Negara Hukum Republik Indonesia Berdasarkan Kajian Unsur-unsur Negara Hukum Oleh: Pamungkas Satya Putra, S.H., M.H.1
A. Latar belakang Negara hukum Republik Indonesia telah merdeka selama enam puluh sembilan (69) tahun. Republik Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) yang bertolak belakang dengan konsep negara kekuasaan (machtsstaat) hal tersebut termuat dalam naskah asli Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Penjelasan Bagian III tentang Undang-Undang Dasar Menciptakan Pokok-Pokok Pikiran yang Terkandung Dalam “Pembukaan” Dalam Pasal-Pasalnya, menyatakan “(...) Pokok-pokok pikiran ini dalam mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis”. Dalam Bagian Sistem Pemerintahan Negara angka I romawi, menyatakan ”Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam undang-undang dasar ialah: I. Indonesia, ialah negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat) 1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Telah disadari bahwa hukum merupakan produk yang tidak dapat lepas dan berdasarkan kekuasaan yang terletak pada legislatif maupun kebijakan eksekutif serta kelembagaan masyarakat hukum adat. Tarik menarik kepentingan politik pada masa peralihan pasca era Orde Baru dengan pengaruh era reformasi, tergambar pada diselenggarakannya perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengubah dan menambah dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1
1
Dosen Luar Biasa mata kuliah Ilmu Negara dan Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Tulisan tersebut disampaikan pada perkuliahan Ilmu Negara Semester Gasal I Tahun Akademik 2014/2015 pada Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang.
2
ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar”, dan Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2 B. Pembahasan Konsep negara hukum didasarkan pada keinginan masyarakat akan kepastian hukum yang membendung kekuasaan negara dalam menjamin keadilan terhadap warga negara. Konsep tersebut muncul akibat tindakan penguasan dalam hal ini raja-raja terutama di bagian Eropa yang memiliki sistem pemerintahan monarki absolut yang memberikan kedudukan masyarakat sebagai pelaksana dari seluruh titah raja (alles voor het volk maar niet door het volk). Sentralisasi kekuasaan pada raja dapat menimbulkan dua kondisi pada saat itu, di mana kekuasaan yang dimiliki tersebut dapat menciptakan tirani atau kekuasaan tersebut menciptakan kedamaian. Golongan penekan (terdiri atas golongan masyarakat terkemuka, cendekiawan, masyarakat lainnya) terhadap kesewenangwenangan tindakan raja tersebut menghadirkan konsep negara hukum ortodoks (abad pencerahan) yang dapat tergambarkan kondisi pada saat terjadinya Revolusi Prancis. 3
2
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: C.V. Maju Mandar, 2012). hlm. 18-40. Istilah rechtsstaat pertama kali dipergunakan oleh Rudolf Von Gneist guru besar Universitas Berlin dalam sebuah bukunya yang berjudul “Das Englisehe Verwaltungserecht”, 1857. Dalam buku itu digunakan istilah rechtsstaat untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris. Berkenaan dengan ini Willem Van der Vlagt, guru besar di Leiden dalam disertasinya yang berjudul “De Rechtsstaat Vlgens de Leer Van Rudolf Von Gneist” menyatakan pendapatnya bahwa; kepada Gneist lah seharusnya diberi penghormatan yang tadinya dengan kurang tepat diberikan kepada Montesquieu, sebagai seorang yang mempopulerkan tata negara Inggris sebagai satu kesatuan yang hidup. Apabila ditinjau dari segi perkembangannya, konsep rechtsstaat telah berkembang dari konsep klasik ke arah konsep modern. Konsep klasik yang disebut “Klassiek Liberale en Democratische Rechtsstaat” disingkat “Democratische Rechtsstaat”. Konsep modern di Belanda disebut “Sociale Rechtsstaat” atau juga disebut dengan istilah; “Sociale Democratische Rechtsstaat”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). hlm. 20. Pengertian rechtsstaat dalam hubungannya dengan istilah Penjelasan UUD 1945 yang menggunakan perkataan “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasan belaka (machtsstaat), dapat dipahami sebagai konsepsi yang mengandaikan negara kekuasaan itu sendiri memang ada. Bandingkan dengan penjelasan Richard S. Kay, “Thus the Rechtsstaat, as the controlling arrangement of law, presupposes the existence of the Machtsstaat, the political power apparatus to be controlled”. Lihat John Elster and Rune Slagstad, Liberal Constitutionalism and Its Critics, Carl Schmitt and Max Weber, in Constitutionalism and Democracy, 1988, hlm. 108 dan 110. Lihat juga Richard S. Kay, American Constitutionalism, footnote no. 12, dalam Larry Alexander (ed.), Constitutionalism: Philosophical Foundations, (New York: Cambridge University Press, 1998), hlm. 18 dan hlm. 51. 3 Suganda Wiranggapati, et. al., Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia, (Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega, 1992), hlm. 3-5. Masyarakat ini merupakan pemilik modal yang kuat, sehingga mereka menjadi pendukung utama dalam gerakan pembaharuan seperti gerakan renaissance dan humanisme. Masyarakat memiliki wawasan yang luas dalam dunianya sebagai pengusaha, maupun terhadap nilai-nilai dasar kehidupan yang diantaranya sebagai berikut: a) Menjunjung tinggi asas persamaan dan kebangsaan, b) Menggunakan akal pikiran yang sehat serba perhitungan dalam menilai, dan c) Bersikap dinamis dan rasional dalam kehidupan masyarakat. (...) Dalam mencela dan mengkritik pemerintahan, ia menyerang absolutisme
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
3
