NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUDAYA TENONGAN NYADRAN SURAN DI DUSUN GIYANTI WONOSOBO Abdul Basir Mahasiswa S.3 Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo Abstrak Di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonosobo ada baragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. Dalam konteks Jawa, nilai sosial tradisi nyadran dikaitkan dengan upaya mempertahankan ingatan agar tidak lupa asal-usulnya. Leluhur Jawa punya wasiat bijak: manungsa aja lali wetone. Mula elinga marang wong-wong tuwa senajan wis
padha swarga. Dalam kehidupan kemasyarakatan tradisi nyadran telah menggariskan prinsip-prinsip tradisi lokal dan ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut antara lain rasa ukhuwah, kasih sayang, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar dan kesamaan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada sang Khaliq. Terlebih dalam tradisi Nyadran Suran
Tenongan di dusun Giyanti, upacara tenongan dengan membawa berbagai makanan dan hasil bumi untuk ditukar dan dimakan bersama ribuan pengunjung merupakan bentuk
pendidikan untuk saling berbagi kepada sesama sebagai unggkapan rasa
syukur atas karunia Tuhan melalui alam. Selain itu prosesi ritual yang melibatkan bantuan berbagai pemeluk agama merupakan bentuk pendidikan moral bagi masyarakat. Mereka menjadi terbiasa hidup berdampingan dengan penganut iman yang berbeda, mereka bisa saling menghargai dan dapat hidup berdampingan dengan damai. Makna dari prinsip tradisi nyadran bagi masyarakat adalah adanya pendidikan kesalehan ritual, individu, dan sosial.
Kata Kunci: Nilai, Pendidikan Islam, Tenongan Nyadran
Pendahuluan Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Di satu sisi, manusia mencipta budaya, namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup. Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali. Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan manusia pun semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus mempengaruhi dan
Jurnal Kependidikan Al-Qalam Vol. IX | 69
Abdul Basir, M.Pd.
Nilai Pendidikan dalam Nyadran
dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara bertindak manusia dalam kehidupannya. Perkembangan budaya ada yang berlangsung cepat (revolusi kebudayaan) dan ada pula yang berkembang perlahan (evolusi kebudayaan). Perkembangan budaya jenis yang kedua ini atau yang bersifat evolutif hampir tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya sebab berlangsung lama. Ia seakan-akan hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh yang bersangkutan, baik secara individu (person) maupun kelompok (kolektif). Meski demikian, satu kenyataan yang pasti adalah kebudayaan terus dan akan menggiring atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.1 Di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Wonosobo ada baragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. Di beberapa wilayah Jawa Tengah, nyadran lazim digelar di pemakaman menjelang bulan puasa (Sya’ban), sedangkan di Giyanti Wonosobo, nyadran dilaksanakan pada bulan Suro. Agak berbeda dengan di daerah lainnya, di Giyanti ritual ini dikemas dalam berbagai ragam seni budaya yang sangat meriah dan dilaksanakan oleh lintas agama bahkan telah menjadi agenda resmi Dinas Pariwisata di Wonosobo. Di Wonosobo tradisi Nyadran yang dilaksnakan oleh warga Dusun Giyanti dikenal dengan istilah Tenongan. Banyak yang menanggapi tradisi ini dari berbagai sudut pandang. Sebagian berpendapat tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Alloh atas berbagai rejeki yang diterima oleh warga selama satu tahun, dan berharap rejeki yang melimpah di tahun depan. Ada lagi yang berpendapat acaranya sekedar bentuk hurahura yang dikemas dalam ritual keagaman yang tidak bernilai pendidikan. Bahkan ada kalangan yang berpendapat Nyadran Giyanti tidak lebih sebagi upacara kemusyrikan yang dilegalkan dalam bingkai paket pariwisata. Terlepas dari berbagai penilaian dari perspektif masing-masing, pasti ada banyak hikmah dan manfaat dari setiap acara, namun hikmah dan manfaat itu belum mampu kita ungkapkan. Berbagai pihak hanya melihat sebuah tradisi dari sudut pandang mereka tanpa melihat realitas yang sebenarnya atau kurang mampu memahami dari sudut pandang lainnya. Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: Pertama, Bagaimanakah sebenarnya bentuk tradisi Tenongan di Giyanti Wonosobo?; Kedua, Apasajakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi Tenongan dalam Upacara Nyadran Suran Giyanti Wonosobo?
