BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kanker leher rahim merupakan penyakit keganasan yang terjadi pada leher rahim. Perjalanan penyakit ini didahului dengan kondisi lesi pra-kanker leher rahim yaitu adanya displasia/neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyakit kanker leher rahim sejak timbulnya displasia hingga timbulnya carsinoma insitu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Penyakit ini meningkat dalam kejadian dan sebagai penyebab kematian tertinggi pada wanita usia subur di dunia, serta menjadi masalah kesehatan utama bagi perempuan di Indonesia. Dapat sembuh jika penyakit ini dideteksi pada stadium awal yaitu dalam tahap lesi pra-kanker (Suwiyoga, 2010). Data Globocan tahun 2012 menyebutkan kanker di seluruh dunia mencapai 530.232 kasus dan di Asia dilaporkan 312.990 adalah kasus kanker leher rahim (59%), dari jumlah global maupun di Asia, 50% kasus mengalami kematian. Laporan WHO menyatakan, tiap tahun terjadi 500.000 kasus baru kanker leher rahim di dunia, sekitar 266.000 berakhir dengan kematian, dan hampir 87% kasus terjadi di negara berkembang (WHO/ICO, 2013). Di negara yang belum maju, dengan program skrining yang tidak memadai, kejadian lesi pra-kanker leher rahim (IVA positif) diperkirakan sampai enam kali lebih tinggi dibandingkan negara maju, dan 80% terdeteksi dengan penyakit lanjut (Saslow, 2008).
1
2
Masalah penyakit kanker leher rahim di Indonesia hampir sama dengan negara berkembang lainnya. Di Indonesia 15.000 kasus baru kanker leher rahim terjadi setiap tahunnya, sedangkan angka kematiannya 7.500 kasus per tahun. Pada tahun 2009, kasus baru kanker leher rahim berjumlah 2.429 atau sekitar 25,91% dari seluruh kanker yang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) terjadi peningkatan kasus dari sebelumnya 4.690 kasus (11,07%) menjadi 5.786 kasus (11,78%) pada tahun 2010, dan Indonesian Journal of Cancer 2012, dari data kanker leher rahim berbasis rumah sakit melaporkan temuan kasus baru tahun 2003 sampai tahun 2007 sebesar 18,43% (Suzanna, 2012). Kanker pada leher rahim adalah jenis keganasan nomer dua setelah kanker payudara yang rata–rata terjadi di semua rumah sakit di wilayah Indonesia (Depkes RI, 2010). Penanganan penyakit kanker leher rahim di Indonesia mengalami beberapa hambatan yang menimbulkan sekitar 70% penderita dideteksi pada stadium berat (Suwiyoga, 2010). Di Bali tahun 2011 diperkirakan insiden kanker leher rahim sekitar 150 per 100.000 penduduk atau sekitar 5000 orang. Sementara angka kematiannya berkisar antara 82 orang per 100.000 penduduk, diduga pernikahan usia dini, paparan asap rokok, kontrasepsi hormonal serta paritas menjadi faktor risiko yang utama (Dinkes Provinsi Bali, 2013). Sedangkan di Kota Denpasar pada tahun 2012 tercatat sebanyak 1691 orang dari 101.999 wanita PUS (1,66%) dengan lesi pra-kanker leher rahim (IVA positif), dan 1703 orang dari 96,260 PUS (1,77%) pada tahun 2013. Data menunjukkan peningkatan kejadian kanker
3
leher rahim yang merupakan masalah kesehatan bagi perempuan (Dinkes Kota Denpasar, 2013a). Kajian literatur menyebutkan, adanya Infeksi Menular Seksual (IMS) yang diderita dalam jangka waktu lama dan tanpa pengobatan yang adekuat menjadi faktor yang mempercepat berkembangnya Human Papilloma Virus (HPV), penyebab penyakit keganasan pada leher rahim. HPV menjadi inisiator pertumbuhan abnormal sel pada leher rahim yaitu mulai dari tahap lesi prakanker, kemudian berlanjut kearah kanker leher rahim. Infeksi menular seksual dikatakan sebagai pintu masuk HPV dan berbagai IMS meningkatkan risiko penularan HPV. Jenis terbanyak diderita di kalangan wanita usia subur yaitu candidiasis vaginalis, bacterial vaginosis, herpes simplex genitalis dan gonore yang dapat disembuhkan (Angkasawati, 2009). Faktor risiko terjadinya kanker leher rahim selain pernah terpapar IMS antara lain wanita yang berumur 30–50 tahun dan masih aktif berhubungan seksual, umur pertama kali berhubungan