83
NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU Neraca Air SWP DAS Arau Ketersediaan Air pada SWP DAS Arau Analisis Data Hujan. Curah hujan merupakan masukan utama dalam suatu DAS untuk berlangsungnya siklus hidrologi DAS. Data curah hujan yang pernah terjadi pada suatu DAS, dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya air pada DAS tersebut. Besarnya jumlah curah hujan yang masuk ke dalam daerah tangkapan air suatu DAS akan menentukan besar debit aliran pada DAS tersebut. Dari hasil tumpang tindih poligon setiap stasiun hujan pada SWP DAS Arau dengan metode Poligon Thiessen dapat diketahui luas daerah pengaruh hujan setiap stasiun hujan pada SWP DAS Arau (Lampiran 1). Berdasarkan analisis data curah hujan dari beberapa stasiun penakar curah hujan yang berpengaruh pada tiap DAS pada SWP DAS Arau, didapatkan rata-rata curah hujan bulanan 20 tahunan pada SWP DAS Arau, yaitu dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 seperti disajikan pada Tabel 17, sedangkan rincian curah pada masing-masing DAS dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 17 Rerata curah hujan bulanan pada SWP DAS Arau (1990-2009) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Curah Hujan Rata-rata pada setiap DAS (mm) Batang Arau Batang Kuranji Batang Air Dingin 277,8 225,3 311,5 324,9 264,2 267,3 270,2 277,9 320,5 335,4 426,5 378,7
308,5 251,7 309,2 319,0 262,0 279,5 300,1 286,4 348,5 369,2 447,0 433,7
361,2 294,3 364,9 336,8 248,2 263,4 295,9 281,2 330,0 398,9 426,9 415,6
Jumlah 3.680,2 3.914,7 4.017,3 Sumber : Hasil Pengolahan Data CH SPH Ladang Padi, Simpang Alai, Komplek PU, Gunung Nago, BMG Tabing, Gunung Sarik, Batang Anai dan Lubuk Alung 2011
Dari Tabel 17 terlihat rerata curah hujan bulanan dalam rentang waktu 20 tahun (1990 – 2009) pada DAS Batang Arau berkisar dari 225,3 mm sampai de-
84 ngan 426,5 mm; pada DAS Batang Kuranji berkisar dari 251,7 mm sampai dengan 447,0 mm; dan pada DAS Batang Air Dingin berkisar dari 248,2 mm sampai dengan 426,9 mm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, tipe iklim pada ketiga DAS adalah tipe A atau sangat basah (tipe iklim A bila nilai perbandingan bulan kering dan bulan basah (Q) berada antara 0,0% sampai dengan 14,3%; sedangkan pada SWP DAS Arau nilai Q berkisar antara 2,5% sampai dengan 7,5%). Pada ketiga DAS, curah hujan terbesar terjadi pada bulan Nopember, sedangkan curah hujan terendah terjadi bulan Februari pada DAS Batang Arau dan DAS Batang Kuranji, sedangkan pada DAS Batang Air Dingin curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei. Curah hujan setiap DAS pada SWP DAS Arau tergolong tinggi, berkisar pada 3.680 sampai dengan 4.017 mm/tahun, dan diatas 200 mm per bulan, dengan jenis kejadian hujan orografis dan konveksi. Hal ini disebabkan oleh karena DAS yang menghadap ke arah Barat Daya dan berhadapan dengan lautan Samudera Indonesia. Kondisi geografi SWP DAS Arau didominasi oleh perbukitan dan pegunungan di posisi timur dan timur laut Samudera Indonesia sehingga angin yang bergerak dari arah barat membawa banyak uap air ke DAS-DAS yang ada di kota Padang yang kemudian berbenturan dengan pegunungan bagian hulu DAS yang masih ditutupi oleh hutan lebat sehingga terjadi proses kondensasi karena dibelokkannya udara ke atas yang bersuhu dingin oleh pegunungan dan terperangkap oleh dedaunan hutan yang lembab dengan demikian hujan segera turun dan masuk ke daerah tangkapan (DAS).
Proses demikian terus terjadi sehingga
curah hujan yang besar sering terjadi dan dapat menimbulkan debit sungai yang besar (ekstrim). Curah hujan yang besar tersebut merupakan potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Kota Padang dan sekaligus juga berpotensi menjadi masalah karena bisa menimbulkan banjir dan menggenangi wilayah Kota Padang bila tidak dikelola dengan baik. Analisis Ketersediaan Air SWP DAS Arau.
Dalam penelitian ini
ketersediaan air hanya dilihat dari ketersediaan sumberdaya air permukaan, yaitu air sungai, meliputi ketersediaan air berdasarkan debit sungai rata-rata dan debit andalan (Q80). Ketersediaan air sungai adalah volume air yang senantiasa dapat digunakan (debit andalan) dari sungai-sungai yang mengalir pada SWP DAS
85 Arau.
Data pengamatan debit yang digunakan adalah dari beberapa pos
pengukuran debit, yaitu pos pengukuran debit Lubuk Sarik pada DAS Batang Arau; Pos Gunung Nago pada DAS Batang Kuranji; dan Pos Lubuk Minturun pada DAS Batang Air Dingin dalam rentang waktu 20 tahun (1990-2009). Namun kondisi yang ditemui pada saat melakukan pengumpulan data pada stasiun pengukur debit tersebut, terdapat data debit yang tidak kontinyu karena proses pengumpulan data debit seringkali bermasalah, terutama pada stasiun Lubuk Sarik (DAS Batang Arau) dan stasiun Lubuk Minturun (DAS Batang Air Dingin), karena kondisi lokasi yang tidak memungkinkan, peralatan yang rusak atau tidak memadai atau faktor non teknis. Pada stasiun Lubuk Sarik (DAS Batang Arau) hanya tersedia data debit harian untuk tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, sedangkan pada stasiun Lubuk Minturun (DAS Batang Air Dingin) hanya tersedia data tahun 2002 sampai dengan 2009. Dengan menggunakan model regressi linear diharapkan dapat dibangkitkan data debit yang tidak kontinyu tersebut sehingga memadai untuk menentukan debit andalan dan ketersediaan air pada SWP DAS Arau dalam rentang waktu 20 tahun (1990-2009). Dari data hujan dan data debit pada setiap DAS dibuat persamaan regressi yang memberikan hubungan antara hujan (mm) sebagai absis dan debit (m3/detik) sebagai ordinat. Pada DAS Batang Arau, dengan data hujan dan debit tahun 2004 menghasilkan persamaan (a); pada DAS Batang Kuranji dari data hujan dan data debit tahun 2005 menghasilkan persamaan (b); dan dari data hujan dan debit tahun 2007 pada DAS Batang Air Dingin menghasilkan persamaan (c) berikut : Persamaan garis (a) : Q = 0,024p – 1,647
R2 = 0,799
Persamaan garis (b) : Q = 0,058p – 5,394
R2 = 0,880
Persamaan garis (c) : Q = 0,020p + 4,729
R2 = 0,726
Gambar hubungan Debit (Q) dan hujan (p) pada setiap DAS dan perbandingan hidrograf debit hasil pengukuran dan debit hasil perhitungan serta hidrograf debit hasil perhitungan selama 20 tahun dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan persamaan (a), (b) dan (c) dan data hujan tahun 1990-2009 dapat dihitung debit aliran tahun 1990-2009 pada setiap DAS. Hasil perhitungan ketersediaan air menggunakan metode regressi linear pada
masing-masing DAS, yang
memperlihatkan ketersediaan air sungai rerata bulanan, debit maksimum, debit
86 minimum dan debit andalan (Q80) tahun 1990 - 2009, serta hidrograf hasil perhitungan bisa dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil perhitungan debit bangkitan untuk 20 tahunan (19902009), terdapat nilai debit bangkitan yang negatif karena curah hujan yang sangat rendah pada bulan tersebut (kurang dari 90 mm/bulan). Hal ini terjadi karena pada bulan-bulan tersebut terjadi peristiwa cuaca yang sangat ekstrim, yaitu terjadi musim kering dan musim kering yang panjang, khususnya pada tahun 1994, 1997, 2000 dan 2008, karena dampak La Nina yang melanda pantai barat Sumatera Barat, termasuk Kota Padang3. Hasil perhitungan ketersediaan air selama 20 tahun (1990-2009) disajikan pada Tabel 18. Dari Tabel 18 terlihat rerata debit 20 tahunan pada DAS Batang Arau adalah sebesar 181.545.365 m3/tahun atau 5,75 m3/detik. Debit andalan bulanan rata-rata Batang Arau adalah sebesar 80%, sehingga rata-rata bulanannya sebesar 91.064.736 m3/tahun atau 2,87 m3/detik. Ketersediaan air terkecil pada DAS Batang Arau terjadi pada bulan Februari, yaitu sebesar 2.733.696 m3/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar 13.472.352 m3/bulan. Tabel 18 Ketersediaan air pada SWP DAS Arau berdasarkan penghitungan debit rata-rata dan debit andalan (Q80) Debit Rerata (m3/bulan) Batang Batang Air Kuranji Dingin
SWP DAS Arau
Batang Arau
33.472.661 22.595.401 33.590.725 33.981.949 26.689.426 28.274.443 32.164.638 30.048.809 38.401.828 42.905.343 53.215.937 52.923.684
32.016.790 25.681.018 32.214.992 29.716.243 25.962.267 25.910.669 28.514.782 27.731.082 29.362.694 34.031.750 34.390.915 34.926.068
78.979.213 57.430.672 81.710.056 79.640.288 65.226.781 66.653.928 73.660.286 71.335.273 83.623.674 94.259.645 109.991.364 107.758.299
181.545.365 428.264.844 Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011
360.459.270
970.269.479
No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah
Batang Arau 13.489.762 9.154.253 15.904.339 15.942.096 12.575.088 12.468.816 12.980.866 13.555.382 15.859.152 17.322.552 22.384.512 19.908.547
Debit Andalan (m3/bulan) Batang Batang Air Kuranji Dingin
SWP DAS Arau
8.838.720 2.733.696 9.481.536 7.490.880 7.419.168 5.080.320 8.061.984 7.312.032 3.395.520 4.740.768 13.037.760 13.472.352
16.150.752 11.684.736 21.132.576 15.318.720 12.561.696 10.730.880 20.891.520 15.802.560 27.345.600 33.935.328 31.259.520 35.756.640
24.855.552 20.998.626 24.909.120 24.935.040 20.570.112 20.969.280 23.918.112 21.453.984 27.008.640 28.605.312 28.226.880 31.364.064
49.845.024 35.417.058 55.523.232 47.744.640 40.550.976 36.780.480 52.871.616 44.568.576 57.749.760 67.281.408 72.524.160 80.593.056
91.064.736
252.570.528
297.814.722
641.449.986
Rerata debit 20 tahunan pada DAS Batang Kuranji adalah sebesar 428.264.844 m3/tahun atau 13,63 m3/detik.
Rerata debit andalan bulanannya mencapai
3
252.570.528 m /tahun atau 7,99 m3/detik. Ketersediaan air terkecil pada DAS
3
Wawancara dengan Bapak Syafrizal, Kepala Seksi Meterologi pada BMG Tabing Padang
87 Batang Kuranji terjadi pada bulan Juni, yaitu sebesar 10.730.880 m3/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar 35.756.640 m3/bulan. Rerata debit 20 tahunan DAS Batang Air Dingin adalah sebesar 360.459.270 m3/tahun atau 11,43 m3/detik. Debit andalan bulanan rata-rata Batang Air Dingin adalah sebesar 297.814.722 m3/tahun atau 9,44 m3/detik. Ketersediaan air terkecil terjadi pada bulan Mei, yaitu sebesar 20.570.112 m3/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar 31.364.064 m3/bulan. Dari Tabel ketersediaan air tersebut juga terlihat fluktuasi debit sesuai dengan variasi musim hujan dan kemarau. Berdasarkan hasil analisis ketersediaan air pada ke tiga DAS di atas, maka dapat diperkirakan ketersediaan air pada SWP DAS Arau, yang merupakan jumlah ketersediaan air pada ketiga DAS tersebut. Ketersediaan air rata-rata pada SWP DAS Arau dari tahun 1990 sampai tahun 2009 adalah sebesar 970.269.479 m3/tahun, sedangkan ketersediaan air berdasar debit andalan sebesar 641.449.986 m3/tahun. Ketersediaan air terkecil berdasar debit andalan terjadi bulan Februari dan terbesar bulan Desember.
