Nor Hasan: Makna dan Fungsi Tradisi Samman (hal. 112-134)
WAYANG PUR WA GAGRAG BANYUMASAN PURW DAN PERAN WALI Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Jl. Ir. Sutami No. 36 A (+62-271) 646624 Surakarta 57126 E-mail:
[email protected] Abstract: This article discusses the differences of puppet styles and the role of Wali towards puppet performance. The Nine Wali used puppet performance as one of their media to diffuse Islam. In addition to entertainment, puppet was functioned as guidance and rules for human life. To eliminate its syirik aspects, the Wali changed its substantial form of the puppets in order not to look like human being. This descriptive qualitative research studied the differences between purwa gagrag Banyumasan puppet and the role of Wali. This research found that there are some differences in names, forms, characters, and equipment in purwa gagrag Banyumasan puppet and the puppet innovated by the Wali. Meanwhile, the role of Wali existed on the changes of form and meaning of the puppets. Keywords Keywords: Wali, purwa puppet, gagrag Banyumasan Abstrak: Tulisan ini berusaha membahas perbedaan gaya wayang kulit dan peran wali terhadap wayang. Walisanga ketika menyebarkan agama Islam salah satu media yang digunakan adalah wayang. Selain sebagai hiburan (tontonan), wayang juga sebagai ajaran hidup (tuntunan) dan aturan hidup (tataning ngaurip). Untuk menghilangkan kemusyrikan, para wali mengadakan perubahan yang substansial supaya tidak menyerupai bentuk manusia. Deskriptif kualitatif berusaha mengkaji perbedaanperbedaan Wayang Purwa Gagrag Banyumasan dan peran para wali. Temuan dalam penelitian ini mengenai perbedaan dari segi nama, bentuk, sifat dan perlengkapan yang terdapat pada Wayang Purwa Gagrag Banyumasan. Adapun temuan terhadap peran para wali dilihat dari perubahan bentuk dan makna pada wayang itu sendiri. Kata Kunci Kunci: wali, wayang purwa, gagrag Banyumasan
ISSN: 1693 - 6736
| 135
Jurnal Kebudayaan Islam
A. PENDAHULUAN Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, serta pemahaman filsafat. Wayang purwa adalah salah satu jenis wayang kulit yang paling tua atau paling awal (purwa) yang dimainkan oleh seorang dalang dan didukung oleh sindhen (penyanyi) dan niyaga (pemain musik). Adapun pandangan lain mengatakan wayang purwa adalah salah satu kesenian tradisional yang sudah berumur ribuan tahun sehingga sudah mendarah-daging pada kehidupan masyarakat Jawa. Pertunjukan bayang-bayang ini menggambarkan kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal. Semua digambarkan secara tersirat mulai dari gunungan digerakkan sampai dengan gunungan ditancapkan untuk yang terakhir kali atau tancep kayon (Sulaksono, 2013: 238). Pertunjukan wayang purwa dengan sumber cerita epos Ramayana dan Mahabarata sejak masa lampau dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, artinya dapat digunakan oleh siapa saja serta dapat digunakan sebagai sarana apapun. Secara luwes dan lentur pertunjukan wayang dapat digunakan sebagai media dakwah suatu agama, pembinaan moral, berkampanye, kritik sosial, menyampaikan pesan-pesan tertentu, memotivasi semangat kemasyarakatan, dan sebagainya. Dalam dakwah Islam yang paling berperan adalah Walisanga. Walisanga artinya sembilan wali. Akan tetapi, sebenarnya jumlahnya bukan hanya sembilan. Jika ada seorang Walisanga meninggal dunia atau kembali ke negeri seberang, maka akan digantikan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka keramat, angka yang dianggap paling tinggi. Dewan dakwah tersebut sengaja dinamakan Walisanga untuk menarik simpati rakyat yang belum mengerti agama Islam (Tarwilah, 2006: 82). Banyumas memiliki corak yang berbeda dengan Wayang Kulit Purwa gagrag Surakarta, Yogyakarta. Tokoh Wayang Kulit Banyumas sepintas mirip dengan Wayang Kulit gagrag Surakarta dan Yogyakarta. Tetapi ada perbedaan dari nama tokoh, bentuk, sifat dan perlengkapan yang terdapat pada wayang purwa gagrag Banyumasan. Adapun peran wali terhadap wayang berkaitan dengan bentuk dan maknanya. Dengan perbedaan inilah penulis tertarik untuk mengkaji wali dan wayang purwa gagrag Banyumas.