seksual, paritas, gizi, wanita perokok atau perokok pasif dan penggunaan kontrasepsi hormonal dalam jangka waktu lama, diduga mempermudah terjadinya kanker leher rahim (Rasjidi, 2008;Delia, 2010;Andrijono, 2013). Pada penggunaan kontrasepsi hormonal, akan menyebabkan pengurangan kadar nutrien yang terlibat dalam kekebalan tubuh. Menurut Harahap, (2006) mekanisme terjadinya kanker leher rahim karena pengaruh hormonal terhadap perubahan epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa. Epitel kolumnar yang berada dalam vagina dengan ph rendah merangsang terjadinya metaplasia, apabila terjadi
4
dalam jangka waktu lama (> 5 tahun), berpotensi menjadi ganas. Di Indonesia penggunaan hormonal sebagai kontrasepsi sudah memasyarakat dan paling banyak diminati oleh wanita Pasangan Usia Subur (PUS). Tahun 2012 dilaporkan penggunaan kontrasepsi hormonal lebih dominan dibandingkan yang lainnya yaitu KB pil 26,81%, suntikan 47,94% dan implan 8,58% (BKKBN, 2012). Deteksi dini dan pengelolaan yang tepat penting dilakukan pada kanker leher rahim dalam stadium awal, akan memberikan hasil penyembuhan antara 66,3% sampai 95%. Pemeriksaan dengan Pap smear/tes pap adalah salah satu metode skrining yang digunakan dalam menemukan kondisi lesi pra-kanker leher rahim. Pemeriksaan dengan Pap smear memiliki sensitivitas 51% serta spesivisitas 98%, disisi lain pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium oleh ahli sitologi sehingga dibutuhkan waktu serta harga mahal (Sapto, 2008). Keterbatasan yang ada pada Pap smear, menjadikan metode IVA sebagai pemeriksaan alternatif dengan hasil segera diketahui dan dapat dikerjakan oleh tenaga kesehatan terlatih. Walaupun pemeriksaan IVA sangat sensitif namun spesivisitas IVA lebih rendah dibanding Pap smear, antara 64-98%. Nilai positif palsu IVA lebih tinggi dari tes pap yaitu 24,5% dan negatif palsu sebesar 25% (Iswara dkk, 2004). Sementara itu interpretasi hasil pemeriksaan IVA sangat subyektif, sehingga berpotensi untuk terjadinya hasil positif palsu tersebut (Depkes RI. 2008). Dalam upaya mengurangi hasil positif palsu pada temuan IVA, dapat digunakan dengan menggunakan penapisan dua tahap yaitu menggunakan metode IVA dan Pap smear untuk meminimalkan hasil positif palsu dan pernah dilakukan
5
penelitian oleh Abidin pada divisi Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yaitu dengan menggunakan tehnik IVA dan servikografi, dengan cara ini dikatakan efektif untuk menekan hasil positif palsu (Abidin, 2004). Penelitian di luar negeri, dengan pemeriksaan menggunakan dua metode skrining menunjukkan efektivitas yang baik, daripada dilakukan dengan satu metode pemeriksaan saja. Dengan cara ini dapat dihindari kesalahan hasil pemeriksaan seperti penelitian Uzma Naz dan Sadia Hanif tahun 2013 di Pakistan menggunakan pemeriksaan IVA dan Pap smear dalam deteksi lesi pra-kanker leher rahim menyatakan ada kesesuaian yang kuat antara metode IVA dan Pap smear dalam deteksi lesi pra-kanker leher rahim (Naz, 2014). Kajian lebih lanjut terkait riwayat infeksi menular seksual dengan kejadian lesi pra-kanker leher rahim masih terbatas. Penelitian oleh Dirk di Surakarta tahun 2012, riwayat IMS dinyatakan tidak berkontribusi terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim pada ibu rumah tangga di Surakarta tetapi memiliki makna secara klinis untuk menimbulkan risiko terjadinya lesi pra-kanker leher rahim (Dirk, 2004). Penelitian serupa dilakukan di New Delhi oleh Veena, tahun 2009 yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara riwayat infeksi menular seksual yaitu 81% wanita yang pernah mengalami infeksi oleh chlamidia, bacterial vaginosis dan HPV memiliki hubungan dengan lesi pra-kanker leher rahim (Veena, 2009). Laporan penelitian yang sama oleh Christensen di Scandinavia tahun 2004, bahwa wanita yang memiliki riwayat terinfeksi bacterial vaginosis memiliki hubungan dengan kejadian CIN yang dideteksi melalui pemeriksaan Pap smear (Christensen, 2004).
