Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERSAMAAN DAN KEADILAN UNTUK PEREMPUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam bab ini akan dibahas landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis dari Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan. A.1. Landasan Filosofis Landasan filosofis membahas falsafah negara; hak asasi manusia; hak asasi perempuan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. A.1.1. Falsafah Negara Pancasila merupakan falsafah, ideologi, dasar, pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum Negara Republik Indonesia. Sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar atau sumber hukum nasional, termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan atas hukum. Oleh karena itu, undang-undang yang dilahirkan dan diberlakukan di Negara Republik Indonesia harus bersumber dari Pancasila dan mendasarkan pada atau merupakan pelaksanaan dari UUD 1945. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Indonesia menjamin bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dalam cita-cita Pancasila sila ke-2 (kedua) dan sila ke-5 (kelima), bangsa Indonesia mengarahkan diri pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, nilainilai keadilan dan keberadaban.i Sementara itu Pembukaan UUD 1945 mengakui bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan pembedaan jenis kelamin. A.1.2. Hak Asasi Manusia dalam Falsafah Negara Diakuinya martabat kemanusiaan dan kemerdekaan dari setiap individu membawa dunia, demikian pula Negara Republik Indonesia pada konsep hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai makhluk bermartabat, yang telah dimiliki sejak lahir hingga akhir hayat. Karenanya hak asasi manusia wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan setiap orang. Pengakuan ini diperkuat dengan pernyataan (declaration) dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. Sebagai sebuah pernyataan, negara-negara di dunia anggota PBB 1
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
mengadopsi DUHAM ke dalam konstitusi. Hal ini didukung pula dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan secara eksplisit bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati DUHAM dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia. Pasal 2 DUHAM mengatur bahwa: “Semua orang berhak atas semua hak dan kebebasan seperti ditetapkan dalam deklarasi tanpa pembedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”. Dengan disahkannya perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000, UUD 1945 memuat materi tentang ketentuan dasar mengenai hak asasi manusia dalam Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J ayat (2). Selain rumusan tersebut, UUD 1945 memuat pula ketentuan mengenai hak asasi manusia, yaitu pada Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28 I (2). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 28 I (2) UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Selain hak asasi manusia yang dalam Negara Indonesia telah merupakan hak konstitusional, UUD 1945 juga mengatur mengenai hak warga negara (the citizen’s rights atau the citizen’s constitutional rights). Ketentuan seperti Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2) berkaitan dengan hak warga negara. Baik hak asasi manusia maupun hak warga negara yang diatur oleh UUD 1945 dijamin dan diakui untuk setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali, untuk perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. A.1.3. Hak Asasi Perempuan Meskipun ’manusia’ berarti adalah manusia perempuan dan laki-laki, penting untuk disadari bahwa berbagai pengetahuan, konsep dan kebijakan yang dipahami oleh masyarakat hingga saat ini, termasuk konsep hak-hak asasi manusiaii, lebih merefleksikan perspektif dan kepentingan laki-laki. Perspektif ini kemudian digeneralisasikan ke seluruh umat manusia, perempuan dan laki-laki. Perspektif kaum perempuan, yang jumlahnya 50% dari populasi manusia kurang memperoleh perhatian. Padahal perempuan memiliki pengalaman sosial dan pengalaman ketubuhan (dengan potensi reproduksinya yang khusus) berbeda, yang berdampak pada sudut pandang, dan kebutuhan yang perlu dipahami secara khusus. Terlebih lagi, konstruksi sosial dan pemaknaan terhadap potensi reproduksi perempuan 2
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
sering bersifat mendiskriminasi perempuan, yang berdampak pada kesulitan dan situasisituasi khusus perempuan, yang memerlukan penanganan khusus. Kenyataan dalam masyarakat Indonesia, kesetaraan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki laki dan perempuan (termasuk di dalamnya anak perempuan) belum tercapai, terutama disebabkan masih sangat kuatnya budaya patriarki dan perspektif laki-laki dalam mempengaruhi pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pengambilan kebijakan. Perwujudan kesetaraan gender secara keberlanjutan harus dibarengi dengan perwujudan keadilan gender. Kerjasama yang setara, adil dan tulus di antara perempuan dan laki-laki serta terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak asasi manusia hanya dapat tercapai bila pengetahuan mengenai konstruksi sosial gender, pengalaman ketubuhan perempuan, sudut pandang, kebutuhan, dan kepentingan perempuan terintegrasi dalam keseluruhan tatanan pengetahuan. Dan hal tersebut diakui dan dihormati sebagai bagian sama penting dalam pengetahuan tentang manusia untuk mempengaruhi penyusun dan pelaku kebijakan dalam mengembangkan dan melaksanakan kebijakan di semua aspek kehidupan. Sehubungan hal di atas, perlu diatur secara khusus perlindungan terhadap hak-hak perempuan sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Berkait dengan itu, pada tahun 1979 Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi instrumen hak asasi perempuan yang komprehensif, yaitu Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW, selanjutnya disebut Konvensi CEDAW). Konvensi CEDAW dinyatakan mulai berlaku pada tahun 1981. Tonggak penting sejarah penegakan hak asasi perempuan di Indonesia adalah diratifikasinya Konvensi CEDAW dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Konvensi CEDAW didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (a) Persamaan Substantif; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantif mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolok ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu yang lalu. Untuk menanggulanginya, persamaan substantif menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas. Walau demikian, masih banyak persoalan yang dihadapi perempuan. Amanat penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dari Konvensi CEDAW serta pencapaian keadilan dan kesetaraan gender akan semakin kuat melalui hadirnya Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan. Ini karena Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan mengikat semua lembaga penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, masyarakat, badan usaha, dan legal entity lainnya, sekaligus menyediakan mekanisme pelaksanaan dan pemantauannya secara komprehensif.
A.1.4. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia 3
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Berdasarkan pandangan welfare state, campur tangan Negara dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat, politik, sosial, budaya, lingkungan, serta persoalan lain, tidak dapat dielakkan. Negara mengemban amanat yang diberikan oleh rakyat untuk keperluan kesejahteraan mereka. Konsekuensinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan negara, diharapkan berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan si pemberi amanat, yakni rakyat atau masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, etnis, ras, bahasa, lokasi geografis, agama dan kepercayaan, serta berbagai latar belakang lain yang tersebar dari ujung Barat (Sabang) hingga ujung Timur (Merauke). Keragaman ini adalah potensi, dan perlu terus diingat sebagai kekayaan yang menjadi modal dasar bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan keragaman sebagai potensi, Indonesia harus dibangun di atas berbagai perbedaan ideologi, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, suku, warna kulit, bahasa, dan berbagai latar belakang lain. Untuk memastikan itu, dalam pelaksanaan kepemimpinan seperti termaktub dalam sila ke-4 Pancasila, bangsa Indonesia menjunjung tinggi permusyawaratan dalam artian keputusan yang diambil menghargai pendapat atau perbedaan yang ada. Intinya, tujuan dari Indonesia dan para pendiri bangsa adalah bahwa Indonesia harus menjadi negara yang menjunjung tinggi konstitusi negara sebagai alat pemersatu dan penjamin hak-hak warga negara yang sangat beragam latar belakangnya. Karenanya, persamaan dan keadilan di antara perempuan dan laki-laki juga harus dibangun di atas, dan dengan menghormati, berbagai keragaman latar belakang dari masyarakat, termasuk kelompok-kelompok minoritas dan marjinal, untuk dapat sungguh-sungguh sampai pada keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, seperti termaktub dalam sila ke-5 Pancasila. A.2. Landasan Yuridis Sebagai turunan dari landasan filosofis bangsa, instrumen hukum yang melandasi perwujudan persamaan dan keadilan untuk perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Politik Wanita (Convention of Women's Political Rights). 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Pasal 1 Konvensi CEDAW memuat definisi diskriminasi terhadap perempuan, yakni: Setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan menghalangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara wanita dan pria. 4
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 angka (1) memuat definisi hak asasi manusia, yaitu: Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dillindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Bagian kesembilan Undang-Undang ini, meliputi Pasal 45 sampai dengan Pasal 51, merupakan pasal-pasal yang mengatur Hak Perempuan. Pasal 45: Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia. Pasal 46: Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan, anggota legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Pasal 47: Seorang wanita yang menikah dengan pria yang berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti pria kewarganegaraan suaminya, tetapi mempunyai hak untuk mempertahankannya, mengganti atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya. Pasal 48: Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 49: (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Pasal 50: Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya. Pasal 51: (1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan dan pengolahan harta bersama. (2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak-anaknya. (3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tenpa mengurangi hak anak, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang juga mengatur perhatian khusus pada situasi perempuan terkait reproduksinya dapat dilihat pada Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi: 5
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anakanak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Pasal 3 berbunyi: Negara Pihak pada Konvenan ini berjanji untuk menjamin persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan. 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 3 berbunyi: Negara Pihak Konvenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. A.3. Landasan Sosiologis A.3.1. Situasi Sosial-Budaya terkait Relasi Gender Perbedaan jenis kelamin tidak mengindikasikan perbedaan nilai dan posisi, dan tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun ternyata perbedaan jenis kelamin (biologis) tersebut kemudian diinterpretasi secara sosial melalui mitos-mitos, sosialisasi, budaya, kebijakan pemerintah dan hukum yang lebih menguntungkan laki-laki, sekaligus tidak adil bagi perempuan. Ketidakadilan gender merefleksikan budaya patriarki yang menempatkan kedudukan tertinggi pada laki-laki (dewasa, ayah), yang masih kuat berkembang di masyarakat dan dilanggengkan melalui nilai-nilai, praktik budaya, sistem sosial dan bentuk lainnya, terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup anggota masyarakat. Lima indikasi untuk memahami adanya diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan gender adalah sebagai berikut: 1. Stereotip atau Pelabelan Negatif Stereotip atau pemberian label atau cap negatif yang dilakukan berulang dalam waktu lama dapat memantapkan keyakinan yang salah dan perlakuan diskriminatif. Terkait peran gender, keyakinan yang sering didengungkan adalah ‘kodrat’ perempuan yang khusus, yang menempatkannya sebagai penanggungjawab utama rumah tangga dan pengasuhan anak, dan seringkali menghalanginya bebas berkiprah di dunia publik. Lebih lanjut, ada pelabelan negatif terhadap perempuan yang dianggap tidak memenuhi norma yang dituntut padanya. Misalnya korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual justru dipersalahkan, perempuan yang tidak menikah atau bercerai dinilai negatif. Ada pula penilaian negatif pada kelompok yang lebih khusus, misalnya yang terjebak dalam prostitusi, perempuan cacat, perempuan dengan orientasi seksual maupun identitas gender minoritas, dan perempuan dengan HIV/AIDS. 2. Subordinasi 6
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Pelabelan negatif dan pembagian peran gender yang kaku antara perempuan dan laki-laki sering menempatkan perempuan dalam posisi dan peran lebih rendah dari laki-laki. Perempuan hanya mampu dan cocok mengurus anak dan tinggal di rumah, tidak mampu memimpin, tidak dianggap penting pandangan dan kebutuhannya, dituntut untuk mengutamakan suami dan anak, tidak diprioritaskan dalam pendidikan atau peningkatan karir. Dalam keluarga perempuan sering dianggap tidak mampu atau tidak berhak mengambil keputusan, sementara dalam dunia publik juga tidak diperhitungkan karena dianggap lahannya adalah domestik. Meski memiliki kemampuan, perempuan lebih sulit mencapai posisi penting untuk memimpin ataupun mengambil keputusan. 3. Peminggiran atau Marjinalisasi Pembakuan peran gender tradisional dimana perempuan/isteri adalah ibu rumah tangga dan laki-laki/suami adalah kepala keluarga, meminggirkan perempuan di hampir semua area. Stereotip dan subordinasi perempuan meminggirkan, atau menyebabkan perempuan terpinggir. Perempuan lebih banyak terlibat dalam kerja domestik atau reproduktif dan jarang terlibat dalam kegiatan politik. Mengingat keterbatasan peluang serta tuntutan peran domestik, perempuan yang harus memastikan kebertahanan diri dan keluarga tidak jarang bekerja di sektor informal. Dalam rapat adat atau pertemuan penting, sekadar menjadi ‘pendamping’ atau ‘pembantu’, kadang tidak memiliki hak suara dan dianggap tidak pantas mengambil keputusan. Meskipun menjadi pencari nafkah utama, bila bekerja, sering perempuan sekadar dianggap pencari nafkah tambahan, atau bekerja untuk kepentingan pribadi, diposisikan pada pekerjaan-pekerjaan yang kurang penting atau ada di pinggir. Dalam bidang politik pun imbasnya menyebabkan perempuan tidak setara kedudukannya dengan laki-laki. Demikian juga halnya dalam hukum, dimana posisi perempuan terpinggir, tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. 4. Beban Majemuk Perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik seperti membersihkan rumah, memasak, melayani suami, dan merawat anak-anak. Dalam kenyataannya, banyak perempuan juga bekerja di luar rumah, tidak jarang menjadi pencari nafkah utama. Banyak perempuan memiliki tiga pekerjaan: (a) pekerjaan domestik dan reproduktif (yang jam kerjanya sangat panjang, melelahkan tetapi tidak diakui sebagai pekerjaan dan tidak dibayar), (b) pekerjaan produktif untuk aktivitas yang memiliki nilai tukar atau menghasilkan uang untuk mempertahankan hidup keluarga; dan (c) pekerjaan sosial seperti menjadi kader PKK, posyandu atau organisasi berafiliasi agama.
5. Kekerasan Berbasis Gender Dengan latar belakang berbagai persoalan khusus di atas, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuknya. Perempuan rentan kekerasan dalam relasi personal atau dalam rumah tangga, juga rentan kekerasan seksual dalam konteks yang lebih luas. Dalam situasi ‘normal’ apalagi dalam situasi masyarakat yang diwarnai ketegangan, 7
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
konflik dan perang, perempuan lebih rentan kekerasan dan rentan implikasi yang lebih parah sebagai dampak kekerasan yang terjadi. A.3.2. Penafsiran Agama yang Bias Gender dan Adil Gender Masyarakat Indonesia memiliki latar belakang agama dan kepercayaan yang sangat beragam. Satu hal yang menonjol adalah bahwa pandangan keagamaan atau kepercayaan sering dijadikan landasan norma berperilaku dalam masyarakat, atau setidaknya dikaitkaitkan. Yang dianggap bertentangan dengan hal itu dapat memunculkan masalah besar termasuk konflik sosial, bahkan kekerasan. Kesetaraan gender dan hak asasi perempuan menjadi isu sangat penting yang banyak diperdebatkan. Banyak kalangan menentang pandangan kesetaraan gender dan diperjuangkannya hak perempuan, karena menurut mereka, hal tersebut bertentangan dengan agamaiii.Justru pembenaran-pembenaran bersifat keagamaan seperti inilah yang sangat menyulitkan pemajuan situasi hidup perempuan dan relasi gender yang lebih adil. Tentang hal di atas, Nasaruddin Umar, profesor Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menyimpulkan bahwa hampir semua tafsir agama yang ada mengalami bias gender. Yang ditemukannya bukan hanya Al-Qur’an yang tidak memberikan tempat layak terhadap perempuan, tapi juga Injil, dan kitab-kitab suci agama lainnya, seperti kitab Konghucu dan Budha. Ia mengemukakan unsur penting yang berkontribusi dalam pembangunan wacana keagamaan yang bias gender, yakni mitos. Sering yang sebenarnya mitos, dianggap sebagai kebenaran yang diajarkan agama.iv Hal ini antara lain karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang berpusat pada laki-laki. Tidak ada kitab suci yang diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya. Agama-agama semit (Yahudi, Kristen, Islam) turun dalam masyarakat yang androsentris, dimana relasi gender didominasi laki-laki. Kitab suci setiap agama menggunakan bahasa lokal, di tempat kitab suci itu diturunkan. Budaya dan bahasa tidak dapat dipisahkan, dan di belakang bahasa ada keterlibatan budaya dalam struktur dan pemaknaan kosa kata.v Sehubungan hal itu, ia menekankan bahwa penentuan metodologi penafsiran kitab suci tidak dapat mengesampingkan ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan, seperti sejarah, antropologi, dan ilmu-ilmu kebahasaan. Pendekatan tekstual semata akan mereduksi kedalaman dan keluasan makna kitab suci, bahkan tidak mustahil penafsiran yang diperoleh tidak sejalan atau bertentangan dengan tujuan umum dari kitab suci itu sendiri. Terkait filologi, perlu diperhatikan beberapa hal seperti: (a) darimana datangnya teks; (b) bagaimana teks itu diperoleh; (c) apakah teks disabdakan atau diceritakan orang lain; (d) bagaimana autentisitas teks itu sendiri; (e) bagaimana pertalian sanadnya, (f) teks aslinya dari bahasa apa, (g) siapa yang menerjemahkan; (h) terjemahan yang dibaca itu dari bahasa asli atau bahasa asing; (i) jarak waktu penerjemahan dengan teks-teks terjemahannya; (j) atas sponsor siapa dan untuk kepentingan apa penerjemahannya? Soal terjemahan perlu diperhatikan karena ada kemungkinan reduksi, distorsi, atau penambahan. Bias gender dalam penafsiran teks dapat terjadi melalui banyak hal. Dalam bahasa Arab misalnya dapat terjadi karena perbedaan penyimpulan akibat penetapan rujukan kata ganti yang tersedia dalam bahasa itu atau pengertian kosa kata. Jadi telah ada bias dalam struktur bahasa itu sendiri. Penting sekali yang disampaikan Umar, bahwa betapa bahasa Arab yang 8
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
‘dipinjam’ Tuhan untuk menyampaikan ideNya, sedari awal sudah bias gender dalam kosa kata maupun struktur. Tradisi Arab seperti terefleksi dalam bahasanya, mengatur bahwa bila yang dibahas adalah laki-laki dan perempuan, digunakan bentuk maskulin. Kelompok bahasa Semit selalu mendahulukan laki-laki baru perempuan dalam urutan kata. Juga kamus Arab yang sering menjadi rujukan mengartikan ayat Al-Qur’an itu mengandung banyak bias gender, belum lagi bias dalam metode tafsir itu sendiri. Umar (2003) menyampaikan bahwa Tuhan Maha Adil, tetapi sifat keadilanNya tidak dapat diukur melalui teks bahasa Arab yang digunakan Al-Qur’an, karena bahasa Arab produk budaya Arab, dan budaya Arab adalah budaya patriarkal, yang memberikan peran dominan pada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan. Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Tuhan itu laki-laki karena menggunakan kata ganti laki-laki; atau Tuhan memihak laki-laki karena yang diajak bicara adalah laki-laki, dan perempuan (hanya) menjadi orang ketigavi. Di sisi lain, memang ada beberapa ayat yang sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti ayat warisan (Q., s. al-Nis'a'/4: 11), persaksian (Q., s. al-Baqarah/2:228, s. al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/ qawwamah (Q., s. al-Nisa'/4:34). Juga tentang poligami. Oleh pihak yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan, hal ini akan digunakan untuk melegitimasi bahwa agama memang memberikan posisi lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih istimewa kepada laki-laki. Umar menjelaskan bahwa ayat-ayat itu tidak serta merta dapat diinterpretasi bermaksud mengunggulkan laki-laki. Ayat-ayat itu kemungkinan besar merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan gender ketika itu. Umar menjelaskan bahwa dalam Islam dikenal penyampaian: a) bertahap (al-tadrij fial-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam al-haraj). Tujuannya adalah agar tetap dapat diterima dan tidak menimbulkan kekagetan masyarakat. Jadi, kemungkinannya itulah penjelasan dari ayat-ayat yang terkesan masih meninggikan laki-laki. Berkenaan dengan proses yang bertahap itu, dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, perlu dilihat dan dibandingkan dengan situasi sebelum Islam. Umar juga menjelaskan dialektika dan strategi Islam menghampiri masyarakat. Pertama, yang dihampiri Al-Qur’an selalu adalah kaum elite, karena masyarakat Arab bersifat sangat paternalistik. Asumsinya, dengan merangkul golongan elite, otomatis rakyat juga ikut. Karena masyarakat dimana kitab suci turun, bersifat patriarkis, juga teks lebih terkesan langsung dialamatkan pada laki-laki. Asumsinya, jika merangkul kaum laki-laki, otomatis perempuannya tunduk. Karenanya tidak dapat disimpulkan bahwa ajaran agama itu sendiri patriarkis dan paternalistis, tetapi ajaran agama diturunkan dalam masyarakat demikian, dan mengakomodasi kondisi demikian untuk dapat diterima, sambil secara bertahap melakukan pengubahan dan perbaikan. Simpulan Umar dikuatkan dengan kenyataan bahwa kehidupan perempuan di masa Nabi perlahan-lahan mengarah kepada keadilan gender. Akan tetapi setelah Nabi wafat dan wilayah Islam semakin meluas, kondisi ideal yang sudah mulai diterapkan Nabi kembali mengalami kemunduran. Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi kembali kultur-kultur androsentris atau misoginis. Akibatnya, fiqh yang berkembang didalam sejarah Islam adalah fiqh patriarki. Jadi, kedudukan perempuan Islam pasca Nabi Muhammad tidak bisa dijadikan rujukan, karena bukannya semakin mendekati kondisi ideal tetapi malah semakin jauh. Simpulan ini sangat penting dan menarik, yang juga menjadi simpulan dari para pengkaji teks agama Kristen atau kajian Kristen dan Gender. Disimpulkan bahwa di masa Yesus hidup, Yesus memberikan contoh-contoh tindakan yang sangat membela atau 9
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
melindungi perempuan. Tetapi setelah Ia wafat, masyarakat kembali pada praktik ajaran yang patriarkis dan merendahkan perempuan. A.3.3. Kerangka Substansi, Pendekatan, dan Mekanisme Sejalan dengan UUD 1945, khususnya Bab mengenai Hak Asasi Manusia, dan dengan meratifikasi Konvensi CEDAW dan mengundangkannya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia menjamin pemenuhan serta perlindungan hak asasi perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia, baik di bidang sipil, politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Indonesia pun terikat secara hukum pada amanah Konvensi CEDAW. Dalam implementasinya, masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan, yang dapat dilihat dari masih buruknya kondisi perempuan dalam berbagai bidang, yang akan dijelaskan lebih rinci pada bagian Identifikasi Masalah. Penegasan akan masih adanya diskriminasi terhadap perempuan dan perlu langkah tindak penghapusan diskriminasi itu dipertegas dengan adanya Landasan Aksi Beijing (Beijing Platform For Action/BPFA) yang dideklarasikan pada tahun 1995. Landasan Aksi Beijing menegaskan 12 bidang kritis bagi perempuan yang perlu disikapi, yaitu: (1) Perempuan dan Kemiskinan; (2) Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan; (3) Perempuan dan Kesehatan; (4) Kekerasan Terhadap Perempuan; (5) Perempuan dan Konflik Senjata; (6) Perempuan dan Ekonomi; (7) Perempuan dalam Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; (8) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; (9) Hak Asasi Perempuan; (10) Perempuan dan Media Massa; (11) Perempuan dan Lingkungan; serta (12) Anak Perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan gender harus dihapuskan. Ini tidak bertentangan dengan agama, sebaliknya merupakan konsekuensi logis dari amanah agama yang menyerukan nilai-nilai perdamaian dan keadilan bagi semua umat. Selain untuk kepentingan penegakan hak asasi manusia, juga untuk kepentingan tercapainya kualitas hidup yang paling optimal dari bangsa Indonesia. Diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan terhalanginya perempuan, anak, dan pada akhirnya masyarakat, untuk mencapai kualitas kehidupan terbaik, menyulitkan kerjasama yang tulus, setara dan saling menghormati di antara perempuan dan laki-laki, yang pada gilirannya, menyulitkan penghapusan kemiskinan, pembangunan yang berkesadaran lingkungan, dan berbagai hal lain di banyak sektor kehidupan. Diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan banyak anggota masyarakat, dalam hal ini perempuan, yang memiliki potensi sama besar atau lebih baik daripada laki-laki, terhalangi untuk memberikan sumbangannya yang maksimal dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Negara, dalam hal ini Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya termasuk di tingkat legislatif dan yudikatif, mempunyai kewajiban untuk membangun persamaan dan keadilan untuk perempuan, demi penegakan hak asasi manusia (human rights based), dalam hal ini hak asasi perempuan, dan tercapainya kualitas hidup yang paling optimal dari bangsa Indonesia. Negara berkewajiban melakukan segala upaya untuk memberikan perlindungan, penjaminan dan pemenuhan hak untuk hidup aman, setara dan adil bagi warga negaranya, terutama bagi warga negara perempuan yang masih mengalami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang kehidupan, termasuk di pedesaan. 10
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Diperlukan peraturan yang komprehensif melindungi hak asasi perempuan di berbagai bidang kehidupan, dan mengatur mekanisme perwujudannya. Semua harus tampil dalam tindak nyata dalam pembangunan nasional, seperti dalam proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan, pengawasan keuangan negara, implementasi dan penegakan hukum, program penguatan ekonomi dan lain sebagainya. Semua merupakan pemenuhan prinsip kewajiban negara secara de jure dan de facto dalam mewujudkan persamaan dan keadilan untuk perempuan, yang sekaligus merupakan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan latar belakang yang telah ada dan untuk tujuan demikian, UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan mendesak dan sangat diperlukan. B. Identifikasi Masalah B.1. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Publik Sistem politik di Indonesia masih menunjukkan ketidakadilan yang dialami perempuan. Perempuan masih jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Jumlah perempuan yang diperkirakan 50,8% dari total populasi (BPS, 2007) sangat tidak terefleksikan dalam keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan publik di segala tingkatan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa masih banyak sekali persoalan ketidaksetaraan gender di kehidupan politik dan publik. Beberapa yang utama adalah: (a) adanya pandangan bahwa perempuan tidak perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan mulai di ranah rumah tangga, keluarga, organisasi, masyarakat, dan negara; (b) adanya asumsi bahwa dunia politik formal adalah dunia maskulin, sehingga ranah politik hanya untuk kaum laki-laki; (c) perempuan masih dimobilisasi keluarga/kerabat/partai politik sebagai ‘vote-getter’ saja; (d) pandangan budaya yang menyosialisasikan stereotip pembagian peran gender yang timpang dimana perempuan bertanggung jawab di ranah domestik, sedangkan laki-laki bertanggung jawab di ranah publik. Akibatnya perempuan mengalami beban majemuk yang menyulitkan untuk aktif dalam arena politik; dan (e) hukum dan aturan di Indonesia masih bias gender dan mendiskriminasikan perempuan.
