KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang)
NASKAH PUBLIKASI
DIAJUKAN OLEH :
Cheny Firmanila Ristha 0908015145
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MULAWARMAN 2013
NASKAH PUBLIKASI
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang)
Diajukan untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Disusun Oleh :
Penulis 1
: Cheny Firmanila Ristha NIM. 0908015145 : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H NIP. 19741205 200501 2 002 : Poppilea Erwinta, S.H.,M.H NIP. 19740717 200501 2 002
Penulis 2 Penulis 3
Disetujui oleh : PEMBIMBING UTAMA,
Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H NIP. 19741205 200501 2 002
PEMBIMBING PENDAMPING,
Poppilea Erwinta, S.H.,M.H NIP. 19740717 200501 2 002
PERNYATAAN DOSEN PEMBIMBING UTAMA
Dengan ini saya selaku Dosen Pembimbing Utama Skripsi mahasiswa berikut : Nama
: Cheny Firmanila Ristha
NIM
: 0908015145
Judul Skripsi : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang) Setuju Naskah Publikasi Skripsi yang disusun oleh mahasiswa bersangkutan dipublikasikan dengan/tanpa*) mencantumkan nama Pembimbing Utama sebagai penulis pendamping. Demikian untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Samarinda, 4 Juni 2013 Pembimbing Utama
Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H NIP. 19741205 200501 2 002 *)
Coret yang tidak perlu
PERNYATAAN DOSEN PEMBIMBING PENDAMPING
Dengan ini saya selaku Dosen Pembimbing Pendamping Skripsi mahasiswa berikut : Nama : Cheny Firmanila Ristha NIM : 0908015145 Judul Skripsi : KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang) Setuju Naskah Publikasi Skripsi yang disusun oleh mahasiswa bersangkutan dipublikasikan dengan/tanpa*) mencantumkan nama Pembimbing Pendamping sebagai penulis pendamping. Demikian untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Samarinda, 4 Juni 2013 Pembimbing Pendamping
Poppilea Erwinta, S.H.,M.H NIP. 19740717 200501 2 002 *)
Coret yang tidak perlu
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KEGIATAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang) Cheny Firmanila Ristha (
[email protected]) Haris Retno Susmiyati (
[email protected]) Poppilea Erwinta
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
ABSTRAK Cheny Firmanila Ristha, Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Terhadap Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, dibimbing oleh Haris Retno Susmiyati S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Utama dan Poppilea Erwinta S.H, M.H. selaku Dosen Penguji. Reklamasi dan pascatambang merupakan kegiatan yang penting sebelum usaha kegiatan pertambangan berakhir. Peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan reklamasi dan pascatambang adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, sedangkan di Samarinda diatur oleh Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Banyaknya perusahaan tambang khususnya di Kota Samarinda yang tidak melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Samarinda. Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang terkait adalah kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kegiatan reklamasi dan pascatambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan mengidentifikasi kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kegiatan Reklamasi dan Pascatambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konsep yang dianalisis secara kualitatif, komprehensif dan lengkap. Dalam pembahasan akan diuraikan secara lengkap mengenai kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, selain itu juga memuat sanksi terhadap kegiatan
reklamasi dan pascatambang dan peninjauan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dari segi pembentukan perundang-undangan. Dengan demikian, penulis membuat suatu penelitian mengenai kewenangan Pemerintah Daerah agar dapat diketahui dengan jelas kewenangan Pemerintah Daerah terhadap kegiatan reklamasi dan pascatambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun dan 2010 dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Kata Kunci: Reklamasi, Pascatambang, Kewenangan Pemerintah Daerah