136 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
B. ASAL-USUL WAYANG Mengenai asal-usul wayang ini, ada dua pendapat. Pertama , pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahliahli Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kryut. Dalam Disertasinya berjudul Bridjge tot de Kennis van het Javaanesche Tooneel (1897), ahli sejarah Belanda Dr. G.A.J. Hazeau menunjukkan keyakinan bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangan pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang (Tim Penulis Sena Wangi, 1999: 1407). Pernyataan tersebut diperkuat dengan salah satu jurnal yang mengatakan:
Wayang is a culture which came from Java. In bahasa, wayang means bayangan. In the past, the function of wayang show is as the religion ceremony as a worship of ancestors of Hyang faiths which is an indigenous Indonesian culture. As the time passing by the function of wayang grew up to be used for social communication media which has benefits for supporting community development. Wayang play story is a representation about nature and character of human in the world that reflects the nature and character of a typical human, so that many people are affected by the appearance of the characters (Dwiandiyanta, dkk., 2012: 96). Artinya, wayang adalah budaya yang berasal dari Jawa. Secara terminologi, wayang berarti bayangan. Di masa lalu, fungsi acara wayang adalah sebagai upacara agama sebagai pemujaan leluhur dari agama Hyang yang merupakan budaya asli Indonesia. Fungsi wayang digunakan untuk media komunikasi sosial yang memiliki manfaat untuk mendukung pembangunan masyarakat. Wayang cerita bermain adalah representasi tentang sifat dan karakter manusia di dunia yang mencerminkan sifat dan karakter manusia yang khas, sehingga banyak orang yang terpengaruh oleh penampilan karakter. Alasan mereka cukup kuat, di antaranya bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Punakawan , tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya dalam pewayangan Indonesia. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (kuna), dan bukan bahasa lain. ISSN: 1693 - 6736
| 137
Jurnal Kebudayaan Islam
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia, mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Ponsen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah berasal dari Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Wayang adalah gambaran manusia ketika hidup di dunia. Manusia itu beraneka ragam bentuk dan sifatnya. Ada yang tinggi, pendek, kurus, gemuk, sombong, pemarah, baik hati, dan lain sebagainya. Dengan bentuk dan sifatnya yang menyerupai manusia itulah wayang diibaratkan bayangan lelakoning manungsa. Dalang ketika mementaskan wayang juga yang diperlihatkan adalah bayangannya. Dari pengertian tersebut, wayang diartikan sebagai gambaran atau bayangan. Sebenarnya, kata “wayang” berkaitan dengan kata “hyang”, yang berarti leluhur. Akar kata “hyang” adalah “yang”, maksudnya bergerak berkali-kali, simpang siur, lalu lalang, melayang. Wayang dapat pula berarti suksma, roh, yang melayang, yang mengitar. Makna dan arti “hyang” dapat dirinci menjadi dua, yakni (1) sukma, roh, (2) orang telah meninggal (leluhur). Dalam pertunjukan wayang purwa itu menghasilkan bayangan (wayangan) sehingga dinamakan wayang atau shadow play ‘pertunjukan atau permainan bayangan’ (Sutardjo, 2008: 58). Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dan falsafah wayang itu yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pagelaran Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, pengubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah, masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk dewanya yang berawal dari Nabi Adam. Silsilah itu terus berlanjut hingga raja-raja di Pulau Jawa. Selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem, yang sesuai dengan standar cerita, dan cerita carangan yang di luar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut dengan lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadi beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggap bahwa kisah Ramayana dan Mahabarata benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun beranggapan
138 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di Pulau Jawa (Sena Wangi, 1999: 1508).
