NAWA CITA DAN PERAN HUKUM NASIONAL MENGANTISIPASI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015
Theo Yusuf ABSTRAK Rencana melaksanakan penyatuan Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah digulirkan sejak sepuluh tahun silam dan baru ditandatangani pada 2009. Para pemimpin negara dari ASEAN menyadari pentingnya melakukan penyatuan pasar itu agar dapat meningkatkan potensi ekonominya masing-masing (added value economic). Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam penandatanganan itu tentu harus lebih siap dari negara lainnya, khususnya dalam membuat berbagai kebijakan hukum terkait dengan MEA. Indonesia juga masih menganut sistem hukum civil law, legal formal, tetapi para penegak hukum belum sepenuhnya mampu menjiwainya. Dengan demikian, hukum yang bertentangan dengan nurani dapat terjadi seperti dialami Nenek Asyani dan Kakek Harso. Merujuk Program Nawa Cita Presiden Joko Widodo tertuang dalam RPJMN 2015 -2019, diterangkan, reforrmasi dari hukum positif (hanskelsenisme) ke arah hukum yang lebih adaptif dengan pasar global akan dilakukan. Meski begitu, tindak tersebut tidak mengabaikan ekonomi dan HAM, seperti disampaikan Richard Posner dan Romli Atmasasmita, yakni hukum yang bermanfaat dan bernilai. Indonesia tampaknya sudah siap karena lahirrnya UU PT, BUMN dan kepailitan sebagai produk hukum pasca reformasi, dimaksudkan mengadaptasi dengan pasar regional dan global. Intinya, Indonesia sudah menyadari keterkaitan hukum dan ekonomi tidak dapat dihindari lantaran manusia itu sesunguhnya homo economicus. Itu sebabnya, banyak lahir UU PT, BUMN dan kepailitan sebagai antisipasi pasar global. Kata Kunci: Nawa Cita, Hukum Yang Bermanfaat, Hukum Dan Ekonomi
I.
PENDAHULUAN
Sejak satu dekade silam, para Pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 di Singapura menyepakati pembentukan pasar tungal di kawasan Asia Tenggara dilaksanakan pada 2015.
Indonesia dalam KTT itu langsung dipimpin Presiden Indonesia RI ke-VI Susilo Bambang Yudhoyono, disertai para menteri terkait. Di samping Indonesia, ada juga sembilan orang pemimpin Negara ASEAN lainnya, yaitu Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei Darussalam), PM Hun Sen (Kamboja), Abdullah Ahmad Badawi (Malaysia), Lee Hsien Loong (Singapura), PM Thein Sein (Myanmar), Gloria Maccapagal Arroyo (Filipina), PM Surayud Chulanont (Thailand), PM Nguyen Tan Dung (Vietnam) dan PM Bouasone Bouphavanh (Laos). Diantara tujuan pembentukan pasar tungggal tingkat ASEAN, semangat yang ingin diwujudkan, jangan sampai kawasan ASEAN hanya dijadikan objek pasar dari negara-negara tetangga ASEAN seperti China, Jepang, Korea Selatan dan India. Mengingat, keempat Negara itu nyatanya jauh lebih maju dalam pembangunan ekonomi, infrastruktur, hukum dan politik. Tidak hanya itu, diciptakannya pasar tunggal oleh sesama anggota, diharapkan saling membantu kesulitan yang dihadapi dari masing-masing negara sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi dan politik yang mencolok. Adanya kesetaraan itu diharapkan negara tersebut mampu mengurangi jumlah kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan dan transfer teknologi. Terjadinya penandatangan kerjasama ekonomi kelompok Negara ASEAN atau MEA, tampaknya sebagai tindak lanjut strategi globalisasi perdagangan dunia yang secara bilateral maupun multilateral telah diadakan oleh negara-negara di ASEAN. Tiga negara yang letaknya lebih dekat dengan kawasan Amerika Utara, Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko pada 1994 telah mewujudkan kesepakatan perdagangan bebas sesama anggota. Tahun itu juga ditandantangi para pemimpin dari masing-masing negara anggota. Kerjasama perdagangan yang disebut North American Free Trade Agreement (NAFTA) diharapkan dapat membantu mengurangi kemiskinan penduduk Meksiko, karena dua negara lainnya dalam kawasan sama, Amerika Serikat dan Kanada relatif jauh lebih maju di berbagai hal. Namun catatan Joseph E. Stglitz, seorang pemenang nobel ekonomi menyebutkan, setelah lebih dari satu dekade, tampak jelas NAFTA belum mampu mewujudkan tujuannya. Meksiko memang tidak lebih
