TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015
MAKALAH PESERTA
HAK ASASI MANUSIA DAN SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA Oleh: Mohamad Kholid, SH., MH.
HAK ASASI MANUSIA DAN SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA Mohamad Kholid, SH., MH. 1
A. Pendahuluan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Konsep Indonesia sebagai negara hukum adalah menghubungkan segi-segi positif antara hukum dan hak asasi manusia, artinya penegakan hukum di dalam suatu negara berdasarkan hukum yang tidak mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai usaha untuk mencapai tegaknya keadilan dan kemanusiaan. Disamping Hukum dan Konstitusi sebagai dasar Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen Hak Asasi Manusia ternasuk International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR, 1966) dan International Covenant On Ecomomic, Social and Cultural Rights (ICESCR, 1966). Serta beberapa undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia termasuk Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pada ketentuan hukum dan konstitusi serta berbagai peraturan perundang-undangan yang merumuskan hak asasi manusia tersebut di atas, bahwa dalam penegakan hukum tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia, walaupun dalam peraturan perundang-undangan pidana, perdata serta peraturan perundang-undangan lainnya, baik hukum materil maupun hukum formil yang diatur secara tegas suatu perbuatan yang dilarang atau dianggap melawan hukum, atau suatu tindak pidana beserta sanksinya, atau tata cara penegakan hukum yang dalam hal ini bertentangan dengan hak asasi manusia, maka peraturan yang merumuskan itu dapat dikesmpingkan atau dibatalkan demi hukum. Hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara individuindividu dengan negara. Artinya bahwa negara telah menjamin dan melindungi individu-individu atas segala hak yang melekat dalam dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tidak dapat dirampas oleh siapapun termasuk 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
1
negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum internasional yang dapat menjadi standar dan pedoman yang kuat terhadap negara dalam memperlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. Dengan kata lain, hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktik-praktik kekuasaan negara terhadap individu-individu, memastikan adanya kebebasan individu dalam hubungan dengan negara, dan meminta negara memenuhi kebutuhan dasar individu-individu yang berada di wilayah yurisdiksinya. Di sini-lah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban (duty-bearer) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia dan individuindividu yang berdiam di wilayah yurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights holder). 2 Meskipun hak asasi manusia secara internasional telah diterima sebagai konsepsi dasar perubahan umat manusia, namun dalam praktiknya pelanggaran hak asasi manusia masih selalu terjadi 3, bahkan dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan keyakinan dan praktikpraktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat luas. 4 Bertolak dari urian tersbut di atas, bahwa pada realitas penegakan hukum pidana di Indonesia, selain sistem hukum pidana nasional yang tidak mendasarkan diri pada nilai-nilai hak asasi manusia, juga masih banyak dalam penegakan hukum pidananya yang mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia, padahal diketahui bahwa dalam Konstitusi Negara Indonesia secara jelas dan tegas merumuskan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai moral kemanusiaan yang bersifat universal yang harus dipenuhi sebagai negara hukum, walaupun tidak ditegaskan dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang diterapkannya itu, melainkan penerapannya harus memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai moral kemanusiaan. Disamping itu, rumusan konstitusi sebagai dasar negara (negara hukum) harus 2
Manfred Nowak, Introduction to International Human Rights Regime, dalam Suprianto Abdi, et al., Potret Pemenuhan Hak Asasi Manusia Atas Pendidikan Dan Perumahan Di Era Otonomi Daerah: Analisis Studi DI Tiga Daerah, Penerbit Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanpa Tahun, hlm 12-13. 3 Tim Parsial, Perlindungan Terhadap Human Rights Defenders (Hambatan dan Ancaman Dalam Peraturan Perundang-undangan), November 2005, hlm 1. 4 Slamet Marta Wardaya, Hakekat dan Rencana Aksi Nasional HAM, dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, hlm. 3.
2
meletakan hak asasi manusia sebagai prinsip yang harus menjadi landasan terhadap peraturan perundang-undangan di bahwahnya maupun menjadi landasan atas pemberlakuan hukum yang hidup di dalam masyarakat yang telah dirumuskan dalam dasar konstitusi itu sendiri yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, bukan rumusan hukum konstitusi di satu sisi dan hak asasi manusia di sisi lain yang tidak saling berkesinambungan dan terintegrasi dengan baik, sehingga diangap suatu hal yang berbeda dan dapat dikesampingkannya hak asasi manusia tersebut jika bertentangan dengan prinsip dasar lain dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Rumusan dasar konstitusi tersebut beserta peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum pidana nasional yang berdampak pada penegakkan hukum pidana yang bertentangan atau dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, yang dalam hal ini bahwa negara dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia karena terus membiarkan rumusan konstitusinya dan peraturan perundangundangan sebagai sistem hukum pidana nasional yang tidak segera disesuaikan dengan prinsip hak asasi manusia internasional sebagai satu kesatuan yang utuh. Dari rumusan di atas terlihat bahwa pihak yang bertanggungjawab adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Yang menjadi titik tekan dalam pelanggaran hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara (state responsibility). Konsep tanggungjawab negara dalam hukum internasional biasanya dipahami sebagai tanggungjawab yang timbul akibat pelanggaran hukum internasional oleh negara. 5 Yang dalam hal ini negara membiarkan konstitusi sebagai dasar negara bertentangan dengan hak asasi manusia sebagai hukum internasional yang mengakibatkan penegakan hukum pidana yang melanggar hak asasi manusia sebagai pengabaian terhadap kemanusiaan. Selanjutnya penegakan hukum pidana akan selalu bermasalah atau terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam penerapan atau penegakannya jika rumusan yang terdapat dalam konstitusi sebagai dasar negara itu sendiri masih merumuskan suatu rumusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlunya singkronisasi/menyelaraskan hak asasi manusia terhadap hukum dan Konstitusi Negara Indonesia yang dapat 5
Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan, Politik Hukum Dan HAM Era Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011, hlm. 43-44.
3
mempengaruhi Sistem Hukum Pidana Nasional serta penegakannya, diperlukan pembaharuan atau diamandemen sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia Internasional yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia secara kodrat sebagai norma universal.
