NGA’ASAN Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak EDISI IV-OKTOBER 2005 Dari Redaksi
Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehing ga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumber-sumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang. Tabea.....!!! Negeri dongeng. Mungkin itulah julukan yang paling cocok bagi sebuah negara yang banyak sekali cerita untuk dikabarkan. Barangkali juga karena asal muasalnya yang mirip dengan dongeng-dongeng pengantar anak tidur. Demikian juga sejarah bangsanya yang penuh dengan his story, sejarah satu pihak. Berbagai persoalan bangsa memang terus mendera rakyat ini. Sebegitu seringnya, mungkin di dunia ini, rakyat Indonesialah yang paling kebal dengan yang namanya musibah. Mulai dari musibah politik, musibah alam, dan kini musibah sosial. Rakyat kini ngantri di beberapa tempat untuk mendapatkan minyak. Yang lain malah tak mampu lagi beli beras. Yang lainnya lagi, malah membiarkan dirinya membusuk di jalanan supaya bisa numpang makam. Itulah negeri kita yang penuh dengan cerita yang mungkin bisa jadi kisah seribu satu dongeng. Satu demi satu meninggalkan kisah dan tragedi sedih yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil. Pembaca YangBudiman... DemikeberlangsunganpenerbitanNga’asan, dengan hati terbuka kami menerima sumbangan sukarela dari anda yang merasa peduli dengan keberadaan media ini di : NoRek. 1703817240BCAKCP Tomohon
Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak UTAMA
Krisis Makin Mengiris
FOKUS
TOLAK PENUTUPAN GEREJA LASTe
Politik Energi Temporer
EDITORIAL
Mencari Strategi Di Masa Sulit TAK putus-putusnya penderitaan mendera bangsa Indonesia. Pukulan beruntun itu berakhir dengan straight yang menohok langsung ke pusat pertahanan rakyat yakni, Energi. Dalam bahasa rakyat, energi yang paling dibutuhkan agar supaya dapur mengepul, adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Hampir tidak ada penyelenggaraan kehidupan dewasa ini yang lepas dari BBM. Ya masak, transportasi, melaut, bertani, dan sebagainya, semuanya membutuhkan faktor input, solar, bensin, dan minyak tanah. Sekarang tiga hal itu melambung setinggi langit. Rakyat kecil telah dijauhkan dari tiga faktor yang sangat membantu penyelenggaraan kehidupan seharihari mereka. Apa mau dikata. Pemerintah sudah tekad, DPR pun ikut setuju. Dan pasar pun terbahak-bahak. Harga-harga barang pun berbondong-bondong ke langit. Ya sembako, ya sandang, ya papan, ya pangan. Semuanya menggila. Yang tidak gila pun ikut uring-uringan. Dan dalam dunia yang pangling seperti ini, semua menjadi panik. Semua mengerang. Apa yang salah? Konon kabarnya, Indonesia punya kolam susu, kata Koes Plus. Tapi, susu itu kini entah ke mana. Kata orang, itu karena BUMN kita sudah diprivatisasi. Atau, liberalisasi migas membuat susu rakyat diambil asing. Dan lain-lain. Sebuah surat kabar lokal menyebutkan harga BBM di Indonesia sangat rendah dibanding negaranegara lain. Itu juga yang menyebabkan terjadinya penyeludupan karena disparitas harga yang terpaut peluang untuk menyeludupkan BBM ke luar negeri. Cuma persoalannya, harga di luar negeri itu berbeda karena perbandingan kurs saja. Bukan
perbandingan nilai. Malaysia misalnya. Harga BBM di sana bisa mencapai angka yang jauh diatas Indonesia Namun jangan lupa. GNPnya jauh berada di atas GNP nasional. Jadi persoalannya bukan soal harga BBM yang murah. Justru logikanya terbalik. Ketika pemerintah mencabut subsidi BBM, maka beban rakyat yang makin berat bertambah berat hingga rakyat mulai bergelimpangan. Sebenarnya logikanya harus dibalik. Naikkan kesejahteraan rakyat, hingga daya beli menjadi kuat, dan BBM menyesuaikan dengan tingkat kesejahteraan rakyat itu sendiri. Tapi ya, namanya juga penguasa. Seenak perut dianya saja. Mau naikin hari ini, so what gitu lho? Jadi, nasi sudah jadi bubur. Rakyat kini mengerang sakit ekonomi yang perih. Maka, menjelang hari-hari yang penuh derita ini, tampaknya rakyat dan pemerintah harus punya strategi untuk mengatasi pertahanan pangan. Paling tidak, ketika barang-barang industri melambung tinggi, rakyat masih bisa makan. Maka, program menggalakan/merevitalisasi pertanian kita menjadi sangat mendesak. Gubernur Sulut sudah memulainya. Sebuah niat baik yang patut kita dukung.Sayang konsepnya masih belum menjawab banyak pertanyaan. Bagaimana kalau over supply? Bagaimana dengan bibit yang bagus. Bagaimana dengan pupuk yang mahal. Bagaimana dengan musim dan struktur tanah. Dan seratus pertanyaan bagaimana yang perlu dijawab segera. Agar rakyat, Tou Minahasa, Tou Sulut bisa terhindar dan selamat di masa-masa sulit ini. Semoga.
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas. Penanggungjawab: Dr. Bert Adriaan Supit. Penasehat: DR Jong Ohoitimur, Pdt. J.R. Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh. L. Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs. E.P. Rumayar SH, Audy Wuisang, Msi, Joppie Worek, Fendy Parengkuan, Beni Matindas. Direktur: Octo Supit. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Octo Supit, Jootje Kawengian, Matulandi Supit SH, Jull Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Fredy Wowor. Koresponden: Kartini Joseph, (Jerman), Denny Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur Pelaksana: Denny Pinontoan, Daniel Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut. Telp/fax 0431 354739, 3300242. Email:
[email protected],
[email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http://icres.tripod.com. Rek.1703817240 BCA KCP. Tomohon.
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
UTAMA
Bertahan Dengan Agrikultur BADAI krisis ekonomi makin menunjukkan tren yang membesar dan dikuatirkan bisa menembus level psikologis di mana kepanikan akan mendorong kapal ekonomi Indonesia ”karam” dalam lautan ekonomi pasar dunia. Ketakutan sejumlah analis yang menempatkan faktor fundamental ekonomi pada titik yang ekstim memang cukup beralasan. Naiknya harga minyak dunia, melemahnya rupiah dan berbagai bencana nasional dari Tsunami sampai Flu Burung, dan berbagai faktor non ekonomi lainnya seperti lemahnya kinerja kabinet Indonesia Bersatu, tampaknya akan menjadi isu besar untuk menandai bahwa pertahanan ekonomi Indonesia semakin rapuh. Belum lagi pembiayaan nasional yang sangat menguras kocek pemerintah sehubungan dengan PILKADA di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pasti, periode ini adalah periode kelam bagi kondisi ekonomi Indonesia. Pada titik yang paling ekstrem melemahnya ekonomi Indonesia akan berdampak pada matinya sektor riil yang jelas memiliki dampak langsung pada daya beli rakyat. Angka kemiskinan secara simultan akan terus bergerak mencapai posisi di mana subsidi langsung, yang digeser dari Subsidi BBM, tidak akan memiliki dampak yang cukup berarti. Fase pengulangan Secara empirik, psikologi pasar akan bereaksi lebih besar ketimbang kondisi yang sebenarnya. Ketidakmatangan pasar kita yang paranoid, hyper real, lagi-lagi sangat berpotensi untuk menggoyang fundamental ekonomi yang jelas sangat rapuh karena dibangun di atas “pasir” sistem ekonomi elitis dan sentralistik. Dampaknya adalah, krisis moneter jilid dua dapat berulang, bahkan polanya akan sangat lebih mudah ketimbang krisis tahun 1997 yang banyak dipengaruhi oleh faktor politik. Artinya, dari tahun 1997 itu Indonesia belum sempat memperbaiki struktur ekonomiyangrapuhituhingga memasuki pada periode 2005 ini ketika variable fundamental seperti harga minyak dunia serta nilai tukar terkoreksi signifikan. Pengulangan pola ini mungkin bisa menjadi hukum alam dalam sebuah fase perubahan dan pematangan. Delapan tahun berjalan dengan 4 kali mengalami pergantian kepemimpinan, barangkali menjadi jejak yang bagus untuk melakukan refleksi bahwa tanpa kekuatan ekonomi yang membumi, fundamental ekonomi Indonesia sangat rapuh dan mudah diterpa badai moneter yang bisa saja dimainkan dalam konteks ekonomi pasar. Seharusnya fase ini adalah masa di mana Pemerintah mulai menyadari bahwa ekonomi kerakyatan adalah prasyarat bagi fundamen ekonomi yang kokoh dalam bangun ekonomi nasional. Hal ini mungkin tidak perlu lagi dibuktikan sebagai sebuah tesis, karena di mana-mana, ekonomi masif (baca: berbasis kerakyatan), mendapat tempat yang mulia bagi perlakuan otoritas moneter di negaranya. Petani disubsidi, dan distribusi diatur selayaknya pasal 33 undang-undang dasar kita. Sementara untuk mengambangkan massive economic seperti
Oleh: Veldy Umbas
ini membutuhkan beberapa prasyarat mutlak yang menjadi charakter bangunan ekonomi sesungguhnya. Misalnya keberpihakan institusi perbankan, mentalitas masyarakat sebagai subjek ekonomi, dan terakhir adalah keberpihakan pemerintah yang harus mendorong kemandirian ekonomi dari pada sekedar menjadi jongos-jongos pemodal asing. Ini tidak harus berarti menentang modal asing, tapi juga tidak berarti membiarkan modal asing semata-mata menggandakan modal dan beria-ria di atas kemelaratan rakyat. Mestinya pada titik tertentu perimbangan ini menjadi equilibrium yang bagus bagi stabilitas ekonomi nasional. Ekonomi Kerakyatan Sehingga penting untuk menganalisa potensi ekonomi nasional yang menjadi karakteristik fundamental ekonomi kita. Ternyata, sektor pertanian, kelautan, dan pariwisata adalah 3 sektor yang paling banyak memberi sumbangan devisa setelah sektor pertambangan dan migas. Sayangnya, tiga sektor ini belum mendapat perhatian utuh dari pengambil kebijakan selama ini. Padahal, 80 persen rakyat dan tanah di Indonesia bergantung pada tiga sektor ini. Hal ini juga dipicu oleh asumsi-asumsi modernisme yang keliru tentang perspektif ekonomi yang salah kapra. Seolaholah sektor pertanian tidak bisa memberi peran besar ekonomi Indonesia, sementara faktanya, rakyat Indonesia berada dalam kondisi agraris. Memang sangat naif melihat perilaku ekonomi kita. Di satu pihak berprilaku agraris, di lain pihak bercita-cita industrialis. Tak heran banyak petani-petani desa yang bekerja keras menyekolahkan anaknya supaya tidak menjadi petani. Asumsi keliru dan sesat ini juga menjadi cara berpikir para elit dan pengambil kebijakan di Indonesia yang menganaktirikan sektor pertanian. Setelah terbukti, krisis 98 menyisahkan petani dan nelayan yang bertahan, maka Pemerintah tampaknya sadar betul bahwa, merekalah yang dapat menyelamatkan ekonomi kita bila krisis kembali melanda Indonesia. Sehingga, pola agrikultur dengan pendekatan perdagangan tradisional, dengan marjin profit dari kuantitas, tampaknya harus ditinggalkan. Sebaliknya, pemerintah diharapkan mulai mencari peluang-peluang komoditas lain dengan volume kuantitas yang lebih sedikit (otomatis memperkecil delivery cost) dengan margin profit yang besar. Yang diperlukan hanyalah, agar semua pihak tidak lagi berpikir secara linear, tapi mulai mencari trobosan yang lateral. Semua upaya diberdayakan. Termasuk mencari pasar virgin coconut oil (VCO) yang menjadi produk andalan Sulut. Selain itu, masih banyak lagi yang belum tergarap, seperti vanili, pala, bahkan cengkih yang sampai sekarang tak mampu mendongkrak ekonom daerah. Sejatinya, kalau ekonomi rakyat itu diberdayakan, semua potensi dikembangkan, maka menjelang hari-hari yang sulit, Sulut dapat bertahan dengan karakteristik potensi alamnya, yakni: Agrikultur, Perikanan, dan Pariwisata. Semoga.