6
Penelitian terkait risiko penggunaan kontrasepsi hormonal dan riwayat IMS dengan kejadian lesi pra-kanker leher rahim di Kota Denpasar belum pernah dilakukan, penelitian oleh Suriani tahun 2011 antara lain menganalisis tentang kontrasepsi hormonal dengan kejadian lesi pra-kanker leher rahim menggunakan metode IVA yang dilakukan di Kecamatan Payangan (Suriani, 2011). Penelitian di daerah berbeda dengan metode yang sama, dilakukan Triwahyuningsih tahun 2013 di Jatinegara, didapatkan bahwa lama penggunaan pil kontrasepsi ≥ 4 tahun mempunyai peluang 42 kali untuk mengalami kejadian lesi pra-kanker leher rahim dibandingkan dengan wanita yang menggunakan pil kontrasepsi < 4 tahun (Triwahyuningsih, 2013). Damiyanti pada tahun 2013 di Poliklinik Onkologi Rumah Sakit Dr Sutomo Surabaya dalam penelitiannya menyatakan pemakaian pil KB kombinasi tidak berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim, didapatkan nilai p = 0,834,> α = 0,05, yang menunjukkan tidak ada pengaruh lamanya pemakaian pil KB kombinasi dengan kejadian kanker leher rahim (Damiyanti, 2013). Reneé dalam penelitiannya di Nashville, Tennessee tahun 2012 menyatakan paparan progesteron pada kontrasepsi suntikan tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap perubahan hasil sitologi/Pap smear (Reneé, 2012). Provinsi Bali, pada tahun 2013 dengan jumlah PUS sebesar 694.401 dan 48,7% sebagai pengguna kontrasepsi hormonal, 43,7% PUS sebagai akseptor IUD dan MOW 3,5%, akseptor lainnya sebanyak 4,1%. Tidak jauh berbeda dengan Kota Denpasar dengan 50,3% pengguna kontrasepsi hormonal, pengguna IUD 39,4%, MOW 3% dari 96.260 wanita PUS pada tahun 2013, dan Kota Denpasar sebagai pengguna kontrasepsi hormonal terbesar di Bali dibandingkan dengan kabupaten lain seperti Buleleng 40,5%, dan terendah Kabupaten Tabanan 29,2%.
7
Profil Kesehatan Provinsi Bali menunjukkan kasus baru IMS selain HIV/AIDS dilaporkan antara lain tahun 2012 sebanyak 8.747 orang (21%), pada tahun 2013 meningkat sekitar 23% yaitu 9.656 orang (Dinkes Prov.Bali, 2013b). Di Kota Denpasar penatalaksanaan IMS selain HIV/AIDS menggunakan pendekatan sindrom. Adapun kasus baru IMS selain HIV/AIDS, yaitu 1.931 orang (27%) dan 2.339 orang (29%) pada tahun 2013 dengan kunjungan tertinggi di Puskesmas II Denpasar Selatan setiap tahunnya, berturut-turut tahun 2012 dan tahun 2013 yaitu 15% dan 17%. Dari laporan tahunan 2013, Puskesmas I Denpasar Utara memiliki 10.878 wanita PUS dengan 40,3% pengguna kontrasepsi hormonal terbanyak diantara puskesmas yang lain, 39,3% dengan akseptor IUD serta 20,4% pengguna kontrasepsi lainnya (Dinkes Kota Denpasar, 2013a).