meskin dari periode sebelumnya, tetapi berbagai keuntungan yang dijanjikan dalam draf NAFTA tidak kunjung terwujud (Joseph E., 2006: 122). Joseph mengutip adagium orang Meksiko, “meksiko itu lebih jauh dari Tuhan, tetapi sangat dekat dengan AS.” Adagium itu merupakan sinisme melihat ketimpangan ekonomi dan jumlah pendapatan masyarakat antara AS dengan Meksiko. AS mempunyai pendapatan per kapitanya enam kali lipat dari orang Meksiko. Kemajuan ekonomi di berbagai negara maju, termasuk juga ASIA, seperti China, Korea Selatan dan Jepang, tidak dapat dilepas dari kemajuan politik dan hukumnya. Artinya, tidak mungkin ekonomi suatu negara akan mengalami kemajuan pesat manakala politik dan hukumnya belum stabil, atau belum menunjukkan arah yang jelas dalam membangun visi negaranya. Itu sebabnya, jika Indonesia akan mengikuti negara yang tingkat ekonominya lebih maju, salah satu syarat utamanya, negara dapat menjamin dan memastikan apakah hukumnya sudah bersifat responsif atau masih otoriter, karena di negara manapun jika hukumnya masih bernuansa otoriter, tak mungkin negara itu akan cepat maju secara ekonomi dan politiknya. Nonet dan Selznick seperti dikutip Mahfud MD, menyampaikan hubungan hukum dan penindasan (Mahfud, 2012: 27). Dikatakan, masuknya pemerintahan dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum terkait dengan kemiskinan sumber daya pada elit pemerintah. Hukum sering dikaitkan kekuasan yang dipegangnya, sehingga rakyat dipaksa lewat adanya ancaman sanksi administrasi dan pemenjaraan dari para elit politik yang miskin kepercayaan itu. Sedang, hukum yang bersifat responsif atau otonom, Nonet menjelaskan negara sesungguhnya dapat saja menciptakan ketertiban, kepastian dan keadilan sebagai tujuan hukum, tidak harus lewat penindasan, pemberian sanksi atas nama kekuasaan semata. Negara dapat membuat hukum yang dilegitimasi, diakui dan dipercaya oleh masyarakat. Namun, kondisi itu didahului syarat hukum itu dibuat atas dasar prosedur yang baik. Jika hukum dibuat dari kehendak masyarakat dan prosedur yang baik, maka sudah pasti akan ditaati tanpa harus mengedepankan ancaman atau sanksi, karena
tujuan masyarakat sebagai komitmen politik menciptakan ketertiban menuju kebahagiaan warganya. Oleh karenanya, hukum tentunya tak dapat diterapkan semata-mata sesuai dengan teks-teksnya seperti pendapat Hans Kelsen, yakni hukum sebuah perintah, hukum harus dilaksanakan demi kestabilan politik. H.L.A. Hart, sebaagi pendukung Kelsen menyebut, hukum dan moral merupakan dua dimensi berbeda. Hukum tidak dapat disandingkan dengan moral, oleh karenannya untuk menegakkan hukum dan menjaga kestabilan, harus dijauhkan dengan asumsi moral (H.LA. Hart, 2013: 287). Hukum murni mengandalkan pada sisi kekuasaan, sedang hukum responsif lebih menekankan pada proses dan aspirasi masyarakat. Sehingga, jika ingin membuat hukum yang responsif, hukum yang mampu mengantisIpasi arah pasar, seperti dikatakan Richard Posner, kecenderungan hukum masa depan tak dapat mengabaikan perkembangan ekonomi (Romli, 2011: 42). Namun, apapun kebijakan hukum yang harus disampaikan pemerintah, tak dapat dihindarkan dari pembuatan hukum yang bernilai (value law), utility, dan law efficiency, dengan ciri kekhasan Indonesia. Peran dan kebijakan hukum seperti itu tentu akan banyak membongkar hukumhukum positif yang selama ini sudah menjadi “kebudayaan” masyarakat Indonesia meskipun di banyak negara sudah mulai dilakukan penyempurnaan karena teks-teks hukum yang dikodifikasikan dalam UU itu tak mampu mengikuti derap perkembangan ekonomi masa depan. Peran hukum yang diharapkan untuk masa depan adalah hukum yang mampu mengantispasi arah globalisasi tanpa mengabaikan indentitas diri sebagai bangsa Indonesia. Pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo berjanji dalam waktu lima tahun ke depan, akan mengawal program Nawa Citanya. Tertuang dalam bab hukum, pembaharuan hukum dari konsep civil law menjadi hukum lebih progresif akan dilakukkan. Perspektif kebernilaian dan kebermanfaataan akan dikedepankan dengan mengadopsi nilai-nilai Pancasila. Peranan hukum lebih atraktif, tidak ortodoks, mesti diciptakan agar esensi hukum itu dapat dirasakan oleh masyarakat, mengingat tujuan hukum seperti disebut
Jeremy Bentham, hukum itu harus membahagiakan warganya (happiness law), tanpa mengabaikan adanya kepastian, keadilan, dan tidak membuat kegaduhan politik (Lili Rasjidi, 2011: 64).
A.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian sebagaimana tertuang dalam pendahuluan di atas, hal yang ingin dikaji, apakah Nawa Cita dan Program Pembangunan Hukum Nasional sudah dapat mengantisipasi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA pada 2015?
II.