Ngaasan- EDISI IV-OKTOBER 2005
UTAMA
BBM yang Membakar TIDAK dinaikan, negara terancam bangkrut. Dinaikan, negara bakal hancur. Itulah nasib republik ini terkait dengan BBM – bahan bakar minyak. Namanya, bahan bakar minyak, sehingga sudah jelas, ia vital. Mulai dari kompor memasak untuk rumah tangga, kendaraan bermotor segala jenis dan merek, kapal laut, pesawat, pabrik-pabrik, dan lain-lain. Dus, jika dia naik, sudah jelas akan berdampak ke berbagai dimensi kehidupan. BBM, adalah bahan bakar, sehingga akhirnya memang membakar jika terjadi sesuatu padanya. Subsidi akhirnya tak menjawab persoalan itu. Subsidi dikurangi dan sebuah program karitatif yang bernama “Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM)” digalakkan. Selama ini APBN terlalu dibebani dengan subsidi untuk BBM. Parahnya lagi, APBN negara ini telah sangat terbelit dengan utang. Ditambah dengan tekanan harga minyak internasional, maka jadilah subsidi dikurangi dari APBN, yang selama ini dijadikan sebagai cara untuk mempertahankan kestabilan harga minyak dalam negeri. Barangkali dengan alasan itulah sehingga Amien Rais, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional mendukung kebijakan pemerintah menaikan BBM. Tapi dia mewanti pemerintah agar harus siap membatalkan kenaikan harga BBM jika hal itu menciptakan kerusuhan sosial yang mengganggu stabilitas politik (Kompas, Rabu, 21 September 2005) Pemerintah memang tak mempunyai cara lain selain membuat PKPS-BBM itu. Jadilah tiga program turunannya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM) dengan total dana yang tersedia Rp 6,271 triliun, Kesehatan dengan dana sebesar Rp3,875 triliun, dan Infrastruktur Pedesaan, yang masing-masing desa akan memperoleh Rp. 250 juta dengan total dana PKPS BBM untuk infrastruktur desa sebesar Rp. 3,342 triliun (jumlah total desa yang bakal mendapatkan dana tersebut adalah 12.834). Negara ini memang lagi terancam bangkrut. Bayangkan saja, utangnya, menurut Menteri Keuangan Jusuf Anwar, sampai Maret 2005 sebesar Rp. 1.282 triliun (Suara Pembaruan, Selasa, 20 September 2005). Utang itu terdiri dalam bentuk valuta asing Rp. 624 triliun dan dalam bentuk rupiah Rp. 658 triliun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 230.000.000 jiwa maka setiap penduduknya mempunyai utang sebesar Rp. 5.570.000. Sementara itu, jumlah rumah tangga miskin di Indonesia yang berhasil didata Badan Pusat Statistik (BPS) hingga saat ini mencapai 13,663 juta lebih. Setelah proses sensus penduduk diselesaikan secara menyeluruh, BPS memperkirakan jumlah rumah tangga miskin di Indonesia bisa mencapai 15,5 juta kepala keluarga. Dari 15,5 juta rumah tangga miskin tersebut, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 62,2 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa (Suara Karya, Sabtu, 17 September 2005).
Oleh Denni Pinontoan
Di awal rencana kenaikan saja, sudah muncul reaksi bahkan gejolak, menentang kenaikan Kelangkaan juga bahkan menjadi fenomena sepaket dengan rencana itu. Pokoknya, belum naik saja, sudah cukup membuat sulit kehidupan rakyat republik ini, apalagi kalau sudah naik. Sulit untuk saling menuding siapa yang salah-siapa yang benar. Sebab, barangkali krisis minyak ini adalah salah satu klimaks dari cerita panjang di baliknya. Tidak usah jauh-jauh, sementara pemerintah dan rakyat pusing kepala memikirkan soal BBM yang membakar itu, eh, para penjahat enak-enakan menyeludupkan minyak keluar negeri. Atau, akhirnya krisis ini kita bisa sebut sebagai akibat dari pertahanan ekonomi kita yang lemah. Rakyat memang miskin, sehingga tidak kuat dengan hal-hal semacam ini. Ini terjadi, karena, antara lain, kebijakan pembangunan yang lebih berpihak kepada kapitalis, korupsi yang sudah sangat parah, juga karena kebijakan yang terlalu top down, dan sentralistik. Akhirnya, marginalisasi, eksploitasi dan diskriminasi marak terjadi. Situasi bernegara yang seperti ini menghasilkan rakyat yang tidak kreatif dan produktif (akibat terlalu banyak program yang sifatnya karitatif seperti PKPSBBM), sehingga akhirnya menjadi tidak kebal dengan krisis. Padahal, kita selalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang kaya dengan sumber daya alam. Lihat saja, karena rakyat kita tidak dikreatifkan sehingga produktif, maka kekayaan alam yang mestinya diolahnya sehingga menghidupinya, hanya menjadi ladang bisnis para kapitalis bangsa lain. Dan, tugas kita sekarang adalah memutuskan proses menyesatkan itu. Habis sudah solusi kita. Tidak banyak yang diharapkan dari PKPS-BBM dengan tiga program turunannya. Bagaimana orang miskin bisa hidup dengan uang Rp. 100.000 perbulan sementara harga sembilan kebutuhan pokok sudah bisa dipastikan akan naik juga. Belum lagi cara pendataan BPS yang belum memuaskan, karena laporan sejumlah media, masih ada keluarga miskin yang hingga kini belum terdata. Dan lebih mengkhawatirkan lagi proses penyalurannya. Masih banyak orang yang belum mau bertobat dari cara-cara yang korup di negara ini. Usulan kita barangkali krisis-krisis semacam ini menjadi semacam pemicu untuk mengintropeksi sistem negara kita. Benar juga kalimat kuno ini, “Berat sama dijinjing, ringan sama dipikul.” Maksudnya, kalau persoalan negara ini sudah sangat berat, mari kita bagi beban itu agar menjadi ringan untuk diatasi. Tapi pertamatama bukan seperti anjuran pemerintah hemat energi sementara teleconference presiden memakan dana kurang lebih sebesar Rp. 1 M. Artinya, baik soal kekayaan alam maupun krisis, mestinya jangan disentralistikkan. Kembalikan urusan-urusan itu ke masing-masing bangsa yang telah bersepakat untuk mendirikan negara ini. Kasihan negara ini sudah kebesaran sehingga sulit untuk dijangkau lagi. Ini sudah pasti terkait dengan sistem negara. Bagaimana?
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
UTAMA
BBM = Buta Boleh Melihat Bukan gagasan, tetapi kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara langsung menguasai tingkalaku manusia...... (max weber, dalam : metafora switchmen) SETELAH kenaikan BBM kita kembali pada pertanyaan susulan “dana konpensasi.” Benarkah dana itu untuk mereka yang real miskin, apa definisi miskin, bagaimana kategori orang miskin, bagaimana dengan mereka yang dulunya berduit kemudian tibatiba jatuh miskin, bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada yang jadi miskin karena ada program konpensasi, bagaimana dengan mereka yang tidak tahu dan sengaja tidak diberi tahu bahwa dana konpensasi sudah diturunkan. Apakah program ini sudah tepat sasaran, adakah metode pengawasan yang ketat dan akurat sehingga kantong dana tidak robek kiri kanan muka belakang. (walau ditambah daftar pertanyaannya di sini, sudah pasti tidak bakal merobah daftar nama penerima dana konpensasi) Sembari nonton para pakar ekonomi dan pakar-pakar yang lain ngobrol di semua media tentang nasib rakyat dan nasib negara, kita coba-coba saja membedah siapa dan apa kebutuhan orang rakyat miskin, sebelum dan pasca naiknya BBM. (pasti ada yang nyengir dan dan ada yang ngedumel ....soch tahu loe ahk...!!!). Di Sulut, sebelum BBM naik saja upah minimum propensi tak pernah beres, dan tidak ada penanganan yang serius dari dinas tenaga untuk menindak perusahan yang menggaji karyawannya dengan upah di bawah UMP. Sekarang BBM sudah naik, variable cost ikut naik, bukan cuma pihak perusahan yang harus menekan cost karena dampak kenaikan harga BBM, karyawan dan buruhpun kena efek langsung dari kebijakan naiknya harga BBM itu. Petani miskin dan buruh tani butuh pupuk, tapi subsidi untuk pupuk sudah dicabut, belum lagi biaya angkut yang sudah berlipat pasca naiknya si BBM itu. Matilah petani miskin dan buruh tani. Petani bukan hanya butuh sekedar pupuk terhadap tanah yang sudah tergantung pupuk sebab bencana revolusi hijau, mereka butuh biaya untuk mengolah tanah, butuh bibit, butuh biaya perawatan tanaman, butuh biaya pasca panen dan pasar untuk produk mereka. Selanjutnya nelayan tangkap dengan armada terbatas di pesisirpesisir pantai Sulawesi, barikade ponton asing sudah menghadang jauh di laut Sulu dan di perairan seputar kepulauan Aru hingga bibir Pacific, kongkalikong aparat polairut dengan pemilik ponton asing membuat nelayan tradisional sampai saat ini cuma mendulang sisa-sisa dari ikan yang datang dari lautan Pasific. Apakah program pengembangan pesisir akan mampu menjawab problem nelayan tradisional, atau apakah 100 ribu kompensasi BBM dapat membekali nelayan tradisional untuk survive? Masih ada segepok persoalan rakyat yang belum diungkap
