek dan memilih menjadi tentara karena ketiadaan biaya untuk sekolah lebih tinggi.
C.3. Analisis Struktur Berita III Berjudul “Awalnya Hanya ‘Rumput’” C.3.a. Struktur Sintaksis Judul berita ini adalah “Awalnya Hanya ‘Rumput’”. Kata “awalnya” ini merujuk pada awal-awal Wiranto meniti karier di dunia militer, tepatnya saat menjadi taruna di Akademi Militer. Kata “rumput” merupakan metafora yang berarti taruna yang berprestasi pas-pasan (seperti yang tertera pada paragfar 5). Kata “hanya” menekankan sesuatu yang sepele. Sehingga Konstruksi yg dibangun sumber dari judul tersebut adalah Wiranto awalnya memang taruna yang berprestasi pas-pasan, hingga akhirnya ia sukses di karier puncak kemiliteran sebagai jendral. Lead terdiri dari dua kalimat yakni “Wiranto bukan taruna berprestasi di Akademi Militer. Masuk sekolah tentara juga karena pertimbangan ekonomi: tidak perlu membayar, malah mendapat uang saku.” Konstruksi kalimat pertama dapat dibaca secara
eksplisit bahwa Wiranto saat menjalani pendidikan di Akademi Militer bukanlah taruna berprestasi. Sedangkan kalimat kedua mengonstruksikan keadaan ekonomi keluarga Wiranto yang tak mampu menyekolahkan di sekolah yang mengeluarkan biaya banyak. Sehingga Wiranto masuk sekolah militer yang tak perlu mengeluarkan biaya justru mendapatkan uang saku. Memasuki tubuh berita, berita ini diawali dengan paragraf sebagai berikut: Belasan pensiunan perwira itu kerap berkumpul di Blok E Kompleks Angkatan Darat Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka adalah perwira satu angkatan di Akademi Militer Nasional (1968). Paguyuban itu menyebut kelompoknya Andalan, kependekan dari Anugerah Tidar Enam Delapan. (Paragraf 1, Berita III Wiranto) Pendahuluan ini berisi deksripsi pensiunan perwira yang mendukung pencalonan Wiranto menjadi cawapres. Hal ini mengantarkan pembaca bahwa Wiranto merupakan kalangan militer yang memiliki pengaruh, dibuktikan dengan adanya kelompok pensiunan perwira yang mendukung dibelakangnya. Tugas mereka adalah memuluskan jalan Wiranto menuju kursi RI-2 mendampingi Jusuf Kalla. “Kami bertugas memberikan masukan kepada Wiranto,” ujar Wahidin Yusuf, Ketua Andalan. (Paragraf 2 Berita I Wiranto) Dukungan Andalan tidak hanya kali ini. Dalam pemilihan presiden periode sebelumnya, mereka juga menyokong Wiranto. Kesetiaan teman-teman angkatan 1968 terhadap Wiranto cukup logis, karena dialah perwira yang kariernya paling cemerlang di antara kawan seangkatan. Wiranto sudah menjadi kebanggaan, terutama sejak ia mencapai posisi puncak sebagai panglima angkatan bersenjata. (Paragraf 4 Berita III Wiranto) Dari dua paragraf diatas merupakan bentuk dukungan teman seangkatan Wiranto di Akademi Militer. Alasan dukungan itu karena Wiranto merupakan “perwira yang kariernya paling cemerlang di antara kawan seangkatan”. Kata “kariernya paling cemerlang” dan “menjadi kebanggaan” mengonstruksikan prestasi Wiranto yang lebih baik dibandingkan teman-teman seangkatannya di di Akademi Militer. Namun dibalik kariernya yang cemerlang dan membanggakan ada sebuah paradoks yang ingin ditonjolkan oleh Tempo, yakni terdapat dalam paragraf berikut :
Tapi sebenarnya Wiranto tidak gilang-gemilang sejak muda. Ketika taruna, Wiranto dikenal dengan sebutan “rumput”, yaitu istilah kalangan angkatan ini untuk menyebut taruna yang berprestasi pas-pasan. Menurut kawan seangkatannya, Soentoro, Wiranto tidak banyak memperoleh penghargaan. Dadanya nyaris bersih dari lencana. Yang ada hanya penghargaan rutin seperti wing terbang. “Passing grade-nya hanya 65,” ujar Mayor (Purnawirawan) Endick Kosasih, bekas pelatih Wiranto di Akademi Militer. (Paragraf 5 Berita III Wiranto) Hal tersebut merupakan latar informasi yang menggiring Tempo dalam mengkostruksi
berita
ini.