Hal tersebut melahirkan konsep Trias Politica yang merupakan teori pemisahan kekuasaan, sebagai doktrin pemisahan kekuasaaan pada awalnya dikemukaan oleh John Locke, dan kemudian dimodifikasi oleh Montesquieu (terdapat pemisahan (separation of power), pembagian (distribution of power) serta penyeimbang dan pengawasan (check and balance principle)). John Locke dalam buku “Two Treatises on Government”, menegaskan kritik terhadap kekuasaan kerajaan dan raja yang absolut dan harus terdapat pembatasan kekuasaan politik terhadap raja yaitu dalam ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power). John Locke secara tegas tidak setuju terhadap pemikiran Thomas Hobbes dengan buah pemikiran penyerahan kekuasaan mutlak pada raja (leviathan).4 Dasar dari pemikiran Locke yaitu kondisi alam manusia dan kontrak sosial yang melahirkan negara dan negara wajib memenuhi, melindungi, memelihara hak-hak alamiah manusia di mana untuk mencapai keseimbangan dalam suatu negara, kekuasaan negara harus dipisahkan menjadi tiga kekuasaan yaitu:5 (i) kekuasaan legislatif (legislative power), di mana dalam hal membuat atau membentuk undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif (executive power) merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan pengadilan. John Locke memandang bahwa pekerjaan atau tugas mengadili sebagai “uitvoering” atau melaksanakan undang-undang serta; (iii)
raja dan kaum bangsawan, serta tuan rumah. Kemudian Voltaire menyerang sistem perbudakan, politik peperangan, pertentangan keagamaan, pengadilan yang tidak jujur serta kebodohan. Voltaire mengecam pemborosan yang dilakukan kaum istana. Sebab uang yang dihambur-hamburkan itu merupakan hasil pemerasan dan penindasan yang tak berperikemanusiaan dari para petani. 4
Sebagai bahan bacaan lihat juga John Locke, Two Treatises of Government, (London: Printed for R. Butler, Bruton Street, Berkeley-Square; W. Reid, Charing-Cross; W. Sharper, King-Street, CoventGarden; and John Bumpus, Holborn-bars, 1821). Of Civil Government Chap. 1-Chap XII of The Legislative, Executive, and Federative of the Common-wealth. 5 Bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseau yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, ed. 3rd, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston, 1961), hlm. 517-596. Dalam pandangan Rousseau, manusia menurut kodratnya dilahirkan sama dan merdeka. Tetapi dalam masyarakat yang teratur manusia mengikat diri dalam suatu perjanjian bersama (du Contract Social) untuk membentuk suatu kekuasaan guna menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Lembaga dikenal dengan sebutan pemerintahan. Berdasarkan perjanjian ini, maka seorang raja yang lahir dan berdaulat artinya kedaulatan itu bukan sematamata milik pemerintah karena pemerintah mendapat kedaulatan dari rakyat, pemerintah melaksanakan kekuasaan itu semata-mata atas nama rakyat. Rousseau berkehendak bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan berada di tangan rakyat bukan turun temurun. Maka suatu pemerintahan yang menganut sistem demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (A Government is form the people, and for the people). Lihat juga J.J. Rousseau, The Social Contract and Discoures, translated by G.D.H. Cole and J.M. Dent and Lons Ltd, 1991, hlm. 128.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
4
kekuasaan federatif (federative power) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan persoalan keamanan negara dalam kaitan dengan hubungan luar negeri. 6 Kemudian Montesquieu dalam bukunya “L‟Espirit Des Lois”, dalam Bab VI menegaskan terdapat tiga jenis kekuasaan yang terpisah satu sama lain baik dari segi fungsinya maupun dari segi organnya. Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan harus dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. 7 Selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan rule of law, memiliki hubungan erat dengan konsep nomocracy sesuai dengan peristilahan nomos serta cratos. Nomokrasi berbeda dengan konsep demokrasi sesuai dengan peristilahan demos dan cratos atau kratein. Nomos memiliki pengertian norma, sedangkan cratos yaitu kekuasaan. Titik fokus dalam penyelenggaraan kekuasaan merupakan norma atau kaidah yang menimbulkan sanksi (hukum). Dalam peristilahan nomokrasi berhubungan dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.8
6 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, ed. 1st, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2009), hlm. 82. Plato (429-347 Sebelum Masehi) dalam bukunya Nomoi (hukum/ undang-undang) menegaskan bahwa penyelenggaraan yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Lihat Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66, 20-21. Menurut Aristoteles suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Dalam cita-cita manusia yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak: 1. Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idee derwarheid), 2. Cita-cita untuk mengejar kesusilaan (idee derzadelijkheid), 3. Cita-cita manusia untuk mengejar keindahan (idee der schomheid), tambahan Aristoteles 4. Cita-cita untuk mengejar keadilan (idee der gerechtigheid) (dikarenakan adanya sejumlah warga negara yang melakukan permusyawaratan negara (ecclesia). Aristoteles menegaskan suatu pemerintahan yang berkontribusi mengandung tiga unsur, 1. pemerintahan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, 2. pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi dan 3. pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan seperti yang dilaksanakan oleh pemerintahan despotis. Lihat juga Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. 2, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), hlm. 126-127.
