NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK PRODUK TEMBAKAU TERHADAP KESEHATAN
2
DAFTAR ISI I.
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG B. MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN C. LINGKUP PENGATURAN
II.
KONDISI A. KONDISI YANG ADA B. KONDISI YANG DIINGINKAN
III.
ASAS, A. B. C.
IV.
MATERI MUATAN PENGATURAN 1. Produk tembakau/rokok; 2. Ekspor dan impor tembakau, rokok, dan cengkeh; 3. Pajak dan cukai produk tembakau/rokok; 4. Pengendalian distribusi dan peredaran produk tembakau/rokok; 5. Pengendalian periklanan produk tembakau/rokok; 6. Pengembangan kawasan bebas produk tembakau/rokok; 7. Perlindungan konsumen produk tembakau/rokok; 8. Peran serta masyarakat; 9. Penegakan hukum dan ketentuan sanksi.
V.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
VI.
PENUTUP
LAMPIRAN
SUBYEK, DAN OBYEK PENGATURAN ASAS PENGATURAN SUBYEK PENGATURAN OBYEK PENGATURAN
3
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG
Tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau sudah lama menjadi masalah yang bersifat kompleks, tidak saja menyangkut masalah di bidang kesehatan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari tembakau tersebut dalam tataran nasional menyangkut masalah ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, kultural, yang tidak jarang berdampak psikologis. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak psikologis dan bahkan politis. Dalam kehidupan nasional dan internasional, sudah lama orang mengenal tembakau sebagai suatu bahan yang dipergunakan untuk membuat rokok. Tembakau dalam masyarakat tradisional Indonesia, di samping digunakan sebagai bahan dasar (utama) rokok, juga antara lain dipergunakan sebagai susur dalam kegiatan mengunyah sirih pada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia (misal Jawa). Dalam kaitannya dengan bidang kesehatan, penggunaan tembakau sebagai bahan dasar rokok menjadi masalah sendiri, karena zat utama nikotin yang dikandungnya yang menurut berbagai ahli kesehatan (khususnya dokter) dan dari berbagai literatur di bidang kesehatan dan kefarmasian dikategorikan sebagai zat adiktif. Di samping itu, nikotin sebagai zat adiktif juga dikategorikan sebagai bahan kimia berbahaya. Apabila tembakau sebagai bahan dasar rokok kemudian dibakar (melalui kegiatan merokok) maka akan menimbulkan akibat langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan si perokok (perokok aktif) dan lingkungan si perokok secara tidak langung (perokok pasif). Oleh karena itu apabila dikaitkan dengan definisi kesehatan dalam UU No. 23/1992 yang berbunyi: Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan soial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis, maka menjadi bahan perdebatan panjang apakah tembakau yang menjadi bahan dasar rokok ketika dibakar (melalui kegiatan merokok) kemudian diisap oleh si perokok (aktif) maupun lingkungannya (pasif) merusak kesehatan atau tidak. Dari berbagai penelitian dan pengkajian tentang tembakau dan produkproduk yang berasal dari tembakau (rokok) dapat disimpulkan bahwa produk tembakau atau rokok membahayakan kesehatan si perokok dan lingkungannya. Sedangkan hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dalam kehidupan manusia merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak dasar ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dan harus dijunjung tinggi dan dihormati agar setiap orang dapat menikmati kehidupannya dengan sejahtera.
4
Dalam kaitannya dengan hak dasar warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat yang dijamin dalam UUD 1945 tersebut maka dalam program pembangunan nasional sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 (selanjutnya disingkat TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN) salah satu program pembangunan nasional adalah meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabiitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Selanjutnya program tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (selanjutnya disingkat UU No. 25/2000) dalam program lingkungan sehat yang berisi antara lain: a.
Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat yang mendukung tumbuh kembang anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan memungkinkan interaksi sosial, serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat yang optimal.
b.
Lingkungan yang diharapkan adalah kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat fisik, mental, sosial dan spiritual. Lingkungan tersebut mencakup unsur fisik, biologis, dan psikososial. Berbagai aspek lingkungan yang membutuhkan perhatian adalah tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat, dan lingkungan yang memungkinkan kecukupan ruang gerak untuk interaksi psikososial yang positif antar anggota keluarga maupun anggota masyarakat. Lingkungan yang kondusif juga diperlukan untuk mendorong kehidupan keluarga yang saling asih, asah, asuh untuk menciptakan ketahanan keluarga dari pengaruh negatif diantisipasi adalah pembukaan lahan baru, permukiman pengungsi, dan urbanisasi yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit vektor, perubahan kualitas udara karena polusi, dan paparan terhadap bahan berbahaya lainnya. Peningkatan mutu lingkungan mensyaratkan kerjasama dan perencaan lintas sektor bahkan lintas negara yang berwawasan kesehatan.
c.
Sasaran yang akan dicapai oleh program ini adalah (1) tersusunnya kebijakan dan konsep peningkatan kualitas lingkungan di tingkat lokal, regional dan nasional dengan kesepakatan lintas sektoral tentang tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; (2) terselenggaranya upaya peningkatan lingkugnan fisik, sosial, dan budaya masyarakat dengan memaksimalkan potensi sumber daya secara mandiri; (3) meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk memelihara lingkungan sehat; (4) meningkatnya cakupan keluarga yang mempunyai akses terhadap air bersih yang memenuhi kualitas bakterilogis dan sanitasi lingkungan di perkotaan dan perdesaan; (5) tercapainya permukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan di perdesaan dan perkotaan termasuk penanganan daerah kumuh; (6) terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempat-tempat
5
umum termasuk sarana dan cara pengelolaannya; (7) terpenuhinya lingkungan sekolah dengan ruang yang memadai dan kondusif untuk menciptakan interaksi sosial dan mendukung perilaku hidup sehat; (8) terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempat kerja, perkantoran, dan industri termasuk bebas radiasi; (9) terpenuhinya persyaratan kesehatan di seluruh rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lain termasuk pengolahan limbah; (10) terlaksananya pengolahan limbah industri dan polusi udara oleh industri maupun sarana transportasi; dan (11) menurunnya tingkat paparan pestisida dan insektisida di lingkungan kerja pertanian dan industri serta pengawasan terhadap produk-produknya untuk keamanan konsumen. d.
Kegiatan pokok yang tercakup dalam program lingkungan sehat adalah (1) meningkatnya promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga dan masyarakat; (2) meningkatnya mutu lingkungan perumahan dan permukiman termasuk pengungsian; (3) meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan; (4) meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja; (5) meningkatkan wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok.
e.
Di samping program lingkungan sehat dalam UU No. 25/2000 juga diprogramkan perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat yang tujuan umumnya adalah memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya sendiri dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri dan produktif. Hal ini ditempuh melalui peningkatan pengetahuan, sikap positif, perilaku dan peran aktif individu, keluarga dan masyarakat sesuai dengan sosial budaya setempat.
f.
Perilaku masyarakat yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpatisipasi aktif dalam gerakan peningkatan kesehatan masyarakat, sedangkan kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi.
g.
Sasaran umum program pada huruf e adalah terciptanya keberdayaan individu, keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan yang ditandai oleh peningkatan perilaku hidup sehat dan peran aktif dalam memelihara, meningkatkan danmelindungi kesehatan diri dan lingkungan sesuai dengan sosial budaya setempat, khususnya pada masa kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak, remaja, perempuan usia produktif, dan kelompokkelompok lain dengan kebutuhan kesehatan yang khusus.
h.
Sasaran khusus program pada huruf e adalah (1) meningkatnya perwujudan kepedulian perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan bermasyarakat; (2) menurunnya prevalensi perokok, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok, dan bebas NAPZA di sekolah, tempat kerja, dan tempat-tempat umum; (3) menurunnya angka
6
kematian dan kecacatan akibat kelahiran/persalinan, kecelakaan, dan rudapaksa; (4) menurunnya prevalensi dan dampak gangguan jiwa masyarakat; (5) meningkatnya keterlibatan dan tanggung jawab laki-laki dalam kesehatankeluarga; dan (6) berkembangnya sistem jaringan dukungan masyarakat sehingga pada akhirnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat dapat meningkat. i.
Kegiatan pokok dari program pada huruf e dilaksanakan melalui (1) meningkatkan kepedulian terhadap perilaku bersih dan sehat (2) meningkatkan kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak; (3) meningkatkan upaya anti tembakau dan NAPZA; (4) meningkatkan penceggahan kecelakaan dan rudapaksa; (5) meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; (6) memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan potensi dan budaya setempat.
Tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau khususnya rokok bila digunakan (dibakar dan diisap) dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu (perokok aktif) dan masyarakat lingkungannya (perokok pasif), oleh karena dalam tembakau (dan rokok) terdapat kurang lebih 4000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronchitis kronik, dan gangguan kehamilan. Pemerintah dalam mengendalikan tembakau (rokok) telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (selanjutnya disingkat PP No. 81/1999) yang kemudian diubah dengan PP No. 38 Tahun 2000, dan selanjutnya dicabut dan diganti dengan PP No. 19 Tahun 2003. Dalam ketiga PP ini, sebagian dari masalah tembakau (dan rokok) memang telah diatur. Namun demikian berdasarkan penelitian dan pengkajian berbagai peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional, substansi dalam PP tersebut masih kurang komprehensif dan belum dapat ditegakkan secara baik di masyarakat, oleh karena masih banyaknya norma-norma larangan dan kewajiban yang tidak diberikan sanksi secara tegas. Hal ini dapat dimaklumi karena bentuk instrumen hukumnya adalah PP bukan UU sehingga materi muatannya pun terbatas, sebatas apa yang diperintahkan oleh UU-nya (Pasal 44 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan). Di samping itu, dalam kalangan internasional sebagaimana kita ketahui dalam Sidang Majelis Umum atau World Health Assembly yang ke-56 di Geneva bulan Mei 2003 yang lalu, secara aklamasi semua negara anggota WHO telah menyepakati Naskah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Pengendalian Masalah Tembakau (KPMT). Naskah ini merupakan hasil kerja keras negosiasi selama empat tahun, sejak tahun 1999. Pemerintah Indonesia aktif dalam upaya ini, baik dalam pertemuan-pertemuan internasional sebagai negara anggota WHO, maupun dalam pertemuan regional sebagai anggota WHO kawasan Asia Tenggara (WHO-SEARO) maupun sebagai anggota ASEAN. FCTC ini merupakan instrumen hukum internasional pertama yang dibuat oleh WHO, dan merupakan terobosan dalam upaya pengendalian masalah
7
tembakau secara global. Bukti-bukti yang sahih dan meyakinkan telah menunjukkan bahwa nikotin dalam tembakau menyebabkan adiksi (kecanduan) dan substansi kimia lainnya yang dikandung dalam tembakau maupun yang ada dalam asapnya merupakan faktor risiko yang menyebabkan gangguan kesehatan dan kematian oleh karena kanker, stroke, dan penyakit lainnya. Untuk Indonesia, FCTC ini sangat penting, oleh karena akan merupakan kerangka pengendalian masalah tembakau secara nasional. FCTC ini akan efektif sebagai instrumen hukum internasional apabila minimal 40 negara telah meratifikasinya. Sebelum meratifikasi, negara yang bersangkutan diharuskan menandatanganinya sebagai bentuk endorsement (dukungan). Sampai akhir Juli 2003 sebanyak 46 negara serta Masyarakat Ekonomi Eropa telah menandatanganinya. Pemerintah Indonesia sampai batas waktu akhir penandatanganan FCTC belum menandatanganinya. Langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk menjadi negara pihak dapat dilakukan melalui aksesi dan kemudian meratifikasinya dengan UU tentang Pengesahan FCTC. Sebagaimana lazimnya, RUU tentang Ratifikasi (Pengesahan) FCTC terlebih dahulu harus didaftarkan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS). Hanya saja langkah-langkah ini tidak ditempuh oleh Pemerintah sehingga terkesan Pemerintah membiarkan atau mengambangkan persoalan rokok. Di tengah kebuntuan hukum sebagaimana telah disebutkan, maka RUU ini nantinya diharapkan dapat memberikan solusi bagi pengaturan masalah tembakau di masa depan. Dengan ditetapkannya RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan dalam Prolegnas tahun 2008-2009, maka kita mempunyai kesempatan untuk membuat regulasi mengenai pengendalian tembakau di Indonesia.
B.
MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengendalian Tembakau (selanjutnya disingkat NA RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan) dimaksudkan untuk memberikan uraian tentang aspek pengaturan pengendalian tembakau dengan segala dimensinya yang dihadapkan kepada masalah yang timbul karena perkembangan keadaan dan perubahan paradigma, dan visi dan misi dalam pengendalian tembakau di masa kini dan masa yang akan datang. Tujuan penyusunan NA RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan adalah untuk memberikan latar belakang, arahan dan dukungan dalam perumusan pengaturan pengendalian tembakau dalam segala dimensinya secara menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Sasaran penyusunan NA RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan adalah terwujudnya tata pengaturan pengendalian tembakau sesuai dengan visi dan misi pembangunan kesehatan manusia Indonesia seutuhnya serta perubahan paradigma pengendalian tembakau
8
dengan telah lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di lingkungan pergaulan internasional.
C.
LINGKUP PENGATURAN
Lingkup pengaturan dalam RUU tentang Pengendalian Tembakau mencakup halhal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pengaturan produk tembakau/rokok; Pengendalian Ekspor dan impor tembakau, rokok, dan cengkeh; Pajak, cukai dan harga tembakau/rokok; Pengendalian distribusi dan peredaran tembakau/rokok; Pengendalian periklanan, promosi dan pemberian sponsor tembakau/rokok; Pengembangan kawasan tanpa tembakau/rokok; Perlindungan konsumen tembakau/rokok; Pembiayaan atau Pendanaan; Peran serta masyarakat; Penegakan hukum dan ketentuan sanksi pidana.
9
BAB II KONDISI
A.
KONDISI YANG ADA
1.
Konsumsi produk tembakau/rokok
Tembakau dan produk-produk turunannya sudah menjadi masalah yang kompleks, tidak saja menyangkut masalah di bidang kesehatan tetapi juga menyangkut masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, baik pekerja pabrik rokok, ataupun petani tembakau, pajak dan cukai, dan tidak jarang juga masalah yang berdampak psikologis. Bahkan, besarnya populasi dan tingginya prevalensi merokok telah menempatkan Indonesia pada urutan ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia pada tahun 2005 yakni dengan tingkat konsumsi sebesar 220 miliar batang per tahun. Jika dilihat dari tren data, sebenarnya konsumsi tembakau/rokok di Indonesia, meningkat secara persisten sejak tahun 1970-an yakni dari 33 miliar batang pada tahun tersebut menjadi 220 miliar batang pada tahun 2005. Demikian juga dengan prevalensi tembakau/rokok pada penduduk berusia 15 tahun atau lebih meningkat dari 27,2% pada tahun 1995, menjadi 34,4% pada tahun 2004. Hal ini memperlihatkan peningkatan angka merokok pada laki-laki dewasa dari 53,4% dalam tahun 1995 menjadi 63,1% dalam tahun 2004. Hanya 1,3% perempuan yang dilaporkan merokok pada tahun 2001 menjadi 4,5% pada tahun 2004 (meningkat lebih dari 3 kali lipat). Perbedaan sangat mencolok dapat dilihat pada tingkat pendidikan, yaitu 67,3% laki-laki tanpa pendidikan dan tidak lulus SD yang merokok, dibandingkan dengan 47,8% laki-laki dengan pendidikan tinggi. •
Remaja merupakan kelompok yang rentan jika dikaitkan dengan perihal tembakau/rokok. Umumnya mereka merokok karena temantemannya merokok, supaya kelihatan dewasa, ingin tahu rasanya, merasa tegang, dan senang merokok (Rice, 1999). Sedangkan menurut penelitian Brotowasisto (2004) alasan remaja merokok karena meniru teman-teman, coba-coba, menghilangkan kejenuhan, memudahkan bersosialisasi, dan menambah semangat. Sebuah survei yg dilakukan oleh Fak. Ilmu Kesehatan Masyarakat Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (2007) pada 353 responden remaja, membuktikan:
•
46,3% (atau satu dari dua) remaja berpendapat iklan rokok mempunyai pengaruh yg besar untuk mulai merokok.
