Kajian Utama
Sistem Presidensial di Indonesia: Perkembangannya Kini dan Tantangan ke Depan
Abubakar Eby Hara abstract This paper is trying to examine the presidential system, its implementation s and challenges in Indonesia. In democratic countries, the presidential system accompanied by many parties in parliament considered to pose instability and turmoil by the political scientists. This is partly because of the requirement to compromise among the parties in the parliament. This bond is fragile and can change depending on the situation. However, this resulted in weakling of the presidential institutions precisely at a time when Executive authority is required. The relationship between legislative and executive is often rocky and tense, so it is important to know how to manage the conflict between these two branches. The practice of presidential system in Indonesia is not much different from this phenomenon. Therefore it required a comprehensive study in order to this country able to consistently implement the system that it really need.
S
Abubakar Eby Hara Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Jember, Jawa Timur
etelah priode krisis politik karena sistem presidensial yang kurang jelas pada 1998 sampai 2004, Indonesia memasuki masa sistem presidensial yang relatif stabil semasa dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kekisruhan politik karena presiden diangkat kemudian dijatuhkan lagi oleh MPR para masa Presiden Abdurrahman Wahid tahun 19992001, kini bisa diatasi dengan diadopsinya sistem presidensial murni. Pada saat ini presiden Indonesia memiliki legitimasi yang cukup kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Posisinya juga kuat karena ia tidak bisa dijatuhkan dengan alasan politis seperti pada masa awal reformasi. Namun apakah kondisi sistem presidensial yang cukup kondusif ini bisa bertahan untuk 39
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
menopang sistem demokrasi dan kestabilan politik masih memerlukan waktu untuk membuktikannya. Karena dalam banyak teori dan praktek sistem pemerintahan di dunia ketiga, tidak banyak sistem presidensial yang berjalan dengan baik. Menurut Mainwaring ada enam negara saja di dunia yang mempunyai sistem presidensial demokratis terkonsolidasi yang bertahan selama 25 tahun terus menerus yaitu Chile, Kolombia, Kosta Rika, Amerika Serikat (AS), Uruguay dan Venezuela. Sementara negara-negara seperti Colombia, Republik Dominika, Siprus, Brazil, Argentina, Filipina dan Indonesia mengalami pasang surut di bawah junta militer, kudeta dan impeachment dalam menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan pada masa yang sama, hampir 30 negara dengan sistem parlementer demokratis bertahan, terutama di negara-negara bekas jajahan Inggris.1
karena partai yang terfragmentasi dan ketidakmampuan presiden untuk mendapat dukungan luas dalam membuat suatu kebijakan. Konflik antara parlemen dan Presiden sering berakhir dengan deadlock, intervensi militer dan people power. Menurut pandangan para teoritisi politik, konflik antara eksekutif dan legislatif terjadi karena keduanya mempunyai independensi, asal usul, legitimasi dan audience yang berbeda. Karena itu, para teoritisi ini sebenarnya lebih mendukung penerapan sistem parlementer karena sistem ini bisa mengatasi kelemahan instrinsik dalam sistem presidensial. Menurut mereka, kelemahan itu menyangkut kekakuan dalam batasan masa jabatan presiden, jalan buntu hubungan eksekutif-legislatif, konsentrasi kekuasaan pada presiden, instabilitas politik, sistem partai yang lemah, populisme dan patronase politik.2
Kebanyakan sistem presidensial yang stabil memiliki 2 atau 3 partai politik utama. Melalui sistem kepartaian sederhana ini presiden bisa mendapat dukungan yang kuat dari partai pendukungnya di parlemen dalam membuat keputusan politik. Sedangkan sistem presidensial yang multipartai seperti Argentina, Brazil dan Filipina sering mengalami krisis
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, gejala-gejala ini memang ada. Walaupun belum serius, masalahmasalah itu cukup laten untuk jangka panjang. Hubungan antara legislatif dan eksekutif misalnya walaupun tidak sampai pada krisis berkepanjangan seperti pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, sering berada dalam friksi dan ketegangan. Sementara itu sistem kepartaian yang lemah
1
2
Scott Mainwaring and Matthew S. Shugart, ‘Juan Linz, Presidentialism, and Democracy, A Critical Appraisal’, dalam Comparative Politics, Vol. 29, No. 4, July 1997, hal. 455. 40
Jürgen Rüland, ‘Constitutional Debates in the Philippines: From Presidentialism to Parliamentarianism?’ dalam Asian Survey, Vol. 43, No. 3. (May - Jun., 2003), hal. 461.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
dan tidak berdisiplin dalam komitmen koalisi mereka pada eksekutif telah menghalangi efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Persoalan lain adalah populisme yang menekankan pada pentingnya performance dan pembentukan citra daripada tindakan konkrit dan partonase politik yang cukup serius. Melihat potensi yang dapat menghancurkan sistem presidensial ini, paper ini akan membahas lebih lanjut tantangan yang dihadapi sistem presidensial dewasa ini, faktor-faktor yang membuatnya untuk sementara masih berjalan cukup memadai, dan kemungkinan untuk memperkuat sistem itu. Untuk membahas masalahmasalah ini, fokus pertama diberikan pada perdebatan antara pendukung sistem parlementer dengan sistem presidensial. Kemudian didiskusikan perjalanan sistem presidensial dari masa Soeharto, dan diikuti dengan bagian evaluasi sistem presidensial pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagian selanjutnya akan menguraikan beberapa langkah untuk memperkuat berjalannya sistem presidensial dewasa ini.
sidensial.4 Tetapi kadang-kadang ada juga yang menambahkan dengan sistem semi-presidensial karena selain mempunyai presiden yang langsung dipilih rakyat, sistem itu juga mempunyai perdana menteri yang dipilih oleh parlemen atas usul Presiden.5 Sistem presidensial dapat dilihat dari dua ciri utama: pertama, presiden selalu merupakan kepala pemerintahan dan dipilih oleh suara popular atau dalam kasus AS oleh electoral college; dan kedua, masa jabatan presiden dan DPR adalah pasti. Dalam sistem presidensial murni
mereka untuk parlemen dalam pemilu. Pemerintahan dan kabinet yang bisaanya dipimpin oleh seorang PM mendapatkan legitimasi tidak langsung dari rakyat karena dipilih parlemen dan bertanggungjawab ke parlemen. PM dan pemerintahannya dapat dicopot dari jabatannya karena mosi tidak percaya di parlemen. Presiden (atau Raja) dalam sistem ini hanya kepala negara titular. Lihat, Yu-Shan Wu, The ROC’s Semi-Presidentialism at Work: Unstable Compromise, Not Cohabitation’, Issues & Studies, Vol. 36, No. 5, September/October 2000, hal. 5. 4
Dalam sistem Presidensial, Presiden dipilih langsung dalam Pemilu. Ia memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, namun ada mekanisme checks and balances. Lihat ibid., dan Mainwaring and Shugart, op. cit. hal. 449. Lihat juga Scott Mainwaring, ‘Presidentialism in Latin America’, dalam Latin American Research Review, Vol. 25, No. 1, 1990, hal. 157-179. 5
Presidensialisme vs Parlementarianisme Sistem pemerintahan berbagai negara di dunia umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis utama yakni sistem parlementer3 dan sistem pre3
Dalam sistem parlementer, pemilih memilih wakil
Dalam sistem semi-presidensial, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memegang kekuasaan konsitusional yang besar. Namun kemudian Presiden mengusulkan seorang PM untuk berbagi tugas dengannya kepada parlemen. Presiden harus mempertimbangakan mayoritas di parlemen dalam pemilihan itu karena PM bertanggungjawab baik kepada Presiden maupun kepada parlemen. Presiden dan parlemen, dengan demikian mempunyai pengaruh yang besar terhadap PM dan kabinet, dan karena itu sulit menentukan siapa yang paling berkuasa dalam pemerintahan. Lihat Yu-Shan Wu, op. cit., hal. 5. 41
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
presiden memiliki hak untuk mempertahankan menteri-menteri kabinet pilihannya tanpa memandang komposisi keanggotaan dalam DPR.6 Dari ketiga jenis sistem ini para ahli politik berbeda pendapat mana yang lebih bertahan lama, lebih demokratis, dan lebih menjamin stabilitas politik. Tiap-tiap sistem mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa negara yang mengalami krisis dalam sistem parlementernya seperti di Israel, ingin perubahan ke sistem presidensial untuk mempersatukan kembali masyarakatnya.7 Sementara yang mengalami krisis dalam sistem presidensial seperti di Filipina, ingin berubah ke sistem parlementer.8 Seperti akan diuraikan di sini, satu hal yang agaknya disepakati adalah bahwa sistem politik hanya memberikan insentif, menu dan peluang, sementara aktor-aktor politik lah yang memanfaatkan insentif itu dengan berbagai manuver politik sesuai dengan norma budaya, etika politik dan pertimbangan kepentingan politik maing-masing. Sistem pemerintahan presidensial memang mendapat banyak kritik dari
6
Mainwaring and Shugart, op. cit., hal. 449.