1 Umar Ali Tofan dan Haki Hudanallah, Upacara Nyadran antara Pro dan Kontra. (Kendal: Tanbihun, 2011) hlm 1.
70 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Apa itu Tenongan Nyadran Suran Giyanti? Ramadhan merupakan bulan kesembilan setiap tahun Qamariah. Pada bulan ini umat muslim baik laki-laki maupun perempuan di wajibkan untuk berpuasa yaitu menekan kehendak perut dan kehendak syahwat. Sebab bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan magfiroh (ampunan). Pada sisi realitasnya masyarakat menyambut bulan suci tersebut dengan berbagai kegiatan seperti dugderan, songkabala, barikan dan nyadran. Tradisi monotheistik meyakini bahwa Tuhan tidak diketahui oleh mahluk secara eksistensi, karena tidak ada yang hakiki selain Dzat Maha Hakiki. Oleh sebab itu realitas alam semesta hanya hakiki secara relatif sehingga Realitas-Nya berada jauh di luar pemahaman realitas mahluk. Maka dalam hal ini tradisi keagamaan merupakan realitas mahluk untuk mengetahui eksistensi Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turunmenurun yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah pemahaman, karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh sangat ironi pada keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual dari pada kesalehan individu dan kesalihan sosial. Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu adalah realitas sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Sikap pada era postmodernisme yang bersifat positivistik dan materialistik menyebabkan manusia bersikap tidak wajar sesuai dengan ajaran agama. Hal ini berakibat pada sikap dan perilaku manusia yang bersifat menyimpang seperti; individualistik, konsumerisme, hedonis dan pragmatis. Perilaku tersebut merupakan penjajahan baru yang berakibat pada dekadensi moral, tak heran jika Indonesia mejadi negeri yang kehilangan kemanusiaan sikap korupsi dan menindas yang lemah menjadi tradisi keberagamaan. Karena itu, tradisi keberagaman bukan hanya bersifat ritualistik akan tetapi mencakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini maka tradisi nyadran bukan sekedar ritualistik, akan tetapi merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan. Tradisi nyadran Bagi masyarakat Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, Syaban atau Ruwah merefleksikannya dengan tradisi nyadran. Istilah nyadran memiliki makna yang begitu dalam yang mengisyaratkan kegiatan manusia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Secara tekstual nyadran atau sadranan berasal dari kata Sraddha yang memiliki makna mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam, menabur bunga dan mendoakan serta mengabari akan datangnya bulan suci.
Nyadran merupakan ekspresi kultural keagamaan berbentuk ziarah kubur yang memiliki kesamaan didalam ritual dan obyeknya. Tradisi keberagamaan merupakan warisan turun menurun, dalam sejarahnya nyadran telah dilakukan sejak zaman Majapahit. Menurut Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan tradisi nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 71
Abdul Basir, M.Pd.
Nilai Pendidikan dalam Nyadran
pada tahun 1352. Semenjak kedatangan agama Islam di tanah Jawa, tradsi nyadran tetap menjadi suatu tradisi yang turun menurun, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami dan suasana silatuhrahmi.2 Tradisi nyadran pada masyarakat memiliki keberagaman yang dilakasanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam konteks kemasyarakatan nyadran merupakan simbol refleksi atas rasa syukur menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Keberagaman penyambutan tersebut hanya bersifat komunal dalam artian masyarakat bisa menentukan kapan akan pergi berziarah ke makam leluhur. Namun refleksi tersebut juga dapat diselengarakan secara bersamaan di masyarakat dengan membuat tumpeng yang kemudian dibawa ke masjid dan kemudian mengadakan tahlilan beserta doa keselamatan menyambut kedatangan bulan suci tersebut. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama dan Dzat yang maha kuasa. Tradisi ini telah menjadi ajaran keberagamaan yang diyakini yaitu mempersatukan warisan budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga terjalin hubungan dua eksistensi lokalitas dan ajaran agama Islam. 1.
