Ablation Therapy :
Neoplasia Intraepitelial Serviks
Oleh : Heru Priyanto Gyne-oncologist Divisi Onkologi – Bagian Obstetri & Ginekologi RS. Dr. Moewardi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo
Detection and Management Cervical Precancerous Lesions Workshop
RS. Dr. Sardjito – Universitas Gajah Mada Jogyakarta - 2011 PENDAHULUAN
Proses karsinogenesis kanker serviks sangat menarik, karena mempunyai perjalanan alamiah penyakit (natural history) yang terpola dan tahapan yang jelas. Salah satu tahapan yang menarik adalah tahap Lesi Prakanker. Denga adanya tahapan lesi prakanker, sebenarnya membuka peluang bagi kita untuk melakukan deteksi dini serta tindakan pengobatan, sehingga pasien tidak dating ke rumah sakit pada tahapan kanker invasif. Tatalaksana Lesi Prakanker Serviks sangat menarik untuk dipelajari karena variasi modalitas terapi yang cukup banyak serta manfaat yang tinggi buat pasien, dan juga pengobatan pada tahapan ini dapat dilakukan oleh ahli kebidanan dan penyakit kadungan, tidak harus seorang konsultan onkologi.Beberapa kontroversi selalu didapatkan dalam tatalaksana lesi prakanker. Dengan metode skrining yang baik serta pengobatan lesi prakanker, diharapkan dapat menurunkan jumlah kasus yang ditemukan pada stadium kanker invasif, khususnya stadium lanjut yang saat ini mencapai hamper 60%.
Terminologi dan Klasifikasi Neoplasia Intraepitelial Serviks Terminologi displasia diperkenalkan oleh Reagen dan Hammoc pada tahun 1956 yang menggambarkan perbedaan antara "carsinoma in situ" dengan lesi yang "lebih anaplastik". Pada tahun 1975 WHO mendefinisikan displasia sebagai "lesi dimana sebagian epitel digantikan oleh sel yang menunjukkan atipik dengan derajat yang bervariasi". Perubahan displasia mempunyai tingkatan ringan, sedang, dan berat. Richart memperkenalkan terminologi neoplasia intraepitelial serviks (NIS) untuk menggambarkan spektrum biologis dari kelainan preinvasif skuamosa serviks. NIS terbagi atas tiga tingkai yaitu NIS I (displasia ringan), NIS 2 (displasia sedang) dan NIS 3 (displasia berat atau karsinoma in situ). Sistem Bethesda dalam melaporkan diagnosis hasil pemeriksaan sitologi serviks atau vagina dikernbangkan pertama kali pada tahun 1988 di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilakukan pembaharuan pada sistem ini. Lesi pra kanker serviks berdasarkan sistem Bethesda yang diperbaharui tahun 2001 terbagi atas: 1. Low grade squamous intraepithelial lesions (LGSIL) atau NIS 1 adalah lesi berada pada 1/3 epithelium yang ditempati oleh sel yang bermetaplasia. Lesi tersebut dapat terlihat selama inspeksi visual dengan asam asetat. 2. High grade squamous intraepithelial lesions (HGSIL) atau NIS 2 dan NIS 3 adalah lesi yang berada lebih dari 1/3 kedalaman dari epithelial servikal yang dilapisi oleh sel-sel displasia. Apabila asam asetat dioleskan pada serviks akan lebih terabsorbsi daripada pada lesi yang low grade, sehingga lesi acetowhite akan lebih jelas terlihat. Secara histologi CIN 3 dihubungkan dengan stratifikasi dari nukleus abnormal tanpa sitoplasma matur sepanjang ketebalan epitel; nukleus pleomorfik dan
gambaran dari virus wart dapat terjadi perubahan berupa cytoplasmic clearing, iregularitas nukleus, multinukleasi; gambaran mitosis, termasuk bentuk atipik terlihat pada semua lapisan epitel dan seringkali ektensi ke crypta superfisial endoservik.2 5 Perbedaan dari klasifikasi NIS dengan Bethesda dapat dilihat pada tabel dibawah ini.5
Tabel 1. Klasifikasi NIS dan Bethesda 2001 CIN
