THE
NETHERLANDS NEW CIVIL CODE
THE
NETHERLANDS NEW CIVIL CODE Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru
Professor Jaap Hijma (Leiden University) Professor Henk Snijders (Leiden University)
ISBN 978-602-96753-3-7
THE
NETHERLANDS NEW CIVIL CODE
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru
THE
NETHERLANDS NEW CIVIL CODE Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru
Professor Henk Snijders (Leiden University) Professor Jaap Hijma (Leiden University)
The Netherlands New Civil Code
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang Baru Copyright © National Legal Reform Program, 2010 All Rights Reserved Authors: Professor Henk Snijders (Leiden University) Professor Jaap Hijma (Leiden University) Publisher: National Legal Reform Program Setiabudi 2 2nd floor, Suite 207 D Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62 Jakarta 12920 Printed in: Percetakan SMK Grafika Desa Putera Jl. Desa Putera, Sr. Sawah, Jagakarsa Jakarta 12640 Phone : (62-21) 786 6173 - 4 Fax : (62-21) 727 1018 Design & Setting: Fruit www.fruitindonesia.com E-mail :
[email protected] ISBN: 978-602-96753-3-7 The publication of this book has been made possible with a grant from the NLRP. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, scanning, or otherwise.
Content List Content List Preface
BACKGROUNDS OF AND TRENDS IN THE NEW CIVIL CODE OF THE NETHERLANDS By : Professor Jaap Hijma Part I. Backgrounds 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4 1.5. 1.6. 1.7.
Historical Foundations The Civil Code Of 1838 Repair-legislation? Towards a new codification (Some) opposition Drafting procedure Enactment Subsequent activities
1 1 1 2 3 5 6 8 8
2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
International Aspects Foreign influences Some examples Translations A source of inspiration
9 9 10 11 12
PART II. Trends 3. Open Criteria 3.1. Introduction 3.2. Good faith and fair dealing (reasonableness and fairness) 3.3. Conclusion
13 13 13 13 15
4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
In-Between-Solutions Introduction Mistake and undue influence Unforeseen circumstances Conclusion
16 16 16 18 19
5. 5.1. 5.2. 5.3.
Protection Of Third Parties Introduction Property law Conclusion
20 20 20 21
6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6.
Further Trends In The Code Introduction Protection of weak parties Countering unjustified enrichment Deformalization Promotion of business transactions Smoothing of traditional distinctions
22 22 22 23 24 25 26
6.7. 6.8.
Compliance with actual situation Strict liability
27 28
7. 7.1. 7.2.
Concluding Remarks Legal practice Conclusions
29 29 31
NETHERLANDS LAW OF PROPERTY by Professor Henk Snijders 1. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8
General Introduction Law of Property versus Law of Obligations Legislation on Law of Property Terminology Legal consequences of proprietary rights Requirements for proprietary rights Functions General tenets Registration of property
33 33 34 39 46 48 49 50 51
2 2.1 2.2 2.3 2.4
Possession, Detention and Administration Introduction Possession Detention Administration
55 55 57 61 62
3 3.1 3.2 3.3 3.4
Ownership and Other Belonging Introduction Ownership Belonging of rights Community
63 63 63 69 71
4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10
Original Ways of Acquisition Introduction Prescription Occupation Finding Finding treasures Accession Fusion Specification Aquisition of fruits Substitution
86 88 88 90 90 91 92 94 94 97 97
5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Transfer Introduction Transferability Valid title for transfer Valid delivery Power to dispose of property Special transfers
98 98 101 103 108 117 122
6 6.1 6.2 6.3
Dismembered Rights Introduction Dismembered (limited) security rights Dismembered (limited) rights of enjoyment
128 128 129 134
Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar
LATAR BELAKANG DARI DAN TREN DALAM KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA BELANDA YANG BARU Oleh : Profesor Jaap Hijma Bagian I. Latar Belakang 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4 1.5. 1.6. 1.7.
Dasar Sejarah Kitab Undang-undang Hukum Perdata tahun 1838 Undang-undang perbaikan? Menuju kodifikasi baru (Beberapa) oposisi Prosedur perancangan Pengesahan Kegiatan lanjutan
1 1 1 2 3 5 6 8 8
2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
Aspek Internasional Pengaruh asing Beberapa contoh Penerjemah Sumber inspirasi
9 9 10 11 12
BAGIAN II.TREN 3. Kriteria Terbuka 3.1. Pengantar 3.2. Itikad baik dan perlakuan adil (reasonableness and fairness) 3.3. Kesimpulan
13 13 13 13
4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
Solusi Antara Pengantar Kekhilafan dan pengaruh yang tidak benar Keadaan yang tidak diperkirakan Kesimpulan
16 16 16 18 19
5. 5.1. 5.2. 5.3.
Perlindungan Pihak Ketiga Pengantar Hukum harta kekayaan Kesimpulan
20 20 20 21
6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4.
Tren Lainnya Dalam KUHPdt Pengantar Perlindungan terhadap pihak yang lemah Melawan unjustified enrichment (memperkaya diri atas beban orang lain secara tidak sah) Deformalisasi
22 22 22 23
15
24
6.5. 6.6. 6.7. 6.8.
Stimulasi hubungan usaha Menyempurnakan perbedaan tradisional Kepatuhan dengan situasi aktual Pertanggungjawaban penuh
25 26 27 28
7. 7.1. 7.2.
Kesimpulan Akhir Praktik hukum Kesimpulan
29 29 31
HUKUM BELANDA TENTANG HARTA KEKAYAAN oleh Profesor Henk Snijders 1. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8
Pengantar Umum Hukum Harta Kekayaan versus Hukum Pertanggungjawaban Undang-Undang tentang Hukum Harta Kekayaan Terminologi Konsekuensi hukum atas hak milik Persyaratan untuk hak milik Fungsi Doktrin Umum Pendaftaran harta kekayaan
33 33 34 39 46 48 49 50 51
2 2.1 2.2 2.3 2.4
Penguasaan, Penahanan Dan Administrasi Pengantar Penguasaan Penahanan Administrasi
55 55 57 61 62
3 3.1 3.2 3.3 3.4
Kepemilikan Dan Kepunyaan Lainnya Pengantar Kepemilikan Kepunyaan atas hak Kepemilikan bersama (komunitas)
63 63 63 69 71
4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10
Cara-Cara Original Akuisisi Pengantar Prescription Okupansi Penemuan Penemuan harta karun Perlekatan (accession) Penggabungan Spesifikasi Persepsi dari buah Substitusi
86 88 88 90 90 91 92 94 94 97 97
5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Pengalihan Pengantar Dapat dialihkan Hak yang sah untuk pengalihan Penyerahan sah Kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan Pengalihan khusus
98 98 101 103 108 117 122
6 6.1 6.2 6.3
Hak Terbatas Pengantar Hak jaminan terpisah (terbatas) Hak terpisah (terbatas) untuk menikmati
128 128 129 134
Preface The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) is very proud to be entrusted with the publishing of this book entitled “The New Dutch Civil Code”. The book has been long awaited by legal professionals and academics in Indonesia, who have been thirst of and made curious by the development processes and contents of the new Dutch Civil Code. The book is authored by Professor Jaap Hijma and Henk Snijders, both of whom are professors in Civil Law at the University of Leiden, the Netherlands. This book attempts to explain to its readers among which, the background, history in making and contents of the new Dutch Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Belanda yang baru). The development of the new Dutch Civil Code is inseparable with the unsuitability of the old civil code with the ever dynamic condition of the society in the Netherlands. It is considered no longer appropriate for the era. Moreover, the old civil code is made under the influence of The French Civil Code at that time. It is this old Civil Code indeed that is then brought to Indonesia and made applicable until today. Through restless and prolonged endeavor in revising the Civil Code, the Netherlands finally announces the effectiveness of the new Civil Code (KUHPdt) on 1st January 1992, where it then replaces the old Civil Code ever since. It is on purpose that this book is published in bilingual version, so that its readers can still refer to the original manuscript. The NLRP hopes that this book be most beneficial for its readers, in providing knowledge on the Netherlands Civil Law and serving as reference and input for the legal sector in Indonesia. Jakarta, 29th March 2010 The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) Binziad Kadafi Field Manager
Kata Pengantar Kami, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) sangat bangga diberikan kepercayaan untuk menerbitkan buku berjudul “The Netherlands New Civil Code”. Buku yang kiranya ditunggu-tunggu oleh para akademisi dan praktisi hukum di Indonesia yang haus dan penasaran akan proses dan isi dari The Netherlands Civil Code yang baru. Buku ini ditulis oleh Profesor Jaap Hijma dan Henk Snijders, keduanya merupakan professor hukum di University of Leiden Belanda. Buku ini mencoba menjelaskan kepada kita semua diantaranya mengenai latar belakang, sejarah pembuatan dan isi dari The Netherlands Civil Code atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Belanda yang baru. Pembentukan The Netherlands Civil Code yang baru tidak lepas dari ketidasesuaian aturan hukum perdata Belanda dengan kondisi masyarakat Belanda yang semakin dinamis. The Netherlands Civil Code yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman. Plus, aturan hukum perdata ini dibuat tidak lepas dari pengaruh The French Civil Code pada saat itu. Civil Code lama inilah yang kemudian di bawa oleh Belanda ke Indonesia dan masih berlaku hingga saat ini. Namun, melalui perjuangan yang tidak ringan dan memakan waktu yang cukup lama untuk merevisi Civil Code tersebut, Belanda akhirnya mengumumkan keberlakuannya KUH Perdata sejak 1 Januari 1992 dan Civil Code inilah yang berlaku di Belanda dan menggantikan Civil Code yang lama. Buku ini sengaja kami terbitkan dalam versi dua bahasa, sehingga pembacanya tetap dapat merujuk pada naskah aslinya. Semoga buku ini bisa bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu, diharapkan buku ini bisa memberikan wawasan mengenai Hukum Perdata di Belanda dan menjadikannya sebagai salah satu bahan referensi dan masukan bagi dunia hukum di Indonesia. Terima kasih. Jakarta, 29 Maret 2010 The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) Binziad Kadafi Field Manager
Professor Jaap Hijma
1
BACKGROUNDS OF AND TRENDS IN THE NEW CIVIL CODE OF THE NETHERLANDS
LATAR BELAKANG DARI DAN TREN DALAM KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA BELANDA YANG BARU
Professor Jaap Hijma1
Profesor Jaap Hijma1
Professor of Civil Law, University of Leiden. Netherlands
Professor Hukum Perdata, Universitas Leiden, Belanda
PART I. BACKGROUNDS
BAGIAN I. LATAR BELAKANG
1. HISTORICAL FOUNDATIONS
1. DASAR SEJARAH
1.1. The Civil Code of 1838 The former Dutch Civil Code (Burgerlijk Wetboek) became effective in the year 1838. It was largely a translation of the French Civil Code, with a number of adaptations and additions. The fact that we adopted – to a large extent – the French Civil Code may seem odd. During Napoleon’s reign, the French had invaded our country. After a while we kicked out the French soldiers and administration. But nevertheless, we sticked to their Codes. Why? The reason is simple. When we faced the task of developing our own Codes, we simply could not escape from the French example. The French Code embodied the “state of the art” in those days, and was
1.1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tahun 1838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang lama berlaku efektif pada tahun 1838. Undang-undang tersebut sebagian besar merupakan penerjemahan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata Prancis, dengan beberapa adaptasi dan penambahan. Kenyataan bahwa kami mengadopsi – sebagian besar – Kitab Undang-undang Hukum Perdata Prancis mungkin terlihat aneh. Pada masa kepemimpinan Napoleon, Prancis menginvasi Negara kami. Tak lama kemudian kami menendang tentara Prancis dan administrasinya. Namun demikian, kami tetap menggunakan undang-undangnya.
1 The author is most gratefull to his student and assistant ms Elsemieke Daalder for her comments on an earlier version of this contribution.
1 Ucapan terima kasih Penulis diberikan kepada murid sekaligus asistennya, Elsemieke Daalder atas komentarnya pada versi awal tulisan ini.
2
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
almost impossible to ignore.
We did make a number of adaptations, however. An important difference is that, when an object is sold, according to Dutch law a separate transfer is needed to pass the ownership to the receiver, whereas according to French law buyership already implies ownership. And there was quite a number of other adaptations and corrections, not only on issues of substantive law, but also regarding the structure of the Code.
1.2. Repair-legislation? After roughly one hundred years of service the Civil Code of 1838, in the opinion of many, was showing its age. A government committee was appointed to correct the inaccuracies and to fill the gaps. At this stage, the idea was simply to develop “repair-legislation”.
The committee operated rather slowly. This got on the nerves of one of the leading scholars – in fact: the leading scholar – of that day, Eduard M. Meijers, professor of civil law at the University of Leiden. In 1928 Meijers published a list mentioning as much as one hundred defects of the existing Civil Code, and added that he could quite easily show another hundred shortcomings. He criticised
Kenapa? alasannya sangat sederhana. Ketika kami dihadapkan dengan tugas untuk menyusun undang-undang kami sendiri, kami tidak dapat lepas dari contoh-contoh yang ditinggalkan Prancis. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Prancis merupakan “state of the art” pada masa itu, yang tidak mungkin kami hiraukan. Meskipun demikian, kami melakukan beberapa adaptasi. Perbedaan penting adalah bahwa, apabila objek terjual, menurut undang-undang Belanda peralihan terpisah diperlukan untuk memindahkan kepemilikan kepada penerima, sedangkan menurut undang-undang Prancis pembelian sudah mengandung kepemilikan. Kemudian ada beberapa adaptasi dan koreksi lainnya, tidak hanya mengenai masalah hukum substantif, tetapi juga mengenai struktur dari kitab. 1.2. Undang-undang perbaikan? Setelah kurang lebih seratus tahun berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata 1838, menurut beberapa opini, kitab tersebut sudah mulai tua. Komite pemerintah ditunjuk untuk memperbaiki ketidaktepatan dan mengisi celah yang ada. Pada tahap ini, gagasan yang ada hanyalah menyusun “undang-undang perbaikan”. Komite tersebut berjalan agak lambat. Dan ini memancing reaksi dari ilmuwan hukum – bahkan: ilmuwan hukum yang utama – pada waktu itu, yaitu Eduard M. Meijers, professor hukum perdata di Universitas Leiden. Pada tahun 1928 Meijers menerbitkan daftar yang memuat tidak kurang dari seratus kecacatan dalam KUHPdt saat itu, dan menambahkan bahwa ia dengan mudah
Professor Jaap Hijma
3
the inertia of the repair-committee. On the other hand, he stated that the committee really did not have much of a chance, because patrimonial law is a coherent system and it is hardly feasible to repair some isolated parts while the rest of the Code remains as it is.
dapat menunjukkan seratus kekurangan lainnya. Ia mengkritisi ketidakmampuan dari komite perbaikan. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa komite sebenarnya tidak memiliki banyak pilihan, karena hukum patrimonial adalah suatu sistem koheren dan tampaknya tidak fisibel untuk memperbaiki beberapa bagian saja sementara bagian lainnya dibiarkan tidak diubah.
1.3. Towards a new codification Meijers argued that the only sensible solution was the development of a whole new Civil Code. For this - radical - opinion, he put forward three main arguments. The first argument was the diffused and unclear state of civil law at that moment. Most of it was placed within the Civil Code of course, but there were also all kinds of special laws, outside the Code, which contained civil law too. E.g. regarding various specific contracts, like the lease of agricultural land and hire-purchase. The existence of this bundle of special laws made it difficult to grasp the general picture, not only for legal practitioners, but also for the legislator himself. On various issues, the special laws did not correspond with each other, or they deviated from the Code in an inexplicable way. This meant a serious threat for the unity of, and coherence within, civil law.
1.3. Menuju kodifikasi baru Meijers berargumentasi bahwa solusi satusatunya yang masuk akal adalah untuk menyusun KUHPdt yang baru. Untuk opini yang radikal ini, ia mengajukan tiga argumen. Argumen yang pertama adalah bahwa hukum perdata terpecah-pecah dan tidak jelas pada saat itu. Ketidakjelasan tersebut utamanya ada di dalam KUHPdt tentunya, tetapi ada pula berbagai macam undang-undang khusus, yaitu undang-undang diluar KUHPdt, yang juga mengatur tentang hukum perdata. Misalnya terkait dengan berbagai macam kontrak yang sifatnya khusus, seperti sewa tanah pertanian dan sewa beli. Keberadaan dari seperangkat undang-undang khusus ini mengakibatkan sulitnya untuk memperoleh gambaran umum, tidak saja bagi praktisi hukum, tetapi juga bagi pembuat undang-undang itu sendiri. Untuk beberapa hal, hukum khusus tidak saling berkaitan antar satu sama lain, atau bahkan menyimpang dari KUHPdt dengan cara yang tidak dapat dijelaskan. Ini merupakan ancaman serius untuk kesatuan dari dan konsistensi dari hukum perdata. Argumen Meijers yang kedua agar disusun KUHPdt yang baru adalah, bahwa
Meijers’ second plea in favour of a whole new Civil Code was, that the existing
4
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
Code was becoming too old and obsolete anyway. I already mentioned his list of one hundred, mayne two hundred, shortcomings. Terms were unclear; a number of actual problems was ignored; some articles were in the wrong place; et cetera. This of course meant a threat to legal certainty. Let me mention one (more or less famous) example. Our former Code mentioned that “The sale of someone else’s property is null and void”. But in the view of the scolars and judges, the sale als such – as a contract within the law of obligations – is completely valid. The problem lies with the transfer of the property, not with the sale itself. Thus the sentence “the sale is null and void” was interpreted as “the sale is valid”. In this way, the status of the code got seriously undermined.
Meijers’ third argument was, that since 1838 a relevant number of new insights had developed regarding the principles which should underlie a civil law codification. On the one hand, he argued that the structure of the French Code was no longer satisfactory. This in fact caused the development of many special laws, outside the Civil Code. The existing Code offered no opportunity to enclose these laws in a natural and logical way. On the other hand, society itself had changed fundamentally since 1838. The 19th century in Europe was the century of liberalism, of great personal freedom, whereas during the 20th century general (public) interests became more and more important. Man is not a solitary animal. He is – at least: should be -- a social
KUHPdt yang ada lagipula sudah menjadi terlalu tua dan usang. Saya sudah menyebutkan daftar seratus kekurangan yang telah ia sampaikan, bahkan mungkin dua ratus. Istilah yang tidak jelas, beberapa masalah aktual dihiraukan, ada pasal-pasal yang diletakkan secara salah, dan sebagainya. Ini tentu saja berarti sebuah ancaman untuk kepastian hukum. Ijinkan saya mengutarakan satu atau dua contoh yang paling lazim. KUHPdt kami yang lama menyebutkan bahwa “penjualan atas harta kekayaan orang lain adalah batal demi hukum”. Tetapi dalam sudut pandang ahli hukum dan hakim, penjualan macam itu – sebagai kontrak dalam hukum perikatan – adalah sah. Permasalahannya terletak pada pengalihan dari harta kekayaan, bukan pada penjualan itu sendiri. Karena itu kalimat dari “penjualan adalah batal demi hukum” diinterpretasikan sebagai “penjualannya sah”. Dengan begini, kedudukan dari KUHPdt betul-betul dihiraukan. Argumen ketiga dari Meijers adalah bahwa sejak tahun 1838 beberapa pandangan baru telah berkembang terkait dengan prinsip-prinsip yang harus mendasari kodifikasi hukum perdata. Di satu sisi, ia berargumentasi bahwa struktur dari KUHPdt Prancis tidaklah dapat memuaskan lagi. Hal ini telah menyebabkan berkembangnya banyak hukum khusus, di luar dari KUHPdt. KUHPdt yang ada tidak memberikan peluang untuk menyertakan hukum-hukum ini secara natural dan logis. Di sisi lainnya, masyarakat sendiri secara fundamental telah berubah sejak 1838. Abad ke-19 di Eropa adalah abad liberalisme, kebebasan personal yang luas, sementara pada abad ke-20 kepentingan umum (publik) menjadi semakin penting. Manusia bukanlah
Professor Jaap Hijma
animal. This changed context was the third, and maybe most fundamental, plea in favour of a new Civil Code.
5
The idea of a new codification caught on. In 1947 Meijers himself was appointed as government commissioner, with the assignment to write a completely new Dutch Civil Code.
makhluk hidup yang soliter. Manusia – setidaknya – harus menjadi makhluk sosial. Konteks perubahan ini merupakan argumen yang ketiga, dan mungkin yang paling fundamental, untuk mengajukan penyusunan KUHPdt yang baru. Gagasan dari kodifikasi baru ini kemudian berlanjut. Pada tahun 1947 Meijers sendiri akhirnya ditunjuk sebagai komisioner pemerintah, dengan tugas untuk menyusun KUHPdt Belanda yang benar-benar baru.
1.4 (Some) opposition The ambitious project did not only meet approval. Opponents argued it was a waste of time, money and energy. They compared the existing Civil Code with an old coat, which may be a bit fluffy and threadbare, but which is familiar to the owner and highly comfortable to wear. The opposition was not free of feelings of nostalgia, but of course it did not find its roots only therein. However defective the old Code might be, through court decisions and scholarly writing an appropriate degree of legal certainty had grown. The opponents argued it made no sense to give this up. Indeed the introduction of a new codification inevitably brings along (annoyances and) uncertainties. Lawyers no longer know for sure where they stand. They have to reorient themselves thoroughly, and must do a lot of studying before they re-obtain the level of knowledge they had under the old law. Moreover, the maxim that words are never clear surely applies to the provisions of a new codification as well. No matter how elaborate and well formulated the new articles, a substantive amount of interpretation difficulties and uncertainties
1.4 (Beberapa) oposisi Proyek ambisius itu tidak langsung disetujui. Para oposisi berargumentasi bahwa hal tersebut hanya membuang waktu, uang dan tenaga. Mereka membandingkan KUHPdt seolah-olah adalah jaket yang tua, yang mungkin sudah sedikit usang dan belel, tetapi sudah dikenal oleh si pemilik dan sangat nyaman untuk dikenakan. Oposisi ini tidak terlepas dari nostalgia, tetapi tentu saja bukan hanya masalah nostalgia yang dimaksud di sini. Secacat apapun KUHPdt yang lama, melalui putusan pengadilan dan tulisan-tulisan ahli hukum, kepastian hukum mulai tumbuh. Oposisi berargumen bahwa tidak masuk akal untuk menghiraukan pertumbuhan tersebut. Bahkan memperkenalkan kodifikasi baru mau tak mau akan membawa serta gangguan/ ketidakpastian. Para pengacara tidak lagi secara pasti mengetahui pijakan. Mereka harus melakukan orientasi ulang secara menyeluruh, dan harus melakukan banyak studi sebelum mereka memperoleh kembali tingkat pengetahuan yang mereka sudah miliki dengan hukum yang lama. Lebih lagi, pepatah yang mengatakan bahwa perkataan tidaklah pernah
6
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
is still due to arise. However it was only a minority that stressed these drawbacks. The project went on.
jelas tentunya berlaku juga untuk keadaan yang baru. Seberapa banyakpun penjelasan dan seberapa baikpun pasal-pasal baru disusun, kesulitan interpretasi dan ketidakpastian dalam jumlah substantif, pasti akan muncul. Namun penolakan ini disampaikan oleh minoritas. Proyek ini pun berlanjut.
1.5. Drafting procedure Meijers took a careful approach. On many issues he gathered the advice of specific experts, for example of barristers and company lawyers. Moreover, as virtual legislator, he kept in close contact with the official legislator. In 1952/1953 he put a list of some fifty questions to Parliament, the answers (“conclusions”) on which he incorporated in the draft.
1.5. Prosedur perancangan Meijers mengambil pendekatan yang seksama. Untuk berbagai hal, ia banyak mengumpulkan saran dari para ahli khusus, contohnya dari pengacara hukum perdata dan pengacara perusahaan. Lebih lagi, sebagai legislator virtual, ia menjaga hubungan yang dekat dengan para legislator resmi. Pada tahun 1952/1953 ia menyusun limapuluh daftar pertanyaan untuk diajukan kepada Parlemen, jawaban (“kesimpulan”) yang ia masukkan dalam draf (rancangan). Dalam daftar tersebut, misalnya, ada beberapa pertanyaan sebagai berikut. -- Pertanyaan: apakah disarankan untuk mengadopsi sistem yang betul-betul baru untuk pendaftaran tanah? Jawaban: bukan perubahan fundamental, tetapi perlindungan yang lebih baik untuk pihak ketiga dengan itikad baik. -- Pertanyaan: Apakah kita memerlukan peraturan khusus mengenai pertanggungjawaban negara? Jawabannya: tidak. -- Pertanyaan: haruskah orang dengan keterbelakangan mental, bertanggungjawab atas kerugian yang ia buat atas orang lain, apabila kerugian ini diakibatkan oleh kecacatannya tersebut? Jawaban: ya.
On this list were, for example, following questions like the following. -- Question: Is it advisable to adopt a completely new system of land registration? Answer: no fundamental change, but a better protection of third parties in good faith. -- Question: Do we need specific provisions on state liability? Answer: no. -- Question: Shall a person who is mentally handicapped, be responsible for the damage he inflicts upon another person, if this damage is caused by his handicap? Answer: yes. -- Question: Shall the judge have a structural power to moderate the amount of damages? Answer: yes.
Professor Jaap Hijma
Et cetera. In this way, Meijers assured himself of the necessary political support. In 1954 he was able to present roughly half of the great work to our (former) Queen Juliana. Then fate stroke: a couple of months after this presentation Meijers died. He was succeeded by a group of three prominent lawyers (often called the triumvirate), supplemented by a number of experts for the various specific contracts. The new drafters were certainly competent, but not always of the same mind. Obviously this complicated matters. Time started leaking away. During the sixties and seventies, the remaining parts of the new Civil Code were drafted more or less at a footpace. The Government modified the drafts moderately and then presented them to Parliament, not as a whole, but as a number of separate bills. In 1980 the central Books 3, 5 and 6 were adopted (“Vaststellingswet”). Afterwards a second legislative round was started, during which the transitional provisions were supplemented and some last – minor – changes were carried out. In 1986, the texts finally became definitive (“Invoeringswet”). Still the new Civil Code was not enacted right away. Wisely, the legislator wanted legal practice to be able to prepare itself thoroughly for the oncoming change.
7
-- Pertanyaan: haruskah hakim memiliki kekuasaan struktural untuk mengurangi jumlah kerugian? Jawaban: ya. Dan pertanyaan lainnya. Dengan cara ini, Meijers memastikan dirinya sendiri bahwa ia mendapatkan dukungan politis yang ia perlukan. Pada tahun 1954 ia dapat mempresentasikan setengah dari kerja keras itu kepada mantan Ratu Juliana. Lalu kemudian takdir datang: beberapa bulan setelah presentasi yang ia lakukan, Meijers meninggal dunia. Kerjanya kemudian diteruskan oleh sebuah kelompok yang terdiri dari tiga pengacara terkenal (yang sering disebut triumvirate), dibantu oleh beberapa ahli untuk kontrakkontrak spesifik. Penyusun tersebut tentu saja kompeten, tetapi tidak selalu memiliki pikiran yang sejalan. Waktupun berlalu. Pada era 1960 dan 1970an, bagian yang tersisa dari KUHPdt disusun secara perlahan. Pemerintah tidak banyak memodifikasi draf tersebut dan kemudian mempresentasikannya kepada parlemen, tidak secara keseluruhan, tetapi dalam beberapa rancangan undang-undang. Pada tahun 1980 bagian utama Buku 3, 5 dan 6 diadopsi (“Vaststellingswet”). Kemudian putaran legislatif kedua dimulai, di mana pada masa tersebut ketentuan peralihan ditambahkan dan beberapa perubahan kecil dilakukan. Pada tahun 1986, naskah tersebut akhirnya menjadi definitif (“Invoeringswet”). Tetap saja, KUHPdt yang baru tidak langsung diberlakukan. Legislator menginginkan praktik hukum untuk dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan baru tersebut.
8
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
1.6. Enactment On the first of January of 1992, the New Dutch Civil Code (Nieuw Burgerlijk Wetboek (here: DCC) came into force. To be more precise: the heart of the Code did, concerning patrimonial law (Books 3, 5 and 6; plus a part of Book 7). At that moment, the reviewed law of persons was already effective: in 1970 the new Book 1 (Law of Persons and Family Law) was enacted, in 1976 the new Book 2 (Legal Persons). AD December 2006, the Netherlands still cannot boast the possession of a complete New Civil Code. A few last parts, particularly regarding some specific contracts, are still waiting for their (final) draft. However, we are absolutely drawing to a close.
1.6. Pengesahan Pada 1 Januari 1992, KUHPdt Belanda yang baru (Nieuw Burgerlijk Wetboek) diberlakukan. Tepatnya: jantung dari kitab tersebut, menyangkut hukum patrimonial (Buku 3, 5 dan 6; plus sebagian Buku 7). Pada waktu itu, hukum orang yang telah dikaji, sudah diberlakukan: pada tahun 1970 Buku 1 yang baru (hukum atas Orang dan Keluarga) diberlakukan, pada tahun 1976 Buku 2 yang baru (Badan Hukum) diberlakukan. Hingga Desember 2006, pemerintah Belanda masih belum dapat berbangga memiliki KUHPdt yang lengkap. Beberapa bagian terakhir, terutama terkait dengan kontrakkontrak spesifik, masih menunggu rancangan akhirnya. Namun, saat ini sudah semakin mendekati selesai.
1.7. Subsequent activities Because of the remaining blank spots – mainly situated in specific contract law – the work on the Code carried, and still carries, on. There is a second reason for prolonged activity, related to the fact that our country is a member of the European Community. Regularly European Directives are adopted which must be incorporated in the written law of the member-states. During the last decade, Europe triggered several tens of additional Civil Code articles in this way, mainly with the scope of consumer protection. I mention Directive 90/314/ EEC 2 on package travel, package holidays
1.7. Kegiatan lanjutan Karena ada beberapa ruang kosong – terutama untuk hukum kontrak spesifik – pekerjaan penyusunan kitab tersebut dilanjutkan dan masih terus berlanjut. Ada alasan kedua mengapa pekerjaan ini menjadi lama, yaitu terkait dengan kenyataan bahwa negara kami adalah anggota dari Uni Eropa. Secara reguler Peraturan Eropa (European Directives) diadopsi dan harus dimasukkan ke dalam hukum tertulis dari negara-negara anggota. Selama dekade terakhir ini, Eropa telah memicu puluhan pasal tambahan dalam KUHPdt, terutama ruang lingkup perlindungan konsumen. Saya sebutkan di sini Directive 90/314/EEC2 mengenai paket perjalanan, paket liburan
2 Official Journal of the European Communites (OJ EC) 1990, L 158.
2 Jurnal resmi dari European Communites (OJ EC) 1990, L 158.
Professor Jaap Hijma
and package tours, Directive 93/13/EC 3 on unfair terms in consumer contracts, Directive 94/47/EC4 on the protection of purchasers of the right to use immovable property on a timeshare basis, Directive 97/7/EC5 on the protection of consumers in respect of distance contracts, and Directive 1999/44/EC6 on certain aspects of the sale of consumer goods and associated guarantees. These directives led to some major additions to the new Code: section 7.1.9A (Purchase of the right to use immovable property on a timeshare basis), section 7.1.10A (Distance contracts), Title 7.7A (Travel contract), and various further additions to Title 7.1 (regarding consumer sale).
As a consequence of this European connection our country – like the other memberstates – is obliged to adapt its codification from time to time, no matter how young it may be.
9
dan paket tur, Directive 93/13/EC3 mengenai persyaratan yang tidak adil dari kontrak konsumen, Directive 94/47/EC4 mengenai perlindungan bagi pembeli dari hak pakai dari harta kekayaan tidak bergerak berbasis waktu, Directive 97/7/EC5 mengenai perlindungan konsumen terkait dengan kontrak berjarak (distance contract), dan Directive 1999/44/EC6 mengenai aspek-aspek tertentu dari penjualan barang konsumen dan perlindungan terkaitnya. Peraturan-peraturan ini mengarah pada beberapa tambahan besar dalam KUHPdt baru: bagian 7.1.9A (pembelian hak untuk memakai harta tidak bergerak berbasis waktu), bagian 7.1.10A (Kontrak berjarak), Judul 7.7A (Kontrak perjalanan), dan berbagai tambahan lebih lanjut untuk Judul 7.1 (mengenai penjualan konsumen). Sebagai konsekuensi dari hubungan Eropa ini terhadap negara kami, seperti juga negara lainnya, diwajibkan untuk mengadaptasi kodifikasi ini dari waktu ke waktu, tanpa memandang umur dari dari peraturan tersebut.
2. INTERNATIONAL ASPECTS
2. ASPEK INTERNASIONAL
2.1. Foreign influences Almost every country in the world is strongly connected to other countries by political, juridical and economical ties. The need to look across the borders – also in the field of civil law – is evident and eminent, especially for a small country like The Netherlands (with only 16 million inhabitants). Our legislator took comparative law very seriously indeed.
2.1. Pengaruh asing Hampir setiap negara di dunia ini secara erat terkait dengan negara lain secara politis, yuridis dan ekonomis. Kebutuhan untuk melihat menyeberangi batas negara, juga ditemukan dalam hal hukum perdata, terutama untuk negara kecil seperti Belanda (dengan penduduk hanya 16 juta). Legislator kami memperlakukan hukum komparatif secara sangat serius.
3 4 5 6
3 4 5 6
OJ EC 1993, L 95. OJ EC 1994, L 280. OJ EC 1997, L 144. OJ EC 1999, L 171.
OJ EC 1993, L 95. OJ EC 1994, L 280. OJ EC 1997, L 144. OJ EC 1999, L 171.
10
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
From the extensive commentary he delivered with the draft, we learn that on many issues foreign law was studied and used, to reach the best possible solution. Primary focus of the comparison is the codification and law of Germany, our most important neighbour. But our legislator also studied and used the law of other European countries (France, England, Italy, Switzerland, Greece), and also of counties outside Europe, like Egypt, Brazil and China.
Dari penjelasan ekstensif yang ia sertakan bersama draf, kita mengetahui bahwa hukum asing banyak dipelajari dan digunakan, untuk mencapai solusi terbaik yang dimungkinkan. Fokus utama dari studi perbandingan adalah kodifikasi dan hukum Jerman, tetangga kami yang paling penting. Tetapi legislator kami juga mempelajari dan menggunakan hukum dari negara Eropa lainnya (Prancis, Inggris, Italy, Swiss, Yunani), dan juga negara di luar Eropa seperti Mesir, Brasil dan Cina.
2.2. Some examples Let us discuss a few examples of this comparative law influence. As for France, we already saw that our former Code was very close the French Civil Code. In our new Code the French influence has diminished, but has by no means disappeared. As for Germany: the German Civil Code of 1900 (Bürgerliches Gesetzbuch) has had a distinct influence on the structure of our Civil Code. Especially the idea of a General Part, or, to be more precise, of various general parts, with a layered structure, is in line with the German example. Another example is the German law on general conditions, allgemeine Geschäftsbedingungen, which had a major influence on the detailed Dutch provisions regarding that subject. England (United Kingdom) is a special case. Anglo-American law does not know a codification, but is largely judgement based (judge-made law). Our legislator was inspired however by a number of common law doctrines. Our new Code holds, unlike the old one, provisions on Anglo-American
2.2. Beberapa contoh Mari kita berbicara tentang beberapa contoh mengenai pengaruh dari hukum komparatif ini. Untuk Prancis, kami melihat bahwa KUHPdt kami yang lama sangatlah mirip dengan KUHPdt Prancis. Dalam KUHPdt kami yang baru, pengaruh Prancis hilang, tetapi bukan berarti lenyap. Sedangkan untuk Jerman, KUHPdt Jerman tahun 1900 (Bürgerliches Gesetzbuch) memberikan pengaruh nyata atas struktur dari KUHPdt kami. Terutama ide mengenai Bagian Umum, atau, lebih tepatnya, berbagai bagian umum, dengan struktur berlapis, sesuai dengan Jerman sebagai contoh. Contoh lainnya adalah hukum Jerman mengenai kondisi umum, allgemeine Geschäftsbedingungen, yang memiliki pengaruh besar atas peraturan rinci negara Belanda atas subyek tersebut. Inggris (Kerajaan Inggris) adalah kasus khusus. Hukum Anglo-American tidak mengenal kodifikasi, tetapi sebagian besar berdasarkan pertimbangan (hukum yang dibentuk oleh hakim). Legislator kami terinspirasi oleh beberapa doktrin dari common law. Tidak seperti yang lama, KUHPdt kami
Professor Jaap Hijma
11
concepts like undue influence and anticipatory breach. And our article on mistake (error) can be considered a blend of the Anglo-American idea of misrepresentation on the one hand, and the continental concept of vice of consent on the other.
yang baru memuat konsep peraturan AngloAmerican seperti pengaruh yang tidak benar (undue influence dan pelanggaran anticipatory breach. Dan pasal kami mengenai kesalahan (error) dapat dianggap sebagai perpaduan dari ide Anglo-American mengenai kesalahan interpretasi di satu sisi, dan konsep continental mengenai vice of consent di sisi lainnya.
2.3. Translations The new Dutch Civil Code has been honoured with a considerable amount of international attention. Translations were published in various languages: in English and French by Haanappel and Mackaay,7 in English also by Warendorf, Thomas and Curry-Sumner,8 in German by Nieper and Westerdijk,9 in Russian by a working group of the University of Leiden,10 in Spanish by Van Reigersberg Versluys,11 in Chinese by Wang and Wang.12 (In this contribution, I predominantly adopt the English translation by Haanappel).
2.3. Terjemahan KUHPdt Belanda yang baru telah mendapatkan kehormatan dengan cukup banyaknya sorotan dari dunia internasional. Terjemahan dicetak dalam beberapa bahasa: dalam bahasa Inggris dan Prancis oleh Haanappel dan Mackaay,7 dalam bahasa Inggris juga oleh Warendorf, Thomas and Curry-Sumner,8 dalam bahasa Jerman oleh Nieper and Westerdijk,9 dalam bahasa Rusia oleh kelompok kerja di Universitas Leiden,10 dalam bahasa Spanyol oleh Van Reigersberg Versluys,11 dalam bahasa Cina oleh Wang dan Wang.12 (dalam tulisan ini, saya mengadopsi Terjemahan bahasa Inggris oleh Haanappel).
�������������������������������������������� P.P.C. Haanappel and E. Mackaay, New Netherlands Civil Code, Patrimonial Law resp. Nouveau Code Civil Néerlandais, Le Droit Patrimonial, Deventer/Boston, 1990 (the book includes an essay by A.S. Hartkamp, Civil Code revision in the Netherlands 1947-1992, pp. XIII-XVI). 8 H. Warendorf, R. Thomas and I. Curry-Sumner, The Civil Code of the Netherlands, Austin/Boston/ Chicago/New York/The Netherlands, 2009. ����������������������������������������������� F. Nieper and A.S. Westerdijk (Red.), Niederländisches Bürgerliches Gesetzbuch, in five parts, München and The Hague/London/Boston, 1995 et al. �� Institut vostotsjno-evropejskogo prava i rossievedenija Lejdenskogo universiteta, Grazjdanskij Kodeks Niderlandov, Niderlandy, 1996. �� J.G. van Reigersberg Versluys, Derecho Patrimonial Neerlandes, Libros 1, 3, 5, 6 y 7 del Nuevo Codigo Civil, Malaga, 1996; Derecho Comercial Neerlandes, Libro 2, Las Personas Juridicas, Malaga, 1999; Derecho Comercial Neerlandes, Libro 8, Medios de Trafico y Transporte, Malaga, 2000. �� Wang L. and Wang W., (...), Nederlands Burgerlijk Wetboek, (...), Beijing, 2007.
7 P.P.C. Haanappel and E. Mackaay, New Netherlands Civil Code, Patrimonial Law resp. Nouveau Code Civil Néerlandais, Le Droit Patrimonial, Deventer/Boston, 1990 (the book includes an essay by A.S. Hartkamp, Civil Code revision in the Netherlands 1947-1992, pp. XIII-XVI). 8 H. Warendorf, R. Thomas and I. CurrySumner, The Civil Code of the Netherlands, Austin/Boston/Chicago/New York/The Netherlands, 2009. 9 F. Nieper and A.S. Westerdijk (Red.), Niederländisches Bürgerliches Gesetzbuch, in five parts, München and The Hague/London/Boston, 1995 et al. 10 Institut vostotsjno-evropejskogo prava i rossievedenija Lejdenskogo universiteta, Grazjdanskij Kodeks Niderlandov, Niderlandy, 1996. 11 J.G. van Reigersberg Versluys, Derecho Patrimonial Neerlandes, Libros 1, 3, 5, 6 y 7 del Nuevo Codigo Civil, Malaga, 1996; Derecho Comercial Neerlandes, Libro 2, Las Personas Juridicas, Malaga, 1999; Derecho Comercial Neerlandes, Libro 8, Medios de Trafico y Transporte, Malaga, 2000. 12 Wang L. and Wang W., (...), Nederlands Burgerlijk Wetboek, (...), Beijing, 2007.
12
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
2.4. A source of inspiration Just like other law systems have inspired the Dutch legislator, the brand new Civil Code of the Netherlands has become a source of inspiration to modern legislators elsewhere. A first track leads (from the Netherlands) to the east. When the Sowjet Union broke up, each of the new republics was eager to possess a new and solid Civil Code. And when the new legislators looked around the world for inspiration, many of them recognised the Dutch Civil Code of 1992 as the “state of the art” in contemporary civil law codification. A translation was made in Russian, and many Dutch civil law experts visited the young republics to advise on the development of their codification. The Russian concept of razumnost y spravedlivost is a direct descendant of our reasonableness and fairness.
A second track leads to the socalled “principles of contract law”. In Europe, steps are taken to (try to) pave the way for a supranational civil law codification, first of all in the field of contract law. Thus the Principles of European Contract Law (PECL) were drafted, edited by Ole Lando (Denmark) and Hugh Beale (England).13 In this ambitious project all European legal systems were studied. I think it is no exaggeration to state that the solutions chosen by the Dutch legislator were relatively often accepted. This does not come as a surprise, when we consider that the Dutch 13 A sister project are the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, Rome 2004 (UPICC). See recently also Chr. von Bar and E. Clive, Principles, Definitions and Model Rules of European Private Law, Draft Common Frame of Reference (DCFR), Munich 2009.
2.4. Sumber inspirasi Seperti halnya sistem hukum lainnya telah menginspirasi legislator Belanda, KUHPdt yang baru telah menjadi sumber inspirasi untuk legislator modern di tempat lainnya Langkah pertama (dari Belanda) mengarah ke timur. Ketika Uni Soviet terpecah, setiap republik yang baru sangat ingin untuk memiliki KUHPdt yang baru dan kuat. Dan ketika legislator mencari-cari keliling dunia untuk inspirasi, banyak dari mereka yang mengakui KUHPdt Belanda tahun 1992 sebagai “state of the art” dalam kodifikasi hukum perdata kontemporer. Penerjemahan dilakukan ke dalam Bahasa Rusia, dan banyak ahli hukum perdata Belanda yang mengunjungi republik muda ini untuk memberikan masukan mengenai pengembangan kodifikasi mereka. Konsep Rusia dari razumnost y spravedlivost mer upakan tur unan langsung dari r easonableness and fair ness yang kami miliki. Jejak kedua mengarah kepada apa yang disebut dengan “prinsip-prinsip dari hukum kontrak”. Di eropa, langkah-langkah diambil untuk mencoba meretas jalan untuk kodifikasi hukum perdata supranasional, pertama dalam seluruh kancah hukum kontrak. Dengan demikian Prinsip Hukum Kontrak Eropa (Principles of European Contract Law (PECL)) dirancang, diedit oleh Ole Lando (Denmark) dan Hugh Beale (Inggris)13 Dalam proyek ambisius ini seluruh sistem hukum Eropa dipelajari. Saya rasa tidak berlebihan 13 A sister project are the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, Rome 2004 (UPICC). See recently also Chr. von Bar and E. Clive, Principles, Definitions and Model Rules of European Private Law, Draft Common Frame of Reference (DCFR), Munich 2009.
Professor Jaap Hijma
13
solutions themselves are often the result of recent comparative law studies.
untuk menyatakan bahwa solusi yang dipilih oleh legislator Belanda secara relatif seringkali dapat diterima. Ini tidaklah mengejutkan, apabila kita melihat bahwa solusi Belanda itu sendiri seringkali merupakan hasil dari studi komparatif.
PART II. TRENDS
BAGIAN II. TREN
3. OPEN CRITERIA
3. KRITERIA TERBUKA
3.1. Introduction Under the New Civil Code, the position of the judiciary and the judicial judgement has gained substantial weight. A review of a number of material trends visible in the new Dutch Civil Code, which I will reflect upon now, may stress this point.
3.1. Pengantar Di bawah KUHPdt yang baru, kedudukan dari peradilan dan pertimbangan yudisial telah mendapatkan pertimbangan yang substansial. Sebuah kajian dari beberapa tren material yang tampak dalam KUHPdt Belanda yang baru, yang nanti akan saya jelaskan, dapat menekankan hal ini. Tren pertama yang akan dibahas secara langsung terkait dengan peranan hakim. Saya mengacu kepada kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan “kriteria terbuka”, kerangka mana telah diatur oleh legislator, tetapi konten aktualnya masih sangat tergantung dari pertimbangan hakim.
The first trend to be discussed is directly related to this role of the judge. I refer to the tendency to use more and more “open criteria”, the outline of which is provided by the legislator, but the actual contents of which are highly dependent of the appreciation – in the concrete case – by the judge.
3.2. Good faith and fair dealing (reasonableness and fairness) In the first place: “good faith and fair dealing”. As mentioned before, good faith and fair dealing not only govern contract law, but also the further law of obligations and by way of a written analogy even (parts of) property law. In our modern civil law this
3.2. Itikad baik dan perlakuan adil (reasonableness and fairness) Pertama-tama: “itikad baik dan perlakuan adil”. Seperti yang disampaikan sebelumnya, itikad baik dan perlakukan adil tidak hanya diatur dalam hukum kontrak, tetapi juga hukum perikatan lainnya dan bagian dari hukum harta kekayaan. Dalam hukum perdata
14
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
is considered a very fundamental principle. Its base is art. 6:2 DCC, which reads as follows: (1) A creditor and a debtor must, as between themselves, act in accordance with the requirements of reasonableness and fairness. (2) A rule binding upon them by virtue of law, usage or a juridical act does not apply to the extent that, in the given circumstances, this would be unacceptable according to criteria of reasonableness and fairness (within the frame of contract law, both provisions are more or less repeated in art. 6:248 DCC). Therefore, good faith and fair dealing (in our choice of words: reasonableness and fairness) are not only a source of supplementation, but also a means of detraction: when a certain rule – whether arising from a contract or from the code itself – is unacceptable according to criteria of good faith and fair dealing, this rule simply is not binding in the circumstances: the preliminary outcome is overruled. Naturally this puts a lot of weight upon the shoulders of the judge, who after all is the one who decides whether the original outcome is unacceptable or not. On the other hand, this point should not be exaggerated. According to the documentary history of the Code, there is no real judicial discretion here. A judge is not allowed to interfere if and when he sees fit, but he may do so exclusively if the original outcome is “unacceptable” from the point of view of reasonableness and fairness. Because of this threshold, the judicial review is limited. Under the old Code, the general principle of the derogative power of reasonableness and fairness was already
modern kami, hal ini dianggap sebagai prinsip yang sangat fundamental Dasarnya adalah pasal 6:2 KUHPdt Belanda, yang berbunyi sebagai berikut: (1) seorang kreditur dan debitur harus, di antara mereka sendiri, bertindak sesuai dengan ketentuan berdasar dan adil. (2) Aturan mengikat atas mereka berdasarkan hukum, tindakan yudisial tidak berlaku sepanjang bahwa, untuk keadaan tertentu, hal ini tidak dapat diterima menurut kriteria reasonableness and fairness (dalam kerangka hukum kontrak, kedua ketentuan tersebut kurang lebih telah diulang dalam pasal 6:248 KUHPdt Belanda. Karena itu, itikad baik dan perlakukan adil (dalam pilihan kata kami: reasonableness and fairness) bukan merupakan sumber suplementasi, tetapi juga cara untuk pengalihan: apabila ada aturan khusus – apakah itu lahir dari kontrak atau dari KUHPdt itu sendiri – tidak dapat diterima menurut kriteria itikad baik dan perlakukan adil, peraturan ini secara sederhana tidak mengikat dalam keadaan tersebut: hasil awalnya ditolak. Secara alamiah ini menempatkan beban yang berat di atas bahu hakim, yang pada akhirnya adalah orang yang memutuskan apakah hasil original tidak dapat diterima atau dapat diterima. Di sisi lainnya, poin ini tidak boleh dilebih-lebihkan. Menurut sejarah dokumenter dari KUHPdt, tidak ada diskresi yudisial nyata di sini. Seorang hakim tidak diperbolehkan untuk mencampuri jika dan apabila dirasa perlu, tetapi ia dapat melakukannya secara eksklusif jika hasil aslinya adalah “tidak dapat diterima” dari sudut pandang reasonableness and fairness. Karena batasan ini, tinjauan yudisial dibatasi. Di bawah KUHPdt yang lama, prinsip umum dari kekuasaan derogatif dari reasonableness and fairness telah diakui, tetapi
Professor Jaap Hijma
15
acknowledged, but essentially as a rule of unwritten law. A considerable number of interesting court decisions were published on this subject, also of the Supreme Court. Each time, the concrete facts and circumstances of the case appear to be of the utmost importance. As our Supreme Court has often put it: “Whether a party is free to invoke the rule at hand, is dependent on numerous circumstances”. Of all the possible circumstances, some are mentioned rather frequently. Among the popular ones are: the degree of guilt (in case of damage); the nature and gravity of the foreseeable damage; the mutual relations between the parties; their social positions; nature and contents of the contract (in case of contract clauses); the way the relevant rule (mostly: clause) was formed; the implications of the clause; the degree in which those implications were clear to the other party. By the development and elaboration of such catalogues of circumstances, the (very) open criterion of reasonableness and fairness gradually acquires some outline.
sebagai hukum tidak tertulis. Beberapa putusan pengadilan menarik dikeluarkan atas subyek ini, juga dari Mahkamah Agung. Setiap kali, fakta dan keadaan nyata dari kasus tampaknya menjadi yang paling penting. Sebagaimana yang diistilahkan oleh Mahkamah Agung kami: “Apakah sebuah pihak bebas untuk menggunakan aturan yang ada, tergantung dari berbagai keadaan”. Keadaan yang paling banyak, telah seringkali disebutkan. Di antaranya yang terkenal adalah: tingkat kesalahan (dalam hal kerugian); sifat dan besar dari kerugian yang dapat diperkirakan sebelumnya; hubungan mutual di antara para pihak; kedudukan sosial mereka; sifat dan isi dari perjanjian (dalam hal klausaklausa kontrak); cara peraturan terkait (klausa) dibentuk; implikasi dari klausa tersebut; tingkat di mana implikasi-implikasi tersebut jelas untuk pihak lainnya. Dengan pengembangan dan elaborasi dari berbagai keadaan tersebut, kriteria terbuka dari reasonableness and fairness yang sesungguhnya perlahan mendapatkan kerangka.