Soentoro
(kawan
seangkatan
Wiranto
di
Akmil)
mengonstruksikan Wiranto tidak banyak mendapat pengkargaan. Menurut mantan pelatih Wiranto, nilai Wiranto juga pas-pasan. Hal tersebut bisa dikarenakan awal Wiranto memasuki dunia militer bukan karena pertimbangan ingin meraih prestasi tetapi karena pertimbangan ekonomi. Hal tersebut tergambar pada paragraf berikut : Menjadi perwira sebenarnya bukan pilihan Wiranto. Awalnya, dia lebih tertarik menjadi arsitek. Sempat pula ia bercita-cita menjadi insinyur. “Gambarnya bagus,” ujar Sri Puronowati, kakak ketiga Wiranto. Namun kondisi ekonomi orang tuanya memaksa penggemar tahu kupat ini mengurungkan citacitanya. (Paragraf 6 Berita III Wiranto). Latar informasi lain yang dibangun Tempo dalam mengonstruksikan karakteristik Wiranto terdapat dalam paragraf berikut ini : Wiranto tergolong taruna berdisiplin dan tidak nakal. Wiranto bahkan tak mengenal kegiatan “merembes”—istilah taruna yang menyelinap keluar malam hari untuk mencari makan—yang kerap dilakukan taruna kala itu. Jadwal pesiar pada Rabu malam, Sabtu, dan Minggu yang menjadi jatah para taruna jarang ia gunakan. (Paragraf 10 Berita III Wiranto) Menurut Sampae Pamelay, kawan satu baraknya, Wiranto lebih memilih bermain trompet, mengaransemen lagu, atau berolahraga. Satu lagi, Wiranto aktif dalam kelompok drum band Sanggar Lokananta. Dia memainkan belira. Maka penuhlah kegiatan Wiranto di Akademi. Semua itu dilakukan, salah satunya, demi menghemat biaya pulang kampung—dia pulang tiga atau enam bulan sekali. (Paragraf 11 Berita III Wiranto) Wiranto dikonstruksikan sebagai taruna yang berdidiplin, tidak nakal dan taat pada peraturan. Parafrase Sampae Pamelay (Kawan Wiranto) mengonstruksikan Wiranto sebagai taruna yang memafaatkan waktu luangnya dengan kegiatan yang bermanfaat. Konstruksi lainnya dari paragraf tersebut adalah Wiranto taruna yang mengutamakan
prioritas mana yang lebih penting, sehingga mengisi kegiatan di asramanya yang bermanfaat serta tidak mengeluarkan biaya banyak, karena ia sadar akan keterbatasan konsisi keuangannya. Berita ini ditutup dengan paragraf sebagai berikut: Lulus dari Akademi dengan mengambil korps kecabangan infanteri, Wiranto mulai meniti karier sebagai prajurit. Bersama sebelas kawan seangkatan, ia dikirim berdinas ke Gorontalo, di Kodam 13/Merdeka. Dari desa kecil bernama Tilamuka itulah kariernya sebagai tentara diawali. (Paragraf 17 Berita III Wiranto) Paragraf tersebut mengonstruksikan bahwa Wiranto memulai karier militernya dari bawah sekali yakni sebagai prajurit. Konstruksi tersebut bisa mendukung penekanan dari judul (“Awalnya hanya ’Rumput’”). Namun walau ”berawal dari rumput” Wiranto bisa menjadi sukses seperti saat ini.
C.3.b. Struktur Skrip Unsur who dalam berita ini hanya Wiranto. Sedangkan unsur whatnya dalah pendidikan militer Wiranto di Akademi Militer. Unsur where dan when dalam berita ini adalh Wiranto lahir Yogyakarta 4 April 1947. Wiranto diterima di Akademi Militer Magelang pada 25 September 1965. Dinas pertamanya adalah ke Gorontalo, di Kodam 13/Merdeka. Unsur who dan why yang menonjol dalam berita ini adalah alasan kenapa Wiranto memasuki dunia militer, dan bagaimana Wiranto mejalani pendidikan militer di Magelang.
C.3.c. Struktur Tematik
Unit analisis koherensi yang mengonstruksikan karakteristik Wiranto terdapat dalam paragraf empat yakni “Kesetiaan teman-teman angkatan 1968 terhadap Wiranto cukup logis, karena dialah perwira yang kariernya paling cemerlang di antara kawan seangkatan.” Terdapat koherensi penyebab dalam kata “karena”. Terdapat koherensi pembeda pada paragraf enam yakni pada kata namun dalam kalimat “Namun kondisi ekonomi orang tuanya memaksa penggemar tahu kupat ini mengurungkan cita-citanya.” Sedangkan unit analisis detail untuk menggambarkan kondisi ekonomi Wiranto dengan cara yang berbeda terdapat dalam paragraf berikut: Sementara sebagian kawannya mengalami stres saat menjalani kehidupan baru di Akademi Militer hingga berat badan mereka turun, Wiranto malah makin gendut. Mengapa? Karena makanan di Akademi jauh lebih baik dibanding yang di rumah. (Paragraf 9 Berita III Wiranto) Paragraf tersebut menerangkan tentang keadaan makanan yang ada di Akademi Militer lebih baik daripada yang ada di rumahnya. Sehingga paragraf tersebut mengonstruksikan bertapa kekurangannya kondisi ekonomi Wiranto saat itu hingga digambarkan makanan di asrama lebih baik daripada makanan yang ada di rumah Pada masa awal masuk Akademi Militer, ada kenangan yang diingat Wiranto dalam-dalam. Ia masuk akademi itu hanya berselang kurang dari seminggu dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada 25 September 1965. Suasana saat itu panas. Menurut Wahidin Yusuf, ketegangan dirasakan sampai ke barak-barak taruna. Oleh pembina, taruna yang baru masuk buru-buru dilatih menembak, meskipun belum saatnya—seharusnya taruna pemula baru berlatih baris-berbaris. (Paragraf 12 Berita III Wiranto) Detail tersebut melatarbelakangi kondisi dan situasi saat Wiranto menjalani pendidikan militer. Detail itu sangat panjang lebar diulas dalam berita ini, namun tidak terlalu berkaitan dengan Wiranto. Kata ganti digunakan pada paragfar enam yakni “penggemar tahu kupat ini” menunjukkan kegemaran Wiranto. Pada paragraf tujuh ”remaja kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 ini” untuk menunjukkan tempat tanggal lahir Wiranto. Serta “Tantangan fisik