TINJAUAN LITERATUR
A. Hukum Positif Bagaikan Teks Mati
Tinjauan literatur atau tinjauan pustaka akan dititikberatkan pada teori konfigurasi politik hukum nasional yang dimulai dari hal khusus (induksi) menjadi hal umum (deduksi) agar silogismenya terpaut. Adagium lama menyebut, “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tampak nyata yang terjadi di negeri ini. Konfigurasi politik hukum masih terasa, hukum lebih banyak menguntungkan pihak pemerintah, meskipun dalam setiap pembuatan Undangundang melibatkan kedua belah pihak, legislatif dan eksekutif, bahkan meminta pendapat dari kalangan akademikus dan kelompok swadaya masyarakat (LSM). Namun, dalam pelaksanaannya para pejabat hukum belum nampak jujur dan berintegritas sebagai penegak hukum yang menghayati Pancasila sebagai norma dasar hukum nasional. Dengan demikian, hukum seperti yang dituangkan pada pasal-pasal dalam KUHPidana, KUHPerdata dan pasal-pasal UU lainnya, oleh para penegak hukum layaknya dibaca sebagai teks mati.
Bacaan para penegak hukum lebih kepada
bagaimana membaca pasal-pasal itu ke arah yang dapat menguntungkan para elit penguasa dan pengusaha. Menurut Istilah Mantan Hakim Konstitusi dalam mengomentari kasus Nenek Asyani, “para penegak hukum di Indonesia baru dapat membaca teks, tetapi dibaca tanpa jiwa, sehingga hukum justru mencelakakan orang, tidak membahagiakan (Sonora, 17/3)”. Nenek Asyani (63 tahun) merupakan contoh konkrit dalam perkembangan hukum nasional saat ini. Ia telah mengiba kepada para penuntut umum, jaksa dan para hakim yang mengadili dirinya, karena pada pekan lalu (Kamis 12 Maret 2015) dia didakwa mencuri tujuh batang kayu jati di lahan Perhutani Situbondo dengan nilai kerugian ditaksir Jaksa sekitar Rp4,3 juta. Jaksa menuntut dengan Pasal 12 Jo Pasal 83 dan pasal 87 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan (Tempo, 22 Maret 2015). Kejadian lain juga terjadi pada Kakek Harso (67 tahun), pada 2014, dia ditangkap petugas polisi, dituduh menebang kayu di atas lahan BKSDA, dengan tuduhan melanggar Pasal 40 Jo Pasal 19 dan Pasal 33 UU Sumber Daya Alam. Dia dituntut Jaksa, penjara tiga bulan dan denda Rp400 ribu (Sindo, 15 Maret 2015). Meskipun hakim telah membebaskan, ia sudah meringkuk di jeruji besi lebih dari satu bulan. Kejadian itu terjadi pada 2014 dan kejaksaan baru tahun ini menyidangkan, sementara pihak terdawa sudah menunggu di sel Mapolresta/Kejaksaan Gunung Kidul Yogyakarta. Menurut kuasa hukumnya, dakwaan kejaksaan dinilai berlebihan, karena lahan itu sesungguhnya sudah disewa Rp2,5 juta per tahun, dan dakwaan seperti itu seharusnya dialamatkan para pembalak kayu di Kalimantan dan Pulau Papua lainnya. Namun apapun kata sang pengacara, Kakek Harso sudah mendekam di penjara, dan ia hanya menerima pasrah putusan hakim, hingga dirinya mengalami trauma tidak mau lagi melihat tanah yang disewa itu. Negara seperti yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo dalam program Nawa Citanya, akan hadir untuk melakukan pembelaan hukum terhadap mereka yang
lemah. Negara harus memastikan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat oleh para penguasa, tetapi harus bisa dirasakan oleh masyarakat, bahwa hukum dapat mengayominya (RPJM, 2015:6.1). Namun faktanya, hal itu hingga kini belum kunjung terwujud. Pada kejadian lain yang menimpa pejabat besar, seperti Komisaris Brigjen Budi Gunawan, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal melakukan pemeriksaan terhadap Budi Gunawan (BG) lantaran dalam sidang Praperadilan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada 16 Februari 2015, memenangkan tututan BG (Kompas, 17/3.2015). Bahkan, Hakim Rizaldi mengancam siapapun orang yang menghina dan melecehkan keputusannya akan dilaporkan kepada Polisi. Polisi sudah menerima sejumlah pengaduan dari Sarpin Rizaldi termasuk didalamnya mantan Hakim Agung Komariah Emong. KPK mengakui kekalahannya dan telah mengalihkan kasusnya ke Kejaksaan. Pimpinan kejaksaan, HM Prasetyo mengatakan, belum ada kesimpulan terkait indikasi korupsi atau gratifikasi dari KPK atas kasus BG (Kompas, 12 Maret 2015). Kejadian itu juga mirip dengan apa yang dialami Labora Sitorus, diindikasi mempunyai “rekening gendut,” sebutan rekning besar milik seorang polisi berpangkat Bripka, senilai lebih dari Rp1 triliun dari hasil pembalakan kayu, penimbunan bahan bakar, pencucian uang. Kasus itu seolah hal biasa, sehinggga Labora dapat tinggal dirumah dengan pengawalan para petugas hukum dan preman yang dibayarnya. Negara Cq Kejaksaan, dan Polisi seolah takut menangani terdakwa Labora itu (Kompas, 6 Februari, 2015). Fakta tersebut menunjukkan apa yang pernah disampaikan Mahfud MD benar adanya, bahwa hukum di Indonesia erat kaitannya dengan konfigurasi politik. Hukum tajam di bawah dan tumpul di atas. Adagium itu bertentangan dengan keinginan para pendiri negara, Indonesia sebagai negara hukum, semua warga negara harus tunduk dan dalam posisi sejajar di mata hukum. Hal itu dituangkan pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebut, “negara Indonesia adalah negara Hukum (Hendarmin, 2002:225).” Penjelasan umum UUD 1945 menegaskan negara Indonesia berdasar atas hukum (rectsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dan
pemerintahannya berdasar atas konstitusionalisme (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas).