3.3. Conclusion There are numerous other open criteria, like “unreasonably onerous general conditions”, “a reasonable time”, et cetera. It is a historical fact that every trend sooner or later evokes a counter-trend. In the Netherlands some critics already argue that the law is becoming to much of a hazard game, and that we should return to “hard and fast rules”. But those voices are a minority; I do not expect them to become a majority soon. On the contrary: the use of “open criteria” can be considered an international trend, which is still in full swing.
3.3. Kesimpulan Ada beberapa kriteria terbuka lainnya, seperti “unreasonably onerous general conditions”, “a reasonable time”, dan sebagainya. Merupakan suatu fakta historis bahwa setiap tren cepat atau lambat melahirkan kontra-tren (countertrend). Di Belanda beberapa kritisi telah berargumen bahwa hukum menjadi permainan bahaya, dan kita harus kembali ke aturan yang keras dan cepat (“hard and fast rules”). Tetapi suara-suara tersebut adalah minoritas; dan saya tidak melihat mereka bisa menjadi mayoritas dalam waktu dekat ini. Sebaliknya: penggunaan
16
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
In my opinion, open criteria and the inherent degree of legal uncertainty are in fact a luxury, which a developed legal system can permit itself in view of the existence of a strong and reliable judiciary.
“kriteria terbuka” dapat dipertimbangkan sebagai tren internasional, yang masih mengayun penuh. Menurut pendapat saya, kriteria terbuka dan tingkat ketidakpastian hukum adalah suatu kemewahan, yang bisa dikembakan sendiri oleh sistem hukum yang sudah maju dan adanya peradilan yang kuat dan dapat diandalkan.
4. IN-BETWEEN-SOLUTIONS
4. SOLUSI ANTARA
4.1. Introduction A second capital trend, in some respects connected with the first, is the abandonment of thinking in terms of black and white, of fully yes or fully no. In a number of provisions the legislator appears to favour (various) “grey” solutions, between the extremes. The most spectacular examples again are found in the area of contract law.
4.1. Pengantar Tren kedua, yang sedikit banyak berkaitan dengan yang pertama, adalah penghirauan dari cara berpikir hitam dan putih, secara pasti ya atau tidak. Dalam beberapa peraturan, legislator tampaknya berpihak kepada solusi “abu-abu” antara dua kutub ekstrem tersebut. Contoh yang paling spektakuler sekali lagi ditemukan di bidang hukum perjanjian.
4.2. Mistake and undue influence When a party buys goods under the influence of a mistake (art. 6:228 DCC), traditionally two options exist: either the party annuls the contract, or he does not use this remedy and leaves the contract as it is. Of course these possibilities exist also under the present Civil Code. Moreover, there is an important new option: upon the demand of one of the parties, the judge may – instead of pronouncing the annulment – modify the effects of the contract to remove the prejudice of the party entitled to the annulment (art. 6:230 (2) DCC). So when a price of $ 1000 was agreed upon, the judge can adjust the price to e.g. $ 800 or $ 700, as he sees
4.2. Kesalahan dan pengaruh yang tidak benar Ketika sebuah pihak membeli barangbarang di bawah pengaruh dari sebuah kesalahan (pasal 6:228 KUHPdt Belanda), secara tradisional maka akan ada dua pilihan: apakah pihak tersebut membatalkan kontrak, atau ia tidak menggunakan langkah ini dan membiarkan kontrak seperti apa adanya. Tentu saja kemungkinan-kemungkinan ini ada pula dalam KUHPdt yang baru. Lebih lagi, ada pilihan baru yang penting: atas permintaan dari salah satu pihak, hakim dapat – ketimbang menyakatan pembatalan – merubah efek dari kontrak untuk menghilangkan praduga dari pihak yang berhak atas pembatalan (pasal 6:230
Professor Jaap Hijma
fit. He can adapt and thus change the contract. From the point of view of the freedom of contract this may seem a rather dubious idea. On the other hand, entering a contract not only means that the parties are bound by what they explicitly or implicitly have agreed upon, but – in the modern approach – it also means that they both submit to the demands of good faith and fair dealing. Those demands include that in certain cases one of the parties has to settle for less than agreed upon.
Regarding one other vice of consent, the undue influence (abuse of circumstances), a similar provision is given (art. 3:54 (2) DCC). The legislator is reluctant to expand this approach further – to all vices of consent, or to all annullabilities – though a number of scholars pleaded in favour of such an expansion. No one should against his will stay bound to someone else who threatened or deceived him, the legislator argues. The judicial power to adapt the contract has an extrajudicial parallel in art. 6:230 (1) DCC, stating that the power to annul a contract on the basis of mistake lapses, when the other party timely proposes a modification to the effects of the contract which adequately removes the prejudice which the person entitled to the annulment suffers by the continuance of the contract. The adaptation of the contract thus can be enforced without the
17
(2) KUHPdt Belanda). Jadi ketika harga telah disepakati sebesar $1000 maka hakim dapat menyesuaikan harga contohnya menjadi $800 atau $700, yang mana menurutnya yang lebih sesuai. Ia dapat mengadaptasi dan kemudian merubah kontrak tersebut. Dari sudut pandang hal kebebasan berkontrak ini tampaknya merupakan ide yang meragukan. Di sisi lainnya, masuk ke dalam suatu kontrak tidak hanya berarti bahwa para pihak terikat dengan apa yang telah secara implisit dan eksplisit mereka sepakati, tetapi – dalam pendekatan modern – juga berarti bahwa keduanya tunduk kepada persyaratan itikad baik dan perlakukan adil. Persyaratan tersebut mencakup bahwa dalam beberapa hal salah satu dari para pihak harus setuju untuk mendapatkan kurang dari apa yang telah disepakati. Terkait dengan syarat kesepakatan lainnya, pengaruh buruk (penyalahgunaan keadaan), ketentuan serupa telah tersedia (pasal 3:54 (2) KUHPdt Belanda). Legislator enggan untuk memperluas pendekatan ini lebih jauh – untuk seluruh kesepakatan (vices of consent) atau seluruh pembatalan – meskipun sejumlah ahli hukum meminta perluasan tersebut. Tidak seorangpun di luar keinginannya terikat pada orang lain yang mengancam atau menipunya, demikian argumentasi dari legislator. Kekuasaan yuridis untuk mengadaptasi kontrak memiliki ketentuan ekstra yudisial yang paralel dalam pasal 6:230 (1) KUHPdt Belanda, yang menyatakan bahwa kekuasaan untuk membatalkan sebuah kontrak berdasarkan kesalahan terlewati, ketika pihak lainnya dengan waktu yang tepat mengajukan perubahan atas efek dari kontrak yang menghapuskan praduga yang harus diderita oleh orang yang berhak atas pembatalan
18
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
interference of a judge. If the proposition of the other party adequately removes the prejudice, the mistaken party should accept this proposition; if not, his power to annul the contract ends anyway. Regarding undue influence, art. 3:54 (1) DCC contains a similar provision.
Those – and other – provisions actually stimulate extrajudicial activity by the contracting parties. In that respect, they are also part of another trend in the new Civil Code: the trend towards, what can in short be called, deformalization.
4.3. Unforeseen circumstances A second example of “thinking grey” are the new provisions dealing with the occurrence of a change of circumstances. Upon the demand of one of the parties, the judge may modify the effects of a contract, or he may set it aside in whole or in part on the basis of unforeseen circumstances which are of such a nature that the co-contracting party, according to criteria of reasonableness and equity, may not expect that the contract be maintained in an unmodified form (art. 6:258 (1) DCC). So in case of the occurrence of unforeseen circumstances – i.e. a modification of the context which was not taken into account when the contract was concluded – the judge may modify the effects of the contract or set the contract aside. The power to modify includes the power to adapt the primary obligations: the contractual price too can be reduced of raised.
tersebut karena keberlanjutan dari kontrak. Adaptasi dari kontrak dengan demikian dapat ditegakkan tanpa intervensi dari hakim. Jika penawaran dari pihak lainnya menghapuskan praduga, pihak yang merasa disalahi harus menerima tawaran ini; jika tidak, kekuasaannya untuk membatalkan kontrak pun tetap akan berakhir. Terkait dengan pengaruh buruk, pasal 3:54 (1) KUHPdt Belanda mengatur tentang ketentuan serupa. Hal di atas – dan juga ketentuan lainnya sebenarnya menstimulasi kegiatan ekstrayuridis oleh pihak dalam perjanjian. Dalam hal itu, mereka juga merupakan bagian dari tren lainnya dalam KUHPdt: tren menuju, yang bisa secara singkat disebut dengan, deformalisasi. 4.3. Keadaan yang tidak terprediksi Contoh kedua dari “berpikir abu-abu” adalah peraturan baru yang mengatur timbulnya perubahan keadaan. Atas permintaan dari salah satu pihak, hakim dapat memodifikasi efek dari sebuah kontrak, atau ia dapat mengesampingkan secara keseluruhan atau sebagian berdasarkan keadaan tidak terduga yang sedemikian rupa sehingga pihak-pihak lainnya, menurut kriteria reasonableness and equity, mungkin tidak mengharapkan bahwa kontrak dipertahankan dalam bentuk yang tidak diubah (pasal 6:258 (1) KUHPdt Belanda). Jadi dalam hal timbulnya keadaan yang tidak terduga – yaitu perubahan konteks yang sebelumnya pada saat pembuatan kontrak tidak diperhitungkan – hakim dapat memodifikasi efek dari kontrak atau seperangkat kontrak yang dikesampingkan. Kekuasaan untuk merubah termasuk kekuasaan untuk menerima
Professor Jaap Hijma
In origin, art. 6:258 DCC clearly is a contract law provision. By means of the bridge-article mentioned before, it may mutatis mutandis be applied in property law, e.g. with respect to the establishment of a limited real right.14
Remarkably enough art. 6:258 DCC puts the matter of unforeseen circumstances exclusively into the hands of the judge: the article does not know an extrajudicial component. In this respect the Unidroit Principles for International Commercial Contracts15 and the Principles of European Contract Law,16 both aiming for renegotiations, in my opinion have taken the lead.
19
kewajiban utama: nilai kontraktual pun dapat diturunkan atau dinaikkan. Pada awalnya, pasal 6:258 KUHPdt jelas-jelas merupakan ketentuan hukum perjanjian. Melalui peraturan jembatan yang disebutkan sebelumnya, maka ia dapat berlaku mutatis mutandis dalam hukum harta kekayaan, contohnya terkait dengan pembentukan hak riil terbatas.14 Yang cukup mengagumkan adalah bahwa pasal 6:258 KUHPdt Belanda meletakkan masalah keadaan tidak terduga secara ekslusif di tangan hakim: pasal tersebut tidak mengetahui komponen ekstrayuridis. Dalam hal ini Prinsip Unidroit untuk International Commercial Contracts15 dan Principles of European Contract Law,16 keduanya mengarah kepada renegosiasi, menurut pandangan saya, yang banyak digunakan.
4.4. Conclusion These judicial powers to adapt a contract are a prominent product of the modern trend to favour in-between-solutions, but they are surely not the only example. Other parts of the Civil Code where this tendency emerges are the nullity of juridical acts, where the possibilities of partial nullity (art. 3:41 DCC) and of conversion (art. 3:42 DCC) are stressed, and the setting aside of contracts because of nonperformance, where the partial setting aside – possibly in the form of a price reduction – has become a settled option (art. 6:265 (1) DCC).
4.4. Kesimpulan Kekuasaaan yuridis untuk mengadaptasi sebuah kontrak adalah produk utama dari tren modern untuk berpihak pada solusi-antara, tetapi tentunya bukan satu-satunya contoh. Bagian lain dari KUHPdt di mana kecenderungan ini muncul adalah batal demi hukum dari tindakan yuridis, di mana kemungkinan dari batal demi hukum sebagian (pasal 3:41 KUHPdt Belanda) dan konversi (pasal 3:42 KUHPdt Belanda) ditekankan, dan pengesampingan dari kontrak karena tidak terpenuhinya kontrak, di mana para pihak yang mengesampingkan – kemungkinan dalam hal pengurangan harga – telah menjadi pilihan (pasal 6:265 (1) KUHPdt Belanda).
14 Art. 6:216 DCC. 15 Art. 6.2.1-6.2.3 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts. 16 Art. 6:111 of the Principles of European Contract Law.
14 Pasal 6:216 KUHPdt. 15 Pasal 6.2.1-6.2.3 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts. 16 Pasal 6:111 of the Principles of European Contract Law.
20
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
5. PROTECTION OF THIRD PARTIES
5. PERLINDUNGAN PIHAK KETIGA
5.1. Introduction Another feature of the new codification is the structural protection of third parties in good faith. This is a trend that, by its nature, is especially visible in the area of property law.
5.1. Pengantar Fitur lainnya dari kodifikasi yang baru adalah perlindungan struktural pihak ketiga dengan itikad baik. Ini tren yang berdasarkan sifatnya, nyata dalam area hukum harta kekayaan. Tentu saja perlindungan dari pihak ketiga bukanlah fenomena baru. Yang baru mengenai hal tersebut, setidaknya untuk negara kami, adalah cara struktural mengenai bagaimana hal tersebut ditanamkan dalam KUHPdt. Sebelumnya, kami harus puas dengan beberapa peraturan yang terserak. Ada pasal mengenai benda bergerak, yang mengadopsi konsep penguasaan mengimplikasikan suatu hak. Dan ada pasal yang tidak jelas, yang digunakan – secara kreatif – untuk harta lainnya: obyek tidak bergerak dan harta immaterial. Saat ini, KUHPdt memasukkan ketentuan yang tegas dan koheren untuk perlindungan pihak ketiga dengan itikad baik.
Of course the protection of third parties is not a recent phenomenon. What is new about it however, at least in our country, is the structural way in which it is implanted in the Civil Code. Formerly, we had to manage with a few (scattered) occasional provisions. There was an article on movable things, adopting the concept that possession implies title. And there was a rather vague other article, which was used – creatively – at other kinds of property: immovable objects and immaterial property. Nowadays, the Civil Code includes a firm and coherent set of provisions for the protection of third parties in good faith.
5.2. Property Law In the field of property law, different systems of protection are present. In the first place: protection against the possible fact that the seller (alienator) is not the owner of the property and as a consequence lacks the right to dispose of it. The Code contains a number of articles on this problem: one for movable things (art. 3:86 DCC) and a second one for other kinds of property, like immovable things and immaterial property (art. 3:88 DCC).
5.2. Hukum harta kekayaan Dalam bidang hukum harta kekayaan, ada sistem perlindungan yang berbeda. Pertama: perlindungan terhadap kemungkinan bahwa pemindahtangan (alienator) bukan pemilik dari harta dan sebagai konsekuensinya tidak memiliki hak untuk melepaskan harta tersebut. KUHPdt memuat beberapa pasal mengenai hal ini: pertama untuk benda bergerak (pasal 3:86 KUHPdt Belanda) dan yang kedua untuk harta kekayaan lainya, seperti benda tidak bergerak dan harta kekayaan immaterial (pasal 3:88 KUHPdt).
Professor Jaap Hijma
21
Apart from this, a second track of protection is introduced, directly linked to the system of registration of land and other immovable property. Again, the Code does not settle for one general article, but it distinguishes between different kinds of problems – incompleteness of the registers, faults in the registers – and thus provides almost tailor-made solutions. Next to the tracks mentioned above, the Civil Code contains a third one, in the form of a general principle. A third person who under the circumstances reasonably bases an assumption as to the creation, existence or extinction of a juridical relationship on a declaration or conduct of another, and has acted reasonably on the bases of the accuracy of that assumption, cannot have invoked against him the inaccuracy of that assumption by the other person (art. 3:36 DCC). Although it mainly functions as a supplementary provision which will not be invoked very often, this general article on the protection of third parties in good faith is important from a principal point of view. Three elements are crucial here: not only good faith of the third party plus an act on the basis of that, but also causal conduct of the person against whom the good faith is invoked: necessary is an act or omission at his side, on which the third party grounded his assumption.
Terlepas dari ini, tahap perlindungan kedua juga diperkenalkan, yang langsung dikaitkan kepada sistem pendaftaran tanah dan benda tidak bergerak lainnya. Sekali lagi, KUHPdt tidak cukup menggunakan satu pasal umum, tetapi ia membedakan antara berbagai macam permasalahan – ketidaklengkapan dari pendaftaran – dan oleh karenanya menawarkan solusi yang sesuai untuk permasalahannya. Di samping dari dua tahap yang di atas, KUHPdt memiliki yang ketiga, dalam bentuk prinsip umum. Pihak ketiga yang di bawah keadaan tersebut mendasarkan dengan itikad baik sebuah asumsi untuk pembuatan, keberadaan atau hapusnya hubungan yuridis atas sebuah pernyataan atau perbuatan orang lain, dan juga telah bertindak dengan itikad baik berdasarkan kebenaran dari asumsi tersebut, tidak dapat diberlakukan terhadapnya ketidakakuratan dari asumsi tersebut oleh orang lain (pasal 3:36 KUHPdt Belanda). Meskipun hal ini utamanya berfungsi sebagai ketentuan tambahan yang tidak akan sering digunakan, pasal umum mengenai perlindungan terhadap pihak ketiga dengan itikad baik sangatlah penting dari sudut pandang suatu prinsip. Ada tiga unsur yang penting di sini: tidak hanya itikad baik dari pihak ketiga ditambah dengan perbuatan berdasarkan itikad baik tersebut, tetapi juga perbuatan kausal dari orang tersebut terhadap siapa itikad baik diberlakukan: diperlukan sebuah perbuatan atau pembiaran, di mana pihak ketiga mendasarkan asumsinya.
5.3. Conclusion Article 3:36 DCC can be of help in property law cases, but – contrary to the articles mentioned before – it does not have its sole importance
5.3. Kesimpulan Pasal 3:36 KUHPdt Belanda dapat membantu kasus-kasus hukum harta kekayaan, tetapi – berlawanan dengan pasal yang telah
22
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
there. It is a general provision regarding trust by a third person upon someone else’s declarations or conduct, which plays its role within the law of obligations as well. A wellknown example is the so-called simulation: for some reason (e.g. tax evasion) parties pretend the existence of a certain juridical situation or relationship, knowing legal reality is different. If a third party acts in reliance upon the appearance, it will be protected: the diverging real situation cannot be invoked.
disebutkan di atas – harta kekayaan bukanlah satu-satunya kepentingan di sana. Ini merupakan ketentuan umum terkait dengan kepercayaan dari pihak ketiga atas pernyataan atau tindakan orang lain, yang memainkan peranannya dalam hukum perikatan juga. Salah satu contoh yang paling dikenal adalah apa yang disebut dengan simulasi: karena alasan tertentu (seperti pajak) para pihak bersikap seolah-olah hadirnya sebuah keadaan yuridis atau hubungan yuridis, karena mengetahui kenyataan hukumnya berbeda. Jika pihak ketiga bertindak sesuai dengan apa yang ditunjukkannya, maka akan dillindungi.
6. FURTHER TRENDS IN THE CODE
6. TREN LAINNYA DALAM KUHPDT
6.1. Introduction Naturally, a modern codification shows more trends than the few which were discussed so far. The new Dutch Civil Code does so indeed.
6.1. Pengantar Secara alamiah, kodifikasi modern memperlihatkan masih banyak tren selain dari apa yang telah diterangkan sejauh ini. Demikian pula dengan KUHPdt Belanda yang baru.
6.2. Protection of weak parties In various ways, the Code aims to protect so-called weak(er) parties against so-called strong(er) parties. Apart from a number of traditional provisions like those on incapacity (art. 3:32 DCC), threat, deceit and undue influence (art. 3:44 DCC), this trend especially shows in Books 7-7A regarding the various special contracts. Among the protected parties are the consumer (Title 7.1), the tenant (Title 7.4), the commercial agent (Title 7.7.3), the patient (Title 7.7.5), the traveller (Title 7.7A), the employee (Title 7.10) and the private surety
6.2. Perlindungan terhadap pihak yang lemah Dalam berbagai cara, kitab ini mengarah pada perlindungan apa yang kita sebut sebagai pihak yang (lebih) lemah dari pihak yang (lebih) kuat. Selain dari ketentuan tradisional seperti ketidakcakapan (pasal 3:32 KUHPdt Belanda), ancaman, penipuan, dan pengaruh yang tak semestinya (pasal 3:44 KUHPdt Belanda). Tren ini terutama terlihat pada Buku 7-7A mengenai berbagai kontrak khusus. Di antara pihak yang dilindungi adalah termasuk konsumen (Judul 7.1), penyewa (Judul 7.4), agen komersial (7.7.3), pasien (Judul 7.7.5),
Professor Jaap Hijma
23
(Title 7.14). The relevant provisions repeatedly derive from European Directives; consumer protection is one of the areas of civil law on which the European Union concentrates.
orang yang bepergian (Judul 7.7A), karyawan (Judul 7.10) dan hutang perusahaan (Judul 7.14). Ketentuan terkait kembali diambil dari European Directives; perlindungan konsumen adalah salah satu area dari hukum perdata yang merupakan perhatian dari Uni Eropa.
6.3. Countering unjustified enrichment
6.3. Melawan unjustified enrichment (memperkaya diri atas beban orang lain secara tidak sah) Ada benarnya pernyataan yang menyatakan bahwa prinsip mendasar dari seluruh hukum patrimonial adalah setiap kali ada unjustified enrichment, maka harus dilawan. Dianggap demikian karena karakter umum dari gagasan ini, KUHPdt yang lama tidak memiliki ketentuan untuk subyek tersebut. Mahkamah Agung memperbolehkan klaim hanya untuk beberapa kasus khusus, terkait dengan situasi yang dihadapi oleh hukum tertulis. KUHPdt yang baru mengambil tindakan ini. Ini memuat pasal umum mengenai unjustified enrichment, yang dalam pratiknya berfungsi sebagai sumber terakhir untuk kasus-kasus yang tidak diatur oleh ketentuan khusus: seseorang yang telah diperkaya secara tidak sah atas pengeluaran dari orang lain harus, sepanjang dapat diterima, memperbaiki kerugian yang diderita oleh orang tersebut sesuai jumlah yang ia terima (pasal 6:212 (1) KUHPdt Belanda). Pasal tersebut memuat tiga batasan kumulatif. Kerugian terbatas pada jumlah dari enrichment dan jumlah kerugian; lebih lagi, mereka dibatasi dengan pernyataan “sepanjang dapat diterima”. Meskipun pasal tersebut secara luas merupakan jaring-pengaman, namun pasal tersebut tidak memiliki ciri subsider: fakta bahwa korban dapat mendasarkan klaimnyakepada orang yang diperkaya atau kepada
There is much truth in the saying that the basic principle of all patrimonial law is that whenever an unjustified enrichment takes place, it should be countered. Presumably because of the very general character of this idea, the old Civil Code lacked a provision on the subject. The Supreme Court allowed claims only in specific cases, connected with situations dealt with in the written law. The new Civil Code pulls this action from the shade. It contains a general article on unjustified enrichment, which in practice functions as a last resource for cases which are not governed by any specific provision: A person who has been unjustifiably enriched at the expense of another must, to the extent that this is reasonable, make reparation for the damage suffered by that other person up to the amount of his enrichment (art. 6:212 (1) DCC). The article contains three cumulative ceilings. The damages are limited to both the amount of the enrichment and the amount of the damage; moreover they are limited by the phrase “to the extent that this is reasonable”. Although the article is to a large extent a safetynet, it is not of a subsidiary character: the mere fact that the victim could base his claim – to the enriched person or to a third party – on another juridical ground, does not discard art.
24
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
6:212 DCC. The latter was made explicit by the Supreme Court.
pihak ketiga – atas landasan yuridis lainnya, tidak dapat mengesampingkan pasal 6:212 KUHPdt. Yang terakhir disebutkan secara eksplisit oleh Mahkamah Agung.
6.4. Deformalization Another characteristic of the new Civil Code is that the legislator repeatedly favours the informal approach. The annulment of a contract or other juridical act is no longer necessarily done in court: the protected party itself can bring the annulment about by way of a simple declaration to the other party (art. 3:49 ff DCC). The same approach is followed with the setting aside of contracts because of non-performance, even when a partial setting aside is at stake (art. 6:265 (1) DCC). On the other hand, the annulment or the setting aside still can be brought about by the judge. In my opinion this traditional alternative is no longer necessary. The trend to deformalization can harmlessly be thus continued, that the extrajuridical declaration becomes the only option.
6.4. Deformalisasi Karakteristik lainnya dari KUHPdt adalah bawah legislator sekali lagi berpihak pada pendekatan informal. Pembatalan sebuah kontrak atau perbuatan hukum tidak lagi perlu dilakukan di pengadilan: pihak yang dilindungi itu sendiri dapat melakukan pembatalan dengan pernyataan kepada pihak lainnya (pasal 3:49 KUHPdt Belanda). Pendekatan yang sama diikuti dengan pengesampingan kontrak karena prestasi tidak dipenuhi, bahkan ketika pengesampingan sebagian dilakukan (pasal 6:265 (1) KUHPdt). Di sisi lain, pembatalan atau pengesampingan dapat dibawa ke hadapan hakim. Dalam pandangan saya, alternatif tradisional ini tidak diperlukan lagi. Tren untuk deformalisasi tidak berbahaya untuk diteruskan, bahwa kemudian pernyataan ekstra-yuridis hanyalah merupakan sebuah pilihan. Deformalisasi lain yang berbeda dapat dilihat dalam area preskriptif yang mengatur keabsahan beberapa macam tindakan hukum (terutama kontrak). Beberapa bentuk tradisional umumnya tertulis untuk melindungi seseorang terhadap precipitance; saya telah menyebutkan pasal 1719 pada kitab yang lama, yang membutuhkan – kecuali benda tersebut dialihkan langsung – akta notaris untuk kontrak penyerahan sah. Dalam Judul baru mengenai hibah persyaratan ini tidak dipakai lagi (pasal 7.3.1). Legislator memegang pandangan bahwa ketentuan
A different kind of deformalization is noticeable in the field of the form prescriptions governing the validity of certain kinds of juridical acts (mostly contracts). Some of the traditional form demands are mainly written to protect one of the acting parties against his own precipitance; I mention art. 1719 of the old Code, requiring – unless a thing was handed over right away – a notarial deed for a valid donation contract. In the new Title on donation this requirement does not return (art. 7.3.1). The legislator holds the view that other – general – provisions offer
Professor Jaap Hijma
25
a more appropriate protection, in this respect particularly art. 3:44 (4) DCC on undue influence (abuse of circumstances).
umum lainnya menawarkan perlindungan yang lebih tepat, dalam hal ini terutama pasal 3:44 (4) DCC mengenai pengaruh (penyalahgunaan keadaan).
6.5. Stimulation of business intercourse The modern legislator showed to have an open eye for the needs of trade and business, especially by removing a number of the old obstacles in obtaining credit. For a valid pledge of movable things, the old Civil Code required the pledged objects to be taken away from the grantor (art. 1198 old DCC). For a valid pledge of claims, formerly the debtor of the pledged claim had to be informed (art. 1199 old DCC). Both demands hampered business intercourse to such an extent, that the Supreme Court felt compelled to tolerate the phenomenon of a “security transfer”, next to the right of pledge, on which – because it was no pledge – the written limitations did not apply. The new Code abolished the pledge limitations and in that way quite simply removed the reasons for security transferring (which, by the way, was forbidden: art. 3:84 (3) DCC). In stead of the old requirements, nowadays a notarial deed or a registered deed under private writing is necessary (art. 3:237, 3:239 DCC); a decent way of establishing chronology cannot be missed. The severity of this new legal requirement already has been heavily tested. Enterprises started pledging claims on clients to a bank not by virtue of separate deeds, but by way of a (one) co-ordinating deed (“umbrella deed”) which referred to a computer print, in which the pledged claims were specified. Emphasising the need of a fluent and flourishing credit intercourse,
6.5. Stimulasi hubungan usaha Legislator modern memperlihatkan perlunya memiliki mata terbuka untuk mengetahui kebutuhan dalam usaha dan perdagangan, terutama dengan menghilangkan beberapa penghalang dalam pengajuan kredit. Untuk gadai sah dari benda bergerak, KUHPdt yang lama mensyaratkan objek gadai diambil dari yang menggadaikan (pasal 1198 KUHPdt Belanda yang lama). Untuk klaim gadai agar menjadi sah, dulunya debitur dari tagihan tergadai harus diinformasikan (pasal 1199 KUHPdt Belanda yang lama). Kedua persyaratan tersebut telah menghambat interaksi bisnis sedemikian rupa, hingga Mahkamah Agung merasa terpanggil untuk mentoleransi fenomena dari “peralihan jaminan”, setelah hak dari gadai, atas mana – karena bukan gadai – keterbatasan tertulis tidaklah berlaku. KUHPdt yang baru menghapuskan keterbatasan gadai tersebut dan dengan demikian hilanglah alasan untuk pengalihan jaminan (yang, ngomongngomong, dilarang: pasal 3:84 (3) KUHPdt Belanda). Ketimbang persyaratan yang lama, saat ini akta notaris atau akta terdaftar di bawah pencatatan privat sangatlah diperlukan (pasal 3:237, 3:239 KUHPdt); cara yang baik untuk melahirkan kronologi tidak dapat dilewatkan. Keruwetan dari persyaratan hukum baru ini sudah terbukti. Perusahaan-perusahaan mulai menggadaikan tagihan atas klien kepada bank tidak melalui akta yang terpisah, tetapi
26
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
the Dutch Supreme Court consented to this actually simplified method of pledging.
melalui akta koordinasi (“akta payung”) yang mengacu pada cetakan komputer, di mana tagihan tergadai diuraikan. Dengan menekankan perlunya interaksi kredit yang lancar dan berkembang, Mahkamah Agung Belanda sepakat atas metode gadai yang lebih sederhana ini.
6.6. Smoothening of traditional distinctions According to the old Civil Code, Dutch law knew a sharp distinction between property law on the one hand and the law of obligations on the other. In the traditional court decisions this duality used to be stressed and elaborated. More recent decisions however show that – according to the developments in scholarly writing – the Supreme Court favours a practical approach to a dogmatic one. The formerly sharp distinction between property law and the law of obligations has smoothened, and the new Civil Code definitely bears the marks of this development. To mention (the outlines of) a few examples: specific contractual obligations can be entered into the public register and from that moment will be binding for third persons too (art. 6:252 DCC); if two or more creditors pursue conflicting rights to delivery in respect of one and the same property, the elder right has preference between them (art. 3:298 DCC); a buyer’s personal right can be entered into the public register, and thus becomes invulnerable to later property law incidents (e.g. transfer to someone else, bankruptcy) (art. 7:3 DCC).
6.6. Menyempurnakan perbedaan tradisional Menurut KUHPdt yang lama, hukum Belanda mengakui adanya perbedaan yang tajam antara hukum harta kekayaan di satu sisi dan hukum perikatan di sisi lainnya. Dalam putusan pengadilan tradisional dualitas ini sering ditekankan dan diulas. Namun demikian, putusan yang baru menunjukkan bahwa – menurut perkembangan yang dituliskan oleh ahli-ahli hukum – Mahkamah Agung memilih pendekatan praktis ketimbang dogmatis. Perbedaan tajam yang tadinya ada antara hukum harta kekayaan dan hukum perikatan telah diperhalus, dan KUHPdt yang baru jelas sekali menandakan perkembangan ini. Beberapa contoh: kewajiban kontraktual spesifik dapat didaftarkan pada kantor pendaftaran publik dan kemudian sejak saat itu akan mengikat bagi pihak ketiga juga (pasal 6:252 KUHPdt Belanda); jika dua kreditur atau lebih mengejar hak yang berlawanan untuk penyerahan atas satu harta kekayaan yang sama, hak yang lebih tua memiliki keutamaan di antara mereka (pasal 3:298 KUHPdt Belanda); hak personal pembeli dapat didaftarkan pada kantor pendaftaran publik, dan oleh karena itu menjadi tidak rentan dari insiden hukum harta kekayaan yang terakhir (seperti pengalihan kepada orang lain, kepailitan) (pasal 7:3 KUHPdt Belanda).
Professor Jaap Hijma
6.7. Compliance with actual situation In a number of respects, the legislator shows a desire to avoid gaps between the juridical situation and the actual situation. The persons involved should be as little surprised by the law as possible. That is why when a contract is set aside because of non-performance, this setting aside does not have retroactive force (art. 6:271 DCC). A valid contract was concluded and has existed so far; there is no need to say so differently afterwards. More or less mirrorwise: when a contract is void but the demands for its validity are fulfilled later on, while in the meantime no-one invoked the defect, the contract thereby will have been regularised (art. 3:59 DCC, convalescence) . Traditionally, the institute of prescription is the most striking example of the law bending towards the factual situation. The Civil Code provides for both the extinctive prescription of rights of action (art. 3:306 ff DCC) and the acquisitive prescription of property (art. 3:99 ff DCC). Regarding the first, the standard prescription period is twenty years (art. 3:306 DCC), but the law provides for quite a few exceptions (five years, sometimes three years; see art. 3:52, 3:307 ff DCC). Regarding the acquisitive prescription – part of property law – uninterrupted possession during three years (movable things c.a.) or during ten years (other property) is required. An interesting appendix is art. 3:105 DCC, which links the second type of prescription to the first by determining that any person possessing property at the time of completion
27
6.7. Kepatuhan dengan situasi aktual Dalam beberapa hal, legislator menunjukkan keinginan untuk menghindari celah antara situasi yuridis dan situasi aktual. Orang yang terlibat sedapat mungkin tidak boleh dikejutkan oleh hukum yang baru. Inilah mengapa ketika kontrak dikesampingkan karena tidak dapat dipenuhi (non-performance), pengesampingan ini tidak memiliki kekuatan retroaktif (pasal 6:271 KUHPdt). Sejauh ini kontrak sah telah ada; tidak perlu mengatakan hal yang berbeda setelahnya. Kurang lebih demikian: ketika kontrak batal demi hukum tetapi permintaan untuk keabsahannya dipenuhi kemudian hari, sementara untuk sementara ini tidak ada yang memancing kecacatan tersebut, maka kontrak tersebut dengan demikian akan diberlakukan (pasal 3:59 KUHPdt Belanda). Secara tradisional, penggunaan prescription merupakan contoh yang paling mengejutkan dari pembelokan hukum terhadap situasi faktual. KUHPdt memberikan baik prescription ekstinktif atas hak untuk melakukan suatu perbuatan (pasal 3:306 KUHPdt Belanda) dan prescription akuisitif dari harta kekayaan (pasal 3:99 KUHPdt Belanda). Mengenai yang pertama, periode prescription yang standar adalah duapuluh tahun (pasal 3:306 KUHPdt), tetapi hukum memberikan beberapa pengecualian (lima tahun bahkan terkadang tiga tahun; lihat pasal 3:52, 3:307 KUHPdt Belanda). Terkait dengan prescription akuisitif – bagian dari hukum harta kekayaan – penguasaan yang tidak diganggu selama tiga tahun (benda bergerak) atau selama sepuluh tahun (harta lainnya) diperlukan. Hal yang menarik adalah pasal 3:105 KUHPdt Belanda,
28
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
of the prescription of the right of action to terminate possession acquires the property, even if his possession was not in good faith. The idea that a thief too thus can be endowed with the ownership, has met some fundamental criticism.
yang mengkaitkan tipe kedua prescription kepada yang pertama dengan menentukan bahwa setiap orang yang menguasai harta kekayaan pada saat selesainya prescription dari hak untuk bertindak untuk menghapuskan kekuasaan memperoleh harta kekayaan, meskipun penguasaannya tidak dengan itikad baik. Ide bahwa pencuri pun dengan demikian dapat diberikan kepemilikan ini, telah memicu banyak kritikan.
6.8. Strict liability This contribution is primarily focused on property law and contract law. Let me conclude this section however by noticing that in tort law too, a number of interesting changes have taken place. In conformity with the international trend, the phenomenon of strict (no-fault) liability evidently is on the rise. The new Civil Code comprises strict liabilities for damage inflicted by one’s children (art. 6:169 DCC), employees (art. 6:170 DCC), subcontractors c.a. (art. 6:171 DCC), representatives (art. 6:172 DCC), defective movable things (art. 6:173 DCC), buildings (art. 6:174 DCC), dangerous chemicals (art. 6:175 DCC), dumping grounds (art. 6:176 DCC), drill holes (art. 6:177 DCC), animals (6:179 DCC), products (art. 185 ff DCC), motor-vehicles (art. 185 Road Traffic Act).
6.8. Pertanggungjawaban penuh Kontribusi ini utamanya difokuskan pada hukum harta kekayaan dan hukum perikatan. Saya akan menyimpulkan bagian ini dengan mengakui bahwa dalam hukum kesalahan (tort law) pula, beberapa perubahan menarik telah terjadi. Mengikuti tren internasional, fenomena dari tanggungjawab terbatas (nofault) sedang marak. KUHPdt yang baru mencakup tanggungjawab terbatas untuk kerugian yang disebabkan oleh anak-anak seseorang (pasal 6:169 DCC), karyawan (pasal 6:170 KUHPdt Belanda), subkontraktor (pasal 6:171 KUHPdt), perwakilan (pasal 6:172 KUHPdt Belanda), benda bergerak cacat (pasal 6:173 KUHPdt Belanda), bangunan (pasal 6:174 KUHPdt Belanda), bahan kimia berbahaya (pasal 6:175 KUHPdt Belanda), tempat pembuangan sampah (pasal 6:176 KUHPdt Belanda), pengeboran (pasal 6:177 KUHPdt), hewan (6:179 KUHPdt), produk (pasal 185 KUHPdt), kendaraan bermotor (pasal 185 UU Lalu Lintas).
Professor Jaap Hijma
29
7. CONCLUDING REMARKS
7. KESIMPULAN AKHIR
7.1. Legal practice Next to those (and other) trends, visible in the legislation itself, I would like to draw attention to the fact that there are “unwritten trends” as well, which may be no less important. One of the outspoken developments under our present law is the growing attention for the actual capacities and qualities of the respective parties. Are they experienced or inexperienced, professional or private, young or old, strong or weak? The way we see it nowadays, questions like these should be asked under many articles of the law, although not prescribed explicitly. For instance the provisions on mistake, interpretation, good faith and unforeseen circumstances can and will be applied differently in the case of a 80year old private person than when a 30-year old businessman is concerned. The former will sooner be allowed to annul a contract for mistake, will sooner convince a judge that the contract shall be interpreted in a certain – for him favourable – way, will sooner be deemed to be in good faith, et cetera. At the opposite side of the spectrum, a large company or a government body will sparsely be granted a remedy for mistake and will soon see the contract interpreted in its disadvantage. Capacity and quality have become key words in today’s legal practice. In this way, a complementary dimension is added to the legislator’s idea that weak parties shall enjoy protection against strong ones.
7.1. Praktik hukum Disamping tren di atas (dan tren lainnya), tampak di undang-undang itu sendiri, saya ingin menarik perhatian anda pada kenyataan bahwa ada “tren tidak tertulis” pula, yang tidak kalah pentingnya. Salah satu perkembangan di bawah hukum yang ada saat ini adalah perhatian yang tumbuh akan kecakapan dan kualitas aktual dari para pihak yang bersangkutan. Apakah mereka berpengalaman atau tidak berpengalaman, profesional atau pribadi, tua atau muda, kuat atau lemah? Apa yang terlihat sekarang ini, pertanyaan-pertanyaan semacam ini harus dipertanyakan untuk banyak pasal dalam hukum, meskipun tidak diatur secara eksplisit. Contohnya ketentuan mengenai kesalahan, interpretasi, itikad baik dan keadaan yang tidak dapat diperkirakan dapat dan akan berlaku secara berbeda untuk kasus orang pribadi berusia 80 tahun dengan pelaku bisnis berusia 30 tahun. Pribadi yang berusia 80 tahun akan lebih cepat diperbolehkan untuk membatalkan kontrak karena kesalahan, akan lebih cepat meyakinkan hakim bahwa kontrak harus diinterpretasikan – agar berpihak kepadanya – sedemikian rupa, akan lebih cepat dianggap memiliki itikad baik, dan sebagainya. Sebaliknya, perusahaan besar atau badan pemerintah sangat sulit untuk dapat diberikan langkah untuk memperbaiki kesalahan dan mendapatkan kontrak yang diinterpretasikan tidak berpihak kepadanya. Kecakapan dan kualitas telah menjadi kata kunci dalam praktik hukum saat ini. Dengan cara ini,
30
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
A second example: in the field of tort law, the courts are inclined to consider their decisions in the light of “an effective victim protection”, especially when traffic- or safety-provisions are violated. In a number of decisions, the Dutch Supreme Court developed a 100% liability of car-owners towards children under 14 years of age, even in cases in which the child itself made a big mistake. Towards adult pedestrians and adult bicyclists, the Supreme Court developed a 50%-or-more liability of the car-owner.
Of course the judge does not develop trends like this entirely on his own. He will steer according to the lines set out by the legislator, and in many cases seek alliance with scholarly writing. In this respect, we may speak of a joint undertaking. The tendency to stress the importance of capacities and qualities of the parties, actually has its roots in the codified tendency to protect the weaker party. Likewise, the tendency to aim for an efficient victim protection correlates to the expansion of strict liability in the code. A third example was mentioned sub 8.5: the legislator decided to hamper credit traffic as little as possible and accepts pledge by a registered deed, the judge takes the idea further and interprets this demand in a lenient way.
dimensi tambahan diberikan kepada pikiran para legislator bahwa pihak yang lemah akan memperoleh perlindungan terhadap pihak yang kuat. Contoh yang kedua: dalam bidang hukum kesalahan, pengadilan cenderung untuk mempertimbangkan putusannya dalam “perlindungan korban” terutama ketika lalu lintas atau ketentuan keamanan dilanggar. Dalam beberapa putusan, Mahkamah Agung Belanda mengembangkan tanggungjawab 100% dari pemilik mobil terhadap anak-anak di bawah 14 tahun, bahkan dalam kasus-kasus di mana anak itu sendiri yang melakukan kesalahan. Terhadap pejalan kaki dewasa dan pengendara sepeda dewasa, Mahkamah Agung mengembangkan 50% tanggung jawab atau lebih kepada pemilik mobil. Tentu saja hakim tidak mengembangkan tren seperti ini secara sendiri. Ia akan mengarahkan sesuai dengan garis yang telah ditetapkan oleh legislator, dan dalam banyak hal mencari dukungan dari tulisantulisan ahli hukum. Dalam hal ini, kita berbicara mengenai pekerjaan bersama. Kecenderungan untuk menekankan pentingnya kecapakan dan kualitas dari para pihak, sebenarnya berakar dari kecenderungan kodifikasi untuk melindungi pihak yang lemah. Sama halnya, kecenderungan untuk mengarah pada perlindungan korban terkait dengan perluasan strict liability dalam kitab. Contoh ketiga disebutkan dalam sub bagian 8.5: legislator sepakat untuk menghalangi lalu lintas kredit sedikit mungkin dan menerima gadai dengan akta terdaftar, hakim kemudian mengambil ide ini lebih lanjut dan menginterpretasikan hal ini dengan cara yang lebih terbuka.
Professor Jaap Hijma
7.2. Conclusions The trends I mentioned are present in and under the Dutch Civil Code of 1992. At the same time, I think we can safely say they will be present in any modern codification, especially as far as Europe is concerned. Today’s civil law is certainly no set of hard and fast rules. The throne is taken by open, flexible rules, which facilitate the taking into account of the (relevant) circumstances of the case, including the qualities of the involved parties, and which often aim for in-between-solutions instead of “all or nothing”. Naturally these characteristics do not express themselves in the same intensity in every field of the law. In property law – where legal certainty is a high aim – they may keep somewhat diffuse, but they blossom spectacularly in the law of obligations. Recently examples of the latter are also available in the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, the Principles of European Contract Law and the Common Frame of Reference. In many respects, these principles and the new Dutch Civil Code are akin.
For an important part, the trends coincide with an evolution in the position of the judiciary. Nowadays the judge is not simply “the mouth of the (written) law”. He takes a central position in the implementation of the law and plays a key role in its further development. Modern legislators tend to use this to their advantage. A solid partnership
31
7.2. Kesimpulan Tren yang telah saya sebutkan muncul dalam dan di bawah KUHPdt Belanda 1992. Pada saat yang bersamaan, saya rasa kita dapat mengatakan bahwa tren tersebut akan tetap ada pada kodifikasi modern manapun, terutama sepanjang terkait dengan Eropa. Hukum perdata masa kini bukan merupaan seperangkat hukum keras dan cepat. Hukum yang demikian sudah diambil alih oleh hukum yang lebih terbuka, fleksibel, yang memfasilitasi diperhatikannya keadaan relevan dengan kasus, termasuk kualitas dari para pihak yang terkait, dan yang terkadang mengarah kepada solusi-antara ketimbang “harus keseluruhan atau tidak sama sekali”. Secara alamiah, karakteristik ini tidak mengekspresikan dirinya sendiri dalam intensitas yang sama pada setiap bidang hukum. Dalam hukum harta kekayaan – di mana kepastian hukum diarahkan untuk lebih tinggi – tren-tren ini agak terpecah, tetapi tren tersebut tumbuh secara menakjubkan dalam hukum perikatan. Contoh terakhir dalam hukum perikatan juga tersedia dalam Unidroit Principles of International Commercial Contracts, the Principles of European Contract Law and the Draft Common Frame of Reference. Dalam berbagai hal, prinsip-prinsip ini dan KUHPdt Belanda adalah serupa. Bagian penting, tren-tren tersebut berbarengan dengan evolusi kedudukan peradilan. Sekarang ini hakim tidak saja “corong dari hukum (tertulis)”. Hakim mengambil posisi sentral dalam implementasi hukum dan memainkan peranan penting dalam perkembangannya lebih lanjut. Legislator modern cenderung menggunakan
32
Backgrounds Of And Trends In The New Civil Code Of The Netherlands
of legislator and judge, maybe that is what can be considered the characteristic of a modern codification.
kenyataan ini sepenuhnya. Kemitraan solid antara legislator dan hakim, mungkin dianggap sebagai apa yang disebut dengan karakteristik utama dari kodifikasi modern.
Professor Henk Snijders
33
NETHERLANDS
HUKUM BELANDA
LAW OF PROPERTY
TENTANG HARTA KEKAYAAN
by Professor mr. H.J. Snijders1
Oleh Profesor mr. H.J. Snijders1
1. GENERAL INTRODUCTION
1. PENGANTAR UMUM
1.1 Law of Property versus Law of Obligations
1.1 Hukum Harta Kekayaan versus Hukum Pertanggungjawaban
The law of property consists of rules for the legal status relating to property (in particular ownership, possession and detention) and changes in that status. The law of property is provided for mainly in Books 3 and 5 of the Dutch Burgerlijk Wetboek (Civil Code; hereinafter abbreviated to CC), referred to as Vermogensrecht in het algemeen (Law of property in general), respectively Zakelijke rechten (Real rights).
The term ‘property’ under current law is a collective name for things (i.e. corporeal property objects) and patrimonial
Hukum harta kekayaan mencakup aturan-aturan mengenai status hukum terkait dengan harta kekayaan (terutama dengan kepemilikan, besit/ penguasaan dan penahanan) dan perubahan atas status hukum tersebut. Hukum harta kekayaan utamanya diatur dalam Buku 3 dan 5 Burgerlijk Wetboek Belanda (Kitab Undang-undang Hukum Perdata; untuk selanjutnya disingkat menjadi KUHPdt), yang dikenal dengan istilah Vermogensrecht in het algemeen (Hukum harta kekayaan umum), dan kemudian dengan istilah Zakelijke rechten (Hak atas kebendaan). Istilah ‘harta kekayaan’ yang digunakan dalam hukum yang berlaku saat ini merupakan istilah kolektif untuk benda
1 Professor of Private Law, Leiden University ((
[email protected]/www.hjsnijders.com)
1 Profesor Hukum Perdata, Universitas Leiden ((
[email protected]/www.hjsnijders.com)
34
Netherlands Law of Property
rights (art. 3:1, 3:2 and 3:6 CC). The point of view of the law of property - the focus on the relation between persons and property - is another one than the point of view of the law of obligations – which focuses on the relation between persons and persons. This difference is more than just a matter of tradition. Where the relation between a person and a property is concerned, one always speaks of rights that a certain person can exercise with respect to a certain property (i.e. proprietary rights), which means rights that this person can in principle maintain vis-à-vis everybody. Therefore we speak of absolute rights. This absolute effect or effect vis-à-vis third parties is characteristic of proprietary rights, in contrast with the relative effect of personal rights.
(harta kekayaan bertubuh) dan hak patrimonial (pasal 3:2 dan 3:6 KUHPdt). Sudut pandang hukum harta kekayaan – perhatiannya kepada hubungan antara orang dan harta kekayaan – berbeda dengan sudut pandang hukum perikatan – yang meletakkan perhatiannya kepada hubungan antara orang dengan orang. Perbedaan ini lebih dari sekedar masalah tradisi. Bilamana ada sebuah hubungan antara orang dan harta kekayaan yang dibicarakan, maka kita akan berbicara mengenai hak-hak yang dimiliki oleh orang tertentu atas harta kekayaan tertentu (misalnya hak milik), atau dengan arti lain hak-hak yang bisa dipertahankan oleh orang tersebut terhadap orang lain. Dengan demikian, kita berbicara mengenai hak mutlak (absolute rights). Efek absolut atau efek mempertahankan hak dari pihak ketiga ini merupakan ciri khas dari hak atas harta kekayaan, yang harus dibedakan dengan hak relatif dari hak-hak pribadi (personal rights).
