seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dm laut menjadi t m t a ditambahkan kepadanya tujuh l a u t lagi s e s u d a keringnya niscaya tidak &an habis-habisnya d i t u l i s k a n ilmu dan hikmah Alloh.
kalau rnanznsia ingin membunuh harimau ia menyebutnya olah raga kalau hmimau yang ingin membunuh manuaia mavlusia menyebutnya keganasan a
lrupersembahkan kepada tanah tumpah darahku Inaonesia yang t e m i n t a
KONTAMINAS1 TANAH PENGGEMBALAAN OLEH . . BACILLUS ANTHRACBS D A N AKIBATNYA '
-A,-
TERHADAP HEWAN TERUTAMA KWDA DI iNDONES1A
oleh SRI
GATIYONO
B.
FAKULTAS
15. 0866
KEDOKTERAN HEWAN
l N S T I TUT PERTANPAN BOGOR 1983
Kont aminasi Tanah Penggembalaan o l e h
SRl GATIYOWO.
B a c i l l u s a n t h r a c i s dan Akiba%nya terhadap Eewan terutama pada Kuda di Indonesfa ( ~ i bawah bimbingan Prof, Dr. SOERATITO PAl?TOATMODJO)
.
S u a t u letupan p e n y a k i t anthrax t e l a h terjadi di kecamatan Ngadu Ngala, kabupaten Sumba Tfmur, pada bulan K e jadian tersebut menewaskan 280 ekor ku-
Oktober 'l980.
da, 150 ekor s a p i , 50 ekor kerbau dan '13 ekor babi dalam
vaktu dua bulan,
Terdapat juga 'I4 orang yang menunjulr-
?an karbunke 1 anthrax pada k u l i t n y a (Soeharsono dkk.
,
'l981).
Kuda menempati u r u t a n terbavlyak dalam kemat i a n o l e h p e n y a k i t anthrax pada kasus t e r s e b u t .
Kemungkinan dise-
babkan tanah penggembalaan ternpat mesumput hewan-hewan
tersebut terkontaminzsi o l e h B a c i l l u s a n t h ~ a c i s .
Pada musim kemarau , kuda mempunyai kebiasaan malcm rumpu* s ampai kealcar-akaxnya, wa pula tanah
Akar-akar tersebut memba-
&tau pasix sehingga.apabila tanah terkon-
taminasi spora antlnax, hewan t e r s e b u t dapat terinfe k s i
m e l a l u i mulut nya. Bula11 Oktober 'I980 di daerah Sumba Timur adalah akhir musim kemarau gang panjang, suhu udma pada siang
hari a n t a r a 28
- 31
OC
sehingga menguntungkan bagi
B a c i l l u s anthracis u t u k mengadakan sporulasi,
TLpe ta-
nah Sumba Timur adalah tanah kapur, sesuai dengaa
V a n Ness ('I9711 mdka daerah yang demikian merupakan da-
erah inkubator- bagi kuman anthrax dan dapat menimbulkan penyelrit anthrax yang bersif a t epizootik. Daerah dengan tanah ymg berkapur tersebut, atau
t a n a h yang netral , memungkinkan s p o r a tumbuh men j a d i
b e n t u k vegetatif b i l e keadaan lingkungan s e r a s i b a g i pertunbuhannya yaitu dengan tersedianya makanan
, suhu
dau ke lembaban tanah, serta dapat mengat asi persaingan biologik.
Bila keadaan Zingkungan t e t a p menguntungkan,
kman alran berkembang b i a k dan rnem'oentuk s p o r a l e b i h b anyak.
Sporz a n t h r a x t a h a n terhadap kekexingan untuk jang-
ka w a k t u yang lama, bahkan dalam tanah aengan kondisi t e ~ entu t dapat tahan berpuluh-puluh tahun,
Kont aminasi lingkungan t anah penggembalaan dapat terjadi apabila ada penderita anthrax m a t i kemudian diseks i atau dimakan b i n a t a n g pemakan bangkai s ehingga spora dengan c e p a t akan terbentuk.
Spora tersebar ke
mana-mana dengan terbawa oleh a n g i n , air saluran i r i g a s i a t a u rumput makana1 t e r n d c ,
Lingkungan yang t e l a h terkontaminasi spora anthrax adalah sumber inf e k s i bagi hewan terutama ruminansia.
Bewan-hewan suminansia adalah yang p a l i n g peka sedang hewan-hewan k m i v o r a l e b a tahan.
Hewan-hewm omnivora
t L d a k b e g i t u r e n t a n dan hewan-hewan berdarah d i n g i n ti-
dak r e n t a n sama s e k a l i , juga bangsa b u r w g r e l a t i f tidak
rentan.
E A C I U U S ANTERACIS DAN AKBATNYA -'PEWAS
'
TERUTAMA KUDA
Oleh S R I GATIYONO
B. A5.0866
S K R I P S X Sebagai salah satu syarat untuk memperuleh g e l a r
Dokter Eewan pada Fakultas Kedokberan Hewan
Institut P e r t m i a n Bogor
J u d u l s k r i p s i : KONTAHINASI TANAH
PENGGEMBALAAN OLEK
BACILLUS ANTHRACIS DAN AKIBATJUA TERHADAP m W A N TERUTAMA KUDA DI INI30NESI.A fenulis
:
S R I GATIYONO
Pembimbing
:
Prof. Dr. S O E U T N O PARTOATMODJO
Telah d i p e r i k s a dan d i s e t u j u i
Dosen Pembimbing
KATA PENGAITTAR Sungguh b e r s y u k u r penulis mampu menyelesaikan t u l i -
san i n i .
Skripsi i n i adalah s e b a g a i salah s a t u syarat
u n t u k mernperoleh gelar d o H e r hewan di F a k u l t a s Kedokteran Rewan, I n s t i t u t P e r t a n i a n Bogox.
Secara k e s e l u r u h m
tulisan ini bersumber dari tinjauan pustaka. D a l a m kesenpatan i n i
, penulis
sampaikan rasa texima
kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Prof. Dr. Soe-
ratno Partoatmod j o yang telah memberikan bimbingan dan
Ucapan senada penulis sampaikan kepada semua pfhak a t a s s e g a l a bantuannya dan
terutama a y a h dan i b u atas
do anya s e r t a kakak dan adik,
Hesederhanaan tulisan ini adaxah cermin k e t exbata-
san kemampua p e n u l i s ,
Untuk i t u saran d m kritik dari
semua p i h a k sangat dihargai. ada manf aatnya.
Mudah-mudahan t u l i s a n i n i
DAFI'AR ISI Halaman KATA PENGANTAR
............................
i
DAFTAR ISI ..................................
ii
DAFTAR TABEL ..........•..•...............•
iii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................
iv
I..
PENDAHULUAN.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..
1
II.
BACILLUS ANTHRACIS •.•••••.••.•••••...•••.•
4-
1.
Sejarah Penemuan ..•...................
4
2.
Morfologi.. .. .. .. . .... . .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. .. .. .... .. . .. . .. ..
5
3.
Sifat Fisiologik •••.•••.......•.......
7
III.
IV.
V.
VI.
KONTAMINASI DENGAN BACILLUS ANTHRACIS DI ALAM ............................................-. .. .. .. .. .. .. .. .... .. .. .. .. ..
11
1.
Ketahanan Hidup Bacillus anthracis ••••
11
2.
Kontaminasi Tanah Penggembalaan •••••••
14-
3.
Hewan dan Manusia yang Terkena •••..•..
16
INFEKSI BACILLUS ANTHRACIS PADA KUDA •.•.••
21
1.
Kejadian Penyakit di Indonesia ••..•..•
21
2..
Cara Penularan ................................................
23
3..
Ge j ala Klinik ..................................................
24
lj..
Diagnosa Bakteriologik ••••••.•••......
25
PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN •••••••••.•.•••
33
1.
Sanitasi Lingkungan ••••••.••..•.•....•
33
2.
Vaksinasi.. .... .......... .. .. .. .. . .. .. .. . .. . ..... . . . . ..
34
3.
Kemoterapi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
KESIMPTIItA.N •••••••••••••••••••••••••••.••••
4-1
DAFTAR PUSTAKA •••••••••••••.••••••••••••••
44-
................................... ii
4-7
UMPlRAN
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
-Teks 1.
2.
Jumlah Populasi dan Kematian Hewan Ternak karena Anthrax di Kecamatan Ngadu Ngala, Sumba Timur pada bulan Oktober sid November 1980 ................................................................
23
Perbedaan Sifat-sifat Bacillus anthracis dan Organisme Anthrakoid ••••••••••••••••••
28
Lampiran 1.