Gambar 5 Sebaran ketersediaan air berdasarkan DAS pada SWP DAS Arau Bila dicermati data ketersediaan air tahunan pada Tabel 19, dalam 10 tahun terakhir (2000-2009) ketersediaan air pada SWP DAS Arau mengalami penurunan sebesar 3,4% dibandingkan periode sebelumnya (1990-1999). Untuk tahun 2009, ketersediaan air pada SWP DAS Arau adalah 778.886.640 m3/tahun, tersebar pada
88 Tabel 19 Ketersediaan air tahun 1990 - 2009 dan ketersediaan air bulanan pada SWP DAS Arau No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
DAS Batang Arau m3/detik m3/tahun 4,39 5,07 5,98 6,91 3,68 6,21 6,66 2,94 8,27 7,52 6,91 5,20 9,04 8,33 5,61 6,33 6,56 3,57 2,03 3,75
138.495.600 159.992.640 188.996.544 217.940.040 116.131.320 195.917.400 210.657.888 92.689.560 260.907.840 236.993.040 218.458.080 163.908.360 285.032.880 262.800.000 177.269.904 199.544.040 206.981.280 112.557.240 64.114.416 118.391.400
Ketersediaan Air DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin m3/detik m3/tahun m3/detik m3/tahun 12,63 15,35 14,18 16,32 9,00 15,40 13,83 5,18 21,73 15,75 13,34 9,87 15,74 11,70 12,08 17,37 15,28 13,71 13,90 10,32
398.352.240 484.051.320 448.379.280 514.562.400 283.797.720 485.785.800 437.258.736 163.461.600 685.172.160 496.797.120 420.558.840 311.207.760 497.657.520 369.102.600 380.902.320 547.622.640 483.137.568 432.279.720 438.376.680 325.425.240
11,55 12,64 11,72 12,62 10,25 12,63 12,32 8,70 12,88 11,05 10,89 9,76 11,52 10,56 11,40 11,80 11,57 12,10 11,89 10,63
364.125.168 398.678.112 370.651.421 397.963.296 323.364.888 398.168.280 389.168.280 274.463.064 406.178.424 348.546.384 344.489.155 307.859.688 363.278.952 333.035.928 360.474.278 372.214.152 364.966.128 381.950.856 376.064.122 335.070.000
SWP DAS Arau m3/detik m3/tahun 28,57 33,06 31,88 35,85 22,93 34,24 32,81 16,82 42,88 34,24 31,14 24,83 36,30 30,59 29,09 35,50 33,41 29,38 27,82 24,70
900.973.008 1.042.722.072 1.008.027.245 1.130.465.736 723.293.928 1.079.871.840 1.037.084.904 530.614.224 1.352.285.424 1.082.336.544 983.506.075 782.975.808 1.145.969.352 964.938.528 918.646.502 1.119.380.832 1.055.084.976 926.787.816 878.555.218 778.886.640
Perbandingan Debit Pada 2 Periode (Periode I (1990-1999) terhadap Periode II (2000-2009)) Jumlah Debit Per Periode Rata-rata Tahunan m3/detik m3/tahun m3/tahun m3/detik Periode 1990-1999 313,36 9.887.647.565 988.764.757 313,36 Periode 2000-2009 302,76 9.554.731.747 955.473.175 302,76 Selisih (10,60) (332.915.818) (33.291.582) (10,60) Debit Bulanan (m3/detik) No Nama DAS Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Batang Arau 1 Debit Rata-rata 5,04 3,78 5,94 6,15 4,70 4,81 4,85 5,06 6,12 6,47 8,64 2 Debit Andalan 3,30 1,13 3,54 2,89 2,77 1,96 3,01 2,73 1,31 1,77 5,03 3 Debit 2009 3,20 1,26 3,29 2,08 1,32 3,64 5,06 4,19 7,26 4,03 5,03 Batang Kuranji 1 Debit Rata-rata 12,50 9,34 12,54 13,11 9,96 10,91 12,01 11,22 14,82 16,02 20,53 2 Debit Andalan 6,03 4,83 7,89 5,91 4,69 4,14 7,80 5,90 10,55 12,67 12,06 3 Debit 2009 6,03 5,52 4,32 5,20 6,89 5,46 10,10 7,95 13,76 13,38 26,94 Batang Air Dingin 1 Debit Rata-rata 11,95 10,62 12,03 11,46 9,69 10,00 10,65 10,35 11,33 12,71 13,27 2 Debit Andalan 9,28 8,68 9,30 9,62 7,68 8,09 8,93 8,01 10,42 10,68 10,89 3 Debit 2009 9,80 8,68 9,24 9,62 7,96 7,55 12,85 9,32 10,93 13,44 16,10
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011 Keterangan : besar debit tahun 2009 < debit andalan, mengindikasikan terjadi krisis air
DAS Batang Arau 118.391.400 m3/tahun, pada DAS Batang Kuranji 325.425.240 m3/tahun, dan pada DAS Batang Air Dingin 335.070.000 m3/tahun. Ketersediaan air tahunan pada ke tiga DAS pada tahun 2009 ini, berada di bawah ketersediaan air rata-rata dalam rentang waktu 20 tahunan, namun masih berada di atas ratarata ketersediaan air berdasar debit andalan (Q80). Sedangkan bila dilihat ketersediaan air bulanan pada tahun 2009, ketersediaan air berada di bawah debit ratarata 20 tahunan dan ada beberapa bulan yang besar debitnya berada di bawah debit andalan (Q80). Hal ini mengindikasikan terjadinya krisis air, terutama untuk memenuhi kebutuhan air irigasi; pada DAS Batang Arau, krisis air terjadi pada
Des 7,43 5,03 4,69 19,76 13,35 18,28 13,04 11,71 12,02
89 bulan Januari, Maret, April dan Mei; pada DAS Batang Kuranji, terjadi pada bulan Januari, Maret dan April; sedangkan pada DAS Batang Air Dingin, krisis air terjadi pada bulan Februari, Maret, April dan Juni. Kebutuhan Air pada SWP DAS Arau Penghitungan kebutuhan air dalam penelitian ini dibagi atas 4 kelompok, yaitu : kebutuhan air untuk rumah tangga atau domestik (Qrt), kebutuhan air untuk pertanian (Qpert), kebutuhan air untuk perkotaan (Qkota) dan kebutuhan air untuk industri (Qind). Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut. Kebutuhan Air Rumah Tangga. Hasil penghitungan kebutuhan air rumah tangga atau domestik pada SWP DAS Arau dan Kota Padang disajikan pada Tabel 20, sedangkan rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4. Kebutuhan air rumah tangga untuk Kota Padang yang berpenduduk 875.750 jiwa pada tahun 2009 adalah sebesar 41.554.338 m3/tahun (rata-rata 3.462.861 m3/bulan), sedangkan kebutuhan air pada SWP DAS Arau yang berpenduduk 779.388 jiwa adalah 36.391.223 m3/tahun (3.032.601 m3/bulan) atau mencapai 87,58% kebutuhan air untuk rumah tangga di Kota Padang. Kebutuhan air tertinggi untuk rumah tangga berada pada DAS Batang Arau, yaitu sebesar 18.391.223 m3/tahun atau 1.532.602 m3/bulan (44,26% kebutuhan air rumah tangga Kota Padang) walaupun luas wilayahnya yang termasuk kota Padang hanya sekitar 17.244 hektar (24,98% dari wilayah Kota Padang), karena wilayah yang masuk DAS Batang Arau adalah wilayah pemukiman terpadat di Kota Padang dengan jumlah Tabel 20 Perkiraan kebutuhan air rumah tangga SWP DAS Arau No
Wilayah
1 2 3 4 5
Kota Padang SWP DAS Arau DAS Btg Arau DAS Btg Kuranji DAS Btg Air Dingin
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2009 2018 2028 875.750 779.388 387.592 301.197 90.599
1.097.050 993.176 471.104 387.007 135.065
1.437.800 1.301.684 617.441 507.223 177.020
Jumlah Kebutuhan Air (m3/tahun) 2009 2018 2028 41.554.338 36.391.223 18.391.223 14.291.814 4.298.922
59.707.120 54.376.386 25.792.944 21.188.633 7.394.809
87.622.294 80.769.492 38.312.214 31.473.187 10.984.091
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011; Padang Dalam Angka 2009 BPS 2010; Draft RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028 Bappeda Kota Padang 2010. Catatan : Proyeksi penduduk berdasarkan data Revisi RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028. Perhitungan proyeksi kebutuhan air rumah tangga diasumsikan kebutuhan air rumah tangga naik 10 liter/kapita per 5 tahun proyeksi
90 penduduk mencapai 387.592 jiwa atau 44,26% dari Penduduk Kota Padang. Kebutuhan air pada DAS Batang Kuranji mencapai 14.291.814 m3/tahun atau 1.190.984 m3/bulan (34,39% kebutuhan air rumah tangga Kota Padang) dengan luas wilayah sekitar 22.306 hektar (32,32% dari wilayah Kota Padang), dengan jumlah penduduk mencapai 301.197 jiwa atau 34,39% dari Penduduk Kota Padang. Sedangkan kebutuhan air terendah berada pada DAS Batang Air Dingin, yaitu sebesar 4.298.922 m3/tahun atau 358.244 m3/bulan (10,35% kebutuhan air rumah tangga Kota Padang), dengan jumlah penduduk mencapai 90.599 jiwa atau 10,35% dari Penduduk Kota Padang. Berdasarkan arahan Draft Revisi RTRW Kota Padang Tahun 2008 – 20284, penduduk Kota Padang harus dikendalikan perkembangannya, terutama di Kecamatan Padang Barat, Padang Utara, Nanggalo dan Padang Selatan. Strategi untuk mendorong dan mengendalikan jumlah penduduk Kota Padang adalah dengan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,40% sampai dengan 2,61% per-tahun dalam sepuluh tahun pertama, dan meningkat antara 2,63% sampai dengan 2,83% per-tahun pada sepuluh tahun kedua, maka pada akhir tahun perencanaan (tahun 2028) jumlah penduduk Kota Padang diproyeksikan menjadi 1.437.800 jiwa. Dengan kata lain, penduduk Kota Padang dua puluh tahun ke depan akan terus mengalami pertambahan, namun dari sisi distribusi akan mengalami perubahan. Pada tahun 2009, penduduk Kota Padang berjumlah 875.750 jiwa, dengan sebaran jumlah penduduk terbesar di Kecamatan Koto Tangah (157.956 jiwa), dan terkecil di Kecamatan Bungus Teluk Kabung (24.417 jiwa). Berdasarkan hasil proyeksi penduduk dalam RTRW sampai tahun 2028 serta arah dan kecenderungan perkembangan Kota Padang, digunakan strategi pendistribusian penduduk pada masing-masing kecamatan sebagai berikut (Lampiran 4) : a) Perkembangan penduduk di Kecamatan Lubuk Begalung, Padang Selatan, Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara dan Nanggalo ditekan atau dikendalikan perkembangannya, sehingga distribusi penduduk di enam kecamatan ini tidak terlalu tinggi karena kawasan ini berada di kawasan yang 4
Menurut Sekretaris Bappeda Kota Padang, Draft Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2008 – 2028 sudah final, hanya menunggu pengesahan DPRD Kota Padang
91 sudah relatif tinggi kepadatannya dan tergolong rawan terhadap bencana atau sebagian berada di kawasan sempadan pantai. b) Perkembangan penduduk di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dikendalikan perkembangannya, karena sebagian kawasan ini termasuk dalam kawasan Hutan Lindung dan HSAW. c) Perkembangan penduduk di Kecamatan Koto Tangah didorong perkembangannya untuk mempercepat perkembangan kawasan di bagian Timur dan Utara kota sesuai dengan arah pengembangan kota ke depan. Berdasarkan strategi pendistribusian penduduk tersebut, maka perkiraan sebaran dan kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan sampai tahun 2028 dapat dihitung, sehingga perkiraan kebutuhan air rumah tangga pada setiap DAS dalam SWP DAS Arau dapat diperkirakan (Tabel 20). Kebutuhan Air Perkotaan. Sebagai kota yang termasuk kategori kota besar (kota yang berpenduduk lebih dari 500.000 jiwa), kebutuhan air perkotaan untuk Kota Padang, yaitu kebutuhan air untuk fasilitas kota seperti, fasilitas komersil, fasilitas wisata, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas rumah ibadah dan fasilitas pendukung lainnya seperti taman, hidran dan penggelontoran kota adalah sebesar 40% dari kebutuhan air rumah tangga.
Kebutuhan air
perkotaan disajikan pada Tabel 21. Kebutuhan air perkotaan pada tahun 2009 untuk Kota Padang adalah sebesar 16.621.735 m3/tahun (1.385.145 m3/bulan). Kebutuhan ini terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas perkotaan lainnya, dan pada tahun 2028 mencapai 35.048.918 m3/tahun (2.920.743 m3/bulan). Tabel 21 Perkiraan kebutuhan air perkotaan Kota Padang dan SWP DAS Arau tahun 2009, 2018 dan 2028 No
Wilayah
1 2 3 4 5
Kota Padang SWP DAS Arau DAS Btg Arau DAS Btg Kuranji DAS Btg Air Dingin
Kebutuhan Air RT (m3/tahun) 2009 2018 2028 41.554.338 36.391.223 18.391.223 14.291.814 4.298.922
59.707.120 54.376.386 25.792.944 21.188.633 7.394.809
87.622.294 80.769.492 38.312.214 31.473.187 10.984.091
Kebutuhan Air Perkotaan (M3/Tahun) 2009 2018 2028 16.621.735 14.556.849 7.356.489 5.716.725 1.719.569
23.882.848 21.750.554 10.317.178 8.475.453 2.957.924
35.048.918 32.307.797 15.324.886 12.589.275 4.393.636
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011; Padang Dalam Angka 2009 BPS 2010; RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028 Bappeda Kota Padang 2010
92 Sedangkan kebutuhan air perkotaan pada SWP DAS Arau pada tahun 2009 mencapai 14.556.849 m3/tahun, dengan kebutuhan terbesar pada DAS Batang Arau, yang memiliki wilayah kecamatan yang merupakan pusat perkotaan dengan pemukiman yang terpadat di Kota Padang. Perkiraan kebutuhan air perkotaan pada SWP DAS Arau hingga tahun 2028 juga meningkat seiring dengan peningkatan penduduk, yaitu mencapai 32.307.797 m3/tahun. Kebutuhan Air Pertanian. Kebutuhan air pertanian dibagi tiga bagian, yaitu kebutuhan untuk irigasi, perikanan dan peternakan. Pengambilan air untuk pertanian pada umumnya dilakukan secara gravitasi dari sungai atau anak sungai. 1. Kebutuhan Air Irigasi Berdasarkan data Dinas PSDA Sumatera Barat (2008) luas daerah irigasi potensial yang dibangun PU (baik teknis, semi teknis maupun sederhana) pada SWP DAS Arau adalah sekitar 7.812 hektar dengan luas fungsional sebesar 6.980 hektar. Daerah irigasi terbesar berada pada DAS Batang Kuranji dengan luas fungsional 3.600 hektar, berikutnya DAS Batang Air Dingin 2.394 hektar dan yang terkecil berada pada DAS Batang Arau seluas 1.425 hektar. Hal ini secara hidrologis terkait dengan ketersediaan air yang lebih besar pada DAS Batang Kuranji dibanding dua DAS lainnya.