1.2 Legislation on Law of Property
1.2 Undang-Undang tentang Hukum Harta Kekayaan
Proprietary rights pertaining exclusively to things are provided for in Book 5 CC; the other proprietary rights can be found in Book 3 CC. The fact that ownership is provided for in Book 5 CC has to do with the fact that ownership, terminologically under the regime of the present Civil Code, can only apply to things. Where the belonging of rights is concerned, for instance, one cannot, according to the system and terminology of our new Civil Code, speak of ownership. In practice, however, one sees that the term ownership is also used for the fullest right to rights.
Hak milik yang secara khusus terkait dengan kebendaan adalah yang termuat dalam Buku 5 KUHPdt; hak milik lainnya dapat ditemukan dalam Buku 3 KUHPdt. Penguraian hak milik pada Buku 5 KUHPdt sebenarnya terkait dengan kenyataan bahwa hak milik, yaitu istilah yang digunakan oleh rezim KUPdt yang berlaku saat ini, hanyalah berlaku untuk benda. Dalam hal yang dibicarakan adalah kepemilikan atas suatu hak misalnya, maka menurut sistem dan istilah dari Kitab Undangundang Hukum Perdata kami yang baru, kita tidak lah membicarakan mengenai hak milik. Namun
Professor Henk Snijders
35
demikian, dalam praktiknya kami melihat bahwa istilah hak milik juga digunakan untuk menyebutkan kepemilikan penuh atas suatu hak. The proprietary titles of Book 3 CC (Vermogensrecht in het algemeen, Patrimonial Law in general) may be briefly characterised as follows. Title 1 of Book 3 CC (Algemene bepalingen, General provisions) consists mainly of definitions, particularly those relevant to the law of property. Section 3.1.2 CC provides for entries of registered property.
Title 3.4 CC (Verkrijging en verlies van goederen; Acquisition and loss of property), apart from general provisions about acquisition and loss (section 1), comprises provisions regarding transfer (section 2) and prescription (section 3). Title 3.5 CC (Bezit en houderschap; Possession and detention), title 3.6 CC (Bewind; Administration of the property of another), which has not yet been introduced, and title 3.7 CC (Gemeenschap; Community) provide for legal positions with respect to property. A title concerning individual belonging of rights – in contrast to community, which regards both things and rights – is lacking. The belonging of corporeal property objects – ownership – is provided for in Book 5 CC.
Title 3.10 CC (Verhaalsrecht op goederen; Rights of recourse against property) establishes the preference of creditors of a debtor who has insufficient assets to satisfy all his creditors. It underlines the relevance
Hak milik dalam Buku 3 KUHPdt (Vermogensrecht in het algemeen, Hukum harta kekayaan umum) secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut. Judul 1 dari Buku 3 KUHPdt (Algemene bepalingen, Ketentuan Umum) pada umumnya mencakup berbagai definisi, terutama yang terkait dengan hukum harta kekayaan. Bagian 3.1.2 KUHPdt mencakup ketentuan mengenai harta kekayaan yang terdaftar. Judul 3.4 KUHPdt (Verkrijging en verlies van goederen; Perolehan dan pelepasan harta kekayaan), selain dari ketentuan umum mengenai perolehan dan pelepasan (bagian 1), mencakup ketentuan mengenai peralihan (bagian 2) dan preskriptif (bagian 3). Judul 3.5 KUHPdt (Bezit en houderschap; Kepunyaan dan penguasaan), judul 3.6 KUHPdt (Bewind; Administrasi harta kekayaan lainnya), yang belum diberlakukan, dan judul 3.7 KUHPdt (Gemeenschap; Komunitas) memuat ketentuan mengenai posisi hukum terkait dengan suatu harta kekayaan. Judul mengenai kepemilikan pribadi atas suatu hak – yang harus dibedakan dengan kepemilikan bersama, yang terkait dengan benda maupun hak – masih belum tersedia. Kepemilikan dari benda berwujud – hak milik – dimuat dalam Buku 5 KUHPdt. Judul 3.10 KUHPdt (Verhaalsrecht op goederen; Hak untuk menuntut kembali harta kekayaan) menentukan kedudukan para kreditur atas seorang debitur yang tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar
36
Netherlands Law of Property
of the law of property, as its reading shows that creditors who have ‘hedged’ themselves in a proprietary sense - especially pledgees and mortgagees (arts. 3:278-279 CC) – usually come out better than other creditors thanks to their priority in the chain of recourse.
Proprietary rights that can only be exercised on things – the subject matter of Book 5 CC (Real rights) – can be found in titles 5.1-5 CC (about the full right to corporeal property objects: the ownership), title 5.6 CC (Erfdienstbaarheden; Servitudes), title 5.7 CC (Erfpacht; Emphyteusis), title 5.8 CC (Opstal; Superficies) and title 5.9 CC (Appartementsrechten; Apartment rights). Title 5.9 CC is the odd man out here, and will be dealt with further in 3.1).
seluruh krediturnya. Judul tersebut mendasari relevansi dari hukum harta kekayaan, yang menyebutkan bahwa kreditur yang telah ‘melindungi’ dirinya dengan harta kekayaan – terutama gadai dan hipotek (pasal 3:278-279 KUHPdt) – biasanya memiliki kedudukan yang lebih baik dikarenakan kedudukan mereka yang diutamakan dalam upaya menuntut kembali harta kekayaan . Yang amat relevan pada judul 3.11 KUHPdt (Rechtsvorderingen; Hak atas perbuatan hukum) adalah pasal 3:297-301 KUHPdt mengenai perbuatan tertentu (tata cara memperoleh hak) dan pasal 3:306-325 KUHPdt mengenai preskriptif negatif (yang bisa berujung pada preskriptif akuisitif) . Hak milik yang tidak hanya berlaku untuk benda tetapi juga untuk hak dapat ditemukan pada judul 3.8 KUHPdt (Vruchtgebruik; Hak pakai/ hak mendiami) dan 3.9 KUHPdt (Rechten van pand en hypotheek; Hak untuk meletakkan gadai dan hipotek (i.e. hak tanggungan). Hak milik yang hanya berlaku untuk benda – yang termuat dalam Buku 5 KUHPdt (Hak atas kebendaan) – dapat ditemukan pada judul 5.6 KUHPdt (Erfdienstbaarheden; Pengabdian), judul 5.7 KUHPdt (Erfpacht; Hak guna usaha), judul 5.8 KUHPdt (Opstal; Hak Numpang Karang) dan judul 5.9 KUHPdt (Appartementsrechten; Hak apartemen). Judul 5.9 KUHPdt sebetulnya judul yang paling tidak berkaitan, dan akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian 3.1.
Not only the Civil Code provisions dealing with the law of obligations, but also those pertaining to the law of property, are characterised by their layered structure, and by provisions applicable mutatis mutandis outside the field to
Tidak hanya ketentuan dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata yang mengatur mengenai hukum perikatan, tetapi juga ketentuan lainnya yang mengatur tentang hukum harta kekayaan, dicirikan oleh struktur
Especially relevant in title 3.11 CC (Rechtsvorderingen; Rights of action) are arts. 3:297-301 CC on specific performance (a manner of acquisition of right) and arts. 3:306-325 CC on negative prescription (which may yield acquisitive prescription). Proprietary rights that cannot only be exercised on things but also on rights can be found in titles 3.8 CC (Vruchtgebruik; Usufruct) and 3.9 CC (Rechten van pand en hypotheek; Rights of pledge and hypothec (i.e. mortgage)).
Professor Henk Snijders
which they relate directly (schakelbepalingen) and provisions that exclude the applicability of provisions within the field to which they relate directly (uitschakelbepalingen).
The layered structure implies that the rules in the Civil Code have been arranged according to the question how general the scope of these provisions is. Title 3.4 CC, for instance, comprises general provisions about the acquisition and loss of property, whereas section 3.4.2 CC deals with one form of acquisition and loss – the transfer in particular – and this provision applies as a supplement to and amendment to the general regulation of section 3.4.1 CC (lex specialis derogat legi speciali). Thus, title 5.1 CC contains general ownership provisions; title 5.2 CC contains supplementary and amending provisions relating to ownership of movable property; titles 5.3 to 5.5 CC contain additional and amending provisions relating to ownership of immovable property.
In the law of property the main schakelbepaling is art. 3:98 CC. This article declares in principle that everything provided for in part 3.4.2 for the transfer of property applies mutatis mutandis to the creation, transfer and abandonment of a dismembered right to such property, albeit that special rulings on specific dismembered rights supplement and amend the more general provisions of section 3.4.2 CC. In this way the layered structure of the law of property mentioned above is given
37
yang berlapis, dan oleh ketentuan yang berlaku mutatis mutandis di luar bidang yang berkaitan secara langsung (schakelbepalingen) dan ketentuan yang mengecualikan pemberlakuan ketentuan di dalam bidang yang berkaitan secara langsung (uitschakelbepalingen). Struktur berlapis mengakibatkan bahwa aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah disusun sesuai dengan pertanyaan mengenai seberapa umumkah cakupan dari ketentuan-ketentuan tersebut. Judul 3.4 KUHPdt misalnya, mencakup ketentuan umum mengenai perolehan dan pelepasan harta kekayaan, sedangkan bagian 3.4.2 KUHPdt mengatur tentang salah satu bentuk dari perolehan dan pelepasan – terutama peralihan – dan ketentuan ini berlaku sebagai pelengkap atas dan perubahan dari aturan umum pada bagian 3.4.1 KUHPdt (lex specialis derogat legi speciali). Dengan demikian, judul 5.1 KUHPdt memuat ketentuan kepemilikan umum; judul 5.2 KUHPdt memuat ketentuan tambahan dan merubah ketentuan terkait dengan kepemilikan dari harta kekayaan bergerak; judul 5.3 hingga 5.5 KUHPdt memuat ketentuan tambahan dan merubah ketentuan terkait dengan kepemilikan atas harta kekayaan tidak bergerak. Dalam hukum harta kekayaan, schakelbepaling yang utama adalah yang dimaksud pada pasal 3:98 KUHPdt. Pasal ini secara prinsip menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimaksud dalam bagian 3.4.2 atas peralihan harta kekayaan berlaku mutatis mutandis atas pembentukan, peralihan dan penghirauan dari hak atas harta kekayaan tersebut, meskipun terdapat ketentuan khusus mengenai pemisahan hak yang menambahkan dan merubah ketentuan umum dalam bagian
38
Netherlands Law of Property
an extra dimension.
The main uitschakelbepaling in the law of property is art. 3:199 CC, which provides that the error regulation of arts. 6:228-230 CC does not apply to the agreement on the division of a community.
Although the Civil Code is the main source of knowledge for the law of property, property law may also be found in international treaties. We may refer to Art. 1 of the First Protocol to the European Convention of Human Rights. EU regulations relevant to the law of property are so-called directives. This means that they are not self-executing: they have to be implemented in our national legislation and then they subsequently form part thereof. An example of such a Directive is the Collateral Directive (Directive 2002/47/EC of 6 June 2002), discussed in 3.1.
Of course, property law can also be found in special Acts, for instance the Faillissementswet (hereinafter called Bankruptcy Act) and the Kadasterwet (hereinafter called Land Registry Act).
3.4.2 KUHPdt. Dengan demikian, struktur berlapis dari hukum harta kekayaan yang disebutkan diatas telah mendapatkan dimensi tambahan. Uitschakelbepaling yang utama pada hukum harta kekayaan adalah pasal 3:199 KUHPdt, yang menyebutkan bahwa peraturan mengenai kesalahan dari pasal 6:228-230 KUHPdt tidak berlaku untuk perjanjian mengenai pembagian suatu kepemilikan bersama. Meskipun Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah sumber pengetahuan utama untuk hukum harta kekayaan, namun hukum harta kekayaan dapat juga ditemukan pada perjanjian international. Mari kita mengacu pada pasal 1 dari Protokol Pertama Konvensi Eropa atas Hak Asasi Manusia (First Protocol to the European Convention of Human Rights). Aturan Uni Eropa (EU) yang terkait dengan hukum atas harta kekayaan merupakan derivasi dari konvensi tersebut. Ini berarti bahwa aturan tersebut tidak dapat dieksekusi dengan sendirinya: aturan tersebut harus diimplementasikan ke dalam perundang-undangan nasional terlebih dahulu dan kemudian menjadi bagian dari perundangundangan nasional tersebut. Contoh dari derivasi tersebut adalah Derivasi Kolateral (Collateral Directive - Derivasi 2002/47/EC tanggal 6 Juni 2002), yang akan dibahas pada bagian 3.1 berikut. Tentu saja, hukum harta kekayaan dapat juga ditemukan pada Undang-undang khusus, contohnya Faillissementswet (untuk selanjutnya disebut dengan UU Kepailitan) dan Kadasterwet (untuk selanjutnya disebut dengan UU Pendaftaran Tanah).
Professor Henk Snijders
39
1.3 Terminology
1.3 Terminologi
The terminology of the law of property is of great importance, both in answering matters of property law and in the assessment of other points of law. For instance, the nature of the property determines how the property must be delivered, whether the acquirer of the property enjoys any protection if the previous owner had no power to dispose of the property, and which proprietary rights may be created on the property. Outside the law of property, for example in attachment law and tax law, the terminology of the law of property also has far-reaching consequences. The Wet op de onroerende zaakbelasting (Tax on Immovable Things Act) for instance, obliges owners and users of immovable things to pay tax for that ownership respectively use.
Istilah dari hukum harta kekayaan sangatlah penting, baik untuk menjawab hal-hal yang terkait dengan hukum harta kekayaan itu sendiri maupun untuk melihat pokok hukum lainnya. Misalnya, sifat atau jenis harta kekayaan menentukan penyerahan dari harta kekayaan tersebut, Apakah misalnya, orang yang memperoleh harta kekayaan tersebut mendapatkan perlindungan apabila pemilik sebelumnya tidak memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan tersebut, dan hak milik macam mana yang dapat lahir atas harta kekayaan tersebut. Di luar hukum harta kekayaan, misalnya dalam hukum perlekatan dan hukum perpajakan, istilah dari hukum harta kekayaan juga memiliki konsekuensi yang luas. Wet op de onroerende zaakbelasting (Undang-undang Pajak atas Benda Tidak Bergerak) misalnya, mewajibkan pemilik dan pengguna benda tidak bergerak untuk membayar pajak atas kepemilikan atau atas penggunaan tersebut. Pasal 3:80 KUHPdt menyatakan bahwa ‘harta kekayaan’ dapat diperoleh dan dapat hilang melalui beberapa cara. Pasal 3:83 KUHPt menyatakan bahwa hanya ‘hak’ – misalnya hak patrimonial termasuk juga kepemilikan yang setara dengan benda yang dimiliki oleh pemilik – yang dapat dialihkan. Untuk kepentingan pasal ini sendiri saja, perlu diketahui terlebih dahulu apakah objek tertentu bisa dilihat sebagai hak patrimonial atau sebagai benda. Maka, sebuah pertanyaan muncul mengenai apakah daya, listrik terutama, dapat dilihat sebagai benda. Telah banyak perdebatan bahwa listrik dalam arti fisik, memiliki massa dan oleh karena itu dapat dipandang sebagai benda berwujud. Apabila sudah dipisahkan,
Article 3:80 CC provides that ‘property’ can be acquired and lost in certain ways. Article 3:83 CC provides that only ‘rights’ – i.e. patrimonial rights including ownership as an equivalent of the thing that belongs to the owner – are transferable. For this reason alone it is relevant to know whether a certain object can be regarded as a patrimonial right or thing. Thus, the question has arisen whether energy, electricity in particular, can be regarded as a thing. It has been argued that electricity in a physical sense has a mass and can thereby be designated as being corporeal. Once it is individualised, as in a battery, it can be designated as a thing and is thereby capable of acquisition, loss,
40
Netherlands Law of Property
and especially, transfer. Software, on the other hand, is still said not to be a thing. Therefore software cannot be transferred. A proprietary right to software is therefore impossible. The undesired copying of software can only be counteracted by an interested party by invoking intellectual property rights, such as copyright or a neighbouring right, not by invoking the law of property. Goodwill is not a thing either, nor a patrimonial right. Anyone who wants to transfer an enterprise with goodwill can transfer all related things, but not the goodwill connected with the enterprise. This is not regarded as a problem. The transfer agreement simply includes an amount charged for goodwill. Subsequently a patrimonial right is created for the transferring party against the acquiring party amounting to the sum stated for goodwill.
The question what patrimonial rights are (art. 3:6 CC) may also arise. Objects that have merely emotional value, such as a child’s lock of hair, do not count as patrimonial rights. However, when a lock of hair that belonged to Marilyn Monroe or Rembrandt van Rijn is concerned, opinions on this may differ.
As stated, the concept of ownership, in the system and the terminology of the law, is restricted to the most comprehensive right to things only. As an umbrella term
seperti dalam baterai misalnya, maka listrik dapat dipandang sebagai benda dan dengan demikian dapat diakuisisi, hilang, dan terutama, dapat dialihkan. Perangkat lunak, masih dipandang sebagai bukan benda. Oleh karena itu perangkat lunak tidak dapat dialihkan. Hak kepemilikan atas perangkat lunak, oleh karenanya tidaklah memungkinkan. Penggandaan yang tidak diperbolehkan atas suatu perangkat lunak hanya dapat digugat oleh pihak yang berkepentingan melalui penegakan hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta dan bukan melalui penegakan hukum harta kekayaan. Itikad baik juga bukanlah suatu benda, dan bukan juga hak patrimonial. Apabila ada seseorang yang ingin mengalihkan suatu usaha dengan itikad baik, ia bisa mengalihkan benda-benda lain yang terkait dengan usaha tersebut, tetapi tidak itikad baik itu sendiri. Ini tidak menjadi masalah. Dalam Perjanjian pengalihannya, bisa dicantumkan nilai yang dikenakan atas itikad baik tersebut. Setelah itu, hak patrimonial dibentuk untuk pihak yang mengalihkan terhadap pihak yang memperoleh sesuai nilai yang disebutkan untuk itikad baik dimaksud. Pertanyaan mengenai apa saja yang dipandang sebagai hak-hak patrimonial (pasal 3:6 KUHPdt) juga muncul. Benda-benda yang memiliki nilai emosional seperti seikat rambut dari seorang anak, tidaklah masuk sebagai hak patrimonial. Namun demikian, apabila rambut tersebut adalah milik Marilyn Monroe atau Rembrandt van Rijn, maka mungkin bisa berbeda. . Sebagaimana yang telah disampaikan, konsep dari kepemilikan, dalam sistem dan terminologi hukum ini, terbatas pada hak-hak yang paling komprehensif atas
Professor Henk Snijders
for the most comprehensive right to things or patrimonial rights, the term toebehoren (belonging) is used. The person to whom a property belongs is called the rechthebbende (title-holder). The term gerechtigde (entitled person) has a far wider scope. It also pertains to a person to whom a personal right or right in personam belongs, such as the creditor of an obligation. Toekomen (accruing) is likewise a wider term than toebehoren (belonging). To a creditor accrues a right against the debtor, for instance. If mede-toebehoren (cotitle-holdership) is involved, this is called gemeenschap (community). Thus, we speak of the community of property of spouses. Their property belongs to them jointly.
Component parts are dependent parts of a thing, either based on a close imaginary relation (art. 3:4 para. 1 CC), or based on a close material relation (art. 3:4 para. 2 CC). An imaginary relation concerns that which according to common opinion forms part of a thing, thus, art. 3:4 para. 1 CC (one may think of a loose tile on the roof of a house, or an easily detachable bicycle bell). A close material relation exists, for instance, in the event of a bathtub fitted into a bathroom, or a page of a book. Often a close material relation goes together with a close immaterial relation. The remainder of the thing with which the imaginary or material relation has been established, is indicated for practical reasons as the ‘main thing’. Buildings and works durably united with land are designated
41
kebendaan saja. Sebagai istilah payung dari hak yang paling komprehensif atas benda atau hak patrimonial, maka istilah toebehoren (kepunyaan) yang digunakan. Orang yang merupakan pemilik dari suatu harta kekayaan disebut dengan rechthebbende (pemegang hak). Istilah gerechtigde (orang yang berhak) memiliki lingkup yang lebih luas. Istilah tersebut juga berarti seseorang kepada siapa hak perorangan (in personam right) itu dimiliki, seperti kreditur dalam suatu perikatan. Toekomen (perolehan) juga merupakan istilah yang lebih luas ketimbang toebehoren (kepunyaan). Kreditur memperoleh suatu hak terhadap debitur, misalnya. Apabila ada mede-toebehoren (pihak yang turut memegang hak) yang juga terlibat disini, maka ini disebut gemeenschap (komunitas - kepemilikan bersama). Ini berarti kita akan berbicara tentang harta kekayaan bersama atas pasangan, di mana mereka memiliki harta kekayaan secara bersama-sama. Bagian komponen adalah bagianbagian yang melekat dengan suatu benda, baik itu karena hubungan imajiner (pasal 3:4 paragraf 1 KUHPdt), atau berdasarkan hubungan material (pasal 3:4 paragraf 2 KUHPdt). Hubungan imajiner adalah hubungan yang berdasarkan pendapat umum, membentuk suatu benda, sesuai pasal 3:4 paragraf 1 KUHPdt (contohnya adalah atap sebuah rumah yang lepas, atau bel sepeda yang dapat dicopot). Sedangkan hubungan material misalnya, apabila ada sebuah bak mandi yang dipasang di sebuah kamar mandi, atau sebuah halaman dalam sebuah buku. Seringkali hubungan material muncul bersamaan dengan hubungan immaterial. Benda atas mana hubungan imajiner maupun hubungan material dibentuk, dapat disebut sebagai ‘benda
42
Netherlands Law of Property
as main thing in this context, though being in turn component parts of the land. Thus, a tile is said to be a component part of the house of which it forms part, when in essence we mean that a tile forms part of a house, which is a component part of the land. The concept of ‘component part’ is of essential importance to the law of property: component parts do not have an independent status, but follow the status of the main thing: anyone who transfers a house, ipso jure also transfers the tiles of that house. This is not only important for the question what exactly a new owner gets, but also for transfer tax purposes. Transfer tax is due upon the transfer of a house and is related to the value of the house. This value is also determined by its component parts. Breach of the quality of a component part may be realised through separation (the tile is taken away from the roof), or through the creation of a right of superficies (art. 5:101 CC), or coownership in the sense of art. 5:60 CC.
Fruits may be described as the proceeds that property generates with preservation of its substance. Natural fruits, such as the apple of a tree, or a cow’s calf, are things (art. 3:9. para. 1 CC); civil fruits, such as the interest on a claim of a loan, dividend on shares and the rent of a house, are patrimonial rights (art. 3:9 para. 2 CC). Whether something is a fruit is determined by common opinion, as discussed before. The question whether
utama’. Bangunan dan pekerjaan yang menyatu dengan tanah secara permanen, untuk alasanalasan praktis disebut sebagai benda utama dalam konteks ini, meskipun sebaliknya, juga merupakan bagian komponen dari tanah. Dengan demikian, genteng merupakan bagian komponen dari rumah, yang membentuk rumah, yang merupakan bagian komponen dari tanah. Konsep ‘bagian komponen’ merupakan hal yang sangat penting dalam hukum harta kekayaan: bagian komponen tidak memiliki status yang berdiri sendiri (independent), tetapi mengikut status hukum dari benda utamanya: siapapun yang mengalihkan rumah, ipso jure juga mengalihkan genteng dari rumah tersebut. Ini tidak hanya penting untuk menjawab pertanyaan mengenai apa saja yang diperoleh oleh pemilik yang baru, tetapi juga untuk kepentingan pajak pengalihan. Pajak pengalihan dikenakan atas pengalihan sebuah rumah, yang dikaitkan dengan nilai dari rumah tersebut. Nilai tersebut juga ditentukan oleh bagian komponen rumah tersebut. Penyimpangan dari bagian komponen bisa merupakan pemisahan dari bagian komponen tersebut (genteng diambil dari atap), atau dengan adanya hak guna bangunan (pasal 5:101 KUHPdt), atau pihak yang turut memiliki sebagaimana dimaksud dalam 5:60 KUHPdt. Buah dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh harta kekayaan atas pemeliharaan dari harta kekayaan itu sendiri. Buah alami, seperti apel dari pohon apel, atau anak sapi, adalah benda (pasal 3:9 paragraf 1 KUHPdt); buah perdata, seperti bunga pinjaman, deviden saham, dan hasil sewa rumah, adalah hak-hak patrimonial (pasal 3:9 paragraf 2 KUHPdt). Apakah suatu benda merupakan buah, hal ini ditentukan
Professor Henk Snijders
something is a fruit is relevant in the assessment of the scope of a right of usufruct (art. 3:201 in conjunction with art. 3:216 CC), or in the assessment of a right of ownership (the owner of a thing in general also becomes owner of the fruits once separated; art. 5:1 para. 3 CC).
Article 3:3 CC indicates which things are immovable or movable. Immovable are – in summary – the land and all its components. In spite of breach of the formation of component parts with respect to the land, things may also be immovable, for instance a house in the event a right of superficies is established (art. 5:101 CC). For buildings or works to be immovable, they must, pursuant to art. 3:3 CC, be durably united with the land: the building or work must by its nature and according to its fixtures and fittings be destined to remain in that place permanently (the so-called criterion of designated use). Thus, a houseboat that is purposely kept afloat is not immovable. Conversely, a houseboat permanently anchored in the water and unable to sail anymore is regarded as an immovable thing. A telecommunication cable network in or on the land consisting of cables and network connection points and their constituents, when considered from this point of view, is movable. However, in accordance with art. 5:20 para. 2 CC (which substituted art. 5.6 Telecommunications Act on 1st February 2007) it is not the property of the owner of the land in or on which the cables lie. This is an example of a thing that is immovable and yet – pursuant to the law – is not a component part of the land in which it
43
oleh pendapat umum, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. Pertanyaan mengenai buah atau bukan, relevan untuk melihat ruang lingkup dari hak pungut/pakai hasil buah atau usufruct (pasal 3:201 jo. Pasal 3:216 KUHPdt), atau untuk melihat hak atas suatu kepemilikan (pemilik benda pada umumnya juga merupakan pemilik dari buah; pasal 5:1 paragraf 3 KUHPdt). Pasal 3:3 KUHPdt mengatur mengenai benda bergerak dan tidak bergerak. Benda tidak bergerak – secara ringkas – adalah tanah beserta seluruh komponennya. Walaupun ada penyimpangan atas bagian komponen terkait dengan tanah, ada pula yang tidak bergerak, seperti rumah dalam hal adanya hak guna bangunan (pasal 5:101 KUHPdt). Agar bangunan atau pekerjaan bangunan dapat dianggap sebagai benda tidak bergerak, maka sesuai pasal 3:3 KUHPdt, haruslah melekat secara permanen dengan tanah yang bersangkutan: bangunan atau pekerjaan bangunan sifatnya harus dan memang tujuan dan penempatannya diperuntukkan untuk melekat di tempat tersebut secara permanen (kriteria maksud penggunaan). Maka, rumah perahu yang memang secara sengaja dibiarkan mengapung bukanlah benda tidak bergerak. Sebaliknya, rumah perahu yang secara permanen berhenti di air dan tidak dapat berlayar lagi dipandang sebagai benda tidak bergerak. Jaringan kabel telekomunikasi di dalam atau di atas tanah yang terdiri dari kabel-kabel dan titik-titik koneksi jaringan dan komponen pendukungnya, apabila dilihat dari sudut pandang seperti di atas, maka dipandang sebagai benda bergerak. Namun, sesuai dengan pasal 5:20 paragraf 2 KUHPdt (yang melengkapi pasal 5.6 Undang-
44
Netherlands Law of Property
is located. The importance of the distinction between movable and immovable things is great. Thus, certain rights are only permitted on immovable things, such as servitudes, emphyteusis and superficies (art. 5:70, 5:85 resp. 5:101 CC). Reference is made again to the Netherlands Tax on Immovable Things Act.
Important also is the distinction between dependent and independent rights. A dependent right is a right which is related to another right in such a way that it cannot exist independently thereof (art. 3:7 CC). Thus, the hypothec (mortgage) on a house is a dependent right vis-à-vis the principal right pursuant to a loan agreement for the financier. In general the dependent right follows the right to which it is related (art. 3:82 CC). In principle the right of hypothec succeeds to the person to whom the financier may transfer his right pursuant to a loan agreement. In practice this succession is often excluded nowadays. Many dependent rights are also accessory rights (art. 6:142 CC). Accessory rights are also characterised through their relation to a principal right. Unlike dependent rights, accessory rights are always connected to a claim and do not need to be patrimonial rights. Usually, though not always, accessory rights follow the principal right. The contractually stipulated right to arbitration is an accessory right, which does ipso jure pass
undang Telekomunikasi tanggal 1 Februari 2007) benda tersebut bukan merupakan harta kekayaan dari pemilik tanah yang di dalam atau di atasnya terdapat jaringan kabel tersebut. Ini adalah contoh dari benda yang tidak bisa dipindahkan/tidak bergerak – tetapi menurut undang-undang – bukanlah merupakan bagian komponen dari tanah tempat jaringan tersebut berada. Pembedaan antara benda bergerak dan tidak bergerak sangatlah penting. Maka, beberapa hak tertentu hanya diberikan untuk benda tidak bergerak, seperti pengabdian tanah, hak guna usaha dan hak guna bangunan (pasal 5:70, 5:85 dan 5:101 KUHPdt). Sebagai referensi digunakan pula Undang-undang Pajak Belanda atas Benda Tidak Bergerak. Pembedaan antara hak yang berdiri sendiri (independent rights) maupun yang tidak berdiri sendiri (dependent rights) juga penting. Hak yang tidak berdiri sendiri adalah hak yang terkait dengan hak lainnya karena sesuatu hal yang menyebabkan hak tersebut tidak dapat berdiri sendiri (pasal 3:7 KUHPdt). Maka, hipotek atas sebuah rumah adalah hak yang tidak berdiri sendiri vis-à-vis tanpa hak prinsipnya yang timbul dari perjanjian kredit/ pinjaman kepada pemberi pinjaman. Secara umum, hak yang tidak berdiri sendiri mengikuti hak di mana ia terkait (pasal 3:82 KUHPdt). Secara prinsip hak atas hipotek jatuh kepada orang kepada siapa pemberi pinjaman harus mengalihkan haknya sesuai dengan perjanjian pinjaman. Dalam praktiknya, penyerahan seperti ini seringkali dikesampingkan saat ini. Ada banyak hak yang tidak berdiri sendiri, juga merupakan hak asesoris (pasal 6:142 KUHPdt). Hak asesoris juga dicirikan melalui adanya kaitan antara hak tersebut dengan hak prinsipnya. Tidak seperti hak yang tidak berdiri
Professor Henk Snijders
with a claim pursuant to that agreement. The right to arbitration is not a patrimonial right, however, and thus not a dependent right either. Hypothec is both a dependent right and an accessory right. The same applies to pledge.
Full rights are the ownership of things and the belonging of patrimonial rights. A dismembered (limited) right is a right derived from a more comprehensive right (the parental right), which is encumbered with the dismembered right (art. 3:8 CC). Dismembered rights may be distinguished in proprietary rights of use or rights of enjoyment (usufruct, use and habitation, servitude, emphyteusis and superficies) and proprietary security rights (pledge and hypothec). Registered property is property the transfer or creation of which requires entry in the public registers, provided for that purpose (3:10 CC). Whenever entry in a public register is a constitutive requirement (as in the transfer of immovable property or the creation of a hypothec), we speak of registered property. Registered property is: all immovable things (art. 3:89 CC), registered seagoing and inland navigation vessels (arts. 8:199 and 790 CC), registered aircraft (8:1306 para. 1 CC), shares in registered property (3:96 CC) and dismembered rights on registered property (3:98 CC). So we have both (un)registered things and (un)registered rights. Surfboards
45
sendiri, hak asesoris selalu terkait dengan sebuah klaim dan tidak perlu merupakan hak patrimonial. Biasanya, walaupun tidak selalu, hak asesoris mengikuti hak prinsipnya. Hak yang diatur dalam kontrak untuk menempuh arbitrase adalah contoh hak asesoris, yang sifatnya ipso jure beralih dengan adanya klaim sesuai dengan perjanjiannya. Hak arbitrase bukanlah hak patrimonial, namun demikian, juga bukan hak yang tidak berdiri sendiri. Hipotek sebaliknya, adalah hak yang tidak berdiri sendiri dan juga hak asesoris. Begitu pula dengan peletakan gadai. Hak penuh adalah kepemilikan atas benda dan kepemilikan atas hak patrimonial. Hak terpisah (terbatas) adalah hak yang diambil dari hak yang lebih komprehensif (hak parental), yang dibebani oleh hak terbatas (pasal 3:8 KUHPdt). Hak terbatas dapat dibedakan dalam penggunaan atau penguasaan hak milik (hak memungut hasil, mendiami dan menggunakan, pengabdian, hak guna usaha dan hak guna bangunan) dan hak meletakkan jaminan atas hak milik (gadai dan hipotek). Harta kekayaan terdaftar adalah harta kekayaan yang pengalihan atau perolehannya membutuhkan pendaftaran pada pencatatan publik, sesuai dengan tujuannya (3:10 KUHPdt). Di mana pendaftaran pada kantor pendaftaran publik merupakan suatu persyaratan yang ditentukan (seperti pengalihan benda tidak bergerak atau peletakan hipotek), maka itu berarti kita berbicara mengenai harta kekayaan yang terdaftar. Harta kekayaan terdaftar adalah: semua benda tidak bergerak (pasal 3:89 KUHPdt), kapal berlayar dan kapal navigasi di darat yang terdaftar (pasal 8:199 dan 790 KUHPdt), pesawat udara terdaftar (pasal 8:1306 paragraf 1 KUHPdt), saham/
46
Netherlands Law of Property
and other small vessels, as well as light aircraft fall outside this group. The importance of the qualification as registered property is great. Registered property is subject to solid transfer formalities (arts. 3:89-90 CC), prescription periods (art. 3:99 CC), and special provisions for the protection of third parties–acquirers against alienators having no power to dispose of the property (compare arts. 3:86-87 and 3:88 CC). For the manner of attachment this concept is relevant as well.
bagian dalam harta kekayaan terdaftar (3:96 KUHPdt) dan hak terbatas atas harta kekayaan terdaftar (3:98 KUHPdt). Dengan demikian, berarti undang-undang kami juga memiliki baik benda (tidak) terdaftar dan hak (tidak) terdaftar pula. Papan selancar dan kapal kecil lainnya, dan juga jenis pesawat ringan tidaklah termasuk dalam kelompok ini. Kualifikasi harta kekayaan terdaftar ini sangatlah penting. Harta kekayaan diperlukan untuk formalitas pengalihan (pasal 3:89-90 KUHPdt), untuk masa prescription (pasal 3:99 KUHPdt), dan untuk aturan khusus yang melindungi pihak ketiga yang memperoleh harta terhadap pihak asing yang tidak memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan (bandingkan pasal 3:86-87 dan 3:88 KUHPdt). Konsep ini juga sangat relevan untuk perlekatan (attachment).
1.4 Legal consequences of proprietary rights
1.4 Konsekuensi hukum atas hak milik
As stated, proprietary rights are absolute rights. They are effective vis-à-vis everybody. This implies exclusivity first of all: every third party must refrain from behaviour that disturbs the title-holder to a property in his use, management or disposal. This exclusivity is done the most justice in the full rights – ownership and other belonging. Indeed, several dismembered rights may apply to property. If two dismembered rights are created on property, the exclusivity of the oldest right prevails, pursuant to the priority principle to be explained now.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hak milik merupakan hak yang absolut. Hak ini berlaku vis-a-vis terhadap semua pihak. Hak ini mengimplikasikan eksklusivitas yang diutamakan dibanding hak lainnya: setiap pihak ketiga harus tidak melakukan perbuatan yang mengganggu pemegang hak atas harta kekayaan yang digunakan, dikelola, dan dilepaskannya. Keutamaan ini ditegakkan secara adil dalam hak penuh – kepemilikan dan kepunyaan lainnya. Memang, beberapa hak terbatas dapat berlaku atas harta kekayaan. Apabila dua hak terbatas berlaku atas harta kekayaan, keutamaan dari hak yang terdahulu/ yang paling lama adalah yang diutamakan, sesuai dengan prinsip keutamaan yang akan
Professor Henk Snijders
The effect of a proprietary right on property vis-à-vis third parties implies that no third party can also create a proprietary right on that property unless fully subject to the proprietary right that was first in existence (‘prior tempore, potior iure’). The droit de suite is also a consequence of the absolute nature of proprietary rights: the title-holder can exercise his right regardless of who is holding the object of his right. Mortgagee B, who finds out that the mortgaged property has been resold by homeowner H and transferred to a third party D, can in principle exercise his right of mortgage against D. In general the civil-law notary necessarily involved in the transaction between H and D will not allow it to proceed before all mortgages on the house have been cancelled and the mortgagees have been paid. He will do this precisely because of the principle of droit de suite. Due to that principle the owner of a car that has been stolen can also claim back the car from anyone holding it, barring exceptions to be discussed later on.
It is also important that a person who has a proprietary right on property can ignore a later attachment of that property or the bankruptcy or judicial debt rescheduling of the title-holder of that property and can therefore separately exercise his proprietary right. For this reason a person who has a proprietary right on property of a title-holder, after bankruptcy of that title-holder, is also
47
dijelaskan di bawah ini. Dampak dari hak milik atas harta kekayaan vis-a –vis pihak ketiga mengimplikasikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang dapat melahirkan hak milik atas harta kekayaan tersebut kecuali terkait secara penuh dengan hak milik yang telah ada sebelumnya (‘prior tempore, potior iure’). Asas droit de suite juga merupakan konsekuensi dari sifat absolut atas hak milik: pemegang hak dapat menggunakan haknya tanpa melihat siapa yang sedang menguasai objek dari hak tersebut. Pihak B yang dijamin, yang mengetahui bahwa harta yang dihipotekkan telah dijual oleh pemilik rumah H dan dialihkan kepada pihak ketiga D, secara prinsip dapat menegakkan haknya atas hipotek tersebut terhadap D. Secara umum hukum perdatakenotariatan yang berlaku dalam transaksi antara H dan D tidak akan memperbolehkan transaksi tersebut dilanjutkan sebelum semua hipotek atas rumah dibatalkan dan semua pihak yang dijamin telah dibayar. Ini memang harus dilakukan, karena adanya prinsip droit de suite. Karena prinsip tersebut, pemilik sebuah mobil yang dicuri dapat pula mengklaim kembali mobil tersebut dari siapapun yang sedang menguasainya, kecuali untuk hal-hal yang akan dijelaskan berikut ini. Penting juga diketahui bahwa seseorang yang memiliki hak milik atas harta kekayaan dapat menghiraukan pelekatan di kemudian hari atas harta kekayaan tersebut atau kepailitan atau perintah penjadwalan hutang oleh pengadilan dari pemegang hak atas harta kekayaan dimaksud, dan oleh karenanya, secara terpisah dapat menegakkan hak miliknya. Karena alasan ini, seseorang yang memiliki hak
48
Netherlands Law of Property
called a separatist (i.e. a creditor that may exercise his right separately from other creditors in the bankruptcy of the debtor). Thus, the pledgee and mortgagee can, in the event of the debtor’s bankruptcy or judicial debt rescheduling, exercise their proprietary rights as if there were no such bankruptcy or judicial debt rescheduling (art. 57 para. 1 Bankruptcy Act resp. art. 57 para. 1 in conjunction with art. 299 para. 3 Bankruptcy Act). Naturally there are also exceptions to the legal consequences discussed here. They will be discussed later. Further it must be said that there are also relative (also known as personal) rights that have a restricted absolute effect. For instance, the tenant of a house or the agricultural lessee of a farm is protected against the transfer of ownership of the house or the farm: they can also maintain their rights of rent or lease vis-à-vis the succeeding owner of the house or the farm (art. 7:226 CC resp. art. 7:361 Pachtwet which substituted art. 34 Farm Lease Act on 1st September 2007..
milik atas harta kekayaan dari pemegang hak, setelah pemegang hak tersebut jatuh pailit, disebut juga dengan separatist (misalnya seorang kreditur yang dapat menegakkan haknya secara terpisah dari kreditur lainnya dalam hal debitur jatuh pailit). Maka, gadai dan hipotek dapat, dalam hal debitur pailit atau penjadwalan hutang, menegakkan hak miliknya seolaholah tidak ada pailit atau penjadwalan hutan tersebut (pasal 57 paragraf 1 UU Kepailitan dan pasal 57 paragraf 1 jo. Pasal 299 paragraf 3 UU Kepailitan). Tentu saja, ada beberapa pengecualian atas konsekuensi hukum yang akan dibahas nanti. Lebih lanjut, harus dikatakan pula bahwa ada juga hak relatif (disebut juga dengan personal) yang membatasi efek absolut. Contohnya, penyewa rumah atau gadai tanah pertanian dari sebuah peternakan dilindungi terhadap pengalihan kepemilikan atas rumah atau peternakan dimaksud: mereka juga dapat mempertahankan hak sewa mereka vis-a-vis pemilik berikutnya dari rumah atau peternakan itu (pasal 7:226 KUHPdt dan pasal 7:361 Pachtwet yang menggantikan pasal 34 UU Sewa Peternakan tanggal 1 September 2007).
1.5 Requirements for proprietary rights
1.5 Persyaratan untuk hak milik
As shown, a proprietary right has an impressive legal status. This status does not accrue to a right just like that. A right can only be a proprietary right if there is a sound legal basis for this. There is a numerus clausus of proprietary rights. In addition, the genesis of a proprietary status calls for a certain measure of publicity. The publicity requirement varies with the
Sebagaimana telah dijelaskan, hak milik memiliki status hukum yang mengagumkan. Status seperti ini tidak dengan serta merta berlaku untuk atas suatu hak dengan begitu saja. Sebuah hak hanya dapat menjadi hak milik apabila ada landasan hukum yang memadai untuk hal ini. Ada sebuah numerus clausus dari hak milik. Sebagai tambahan, lahirnya status
Professor Henk Snijders
49
nature of the property. For registered property the requirement of publicity is generally the strictest. Entry of a notarial deed in the public registers is required. For unregistered property the publicity requirement is usually less stringent. Thus, for the transfer of movable unregistered property it is usually sufficient to give possession (art. 3:90 para. 1 in conjunction with 3:113-115 CC). Wherever the law sets a very weak publicity requirement for a change in a proprietary right, it is not prepared to grant a full proprietary status to the result. See for instance art. 3:90 para. 2 in conjunction with art. 3:115, heading and (a) CC, which place the traditio constituto possessorio in this perspective as will be discussed in 3.1.
hak milik mensyaratkan langkah-langkah tertentu untuk publisitas. Ketentuan publisitas ini berbeda-beda tergantung dari sifat dari harta kekayaannya itu sendiri. Untuk harta kekayaan terdaftar, maka persyaratan untuk publisitasnya adalah yang paling ketat, pada umumnya. Pendaftaran dengan akta notaris pada kantor pendaftaran adalah salah satu persyaratannya. Untuk harta kekayaan yang tidak terdaftar, persyaratan publisitasnya biasanya lebih tidak ketat. Maka, untuk pengalihan harta kekayaan bergerak yang tidak terdaftar, biasanya cukup dengan memberikan kepemilikan (pasal 3:90 paragraf 1 jo. 3:113115 KUHPdt). Bilamana hukum menetapkan persyaratan publisitas yang sangat lemah untuk perubahan hak milik, maka berarti tidak dipersiapkan untuk memberikan status hak milik penuh. Contohnya pasal 3:90 paragraf 2 jo. Pasal 3:115 judul dan (a) KUHPdt, yang meletakkan traditio constituto possessorio dalam perspektif ini, sebagaimana yang akan dibahas pada bagian 3.1.
1.6 Functions
1.6 Fungsi
All in all, proprietary rights have important functions. Proprietary rights create clarity in the scope of legal positions relating to property both for the persons occupying these legal positions and for third parties. They also emphasise the status of the different legal positions (detention whether or not with a dismembered right, possession, administration and belonging) and provide tools to judicial matters for changes in legal positions relating to specific property. Thus, proprietary rights in
Singkat kata, hak milik memiliki fungsi yang penting. Hak milik menciptakan kejelasan dalam ruang lingkup posisi hukum terkait dengan harta kekayaan bagi pihak yang menguasai posisi hukum tersebut dan bagi pihak ketiga. Hak milik juga menekankan status dari berbagai kedudukan hukum (penahanan baik dengan atau tanpa hak terbatas, penguasaan, administrasi dan kepemilikan) dan menjadi alat untuk memecahkan masalahmasalah yuridis untuk perubahan kedudukan
50
Netherlands Law of Property
sum provide for diversity, mobility and clarity of legal positions relating to property.
Another function of proprietary rights which is certainly of equal importance is that they can grant a creditor priority over other creditors. As a result, proprietary rights infringe the principle of the equality of creditors (paritas creditorum), which has been laid down in art. 3:277 para. 1 CC.
hukum terkait dengan harta kekayaan tertentu. Maka, hak milik secara ringkas memberikan keanekaragaman, pergerakan dan kejelasan dari kedudukan hukum atas harta kekayaan. Fungsi lainnya dari hak milik yang tidak kalah penting adalah hak milik dapat memberikan kedudukan utama kepada kreditur diantara kreditur lainnya. Karena itu, hak milik dikatakan menyimpangi prinsip persamaan di antara kreditur (paritas creditorum), sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3:277 paragraf 1 KUHPdt.
1.7 General tenets
1.7 Doktrin Umum
Articles 1-10 of section 3.1.1 CC (Definitions) have been discussed above, insofar as necessary. The remaining articles 11-15 of this section can be largely left undiscussed, considering that they are not related specifically or centrally to the law of property. An exception must be made for the concept of good faith in art. 3:11 CC. This concerns so-called subjective good faith, as against objective good faith provided for in art. 3:12 CC. In today’s Civil Code, objective good faith is described by the tandem ‘reasonableness and fairness’. Subjective good faith relates to what a person knows or could know. Where good faith of a person is required to produce a juridical effect, such a person is not acting in good faith, if he knew the facts or the law to which his good faith must relate or if, in the given circumstances, he should know them (art. 3:11, first sentence CC). Impossibility to inquire does not prevent the person, who had good reason to be in
Pasal 1-10 bagian 3.1.1 KUHPdt (mengenai Definisi) telah dibahas di atas, sepanjang diperlukan. Pasal lainnya 11-15 dari bagian ini tidak perlu dijelaskan, mengingat bahwa pasalpasal tersebut tidak terkait secara khusus atau erat dengan hukum harta kekayaan. Pengecualian harus diberikan untuk itikad baik dalam pasal 3:11 KUHPdt. Itikad baik yang disebut dengan itikad baik subjektif, dan bukan itikad baik objektif, diuraikan pada pasal 3:12 KUHPdt. Dalam KUHPdt yang baru, itikad baik objektif dijelaskan dengan menggunakan istilah tandem dari ‘reasonableness and fairness’. Itikad baik subjektif terkait dengan apa yang diketahui atau dapat diketahui oleh seseorang. Di mana itikad baik dibutuhkan untuk menimbulkan dampak yuridis, orang tersebut dikatakan tidak memiliki itikad baik, apabila ia mengetahui fakta atau hukum di mana itikad baik tersebut berkaitan, atau dalam keadaan tertentu, ia diharuskan mengetahui fakta atau hukum tersebut (pasal 3:11, kalimat
Professor Henk Snijders
51
doubt, from being considered as someone who should know the facts or the law (art. 3:11, second sentence CC). Good faith of art. 3:11 CC plays a role in a number of important property law provisions. Thus, someone who allows a movable unregistered thing to be transferred to him by a person who does not have power to dispose of this (such as a thief or a tenant), can still become the owner if he satisfies certain requirements, including in particular the said good faith with respect to his predecessor’s power to dispose of the property: it is required that he did not know nor should have known that his predecessor had no power to dispose of the property (art. 3:86 para. 1 CC). Other examples are arts. 3:23, 3:45 para. 5, 3:88, 3:99, 3:102 para 2, 3:120 para. 2, 3:238 para. 1 and 5:73 CC. Article 3:11 CC can always form a guiding principle here, except to the extent that the specific provision calls for a somewhat different interpretation, which is usually borne out clearly by the text or the nature of that provision.
pertama KUHPdt). Ketidakmungkinan untuk mempertanyakan tidaklah menghalangi orang tersebut, yang harusnya memiliki keraguan, untuk dianggap sebagai seseorang yang harus tahu fakta atau hukum (pasal 3:11, kalimat kedua KUHPdt). Itikad baik dari pasal 3:11 KUHPdt memainkan peranan dalam beberapa ketentuan hukum harta kekayaan utama. Maka, seseorang yang membiarkan benda bergerak tidak terdaftar untuk dialihkan kepadanya oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan untuk melepaskan benda tersebut (seperti pencuri atau penyewa), bisa saja tetap menjadi pemilik apabila ia memenuhi beberapa persyaratan, termasuk khususnya itikad baik dimaksud, dari pemilik sebelum dia untuk melepaskan harta kekayaan: persyaratan yang perlu ia penuhi adalah bahwa ia tidak mengetahui dan tidak juga dapat mengetahui bahwa pemilik sebelum dia ternyata tidak memiliki kuasa untuk melepaskan harta kekayaan (pasal 3:86 paragraf KUHPdt). Contoh lainnya adalah pasal 3:23, 3:45 paragraf 5, 3:88, 3:99, 3:102 paragraf 2, 3:120 paragraf 2, 3:238 paragraf 1 dan 5:73 KUHPdt. Pasal 3:11 KUHPdt dapat digunakan sebagai panduan dalam hal ini, kecuali sepanjang ketentuan khusus mensyaratkan interpretasi yang berbeda, yang biasanya jelas disebutkan dalam kalimatnya atau dalam sifat dari ketentuan tersebut.
1.8 Registration of property
1.8 Pendaftaran harta kekayaan
The Dutch Civil Code now contains a general regulation pertaining to the entries of registered property (on which see 1.3). The entries of registered property are made in public registers
KUHPdt Belanda yang baru memuat peraturan umum mengenai harta kekayaan terdaftar (lebih lanjut lihat 1.3). Pendaftaran dari harta kekayaan terdaftar dilakukan
52
Netherlands Law of Property
(art. 3:16 para. 1 CC). In addition, we have cadastral registration of registered property in accordance with the Land Registry Act. The public registers keep track of the changes relating to the legal situation of registered property. The Kadaster (Land Register) states per registered property the legal status thereof (to whom it belongs, with which dismembered rights and attachments it is encumbered etc.). The Land Registry Act provides for a number of these matters in greater detail. Any changes that are entered in the public registers are subsequently processed in the Land Register. In 2005 the Land Registry Act was amended in the sense that documents can from then on be electronically entered in the public registers. See art.3:19 para. 3 CC for this.
