EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DOKTER MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2013
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: YUDA MARSONO K 100110027
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2015
2
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2013 ANTIBIOTICS USE EVALUATION OF PATIENT PNEUMONIA WITH GYSSENS METHOD AT INSTALATION INPATIENT REGIONAL PUBLIC HOSPITAL DOCTOR MOEWARDI IN 2013 Yuda Marsono# , EM Sutrisna Fakultas Farmasi Un iversitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yan i Tro mol Pos 1, Pabelan Kartasura Surakarta 57102 Belzemo 123@g mail.co m ABSTRAK Pneumonia penyebab kemat ian utama pada anak-anak dan orang dewasa. Penemuan antibiotik saat ini d igunakan untuk mengobati pneumonia. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan pengobatan kurang efekt if. Tujuan dari penelitian ini mengetahui gambaran serta mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013 dibandingkan dengan Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003. Penelit ian dilaku kan secara non eksperimental (observasional) bersifat deskriptif dan pengumpulan data dilaku kan secara retrospektif dengan menggunakan catatan rekam medik pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pasien yang terdiagnosa pneumonia dan mendapatkan antibiotik. Analisis data menggunakan diagram alur Gyssens. Dari 51 sampel yang terdiagnosa pneumoia, d idapatkan penggunaan antibiotik ceft riaxone (44,19%), metronidazo le (15,12%), ciproflo xacin (12,80%), gentamicin (10,46%), ceftazidim (8,14%), levoflo xacin (4,65%), azit ro micin (2,32%), cefadro xil (1,16%) dan meropenem (1,16%). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik d iperoleh 8 sampel masuk kategori 0 (15,69%), 1 sampel masuk kategori IIIa (1,96%), 26 sampel masuk kategori IVA (50,98%), 12 sampel masuk kategori IVB (23,53%), 3 sampel masuk kategori IVC (5,88%) dan 1 sampel masuk kategori IVD (1,96%). Kata kunci: antib iotik, metode Gyssens, pneumonia . ABSTRACT Pneumonia is a major cause of death in children and adults. The discovery of antibiotics is currently used to treat pneumonia. Inappropriate use of antibiotics cause less effectivetreatment.The purpose of this study to know the description and evaluating antibiotics use in pneumonia patients at Instalation Inpatient Regional Public Hospital Doctor Moewardi in 2013 compared with Guideline and Diagnosis of Pneumonia Treatment in 2003. The study was conducted non-experimental (observational) and data collection usingretrospectivepatient's medical record. The sampling technique used is purposive sampling, patients who are diagnosed with pneumonia and get antibiotics. Data analysis using flow charts Gyssens. From 51 samples diagnosed pneumoia, were obtained use of ceftriaxone (44.19%), metronidazole (15.12%), ciprofloxacin (12.80%), gentamycin (10.46%), ceftazidime (8.14%), levofloxacin (4.65%), azitromycin (2.32%), cefadroxil (1.16%) and meropenem (1.16%). Assessment quality of antibiotics obtained 8 samples are category 0 (15.69%), 1 sample is category IIIa (1.96%), 26 samples are category IVA (50.98%), 12 samples are category IVB (23.53 %), 3 samples are category IVC (5.88%) and 1 sample is category IVD (1.96%). Keywords: antibiotics, Gyssens method, pneumonia
3
PENDAHULUAN Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolis respiratorus dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sudoyo et al., 2007). 12 dari 1000 orang dewasa terkena pneumonia yang didapat di masyarakat (community acquired) setiap tahunnya. Satu dari 1000 orang perlu perawatan rumah sakit dan tingkat mortalitas sekitar 10% (Rubenstein et al., 2003). Di Provinsi Jawa Tengah, seluruh kasus kematian ISPA yang disebabkan oleh pneumonia sebesar 80-90%. Prevalensi penderita pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Jateng, 2010). Sedangkan pada tahun 2011 penderita pneumonia pada balita di Sukoharjo, Jawa Tengah mencapai 2.2% (Dinkes Sukoharjo, 2011). Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah agen antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007). Antibiotik adalah zat- zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat per tumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP) (Worokarti, et al, 2005). Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara luas di berbagai negara (The Amrin Study, 2005). Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi lebih lanjut penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan judul penelitian “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Tahun 2013”.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah non eksperimental dengan rancangan 4
