ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
STUDI PREFORMULASI PENINGKATAN SIFAT KELARUTAN SULFAMETOKSAZOL MELALUI PEMBENTUKAN KOMPLEKS INKLUSI DENGAN β- SIKLODEKSTRIN MENGGUNAKAN METODE CO-GRINDING Syofyan*, Rizka Yolanda, Erizal Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, No. Fax 0751-777057, email:
[email protected] *)
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang studi preformulasi peningkatan sifat kelarutan sulfametoksazol. Peneltian dilakukan melalui pembentukan kompleks inklusi dengan βSiklodekstrin menggunakan metode Co- Grinding. Kompleks inklusi sulfametoksazol- βsiklodekstrin yang terbentuk dikarakterisasi dengan difraksi sinar- X, spektrofotometer IR dan uji disolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari difraktogram difaksi sinar- X menunjukkan terbentuknya pola amorf dan terjadi penurunan intensitas puncak difraktogram yang sangat tajam jika dibandingkan dengan sulfametoksazol murni. Hilangnya sebagian puncak sulfametoksazol dan pergeseran puncak sulfametoksazol pada spektogram IR menunjukkan bahwa sulfametoksazol terkompleks ke dalam rongga β- siklodekstrin. Sedangkan hasil disolusi menunjukkan terjadi peningkatan persen terdisolusi pada kompleks inklusi dibandingkan sulfametoksazol murni. Jumlah obat terdisolusi dalam waktu 60 menit paling besar diberikan oleh sulfametoksazol - β-siklodekstrin > campuran fisik sulfametoksazol – β-siklodekstrin > sulfametoksazol. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompleks inkulsi yang terbentuk dapat meningkatkan sifat kelarutan dari sulfametoksazol. Kata kunci: sulfametoksazol, kompleks inklusi, co-grinding, uji disolusi PENDAHULUAN Rancangan dari suatu bentuk sediaan obat yang tepat memerlukan pertimbangan karakteristik fisika, kimia dan biologis dari semua bahan-bahan obat dan bahan-bahan farmasetik yang akan digunakan dalam membuat produk obat. Obat dan bahan-bahan farmasetik yang digunakan harus tercampurkan satu sama lainnya untuk menghasilkan suatu produk obat yang stabil, manjur, menarik, mudah dibuat dan aman. Produk harus dibuat di bawah pengontrolan agar memiliki kualitas yang baik dan dikemas dalam wadah yang membantu stabilitas obat. Dalam hubungan dengan masalah memformulasi suatu zat obat menjadi suatu bentuk sediaan yang tepat, maka sebagai tahap awal dari tiap formulasi yang baru adalah berupa pengkajian untuk mengumpulkan keterangan-keterangan dasar
tentang karakteristik fisikokimia zat obat yang dibuat menjadi bentuk sediaan farmasi tersebut. Pengkajian dasar ini dirangkum dalam suatu penelitian yang disebut dengan preformulasi yang dibutuhkan sebelum formulasi produk yang sebenarnya dimulai (Ansel, 1989). Preformulasi dimulai bila suatu obat yang baru menunjukkan jaminan farmakologis yang cukup dalam modelmodel hewan untuk menjamin penilaian pada manusia. Pengkajian ini harus berpusat pada sifat-sifat fisikokimia dari senyawa baru yang dapat mempengaruhi penampilan obat dan perkembangan suatu bentuk sediaan yang menunjukkan efikasi (Lachman et al, 1989). Menurut Wells (1988) ada dua sifat dasar zat yang perlu sekali diketahui dalam studi preformulasi yaitu berupa data kelarutan dan konstanta ionisasinya. Data ini
284
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