C. KETERKAITAN PARA WALI DAN WAYANG Pertunjukan wayang purwa merupakan budaya masyarakat Jawa yang bernilai tinggi dan kompleks, karena di dalamnya mencakup berbagai bentuk seni yang menyatu, yaitu seni sastra, bahasa, drama, musik, tari, seni rupa, dan sebagainya. Dalam pertunjukan bernilai adiluhung , wayang tidak sekadar berfungsi sebagai tontonan (hiburan), melainkan juga seni budaya tuntunan (ajaran hidup), serta tataning ngaurip (aturan hidup). Fungsi ganda tersebut telah lama dikembangkan dan dilakukan oleh para dalang dengan hasil yang sangat baik tanpa menimbulkan gejolak apapun, terutama para dalang yang benar-benar berwibawa di masyarakat. Oleh para wali, wayang dibesut sebagai sarana hiburan yang menarik (tontonan), juga dapat dipakai sebagai sarana komunikasi massa dan dakwah agama Islam (tuntunan). Pada waktu itu, Sunan Giri adalah pimpinan golongan mutihan, yang tidak berkenan dengan langkah kebijaksanaan ini. Oleh karenanya, walaupun yang sangat berperan dalam memberi warna dan unsur Islam dalam wayang adalah Sunan Kalijaga, namun Sunan Giri ditempatkan sebagai yang menatanya, Sang Hyang Giri Nata gelar lain dari Batara Guru, rajanya para dewa (Poespaningrat, 2005:8). Untuk menghilangkan kemusyrikan, Sunan Kalijaga dan para wali lainnya mengadakan perubahan yang substansial. Misalnya, bentuk atau seni rupa wayang yang semula seperti relief wayang di candi-candi, diubah menjadi tidak seperti manusia. Wayang beber, yang gambarnya berupa manusia dan setiap adegan dibeber pada sebuah kulit juga mengalami perubahan. Lukisan yang madhep ngarep itu dirubah menjadi madhep miring, dan dibuat paraga wayang terpisah untuk setiap tokoh. Walaupun bentuknya tidak proporsional, panjang tangannya hampir sampai ke ujung kaki, namun wayang tetap saja wangun dan menarik. Gunungan atau kayon mempunyai lukisan sebuah pohon Kalpataru (Dewandaru) lambang pohon kehidupan. Kayon, yang semula melambangkan sumber pengetahuan pengayom, dan sumber kehidupan ini diubah artinya oleh para wali. Kayon atau h} a yyu dalam bahasa Arab yang bermakna hidup, diartikan sebagai gambaran simbolis dari kubah mesjid, dan bila dijungkirkan akan menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah Islam yang mengatakan bahwa kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus selalu di masjid. Api yang sedang menyala dilukiskan di balik kayon, merupakan sengISSN: 1693 - 6736
| 139
Jurnal Kebudayaan Islam
kalan “geni dadi sucining jagad,” artinya tahun 1443. Pada tahun inilah untuk pertama kalinya kayon dibuat oleh Sunan Kalijaga. Bahkan, Semar dikatakan berasal dari bahasa Arab Amar yang berarti perintah, sedangkan Petruk dari Fatruk yang berarti perintah untuk ditinggalkan. Dengan demikian, Semar dan Petruk merupakan manifestasi dari amar ma’ruf nahi munkar. Penyeruhan masalah amar ma’ruf nahi munkar ini bisa dipahami berdasarkan Q.S. 3: 114.