penelitian secara deskriptif. Data diperoleh dari penelusuran catatan rekam medik secara retrospektif pada pasien pneumonia dengan terapi antibiotik yang dirawat inap. 2. Batasan Operasional a. Evaluasi yaitu analisis pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi yang meliputi ketepatan indikasi, keefektifan antibiotik, keamanan antibiotik, segi harga antibiotik, spektrum antibiotik, ketepatan lama pemberian, waktu pemberian, dosis, interval pemberian dan rute pemberian. b. Pneumonia adalah hasil diagnosa dokter bahwa pasien menderita pneumonia yang diketahui dari kartu rekam medik pasien. c. Evaluasi penggunaan antibiotik ditinjau berdasarkan diagram alur penilaian kualitatif penggunaan antibiotik metode Gyssens (Gyssens classification) meliputi alternatif antibiotik
lain yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih
sempit, dan lama pengobatan, dosis, interval, rute pemberian, serta waktu pembe rian antibiotik. 3. Alat dan Bahan a. Alat penelitian Lembar pengumpulan data pasien yang memuat identitas pasien (nama, jenis kelamin dan usia), nomor rekam medik, diagnosa pe nyakit, dan obat yang diberikan, Diagram alir Gyssens (Gyssens classification) dan Guideline Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003 yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. b. Bahan penelitian Catatan rekam medik pasien yang berisi informasi pasien meliputi, identitas pasien tanggal masuk rumah sakit (MRS), nama, umur, jenis kelamin, alamat, berat badan, tinggi badan, diagnosa dokter tentang penyakit, dan obat yang diberikan kepada pasien. 4. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa pneumonia yang menjalani rawat inap dalam catatan rekam medik selama tahun 2013 di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi . b. Sampel
5
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi yang terpilih. Sampel yang dipilih adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1) Pasien dengan diagnosa pneumonia. Dokter telah menegakkan diagnosa pneumonia pada pasien berdasarkan tanda dan gejala dengan atau tanpa menggunakan cara dan alat seperti laboratorium, foto rontgen, dan klinik. 2) Pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik. Proses penyembuhan penyakit berdasarkan diagnosis menggunakan obat berupa antibiotik. 3) Pasien rawat inap di rumah sakit. Proses perawatan pasien dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional akibat penyakit pneumonia, di mana pasien diinapkan di suatu ruangan di rumah sakit. 4) Pasien dengan data rekam medik lengkap. Data rekam medis harus mencakup identitas pasien, diagnosa, terapi pengobatan dan nilai laboratorium yang meliputi serum kreatinin, ureum, SGOT dan SGPT. Kriteria eksklusi: 1) Pasien hamil. Hampir semua antibiotik dapat membahayakan pasien hamil sehingga akan mempersulit penelitian. 2) Pasien dengan infeksi lain. Infeksi lain selain pneumonia akan membingungkan evaluasi karena tidak dapat dipastikan apakah antibiotik yang digunakan hanya untuk infeksi pneumonia atau infeksi penyerta. 5. Teknik Sampling Pengumpulan data secara retrospektif dari kartu rekam medik pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi selama tahun 2013 dengan menggunakan tehnik purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri yang sesuai kriteria inklusi. 6. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakasanakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi. 7. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskripstif non analitik kemudian dibandingkan dengan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti Indonesia tahun 2003. 8. Jalannya Penelitian Berikut langkah-langkah penelitian yang dilakukan : 6
a. Penelusuran kartu rekam medik kemudian dilakukan pengelompokan pasien yang terdiagnosa pneumonia. b. Pengambilan data pasien yang terdiagnosa pneumonia meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, diagnosa utama, nomor rekam medik, dan obat yang diberikan (jenis antibiotik, frekuensi, waktu pemakaian, dosis, rute, durasi). Apabila pasien pernah dirawat lebih dari 1 kali, maka data yang diambil adalah data terakhir. c. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan menggunakan alur penilaian kualitatif penggunaan antibiotik metode Gyssens.