dengan segera menunjukkan kebutuhan dan kemungkinan membuat bentuk yang lebih larut dari obat untuk mengeliminir masalah kelarutan yang berhubungan dengan bioavalibilitas atau ketersediaan hayati yang jelek, terutama bentuk sediaan padat. Ketersediaan hayati suatu sediaan yang diberikan secara oral tergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah laju disolusi, kelarutan dan laju absorpsi dalam saluran cerna. Obat yang diberikan secara oral, akan dilarutkan dalam media berair di saluran cerna untuk diabsorpsi. Perbaikan kelarutan dan kecepatan disolusi obat yang sukar larut merupakan langkah pertama untuk perbaikan ketersediaan hayati( Bekers, 1991; Loftsson & Brewster, 1996). Untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang sukar larut dalam air, dikembangkan kompleks inklusi padat yang akan lebih cepat larut daripada obat itu sendiri sehingga dapat memperbaiki kecepatan disolusi, absorpsi, ketersediaan hayati, dan stabilitas kimia obat(Loftsson & Brewster, 1996). Pada kompleks inklusi, molekul obat sebagai molekul guest terperangkap di dalam rongga siklodekstrin yang bersifat hidrofobik. Bagian luar siklodekstrin bersifat hidrofilik sehingga mudah larut dalam media air ( Frank, 1975). Kompleks inklusi dibuat dengan metode evaporasi, netralisasi, pengulian, menelan larutan, dan metode penggilingan atau co-grinding ( Bekers, 1991). Cogrinding senyawa obat yang sukar larut air dengan berbagai polimer akan meningkatkan efek solubilisasi dan ketersediaan hayati,
oleh karena modifikasi sifat padatan senyawa obat. Pada saat penggilingan padatan kristalin akan mengalami transformasi menjadi fase amorf dalam rantai-rantai polimer (Friedrich et al., 2005). Jika dibandingkan dengan berbagai teknik peningkatan kelarutan lain, teknik cogrinding merupakan cara yang sederhana dan ramah lingkungan karena tidak memerlukan pelarut organik (Garg dan Singh, 2009). Sulfametoksazol adalah obat golongan sulfonamid yang mempunyai spektrum antibakteri yang luas. Obat ini merupakan antagonis kompetitif PABA sehingga menghambat pembentukan asam folat yang digunakan oleh bakteri untuk sintesis purin dan asam nukleat (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2007). Sulfametoksazol praktis tidak larut dalam air, dalam eter, dan dalam kloroform; mudah larut dalam aseton, larutan NaOH encer; agak sukar larut dalam etanol (Departemen Kesehatan R.I.,1995). Oleh karenanya, perlu dilakukan studi preformulasi terhadap sifat kelarutan Sulfametoksazol dengan membentuk komples inklusi. Salah satu pengompleks yang biasa dipakai adalag β-siklodekstrin yang terdiri dari tujuh unit glukopiranosa yang dihubungkan oleh ikatan a-1,4glikosida. Β-siklodekstrin memiliki kelarutan dalam air yang rendah (1,85 g/100ml). βsiklodekstrin tidak toksik bila diberikan secara oral dan terutama digunakan dalam formulasi tablet dan kapsul( Weller, 2003). Dengan demikian, penggunaan βsilkodekstrin diharapkan dapat membantu sifat kelarutan Sulfametoksazol dengan cara pembentukan kompleks inklusi.
METODE PENELITIAN 1. Alat dan bahan Peralatan gelas standar laboratorium, timbangan digital (Shimadzu-Aux 220), nanomilling (Fritsch Premium Line Nano Milling Pulverisette 7), spektrofotometer UV (Shimadzu UV-1700), XRD (PAN
Analythical, Netherland), SEM (Jeol, Japan), spektrofotometer IR (Thermo Scientific), dan alat uji disolusi (Hansen Research). Bahan yang digunakan : Sulfametoksazol, β- siklodekstrin, HCl 0,1 N, etanol 96%, NaOH 0,1 M, dan aquadest.