B. Prinsip Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia merupakan isu yang pesat berkembang pada akhir abad ke 20 dan pada permulaan abad ke 21, baik secara nasional maupun internasional. Hak asasi manusia telah menjadi salah satu topik besar yang dibahas dari waktu ke waktu di lembaga dunia, yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa. Oleh karena hak asasi manusia telah menjadi milik bersama dan tanggungjawab bersama semua masyarakat dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa sejak dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 masuk ke dalam tubuh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Hak asasi manusia adalah hak seseorang manusia yang sangat asasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga-lembaga maupun untuk meniadakannya. Sehingga setiap negara anggota berkewajiban untuk menegakan dan memajukan hak asasi manusia itu. Dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia, diperlukan adanya perangkat yang mengaturnya yang dikenal dengan hukum hak asasi manusia, atau dalam bahasa Prancis disebut “Les droit de I’homme”. 6 Definisi tentang apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia berpedoman pada apa yang tertuang secara normatif di dalam undang-undang. Menurut UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan hak asasi manusia, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi, bahwa yang dimaksud dengan hak asasi masnusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 6
A. Bazar Harahap, Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya, PECIRINDO, Jakarta, 2007, hlm.
1-2.
4
Jack Donnelly mendefinisikan hak asasi masnusia sebagai yang dimiliki semua manusia, bersifat universal, merata dan tidak dapat dialihkan dan dihilangkan dari setiap manusia. 7 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. 8 Dengan demikian, meskipun setiap manusia terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap memupnyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. 9 Selanjutnya John Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupkan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. 10 Sebagai alam hak yang melekat pada diri semua individu, John Locke menyatakan bahwa hak asasi masnusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak kodrati. 11 Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia diantaranya adalah konsep individu sebagai pemikul hak alamiah tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara raional. Aristoteles menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Dasar doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan yang bersifat fundamental. 12 Membicarakan hak asasi manusia berarti membicarakan eksistensi dan proteksi terhadap kehidupan manusia. Hak asasi manusia adalah puncak 7
Muhammad Nur Islami, Deklarasi Kewajiban Asasi Sebagai Sarana Untuk Mempertemukan Ideologi, Kepercayaan dan Pandangan Politik Masyarakat Internasional, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm 15. 8 Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, dalam Rhona K.M. Smith, et. al, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 1. 9 Rhona K.M. Smith, et. al, Ibid. 10 John Locke dalam Rhona K.M. Smith, et. al, Ibid, hlm, 12. 11 Masyhur Effendi, Dimensi Dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm 81. 12 Rhona K.M. Smith, et. al, Op.cit. hlm. 19.
5
konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri. Oleh karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, itu berarti bahwa optimalisasi reformulasi pemikiran strategis tentang perlindungan hak-hak dasar yang dimiliki manusia terus mengalami perkembangan. 13 Istilah hak asasi manusia adalah produk sejarah. Istilah itu pada awalnya adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui dan melindungi hak-hak dasar manusia. Dapat dikatakan bahwa istilah tersebut bertalian erat dengan realitas sosial dan politik yang berkembang. Para pengkaji hak asasi manusia mencatat behwa kelahiran wacana hak asasi manusia adalah sebagai reaksi atas tindakan despot yang diperankan penguasa. Tindakan-tindakan tersebut pada akhirnya memunculkan kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki kehormatan yang harus dilindungi. Sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penegakan hak asasi manusia sangat tergantung dari konsistensi lembaga negara. Persoalan hak asasi manusia bukanlah semata berada dalam wilayah hukum. Hak asasi manusia adalah dimensi dari totalitas kehidupan manusia. Menelaah keadaan hak asasi manusia sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan;
sejauhmana
kehidupan
memberi
tempat
yang
wajar
kepada
kemanusiaan. 14 Berdasarkan beberapa rumusan pengertian hak asasi manusia di atas, bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Hak asasi manusia dapat dilihat dari beberapa ciri pokok hakekat hak asasi manusia yaitu: a.
Hak asasi manusia tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Hak asasi manusia adalah bagian dari manusia secara otomais; Hak asasi masnusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etis, pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa; Hak asasi masnusia tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai hak
b. c.
13
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 6-7. 14 Majda El Muhtaj, HAM, DUHAM, RANHAM Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 273.
6
asasi manusia walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar hak asasi manusia. 15 Hak asasi manusia berarti membicarakan dimensi totalitas kehidupan manusia. Hak asasi manusia ada bukan karena diberikan oleh masyarkat dan kebaikan negara, melainkan berdasarkan martabat sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai mahluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut memperoleh apresiasi secara positif. 16 Munculnya persoalan hak asasi manusia yang ditimbulkan oleh hubungan masyarakat dan negara, karena negara ditempatkan sebagai organisasi kekuasaan. Max Weber menyatkan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan mempunyai hak untuk memonopoli hukum dan kekuasaannya itu kepada warganya. Weber juga berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan begitu dominan ditengah masyarakat, sehingga aturan-aturan normatif yang berlaku dimasyarakat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan-kepentingan yang ada. Pandangan negara sebagai organisasi kekuasaan hampir tidak terbantahkan sebab di dalam negara terdapat beberapa kekuasaan. Keberadaan negara sebagai organisasi kekuasaan itu menimbulkan kecenderungan bahwa negara akan memonopoli seluruh kekuasaan shingga berakibat adanya resiko berhadapan dengan masyarakat. Negara menciptakan alat-alatnya untuk melaksanakan kekuasaan secara represif dan ketika hal itu terjadi maka segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia sukar dihindari. Di sinilah letak persoalannya mengapa pada akhirnya masyarakat menggugat negara. Jawabanya ada pada asumsi bahwa negara sebagai institusi kekuasaan, pada mulanya telah membawa potensi ketidaknetralan. 17 Begitu banyak serta kompleksnya persoalan-persoalan yang melibatkan soal kemanusiaan setelah masyarakat makin berkembang, sehingga banyak sistem nilai dan sistem pikiran mengalami titik jauh. Dismaping itu menuntut untuk mau
15
Mansour Fakih, et. al, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Insis Press, Yogyakarta, 2003, hlm 42. 16 Majda El Muhtaj, Op. cit, hlm. 272 17 Sri Hastuti Puspitasari, Perlindungan HAM Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 144.