•
41,5% (atau empat dari sepuluh) remaja berpendapat bahwa kegiatan yg disponsori oleh industri rokok mempunyai pengaruh yang sama.
•
terjadi penyesatan opini, dimana 68,2% (atau tujuh dari sepuluh) remaja mempunyai kesan positif terhadap iklan rokok;
•
51,6% (atau satu dari dua) remaja dapat menyebutkan lebih dari 3 (tiga) slogan iklan rokok;
10
•
50% (satu dari dua) remaja perokok merasa dirinya lebih percaya diri seperti yang dicitrakan oleh iklan rokok;
•
37% (empat dari sepuluh) remaja perokok merasa dirinya “keren” seperti yang dicitrakan oleh iklan rokok.
•
8% (satu dari sepuluh) remaja yang telah berhenti merokok, mulai merokok kembali setelah mengikuti kegiatan yg disponsori rokok.
Perilaku merokok dapat diperoleh dari orang tua yang merokok, teman sebaya yang merokok, guru yang merokok, budaya, dan iklan media massa yang menyesatkan, bahaya rokok yang tidak jelas dan sekilas serta hadiah yang menarik untuk remaja. Apapun alasannya, fakta menunjukkan bahwa pada tahun 1995, rata-rata usia mulai merokok adalah 18,8 tahun, yang kemudian menurun menjadi 17,4 tahun pada tahun 2004. Remaja laki-laki berusia 15-19 tahun mengalami peningkatan prevalensi sebesar hampir dua setengah kali lipat yaitu dari 13,7% tahun 1995 menjadi 32,8% pada tahun 2004. Dampak negatif penggunaan tembakau/rokok pada kesehatan telah lama diketahui, dan umumnya penyakit kanker paru merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Produk tembakau menjadi masalah, karena mengandung lebih dari 4.000 (empat ribu) zat kimia seperti nikotin yang merupakan zat adiktif, dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker. Di samping itu, zat-zat kimia yang dikandung rokok juga mengakibatkan penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronchitis kronik, dan gangguan kehamilan. Fakta menunjukkan, bahwa penggunaan tembakau/rokok diperkirakan mengakibatkan 70% kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit paru kronik, bronchitis kronik dan enfisema, 40% kematian karena stroke, dan 90% kematian karena kanker paru. Pada tahun 2020, WHO memprediksikan penyakit yang berkaitan dengan tembakau/rokok sebagai satu-satunya penyebab kematian terbesar yang secara global yang mengakibatkan sekitar 8,4 juta kematian per tahun. Diperkirakan, bahwa separuh dari kematian ini akan terjadi di Asia karena penggunaan tembakau/rokok yang bertambah dengan cepat. Kematian di Asia akan meningkat hampir empat kali lipat dari 1,1 juta di tahun 1990 menjadi 4,2 juta pada tahun 2020. Berdasarkan penelitian di Inggris yang dilakukan oleh Medical Research Council pada tahun 2007 membuktikan bahwa produk tembakau merupakan zat adiktif berbahaya yang membawa kematian dan gangguan sosial yang lebih besar daripada ganja dan ekstasi. Sementara itu, penelitian dari Columbia University dan Drug Watch International berkesimpulan bahwa alkohol dan produk tembakau merupakan pintu masuk menjadi pecandu narkoba. Penelitian ini dilakukan terhadap 30.000 keluarga di Amerika Serikat yang mempunyai anggota keluarga yang perokok. Menyadari akan bahaya tembakau/rokok bagi kesehatan, Pemerintah sebenarnya telah melakukan pengendalian tembakau/rokok melalui Peraturan Pemerintah (PP), yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, yang kemudian diubah dengan PP No. 38 Tahun 2000, dan selanjutnya dicabut dan diganti dengan PP No. 19 Tahun 2003.
11
Kendatipun Pemerintah telah melakukan pengaturan, namun jika dikaji lebih jauh sebenarnya substansi yang diatur dinilai belum memadai dan belum memuaskan, karena kurang komprehensif dan belum dapat ditegakkan hukum tersebut secara baik di masyarakat. Banyaknya norma-norma larangan dan kewajiban yang tidak diberikan sanksi secara tegas, membuat Peraturan Pemerintah (PP) ini hanya menjadi rumusan verbal dan normatif semata. Di pihak lain, bentuk instrumen hukum yang berupa Peraturan Pemerintah (PP), dan bukan Undang-Undang (UU), menjadikan materi muatannya menjadi terbatas dan sempit. Untuk diketahui, seluruh aturan yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) tersebut merupakan pelaksanaan dari mandat Pasal 44 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan. Ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi masalah tembakau/ rokok semakin terlihat terutama dalam melakukan pengendalian tembakau/rokok, baik itu melalui pengenaan pajak yang tinggi, pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor dalam segala bentuk, pelarangan merokok di tempat umum dan tempat kerja, dan sebagainya, karena merasa khawatir, jika intervensi yang dilakukan akan membawa konsekuensi yang buruk bagi perekonomian, misalnya untuk tahun 2007 saja, sumbangan cukai tembakau untuk APBN berjumlah Rp 41 triliun. Dalam konteks perdagangan internasional, nilai ekspor tembakau Indonesia ternyata lebih rendah dari nilai impornya (net ekspor negatif), dimana negara mengalami kerugian devisa sebesar US$ 35 juta pada tahun 2005. Di samping itu juga terdapat kesan, bahwa penurunan penjualan rokok diduga akan menghilangkan jutaan pekerja atau buruh pabrik rokok secara permanen, sementara pengenaan pajak yang tinggi pada tembakau/rokok akan mengakibatkan rendahnya atau turunnya pendapatan pemerintah, atau bahkan penetapan harga tinggi untuk rokok akan mendorong penyelundupan rokok secara besar-besaran. Sesunguhnya, kekhawatiran itu tidak perlu, karena dengan menaikkan harga produk tembakau akan mengurangi konsumsi, terutama pada anak-anak golongan berpenghasilan rendah dan perokok tidak tetap; meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai tembakau; meringankan beban penyakit yang disebabkan oleh tembakau. Sepanjang sejarah kenaikan harga produk tembakau belum pernah menimbulkan penurunan penerimaan pemerintah manapun di dunia ini. Penerimaan pemerintah dari cukai tembakau di Indonesia meningkat sepanjang waktu dan merupakan 7,6% dari total pendapatan pemerintah tahun 2002, yaitu sekitar Rp 23 triliun, dan menjadi Rp 41 triliun pada APBN 2007. Di sisi lain, kerugian akibat hilangnya potensi ekonomi yang diakibatkan oleh konsumsi rokok sebesar 154,84 triliun atau 4,5 kali lipat dari pendapatan cukai pada tahun 2005 yang sebesar 32,6 triliun (Kosen, 2007). Kekhawatiran di sektor tenaga kerja juga kurang beralasan, karena hanya 1,2% dari seluruh pekerja industri yang bergantung pada industri rokok. Departemen Pertanian RI menyebutkan jumlah pekerja pertanian tembakau di Indonesia sekitar 683. ribu atau hanya 1,7% dari jumlah tenaga kerja di sektor pertanian (tahun 2005). Mayoritas pekerja adalah wanita yang pendapatannya hanya 2/3 dari rata-rata upah pekerja industri pengolahan lain. Data-data
12
tersebut menunjukkan bahwa dampak pengendalian produk tembakau tidak besar pengaruhnya terhadap stabilitas ketenagakerjaan, sebagaimana yang selama ini disuarakan oleh produsen rokok. Pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin ternyata lebih besar daripada kelompok keluarga terkaya. Pada keluarga miskin pengeluaran untuk rokok sebesar 12,5%, sementara kelompok keluarga terkaya hanya 9,3% dari pendapatan. Sementara pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin jauh lebih besar dibanding pengeluaran untuk makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan. Pengeluaran untuk rokok 15 kali lipat dari pengeluaran untuk daging, 8 kali lipat dari pengeluaran untuk telur dan susu, 8 kali lipat dari pengeluaran untuk kesehatan, dan 6 kali lipat dari pengeluaran untuk pendidikan. Dari penelitian Semba (Hellen Keller International, Jakarta) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kebiasaan merokok kepala keluarga miskin perkotaan di Indonesia memicu malnutrisi (gizi buruk) pada balita. Dengan demikian, pengendalian produk tembakau justru akan membantu mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kesehatan serta status gizi di kalangan masyarakat miskin. Dalam skala global, Sidang Majelis Umum atau World Health Assembly yang ke-56 di Geneva bulan Mei 2003 yang lalu, secara aklamasi semua negara anggota WHO telah menyepakati Naskah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Pengendalian Masalah Tembakau (KPMT). Naskah ini merupakan hasil kerja keras negosiasi selama empat tahun, sejak tahun 1999. Pemerintah Indonesia aktif dalam upaya ini, baik dalam pertemuan-pertemuan internasional sebagai negara anggota WHO, maupun dalam pertemuan regional sebagai anggota WHO kawasan Asia Tenggara (WHO-SEARO) maupun sebagai anggota ASEAN. FCTC ini merupakan instrumen hukum internasional pertama yang dibuat oleh WHO, dan merupakan terobosan dalam upaya pengendalian masalah tembakau secara global. Pemerintah Indonesia sampai batas waktu akhir penandatanganan FCTC, terbukti belum menandatanganinya. Saat ini, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang tidak meratifikasi FCTC. Secara global, 161 negara dari 192 negara anggota WHO telah meratifikasi FCTC. Dengan demikian, Indonesia sejajar dengan negara-negara terbelakang di Afrika Tengah yang masih terlibat konflik suku seperti Eritria, Zambia, Sierra Leone.
2.
Sikap Terhadap Tembakau/Rokok
Pengaturan terhadap tembakau/rokok, menyangkut dua hal mendasar, yaitu tembakau dan produk turunannya, dan atau perilaku konsumennya. Persoalan pertama berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi tembakau dan produk turunannya, sedangkan persoalan kedua menyangkut tindakan terhadap perilaku merokok di masyarakat. Masalah tembakau merupakan masalah yang dilematis, mengingat keterkaitan berbagai sektor seperti kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, perdagangan dan perindustrian, dan pertanian. Meningkatnya prevalensi merokok dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa perokok merasakan keuntungan dari rokok secara individual. Para
13
perokok merasakan keuntungan yang dirasakan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Terdapat anggapan di kalangan masyarakat, bahwa merokok merupakan hak asasi, dan larangan merokok di tempat umum melanggar hak asasi seseorang. Namun sesungguhnya, banyak perokok tidak sepenuhnya sadar akan risiko penyakit dan kematian dini akibat rokok (private cost), dan sekaligus merokok memberikan beban biaya pada orang yang tidak merokok (financial cost). Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa merokok di tempat umum justeru melanggar hak orang lain untuk menikmati udara bersih dan menyebabkan gangguan kesehatan pada orang yang tidak merokok. Sebagaimana kita ketahui, asap rokok mengandung 4000 bahan kimia, dan 43 diantarannya menyebabkan kanker. Dari ranah psikologis, mengkonsumsi rokok berkaitan dengan pembuatan keputusan atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya (informed decision) tentang bagaimana mereka membelanjakan uangnya (hak konsumen). Anggapan ini didasari atas dua hal, pertama perokok membuat pilihan berdasarkan pengetahuan dengan kesadaran penuh akan untung ruginya merokok.1 Kedua, hanya perokoklah yang akan menanggung akibatnya dan merokok tidak mempengaruhi orang lain.2 Merokok biasanya dimulai sejak remaja atau menjelang dewasa (future cost). Sekitar 70% dari perokok di Indonesia memulai kebiasaannya sebelum berumur 19 tahun, karena terbiasa melihat anggota keluarganya yang merokok. Remaja mempunyai kemampuan terbatas untuk membuat keputusan, dan membatasi kebebasan orang muda untuk membuat keputusan tertentu. Menghindarkan keinginan merokok pada anak-anak dan remaja serta memberikan perlindungan bagi orang yang tidak merokok menjadi hal yang penting untuk menciptakan generasi yang sehat dimasa mendatang. Persoalan lain yang terlihat adalah bahwa ternyata rokok itu banyak sekali dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah yang dicirikan oleh penghasilan dan tingkat pendidikan rendah, sehingga merokok identik dengan kemiskinan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan menaikkan harga jual rokok, melalui kenaikan cukai rokok. Cara ini dilakukan oleh banyak negara maju yang hendak mengurangi konsumen rokok tanpa mengurangi penghasilan negara. Kedua, adalah dengan pembatasan atau pelarangan iklan rokok, promosi dan pemberian sponsor karena ternyata iklan, promosi dan pemberian sponsor meningkatkan konsumsi tembakau dengan menciptakan situasi di mana pemakaian tembakau dianggap baik dan biasa. Selain itu Iklan cenderung mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok; mendorong anak-anak untuk mencoba merokok; dan mengurangi peluang diskusi terbuka tentang bahaya penggunaan tembakau karena adanya pendapatan dari iklan industri tembakau 1
Sejak pertengahan tahun 1990-an, bukti menunjukkan bahwa perusahaan tembakau berusaha menyembunyikan fakta tentang bahaya merokok. Mereka memiliki strategi untuk menyangkal bukti ilmiah tentang dampak kesehatan telah memberikan alasan bagi bagi perokok untuk membenarkan perilaku mereka dan meneruskan merokok karena telah ketagihan tembakau. 2 Anggapan ini tentu saja tidak benar, karena faktanya perokok memaksakan beban fisik dan finansial pada orang lain. Beban ini termasuk risiko kesehatan perokok pasif dan biaya kesehatan masyarakat. Risiko terhadap orang lain dapat ditunjukkan melalui dampak asap. Menghisap asap rokok orang lain yang dikenal dengan asap tembakau di lingkungan adalah sama bahayanya dengan merokok secara aktif. Asap tembakau di lingkungan bersifat karsinogenik bagi manusia, dan tidak ada ambang aman dari paparan asap rokok.
14
3.