ABSTRACT Cheny Firmanila Ristha, Responsibility Against Local Government and Post-Mining Reclamation Activities (Study Against Government Regulation No. 78 Year 2010 regarding Reclamation and Post-Mining and Samarinda Mayor Regulation No. 5 of 2009 on the Reclamation and Closure, led by Haris Retno Susmiyati SH, MH as Lecturer Main supervisor and Poppilea Erwinta SH, MH as Assistant Supervisor. Reclamation and post-mining is an important activity before the business end of mining activities. Legislation governing the reclamation and post-mining activities are Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal and Government Regulation No. 78 Year 2010 regarding Reclamation and Post-Mining, while in Samarinda Samarinda Mayor regulated by Regulation No. 5 of 2009 on Reclamation and Closure. The number of mining companies, especially in the city of Samarinda who do not perform reclamation and post-mining activities is a challenge for the Government of Samarinda. Based on the background, the problem is related to the local government authority reclamation and post-mining based on Government Regulation No. 78 Year 2010 regarding Reclamation and Post-Mining and Samarinda Mayor Regulation No. 5 of 2009 on the Reclamation and Closure. The purpose of the study is to examine and identify the authority of the Local Government and Post-Mining Reclamation activities based on Government Regulation No. 78 Year 2010 and Samarinda Mayor Regulation No. 5 of 2009. This research is a normative approach to the law and approach to the concept that analyzed qualitatively, comprehensive and complete. In the discussion will be described in detail on the authority of local government based on Government Regulation No. 78 Year 2010 and Samarinda Mayor Regulation No. 5 of 2009, but it also contains sanctions against reclamation and post-mining activities and review of Samarinda Mayor Regulation No. 5 of 2009 in terms of the formation of legislation invitation. Thus, the author makes a research on the authority of provincial governments to be clear authority to the Local Government reclamation and post-mining based on Government Regulation No. 78 of 2010 and Regulations and the Mayor of Samarinda No. 5 of 2009. Keywords: Reclamation, Post-Mining, Local Government Authority
Pendahuluan Kekayaan alam Indonesia berupa bahan tambang yang begitu berlimpah. Bahan tambang tersebut meliputi nikel, emas, timah, tembaga, batubara, minyak bumi, dan lainlain. Senada dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 di dalam peraturan perundang-undangan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tepatnya di Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sumber daya alam tak terbarukan milik Indonesia memiliki jumlah produksi yang sangat besar. Baik dari segi pertambangan mineral maupun pertambangan batubara. Di Kalimantan Timur, hingga bulan April 2013 Samarinda paling banyak menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) dengan jumlah sebanyak 1.832 Izin Usaha Pertambangan dan 26 izin kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).1 Banyaknya jumlah izin kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur dipengaruhi oleh kandungan batubara yang mencapai 8,3 miliar ton dan potensi emas hitam tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Kalimantan Timur.2 Daya dukung lingkungan produksi batubara di Kalimantan Timur sebanyak 220 juta ton dan sebanyak 2,6 miliar meter kubik tanah yang dikeruk.3 Sehingga tidak mengherankan jika banyak sekali pengusaha baik asing maupun lokal bergerak dan menanamkan investasinya di bidang tambang. Salah satu aspek yang penting dalam kegiatan pertambangan adalah reklamasi dan pascatambang. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis data jumlah bekas tambang yang belum direklamasi di Indonesia sebanyak 50 persen atau sekitar 56.000 ha dari total luas area sebesar 130.000 ha.4 Sedangkan di Samarinda terdapat 71 persen wilayah konsensi tambang dengan 150 lubang bekas bahan tambang galian.5 Dari catatan Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Timur hanya 4 perusahaan pertambangan yang melakukan proses reklamasi tambang secara rutin.6 Secara teknis, apabila lubang bekas bahan galian tambang dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan yang seharusnya maka tidak menutup kemungkinan bahaya senantiasa berada di sekitar lahan bekas tambang. Sebagai contoh di tahun 2011 terdapat 2 perusahaan tambang di kota Samarinda yakni PT Panca Prima Minning (PPM) dan Hymco Coal yang membiarkan adanya lubang di area lahan bekas tambang, akibatnya nyawa manusia menjadi korban dari keberadaan lubang tambang tersebut.
1
DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Gubernur Nur Alam Terima Pansus Reklamasi dan Pascatambang, http://dprd-kaltimprov.go.id/berita/1233/gubernur-nur-alam-terima-pansus-reklamasi-dan-pasca-tambang-.html diakses tanggal 7 April 2013 Pukul 13.26 Wita 2 Ibid. 3
Ibid.