Bethesda 2001 ASC-US ASC-H
HPV affect
LGSIL
CIN I
LGSIL
CIN II
HGSIL
CIN III
HGSIL
Pada klasifikasi sistem Bethesda terdapat ASCUS (atypical cells of undetermined significance) dan ASC-H (atypical cells of undetermined significance tidak dapat mengekslusi HGSIL). ASCUS merupakan suatu kategori dimana hasil pemeriksaan tidak dapat digolongkan pada sel normal atau kelainan epitel yang jelas, namun perubahan sel tersebut mengarah pada NIS. Kejadian ASCUS pada hasil pap smear sekitar 3,5%.6 Pada sistem Bethesda tidak dijumpai kategori untuk kelainan kelenjar seperti pada sel skuamosa. Antara sel kelenjar normal dan adenokarsinoma invasif hanya terdapat satu kategori yaitu AGUS/AGCUS (Atypical Glandular Cells of Undetermined Significance) tidak ada kategori glandular intraepitelial neoplasia maupun adenokarsinoma in situ, sedangkan perubahan reaktif dimasukkan ke dalam perubahan sel jinak. AGUS ditemukan pada 0,5% dari Pap Smear. Dari hasil pemeriksaan Thin Prep ditemukan HGSIL 5,2-21,9%, Adenokarsinoma insitu 0-3,9%, kanker serviks invasif 1,4-4,3% dan hiperplasia endometrium serta karsinoma endometrium sebesar 1,3-11%.6 Lesi prakanker serviks dapat mengalami regresi spontan Sekitar 57% NIS 1, 43% NIS 2 dan 32% NIS 3 akan mengalami regresi. 6 Namun NIS juga dapat berkembang ke tingkat yang lebih berat, NIS 1 berisiko untuk berkembang menjadi menjadi NIS 3 sebesar 25% selama kurun waktu 2 tahun. Risiko perkembangan NIS menjadi kanker invasif sulit ditentukan. Walaupun demikian, wanita dengan NIS 3 yang tidak mendapatkan terapi yang berhasil, 30-40% akan berkembang menjadi kanker dalam kurun waktu 20 tahun.7
Tatalaksana Tatalaksana lesi prakanker yang dibahas pada makah ini terutama adalah terapi ablasi, meliputi Elektrokauter/kauterisasi,Vaporisasi Laser dan Krioterapi. Sebelum membahas tiap-tiap jenis terapi lebih rinci, perlu dipahami ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam pemilihan jenis terapi yaitu : - Faktor lesi - Faktor pasien Faktor lesi Faktor lesi yang harus dipertimbangkan untuk pemilihan jenis terapi adalah •
Derajat lesi
•
Letak lesi
•
Luas Lesi
•
Fokus lesi
1. Faktor derajat lesi : A. Resiko rendah (Low risk) Pada lesi resiko rendah umumnya tidak dilakukan pengobatan surgikal cukup dilakukan pengamatan saja. Pada NIS I (displasia ringan) kebijakan saat ini adalah dilakukan pengamatan saja, karena 90% NIS I akan mengalami regresi spontan. Bila lesi NIS I persisten selama 2 tahun, maka terapi lokal dapat dilakukan. Hasil penelitian kohort dengan pengamatan selama 2 tahun didapatkan kejadian NIS 3% pada kelompok NIS I selama 9 bulan mendapatkan : 78,3% regresi ; 18,2% persisten ; 3,4% progres. Penatalaksaan LGSIL/NIS 1 bervariasi dan seringkali kontroversi, apalagi bila tidak ditunjang oleh sarana yang memadai maka seringkali overtreatment maupun undertreatment. Sebagian ahli berpendapat untuk menunggu atau konservatif pada tatalaksana LGSIL.LGSIL akan mengalami regresi spontan pada 50% kasus dan akan berkembang menjadi HGSIL pada 15 % kasus.
B. Resiko Tinggi (High risk) Lesi resiko tinggi merupakan lesi NIS II – NIS III. Pada NIS II (displasia sedang), dapat dilakukan terapi destruksi lokal (krioterapi, kauterisasi, vaporisasi) ataupun terapi eksisi. Pada NIS III (displasia keras) dilakukan terapi dengan destruksi lokal atau bedah eksisi lokal pada keadaan fungsi reproduksi yang masih dibutuhkan. Bila fungsi reproduksi tidak diperlukan lagi, dapat dilakukan histerektomi totalis.