Kesehatan Individual
Data konsumsi rokok di dunia cenderung menurun khususnya di negaranegara maju. Keadaan sebaliknya, negara-negara berkembang justru konsumsi rokok justru meningkat, karena lemahnya regulasi dan pengawasan. Meningkatnya konsumsi rokok ini menyebabkan penggunaan tembakau menjadi salah satu penyebab kematian yang meningkat paling cepat di dunia pada saat ini (Shibuya, dkk.:2003). Pada tahun 2020, WHO (2003) memperkirakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau akan menjadi masalah kesehatan utama terbesar, dan menyebabkan sekitar 8,4 juta kematian setiap tahun. Sementara data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa saat ini terjadi perubahan penyebab kematian di Indonesia. Semula penyebab kematian yang utama adalah TBC, kini berubah menjadi stroke. Diduga kuat kematian akibat stroke sangat berkaitan dengan perilaku merokok. Secara global, tembakau merupakan penyebab sekitar 8,8% dari semua kematian pada tahun 2000 (WHO, 2003), yang menunjukkan peningkatan kematian lebih dari satu juta dibandingkan kematian yang terjadi pada tahun 1990. Konsumsi tembakau membunuh satu orang setiap 10 detik (WHO, 2002). Diperkirakan bahwa separuh kematian tersebut terjadi di Asia, karena tingginya peningkatan penggunaan tembakau. Angka kematian akibat rokok di Asia meningkat hampir empat kali lipat dari 1,1 juta pada tahun 1990 menjadi 4,2 pada tahun 2020. Untuk Indonesia, diperkirakan bahwa 4% - 7,9% dari total beban penyakit pada tahun 1990 terjadi sebagai akibat penggunaan tembakau.3 Dewasa ini, diperkirakan satu dari dua perokok jangka panjang akan meninggal dunia. Faktor utama dalam memperkirakan besarnya beban penyakit antara penggunaan tembakau dan terjadinya penyakit kronik adalah lamanya penggunaan rokok. Terdapat selang 20-25 tahun diantara dimulainya waktu kebiasaan merokok dan mulai timbulnya penyakit, seperti kanker paru. Bila lamanya penggunaan rokok menjadi dua kali, insiden kanker paru meningkat sebanyak dua puluh kali (Stanley, 1993). Data lain menyebutkan, kanker paru telah menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di dunia (Albert and Samet, 2003). Pada populasi yang dicirikan oleh perilaku merokok yang sangat luas, dapat menyebabkan 90% kasus kanker paru pada laki-laki dan 70% kasus pada wanita, dengan tingkat kematian melebihi 85%. Penelitian Suryanto (1989) menemukan bukti bahwa risiko kanker paru 7,8 kali lebih besar pada perokok aktif dibandingkan dengan bukan perokok. Sekitar 56-80% dari semua penyakit pernapasan kronik disebabkan oleh tembakau, termasuk bronchitis kronik dan emfisema. Karena bronchitis dikaitkan dengan kesakitan jangka panjang, konsekuensinya adalah beban biaya tinggi pada system kesehatan dalam jangka panjang. Penyakit Jantung dan Pembuluh 3
Perokok Indonesia, 88% menyukai rokok kretek. Rokok kretek sebagaian besar (6070%) terdiri dari tembakau, karena itu memiliki semua potensi bahaya bagi kesehatan yang dikaitkan dengan produk tembakau (Guidotti, 1989). Rokok kretek mengandung 30-40% cengkeh. Komponen utama dari minyak cengkeh adalah eugenol, yang dikaitkan dengan tiga jenis efek terhadap kesehatan: yaitu efek akut, kronik dan efek terhadap perilaku.
15
Darah (CVD). Secara global, tembakau bertanggung jawab untuk 22% seluruh penyakit jantung dan pembuluh darah. Tembakau juga dihubungkan dengan kejadian arteriosklerosis, hipertensi dan gangguan pembuluh darah otak. Sementara itu, terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker rongga mulut pharynx, rongga hidung dan sinussinus, larynx, lambung, pankreas, hati, ginjal, saluran kencing, leher rahim (cervix uteri) dan kanker darah/leukemia (IARC, 2002). Selain kanker, wanita perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko terhadap penurunan kesuburan (Hull, dkk., 2000). Untuk laki-laki, merokok juga meningkatkan risiko impotensi sampai dengan 50% (Tengs TO, Osgood ND, 2001).
4.
Dampak kesehatan keluarga
Pada tahun 2004, tiga dari empat rumah tangga di Indonesia (71%) memiliki paling sedikit satu anggota keluarga yang merokok. Hampir semua perokok (84%) merokok di rumah ketika sedang bersama dengan anggota keluarga lainnya. Bahkan pada tahun 2007, terjadi peningkatan menjadi 85,4% (Riskesdas, 2007). Diperkirakan lebih dari 97% penduduk Indonesia terpapar secara tetap pada asap tembakau lingkungan dirumah mereka sendiri, 43 juta diantaranya adalah anak-anak usia 0-14 tahun. Data dari GYTS (2006), anak yang berusia 13-15 tahun sebanyak 81% terpapar asap rokok di tempat umum, dan data ini merupakan tertinggi di dunia. Perokok pasif mempunyai risiko terkena penyakit akibat rokok sama besarnya dengan perokok aktif, namun risiko ini tidak banyak diketahui orang. Berbagai penelitian telah membuktikan secara meyakinkan bahwa ibu perokok aktif yang hamil dan/atau ibu yang terpapar oleh asap rokok (perokok pasif) selama kehamilan, merupakan penyebab utama terjadinya bayi dengan berat badan lahir rendah, keguguran spontan, menderita cacat bawaan, perkembangan otak terganggu, lahir mati dan komplikasi pada saat melahirkan. Semakin banyak ibu merokok selama hamil, semakin besar pula kemungkinan berkurangnya berat badan bayi waktu lahir. Berat badan bayi waktu lahir yang rendah, dikaitkan dengan kesehatan anak dan bayi yang buruk, termasuk peningkatan “stunting” pada masa anak-anak. Fakta-fakta menyimpulkan bahwa bayi dan anak yang terpapar asap rokok menunjukkan peningkatan kemungkinan terkena infeksi saluran pernafasan bagian bawah, penyakit telinga bagian tengah, gejala penyakit saluran nafas kronik, asma, menurunnya fungsi paru yang berkaitan dengan menurunnya tingkat pertumbuhan paru, dan meningkatkan terjadinya kematian mendadak pada bayi atau sudden infant death syndrome (SIDS). Sudah lama diketahui bahwa orang bukan perokok yang hidup serumah dengan perokok aktif mempunyai risiko lebih besar terkena kanker paru dan penyakit lainnya yang berkaitan dengan terhirupnya zat beracun dari lingkungan yang tercemar asap rokok. Wanita yang tidak merokok yang terpapar asap rokok di dalam rumah, mempunyai risiko yang lebih besar mendapatkan kanker paru sebesar 20% hingga 30%. Akibat dari tingginya persentase perokok yang melakukan kebiasaan merokok di dalam rumah, maka prevalensi perokok pasif
16
menjadi 97.560.002 orang untuk semua golongan umur, atau 48,9 % dari populasi. Dilihat menurut wilayah tempat tinggal, wanita yang tinggal di pedesaan mempunyai prevalensi tertinggi untuk menjadi perokok pasif, yaitu 70,6 %. Data Susenas 2001, 65 juta perempuan Indonesia dan 43 juta anakanak berumur antara 0-14 tahun terpapar asap rokok di rumah dan menjadi korban. Survey Kesehatan Nasional 2001, mendapatkan data tentang kematian pada 3.441 rumah tangga. Sekitar 9,2% kematian pada usia 35 tahun ke atas dapat dikaitkan dengan perilaku merokok. Sebab kematian utama pada tahun 2001 adalah penyakit jantung dan pembuluh darah dan penyakit pernapasan. Demikian pula data dari Riskesdas 2007 seperti yang telah dikutip di atas.
5.
Pertanian/Perkebunan Tembakau
Terdapat empat negara memproduksi hampir 2/3 suplai daun tembakau dunia yaitu Cina, Brasil, India, dan Amerika Serikat. Keempat negara ini memproduksi lebih dari 4 juta ton daun tembakau setiap tahun, atau kurang lebih 64% dari produksi dunia. Sementara itu, kontribusi Indonesia hanya sekitar 141.000 ton daun tembakau atau 2,1% saja dari total suplai dunia pada tahun 2005. Total produksi tembakau Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hampir seluruh produksi (90%) tembakau Indonesia berasal dari tiga provinsi. Produksi tembakau terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur (55%) kemudian Jawa tengah (22%) dan NTB (12%) dan sisanya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Bali. Ini membuktikan bahwa area pertanian tembakau sangat terkonsentrasi hanya di beberapa provinsi saja. Pada tahun 2005, luas lahan pertanian untuk penanaman tembakau adalah hanya 0,86% (atau kurang dari 1%) dari total lahan pertanian semusim. Proporsi lahan pertanian semusim yang digunakan untuk menanam tembakau secara umum telah menurun sejak tahun 2001, dari 1,2% menjadi 0,86%. Sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2001 dari seluruh pekerja di Indonesia, 43,8% bekerja di sektor pertanian, 32,6% di sektor jasa, dan 23,6% di sektor industri. Selama periode 1985-2001 terdapat penurunan pekerja di sektor pertanian sebesar 11% sebaliknya terdapat kenaikan di sektor jasa (4%) dan industri (32,6%). Hal ini menunjukkan adanya pengalihan alamiah lapangan usaha di Indonesia dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Di sektor pertanian tembakau, persentase petani tembakau sebesar 1,6% (683.603 petani tembakau) dari seluruh pekerja sektor pertanian atau 0,7% (masih di bawah 1%) dari seluruh tenaga kerja.
6.
Pengolahan Produk Tembakau
Berdasarkan pemesanan pita cukai, produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) tahun 1995 sampai 2006 meningkat 23% dari 198 miliar batang menjadi 244 miliar batang. Produksi SKT meningkat 66% dari 57 miliar menjadi 96 miliar batang, sementara
17
SKM meningkat 12%, sedangkan SPM turun menjadi 36%. Dengan luas lahan pertanian tembakau yang relatif konstan, bahkan cenderung menurun sebagai sumber pemasok daun tembakau domestik, produksi rokok naik 7 kali lipat dari 35,5 miliar batang (tahun 1961) kemudian menjadi 220 miliar (tahun 2005). Untuk memenuhi kebutuhan industri rokok dalam negeri sangat mungkin menggunakan sumber dari non-domestik (impor). Pada tahun 2004, terdapat 810 industri rokok skala besar dan sedang4 yang merupakan 3,9% dari total industri manufaktur, dimana 225 (28%) diantaranya adalah industri besar dan 585 (72%) sisanya adalah industri sedang. Data BPS tahun 2004 menunjukkan jumlah tenaga kerja industri rokok adalah 258.678 orang atau hanya sebesar 1,16% dari total tenaga kerja industri dan hanya 0,3% (dibawah 1%) dari seluruh tenaga kerja. Faktor terpenting yang mempengaruhi lapangan kerja pada industri pengolahan tembakau adalah mekanisasi dan teknologi lain yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas. Mekanisasi produksi rokok di Indonesia, sebagai contoh telah mengurangi biaya pekerja secara substansial. Sebuah studi memperkirakan bahwa proporsi biaya/ongkos kerja pada SKT adalah 12% dibandingkan 0,4% pada SKM. Data BPS pada 2006 menunjukkan penghasilan rata-rata per bulan pekerja industri rokok adalah sebesar Rp 689.000,00 per pekerja atau 72% dari rata-rata penghasilan bulanan pekerja industri pengolahan lain (Rp 961.000,00 per pekerja).
7.
Tarif Cukai Tembakau
Berdasarkan data, kontribusi penerimaan cukai tembakau menurun dari tahun 2004 sebesar 8,35% menjadi 5,67% pada tahun 2006. Struktur cukai tembakau di Indonesia cukup rumit. Beberapa faktor yang menentukan pengenaan cukai tembakau adalah jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Kompleksitas pengenaan tarif ini membuka celah untuk penyiasatan industri agar dapat membayar cukai lebih rendah. Sistem penjenjangan cukai dan harga jual berdampak ganda: pada tingkat perusahaan, tarif cukai berjenjang memberikan insentif bagi perusahaan besar untuk membeli atau mengontrak perusahaan-perusahaan kecil untuk mengolah produk tembakau/memproduksi rokok dan mendapatkan keuntungan dari tariff cukai serta harga jual yang rendah. Pada tingkat konsumen, rokok dan berbagai produk tembakau lainnya dapat saling menggantikan. Oleh karena itu, ke depan sistem penetapan cukai rokok perlu dibuat lebih sederhana.
4
Menurut BPS, batasan skala industri adalah industri besar dengan jumlah pekerja 100 orang atau lebih, industri sedang dengan jumlah pekerja 20-99 orang, industri kecil dengan jumlah pekerja 5-19 orang, dan industri rumah tangga dengan jumlah pekerja 1-4 orang.
18
B.
KONDISI YANG DIINGINKAN
1.
Lingkungan Hidup yang Sehat
Kegiatan merokok akan menimbulkan akibat langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan si perokok (perokok aktif) dan lingkungan si perokok secara tidak langung (perokok pasif). Artinya, kegiatan merokok sebenarnya tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga orang lain yang berada disekitarnya. Padahal menurut konstitusi, setiap orang berhak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28 H ayat (1) yang berbunyi: Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Berbagai penelitian independen membuktikan bahwa asap rokok orang lain (AROL) berbahaya bagi kesehatan. Penelitian Anwar Jusuf, Guru Besar FKUI menyatakan bahwa risiko yang ditimbulkan pencemaran udara jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang ditimbulkan akibat rokok. Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, termasuk 43 bahan penyebab kanker yang telah diketahui. Hal ini menyebabkan tidak terdapat ”tingkat aman” pada lingkungan yang terpapar dengan asap tembakau. Hasil penelitian ilmiah independen menyimpulkan bahwa asap rokok menyebabkan bahaya kesehatan serius (WHO:2003). Karbon monoksida (CO), yang menyumbang sekitar 4% dari asap rokok untuk setiap batang rokok, mempunyai daya ikat yang kuat terhadap sel darah merah dibandingkan oksigen. Sel darah merah mendistribusikan oksigen ke seluruh bagian tubuh. CO juga meningkatkan penyimpanan kolesterol di pembuuh darah arteri. Oleh karena itu, mengingat berbahayanya udara yang terpapar asap rokok dan hak individu terhadap udara bersih, maka perilaku merokok ini perlu dikendalikan. Hak dasar tersebut tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dan harus dijunjung tinggi dan dihormati agar setiap orang dapat menikmati kehidupannya dengan sehat dan sejahtera. Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Lingkungan yang diharapkan adalah kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat fisik, mental, sosial dan spiritual. Lingkungan tersebut mencakup unsur fisik, biologis, dan psikososial. Pemerintah sebenarnya mempunyai program lingkungan sehat, salah satunya adalah meningkatkan wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok. Namun faktanya program ini belum terwujud secara optimal. Sasaran umum program lingkungan sehat adalah terciptanya keberdayaan individu, keluarga dan masyarakat dalam bidang kesehatan yang ditandai oleh peningkatan perilaku hidup sehat dan peran aktif dalam memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri dan lingkungan sesuai dengan sosial budaya setempat, khususnya pada masa kehamilan, masa bayi,
19
dan kanak-kanak, remaja, perempuan usia produktif, dan kelompok-kelompok lain dengan kebutuhan kesehatan yang khusus. Sasaran khusus program ini adalah (a) meningkatnya perwujudan kepedulian perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan bermasyarakat; (b) menurunnya prevalensi perokok, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok, dan bebas NAPZA di sekolah, tempat kerja, dan tempat-tempat umum; (c) menurunnya angka kematian dan kecacatan akibat kelahiran/persalinan, kecelakaan, dan rudapaksa; (d) menurunnya prevalensi dan dampak gangguan jiwa masyarakat; (e) meningkatnya keterlibatan dan tanggung jawab laki-laki dalam kesehatan keluarga; dan (f) berkembangnya sistem jaringan dukungan masyarakat sehingga pada akhirnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat dapat meningkat. Kegiatan pokok dari program lingkungan sehat dilaksanakan melalui (a) meningkatkan kepedulian terhadap perilaku bersih dan sehat (b) meningkatkan kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak; (c) meningkatkan upaya anti tembakau dan NAPZA; (d) meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; (e) meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; (f) memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan potensi dan budaya setempat.