3
Giyanti Giyanti adalah sebuah desa seni. Begitulah tampaknya dusun ini dilahirkan. Sejak jaman dulunya seni lengger, pedalangan, karawitan, ketoprak dan sebagainya tumbuh di dusun yang tahun 1933 masuk Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo itu. Giyanti berjarak sekitar 10 km dari pusat kota Wonosobo. Sebagai salah satu desa wisata seni Giyanti merupakan salah satu pusat pembinaan kesenian tradisional. Kesenian yang paling populer di Wonosobo adalah Tari Lengger, bahkan jika orang Wonosobo mendengar kata Giyanti pasti mereka teringat akan Tari Lengger dan sebaliknya. Konon kesenian Lengger sudah ada sejak dulu dan pernah di gunakan oleh Sunan Kalijogo untuk menarik para pemuda agar rajin ke Masjid.Di sana terdapat sanggar-sanggar untuk kelestarian kesenian lengger bisa dikatakan Dusun Giyanti sebagai desa budayanya Wonosobo. Sebagai contoh Sanggar Seni Rukun Putri Budaya yang didirikan oleh Hadi Suwarno (Alm) pada tahun 1978. Sanggar ini pernah mendapatkan juara Harapan 1 Festival Borobudur tahun 1991. Juga pernah tampil di TMII Taman Mini Indonesia Indah. Lengger juga dipentaskan dalam berbagai acara ritual, pertunjukan untuk wisatawan asing, dan pertunjukan acara hajatan.
4
Di dusun kecil yang dihuni lebih dari 250 Kepala Keluarga ini berbaur berbagai agama dan kepercayaan masyarakatnya hidup damai dan berdampingan. Dalam berbagai kegiatan ritual keagamaan para warganya saling membantu untuk menyukseskannya. Pada saat Perayaan Natal justru para pemuda muslim Ansor 2 Lukni Maulana, Tradisi Nyadran Menyambut Bulan Ramadhan. (http://lukni.blogspot.com/2009/09/nyadran-tradisi-menyambut-ramadhan.html) 3 Lukni Maulana, Tradisi Nyadran Menyambut Bulan Romadlon. (http://lukni.blogspot.com/2009/09/nyadran-tradisi-menyambut-ramadhan.html) 4 Wonosobo Community. Kesenian Lengger Masih Dipertahankan. Dieng Plateau.com
72 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
dan Banser yang membantu pengamanannya, dan sebaliknya pada acara nyadran yang identik dengan ritual Islam Jawa, para pemeluk agama lain juga ikut membantu dan berperan serta dalam kegiatan. Upacara nyadran yang identik dengan upacara umat Islam yang kental dengan budaya Jawa ini didukung oleh warga dusun yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, Katolik, Kristen, Budha, dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 5 2.
Tenongan Giyanti Sedikit berdeda denga budaya nyadran yang ada berbagai wilayah di tanah Jawa. Umunya, nyadran dilakukan pada akhir bulan Sya’ban menjelang bulan Romadlon tetapi jika di Wonosobo tepatnya di Dusun Giyanti Desa Kadipaten Kecamatan Selomerto, nyadran dilaksanakan pada bulan Muharram atau bulan Suro. Perbedaan yang lain terletak pada ritualnya, jika pada acara nyadran di Giyanti tidak hanya dilaksanakan oleh umat Islam namun dari berbagai pemeluk agama lain ikut meramaikan bahkan banyak pengunjung dari luar kota. Selain itu nyadran di Giyanti juga menampilkan berbagai seni tradisonal warganya terlebih Giyanti termasuk sebagai desa wisata di Kabupaten Wonosobo. Hal yang paling berbeda adalah adanya tradisi membawa berbagai macam jajanan pasar, makanan, buah-buahan, dan sayur-sayuran hasil bumi warga yang dikemas dalam sebuah wadah dari anyaman bamboo yang dikenal dengan istilah “tenong”.
Prosesi Nyadran diawali dengan perarakan rombongan warga desa ke makam nenek moyang warga Giyanti. Mereka disertai beberapa kelompok kesenian. Dari situ perarakan dilanjutkan menuju Sasana Kridha Budaya Kertojanti (balai kesenian desa). Ratusan ibu-ibu mengiringi perarakan ini. Mereka membawa tenongan berisi jajan pasar, nasi rames, buah, sayur, hasil bumi, dan makanan lainnya. Konon, demikian kata sahibul hikayat, tradisi Nyadran 1 Suro di Dusun Giyanti sudah dilaksanakan sejak jaman dahulu kala. Leluhur merekalah yang memulai. Namanya Eyang Pangeran Adipati Mertoloyo. Beliau datang memasuki Giyanti tahun 1756 didampingi ketiga pengawalnya yaitu Eyang Kyai Monyet, Eyang Kyai Darso, dan Eyang Kyai Mranggi. Setelah babad padukuhan selesai, diadakanlah syukuran desa yang dilestarikan hingga sekarang.
