NASKAH PUBLIKASI STRATEGI ADAPTASI “WANITA PERKASA” (WARIA)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesi Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh : IFADA NUR ROKHMANIAH 97 32 0035
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005
1
NASKAH PUBLIKASI STRATEGI ADAPTASI “WANITA PERKASA” (WARIA) SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesi Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh : IFADA NUR ROKHMANIAH 97 32 0035
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005
2
NASKAH PUBLIKASI STRATEGI ADAPTASI “WANITA PERKASA” (WARIA)
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Soni Andrianto, S.psi)
3
Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi
Pada Tanggal
Mengesahkan : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Dekan
(Dr. Sukarti)
DEWAN PENGUJI Tanda Tangan 1. 2. 3.
4
STRATEGI ADAPTASI “WANITA PERKASA” (WARIA)
Oleh: Ifada Nur Rokhmaniah 97320035
Abstrak
5
PENYESUAIAN DIRI PADA WARIA
INTISARI
Manusia terlahir sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia menjumpai kenyataan sosial, memerlukan penyeimbangan dari proses perkembangan yang harus di lewatinya, sebab ketika manusia dilahirkan memiliki suatu kelamin tetapi belum memililiki kejeniskelaminan (gender). Jenis kelamin pada bayi didasarkan pada pandangan anatomi fisik namun setelah menginjak dewasa muncullah stereotip kejenis-kelaminan. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah strategi adaptasi yang dilakukan kaum waria berkenaan dengan dirinya serta dalam menghadapi kehidupan di masyarakat yang secara otomatis telah menjadi bagian dari masyarakat luas. Subjek yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Manusia yang memiliki jenis kelamin berdasar pandangan anatomi fisiknya laki–laki, namun memakai atribut perempuan sampai pada sikap dan tingkah laku kearah feminin yang dalam masyarakat kita disebut Waria. Subyek dalam penelitian ini terbagi dalam waria yang ingin berganti kelamin dan waria yang tidak menginginkan operasi ganti kelamin. Analisis data dilakukan untuk menemukan makna setiap data, hubungannya antara satu dengan yang lain memberikan tafsirannya yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalah secara keseluruhan. Untuk itu dilakukan pemilihan dan pengelompokan data sesuai dengan rincian masalah masing-masing. Kemudian data tersebut dihubung-hubungkan dan dibanding-bandingkan satu dengan yang lain. Analisis data mungkin pula dilakukan dengan cara mendeskripsikan unsur-unsur yang merupakan bagian dari sesuatu,atau sebaliknya mengkombinasikan dan mengintegrasikan berbagai unsur yang terpisah – pisah, sehingga menjadi satu kesatuan utuh . Hayaza ( 1998 ).
6
PENYESUAIAN DIRI PADA WARIA
I.
Latar Belakang Masalah Manusia terlahir sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam
perjalanan hidupnya manusia menjumpai kenyataan sosial, memerlukan penyeimbangan dari proses perkembangan yang harus dilewatinya, sebab ketika manusia dilahirkan memiliki suatu kelamin tetapi belum memiliki kejeniskelaminan (gender). Jenis kelamin pada bayi didasarkan pada pandangan anatomi fisik namun setelah menginjak dewasa munculah stereotip kejenis-kelaminan. Sifat Kemahakuasaan Tuhan menunjukan bahwa ada manusia yang tidak jelas jenis kelaminnya. Ketidakjelasan tersebut bisa disebabkan oleh kelamin fisik dan psikologis.
Termasuk dalam kelainan fisik adalah hermaphrodite, yaitu
seseorang yang memiliki alat kelamin wanita juga mempunyai alat kelamin lakilaki seperti penis dan testis. Dalam kurun waktu perkembangan manusia akan mengalami hambatanhambatan dan perubahan-perubahan tertentu, baik yang berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya.