7
memikirkan kembali seluruh bangunan idea yang di masa lalu dianggap hasil final usaha manusia dalam ikhtiar menegakan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan. 18 Komponen terpenting dari ide hak asasi manusia adalah konsep hak. Konsep ini telah mendorong manusia untuk merasakan perlunya suatu perumusan kembali terhadap nilai-nilai dan tingkah-laku, dengan maksud agar dapat ditimbulkan kemampuan untuk menjamin servival, kemajuan dan dihormatinya harkat dan martabat umat manusia. Kekaburan pengetahuan mengenai konsep itu pasti akan mengakibatkan ketidak beresan pemahaman hak asasi manusia. Hak pasti berhubungan dengan kewajiban. Hanya saja, hubungannya itu tidaklah berarti setiap pemilik hak pasti juga pemilik kewajiban. Ini adalah mispersepsi umum yang harus dilurusakan. Arti yang sesungguhnya adalah bahwa kepemilikan hak pada seseorang akan menyebabkan kepemilikan suatu kewajiban pada orang lainnya terhadap si subjek hak itu mengenai objek haknya. Dengan demikian, tidaklah tertutup kemungkinan bahwa pada pemilik hak yang bukan pemilik kewajiban. Yang
sangat
penting
untuk
diperhatikan
adalah
kewajiban
yang
diimplikasikan oleh hak ada dua jenisnya. Yang pertama adalah kewajiban yang memerintahkan orang untuk tidak mencampuri atau mengintervensi relasi antara seseorang dengan apa yang menjadi haknya. Sedangkan jenis yang satunya lagi memerintahkan orang untuk menciptakan atau mempertahankan relasi antara seseorang dan apa yang menjadi haknya. 19 Hubungan itu lazim disebut relasi hak sebagai relasi sosial, yang membutuhkan adanya suatu pemahaman bersama antara pihak-pihak
yang
terlibat
di
dalamnya,
karena
dengan
itu
hak
dapat
dioperasionalkan. 20 Secara filosofis, hak adalah pernyataan-pernyataan tentang kebutuhan dasar dan keinginan dasar. Makanan, pakaian, perteduhan, sek, kesehatan, kegiatan berfikir, berbicara, mengembangkan daya nalar dan daya rohani, berelasi dan bersosialisasi, menikmati dan mempertahankan hidup adalah kebutuhan-kebutuhan dasar sekaligus keinginan-keinginan dasar. Disebut kebutuhan dasar dan keinginan dasar karena tanpa hak-hak itu seseorang tidak bisa mewujudkan dirinya sebagai 18
Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 28. 19 LG. Saraswati, et. al, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta, 2006, hlm. 67-68. 20 Ibid, hlm. 75.
8
manusia utuh. 21 Mewujudkan diri sebagai manusia yang utuh sebagai mana Jan Materson dalam Teaching Human Rigts, United Nation menegaskan bahwa Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being. 22 Definisi
tersebut
disebut
sebagai
definisi
substantif,
karena
tidak
mempersoalkan apakah hal-hal ini berguna untuk diri sendiri ataukah untuk orang banyak. Tidak juga dipersoalkan apakah klaim atas hak yang satu berbenturan dengan klaim atas hak yang lainnya, ataukah klaim atas hak-hak individual bertabrakan dengan klaim atas hak-hak kolektif atau kepentingan bersama. 23 Kebutuhan dasar manusia tersebut harus dipandang sebagai prinsip resiprositas, karena prinsip resiprositas ini dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar, yang mampu menopang standar universal hak asasi manusia. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Tidak mudah menempatkan diri sendiri terhadap orang lain secara tepat, khususnya jika ada perbedaan jenis kelamin atau kepercayaan agama. 24 Prinsip resipositas yang mengakar kuat dihampir seluruh agama-agama besar dan proposisi yang sederhana tersebut dengan mudah diapresiasikan oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis. Tantangan prinsip resiprositas adalah ketika harus bersikap dengan orang yang berbeda baik jenis kelamin atau kepercayaaan agama. Tujuan prinsip resiprositas adalah bahwa seseorang harus mencoba mencapai sistem taksiran yang paling dekat untuk menempatkan dirinya dalam posisi orang lain. Ini mengasumsikan adanya kesamaan posisi dengan orang lain dalam semua hal termasuk jenis kelamin dengan agama. Sifat
resiprositas
adalah
saling
menguntungkan,
sehingga
ketika
orang
21
Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Kajian Konsep HAM Dalam Teks-Teks Adat Lamaholot Dan Relevansinya Terhadap HAM Dalam UUD 1945, Lamalera, Yogyakarta, 2008, hlm 64. 22 Masyhur Effendi, Op. cit, hlm. 80. 23 Marianus Kleden, Loc. cit. 24 Muhammad Nur Islami, Deklarasi Kewajiban Asasi Sebagai Sarana Untuk Mempertemukan Ideologi, Kepercayaan dan Pandangan Politik Masyarakat Internasional, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 20.
9
megidentifikasi diri dengan orang lain, maka seseorang seyogyanya menggunakan prinsip timbal balik yang sama terhadap sistem kepercayaan orang lain. 25 Prinsip resiprositas tersebut merupakan bentuk dari komitmen pada individualisme dan komitmen pada tolerasi atas hak untuk mendapatkan kebahagiaan. Pada dasarnya manusia hidup secara naluriah cenderung ingin bahagia dan dihargai, kebahagiaan manusia terletak pada kebebasan, tidak seseorang berhak untuk memaksa berbahagia, seseorang mempunyai hak untuk mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan keinginan sendiri. Dengan komitmen pada toleransi, bersikap untuk menepatkan dirinya dalam posisi dengan orang lain untuk mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan keinginannya sendiri.
C. Prinsip Negara Hukum Negara hukum Indonesia sudah berdiri sejak lebih dari enam puluh tahun lamanya. Kualifikasi sebagai negara hukum pada tahun 1945 terbaca dalam penjelasan Undang-Undang Dasar. Dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara dikatakan Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum. Melalui amandemen ke empat dan dimasukan ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan. Dalam Pasal 1 ayat (3) ditulis Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum sudah merupakan tipe negara yang umum dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia dewasa ini. Negara hukum meninggalkan tipe negara yang memerintah berdasarkan kemauan sang penguasa. Sejak perubahan tersebut, maka negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta penguasa-pun tunduk kepada hukum tersebut. 26 Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah yang terbentuk dari dua suku kata, ”negara dan hukum”. Pandangan kata ini menunjukan bentuk dan sifat yang saling isi mengisi antara negara di satu pihak dan 25
Eko Riyadi, Diskursus Mengenai Derogable Rights Dan Non-Derogable Rights Di Indonesia, Dalam To Promote: Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia Di Indonesia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2012, hlm. 132. 26 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2008, hlm. 1-2.