2.
Pengaturan Pengendalian Tembakau/Rokok yg Komprehensif
Sampai dengan batas akhir penandatanganan, Indonesia tidak menanandatangani FCTC, meskipun Pemerintah Indonesia ikutserta selama empat tahun penuh dalam serangkaian pembahasan dan negosisasi sebelum FCTC disepakati secara aklamasi dalam sidang World Health Assembly (WHO) pada bulan Mei 2003. FCTC adalah traktat atau konvensi internasional yang pertama dalam pengendalian tembakau. Tujuannya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena penggunaan tembakau. FCTC merupakan instrumen yang mengikat secara hukum dalam strategi kesehatan masyarakat global untuk membantu Negara-negara anggota WHO dalam menyusun program-program nasional pegendalian tembakau. Keengganan Indonesia untuk menandatangani FCTC, memang patut disayangkan mengingat estimasi Badan Kesehatan dunia yang menyatakan, bahwa rokok telah membunuh satu diantara 10 orang dewasa di dunia, dan diperkirakan, pada tahun 2020, 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) orang yang mati karena merokok akan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah. Merokok memberi biaya pada orang yang tidak merokok (financial cost), melalui asap yang dikeluarkan, dan menyebabkaan gangguan kesehatan pada orang yang tidak merokok, disamping dapat melanggar hak orang lain untuk menikmati udara bersih. Udara bebas asap rokok sangat penting, karena asap rokok mengandung 4000 bahan kimia, dan 43 senyawa bersifat karsinogen yang dapat menyebabkan kanker pada manusia, dan tidak ada tingkat paparan yang disebut aman;
20
Oleh karena sampai saat ini Pemerintah belum juga mau menandatanani FCTC, maka perlu menyusun peraturan perundang-undangan yang bersifat komprehensif dan holistik untuk mengendalikan tembakau dan produk-produk turunannya mulai dari tahap produksi rokok sampai dengan penggunaan dan ekspor impornya, di tingkat nasional maupun daerah.
21
BAB III ASAS, SUBJEK, DAN OBJEK PENGATURAN
A.
ASAS PENGATURAN
Dalam konsepsi UU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, asas yang dipergunakan adalah asas: Keseimbangan fungsi kesehatan manusia dan lingkungannya dan nilai ekonomi (pajak dan cukai), kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, kelestarian, keadilan, kemandirian, keterbukaan dan akuntabilitas publik.
1.
Asas Keseimbangan Kesehatan Manusia dan Lingkungan dan Nilai-nilai Ekonomi
Tembakau/rokok merupakan komoditi ekonomi yang memberikan lapangan kerja kepada jutaan manusia baik sejak tingkat perkebunan/pertaniannya maupun sampai dengan pemrosesannya pada pabrik rokok. Sebagaimana diuraikan di Bab Pendahuluan tembakau sebenarnya adalah suatu bahan yang mengandung zat yang berbahaya bagi kesehatan yaitu nikotin yang bersifat adiktif sebagaimana ditentukan secara implisit dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan. Untuk mengeksplisitkan pengaturannya khususnya pengendaliannya sejak produksi, distribusi dan konsumsi, maka persoalan Tembakau/Rokok perlu diatur lebih lanjut secara komprehensif. Di satu sisi secara medis/kesehatan zat nikotin yang terkandung dalam tembakau adalah zat adiktif dan termasuk bahan berbahaya bagi kesehatan manusia, namun di sisi lain tembakau (dan rokok kretek) adalah salah satu komoditi ekonomi yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia dan masukan melalui pajak dan cukai tembakau. Di samping tembakau, cengkeh sebagai bahan baku rokok kretek (di samping sebagai bahan baku obat) perlu pula dikendalikan karena mempunyai dua sisi positif dan negatif. Karena kalau sudah dicampur dalam rokok (kretek) dan dibakar akan menimbulkan asap rokok yang berisi berbagai zat bersifat racun yang membahayakan kesehatan manusia, namun di sisi lain cengkeh adalah salah satu bahan baku obat yang bermanfaat antara lain untuk obat batuk. Di samping itu tembakau dan cengkeh juga melibatkan jutaan manusia yang tergantung kehidupannya baik dari tahap perkebunan/pertanian sampai dengan tenaga kerja (dan keluarga yang menjadi tanggungan para tenaga kerja tersebut) di pabrik-pabrik rokok yang tersebar di berbagai kota di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Oleh karena itu untuk mengatur kedua komoditi yang bersifat im dan yang (positif dan negatif) ini dipergunakan asas keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungannya dan nilai ekonomis.
22
2.
Asas Kemanfaatan Umum
Pengendalian tembakau/rokok dilaksanakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kesehatan pribadi maupun umum. Di samping itu pengendalian tembakau/rokok juga diarahkan untuk tidak merugikan kepentingan petani/pekebun tembakau dan cengkeh dengan sasaran alternatif adanya konversi jenis tanaman tembakau ke jenis tanaman lain yang lebih bermanfaat sedangkan tanaman tembakau dikemudian hari akan lebih diarahkan untuk ekspor.
3.
Asas Keterpaduan dan Keserasian
Penyelenggaraan pengendalian dan keserasian dalam pengendalian tembakau/rokok dan cengkeh dilaksanakan secara seimbang dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan baik kepentingan kesehatan, kepentingan ekonomis (pajak dan cukai), maupun kepentingan ketenagakerjaan dengan memperhatikan sifat alami tembakau dan cengkeh dan mengupayakan penelitian yang terus-menerus secara efektif agar didapat tembakau dengan kadar nikotin yang sangat rendah dan berbagai bahan atau zat baik alamiah maupun sintetis yang dapat mengeleminir atau bahkan menghilangkan (zero) kadar nikotin dan kadar zat kimia berbahaya lainnya dalam tembakau.
4.
Asas Kelestarian
Penyelenggaraan pengendalian tembakau/rokok khususnya ditujukan untuk melestarikan warisan budaya bangsa Indonesia secara berkelanjutan khususnya untuk rokok kretek yang merupakan produk andalan Indonesia dengan terus mengembangkan melalui penelitian dan pengkajian tembakau/rokok yang rendah nikotin kalau perlu bebas dari nikotin dan bahanbahan berbahaya lainnya.
5.
Asas Keadilan
Penyelenggaraan pengendalian tembakau/rokok dilakukan merata kesemua lapisan kegiatan masyarakat di seluruh Indonesia dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk melakukan pertanian/perkebunan tembakau dan cengkeh, mendapatkan lapangan kerja pada pabrik-pabrik tembakau/rokok, pemerintah dapat menarik pajak dan cukai tembakau/rokok untuk kepentingan pembangunan kesehatan, dan setiap orang berhak menikmati hasil produk tembakau/rokok yang bebas dari nikotin dan bahan berbahaya serta masyarakat yang tidak merokok dapat bebas mendapatkan udara yang bersih dan sehat sebagai hak asasi manusia yang diatur dan diakui serta dilindungi dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah dijabarkan dalam UU No. 23/1992, PP No. 19/2003 dan berbagai peraturan daerah di berbagai wilayah Indonesia.
6.
Asas Kemandirian
23
Penyelenggaraan pengendalian tembakau/rokok (dan cengkeh) berlandaskan kepada kepercayaan akan kemampuan sendiri dan bukan karena keterpaksaan dari dunia internasional dengan tetap mempertahankan produk andalan rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa yang secara bertahap dilakukan pengujian agar bebas dari nikotin dan bahan-bahan berbahaya lainnya.
7.
Asas Transparansi dan Akuntabilitas
Penyelenggaraan pengendalian tembakau/rokok (dan cengkeh) merupakan proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik baik nasional maupun internasional. Asas ini berlaku pula bagi para pabrikan tembakau/rokok dalam menggunakan dananya untuk berbagai kepentingan publik (kesehatan, pendidikan, olah raga, dsb.).
B.
SUBJEK PENGATURAN
Dalam UU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, masalah subyek/pelaku pengelolaan tembakau/rokok (dan cengkeh) merupakan bagian yang sangat penting. Subyek/pelaku (stake holder) terdiri atas para pabrikan (pengusaha, pelaku usaha) tembakau/rokok, pedagang besar/distributor, pengecer, pengiklan, dan pengguna tembakau/rokok (perokok) dan perokok pasif (orang yang tidak merokok). Di samping itu secara institusional para stake holder lainnya adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota (termasuk aparatur penegak hukumnya di Pusat dan Daerah) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergiat dalam kampanye anti merokok dan lingkungan hidup yang sehat.
C.
OBJEK PENGATURAN
Dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan (yang sekarang sedang proses revisi atau amandemen oleh DPR dan Pemerintah) masalah tembakau/rokok (dan cengkeh) tidak diatur secara eksplisit. Dalam Pasal 44 UU No. 23/1992 berbunyi: (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengdung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. (2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan. (3) Ketentuan mengenai pengaman bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan PP. Dalam Penjelasan Pasal 44 tersebut dikatakan bahwa: (1) Bahan yang mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya. (2) Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan
24
bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain. (3) Cukup jelas. Jika kita baca secara teliti, norma yang mengatur zat adiktif tersebut kurang jelas (implisit) karena masih diatur secara umum. Oleh karena itu kemudian dilahirkan UU No. 9/1976 tentang Narkotika (yang kemudian diganti dengan UU No. 22/1997) dan UU No. 5/1997 tentang Psikotropika dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Sedangkan zat adiktif lainnya misalnya alkohol juga masih diatur dalam berbagai peraturan perundang-udangan di bawah UU. Khusus untuk zat adiktif nikotin yang dikandung tembakau/rokok pengendalian dan pengawasannya dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (selanjutnya disingkat PP No. 81/1999) yang kemudian diubah dengan PP No. 38 Tahun 2000, dan selanjutnya dicabut dan diganti dengan PP No. 19 Tahun 2003. Pengaturan ini tidak komprehnesif dan tidak holistik karena hanya mengatur beberapa segi saja tentang tembakau/rokok dan juga belum mengatur tentang cengkeh baik sebagai bahan baku obat maupun sebagai bahan penambah rokok kretek yang harus diawasi dan dikendalikan secara layak. Di samping itu, baru-baru ini (2005) juga telah dikeluarkan oleh Pemerintah Prpoinsi DKI Jakarta suatu Peraturan Daerah yang berisi perlunya udara yang bersih dan sehat bagi masyarakat umum yang antara lain mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum. Perda ini sebetulnya substansinya yang berkaitan dengan larangan merokok merupakan turunan dari PP No. 19/2003. Namun karena masalah tembakau/rokok belum diatur secara komprehensif dalam suatu UU (umbrella act) maka dengan sendirinya baik PP-nya maupun Perdanya masih bersifat partial dan hanya mengatur beberapa segi saja tentang tembakau/rokok khususnya masalah peredaran, penggunaan dan iklan rokok saja, bahkan baik dalam PP maupun Perda tersebut tidak mengatur tentang cengkeh sebagai bahan penambah rokok kretek yang paling disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang perokok.
25
26
BAB IV MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
1.
Pendahuluan Berbicara mengenai istilah “materi muatan” 5 kita tidak dapat melepaskan diri dari penciptanya yaitu A. Hamid, SA. Dalam hal ini kita tetap menghormati para ahli hukum dan perundang-undangan seperti Irawan Suyito, Rusminah, Suhino, Yuniartro, Bagir Manan, Solly Lubis, dll.. Di mata penulis A. Hamid, SA adalah “Bapak Perundang-undangan Indonesia” (paling tidak salah satunya). Banyak sekali pendapat, teori, dan istilah yang dikembangkan oleh A. Hamid, SA yang berkaitan dengan dunia perundang-undangan. Salah satunya adalah istilah “materi muatan”, yang diperkenalkannya pada tahun 1979 dalam tulisannya yang berjudul “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam disertasinya pada tahun 1990 dengan judul “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”. Dalam disertasinya, A. Hamid, SA mengeluh belum adanya tradisi di Indonesia untuk menghormati ciptaan dalam bidang ilmiah dibandingkan dengan di negara-negara maju. Menurutnya, di Belanda setiap penulis yang mengutip sesuatu karya cipta ilmiah penulis lainnya (biasanya suatu istilah atau kata atau frasa yang mengandung makna tertentu), selalu disebutkan (biasanya dalam catatan kaki) siapa pencipta istilah atau kata tersebut. Oleh A. Hamid, SA dalam disertasinya dikutipkan berbagai istilah yang diciptakan oleh para ahli hukum dan perundang-undangan Belanda, misalnya van der Hoeven dengan istilahnya “pseudowetgeving”, Mannoury dengan istilahnya “spiegelrecht”, T. Koopmans dengan istilahnya “modificatie” dalam kalimatnya “de wetgever streeft niet meer primair naar codificatie maar naar modificatie”. Berbicara mengenai “materi muatan” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Kalau istilah “peraturan perundang-undangan” dengan segala macam seluk-beluknya barangkali para ahli hukum tata negara sudah banyak membicarakannya dan membahasnya walaupun sampai sekarang pun belum ada kesepahaman mengenai “peraturan perundang-undangan”, namun paling tidak para ahli perundang-undangan telah mengeluarkan berbagai teori. Misalnya teori “undang-undang dalam artian formil 5
Dikutip dari Machmud Aziz, “Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Peundang-undangan”. Materi pokok pelajaran dalam Diklat Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Lgislative Drafting Coures) di Departemen Kehakiman dan HAM dan berbagai Departemen/LPND lainnya, maupun di Pemerintah Daerah/DPRD. Istilah “materi muatan” merupakan terjemahan dari kalimat “het eigenaardig onderwerp der wet te omscrijven” dari Torbecke dalam “Het Wetsbegrip in Nederland”, 1966, hal. 47, karangan Bohtlink/Logemann, yaitu: "De
Grondwet ontleent het begrip van wet enkel van den persoon, die haar maakt. Zij heeft de vraag opengelaten, wat moet bij ons door eene wet, en eat kan op eene andere wijze worden vastgesteld ? Even als andere Grondwetten, heeft zij zich onthouden het eigenaardig onderwerp der wet te omschrijven." (UUD meminjam pemahaman tentang UU hanyalah dari sudut pejabat/lembaga yang membentuknya. UUD membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita (Belanda) harus ditetapkan dengan UU dan apa yang boleh di ditetapkan dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan UUD-UUD lainnya, UUD ini pun berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi UU).
27
dan materiel”, batasan pengertian “peraturan perundang-undangan” siapa “pembentuk peraturan perundang-undangan”, bagaimana “cara membentuk” dan apa “asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik”, dsb. Demikian pula ilmu hukum tata usaha negara telah banyak mempersoalkan kaidah-kaidah bagi teknik dan proses pembentukan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Narnun demikian, menurut A. Hamid, SA keduanya belum menyinggung secara mendalam dan membiarkannya tanpa kejernihan mengenai masalah “materi muatan” peraturan perundang-undangan yang semestinya dirnuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan. Mengenai apa yang harus dimuat dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan baru A. Hamid, SA yang mengeluarkan teorinya secara signifikan pada tahun 1979. Menurut A. Hamid, SA materi muatan UU adalah maetri yang cocok atau khas yang dimuat dalam suatu UU.
2.