Hambatan-hambatan dan perubahan-
perubahan tersebut dapat berupa pengalaman-pengalaman. Pengalaman diri seseorang dapat mempengaruhi perilakunya. Di kalangan awam, waria sering diartikan sama dengan gay (homoseks laki-laki) walaupun sebenarnya memiliki unsur-unsur homoseks, namun mereka berbeda dan bukan homoseks. Waria dan gay adalah dua fenomena yang terpisah, meskipun dalam batas-batas tertentu keduanya sama-sama digolongkan sebagai penyimpangan seksual. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk lebih mengungkap perjalanan kehidupan kaum waria dengan menggunakan penelitian kualitatif yang dilakukan secara melalui wawancara dan observasi di lapangan. Adapun judul penelitian ini adalah “Penyesuaian Diri Pada Waria.”
7
II.
Tujuan Penelitian Peneliti ingin mengetahui bagaimanakah penyesuaian diri yang dilakukan
kaum waria berkenaan dengan dirinya serta dalam menghadapi kehidupan di masyarakat yang secara otomatis telah menjadi bagian dari masyarakat luas.
III.
Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
berupa informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya piskologi yang mempelajari perilaku manusia untuk memberi gambaran yang sejelas-jelasnya baik dari pandangan psikologi sosial maupun klinis. Secara praktis, diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat tentang kehidupan pribadi waria dan lebih mengenal keberadaannay dalam kehidupan sosial, sehingga tidak hanya memberikan penilaian negatif, tetapi juga dapat melihat segi-segi positifnya.
IV.
Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya mengacu pada hasil penelitian Prabandini (1996)
yang berjudul “Penyesuaian Diri Ditinjau dari Orientasi Peran Jenis Pada Pria Transeksual.”
Topik pada penelitian ini bertumpu pada pengamatan dan
penyesuaian diri pria transeksual dari orientasi peran jenisnya.
Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Prabandini (1996) adalah subyek yang diteliti yang berpengaruh pada Transkrip pertanyaan yang berbeda serta lebih banyak memberikan gambaran deskripsi strategi adaptasi waria itu sendiri. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah secara teori terjadi pengulangan pada pengertian Penyesuaian Diri dan teori pria transeksual.
V.
Tinjauan Pustaka A. Penyesuaian Diri Schneiders (1964) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan proses mental dan tingkah laku di mana individu berusaha untuk menguasai dan mengatasi dengan baik segala
8
tuntutan dirinya (mencakup kebutuhan, ketegangan, frustrasi, dan konflik) dengan tuntutan lingkungan sekitarnya. Gunarsa (1984)
memberikan definisi penyesuaian diri dengan
melihat bentuk-bentuk penyesuaian diri, yaitu : a. Adaptive. Istilah ini sering dikenal dengan adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani, artinya perubahan-perubahan dalam proses-proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. b.
Adjustive. Suatu bentuk penyesuaian yang lain, dimana tersangkut
kehidupan psikis, biasanya disebut dengan bentuk penyesuaian yang “adjustive”. Karena menyangkut kehidupan psikis, maka penyesuaian ini dengan sendirinya berhubungan dengan tingkah laku. Tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis, maka penyesuaian ini adalah penyesuaian dari tingkah laku terhadap lingkungan sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Di dalam kehidupan yang terus-menerus berubah-ubah, manusia selalu dituntut untuk melakukan penyesuaian diri agar dapat memenuhi kebutuhannya. Menurut Maramis (1980),
pada dasarnya manusia
mempunyai kebutuhan yang berupa : a.
Kebutuhan Badaniah (somatik), missal; makanan, minuman, pakaian, sex, perlindungan, melakukan aktivitas.
b.
Kebutuhan psikologis, misal; rasa aman, kasih sayang, harga diri, rasa masuk hitungan dalam kelompoknya .