Semua hal di atas dapat terefleksikan sebagai berikut: a. Akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan mulai di ranah rumah tangga, keluarga, organisasi, masyarakat, dan negara masih didominasi kaum laki-laki. Hal ini dipengaruhi paradigma berpikir bahwa laki-laki adalah mahluk superior dan memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada perempuan, untuk mengatur segala bidang kehidupan b. Jabatan-jabatan pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, politik, sosial, budaya dan ekonomi, termasuk lembaga publik, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, lembaga penegak hukum, lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dan lembaga swasta masih didominasi laki-laki. Komite CEDAW PBB pada tahun 2007 mengeluarkan Komentar Akhir (Concluding Observations) kepada pemerintah RI. Dalam paragraph 27 Komentar Akhirnya, Komite CEDAW PBB mendorong pemerintah RI untuk melaksanakan dan memperkuat penerapan tindakan khusus sementara sesuai Pasal 4 ayat (1) Konvensi dan Rekomendasi Umum Komite Nomor 23 dan 25 untuk mempercepat peningkatan 11
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
c.
d.
e.
f.
g.
partisipasi perempuan secara utuh dan setara dengan laki-laki di semua sektor dan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, politik, dan ekonomi, termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintah daerah, sektor pendidikan, dan swasta. Keterwakilan perempuan di DPR hasil Pemilu 2009 adalah 18%, yaitu 100 perempuan dari total 559 anggota DPR RI, sementara keterwakilan perempuan di DPR hasil Pemilu 2004 adalah 11%. Keterwakilan perempuan di DPRD tingkat propinsi secara keseluruhan lebih rendah lagi. Koalisi Perempuan Indonesia (2009) menemukan bahwa di 33 provinsi secara keseluruhan hanya ada 13,53 persen perempuan di DPRD tingkat Provinsi, dengan variasi yang besar. Keterwakilan tertinggi ada di provinsi Jawa Barat (26 %), dan yang terendah di Sulawesi Tenggara (4,44 %) serta Nangroe Aceh Darussalam (5,80 %). Keterwakilan perempuan di lembaga perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan di pemerintahan juga sangat rendah. Data hingga tahun 2010 menunjukkan dari 33 Gubernur hanya ada 1 (satu) orang Gubernur perempuan yaitu di Provinsi Banten, dan hanya ada 1 (satu) perempuan yang terpilih sebagai Wakil Gubernur di Provinsi Jawa Tengah. Dari 530 kabupaten/kota di Indonesia, hanya ada 10 Bupati/Walikota (1,88 %) dan 12 (atau 2,26 %) Wakil Bupati/Walikota perempuan. Di lembaga eksekutif, semakin tinggi tingkat jabatan eselon, semakin rendah jumlah perempuan. Pada tahun 2004, jumlah perempuan yang duduk di jabatan eselon I hanya berjumah 42 orang dari total 420 pejabat eselon I (10 %). Pada tahun 2005, data Pegawai Negeri Sipil (PNS) memperlihatkan jabatan di eselon I hanya 63 PNS perempuan atau sekitar 9,77% dari 645 PNS, sisanya 582 atau 90,23% adalah laki-laki.Sedangkan pada tahun 2006, jumlah perempuan yang menduduki jabatan eselon I, II dan III hanya 12,5%. Hal ini menunjukkan ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan di lembaga-lembaga pemerintah. Jumlah perempuan pengambil keputusan yang menduduki jabatan strategis di sektor pelayanan publik, dalam kabinet, lembaga-lembaga setingkat departemen dan non departemen, serta di komisi-komisi nasional masih sangat rendah, yaitu berkisar antara10-15%. Di tingkat administrasi pemerintahan yang paling rendah, jumlah perempuan di posisi strategis dan sebagai kepala pemerintahan jauh lebih rendah. Hal ini dapat terlihat dari jumlah perempuan yang menjadi Kepala Desa atau Lurah, kurang dari 1%. Kondisi ini menyebabkan sulitnya perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan strategis, baik di tingkat yang paling rendah (misalnya dalam Musrenbang Desa) sampai tingkat atas (Pemerintahan dan Parlemen). Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan tidak responsif gender dan tidak mengakomodasi kepentingan perempuan dalam implementasinya. Prinsip persamaan substantif yang dianut Konvensi CEDAW mewajibkan negara untuk melakukan perubahan lingkungan untuk memastikan kesetaraan hasil (memiliki kesempatan dan akses yang sama, serta memiliki hak yang sama untuk menikmati manfaat dari kesempatan dan peluang yang ada). Salah satu kewajiban negara untuk menerapkan prinsip substantif ini adalah melalui tindakan khusus sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW. Tindakan ini dilakukan untuk mempercepat kesetaraan de-facto serta mencapai kesetaraan dalam perlakuan dan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki. Tindakan ini tidak dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap laki-laki. Berdasarkan hal itu, kelompok perempuan berhasil menggolkan sistem proporsional daftar terbuka lewat mekanisme zipper atau penempatan satu caleg perempuan dalam setiap tiga caleg dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Diharapkan melalui 12
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
pemberlakuan sistem ini, perempuan memiliki peluang yang sama besarnya dengan lakilaki untuk dipilih. Namun Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008 membatalkan Pasal 214 UU ini yang mengatur tentang penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan nomor urut daftar calon. Berdasarkan Keputusan tersebut, penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemenang Pemilu untuk menduduki jabatan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat didasarkan pada perolehan suara mayoritas (sistem suara terbanyak). Putusan ini merusak upaya tindakan khusus sementara dalam UU Pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Keputusan MK yang sangat mendadak dan sangat dekat dengan waktu pelaksanaan Pemilu mengakibatkan calon anggota DPR perempuan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan strategi pemenangan Pemilu yang sesuai dengan keputusan baru tersebut. Akibatnya, tidak cukup banyak calon anggota perempuan yang berhasil menduduki posisi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. h. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Negara telah memiliki sejumlah aturan yang mendorong perempuan untuk berpartisipasi di arena politik, seperti telah dijabarkan pula dalam landasan filosofis dan yuridis. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014) juga menyatakan bahwa kebijakan dan prioritas pembangunan untuk pemberdayaan perempuan dimaksudkan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan posisi-posisi perempuan di ranah publik. Namun dalam implementasinya, berbagai alasan kultural dan struktural tetap melanggengkan ketidakadilan pada perempuan. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa masih terdapat ketidakadilan yang besar yang dialami perempuan dalam kehidupan publik dan politik. B.2. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Pekerjaan dan Kehidupan yang Layak Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak merupakan hak asasi manusia dan secara internasional diakui sebagai hak-hak dasar manusia seperti yang tertuang dalam Pasal 23 ayat (1) DUHAM, yang menyatakan: Setiap orang berhak atas pekerjaan, memilih pekerjaannya, dalam kondisi kerja yang nyaman dan adil serta mendapatkan perlindungan dari pengangguran. Konvensi CEDAW, khususnya Pasal 11, menyatakan bahwa Negara harus memprioritaskan realisasi atas kesetaraan faktual antara laki-laki dengan perempuan di pasar kerja. Namun kenyataannya masih banyak terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sejak dari proses perekrutan, pelatihan, pelaksanaan, sampai pemutusan hubungan kerja. Sistem kerja yang patriarkis dan feodal menempatkan perempuan sebagai kelompok terpinggirkan dan tersubordinasi demi kepentingan ekonomi pemilik modal. Pengerahan atau mobilisasi perempuan untuk bekerja di sektor-sektor industri di pekerjaan formal dan informal (di rumah tangga) dimaksudkan untuk mengisi lowongan pekerjaan yang berupah rendah, tanpa kecakapan dan keterampilan yang tinggi, serta berlatar pendidikan rendah; sekaligus tanpa jaminan perlindungan. Selain itu, banyak perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), masih dalam posisi sangat rentan karena hingga kini Indonesia belum memiliki payung hukum untuk pengaturan perlindungan bagi PRT secara menyeluruh. Berikut diuraikan situasi pekerja perempuan, dari proses rekruitmen, pelatihan, kondisi kerja, hingga pemutusan hubungan kerja: (1) Kriteria Seleksi Pekerja 13
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Iklan lowongan kerja sering membedakan kriteria calon pekerja perempuan dengan lakilaki, dengan menekankan peran stereotip perempuan. Misalnya bunyi iklan lowongan untuk perempuan; ”Lowongan kerja untuk sekretaris. Kriteria: Usia: 20-35 tahun, perempuan, berpenampilan menarik dan pengalaman kerja 2 tahun, lulusan SMU.”. Sementara itu untuk laki-laki, ”Lowongan kerja di bagian pemasaran, ”Laki-laki; usia 2035 tahun, mempunyai kendaraan roda dua, berpengalaman 2 tahun, lulusan SMU.” Diskriminasi juga terjadi di dunia perbankan, dimana persyaratan untuk perempuan dalam posisi-posisi tertentu adalah lajang dan berpenampilan menarik. Perempuan diminta menandatangani kontrak untuk tidak menikah selama periode kontrak, dan jika diketahui menikah akan dipecat secara sepihak. Penelitian Kelompok Kerja Perempuan untuk Buruh (2010), menunjukkan bahwa saat rekruitmen, calon pekerja perempuan yang hamil, umumnya tidak diterima. Calon pekerja harus menyetujui perjanjian kerja yang isinya memberatkan kewajiban pekerja dan menguntungkan pengusaha, misalnya hak prerogatif pengusaha menentukan jam kerja dan (calon) pekerja harus bekerja lembur. Pekerja juga sering tidak mempunyai hak atas tunjangan kesejahteraan keluarga. Calon pekerja perempuan yang menjadi pramuniaga bersedia mengganti setiap kehilangan atau kerusakan barang dagangan yang diawasinya serta menerima upah sejumlah standar upah minimum, sebagai upah maksimum yang sudah termasuk fasilitas makan dan transport. Pada beberapa perusahaan manufaktur, uji keterampilan seringkali hanya formalitas. Ketika diketahui pekerja perempuan tidak memenuhi kualifikasi, kondisinya dimanfaatkan pengusaha untuk lebih menekan dan memperlakukan semena-mena. (2) Promosi Jabatan, Tunjangan dan Fasilitas Kerja Pekerja perempuan yang banyak bekerja di sektor industri garmen, alas kaki, elektronik, rokok dan otomotif tidak pernah dipromosikan menjadi supervisor (pengawas) atau manajer, hanya dimungkinkan mengerjakan satu jenis pekerjaan selama bertahun-tahun, misalnya memasang komponen elektronik, komponen mobil, melinting rokok, menjahit kerah atau merekatkan alas kaki. Pengupahan yang setara dari nilai pekerjaan yang sama dalam pengupahan antara laki-laki dan perempuan juga belum dijamin.