285
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
2. Prosedur Penelitian a. Pembuatan campuran fisik dan kompleks inklusi sulfametokasazol dengan βsiklodekstrin Tabel 1. Perbandingan campuran fisik dan kompleks inklusi dalam fraksi mol Co- grinding Campuran fisik Bahan F1 F2 F1 1:1 1:2 1:1 Sulfametoksazol 2,533 g 2,533 g 2,533 g β- siklodekstrin 11,35 g 22,7 g 11,35 g Total 13,883 g 25,233 g 13,883 Pembuatan campuran fisik Sulfametoksazol dan β- siklodekstrin ditimbang sesuai dengan formula yang telah ditentukan. Kemudian bahan dihaluskan dengan digerus secara terpisah terlebih dahulu, lalu dicampur dan dihomogenkan selama 30 menit menggunakan mortar dan spatula (Garg, et al., 2009). Campuran fisik yang terbentuk disimpan dalam desikator sebelum digunakan. Pembentukan kompleks inklusi Sulfametoksazol dan β- siklodekstrin dicampur dengan perbandingan molar 1:1 dan 1:2. Campuran ini kemudian digiling dengan alat nanomilling dengan kecepatan 500 rpm. Waktu penggilingan selama 2 jam. Kemudian zat yang menempel pada dinding nanomilling dan bola-bola penggiling dibersihkan sehingga didapatkan kompleks inklusi sulfametoksazol dengan βsiklodekstrin. Kompleks inklusi yang terbentuk disimpan dalam desikator sebelum digunakan. b. Karakterisasi kompleks inklusi sulfametoksazol dan β- siklodekstrin Dilakukan dengan analisis Difraksi SinarX, spektrofotometer IR, Scanning Electron Microscopy (SEM) c. Penentuan perolehan kembali sulfametoksazol dalam campuran fisik dan kompleks inklusi Timbang serbuk campuran fisik dan kompleks inklusi setara dengan 50 mg
sulfametoksazol. Serbuk dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml larutkan dengan NaOH 0,1 M beberapa mL. kemudian cukupkan volume sampai tanda batas (konsentrasi 500 µg/mL). Ambil 5 mL dari larutan tersebut, masukkan kedalam labu 50 mL dan cukupkan volume sampai tanda batas (konsentrasi 50 µg/mL). Ambil 5 mL dari larutan tersebut, masukkan ke dalam labu 25 mL dan cukupkan volume sampai tanda batas (konsentrasi 10 µg/mL). Ukur serapan larutan tersebut pada panjang gelombang maksimum. Kadar perolehan kembali sulfametoksazol dalam serbuk campuran fisik dan kompleks inklusi dihitung dengan menggunakan kurva kalibrasi. d. Uji Disolusi Penetapan profil disolusi dari kompleks inklusi sulfametoksazol dan β- siklodekstrin dengan menggunakan alat disolusi tipe dayung. Wadah diisi dengan air dan suhu diatur pada 37oC ± 0,5oC. Labu disolusi diisi dengan medium HCl 0,1 N sebanyak 900 ml. Kemudian kompleks inklusi setara dengan 200 mg dimasukkan kedalam wadah silinder, dayung diputar dengan kecepatan 75 rpm. Larutan disolusi dipipet 5 ml pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60. Pada setiap pemipetan diganti dengan medium disolusi (volume dan suhu yang sama saat pemipetan). Serapan larutan yang telah dipipet dari medium disolusi diukur pada panjang gelombang maksimum.
286
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
HASIL DAN DISKUSI Pembentukan kompleks inklusi dilakukan dengan menggunakan metode cogrinding. Co- grinding adalah salah satu metode yang sedang berkembang pada industri farmasi. Energi mekanik yang dihasilkan pada proses penggilingan dalam keadaan padat dapat mengakibatkan terjadinya perubahan ukuran partikel, luas permukaan, perubahan derajat kristalinitas dan terbentuknya polimorf dari suatu senyawa obat sehingga dapat merubah sifat fisikokmia obat dan mempengaruhi laju disolusi dan ketersediaan hayati obat (Yang Lin, Hung Hsu, Ying Ke, 2010).
dihasilkan pada saat proses co- grinding. Selain itu, pembentukan kompleks inklusi juga dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran senyawa obat. Senyawa obat yang memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan βsiklodekstrin meliputi senyawa alifatik rantai lurus dan bercabang, aldehid, keton, alkohol, asam organik, asam lemak, aromatik, gas dan senyawa polar seperti halogen dan amina.