B. Waria Purwodarminto (1976) Waria merupakan kependekan dari wanita pria istilah ini dipakai masyarakat yang sebelumnya disebut wadham, kemudian diusahakan oleh masyarakat Jawa Timur diganti dengan waria, akhirnya disetujui oleh Menteri Agama Republik Indonesia
(Harian
Pelita, 1978). Pada sekitar tahun 1960–an terjadi kebangkitan diantara kaum waria dibawah pimpinan Pangky Ketut. Salah satu usaha mereka untuk
9
mengubah stigma negatif dari masyarakat yaitu dengan menggunakan istilah baru. Istilah “Waria“ untuk wanita pria dan “Wadham“ untuk Wanita Adham, sejak itulah mereka mulai terkenal dalam sebutan baru tersebut (Atmodjo, 1986). Mulanya ada dua pengertian yang seringkali digunakan untuk menjelaskan soal waria. Pertama, Transeksual dimana seseorang mempunyai perasaan tidak suka dengan jenis kelaminnya dan merasa alat kelaminnya tersebut tidak pada tempatnya. Perasaan itu terus menerus mengganggunya hingga ia ingin menghilangkan ciri–ciri kelaki– lakiannya.
Kedua,
Tranvestisme
yaitu
orang
yang
mendapatkan
kegairahan dengan cara memakai pakaian lawan jenisnya (Atmodjo,1986). Menurut Adikusuma (1981) waria dapat dikelompokan menjadi empat kelompok, yaitu : a. Kaum Transeksual. Walaupun dalam kenyataannya memiliki unsur homosek dan transvestitisme, mereka merasa jijik terhadap alat kelaminnya. Alat tersebut dianggap sebagai alat yang tidak mempunyai kegunaan seksual, serta bukan pada tempatnya berada pada tubuhnya. Pemilihan pasangan mereka ini berhaluan heteroseksual secara gender walaupun secara biologi kenyataan hubungan mereka itu bercorak homoseks. b. Kaum Transvestit. Merupakan kelainan di mana pemuasan seksual tercapai dengan mengenakan pakaian dari jenis kelamin lawannya. Pada kaum ini mempunyai kebanggaan atas kepunyaannya dan menggunakan alat kelaminnya. Dalam memilih pasangan seks “sex partner” mereka tetap berorientasi heteroseks. c.
Kaum
membutuhkan
Homoseksual pasangan
Transvestit. dari
jenis
Secara
kelamin
naluriah
yang
sama.
mereka Untuk
penyalurannya mereka berusaha mencari kontak. Untuk yang jarang berhubungan dengan orang lain, cara kontak yang termudah adalah berdandan. Bila sarana kontak mudah, tentu mereka tidak membutuhkan perlengkapan dan dandanan seperti wanita. Untuk kaum homoseks, penis
10
dan kontak badan sejenis sangat besar artinya. Masih ada rasa bangga dengan timbulnya ereksi penis dan penggunaan penis di dalam hubungan badan. Walaupun biasanya ada yang bersikap aktif (maskulin) dan pasif (feminim),kemudian
dijumpai
kaum
homoseks
yang
kewanitaan
effeminate, hal ini tidak mengurangi pentingya arti penis bagi mereka. Mereka yang berdandan di dalam kelompok ini juga mempunyai pola seks yang homoseks dan biasanya jarang dijumpai. Selain mereka yang tergolong “closed type” (tipe tertutup), terdapat pula mereka yang juga menderita transvetisma disamping homoseksualitas. Mereka mendapat kepuasan seksual dari hubungan homoseks dan berpakaian lawan jenis kelaminnya. d. Kaum Oportunis. Mereka adalah orang–orang yang memanfaatkan kesempatan sebagai “waria“ untuk mencari nafkah.
VI.