7
Avraham Brichta and Yair Zalmanovitch, ‘The Proposals for Presidential Government in Israel: A Case Study in the Possibility of Institutional Transference’, Comparative Politics, Vol. 19, No. 1. (Oct., 1986). 8
Rüland, op. cit.
42
para ahli politik.9 Namun beberapa pakar berhasil menangkis serangan itu dan menyarankan perlunya dipertahankan penerapan sistem presidensial yang telah berjalan di beberapa negara dunia ketiga. 10 Dalam perbandingan berikut akan ditunjukkan beberapa kritik dan perbandingan antara sistem pemerintahan itu yang diadaptasi dari Juan Linz dalam tabel 1. 11 Kritik Linz diatas menjelaskan secara teoritis berbagai potensi yang mungkin akan terjadi dalam berbagai sistem pemerintahan. Secara potensial dari tabel itu terlihat bahwa sistem parlementer memberi peluang bagi stabilitas politik maupun kelanjutan demokrasi yang lebih baik. Menurut statistik memang sistem parlementer lebih bisa bertahan di banyak negara baik yang sedang berkembang maupun yang sudah matang kehidupan politiknya.12 Namun seperti akan diuraikan berikut dalam praktek di dunia ketiga terdapat berbagai persoalan dengan argumen ini.
9
Lihat misalnya kumpulan tulisan dalam Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (eds.), The Crisis of Presidential Democracy: The Latin American Evidence (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1994); dan juga Juan J. Linz, ‘The Perils of Presidentialism,’ Journal of Democracy, 1, Winter 1990. 10
Misalnya Yu-Shan Wu, op. cit., and Mainwaring and Shugart, op. cit. 11
Linz, op. cit.; untuk sistem semi-Presidential disimpulkan dari Yu-Shan Wu, op. cit. 12
Ibid.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tabel 1.: Kritik dan Perbandingan Antara Sistem Pemerintahan
Presidential
Parlementer
Semi-Presidential
Hubungan kelembagaan
Tidak harmonis
Harmonis
Tidak harmonis
Masa jabatan pemerintah
Pasti
Flexible
Pasti
Keterwakilan
Zero-sum game
Power-sharing
Power-sharing
Gaya memerintah
Kurang-kompromis
Kompromis
Kompromis
Kesempatan memerintah
Semua orang
Anggota partai saja
Semua orang
Hubungan Legislatif-Eksekutif Dalam hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif, pada kabinet presidensial secara teoritis disebutkan ada insentif akan terjadi konflik karena Presiden sebagaimana DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dan merasa memiliki legitimasi yang kuat untuk berbicara atas suatu kebijakan. Karena asal usul dan kelangsungan keduanya adalah independen, kedua lembaga ini kurang memiliki mekanisme kelembagaan untuk mendorong kerjasama di antara keduanya. Konstituten mereka berbeda dan mereka juga tidak bergantung satu dengan yang lain. Dalam situasi demikian konflik antara keduanya bisa muncul dan meledak pada satu saat. Sebaliknya dalam sistem parlementer, insentif konflik yang kuat tidak terjadi karena pemerintah yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (PM) dipilih oleh parlemen dan parlemen bisa mengganti PM dengan mosi tidak percaya bila ia dianggap tidak layak lagi memerintah. Dalam sistem semi-Presidensial, potensi
konflik besar kalau Presiden dan PM (juga parlemen) berasal dari partai yang berbeda. Namun dalam praktek politik, bila di banyak negara maju seperti Eropa Barat, sistem parlementer bisa berjalan dengan baik, karena partai yang telah terdisiplin dengan garis ideologi dan program yang jelas, lain halnya dengan di dunia ketiga. Dalam sistem parlementer, kemungkinan pemerintahan bisa digantikan justru merupakan insentif untuk menggoyang pemerintahan terus menerus, dan untuk menggalang kemungkinan koalisi pemerintahan baru. Di negara-negara yang baru menerapkan sistem demokrasi, sistem parlementer sangat rapuh dan penuh intrik dan konflik yang menyebabkan pemerintahan jatuh bangun. Kasus yang dapat dilihat di sini adalah di Thailand, Pakistan, Indonesia di masa demokrasi parlementer dan Bangladesh belakangan ini dimana konflik dalam parlemen telah melahirkan deadlock yang bahkan menyebabkan terjadi kudeta seperti di Thailand semasa PM Thaksin Sinawatra dan konflik ber-
43
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
darah. Demikian juga, pada sistem semi-presidential, hubungan antara parlemen dan pemerintah berpotensi konflik, karena Presiden yang menunjuk PM biasanya belum tentu disetujui oleh parlemen atau pun kalau disetujui, berbagai kebijakan PM bisa menjadi sasaran kritik anggota parlemen. Jadi di sini dalam hal potensi konflik yang menyangkut hubungan antar lembaga eksekutif dan legislatif, ketiga sistem mempunyai probabilitas konflik yang sama. Semuanya tergantung pada komposisi anggota parlemen, apakah berasal dari Partai yang sama dengan Presiden untuk sistem Presidensial dan Semi-Presidensial. Bila mereka berasal dari partai yang sama, maka kemungkinan besar hubungan antar lembaga itu akan lebih congruence daripada bila dari partai yang berbeda, walaupun untuk kasus Thailand dan Pakistan, faktor militer juga memainkan peran politik penting.
Masa Jabatan Dalam aspek yang kedua yaitu tentang masa jabatan pemerintahan, Linz menganggap sistem Presidensial lemah dan membahayakan stabilitas politik, karena batas waktu yang diberikan seringkali membuat penyesuaian terhadap situasi yang berubah sangat sulit. Presiden yang kehilangan dukungan baik dari rakyat, partai bahkan dari partainya sendiri tidak dapat diganti karena belum habis 44
masa jabatannya. Sementara upaya konstitusional untuk menggantikannya juga biasanya berbelit-belit, seperti kasus Presiden Bill Clinton di AS, Abdurrahman Wahid di Indonesia dan Joseph Estrada di Filipina. Dalam keadaan demikian bila krisis sudah sangat akut, kemungkinan kudeta militer dan peole power besar kemungkinan akan terjadi. Dalam kasus ini, sistem parlementer dianggap lebih baik karena bisa memecahkan persoalan serupa dengan melakukan perubahan dalam pemerintahan melaui mosi tidak percaya di parlemen. Ini dimungkinakn karena pemerintah sangat bergantung pada perlemen yang memilihnya. Hanya saja seperti dikatakan di muka, di dunia ketiga, kesempatan untuk mengganti pemerintahan ini juga merupakan sumber potensial untuk konflik. Ia dijadikan insentif untuk terus menggoyang suatu koalisi pemerintahan sampai jatuh. Artinya dalam sistem parlementer tidak ada jaminan bahwa pemerintahan akan terhindar dari konflik yang akut. Kemungkinan kudeta militer juga bisa terjadi karena krisis, kolusi, korupsi dan intrik politik berkepanjangan dalam pemerintahan, seperti yang terjadi dengan sistem parlementer di Pakistan dan Thailand beberapa tahun lalu. Para pendukung sistem semi-presidensial beragumen bahwa sistem ini bisa mengatasi kemungkinan konflik ini karena kalau ada persoalan legitimasi, pemerintahan dalam hal ini PM
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
bisa jatuh dan digantikan, sementara Presiden yang memang dipilih langsung oleh rakyat akan tetap survive sampai habis masa jabatannya. Namun sistem ini juga tidak membawa stabilitas politik karena tumpang tindih kekuasaan antar PM dan Presiden yang menyebabkan sistem ini setengah parlementer setengah Presiden. Presiden yang memerintah bersama PM kadang-kadang juga harus bertanggungjawab pada parlemen, namun pada saat yang sama ia merasa berada dalam sistem presidential yang harus bertanggungjawab pada rakyat pemilihnya. Menurut Duverger yang dikutip Lijphard sistem ini sebenarnya lebih banyak aspek presidensialnya daripada parlementer.13 Dalam hal masa jabatan, kritik terhadap presidensial, sebenarnya lemah dalam beberapa hal. Pertama, sistem presidensial juga mengenal mekanisme untuk menggulingkan presiden (pemerintahan) yang korup dan melanggar hukum. Hanya saja di sini mekanisme lebih complicated daripada sistem parlementer. Presiden dapat diganti kalau ia memang benar-benar melanggar konstitusi, melanggar hukum atau skandal politik yang besar lainnya. Mekanisme impeachment misalnya, memungkinkan Presiden untuk digulingkan. 13
Arend Lijphart, ‘Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoretical Observations’, dalam Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (eds.), The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, 2 Vols, (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1994), hal. 95.