The entry in the public registers and in the Land Register in accordance with section 3.1.2 CC and the Land Registry Act should not be confused with the registration with the tax inspector for registration pursuant to the Registration Act. The latter concerns the registration of an especially private instrument (non-notarial deed) as a requirement for the undisclosed assignment (art. 3:94 para. 3 CC) and undisclosed pledge (3:237 para. 1 and 3:239 para. 1 CC). These registrations are not public. The registration of notarial deeds by civil-law notaries is not public either (art. 37 ff. Notaries Act). On the contrary, registered property is transferred by a notarial deed drawn up between the parties and entry thereof in the public registers (art. 3:89 CC); the same applies to the establishment of
di kantor pendaftaran publik (pasal 3:16 paragraf 1 KUHPdt). Sebagai tambahan, kami memiliki peraturan pendaftaran tanah (cadastral regulation) untuk harta kekayaan terdaftar sesuai dengan UU Pendaftaran Tanah. Kantor pendaftaran publik memiliki catatan perubahan terkait dengan keadaan hukum dari suatu harta kekayaan terdaftar. Kadaster (Pendaftaran Tanah) memuat status hukum dari setiap harta kekayaan terdaftar (pemilik, dengan hak terbatas dan pelekatan atas harta kekayaan tersebut, dsb). UU Pendaftaran Tanah menguraikan ketentuan ini secara lebih mendetil. Setiap perubahan yang disampaikan kepada kantor pendaftaran publik selanjutnya akan diproses di Kantor Pendaftaran Tanah. Pada tahun 2005 UU Pendaftaran Tanah telah diubah di mana dokumen elektronik dapat digunakan untuk pendaftaran pada kantor pendaftaran. Lihat pasal 3:19 paragraf 3 KUHPdt mengenai hal ini. Pendaftaran pada kantor pendaftaran dan Kantor Pendaftaran Tanah sesuai dengan bagian 3.1.2 KUHPdt dan UU Pendaftaran Tanah tidaklah untuk dirancukan dengan pendaftaran untuk pemeriksa pajak menurut UU Pendaftaran. Pendaftaran untuk pajak adalah pendaftaran menggunakan instrumen privat (bukan akta notaris) sebagai persyaratan untuk perantara tertutup (undisclosed assignment) (pasal 3:94 paragraf 3 KUHPdt) dan gadai tertutup (undisclosed pledge) (3:237 paragraf 1 dan 3: 239 paragraf 1 KUHPdt). Pendaftaran ini bukanlah pendaftaran publik. Pendaftaran akta-akta notaris oleh notaris hukum perdata juga bukanlah pendaftaran publik (pasal 37 UU Kenotariatan). Sebaliknya, harta kekayaan terdaftar pengalihannya menggunakan akta notaris yang dibuat oleh para pihak
Professor Henk Snijders
dismembered rights on registered property. In view of the importance thereof, we shall now briefly discuss the public registers.
The Netherlands has the so-called negative system as a systematic point of departure for the public registers. Without an entry a change in a property right pertaining to a registered property, particularly the transfer thereof or the establishment of a dismembered right on a registered property, cannot be established. Conversely, the entry of a change in a property right does not imply just like that, that it has actually been transferred or established. The registrar of the public registers is, in general, passive: barring exceptions, he is not authorised to conduct an investigation into the accuracy of the facts contained in the documents presented to him and to refuse entry thereof with reference to this.
In a positive system – the public registers are deemed to indicate the actual legal status of registered property – the registrar should conduct an extensive investigation upon each presentation of a document to be registered. This would unduly burden legal practice and would be incommensurate with its importance. The negative system functioning in the Netherlands is virtually waterproof nonetheless. That is certainly true for the present Civil Code, which as a result of various fresh facts is more akin to a positive system
53
dan pendaftarannya dilakukan di kantor pendaftaran publik (pasal 3:89 KUHPdt); hal yang sama juga berlaku untuk pembentukan hak terbatas atas harta kekayaan. Mengingat pentingnya hal ini, mari kita bahas sekilas mengenai pendaftaran publik. Belanda memiliki apa yang kami sebut dengan sistem negatif sebagai titik tolak pendaftaran publik. Tanpa adanya pendaftaran, suatu perubahan atas hak milik dari harta kekayaan terdaftar, terutama pengalihan atau pembentukan hak terbatas atas suatu harta kekayaan terdaftar, tidaklah dapat dilakukan. Sebaliknya, pendaftaran suatu perubahan hak milik tidak serta merta terjadi begitu saja, bahwa berarti benda tersebut telah dialihkan atau hak terbatas telah dibentuk. Pendaftaran di kantor pendaftaran publik, pada umumnya, bersifat pasif: karena memiliki keterbatasan, yaitu tidak diberikannya kewenangan investigasi untuk melihat keakuratan dari fakta-fakta yang terkandung dalam dokumen-dokumen yang diperlihatkan dan oleh karenanya, dan menolak pendaftaran harta kekayaan karena alasan ketidakakuratan tersebut. Dalam sistem yang positif – kantor pendaftaran publik dianggap mengindikasikan status hukum yang sebenarnya dari harta kekayaan yang terdaftar – pegawai pendaftar harus melakukan investigasi ekstensif dari setiap dokumen yang akan didaftarkan. Hal ini akan sangat membebankan praktik hukum dan akan menghilangkan arti penting pendaftaran yang sesungguhnya. Akan tetapi sistem negatif yang berlaku di Belanda secara virtual juga waterproof. Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang baru, karena berbagai faktafakta yang baru, lebih serupa dengan sistem
54
Netherlands Law of Property
than the old Civil Code. Many more facts can be entered now than in the past (art. 3:17 CC). Third parties are protected much better than before against incomplete and inaccurate registers (arts. 3:24-26 CC). A registered judicial declaratory judgment as referred to in art. 3:27 CC does have certain, positive effect (art. 3:27 para. 3, second sentence, CC). In certain circumstances the registrar is entitled, and even obliged, to refuse entry (art. 3:20 CC in conjunction with art. 8 Kadasterwet (Land Registry Act)). Having regard to the registrar’s expertise and the obligatory involvement of the civil-law notary in changes in the legal status of registered property, the system may be characterised as semi-positive as far as its effects are concerned.
2 The State is liable to interested parties for damage suffered as a result of an entry in the public registers or a refusal of such an entry in violation of the law. The State is also liable for other errors committed by its civil servants in keeping the registers with appurtenances (art. 3:30 CC and art. 117 Land Registry Act); art. 6:162 CC can bring relief as well.
positif dibandingkan dengan Kitab Undangundang Hukum Perdata yang lama. Ada lebih banyak fakta yang dapat dimasukkan sekarang dibandingkan dengan yang lalu (pasal 3:17 KUHPdt). Pihak ketiga dilindungi dengan lebih baik dibandingkan sebelumnya terhadap pendaftaran yang tidak lengkap dan tidak akurat (pasal 3:24-26 KUHPdt). Sebuah pertimbangan pernyataan yudisial terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 3:27 KUHPdt memang memiliki dampak positif tertentu (pasal 3:27 paragraf 3 kalimat kedua KUHPdt). Untuk beberapa keadaan, kantor pendaftaran dapat, dan bahkan diwajibkan untuk menolak pendaftaran (pasal 3:20 KUHPdt jo. Pasal 8 Kadasterwet (UU Pendaftaran Tanah)). Setelah melihat keahlian para petugas pendaftaran dan juga keterlibatan dari notaris hukum perdata dalam perubahan status hukum harta kekayaan, sistem tersebut dapat dicirikan sebagai semi positif, jika melihat dari sisi dampak yang ditimbulkannya. 2 Negara menanggung para pihak yang berkepentingan, atas kerugian yang diderita sebagai akibat dari pendaftaran atau penolakan pendaftaran yang melanggar hukum, oleh kantor pendaftaran tanah. Negara juga menanggung kesalahan lainnya yang dilakukan oleh pegawai sipil dalam hal menjaga pendaftaran tersebut (pasal 3:30 KUHPdt dan pasal 117 UU Pendaftaran Tanah); dan juga pasal 6:162 KUHPdt.
Professor Henk Snijders
2 POSSESSION, DETENTION ADMINISTRATION
AND
55
2 PENGUASAAN, PENAHANAN DAN ADMINISTRASI
2.1 Introduction
2.1 Pengantar
Possession and detention (in Latin: possessio resp. detentio) are provided for in title 3.5 CC. Possession in the sense of title 3.5 CC is the fact of detaining property for oneself (art. 3:107 para. 1 CC); detention is the fact of detaining property for another (see also art. 3:108 CC). Possession in comparison with detention is characterised by the suggestion of belonging, whether correct or not. The holders of the legal positions possession and detention are called possessor respectively detentor. If property is concerned belonging to the possessor, the possessor is also the title-holder. As has already appeared, the verb ‘detain’ is not only used for the legal position of detention, but may be associated with all legal positions involved. Both the detentor and the possessor and the title-holder can detain property. Conversely, the terms detention and detentor are generally reserved for the detention for another.
Penguasaan dan penahanan (dalam bahasa Latin: possessio dan detentio) diuraikan dalam judul 3.5 KUHPdt. Penguasaan yang dimaksud dalam judul 3.5 KUHPdt adalah menahan harta kekayaan untuk dirinya sendiri (pasal 3:107 paragraf 1 KUHPdt); penahanan adalah menahan harta kekayaan untuk orang lain (lihat juga pasal 3:108 KUHPdt). Penguasaan jika dibandingkan dengan penahanan dicirikan dengan adanya kepemilikan, terlepas dari apakah kepemilikan itu benar atau tidak. Para pemegang penguasaan dan penahanan disebut dengan penguasa dan penahan. Apabila harta kekayaan adalah kepunyaan dari penguasa, maka penguasa tersebut juga merupakan pemegang hak. Sebagaimana yang telah digunakan sebelumnya, kata ‘tahan’ (detain) tidak saja digunakan untuk kedudukan hukum atas penahanan, tetapi juga dapat diasosiasikan dengan seluruh kedudukan hukum yang terkait. Baik penahan maupun penguasa dan pemegang hak dapat menahan harta kekayaan. Sebaliknya, istilah penahanan dan penahan (detention dan detentor) biasanya khusus digunakan untuk penahanan lainnya. Semua harta kekayaan pada prinsipnya dapat dikuasai dan ditahan, contohnya baik benda, termasuk bagian komponen dan juga hak patrimonial (pasal 3:1 KUHPdt). Ada alasan yang baik mengapa pasal 3:107 KUHPdt berbicara mengenai penahanan
All property is in principle capable of possession and detention, i.e. both things, including their component parts, and patrimonial rights (art. 3:1 CC). It is for good reason that art. 3:107 CC speaks of the detaining of property and the regulation of
56
Netherlands Law of Property
possession and detention is included in Book 3 CC instead of Book 5 CC, like the regulation of ownership. Sometimes it is difficult to establish whether someone possesses on the one hand or detains for another on the other hand. Article 3:108 CC provides the criterion for this distinction: whether a person is detaining property and whether he does so for himself or for another, is determined by arts. 3:109117 CC and by external facts. Both detention and possession require an externally apparent factual power, which may be exercised indirectly pursuant to art. 3:107 paras. 3-4 CC. For possession more is required, though. It does not require an inner animus domini (inner pretension of belonging). In general, however, the requirement may be set of an external pretension that appears to be animus domini (the outwardly apparent pretension of belonging). If it can be derived according to common opinion from a person’s behaviour relating to property of which he has actual control that he pretends that it belongs to him, possession is given therewith (leaving aside an exception like art. 3:111 CC). Anyone who commits a burglary and makes off with the home-owner’s property thereby becomes possessor. By way of exception, possession may also be assumed independently of an outwardly apparent pretension of belonging. This phenomenon occurs in the event of succession by general title such as hereditary succession, notably the basis of art. 3:116 CC. The outwardly apparent pretension of belonging needs to have been made by the predecessor then. A person is presumed to detain property for himself (art. 3:109 CC). Thus, a person who claims to
harta kekayaan dan pengaturan mengenai penguasaan dan penahanan dalam Buku 3 KUHPdt dan bukan dalam Buku 5 KUHPdt, seperti peraturan mengenai kepemilikan. Kadangkala sulit untuk mengetahui apakah seseorang menguasai atau menahan harta untuk orang lain. Pasal 3:108 KUHPdt memberikan kriteria pembedaan kedua hal tersebut: apakah seseorang menahan harta kekayaan dan apakah ia melakukan hal itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, ditentukan oleh pasal 3:109-117 KUHPdt dan juga oleh faktor-faktor eksternal. Baik penahanan dan penguasaan memerlukan kekuatan faktual eksternal, yang dapat diberlakukan secara tidak langsung menurut pasal 3:107 paragraf 3-4 KUHPdt. Untuk penguasaan, ada lebih banyak persyaratan. Penguasaan tidak memerlukan inner animus domini (inner pretension of belonging). Namun pada umumnya, persyaratan tersebut dapat dibentuk dari pretensi eksternal yang tampak seperti animus domini (outwardly pretension of belonging). Apabila persyaratan tersebut dapat diambil menurut opini umum tentang perilaku seseorang terkait dengan harta kekayaan di mana ia memiliki kendali nyata dan ia berpura-pura bahwa itu adalah kepunyaan dia, maka penguasaan sudah ada (dengan mengesampingkan pengecualian seperti dalam pasal 3:111 KUHPdt). Siapapun yang melakukan pencurian dan lolos dengan harta kekayaan curian dari rumah yang ia curi, maka ia menjadi penguasa. Dilihat dari pengecualiannya, penguasaan juga dapat diasumsikan secara independen atas outwardly apparent pretension of belonging. Fenomena ini timbul dalam hal pewarisan karena kematian melalui hak umum seperti hak waris yang merupakan dasar dari pasal 3:116 KUHPdt.
Professor Henk Snijders
57
be the possessor of property over which he exercises actual control, counts as possessor , unless another person furnishes proof that the former only has detention. Further, the possessor is presumed to be in good faith (art. 3:118 para. 3 in conjunction with 3:11 CC). Moreover, the possessor is presumed to be the title-holder, if he asserts he is, subject to proof to the contrary (art. 3:119 para. 1 CC; see for registered property art. 3:119 para. 2 CC, though). Still, it must be considered that in practice a judge can refute a legal presumption through a factual presumption on his part, i.e. the judicial presumption that a certain fact has occurred on the basis of another fact that can certainly be regarded as indisputable. The detentor cannot of his own accord turn himself from detentor into possessor , nor can he on his own initiative turn himself from detentor for one into detentor for another. This bipartite prohibition of interversion is provided for in art. 3:111 CC, to which some exceptions are made in the same article.
Pretensi yang tampak dari luar harus sudah dibentuk oleh pemilik sebelumnya. Seseorang harus dianggap menahan harta kekayaan untuk dirinya sendiri (pasal 3:109 KUHPdt). Maka, seseorang yang mengklaim bahwa ia adalah penguasa atas harta kekayaan di mana atas harta kekayaan tersebut dikendalikan olehnya secara nyata, dianggap sebagai penguasa, kecuali ada orang lainnya yang menunjukkan bukti bahwa orang tersebut hanyalah penahan. Lebih lanjut, penguasaan haruslah dianggap menguasai harta dengan itikad baik (pasal 3:118 paragraf 3 jo. Pasal 3:11 KUHPdt). Penguasa harusnya merupakan pemegang hak apabila ia menyatakan demikian, kecuali ada bukti sebaliknya (pasal 3:119 paragraf 1 KUHPdt; untuk harta kekayaan terdaftar lihat pasal 3:119 paragraf 2 KUHPdt). Meskipun demikian, harus dipertimbangkan bahwa dalam praktiknya, seorang hakim dapat menolak praduga hukum melalui praduga fakta dari sisinya, yaitu praduga yuridis bahwa fakta tertentu telah muncul atas dasar fakta lainnya yang bisa dianggap tidak dapat diperdebatkan. Penahan tidak dapat atas kehendaknya sendiri merubah dirinya dari penahan menjadi penguasa, tidak pula ia atas inisiatifnya sendiri merubah dirinya dari penahan untuk suatu harta kekayaan menjadi penahan harta kekayaan lainnya. Larangan bipatrit ini diuraikan dalam pasal 3:111 KUHPdt, di mana ada beberapa pengecualian dalam pasal yang sama.
2.2 Possession
2.2 Penguasaan
Possession has an important function in the law of property. The giving of possession is the form of delivery and thus a standard
Penguasaan memiliki fungsi yang penting dalam hukum harta kekayaan. Pemberian kekuasaan adalah bentuk pelepasan dan oleh karenanya
58
Netherlands Law of Property
requirement for the transfer of movable unregistered property and of rights to bearer or order (arts. 3:90-91 respectively 93 CC). Further, possession through acquisitive prescription can pass into belonging (art. 3:99 para. 1 CC and art. 3:105 in conjunction with 3:106 ff. CC). Through occupation (occupatio) a person acquires the ownership of a movable property not belonging to anyone (art. 5:4 CC). Taking possession here results in the acquisition of ownership, then, in the same way that deliberate dereliction (derelictio) of the possession of a thing results in loss of ownership (5:118 CC). As indicated before, possession also has a probatory function (3:119 CC). Further, the possessor has the right to institute actions to recover property (art. 3:125 CC). Possession also has a so-called material function. If the possessor in good faith must restore the property he possesses to the title-holder, he is still entitled to the natural and civil fruits of the property until the restoration of the property (art. 3:120 para. 1 CC; see also art. 3:121 para. 3 in conjunction with para. 1 CC). Further, within the margins of art. 3:120 para. 2 CC, the possessor in good faith is entitled to reimbursement of his costs. Possession, finally, also has a liability function. Thus, the possessor of a motor vehicle is qualitatively liable for any damage caused by that vehicle (art. 185 Wegenverkeerswet (Road Traffic Act) in conjunction with art. 1 para. 2 Road Traffic Act). Similar qualitative liability applies to the possessor of a defective movable thing (art. 6:173 CC), a faulty construction (art. 6:174 CC) or an animal (art. 6:179 CC).
berlaku persyaratan standar untuk pengalihan harta kekayaan bergerak tidak terdaftar dan hak kepada atas-tunjuk (bearer) atau tertunjuk (order) (pasal 3:90-91 dan 93 KUHPdt). Lebih lanjut, penguasaan melalui prescription akuisitif dapat beralih menjadi kepunyaan (pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt dan pasal 3:105 jo. 3:106 CC). Melalui okupansi (occupatio) seseorang mendapatkan kepemilikan dari harta kekayaan bergerak yang tidak dimiliki oleh siapapun (pasal 5:4 KUHPdt). Menduduki disini mengakibatkan akuisisi kepemilikan, seperti halnya pelepasan (derelictio) dari penguasaan sesuatu benda mengakibatkan kehilangan kepemilikan (5:118 KUHPdt). Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, penguasaan juga memiliki fungsi probatori (3:119 KUHPdt). Lebih lanjut, penguasa memiliki hak untuk mengambil tindakan untuk menuntut kembali harta kekayaan (pasal 3:123 KUHPdt). Penguasaan juga memiliki apa yang disebut dengan fungsi materil. Apabila penguasa dengan itikad baik harus mengambalikan harta kekayaan yang ia kuasai kepada pemegang hak, ia masih berhak atas buah alami dan buah perdata dari harta kekayaan tersebut hingga saat pengembalian harta kekayaan tersebut (pasal 3:120 paragraf 1 KUHPdt; lihat juga pasal 3:121 paragraf 3 jo. paragraf 1 KUHPdt). Lebih lanjut, dalam batasan pasal 3:120 paragraf 2 KUHPdt, penguasa dengan itikad baik berhak mendapatkan penggantian biaya. Penguasaan, juga memiliki fungsi pertanggungjawaban/liabilitas. Maka, penguasa dari kendaraan bermotor secara kualitatif menanggung setiap kerusakan yang diakibatkan oleh kendaraan tersebut (pasal 185 Wegenverkeerswet (UU Lalu Lintas) jo.
Professor Henk Snijders
Possession may be obtained in three ways: through occupation, through giving possession and through succession by general title (arts. 3:112-116 CC; see for loss of possession art. 3:117 CC). It is accepted under Dutch law that the detentor can also give possession, even though arts. 3:114-115 CC speak of transfer of possession when there can be no such transfer for the detentor. The tenant of a thing can for instance sell and deliver the thing through factual delivery to a third party, who subsequently regards himself as the title-holder. Of course, the tenant is not allowed to do so, but he can do so nevertheless. Under certain circumstances the third party is also protected against the original title-holder (cp. art. 3:84 in conjunction with art. 3:86 para. 1 CC). Opinions differ on the construction of the giving of possession by the detentor. One speaks of a giving of possession analogous to the transfer of possession. It is also argued that in the event of the giving of possession by the detentor we have the placement of the factual power by the detentor at the disposal of the aspiring possessor , who subsequently occupies the property. Here we see two concurring views.
The giving of possession through the delivery of the factual control over a property can be effected through the actual delivery of the property, but also through a
59
Pasal 1 paragraf 2 UU Lalu Lintas. Tanggung jawab kualitatif yang serupa juga berlaku bagi penguasa benda bergerak defektif (pasal 6:173 KUHPdt), konstruksi yang cacat (pasal 6:174 KUHPdt) atau hewan (pasal 6:179 KUHPdt). Penguasaan dapat diperoleh melalui tiga cara: melalui okupansi, melalui pemberian penguasaan dan melalui pewarisan karena kematian (pasal 3:112-116 KUHPdt; lihat kehilangan penguasaan pasal 3:117 KUHPdt). Dalam hukum Belanda, penahan juga dapat memberikan penguasaan, meskipun pasal 3:114-115 KUHPdt membicarakan mengenai pengalihan penguasaan apabila pengalihan semacam itu tidak dapat dilakukan oleh penahan. Penyewa suatu benda misalnya dapat menjual dan menyerahkan benda tersebut melalui penyerahan faktual kepada pihak ketiga, yang kemudian menganggap dirinya sendiri sebagai pemegang hak. Tentu saja, penyewa tidak diperbolehkan untuk melakukan hal tersebut, tetapi ia tetap dapat melakukannya. Dalam beberapa keadaan tertentu pihak ketiga juga dilindungi dari pemegang hak yang asli (pasal 3:84 jo. pasal 3:86 paragraf 1 KUHPdt). Ada perbedaan pendapat mengenai konstruksi pemberian penguasaan oleh penahan, yaitu tentang pemberian penguasaan yang diumpamakan dengan pengalihan penguasaan. Juga diperdebatkan, bahwa dalam hal pemberian penguasaan oleh penahan, ada penempatan kekuasaan faktual oleh penahan pada pelepasan dari calon penguasa, yang kemudian menduduki harta kekayaan tersebut. Disini kita melihat dua pandangan yang sama Pemberian penguasaan melalui penyerahan kendali faktual atas sebuah harta kekayaan dapat berlaku melalui penyerahan aktual atas harta kekayaan, tetapi juga melalui
60
Netherlands Law of Property
symbolic factual delivery (the traditio symbolica). Thus, one may for instance deliver grain through delivery of the keys to a warehouse in which the grain is stored. The giving of possession without factual delivery occurs in three separate forms: the so-called traditio constituto possessorio, also called traditio per constitutum possessorium (art. 3:115 (a) CC), the traditio brevi manu (art. 3:115 (b) CC) and the traditio longa manu (art. 3:115 (c) CC). The giving of possession constituto possessorio comprises a bilateral declaration by the parties involved, with the special feature that the giver of possession reserves the detention. Thus, a grand piano supplier can give possession thereof to the buyer, but retain it for a few repairs. The traditio brevi manu forms the mirror image of the traditio constituto possessorio: this concerns a bilateral declaration by the parties involved giving possession to a detentor. For example, a person has hired a grand piano from a piano supplier and subsequently decides to buy it from him. The giving of possession by and to another person than the immediate detentor of the property is called traditio longa manu. In this case more is required for the passing of possession than a bilateral declaration between the parties involved, notably the acknowledgement of the giving of possession by the third party-detentor, or the notification thereof to the third party-detentor (art. 3:115 (c), final sentence CC). A person who has hired a grand piano from a piano supplier, receives a
penyerahan faktual simbolis (traditio symbolica). Maka, seseorang dapat menyerahkan biji gandum dengan menyerahkan kunci dari gudang tempat di mana biji gandum disimpan. Pemberian penguasaan tanpa penyerahan faktual timbul dalam tiga bentuk terpisah: apa yang disebut dengan traditio constituto possessorio, juga disebut dengan traditio per constitutum possessorium (pasal 3:115 (a) KUHPdt), traditio brevi manu (pasal 3:115 (b) KUHPdt) dan traditio longa manu (pasal 3:115 (c)KUHPdt). Pemberian penguasaan constituto possessorio mencakup pernyataan bilateral oleh para pihak terkait, dengan fitur khusus bahwa pemberi penguasaan akan menahan benda terlebih dahulu. Maka, pemasok grand piano dapat memberikan penguasaan kepada pembeli, tetapi menahannya terlebih dahulu untuk dilakukan beberapa perbaikan. Traditio brevi manu merupakan cerminan dari traditio constituto possessorio: yaitu menyangkut pernyataan bilateral oleh para pihak untuk memberikan penguasaan kepada penahan. Contohnya, seseorang telah menyewa sebuah grand piano dari pemasok dan kemudian ternyata memutuskan untuk membeli piano tersebut. Pemberian penguasaan oleh dan untuk orang lain selain penahan langsung dari harta kekayaan disebut dengan traditio longa manu. Dalam hal ini ada banyak persyaratan ketimbang sekedar pernyataan bilateral antara para pihak terkait, terutama pengakuan pemberian penguasaan oleh penahan pihak ketiga, atau pemberitahuan mengenai hal itu kepada penahan pihak ketiga (pasal 3:115 (c), kalimat terakhir KUHPdt). Seseorang yang telah menyewa grand piano dari pemasok
Professor Henk Snijders
message from him that he transferred the piano to another supplier. The acknowledgement required by art. 3:115 (c) CC can be effected even upon the receipt of the thing by the detentor, for instance through the issue of a warehouse warrant (art. 7:607 CC).
Finally we have the traditio sine manu, an intermediate form of the traditio constituto possessorio and the traditio brevi manu: a bilateral declaration by the parties involved for the giving of possession to one of the parties when both parties already had factual control over the property involved prior to the transfer of possession. For example, a concubine gives his concubine a grand piano belonging to him, detained by them both.
61
piano, menerima pesan dari pemasok tersebut memberitahukan bahwa ia mengalihkan piano tersebut kepada pemasok lain. Pengakuan yang dipersyaratkan oleh pasal 3:115 (c) KUHPdt dapat berlaku bahkan hanya dengan tanda terima atas benda tersebut dari penahan, misalnya melalui penerbitan surat sita atas gudang penyimpanan (pasal 7:607 KUHPdt). Kemudian ada yang disebut dengan traditio sine manu, bentuk menengah dari traditio constituto possessorio dan traditio brevi manu: pernyataan bilateral oleh para pihak terkait untuk pemberian penguasaan kepada salah satu pihak, ketika kedua pihak telah memiliki kendali faktual atas harta kekayaan dimaksud sebelum pengalihan penguasaan tersebut. Contohnya, seorang lelaki memberikan kepada wanita simpanannya (concubine) sebuah grand piano miliknya, yang kemudian ditahan oleh mereka berdua.
Not only the possessor but also the detentor is capable of giving possession brevi manu, longa manu and sine manu. In principle the detentor is not capable of the constituto possessorio, given the interversion prohibition provided for in art. 3:111 CC. For all forms of the acquisition of possession it is required that the property whose possession is obtained is individualised. This principle of individualisation, which also applies to detention and belonging, may be connected with the publicity requirement.
Tidak saja penguasa tetapi juga penahan dapat memberikan penguasaan secara brevi manu, longa manu dan sine manu. Secara prinsip, penahan tidak dapat melalukan constituto possessorio, mengingat intervensi larangan yang diuraikan dalam pasal 3:111 KUHPdt. Untuk keempat akuisisi penguasaan dipersyaratkan bahwa harta kekayaan yang diambil penguasaanya, perlu diindividualisasi. Prinsip indiviudalisasi ini, yang juga berlaku untuk penahanan dan kepunyaan, dapat dihubungkan dengan persyaratan publisitas.
2.3 Detention
2.3 Penahanan
Detention has a considerably lower status than possession, Thus, detention has no property-
Penahanan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan penguasaan. Maka,
62
Netherlands Law of Property
law function like possession. Detention to a certain extent does have an identical material function as possession (art. 3:124 in conjunction with arts. 3:120-123 CC).
penahanan tidak memiliki fungsi hukum harta kekayaan layaknya penguasaan. Penahanan untuk beberapa hal tertentu memiliki fungsi materil identik seperti penguasaan (pasal 3:124 jo. pasal 3:120-123 KUHPdt).
2.4 Administration
2.4 Administrasi
Administration is the legal position comprising powers of administration with respect to property belonging to another. The administrator acts largely though not exclusively as representative of the title-holder. Originally the new Civil Code in title 3.6 was to give a general regulation pertaining to administration, but this idea never materialised. The law does contain special applications of administration, such as the administration order due to absence (arts. 1:409-411 CC), the administration order for adults (arts. 1:431-449 CC), the administration of a usufruct (arts. 3:221 CC) and the testamentary administration (arts. 4:153-181 CC).
Administrasi adalah kedudukan hukum yang mencakup kekuasaan administrasi terkait dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh pihak lain. Administrator berperan luas - meskipun bukan utama - sebagai perwakilan dari pemegang hak. Awalnya, KUHPdt yang baru di bawah judul 3.6 memberikan peraturan umum mengenai administrasi, namun gagasan ini tidak pernah terwujud. KUHPdt memberikan aplikasi khusus untuk administrasi, seperti tata administrasi dikarenakan ketidakadaan (pasal 1:409-411 KUHPdt), tata administrasi untuk dewasa (pasal 1:431-449 KUHPdt), administrasi untuk hak pakai hasil (pasal 3:221 KUHPdt) dan administrasi surat wasiat (pasal 4:153181 KUHPdt).
Professor Henk Snijders
63
3 OWNERSHIP AND OTHER BELONGING
3 KEPEMILIKAN DAN KEPUNYAAN LAINNYA
3.1 Introduction
3.1 Pengantar
With all its restrictions, ownership still constitutes the most comprehensive right to things. Respect for ownership is regarded as a human right also, as indicated in art. 17 of the Universal Declaration of Human Rights of 1948. Article 1 of the First Protocol to the European Convention of Human Rights also supports the right of ownership. Article 6 EU Treaty jo. article 17 of the EU Charter of Fundamental Rights regards the fundamental right to own property as a general principle of Community law.
Dengan seluruh keterbatasannya, kepemilikan (ownership) masih mendasari hak yang paling komprehensif atas benda. Pengakuan atas kepemilikan juga dilihat sebagai hak asasi manusia, sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 Deklarasi Has Asasi Manusia Universal tahun 1948. Pasal 1 dari Protokol Pertama Konvensi Hak Asasi Manusia Negara-negara Eropa juga mendukung hak atas kepemilikan. Pasal 6 Perjanjian Uni Eropa jo. Pasal 17 UU Hak Fundamental Uni Eropa memandang hak fundamental untuk memiliki harta kekayaan sebagai prinsip umum dalam Hukum Masyarakat.
3.2 Ownership
3.2 Kepemilikan
The definition of the concept of ownership in art. 5:1 CC is admittedly somewhat narrower than that of the said transnational provisions. It should suffice here to discuss the concept of ownership according to Dutch law. As stated, only individualised property is capable of ownership and in view of the definition of art. 5:1 CC this merely concerns individualised things. The owner of a thing is also owner of all its component parts, unless otherwise provided by law, as stated in art. 5:3 CC, perhaps unnecessarily.
Pengertian dari konsep kepemilikan dalam pasal 5:1 KUHPdt memang diakui lebih sempit dibanding peraturan transnasional. Dalam tulisan ini cukup lah dibahas mengenai kepemilikan sesuai dengan hukum Belanda. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, hanya harta kekayaan yang terindividualisasi yang dapat dikenakan kepemilikan dan ini juga sesuai dengan pasal 5:1 KUHPdt yang hanya melingkupi benda-benda terindividualisasi. Pemilik dari suatu benda juga merupakan pemilik dari seluruh bagian komponen, kecuali dinyatakan sebaliknya
64
Netherlands Law of Property
Inasmuch as the owner is the possessor – and usually he is – the legal consequences and functions that apply primarily are also typical of possession, on which see 2.2. As ownership is a proprietary right, it further has the legal consequences and functions that are typical of proprietary rights, on which see 1.4 resp. 1.6.
The owner further has a right of use of his thing, in the broadest sense. His right also has a capacity of generation in the sense that it forms a basis for further acquisitions of ownership (including acquisition of ownership through perception of fruits; art. 5:1 para. 3 CC). The owner has the power to dispose of his thing (arts. 3:81 para. 1 and. 3:83 para. 1 CC). In addition, he has a specific claim at his disposal: the revendication (art. 5:2 CC).
The right of ownership also has many restrictions. They do not only have a negative side for the owner, but a positive side as well. Restrictions of the powers of ownership for one person are by their nature also advantages for others, particularly also for other owners. Restrictions of the powers of the owner may in the end even be beneficial for him. Thus, we see the owner ask for restrictions of his ownership such as the tolerating of gas, water and telephone lines, sewerage pipes and electricity cables in his land.
secara hukum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 5:3 KUHPdt. Sebagaimana halnya dengan pemilik, sama halnya juga dengan penguasa – dan biasanya pemilik juga merupakan penguasa – konsekuensi dan fungsi hukum yang utamanya berlaku juga biasanya sama dengan penguasaan, mengenai hal ini dapat dilihat pada bagian 2.2. Karena kepemilikan adalah sebuah hak milik, maka ia memiliki konsekuensi dan fungsi hukum dari hak milik, yang dapat dilihat pada bagian 1.4 dan 1.6. Pemilik memiliki hak untuk menggunakan benda miliknya, dalam pengertian yang luas. Haknya juga memiliki kapasitas untuk menghasilkan dalam arti bahwa hak tersebut menjadi dasar untuk mengakuisisi kepemilikan lanjutan (termasuk mengambil kepemilikan melalui pemetikan buah; pasal 5:1 paragraf 3 KUHPdt). Pemilik memiliki kuasa untuk melepaskan barang miliknya (pasal 3:81 paragraf 1 dan 3:83 paragraf 1 KUHPdt). Sebagai tambahan, ia memiliki klaim khusus atas pelepasan tersebut, yaitu hak menuntut kembali/reklame (revendication) (pasal 5:2 KUHPdt). Hak atas kepemilikan juga memiliki banyak larangan. Larangan tersebut memiliki sisi negatif bagi pemilik, tetapi juga sisi positif. Larangan kekuasaan kepemilikan bagi seseorang secara alamiah merupakan keuntungan untuk orang lain, terutama untuk pemilik lainnya. Keterbatasan kekuasaan dari pemilik pada akhirnya juga dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya, seperti dalam hal mentoleransi jalur gas, air dan telepon, pipa pembuangan dan kabel listrik di tanah miliknya.
Professor Henk Snijders
The restrictions of ownership may be divided into different categories, depending on their basis. Public-law restrictions exist for instance by virtue of the Onteigeningswet (Expropriation Act), which provides for mandatory loss of private ownership for the benefit of the State, and the Road Traffic Act, which prohibits persons from using public roads with motor vehicles without registration plates. Further, the Wet voorkeursrecht gemeenten (Municipalities Preferential Rights Act) gives municipalities a preferential right, with respect to certain plots of land indicated by them: anyone who wants to alienate such a plot is compelled first to give the municipality the opportunity to purchase it. The Flora- en faunawet (Flora and Fauna Act) prohibits the trade of endangered plant and animal species. See here only some examples of public-law restrictions. .
There are also various kinds of private-law restrictions. The main one may be that the owner is not allowed to make unlawful use of his thing (art. 6:162 CC). Two kinds of restrictions of unlawful exercise of ownership have received special attention in the law: the abuse of power (arts. 3:13 and 5:54 CC) and nuisance (art. 5:37 CC). Abuse of power of ownership occurs, for instance, when owner A demands from neighbour B, who has built a construction that does not only rest on his own plot of land but also on a few centimetres of A’s plot, that B remove the part of the building resting on A’s plot. Unlawful nuisance occurs,
65
Larangan atas kepemilikan dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yang berbeda, tergantung dari yang mendasarinya. Larangan hukum publik muncul contohnya dengan melalui Onteigeningswet (UU Pencabutan Hak Milik untuk Kepentingan Umum (Expropriation Act)), yang mengatur mengenai pelepasan wajib atas kepemilikan pribadi untuk kepentingan Negara, dan UU Lalu Lintas, yang melarang orang untuk menggunakan jalan umum dengan kendaraan bermotor tanpa nomor registrasi kendaraan. Lebih lanjut, Wet voorkeursrecht gemeenten (UU Hak Preferensi untuk Pemerintah Kota (Municipalities Preferential Rights Act) memberikan pemerintah kota sebuah hak preferensi, terkait dengan bagian tanah tertentu yang ditentukan oleh mereka: setiap orang yang ingin melepaskan bagian tanah tersebut diharuskan memberikan kesempatan pertama kepada pemerintah kota untuk membeli bagian tanah tersebut. UU Flora dan Fauna (Flora and Fauna Act) melarang perdagangan tumbuhan dan hewan spesies langka. Ini adalah beberapa contoh dari larangan dalam hukum publik. Ada juga berbagai macam larangan hukum privat. Yang utama mungkin adalah bahwa pemilik tidak diperbolehkan menggunakan benda miliknya untuk tujuan melanggar hukum (pasal 6:162 KUHPdt). Dua macam larangan atas penerapan kepemilikan yang melanggar hukum mendapatkan perhatian lebih dalam hukum: penyalahgunaan kekuasaan (pasal 3:13 dan 5:54 KUHPdt) dan gangguan (pasal 5:37 KUHPdt). Penyalahgunaan kekuasaan atas kepemilikan timbul, contohnya, ketika pemilik A meminta tetangga B, yang telah membangun sebuah bangunan yang terletak tidak saja di tanahnya
66
Netherlands Law of Property
for instance, if a person dumps household waste in his own garden that attracts all kinds of vermin, which also create nuisance for neighbours. The circumstance that a person has a public-law permit for causing a certain nuisance, does not exclude that this nuisance may still be regarded as unlawful under private law and may be forbidden on that ground. This can be applicable for instance in a case of dumping waste by means of a permit pursuant to the Environmental Management Act. Restrictions of the right of ownership are also formed by the so-called statutory rights and duties between neighbours, provided for in art. 5:4 CC. This section regulates rights and duties of owners of neighbouring premises. We must also mention private-law restrictions that the owner has taken upon himself. One may think of dismembered rights that he creates for others, such as a right of usufruct or a right of hypothec (mortgage) but also the creation of personal rights for others such as renting his house.
sendiri, tetapi juga beberapa sentimeter di tanah A, agar B memindahkan bagian bangunan yang terletak di tanah A. Gangguan, misalnya, jika seseorang membuang sampah rumah tangga di kebunnya sendiri yang kemudian mengundang banyak serangga, yang mengganggu tetangga sekitarnya. Keadaan di mana seseorang memiliki ijin sesuai hukum publik untuk gangguan semacam itu, tidak mengecualikan bahwa gangguan tersebut masih bisa dianggap melawan hukum menurut hukum privat dan mungkin tidak diperbolehkan berdasarkan tersebut. Ini dapat berlaku, contohnya dalam kasus pembuangan sampah atas ijin menurut UU Pengelolaan Lingkungan. Larangan atas hak kepemilikan juga dibentuk oleh apa yang disebut dengan hak statutori dan kewajiban diantara para tetangga, yang diatur dalam pasal 5:4 KUHPdt. Bagian ini mengatur hak dan kewajiban para pemilik rumah yang saling bertetangga dalam suatu tempat. Kita juga harus melihat larangan hukum privat yang diberlakukan oleh pemilik bagi dirinya sendiri. Ini dapat berupa hak terbatas yang ia buat untuk orang lain, seperti hak pakai hasil dan hipotek (jaminan) tetapi juga hak personal lainnya seperti menyewakan rumah miliknya.
The right of ownership has various complicated variants. Thus, the Netherlands has relative ownership, for instance in art. 3:90 para. 2 CC: the traditio constituto possessorio has no effect vis-à-vis third parties with an older right to the property, but vis-à-vis anyone else, regardless of the context, the acquirer counts as the owner.
Hak atas kepemilikan memiliki variasi yang rumit. Oleh karena itu, Belanda memiliki kepemilikan yang relatif, contohnya pasal 3:90 paragraf 2 KUHPdt: traditio constituto possessorio tidak memiliki dampak vis-à-vis pihak ketiga dengan hak yang lebih terdahulu atas harta kekayaan tersebut, tetapi vis-a-vis yang lainnya, tanpa melihat konteksnya, yang memperoleh menjadi pemilik.
Professor Henk Snijders
Time-sharing, i.e. ownership for a definite period, does not occur in Dutch law as such. Anyone who agrees with someone to transfer his house for a ten-year period to that person, is deemed not to have transferred the ownership for that period, but to have created a right of usufruct for that period (3:85 para. 1 CC). Thus, time-sharing is not constructed in the Netherlands on a property-law basis; under the law of obligations one can, of course, promise ownership for a specific period, but such a right of periodic ownership does not have any absolute effect.
Fiduciary ownership – the legaltechnical title-holder of a thing (the fiduciary owner or fiduciary) is someone else than the person to whom the thing is deemed to belong economically (the beneficiary owner or beneficiary) – is prohibited as well in principle (art. 3:84 para. 3 CC). This is true both for the fiduciary transfer of title (fiducia cum creditore) and for the fiduciary transfer in the interest of the alienator (fiducia cum amico). The fiduciary transfer of title is prohibited by art. 3:84 para. 3 in conjunction with para. 1 CC, because it involves an obscure division of proprietary rights and powers between the parties. The article may be interpreted in such a way, however, that it is neither incompatible with fiduciary relations purely according to the law of obligations, nor with the full transfer under property law. The point is that, apart from legal exceptions, no hybrid is tolerated that provides for a division of a full right (ownership or other belonging) among several persons. This interpretation has meanwhile been accepted
67
Pembagian waktu (time-share), yaitu kepemilikan untuk masa yang ditentukan, tidak terdapat di dalam hukum Belanda. Siapapun yang sepakat dengan orang lain untuk mengalihkan rumahnya untuk masa sepuluh tahun kepada orang tersebut, dianggap tidak mengalihkan kepemilikannya untuk masa tersebut, tetapi telah membuat suatu hak pakai untuk masa tersebut (3:85 paragraf 1 KUHPdt). Maka, pembagian waktu tidak dibentuk berdasarkan hukum harta kekayaan; di mana menurut hukum tersebut, seseorang dapat, tentu saja, menjanjikan kepemilikan untuk selama masa tertentu, tetapi hak atas masa tertentu tersebut tidak memiliki efek absolut. Kepemilikan fidusia – pemegang hak secara teknis-hukum atas suatu benda (pemilik fidusia atau fidusiari) adalah seseorang selain dari orang kepada siapa suatu benda secara ekonomis dimiliki (penerima manfaat atau benefisiari) – secara prinsip juga dilarang (pasal 3:84 paragraf 3 KUHPdt). Ini betul adanya, baik untuk pengalihan hak secara fidusia (fiducia cum creditore) dan untuk pengalihan fidusia bagi kepentingan orang yang memindahtanggungkan (alienator) (fiducia cum amico). Pengalihan hak secara fidusia dilarang oleh pasal 3:84 paragraf 3 jo. Paragraph 1 KUHPdt, karena hal menyangkut pembagian yang kabur dari hak milik dan kuasa antara para pihak. Pasal tersebut bisa saja diinterpretasikan sedemikian rupa, namun demikian, pasal tersebut tidak saja tidak cocok dengan hubungan fidusia sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh hukum perikatan, tetapi juga tidak sesuai dengan pengalihan penuh menurut hukum harta kekayaan. Maksudnya adalah, selain dari pengecualian hukumnya,
68
Netherlands Law of Property
by the Dutch Supreme Court, notably in its much-discussed Sogelease judgment. A similar decision was made by the Supreme Court with respect to the fiduciary transfer in the interest of the alienator in the same judgment. The case itself in the Sogelease judgment concerned a sale-and-lease-back construction and this construction was remedied by the Supreme Court.
Fiduciary ownership is still permitted to the extent that this concerns financial collateral arrangements as referred to in the aforementioned Collateral Directive, which only allows money and securities as objects of such a financial collateral arrangement. This financial collateral arrangement may be intended for transfer, but also for the establishment of a right of pledge (on which see 6.2). To the extent that one would under national Dutch law wish to consider a financial collateral arrangement for transfer as a title that is forbidden by 3:84 para. 3 CC, the legislator in art. 7:55, first sentence CC provides that a transfer based on such an arrangement does not constitute a transfer within the meaning of art. 3:84 para. 3 CC. It becomes apparent from the foregoing that the trust as equivalent of fiducia cum amico is not accepted in principle. Meanwhile the Netherlands has ratified the Hague Trusts Convention, which provides for the recognition of foreign trusts.
tidak ada bentuk hibrid yang dapat diterima yang memungkinkan pembagian dari suatu hak penuh (kepemilikan atau kepunyaan lainnya) kepada beberapa orang. Interpretasi ini yang sementara diterima oleh Pengadilan Mahkamah Agung Belanda, terutama pada persidangan Sogelease yang banyak dibahas. Keputusan serupa juga diambil oleh Mahkamah Agung terkait dengan pengalihan fidusia bagi kepentingan orang yang memindahtanggungkan dalam pengadilan kasus yang sama. Kasus itu sendiri dalam pengadilan Sogelease menyangkut jual dan sewa beli dan konstruksi ini diambil oleh Mahkamah Agung. Kepemilikan fidusia masih diperbolehkan sepanjang menyangkut kolateral finansial (financial collateral arrangement) sebagaimana dimaksud dalam Collateral Directive yang telah disebutkan sebelumnya, yang hanya memperbolehkan uang dan sekuritas sebagai objek atas kolateral tersebut. Kolateral finansial tersebut dapat dimaksudkan untuk pengalihan, tetapi juga untuk melahirkan hak gadai (lihat 6.2). Menurut hukum Belanda sepanjang seseorang ingin mempertimbangkan kolateral finansial untuk pengalihan hak yang dilarang oleh 3:84 paragraf 3 KUHPdt, legislator pada pasal 7:55, kalimat pertama KUHPdt menguraikan bahwa suatu pengalihan berdasarkan pengaturan seperti itu bukanlah pengalihan menurut pasal 3:84 paragraf 3 KUHPdt. Dengan demikian jelas bawah kepercayaan setara dengan fiducia cum amico pada prinsipnya tidak diterima. Sementara itu Belanda telah meratifikasi Hague Trusts Convention, yang memberikan pengakuan atas foreign trusts.
Professor Henk Snijders
69
The manners of acquisition of ownership are dealt with in chapters 4 and 5. Loss of ownership occurs when another acquires it or the thing to which the ownership relates is lost. In addition, ownership is lost through deliberate dereliction (art. 5:18 CC). Then we speak of a res derelicta. If this is movable property, it does not belong to anyone (the res derelicta is then also res nullius). If it is immovable property, the State would become the owner by virtue of art. 5:24 CC, although it is quite debatable whether a person can through dereliction of immovable property lose the ownership thereof.
Tata cara pengambilalihan kepemilikan diuraikan dalam bab 4 dan 5. Kehilangan kepemilikan timbul bilamana orang lain mengambilalih atau benda yang menjadi kepemilikan tersebut telah tidak ada. Sebagai tambahan, kepemilikan juga hilang atas kelalaian yang disengaja (pasal 5:18 KUHPdt). Kemudian kita berbicara tentang res derelicta. Apabila harta kekayaannya adalah harta bergerak, maka harta tersebut tidak menjadi kepunyaan siapapun (res derelict kemudian juga res nullius). Apabila harta tersebut adalah harta tidak bergerak, maka negara akan menjadi pemilik dengan pasal 5:24 KUHPdt, meskipun masih diperdebatkan apakah seseorang melalui kelalaian atas harta kekayaan tidak bergerak kehilangan kepemilikan atas harta tersebut.
3.3 Belonging of rights
3.3 Kepunyaan atas hak
Not only things but also rights can only belong to a person if they are individualised. This requirement sometimes calls for the opening of a quality account (i.e. an account in the name of a person in a specific quality). A civillaw notary or lawyer, for instance, who would only have one bank account in his own name, cannot later successfully assert to his creditors that the claim against the bank belongs to him in part only and to his clients for another part. The quality account with a separated capital is honoured by our Supreme Court to a certain extent. If it appears clearly from the registration of the account that it is not held for the benefit of the account holder but for the benefit of others, and this concerns a professional account holder such as a civil-law notary or
Tidak hanya benda tetapi juga hak bisa saja menjadi kepunyaan satu orang apabila hak tersebut diindividualisasi. Persyaratan ini kadang memerlukan pembukaan quality account (yaitu akun atas nama seseorang). Seorang notaris atau pengacara hukum perdata, misalnya, yang hanya memiliki satu rekening bank atas namanya sendiri, tidak dapat kemudian menyatakan kepada krediturnya bahwa tagihan terhadap bank merupakan kepunyaan ia hanya sebagian dan kepunyaan kliennya untuk sebagian lainnya. Quality account dengan kapital terpisah diakui oleh Mahkamah Agung dalam batas tertentu. Apabila terlihat jelas dari keterangan rekening tersebut bahwa rekening tersebut tidak digunakan untuk keuntungan pemegang rekening tetapi untuk
70
Netherlands Law of Property
a lawyer, the Supreme Court is prepared to assume that this concerns a separated capital not belonging to that professional account holder but to one or more third parties. A civil-law notary who assists in the transfer of a house from A to B, for instance, acts as follows: B deposits the purchase price of the house into a quality account registered in the name of the civil-law notary, who then pays the purchase price on to A as soon as it is clear that the transfer of house has been completed. We speak of a belonging of the claim to the bank up to the amount of the purchase price to the purchaser under resolutory condition of the transfer of the house and to the vendor under the suspensive condition of the transfer of the house.
kepentingan lainnya, dan ini menyangkut pemegang rekening profesional seperti notaris atau pengacara hukum perdata, maka Mahkamah Agung akan mengasumsikan bahwa rekening tersebut menyangkut kapital yang terpisah yang bukan kepunyaan dari pemegang rekening profesional tetapi dari satu atau lebih pihak ketiga. Notaris hukum perdata yang membantu pengalihan rumah dari A ke B, misalnya, melakukan hal berikut: B menyetorkan harga pembelian rumah ke quality account yang terdaftar atas nama notaris hukum perdata, yang kemudian membayarkan harga pemberian tersebut kepada A segera setelah proses pengalihan rumah tersebut telah selesai dilakukan. Kita disini berbicara mengenai pemilik dari tagihan ke bank sebanyak jumlah kepada pembeli sesuai resolutory condition dari pengalihan rumah dan kepada penjual sesuai suspensive condition dari pengalihan rumah.