adalah hal biasa bagi pemuda yang gemar sepak bola dan badminton ini” pada paragraf 9 mengonstruksikan fakta bahwa Wiranto bisa selalu tampil fit karena
C.3.d. Struktur Retoris Dari unit analisis leksikon, kata yang ditonjolkan dalam tubuh berita ini terdapat pada paragraf berikut : Tapi sebenarnya Wiranto tidak gilang-gemilang sejak muda. Ketika taruna, Wiranto dikenal dengan sebutan ”rumput”, yaitu istilah kalangan angkatan ini untuk menyebut taruna yang berprestasi pas-pasan. (Pargraf 5 Berita III Wiranto) Kata “tidak gilang-gemilang sejak muda” mengonstruksikan bahawa Wiranto ketika muda tidak terlalu berprestasi. Pada paragraf tersebut terdapat penggunaan metafora ‘rumput’ untuk mengibaratkan taruna yang berprestasi pas-pasan. Metafora ini untuk mengonstruksi bahwa Wiranto ketika menjalani pendidikan memang bukan taruna yang berprestasi menonjol. Dari unit grafis terdapat dua buah foto. Foto pertama dengan caption “Kelulusan. Penyematan tanda kelulusan dari akademi militer, 1968”. Foto kedua “Sebagai Taruna. Wiranto (kedua dari kanan) di Akademi Militer bersama kawan-kawan satu angkatannya”. Foto ini memdukung isi berita yang menekankan saat ia menjalani pendidikan di Akademi Militer. Dari unit pengandaian terdapat pada paragraf yakni“Ia harus pandai-pandai memilih sekolah jika tak ingin nasibnya seperti ketiga kakaknya yang menjadi guru.” Konstruksi yang diabangun adalah Wiranto tak ingin seperti ketiga kakanya yang kesemuanya jadi guru. Karena kata “nasibnya” dalam kalimat pengandaian tersebut seolah-olah menekankan pada kondisi kehidupan yang kurang baik. Tetapi Wiranto juga ingin tetap bersekolah dan memiliki profesi lain. Kata “Ia harus pandai-pandai memilih
sekolah” mengonstruksikan bahwa dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, ia memilih pendidikan di militer yang tidak mengeluarkan biaya. Pada paragraf delapan menggunakan gaya bahasa jawa yang berasal dari parafrase R.S. Wirowijoto, yakni Menurut Wiranto, pada saat yang hampir bersamaan, ia mendaftar untuk angkatan laut, udara, dan darat. Namun ia dipanggil lebih dulu oleh Akademi Militer. Sebenarnya ia lebih ingin menjadi kadet di Akademi Angkatan Udara. Tapi dia mengikuti pesan sang ayah, R.S. Wirowijoto, “Ojo mburu ujeng kelangan deleg.” Artinya, “Jangan mengejar yang tak pasti sehingga kehilangan yang pasti”. Wiranto pun mantap memilih Akademi Militer di Magelang. (Paragraf 8 Berita III Wiranto) Paragraf tersebut mengonstruksikan Wiranto untuk realistis menghadapi kondisi dan harus mementingkan prioritas.
C.3.e. Konstruksi Kepemimpinan Wiranto di Berita III Wiranto memilih menjalani pendidikan di Akademi Militer karena pertimbangan ekonomi keluarga yang tidak mendukungnya bersekolah yang mengeluarkan biaya. Saat memilih sekolah ia mengutamakan prioritas dan relaistis terhadap keadaan. Ketika menjalani pendidikan militer sebagai taruna di Akademi Militer, ia dikonstruksikan sebagai taruna yang tidak menonjol (biasa-biasa saja). Namun ia adalah taruna yang tertib, disiplin dan mengisi kegiatannya dengan kegiatan yang bermanfaat. Hal itu ia lakukan untuk menghemat biaya saat pulang kampung. Wiranto mendapat sokongan dari rekanrekannya untuk mencalonkan siri sebagai presiden (2004) dan wakil presiden (2009), karena teman-temannya menilai Wiranto adalah Perwira berprestasi.
C.4. Analisis Keseluruhan Konstruksi Kepemimpinan Wiranto
Dari tiga berita tentang Wiranto, latar belakang yang dibangun Tempo dalam mengonstruksi katakteristik kepemimpinan Wiranto adalah sebagai berikut: ·
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil Ayah Wiranto adalah seorang guru. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa dengan sembilan orang anak (yang hapir kesemuanya menjadi guru). Kondisi ekonomi kerluarganya yang tinggal di Solo Jawa Tengah sangat miskin, membuat Wiranto harus hidup secara sederhana dan tidak malu untuk bekerja keras dengan pekerjaan apa adanya yang ia bisa. Ayahnya yang seorang guru mengajarkan Wiranto untuk berperilaku jujur. Ibunya mengajarkan kepadanya untuk bersosialisasi dengan tetangga dan peduli terhadap orang lain. Wiranto anak yang berbakti kepada orang tua. Wiranto anak yang bertanggungjawab dan peduli terhadap saudara-saudaranya. Wiranto rela mengorbankan impiannya menjadi insinyur karena ketiadaan biaya untuk menyekolahkannya. Kepemimpinannya tampak saat ia mendirikan klub sepak bola di kampungnya dan ia menjadi ketuanya.
·
Latar Belakang Pendidikan dan Masa remaja Wiranto dikonstruksikan sebagai anak yang giat belajar, namun Tempo tidak mengonstruksikan ia sebagai anak yang cerdas atau menonjol dalam pelajaran. Ia bersekolah di SMP N 2 Surakarta dan SMA N 4 Surakarta. Ayah Wiranto mendidiknya untuk menjadi seorang yang realistis terhadap keadaan. Sehingga ketika menentukan sekolah ia memilih pendidikan tentara di Akademi Militer Magelang karena pertimbangan ekonomi agar ia mendapatkan uang saku. Saat menjadi taruna, ia dikonstruksikan sebagai “rumput” atau taruna yang tidak menonjol prestasinya atau biasa-biasa saja. Wiranto adalah taruna yang tertib, disiplin, dan taat pada peraturan. Wiranto memanfaatkan waktu luangnya saat menjalani pendidikan di Akmil dengan kegiatan yang bermanfaat. Wiranto terbiasa berhemat untuk biaya pulang kampung.