Kedua, untuk negara-negara dunia ketiga, selayaknya diperlukan jenjang masa pemerintahan yang pasti, untuk membuktikan apakah Presiden bisa memenuhi program yang dijanjikannya. Ia seharusnya tidak dijatuhkan di tengah jalan karena hal-hal yang menyangkut kebijakan rutin pemerintahan, sebagaimana yang terjadi dengan sistem parlementer. Seringnya pergantian pemerintahan menyebabkan berbagai kebijakan negara yang harus dilakukan dalam jangka panjang secara konsisten, seperti pembangunan ekonomi dan pembangunan politik terbengkalai. Keterwakilan Aspek ketiga dari sistem peme-rintahan yang mendapat sorotan adalah masalah keterwakilan dalam pemerintahan. Sistem Presidential di anggap lemah karena hanya mewakili sebagian orang dan bisa saja sebagian orang itu sebetulnya tidak mencapai mayoritas diatas 50% dari pemilih, karena prinsip winner-take-all. Contoh yang paling baru adalah di AS baru-baru ini di mana George W. Bush, Presiden sekarang memperoleh suara yang lebih kecil daripada saingannya. Sebaliknya sistem parlementer dianggap lebih representatif karena sharing kekuasaan dan pembentukan koalisi antar berbagai partai politik termasuk juga dengan partai-partai kecil minoritas. Karena dipilih langsung, seorang Presiden juga bisa merasa tidak perlu melakukan
45
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
koalisi atau konsesi ke kelompok oposisi. Dalam contoh praktek politik, sebenarnya tidak ada jaminan adanya perasaan keterwakilan seperti di atas. Dalam sistem parlementer bisa juga terjadi dominasi partai-partai besar dengan meninggalkan partai kecil lainnya. Bukan hanya di dunia ketiga di mana terdapat sistem yang mempunyai satu partai dominan seperti di Malaysia, Singapore dan Jepang, tetapi di Inggris dan Australia, salah satu dari partai besar di sana sering menang mutlak di atas 50% sehingga tidak perlu koalisi dengan partai lain. Yang terjadi di sini dengan demikian adalah suatu sistem mayoritas yang ekstrim. Kelemahan tidak representativenya seorang Presiden karena suaranya yang tidak populer bisa diatasi dengan mengubah sistem pemilu. Di beberapa negara termasuk Indonesia, seorang Presiden disyaratkan harus mencapai target jumlah suara tertentu seperti di atas 50% suara pemilih baru bisa disyahkan menjadi Presiden. Sebelum mencapai target suara itu, maka akan diadakan pemilihan ronde kedua. Ini akan mendorong partai-partai untuk berkoalisi, misalnya dalam mengajukan satu paket Presiden dan Wakilnya agar nantinya mencapai target suara mayoritas dalam Pemilu. Dalam konteks demikian seringkali Presiden terpilih berasal dari partai yang kecil namun popular di mata masyarakat.
46
Keunggulan lain dari sistem Presidensial adalah berjalannya mekanisme checks and balances. Sebagai contoh adalah sistem di Amerika, bila salah satu partai menang pemilu pemilihan presiden, partai lainnya seringkali menguasai kursi di parlemen baik senat maupun House of Representative. Ini akan memudahkan checks terhadap kebijakan eksekutif. Dengan demikian masyarakat memiliki pilihan yang lebih luas untuk mengontrol pemerintahan. Selain itu sistem presidensial bisa dikatakan lebih unggul dan lebih demokratis daripada sistem parlementer, karena rakyat diberi kesempatan untuk memilih langsung figur penguasa paling tinggi yakni presiden.14 Presiden dengan demikian punya kedekatan emosional dengan rakyat, apalagi bila kemudian presiden itu berhasil merepresentasikan diri sebagai pemimpin bangsa secara keseluruhan, bukan lagi bertindak sebagai wakil dari kelompok atau partainya. Ia bisa menjadi simbol kesatuan nasional yang dapat mempersatukan berbagai kelompok etnis, golongan, agama dan kelas. Dalam sistem Presidensial, kesempatan untuk berpartisipasi dalam memilih bagi para pemilih juga lebih besar. Mereka punya kesempatan memilih dua kali yakni memilih Pre-
14 Richard Gunther, ‘The Relative Merits (and Weaknesses) of Presidential, Parliamentary and SemiPresidential Sistems’, Demokrasi & HAM, Vol. 1, No. 1, Mei-Agustus 2000, hal. 62.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
siden dan memilih anggota parlemen. Para pemilih dengan pertimbangan keseimbangan kekuasaan misalnya, bisa saja memilih satu partai atau kandidat untuk lembaga legislatif, namun mendukung partai dan calon lain untuk kepala pemerintahan.15 Melalui pemilihan langsung, rakyat juga punya hak langsung untuk tidak memilih lagi seorang kadidat Presiden dari partai tertentu, karena tidak memenuhi keinginan mereka. Jadi di sini prinsip akuntabilitas dan identifikasi terhadap keberhasilan dan kegagalan Presiden dapat lebih mudah diukur dan dipertanggungjawabkan di depan rakyat.
Gaya Kepemimpinan Aspek keempat menyangkut soal gaya kepemimpinan. Menurut kritik di atas seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akan merasa mendapatkan mandat yang besar dan cenderung untuk menekankan kebijakan dan kampanye populis. Dukungan populis yang besar kepada seorang Presiden sering merupakan insentif bagi dia untuk kurang toleran pada oposisi dan mudah mengatasnamakan rakyat. Demikian juga sistem semi-Presidensial tidak menawarkan jaminan lebih baik, karena bila Presiden yang terpilih sangat partisan, sementara anggota parlemen mayoritas bukan dari partainya, maka akan terjadi berbagai konflik 15
Mainwaring and Shugart, op. cit., hal. 460.
dan deadlock dalam menetapkan kebijakan negara. Sebaliknya dalam sistem parlementer, pada pendukung sistem ini berpendapat bahwa seorang PM harus lebih hati-hati dan mempertimbangkan berbagai pendapat koalisi partai dalam mengambil kebijakan dan langkah politik. Memang dalam sistem Presidensial, kecenderungan Presiden untuk menekankan kebijakan dan kampanye polulis sering terjadi seperti di Filipina semaca Estrada dan Hugo Chaves di Venezuela, Namun soal kekhawatiran terhadap gaya kepemimpinan yang cenderung populis sebenarnya juga terjadi dalam sistem parlementer. Di Thailand misalnya bekas PM Thaksin Sinawatra sangat populis dengan menawarkan pinjaman lunak, pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis kepada rakyat.
Kesempatan Memerintah Tentang aspek kelima bahwa dalam sistem Presidensial, diteorikan bahwa orang di luar partai punya kemungkinan lebih besar daripada dalam sistem Parlementer untuk menjadi Presiden. Hal ini akan mempunyai pengaruh negatif karena individu yang dipilih lewat suara popular ini kurang bergantung pada partai politik. Dia mungkin akan memerintah dengan cara populis dan mengabaikan aspek kelembagaan. Sebenarnya dalam sistem parlementer kemungkinan yang sama juga bisa terjadi terutama kalau partai politik tidak siap 47
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
dengan calon dan kadernya sendiri. Partai politik di dunia ketiga, kurang siap dengan calon-calon sendiri untuk tampil bersaing. Rekruitmen politik masih lemah pada partai-partai ini dan mereka terpaksa mengusung calon lain termasuk dari kalangan militer misalnya. Berkaitan dengan kemungkinan ia lebih bebas untuk bertindak tanpa terikat kepada partai yang mencalonkannya, sekali lagi hal ini juga tergantung pada kepribadian presiden yang terpilih dan aturan UUD yang dibuat dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif. Pembatasan yang dibuat UU dapat memaksa Presiden untuk berkompromi dengan keinginan dari legislatif misalnya. Dari uraian singkat di atas agaknya memang tidak ada jaminan bahwa suatu sistem akan menjurus ke tingkat keterwakilan yang tinggi dan menjamin stabilitas politik. Namun cukup jelas bahwa sistem Presidensial mempunyai beberapa potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Beberapa kelemahan dalam sistem presidensial yang bisaanya disebutkan oleh para pendukung sistem parlementer bisa diatasi baik dengan mengakomodasi sistem itu maupun dengan membuat aturan perundang-undangan.