4
Tribun Kaltim, Jumlah Inspektur Pertambangan Di Indonesia, Tak Sebanding Dengan Jumlah IUP, diakses http://www.tribunnews.com/2012/05/23/inspektur-pertambangan-tak-sebanding-dengan-jumlah-iup, tanggal 13 Februari 2013, Pukul 19.38 Wita 5 Koran Kaltim, Jatam Minta Pemkot Data Reklamasi Perusahaan, http://www.korankaltim.com /jatamminta-pemkot-data-reklamasi-perusahaan/, diakses tanggal 7 April 2013, Pukul 13.35 Wita 6 AntaraNews.com, Hanya Empat Perusahaan Yang Melakukan Reklamasi Di Kaltim, kaltim.antaranews.com/berita/7128/hanya-empat-perusahaan-lakukan-reklamasi-di-kaltim,diakses tanggal 23 Januari 2013, Pukul 14.30 Wita
Pengaturan tentang reklamasi dan pascatambang diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut didasari Pasal 99 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Perbandingan jumlah IUP yang ada di Kalimantan Timur dengan jumlah perusahaan yang melakukan reklamasi sangat jauh berbeda, banyaknya IUP yang ada di Kalimantan Timur mencerminkan bahwa Bupati atau Walikota selaku Kepala Daerah sangat mudah memberikan suatu izin melakukan pertambangan. Akan tetapi, sangat lemah dalam memberikan pengawasan atau penertiban terhadap para pengusaha tambang untuk melakukan kewajiban pada kegiatan reklamasi dan pascatambang. Secara spesifik peraturan yang berkenaan dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang hanya dikenakan jenis sanksi yang bersifat administratif adapun ancamannya berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan IUP, IUPK, dan IPR. Dan menurut Penulis, ancaman tersebut kurang membuat jera para pelaku pengusaha tambang yang lalai dalam melakukan kewajiban dan pejabat daerah yang berwenang mengeluarkan kebijakan izin usaha tambang yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya kuasa yang sangat besar terhadap pemberian dan pencabutan izin tambang akibat dari berlakunya otonomi daerah, maka pengawasan dan penertiban perusahaan tambang yang lalai dari kewajibannya menjadi tanggung jawab Daerah. Di Samarinda, kebijakan agar setiap perusahaan tambang melakukan reklamasi dan pascatambang tercantum dalam Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Hanya saja, dalam Peraturan Walikota Samarinda tersebut belum memberikan suatu paradigma yang mencerminkan kekhususan Daerah dalam suatu peraturan yang dibuat dikarenakan substansi yang dimiliki Peraturan Walikota Samarinda sama dengan substansi yang ada pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008. Dari latar belakang tersebut Penulis mengangkat tema tentang reklamasi dan pascatambang dengan judul Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang (Studi Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang).
Pembahasan A. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Reklamasi Dan Pascatambang Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang 1. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Kegiatan Reklamasi Dan Pascatambang Sejak diberlakukannya Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, telah terjadi perubahan mendasar terhadap sistem Pemerintahan Daerah.7 Perubahan mendasar yang dapat dirasakan adalah pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota 7
Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, 2001, Seminar Etika Hubungan Legislatif Eksekutif Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Pusat Kajian Pemerintahan STPDN dan Alqaprint Jatinagor, Bandung, halaman 55
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Hal ini terlihat dari adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah berkenaan dengan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang tergolong sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut. Di Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menjelaskan tentang adanya 21 (dua puluh satu) kewenangan untuk Pemerintah Pusat, di Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menjelaskan tentang adanya 14 (empat belas) kewenangan untuk Pemerintah Provinsi, dan terakhir di Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menjelaskan tentang adanya 12 (dua belas) kewenangan untuk Pemerintah Kabupaten atau Kota. Dalam hal kewenangan Pemerintah, tidak semua kewenangan Pemerintah yang Penulis masukkan, hanya kewenangan yang berkaitan dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang. 1.1 Penetapan Kebijakan Terkait Reklamasi dan Pascatambang Kegiatan reklamasi dan pascatambang merupakan salah satu bentuk kewajiban dari kegiatan usaha pertambangan. Sebelum melaksanakan kegiatan reklamasi dan pascatambang tersebut, maka diperlukan suatu izin usaha pertambangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. Kewenangan Pemerintah Pusat tercantum di Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 berupa pembuatan peraturan perundang-undangan, Pasal 6 ayat (1) huruf d yaitu penetapan sistem perizinan pertambangan minerba nasional dan Pasal 6 ayat (1) huruf e yaitu penetapan wilayah pertambangan setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan DPR RI. Sedangkan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap penetapan kebijakan berupa pembuatan peraturan perundang-undangan daerah. Kewenangan Pemerintah Provinsi terhadap penetapan kebijakan tercantum di Pasal 7 ayat (1) huruf a dan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota tercantum di Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Sistem perizinan dalam kegiatan usaha pertambangan dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Penetapan kebijakan yang berhubungan dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang dibuat dalam suatu Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Pasal 101 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 maka dibentuklah suatu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 prinsip reklamasi dan pascatambang yang terdapat di Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa: (1) Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang. 1.2 Perizinan dalam Bidang