Metode Penelitian A. Sampel Rencana responden dengan karakteristik sebagai berikut : a. Waria yang tinggal dengan keluarga dan waria mandiri b. Waria dengan kehidupan malamnya atau pasangannya c. Usia subyek berkisar antara 25 sampai dengan 40 tahun, dengan pendidikan minimal SMU d. Waria tranvestite dan waria transeksual Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposif, yaitu disesuaikan dengan tujuan penelitian (Nasution, 1996). Dari karakteristik yang ada diperoleh empat subyek dalam penelitian Subyek yang dimaksudkan dalam penelitian ini terbagi dalam waria yang ingin berganti kelamin dan waria yang tidak menginginkan operasi ganti kelamin. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah empat orang yaitu waria transvestite tiga orang, yang terbagi menikah dan tidak menikah. Satu orang
11
waria transeksual yang telah berhasil melakukan operasi kelamin. Variasi subyek dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mewakili khasanah tentang waria yang ada di masyarakat. Keempat subyek berada di Yogyakarta, tetapi sebagian dari mereka pendatang yang telah lama tinggal di Yogyakarta.
B. Metode Pengumpulan Data Metode yang tepat untuk memperoleh jawaban dari satu pertanyaan penelitian yang berbunyi Bagaimana Penyesuaian diri pada Waria? digunakan wawancara mendalam dan Observasi.
C. Metode Analisis Data Analisis data hasil penelitian dilakukan secara kualitatif. Cara yang digunakan untuk menganalisis data secara kualitatif adalah dengan mengikuti langkah-langkah reduksi data, display data, serta mengambil kesimpulan dan verifikasi (Nasution, 1996). Analisis data dilakukan untuk menemukan makna setiap data, hubungannya antara satu dengan yang lain memberikan tafsirannya yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalah secara keseluruhan. Untuk itu dilakukan pemilihan dan pengelompokan data sesuai dengan rincian masalah masing-masing. Kemudian data tersebut dihubung-hubungkan dan dibanding-bandingkan satu dengan yang lain.
VII.
Hasil Penelitian A. Keterlibatan Proses dari Dalam Pelaksanaan Wawancara mendalam guna memperoleh data , peneliti tidak menemui kesulitan yang cukup berarti . raport yang telah terbangun menjadikan pemilihan tempat berlangsungnya wawancara lebih fleksibel dan waktu melakukan wawancara tidak selalu membuat janji terlebih dahulu karena akan terasa spontanitas dalam mendapatkan data
12
yang di inginkan . sedangkan hal pemilihan tempat juga dimaksudkan agar proses wawancara berlangsung santai,dapat berlangsung lama mengikuti kenyamanan subyek . Wawancara dengan subjek Ri dilaksanakan pada tanggal 11 juli 2002. Wawancara dilakukan di Mall Malioboro berdasarkan kenyamanan subyek serta senangnya subjek pada lokasi tersebut . Wawancara kedua dilaksanakan pada tanggal 22 juli 2002 di Teteg ,sepanjang rel Kereta Api Stasiun Tugu. Pemilihan tempat ini dimaksudkan untuk mempermudah subjek pada malam hari yang mangkal di teteg . Subyek sangat ceriwis dalam menanggapi pertanyaan , bahkan terkesan agresif dalam merespon wawancara. Penampilan subjek yang terkesan glamour menambah kesan eksentrik. Wawancara dengan subjek Ys dilaksanakan pada tanggal 4 oktober 2002.wawancara pertama ini dilakukan di kost subjek tanpa membuat janji terlebih dahulu. Hal yang di dapat tanpa membuat janji terlebih dahulu mendapatkan data keseharian lingkungan kost subjek serta keadaan kamar kos yang di tempati tertata rapi.selain itu subjek tergolong religius dalam menjalankan ibadah keagamaan. Untuk dapat melihat ekspresi subjek dalam mengais rejeki yang sudah di jalani sejak lama maka pemilihan tempat wawancara yang berlangsung