Perjalanan Sistem Presidensial di Indonesia Setelah melihat perdebatan di atas, bagian ini mencoba merefleksi48
kan perdebatan itu dalam konteks sistem politik Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat garis besar pengalaman sejarah sistem pemerintahan presidensial pada masa Soeharto sampai masa reformasi. Dalam sejarah sistem presidensial kita, ada beberapa persoalan yang harus dicermati, berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial masa Soeharto dan setelah kejatuhannya. Pada masa Habibie yang diteruskan dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati (19982004), sulit untuk memasukkan sistem pemerintahan di Indonesia ke dalam salah satu dari 3 katagori sistem pemerintahan yang ada (Presidensial, Semi-Presidensial dan Parlementer). Yang agak mendekati sistem Indonesia pada saat itu barangkali adalah sistem pemerintahan semi-Presidensial. Ini terutama karena Presiden harus berkonsultasi dengan parlemen (DPR) dalam membuat UU, bahkan dalam kasus Indonesia setelah pemilu 1999 presiden juga harus berkompromi dengan parpol di parlemen dalam pembentukan kabinet, dan dalam memutuskan beberapa kebijakan. Presiden juga harus menjalankan TAP-TAP dan GBHN yang diamanatkan oleh MPR yang memilihnya. Hanya saja dalam sistem Indonesia, walaupun posisi presiden cukup kuat (sejajar dan tidak dapat dipecat oleh DPR), namun legitimasi presiden sebagai kepala pemerintahan lebih lemah dibandingkan dengan sistem
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
presidensial murni, karena ia tidak dipilih langsung oleh rakyat. Namun posisinya lebih kuat daripada di sistem parlementer karena ia tidak dapat dipecat oleh parlemen (DPR) dan bisa menjalankan pemerintahan sampai habis priodenya (kecuali bila melanggar dasar negara). Pada masa pemerintahan Soeharto, hubungan antara kedua lembaga tinggi eksekutif dan legislatif ini sangat mulus. Ini bisa terjadi karena Soeharto, yang didukung oleh perangkat kekuasaannya termasuk militer, berhasil mendesain kehidupan politik terutama dalam rekrutmen calon anggota DPR sesuai dengan kepentingannya. Calon anggota DPR misalnya harus lewat seleksi dan skerening pemerintah terlebih dahulu. Mereka yang kritis, termasuk dari partai pemerintah Golkar akan dicoret. Karena itu, sudah hampir dapat dipastikan, mereka yang dicalonkan dan terpilih dalam Pemilu nantinya akan mendukung segala kebijakan pemerintah. Tidak jarang anggota keluarga, teman dekat dan kroni ditunjuk sebagai caleg untuk menjamin dukungan terhadap pemerintah ini. Kekuasaan Presiden menurut UUD 45 yang belum diamandemen sebenarnya tidak terlalu besar. 16
16
Untuk UUD45 dan perbandingannya dengan UUD lain yang pernah diterapkan di Indonesia, lihat SriBintang Pamungkas (penyunting), Konstitusi Kita dan Rancangan UUD-1945 yang Disempurnakan, (Jakarta: Partai Uni Demokrasi Indonesia, Juni 1999).
Dalam pasal 5 UUD 45 disebutkan Presiden bisa menetapkan UU dengan persetujuan DPR dan juga membuat Peraturan Pemerintah. Selain itu ia memegang kekuasan tertinggi atas AD, AL dan AU dan dengan persetujuan DPR bisa menyatakan perang. Ia juga bisa menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Namun, walaupun secara konstitusional terbatas, kemampuan Soeharto untuk merekayasa kehidupan politik dan kemampuan membuat semua orang bergantung pada dirinya, membuat kekuasaan Presiden waktu itu terlihat besar dan hampir tak terbatas. Ini tentunya berbeda dengan masa Gus Dur dimana sebuah UU seperti UU Keadaan Darurat tidak kunjung disahkan oleh DPR pada saat itu. Semasa Soeharto, setiap usul UU dari Pemerintah, selalu disetujui oleh DPR. Jadi bisa disimpulkan pada waktu itu, dalam hubungannya dengan parlemen posisi Presiden menjadi sangat kuat, bukan karena konstitusi tetapi karena kemampuan Soeharto merekayasa keanggotaan di DPR. Dengan jaminan anggota yang berada di belakangnya –seringkali dicerminkan dari sikap mereka untuk sekedar Datang, Duduk dan Duit di sidangsidang, Soeharto bisa menentukan susunan ketua dan komposisi DPR/ MPR. Ini memudahkan Soeharto dan para pemikir Orba untuk mengesahkan berbagai UU baik politik maupun ekonomi yang menjamin kekuasan dan keuntungan kroninya. Pengesahan terhadap UU, Tap-tap MPR ter49
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
masuk yang kontroversial seperti P4 dan asas tunggal, dan GBHN pada masa itu sangat lancar, karena semuanya sudah direkayasa sejak awal. Presiden Abdurahman Wahid dan Megawati masih menggunakan UUD 1945 yang sama. Setiap Presiden tentu punya keinginan untuk punya kekuasan lebih, agar ia bisa memerintah dengan efektif. Namun situasinya sudah berbeda dan tidak mungkin kebijakan DPR/MPR direkayasa seperti pada masa Orba dulu. Dalam hubungan dengan DPR, Gus Dur berada pada posisi yang lemah, apalagi ia dipilih sebagai hasil kompromi dari polarisasi kekuatan politik yang bertentangan tajam pada waktu sidang umum MPR. Karena kondisi ini, berbeda dengan Soeharto, Gus Dur tidak bisa menentukan anggota kabinet sendiri, sebelum ia meresafel kabinetnya, ia tidak dapat mendesain GBHN dan TAP-TAP MPR bersamasama dengan politisi dan para pemikir dari kalangannya, seandainya mereka punya konsep sendiri. Presiden bahkan didikte oleh MPR dalam cara mengatur pemerintahan. Berbeda dengan Soeharto, preferensi Presiden sering tidak diikuti militer dan Gus Dur sering berbeda pendapat dengan anggota kabinetnya. Namun keadaan demikian ternyata tidak serta merta menjadikan Presiden lemah dan tidak berdaya, atau sekedar mengikuti alur yang diinginkan DPR/MPR dan bersikap kompromis dengan kekuatan yang lebih besar di luarnya. Terjadi semacam dile50
ma kekuasaan. Pada satu sisi, secara de facto ia lemah, namun pada sisi lain Presiden Gus Dur mewakili suatu tradisi masyarakat paternalistik dan mewakili asumsi Orba tentang pentingnya, kuatnya dan prestisenya jabatan seorang Bapak/Kiyai Presiden. Kekuasaannya yang relatif lemah terhadap parlemen, tidak menghalanginya untuk melakukan berbagai manuver politik. Lagi pula insentif untuk menentang keinginan DPR dan memasukkan kepentingan politik sendiri dalam berbagai isu dimungkinan oleh UUD 45 yang memang tidak mengatur dengan jelas batas-batas kewenangan baik Presiden maupun DPR pada saat itu. Kalau pun batasbatas itu jelas namun tetap saja terjadi konflik, karena perbedaan kepentingan konstituen antara anggota DPR dan Presiden. Jadi kalau dilihat lebih lanjut secara kelembagaan, kisruhnya hubungan legislatif dan eksekutif pada priode 1999-2004 disebabkan oleh lemahnya aturan yang kemudian menjadi insentif bagi kedua pihak untuk melakukan berbagai manuver politik. Kedua lembaga ini hampirhampir tidak sepakat bahkan tentang hal-hal politik mendasar yang menyangkut reformasi, seperti penegakan aturan hukum dan kelembagaan serta prioritas yang penting dilakukan pada saat transisi seperti sekarang. Krisis pada masa ini menjadi berkepanjangan dan berbelit yang akhirnya berakhir dengan diadakannya Sidang Istimewa MPR yang
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
menyaksikan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid. Pengalaman krisis politik semasa Gus Dur ini memaksa para politisi, ahli politik dan hukum Indonesia untuk mengamandemen UUD 1945 yang hasilnya antara lain mengadopsi sistem presidensial murni. Melalui sistem baru ini Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sampai dua putaran bila pada pilihan pertama tidak ada calon yang mencapai suara 50%+1 dari rakyat pemilih. Mekanisme impeachement pun disempurnakan dengan membuat aturan lebih jelas kapan Presiden dapat dipecat dari jabatannya. Dalam aturan UUD sekarang Presiden hanya dapat diimpeach karena alasan melanggar hukum bukan alasan politik. Dalam amandemen ketiga UUD 45 juga disebutkan sekurangnya 7 langkah yang harus dilakukan sebelum Presiden bisa di-impeach. Namun perbaikan aspek kelembagaan melalui penyempurnaan UUD bukan berarti persoalan selesai. Karena seperti kritik terhadap sistem presidensial menyebutkan, secara instrinsik konflik antara parlemen dan eksekutif akan potensial berlaku karena kedua lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat. Mereka merasa memiliki legitimasi yang kuat dan tidak bergantung satu sama lain. Asumsi legitimasi ganda (dual legitimation) ini menjadi insentif bagi kedua lembaga tinggi ini untuk melakukan berbagai langkah politik, seringkali untuk memuaskan kepentingan
politik dan audience mereka masingmasing. Beberapa contoh hubungan yang berkaitan dengan siapa yang lebih mempunyai authority ini menyangkut misalnya keinginan DPR yang kuat agar Presiden mematuhi kehendak dan saran-saran dari anggota parlemen.