Namun berdasarkan
informasi petugas irigasi5, luas daerah irigasi telah berkurang karena adanya alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman atau peruntukan lainnya. Air dari irigasi PU, selain untuk tanaman padi sawah, juga dimanfaatkan untuk tanaman palawija. Penanaman padi dilakukan dua kali setahun dan setelah itu ditanami palawija. Kebutuhan air tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Maret yang merupakan awal musim tanam padi. Berdasarkan data Statistik Kota Padang tahun 2009, luas sawah di Kota Padang pada tahun 2009 adalah sekitar 6.659 hektar, dengan jenis pengairan beririgasi (baik teknis, setengah teknis, sederhana dan irigasi non PU) seluas 6.383 hektar dan sawah tadah hujan 276 hektar.
Berdasarkan hasil
penghitungan kebutuhan air irigasi seperti disajikan pada Tabel 22 (rincian
5
Wawancara dengan Bapak Syafruddin, Kepala Daerah Irigasi Gunung Nago, Dinas PSDA Kota Padang pada tanggal 29 Oktober 2010 di Kantor Irigasi Gunung Nago Padang
93 perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4), maka didapatkan kebutuhan air irigasi untuk Kota Padang sebesar 148.902.624 m3/tahun, sedangkan kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau adalah sebesar 122.845.248 m3/tahun. Kebutuhan air irigasi terbesar berada pada DAS Batang Kuranji (70.357.248 m3/tahun), kemudian DAS Batang Arau (38.094.624 m3/tahun) dan kebutuhan terkecil pada DAS Batang Air Dingin (14.393.376 m3/tahun). Proyeksi kebutuhan air irigasi di masa mendatang diperkirakan menurun karena berdasarkan data statistik (2010), luas lahan sawah di Kota Padang dalam lima tahun terakhir cenderung berkurang (luas sawah tahun 2006 sekitar 6.700 hektar dan tahun 2009 hanya 6.659 hektar, terjadi penurunan 0,6 % pertahun). Arahan pada Draft Revisi RTRW Kota Padang tahun 2008-2028 terjadi pengurangan lahan sawah sekitar 10% dari RTRW Kota Padang 20042013 untuk dialih fungsikan menjadi pemukiman atau peruntukan lainnya. Dengan demikian perkiraan kebutuhan air irigasi Kota Padang pada tahun 2028 mengalami penurunan menjadi 134.012.362 m3/tahun, sedangkan pada SWP DAS Arau mencapai 110.560.773 m3/tahun. 2. Kebutuhan Air Perikanan Kebutuhan air perikanan dihitung dengan mengalikan luas lahan perikanan dengan standar kebutuhan air masing-masing jenis pengelolaan perikanan darat seperti disajikan pada Tabel 22 (rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4). Dari Tabel 22 terlihat kebutuhan air untuk kegiatan perikanan darat untuk Kota Padang sebesar 324.289 m3/tahun (27.024 m3/bulan), sedangkan kebutuhan air perikanan pada SWP DAS Arau adalah sebesar 270.148 m3/tahun (22.512 m3/bulan).
Kebutuhan air perikanan terbesar
berada pada DAS Batang Kuranji (152.426 m3/tahun), kemudian DAS Batang Arau (68.033 m3/tahun) dan kebutuhan terkecil pada DAS Batang Air Dingin (49.688 m3/tahun). Proyeksi kebutuhan air untuk perikanan darat di masa mendatang diperkirakan cenderung menurun (menurun 1% dari 2006 sampai 2009) karena berdasarkan data statistik (2009), luas lahan untuk perikanan di Kota Padang mengalami penurunan dari 102,96 ha pada 2006, meningkat menjadi 103,34 ha pada tahun 2007, menjadi 105,03 pada tahun 2008, dan kembali menurun menjadi 101,26 ha pada tahun 2009. Arahan pada draft
94 revisi RTRW Kota Padang tahun 2008-2028 pengembangan perikanan diarahkan kepada pengembangan perikanan laut yang menjadi potensi unggulan dalam pengembangan kegiatan perikanan di Kota Padang. Diperkirakan hingga tahun 2028, kebutuhan air perikanan mengalami penurunan sebesar 5%. Dengan demikian kebutuhan air perikanan Kota Padang tahun 2028 mengalami penurunan menjadi 308.074 m3/tahun dan pada SWP DAS Arau mencapai 256.640 m3/tahun. Tabel 22 Perkiraan kebutuhan air pertanian Kota Padang dan SWP DAS Arau tahun 2009, 2018 dan 2028 No I
Uraian
Kebutuhan Air (m3/tahun) 2009 2018 2028
1 2 3 4 5
Irigasi Kota Padang SWP DAS Arau DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin
148.902.624 122.845.248 38.094.624 70.357.248 14.393.376
141.457.493 116.702.986 36.189.893 66.839.386 13.673.707
134.012.362 110.560.723 34.285.162 63.321.523 12.954.038
II 1 2 3 4 5
Perikanan Kota Padang SWP DAS Arau DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin
324.289 270.148 68.033 152.426 49.688
323.478 269.472 67.863 152.045 48.038
308.074 256.640 64.632 144.805 47.204
III 1 2 3 4 5
Peternakan Kota Padang SWP DAS Arau DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin
1.517.942 1.181.487 216.956 584.323 380.208
1.335.789 1.039.708 190.921 514.204 334.583
1.175.496 914.943 168.011 452.499 294.433
Jumlah KA Pertanian 1 Kota Padang 2 SWP DAS Arau 3 DAS Batang Arau 4 DAS Batang Kuranji 5 DAS Batang Air Dingin
150.744.855 124.296.883 38.379.613 71.093.997 14.823.272
143.116.760 118.012.166 36.448.677 67.505.635 14.056.328
135.495.931 111.732.306 34.517.805 63.918.827 13.295.675
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011.
3. Kebutuhan Air Peternakan Hasil penghitungan kebutuhan air peternakan untuk Kota Padang dan SWP DAS Arau pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 22 (rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4). Dari Tabel 22, terlihat kebutuhan air untuk kegiatan peternakan untuk Kota Padang sebesar 1.517.942 m3/tahun (126.495 m3/bulan), sedangkan kebutuhan air peternakan pada SWP DAS Arau adalah
95 sebesar 1.181.487 m3/tahun (98.457 m3/bulan). Kebutuhan air peternakan terbesar berada pada DAS Batang Kuranji (584.323 m3/tahun), kemudian DAS Batang Air Dingin (380.208 m3/tahun) dan kebutuhan terkecil pada DAS Batang Arau (216.956 m3/tahun). Berdasarkan data statistik (2010) populasi ternak cenderung menurun, karena terbatasnya lahan untuk peternakan. Namun, populasi ternak yang dipotong meningkat, karena adanya pasokan ternak potong dari luar Kota Padang. Untuk melihat kecenderungan penurunan kebutuhan air peternakan, maka dilakukan penghitungan kebutuhan air untuk jumlah populasi ternak Kota Padang tahun 2005, hasilnya sebesar 1.731.308 m3/tahun. Dengan demikian, dalam rentang waktu 5 tahun terjadi penurunan kebutuhan air ternak sebesar 12,3%. Proyeksi kebutuhan air untuk peternakan di masa mendatang diperkirakan mengalami penurunan, dan pada tahun 2028 mencapai 1.175.495 m3/tahun untuk Kota Padang, dan 914.943 m3/tahun untuk SWP DAS Arau. Kebutuhan air pertanian Kota Padang dan SWP DAS Arau pada tahun 2009 dapat dihitung dengan menjumlahkan kebutuhan air untuk irigasi, perikanan dan peternakan, yaitu sebesar 150.744.855 m3/tahun untuk Kota Padang. Sedangkan kebutuhan air pertanian SWP DAS Arau sekitar 124.296.883 m3/tahun pada SWP DAS Arau atau mencapai 82,46% kebutuhan air untuk pertanian di Kota Padang. Kebutuhan air tertinggi untuk pertanian berada pada DAS Batang Kuranji, yaitu sebesar 71.093.997 m3/tahun (47% kebutuhan air pertanian Kota Padang) karena wilayah DAS Batang Kuranji merupakan daerah pertanian terluas di Kota Padang. Kebutuhan air pertanian pada DAS Batang Arau mencapai 38.379.613 m3/tahun. Sedangkan kebutuhan air terendah berada pada DAS Batang Air Dingin, yaitu sebesar 14.823.272 m3/tahun.
Perkiraan kebutuhan air pertanian hingga tahun
2028 untuk Kota Padang mengalami penurunan, sebesar 10%,
menjadi
135.495.931 m3/tahun, sedangkan pada SWP DAS Arau menurun menjadi 111.732.306 m3/tahun.
96 Kebutuhan Air Industri.
Kebutuhan air untuk industri diperkirakan
dengan membagi industri atas dua golongan besar, yaitu industri pabrikan (termasuk PLTA) dan industri jasa (pariwisata dan transportasi). Perkiraan kebutuhan air untuk industri disajikan pada Tabel 23. Kebutuhan air industri Kota Padang yaitu sebesar 272.923.161 m3/tahun, sedangkan kebutuhan air industri SWP DAS Arau sekitar 263.507.107 m3/tahun atau mencapai 96,55% kebutuhan air industri di Kota Padang. Kebutuhan air tertinggi untuk industri berada pada DAS Batang Kuranji, yaitu sebesar 159.538.345 m3/tahun (58,46% kebutuhan air industri Kota Padang), yang digunakan 83% nya oleh PLTA Batu Busuk; kebutuhan air industri pada DAS Batang Arau mencapai 97.847.583 m3/tahun (35,85% kebutuhan air industri Kota Padang) karena wilayah DAS Batang Arau, mulai dari hulu hingga hilir merupakan daerah industri terbanyak di Kota Padang. Sedang kebutuhan air industri terendah berada pada DAS Batang Air Dingin, 8.457.787 m3/tahun (3,10% kebutuhan air industri Kota Padang). Kota Padang diproyeksikan sebagai kota industri sebagaimana ditetapkan dalam kebijakan pembangunannya. Namun pertumbuhan kegiatan industri tidak menunjukkan pertumbuhan yang tinggi, dalam 5 tahun terakhir (2005-2009) hanya meningkat sebesar 5% per tahun. Sesuai RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028, arah pengembangan industri adalah mendorong pengembangan kawasan industri perikanan dan maritim serta pergudangan di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, yang terletak di luar wilayah SWP DAS Arau dan mengoptimalkan pengembangan Padang Industrial Park seluas 400 ha Tabel 23 Kebutuhan air industri Kota Padang dan SWP DAS Arau No
Uraian
1 2 3 4 5
Kota Padang SWP DAS Arau DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin
1 2 3 4 5
Kota Padang SWP DAS Arau DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin
Kebutuhan Air Industri (m3/tahun) Tahun 2009 Pabrikan Pariwisata Transportasi Total 201.556.493 143.518 71.223.150 272.923.161 201.000.225 129.648 62.377.235 263.507.107 66.230.923 93.294 31.523.366 97.847.583 134.384.199 660.504 24.493.641 159.538.345 1.079.421 6.570 7.371.596 8.457.587 Perkiraan Kebutuhan Air Industri (m3/tahun) 2013 2018 2023 2028 277.205.719 281.702.405 286.423.925 291.381.522 267.318.863 271.321.206 275.523.666 279.936.249 99.985.963 102.231.261 104.588.824 107.064.265 160.905.662 162.341.345 163.848.812 165.431.653 8.880.466 9.324.490 9.790.714 10.280.250
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011.
97 yang terletak di Kecamatan Koto Tangah, yang lokasinya juga terletak di luar SWP DAS Arau. Sehingga perkiraan kebutuhan air industri hingga tahun 2028 pada SWP DAS Arau diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 5% per tahun mengacu pada angka pertumbuhan industri 2005-2009, sedangkan untuk PLTA, kebutuhan air tetap. Dari hasil analisis kebutuhan air maka didapatkan pada tahun 2009, kebutuhan air Kota Padang adalah 481.844.089 m3/tahun dan kebutuhan air pada SWP DAS Arau sebesar 438.752.062 m3/tahun, seperti disajikan pada Tabel 24, dengan pengguna air terbesar adalah sektor industri (60,06%), kemudian diikuti sektor pertanian (28,33%), rumah tangga (8,29%) dan perkotaan (3,32%). Kebutuhan air terbesar berada pada DAS Batang Kuranji, sebesar 57,13% atau 250.640.881 m3/tahun, diikuti DAS Batang Arau 36,92% atau 161.974.908 m3/tahun, dan yang terkecil pada DAS Batang Air Dingin, sebesar 6,68% atau 29.299.350 m3/tahun.
Gambar 6 Sebaran kebutuhan air pada SWP DAS Arau berdasar sektor dan DAS. Proyeksi kebutuhan air hingga tahun 2028 memperlihatkan bahwa kebutuhan Kota Padang mengalami peningkatan sebesar 14,05% pada tahun 2018, meningkat 22,14% pada tahun 2028. Sedangkan pada SWP DAS Arau, proyeksi kebutuhan air mengalami peningkatan sebesar 15,04% pada tahun 2018, dan meningkat 23,48% pada tahun 2028.