Reklamasi dan Pascatambang Izin sangat penting dalam setiap kegiatan usaha pertambangan. Izin kegiatan pertambangan dibagi menjadi tiga jenis yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR). Dari izin yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota, ada beberapa kewajiban yang perlu diperhatikan bagi setiap pemegang IUP dan IUPK. Agar kegiatan reklamasi dan pascatambang dapat terlaksana dan memenuhi kriteria keberhasian maka ada beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari permohonan izin tata laksana rencana reklamasi dan rencana pascatambang, persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang, pelaksanaan rencana reklamasi dan rencana pascatambang, hingga perubahan rencana reklamasi dan rencana pascatambang. Proses tahapan tersebut diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 terlebih dahulu harus melalui izin dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota. Selain itu, menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang merupakan salah satu kewajban yang harus dilakukan bagi para pemegang IUP dan IUPK. Pemerintah menetapkan kebijakan bagi setiap pemegang IUP dan IUPK untuk menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang. Jaminan tersebut diperlukan sebagai wujud kesungguhan setiap pemegang IUP dan IUPK untuk memulihkan lahan bekas tambang dan lahan diluar bekas tambang sesuai peruntukkan yang disepakati para pemangku kepentingan dalam rangka pembangunan berkelanjutan.8 Hal ini tertera di Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010. Dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang diperhitungkan sesuai dengan perhitungan rencana reklamasi dan rencana pascatambang. 1.3 Pembinaan dan Pengawasan Terkait Reklamasi dan Pascatambang Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap pembinaan dan pengawasan dalam hal usaha pertambangan yang berkaitan dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang diatur di Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Pasal 140 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR dan IUPK merupakan wewenang dari Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. Dalam melakukan pengawasan ada tugas dari inspektur tambang berupa pengawasan terhadap teknis pertambangan, konservasi sumber daya mineral dan batubara, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi tambang, pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pascatambang, penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan. Tugas dari inspektur tambang tercantum di Pasal 141 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Dibentuknya inspektur tambang agar dapat mengawasi kinerja dari kegiatan usaha pertambangan agar dapat menambang sesuai dengan prosedur atau aturan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, terkadang Pemerintah masih lemah dalam memberikan pengawasan. Khusus di Daerah, Pemerintah Daerah terlalu mudah memberikan suatu izin usaha pertambangan. Pemberian izin tidak sejalan dengan pengawasan kegiatan usaha pertambangan tersebut. Ini dapat dibuktikan dari masih banyaknya perusahaan-perusahaan tambang yang belum melaksanakan kewajiban untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang.
8
Ibid.
Dengan demikian, agar perusahaan-perusahaan tambang yang telah memiliki IUP atau IUPK tetapi belum melaksanakan kewajiban untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang diaturlah suatu sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK. 2.
Sanksi Terhadap Pelanggaran Kegiatan Reklamasi Dan Pasctambang Sanksi merupakan bagian penting dalam suatu peraturan perundangundangan, sanksi biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan, in cauda venenum (secara bahasa berarti di ujung terdapat racun), artinya di ujung kaidah hukum terdapat sanksi, diperlukannya sanksi untuk menjamin suatu penegakkan.9 Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, ada dua jenis sanksi yang tercantum di dalamnya yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Akan tetapi, untuk pelanggaran kegiatan reklamasi dan pascatambang hanya memuat sanksi administratif. Sanksi administratif tercantum di Pasal 151 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Selain Di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 juga memuat ketentuan sanksi administratif tepatnya di Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Pemberian sanksi administratif untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang kurang mampu untuk memberikan efek jera pada perusahaan tambang yang melanggar kewajiban untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang, selain itu kemungkinan untuk dilanggar sangatlah besar. Dikarenakan hukuman yang diterima bagi para pelaku usaha tambang yang melanggar hanya berupa peringatan tertulis, penghentian sementara, sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan pencabutan IUP, IPR dan IUPK. Sulit untuk memberikan suatu tindakan yang dapat membuat efek jera bagi para pelaku usaha tambang, apabila penerapan sanksi reklamasi dan pascatambang hanya bersifat penolakan dari suatu perizinan. Dari sudut pandang penulis, ketentuan jenis sanksi pidana lebih tepat untuk menjadi hukuman buat para pemegang IUP dan IUPK yang melanggar kewajiban untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Karena selain sifatnya yang memaksa dan harus ditaati, adanya proses lanjutan yang wajib ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum apabila terindikasi memenuhi unsur kelalaian dan pelanggaran pelaksanaan reklamasi dan pascatambang. Efek dari diberinya sanksi pidana bagi pengusaha tambang selain memberikan efek penjeraan, juga menjauhkan dari kemungkinan untuk mengulangi pelanggaran dalam hal tidak melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang. Diberikannya sanksi pidana merupakan suatu bentuk kesungguhan dari Pemerintah untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan akibat dari aktivitas kegiatan pertambangan batubara.