(3) Kesehatan Seksual, Reproduksi dan Kehidupan Keluarga Meski Konvensi CEDAW menetapkan pemberi kerja wajib melindungi hak reproduksi perempuan, pekerja perempuan masih mengalami berbagai diskriminasi dan kekerasan di tempat kerja, terutama ketika meminta cuti haid, cuti melahirkan, hak untuk menyusui dan memerah ASI. Masih terjadi praktik-praktik pemecatan pekerja perempuan karena diketahui hamil, atau pemberhentian karena perkawinan dan hamil, dengan alasan melanggar kontrak kerja. Perusahaan dan Instansi Pemerintah tidak secara meluas menyediakan fasilitas ibu menyusui dan pengasuhan anak secara cuma-cuma. Mahalnya biaya penitipan anak tidak dapat dijangkau sebagian besar kelompok pekerja, setara dengan gaji pekerja sebulan (sekitar Rp. 1 juta), sehingga sebagian besar terpaksa menitipkan pengasuhan anak pada keluarga atau orangtua di kampung. Contoh persoalan serius yang harus tegas ditentang adalah ketika sebuah perusahaan komponen otomotif di Tangerang yang mempekerjakan pekerja yang 80%nya adalah perempuan, membuat peraturan yang melarang pekerja perempuan mengambil izin tidak masuk kerja karena alasan anak atau keluarga. Ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 Konvensi CEDAW. 14
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
(5)
(6)
(7)
(8)
Program Asuransi Kesehatan (Askes), tidak meliputi pembiayaan melahirkan baik normal maupun operasi, sehingga pekerja perempuan dan keluarganya harus menangggung biaya yang cukup besar untuk persalinan. Kampanye Nasional untuk Pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan tidak dibarengi dengan peraturan yang mendukungnya. Cuti melahirkan bagi ibu hamil dan melahirkan hanya ditetapkan 3 bulan, sehingga menyulitkan pekerja perempuan untuk memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Meskipun telah ada “Surat Kesepakatan Bersama” atau SKB Tiga Menteri (Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi), tentang Penyediaan Ruang Laktasi (Pojok ASI) bagi pekerja perempuan, hampir tidak ditemukan ruang laktasi di instansi Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan perempuan. (4) Kondisi Kerja Kondisi kerja yang dihadapi pekerja perempuan di sektor formal, apalagi informal, masih memprihatinkan. Jam kerja panjang menyebabkan terjadinya kelelahan yang berlebihan dan terhambatnya pembentukan sel-sel otot dan menurunnya stamina tubuh. Akibatnya pekerja perempuan rentan terserang penyakit fisik dan mental, misalnya nyeri pada sendi, mual, muntah, stress hingga depresi dan terganggu kesehatan reproduksinya. Perusahaan juga menerapkan sistem kerja ban berjalan (mass line production) dimana seorang pekerja hanya melakukan satu jenis pekerjaan tertentu saja tanpa ada penggantian posisi ke bagian lainnya. Sistem ini tidak mengembangkan kemampuan atau potensi pekerja secara optimal, sehingga tidak meningkat pengetahuan dan ketrampilannya. Hal tersebut juga berakibat lambannya perkembangan ekonomi baik untuk individu ataupun keluarga. Diberlakukannya kebijakan upah murah, dalam rangka menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, tidak meningkatkan kemampuan pekerja perempuan secara profesional, dan meski telah bekerja bertahun-tahun, tetap dinilai layak dibayar dengan upah murah. Kondisi kerja dengan fasilitas yang minim menyebabkan banyaknya gangguan kesehatan yang dialami pekerja perempuan, seperti: terlalu panas/dingin, banyak debu, peralatan kerja yang tidak ergonomis, kurang pencahayaan, kurang ventilasi, kertesediaan sarana toilet yang tidak layak, kurangnya air minum, tempat istirahat dan kantin, sarana ibadah, sarana olah raga, tempat menyusui dan menyimpan ASI, transportasi, dan lingkungan yang kotor. Kecenderungan hubungan kerja yang merugikan pekerja perempuan. Hubungan kerja yang lazim diberlakukan adalah sistem kontrak (perjanjian kerja kurun waktu tertentu), sistem ‘outsourcing’ (penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain), harian lepas (dipekerjakan saat kebutuhan khusus saja) dan sistem magang, yaitu harus mengerjakan mengerjakan tugas sama dengan pekerja lainnya dengan mendapat beban target namun tidak mendapatkan imbalan yang sesuai dengan tenaganya. Sistem hubungan kerja ini tidak memberi jaminan kelangsungan kerja dan penghasilan, membuat posisi tawar pekerja perempuan lemah. Pelecehan seksual terhadap perempuan di dunia kerja terjadi secara meluas, memunculkan perasaan tidak nyaman dan hilangnya rasa aman pada perempuan, hampir tanpa ada pencegahan atau intervensi yang memadai. Pelecehan lebih mudah dilakukan oleh atasan yang memiliki kekuasaan lebih besar secara struktural, tetapi juga kadang dilakukan oleh sesama pekerja karena budaya yang patriarkis dan menyepelekan perempuan. 15
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
B.3. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan dalam Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional berupaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam pendidikan, dengan menerbitkan diantaranya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Pendidikan mulai Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Satuan Pendidikan dan turunan-turunannya. Untuk memastikan penurunan signifikan angka buta aksara perempuan, diterbitkan Keputusan Menkokesra Nomor: 22/KEP/MENKO/KESRA/IX/2006 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Gerakan Nasional Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, serta dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Catatan resmi berdasar data formal menunjukkan bahwa angka buta aksara terus menurun dengan disparitas yang mengecil antara perempuan dan laki-laki. Dari waktu ke waktu, disparitas partisipasi dan keberhasilan pendidikan laki-laki dan perempuan menyempit, bahkan pengamatan menunjukkan bahwa perempuan cenderung menampilkan prestasi yang lebih baik daripada laki-laki. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender di antara jumlah siswa dan angka partisipasi sekolah dasar di Indonesia sudah hampir mencapai paritas sejak tahun 2003. Jenjang SMP menampilkan paritas terbaik, dengan jumlah siswa perempuan dan laki-laki berimbang, berkisar antara 0,96 pernah mencapai 1.11, bahkan 1.22 untuk Angka Partisipasi Kasar, yang artinya siswa perempuan jumlahnya lebih besar dari siswa laki-laki. Pada jenjang pendidikan menengah (atas) upaya memajukan pendidikan perempuan juga terlihat cukup berhasil. Pada tahun 2002/3, kesenjangan gender di lingkungan sekolah menengah (SMA dan sederajat) masih cukup lebar, dengan paritas sekitar 0,87%. Mulai 2005 dan seterusnya, perbedaan semakin kecil, yakni jadi 0,97 bahkan 1.06 di 2006, dan bertahan pada 0,99 pada tahun 2006/07. Pada tahun 2002/2003 jumlah mahasiswa perempuan jauh lebih kecil daripada mahasiswa laki-laki, dengan indeks paritas 0,78. di tahun-tahun berikutnya, jumlah mahasiswa perempuan semakin meningkat, sehingga indeks relatif seimbang di sekitar paritas (tahun 2004/2005: 0,95; tahun 2006/2007: 1,01). Dilihat dari segi efisiensi (selesai dan lulus), pendidikan untuk perempuan lebih efisien bila dibandingkan dengan laki-laki, dengan angka bertahan perempuan lebih tinggi daripada lakilaki pada semua jenjang pendidikan. Keikutsertaan dan kebertahanan kaum muda di perguruan tinggi relatif rendah masih untuk kedua jenis kelamin, dengan angka bertahan untuk perempuan secara konsisten lebih tinggi. Meski demikian, masih banyak diskriminasi atau perlakuan tidak adil terhadap perempuan di bidang pendidikan yang bersumber pada nilai-nilai yang memisahkan peran gender perempuan dan laki-laki secara kaku, serta mendiskriminasi perempuan, antara lain: a. Gejala segregasi gender dalam bidang keahlian masih banyak ditemukan terutama pada sekolah kejuruan. Pemilihan jurusan bagi perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, dan laki-laki masuk pada keahlian-keahlian “ilmu keras”, teknologi dan industri. Pendidikan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) membias ke siswa laki-laki dan lebih merugikan siswa perempuan. Penjurusan pada pendidikan tinggi juga menunjukkan pembakuan peran gender yang belum mendukung aktualisasi potensi yang maksimal dari semua pihak, mengingat bidang ilmu sosial pada umumnya didominasi perempuan, sementara bidang ilmu teknis masih didominasi laki-laki. 16
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
b. Tingkat partisipasi pendidikan untuk perempuan dan lelaki semakin kecil untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dengan tingkat partisipasi perempuan yang selalu lebih kecil. Ini juga berarti, laki-laki memiliki kesempatan lebih lama mengenyam pendidikan. c. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam kurikulum pendidikan di segala tingkatan masih kuat, khususnya dalam pendidikan mengenai nilai dan peran gender, termasuk pemberian contoh peran-peran perempuan dan laki-laki dalam buku teks, misalnya pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, Sejarah, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN); maupun dalam cara dan pesan nilai gender yang disosialisasikan oleh guru. d. Data resmi yang ada lebih menjelaskan mengenai anak yang telah masuk dalam pendidikan, tetapi tidak menjelaskan berapa banyak yang tidak bersekolah, atau tidak melanjutkan pendidikan. Sejumlah 13,53% perempuan di atas usia sepuluh tahun tidak pernah menikmati pendidikan formal. Prosentase ini lebih tinggi dibanding laki-laki yang hanya 5,97%. e. Masih adanya budaya bahwa perempuan akhirnya melakukan pekerjaan domestik, menjadi hambatan bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Jarak antara tempat tinggal dan sekolah terutama di pedesaan, dapat merupakan hambatan bagi anak-anak perempuan untuk bersekolah secara berkelanjutan. Kecenderungan putus sekolah bagi perempuan sangat tinggi, apalagi dalam keluarga miskin dan di pedesaan. Masyarakat miskin cenderung tidak memprioritaskan pendidikan anak perempuan. Pilihan melanjutkan pendidikan seringkali diberikan kepada laki-laki, karena secara budaya, laki-lakilah yang dianggap kelak menjadi pencari nafkah keluarga. Masalah putus sekolah dan buta aksara juga dapat disebabkan oleh tiadanya akses terhadap sarana dan prasarana pendidikan. Ada daerah yang tidak memiliki SMP dan SMA sama sekali, yang makin menyulitkan perempuan mengakses pendidikan karena secara kultural laki-laki yang akan lebih didorong untuk pergi jauh menempuh pendidikan, sementara perempuan diminta tetap tinggal di rumah. f. Peningkatan pendidikan masyarakat khususnya perempuan juga terbentur pada privatisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan semakin mahal. Meski sektor pendidikan memperoleh 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hal tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal untuk peserta didik. Pencabutan subsidi mengakibatkan biaya pendidikan di perguruan tinggi sangat mahal. Diberlakukannya desentralisasi pembiayaan pendidikan menjadi beban bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya cukup. Bahkan terdapat kemungkinan, pendidikan dijadikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). g. Meski tidak ada aturan formal dari pusat, sekolah cenderung melarang siswa perempuan (siswi) yang berstatus kawin atau hamil, untuk melanjutkan sekolah, karena dianggap memberi contoh buruk bagi siswi lain. Masih pula terjadi diskriminasi terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan anak yang tidak memiliki akte kelahiran, anak dengan HIV/AIDS, anak yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender minoritas, atau anak korban perkosaan. Anak perempuan yang hamil atau berstatus kawin, dikeluarkan dari sekolah tanpa ada alternatif pendidikan. Berkembang pula wacana pemeriksaan (tes) keperawanan bagi anak perempuan yang hendak mendaftar di bangku Sekolah Menengah. h. Terdapat berbagai kebijakan daerah antara tahun 2005-2007 tentang tata cara berpakaian bagi siswa, misalnya wajib berbusana muslim setiap hari Jum’at atau pelarangan naik kelas ke tingkat Sekolah Menengah Umum bagi siswa yang tidak khatam qur’an,vii berdampak pada pelanggaran hak, ketidaknyamanan siswi di ruang publik, yang 17
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
dapat berimplikasi lebih lanjut pada tercabutnya hak pendidikan dan aksesibilitas perempuan. Kalau tidak mematuhi aturan tersebut, hak pendidikannya dicabut. i. Di wilayah konflik dan bencana, fasilitas, sarana, prasarana dan proses/mekanisme pendidikan di sekolah tidak memadai dan masih bersifat emergency. Ketersediaan tenaga guru dan buku-buku pelajaran sangat terbatas. j. Terdapat pola pendidikan militeristik di beberapa institusi pendidikan birokrat, seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), di Sumedang, Jawa Barat. Pola ini menyosialisasikan kekerasan dalam peran gender laki-laki, dan telah mengakibatkan tewasnya sejumlah praja (siswa). Konsekuensi logisnya adalah praja perempuan juga lebih rentan tindakan kekerasan termasuk pelecehan seksual. Akibatnya, banyak calon praja perempuan yang tidak berani masuk ke IPDN. Hal ini menghalangi akses perempuan masuk ke institusi pendidikan tersebut, dan mengaktualisasi kemampuannya dalam posisi kepemimpinan di pemerintahan. B.4. Ketidakadilan terhadap Perempuan di Bidang Kesehatan Kondisi kesehatan perempuan, termasuk hak kesehatan seksual dan reproduksi, menghadapi berbagai permasalahan terkait diskriminasi terhadap perempuan: a. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007 mencatat AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup. Data lain menyatakan sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan (Budiharsana, 2003). Dengan kata lain setiap ½ jam ada seorang perempuan yang meninggal terkait proses kehamilan, persalinan dan pasca persalinannya. Penyebab tingginya AKI adalah perdarahan, eklampsia, aborsi tidak aman, infeksi, partus lama, dan alasan lain termasuk rendah gizi. b. Layanan kesehatan reproduksi perempuan semakin sulit dijangkau masyarakat miskin, setelah privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk PAD. Untuk mendapat layanan kesehatan, masyarakat diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin (Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) bagi keluarga miskin, belum optimal memberi layanan, karena ketentuan yang diskriminatif bagi masyarakat miskin, yakni pembagian kartu bersyaratkan kedudukan sebagai warga tetap yang harus memiliki Kartu Keluarga. c. Masih banyaknya persoalan Keluarga Berencana (KB), yang dipengaruhi beberapa faktor, seperti kebijakan desentralisasi yang meleburkan program KB di Lembaga Pemerintahan di Kabupaten/Kota dengan alokasi anggaran semakin kecil, semakin sulitnya perempuan mengakses alat kontrasepsi yang cocok, baik dari segi ketersediaan maupun ketiadaan dana, serta masih kuatnya bias gender dalam pelayanan KB, dengan partisipasi laki-laki yang hanya sekitar 2,5%. Selain itu, Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan Konseling KB kurang meluas, dengan pelayanan KB yang hanya ditujukan bagi pasangan kawin dan sering tidak melalui konseling. d. Remaja (10-19 tahun) merupakan populasi tertinggi di Indonesia, dengan sekitar 10% remaja perempuan usia 15-19 tahun bahkan sudah berstatus kawin dan sudah memiliki anak. Data menunjukkan bahwa remaja yang telah kawin mengalami kematian saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan dua hingga empat kali lebih besar daripada yang kawin di atas usia 20 tahun. Fakta menunjukkan bahwa remaja pertama kali aktif secara seksual bergeser ke usia yang lebih muda. Di lain pihak, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja belum bisa diterima dan belum diadopsi dalam 18
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
kurikulum pendidikan nasional. Akibatnya makin banyak terjadi kehamilan remaja, infeksi menular seksual, kekerasan seksual dan kekerasan di masa pacaran, hingga aborsi tidak aman. e. Data di tahun 2009 mencatat ada 17.699 kasus AIDS di Indonesia, sementara total kasus HIV/AIDS termasuk yang sudah meninggal diperkirakan dua kali lipat daripada itu. Kecenderungan peningkatan data dari tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan peningkatan kurang lebih empat kali lipat. Estimasi dari Global AIDS menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tertinggi. Data 2008 menyatakan ada 24,3% perempuan dengan HIV/AIDS, meningkat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Faktor risiko terbesar adalah penularan melalui relasi seksual heteroseksual (46,6%), dan penggunaan jarum suntik bersama (42,8%). Persoalan serius adalah stigma dan diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV dan AIDS. Padahal kecenderungan penularan dari ibu ke bayi meningkat, juga dari suami ke istri, yang menyebabkan perlunya penanganan komprehensif tanpa stigma. f. Meski bekerja dengan status pegawai tetap, kenyataannya banyak pekerja perempuan tidak dibayar selama cuti hamil, atau dilarang untuk cuti haid. Situasi lebih buruk harus dialami perempuan yang bekerja tanpa status formal sebagai pekerja. Lingkungan kerja yang buruk berdampak pada kualitas kesehatan pekerja perempuan, sementara pelecehan seksual juga berdampak serius terhadap kesehatan psikologis perempuan. B.5. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Memperoleh Manfaat Ekonomi dan Sosial Data statistik yang meluas mengenai isu ini, sulit diperoleh karena isu ini belum menjadi perhatian dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi pemerintah. Meski demikian, data kualitatif dapat memberikan informasi mengenai ketidakadilan yang dialami perempuan dalam memperoleh manfaat ekonomi dan sosial: a. Kepemilikan keluarga (misalnya atas rumah, tanah, mobil dan barang berharga lain) lebih sering atas nama laki-laki, meskipun barang-barang diperoleh pada saat perkawinan dan atau secara bersama-sama. Hal ini memberi gambaran mengenai perbedaan manfaat ekonomi dan sosial dari perempuan dan laki-laki. Dalam situasi-situasi khusus seperti adanya konflik keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian atau perpisahan, perempuan tidak memiliki akses yang sama atas harta perolehan keluarga, karena lakilaki yang menguasai harta. Laki-laki bahkan sering tidak memenuhi kewajiban menafkahi anak sebagaimana telah diputuskan oleh Pengadilan. b. Sebagian perempuan yang bekerja, tidak memperoleh tunjangan keluarga sama seperti laki-laki yang bekerja di tempat sama. Ini karena perempuan dianggap ‘lajang’ atau ‘tidak harus bertanggungjawab menafkahi keluarga’, mengabaikan fakta banyak perempuan yang mencari nafkah untuk keluarga, karena suami tidak bekerja, meninggalkan rumah, atau tidak bersedia bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarga. c. Meski dianggap ‘netral’, area publik akhirnya lebih mudah, lebih nyaman diakses, dan akhirnya didominasi oleh laki-laki. Secara umum perempuan sulit memperoleh kenyamanan akibat kepadatan di tempat umum, kurang amannya area publik dan berbagai praktik pelecehan seksual terhadap perempuan, serta tidak tersedianya area bagi perempuan untuk beristirahat secara nyaman dan/atau menjalankan fungsi khusus reproduksinya (memberikan ASI). d. Terdapat Peraturan Daerah yang membatasi kebebasan dan ruang gerak perempuan (misalnya dalam hal keluar malam dan berbusana). Ini dengan sendirinya juga menjadi 19
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang menyulitkannya menikmati kebebasan secara utuh. Beberapa contoh Perda adalah Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang, Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran, Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 6 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial, serta Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Qanun) Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. e. Dengan gambaran di atas, konsekuensi logisnya, dalam kegiatan olahraga, rekreasi dan aktivitas lain, masih ada pembedaan terhadap perempuan dalam kenyamanan di area publik untuk berolahraga (misalnya berenang), kemungkinan risiko pelecehan seksual. Perempuan banyak mengalami kendala terkait stereotip mengenai apa yang dianggap pantas dan tidak pantas bagi perempuan, berdampak terhadap program-program yang dikembangkan, baik dalam cakupan aktivitas maupun pendanaan. f. Bagi kelompok khusus seperti perempuan lanjut usia (lansia), serta perempuan dalam situasi konflik, bencana, dan pengungsian, manfaat sosial dan ekonomi lebih sulit terpenuhi. Jumlah lansia (60 tahun atau lebih) adalah sekitar 8,42% dari penduduk, dengan jumlah laki-laki lebih sedikit (7,80%) dibanding perempuan (9,04%), semuanya lebih banyak berada di pedesaan. Keluhan kesehatan relatif berimbang antara perempuan dan laki-laki. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lansia pada tahun 2007 gabungan desa kota adalah 48,51%, dengan TPAK laki-laki jauh lebih tinggi, yakni 64,57% laki-laki berbanding 33,09 % perempuan. Meski telah ada program bagi lansia, karena keterbatasan dan kondisi fisik, secara umum perempuan lansia sulit mengakses fasilitas dan ruang publik. B.6. Ketidakadilan terhadap Perempuan di Depan Hukum Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya Naskah Akademik ini (landasan filosofis dan yuridis), prinsip persamaan di muka hukum bagi perempuan dan laki-laki merupakan salah satu acuan penting yang telah diatur. Meski demikian, prinsip tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan, antara lain dijelaskan sebagai berikut: a. Dalam kasus perdata seperti perceraian, tidak ada jaminan bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan hak-haknya yang sudah menjadi keputusan Pengadilan, seperti hak nafkah, hak pengasuhan anak, hak atas harta bersama, hak atas warisan, dan hak atas biaya pendidikan anak jika hak asuh anak diberikan ke istri. b. Masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan terkait dengan semua urusan sipil, kecakapan hukum dan kesempatan yang sama dengan laki-laki termasuk menandatangani kontrak, kepemilikan, dan pengelolaan hak milik. c. Prinsip persamaan substantif belum tercermin dalam ketersediaan sarana dan prasarana hukum, dimana perempuan berhak atas perlakuan yang sama dalam segala tingkatan prosedur di muka hukum, dengan memperhatikan hak perempuan untuk mendapat perlindungan khusus. Contohnya, di Polres atau Polsek, tidak tersedia ruang tahanan khusus bagi perempuan. Tahanan perempuan seringkali ditempatkan di ruangan yang peruntukkannya bukan ruang tahanan, seperti ruang piket atau ruang interogasi. d. Perempuan masih sulit mendapatkan akses bantuan hukum yang sensitif gender dan memperoleh keadilan akibat dari perlakuan diskriminatif yang dialaminya. Perbedaan perlakuan yang merendahkan diterima tahanan perempuan dari aparat penegak hukum, misalnya interogasi yang memojokkan korban/tersangka perempuan dan/atau anak perempuan: Hakim menanyakan pada saksi korban perdagangan perempuan, “Kamu 20
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