Mulai tidak Da ta lengkap
VI
s top
V
s top
ya Antibioti k sesuai indi kasi ya
tidak
indi kasi
Al terna tif lebih efektif
ya
IVa
tidak Al terna tif kurang toksik
ya
IVb B
tidak Al terna tif lebih murah
ya
IVc
tidak Al terna tif spektrum lebih sempi t
ya
IVd
tidak Pemberian terlalu la ma
tidak
Pemberian terlalu singka t
IIIa
tidak Tepa t dosis ya
ya
ya
tidak
IIIb
IIa tidak
Tepa t interval ya
IIb tidak
IIc
Tepa t rute ya Tepa t timing
tidak
I
ya Tidak termasuk I-IV
0
Gambar 1. Al ur Penilai an Kualitatif Penggunaan Anti biotik (Gyssens Classification). (Gyssens, 2005)
7
Evaluasi antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan menilai kelengkapan data pasien (Kemenkes RI, 2011). 1) Jika data tidak lengkap, berhenti di kategori VI. Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis, atau ada halaman rekam medis yang hilang. Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien. Jika data lengkap, dilanjutkan pada pertanyaan, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotik? 2) Jika pemberian antibiotik tanpa indikasi, berhenti di kategori V. Jika pemberian antibiotik memang diindikasikan dilanjutkan pada pertanyaan selanjutnya, apakah antibiotik yang diberikan sudah tepat? 3) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa. Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih efektif, maka dilanjutkan pertanyaan, apakah ada antibiotik lain yang lebih aman? 4) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih aman, berhenti di kategori IVb. Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih aman, maka dilanjutkan pertanyaan, apakah ada antibiotik yang lebih murah? 5) Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc. Jika tidak, maka dilanjutkan pada pertanyaan, apakah ada antibiotik lain yang mempunyai spektrum yang lebih sempit? 6) Jika ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVd. Jika tidak ada antibiotik lain dengan spektrum yang leb ih sempit, maka dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi pemberian antibiotik terlalu lama? 7) Jika durasi pemberian antibiotik terlalu lama, berhenti di kategori IIIa. Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi pemberian antibiotik terlalu singkat? 8) Jika durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb. Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan, apakah dosis antibiotik yang digunakan tepat? 9) Jika dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa. Jika dosisnya tepat, maka dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah interval antibiotik yang diberikan sudah tepat? 10) Jika interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIb. Jika interval pemberian sudah tepat, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah rute pemberian antibiotik sudah tepat? 11) Jika rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc. 8
Jika rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya. 12) Jika antibiotik tidak termasuk kategori I sampai VI, antibiotik tersebut merupakan kategori 0 yaitu antibiotik yang tepat atau rasional. Setelah dievaluasi dengan diagram alir Gyssens, antibiotik dikelompokkan menurut kriteria yang sesuai.
HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 1051 catatan rekam medik pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta selama tahun 2013. Data yang diambil meliputi data karakteristik pasien yang sesuai dengan inklusi (pasien dengan diagnosa pneumonia, data rekam medik lengkap, pasien yang mendapatkan pengobatan antibiotik dan rawat inap). Data pasien pneumonia diperoleh secara acak dan dimasukan ke dalam kriteria inklusi, sehingga data yang diperoleh adalah sebanyak 51 pasien. 1. Karakteristik Pasien Pneumonia a. Berdasarkan Jenis Kelamin Pada penelitian digunakan data jenis kelamin laki - laki dan perempuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap penyakit pneumonia. Tabel 1 menunjukkan jumlah dan persentase pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD dokter Moewardi tahun 2013. Tabel 1. Data pasien pneumonia berdasarkan jenis kelamin di instalasi rawat inap RS UD Dokter Moewardi Tahun 2013 No. 1 2