Evaluasi Sistem Presidensial semasa SBY Sejarah menunjukkan bahwa potensi konflik yang sama pada priode 1999-2004 juga kurang lebih berulang pada priode pemerintahan 2004-2014 walaupun dalam level yang lebih rendah. Seperti pada masa Gus Dur, pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekarang, Presiden juga berkali-kali menolak dipanggil oleh DPR baik dalam kasus pergantian menteri dan interpelasi untuk berbagai kasus. Bila dulu Gus Dur menolak calon-calon DPR untuk jabatan ketua dan wakil ketua MA, dan menolak usulan DPR tentang komposisi pengurus sebuah komisi penyelidikan kekayaan pejabat negara, maka kini giliran DPR menolak calon-calon yang diajukan oleh Presiden SBY untuk jabatan Gubernur BI misalnya. Konflik antara SBY dengan DPR terutama dalam penunjukkan pejabat negara yang penting termasuk anggota kabinet sudah beberapa kali terjadi. Hanya saja perbedaannya adalah konflik di era Gus Dur sangat serius dan sampai kepada jalan buntu yang 51
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
berakhir dengan penggantian dirinya oleh MPR dengan Megawati. Pada masa SBY konflik itu bisa diselesaikan dengan gaya kepemimpinan SBY yang akomodatif dan kompromis. Ia misalnya menggantikan anggota kabinet yang tidak popular dan menerima keputusan DPR yang menolak calon gubernur BI yang diajukannya dan akan mengajukan calon lain sesuai kriteria DPR. Situasi ini sebetulnya umum terjadi dalam sistem Presidensial dan semi-Presidensial murni. Tarik menarik yang kuat antar DPR dan Presiden merupakan hal yang biasa. Presiden merasa mendapatkan mandat dari rakyat dan karena itu merasa paling sah menyuarakan kepentingan rakyat. Berdasarkan pengalaman di negara lain, satu hal yang bisa mengurangi situasi ini adalah bila ada kondisi di mana Presiden dan mayoritas anggota DPR berasal dari partai yang sama. Kedua lembaga kemungkinan besar akan sejalan, karena Presiden akan bersama-sama dengan mayoritas anggota DPR untuk memutuskan berbagai masalah. Keadaan di Indonesia sedikit di luar kerangka ini. Pemerintahan SBY bukan berasal dari partai mayoritas pada priode pertama pemerintahan dan tidak cukup untuk mayoritas murni pada priode kedua, namun dia didukung oleh koalisi longgar beberapa partai termasuk Partai terbesar kedua, Golkar. Konflik sudah dimulai 52
sejak presiden membentuk kabinet.17 Walaupun pembentukan kabinet adalah hak prerogatif presiden, ia harus melakukan kompromi politik dengan menempatkan menteri bukan dari partainya di kabinet. Mengingat adanya koalisi ini, dalam langkahlangkah selanjutnya seharusnya ia mempunyai dukungan suara yang cukup dari koalisi untuk menetralisir kritik dan merealisir banyak kebijakannya di DPR. Namun yang terjadi adalah bahwa anggota parlemen dari koalisi ini umumnya tidak disiplin sehingga presiden seringkali kehilangan dukungan partisan dalam menggolkan kebijakannya. Dengan kata lain, walaupun Presiden memiliki dukungan nominal di DPR tetapi ini tidak serta merta bisa diterjemahkan dalam upaya dia menggolkan agenda-agenda pemerintahannya. Walaupun demikian, berbeda dengan kekhawatiran para pengritik sistem presidensial, konflik sistem presidensial di Indonesia sekarang, tidak sampai kepada deadlock yang berujung pada krisis pemerintahan. Ada beberapa penjelasan penting untuk ini. Pertama, ada pengalaman sejarah dimana rakyat alergi dan letih dengan penggantian silih berganti Presiden dalam masa singkat. Kini mereka membayangkan perlunya Presiden yang kuat bahkan sebagian membayangkan lembaga kepreside-
17
Sebagaimana diketahui penyumbang terbesar dari anggota DPR yang memilih Gur Dur ternyata bukan dari Partai Presiden yang berkuasa (Partai Demokrat).
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
nan yang kuat seperti pada masa Soeharto. Sikap ini misalnya ditunjukkan dengan kejengkelan pada para anggota DPR yang selalu membahas satu soal secara berlarut-larut dan menghambat diambilnya kebijakan oleh Presiden. Kemuakan rakyat pada DPR misalnya diungkapkan dalam kecaman bahwa anggota DPR hanya menginginkan uang melalui pansus dan hanya ingin menunjukkan wibawanya dengan memaksa Presiden untuk datang pada sidang interpelasi misalnya. MT Zein, bahkan mengritik DPR sebagai lembaga yang bertindak seperti eksekutif.18 Penjelasan lain bertahannya sistem presidensial juga berkaitan dengan sejarah kegagalan Indonesia menerapkan sistem parlementer dan terbiasa dengan sistem Presidensial semasa Orde Baru. Sistem parlementer dianggap memiliki cacat historis terutama karena kampanye intensif rejim Orba untuk mendeskreditkannya.19
18 19
Kompas, 29 Maret 2008.
Seorang pakar Indonesia, William Liddle, berkaitan dengan sistem demokrasi parlementer, misalnya menulis bahwa pengalaman lampau yang dianggap gagal nampaknya bagi masyarakat Indonesia, tidak ada gunanya untuk dicoba lagi. Liddle juga setuju dengan pendapat sejarawan Robert Cribb bahwa ‘the failure of electoral democracy in the 1950s and its association with civil strife will continue to be read by antidemocrats, especially within the army forces, as reasons not to experiment with it again’. See, William Liddle, ‘Regime: The New Order’, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto (New York, London: M.E. Sharpe, 1999), hal. 56.