dalam tulisan ini, dan itu saja yang penulis tahu (padahal masih ada anak-anak terlantar, antrian penganggur menunggu kesempatan kerja yang tak kunjung datang, perempuan rawan sosial, eks napi tapol yang belum mendapat pekerjaan tetap, bekas tsunami, Nias, avian influence, bom Bali, dan bencana lain yang tak terekam media). Dana kompensasi kemudian terlihat sedikit, para pengamat bilang butuh penyesuaian dan perimbangan mengikut biaya kemahalan di tiap-tiap daerah, karena memang di tiap daerah value-nya berbeda. Sekarang, anak kecil sekalipun tahu, kalau dana konpensasi itu sudah membuka ruang berita baru di kampung-kampung ’torang nyanda dapa, dorang dapa, tu sana dapa padahal dia kaya skali doe.’ Dan diprediksi saat ini adalah, sudah terbuka ladang korupsi baru bagi pemain lama dan pemain baru. Apa mau dikata, tapi itulah potret kebijakan yang selama ini diberlakukan tanpa perencanaan yang matang dan tidak bottomup. Dana ini sebenarnya milik siapa? Tiba-tiba pak pos dengan tampang dibikin-bikin mirip santaclaus dan agak marah-marah dengan barisan pengantri kompensasi. Beberapa tahun silam proyek KUT sudah mengajak rakyat rame-rame mengkorupsi dana BLBI, pun lewat proyek KUT dengan platform milyaran rupiah sudah mengajar rakyat pada praktik program tanpa ujungpangkal dan tidak tuntas sampai detik ini. Dana walahualam tersebut saat ini enggan disebut-sebut lagi, issue-nya sudah lewat sich! Tak usah dibilang, mestinya dana kompensasi itu diapain biar bagus, teori kita tak akan merubah kebijakan. Yang pasti, dana kompensasi sudah turun dengan alasan seperti yang dikemukakan Weber dalam metafora switchmen. Ada kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara langsung menguasai. Penimbun BBM mengambil kesempatan dari moment ini, penyalur pending dana di bank dapat lumayan, goso-goso sadiki dapat bagian, Kepala Kantor Statistik Minahasa, Joppy Ticoalu SH mensinyalir bahwa ada data penduduk yang sengaja dimiskinkan untuk urusanbantuantunailangsung,di Tahunaadaboikotdistribusi BBM, di Papua 2 pasca sarjana ikut ngantri dana kompensasi. Lumayanlah, uang cepek buat ngisi pulsa, nomor kita panjang umur dan kita sama-sama ngobrol soal kompensasi. Bahwa, kemarin ada bom kompensasi, dan ada korban kompensasi. Bahwa kemarin ada flu kompensasi dan burung-burung kompensasi. Walau demikian, semoga dana kompensasi boleh berguna bagi petani untuk beli pupuk dan bibit, nelayan boleh melaut lagi, yang kurang ongkos boleh ketambahan sedikit, yang lapar boleh beli makan, dan yang buta boleh melihat. ***
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
Dari Semiloka Gereja-gereja se-Indonesia Bagian Timur dan 60 tahun NKRI di Kakaskasen Tomohon
Mendukung Perjuangan Rakyat Papua & Kebebasan Beragama MEREFLEKSIKAN Indonesia ke 60 tahun serta menyikapi perkembenangan politik nasional, antara lain MoU Helsinki dan Papua, gereja-gereja se-Indonesia Timur, Jumat (16/09/2005) berkumpul dan menyelenggarakan Semiloka di Tomohon. Semiloka yang digagas oleh Sinode AM Gereja-gereja Sulutteng dan yayasan Suara Nurani Tomohon telah menghasilkan sejumlah rumusan dan rekomendasi. Semiloka yang bertempat di Lokon Boutique Resort Kakaskasen Tomohon dihadiri oleh sejumlah perutusan dari gereja-gereja se Indonesia Timur, aktivis, teolog dan pengamat. Antara lain yang hangat dbicarakan adalah persoalan MOU Aceh dan wacana Papua Merdeka serta SKB dua Menteri no70-71 tahun 1969. Dr. Bert Supit Ketua Majelis Pengembalaan SAG Sulutteng juga ketua badan Pengurus Yayasan Nurani Tomohon membeberkan sejumlah data dan informasi yang memperlihatkan keterpurukan Indonesia selama 60 tahun merdeka. “Data-data ini merupakan realitas yang ingin mengatakan kepada kita bahwa Indonesia dengan system kesatuannya telah gagal dalam memperjuangkan cita-citanya di awal kemederkaan bangsa ini. Oleh sebab itu barangkali perlu gereja-gereja mengevaluasinya demi untuk mencapai keaaadilan dan kesejahteraan rakyat.,” kata Dr. Bert berapi-api. Sementara itu, Ketua PGI, Pdt. A. Yewangoe yang juga sebagai pembicara, mengingatkan perlu adanya budaya demokrasi di Indonesia. “Yang ada di Negara kita ini adalah demokrasi yang berdasarkan suara terbanyak. Contoh belum adanya budaya demokrasi adalah pilkada di sejumlah daeerah yang kebanyakan berakhir rusuh,” kata Pdt. Yewangoe dihadapan puluhan peserta. Pdt. Karel Phil Erari, tampil dengan makalahnya yang khusus berbicara tentang penderitaan rakyat Papua. Menurutnya, perjuangan rakyat Papua yang terutama adalah soal keadilan dan kesejahteraan. “Meski otonomi khusus telah dijalankan sekitar empat tahun tidak pernah terlaksana dengan baik. Oleh rakyat di sana tetap dalam perjuangannya. Gereja-gereja di Papua juga mendukung perjuangan rakyatnya. Diharapkan juga dukungan dari
gereja-gereja yang ada di Indonesia bagian timur ini,” jelas Pdt. Erari. Semiloka ini kemudian merumuskan beberapa pernyataan dan rekomendasi berikut. Pendahuluan Puji syukur kepada Tuhan atas berkat penyertaannya sehingga Semiloka Gereja-gereja yang diwakili oleh tokoh-tokoh gereja se-Indonesia Timur dapat terlaksana dengan baik dengan menghasilkan beberapa kesepakatan sebagai sikap bersama dan menjadi seruan bersama kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Bahwa, pertemuan ini dilakukan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, yakni di tengah-tengah pergumulan bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai bencana, baik bencana alam seperti Tsunami, bencana ekonomi seperti terpuruknya rupiah dan naiknya harga-harga bahan bakar, bencana sosial lainnya seperti wabah busung lapar, polio, dsb, juga bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh tangan-tangan jahil seperti aksi teror bom yang telah menewaskan ribuan nyawa manusia, kerusuhan Maluku, Papua, Sampit, Poso, dll. Dan yang paling mutakhir adalah penutupan gereja-gereja yang menambah duka panjang penderitaan umat Kristiani di Indonesia yang tidak kunjung usai. Dan oleh karena itulah, maka penting sekali mengkaji lagi beberapa hal penting terkait dengan komitmen rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Masihkah semangat kebersamaan, saling membantu, gotong-royong, tanpa pandang agama, suku, dan ras yang ditunjukan oleh para pendiri bangsa ini mampu membawa Indonesia sebagai negara yang melindungi hak-hak dasar seperti kebebasan beragama? Bukankah radikalisme agama telah menyebabkan persinggungan horizontal agama-agama yang telah mengarah kepada saling menyalahkan dan saling meniadakan. Barangkali ada yang tidak benar dengan cara bernegara seperti yang sedang dipraktekan oleh bangsa ini. Seperti tidak tuntasnya kita membahas model dan sistem bernegara yang baik karena doktrin harga mati NKRI yang dipropagandakan oleh pihak status quo membuat
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
darah manusia menjadi halal dibanding mencari cara/ model penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, humanis, pluralis untuk menempatkan nilai-nilai kemanusian, keadilan dan kebenaran di atas segala bentuk penyelenggaraan negara. Faktanya, MoU Aceh yang menjunjung tinggi hakhak dasar dapat terwujud di Aceh, dan ini merupakan sebuah prestasi demokrasi bagi rakyat Aceh, yang juga selayaknya semangat demokrasi itu diberlakukan sama di seluruh Indonesia, sehingga tidak menimbulkan polemik tentang pemberlakuan khusus bagi daerah tertentu saja. Dan ini telah menunjukkan bahwa bangsa ini tidak memiliki persepsi yang sama tentang demokrasi. Makna demokrasi masih diartikan sempit dalam pengertian suara mayoritas saja. Ini karena paham demokrasi kita yang keliru dengan menafikan nilai-nilai humanis dan pluralis yang dikandung dalam makna demokrasi itu sendiri. Kualitas demokrasi Indonesia mestinya berlandaskan pada kesepahaman hak-hak asasi manusia yang harus didistribusi secara sama di hadapan hukum. Bukan dengan cara yang diskriminatif seperti praktek berbangsa yang selama ini terjadi. Padahal, hakekat nilai-nilai kemanusiaan yang setara, tanpa pembedaan suku, ras, agama dan golongan itu sendiri sudah menjadi kesepakatan internasional dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hasil telaah peradaban yang paling tinggi, bahwa manusia itu adalah makluk yang sangat mulia dan tidak ada alasan yang paling rasional apapun untuk menisbihkan nilai-nilai yang melekat pada dirinya itu. Sehingga, sungguh sangat penting bagi kita Indonesia untuk segera meratifikasi dua konvenan HAM internasional yang intinya adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia yang sudah semestinya diberikan negara Indonesia sebagai negara hukum. Atas dasar pemahaman nilai-nilai asasi itulah, maka tokoh-tokoh gereja se Indonesia timur, dengan segala kesadaran dan keterpanggilan untuk ikut memberikan sumbangsih bagi penyelenggaraan negara yang benar, maka kami memberikan beberapa rekomendasi sebagai seruan bersama yang menjadi landasan sikap dan bertindak kami, sebagai berikut: Rekomendasi
1. Menolak penutupan/pembakaran tempat- tempat ibadah, serta bentuk-bentuk diskriminatif lainnya yang merugikan kehidupan beragama di Indonesia; 2. Mendorong agar terwujudnya undangundang perlindungan hak-hak minoritas, atau diratifikasinya kovenan-kovenan induk hak asasi manusia (HAM), yakni kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB); 3. Mendesak pemerintah untuk mencabut SKB 2 Menteri No.1/BER/MDN-MAG/1969, karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan; 4. Meninjau ulang sistem dan struktur negara Kesatuan yang sentralistik dengan menawarkan Federalisme sebagai solusi bangsa sebagai bentuk yang lebih demokratis. 5. Menyatakan solidaritas atas rakyat Papua untuk mendapatkan hak kedaulatan (the rights of self determination) rakyat Papua. Demikian seruan bersama ini kami sampaikan sebagai bentuk keprihatinan kami atas terpuruknya berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini, untuk kemudian menjadi harapan agar Pemerintah dan rakyat Indonesia secara tulus, jujur, dan beradab mencari jalan keluar yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segala kepentingan kekuasaan. Tuhan, senantiasa memberkati kita semua. Shalom... Tertanda, Pimpinan gereja-gereja seIndonesia Timur: Andreas Yewangoe, Bert A. Supit, Zakaria J Ngelow, Karel Erari, Audy Wuisang, Bibel Tingabonte, Philep Morse Regar, Chritian M. H. Abaa, Ambrosius Makasar, Eldon Matoneng, RH Kawel, Eddy Buke, Yefta Bartho, Nyoman Suanda, Donal Tirukan, Risal T, Pande Papea, J. Diang, AO Rumengan, Deni Tewu, Decky Lolowang, Heman Awom, Jahja Patiro, AE Sinolungan, RAD Siwu, Johan Manampiring, RJ Teleng, Ferdinand Okoseray, JL Posumah, Lisje Sumampow, Clementie Oleng, Fetrisia Alling, Octo Supit, L Lantang, Jan Sumakul, Max Ruindungan, Jootje Kawengian.