Dengan perkataan lain, negara Indonesia
berdasar pada Pancasila, sebagai negara hukum (Ali Murtopo, 1981:100). Hal yang disampaikan dalam Pasal 1 ayat (3) dan penjelasan UUD 1945 disadur Ali Murtopo, masih bersifat tataran normatif, artinya bersifat umum yang semua pihak dapat menafsirkan sesuai dengan konfigurasi politik yang dikehendaki. Masa orde baru, kata Mahfud MD (2014) terdapat tiga istilah sebagai kunci pengantar kesuksesan Orde Baru yang mewarnai konfigurasi politik hukum tertentu yakni: 1. Kestabilan ekonomi; 2. Pimpinan Pemerintahan yang kuat; 3. Susunan yang stabil. Membangun ekonomi kuat tidak mungkin dapat dicapai jika suatu negara tidak mampu menjamin stabilitas keamanan dan politik. Oleh karenanya, perlu prasyarat utama menuju perekonomian stabil itu yakni adanya pemerintahan yang kuat. Itulah sebabnya, Orde Baru menempatkan para tentara dan polisi sebagai garda terdepan memerangi berbagai hal yang dinilai menghambat atau mengganggu program ekonomi nasional. Pasalnya, Orde Baru meyakini adanya kestabilan politik, pemerintah yang kuat dan kelembagaan yang dapat dikontrol mampu mewujudkan kesejahteran rakyat. Oleh karena selain aparat keamanan, para penegak hukum juga dipaksa mengikuti ritme atau alur yang dikehendaki para elite penjaga keamanan itu, sehingga lambat laun orde baru dipersepsi sebagai orde yang cenderung otoriter karena konfigurasi politik hukumnya lebih mengikuti alur dari kekuasaan, utamanya alur yang digagas dari elite penjaga keamanan. Konfigurasi hukum dimasa orde baru, tak dapat dilepas dari pendapat Hans Kelsen, dan John Austin yang menyebut, hukum sebagai perintah atau pernyataan kehendak (Hans Kelsen, 2014: 40). Norma pun juga disebutnya sebagai perintah. Setiap hukum atau peraturan merupakan perintah, atau lebih tepatnnya, hukum atau peraturan merupakan suatu
spesies perintah. Perintah suatu kehendak dari seseorang untuk orang lainnya. Jika orang yang diperintah tidak menurutinya, penguasa dapat menekan lewat sanksi sehingga masyarakat luas takut akan sanksi dari penguasa atau pembuat perintah itu. Itulah sebabnya, banyak negara masih berlanjut menggunakan teori Hans Kelsen, hukum itu merupakan perintah, sehingga dalam pembuatan hukum atau UU perlu dikodifikasi agar masyarakat terikat dan dianggap mengetahui meskipun substansi isinya tidak banyak diketahui masyarakat. Pendapat Hans Kelsen disempurnakan oleh H.L.A Hart dalam buku The Concept of Law, atau konsep hukum (2013). Hart berpendapat, hukum sebagai perintah paksaan. Ia mencontohkan seorang petugas polisi Lalu lintas dapat memaksa pengendara motor dan mobil lainnya untuk berhenti sejenak jika ada pejabat tinggi negara yang mau lewat. Atau pejabat pamong praja dapat mengusir para pengemis untuk tidak berdiri dalam trotoar jalan. Jika mobil, motor dan para pengemis tidak mengindahkan perintah dari petugas hukum, mereka dapat diberi sanksi, baik berupa sanksi administrasi hingga dipenjara jika dinilai melawan (Hart, 2013: 32). Bagian lain, Hart juga menegaskan, adanya hubungan hukum dan moral. Ada berbagai jenis hubungan antara hukum dan moral, dan tidak satupun dari hubungan itu yang dapat dipandang mewakili semua hubungan tersebut (2013: 286). Artinya, ia membedakan keberlakuan hukum dan moral karena mempunyai demensi yang berbeda meskipun keduanya, antara hukum dan moral dapat dihubungkan, meski tidak selalu paralel dengan keadilan. Kelsen dan Hart, oleh para praktisi hukum dikategorikan beraliran positivisme hukum, yakni semua peraturan perundang-undangan yang sudah dikodifikasi atau diundangkan dari proses legislasi DPR dan pemerintah atau dari proses salah satunya, berlaku sebagai hukum yang mengandung perintah dan saksi. Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda kurang lebih 350 tahun. Negara itu masuk dalam kelompok pengguna civil law, yakni hukum yang dikodifikasi atau disebut hukum positif . Masalahnya, dalam mahzab hukum positif juga dianut Indonesia selama ini, jika hukum atau peraturan itu oleh para penegak hukum hanya
dibaca sesuai dengan teksnya, tidak dikaitkan dengan etika dan norma seperti dalam bingkai pancasila, kondisi yang terjadi dapat berkaca pada pengadilan Kakek Harso, di Pengadilan Gunung Kidul Yogyakarta, dan Nenek Asyani di Pengadilan Situbondo Jawa Timur. Mereka itu dapat disebut para pejabat hukum hanya mampu membaca teks dan pasal-pasal dalam KUHP dan Perundangan lainnya bagai teks mati, dan dibaca dan dilaksanakan tanpa nurani. Maka hukum itu hanya membahagiakan sekelompok orang tertentu, sehingga terciptalah adagium “tumpul di atas dan tajam di bawah.” Konsepsi itu menyimpang dari pendapat Dicey, yang dikutip Munir Fuady menyebut terdapat tiga arti dari negara hukum atau rule of law yakni: 1. Supremasi absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa. 2. Berlakunya prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law), semua orang harus tunduk kepada hukum dan tidak seorang-pun yang berada di atas hukum (above the law) 3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini hukum yang berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan rakyat (Janpatar. vol.7, 2014).