HGSIL akan berkembang menjadi kanker invasive pada 20-70% kasus sehingga harus diterapi, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu: 1. Harus diidentifikasi HGSIL tersebut apakah NIS 2 atau NIS 3. 2. Pasien mengerti mengenai kemungkinan terjadinya kanker serviks setelah menderita HGSIL dan persentase terjadinya. 3. Apakah fungsi reproduksi masih diperlukan. 4. Adakah kelainan lain dari uterus. Bila fungsi reproduksi tidak diperlukan lagi maka histerektomi total merupakan pilihan utama. Bila pasien masih menginginkan fungsi reproduksi maka dilakukan terapi konservatif yaitu dengan cara mengambil lesi abnormal atau merusak lesi abnormal tersebut. Pilihan metoda atau alat yang digunakan untuk terapi lokal sangat tergantung dari berbagai faktor antara lain: luasnya lesi, perluasan ke kanalis servikalis, lokasi lesi dan faktor dokter yang memberi terapi. 6 Modalitas terapi untuk lesi prekanker serviks antara lain prosedur ablasi antara lain krioterapi, diatermi elektrokoagulasi, dan C02 laser; serta prosedur eksisi antara lain LEEP, konisasi eksisi serviks, eksisi laser CO2, dan histerektomi. Tidak ada teknik yang paling superior dalam eradikasi NIS. Krioterapi merupakan terapi yang efektif untuk LGSIL namun tidak untuk HGSIL.7 Pada pasien ini pasien dirujuk dengan suspek karsinoma serviks dengan hasil biopsy ulang didapatkan lesi kemungkinan NIS I-II maka lesi pada pasien tergolong dalam HGSIL sehingga memerlukan tatalaksana lebih lanjut. Pada pasien dilakukan konisasi sehingga seluruh lesi terangkat, tindakan ini dapat merupakan prosedur diagnostic dan terapetik sekaligus. Keberhasilan terapi NIS sangat tergantung dengan derajat NIS dan cara terapi yang diberikan. Terapi pada NIS II – III dengan krioterapi mempunyai resiko kegagalan 26,1%, terapi vaporasi dengan laser mempunyai resiko kegagalan 12,5%. Keberhasilan terapi NIS III dengan LLETZ 93%, konisasi 96% dan laser 96,4%.
2. Letak lesi Lesi prakanker yang terletak pada jam 3 dan jam 9 merupakan lesi dengan kemungkinan residif tinggi dibandingkan dengan lesi ditempat lain. Keadaan ini disebabkan karena faktor lekukan dan vaskularisasi di jam 3 dan 9. Krioterapi tidak dianjurkan pada lesi di jam 3 dan 9 karena adanya kelemahan kontak probe dengan epitel di lokasi tersebut.
3. Luas lesi
Luas lesi berhubungan dengan kemampuan jangkauan alat terapi. Pada lesi seperti ini terapi dengan krioterapi tidak diperbolehkan, begitu pula bila ada perluasan ke vagina, krioterapi tidak dapat menjangkau lesi.Selain itu perluasan ke kelenjar endoserviks merupakan perluasan yang mempunyai resiko rekurens.
4. Fokus lesi Fokus lesi yang multipel dengan letak dibeberapa kwadran berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Lebih harus diperhatikan bila yang dilakukan adalah terapi destruksi.
Faktor pasien Beberapa faktor yang ada pada pasien dan perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis terapi adalah : - Usia - Kebutuhan fungsi reproduksi - Patologi uterus - Kepatuhan pasien Faktor usia berhubungan dengan faktor kebutuhan fungsi reproduksi. Pada pasien usia muda tentunya masih sangat dibutuhkan fungsi reproduksi, sehingga dalam pemilihan terapi harus berusaha tetap dipertahankannya organ-organ reproduksi.Adanya patologi uterus menjadi bahan pertimbangan pilihan terapi, walaupun pada kondisi tertentu, patologi uterus bukan merupakan halangan untuk tetap dipertahankan.Kepatuhan pasien untuk mematuhi program pengamatan dan pemeriksaan ulang sangat penting, artinya dalam usaha menemukan rekurensi terhadap kegagalan terapi.
Aplikasi Ekectrosurgery Istilah electrocautery sering digunakan sebagai electrosurgery, dan hal tersebut tidak benar.Electrocautery merujuk pada arus searah / Direct Current ( DC ) ( elektron mengalir pada satu arah ) dimana arus listrik tidak masuk dalam tubuh pasien dan hanya logam panas yang bersentuhan dengan jaringan.Sedangkan pada electrosurgery menggunakan Alternating Current ( AC ),pasien masuk dalam sirkiut dan arus listrik masuk dalam tubuh pasien.