Wiranto gemar berolah raga (terutama sepak bola dan badminton) sehingga selalu tampil prima. ·
Saat Bekerja dan Berkeluarga Tidak disinggung sama sekali ketika Wiranto membina rumah tangga. Wiranto hanya dikonstruksikan bahwa ia pemalu terhadap perempuan. Ia dikonstruksikan memiliki prestasi saat menjadi lulusan Akmil angkatan 1968 pertama yang memimpin balalion. Saat meminpin batalion, ia dikonstruksikan sebagai pemimpin yang tegas dalam menindal anak buah bahkan turun tangan langsung dalam menyelesaikan masalah tersebut. Konstruksi perstasi Wiranto yang lain adalah saat berhasil mengalahkan 13 perwira angkatan darat untuk menjadi ajudan Presiden sebuah jabatan yang bergengsi karena ajudan presiden adalah perwira terbaik, sehingga Wiranto merupakan perwira terbaik. Ketika menjadi Ajudan Presiden, wiranto mengetahui seluk beluk kepresidenan sebagai modalnya mencalonkan diri menjadi Cawapres. Saat menjadi ajudan Presiden, Wiranto dikonstruksikan sangat dekat dengan Soeharto (Penguasa pada masa itu). Ia dikonstruksikan sebagai bawahan yang bisa memahami atasan, sehingga ia disukai oleh Soeharto. Jenjang karier Wiranto meningkat setelah menjadi ajudan Presiden. Banyak orang, terutama kawannya seangkatan di Akmil, mengira bahwa Wiranto akan menjadi pemimpin, baik dari kemampuan yang ia miliki atau karena ia dekat dengan penguasa saat itu, karena Soeharto dikonstruksikan telah menyiapkan Wiranto untuk menjadi Panglima TNI. Peran Soeharto dikonstruksikan oleh Tempo sangat besar dalam jenjang karier Wiranto. Tempo menulis jabatan yang perah di sandang Wiranto adalah Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Panglima Kodam Jaya, Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Darat dan Panglima Angkatan Bersenjata.
Dari latar belakang tersebut, Wiranto dikosntruksikan sebagai pemimpin yang berwatak sederhana, realistis terhadap kondisi yang dihadapi, pekerja keras, rela berkorban demi keluarga, mengutamakan prioritas, berjiwa sosial, perduli terhadap masyarakat dilingkungannya, jujur, berbakti kepada orang tua, bertanggungjawab, selalu tampil prima, giat belajar, tertib, disiplin dan taat peraturan, mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, tegas pada bawahan, berprestasi. Disisi lain ia tertalu patuh pada atasan, kariernya salah satunya juga berkat bantuan atasan.
G. Karakteristik Berita Liputan Khusus Majalah Tempo G.1. Proses Penggarapan Pola berita dari tiap kandidat hampir seragam, dimuali dari satu indephnews yang disertai satu ilustrasi gambar dari redaksi. Kemudian disusul dengan dua featurenews, kecuali untuk berita tentang Boediono dan JK yang mempunyai tiga featurenews. Berita ditulis dengan menggunakan style Tempo. Kemudian berita terakhir ditulis dengan format wawancara, disertai “pose foto” masing-masing, kecuali berita dan foto Prabowo Subianto. Hal ini dikarenakan sampai deadline tiba, Prabowo belum bisa ditemui untuk melakukan wawancara, seperi diungkapkan Redaksi Tempo dalam Rubrik Surat berikut ini : Demi mengejar Prabowo Subianto, Komang—begitu Wahyu dipanggil—rela meninggalkan istri dan putra semata wayangnya. Surat permintaan wawancara kepada calon wakil presiden itu sudah dikirim awal bulan ini. Pendekatan melalui orang-orang di sekitarnya juga telah dilakukan. Tapi jawaban tak kunjung tiba. Redaktur Eksekutif Wahyu Muryadi sampai perlu menemui Prabowo seusai debat calon wakil presiden di studio SCTV, Selasa malam pekan lalu. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu mengaku enggan diwawancarai majalah ini. ”Berita tentang saya tidak pernah bagus,” ia beralasan. Tak putus asa, Komang mengejar Prabowo, yang berkampanye di Jawa Timur, esok harinya. Ditemui seusai bertatap muka dengan ratusan anggota masyarakat Tionghoa di Hotel V3, Surabaya, Rabu malam, ia menyatakan tak keberatan diwawancarai. ”Soal waktu, jangan tanya saya, ada tim yang mengurus,” katanya. ... Sesuai dengan waktu yang dijanjikan, Komang dan Fully menunggu di kamar ajudan Prabowo di hotel yang sama. Sang bos menginap di kamar sebelahnya. Dua jam menunggu, Prabowo tak keluar kamar. Rupanya, ia sedang diurut, dan meminta dua wartawan Tempo pergi. Kami akhirnya memutuskan edisi ini, apa boleh buat, tanpa wawancara dengan pensiunan jenderal bintang tiga itu. (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 6) Dari penggalan surat diatas, Redaksi Tempo ingin menunjukkan bahwa wartawan yang ditugaskan mewawancarai Prabowo sudah berusaha untuk melakukan wawancara dengan Prabowo. Prabowo sempat menyatakan bersedia, namun setelah ditunggu pada akhirnya Prabowo “meminta dua wartawan Tempo pergi”. Penggalan kutipan kalimat
tersebut ingin menunjukkan bahwa Prabowo memang enggan melakukan wawancara dengan wartawan Tempo. Sehingga dalam berita tentang Prabowo tidak ada kutipan dari Prabowo sendiri. Sedangkan untuk Capres dan Cawapres yang lain, Redaksi Tempo tidak terlalu mengalami kesulitan untuk melakukan wawancra, seperti dijelaskan dalam Rubrik Surat berikut ini : Setelah bahan terkumpul, semua kandidat dikejar. Wiranto memberi kesempatan pertama, lalu Megawati Soekarnoputri, Boediono, dan Jusuf Kalla. Calon presiden dari Partai Golkar ini relatif mudah ”ditembus”. Reporter Budi Riza mewawancarainya di pesawat carteran ketika JK berkampanye di Bali dan Papua. Bulan lalu, Kalla datang sambil makan siang di kantor kami. Pucuk dicinta, ulam tiba. Presiden Yudhoyono juga berkunjung ke kantor majalah ini, Rabu pekan lalu. Di ruang rapat, dalam suasana cair, kami lalu ramai-ramai mewawancarai orang nomor satu di Republik ini. Berbeda dengan penampilannya selama ini, SBY beberapa kali tergelak dan melempar lelucon segar. (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 6) Penentuan angel dan seting waktu dalam pemberitaan tiap personil berbeda-beda. Hal tersebut dijelaskan dalam Pengantar Redaksi berjudul Enam Remaja Bertahun Kemudian sebagai berikut : Periodisasinya memang bervariasi. Kami, misalnya, menganggap perlu menggali Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ketika ia hidup di Istana sebagai putri presiden. Kami menganggap itulah masa ketika ia merasakan pahit-manisnya kekuasaan— sesuatu yang pernah dan mungkin akan ia genggam. Prabowo Subianto ditelusuri dari era ketika ia menjadi anak pelarian pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Permesta di luar negeri. Pada 1950-an, ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, merupakan tokoh penting gerakan itu. Di tanah buanganlah karakter Prabowo terbentuk. Sejumlah sumber bercerita tentang Prabowo yang suka bertinju dan menggemari dunia militer ketika remaja. Temperamental, tak sabaran, dan serba ingin cepat terbentuk pada masa itu. Wiranto, calon wakil presiden dari Partai Hati Nurani Rakyat, disoroti sejak ia menjadi ajudan Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono ditelisik ketika masih bersekolah di Pacitan. Perceraian kedua orang tuanya terbukti juga mempengaruhi pribadi sang incumbent. (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28) Hanya empat orang yang dijelaskan dalam Pengantar Redaksi tersebut, dua orang tidak disinggung, yakni Boediono dan Jusuf Kalla. Redaksi memberi penjelasan yang cukup panjang ketika menjelaskan Prabowo dengan lima kalimat. Sedangkan Megawati
dijelaskan dengan dua kalimat seperti halnya penjelasan terhadap SBY, dan satu kalimat untuk menjelasakan tentang Wiranto.