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
Misteri “Raibnya” Roh Minahasa di Minahasa Peradaban Bebek, Manusia Kloning & Mental Babu DI zaman global dan universal, ketika para jagoan dunia hanya diakui bertarung dalam kancah kapital dengan roh-roh yang dipelihara, dibesarkan oleh kecerdasan-kecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan; – ekspresi mutakhir yang diklaim sebagai esensi keMinahasa-an justru diwujudkan pada kekuatan otot di Sulawesi Utara. Seolah-olah. Lihatlah parade milisimilisi penuh bangga dan percaya diri merasuk nyaris ke seluruh struktur dan fungsi kemasyarakatan. Peristiwa ini, tentu saja meluncurkan pertanyaan logis: Apa yang “mesti” terjadi pada tahap berikutnya? Perang terbuka dengan kelompok yang memusuhi Minahasa? Ataukah perang antar sesama Minahasa? Ataukah dengan otot, Minahasa siap menindas subordinatsubordinat kultural? Insiden ini, apakah sekadar epigonisme laskar jihad atau FPI (militerisasi iman dalam tahap sekular), atau milisi-kepentingan (premanisme berseragam) buatan parpol, sesungguhnya cuma mencerminkan adanya schizofrenis sosial yang mesti dibereskan oleh etika dan moral sosiologis, kendati bermacam kepentingan telah membungkus rapih misi-misi serta “kecantikan” semu yang dipajang oleh setiap milisi di Indonesia. Tanpa bermaksud mengkisruhkan etalase civil society (baca: kekuasaan sipil) Minahasa, tulisan ini, lebih ditujukan pada refleksi kultural yang telah amat lama kehilangan orientasi – suatu peradaban gemilang yang tinggal sejarah dari nisan-nisan waruga yang senantiasa ragu atas eksistensi kemuliaan martabat – bahkan ekspektasi “peran-paksa” para arwah dalam tatanan modern masyarakat Minahasa oleh para pewaris genetika yang masih tetap bangga namun ragu, gamang, dan ketakutan menapak hari esok. Ringkasnya, merefleksikan produk resmi sebuah kecelakaan sejarah, malapetaka kebudayaan di Minahasa. Apa yang sesungguhnya terjadi ketika pemuda Minahasa memandang “selamat” jika jadi PNS (amtenaar) atau tentara? Apa yang terjadi ketika monokultur pertanian (cengkih dan kelapa) begitu mudah dimanfaatkan tangan-tangan “setan” untuk mengendalikan Minahasa hanya dengan sedikit
Oleh: REVKOTS modifikasi pasar? Apa yang terjadi tatkala pemuda lugu di kampung, 20-30 tahun lalu merantau hingga Amerika, tiba-tiba jadi pengusaha kondang kelas nasional yang hanya bisa ditemui di koran-koran atau televisi? Dalam berbagai diskusi, dengan ketir akhirnya disepakati atau didaulat, bahwa turunan Lumimuut di tanah Minahasa mengalami krisis diskusi (berbeda tanpa harus berperang). Berabad-abad lamanya diskursus dan pembelajaran secara holistik mengacu pada penyeragaman manusia. Instrumen dan sistem kemasyarakatan (pendidikan, ekonomi, agama, sosiologis, dll) dilandasi oleh semangat peradaban bebek yang ujungnya melahirkan behavourisme (mental) babu. Mesin-mesin kloning yang disebut pembangunan, menduplikasi status dan manusia copi-an yang tak punya roh. Karakter kolektivisme yang senantiasa menciptakan “bos” sebagai pemberi nafkah. Suatu sosiologi peran yang kehilangan corak manusiawi!! Emmanuel Kant mengatakan, “Mereka terpukau dengan kilau permata dan berusaha menguasai kilau tersebut, bukan permatanya.” Langit yang Terbatas & Life Skills Barangkali, beberapa fakta di atas secara logis akan mulai menguak selimut misteri kemiskinan Minahasa, karakter gontok-gontokan (baku cungkel), manusia kloning, mental babu, budaya bebek (monokultur), militerisme sipil, dan sarjana bahkan master yang kecerdasannya setara dengan lulusan SLTP yang cerdas, Uniknya, kebanggaan genetika nenek moyang masih membahana pada berbagai dimensi kepemudaan, termasuk orang mabo dan dola orang. Kendati, jelasjelas rasionalisme Minahasa telah lama lenyap tak berbekas dipatuk oleh ayam-ayam tak dikenal. Tragisnya, era hilangnya rasionalitas sosial pada masyarakat kritis, semestinya memasuki pergulatan dan paradigma romantisme, tetapi Minahasa malah masuk dalam kancah militerisasi ideologi, mengimitasi “kilaupermata”, dan tak malu membangga-banggakan sejarah. Hal ini menjelaskan satu-satunya fakta yang enggan diakui dan dibicarakan yakni kefrustrasian sosial yang tak teridentifikasi. Cakrawala yang kian hari kian sempit adalah langit yang terbatas! Hanya ada satu jalan membebaskan diri bagi individu-individu yaitu keluar
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
dari atmosfir itu, sebagaimana juga dilakukan orangorang Satal datang Manado walau hanya untuk jadi tukang pikul, kacung, dan PRT. Menjadi pertanyaan, mengapa bukan atmosfir itu yang diubah? Mengapa langit Minahasa yang terbatas itu tak didobrak dengan revolusi sosial? Mengapa Minahasa tak mau mencambuk dirinya ketika arwaharwah Tonaas sejati menangis tersedu-sedan di Batu Pinabetengan dan kuburan-kuburan yang “tak” dimuliakan lagi melihat cucu-cucunya frustrasi, kehilangan rasionalitas (akal sehat), menjadi babu dalam sistem-sistem besar, dan memudar makna kehidupannya serta mulai kehilangan sublimasi martabat? Baiklah, kita membuka doktrin paedagogik dengan sudut pandang kecakapan hidup (life skills) untuk mengukur malapetaka kebudayaan Minahasa (broad based education). Apakah anak Minahasa memiliki kecakapan pribadi? Kecakapan untuk mengenal diri sendiri, kecakapan berfikir secara rasional, dan kecakapan untuk tampil dengan kepercayaan diri yang mantap? Bagaimanakah sistem-sistem mengubah anak Minahasa sehingga hanya memandang dirinya secara massif dalam persoalan materi? Bagaimanakah saatsaat dramatis rasionalitas dan critisism dihilangkan oleh seniorisme militer, dogma iman agama (sekuler), serta superioritas pemberi nafkah? Apakah kecakapan sosial Minahasa? Bagaimanakah kemampuan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan memiliki kepedulian serta tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah dimensi ini telah lama kabur oleh mental babu yang ujungnya memudarkan nilai-nilai manusiawi Minahasa – memandang dan menilai manusia Minahasa hanya sekian kilo daging hidup yang tak bermakna, kecuali beranak? Bagaimanakah kecakapan akademik anak Minahasa? Suatu kecakapan untuk merumuskan dan memecahkan masalah yang dihadapi melalui proses berfikir kritis, analitis dan sistematis? Adakah kemampuan untuk melakukan penelitian dan pengamatan, eksplorasi, inovasi dan kreasi melalui pendekatan ilmiah. Adakah pula kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil teknologi untuk mendukung kegiatannya? Justru ketika industrialisasi merajalela,
anak Minahasa telah dan masih saja berkutat pada industri pabrik tela di zaman supra modern ini (L kan pabrik juga?! Hehe 100x). Padahal pada saat bersamaan hasil-hasil kekayaan bumi dan lautnya dipabrikkan di Minahasa oleh investor yang disublimasi. Di Bitung misalnya, puluhan pabrik ikan dibangun oleh orangorang asing dari berbagai negara. Di Minahasa, berbagai perusahaan tambang asing berganti kulitnya mengeksploitasi dan menangguk kekayaan emas bertrilyun-trilyun rupiah bertahun-tahun, sementara anak Minahasa hanya kebagian jadi tukang kepruk saja yang dihonor seperti buruh lazimnya. Bagaimanakah kecakapan vokasional yakni kecakapan yang mencakup bidang ketrampilan profesional tertentu dalam dunia usaha, industri, dan profesionalisme? Pada taraf ini, etos kerja Minahasa harus kita selidiki dan persoalkan. Mengapa dunia kedokteran Minahasa hanya sampai pada tahap mengobati saja (simptomatik)? Tidak mencari dan mencegah penyebab penyakit – mencari vaksin demam berdarah misalnya? Apakah dunia kedokteran telah begitu hebat sehingga dokter-dokter kita kehilangan percaya diri untuk mulai meneliti dan mengembangkan diri dalam protesinya yang aktual (dialektis) dengan persoalan praxis di depan matanya? Mengapa para pengacara kita tak lagi jadi ahli hukum tapi jadi ahli lobi dalam berbagai proses peradilan? Mengapa insinyur-insinyur kita yang katanya cerdas cuma jadi ahli manajemen keuangan ketika menangani proyek? Mengapa peneliti-peneliti kita aktif hanya ketika anggaran “proyek” turun dari negara? Mengapa dunia guru Minahasa kehilangan roh voluntirisme cuma gara-gara birokratisme dan krisis lapangan pekerjaan? Tampaknya, tragedi raibnya roh Minahasa di Minahasa, harus dielaborasi lanjut oleh setiap anak Minahasa. Harus menjadi tugas suci, merupakan bagian dari menegakkan harkat dan martabat Minahasa dalam kancah sosiologi global. Kompleksitas persoalan ke-Minahasa-an tak akan selesai dengan keluh kesah – mengambil posisi bargaining dengan menggelarkan kekuatan otot yang tersisa. Minahasa mesti memelihara roh-roh kecerdasankecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan sebagai ekspresi mutakhir yang memang universal. Dunia global adalah tantangan, bukan musuh yang mesti dihindari dengan bersembunyi di ketiak Lumimuut. Amin. *** revkots/120805*** dedicated to pemuda Adat Minahasa Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS Sambungan
Persatuan Etnik: Minahasa Sebuah Model & Solusi (Selesai) Oleh Matulandi PL Supit
SEMENTARA masyarakatnya terjebak dalam kontroversi/dualisme. Kemudian menyusul kotanisasi/ kabupatenisasi seperti Tomohon, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara yang merupakan hasil penafsiran terhadap UU No.22/99 cenderung merupakan kecemasan sekelompok orang terhadap posisi/jabatan public yang dijabat. Sejalan dengan itu identitas etnik yang relatif hancur dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat oknum tertentu. Semua pertimbangan kritis berdasarkan pengalaman sejarah diabaikan karena keyakinan yang mendalam terhadap kemajuan melalui konsep pembangunan. Sementara rakyat yang terjebak dalam kontroversi/dualisme dijadikan alat untuk tujuan tersebut dan akhirnya dapat diprediksikan kembali dijadikan obyek dari pembangunan yang dimaksud. Krisis identitas dan kontroversi/dualisme sosial maupun ekonomi dari masa kemasa terus berlangsung dan tentu akhirnya adalah hilang/musnahnya etnik – etnik yang tergabung dalam Minahasa. Saat itu Minahasa hanyalah sebuah nama wilayah yang tidak berakar lagi dan didominasi oleh imigran sementara pemiliknya termarjinalisasi dan akhirnya lenyap berganti dengan identitas keturunan. Ketakutan diatas sangat wajar apabila memperhatikan situasi dan kondisi Minahasa dewasa ini. Berdasarkan indicator diatas maka sudah saatnya dipikirkan solusi bagi reintegrasi etnik – etnik dalam keMinahasaan. Persepakatan Watu Pinawetengan dapat dikatakan sudah usang menghadapi dinamika Minahasa karena gagal mempertahankan identitas keMinahasaan pada peristiwa Perang Moraya 1808 – 09 dan bahkan sesudahnya. Tanpa mengurangi darah patriot yang telah tumpah dalam perjalanan keMinahasaan, kini tiba saatnya untuk membuat kesepakatan sosial baru untuk menyelamatkan dan membawa etnik – etnik yang tergabung dalam Minahasa pada keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan cita – cita yang disampaikan leluhur pada persepakatan Watu Pinawetengan. Kita membutuhkan kesepakatan Watu Pinawetengan II setelah melalui perjalanan yang jauh dan hampir – hampir musnah ditelan masa. Eksistensi Minahasa diperhadapkan pada dua hal yang harus disikapi yakni, larut dan pasrah dalam kenyataan atau bangkit dan keluar dari kenyataan itu. Belum terlambat untuk bersikap ketika globalisasi siap
menerkam. Sedikitnya masih ada waktu untuk memprotek wilayah Minahasa sekaligus mempersiapkan segala sesuatunya. Maukah Minahasa bersikap dan mempersiapkan segala sesuatunya menghadapi globalisasi? Mempersiapkan Kader Minahasa Globalisasi yang tidak terbendung akan melibas semuanya yang tidak siap untuk itu. Tou Minahasa yang bermukim di Tanah Minahasa akan turut terlibas apabila tidak mengantisipasinya. Salah satu kegiatan konkrit untuk itu yakni, mempersiapkan kader Minahasa. Kegiatan ini tidak bisa ditunda lagi karena laju ekspansi ekonomi sejajar dengan ekspansi manusia terlihat pada sejumlah investasi dalam skala besar yang dianggap sangat spekulatif telah terjadi di Tanah Minahasa (berbagai property dibangun di atas bidang tanah reklamasi sepanjang Boulevard Manado menyusul pembangunan IHP di Bitung). Persiapan kader Minahasa bermaksud memberi pemahaman jatidiri dan membakar semangat keMinahasaaan TouMinahasa untuk menggalang persatuan menghadapi ancaman terhadap eksistensi Minahasa. Upaya ini lebih tertuju pada salah satu bagian konsolidasi rakyat untuk membangun pemahaman dan kesadaran politik. Mengupas posisi dan status Minahasa dalam berbangsa dan bernegara, memahami jatidiri dan potensi yang dimiliki TouMinahasa. Pemahaman dan kemampuan yang ada disebarluaskan dan disesuaikan dengan kondisi setempat melalui rangkaian diskusi wanua. Dari diskusi dimaksud terjaring kader Minahasa yang paham dan siap untuk bertindak membela dan membangun Minahasa secara parsial (wanua, pakasaan/ etnik) maupun keseluruhan (Minahasa/Nasional). Tersedianya kader dimaksud dapat dianggap sebagai fase awal menuju fase berikutnya yang lebih teknis lagi. Kegiatan ini membutuhkan komitmen yang jelas dan pasti dari semua pihak. Hal itu harus ditunjukkan terutama oleh penyelenggara serta donaturnya yang dalam hal ini TouMinahasa itu sendiri. Pertanyaannya adalah, bersediakah setiap TouMinahasa yang memiliki kompetensi (para cendekia dan penguasa) dan atau finansial (para pengusaha) untuk turut peran secara nyata dalam usaha ini? Atau
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
dilakukan dalam pengertian berinvestasi bagi masa depan Tou dan Tanah Minahasa yang tidak lain bagi kehormatan dan kejayaan anak cucu kita juga. Merajut Potensi Ekonomi Minahasa Modernisasi merambah sendi kehidupan TouMinahasa pasca Perang Moraya merobah cara pandang yang kolektifistik ke individualistik. Secara sistemik mempengaruhi pranata ekonomi yang berujung pada pengasingan tanah (menjual tanah kepada bukan kerabat). Fenomena ini menunjukkan bahwa sebentar lagi TouMinahasa akan punah dalam arti komunitas (terjemahan: “gemeinschaft”) yang tidak memiliki lagi territorial secara genuine. Pemahaman masyarakat (terjemahan:”gesselschaft”) menjadi tepat pada bangunan sosial yang individualistik. Dengan begitu Tanah Minahasa menjadi inklusif / open access bagi siapa saja untuk menguasai dan mengelolanya. Kondisi seperti itu membutuhkan daya saing yang cukup untuk bertahan hidup terutama dari ekspansi bukan TouMinahasa. Untuk itu dibutuhkan daya tahan atas ancaman dimaksud melalui tindakan mempersatukan potensi Minahasa. Proyek tersebut meliputi pemetaan sumberdaya ekonomi termasuk didalamnya kesepakatan antar pelaku ekonomi untuk menggiatkannya. Pemetaan dimaksud misalnya, modal ditingkat Wanua yang tersebar pada kelompok arisan (keluarga, kolom, profesi dan lain sebagainya) dan pundi gereja/mesjid. Selanjutnya disepakati untuk dikelola oleh suatu otoritas yang dibentuk secara bersama ditingkat Wanua. Saat konsolidasi ditingkat Wanua rampung dilanjutkan ditingkat Walak dan Pakasaan/etnik dan akhirnya dibentuk otoritas pengelola ditingkat Minahasa. Untuk maksud tersebut proyek ini dapat disebut sebagai ekonomi berbasis komunitas karena dibangun berdasarkan kesepakatan yang dimulai dari tingkat kelompok hingga satuan pakasaan/etnik. Secara umum proyek ini diasumsikan dapat mengurangi ketergantungan terhadap kemurahan pemerintah pusat terhadap pembangunan didaerah sekaligus membangun rasa memiliki dan percaya diri terhadap potensi yang dimiliki. Minimal asumsi diatas perlu untuk diuji lagi melalui berbagai eksperimen lapangan. Untuk itu dibutuhkan semangat mensinergikan potensi dari seluruh pihak terutama dimulai dari para pihak diWanua – wanua. Pertanyaannya, bersediakah anda untuk memulai kerjasama ini untuk membangun perekonomian Minahasa yang mandiri dan berkelanjutan?