98 Tabel 24 Kebutuhan air pada SWP DAS Arau dan Kota Padang Perkiraan Kebutuhan Air (M 3/tahun) DAS DAS SWP DAS Batang Batang Arau Arau Kuranji
DAS Batang Air Dingin
41.554.338 16.621.735 150.744.855 272.923.161
36.391.223 14.556.849 124.296.883 263.507.107
18.391.223 7.356.489 38.379.613 97.847.583
14.291.814 5.716.725 71.093.997 159.538.345
4.298.922 1.719.569 14.823.272 8.457.587
481.844.089
438.752.062
161.974.908
250.640.881
29.299.350
Proyeksi Tahun 2018 Rumah Tangga 59.707.120 Perkotaan 23.882.848 Pertanian 143.116.760 Industri 281.702.405
54.376.386 21.750.554 118.012.166 271.321.206
25.792.944 10.317.178 36.448.677 102.231.261
21.188.633 8.475.453 67.505.635 162.341.345
7.394.809 2.957.924 14.056.328 9.324.490
508.409.133
465.460.312
174.790.060
259.511.066
33.733.551
Proyeksi Tahun 2028 Rumah Tangga 87.622.294 Perkotaan 35.048.918 Pertanian 135.495.931 Industri 291.381.522
80.769.492 32.307.797 111.732.306 279.936.248
38.312.214 15.324.886 34.517.805 107.064.265
31.473.187 12.589.275 63.918.827 165.431.653
10.984.091 4.393.636 13.295.675 10.280.250
504.745.843
195.219.170
273.412.942
38.953.652
No
Sektor
I 1 2 3 4
Tahun 2009 Rumah Tangga Perkotaan Pertanian Industri
Jumlah Tahun 2009 II 1 2 3 4
Jumlah Proyeksi 2018 III 1 2 3 4
Kota Padang
Jumlah Proyeksi 2028 549.548.665 Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011
Neraca Air SWP DAS Arau dan Kota Padang Untuk melihat kondisi keseimbangan air DAS atau ketersediaan air pada suatu DAS dalam memenuhi kebutuhan air pada DAS tersebut, maka ketersediaan air pada DAS tersebut dikurangi dengan kebutuhan air pada DAS. Dari hasil analisis yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan ketersediaan air berdasarkan debit andalan pada SWP DAS Arau untuk tahun 2009 adalah sebesar 641.449.986 m3/tahun, sedangkan kebutuhan air pada SWP DAS Arau adalah 438.752.062 m3/tahun, sehingga masih terdapat kelebihan air dalam memenuhi kebutuhan yang ada pada SWP DAS Arau. Namun bila dilihat keseimbangan air bulanan pada setiap DAS (Tabel 25 dan Tabel 26), maka terlihat ada bulan-bulan yang mengalami kekurangan air dalam memenuhi kebutuhan air pada DAS tersebut, yaitu pada saat debit bulanan lebih kecil dari debit andalan, sehingga mengindikasikan terjadi krisis air pada DAS tersebut, seperti yang terjadi pada DAS Batang Arau dan DAS Batang Kuranji. Krisis air terparah terjadi pada DAS Batang Arau, yang hampir sepanjang
99 bulan mengalami kekurangan air. Bila dilihat dari neraca air, maka ketersediaan air pada DAS Batang Arau sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam DAS tersebut, sehingga untuk memenuhi kebutuhan air pada DAS Batang Arau harus dipasok dari DAS tetangganya, misalnya untuk memenuhi kebutuhan air baku PDAM dalam wilayah pelayanan DAS Batang Arau, sebagian dipasok dari intake PDAM pada DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin. Tabel 25 Keseimbangan air pada SWP DAS Arau dan Kota Padang No
Sektor
DAS Bt Air Dingin
970.269.479 641.449.986
181.545.365 91.064.736
428.264.844 252.570.528
360.459.270 297.814.722
438.752.062 465.460.312 505.745.843
161.974.908 174.790.060 195.219.170
250.640.881 259.511.066 273.412.924
29.299.350 33.733.551 38.953.652
Kota Padang
Ketersediaan Air 1 Rerata 20 tahun 2 Debit Andalan Kebutuhan Air 1 Tahun 2009 2 Tahun 2018 3 Tahun 2028
Neraca Air (m3/tahun) SWP DAS DAS Bt DAS Bt Arau Arau Kuranji
481.844.089 508.409.133 549.548.665
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011 Terjadi krisis air tahun 2009 dan
krisis air pada 2018 dan 2028
Tabel 26 Neraca air bulanan SWP DAS Arau berdasarkan penghitungan debit andalan (Q80) No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah
Batang Arau
Kebutuhan Air (m3/bulan) Batang Batang Air Kuranji Dingin
SWP DAS Arau
13.370.927 12.228.088 15.656.604 14.513.766 13.751.873 13.370.927 12.228.088 12.228.088 12.228.088 15.656.604 14.132.819 13.370.927
20.652.216 18.541.499 24.873.652 22.762.934 21.355.789 20.652.217 18.541.499 18.541.499 18.541.499 24.873.652 22.059.362 20.652.217
2.393.635 1.961.834 3.257.238 2.825.436 2.537.569 2.393.635 1.961.834 1.961.834 1.961.834 3.257.238 2.681.503 2.393.635
36.153.188 32.467.830 43.523.903 39.838.545 37.381.640 36.153.188 32.467.830 32.467.830 32.467.830 43.523.903 38.610.093 36.153.188
161.974.908
250.640.881
29.299.350
438.752.062
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011;
Keterangan ;
Ketersediaan / Debit Andalan (m3/bulan) Batang Batang Batang Air SWP DAS Arau Kuranji Dingin Arau 8.838.720 2.733.696 9.481.536 7.490.880 7.419.168 5.080.320 8.061.984 7.312.032 3.395.520 4.740.768 13.037.760 13.472.352
16.150.752 11.684.736 21.132.576 15.318.720 12.561.696 10.730.880 20.891.520 15.802.560 27.345.600 33.935.328 31.259.520 35.756.640
24.855.552 20.998.626 24.909.120 24.935.040 20.570.112 20.969.280 23.918.112 21.453.984 27.008.640 28.605.312 28.226.880 31.364.064
49.845.024 35.417.058 55.523.232 47.744.640 40.550.976 36.780.480 52.871.616 44.568.576 57.749.760 67.281.408 72.524.160 80.593.056
91.064.736
252.570.528
297.814.722
641.449.986
Terjadi krisis air tahun 2009
Berdasarkan pengamatan dan informasi yang dikumpulkan di lapangan, kekurangan air pada DAS Batang Arau sering menimbulkan konflik perebutan air antara petani dalam pengairan sawahnya, sehingga sawah yang agak jauh dari sungai tidak kebagian air, ataupun konflik air antara masyarakat dengan industri yang menggunakan air dalam proses produksinya atau dengan PDAM Padang.
100 Kekurangan air ini juga menyebabkan PLTA Batu Busuk pada DAS Batang Kuranji hanya bisa beroperasi sebesar 50% dari kapasitas terpasang, bahkan PLTA Rasak Bungo pada DAS Batang Arau hanya beroperasi pada kapasitas 10 – 20% pada musim kemarau dan 30 - 50% pada musim hujan. Di sisi lain, terdapat kelebihan air pada bulan-bulan yang debit bulanannya lebih besar dari debit rata-rata. Namun karena pengelolaan yang belum optimal, sebagian besar air yang berlebih tersebut tersebut melimpas ke laut. Namun sebelum ke laut, air limpasan yang tidak tertampung oleh badan sungai akan terlebih dahulu menggenangi bagian yang datar di hilir, seperti pemukiman dan areal persawahan sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Sebaliknya di musim kemarau malah sering terjadi kekurangan air, terutama untuk mencukupi kebutuhan air untuk irigasi dan air bersih untuk berbagai penggunaan. Dengan kondisi pengelolaan sumberdaya air yang ada, areal persawahan di hilir ke tiga DAS hanya mampu maksimum bertanam dua kali setahun, dengan waktu tunggu menjelang tanam di musim hujan sekitar dua sampai tiga bulan. Demikian juga masalah kekurangan air bersih pada Instalasi Penampungan Air (IPA) yang dimiliki oleh PDAM Kota Padang, seringkali pasokan air bersih ke perkotaan terganggu akibat rendahnya aliran sungai pada musim kemarau, sementara pada musim hujan, pasokan air terganggu karena sumur penampung (intake) PDAM sering terlanda air bah atau banjir bandang yang datang dari hulu sungai karena daerah resapan air yang rusak, sehingga sumur intake tertimbun air yang kotor tercampur material tanah dan batu-batu yang tererosi dari daerah hulu. Menurut salah satu Narasumber dari PDAM Kota Padang6, pembersihan pipa penghisap air intake baru bisa dilakukan bila air sungai sudah bersih kembali. Akibatnya perlu biaya yang lebih besar untuk pengolahan air sungai menjadi air bersih untuk bahan baku air minum PDAM. Sementara itu, sejatinya dalam memperkirakan ketersediaan air untuk air baku (air bersih) perlu memperhatikan kualitas air yang tersedia. Keberadaan berbagai macam industri di sepanjang aliran sungai akan berpengaruh terhadap kualitas air sungai tersebut karena kegiatan industri akan menghasilkan bahan
6
Wawancara dengan Bapak Ir. Harry Satria, Direktur Litbang PDAM Kota Padang pada tanggal 7 Februari 2011, di Kantor Direksi PDAM, Jl. Mangunsarkoro No. 21 Padang.
101 pencemar berupa limbah padat ataupun cair. Beberapa industri yang berpotensi menghasilkan limbah di sepanjang aliran sungai adalah industri minyak sawit, karet, industri minuman dan makanan, serta industri produk minyak nabati, sedangkan untuk kegiatan pertambangan, hampir semua bentuk kegiatannya menimbulkan dampak terhadap lingkungan DAS. Sebagian industri tersebut menpunyai akses pembuangan limbah secara langsung ataupun tidak langsung ke perairan atau aliran sungai. Untuk Kota Padang, industri-industri besar yang mempunyai dampak nyata terhadap aliran/air sungai sebagian besar terkonsentrasi pada DAS Batang Arau, seperti pabrik semen, pabrik karet dan pabrik minyak goreng. Sedangkan di sungai-sungai lainnya hanya terdapat industri-industri rumah tangga seperti industri roti, tahu, tempe, limun dan bermacam-macam industri rumah tangga yang bergerak dalam bidang makanan (Bapedalda 2010). Masalah pencemaran khususnya di DAS Batang Arau telah berlangsung lama, yang bersumber dari limbah pertambangan industri PT Semen Padang, pabrik karet dan limbah domestik, akibatnya saat ini aliran/air Sungai Batang Arau mulai dari Lubuk Begalung hingga ke Muaro Padang (daerah tengah hingga hilir DAS Batang Arau) sudah tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai air golongan B (untuk air minum), sehingga akan mengurangi ketersediaan air yang dapat digunakan untuk air baku. Dari hasil analisis sampel kualitas air yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Padang pada ketiga DAS tersebut yang dipublikasikan melalui Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Padang Tahun 2009, dinyatakan bahwa air pada ketiga DAS, terutama pada bagian tengah hingga hilir telah mengalami pencemaran dengan tingkat pencemaran yang bervariasi dan baku mutunya berada pada baku mutu kelas III dan IV. Hal ini tentunya akan mengurangi ketersediaan air yang dapat dipergunakan untuk air baku. Namun, kajian kualitas air tidak dilakukan pada penelitian ini, sehingga tidak akan dibahas pada penelitian ini. Bila dicermati kondisi ketersedian air pada SWP DAS Arau maka dapat dikatakan secara umum ketersediaan air cukup tinggi pada SWP DAS Arau dan wilayah Kota Padang karena curah hujan yang tinggi, akibat letak geografis yang berhadapan dengan laut dan kondisi topografinya merupakan perpaduan antara dataran rendah, perbukitan serta daerah aliran sungai. Curah hujan yang tinggi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap debit sungai-sungai yang terdapat pa-
102 da SWP DAS Arau. Tingkat kebutuhan air untuk Kota Padang dan SWP DAS Arau untuk saat ini masih lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan air berdasar debit rata-rata, namun yang menjadi masalah adalah distribusi air antar waktu (musim hujan dan musim kemarau). Bila dilihat per DAS, maka untuk DAS Batang Arau, ketersediaan air berdasar debit andalan tidak dapat mencukupi kebutuhan air yang ada, atau dapat dikatakan telah terjadi krisis yang serius pada DAS Batang Arau. Agar tidak menimbulkan konflik lebih lanjut maka perlu penanganan dan pengelolaan segera agar kemampuan DAS menyediakan air lebih baik sehingga kebutuhan air dalam DAS tersebut bisa terpenuhi. Bila tidak memungkinkan DAS Batang Arau memenuhi kebutuhan airnya maka dapat dipasok dari DAS tetangga yang kelebihan air dengan mekanisme yang disepakati. Pada SWP DAS Arau dan Kota Padang, pada waktu musim hujan, hampir selalu ada wilayah yang mengalami bencana banjir dan longsor. Sebaliknya pada waktu musim kemarau ada yang mengalami kekeringan. Beberapa sungai sama sekali tidak ada aliran pada musim kemarau, namun aliran sangat besar terjadi pada musim penghujan. Ada perbedaan debit yang sangat besar pada sungai tersebut pada saat dua musim tersebut berlangsung, sehingga dampaknya terjadi krisis air (baik banjir, longsor, maupun kekeringan) yang telah menjadi persoalan hidup yang kompleks, sehingga harus segera dipecahkan. Aliran air sangat tergantung pada kondisi tata guna lahan, terutama pada daerah hulu DAS. Bila tidak ada daerah yang bisa menyerap dan daerah yang bisa menahan laju aliran maka pada waktu musim penghujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada waktu musim kemarau karena tidak ada lagi hujan maka keberadaan air di suatu tempat tergantung dari kuantitas dan kualitas resapan dan penahan air pada waktu musim penghujan. Dengan resapan maupun penahan air yang baik maka kebutuhan air dapat terpenuhi di musim kemarau karena masih ada air yang tertampung misalnya pada waduk, danau, retensi dan cekungan, yang meresap di dalam tanah sehingga membentuk air tanah, sumur, dan lain-lain. Agar ketersediaan air stabil dan optimal sepanjang tahun, maka pengelolaan sumberdaya air dalam kerangka pengelolaan DAS terpadu harus memperhatikan perencanaan distribusi air antar waktu, dengan mengelola daerah-daerah resapan maupun penahan air yang baik dan optimal, misalnya dengan membangun tempat-
103 tempat penampung air permukaan sehingga jumlah air hujan yang terserap lebih besar dan jumlah air yang melimpas ke laut dapat diperkecil sehingga kebutuhan air sepanjang tahun dapat terpenuhi. Hal yang dapat dilakukan antara lain melalui cara sipil teknis ataupun vegetatif. Memperbesar daerah penyimpan air dengan cara sipil teknis dilakukan dengan membangun cekungan tempat penampungan air, embung, situ, bendungan ataupun waduk, artinya bila ingin meningkatkan besar debit dari debit andal tersebut perlu ada waduk atau tempat penyimpanan, sehingga pada musim hujan akan disimpan debit-debit banjir. Sedangkan cara vegetatif dilakukan dengan pengelolaan vegetasi, misalnya untuk memperbesar simpanan air tanah dapat dilakukan dengan memperbesar daya serap air tanah pada DTA air melalui pengelolaan vegetasi pada daerah tangkapan air tersebut. Karena Kota Padang merupakan daerah rawan bencana dengan kondisi geomorfologi yang labil dan daerah dataran yang sempit, maka akan sangat beresiko atau tidak pada semua lokasi yang membutuhkan air dapat dibuat bendungan, waduk, sumur resapan ataupun embung, sehingga alternatif lainnya adalah dengan memperbesar daya serap air tanah pada daerah tangkapan air, yaitu mempertahankan hutan atau tutupan vegetasi permanen pada kawasan lindung, dengan jalan konservasi dan perlindungan hutan pada daerah tangkapan air yang vegetasinya masih bagus dan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada daerah tangkapan air yang vegetasinya telah terbuka atau rusak. Berapa jumlah lahan yang harus dipertahankan sebagai hutan ataupun sebagai kawasan lindung dengan tutupan vegetasi permanen sehingga kemampuan tanah untuk menyimpan air sesuai dengan kebutuhan atau paling tidak curah hujan yang melimpas ke laut dapat berkurang sehingga sebaran ketersediaan air setiap bulannya dapat memenuhi debit andalan, perlu dilakukan analisis tentang penggunaan lahan optimal sehingga ketersediaan air stabil sepanjang tahun yang tercermin pada kinerja DAS yang baik. Pembahasan tentang penggunaan lahan optimal pada SWP DAS Arau akan diuraikan pada bagian kedua berikut ini.