I. Kauterisasi Secara umum Elektrokoagulasi/kauterisasi dipakai untuk mengatasi lesi-lesi kulit berukuran kecil, granulasi yang berlebihan, mengendalikan epistaksis, serta menghancurkan
germinal epitelium kuku pada ungus inkarnatus. Kauterisasi dapat dikerjakan secara kimiawi (misal dengan perak nitrat atau fenol) atau elektris. Kecuali untuk mengatasi lesi-lesi kecil seperti granulasi yang berlebihan (memakai perak nitrat), kauterisasi harus dikerjakan dengan anestesi lokal. Ujung kauter tersedia dalam bermacam-macam bentuk serta ukuran, dan dapat dibengkokkan sesuai kebutuhan.
Gambar 1 : Elektrokauter
Metode ini dapat dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan, tetapi kondisi-kondisi yang sama harus diperhatikan seperti pada krioterapi. Penggunaan elektrokauter tidak memungkinkan untuk memusnahkan jaringan dengan kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS 1 yang kecil dan tempat keseluruhan dengan alat kolposkop, umumnya dapat disembuhkan dengan efektif. Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif dibandingkan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi terutama bila lesi tersebut sangat luas. Walaupun metode ini dapat memusnahkan lesi di dalam kanalis servikalis yang tidak tercapai pada pandangan kolposkopi, dianjurkan penggunaannya hanya dibatasi pada kasus NIS 1 atau 2 dengan batas lesi yang dapat ditemukan.
III.Terapi Krio ( Cryotherapy )
Prinsip Dasar Krioterapi adalah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan bagian yang sakit sampai suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya
minus 25 derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Akibat dari pembekuan tersebut terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu : 1. sel-sel mengalami dehidrasi dan mengerut 2. konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu 3.syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein 4. statis umum sistem mikrovaskuler. Tergantung dari bahan kriogen yang digunakan maka suhu porsio dapat diturunkan menjadi 60 sampai 192 derajat Celcius.
Beberapa alat pada awalnya menggunakan
cairan Nitrogen atau gas Freon, tetapi saat ini hampir semua alat menggunakan N2O. Merupakan alat yang mudah. efektif, tidak mahal dan dapat menjadi pilihan terapi pada pasien dengan NIS, namun alat ini membutuhkan perawatan dan ketersediaan N20. Krioterapi dilakukan pada lesi yang seluruhnya mudah dilihat dengan kolposkopi serta tidak ada perluasan lesi di kanalis servikalis. Krioterapi dilakukan dengan melakukan krionekrosis pada lesi termasuk seluruh zona transforasi. Hipotermi dibuat oleh pendingin cair. N2O akan berjalan melalui media pengalir kecil yang akan memproduksi bola es pada probe besi yang diletakkan pada permukaan jaringan yang akan dibekukan. Probe harus dapat menutupi seluruh zona transformasi. Krioterapi umumnya digunakan pada lesi ektoserviks kecil. Angka kesembuhan primer dapat mencapai 90% namun bila lesi luas maka angka tersebut akan turun. dengan angka kegagalan mencapai 42%.
Peralatan Peralatan terdiri dari pemegang probe (kryogun) dan probe beku. Bentuk dan besar probe-beku bervariasi disesuaikan dengan bentuk dan besar porsio. Gas dialirkan melalui pipa ke dalam pemegang probe dimana terdapat lubang untuk mengalirkan udara luar.