Situasi Penyakit Anthrax di Indonesia tahun 1974 - 1981 ...............................................
iii
4-7
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Bentuk rantai sel dari Bacillus anthracis
2.
Bentuk spora anthrax yang tinggal dalam
9
sel vegetatif ........ _................................. ..
10
Penyebaran penyakit anthrax pada hewan dan manusia di Indonesia tahun 1921 - 1960 •••
19
4.
Anthrax bentuk kutan pada manusia ••••••••
20
5.
Gejala oedema di daerah abdomen dan dada depan pada kuda yang menderita anthrax •••
30
6.
Kurva demam pada kuda yang menderita
anthrax .................................................................. ..
30
Koloni Bacillus anthracis pada agar darah setelahodiinkubasi selama 24 jam, pada suhu 37 C .............................................................. ..
31
8.
Uji presipitasi metoda Ascoli .. .. . .. . . .. .. . . .. ..
32
9.
Bacillus anthracis yang rusak akibat pengobatan dengan penicillin •..••.•••...•••
39
7.
10.
Bacillus anthracis yang dirusak oleh tetracyclin ............................................................
iv
40
I.
PENDAHULUAN
Koch (1876-1877) dalam Merchant dan Packer (1965) menyatakan bahwa Bacillus anthracis adalah penyebab penyakit anthrax. Anthrax berasal dari kata Yunani yang berarti boil atau carbuncle (Frobisher, 1953). Menurut West (1979) anthrax disebut juga splenic fever, splenic apoplexy, malignant pustule dan
~
sorter's disease (pada manusia), loodianah disease dan manipur horse disease (India), charbon dan fievre charboneuse (Perancis), milzbrand (Jerman).
Di Indone-
sia anthrax disebut juga radang limpa. Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada hewan ternak terutama hewan pemamah biak (Anonimus, 1981;
Hutyra et al., 1946;
Robertson, 1976). Penyakit tersebut biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan jaringan yang bersifat septisemi, timbulnya infiltrasi serohemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa serta pembengkakan akut pada limpa (Anonimus, 1981;
Hutyra et al., 1946). Kuman anthrax akan berkerumun di dalam jaringan-
jaringan hewan penderita dan dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya (Anonimus, 1981; Buxton dan Frazer, 1977). Masa tunas anthrax berkisar antara 1 - 3 hari,
2 kadang-kadang ada yang sampai 14 hari.
Infeksi alami
terjadi melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan atau permukaan kulit yang terluka (Anonimus, 1981). Faktor-faktor predisposisi seperti kelemahan, penyakit neoplastik dan compromised immunity dapat mempermudah infeksi kuman anthrax pada hew an (Feely dan Patton dalam Lennete, 1980). Usaha manusia dalam kesehatan hewan adalah mencakup dua segi yaitu segi ekonomi dan segi sosial.
Dari segi
ekonomi diharapkan dengan menanggulangi atau memberantas penyakit pada hewan diharapkan produksinya akan meningkat sehingga kebutuhan masyarakat akan proteinhewani dapat dipenuhi.
Dari segi sosial, menjaga agar keseha-
tan masyarakat jangan sampai terganggu oleh penularan penyakit dari hewan atau karena rnakanan asal hewan yang terkontaminasi kuman penyakit. Dari segi ekonomi, penyakit anthrax cukup merugikan peternak.
Di samping menyebabkan kematian pada ternak,
kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, peternak juga dirugikan akibat kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak beleh dipotong.
Di Indonesia keru-
gian akibat penyakit anthrax ditaksir sebesar dua milyar rupiah setiap tahun (Anonimus, 1981). Dari segi kesehatan rnasyarakat, anthrax merupakan penyakit yang penting, karena termasuk salah satu penyakit zoonosis.
Sering manusia rneninggal karen a penyakit
3 tersebut (Anonimus, 1981). Di Amerika Serikat, selama periode tahun 1955-1965 dilaporkan terjadi 38 kasus penyakit anthrax pada manusia yang disebabkan kontak dengan hewan-hewan yang terinfeksi (Brachman, 1966 dalam Hubbert et al., 1975). Problema pada penyakit anthrax timbul apabila terbentuk
sp~ra
dari Bacillus anthracis dan mencemari tanah
sekitarnya, sehingga sulit unoGuk memusnahkannya.
Sp~ra
tersebut dapat tahan hidup dalam tanah sampai berpuluhpuluh tahun dan tetap virulen. Tulisan ini bertujuan membahas adanya kontaminasi lingkungan oleh
sp~ra
anthrax yang dapat menyebabkan in-
feksi pada hewan terutama kuda di Indonesia, yang bersumber dari tinjauan pustaka. Tahun 1980 terjadi wabah penyakit anthrax di Sumba Timur yang menewaskan hewan ternak dan hewan yang paling banyak mati adalah kuda.
Termasuk juga manusia terkena
penyakit tersebut (Soeharsono dkk., 1980). Tahun 1982 di kecamatan Praya, Lombok Tengah diberitakan 14 penduduk terkena penyakit anthrax akibat makan daging sapi yang menderita anthrax (Anonimus, 1982).
II. 1.
BACILLUS ANTHRACIS
Sejarah Penemuan Merchant dan Packer (1965) menyebutkan bahwa
Rayer dan Davaine (1850) pertama kali mengamati badanbadan filiform, tidak bergerak di dalam darah hewan yang telah mati oleh penyakit yang kemudian disebut anthrax. Pollender (1855) melaporkan bahwa telah mengamati selsel yang berbentuk seperti tongkat di dalam darah sapi yang telah mati oleh anthrax.
Brauell (1857-1858) mela-
porkan penularan anthrax dari manusia ke domba dan dari domba yang telah mati dia menemukan mikroorganisme yang tidak bergerak.
Fuchs (1859) menyatakan telah melihat
vibrions di dalam darah hewan sejak awal tahun 1842. Delafond (1860) menemukan badan-badan kecil dari darah hewan yang telah mati oleh anthrax dan dari hewan yang diinfeksi secara buatan.
Davaine (1863-1868) menyimpul-
kan adanya badan-badan filiform di dalam darah hewan yang telah mati oleh anthrax yang dinamakannya bacteri~
dan berhasil menularkan penyakit tersebut pada ke-
linci.
Dia juga mengamati badan-badan malignant pustule
pada manusia yang menyebabkan kematian pada marmot setelah disuntik bacterides.
Tiegel (1871) serta Pasteur
dan Joubert (1877) menunjukkan bahwa anthrax disebabkan oleh mikroorganisme yang oleh Davaine dinamakan bacteri~,
karena filtrat dari organisme tersebut setelah di-
5 tularkan tidak menghasilkan penyakit.
Koch (1876-1877)
mengemukakan bahwa Bacillus anthracis adalah penyebab penyakit anthrax, ketika berhasil membiakkannya dan menyebabkan penyakit pada hewan setelah disuntik suspensi organisme tersebut.
Koch membuktikan postulatnya dengan
mengisolasi organisme tersebut dari hewan yang terinfeksi. Chauveau dan Toussaint (1880) dalam Merchant dan Packer (1965) pertama kali membuat kekebalan pasif terhadap anthrax.
Pasteur et al. (1881) dalam Smith (1972)
mendemonstrasikan pengebalan aktif terhadap anthrax dengan melemahkan kuman dalam media biakan pada percobaannya yang terkenal di Pouilly Le Port. 2.
Morfologi Bacillus anthracis adalah salah satu bakteri yang
terbesar di antara bakteri patogen lainnya, dengan panjang antara 4,5 - 10 P dan diameternya an tara 1 - 1,25 micron (Burrows, 1949). Sel-selnya berbentuk batang, lurus dengan ujungujung batang yang cekung atau cembung sehingga menyerupai ruas-ruas bambu (Burrows, 1949;
Breed et al.,
1948). Dalam jaringan tubuh tidak pernah terbentuk rantai sel yang panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau rantai pendek antara dua sampai en am organisme (Anonimus,
6
1981).
Akan tetapi dalam media biakan terbentuk rantai
sel yang panjang (Burrows, 1949;
Hutyra et al., 1948).
Tidak seperti kebanyakan bacilli aerob pembentuk spora yang lain, maka Bacillus anthracis tidak bergerak (Feely dan Patton dalam Lennete, 1980; Frazer, 1977;
Frobisher, 1953;
Buxton dan
Burrows, 1949;
Hutyra
et al., 1946). Dalam jaringan tubuh hewan yang terinfeksi dapat ditemukan kapsel (Anonimus, 1981;
Hu tyra et ale, Tetapi dalam biakan tidak ditemukan kapsel kecu-
1977; . Robertson, 1976; 1946).