7
Baron Charles De Secondat Montesquieu, Oeuvres de Monsieur de Montesquieu V4: De L'Espirit Des Lois, 1769. Lihat Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, (Bandung: Nusa Media, tanpa tahun) diterjemahkan dari karya Montesquieu, The Spirit of Laws, (California: University of California Press, 1977). Montesquieu dalam buku L „Esprit de Lois (Semangat Hukum atau Jiwa dari Hukum). Penekanan konsep tersebut demi kelancaran dalam pemerintahan negara, hendaknya diadakan pemisahan kekuasaan dengan batas-batas yang tegas dan nyata. Untuk itu, kekuasaan negara hendaknya terdiri dari tiga poros kekuasaan yang terpisah, yaitu: a) Kekuasaan membuat undang-undang (kekuasaan legislatif), b) Kekuasaan melaksanakan undang-undang (kekuasaan eksekutif), dan c) Kekuasaan mengawasi, dan bertindak, jika terjadi pelanggaran terhadap undang-undang dan hukum yang berlaku (kekuasaan yudikatif). Menurutnya, tiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Lihat juga Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 29. 8
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, o.p cit., hlm. 125. Lihat juga Jimly Assidiqqie, Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hlm. 55-58. Dalam sistem
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
5
Frans Magnis Suseno menegaskan bahwa, demokrasi yang bukan negara hukum, bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan konsep negara hukum. 9 Dalam pandangan sejarah konsep hukum terus-menerus dikaji, dan di analisis di dalam perkembangannya
sesuai
dengan
konsep
negara
hukum
yang
liberal
(nachwachterstaat)10 menuju negara hukum yang formal (formele rechtsstaat) yang menjadi negara hukum yang materil (materiele rechtsstaat),11 hingga pada demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Demokrasi tanpa nomokrasi akan kehilangan bentuk dan arah, sementara nomokrasi tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Lihat Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006). hlm. 7. 9
Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofi, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 58. Lihat juga Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 5. Sedangkan prinsip-prinsip demokrasi adalah: 1. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan dalam masyarakat hukum yang lebih rendah diputuskan oleh badan perwakilan, yang diisi melalui pemilihan umum, 2. Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga perwakilan, 3. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organorgan yang berbeda, 4. Pengawasan dan kontrol (penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol, dan 5. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan. Lihat Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009). hlm. 1-5. Pencarian identitas oleh suatu negara, sesudah negara tersebut berdiri, bukanlah sesuatu yang istimewa, melainkan merupakan hal yang umum terjadi. Kerajaan Inggris yang telah berdiri selama ratusan tahun, baru pada akhir perang dunia kedua menegaskan identitasnya sebagai suatu “welfare state” (Since the end of the Second Word War the statement has been made with increasing emphasis that britain is a welfare state). Lihat Carl Joachim Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, (Boston: Gin, 1950). Lihat Carl Joachim Friedrich, Man and His Government, (New York: McGraw-Hill, 1963), hlm. 216218. 10 Konsep negara hukum yang liberal (nachwachterstaat), menurut Immanuel Kant (1724-1804), didasarkan pada paham liberalisme yang menentang kekuasaan absolut raja dalam mencampuri urusan rakyat atau keinginan pasar yang tidak ingin terkekang lebih jauh lagi yang menggangu mekanisme pertumbuhan ekonomi. Negara diharuskan melepaskan bentuk campur tangan atau negara bersifat pasif (staatsonthouding). Dalam perkembangannya melahirkan sistem pemerintahan yang monarki konstitusional dalam bentuk perjanjian antara rakyat dan raja dalam bentuk konstitusi (perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasan dalam negara). (...) Paham liberalisme terlahir sebagai antitesis dari paham merkantilisme yang berasal dari Prancis, masa pemerintahan Lodewijk XIV, Spanyol, Portugal, Austria (kamewissenchaft). Paham tersebut bertujuan pada perdagangan yang positf (activehandelbalance), maka hal ini berpengaruh kepada bentuk negara dan bentuk pemerintahan yaitu monarki absolut, di mana raja menentukan segalanya untuk rakyat, tapi tidak oleh rakyatnya sendiri. Lihat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 1988), hlm. 155. Paham liberalisme telah mengakibatkan negara hukum liberal yang bercorak individualisme, sedangkan kemampuan masning-masing individu tidaklah sama sehingga orang yang mempunyai kemampuan tinggi akan selalu menang dalam persaingan dengan orang yang tidak mampu yang dapat menimbulkan perbedaan yang sangat menonjol sehingga menimbulkan gejolak sosial. Lihat juga Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, cet. 10, (Padang: Angkasa Raya, 1992), hlm. 21-22.
11
Satjipto Raharjo, o.p cit., hlm. 17-20. Mengawali era negara hukum, maka negara hukum tampil sebagai negara secara formal. Di sisi negara hukum mewujudkan sekalian persyaratan formal bagi suatu negara yang harus tunduk pada hukum. Untuk zamannya, negara hukum tersebut dapat disebut revolusioner, karena mengakhiri bentuk bernegara sebelumnya yang bersifat otoriter. L‟etat c‟est moi (negara adalah saya), (...) Dalam perkembangannya, negara modern harus menghadapi perluasan tugas publik yang luar biasa, sehingga negara tidak dapat lagi berhenti hanya menjadi negara hukum formal. Problem industrialisasi
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
6
konsep negara yang memakmurkan (welvaarstsstaat)12 menuju negara yang melayani kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat).13 Dalam konsep negara hukum di Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal tersebut menekankan pada prinsip “the Rule of Law, and not of Man”. Dalam konsep negara hukum, yang dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.14 Negara hukum harus berdasarkan hukum di mana merupakan rumah yang ideal untuk hak asasi manusia, hanya dalam negara hukum hak asasi manusia dapat menjamin seperti independensi peradilan, proses hukum, dan pengujian undang-undang, hingga hak untuk bertahan hidup 15 menyebabkan paham tersebut ditinggalkan karena negara tidak dapat berpangku tangan, dengan alasan tidak dapat mencampuri urusan masyarakat. Di abad kesembilan belas, penolakan terhadap campur tangan negara sangat kuat, didukung dengan semboyan liberal “laissez faire”, “laissez aller”. Dengan menyerahkan segalanya kepada aktivitas dan inisiatif individu, dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan tercipta dengan sendirinya. Negara dalam konteks politik tersebut dikenal sebagai “nachtwakersstaat” (penjaga malam) atau “laisser-faire staat”. 12 Ibid., hlm. 19-20. Dalam perkembangannya industrialisasi menjadi tolak ukur keberhasilan akan kebebasan dan peran negara yang terbatas yang memunculkan ketidakadilan sosial (less government), seperti “the haves come out ahead” dan “the poor pays more”. Dalam suasana tersebut, maka semakin dirasakan perlunya campur tangan kekuasaan publik untuk mencegah kemerosotan lebih jauh dalam kualitas hidup anggota masyarakat. Tipe negara sebagai respons terhadap keadaan tersebut adalah “verzorgingsstaat” atau “welfare state”. Tipe negara tersebut, negara menjamin kesejahteraan umum pada warganya dengan cara menyusun suatu program kesejahteraan sosial (de overheid stelt zich garant voor het collectieve sociale welzijn van haar burgers door middel van een programma van sociale voorzieningen, Shuyt & Venn, 1986). Usaha (zorg) pemerintah (bestuur) untuk mencapai kesejahteraan bersama dilakukan dengan cara-cara: 1. melindungi orang-orang terhadap risiko bekerjanya industri modern, seperti kecelakaan perburuhan, 2. jaminan penghasilan minimum, juga karena sakit, kehilangan pekerjaan dan masa tua, 3. menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh setiap orang agar dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan, 4. memajukan kesejahteraan individu, seperti penyaluran aspirasi politik, kebudayaan, olah raga dan sebagainya. Negara kesejahteraan dianggap sebagai kompromi antara ideologi sosialistis dan liberal. Perkembangan negara kesejahteraan menyebabkan bahwa hal-hal yang dulu merupakan inisiatif swasta, sekarang diambil-alih oleh pemerintah, demi keadilan sosial yang lebih baik dan untuk mencegah pengangguran dan stabilisasi dalam menghadapi konjungtur ekonomi.