Penyimpangan yang dinilai kian dalam itulah kini pemerintah dibawah Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, ingin mendorong terjadinya perubahan hukum yang dituangkan dalam program Nawa Cita untuk mengantisipasi Indonesia memasuki MEA. Dalam konteks itu, sudah terlihat banyak peraturan perundang-undangan yang tidak lagi bersifat rigid atau kaku seperti dalam UU Kepailitan, UU Perseroan Terbtas dan UU BUMN yang menempatkan anggota masyarakat luas sebagai pemangku kepentingan utama, dan pemerintah tak lebih dari seorang wasit yang harus bersifat adil dan bijaksana. Dalam kaitan itu, hukum harus diciptakan agar mampu menjadikan Indonesia lebih adil dan sejahtera, hukum bukan semata-mata perintah dari penguasa, tetapi
hukum atas dasar konsensus rakyatnya atas apa yang perlu dan harus dituangkan sebagai UU atau hukum itu sendiri. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kehendak masyarakatnya
sehingga bagi anggota masyarakat sudah
mengetahui apa yang harus dan tidak perlu untuk dilakukan. Hukum yang baik adalah sesuai yang berlaku dimasarakat (the living law)
B. Menghadirkan Hukum yang Bermartabat
Sejak Presiden Joko Widodo melakukan kampanye menjadi Presiden, program Nawa Cita sudah digulirkan. Nawa Cita banyak ragam arti, tetapi secara umum dapat dimaknai sembilan program pembangunan yang diharapkan dapat membahagiakan rakyatnya. Sembilan program dalam nawa cita itu juga termasuk dalam program pembangunan hukum nasional. Keprihatinan pemerintah mereformasi hukum, disebutkan, salah satu kegagalan pelaksanaan hukum nasional dikarenakan lemahnya fondasi dalam penyusunan hukum nasonal. Hingga kini Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan 640 (enam ratus empat puluh) undang-undang. Hal itu terjadi karena adanya inkapabilitas baik dalam penyusunannya maupun dalam pelaksanaannya. Indonesia masih banyak terpengaruh civil law, atau bernuansa kodifikasi model kolonial. Oleh karena itu, ke depan akan dilakukan perbaikan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti lingkungan, ekonomi, Hak Asasi Manusia dan sosial di dalam masyarakat (RPJM, 2015: 7.3). Pemerintah saat ini berkomitmen untuk melakukan reformasi hukum sesuai dengan kehendaknya. Artinya jika Joko Widodo akan menjadikan hukum dapat mengadaptasi perkembangan jaman, memperhatikan lingkungan, ekonomi dan HAM, maka konfigurasi hukum di masa depan akan lebih akomodatif dengan pasar, sehingga Indonesia sesungguhnya sudah mengantisipasi akan datangnya MEA itu. Penegasan itu pula disampaikan pada bab khusus, yakni sub bidang hukum yang menegaskan:
1. Perlu revisi KUHP dan KUHAP Ketentuan KUHP dan KUHAP kini sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu direvisi keberadaannya, agar pelaksanaan hukum pidana dapat terpadu yang memuat substansi harmonisasi tumpang tindihnya kewenangan penyidikan dan penyelidikan dan mengadopsi perkembangan teknologi. 2. Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata Dibutuhkan pembahasan revisi pembahsan Hukum Acara Perdata yang memperhitungkan tuntutan aktivitas ekonomi di regional dan internasional serta perlu pula dilakukan harmonisasi komponen/prinsip hukum kontrak negara-negara ASEAN dalam rangka menghadapi Masyarakat ekonomi ASEAN
Revisi dua UU khususnya dalam kasus Pidana korupsi memang suatu keharusan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan. Kasus cicak danbuaya jilid 1, 2 dan 3 menunjukkan adanya inkapabilitas lembaga hukum dalam menangani kasus hukum. Bagaimana mungkin korupsi diIndonesia yang sudah menjadi hantu karena menjadikan rakyat tambah miskin, menjadikan nilai ekspor harganya tidak dapat bersaing dan pembangunan infrastrukturnya rendah dibanding negara-negara maju lainnya dapat tuntas mana kala para penegak hukumnya selalu ribut di ranah publik. Kejadian itu mengindikasikan Indonesia belum berhasil dalam melakukan pemberantasan korupsi. Sedang revisi KUHPerdata, khususnya dalam berbagai kontrak, harus dimaknai bahwa masih banyak UU khususnya di sektor perekonomian belum mengapresiasi dalam perkembangan ekonomi internasional, seperti kemajuan teknologi, masih banyaknya daftar negatif investasi dan belum tuntasnya UU di sektor tata ruang dan berlakunya Hak Guna Usaha/HGU. Namun disi lain, dalam UU BUMN No.13 Tahun 2013 dan UU PT No.40 Tahun 2007 sudah banyak mengadopsi perkembangan ekonomi global hal itu dapat