10
hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum. Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara. 27 Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal ini dengan menjadikannya memiliki struktur politik. Dengan kata Recht, maka struktur politik menjadi terakomodasi ke dalam negara hukum. 28 Secara teoritis, salah satu syarat bagi negara hukum adalah adanya menjamin aturan hak-hak asasi manusia. 29 Dalam prespektif yuridis formal, jaminan atas perlindungan hak asasi manusia adalah suatu negara hukum harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku dalam negara itu, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktik hukum dan ketatanegaraan sehari-hari. 30 Konstitusi suatu negara memberi tahu tentang apa yang dimaksud membentuk negara, bagaimana cita-citanya dengan bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan terdapat di dalamnya. Dengan konstitusi, suatu negara sebagai komunitas memiliki tujuan yang jelas dan akan memandu menuju apa yang dicita-citakan. Konstitusi juga penting bagi penyelenggaraan hukum suatu negara, oleh karena pada saat-saat tertentu hukum perlu melihat kepada panduan yang diberikan oleh
konstitusinya. 31 Ide konstitusi disebutnya sebagai
konstitutionalisme, dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak, yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang kesewenang-wenangan), inilah yang di dalam konsep moral dan meta-yuridisnya disebut konstitutionalisme. 32
27
Majda El Muhtaj, HAM, DUHAM, RANHAM Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 276. 28 Satjipto Rahardjo, Op. cit, hlm. 8. 29 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam Muntoha, Hak Asasi Manusia (HAM) DI Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 256. 30 Bambang Sugono dan Aries Harianto, dalam Muntoha, Hak Asasi Manusia (HAM) DI Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 256 31 Satjipto Rahardjo, Op. cit, hlm. 82. 32 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme : Hubungan Masyarakat dan Negara, Dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ElsamHuMa, 2002, hlm. 417.
11
Penegasan atas jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi, erat kaitannya dengan kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri, yang dapat dirinci sebagai berikut: 1.
Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara; Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran negara baru. Merupakan bukti adanya pengakuan dari masyarakat internasional; Konstitusi berfungsi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Konstitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, kontrol sosial, dan memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ eksekitif, legislatif, dan yudikatif. Konstitusi berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang persatuan. Konstitusi menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah, sehingga memperlihatkan adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan. Perasaan bangga dan kehormatan bangsa. Konstitusi dapat memberikan pemenuhan atas harapan sosial, ekonomi, dan kepentingan politik. Konstitusi tidak saja mengaur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam lembagalembaga politik, akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan checks and balance antara aparat pemerintah pusat dengan pemerintah daerah; Konstitusi berfungsi sebagai alat pembatas kekuasaan, mengendalikan perkembangan dan situasi politik yang selalu berubah; dan Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia dan kebebasankebebasan warga negara.
2. 3.
4.
5. 6.
Kedudukan dan fungsi konstitusi sebagaimana tersebut di atas, juga merupakan tuntutan bahwa konstitusi harus dapat menjawab persoalan-persoalan pokok dalam sebuah negara, antara lain: 1. 2.
Konstitusi merupakan hukum dasar suatu negara; Konstitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembagalembaga penting dalam negara; Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya; Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan pemerintah; Konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya; Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa; dan Konstitusi menentukan hubungan materil antara negara dengan masyarkat. 33
3. 4. 5. 6. 7.
33
Muntoha, Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 256-257.
12
Menurut J. G. Steenbeek pada umunya konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: 1.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara;
2.
Ditetapkannya
susunan
ketatanegaraan
suatu
negara
yang
bersifat
fundamnetal; dan 3.
Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Hak asasi manusia salah satu materi-muatan menentukan dua makna
perlindungan yang dijamin oleh kosntitusi itu sendiri; pertama, makna bagi penguasa negara, adalah agar dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh adanya hak-hak warga negaranya; kedua, makna bagi warga negara, adalah agar ada jaminan perlindungan yang kuat dalam hukum dasar negara (konstitusi), sehingga warga negara dapat menjadikan konstitusi sebagai instrumen untuk mengingatkan penguasa suapaya tidak melanggar hak asasi manusia yang telah tercantum dalam kosntitusi dalam menjalankan kekuasaannya. Dengan demikian, urgensi pengaturan hak asasi manusia dalam pasal-pasal konstitusi suatu negara dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan suatu pasal saja dalam konstitusi seperti yang dialami dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen yang dilakukan berkali-kali sampai dengan empat kali. 34 Hak asasi manusia merupakan salah satu unsur dan bagian yang khas dari negara hukum, serta merupakan sifat negara hukum yang sebenaranya. Namun, tidak berarti bahwa teori-teori hak asasi manusia pertama-tama mucul dengan lahirnya pemikiran tentang negara hukum pada akhir abad ke 18. 35 Di abad ke 19, penolakan terhadap campurtangan negara sangat kuat, didukung oleh semboyan liberal. Dengan mengarahkan segalanya kepada aktivitas dan inisiatif individu, dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan tercipta dengan sendirinya. 36 Pemikiran tentang hak asasi manusia telah ada sebelumnya. Sejak abad pertengahan, menurut dokumen konstitusi yang ditemukan, disebutkan bahwa 34
Muntoha, Ibid, hlm. 258. Abdul Latif, Demokrasi Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 125. 36 Satjipto Rahardjo, Op. cit, hlm. 18. 35
13