Jenis Kelamin Laki - laki Perempuan Total
Juml ah 29 22 51
Persentase(% ) 56,86 43,14 100
Berdasarkan tabel 1 jumlah pasien pneumonia dengan jenis kelamin laki - laki lebih banyak dibandingkan jumlah pasien pneumonia dengan jenis kelamin perempuan. Jumlah pasien laki- laki adalah 29 (56,86%) sedangkan jumlah pasien perempuan adalah 22 (43,14%). Hal ini dikarenakan laki - laki lebih sering beraktivitas diluar rumah sehingga mudah terpapar polusi udara dan lebih cenderung mengkonsumsi rokok, karena polusi udara dan asap rokok mempunyai banyak zat kimia yang dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan (Gondodiputro, 2007). b. Berdasarkan Umur Pada penelitian digunakan data umur pasien untuk mengetahui pengaruh bertambahnya umur terhadap penyakit pneumonia. Dari 51 sampel yang diperoleh semua 9
pasien memiliki umur di atas 30 tahun. Sehingga data umur pasien pneumonia dibagi dalam 6 kelompok berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009) yaitu dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun) dan manula (66 tahun ke atas). Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013. Tabel 2. Data pasien pneumonia berdasarkan usia di i nstalasi rawat inap RS UD Dokter Moewardi Tahun 2013 No. 1 2 3 4 5
Umur (Tahun) 26-35 36-45 46-55 56-65 66 < Total
Juml ah 2 5 12 12 20 51
Persentase(% ) 3,92 9,80 23,53 23,53 39,22 100
Berdasarkan tabel 2 jumlah pasien pneumonia lebih banyak diderita pada umur 66 tahun ke atas atau manula dengan jumlah 20 (23,53%). Sedangkan jumlah pasien pneumonia lebih sedikit pada umur 26-35 tahun atau dewasa awal dengan jumlah 2 (3,92%). Dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur pasien maka semakin bertambah jumlah pasien pneumonia. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya umur maka sistem imun pada tubuh akan semakin menurun sehingga tubuh mudah terinfeksi (Karnen et al, 2012). 2. Diagnosis Penyakit Pneumonia Klasifikasi pneumonia dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui tempat terjadinya inflamasi pada penyakit pneumonia. Terdapat 51 pasien yang terdiagnosa pneumonia Unspecific di instalasi rawat inap RSUD dokter Moewardi tahun 2013. 3. Karakteristik Obat a. Obat antibiotik Pneumonia merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (Jeremy, 2007). Sehingga terapi harus dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri dengan cara diberi antibiotik. Pengobatan untuk pasien pneumonia biasanya berupa pemberian antibiotik yang efektif terhadap organisme tertentu (Price & Wilson, 2006). Tabel 3 menunjukkan jumlah dan persentase penggunaan antibiotik di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi tahun 2013.
10
Tabel 3. Anti biotik untuk pasien pneumonia di instal asi rawat inap RS UD Dokter Moewardi Tahun 2013 Nama Anti biotik Ceftriaxone Metronidazole Ciproflo xacin Gentamicin Ceftazidim Levoflo xacin Azitro micin Cefadro xil Meropenem Total
Frekuensi 38 13 11 9 7 4 2 1 1 86
Persentase (% ) 44,19 15,12 12,80 10,46 8,14 4,65 2,32 1,16 1,16 100
Antibiotika yang digunakan di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi tahun 2013 adalah metronidazole, ciprofloxacin, ceftriaxone, gentamicin, cefadroxil, ceftazidim, meropenem, azitromicin dan levofloxacin. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah ceftriaxone (44,19%). Ceftriaxone mempunyai mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesa dinding sel mikroba, enzim transpeptidase dihambat pada pembentukan dinding sel (McEvoy, 2008). Setelah ceftriaxone adalah metronidazole (15,12%), ciprofloxacin (12,80%), gentamicin (10,46%), ceftazidim (8,14%), levofloxacin (4,65%), azitromicin (2,32%), cefadroxil (1,16%) dan meropenem (1,16%). b. Obat Non Antibiotik Obat yang digunakan pada pasien pneumonia tidak hanya antibiotik. Tetapi obat obat yang digunakan untuk mengobati penyakit penyerta, gejala maupun efek samping dari suatu obat pada pasien pneumonia. Tabel 4 menunjukkan obat-obat non antibiotik yang digunakan pada pasien pneumonia. Tabel 4. Penggunaan Obat Non Anti biotik Pada Pasien Pneumonia di instalasi rawat inap RS UD Dokter Moewardi Tahun 2013 Indikasi Elektrolit Analgesik Antipiretik