6
Upacara Nyadran 1 Sura biasanya berlangsung antara pukul 08.00 sampai pukul 12.00. Belakangan tradisi ini ditempatkan dalam agenda wisata Kabupaten Wonosobo. Acara dilanjutkan dengan menggelar berbagai pertunjukan kesenian, seperti tari Lengger, Sontoloyo, Rangu-rangu, dan Rampak Buto untuk mengiringi jalannya ritual. Peserta ritual yang mengenakan busana Adat Jawa Lengkap tampak antusias dalam mengikuti prosesi ritual. Para remaja putri dan ibu-ibu membawa
5 Keuskupan Purwokerto, Menjenguk Stasi Giyanti. (http://www.keuskupanurwokerto.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=160) 6
ibid
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 73
Abdul Basir, M.Pd.
Nilai Pendidikan dalam Nyadran
tenong yang berisi makanan-makanan lalu ditata rapi dipingggir jalan desa kemudia para pemuka adat dan ulama membacakan doa dan selanjutnya saling bertukar tenong untuk kemudian di makan bersama. Itulah tradisi Wonosobo yang disebut dengan “tenongan”.
7
Dalam Nyadran umat Katolik hadir dan berbaur dengan umat lain Dusun Giyanti. Stefanus Kaswono yang juga Ketua Stasi juga merupakan tetua dusun. Nyadran ini adalah peristiwa budaya,” katanya. “Kami menghargai budaya dan berusaha melestarikannya,” lanjutnya. Ia bercerita, “Ketika kami merayakan Natal, yang menjaga gereja ketika misa adalah pemuda-pemuda dari saudara kita muslim. Ketika umat muslim merayakan Idul Fitri, pemuda-pemuda Katolik ikut membantu dan menjaga kelancaran sholat Ied. Kemudian saling mengucapkan selamat Lebaran.” “Ketika warga Stasi Giyanti akan memugar gereja pun, warga lain dengan sukarela membantu apa yang mereka mampu,” tambahnya.
8
Jadi perbedaan pokok antara nyadran Giyanti dengan nyadran di tempat lain adalah pada waktu pelaksanaan pada bulan Muharram atau Sura sehingga dikenal dengan istilah Nyadran Suran yang bertujuan untuk meneruskan tradisi leluhur dusun Eyang Pangeran Adipati Mertoloyo yang melakukan tasyakuran setelah merintis pembukaan desa pada tahun 1756. Selain itu tradisi masyarakatnya dalam bersedekah nyadran melalui wadah yang disebut dengan tenong juga tidak banyak dijumpai di tempat lain. Hal unik lainnya adalah digelar berbagai pertunjukan seni budaya lokal Wonosobo selama hampir satu minggu dalam perayaan nyadran suran hal ini menunjukkan adanya semangat melestarikan budaya leluhur. Juga bersatunya berbagai umat agama dalam perayaan ini, karena nyadran yang identik dengan ritual umat Islam ternyata mendapat dukungan penuh dari warga lain yang beragama non muslim. Berikut ini adalah beberapa gambar yang berhasil penulis kumpulkan untuk memberikan sedikit gambaran acara Tenongan dalam tradisi Nyadran Suran Giyanti Kabupaten Wonosobo.
7
Disarikan dari Berita Harian Suara Merdeka dan Wonosobo Ekspres Jawa Pos Group, Sabtu 24 Desember 2011. 8
Kesukupan Purwokerto, Menjenguk Stasi Giyanti. (http://www.keuskupanurwokerto.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=160)
74 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Gambar 1 Suasana Tradisi Nyadran Tenongan Giyanti Wonosobo (sumber foto: Anis Efizudin, ANTARA NEWS, 24 Desember 2011)
Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Tenongan Dalam konteks Jawa, nilai sosial tradisi nyadran dikaitkan dengan upaya mempertahankan ingatan agar tidak lupa asal-usulnya. Leluhur Jawa punya wasiat bijak: manungsa aja lali wetone. Mula elinga marang wong-wong tuwa senajan wis
padha swarga. Pengertian swarga dalam hal ini adalah telah meninggal dunia. Dalam rumus sosiologi ataupun antropologi, manusia sebagai makhluk sosial akan berusaha mempertahankan relasi dengan generasi sebelum dan sesudahnya, tidak cukup berhubungan hanya dengan segenerasinya. 9 Dengan kata lain, kebutuhan untuk tetap berhubungan dengan tiga generasi dalam tiga zaman (dulu, sekarang, dan
9
MM Bhoernomo, Nilai Sosial Tradisi Nyadran. (Suara Merdeka Cetak, 16 Juli 2011)
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 75
Abdul Basir, M.Pd.