Tehnik Pasien telah dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan diagnosis histopatologi telah ditegakan. Pada pasien diinformasikan tentang tujuan dan prosedur yang akan dilakukan serta efek samping yang dapat tumbuh. Pasien dalam posisi lithotomi dan dengan menggunakan spekulum cocor bebek atau cusco maka porsio ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak dihalangi oleh vagina. Probe beku dipilih yang cocok dan dioleskan sedikit K-J Jelly untuk kemudian ditempelkan pada porsio. Lamanya pembekuan ialah 3-4 menit terhitung mulai sejak terlihatnya pembentukan bunga es pada ujung probe dan bunga es tersebut harus mencakup sejauh 4 mm dari daerah
abnormal. Makin cepat penurunan suhu dan makin lama jaringan berada pada suhu rendah maka makin efektif pula proses kriogenesis tersebut. Kerusakan jaringan yang terjadi lebih merata, walaupun jaringan yang sehat ikut rusak. Tehnik yang lebih efektif dan saat ini menjadi standar adalah double freeze masing-masing selama 2 menit dengan istirahat 5 menit. Pada akhir rangkaian pengobatan, probe beku dicairkan dan dilepaskan dari porsio sehingga terbentuk semacam kawah beku. Kream antibiotika dapat dioleskan pada porsio. Destruksi sel akan terjadi jika jaringan terkena suhu yang rendah. Beratnya destruksi lebih banyak ditentukan oleh kecepatan turunnya suhu daripada rendahnya temperatur yang dicapai. Berbagai pendingin dapat dipakai, misalnya campuran es dan garam (-20˚C) atau es kering karbon dioksida (-80˚C), tetapi hasil yang terbaik diperoleh dengan penggunaan nitrogen cair (-196˚C). Meski terapi krio diterapkan di banyak cabang ilmu kedokteran, manfaatnya paling terasa di bidang dermatologi dan kedokteran umum. Kelainan-kelainan yang paling sering ditangani dengan cara ini antara lain veruka, ”skin tag”, keratosis, papiloma, karsinoma sel basal, dan karsinoma sel skuamosa. Jaringan yang membeku dapat diambil untuk pemeriksaan patologi dan dikirim dalam nitrogen cair atau formalin. Hanya lesi sangat tipis (1-2 mm) yang dapat ditangani secara efektif dengan lidi kapas yang dicelupkan ke dalam nitrogen cair. Untuk lesi-lesi yang lain harus digunakan alat penyemprot atau sonde krio. Meski terapi krio dapat digunakan disemua bagian tubuh, pemakaian didekat mata harus dihindarkan. Stelah luka menyembuh, terapi kio akan meninggalkan bekas berupa daerah yang lebih terang atau lebih gelap dari kulit sekitarnya. Dengan berlalunya waktu bekas ini akan menghilang. Di daerah telinga dan bagian anterior tungkai bawah, terapi krio dapat mengakibatkan ulserasi. Penderita harus diberitahu bahwa terapi ini akan menimbulkan rasa nyeri. Acapkali timbul setelah bola es terbentuk, nyeri ini mungkin akan terasa sangat hebat. Kadang-kadang, terutama pada lesi yang terletak didaerah kaki, nyeri akan bertahan sampai beberapa jam. Oleh karena inilah, terapi krio tidak cocok dilakukan pada anak-anak. Dalamnya pembekuan seringkali dibatasi oleh rasa nyeri, sehingga terapi harus diulang beberapa kali dengan selang waktu 1-2 minggu. Penderita veruka umumnya memerlukan terapi berulang kali. Jika lesinya besar, mungkin anestesi lokal perlu disuntikkan. Alat penyemprot nitrogen mempunyai moncong dengan lubang yang halus. Nitrogen disemprotkan ke kulit dari jarak 8-10 cm, secara hati-hati agar kulit normal tidak terkena. Jika
disemprotkan kontinyu, nitrogen akan keluar dalam arah melebar sehingga mungkin akan mengenai kulit di sekitar lesi. Untuk mengatasi hal ini, pada lesi berukuran kecil nitrogen disemprotkan secara terputus. Jika digunakan sonde krio, kontak akan berlangsung lebih baik bila jelly (misalnya jelly K-Y) dibubuhkan pada lesi atau sonde. Pada saat nitrogen dilewatkan melalui sonde, jelly akan membeku sehingga sonde akan melekat pada lesi. Sonde tidak boleh ditarik sebelum jaringan yang membeku lunak kembali.
Gambar 10 : Krioterapi
Setelah lesi terbungkus oleh bola es (biasanya setelah 10-20 detik), proses pembekuan dihentikan dan jaringan dibiarkan melunak kembali. Untuk melunak kembali, jaringan memerlukan waktu yang lebih lama. Agar diperoleh hasil yang lebih baik (terutama jika lesinya cukup besar), proses ini bisa diulang. Mula-mula tidak tampak bahwa lesi telah mendapat terapi krio. Tetapi setelah beberapa jam akan muncul reaksi inflamasi, dan dalam beberapa hari lesi akan mengering.meski dalam 48 jam hasil terapi sudah terlihat nyata, penderita diminta datang kembali setelah tujuh hari. Pada saat itu dapat ditentukan apakah terapi perlu diulang.