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) perbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Ayat al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa kita dihimbau untuk melakukan yang baik dan mencegah yang mungkar karena kebaikan merupakan perintah Agama yang harus dijalankan dan kedua sifat ini merupakan pagar segala keutamaan dan benteng penghalang tersebarnya segala keburukan. Nala Gareng dari kata Na>la Qarin atau memperoleh banyak kawan yang akan sangat berguna untuk penyebaran agama. Bagong berasal dari kata Bagha> yang berarti berontak dalam menghadapi ketidakadilan pada umumnya, menghadapi VOC pada khususnya. Keluarga Pandawa juga bisa dihubungkan dengan kewajiban Islam yang lima. Puntadewa dihubungkan dengan syahadat. Ia sabar dan pengasih, selalu mengabulkan permintaan orang, bahkan istri dan nyawanya pun akan diberikan bila diminta. Ia mempunyai pusaka bernama Kalimasada, yang bertuliskan kalimah Syahadah. Dalam hadist Nabi, Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mendirikan zakat, haji dan puasa ramadhan.’ (HR. Bukhari-Muslim). Syahadat adalah kesaksian dan merupakan hal yang penting bagi seorang muslim. Dengan syahadat, tujuan hidup duniawi dapat berubah menjadi orientasi ukhrawi, dan dengan syahadat pula, Rasulullah s.a.w mengubah kondisi masyarakat Arab dari kehidupan yang jahiliah menuju kehidupan yang Islami. Pada kalimat syahadat terdapat kesaksian “Tiada Tuhan selain Allah”, maksudnya saat manusia mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah berarti meyakini bila ragam sesembahan selain Dia adalah batil dan ibadahnya menjadi batal. Orang yang beribadah kepada selain Allah adalah kafir dan musyrik terhadap Allah, sekalipun yang dia sembah seorang nabi atau wali, atau beralasan supaya bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bertawasul kepadanya. Sebab orang-orang musyrik yang dulu
140 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
menentang para rasul tidak menyembah para nabi, wali, dan orang shalih, melainkan memakai alasan ini. Bima dihubungkan dengan shalat, mukanya selalu menunduk seperti orang yang shalat. Ia tidak melayani orang lain jika pekerjaannya sendiri belum selesai, isyarat bahwa shalat tidak boleh dibatalkan. Perintah shalat terdapat dalam Q.S. 29:45:
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar”. Arjuna dihubungkan dengan puasa , jiwanya teguh dan gemar bertapa. Walaupun berparas tampan, namun ia selalu berpenampilan sederhana. Untuk berbuat sederhana tetapi indah, memerlukan pengekangan hawa nafsu yang kuat. Puasa adalah rukun Islam yang keempat. Secara bahasa puasa adalah menahan diri, yaitu menahan diri dari makan dan minum mulai fajar sampai terbenamnya matahari. Tidak hanya menahan makan dan minum, puasa juga menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan puasa. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkat. Allah telah fardhukan berpuasa di bulan itu. Sepanjang bulan Ramadhan dibuka segala pintu surga dan ditutup pintu neraka, serta dibelenggu para setan” (HR. Ahmad). Nakula dihubungkan dengan zakat. Ibarat orang yang senang mengeluarkan zakat karena giat bekerja. Menurut syariat Islam, zakat adalah nama suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan diberikan kepada golongan tertentu. Nabi Muhammad SAWmelembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bagi yang kaya guna meringankan beban hidup orang-orang miskin. Sejak saat itu, zakat diterapkan dalam negaranegara Islam. Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan disalurkan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda dan budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar, dan lain sebagainya. Sadewa dihubungkan dengan haji. Menggambarkan orang yang mampu melakukan ibadah haji karena hartanya cukup, terpenuhi sandang pangannya. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ibadah tahunan yang dilaksanakan kaum muslimin sedunia, yang mampu baik secara material, fisik, dan keilmuan. Kegiatan inti ibadah haji dimulai tanggal 8 Zulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah pada tanggal 10 Zulhijjah. Secara bahasa, haji berarti me-
ISSN: 1693 - 6736
| 141
Jurnal Kebudayaan Islam
nyengaja atau menuju dan mengunjungi. Adapun menurut syariah, haji adalah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalanamalan ibadah tertentu. Dari paparan di atas tampak jelas bahwa para wali dalam hal ini Walisanga berperan penting terhadap wayang sebagai media dakwah Islam yang tidak hanya sebagai tontonan saja. Banyak wayang yang bisa dikaitkan dengan Islam dan penjelasan tersebut sesuai tokohnya. Bentuk dan makna wayang itu sendiri juga diluruskan oleh Walisanga supaya umat muslim tidak terjerumus pada kemusyrikan.