jaminan-jaminan itu ditetapkan untuk mencegah kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang yang merupakan perjanjian antara bangsawan feodal, Inggris dan tuan tanah, di mana pihak-pihak yang menguasai tanah dijamin terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari pihak kerajaan. 37 Hak asasi manusia memiliki konteks dengan kekuasaan. Secara substansial ide hak asasi manusia lahir dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, hakekat hak asasi manusia dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap martabat manusia dari penyalahgunaan kekuasaaan. Pada hakekatnya pelanggaran hak asasi manusia adalah penyalahgunaan kekuasaan, artinya para pelaku bertindak dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Perbuatan tersebut dilakukan di dalam atau berkaitan dengan kedudukannya di pemerintahan. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi ketika terjadi kegagalan dari negara atau pihak yang secara hukum diwajibkan untuk mematuhi norma-norma hak asasi manusia internasional. Secara singkat, pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi karena tindakan maupun pengabaian. 38 Di sisi lain, hak asasi manusia juga mempunyai arti fundamental bagi negara hukum. Hak asasi manusia memberikan gambaran mengenai karakter terbatas kewenangan pemerintah. Tindakan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan dan hak-hak milik warga negara dalam negara hukum harus selalu dapat dijabarkan berdasarkan asas legaitas ke dalam perundang-undangan formil. Pemberian kuasa demikian rupa menjadikan tindakan pemerintah selalu spesifik berupa tindakan hukum tertentu pemerintah yang diperbolehkan. Hak asasi manusia merupakan pelengkap kekuasaan, tepatnya mengenai pemberian kewenangan pemerintah dalam negara hukum. Hak asasi manusia merupakan pembatasan sebuah pembagian antara pemerintah dengan warganya. Pemerintah melaksanakan kewenangan tertentu dan terbatas yang diarahkan pada pengelolaan kepentingan umum. Warga negara pada awalnya bebas untuk memberi bentuk pada hidupnya menurut pandangannya sendiri. Untuk itu pada saat terancam,
37
Abdul Latif, Loc. cit. Andrey Sujatmiko, HAM, Pelanggaran HAM Dan Penegakan HAM, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm.345. 38
14
ia dijamin kebebasannya untuk dapat dipergunakan menurut keinginannya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 dan 30 UU No. 39 Tahun 1999. 39 Pada generasi pertama tentang hak asasi manusia sipil dan politik. Hak asasi manusia generasi pertama ini lebih mengedepankan kebebasan masyarakat dari pengekangan negara. Ia lebih menghargai ketiadaan intervnensi negara dalam pencarian martabat manusia. Hak asasi manusia ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran kaum reformis pada awal abad ke 17 dan ke 18 yang berkaitan dengan revolusi Inggris, Amerika dan Prancis. Pemikiran ini dipengaruhi oleh filsafat politik individualisme liberal dan doktrin sosial-ekonomi liassez-faire. 40 Negara hukum modern yang liberal-individual memiliki tugas pokok, yaitu menjaga dan menjamin agar kemerdekaan dan kebebasan individu memperoleh kedudukannya yang mapan. Usaha tersebut dilakukan dengan menciptakan filsafat, asas, doktrin serta prinsip-prinsip hukum, demi mewujdkan tugas pokok tersebut. 41 Liberalisme memiliki komitmen pandangan bahwa setiap individu harus memiliki kebebasan dan kemampuan untuk mempertanyakan dan kemungkinan merevisi praktik-praktik tradisional dari komunitasnya bila praktik-praktik tersebut tidak sesuai lagi. 42 Komitmen filosofi liberalisme ada pada otonomi individu yang dianggap dapat memajukan masyarakat. Otonomi individu diberikan tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebebasan masyarakat, negara atau dunia usaha. Kaum liberal melihat dirinya mampu untuk mengatur pilihan-pilihan hidup untuk dirinya sendiri dalam batasan kebebasan dan kesempatan yang dimiliki orang lain. 43 Menurut Brian Z. Tamanaha, negara hukum itu berkisar pada tiga kelompok pengertian. Pertama, bahwa pemerintah itu dibatasi oleh hukum. Dalam pemahaman yang pertama tersebut, negara melindungi masyarakat dari penekanan oleh pemerintah. Negara hukum juga melindungi masyarakat dalam keadaan pluralisme, seperti Indonesia, negara hukum akan melindungi masyarakat.
39
Abdul Latif, Op.cit, hlm. 134. Eko Riyadi, Politik Hukum Hak Asasi Manusia: Kajian Terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Air, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007, hlm. 245. 41 Satjipto Rahardjo, Op. cit, hlm. 23. 42 LG. Saraswati, et. al, Op. cit, hlm. 155. 43 Ibid,122 40
15
Kedua, negara hukum difahami secara legalitas formal. Negara hukum dipahami sebagai suatu yang sangat bernilai, tetapi belum tentu memiliki nilai kemanusiaan yang bersifat universal pula. Orang yang tidak dapat berfikir bahwa peraturan sebagai inti dari legalitas formal, berlaku untuk segala keadaan. Legalitas formal berjalan dengan baik pada ranah kehidupan sosial, dimana dijumpai keadaan netral, seperti perdagangan, penghukuman terhadap orang yang melakukan kekerasan kriminal dan terhadap orang yang mengganggu kepemilikan orang lain. Ketiga adalah peraturan yang didasarkan pada hukum, bukan orang. Keadaan tersebut dapat dicapai manakala dapat dicapai keseimbangan antara keduanya, yang intinya adalah pengendalian diri. 44 Negara hukum Indonesia bukan negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan berbagai fungsi publik, bukan negara by job description, melainkan negara yang ingin menjunjung moral yang terkandung di dalamnya. Negara hukum Indonesia lebih merupakan negara by moral design. 45 Seperti tersebut yang memunculkan konstruksi, di situ ada nilai dan komitmen moral penting yang ingin diwujudkan, yaitu menghadirkan dan membangun negara yang membahagiakan rakyatnya. 46 Bernegara hukum adalah suatu pekerjaan total dan tidak hanya berhubungan dengan urusan hukum-berhukum semata. Pekerjaan total yang dimaksud adalah bernegara hukum dilihat dan disadari sebagai problem kemanusiaan yang jauh lebih besar dari pada problem hukum. Maka penyelesaiannya adalah juga penyelesaian problem kemanusiaan, bukan problem hukum semata. 47
D. Hak Asasi Manusia Dan Sistem Hukum Pidana Nasional Dalam Negara Hukum Indonesia Prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum sebagaimana yang telah diuaraikan di atas, merupakan salah satu unsur dan bagian yang khas dari negara hukum, dan negara hukum itu sendiri tidak lepas dari nilai-nilai hak asasi manusia 44 45 46 47
Satjipto Rahardjo, Op. cit, hlm. 89. Ibid, hlm. 93 Ibid, hlm. 94. Ibid, hlm. 105.