Informasi pasca pengobatan Pasien diberikan informasi untuk membantu penyembuhan. Informasi tersebut antara lain : 1. Tidak melakukan hubungan seksual selama 4 minggu 2. Menghindari pemakaian tampon vagina pada haid pertama setelah pengobatan 3. Aktivitas berat dan lama dihindari selama 4 minggu 4. Pengeluaran cairan vagina yang kadang disertai darah sedikit adalah kejadian yang normal
Penyembuhan Porsio akan mengalami proses penyembuhan seperti kerusakan jaringan pada umumnya dimana daerah tersebut akan terjadi demarkasi dan terbentuk teropong yang akan lepas dalam waktu kurang lebih 10 hari. Pada waktu tersebut akan diikuti oleh perdarahan sedikit dan pengeluaran cairan vagina yang mengandung mukus jernih. Setelah itu epitel skuamosa yang baru akan tumbuh dari pinggir menutupi defek yang ada dan membentuk epitel matur yang kuat. Penyembuhan biasanya dapat dicapai dalam waktu 4-6 minggu, dan kanalis servikalis tetap berfungsi normal untuk fertilitas. Fibrosis yang terjadi sangat minimal sehingga tidak memberi pengaruh pada kehamilan atau persalinan berikutnya. Metode ini dapt mengubah letak sambungan skuamokolumnar (SSK) naik ke dalam kanalis servikalis, sehingga perlu disadari dalam melakukan pengamatan lanjut.
Efek samping Efek samping yang terbanyak adalah rasa panas di wajah dan pengeluaran cairan dari vgina selama 2-3 minggu perdarahan relatif jarang terjadi. Bila pengeluaran cairan vagina banyak disertai darah yang berbau maka hal ini menunjukkan adanya infeksi yang memerlukan pengobatan.
Hasil pengobatan Krioterapi merupakan metode konservatif yang banyak diterima pasien dan dilakukan secara ambulator tanpa rasa nyeri. Metode sebaiknya dilakukan pada NIS 1/2 dengan lesi terbatas pada ektoserviks. Tingkat keberhasilan krioterapi pada NIS 1/2 sebanyak 85-95% dan pada NIS 3 hanya 61-68%. Ukuran dan lokasi lesi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan.
Pengamatan lanjut Sesudah terapi pengamatan lanjut harus dilakukan secara teratur dan berkala. Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah terapi untuk menilai penyembuhannya. Pemeriksaan sitologi kolposkopi dilakukan setiap 6 bulan selama 12 tahun dan selanjutnya setiap tahun.
Kegagalan Metode Destruksi Lokal
Penyembuhan NIS setelah krioterapi, diatermi elektrokoagulasi dan sinar laser, dapat dikatakan hampir mencapai 95%. Namun demikian, kejadian kanker invasif setelah pengobatan destruksi lokal telah dilaporkan pada beberapa kasus. Masalah ini bukan berarti metode destruksi lokal tidak berguna tetapi kita harus berhati-hati bila ingin menggunakan metode tersebut. Kegagalan pengobatan NIS dengan menggunakan metode destruksi lokal lebih banyak disebabkan karena ketidakmampuan operator dibandingkan dengan kemampuan metode tersebut. Beberapa kriteria perlu dijalankan bila ingin menggunakan metode destruksi lokal, yaitu : 1. visualisasi lesi harus dinilai oleh orang yang mempunyai keahlian dalam menggunakan kolposkop 2. SSK dan seluruh daerh abnormal harus tampak secara kolposkop 3. tidak ditemukan lesi dalam kripti kanalis servikalis 4. kanker invaif telah disingkirkan secara histopatologi 5 pengobatan destruksi lokal dilakukan oleh orang yang mampu menggunakan alat kolposkop 6. pengamatan lanjut yang adekuat secara sitologi dan kolposkopi.