Gambar 2.
Gambar 1
Difraktogram sulfametoksazol
sinar-
X
Proses pembentukan kompleks inklusi disebabkan oleh adanya interaksi hidrofobik, interaksi van der waals, ikatan hidrogen, ikatan dipol- dipol dan pelepasan entalpi air. Interaksi hidrofobik terjadi ketika molekul siklodekstrin yang bersifat hidrofobik berdekatan dengan sifat hidrofobik molekul obat. Ikatan van der waals terjadi ketika molekul siklodekstrin dan molekul obat saling berdekatan dan terjadi tarik menarik antara kedua molekul. Ikatan hidrogen terjadi saat atom hidrogen berikatan dengan atom elektronehgatif (N, O, F). Berdasarkan hal ini, terjadinya kompleks inklusi antara sulfametoksazol dapat disebabkan oleh terjadinya ikatan hidrogen dimana atom hidrogen dari β- siklodekstrin berikatan dengan atom nitrogen yang terdapat dalam sulfametoksazol. Ikatan ini terjadi karena adanya energi mekanik yang
Difraktogram siklodekstrin
sinar-
X
β-
Senyawa obat yang digunakan pada penelitian ini adalah sulfametoksazol. Jika dilihat berdasarkan literatur, sulfametoksazol memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks dengan βsiklodekstrin. Sulfametoksazol memiliki berat molekul 253,3 g/mol dimana senyawa ini memiliki kesesuaian dengan kapasitas dari βsiklodekstrin yang dapat mengkompleks senyawa obat yang memiliki berat molekul 200 – 800 g/mol (Zingone & Rubessa, 2004).
Gambar 3.
287
Difraktogram sinarcampuran fisik F1
X
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
Analisis difraksi sinar-X dilakukan pada sulfametoksazol dan β- siklodekstrin, campuran fisik dan kompleks inklusi sulfametoksazol - β- siklodekstrin. Hasil difraktogram sulfametoksazol murni menunjukkan karakteristik kristalin. Puncakpuncak kristalin sulfametoksazol terlihat pada sudut 2Ѳ : 12,5 , 17,5 , 21 , 22,5 , 24,5 dan 27 . Difraktogram βsiklodekstrin juga masih menunjukkan karakterisatik kristalin karena bahan baku βsiklodekstrin yang digunakan dalam bentuk kristal. Difraktogram substansi amorf ditunjukkan oleh pola yang menyebar, karena substansi amorf merupakan substansi dengan strukur yang tidak teratur dan tersusun tanpa arah. Keadaan ini berbeda dengan substansi kristal yang tersusun dari struktur yang teratur, sehingga jarak antara bidang-bidang paralel dapat diukur dan pada pola difraktogram terlihat sebagai puncak-puncak yang intensif.
Gambar 4.
Difraktogram sinarkompleks inklusi F1
X
Gambar 5.