Buxton dan Frazer,
Burrows, 1949;
ali media yang kaya akan protein hewani, seperti serum agar (Burrows, 1949).
Kapsel tersebut tampak jelas ba-
tas-batasnya dan kadang-kadang satu kapsel melingkupi beberapa organisme (Anonimus, 1981).
Bahan kapsuler
terdiri polipeptida dengan berat molekul yang tinggi dan disusun semata-mata dari D(-) glutamic acid (Robertson, 1976;
Burrows, 1949). Kuman anthrax bersifat aerob, membentuk spora yang
terletak sentral dalam sel jika cukup oksigen (Anonimus, 1981;
Buxton dan Frazer, 1977;
1965;
Burrows, 1949).
pada suhu 32 - 35
°c
Merchant dan Packer,
Spora terbentuk secara optimal
dan diameter spora tidak pernah me-
lebihi sel vegetatifnya sehingga sel yang mengandung spora tetap berbentuk batang (Burrows, 1949).
Dalam tu-
buh penderita atau dalam bangkai yang tidak diseksi ti-
7 dak pernah dijumpai spora, oleh karena tidak cukup terdapat oksigen untuk membentuk spora (Anonimus, 1981; Merchant dan Packer, 1965). Menurut Buxton dan Frazer (1977) sporulasi akan terjadi bila ada oksigen dan kelembaban yang tinggi, terbentuk spora dalam waktu 8 jam pada suhu 37°C, 10 jam pada suhu 32°0, 18 jam pada suhu 26°C dan 24 jam pada suhu 21°0.
Di bawah suhu 21°0 sanget kecil kemung-
kinan terjadinya sporulasi.
Organisme dapat bertahan
hidup sebagai spora dalam keadaan lingkungan makanan yang kurang, yang tidak cukup untuk pertumbuhan kuman dalam bentuk vegetatif.
Di bawah kondisi yang baik spo-
ra mampu berkembang menjadi basil dan tiap spora tumbuh menjadi satu basil. Bacillus anthracis bila tumbuh dalam jaringan, dengan pewarnaan gram akan jelas bersifat gram positif. Akan tetapi setelah tumbuh dalam media buatan, reaksi terhadap pewarnaan gram menjadi bervariasi dan sel-sel yang lebih tua kemungkinan bersifat gram negatif (Buxton dan ]'razer, 1977;
3.
Burrows, 1949).
Sifat Fisiologik Kuman anthrax mampu tumbuh pada media sintetik
yang biasa dalam kondisi aerob dan juga dalam kondisi yang fakultatif anaerob (Buxton dan Frazer, 1977; Burrows, 1949;
Breed, 1948).
8
Menurut Buxton dan Frazer (1977) temperatur optimum untuk pertumbuhan kuman anthrax adalah 35 - 37 00, walaupun dapat juga tumbuh pada temperatur antara 12 - 44derajat Oelcius. Merchant dan Packer (1965) mengemukakan bahwa pada media yang sedikit alkalis, pH 7,5 - 7,8 akan banyak membantu pertumbuhan kuman anthrax dengan baik. Burrows (1949) mengemukakan bahwa uracil, adenin, guanin, mangan akan merangsang pertumbuhan kuman anthrax. Bacillus anthracis memfermentasi glukosa, sukrosa, maltosa, fruktosa, trehalosa dan dekstrin (Buxton dan Frazer, 1977;
Merchant dan Packer, 1965;
Breed, 1948).
Beberapa galur sedikit memfermentasi glyserol dan salicin, sedang laktosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, manosa, raffinosa, dan adonitol semuanya tidak difermentasi (Merchant dan Packer, 1965;
Breed, 1948).
Indol
dan hidrogen sulfida tidak dihasilkan (Merchant dan Packer, 1965;
Burrows, 1949), tetapi menghasi.lka:n NH3
(Merchant dan Packer, 1965).
Litmus milk dikoagulaai
dan sedikit difermentasi serta seeara pelan dibentuk pepton (Merchant dan Packer, 1965; Breed, 1948).
Burrows, 1949,
9
Gambar 1.
Bentuk rantaisel dari Bacillus anthracis, pembesaran 18.000 X (Scanga, 1964).
10
Gambar 2.
Bentuk spora anthrax yang tinggal dalam sel vegetatif, pembesaran 35.000 X (Scanga, 1964).
III.
1.
KONTAMINASI DENGAN BACILLUS ANTHRACIS DI ALAM
Ketahanan Hidup Bacillus antbracis Sel-sel vegetatif Bacillus anthracis menunjukkan
tingkat resistensi yang biasa, tetapi dalam bentuk spora resistensinya relatif tinggi.
Smith (1941) dalam _
Burrows (1949) menemukan adanya spora yang berkecambah pada temperatur kamar setelah memakan waktu 22 tahun. Kieper dalam Hutyra
~~.
(1946) menyatakan bahwa spo-
ra tidak mati oleh pengeringan sederhana, juga dalam gelatin kering atau bila mengering pada kain sutera akan mampu berkecambah dan tetap virulen selama 32 tahun. Di dalam tanah dengan kondisi tertentu spora anthrax dapat tahan hidup sampai,berpuluh-puluh tahun. Pasteur dalam Herchant dan Packer (1965) menunjukkan bahwa spora tetap hidup dalam karkas yang dikubur selama 12 tahun.
Djaenudin (1958) dalam Sjamsudin (1978) me-
nyatakan bahwa spora dapat tahan hidup di dalam tanah sampS:i 27 tahun. Kuman dalam bentuk vegetatif akan mati pada temperatur 60°C selama 30 menit, sebaliknya dalam bentuk spora ketahanannya tinggi dan akan tetap hidup pada perebusan atau pemanasan uap basah pada suhu 100°C selama lima menit (Buxton dan Frazer, 1977).
Pemusnahan spora an-
thrax dapat dicapai antara lain dengan pemanasan uap basah pada suhu 90°C selama ~5 menit, air mendidih atau
12 uap basah bersuhu 100°0 selama 10 menit dan pemanasan kering pada suhu 120°0 selama satu jam (Anonimus, 1981). Metoda yang biasa untuk memfiksasi pre par at ulas dari organisme anthrax adalah dengan melewatkan prep arat ulas tersebut beberapa kali diatas api bunsen, kemungkinan tidak
me~atikan
spora.
Preparat demikian
yang disimpan beberapa tahun telah ditunjukkan masih mengandung spora yang hidup dan mampu berkecambah di dalam media (Buxton dan Frazer, 1977;
Merchant dan Packer,
1965). Stein (1947) dalam Merchant dan Packer (1965) mencatat ketahanan hidup Bacillus anthracis dalam jaringan marmot yang telah diinfeksi secara buatan.
Kuman dalam
karkas yang tidak dibuka akan dirusak oleh pembusukan setelah tiga hari, kecuali di bawah temperatur 5 - 10 derajat Oelcius akan hidup sekurang-kurangnya selama empat minggu.
Pengulangan freezing pada suhu -72°0 dan
thawing pada suhu 37,5°0 mungkin membunuh sel vegetatif, tetapi kemungkinan tidak membunuh spora.
Suspensi spo-
ra anthrax tetap hidup selama 90 - 124 hari bila berada pada temperatur _60°0 sampai -70°0 dan selama 9 - 10 tahun bila berada pada temperatur _5°0 sampai _6°0 atau pada suhu 5 - 10°0. Dalam Hutyra
~
al. (1946) disebutkan bahwa dalam
darah yang kering kuman dapat hid up selama sebulan atau lebih dan bila kondisi sekitarnya baik kemudian memben-
13 tuk spora (Bongert).
Kuman dalam darah kering hanya ma-
ti pada temperatur 92°C setelah 2,5 jam (Momont).
Dalam
cairan lambung kuman mati dalam waktu 15 - 20 menit, sedang dalam air murni atau air kotor mati dalam waktu satu sampai dua hari.
Ekskreta cair akan mematikannya bi-
la bercampur dengan darah anthrax dalam waktu dua sampai tiga jam (Schipp), tetapi spora tetap virulen sampai berbulan-bulan (Roth).
Dalam air murni atau air kotor
spora mampu hidup selama 17 bulan, dalam tinja selama 15 bulan (Sirena dan Scagliosi), dan mati dalam ekskreta pada temperatur 72 - 76,5 °C. Buxton dan Frazer (1977) menyatakan bahwa spora anthrax relatif tahan terhadap desinfektan dan efektifitas dari beberapa desinfektan tertentu tergantung pada temperatur rerucsi, konsentrasi protein, mucus dan bahanbahan lain.
Larutan formaldehyde 2 - 3 % akan efektif
jika temperatur reaksi 40°C selama 20 menit.