Faktor kedua yang menyokong kelangsungan sistem presidensial dewasa ini adalah gaya pemerintahan dan faktor kepribadian SBY. Kepribadiannya yang tidak kontroversial, santun dan kompromis mendukung penyelesaian setiap masalah secara musyawarah. Sikap kompromis ini dalam kadar tertentu mendukung posisi politiknya. Walaupun ia seringkali tidak datang memenuhi undangan DPR dalam berbagai interpelasi DPR, SBY mendelegasikan tugas dialog itu pada beberapa menteri sekaligus. Bila perseteruan memuncak, Presiden menawarkan solusi konsultasi dengan DPR sebagaimana yang dilakukannya untuk mengatasi konflik tentang dukungan Indonesia pada resolusi anti nuklir Iran. Dalam konsultasi itu, Presiden dan beberapa menteri bertemu langsung dengan para pimpinan DPR. Ini terjadi pada pertengahan 2007 dan kemudian konflik diantara kedua lembaga itu pun mereda. Mekanisme konsultasi ini belum dikenal dalam sistem lain dan sangat menarik kalau ia dapat dilembagakan. Ini dapat mengatasi kritik tentang perils of presidentialism seperti kurangnya mekanisme kelembagaan yang dapat mengarahkan kerjasama antara eksekutif dan legislatif. Kondisi ketiga yang mendukung kelangsungan sistem presidensial dewasa ini adalah kenyataan bahwa Presiden sekarang berasal dari partai minoritas. Ini membuatnya harus banyak bekompromi dengan DPR. 53
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
Partai Demokrat yang mendukungnya hanya memperoleh sekitar 7% suara dalam Pemilu 2004 sehingga ia harus berkompromi dengan partaipartai lain termasuk partai yang sementara ini terbesar di parlemen yakni Golkar. Walaupun tidak bisa digolongkan sebagai minoritarian government karena ia mendapat didukung dari banyak partai termasuk Golkar yang dicerminkan dalam posisi kabinetnya, kenyataan ini tetap membuat posisi presiden SBY lemah. Anggota parlemen yang berada dalam koalisi ini seringkali tidak berdisiplin dalam komitmen mereka sebagai bagian dari koalisi partai yang memerintah. Pada priode kedua SBY, partai Demokrat cukup kuat dengan kursi lebih dari 20% di parlemen sehingga Pemereintahan SBY dapat berjalan relatif stabil pada priode ini dibanding dengan priode pertama pemerintahannya. Posisi yang lemah ini vis a vis parlemen akan menyebabkan Presiden tidak dapat bergerak leluasa dalam memerintah. Seperti dikatakan Mainwaring, dalam sistem presidensial, presiden sering tidak bisa bergerak leluasa (immobilism) padahal konsentrasi kekuasaan seringkali diperlukan untuk mewujudkan agendaagenda pemerintahan. Pemerintah misalnya perlu bergerak cepat memulihkan ekonomi dan memberantas korupsi, sementara dalam banyak hal DPR selalu meminta presiden untuk mendapatkan persetu-
54
juan mereka dan berkonsultasi dengan mereka. Keempat, kestabilan pemerintahan dewasa ini bisa bertahan antara lain karena presiden Indonesia sekarang bukan berasal dari partai politik yang memiliki basis massa yang khas, kuat dan fanatik. Presiden SBY berasal dari kalangan militer dan diterima secara luas di masyarakat bukan terutama karena ikatan emosional dengan massa tetapi lebih karena kepribadian dan profesionalismenya. Dalam masa pemerintahan dua presiden Indonesia sebelum ini, ikatan emosional presiden dengan massanya seringkali menimbulkan ketegangan yang menjurus pada ketidakstabilan politik. Konflik antara MPR dan presiden pada saat itu seringkali disikapi dengan emosional oleh masa pendukungnya dengan turun kejalan melakukan protes. Bila presiden dijabat oleh tokoh parpol yang mempunyai hubungan tradisional dan emosional dengan massanya pada masa sekarang ini, maka besar juga kemungkinannya konflik antara DPR dan Presiden akan melibatkan massa di akar rumput. Pandangan ini bukan lah berarti bahwa calon presiden yang berasal dari parpol akan meningkatkan konflik namun lebih kepada fakta bahwa saat ini parpol belum berhasil melahirkan calon yang profesional dan didukung karena kemampuan mempersatukan seluruh bangsa.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Kelima, untuk mengatasi kekakuan dalam masa jabatan pemerintahan, ada fenomena menarik yang dilakukan SBY yakni cukup seringnya frekuensi reshuffle kabinet yang dilakukan. Ini bisa mengatasi kritik tentang kekakuan masa jabatan Presiden, popularitas dan krisis yang mungkin akan dihadapinya di tengah jalan pemerintahan. Sebagaimana diketahui, kritik mengatakan bahwa sistem parlementer lebih unggul daripada sistem presidensial karena masa jabatan pemerintahan (PM) yang fleksible yang memungkinkan PM misalnya mengadakan pemilu lebih awal dari jadwal untuk memperbaharui mandat dan legitimasinya, sedangkan pasa sistem presidensial hal ini tidak dimungkinkan. Masa jabatan presiden yang fixed ini menyebabkan ia tidak bisa diganti walaupun legitimasinya turun karena ia dipandang tidak capable, melakukan banyak kesalahan dan mismanagement dalam pemerintahan. Proses impeachment seringkali berbelit dan Presiden sering berhasil mengelak jeratan impeachment seperti di Amerika semasa Bill Clinton dan di Filipina semasa Joseph Estrada. Di AS krisis diatasi karena matangnya demokrasi dan fungsi lembaga politik namun di Filipina krisis itu berakhir dengan people power yang biayanya sangat mahal karena rentan kekerasan dan manipulasi. Seringnya reshuffle seperti yang dilakukan SBY yang kini sudah dilakukan beberapa kali dan melibatkan
beberapa menteri bisa menjadi jalan keluar dari tidak populernya pemerintahan presidensial yang dipimpinnya. Pada masa kedua pemerintahannya SBY tidak melakukan reshuffle cabinet tetapi langsung mengganti menterinya yang tidak popular dan yang terlibat kasus seperti korupsi. Ia juga menggantikan menteri demi bargaining untuk mempertahankan koalisi pemerintahan (seperati dalam kasus penggantian Menteri Keuangan Sri Mulyani). Kalau dalam sistem parlementer, untuk mendongkrak legitimasi biasanya PM melakukan pemilu yang lebih awal dari jadwalnya, maka salah satu cara mengatasi krisis demikian dalam sistem presidensial adalah dengan mengganti menteri yang tidak capable dan tidak popular di mata masyarakat. Ini tidak hanya bisa mengembalikan popularitas pemerintahan tetapi bisa juga berfungsi sebagai saluran untuk atau katup pengaman dari kemungkinan krisis legitimasi dan popularitas pemerintahan yang berkepanjangan. Fungsi reshuffle untuk mengembalikan kepercayaan dan legitimasi nampak jelas dalam penggantian Aburizal Bakri dengan Budiono sebagai Menko Perekonomian misalnya. Penggantian ini berhasil mengembalikan popularitas Kabinet Indonesia Bersatu baik di mata pasar maupun masyarakat umum. Kemudian penggantian Yusril Ihza Mahendra juga jelas dilakukan karena tekanan publik yang kuat dan keinginan untuk mengembalikan popularitas pemerintahan. 55
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
Kelima kondisi di atas dapat dikatakan telah membantu berjalannya sistem Presidensial di Indonesia untuk sementara ini. Tidak banyak contoh keberhasilan sistem Presidensial di dunia. Untuk sementara Indonesia menjadi bagian dari sedikit negara sistem presidensial yang berhasil seperti Amerika Serikat, Brazil dan Argentina. Namun kelima kondisi di atas adalah sangat kondisional sifatnya dan bukan merupakan faktor yang permanen dalam mendukung sistem presidensial. Kelangsungan sistem itu adalah karena faktor masih adanya kerinduan orang terhadap presiden yang kuat, yang muncul karena kejenuhan dengan pemerintahan yang berganti-ganti sebelumnya. Demiki-
an juga faktor gaya pemerintahan tergantung kepada figur Presiden pada suatu saat. Kalau presiden memiliki gaya lebih keras dan tegas seperti mantan gubernur Jakarta Sutiyoso misalnya tentu hubungan legislatif dan eksekutif akan jauh berbeda. Tak kalah kondisional adalah kenyataan bahwa SBY berasal dari partai yang relatif kecil. Bagaimana kalau Presiden nantinya berasal dari partai mayoritas di parlemen, berbagai ketegangan lebih kuat mungkin akan terjadi. Hal kondisional terakhir adalah cara mempertahan kinerja dan popularitas pemerintahan dengan reshuffle kabinet. Dalam koalisi pemerintahan yang lebih ketat tentu saja reshuffle sangat rawan ketegangan. Karena ala-