Difraktogram sinarkompleks inklusi F2
X
Hasil difraktogram campuran fisik sulfametoksazol- β- siklodekstrin pola kristalin β-siklodekstrin bercampur dengan pola kristalin sulfametoksazol. Puncakpuncak kristalin sulfametoksazol terlihat jelas pada sudut 2θ : 12,5°, 17,5° dan 24,5°. Hal ini memperlihatkan bahwa sulfametoksazol dan β-siklodekstrin belum menyatu. Difraktogram hasil kompleks inklusi sulfametoksazol- β- siklodekstrin menunjukkan terjadinya penurunan intensitas yang sangat tajam dari puncak sulfametoksazol. Penurunan intensitas puncak menunjukkan perubahan derajat kristalinitas. Namun, puncak- puncak kristalin sulfametoksazol masih terlihat. Hasil difraktogram campuran fisik juga menunjukkan terjadinya tumpang tindih (superposisi) antara difraktogram sulfametoksazol dan β- siklodekstrin. Analisis bentuk partikel dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) dengan berbagai perbesaran memperlihatkan karakteristik dari sulfametoksazol, β- siklodekstrin, campuran fisik, dan kompleks inklusi. Pada hasil SEM perbesaran 10000 kali, sulfametoksazol terlihat berupa padatan kristal dengan bentuk yang tidak beraturan (lampiran 2 gambar 2.2). β- siklodekstrin pada perbesaran 100 kali terlihat seperti batang (lampiran 2 gambar 2.3). Pada campuran fisik pada perbesaran 5000 kali bentuk sulfametoksazol dan β- siklodekstrin masih dapat dibedakan (lampiran 2 gambar 2.5). Pada kompleks inklusi F1 perbesaran 5000 kali memiliki bentuk yang tidak beraturan atau amorf, membentuk aglomerat dan ukurannya lebih besar dibandingkan campuran fisik. Namun amorfisasi yang terbentuk hanya sebagian (lampiran 2 gambar 2.1). Kompleks inklusi F2 pada perbesaran 5000 kali menunjukkan bentuk yang koheren dimana bentuk sulfametoksazol dan β- siklodekstrin sulit untuk dibedakan (lampiran 2 gambar 2.5) Hasil karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer FT-IR, sulfametoksazol memberikan puncak pada bilangan gelombang 1156,79; 1143,30; 1091,46; 927,17; 828,65 dan 685,28 cm-1.
288
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Morfologi sulfametoksazol perbesaran 5000x
serbuk dengan
Morfologi β- Siklodekstrin perbesaran 5000x
Morfologi campuran dengan perbesaran 5000x
fisik
Gambar 9.
Morfologi serbuk kompleks inklusi F1 dengan perbesaran 5000x
Gambar 10. Morfologi serbuk kompleks inklusi F2 dengan perbesaran 5000x Puncak pada panjang gelombang 1156,79 menunjukkan adanya ikatan S=O. Spektra FT-IR β-siklodekstrin menunjukkan puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3500 - 3000 cm-1 yang menunjukkan adanya alkohol dan gugus OH pada molekul kompleks seperti selulosa, sakarida, polimer dan molekul lain yang mempunyai gugus yang mengabsorbsi sangat kuat. Puncak lain pada bilangan gelombang 1028,92 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-O (Silverstein, et.al., 1981). Pada hasil karakterisasi campuran fisik terdapat puncak yang menunjukkan adanya kemiripan puncak dengan sulfametoksazol yaitu pada bilangan gelombang 1156,59; 1143,64; 828,75 dan 685,45 cm-1. Munculnya puncak – puncak yang menunjukkan kemiripan puncak yang dimiliki sulfametoksazol dan β-siklodekstrin menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara sulfametoksazol dengan β-
289
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
siklodekstrin. Karakterisasi kompleks inklusi formula 1 (F1) menunjukkan adanya gugus fungsi sulfametoksazol dan β-siklodekstrin yaitu puncak pada bilangan gelombang 1026,88; 1078,59 dan 1155,92 cm-1. Sedangkan pada kompleks inklusi F2 menunjukkan adanya gugus fungsi sulfametoksazol yaitu adanya puncak pada bilangan gelombang 1026,88; 1078,59 dan 1155,92 cm-1 dan adanya gugus fungsi dari β-siklodekstrin yaitu adanya puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3000 - 3500 cm-1. Hilangnya sebagian puncak sulfametoksazol dan pergeseran puncak sulfametoksazol menunjukkan bahwa sulfametoksazol terkompleks ke dalam rongga β- siklodekstrin. Penetapan perolehan kembali zat aktif sulfametoksazol dilakukan dengan menggunakan spektofotometer