Hasil yang
sama dilaporkan dari perlakuan bahan dengan larutan formaldehyde 0,25
% pada suhu 60°C selama enam jam. Dengan
phenol 5 % kemungkinan spora tahan selama lebih dari lima minggu dan dengan HgC1 2 5 % akan tahan selama tiga minggu. Burrows (1949) mengemukakan bahwa desinfektan yang banyak agen pengoksidasinya akan lebih efektif, larutan H202 0,1 % mungkin mematikan dalam waktu satu jam dan larutan KMn04 4 % mematikan dalam waktu 15 menit.
14
Pengeringan dan penggaraman kulit dengan larutan kapur sp~ra
tohor
akan tetap hidup selama 125 hari (Griglio
dalam Hutyra 2.
~
al., 1946).
Kontaminasi Tanah Penggembalaan Lingkungan tanah netral atau berkapur yang alkalis
merupakan daerah inkubator kuman anthrax (Anonimus, 1981).
Van Ness (1971) dalam Hugh-Jones dan Hussaini
(1975) menyatakan bahwa tanah yang kaya akan nitrogen, pH lebih dari 6,0 dan permukaan air tanah yang tinggi serta tanah yang berkapur merupakan daerah yang baik untuk enzootik anthrax. Hubbert
~~.
(1975) menyatakan bahwa spora an-
thrax kemungkinan berada di dalam tanah, tanaman, air atau di tempat penggembalaan yang terkontaminasi oleh kuman anthrax. Karkas hewan yang mati karena anthrax merupakan sumber infeksi bagi binatang dan burung pemakan bangkai dan lebih
lanju~
kuman menyebar ke mana-mana oleh bina-
tang tersebut (Buxton dan Frazer, 1977;
Hubbert
~ ~.,
1975). Hewan yang terinfeksi adalah sumber kuman dalam bentuk vegetatif dan bila tersedia oksigen serta suhu lingkungan cukup panas maka dengan cepat terjadi sporulasi kemudian secara bertahap mencemari tanah sekitarnya (Wright, 1975 dalam Hubbert et
~.,
1975).
15 Anonimus (1981) mengemukakan bahwa
sp~ra
yang ter-
bentuk dapat menyebar ke daerah lain dengan terbawa oleh angin, .air saluran irigasi atau melalui rumput makanan ternak.
Sp~ra
akan tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila
keadaan lingkungan serasi bagi pertumbuhannya yaitu dengan tersedianya
mak~~an,
suhu dan kelembaban tanah ser-
ta dapat mengatasi persaingan biologik.
Siklus hidup
kuman terus berlansung bila lingkungan tetap menguntungkan, kuman akan berkembang biak dan membentuk
sp~ra
le-
bih banyak. Lingkungan atau tanah penggembalaan yang telah terkontaminasi anthrax adalah sumber infeksi bagi hewan. Van Ness (1971) dalam Soeharsono dkk. (1981) menyatakan bahwa penyakit anthrax muncul bila hewan-hewan berada di daerah tempat Bacillus anthracis memenangkan kompetisi ekologik dengan kuman-kuman lain.
Perubahan musim
yang hebat, misalnya musim kemarau yang panjang merubah lingkungan tanah dan kuman-kuman yang antagonistik terhadap Bacillus anthracis mati karena perubahan tersebut. Lingkungan yang demikian menjadi tempat berkembang biak kuman anthrax. Penyelidikan di pertanian Berkshire menunjukkan empat ekor diantara enam ekor sapi yang ada mati sebagai akibat kelompok sapi tersebut merumput di daerah kasus anthrax.
Tempat tersebut lebih dari 30 tahun sebelumnya
digunakan untuk mengubur hewan-hewan yang mati karena
16
anthrax (Hugh-Jones dan Hussaini, 1974). Di Norfolk secara terus menerus terjadi kelemahan dan kematian pada babi, anak domba dan sapi, yang kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi lingkungan dengan spora anthrax (Hugh-Jones dan Hussaini, 1975).
3.
Hewan Dan Manusia Yang Terkena Kepekaan tiap species hewan terhadap anthrax ber-
beda-beda.
Hewan-hewan pemamah biak terutama sapi dan
domba kemudian kuda, rusa dan kerbau adalah sangat rentan;
sebaliknya hewan-hewan berdarah dingin tidak ren-
tan sama sekali, sedang babi tidak begitu rentan (Anonimus, 1981). Hewan-hewan karnivora walaupun mempunyai resistensi yang lebih besar dibanding herbivora tetapi dapat juga dikenai sepertibeberapa kasus di kebun binatang yang melibatkan mac an tutul, singa, puma dan beruang (Burrows, 1949). Lyon (1973). melaporkan kejadian penyakit anthrax yang kedua dalam selang waktu tujuh tahun di kebun binatang Chester.
Selama periode delapan hari tujuh hewan
mati karena anthrax dan hewan lainnya menunjukkan gejala klinik tetapi dapat sembuh setelah diobati. yang mati antara lain:
coati, musang,
Hewan-hewan
blotc~
genet,
binturong, macan tutul, puma dan asian palm civet. dang yang mengalami persembuhan di antaranya adalah
Se-
17 binturong, macan tutul, singa, puma, american marten dan beruang. Buxton dan Frazer (1977) menyatakan bahwa bangsa burung relatif tidak rent an tetapi burung pemakan bangkai kemungkinan menyebarkan kuman anthrax. Hewan-hewan percobaan seperti mencit, marmot dan kelinci adalah sangat rentan, sedang tikus secara umum lebih tahan (Buxton dan Frazer, 1977; 1975).
Hubbert
~
al.,
Kera dan chimpanze dapat diinfeksi secara buatan
(Albrink dan Goodlow, 1959 dalam Hubbert et al., 1975). Manusia walaupun peka terhadap anthrax tetapi bukan induk semang yang primer (Buxton dan Frazer, 1977).
In-
feksi.pada manusia biasanya melalui kulit yang terlUka atau melalui alat pernafasan yang mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba, sedang infeksi melalui alat pencernaan terjadi pada orang yangmakan daging asal hewan penderita anthrax (Anonimus, 1981). Pada hew an infeksi biasanya melalui alat pencernaan dengan tertelannya spora (Anonimus, 1981; 1976).
Robertson,
Sapi sekali-sekali dapat terinfeksi melalui kon-
tak dengan luka pada tubuhnyadan infeksi melalui alat pernafasan mungkin terjadi pada hewan percobaan tetapi hampir tidak diketahui di dalam kondisi alam (Burrows, 1949).
Hewan-hewan omnivora dan karnivora kemungkinan
terinfeksi akibat memakan karkas penderita anthrax (Hubbert
~
al., 1975;
Merchant dan Packer, 1965).
18 Sp~ra
setelah masuk ke dalam jaringan induk semang
akan berubah kembali menjadi bentuk vegetatif (Buxton dan Frazer, 1977;
Hutyra et al., 1946).
Kuman kemung-
kinan berada dalam saluran pencernaan setelah menembus dinding mukosa atau di daerah kerongkongan (Buxton dan Frazer, 1977).
Kuman yang masuk melalui kulit yang ter-
luka atau membran mukosa secara langsung masuk dan berkembang biak dalam jaringan ikat (Hutyra et al., 1946). Buxton dan Frazer (1977) lebih lanjut mengemukakan bahwa kuman dalam j.aringan berkembang biak dan menghasilkan toksin dan akhirnya membunuh induk semang.
Bila
virulensi dari kuman tinggi maka kapsel akan dibentuk dengan baik dan melindunginya dari fagositosis dan lisis. Hutyra et al. (1946) menyatakan bahwa pada hewan yang kebal, walaupun kuman mempunyai kemampuan membentuk kapsel yang protektif tetapi secara cepat akan dirusak oleh bahan-bahan anthracocidal yang berada dalam cairan tubuh sebelum kuman mempunyai waktu untuk membentuk kapsel sehingga infeksi tidak efektif lagi.
Sebaliknya pa-
da hew an yang peka kurang mempunyai kekuatan anthracocidal sehingga sejumlah kuman akan hidup, membentuk kapsel dan kuman menjadi resisten.
:: :.'1
;
t".
;'C:'
H "I
·f,'
:1 j.'
, .. '
.
\
,. '
,~~
,.
'y
'.'~,
'
"
,
" . h/'~.-...." . .
, II !
0'
,;~~:~<..r~',-~,. ~.~'.'" ,<;;..~~". __~!I r. "'-Jo
[!J
ANTI1A.I,~ (101 ... 1>1 ~~o """'~\J
"~}'
~
,,~.
01
~:., ,' .
.