Tabel II : Penggunaan Electrosurgery pada pengobatan lesi prakanker serviks
Klasifikasi
Penanganan
HPV
Observasi Destruksi : Elektrokoagulasi Krioterapi
Displasia ringan ( NIS I )
Observasi Destruksi : Krioterapi Elektrokoagulasi Laser Eksisi : Diatermi loop
Displasia sedang ( NIS II )
Destruksi : Krioterapi Elektrokoagulasi Laser Eksisi : Diatermi loop
Displasia keras ( NIS III )
Destruksi : Elektrokoagulasi Laser Eksisi : Diatermi loop Konisasi
II. Vaporisasi Laser Terapi HGSIL dapat dilakukan dengan vaporisasi laser yang di negara maju telah menggantikan krioterapi atau konisasi pisau. Biaya untuk prosedur ini sangat mahal dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan teknik lainnya. Keberhasilan terapi mencapai 94% pada lesi < 2,5cm dan 92% paada lesi > 2,5 cm.. Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emision of radiation) dalam bidang ginekologi merupakan tehnik baru yang sudah banyak dilakukan. Suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen dan gas CO2, sehingga akan menimbulkansinar laser yang mempunyai panjang gelombang 10,6 µ. Sinar laser yang dihasilkan disalurkan dalam suatu lengan yang dapat digerakan kesegala arah, dan biasanya dihubungkan dengan alat kolposkop. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam 2 bagian yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar yang dari mukosa serviks menguap karena cairan intraseluler mendidik, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak dibawahnya. Volume jaringan yang menguap sebanding dengan kekuatan dan lama penyinaran. Pemakaian sinar laser merupakan metode yang lebih rasional dalam menangani NIS. Walaupun hasil NIS dengan sinar laser tidak berbeda, signifikan dengan krioterapi atau elektrokoagulasi, tetapi metode ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu : 1. Pemusnahan jaringan dapat ditentukan dengan tepat, baik luas maupun kedalamannya; 2. Penyembuhan lebih cepat dan sedikit menimbulkan keluhan 3.Tidak mengubah letak SSK
4.Tidak menimbulkan jaringan parut sehingga dapat digunakan pada lesi di vagina. Kegagalan terapi disebabkan karena penyinaran tidak cukup lama sehingga tidak mencapai jaringan yang lebih dalam. Pada lesi yang terletak pada dinding vagina, kegagalan terapi mungkin disebabkan karena arah sinar tidak tegak lurus. Sebagai kekurangan dari itu peralatan sinar laser maih nahal termasuk biaya perawatannya. Tetapi dengan perkembangan teknologi di masa mendatang, diharapkan dapat diciptakan alat laser yang lebih kecil dan lebih murah, sehingga kekurangan-kekurangan tersebut dapat dihilangkan Tindakan histerektomi pada NIS kadang merupakan terapi terpilih pada beberapa keadaan, antara lain : 1) Kelanjutan dari konisasi. Bila terdapat residu lesi. Walaupun sebenarnya residu lesi dapat juga diterapi dengan eksisi lokal dengan rekonisasi atau dengan destruksi lokal. Sering pada wanita perimenopause batas atas konisasi yang diperkirakan sudah adekuat (2 cm), ternyata masih terdapat lesi NIS. Pasien usia reproduksi batas atas konisasi (1,5 cm) dapat diterapi dengan rekonisasi. 2) Eksisi harus mencapai vagina atas. Pada keadaan ini konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan mengangkat bagian atas vagina. Pilihan lain adalah dengan terapi laser. 3) Bersamaan dengan keadaan yang menjadi indikasi untuk dilakukan histerektomi, misalnya ada dengan uterus miomatosus. Kecurigaan invasif harus disingkirkan. 4) Ada masalah teknis untuk melakukan konisasi, misalnya porsio yang mendatar, sering dijumpai pada usia lanjut.
Pemilihan jenis terapi Sebelum membahas tiap-tiap jenis terapi lebih rinci, perlu dipahami ada faktor-faktor yang patut diperhatikan dalam pemilihan jenis terapi yaitu : - Faktor lesi - Faktor pasien
Faktor lesi Faktor lesi yang harus dipertimbangkan untuk pemilihan jenis terapi adalah •
Derajat lesi
•
Letak lesi
•
Luas Lesi
•
Fokus lesi
1. Faktor derajat lesi : A. Resiko rendah (Low risk) Pada lesi resiko rendah umumnya tidak dilakukan pengobatan surgikal cukup dilakukan pengamatan saja. Pada NIS I (displasia ringan) kebijakan saat ini adalah dilakukan pengamatan saja, karena 90% NIS I akan mengalami regresi spontan. Bila lesi NIS I persisten selama 2 tahun, maka terapi lokal dapat dilakukan. Hasil penelitian kohort dengan pengamatan selama 2 tahun didapatkan kejadian NIS 3% pada kelompok NIS I selama 9 bulan mendapatkan : 78,3% regresi ; 18,2% persisten ; 3,4% progres.
B. Resiko Tinggi (High risk) Lesi resiko tinggi merupakan lesi NIS II – NIS III. Pada NIS II (displasia sedang), dapat dilakukan terapi destruksi lokal (krioterapi, kauterisasi, vaporisasi) ataupun terapi eksisi. Pada NIS III (displasia keras) dilakukan terapi dengan destruksi lokal atau bedah eksisi lokal pada keadaan fungsi reproduksi yang masih dibutuhkan. Bila fungsi reproduksi tidak diperlukan lagi, dapat dilakukan histerektomi totalis. Keberhasilan terapi NIS sangat tergantung dengan derajat NIS dan cara terapi yang diberikan. Terapi pada NIS II – III dengan krioterapi mempunyai resiko kegagalan 26,1%, terapi vaporasi dengan laser mempunyai resiko kegagalan 12,5%. Keberhasilan terapi NIS III dengan LLETZ 93%, konisasi 96% dan laser 96,4%.