G.2. Latar Balakang Framing dan Keberpihakan Mengenai keberpihakan dalam edisi khusus pilpres ini, Arif Zulkifli (Penanggungjawab Majalah Tempo Edisi Khusus pemilihan Presiden) mengatakan bahwa Tempo tidak menentukan pilihan satu dari ketiga pasangan kandidat presiden, dalam artian tidak menggunggulkan satu pasangan untuk dipilih. Tempo membebaskan orang untuk memilih siapapun dari ketiga kandidat tersebut. Tempo hanya memberikan gambaran mengenai masa lalunya dimana karakteristik kepemimpinan mereka tersebut. Dari hasil pengamatan Penulis, ada kecenderungan Tempo berpihak kepada SBYBoediono dibandingkan dengan kedua kandidat yang lain. Hal tersebut ditanggapi oleh Arif sebagai berikut: Yang saya rasakan sebagai orang dari dalam Tempo, Tempo “berkeberatan” terhadap dua kandidat lain bukan karena dua kandidat lainnya jelek (Mega-Prabowo JK-Wiranto), yang menyebabkan nilai minus dari dua kandidat itu sebenarnya. Jadi kita sangat cerewet terhadap hal masa lalu. Wiranto menurut saya punya masa lalu “yang luar” yang menurut saya belum selesai, urusan Timor-Timor, urusan pelanggaran HAM, itu semua belum selesai. Nah, kami akan cerewet di bagian itu. Prabowo juga sama, penculikan aktivis, urusan Timor-Timor dan sebagainya, juga belum selesai. Nah, itu barangkali yang membuat orang mengaggap bahwa kita tidak suka pada dua kandidat lain, dan lebih suka pada SBY Boediono. (Wawancara 14 Oktober 2009) Tetapi Arif Zulkifli menekankan bahwa itu semua diluar edisi khusus pilpres. Karena dalam Pengatar Redaksi sudah dijelaskan: Dengan sudut pandang ini, sejumlah cerita memang harus diabaikan. Bukan karena tak penting, melainkan karena kami tak ingin berkhianat terhadap angle. Kami, misalnya, harus menyimpan kisah tentang penculikan aktivis 1998, cerita kelam yang menyeret nama Prabowo Subianto. Kisah tentang peran Wiranto dalam insiden Semanggi dan bumi hangus Timor Timur juga terpaksa tak kami ketengahkan. (Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 2009, hal. 28)
Dari hasil wawancara dan pengantar redaksi tersebut dapat ditarik kesimpulan, walaupun tidak diceritakan tentang “masa kelam” Wiranto dan Prabowo, namun hal itu menjadi background Tempo dalam menuliskan berita Liputan khusus ini atau melakukan framing terhadap kedua orang tersebut. Dalam kasus Parbowo, ia tidak diceritakan sama sekali tentang karier militernya sementara SBY dan Wiranto yang sama-sama dikalangan militer diceritakan secara rinci. Arif mengatakan bahwa Tempo “tak ingin berkhianat terhadap angle” yang telah ditetapkan sebelunya tentang Prabowo. “Highlight Prabowo memang pada saat dia terbentuk masa kepemimpinannya, jadi saya kembali ke angle awal soal pembentukan itu,” kata Arif. Beberapa faktor mempengaruhi penulisan berita edisi khusus ini. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media yakni level individual, level rutinitas media, level organisasi, level ekstra media, dan level ideologi. Dari level individu penulis dan kebijakan organisasional Arif mengatakan: Subjektivitas (dalam menulis berita) itu tidak dapat dihindari, manusia itu subjektif, tetapi bagaimana subjektivitas itu kita letakkan dalam sebuah kerangka atau koridor yang bisa ditoleransi. Misal ketika kami memilih angle, angle itu kan sangat subjektif. ... Tetapi subjektivitas yang kami pilih dan kami lakukan itu adalah subjektivitas yang objektif yang bisa kami pertanggungjawabkan pilihan-pilihan itu, jadi enggak apa-apa subjektif. Lalu ketika memilih narasuber, kita memilih narasuber A, B, C, bukan narasumber X, Y, Z misalnya, itu juga karena subjektif, tetapi kami memiliki alasan kenapa memilih itu. (Wawancara 14 Oktober 2009) Sedangkan dari level rutinitas media, penerbitan edisi khusus pemilihan presiden ini memang agenda wajib bagi Tempo. Lima tahun yang lalu, Tempo juga mengeluarkan edisi khusus pemilihan Presiden. Edisi khusus sendiri memang program tahunan yang
telah ditetapkan di awal tahun. Untuk level ekstramedia akan disoroti dari dua hal, yakni dari pengiklan dan narasumber. Dari segi pengiklan, Arif mengatakan sebagai berikut: Kalau iklan dan redaksi saya kira dua hal yang berbeda. Tempo itu kan media yang sangat sadar perlunya sebuah fire wall yang membatasi antara bisnis dan independensi jurnalistik, kami tidak di drive oleh pengiklan. Edisi khusus ini tidak di drive oleh pemasang iklan, saya bisa jamin itu, eh… pengiklan suka nih terhadap edisi khusus ini kamu bikin aja, tidak seperti itu. Kami bikin karena kami ingin menyuguhkan kepada pembaca. Kok ya ndilalah edisi khusus diminati oleh pengiklan karena pembacanya banyak, tetapi enggak ada hubungannya dalam penulisan berita liputan khusus ini. (Wawancara 14 Oktober 2009) Mengenai bagaimanakah hubungan yang terjalin antara Tempo dengan narasumber (enam kandidit) tersebut Arif Zulkifli mengatakan bahwa tidak ada hubungan khusus yang terkalin dengan mereka, hubungan yang terjalin adalah hubungan profesional antara pihak media dengan narasumber. Lebih lanjut Arif menjelaskan: “Kalau kelihatannya yang satu lebih dekat daripada yang lain itu tergantung dari orang yang bersangkutan, misalnya