UV dengan medium NaOH. Penetuan panjang gelombang serapan maksimum sulfametoksazol menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dalam NaOH 10 µg/mL adalah 257 nm. Panjang gelombang maksimum yang didapatkan dari penelitian adalah 256,8 nm. Hasil yang didapat tidak berbeda jauh dari literatur dan masih memenuhi syarat yaitu tidak kurang dan lebih dari 2%. Persamaan garis yang didapat adalah y = 0,06637x – 0,00767 dengan nilai r = 0,99994. dari hasil penelitian didapatkan hasil perolehan kembali sulfametoksazol dalam campuran fisik F1 = 102,456% ± 0,83, kompleks inklusi F1 = 102,556 ± 2,17dan F2 = 104,465 ± 0,43. Uji disolusi sulfametoksazol murni, campuran fisik, dan kompleks inklusi dilakukan dengan medium HCl 0.1 N. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum sulfametoksazol dalam HCl menggunakan larutan dengan konsentrasi 14 µg/mL dan panjang gelombang yang didapatkan pada penelitian adalah 265,6 nm. Panjang gelombang yang didapat tidak berbeda jauh dengan yang tercantum dalam literatur yaitu 265 nm. Pada sulfametoksazol murni, persentase disolusi menit ke- 5 adalah 25,7011% sedangkan pada campuran fisik F1
adalah 58,4143%, dan pada kompleks inklusi F1 adalah 85,0037, F2 adalah 85,181%. Pada menit ke-60 adalah 92,6667%, sedangkan pada campuran fisik F1 adaalah 99,7877%, dan pada kompleks inklusi F1 adalah 101,059, F2 adalah 102,7711%. Dari hasil yang diperoleh, persen terdisolusi yang paling bagus adalah kompleks inklusi F2. Literatur menyatakan bahwa semakin banyak jumlah polimer yang digunakan, maka persentase disolusi akan semakin meningkat (Barzegar- Jalali, et al.,2007). Dari hasil terlihat peningkatan persen disolusi dibandingkan dengan sulfametoksazol murni. Peningkatan persen disolusi dari campuran fisik dan kompleks inklusi disebabkan obat terkompleks dalam suatu matriks yang berbentuk rongga dimana bagian dalam rongga bersifat hidrofobik dan bagian luar bersifat hidrofilik (β- siklodekstrin). Dengan penambahan pengompleks β- siklodekstrin, zat yang memiliki masalah kelarutan dalam air akan terkompleks dalam rongga siklodekstrin sehingga meningkatkan kelarutan dan laju disolusinya lebih cepat dibandingkan laju disolusi obat tunggal. Berdasarkan hasil disolusi yang didapat, hasil disolusi yang diperoleh telah sesuai dengan literatur bahwa dengan penambahan polimer hidrofilik dan dengan teknik co- grinding dapat meningkatkan persen disolusi obat yang memiliki masalah kelarutan dalam air. Metode cogrinding menyebabkan pengurangan ukuran partikel dan akan mengubah fase kristal padatan menjadi padatan obat menjadi fase amorf sehingga mudah larut dalam air (Barzegar- Jalali et al.,2007). Hasil disolusi didukung dari karakterisasi yang telah dilakukan seperti SEM, difraksi sinar- X dan lain- lain. Reduksi kristalinitas juga berperan dalam peningkatan laju disolusi (Challa, et al., 2005) sebagaimana terlihat pada hasil karakterisasi dengan difraksi sinar- X. Parameter lain yang digunakan untuk evaluasi disolusi adalah efisiensi disolusi (ED) (Abdou, 1989). Nilai efisiensi disolusi merupakan nilai AUC (Area Under Curve) dari jumlah obat yang terdisolusi per satuan waktu. Perhitungan rata- rata efisiensi
290
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
disolusi diperoleh dari luas daerah dibawah kurva (lampiran 9 tabel V) menunjukkan nilai efisiensi disolusi untuk sulfametoksazol adalah 55,7426 ± 3,83, campuran fisik F1 = 82,9516 ± 0,19, kompleks inklusi F1 =
90,129 ± 1,29, F2 = 90,2449± 0,88. Data ini memperlihatkan bahwa kompleks inklusi F2 mempunyai efisiensi disolusi yang terbesar dibandingkan dengan formula lainnya.
KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Kompleks inklusi sulfametoksazol- βsiklodekstrin dapat dibentuk dengan metode co- grinding. Hal ini dapat terlihat jelas pada hasil karakterisasi dengan difraksi sinarX, spektrofotometer IR dan uji disolusi. b. Hasil disolusi menunjukkan terbentuknya kompleks karena terjadi peningkatan persen terdisolusi pada kompleks inklusi dibandingkan sulfametoksazol murni
c.