2. Letak lesi Lesi prakanker yang terletak pada jam 3 dan jam 9 merupakan lesi dengan kemungkinan residif tinggi dibandingkan dengan lesi ditempat lain. Keadaan ini disebabkan karena faktor lekukan dan vaskularisasi di jam 3 dan 9. Krioterapi tidak dianjurkan pada lesi di jam 3 dan 9 karena adanya kelemahan kontak probe dengan epitel di lokasi tersebut.
3. Luas lesi Luas lesi berhubungan dengan kemampuan jangkauan alat terapi. Pada lesi seperti ini terapi dengan krioterapi tidak diperbolehkan, begitu pula bila ada perluasan ke vagina,
krioterapi tidak dapat menjangkau lesi.Selain itu perluasan ke kelenjar endoserviks merupakan perluasan yang mempunyai resiko rekurens.
4. Fokus lesi Fokus lesi yang multipel dengan letak dibeberapa kwadran berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Lebih harus diperhatikan bila yang dilakukan adalah terapi destruksi.
Faktor pasien Beberapa faktor yang ada pada pasien dan perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis terapi adalah : - Usia - Kebutuhan fungsi reproduksi - Patologi uterus - Kepatuhan pasien Faktor usia berhubungan dengan faktor kebutuhan fungsi reproduksi. Pada pasien usia muda tentunya masih sangat dibutuhkan fungsi reproduksi, sehingga dalam pemilihan terapi harus berusaha tetap dipertahankannya organ-organ reproduksi.Adanya patologi uterus menjadi bahan pertimbangan pilihan terapi, walaupun pada kondisi tertentu, patologi uterus bukan merupakan halangan untuk tetap dipertahankan.Kepatuhan pasien untuk mematuhi program pengamatan dan pemeriksaan ulang sangat penting, artinya dalam usaha menemukan rekurensi terhadap kegagalan terapi.
Daftar Pustaka 1. Hoskins W.J. ett all. Principles and Practice of Gynecology Oncology Forth Edition. Lippincott ,Williams and Wilkins. Philadelphia. 2005. 2. Sjamsudin S, Indati J. Kolposkopi dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Edisi II. Perhimpunan Patologi Serniks dan Kolposkopi Indonesia. Jakarta, 2001. 3. Ai-Nafussi A. Histopathological challenges in assessing invasion in squamous, glandular neoplasia of the cervix. Curr Diagn Path 2006;12:364-93. 4. Grace VMB, Devaraj SN, Pillai MR, Devaraj H. HPV-induced carcinogenesis of the uterine cervix is associated with reduced serum ATRA level. Gynecol Oncol 2006;103:113-9. 5. Tiersma ESM, Peters AAW, Lee ML, Visser AP, Fleuren. Reason for early intervention by gynaecologist in a clinical follow up study on cervical intraepithelial neoplasia. . EJOG 2006. 6. Andrijono. Kanker serviks. Dalam: Sinopsis kanker ginekologi. Jakarta: Div onkologi dep obsgin FKUI-RSUPNCM. 2004:35-70 7. Campion MJ. Preinvasive disease. In: Berek JS. Hacker NF, eds. Practical Gynecologic Oncology. 4th Ed ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005. 8. Lu CH, Liu FS, Kuo CJ, Chang CC, Ho ESC. Prediction of persistence or recurrence after conization for cervical intraepithelial neoplasia III. Obstet Gynecol 2006;107(4):830-5. 9. Abdel-Hady ES, Emam M, Al-Gohary A. Screening for cervical carcinoma using visual inspection with acetic acid. . Int J Gynecol Obstet 2006; 93:118-22. 10. Berek J. S. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition Lippincott Williams & Wilkins.2007 : 2100-2157 11. Sergio Pecorelli, Hextan YS Ngan and Neville F Hacker. Staging Classifications and Clinical Practice Guidelines for Gynaecological Cancers.Elsevier.2006 12. Jacques Ferlay. Estimates of worldwide burden of cancer in 2008: GLOBOCAN 2008. International Journal of Cancer.2008