JK hubungan kita memang hubungan professional tapi JK adalah orang yang terbuka sehingga tidak terlalu susah ketika kita mewawancarai JK. Misal dengan SBY ditengah kesibukannya sebagai presiden masih menyempatkan diri untuk menerima Tempo karena menyadari bahwa ini bagian dari kampenyenya juga setelah kita jelaskan edisi khususnya seperti apa dia menerimanya. Prabowo memang mempunyai persoalan dengan Tempo. Prabowo yang mempunyai persoalan, Tempo tidak mempunyai persoalan dengan Prabowo. Karena Prabowo menganggap seperti yang dikutipkan di surat dari redaksi, Tempo dianggap memusuhinya. Terus terang Tempo tidak pernah memusuhinya kalau kita kritis terhadap dia dan masa lalunya jelas iya, dan itu adalah kewajiban pers. ... Boediono hubungannya juga sangat baik hubungan profesional, bukan pertama kali Tempo wawancara dengan Boediono. Wiranto sebenarnya juga punya masa lalu yang kurang lebih sama dengan Prabowo, kami juga tidak kurang-kurangnya kritis terhadap Wiranto terhadap tragedi Semanggi, insiden di Timor Timur, tapi kalau dilihat disitu Wiranto sangat terbuka, tahu konteksnya berbeda, “Kamu tanya apa saya jawab” saya kira itu sikap politisi yang baik. Dia tidak menutup masa lalunya dia tidak menolak bertemu wartawan, justru membuka diri kepada wartawan saat ditanya. (Wawancara 14 Oktober 2009). Sedangkan pengaruh dari segi ideologi tidak sempat disoroti. Hanya saja Arif mengatakan bahwa ideologi Tempo secara umum mengacu pada kebebasan yang bertanggungjawab, salah satunya kebebasan berpendapat. Sehingga bisa ditarik benang
merah bahwa dalam Majalah Tempo kali ini redaksi Tempo bebas mengungkapkan jati diri para kandidat sebatas masih bisa dipertanggungjawabkan. Kesimpulannya, yang mempengaruhi dalam penulisan berita liputan khusus ini dari level individu dan kebijakan organisasionalnya adalah tentang subjektivitas dalam memilih angle dan narasumber yang akan dituangkan dalam berita. Dari level rutinitas media, edisi khusus pilpres ini memang telah menjadi agenda wajib bagi redaksi Tempo. Level ekstramedia difokuskan oada dua hal. Pertama, dari segi pengiklan, Tempo tidak terpengaruh oleh iklan dalam membuat berita liputan khusus kali ini. Kedua, dari segi nara sumber, walaupun menjalin hubungan secara profesional antara media dan narasumber, tetapi background narasumber juga berpengaruh pada framing pemberitaan yang dilakukan.
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Dengan memandang media sebagai agen pengonstruksi realitas, maka dalam pemberitaan di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 juga mengonstruksi realitas tentang tiga pasang kadidat Presiden dan wakil Presiden. Majalah Tempo edisi khusus tersebut mengangkat angle besar yakni tentang pembentukan karakteristik kepemimpinan keenam kandidat, sehingga pemberitaan yang dibuat dalam Rubrik Liputan Khusus mengonstruksikan bagaimanakah karakteristik kepemimpinan keenam kandidat tersebut. Banyak hal yang bis diberitakan tentang karakteristik kandidat presiden dan wakil presiden. Banyaknya fakta-fakta yang bisa diberitakan dalam mengonstruksi berita tentang karakteristik kepemimpinan capres dan cawapres, namun Redaksi Majalah Tempo melakukan strategi framing dengan menyeleksi fakta-fakta mana yang harus dituliskan, dan fakta-fakta mana yang tidak dituliskan. Guna mengetahui framing yang dilakukan oleh Majalah Tempo dalam mengonstruksi karakteristik kepemimpinan capres dan cawapres digunakan analisis framing model Pan Kosicki. Dari hasil analisis struktur berita mulai dari sintaksis, skrip, dan retoris didapatkan hasil sebagai berikut: Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemeberitaan terhadap pembentukan karakteristik kepemimpinan Megawati Soekarnoputri adalah saat ia lahir pada masa revolusi, saat menjalani kehidupan di Istana Negara, masa-masa setelah lengsernya Soekarno (ayah Megawati) dari kursi kepresidenan, dan bagaimana ia menjalani pernikahan. Dengan menonjolkan fakta-fakta tersebut, Megawati dikonstruksikan sebagai pemimpin yang memiliki jiwa yang kuat, tabah menerima tekanan, berani menolak
sesuatu yang dirasanya tak sesuai, tidak menyerah pada keadaan, dan banyak belajar politik dari ayahnya. Namun penggambaran tentang kehidupan Megawati saat menjalani kehidupan di istana negara sebagai putri Presiden mengontruksikan Mega sebagai seorang yang memiliki karakteristik introvert, asyik dengan dunianya sendiri, kurang bisa bersosialisasi, tidak berani mengambil resiko besar keputusan, dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh orang tua. Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemeberitaan terhadap pembentukan karakteristik kepemimpinan Prabowo Subianto adalah saat ia menjalani kehidupan di luar negeri sebagai pemberontak bersama keluarganya dan sesaat setelah ia kembali ke Indonesia. Sosok Prabowo sebagai “anak pemberontak” sangat ditonjolkan dalam pemberitaan. Sedangkan fakta tentang karier militernya tidak disinggung sama sekali oleh Tempo. Strategi yang dilakukan dalam mengonstruski karakteristik kepemimpinan Prabowo banyak ditonjolkan mengenai karakteristik yang kurang baik dari Prabowo yakni ada kecenderungan untuk memaksakan kehendaknya, temperaental, tergesa-gesa, ingin cepat lekas dalam memulai dan mengakhiri sesuatu, bandel, nakal, naif, dan ambisius. Namun ada sisi baik dari Prabowo yang ditonjolkan oleh Tempo yakni Prabowo adalah sosok seorang yang percaya diri suka tampil didepan, suka tantangan dan pertarungan, memiliki inisiatif yang lebih kreatif dari teman-temannya, tegas, selalu ingin tahu, berani, perduli terhadap masyarakat, dan suka berorganisasi. Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemeberitaan terhadap pembentukan karakteristik kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah saat ia menjalani masa remaja, saat ia menikah, dan meniti karier di militer. Dengan penggambaran kehidupan SBY pada masa itu, oleh Tempo SBY dikonstruksikan sebagai seorang pemimpin yang suka bergaul berorganisasi, disiplin, keras dan punya prinsip, cerdas, suka mencari ilmu serta berbaik hati untuk membaginya, memiliki banyak kemampuan khususnya dalam hal
strategi dan perencanaan, mau berlatih bersama bawahan. Di sisi lain SBY digambarkan sebagai orang yang sempat kalut dan kurang percaya diri ketika menghadapi masalah yang membuatnya merasa kurang, tetapi bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, kurang tegas terhadap bawahan, terpengaruh oleh istri dan ibu mertua, dan kompromistis. Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemberitaan terhadap pembentukan karakteristik Boediono adalah saat ia menjalani pendidikan di luar negeri sebagai ekonom. Konstruksi yang dibangun tersebut menunjukkan bahwa Boediono adalah satu-satunya kandidat cawapres yang mumpuni dalam bidang ekonomi. Karakteristik kepemimpinan Boediono dikonstrusikan oleh Tempo sebagai seorang pemimpin yang memiliki karekater cerdas, pendiam, giat belajar, setia terhadap pasangan, tanggungjawab terhadap keluarga dan orang tua, sederhana, dan pandai dalam manajemen keuangan. Konstruksi yang paling ditonjolkan adalah Boediono memiliki manajemen ekonomi yang bagus. Namun Tempo juga menonjolkan Boediono sebagai sosok tidak suka berorganisasi dan bersosialisasi, sehingga kepemimpinan dalam hal organisasi Boediono sangatlah kurang. Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemeberitaan terhadap pembentukan karakteristik Jusuf Kalla adalah saat ia merintis kariernya sebagai saudagar dan bagaimana ia menghadapi perbedaan keyakinan dalam keluarganya. Karakteristik kepemimpinan Jusuf Kalla dikonstrusikan oleh Tempo sangat dipengaruhi oleh sang ayah yakni sebagai seorang pemimpin yang keras, teguh, cepat mengambil keputusan, bertanggungjawab kepada kaluarga, perduli terhadap orang lain, hormat kepada orang tua, karakter pengusaha yang sukses, bisa memahami konflik dan perbedaan, serta mengasah kepemimpinannya dengan kegiatan sosial dan berorganisasi. Penonjolan fakta yang terdapat dalam pemeberitaan terhadap pembentukan karakteristik kepemimpinan Wiranto adalah saat ia menjalani masa remaja dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan bagaimana kariernya di militer. Selain itu Tempo
juga mengonstruksikan bahwa Wiranto sangatlah dekat dengan penguasa Orde Baru (Soeharto). Pengambaran itu mengonstruksikan karakteristik kepemimpinan Wiranto sebagai seorang pemimpin yang sederhana, realistis terhadap kondisi yang dihadapi, pekerja keras, rela berkorban demi keluarga, mengutamakan prioritas, berjiwa sosial, perduli terhadap masyarakat dilingkungannya, jujur, berbakti kepada orang tua, bertanggungjawab, selalu tampil prima, giat belajar, tertib, disiplin dan taat peraturan, mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, tegas pada bawahan, berprestasi. Disisi lain ia tertalu patuh pada atasan, kariernya salah satunya juga berkat bantuan atasan. Setelah
melakukan
analisis,
Penulis
melakukan
konfirmasi
terhadap
penanggungjawab Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan framing pemberitaan terhadap ada subjektivitas redaksi dalam menentukan angle dan narasumber berita. Framing yang dilakukan baik di Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden 2009 atau pemberitaan Tempo secara keseluruhan ada kecenderungan mengunggulkan pasangan SBY Boediono, daripada kandidat yang lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya konstruksi positif yang mendukung pasangan tersebut dibandingkan dengan pasangan kandidat yang lain.
B. KETERBATASAN PENELITIAN Dalam melakukan penelitian dan menyusun penelitian ada bebrapa hal yang menjadi keterbatasan dari penelitian ini. Salah satunya adalah kurang mendalamnya wawancara yang dilakukan dengan praktisi media dari Majalah Tempo, sehingga data yang didapat dari praktisi media sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan jarak, keterbatasan waktu, dan sumber daya yang harus dihadapi oleh penulis. Wawancara hanya dilakukan melalui telephone dengan penanggungjawab Majalah Tempo Edisi
Khusus Pemilihan Presiden 2009. Wawancara itu sekiranya bisa mewakili bagaimana latarbelakang Redaksi Mjalah Tempo dalam mengontruksi karakteristik kepemimpinan Capres an Cawapres Peserta Pemilu Presiden 2009.