Tabel 2.: Potensi Dari Berbagai Sistem Pemerintahan
Presidensial
Parlementer
SemiPresidensial
Sistem Indonesia Masa SBY
Hubungan kelembagaan
Tidak harmonis, Tergantung pada namun ada checks komposisi and balances. parlemen
Tergantung pada komposisi parlemen
Tidak harmonis, tergantung pada Presiden dan DPR
Masa jabatan pemerintah
Pasti
Flexible
Pasti
Pasti tapi rentan, diatasi dengan reshuffle kabinet
Keterwakilan
Zero-sum game, namun rakyat punya ikatan emosional
Power-sharing, namun bisa muncul partai dominant
Power-sharing
Reluctant powersharing
Gaya memerintah
Kurangkompromis, namun bisa juga akomodatif
Kompromis, namun bisa ada dominasi
Kompromis, bisa juga adu kekuatan
Kompromis karena pentingnya koalisi dan karena kepribadian Presiden
Kesempatan memerintah
Semua warga
Anggota partai saja
Semua warga
Semua warga
56
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
san ini, seperti akan diuraikan di bagian berikut diperlukan kondisi yang lebih kuat untuk mendukung sistem presidensial. Sistem ini baru teruji kalau setidaknya sudah berjalan dengan stabil tanpa krisis yang akut setelah 10 tahun. Kalau disederhanakan dalam bentuk tabel, potensi dari berbagai sistem pemerintahan setelah dilakukan berbagai tanggapan terhadap kritik terhadap sistem Presidensial adalah sebagaimana Tabel 2. Memperkuat sistem Presidensial Dari gambaran di atas, sistem presidensial demokratis yang masih berusia 16 tahun ini, bisa bertahan karena beberapa aspek kondisional yang sangat sementara sifatnya seperti pengalaman historis dan kepribadian Presiden sekarang. Dengan demikian untuk jangka panjang harus difikirkan cara agar sistem ini bisa efektif dan durable. Satu hal penting bagi sistem presidensial untuk bisa bertahan adalah prestasinya di mata rakyat dan kemampuannya untuk menjaga stabilitas politik. Kalau sistem ini menunjukkan prestasi bagus maka masyarakat akan mendukung sistem Presidensial ini dan menerimanya sebagai satu-satunya mekanisme politik. Namun seperti dikatakan di atas, sistem presidensial memiliki kelemahan intrinsik utama yakni perseteruan yang terus menerus antara DPR
dan Presiden yang bisa berakibat pada efektivitas jalannya pemerintahan. Krisis ini bisa mejurus pula pada deadlock yang bisa berujung pada berakhirnya rejim presidensial dan demokrasi itu sendiri. Berdasarkan pengalaman di beberapa negara ada beberapa cara yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah ini, namun tidak satupun cara ini direkomendasi karena akan memangkas demokrasi.20 Cara pertama adalah Presiden mem-bypass DPR dan tidak mempedulikan keputusan DPR. Ini tentu saja akan menghancurkan demokrasi. Oposisi akan menentang ini dan besar kemungkinan militer akan campur tangan. Kedua, Presiden berusaha mereformasi UUD untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Tetapi ini juga merugikan karena ruang untuk negosiasi dan kompromi menjadi mengecil. Ini juga bisa menjurus pada membesarnya kekuasaan presiden atau yang disebut dengan super-presidensialisme seperti di Rusia, Ukrainia, Armenia dan Kisgiztan yang merupakan negara-negara bekas rejim komunis Uni Soviet. Dalam keadaan seperti ini presiden memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan dekrit, memiliki kontrol baik secara de jure maupun de facto terhadap kekuasaan, sedangkan legislatif cenderung tidak bergigi, tidak punya ke-
20
Scott Mainwaring, ‘Presidentialism in Latin America’, Latin American Research Review, Vol. 25, No. 1. (1990), pp. 157-179. 57
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
mampuan melawan dekrit presiden, dan tidak mampu mengawasi eksekutif dan tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk meng-impeach presiden.21 Ketiga, presiden berusaha membentuk atau memperkuat koalisi pemerintahan. Cara ini mungkin paling efektif namun berbeda dengan koalisi pada kabinet parlementer, mekanisme koalisi dalam sistem presidensial kurang jelas dan tidak ada jaminan partisanship dari anggota DPR kalau mereka menghadapi kasus-kasus pemerintahan. Keempat adalah dengan membentuk lembaga-lembaga negara baru seperti dewan penasehat dan sejenisnya. Namun ini seringkali juga berakibat pada tumpang tindih jabatan. Akibat lainnya seperti dikatakan Mainwaring adalah munculnya lingkaran setan: perluasan aparatur negara walaupun tumpang tindih; ketidakpuasan parlemen karena dikebiri kekuasaannya yang berakibat pada kecenderungan dilakukannya veto oleh DPR; dan ini juga bisa berakibat pada kecenderungan prilaku klientisme para politisi yang tidak memiliki kesempatan memainkan peran politik penting. Kelima, bisa juga presiden membeli dukungan politisi secara individual. Namun ini tentu saja akan berakibat pada berkurangnya respek dan legi21
John T. Ishiyama dan Ryan Kennedy, ‘Superpresidentialism and Political Party Development in Russia, Ukraine, Armenia and Kyrgyzstan’, dalam Europe-Asia Studies, Vol. 53, No. 8. (Dec., 2001), hal. 1178. 58
timasi pada presiden dan menyangkut pelanggaran pada moral publik.22 Melihat kenyataan ini, salah satu solusi yang dapat didiskusikan adalah pengerucutan sistem kepartaian ke arah dua partai besar (atau koalisi dua kekuatan partai) di mana yang satu merupakan partai pemerintah dan satunya lagi akan menjadi partai oposisi. Dengan pembentukan dua dua partai besar (atau koalisi ke arah dua partai besar), Presiden akan mendapat dukungan kuat dari partainya atau partai koalisinya di parlemen. Dalam pengalaman sekarang ini koalisi longgar antara partai saja tidak menjamin keberhasilan presiden untuk menjadikan agenda-agendanya disetujui oleh DPR. Seperti dikatakan oleh Figueiredo dan Limongi, Presiden harus memiliki dukungan koalisi yang kuat sebelum pemilu diadakan atau ia akan terus menerus menghadapi tekanan parlemen dalam mewujudkan agenda-agenda politiknya.23 Ini nampaknya terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sejak kampanye dan pemilihan Presiden, dua koalisi besar itu sudah terbentuk. Namun persoalannya adalah apakah dua koalisi ini bisa bertahan lama dan apakah dalam perjalanan nanti ia pecah dan satu pihak pindah ke pihak lainnya. Proses perpindah-
22 23
Ibid.
Argelina Cheibub Figueiredo and Fernando Limongi, ‘Presidential Power, Legislative Organization, and Party Behavior in Brazil’, dalam Comparative Politics, Vol. 32, No. 2. (Jan., 2000), hal. 153.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
an koalisi ini merupakan tantangan bagi sistem presidensial di Indonesia dewasa ini sebab perpindahan ini seringkali menyebabkan tawar menawar baru dan membuat pemerintahan menjadi tawanan partner dalam koalisi pemerintahan. Sementara oposisi di parlemen mestinya bisa muncul kalau ada dua koalisi partai yang kuat ini. Legislatif yang muncul pun diharapkan tidak sekedar reaktif hanya merespon kebijakan ad-hoc pemerintah, asal mengkritik dan asal berbeda dengan eksekutif. Mereka mestinya menghasilkan ide-ide yang original dan proaktif yakni mengusulkan proposal sendiri. Tentu saja parlemen bisa menggabung ketiga aspek: reaktif, proaktif dan originatif ini sekaligus, namun sangat disayangkan kalau parlemen hanya bersifat reaktif saja terhadap pemerintah. Parlemen di negara yang sudah matang demokrasi seperti di Eropa terkenal dengan ciri originatif dan reaktif, sementara di AS lebih bercirikan proaktif dan reaktif.24
Kesimpulan Dalam sistem presidensial, hubungan legislatif dan eksekutif akan selalu berada dalam ketegangan. Ketegangan itu bermula karena mereka sama-sama dipilih oleh rakyat se-
24 Gary W. Cox dan Scott Morgenstern, ‘Latin America’s Reactive Assemblies and Proactive Presidents’, dalam Comparative Politics, Vol. 33, No. 2. (Jan., 2001), hal. 171.