13
Padmo Wahjono, Membudayakan UUD 1945, (Jakarta: IND-HILL-Co, 1991), hlm. 73.
14
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, o.p cit., hlm. 121-130.
15 Muntoha, o.p. cit., hlm. 1-15. Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Gagasan negara hukum ini sesungguhnya terlahir sebagai reaksi dari negara polis (polizei staat) yang merupakan tipe negara yang dianut pada saat itu. Negara polisi [polis] adalah suatu tipe negara yang memberlakukan asas alles voor het volk, maar niet door het volk (rajalah yang menentukan segala-galanya untuk rakyatnya, tapi tidak oleh rakyatnya sendiri), dan asas legisbus salutus est, salus publica suprema lex (kepentingan umum mengatasi semua undang-undang). Jadi, dalam negara polisi [polis] rakyat tidak mempunyai hak terhadap raja dan segala suatunya ditentukan oleh raja. (...) Hans Nawiasky menjelaskan Polizei terdiri dari sichrerheit polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan; dan verwaltung polizei atau wahlfart polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau penyelenggara semua kebutuhan hidup warga negara. Dengan demikian, penyelenggara ketertiban dan keamanan serta penyelenggaraan semua kebutuhan hidup warga negara adalah dua hal yang harus diselenggarakan oleh polizeistaat (negara polisi [polis]). (...) Oleh karena itu, untuk membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang mempraktikkan sistem yang absolut dan mengabaikan hak-hak rakyat muncullah ide dilahirkannya negara hukum. Revolusi Prancis merupakan bukti nyata adanya sistem
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
7
(termasuk pemanfaatan sumber daya alam dan keuangan publik untuk kesejahteraan sosial). Gagasan negara hukum telah digerogoti oleh perkembangan politik, ekonomi, budaya dan berbagai kasus hukum yang secara bertahap melemahkan fondasi negara hukum itu sendiri. Kemudian sebagai pernyataan politik, komitmen untuk menjunjung tinggi negara hukum terus dilakukan oleh hampir setiap pejabat pemerintah, masyarakat dan pihak swasta (stakeholders).16 Albert Venn Dicey yang merupakan ahli dari kalangan Anglo Saxon, menegaskan unsur-unsur negara hukum (yang disebut oleh A.V. Dicey sebagai the Rule of Law) terdapat tiga unsur. Pertama, supremasi hukum yaitu tidak terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan (oleh penguasa) sehingga seseorang hanya dapat dijatuhkan hukuman apabila melanggar hukum. Kedua, adanya kesamaan keduddukan di depan hukum (atau dihadapan hukum), serta ketiga terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang maupun oleh putusan pengadilan. 17 Kemudian Friedrich Julius Stahl dari kalangan Eropa Kontinental, absolut yang telah dipraktikkan oleh Raja Louis XIV di Prancis, semboyannya yang sangat terkenal diantaranya l‟etat C‟est moi (negara adalah saya), yang berarti bahwa sabda raja adalah undang-undang yang harus dilaksanakan. Sikap absolutisme raja itu telah menyebabkan bangkitnya gerakan-gerakan penentang raja yang dipelopori oleh golongan masyarakat kota yang terkemuka, golongan cendikiawan berfikiran maju, seperti Montesquieu (1689-1755) seorang ahli hukum Prancis yang merasa tidak puas melihat keadaan negaranya, terutama karena sistem absolut yang menindas rakyat. Kemudian Jean Jacques Rouuseau (17121778) selain sebagai sastrawan yang berpengaruh pada masa itu, (...) du Contract Social (Perjanjian Masyarakat), Voltaire (1694-1778). 16 Hal tersebut mengutip pendapat Todung Mulya Lubis, In Search of Human Right: Legal-Political Dilemmas of Indonesia‟s New Order 1966-1990, A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School In Partial Fulfillment of Thee Candidacy For the Degree of Juris Scientiac Doctor, California: Universitas California Berkeley, 1990. Diterjemahan dari: The rechtsstaat state based on law is an ideal home for human rights; only within the rechtsstaat can human rights guarantees such as the independence of the judiciary, due process of law, and judicial review, survive. However, the very notion of rechtsstaats has been subverted by various political, economic, cultural and legal developments that gradually weakened the foundation of the rechtsstaat. But as a political statement, a commitment to rechtsstaat has continously been made by virtually every government official. Menurut ungkapan Soepomo mengenai negara totaliter merupakan ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, sebagaimana juga diwujudkan dalam kenegaraan aslinya (...) jika kita ingin negara Indonesia harus sesuai dengan sifat dan karakter masyarakat Indonesia, maka negara kita akan didasarkan pada cita negara integralistik, negara terintegrasi dengan seluruh rakyat, dapat diterima oleh semua kelompok. Soepomo merupakan Menteri Kehakiman Pertama Republik Indonesia. Ibid., Ch. I, note 12, at 113. M. Yamin. Lihat juga Risalah Sidang BPUPKI, hlm. 37-38.