As the belonging of a right mostly encompasses the possession of that right, belonging of a right firstly has at least the same legal consequences as possession of that right. Seeing that belonging is a proprietary right, it also has the legal consequences and functions typical of such proprietary rights. Belonging also involves functions similar to the specific functions of ownership , like the offering of creditworthiness and the promotion of the division of power. In addition, the title-holder can exercise his rights in the broadest sense, (i.e. up to the limits of the right belonging to him). A revendication does not directly belong to the title-holder of a right, but he can have a right to remittance of a thing pursuant to a right belonging to him. Thus, a usufructuary can claim the remittance of a thing given to him in usufruct.
Karena kepunyaan suatu hak sebagian besar mencakup penguasaan atas hak tersebut, kepunyaan dari suatu hak setidaknya memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan yang dimiliki oleh penguasaan atas hak tersebut. Mengingat kepunyaan adalah suatu hak milik, maka ia juga memiliki konsekuensi dan fungsi hukum yang sama dengan hak milik. Kepunyaan juga menyangkut fungsi yang serupa dengan fungsi khusus dari kepemilikan, seperti creditworthiness dan pembagian kekuasaan. Sebagai tambahan, pemegang hak dapat menggunakan haknya dalam pengertian yang paling luas (yaitu hingga batasan dari hak yang menjadi kepunyaannya). Penuntutan kembali (revendication) tidak secara langsung dimiliki oleh pemegang hak, tetapi ia dapat berhak untuk memungut benda sesuai
Professor Henk Snijders
There are all kinds of restrictions to the belonging of rights that are similar in nature to the restrictions of ownership. Thus, there are all kinds of variants of the belonging of rights, just like there are variants of ownership. The original ways of acquisition of (the belonging of) rights are dealt with in chapter 4, together with the original ways of acquisition of ownership, while the transfer of rights is dealt with in chapter 5. A person loses his right when another person acquires it or when it is lost. In general the loss does not call for any special attention apart from the acquisition of rights. The situation is different for the loss of dismembered rights (art. 3:81 para. 2 and – as regards abandonment – art. 3:98 in conjunction with arts. 3:83-97 CC). Some types of loss of personal rights provided for by the legislator are renunciation (art. 6:160 CC) and confusio (merger) (art. 6:161 CC).
71
dengan hak yang ia miliki. Karena itu orang yang memiliki hak pakai dapat mengklaim pemungutan atas benda yang diberikan kepadanya melalui hak pakai hasil. Ada berbagai macam larangan untuk kepunyaan atas hak yang serupa sifatnya dengan larangan atas kepemilikan. Maka, ada berbagai macam variasi dari kepunyaan atas hak, seperti halnya juga variasi atas kepemilikan. Cara akuisisi dari (kepunyaan atas) benda diuraikan dalam bab 4, bersama dengan akuisisi kepemilikan, sedangkan pengalihan hak diuraikan dalam bab 5. Seseorang kehilangan haknya ketika orang lain mengambilalih atau ketika benda itu tidak lagi ada. Secara umum kehilangan tersebut tidak memerlukan perhatian khusus selain dari pengakuisisian hak. Situasi ini berbeda dengan kehilangan hak terbatas (pasal 3:81 paragraf 2 dan – sehubungan dengan pembiaran (abandonment) – pasal 3:98 jo. pasal 3:83-97 KUHPdt). Beberapa macam kehilangan atas hak personal diuraikan oleh pembuat undang-undang adalah penyangkalan (pasal 6:160 KUHPddt) dan confusio (merger) (pasal 6:161 KUHPdt).
3.4 Community
3.4 Kepemilikan bersama (komunitas)
Co-detention and co-possession have not been given any separate provisions by the legislator, whereas community including common ownership of things has. See title 3.7 CC. Article 3:166 para. 1 CC of that title states that community exists when property belongs
Penahanan bersama dan penguasaan bersama tidak diatur secara terpisah oleh pembuat undang-undang, sedangkan komunitas termasuk kepemilikan bersama diatur secara tersendiri. Lihat judul 3.7 KUHPdt. Pasal 3:166 paragraf 1 KUHPdt dari judul tersebut
72
Netherlands Law of Property
to two or more participants jointly.
The joint title-holders, defined by the law as ‘participants’, can also be called co-owners if the community of things is concerned. The partners each have an aandeel (share) in the community (the Romans called this a pars pro indiviso). Those shares are equal, unless their juridical relationship otherwise requires (art. 3:166 para. 2 CC). In all communities the juridical relationships between the participants reciprocally are governed by reasonableness and fairness. Our current Civil Code lays down this principle in the law (art. 3:166 para. 3 in conjunction with art. 6:2; see also art. 6:216 in conjunction with 248 and 6:261 para. 2 in conjunction with 279 para. 1 CC). Title 3.7 CC comprises three sections: General Provisions, Some special communities, respectively Null partitions and partitions subject to annulment. Article 3:189 CC is of paramount importance to the system of the law; it is a so-called rangeerbepaling (shunting provision) included in a somewhat obscure place in section 3.7.2 CC. This provision does not only distinguish according to the nature of the community (such as a matrimonial community or a partnership), but also according to the state (phase) of the community: a community is in an undissolved state (from the inception of the community until its dissolution) or in a state of dissolution (from the dissolution
menyatakan bahwa komunitas terjadi apabila harta kekayaan merupakan kepunyaan dua pihak atau lebih secara bersama-sama. Pemegang hak bersama, yang disebut oleh hukum sebagai ‘peserta’, juga dapat disebut dengan pemilik peserta bilamana komunitas atas suatu benda yang dibicarakan. Masing-masing persero memiliki (bagian) dalam komunitas (Romawi menyebutnya pars pro indiviso). Bagian tersebut adalah sama, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh hubungan yuridis mereka (pasal 3:166 paragraf 2 KUHPdt). Dalam setiap komunitas, hubungan yuridis antar para peserta secara resiprokal diatur dengan prinsip reasonableness and fairness. Hukum Perdata kami yang baru meletakkan prinsip-prinsip tersebut di dalamnya (pasal 3:166 paragraf 3 jo. 6:2; lihat juga pasal 6:216 jo. 248 dan 6:261 paragraf 2 jo. 279 paragraf 1 KUHPdt). Judul 3.7 KUHPdt mencakup tiga bagian: Ketentuan Umum, beberapa komunitas khusus, kemudian pemisahan batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Pasal 3:189 KUHPdt merupakan yang paling penting untuk sistem hukum tersebut; dan disebut dengan rangeerbepaling (ketentuan pengalih) yang diuraikan pada tempat yang agak aneh yaitu di bagian 3.7.2 KUHPdt. Ketentuan ini tidak hanya membedakan berdasarkan sifat dari komunitas (seperti komunitas matrimonial atau perseroan), tetapi juga berdasarkan tingkat (tahap) dari komuitas itu: sebuah komunitas berada pada tahap yang tidak dapat dibubarkan (dari sejak pembentukan komunitas itu hingga pembubaran) atau dalam tahap pembubaran
Professor Henk Snijders
until the partition). A marriage, for instance, is dissolved through divorce, as is the parties’ matrimonial community, if any. After the divorce we speak of a dissolved (matrimonial) community. It continues to exist until it is partitioned.
Title 3.7 CC focuses primarily on communities capable of partitioning. Therefore, art. 3:189 para. 1 CC places a number of interesting communities beyond the scope of title 3.7: -
-
title 3.7 does not apply to a matrimonial community and a community of a registered partnership (arts. 1:93-98 CC), maatschap (firm) (arts. 7A:1655-1682 CC), vennootschap onder firma (general partnership) (arts. 15-29 Wetboek van Koophandel, our Commercial Code , hereinafter abbreviated to Comm.C, i.e. the still temporary remainder of this code), and a shipping partnership (arts. 8:160-183 and 186 (in conjunction with arts. 8:770-771) CC), as long as they have not been dissolved. title 3.7 CC does not apply either to the community of a building as long as its division into apartment rights has not been terminated (title 5.10, arts. 106-145 CC).
All these communities (i.e. also undissolved firms of physicians, lawyers, accountants, tax consultants and civil-law notaries) are not capable of partitioning, at least in the phase in which they are. Therefore (apart from
73
(dari sejak pembubaran hingga pemisahan). Sebuah perkawinan misalnya, dibubarkan melalui perceraian, sebagaimana juga para pihak dalam komunitas matrimonial, jika ada.. Setelah perceraian kita berbicara mengenai pembubaran (matrimonial) dari komunitas. Komunitas tersebut masih terus berlanjut sampai pada saat pemisahannya. Judul 3.7 KUHPdt utamanya meletakkan perhatiannya pada komunitas yang dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, pasal 3:189 paragraf 1 KUHPdt menempatkan beberapa komunitas menarik diluar dari ruang lingkup judul 3.7: - Judul 3.7 tidak berlaku untuk komunitas matrimonial dan komunitas dari perseroan perdata yang didaftarkan (pasal 1:93-98 KUHPdt), maatschap (firma) (pasal. 7A:1655-1682 KUHPdt), vennootschap onder firma (perseroan umum) (pasal 15-29 Wetboek van Koophandel, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, untuk selanjutnya disebut dengan KUHD), dan perseroan pelayaran (pasal 8:160183 dan 186 (jo. pasal 8:770-771 KUHPdt), sepanjang perseroan tersebut belum dibubarkan. - judul 3.7 KUHPdt juga tidak berlaku untuk komunitas sebuah bangunan sepanjang pembagiannya menjadi hak apartemen belum berakhir (judul 5.10, pasal 106-145 KUHPdt). Semua komunitas ini (seperti firma yang terdiri dari dokter, pengacara, akuntan, konsultan pajak, dan notaris hukum perdata) tidak dapat dipisahkan, setidaknya dalam tahap di mana mereka berada. Oleh karena itu (selain dari
74
Netherlands Law of Property
occasional grounds for analogous application of title 3.7 CC) only the specific community rules apply, as briefly indicated above. For safety’s sake we add that legal persons are not communities at all and that title 3.7 CC does not apply to them a fortiori. The firm and the general partnership are no legal persons but both of these usually have a separate capital, which (as long as it exists as such and is not partitioned) is only capable of recourse by the partnership’s creditors. From art. 3:189 in conjunction with 192-193 CC and the legislative history it can only be concluded that the legislator has also wanted to give the firm a separate capital.
The question whether, starting from the applicability of title 3.7 CC, the special rules of section 2 of that title apply as well, is answered by art. 3:189 para. 2 CC: these provisions apply only to the community of a succession (art. 4:1132-1157 CC), to a dissolved matrimonial community (arts. 1:99-113 CC), and the dissolved community of a registered partnership (art. 1:80 (b) in conjunction with arts. 1:99-113 CC), a dissolved firm (arts. 7A:1683-1688 CC), a dissolved general partnership (arts. 30-34 Comm.C) and a dissolved shipping partnership (arts. 8:184-185 (in conjunction with art. 771 CC)), and to the community of a building the division of which into apartment rights has been extinguished (arts. 5:143-147 CC). Here, too, we have communities capable of partitioning, which are characterised in addition by a separate capital.
beberapa aplikasi biasa dari judul 3.7 KUHPdt) hanya peraturan komunitas khusus yang berlaku, seperti yang telah dijelaskan di atas. Perlu ditambahkan pula bahwa badan hukum bukanlah komunitas dan judul 3.7 KUHPdt tidak berlaku untuk mereka secara a fortiori. Firma dan perseroan umum bukan merupakan badan hukum tapi keduanya biasanya memiliki modal yang terpisah, yang (sepanjang masih demikian dan tidak dipisah) hanya dapat dituntut kembali oleh para kreditur dari perseroan tersebut. Dari pasal 3:189 jo. 192-193 KUHPdt dan sejarah dari pembuatan undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa pembuat undangundang juga menginginkan modal yang terpisah dalam firma. Pertanyaannya mengenai apakah sejak pemberlakukan dari pasal 3.7 KUHPdt, maka aturan khusus bagian 2 dari judul tersebut juga berlaku, dijawab oleh pasal 3:189 paragraf 2 KUHPdt: ketentuan ini hanya berlaku untuk komunitas dari pewarisan karena kematian (pasal 4:1132-1157 KUHPdt), hingga pembubaran komunitas matrimonial (pasal 1:99-113 KUHPdt), dan pembubaran komunitas dari perseroan yang terdaftar (pasal 1:89 (b) jo. pasal 1:99-113 KUHPdt), pembubaran firma (pasal 7A:1683-1688 KUHPdt), pembubaran perseroan umum (pasal 30-34 KUHd) dan pembubaran perseroan pelayaran (pasal 8:184-185 (jo. pasal 771 KUHPdt)), dan kepada komunitas sebuah bangunan yang pembagiannya adalah menjadi hak apartemen yang telah dihapuskan (pasal. 5:143-147 KUHPdt). Disini, juga, kita melihat komunitas yang bisa berpisah, yang juga dicirikan dengan modal yang terpisah.
Professor Henk Snijders
Apart from the special provisions of section 3.7.2 CC, there are even more specific provisions for each community as mentioned before. Here the layered structure of the current Civil Code manifests itself quite emphatically: a community referred to in art. 3:189 para. 2 CC – we speak of a special community – is governed both by the general regulation of sections 3.7.1 and 3 CC, by the slightly less general regulation of section 3.7.2 CC and, finally, by the specific regulation for the relevant community. For a proper understanding one will generally be safely directed through this complex system by means of the rule of thumb that the special provision prevails over the general provision or in Latin: lex specialis derogat legi generali (see also 1.2). The application of the system is not as complicated as it may seem at first glance, for that matter, as long as one realises that the special rules of section 2 apply only to the participants’ power to dispose of property and the partitioning of the community, and correspond with the circumstance that the special communities are characterised by a separate capital. This means that there is also a category of communities governed by sections 1 and 3 of title 3.7 CC, but not by the special rules of section 3.7.2 CC. Examples of these ‘simple communities’ are the concubinage (insofar as this is agreed by the parties), the joint copyright of a work by several authors (for which there are no specific statutory regulations) and the co-ownership in the sense of art. 5:60 CC (with special rules in arts. 5:60-69 CC).
75
Selain dari ketentuan khusus dari bagian 3.7.2 KUHPdt, ada beberapa ketentuan spesifik untuk setiap komunitas sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Disini, struktur berlapis dari KUHPdt yang baru ini mewujudkan dirinya menjadi lebih empatis: komunitas yang dimaksud dalam pasal 3:189 paragraf 2 KUHPdt – mengenai komunitas khusus – diatur oleh peraturan umum dalam bagian 3.7.1 dan 3 KUHPdt, oleh peraturan yang sedikit lebih sempit pada bagian 3.7.2 KUHPdt dan, akhirnya oleh peraturan khusus yang relevan untuk komunitas tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar, dalam sistem yang kompleks ini, maka kita perlu berpegang pada kebiasaan yang ada bahwa ketentuan khusus lah yang akan berlaku bila dihadapkan dengan ketentuan umum atau dalam bahasa latin: lex specialis derogat legi generali (lihat juga 1.2). Pemberlakuan dari sistem ini tidak serumit tampaknya apabila dilihat sekilas, sepanjang kita menyadari bahwa aturan khusus dari bagian 2 berlaku hanya pada kekuasaan peserta untuk melepaskan harta kekayaan dan pemisahan komunitas, dan sesuai dengan kenyataan bahwa komunitas khusus dicirikan oleh modal yang terpisah. Ini berarti bahwa ada juga kategori komunitas yang diatur pada bagian 1 dan 3 judul 3.7 KUHPdt, tetapi tidak oleh aturan khusus pada bagian 3.7.2. KUHPdt. Contoh dari ‘komunitas sederhana’ ini adalah concubinage (sepanjang hal ini disepakati oleh para pihak), hak cipta bersama atas suatu pekerjaan yang dilakukan oleh beberapa penulis (untuk ini tidak ada peraturan hukum khusus) dan kepemilikan bersama dalam arti yang diuraikan dalam pasal 5:60 KUHPdt (dengan aturan khusus dalam pasal 5:60-69 KUHPdt).
76
Netherlands Law of Property
As has been explained, communities can be distinguished according to their nature (e.g. marriage or business) and their statutory regime (art. 3:189 CC). Important, too, is the distinction between a community of one property and a community of several properties. On further consideration this distinction is complicated. Indeed, several community properties form only one community if according to common opinion this results from the cohesion of the properties (as in a library or in a majority shareholding in a public limited company) or from the juridical relation of the participants (as in the firm’s agreement which determines that upon termination of the firm, accounts will be settled on the basis of the balance, so that the retiring partners cannot claim separate property). Compare art. 3:179 CC. Under the present law the distinction between bound and free community (according to the degree of freedom of the participants in a community), which was made under the old law, does not appear to be productive anymore.
In addition to property, the community may also comprise debts, such as the community of the succession and the firm. The community arises by broaching one of the sources of origin mentioned above. Depending on the type of community, specific originating requirements may be set (such as the formal requirements for a marriage). The community is terminated through a partitioning of the common property.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, komunitas dapat dibedakan menurut sifatnya (seperti perkawinan atau usaha) dan rezim hukumnya (pasal 3:189 KUHPdt). Penting juga, pembedaan antara komunitas dari suatu harta kekayaan dan komunitas atas beberapa harta kekayaan. Pembedaan lebih lanjut mengenai hal ini rumit sifatnya. Betul, beberapa harta kekayaan hanya membentuk satu komunitas menurut pendapat umum ini dikarenakan karena adanya kohesi atas harta kekayaan (seperti di perpustakaan atau pemegang saham mayoritas pada perusahaan perseoran terbatas terbuka atau dari hubungan yuridis antara peserta (sebagaimana dalam perjanjian pendirian firma yang menentukan bahwa atas pembubaran firma, akun akan diselesaikan berdasarkan saldo, sehingga persero yang keluar tidak dapat mengklaim harta kekayaan terpisah. Bandingkan pasal 3:179 KUHPdt. Di bawah hukum baru ini pembedaan antara komunitas bebas dan terikat (sesuai dengan tingkat kebebasan dari peserta dalam komunitas tersebut), yang dibentuk dalam undang-undang yang lama, sepertinya tidak lagi produktif Sebagai tambahan atas harta kekayaan, komunitas dapat juga mencakup hutang, seperti halnya juga komunitas dalam pewarisan dan firma. Komunitas terbentuk dengan terjadinya salah satu sumber asal komunitas yang disebutkan di atas. Tergantung dari jenis komunitasnya, beberapa persyaratan khusus juga mungkin diperlukan (seperti persyaratan formal dari suatu perkawinan). Komunitas berakhir melalui pemisahan sebuah harta kekayaan bersama.
Professor Henk Snijders
77
Depending on the type of community, the intended community property, rights and duties form part of the community straight from its inception (as in the matrimonial community and the succession), or a contribution is required (as in the commercial partnership). Subsequently the community can acquire and lose property and duties, for example through purchase or donation and delivery to the community or because a purchase price must be paid at the expense of the community or maintenance expenses must be made. Property which is deemed to take the place of common property belongs to the community pursuant to art. 3:167 CC (a form of substitution on which more will be said in general in 4.10). A share in the community is acquired and lost through hereditary succession and transfer.
Tergantung dari jenis komunitasnya, harta kekayaan, hak dan kewajiban dari komunitas dimaksud untuk membentuk bagian dari komunitas sejak awal terbentuknya (seperti dalam komunitas matrimonial dan pewarisan), atau adanya kontribusi (seperti dalam perseroan komersial). Setelah itu komunitas dapat memperoleh dan kehilangan harta kekayaan dan kewajiban, contohnya melalui pembelian atau hibah atau penyerahan kepada komunitas atau karena harga beli yang harus dibayar oleh komunitas. Harta yang dianggap menggantikan harta bersama yang dimiliki oleh komunitas berdasarkan pasal 3:167 KUHPdt (semacam bentuk substitusi yang diuraikan lebih lanjut secara umum pada bagian 4.10). Bagian dalam komunitas diperoleh dan hilang melalui pewarisan karena kematian dan pengalihan.
The participants’ rights and duties become manifest firstly from the usual sources of knowledge of objective law, such as the Civil Code. As stated, the Code determines specifically that the juridical relations between participants are governed by reasonableness and fairness (art. 3:166 para. 3 in conjunction with art. 6:2 CC). In addition, the source of origin of the community is relevant, such as a firm’s contract. Further, it is conceivable that different rules are made for the parties’ powers, rights and duties. This is often called a management arrangement, although this term is actually too narrow and the term ‘arrangement of powers’ would be preferable. To the extent that the parties cannot reach
Hak dan kewajiban para peserta terwujud utamanya dari sumber pengetahuan hukum objektif, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kitab tersebut menentukan secara spesifik bahwa hubungan yuridis antara peserta diatur oleh reasonableness and fairness (pasal 3: 166 paragraf 3 jo. pasal 6:2 KUHPdt). Sebagai tambahan, asal muasal dari komunitas juga relevan untuk diketahui, seperti misalnya perjanjian pendirian firma. Lebih lanjut, bisa saja bahwa peraturan yang berbeda dibentuk untuk kekuasaan, hak dan kewajiban dari para pihak. Ini sering disebut sebagai pengaturan pengelolaan, meskipun istilah ini sebenarnya terlalu sempit dan istilah ‘pengaturan kekuasaan’ mungkin lebih sesuai. Sepanjang
78
Netherlands Law of Property
agreement, they can call on the judge of the subdistrict court, who will then issue such rules (art. 3:168 para. 2 CC), or supplement or clarify them. See also art. 3:168 paras. 2-5 CC. The division of the power to dispose of specific shares in the community may be arranged by the participants reciprocally as well (art. 3:175 CC). A management arrangement and an arrangement of the division of the powers of disposal of specific shares in the common property are not only binding on the participants themselves but also on their successors (art. 3:168 para. 4 (in conjunction with 3:175 para. 2 CC)).
To the extent that participants do not make arrangements and that there are no derogating specific provisions for the type of community involved, the partition of powers, rights and duties regarding common property as referred to in section 3.7.1 CC applies. For the power to dispose of property of and – in connection therewith – the recourse against participants in the special communities of art. 3:189 para. 2 CC, arts. 3:190-193 CC lay down derogations. A comparison of arts. 3:190-191 CC with art. 3:175 CC shows that the participants’ powers to dispose of property in special communities is more restricted than that of participants in simple communities, which may be explained by the common characteristic of the special communities: a separate capital that requires some protection for the benefit of the participants reciprocally, especially so as to prevent the community from slipping into a partition in several communities in
para pihak tidak bisa mencapai kata sepakat, mereka dapat meminta hakim pengadilan negeri untuk mengeluarkan peraturan tersebut (pasal 3:168 paragraf 2 KUHPdt), atau menambahkan atau memperjelas peraturan tersebut. Lihat juga pasal 3:168 paragraf 2-5 KUHPdt. pembagian kekuasaan untuk melepaskan bagian tertentu dalam komunitas dapat disepakati oleh peserta secara bersamasama pula (pasal 3:175 KUHPdt). Pengaturan pengelolaan dan pengaturan pembagian kekuasaan dari pelepasan bagian tertentu dalam harta kekayaan bersama tidak saja mengikat bagi para peserta itu sendiri, tetapi juga para penerus (pasal 3:168 paragraf 4 (jo. 3:175 paragraf 2 KUHPdt). Sepanjang peserta tidak melakukan pengaturan dan tidak mengeluarkan ketentuan spesifik untuk jenis komunitas yang dimaksud, pemisahan kekuasaan, hak dan kewajiban terkait harta kekayaan bersama sebagaimana dimaksud dalam bagian 3.7.1 KUHPdt yang akan berlaku. Untuk kuasa melepaskan harta kekayaan dari dan – terkait dengan hal itu – penuntutan kembali dalam komunitas khusus dalam pasal 3:189 paragraf 2 KUHPdt, pasal 3:190-193 KUHPdt menjadi dasar untuk untuk itu. Sebuah perbandingan dari pasal 3:190-191 KUHPdt dengan 3:175 KUHPdt memperlihatkan bahwa kekuasaan peserta untuk melepaskan harta kekayaan dalam komunitas khusus lebih terbatas dibanding peserta dalam komunitas sederhana, yang dapat dijelaskan oleh ciri umum dari komunitas khusus: modal terpisah yang memerlukan perlindungan untuk peserta secara bersamasama, terutama untuk menghindari terpisahnya komunitas menjadi beberapa komunitas di
Professor Henk Snijders
79
which an original participant might face other participants again and again, with the risk of issues regarding the power to dispose of property and issues of partition.
mana peserta awal mungkin harus menghadapi peserta lainnya, dengan risiko masalahmasalah terkait dengan kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan dan masalah pemisahan.
The partition (and division) is described in art. 3:182, first sentence CC. It concerns a juridical act in which all participants participate (either personally or by a representative) and pursuant to which one or several of them acquire property belonging to the community to the exclusion of the remaining participants. It is important in particular that the partition should be a multilateral juridical act. It may be an agreement, but it has been contended that the partition is always an agreement. It has been defended that the partition is not an obligatory juridical act, but an attribution. All in all, the partition under current law is not purely declaratory: in itself it does not ensure that the property will belong to the person to whom it has been attributed; indeed, this would require a delivery. Under current law, the partition is not purely translative either, however: transfer is not the title in the sense of a way of acquisition in the event of a partition; despite the requirement of delivery the legislator continues to assume an acquisition, at least a detention, under the same title under which the participants detained their shares prior to the partition (art. 3:186 para. 2 CC). The present system for the partition may be best characterised as a mixed declaratory and translative system. This is not as odd as it may seem for a hybrid legal concept such as partition. In essence, indeed, the partition forms a fleshing out of a
Pemisahan (dan pembagian) diuraikan dalam pasal 3:182, kalimat pertama KUHPdt. Pasal ini mengatur perbuatan yuridis oleh seluruh peserta (baik langsung ataupun melalui perwakilan) dan dengan mana seseorang atau beberapa orang diantara mereka mendapatkan kepemilikan untuk komunitas hingga pengecualian peserta lainnya. Penting bahwa pemisahan harus merupakan perbuatan yuridis multilateral. Pemisahan tersebut bisa merupakan suatu kesepakatan, walaupun memang sudah menjadi kebiasaan bahwa pemisahan adalah selalu sebuah kesepakatan. Diperdebatkan bahwa pemisahan bukanlah tindakan yuridis yang wajib, melainkan merupakan sebuah atribusi. Dengan kata lain pemisahan di bawah hukum baru ini tidak murni sebuah pernyataan (declaratory): tidak memastikan bahwa harta kekayaan akan menjadi miliki orang kepada siapa harta tersebut diatributkan; namun diperlukan suatu penyerahan. Di bawah hukum yang baru, pemisahan juga tidak sepenuhnya translatif, namun demikian: pengalihan bukanlah yang utama untuk akuisisi dalam hal adanya sebuah pemisahan; meskipun ada persyaratan untuk penyerahan, pembuat undang-undang tetap berasumsi adanya akuisisi, paling tidak penahanan, di bawah hak yang sama di mana peserta mempertahankan bagiannya sebelum pemisahan (pasal 3:186 paragraf 2 KUHPdt). Sistem yang berlaku saat ini untuk pemisahan dapat dicirikan
80
Netherlands Law of Property
previous acquisition. One should consider that according to present law in any case, following on the juridical act of the partition, delivery must take place pursuant to art. 3:186 para. 1 CC. For this reason the partition has been regarded as the causa of the delivery prescribed in art. 3:186 para. 1 CC. The partition might also include a multilateral proprietary juridical act, comparable with the proprietary agreement to be discussed in 5.4. The partition of art. 3:182 CC, first sentence may, in other words, be explained as the juridical act intended for transmission. Such transmission requires an act of delivery, pursuant to art. 3:186 para. 1 CC, which corresponds with the act of delivery intended for the transfer of the relevant type of property.
Pursuant to the special provisions in arts. 6:216 and 261 para. 2 CC most provisions of general contract law apply (at least mutatis mutandis) to the partition in the sense of the juridical act of art. 3:182 CC. The general statutory rules regarding partition are provided in arts. 3:177-188 CC. Derogating rules for the special communities of art. 3:189 para. 2 CC may be found in arts. 3:190-194 CC. Articles 3:195-200 CC provide for the possibility of nullity and annullability of partitions. Elsewhere in the Civil Code, derogating rules for the partition of a community may be found, for instance in art. 4:227-233 CC for the partition of an estate.
sebagai sistem campuran antara declaratory dan translative. Ini sebenarnya tidaklah aneh dalam konsep hukum hybrid seperti pemisahan. Kita harus mempertimbangkan bahwa menurut hukum yang baru ini, dalam hal apapun, menurut perbuatan yuridis untuk pemisahan, penyerahan haruslah dilakukan menurut pasal 3:186 paragraf 1 KUHPdt. Untuk alasan ini, pemisahan dipandang sebagai causa dari penyerahan dalam pasal 3:186 paragraf 1 KUHPdt. Pemisahan juga dapat mencakup perbuatan yuridis multilateral, yang dapat dibandingkan dengan kesepakatan hak milik sebagaimana telah diuraikan dalam 5.4. pemisahan dalam pasal 3:182 KUHPdt, kalimat pertama, dengan kata lain dapat dijelaskan sebagai tindakan yuridis yang dimaksudkan untuk pemindahan. Pemindahan yang demikian memerlukan tindakan penyerahan, menurut pasal 3:186 paragraf 1 KUHPdt, yang sesuai dengan tindakan penyerahan yang dimaksudkan untuk penyerahan jenis harta milik terkait. Menurut ketentuan khusus dalam pasal 6:216 dan 261 paragraf 2 KUHPdt sebagian besar ketentuan dari hukum perikatan umum dapat berlaku (paling tidak mutatis mutandis) untuk pemisahan, dalam arti perbuatan yuridis dari pasal. 3:182 KUHPdt. Aturan umum menyangkut pemisahan, diuraikan dalam pasal 3:177-188 KUHPdt. Peraturan khusus untuk komunitas khusus dari pasal. 3:189 paragraf 2 KUHPdt dapat ditemukan pada pasal 3:190-194 KUHPdt. Pasal 3:195-200 KUHPdt memberikan kemungkinan pemisahan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Di bagian lainnya di KUHPdt, peraturan khusus untuk pemisahan atas sebuah komunitas dapat ditemukan, salah satunya pada
Professor Henk Snijders
In practice (particularly with companies and partnerships) partners often agree, whether reciprocally or not, that a partner’s share in certain properties will, in the event of the relevant partner’s prior death, accrue in full or in part to (will stay with) one or more or all other partners. This is called a survivorship clause. In this way the joint owners can anticipate the partition.
An interesting type of community is the co-ownership of art. 5:60-69 CC. This is the community of immovable property that is owned jointly by the owners of two or more properties and is designated for the common benefit of those properties. One may think of common walls, but also of common parking spaces, tennis courts, swimming pools, garages, solar panels and fire exits. This coownership is governed firstly by the general provisions of section 3.7.1 CC (arts. 3:166-188 CC). In addition to and in derogation of these provisions the specific provisions of arts. 5:6069 CC apply. Finally in this section, we shall devote some attention to the apartment right, which is provided for in title 5:9 CC (arts. 5:106-147 CC).
The apartment right is a proprietary right consisting of a share in a building (including a group of buildings) with appurtenances and the land belonging to it,
81
pasal 4:227-233 KUHPdt untuk pemisahan sebuah tempat kediaman. Dalam praktiknya (terutama dengan firma dan perseroan) para persero seringkali sepakat, baik secara bersama-sama ataupun tidak, bahwa bagian seorang persero dalam harta kekayaan tertentu akan, dalam hal persero lainnya lebih dahulu meninggal dunia, jatuh secara penuh atau sebagian (akan tetap tinggal) kepada satu atau lebih dari para persero tersebut. Ini disebut dengan klausa penyelamat (survivorship clause). Dengan cara ini, pemilik bersama dapat mengantisipasi pemisahan. Jenis komunitas yang menarik adalah kepemilikan bersama dalam pasal 5:6069 KUHPdt. Ini adalah komunitas dari harta kekayaan tidak bergerak yang dimiliki secara bersama oleh pemilik atas satu harta kekayaan atau lebih dan dimaksudkan untuk kepentingan bersama dari harta kekayaan tersebut. Kita bisa mengambil contoh dinding bersama, dan juga tempat parkir bersama, lapangan tenis, kolam renang, garasi, panel tenaga matahari dan pintu darurat bersama. Kepemilikan bersama ini utamanya diatur oleh ketentuan umum pada bagian 3.7.1 KUHPdt (pasal 3:166-188 KUHPdt). Sebagai tambahan untuk dan dalam pengkhususan dari ketentuan-ketentuan ini, ketentuan spesifik pada pasal 5:60-69 KUHPdt diberlakukan. Akhirnya pada bagian ini, kita akan sedikit memberikan perhatian kepada hak apartemen, yang diuraikan dalam judul 5:9 KUHPdt (Pasal 5:106-147 KUHPdt). Hak apartemen adalah hak milik mencakup sebuah bagian dalam sebuah bangunan (termasuk sekelompok bangunan), atau sebuah bagian atas hak guna usaha atau
82
Netherlands Law of Property
or a share in a right of emphyteusis or a right of superficies on it, or a plot of land alone, which comprises the right to the exclusive use of certain portions thereof which, as indicated by their layout, are intended to be used as separate units (art. 5:106 para. 3 in conjunction with paras. 1 and 5 CC). These parts are called apartments and their separation is based on a so-called deed of division, whereby the parental right (ownership, superficies or emphyteusis), is divided into apartment rights. Unless the deed of division provides otherwise, the apartment right itself is also capable of being divided (art. 5:106 para. 2 CC). This then concerns a subdivision into sub-apartment rights, which consist of a share in the principal apartment right and an exclusive right to a subapartment (which in common parlance is of course simply called apartment). Although the apartment right mainly concerns houses on several floors in a building (the term used in German law was, indeed, ‘Stockwerkseigentum’), one should remember that an apartment does not really have to be a floor. A holiday park, a garden or a garage can also be divided into apartment rights. The apartment right has two faces, then. It is an exclusive right of use pertaining to a portion and also a share in the whole. As soon as apartment rights, after the division, belong to several persons, we speak of a community. However, title 3.7 CC does not apply to this community, but it does apply to the special community that remains after termination of the division into apartment rights (art. 3:189 CC).
hak guna bangunan diatasnya, atau sebidang tanah itu sendiri, yang mencakup hak untuk penggunaan ekslusif dari bagian tersebut, sesuai dengan perencanaannya, dimaksudkan untuk digunakan sebagai unit-unit yang terpisah (pasal 5:106 paragraf 3 jo. paragraph 1 dan 5 KUHPdt). Bagian-bagian ini disebut dengan apartemen dan pemisahan tersebut didasarkan atas apa yang disebut dengan akta pembagian, di mana hak parental (kepemilikan, hak guna usaha, hak guna bangunan), dibagibagi menjadi hak apartemen. Kecuali akta pembagian menyatakan sebaliknya, hak apartemen itu sendiri juga dapat dibagi (pasal 5:106 paragraf 2 KUHPdt). Ini kemudian menyangkut sub-pembagian menjadi sub hak apartemen, yang terdiri dari bagian dari hak apartemen induk dan hak ekslusif atas subapartemen (yang tentu saja dalam istilah umum secara sederhana disebut dengan apartemen). Meskipun hak apartemen utamanya terkait tempat tinggal pada beberapa lantai di suatu bangunan (istilah yang digunakan oleh Hukum Jerman adalah ‘Stockwerkseigentum’), kita harus ingat bahwa sebuah apartemen tidak harus memiliki lantai. Taman hiburan, taman atau garasi juga dapat dibagi menjadi hak apartemen. Ini berarti hak apartemen memiliki dua sisi. Satu sisi merupakan hak penggunaan ekslusif atas bagian tertentu dan juga bagian dari satu keseluruhan. Segera setelah hak apartemen, setelah pembagian, menjadi milik beberapa pihak, maka kita berarti berbicara tentang komunitas. Namun, judul 3.7 KUHPdt tidak berlaku untuk komunitas ini, tetapi berlaku untuk komunitas khusus yang tetap ada bahkan setelah pembagian menjadi hak apartemen (pasal 3:189 KUHPdt).
Professor Henk Snijders
As the apartment right may be a separation of another right, the inclusion of the apartment right in Book 5 CC does not appear to be entirely sound. The apartment right is a proprietary right that can be vested both on immovable property with appurtenances and on rights to immovable property. Its inclusion in Book 5 is understandable nonetheless, as apartment rights (apart from sub-apartment rights) concern a division of real rights.
The holder of an apartment right is indicated, though not entirely appropriately, as apartment owner (art. 5:106 para. 4 CC). The power of division is provided for in arts. 5:106-107 CC. If the division is made by a person who lacks the right to dispose of the property, it is still valid if it is followed by a transfer of an apartment right or the establishment of a dismembered right on an apartment right that is valid apart from the further effect of that lack of power of the person so dividing the property (art. 5:110 para. 1 CC), or if an apartment right has been acquired by prescription (art. 5:110 para. 2 CC). Article 5:114 CC protects hypothecary creditors (mortgagees), persons levying an attachment and privileged creditors. Their rights pursuant to hypothec (mortgage), attachment and privilege to property to be divided continue to exist after the division.
The division takes place by notarial deed intended for that purpose (a deed of division), followed by its entry in the public
83
Karena hak apartemen bisa saja merupakan pemisahan dari hak lainnya, penyertaan hak apartemen dalam Buku 5 KUHPdt tampaknya tidak begitu tepat. Hak apartemen adalah hak milik yang dapat diberlakukan baik untuk harta kekayaan tidak bergerak dengan kelengkapannya dan untuk hak atas harta kekayaan tidak bergerak. Penyertaan tersebut dalam Buku 5 dapat dimengerti, karena hak apartemen (selain dari hak sub-apartemen) menyangkut pembagian hak riil. Pemegang dari hak apartemen dianggap, meskipun tidak sepenuhnya tepat, sebagai pemilik apartemen (pasal 5:106 paragraf KUHPdt). Kekuasaan atas pembagian diatur dalam pasal 5:106-107 KUHPdt. Jika pembagian dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan, hal demikian masih sah jika diikuti dengan pengalihan hak apartemen atau bangunan dari hak terbatas dari hak apartemen yang sah terlepas dari dampak lebih jauhnya menyangkut tidak adanya kekuasaan dari pihak yang membagi harta kekayaan. (pasal 5:110 paragraf 1 KUHPdt), atau jika hak apartemen diperoleh melalui prescription atau lewatnya waktu (pasal 5:110 paragraf 2 KUHPdt). Pasal 5:114 KUHPdt melindungi kreditur hipotek (yang dijamin),orang yang dikenakan pelekatan dan kreditur yang diutamakan. Hak mereka menurut hipotek (jaminan), pelekatan dan keutamaan atas harta kekayaan yang akan dibagi masih akan ada sampai setelah pembagian. Pembagian dilakukan dengan akta notaris yang sesuai (akta pembagian), diikuti dengan pendaftaran kepada kantor
84
Netherlands Law of Property
registers (art. 5:109 para. 1 CC). Only through such entry are the apartment rights created (see also art. 5:107, second sentence CC). The minimum requirements for the deed of division are provided for in art. 5:111 CC. The deed must inter alia contain by-laws, which may be model by-laws referred to. Dutch civillaw notaries have developed various model bylaws, to which deeds of division usually refer. The by-laws must in any case regulate the subjects referred to in art. 5:112 CC. The rights and duties between apartment owners can be derived, apart from the law, also from the by-laws (see also the facultative regulations of art. 5:112 paras. 3-4 CC) and the statutes of the association of owners. These statutes in turn may provide for - further, notably - standing orders which the association can draft for itself. Of course, the standing orders are of a lower status than the by-laws entered in the public registers including the statutes included therein and therefore apply only insofar as they do not conflict with the said by-laws. In addition, apartment owners must behave in accordance with requirements of reasonableness and equity. The statutory rights and duties can be found particularly in arts. 5:108, 5:112-113, 5:115-116, 5:119-120, 5:124-136 and 5:138 CC. Not all rights of apartment owners have a property-law effect (absolute effect). Whether a rule belongs within the scope of a proprietary right depends on the question whether there is a sufficient relationship with the relevant proprietary right. Such a relationship will be easily assumed for the by-law stipulations stated in art. 5:112, but for supplementary stipulations this is different.
pendaftaran publik (pasal 5:109 paragraf 1 KUHPdt). Hanya melalui pendaftaran tersebut hak apartemen dapat lahir (lihat juga 5:107, kalimat kedua KUHPdt). Persyaratan minimum untuk akta pembagian diatur dalam pasal 5:111 KUHPdt. Akta yang dibuat harus sesuai dan mengacu kepada hukum yang berlaku untuk itu. Notaris hukum perdata di Belanda telah mengembangkan berbagai model anggaran dasar, yang menjadi acuan untuk akta pembagian. Anggaran dasar mengatur subjek yang dimaksud dalam pasal 5:112 KUHPdt. Hak dan kewajiban antara para pemilik apartemen, selain dari KUHPdt, dapat diambil dari anggaran dasar (lihat juga peraturan fakultatif dari pasal 5:112 paragraf 3-4 KUHPdt) dan anggaran rumah tangga dari perserikatan pemilik apartemen. Anggaran rumah tangga ini juga dapat mengatur perintah bayar (standing orders) yang disusun sendiri oleh asosiasi. Tentu saja, standing orders memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan anggaran dasar yang didaftarkan pada kantor pendaftaran publik termasuk juga anggaran rumah tangga dan oleh karenanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan anggaran dasar dimaksud. Sebagai tambahan, pemilik apartemen harus bertindak sesuai dengan ketentuan reasonableness and equity. Hak dan kewajiban berdasarkan UU diatur dalam pasal 5:108, 5:112-113, 5:115-116, 5:119-120, 5:124-136 dan 5:138 KUHPdt. Tidak semua hak dari pemilik apartemen memiliki dampak hukum harta kekayaan (efek absolut). Apakah suatu peraturan masuk ke dalam lingkup hak milik tergantung dari pertanyaan apakah ada hubungan yang cukup dengan hak milik yang terkait. Hubungan tersebut dapat dengan mudah diasumsikan oleh anggaran dasar
Professor Henk Snijders
Section 5.10.2 CC, consisting of arts. 5:124-135, provides for the organisation and the powers of the association of owners, of its board of directors and of its members. An apartment right can be transferred, apportioned, encumbered and be subject to execution as independent registered property (art. 5:117 para. 1 CC; see for servitudes art. 5:118 CC). Save as otherwise provided, transfer by particular title or apportionment of an apartment right also includes the rights acquired by the apartment owner as such, and to a certain extent his duties (art. 5:122 CC). Upon the transfer by universal title, such as hereditary succession and joining of estates, all patrimonial rights and duties pass to the legal successor(s). The usufruct instead of transfer of the apartment right is obviously governed by different provisions (art. 5:123 CC).
Emphyteusis and superficies on apartment rights – not to be confused with the division of emphyteusis and superficies in apartment rights, as referred to in art. 5:106 para. 2 CC – is at present deemed explicitly possible by the law under certain conditions, on the understanding that the right of superficies cannot be established on existing (i.e. if already involved in the division) buildings, works and plants and shrubs (art. 5:118 (a) CC).
The property involved in the division that was already taken into account in
85
yang diatur dalam pasal 5:112, tetapi untuk peraturan tambahan (supplementary stipulations) hal ini adalah berbeda. Bagian 5.10.2 KUHPdt, mencakup pasal 5:124-135, mengatur pengelolaan dan kekuasaan dari asosiasi pemilik, dewan pengelola dan anggotanya. Hak apartemen dapat dialihkan, dibagi, dibebankan dan dijadikan subjek eksekusi sebagai harta kekayaan terdaftar yang berdiri sendiri (pasal 5:117 paragraf 1 KUHPdt; lihat juga pengabdian pasal 5:118 KUHPdt). Kecuali ditentukan lain, pengalihan oleh hak atau pembagian tertentu dari hak apartemen juga mencakup hak yang diperoleh oleh pemilik dari apartemen karena hal tersebut, dan juga kewajibannya untuk beberapa hal tertentu (pasal 5:12 KUHPdt). Atas peralihan dari hak universal, seperti pewarisan dan penggabungan harta waris, seluruh hak dan kewajiban patrimonial dialihkan kepada pemilik (atau para pemilik) sah berikutnya. Untuk hak pakai hasil dan bukan pengalihan atas hak apartemen jelas diatur oleh ketentuan yang berbeda (pasal 5:123 KUHPdt). Hak guna usaha dan hak guna bangunan atas hak apartemen – yang harus dibedakan dengan pembagian hak guna usaha dan bangunan dalam hak apartemen, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5:106 paragraf 2 KUHPdt – saat ini secara eksplisit dimungkinkan oleh undang-undang dalam keadaan tertentu, dalam pengertian bahwa hak guna bangunan tidak dapat dibentuk atas bangunan, pekerjaan, tanaman yang sudah ada (yaitu jika sudah ada dalam pembagian) (pasal 5:118 (a) KUHPdt). Harta kekayaan yang termasuk dalam pembagian yang sudah diperhatikan
86
Netherlands Law of Property
apartment rights is thus not capable in itself of separate disposal and separate recourse (art. 5:117 para. 2 CC), with two exceptions, referred to in art. 5:117 para. 2 in conjunction with art. 5:114 para. 2 and 5:117 para. 4 CC.
Articles 5:144-145 provide for the division as well as the termination.
dalam hak apartemen oleh karena itu tidak dapat melepaskan secara terpisah dan menuntut kembali harta kekayaan terpisah (pasal 5:117 paragraf 2 KUHPdt), dengan dua pengecualian, yang dimaksud dalam pasal 5:117 paragraf 2 jo. pasal 5:114 paragraf dan 5:117 paragraf 4 KUHPdt. Pembagian dapat dimodifikasi dan diakhiri. Pasal 5:139-142 KUHPdt secara eksklusif mengatur mengenai modifikasi tersebut. Pasal 5:144-145 mengatur mengenai pembagian dan juga pengakhiran pembagian.
4 ORIGINAL WAYS OF ACQUISITION
4 CARA-CARA ORIGINAL AKUISISI
4.1 Introduction
4.1 Pengantar
A distinction can be made between original and derivative ways of acquisition. The original acquirer does not derive his right to property from a predecessor, whereas the derivative acquirer does derive his right to property from his predecessor. The systematic point of departure is that in case of derivative acquisition the right to property with all related benefits and burdens (such as dismembered rights and qualitative rights and duties) passes in principle to the acquirer. Conversely, the original acquirer in principle has nothing to do whatsoever with the legal previous history of the acquired property, as the right to the property originates with him and is therefore not obtained through transfer. For instance, a person who acquires the ownership of a thing through the creation of a new thing is not
Ada perbedaan antara cara original dan cara derivatif untuk akuisisi. Pengakuisisi original tidak mendapatkan hak atas harta kekayaan dari pemilik sebelumnya, sedangkan pengakuisisi derivatif justru mendapatkan hak atas harta kekayaannya dari pemilik sebelumnya. Titik tolak sistematisnya adalah bahwa dalam hal akuisisi derivatif hak atas harta kekayaan dengan seluruh keuntungan dan beban terkait (seperti hak terbatas dan hak kualitatif dan kewajiban) beralih secara prinsip kepada yang mengakuisisi. Sebaliknya, pemilik asli secara prinsip tidak ada kaitannya sama sekali dengan sejarah hukum dari perolehan harta kekayaan, karena hak atas harta kekayaan itu berawal dari dirinya dan oleh karenanya ia tidak mendapatkannya melalui pengalihan. Contohnya, seseorang yang memperoleh
The division can be modified and terminated. Articles 5:139-142 CC exclusively provide for the modification.
Professor Henk Snijders
bound to any rights of pledge on the things with which the new thing has been formed. On the other hand, a person who acquires through transfer is in principle bound to any rights of pledge created on the transferred things. However, there are exceptions to this principal difference between original and derivative acquisitions. A person who acquires a thing by acquisitive prescription for instance is an original acquirer but still an earlier established dismembered right on that thing will be maintained if the acquirer had possessed the thing before his acquisition with deference to that dismembered right. Conversely, art. 3:86 para. 2 CC provides by way of exception under certain conditions that a dismembered right on a movable thing is extinguished in case of transfer of that thing.
The original ways of acquisition will be discussed in this chapter; the presumably most prevalent derivative way of acquisition, the transfer, will be discussed in chapter 5. We suffice by indicating the original ways of acquisition regulated in the Civil Code (apart from this, one may think, for instance, of acquisition pursuant to the Expropriation Act or – through land consolidation – pursuant to the Land Use Act).
87
kepemilikan sebuah benda melalui pembuatan benda baru tidak terikat oleh suatu hak atas jaminan atas benda dengan mana benda tersebut dibentuk. Di sisi sebaliknya, seseorang yang memperoleh melalui peralihan secara prinsip terikat dengan hak jaminan yang diletakkan atas benda yang dialihkan tersebut. Namun demikian, ada beberapa pengecualian atas perbedaan prinsip antara akuisisi original dan akuisisi derivatif. Seseorang yang memperoleh sebuah benda melalui prescription akuisitif (acquisitive prescription) contohnya, pemilik asli tetapi tetap, hak terbatas yang dibentuk sebelumnya atas benda tersebut akan tetap dipertahankan apabila pihak yang memperoleh benda telah menguasai benda tersebut sebelum pengambilalihan. Sebaliknya, pasal 3:86 paragraf 2 KUHPdt mengatur pengecualian di bawah keadaan tertentu bahwa hak terbatas atas benda bergerak dihapuskan dalam hal pengalihan atas benda tersebut. Cara-cara original memperoleh harta kekayaan akan dibahas dalam bab ini; tampaknya mengenai cara-cara perolehan derivatif yang paling umum, yaitu peralihan, akan dibahas pada bab 5. Kita cukup membahas mengenai akuisisi original yang dimaksud dalam KUHPdt (selain dari cara perolehan ini, terpikir juga untuk yang lainnya, misalnya perolehan menurut UU Ekspropriasi (pengambilalihan untuk kepentingan publik) – atau konsolidasi tanah – menurut UU Penggunaan Tanah).