Materi Muatan Undang-Undang A. Hamid, SA sebagai konseptor “materi muatan” mengatakan bahwa berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen) ada 18 hal (butir) yang secara tegas-tegas diperintahkan oleh UUD 1945. Namun sesudah terjadinya Perubahan Pertama UUD 1945, Perubahan Kedua UUD 1945, Perubahan Ketiga UUD 1945, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (SIUM MPR 1999, ST MPR 2000, ST MPR 2001, dan ST MPR 2002), yang secara tegas-tegas harus diatur lebih lanjut dengan UU menjadi kurang lebih 40 hal (butir) yaitu: Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E ayat (3), Pasal 23G ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat (1), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), Pasal 24C ayat (6), Pasal 25, Pasal 25A, Pasal 26 ayat (3), Pasal 28I ayat (5), Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (4), dan Pasal 36C. Hal-hal lain yang harus diatur dengan undang-undang adalah hal-hal yang berkaitan dengan asas konstitusionalisme dan asas negara berdasar atas hukum (rechtsstaat). Di samping itu, hal-hal yang membebani masyarakat, mengurangi kebebasan orang atau yang berkaitan dengan HAM juga merupakan materi muatan UU. Apabila ke-40 hal tersebut yang perlu diatur atau ditetapkan dengan undang-undang dirinci, maka kita akan mendapatkan muatan undang-undang yang materi-materinya dapat dirumuskan sebagai berikut: a. yang secara tegas diperintahkan oleh UUD untuk diatur dengan UU; b. yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan UUD dan TAP MPR; c. yang mengatur HAM penduduk, terlepas dari kedudukannya sebagai warga negara atau bukan; d. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; e. yang mengatur pembagian kekuasaan negara, termasuk kekuasaan peradilan dan hakim yang bebas;
28
f. g. h. i. j.
yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara ; yang mengatur pembagian daerah negara atas daerah besar dan kecil; yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan; hal-hal lain yang oleh ketentuan suatu undang-undang, ditetapkan untuk diatur lebih lanjut dengan UU lain.6 yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU (vide Pasal 22A UUD 1945 baru).
Menurut A. Hamid, SA dari apa yang tercantum diatas ternyata materi muatan dalam huruf c kemudian h ialah yang paling luas, karena di dalamnya termasuk hal-hal yang menyangkut pengaturan dengan disertai sanksi pidana, pencabutan hak milik, dan sebagainya yang berkaitan dengan "terganggu" nya hak-hak asasi (HAM) dan hak-hak warganegara. Khusus mengenai “undangundang dalam arti formil” yang tidak mernuat materi peraturan seperti pengesahan perjanjian dan juga penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara, haruslah diakui bahwa karena sifatnya itu maka tidak diperlukan lagi adanya pengaturan lebih lanjut, baik dengan Peraturan Pemerintah maupun dengan Keputusan Presiden Materi muatan Perpu adalah sama dengan UU7. Sebagian besar atau inti dari materi muatan Undang-Undang ajaran A. Hamid SA ini sekarang sudah menjadi hukum positif dengan dimuatnya dalam Bab III UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 8 yang berbunyi:
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kdaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara; b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang.
6
Contoh “UU beranak UU” adalah UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sekarang telah diganti dengan UU No. 4/2004) yang “melahirkan” antara lain UU No. 14/1985 (sekarang diubah dengan UU No. 5/2004), UU No. 2/1986 (sekarang diubah dengan UU No. 8/2004), UU No. 5/1986 (sekarang diubah dengan UU No. 9/2004), dan UU No. 7/1989 (belum diganti atau diubah). 7
Maksudnya bahwa apa yang dapat diatur dalam suatu Undang-Undang juga dapat diatur dalam suatu Perpu yang dibuat oleh Presiden dalam keadaan yang memaksa dan untuk membuat suatu UU terlalu lama padahal masalah yang harus diatasi sangat genting dan mendesak (vide Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945).
29
Berdasarkan ajaran A. Hamid SA tentang ”materi muatan” maupun berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 10/2004, maka masalah pengendalian tembakau/rokok karena menyangkut hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, dan untuk berkreasi dan berekspresi, hak dan keajiban warga negara, keuangan negara, dan untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut, maka pengendalian tembakau/rokok (dan cengkeh) merupakan materi muatan undang-undang.
3.
Materi Muatan UU tentang Pengendalian Tembakau/Rokok Sebagaimana diuraikan di atas, maka materi muatan atau substansi yang berkaitan dengan pengendalian tembakau/rokok (dan cengkeh) sejak dari hilir atau sejak dari produksi tembakau/rokok di industri sampai dengan penggunaannya (konsumsi) serta ekspor/impornya adalah materi muatan undang-undang yang meliputi: 3.1.
Pengaturan produk tembakau/rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. pelaku usaha wajib melakukan pemeriksaan jenis dan kadar kandungan isi dan emisi; b. pelaku usaha dilarang menggunakan bahan tambahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dalam memproduksi rokok; c. pelaku usaha wajib mendaftarkan semua produknya; d. pelaku usaha harus melaksanakan good corporate governance, upah yang sesuai rata-rata industri lainnya, pemberian jaminan yang layak serta tunjangan hari tua bagi para pekerja di pabrik tembakau/rokok; dan e. Pemerintah wajib melakukan pengendalian konsumsi rokok.
3.2.
Pengemasan dan Pelabelan Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Pengemasan dan Pelabelan diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia; b. Dilarang menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan yang memberikan kesan bahwa produk tembakau/rokok tidak membahayakan; c. Harus mencantumkan ”Hanya UntukDijual di Indonesia”; d. Setiap bungkus rokok berisi 20 (dua puluh) batang; e. Pelaku usaha wajib memberikan informasi tentang jenis kandungan isi dan emisi produknya pada setiap bungkus rokok; f. Informasi kandungan isi dan emisi pada tiap bungkus mencantumkan ”Produk ini mengandung bahan-bahan berbahaya.” g. Pelaku usaha harus mencantumkan peringaan kesehatan yang berbentuk gambar gangguan kesehatan (penyakit) akibat rokok;
30
h. Pelaku usaha harus melakukan rotasi peringatan kesehatan tersebut; i. Harus ditetapkan satu ukuran kemasan atau bungkus rokok yang standar sehingga mempemudah pengawasan rokok yang beredar. 3.3.
Harga dan Cukai Tembakau/Rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Pada dasarnya, dalam persoalan harga dan cukai tembakau/rokok tunduk kepada peraturan perundangundangan di bidang cukai. Khusus untuk produk tembakau/rokok dikenakan cukai yang tinggi dengan tujuan mengurangi angka konsumsi; b. Secara normatif, cukai dikenakan kepada barang-barang yang mempunyai sifat: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup atau pemakaiannya perlu pembebanan punguttan negara demi keadilan dan keseimbangan. c. Besarnya cukai paling sedikit 65% dari harga penjualan dengan penyederhanaan menjadi satu tarif untuk semua produk tembakau. Penetapan besaran 65 persen masih lebih rendah dari rata-rata standar internasional. d. Menyimpang dari ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Cukai, tembakau iris (rajangan) harus dikenakan cukai untuk meningkatkan biaya pembuatan rokok buatan sendiri (bukan pabrikan). e. 10% dari seluruh penerimaan negara yang didapat dari cukai rokok harus digunakan untuk sektor kesehatan khususnya pendanaan edukasi dan pencegahan merokok, dan pengalihan tanaman tembakau. Pengalokasian dana ini diperuntukkan untuk pemerintah daerah. Hal ini untuk mengakomodasi semangat otonomi daerah. f. Harus diadakan pengawasan secara ketat untuk menghindari adanya tembakau/rokok ilegal atau penyelundupan.
3.4.
Pengendalian distribusi dan peredaran tembakau/rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Distribusi dan peredaran rokok berlaku atau tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang peredaran dan distribusi barang pada umumnya; b. Distribusi tembakau iris (rajangan) hanya boleh dilakukan oleh pabrik rokok dan pedagang rokok/tembakau resmi yang mempunyai izin usaha perindustrian atau perdagangan; c. Pelaku usaha dilarang menjual produk tembakau atau rokok kepada anak di bawah umur 18 tahun;
31
d. Pemerintah wajib melakukan upaya pencegahan dan pengawasan agar anak-anak di bawah umur 18 tahun tidak melakukan jual-beli produk tembakau atau rokok; e. Guna pencegahan, maka diberlakukan larangan penjualan batang per batang (ketengan); f. Setiap orang dilarang menyuruh anak di bawah umur 18 tahun untuk membeli atau menjual produk tembakau; dan g. Penjualan rokok dilarang menggunakan mesin layan diri. 3.5.
Pengendalian periklanan, promosi, dan pemberian sponsor tembakau/rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. larangan iklan, promosi dan pemberian sponsor dalam bentuk apapun baik jelas dan terang maupun terselubung pada semua media massa (cetak dan elektronik, film, media luar ruang, media telekomunikasi dan media online); b. larangan iklan terselubung melalui bantuan atau sumbangan dana yang diberikan oleh pelaku usaha produk tembakau/rokok; dan c. Media massa dilarang untuk menampilkan gambar, foto atau tayangan yang memperlihatkan orang sedang merokok.
3.6.
Pengembangan kawasan bebas tembakau/rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Larangan merokok di tempat umum dan tempat kerja serta tempat ibadah (rumah sakit, kantor, sekolah, rumah ibadah, kendaraan umum dan sebagainya); b. Tempat umum harus dinyatakan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. c. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui regulasi; d. Pimpinan atau Pengelola suatu tempat umum wajib menjalankan dan mengawasi jalannya KTR; e. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengadakan sosialisasi secara besar-besaran akan akibat rokok bagi kesehatan pribadi, keluarga, masyarakat, lingkungan hidup, dan bangsa secara menyeluruh efisien dan efektif.
3.7.
Perlindungan konsumen tembakau/rokok Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. yang dimaksud dengan konsumen rokok adalah konsumen pengguna (pengisap) rokok (perokok aktif); b. perokok pasif harus dilindungi terhadap bahaya nikotin dan zat-zat berbahaya lainnya dari tembakau/rokok dan cengkeh; c. pemberian labelisasi yang jelas tentang kandungan (ingredient) rokok pada setiap bungkus rokok sehingga tidak menyesatkan dengan berbagai istilah yang selama ini dipakai;
32
d. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur, tentang kandungan dan komposisi dari rokok yang membahayakan kesehatan. 3.8.
Peran serta masyarakat Norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Setiap warga atau kelompok masyarakat, pimpinan institusi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan dapat berperan serta secara aktif untuk memberikan masukan sekaligus pengawasan terhadap jalannya pengendalian tembakau/rokok. b. Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan, dapat melakukan gugatan publik: gugatan perwakilan kelompok (class action), hak gugat LSM (legal standing), dan gugatan oleh warga negara (citizen law suit). c. Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dapat melakukan laporan dan pengaduan atas pelanggaran UndangUndang ini. d. Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dapat memberikan informasi atas pelanggaran Undang-Undang ini.
3.9.
Penegakan hukum dan ketentuan sanksi Norma yang dapat dibuat antara lain adalah: a. Sanksi pidana dikenakan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini. b. Perbuatan-perbuatan yang dikenakan sanksi pidana adalah untuk: 1. pelaku usaha yang tidak mempunyai izin. 2. pelaku usaha yang tidak melakukan kadar isi dan emisi. 3. pelaku usaha yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya. 4. pelaku usaha yang tidak mendaftarkan produknya. 5. Setiap orang yang menjual produk tembakau kepada anak di bawah 18 tahun. 6. Setiap orang yang menyuruh anak di bawah umur 18 tahun untuk melakukan jual-beli produk tembakau. 7. Setiap orang yang menjual rokok secara batang per batang. 8. Pelaku usaha yang menjual produk tembakau dengan menggunakan mesin layan diri. 9. Pelaku usaha yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia dalam pengemasan dan pelabelan. 10. Pelaku usaha yang menggunakan kalimat menyesatkan dalam pengemasan dan pelabelan. 11. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan kalimat ”Hanya untuk Dijual di Indonesia.” 12. Pelaku usaha yang mengemas rokok tidak sesuai dengan ukuran kemasan yang ditetapkan..
33
13. Pelaku usaha yang melakukan pengemasan selain dari 20 batang rokok per bungkus. 14. Pelaku usaha yang tidak memberikan informasi tentang jenis kandungan isi dan emisi. 15. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan kode produksi. 16. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan peringatan kesehatan. 17. Pimpinan atau pengelola tempat umum yang tidak melaksanakan dan mengawasi terwujudnya KTR. 18. Setiap orang yang merokok di KTR. 19. Pelaku usaha yang melakukan jual beli, beriklan, berpromosi dan memberikan sponsor rokok di KTR. 20. Pelaku usaha yang melakukan iklan dan promosi secara langsung atau tidak langsung. 21. Pelaku usaha yang memberikan sponsor pada setiap kegiatan. 22. Perusahaan media cetak, elektronik, dan media lainnya yang memperlihatkan orang yang sedang merokok. c. dibentuknya PPNS pada setiap departemen/LPND dan Pemda Propinsi/Kabupaten/Kota untuk menegakkan UU.
34
BAB V PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Sebagaimana diuraikan dalam Bab terdahulu maka karena masalah tembakau terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan, di bawah ini dalam rangka harmonisasi antara Undang-Undang tentang Pengendalian Tembakau/Rokok dengan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dengan landasan konstitusional UUD Negara RI Tahun 1945, di bawah ini dikutipkan dalam bentuk matriks berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat UUD sampai dengan Peraturan Pemerintah yang substansinya berkaitan dengan UU tentang Pengendalian Tembakau/Rokok. 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 NO
BAB/ PASAL
KETENTUAN
PENJELASAN
REKOMENDASI
1.
Bab XA, Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
Secara filosofis hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan adalah hak yang paling mendasar yang melekat pada setiap orang dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun
1.
Secara filosofis, khususnya hak anak (butir 2) akan merupakan hak yang harus ditegakkan oleh Pemerintah (negara) sebagai generasi penerus bangsa
Hak konstitusional ini secara sosial kemudian dijabarkan ke dalam Pembukaan UUD-RI Alinea keempat sebagai Tujuan Nasional yaitu mensejahterakan kehidupan masyarakat secara fisik dan mental, yang akan dituangkan dalam konsiderans “menimbang” utama RUU. Hak anak ini akan dituangkan dalam norma-norma yang dimuat dalam pasal-pasal perlindungan anak dari dampak negatif tembakau (rokok) dalam Batang Tubuh RUU Hak ini akan dituangkan dalam norma-norma yang dimuat dalam pasal-pasal
2.
Bab XA, Pasal 28 B
2.
3.
Bab XA, Pasal 28 F
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
Hak berkomnikasi dan informasi ini adalah untuk melindungi masyarakat dari
35
4.
Bab XA, Pasal 28 H
memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
iklan atau informasi yang menyesatkan dari setiap zat adiktif
1.
Hak mendapatkan lingkungan yang sehat (butir 1) merupakan hak dasar setiap orang dalam hidup dan mempertahankan kehidupannya sehingga dapat menikmati hak hidup yang dimuat dalam Pasal 28 A di atas
2.
3.
4.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang siapa pun.
perlindungan masyarakat dari iklan atau informasi yang menyesatkan Hak mendapatkan lingkungan kehidupan yang sehat merupakan hak dasar/konstitusion al utama yang akan dijabarkan dalam seluruh pasal-pasal Batang tubuh RUU
UU Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos 5.
Bab III, Pasal 13
Pengiriman benda yang dapat membahayakan kiriman, kiriman pos, atau keselamatan orang, dilarang.