bilang selama kamu disekap telah melakukan hubungan badan sebanyak 10 kali. Berapa kali kamu merasa nikmat?”; pada kasus pembuangan bayi, Hakim menanyakan kepada terdakwa, ”Apakah kamu mau diajak maen dokter-dokteran? Berarti kamu mau, buktinya kamu diem, eh..kamu nikmatin ya?”viii. Tindakan pelecehan seksual pun kerap dialami perempuan dan anak saat pemeriksaan. e. Perempuan korban kekerasan politik (misalnya DOM Aceh, Papua, Jugun Ianfu, Korban 65, Mei 1998, Poso, Maluku, Timor Timur) sulit mendapatkan keadilan dan hak-hak hukumnya kembali. Penganiayaan dan perkosaan terhadap perempuan hampir tidak pernah dikategorikan dalam pelanggaran hak asasi manusia berat. Kasus-kasus tersebut mengalami pengabaian dan pembiaran oleh Negara, terus terkatung-katung penanganan dan pengungkapannya. f. Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mulai diberlakukan Qanun-qanun yang diskriminatif terhadap perempuan. B.7. Kekerasan terhadap Perempuan Sikap-sikap tradisional dimana perempuan dianggap sebagai subordinasi laki-laki, atau pembakuan peran-peran gender stereotip, berdampak mengekalkan praktik kekerasan. Dalam situasi demikian, kekerasan berbasis gender bahkan tidak jarang dibenarkan sebagai bentuk perlindungan dan pengendalian terhadap perempuan. Banyak sekali bentuk kekerasan yang dialami perempuan mulai fisik, psikis-mental, seksual-reproduksi, hingga yang berdimensi ekonomi, dilakukan dalam relasi domestik, dalam masyarakat, di tempat kerja, dan oleh Negara. Di komunitas tertentu, dengan alasan pembenaran budaya atau agama, ada praktik-praktik tradisional yang membahayakan kesehatan perempuan dan anak, termasuk pembatasan makan, diharuskannya perempuan hamil untuk bekerja keras, kebiasaan mengutamakan anak laki-laki, hingga pengrusakan alat kelamin anak perempuan. Banyak pula faktor yang makin merentankan perempuan sebagai korban kekerasan, seperti posisi rendah di komunitas atau tempat kerja, kemiskinan, pengangguran, atau kondisi konflik dan perang. KDRT merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling mudah terjadi dan sesungguhnya paling berbahaya. Dalam hubungan kekeluargaan, perempuan semua umur menjadi sasaran segala bentuk kekerasan, termasuk pemukulan, perkosaan, penyerangan seksual, mental, dan bentuk kekerasan lain yang dikekalkan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan ekonomi, memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan. a. Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2010 memaparkan setidaknya 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan, dengan jumlah kasus di ranah personal sebanyak lebih dari 96% atau 101.128 kasus; 3.530 kasus di ranah publik; dan sebanyak 445 kasus terjadi di ranah negara. Data yang terungkap hanyalah puncak dari gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan. b. Sulitnya korban mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, rasa malu maupun takut, keterbatasan mengakses layanan, juga masih sangat terbatasnya layanan yang tersedia, menjadi alasan bagi banyak perempuan untuk tidak melaporkan kekerasan yang dialami. Data yang terungkap untuk tahun 2010 menurun dibandingkan yang tercatat untuk 2009. Salah satu alasannya disebabkan ada 55 lembaga yang di tahun sebelumnya ikut serta, tidak memberikan data tahun 2010. Hal ini menunjukkan belum memadai dan 21
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
belum berkelanjutannya kapasitas lembaga pengada. Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa dukungan anggaran untuk penyelenggaraan layanan kepada perempuan berkurang drastis, bahkan hampir tidak ada. c. Dari data yang teridentifikasi, di ranah personal, kasus kekerasan terhadap istri masih yang paling banyak, yaitu lebih 97%. Setelah itu cukup banyak kasus kekerasan dalam pacaran dan kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Di ranah publik, hampir setengah atau sebanyak 1.751 dari 3.530 kasus adalah kekerasan seksual, antara lain dalam tindak perkosaan, percobaan perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. d. Di ranah negara, terlaporkan dan teridentifikasi sebanyak 445 kasus. Ini merupakan sebuah kenaikan sangat besar dibandingkan data tahun 2009 yang hanya berjumlah 54 kasus. Hampir 89%, atau 395 dari 445 kasus, adalah perempuan korban penggusuran di Jakarta. Ada 10 kekerasan dilakukan atas nama agama dan moralitas, yaitu terkait kasus pembakaran mesjid, penghentian kegiatan keagamaan, dan korban perdagangan orang justru (human trafficking) yang dijerat dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hal lain yang perlu dicatat adalah perempuan dijadikan tersangka pelanggar hukum karena gerak tubuhnya, cara berbusana dan mobilitasnya di ruang dan waktu yang dinilai tidak wajar; diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan pekerja migran yang berlarut-larut di seluruh tahapan migrasi; kekerasan terhadap perempuan sebagai dampak dari rangkaian konflik di Papua, dan beberapa bentuk kriminalisasi terhadap perempuan pembela hak asasi manusia. Ada sejumlah peristiwa yang menunjukkan penyelenggara Negara enggan mengambil sikap tegas untuk menghentikan kekerasan, dan hal ini menguncang rasa aman perempuan. e. Konflik bersenjata yang selama ini berlangsung, menyumbang rentannya kekerasan yang dialami oleh perempuan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Perempuan dihadapkan dalam situasi seperti: (1) sebagai identitas kelompok yang selalu menjadikannya sebagai sasaran kekerasan kelompok yang bertikai; (2) sebagai tameng bagi tiap kelompok yang bertikai; (3) perempuan menjadi objek kekerasan seksual; (4) menanggung beban ganda; (5) didesak untuk menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan lain dari kelompok yang bertikai; dan (6) dilupakan perannya sebagai peace-maker. Berbagai situasi yang menyebabkan kerentanan posisi perempuan dalam situasi konflik tersebut bertemu dengan pembiaran oleh Negara dan pelanggengan impunitas yang sengaja dilakukan untuk melindungi kepentingannya sendiri. B.8. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Hak Kewarganegaraan Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, banyak masalah dan kesulitan yang dialami oleh perempuan Indonesia yang kawin campur antar bangsa, karena substansi dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, yang bersifat diskriminatif, yang mengatur kewarganegaraan anak yang belum berumur 18 tahun otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Hal ini juga menyulitkan perempuan untuk memelihara dan merawat anak ketika suami tidak lagi bertanggungjawab, atau dalam kondisi terjadi perpisahan. Bila mengajukan pengalihan kewarganegaraan anak, selama waktu menunggu, ibu yang adalah Warga Negara Indonesia (WNI) harus selalu mengurus visa dan izin tinggal anak setiap enam bulan sekali dengan biaya tidak sedikit. Bila ibu lupa, tidak mengerti atau tidak mampu membayar, ia dikenai denda besar, bahkan terancam sanksi pidana. Persoalan lain yang muncul akibat prinsip kesatuan kewarganegaraan yang berpusat pada laki-laki/suami/bapak adalah: perempuan dapat kehilangan kewarganegaraan karena perkawinan/perceraian, istri WNI tidak dapat 22
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
mensponsori suami Warga Negara Asing (WNA) untuk tinggal di Indonesia, istri WNA harus disponsori oleh suami untuk izin tinggal di Indonesia, dan ia tidak boleh bekerja. Dalam kasus KDRT, situasi perempuan menjadi lebih sulit karena ancaman kehilangan anak menjadi lebih nyata. Hal lain yang banyak dicatat adalah kerentanan perempuan pekerja migran yang mengalami eksploitasi, atau perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia di luar Indonesia, yang sangat mungkin kehilangan kewarganegaraan karena tidak dapat memenuhi persyaratan administrasi pengurusan identitas diri sebagai WNI. Berbagai persoalan yang dialami perempuan yang menikah antar negara dapat diminimalkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan melalui dwi-kewarganegaraan terbatas untuk anak sampai batas usia mereka 21 tahun. UU ini juga menjamin perempuan yang menikah antar negara dapat bebas memilih atau tetap mempertahankan kewarganegaraannya. Meski demikian masih terdapat persoalanpersoalan, antara lain: a. Akte Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah hak sipil warga negara, yang dalam kenyataannya tidak dapat dinikmati oleh semua warga negara karena birokrasi pengurusan serta biaya yang diperlukan untuk mengurusnya. Cukup banyak yang mengalami kesulitan memperoleh Akte Kelahiran bagi anak, antara lain perempuan yang melahirkan di luar perkawinan, dalam perkawinan agama atau adat yang tidak tercatat secara nasional, perempuan miskin, dan kelompok perempuan minoritas. Pada gilirannya, anak, remaja dan perempuan dewasa yang tidak memiliki Akte Kelahiran dan KTP akan lebih sulit memperoleh akses terhadap layanan publik, dan rentan mengalami berbagai eksploitasi. b. Dalam hal hak atas identitas pribadi sebagai warga negara, masih ada diskriminasi perlakuan seperti KTP lansia tidak diberikan kepada perempuan lansia korban politik Tahun 1965ix, pemberlakuan Surat Keterangan Berkewarganegaraan RI (SKBRI) bagi warga turunan meskipun kebijakan ini sudah dihapuskan, atau dipersulitnya pencarian/ atau pembuatan KTP bagi warga Tionghoax. c. Perempuan WNI yang menikah dengan pasangan WNA dan tinggal atau bekerja di luar negeri, terancam kehilangan kewarganegaraan, bila tidak memenuhi persyaratan administrasi melapor ke Perwakilan RI di luar negeri tempat tinggalnya, setiap 5 tahun, untuk menyatakan ingin tetap menjadi WNI. Ancaman kehilangan kewarganegaraan ini, sangat rentan terjadi pada pekerja migran Indonesia yang menikah dengan WNA, namun paspornya ditahan oleh majikan karena alasan tertentu. d. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, anak yang lahir dari bapak dan/atau ibu WNI, otomatis berkewarganegaraan Indonesia (atau boleh berkewarganegaraan ganda bila anak lahir setelah disahkannya UU ini). Dalam kenyataannya, pencatatan kelahiran di Kantor Catatan Sipil, masih mengikuti kewarganegaraan bapak karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. e. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak mewajibkan ibu WNI yang kawin campur dan ingin mendapatkan kewarganegaraan WNI bagi anak untuk membayar biaya pengurusan pendaftaran kewarganegaraan anak sebesar Rp. 500,000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap anak. Sementara bapak WNI anaknya otomatis menjadi WNI tanpa dipungut biaya. f. Perempuan dalam perkawinan campur mengalami kendala dalam penyatuan keluarga untuk tinggal di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor M.01-IZ.01. 10 23
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Tahun 2007 tentang Keimigrasian, perempuan WNI dapat mensponsori diberikannya izin tinggal bagi suami dan anaknya yang WNA untuk tinggal Indonesia. Tetapi suami dan anak tidak dapat bekerja, kecuali mereka memiliki keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh WNI umumnya. Hak suami untuk berkontribusi bagi ekonomi keluarga diabaikan oleh Negara. Perempuan WNI harus menanggung beban biaya hidup bagi keluarga ini. Contoh kasus: seorang mantan pekerja migran perempuan Indonesia yang kawin dengan seorang mantan pekerja migran dari negara lain dan ingin tinggal di Indonesia, harus menghidupi keluarganya sendirian karena suaminya tidak mendapat ijin kerja di Indonesia. Di lain pihak, bila istri memilih tinggal di negara suaminya yang WNA, istri juga rentan untuk kehilangan hak sebagai WNI. g. Perempuan WNA yang kawin dengan laki-laki WNI dapat tinggal dengan sponsor suami, tapi tidak bisa bekerja. Artinya haknya untuk berkontribusi bagi ekonomi keluarga juga diabaikan Negara. Tingkat ketergantungan istri menjadi sangat besar dan menambah persoalan baru apabila suami melakukan KDRT.
B.9. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Kebijakan dan Praktik terkait Lingkungan yang Berkelanjutan Pembukaan perkebunan berskala besar lebih banyak merugikan masyarakat terutama perempuan. Upah perempuan yang bekerja di sektor perkebunan sangat rendah, tidak sama dengan upah laki-laki untuk pekerjaan dengan jenis yang sama. Sebelumnya, hutan menyediakan keanekaragaman hayati sebagai bank, apotik, serta toko makanan bagi masyarakat, utamanya perempuan yang tergantung pada hutan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Sumberdaya hutan digunakan untuk membuat rumah dan bahan bakar memasak sedangkan hasil hutan non kayu digunakan untuk bahan makanan, obatobatan, serta material bahan baku cinderamata. Dengan pembukaan perkebunan skala besar, bahan makanan dan bahan bakar memasak makin sulit diperoleh, menambah tenaga dan waktu untuk mencarinya jauh di dalam hutan. Perkebunan skala besar untuk jenis tanaman tertentu misalnya teh dan sawit dan juga membutuhkan suplai air sangat banyak, menyebabkan kelangkaan air dan pada akhirnya, kerusakan ekosistem. Untuk wilayah pesisir dan kelautan, sistem pembagian kerja dan tidak adanya kepastian penghasilan setiap hari dalam rumah tangga nelayan memantapkan dan menyulitkan masyarakat keluar dari kemiskinan. Sementara itu di wilayah pertambangan, pengambilalihan lahan rakyat telah mengakibatkan perubahan pola kerja gender, menghilangkan lahan kerja dan memarginalisasi perempuan. Misalnya, mata pencarian yang tersisa hanya membuat gula merah dan arang saja (di Kaltim-KPC), menambah beban kerja perempuan akibat laki-laki pergi bekerja sebagai buruh di luar kampung tanpa mengirim nafkah memadai. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan memberikan hak pada pengusaha untuk menguasai dan mengelola wilayah perkebunan hingga 100 tahun, mengakibatkan kelangkaan keanekaragaman hayati, air, dan sumberdaya alam lainnya yang sebelumnya ada di wilayah hutan, karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengakibatkan terbatasnya areal tangkap nelayan tradisional, yang berakibat pada terbatasnya pendapatan. Sementara itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 24
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengebiri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana pemilik tanah yang melarang tanah miliknya digunakan untuk eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan dapat dikenai pidana. Hal-hal ini menghilangkan hak pemilikan tanah, hak politik, hak ekonomi, sekaligus merentankan perempuan, sebagai pelaku kriminalisasi. Perempuan juga dalam situasi rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan di wilayah pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan daerah industri. Perempuan terpapar berbagai dampak kerusakan ekologis dan masalah sosial lain sebagai dampak dibukanya daerah industri di wilayahnya. Pembangunan dan perluasan perkebunan kelapa sawit juga berdampak serius bagi perempuan, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya, di masyarakat tradisional, perempuan mempunyai peran penting mengelola sumberdaya alam dan melestarikan kehidupan yang memberikan daya dukung bagi keluarganya. Peran-peran ini menghilang seiring berubahnya ekosistem dan ekologi yang mengitari hidup mereka, dari ekosistem hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Perubahan iklim juga memberi dampak bagi perempuan. Dampak ini diperburuk dengan adanya intervensi manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Musim hujan dan panas yang tidak menentu serta berubahnya pola arah angin berakibat buruk pada keluargakeluarga nelayan dan petani karena hasil tangkapan dan produksi perikanan serta pertanian yang menurun drastis. Perubahan iklim juga mengakibatkan pergeseran pola musim tanam dan musim tangkapan serta berubahnya pola hidup perempuan dan keluarganya karena harus beradaptasi. Virus serta bakteri patogen penyebab penyakit, mengalami modifikasi menjadi virus baru yang lebih ganas dan sukar disembuhkan, misalnya penyakit flu burung dan flu babi. Situasi ini membuat beban hidup perempuan, terlebih perempuan kepala keluargaxi sangat sulit untuk bertahan dan terpaksa bermigrasi ke kota-kota besar atau ke luar negeri untuk mengadu nasib. Namun tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup, mereka rentan dieksplotasi oleh para calo dan agen tenaga kerja untuk keuntungan ekonominya atau menjadi korban perdagangan perempuan. B.10. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan Kelompok Marjinal Perempuan kelompok marjinal adalah perempuan yang mengalami diskriminasi berlapis di berbagai ranah kehidupan, diantaranya perempuan adat, perempuan pedesaan, perempuan cacat (difable), perempuan miskin, dan perempuan dalam prostitusi. Sejumlah penelitian menunjukkan, marjinalisasi perempuan masih sangat kuat di beberapa masyarakat adat, dimana perempuan tidak boleh makan bersama laki-laki di meja makan dan tidak punya hak suara dalam musyawarah adat. Hampir semua kepemilikan tanah diatasnamakan laki-laki. Dalam banyak kasus lingkungan, perempuan adat jarang diajak konsultasi dalam pelaksanaan proyek perkebunan skala besar di wilayah mereka, bahkan pada proyek-proyek yang berakibat langsung terhadap masyarakat. Tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu yang bersifat bebas dan terbuka (free, prior, and informed consent), pembangunan kelapa sawit skala besar menimbulkan dampak negatif yang besar, khususnya untuk perempuan adat. Ini yang sering disebut sebagai “hilangnya wilayah tradisional atas tanah, pengusiran paksa, migrasi dan pembabatan atas sumber-sumber penghidupan dan budaya, perusakan 25
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
dan polusi lingkungan, rusaknya tatanan sosial dan komunitas, dampak kesehatan dan nutrisi jangka panjang, serta dalam beberapa kasus terjadinya pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.xii Situasi ini menimbulkan keberanian masyarakat, termasuk perempuan adat, untuk berjuang dan melawan pihak-pihak yang selama ini meluluhlantahkan sumber-sumber penghidupan, wilayah kelola, dan tanah masyarakat adat. Perempuan pedesaan sebagian besar bekerja di sektor pertanian (lebih dari 50%), tetapi akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya serta sarana produksi sangatlah terbatas. Petani sering diasumsikan sebagai laki-laki, sehingga sebagian besar distribusi serta bantuan sektor pertanian, tidak menyentuh petani perempuan. Meski kenyataannya kontribusi perempuan sangat besar, namun tidak diakui atau sekadar dilihat sebagai pekerjaan tambahan. Sebagai contoh, di desa-desa di Kecamatan di Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, perempuan melakukan pekerjaan berat di sawah dan di ladang. Dalam mengolah kebun, peran laki-laki adalah membuka kebun baru, tetapi selanjutnya penanaman, penyiangan, pemanenan, dan penjualan hasil, dilakukan oleh perempuan. Hal yang sama juga berlaku pada nelayan. Penangkapan ikan di laut dilakukan laki-laki, kemudian tugas seperti pembersihan, pengawetan, hingga penjualan di pasar, dilakukan perempuan. Petani juga rentan dampak negatif pestisida dan pupuk kimia, yang secara lebih khusus berdampak serius pada kesehatan reproduksi perempuan. Bagi perempuan penyandang cacat, perempuan miskin, serta perempuan dalam prostitusi, hak atas manfaat sosial dan ekonomi lebih sulit terpenuhi. Sementara itu belum tersedia data komprehensif mengenai kelompok ini. Meski ada program-program pemberdayaan ekonomi dalam beberapa bentuk, program ini tidak meluas dan menyasar pada kelompok yang paling membutuhkan, birokratis, dan tidak berkelanjutan. Bila masyarakat miskin atau kelas bawah secara umum belum memperoleh akses dan penikmatan maksimal untuk pemberdayaan ekonominya, apalagi perempuan miskin. Berbagai kemudahan untuk penyandang cacat juga sangat sulit ditemui (misalnya stasiun kereta tidak menyediakan eskalator yang berfungsi baik maupun lift). B. 11. Ketidakadilan yang Dialami dan Kerentanan Perempuan dalam Konflik dan Bencana Perempuan mengalami kerentanan khusus dalam situasi konflik dan bencana. Lebih lagi, kerentanan ini tidak ditangani dengan baik karena ketidakadilan yang dialami perempuan secara umum sebagai warga yang dianggap kelas dua: a. Laporan tahunan tentang toleransi beragama yang dikeluarkan Muslim Moderate Society (MMS), mengungkap bahwa di tahun 2010 telah terjadi 81 kasus intoleransi, meningkat tajam jika dibandingkan tahun 2009, yakni 59 kasus. Wahid Institute menyebutkan di tahun 2010 terdapat 133 kasus intoleransi beragama di 13 provinsi. Dapat dikatakan Negara gagal menjamin hak-hak pribadi warga dalam menjalani keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Isu konflik dan kekerasan seolah-olah menjadi wilayah laki-laki, tetapi penting untuk memperhatikan kondisi perempuan dan anak-anak. Ketika laki-laki cacat, terluka atau tewas, perempuan harus menanggung beban hidup sendiri. Bahkan ketika laki-laki berkonflikpun, mereka telah sulit menjalankan peran mencari nafkah, sehingga hal itu menambah beban majemuk perempuan. b. Di wilayah konflik, perempuan rentan terhadap kekerasan, fisik, psikis maupun seksual. , mulai dari ketika menjadi tameng bagi laki-laki (suami, anak) yang dicari oleh pihak yang berkonflik, hingga mengalami penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang. 26
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Perempuan korban kerusuhan Poso dan Ambon, terpaksa menjadi pengungsi, mengalami trauma, tekanan psikis, ketakutan akibat mendadak kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, anggota keluarga, menjadi janda dengan tanggungan banyak anak, dan menjadi kepala keluarga sepeninggal suami. Mereka mengalami perubahan status, posisi, dan peran dari berkiprah di ruang domestik kemudian harus bertanggung jawab untuk ruang domestik dan publik. Perubahan ini tidak diimbangi dengan pengakuan politis sekaligus pemberian fasilitasi memadai untuk mereka mampu menjalankan tugas atau peran “baru”nya. Perhatian khusus perlu diberikan pada perempuan di daerah khusus seperti Papua dan NAD yang mengalami diskriminasi khusus berbasis adat. c. Perempuan tidak hanya menjadi korban yang pasif, tetapi juga menjadi pembangun perdamaian di antara pihak-pihak yang berkonflik. Sejumlah peneliti dan ahli psikologi perkembangan perempuan mengatakan bahwa perempuan pada dasarnya mencintai perdamaian, dan tidak menyukai tindakan-tindakan yang berbau kekerasan. Dalam banyak contoh nyata di wilayah konflik, perempuan kerap lebih tanggap dalam membangun perdamaian. Kemampuan untuk berempati seperti mendengarkan, ikut merasakan dengan tulus apa yang diceritakan dan dialami oleh mereka yang menderita, kemampuan berbela-rasa adalah modal terbaik bagi perempuan untuk menciptakan perdamaian dan resolusi konflik. Contohnya, ketika konflik bernuansa agama berlangsung di Ambon-Maluku pada 1998-2000, perempuan Kristen dari Desa Kolser menyeberangi laut menemui perempuan Muslim di Desa Dian (Pulau Selayar) untuk membawa bantuan pakaian dan makanan. Di Desa Tes, perempuan pengungsi melakukan lobi dengan ketua adat masyarakat lokal agar dapat diterima dan bekerja sama dengan masyarakat setempat. Peran dan sumbangan perempuan untuk penciptaan perdamaian di Ambon-Maluku juga mengambil bentuk menjadi mediator dalam bidang ekonomi. Para pedagang papalele (pedagang eceran) yang kebanyakan perempuan, menjadi mediator perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai lewat transaksi di pasar. Perempuan, dengan berdagang kecil-kecilan menyumbangkan sesuatu sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi keluarga pasca kerusuhan dan konflik. Lewat berdagang di pasar, baik perempuan Muslim maupun Kristen dapat saling bertemu, berkomunikasi dan menjalin rekonsiliasi. d. Perempuan dalam situasi darurat bencana juga memiliki kebutuhan spesifik pada saat tanggap darurat, mitigasi dan rehabilitasi, yang berbeda dari laki-laki, antara lain kebutuhan akan air bersih, kamar mandi/WC aman dan memadai, tempat tinggal sementara yang aman, serta pemastian bahwa perempuan kepala rumah tangga dapat mengakses bantuan pangan dan bantuan lain secara sama. Situasi krisis menyebabkan perempuan rentan menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual dan KDRT. Perempuan juga terbeban untuk mengambil alih pengendalian dalam keluarga dan komunitas.