D. GAGRAG BANYUMASAN Dunia Pewayangan Indonesia dikenal dengan berbagai gaya yang sering disebut gagrag atau tradisi pedalangan seperti gaya Surakarta, gaya Ngayogyakarta atau Mataram, gaya Jawa Timuran, gaya Pesisiran, dan sebagainya. Di antara gaya-gaya pedalangan yang sangat populer di masyarakat pendukung pewayangan adalah gaya pedalangan Ngayogyakarta dan Surakarta. Perkembangan jagad pedalangan berlangsung seiring dengan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Keraton sebagai pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan memiliki andil dan peran yang sangat besar terhadap pembinaan dan perkembangan seni pertunjukan wayang. Munculnya gaya-gaya pedalangan juga tidak lepas dari kehidupan keraton Jawa yaitu kerajaan Mataram yang terbagi ke dalam dua kerajaan yaitu kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta atau Mataram. Diperkirakan bahwa seni pedalangan masuk ke Banyumas bersama orangorang beragama Hindu dari Majapahit yang lari karena terdesak oleh orangorang agama Islam abad ke-15. Orang-orang Hindu masuk ke Banyumas diperkirakan melalui Gunung Lawu, Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Dieng, Rogojembangan dan Gunung Slamet, terus sampai ke barat. Pada saat itu, orang-orang Islam masuk ke Banyumas untuk menyebarkan agama Islam. Cara pengembangan agama Islam diperkirakan menggunakan seni pedalangan. Seni pedalangan yang sudah dimulai pada zaman Hindu kemudian berubah karena pengaruh agama Islam dan selanjutnya bercampur dengan budaya Banyumas. Pada zaman Mataram Islam dari Panembahan Senapati sampai dengan Keraton Pleret, seni pedalangan Banyumasan semakin berkembang. Hal ini disebabkan adanya hubungan dengan Mataram dan Kedu, sehingga pedalangan gagrag Mataram dan Kedu memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pedalangan gagrag Banyumas, khususnya daerah Banyumas sebelah selatan, yakni daerah pesisir selatan yang menimbulkan seni pedalangan gagrag Banyu-
142 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
mas pesisir. Dengan demikian, di Banyumas terdapat dua gaya atau gagrag pedalangan yakni gagrag pesisiran dan gagrag lor gunung. Gagrag pesisiran maju di dalam hal seni karawitan, sedang gagrag lor gunung maju dalam hal falsafah. Dalang gagrag pesisiran yang terkenal adalah almarhum Ki Tutur dari Kesugihan. Adapun Ki Parsa dan Ki Sugih keduanya merupakan dalang terkenal dalam gagrag lor gunung. Akan tetapi, yang cenderung tidak terpengaruh adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah (Sudarko, 2007:221). Literatur lain menuturkan bahwa pada zaman Kesultanan Demak tahun 1478-1546, kemudian Kesultanan Pajang tahun 1546-1587, sampai dengan pengaruh Mataram pada zaman Plered tahun 1645-1677, Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk Karesidenan Banyumas, dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang untuk lebih mengembangkan seni pedalangan gagrag Banyumasan. Pengaruh gagrag Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul (selatan), dan dikenal dengan seni pedhalangan Banyumasan pesisir atau gagrag Kidul Gunung. Pengaruh itu dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah atau keturunan Gombong, yaitu Ki Cerma yang terkenal dengan nama Ki Dalang Menganti. Seni pedalangan tidak lepas dengan tokoh wayang. Tokoh wayang kulit purwa yang benar-benar khas Banyumas adalah Srenggini. Menurut pedalangan Banyumas, Srenggini adalah anak Bima hasil perkawinannya dengan Dewi Urangayu. Adapun pada Yogyakarta dan Surakarta tokoh Srenggini tidak ada dan Urangayu adalah ibu dari Antasena (wawancara dengan Djoko Sulaksono, 28 September 2016). Antasena kadang-kadang disebut Anantasena, oleh sebagian pecinta wayang dianggap sebagai nama lain dari Antareja. Jadi, Antasena dianggap identik dengan Antareja. Versi ini menganut Kitab Pustakaraja, salah satu buku acuan pedalangan. Tetapi sebagian pecinta wayang lain, mengatakan Antasena adalah adik Antareja