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Penyidik POLRI ataupun PPNS dapat membuka barang/Benda Pos yang dikirimkan yang dicurigai berisi benda yang mengandung zat adiktif
Akan diatur dalam Ketentuan Penyidikan RUU
36
UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 6.
Bab X, Pasal 53
7.
Bab X, Pasal 54
1.
Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas Impor atau Ekspor barang tertentu Wajib memberitahukan kepada Menteri. 2. Ketentuan tentang pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. 3. Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diekspor atau diimpor, jika telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean, atas permintaan importir atau eksportir dapat : a. dibatalkan ekspornya; b. diekspor kembali; atau c. dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai. 4. Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atau merek atau hak cipta, Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor dan ekspor dari Kawasan
Akan ditampung dalampasal-pasal ekspor/impor tembakau/rokok dalam RUU. Menteri yang bersangkutan adalah Menperindag, Menkeu, Menkes, dan Badan POM.
Dalam hal ini berkaitan dengan merek dagang rokok/tembakau yang diimpor/diekspor
Akan dituangkan dalam pasal-pasal ekspor/impor rokok /tembakau
37
8.
Bab X, Pasal 55
9.
Bab X, Pasal 56
10.
Bab X, Pasal 57
Pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan dengan disertai : a. bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan; b. bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan; c. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya, agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan d. jaminan. Atas permintaan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pejabat Bea dan Cukai : a. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya; b. terhitung tanggal diterimanya perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat, melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari Kawasan Pabean. 1. Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja. 2. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat. 3. Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 huruf d.
38
11.
Bab X, Pasal 58
12.
Bab X, Pasal 59
1. Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya. 2. Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya. 1. Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak memper-panjang secara tertulis perintah penangguhan, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri tindakan penang-guhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berda-sarkan Undangundang ini. 2. Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu sepuluh hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.
39
13.
Bab XI, Pasal 68
14.
Bab XII, Pasal 74
3. Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan Ketua Pengadilan Negeri setempat tidak memper-panjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan penge-luaran barang impor/ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan UU ini. 1. Barang yang dikuasai negara adalah : a. barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4); b. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1); atau c. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak dikenal. 2. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai secara tertulis kepada pemiliknya dengan menyebutkan alasan dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diumumkan selama tiga hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean. 3. Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean. 1. Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal, Pejabat Bea dan Cukai untuk mengamankan hak-hak negara berwenang mengambil tindakan yang diperlukan terhadap barang. 2. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang
40
15.
Bab XII, Pasal 82
jenis dan syarat-syarat penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 1. Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan barang impor dan ekspor setelah Pemberitahuan Pabean diserahkan. 2. Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa. 3. Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Pejabat Bea dan Cukai berwenang memenuhi keperluan tersebut atas risiko dan biaya yang bersangkutan. 4. Barangsiapa yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). 5. Barang siapa yang salah memberitahukan jenis san/atau jumlah barang dalam pemberitahuan Pabean atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar. 6. Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan 16.
Bagian 1. Pengamanan penggunaan bahan Kedua yang mengandung zat adiktif Belas diarahkan agar tidak mengganggu Pengama dan membahayakan kesehatan
Ayat (1) Bahan yang mengandung zat adiktif adalah
Substansi ini akan menjadi substansi utama dalam RUU untuk dapat
41
nan Zat Adiktif, Pasal 44
perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. 2. Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan. 3. Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya. Ayat(2) Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain. Ayat (3) Cukup jelas
menjerat para pelanggarnya baik dengan sanksi pidana, administrative maupun perdata. Peraturan Pemerintah yang ada tidak mempunyai roh karena tidak mengatur standar kandungan zat adiktif yang secara ilmiah dapat dipertanggungjaw abkan tidak akan membahayakan kehidupan manusia. Kalau dianut bahwa zat nikotin yang dikandung dalam tembakau adalah racun menjadi pertanyaan kita mengapa zat racun diperbolehkan untuk diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini bertentangan dengan hak dasar/konstitusion al yang dimuat dalam Pasal-pasal UUD di atas.
Cukai tembakau hasilnya sebagian besar harus dipergunakan untuk mencegah dan menanggulangi akibat asap tembakau/rokok serta upaya
Akan dituangkan dalam RUU dalam bagian Preventif, Rehabilitatif, dan Promotif bagi pecandu rokok dan masyarakat yang terkena dampak negatif asap rokok.
UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai 17.
Bab II, Pasal 4
1. Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari : a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya; b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
42
18.
Bab III, Pasal 8
pembuatannya, termasuk konsetrat yang mengandung etil alkohol; c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. 2. Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 1. Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap : a. tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu; b. minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran. 2. Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai apabila: a. diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean; b. diekspor; c. dimasukkan ke dalam atau Tempat Penyimpanan; d. digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang Kena Cukai;
rehabilitatif dan promotif bagi masyarakat yang menggunakan/ menghisap rokok dan masyarakat yang trkena dampak negatif asap rokok (perokok pasif)
43
19.
Bab III, Pasal 9
e. telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai. 3. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap orang yang melanggar ketentuan tentang tidak dipungutnya cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. 4. Ketentuan tentang pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. 1. Pembebasan cukai dapat diberikan atas Barang Kena Cukai: a. yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan Barang Kena Cukai; b. untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; c. untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; d. untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau organisasi internasional di Indonesia; e. yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau kiriman dari luar negeri dalam jumlah yang ditentukan; f. yang dipergunakan untuk tujuan sosial; g. yang dimasukkan ke dalam Tempat Penimbunan Berikat. 2. Pembebasan cukai dapat juga diberikan atas Barang Kena Cukai tertentu yaitu : a. etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum; b. minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau, yang dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang berangkat langsung keluar Daerah
Untuk barang bawaan tembakau/rokok baik ke dalam atau keluar negeri tidak ada pembebasan cukai.
Akan dituangkan dalam RUU sebagai bagian dari pengendalian dan pengawasan peredaran tembakau/rokok dalam rangka perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok/tembakau
44
Pabean. 3. Pengusaha Pabrik, Pengusaha Tempat Penyimpanan, Importir atau setiap orang ayng melanggar ketentuan tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai dan paling sedikit dua kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Ketentuan tentang pembebasan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 20.
21.
Bab II, Pasal 3
Bab II, Pasal 4
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab social, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusian Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sasaran Pengelolaan lingkungan hidup adalah : a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusian dan lingkungan hidup; b. terjaminnya kepentingan generasi masa kinni dan generasi masa depan; c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
Pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan merupakan hakekat dari
Akan dituangkan dalam konsiderans “menimbang” dan Penjelasan Umum RUU
sustainable development yang merupakan upaya negara/pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kehidupan yang sehat fisik dan mental Esensinya sama dengan di atas
Idem
45
22.
Bab III, Pasal 5
23.
Bab IV, Pasal 8
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah ocial yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. (2) Untuk melasksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah : a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup; b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika; c. mengatur perbuatan hokum dan hubungan hokum antara orang dan/atau subyek hokum lainnya serta perbuatan hokum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika; d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
Idem
46
24.
Bab V, Pasal 17
pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. (2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang. (3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 25.
Bab III, Pasal 4
Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
Hak sosial ini apabila dihubungkan dengan tembakau/rokok dibagi dua yaitu perlindungan konsumen rokok (pengguna/penghis ap) untuk mendapatkan rokok yang relatif aman dan nyaman serta tidak terlalu membahayakan kesehatan dan perlindungan terhadap perokok pasif dari dampak negatif asap rokok
Akan dituangkan dalam pasal-pasal perlindungan dan pengendalian tembakau/rokok dalam Batang Tubuh RUU walaupun bersifat kontroversil namun secara sosiologis fakta itu ada dan fungsi UU adalah mengatur dan mencari solusi yang baik terhadap masalah yang ada dalam masyarakat, sambil mengarahkan ke arah kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya (a
tool of social engineering)
47
26.
Bab III, Pasal 7
27.
Bab IV, Pasal 8
undangana lainnya. Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan banrang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggatian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan /atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi,
Esensinya Akan dituangkan dalam RUU yang berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian tembakau/rokok melalui labelisasi dan iklan atau promosi
48
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinayatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengelolaan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
49
28.
Bab IV, Pasal 17
informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau jasa tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Idem
UU Nomor 40 Tahun 1999 tetang Pers 29.
Bab III, Pasal 13
Perusahaan pers dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Idem
50
30.
Bab III, Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
31.
Bab IV, Pasal 20
32.
Bab IV, Pasal 26
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkankembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
33.
Bab IX, Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung
Esensinya sama dengan yang termuat dalam pasal-pasal HAM di UUD-RI akan ditampung baik dalam “menimbang” Penjelasan Umum maupun pada perlindungan anak terhadap bahaya asap rokok/tembakau dalam RUU
Esensinya akan ditampung dalam RUU yang berkaitan dengan kewajiban Pemerintah dan Pengusaha (Kantor) menyediakan tempat bagi para pengguna/penghi
51
34.
Bab IX, Pasal 45
35.
Bab IX, Pasal 46
36.
Bab IX, Pasal 59
oleh peran serta masyarakat. (3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif,kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. (4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara CumaCuma bagi keluarga yang tidak mampu. (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. (2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya. (3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelansungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertangung jawab untuk memberikan perlindugnan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak teraksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya(napza), anak korban
sap rokok pada setiap instansi tersebut sehingga tidak mengganggu atau membahayakan masyarakat yang tidak merokok
52
37.
Bab IX, Pasal 67
penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. (1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. (2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 38.
Bab IV, Pasal 36
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. (2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. (3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi sesuai dengan isi siaran. (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya
Esensinya akan dituangkan dalam RUU yang berkaitan dengan labelisasi dan iklan serta promosi rokok/tembakau
53
(5)
(6)
39.
Bab IV, Pasal 46
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
dan tidak boleh mengutamakan kepentigan golongan tertentu. Isi siaran dilarang : a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indoensia, atau merusah hubungan internasional. Siaran iklan terdiri atas siaran niaga dan siaran iklan layanan masyarakat. Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Siaran iklan niaga dilarang melakukan : a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun. Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI. Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. Siaran iklan niaga yang disiarkan
54
pada acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak. (7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat. (8) Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20% (dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran. (9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya. (10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan. (11) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 40.
Bab X, Pasal 86
41.
Bab X, Pasal 87
(1) Setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
Esensinya akan ditampung dalam RUU yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di pabrik rokok dan para petani tembakau serta tata niaga tembakau/rokok yang berkaitan dengan tenaga kerja.
55
42.
43.
44.
yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bab XII, Ketentuan mengenai pemutusan Pasal 150 hubungan kerja dalam undangundang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Bab XII, (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat Pasal 151 pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bab XII, (1) Permohonan penetapan Pasal 152 pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
56
45.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Bab XII, (1) Pengusaha dilarang melakukan Pasal 153 pemutusan hubungan kerja dengan alasan : a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/ serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
57
46.
buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Bab XII, Penetapan sebagaimana dimaksud Pasal 154 dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerjasesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
58
47.
48.
d. pekerja/buruh meninggal dunia. Bab XII, (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa Pasal 155 penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpanan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja degnan tetap wajib membayar upah beserta hakhak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Bab XII, (1) Dalam hal terjadi pemutusan Pasal 156 hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut : a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (Satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
59
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah; (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2(dua) bulan upah b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (limabelas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (limabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapanbelas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapanbelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluhsatu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (duapuluhsatu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluhempat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (duapuluhempat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah; (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (limabelas per
60
(5)
49.
Bab XII, (1) Pasal 157
(2)
(3)
(4)
seratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat ($) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, aung penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas : a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-Cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. Dalam hal penghasilan pekerja/ buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (duabelas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Dalam hal pekerjaan tergantung
61
pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah, Bahan Berbahaya, dan Beracun 50.
Bab II, Pasal 7
51.
Bab IV, Pasal 28
52.
Bab V, Pasal 54
(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi : a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik; b. Limbah B3 dari sumber spesifik; c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi. (2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik. (3) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam lampiran I Peraturan Pemerintah ini. (1) Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menujukkan karakteristik dan jenis limbah B3. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3. (2) Instansi yang bertanggung jawab memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka.
Esensinya akan diatur dalam RUU karena nikotin sudah dimasukkan ke dalam jenis bahan berbahaya.
UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian 53.
Bab III, Pasal 5
(1) Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan
Esensinya akan dmuat dalam bagian yang berkaitan dengan
62
54.
Bab III, Pasal 9
55.
Bab VI, Pasal 19
ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia. (2) Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah. (3) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan : 1. Penyebaran dan pemerataan ndustri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri; 2. Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaanperusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat; 4. Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam pada khususnya; 5. Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam. Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi.
pabrik dan distribusi tembakau atau rokok dalam RUU
63
56.
Bab VIII, (1) Perusahaan industri wajib Pasal 21 melaksanakan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya. (2) Pemeritnah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri. (3) Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
64
BAB VI PENUTUP Berdasarkan uraian di atas yang didasrkan pada penelitian dokumenter dan pengkajian peraturan perundang-undangan di atas maupun masukan dari para peserta Seminar/Workshop dan rapat kerja, dengar pendapat dengan DPR dan berbagai kalangan pihak terkait (stake holders) yang dilakukan oleh IPPD, maka dapat disimpulkan dan sekaligus disarankan sebagai berikut: 1. Rancangan Undang-Undang tentang Pengendalian Tembakau yang bersifat komprehensif yang mengatur masalah tembakau/rokok (dan cengkeh) sejak dari hulu sampai ke hilir dan berbagai aspek yang terkait harus segera dibuat baik inistaifnya datang dari DPR maupun dari Pemerintah, tidak hanya bersifat sektoral atau beberapa segi/aspek saja dari masalah tembakau/rokok dan cengkeh. 2. Untuk sebagai dasar hukum yang lebih kuat dan agar ada perhatian dan komitmen kepada kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang pengendalian tembakau dan produk-produk turunannya yang dikembangkan WHO, menghimbau Pemerintah untuk membuat RUU Ratifikasi FCTC dan menghimbau DPR dan Pemerintah memasukannya ke dalam PROLEGNAS tahun 2005/2006. 3. Naskah Akademik RUU Pengendalian Tembakau/Rokok yang disusun IPPD ini terbuka untuk disempurnakan oleh pihak-pihak terkait yang merupakan tindak lanjut dari Ratifikasi FCTC tersebut yang selanjutnya akan dimasukkan dalam PROLEGNAS tahun 2005/2006. Dan diharapkan RUU-nya sudah dapat dipersiapkan tahun 2005 dan dibahas tahun 2006.
65
LAMPIRAN LAMPIRAN I PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
: e. bahwa rokok merupakah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu maupun masyarakat, oleh karena itu diperlukan berbagai kegiatan pengamanan rokok bagi kesehatan; f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, srta sebagai salah satu pelaksanaan ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100); Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495; MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
1.
2.
3. 4.
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Niotin tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yangmengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yagn bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan. Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Pengamanan rokok adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan atau menangani dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan.