104 Penggunaan Lahan Pada SWP DAS Arau Penggunaan Lahan Eksisting pada SWP DAS Arau Karakter Penggunaan Lahan. Karakteristik penggunaan lahan pada SWP DAS Arau tidak terlepas dari karakteristik penggunaan lahan di Kota Padang, karena 98,9% wilayah SWP DAS Arau merupakan wilayah administratif Kota Padang. Secara umum karakter penggunaan lahan pada SWP DAS Arau dapat dibagi 3 (tiga), yaitu : 1. Kawasan Hutan yang terdiri atas Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) dan Hutan Lindung (HL). 2. Kawasan Budidaya yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (pertanian lahan kering, kebun campuran, sawah, peternakan, perikanan) dan sebagian masih berupa semak belukar.
Kawasan ini merupakan kawasan transisi
daerah hutan dan daerah perkotaan. 3. Kawasan Perkotaan yang didominasi oleh permukiman, sarana sosial, ekonomi, budaya dan prasarana perkotaan. Penggunaan lahan di kawasan Pusat Kota dalam sepuluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti, namun terlihat semakin tinggi intensitasnya. Perkembangan fisik perkotaan cenderung mengikuti pola jaringan jalan-jalan utama, terutama di sepanjang Jalan Padang By-Pass, yang membelah SWP DAS Arau dibagian tengahnya dan selama ini menjadi batas imajiner kawasan perkotaan dengan kawasan transisi. Tabel 27 Penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Persentase
35.448 14.752 2.148 6.579 1.689 6.681 1.562 120 135 382
51,01 21,23 3,09 9,47 2,43 9,61 2,25 0,17 0,19 0,55
Jumlah 69.496 Sumber : Padang Dalam Angka 2009; BPS Kota Padang 2010.
100,00
Hutan Lebat Ladang/tegalan/kebun campuran Perkebunan rakyat Sawah, kebun sayuran, ternak dan kolam ikan Tanah perusahaan, industri, jasa dan tanah kota Tanah perumahan Semak dan tanah kosong Hutan mangrove/rawa Jalan arteri dan kolektor Sungai, danau buatan dan lainnya
105 Berdasarkan data penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009 (BPS 2010) seperti pada Tabel 27, terlihat penggunaan lahan terbesar adalah untuk hutan, yaitu sebesar 51,01%, diikuti oleh kawasan pertanian sebesar 33,78% (sawah, ladang, kebun, peternakan dan perkebunan rakyat), sedangkan lahan yang dapat digolong sebagai lahan terbangun (tanah perumahan, tanah perusahaan, tanah jasa, dan jalan) luasnya hanya sekitar 12,22% dari luas wilayah kota. Terkait dengan aspek penggunaan lahan di Kota Padang yang didominasi hutan dan pertanian, maka Kota Padang, paradoks dengan pemahaman umum tentang pengertian kota sebagai kawasan yang dominasi kegiatannya bukan pertanian. Pola tata guna lahan Kota Padang yang didominasi oleh penggunaan untuk kegiatan yang bersifat non perkotaan (hutan dan kawasan pertanian) sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dasar (topografi, kemiringan lahan, hidrologi dan geologi). Faktor kerawanan terhadap bencana (khususnya kerawanan terhadap gempa bumi dan gelombang tsunami) akan mempengaruhi pola tata guna lahan Kota Padang di masa mendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan Kota
Padang
dalam
jangka
panjang,
maka
langkah-langkah
untuk
mempertahankan lahan yang berfungsi lindung harus terus dilakukan, karena lahan yang digunakan untuk kegiatan yang bersifat non perkotaan (hutan dan pertanian), dalam jangka panjang akan cenderung mengalami peralihan pemanfaatan dengan berbagai alasan, sehingga perlu dikendalikan dengan mempertimbangkan dinamika perkembangan kawasan di sekitarnya. Pembagian Kawasan dan Tutupan Lahan. Dari 11 kecamatan yang ada di Kota Padang, kawasan hutan hanya terdapat pada 6 Kecamatan, yaitu pada Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan dan Bungus Teluk Kabung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat, pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau terdiri dari wilayah hutan 32.098 hektar (60,86%), berupa Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) 23.454 hektar; Hutan Lindung (HL) 7.644 hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) 20.642 hektar (39,14%). Penataan batas kawasan hutan di Kota Padang telah mulai dilakukan sejak tahun 1983, sebelum dikeluarkannya SK Menhutbun Nomor 422/Kpts-II/1999 tersebut.
106 Berdasarkan hasil analisis peta Kawasan Hutan Kotamadya Padang (diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2004, berdasarkan peta paduserasi RTRW dan TGHK serta peta tata batas kawasan hutan), pembagian fungsi kawasan terdiri dari kawasan hutan sebesar 29.720 hektar (56,35%) berupa HSAW 23.382 hektar dan Hutan Lindung (HL) 6.338 hektar; serta Areal Penggunaan Lain (APL) 23.020 hektar (43,65%) (Tabel 28). Sehingga terdapat perbedaan luas kawasan hutan antara hasil penataan batas dan SK Menhutbun Nomor 422/Kpts-II/1999. Tabel 28 Pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau No 1 2 3
Fungsi Kawasan HSAW HL APL
SWP DAS Arau SK Tata Menhut Batas 23.454 7.644 20.642
23.382 6.338 23.020
Btg Arau SK Tata Menhut Batas 5.540 2.932 8.995
4.242 2.798 10.428
Btg Kuranji SK Tata Menhut Batas 9.015 3.236 10.219
Btg Air Dingin SK Tata Menhut Batas
9.510 2.474 10.486
8.898 1.496 2.409
9.631 1.066 2.106
Jumlah 52.740 52.740 17.467 17.467 22.470 22.470 12.803 Sumber : Hasil Analisis Peta Kawasan Hutan, Peta Hasil Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta SWP DAS Arau 2011.
12.803
Tabel 29 Tutupan lahan pada SWP DAS Arau tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan Lahan Hutan LK Primer Hutan LK Sekunder Semak Belukar Pertanian LK + Semak Pertanian Lahan Kering Sawah Permukiman Pertambangan Tanah Terbuka Tubuh Air Bandara/Pelabuhan
DAS Bt Arau 4.591 849 6.055 220 1.780 3.506 344 30 92
Luas Tutupan Lahan (ha) DAS Bt DAS Bt SWP DAS Kuranji Air Dingin Arau 12.243 348 1.123 3.644 1.166 1.787 1.888
9.973
65 206
31 9
630 907 681 240 332
26.807 1.197 1.753 10.606 2.067 3.807 5.726 344 30 188 215
Persentase (%) 50,83 2,27 3,32 20,11 3,92 7,22 10,86 0,65 0,06 0,36 0,41
Jumlah 17.467 22.470 12.803 52.740 100,00 Sumber : Hasil analisis peta tutupan lahan SWP DAS Arau berdasar hasil interpretasi Citra Landsat ETM 7+ SWP DAS Arau Tahun 2009.
Dari analisis peta tutupan lahan tahun 2009 berdasar interpretasi Citra Landsat ETM7+ tahun 2009, seperti disajikan pada Tabel 29, terlihat bahwa tutupan lahan pada SWP DAS Arau didominasi oleh hutan (53,10%), berupa Hutan Lahan Kering Primer (50,83%) dan Hutan Lahan Kering Sekunder (2,27%), yang
107 bila dilihat dari peta kawasan merupakan kawasan konservasi. Selanjutnya adalah pertanian lahan kering campur semak (20,11%) dan Semak Belukar (3,32%), yang bila dilihat dari peta kawasan hutan, sebagian besar termasuk kawasan Hutan Lindung. Sisa lahan lainnya digunakan untuk kegiatan pertanian lahan kering, sawah dan penggunaan lainnya (12,20%). Kawasan terbangun berupa pemukiman dan bandar udara (bandara) besarnya 11,26%. Jenis Tanah dan Tutupan Lahan. Berdasarkan hasil kajian PSI Unand (2004) tanah pada SWP DAS Arau umumnya didominasi oleh tanah yang berorder Inceptisol, Entisol dan Ultisol, serta asosiasi dari jenis-jenis tanah tersebut. Tanah daerah ini termasuk intensif tercuci oleh air hujan sehingga permukaan tanah terlihat agak pucat dan kasar. Sifat-sifat lahan pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh jenis tanah, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan iklim. Dari aspek kemiringan lahan maka daerah ini didominasi oleh daerah yang curam. Adanya curah hujan yang tinggi dengan durasi yang lama membuat tanah di daerah ini sering mengalami longsor karena tanah yang lapisan bawah impermeabel menyebabkan tanah cepat jenuh, sehingga aliran permukaan dan erosi cepat terjadi. Hal ini terlihat dari kondisi warna tanah yang pucat dan terang karena sering mengalami pencucian bahan organik oleh air hujan. Agar tidak membahayakan kawasan di bawahnya, maka SWP DAS Arau hulu harus tetap dipertahankan sebagai hutan lindung.
Kebijakan konservasi lahan harus diperhatikan untuk
mencegah terjadinya erosi yang besar masuk ke alur-alur sungai. Kebijakan konservasi yang dimaksud adalah zonasi penggunaan lahan yang rasional terutama bagian hulu DAS sehingga debit air yang optimum dan merata sepanjang tahun dapat dipertahankan. Perubahan Tutupan Lahan pada SWP DAS Arau Untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada SWP DAS Arau, maka dilakukan analisis terhadap tutupan lahan pada tiga periode berbeda, tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2009. Hasil analisis peta tutupan lahan terhadap ketiga peta tutupan lahan tersebut didapatkan hasil seperti disajikan pada Tabel 30. Berdasarkan data tahun 1990, luas Hutan pada SWP DAS Arau mencapai 29.324 hektar (55,60%) yang terdiri dari hutan lahan kering primer 25.800 hektar
108 dan hutan lahan kering sekunder 3.524 hektar. Luas ini mengalami penurunan menjadi 28.789 hektar (54,59%) pada tahun 2000 dan hanya sekitar 28.004 hektar (53,10%) pada tahun 2009. Sementara itu luas semak belukar mengalami peningkatan dari 87 hektar (0,17%) pada tahun 1990, menjadi 935 hektar (1,77%, meningkat hampir 11 kali lipat) pada tahun 2000 dan 1.753 hektar (3,32%; pada tahun 2009), atau meningkat 20 kali lipat dibandingkan tahun 1990.