"""/"'rl-;J-!l. f. C.~'AJ'
"_,
" tv
.
,~~..: ,r~·"-: 1\ t~;·; ..'F;-~
" IIp'
Gambar 3.
tr
. . '(j",~" R I: . • Q' .. '~~ "',,~': ,,'. ~ '., ;' ,'. '. . '.~ SEA· ';'f"~ : .... ... ', ,.. .~
<,
. ' ,,<;/
•
• '
!.
'-, .,'.
:·U~·:··: <~"~: -:::.
,.to)
, ')... 't
,
. :{J=N"I
'.,.
A R A F U
~"
".;
- '.... ::,:;.-:-
_. -----"
E'.' ','!' , .
:.-~~.~_ ...1 '.;
_: ; .e, .
Penyebaran penyakit anthrax pada hewan dan manusia di Indonesia tahun 1921 - 1960 (Mansjoer, 1961)
~
-.0
....,,;.;.
20
I
L. Gambar 4-.
Anthrax bantuk kutan pada manusia (Smith, 1.972).
IV. 1.
INFEKSI BACILLUS ANTHRACIS PADA KUDA
Kejadian Penyakit Di Indonesia Ressang (1963) menyatakan bahwa Javasche Courant
(1884) pertama kali memuat laporan suatu penyakit menular di Teluk Betung yang sangat menyerupai anthrax. KOloniaal Verslag (1885) memberitakan lebih jelas berjangkitnya penyakit anthrax di daerah Bali, Palembang dan Lampung.
Dalam tahun berikutnya Koloniaal Verslag
memuat lagi berita penyakit ini di daerah Banten, Padang, Kalimantan Barat dan Timur serta di pulau Roti. Pada tahun 1899 dan 1900 di daerah Karesidenan Jepara diberitakan banyak terjadi kematian hewan ternak karena penyakit anthrax dan dari 311 ekor yang sakit, 207 ekor . mati. Soemanegara (1958) melukiskan frekuensi kejadian anthrax di Indonesia pada ternak sapi, kerbau, kuda, karnbing, biri-biri dan babi pada tahun 1906' - 1957 sebagaimana terdapat di pulau-pulau: Kalimantan:
a).
Sumatera dan
Di daerah Sumatera boleh dikatakan terda-
pat di semua daerah dan hampir tiap tahun berjangkit penyakit ini, misalnya di Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Bukit Tinggi, Sibolga dan Medan.
b).
Jawa dan
Madura : Di pulau Javla terutama di daerah-daerah Jakarta, Purwakarta, Bogor dan Priangan.
Di daerah lain ke-
jadian relatif kurang seperti di Hanten, Cirebon, Tegal,
22 Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun dan Bojonegoro. c).
Nusa Tenggara:
Di daerah ini anthrax ditemukan
disemua pulau-pulau seperti di Sumba, Sumbawa, Lombok, Flores, Timor, Roti dan Bali.
d).
Sulawesi:
Di pulau
ini anthrax terdapat terutama di Sulawesi Selatan yang meliputi daerah-daerah Ujung Pandang dan Watampone.
ju-
ga ditemukan di daerah Manado, Donggala dan Palu. Sjamsoe dalam Mansjoer (1961) melaporkan kejadian wabah anthrax di pulau Timor dan hanya kuda yang terkena penyakit tersebut.
Sedangkan hewan lainnya seperti sapi
dan kerbau hampir tidak terkena penyakit tersebut. Dalam tahun 1974-1981 tercatat kejadian anthrax paling banyak adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara barat, kemudian Sulawesi Selatan, Jambi, Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara.
Sedang daerah yang sebelumnya terca-
tat bebas anthrax tetapi kemudian tercatat ada kejadian penyakit adalah Sulawesi Tengah (1979) dan D.K.I. Jakarta pada tahun 1980-1981 (Lampiran). Soeharsono dkk. (1981) melaporkan secara terperinci kejadian penyakit anthrax di Kecamatan Ngadu Ngala, Sumba Timur.
Dalam waktu dua bulan, penyakit tersebut te-
lah menewaskan sebagian besar kuda kemudian sapi, kerbau dan babi.
Terdapat juga 14 orang yang menunjukkan kar-
bunkel anthrax pada kulitnya.
Persentase kuda yang ter-
serang penyakit anthrax adalah 71,4
%,
sedangkan pada
23 sapi, kerbau dan babi berturut-turut 9,1
%, 5,6 % dan
4,2 % (tabel 1). Tabel 1.
Jumlah Populasi dan Kematian Hewan Ternak karena Anthrax diKecamatan Ngadu Ngala, Sumba Timur, pada Bulan Oktober sid November 1980 (Soeharsono dkk., 1981)
Hewan Ternak
Jumlah Ternak
Kuda
960
280
Sapi
6894-
150
Kerbau
1718
50
309
13
Babi
2.
Jumlah Kematian
Cara Penularan Anthrax tidak biasa ditularkan dari hewan yang satu
kepada hewan lainnya secara lang sung (Anonimus, 1981). Kuda terinfeksi melalui alat pencernaan dengan tertelannya sejumlah besar
sp~ra,
tetapi tahan terhadap
bahan-bahan yang hanya mengandung kuman bila membran mukosa lambung masih intact (Hutyra et al., 1946). Robertson (1976) menyatakan bahwa sekali-sekali terutama pada kuda, infeksi kemungkinan ditularkan melalui lalat penggigit, misalnya Hippobosca rufipes yang berperan dalam epizooti pada kelompok kuda. Soeharsono dkk. (1981) melaporkan bahwa dalam pe-
24-
ngamatannya di 1apangan menunjukkan 1a1at Hippobosca sp. banyak ditemui pada kuda, terutama pada bagian-bagian yang menunjukkan oedema subkutis.
Usaha untuk mengiso-
1asi kuman anthrax dari lalat Hippobosca sp. belum berhasil.
Hal ini tidak berarti bahwa penularan penyakit
anthrax lewat lalat penggigit tersebut adalah tidak mungkin. Musim kemarau yang panjang juga menyebabkan rumput sangat langka.
Ternak terpaksa makan rumput sampai ke
pangkal daun ynag berbatasan dengan permukaan tanah, bahkan bisa juga terbawa akar-akar rumput.
Bila tanah
terse but tercemar spora anthrax, hew an dapat tertular melalui mUlut.
Kebiasaan kuda makan rumput pada musim
kemarau berbeda dengan sapi, jaitu kuda sering mencabut rumput sampai
keakar-akarny~.
bawa pula tanah atau pasir.
Akar-akar tersebut memCara makan kuda diduga ada
hubungannya dengan 1ebih banyaknya kuda yang mati yang disebabkan penyakit anthrax dibandingkan pada hewan lainnya, yang terjadi di daerah Sumba Timur (Soeharsono dkk., 1981).
3.
Gejala Klinik Belschner (1969) mengemukakan bahwa gejala klinik
pada kuda yang menderita anthrax mula-mula menunjukkan demam, depresi, ko1ik atau enteritis yang akut.
Kemudi-
an pembengkakan mungkin terjadi di daerah leher, dada,
25 -sepanjang abdomen dan pada kaki.
Kemungkinan ekskreta
berdarah keluar dari hidung dan anus, tetapi biasanya tidak terlihat sampai hewan -mati.
Kematian biasanya
terjadi dalam waktu satu atau dua hari. Soeharsono dkk. (1981) melaporkan pengamatannya di lapangan pada sepuluh ekor kuda yang menderita anthrax. Gejala klinik yang ditemui dinyatakan dalam persentase
%), anorexia (100 %), oedema subkutis (90 %), pincang (20 %), hyperpnoea (10 %). Oedema
yaitu:
demam (100
sUbkutis yang menonjol ditemukan pada skrotum, ventral abdomen dan bagian bawah kepala.
Pada hewan yang di-
obati, gejala oedema ini tetap terlihat sampai beberapa hari sesudah demamnya hilang.
Tempat-tempat yang menu-
njukkan oedema adalah juga tempat-tempat yang paling sering untuk hinggapnya lalat Hippobosca sp. 4.
Diagnosa Bakteriologik Diagnosa anthrax seoara bakteriologik dilakukan de-
ngan berbagai cara yang ditujukan untuk mengenali agen bakterinya ataupun produknya (Bruner dan Gillespie, 1973 dalam Hardjoutomo dan Poernomo, 1976). Viljoen
£i
ale (1928) dalam Hardjoutomo dan Poerno-
mo (1976) menyatakan bahwa diagnosa anthrax dilakukan dengan cara klinik, pemeriksaan mikroskopik at as sediaan ulas darah, pemeriksaan biakan kuman, inokulasi hewan percobaan laboratorium dan uji presipitasi.