2
Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Reklamasi dan Pascatambang Berdasarkan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang 1. Kewenangan Pemerintah Daerah Kota Samarinda Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Reklamasi Dan Penutupan Tambang
9
Ridwan HR, 2011, halaman 298
Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Di Samarinda, perusahaan yang bergerak di bidang tambang sangat banyak, hampir di setiap daerah di Kota Samarinda mempunyai kegiatan pertambangan batubara. Bahkan kegiatan pertambangan sekarang ini telah masuk di sekitar lingkungan pemukiman masyarakat. Karenanya, untuk meminimalisir dampak negatif yang timbul di Kota Samarinda, maka Pemerintah Kota Samarinda membentuk suatu peraturan yang di dalamnya mengatur suatu kegiatan berkaitan dengan kegiatan reklamasi dan pascatambang, aturan tersebut berupa Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Kewenangan Walikota Samarinda terhadap kegiatan reklamasi dan pascatambang di daerah Samarinda tertuang di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Dari kewenangan Walikota, Penulis membagi menjadi 4 bagian yaitu perencanaan rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang, persetujuan rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang, jaminan reklamasi dan jaminan penutupan tambang serta pelaksanaan dan pelaporan reklamasi dan penutupan tambang. Jika Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 maka akan terlihat persamaan dan perbedaan dari kedua peraturan tersebut. 2.1 Perencanaan Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang Setiap perusahaan tambang diwajibkan untuk menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang, hal ini tercantum di Pasal 6 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Jika dibandingkan dengan tahapan perencanaan yang ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, maka penyusunan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sama-sama didasarkan pada ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan lingkungan hidup. Jika di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 menyebutnya dengan AMDAL atau UKL dan UPL, di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 menyebutnya dengan dokumen lingkungan hidup. Selain itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 ada tambahan bahwa rencana reklamasi dan rencana pascatambang harus disesuaikan dengan sistem dan metode penambangan berdasarkan studi kelayakan, kondisi spesifik wilayah usaha pertambangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.2. Penilaian dan Persetujuan Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang Penilaian dan persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang diatur di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dari Pasal 10 hingga Pasal 13. Terdapat perbedaan antara persetujuan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dengan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tepatnya di Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 12 ayat (2) menerangkan bahwa apabila Walikota tidak memberikan persetujuan dalam jangka waktu 30 hari dan tanpa saran penyempurnaan, maka rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang yang diajukan dianggap disetujui. Sedangkan di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 di dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (2) diterangkan apabila rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang yang diajukan belum memenuhi ketentuan yang dimaksud maka Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota akan mengembalikan rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang kepada pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi untuk diperbaiki. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan persetujuan permohonan rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang antara
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dengan Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 terdapat dalam sistem prosedur pemberian persetujuan terhadap rencana reklamasi dan/atau rencana pascatambang yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang. 2.3 Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang Selain menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang, di Pasal 20 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, perusahaan wajib untuk menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan penutupan tambang. Jaminan reklamasi ditempatkan oleh perusahaan sebelum melakukan kegiatan eksploitasi/operasi produksi. Di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang diatur dari Pasal 20 hingga Pasal 44. Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang disesuaikan dengan perhitungan rencana biaya reklamasi dan rencana biaya penutupan tambang yang sudah mendapat persetujuan dari Walikota Samarinda. Walikota Samarinda dapat mengubah jumlah jaminan reklamasi apabila perusahaan melakukan perubahan rencana reklamasi dan biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi tidak sesuai dengan rencana reklamasi, hal ini tercantum di Pasal 26 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Selain itu, perubahan bentuk jaminan reklamasi dapat diajukan oleh perusahaan, diatur di Pasal 27 perubahan bentuk jaminan reklamasi yang dimaksud berupa deposito berjangka, bank garansi, asuransi atau cadangan akutansi. Perubahan bentuk jaminan reklamasi diajukan kepada Walikota kemudian Walikota sesuai kewenangannya memberikan persetujuan perubahan bentuk jaminan reklamasi dengan pertimbangan kinerja perusahaan dan/atau kemampuan