Membangun Ahlak Minahasa Kegagalan rekayasa sosial melalui nation building dinegeri ini berpangkal pada integralisme yang dianut oleh penguasa pada dua rezim terdahulu (Soekarno dan Soeharto). Ambisi penyeragaman yang diyakini dapat membawa rakyat Indonesia pada kemakmuran ternyata berbuah kerusakan ahlak manusia Indonesia. KKN dianggap wajar dalam kehidupan bermasyarakat dan sejajar dengan itu kekuasaan dan kekayaan menjadi tujuan utama setiap insan. TouMinahasa sebagai salah satu bagian dari bangsa Indonesia tidak terkecuali menjadi rusak. Kehormatan dan kejujuran yang merupakan warisan leluhur berubah drastis mengikuti trend nasional. Saling memangsa sesama TouMinahasa terjadi setiap saat dan berproses menghancurkan eksistensi Minahasa. Generasi dan anak – anak kita juga telah terimbas dengan dekadensi ahlak tersebut sehingga menjadi tidak mungkin untuk membangun kembali ahlak karena semuanya telah terinfeksi. Yang pasti kita membutuhkan generasi yang memiliki kehormatan dan kejujuran untuk mempertahankan Minahasa, tetapi bagaimana mempersiapkannya? Proyek Pendidikan Ahlak Minahasa menjadi penting untuk dimulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Hal ini ditempuh melalui jalur pendidikan formal tetapi pendidikan ditengah keluarga yang menentukan pembentukan ahlak dimaksud. Untuk itu proyek kaderisasi TouMinahasa menjadi salah satu kegiatan yang menunjang penetrasi perbaikan ahlak ditengah keluarga. Selain itu peran agama penting untuk membimbing pembentukan ahlak dengan catatan aparatusnya tidak terinfeksi dengan kekuasaan dan kekayaan. Setidaknya empat langkah konkrit yang diterjemahkan dalam proyek Persatuan Minahasa atau Kontrak Sosial Minahasa , Pengkaderan TouMinahasa, Sinergi Potensi Ekonomi Minahasa dan Pembangunan Ahlak Minahasa diasumsikan dapat menjawab permasalahan keMinahasaan dewasa ini. Lebih dan kurangnya berpulang pada kita semua untuk mengisi dan melindungi Minahasa sekarang sampai selama – lamanya. Semoga tawaran di atas dapat menjadi pemicu untuk disempurnakan atau bahkan digugurkan karena tidak relevan dan layak untuk dilaksanakan. Kami menunggu sumbangsih anda dalam berbagai bentuk guna terlaksananya proyek membangun Minahasa yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.-Tabea Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
SIKAP
Bom, Musuh Semua Agama Oleh: Denni Pinontoan BOM meledak, lagi-lagi di Bali. Bulan kejadiannya pun sama, cuma berbeda tanggal dan tahun. Pertama, atau Bali Blast I terjadi 12 Oktober 2002, tepatnya di Legian. Bali Blast II terjadi 1 Oktober 2005 di Raja’s Bar (Kuta Town Square) dan Menenge Cafe serta Nyoman Cafe (Pantai Jimbaran). Meski jumlah berbeda, tapi tetap menelan korban jiwa. Sama-sama sebuah pembunuhan yang keji. Karena itu keji, sehingga harus dikutuk. Kutukan dan makian terdengar di mana-mana. Ramai orang mengaitkan peristiwa berdarah itu dengan gerakan radikalisme Islam. Bisa jadi, tapi perlu diklarifikasi, Islam, menurut para pemikirnya yang moderat dan benar-benar paham tentang Islam, agama ini tidak pernah merestui tindakan yang sebrutal itu, meski para pelakunya berdalih mereka sedang menjalankan syariat agama. Jadi kalau Bali Blast II adalah lanjutan dari Bali Blast I, Merriot dan Kuningan, maka otak dan pelakunya adalah kelompok Islam, bukan Islam dalam pengertian sebagai sebuah sistem kepercayaan kepada Allah yang Maha Pengasih itu. Otak dan pelaku pemboman bisa saja mengaku beragama dan melakukan tindakan itu atas nama agama, tapi sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidak beriman. Ini mirip seperti apa yang disebut oleh Ulil Abshar-Abdalla dalam bukunya Membakar Rumah Tuhan (2000) ketika dia berbicara soal pembakaran gereja yang marak terjadi sepanjang tahun 1997 dan 1997. Menurutnya, pembakaran gereja adalah “manifestasi agama”, bukan “manifestasi iman”. Sebab, menurut Ulil, iman adalah suatu komitmen pribadi yang mendasari suatu keberagamaan, sebagai “tindakan privat.” Bahkan, ini juga tidak bisa disebut akibat dari fanatisme beragama. Pastor Albertus Sujoko, MSC, dosen di STF Seminari Pineleng, ketika tampil sebagai pembicara pada Studi Agama-agama kerjasama Institut Dian/Interfidei Yogyakarta, Fakultas Teologi UKI Tomohon dan STAIN Manado pada awal September lalu di Tomohon memaknai secara lain konsep fanatisme beragama itu. Menurutnya, fanatisme adalah sikap batin dan
keyakinan yang teguh tidak tergoyahkan tentang kebenaran isi iman yang dianut oleh seseorang. Fanatik dalam iman, menurutnya berarti orangnya bersemangat tinggi, konsekuen, tidak kenal kompromi dalam menjalankan ajaran agamanya. Maksudnya, jika kemudian ada orang mengaku beragama tapi dalam tindakannya menghalalkan kekerasan dan lain sebagainya yang membikin orang lain sengsara, maka orang tersebut tidak teguh dalam menjalankan segala ajaran agamanya. Tidak benarbenar beragama. Karena, agama apapun, dalam sistem kepercayaannya, dan orang yang meyakininya disebut beriman, tidak pernah setuju (meski dalam kitab suci masing-masing agama ada teks-teks yang kalau hanya ditafsir secara literel memang memerintahkan kekerasan) dengan tindakantindakan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kelompok. Agar kita tidak bingung, begini penjelasannya: Agama adalah sebagai sistem kepercayaan juga sebagai institusi. Agama sebagai sistem kepercayaan (kepada yang transedental tentunya) berisi tentang segala ajaran, didikan dan kebijaksanaan untuk membebaskan manusia dari ketidaktahuan, kebodohan, ketertindasan dan keterpinggiran. Sumber inspirasinya adalah kitab suci dan tradisi. Sementara agama sebagai institusi telah melembaga, lengkap dengan strukturnya yang barangkali hirarkis yang kemudian konvesional. Perlu diingat, agama sebagai institusi itu pertama-tama tidak hanya dalam pengertian munculnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan lain-lain, melainkan agama yang dalam aktivitas rohani, sosial dan politiknya telah ada di bawah kontrol atau pengawasan suatu aturan main untuk tidak menyimpang dari apa yang telah disepakati bersama. Misalnya dalam Kristen telah ada lembaga-lembaga atau kelompokkelompok yang meski tetap mengaku sebagai Kristen, tapi telah mempunyai aturan main juga doktrinnya sendiri yang saling berbeda. Kalau saya tidak salah ini yang dimaksud oleh Ulil sebagai beragama secara privat dan beragama secara publik.
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
SIKAP
Dalam keadaan itulah sehingga kemudian dalam satu agamapun bisa muncul beragam pendapat atau sikap yang didapat dari sebuah interpretasi berbeda terhadap kitab suci dan tradisi yang sama. Di Kristen misalnya, antara yang evangelikal dan ekumenikal berbeda pendapat soal konsep misi. Kaum evangelikal berpemahaman, bermisi adalah konversi, pertobatan (dibaptis kemudian masuk agama Kristen), lebih ke soal kuantitas. Sementara bagi kaum ekumenikal bermisi adalah untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang bermakna membebaskan segala makhluk ciptaan dari bermacam-macam belenggu penderitaan, lebih ke soal kualitas. Namun mereka membaca satu kitab yang sama. Atau, dalam Islam sendiri, kelompok Islam yang fundamentalis dan radikal memahami jihad sebagai berperang (dengan perjuangan fisik, misalnya pemboman) di jalan Tuhan untuk melawan kekafiran (orang, kelompok atau bangsa yang dituduh kafir). Sementara menurut kelompok Islam yang moderat ber-jihad adalah berperang (atau melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan) melawan hawa nafsu pribadi dan kelompok masyarakat yang menyebabkan penderitaan. Tapi, dua kelompok Islam itu mengaku membacanya dari satu ayat yang sama. Sehingga sekali lagi, meski kemudian pemboman di Bali dan lain-lain itu dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam bahkan berdalih berjuang demi tegaknya syariat Islam, tapi adalah tidak bijaksana bila kemudian kita sebut itu sebagai gerakan sistematis dari agama Islam. Barangkali yang lebih tepat adalah dengan menyebutnya sebagai gerakan dari sebuah kelompok Islam (sekelompok orang yang menafsir Islam menurut caranya sendiri – umum disebut kelompok gerakan radikal Islam). Bom bunuh diri adalah modus operandi yang lazim dilakukan kelompok ini. Para “pengantin”, sebutan untuk pelaku bom bunuh diri, menurut beberapa referensi, biasanya mempunyai latar belakang keagamaan yang “kuat”. Lazimnya, mereka terlebih dahulu melalui proses rekrutmen dan indoktrinasi. Doktrin-doktrin agama yang dihasilkan dari penafsiran kitab suci yang literal, dijadikan semacam spirit atau kekuatan jiwa untuk meledakan
bom di tempat-tempat umum dengan merelakan tubuhnya ikut tercerai-berai bersama pecahan bom. Mereka telah diindoktrinasi bahwa mati bersama bom adalah untuk ibadah melawan kekafiran dan pahalanya besar di sorga. Ledakan bom, adalah upaya teror. Jumlah dan siapa yang korban adalah penting untuk tujuan teror. Agar ketakutan terjadi di manamana. Negara kacau. Dunia internasional, lebih khusus bangsa Barat (sehingga kebanyakan yang menjadi korban dalam ledakan-ledakan bom itu adalah warga asing) bereaksi keras. Teori yang lazim untuk menerangkan gerakan ini adalah sebagai upaya untuk melawan hegemoni bangsa Barat. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa kerusuhan ataupun pemboman yang terjadi di Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Alasannya bahwa agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan kepentingan politik. Tapi pertanyaan kita, kenapa yang disebut-sebut sebagai pelaku atau yang saling berhadap-hadapan adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang keagamaan dengan mengikutsertakan simbol-simbol agama? Saya pikir teori tentang agama sebagai sistem kepercayaan dan institusi tadi sedikit banyak bisa menjawab pertanyaan itu. Maksudnya, kekerasan atas nama agama terjadi ketika agama sebagai sistem kepercayaan yang berisi segala kebaikan itu dilembagakan dan dikonvesionalkan sehingga kemudian menjadi mutlak harus diperjuangkan sedemikian rupa demi tegaknya simbol-simbol yang disebut-sebut oleh kitab suci dan tradisi itu. Agama dalam pengertian sebagai institusi (religion)-lah yang memang benar terlibat dalam persoalan itu, bukan agama sebagai “religiosity”, iman. Kita semua tahu, bahwa bom tidak beragama, sehingga mestinya dia adalah musuh semua agama. Bom juga tidak beriman, sehingga hanya orang tidak berimanlah yang sengaja meledakannya untuk suatu pembinasaan. Nanti, hanya ada dua tempat di seberang sana, surga dan neraka. Di surga menurut cerita agama, ada kedamaian dan ketenangan. Tapi di neraka ada apinya yang sangat, sangat panas. Di sanalah tempat yang cocok bagi para pembom untuk melanjutkan ritualnya itu.***