26
Anonimus (1981) menyatakan bahwa pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer adalah cara yang sederhana dan tepat bila hewan masih dalam keadaan sakit atau baru saja mati selama belum terjadi pembusukan. Kumannya berbentuk batang besar, gram positif, biasanya tersusun tunggal, berpasangan atau berantai pendek.
Ti-
dak terdapat spora dan dengan pewarnaan yang baik dapat terlihat kapsel.
Jika telah mulai ada pembusukan, maka
dari pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer agak sulit untuk membuat diagnosa yang tepat.
Sejumlah
kuman pembusuk memiliki bentuk yang mirip dengan anthrax (kuman anthrakoid).
Biasanya kuman-kuman pembusuk agak
panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih panjang. Buxton dan Frazer (1977) mengemukakan bahwa pada kuda yang mati karena anthrax kemungkinan hanya sejumlah kecil kuman berada dalam darah perifer.
Dalam kasus ini
diagnosa dibuat dengan sediaan ulas dari cairan oedema. Terutama di daerah kerongkongan dan leher serta limfoglandula superfisialis.
Sediaan ulas difiksasi dan di-
warnai dengan pewarnaan Giemsa atau Wright.
Kuman akan
berwarna biru dan berbentuk batang dengan kapsel yang khas berwarna ungu atau merah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa usapan darah atau eksudat diambil dari buluh darah tepi atau daerah oedema dengan membuat insisi kecil. dipupuk pada media buatan.
Usapan terse but kemudian
27 Pada pelat.agar, kuman anthrax membentuk koloni yang suram, tepinya tidak teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang yang seringkali disebut caput medusae (Anonimus, 1981; Frazer, 1977; 1949;
Buxton dan
Merchant dan Packer, 1965;
Burrows,
Breed, 1948). Pada media cair mula-mula terjadi pertumbuhan di-
permukaan yang kemudian turun ke dasar tabung seperti jonjot kapas dan cairannya tetap jernih 1981;
(Anonimus,
Hutyra et al., 1946). Pada pelat agar darah koloni Bacillus anthracis
tidak menghemolisa darah, diameter 4 - 5 mm, bagian luar berwarna putih, biasanya datar dengan tepi tidak teratur dan mungkin banyak yang berbentuk seperti koma (Feeley dan Patton dalam Lennette, 1980). Inokulasi pada hewan percobaan dapat dilakukan pada marmot dan mencit (Anonimus, 1981; 1977 ;
Hubbert et
~.,
1975;
Buxton dan Frazer,
Smith, 1972).
Setelah disuntik secara subkutan, marmot biasanya mati dalam waktu 36 - 48 jam, paling lama pada hari ke lima.
Jaringan tubuh hewan percobaan tersebut penuh de-
ngan kuman anthrax dan di bawah kuli t tempat suntikan terjadi infiltrasi gelatin (Anonimus, 1981).
Inokulasi
secara intraperitoneal pada mencit akan membunuhnya dalam waktu 24 jam (Smith, 1972). Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling
28 tepat untuk membedakan kuman anthrax dari kuman anthrakoid.
Kuman anthrax adalah patogen terhadap hewan per-
cobaan, sedang kuman anthrakoid tidak patogen (Buxton dan Frazer, 1977;
Merchant dan Packer, 1965).
Lebih lanjut sifat-sifat Bacillus anthracis dibedakan dari organisme anthrakoid seperti dalam tabel 2 di ba\'lah. Tabel 2.
Perbedaan sifat-sifat B. anthracis dan Organisme anthrakoId (Buxton dan Frazer, 1977)
Sifat-sifat
E. anthracis
Kuman Anthrakoid
Letak spora
sentral
sentral, subterminal atau terminal
Pergerakan
tidak bergerak
bergerak
Hemolisis pad a agar darah
tidak atau sedikit menghemolisis
menghemolisis dengan jelas
Produksi Lecithinase
tidak ada atau sedikit
ada
Pencairan gelatin
lambat
cepat
Kepekaan terhadap anthrax phage
peka
tidak peka
Uji presipitasi metoda Ascoli atau yang dikenal pula dengan istilah uji Ascoli digunakan untuk mendiagnosa anthrax dari bahan-bahan yang berupa kulit kering, tulang atau daging kering yang tidak mungkin lagi didiagnosa dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang terse but ter-
29 lebih dahulu (Anonimus, 1981; 1976).
Hardjoutomo dan Poernomo,
Juga untuk mendiagnosa anthrax dari karkas yang
telah mulai membusuk dan yang kuman anthraxnya mulai hancur (Buxton dan Frazer, 1977). Di Eropa uji Ascoli digunakan dengan hasil bau sekali dalam pengujian kulit hewan yang terinfeksi anthrax (Hardjoutomo dan Poernomo, 1976). Prinsip uji Ascoli adalah presipitasi yang terjadi apabila presipitinogen yang terdapat dalam bahan pemeriksaan direaksikan dengan presipitin yang terdapat dalam serum heperimun yang homolog (Hutyra
~ ~.,
1946).
Jaringan tersangka diekstraksi dengan air dengan cara perebusan atau dengan penambahan khloroform.
Cair-
an jernih yang diperoleh mengandung protein anthrax jika jaringan tersebut mengandung kuman anthrax.
Cairan ter-
sebut disebut presipitinogen yang dipertemukan secara pelan-pelan dengan serum anthrax dalam tabung sempit. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan terse but (Hutyra et al., 1946; us, 1981).
Buxton dan Frazer, 1977;
Anonim-
30
Gambar 5. Gejala oedema di daerah abdomen dan dada depan pada kuda yang menderita anthrax. Pada bagian ventral tubuhnya banyak ditemukan lalat Hippobosca sp. (Soeparwi; 1924 dalam Mansjoer, 1961) •
..
_, /1 t I 1T. Ir. R. l~,,,"
2. I :I.
:-t!;IOIllm
1
In
Illl
, III
•
1..1Il 11m
,
., 1m
,
6"'
III '1m
'"
m jam
m
•
Gambar 6. Kurva demam pada kuda yang menderita anthrax (Hutyra et al., 1946).
7 50
;J
31
Gamba!.'
7. Kalan! Bacillus anthracis pada agar darah setelah diirikHbasi selama 24 jam pada suhu 37 C (Feeley dan Patton dalam Lennette, 1980).
32
A
Gambar 8.
B
Uji presipitasi metoda Ascoli A. Reaksi positip : terbentuk cincin putih pada batas pertemuan kedua cairan B. Reaksi negatip : tidak terbentuk cincin (Hutyra ~ al., 1946).
V.
1.
PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN
Sani tasi Lingkungan Kondisi daerah yang beriklim tropik memungkinkan
terjadinya sporulasi dari kuman anthrax dengan baik dan banyak kasus penyakit anthrax tidak didiagnosa, sampai terjadi wabah (Buxton dan Frazer, 1977).
Oleh karenanya
perlu diagnosa seeara eepat, isolasi dan pengobatan dari hewan yang sakit (Hubbert
~
al., 1975).
Hewan-hewan
yang sakit dilarang untuk disembelih (Lembaran Negara, 1912;
Anonimus, 1981). Untuk meneegah kontaminasi lingkungan, maka hewan
yang mati karena anthrax tidak boleh diseksi dan harus segera dibinasakan dengan dibakar habis at au dikubur dalam-dalam (Anonimus, 1981; Hubbert
~
Buxton dan Frazer, 1977;
al., 1975).
Kandang dan semua perlengkapan yang tereemar harus didesinfeksi dan kandang-kandang dari bambu at au alangalang serta semua alat-alat yang tidak dapat didesinfeksi harus dibakar.
Sis a makanan dan tinja hewan yang sa-
kit harus ditampung dalam lubang sedalam 2 - 2,5 m dan bila penderita mati, sembuh at au setelah lubang terisi sampai 60 em, maka lubang dipenuhi dengan tanah segar (Lembaran Negara, 1912;
Anonimus, 1981).
342.
Vaksinasi Pemberantasan penyakit anthrax susah dijalankan,
tetapi usaha tersebut dapat dibantu dengan mengadakan tindakan pengebalan aktif terhadap semua jenis hewan yang peka, di samping menerapkan peraturan-peraturan kebijaksanaan veteriner (Sjamsudin, 1978). Sejak tahun 1879 oleh Pasteur telah dicoba vaksin Pasteur I dan Pasteur II, kemudian digunakan vaksin spora disusul vaksin Carbazoo dan terakhir vaksin galur Max Sterne atau galur 34- F2 yaitu vaksin
sp~ra
hidup
avirulen tidak berkapsel yang bisa menimbulkan kekebalan lebih sempurna (Sterne, 194-6 dalam Sjamsudin, 1978). Di samping itu pernah dicoba beberapa jenis vaksin bakterin dan vaksin agresin, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan (Bruner dan Gillespie, 1973 dalam Sjamsudin, 1978). Menurut Sumanegara (1958) di Indonesia pernah diproduksi vaksin-vaksin anthrax Pasteur I, Pasteur II dan vaksin spora.