dari lain ibu. Menurut versi Kitab Purwakanda, ibu Antasena adalah Dewi Urangayu, putri Begawan Mintuna. Para dalang di daerah Surakarta ke timur pada umumnya menganggap Antasena adalah nama lain dari Antareja. Sedang para dalang di Yogyakarta dan daerah sebelah baratnya termasuk Banyumas dan juga Wayang Golek Sunda, umumnya menganggap Antasena anak Bima dari Dewi Urangayu. Demikian juga Jagal Abilawa, di Banyumas digambarkan dengan rambut panjang sampai ke pantatnya. Adapun di Surakarta maupun Yogyakarta, tokoh Jagal Abilawa diwujudkan mirip dengan Bratasena, yakni Bima dikala muda, tetapi dengan rambut lebih terurai. Selain Srenggini dan Jagal Abilawa, bentuk
ISSN: 1693 - 6736
| 143
Jurnal Kebudayaan Islam
Bagong di Banyumas lebih dikenal dengan nama Bawor yang cukup jauh bedanya dengan Bagong Surakarta maupun Yogyakarta. Kalau di Jogja dan Solo, namanya bukan Bawor tetapi Bagong dan itu anak terakhir yang lahirnya bersamaan dengan Begawan Palasara. Adapun dalam pakem Banyumasan, Bawor itu anak pertama dan sebagai simbol masyarakat Banyumas (Wawancara dengan Ki Daulat, 1 Mei 2016). Dalam masyarakat Banyumas, dikenal tokoh Bawor yang merupakan simbol dari masyarakat Banyumas itu sendiri. Sejarah menyebutkan, adanya Bawor sebagai simbol dari masyarakat Banyumas karena dipengaruhi proses penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Kreativitas Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media dalam penyebaran agama Islam meninggalkan kesan tersendiri bagi masyarakat Jawa, terutama masyarakat Banyumas yang pada akhirnya mengaplikasi salah satu tokoh pewayangan yang “dibawa” Sunan Kalijaga (Soewargono, 2012:189). Bawor adalah nama salah satu Punakawan dalam wayang purwa gagrag pedalangan Banyumasan didasarkan atas Layang Purwakanda; berbeda dengan tokoh wayang Bagong yang dalam pakem pedalangan gagrag Yogyakartaan didasarkan atas Serat Purwakandha. Perbedaan ini sangat tampak dalam segala hal baik dalam ukuran besar-kecilnya bentuk wayang, sifat yang terlihat dari pirasatung bentuk tubuhnya serta watak yang terlihat dari lageyan-nya (polah tingkahnya) maupun urutan sebagai anak pengikut Semar-Bawor dianggap anak sulung, sedangkan Bagong anak Bungsu. Bentuk tubuh Bawor sama besarnya (mirip) dengan tubuh Semar yang nyaris bulat (tambun). Kepala Bawor berambut bkoak, perut bulat berpusar bodong (burut), suaranya besar dan berat dan dalam setiap penampilannya selalu menjadi tokoh yang dihormati dan pendapatnya dipercaya oleh adikadinya, Gareng, Petruk, dan Semar. Bawor juga memiliki watak sebagai berikut: (1) Sabar lan narima (sabar dan menerima apa adanya dalam kehidupan kesehariannya); (2) Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran), rukun, suka membantu orang lain, mementingkan kepentingan bersama); (3) Cancudan (rajin dan cekatan), dan; (3) Cablaka (lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang dari apa yang diucapkannya secara spontan dengan bahasa yang lugas, tanpa tédéng aling-aling). Sebaliknya dalam wayang gagrag Yogyakarta, Bagong bertubuh kecil dari Bawor. Rambutnya diikat di puncak kepalanya, perutnya normal sehingga selalu memakai kain dan ikat pinggang di atas perutnya, suaranya keméng (kecil dan gembréng ), manja, bodoh dan ngéyélan (pendapatnya tidak bisa diubah/
144 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
dikalahkan). Dalam ceritanya ia disebut anak bungsu dari Semar. Watak Bagong yang ngéyélan (tidak mau mengalah) dan srékalan (memutarbalikan kata-kata) selalu membuat orang yang mendengarnya menjadi wadhéh (muak, tidak simpati). Oleh karena itu kalau ngomong tidak seirama selalu menjadi sasaran jithakan/glithoan (ditokok dengan ibu jari/ibu jari yang dilipat) di kepalanya baik oleh Gareng atau Petruk. Agar tidak selalu mendapat jithakan, lebih baik ngegongi (menyepakati saja). Adapun pedalangan gagrag Surakarta tidak ada tokoh Bawor dan Bagong. Punakawan itu hanya Semar, Gareng dan Petruk.