16
sebagai norma yang berlaku secara universal tanpa kecuali, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan sebagai bagian integral dalam pembangunan hukum nasional untuk mencapai tujuan negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya. Terkait dengan negara hukum yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka negara berkewajiban menghormati (to protect), melindungi (to respect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak individu sebagai manusia yang bebas mendapatkan rasa bahagia. Dalam hal ini Satjopto Rahardjo menyatakan, bahwa negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya. 48 Dengan demikian, Negara Indonesia sebagai negara hukum harus mampu merespon tantangan/masalah besar dalam pembangunan hukum nasional saat ini, yaitu
tantangan/masalah
besar
internal
(nasional)
dan
eksternal
(global/internasional). Masalah internal yang utama, masih rendahnya kualitas penegak hukum (pidana) dan belum mantap/belum tuntasnya pembaharuan atau pembangunan sistem hukum nasional, khususnya hukum pidana nasional. Masalah eksternal,
menghadapi
perkembangan
globalisasi
yang
multi
kompleks,
internasionalisasi hukum (pidana). 49 Masalah internal (nasional) penegakan dan pembaharuan hukum pidana yang masih banyak bertentangan atau pelanggaran hak asasi manusia, selain dipengaruhi oleh kualitas penegak hukum dalam pembangunan hukum nasional, baik pada tahap formulasi, aplikasi maupun dalam tahap eksekusi. Begitu juga dipengaruhi oleh keberadaan negara sebagai organisasi kekuasaan yang menimbulkan kecenderungan bahwa negara memonopoli seluruh kekuasaan sehingga berakibat adanya resiko berhadapan dengan masyarakat dan menghilangkan hak individu sebagai manusia utuh. Di sisi lain, negara juga masih mempertahankan masyarakat primodial dan dogmatis yang masih mempertahankan eksistensi mereka. Di sini, keberadaan mereka tidak lagi ditandai oleh keterbelakangan pendidikan, akan tetapi lebih karena
48
Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 4. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke 3, Bandung, 2013, hlm. 246-247. 49
17
mereka memiliki pandangan yang fundamentalistik, 50 bahwa nilai-nilai yang dapat diukur kepastiannya merasa mempunyai hak untuk mempertahankan nilai-nilai kebenarannya, di lain pihak nilai-nilai yang dibentuk berdasarkan dinamika masyarakat juga merasa berhak atas kebenarannya. 51 Pelanggaran hak asasi manusia itu sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia 52 terhadap instrumen-instrumen nasionalnya. Hak-hak warga negara yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 terlihat bukan sebagai hak asasi manusia, dalam terminologi deklarasi hak asasi manusia yang mengurangi dan sangat membatasi hak itu sendiri. 53 Hal itu dibuktikan pada konstitusi dan peraturan peraturan-perundang-undangan di bawah lainnya sebagai keseluruhan sistem hukum (pidana) nasional yang masih mempertahankan pada pilihan moral masyarakat, bukan individu, serta pembatasan hak dan kebebasan manusia sebagai individu terhadap nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat; 54 Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; 55 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa; Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masayarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 56 Ketentuan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 huruf J ayat (2) dan Pasal 18 huruf B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 70 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 50
LG. Saraswati, et. al, Op. cit, hlm. 121. Ibid,hlm. 127. 52 Rhona K.M. Smith, et. al, Op. cit, hlm. 69. 53 Benny D. Setianto, Pergulatan Wacana HAM di Indonesia, Penerbit Masscom Media, Semarang, 2003, hlm. 250. 54 Pasal 28j ayat (2) Amandemen ke II Undang-Undang Dasar 1945, dalam Lengkap UUD 1945 (dalam Lintas Amandemen) Dan UUD (yang Pernah Berlaku) Di Indonesia (Sejak Tahun 1945), Penerbit Lima Adi Sekawan, Jakarta, 2008, hlm. 156-157. 55 Pasal 70 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 23. 56 Pasal 18 huruf B ayat (1) dan ayat (2), Ibid, 152. 51
18
menunjukan keberpihakan negara dan campur tanganya terhadap urusan pribadi seseorang yang dihadapkan pada suatu kepentingan moralitas kelompok tertentu atau kepentingan masyarakat tertentu, serta kesewenang-wenangan negara sebagai organisasi kekuasaan menimbulkan negara memonopoli seluruh kekuasaan dalam membatasi hak asai manusia, juga samapai dengan dihadapkannya pada perbuatan pidana yang berakibat adanya resiko pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa hak kelompok masyarakat dan hak kultural tersebut harus berada dalam kerangka kerja hak asasi manusia, serta kepentingan politik harus dijauhkan dari kepentingan ideologi (agama, ras, etnis dan tradisi/motos). Tentunya negara atau lembaga-lembaga negara maupun pemerintahan tidak mempunyai hak untuk memaksakan ide-idenya tentang apa yang boleh dan tidak boleh, salah dan benar menurut pihak suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Bagi hak asasi manusia internasional menghormati tradisi lokal adalah penting karena pada dasarnya customary law diakui. Namun, bila relativis kultural menolak hak-hak dasar lainnya seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir dan beragama, kebebasan berasosiasi, dan sebagainya, maka hukum internasional hak asasi manusia menjadi tidak berguna. Apakah dengan demikian instrumen ini harus dibuang demi menghargai tradisional lokal? Bila intrumen internasional hak asasi manusia ini berguna bagi manusia dan perlu dipertahankan, maka maknanya harus dianut oleh tradisi lokal. 57 Begitu juga pada beberapa rumusan dalam peraturan perundang-undangan (pidana) lainnya yang terpengaruh oleh konstitusi atas rumusan yang membatasi atau menghilangkan eksistensi hak asasi manusia sebagai hak kodrat, dan terpisah antara hak asasi manusia di satu sisi dan hukum di sisi lainnya, bahkan tidak hanya pelanggaran hak asasi manusia yang membatasi atau menghilangkan hak, melainkan sutau kebebasan hak asasi manusia dalam berkreasi dan berekspresi dijadikan sebagai suatu tindak pidana. Hal itu wajar, jika pada awalnya rumusan konstitusi tersebut sudah memisahkan kedua bentuk norma yang dijadikan landasan terhadap peraturan perundang-undangan (pidana) di bahwahnya maupun menjadi landasan atas pemberlakuan hukum, sehingga hasil produk perundang-undangan (pidana) di bawah lainnya banyak merumuskan ketentuan yang bertentangan dengan nilai-nilai 57
LG. Saraswati, et. al, Op. cit, hlm. 139.