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
AKSI
Tak Benar Minya Kelapa Penyebab Kolestrol Lebih kurang 15 Tahun silam petani, pengelola minyak kelapa dan konsumen di Minahasa, tiba-tiba dikejutkan oleh berita tentang minyak kelapa olahan mereka atau homeindustry mengandunglemakyangdapatmembahayakankesehatan konsumen, inpact dari berita itu kemudian sangat berpengaruh langsung bagi masyarakat luas, alhasil minyak kelapa yang laris dipasaran adalah produk BIMOLI DR. BRUCE FIFE, yang dijuluki doktor coconut asal Colorado AS merupakan pioner dalam riset tentang khasiat minyak kepala. Bruce yang adalah ahli naturopati. menyatakan tidak benar minyak kelapa penyebab kolesteroltinggidanpenyakitjantung, Hasilstudipadamasyarakatdikepulauan Pasifik yang sehari-hari mengkonsumsi minyak kelapa sebagai diet utama menunjukan , penduduk di sana justru memiliki tingkat kesehatan lebih baik. Pelindung Jantung Usut punya usut, rahasia kesehatan penduduk Pulau Pukapuka dan Pulau Tokelau justru terletak pada konsumsi lemak dari minyak kelapa. Kenyataan itu didukung oleh hasil penelitan ilmiah. Minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh rantai sedang (medium-chaid fatty acids), mencapai 92 %, langsung dirubah menjadi ENERGI bukan lemak! Jadi dengan mengonsumsi kelapa termasuk minyak dan santan tidak menyebabkan masalah kegemukan, pun peningkatan kolesterol
jahat(LDL),Sebaliknyaminyakkelapamendorongpeningkatankolesterol baik (HDL) yang berperan sebagai pelindung jantung. Tahun 1960-an Prof. Dr. John Kabara dari Dept. of Chemistry andPhatology, MichiganStateUniversity, menemukanasamlauratpada minyakkelapa,yangterbuktimempumembunuhberbagaijenismikroba yang membram selnya berupa asam lemak, seperti influensa, hingga hepatitis dan HIV-AIDS. Seorang pasien Dr. John penderita penyakit leverselamabertahun-tahunSEMBUHsetelahmengkonsumsiminyak kelapa selama enam bulan Juga penelitian terbaru pun menunjukan minyak kelapa efektif menekan laju pertumbuhan sel kanker Wajar, bila Food and Assocition di Amerika Serikat menyebutkan minyakkelapasebagaiminyaktersehatdanteramandidunia.Ketakutan akandampakpemanasandapatdiredamdenganditemukannyametode pembuatan minyak tanpa pemanasan: metode pemancingan, enzim dan teknik sentrifugal; hasilnya Virgin Coconut Oil (VCO), namun demikian pada proses pemanasan mungkin ada beberapa vitamin yang hilang, jadi pembuatan minyak kelapa secara tradisional sejak dahulu di Minahasa bukan saja memberi manfaat ekonomis bagi keluaraga, juga bagi kesehatan , mari kembali mengkonsumsi minyak kelapa.(jemmylumintang)
Warga Likupang Timur:
Tolak Rencana PT. MSM Membuang Limbah di Pantai Rinondoran RENCANA PT. Miares Soputan Mining (PT. MSM) untuk membuang limbah B3 ke Pantai Rinondoran mendapat penolakan dari sejumlah warga Kecamatan Likupang Timur yang menggantungkan nasibnya di pantai itu. Jull Takaliuang dan Frets Pieters aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Suara Nurani (YSN) Tomohon pada 27 September lalu telah bertemu dengan warga untuk menfasilitasi gerakan penolakan terhadap rencana PT. MSM tersebut. Menurut kedua aktivis tersebut, rencananya, pada 11 Oktober 2005 di Hotel Paradise Likupang juga akan dilaksanakan pertemuan besar untuk mensosialisasikan dan sharing bersama tentang apa sebenarnya STD itu. Dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah perwakilan dari desadesa yang ada di sekitar pantai itu terungkap kesepakatan untuk menolak rencana PT. MSM yang dinilai mengancam mata pencaharian mereka. David Katang salah satu warga yang hadir dalam pertemuan tersebut menyatakan, sebaiknya dibentuk sebuah wadah masyarakat sebagai alat kekuatan bersama rakyat untuk menolak rencana PT. MSM tersebut. “Ini dimaksudkan agar kita mudah untuk saling berkoordinasi melawan dan menolak pertambangan di Minahasa Utara, sekaligus sebagai wadah untuk mewakili aspirasi rakyat,” ungkapnya. Bahkan dia mengusulkan agar YSN menghadirkan warga Buyat Pante yang kini bermukiman di Desa Duminanga Bolaang Mongondow. “Dengan hadirnya warga Buyat Pante yang telah
menjadi korban PT. Newmont Minahasa Raya itu maka kami akan mendapat pelajaran tentang bahaya limbah akibat penambangan,” katanya mengusulkan. Manus, salah satu warga juga menyatakan penolakannya. Dia meminta agar pemerintah memberikan sikap dan tanggapannya terhadap rencana pembuangan limbah tersebut. “Pemerintah mestinya jangan tinggal diam karena sudah banyak contoh yang bisa kita lihat akibat dari pembuangan limbah di laut,” katanya. Desa-desa yang terancam nasibnya dengan rencana PT. MSM itu adalah Desa Rinondoran, Desa Batu Putih Atas, Desa Kalinaun, Desa Wineru, Desa Batu Putih Bawah, Desa Maen, Desa Lihunu, Desa Pulisan, Desa Marinsow dan Winuri. Pertemuan tersebut akhirnya menyepakati terbentuknya sebuah wadah koordinasi untuk gerakan penolakan yang bernama Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMALTA). Wadah ini bertujuan untuk mengkoordinasi dan menggalang aspirasi warga dalam usaha penolakan juga sebagai alat untuk perjuangan bersama. Terpilih sebagai Koordinator Umum AMALTA Hitsel Kasamu, Wakil Koordinator Tajudin Hema, Bendahara Gotman Makausi, Sekertaris Dina Sasawuhe, dan Wakil Sekretaris Jefta Kabahi. Sementara yang menjadi Koordinator Lapangan untuk Desa Rondor Moses, Desa Batu Putih Atas David Katang, Desa Wineru Alexander Agung, Desa Kalinaun Hard Tinungki, Desa Maen Roy Pitoy dan Desa Lihunu Z. Alia.***
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Ngaasan EDISI III-SEPTEMBER 2005
FOKUS
Kolom Perpustakaan Minahasa, AZR Wenas
Perkawinan di Minahasa Oleh : Jootje Kawengian PENDAHULUAN Sistem pendidikan di Minahasa sebelum mengenal instansi pendidikan seperti sekarang ini baik yang dimulaikan dari Taman Kanak-kanak sampai ke Perguruan Tinggi, masyarakat Minahasa memang telah mengenal 3 ( tiga) tahapan sebelum seseorang atau lebih dari satu orang mengambil keputusan pribadi atau lebih dari satu pribadi untuk hidup secara mandiri. I. P a t u r u a n (asal kaata: t u r u ) yang artinya “menunjukkan,” “membimbing,” “mendampingi” seseorang sebelum melakukan sesuatu pekerjaan, yang maksudnya ada yang menunjukkan, ada yang membimbing, ada yang mendampingi. Sehingga ketika terjadi kekeliruan, kekurangan atau kesalahan, langsung diberitahukan untuk diperbaiki atau diulangi. Di sini peran pembimbing, pendamping sangat menentukan berhasilnya seseorang yang dibimbing atau didampingi. Biasanya peran ini ada pada orang tua baik mama ataupun papa. II. Pawowasan (asal kata : wowas) yang artinya “sudah mulai dilatih.” Peran pembimbing atau pendamping di sini tinggal memperhatikannya. Jikalau yang sementara dilatih ini datang kepada pembimbing sebelum dia melakukan pekerjaannya, maka spontan si pembimbing mengatakan, belum dikerjakan sudah datang bertanya, lakukan dulu pekerjaan yang mau dikerjakan, baru kita bicara. III. Tumampas ( asal kata : Tampas ) artinya dalam bahasa malayu Manado, “basandiri jo,” “beking malo”, “so kaweng masih tinggal deng orang tua.” Pada tahapan ketiga inilah pengumpulan buku-buku, naskahnaskah, ceritera-ceritera tentang perkawinan di Minahasa, di buka! Pesta Perkawinan Menghadiri sebuah pesta perkawinan pada sekarang ini artinya sesudah ibadah pemberkatan nikah di gereja kepada kita disuguhkan rangkaian prosesi yang kadang-kadang mewah apalagi jikalau dilakukan di hotel atau restoran atau nampak sederhana tetapi mempesona meskipun pelaksanaannya dilakukan di “sabuah” dengan dekorasi daun-daunan dan bunga-bunga segar. Memang banyak hal yang nampak sama antara lain, pakaian pengantin yang diambil dari budaya Barat, ada anak-anak yang membawa keranjang yang berisi guntingan kertas warna-warni untuk “ambor bunga”, ada para muda mudi berpasang-pasangan yang disapa pagar ayu dan pagar bagus(?), ada kue – pengantin, ada pidato-pidato dan sudah tentu ada makan minum sebagai puncak ramah tamah pesta pernikahan.
Kata orang, beginilah perkawinan di tanah Minahasa, orang Minahasa berpakaian Eropah, berpesta ria. Tidak heran kata-kata dalam bahasa Minahasa yang berceritera tentang perkawinan di Minahasa, antara lain : waluk, lumales , lumema, tumantu,kumewit,mewatarendem,Sumarutarendem,masominta,antaran, mehe aroro, mehe roko, dll, dianggap memperlambat rencana dua orang insan yang so baku sayang untuk segera kaweng atau menikah. Pada hal keindahan, keanggunan apalagi adat dan budaya perkawinan masyarakat Minahasa yang sangat sarat dengan nilainilai luhur yang didalamnya terkemas secara rapih, saling mencintai, saling menghormati, saling menerima, yang bukan saja antara dua orang yang sudah menikah tetapi juga antar orang tua kedua belah pihak termasuk famili. Oleh sebab itu untuk menata sebuah perkawinan di Minahasa, memerlukan begitu banyak pihak baik di lingkungan keluarga pihak laki-laki dan pihak perempuan maupun meminta bantuan dari mereka yang mengerti urusan-urusan perkawinan. Dalam buku dari E.V.ADAM berjudul KESUSASTERAAN KEBUDAYAAN dan TJERITERA-TJERITERA PENINGGALAN MINAHASA pada halaman 14 menulis: Lazim pada zaman itu, bahwa apabila ada perkawinan, maka keluarga dari mempelai-mempelai membantu keluarga yang akan membuat peralatan perkawinan.. Juga pun menjadi adab bahwa bukan saja keluarga mempelai yang membantu dan menunjang, tetapiseisinegeridatangmenolong,masing-masingmembawabahanbahan seperti: ayam, telur, beras, dll. Sekarang bagaimana dengan suasana pesta. Dalam buku yang samapadahalaman15,bahwasementaramakanminum,tamuntouan memberikan nasehat dan petunjuk tentangan peternakan.Runtuwarouw memberi nasehat tentangan pekerjaan memhambur padi. Runtunuman (Ratunuman) memberi petunjuk tentangan penyelenggaraan perkebunan. Kairupan memberikan pelajaranmenangkapikandenganpancing.Tambuwunmemberikan pelajaran membuat belati. Tumalun tentang perburuan di hutan Tombarian memberi pelajaran membuat pakaian. Maulang tentanganmemintalbenangdarikulitkayu.Porongmemberipelajaran membuat cepiau. Walean tentang mendirikan rumah dan Tambaran memberikan nasehat tentangan membuat dinding. Dan sekarang ini, Jessy Wenas dengan Yayasan Kebudayaan Minahasa telah memulaikan sejak tahun 1986 PAGELARAN UPACARA PERKAWINAN ADAT MINAHASA. Siapa menyusul? Atau apakah ada usul kongkrit ?