B.12. Eksploitasi Seksual dan Perdagangan Orang Perdagangan orang (human trafficking) khususnya perdagangan perempuan dan anak untuk cakupan dalam negara dan antar-negara merupakan fenomena meluas dan sangat memprihatinkan yang intervensi dan prevensinya masih jauh dari memadai, antara lain: a. Praktik perdagangan orang dipengaruhi oleh konteks budaya dan materialisasi dalam masyarakat, sehingga bahkan keluarga dan pihak terdekat seperti tetangga, teman, 27
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
b.
c.
d.
e.
f.
bahkan pasangan hidup sering memudahkan terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Apalagi oknum-oknum petugas tidak jarang juga terlibat dalam proses. Dari individu yang diperdagangkan itu sendiri, keterjeratan secara signifikan dipengaruhi oleh kebutuhan mencari pekerjaan dan uang. Di satu sisi, prevensi dan penanganan belum berjalan efektif, sementara korban masih sering dipersalahkan, dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya, atau mungkin dikriminalisasi. Fakta perdagangan orang diperkirakan jauh lebih luas daripada yang teridentifikasi. Data International Organisation for Migration (IOM) Indonesia menunjukkan dari pencatatan Maret 2005 hingga Juni 2009, kasus yang ditangani IOM adalah sejumlah 3.476 orang, hampir 90% diantaranya perempuan. Perdagangan lintas negara jauh lebih banyak teridentifikasi terjadi, mencapai lebih dari 81% kasus. Dari jumlah tersebut, di tahun 2007 hanya ada sejumlah 177 kasus yang dilaporkan ke Kepolisian, dan hanya 57 yang berhasil diselesaikan. Tidak ada informasi lebih lengkap bagaimana bentuk penyelesaiannya. Daerah yang banyak menjadi daerah asal korban adalah Jawa Barat; Kalimantan Barat; Jawa Timur; Jawa Tengah; Sumatera Utara; Nusa Tenggara Barat; Lampung; Nusa Tenggara Timur; Sumatera Selatan; Banten; Sulawesi Selatan; DKI Jakarta. Jauh lebih banyak yang diperdagangkan untuk tujuan luar negeri (81,16%), dengan negara tujuan Malaysia (75,60%); Saudi Arabia (1,81%), Singapura (0,81%), Jepang (0,78%), sisanya tersebar dengan tujuan ke berbagai negara. Sebagian besar korban berpendidikan tertinggi SD (29,40%); tidak tamat SD (19,91%) serta lulus SMP/setingkat SMP (19,71%). Sebagian terbesar meninggalkan rumah atau daerah asal untuk mencari pekerjaan atau uang (89,97%), sisanya karena persoalan keluarga, masalah pribadi dan hal lain. Yang terlibat dalam merekrut adalah agen (66,86%), anggota keluarga (7,77%), teman (7,13%), tetangga (7,25%), sisanya menyebar karena alasan-alasan lain termasuk diculik, diperdagangkan oleh pacar atau pasangan. Yang dijanjikan adalah terutama pekerjaan sebagai pekerja rumahtangga (56%), waitress (13,55%), penjaga toko (6,04%), pekerja pabrik (5,84%), babysitter (2,96%), sisanya menyebar ke berbagai pekerjaan lain. Pada kenyataannya, pekerjaan yang harus dijalani adalah pekerja rumah tangga (55,41%), pelacuran paksa (15,65%); mengalami eksploitasi saat transit (11,97%); pekerja perkebunan (4,86%), pekerja pabrik (2,50%), waitress (2,50%), dan sisanya menyebar ke berbagai pekerjaan, termasuk pengemis, penjual bayi, pemijat, dsb. Jenis-jenis eksploitasi yang dialami (korban yang diperdagangkan dapat mengalami lebih dari satu jenis eksploitasi): jam kerja yang eksesif (79,46%); kemerdekaan hilang sepenuhnya (77,36%); kekerasan verbal dan psikologis (74,02%); tidak memperoleh gaji sama sekali (63,78%); tidak memperoleh sebagian dari hak gaji (15,,88%); tidak dapat mengakses layanan kesehatan saat sakit (58,95%); tidak mendapat makanan dan minuman yang mencukupi (53,42%); kondisi lingkungan tinggal yang buruk (38,20%); dipenjara (30,41%); tekanan ideologis (35,27%); diperdagangkan ke majikan yang berpindah-pindah (25,72%); pelecehan seksual (20,37%); perkosaan (9,55%). Yang lain kehilangan sebagian kemerdekaan; dipaksa menggunakan obat dan/atau alkohol, atau tidak diperbolehkan menyimpan uang milik sendiri. Dari sejumlah 2540 yang mengalami pemeriksaan, sebagian besar dari korban perempuan mengalami infeksi yang ditularkan secara seksual, termasuk positif HIV. Sementara dari sisi psikologi; 80% menampilkan simtom depresi, 27% menunjukkan gejala stress pasca trauma, 61% menunjukkan gejala kecemasan (termasuk tanda-tanda fisik seperti sakit dada), dan banyak gejala lain.
Gambaran di atas memperlihatkan sangat memprihatinkannya fenomena perdagangan 28
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
perempuan, khususnya perdagangan untuk eksploitasi seksual. Secara lebih makro, Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, khusus terkait Pasal 6 Konvensi CEDAW menyatakan bahwa kemiskinan dan pengangguran meningkatkan risiko adanya perdagangan perempuan, dalam bentuk-bentuk yang beragam dan tampilantampilan baru. Misalnya pariwisata seks, rekruitmen buruh domestik dari negara berkembang untuk bekerja di negara maju dan perkawinan terorganisasi antara perempuan dari negara berkembang dengan orang asing. Praktik-praktik semacam ini menempatkan perempuan pada tingkat risiko tinggi untuk mengalami kekerasan dan penganiayaan. Kemiskinan dan pengangguran juga menyebabkan banyak perempuan, termasuk gadis-gadis muda bekerja dalam pelacuran. Peperangan, konflik bersenjata, dan pendudukan suatu wilayah sering mendorong pertambahan jumlah pelacuran, perdagangan perempuan dan penyerangan seksual pada perempuan, sehingga perempuan memerlukan perlindungan khusus dan tindakan hukum (butir 14, 15 dan 16). B. 13. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Keterwakilan di Tingkat Internasional Bila dalam ranah publik di Negara sendiri keterwakilan perempuan masih jauh tertinggal daripada laki-laki, dapat diperkirakan bahwa keterwakilan perempuan Indonesia di dunia internasional tidak jauh berbeda, bila tidak dikatakan lebih tertinggal lagi. Sebagai gambaran, data dari Departemen Luar Negeri, 2009, menunjukkan bahwa jumlah total pegawai Departemen Luar Negeri sebanyak 3.627 orang dengan perimbangan 2526 laki (69,64%) dan 1101 perempuan (30,36%). Jumlah keseluruhan staf diplomatik sebesar 1830 orang, dengan perimbangan 1277 laki (69,78%) dan 533 perempuan (30,22%). Untuk eselon I di departemen ini ada 3 posisi ditempati perempuan, atau 20% dari 15 formasi yang ada. Eselon II ada 7 posisi ditempati perempuan, atau 12,28% dari 57 formasi jabaran yang ada. Eselon III ada 43 posisi ditempati perempuan atau 20,28% dari 212 formasi jabatan yang ada. Untuk jabatan unsur pimpinan di perwakilan, dalam hal ini kepala dan wakil kepala perwakilan: terdapat 119 perwakilan, dengan rincian jabatan Kepala/Wakil Kepala Perwakilan laki-laki berjumlah 64 orang, dan jabatan Kepala/Wakil Kepala Perwakilan perempuan sebesar 7 orang atau 9,86% dengan tidak termasuk Kepri/Wakepri non-Deplu. Dewasa ini Kowani menjadi anggota International Council of Women, salah satu ketua organisasi perempuan menjadi Sekretaris Jendral ‘International Moslem Women’s Organization’ dan gender focal point di APEC dan Kawasan ASEAN. Perempuan Indonesia ada yang pernah duduk sebagai anggota Komite CEDAW. Secara umum masih sulit memperoleh data komprehensif mengenai keterwakilan perempuan Indonesia di dunia internasional, karena belum ada lembaga yang secara khusus melakukan pemantauan dan pencatatan. Hak perempuan untuk berpartisipasi di tingkat internasional meliputi namun tidak terbatas pada: (a) mewakili negara untuk berpartisipasi di tingkat internasional, termasuk dalam urusan diplomatik, dan pekerjaan organisasi-organisasi internasional, serta terlibat di kegiatan dan kompetisi internasional; (2) berpartisipasi, terlibat, memilih dan dipilih mewakili negara di tingkat internasional tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang diskriminatif berdasarkan gender, status perkawinan, usia, kecacatan, status sosial, status ekonomi, status kesehatan, dan status lainnya; (3) hak anak perempuan untuk dapat mengakses dan berpartisipasi di tingkat internasional dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child).. 29
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
B.14. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Perkawinan dan Kehidupan Keluarga Data statistik mengenai isu ini belum tersedia, mengingat BPS dan lembaga-lembaga penyedia data statistik belum meneliti hingga mendalam terhadap isu ini. Meski demikian beberapa penelitian kualitatifxiii dan pengamatan terhadap praktik-praktik hidup di masyarakat dapat memberikan gambaran mengenai persoalan mendasar dan serius dalam isu ini: a. Masih banyak terjadi perkawinan di bawah umur, yang sering merupakan pemaksaan atau perjodohan tanpa persetujuan bebas, atau kehendak sadar dari perempuan. Bila di tahun 1993, perempuan yang usia masuk perkawinan pertamanya <= 16 tahun ada sebanyak 28,62%, di tahun 2000 menjadi 13,68% dan di tahun 2007 menjadi 11,23%. Angka ini masih sangat tinggi. Dalam kasus-kasus ini, perkawinan sering merupakan bentuk pertukaran. Perempuan menjadi alat ekonomi yang merendahkan kemanusiaan perempuan, menempatkan perempuan sebagai milik atau ‘alat tukar’ dan tidak menghargai otonomi dan tubuh perempuan. Semuanya berimplikasi lebih lanjut pada antara lain: kehamilan di usia dini, gangguan kesehatan reproduksi, dan pelanggaran hak seksualitas dan reproduksi. b. Terkait dengan administrasi kependudukan dan perkawinan, masih ada diskriminasi terhadap perempuan (dewasa dan anak) dalam pelaksanaannya. Misalnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan masih mendiskriminasi pasangan yang melakukan perkawinan adat maupun agama atau kepercayaan selain yang diakui Negara Indonesia. Ada banyak pernikahan tidak tercatat atau tidak dicatatkan yang berdampak pada tidak terlindunginya hak-hak perempuan dan anak dalam perkawinan/keluarga; misalnya karena tidak ada akte nikah/akte kawin dan akte kelahiran bagi anak, yang menyebabkan suami terbebas dari tanggungjawab merawat dan menafkahi keluarga. Hal ini mengakibatkan perempuan dan anak tidak dapat atau sulit menuntut haknya di depan hukum, karena hukum hanya menangani perkawinan yang tercatat secara resmi. c. Suami mengambil keputusan atas nama keluarga, tetapi sesungguhnya mengutamakan kepentingannya sendiri. Kepemilikan keluarga (misalnya atas rumah, tanah, mobil dan barang berharga lain) lebih sering dicatatkan atas nama laki-laki, meskipun barangbarang diperoleh pada saat perkawinan dan atau dengan perjuangan bersama-sama. d. Kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT yang tercatat di lembaga penyedia layanan, dan terdokumentasi oleh Komnas Perempuan meningkat setiap tahun. Sebagai perbandingan yang teridentifikasi adalah 3.169 (di tahun 2001), 5.163 (di tahun 2002), 7.787 (di tahun 2003), 14.020 (di tahun 2004), 20.391 (di tahun 2005), 22.512 (di tahun 2006), dan 25.522 (di tahun 2007). e. Kecenderungan menggunakan politik identitas yang merugikan perempuan dan anak. Dalam sepuluh tahun belakangan cukup kuat beredar wacana bahkan advokasi dari kelompok-kelompok tertentu yang menyuarakan ‘hak’ kelompok untuk menjalankan akidah agama, misalnya dalam berpoligami, menikah tanpa dicatatkan (asal ‘telah sah’ menurut agama). f. Pekerja migran di luar negeri berpisah dengan keluarga, sehingga sering berakibat perceraian atau persoalan lebih lanjut yang serius. Belum ada aturan yang memungkinkan pekerja migran perempuan yang hidup dan atau bekerja sementara di negara lain, untuk membawa pasangan dan anak untuk menjaga hidup keluarga. Sementara itu ada stigma-stigma pada perempuan tidak kawin, perempuan bercerai, 30
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
perempuan yang tidak memiliki anak, perempuan yang tidak memiliki anak lelaki (pada beberapa budaya), perempuan yang berhubungan seksual sebelum atau di luar perkawinan, atau pada perempuan dengan orientasi seksual minoritas. B.15. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Media Media mencerminkan tarik menarik berbagai kepentingan, yang akhirnya bermuara pada kepentingan ekonomi dan politik, sehingga sulit menjalankan fungsinya secara baik sebagai lembaga sosial. Media memiliki kedudukan sangat strategis, dapat menciptakan hegemoni membangun opini publik. Terkait relasi gender, pencitraan perempuan dalam media sering tidak sesuai dengan makna dan realitas sesungguhnya, sebaliknya justru kerap mengusung nilai-nilai konsumtifisme, kapitalisme, sekaligus bersifat eksploitatif terhadap perempuan, sebagaimana dipaparkan berikut: a. Sinetron, iklan, dan produk media lain sering mempertegas peran-peran stereotip yang merugikan perempuan. Ketimpangan gender juga tercermin dari cara media menggambarkan relasi gender dan menempatkan perempuan, misalnya dalam pemilihan kata dan pembangunan citra. Berita kekerasan seksual sering bias gender, menggambarkan kehebatan laki-laki (‘menggagahi’), situasi yang seolah dalam posisi tawar seimbang (‘kakek mencumbu cucu’), perempuan sebagai objek seks (‘tak tahan melihat paha tersingkap, keponakan digagahi’), atau malah mempersalahkan korban (‘akibat berpakaian mini’). Media sering tidak menunjukkan kepedulian, sebaliknya justru membangun sensasi seksual pembaca, sehingga perempuan sebagai korban, mengalami reviktimisasi. b. Banyaknya produk media yang lebih mengedepankan pornografi, menjadikan perempuan sebagai komoditas dan produk yang memiliki nilai jual tinggi. Pengelola media ini melihat perempuan hanya sebatas barang dagangan, objek seksual, dan pemuas laki-laki. Realitas ini semakin mempertegas asumsi tentang rendahnya kesadaan gender para pengelola media. c. Kurang adanya peraturan dan kebijakan yang tegas mengatur tayangan media yang stereotip terhadap perempuan dan melanggengkan pembakuan gender. Sementara itu peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga tidak maksimal. B.16. Ketidakadilan yang dialami Perempuan Kelompok Minoritas Yang termasuk dalam perempuan kelompok minoritas adalah diantaranya perempuan etnis tertentu, perempuan asli, perempuan dengan agama/kepercayaan minoritas dan/atau perempuan dengan orientasi seksual minoritas. Perempuan kelompok minoritas merupakan kelompok perempuan yang belum mendapatkan pengakuan atas hak-haknya, baik dia sebagai perempuan maupun sebagai kelompok yang karena kondisi tertentu menyebabkan dia menjadi minor. Sehingga karena kondisi itulah, perempuan kelompok minoritas masih mendapatkan diskriminasi berlapis, baik dia sebagai warga negara, dia sebagai perempuan, dan dia sebagai kelompok minoritas. Berbagai ketidakadilan yang dialami berdampak lebih lanjut pada berbagai persoalan lain, seperti akses terhadap pemenuhan kebutuhankebutuhan dasar, pelayanan kesehatan reproduksi, akses akan pekerjaan, dan lain sebagainya. Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2008), menemukan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan kelompok minoritas. Selain masih harus berjuang pada pengakuan, 31
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
perempuan penganut agama atau kepercayaan minoritas, berada dalam situasi sulit dengan praktik-praktik yang memarjinalkan. Ada kesulitan dari perempuan kelompok agama atau kepercayaan minoritas dan/atau yang tidak diakui, untuk mencatatkan perkawinannya, akibat tidak diakuinya agama atau kepercayaannya oleh Negara. Saat akan melakukan perkawinan dan ingin memiliki akte kawin, kelompok ini harus memilih salah satu agama yang “ada”. Hal ini berdampak lebih lanjut pada sulitnya mengurus akte lahir bagi anakanaknya. Aturan ini diskriminatif dan berdampak sangat merugikan, dan dengan sendirinya tidak melindungi hak-hak perempuan dan anak dalam perkawinan dan keluarga. Khususnya karena dalam masyarakat Indonesia masih cukup kental stigma bahwa seorang perempuan ‘bukan perempuan baik-baik’ bila berhubungan seks, apalagi tinggal bersama tanpa perkawinan resmi dan lebih lagi jika memiliki anak. Dalam konteks meluasnya industri ekstraktif di Papua, perempuan, khususnya perempuan asli mengalami berbagai bentuk kekerasan, hak-haknya atas hidup tidak terlindungi sama sekali. Mereka kehilangan hak atas tanah adat dan terusir, serta tidak dapat mengakses kesempatan kerja baru karena investor mempekerjakan tenaga dari luar Papua. B.17. Perhatian Khusus terhadap Anak Perempuan Perhatian khusus perlu diberikan pada anak perempuan, termasuk perempuan remaja.Mereka memerlukan pendekatan berbeda karena karakteristik dan kebutuhan yang khusus. Misalnya, bayi dan anak perempuan rentan mengalami praktik sunat perempuan, dinikahkan secara paksa, atau mengalami kekerasan seksual. Anak dan remaja perempuan juga sangat rentan mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual, antara lain membuat mereka berada dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Anak dan remaja perempuan misalnya, banyak dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga. Padahal selain minim perlindungan hukum, sektor ini sangat tersembunyi, domestik, sehingga rentan terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual. Dalam proses hukum, anak dan remaja perempuan juga memerlukan pendekatan dan perlakukan khusus, karena kematangan psikologis-sosial dan mental yang berbeda dengan orang dewasa. Namun dalam kenyataannya, hal ini belum dianggap penting dan prioritas, sehingga seringkali anak dan remaja yang menjadi korban kekerasan, mengalami reviktimisasi. C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penyusunan Naskah Akademik ini adalah: 1. Menjelaskan alasan penting lahirnya Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan guna menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan sekaligus memastikan terciptanya masyarakat Indonesia yang berkesetaraan gender. 2. Memberikan landasan akademis mencakup aspek filosofis, yuridis dan sosiologis mengenai pentingnya Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan yang nantinya disahkan sebagai Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan. 3. Memberikan landasan akademis mengenai pendekatan, isi rumusan Rancangan UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, sekaligus mekanisme 32
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
pelaksanaan dan pemantauannya yang dianggap paling efektif, harmonis dengan struktur perundangan yang telah ada, sekaligus menawarkan terobosan-terobosan baru untuk memungkinkan pelaksanannya secara efektif Kegunaan dari adanya Naskah Akademik ini adalah: 1. Naskah Akademik dapat menjadi bahan pemandu bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan yang komprehensif, multi-sektor, harmonis dengan struktur perundangan dan struktur hukum yang telah ada 2. Naskah Akademik dapat menjadi bahan pemandu bagi masyarakat untuk memahami, berpartisipasi aktif, sekaligus mengawal dan memantau proses perumusan dan substansi Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan agar benar-benar sesuai dengan perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia, hak asasi manusia, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan kesetaraan gender D. Metode Penelitian Penulisan Naskah Akademik ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, dengan menelaah data primer, data sekunder dan mengaitkannya dengan sumber-sumber yuridis yang berlaku. Dari sisi hukum, bahan hukum primer adalah Undang-Undang Dasar, UndangUndang, dan peraturan perundang-undangan lainnya, bahan hukum sekunder adalah kajian dalam jurnal, studi literatur yang telah dilakukan dan lain sebagainya. Hal yang penting adalah melakukan tinjauan terhadap hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, baik payung hukum secara umum yang mengatasi berbagai isu spesifik, maupun produk hukum yang lebih khusus mengenai berbagai isu spesifik terkait. Bahan hukum primer yang dikaji tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (existing laws), baik di tingkat nasional maupun daerah, melainkan juga Undang-Undang mengenai keadilan dan persamaan perempuan serta kesetaraan gender yang berlaku di beberapa negara selain Indonesia, yaitu sebanyak 8 (delapan) Undang-Undang dari 8 (delapan) negara, yaitu: Australia, Filipina, Afrika Selatan, Nepal, Islandia, Swedia, Swiss, dan Korea. Perspektif yang digunakan dalam telaah yuridis empiris ini adalah perspektif hak asasi manusia, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, serta kesetaraan dan keadilan gender sebagai asas. Dari sisi sosiologis-empiris, data primer diperoleh dari pengalaman lapangan dalam menangani isu secara langsung, pengamatan (observasi), diskusi kelompok terfokus, wawancara, serta mendengar pendapat narasumber atau para ahli untuk isu-isu umum maupun spesifik terkait penegakan hak-hak asasi perempuan serta situasi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Sementara itu data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan, baik data statistik atau kuantitatif, maupun data yang bersifat kualitatif dan studi kasus. Fakta sosiologis empiris mengenai situasi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan secara umum dan di berbagai bidang, kemudian diperbandingkan dengan fakta yuridis penegakan hak asasi manusia, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan kesetaraan gender. Telaah dan analisis dilakukan untuk dapat memetakan sejauhmana 33
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