Keburukan dari vaksin Pasteur adalah ada-
nya efek kematian yang timbul setelah vaksinasi.
Kemu-
dian sejak tahun 1930 digunakan vaksin anthrax B.R.S. untuk pengebalan kerbau, sapi, domba dan vaksin anthrax P.G.V. untuk kuda, kambing dan babi.
Kedua galur ter-
sebut diperoleh dari laboratorium Onderstepoort, Afrika Selatan.
\valaupun vaksin B.R.S dan P.G. V. jauh lebih
35 memuaskan dari vaksin Pasteur, namun kematian setelah vaksinasi masih tetap timbul,sekalipun dalam persentase yang rendah. Sejak tahun 1948 di Indonesia mulai menggunakan vaksin anthrax galur Max Sterne atau galur 34 F2 yang juga diperoleh dari Afrika Selatan dan sampai sekarang tetap menggunakan vaksin galur tersebut untuk vaksinasi pada semua hewan ternak yang peka terhadap anthrax (Sjamsudin, 1978). Menurut British Veterinary Codex (1965) dalam Sjamsudin (1978) vaksin anthrax avirulen biasanya tidak menimbulkan efek sampingan setelah vaksinasi, kecuali pada kambing kadang-kadang timbul oedema yang meluas dan bersifat fatal.
Kekebalan timbul 10 - 14 hari sete-
lah vaksinasi, kecuali pada kuda sampai enam minggu baru timbul.
Sedang dosisnya untuk hewan besar seperti
sapi, kerbau, kuda, 1 ml mengandung lebih dari sepuluh juta
sp~ra
dan untuk hewan kecil seperti domba, kambing,
babi, 0,5 ml mengandung lebih dari lima juta spora. Dalam keadaan sporadik, hewan-hewan yang menderita anthrax harus diasingkan dan diberi suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100 - 150 ml untuk hewan besar dan 50 - 100 ml untuk hewan kecil. sampai ada perbaikan.
Suntikan harus diulangi
Hewan-hewan lainnya yang sekan-
dang atau segerombolan diberikan suntikan antiserum dengan dosis pencegahan 20 - 30 ml untuk hewan besar dan
36 10 - 20 ml untuk hewan kecil (Lembaran Negara, 1912). Penyuntikan antiserum yang homolog adalah intravenus atau subkutan, sedang yang heterolog adalah sUbkutan (Anonimus, 1981). Di daerah epizooti anthrax, metoda pencegahannya dilakukan dengan memisahkan anta.ra daerah tertular dan daerah sekelilingnya.
Untuk daerah sekeliling daerah
yang tertular dilakukan vaksinasi pada semua hewan ternak.
Di dalam daerah tertular, bila dalam suatu kam-
pung penyakitnya belum meluas atau bila dalam waktu lima sampai delapan hari tidak terjadi kematian, diadakan tindakan yang sarna sebagai daerah sekeliling daerah yang tertular.
Sedang bila di dalam kampung penyakitnya ma-
sih meluas diberikan suntikan antiserum dan vaksin secara simultan (Lembaran Negara, 1912).
Dosis vaksin
galur 34 F2 untuk hewan besar adalah 1 ml, subkutan sedang hewan kecil, 0,5 ml, sUbkutan (Anonimus, 1981). Vaksin anthrax galur 34 F2 yang dipakai untuk semua hewan ternak, relatif aman dan daya pengebalannya tinggi yang berlangsung selama satu tahun.
Sedang kekebalan
pasif dari antiserum timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih dari dua minggu (Anonimus, 1981). Bagi daerah yang bebas anthrax, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut (Anonimus, 1981).
37 3.
Kemoterapi Antibiotika tidak mempunyai efek untuk menetralkan
toksin dari Bacillus anthracis, oleh karena itu pengobatan dengan antibiotika harus sedini mungkin (Buxton dan Frazer, 1977).
Toksin tersebut dapat dinetralisasi de-
ngan antiserum yang spesifik (Soeharsono dkk., 1981). Tidak dapat diisolasinya kuman anthrax dari kuda yang telah diobati dengan antibiotika menunjukkan bahwa kuman tersebut sensitif terhadap antibiotika (Soeharsono dkk., 1981). Preparat penicillin telah digunakan dengan berhasil dalam pengobatan pada babi dan species hewan lainnya yang menunjukkan ketahanan alamiah dan dalam keadaan penyakit yang tidak sangat akut.
Cara pengobatan tersebut
kurang praktis untuk hewan herbivora yang menderita penyakit dalam keadaan akut dengan masa inkubasi yang sangat pendek.
Akan tetapi pada keadaan tertentu, sapi
yang terinfeksi telah berhasil diobati dengan cara tersebut dengan memberikan penicillin dosis tinggi secara intravena (Buxton dan Frazer, 1977). Menurut Anonimus (1981) pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotika.
Jika antiserum tidak tersedia, dalam sta-
dium awal pada kuda dan sapi dapat diobati dengan procain penicillin G dengan dosis untuk hewan besar :
38 20.000 - 40.000 IU tiap kg berat badan, disuntikkan secara intramuskuler setiap hari dan untuk hewan kecil : 6.000 - 20.000 IU tiap kg berat badan, diberikan secara intramuskuler setiap hari.
Streptomycin sebanyak 10 g
dapat diberikan untuk hewan besar seberat 400 - 600 kg, setiap hari dalam dua dosis secara intramuskuler, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin-streptomycin.
Oxytetracycline dapat pula diberikan untuk sapi
dan kuda, mula-mula 2 g secara intravena atau intramuskuler, kemudian 1 g tiap hari selama tiga sampai empat hari atau sampai sembuh. Pengobatan penyakit anthrax sudah lazim dengan penicillin, akan tetapi streptomycin lebih banyak yang efektif (Dingle, 1975). Hasil percobaan Webster (1973) menunjukkan bahwa pengobatan dengan penicillin dapat menghilangkan efek dari vaksin anthrax dalam pembentukan kekebalan. Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga dapat dipakai obat-obat pembunuh serangga (Anonimus, 1981).
39
Gambar 9.
Bacillus anthracis yang rusak akibat pengobatan dengan penicillin. Terlihat dinding sel yang hancur (Scanga, 1964-).
•
40
Gambar 10.
Bacillus anthracis yang dirusak oleh tetracyclin. Terlihat sitoplasma mengumpul ke tengah dan kedua ujung sel retak, pembesaran 21.000 X (Scanga, 1964)
VI.
KESIMPULAN
Bacillus anthracis adalah kuman yang patogen terhadap hewan dan manusia, menyebabkan penyakit anthrax atau disebut juga radang limpa.
Kuman tersebut berbentuk ba-
tang, lurus dengan ujung siku-siku, tidak bergerak, dalam jaringan tubuh tersusun tunggal atau dalam rantai yang pendek dan membentuk kapsel.
Dalam biakan memben-
tuk rantai sel yang panjang, tetapi tidak ditemukan kapsel.
Dengan pewarnaan gram, bila dalam jaringan kuman
anthrax akan bersifat gram positif, tetapi dalam biakan reaksiterhadap pewarnaan gram akan bervariasi.
Kuman
anthrax bersifat aerob dan bila cukup oksigen akan membentuk spora yang terletak sentral dalam sel. Dalam tubuh penderita atau dalam bangkai yang tidak diseksi,
sp~ra
tidak akan terbentuk karena tidak cukup
oksigen untuk membentuk spora.
Apabila penderita di-
sembelih atau bangkai yang belum mulai membusuk diseksi, spora akan dengan cepat terbentuk dan secara b.ertahap akan mencemari lingkungan.
Sporulasi akan terjadi bila
ada oksigen dan kelembaban yang tinggi, secara optimal sp~ra terbentuk pada suhu 32 - 35
°e.
Sp~ra yang ter-
bentuk dapat tersebar oleh angin, air saluran irigasi atau bahan makanan ternak. Spora anthrax kemungkinan berada dalam tanah, tanaman, air atau di tempat-tempat penggembalaan yang terkontaminasi oleh kuman anthrax.