Penurunan
luas hutan terbesar terjadi pada DAS Batang Kuranji, diikuti oleh DAS Batang Air Dingin dan DAS Batang Arau. Tabel 30 Tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009 No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hutan LK Primer Hutan LK Sekunder Semak Belukar Pertanian LK + Semak Pertanian LK Sawah Permukiman Pertambangan Tanah Terbuka Tubuh Air Bandara
DAS Batang Kuranji 1990 2000 2009
DAS Batang Air Dingin 1990 2000 2009
4.591 849
10.778 2.692
10.306
10.613
9.973
4.433 1.223 1.237 1.836
788 2.968 1.223 2.711 1.887
12.243 348 1.123 3.644 1.166 1.787 1.888
1 1.153 630 399 274
42 978 630 226 274
630 907 681 240 332
65 206
65 206
65 206
31 9
31 9
31 9
22.470 22.470 22.470 SWP DAS Arau % ∆(902009 00)
12.803
12.803
12.803
4.716 832 86 5.873
4.705 849 105 5.364
2.366 3.128 344 30 92
2.472 3.506 344 30 92
6.055 220 1.780 3.506 344 30 92
17.467
17.467
17.467
1990
%
2000
Hutan Semak Belukar Pertanian LK Sawah Permukiman Pertambangan Tanah Terbuka Tubuh Air Bandara
29.324 87 13.312 4.002 5.238 344 30 188 215
55,60 0,17 25,24 7,59 9,93 0,65 0,05 0,36 0,41
28.789 935 11.163 5.409 5.667 344 30 188 215
54,59 1,77 21,16 10,26 10,74 0,65 0,05 0,36 0,41
Jumlah
52.740
100,00
52.740
100,00
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
DAS Batang Arau 1990 2000 2009
12.622
(535) 848 (2.149) 1.407 429
%
28.004 1.753 12.673 3.807 5.726 344 30 188 215
53,10 3,32 24,03 7,22 10,86 0,65 0,05 0,36 0,41
52.740
100,00
∆(00-09) (785) 818 1.150 (1.602) 488
∆(9009) (1.320) 1.666 (639) (195) 59
Sumber : Hasil analisis peta tutupan lahan SWP DAS Arau berdasar peta citra landsat ETM 7+ SWP DAS Arau Tahun 1990, 2000 dan 2009.
Dari Tabel 30 terlihat dalam masa 20 tahun (1990-2009) telah terjadi pengurangan luas hutan sebesar 1.320 hektar, dengan pengurangan terbesar terjadi pada periode 2000 – 2009, terutama setelah lima tahun pertama bergulirnya reformasi. Berkurangnya luas tutupan hutan terjadi karena adanya pembukaan lahan-lahan hutan untuk ladang (pertanian lahan kering) berpindah dan maraknya penebangan liar. Pembukaan lahan hutan untuk pertanian lahan kering terjadi karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman sehingga kemudian petani
109 membuka hutan untuk pertanian. Menurut pengakuan masyarakat yang berladang di dalam kawasan hutan lindung, sebelum di tata batas, lokasi tersebut adalah tanah atau hutan ulayat mereka yang berfungsi sebagai hutan cadangan (yaitu hutan ulayat yang dapat digunakan untuk perluasan perladangan dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi), namun setelah penataan batas menjadi kawasan hutan lindung, Pemerintah Kota Padang melakukan pelarangan total terhadap pemanfaatan hutan lindung. Berdasarkan aturan adat, hutan terbagi 2, yaitu (1) hutan simpanan atau hutan larangan, yaitu hutan yang tidak boleh ditebang karena berfungsi untuk perlindungan air, yaitu hutan register pada jaman Belanda; dan (2) hutan cadangan, yaitu hutan yang dapat digunakan untuk pemungutan hasil hutan dan untuk perluasan perladangan dengan jenis tanaman keras, atau setara dengan hutan produksi. Sebelum tahun 1916, semua hutan di Sumatera Barat merupakan hutan ulayat (adat) yang dikelola oleh Nagari berdasarkan peraturan adat (Dishut 2004). Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1916, kawasan hutan Sumatera Barat dibagi kedalam satuan Register yang didapatkan dari kesepakatan antara pihak pemerintah Hindia Belanda dan tokoh adat. Hutan Register dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda yang disebut juga hutan larangan, sedangkan hutan di luar register dikelola oleh masyarakat adat. Namun, hasil penataan batas kawasan hutan banyak yang sudah bergeser dari batas register tersebut. Beberapa tokoh adat yang diwawancara7 menyatakan mereka tidak diajak musyawarah ketika dilakukan tata batas. Sedangkan, menurut narasumber dari Dishut8 pada saat pengukuran tata batas mereka telah mengikutsertakan aparat pemerintah setempat dan perwakilan masyarakat. Pada saat penataan batas, lokasi register yang telah ada pemukiman dikeluarkan dari kawasan hutan (dijadikan APL) sedangkan lokasi hutan ulayat yang masih bagus dimasukkan menjadi kawasan hutan, sehingga terjadi pergeseran batas kawasan hutan dari batas register. Pihak KAN sendiri menyatakan telah beberapa kali mendatangi Dinas yang mengurusi urusan kehutanan di Kota Padang (Distannakhutbun) untuk membicarakan penyelesaian kon-
7
Wawancara dengan Bapak Syafii Datuak Basa (Ninik Mamak Suku Guci Nagari Koto Tangah); Bapak Masfar Datuak Basa (Ketua KAN Nagari Koto Tangah); Ketua KAN Nagari Limau Manih dan Bapak Basri Datuak Rajo Sani (Ketua KAN Nagari Lubuk Kilangan). 8
Wawancara dengan Bapak Jhoni Halian, anggota Tim Tata Batas Sub Biphut Sumbar Tahun 1993-1995, saat ini sebagai staf Bidang Intag Dishut Sumatera Barat.
110 flik tata batas tersebut, namun belum ada respon dari pihak Distannakhutbun. Sehingga sampai saat ini masih ada masyarakat yang berladang dalam kawasan hutan lindung karena merasa lokasi tersebut adalah tanah ulayat mereka. Hal ini sejauh ini masih “dibiarkan saja” oleh pihak kehutanan, walaupun mereka mengetahui ada masyarakat yang berladang dalam kawasan hutan lindung dan belum ada solusi yang memuaskan kedua pihak. Bila ini tidak cepat diselesaikan akan dapat merugikan kedua belah pihak. Pemerintah menjadi tidak berwibawa karena tidak mampu mengelola dan menjaga hutan lindung yang telah ditetapkan dan masyarakat juga tidak dapat berladang dengan tenang karena selalu dituding sebagai perambah hutan walaupun mereka sendiri merasa berhak berladang di sana karena itu adalah tanah ulayat mereka, sementara itu hutan semakin rusak karena tidak ada kepastian dalam penguasaan lahan dan pemilikannya. Selain itu Penduduk Kota Padang yang selama ini terkonsentrasi pada beberapa kecamatan yang merupakan “kawasan kota lama”, yakni di Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Utara, dan Kecamatan Nanggalo, terus meningkat sehingga membutuhkan lahan yang lebih luas. Dan arah pengembangan kota adalah pada kecamatankecamatan yang belum terlalu padat penduduknya, yaitu kecamatan-kecamatan yang berada pada pinggiran kota.
Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi, yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Bahkan pusat pemerintahan Kota Padang juga mulai dipindahkan ke daerah jalan Padang By Pass, yang memiliki ketinggian lebih dari 20 m dpl, yang tadinya merupakan daerah transisi serta merupakan daerah bagian tengah SWP DAS Arau,
sehingga wilayah
tersebut mendapat tekanan yang semakin besar. Kecamatan yang menunjukkan kecenderungan penambahan jumlah penduduk cukup signifikan dalam 20 tahun terakhir adalah Kecamatan Koto Tangah (DAS Batang Air Dingin), Kecamatan Pauh dan Kecamatan Kuranji (DAS Batang Kuranji) dan Kecamatan Lubuk Begalung (DAS Batang Arau). Pertambahan jumlah penduduknya mencapai antara 2 sampai 3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, sehingga penduduk mulai
111 membuka lahan hutan untuk pertanian, karena sebagian lahan pertanian produktif telah dijadikan pemukiman, perkantoran dan lahan usaha, industri dan jasa. Dari analisis peta tutupan lahan tahun 1990; 2000; dan 2009, dibandingkan dengan peta penunjukkan fungsi kawasan hutan tahun 1999 serta peta penataan batas kawasan hutan tahun 2004, maka terlihat telah terjadi pembukaan lahan hutan yang terlihat dari berkurangnya tutupan lahan hutan, seperti disajikan pada Tabel 31. Pada kawasan hutan telah terjadi perambahan hutan menjadi perladangan berpindah (pertanian lahan kering campur semak) dan perubahan tutupan hutan menjadi semak belukar karena adanya penebangan liar yang telah merambah ke dalam kawasan konservasi sehingga menimbulkan lahan kritis. Berdasarkan wawancara dengan narasumber dari Balai KSDA sebagai pengelola kawasan, saat ini kondisi kawasan pada bagian inti pada umumnya merupakan daerah yang berbatasan dengan ladang masyarakat, memiliki tingkat kerusakan relatif tinggi karena adanya penebangan liar dan perambahan untuk perladangan. Namun demikian, pada Areal Penggunaan Lain, masih terdapat lahan-lahan berhutan yang merupakan hutan rakyat dan hutan ulayat, yang menjadi bagian dari kawasan lindung yang masih dijaga sebagai hutan oleh masyarakat pemilik lahan. Tabel 31 Perubahan tutupan lahan kawasan hutan SWP DAS Arau Luas Kawasan Hutan (ha) SK Menhut 422/1999 Paduserasi TGHK - RTRW 32.098 29.720 (60,86%) (56,35%) Sumber : Hasil Analisis Data 2011.
Tutupan Lahan Hutan (ha) 1990 2000 2009 29.324 28.789 28.004 (55,60%) (54,59%) (53,10%)
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi DAS pada SWP DAS Arau SWP DAS Arau memiliki karakter hujan yang cukup tinggi (3.700 sampai 4.000 mm/tahun), sehingga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar. Namun dengan meningkatnya kerusakan hutan di hulu, dalam 20 tahun terakhir, kondisi sumberdaya air pada SWP DAS Arau semakin mengkhawatirkan, karena debit musim hujan dan musim kemarau yang begitu fluktuatif yang berpengaruh terhadap fluktuasi penyediaan air bersih untuk minum, industri dan kebutuhan penggunaan air lainnya dan rentan terjadi konflik penggunaan air.
112 Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada SWP DAS Arau seperti yang disajikan pada Tabel 31 di atas tentunya akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologi dan berpengaruh terhadap ketersediaan air DAS. Beberapa parameter yang dapat menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS yang ditelaah dalam kajian ini adalah : (a) Debit sungai, yang meliputi debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin); dan (b) Fluktuasi debit, yang digambarkan oleh rasio Qmaks/Qmin. Debit Sungai. Debit sungai merupakan salah satu parameter hidrologi suatu DAS yang dapat menggambarkan apakah DAS yang bersangkutan dalam kondisi baik atau telah mengalami degradasi. Volume dan distribusi debit sungai dalam suatu DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola curah hujan, kondisi penggunaan atau tutupan lahan serta sifat-sifat tanah lainnya. 1) Debit Maksimum (Qmaks) Debit maksimum (Qmaks) adalah besarnya debit (harian) terukur yang paling tinggi di outlet sebagai akibat kejadian hujan tertentu dan tidak terlampaui oleh kejadian hujan yang lain selama satu tahun (Linsley et al. 1986). Selama periode 1990 – 2009 debit maksimum yang terjadi pada ketiga DAS disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan hasil analisis menggunakan model regressi linear, pengurangan tutupan lahan hutan pada SWP DAS Arau dari 55,06% pada tahun 1990 menjadi 53,10% pada tahun 2009 (berkurang 1.320 hektar) berpengaruh nyata terhadap peningkatan debit maksimum (pada taraf α = 21% atau tingkat kepercayaan 79%, dengan nilai R2 = 40,9 %, artinya 40,9% data dapat dijelaskan dengan model ini). Terjadinya kecenderungan peningkatan debit maksimum (Qmaks), diantaranya karena penurunan luas tutupan hutan, sehingga secara keseluruhan fungsi hutan sebagai penahan aliran permukaan semakin menurun, dan menyebabkan penurunan infiltrasi dan perkolasi serta meningkatkan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan pada musim hujan akan menyebabkan peningkatan debit maksimum (Qmaks).
111
Tabel 32 Debit maksimum, debit minimum, debit rerata dan debit andal SWP DAS Arau tahun 1990 - 2009 No
Tahun Qmaks
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta 42,80 53,40 44,20 dta dta dta dta dta
DAS Batang Arau Qmin Qrerata dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta dta 7,06 7,61 5,86 dta dta dta dta dta
Sumber : Dinas PSDA 2010.