Antiemetik Antialergi
Antidisritmik Antihipertensi
Antasida
Nama Obat (generik) Infus NaCl 0,9% Infus Ringer Laktat Paracetamol Ketorolac Asam mefenamat M etoclopramid Ondansentron Dexamethasone M etil prednisolon Loratadin Digoxin Captopril Valsartan Amlodipin Verapamil Bisoprolol Clonidin Antasid CaCO 3
Frekuensi 26 25 20 6 2 2 1 27 4 1 7 14 1 1 1 1 1 7 2
Total Frekuensi 51
Persentase (%) 14,05
28
7,71
3
0,83
32
8,81
7 19
1,93 5,23
8
2,21
11
Indikasi Antitukak
Antiangina
Antidiabetes Antihipokalemia Antidepresan Antikoagulan Antikolesterol Antihiperurisemia Antidotum Antipsikotik Antifibrinolitik Bronkodilator Diuretik
Ekspektoran
Antitusif Hepatoprotektor M ukolitik Vitamin
Laksatif
Nama Obat (generik) Ranitidin Omeprazole Sukralfat Diltiazem Isosorbid dinitrat Nifedipin Insulin Glimepirid KCL KSR Alprazolam Warfarin Heparin Simvastatin Allopurinol Norit Risperidone Asam traneksamat Aminofilin Furosemid Spironolakton Hidroklorotiazid Gliseril guaiacolate Obat batuk hitam Bromhexine HCL Codein Dekstrometorfan Curcuma Hepamax Ambroxol N-asetilsistein Vitamin B complex Asam folat Vitamin C Vitamin K Neurovit E Vitamin K Vitamin B6 Cernevit Vitamin B1 Vitamin B12 Bisacodil Total
Frekuensi 27 4 1 3 5 1 1 1 1 2 5 2 1 3 2 2 1 3 10 15 3 4 26 30 1 2 1 2 1 9 1 29 4 3 2 1 2 1 1 2 1 1
Total Frekuensi 32
Persentase (%) 8,81
9
2,48
2
0,55
3
0,83
3 3
0,83 0,83
3 2 2 1 3 10 22
0,83 0,55 0,55 0,27 0,83 2,75 6,06
57
15,71
3
0,83
3
0,83
10
2,75
46
12,67
1 363
0,27 100
Obat non antibiotik yang paling sering digunakan pada pasien pneumonia di instalasi rawat inap RSUD Dokter Moewardi tahun 2013 adalah ekspektoran sebesar (15,71%) dari total semua obat yang digunakan. Ekspektoran merupakan obat batuk yang dapat merangsang pengeluaran dahak pada saluran pernafasan, sehingga efektif mengobati gejala yang sering terjadi pada penderita pneumonia yaitu batuk yang disertai dahak mukoid atau purulen (PDPI, 2003). Kemudian penggunaan obat non antibiotik yang paling sering digunakan setelah ekspektoran adalah elektrolit sebesar (14,05%). Elektrolit digunakan untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh pada pasien rawat inap. Keseimbangan elektrolit berpengaruh terhadap kinerja sel-sel dan organ tubuh agar bekerja secara optimal (Anwari, 2007).
12
4. Evaluasi Pe nggunaan Antibiotik Dengan Metode Gyssens Penilaian penggunaan antibiotik secara kualitas dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang sesuai. Tabel 5 menunjukkan penggunaan antibiotik secara kualitas berdasarkan metode Gyssens pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Tahun 2013. Tabel 5. Hasil Penilaian Penggunaan Anti bi otik Deng an Metode Gyssens di Instal asi Rawat Inap RS UD Dokter Moewardi Tahun 2013 Kateg ori
Keterangan
Nama Obat
No. Pasien
Frekuensi
0
Antibiotik rasional
Ceftriaxone
9
IVA
Ada antibiotik yang lebih efektif
Ciproflo xacin
2, 8, 9, 12, 27, 33, 41, 46, 47 4, 17, 23, 25, 48 5 16, 24 28, 37 42 3, 14,21, 50, 51 38 1, 30, 31
Persentase (% ) 17,65
26
50,98
12
23,53
Ceftazidime
7, 10, 18, 20, 29, 34, 35,36,40, 43, 44, 49 13, 15, 39
3
5,88
Levoflo xacine
45
1
1,96
51
100
IVB
Ada antibiotik kurang toksik
IVC
Ada antibiotik lebih murah Ada antibiotik lebih spesifik
IVD
Metronidazole Ceftriaxone+A zitro mycin Ceftriaxone+Levoflo xacine Ceftriaxone+Metronidazole Ceftriaxone+Gentamicin Ceftazidim+Cefadro xil Ceftriaxone+Ciproflo xacin+Metronid azole Ceftriaxone+Gentamicin+Metronidaz ole Ceftazidim+Gentamicin +Metronidaz ole Ceftazidim+Cip roflo xacine+Ceftriax one+Meropenem Ceftriaxone
Total
6, 19, 22, 26 32 11
Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil penilaian berdasarkan metode Gyssens sebesar 17,65% untuk kategori 0 (penggunaan antibiotik rasional), 50,98% untuk kategori IVA (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih efektif), 23,53% untuk kategori IVB (tidak rasional karena ada antibiotik yang kurang toksik), 5,88% untuk kategori IVC (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih murah) dan 1,96% untuk kategori IVD (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih spesifik). Pada kategori 0 pemberian antibiotik rasional, yaitu penggunaan antibiotik sudah sesuai dengan kondisi pasien dengan harga yang lebih murah dan lebih efektif. Terdapat 9