19
hak asasi manusia atau disebut sebagai perumusan perundang-undangan yang melanggar hak asasi manusia. Maka tidak mengherankan dalam penegakan hukum pidananya (law enforcement) melanggar atau menghilangkan hak asasi manusia. Hal tersebut dapat diketahui, bahwa permasalahan penegakan hukum (pidana) disebabkan oleh tahap formulasi/legislasi itu sendiri, maka rumusan pada tahap formulasi yang bermasalah mengakibatkan tahap aplikasi yang bermasalah juga. Begitu juga dengan sebuah hirarki perundang-undangan, di mana undang-undang dasar/konstitusi dapat mempengaruhi peraturan perundang-undangan di bawahnya, jika dalam perumusan konstitusi banyak yang melanggar hak asasi mansuia, maka peraturan perundang-undangan (pidana) lainnya merumuskan ketentuan yang melanggar hak asasi manusia. Sebagaimana rumusan dalam konstitusi negara yang telah di uraikan di atas, yang perumusannya memisahkan antara hukum dan hak asasi manusia sebagai dua sisi yang berbeda, tentu akan diikuti oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai dua sisi yang berbeda, bahkan banyak perumusan dalam peraturan perundang-undangan mengkriminalisasikan suatu hak asasi manusia atau suatu ekspresi kebebasan sebagai hak asasi manusia dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Lebih jauh lagi, peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus hak asasi manusia dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga yang merumuskan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi yang ditetapkan dalam undang-undang. Maka hal ini, seolah-olah hak asasi manusia dapat dibatasi dan pembatasan kebebasannya sebagai hak asasi manusia dapat dijadikan sebgai tindak pidana jika bertentangan dengan kepentingan masyarakat tertentu. Keberpihakan negara terhadap moralitas tertentu dan pembatasan hak asasi manusia yang dijadikan suatu perbuatan pidana, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Drt. No. 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil menyatakan, bahwa hukum materil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materil pidana sipil yang sampai saat kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan
20
pengertian: bahwa, suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuh tidak diikuti oleh terhukum dan pengertian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum. Ketentuan ini dinilai dengan syarat kepentingan yang dapat mengabaikan suatu kebebasan individu, hak-hak asasi yang dimiliki manusia sebagai individu, dan hak asasi lainnya yang terkait dengan individu sebagai manusia. yang harus berhadapan dengan ancaman pidana yang memihak pada kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Begitu juga dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dapat menghilangkan dan/atau merampas hak asasi manusia sebagai haknya yang dimiliki ketika berhadapan dengan kepentingan masyarakat tertentu yang dinilai sebagai suatu perbuatan pidana, yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-udangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Terkait dengan perumusan sistem hukum pidana nasional mulai dari konstitusi sampai pada peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai negara hukum, maka sistem hukum pidana nasional dalam Negara Hukum Indonesia perlu menyelaraskan diri pada ketentuan International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) menyangkut hak sebagai derogable dan hak sebagai non-derogable beserta pembatasan atas hak seseorang yang dapat dibatasi. Sehingga tidak menimbulkan kesalah-pahaman dalam persepsi, maupun kesalahan merumuskan hak asasi manusia dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya atau menjadi kesewenang-wenang pemerintah atau negara dalam mengurangi hak asasi manusia sebagai hak yang dapat dikurangi dan hak yang memang tidak bisa dikurangi, beserta pembatasan hak yang dibenarkan oleh ketentuan International
21
Covenant On Civil and Political Rights, apalagi dirumuskan suatu kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia tersebut dijadikan tindak pidana. Sebagaimana pembatasan hak tersebut haruslah mengacu pada penjelasan dalam prinsip-prinsip Siracusa mengenai pembatasan hak asasi manusia dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, agar tidak terjadi mispersepsi atau salah dalam interpretasi pembatasan yang dimaksud dengan International Covenant On Civil and Political Rights. Seperti apa yang dimaksud dengan ketertiban umum (publik), didefinisikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin bekerjanya masyarakat atau seperangkat prinsip-prinsip dasar di mana masyarakat dibangun. Menghormati hak asasi manusia adalah bagian dari ketertiban umum. Jadi pembatasan yang dimaksud di sini, adanya pembatasan terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tidak bekerjanya atau tidak berjalannya ketertiban yang menjaga hak asasi manusia di dalam masyarakat atau juga yang disebut sebagai ketertiban umum. Hal ini bukan berarti untuk kepentingan masyarakat atau publik itu sendiri tanpa kepentingan hak yang melekat pada individu sebagai manusia yang membentuk suatu ketertiban di dalam masyarakat atau publik yang menjadi kepentungan dan ketertiban umum. 58 Tidak ada bedanya dengan apa yang dimaksud dengan moral masyarakat yang terdapat dalam International Covenant On Civil and Political Rights seperti definisi ketertiban umum, akan tetapi apa yang dimaksud dengan moral masyarakat dalam prinsip Siracusa, bahwa pembatasannya tersebut tidak sampai pada adanya diskriminasi terhadap moralitas masyarakat tertentu terhadap hak asasi manusia individu sebagai manusia yang bermartabat atau melebihi dari hak yang telah ditentukan dalam atau pembatasan yang melanggar International Covenant On Civil and Political Rights.59 Bertolak dari beberapa pasal mulai dari ketentuan konstitusi sampai pada pasal di dalam beberapa perundang-undangan sebagai kesatuan sistem hukum (pidana) nasional yang mengaur tentang derogable rights dan limitasi tersebut di atas, tidak mendasarkan atau tidak sesuai dengan apa yang dimaksud denga 58
Prinsip-Prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatsan dan Pengurangan Hak Asasi Manusaia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Annex, UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984), Subs-Komisi Pencegahan dan Perlindungan Kaum Minoritas, Dewan Ekonomi dan Sosial, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Diterjemahkan oleh Asep Mulya. 59 Ibid.