88
Netherlands Law of Property
4.2 Prescription
4.2 Prescription
There are two kinds of prescription: the acquisitive prescription (arts. 3:99-166 CC) and the extinctive prescription (arts. 3:306-325 CC). The acquisitive prescription is a mode of acquisition of things and rights. Thus, the possessor of a car or of a plot of land who incorrectly assumes but was allowed to assume that he is the owner, still become the owner through the mere lapse of time, notably after three respectively ten years of uninterrupted possession (art. 3:99 para. 1 CC). Similarly, the possessor of a right of usufruct on a car or on a plot of land who incorrectly assumes but was allowed to assume that he is the usufructuary, may still become the usufructuary through the mere lapse of time on the same conditions (see again art. 3:99 para. 1 CC).
Ada dua macam prescription: prescription akuisitif (pasal 3:99-166 KUHPdt) dan prescription ekstinktif (pasal 3:306-325 KUHPdt). Prescription akuisitif adalah modal perolehan atas benda dan hak. Maka, penguasa sebuah mobil atau sebidang tanah yang secara tidak benar tetapi diperbolehkan untuk berasumsi bahwa ia adalah pemilik, menjadi pemilik seiring dengan lewatnya waktu, khususnya setelah tiga kali sepuluh tahun secara berturut-turut tidak ada ganggunan terhadap penguasaan tersebut (pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt). Secara serupa, penguasa atas hak pakai sebuah mobil atau sebidang tanah yang secara tidak benar tetapi diperbolehkan untuk berasumsi bahwa ia adalah pemegang hak pakai, dapat menjadi pemegang hak pakai melalui lewatnya waktu dengan kondisi yang sama (lihat lagi pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt). Prescription akuisitif tidak saja timbul untuk kepentingan penguasa dengan itikad baik, tetapi juga untuk kepentingan penguasa yang mungkin tidak berada dalam itikad baik (pasal 3:105 KUHPdt). Untuk hal yang terakhir disebutkan, terkait dengan fenomena dari prescription ekstinktif. Prescription ekstinktif menghapus hak bertindak (ius agendi): hak personal tidak lagi dapat ditegakkan dalam hukum. Secara umum, maka yang tertinggal hanya kewajiban natural (pasal 6:3 KUHPdt), yang berarti kewajiban yang tidak dapat ditegakkan secara hukum. Terkadang prescription ekstinktif tidak saja menghapuskan hak bertindak, tetapi juga hak personal yang mendasarinya. Dampak yang kuat dari prescription ekstinktif ini timbul terkait
Acquisitive prescription does not only occur for the benefit of the possessor in good faith, but also for the benefit of a possessor who may not be in good faith (art. 3:105 CC). The latter is connected with the phenomenon of the extinctive prescription. The extinctive prescription extinguishes the right of action (ius agendi): the personal right can no longer be enforced at law. In general there then remains a natural obligation (art. 6:3 CC), which means an obligation that cannot be enforced at law. Sometimes extinctive prescription does not only extinguish a right of action, but also the underlying personal right. This strong effect of the extinctive prescription occurs in connection with acquisitive prescription. See in particular art.
Professor Henk Snijders
3:105 para. 1 CC, which makes the possessor of property title-holder at the time when the prescription of the right of action to terminate possession is complete. The main function of prescription lies in legal certainty: the legal position must at a certain moment correspond with the factual situation. In addition, acquisitive prescription is regarded as a means to simplify evidence. On 15 November 2005 in the case PvE/United Kingdom the European Court of Human Rights (European Human Right Cases 2006, p. 38 ff.) tested the concept of acquisitive prescription against the original title-holder (at least a legal concept under English law that corresponds in essence with the Dutch concept of acquisitive prescription) against art. 1 First Protocol ECHR, which warrants the right of property, discussed earlier in 3.1. The Court deems the confiscation of ownership through prescription to be legitimate, if it may be regarded as being in the general interest and proportionate. The period of prescription begins to run with the day following the day on which the possession began (art. 3:101 CC). A person who since 31 December 2005 has been the possessor in good faith of a stolen bicycle, will pursuant to art. 3:99 para. 1 CC be the title-holder as of 1 January 2009 (0.00 hours). Article 3:99 para. 1 CC does require an uninterrupted possession during the period of prescription. Interruption of the possession interrupts the prescription, which means that a new period of prescription begins to run as soon as the interruption ground has been terminated. However, see also arts. 3:102-103 CC.
89
dengan prescription akuisitif. Lihat pasal 3:105 paragraf 1 KUHPdt, yang menjadi penguasa dari pemegang hak atas harta kekayaan pada saat perintah hak bertindak untuk mengakhiri penguasaan sudah selesai. Fungsi utama dari prescription terletak pada kepastian hukum: kedudukan hukum harus sesuai dengan situasi faktual. Sebagai tambahan, prescription akuisitif dipandang sebagai cara untuk menyederhanakan pembuktian. Pada tanggal 15 November 2005 dalam kasus PvE/United Kingdom Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Human Right Cases 2006, hal 38) menguji konsep prescription akuisitif terhadap pemegang hak awal (setidaknya konsep hukum di bawah Hukum Inggris secara prinsip sejalan dengan konsep Belanda mengenai prescription akuisitif) terhadap pasal 1 First Protocol ECHR, yang menjamin hak atas harta kekayaan, yang dibahas sebelumnya pada bagian 3.1. Pengadilan memandang penyitaan dari kepemilikan melalui prescription menjadi sah, jika hal tersebut dapat dipandang sebagai kepentingan umum dan proporsional. Periode prescription dimulai pada hari setelah hari penguasaan dimulai (pasal 3:101 KUHPdt). Seseorang yang sejak 31 Desember 2005 telah menjadi penguasa dengan itikad baik dari sepeda curian, menurut pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt menjadi pemegang hak sejak tanggal 1 Januari 2009 (pukul 12 tengah malam). Pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt mensyaratkan tidak adanya gangguan atas penguasaan selama periode perintah tersebut. yang berarti bahwa periode baru dari prescription tersebut akan dimulai segera setelah alasan gangguan tersebut telah dihilangkan. Namun demikian, lihat juga pasal 3:102-103 KUHPdt.
90
Netherlands Law of Property
4.3 Occupation
4.3 Okupansi
Occupation was already discussed as a form of acquisition of possession (see 2.2). A person who takes possession of a movable thing which does not belong to anybody acquires ownership thereof (art. 5:4 CC). Rights, then, are not capable of acquisition of ownership through occupation, nor are immovable things, the latter also pursuant to art. 5:24 CC: immovable things which have no other owner belong to the State. Res nullius (things not belonging to anybody) are primarily movable things that have never had an owner. Examples may be wild animals, shells and fish in the sea. In addition one may think of the things stated in 5:18 CC (res derelictae) and art. 5:19 CC (animals that have regained their freedom).
Okupansi telah dibahas sebagai bentuk perolehan sebuah penguasaan (lihat 2.2). seseorang yang mengambil penguasaan dari benda bergerak yang bukan merupakan milik siapapun untuk memperoleh kepemilikan atas benda tersebut (pasal 5:4 KUHPdt). Hak, dengan demikian, tidak dapat memperoleh kepemilikan melalui pendudukan, tidak juga untuk benda tidak bergerak, menurut pasal 5:24 KUHPdt: benda tidak bergerak yang tidak menjadi milik siapapun akan menjadi milik negara. Res nullius (benda tidak bertuan) utamanya adalah benda bergerak yang tidak punya pemilik. Contohnya hewan liar, kerang dan ikan di lautan. Sebagai tambahan, mungkin juga benda-benda yang dimaksud dalam pasal 5:18 KUHPdt (res derelictae) dan pasal 5:19 KUHPdt (hewan yang bebas).
4.4 Finding
4.4 Penemuan
Finding is now a way of acquisition of ownership, provided for in art. 5:5-12 CC. Under the old Civil Code no ownership could be acquired through finding. Still, the option of revendication for the original title-holder did end at a certain moment pursuant to extinctive prescription.
Menemukan benda saat ini menjadi salah satu cara perolehan kepemilikan, seperti diatur dalam pasal 5:5-12 KUHPdt. Di bawah KUHPdt yang lama, tidak ada kepemilikan yang dapat diperoleh melalui penemuan. Tetap saja, pilihan untuk reklame untuk pemegang hak awal berakhir pada waktu tertentu sesuai dengan prescription ekstinktif. Penemuan adalah cara perolehan yang paling cepat atas kepemilikan dibandingkan dengan prescription. Penemu yang berasumsi dengan itikad baik tetapi secara tidak benar berasumsi bahwa benda yang
Finding is a faster mode of acquisition of ownership than prescription. The finder who assumes in good faith but incorrectly that the thing found does not belong to anybody and therefore takes
Professor Henk Snijders
possession of it, will only be able to acquire the ownership through prescription after three years (art. 3:99 para. 1 CC). If he is not in good faith, the period of prescription will even, pursuant to art. 3:106 in conjunction with 3:306 CC, last twenty years. If the finder satisfies certain formalities that may be summarised as satisfying the ‘duty to report’, he can, however, acquire the ownership through finding a year after such report (art. 5:6 para. 1 in conjunction with art. 5:5 para. 1 CC).
See further arts. 5:5, 12 CC).
91
ditemukan tidak dimiliki oleh siapapun dan oleh karenanya mengambil penguasaan atas benda tersebut, hanya akan dapat memperoleh kepemilikan melalui perintah setelah lewatnya tiga tahun (pasal 3:99 paragraf 1 KUHPdt). Apabila ia tidak dalam itikad baik, periode perintah menurut pasal 3:106 jo. 3:306 KUHPdt, menjadi duapuluh tahun. Jika penemu memenuhi ketentuan formalitas tertentu yang yaitu ‘kewajiban untuk melapor’, ia dapat, memperoleh kepemilikan setelah satu tahun setelah laporan tersebut (pasal 5:6 paragraf 1 jo. pasal 5:5 paragraf 1 KUHPdt). Lihat lebih lanjut pasal 5:5, 12 KUHPdt).
4.5 Finding treasures
4.5 Penemuan harta karun
A treasure belongs, in equal shares, to the person discovering it and to the owner of the thing in which it is found, according to art. 5:13 para. 1 CC. If one and the same person is concerned, the treasure therefore belongs entirely to him. The thing in which the treasure is found, may be immovable or movable (as explicitly indicated by art. 5:13 para. 1 CC). Proto-Germanic battle axes exposed during excavation of the soil are treasures, but so are Chinese coins, which turn out to be hidden inside a sculpture that falls to smithereens.
Sebuah harta karun secara adil, menjadi milik orang yang menemukannya dan kepada pemilik dari benda tersebut apabila pemiliknya diketahui, menurut pasal 5:13 paragraf 1 KUHPdt. Jika hal ini menyangkut satu orang yang sama, maka harta karun tersebut menjadi miliknya secara keseluruhan. Benda yang ditemukan sebagai harta karun, dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak (sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5:13 paragraf 1 KUHPdt). Kapak perang milik Proto-Germanic yang ditemukan dari penggalian tanah adalah harta karun, tetapi juga koin Cina, yang ternyata tersembunyi di dalam patung yang jatuh ke tangan smithereens pada waktu itu. Dalam pengertian hukum, harta karun itu sendiri selalu merupakan benda bergerak. Benda tidak bergerak, seperti puing
Within the meaning of the law, the treasure itself is always a movable thing. Immovable treasures, such as a Roman temple
92
Netherlands Law of Property
exposed during excavation work, belong to the owner of the land pursuant to accession. The definition of a treasure is given in art. 5:13 para. 2 CC: a thing of value which has remained hidden for such a long time that, as a consequence, the owner can no longer be located. For movable monuments the acquisition of ownership through the finding of treasure is excluded pursuant to the Monuments and Historic Buildings Act. The finder of treasures dug up on the beach and in the sea bed does not become their owner either, pursuant to the Receiving of Wrecks Act respectively the Wrecks Act.
Romawi yang ditemukan pada saat penggalian, menjadi milik pemilik tanah menurut hak perlekatan (accession). Pengertian dari harta karun diatur dalam pasal 5:13 paragraf 2 KUHPdt: sebuah benda bernilai yang tersembunyi dalam jangka waktu yang lama, dan oleh karena itu, pemiliknya tidak dapat ditemukan. Untuk monumen yang bergerak, perolehan kepemilikan melalui penemuan harta karun dikecualikan menurut UU Monumen dan Bangunan Historis. Penemu harta karun yang digali dari pantai dan laut juga tidak menjadi miliknya, menurut UU Penerimaan Harta Terdampar dan UU Harta Terdampar.
4.6 Accession
4.6 Perlekatan (accession)
In 1.3 the concept of component part was discussed. Accession may be defined as formation of component parts. The owner of a thing, through the formation of component parts of that thing, also becomes owner of the component as part of his thing. Thus, the owner of a house also becomes owner of the tiles covering the roof of that house. A car owner also becomes the owner of a new engine fitted into that car. Some people say that accession is also possible without there being any formation of component parts. We shall not dwell on this impractical approach any further here. Accession is not always regarded as a fair form of acquisition of ownership. That a person becomes owner of an unpaid bath delivered to him subject to reservation of title until its full payment does not seem fair, but this
Bagian 1.3 membahas konsep bagian komponen. Accession dapat diartikan sebagai pembentukan bagian komponen. Pemilik sebuah benda, melalui pembentukan bagian komponen dari benda tersebut, juga menjadi pemilik dari bagian komponen bendanya. Maka, pemilik sebuah rumah juga menjadi pemilik genteng rumah yang menutupi atap rumah. Pemilik mobil juga menjadi pemilik mesin baru yang dipasangkan ke dalam mobil. Beberapa orang mengatakan bahwa accession juga dimungkinkan tanpa pembentukan dari bagian komponen. Kita tidak perlu berdebat mengenai hal ini lebih jauh. Accession tidak selalu dipandang sebagai bentuk yang adil dari perolehan kepemilikan. Bahwa seseorang menjadi pemilik dari bak mandi yang belum dibayar yang diserahkan kepadanya, masih harus
Professor Henk Snijders
happens nonetheless upon the bath being fitted into his bathroom, because the reservation of title is extinguished through accession. Nor does the acquisition of ownership by a thief of a stolen engine that he fits into his own car appear to be fair. The unfair consequences of accession may be removed, however, through actions under the law of obligations against the acquirer, provided he has assets that may be recovered. One may think of an action arising from unjustified enrichment (art. 6:212 CC), or an action arising from an unlawful act (art. 6:162 CC).
Accession as a way of acquisition of ownership obtains with two things of different owners, of which one is to be regarded as the ‘principal thing’. The other thing then counts as a component part. Thus, accession does not obtain when no hierarchical relationship between the two things can be demonstrated; in that case we speak of fusion (art. 5:14 para. 2 CC, on which see 4.7).
Article art. 5:3 para. 3 CC forms a general statutory basis for accession. For accession through movable things art. 5:14 para. 1 CC is leading; for accession through immovable things art. 5:20 CC.
93
ditunda haknya hingga pembayaran penuh tampak seperti tidak adil, tetapi ini tetap terjadi ketika bak mandi tersebut dipasangkan ke dalam kamar mandinya, karena reservasi hak dihapuskan melalui accession. Tidak adil juga untuk perolehan kepemilikan oleh pencuri dari mesin curian yang ia pasangkan ke dalam mobilnya. Konsekuensi yang tidak adil dari accession dapat dihilangkan, namun demikian, melalui tindakan menurut undangundang perikatan terhadap pihak yang memperoleh, sepanjang ia memiliki aset yang dapat diambil kembali. Bisa juga tindakan yang timbul dari perbuatan memperkaya seseorang secara tidak benar, atas beban orang lain (unjustified enrichment) (pasal 6:212 KUHPdt), atau perbuatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (pasal 6:162 KUHPdt). Accession sebagai cara memperoleh kepemilikan mendapatkan dua kepemilikan dari pemilik yang berbeda, yang salah satunya harus dipandang sebagai ‘benda utama’. Benda lainnya dipandang sebagai bagian komponen. Maka, accession tidak dimungkinkan apabila tidak ada hubungan hirarki antara dua benda yang dapat diperlihatkan; dalam hal yang demikian maka kita berbicara tentang fusi (pasal 5:14 paragraf 2 KUHPdt, untuk hal ini lihat 4.7). Pasal 5:3 paragraf 3 KUHPdt membentuk landasan hukum untuk accession. Untuk accession melalui benda bergerak pasal 5:14 paragraf 1 KUHPdt yang didahulukan; untuk accession melalui benda tidak bergerak, menggunakan pasal 5:20 KUHPdt.
94
Netherlands Law of Property
4.7 Fusion
4.7 Penggabungan
A new thing that arises from fusion (for instance of pipes, peas or liquids) – no accession; no formation of any significance – accrues to the owner of the original things. If there are more owners, these owners become co-owners proportionate to the value of their contribution (art. 5:14 para. 2 CC).
Benda baru yang timbul karena fusion (contohnya pipa, peas atau cairan) – bukan accession; tidak ada pembentukan yang signifikan yang bisa jatuh kepada pemilik dari benda asli. Jika ada lebih banyak pemilik, maka para pemilik ini menjadi pemilik peserta secara proporsional sesuai dengan nilai kontribusi mereka (pasal 5:14 paragraf 2 KUHPdt).
4.8 Specification
4.8 Spesifikasi
One speaks of specification in case of the creation of a new thing whose value is largely determined by its design. Whether this is the case depends on common opinion. In this context a factor may be whether the thing may still be named by its old name, whether the old form may be restored easily and whether the thing has increased in value. Whether the new form was effectuated by human labour may also be relevant to the question whether specification is assumed. Thus, specification is assumed in the event that a chicken farm causes eggs to be hatched by means of a sophisticated artificial brooding procedure. The formative work performed by nature has been shaped through such intensive artificial supervision (through human acts), that no perception of fruits but specification was assumed.
Kita berbicara tentang spesifikasi dalam hal pembentukan benda baru yang nilainya sangat ditentukan oleh rancangannya. Apakah memang demikian, hal ini tergantung dari pendapat umum. Dalam konteks ini, faktornya dapat berupa apakah benda tersebut masih dinamakan sama dengan nama lamanya, apakah bentuk lamanya dapat dikembalikan dengan mudah dan apakah nilai dari benda tersebut meningkat. Apakah bentuk baru tersebut dipengaruhi oleh tenaga kerja dapat juga relevan dengan pertanyaan mengenai apakah ada spesifikasi tertentu yang harus diasumsikan. Maka, spesifikasi diasumsikan dalam hal bahwa ayam ternak menetaskan telur melalui cara beternak artifisial yang canggih. Pekerjaan formatif yang dilakukan oleh alam telah dibentuk sedemikian rupa melalui supervisi artifisial intensif (melalui perbuatan manusia), bahwa tidak ada persepsi atas hasil tetapi spesifikasi yang diasumsikan. Jika seseorang membuat benda baru dari satu atau beberapa benda bergerak,
If a person creates a new thing out of one or more movable things, this thing is
Professor Henk Snijders
owned, in principle, by the owner of the original things (art. 5:16, first sentence CC). Where these things belonged to different owners, arts. 5:14-15 CC apply mutatis mutandis (art. 5:16 para. 1, second sentence CC). However, if a person creates a thing for himself a thing in whole or in part out of one or more movable things not belonging to him, he becomes owner of the new thing, unless the costs of creation are so low as not to justify this result (art. 5:16 para. 2 CC; the English translation of this provision by Haanappel/Mackaay is not correct). For the transformation of materials into a new material and the cultivation of plants, art. 5:16 paras. 1-2 CC apply mutatis mutandis (art. 5:16 para. 3 CC).
The owner of the original thing can try to arm himself against specification under art. 5:16 para. 2 CC with the law of property on his side vis-à-vis third parties. He will need to do so, for the said remedies under the law of obligations against unfair consequences of specification pursuant to art. 5:16 para. 2 CC – an action arising from an unlawful act pursuant to art. 6:162 CC or an action arising from unjustified enrichment pursuant to art. 6:212 CC – will often be hardly successful from lack of recourse. This applies, for instance, in case of the supplier with reservation of title. He can make a proprietary agreement with the buyer that the latter will only create new things for the seller and that thereby those new things will become the seller’s property until the things supplied have been paid for. Whether the buyer adheres to this must be assessed
95
benda ini dimiliki, secara prinsip, oleh pemilik dari benda aslinya (pasal 5:16 kalimat pertama KUHPdt). Apabila benda ini dimiliki oleh pemilik yang berbeda, diatur dalam pasal 5:1415 KUHPdt berlaku mutatis mutandis (pasal 5:16 paragraf 1, kalimat kedua KUHPdt). Namun demikian, jika seseorang membuat benda untuk dirinya sendiri, benda secara menyeluruh atau sebagian, dari satu atau lebih benda bergerak yang merupakan miliknya, maka ia menjadi pemilik dari benda baru tersebut, kecuali biaya pembuatannya sangat rendah sehingga tidak dapat menjustifikasi hasilnya atau tidak bernilai (pasal 5:16 paragraf 2 KUHPdt; penerjemahan ke dalam Bahasa Inggris mengenai ketentuan ini oleh Haanappel/Mackaay tidaklah tepat). Untuk perubahan material menjadi material baru dan penanaman tanaman, pasal 5:16 paragraf 1-2 KUHPdt berlaku mutatis mutandis (pasal 5:16 paragraf 3 KUHPdt). Pemilik dari benda asli dapat mensenjatai dirinya terhadap spesifikasi di bawah pasal 5:16 paragraf 2 KUHPdt dengan hukum harta kekayaan untuk ia mempertahankan vis-à-vis pihak ketiga. Ia perlu melakukan hal itu, untuk langkah perlindungan di bawah hukum perikatan terhadap konsekuensi yang tidak adil menurut pasal 5:16 paragraf 2 KUHPdt – tindakan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum menurut pasal 6:162 KUHPdt atau tindakan yang timbul dari unjustified enrichment menurut pasal 6:212 KUHPdt – terkadang tidak berhasil karena tidak adanya hak untuk menuntut kembali harta kekayaan. Ini berlaku, contohnya, dalam hal pemasok menahan hak. Ia dapat membuat kesepakatan kepemilikan dengan pembeli bahwa pembeli hanya akan membuat benda baru untuk penjual dan
96
Netherlands Law of Property
on the basis of arts. 3:108-110 CC, which lay down criteria for the distinction between detention and possession. See especially art. 3:108 CC, which attributes central meaning to common opinion. The parties – seller with reservation of title and creator of a new thing – can also agree regardless of common opinion that whatever is created by the creator, is formed immediately for and becomes the property of the seller. However, the law does not provide for a ‘prolonged reservation of title’ relating to new things created by means of things supplied subject to reservation of title (art. 3:92 CC). Nor does art. 5:16 CC provide for specification for the benefit of a person purely on grounds pertaining to the law of obligations including the law of contracts (the contractual obligation to form for the seller is not a sufficient basis for that specification; decisive is what happens in fact). For safety’s sake the creator will therefore be able to deliver the newly created things to the seller in advance, notably per constitutum possessorium. However, this delivery in advance does not have any effect vis-à-vis an earlier delivery in advance (art. 3:97 para. 2 CC). Nor does delivery in advance provide protection in case of specification during the bankruptcy of the creator of a new thing (arts. 23 and 35 Bankruptcy Act). It is also conceivable that the seller establishes an undisclosed right of pledge in advance on the new things. Still, this is equally vulnerable as the delivery in advance.
bahwa dengan demikian benda baru tersebut akan menjadi harta kekayaan penjual hingga benda tersebut telah dibayar. Apakah pembeli mematuhi hal ini harus dinilai berdasarkan pasal 3:108-110 KUHPdt, yang meletakkan kriteria pembedaan antara penahanan dan penguasaan. Lihat pasal 3:108 KUHPdt, yang memberikan arti penting untuk pendapat umum. Para pihak – penjual dengan hak reservasi dan pembuat dari benda baru – dapat juga menyetujui tanpa memandang pendapat bersama bahwa apapun yang dibuat oleh pembuat, dibuat langsung untuk dan menjadi harta kekayaan dari penjual. Namun demikian, undang-undang tidak mengatur mengenai ‘reservasi hak yang berkepanjangan’ terkait dengan benda baru yang dibuat melalui benda yang dipasok terkait dengan hak reservasi (pasal 3:92 KUHPdt). Tidak juga pasal 5:16 KUHPdt mengatur untuk spesifikasi untuk keuntungan seseorang hanya dengan dasar hukum perikatan termasuk hukum perjanjian (kewajiban kontraktual untuk penjual tidaklah menjadi dasar yang cukup untuk spesifikasi tersebut; cepat membuat keputusan adalah apa yang terjadi pada kenyataannya). Untuk alasan perlindungan maka pembuat dengan demikian akan dapat menyerahkan dimuka benda yang baru dibuat kepada penjual, berdasarkan per constitutum possessorium. Namun, penyerahan dimuka ini tidak memiliki efek vis-à-vis penyerahan dimuka yang lebih terdahulu (pasal 3:97 paragraf 2 KUHPdt). Tidak juga penyerahan dimuka ini memberikan perlindungan dalam hal spesifikasi pada saat pailit dari pembuat benda baru tersebut (pasal 23 dan 35 UU Kepailitan). Mungkin juga bahwa penjual membuat hak tertutup (undisclosed right) atas jaminan dimuka atas benda-benda baru tersebut. Tetap saja, ini masih sama rentannya dengan penyerahan dimuka.
Professor Henk Snijders
97
4.9 Perception of fruits
4.9 Persepsi dari buah
The person who, pursuant to his right of enjoyment on a thing, is entitled to its fruits acquires the ownership thereof upon their separation (art. 5:17 CC). What fruits are is defined by art. 3:9 CC as discussed in 1.3. Article 5:17 CC forms a further indication of art. 3:9 CC for natural fruits. For civil fruits the legislator did not deem any further rules necessary.
Orang yang, menurut hak untuk menikmati suatu benda, berhak atas buah dari benda tersebut memperoleh kepemilikan atas benda tersebut pada saat pemisahan (pasal 5:17 KUHPdt). Apa yang dimaksud dengan buah diatur dalam pasal 3:9 KUHPdt sebagaimana diuraikan dalam bagian 1.3. Pasal 5:17 KUHPdt menguraikan lebih lanjut dalam pasal 3:9 KUHPdt untuk buah alami. Untuk buah perdata, pembentuk undang-undang merasa tidak memerlukan peraturan lebih lanjut.
4.10 Substitution
4.10 Substitusi
Substitution can simply be described as the replacement of certain property belonging to a person by another property which will as a result belong to that same person. Substitution is also still indicated as zaaksvorming (substitution of things). On closer inspection this term is too limited under current law to cover the phenomenon in all its manifestations. Indeed, substitution does not only refer to replacement of things by things, but also to replacement of things by rights, rights by things or rights by rights. 5 Substitution has not been given a general regulation in the Civil Code. Still, there are all kinds of specific provisions providing for substitution, as art. 3:167 CC for the community, art. 3:213 para. 1 and 215 para. 1 CC for usufruct, art. 3:226 CC for the proprietary right of use and habitation, art. 3:229 CC for pledge and hypothec (mortgage) and art. 5:8 para. 4 CC within the context of finding.
Substitusi secara sederhana bisa diuraikan sebagai penggantian atas suatu harta kekayaan tertentu milik seseorang oleh harta kekayaan lainnya yang sebagai akibatnya menjadi milik orang yang sama. Substitusi juga dimaksud sebagai zaaksvorming (substitusi atas benda). Jika dilihat secara lebih dekat, istilah ini terlalu terbatas diatur dalam undang-undang yang baru untuk meliputi fenomena dari seluruh perwujudannya. Bahkan, substitusi tidak hanya mengacu pada penggantian dari benda, tetapi juga penggantian benda oleh hak, hak oleh benda ataupun hak oleh hak. 5 Substitusi tidak mendapatkan pengaturan umum dalam KUHPdt. Tetap saja, masih ada banyak berbagai ketentuan khusus yang mengatur tentang substitusi, seperti pasal 3:167 KUHPdt mengenai komunitas, pasal 3:213 paragraf 1 dan pasal 215 paragraf 1 KUHPdt untuk hak memungut hasil, pasal 3:226 KUHPdt untuk hak
98
Netherlands Law of Property
milik atas penggunaan dan penempatan, pasal 3:229 KUHPdt untuk gadai dan hipotek (jaminan) dan pasal 5:8 paragraf 4 KUHPdt dalam konteks penemuan. 5 TRANSFER
5. PENGALIHAN
5.1 Introduction
5.1 Pengantar
Transfer is without any doubt the most important derivative acquisition. In the light of legal history and under current law it may be described as a passing of a thing or right from one party to another effectuated by those parties on the basis of a delivery. This general description refers to the transfer as a legal consequence. This is in keeping with the most essential provision regarding transfer, art. 3:84 para. 1 CC: Transfer of property requires delivery pursuant to a valid title by the person who has the right to dispose of the property. Three comments should be made on this general description. Under the old Civil Code the term transfer was also used as synonymous with delivery, and this is still done in the doctrine and administration of justice. In addition, the term transfer is also regarded as a juridical act under current law. This is done when one speaks of valid and invalid transfers (see, for instance, art. 3:58 para. 1 CC). Finally, it must be remembered that in using the term transfer, people also refer to another change than in the belonging of property. Thus, one speaks of transfer of possession, for instance. In the use of the legal concept of transfer, the context will have to point the way.
Pengalihan tidak diragukan lagi merupakan alat akuisisi derivatif yang paling penting. Dalam sorotan sejarah hukum dan di bawah undang-undang yang baru pengalihan dapat diuraikan sebagai pengalihan suatu benda atau hak dari satu pihak kepada pihak lainnya yang diberlakukan oleh para pihak tersebut, yang didasarkan pada penyerahan. Uraian umum ini mengacu pada penyerahan sebagai konsekuensi hukum. Ini bertujuan untuk mengejar ketentuan yang paling utama menyangkut pengalihan, pasal 3:84 paragraf 1 KUHPdt: Pengalihan harta kekayaan memerlukan suatu penyerahan berdasarkan hak yang sah kepada orang yang memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan. Ada tiga komentar yang harus diberikan mengenai uraian ini. Di bawah KUHPdt yang lama istilah pengalihan juga digunakan dengan arti yang sama dengan penyerahan, dan ini masih digunakan dalam doktrin dan administrasi peradilan. Sebagai tambahan, istilah pengalihan juga dilihat sebagai perbuatan hukum di bawah undang-undang yang baru. Ini terlihat apabila kita berbicara mengenai pengalihan sah dan tidak sah (lihat, contohnya pasal 3:58 paragraf 1 KUHPdt). Akhirnya, harus diingat bahwa
Professor Henk Snijders
The general rules for transfer may be found in section 3.4.2 CC. Transfers governed by specific provisions not laid down in the general law of property will largely be left aside here. This applies in particular to the transfer of intellectual property and to the transfer of shares in a public or private limited company.
If a debtor does not voluntarily perform his obligation of transfer, particularly delivery, he can be ordered to do so by a court (cp. arts. 3:297 cc and 299-301 CC). Apart from this form of ‘real’ execution one may think of indirect execution, when the court imposes penalties on the debtor or commits him to prison for failure to comply with a judicial order.
In art. 3:84 para. 1 CC, quoted before, one finds the three classical requirements for the transfer of property: delivery, pursuant to a valid title, made by a person who has the right to dispose of the property. An additional requirement was and is – now included in art. 3:83 CC - that the property to be transferred must be transferable. First we shall discuss the last-mentioned requirement, after which we shall discuss the three requirements named first. Subsequently some special forms of
99
dalam menggunakan istilah pengalihan, orang juga mengacu pada perubahan lain selain dari kepemilikan harta kekayaan. Maka, kita berbicara tentang pengalihan penguasaan, misalnya. Dalam penggunaan konsep hukum dari pengalihan, konteksnya harus terlebih dahulu dilihat. Aturan umum untuk pengalihan dapat ditemukan di bagian 3.4.2 KUHPdt. Pengalihan yang diatur oleh ketentuan khusus tidak diatur dalam undang-undang umum tentang harta kekayaan, sebagian besar akan ditinggalkan dan tidak dibahas di sini. Ini berlaku khususnya untuk pengalihan harta kekayaan intelektual dan pengalihan saham pada perusahaan terbatas tertutup maupun terbuka. Jika seorang debitur dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengalihkan, khususnya menyerahkan, ia dapat diperintahkan oleh pengadilan untuk melakukan hal tersebut (pasal arts. 3:297 KUHPdt dan 299-301 KUHPdt). Selain dari bentuk eksekusi ‘riil’ ini, contoh lain yang terpikir adalah eksekusi tak langsung, yaitu apabila pengadilan mengenakan denda kepada debitur atau memasukkannya ke kurungan karena tidak mematuhi perintah pengadilan, Dalam pasal 3:84 paragraf 1 KUHPdt, telah disebutkan sebelumnya, kami menemukan bahwa ada tiga persyaratan untuk pengalihan dari harta kekayaan: penyerahan, berdasarkan hak sah, dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan. Persyaratan tambahan yang dulu dan kini masih dipakai – sekarang dimasukkan ke dalam pasal 3:83 KUHPdt – bahwa harta kekayaan yang akan dialihkan haruslah bisa dialihkan. Pertama kita akan membahas
100 Netherlands Law of Property
transfer will be dealt with.
Whether the requirements of a transfer have been fulfilled, must be assessed according to the moment of delivery, i.e. the moment when the total delivery has been completed. By way of exception art. 3:58 CC provides for ratification of an invalid transfer and thus makes it possible for the transfer to be valid with retroactive effect. One final introductory remark. The solution to proprietary transfer cases does not always lead to a result that immediately satisfies one’s sense of justice. In the solution of these cases the sense of justice is less of a guideline than in the law of obligations. This may be explained by the circumstance that legal certainty in proprietary issues plays an important role. Not only the position of parties demands attention, but also that of third parties, both actual third parties (such as a mortgagee or other creditor) and third parties more in general. Proprietary rights are absolute rights and call for a treatment that does justice to everybody, not only to the more or less accidental parties that submit a proprietary question to the court which one would like to see resolved with the most reasonable and fair consequences for them. See for similar considerations 4.8 (about specification). Another explanation is that in many proprietary disputes both parties have entirely justified interests in a solution to their advantage. Cutting knots in such cases is inevitably painful. One should consider that
persyaratan yang terakhir disebutkan, dan kemudian kita akan membahas tiga persyaratan yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya, ada beberapa bentuk pengalihan yang juga harus dilihat. Apakah persyaratan untuk pengalihan sudah dipenuhi, harus dinilai menurut saat penyerahan tersebut, yaitu saat di mana penyerahan telah dilakukan secara menyeluruh. Untuk pengecualian, pasal 3:58 KUHPdt mengatur tentang ratifikasi dari pengalihan yang tidak sah dan oleh karenanya dimungkinkan agar pengalihan tersebut menjadi sah dan memiliki efek retroaktif. Satu komentar terakhir. Solusi atas permasalahan pengalihan hak milik tidak selalu berujung pada suatu hasil yang dapat langsung memuaskan kebutuhan seseorang akan keadilan. Dalam solusi dari kasus-kasus ini sentuhan pengadilan kurang menjadi panduan dibandingkan dengan dalam hukum perikatan. Ini dapat dijelaskan oleh keadaan bahwa kepastian hukum dalam permasalahan hak milik memainkan peranan penting. Tidak saja kedudukan dari para pihak perlu diperhatikan, tetapi juga kedudukan dari pihak ketiga, baik pihak ketiga langsung (seperti pihak yang dijamin dalam hipotek atau kreditur) dan pihak ketiga dalam artian umum. Hak milik merupakan hak absolut dan memerlukan perlakukan yang memberikan keadilan bagi setiap orang, tidak hanya kepada pihak yang memasukkan pertanyaan mengenai hak milik kepada pengadilan dan meminta penyelesaian yang beralasan dan adil bagi mereka. Lihat pertimbangan serupa lainnya pada 4.8 (mengenai spesifikasi). Penjelasan lainnya adalah bahwa dalam banyak sengketa hak milik harta kekayaan,
Professor Henk Snijders 101
the law of obligations may alleviate the pain substantially, for instance through an action arising from an unlawful act (art. 6:162 CC), or an action arising from unjustified enrichment (art. 6:212 CC).
para pihak memiliki kepentingan yang bisa dijustifikasi dalam mencari penyelesaian untuk kepentingan mereka masing-masing. Kita harus mempertimbangkan bahwa hukum perikatan dapat mengatasi sebagian dari masalah tersebut, contohnya melalui tuntutan yang timbul akibat perbuatan melawan hukum (pasal 6;162 KUHPdt), atau tuntutan yang timbul karena unjustified enrichment (pasal 6:212 KUHPdt).
5.2 Transferability
5.2 Dapat dialihkan
Article 3:83 para. 1 CC states that ownership, dismembered (limited) rights and claims are transferable, unless this is precluded by law or by the nature of the right. Article 3:83 para. 2 CC forms an exception to the transferability of claims in case obligor and obligee have so agreed. Article 3:83 para. 3 CC states that other rights are not transferable except if so provided by law.
Pasal 3:83 paragraf 1 KUHPdt menyatakan bahwa kepemilikan, hak terpisah (terbatas) dan tuntutan dapat beralih, kecuali dikecualikan oleh undang-undang atau dikecualikan karena sifat dari haknya itu sendiri. Pasal 3:83 paragraf 2 KUHPdt merupakan pengecualian dari dapat beralihnya sebuah tuntutan dalam hal pemberi kewajiban dan penerima kewajiban telah menyepakatinya. Pasal 3:83 paragraf 3 KUHPdt menyatakan bahwa hak lainnya tidak dapat dialihkan kecuali ditentukan sebaliknya oleh undang-undang. Dari sini bisa disimpulkan bahwa hanya benda dan hak (yaitu hak patrimonial; pasal 3:6 KUHPdt), yang berarti harta kekayaan, yang dapat dialihkan. Benda lainnya seperti bagian dari udara yang tidak diindividualisasi tetap tidak dapat dialihkan. Hanya harta kekayaan yang juga dapat memperoleh hak terbatas (pasal 3:98 jo. pasal 3:83 KUHPdt; lihat juga pasal 3:81 paragraf 1 KUHPdt). Benda dan hak terbatas dapat dialihkan, kecuali dikecualikan oleh undangundang atau oleh sifat dari hak itu sendiri.
From this it may be concluded first of all that only things and rights (i.e. patrimonial rights; art. 3:6 CC), which means property, are transferable. Other entities such as a piece of non-individualised air thus remain nontransferable. Only property is also capable of establishment of dismembered rights (art. 3:98 in conjunction with 3:83 CC; see also art. 3:81 para. 1 CC). Things and dismembered rights are transferable, unless this is precluded by law or by the nature of the right. A statutory
102 Netherlands Law of Property
exception is art. 3:226 para. 4 CC, which provides that the proprietary right of use and the right of habitation cannot be alineated or encumbered. An example of an exception based on the nature of the thing is not found easily. For instance, the sale and transfer of a pre-embryo to a third party (non-conceiver) may be null due to incompatibility with public order or good morals (art. 3:40 CC), but the question may be asked whether this is a thing. and if so, whether that incompatibility refers to the title only, or to the transferability as well.
As stated, the transferability of claims is not merely subjected to the same exceptions as apply to ownership and dismembered rights (art. 3:83 para. 1 CC), but also to the possibility of contractual nontransferability. Thus, many insurance policies exclude the transferability of insurance benefits in advance.
Pursuant to art. 3:83 para. 3 CC other rights than ownership, dismembered rights and claims are transferable only if and to the extent provided by law. The parliamentary history of art. 3:83 para. 3 CC does not show that, let alone why, the legislator would wish to limit the transferability of those other rights in comparison with the situation under the old Civil Code, when a similar provision was absent. Wherever practice requires the transferability of such rights, the court should meet this within the bounds of art. 3:83 para. 1 CC, as has been argued. For instance, the transferability has been accepted of a right to
Pengecualian adalah pada pasal 3:226 paragraf 4 KUHPdt, yang mengatur bahwa hak milik atas penggunaan dan hak untuk mendiami tidak dapat dipindahtangankan atau dibebankan. Contoh pengecualian berdasarkan sifat dari benda itu sendiri sebenarnya agak sulit ditemukan. Contohnya, penjualan dan pengalihan dari pre-embrio kepada pihak ketiga (bukan pengandung) adalah batal demi hukum karena tidak sesuai dengan tatanan masyarakat dan moral (pasal 3:40 KUHPdt), tetapi tetap saja bisa dipertanyakan apakah ini benda atau bukan, dan jika betul benda, apakah ketidaksesuaian ini mengacu hanya kepada haknya ataukah kepada dapat dialihkannya juga. Seperti telah disampaikan, dapat dialihkannya suatu tuntutan tidak hanya memiliki pengecualian yang sama dengan kepemilikan dan hak terbatas (pasal 3:83 paragraf 1 KUHPdt), tetapi juga kemungkinan tidak dapat dialihkan secara kontraktual (pasal 3:83 paragraf 1 KUHPdt). Maka, banyak polis asuransi yang mengecualikan pengalihan dari perlindungan asuransi. Menurut pasal 3:83 paragraf 3 KUHPdt hak lain selain kepemilikan, hak terbatas dan tuntutan hanya dapat dialihkan apabila dan sepanjang diatur oleh undangundang. Sejarah penyusunan dari pasal 3:82 paragraf 3 KUHPdt tidak menunjukkan bahwa, terlebih menjelaskan mengapa, para pembuat undang-undang ingin membatasi dapat dialihkannya hak-hak lain tersebut jika dibandingkan dengan situasi sebelumnya di bawah KUHPdt yang lama, dalam hal tidak adanya ketentuan serupa. Kapanpun dalam praktiknya membutuhkan dapat dialihkannya hak tersebut, pengadilan harus memenuhinya
Professor Henk Snijders 103
an unregistered trademark, even though the law does not provide for the transferability of such a trademark right. It is argued that, in spite of an explicit statutory provision, a right may be transferred notwithstanding if it is compatible with the system of the law and consistent with cases of transferability of rights that the law does provide for. However, this criterion does not always provide a clear guideline. It is still debated, for instance, to what extent publiclaw permits, in the absence of a clear statutory basis, are transferable.
dalam batasan pasal 3:83 paragraf 1 KUHPdt, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Contohnya, dapat dialihkannya telah diterima atas sebuah hak untuk melepas pendaftaran merek dagang, meskipun undang-undang tidak mengatur tentang dapat dialihkannya hak atas merk dagang tersebut. Disampaikan bahwa, meskipun ada ketentuan hukum yang eksplisit, suatu hak dapat dialihkan dengan tidak meninggalkan apakah hal itu sesuai atau tidak dengan sistem hukum dan konsisten dengan kasus pengalihan hak yang diatur oleh undang-undang. Namun, kriteria ini tidak selalu memberikan panduan yang jelas. Ini masihlah diperdebatkan, contohnya, sejauh mana hukum publik memperbolehkan, dalam hal tidak tersedianya dasar hukum yang jelas, bahwa hal yang demikian tersebut dapat dialihkan.
5.3 Valid title for transfer
5.3 Hak yang sah untuk pengalihan
Within the context of the requirements for transfer, the term ‘title’ refers to the legal basis underlying the transfer, particularly the delivery. Usually the title is a contractual obligation. It may also be an obligation arising from the law, for instance an obligation for transfer because of unjustified enrichment. One may also think of another legal fact serving as title, such as the specific legacy in a will, in which one or more things are bequeathed to a person.
Dalam konteks persyaratan untuk pengalihan, istilah ‘hak’ mengacu pada dasar hukum yang mendasari pengalihan, terutama penyerahan. Biasanya hak merupakan perikatan kontraktual. Bisa juga merupakan kewajiban yang timbul dari undang-undang, contohnya kewajiban untuk mengalihkan karena unjustified enrichment. Contoh lainnya dari fakta hukum yang juga berlaku seperti hak adalah peninggalan khusus dalam surat wasiat, di mana satu benda atau lebih diberikan kepada seseorang. Berlawanan dengan persyaratan lainnya untuk pengalihan, persyaratan mengenai hak sah secara hukum tidak memerlukan tindakan tergantung dari sifat harta kekayaan yang akan dialihkan tersebut.
In contrast to the other requirements for transfer, the requirement of a legally valid title does not call for a treatment depending on the nature of the property to be transferred. Relevant are the precision with which the
104 Netherlands Law of Property
property is described, the date on which the title was established and the nature of a possible lack of title, including for instance the nullity of a fiduciary title referred to in art. 3:84 para. 3 CC. \ Article 3:84 para. 2 CC provides that the property to be transferred with the title must be described ‘in a sufficiently precise manner’. Satisfactory is the determinability of the obligation as referred to in art. 6:227 CC, one of the legal grounds for a transfer. Individualisation is not a title requirement but a requirement for transfer.
The date of establishment of the title calls for special attention under current law. Indeed: in the event that several creditors have a personal right to the delivery of the same property, the rule of thumb is that in their mutual relationship the oldest right has preference, as art. 3:298 CC provides . The priority principle applies, in general, only to proprietary relationships, not to personal relationships. However, art. 3:298 CC introduces on a limited scale the priority principle for personal rights: the first right of delivery prevails. ‘On a limited scale’ for art. 3:21 CC, providing that the oldest proprietary right to registered property prevails, still has effect: if the debtor delivers to the creditor holding the youngest personal right, this does not impede the transfer of the delivered property. It is still conceivable that the creditor holding the oldest right then has an action arising from an unlawful act vis-à-vis the creditor holding the youngest right (art. 6:162 CC).
Yang juga terkait adalah ketepatan atas uraian dari benda tersebut, tanggal pada saat hak tersebut lahir dan sifat dari kemungkinan tidak adanya hak, termasuk contohnya pembatalan demi hukum dari hak fidusia yang dimaksud dalam pasal 3;84 paragraf 3 KUHPdt. Pasal 3:84 paragraf 2 KUHPdt mengatur bahwa harta kekayaan yang akan dialihkan dengan hak harus disebutkan ‘melalui tata cara yang cukup’. Pemenuhan hal ini merupakan penentu dari kewajiban yang dimaksud dalam pasal 6:227 KUHPdt, salah satu dasar hukum untuk pengalihan. Individualisasi bukan merupakan persyaratan hak tetapi merupakan persyaratan untuk pengalihan. Tanggal lahirnya hak memerlukan perhatian khusus di bawah undang-undang baru. Bahkan: dalam hal bahwa beberapa kreditur memiliki hak personal atas penyerahan dari harta kekayaan yang sama, aturan mainnya adalah bahwa dalam hubungan mereka, hak tertua memiliki keutamaan, sebagaimana diatur oleh pasal 3:289 KUHPdt. Prinsip keutamaan berlaku, pada umumnya, hanya untuk hubungan kepemilikan, bukan hubungan personal: hak penyerahan pertama yang berlaku. ‘Dalam skala terbatas’ dalam pasal 3:21 KUHPdt, mengatur bahwa hak milik tertua untuk mendaftarkan harta kekayaan yang berlaku, masih memiliki efek: jika debitur menyerahkan kepada kreditur yang memegang hak personal termuda, ini tidak menghalangi pengalihan dari harta kekayaan yang telah diserahkan. Masih bisa dianggap bahwa kreditur yang memegang hak tertua dengan demikian memiliki tuntutan yang timbul dari perbuatan melawan hukum visà-vis kreditur yang memegang hak termuda (pasal 6:162 KUHPdt).
Professor Henk Snijders 105
The requirement set in art. 3:84 para. 1 CC of a legally valid title for the transfer means that a transfer is invalid, if and to the extent that the title of that transfer is invalid at the time of delivery. Invalid are titles that are putative, otherwise non-existent, null from the commencement or annulled. That an invalid title results in an invalid transfer, is also called the causal system. This system is also used by Belgium, France, England and Wales; Germany, on the other hand, uses the abstract system. The choice of the causal system does not only have as a practical result that the original title-holder has a stronger position vis-à-vis other creditors of his opposing party thanks to his protection under property law in case he can invoke a putative or non-existent or invalid title. The application of the causal system also has a further effect in the following transfers, if the acquirer sells to a third party again, and so on. If a transfer is invalid, this meanwhile affects the power to dispose of the property of an acquirer intending to sell to a third party. These matters will be discussed further when we deal with the requirement of power to dispose of property, as will the protection of an acquirer against the absence of such power in his predecessor. The causal system is not only mitigated in its effect by provisions protecting against the absence of power to dispose of property of an acquirer who resells it, but also by a provision as in art. 3:53 para. 2 CC, which allows the judge to refuse to give effect to an annulment in whole or in part.