Bawor gagrag Banyumas
Antareja gagrag Banyumas
Bagong gagrag Surakarta
Antareja gagrag Surakarta
Jagal Abilawa gagrag Banyumas
Jagal Abilawa gagrag Surakarta
Bagong gagrag Yogyakarta
Antasena gagrag Yogyakarta
Jagal Abilawa gagrag Yoyakarta
Gambar 11. Wayang Gagrag Banyumasan, Surakarta dan Yogyakarta Perbedaan wayang purwa gagrag Banyumas, Jogja dan Solo dari segi keprak atau kecrek. Keprak adalah lempengan perunggu atau kuningan yang terletak di samping kaki dalang saat duduk bersila selama pementasan. Keprak ISSN: 1693 - 6736
| 145
Jurnal Kebudayaan Islam
Banyumas itu jumlahnya ada tiga lempeng, kalau Jogja cuma satu saja sedangkan Solo ada empat sampai lima lempeng. Ketika memakai keprak Banyumas harus ada bungkul -nya. Menurut Kamus Dialek Banyumas-Indonesia karya Ahmad Tohari disebutkan bahwa bungkul adalah tombol terompah kayu dijepit antara ibu jari dan telunjuk ibu jari kaki. Walaupun Jogja cuma satu lempeng saja, cara memukulnya tetap memakai bungkul . Berbeda dengan Solo yang menggunakan empat sampai lima lempeng, sudah tidak perlu memakai lempeng, tetapi langsung memakai kaki (Wawancara dengan Suharto, 12 Juni 2016). Dalam pertunjukan wayang, keprak ditaruh (dipasang) di dinding kotak wayang, pada arah ujung kaki kanan dalang yang bersila. Kaki kanan itulah yang bertugas menggerak-gerakkan keprak itu sehingga berbunyi jreg-jeg...jeg. Suara itu berfungsi sebagai pengiring gerakan tokoh paraga wayang yang sedang dimainkan dalang, sekaligus merupakan suara komando dalang para niyaga penabuh gamelan. Sementara itu, pedalangan gaya Yogyakarta hanya menggunakan selembar kepingan besi saja, yang dipukul-pukul dengan cempala. Dengan demikian, keprak Yogyakarta tidak berbunyi jreg-jeg... jeg, melainkan ting ting...ting. Adapun gaya Surakarta ada 4-5 lempeng. Ciri khas lain yang terdapat dalam pakeliran Banyumasan adalah: (a) Menggunakan iringan ricik-ricik Banyumasan dan eling-eling Banyumasan pada setiap pertunjukannya; (b) Menggunakan tiga lempengan kepyak; (c) Tata urutan pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan: (c.1) pembuka atau purwaka; (c.2) talu, proses naiknya dalang ke panggung; (c.3) Pathet 6 (nem) (jejeran kapisan) terdiri atas Ginem, Paseban Jawi, Budhalan, Adhegan Singgetan, Adegan Sabrangan, dan Perang Gagal; (c.4) Pathet 9 (sanga) (gara-gara) yang terdiri atas Adegan Pratapan (adegan antara pendeta dan raksasa), dan Adegan Sintren; (c.5) Pathet Manyura, terdiri dari Adegan Manyuri, Tayungan (Perang Brubuh), dan Adegan pungkasan sampai pada tancep kayon , atau tanda berakhirnya pertunjukan wayang. Dari paparan di atas, terdapat ciri khas yang mencolok pada wayang purwa gagrag Banyumas baik dari segi nama, bentuk, sifat dan perlengkapannya. Seperti pada tokoh Srenggini, Jagal Abilawa, Antasena, dan Bawor yang semuanya khas sekali kebanyumasannya. Perlengkapan dalang dalam pementasan wayangnya juga dinilai berbeda dari bentuk, jumlah, dan bunyinya.