MAKATANA
(Diambil Dari Tontemboansche Teksten Karya: J. ALB. T. Schwarz hal 219)
Kukua an Doro’ I Soputan, Sinisil I Wunuwus Mondow, Walian an Talikurang, Tompaso’ AITONDEI ing kukua e mangaapo’, sapakìm ìsa ìsa a se anak i Lumimu’ut wo si To’ar ja makangaran Marìndor; sia ningaranan Marìndor, am pa’pa siaairu’du’ I Inang wo si Amangamico mìbale am paantangan i ìndo. A micoko ambi’itu sia, ya si masale’em tumana kumaapa tumowa’ ìsa pìnana’an; ngaran I wewenetinowa’na: Lincabene’. An darìm im pamaleaneila in dua ya seila nimakaere pira-pira anak, si ìsa makangaran Soputan, si ìsa makangaran Muntu-untu, wo pirwpirw m balina. Makawangko’om-a’I si Soputan akad in doro’nam n tumane, ya numuwu’um si marìndor wo si Lincambene’ a si Soputan, kuaeila: ,,E soputan, karìngana ko ya tumanem, kumaapa tumowa’am ìsa wewene mamuali pìnana’anu, ta’an da’ica si sei n towa’anu, karìngan mokokì-mai si ìsamangala’un, anak I Karende wo si Kìmbuambene’ mì’bale a moko an du’u in tana’ a mongena, ì ngaran I mangala’un, itu sawumbene’.” Si nuwu’un itu ya sinepa I Soputan karapi in ata sama’ wo rondor, wo sia numuwu’, kuana: Sama’ e Inang wo Amangku.” An somoi-a;i itu ya maya’am seila I mì’amang wo mì’inang kara-karapi e pira-pira tow maali-ali in irang. Icatìka’ tu’umoko seila im baya, ya si Marìndor numuwu’ a si Karende, kuana: ,,E kaloku, sapakìm ìm bawaya’-mai in tarepe’ iasa an dior e kolu in ambalesa y ì a ma’i mangila’ sa wo’o ro’na icasale’miow si aneka’i makangaran Soputan muei
si anakiow makangaran Sawumbene’ mamuali pìnana’ana.” Sumowat si Karende, kuana: Sama’ nimakasama-sama’, ta’am bueiìnoka a si Sawumbene’ sa sia masale’ kaapa raica’. Awoya wueiìnìm tu’u i Karende si Saumbene’, kuana : ,,E Sawumbene’, masale’, ko towa’an I soputan mamuali pìnana’ana?” Somowat si Sawumbene’, kuana: ,,Sama’, e Amangku Sapakìm aku ya masale’ towa’an wo mamuali pìnana’an I Soputan.” Ilampatìm I karende a si marìndor, kuana: ,,Sapakìm si sawumbene’ ya masale’ mamuali pìnana’an I Soputan.” Siituke’ ì nilinya. I Marendor, ya sia tumurukìm in iirang, wo karapi I mìpìle’I seila in dua ngatowan kumi’it ing kanaramìn e tontumuwu’ ì ma’tane se anakeila. Awoya I nimakuwu-kawusìm ìm pìpìli’ineila, ya towa’anìm I Soputan si Sawumbene’ wo maya’ karakarapi I Inange wo si Amanga micom am baleeila. Yanta’an mìmaya-maya’oka seila, ya icatìka’-mange a si ìsa kuntun darangka’an. Ambi’ituoka seila, ya numuwu’ si Marìndor a si Soputan, kuana: ,,E Soputan, karìngana kamo in ambalesa ya mìnto’ wo mìbale am puruk I kuntung iasa.” Ngarananìm I marìndor si kuntung itu, ,,Soputan “, aitondei I ngran I Soputan. Ang wo si Marìndor tuma’ar a si Soputan, kuana: ,, E Soputn, Karìngana ko e mangere-mange tawoien,wo itu komo ya ra’ica ma’ki’i-ki’it im bìlìn ase rìnga-rìnganiow.” Awoya maya’am tu’u si Marìndorwo si Lincambene, itìlì’uìm-io’ eila ambi’itu se Soputan in Ambalesa.
PALAKAT Yayasan Suara Nurani, bekerja sama dengan Majelis Adat Minahasa, Persatuan Minahasa, dan ICRES, bakal menggelar pelatihan kader budaya Minahasa yang sedianya dilakukan pada pertengahan bulan oktober. Peserta yang akan hadir diharapkan berjumlah 30 orang dari sub etnis-sub etnis yang ada di Minahasa. Karena itu, kami mengarapkan kepada saudara yang ingin mengikuti pelatihan kader dapat menghubungi saudara Matulandi Supit, Sekjen MAM, di sekretariat
MAM, Kakaskasen III Tomohon. Pelatihan ini akan berlangsung selama tiga hari, dengan menghadirkan narasumber dan fasilitator yang berkompeten dibidangnya. Pelatihan kader ini gratis dan akan mendapatkan sertifikat budaya serta diharapkan menjadi bagian dari perjuangan kultural Tou Minahasa. Mari kita wujudkan Minahasa yang berbudaya dan berdaya saing demi masa depan yang gemilang. Makapulu Sama.
Ngaasan Edisi IV-Oktober 2005
FEATURE
“Airmata” di Mata Air Lihunu oleh: Frets Pieter MALAM mulai larut. Cahaya lampu rumah yang sedikit redup karena voltage generator PLN yang lemah, tak mengurungkan niat sejumlah warga desa Lihunu Kecamatan Likupang Timur Minahasa Utara duduk berkelompok. Sepintas tampak mereka sedang bercakap dan mendiskusikan sesuatu. Barangkali tentang nasib hidupnya yang memprihatinkan. Setelah dilihat dari jarak dekat, ternyata perkiraan kita meleset. Kelompok warga yang terdiri dari anak-anak, pemuda, orang tua bahkan oma dan opa itu ternyata sedang antri untuk menimbah air dari pipa intalasi air desa. Tak peduli dengan berbagai binatang malam dan nyamuk yang beterbangan dan mengiang-ngiang di sekitar telinga mereka. Mereka semakin asyik menikmati ramainya berkumpul bersama di malam yang seharusnya menjadi jam istirahat dan tidur bagi mereka, karena besoknya juga mereka har us berkelahi dengan waktu untuk kerja mencari nafkah di kebun dan di laut. Nampaknya masyarakat Lihunu tidak hanya kesulitan BMM tetapi mereka juga kesulitan untuk mendapatkan air minum dan masak, sehingga harus memiliki tenaga dan stamina ekstra untuk bergadang di malam hari menunggu rembesan dan tetesan air yang mengalir dari pipa intalasi air desa. Mereka tidak hanya berkelahi dengan waktu di siang hari tetapi juga dengan gelap dan dingin malam. Apa boleh buat, air bersih langkah di desa itu. Di balik kenikmatan berkumpul bersama ternyata ada duka dan penderitaan yang sementara dan sedang mereka rasakan dan alami saat itu. Dengan berharap-harap cemas mereka menunggu air menetes sedikit demi sedikit di berbagai wadah itu. Memperihatinkan air yang mereka tunggu-tunggu itu, tetesannya hanya sebesar pangkal sapu lidi. Barangkali kalau dihitung jumlah debit air yang menetes kira-kira 1 liter/menit. Ini adalah jumlah debit air yang sangat kurang dari yang dilihat selama ini. Sesekali terdengar sungutan dari ibu-ibu.”Kalo kwa tu utang diatas gunung tu orang –orang biadab itu nyanda pancuri deng potong abis torang stou nyanda mo
siksa jaga aer bagini” (Kalau saja hutan diatas gunung tidak dibabat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mungkin kita tidak semenderita ini untuk menunggu) gerutu sejumlah perempuan. Sebagai sumber kehidupan air memegang peranan yang vital dalam menyokong kehidupan makluk hidup. Untuk minum, masak, cuci, mandi, dan lain sebagainya. Manusia, hewan dan tumbuhan tidak akan bisa survive kalau tidak disegarkan dengan air. Apapun alasannya air adalah hidup, manusia misalnya 75 % tubuhnya terdiri dari air dan sisanya adalah oksigen dan nitrogen. Karena sumber-sumber air perlu mendapat perhatian khusus dari pihak pihak terkait dan bahkan pihak penegak hukum. Malapetaka yang dialami oleh masyarakat desa Lihunu ini sebenarnya berawal dari merosotnya hutan di atas gunung Lihunu yang dibabat oleh para pelaku illegal logging (penebangan liar) yang penanganannya kurang diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Malahan niat baik dari pemerintah dan masyarakat desa Lihunu untuk mencegah para pelaku illegal loging tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian setempat. Pemerintah dan masyarakat desa Lihunu malahan mendapat intimidasi dari aparat Polsek Likupang. Dan yang lebih memprihantinkan adalah dibiarkannya para pelaku berkeliaran melakukan aktivitasnya di hutan. Padahal kasus Illegal logging ini dikategorikan sebagai kegiatan perusakan lingkungan sebagaimana yang diatur UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pelakunya bisa di pidana, dengan melihat fakta yang ada dimana telah terjadi penurunan kualitas lingkungan. Salah satu indikasinya adalah air yang dulunya melimpah dan tidak sulit untuk didapat walaupun pada musim kemarau, kini semakin sulit untuk didapatkan oleh warga, area tangkapan air hujan yang sudah sangat menipis. Air yang langkah itu tentunya sangat mempengaruhi roda perekonomian warga Lihunu. Kesejahteraan yang didamba, pasti akan lebih menjauh. Sementara, para pelaku illegal logging dan aparat yang mem-backup-nya berleha-leha dengan keuntungan dari hutan yang mestinya berfungsi sebagai tangkapan air.