66
5. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghaislkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk bahan baku menjadi rokok. 6. Iklan rokok adalah kegiatan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan dan atua mempromosikan rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi konsumen agar menggunakan rokok yang ditawarkan yang selanjutnya disebut iklan. 7. Label rokok adalah setiap keterangan mengenai rokok yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada rokok, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada, atau merupakan bagian kemasan rokok, yang selanjutnya disebut label. 8. Tempat umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat. 9. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untukkeperluan suatuusaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 10. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air dan udara. 11. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan atau penggunaan rokok. 12. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. 13. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hokum maupun tidak. BAB II PENYELENGGARAAN PENGAMANAN ROKOK Bagian Pertama Umum Pasal 2 Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat dengan: a. melindungi kesehatan masyarakat terhadap insiden penyakit yangfatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akiabt penggunaan rokok; b. melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan untuk penggunaan rokok danketergantungan terhadap rokok; c. meningkatkan kesadaran, kemauan dankemampuan masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok. Pasal 3 Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan: a. kadar kandungan nikotin dan tar; b. persyaratan produksi dan penjualan rokok;
67
c. persyaratan iklan dan promosi rokok; d. penetapam kawasan tanpa rokok.
(1)
(2)
Bagian Kedua Kadar kandungan Nikotin dan Tar Pasal 4 Kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah Indonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandungan tar 20 mg. Pemeriksaan kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan tata cara atau metode pemeriksaan yang berlaku.
Pasal 5 Setiap orangyang memproduksi rokok wajib nelakukan pemeriksaan kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap hasil produksinya.
Bagian Ketiga Keternagan pada Label Pasal 6 (1)
Setiap orang yang memproduksi rokok wajib mencantumkan keterangan tentang kadar kandungan nikotin dan tar pada Label dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca.
(2)
Pencantuman keternagan tentang kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. b. c.
dicantumkan pada setiap kemasan rokok pada sisi kecil; dibuat kotak dan garis pinggir hitam 1 mm dengan dasar kotak berwarna putih; tulisan digunakan warna hitam dengan ukuran 3 mm. Pasal 7
Selain pencantuman kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap kemasan rokok, setiap orang yang memproduksi rokok harus melakukan kegiatan pengamanan produk rokok yang dihasilkan meliputi: a.
pencantuman kode produksi pada setiap kemasan rokok; b. pencantuman tulisan peringatan kesehatan pada Label di bagian kemasan rokok yang mudah terlihat dan terbaca.
Pasal 8 (1)
Peringatan kesehatan pada setiap Label harus berbentuk tulisan.
68
(2)
(3)
Tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janiun”. Perubahan atau penambahan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 9
(1)
Tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dicantumkan dengan jelas pada Kabel di bagian kemasan yagn mudah diihat dan atau dibaca.
(2)
Tulisan peringatan kesehatan dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. b. c.
dicantumkan pada setiap kemasan pada sisi lebar; dibuat kotak dengan garis hitam 1 mm dengan dasar kotak berwarna putih; tulisan digunakan warna hitam dengan ukuran huruf 3 mm. Bagian Keempat Produksi dan Penjualan Rokok Pasal 10
Setiap orang yang memproduksi rokk wajib memiliki izin di bidang perindustrian.
Pasal 11 (1)
Setiap orang yang memproduksi rokok dilarang menggunakan bahan tambahan dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12 (1)
Tembakau yang digunakan untuk produksi rokok harus diolah agar kadar kandungan nikotin dan tar pada produk yang dihasilkanmemenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2)
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkebunan atau pertanian tembakau menggerakkan dan mendorong digunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan tembakau dengan kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkebunan atau pertanian tembakau.
69
Pasal 13 (1)
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menggerakkan, mendorong dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi rokok untuk menghasilkan produk rokok dengan kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2)
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang perindustrian.
Pasal 14 Produk rokk yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 serta pencantuman kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan persyaratan tanda peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.
Pasal 15 (1)
Semua produk rokok sebelum diedarkan wajib didaftarkan pada Departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2)
Pendaftaran semua produk rokok dilakukan dengan membuktikan kadar kandungan nikotin dan tar memenuhi ketentuan Pasal 4.
(3)
Pendaftaran dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok atau yangmemasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia yang mempunyai lisensi dari pihak yang memproduksi di negara asal.
(4)
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai tata cara pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 16
(1)
Penjualan rokok dengan menggunakan mesin layan diri hanya dapat diakukan di tempat-tempat tertentu.
(2)
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai penjualan rokok dengan menggunakan mesin layan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bagian Kelima Iklan dan Promosi Pasal 17
(1)
Iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yangmemproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia.
70
(2)
Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di media cetak dan atau media luar ruangan.
Pasal 18 Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilarang: a. b. c.
d. e.
merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan; memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar tulisan, atau gabungan keduanya, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok; ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan anak dan atau wanita hamil; mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok. Pasal 19
Iklan tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 20 (1)
Setiap iklan pada media cetak atau media luar ruangan harus mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2)
Pencantuman peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis dengan huruf yang jelas sehingga mudah dibaca, dan dalam ukuran yang proporsional disesuaikan dengan ukuran iklan tersebut.
Pasal 21 SEtiap orang yang memproduksi rokok dan atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan secara cuma-Cuma atau hadia berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok. Pasal 22 (1)
SEtiap orang yang mempoduksi rokokdan atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia, dalam melakukan promosi rokok pada suatu kegiatan harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasa 20.
(2)
Pimpinan atau penanggung jawab suatu kegiatan berkewajiban menolak bentuk promosi rokok yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 20.
71
Pasal 23 (1) Tempat umum dan atau tempat kerja yang secara spesifik sebagai tempat menyelenggarakan upaya kesehatan, proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, kegiatan ibadan dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. (2)
Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus utuk merokok dengan ketentuan: a.
lokasitempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak bercampur dengan kawasa tanpa rokok pada angkutan umum yangsama;
b.
dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki system sirkulasi udara yangmemenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yangbertanggung jawab di bidang perhubungan.
Pasal 24 Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentukya kawasan tanpa rokok.
Pasal 25 Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak menganggu kesehatan bagi yang tidak merokok
BAB III PERAN MASYARAKAT Pasal 26 Masyarakat, termasuk setiap orang yang memproduksi rokok dalam setiap orang yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia, memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalamrangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal melalui terbentuknya kawasan tanpa rokok pada tempat umum, tempat kerja dan angkutan umum. Pasal 27 Peran masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dan mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan. Pasal 28 Peran masyarakat dapat dilakukan secara perorangan, kelompok, badan hokum atau badan usaha, dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
72
Pasal 29 Peran masyarakat dilaksanakan melalui: a.
pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan atau pelaksanaan programpengamanan rokok bagi kesehatan;
b.
penyelenggaraan, pemberian bantuan dan atau kerja sama dalamkegiatan penelitian dan pengembangan penanggulangan bahaya merokok terhadap kesehatan;
c.
pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan;
d.
keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasikepada masyarkaat berkenaan dengan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan;
e.
kegiatan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan.
prasarana
bagi
Pasal 30 Peran masyarakat dalam rangka penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan berpedman pada kebijaksanan pemerintah dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, Menteri bekerjasama dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerangan/informasi dan instansi terkait lainnya untuk menyebarluaskan informasi dan pengertian berkenaan dengan peran masyaraka dalam penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan.
BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASA Bagian Pertama Pasal 32 Menteri dan Menteri terkait melakukan pembinaan atas pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan dengan mendorong dan menggerakkan: g. produk rokok memenuhi ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; h. terwujudnya kawasan tanpa rokok; i. berbagai kegiatan untuk menurunkan jumlah perokok.
73
Pasal 33 Pembinaan atas penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan melalui pemberian informasi dan penyuluhan, dan pengembangan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
Pasal 34 (1)
Menteri dan Menteri terkait dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan dapat: a. secara sendiri atau bekerja sama menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk pembinaan dalam penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan; b. bekerja sama dengan badan atau lembaga internasional atau organisasi kemasyarakatan untuk menyelenggarakan pengamanan rokok bagi kesehatan; c. memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan.
(2)
Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkebunan dan atau pertanian tembakau mendorong dilaksanakan diversifikasi tanaman tembakau.
(3)
Menteri yang bertanggung jawab di bidangperindustrian mendorong dilaksanakan diversifikasi industri rokk ke industri lain yang tetap memungkinkan.
Bagian Kedua Pengawasan Pasal 35 Menteri dan Menteri terkait melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan
Pasal 36 (1)
Menteri dan Menteri terkait dapat mengambil tindakan administrative terhadap pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2)
Tindakan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yangberlaku.
BAB V KETENTUAN PIDANA
74
Pasal 37 (1)
Barangsiapa memproduksi dan atau mengedarkan rokok yang tidak memenuhi kadarkandungan nikotin dan tar, dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 dan atau Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) huruf e Unang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
(2)
Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 15, Pasal 20 dan atau Pasal21 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sesuai dengan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 38 (1)
Produk lain yang mengandung Nicotin tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya dan atau hasil olahannya termasuk pembuatan sintetis yang jenis dan sifatnya sama atauserupa dengan yang dihasilkan oleh Nicotiana spesiesnya termasuk dalam ketentuan peraturan ini.
(2)
Produk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 (1)
Setiap orang yang memproduksi rokok buatan mesin atau yang memasukkan rokok buatan mesin ke dalam wilayah Indonesia yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah nin harus menyesuaikan persyaratan batas kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini lambat dalam waktu 2 (dua) tahun setelah ketentuan ini ditetapkan.
(2)
Setiap orang yang memproduksi rokok buatan tangan yang telah ada pada saatditetapkan Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan niktin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat: a.
5 (lima) tahun setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolog dalam industri besar; dan
b.
10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri kecil.
75
(3)
Setiap orang yangmemproduksi rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selama masa peralihan baik sendiri maupun bersama-sama melakukan berbagai kegiatan berupa penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, diversifikasi tanamantembakau dan upaya lain yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 40
Menteri dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan atau perkebunan tembakau, Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian selama masa peralihan sebagaimana dalam Pasal 30 secara sendiri maupu bersama-sama setiap orang yang memproduksi rokok melakukan berbagai upaya agar kadar kandugan nikotin dan tar produk rokok memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yangmengatur kegiatan pengamanan rokok bagi kesehatan yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 42 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd
MULADI
76
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 186 Salinan sesuai degan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I
Lainbook V. Nahattands
77
LAMPIRAN II PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERITAH NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa untuk memenuhi ketentuan kadar maksimum nikotin dan tar rokok diperlukan jangka waktu pengkajian baik teknolobi maupun dampak social dan ekonomi bagi masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3906); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERITAH NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3906) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok dalam wilaya Indonesia. (2) Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di media elektronik, media cetak atau media luar ruangan.” 2. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga berbunyi sbb:
78
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 39 Setiap orang yang memproduksi atau yang memasukkan rokok putih buatan mesin ke dalam wilayah Indonesia yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan persyaratan batas kadar maksimumkandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun setelah Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. Setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangann yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat: a. 7 (tujuh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan mesin; b. 10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan tangan; Untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibenuk Lembaga Kajian Rokok yangmerupakan Lembaga Non Pemerintah yang independent yang keanggotaannya terdiri dari wakil unsure Pemerintah, wakil organisasi profesi, pakar bidang rokok, wakil industri rokokm dan unsure lain yang terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Setiap orang yang memproduksi rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selama masa peralihan baik sendiri maupun bersama-sama melakukan berbagai kegiatan berupapenerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, diversifikasi tanaman tembakau dan upaya lain yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juni 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juni 2000 SEKRETARIS NEGRA INDONESIA Ttd DJOHAN EFFENDI
79
PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERITAH NOMOR 81 TAHUN 1999 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN UMUM Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan merupakan salah satu pelaksanaan ketentuan Pasal 44 Undan-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dimaksud telah menetapkan bahwa batas kadar maksimum kandungannikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah Indonesoa tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandugan tar 20 mg. Penetapan batas kadar maksimum kandunga nikotin dan tar tersebut membutuhkan teknologi pengolahan yang canggih dan bersifat machinal. Perusahaan rokok yang akan terpengaruh dengan ketentuan tersebut adalah perusahaan yang bersifat manual dan perusahaan rokok yang bersifat campuran yaitu manual dan machinal. Dampak penggunaan teknologi tersebut akan sangat mempengaruhi perusahaan rokok kretek yang umumnya diolah secara manual yang menghendaki cita rasa tradisional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan telah menghasilkan varietas-varietas tembaku dengan kadar nikotin rendah (sekitar 2%) dibandingkan dengan yang umumnya saat ini digunakan ± 5 -7 %. Namun demikian penggunaannya oleh industri rokok memerlukan tenggang waktu sebelum dapat diterima oleh konsumen akibat perubahan rasa. Selain itu juga penggunaan teknologi canggih terseut memerlukan persiapan sumber daya, sarana dan prasarana untuk pelaksanaannya. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan telah ditetapkan tenggang waktu untuk penyesuaian persyaratan batas kadar maksimum kandungan nikotin dan tar. Namun demikian batas waktu untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan tangan 10 (sepuluh) tahun, oleh karena tembakau yang dipanen pada tahun 1999 pengolahannya baru dilaksanakan pada tahun 2001. Berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan pengamanan rokok bagi kesehatan dipandang perlu juga untuk membentuk Lembaga Pengkajian Rokok yang terdiri dari wakil unsure pemerintah, organisasi profesi, pakar bidang rokok, industri rokok dan unsure lain yang terkait yang akanmengkaji berbagai permasalahan dan memantau pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
80
1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Pemerintah ini dapat diterima oleh semua pihak.
sehingga
Peraturan
PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan media luar ruangan antara lain billboard dan media elektronik (billboard elektronik) yang berada di luar ruangan. Iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat. Angka 2 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan ini berlaku bagi industri rokok kretek yangberskala besar maupun yang berskala kecil. Pemberlakuan masa peralihan tersbut dilakukan setelah diperoleh rekomendasi dari hasil kajian oleh Lembaga Pengkajian Rokok, Ayat (3) Lembaga Pengkajian Rokok tersebut bertugas melkukan pengkajian dan evaluasi tentang kelayakan pelaksanaan ketentuan seperti tercantu pada ayat (2) berdasrkan atas pertimbangan teknologi, social, dan ekonomi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3971
81
LAMPIRAN III PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa rokok merupakah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengamanan; b. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 44 Undangundang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000; c. bahwa untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan rokok bagikesehatan dipandang perlu menyempurnakan pengaturan mengenai pengamananrokok bagi kesehatan dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100); Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495; 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821); 4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4252);
MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I KETENTUAN UMUM
82
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Niotin tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yangmengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. 2. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yagn bersifat adiktif dan dapat mengakibatkan ketergantungan. 3. Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. 4. Pengamanan rokok adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan. 5. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, mengemas kembali dan /atau mengubah bentuk bahan baku menjadi rokok. 6. Iklan rokok selanjutnya disebut Iklan, adalah kegiatan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan dan /atau mempromosikan rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi konsumen agar menggunakan rokok yang ditawarkan. 7. Label rokok, selanjutnya disebut label adalah setiap keterangan mengenai rokok yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada rokok, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada, atau merupakan bagian kemasan rokok. 8. Tempat umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat. 9. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. 10. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air dan udara. 11. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok. 12. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak. 13. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. BAB II PENYELENGGARAAN PENGAMANAN ROKOK Bagian Pertama Umum
83
Pasal 2 Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat dengan: a. melindungi kesehatan masyarakat terhadap insiden penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan rokok; b. melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok; c. meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok. Pasal 3 Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan: a. kandungan kadar nikotin dan tar; b. persyaratan produksi dan penjualan rokok; c. persyaratan iklan dan promosi rokok; d. penetapam kawasan tanpa rokok. Bagian Kedua Kandungan Kadar Nikotin dan Tar
(1) (2)
Pasal 4 Setiap orang yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan kandungan kadar nikotin dan tar pada setiap hasil produksinya. Pemeriksaan kadar kandungan nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5 Setiap orangyang memproduksi rokok wajib memberikan informasi kandungan kadar nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang di produksinya. Bagian Ketiga Keterangan pada Label
(1)
(2)
Pasal 6 Setiap orang yang memproduksi rokok wajib mencantumkan infomasi tentang kandungan kadar nikotin dan tar setiap batang rokok, pada Label dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca. Pencantuman informasi tentang kandungan kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada salah satu sisi kecil setiap kemasan rokok, dibuat kotak dengan garis pinggir 1 (satu) mm, warna kontras antar warna dasar dan tulisan, ukuran tulisan, ukuran tulisan sekurang-kurangnya 3 (tiga) mm, sehingga dapat jelas dibaca.