ketersediaan undang-undang dalam mengatur secara komprehensif mengenai hak asasi perempuan, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dengan berasaskan kesetaraan gender. Kemudian dikembangkan usulan Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan yang komprehensif, multidimensi, dan menyediakan mekanisme pelaksanaan dan pemantauannya secara efektif. Naskah Akademik ini kemudian telah mendapatkan masukan kritis dari beberapa orang pembaca kritis ahli di bidang hak asasi manusia, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan kesetaraan gender; serta telah pula dikonsultasikan kepada para akademisi dan pembela hak asasi manusia dari berbagai universitas dan lembaga swadaya masyarakat, dari berbagai daerah di Indonesia. E. Sistematika Penulisan Naskah Akademik ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang A.1. Landasan Filosofis A.1.1. Falsafah Negara A.1.2. Hak Asasi Manusia dalam Falsafah Negara A.1.3. Hak Asasi Perempuan A.1.4. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia A.2. Landasan Yuridis A.3. Landasan Sosiologis A.3.1. Situasi Sosial-Budaya terkait Relasi Gender A.3.2. Penafsiran Agama yang Bias Gender dan Adil Gender A.3.3. Kerangka Substansi, Pendekatan, dan Mekanisme B. Identifikasi Masalah B.1. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Publik B.2. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Pekerjaan dan Kehidupan yang Layak B.3. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan dalam Pendidikan B.4. Ketidakadilan terhadap Perempuan di Bidang Kesehatan B.5. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Memperoleh Manfaat Ekonomi dan Sosial B.6. Ketidakadilan terhadap Perempuan di Depan Hukum B.7. Kekerasan terhadap Perempuan B.8. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Hak Kewarganegaraan B.9. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Kebijakan dan Praktik terkait Lingkungan yang Berkelanjutan B.10. Ketidakadilan yang Dialami Perempuan Kelompok Marjinal B. 11. Ketidakadilan yang Dialami dan Kerentanan Perempuan dalam Konflik dan Bencana B.12. Eksploitasi Seksual dan Perdagangan Orang B. 13. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Keterwakilan di Tingkat Internasional B.14. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Perkawinan dan Kehidupan Keluarga B.15. Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Media B.16. Ketidakadilan pada Perempuan Kelompok Minoritas B.17. Perhatian Khusus terhadap Anak Perempuan C. Tujuan dan Kegunaan D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan 34
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
BAB II. ASAS-ASAS YANG TERKANDUNG DALAM MATERI MUATAN A. Asas Umum Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan B. Asas-asas Lain untuk Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan BAB III. MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF A. Konsep atau Pengertian Hak Asasi Manusia B. Konsep atau Pengertian Hak Asasi Perempuan C. Konsep atau Pengertian Diskriminasi terhadap Perempuan D. Konsep atau Pengertian Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai Asas E. Pelanggaran Hak Asasi Perempuan F. Konsep atau Pengertian Kekerasan terhadap Perempuan G. Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan H. Korban I. Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi J. Saksi K. Pelaku L. Hak-hak Perempuan Korban M. Pemenuhan, Perlindungan, Pemulihan, dan Pemberdayaan N. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara O. Tanggung Jawab dan Partisipasi Masyarakat P. Tindakan Khusus Sementara untuk Percepatan Pemajuan Hak-Hak Perempuan Q. Mekanisme Pemenuhan Hak R. Kelembagaan S. Pembiayaan dan Kerjasama T. Sanksi Hukum BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran LAMPIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG BAB I. KETENTUAN UMUM BAB II. ASAS DAN TUJUAN BAB III. HAK ASASI PEREMPUAN BAB IV. KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB BAB V. MEKANISME PEMENUHAN HAK DAN KELEMBAGAAN BAB VI. PEMBIAYAAN DAN KERJASAMA BAB VII. SANKSI HUKUM BAB VIII. KETENTUAN PIDANA BAB IX. KETENTUAN PERALIHAN BAB X. KETENTUAN PENUTUP 35
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
BAB II ASAS-ASAS YANG TERKANDUNG DALAM MATERI MUATAN
Dalam bab ini disampaikan asas-asas terkandung dalam materi muatan Rancangan UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, yaitu terdiri dari asas umum materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia, serta asas lain sesuai dengan bidang hukum Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan. A. Asas Umum Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan: A.1. Asas Kemanusiaan dimaksudkan bahwa materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan dapat mencerminkan adanya pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap orang secara proporsional. A.2. Asas Pengayoman dimaksudkan agar setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus dapat berfungsi untuk memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab negara yang harus memberikan perlindungan dan pengayoman bagi setiap orang termasuk di dalam mewujudkan kesetaraan gender. A.3. Asas Kenusantaraan dimaksudkan bahwa muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan tidak bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia. A.4. Asas Kebangsaan ini dimaksudkan bahwa setiap materi muatan dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. A.5. Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini berarti bahwa Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus dapat mengakomodir keberagaman bangsa Indonesia termasuk agama dan kepercayaan yang menjadi keyakinan masing-masing orang, dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap kelompok minoritas. A.6. Asas Kekeluargaan atau Musyawarah untuk Mufakat ini dimaksudkan bahwa setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. 36
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Dalam melakukan pengarusutamaan gender, setiap kelembagaan negara dituntut untuk membangun sistem musyawarah mufakat sebagai bangsa Indonesia dengan menghormati dan menjunjung tinggi keberagaman. Namun asas musawarah mufakat dalam UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini tidak menghilangkan prinsip pengakuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan serta pemajuan hak-hak asasi perempuan dalam segala bidang. Hal ini terkait juga dengan keadilan dan kesetaraan substantif. A.7. Asas Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus mencerminkan keadilan secara proporsional dan substantif bagi setiap orang tanpa terkecuali. A.8. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan kedudukan masing-masing orang dalam hukum berdasarkan latar belakang antara lain, agama, kepercayaan, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. A.9. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum adalah bahwa setiap materi muatan UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara. A.10. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan juga dimaksudkan agar materi muatan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan mempunyai harmoni untuk menjadi payung hukum bagi semua orang tanpa ada diskriminasi apapun di semua bidang. Dalam Pancasila, pada sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, perlindungan hak-hak perorangan diatur secara tegas bersama dengan itu pula dalam sila ke- 5 yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diatur tentang asas keadilan, untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Asas keseimbangan memberikan hak dan kedudukan yang sama bagi para pihak di depan hukum. Dalam asas hukum yang berlaku umum (general principle of law), sesuai dengan asasinya, maka dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan orang perorangan di depan hukum (equality before the law). Setiap perempuan berhak mendapatkan hak asasinya. Karenanya secara umum, persamaan dan keadilan untuk perempuan, bersifat seimbang, serasi dan selaras. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan berarti bahwa persamaa dan keadilan untuk perempuan diselenggarakan untuk dapat menciptakan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Di samping itu, hal ini akan menjamin keseimbangan 37
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
kualitas dan kuantitas laki-laki dengan perempuan sebagai mitra sejajar, baik di lingkungan rumah tangga maupun masyarakat. B. Asas-asas Lain untuk Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan B.1. Asas Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia Asas Penghormatan Hak Asasi Manusia juga dengan sendirinya memastikan perlunya perlindungan dan penikmatan hak-hak secara optimal dari setiap orang, yang dalam hal ini terutama perempuan, mengingat perempuan memiliki karakteristik khusus yang perlu dipahami dengan tolok ukur dirinya sendiri, bukan berdasarkan tolok ukur laki-laki. B.2. Asas Non Diskriminasi Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa: Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sementara itu, Konvensi CEDAW yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, khususnya Pasal 1 menyatakan definisi mengenai “diskriminasi terhadap perempuan” sebagai berikut: Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu Pasal 2 Konvensi CEDAW memuat asas yang sangat jelas terkait ‘anti diskriminasi’, yaitu: “Negara-Negara Peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan…” B.3. Asas Persamaan Substantif Asas persamaan substantif mengakui adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolak ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi terhadap perempuan dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan atau menjadi akibat berbagai tindakan diskriminatif di waktu yang lalu. Asas persamaan substantif menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara serta perlindungan maternitas. 38
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
B.4. Asas Kewajiban Negara Asas kewajiban Negara mengandung makna bahwa dalam sistem hukum hak asasi manusia internasional, negara ditempatkan sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab. Sementara individu berkedudukan sebagai pemegang hak. Negara dalam sistem hak asasi manusia, sama sekali tidak memiliki hak, dan kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak yang dijamin di dalam instrumen hak asasi manusia. Jika Negara tidak mau atau tidak berkeinginan menjalankan kewajiban, Negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Ada 3 (tiga) bentuk kewajiban Negara, yaitu menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fullfill). B.5. Asas Keadilan dan Kesetaraan Gender Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sementara itu, keadilan gender adalah suatu proses yang adil terhadap perempuan dan laki-laki untuk menjadi setara. Proses itu mensyaratkan perhatian dan penghormatan kepada kekhususan masing-masingnya, termasuk yang telah dibawa sejak lahir terkait aspek ketubuhan dan reproduksi. Mengingat bahwa selama ini tolok ukur situasi dan kepentingan laki-laki sering digunakan sebagai standard bagi seluruh umat manusia termasuk perempuan, diperlukan pemahaman dan penghormatan khusus terhadap situasi perempuan, yaitu (a) konstruksi sosial gender yang berdampak berbeda bagi perempuan dan laki-laki, serta (b) potensi reproduksi khusus yang hanya dimiliki perempuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui dengan ASI. Potensi reproduksi khusus dari perempuan perlu dihormati, dilindungi, dan dijaga, tanpa membuat perempuan kehilangan kebebasan dan hak-haknya yang sepenuhnya sebagai manusia. Bila mengacu pada definisi Konvensi CEDAW mengenai "diskriminasi terhadap perempuan", ‘kesetaraan gender’ adalah kondisi positif yang berkebalikan dari masih adanya diskriminasi terhadap perempuan. Karena itu, ‘kesetaraan gender’ dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memastikan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan dan laki-laki, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 3 huruf (b) menyatakan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan gender. Penjelasan Undang-Undang ini, Pasal 3 huruf (b) menjelaskan, “Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.”
39
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
Bab ini menjelaskan muatan materi utama yang terkait dengan pemenuhan hak asasi perempuan yang perlu ada dan diatur dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan. Materi utama pada prinsipnya merupakan penerjemahan dari beberapa hal pokok antara lain: konsep atau pengertian hak asasi manusia; konsep atau pengertian hak asasi perempuan; konsep atau pengertian keadilan dan kesetaraan gender sebagai asas Undang-Undang; kekerasan terhadap perempuan, perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; tanggung jawab dan kewajiban pemerintah; tanggung jawab dan partisipasi masyarakat; mekanisme pemenuhan hak dan kelembagaan; serta Sanksi hukum. Dalam Naskah Akademik ini ada beberapa konsep atau pengertian pokok yang berkaitan dengan substansi atau materi muatan yang akan diatur dalam Undang-Undang sebagai kerangka hukum upaya pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak asasi perempuan, yang sekaligus menjadi payung dari upaya pemajuan, pemenuhan dan penegakan hak asasi perempuan. Materi muatan tersebut secara rinci akan diuraikan secara berturut-turut berbagai pengertian dan definisi sebagai berikut: A. Konsep atau Pengertian Hak Asasi Manusia Secara universal telah ada pemahaman bersama mengenai konsep hak asasi manusia. Tetapi sesuai dengan filsafat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, digunakan konsep hak asasi manusia yang telah dirumuskan secara baku dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang ini mendefinisikan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. B. Konsep atau Pengertian Hak Asasi Perempuan Seperti telah disampaikan dalam bagian landasan filosofis, konsep hak asasi manusia, meski sebenarnya berlaku bagi perempuan dan laki-laki, dalam kenyataannya selama ini lebih merefleksikan perspektif dan kepentingan laki-laki, yang pada akhirnya dalam kenyataannya tidak dapat menjamin hak-hak asasi perempuan yang khusus. Dalam kenyataannya masih banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Sehubungan hal tersebut, Undang-undang perlu mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan, hak-hak asasi perempuan, serta mengatur secara khusus perlindungan terhadap hak-hak asasi perempuan sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Kelahiran Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi CEDAW) pada tahun 1979 menjadikan Konvensi ini sebagai instrumen hak asasi manusia yang paling komprehensif, sehingga juga disebut sebagai women’s rights bill. Tonggak penting sejarah penegakan hak asasi perempuan di Indonesia adalah diratifikasinya Konvensi CEDAW dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 40
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Konvensi CEDAW didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (a) Persamaan Substantif; (b) Non Diskriminasi; dan (c) Kewajiban Negara. Prinsip persamaan substantif mengakui adanya perbedaan situasi hidup perempuan dan laki-laki, dimana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi melalui perbedaan ketubuhannya dibanding laki-laki, dengan menggunakan tolok ukur kepentingan laki-laki. Diskriminasi dapat dialami langsung atau merupakan kelanjutan dari berbagai tindakan diskriminatif di waktu yang lalu. Menanggulangi itu, persamaan substantif menggunakan pendekatan korektif melalui tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan perlindungan maternitas. Kelahiran Konvensi CEDAW dalam perkembangannya diikuti oleh kelahiran berbagai instrumen hak asasi perempuan lainnya. Definisi dan cakupan hak asasi perempuan diambil dari Konvensi CEDAW dan berbagai instrumen hukum hak asasi manusia, terkait diskriminasi terhadap perempuan dan hak asasi manusia, yang ditelaah secara komprehensif dan holistik. Dengan penelaahan tersebut, dalam Naskah Akademik ini, demikian pula dalam Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, hak asasi perempuan adalah setiap hak asasi manusia yang melekat pada perempuan. Hak asasi perempuan di hampir seluruh aspek kehidupan perempuan, teridentifikasi setidaknya 16 (enam belas) hak dasar yang berkaitan dengan hak asasi perempuan, yaitu meliputi: (1) Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Publik; (2) Hak Perempuan atas Pekerjaan dan Kehidupan yang Layak; (3) Hak Perempuan atas Pendidikan; (4) Hak Perempuan atas Kesehatan; (5) Hak Perempuan atas Manfaat Ekonomi dan Sosial; (6) Hak Perempuan atas Persamaan Kedudukan di Depan Hukum; (7) Hak Perempuan untuk Bebas dari Kekerasan terhadap Perempuan; (8) Hak Perempuan atas Kewarganegaraan; (9) Hak Perempuan atas Lingkungan yang Berkelanjutan; (10) Hak Perempuan Kelompok Marjinal; (11) Hak Perempuan di Daerah Konflik dan Bencana; (12) Hak Perempuan untuk Bebas dari Eksploitasi Seksual dan Perdagangan Orang; (13) Hak Perempuan Berpartisipasi di Tingkat Internasional; (14) Hak Perempuan untuk Menikah dan Mendapatkan Kehidupan Perkawinan dan Keluarga yang Bebas dari Diskriminasi; (15) Hak Perempuan untuk Bebas dari Stereotip dan Eksploitasi Ketubuhan Perempuan dalam Media: dan (16) Hak Perempuan Kelompok Minoritas. C. Konsep atau Pengertian Diskriminasi terhadap Perempuan Definisi dan cakupan diskriminasi terhadap perempuan diambil dari Konvensi CEDAW dan instrumen hukum hak asasi manusia lain terkait diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai pondasi, Pasal 1 Konvensi CEDAW menyatakan: “Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”. Dalam Naskah Akademik ini, demikian pula dalam Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan menghalangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan 41
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki; termasuk di dalamnya adalah kekerasan terhadap perempuan. D. Konsep atau Pengertian Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai Asas Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 mengenai Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa: (1) Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. (2) Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan Dalam Naskah Akademik ini, demikian pula dalam Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, “Keadilan dan Kesetaraan Gender” menjadi salah satu asas yang mendasari Undang-Undang ini. Selain “Keadilan dan Kesetaraan Gender”, asas lain yang digunakan dalam Undang-Undang ini adalah asas: Penghormatan Hak Asasi Manusia, Non Diskriminasi, Persamaan Substantif, dan Kewajiban Negara. Sebagai asas dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini, “Keadilan dan Kesetaraan Gender” harus mendasari seluruh isi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga menyebutkan bahwa salah satu asas Undang-Undang tersebut adalah “Keadilan dan Kesetaraan Gender”. Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang ini menyatakan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan gender. Sementara Penjelasan Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang ini menjelaskan, “Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.” E. Pelanggaran Hak Asasi Perempuan Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (vide Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Selain rumusan di atas, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, diatur dua macam kejahatan yang tercakup dalam pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (lihat Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 7). Sedangkan Statuta Roma yang mengatur mengenai Mahkamah Pidana Internasional menyebut empat macam kejahatan yang tercakup dalam kejahatan paling 42
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (lihat Pasal 5 ayat (1)). Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemakaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa. Statuta Roma Pasal 7 ayat (1) K menambahkan satu bagian pada kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Dengan penjelasan di atas, dalam Naskah Akademik ini, pelanggaran hak asasi perempuan yang dimaksud adalah diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan, yaitu pelanggaran hak-hak perempuan sebagaimana diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang. Adapun hak asasi perempuan teridentifikasi meliputi: (1) Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Publik; (2) Hak Perempuan atas Pekerjaan dan Kehidupan yang Layak; (3) Hak Perempuan atas Pendidikan; (4) Hak Perempuan atas Kesehatan; (5) Hak Perempuan atas Manfaat Ekonomi dan Sosial; (6) Hak Perempuan atas Persamaan Kedudukan di Depan Hukum; (7) Hak Perempuan untuk Bebas dari Kekerasan terhadap Perempuan; (8) Hak Perempuan atas Kewarganegaraan; (9) Hak Perempuan atas Lingkungan yang Berkelanjutan; (10) Hak Perempuan Kelompok Marjinal; (11) Hak Perempuan di Daerah Konflik dan Bencana; (12) Hak Perempuan untuk Bebas dari Eksploitasi Seksual dan Perdagangan Orang; (13) Hak Perempuan Berpartisipasi di Tingkat Internasional; (14) Hak Perempuan untuk Menikah dan Mendapatkan Kehidupan Perkawinan dan Keluarga yang Bebas dari Diskriminasi; (15) Hak Perempuan untuk Bebas dari Stereotip dan Eksploitasi Ketubuhan Perempuan dalam Media: dan (16) Hak Perempuan Kelompok Minoritas. Pelanggaran terhadap hak-hak ini merupakan pelanggaran hak asasi perempuan, yang harus disertai dengan proses penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak perempuan korban. Untuk itu Negara harus mengambil tindakan yang sesuai untuk menjamin efektifitas hak-hak ini. Alternatifnya, penting untuk diselenggarakan mekanisme complaint (pengaduan), yang merupakan akses pada yudisial dan berdasarkan fakta-fakta empiris dan dokumen-dokumen yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya yang terkait dengan jaminan pelestarian arsip yang terkait dengan pelanggaran hak asasi yang terjadi.