1,68 1,14 0,96
Qandal
0,42 0,29 0,24
Qmaks (m3/detik) DAS Batang Kuranji Qmaks Qmin Qrerata 109,15 110,06 142,55 165,81 169,79 138,21 88,40 184,09 122,07 139,95 526,75 75,25 692,17 127,00 179,43 236,97 368,87 528,14 326,37 212,87
1,93 1,16 1,12 2,33 0,41 2,72 1,65 0,25 0,85 1,30 1,05 2,14 2,67 2,79 1,85 3,04 2,94 3,13 3,86 1,90
19,74 18,84 14,93 17,58 12,03 15,52 15,65 5,12 14,56 10,87 16,26 12,85 20,72 14,43 18,29 19,41 17,34 24,75 27,90 18,00
Qandal 4,94 4,71 3,73 4,40 3,01 3,88 3,91 1,28 3,64 2,72 4,07 3,21 5,18 3,61 4,57 4,85 4,34 6,19 6,98 4,50
Qmaks 194,20 194,20 250,00 236,00 316,00 199,00 236,00 215,00 202,00 199,00 292,00 218,00 250,00 453,00 326,00 17,51 329,48 60,30 83,90 69,30
DAS Batang Air Dingin Qmin Qrerata Qandal 1,00 1,00 3,12 3,92 1,92 3,92 3,12 1,24 3,92 2,80 2,00 2,88 4,16 2,48 2,96 4,99 0,45 5,20 4,20 4,00
7,11 10,9 8,94 11,42 7,69 11,38 10,83 3,95 12,1 12,86 9,58 10,97 13,28 9,73 11,13 7,82 6,54 12,40 12,62 11,43
1,78 2,73 2,24 2,86 1,92 2,85 2,71 0,99 3,03 3,22 2,40 2,74 3,32 2,43 2,78 1,96 1,64 3,10 31,6 2,86
Keterangan : dta = data tidak ada
113
114
Faktor lainnya yang diduga menyebabkan peningkatan debit maksimum adalah karena umumnya (hampir 70%) tutupan hutan pada SWP DAS Arau terletak pada lereng yang relatif curam (15% - 45%) hingga sangat curam ( > 45%) sehingga bila tutupannya berubah jadi pertanian lahan kering atau semak belukar akan berpengaruh terhadap aliran permukaan. Hal ini senada dengan hasil penelitian Handayani et al. (2005) di DAS Ciliwung Hulu, yang menyatakan bahwa penurunan tutupan lahan hutan dari 4.897 hektar (18,1%) pada tahun 1989 menjadi 4.459 hektar (16,2%) pada tahun 1998 meningkatkan debit puncak dan volume aliran permukaan masing-masing sebesar 18,97 % dan 17,87%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa proporsi tutupan hutan pada suatu DAS sangat berperan terhadap debit yang dihasilkan. Kecenderungan debit maksimum SWP DAS Arau disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Kecenderungan peningkatan debit maksimum SWP DAS Arau Debit Minimum. Debit minimum pada suatu DAS umumnya menggambarkan besarnya aliran dasar (base flow) yang terjadi. Selain itu, debit minimum juga menggambarkan kemampuan DAS bersangkutan untuk merespon masukan (input) utama berupa hujan, selanjutnya menyimpan atau menginfiltrasikannya ke dalam tanah untuk dialirkan menjadi aliran sungai pada saat tidak terjadi hujan. Hal ini menjadi perhatian yang penting karena SWP DAS Arau merupakan sum-
115 ber air baku untuk berbagai keperluan di Kota Padang. Sehingga kondisi debit minimum akan menjadi acuan berapa banyak air baku yang dapat diambil dari SWP DAS Arau untuk berbagai keperluan. Debit minimum SWP DAS Arau tahun 1990 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Tabel 32. Berdasarkan hasil analisis menggunakan model regressi linear, pengurangan tutupan lahan hutan pada SWP DAS Arau dari 55,06% pada tahun 1990 menjadi 53,10% pada tahun 2009 (berkurang 1.320 hektar) berpengaruh nyata terhadap penurunan debit minimum (α = 19%; R2 = 41,5%). Terjadinya kecenderungan penurunan debit minimum pada SWP DAS Arau tidak terlepas dari pengaruh menurunnya tutupan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan hutan ternyata masih menjadi pilihan terbaik untuk tetap menjaga kondisi hidrologis suatu DAS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agus et al. (2002) bahwa tutupan hutan merupakan penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Selanjutnya dikatakan bahwa tanah hutan yang memiliki serasah tidak terganggu akan mampu berperan sebagai filter pergerakan air di dalam tanah, selain itu tanah juga menjadi lebih tahan terhadap erosi, sehingga secara keseluruhan hutan mempunyai fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Kecenderungan penurunan debit minimum yang terjadi pada SWP DAS Arau harus menjadi perhatian serius, agar tidak terjadi krisis air pada musim kemarau yang berujung pada konflik antar pengguna air. Fluktuasi Debit. Fluktuasi debit sungai menggambarkan perubahan hasil air (water yield) yang dihasilkan oleh suatu DAS sebagai respon terhadap masukan hujan. Fluktuasi debit merupakan gambaran kualitas suatu DAS. Apabila perbedaan antara debit musim hujan dengan debit di musim kemarau (fluktuasi debit) sudah sangat tinggi, maka dapat dikatakan bahwa DAS tersebut secara hidrologis telah mengalami degradasi. Dengan kata lain fluktuasi debit dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai apakah suatu DAS telah mengalami degradasi atau masih baik. Fluktuasi debit dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum (Qmaks/Qmin). Dalam istilah kehutanan sering pula disebut sebagai Koefisien Regim Sungai (KRS). Ada pula yang menyebutnya sebagai rasio debit. Besarnya nilai KRS SWP DAS Arau secara rinci disajikan pada Tabel 33.
116 Tabel 33 Nilai fluktuasi debit (KRS) SWP DAS Arau periode 1990 – 2009 No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Batang Arau KRS 1 KRS 2
6,06 7,02 7,54 4,11
101,90 187,37 184,17 65,82
Nilai KRS DAS Batang Kuranji KRS 1 KRS 2 56,55 94,88 127,28 71,16 414,12 50,81 53,58 736,36 143,61 107,65 501,67 35,16 259,24 45,52 96,99 77,95 125,47 168,73 84,55 112,04
22,12 23,37 38,19 37,73 56,46 35,62 22,59 143,82 33,54 51,50 129,58 23,42 133,62 35,20 39,24 48,83 85,09 85,36 46,79 47,30
Batang Air Dingin KRS 1 KRS 2 194,20 194,20 80,13 60,20 164,58 50,77 75,64 173,39 51,53 71,07 146,00 75,69 60,10 182,66 110,14 3,51 732,18 11,60 19,98
109,25 71,27 111,86 82,66 164,37 69,95 87,17 217,72 66,78 61,90 121,92 79,49 75,30 186,23 117,16 8,96 201,52 19,45 26,59
Sumber : Dianalisis dari data Debit SWP DAS Arau Tahun 1990 – 2009 Keterangan : Berdasarkan SK Dirjen RLPS Nomor P.04/V-SET/2009 a) Kriteria (1) ( < 50 baik; 50 -120 sedang; > 120 jelek/buruk) b) Kriteria (2) ( > 20 jelek/buruk)
Berdasarkan Tabel 33 terlihat bahwa fluktuasi debit (Nilai KRS) SWP DAS Arau cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun menurut kriteria (1) nilai KRS bervariasi, ada yang termasuk kategori baik, sedang dan buruk, namun apabila menggunakan kriteria (2), hampir semua nilai KRS termasuk kategori buruk, kecuali pada DAS Batang Air Dingin pada tahun 2005 dan 2007, termasuk kategori baik. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari perubahan tutupan lahan hutan. Meningkatnya fluktuasi debit menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan hutan telah menyebabkan perubahan perilaku hidrologi yang berpengaruh terhadap ketersediaan air. Penurunan tutupan lahan hutan menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah yang pada giliran akan menyebabkan peningkatan aliran permukaan dan debit sungai. Hal ini senada dengan yang disampaikan Ilyas (2000) yang menyatakan penurunan luas hutan pada DAS Karangmumus di Kalimantan Timur dari 18% menjadi 10% telah menyebabkan peningkatan laju puncak banjir sebesar 7,63% dari kondisi semula, karena lahan menjadi terbuka sehingga berdampak pada peningkatan aliran permukaan.
117 Penutupan Lahan Optimal pada SWP DAS Arau Untuk mengetahui tutupan lahan optimal, yaitu pola penutupan lahan yang akan memberikan kondisi hidrologis DAS yang optimal atau kinerja DAS dalam kategori baik maka dilakukan analisis terhadap tutupan lahan seperti apa yang memberikan nilai KRS yang berada pada kriteria baik.
Berdasarkan analisis
menggunakan persamaan regressi linear, hubungan nilai KRS dengan tutupan lahan memberikan hasil yang tidak nyata (tidak ada hubungan yang signifikan) karena hasil analisis menunjukkan ketika tutupan lahan hutan meningkat, nilai KRS ada yang meningkat dan ada yang menurun. Diduga hal ini disebabkan oleh pengaruh curah hujan karena kondisi cuaca yang ekstrim ataupun karena jumlah data yang tidak memadai untuk dianalisis menggunakan regressi, terutama data debit pada DAS Batang Arau. Karena hubungan KRS dan tutupan lahan tidak nyata menggunakan model linear, maka tidak dapat dilakukan simulasi dengan analisis regresi untuk melihat proyeksi nilai KRS agar bisa didapatkan skenario optimal. Oleh karena itu, untuk menduga proyeksi nilai KRS, digunakan model deterministik non linear atau model sistem dinamis menggunakan program Stella versi 9.0.2. Model yang akan dibangun terdiri dari 3 (tiga) variabel utama yaitu : (a) Stock, yaitu luas berbagai tutupan lahan, yaitu hutan, semak belukar, pertanian lahan kering campur semak, dan pertanian lahan kering (PLK); (b) Flow, yaitu perubahan luas tutupan lahan; dan (c) Variabel auxilary, yaitu variabel yang ditetapkan sebagai konstanta dalam menentukan tindakan manajemen, seperti kegiatan RHL dan pembatasan pemberian ijin konversi tutupan lahan hutan. Asumsi yang dijadikan landasan untuk membangun model dinamis, yaitu : peningkatan jumlah penduduk pada SWP DAS Arau akan meningkatkan permintaan akan produk pertanian dan jumlah petani lahan kering, yang pada gilirannya akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian lahan kering (PLK). Peningkatan kebutuhan lahan untuk PLK ini dipenuhi petani dari konversi lahan semak belukar untuk PLK dan pembukaan lahan (perambahan) hutan untuk PLK. Degradasi hutan terjadi karena adanya perubahan tutupan lahan hutan menjadi semak belukar, pertanian lahan kering campur semak dan PLK. Pengurangan tutupan hutan (degradasi hutan) akan meningkatkan debit maksimum (Qmaks) dan menurunkan debit minimum (Qmin) dan cenderung me-
118 ningkatkan nilai Koefisien Regime Sungai (KRS), yang menunjukkan kinerja DAS semakin buruk. Degradasi hutan dapat dicegah dengan menghentikan atau melarang konversi lahan hutan menjadi peruntukan lain atau diperbaiki dengan penanaman kembali (rehabilitasi) semak belukar dan lahan PLK campur semak dengan jenis-jenis tanaman kehutanan. Dengan demikian, untuk memperbaiki kinerja DAS dilakukan melalui pendekatan perbaikan nilai KRS sehingga mencapai nilai KRS dalam kategori baik (nilai KRS < 50), menggunakan skenario reboisasi lahan terhadap tutupan non hutan (semak belukar, PLK campur semak dan PLK) dan penghentian laju konversi hutan. Proyeksi nilai KRS karena perubahan tutupan lahan dilihat pada 2 (dua) skenario, yaitu : (1) Skenario bila tidak ada perlakuan sama sekali, atau kondisi eksisting dibiarkan sebagaimana adanya (business as usual, BAU); dan (2) Skenario bila diberikan perlakuan dalam bentuk reboisasi dan RHL dan pencegahan konversi hutan menjadi tutupan selain hutan. Berdasarkan data BPS (2010), laju pertambahan penduduk pada ke tiga DAS pada lokasi penelitian adalah : 1,09% pertahun pada DAS Batang Arau; 2,48% pertahun pada DAS Batang Kuranji; dan 2,63% pertahun pada DAS Batang Air Dingin. Dari hasil survey didapatkan rata-rata luas lahan setiap keluarga petani yang digunakan untuk PLK (parak) pada lokasi penelitian adalah sebesar 1 (satu) hektar. Jumlah penduduk yang bekerja pada bidang pertanian/kehutanan pada SWP DAS Arau pada tahun 2009 adalah sebesar 5,48% atau 10.677 KK (BPS, 2010), sehingga akan terjadi pertambahan petani PLK sekitar 193 orang pertahun. Dengan demikian kebutuhan peningkatan lahan untuk PLK adalah sekitar 193 hektar per tahun atau 9,34% per tahun dari jumlah PLK pada tahun 2009 atau 0,36% per tahun dari luas SWP DAS Arau. Peningkatan kebutuhan lahan ini dipenuhi petani dari pembukaan semak belukar untuk PLK (laju perubahan tutupan lahan semak belukar 0,01% per tahun pada DAS Batang Arau; 0,06% per tahun pada DAS Batang Kuranji; dan 0,080,11% per tahun pada DAS Batang Air Dingin) dan perambahan hutan untuk PLK (laju perubahan tutupan lahan hutan 0,46 – 0,48% per tahun pada DAS Batang Arau; 0,61 – 0,70% per tahun pada DAS Batang Kuranji; dan 0,73 – 0,85% per tahun pada DAS Batang Air Dingin) yang dapat menunjukkan pola perubahan
119 lahan pada kawasan lindung SWP DAS Arau.
Dengan demikian didapatkan
formulasi peningkatan PLK sekitar 0,24% per tahun. Hasil simulasi dengan model dinamis seperti disajikan pada Tabel 34 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pada skenario (1) kondisi tanpa
tindakan perlakuan apa pun dan membiarkan kondisi pengelolaan lahan seperti saat ini (BAU), maka hasil proyeksi untuk 2012-2020 didapatkan kondisi sebagai berikut : (a) Jumlah tutupan lahan hutan cenderung menurun mencapai 25.892 hektar pada tahun 2020; (b) Luas semak belukar cenderung meningkat menjadi 4.492 hektar dan luas pertanian lahan kering cenderung meningkat menjadi 2.368 hektar pada tahun 2020; dan (c) Nilai KRS pada ketiga DAS cenderung meningkat, dan pada tahun 2020 mencapai angka yang lebih besar dari 200, yang berarti kinerja DAS buruk. Pada skenario (2) dilakukan penanaman kembali lahan dengan tutupan non hutan, yaitu semak belukar, pertanian lahan kering campur semak dan pertanian lahan kering untuk mendapatkan nilai KRS dalam kategori baik ( < 50). Berdasarkan hasil analisis model proyeksi skenario (2) untuk periode 2012-2020 didapatkan kondisi sebagai berikut : (a) Nilai KRS pada tahun 2020 mencapai nilai yang lebih kecil dari 50, yang berarti bahwa kinerja DAS dalam kategori baik; (b) Kondisi ini dicapai pada luas tutupan lahan hutan sebesar 30.395 hektar. Penggunaan Lahan Optimal.