secara bebas dan santai dilaksanakan di gerbong kereta api Logawa pada tanggal 29 oktober 2002.sikap yang alami, bahasa yang ceplas-ceplos terbidik dengan mengikuti aktifitas subjek. Wawancara dengan subjek Kana pada tanggal 11 November 2002 berlangsung lepas di kontrakan subjek yang mempunyai usaha Laundry.hal ini di dukung karena kenyamanan bahasa dialek Jawa Timur yang kental di tambah dengan topik pembicaraan teman subjek yang kebetulan di kenal pula oleh peneliti. Pada Tanggal 19 November 2002 merupakan wawancara kedua yang di lakukan di luar kota jogjakarta karena adanya kesamaan kepentingan yang kemudian dimanfaatkan untuk bertemu. Surabaya yang
13
merupakan kampung halaman subjek membawa penemuan bagi peneliti tentang kehidupan subjek yang tadinya tidak tergali, hal ini spontanitas karena adanya adik subjek yang ikut . Subjek Yani memiliki perbedaan dari subjek-subjek sebelumnya karena
subjek
Yani
yang
memiliki
keinginan
untuk
berganti
kelamin.wawancara pertama di lakukan di salon miliknya pada tanggal 15 Desember 2002. Masa yang cukup mewarnai dalam proses perkembangan subjek, kelainan yang dirasakan subjek umumnya sejak berusia kanak-kanak merasa memiliki keganjilan, artinya mulai sadar akan keadaan dirinya yang tidak sama dengan teman sebayanya. Mereka lebih senang bermain dengan teman-teman wanita dibanding bermain dengan anak laki-laki dan lebih memilih perda-perda wanita dalam setiap permainan hingga penampilan ?
Mulai berdandan perempuan
Sekolah ya pakai seragam celana donk .. pulang sekolah cepet-cepet ganti rok trus bermain. (R 71: 46 – 48) Yo baju rok – e mbak yu – mbak yuku pas iseh cili-ane utowo rok-e mbak yuku sing isih digawe … … … pokok-e solan-salin … … … seru tenan ! (R 71: 37-39)
Kehidupan yang menyangkut peranan orang tua dalam mengasah dan membimbing berpengaruh terhadap kelainan yang mereka sandang, seperti suatu keluarga yang tidak ada seorang laki-laki yang dapat ditiru sebagai contoh pribadinya atau setidaknya yang dapat mengerahkan agar anak dapat membedakan mana yang khusus dilakukan oleh wanita dan mana oleh laki-laki. Proses menetapkan pilihan menjadi konsekwensi dari reaksi keluarga yang muncul pertama kalisebelum mengadakan kontak dengan masyarakat sekeliling, reaksi datar, munculnya ketidak setujuan dengan perlakuan kasar, tidak diterima keberadaannya karena keluarga merasa malu, hingga tindakan yang membuat subjek pergi dari rumah, karena tidak betah tinggal bersama keluarganya sendiri. Perasaan yang pertama kali dirasakan setelah mengetahui perkembangan jiwa mereka tidak sejalan dengan perkembangan fisik adalah perasaan bingung bercampur heran direspon oleh keluarga yang
14
umumnya mengambil tindakan setelah penderita terlanjur menjadi waria, dengan mengupayakan kesembuhan datang kepada dokter jiwa untuk berkonsultasi, hingga pergi pada orang pintar. ?
Upaya keluarga untuk menyembuhkan
Akike pernah dibawah ke psikolog n psikiater juga lho, tapi hasilnya yam akin gini percum tak bergun (K 130 : 37-45) Saking pengin akike gak jadi banci akike dijodohkan wong tuoku (K 132: 17-23) Akike pernah dibawa kedukun untuk menyembuhkan biar gak jadi banci lagi (YS 102: 26-28) Pernah konsultasi kedokter, kata dokter gak perlu risau dan katanya lagi karena pergaulan akike aja… … pernah akike dikasi obat penenang segala, hasilnya emang bikin tenang sesaat, bukan jadi bisa mengalihkan (YN 154: 26-34)
Rasa tidak percaya diri, minder yang dialami diupayakan subjek dengna melakukan berbagai strategi agar kekurangan baik secara fisik maupun SDM yang dimiliki tidak lagi menjadi penghambat sehingga mencapai rasa percaya diri.