F. Konsep atau Pengertian Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Naskah Akademik ini, kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan terhadap perempuan. Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993), Pasal 1: “Kekerasan terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaaan 43
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi”. Kekerasan terhadap perempuan (violence against women) istilah lainnya adalah kekerasan berbasis gender (gender-based violence) sebagaimana tercantum dalam Rekomendasi Umum No. 19 Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW) tentang Kekerasan terhadap Perempuan, ayat (6) (1992) dan Deklarasi Internasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Hal tersebut termasuk tindak kekerasan seksual, psikis dan fisik, baik yang terjadi di wilayah domestik maupun publik, dilakukan oleh individu, kelompok dan atau oleh Negara. Contohnya pelecehan seksual baik fisik maupun mental, kekerasan seksual, pelacuran paksa, dan KDRT. Dengan demikian kekerasan berbasis gender termasuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Perumusan tersebut sesuai dengan Pasal 2 DUHAM, mengatur prinsip dasar hak asasi manusia yaitu persamaan dan non diskriminasi; dengan melarang pembedaan atau pengecualian dalam bentuk apapun termasuk pembedaan jenis kelamin. Berdasarkan hukum internasional, cakupan tindak pelanggaran hak asasi manusia adalah sebagai berikut: 1. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka (3)) 2. Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap perbedaan, pengesampingan, pembatasan apapun, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (Konvensi CEDAW, Pasal 1). 3. Diskriminasi rasial adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak mendiadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan masyarakat yang lain (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Pasal 1). 4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk sesuatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat 44
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
publik (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (4)). Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1). 5. Kekerasan seksual adalah segala serangan yang mengarah kepada seksualitas seseorang (baik laki- laki maupun perempuan) yang dilakukan di bawah tekanan. Kekerasan seksual adalah termasuk, tapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, penghamilan paksa dan prostitusi paksa (International Criminal Tribuanal for Rwanda, Chamber 1). 6. Pemotongan alat kelamin perempuan adalah tindakan pembedahan untuk membuang sebagian atau seluruh organ yang paling sensitif dari organ reproduksi perempuan yang menyebabkan sejumlah komplikasi kesehatan dan masalah psikologis bagi perempuan. Pemotongan ini biasanya dilakukan sebagai praktek adat istiadat untuk menandai perempuan telah memasuki usia dewasa dan dipercayai akan mampu mengontrol tingkat seksualnya ataupun memastikan keperawanan perempuan tersebut sebelum memasuki pernikahan (Lembar Fakta 23, Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia). 7. Penghamilan paksa adalah penahanan tidak sah terhadap perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapa pun tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan (Statuta Roma, Pasal 7: 2(f)). 8. Perbudakan adalah pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekuasaan tersebut dalam perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak- anak (Statuta Roma, Pasal 7: 2(c)). 9. Perbudakan seksual adalah tindakan kejahatan. Pelapor Khusus PBB mengenai bentuk-bentuk Perbudakan Masa Kini mendefinisikan perbudakan seksual sebagai “status atau kondisi seseorang yang kepadanya dilakukan semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk- bentuk lain kekerasan seksual”. Perbudakan seksual juga mencakup situasisituasi dimana perempuan dewasa dan anak- anak dipaksa untuk “ menikah”, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja lainnya yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa, termasuk pemerkosaan oleh penyekapnya (Chega !, Bab 7.7, paragraph 162). 10. Perdagangan perempuan adalah pemindahan perempuan tanpa persetujuannya dari satu tempat atau daerah ke daerah lain baik dalam batas Negara maupun antar Negara, yang dilakukan oleh seseorang maupun sindikat, menggunakan cara- cara penipuan, penculikan, ancaman, tekanan lilitan hutang, pemaksaan, dan kekerasan lainnya, untuk tujuan mengeksploitasi perempuan tersebut ditempat tujuan yang secara seksual maupun tenaga lainnya (Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan mengenai Perdagangan Perempuan). Hal “ tanpa persetujuan” sebagai unsur dari perdagangan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan internasional. Beberapa Konvensi PBB tidak meletakkan “persetujuan” sebagai unsur perdagangan melainkan lebih pada konsekuensi perdagangan yang harus dihadapi oleh perempuan tersebut, yaitu mengalami 45
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi saat dipindahkan, di tempat tujuan bahkan ketika perempuan tersebut kembali ke daerah asalnya. 11. Prostitusi paksa adalah penggunaan kekerasan, ancaman, lilitan hutang, dsb, yang dilakukan seseorang atau sindikat yang menyebabkan perempuan tidak melihat adanya pilihan lain kecuali melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperoleh keuntungan dari biaya yang dikeluarkan oleh orang ketiga untuk dapat berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Praktek ini merupakan salah satu tujuan dari perdagangan perempuan. 12. Kawin paksa adalah perkawinan yang dilakukan seorang perempuan tanpa persetujuannya, atau berada di bawah tekanan, ancaman ataupun lilitan hutan. Praktek ini dapat dikategorikan sebagai bentuk perbudakan 13. Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang disampaikan melalui kontak fisik maupun mengambil keuntungan tertentu dengan menggunakan ucapan- ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi- materi pornografi dan keinginan seksual. Perilaku tersebut mengakibatkan perendahan martabat seseorang dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Pelecehan seksual merupakan tindakan diskriminatif bila seorang perempuan tahu bahwa ketidaksetujuannya terhadap tindakan tersebut akan membahayakan pekerjaannya, termasuk untuk direkrut maupun dipromosikan, ataupun ketika perilaku itu menyebabkan suasana kerja yang mengesalkan (Rekomendasi Umum Komite CEDAW Pasal 11). 14. Sterilisasi paksa adalah proses untuk mengakhiri atau menghilangkan kemampuan atau fungsi reproduksi seseorang secara permanen tanpa persetujuan/consent dari orang yang bersangkutan. Tindakan kekerasan ini dapat terjadi pada perempuan maupun laki- laki. Pemaksaan sterilisasi ini dapat merugikan kesehatan fisik dan mental perempuan, serta melanggar hak perempuan untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilannya. 15. Penganiayaan adalah serangan fisik, seksual, dan psikologi yang dilakukan seseorang kepada perempuan secara berulang kali sehingga menyebabkan perempuan kehilangan dan integritas serta kemunduran pencapaian haknya sebagai manusia. 16. Kerja paksa menurut definisi Konvensi ILO Nomor 29, adalah semua pekerjaan atau jasa yang dituntut dari setiap orang di bawah ancaman segala hukuman, dimana orang tersebut tidak menawarkan dirinya secara sukarela. 17. Perkosaan Dari pengalaman Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda, perkosaan didefinisikan sebagai serangan fisik yang ditujukan kepada bagian seksual seseorang yang tidak saja sekedar hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh satu atau kedua belah pihak melainkan juga termasuk segala tindakan memasukkan benda dan/atau menggunakan bagian tubuh lainnya yang sebenarnya bukan merupakan alat seksual seperti mulut dan anus. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste (CAVR) dalam laporannya (Chega!) menggunakan definisi perkosaan sebagai sebuah penyerangan fisik yang bersifat seksual, yang dilakukan terhadap seseorang, dalam situasi yang bersifat memaksa. Unsur-unsur perkosaan menurut definisi ini adalah sebagai berikut: Penetrasi seksual, sedikit apapun: (a) pada vagina atau anus korban dengan penis pelaku atau benda lain yang digunakan oleh pelaku; atau (b) pada mulut korban dengan penis pelaku; dengan pemaksaan atau kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban atau orang ketiga (Chega!, Bab 7.7, paragraf 31). 46
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan perkosaan secara sempit yakni “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama- lamanya dua belas tahun“. Rumusan tersebut mensyaratkan beberapa kriteria untuk dapat menyebut suatu perbuatan sebagai perkosaan, yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, adanya paksaan (berarti tidak ada persetujuan/consent dari perempuan korban), korban bukan berstatus sebagai istri pelaku, dan terjadi persetubuhan (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan). Rumusan tersebut terlalu sempit dan beberapa kelemahannya yang mengesampingkan realitas keadaan korban perkosaan, diantaranya perkosaan yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape), bentuk-bentuk lain perkosaan yang merusak organ reproduksi perempuan, pemaksaan hubungan seksual yang non fisik seperti dengan alasan perbedaan posisi tawar pelaku dan korban atau tekanan psikologi (Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia, Dokumentasi Komnas Perempuan, hal 205- 206). Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 1 angka (1), pengertian ‘Kekerasan dalam Rumah Tangga’ adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (vide Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang ini memuat rumusan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tercakup dalam pengertian kekerasan seksual meliputi ”pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.” G. Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan Menurut masyarakat internasional, kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dapat diacu beberapa sumber di bawah ini: a. Menurut Rekomendasi Umum 19 (ayat 1) Komite Konvensi CEDAW (1992): kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan wanita untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. b. Menurut Konferensi Dunia mengenai Hak Asasi Manusia ke II yang diselenggarakan di Wina, Austria tahun 1993: kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (violence against women is a human right violation). c. Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan (1993) menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental perempuan, serta menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan mereka. 47
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Pemahaman tentang perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusian, terutama dalam sebuah konflik, dapat ditemui dalam naskah yang disusun oleh Dewan 1, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda yang menyebutkan : Mempertimbangkan batasan untuk dapat menyatakan perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dewan ini memandang perkosaan sebagai bentuk serangan dan elemen-elemen penting dalam perkosaan tidak dapat dilihat dengan semata-mata menggunakan deskripsi mekanis tentang obyek-obyek dan bagian- bagian tubuh yang digunakan. Konvensi tentang Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Lainnya tidak membentuk turunan tindakan yang spesifik dalam mendefinisikan penyiksaan, melainkan lebih menfokuskan pada kerangka konseptual dari kekerasan yang diciptakan oleh sanksi yang diberikan Negara. Pendekatan ini lebih berguna bagi hukum internasional. Seperti juga penyiksaan, perkosaan adalah pelanggaran merupakan sebuah tindakan penyiksaan jika tindak tersebut dilakukan, dianjurkan, atau disetujui atau diketahui oleh pejabat Negara ataupun orang lainnya yang memiliki kewenangan sebagai pejabat Negara. Dewan ini mendefinisikan perkosaan sebagai serangan fisik yang bernuansa seksual, dan dilakukan terhadap seseorang dalam situasi tertentu, yaitu dalam paksaan. Kekerasan seksual, yang juga termasuk perkosaan, selanjutnya merujuk pada segala tindakan yang bernuansa seksual yang dilakukan terhadap seseorang dalam kondisi tertentu, yaitu dibawah tekanan. Tindakan ini harus dilakukan : Sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistimatik. Ditujukan pada masyarakat sipil. Atas dasar diskriminasi tertentu, antara lain berdasarkan latar belakang kebangsaan, etnis, politik, rasa tahu agama tertentu. H. Korban Mengenai istilah ‘korban’, terdapat beberapa pengertian sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehablitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka (3) berbunyi ‘korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya’. (2) Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mendefinisikan korban sebagai ‘seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindakan pidana’; (3) Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993) mendefinisikan korban sebagai ‘orang (individu atau kelompok) yang menjadi obyek dari sebuah tindakan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan atau pelanggaran terhadap hak-hak perempuan lainnya’; (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mendefinisikan korban sebagai ‘orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga’. Dalam Naskah Akademik ini, korban yang dimaksud adalah perempuan, termasuk anak perempuan yang mengalami diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan. I.
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi 48
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
(1) Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (vide Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehablitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat). (2) Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu (vide Pasal 1 angka (5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehablitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat). (3) Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya pengembalian kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain (vide Pasal 1 angka (6) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehablitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat). J. Saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 angka (1)). Saksi yang dimaksud dalam Naskah Akademik ini, demikian pula dalam Rancangan UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan. Seorang saksi wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: (a) mencegah berlangsungnya diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan; (b) memberikan perlindungan pada perempuan dan anak perempuan yang mengalami diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggran hak-hak perempuan; dan (c) membantu proses pemberian bantuan hukum dan akses terhadap keadilan. K. Pelaku Pelaku adalah orang (individu atau kelompok) yang melakukan sebuah tindakan yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan. Pelaku dapat merupakan aktor negara (misalnya Pemerintah, aparat kepolisian, tentara, dan lain sebagainya) atau aktor non negara (misalnya majikan, suami, paman, kakek, dan lain sebagainya). Peralatan yang dipergunakan dapat berupa benda nyata (misalnya pisau, senapan, dan lain sebagainya), maupun sesuatu yang abstrak, seperti pembuatan hukum/kebijakan, dan lain sebagainya (vide Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan). Dalam Naskah Akademik ini, demikian pula dalam Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, pelaku pelanggaran adalah: a. Orang dan/ atau badan hukum yang secara langsung melakukan pelanggaran hak-hak perempuan; b. Orang dan/ atau badan hukum yang menyebabkan, menyuruh, membantu, atau memperbolehkan orang lain melakukan pelanggaran; 49
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
c.
Lembaga Negara termasuk Kementerian, perangkat kerja Pemerintah, Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang melanggar kewajibannya dan/ atau lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; dan d. Kantor, atau perangkat kerja pemerintah, perusahaan yang dikendalikan atau dimiliki oleh pemerintah, atau pemerintah lokal. L. Hak-hak Perempuan Korban Mengenai hak korban atas keadilan (the victim’s right to justice), hal ini mengimplikasikan bahwa setiap korban harus memiliki kesempatan untuk menggunakan hak mereka serta menerima pengadilan yang adil dan efektif, memperoleh jaminan bahwa para pelaku dalam pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami diajukan ke pengadilan, dan mendapatkan ganti rugi. Hak atas keadilan ini memunculkan kewajiban Negara untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, menurut para pelaku dan menghukum mereka setelah kesalahan mereka diputuskan. Selanjutnya mengenai hak korban atas pemulihan/reparasi (the victim’s right to reparation) disini dimaksudkan korban, termasuk kerabat dan tanggungannya, harus mendapatkan pemulihan yang efektif. Prosedur yang berlaku harus di publikasikan seluas mungkin. Hak atas pemulihan harus mencakup seluruh kerugian yang diderita oleh korban, yang mencakup hak atas restitusi (upaya pemulihan korban untuk kembali ke keadaan semula), kompensasi (untuk luka fisik dan mental, termasuk hilangnya kesempatan hidup, kerusakan fisik, perusakan nama baik dan biaya bantuan hukum) serta rehabilitasi (perawatan medis, termasuk perawatan psikologis dan psikis). Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, diakui adanya tiga hak korban yang harus dipenuhi, yaitu hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Hak atas kebenaran berkaitan dengan hak korban untuk mengetahui (the victim’s right to know), hak ini bukan sekedar hak tiap individu korban atau orang-orang terdekat mereka untuk mengetahui apa yang terjadi, suatu hak atas kebenaran. Hak untuk mengetahui juga merupakan hak kolektif berdasarkan sejarah untuk mencegah agar pelanggaran tidak lagi terulang dimasa depan. Konsekuensi dari hak tersebut berupa sebuah “kewajiban untuk mengingat” yang harus diemban oleh Negara untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan sejarah atas nama atau pengingkaran. M. Pemenuhan, Perlindungan, Pemulihan, dan Pemberdayaan Pemenuhan yang dimaksud disini adalah pemenuhan atas hak asasi perempuan, khususnya perempuan yang menjadi korban diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hakhak perempuan (hak asasi perempuan). Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan tiga hak korban yang harus dipenuhi, yaitu hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan (recovery). Hak atas kebenaran berkaitan dengan hak korban untuk mengetahui (the victim’s right to know). Hak ini bukan sekedar hak tiap individu korban atau orang-orang terdekat mereka untuk mengetahui apa yang terjadi, suatu hak atas kebenaran. Hak untuk mengetahui juga merupakan hak kolektif berdasarkan sejarah untuk mencegah agar pelanggaran tidak lagi terulang di masa depan. Konsekuensi dari hak tersebut berupa sebuah “kewajiban untuk mengingat” yang harus diemban oleh Negara untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan sejarah atas nama revisionism atau pengingkaran. Untuk itu Negara harus mengambil tindakan yang sesuai untuk menjamin efektifitas hak ini. 50
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban atau saksi yang wajib dilaksanakan oleh berbagai pihak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Antara lain yang diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: perlindungan diupayakan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Demikian pula sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa, “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini” (Pasal 1 angka (6)). Pemulihan dalam makna luas adalah proses mendukung korban diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan untuk menjadi kuat, mampu, dan berdaya dalam mengambil keputusan dan mengupayakan kehidupan yang adil, bermatabat dan sejahtera (Komnas Perempuan, 2007, 13 Pertanyaan Kunci tentang Pemulihan Makna Luas, hal. 6-7). Proses ini dilakukan dengan 5 (lima) prinsip pendekatan, yakni: 1. Berpusat atau berorientasi pada perempuan korban: maksudnya proses pemulihan berawal dari kesediaan korban, membutuhkan keterlibatan akktif korban serta memastikan adanya penguatan dan pemberdayaan korban. Kebutuhan dan aspirasi korban adalah pertimbangan utama dari keselutuhan proses pemulihan. 2. Berbasis hak: maksudnya mengupayakan pemenuhan hak korban atas kebenaran, kekadilan, dan pemulihan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penegakan hak asasi manusia. 3. Multidimensi: maksudnya ketiga hak korban tersebut saling terkait dan mempengaruhi, oleh karenanya mengupayakan aspek kesehatan fisik dan psikologis, ketahanan ekonomi dan penerimaan masyarakat adalah tidak terpisahkan dari upaya menhadirkan rasa adil bagi korban. 4. Berbasis komunitas: maksudnya pemulihan bagi korban tidak mungkin dapat tercapai tanpa keikutsertaan aktif dari komunitasnya, sehingga pemulihan korban adalah bagian dari pemulihan komunitas. 5. Berkesinambungan: maksudnya proses pemenuhan hak-hak korban tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sehingga untuk memastikan agar ketiga hak korban tak terabaikan maka proses yang panjang perlu terus dijaga keberlanjutannya. Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari berbagai pihak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Antara lain yang diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani. Pemberdayaan adalah upaya peningkatan kemampuan perempuan korban diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan, untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap semua sumberdaya dalam seluruh aspek kehidupannya. N.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara 51
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Sistem hukum hak asasi manusia internasional menempatkan Negara sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders). Sementara individu (termasuk juga kelompok dan rakyat”) berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders). Negara dalam sistem hak asasi manusia dengan demikian memikul kewajiban dan tanggung jawab memenuhi hak-hak (yang dimiliki individu atau kelompok) yang dijamin dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. Jika Negara tidak mau atau tidak berkeinginan melaksanakan kewajibannya itu, Negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban Negara tersebut dapat dilihat dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi (obligation to fullfill).xiv Negara yang dalam implementasinya direpresentasikan oleh Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang-Undang ini, peraturan perundangan yang lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan Negara, dan bidang lain (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 71 dan Pasal 72). Dalam konteks pemahaman yang demikian, terdapat kemungkinan Negara bisa menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung. Negara sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia secara langsung (by commission) apabila Negara melalui institusi tertentu, secara tertulis atau maupun tidak tertulis, membentuk dan melaksanakan kebijakan tertentu yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UndangUndang. Negara adalah pelaku tindak pelanggaran hak asasi manusia secara tidak langsung (by ommission) apabila: (a) Negara tidak melakukan upaya-upaya untuk membantu warga negaranya agar dapat menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya; (b) Negara tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah seseorang atau kelompok orang melakukan tindakan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh perundang-undangan, sehingga individu atau kelompok tersebut tidak dapat menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya; (c) Negara tidak melakukan upaya-upaya untuk menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia sehingga korban mendapatkan, atau dikuatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini perlu ada ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dan Lembaga Penyenggara Negara lainnya. Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan persamaan dan keadilan untuk perempuan. Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, dan menjamin hak asasi setiap perempuan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, status perkawinan, usia, orientasi seksual, identitas gender, status sosial, status ekonomi, kecacatan dan status lainnya. Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya berkewajiban: 52
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
(1)
(2) (3) (4) (5) (6)
(7)
(8)
(9)
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang gender dan kemampuan analisis gender agar dapat memperoleh manfaat dan mencegah kerugian yang ditimbulkan oleh ketidaksetaraan gender; memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan; menjamin perlindungan hak-hak perempuan dari diskriminasi dan pelanggaran; melakukan pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan; memajukan hak-hak perempuan dalam semua aspek, termasuk hak perempuan untuk persamaan substantif dan perlakuan non diskriminasi; memastikan partisipasi perempuan dalam keseluruhan proses perumusan kebijakan publik dan perencanaan pembangunan, termasuk dalam proses pemantauan pelaksanaan kebijakan publik dan perencanaan pembangunan; memberikan layanan pendampingan, bantuan medis, bantuan psikologis dan sosial dalam rangka pemulihan, bantuan hukum, restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi, bagi perempuan korban diskriminasi dan pelanggaran hak asasi perempuan; memberikan layanan pendampingan, bantuan medis, bantuan psikologis dan sosial dalam rangka pemulihan, bantuan hukum, restitusi, kompensasi, rehabilitasi, bagi anak perempuan korban diskriminasi dan pelanggaran hak asasi perempuan, dengan memastikan perlakukan khusus bagi anak perempuan; dan memberikan perlindungan dan dukungan sarana-prasarana bagi pembela hak asasi perempuan.
Untuk tujuan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan, Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib membuka akses seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan partisipasi masyarakat tersebut, Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib memberikan perlindungan hukum.
O. Tanggung Jawab dan Partisipasi Masyarakat Dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini perlu ada ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab dan partisipasi masyarakat dalam rangka upaya pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan. Untuk tujuan ini, pemerintah dan lembaga penyelenggara Negara lainnya wajib membuka akses seluasluasnya bagi partisipasi masyarakat. Tanggung jawab dan partisipasi ini harus dilakukan secara bermartabat dan sejalan dengan asas-asas dan tujuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini. Oleh karena itu, untuk melaksanakan partisipasi ini, Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib memberikan perlindungan hukum. Dalam rangka pembelaan hak asasi perempuan, pemberian bantuan hukum, dan kerja-kerja kemanusiaan, mutlak perlu melibatkan kelompok masyarakat yang memiliki kapasitas tertentu untuk melakukan pencegahan dan perlindungan hak-hak perempuan dari diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Merekalah yang biasa disebut sebagai pembela hak asasi perempuan (women’s rights defender). Seorang pembela hak asasi 53
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
perempuan bertanggung jawab dalam pencegahan dan perlindungan hak-hak perempuan dari diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Untuk maksud tersebut pembela hak asasi perempuan dapat antara lain: (a) meminta keterangan dari korban; (b) mendampingi korban diskriminasi dan pelanggaran hak asasi perempuan; (c) membentuk tim kerja dalam mengadvokasi korban diskriminasi dan pelanggaran hak asasi perempuan; (d) turut serta dalam penanganan perkara-perkara yang tidak berpihak pada perempuan; dan (e) turut menjaga dan melindungi kaum perempuan dari kejahatan kemanusiaan. Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya berkewajiban memberikan perlindungan dan dukungan sarana-prasarana bagi pembela hak asasi perempuan. Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: (1) mencegah berlangsungnya diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan; (2) memberikan perlindungan pada perempuan dan anak perempuan yang dilanggar hak-haknya; dan (3) membantu proses pemberian bantuan hukum dan akses terhadap keadilan. Badan usaha, kelompok atau organisasi profesi, asosiasi pemberi kerja, organisasi kemasyaratakatan, media, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, lembaga adat, lembaga agama dan lembaga sosial wajib: (1) mencegah terjadinya diskriminasi dan pelanggaran hakhak perempuan; (2) memfasilitasi penyelenggaraan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan; dan (3) memberikan perlindungan, pendampingan, pemulihan, dan pemberdayaan bagi perempuan, termasuk anak perempuan, yang mengalami diskriminasi dan pelanggaran hak-hak perempuan, untuk memastikan diperolehnya akses terhadap keadilan dan hak-haknya sebagai korban. P. Tindakan Khusus Sementara untuk Percepatan Pemajuan Hak-Hak Perempuan Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya wajib menerapkan tindakan khusus sementara yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto atau substantif dengan laki-laki; dan untuk mengakibatkan perubahan-perubahan struktural, sosial dan budaya di berbagai bidang kehidupan perempuan; serta memberikan kompensasi. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara tersebut tidak dianggap sebagai diskriminasi dan harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai. Penerapan tindakan-tindakan khusus termasuk tindakan yang ditujukan untuk melindungi fungsi maternitas, juga tidak dianggap sebagai diskriminasi. Tindakan khusus sementara untuk percepatan pemajuan hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan meliputi dan tidak terbatas pada: a. pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif; b. penyusunan program; c. praktik-praktik kebiasaan; d. penganggaran, pengalokasian dan/atau relokasi sumberdaya; e. rekrutmen yang ditargetkan untuk perempuan; f. penerimaan pegawai dan kenaikan pangkat; g. penetapan target capaian dalam jangka waktu tertentu; dan h. persentase atau sistem kuota. 54
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Q. Mekanisme Pemenuhan Hak Mekanisme pemenuhan hak yang diatur dalam Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan yang diajukan ini dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan sekaligus sebagai tindakan pencegahan atau prevensi terhadap diskriminasi dan pelanggaran hak asasi perempuan. Mekanisme pemenuhan hak dan kelembagaan untuk persamaan dan keadilan untuk perempuan meliputi: 1. pengarusutamaan gender sebagai strategi Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya; 2. pembentukan Dewan Nasional Kedudukan Perempuan; 3. kerjasama institusi hak asasi manusia, penegak hukum dan partisipasi masyarakat; dan 4. pembentukan gender focal point di Perwakilan-Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang beroperasi di Indonesia. Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi untuk memajukan hak-hak perempuan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah dan lembaga penyelenggara negara lainnya wajib mengintegrasikan pengarusutamaan gender dalam sistem, struktur, kebijakan, program, serta prosedur pelaksanaan termasuk: (1) perencanaan, penganggaran, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengarusutamaan gender; (2) penunjukan dan penguatan focal point pengarusutamaan gender; (3) pengelolaan data base gender, data terpilah, dan pembangunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarusutamaan gender sebagai strategi untuk memajukan hak-hak perempuan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pemerintah wajib membentuk Kementerian yang bertujuan memastikan kebijakan, program, anggaran, dan tindakan-tindakan pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya yang sensitif gender dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan, serta menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Semua Kementerian termasuk kantor-kantor Pemerintah, universitas negeri, pusat kajian, badan-badan di bawah Pemerintah, unit Pemerintah Daerah, sarana dan prasarana pemerintah wajib mengelola dan membangun data base gender dan pembangunan termasuk statistik gender, data terpilah yang secara sistematik dikumpulkan dan terkini, yang akan digunakan untuk analisis gender dalam perencanaan program dan perumusan kebijakan. R. Kelembagaan Persamaan dan keadilan untuk perempuan didasari oleh penegakan hak asasi manusia (human rights based). Penegakan hak asasi manusia sebagaimana telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, memerlukan kelembagaan yang efektif untuk menjamin terlaksananya pemenuhan hak asasi manusia. Adapun peran yang diperlukan dari kelembagaan yang menjamin persamaan dan keadilan untuk perempuan tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Mengawasi dan memantau yang terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan untuk memastikan terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan di semua bidang dan wilayah Indonesia. 55
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
b. c. d.
e. f. g. h. i. j.