C. SARAN Setelah menyelesaikan penelitian ini, saran yang dapat diberikan Penulis kepada praktisi media (khususnya Redaksi Majalah Tempo dalam penggarapan Edisi Khusus tentang profil seseorang) dalam mengonstruksi realitas haruslah seimbang dalam penyampaian fakta atara orang satu dengan orang yang lain. Karena ada satu profil yakni Prabowo yang sama-sama dari kalangan militer seperti SBY dan Wiranto, tidak dicantumkan kariernya di militer sama sekali sementara dua profil lainnya dicantumkan secara jelas. Kepada para pengguna media, kususnya pembaca media cetak, agar mengetahui pembingkainan yang dilakukan media terhadap pemberitaanya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui penonjolan atau penghilangan fakta apa yang dilakukan oleh media serta mengetahui kepentingan apa yang diusung oleh media tersebut. Kapada civitas akademika yang ingin melakukan riset media dengan menggunakan analisis framing, hendaknya lebih mengenal media agar mengetahui karakteristik media tersebut. Sebisa mungkin melakukan wawancara dengan praktisi media yang bersangkutan. Kepada pembaca skipsi hendaknya bisa mengerti dan mengambil pelajaran tentang kepemimpinan dari para kandidat pemimpin bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, Aim. Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang Demokratis. Jakarta : Grafindo Media Pratama. 2005. Barata, Atep Adya. Dasar-Dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2004. Balaban, Delia Cristina. The Framing or the Interpretation Frames Theory dalam Journal of Media Research. Babeş-Boyai University. 2008. Budiman, Kris. Jejaring Tanda-Tanda. Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan. Magelang: Indonesiatera. 2004. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali. 2001. Djuroto, Totok. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002. Eriyanto. Analisis Framing: Konstrusi, Ideologi dan politik media. Yogyakarta: LKiS, 2002. Eriyanto. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. 2001. Guba. Egon G. (1990). The Paradigm Dialog. London. New Delhi: Sage. Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. Competing Paradigms in Qualitative Research (Bab VI). Dalam: Norman K Denzin dan Yvonn S. Lincoln (ed). Handbook of Qualitative Research 1994. New Delhi: Sage Publication. 1994. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. 2004 Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan obor Indonesia. 1999. Ju, Youngkee. Policy or Politics? A Study of The Priming of Media frames of The South Korean President in The Public Mind dalam International Journal of Public Opinion Research Vol. 18 No. 1. Oxford University Press. 2005 Junaedhie, Kurniawan. Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. Jakarta: Gramedia. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Depdikbud. Balai Pustaka. 2001 Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Rajawali Pers. 1994. Khun, Thomas, S. The Structure Of Science Revolution: Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Bandung: Rosdakarya. 2002. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005. Liker, Jeffrey K., dan David Meier. The Toyota Ways Fieldbook. Surabaya: Eirlangga. 2007.
Majalah Tempo Edisi Khusus Pemilihan Presiden, 29 Juni-5 Juli 2009. Majalah Tempo, 20 Oktober 2008. Manning, Tracey T. Leadership across cultures: Attachment style influences dalam Journal of Leadership & Organizational Studies Vol. 9, Edisi 3. 2003. Mohamad, Goenawan. Seandainya Saya Wartawan Tempo Edisi Revisi. Jakarta: Tempo Institut. 2007. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2005. Mursito BM. Memahami Institusi Media. Surakarta: Lindu Pustaka dan SPIKOM Surakarta. 2006 Nurudin. Komunikasi Massa. Cespur: Malang. 2004. Pawito. Penelitian Komunikais Kualitatif. Yogyakarta: Lkis. 2007. Rahardjo, Turnomo. Koran Lokal dan Ruang Publik Refleksi 55 Tahun Suara Merdeka. Suara Merdeka, 11 Februari 2005. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya. 2001. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991. Salusu, J. Pegambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo. 1996 Shoemaker, Pamela J. dan Reese, Stephen D., Mediating The Message, Theories of Influence on Mass Media Content, (2nd Edition). NY: Longman Publisher. 1996. Sobour, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004. Sutopo, H.B. Pengantar Penelitian Kualitatuf: Dasar-dasar Teori dan Praktik, Surakarta: UNS Press, 1988. Steele, Janet. Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru. Jakarta: Dian Raykat. 2007 Trapifios. Kepemimpinan dalam Organisasi dalam Modul 11 Pengantar Manajemen. Universitas Mercu Buana. 2008. Wahyuningsih, Sri. Skripsi: Konstruksi Media tentang Citra Agen Perubahan (Analisis Framing 10 Tokoh yang Mengubah Indonesia di Majalah Tempo Edisi Khusus Akhir Tahun 2006). 2007. Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS. 2004.
Website:
Alma. Deklarasi SBY-Boediono : Membuat Saya Kembali Ke Orde Baru. 2009 http://almaokay.wordpress.com/2009/05/17/deklarasi-sby-boediono-membuat-sayakembali-ke-orde-baru/. Diakses 7 Agustus 2009. Arismunandar, Satrio. Teknik Reportase atau Teknik Meliput Berita. 2008. http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=9801. Diakses 10 Agustus 2009 Independensi Pers di Tengah Persaingan Kandidat. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/02/02/59687/3/1/function.include. Diakses 6 November 2009. Prabowo Sang Rising Star yang Kembali http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/15/09544177/prabowo.sang.rising.star.yang. kembali. Diakses 7 Oktober 2009 Tim JK-Win: Andi Malarangeng Tidak Nasionalis. http://www.kompas.com/read/xml/2009/07/03/12203269/tim.jkwin.andi.malarangeng.tidak.nasionalis. Diakses 8 Oktober 2009 Saputra, Hervin. Iklan Politik Pilpres Membeli Independensi Media. 2009. http://www.vhrmedia.com/Membeli-Independensi-Media--fokus1692.html. Diakses 6 Agustus 2009. Wuih... Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Triliun. http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/19/1355172/wuih....nilai.iklan.kampanye. pilpres.rp.3.triliun. Diakses 6 Agustus 2009.