dilihat adanya kemungkinan melakukan go public dan pemilihan para direksi dan komisaris yang melibatkan pihak luar, independen atau kelompok profesional. Dengan demikian, seperti disampaikan Richard Posner, bahwa hukum dan ekonomi meskipun mempunyai disiplin ilmu yang berbeda, dalam perkembangannya dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum tak dapat dipisahkan dari analisis eknomi (http://posner.28.6.2014). Dalam kajian Posner, lewat law and economic disebutkan, “Refleksi pengakuan terhadap kontribusi ilmiah di bidang studi hukum dan ekonomi dalam memecahkan permasalahan yang konkrit dan potensial berkaitan dengan upaya menciptakan keadilan dan ketertiban serta menyediakan perlindungan hukum terhadap kepentiungan masyarakat. Di pihak lain seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini dan kian kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat, maka diperlukan adanya terobosan baru untuk menegakkan keadilan yang merupakan tujuan utamya dibuatnya hukum.” Dari pendapat Posner itu dapat ditarik garis hukum harus memperhatikan lingkungan masyarakat setempat. Hukum juga harus mengapresiasi perkembangan teknologi dan ekonomi saat ini. Dengan begitu hukum akan menjadikan manusia sebagai pijakan untuk mencari keadilan. Jangan sampai ada orang yang tanahnya digusur diberi pengganti yang tidak wajar dan tak sepadan, karena hal itu tidak akan mewujudkan tujuan hukum. Richard Posner dalam mengaitkan hukum dan ekonomi dapat dilihat dari kasus penyelesaian bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Lippo dan perbankan lainnya, yang dapat diselesaikan tidak semata-mata lewat pidana dan perdata, tetapi juga menggunakan pengadilan Out of Court System (OCS) menggunakan model Release and Dischange (R&D) (Romli, 2003: 47). Inti dari perlunya pembaharuan hukum nasional adalah agar hukum dapat mengantisipasi perubahan global, khususnya pada tataran MEA, sehingga para pelaku bisnis tidak perlu takut berusaha di Indonesia karena penjara, bukan sebagai satusatunya alat untuk menekan dan memaksa seseorang yang diduga salah atau merugikan keuangan negara. Hal penting, negara tidak dirugikan, publik percaya dan masing-
masing orang mempunyai perlindungan secara hakiki, yakni tidak karena kekuasaan belaka.
III.
ANALISIS
A. Mengimplementasikan Nawa Cita Pada alinea ke-IV pembukaan UUD 1945 disebutkan: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupanbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdaiamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaa yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Teks pembukaan itu jelas menyebut Indonesia menganut sistem hukum positif, karena ditegaskan, kemerdekaan itu disusun dan dituangkan lewat Undang-undang NKRI. Tentunya para pendiri kala itu amat jelas dipengaruhi pemikiran hukum kolonial. Kemudian dari teks pembukaan itu juga dilanjutkan dalam isi batang tubuhnya, yakni pada Pasal 1 (ayat 3) disebutkan Indonesia adalah negara hukum. Suatu penegasan semua peraturan perundang-undangan yang dikodifikasi merupakan bentuk hukum tertulis yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat. Sayangnya, hingga kini masih banyak para penegak hukum belum mampu menjiwai, membaca dan melaksanakan teks-teks dalam pasal UU sehingga banyak menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat, bahwa hukum positif yang dibaca dan dilaksanakan oleh para penegak hukum tidak dilandasi dengan jiwa, tidak dikaitkan dengan teks pembukaan UUD 1945 yakni Pancasila. Akhirnya menimbulkan kegaduhan hukum, politik dan sosial ekonomi. Kasus Asyani dan Kakek Harso merupakan sederet pelaksaan
hukum yang oleh para penegak hukum tidak mampu menjiwai membaca teks-teks dalam hukum positif tersebut. Ricca Agreini mengutip pendapat Soerjono Soekanto menyebutkan, hukum dalam teks akan diterapkan dalam peristiwa konkrit oleh para penegak hukum. Perihal penegakan hukum, diperlukan substansi dalam artian aturannya, kemudian aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana serta budaya masyarakat. “Aparat penegak hukum akan mempengaruhi proses dari penegakan hukum, aparat yang benar akan menegakkan hukum secara benar dan tidak mencederai nilai keadilan (Ricca.vol.IV, 2011).” Pendapat Ricca itu dapat disandingkan dengan adagium, canggihnya senjata jika tidak digunakan oleh orang yang tepat dan profesional, maka akan banyak mencelakaan orang. Itu sama pengertiannya, meskipun hukum nasional sudah baik dan lengkap, jika dibaca dan digunakan oleh para penegak hukum yang kurang menjiwai, maka nilai keadilan akan menjadi langka. Itulah sebabnya, banyak pihak sependapat jika Presiden Joko Widodo dapat mewujudkan janjinya, yakni program Nawa Cita yang salah satunya melakukan pembaharuan hukum, dan melakukan revolusi mental masyarakat Indonesia yang selama ini terlihat minus integritas lantaran kian berkembangnya paham pragmatisme dan keinginan kaya secara cepat. Revolusi mental akan dihadirkan untuk mencegah adanya berbagai penyalahgunaan wewenang khususnya di lingkungan birokrasi termasuk di dalamnya pembuatan Undangundang yang sering dinilai mengikuti alur dari para pemilik modal, sehingga dapat menghilangkan substansi dari UU dimaksud. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional,