Mengawasi dan memantau yang terkait dengan penyelenggaraan tindakan khusus sementara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Memfasilitasi pelaporan tahunan tentang kondisi dan kedudukan perempuan di Indonesia dari pemerintah dan lembaga penyelenggara lainnya. Melakukan pengkajian secara berkala terhadap kebijakan, program dan capaiancapaian dari pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, lembaga penyelenggara negara lainnya dan lembaga-lembaga masyarakat. Membuat indikator untuk memantau implementasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Mengeluarkan rekomendasi termasuk rekomendasi tentang suatu tindakan sebagai pelanggaran hak asasi perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan. Menerima dan memfasilitasi laporan atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran hak-hak perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan Melakukan pengkajian dan riset bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset/penelitianxv Menghimpun dan mengelola data base kasus-kasus pelanggaran hak asasi perempuan Melakukan pemeriksaan gender secara partisipatoris dengan masyarakat, terutama dari kalangan penerima manfaat terakhir.
Pada saat Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini diajukan, terdapat beberapa kelembagaan yang dikaji, antara lain: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada awalnya, Komisi ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Komisi Ombudsman Nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Pada awalnya, Komisi ini ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Komisi Pemberantasan Korupsi, yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Penyiaran Indonesia, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Komisi Hukum Nasional, sebagaimana dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional. Tugas pokok dan fungsi komisi/lembaga ini tidak memiliki mandat khusus sehubungan dengan menjamin Persamaan dan Keadilan Untuk Perempuan. Adapun Komisi Hukum Nasional terdiri dari 4 (empat) orang anggota (termasuk seorang Ketua dan seorang Sekretaris). Tugas Komisi ini: 1. Memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan oleh Pemerintah dan tentang masalahmasalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional. 56
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
2. Membantu presiden dengan bertindak sebagai Panitia Pengarah (Steering Committee) dalam mendesain rencana umum pembaruan di bidang hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum dan rasa keadilan, dalam upaya mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan kepada hukum dan penegakkan hukum, serta dalam menghadapi tantangan dinamika globalisasi terhadap sistem hukum di Indonesia. Fungsi: 1. Mengkaji masalah hukum untuk masukan kepada Presiden sebagai tindak lanjut kebijakan di bidang hukum. 2. Menanggapi masalah hukum yang memprihatinkan masyarakat sebagai pendapat kepada Presiden 3. Membantu Presiden dengan bertindak sebagai Panitia Pengarah dalam mendesain rencana pembaruan hukum. 4. Melaksanakan tugas lain di bidang hukum dari Presiden yang berkaitan dengan fungsi Komisi Hukum Nasional. Beberapa kelembagaan di Indonesia mengenai perempuan dan tugas pokok dan fungsinya, antara lain: 1. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KPP-PA 1.1. Dasar Hukum : Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 1.2. Tugas Pokok dan Fungsi KPP-PA yaitu : 1) Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA); 2) Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang PP dan PA dan 3) Pengawasan atas pelaksanaan Tugas bidang PP dan PA. 1.3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 Visi : Terwujudnya Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak Misi : Meningkatkan Kesejahteraan dan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak. Tiga grand strategy yang digunakan yaitu : a) Mewujudkan kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender; b) Menjamin perlindungan hak-hak perempuan dan anak; c) Memperkuat kelembagaan dan jejaring kerja secara akuntabel 2. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2.1. Dasar Hukum: Keputusan Presiden No. 1818/1998 jo Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. 2.2. Pembentukan (Pasal 1): Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan sertapenghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2.3. Tujuan (Pasal 2): a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan. 57
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
2.4. Tugas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; b. melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan; c. melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; d. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan; e. mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan. Berdasarkan semua konsep dan pemaparan di atas, dalam Naskah Akademik dan UndangUndang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini diusulkan kelembagaan untuk memastikan efisien dan efektifnya mekanisme menjamin Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan, yang meliputi: R.1. Penguatan Kedudukan Kementerian untuk Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Mengenai Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang saat ini telah ada, Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini mengusulkan dikuatkannya kedudukan Kementerian ini untuk menjamin pemerintah memiliki kelembagaan di tingkat kementerian, yang bertujuan memastikan kebijakan, program, anggaran, dan tindakan-tindakan pemerintah sensitif gender dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan, serta menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah, melalui presiden, membentuk Kementerian tersebut. Selain kementerian khusus ini, seluruh kementerian dan lembaga non departemen setingkat kementerian, sebagai bagian dari pemerintah wajib mengadopsi pengarusutamaan gender sebagai strategi untuk memajukan hak-hak perempuan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam sistem, struktur, kebijakan, program, serta prosedur pelaksanaan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat daerah sampai ke desa. R.2. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan
58
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Dewan Nasional Kedudukan Perempuan (DNKP) merupakan lembaga mandiri (independen) yang dibentuk dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan persamaan dan keadilan untuk perempuan. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan berwewenang dan bertanggung jawab meliputi: a. pengawasan dan pemantauan yang terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan untuk memastikan terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hakhak perempuan di semua bidang dan wilayah Indonesia; b. pengawasan dan pemantauan yang terkait dengan penyelenggaraan tindakan khusus sementara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; c. fasilitasi pelaporan tahunan tentang kondisi dan kedudukan perempuan di Indonesia dari pemerintah dan lembaga penyelenggara negara lainnya; d. pengkajian secara berkala terhadap kebijakan, program dan capaian-capaian dari pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah, Lembaga Penyelenggara Negara lainnya, dan lembaga-lembaga masyarakat; e. pembuatan indikator untuk memantau implementasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan pemajuan serta perlindungan hak-hak perempuan; f. pengeluaran rekomendasi, termasuk rekomendasi tentang suatu tindakan sebagai pelanggaran hak-hak perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan; g. penerimaan dan fasilitasi laporan atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran hak-hak perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan; h. pengkajian dan riset bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga riset/penelitian; i. penghimpunan dan pengelolaan data base kasus-kasus pelanggaran hak-hak perempuan; dan j. pemeriksaan gender secara partisipatoris dengan masyarakat, terutama dari kalangan penerima manfaat terakhir. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan berdomisili di ibukota negara dan dapat dibentuk di daerah. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan bertanggung jawab kepada Presiden. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. Dalam melakukan fungsi pembuatan indikator untuk memantau implementasi dan kemajuan capaian pemenuhan hak-hak perempuan, Dewan Nasional Kedudukan Perempuan bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, institusi penegak hukum, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan berwenang melakukan identifikasi, koordinasi, dan memberi rekomendasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, organisasi masyarakat, inistitusi penegak hukum dan profesi hukum, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan, terkait dengan suatu tindak pelanggaran hak asasi perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan.xvi Dalam hal ini, Dewan Nasional Kedudukan Perempuan melakukan kerjasama, identifikasi, koordinasi, dan memberi rekomendasi termasuk dengan dan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban, Komisi Ombudsman, dan sebagainya. Dewan Nasional Kedudukan Perempuan terdiri dari 5 (lima) orang anggota, yang terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua dan 3 (tiga) orang anggota. Keanggotaan 59
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Dewan`Nasional Kedudukan Perempuan berlaku untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya. Kriteria anggota Dewan Nasional Kedudukan Perempuan antara lain: a. perempuan Warga Negara Indonesia; b. mempunyai perspektif hak asasi manusia, hak asasi perempuan, dan keadilan sosial; c. memiliki integritas dan komitmen terhadap penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan; d. mempunyai kemampuan konseptual yang komprehensif dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi perempuan; e. mempunyai keahlian dan kompetensi dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi perempuan; f. berpengalaman minimal 10 (sepuluh) tahun dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi perempuan; dan g. mempunyai komitmen untuk bekerja penuh selama periode masa kerja 4 (empat) tahun. R.3. Pembentukan Gender Focal Point di Perwakilan-Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri Dewan Nasional Kedudukan Perempuan membentuk Gender Focal Point di PerwakilanPerwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Gender Focal Point akan berkedudukan sebagai bagian dari perwakilan Republik Indonesia, dengan tugas yang melekat dengan tugas-tugas Perwakilan-Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan lain. Gender Focal Point memfokuskan pada dan tidak terbatas pada persoalan pelanggaran hak-hak perempuan Indonesia di luar negeri termasuk pekerja migran perempuan dan perempuan yang tinggal di luar negeri karena perkawinan beda warga negara.
R.4. Pembentukan Gender Focal Point di Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang Beroperasi di Indonesia Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang beroperasi di Indonesia wajib melakukan pengarusutamaan gender dalam sistem, struktur, kebijakan, program, serta prosedur pelaksanaan termasuk: (a) perencanaan, penganggaran, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengarusutamaan gender; (b) penunjukan dan penguatan Gender Focal Point; (c) pengelolaan data base gender, data terpilah, dan pembangunan. Untuk melakukan pengarusutamaan gender tersebut, Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang beroperasi di Indonesia wajib membentuk gender focal point, yang bertujuan memastikan kebijakan, program, anggaran, dan tindakan-tindakan yang sensitif gender dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan, serta menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Gender Focal Point tersebut akan berkedudukan sebagai bagian dari Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang beroperasi di Indonesia, dengan tugas yang melekat sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan lain, dan memfokuskan pada dan tidak terbatas pada persoalan pelanggaran hak-hak perempuan, dalam lingkup kewenangannya.
60
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Gender focal point wajib mengelola dan membangun data base gender dan pembangunan termasuk statistik gender, data terpilah yang secara sistematik dikumpulkan dan terkini, yang akan digunakan untuk analisis gender dalam perencanaan program dan perumusan kebijakan. Pelaksanaan tugas dari gender focal point melekat tugas-tugas di Badan Hukum Nasional dan Badan Hukum Asing yang beroperasi di Indonesia dan dilaporkan dalam laporan tahunan masing-masing badan hukum. S. Pembiayaan dan Kerjasama Untuk pelaksanaan dan upaya-upaya pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan, Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab memastikan pembiayaan dan kerjasama. Hal ini termasuk untuk kepentingan pemenuhan hak-hak perempuan korban diskriminasi dan pelanggaran hakhaknya, serta keluarganya. Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya selain bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak korban diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan, juga berkewajiban melakukan berbagai upaya dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan korban dan keluarganya. Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Pembiayaan. Pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan dan upaya-upaya pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan, menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah dan Lembaga Penyelenggara Negara lainnya yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Kabupaten/Kota, ataupun dapat juga dari sumber-sumber lain atas dasar kerjasama yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembiayaan ini termasuk untuk pemenuhan hak-hak korban diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Kerjasama. Untuk melakukan upaya-upaya pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak-hak korban diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan, Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan masyarakat atau dengan pihak lain (instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat lokal/internasional, badan-badan dunia, dan sebagainya) untuk membantu korban mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus yang berkaitan dengan kerahasian korban, pelayanan kesehatan, pendampingan sosial, pendampingan hukum, bimbingan rohani dan dukungan dana bagi pemulihan korban. Kerjasama ini mencakup pula kerjasama dalam rangka penyediaan dana serta penyediaan sumberdaya manusia (tenaga-tenaga ahli) dalam rangka pemenuhan hak-hak korban. Kerjasama yang dimaksud merupakan kerjasama saling menguntungkan atas dasar kemanusiaan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. T.
Sanksi Hukumxvii
Simon menjelaskan bahwa perumusan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang yang diancam dengan hukuman, harus memuat beberapa unsur, diantaranya: Suatu perbuatan manusia, yang dimaksudkan tidak saja perbuatan, akan tetapi juga mengakibatkan, perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengakibatkan) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung 61
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut. Adapun yang dimaksud perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang yang diancam dengan hukuman pidana adalah: a. Pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum b. Suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Yang dimaksud dengan kepentingan hukum adalah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga, agar supaya tidak dilanggar, dan yang kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan masyarakat, jadi setiap kepentingan masyarakat tidak dapat dibiarkan diganggu. Dalam pengaturan sanksi pidana, harus memperhatikan tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidanaxviii: 1) Teori Relatif atau Tujuan (doeltheorien): teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pidana ini biasanya membuat seseorang takut, memperbaiki atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya dilakukan dengan menakuti orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan sangat ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya muncul sebutan adogium latin (neon prudens punit, quia peccantum, sed net peccetur) supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum. 2) Teori Absolut atau Pembalasan (vergeldingstheorien): teori ini muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh Imanuel Kant, Hegel, Herbart, para sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para sarjana hukum islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran Al-quran. Teori absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada pelanggaran. Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana adalah pembalasan. 3) Teori Gabungan (verenigingsthrorien): teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik beratkan pada pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang : a. Menitikberatkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe, Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum. b. Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana 62
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
kedalam kehidupan masyarakat (diterjemahkan dari kutipan Oemar Seno Adji1980). c. Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum. Pidana pengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah. Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Berdasarkan teori tersebut, Indonesia menggunakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas, yang meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidanaxix. Konsep pelanggaran hak asasi manusia dan peradilan hak asasi manusia dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia masih terbatas pada pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga pelanggaran hak asasi perempuan tidak selalu akan masuk ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran hak asasi perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan, ditempuh melalui Peradilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun sanksi yang dapat dikenakan berupa sanksi pidana, sanksi administratif dan ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dasar pertimbangan meratifikasi Konvensi tersebut adalah karena ketentuan-ketentuan CEDAW pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia lainnya. Meski demikian UU tersebut belum dijalankan secara optimal dan memerlukan penguatan melalui UU lain yang dapat secara integratif dan komprehensif memastikan Pemerintah dan Lembaga-lembaga Penyelenggara Negara lainnya menjalankan amanat memastikan 63
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
tercapainya Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan dalam rangka pengarusutamaan gender. Di tingkat nasional, landasan hukum adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik Wanita, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Berbagai Konvensi Internasional yang menyatakan secara jelas tentang kesetaraan gender, antara lain Universal Declaration of Human Rights, The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, The Optional to CEDAW, Beijing Declaration dan Platform for Action, dan Millenium Development Goals. Kesetaraan gender diwujudkan melalui strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan nasional termuat dalam proses perencanaan kebijakan, sistem penganggaran dan manajemen kinerja. Kesetaraan gender mensyaratkan diakui, dihormati dan dilindunginya hak-hak asasi perempuan, yang berarti dipastikannya Persamaan dan Keadilan Untuk Perempuan. Untuk memastikan penegakan hak-hak asasi perempuan, diusulkan ditetapkannya Dewan Nasional Kedudukan Perempuan (DNKP) yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan dan pemantauan yang terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia untuk memastikan terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi perempuan di semua bidang dan wilayah. B. Saran Naskah Akademik beserta Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan merupakan suatu kesatuan yang saling mengisi, mendukung, dan harmonis. Penyusunan Naskah Akademik beserta Rancangan Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini seharusnya ditindaklanjuti dengan penyusunan bahan-bahan atau materi-materi advokasi dan kampanye untuk digunakan dalam advokasi dengan tujuan advokasi kepada para pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) dalam pembahasan hingga disahkannya Undang-Undang tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan ini.
64
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
LAMPIRAN Bagan Mekanisme Pemenuhan Hak Perempuan Kewenangan
HAK ♀
Masyarakat: - ♂♀ - Organisasi masyaraka t
-
Jaminan Penghormatan Perlindungan Pemenuhan Pengawasan o Akses o Manfaat o Penikmatan
Kewajiban
program
Pemerintah/KPPPA
Kebijakan Aparat Penegak Hukum
pembuatan nn
DPR Komnas HAM
memantau
memastikan
??? Independen
LPSK KPAI Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
i
Pancasila sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke 5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
65
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
ii
Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak asasi semua manusia, perempuan dan laki-laki, masih kuat berbias pada identitas dan kepentingan laki-laki dengan penggunaan istilah ‘his, mankind, brotherhood’ dll, yang memberi contoh mengenai bagaimana yang dianggap universal sesungguhnya sering merefleksikan subjektivitas laki-laki dan penggunaan laki-laki sebagai standard kemanusiaan pada umumnya. iii
Satu contoh saja yang ditulis oleh Wildan Hasan dalam blog-nya, (http://wildanhasanblogspot.com/2009/03/nasaruddinumar-kembali-buat0ulah.html) diunduh 14 April 2011, berjudul provokatif bernuansa kebencian “Nasaruddin Umar kembali buat ulah..”, mengkritik keras pandangan-pandangan adil gender sebagai bertentangan dengan agama. iv
Umar, Nasaruddin. (2003). Teologi Jender Antara Mitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero.
v
Umar, Nasaruddin, ‘Penafsiran Kitab Suci Berwawasan Jender: Tinjauan terhadap Ragam dan Bias Interpretasi Teks AlQur’an’, dalam Kristi Poerwandari dan Rahayu Surtiati Hidayat (2000), ‘Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah, 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita’, hal. 169 – 204. Jakarta: Penerbit Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia. vi
Nasaruddin Umar, 2003, hal. 228 Liputan media (Kasus Yogya bagi SMU Negeri, Banjarnegara, Indramayu, Cirebon, Tangerang, dan Tasikmalaya, Cianjur) viii Hasil pemantauan peradilan (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) yang dilakukan Jaringan Pemantauan Peradilan Pidana terpadu di beberapa wilayah seperti Kupang, Manado, Jakarta, Medan dan Palembang pada periode 2004-2005 vii
ix
Hasil temuan di dampingan Syarikat Indonesia, Yogyakarta Kasus di komunitas Cina Benteng, Jakarta Barat, dimana mereka diharuskan membayar mahal untuk pengurusan KTP xi Jumlahnya mencapai 17% dari total populasi penduduk Indonesia (Siagian, 2005). xii Report of the Special Rapportour on the Situation of Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous People, Rodolvo Stavenhagen E/CN.4/2003/90). xiii Baca berbagai rangkuman penelitian tesis yang dipadatkan dalam buku ‘Pengetahuan dari Perempuan’, Kumpulan Penelitian Tesis dan Wajah Lulusan, 1990 – 2010 (buku satu dan dua) yang diterbitkan Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, November 2010. xiv instrumen pokok HAM internasional bagi aparatur hukum, ELSHAM xv Kerjasama ini lebih ditujukan untuk perguruan tinggi yang menggunakan APBN/APBD agar riset dan kajian yang dilakukan lebih bertanggung jawab xvi Rekomendasi dapat bersifat kasus per kasus atau secara berkala xvii Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan : x
C. BATANG TUBUH Pasal 42. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal (-pasal). Pasal 43. Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: (1) Ketentuan Umum; (2) Materi Pokok yang Diatur; (3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan); (4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan); (5) Ketentuan Penutup. Pasal 44. Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur. Pasal 45. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. Pasal 46. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab. Pasal 47. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. C.3. Ketentuan Pidana Pasal 85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. Pasal 86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundangundangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
66
Draft Naskah Akademik RUU tentang Persamaan dan Keadilan untuk Perempuan
Pasal 87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. Pasal 88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. Pasal 89. Jika di dalam Peraturan Perandang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang berisi ketentuan peralihan. Jika tiidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup. Pasal 90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Pasal 91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perandang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98; b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam pasal (-pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak pidana khusus. 92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang. 93. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi. 96. Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. 99. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan; b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau c. kedua-duanya. xviii
Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Prof. Satochid Kartanegara S.H. dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka. Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hal. 74-75. xix Op cit hal. 67
67