B. Keterlibatan Proses dari Luar Pernak-pernik perjalanan yang dialami individu untuk tetap bertahan memperoleh sumber penghasilan untuk menunjang kehidupan ekonomi dengan bekerja sesuai dengan ketrampilan yang mereka miliki. Juga dari hasil menjajakan diri. Bentuk lain yang harus dihadapi hubungan di tempat kerja dan kehidupan di tengah masyarakat yang menginginkan harapan bisa diterima dan diperlakukan secara wajar. Kebutuhan biologis dengan memiliki kiat tersendiri untuk mendapatkan pasangan, serta kehidupan malam yang dijalani bukan semata-mata mencari uang dituturkan pula oleh para subjek. Sumber penghasilan agar dapat membiayai kehidupannya sendiri diantaranya berdasarkan dari ketrampilan yang dimiliki hingga pekerjaan yang tidak memerlukan ketrmapilan khusus sekalipun, karena minimnya SDM yang dimiliki
15
?
Usaha untuk mapan dalam status sosial
Akike sempat neng Jakarta, akike nyebong neng taman lawang, dua tahun akike neng Jakarta akike kerja neng salon karena punya pengalaman akike bisa pindah kerja dari salon ke salon (K 131 : 32-36) Yha lagi hoki juga karena akike… … kerja keras gak mungkin dong tiba-tiba besar (YN 150 : 20)
Kehidupan di tengah masyarakat menjadikan irama hidup waria dengan bermacam gaya yang mereka tunjukkan, mengundang simpati atas ketrmapilan ataupun tindak-tindak yang dimiliki, meski masih banyak sikap-sikap yang belum dapat menerima karena bekum pahamnya warga pada kehidupan waria, tetap membawa harapan untuk bisa diterima secara wajar di masyarakat.
VIII.
Pembahasan Perubahan seorang laki-laki menjadi waria kadang tidak disadari oleh
orang yang bersangkutan.
Dia hanya merasa mempunyai kebiasaan dan
kegemaran sebagaimana seorang perempuan. Hal ini bisa menjurus ke perilaku seks yang kelamaan karena sosialisasi seks dia secara psikologis akan merasa dirinya sebagai perempuan yang cenderung mencari pasangan (seks) seorang lakilaki. Hal yang dilakukan semata-mata murni dari kebiasaan lingkungan yang didapat, seperti kebiasaan anak laki-laki terhadap barang-barang wanita misalnya bedak, lipstik hingga pakaian wanita beserta aksesoris, akhirnya menjadi kebiasaan “menetap tegar” dalam istilah Kartono. Keadaan tersebut oleh Kelly (1988) disebut sebagai factor of infancy and childhood. Di sinilah terjadi munculnya reaksi berupa upaya dari orang-orang sekitar baik upaya logis maupun tak logis dimana barometer pengalaman nilai yang bersifat vertikal ataupun horisontal tidak begitu membawa pengaruh pada hasil yang diinginkan.
Bentuk-bentuk penyesuaian diri yang dilakukan oleh mereka
agar dapat bertahan hidup sesuai dengan keyakinannya sebagai wanita adalah, pertama meninggalkan keluarga mencari penghidupan baru bergabung dengan kelompok sosial waria, di sinilah terdapat kebebasan berperilaku dan berekspresi sebagai wanita sesuai dengan nalurinya, kedua melacurkan diri adalah bentuk
16
Penyesuaian diri yang berikutnya. Pekerjaan yang tersedia untuk waria terbatas, sehingga dalam mengambil langkah waria dapat memenuhi kebutuhan ekonominya sekaligus kebutuhan biologis dan psikologis, karena dalam kenyataannya selain masalah ekonomi, waria juga mengalami hambatanhambatan yang cukup pelik menyangkut kebutuhan biologis dan psikologisnya. Pada kenyataannya bentuk adaptasi waria ternyata justru membuat waria semakin jauh dari lingkungan, sehingga menimbulkan pelecehan-pelecehan sosial akibat cara hidup yang dijalaninya. Ada beberapa faktor yang membuat waria mendapatkan perlakuan tidak baik, yaitu dari masyarakat sendiri yang hanya melihat kehidupan waria secara sepintas. Sehingga menyeret masyarakat pada pamahaman yang salah, padahal apabila dipahami cara hidup yang ditempuh tersebut karena alasan untuk mempertahankan hidupnya. Seperti halnya respon mental dan tingkah laku untuk mengatasi kebutuhan, ketegangan, frustasi dan konflik dalam diri, serta menjaga keserasian antara tuntutan-tuntutan dirinya dengan tuntutan-tuntutan lingkungan sebagai bagian proses penyesuaian diri yang secara terus menerus dalam mempertahankan keseimbangan diri pada lingkungan (Powel, 1983).