17
Albert Venn Dicey, Introduction To The Study of The Law of The Constitution, (London: Adamant Media Corporation, 2005). hlm. 202-203. The rule of law menurut A.V. Dicey mengandung tiga arti. Pertama, absolutisme hukum (the absolute predominance of law) untuk menentang pengaruh dari arbitary power serta meniadakan kesewenang-wenangan, atau discretionary authorithy yang luas dari pemerintah. Kedua, persamaan dihadapan hukum (equality before the law) atau penundukan yang sama semua golongan kepada hukum. Ketiga, konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hakhak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Lihat Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 79. Lihat juga Albert Venn Dicey, Introduction To The Study of The Law of The Constitution, (London: Mc Millan and CO., Limited St.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
8
mengemukakan adanya empat unsur negara hukum (rechtsstaat) yaitu pertama hak asasi manusia, kedua pemisahan dan pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia (termasuk adanya kekuasaan kehakiman seperti dikenal di dalam trias politica). Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan serta keempat, peradilan administrasi dalam perselisihan antara warga negara dengan pemerintah.18 Terhadap keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Friedrich Julius Stahl tersebut dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “the Rule of Law” yang telah dikembangkan oleh A.V. Dicey dalam melakukan analisis ciri-ciri negara hukum modern pada masa sekarang. Kemudian The International Commission of Jurist tahun 1965,19 menyatakan bahwa prinsip-prinsip negara hukum tersebut ditambah dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
Martin‟s Street, 1952), diterjemahkan oleh Nurhadi, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 251-269. 18 E.C.S. Wade dan G. Godfrey Phillips, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local Goverment, the Citizen and the State and Administrative Law, (London: Longman, 1965), hlm. 50-51. Friedrich Julius Stahl menyebutkan adanya empat unsur dalam rechtsstaat, yaitu: hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan peradilan administrasi dalam perselisihan. Sementara Von Munch berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum ialah adanya hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum, aturan dasar tentang proporsionalitas (verhaltnismassingkeit), pengawasan pengadilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan) kekuasaan umum, jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan, serta pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.
19 International Commission of Jurists pada konferensinya di Bangkok, Thailand tahun 1965, merumuskan bahwa selain hak-hak politik bagi rakyat, harus pula diakui hak-hak sosial dan ekonominya, sehingga perlu dibentuk standar-standar dasar sosial dan ekonomi. Lihat Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit-UI, 1975), hlm. 54-55. Ciri-ciri pokok dari suatu welfare-state (negara kesejahteraan) yaitu pertama, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinsipil lagi. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada pertimbangan-pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan dari organorgan eksekutif lebih penting daripada organ legislatif. Kedua, peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi negara secara aktif berperanan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang-bidang sosial, ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan (planning) merupakan alat yang penting dalam welfare-state. Ketiga, welfare-state merupakan negara hukum materil yang mementingkan keadilan sosial dan bukan persamaan formil. Keempat, hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya serta kelima, kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konsep negara kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak dihilangkan. Perkembangan inilah yang memberikan legislasi bagi negara intervensionis pada abad ke-20. Negara justeru [sic!] dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya di Indonesia, o.p cit., hlm. 222.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
9
(independence and impartiality of judiciary) pada masa sekarang makin diperlukan dalam setiap instrumen negara hukum demokrasi. Prinsip-prinsip pengejawantahan
tersebut
konsep
negara
dianggap hukum
sebagai
ciri
berdasarkan
penting The
dalam
International
Commission of Jurists yaitu, 1) negara haruslah berdasarkan pada hukum, 2) pemerintah harus menghormati hak-hak individu, 3) peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dalam paham negara hukum modern, jaminan perlindungan hakhak asasi manusia (termasuk hak asasi manusia atas air) dianggap sebagai ciri yang mutlak harus terpenuhi oleh setiap negara agar dapat disebut sebagai rechtsstaat. Dalam perkembangan jaminan-jaminan atas hak asasi manusia tersebut diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis.20 Pembicaraan tentang negara tidak dapat dilepaskan dari ide negara berdasarkan kedaulatan Tuhan, Raja, Rakyat, dan Hukum, serta konstitusi itu sendiri. Adapun hal tersebut menyebabkan gagasan negara demokrasi dan negara hukum menyusul abad pencerahan di dunia Barat.21 Seperti diketahui bahwa gagasan demokrasi tersebut telah ada pada zaman Yunani kuno (abad ke-3 sampai abad ke-6 Sebelum Masehi) yang dapat dirujuk pada negara (polis) Athena dan pikiran-pikiran Socrates, Thales, Plato, Aristoteles, dan sebagainya. 22 Rasionalitas yang mendasari perkembangan tersebut adalah teori “sosial contract” (perjanjian masyarakat) yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintahan berkuasa karena terdapat perjanjian masyarakat yang memberi kekuasaan dan rakyat akan mematuhinya selama hak-hak rakyat tidak
20
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 85. 21