E. SIMPULAN Dari hasil pembahasan di atas, ada beberapa hal yang berkaitan dengan peran wali dan perbedaan Wayang Purwa gagrag Banyumasan. Pertama, bentuk
146 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Muh Nurul Huda dan Kundharu Saddhono: Wayang Purwa Gagrag... (hal. 135-148)
wayang dibuat tidak menyerupai dengan manusia karena bisa menyebabkan kemusyrikan. Kedua, makna dari perlengkapan dan tokoh wayang yang dikaitkan dengan Islam oleh salah satu Walisanga yaitu Sunan Kalijaga. Ketiga, wayang tidak hanya sebagai tontonan saja, melainkan juga untuk tuntunan dan tataning ngaurip. Keempat, pewayangan gagrag Banyumasan terdapat berbagai perbedaan dengan wayang gagrag Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari nama, bentuk, sifat dan perlengkapan pertunjukan wayang itu sendiri. Wayang juga bisa dikatakan gambaran manusia yang hidup di dunia. Selain itu, wayang sebagai magnet masyarakat untuk mau mengaji. Orang yang tadinya tidak mau mengaji, tetapi karena dakwahnya diubah dengan media wayang, akhirnya dengan rasa penasarannya orang tersebut mau mengaji.
DAFTAR PUSTAKA Basuki, Sulistyo. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku. Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid 1-6.1999. Jakarta: Sena Wangi. Dwiandiyanta, B.Y., dkk. 2012. “New Shadow Modeling Approach of Wayang Kulit” dalam International Journal of Advanced Science and Technology Vol. 43, June, 2012. Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara. Poespaningrat, P. 2005. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT BP. Kedaulatan Rakyat. Soewargono, W.A. 2012. “Bawor dan Kearifan Budaya Islam Jawa Banyumasan” dalam Jurnal Ibda’ edisi Vol. 10, No. 2, Juli - Desember 2012. IAIN Purwokerto. Sudarko, dkk. 2007. Sejarah Pedalangan. Solo: Institut Seni Indonesia Surakarta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta. Sutarjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra DaerahFakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. _____________. 2010. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra DaerahFakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ISSN: 1693 - 6736
| 147
Jurnal Kebudayaan Islam
Sulaksono, Djoko. 2013. “Filosofi Pertunjukan Wayang Purwa” dalam jurnal Ibda’ edisi Vol. 11, No. 2, Juli - Desember 2013. IAIN Purwokerto. _____________. 2016. Seputar Budaya Jawa. Surakarta: CakraBooks Solo. _____________. 2016. Serbaneka Bahasa Jawa. Surakarta: CakraBooks Solo. Tarwilah. 2013. “Peranan Walisongo Dalam Pengembangan Dakwah Islam” dalam Jurnal Ittihad Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 4 No.6 Oktober 2006. Wawancara dengan Djoko Sulaksono, 28 September 2016. Wawancara dengan Ki Daulat (Salah satu dalang Banyumas), 1 Mei 2016. Wawancara dengan Sungging Suharto (mantan ketua Pepadi Kabupaten Banyumas), 12 Juni 2016.
148 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017