keuangan perusahaan. Walikota dapat melakukan peninjauan lapangan, peninjauan lapangan dilakukan paling lambat 15 hari setelah permohonan pencairan dan pelepasan jaminan reklamasi disampaikan oleh perusahaan, dan hasil dari peninjauan lapangan harus dibuatkan dalam berita acara yang memuat penilaian keberhasilan reklamasi lahan terganggu akibat kegiatan pertambangan. Hal ini berdasarkan Pasal 33 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Persetujuan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi diberikan kepada Walikota berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan reklamasi dan.atau hasil penilaian peninjauan lapangan. Ketentuan lain di Pasal 35 disebutkan bahwa dalam hal perusahaan tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan reklamasi berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Walikota dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan jaminan reklamasi. Tata laksana persetujuan pencairan jaminan penutupan tambang hampir sama dengan tata laksana persetujuan pencairan jaminan reklamasi, perbedaannya terletak pada dasar pertimbangan Walikota di Pasal 37 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, untuk menambah jumlah penutupan tambang maka Walikota perlu menetapkan pertimbangan berupa perubahan pemegang saham perusahaan, kemajuan pekerjaan penutupan tambang dan/atau perubahan biaya penutupan tambang.
2.4 Pelaksanaan dan Pelaporan Reklamasi dan Penutupan Tambang Pada Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, setiap perusahaan wajib untuk mengangkat seorang petugas untuk memimpin langsung pelaksanaan reklamasi dan penutupan tambang, hal ini sebagaimana tercantum di Pasal 14. Pelaksanaan reklamasi dan penutupan tambang dilakukan sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang yang telah disetujui oleh Walikota. Pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan paling lambat 1 bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan, dan pelaksanaan reklamasi dilakukan pada lahan yang terganggu. Laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi wajib disampaikan oleh perusahaan kepada Walikota setiap 1 tahun sekali, sedangkan untuk laporan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang disampaikan setiap 3 bulan. Di dalam Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, tidak diberitahukan sejauh mana tingkat keberhasilan reklamasi dan penutupan tambang. Sehingga menurut Penulis, Walikota mempercayakan sepenuhnya kinerja dari perusahaan dalam kegiatan reklamasi dan penutupan tambang. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, setelah melakukan evaluasi Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota memberitahukan tingkat keberhasilan reklamasi dan pascatambang secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. Pengawasan reklamasi dan penutupan tambang pada kegiatan pertambangan di Kota Samarinda sebagaimana yang tercantum di Pasal 45 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dilakukan oleh Walikota melalui Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda dengan menugaskan Pejabat Fungisional Inspektur Tambang. Akan tetapi, di Pasal 53 Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Pemerintah Kota Samarinda belum mempunyai Pejabat Fungisonal Inspektur Tambang, untuk itu pengawasan pelaksanaan reklamasi dan penutupan tambang dapat dilaksanakan oleh Pelaksana Inspeksi Tambang. Sebenarnya di Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 141 ayat (3) diterangkan bahwa ketika Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum mempunyai inspektur tambang, maka Menteri akan menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Terlepas dari itu semua, menurut Penulis, Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 sudah tidak patut untuk digunakan karena acuan dari dibentuknya Peraturan Walikota ini bukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Kewenangan Pemerintah Kota Samarinda yang terakhir berupa pemberian sanksi kepada perusahaan atas pelanggaran. Sanksi dalam Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Pasal 46 berupa sanksi administratif yang berupa peringatan tertulis, penghentian sementara atau seluruh kegiatan penambangan, dan/atau pencabutan izin. 2. Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 Ditinjau Dari Segi Pembentukan Perundang-undangan Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan daerah tercantum di Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009. Dengan dibuatnya suatu Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009, kewenangan Pemerintah Kota Samarinda terhadap pembuatan perundangundangan daerah telah dapat diwujudkan. Sejauh ini Peraturan Daerah yang yang
membahas tentang kegiatan reklamasi dan pascatambang belum ada, sehingga sudah tepat untuk membentuk Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009. Meskipun demikian, acuan yang digunakan oleh Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 masih menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, padahal Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dibentuk pada tanggal 23 Februari 2009, sedangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 dibentuk pada tanggal 12 Januari 2009. Selain itu, substansi di dalam Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 meniru keseluruhan substansi yang ada pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Untuk itu, Penulis beranggapan bahwa perlunya meninjau Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dengan Undang-undang Pembentukan perundang-undangan. Dengan tujuan agar ketika Pemerintah Kota Samarinda membuat suatu kebijakan peraturan perundang-undangan hal seperti itu tidak terulang kembali. Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, menurut Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 harus didasari pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Di Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Dari berbagai asas tersebut, maka menurut penelitian Penulis Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangan. Beralih ke Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Alasan mengapa Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dianggap belum sesuai, karena susbtansi Peraturan Walikota Samarinda memiliki persamaan yang serupa dengan Peraturan Menteri Nomor ESDM Nomor 18 Tahun 2008. Seharusnya sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 substansi yang ada pada Peraturan Walikota Samarinda harus memuat nilai-nilai kedaerahan dan menampung kondisi khusus di daerah Samarinda. Karena Pemerintah Kota Samarinda tentunya lebih mengetahui bagaimana situasi dan kondisi apa saja yang dibutuhkan oleh Kota Samarinda untuk menuju pembangunan daerah Samarinda yang lebih baik. Selain itu, alasan lain yang dapat dikemukakan oleh Penulis bahwa Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 belum menampung kondisi khusus kedaerahan dikarenakan belum mencakup pelaksanaan ide atau kebijakan-kebijakan baru yang bersifat kedaerahan sesuai dengan kondisi di daerah Samarinda.
Penutup A. Kesimpulan Dari uraian pembahasan yang telah Penulis bahas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang tercantum di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara meliputi Bagian pertama adalah penetapan kebijakan yang ada di Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 menghasilkan sebuah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Bagian kedua dalam hal perizinan terdapat beberapa tahapan yang harus diajukan bagi para pemegang IUP dan IUPK sebelum melakukan kegiatan usaha pertambangan. Tata laksana kegiatan reklamasi dan pascatambang tercantum di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dari menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang, menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang hingga melaksanakan kegiatan reklamasi dan pascatambang. Dalam hal pembinaan dan pengawasan, Pemerintah Daerah masih lemah dalam memberikan pengawasan karena terlalu mudah memberikan suatu izin usaha pertambangan dan hal itu tidak sejalan dengan pengawasan kegiatan usaha pertambangan karena masih banyak perusahaan tambang yang belum melaksanakan kewajiban untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pascatambang. Sanksi bagi pelanggaran kegiatan reklamasi dan pascatambang adalah sanksi administratif. Tidak adanya pemberian sanksi pidana untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang dinilai kurang mampu untuk memberikan efek jera kepada pengusaha tambang yang melanggar. 2. Kewenangan Walikota selaku Pemerintah Kota Samarinda dalam hal kegiatan reklamasi dan pascatambang di Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 berupa penilaian dan persetujuan rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang, pelaksanaan dan pelaporan reklamasi dan penutupan tambang, pencairan dan pelepasan jaminan reklamasi dan jaminan penutupan tambang, dan pengawasan. Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena substansi Peraturan Walikota Samarinda belum menampung kondisi khusus daerah. Selain itu, Peraturan Walikota Samarinda masih mengacu pada Peraturan Perundang-undangan yang lama, padahal Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dibentuk setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ditetapkan. A. Saran Adapun saran yang dapat Penulis sampaikan terhadap pembahasan yang sebelumnya sudah dibuat kesimpulannya adalah sebagai berikut: 1. Seharusnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga memuat ketentuan tentang sanksi pidana untuk kegiatan reklamasi dan pascatambang. Agar nantinya bagi para pengusaha tambang yang tidak melakukan kewajiban untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang dapat terkena hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang ada di dalam sanksi administratif. Adapun tujuan pemberian sanksi pidana untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku usaha tambang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Dan juga perlunya pembuatan Peraturan Daerah yang mengatur kegiatan reklamasi dan pascatambang yang di dalamnya harus memuat unsur sanksi pidana. 2. Sebaiknya Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang dicabut, dan diganti dengan Peraturan perundang-undangan yang
baru. Hal ini disebabkan Peraturan Walikota Samarinda tersebut masih mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967, seharusnya acuan Peraturan Walikota Samarinda tersebut adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, karena Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 dibentuk setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ditetapkan. Selain itu, Peraturan Walikota Samarinda ini belum mengatur secara khusus sifat-sifat dan kondisi kedaerahan yang ada di Kota Samarinda. Sebaiknya muatan dari Peraturan Walikota Samarinda mengatur kondisi, situasi dan sifat-sifat kedaerahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan juga dapat dibantu dari aspirasi masyarakat dengan tujuan agar dapat memberikan suatu dampak positif bagi perkembangan pertambangan dalam hal kegiatan reklamasi dan pascatambang agar nantinya tidak ada lagi hal-hal negatif yang timbul akibat adanya suatu pertambangan di daerah.