22
International Covenant On Civil and Political Rights beserta Prinsip Siracusa, sehingga diartikan dan ditegakkan dengan melanggar hak asasi manusia. Dalam rangka penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan poliik, dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hak-hak manusia, tetapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau pelanggaran dengan International Covenant On Civil and Political Rights melalui campur tangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hakhak melalui tindakannya, negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya, adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan International Covenant On Civil and Political Rights yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judical). 60 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Covenant On Civil and Political Rights. Oleh karenanya pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melakukan harmonisasi dan penyelarasan antara International Covenant On Civil and Political Rights dengan sistem hukum pidana nasional di dalam negara hukum dengan melakukan beberapa tindakan seperti merevisi, mereformasi/memperbaharui ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan International Covenant On Civil and Political Rights baik secara parsial maupun keseluruhan. Bertolak dari hukum hak asasi manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subjeknya. Individu ditempatkan sebagai pemegang hak (rightholders) yang dijamin secara internasional, semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan kebangsaannya dari suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum hak asasi manusia ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders). 61 Maka pembaharuan sistem hukum pidana nasional berangkat dan mendasarkan diri pada norma hak asasi manusia internasional, yaitu menempatkan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional. Dengan menempatkan diri terhadap masyarakat internasional, maka menempatkan individu 60
Komentar Umum Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2013, hlm. xvi. 61 Rhona K.M. Smith, et. al, Op.cit, hlm. 34-35.
23
sebagai pemegang hak yang dijamin negara sebagai totalitas manusia yang utuh dan bermartabat.
E.
Penutup Negara Hukum Indonesia lahir sejak berdirinya Negara Indonesia, sejak itu-
lah Negara Indonesia mengakui dan menunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai hak asasi manusia yang telah dirumuskan dalam konstitusi sebagai dasar negara yang melandasi terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang dirumuskan secara eksplisit maupun secara implisit sebagai sistem hukum pidana nasional. Akan tetapi perumusan hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia masih memisahkan antara hukum di satu sisi dan hak asasi manusia di sisi lain, serta mengurangi dan membatasi hak asasi manusia antara kepentingan individu dan kepentingan publik, artinya adanya pengurangan dan pembatasan hak individu sebagai manusia diperlakukan secara diskriminatif oleh penguasa atau negara terhadap kepentingan publik. Dengan demikian, Negara Indonesia masih belum menunjung tinggi hakekat hak asasi manusia sebagai harkat dan martabat yang dimiliki individu sebagai manusia di dalam negara hukum. Sehingga penegakan hukum pidana dalam sistem hukum pidana nasional yang seharusnya di dalamnya juga menegakkan hak asasi manusia, melainkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Pengaturan hak asasi manusia dan sistem hukum pidana nasional dalam negara hukum Indonesia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, seyogyanya tidak adanya pengurangan dan limitasi hak asasi manusia secara diskriminatif terhadap kepentingan masyarakat tertentu (hak publik) yang menghilangkan eksistensi manusia itu sendiri, yang sebenarnya dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia secara individu, tidak mengurangi atau menghilangkan eksistentsi kepentingan publik atau masyarakat tertentu, melainkan menunjung tinggi hak individu sebagai manusia secara utuh di dalam kehidupan masyarakat menjadikan suatu kepentingan publik yang lebih kuat dan menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan demikian diperlukan penguatan hak asasi manusia dalam konstitusi sebagai negara hukum, sehingga tidak ada lagi dalam penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem hukum pidana nasional yang melanggar hak asasi manusia.
24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Abdul Latif, Demokrasi Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Andrey Sujatmiko, HAM, Pelanggaran HAM Dan Penegakan HAM, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. A. Bazar Harahap, Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya, PECIRINDO, Jakarta, 2007. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Ke 3, Bandung, 2013. Benny D. Setianto, Pergulatan Wacana HAM di Indonesia, Penerbit Masscom Media, Semarang, 2003. Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Eko Riyadi, Diskursus Mengenai Derogable Rights Dan Non-Derogable Rights Di Indonesia, Dalam To Promote: Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia Di Indonesia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2012. _________, Politik Hukum Hak Asasi Manusia: Kajian Terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Air, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Komentar Umum Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2013. LG. Saraswati, et. al, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta, 2006. Muhammad Nur Islami, Deklarasi Kewajiban Asasi Sebagai Sarana Untuk Mempertemukan Ideologi, Kepercayaan dan Pandangan Politik Masyarakat Internasional, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007.
25
Masyhur Effendi, Dimensi Dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. _______________, HAM, DUHAM, RANHAM Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Mansour Fakih, et. al, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Insis Press, Yogyakarta, 2003. Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Kajian Konsep HAM Dalam Teks-Teks Adat Lamaholot Dan Relevansinya Terhadap HAM Dalam UUD 1945, Lamalera, Yogyakarta, 2008. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam Muntoha, Hak Asasi Manusia (HAM) DI Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Muntoha, Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Prinsip-Prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatsan dan Pengurangan Hak Asasi Manusaia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Annex, UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984), Subs-Komisi Pencegahan dan Perlindungan Kaum Minoritas, Dewan Ekonomi dan Sosial, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Diterjemahkan oleh Asep Mulya. Rhona K.M. Smith, et. al, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010. Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, 2008 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konstitutionalisme : Hubungan Masyarakat dan Negara, Dalam Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam-HuMa, 2002. Suprianto Abdi, et al., Potret Pemenuhan Hak Asasi Manusia Atas Pendidikan Dan Perumahan Di Era Otonomi Daerah: Analisis Studi DI Tiga Daerah,
26
Penerbit Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanpa Tahun. Slamet Marta Wardaya, Hakekat dan Rencana Aksi Nasional HAM, dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, Januari 2005. Suparman Marzuki, Robohnya Keadilan, Politik Hukum Dan HAM Era Reformasi, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2011. Sri Hastuti Puspitasari, Perlindungan HAM Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, 2007. Tim Parsial, Perlindungan Terhadap Human Rights Defenders (Hambatan dan Ancaman Dalam Peraturan Perundang-undangan), November 2005.
B. Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Lima Adi Sekawan, Jakarta, 2008. Undang-Undang Drt. No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Undang-Undang No. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, PT. Grafitri, Bandung.
27