Nilai Pendidikan dalam Nyadran
mendatang) dianggap sebagai bagian dari upaya mempertahankan kemanusiaan. Pada titik ini, manusia yang tetap memiliki kemanusiaan tidak akan berubah menjadi binatang ekonomi yang tidak lagi bersikap manusiawi. Dalam konteks global, upaya mempertahankan kemanusiaan menjadi mahal karena banyak manusia berpindah-pindah tempat kerja dan tempat tinggal. Jarak jauh dari kampung kelahiran yang banyak menyimpan masa lalu membuat tradisi nyadran menjadi sebuah kemewahan, dalam arti butuh biaya yang tidak sedikit. Namun, mahalnya
biaya
untuk
melestarikan
tradisi
nyadran
tidak
akan
dianggap
memberatkan bagi mereka yang tetap ingin mempertahankan kemanusiaannya.
10
Begitu pula dengan Nyadran Sura di Giyanti , semua warga yang merantau beramairamai pulang kampung untuk ikut merayakan. Kedatangan warga yang merantau dan kehadiran ribuan pengunjung dari berbagai daerah member dampak tersendiri bagi warga. Karena itu, tradisi keberagamaan bukan hanya bersifat ritualistik akan tetapi mencakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini maka tradisi nyadran bukan sekedar ritualistic, akan tetapi merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan. Istilah nyadran memiliki makna yang begitu dalam yang mengisyaratkan kegiatan manusia untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Secara tekstual nyadran atau sadranan berasal dari kata Sraddha yang memiliki makna mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam, menabur bunga dan mendoakan serta mengabari akan datangnya bulan suci.
11
Nyadran merupakan ekspresi kultural keagamaan berbentuk ziarah kubur yang memiliki kesamaan di dalam ritual dan obyeknya. Tradisi keberagamaan merupakan warisan turun menurun, dalam sejarahnya nyadran telah dilakukan sejak zaman Majapahit. Menurut Zoetmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan tradisi
nyadran pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Semenjak kedatangan agama Islam di tanah Jawa, tradsi nyadran tetap menjadi suatu tradisi yang turun menurun, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami dan suasana silatuhrahmi. Tradisi nyadran pada masyarakat memiliki keberagaman yang dilakasanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam konteks kemasyarakatan nyadran merupakan simbol refleksi atas rasa syukur menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Keberagaman
penyambutan
tersebut
hanya
bersifat
komunal
dalam
artian
masyarakat bisa menentukan kapan akan pergi berziarah ke makam leluhur. Namun refleksi tersebut juga dapat diselengarakan secara bersamaan di masyarakat dengan membuat tumpeng yang kemudian dibawa ke masjid dan kemudian mengadakan tahlilan beserta doa keselamatan menyambut kedatangan bulan suci tersebut. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama dan Dzat Yang Maha Kuasa. Tradisi ini telah menjadi ajaran keberagamaan yang di yakini yaitu mempersatukan warisan budaya lokal dengan ajaran Islam, sehingga
10 11
ibid Lukni Maulana, Nyadran Tradisi Menyambut Bulan Suci Ramadlan.
76 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
terjalin hubungan dua eksistensi lokalitas dan ajaran agama Islam. Kalau ditelusuri ritual tersebut memiliki berbagai macam kegiatan diantaranya doa keselamatan, pembacaan shalawat nabi, tahlilan ziarah kubur dan tumpengan. Nyadran bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi manyarakat. Hal ini mengisyaratkan adanya kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi masyarakat Indonesia, maka tradisi tersebut perlu dilestarikan sebab terkadang masyarakat modern telah banyak lupa akan nilai-nilai tradisi
nyadran. Oleh karena itu, dalam tradisi nyadaran memiliki hubungan dialektika horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan kesalehan ritul, individu dan sosial. Dalam tradisi nyadran masyarakat akan semakin tahu makna ritualistik yang kaya akan nilai-nilai pendidikan. Dalam kehidupan kemasyarakatan tradisi nyadran telah menggariskan prinsip-prinsip tradisi lokal dan ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut antara lain rasa ukhuwah, kasih sayang, tolong menolong, amar ma’ruf nahi munkar dan kesamaan bahwa setiap manusia pasti akan kembali kepada sang Khaliq. 12 Terlebih dalam tradisi
Nyadran Suran Tenongan di dusun Giyanti, upacara tenongan dengan membawa berbagai makanan dan hasil bumi untuk ditukar dan dimakan bersama ribuan pengunjung merupakan bentuk pendidikan untuk saling berbagi kepada sesama sebagai unggkapan rasa syukur atas karunia Tuhan melalui alam. Selain itu prosesi ritual yang melibatkan bantuan berbagai pemeluk agama
merupakan bentuk
pendidikan moral bagi masyarakat. Mereka menjadi terbiasa hidup berdampingan dengan penganut iman yang berbeda, mereka bisa saling menghargai dan dapat hidup berdampingan dengan damai. Makna dari prinsip tradisi nyadran bagi masyarakat adalah adanya pendidikan kesalehan ritual, individu, dan sosial.