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
SIKAP
(Dari Roundtable Discussion 60 tahun NKRI)
Kemerdekaan Indonesia Dipertanyakan KEMERDEKAAN Indonesia ternyata tidak hanya soal bebas dari bangsa penjajah tapi juga soal kesejahteraan, kebebasan dan hak asasi manusia. Demikian antara lain yang mengemuka dalam round table discussion “Refleksi enampuluh taon Merdeka, delapan taon REFORMASI bergulir Mempertanyakan komitmen bernegara dalam bingkai NKRI” yang digelar Yayasan Suara Nurani Tomohon di Sahid Teling Manado 22 Agustus 2005. Para peserta yang terdiri dari aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan pengamat, kebanyakan mengungkapkan bahwa dari segi proses pembangunan yang telah berjalan 60 tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Malah, hari-hari kelam telah menjadi memori pahit atas perjalanan sejarah rakyat Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa. Seperti itu pula, rakyat mengalami hari-hari hitam atas interrelationship rakyat, atau penyelenggara pemerintah yang sungguh telah mengabaikan hakekat rakyat sebagai warga Negara yang hak-hak dasarnya mestinya dilindungi oleh Negara. Darah masih bececeran di mana-mana, scenario peminggiran rakyat dan penegasian hak-hak sipil kian kentara. Pada saat yang sama, hancurnya identitas kolektif kebangsaan telah pula menyebabkan radikalisme identitas kelompok dengan kepentingan sepihak. Radikalisasi kepentingan kelompok telah pula menggeser kesepakatan besar bangsa diawal kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan oleh seluruh anak bangsa, tanpa peduli latar belakang suku, agama, ras atau kelompok; Semuanya terpanggil, dengan semangat patriotisme yang tinggi, menentang kolonialisme, menentang ketidakadilan, menentang kesewenangan dan bahkan menentang kepentingan tertentu, seraya menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia: “Dari Timur Sampai Ke Barat”. Menjelang peringatan hari MERDEKA, kembali renungan kontemplatif atas makna bernegara menjadi problem serius yang harus disikapi bersama. Sejumlah pertanyaan tentang sejarah yang diputarbalikkan demi kepentingan rezim masih
mengangah tanpa jawaban, lalu penjegal hak dasar kemerdekaan masih berkeliaran dalam sistem negara dan jutaan rakyat dihentar ke neraka disintegrasi, pula media yang memberitakan kedegilan itu seolah kebenaran. Enampuluh taon Indonesia sedari tujuhbelasdelapanempatlima harus menjadi momen bagi semua, utamanya rakyat di Sulawesi Utara yang dalam banyak hal masih mengalami keterpurukan untuk memikirkan, merumuskan kemudian menjadi sumbangsih gagasan terhadap penyelenggara negara atas model penyelenggaraan pemerintahan yang salah urus. Kedaulatan rakyat yang telah berhasil diperjuangkan pada perang revolusi kemerdekaan seharusnya menjadi spirit bagi rakyat Indonesia, untuk kembali berjuang melawan musuh laten, yaitu ketidakadilan dan kesewenangan dalam wujud barunya seperti KKN, Birokrasi yang tidak melayani rakyat, serta kebijakan pemerintah yang selalu merugikan rakyat daerah. Dr. Bert Supit, Ketua Badan Pengurus YSN Tomohon, ketika berbicara mengungkapkan sejumlah fakta yang katanya meng gugat kemerdekaan Indonesia. “Fakta-fakta itu ingin mengatakan pada kita, bahwa Indonesia dengan sistem negara kesatuannya telah gagal membawa rakyatnya kepada cita-cita kemerdekaan yaitu sejahtera adil dan makmur,” kata dr. Bert semangat. Seharusnya, enam puluh tahun itu menjadi cermin pantul bagi bangsa Indonesia dan bangsa Minahasa khususnya untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, demokratis, dan manusiawi. Sejatinya, pelajaran berharga itu tidak sekedar menjadi catatan-catatan sejarah semata, tapi justru akan menjadi tolok ukur dinamika peradaban bangsa Indonesia ke depan. Acara yang dimoderatori oleh Sandra Rondonuwu, STh, SH ini juga membahas kemungkinan untuk mencari sistem bernegara yang lain. Drs. Edison Rumajar, SH, mengatakan, penyebab dari berbagai persoalan bernegara di Indonesia adalah sistem negaranya. Alternatifnya adalah sistem negara federal. (deni)
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
LASTe
Menjinakkan Bom Batin Oleh Veldy Umbas AIR mata batin ibu pertiwi masih menetes tak henti. Ia ogah berhenti mengalir karena hatinya sedih terus. Tak selesai konflik, bencana alam tiba. Belum habis flu burung, BBM sudah naik. Semua alamat penderitaan yang makin menyengsarakan. Konon, sebegitu sengsaranya rakyat kita, sehingga kadang-kadang kesengsaraan itu sudah menjadi kenikmatan sendiri bagi rakyat kita. Begitu satir yang sangat ironis dan miris. Padahal, negara kita konon kaya raya. Minyak kita punya. Tanahnya subur, pemandangannya elok permai. Laut apalagi. Saking kayanya laut kita, sampai-sampai negara-negara tetangga r utin mencuri kekayaan laut kita. Entah apa yang sedang terjadi di negara ini. Tibatiba hutang luar negeri kita mencapai $152 milyar. Seiring dengan korupsi yang tak tanggung-tanggung, berada pada peringkat terburuk dunia Lalu datanglah era baru perjalanan politik Indonesia. Reformasi bergulir dengan sejumlah beban peradaban yang diembannya. Meski banyak euforia, paling tidak ruang demokrasi, kebebasan berpendapat dan berserikat telah dibuka. Prestasi demokrasi kita yang terakhir adalah demokrasi langsung, baik Pilpres, Legislatif maupun Pilkada, betapapun saran dan kritik kita terhadap penyelenggaraannya yang belum optimal untuk kedaulatan rakyat. Sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) akhirnya terpilih sebagai Presiden pertama yang dipilih langsung. Ia tentu memiliki power yang kuat dan besar yang dipercayakan oleh rakyat untuk mengambil berbagai kebijakan, demi dan hanya untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sayangnya, belakangan ini kebijakan Pak SBY makin membingungkan. Apakah setiap kebijakan yang dipimpinnya menempatkan rakyat sebagai subjek utama berbagai aturan yang diambil? Adalah pertanyaan yang harus ditunda untuk dijawab. Kita masih berharap kebijakannya ini akan benar-benar memberikan rasa keadilan yang lama tercerabut dari rakyat Indonesia.
Rasa keadilan yang hampir-hampir basi, amis, sehingga kita malah ingin membuangnya jauh-jauh. Untung budaya bangsa kita adalah budaya yang santun. Kita tentu masih menempatkan kata damai, toleransi, gotong royong, mapalus, dalam kamus hidup sehari-hari kita. Rakyat Indonesia tidak perlu diajarkan tentang toleransi, saling menghargai, saling menghormati. Yang kita masih harus belajar banyak adalah bagaimana mendistribusikan keadilan itu secara merata dan tidak diskriminatif. Dan untuk itulah, ada kelompok tertentu yang sengaja memanfaatkan problem keadilan sosial itu demi kepentingan politik tertentu dan sesaat. Menjelang hari-hari sulit, bangsa kita diberikan waktu (time break) untuk melakukan perenungan mendalam tentang hidup. Bulan suci Ramadhan bagi umat muslim sudah akan dimulai hari ini, Selasa, (04/10). Adalah momentum untuk merelaksasi semua sendi-sendi dan urat-urat ketegangan sosial, ekonomi dan politik. Saat di mana civil society kita diuji. Apakah, perdamaian, toleransi dan mapalus masih akan terus menjadi nilai yang dimaknai dalam ibadah dan pergaulan sehari-hari kita yang kita agendakan dan perjuangkan. Sehingga batin rakyat Indonesia yang terlalu pengap, sumpek, suntuk, dan sudah terlalu berat dijernihkan lagi, untuk kembali mengkonstruksi sebuah jalinan persaudaraan, perdamaian, untuk menempatkan rasa keadilan dan kesejahteraan sebagai agenda utama, rakyat, agama, ideologi, kepentingan, Pemerintah, Legislatif, Aparat keamanan dan siapa saja. Sekarang inilah saat yang tepat untuk menjinakkan bom batin kita yang hampir meledak. Bukan untuk menjadi diam dan pasrah, tapi memikirkan dan bertindak dengan langkah dan strategi yang lebih elegan untuk menggagas masa depan bangsa kita, lebih baik, lebih berkeadilan, dan lebih mensejahterakan. Selamat memasuki bulan suci Ramadhan dan selamat menjalankan ibadah puasa kepada umat Muslim. Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
LASTe
Politik Energi Temporer Oleh Dr. Bert A. Supit
Bahan Bakar Minyak mungkin sudah menjadi “tuhan” yang terus menerus dicari, dan bahkan atas nama “nya” dunia bisa berperang. INVASI Amerika ke Irak, disebut-sebut sebagai taktik Amerika Serikat untuk menguasai jalur minyak dunia yang memang ketersediaanya makin menurun. Sama seperti perang di Timur tengah yang banyak didasari pada politik kepentingan perminyakan dunia. Dampak yang paling akhir adalah, naiknya harga minyak dunia yang menembus level $70/barel dikarenakan oleh berhentinya sekitar seperempat operasi minyak AS di kawasan teluk Meksiko akibat mengamuknya badai Katrina dan badai Rita. Kondisi global ini diperparah lagi oleh ulah para penimbun dan penyeludup BBM di dalam negeri, yang sama sekali secara sadis dan tidak manusiawi merelahkan rakyat Indonesia kelimpungan demi keuntungan pribadi para mafia penyeludup dan penimbun. Lucunya lagi, Pemerintah Indonesia, terang-terangan membuka kesempatan bagi para mafia minyak ini beroperasi, dengan mengumumkan tanggal kenaikan harga BBM. Logika dagangnya adalah, menimbun diharga yang murah dan menjual diharga ketika menjadi mahal. Juga kebijakan pemerintah yang sok populer. Menetapkan perbedaan harga antara industri dan masyarakat. Jelas saja, di mana ada perbedaan harga, di situ pasti ada profit taking. Lalu, akhir-akhir ini rakyat dibuat kaget. Beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan cadangan minyak dalam negeri tinggal beberapa belas hari lagi. Dan dapat dibayangkan kalau rakyat langsung panik dan pasti terjadi aksi borong yang berimbas pada kelangkaan minyak di pasar. Nasionalis? Padahal,undang-undangdasarkitasudahmengamanatkanbahwa segala sesuatu yang mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai (baca: diatur/dijamin) dengan baik oleh pemerintah. Artinya, bahwa BBM itu sendiri adalah ”kehidupan” dari hajat hidup orang banyak sehingga pengusahaannya haruslah dilakukan dengan sangat serius, terkontrol, dan manusiawi. Pernyataan, Aburizal Bakrie bahwa, uang triliunan rupiah hanya habis dibakar, adalah kalimat bodoh yang keluar dari seorang menteri yangditugaskanrakyatuntukmengupayakanhajathiduporangbanyak. Masakkan ada manusia yang tidak makan kalau tidak dengan membakar (baca: menggunakan) bahan bakar minyak. Iniartinya,masihterjadisalahkaprahterhadappolitikperminyakan di Indonesia. Akibat salah pikir inilah, maka Pemerintah Indonesia menyetujui pengelolaan eksplorasi minyak dan gas di blok Cepu, Jawa Timur, dengan cadangan potensial 2 miliar barel itu kepada Exxon Mobile. Padahal, dalam konsesi awalnya Exxon hanyalah menjadi technicalassistance,kinimenjadipengeloladengankapasitas45%bersamasama dengan Pertamina yang juga mendapatkan 45% dan sisanya yanghanya10%sajauntukPemerintahDaerahitupunmasihdikibuli. Pemerintah pusat akhirnya mengambil jatah 10% milik Pemda itu.
Inipastiakanmerugikannegara,karenasalahsatucadanganminyak nasionalkita,sudahkitaserahkankepadaasing,yangtentuberkepentingan untukmenambahdepositcadanganminyakmereka.Sangatnaifkarena prosesnyakononmelibatkantentarayangberkepentinganagarembargo senjata Amerika Serikat terhadap Indonesia dicabut. Sama halnya dengan politik menaikan BBM yang sudah pasti akan menyengsarakan rakyat, semata-mata untuk memenuhi tuntutan IMF agar menaikan harga BBM. Kembali lagi mental inlander kita menjadi bukti bahwa Indonesia terus menerus hidup dibawah ketiak donor internasional. Padahal pemerintah bisa mengupayakan opsi dari yang paling ekstrim seperti apa yang sudah dilakukan oleh Mexiko, Brazil dan Argentina atau juga dinikmati oleh Nigeria, pemerintah meminta penghapusan sebagian hutang luar negerinya. Atau bisa juga dengan cara yang lebih elegan, pemerintah bisa melakukanpertukaranutang(debtswap).Atauyangpalingterdesakadalah melakukan reschedulling atau debt moratorium (penghentian perlunasan utang). Alternatif Kondisi krisis seperti ini mungkin harus membuka jalan pikir kita bahwa, ketersediaan energi BBM tidaklah abadi. Dan karena itulah mungkinpolitikBBMkitajugaharusmemikirkanbeberapahalberikut: Pertama, Deposit energi kita yang sedikit ini harus sesuai dengan roh undang-undang dasar 1945 pasal 33 tentang hajat hidup orang banyak. Artinya, penguasaan sumber energi ini benar-benar dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin dengan menempatkan rakyat sebagai pengelola sumber energi. Sehingga, liberalisasi minyak dan gas mungkin tidak tepat dalam konteks ini. Apa jadinya kalau sumber energi nasional yang tinggal sedikit dan tidak abadi itu dikuasai oleh asing, yang nota bene orientasinya adalah, profit. Disinilah menjadi sangat relevan pemerintah mencabut UU Nomor 22 Tahun 2001 yang memberi ruang besar bagi asing untuk menguasai sumber hajat hidup orang banyak. Kedua, kterbatasan sumber energi alam seperti bahan bakar minyak yang habis dipakai (unrenewable engergy), harus mendorong semua pihak, (pemerintah dan rakyat) untuk mencari sumber energi alternatif yang renewable energy. Wacana energi baru memang melawan arus, namun dengan kecanggihan teknologi sekarang, kita sudah bisa memikirkan bio diesel, dan bahkan etanol dari pohon Seho, yang sangat potensial untuk menjadi sumber alternatif energi yang dapat diperbaharui. Dengandemikian,mungkinpolitikenergipemerintahanSBYyang mencabut subsidi rakyat (hajat hidup) adalah temporer dan tidak menyelesaikan persoalan harus segera disadari. Apalagi kompensasi BBM hanyalah pemanis semu (hyper real) yang tidak langgeng dan malah hanyalah pemborosan. Sehingga, kita semua berharap agar pemerintah segera mencarikan solusi baru BBM, yang tidak sekedar temporer, sesaat, tapi dapat menjaminkan kelanggengan (sustainability) hidup rakyat Indonesia yang telah menempatkan energi tak ubahnya seperti oksigen yang tanpa itu: mati!!! Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005