Persyaratan yang diatur dalam pasal 3:84 paragraf 1 KUHPdt mengenai hak sah secara hukum untuk pengalihan berarti bahwa suatu pengalihan tidaklah sah, jika dan sepanjang bahwa hak dari pengalihan tersebut tidak sah pada saat penyerahan. Tidak sah adalah hak yang putative, atau tidak ada, batal demi sejak dimulainya atau telah dimintakan pembatalan. Bahwa hak tidak sah dalam suatu pengalihan tidak sah, juga disebut dengan sistem kausal. Sistem ini juga digunakan di Belgia, Prancis, Inggris dan Wales; Jerman sebaliknya, menggunakan sistem abstrak. Pilihan atas sistem kausal tidak hanya karena alasan praktis bahwa pemegang hak yang asli memiliki kedudukan yang lebih kuat vis-à-vis kreditur lainnya dari pihak lawannya karena perlindungan yang diberikan di bawah hukum harta kekayaan dalam hal ia dihadapkan dengan hak putative atau nihil. Aplikasi dari sistem kausal ini juga memiliki dampak lebih lanjut dalam pengalihan berikutnya, apabila pihak yang memperoleh menjualnya lagi kepada pihak ketiga, dan seterusnya. Apabila pengalihan tersebut tidak sah, ini mempengaruhi kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan dari pihak yang memperoleh yang bermaksud untuk menjualnya kepada pihak ketiga. Masalah ini akan dibahas lebih lanjut bilamana kita berurusan dengan persyaratan untuk kuasa melepaskan harta kekayaan, dan juga perlindungan dari pihak yang memperoleh terhadap tidak adanya kuasa tersebut dari pemilik sebelumnya. Sistem kausal tidak saja dimitigasi dampaknya melalui ketentuan yang melindungi terhadap tidak adanya kuasa untuk melepas harta kekayaan dari pihak yang memperoleh yang menjualnya kembali, tetapi juga oleh ketentuan
106 Netherlands Law of Property
The said invalid titles may be categorised according to their proprietary effect, and according to the consideration whether this effect commences retroactively or not and these important dogmatic concepts ask for some explanation. The thesis that a fact has a proprietary effect means that this fact has consequences for the proprietary legal status of certain property. Thus, the proprietary effect of an invalid title means that this invalidity has proprietary consequences: the property transferred pursuant to the invalid title reverts to the seller ipso iure (by operation of law). Proprietary effect implies absolute effect: vis-à-vis third parties also the seller is (again) regarded as the title-holder. Given the proprietary effect the question arises whether or not the invalid title has this effect with retroactive force until the time of delivery: is the seller deemed to have always remained the titleholder or is he deemed to be title-holder again only from the moment when the invalidity of the title occurs?. It must be assumed that proprietary effect including proprietary effect with retroactive effect in general cannot be agreed in derogation of the law. The relevant statutory rules, given their proprietary implications, particularly with a view to the implicit protection of third parties, are of imperative law. Now, a short analysis of the respective
dalam pasal 3:53 paragraf 2 KUHPdt, yang memperbolehkan hakim untuk menolak permohonan pembatalan untuk sebagian atau keseluruhan. Hak yang tidak sah dimaksud di atas dapat dikategorikan menurut dampak kepemilikannya, dan menurut pertimbangan apakah dampak ini dimulai secara retroaktif atau tidak dan konsep dogmatis yang penting ini memerlukan beberapa penjelasan lebih lanjut. Thesis bahwa sebuah fakta memiliki dampak kepemilikan berarti bahwa fakta ini memiliki konsekuensi untuk status hak milik atas harta kekayaan tertentu. Maka, dampak kepemilikan atas hak yang tidak sah berarti bahwa ketidaksahan memiliki konsekuensi kepemilikan: harta kekayaan yang dialihkan berdasarkan hak yang tidak sah kembali kepada penjual ipso iure (secara hukum). Dampak kepemilikan memperlihatkan dampak absolut: vis-à-vis pihak ketiga dan juga penjualnya (kembali) dipandang sebagai pemegang hak. Melihat dampak kepemilikan timbul suatu pertanyaan apakah hak tidak sah memiliki dampak tersebut dengan kekuatan retroaktif hingga saat penyerahan: apakah penjual dianggap selalu menjadi pemegang hak atau ia dianggap sebagai pemegang hak kembali hanya pada saat ketidaksahan tersebut muncul? Harus dianggap bahwa efek kepemilikan termasuk efek kepemilikan dengan efek retroaktif pada umumnya tidak dapat disepakati dalam pengkhususan dari undang-undang. Aturan hukum terkait, melihat implikasi kepemilikannya, terutama dengan pandangan untuk melindungi pihak ketiga, adalah hukum imperatif. Sekarang,
Professor Henk Snijders 107
types of invalid titles can take place. The invalidity of an annulled title has proprietary effect with retroactive force – at least in principle (see art. 3:53 para. 1 CC). The buyer of a painting who, after the sale and delivery, finds out that it is not a Rembrandt but a Snijders can presumably annul it because of fraud (art. 3:44 CC) or error (art. 6:228 CC). This annulment has effect vis-à-vis every person, with retroactive effect until the time the purchase was made (art. 3:53 CC), barring exceptions. As a result of the effect of the causal system at the time of delivery, the transfer will therefore be annulled with retroactive effect as well. The seller is deemed to have always remained the title-holder.
For the invalidity of a null title – see esp. art. 3:40 ff. CC - the same picture may be sketched, for the sake of simplicity. Strictly speaking this is not correct, though: the effect of a null title is actually that no transfer is established at all, so that no transfer can be extinguished either. Proprietary effect but no retroactive force attaches to the fulfilment of a resolutory condition (art. 6:22 in conjunction with art. 3:84 para. 4 and 3:38 para. 2 CC); thus, this proprietary effect can, by way of exception, be realised by contract. Proprietary effect but no retroactive force also attaches to the right of revendication, i.e. the written declaration by the seller addressed to the buyer for the revendication of the thing sold (art. 7:39 CC).
analisis singkat mengenai macam hak tidak sah, dapat dibahas. Ketidaksahan dari hak yang dapat dibatalkan memiliki efek kepemilikan dengan kekuatan retroaktif – setidaknya secara prinsip (lihat pasal 3:53 paragraf 1 KUHPdt). Pembeli lukisan yang setelah dilakukannya penjualan dan penyerahan, menemukan bahwa lukisan tersebut bukan dilukis oleh Rembrandt tetapi oleh Snijders dapat membatalkannya dengan alasan penipuan (pasal 3:44 KUHPdt) atau kesalahan (pasal 6:228 KUHPdt). Pembatalan ini memiliki efek vis-à-vis setiap orang, dengan efek retroaktif hingga saat pembelian dilakukan (pasal 3:53 KUHPdt), dengan pengecualian. Sebagai hasil dari efek sistem kausal pada waktu penyerahan, pengalihannya menjadi batal dengan efek retroaktif pula. Penjual dianggap tetap sebagai pemegang hak. Untuk ketidaksahan dari hak yang batal demi hukum – lihat pasal 3:40 KUHPdt – efek dari hak yang batal demi hukum sebenarnya adalah tidak ada pengalihan yang lahir sama sekali, sehingga tidak ada pengalihan yang juga harus dihapuskan. Efek kepemilikan tetapi tanpa kekuatan retroaktif menempel pada terpenuhinya resolutary condition (pasal 6:22 jo. pasal 3:84 paragraf 4 dan 3:38 paragraf 2 KUHPdt); maka, efek kepemilikan ini dapat, melalui pengecualian, diwujudkan melalui kontrak. Efek kepemilikan tetapi tanpa kekuatan retroaktif juga menempel pada hak penuntutan kembali, contohnya pernyataan tertulis oleh penjual yang dialamatkan kepada pembeli untuk mengambil kembali barangbarang yang sudah dijual (pasal 7:39 KUHPdt).
108 Netherlands Law of Property
No proprietary effect and thereby no retroactive effect has the breach of contract (art. 6:265, 269 and 271), which may, especially in the event of insolvency and particularly of bankruptcy of the debtor, be disadvantageous to the creditor. The creditor should have covered himself, for instance through a reservation of title. He could also in good time have invoked the right of revendication just mentioned. The main practical meaning of the proprietary effect of a title lacking validity may be clear: it provides a proprietary weapon in case of the debtor’s insolvency. Retroactive effect has less but still some practical significance: retroactive effect may be of importance in the application of rules protecting the holder of the prior right, like art. 3:90 para. 2 CC, art. 3:97 para. 2 CC, art. 3:284 CC and 3:291 CC.
Tidak ada efek kepemilikan dan karenanya tidak ada efek retroaktif yang melanggar kontrak (pasal 6:265, 269 dan 271), yang dapat, terutama dalam hal kepailitan dan pailitnya debitur, menjadi tidak menguntungkan bagi kreditur. Kreditur harus melindungi dirinya, contohnya melalui reservasi hak. Dia juga dalam waktu yang tepat bisa menggunakan hak penuntutan kembali yang disebutkan sebelumnya. Arti praktis utama dari efek kepemilikan atas hak yang tidak memilik keabsahan mungkin jelas: menjadi senjata dalam hal debitur jatuh pailit. Efek retroaktif memiliki arti yang kurang penting tetapi tetap saja praktis: efek retroaktif bisa menjadi penting dalam melindungi pemegang hak sebelumnya, seperti pasal 3:90 paragraf 2 KUHPdt, pasal 3:97 paragraf 2 KUHPdt, pasal 3:284 KUHPdt dan 3:291 KUHPdt.
5.4 Valid delivery
5.4 Penyerahan sah
The delivery requirement may be separated into two partial requirements: the requirement of a proprietary agreement and the requirement of a delivery act, such as a factual handing over for instance. A proprietary agreement is (a) a bilateral or multilateral juristic act, based on a title, by an alienator and an acquirer, as a result of which (b) either right away, or in combination with a formality that may also be fulfilled outside the active cooperation of the not-interested party, (c) property is transferred or a proprietary right is created or extinguished (other than the obligatory agreement, which only obliges parties involved to transfer property).
Persyaratan penyerahan bisa dipisah menjadi dua: persyaratan adanya perjanjian kepemilikan dan persyaratan dari perbuatan penyerahan, seperti serah terima faktual misalnya. Perjanjian kepemilikan adalah (a) perbuatan yuridis atau multilateral, berdasarkan hak, oleh pemindahtangan atau pihak yang memperoleh (b) baik secara langsung, atau perpaduan dengan formalitas yang harus dipenuhi diluar pihak yang tidak memiliki kepentingan, (c) harta kekayaan dialihkan atau hak milik lahir atau berakhir (selain dari perjanjian perikatan, yang hanya mengikat pihak yang terkait dengan pengalihan dari harta kekayaan).
Professor Henk Snijders 109
In case of a traditio constituto possessorio, brevi manu or sine manu of a movable unregistered thing a separate delivery act is unnecessary, as the giving of possession is the only requirement for transfer in these cases. The proprietary agreement here implies the bilateral declaration referred to in art. 3:115 heading CC. The requirement of a proprietary agreement is not of excessive practical importance in a causal transfer system such as the one in the Netherlands. If a putative, nonexistent or otherwise invalid title obtains, this immediately affects the transfer. If, however, there are changes between the moment when the title was established and the moment when the proprietary agreement was concluded, then the requirement of a proprietary agreement may obtain practical relevance. One may think of legal incapacity commencing after the conclusion of a purchase but preceding the delivery. Upon the delivery the property to be transferred must be determined, which means individualised, if a transfer is to be realised. When discussing the requirements for the delivery act, below, we shall devote more attention to this.
Dalam hal traditio constituto possessorio, brevi manu atau sine manu dari benda bergerak tidak terdaftar, perbuatan penyerahan terpisah diperlukan, karena penyerahan penguasaan adalah satu-satunya pengalihan dalam hal ini. Perjanjian kepemilikan disini memuat pernyataan bilateral sebagaimana dimaksud dalam pasal 3:115 KUHPdt. Persyaratan dari perjanjian kepemilikan tidak memiliki kepentingan yang terlalu besar dalam sistem pengalihan kausal seperti yang ada di Belanda. Jika hak putative, tidak lahir atau tidak sah yang diperoleh, ini secara langsung mempengaruhi pengalihannya. Namun demikian jika ada perubahan antara saat ketika hak lahir dan saat perjanjian kepemilikan selesai, maka persyaratan dari perjanjian kepemilikan mungkin secara praktis relevan. Contohnya adalah ketidakcakapan hukum dimulai setelah penjualan selesai dilakukan tetapi masih dalam proses penyerahan/pengantaran. Pada saat penyerahan harta kekayaan yang akan dialihkan harus ditentukan, yang berarti individualisasi, bahwa pengalihan akan dilakukan. Dalam membahas persyaratan untuk perbuatan penyerahan, kita harus lebih memperhatikan hal ini.
The delivery of immovable property requires a complex of delivery acts: laying down the proprietary agreement in a notarial deed to be drawn up between the parties (the deed of transfer) followed by the entry of this deed of transfer in the public registers (art. 3:89 para. 1 CC). What applies to the delivery of immovable things, applies mutatis mutandis to the delivery of other registered property
Penyerahan dari harta kekayaan tidak bergerak memerlukan perbuatan penyerahan yang rumit: meletakkan perjanjian kepemilikan dalam akta notaris untuk disepakati oleh para pihak (akta pengalihan) diikuti dengan pendaftaran akta ini kepada kantor pendaftaran publik (pasal 3:89 paragraf 1 KUHPdt). Apa yang berlaku untuk penyerahan benda tidak bergerak, berlaku mutatis mutandis untuk penyerahan harta terdaftar lainnya (pasal
110 Netherlands Law of Property
(art. 3:89 para. 4 CC): registered vessels and aircraft, and shares in and dismembered rights on registered property. For those shares and dismembered rights this applies also pursuant to art. 3:96 CC respectively art. 3:98 CC. The deed of transfer should carefully state the title (i.e. the legal basis) of the transfer (art. 3:89 para. 2 CC). From the viewpoint of legislative history this requirement applies on pain of nullity, although that sanction does not need to be used when one or more provisions have been omitted. The entry in the public registers may be effected both by the alienator and by the acquirer (art. 3:89 para. 1, second sentence CC). Normal practice is that the civil-law notary who has executed the deed of transfer – who is usually called in by the acquirer; nevertheless the civil-law notary is an independent person – offers the deed for entry.
For a movable thing that is not registered property (to be designated for the sake of convenience as movable unregistered property), such as a car, a cargo of grain or office furniture, one can distinguish between the acquirer who does have control of the thing (art. 3:90 CC) and the alienator who has no control over it (art. 3:95 CC). The control of art. 3:90 CC is understood to mean direct or indirect detention or possession of a thing. An alienator who has been robbed has no control in the sense of art. 3:90 CC.
3:89 paragraf 4 KUHPdt): kapal dan pesawat udara terdaftar, dan saham/bagian dan hak atas harta terdaftar. Untuk bagian dan hak terbatas juga berlaku menurut pasal 3:92 KUHPdt dan pasal 3:98 KUHPdt. Akta pengalihan harus dengan seksama menyebutkan hak (dasar hukum) dari pengalihan (pasal 3:89 paragraf 2 KUHPdt). Dari sudut pandang sejarah undang-undang, persyaratan ini juga berlaku untuk kerugian atas batal demi hukum, meskipun sanksi tersebut tidak perlu digunakan ketika satu ketentuan atau lebih telah dilanggar. Pendaftaran dalam kantor pendaftaran publik dapat dilakukan baik oleh pemindahtangan dan pihak yang memperoleh (pasal 3:89 paragraf 1, kalimat kedua KUHPdt). Praktik normalnya adalah bahwa notaris hukum perdata yang telah mengeksekusi akta pengalihan – yang biasanya dipanggil oleh pihak yang memperoleh; walaupun demikian notaris hukum perdata tersebut adalah pihak yang independen – menawarkan akta untuk didaftarkan. Untuk benda bergerak yang bukan merupakan harta terdaftar (untuk kemudahan akan dimaksudkan sebagai harta bergerak tak terdaftar), seperti mobil, kargo yang berisi beras atau perabot kantor, kita dapat membedakan antara pihak yang memperoleh yang tidak memiliki kontrol atas benda tersebut (pasal 3:90 KUHPdt) dan pemindahtangan yang tidak memiliki kontrol atasnya (pasal 3:95 KUHPdt). Kontrol dalam pasal 3:90 KUHPdt dipahami sebagai penahanan langsung atau tidak langsung atau penguasaan atas benda. Seorang pemindahtangan yang telah dirampok
Professor Henk Snijders 111
The alienator/detentor and the alienator/ possessor deliver through giving possession (art. 3:90 para. 1 CC), i.e. giving the actual control to the acquirer by transmission of possession respectively the transfer of possession of the movable thing (see arts. 3:112-115 CC, on which see also 2.2). In both cases the giving of possession is constituted by the factual surrender, but the giving of possession through a bilateral declaration such as that of the traditio constituto possessorio is possible as well. Only the detentor cannot deliver constituto possessorio (art. 3:111 CC). In addition, the delivery constituto possessorio by a possessor is put into perspective vis-à-vis persons holding a prior right (art. 3:90 para. 2 CC). This is related to the lack of publicity inherent in this variant of giving possession.
Only if a movable unregistered thing is not under the control of the alienator, is the route of delivery of art. 3:95 CC, i.e. by means of a deed alone, permitted. The practical meaning of art. 3:95 CC obtains in particular for the owner who has been robbed, who is insured against theft: the insurer will have stipulated, only to pay the insured for the damage suffered upon transfer of the stolen thing.
The delivery of relative (personal) rights depends on the nature of the relative right involved. We distinguish between rights under
tidak memiliki kontrol dalam artian yang dimaksud dalam pasal 3:90 KUHPdt. Pemindahtangan/penahan dan pemindahtangan/penguasa menyerahkan dengan cara memberikan penguasaan (pasal 3:90 paragraf 1 KUHPdt), yaitu memberikan kontrol aktual kepada pihak yang memperoleh melalui pengalihan penguasaan dan pengalihan penguasaan dari benda bergerak (lihat pasal 3:112-115 KUHPdt, lihat juga 2.2). Dalam dua hal tersebut pemberian penguasaan lahir oleh penyerahan faktual, tetapi pemberian penguasaan melalui pernyataan bilateral seperti dalam the traditio constituto possessorio juga dimungkinkan. Hanya penahan yang tidak dapat menyerahkan secara constituto possessorio (pasal 3:111 KUHPdt). Sebagai tambahan, penyerahan constituto possessorio oleh penguasa dimasukkan ke dalam sudut pandang vis-à-vis orang yang memegang hak sebelumnya (pasal 3:90 paragraf 2 KUHPdt). Ini terkait dengan tidak adanya publisitas yang lahir dalam pemberian penguasaan ini. Hanya jika benda tidak terdaftar bergerak tidak berada dalam kontrol pemindahtangan (alienator), cara penyerahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3:95 KUHPdt, contohnya dengan hanya akta saja, diperbolehkan. Alasan praktis dari pasal 3:95 KUHPdt khususnya untuk pemilik yang dirampok, yang dilindungi asuransi dari pencurian: pemberi asuransi tentu mengatur, hanya membayarkan perlindungan untuk kerusakan yang timbul akibat peralihan dari benda yang dicuri Penyerahan atas hak relatif (personal) tergantung dari sifat dari hak relatif yang terkait. Kita membedakan antara hak dalam
112 Netherlands Law of Property
documents payable to order, rights under documents payable to bearer and personal rights to payment not to order or bearer. In many cases these are claims, but other relative rights, such as options, may be distinguished also. Below we shall discuss claims, although other relative rights are intended as well.
We speak of a claim payable to bearer or to order if it is stated on a bearer or order paper. Such a document contains a bearer respectively order clause. This clause includes the mention of the designation ‘to be paid to bearer’ respectively the designation ‘to be paid to B or order’. One may think of cheques or bills of lading. If a document cannot be interpreted as containing either clause, then we speak of a right to payment not to order or bearer.
In the event of the transfer of claims payable to order and bearer the debtor cannot, in view of their function as negotiable paper – these are a kind of pseudo-means of payment – invoke the same defences as he could vis-a-vis the original creditor. His position is decidedly worse than that of a debtor of a right to payment not to order or bearer. See arts. 6:130 CC and 146-148 CC. See also art. 6:144 CC.
The act of delivery for rights to bearer in the case that the bearer paper is under the control of the alienator is similar by its manner and consequences to that for movable unregistered property. See art. 3:93,
surat untuk dibayar kepada tertunjuk (order), hak dalam surat untuk dibayar atas-tunjuk (bearer) dan hak personal untuk pembayaran tidak kepada yang tertunjuk dan atas-tunjuk. Ini adalah pembedaan untuk tagihan, tetapi hak relatif lainnya, seperti opsi, juga dapat dibedakan. Di bawah ini kita akan membahas mengenai tagihan, meskipun hak relatif lainnya juga dimaksudkan didalamnya. Kita berbicara tentang tagihan yang harus dibayarkan kepada tertunjuk atau atastunjuk apabila disebutkan dalam suratnya. Surat dimaksud memuat klausa atas-tunjuk dan tertunjuk. Klausa ini mencakup penyebutan ‘untuk dibayarkan atas-tunjuk’ dan ‘untuk dibayarkan kepada B atau tertunjuk. Contoh yang dapat diberikan disini adalah cek atau surat wesel. Jika dokumen tersebut tidak dapat diinterpretasikan memuat kedua klausa tersebut, maka berarti kita berbicara hak atas pembayaran tidak atas-tunjuk ataupun kepada tertunjuk. Dalam hal pengalihan tagihan yang harus dibayarkan kepada tertunjuk atau atas-tunjuk maka debitur tidak dapat, jika dipandang dalam fungsinya sebagai surat berharga (semacam cara pembayaran) melahirkan perlindungan yang sama dengan yang ia dapat lakukan terhadap kreditur aslinya. Kedudukannya lebih buruk dibandingkan debitur dengan perintah pembayaran tidak kepada tertunjuk atau atas-tunjuk. Lihat pasal 6:130 KUHPdt dan 146-148 KUHPdt. Lihat juga pasal 6:144 KUHPdt. Perbuatan penyerahan hak kepada pemegang dalam hal surat atas-tunjuk berada di bawah kendali pemindahtangan adalah serupa antara tata cara dan konsekuensinya dengan harta tidak terdaftar bergerak. Lihat
Professor Henk Snijders 113
first sentence CC, which refers to arts. 3:90, 90 and 92 CC. The delivery thus consists of the giving of possession of the paper. See art. 3:90 para. 1 CC. In the event that the alienator does not have control over the bearer paper, but exclusively in this case, he can deliver the claim to bearer in the manner provided for claims not to bearer or order, i.e. through assignment. See art. 3:94 para. 1 CC, on which more will be said below.
The delivery of claims to order is precisely identical to that of claims to bearer with one addition: if the order paper is under the control of the alienator, then endorsement must take place in addition to the giving of possession. Endorsement is effected by the alienator writing the name of another creditor than himself on the back (en dos) of the paper to order. In the event that the alienator does not have control over the order paper, but exclusively in this case, he can deliver, again, the claim in the manner provided for claims not to bearer or order, i.e. through assignment, as indicated just before with regard to the claims to bearer. The delivery of claims not to order or bearer – assignment – is characterised by the following delivery: an appropriate instrument (non-notarial deed) – the so-called instrument of assignment - and notice thereof to the debtor of the claim (art. 3:94 para. 1 CC). The alienator of the claim is also designated as assignor, the acquirer as assignee and the debtor of the claim as (debitor) cessus (assigned debtor).
pasal 3:93, kalimat pertama KUHPdt, yang mengacu pada pasal 3:90, 91 dan 92 KUHPdt. Penyerahaanya dengan demikian terdiri dari pemberian penguasaan dari dokumen tersebut. Lihat pasal 3:90 paragraf 1 KUHPdt. Dalam hal pemindahtangan tidak memiliki kontrol atas surat atas-tunjuk, tetapi khusus dalam hal ini saja, ia dapat menyampaikan tagihan kepada pemegang melalui tata cara yang diatur untuk tagihan tidak atas-tunjuk maupun tertunjuk, seperti melalui penugasan. Lihat pasal 3:94 paragraf 1 KUHPdt, yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. Penyerahan tagihan kepada tertunjuk sangat identik dengan tagihan atastunjuk kecuali satu hal: dalam hal pemberian penguasaan. Endosemen diberlakukan oleh pemindahtangan dengan menuliskan nama dari kreditur lain selain dirinya di belakang (en dos) kertas surat tertunjuk. Dalam hal pemindahtangan tidak memiliki kontrol atas surat tersebut, tetapi khusus untuk keadaan ini saja, ia dapat menyerahkan, kembali, tagihan melalui tata cara yang diatur mengenai tagihan bukan tertunjuk maupun atas-tunjuk, yaitu melalui penugasan, sebagaimana dimaksud sebelumnya terkait dengan tagihan atas-tunjuk. Penyerahan tagihan bukan tertunjuk maupun atas-tunjuk – penugasan – dicirikan oleh penyerahan seperti berikut: instrumen yang sesuai (akta non-notarial) – yang disebut dengan instrumen penugasan – dan pemberitahuan atas hal tersebut kepada debitur dari tagihan tersebut (pasal 3:94 paragraf 1 KUHPdt). Alienator dari tagihan juga dimaksudkan sebagai pemberi tugas, orang yang memperoleh harta sebagai yang diberi tugas dan debitur dari tagihan sebagai (debitur cessus) (debitur yang ditugaskan).
114 Netherlands Law of Property
The instrument of assignment must state the claims to be transferred in a sufficiently precise manner. This is an application of the requirement of individualisation. Determinability in accordance with art. 3:84 para. 2 in conjunction with art. 6:227 CC is insufficient for the claim. Yet no stringent requirements are set for its precision. The names of the debtors of the assigned claims may also be stated in a computer list to which the instrument refers. By operation of law the assignment of a claim comprises many accessory rights (art. 6:142 ff. CC), also discussed in 1.3. Valid, too, is an assignment of a part of a divisible claim, such as a monetary claim. Apart from the public assignment just mentioned (art. 3:94 para. 1 CC; see also art. 3:94 paras. 2 and 4 CC), the law now also provides for the so-called undisclosed assignment (art. 3:94 para. 3 CC). For the undisclosed assignment the act of delivery required is an private instrument, but its notification to the debtor of the claim is not required. In the event of the undisclosed assignment this instrument must be an authentic one, so generally a notarial deed, or a non-authentic but still registered instrument (a registered non-notarial deed) (art. 3:94 para. 3 CC). The undisclosed assignment may be converted into a public assignment by still effectuating its notification. As long as no notification has taken place, the assignee is not protected against the assignor’s lack of absence of power to dispose of property (art. 3:94 para. 3, final sentence CC; art. 88 para. 1 CC mentioned there will be discussed presently).
Instrumen penugasan harus menyebutkan tagihan yang akan dialihkan dengan tata cara yang tepat dan sesuai. Ini merupakan pemberlakukan dari persyaratan individualisasi. Penentuan sesuai pasal 3:84 paragraf 2 jo. pasal 6:227 KUHPdt tidaklah cukup untuk klaim tersebut. Namun tidak ada persyaratan yang ketat yang mengatur hal tersebut secara tepat. Nama dari para debitur dari tagihan yang ditugaskan juga dapat disebutkan dalam daftar komputer yang digunakan oleh instrumen tersebut. Secara hukum tagihan penugasan (claim assigment) terdiri dari banyak hak asesoris (pasal 6:142 KUHPdt), lihat juga bagian 1.3. Sah juga, dalam penugasan untuk bagian klaim yang terbagi seperti tagihan moneter. Selain dari penugasan publik seperti yang telah disampaikan, (pasal 3:94 paragraf 1 KUHPdt; lihat juga pasal 3:94 paragraf 2 dan 4 KUHPdt), undang-undang saat ini juga mengatur mengenai apa yang disebut dengan penugasan tertutup (undisclsosed assigment) pasal 3:94 paragraf 3 KUHPdt). Untuk penugasan tertutup, perbuatan penyerahan memerlukan instrumen privat, namun pemberitahuan kepada debitur tidak diperlukan. Untuk penugasan instrumen tertutup instrumen ini harus asli, jadi pada umumnya merupakan akta notaris, atau instrumen yang tidak otentik tetapi terdaftar (akta notaris yang terdaftar) (pasal 3:94 paragraf 3 KUHPdt). Penugasan tertutup dapat dikonversikan menjadi penugasan publik. Sepanjang tidak ada pemberitahuan yang dikeluarkan, pihak yang ditugaskan tidak dilindungi terhadap tidak adanya kekuasaan dari pihak yang menugaskan untuk melepaskan harta kekayaan mereka (pasal 3:94 paragraf 3, kalimat terakhir KUHPdt; pasal 88 paragraf 1
Professor Henk Snijders 115
What has just been said about the assignment for collection also applies to factoring, notably to the extent that it is framed as an assignment for collection.
KUHPdt yang disebutkan disana akan dibahas saat ini). Pasal 3:94 paragraf 3 KUHPdt memberikan kepada orang yang haknya akan digunakan, sebuah hak untuk dokumentasi. Ia dapat meminta salinan, yang disahkan oleh pemindahtangan. Ini tampak seperti fasilitas untuk debitur yang ditugaskan. Jika ia membayar tanpa penundaan kepada siapapun yang akan memegang perjanjian penugasan kepemilikan, di mana tagihannya diduga telah dialihkan kepada orang tersebut, ia tidak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam hal perjanjian semacam itu dan oleh karenanya pengalihannya menjadi tidak ada (pasal 6:34 KUHPdt). Dalam praktiknya sebuah konsep hukum digunakan, yang disebut dengan penugasan ‘untuk pemungutan’. Contohnya, A ‘menugaskan’ debiturnya untuk menggunakan banknya bank B, dengan niat sepihak bahwa B harus memungut tagihan terhadap para debitur tersebut. Pertanyaan kemudian muncul mengenai apakah tagihan yang ditugaskan untuk dipungut sebenarnya beralih kepada B atau apakah tagihan tersebut tetap dipandang sebagai patrimonial A. Ini adalah masalah interpretasi dari perjanjian terkait dalam sorotan larangan fidusia dari pasal 3:84 paragraf 3 KUHPdt. Kriterianya kemudian menjadi apakah hal itu (juga) dimaksudkan untuk mengalihkan tagihan menjadi patrimonial B. Dengan apa yang telah disampaikan mengenai penugasan untuk penagihan, juga berlaku untuk factoring, terutama sepanjang diletakkan dalam penugasan untuk penagihan.
An independent, dismembered (limited) right is in principle delivered in the
Hak yang berdiri sendiri (independent rights), hak terpisah (terbatas) secara prinsip
Article 3:94 para. 3 CC gives the person against whom the right is to be exercised a right of documentation. He can demand that he be given an extract, certified by the alienator, of the instrument and its title. This may look like a facility for the assigned debtor. If he pays without any further ado to any person who holds up the prospect of a proprietary assignment agreement, whereby the claim is allegedly transferred to that person, he is not protected by the legislator in case such an agreement and thus the transfer should be absent (art. 6:34 CC). In practice a legal concept is used which is called assignment ‘for collection’. For instance, A ‘assigns’ his trade debtors to his bank B, with the sole intention that B should collect the claims against those debtors. The question then arises whether the claim assigned for collection actually passes to B or whether it continues to be regarded as A’s patrimony. This is a matter of interpretation of the relevant agreement in the light of the fiducia prohibition of art. 3:84 para. 3 CC. The criterion then is whether it was (also) intended to actually make claims pass into B’s patrimony.
116 Netherlands Law of Property
same manner as the property on which the right is established. See the important special provision art. 3:98 CC, which declares the other provisions of section 3.4.2 CC relating to the transfer of property, ‘unless otherwise provided by law’, applicable mutatis mutandis to the establishment, transfer and abandonment of dismembered rights. See also art. 3:89 para. 4 CC for independent, dismembered rights to registered property (which themselves are registered property also).
diserahkan dalam tata cara yang sama dengan harta kekayaan atas mana suatu hak dilahirkan. Lihat pengaturan khusus pada pasal 3:98 KUHPdt, yang menyatakan ketentuan lainnya pada bagian 3.4.2 KUHPdt terkait dengan pengalihan harta kekayaan, ‘kecuali dinyatakan sebaliknya oleh undang-undang’, berlaku mutatis mutandis terhadap lahirnya, pengalihan, dan penghirauan dari hak terbatas. Lihat juga pasal 3:89 paragraf 4 KUHPdt untuk hak berdiri sendiri, hak terbatas atas harta terdaftar. (yang juga merupakan harta kekayaan terdaftar).
In general, dependent rights such as the servitude, the right to a thing held in coownership in the sense of art. 5:60 CC and the right to superficies which may have been made dependent, hypothec (mortgage) pledge and suretyship cannot, given their dependent nature, be delivered independently. In general they pass by operation of law to the acquirer of a property with which the dependent right is attached.
Secara umum, hak yang tidak berdiri sendiri (dependent rights) seperti pengabdian, hak atas benda yang dipegang dalam kepemilikan bersama dalam arti pasal 5:60 KUHPdt dan hak guna bangunan yang mungkin merupakan hak tidak berdiri sendiri, hipotek (jaminan), gadai dan kesanggupan tidak dapat, mengingat sifatnya, dialihkan secara independen. Secara umum ia dialihkan melalui prosedur hukum untuk memperoleh harta kekayaan di mana hak tidak berdiri sendiri itu menempel. Harta kekayaan lainnya – yang tidak dibahas di atas dan mengandung pengecualian dalam peraturan lainnya di luar dari peraturan KUHPdt mengenai hukum harta kekayaan umum – diserahkan dengan menggunakan instrumen lainnya (akta notaris atau bukan akta notaris), sebagaimana yang diatur dalam pasal 3:95 KUHPdt, di mana peraturannya telah dibahas yaitu untuk pengalihan harta kekayaan tak terdaftar bergerak yang tidak dibawah kontrol pemindahtangan. Untuk saham/bagian dari harta kekayaan, ketentuan yang sama berlaku seperti penyerahan untuk harta kekayaan dimaksud
All other property – that not discussed above and barring exceptions in other rulings than the CC ruling on general property law – is delivered by an appropriate instrument (non-notarial or notarial deed), as may be derived from art. 3:95 CC, which provision was already described for the transfer of movable unregistered property not under the control of the alienator.
For shares in property the same provisions apply as for the delivery of such property (art. 3:96 CC; see also art. 3:89 para.
Professor Henk Snijders 117
4 CC for shares in registered property, which are registered property themselves also). Apartment rights, in their capacity as shares in registered property (art. 5:106 para. 3 CC), may be delivered as independent registered property (art. 5:117 para. 1 CC).
(pasal 3:96 KUHPdt; lihat juga pasal 3:89 paragraf 4 KUHPdt untuk bagian dari harta kekayaan terdaftar, yang dengan sendirinya tentunya merupakan harta kekayaan juga). Hak apartemen, dalam kapasitasnya sebagai bagian dari harta kekayaan terdaftar (pasal 5:106 paragraf 3 KUHPdt), dapat diserahkan sebagaimana harta kekayaan yang berdiri sendiri (pasal 5:117 paragraf 1 KUHPdt).
5.5 Power to dispose of property
5.5 Kekuasaan kekayaan
By the term ‘power to dispose of property’, the law of property means the power to alienate or encumber property. In principle the power to dispose of property accrues to the title-holder to the property: the owner of a thing, the creditor of a claim or the person entitled to a dismembered right. Generally speaking, the power to encumber is governed by the same rules as the power to alienate (art. 3:98 CC).
Melalui istilah ‘kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan’, maksud dari hukum harta kekayaan adalah kekuasaan untuk memindahkan atau membebankan harta kekayaan. Secara prinsip kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan berada pada pemegang hak dari harta tersebut: pemilik dari benda, kreditur sebuah tagihan atau orang yang berhak atas hak terbatas. Secara umum, kekuasaan untuk membebankan diatur oleh peraturan yang sama dengan kekuasaan untuk memindahtangankan (pasal 3:98 KUHPdt). Kekuasaan seseorang untuk melepaskan harta kekayaan hilang karena kepailitan (pasal 23 UU Kepailitan) dan kadangkala melalui perkawinan dan perintah yudisial (pasal 1:90-91 KUHPdt: administrasi dalam ketentuan ini mencakup pelepasan kepemilikan). Kuasa untuk melepaskan harta kekayaan lebih lanjut dapat dikecualikan atau dibatasi oleh amanat (pasal 7:423 KUHPdt) atau perjanjian serupa (pasal 7:424 jo. 423 KUHPdt).
A person’s power to dispose of property is removed through bankruptcy (art. 23 Bankruptcy Act) and sometimes even through marriage and consecutive judicial regulation (arts. 1:90-91 CC: administration in those provisions comprises proprietary disposal). Power to dispose of property may further be excluded or limited by a mandate (art. 7:423 CC) or a similar agreement (art. 7:424 in conjunction with 423 CC).
untuk
melepaskan
harta
118 Netherlands Law of Property
Power to dispose of property is further limited by attachment, in the sense that disposal by the title-holder after attachment does not concern the attacher and that the latter, with due regard for statutory limitations, himself has acquired this power to dispose (as provided specifically in arts. 453a, 475h, 505, 712, 720 and 726 Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Code of Civil Procedure, hereinafter referred to as CCP).
Power to dispose of property may also be restricted in the sense that sometimes the title-holder only has this power with the cooperation of another person, as in suspension of payment (art. 228 Bankruptcy Act), administration order for adults (art. 1:438 para. 2 CC) and the community (art. 3:170 CC). Title-holders of whom the full right is encumbered with a dismembered (limited) right or made dependent on a resolutory or suspensive condition have this power to dispose only subject to these limitations respectively conditions. The owner who has granted a usufruct on his property only has power to dispose of it with respect to the ‘bare’ ownership (i.e. the ownership that remains apart from the right of usufruct). An owner’s power to dispose of his claim who has himself acquired this claim under resolutory conditions is limited to the extent that he is only authorised to transfer the claim to third parties under the same condition or under a less far-reaching condition. The requirement of power to dispose of property may still be best described
Kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan lebih lanjut dibatasi oleh perlekatan, dalam arti pelepasan oleh pemegang hak setelah perlekatan tidak menyangkut pihak yang melakukan perlekatan dan yang demikian, dengan melihat pembatasan hukum, ia sendiri telah memperoleh kekuasaan untuk melepaskan (sebagaimana diatur secara khusus dalam pasal 453a, 475h, 505, 712, 720 dan 726 Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata, untuk selanjutnya disebut dengan KUHAPdt). Kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan dapat juga dibatasi dalam arti bahwa terkadang pemegang hak hanya memiliki kekuasaan ini bersama-sama dengan orang lain, seperti dalam hal penundaan pembayaran (pasal 228 UU Kepailitan), tata administrasi untuk dewasa (pasal 1:438 paragraf 2 KUHPdt) dan komunitas (pasal 3:170 KUHPdt). Pemegang hak kepada siapa hak penuh dibebankan dengan hak terpisah (terbatas) atau menjadi hak tidak berdiri sendiri atas kondisi suspensif, memiliki kekuasaan untuk melepaskan hanya terkait dengan batasan dari kondisi tersebut. Pemilik yang telah memberikan hak pakai atas hartanya hanya memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta tersebut terkait dengan ‘bare’ ownership (yaitu kepemilikan yang tetap terpisah dari hak pakai). Kekuasaan dari pemilik untuk melepaskan tagihannya yang telah diperolehnya sendiri tagihan tersebut di bawah resolutary condition dibatasi sepanjang bahwa ia hanya berwenang untuk mengalihkan tagihan kepada pihak ketiga dalam kondisi yang sama atau kurang. Persyaratan dari kuasa untuk melepaskan harta kekayaan masih dapat
Professor Henk Snijders 119
by referring to the Latin adage ‘Nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse haberet’ (No one can transfer more right to another than he has himself). The legislator has considerably eroded this ‘nemo-plus’ rule for the protection of third parties-acquirers in good faith: in principle it is correct that a person lacking power to dispose cannot alienate and encumber, but under certain circumstances the law nevertheless appears to accept as valid alienation and encumbrance if the power to dispose of the property is lacking. The person who acquires from such a third party-acquirer in good faith through transfer does acquire as if he got from a person authorised to act thus. In this way, some protection against the absence of power to dispose of property has been given in Netherlands law and this subject asks for more attention now.
dengan baik dijelaskan oleh kalimat dalam bahasa Latin ‘Nemo plus iuris ad alium transferre potest quam ipse haberet’ (tidak ada seorangpun mengalihkan hak kepada orang lain melebihi dari hak yang ia miliki). Pembuat undang-undang telah meninggalkan aturan ‘nemo-plus’ ini untuk perlindungan pihak ketiga yang memperoleh dengan itikad baik: secara prinsip betul bahwa orang yang tidak memiliki kuasa untuk melepaskan tidak dapat memindahtangankan, tetapi dibawah keadaan tertentu undang-undang tampaknya tetap menerima sebagai pemindahtanganan yang sah jika kuasa untuk melepaskan harta kekayaan tidak ada. Orang yang memperoleh dari pihak ketiga dengan itikad baik melalui pengalihan tidak memperoleh seperti dari orang yang berwenang untuk melakukan perbuatan tersebut. Dengan demikian, beberapa perlindungan terhadap tidak adanya kuasa untuk melepaskan harta kekayaan telah diatur dalam UU Belanda dan ternyata memerlukan perhatian lebih lanjut.
One may distinguish, depending on the nature of the property to be transferred, not with respect to the requirement of power to dispose of property itself, but with respect to the exceptions to this requirement. The exceptions are prompted by the need for protection of third parties in good faith. Firstly, arts. 3:86-88 CC are relevant, which are specifically intended to protect third parties against a transferring predecessor who lacks the right to dispose of property.
Kita dapat membedakan, tergantung dari sifat harta kekayaan yang akan dialihkan, tidak terkait dengan persyaratan kuasa untuk melepaskan harta kekayaan itu sendiri, tetapi dengan pengecualian dari persyaratan ini. Pengecualian ini dimunculkan karena adanya kebutuhan untuk melindungi pihak ketiga dengan itikad baik. Pertama-tama, pasal 3:8688 KUHPdt, yang secara spesifik dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga terhadap pengalihan dari pemilik sebelumnya yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan.
120 Netherlands Law of Property
Article 3:86 CC (with its appendix in art. 3:87 CC) only concerns the acquisition, delivered through the giving of possession, of movable unregistered property and rights payable to bearer and order.
Article 3:88 concerns the acquisition of the same property, but delivered by means of an instrument in accordance with art. 3:95 CC. Further – and this is of particular relevance – art. 3:88 CC concerns the acquisition of other property, particularly registered property and rights to payment not to order or bearer.
In addition, various provisions for protecting third parties obtain, which have a broader scope than relaxing the requirement of the right to dispose of property in connection with transfer and which may (therefore) also support persons who have acquired from persons lacking the right to dispose of property. Reference may be made in particular to: - art. 3:13 CC regarding the abuse of a right, art. 3:36 CC, which protects the third party from disadvantage through appearance created, - art. 1:92 para. 1 CC, which protects against the absence of power in a married person, - art. 1:439 para. 2 CC, which protects third parties against the absence of power in adults placed under an administration order, - art. 7:423 CC, which protects against the ‘robbing’
Pasal 3:86 KUHPdt (dan lampirannya dalam pasal 3:87 KUHPdt) hanya memperhatikan perolehan/akuisisi, diserahkan melalui pemberian pengusaan dari harta kekayaan tidak terdaftar bergerak dan hak yang harus dibayarkan atas-tunjuk atau tertunjuk. Pasal 3:88 memperhatikan akuisisi dari harta kekayaan yang sama, tetapi diserahkan menggunakan instrumen sesuai dengan pasal 3:95 KUHPdt. Lebih lanjut – dan ini sangat berkaitan – pasal 3:88 KUHPdt yang memperhatikan mengenai akuisisi harta kekayaan, terutama harta kekayaan terdaftar dan hak yang harus dibayarkan kepada atastunjuk atau tertunjuk. Sebagai tambahan, berbagai pengaturan untuk melindungi pihak ketiga, yang memiliki lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan persyaratan untuk hak melepas harta kekayaan terkait dengan pengalihan dan yang dapat juga membantu orang-orang yang telah memperoleh dari orang yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan. Beberapa acuan yang dapat dilihat: - Pasal 3:13 KUHPdt mengenai penyalahgunaan hak, pasal 3:36 KUHPdt, yang melindungi pihak ketiga dari kerugian melalui kesan yang dibuat, - Pasal 1:92 paragraf 1 KUHPdt, yang melindungi terhadap tidak adanya kuasa bagi orang yang berada dalam perkawinan - pasal 1:439 paragraf 2 KUHPdt, yang melindungi pihak ketiga terhadap tidak adanya kuasa pada orang
Professor Henk Snijders 121
-
-
-
-
-
representative authority of the mandatary, art. 7:424 in conjunction with 423 CC, which protects against the absence of power of a beneficiary within the context of a foreign trust governed by the Hague Trusts Convention, arts. 3:24-27 CC, which provide protection of registration (on which 1.8 above), art. 3:45 CC, which protects against the actio pauliana (fraudulent preference), art. 3:58 para. 1 CC, which provides for the possibility of ratification of an initially invalid transfer on account of the alienator’s absence of power to dispose of property, and art. 7:42 CC, which forms an exception to the right of revendication in case the thing sold has, otherwise than by gratuitous title, been alienated through giving possession to a third person in good faith.
Outside the Civil Code one also sees provisions protecting people against other persons lacking the right to dispose of property, such as art. 453 (a), 475 (h), and 505 CCP.
dewasa yang diletakkan di bawah perintah administrasi, - pasal 7:423 KUHPdt, yang melindungi terhadap ‘perampasan’ perwakilan yang berwenang melalui mandat, - pasal 7:424 jo. pasal 423 KUHPdt, yang melindungi terhadap tidak adanya kuasa dari penerima keuntungan dalam konteks foreign trust yang diatur dalam Hague Trust Convention, - pasal 3:24-27 KUHPdt, yang memberikan perlindungan terhadap pendaftaran (dalam 1.8 di atas), - pasal 3:45 KUHPdt, yang melindungi terhadap actio pauliana (penipuan), - pasal 3:58 paragraf 1 KUHPdt, yang memberikan kemungkinan untuk ratifikasi dari pengalihan awal yang tidak sah atas tidak adanya kuasa dari pemindahtangan untuk melepaskan hak, dan - pasal 7:42 KUHPdt, yang memberikan pengecualian atas hak penuntutan kembali dalam hal benda yang dijual sudah, dipindahtangankan melalui pemberian penguasaan kepada pihak ketiga dengan itikad baik. Di luar KUHPdt terdapat juga pengaturan yang melindungi orang terhadap orang lain yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan, seperti pasal 453 (a), 475 (h), dan 505 KUHD.
122 Netherlands Law of Property
Many cases in practice will involve the protection of the third party-possessor in good faith without this person’s need to invoke transfer and protection of third parties against persons lacking the right to dispose of property (art. 3:84 in conjunction with 8688 CC), notably on the basis of acquisitive prescription (on which see 4.2).
Seringkali dalam praktiknya ada perlindungan dari penguasa pihak ketiga dengan itikad baik tanpa perlu melakukan pengalihan dan perlindungan pihak ketiga terhadap orang yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan (pasal 3:84 jo. 8688 KUHPdt), terutama berdasarkan prescription akuisitif (lihat 4.2).
5.6 Special transfers
5.6 Pengalihan khusus
Now we shall briefly discuss some special transfers: the conditional transfer, the transfer subject to reservation of title, the transfer of future property, the transfer subject to a time limit and time-sharing, the transfer through an agent of the acquirer and the transfer through an agent of the alienator.
Sekarang kita akan bahas secara singkat beberapa pengalihan khusus: pengalihan bersyarat, pengalihan yang bergantung kepada hak reservasi, pengalihan harta kekayaan masa mendatang, pengalihan yang bergantung pada batasnya waktu dan pembagian waktu, pengalihan melalui agen dari pihak yang memperoleh dan pengalihan melalui agen dari pemindahtangan. Dalam konsep hukum dari pengalihan bersyarat, istilah ‘bersyarat’ (conditional) memiliki arti yang sama dengan pasal 6:21 KUHPdt; syaratnya, secara ringkas, adalah kejadian di masa mendatang yang masih belum pasti apakah akan ada atau tidak. Dalam hal suspensive condition efek hukumnya (pengalihannya) hapus karena terjadinya kejadian yang tidak pasti tersebut. Sebagai catatan, pasal 3:38 memang dan diharuskan, untuk hal tersebut, adanya perbuatan yuridis. Ini bukan merupakan perbuatan yuridis di mana seseorang diwajibkan melakukan dipersyaratkan – sebaliknya, ini berarti tidak dipersyaratkan – tetapi efek dari tindakan hukum itu yang bergantung dari terjadinya suatu keadaan tertentu.
In the legal concept of the conditional transfer, the term ‘conditional’ has the same meaning as in art. 6:21 CC: the condition, succinctly put, is a future event of which it is uncertain whether it will occur. In case of the suspensive condition the legal effect (in our case the transfer) commences upon the occurrence of the uncertain event; conversely, in case of the resolutory condition the legal effect (transfer) is extinguished upon the occurrence of the uncertain event. For the record, it is added that one is actually cutting corners when speaking – as art. 3:38 does and as is customary, for that matter – of conditional juridical acts. It is not the juridical act whereby a person undertakes a certain obligation that is conditional – on the contrary, this is unconditional - but it is only the effect of that juridical act which depends
Professor Henk Snijders 123
on the commencement of a condition. Both the title-holder under suspensive condition and the title-holder under resolutory condition can alienate or encumber their right only conditionally (barring protection against unconditional lack of a right to dispose of property). Pursuant to arts. 3:38 in conjunction with 3:84 para. 4 CC all property may in principle be transferred subject to conditions. Exceptions may occur pursuant to the law or the nature of the juridical act, according to art. 3:38 para. 1 CC. It must be noted that the commencement of the future uncertain event only has a proprietary effect if all other requirements for transfer have been satisfied. The delivery in the performance of an obligation to transfer under suspensive condition of a movable unregistered thing that is under the alienator’s control, is governed by a special rule pursuant to art. 3:91 CC: in derogation of art. 3:90 CC it is sufficient to give the acquirer control over the thing without possession. This means that all control over the thing, except for the pretension of ownership, is transmitted. The act of delivery to give that power therefore consists of the actual handing over of the thing. The delivery is immediately completed through the giving of control to the acquirer, so that it is no longer relevant whether the alienator still has the right to dispose of the thing upon the commencement of the condition (although the requirement continues that the alienator upon completion of the delivery, i.e. at the moment when the proprietary agreement has been concluded and the factual transmission
Baik pemegang hak dibawah suspensive condition dan pemegang hak dibawah resolutary condition dapat memindahtangankan atau membebankan hak mereka hanya secara bersyarat (memuat perlindungan terhadap tidak adanya hak untuk melepaskan harta kekayaan). Berdasarkan pasal 3:38 jo. 3:84 paragraf 4 KUHPdt seluruh harta kekayaan secara prinsip pengalihannya dapat digantungkan kepada suatu keadaan. Pengecualian dapat timbul berdasarkan undang-undang atau sifat dari perbuatan yuridis, berdasarkan pasal 3:38 paragraf 1 KUHPdt. Harus diingat bahwa dimulainya kejadian yang tidak pasti di masa mendatang hanya memiliki efek kepemilikan jika seluruh persyaratan untuk pengalihan telah dipenuhi. Penyerahan untuk memenuhi suatu perikatan untuk mengalihkan di bawah suspensive condition dari benda tidak terdaftar bergerak yang berada di bawah kontrol pemindahtangan, diatur oleh aturan khusus yaitu pasal 3:91 KUHPdt: pengkhususan dalam pasal 3:90 KUHPdt adalah cukup untuk memberikan pihak yang memperoleh hak, kontrol atas benda tanpa penguasaan. Ini berarti bahwa semua kontrol atas benda tersebut, kecuali untuk kepemilikan pretensi, dialihkan. Tindakan penyerahan untuk memberikan kuasa tersebut oleh karenanya terdiri dari penyerahan aktual dari benda tersebut. Penyerahan langsung selesai dengan pemberian kontrol kepada pihak yang memperoleh, sehingga tidak lagi relevan apakah pemindahtangan masih memiliki hak untuk melepaskan benda tersebut pada saat dimulainya keadaan (walaupun persyaratannya lebih lanjut menyatakan bahwa pemindahtangan pada saat selesainya penyerahan, yaitu pada
124 Netherlands Law of Property
has taken place, does have the right to dispose of the property). All of this entails that an alienation subject to reservation of title in the sense of transfer with delivery through the giving of control under suspensive condition of payment becomes unconditional straight away as a result of such payment, even if the alienator should no longer have the right to dispose of the property at the time of payment due to bankruptcy, for instance.