Persen terdisolusi kompleks inklusi dalam waktu 60 menit sulfametoksazolβ- siklodekstrin > campuran fisik sulfametoksazol- β- siklodekstrin > sulfametoksazol.
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan pembentukan kompleks inklusi dengan metode co- grinding dengan variasi waktu dan kecepatan putaran penggilingan.
DAFTAR PUSTAKA Abdou, H. M. (1989). Dissolution, bioavaibility and bioequivalence. Pennsylvania: Mack Publishing Company. Bazegar-Jalali, M., Valizadeh, H., Adibkia, K., (2007), Enhancing Dissolution Rate of Carbamazepine via Cogrinding with crosspovidone and Hydroxypropylmethylcellulose, Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 6(3), 159-165. Bekers, O., Uijtendaal, E.V., Beijnen, J.H., Bult, A., and Undenberg, W.J.M.1991. Cyclodextrin in Pharmaceutical Field, Drug Dev. Ind. Pharm, 17 (11), 1503 –1549. Challa, C., Ahuja, A., Ali, J., Khar, R.K., 2005. Cyclodextrins In Drug Delivery An Updated Review, AAPS Pharm. Sci. Tech., 26 January 2005, hal. 13 Chono, S., Takeda, E., Seki, T., dan Marimoto, K., (2008), Enhancement of the Dissolution Rate and Gastrointestinal Absorption of Pranlukast as a Model Poorly Water Soluble Drug by Grinding with
Gelatin, International Journal of Pharmaceutics, 347, 71-78. Council of Pharmaceutical Society of Great Britain. 2001. British Pharmacopoeia (vol 1). London: The Pharmaceutical Press. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta Frank SG. 1975. Inclusion compound. J Pharm Sci, 64(10), 1585- 1601. Friedrich, H., Nada, A., dan Bodmeir, R., (2005), Solid State and Dissolution Rate characterization of co-ground mixture of Nifedipine and hydrophilic Carriers, Drug Development Industrial Pharmacy, 31, 719-728. Garg, A, dan Singh, S.2009. Solid State Interaction of Raloxifene HCL with Diffeent Hydrophilic Carriers During Co-grinding and its Effect on Dissolution Rate, Drug Development Industrial Pharmacy, 35, 455-470. Gunawan, Sulistia Gan., Setiabudy, Rianto., Nafrialdi. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru
291
ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013
Loftsson T, Brewster ME. 1996. Pharmaceutical applications of bsiklodekstrin I, drug solubilization and stabilization. J Pharm Sci, 85(10), 1017- 1024. Rowe, R. C., Sheskey, P. J., and Weller, P. J., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, London : Pharmaceutical Press. Silverstein, R.M., Bassler, G.C., Morrill, T.C., 1981. Spectrometric Identification of Organic Compounds, 4th ed., New York: John Wiley & Sons, hal. 108-120, 166-170 Sugimoto, M., Okayaki, T,dkk. 1998. Improvement of Dissolution Characteristics and Bioavailability of Poorly Water Drugs by Poorly Water Drugs by Novel Cogrinding Method Using Water Soluble Polymer, International Journal of Pharmaceutics, 160, 11-19.
Sweetman, S.C. (Ed). (2009). Martindale, The Complete Drug Reference (36th Ed). London: The Pharmaceutical Press. Vogt M, Kunath K, Dressman JB. 2008. Cogrinding enhances the oral bioavailability of EMD 57033, a poorly water soluble drug in dogs. Eur J Pharm Biopharm, 68, 338–45. Yang Lin, Shan, Hung Hsu, Cheng, Ying Ke, We. 2010. Solid-State Transformation of Different Gabapentin Polymorphs upon Milling and Co- milling. International Journal of Pharmaceutics, 396, 83- 90 Zingone, R dan Rubessa, F. 2005. Preformulation Study of The Inclusion Complex Warfarin- βCyclodextrin. International Journal of Pharmaceutics, 291, 3-10
292