13
pasien yang masuk ke dalam peresepan kategori 0 dengan penggunaan antibiotik ceftriaxone yang merupakan golongan sefalosporin generasi 3. Pada kategori IVA pemberian antibiotik sudah tepat indikasi tetapi ada antibiotik lain yang lebih efektif. Hal ini dikarenakan dalam Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di Indonesia (2003), pasien pneumonia rawat inap hanya dianjurkan menggunakan antibiotik golongan betalaktam dengan atau tanpa anti betalaktamase, sefalosporin generasi 2, sefalosporin generasi 3 dan fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin). Penggunaan antibiotik dengan 2, 3 atau 4 kombinasi antibiotik, golongan fluorokuinolon non respirasi dan golongan nitroimidazole tidak tercantum dalam pedoman tersebut, sehingga tidak lebih efektif. Pada kategori IVB pemberian antibiotik sudah sesuai dan efektif tetapi ada antibiotik lain yang lebih tidak toksik atau aman untuk pasien. Hal ini dikarenakan ada sebagian pasien yang mengalami gangguan ginjal atau hati yang ditunjukkan dengan nilai laboratorium berupa SGOT, SGPT, ureum dan serum kreatinin di atas normal. Sedangkan di British National Formulary (2005) disebutkan bahwa ceftriaxone dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan hati. Sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal disarankan penyesuaian dosis antibiotik berdasarkan kreatinin klirens atau sebagai alternatif dapat menggunakan antibiotik dengan eliminasi utama melalui hati seperti cefoperazone. Sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati disarankan penyesuaian dosis antibiotik yang pada umumnya sebesar 50% dari dosis biasa atau dipilih antibiotik dengan eliminasi nonhepatik dan tidak hepatotoksik seperti levofloksasin dengan ekskresi utama melalui ginjal (Kemenkes RI, 2011). Pada kategori IVC pemberian antibiotik sudah tepat indikasi, efektif dan aman tetapi ada antibiotik lain yang lebih murah. Hal ini dikarenakan dalam Informasi Spesialite Obat Indonesia (2012) ceftazidim lebih mahal Rp.58.500 d ibandingkan dengan cefotaxime yang mempunyai harga lebih murah dan merupakan antibiotik dengan golongan yang sama yaitu sefalosporin generasi 3. Tetapi di RSUD Dokter Moewardi penggunaan ceftriaxone lebih murah dibandingkan dengan cefotaxime, karena antibiotik cefotaxime
tidak
ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Sehingga jika mengacu pada bantuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Ceftriaxone merupakan antibiotik yang paling murah di RSUD Dokter Moewardi Surakarta. Pada kategori IVD pemberian antibiotik sudah tepat indikasi, efektif, aman dan paling murah untuk pasien tetapi spektrum antibiotik yang diberikan ada yang lebih sempit. Hal ini dikarenakan levofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon 14
respirasi yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri gram positif dan negatif ( Broad Spectrum) dibandingkan dengan golongan sefalosporin generasi 2 dan 3 yang lebih aktif terhadap bakteri gram negatif (Narrow Spectrum) (Tjay & Rahardja, 2007). Penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit lebih selektif dan dapat mengurangi risiko resistensi bakteri (Kemenkes RI, 2011). Pada penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti kategori IVA (ada antibiotik yang lebih efektif) tidak dapat dikatakan tidak tepat, karena bisa jadi penggunaan antibiotik yang disarankan Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komuniti di Indonesia tahun 2003 sudah resisten terhadap beberapa pasien di rumah sakit tersebut sehingga dibutuhkan kombinasi antibiotik atau golongan lain di luar pedoman demi tercapainya keberhasilan terapi, karena setiap pemberian antibiotik pada pasien pneumonia sebaiknya berdasarkan uji resistensi dan sensitivitas yang jelas dan terdokumentasi. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Gambaran penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013 adalah ceftriaxone (44,19%), metronidazole (15,12%),