Nyadran menjadi ajaran kemasyarakatan mengenai solidaritas sosial dan pemaknaan prinsip-prinsip ajaran tentang perilaku kehidupan yang tidak hanya bersifat materialistik, namun kaya akan nilai-nilai spiritualitas. Prinsip nyadran sebagai bentuk tradisi keberagamaan yang mengajarkan kebaikan kepada sesama, baik yang sudah meningal maupun dengan sesama dan tentunya kepada sang Khaliq. Ziarah kubur dan tumpengan mengisyaratkan hubungan Tuhan dengan dunia, dalam pandangan Frithjof Schuon merupakan simbol kesatuan wujud yang menegaskan bahwa karena Tuhan merupakan satu-satunya realitas maka yang ada hanyalah Dia, dan dunia ini pada dasarnya adalah Ilahiyah. Jadi tradisi nyadran dengan berziarah ke makam leluhur dan tumpengan menegaskan adanya kebenaran exoteric (dapat dipahami oleh orang banyak) yang hanya dapat dipahami dalam konteks spiritualitas. Hidup dan mati adalah dialog tanpa akhir dengan Tuhan. Akal, nafsu dan hati merupakan perangkat yang harus digunakan oleh manusia secara selaras dan seimbang. Maka tindakan perilaku hedonis, korupsi dan individualitik dapat lenyap jika manusia memaknai betul nilai-nilai ajaran sebuah tradisi lokal tersebut. Sebagai sebuah tradisi yang selalu diadakan guna menyambut datangnya bulan suci dan tahun baru Islam sebagai penghias untuk merefleksikan perilaku satu tahun yang 12
Lukni Maulana, Nyadran Tradisi Menyambut Bulan Suci.
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 77
Abdul Basir, M.Pd.
Nilai Pendidikan dalam Nyadran
lalu, bahwa manusia penuh dosa dan noda yang perlu dibersihkan sebelum ajal menjemput. Tradisi nyadran adalah tindakan kebajikan masyarakat yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan satu sama lain yang diniati ikhlas untuk menyambut tahun baru. Maka dari itu tradisi keberagamaan tersebut dalam konteks sosial dijadikan sebagai medium perekat sosial dan membangun jati diri bangsa. Sebagai sebuah tradisi keberagamaan nyadaran merupakan rekreasi spiritual untuk bersiapsiap dalam mendidik akal, nafsu dan hati. Untuk selanjutnya manusia akan menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan. Tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat merupakan cermin awal sebagai sebuah bentuk kesadaran sekaligus pengakuan pasrah kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan mengapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup.
13
DAFTAR PUSTAKA
Keuskupan Purwokerto, Menjenguk Stasi Giyanti. (http://www.keuskupanurwokerto.net) diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Lukni Maulana, (2009). Tradisi Nyadran Menyambut Bulan Ramadlan. (http://lukni.blogspot.com/2009/09html) diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 MM Bhoernomo, Nilai Sosial Tradisi Nyadran. Suara Merdeka Cetak, 16 Juli 2011 Umar Ali Tofan dan Haki Hudanallah, Upacara Nyadran antara Pro dan Kontra. Kendal: Tanbihun, 2011. Wonosobo Community. Kesenian Lengger Masih Dipertahankan. (Dieng Plateau.com). diunduh pada tanggal 24 Desember 2011 Wonosobo Ekspres Jawa Pos Group, Bisa Datangkan Berkah Bagi yang Makan
Jajanan Pasar. Sabtu 24 Desember 2011.
13
ibid …
78 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013