2015-2019 menegaskan,
keberadaan UU Keterbukaan Publik No.14 Tahun 2008 menjadi landasan utama meningkatkan layanan publik, karena didalamnya terkandung perlunya keterbukaan arus informasi ke publik, meningkatkan partisipasi masyarakat, mendorong kapasitas dan kapabilitas pejabat birokrasi dan meningkatkan kualitas layanan publik (RPJM, 2015:1-5). Dengan adanya keterbukaan informasi, maka peran serta masyarakat baik di bidang ekonomi dan stabilitas politik akan menjadi penting karena salah satu kekuatan demokrasi,
jika pemerintah lebih banyak melibatkan ruang publik termasuk didalamnya dalam membuat UU dan peraturan lainnya.
B. Hukum Integratif dan Antisipasi MEA
Jerome Frank, mantan hakim dari Amerika Serikat yang mendapat julukan seorang filosof hukum realisme, menyampaikan berbagai kritik terhadap adanya kodifikasi hukum yang banyak dianut negara-negara kawasan Eropa atau civil law. Jerome mengemukakan kodifikasi hukum tidak lentur, kurang teliti dan cenderung melakukan penyederhanaan terhadap masalah. Jerome juga mengutip pengakuan Napoleon sebagai bapak kodifikasi menyebutkan pembuatan UU saya sering merasa bahwa penyederhanaan berlebihan adalah musuh dari ketelitian (Jerome, 2013: 414). Dengan kritik itu wajar jika perkembangan hukum di AS yang biasa disebut negara yang menganut common law, tidak terikat dengan kodifikasi hukum. AS dalam menerapkan hukum jauh lebih atraktif dan partisipatif dalam mengadopsi keadaan masyarakat termasuk didalamnya mengantisipasi globalisasi ekonomi, perdagangan dan kemajuan arus informasi yang menggunakan teknologi tinggi. Oleh karenaya wajar jika para sarjana hukum nasional seperti Mohtar Kusumaatmadja, Satjipto Raharjo, Romli Atmasasmita dan segenap tim yang tergabung program Nawa Cita Joko Widodo ingin menjadikan reformasi hukum yang dapat mengantisipasi pasar. Romli Atmasasmita menyebutkan hukum integratif merupakan hukum yang lahir pasca orde reformasi 1998. Sebelum reformasi hukum konfigurasi masih bersifat otoriter sehingga tidak mungkin hukum integratif akan lahir. Diantara ciri hukum integratif adalah mengedepankan value law, hukum yang punya nilai dengan mengadopsi kearifan lokal, dan adaptif terhadap perkembangan globalisasi khususnya disektor ekonomi dan keuangan.
Teori Mochtar mengedepankan hukum sebagai alat pembangunan disebutnya lebih kearah normatif, sehingga mudah disalahgunakan karena dengan adanya UU meskipun UU itu tidak dijiwai kehendak masyarakat, wajib dilaksanakan. Sementara Satjipto lebih kearah kemampuan untuk mengadopsi kejadian yang terjadi (hukum progersif) mengedepankan para juris sebagai sarana hukum untuk mencari keadilan, belum mendapatkan dukungan luas dari masyarakat karena masih mungkin ditumpangi kepentinngan politik. Hukum integratif muncul sebagai bagian dari norma Pancasila mengedepankan pada nilai kearifan local mengaitkan nilai ekonomi dan mengapresiasi keinginan musyawarah untuk mufakat tanpa mengabaikan aspek pidana jika masalah perdata tidak menemukan titik temu. Dalam Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang KPK misalnya, menyebutkan, setiap orang yang menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, (…) dipidana penjara seumur hidup, paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Pasal 4 menyebutkan pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapsukan pidananya. Pasal tersebut sangat legal formal. Dalam melaksanakan pasal itu faktanya tingkat pengembalian uang negara tak sebanding dengan jumlah uang negara yang keluar, termasuk untuk memberikan makanan dan fasilitas para koruptor itu. Jika dilihat dampak jeranya pun juga tidak Nampak berhasil, sehinggga reformasi menjadikan hukum tidak semata-mata menindak atau memenjarakan harus segera dilaksanakan. Intinya hukum harus tegak, negara tidak terus dirugikan dan negara tetap melindungi hak-hak seseorang secara proporsional, dengan berlandaskan pada nilai Pancasila.