1.2 Rumusan Masalah Puskemas I Denpasar Utara memiliki PUS dengan akseptor hormonal tertinggi tahun 2013 di Denpasar yaitu 40,3% serta Puskesmas II Denpasar Selatan merupakan puskesmas dengan kunjungan IMS melebihi puskesmas lainnya yaitu tahun 2012 sebesar 15% dan 17% pada tahun 2013. Kelemahan IVA adalah spesifisitasnya masih rendah dibandingkan metode Pap smear karena hasil pemeriksaan IVA dipengaruhi subyektivitas pemeriksa. Adanya kelemahan dari masing-masing metode tersebut, akan mempengaruhi hasil akhir dari pemeriksaan sehingga perlu dilakukan kombinasi pemeriksaan agar didapatkan hasil yang akurat. Dalam upaya mempertahankan kelebihan pada tes IVA yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan dua tahap menggunakan metode IVA dan Pap smear.
8
Berdasarkan rumusan masalah diatas, peneliti tertarik melakukan kajian dalam upaya mengetahui besarnya risiko penggunaan kontrasepsi hormonal dan riwayat IMS (selain HIV/AIDS) terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim pada wanita PUS di Kota Denpasar, dan sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai upaya untuk mengatasi kelemahan pemeriksaan IVA. Penting dilakukan penelitian dengan pemeriksaan dua tahap yaitu menggunakan metode IVA dan Pap smear, untuk mengetahui efektivitas cara ini dalam menekan hasil positif palsu pada pemeriksaan IVA. Dari rumusan masalah diatas maka pertanyaan penelitian dapat diuraikan seperti dibawah ini. 1. Apakah kontrasepsi hormonal merupakan faktor risiko lesi pra-kanker leher rahim berdasarkan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear pada wanita PUS ? 2. Apakah riwayat infeksi menular seksual merupakan faktor risiko lesi prakanker leher rahim berdasarkan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear pada wanita PUS ?
1.3 Tujuan 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui risiko penggunaan kontrasepsi hormonal dan riwayat infeksi
menular seksual terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim berdasarkan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear pada wanita PUS.
9
1.3.2
Tujuan Khusus Penelitian ini ingin mengetahui :
1.3.2.1 Besarnya risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim berdasarkan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear pada wanita PUS. 1.3.2.2 Besarnya risiko riwayat infeksi menular seksual terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim berdasarkan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear pada wanita PUS.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Untuk Pemerintah Menjadi bahan informasi bagi pelaksana program atau pemegang
kebijakan dalam perencanaan program skrining lesi pra-kanker leher rahim dapat menggunakan pemeriksaan dua tahap dengan metode IVA dan Pap smear serta sebagai bahan masukan dalam menyusun Standar Operasional Prosedur skrining lesi pra-kanker leher rahim. 1.4.2 Untuk Masyarakat Dapat bermanfaat bagi wanita PUS sebagai informasi dalam melakukan deteksi dini lesi pra-kanker leher rahim, pemeriksaan awal dapat menggunakan metode IVA dan jika ada kelainan dapat dikombinasi dengan pemeriksaan Pap smear sehingga mendapatkan hasil skrining lesi pra-kanker leher rahim yang akurat serta dapat mencegah terjadinya kanker leher rahim.
10
1.4.3 Manfaat Akademis Hasil penelitian dapat direkomendasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya skrining lesi pra-kanker leher rahim dengan pemeriksaan dua tahap menggunakan metode Inspeksi Visual Asam Asetat dan Pap smear serta dapat digunakan untuk melengkapi data dalam penelitian lebih lanjut.