84
Selain dalam a. b.
(1) (2)
(1)
(2)
Pasal 7 pencantuman kandungan kadar nikotin dan tar sebagaimaa dimaksud Pasal 6, pada kemasan harus dicantumkan pula: kode produksi pada setiap kemasan rokok; tulisan peringatan kesehatan pada Label di bagian kemasan yang mudah dilihat dan terbaca. Pasal 8 Peringatan kesehatan pada setiap Label harus berbentuk tulisan. Tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Pasal 9 Tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dicantumkan dengan jelas pada label di bagian kemasan yagn mudah dilihat dan dibaca. Tulisan peringatan kesehatan di dilakukan dicantumkan pada salah satu sisi lebar setiap kemasan rokok, dibuat kotak dengan garis pinggir 1 mm, warna kontras antara warna dasar dan tulisan, ukuran tulisan sekurangkurangnya 3 mm, sehingga dapat jelas dibaca. Bagian Keempat Produksi dan Penjualan Rokok
Setiap orang perindustrian.
(1)
(2)
yang
Pasal 10 memproduksi rokok wajib
memiliki
izin di
bidang
Pasal 11 Setiap orang yang memproduksi rokok dilarang menggunakan bahan tambahan dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut tentang bahan tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 12
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian berkewajiban menggerakkan, mendorong dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan produk tanaman tembakau dengan risiko kesehatan seminimal mungkin. Pasal 13 Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian berkewajiban menggerakkan, mendorong dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
85
dalam proses produksi rokok untuk menghasilkan produk rokok dengan risiko kesehatan seminimal mungkin. Pasal 14 Produk rokok yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 11. Pasal 15 (1) (2)
Penjualan rokok dengan menggunakan mesin layan diri hanya dapat diakukan di tempat-tempat tertentu. Ketentuan lebih lanjut tentang tempat-tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bagian Kelima Iklan dan Promosi Pasal 16
(1)
(2) (3)
Iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia. Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di media elektronik, media cetak atau media luar ruang. Iklan pada media elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat. Pasal 17
Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilarang: a. b. c.
d. e. f.
merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan; memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan, atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok; ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan atau gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil; mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok; bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pasal 18
(1) (2)
Setiap iklan pada media elektronik, media cetak atau media luar ruang harus mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan. Pencantuman peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis dengan huruf yang jelas sehingga mudah dibaca, dan dalam ukuran yang proporsional disesuaikan dengan ukuran iklan tersebut.
86
Pasal 19 Setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.
Pasal 20 Kegiatan sponsor dalam rangka iklan dan promosi yang dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang memasukkan rokok kedalam wilayah Indonesia, hanya dapat dilakukan dengan tetap mengikuti ketentuan periklanan dan promosi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 21 (1)
(2)
Setiap orang yang mempoduksi rokok dan/atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia, dalam melakukan iklan dan promosi rokok pada suatu kegiatan harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20. Pimpinan atau penanggung jawab suatu kegiatan berkewajiban menolak bentuk promosi rokok yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 17 dan Pasal 20. Bagian Keenam Kawasan Tanpa Rokok Pasal 22 Tempat umum sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Pasal 23
Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja yang menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak menganggu kesehatan bagi yang tidak merokok.
Pasal 24 Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus untuk : a. lokasi tempat khusus untuk merokook terpisah secara fisik/tidak bercampur dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan umum yang sama; b. dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki system sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
87
Pasal 25 Pemerintah Daerah wajib mewujudkan kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, diwilayahnya.
BAB III PERAN MASYARAKAT Pasal 26 Masyarakat, termasuk setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia, memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal melalui terbentuknya kawasan tanpa rokok.
Pasal 27 Peran masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dan mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan.
Pasal 28 Peran masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hukum atau badan usaha, dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pasal 29 Peran masyarakat dilaksanakan melalui: a. b.
c. d.
e.
pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program pengamanan rokok bagi kesehatan; penyelenggaraan, pemberian bantuan dan/atau kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan penanggulangan bahaya merokok terhadap kesehatan; pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana bagi penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan; keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi kepada masyarkaat berkenaan dengan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan; kegiatan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan. Pasal 30
Peran masyarakat dalam rangka penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan berpedoman kepada kebijaksanan pemerintah dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
88
Pasal 31 Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, Menteri bekerjasama dengan instansi terkait lainnya menyebarluaskan informasi dan pengertian penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan.
BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASA Bagian Pertama Pembinaan Pasal 32 Menteri dan Menteri terkait dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan atas pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan dengan mendorong dan menggerakkan: a. b. c.
produk rokok yang memiliki risiko kesehatan seminimal mungkin; terwujudnya kawasan tanpa rokok; berbagai kegiatan untuk menurunkan jumlah perokok. Pasal 33
Pembinaan atas penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan melalui pemberian informasi dan penyuluhan, dan pengembangan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Pasal 34 (1)
(2) (3)
Menteri dan Menteri terkait dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan dapat: a. secara sendiri atau bekerja sama menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk pembinaan dalam penyelenggaraan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan; b. bekerja sama dengan badan atau lembaga internasional atau organisasi kemasyarakatan untuk menyelenggarakan pengamanan rokok bagi kesehatan; c. memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan. Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, mendorong dilaksanakan diversifikasi tanaman tembakau jenis tanaman lain. Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian mendorong dilaksanakan diversifikasi industri rokok ke industri lain. Bagian Kedua Pengawasan
89
(1) (2)
(3)
Pasal 35 Menteri dan Menteri terkait melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya pengamanan rokok bagi kesehatan Dalam rangka pengaasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)Menteri dan Menteri terkait dapat mengambil tindakan administrative terhadap pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Tindakan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dapat berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penghentian sementara kegiatan; d. pencabutan izin industri. Pasal 36
(1) (2)
Pengawasan terhadap produk rokok yang beredar dan iklan dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam rangka pengawasan produk rokok yang beredar dan iklan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dapat memberikan teguran lisan, teguran tertulis dan/atau membuat rekomendasi untuk melakukan penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin industri kepada instansi terkait. BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 37
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 38
(1)
(2)
Produk lain yang mengandung Nicotin tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya dan/atau hasil olahannya termasuk pembuatan sintetis yang jenis dan sifatnya sama atau serupa dengan yang dihasilkan oleh Nicotiana spesiesnya termasuk dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Produk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
90
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Setiap orang yang memproduksi dan/atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. Pasal 40 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 41 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000,dinyatakan tidak berlaku. Pasal 42 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 Maret 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd
BAMBANG KESOWO
91
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 36
Salinan sesuai degan aslinya DEPUTI SEKRETARIAT KABINET RI Bidang Hukum dan Perundang-undangan
Lainbook V. Nahattands
92
PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN UMUM Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat tersebut, diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud adalah penggunaan zat adiktif yang diatur dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, oleh karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yangbersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jangunt, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronchitis kronik, dan gangguan kehamilan. Dalam rangka peningkatan upaya penanggulangan bahaya akibat merokok dan juga implementasi pelaksanaannya di lapangan lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, dengan tujuan: a. melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok; b. membudayakanhidup sehat; c. menekan perokk pemula; d. melindungi kesehatan perokok pasif; prevalensi perokok aktif di Indonesia meningkat dengan sangat cepat dalam dua decade terakhir. Data survey Kesehatan Nasional Tahun 2001 menunjukkan bahwa 54,5% (lima puluh empat koma lima persen) laki-laki dan 1,2 % (satu koma dua persen) perempuan Indonesia berusia lebih dari 10 (sepuluh) tahun, merupakan perokok aktif. Sekitar 28,3% (dua puluh delapan koma tiga persen) perokok adalah tergolong dalamsosial ekonomi rendah, dimana mereka membelanjakan rata-rata 15%-16% (lima belas persen sampai denga enam belas persen) dari pendapatan dalam sebulan untuk membeli rokok. Tingkat kematian akibat kebiasaan merokok di Indonesia telah mencapai 57.000 (lima puluh tujuh ribu) orang setiap tahunnya dan 4.000.000 (empat juta) kematian di dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2030 diperkirakan tingkat kematian di dunia akibat konsumsi tembakau akan mencapai 10.000 (sepuluh ribu) orang tiap tahunnya, dengan sekitar 70% (tujuh puluh persen) terjadi di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
93
Pengamaan rokok bagi kesehatan perlu dilaksanakan dengan pemberian informasi tenang kandungan kadar nikotin dan tar yang ada pada setiap batang rokok, pencantuman peringatan pada label, pengaturan produksi dan penjualan rokok dan periklanan dan promosi rokok. Selain itu,perlu ditetapkan pula kawasan tanpa rokok pada tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Dalam Peraturan Pemerintah ini, iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan. Ketentuan mengenai iklan tersebut juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Peran masyarakat dalam upaya pengamanan rokok bagi kesehatan perlu ditingkatkan agar terbentuk kawasan tanpa rokok disemua tempat/sarana. Pembinaan dan pengawasan oleh Menteri Kesehatan atas pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dalamberbagai bidang melalui pemberina informasi, enyuluhan dan pengembangan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Pelanggara ketntuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dikenakan tindakan administrative dan sanksi pidana sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pengamanan rokok bagi kesehatan ini juga perlu dilaksanakan secara terpadu dengan lintas sector yang terkait. Oleh karena itu,peraturan perundangundangan yang erat kaitannya dengan pengamananrokok ini perlu diperhatikan seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kesehatan Kerja, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undangundang Nomor 10 Tahun tentang Kepabeanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen, Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Merokok merugikan kesehatan baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain disekitarnya yang tidakmerokok (perokok pasif). Perokok mempunyai risiko 2-4 kali lipat untuk terkenapenyakit jantung koroner dan risiko lebih tiggi untuk kematian mendadak. Perlindugan terhadapperokokpasif perlu dilakukanmengingat risiko terkena penyakit kanker bagi perokok pasif 30% (tiga puluh persen) lebih besar dibandingkan dengan perokok itu sendiri. Perokok pasif juga dapat
94
terkena penyakit lainnya seperti disebabkan oleh asap rokok.
penyakit
jantung
iskemik
yang
Pasal 3 Huruf a Kadar maksimum kandungan nikotin dan tar pada setiap batangrokok yang beredar perlu diinformasikan. Nikotin dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner yang memberi oksigen pada jantung.karena penyempitan pembuluh darah, makajangunt akan bekerja keras, sehinggamemerlukan oksigen lebih banyak yang menyebabkan aliran darah dipercepat dan terjadi kenaikan tekanan darah, bila terjadi penyumbatan arteri koroner, tidak ada aliran oksigen ke otot jantung yang mengakibatkan seranganjantung. Sedangkan tar yang bersifat karsinogenik dapat menyebabkan penyakit kanker. Huruf b Rokok yang akan diedarkan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk mencegah dampak bahaya terhadap kesehatan. Penjualan rokok perlu diatur agar tidak memberikan kemudahan bagi anak untuk memperoleh rokok. Huruf c Periklanan dan promosi rokok perlu diatur mendorong bertambahnya perokok pemula.
karena
dapat
Huruf d Dalam rangka melindungi kesehatanindividu danmasyarakat dari bahaya akibat merokok, Pemerintah melakukan upaya penanggulangannya, diantaranya pengaturan penetapan kawasan tanpa rokok. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan laboratorium yang terakreditasi dalamketentuan ini adalah laboratorium yang telah memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Pasal 5 Kewajiban untuk memberikan informai kandungan kadar nikotin dan tar dalamketentuan ini dilakukan apabila telah mendapatkan hasil
95
pemeriksaan kandungan kadar nikotin dan tar dari laboratorium yang telah terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pencantuman informasi sebagaimana dimaksud, dalam ketentuan ini dilakukan sebagai berikut: a. garis pinggir warna hitam, dasar kotak berwarna putih dan tulisan warna hitam; atan b. garis pinggir, warna dasar kotak dan tulisan dapat diberi warna lain sepanjang tulisan peringatan dapat dibaca dengan jelas. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Bahan tambahan yang dimaksud antara lain penambah rasa, penambah aroma, pewarna dan obat-obatan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Dengan digunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan hasil strain tembakau dengan kadar nikotin dan tar rendah sehingga dampak risiko kesehatan minimal. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas
96
Pasal 15 Ayat (1) Dalam menentukan lokasi penempatan mesin layan diri (vending machine) perlu dipertimbangkan agar lokasi jauh dari jangkauan anak-anak. Ayat (2) Penentuan tempat-tempat tertentu dalam ketentuan ini harus memperhatikan jarak dengan kawasan tanpa rokok. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud media luar ruang antara lain billboard dan media elektronik (billboard electronic) yang berada di luar ruang. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 17 Huruf a Termasuk dalam hal ini antara lain menampilkan adegan menawarkan rokok, membuka bungkus rokok, mengajak orang merokok. Huruf b Termasuk dalam hal ini antara lain merokok membuat lansing, menambah konsentasi dan lain-lain yang bertentangan dengan aspek kesehatan. Huruf c Termasuk dalam hal ini antara lain menampilkan gambar bungkus rokok baik sebagian atau secara utuh, gambar batang rokok, tulisan rokok, gambar asap rokok. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan norma yangberlaku dalammasyarakat adalah norma hokum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan
97
Pasal 18 Ayat (1) Pencantuman peringatan dimaksud dalam ketentuan ini hendaknya mengacu pada tulisan peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). Pencantuman peringatan bahaya merokok pada penyiaran televise lamanya harus dapat memberikan kesempatan pada orang untuk membacanya dengan baik. Peringatan bahaya merokok pda penyiaran radio harus diberikan dengan suara yang jelas. Ayat (2) Yang dimaksud ukuran yang proporsionaldalam ketentuan ini yaituuntuk media cetak dan media luar ruang antara lain luas kolom yang memuat peringatan kesehatan sekurang-kurangnya 15%(lima belas persen) dari luas total iklan, dengan tulisan yang jelas dan mudah dibaca oleh masyarakat. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Tempat khusus dalam ketentuan ini adalah tempat yang disediakan untuk para perokok yang terpisah dan tidak berhubungan dengan ruangan tanpa rokok dan harus mempunyai alat penghisap udara. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Peran serta masyarakat yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah partisipasi masyarakat termasuk produsen atau importer dalam uoaya mewujudkan terbentuknya kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan angkutan umum. Pasal 27 Cukup jelas
98
Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Menteri terkait antara lain Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan, dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kepabeanan dan cukai. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Pengawasan oleh dalam ketentuan kadar nikotin dan label dan ketaatan Ayat (2) Cukup jelas
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ini berkaitan dengan kebenaran kandungan tar, pencantuman peringatan kesehatan pada dalam pelaksanaan iklan dan promosi rokok.
Pasal 37 Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
99
Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4276