ciprofloxacin (12,80%),
gentamicin (10,46%),
ceftazidim (8,14%),
levofloxacin (4,65%), azitromicin (2,32%), cefadroxil (1,16%) dan meropenem (1,16%). b. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013 berdasarkan metode Gyssens adalah 9 sampel (17,65%) kategori 0 (penggunaan antibiotik rasional), 26 sampel (50,98%) kategori IVA (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih efektif), 12 sampel (23,53%) kategori IVB (tidak rasional karena ada antibiotik yang kurang toksik), 3 sampel (5,88%) kategori IVC (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih murah) dan 1 sampel (1,96%) kategori IVD (tidak rasional karena ada antibiotik yang lebih spesifik). 2. Saran a. Untuk Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi : Diharapkan data rekam medik disajikan lebih baik lagi dan lebih lengkap untuk memudahkan para peneliti mengambil data yang diperlukan. b. Untuk Peneliti lanjutan : perlu adanya penelitian prospektif untuk lebih mengetahui terapi antibiotik yang sebenarnya dan alasan dokter memberikan antibiotik tersebut. 15
DAFTAR ACUAN Anwari
I., 2007, Cairan Tubuh Elektrolit dan Mineral, Halaman http://www.pssplab.com/journal/01.pdf (Diakses tanggal 14 april 2015).
2,
BNF, 2005, BNF 49th ed, British National Folmulary, Royal Pharmaceutical, Society of Great Britain Depkes RI, 2009, Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta, Depertemen Republik Indonesia Dinkes Jawa Tengah, 2010, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2009, Semarang, Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah Dinkes Sukoharjo, 2011, Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo 2011, Sukoharjo, Dinas Kesehatan Sukoharjo Gondodiputro, S., 2007, Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau, Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Gyssens, I.C., 2005, Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prescription, 197226, New York, Kluwer Academic Publishers. Gyssens, I.C. & Meer, V.D., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in Hospital, Clinical Microbiology and Infection, Volume 7, Supplement 6, 12-15, New York, Kluwer Academic Publishers Ikatan Apoteker Indonesia, 2012, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume 46-2013 s/d 2014, Jakarta, PT ISFI Jeremy, P.T, 2007, At Glance Sistem Respirasi, Edisi Kedua, Jakarta, Erlangga Medical Series. Karnen G., Baratawidjaja, & Rengganis I., 2012, Imunologi Dasar, Edisi Ke-10, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kemenkes RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia McEvoy, G. K., 2008, AHFS Drug Information, Bethesda, American Society of HealthSystem Pharmacists Inc PDPI, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di Indonesia, Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Price, S.A & Wilson, L.M, 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, diterjemahkan oleh Braham U., Jakarta, Kedokteran EGC Rubenstein, D., David, W., & Jhon, B., 2003, Kedokteran Klinis, Edisi VI, Diterjemahkan oleh Annisa Rahmalia, Jakarta, Erlangga
16
Sudoyo, A.W., Setyohadi, B, & Alwi, I., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV, Halaman 964-966, Jakarta, Penerbit FK UI The Amrin Study Group, 2005, Antimicrobial resistance, antibiotic usage and infection control; a self assessment program for Indonesian hospitals, Jakarta, Directorate General of Medical Care Tjay, T. H., & Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting, Edisi keempat, Halaman 63, 65,66, Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Worokarti, 2005, Peran Farmasis Dalam Pengelolaan Penderita Penyakit Infeksi Untuk Mencegah Timbulnya Resistensi Antimikroba. In : Naskah Lengkap Simposium Penyakit Infeksi dan Problema Resistensi Antimikroba, Halaman 55-69, Surabaya, AMRIN Study Group and Infectious Disease Center dan FKUA RSU Dr. Soetomo
17