Daftar Pustaka A. Literatur Atmosudirjo, Prajudi, 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Cetakan kesepuluh Jakarta. Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Sun, Jakarta. Chomzah, Ali Achmad, 2003, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka Publisher, Cetakan 1, Jakarta. HS, Salim, 2004, Hukum Pertambangan Di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Indrati, Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta _________________. Yogyakarta.
2007,
Ilmu
Perundang-undangan,
Kanisius,
Cetakan
1,
Kaho, Josef Riwu, 2003, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia
(Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Manan, Abdul, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria Dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Soejito, Irawan, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta
Sudrajat, Nandang, 2010, Teori dan Praktetk Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Syahrani, Riduan, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta. Wasistiono Sadu dan Ondo Riyani, 2001, Seminar Etika Hubungan Legislatif Eksekutif Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Pusat Kajian Pemerintahan STPDN dan Alqaprint Jatinagor, Bandung. Widjaja, HAW, 2004, Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Yudhoyono, Bambang, 2001, Otonomi Daerah (Desentralisasi Dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda Dan Anggota DPRD), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. B. Perundang-undangan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang Peraturan Walikota Samarinda Nomor 5 Tahun 2009 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang C. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Internet Artikel berjudul “Fungsi dan tujuan Hukum pidana”, http://ondiadrian.blogspot .com/2013/04/fungsi-dan-tujuan-hukumpidana.html#.UzumcfJrjNE, diakses tanggal 21 Mei 2013 Artikel berjudul “Gubernur Nur Alam Terima Pansus Reklamasi dan Pascatambang”, http://dprd-kaltimprov.go.id/berita/12 33/gubernur-nur-alam-terima-pansusreklamasi-dan-pasca-tambang-.html. diakses tanggal 13 Mei 2013 Artikel berjudul “Hanya Empat Perusahaan Yang Melakukan Reklamasi Di Kaltim”, kaltim.antaranews.com/berita/7128/hanya-empat-perusahaan-lakukanreklamasi-di-kaltim,diakses tanggal 23 Januari 2013,
Artikel
berjudul “Jatam Minta Pemkot Data Reklamasi Perusahaan”, http://www.korankaltim.com/jatam-minta-pemkot-datareklamasiperusaha an/, diakses tanggal 7 April 2013
Artikel berjudul “Jumlah Inspektur Pertambangan Di Indonesia, Tak Sebanding Dengan http://www.tribunnews.com/2012/05/23 /inspekturJumlah IUP”, pertambangan-tak-sebanding-dengan-jumlah-iup, diakses tanggal 13 Februari 2013 Artikel berjudul “Pemkot Belum Ambil Sikap Dua Perusahaan Belum Lunasi Jamrek”, Rabu 27 Februari 2013 Artikel berjudul “Pentingnya Jaminan Reklamasi Tambang”, http://baganbatublog. blogspot.com/2012/07/pentingnya-jaminan-rekamasi-tambang.html, diakses tanggal 27 Januari 2013 Artikel berjudul “Perusahaan Pertambangan Batubara Di Berau Pun Telah Melakukan http://www.apbi-icma.com/index.php?option=com_content&vi Reklamasi”, ew=article&id=244:perusahaan-pertambangan-di-berau-pun-telah-melakuk anreklamasi-dengan-baik&catid=104& Itemid=789, diakses tanggal 21 Februari 2013 Artikel berjudul “Reklamasi Dan Jaminan Reklamasi, Bagaimana Pengaturannya?”, http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/Rekla masi_tambang.pdf, diakses tanggal 25 Januari 2013 Artikel
berjudul “Reklamasi Pascatambang”, http://duniaatas.blog spot.com/2011/04/reklamasi-lahan-tambang.html, diakses tanggal 11 Desember 2012