IV.
SIMPULAN
Konsep Nawa Cita dalam program pembangunan hukum nasional pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, bukan hanya harus membongkar hukum yang bersifat legal formal, khususnya hukum yang terkait Pidana yang selama ini teksnya kurang dijiwai aparat penegak hukum, tetapi juga perlu segara mengimplementasi hukum yang sudah mengapresiasi kehendak pasar. Dengan demikian, tak akan terjadi kasus seperti yang dialami Nenek Asyani dan Kakek Harso sebuah potret hukum kolonial yang teksnya belum mampu dijiwai oleh para penegak hukum hingga berlawanan dengan konsep hukum Nawa Cita. Dalam mengantisipasi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASAN pada tahun 2015 pemerintah sesungguhnya sudah menuangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN tahun 2015-2019 yang disusun tim hukum dan tim ekonominya presiden. Sembilan program dari Nawa Cita itu antara lain perlunya melakukan reformasi hukum yang konfigurasinya memperhatikan lingkungan, aspek ekonomi, aspek kemanfaatan dan tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia/HAM. Itu sebabnya yang mendesak untuk dilakukan reformasi hukum, adalah segera merevisi KUHP dan KUHAP. Ketentuan KUHP dan KUHAP kini sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu direvisi keberadaannya. Revisi itu juga harus memperhitungkan tuntutan aktivitas ekonomi dalam skala regional dan global. Indonesia sudah menjadi bagian dari globalisasi ekonomi dunia, yang harus siap untuk memenangi persaingan. Khusus dalam hukum ekonomi, pemerintah sudah mempunyai UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Semua UU itu produk dari pasca reformasi yang tentunya sudah mengadopsi dengan keinginan pasar global. Sebagai contoh, dalam PT sudah dikenal dengan adanya go public, komisaris dan direksi independen dan perlindungan saham minoritas. Sementara untuk kepalitan, tidak lagi menunggu proses lama, karena tidak dikenal tahapan banding tetapi langsung kasasi dengan waktu yang tak lebih dari tiga
bulan. Semua produk hukum terkait ekonomi sudah mengakomodasi kemauan pasar global. Tinggal bagaimana mengimplementasikannya. Seperti yang ditegaskan Klaus Mathis, Law and Philosophy, Efficiency Instead of Justice, manusia ke depan apapun yang dilakukan dipastikan akan mengaitkan dengan masalah ekonomi karena sesunguhnya manusia itu homo economicus.
DAFTAR BACAAN
Frank, Jerome.
2013.
Law & Modern Mind,
Hukum dan Pemikiran Modern
(terjemahan oleh Rahmani Astuti). Nuansa Cendekia: Bandung. H.L.A. Hart. 2009. The Concept of law (Konsep hukum) terjemahan dari Khozim. Nusa Media: Bandung. Kelsen, Hans. 2014. General Theory of Law, & Sate Teori Umum hukum dan negara terjemahan dari Raisul Mutaqin. Nusa Media: Bandung. Klause Mathiis. 2009. Efficiency Instead of Justice? Springer: Swizerland. Mahfud, Moh. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Mortopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. CSIS: Jakarta. Ranadireksa, Hendarmin. 2002. Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi yang berkedaulatan Rakyat. Pancur Siwah: Jakarta. Rasjidi, Lili, dan Ira Thania. 2004. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukuk. Citra Aditya Bakti: Bandung. Romli, Atmasasmita. 2012, Teori Hukum Integratif. Genta: Yogyakarta. ------------------------. 2003.
Pengantar Hukum kejahatan Bisnis. Prenada media:
Jakarta. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, 2015 -2019, Bappenas.
Joseph E Stglitz, 2007, Making Globalization Work, Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, diterjemahkan Edrizani Azwaldi, Mizan, Bandung. Janpatar Simamora, Kajian hukum dst….. Jurnal Yudisial, Vol7 No.1/Aprril 2014. Ricca Anggareni, Kajian hukum atas dst……..JURNAL, Yudislal, Vo.IV.Desember 2011 Hamdan Zulva, 17/3, Sonora, Pk 20.00 WIB, Jakarta. Tempo, 22 Maret 2015. Sindo, 15 maret 2015 Kompas, 6 Maret 2015 Kompas, 15 Maret 2015 http://www.dokumen asean, 2009, diunduh media Maret 2015 Poster, teori huum terkait ekonomi, http://www, diakses 8 Maret 2015 UUD 1945 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik negara