Masalah tersebut banyak diungkap di dalam buku-buku tentang hukum dan kenegaraan. Lihat Yon Scmidt, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara Hukum, diterjemahan oleh R. Wiranto, et. al., (Jakarta: Pembangunan, 1984), Lihat juga dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 7, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 50-67. 22 Gagasan demokrasi tersebut kemudian lenyap dari dunia Barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa Barat dan dikuasai oleh agama Nasrani yang membangun pemerintahan otoriter dan menindas kebebasan rakyatnya. Hal tersebut di dunia barat berkembang atas dasar pemikiran bahwa kehidupan sosial dan spiritual rakyat harus tunduk kepada Paus (gereja) dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politik harus tunduk pada raja. Lihat Miriam Budiarjo Dasar-Dasar Ilmu Politik, ed. rev. cet. 5, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008). hlm. 54-55. Lihat juga Joeniarto, Negara Hukum, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1960), hlm. 20.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
10
diselewengkan.23 Teori tersebut mendorong secara cepat kegiatan pendobrakan atas absolutisme dan pemerintahan untuk kemudian digantikan dengan demokrasi. Esensi terdapat kehendak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Pemerintahan absolut harus diruntuhkan dan karenanya kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Kekuasaan pemerintah yang harus tunduk pada kehendak rakyat (demokrasi) itu haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum pada tingkat yang tertinggi atau konstitusi. Kemudian dengan demikian, adanya konstitusi di dalam negara demokrasi dan negara hukum dimaksudkan untuk
memberikan pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah. Mantan Ketua Konstituante, Wilopo, mengatakan bahwa pemerintahan konstitusional adalah pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.24 Hal yang sama dikemukakan juga oleh Mcllwain bahwa terdapat setidak-tidaknya dua (2) unsur dasar konstitusionalisme yang sangat berkaitan, yaitu adanya pembatasan kekuasaan oleh hukum dan pertanggungjawaban
pemerintah
kepada
rakyat.25
Kemudian
Kobayashi
menegaskan bahwa tujuan sebuah konstitusi adalah adanya rumusan tentang caracara membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik guna menjamin hak-hak rakyat.26 Prinsip kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.27 Adapun menurut Suparman Marzuki, hukum dan peraturan
23
Risalah Perundingan Tahun 1957, Jilid V, hlm. 7.
24
C.H. Mcllwain, Constitutionalism: Ancieny and modern, 2nd edition, (New York: Cornell University Press, Ithaca, 1974), hlm. 146. 25
Naoki Kobayashi, “Different Concept of Modern Constitutions” dalam Senshu Hongaku Ronshu (Bassatsu), 1984, hlm. 1-31. 26
Oemar Seno Adji, Prasaran pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Seruling Masa, 1996), hlm. 24. 27
Suparman Marzuki, o.p cit., hlm. 60. Pembuatan dan penegakan hukum merupakan instrumen dari putusan dan keinginan politik, yang dalam pandangan David Trubeck, desebutnya [sic!] sebagai suatu “purposive human action”. Dengan kata lain, pembuatan undang-undang tidak pernah bersifat otonom dan steril, melainkan sarat dengan kepentingan-kepentingan kelompok, atau kekuatan-kekuatan potensial dalam
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
11
perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman yunani kuno. Plato dalam bukunya the Republic awalnya berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara yang ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Namun, dalam bukunya the Stateman dan the Law, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan berdasarkan hukum. Tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum merupakan wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. 28 Kemudian prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Menurut Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu terutama dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakkan ketertiban. Tipe negara tradisional tersebut dikenal dengan istilah negara penjaga malam. Kemudian negara hukum materil mencakup pengertian yang lebih luas
suatu negara yang menginginkan kepentingan-kepentinganya dilegalisasi atau diproteksi dalam undangundang, karena undang-undang menurut Schuyt sebagaimana dikutip Duverger, merupakan “een neerlag van politieke machtsverhoudingen” atau suatu endapan dari pertukaran antara kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat, dalam pandangan Karl Marx disebutnya sebagai representasi dari kekuatan-kekuatan kapitalis. “(...) modern law has three principal characteristics: it is primarily a sistem [sic!] of rules; itis a form of purposive human action; and it is simultaneously part of, yet autonomous from, the nationstate”, Lihat David M. Trubeck, “Toward a Social Theory of Law: An Essay in the Study of Law and Develpoment [sic!]”, dalam The Yale Law Journal, 1972, Vol. 82, hlm. 4. Lihat juga A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku I), (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 141200. 28
George H. Sabine, A. History of Political Theory, o.p cit., hlm. 35-86 dan hlm. 88-105.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
12
termasuk keadilan di dalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfare state).29 Wolfgang Friedman dalam buku Law in a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized public power, dan rule of law dalam arti materil yaitu the rule of just law. Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum tidak sertamerta akan terwujud keadilan secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum materil. Adapun apabila hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbata-bata serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial dari sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kendati istilah yang digunakan tetap the rule of law pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum pada zaman sekarang.30 Namun terlepas dari perkembangan pengertian tersebut, konsepsi tentang negara hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-18, abad ke-19 dan abad ke-20. Menurut Arief Sidharta, mengutip pendapat dari Scheltema, yang merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas negara hukum secara baru, yaitu meliputi lima (5) hal sebagai berikut: 31
29
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 131. 30
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, o.p cit. hlm. 126-127.