IX.
Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Waria, banci, wadam atau apapun namanya bukanlah sebuah fenomena korban jaman. Mereka ada jauh bersama dalam nuansa peradaban manusia. Budaya-budaya waria merupakan bukti nyata. Namun demikian, tampaknya kehidupan dunia kaum ketiga masih jarang menjadi pusat perhatian yang obyektif. Bentuk Penyesuaian diri yang dilakukan waria sesuai dengan keyakinanya sebagai wanita dengan meninggalkan keluarga,mencari penghidupan baru untuk berekspresi.Strategi pemenuhan ekonomi sekaligus biologis dan psikologis karena SDM yang dimiliki bekerja pada pekerjaan yang dirasa nyaman berhubungan dengan dunia wanita dan menjalani kehidupan malam tetap menjadi konflik-konflik yang dihadapi
17
oleh kaum Waria berjalan integral dengan ketidakmampuan tatanan sosial menerima kehadiran mereka.
B. Saran Dalam proses perubahan prasangka masyarakat terhadap waria, perubahan itu harus muncul bermula dari waria. Dimana waria harus menunjukkan bahwa mereka bisa mandiri dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Waria juga harus bisa membuktikan bahwa mereka dapat bekerja layaknya masyarakat seperti masyarakat pada umumnya. Masyarakat hendaknya tidak semakin terseret pada anggapan yang negative saja tetapi turut mencegah “permulaan” kelainan
18
DAFTAR PUSTAKA Adikusuma A., 1981. Waria : Permasalahan dan Pengatasannya, Majalah Psikiatri jiwa, Tahun XIV, No. 1, Maret. Atmojo, K.,, 1986. Kami Bukan Lelaki : Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria, cetakan pertama, Penerbit PT. Pustaka Grafiti Pers, Jakarta. Chaplin, C. P., 1981. Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono, edisi revisi, cetakan ke-7, Penerbit CV Rajawali, Jakarta. Farihah, R.I. 2002. Pencarian Spritualitas Manusia: Study Kualitatif terhadap Peserta Meditasi. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Freddy, M.1997. Apakah Orang-orang WAWEA itu?. Cetakan pertama, Penerbit Libro Sannyasi, Jakarta Gunarsa, S. D.,1984. Psikologi Perkembangan, Cetakan ke-6, Percetakan PT. BPK Gunung Mulia Hilgard, E. R., 1962. Introduction to Psychology, New York : Harcourt Brace and World. Inc. Jennifer, E. M, 1991. The Truuth About Transsexuals, First edition, Harper & Row, Publishers, Inc. Moloeng J. Lexi, 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT. Remaja Bumi Aksara, Bandung. Maramis, W. F., 1980. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan I, Lembaga Penerbit Universita Airlangga Pikunas, J., 1976. Human Development and Environment, Third edition, International Student Edition, Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd., Japan. Powel, D.H, 1983. Understanding Human Adjustment Normal Adaptasion Through The Life Cycle, Boston Toronto: Little Brown and Co. Purwadarminto, WJS., 1976, Kamus Umum BI, Balai Pustaka, Jakarta. Schneiders, A., 1964. Personal Adjusment and Mental Hygiene, Holt, Rinehart Company, Monterey, California. Tobing, N. L., 1991. Transeksualisme, Matra No. 55, Edisi Bulan Februari
19