bagai sumber legitimasi. Mereka juga independen satu dengan yang lain. Pengejawantahan dari posisi ini terefleksi dari perbedaan menafsirkan agenda presiden sampai kepada soal kelayakan presiden untuk terus berkuasa. Dalam beberapa contoh sistem presidensial, ketegangan itu menjadi sangat akut sehingga mengundang intervensi militer atau people power. Keduanya berarti berakhirnya demokrasi. Dalam tanggapan yang ekstrim, para ahli politik karena itu menganggap bahwa sistem parlementer merupakan pilihan lebih baik karena akan lebih berhasil mengatasi masalah ini. Dengan meminjam beberapa tulisan terutama Mainwaring dan Shugart, makalah ini menunjukkan bahwa kritik pendukung sistem parlementer cukup beralasan namun tidak dapat menyelesaikan persoalan secara sepenuhnya. Sistem politik dan pemerintahan di manapun hanya lah sekedar lembaga yang memberikan insentif dan peluang tertentu bagi politisi. Para politisi lah yang lebih menentukan kemana arah pemerintahan dan penyelesaian konflik. Karena itu lah dalam konteks Indonesia, persoalan utama tentu saja bagaimana mengelola konflik dan ketegangan antara legislatif dan eksekutif itu agar tidak berkepanjangan. Pengelolaan konflik itu cukup berhasil dilakukan oleh pemerintahan SBY. Ada lima kondisi yang sejauh ini berperanan sehingga konflik itu tidak
59
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
berkepanjangan dan sistem presidensial bisa berlanjut. Kondisi pertama adalah situasi di masyarakat yang jenuh dengan jatuh bangunnya pemerintahan. Masyarakat pada umumnya dalam posisi mendukung posisi eksekutif dan sedikit gerah dengan berbagai upaya legislatif yang mencegah agenda-agenda presiden. Kondisi kedua adalah faktor kepribadian presiden. Kepribadian yang tidak kontroversial, santun dan kompromis mendukung penyelesaian setiap masalah secara musyawarah. Mekanisme konsultasi yang pernah dikembangkan antara pimpinan DPR dan Presiden merupakan salah satu contoh untuk mengatasi ketegangan antara kedua lembaga ini. Faktor ketiga adalah kenyataan bahwa presiden didukung oleh partai yang relatif kecil dan karena itu ia harus membangun koalisi. Ia harus memikirkan bagaimana posisi politik bahkan kelangsungan pemerintahannya bisa aman di DPR. Ini menambah insentif untuk melakukan kompromi. Faktor keempat yang menyokong kestabilan pemerintahan adalah kenyataan bahwa presiden bukan berasal dari partai politik yang memiliki basis massa yang khas, kuat dan fanatik. Dalam keadaan demikian kalau terjadi konflik, Presiden tidak dapat
25
Sebagaimana diketahui dalam sistem parlementer, krisis legitimasi dan popularitas ini sebelum akut dapat diatasi dengan pemilu lebih awal oleh pemerintah. Dalam sistem presidensial, cara seperti ini tidak ada dalam konstitusi.
60
menghimbau massanya yang militan dan fanatik untuk berada di belakangnya, sebagaimana terjadi pada dua presiden Indonesia sebelumnya. Faktor kelima adalah kebijakan reshuffle yang dilakukan oleh SBY agaknya cukup efektif untuk mengatasi kelemahan inheren dalam sistem presidensial yakni masalah popularitas dan kinerja kabinet. Reshuffle menjadi katup pengaman untuk menyelamatkan pemerintahan dari krisis yang berkepanjangan dan mengatasi kekakuan dalam masa jabatan kepresidenan.25 Namun karena kelima faktor ini sangat temporer dan kondisional sifatnya, bergantung kepada siapa yang berkuasa (walaupun ini tentu saja faktor penting juga), diperlukan suatu usaha jangka panjang untuk membuat sistem presidensial ini lebih stabil dan durable untuk waktu yang lama. Salah satu solusi yang patut untuk didiskusikan adalah perkembangan sistem kepartaian ke arah dua partai besar atau koalisi dua partai besar. Dengan cara ini sistem presidensial akan lebih stabil. Presiden tidak dapat mengandalkan koalisi longgar seperti sekarang karena partai-partai dalam koalisi itu biasanya tidak disiplin dalam menyikapi agenda-agenda presiden. Ia memerlukan suatu dukungan koalisi yang kuat atau partainya sendiri harus dominan. Kalau tidak ia harus menghadapi tekanan terus menerus dari legislatif.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi ada beberapa hal yang mungkin akan menjanjikan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tadi disebutkan dalam sistem Presidensial. Pertama, Jokowi ingin menciptakan pemerintahan yang tidak terlalu bergantung pada koalisi yang dapat menyanderanya dalam menjalankan roda pemerintahan. Ini dimulainya dengan tidak membuat transaksi politik dengan partai pendukungnya dan keinginannya menempatkan orang-orang professional
dalam pemerintahannya. Kedua, dengan adanya kemungkinan dua koalisi besar di parlemen, akan terbentuk oposisi yang bagus di parlemen. Diharapkan partai-partai dalam koalisi pemerintahan solid dan demikian juga di kalangan oposisi. Ini akan berguna dalam pengembangan sistem politik ke depan karena masing-masing partai akan mencoba menawarkan program dan agenda konkrit untuk menunjukkan kelemahan pihak lainnya.++
DAFTAR PUSTAKA Brichta, Avraham and Yair Zalmanovitch, ‘The Proposals for Presidential Government in Israel: A Case Study in the Possibility of Institutional Transference’, dalam Comparative Politics, Vol. 19, No. 1. (Oct., 1986) Cox, Gary W., dan Scott Morgenstern, ‘Latin America’s Reactive Assemblies and Proactive Presidents’, dalam Comparative Politics, Vol. 33, No. 2. (January 2001). Diamond, Larry, Juan J. Linz and Seymour Martin Lipset, ‘Introduction: What Makes for Democracy’, dalam Larry Diamond, Juan J. Linz and Seymour Martin Lipset (eds.), Politics in Developing Countries, Comparing Experiences with Democracy’, (Boulder, London: Lyne Rienner Publishers, 1995). Figueiredo, Argelina Cheibub and Fernando Limongi, ‘Presidential Power, Legislative Organization, and Party Behavior in Brazil’, dalam Comparative Politics, Vol. 32, No. 2. (Jan., 2000). Gunther, Richard, ‘The Relative Merits (and Weaknesses) of Presidential, Parliamentary and Semi-Presidential Sistems’, Demokrasi & HAM, Vol. 1, No. 1, Mei-Agustus 2000. Hall, Peter A., Jack Hayward and Howard Machin (eds.), Developments in French Politics (Hampshire and London: Macmillan, 1990). Hara, Abubakar E., ‘Kelayakan Sistem Presidential di Indonesia: Sebuah Kajian Awal’, Paper disampaikan pada Seminar Nasional ‘Mencari Hubungan Ideal Lembaga-lembaga Tingi Negara dan Demokratisasi Lembaga Politik’, kerjasama Laboratorium Kajian Politik dan Kawasan (LKPK) Universitas Jember dengan Sekretariat Jenderal MPR, Jember 2-3 Desember 2001.
61
Abubakar Eby Hara: Sistem Presidensial di Indonesia
Ishiyama, John T., dan Ryan Kennedy, ‘Superpresidentialism and Political Party Development in Russia, Ukraine, Armenia and Kyrgyzstan’, dalam Europe-Asia Studies, Vol. 53, No. 8. (Dec., 2001). Liddle, William R., ‘Regime: The New Order’, dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto, Polity, Economy, Society Transition (New York, London: M.E. Sharpe, 1999). Lijphart, Arend, ‘Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoretical Observations’, dalam Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (eds.), The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, 2 Vols, (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1994). Linz, Juan J., ‘The Perils of Presidentialism,’ Journal of Democracy, 1, Winter 1990. ———————, and Arturo Valenzuela (eds.), The Crisis of Presidential Democracy: The Latin American Evidence (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1994). ———————, and Arturo Valenzuela (eds.), The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives, 2 Vols, (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1994). Mainwaring, Scott, ‘Presidentialism in Latin America’, dalam Latin American Research Review, Vol. 25, No. 1, 1990. ————————, and Matthew S. Shugart, ‘Juan Linz, Presidentialism, and Democracy, A Critical Appraisal’, Comparative Politics, Vol. 29, No. 4, July 1997. Pamungkas, Sri-Bintang, (penyunting), Konstitusi Kita dan Rancangan UUD1945 yang Disempurnakan, (Jakarta: Partai Uni Demokrasi Indonesia, Juni 1999). Rüland, Jürgen, ‘Constitutional Debates in the Philippines: From Presidentialism to Parliamentarianism?’ dalam Asian Survey, Vol. 43, No. 3. (May - Jun., 2003). Sorensen, Georg, Democracy and Democratization (Boulder, Colorado: Westview Press, 1998). Yu-Shan Wu, The ROC’s Semi-Presidentialism at Work: Unstable Compromise, Not Cohabitation’, Issues & Studies, Vol. 36, No. 5, September/October 2000.
62