31
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hlm.124125.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
13
a. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity); b. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum
bertujuan untuk
mewujudkan kepastian
hukum
dan
prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat „predictable‟. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah: 1) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; 2) Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; 3) Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak; 4) Asas peradilan bebas, independen, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi; 5) Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; 6) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD. c. Berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dalam prinsip tersebut, terkandung: 1) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan 2) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara. d. Asas demokrasi di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Asas demokrasi diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
14
1) Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala; 2) Pemerintah
bertanggung
jawab
dan
dapat
dimintai
pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat; 3) Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah; 4) Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; 5) Kebebasan berpendapat atau berkeyakinan dan menyatakan pendapat; 6) Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; 7) Rancangan
undang-undang
harus
dipublikasikan
untuk
memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif. e. Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas tersebut terkandung hal-hal sebagai berikut: 1) Asas-asas umum pemerintahan yang layak; 2) Syarat-syarat
fundamental
bagi
keberadaan
manusia
yang
bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi; 3) Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakan, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Hal tersebut dimaksudkan bahwa pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Kemudian Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, 32 mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau negara hukum yang baik itu mengandung sembilan (9) prinsip, yaitu: a. Prinsip 32
Muhammad Tahir Azhary, o.p cit., hlm. 64 dst.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
15
kekuasaan sebagai amanah; b. Prinsip musyawarah; c. Prinsip keadilan; d. Prinsip persamaan; e. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; f. Prinsip peradilan yang bebas; g. Prinsip perdamaian; h. Prinsip kesejahteraan; i. Prinsip ketaatan rakyat.33 Menurut Jimly Assiddiqie, berdasarkan berbagai prinsip-prinsip negara hukum
yang
telah
dikemukakan
tersebut
dan
melihat
kecenderungan
perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama untuk menyangga berdirinya negara hukum. Kedua belas pilar tersebut adalah sebagai berikut:34 a. Supremasi hukum (Supremacy of Law); b. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law); c. Asas legalitas (Due Prosess of Law); d. Pembatasan kekuasaan; e. Organ-organ eksekutif independen;
33
Brian Tamanaha, (Cambridge University Press, 2004) dalam Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3Tahun II, November 2004, hlm. 83-92. Konsep „rule of law‟ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law” dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep negara hukum atau “the Rule of Law” menurutnya mempunyai enam bentuk sebagai berikut: a. Rule by Law (bukan rule of law), di mana hukum hanya difungsikan sebagai “instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik, b. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat 1) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, 2) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, 3) jelas (clear), 4) public, dan 5) relative stabil. Dalam bentuk yang „formal legality‟, diidealkan prediktabilitas hukum sangat diutamakan. c. Democracy and Legality, Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau the rule of law dalam arti formal, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Apabila nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezim otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian. 4. “Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”. 5. Rights of Dignity and/or Justice. 6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community. 34
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, o.p cit, hlm. 132. Negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai negara hukum demokrasi (demokratische rechtsstaat) sebagai perkembangan lebih lanjut dari demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Kedua konsep tersebut pada pokoknya mengidealkan mekanisme yang serupa, dan karena itu sebenarnya keduanya hanyalah dua sisi mata uang yang sama. Di satu pihak negara hukum itu baru lah demokratis, dan di pihak lain negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum. Lihat Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia Baru dalam Kapita Selekta Teori Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, (Jakarta: FH-UI, 2000), hlm. 141-144. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia, o.p cit., hlm. 125-127.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
16
f. Peradilan bebas dan tidak memihak; g. Peradilan tata usaha negara (Administrative Court); h. Peradilan tata negara (Constitusional Court); i.
Perlindungan hak asasi manusia;
j.
Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat);
k. Adanya transparansi dan kontrol sosial; l.
Berketuhanan yang maha esa.
Kesimpulan: Hukum memiliki posisi di dalam sistem ketatanegaraan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945),35 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan secara tegas bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan supremasi hukum, sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum. Norma dasar tersebut mengisyaratkan bahwa hukum bukan menjadi alat untuk
kepentingan
penguasa
ataupun
kepentingan
politik
yang
dapat
menimbulkan sikap diskriminatif dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Hukum ditegakkan demi pencapaian keadilan dan ketertiban bagi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan hal tersebut konsep negara hukum di dalam pengaturan di Republik Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius karena dengan dasar tersebut negara merefleksikan pengaturan negara hukum dan kesejahteraan sosial yang merata secara bersamaan dengan pembangunan sosial, perekonomian, dan lingkungan yang dikuatirkan dapat mereduksi atau menghalangi masyarakat untuk mendapatkan penghidupan dan kesejahteraan yang layak. Konsep sejarah negara hukum,
unsur-unsur
negara
hukum
dan perkembangan
negara
hukum
menunjukkan di mana letak pemerintah dan rakyat dalam konteks sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri dari negara hukum yang perlu dilindungi karena sebagai konsumsi pokok tiap warga negara di Republik
35 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945. Hasil Amandemen.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
17
Indonesia bahkan di seluruh dunia yang akan dijelaskan di bagian hak asasi manusia atas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Secara global hal tersebut merupakan ranah pemerintah dan pemerintahan daerah atas dasar hukum publik yang dimiliki untuk mengatur secara selaras dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) dan keterpaduan pemerintahan. Kemudian tulisan ini merupakan gagasan tentang keberlanjutan akan konsep negara hukum yang dijalankan oleh pemerintahan guna menciptakan keberlanjutan negara hukum di Republik Indonesia (rechtstaats/ the Rule of Law Sustainability).