Sp~ra
tersebut tahan
~2
terhadap kekeringan dan dalam tanah dapat tahan hidup sampai berpuluh-puluh tahun serta tetap virulen. Tanah yang kaya nitrogen, pH lebih dari 6,0 dan permukaan air tanah yang tinggi serta tanah yang berkapur merupakan daerah inkubator bagi kuman anthrax.
Bi-
la cukup tersedia makanan, suhu, kelembaban tanah dan dapat mengatasi persaingan biologik, maka spora akan tumbuh menjadi bentuk vegetatif.
Siklus hidup kuman
terus berlangsung bila lingkungan tetap menguntungkan dan kuman akan berkembang biak serta membentuk spora lebih banyak. Lingkungan atau tanah penggembalaan yang telah terkontaminasi oleh spora anthrax merupakan sumber infeksi bagi hewan.
Biasanya hewan terinfeksi melalui saluran
pencernaan dengan tertelannya
sp~ra,
yang lainpun dapat saja terjadi.
meskipun infeksi
Penularan kemungkinan
juga oleh lalat penggigit seperti Hippobosca sp. Kuda yang terkena anthrax menunjukkan gejala-gejala demam, tidak nafsu makan, kolik atau enteritis yang akut.
Pembengkakan di daerah leher, dada, sepanjang ab-
domen, skrotum dan kaki.
Ekskreta berdarah kemungkinan
keluar dari hi dung dan anus. Anthrax merupakan penyakit zoonosis yang penting dan merugikan bagi peternak, yang berarti juga penurunan populasi ternak akibat terjadi kematian pada hewan. Oleh karena itu perlu ditanggulangi dengan mencegah
terbentuknya
sp~ra
yang dapat mencemari lingkungan.
Hewan-hewan yang sakit diasingkan dan diobati, sedang hewan-hewan yang sehat divaksinasi.
Larangan penyembe-
lihan hewan yang sakit dan pembukaan karkas dari hewan yang telah mati harus benar-benar ditaati.
Hewan pende-
rita anthrax yang telah mati harus dimusnahkan atau dikubur.
Sisa makanan dan tinja dari hewan yang sakit di-
tampung dalam lubang dan ditutup dengan tanah segar. Kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus didesinfeksi atau dibakar.
Untuk daerah yang bebas an-
thrax dilakukan peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan-hewan atau produk-produknya dari daerah anthrax.
DAFTAR PUSTAKA Andrewes, S. C. dan J. R. Walton. ,1976. Viral and bacterial zoonoses. Bailliere Tindall, London. Anonimus. 1982. Informasi pengamatan penyakit hewan. Direktorat Kesehatan Hewan - Dirjen Peternakan no. 1/1982.
____~~. 1982. Buku saku peternakan. Direktorat Bina Program - Dirjen Peternakan, Jakarta. •
1981. Pedoman pengendalian penyakit hewan. I. Direktorat Kesehatan Hewan - Dirjen Peternakan, Jakarta.
----~JTi~lid
Belschner, H. G. Sydney.
1969.
Horse disease.
Halstead Press,
Breed, R. S., E. G. D. Murray, dan A. P. Hitchens. 1948. Bergey's manual of determinative bacteriology. The Williams and Wilkins Company, Baltimore Md., USA. Buchanan, E. D. dan R. E. Buchane.n. 1940. The Macmillan Company, New York.
Bacteriology.
Buchanan, T. M., J. C. Feeley, P. S. Hayes dan P. S. Brachman. 1971. Anthrax indirect microhemagglutination test. Journal of immunology, vol. 107, no. 6, pp. 1631-1636. Burrows, W. 1949. Jordan-Burrows textbook of bacteriology. 15 th edition. W. B. Saunders Company, Philadelphia. Buxton, A. dan G. Frazer. 1977. Animal microbilogy. Blackwell Scientific Publication. Oxford-LondonEdinburgh-Melbourne. Dingle, P. J. 1975. An anthrax outbreak. record, vol. 97, no. 17, pp. 339-340.
Veterinary
Ebedes, R. 1972. Control of anthrax outbreaks in Wildlife. Veterinary record, vol. 90, no. 7, pp. 198. Frobisher, M. 1953. Fundamentals of microbiology. W. B. 'Saunders Company, Philadelphia-London. Hardjoutomo, S dan S. Poernomo. 1976. Reaksi presipitasi metoda Ascoli disedrhanakan untuk mendiagnosa anthrax. Bulletin L.P.P.R., vol. VIII, no. 11-12, pp. 15-23.
45 Hubbert, Vi. T., W. F. Mc. Culloch dan P. R. Schnurrenberger. 1975. Disease transmitted from animal to man. Charles C. Thomas Publisher, U.S.A. Hugh-Jones, M. E. dan S. N. Hussaini. 1975. The Veterinary record, vol. 97, no. 14, pp. 256-261.
__--:-~~-:--;.--,...--_=_.,.,=,..........--......,,..,....,-==. outbreak in Berkshire. no. 11, pp. 228-232.
1974. An anthrax Veterinary record, vol. 94,
Hungerford, T. G. 1975. Disease of livestock. Mc Graw-Hill Book Company, Sydney.
8 th ed.
Hutyra, F., J. Marek dan R. Manninger. 1946. Special pathology and therapeut~cs of the disease of domestic animals. Bailliere, Tindall and Cox, London. Lennete, E. H. 1980. Manual of clinical microbiology. 3 rd edition. American Society for microbilogy, Washington, D.C. Lyon, D. G. 1973. An outbreak of anthrax at the Chester zoological gardens. Veterinary record, vol. 92, no. 13, pp. 334-337 Mansjoer! M.
1961. Anthrax in men and animals in IndoCommunicationes Veterinary, vol. 5, no. 2, pp. 61-87.
nes~a.
Merchant, I. A. dan R. A. Packer. 1965. Veterinary bacteriology and virology. Iowa State University Press, U.S.A. Robertson, S. A. 1976. Handbook on animal diseases in tropics. British Veterinary Association, London. Ressang, A. A. 1963. Patologi khusus veteriner. Departemen Urusan Riset Nasional Republik Indonesia. Scanga, F. 1964. Atlas of electron microscopy biological applications. Elsevier Publishing Company, Amsterdam-London-New York. Seddon, H. D. gardens. pp. 599.
1973. Anthrax in Chester zoological Veterinary record, vol. 92, no. 22,
Sjamsudin, A. 1978. Pengembangan produksi vaksin anthrax avirulen. Bulletin L.P.P.H., vol. X, no. 15
46 Smith, J. H. 1972. Veterinary pathology. Lea and Febiger, Philadelphia.
4 th edition.
Soeharsono, I. G., Sudana dan M. Malole. 1981; Letupan penyakit anthrax di kecamatan Ngadu Ngala, kabupaten Sumba Timur tahun 1981. Disampaikan pada temu karya ilmiah konggres P.D.H.I. ke VIII, Jakarta. Soemanagara, R. M. T. 1958. Ikhtisar singkat dari penyakit radang limpa, penyakit ngorok dan radang paha. Hemera Zoa, vol. 66, pp. 147-156.
LAMPIRAN
47 Tabe1 Lampiran 1 •
Daerah Penyebaran D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengku1u Sumatera Se1atan Lampung, D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Jogyakarta Jawa Timur Bali N.T.B. N.T.T. Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Se1atan Kalimantan Timur Su1awesi'l'engah Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Ma1uku Irian Jaya Timor Timur
C*) Sumber Keterangan
Situasi Penyakit Anthrax di Indonesia tahun 1974 - 1981 C*)
1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 0
0 6
0 (J
2 0 0 0 0 21 483 0 0 0 0
134 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 31 397 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21 1945 13 1578 2297 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 245 17 1 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 141 42 0 0 0
0
0 0 0 0
0 0 0 0
0
o·
0 0 0
0
5
0 0 0 0 10 4 0 0 0 0
44
5 0 0 0 0
1 15
2 0 0 0 0 10 480 0 0 0 0 32 1
3 3 0 0 0 0 45 47
2
0 0 0
0
0
Buku Saku Peternakan, Direktorat Bina Program, Dirjen Peternakan (1982) : tidak ada 1aporan 0 : bebas penyakit
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1960, di Klaten.
Anak ke lima dari tujuh bersaudara.
nama Taru Mulyatno dan ibu bernama Sriyati. kolah Dasar Negeri di Klaten tahun 1971.
Ayah berLulus Se-
Lulus Sekolah
Menengah Fertama Negeri I di Karanganyar tahun
197~
dan
tahun 1977 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri di Karanganyar.
Pada tahun 1978 mas uk Institut Pertanian Bogor
dan setahun kemudian masuk Fakultas Kedokteran Hewan. Lulus Sarjana Kedokteran Veteriner pada tanggal 28 Januari 1982.