Untuk mendapatkan penggunaan lahan
optimal, maka ada 3 faktor yang dipertimbangkan selain hasil skenario (2), yaitu faktor lingkungan (kesesuaian fungsi kawasan dan kerawanan terhadap bencana); faktor ekonomi dan pengembangan wilayah (peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan arahan RTRW Kota Padang tahun 2008-2028); dan faktor sosial budaya (historis lahan, adat dan preferensi masyarakat). Berdasarkan pertimbangan faktor fisik mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 873/Kpts/Um/11/80, tentang penetapan kawasan hutan maka luas lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau adalah sebesar 32.098 hektar (60,86%). Dibandingkan dengan luas Kota Padang, jumlah ini cukup besar karena keadaan topografi dan bentuk wilayah SWP DAS Arau didominasi oleh tingkat kelerengan agak curam sampai dengan sangat curam. Pada daerah hulu, tingkat kemiringan lereng dominan adalah curam sampai sangat
120 Tabel 34 Hasil proyeksi perubahan tutupan lahan terhadap nilai KRS No
Uraian
DAS Btg Arau
DAS Btg Kuranji
DAS Btg Air Dingin
SWP DAS Arau
Kondisi Eksisting (Tahun 2009) 1 Hutan (ha) 5.440 12.591 9.973 28.004 2 Semak Belukar (ha) 0,3 1.123 630 1.753 3 PLK campur Semak (ha) 6.055 3.644 907 10.606 4 PLK (ha) 220 1.166 681 2.067 Proyeksi Tahun 2020 A Skenario (1) Bussiness as Ussual (BAU) 1 Hutan (ha) 5.328 11.697 8.867 25.892 2 Semak Belukar (ha) 0 3.109 1.383 4.492 3 PLK campur Semak (ha) 5.998 3.229 777 10.004 4 PLK (ha) 171 1.136 1.061 2.368 5 Nilai KRS 330,01 206,34 204,5 B Skenario (2) Pencegahan konversi hutan serta pelaksanaan Konservasi dan RHL 1 Hutan (ha) 5.548 14.717 10.670 30.935 2 Semak Belukar (ha) 0 45 13 58 3 PLK campur Semak (ha) 5.959 3.229 777 9.965 4 PLK (ha) 0 1.136 630 1.766 5 Nilai KRS 13,46 39,45 36,27 Arahan RTRW 2008-2028 1 HSAW 4.242 9.510 9.631 23.383 2 Hutan Lindung 2.798 2.474 1.066 6.338 Jumlah Hutan 7.040 11.984 10.697 29.710 3 APL 10.428 10.486 2.106 23.020 Kebutuhan Konservasi/RHL pada PL optimal 1 Hutan Konservasi 531 56 289 876 2 Hutan Lindung 1.069 400 523 1.992 3 Hutan Rakyat Agroforestry 626 100 500 1.226
curam (kelerengan 25-40% sebesar 33% dan kelerengan > 40% sebesar25,24%), sehingga kecepatan aliran air dipermukaan akan lebih tinggi menuju alur-alur sungai. Bila lahan terbuka, maka ancaman erosi dan longsor akan sangat besar, sehingga harus dilindungi dengan tutupan lahan yang bisa menahan dan menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan. Jumlah tutupan lahan hutan berdasarkan aspek fisik ini (32.098 hektar) lebih besar 1.163 hektar dibandingkan dengan hasil analisis model pada skenario (2) yang hanya sebesar 30.935 hektar. Berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi dan pengembangan wilayah, arahan penggunaan lahan SWP DAS Arau pada Draft Revisi RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028 mengatur penggunaan lahan hutan sebesar 29.720 hektar (56,35%) dengan komposisi 23.382 hektar untuk Hutan Konservasi (HSAW) dan 6.338 untuk Hutan Lindung. Bila dibandingkan dengan kebutuhan tutupan lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik (Skenario 2) maka masih terdapat kekurangan
121 luas tutupan lahan hutan sebesar 1.215 hektar. Kekurangan ini dapat diatasi dengan : (1) Merevisi penggunaan lahan pada RTRW Kota Padang tahun 2008-2028 dan menambahkan arahan penggunaan lahan Hutan Lindung sebesar 1.215 hektar; (2) Bila tidak memungkinkan untuk merubah peruntukan fungsi kawasan (penambahan hutan lindung 1.215 hektar) maka alternatifnya adalah menetapkan lokasilokasi pada Areal Penggunaan Lain (lahan milik di luar kawasan hutan) dengan fungsi tutupan lahan hutan, melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pemberian insentif sesuai kebutuhan; dan (3) Kombinasi alternatif (1) dan (2), yaitu menambah luasan hutan lindung pada arahan RTRW Kota Padang 2008-2028 dan bila tidak mencukupi, ditambah dengan penetapan APL dengan fungsi tutupan hutan melalui program hutan rakyat dan pemberian insentif sesuai kebutuhan. Bila dilihat kondisi penutupan saat ini (berdasar data tahun 2009), maka tutupan lahan hutan jumlahnya 28.004 hektar. Bila dibandingkan dengan kebutuhan tutupan lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik (Skenario 2) maka masih terdapat kekurangan luas tutupan lahan hutan sebesar 2.931 hektar. Ini berarti untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik maka harus dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan minimal seluas 2.931 hektar dengan rincian penghutanan kembali dilakukan pada lahan-lahan dengan tutupan semak belukar seluas 1.695 hektar; pertanian lahan kering campur semak seluas 905 hektar dan pada lahan pertanian lahan kering seluas 331 hektar.
Namun dengan mempertimbangkan
tingkat kerawanan terhadap bencana alam, untuk meminimalkan potensi bencana dan menjaga keberlanjutan pembangunan Kota Padang dalam jangka panjang, maka pertimbangan kesesuaian peruntukan lahan dengan kondisi fisik dasar wilayah sangat penting diperhatikan. Oleh karena itu, akan lebih aman untuk mempertahankan tutupan lahan hutan sebesar 32.098 hektar. Bila alternatif ini yang akan dipilih maka harus dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan minimal seluas 4.094 hektar, dengan rincian penghutanan kembali dilakukan pada lahan-lahan dengan tutupan semak belukar seluas 1.695 hektar; pertanian lahan kering campur semak seluas 2.068 hektar dan pertanian lahan kering seluas 331 hektar. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan kinerja DAS baik dan aman (dalam konteks sesuai dengan karakte-
122 ristik fisik dasar wilayah yang dominan curam dan meminimalkan potensi bencana) maka tutupan lahan hutan tersebut harus diperbaiki dengan melakukan rehabilitasi lahan pada kawasan hutan negara yang terbuka atau yang ditumbuhi semak belukar seluas 2.868 hektar, dengan sebaran 876 hektar pada HSAW dan 1.992 hektar pada hutan lindung, dan melakukan penanaman tanaman kehutanan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan negara seluas 1.226 hektar. Berdasarkan pertimbangan aspek sosial budaya, hutan bagi masyarakat nagari memiliki peran penting dari 3 (tiga) sisi sekaligus sebagai asset nagari dan sumberdaya untuk pembangunan masyarakat nagari yang memiliki fungsi ekonomi, sosial budaya dan perlindungan lingkungan. Berdasarkan historis pemilikan lahan, kawasan lindung di hulu DAS adalah lahan komunal milik nagari yang diperuntukkan sebagai hutan larangan (sejak tahun 1926 diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Belanda menjadi hutan register, saat ini menjadi HSAW) dan hutan cadangan nagari. Pemanfaatan hutan ditujukan untuk memberikan manfaat dari ketiga aspek tersebut bagi masyarakat nagari. Sehingga pada saat ini, umumnya lahan di luar kawasan hutan merupakan lahan pertanian lahan kering yang menjadi sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyusunan skenario penggunaan lahan optimal, pengaturan penggunaan lahan di luar kawasan hutan harus bisa memenuhi ketiga fungsi tersebut dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, namun tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kemampuan lahan. Model yang cocok untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah model penanaman hutan rakyat pola agroforestry yang telah dikenal baik oleh masyarakat nagari dengan nama Parak. Parak identik dengan ladang atau kebun pada beberapa tempat, dimana manfaat ekonomi dan perlindungan ekosistem (kawasan penyangga) menjadi fungsi utamanya. Parak dapat didefinisikan sebagai kebun campur yang mengkombinasikan jenis tanaman serba guna (multi purpose trees species, MPTS) dan tanaman yang hanya menghasilkan kayu (tanaman kehutanan) dengan komposisi dan struktur yang beragam. Variasi tumbuhan yang ditanam atau tumbuh sendiri di dalam parak telah menjadikannya sebagai sebuah sistim yang mirip sekali dengan hutan. Bagi kalangan ilmiah, sistim ini dikenal dengan agroforestry. Disamping sebagai kawasan penyangga antara hutan alam dengan areal budidaya persawahan
123 (pola ruang bertingkat), parak juga merupakan gudang plasma nutfah. Jenis-jenis tanaman yang dapat dijumpai di dalam parak, diantaranya adalah: durian, kopi, kulit manis, pala, buah-buahan serta beragam jenis kayu, tanaman bawah, beragam jenis burung, serangga dan sebagainya. Secara spesifik, parak dimiliki secara komunal oleh Kaum atau Suku. Pola keruangan yang bertingkat dari hulu ke hilir dalam aturan adat telah terbukti dapat mempertahankan kestabilan lahan, karena dikelola dengan mengedepankan kaidah konservasi dan masyarakat sangat berkepentingan dengan pola ruang tersebut untuk meminimalkan bencana dan menjaga ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan. Adanya kenyataan, bahwa saat ini kebutuhan kayu semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam tidak mencukupi, demikian juga dengan hasil hutan non kayu lainnya. Adanya peluang pasar hasil hutan rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan non kayu, tersedianya lahan yang perlu ditanami dan masyarakat telah mengenal baik cara pembudidayaannya, maka usaha hutan rakyat agroforestry merupakan peluang untuk peningkatan pendapatan dan sekaligus mempercepat pemulihan lahan kritis. Diharapkan pengembangan hutan rakyat pola agroforestry berbasis “parak” dapat memotivasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan dengan tutupan hutan secara berkelanjutan dan dapat menggerakkan industri hasil hutan, sehingga memenuhi fungsi tiga aspek diatas, yaitu untuk perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan fungsi sosial budaya secara berimbang, dan akhirnya bisa berujung pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan SWP DAS Arau. Oleh karena itu untuk mencapai skenario penggunaan lahan optimal maka dipilih alternatif : (1) Mempertahankan tutupan lahan hutan pada KL SWP DAS Arau seluas 32.098 ha, sehingga harus dilakukan penanaman kembali lahan dengan tutupan non hutan seluas 4.094 ha, dengan distribusi reboisasi dalam kawasan hutan negara seluas 2.868 hektar (HL 1.992 ha dan HSAW 876 ha) dan rehabilitasi lahan di luar kawasan hutan negara dengan pola hutan rakyat agroforestry seluas 1.226 hektar; (2) Pola pertanian lahan kering pada lahan di luar kawasan hutan negara yang harus dihutankan diubah menjadi pola pertanian hutan rakyat agroforestry (parak); (3) Melakukan upaya peningkatan pola usaha tani yang tidak memerlukan ekstensifikasi lahan yang berpotensi mengurangi tutupan
124 lahan hutan; (4) Bila harus dilakukan pengelolaan HL untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar dalam bentuk pemberian ijin pemanfaatan kawasan maka pengelolaan dilakukan dengan pola agroforestry. Untuk merehabilitasi hutan dan lahan pada luasan 4.094 hektar diperlukan alokasi anggaran sekitar Rp 28.193.188.000,-, seperti disajikan pada Tabel 35. Bila kemampuan Pemerintah dan Pemerintah Kota Padang untuk mendanai kegiatan konservasi dan RHL melalui APBN dan APBD hanya sekitar Rp 1 Milyar per tahun, maka dibutuhkan waktu 28 tahun untuk merehabilitasi hutan dan lahan pada SWP DAS Arau agar tercapai kondisi optimal, dengan catatan, tidak terjadi lagi penambahan luas degradasi lahan dengan tutupan hutan sejak tahun 2009 dan biaya tersebut belum termasuk biaya pembangunan infrastruktur, perlindungan dan pengembangan kapasitas dalam pengelolaan hutan berkelanjutan. Tabel 35 Kebutuhan biaya konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau No
Uraian
DAS Btg Arau
DAS Btg Kuranji
1
HSAW (Reboisasi) (Ha) Biaya Reboisasi (Rp/Ha) Jumlah Biaya HSAW (Rp) HL (Reboisasi) (Ha) Biaya Reboisasi (Rp/Ha) Jumlah Biaya HL (Rp) HR Agroforestry (Ha) Biaya HR Agroforestry (Rp/Ha) Jumlah Biaya HR-Ag (Rp) Luas Total (Ha) Biaya Total (Rp)
531 5.641.000 2.995.371.000 1.069 5.641.000 6.030.229.000 626 9.800.000 6.134.800.000 2.226 15.160.400.000
2 3
56 5.641.000 315.896.000 400 5.641.000 2.256.400.000 100 9.800.000
DAS Btg Air Dingin 289 5.641.000 1.630.249.000 523 5.641.000 2.950.243.000 500 9.800.000
SWP DAS Arau 876 5.641.000 4.941.516.000 1.992 5.641.000 11.236.872.000 1.226 9.800.000
980.000.000 556 3.552.296.000
4.900.000.000 1.312 9.480.492.000
12.014.800.000 4.094 28.193.188.000
Untuk mempercepat pemulihan kerusakan hutan dan lahan pada SWP DAS Arau, karena kapasitas pendanaan Pemerintah terbatas, maka perlu dicari alternatif pendanaan lainnya untuk pembiayaan konservasi dan RHL, dengan memprioritaskan alternatif pendanaan yang bersumber dari dalam DAS sendiri, sehingga bisa dibangun kemandirian pengelolaan DAS. Salah satu alternatifnya adalah melalui pengembangan pembayaran jasa lingkungan DAS pada SWP DAS Arau. Analisis potensi pengembangan pembayaran jasa lingkungan pada SWP DAS Arau, akan dibahas secara rinci pada kajian ke tiga disertasi ini.