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
18
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Adji, Oemar Seno. Prasaran pada Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Seruling Masa. 1996. __________________.Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga. 1980. Alexander (ed.), Larry. Constitutionalism: Philosophical Foundations, (New York: Cambridge University Press, 1998 Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Cet. 3, 2008. Asshiddiqie, Jimly.Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.Jakarta: Sinar Grafika. 2012. __________________.Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Buku Kompas. 2012. __________________.Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. __________________.Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi.Jakarta: Sinar Grafika. 2011. __________________.Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sinar Grafika. 2010. __________________.Green Constitution Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada.2009. __________________.Komentar
Atas
Undang-Undang
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika.2009. __________________.Menuju Negara Hukum Yang Demokratis.Ed. 1st. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2009. __________________.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP. 2007. __________________.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I.Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
19
__________________.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.Jakarta: Konstitusi Press, 2006. __________________.Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Cet. 3. Jakarta: Konpress, 2006. _________________.Model-Model
Pengujian
Konstitusional
di
Berbagai
Negara. Jakarta: Konstitusi Press. 2005. __________________.Jurnal Tata Negara Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Vol. 1, No. 1, Juli 2003. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2003. __________________.Beberapa Persoalan Dalam Ilmu Hukum Kontemporer. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI. 2003. ________________.Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2002. _________________.Demokrasi dan Nomokrasi: Prasyarat Menuju Indonesia Baru dalam Kapita Selekta Teori Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar. Jakarta: FH-UI. 2000. _________________.Gagasan Kedaulatan Rakyat
Dalam Konstitusi
dan
Pelaksanaannya Di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven. 1994. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Cet. 7. Jakarta: Gramedia. 1982. Dicey, Albert Venn. Introduction To The Study of The Law of The Constitution. London: Adamant Media Corporation. 2005. Elster, John., and Rune Slagstad. Liberal Constitutionalism and Its Critics, Carl Schmitt and Max Weber, in Constitutionalism and Democracy. 1988. H.R, Ridwan. Hukum Administrasi Negara.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006. Joeniarto. Negara Hukum. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada. 1960.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
20
Kobayashi, Naoki. “Different Concept of Modern Constitutions”. Dalam Senshu Hongaku Ronshu (Bassatsu). 1984. Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Cet. 2. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1988. Lijphart, Arend. Democraties: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries. New Haven: Yale University Press. 1984. Lloyd, dan M. Freeman, Llyod‟s Introduction to Jurisprudence. Ed. 7. New York: Sweet and Maxwell . 1994. Locke, John. Two Treatises of Government. London: Printed for R. Butler, Bruton Street, Berkeley-Square; W. Reid, Charing-Cross; W. Sharper, King-Street, Covent-Garden; and John Bumpus, Holborn-bars. 1821. Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press. 1996. Magnis Suseno, Frans. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofi. Jakarta: Gramedia. 1997. Manan, Bagir. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung: Mandar Maju. 1995. McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. New York: Cornell University Press, Ithaca. 1966. Montesquieu. The Spirit of Laws: Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media. Tanpa Tahun). Diterjemahkan Dari Karya Montesquieu, The Spirit of Laws. California: University of California Press. 1977. Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Yogyakarta: Kaukaba. 2013. Nasution, Adnan Buyung. Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Tata Negara. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. 2007. Nasution, Adnan Buyung. Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. 2007.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
21
Nasution, Bahder Johan. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: C.V. Maju Mandar. 2012. Natonegoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cet. 24. Jakarta: Pantjuran Tudjuh. 1974. Nozick, R. “Coercion”, from Philosophy, Politics and Society. Oxford: Blackwell. 1972. Nusantara, Abdul Hakim G. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI. 1988. Plato. The Republic. London: Penguin Book. 1987. Peters, A.A.G., dan Koesriani Siswosoebrotom. Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku I). Jakarta: Sinar Harapan. 1988. _________________.The Last Days of Socrates. London: Penguin Book. 1969. Rahardjo, Satjipto. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009. _________________.IlmuHukum.Cet. 5.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2000. Rousseau, Jean Jacques. The Social Contract. London: Hafner Publishing Com, 1791). Diterjemahkan Oleh Sumardjo. Jakarta: Erlangga. 1986. Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik. Diterjemahkan Oleh Sundari Husein dan Rahayu Hidayat. Cet. 1. Jakarta: Dian Rakyat. 1989. Rotberg, Robert I. Failed State, Collapses, Weak States: Cause and Indicators. New Jersey: Princeton University Press. 2004. Sabine, George H. A History of Political Theory, Ed. 3rd. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston. 1961. Scmidt, Yon. Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara Hukum. Diterjemahan oleh R. Wiranto. Et. Al. Jakarta: Pembangunan. 1984. Wade, E.C.S., dan G. Godfrey Phillips. Constitutional Law: An Outline of the Law and Practice of the Constitution, Including Central and Local Goverment, the Citizen and the State and Administrative Law. London: Longman. 1965. Wahjono, Padmo. Membudayakan UUD 1945. Jakarta: IND-HILL-Co. 1991. Wiranggapati, Suganda. Et. Al. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jakarta: PT Galaxy Puspa Mega. 1992.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
22
Wheare, K.C. Modern Constitution. Diterjemahkan Pleh Imam Baehaqie. Konstitusi-Konstitusi Modern. Bandung: Nusa Media 2010. Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta: Prapantja. 1959. Yunas, Didi Nazmi. Konsepsi Negara Hukum. Cet. 10. Padang: Angkasa Raya. 1992. B.Artikel Arinanto, Satya. Mahkamah Konstitusi RI dan Konstitusionalisme Indonesia, Bogor, Artikel, 31 Juli 2010. Asshiddiqie, Jimly. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah, Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008. C.Majalah ilmiah Sidharta, B. Arief. “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta. Edisi 3 Tahun II, November 2004. Tamanaha, Brian. dalam Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”. Cambridge University Press, 2004.Jurnal Hukum Jentera. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta.Edisi 3-Tahun II, November 2004. D.Tesis, disertasi, dan data/ sumber yang tidak diterbitkan Arinanto, Satya. “Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi”,Disampaikan Dalam Acara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, 18 Maret 2006. De Secondat Montesquieu, Baron Charles. Oeuvres de Monsieur de Montesquieu V4: De L'Espirit Des Lois. 1769. Lubis, Todung Mulya. “In Search of Human Right: Legal-Political Dilemmas of Indonesia‟s New Order 1966-1990”.A Dissertation Submitted to Boalt Hall Law School In Partial Fulfillment of Thee Candidacy For the Degree of Juris Scientiac Doctor. California: Universitas California Berkeley. 1990.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra
23
Sukardja, Ahmad.“Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan
tentang
Dasar
Hidup
Bersama
dalam
Masyarakat
Majemuk”. Disertasi pada Universitas Indonesia tahun 1995.
Universitas Singaperbangsa Karawang
Pamungkas Satya Putra