The fulfilment of a suspensive or resolutory condition does not have retroactive effect (art. 3:38 para. 2 CC). The alienator can also realise the transfer of future property through a conditional delivery, notably delivery under a suspensive condition of belonging or right to dispose thereof. In such a case we speak of a transfer in advance or an anticipatory transfer. In this context, too, it must always be considered that the passing of the right is not established until the fulfilment of the condition. Prior to this the property cannot even belong to the acquirer conditionally, as is inherent in the nature of future property. This is a substantial difference with the transfer under suspensive condition in general. Another difference between the transfer in advance of future property under suspensive condition of belonging and the other transfers under suspensive condition is related to this: the first-named concept, unlike the transfer under suspensive condition in general, assumes the alienator’s lack of power at the moment of delivery.
saat perjanjian kepemilikan telah selesai dilakukan dan perpindahan faktual telah terjadi, memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan). Semuanya ini berarti bahwa pemindahtanganan yang digantungkan pada reservasi dalam arti pengalihan dengan penyerahan melalui pemberian kontrol dibawah suspensive condition dari sebuah pembayaran langsung menjadi tidak bersyarat dikarenakan pembayaran tersebut, bahkan bila pemindahtangan tidak lagi memiliki hak untuk melepaskan harta pada saat pembayaran karena pailit, misalnya. Pemenuhan dari suspensive atau resolutary condition tidak memiliki efek retroaktif (pasal 3:38 paragraf 2 KUHPdt). Pemindahtangan juga dapat mewujudkan pengalihan dari harta kekayaan masa mendatang melalui penyerahan bersyarat, terutama penyerahan di bawah suspensive condition dari kepunyaan atau hak yang akan dilepaskan. Disini, kita berbicara mengenai pengalihan dimuka atau pengalihan antisipatif. Dalam konteks ini juga, harus dipertimbangkan bahwa perpindahan hak tidaklah terjadi sebelum dipenuhinya kondisi tersebut. Sebelum hal ini terjadi harta kekayaan ini tidak dapat dimiliki oleh pihak yang memperoleh secara bersyarat, sesuai juga dengan sifat dari harta kekayaan masa mendatang itu sendiri. Ini merupakan perbedaan mendasar dengan pengalihan di bawah suspensive condition secara umum. Perbedaan lainnya antara pengalihan dimuka dari harta kekayaan di masa mendatang di bawah suspensive condition dengan pengalihan lainnya di bawah suspensive condition: konsep yang pertama, tidak seperti pengalihan di bawah suspensive condition pada umumnya,
Professor Henk Snijders 125
The parties can treat the transfer of relatively future property – property that already exists but is not yet under the alienator’s control - as an ordinary unconditional transfer, if they wish, and thus abstain from delivery in advance. Whether such a transfer immediately establishes the transmission of the property to the acquirer, depends on the question whether the acquirer as a third party is protected against the alienator’s lack of the right to dispose of the property, on which see 5.5
If a suspensive condition is fulfilled at the moment when the alienator is declared bankrupt, the transfer does not become unconditional in the absence of the alienator lacking the right to dispose of the property. See art. 35 para. 2 Bankruptcy Act , which causes property delivered in advance that does not belong to the alienator until the moment when he is declared bankrupt, to come under the bankrupt’s estate. This conclusion may be drawn also on the basis of art. 3:84 para. 1 CC, which demands that the alienator who transfers future property in advance has the right to dispose of the property at the moment when the property belongs to him, which he does not have in case of bankruptcy under art. 23 Bankruptcy Act. Article 3:97 para. 1 CC contains certain restrictions for the transfer in advance: delivery of future property and of property which is prohibited to be the subject matter
menganggap tidak adanya kekuasaan dari pemindahtangan pada saat penyerahan. Para pihak dapat memperlakukan pengalihan dari harta kekayaan masa mendatang secara relatif – harta kekayaan yang sudah ada tetapi belum berada di bawah kontrol pemindahtangan – sebagai pengalihan tanpa syarat yang biasa, jika diinginkan, dan oleh karena itu abstain dari penyerahan dimuka. Apakah pengalihan tersebut secara serta merta melahirkan perpindahan harta kekayaan kepada pihak yang memperoleh, tergantung dari pertanyaan apakah pihak yang memperoleh sebagai pihak ketiga dilindungi terhadap tidak adanya hak dari pemindahtangan untuk melepaskan harta kekayaan, untuk itu lihat 5.5 Jika suspensive condition dipenuhi pada saat pemindahtangan dinyatakan pailit, pengalihan tersebut tidak menjadi tidak bersyarat dengan tidak adanya pemindahtangan yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan. Lihat pasal 35 paragraf 2 UU Kepailitan, yang menyebabkan harta kekayaan yang diserahkan dimuka tidak menjadi kepunyaan dari pemindahtangan hingga pada saat ia dinyatakan pailit. Kesimpulan ini juga dapat diambil berdasarkan pasal 3:84 paragraf 1 KUHPdt, yang menyatakan bahwa pemindahtangan yang mengalihkan harta kekayaan masa mendatang dimuka memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan pada saat ketika harta kekayaan tersebut menjadi miliknya, yang ia tidak miliki dalam hal ia pailit di bawah pasal 23 UU Kepailitan. Pasal 3:97 paragraf 1 KUHPdt memuat larangan tertentu untuk pengalihan dimuka: penyerahan harta kekayaan masa mendatang dan harta kekayaan yang tidak
126 Netherlands Law of Property
of a contract is excluded; so is the delivery in advance of registered property.
diperbolehkan untuk menjadi objek perjanjian dari kesepakatan yang dikecualikan; dan juga pengalihan dimuka dari harta kekayaan terdaftar.
Transfer subject to a (suspensive or resolutory) time-limit is impossible under the new Civil Code, as may be derived from art. 3:85, which derogates from art. 3:38 CC. Nonetheless the legislator does attach legal effect to an obligation to transfer subject to a suspensive or resolutory time-limit and a transfer based thereon. They are converted as laid down in art. 3:85 para. 1 respectively art. 3:85 para. 2 CC.
Pengalihan yang bergantung pada bataswaktu (suspensive atau resolutary) tidaklah dimungkinkan di bawah KUHPdt yang baru, seperti yang bisa dilihat dari pasal 3:58, yang merupakan pengkhususan dari pasal 3:38 KUHPdt. Namun demikian pembuat undangundang memang memberikan dampak hukum dalam perikatan untuk pengalihan bergantung pada bataswaktu suspensive atau resolutary dan pengalihannya kemudian. Hal ini dituangkan dalam pasal 3:85 paragraf 1 kemudian pasal 3:85 paragraf 2 KUHPdt. Pembagian waktu (time-sharing) dalam arti kepemilikan periodik/sementara tidak dikenal dalam UU Belanda. Konstruksi asing yang namanya mungkin dapat berarti kepemilikan periodik seringkali tidak dapat dilihat sebagai kepemilikan sementara juga. Karena itu, istilah Prancis multipropriété adalah hak personal. Pemegang bagian dari pembagian waktu bisa merupakan pemilik bersama, tetapi untuk masa yang sudah tidak tentu. Untuk masa tertentu ia memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan, yang dikecualikan dari sesama pemilik lainnya yang mendapatkan hak serupa untuk masa tertentu lainnya. Konstruksi ini juga dimungkinkan dalam UU Belanda.
Time-sharing in the sense of periodic/temporary ownership does not exist under Dutch law. Foreign constructions whose name may refer to periodic ownership often cannot be regarded as a form of temporary ownership either. Thus, the French multipropriété is a personal right. The time-shareholder may be a co-owner, but only for an indefinite period. For a specific period he acquires an exclusive right of use, to the exclusion of the other co-owners who get similar rights of use for other specific periods. Such a construction is also possible under Dutch law.
Transfer by means of an agent of the acquirer may take place through direct and indirect representation. Immediate or direct representation obtains, when someone acquires in the name of another person, while indirect representation
Pengalihan melalui agen dari pihak yang memperoleh dapat dilakukan dengan kuasa langsung ataupun tidak langsung. Kuasa serta merta atau langsung diperoleh, ketika seseorang memperoleh atas nama orang lain, sementara kuasa tidak langsung
Professor Henk Snijders 127
obtains only when someone acquires only for the benefit and at the expense of another person. In the latter case, the law of obligations does not speak of real representation. Under the law of property there still exists a certain representation. The property-law view is that the agent, despite acting in his own name, in case of delivery of the property bought by him, yet does not acquire from the alienator himself, but that acquisition is obtained directly by his principal. This is the so-called direct doctrine in the event of indirect representation as laid down in art. 3:110 CC. This direct acquisition by the principal in case of indirect representation also obtains in the event of direct representation if the requirements of art. 3:110 CC have been fulfilled.
Sofar it concerns representation for the acquirer, but representation for the alienator is also possible. What about the situation that an agent acts in the name of an alienator by representing him vis-à-vis a third party? In this immediate agency it is obvious that the alienation is made directly to the acquiring third party, even though the agent gets to retain the property. Do, however, see the requirement of art. 3:110 CC mutatis mutandis. The same may be argued for the indirect representation of the alienator.
diperoleh hanya ketika seseorang memperoleh untuk keuntungan dan atas pengeluaran dari orang lain. Untuk yang terakhir disebutkan, hukum perikatan tidak berbicara mengenai kuasa riil. Di bawah hukum harta kekayaan masih ada beberapa kuasa khusus. Hukum harta kekayaan memandang bahwa agen, meskipun bertindak atas nama dirinya sendiri, dalam hal penyerahan dari harta kekayaan yang ia beli, namun tidak memperolehnya dari pemindahtangan sendiri, tetapi akuisisi itu diperoleh secara langsung oleh kuasanya. Ini yang disebut dengan doktrin langsung dalam keadaan kuasa tak langsung sebagaimana diatur dalam pasal 3:110 KUHPdt. Akuisisi langsung oleh kuasa dalam keadaan kuasa tak langsung juga diperoleh dalam keadaan kuasa langsung jika persyaratan dari pasal 3:110 dipenuhi. Sejauh ini pembahasan yang ada menyangkut kuasa untuk pihak yang memperoleh, tetapi kuasa untuk pemindahtangan juga ternyata dimungkinkan. Bagaimana dengan situasi agen bertindak atas nama dari pemindahtangan yang mewakilinya vis-à-vis pihak ketiga? Dalam perantara langsung ini, tampak jelas bahwa pemindahtanganan dibentuk secara langsung untuk pihak ketiga yang memperoleh, meskipun perantara tersebut bisa menahan harta kekayaan. Lihat persyaratan pada pasal 3:110 KUHPdt mutatis mutandis. Hal yang sama bisa diperdebatkan untuk perwakilan tidak langsung dari pemindahtangan.
128 Netherlands Law of Property
6. DISMEMBERED RIGHTS
6. HAK TERBATAS
6.1 Introduction
6.1 Pengantar
The concept of dismembered (limited) right is described in art. 3:8 CC as one which is derived from a more comprehensive right encumbered with the dismembered right. The principal right is also called the parental right and the person entitled to the parental right is also called the principal entitled person. A parental right may be both a full right and a dismembered right. Thus, dismembered rights may exist in ‘the second degree’. An example is a hypothec (mortgage) on a right of emphyteusis which in turn is vested on the ownership of the land. Only independent and transferable rights may be parental rights (art. 3:81 para. 1 CC). If the dismembered right is extinguished, the principal right obtains its former status again.
Konsep dari hak terpisah (terbatas) diuraikan dalam pasal 3:8 KUHPdt sebagai suatu hak yang diperoleh dari hak yang lebih komprehensif yang dibebankan dengan hak terbatas. Hak prinsip juga dikenal dengan hak parental dan orang yang berhak atas hak parental juga disebut dengan orang yang berhak secara prinsip. Hak parental bisa saja merupakan hak penuh maupun hak terbatas. Oleh karena itu, hak terbatas dapat lahir dalam ‘derajat kedua’. Contohnya adalah hipotek (jaminan) atas hak guna yang pada gilirannya diletakkan pada kepemilikan tanah. Hanya hak yang dapat berdiri sendiri dan dapat dialihkan yang mungkin untuk hak parental (pasal 3:81 paragraf 1 KUHPdt). jika hak terbatas hapus, maka hak prinsip mendapatkan statusnya yang sediakala. Seperti yang telah disampaikan, pasal 3:98 KUHPdt adalah pasal yang sangat penting. Pasal ini menyebutkan bahwa secara prinsip ketentuan yang terkait dengan pengalihan harta kekayaan berlaku mutatis mutandis dengan lahirnya, pengalihan, dan pengacuhan dari hak terbatas. Melihat ketentuan khusus ini dan pertimbangan umum mengenai hak kepemilikan di atas, pembahasan mengenai hak terbatas diberikan secara singkat saja. Untuk penghapusan hak terbatas lihat pasal 3:81 paragraf 2 KUHPdt. Ketentuan hukum lainnya yang terkait dapat dilihat pada judul 3:8-9 dan 5.6-8 KUHPdt.
As stated, art. 3:98 CC is of paramount importance. It states that in principle the provisions relating to the transfer of property apply mutatis mutandis to the establishment, transfer and abandonment of a dismembered right. Having regard to this special provision and the general considerations about proprietary rights above, the treatment of dismembered rights can be brief here. See for the extinction of dismembered rights 3:81 para. 2 CC. The relevant legal provisions may be found in titles. 3:8-9 and 5.6-8 CC.
Professor Henk Snijders 129
6.2 Dismembered (limited) security rights
6.2 Hak jaminan terpisah (terbatas)
The dismembered security rights provided for in title 3.9 of the Civil Code are the rights of pledge and hypothec (mortgage). The reservation of title (art. 3:92 CC) was discussed above as a variant of ownership more than once. Dogmatically this approach is correct. When considering its function, one may, however, regard the reservation of title as a security right (a comprehensive description of the claims for which reservation of title may be stipulated is provided in art. 3:92 CC). Now we shall only devote some more attention to pledge and hypothec. Hypothec is a dismembered security right over registed property, pledge is a dismembered security right over other properties such as a movable things and debts (art.3:227 para. 1, second sentence). Pledge or hypothec can be established for an existing claim as well as a future claim (art. 3:231 para. 1, first sentence). It can be a claim against the grantor of the pledge or hypothec himself as well as a claim against another person (art. 3:231 para. 1, final sentence CC). As stated, pledge and hypothec are both dependent rights (art. 3:7 and art. 3:82 CC) and accessory rights (6:142 CC). This would mean that the security right is extinguished by operation of law upon the extinction of the secured claim, and that the security right by operation of law passes to the person who acquires the claim with which the security right is attached, as in the event of assignment or subrogation. However, the law knows exceptions to the dependent nature. Particularly pledge and hypothec may also be
Hak jaminan terpisah yang diuraikan dalam judul 3.9 KUHPdt adalah hak untuk gadai dan hipotek (jaminan). Reservasi hak (pasal 3:92 KUHPdt) telah dibahas di atas sebagai variasi dari kepemilikan lebih dari satu. Secara dogmatis, pendekatan ini benar. Ketika mempertimbangkan mengenai fungsinya, kita dapat, melihat reservasi dari hak sebagai hak jaminan (penjelasan komprehensif mengenai hak reservasi diuraikan dalam pasal 3:92 KUHPdt). sekarang, kita akan lebih fokus pada gadai dan hipotek. Hipotek adalah hak jaminan terbatas atas benda, gadai adalah hak jaminan terbatas atas harta kekayaan (pasal 3:227 paragraf 1, kalimat kedua). Gadai atau hipotek dapat lahir dari tagihan yang sudah ada maupun tagihan yang akan ada (pasal 3:231 paragraf 1, kalimat pertama). Ini dapat berupa tagihan terhadap pemberi gadai atau hipotek sendiri dan juga tagihan terhadap orang lain (pasal 3:231 paragraf 1, kalimat terakhir KUHPdt). Seperti yang telah disampaikan, gadai dan hipotek keduanya adalah hak yang tidak dapat berdiri sendiri (pasal 3:7 dan 3:82 KUHPdt) dan hak asesoris (6:142 KUHPdt). Ini berarti bahwa hak jaminan hapus secara hukum atas hapusnya tagihan, dan bahwa hak jaminan secara hukum beralih kepada orang yang memperoleh tagihan di mana hak jaminan itu melekat, seperti dalam hal penugasan atau subrogasi. Namun demikian, KUHPdt mengenal pengecualian dari sifat yang tidak dapat berdiri sendiri. Khususnya gadai dan
130 Netherlands Law of Property
established for future claims (art. 3:231 CC), like a right of pledge and hypothec for a claim arising from a loan agreement at the moment when the balance of the loan is still nil. An important legal effect that pledge and hypothec have in common, even though it has not been arranged in general provisions, may be described as the right of immediate execution. Articles 3:248 respectively 3:268 CC give pledgee respectively hypothecary creditor (mortgagee) the right, when the debtor is in default, to sell the pledged or encumbered property and to have recourse against the proceeds for what is owed to them. This is a right of sale without prior attachment and without the need for an enforceable title, such as a court order, or a notarial deed. The sale must take place in public, barring judicial permission for a private sale (art. 3:250 – 251 CC, resp. art. 3:268 CC); see also art. 3:254 CC). Pursuant to art. 57 para. 1 Bankruptcy Act, pledge and hypothec also have in common that they are unsusceptible to bankruptcy. The pledgee and hypothecary creditor are separatists, as discussed earlier: in principle they have nothing to do whatsoever with the bankruptcy; unlike other creditors they can if they like proceed to immediate execution and take recourse against the proceeds for what is owed to them. However, art. 63 (a) Bankruptcy Act may cause pledgee and hypothecary creditor temporarily not to enforce their rights to immediate execution. Of course it is also possible that the receiver fully settles the claim secured by pledge or hypothec, as a result of which the relevant security right is extinguished (art. 58 para. 2
hipotek dapat dilahirkan untuk tagihan yang baru akan ada di masa mendatang (pasal 3:231 KUHPdt), seperti hak gadai dan hipotek untuk sebuah tagihan yang muncul dari perjanjian gadai pada saat saldo pinjaman masih nihil. Dampak hukum dari gadai dan hipotek memiliki persamaan, walaupun hal itu tidak diatur dalam ketentuan umum, yaitu memiliki kekuatan untuk eksekusi langsung. Pasal 3:248 dan 3:268 KUHPdt memberikan kreditur gadai dan hipotek suatu hak, apabila debitur pailit, untuk menjual harta kekayaan gadai atau yang dibebani dan hak untuk menuntut kembali apa yang terhutang kepada mereka. Ini adalah hak untuk menjual tanpa pelekatan sebelumnya dan tanpa perlunya penegakkan untuk hak tersebut, seperti perintah pengadilan, atau akta notaris. Penjualan harus dilakukan dimuka publik, atau dengan ijin pengadilan untuk penjualan privat (pasal 3:250 – 251, pasal 3:268 KUHPdt); lihat juga pasal 3:254 KUHPdt). Sesuai dengan pasal 57 paragraf 1 UU Kepailitan, gadai dan hipotek juga memiliki persamaan bahwa mereka tidak rentan terhadap kepailitan. Kreditur gadai dan hipotek adalah pihak separatis, seperti yang didiskusikan sebelumnya; secara prinsip mereka tidak ada kaitannya sama sekali dengan dan tidak seperti kreditur lainnya, mereka dapat melakukan eksekusi langsung dan mengambil bagian yang menjadi hak mereka. Namun, pasal 63 (a) UU Kepailitan dapat membuat kreditur gadai dan hipotek sementara tidak dapat menegakkan haknya untuk eksekusi langsung. Tentu saja juga dimungkinkan penerima membayarkan tagihan yang dijaminkan dengan gadai atau hipotek, dikarenakan hak jaminan
Professor Henk Snijders 131
Bankruptcy Act).
terkait dihapuskan (pasal 58 paragraf 2 UU Kepailitan).
Section 3.9.2 CC (section 3.9.3 CC about the right of pledge of certificate holders can be left aside here) provides for four kinds of right of pledge, depending on the question on what kind of property the pledge is established and whether it concerns an undisclosed or public establishment:
Bagian 3.9.2 KUHPdt (bagian 3.9.3 KUHPdt tentang hak dari pemegang surat gadai dapat dikesampingkan disini) mengatur mengenai empat macam gadai, tergantung dari pertanyaan mengenai harta kekayaan macam apa yang dibebankan atas gadai dan apakah sifatnya tertutup (undisclosed) atau terbuka untuk publik: - pasal 3:236 paragraf 1 KUHPdt mengatur mengenai lahirnya hak gadai publik atas benda bergerak dengan kelengkapannya, - pasal 3:236 paragraf 2 KUHPdt mengatur tentang hak gadai publik atas harta kekayaan lainnya - pasal 3:237 KUHPdt mengatur tentang lahirnya hak gadai tertutup atas benda bergerak dengan kelengkapannya, dan - pasal 3:239 KUHPdt mengatur mengenai lahirnya hak gadai tertutup atas hak personal bukan kepada tertunjuk atau atas-unjuk. Dua peraturan terakhir memperlihatkan bahwa hak jaminan tertutup dapat lahir dengan alat otentik, biasanya akta notaris, atau alat nonotentik tetapi tetap terdaftar (akta non-notarial terdaftar, bentuk dari penyerahan untuk penugasan tertutup) (pasal 3:94 paragraf 3 KUHPdt)). Hak gadai publik lahir dengan cara yang sama seperti yang diatur untuk penyerahan harta kekayaan yang dijaminkan. Ini bukan saja terlihat jelas dari pasal 3:236 paragraf 2 KUHPdt, tetapi juga dari pasal 3:236 paragraf 1 KUHPdt, dengan pemahaman bahwa gadai tidak perlu diberikan penguasaan atas harta
-
art. 3:236 para. 1 CC provides for the establishment of a public right of pledge on movable things with appurtenances, - art. 3:236 para. 2 CC provides for a public right of pledge on other property, - art. 3:237 CC provides for the establishment of an undisclosed right of pledge on movable things with appurtenances, and - art. 3:239 CC provides for the establishment of an undisclosed right of pledge on personal rights not to order or bearer. The two latter provisions show that an undisclosed right of pledge may be established by an authentic instrument, so generally a notarial deed, or a non-authentic but still registered instrument (a registered non-notarial deed, a form of delivery already described for the undisclosed assignment (art. 3:94 para. 3 CC)). A public right of pledge is established in the same manner as has been provided for the delivery of the pledged property. This is not only evident from art. 3:236 para. 2 CC, but also from art. 3:236 para. 1 CC, on the understanding that the pledgee does not need
132 Netherlands Law of Property
to be given possession of the property, but only control, apart from the required endorsement in the event of a pledge of a right to order. The importance of the difference between a public and an undisclosed pledge lies in the existence yes or no of protection against the pledgor lacking the right to dispose of the property. In case of a public pledge this protection is offered indeed to a pledgee in good faith, whereas an undisclosed pledge does not give such protection. See art. 3:238 CC for the right of pledge on movable things with appurtenances, and art. 3:239 para. 4 CC for the pledge of rights not payable to bearer or order. The difference between a public and an undisclosed pledge also becomes evident when we read art. 3:246 para. 1 CC, which does not grant the power to collect payment for a claim until the notice of the right of pledge has been given to the pledgee. The financial collateral arrangement for the establishment of a right of pledge, introduced in the Netherlands on the basis of the aforementioned Collateral Directive, already mentioned in 1.2 and 3.1 is governed by different provisions in title 7.2 CC. A further particularity of a pledge based on a financial collateral arrangement is that the pledgee can appropriate the pledged property and keep the proceeds if he has so stipulated (art. 7:53 para. 1 CC). In an ordinary right of pledge the power to appropriate the pledged property is absent (art. 3:235 para. CC).
Just like pledge, hypothec (mortgage) constitutes a security right that is of major importance in the
kekayaan, tetapi hanya kontrolnya saja, selain dari endosemen yang dipersyaratkan dalam hal gadai dari hak untuk tertunjuk. Pentingnya perbedaan antara hak publik dan hak tertutup terletak pada ada atau tidaknya perlindungan terhadap penggadai yang tidak memiliki hak untuk melepaskan harta kekayaan. Dalam hak publik, perlindungan ini diberikan kepada tergadai dengan itikad baik, sedangkan hak tertutup tidak memberikan perlindungan semacam itu. Lihat pasal 3:238 KUHPdt untuk hak gadai atas benda bergerak, dan pasal 3:239 paragraf 4 KUHPdt untuk gadai dari hak yang harus dibayarkan atas-tunjuk. Perbedaan antara gadai publik dan tertutup juga tampak jelas apabila kita membaca pasal 3:246 paragraf 1 KUHPdt, yang tidak memberikan kekuasaan untuk menagih pembayaran dari sebuah tagihan hingga adanya pemberitahuan bahwa hak gadai telah diberikan kepada tergadai. Pengaturan kolateral finansial yang melahirkan hak gadai, diperkenalkan di Belanda berdasarkan berdasarkan Collateral Directive, yang telah disebutkan dalam 1.2 dan 3.1 diatur oleh berbagai ketentuan berbeda dalam judul 7.2 KUHPdt. Kekhususan lainnya dari gadai berdasarkan pengaturan kolateral finansial adalah bahwa pihak yang penerima gadai dapat appropriate harta kekayaan yang dijaminkan dan menyimpan hasilnya apabila telah ditentukan demikian (pasal 7:53 paragraf 1 KUHPdt). Dalam hak gadai biasa kekuasaan semacam itu tidak ada (pasal 3:235 paragraf KUHPdt). Seperti gadai, hipotek (jaminan) mengandung hak jaminan yang sangat penting dalam praktik
Professor Henk Snijders 133
Dutch legal practice. Hypothec may be even more important, because there are alternatives for the pledge, such as the assignment and the reservation of title. In addition to the ordinary hypothec, which serves as security for the repayment of a fixed amount, other forms of hypothec have meanwhile entered legal practice, such as the revolving mortgage (which serves as security for money withdrawn within the framework of a hypothec relationship), the current account mortgage (which serves as security for a future debit balance in a current account), the banker’s mortgage (which serves as security for whatever the baker as hypothecary creditor has or will have to claim from the mortgagor (grantor of hypothec)) and the building mortgage (which serves as security for a loan for the construction of immovable property, which is withdrawn in portions). In general, a hypothec is established in a manner identical to that of the transfer of registered property (art. 3:260 CC; also compare special provision art. 3:98 CC, to and of which art., 3:260 CC is mostly an addition and an interpretation). Of the remaining provisions relating to hypothec it is particularly art. 3:262 CC that merits attention: the rank of hypothecs is usually determined on the basis of seniority, but the parties may decide on a different order by notarial deed.
Of special relevance is art. 3:264 CC, which provides for the so-called lease (rent or lease) stipulation. If such a stipulation is included in a mortgage deed - it concerns a stipulation that limits the mortgagor in his
hukum Belanda. Sangat penting, karena ini merupakan alternatif dari gadai, seperti penugasan (assignment) dan reservasi hak. Sebagai tambahan atas hipotek biasa, yang berfungsi sebagai jaminan untuk pembayaran kembali sebuah jumlah pasti, ada bentuk lain dari hipotek yang telah memasuki praktik hukum, seperti revolving mortgage (yang berfungsi sebagai jaminan untuk uang yang ditarik dalam hubungan hipotek), current account mortgate (yang berfungsi sebagai jaminan untuk saldo debit dalam rekening yang ada), banker’s mortgage (yang berfungsi sebagai jaminan untuk apapun yang bankir sebagai kreditur hipotek telah atau akan tagihkan kepada penjamin (pemberi hipotek)) dan building mortgage (yang berfungsi sebagai jaminan untuk pinjaman dari pembangunan harta tidak bergerak, yang ditarik secara bertahap). Secara umum, hipotek dilahirkan dengan tata cara yang sama dengan pengalihan dari harta terdaftar (pasal 3:260 KUHPdt; lihat juga pengaturan khusus pasal 3:98 KUHPdt, untuk dan oleh karena itu pasal 3:260 KUHPdt pada dasarnya adalah penambahan dan interpretasi). Dari ketentuan lainnya terkait dengan hipotek, pasal 3:262 KUHPdt yang khusus memberikan perhatian kepada: urutan hipotek biasanya ditentukan berdasarkan urutan senior, tetapi para pihak dapat memutuskan urutan yang berbeda melalui akta notaris. Yang paling relevan adalah pasal 3:264 KUHPdt, yang mengatur mengenai apa yang disebut dengan sewa beli (sewa atau sewa beli). Jika aturan tersebut dimasukkan dalam akta jaminan – maka ini menyangkut
134 Netherlands Law of Property
power to rent or lease the encumbered property without the mortgagee’s permission – such a stipulation may under certain circumstances be invoked against third parties, especially the lessee (tenant or leaseholder).
pengaturan yang membatasi penjamin dalam kekuasaannya untuk menyewakan atau menyewabelikan harta terbebani tanpa ijin dari terjamin – aturan tersebut untuk beberapa keadaan tertentu dapat diberlakukan terhadap pihak ketiga, terutama lessee.
6.3 Dismembered enjoyment
6.3 Hak terpisah (terbatas) untuk menikmati
(limited)
rights
of
The dismembered rights of enjoyment may be found in Books 3 and 5 of the Civil Code, depending on the question whether they can only be established on things (Book 5 CC), or also on other property (Book 3 CC). It concerns the rights of usufruct and the rights of use and habitation in Book 3 CC respectively servitudes, the right of emphyteusis and of superficies in Book 5 CC.
Hak menikmati terbatas dapat ditemukan pada Buku 3 dan 5 KUHPdt, tergantung dari pertanyaan apakah hak tersebut hanya dapat lahir atas benda (Buku 5 KUHPdt), atau juga atas harta kekayaan (Buku 3 KUHPdt). Ini menyangkut hak pakai hasil (usufruct) dan hak untuk memakai dan mendiami dalam Buku 3 KUHPdt dan pengabdian, hak guna usaha dan hak guna bangunan dalam Buku 5 KUHPdt.
Usufruct grants the right to use property belonging to someone else and to enjoy the fruits thereof (art.3:201 CC). Our current Civil Code grants the usufructuary many more rights than the old Code did (art. 3:207 CC; see also arts. 3:208-215 CC). Meanwhile a usufructuary may even dispose of property subject to a usufruct.
Hak pakai hasil memberikan hak untuk memakai harta kekayaan kepunyaan orang lain beserta buahnya (pasal 3:201 KUHPdt). KUHPdt yang baru memberikan pemakai hasil lebih banyak hak dibandingkan dengan kitab yang lama (pasal 3:207 KUHPdt; lihat juga pasal 3:208-215 KUHPdt). Pemakai hasil bahkan dapat melepaskan harta kekayaan menurut hak tersebut. Aplikasi penting dari hak pakai hasil ada pada hukum pewarisan: sepanjang pasangan dari pembuat wasiat (testator) yang karena surat wasiatnya menyatakan bahwa ia bukanlah atau bukanlah satu-satunya pemegang hak atas rumah dan isinya yang menjadi harta waris, para ahli waris diwajibkan untuk melahirkan hak pakai hasil atas rumah dan isinya untuk kepentingan dari pasangan si
An important application of the usufruct constitutes the law of succession: to the extent that the spouse of a testator/ testatrix as a result of the latter’s will is not or not the only title-holder to the dwelling and contents belonging to the estate, the heirs are obliged to cooperate in the establishment of a right of usufruct on the dwelling and contents for the benefit of the spouse living
Professor Henk Snijders 135
in the dwelling, to the extent that the latter so demands from them (art. 4:29 CC). Usufruct of shares in a private company is also quite common (cp. art. 3:219 CC). Usufruct cannot be established for a period longer than the lifetime of the usufructuary (art. 3:203 para. 2 CC). Where the usufructuary is a legal person, the usufruct is terminated by the dissolution of the legal person and in any event, by the lapse of thirty years after the day of its establishment (art. 3:203 para. 3 CC). See for the right of use and enjoyment of the usufructuary art. 3:216 CC, and for his power to lease art. 3:217 CC.
The regulation of usufruct in title 3.8 CC comprises a provision at the end (art. 3:226 CC) that provides for two variants of the right of usufruct which usually obtain jointly: the right of use and the right of habitation. To these rights, which are described further in art. 3:226 paras. 2 respectively 3 CC, the regulation of usufruct applies mutatis mutandis (art. 3:226 para. 1 CC), it being understood that the person entitled cannot alienate or encumber his right of use and of habitation, nor allow the thing to be used respectively the dwelling to be inhabited by another person. An important application of the rights of use and habitation may be seen between parents and children: parents donate or sell their dwelling to their children subject to reservation of the rights of use and habitation. Then they reserve proprietary rights, so that they are not susceptible to any insolvency of their children after the transfer.
pembuat wasiat yang tinggal di rumah tersebut, sepanjang si pasangan tersebut memintanya dari mereka (art. 4:29 CC). Hak pakai hasil dari saham dalam perusahaan privat juga umum terjadi (pasal 3:219 KUHPdt). Hak pakai hasil tidak dapat dilahirkan untuk jangka waktu yang lebih lama dari umur hidur pemakai hasil (pasal 3:203 paragraf 2 KUHPdt). Dalam hal pemakai hasil adalah badan hukum, hak tersebut diakhiri dengan pembubaran dari badan hukum atau, setelah berlalunya tigapuluh tahun setelah hari lahirnya hak (pasal 3:203 paragraf 3 KUHPdt). Lihat hak pemakaian dan menikmati pada pasal 3:216 KUHPdt dan kekuasaannya untuk melakukan sewabeli pada pasal 3:217 KUHPdt. Peraturan hak pakai hasil dalam judul 3.8 KUHPdt ada pada bagian akhir dari judul tersebut (pasal 3:226 KUHPdt) yang mengatur mengenai dua macam hak pakai hasil yang biasanya diperoleh secara bersamaan: hak untuk memakai dan hak untuk mendiami. Atas hak-hak ini, yang dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 3:226 paragraf 2 dan 3 KUHPdt, penerapan dari hak pakai hasil berlaku mutatis mutandis (pasal 3:226 paragraf 1 KUHPdt), dengan pengertian bahwa orang yang berhak tidak dapat memindahtangankan atau membebani hak pakai dan mendiami tersebut, dan benda tersebut juga tidak boleh dipakai atau didiami oleh orang lain. Penerapan yang penting atas hak memakai dan mendiami dapat dilihat antara orangtua dan anak: orangtua menghibahkan atau menjual rumahnya dengan hak reservasi untuk memakai dan mendiami rumah tersebut. Mereka kemudian melakukan reservasi hak milik, sehingga
136 Netherlands Law of Property
mereka tidak rentan atas kepailitan dari anaknya setelah pengalihan. The servitude (easement) is described by the Civil Code as a charge (encumbrance): it is a charge imposed upon an immovable thing – the servient property – in favour of another immovable thing – the dominant property (art. 5:70 para. 1 CC). There may be a retribution (sum of money) in favour of the owner of the servient property as a consideration (art. 5:70 para. 2 CC). However, the servitude is also a right, notably a proprietary right in favour of the owner of the dominant property. The charge which a servitude imposes on the servient property consists of an obligation to suffer something or not to do something on, above or under either of the properties (art. 5:71 para. 1 CC). Barring some exceptions (cp. art. 5:71 para. 1, second sentence and art. 5:71 para. 2 CC), obligations to do something cannot be imposed by way of a servitude. The right of servitude may be invoked against the owner of the servient property, regardless under whose control it is. This concerns the droit de suite already mentioned in 1.4, which is typical of all proprietary rights. A particularity of the servitude is that droit de suite obtains also on the side of the person entitled. Indeed, the servitude is a dependent right within the meaning of art. 3:7 CC: if the dominant property is alienated or encumbered, then by operation of law the servient property is also alienated or encumbered (art. 3:82 CC).
It is not necessary for the dominant
Pengabdian dijelaskan dalam KUHPdt sebagai pembebanan (encumbrance): merupakan beban yang diletakkan atas benda tidak bergerak – harta servient – untuk benda tidak bergerak lainnya – harta dominan (pasal 5:70 paragraf 1 KUHPdt). Mungkin akan ada retribusi (sejumlah uang) untuk pemilik dari harta servient (pasal 5:70 pararaf 2 KUPdt). Namun, hak pengabdian juga benar, terutama hak kepemilikan dari pemilik harta dominan. Pembebanan harta servient mencakup kewajiban untuk menderita sesuatu atau tidak melakukan sesuatu pada, atas atau di bawah harta kekayaan (pasal 5:71 paragraf 1 KUHPdt) dengan pengecualian (pasal 5:71 paragraf 1 kalimat 2 KUHPdt), kewajiban untuk melakukan sesuatu tidak dapat dikenakan dengan cara pengabdian. Hak pengabdian dapat diberlakukan terhadap pemilik dari harta servient, tanpa memandang berada dibawah kontrol siapa harta tersebut berada. Ini menyangkut droit de suite yang sudah disebutkan dalam 1.4, yang merupakan ciri khas dari seluruh hak milik. Kekhususan dari pengabdian adalah bahwa droit de suite juga memperoleh dari sisi pihak yang berhak. Pengabdian merupakan hak yang tidak berdiri sendiri dalam artian pasal 3:7 KUHPdt: jika harta dominan dipindahtangankan atau dibebankan, maka secara hukum hak servient juga dipindahtangankan atau dibebankan (pasal 3:82 KUHPdt). Tidak diperlukan untuk harta
Professor Henk Snijders 137
and the servient properties to be adjacent to each other. The legislator mentions an example of a servitude in which a factory as servient property is prohibited from discharging gases into the air or substances into a river that are especially detrimental to the dominant property which is located at a great distance from the factory. Servitudes are quite common. They are established frequently when building land is divided into parcels. One often sees that owners of terraced houses are obliged to make the rearmost section of their gardens available to their neighbours for use as a footpath or bicycle track and vice versa, in order to enable all owners to reach the public road on foot or by bike from their rear gardens.
Pursuant to arts. 5:78-81 CC servitudes can be cancelled or modified. Emphyteusis is a real right which gives the emphyteutic holder (leaseholder) the power to hold and to use the immovable thing of another person (art. 5:85 para. 1 CC). Hence it concerns a real right of enjoyment that can only be established on an immovable thing. The person entitled is called the emphyteutic holder (leaseholder) and the person whose immovable thing is encumbered with the real right is called the grantor of the emphyteusis (lessor). Emphyteusis is a right with a very broad scope, even though its nature is limited. In principle the emphyteutic holder has the same enjoyment of the thing as an owner, on the understanding that the former’s right is finite in principle.
dominan dan servient saling berdekatan satu sama lain. Pembuat undang-undang menyebutkan sebuah contoh pengabdian di mana pabrik yang merupakan harta servient dilarang untuk melepaskan gas ke udara atau kandungan ke sungai yang terutama berpengaruh bagi harta dominan yang terletak cukup jauh dari pabrik tersebut. Pengabdian sebenarnya cukup umum, Pengabdian seringkali dibuat ketika tanah dibagi kedalam beberapa bagian. Contoh yang dapat diberikan adalah pemilik dari rumah teras yang wajib menyediakan bagian pinggir dari taman untuk para tetangga untuk digunakan sebagai jalan setapak atau jalan sepeda dan sebaliknya, agar memungkinkan seluruh pemilik mencapai jalan umum dengan berjalan atau bersepeda melalui taman tersebut. Berdasarkan pasal 5:78-81 KUHPdt pengabdian dapat dibatalkan dan dimodifikasi. Hak guna usaha adalah hak riil yang memberikan pemegang hak (leaseholder) kekuasaan untuk menahan dan menggunakan benda tidak bergerak dari pihak lainnya (pasal 5:85 paragraf 1 KUHPdt). Hak ini menyangkut hak riil dari penikmatan yang hanya dapat dilahirkan atas benda tidak bergerak. Orang yang berhak disebut dengan pemegang hak guna usaha (pemegang sewa/leaseholder) dan orang yang benda tidak bergeraknya dibebankan dengan hak riil disebut dengan pemberi hak guna usaha (pemberi sewa/lessor). Hak guna usaha adalah hak dengan cakupan yang luas, meskipun sifatnya terbatas. Secara prinsip pemegang hak guna usaha menikmati benda seolah sebagai pemilik, dengan pengertian bahwa hak tersebut dibatasi secara prinsip.
138 Netherlands Law of Property
In the Netherlands, municipalities in particular make widespread use of the possibility to issue leasehold land and thus to keep some control over the use of the land. Municipalities can stipulate in a ground lease, for instance, that a certain use of the land is forbidden or restricted. However, in doing so a municipality cannot use private law in such a way that a public-law regulation should be thwarted in an unacceptable manner. There is no question of this, though, in case of a stipulation prohibiting or restricting a specific use of the land in a certain way for the mere reason that according to the prevailing zoning plan such use is permitted. In exercising its powers under emphyteusis the municipality must respect the general principles of good governance.
Di Belanda, pemerintah kota khususnya memperluas kesempatan untuk mengeluarkan hak sewa tanah dan dengan demikian memiliki kontrol atas penggunaan tanah. Pemerintah kota dapat mengatur sewa tanah, contohnya, penggunaan tertentu dari tanah tidak diperbolehkan atau dilarang. Namun demikian, dalam melakukan hal ini pemerintah kota tidak dapat menggunakan hukum privat dan karenanya harus menggunakan hukum publik. Dalam hal peraturan tidak memperbolehkan atau melarang penggunaan tertentu dari tanah, maka hanya alasan bahwa menurut rencana tata kota yang berlaku hal tersebut diperbolehkan, hal ini bisa diperbolehkan. Dalam menggunakan kekuasaan dibawah hak guna usaha pemerintah kota harus menghormati prinsip-prinsip umum tata pemerintahan yang baik.
The choice of emphyteusis instead of transfer of an immovable thing may also be attractive for financial reasons. Indeed, the lessor remains the owner and can therefore profit from an increase in the value of the immovable thing. The canon (ground rent) that the lessor can stipulate (art. 5:85 para. 2 CC) may also be adjusted according to the increase in the value of the immovable thing leased. The termination of a right of emphyteusis may be problematic, though, because the owner has an obligation to reimburse the emphyteutic holder for the value which the emphyteusis then has (arts. 5:86-87 CC and esp. 5:87 para. 2, final sentence CC). After the termination of the emphyteusis, the former emphyteutic holder is also entitled to be reimbursed for the value of the remaining buildings, works and plants which he or a legal predecessor
Pilihan diberikannya hak guna usaha ketimbang pengalihan dari benda tidak bergerak juga menarik jika dilihat dari alasan-alasan finansial. Pemberi sewa tetap merupakan pemilik dan oleh karenanya dapat mengambil keuntungan atas kenaikan dari nilai benda tidak bergerak tersebut. Canon (aturan yang mendasari) bahwa pemberi hak dapat melakukan hal tersebut (pasal 5:82 paragraf 2 KUHPdt) dapat juga disesuaikan dengan naiknya nilai dari benda tidak bergerak yang dibebani hak. Pengakhiran dari hak guna usaha bisa bermasalah, karena pemilik memiliki kewajiban untuk mengganti pemegang hak guna usaha sesuai nilai yang seharusnya dihasilkan dari hak guna usaha tersebut (pasal 5:86-87 KUHPdt dan terutama 5:87 paragraf 2, kalimat terakhir KUHPdt). Setelah pengakhiran dari hak guna usaha, pihak yang
Professor Henk Snijders 139
constructed or grew, or which were taken over from the owner against reimbursement of the value (art. 5:99 CC).
dulunya pemegang hak tersebut juga berhak untuk mendapatkan penggantian untuk senilai bangunan, pekerjaan, dan tanaman yang ia atau pemegang sah sebelumnya kembangkan, atau yang diambil alih dari pemilik terhadap penggantian dari nilai tersebut. (pasal 5:99 KUHPdt).
The emphyteutic holder is entitled to create a sub-emphyteusis on the whole or part of the thing which is the object of his right (art. 5:93 para. 1 CC). Here we have an exception to the rule that Book 5 CC only provides for proprietary rights that can only be established on things.
Pemegang hak guna usaha berhak untuk membuat sub-hak guna usaha untuk seluruh atau sebagian dari benda yang merupakan objek dari haknya (pasal 5:93 paragraf 1 KUHPdt). Disini kita mendapatkan pengecualian dari aturan bahwa Buku 5 KUHPdt hanya mengatur hak milik yang hanya dapat dilahirkan atas benda. Hak hak guna usaha dapat dimodifikasi berdasarkan pasal 5:97 KUHPdt.
Rights of emphyteusis may be modified on the basis of art. 5:97 CC. The right of superficies is a dismembered real right to own or to acquire buildings, works or vegetation (jointly called superficies) in, on or above an immovable thing owned by another (art. 5:101 para. 1 CC). Usually this immovable thing will be the land itself, but it is also conceivable that the right of superficies is established on a building. The person entitled is called the superficiary and the other party is the grantor of the right of superficies.
The right of superficies serves to interrupt the proprietary rule of accession (art. 5:3 para. 3 and 5:20 CC). The differences between superficies and emphyteusis are minimal, for which
Hak guna bangunan adalah hak riil terbatas untuk memiliki atau mendapatkan bangunan, pekerjaan atau tanaman (secara bersama-sama disebut dengan hak guna bangunan), dalam, pada atau di atas benda tidak bergerak yang dimiliki oleh orang lain (pasal 5:101 paragraf 1 KUHPdt). Biasanya benda tidak bergerak ini adalah tanah itu sendiri, tetapi diterima juga bahwa hak guna bangunan dilahirkan atas bangunan. Orang yang berhak disebut dengan pemegang hak guna bangunan dan pihak lainnya adalah pemberi hak guna bangunan. Hak guna bangunan berfungsi untuk menginterupsi aturan kepemilikan dari perlekatan (pasal 5:3 paragraf 3 dan 5:20 KUHPdt). Perbedaan antara hak guna bangunan dan hak guna usaha tipis sekali.
140 Netherlands Law of Property
reason a plea was held in the past for abandoning the right of superficies. Various provisions applicable to emphyteusis are declared applicable mutatis mutandis to the right of superficies (art. 5:104 CC). Nevertheless, essential differences exist as well: the superficiary may – unlike the emphyteutic holder – give the superficies the designated use that he thinks fit. However, the superficiary does not in principle have a maintenance obligation – in which respect he is also different from the emphyteutic holder. Both differences can be explained by the circumstance that the superficiary can be regarded as the owner of the superficies. In earlier times the right of superficies was also a means often used in practice to regulate the ownership of gas mains, water pipes and electricity cables etc. The before-mentioned art. 5:20 para. 2 CC provides that all kinds of networks designated for the transport of solid, liquid or gaseous substances, of energy or of information, belongs to the authorised constructor thereof (in derogation of art. 5:20 (e) CC).
The right of superficies exists in an independent as well as a dependent form (5:101 para. 2 CC). The law also provides for a right of sub-superficies: the superficiary holding an independent right of superficies is entitled to grant a right of sub-superficies on all or part of the thing on which his right of superficies is vested (art. 5:104 para. 2 in conjunction with art. 5:93 CC). Systematically speaking, this provision does not really belong in Book 5 CC either.
Berbagai ketentuan yang berlaku untuk hak guna usaha dinyatakan berlaku mutatis mutandis untuk hak guna bangunan (pasal 5:104 KUHPdt). Meskipun demikian ada juga perbedaan mendasar: pemegang hak bangunan dapat – tidak seperti pemegang hak guna usaha – memberikan hak guna bangunan untuk penggunaan khusus yang ia rasa sesuai. Pemegang hak guna bangunan secara prinsip tidak memiliki kewajiban pemeliharaan – suatu perbedaan lainnya dengan pemegang hak guna usaha.
Sebelumnya, hak guna bangunan juga merupakan cara yang sering digunakan dalam praktik untuk mengatur kepemilikan dari pipa gas alam, pipa air, dan kabel listrik, dan sebagainya. Pasal 5:20 paragraf 2 KUHPdt mengatur bahwa seluruh jenis jaringan yang dimaksudkan untuk transportasi bahan padat, cair atau gas dari energi atau informasi, menjadi milik dari pihak yang diberikan kewenangan untuk membangun jaringan tersebut (pengkhususan dari pasal 5:20 (e) KUHPdt). Hak guna bangunan lahir dalam bentuk yang dapat berdiri sendiri maupun yang tidak dapat berdiri sendiri (pasal 5:101 paragraf 2 KUHPdt). Undang-undang juga mengatur sub hakguna bangunan: pemegang hak guna bangunan adalah pemegang hak yang dapat berdiri sendiri dan berhak untuk memberikan sub-guna bangunan atas keseluruhan atau sebagian atas mana hak guna bangunan tersebut berada (pasal 5:104 paragraf 2 jo. pasal 5:93 KUHPdt). Secara sistematis, ketentuan ini
Professor Henk Snijders 141
Of the other provisions relating to superficies, we may once again refer in particular to the special provision art. 5:104 CC, in which a large number of provisions regarding emphyteusis are declared applicable mutatis mutandis to the right of superficies.
harusnya tidak berada pada Buku 5 KUHPdt. Dari ketentuan lainnya terkait hak guna bangunan, kita sekali lagi dapat mengacu khususnya pada ketentuan khusus pasal 5:104 KUHPdt, di mana sebagian besar ketentuan mengenai hak guna usaha dinyatakan berlaku mutatis mutandis untuk hak guna bangunan.
142 Netherlands Law of Property